analisis keunggulan komparatif dan kompetitif kopi …digilib.unila.ac.id/60843/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF KOPIDENGAN ADANYA SERTIFIKASI
COMMON CODE FOR THE COFFEE COMMUNITY (4C)DI KECAMATAN SUMBEREJO KABUPATEN TANGGAMUS
(Skripsi)
Oleh
Rina Astuti
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2020
ABSTRACT
ANALYSIS OF COMPARATIVE AND COMPETITIVE ADVANTAGESOF COFFEE WITH COMMON CODE FOR THE COFFEE COMMUNITY
(4C) CERTIFICATION IN SUMBEREJO DISTRICTTANGGAMUS REGENCY
By
Rina Astuti
This research aims to analyze comparative advantage, competitive advantage, theimpact of government policies on input output of certified coffee farming, andanalyze the sensitivity of changes in input and output prices to the comparativeadvantage and competitive advantage of coffee farming in the Sumberejo Districtof Tanggamus Regency. The samples of 25 farmers were taken simply randomlyfrom 133 coffee farmers who applied 4C coffee certification. Data were analyzedusing PAM (Policy Analysis Matrix). The results showed that 4C certificationcoffee farming in Sumberejo District of Tanggamus Regency had a competitiveadvantage with value of Private Cost Ratio of 0.53 and comparative advantagewith of Domestic Cost Ratio of 0.38. Government policies on input-output havenot yet optimized the farmers actual income and profits. Competitive advantagewas not sensitive to 40% decline of output prices but sensitive to 20.31 % declineproduction volume. Comparative advantage was sensitive to 20.31% decline inproduction volume and 40% decline in farm output price. Increase in input pricesdue to revocation of subsidies reduces competitive and comparative advantages.Competitive and comparative advantages were not sensitive to an increase ininput price.
Keywords: certification, comparative, competitive, coffee, PAM
ABSTRAK
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF KOPIDENGAN ADANYA SERTIFIKASI COMMON CODE FOR THE COFFEE
COMMUNITY (4C) DI KECAMATAN SUMBEREJOKABUPATEN TANGGAMUS
Oleh
Rina AstutiPenelitan ini bertujuan untuk menganalisis keunggulan komparatif, keunggulankompetitif, dampak kebijakan pemerintah terhadap input output pada usahatanikopi sertifikasi, dan menganalisis kepekaan perubahan harga output, input danvolume produksi terhadap keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitifusahatani kopi sertifikasi di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus.Sampel diambil sebanyak 25 petani dari populasi yang berjumlah 133 petani kopiyang menerapkan sertifikasi 4C dengan metode acak sederhana (simple randomsampling). Analisis data yang digunakan adalah analisis PAM (Policy AnalysisMatrix). Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani kopi sertifikasi 4C diKecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus memiliki keunggulan kompetitifdengan nilai Private Cost Ratio sebesar 0,53 dan keunggulan komparatif dengannilai Domestic Cost Ratio sebesar 0,38. Kebijakan pemerintah terhadap input-output secara menyeluruh belum mengoptimalkan pendapatan dan keuntunganaktual petani. Keunggulan kompetitif tidak peka terhadap penurunan hargaoutput 40% dan peka terhadap penurunan volume produksi 20,31%. Keunggulankomparatif peka terhadap penurunan volume produksi 20,31% dan penurunanharga output 40%. Peningkatan harga input akibat pencabutan subsidimenurunkan keunggulan kompetitif dan komparatif. Keunggulan kompetitif dankomparatif tidak peka terhadap peningkatan harga input.
Kata kunci : komparatif, kompetitif, kopi, PAM, sertifikasi
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF KOPIDENGAN ADANYA SERTIFIKASI
COMMON CODE FOR THE COFFEE COMMUNITY (4C)DI KECAMATAN SUMBEREJO KABUPATEN TANGGAMUS
Oleh
Rina Astuti
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA PERTANIAN
pada
Jurusan AgribisnisFakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2020
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Panutan pada 01 Januari 1997 dari pasangan Bapak
Siwan dan Ibu Tumirah. Penulis merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara. Penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 2 Panutan, Kecamatan
Pagelaran, Kabupaten Pringsewu tahun 2009, pendidikan sekolah menengah
pertama di SMP Negeri 1 Pringsewu tahun 2012, pendidikan sekolah menengah
atas di SMA Negeri 1 Pringsewu tahun 2015. Penulis diterima di Perguruan
Tinggi Universitas Lampung, Fakultas Pertanian, Jurusan Agribisnis dengan
Program Studi Agribisnis pada tahun 2015 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi ( SNMPTN). Selama dibangku kuliah penulis menerima
Beasiswa Bidik Misi dan Beasiswa Mahasiswa Berprestasi dan Berkepribadian
Unggul dari Yayasan Pelayanan Kasih AA Rahmat (YPKKAR) melalui Adaro
Foundation.
Penulis melaksanakan mata kuliah Praktik Pengenalan Pertanian (homestay)
selama 7 hari di Desa Lugusari, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu.
Melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Mekarjaya,
Kecamatan Gunung Agung, Kabupaten Tulang Bawang Barat dan melaksanakan
Paktik Umun (PU) Kewirausahaan dalam bentuk pengembangan usaha di Desa
Panutan, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu selama 30 hari.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten dosen pada mata
kuliah Pengembangan Masyarakat pada tahun ajaran 2016/2017, Perencanaan
dan Evaluasi Proyek pada tahun ajaran 2017/2018, Teknologi Informasi dan
Multimedia tahun ajaran 2017/2018, dan Praktik Pengenalan Pertanian tahun
ajaran 2018/2019. Selain itu, penulis pernah menjadi tutor Forum Ilmiah
Mahasiswa (FILMA) yang diselenggarakan oleh Bidang Akademik Fakultas
Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2017. Penulis pernah menjadi
enumerator pada Program Maju Sejahtera (MANTRA) yang merupakan
kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Pemerintah
Kabupaten Tulang Bawang Barat dengan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
pada Bulan Desember 2018 dan penulis pernah menjadi surveyor pada kegiatan
Studi Penelusuran Alumni (Tracer Study) yang diselenggarakan oleh UPT
Pengembangan Karier dan Kewirausahaan atau Career For Center and
Entrepreneurship Development (CCED) Universitas Lampung.
Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalan berbagai organisasi
kemahasiswaan kampus diantaranya Forum Studi Islam (FOSI) Fakultas Pertanian
Universitas Lampung sebagai anggota Badan Khusus Pemberdaya Muslimah
(BKPM) periode 2015/2016, Sekretaris Bidang Dana Usaha dan Kesejahteraan
(DANKESTRA) periode 2016/2017, Bina Rohani Islam (BIROHMAH)
Universitas Lampung sebagai Kepala Departemen Kemuslimahan periode
2017/2018, dan staff Komisi C Kemuslimahan Pusat Komunikasi Daerah
(PUSKOMDA) Lampung periode 2017/2018.
SANWACANA
Bismillahirrohmannirrohim
Alhamdulillahhirabbil alamin, segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Kopi
dengan Adanya Sertifikasi Common Code for the Coffee Community (4C) di
Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus”, shalawat teriring salam juga
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dan seluruh
umatnya selalu istiqomah di jalannya dan mendapat syafaatnya di yaumil akhir,
Aamiin.
Penulis menyadari skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya
dukungan, bimbingan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung yang telah membantu kelancaran proses perkuliahan di
Fakultas Pertanian.
2. Dr. Teguh Endaryanto, S.P., M.Si., selaku Ketua Jurusan Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Lampung yang telah memberikan arahan, bantuan dan
nasihat.
3. Dr. Ir. Muhammad Irfan Affandi, M.Si., selaku dosen pembimbing pertama
atas bimbingan, saran, arahan, motivasi, semangat dan ilmu yang bermanfaat
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Ir. Raden Hanung Ismono, M.P., selaku dosen pembimbing kedua atas
bimbingan, saran, nasihat, motivasi, semangat dan arahan kepada penulis.
5. Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc., selaku dosen pembahas atas saran,
arahan dan masukan yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini.
6. Ir. Suriaty Situmorang, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu memberikan nasihat.
7. Seluruh dosen Jurusan Agribisnis atas semua ilmu yang telah diberikan
selama penulis menjadi mahasiswa di Universitas Lampung.
8. Seluruh karyawan di Jurusan Agribisnis atas semua bantuan kepada penulis.
9. Keluarga tercinta, Bapak Siwan, Ibu Tumirah, Suparwanto, Suryati dan Sarini
atas kesabaran, doa, dukungan, semangat dan kasih sayang yang telah
diberikan selama ini.
10. Sahabat-sahabat Akhowat FOSI Fakultas Pertanian periode 2017, Utri,
Endayani, Novi, Neni, Tyas, Linda, dan Eka.
11. Sahabat-sahabat Akhowat BIROHMAH Universitas Lampung Periode 2018,
Atika, Pina, Ishmah, Septa, Indah, Azzahrah, Hani, Intani, Musta’inatun,
Zulaikha, dan Eka Irawati.
12. Teman-teman Akhowat Pusat Komunikasi Daerah Lampung.
13. Teman berjuang, Sayu Hidayati Iswara, Apap dan Apip.
14. Destia Ariza Putri, Nadia Ratna, Umi Latifah, Rahma, Dewi Sartika, Desti
April Yanti, Fitri Aisyah Nur Alimah, dan Rama Ayu Fitri yang selalu
memberikan motivasi.
15. Keluarga besar Agribisnis angkatan 2013, 2014, 2015, 2016, dan 2017.
16. Almamater tercinta dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
skripsi ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan terbaik atas segala bantuan yang telah
diberikan dan memberikan rahmat serta hidayah kepada kita semua. Semoga
karya kecil yang belum sempurna ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak
yang membutuhkan. Penulis meminta maaf jika ada kesalahan dan memohon
ampun kepada Allah SWT.
Bandar Lampung, Januari 2020
Penulis,
Rina Astuti
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. viii
I. PENDAHULUANA. Latar Belakang .................................................................................. 1B. Tujuan Penelitian .............................................................................. 11C. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRANA. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 13
1. Ekonomi Kopi ............................................................................. 132. Konsep Usahatani ....................................................................... 153. Konsep Daya Saing..................................................................... 16
1) Keunggulan Komparatif........................................................ 172) Keunggulan Kompetitif ........................................................ 18
4. Konsep PAM (Policy Analysis Matrix) ...................................... 195. Sertifikasi 4C (Common Code for the Coffe Community) .......... 20
B. Hasil Penelitian Terdahulu................................................................ 24C. Kerangka Pemikiran.......................................................................... 33
III. METODE PENELITIANA. Konsep Dasar dan Definisi Operasional .......................................... 36B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ 42C. Responden dan Pengumpulan Data .................................................. 42D. Analisis Data ..................................................................................... 45
1. Identifikasi Input dan Output ...................................................... 452. Penentuan Alokasi Biaya ............................................................ 453. Penentuan Harga Privat............................................................... 454. Penentuan Harga Sosial .............................................................. 465. PAM (Policy Analysis Matrix) ................................................... 496. Analisis Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial .................. 537. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan
Komparatif . ................................................................................ 538. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah .................................... 549. Analisis Sensitivitas ................................................................... 57
ii
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIANA. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus .................................. 59B. Gambaran Umum Kecamatan Sumberejo................................... 63
V. HASIL DAN PEMBAHASANA. Karakteristik Responden Petani ................................................... 65
1. Umur Responden Petani......................................................... 652. Tingkat Pendidikan ................................................................ 663. Pekerjaan di Luar Usahatani .................................................. 684. Lama Usahatani...................................................................... 695. Jumlah Tanggungan Keluarga................................................ 706. Penguasaan Lahan dan Status Kepemilikan Lahan................ 71
B. Budidaya Kopi.............................................................................. 721. Persiapan Bibit ...................................................................... 722. Persiapan Lahan .................................................................... 733. Pemeliharaan ......................................................................... 73
a) Penyulaman ................................................................... 73b) Penyiangan ...................................................................... 73c) Pemupukan ...................................................................... 74d) Pemangkasan ................................................................... 74e) Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman .................... 74
4. Panen dan Pasca Panen .......................................................... 75C. Analisis Matrik Kebijakan (Policy Analysis Matrix) ................. 76
1. Analisis Input Output ............................................................ 762. Penentuan Harga Privat dan Harga Sosial ............................ 843. Analisis Keuntungan Privat dan Sosial ................................. 964. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif .............................. 995. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah .............................. 1036. Analisis Sensitivitas .............................................................. 109
VI. KESIMPULANA. Kesimpulan ............................................................................. . 114B. Saran ........................................................................................ 115
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 116
LAMPIRAN............................................................................................... 121
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Negara tujuan ekspor kopi Indonesia tahun 2017 ............................................ 2
2. Volume dan nilai ekspor kopi di Indonesia tahun 2013-2017 ......................... 3
3. Neraca volume perdagangan komoditas perkebunan Indonesia tahun2014-2017. ....................................................................................................... 4
4. Luas areal, produksi dan produktivitas tanaman perkebunan kopitahun 2012-2017. ............................................................................................. 5
5. Luas areal, produksi dan produktivitas kopi di Provinsi Lampungtahun 2017....................................................................................................... 8
6. Luas areal, produksi dan produktivitas kopi di KabupatenTanggamus tahun 2017. ................................................................................. 10
7. Penentuan harga paritas ekspor output........................................................... 46
8. Penentuan harga paritas ekspor input............................................................. 47
9. Penentuan harga paritas impor input.............................................................. 47
10. Matriks analisis kebijakan (PAM) ................................................................. 49
11. Banyaknya penduduk Kabupaten Tanggamus menurut kelompok umur,tahun 2019...................................................................................................... 61
12. Sebaran umur petani sertifikasi menururt struktur umur ............................... 65
13. Sebaran petani sertifikasi berdasarkan tingkat pendidikan ........................... 67
14. Sebaran petani kopi sertifikasi berdasarkan pekerjaan petani diluarusahatani kopi................................................................................................ 68
15. Sebaran petani kopi sertifikasi berdasarkan pengalaman usahatani ............. 69
iv
16. Sebaran petani sertifikasi berdasarkan jumlah tanggungan keluarga .......... 70
17. Sebaran penguasaan lahan petani sertifikasi ................................................ 71
18. Rata-rata jumlah penggunaan bibit tanaman kopi dan tanamantumpang sari di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamustahun 2018.................................................................................................... 77
19. Rata-rata penggunaan pupuk kimia dan pupuk organik petani kopisertifikasi di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus tahun2018............................................................................................................... 78
20. Rata-rata penggunaan pestisida kopi sertifikasi di KecamatanSumberejo Kabupaten Tanggamus tahun 2018............................................. 80
21. Rata-rata penggunaan tenaga kerja petani sertifikasi di KecamatanSumberejo Kabupaten Tanggamus tahun 2018................................................82
22. Rata-rata produksi kopi per hektar per tahun petani sertifikasidi Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus tahun 2018 ..................... 83
23. Harga privat bibit kopi dan tanaman tumpangsari di KecamatanSumberejo Kabupaten Tanggamus tahun 2018............................................ 85
24. Harga privat pupuk di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamustahun 2018..................................................................................................... 86
25. Harga privat herbisida di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamustahun 2018..................................................................................................... 86
26. Harga privat alat pertanian di Kecamatan Sumberejo KabupatenTanggamus tahun 2018 ................................................................................. 87
27. Harga privat produksi usahatani kopi dan tanaman tumpangsari diKecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus tahun 2018.......................... 88
28. Perhitungan SCF dan SCR............................................................................ 90
29. Harga sosial pupuk di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamustahun 2018..................................................................................................... 93
30. Harga sosial pestisida di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamustahun 2018.................................................................................................... 93
31. Harga sosial produksi usahatani kopi dan tanaman tumpangsari diKecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus tahun 2018......................... 96
32. Penerimaan usahatani kopi petani sertifikasi per hektar dalam
vii
harga privat dan harga sosial di Kecamatan Sumberejo KabupatenTanggamus tahun 2018 ................................................................................. 96
33. Analisis rasio keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatifusahatani kopi petani sertifikasi sertifikasi di Kecamatan SumberejoKabupaten Tanggamus................................................................................ 100
34. Indikator Kebijakan Pemerintah ................................................................. 103
35. Analisis sensitivitas PCR dan DCR petani sertifiksi terhadappenurunan harga output sebesar 40 % di Kecamatan SumberejoKabupaten Tanggamus................................................................................ 110
36. Analisis sensitivitas PCR dan DCR petani sertifiksi terhadappenurunan volume produksi sebesar 20,31 % di KecamatanSumberejo Kabupaten Tanggamus ............................................................. 112
37. Identitas responden petani kopi sertifikasi di Kecamatan Sumberejo,Kabupaten Tanggamus................................................................................ 122
38. Sarana produksi yang digunakan pada usahatani kopi di KecamatanSumberejo, Kabupaten Tanggamus ............................................................ 123
39. Penyusutan peralatan petani kopi sertifikasi di Kecamatan Sumberejo,Kabupaten Tanggamus............................................................................... 126
40. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani kopi sertifikasi di KecamatanSumberejo, Kabupaten Tanggamus ........................................................... 129
41. Data penerimaan usahatani kopi sertifikasi per hektar selama umurekonomis di Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus,2019........... 141
42. Asumsi ........................................................................................................ 142
43. Perhitungan harga sosial paritas kopi......................................................... 143
44. Perhitungan harga sosial paritas kakao ....................................................... 143
45. Perhitungan harga sosial paritas lada .......................................................... 143
46. Perhitungan harga sosial paritas Pupuk Urea.............................................. 143
47. Perhitungan harga sosial paritas Pupuk Phonska ......................................... 144
48. Perhitungan harga sosial paritas Pupuk ZA ................................................. 144
49. Perhitungan harga sosial paritas Pupuk SP-36........................................... 144
vi
50. Input-output usahatani kopi sertifikasi di Kecamatan Sumberejo,Kabupaten Tanggamus, 2019..................................................................... 145
51. Harga privat input dan output per hektar pada usahatani kopi sertifikasidi Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus, 2019 ............................ 150
52. Harga sosial input dan output per hektar pada usahatani kopi sertifikasidi Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus, 2019 .......................... 151
53. Cash flow dengan menggunakan harga privat usahatani kopi sertifikasidi Kecamatan Sumberejo,Kabupaten Tanggamus 2019 .............................. 152
54. Cash flow dengan menggunakan harga sosial usahatani kopi sertifikasidi Kecamatan Sumberejo,Kabupaten Tanggamus 2019 .............................. 160
55. PAM usahatani kopi sertifikasi di Kecamatan Sumberejo, KabupatenTanggamus, 2019 ........................................................................................ 168
56. Rasio PAM.................................................................................................. 168
57. PAM usahatani kopi sertifikasi saat kenaikan penurunan harga output40 % di Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus, 2019................. 169
58. Rasio PAM.................................................................................................. 169
59. PAM usahatani kopi sertifikasi saat kenaikan penurunan volume output20,31 % di Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus, 2019 ............. 170
60. Rasio PAM.................................................................................................. 170
61. PAM usahatani kopi sertifikasi saat subsidi input dicabut diKecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus, 2019 ............................... 171
62. Analisis sensitivitas PCR pada output usahatani kopi apabila produksikopi turun 20,31% di Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus ...... 172
63. Analisis sensitivitas DCR pada output usahatani kopi apabila produksikopi turun 20,31% di Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus ..... 172
64. Analisis sensitivitas PCR pada output usahatani kopi apabila hargakopi turun 40 % di Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus .......... 172
65. Analisis sensitivitas DCR pada output usahatani kopi apabila hargakopi turun 40 % di Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus ........... 172
vii
66. Analisis sensitivitas PCR dan DCR pada saat subsidi input dicbut(kenaikan harga input) di Kecamatan Sumberejo, KabupatenTanggamus .................................................................................................. 172
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka pemikiran analisis keunggulan komparatif dan kompetitifkopi dengan adanya kebijakan sertifikasi 4C (Common Code for theCoffee Community) di kecamatan sumberejo kabupaten tanggamus ......... 35
2. Peta lokasi Kabupaten Tanggamus ............................................................ 60
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang dikenal sebagai negara agraris, ditunjukkan
dengan luas wilayah yang digunakan untuk kegiatan pertanian. Sektor
pertanian secara umum terdiri dari lima subsektor. Lima subsektor tersebut
yaitu subsektor tanaman pangan, subsektor perikanan, subsektor peternakan,
subsektor kehutanan dan subsektor tanaman perkebunan. Pada triwulan III
sektor pertanian menyumbang PDB Indonesia sebesar Rp 1.023.743 milyar.
Sebagai salah satu subsektor pertanian, sektor perkebunan berkontribusi dalam
PDB sebesar Rp 302.184 milyar (Badan Pusat Statistik, 2018).
Kopi sebagai salah satu komoditas unggulan pada subsektor perkebunan
memiliki peran dalam perekonomian dan memiliki peluang pasar, baik di
dalam negeri maupun di luar negeri. Selain itu, kopi Indonesia berkontribusi
cukup besar dalam memenuhi kebutuhan kopi di pasar dunia. Sebagai salah
satu negara produsen kopi terbesar di dunia, kopi Indonesia dikenal hingga ke
seluruh penjuru dunia karena kualitas dan cita rasanya. Kelebihan kopi
Indonesia adalah memiliki jenis yang beraneka ragam. Selain jenis
varietasnya yang beragam serta berkualitas tinggi, kelebihan kopi Indonesia
juga terletak pada variasi rasanya.
2
Berdasarkan data International Coffee Organization (ICO) 2018, komoditas
kopi global mengalami defisit sebesar 1,36 juta karung pada tahun 2017,
dengan demikian keberadaan Indonesia sebagai negara produsen utama kopi
dunia dapat memerankan posisi strategis di level nasional maupun
internasional. Saat ini, Indonesia setidaknya memiliki 21 jenis kopi yang
dikategorikan sebagai coffee speciality yang mendapatkan sertifikasi dari
Kemenkumham RI sebagai produk berkualitas dan spesifik. Konsumsi kopi
nasional yang cukup pesat dalam 5 tahun terakhir tidak diimbangi dengan
pertumbuhan produksi. Hal tersebut menyebabkan Indonesia belum mampu
memaksimalkan peran di level internasional.
Menurut data International Coffee Organization (ICO) 2018, Indonesia
merupakan negara eksportir kopi terbesar keempat setelah Brazil, Vietnam,
dan Coloumbia. Data tersebut menunjukkan Indonesia turun dari urutan
ketiga terbesar di dunia menjadi urutan keempat sebagai eksportir kopi. Lima
besar negara tujuan ekspor kopi Indonesia dapat dilihat padat Tabel 1.
Tabel 1. Negara tujuan ekspor kopi Indonesia tahun 2017
No Negara Tujuan
Ekspor
Volume (Ton) Nilai (US$)
1 Amerika serikat 63.253 256.422
2 Jerman 44.740 103.993
3 Malaysia 43.151 86.968
4 Italia 38.104 79.667
5 Federasi Rusia 36.920 75.564Sumber : Kementerian Pertanian, 2018.
Jumlah ekspor kopi Indonesia pada tahun 2017 adalah 354.754 ton dengan
nilai ekspor 1.186.668 US$. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2018),
3
ekspor kopi nasional pada 2017 tumbuh 12,56 persen dari tahun sebelumnya.
Demikian pula nilai ekspornya naik 17,48 persen sekitar Rp 15,9 triliun.
Volume dan nilai ekspor perdagangan komoditas perkebunan Indonesia, 2013-
2017 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Volume dan nilai ekspor kopi di Indonesia tahun 2013-2017
No Tahun
Ekspor
Volume (Ton) Nilai (US$)
1 2013 534.023 1.174.029
2 2014 384.828 1.039.609
3 2015 502.021 1.197.735
4 2016 414.638 1.008.450
5 2017 457.790 1.186.886Sumber : Kementerian Pertanian, 2018.
Tabel 2 menunjukkan bahwa volume dan nilai ekspor kopi Indonesia
mengalami fluktuasi. Pada tahun 2014 volume ekspor kopi menurun menjadi
384,828 ton dari tahun sebelumnya, yaitu tahun 2014 sebesar 534,023 ton.
Komoditas kopi mengalami hasil ekspor tertinggi pada tahun 2015 sebesar
502.021 ton dengan nilai pendapatan devisa sebesar 1.197.735 US$.
Nilai ekspor kopi di Indonesia berfluktuatif dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Salah satu faktor yang menyebabkan nilai ekspor kopi di indonesia
berfluktuatif adalah harga kopi yang fluktuatif di pasar dunia. Tahun 2018,
harga kopi jenis robusta turun dari US$ 1.600 per ton menjadi US$ 1.400 per
ton (Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, 2018).
4
Tabel 3. Neraca volume perdagangan komoditas perkebunan Indonesia tahun2014-2017
No NamaKomoditas
Tahun Rata-rataPertumbuhan
(%)2014 2015 2016 2017
1 Kelapa 1.708.891 1.823.091 1.554.934 1.867.084 11.112 Karet 2.594.717 2.597.566 25.549.676 2.962.136 2,84
3 Kelapa sawit 28.021.776 32.532.2211 28.487.813 33.513.432 84 Kopi 364.717 489.559 389.466 453.570 0.115 Lada 28.704 56.715 50.341 41.928 8
Sumber : Kementerian Pertanian, 2018.
Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan volume perdagangan
komoditas kopi memiliki rata-rata terkecil bila dibandingkan dengan empat
komoditas perkebunan unggulan lainnya. Komoditas kopi memiliki potensi
ekonomi yang cukup baik, didukung dengan dukungan pemerintah terhadap
komoditas kopi. Pemerintah terus berupaya menggenjot produktivitas
tanaman kopi dalam negeri. Hal tersebut dikarenakan kopi sebagai salah satu
komoditas ekspor unggulan dinilai produktivitasnya masih bermasalah.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian (2018), Vietnam
telah menggeser Indonesia sebagai produsen kopi terbesar dunia. Hal tersebut
bukan karena luas kebun kopi Vietnam, melainkan karena produktivitas
usahatani kopi yang lebih baik dari Indonesia. Saat ini, produktivitas
usahatani kopi Indonesia rata-rata hanya sebesar 500 kg per ha. Sementara
Vietnam dapat memproduksi kopi rata-rata sebanyak 2,7 ton hingga 3,5 ton
tiap ha. Perkembangan luas areal dan produksi kopi di Indonesia dalam lima
tahun terakhir menunjukkan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya.
5
Tabel 4. Luas areal, produksi dan produktivitas tanaman perkebunan kopitahun 2012-2017
Tahun Luas Areal Produksi Produktivitas
(Ha) (Ton) (Ton/Ha)
2012 1.235.289 691.163 0,55
2013 1.241.712 675.881 0,54
2014 1.230.495 643.857 0,52
2015 1.230.001 639.412 0,51
2016 1.228.512 639.305 0,52
2017 1.227.787 637.539 0,51
Rata-rata 1.232.299,333 654.526,1667 0,53Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian, 2018.
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa produktivitas kopi terbesar yaitu
tahun 2012 sebesar 0,55 ton per ha dan untuk produktivitas terendah yaitu
pada tahun 2017 sebesar 0,51 ton per ha. Produktivitas yang berfluktuatif
dipengaruhi oleh peningkatan atau penurunan luas areal yang digunakan
untuk mengusahakan tanaman kopi. Selain masalah produktivitas, fokus
permasalahan kopi Indonesia adalah kecilnya luasan kebun kopi yang digarap
oleh petani. Saat ini, kebun kopi yang dikelola setiap keluarga petani masih
relatif kecil, yakni mencapai 0,71 ha per keluarga untuk jenis robusta dan 0,6
ha per keluarga untuk jenis arabika. Sedangkan, luasan kebun yang ideal
untuk setiap keluarga petani adalah 2,7 ha setiap keluarga.
Perkebunan kopi yang pada umumnya didominasi oleh perkebunan rakyat
pada umumnya kurang dikelola dengan baik. Hal ini tentunya akan
berpengaruh terhadap kualitas dan jumlah produksi kopi yang dihasilkan
untuk diekspor. Biji kopi yang dihasilkan petani masih tergolong biji kopi
asalan, akibatnya harga yang diterima petani rendah dan menyebabkan
kualitas biji kopi kurang dapat dijaga .
6
Provinsi Lampung menjadi salah satu sentra produksi kopi perkebunan rakyat
yang ada di Indonesia. Terdapat 6 provinsi sentra dengan total share 67,04
persen atau total produksi mencapai 418,42 ribu ton kopi beras. Sentra
produksi kopi paling tinggi di Provinsi Sumatera Selatan sebesar 18,99 persen
atau rata-rata produksi sebesar 121,25 ribu ton. Provinsi Lampung
berkontribusi 17,24 persen atau produksi rata-rata mencapai 110,05 ribu ton
per tahun, sementara empat provinsi sentra lainnya berkontribusi antara 5,19
persen hingga 9,26 persen yaitu Provinsi Sumatera Barat, Aceh, Bengkulu
dan Sumatera Utara atau produksi rata-rata berkisar antara 33,13 ribu ton
hingga 59,14 ribu ton (Kementerian Pertanian, 2017).
Pemerintah Provinsi Lampung bekerjasama dengan PT Nestle dalam
peningkatan mutu, produksi dan produktivitas kopi di Provinsi Lampung.
Serangkaian kegiatan kemitraan yang dilakukan PT Nestle dengan petani kopi
meliputi beragam kegiatan pelatihan seperti peremajaan tanaman kopi,
peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam praktik budidaya kopi
robusta yang berkelanjutan, penanganan tanaman sebelum dan sesudah panen,
peningkatan pengetahuan mengenai mata rantai biji kopi termasuk
pemasarannya, serta membantu para petani kopi untuk mendapatkan akses
fasilitas pembiayaan dari bank. PT Nestle sudah menjangkau hampir 18.000
petani kopi yang sebagian sudah memperoleh sertifikasi.
Berdasarkan sertifikasinya, petani kopi di Provinsi Lampung terdiri dari dua
jenis, yaitu petani kopi sertifikasi dan petani kopi non-sertifikasi.
7
Petani kopi sertifikasi mendapatkan pelatihan dan penyuluhan dari perusahaan
seperti PT Nestle Indonesia. Pelatihan dan penyuluhan tersebut berisikan
tentang budidaya kopi yang baik dan benar tetapi tetap memperhatikan
keberlanjutan usahatani kopi baik dari segi ekonomi, sosial, maupun
lingkungan. Pada musim panen, petani kopi sertifikasi akan menjual hasil
panen kopi kepada perusahaan dengan harga yang relatif lebih baik
dibandingkan bila dijual kepada tengkulak. Hal ini karena kualitas kopi petani
sertifikasi lebih baik dibandingkan kualitas kopi pada umumnya, sehingga
petani kopi sertifikasi mampu mendapatkan premium fee (Juwita, Prasmatiwi
dan Santoso, 2014).
Petani kopi non-sertifikasi umumnya masih memiliki kopi mutu non-grade
atau mutu asalan (Incamilla, Arifin dan Nugraha, 2015). Hal ini karena petani
kopi non sertifikasi masih tidak memperhatikan kualitas dan mutu kopi
tersebut. Saat petani kopi non sertifikasi menjual kopi ke tengkulak, petani
kopi non sertifikasi mendapatkan harga yang rendah dan tidak mendapatkan
premium fee karena kualitas dan mutu kopi yang kurang baik. Petani kopi
non-sertifikasi masih belum memiliki pengetahuan mengenai prinsip-prinsip
keberlanjutan kopi. Sehingga, kopi yang dihasilkan hanya dijual di pasar
lokal karena masih mengandung residu bahan kimia yang tidak diperbolehkan
di pasar Internasional. Luas areal, produksi dan produktivitas kopi di Provinsi
Lampung pada tahun 2017 dapat dilihat pada Tabel 5.
8
Tabel 5. Luas areal, produksi dan produktivitas kopi di Provinsi Lampungtahun 2017
KabupatenLuas Areal
(Ha)Produksi
(Ton)Produktivitas
(Kg/Ha)
Lampung Barat 53.780 57.503 1.069,23
Tanggamus 41.416 31.346 756,86Lampung Selatan 828 413 498,79
Lampung Timur 512 254 496,09
Lampung Tengah 524 298 568,70
Lampung Utara 256.282 9.014 35,17Way Kanan 22.773 9.112 400,12Tulang Bawang 97 40 412,37
Pesawaran 3.719 1.550 416,78
Pringsewu 1.379 887 643,22
Mesuji 88 24 272,73
Tulang Bawang Barat 117 56 478,63
Pesisir Barat 6.889 3.509 509,36
Bandar Lampung 208 257 1.235,58
Metro 2 1 500,00Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2018.
Kabupaten Tanggamus merupakan penghasil kopi terbesar kedua setelah
Kabupaten Lampung Barat, dari dua puluh kecamatan yang ada di
Kabupaten Tanggamus, Kecamatan Sumberejo adalah kecamatan penghasil
kopi terbesar kedua setelah kecamatan Ulu belu dengan luas areal lahan
3.572 ha dan produktivitas sebesar 0,91 ton per ha.
Kecamatan sumberejo adalah salah satu kecamatan yang sebagian petaninya
bekerjasama dengan PT Nestle dalam upaya penerapkan sertifikasi 4C
(Common Code for the Coffe Community). Sertifikasi 4C (Common Code
for the Coffe Community) adalah standar level awal yang dibuat atas
kontribusi dari perwakilan perusahaan, exportir, petani dan stakeholder
terkait sektor kopi dengan semangat dan tujuan untuk peningkatan
9
produktivitas, efisiensi, akses pasar yang tetap memperhatikan
keberlanjutan, dengan bantuan teknis maupun finansial untuk meningkatkan
produktivitas dan kualitas hasil pertanian, pemerintah dan PT Nestle ingin
membuka kesempatan bagi para petani kopi untuk ikut bersaing di pasar
kopi nasional dan global. Sehingga, dapat turut meningkatkan kesejahteraan
petani dan keluarga. Selain aspek teknis, akses finansial juga penting agar
para petani kopi memiliki keunggulan kompetitif di tengah berkembangnya
industri kopi di Indonesia.
Menururt Anggraini (2015), keunggulan kompetitif merupakan faktor
penentu daya saing suatu usahatani dan keunggulan komparatif dapat
dicapai apabila suatu usahatani memiliki efisiensi produksi dan memiliki
opportunity cost yang lebih rendah. Keunggulan kompetitif terkait erat
dengan faktor penentu daya saing sedangkan keunggulan komparatif lebih
menekankan pada sisi alokasi sumber daya yang lebih efisien. Peningkatan
daya saing perlu diletakkan pada konsepsi terjadinya peningkatan
kesejahteraan yang diukur dari peningkatan produktivitas usahatani.
Keunggulan kompetitif dan komparatif dapat dicapai melalui peningkatan
produktivitas kopi. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan
mengalokasikan faktor-faktor produksi secara efisien untuk menghasilkan
produksi yang maksimum atau dengan menekan biaya produksi. Luas areal,
produksi dan produktivitas kopi di Kabupaten Tanggamus pada tahun 2017
dapat dilihat pada Tabel 6.
10
Tabel 6. Luas areal, produksi dan produktivitas kopi di KabupatenTanggamus tahun 2017
Kecamatan Luas Areal(Ha)
Produksi(Ton)
Produktivitas(Kg/Ha)
Wonosobo 2.179 2.216 1,02Semaka 1.450 2.210 1,52Bandar NegriSemuong
689 7361,07
Kota Agung 326 275 0,84Pematang Sawah 1.144 710 0,62Kota Agung Barat 222 195 0,88Kota Agung Timur 729 365 0,50Pulau Panggung 483 385 0,80Ulu Belu 10.257 10.288 1.03Air Naningan 10.235 1.062
0,10Talang Padang 2.304 2.690 1,17Sumberejo 3.572 3.258 0,91Gisting 1.277 1.143 0,90Gunung Alip 1.180 1.065 0,90Pugung 396 328 0,83Bulok 1.198 680 0,57Cukuh Balak 580 1.344 2,32Kelumbayan 455 539 1,18Limau 1.090 1.320 1,21Kelumbayan Barat 650 537 0,83
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus, 2018.
Petani kopi di Kecamatan Sumberejo dalam kurun waktu lebih atau sama
dengan tiga tahun aktif dalam mengikuti pelatihan dan pembinaan yang
diadakan oleh PT Nestle Indonesia, sehingga Kecamatan Sumberejo
berpotensi untuk dikembangkan melalui pembinaan-pembinaan yang
dilakukan pemerintah. Meskipun sudah cukup banyak petani yang
menerapkan sertifikasi 4C (Common Code for the Coffe comunity),
produktivitas kopi di Kecamatan Sumberejo belum mampu mencapai hasil
optimal. Produktivitas yang rendah ditunjukkan dengan jumlah produksi
11
yang lebih rendah dari luas areal. Selain itu, beberapa petani kopi di
Kecamatan Sumberejo mulai alih fungsi lahan ke tanaman lainnya seperti
tanaman hortikultura yang dianggap lebih menguntungkan.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat didefinisikan beberapa permasalahan
yanga akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu :
1) Bagaimana keunggulan komparatif usahatani kopi sertifikasi di
Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus ?
2) Bagaimana keunggulan kompetitif usahatani kopi sertifikasi di
Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus ?
3) Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap input output pada
usahatani kopi sertifikasi di Kecamatan Sumberejo Kabupaten
Tanggamus
4) Bagaimana kepekaan perubahan harga output, volume produksi dan
harga input terhadap keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif
usahatani kopi sertifikasi di Kecamatan Sumberejo Kabupaten
Tanggamus.
B. Tujuan Penelitian
Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penelitian ini akan dilakukan
dengan tujuan :
1) Menganalisis keunggulan komparatif usahatani kopi sertifikasi di
Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus.
2) Menganalisis keunggulan kompetitif usahatani kopi sertifikasi di
Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus.
12
3) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input output pada
usahatani kopi sertifikasi di Kecamatan Sumberejo Kabupaten
Tanggamus.
4) Menganalisis kepekaan perubahan harga output, volume produksi dan
harga input terhadap keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif
usahatani kopi di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus.
C. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1) Petani atau produsen kopi, sebagai informasi mengenai keunggulan yang
dimiliki sehingga dapat lebih optimal dalam pengembangannya.
2) Pemerintah sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan
pengembangan subsektor tanaman perkebunan khususnya kopi di Provinsi
Lampung.
3) Peneliti lain sebagai referensi bagi penelitian sejenis terutama untuk
memperluas khasanah penelitian tentang kopi.
13
13
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Ekonomi Kopi
Peran strategis kopi selain sebagai penghasil devisa juga karena
merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja. Mayoritas perkebunan
kopi secara nasional dikelola oleh rakyat sehingga banyak masyarakat
yang terlibat di dalamnya. Menurut data dari Asosiasi Eksportir Kopi
Indonesia (2014), luas areal perkebunan kopi Indonesia saat ini mencapai
1,2 juta hektar, dari luas areal tersebut, 96 persen merupakan lahan
perkebunan kopi rakyat dan sisanya 4 persen milik perkebunan swasta dan
pemerintah (PTP Nusantara). Oleh karena itu, produksi kopi Indonesia
sangat tergantung dari perkebunan rakyat. Kopi juga berperan dalam
pengembangan industri mulai dari industri kopi olahan kelas kecil
(home industri), kelas menengah hingga kelas besar dan di dalam
meningkatkan pendapatan.
Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,
Kementerian Pertanian (2012), memaparkan bahwa industri kopi
Indonesia mempunyai nilai keterkaitan ke depan dan belakang langsung
dan tidak langsung lebih besar dari satu. Hal ini berarti peningkatan
14
14
permintaan di industri biji kopi dan kopi olahan sebesar satu satuan akan
meningkatkan output di semua industri, termasuk terhadap dirinya sendiri,
yang relatif besar yaitu 1,5 kali lipat, dengan memperhitungkan efek
konsumsi masyarakat, yaitu jika terjadi peningkatan pengeluaran rumah
tangga yang bekerja di industri kopi, maka kenaikan output tersebut dapat
mencapai 3 kali lipat. Industri biji kopi dan kopi olahan juga mempunyai
kemampuan untuk meningkatkan pendapatan tenaga kerja di semua
industri. Efek induksi pendapatan tenaga kerja di industri kopi dan kopi
olahan terhadap industri lain sekitar 1,6 kali lipat, meskipun demikian
industri biji kopi dan kopi olahan memiliki keterbatasan dalam daya
penyebaran ke belakang yang lebih tinggi dibandingkan daya penyebaran
ke depan, sehingga pertumbuhan industri ini lebih banyak tergantung pada
pertumbuhan ekonomi nasional.
Provinsi Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Jawa
Timur menurut Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (2014), merupakan
provinsi-provinsi yang menjadi sentra produksi kopi di Indonesia. Ekspor
kopi Lampung sendiri selama lima tahun terakhir meskipun berfluktuatif
baik dari sisi volume maupun nilainya tetapi menunjukkan nilai positif.
Rata-rata volume ekspor kopi adalah 52,33 persen dari ekspor seluruh
komoditas pertanian dan kehutanan, dengan nilai ekspor rata-rata 28,13
persen.
15
15
2. Konsep Usahatani
Menurut Suratiyah (2009), usahatani adalah kegiatan bagaimana seseorang
mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan
alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang
sebaik-baiknya, usahatani juga merupakan kegiatan dimana petani
menentukan, mengorganisasikan dan mengkoordinasikan penggunaan
faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha
tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin.
Menurut Soekartawi (1995), ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada
secara efektif dan efesien untuk tujuan memeperoleh keuntungan yang
tinggi pada waktu tertentu, dikatakan efektif apabila petani dapat
mengalokasikan sumberdaya yang dimiliknya dengan sebaik-baiknya,
sedangkan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan
keluaran (output) yang melebihi masukan (input).
Mubyarto (1989), menyatakan bahwa usahatani adalah himpunan dari
sumber-sumber alam yang terdapat ditempat itu yang diperlukan untuk
produksi pertanian. Sehingga dikatakan dilakuakan usahatani yang bagus
sebagai usahatani yang produktif atau efisien dan usahatani yang produktif
berarti usahatani itu produktivitasnya tinggi. Efisiensi produksi yaitu
banyaknya hasil produksi yang dapat diperoleh dari satu kesatuan faktor
produksi (input). Petani akan berbuat rasional dan mencapai efisiensi
tertinggi bila faktor-faktro produksi itu sudah dikombinasikan sedemikian
16
16
rupa sehingga rasio dari tambahan hasil fisik (marginal physical produk)
dari faktor produksi dengan harga faktor produksi sama untuk setiap faktor
produksi yang digunakan.
3. Konsep Daya Saing
Menurut Abdullah, Alisjahbana, Effendi, dan Boediono (2002), daya saing
mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar produksi atau efisiensi pada
level mikro, daya saing yang semakin tinggi akan mempengaruhi tingkat
kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian. Daya saing suatu
usahatani dapat dilihat pada keuntungan yang benar-benar diperoleh
petani, sedangkan efisisensi suatu usahatani dapat dilihat pada keuntungan
sosial yang diperoleh.
Daya saing dalam arti luas merupakan kemampuan suatu produsen untuk
memproduksi suatu komoditas dengan biaya yang cukup rendah, sehingga
kegiatan produksi tersebut menguntungkan. Tolak ukur yang digunakan
adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dari pengusahaan
komoditas tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari keuntungan
privat dan keuntungan sosial, sedangkan tingkat efisiensi pengusahaan
dapat dilihat dari keunggulan komparatif dan tingkat keunggulan
kompetitif (Salvatore, 1997).
Suatu daerah dinyatakan memiliki keunggulan komparatif apabila daerah
tersebut mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya
yang lebih efisien dari daerah lain. Keunggulan komparatif merujuk pada
efisiensi ekonomi domestik yang dihitung berdasarkan harga sosial atau
17
17
harga internasional, sedangkan keunggulan kompetitif merujuk pada
pengukuran kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang
dihitung berdasarkan harga pasar domestik (Widhyapuri, Antara, dan
Dewi, 2018).
1) Keunggulan Komparatif
Keunggulan komparatif suatu komoditi diukur berdasarkan harga
sosial atau berdasarkan analisis ekonomi yang akan menggambarkan
suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa
melihat siapa yang menyumbangkan dan siapa yang yang menerima
manfaat tersebut sedangkan keunggulan kompetitif diukur
menggunakan harga aktual atau berdasarkan analisis finansial yang
melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari individu yang
terlibat dalam aktivitas tersebut (Ramanda , Hasyim, dan Lestari
2016).
Simatupang (2012) mengemukakan bahwa konsep keunggulan
komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial
dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak
mengalami distorsi sama sekali. Komoditi yang memiliki keunggulan
komparatif dikatakan juga efisien secara ekonomi. Berdasarkan
pengertian di atas keunggulan komparatif adalah suatu ukuran relatif
yang menunjukkan potensi keunggulan komoditi tersebut dalam
perdagangan di pasar bersaing sempurna.
18
18
Ada tiga faktor utama yang menentukan atau mempengaruhi
keunggulan komparatif suatu negara dan merupakan faktor yang
fundamental dalam menentukan pola perdagangan internasional, yaitu:
a) Tersedianya sarana produksi atau faktor produksi dalam macam
atau jumlah yang berbeda antara negara satu dengan yang lain.
b) Adanya kenyataan bahwa dalam cabang-cabang produksi tertentu
orang bisa memproduksikan secara lebih efisien apabila skala
produksi semakin besar.
c) Adanya perbedaan dalam corak dan laju kemajuan teknologi.
2) Keunggulan kompetitif
Simatupang (2012), mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok
untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif
atau sering disebut “revealed competitive advantage” yang merupakan
pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual.
Teori keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan
suatu aktivitas dengan menggunakan harga pasar yang berlaku.
Keunggulan kompetitif yang disebut juga sebagai keunggulan
bersaing, merupakan nilai yang mampu diciptakan produsen yang
melebihi biaya produksi (Dirgantoro, 2002).
Salah satu faktor untuk mencapai keunggulan kompetitif adalah
teknologi, karena dengan adanya kemajuan teknologi, untuk
menghasilkan sejumlah output yang sama diperlukan kombinasi
pemakaian input yang lebih sedikit. Keadaan ini disebabkan karena
19
19
produktivitas input yang meningkat dengan kemajuan teknologi
tersebut.
4. Konsep PAM (Policy Analysis Matrix)
PAM (Policy Analysis Matrix) merupakan alat analisis yang digunakan
untuk menganalisis kebijakan mengenai penerimaan secara konsisten dan
menyeluruh, biaya usahatani, tingkat perbedaan pasar, sistem pertanian,
investasi pertanian, dan efisiensi ekonomi. Analisis PAM (Policy Analysis
Matrix) juga dapat digunakan untuk mengetahui keuntungan komparatif
dan keuntungan kompetitif sehingga usahatani yang dijalankan oleh petani
dapat dikatakan berdaya saing tinggi. Menurut Pearson, Gotsch, dan Bahri
(2005), ada tiga bagian pokok yang dapat dijelaskan melalui pendekatan
PAM, yaitu :
a) PAM digunakan untuk mengukur berbagai dampak kebijakan terhadap
tingkat keuntungan dan efisiensi ekonomi.
b) Daya tarik investasi akan berdampak pada peningkatan efisiensi dan
percepatan pertumbuhan pendapatan nasional. Efisiensi ekonomi
dalam alokasi sumber daya pertanian berdasarkan kondisi alam dan
keunggulan teknologi.
c) Analisis PAM dapat membantu seorang peneliti untuk menentukan
kebijakan, misalnya dalam pengalokasian dana penelitian atau riset di
bidang pertanian. Contoh pengalokasian dana atau riset penelitian di
bidang pertanian yaitu kebijakan utama terhadap peningkatan produksi
20
20
pertanian dan mengurangi biaya sosial atau peningkatan keuntungan
sosial.
5. Sertifikasi 4C (Common Code for the Coffee Community)
Sertifikasi adalah proses dimana pihak ketiga memverifikasi pemenuhan
standar yang ditentukan pemberi sertifikasi. Persyaratan dasar untuk eko
sertifikasi harus memasukkan kriteria ekologi sedangkan standar
keberlanjutan (sustainability) memuat seluruh kriteria lingkungan,
ekonomi dan sosial. Sertifikasi sukarela menambah nilai bagi komoditas
dengan memberikan kesempatan kepada petani untuk menegosiasikan
harga preminum untuk komoditas tersertifikasi dan atau membuka akses
ke pasar. Berbagai jenis sertifikasi telah diaplikasikan untuk berbagai
macam komoditas di Indonesia. Beberapa sertifikasi merupakan
kewajiban, seperti ISPO, namun sebagian besar bersifat sukarela, seperti
RSPO, C.A.F.E. Practices, Rainforest Alliance, UTZ, Organic, dan lain
sebagainya. Umumnya berbagai sertifikat tersebut telah dikenal dan
diakui secara global (Leimona dkk, 2015).
Sertifikat kopi di Indonesia merupakan instrumen yang aplikasinya secara
sukarela dan berbasis pasar selama 10 tahun terakhir ini. Sampai saat ini,
belum ada sertifikasi nasional untuk kopi di Indonesia. Keuntungan jika
Indonesia memiliki sertifikasi nasional untuk kopi, seperti berkurangnya
nilai komisi yang dikenakan dibandingkan dengan sertifikasi global.
Sertifikasi kopi yang ada di Indonesia merupakan sertifikasi global atau
internasional, seperti Rainforest Alliance, UTZ, Organic, Fair Trade,
21
21
Coffee and Farmers Equity Practices, dan verifikasi 4C (Common Code
for the Coffe comunity). Coffee and Farmers Equity Practices didukung
oleh satu entitas bisnis swasta (Starbucks), sementara skema sertifikasi
kopi yang lain dipilih oleh banyak pembeli dan produsen swasta
internasional dan perusahaan dalam negeri seperti PT Indocafco dan PT
Sari Makmur. Petani skala kecil disertifikasi dengan skema kelompok.
Beberapa perkebunan kopi milik negara (misalnya PTPN XII di Jawa
Timur) juga telah mengikuti permintaan sertifikasi berbasis pasar.
Dibawah Nescafe Plan, Puslitkoka dengan beberapa mitranya melatih
10.000 petani kopi dalam menerapkan Good Agriculture Practice (GAP).
Globalisasi perdagangan menuntut produk-produk pertanian yang diekspor
ke negara-negara Amerika dan Eropa harus bersertifikat, termasuk kopi.
Beberapa lembaga sertifikasi dunia telah melakukan sertifikasi kopi di
Indonesia antara lain Organic, Fair Trade, UTZ, Rainforest Alliance, Bird
Friendly, dan 4C(Common Code for the Coffee Community). Secara
ekonomi, kegiatan sertifikasi tersebut berdampak pada peningkatan
pendapatan petani, serta menjaga kelestarian lingkungan guna mendukung
produksi kopi yang berkelanjutan (Ardiyani dan Erdiansyah, 2012).
4C (Common Code for the Coffe Community) adalah sebuah organisasi
dengan keanggotaan yang terbuka bagi para pemegang kepentingan dan
mempersatukan pihak-pihak yang berkomitmen untuk menangani
persoalan kelestarian lingkungan, khususnya kebun kopi. Organisasi ini
beranggotakan semua pihak yang berhubungan dengan kelestarian kopi,
22
22
seperti petani, importir, eksportir, pedagang, dan pengecer kopi. Selain
itu, 4C juga beranggotakan organisasi masyarakat sipil, seperti organisasi
non pemerintah, badan standarisasi, serikat pekerja, institusi publik, badan
riset dan individu yang berkomitmen terhadap sasaran asosiasi.
Misi 4C adalah menjadi platform sistem perkopian yang berkelanjutan,
yang dapat memfasilitasi semua pemegang kepentingan dan memiliki
kesempatan untuk berpartisipasi. Visi 4C adalah mempersatukan seluruh
pemegang kepentingan kopi yang relevan, akan dapat bekerjasama menuju
perbaikan sektor ekonomi, sosial dan lingkungan serta membangun sektor
berkelestarian bagi generasi-generasi mendatang. Keanggotaan 4C
bersifat berkelanjutan dan perpanjangan tahunan akan berjalan secara
otomatis (Ardiyani dan Erdiansyah, 2012).
Menurut Dewan 4C (2015), Asosiasi 4C adalah platform kopi
berkelanjutan yang bekerja bagi perbaikan kondisi ekonomi, sosial dan
lingkungan dalam produksi dan pemrosesan kopi untuk membangun sektor
yang sejahtera dan lestari bagi generasi-generasi mendatang. Demi
mencapai misinya, asosiasi 4C memiliki tiga fungsi sebagai berikut.
a) Asosiasi ini menetapkan, memelihara dan menjalankan kode perilaku
4C, sebuah standar tingkat dasar yang mendefinisikan dasar umum
global dan membantu semua pelaku rantai pasok untuk mulai berjalan
menuju produksi, pemrosesan dan perdagangan kopi yang
berkelestarian.
23
23
b) Asosiasi ini secara aktif mempromosikan dan bermitra dengan standar
dan inisiatif kelestarian lain yang ada di pasar untuk meningkatkan
pasokan dan permintaan akan kopi berverifikasi dan bersertifikasi.
c) Asosiasi ini menawarkan platform terbuka dan dinamis yang
mengundang para anggota dan mitra dari sektor publik dan juga swasta
untuk bekerja bersama secara efektif tanpa persaingan untuk
menangani persoalan-persoalan yang menyeluruh dan isu-isu kritis
yang mengancam kelestarian sektor kopi.
Masyarakat di negara-negara maju mulai sadar akan pentingnya
kelestarian lingkungan bagi keberlanjutan hidup manusia sehingga produk
yang dihasilkan harus memiliki dampak positif terhadap lingkungan.
Sertifikasi ekolabel merupakan solusi terhadap masalah tersebut. Bagi
negara pengekspor kopi, sertifikasi merupakan langkah yang harus
ditempuh untuk mempermudah pemasaran kopi ke negara-negara yang
mewajibkan sertifikasi. Terdapat banyak hal yang harus dilakukan petani
dalam proses sertifikasi, yang mencakup tiga aspek yaitu lingkungan,
sosial dan ekonomi. Penerapan sistem ini terasa berat bagi sebagian petani
karena secara umum tingkat kepemilikan lahan petani kopi relatif kecil
sehingga penerapan sistem sertifikasi ini akan lebih sulit dibandingkan
perkebunan besar.
Demi sistem sertifikasi yang berjalan dengan baik, diperlukan adanya
kompensasi harga yang diterima petani yang melakukan sertifikasi.
Kompensasi harga atau lebih dikenal dengan harga premium mungkin
24
24
telah disosialisasikan kepada petani di beberapa tempat, tetapi pada
kenyataannya ada beberapa petani yang tidak mendapatkan kompensasi
harga tersebut. Apabila hal ini lebih diperhatikan, akan sangat mungkin
apabila petani di Indonesia dapat mengelola lahannya dengan prinsip
sustainable agriculture.
B. Hasil Penelitian Terdahulu
Ramanda, Hasyim, dan Lestari (2016), melakukan penelitian yang berjudul
analisis daya saing dan mutu kopi di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten
Lampung Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui daya
saing usahatani kopi robusta dan mengetahui penerapan Good Manufacturing
Practice (GMP) pada proses panen dan pasca panen kopi robusta untuk
meningkatkan mutu biji kopi robusta di Desa Tugusari Kecamatan
Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat. Hasil perhitungan PAM
menunjukkan keuntungan privat lebih kecil dari keuntungan sosialnya.
Dikarenakan harga output petani lebih kecil dibandingkan harga jual di pasar
internasional.
Hasil perhitungan DRC dan PCR kurang dari 1 sehingga memiliki keunggulan
kompetitif dan komparatif. Penggolongan standar mutu dilakukan di PT
Nestle dengan cara mengamati secara visual dengan alat khusus. Standar
mutu juga dilihat dari proses yang dimulai dari pemetikan, pemecahan,
pengolahan, sortasi, pengemasan dan penggudangan. Mutu biji kopi yang
dihasilkan yaitu sesuai standar GMP, yaitu ICO 407 dan SNI 01-2907-2008.
25
25
Baso dan Anindita (2018), melakukan penelitian yang berjudul analisis daya
saing kopi Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya saing
kopi Indonesia. Metode analisis yaitu RCA, apabila RCA > 1 maka memiliki
keunggulan komparatif. Berdasarkan RCA Indonesia memiliki daya saing
yang rendah. Keterlibatan pemerintah menjadi hal penting dan mendukung di
Vietnam. Colombia dikenal sebagai negara eksportir kopi arabika,
sedangakan Indonesia lebih banyak meneskpor kopi robusta. Bila
dibandingkan dengan tiga negara pesaing lainnya, Indonesia memiliki nilai
RCA terendah.
Widhyapuri, Antara, dan Dewi (2018), penelitian ini berjudul keunggulan
komparatif dan kompetitif komoditi kopi arabika di Desa Ulian Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Banglu. Hasil penelitian menunjukkan nilai DRC
sebesar 0,23 dan PCR sebesar 0,29. Divergensi terhadap input dan output
terdiri dari divergensi penerimaan sebesar Rp -15.734.996, input tradable Rp
0, total faktor domestik Rp -984.070, dan keuntungan bersih Rp -14.750.927.
Proteksi pemerintah terhadap input dengan rasio NPCO sebesar 0,75, EPC
sebesar 0,75, DC sebesar 0,60, dan SRP sebesa -0,25 menunjukkan petani
kopi tidak menerima proteksi dari pemerintah.
Dampak inflasi sebesar 3,02 persen terhadap penerimaan sebesar
Rp 16.262.118, terhadap input tradable sebesar inflasi sebesar 3,02 persen
menyebabkan komoditi kopi memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif, tetapi petani tidak menerima proteksi dari pemerintah terhadap
input dan output. Dampak kenaikan harga input 10 persen menyebabkan
26
26
komoditi kopi arabika memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif tetapi petani tidak menerima proteksi dari pemerintah terhadap
input dan output. Penurunan harga output sebesar 50 persen berdampak
terhadap penerimaan dan lain-lain, penurunan menyebabkan komoditas kopi
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif tapi petani tidak menerima
proteksi dari pemerintah terhadap input dan output.
Hermayanti, Abidin, dan Santoso (2013), penelitian ini berjudul analisis daya
saing usahatani kelapa sawit di Kecamatan Waway Karya Kabupaten
Lampung Timur. Metode analisis yang digunakan adalah PAM. Penerimaan
yang diperoleh dari CPO sawit privat adalah Rp 183.222.946 dan penerimaan
output harga privat yaitu Rp185.432.027 dan penerimaan output pada harga
sosial adalah Rp 205.090.090. Berdasarkan data proyeksi dan produktivitas
potensial, usahatani kelapa sawit di Kabupaten Lampung Timur layak untuk
diusahakan. Pada harga output privat lebih rendah disebabkan oleh masih
rendahnya kualitas CPO yang dihasilkan sehingga belum bisa mendapat harga
tinggi dan sistem tataniaga yang belum efisien.
Adanya perbedaan harga pada input tradable dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah khususnya dalam hal kebijakan harga input tradable. Keunggulan
kompetitif dan komparatif diketahui dari nilai PCR data proyeksi yaitu sebesar
0,68 sedangkan data produktivitas potensial 0,67 kurang dari 1 memiliki
eunggulan. DCR sebesar 0,65 dan 0,64 kurang dari satu maka usahatani
kelapa sawit memiliki keunggulan komparatif.
27
27
Alghoziyah, Ismono, dan Sayekti (2016), penelitian ini berjudul daya saing
usahatani karet rakyat di Desa Kembang Tanjung, Kecamatan Abung Selatan,
Kabupaten Lampung Utara. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
dengan menggunakan metode PAM, nilai NPV sebesar Rp 184.672.001 lebih
besar dari 1 sehingga layak dijalankan. Gros B/C sebesar 5,81 lebih besar dari
1 menunjukkan usahatani menguntungkan, Net B/C sebesar 7,05 lebih besar
dari 1 menguntungkan, IRR sebesar 48 persen lebih besar dari suku bunga
berlaku, maka layak untuk diteruskan. Penerimaan harga privat sebesar
Rp 223.042.083, penerimaan harga sosial sebesar Rp 301.426.585, lebih besar
dari total biaya maka layak diusahakan. Nilai divergensi sebesar
Rp - 168.384.503, menunjukkan campur tangan pemerintah terkait subsidi
pupuk kurang memberikan kontribusi yang efektif. Nilai PCR sebesar 0,17
dan nilai DCR sebesar 0,09 keduanya kurang dari 1 berarti usahatani karet
memiliki daya saing.
Analisis kebijakan pemerintah, OT sebesar Rp 68.384.502,65 menunjukkan
kebijakan perdagangan menguntungkan, NPCO sebesar 0,57 menunjukkan
kebijakan proteksi harga yang dilakukan pemerinta tidak efektif, IT sebesar
Rp -2.061.958,17 menunjukkan subsidi yang diberikan pemerintah diterima
petani, FT sebesar Rp 2,854.928,58 menunjukakn petani membayar input
dengan harga yang lebih tinggi, NPCI sebesar 0,64 menunjukkan harga input
yang dikeluarkan petani lebih rendah dari harga efisiennya.
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input output, NT sebesar Rp -
169.177,473 artinya petani kehilangan keuntungan sebesar 169.177,473. EPC
28
28
sebesar 0,57, menunjukkan harga output dan input tradable yang diterima
petani hanya sebesar 57 persen dari harga seharusnya. PC sebesar 0,52 artinya
keuntungan yang diterima petani hanya 52 persen dari harga sosial. SRP
sebesar -43 persen artinya kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan
pelaku usahatani karet berkurang sebesar 43 persen dari keuntungan
sesungguhnya.
Aprizal, Apriyani, dan Sriyoto (2014), penelitian ini berjudul daya saing
usahatani kelapa sawit di Kabupaten Mukomuko (studi kasus Desa Bumi
Mulya). Hasil analisis dengan metode Policy Analysis Matrix (PAM)
menunjukkan bahwa nilai PP (keuntungan privat) untuk usahatani kelapa
sawit di Desa Bumi Mulya Kecamatan Penarik Kabupaten Mukomuko adalah
Rp 1.799.812,00/ha/tahun. Nilai PCR (rasio biaya privat) untuk usahatani
kelapa sawit mendekati 1 yaitu sebesar 0,91, artinya usahatani kelapa sawit
masih bisa diusahakan. Nilai SP (keuntungan sosial) untuk usahatani kelapa
sawit adalah Rp 6.604.280,00 /ha/tahun.
Nilai DRCR (ratio sumber daya domestik) usahatani kelapa sawit di Desa
Bumi Mulya adalah 0,72. Nilai tersebut menunjukkan bahwa untuk
mendapatkan 1 unit nilai tambah diperlukan biaya domestik sebesar 0,72 unit
pada usahatani kelapa sawit. PCR dan DRC pada usahatani kelapa sawit
menunjukkan bahwa nilai PCR dan DRC kurang dari 1, dengan demikian
usahatani kelapa sawit di Desa Bumi Mulya masih memiliki keunggulan
kompetitif dan keunggulan komparatif. Dampak kebijakan pemerintah,
terhadap input. Nilai OT pada usahatani kelapa sawit adalah 0.
29
29
Besarnya nilai koefisien Nominal Protection Coeffisien on Output (NPCO)
pada usahatani kelapa sawit 0,8 artinya kebijakan pemerintah bersifat
disinsestif. Hasil analisis dengan metode PAM diketahui bahwa nilai Transfer
Input (TI) adalah negatif Rp1.640.832,00/ha/tahun. Nilai TI menggambarkan
kebijakan (subsidi atau pajak) yang terjadi pada input produksi tradable. Nilai
NPCI pada usahatani kelapa sawit adalah 0,65. Hal ini menunjukkan bahwa
kebijakan input yang diterapkan pemerintah memberikan insentif bagi petani
kelapa sawit berupa harga input yang dibayar petani hanya 65 persen dari
harga input seharusnya (petani mendapat subsidi pemerintah), yang tercermin
dari koefisien NPCI sebesar 0,65. Nilai Transfer Faktor (TF) mampu
menggambarkan intervensi pemerintah terhadap input non-tradable.
Hasil Analisis dengan menggunakan metode PAM diketahui bahwa nilai TF
Rp 923.410,00/ha/tahun. Nilai transfer faktor yang bernilai positif tersebut
menggambarkan bahwa harga input non-tradable yang dikeluarkan pada harga
finansial lebih tinggi dibandingkan dengan input non-tradable pada harga
sosial. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output. Nilai EPC
untuk kelapa sawit 0,83, artinya kebijakan pemerintah secara simultan tidak
memberi proteksi kepada produksi dalam negeri. Nilai SRP pada usahatani
kelapa sawit adalah 0,16. Artinya secara umum kebijakan pemerintah atau
distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang menguntungkan bagi
produsen (petani kelapa sawit). Nilai PC 0,27 artinya kebijakan pemerintah
secara simultan menyebabkan keuntungan yang diterima oleh petani lebih
kecil tanpa adanya kebijakan pemerintah.
30
30
Supriyadi, Wahyuningsih, dan Awami (2014), penelitian ini berjudul analisis
pendapatan usahatani kopi rakyat di Kecamatan Limbanagan Kabupaten
Kendal. Pendapatan usahatani kopi rakyat di Kecamatan Limbangan
Kabupaten Kendal yaitu penerimaan Rp 6.584.300 per musim panen dikurangi
biaya total Rp. 131.923.700 per musim panen sehingga diperoleh pendapatan
sebesar Rp 4.660.600 per musim panen (satu tahun). Nilai R2 yaitu 0,933
berarti 93,3 persen variasi naik turunnya pendapatan petani kopi dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang ada dalam penelitian ini dan sisanya yaitu 6,7 persen
dipengaruhi faktor lain yang tidak dimasukkan kedalam variabel penelitian.
Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pendapatan usahatani kopi di
Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal yaitu luas lahan, biaya produksi,
hasil produksi, dan pendidikan.
Incamilla, Arifin, dan Nugraha (2015), penelitian ini berjudul keberlanjutan
ushatani kopi agroforesti di Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten
tanggamus. Pendapatan usahatani petani kopi sertifikasi lebih tinggi
dibandingkan non sertifikasi di Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten
Tanggamus. Selain pendapatan, tingkat partisipasi petani kopi sertifikasi lebih
tinggi dibandingkan non sertifikasi di Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten
Tanggamus. Manfaat tidak langsung yang diasumsikan yang mampu diperoleh
petani kopi di Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus adalah
sebesar Rp 4.191.080 per hektar. Rata-rata pendapatan petani sertifikasi yang
diperoleh dari usahatani kopi sebesar Rp 15.565.267/ha karena jumlah
produksi kopi yang dihasilkan oleh petani sertifikasi sebesar 775 kg/ha/th
31
31
dalam bentuk biji kopi kering dengan rata-rata harga jual biji kopi kering
sebesar Rp19.957 kg/ha/th melalui sertifikasi. Selain itu, petani sertifikasi
memperoleh premium fee atau tambahan keuntungan sebesar Rp 320 per kg
untuk petani sertifikasi 4C dan Rp 200 per kg untuk petani sertifikasi RA.
Petani kopi non-sertifikasi menghasilkan produksi kopi sebesar 610 kg per
hektar per tahun yang juga dalam bentuk biji kopi kering dengan rata-rata
harga jual biji kopi kering sebesar Rp 18.646 per kg yang mereka jual
langsung ke pasar, melalui tengkulak ataupun ikut menjual ke eksportir
(PT Nestle atau PT Ned Caffee), sehingga rata-rata pendapatan kopi yang
diperoleh sebesar Rp 11.188.139/ha. Hal tersebut dikarenakan petani kopi
sertifikasi sudah mengikuti pembinaan terlebih dahulu, sehingga kualitas kopi
petani kopi sertifikasi lebih baik dibandingkan non-sertifikasi. Kualitas kopi
tersebut mempengaruhi harga jual, sehingga kopi petani kopi sertifikasi
memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan non-sertifikasi dan petani
kopi sertifikasi berhak memperoleh premium fee sebagai tambahan
keuntungan yang tidak didapatkan oleh petani kopi non-sertifikasi
Wahyuni, Utama, dan Mulyasari (2012), penelitian ini berjudul analisis
kelayakan finansial usahatani kopi arabika di Desa Bandung Baru Kecamatan
Kabawetan Kabupaten Kepahiang. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan metode Kriteria Investasi yaitu Net B/C, Gross B/C, Profit
Probability Rasio, NPV, dan IRR Hasil penelitian menunjukkan Net B/C
sebesar 2,18, manfaat yang diperoleh sebesar 2,18 kali lipat dari biaya yang
dikeluarkan. Gross B/C sebesar 1,28 lebih besar dari 1 dan dinyatakan layak,
32
32
untuk satu rupiah yang diinvestasikan akan memberikan manfaat sebesar1,28
kali lipat dari biaya yang dikeluarkan. Profitability sebesar 38,1 lebih besar
dari 1 dan dinyatakan layak. NPV sebesar Rp 18.847.733 pada suku bunga 14
persen, lebih besar dari 0 maka layak untuk diushakan. IRR sebesar 26,604
persen lebih besar dari suku bunga yang berlaku maka usahatani layak untuk
diusahakan.
Analisis sensitivitas, kenaikan biaya produksi sebesar 29 persen usahatani
tidak layak diusahakan, penururnan harga 22 persen usahatani tidak layak
diusahakan, penurunan produksi 22 persen usahatani tidak layak untuk
diusahakan. Analisis paypback period, menunjukkan 2 tahun 2 bulan waktu
yang diperlukan untuk pengembalian investasi awal. Setelah terjadi kenaikan
biaya produksi 29 persen, waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan
investasi yaitu 5 tahun 3 bulan, saat harga turun dan produksi turun 22 persen
maka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yaitu 4 tahun 4
bulan.
Kusmiati dan Nursyamsiah (2015), penelitian ini berjudul kelayakan finansial
ushatani kopi arabika dan prospek pengembangannya di Ketinggian Sedang.
Usahatani kopi arabika masih dibudidayakan sebagai tanama sela diantara
kopi robusta, karena petani masih dalam taraf belajar. Metode analisis data
yang digunakan yaitu analisis deskriptif dan analisis dengan kriteria investasi
NPV, IRR, NET B/C, Gross B/C, PR, dan PP. Berdasarkan hasil penelitian,
NPV sebesar Rp 3.690.704, Net B/C sebesar 1,5, Gross B/C sebesar 1,16, IRR
sebesar 34,38 persen, PR sebesar 6,4 dan PP sebesar 3,9. Berdasarkan kriteria
33
33
investasi dapat disimpulkan bahwa usahatani kopi arabika layak untuk
diusahakan. Analisis sensitivitas, kenaikan biaya 20 persen dan penurunan
harga 10 persen tetap membuat usahatani kopi arabika layak untuk
diusahakan.
C. Kerangka Pemikiran
Komoditas kopi adalah salah satu komoditas unggulan pada subsektor
perkebunan yang banyak diusahakan oleh petani di Indonesia. Indonesia
merupakan pengekspor komoditas perkebunan dengan kopi sebagai salah satu
komoditas unggulan dan sebagai pemasok devisa yang cukup besar
dibandingkan komoditas perkebunan lainnya. Ketersediaan dan harga pasar
input dan output usahatani kopi sangat dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi
domestik dan dunia. Selain itu, harga input dan output usahatani juga
dipengaruhi oleh berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk
melindungi berbagai pihak dari kerugian. Provinsi lampung merupakan salah
satu provinsi penghasil kopi dan berkontribusi cukup besar dalam perkopian di
Indonesia.
Kopi sebagai salah satu komoditas yang membantu menyumbang devisa
negara perlu diperhatikan kualitas dan mutunya supaya dapat bersaing di pasar
internasional. Upaya yang dilakukan agar kualitas dan mutu kopi dapat
diperhitungkan di pasar internasional yaitu dengan sertifikasi. Sertifikasi kopi
merupakan penetapan pihak ketiga independen dan sebagai tanda bahwa kopi
beserta proses yang mendukungnya telah memenuhi persyaratan kesehatan,
34
34
keamanan, keselamatan dan lingkungan. Sertifikasi dapat mendorong petani
untuk meningkatkan mutu kopinya karena banyak keuntungan yang diperoleh
petani apabila kopi sudah mendapatkan sertifikasi. Petani kopi di Provinsi
Lampung berdasarkan sertifikasinya dibagi menjadi petani sertifikasi dan
petani non sertifikasi, dalam upaya peningkatan produktivitas efisiensi dan
akses pasar, kondisi pekerja dan keluarganya dan perlindungan terhadap
sumber daya alam seperti hutan primer, air, tanah, keragaman hayati dan
sumber energi mulai diterapkan sertifikasi 4C (Common Code for the Coffe
Community).
Kegiatan usahatani kopi adalah suatu kegiatan produksi dengan megelola
faktor-faktor produksi (input) untuk menghasilkan produksi (output).
Komponen penerimaan dan biaya produksi akan dianalisis dengan
menggunakan analisis Policy Analysis Matrix (PAM), dengan menggunakan
harga privat atau harga yang belaku pada lokasi penelitian dan harga sosial
untuk mengetahui keunggulan kompartaif dan kompetitif usahatani kopi
sertifikasi dan dampak kebijakan pemerintah yang ada di Kecamatan
Sumberejo Kabupaten Tanggamus. Selain itu diperlukan juga analisis
sensitivitas yang digunakan untuk mengukur kepekaan perubahan harga
output dan harga input terhadap keunggulan komparatif dalam keunggulan
kompetitif dalam produksi kopi.
35
Gambar 1. Kerangka pemikiran analisis keunggulan komparatif dan kompetitif kopi dengan adanya sertifikasi4C (Common Code for the Coffee Community) di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus
Komoditas ekspor perkebunan Indonesia
Lingkungan ekonomi di pasar domestik dan pasar dunia
Produksi kopi
Usahatani kopi (sertifikasi)
Input Output
Biaya Produksi Penerimaan
Harga Privat danSosial
Proses
Keuntungan kopi (sertifikasi)
Keunggulankomparatif dan kompetitif
Sensitivitas
Petani kopi
PAM
Dampak kebijakan
36
III. METODE PENELITIAN
A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional
Pada penelitian ini diperlukan suatu batasan melalui definisi operasional,
sehingga istilah yang digunakan dalam penelitian ini bersifat spesifik. Konsep
dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk
menciptakan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan penelitian.
Adapun beberapa definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Usahatani adalah himpunan sumber-sumber alam yang terdapat di tempat dan
diperlukan untuk produksi seperti tanah, air, bangunan dan lain sebagainya.
Produksi kopi adalah jumlah biji kopi yang dihasilkan dari kegiatan usahatani
kopi yang diukur dalam satuan kilogram (kg).
Produktivitas adalah hasil produksi kopi per satuan luas lahan dalam
berusahatani kopi, diukur dalam satuan ton per hektar (ton/ha).
Luas lahan adalah luas areal tanah yang digunakan petani untuk melakukan
usahatani kopi, diukur dalam satuan hektar (ha).
37
Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang dicurahkan dalam proses
produksi dalam satu kali musim tanam. Satuan ukuran yang digunakan adalah
HOK. Tenaga kerja mesin, wanita, hewan dan anak-anak dikonversikan ke
dalam HOK berdasarkan tingkat upah yang berlaku.
Upah tenaga kerja merupakan jumlah upah tenaga kerja yang dikeluarkan oleh
petani untuk membayar tenaga kerja yang diukur dalam satuan rupiah per
HOK (Rp/HOK).
Jumlah bibit adalah banyaknya bibit yang digunakan petani pada proses
produksi dalam satu musim tanam, diukur dalam satuan batang.
Jumlah pupuk adalah banyaknya pupuk yang digunakan oleh petani pada
proses produksi kopi dalam satu kali musim tanam, diukur dalam satuan
kilogram (kg).
Jumlah pestisida adalah banyaknya bahan kimia yang digunakan untuk
memberantas gulma serta hama dan penyakit tanaman kopi dalam satu kali
musim tanam, diukur dalam satuan liter (lt).
Penerimaan usahatani adalah jumlah produksi total kopi selama satu kali
proses produksi dikalikan dengan harga kopi di tingkat petani dan diukur
dalam satuan rupiah (Rp).
Pendapatan usahatani adalah total penerimaan dikurangi total biaya dalam satu
kali musim tanam, diukur dalam satuan rupiah (Rp).
38
Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan
usahatani dalam satu tahun yang meliputi biaya tenaga kerja, pupuk, pestisida,
sewa tanah, nilai penyusutan alat, biaya panen, bunga kredit, dan pajak, diukur
dalam satuan rupiah (Rp).
Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tetap berapapun besarnya output yang
dihasilkan, seperti biaya penyusutan alat, sewa lahan, tenaga kerja dalam
keluarga dan pajak lahan yang diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Biaya variabel adalah biaya yang besarnya dapat berubah sesuai dengan
perubahan tingkat output, seperti biaya pupuk, pestisida, dan tenaga kerja luar
keluarga, dan transportasi yang diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Keuntungan usahatani kopi adalah penerimaan dari usahatani kopi dikurangi
dengan total biaya variabel dan biaya tetap tunai, diukur dalam satuan rupiah
(Rp).
Keuntungan privat adalah selisih antara keuntungan privat dengan biaya privat
dan diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Keuntungan sosial adalah selisih antara keuntungan sosial dengan biaya sosial
dan diukur dalam satuan rupiah (RP).
Policy Analysis Matrix adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk
mengetahui apakah suatu komoditi unggul secara komparatif dan kompetitif
atau tidak.
39
Input tradable adalah input yang bisa dijual secara internasional, seperti benih,
pupuk, pestisida dll.
Input non-tradable adalah input yang tidak bisa dijual secara internasional,
seperti tanah dan pajak.
Harga privat atau harga finansial adalah tingkat harga riil yang diterima petani
dalam penjualan hasil produksinya atau tingkat harga yang dibayar petani
dalam pembelian faktor produksi, diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Harga sosial untuk input/output tradable adalah harga yang menggambarkan
harga yang sesungguhnya yang seharusnya diterima petani baik input maupun
output, diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Harga sosial lahan adalah pendapatan dari tanaman alternatif terbaik, diukur
dalam satuan rupiah (Rp).
Harga sosial nilai tukar adalah harga uang domestik yang kaitannya dengan
mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang yang bersaing
sempurna, diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Harga privat nilai tukar mata uang adalah nilai tukar uang domestik dalam
setahun, diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Harga sosial nilai tukar mata uang adalah nilai tukar uang domestik dalam
setahun, diukur dalam satuan rupiah (Rp).
40
Harga privat peralatan yang digunakan adalah harga yang diperoleh petani
pada saat membeli peralatan, sedangkan harga sosial peralatan sama dengan
harga privat peralatan, diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Harga privat pestisida diperoleh dari harga beli rata-rata pestisida yang
berlaku di daerah penelitian, sedangkan harga sosial pestisida adalah 80
persen dari harga privatnya, diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Harga privat Pupuk Urea dan Phonska diperoleh dari harga beli rata-rata
pupuk oleh petani, sedangkan penentuan harga sosial Pupuk Urea dan
Phonska diperoleh dari nilai FOB yang sudah dikonversi dalam mata uang
domestik ditambah biaya bongkar muat, gudang, transportasi, dan biaya
distribusi di tingkat petani, diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Harga privat pupuk kandang diperoleh dari harga beli rata-rata petani di
daerah penelitian, sedangkan harga sosial pupuk kandang diasumsikan sama
dengan harga privatnya sebab pupuk kandang merupakan komponen input
non-tradable sehingga harga privat yang terjadi di daerah penelitian
mencerminkan harga sosialnya, diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Harga output privat biji kopi diperoleh dari harga yang didapat petani dari
hasil penjualan produksinya per kilogram, diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Efek divergensi adalah selisih antara penerimaan, biaya dan keuntungan
usahatani yang diukur dengan harga aktual atau privat dengan yang diukur
dengan harga sosial, dihitung dalam satuan rupiah (Rp).
41
Daya saing usahatani didefinisikan sebagai kemampuan usahatani untuk tetap
layak secara finansial pada kondisi teknologi usahatani, lingkungan ekonomi,
dan kebijakan pemerintah yang ada.
Keunggulan komparatif adalah keunggulan suatu wilayah dalam memproduksi
suatu komoditas dengan biaya yang dikeluarkan lebih rendah dari biaya untuk
komoditas yang sama di daerah yang lain dan diukur dengan nilai
DCR(Domestic Cost Ratio).
Keunggulan kompetitif adalah keunggulan suatu komoditas yang dihasilkan
dalam kegiatan produksi yang efisien sehingga memiliki daya saing di pasar
lokal maupun internasional yang diukur dengan nilai PCR (Private Cost
Ratio).
Tingkat suku bunga privat yang digunakan adalah suku bunga pinjaman yang
berlaku di Bank Indonesia (BI), yaitu 11,32 persen (suku bunga rata-rata pada
tahun 2018) dan suku bunga sosial yaitu 14,51 persen didapat dari suku bunga
privat ditambah inflasi sebesar 3,19 persen (Bank Indonesia 2018).
Analisis sensitivitas merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui
akibat dari perubahan parameter produksi terhadap perubahan kinerja
usahatani dalam menghasilkan keuntungan.
42
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tanggamus. Pemilihan lokasi
dilakukan secara purposive (sengaja). Kabupaten Tanggamus dipilih menjadi
daerah penelitian atas dasar pertimbangan bahwa Kabupaten Tanggamus
merupakan salah satu kabupaten dengan produksi kopi terbesar di Provinsi
Lampung. Kecamatan Sumberejo dipilih sebagai lokasi penelitian karena
merupakan daerah penghasil kopi terbesar kedua di Kabupaten Tanggamus,
selain itu Kecamatan Sumberejo merupakan salah satu kecamatan yang berada
dibawah binaan PT Nestle dan sebagian petani kopinya sudah menerapkan
sertifikasi 4C(Common Code for the Coffe Community). Penelitian dilakukan
pada bulan Maret hingga April 2019.
Setelah lokasi kecamatan ditentukan, selanjutnya ditentukan lokasi kelurahan
atau desa yang akan dijadikan lokasi penelitian. Kecamatan Sumberejo terdiri
dari 13 kelurahan yakni, Kebumen, Sidorejo, Sidomulyo, Sumberejo, Tegal
Binangun, Argomulyo, Agropeni, Margodadi, Margoyoso, Dadapan,
Simapang Kanan, Wonoharjo, dan Sumber Mulyo. Bedasarakan informasi
yang diperoleh dari Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sumberejo, Desa
Sumbermulyo, dan Tegal Binangun adalah desa penghasil kopi terbesar di
Kecamatan Sumberejo.
C. Responden dan Pengumpulan Data
Responden dalam penelitian ini terdiri dari petani kopi sertifikasi di
Kecamatan Sumberejo. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan
43
metode survei. Pada suatu penelitian, perlu dilakukan penentuan jumlah
sampel atau jumlah responden. Populasi petani kopi sertifikasi di Desa
Sumbermulyo adalah 63 orang dan di Desa Tegal Binangun adalah 70.
Apabila dijumlahkan maka populasi petani kopi sertifikasi adalah 133 orang.
Penentuan jumlah sampel untuk petani kopi mengacu pada Sugiarto, Siagian,
Sunarto, dan Oetomo (2003) dengan rumus sebagai berikut :
n = ² ²² ² ²Keterangan :n = Jumlah sampelN = Jumlah populasiS2 = Varian sampel (10% = 0,1)Z = Tingkat Kepercayaan (90% = 1,645)d = Derajat penyimpangan (10% = 0,1)
Berdasarkan rumus tersebut, perhitungan jumlah sampel petani kopi sertifikasi
adalah sebagai berikut :
n =( , ) ( , )( , ) ( , ) ( , )
n = 22,5≈ 25
Berdasarkan perhitunagan diatas, didapatkan hasil sebesar 25 untuk jumlah
responden petani sertifikasi. Dari jumlah sampel yang didapat, maka
ditentukan alokasi proporsi sampel dengan rumus sebagai berikut:
na =
44
Keteranganna = Jumlah sampel per desaNa = Jumlah sampel keseluruhannab = Jumlah petani per desaNab = Jumlah populasi keseluruhan
Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diketahui bahwa sampel petani
kopi sertifikasi di Desa Sumbermulyo adalah 12 orang, dan di Desa Tegal
Binangun adalah 13 orang. Menurut Bungin (2005), responden kemudian
dipilih secara acak sederhana (simple random sampling) dengan pertimbangan
bahwa populasi dianggap homogen dalam hal :
(1) semua petani kopi sertifikasi masing masing memiliki teknik budidaya
yang sama.
(2) semua petani bermaksud menjual produknya, dan
(3) semua petani mencari keuntungan dalam menjual produknya.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dengan petani
responden berdasarkan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan.
Data sekunder diambil dari sumber-sumber atau instansi-instansi terkait,
laporan-laporan, publikasi, dan pustaka lainnya yang berhubungan dengan
penelitian ini.
45
D. Analisis Data
1. Identifikasi Input dan Output
Usahatani kopi menggunakan input yang meliputi lahan (ha), pupuk (kg),
alat pertanian (unit), tenaga kerja (HOK), dan pestisida (kg/ha). Output
yang dihasilkan adalah biji kopi.
2. Penentuan Alokasi Biaya
Input yang digunakan dalam proses produksi dapat dipisahkan menjadi
input tradable dan non-tradable. Input tradable adalah adalah input yang
diperdagangkan di pasar internasional (komponen asing), sedangkan input
non-tradable adalah input yang tidak diperdagangkan di pasar
internasional (komponen domestik). Input yang paling dominan dalam
usahatani kopi adalah lahan dan tenaga kerja. Input yang digolongkan
kedalam input yang tidak diperdagangkan dimasukkan dalam komponen
biaya domestik 100 persen atau di masukkan ke dalam komponen input
non-tradable 100 persen. (Murtiningrum, Asriani, dan Badrudin, 2013).
3. Penentuan Harga Privat
Harga privat yang digunakan dalam analisis PAM pada tanaman tahunan
adalah harga yang berlaku pada saat penelitian dilakukan. Penelitian
menggunakan analisis PAM tidak menggunakan harga yang berlaku pada
setiap musim tanam karena apabila menggunakan harga yang berlaku pada
46
setiap musim tanam akan terjadi kesulitan dalam pencarian SER dan SCF
dari mata uang yang berlaku 25 tahun sebelumnya.
4. Penentuan Harga Sosial
Menururt Gittinger (1986), pada analisis ekonomi harga yang digunakan
adalah harga sosialnya. Harga sosial dilakukan dengan cara melakukan
penyesuaian terhadap penyimpangan harga yang terjadi, baik sebagai
kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar. Harga sosial untuk input dan
output tradable dihitung berdasarkan harga sosial (shadow price) yang
dalam hal ini didekati dengan harga batas (border price). Pada komoditi
exportable (komoditi yang diekspor) seperti kopi digunakan harga FOB
(Free on Board), sedangkan untuk input non-tradable digunakan biaya
imbangannya (opportunity cost), yang diketahui dari penelitian di lapang.
(1) Harga sosial output
Menurut Dinawati (2006), harga sosial output dengan orientasi
perdagangan antar daerah adalah harga di pedagang besar ditambah
biaya tata niaganya. Penentuan harga sosial output dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Penentuan harga paritas ekspor output
No Uraian Rincian1 Harga FOB kopi (US$/ton) a2 Nilai tukar (Rp/US$) B3 FOB dalam mata uang domestik
(Rp/kg)c = a.b
4 Bongkar/muat, gudang, susut (Rp/kg) X5 Biaya transportasi ke propinsi (Rp/kg) d = c.x6 Distribusi tingkat petani (Rp/kg) E7 Harga sosial di petani (Rp/kg) g = d + e
Sumber : Pearson, Gotsch, dan Bahri, 2005.
47
(2) Harga sosial sarana produksi (input)
Menurut Malian, Rachman, dan Djulin (2004), penentuan harga sosial
input yang digunakan berdasarkan harga perbatasan input yaitu harga
FOB untuk input ekspor, CIF untuk input impor yang diukur sama
dengan harga pasar, sedangkan harga sosial untuk input non-tradable
ditentukan berdasarkan harga aktualnya. Penentuan harga sosial paritas
input dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Penentuan harga paritas ekspor input
No Uraian Rincian1 Harga FOB (US$/ton) a2 Nilai tukar (Rp/US$) x3 FOB dalam mata uang domestik (Rp/Kg) b = a.x4 Biaya Bongkar/muat, gudang, susut c5 Biaya transportasi ke provinsi (Rp/Kg) d6 Nilai sebelum pengolahan (Rp/Kg) e = b+c+d7 Faktor konversi proses (%) Y8 Harga paritas ekspor di pedagang besar (Rp/Kg) f = e.y9 Distribusi ke tingkat petani (Rp/kg) G10 Harga paritas ekspor tingkat petani (Rp/kg) h= f+g
Sumber : Pearson, Gotsch dan Bahri, 2005.
Tabel 9. Penentuan harga paritas impor input
No Uraian Rincian1 Harga CIF (US$/ton) a2 Nilai tukar (Rp/US$) x3 CIF dalam mata uang domestik (Rp/Kg) b = a.x4 Biaya Bongkar/muat, gudang, susut c5 Biaya transportasi ke provinsi (Rp/Kg) d6 Nilai sebelum pengolahan (Rp/Kg) e = b+c+d7 Faktor konversi proses (%) y8 Harga paritas ekspor di pedagang besar (Rp/Kg) f = e.y9 Distribusi ke tingkat petani (Rp/kg) G10 Harga paritas impor di tingkat petani (Rp/kg) h= f+g
Sumber : Pearson, Gotsch dan Bahri, 2005.
48
(3) Harga sosial tenaga kerja
Menurut Alghoziyah, Ismono, dan Sayekti (2016), harga sosial tenaga
kerja dihitung dengan menggunakan nilai upah aktual yang berlaku di
masing-masing lokasi penelitian. Hal ini karena diasumsikan input-
input tersebut tidak diperdagangkan di pasar internasional.
(4) Harga sosial lahan
Menurut menurut Gitingger (1986), penentuan harga sosial lahan dapat
berupa nilai sewa aktual, harga beli dan pendapatan dari tanah untuk
tanaman aternatif terbaik. Dalam penelitian ini, penentuan harga sosial
tanah berdasarkan pendapatan dari tanaman altenatif terbaik yaitu
tanaman kakao.
(5) Harga sosial bunga modal
Menurut Alghoziyah, Ismono, dan Sayekti (2016), penentuan harga
sosial bunga modal dilakukan dengan perhitungan antara tingkat bunga
yang diukur dengan menggunakan harga privat (aktual), ditambah
dengan rata-rata nilai inflasi.
(6) Harga sosial nilai tukar
Harga bayangan nilai tukar adalah harga mata uang domestik dengan
mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang yang bersaing
sempurna. Hubungan anatara nilai tukar resmi (Official Exvhange
Rate/OER), nilai tukar bayangan (Shadow Exchange Rate/SER), dan
faktor konversi baku (Standar Convertion Factor/SCF) dapat
dirumuskan sebagai berikut (Gitingger, 1986).
49
SER =
SCF = ( ) ( )Keterangan :SCF = Faktor Konversi BakuM = Nilai impor (Rp)X = Nilai ekspor (Rp)Tm = Pajak impor (Rp)Tx = Pajak ekspor (Rp)
5. PAM (Policy Analysis Matrix)
Tujuan penelitian dijawab denngan mengunakan analisis PAM (Policy
Analysis Matrix). PAM digunakan untuk menganalisis secara menyeluruh
dan konsisten terhadap kebijakan mengenai penerimaan, biaya usahatani,
tingkat perbedaan pasar, sistem pertanian, investasi pertanian, dan efisiensi
ekonomi.
Tabel 10. Matriks analisis kebijakan (PAM)
PenerimaanOutput
Biaya KeuntunganInput
TradableInput NonTradable
Harga Privat A B C DHarga Sosial E F G HDampak Kebijakan I J K L
Sumber : Pearson, Gotsch, dan Bahri, 2005.
Keterangan :Keuntungan Finansial (D) = A-(B+C)Keuntungan Ekonomi (H) = E-(F+G)Transfer Output (OT) (I) = A-ETransfer Input Tradeable (IT) (J) = B-FTransfer Input Nontradeable (FT) (K) = C-GTransfer Bersih (NT) (L) = I-(K+J)Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A-B)Rasio BSD (DRC) = G/(E-F)Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E
50
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/FKoefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A-B)/(E-F)Koefisisen Keuntungan (PC) = D/HRasio Subsidi bagi Produsen (SRP) = L/E
Baris pertama dari tabel PAM berisikan komponen biaya dan pendapatan
yang dihitung dalam harga privat (harga aktual atau harga pasar). Huruf A
adalah simbol untuk pendapatan pada tingkat harga privat, huruf B adalah
simbol untuk biaya input tradable pada tingkat harga privat, huruf C
adalah simbol biaya faktor domestik pada tingkat harga privat, dan huruf
D adalah simbol keuntungan privat. Dalam analisis PAM secara empiris,
pendapatan dan biaya privat (simbol A, B, dan C) didasarkan pada data
yang diperoleh dari usahatani maupun pengolahan hasil. Simbol D,
keuntungan privat, diperoleh dengan menerapkan identitas keuntungan.
Menurut kaidah identitas keuntungan tersebut, D identik dengan A-(B+C).
Oleh karena itu, keuntungan privat pada PAM adalah selisih dari
penerimaan privat dengan biaya privat (Pearson, Gotsch, dan Bahri, 2005).
Baris kedua dari tabel PAM berisikan angka-angka budget yang dinilai
dengan harga sosial (harga yang akan menghasilkan alokasi terbaik dari
sumber daya dan dengan sendirinya menghasilkan pendapatan tertinggi).
Huruf E adalah simbol pendapatan yang dihitung dengan harga sosial,
huruf F adalah simbol biaya input tradable sosial, huruf G adalah simbol
biaya faktor domestik sosial, dan huruf H adalah simbol keuntungan
sosial. Pendapatan dan biaya pada tingkat harga sosial (simbol E, F, dan
G) didasarkan pada estimasi the social opportunity costs dari komoditas
yang diproduksi dan input yang digunakan. Simbol H, keuntungan sosial,
51
diperoleh dengan menggunakan identitas keuntungan, yaitu H = E-(F+G).
Dengan demikian, keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan
sosial dengan biaya sosial (Pearson, Gotsch, dan Bahri, 2005).
Baris ketiga disebut sebagai baris effects of divergence. Divergensi timbul
karena adanya distorsi kebijakan atau kegagalan pasar. Kedua hal tersebut
menyebabkan harga aktual berbeda dengan harga efisiensinya. Sel dengan
simbol huruf I mengukur tingkat divergensi revenue atau pendapatan
(yang disebabkan oleh distorsi pada harga output), simbol J mengukur
tingkat divergensi biaya input tradeable (disebabkan oleh distorsi pada
harga input tradeable), simbol K mengukur divergensi biaya faktor
domestik (disebabkan oleh distorsi pada harga faktor domestik), simbol L
mengukur net transfer effects (mengukur dampak total dari seluruh
divergensi).
Efek divergensi (baris ketiga) dihitung dengan menggunakan identitas
divergensi (divergences identity). Menurut aturan perhitungan tersebut,
semua nilai yang ada di baris ketiga (efek divergensi) merupakan selisih
antara baris pertama (usahatani yang diukur dengan harga aktual atau
harga privat) dengan baris kedua (usahatani yang diukur dengan harga
sosial). Oleh karena itu, I = A-E, J = B-F, K = C-G, dan L = D-H
(Pearson, Gotsch, dan Bahri, 2005).
Komoditas kopi yang diteliti merupakan tanaman tahunan maka analisis
PAM yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan perhitungan Net
Present Value (NPV) dimana hal tersebut sejalan dengan penelitian
52
Hermayanti, Abidin, dan Santoso (2013), dengan rumus sebagai berikut
(Nitisemito dan Burhan, 2004):
P = ( )Keterangan :P = nilai tunai (pada tahun 0)F = nilai nantii = tingkat bungat = tahun ke-….
Present value benefit (penerimaan) dapat dirumuskan sebagai:
PV benefit (PVB) =∑ ( )Present value cost (biaya) dapat dirumuskan sebagai:
PV cost (PVC) = ∑ ( )Sedangkan Net Present Value (NPV) nilai tunai bersih dirumuskan
sebagai:
NPV = PVB – PVC
=∑ ( ) -∑ ( )Keterangan :Bt = penerimaan pada tahun tCt = pengeluaran atau biaya pada tahun t
Tiga kriteria NPV, yaitu:
(1) Bila NPV > 0, maka menguntungkan dan dapat dilaksanakan.
(2) Bila NPV < 0, maka merugikan dan tidak layak untuk dilaksanakan.
(3) Bila NPV = 0, maka tidak untung dan tidak rugi (break even point).
53
Net present value dapat dihitung dengan mengalikan arus penerimaan
dan pengeluaran tiap tahun dengan discount factor-nya. Discount
factor adalah nilai present value uang seharga Rp 1,00 yang akan
diterima pada tahun ke-t, dengan rumus (Prawirosentono, 2002) :
df = 1(1 + )df = discount factor
6. Analisis Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial
1) Private profitability (PP) : D = A-(B+C)
Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari sistem
komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer
kebijakan yang ada. Apabila D > 0, maka secara finansial kegiatan
usahatani menguntungkan dan layak untuk dikembangkan.
2) Social profitability (SP): H = E-(F+G)
Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau
efisiensi dari sistem produksi pada kondisi tidak ada divergensi dan
penerapan kebijakan efisien. Apabila H > 0 dan nilainya makin besar
berarti sistem komoditi makin efisien dan mempunyai keunggulan
komparatif yang tinggi.
7. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif
1) Private Cost Ratio : PCR = C/(A-B)
PCR yaitu indikator profitabilitas privat yang menunjukkan
kemampuan sistem komoditi untuk membayar biaya sumber daya
54
domestik dan tetap kompetitif. Jika PCR < 1, berarti sistem komoditi
yang diteliti memiliki keunggulan kompetitif dan jika PCR > 1, berarti
sistem komoditi tidak memiliki keunggulan kompetitif.
2) Domestic Cost Ratio : DRC = G/(E-F)
DCR yaitu indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan
jumlah sumber daya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan
satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DCR
< 1, dan sebaliknya jika DRC > 1 tidak mempunyai keunggulan
komparatif.
8. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
1) Kebijakan Output
(a) Output Transfer: OT = A-E
Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung
atas harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan
harga bayangan atau sosial. Jika nilai OT > 0, maka hal itu
menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen)
terhadap produsen, dan sebaliknya.
(b) Nominal Protection Coefficient on Output : NPCO = A/E
NPCO yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi
pemerintah terhadap output domestik. Kebijakan bersifat protektif
terhadap output jika nilai NPCO > 1, dan sebaliknya kebijakan
bersifat disinsentif jika NPCO < 1.
55
2) Kebijakan Input
(a) Transfer Input: IT = B-F
Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat
diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat
diperdagangkan pada harga sosial. Jika nilai IT > 0, menunjukkan
adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input
tradeable, demikian pula sebaliknya.
(b) Nominal protection Coefficient on Input : NPCI = B/F NPCI
NPCI yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi
pemerintah terhadap harga input pertanian domestik. Kebijakan
bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1, berarti ada
kebijakan subsidi terhadap input tradeable, demikian juga
sebaliknya.
(c) Transfer Factor : FT = C-G
Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan
harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk
pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan.
Nilai FT > 0, mengandung arti bahwa ada transfer dari petani
produsen kepada produsen input non tradeable, demikian juga
sebaliknya.
56
3) Kebijakan Input-Output
(a) Effective Protection Coefficient : EPC = (A-B)/(E-F)
EPC yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan
terhadap output dan input tradeable. Kebijakan masih bersifat
protektif jika nilai EPC > 1. Semakin besar nilai EPC berarti
semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditi
pertanian domestik.
(b) Net Transfer: NT = D-H
Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih yang
benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih
sosialnya. Nilai NT > 0, menunjukkan tambahan surplus produsen
yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada
input dan output, demikian juga sebaliknya.
(c) Profitability Coefficient: PC = D/H
Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan
bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan
bersih sosialnya. Jika PC > 0, berarti secara keseluruhan kebijakan
pemerintah memberikan insentif kepada produsen, demikian juga
sebaliknya.
(d) Subsidy Ratio to Producer: SRP = L/E = (D-H)/E
SRP yaitu indikator yang menunjukkan proporsi penerimaan pada
harga sosial yang diperlukan apabila subsidi atau pajak digunakan
sebagai pengganti kebijakan.
57
9. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana perubahan hasil
analisis suatu kegiatan ekonomi, bila ada kesalahan dalam perhitungan
biaya atau manfaat. Analisis sensitivitas dilakukan dengan perhitungan
salah satu kemungkinan seperti penurunan produksi, penurunan harga jual
dan peningkatan biaya produksi yang mungkin terjadi. Hal ini perlu
dilakukan karena analisa proyek biasanya didasarkan pada proyeksi-
proyeksi yang mengandung ketidakpastian dan perubahan yang akan
terjadi di masa mendatang (Gittinger, 1986).
Beberapa asumsi yang dapat digunakan dalam analisis sensitivitas adalah :
a. Tingkat suku bunga yang digunakan pada analisa ini berdasarkan rata-
rata tingkat suku bunga pinjaman pada bank umum.
b. Analisis sensitivitas apabila terjadi perubahan kenaikan biaya produksi
c. Analisis sensitivitas apabila terjadi perubahan penurunan biaya
produksi.
d. Analisis sensitivitas apabila terjadi perubahan penurunan harga jual.
e. Analisis sensitivitas apabila terjadi perubahan penurunan volume
produksi
Laju kepekaan atau sensitivitas dihitung melalui rumus
Elastisitas PCR =∆ /∆ /
Elastisitas DCR =∆ /∆ /
58
Keterangan :
X1 = input tradableX2 = faktor domestikX3 = biaya totalX4 = harga outputX5 = total produksi
Kriteria pengambilan keputusan laju kepekaan adalah:
1) Elastisitas PCR dan DCR >1, maka hasil kegiatan usahatani kopi peka
atau sensitif terhadap perubahan.
2) Elastisitas PCR dan DCR <1, maka hasil kegiatan usahatani kopi tidak
peka atau tidak sensitif terhadap perubahan.
59
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus
Kabupaten Tanggamus adalah salah satu kabupaten di Provinsi Lampung, ibu
kota kabupaten ini terletak di Kota Agung Pusat. Kabupaten ini memiliki luas
wilayah keseluruhan 2.731,61 km2 dan berpenduduk sebanyak 536.613 jiwa
dengan kepadatan penduduk 178 jiwa/km. Kabupaten Tangggamus memiliki
20 kecamatan dan 302 desa.
1) Geografis
Kabupaten Tanggamus secara geografis berada pada posisi 104o18’-
105o12’ Bujur Timur dan antara 5o 05’-5o56’ Lintang Selatan. Kabupaten
Tanggamus terdiri dari 20 kecamatan, diantaranya Wonosobo, Semaka,
Bandar Negeri Semuong, Kota Agung, Pematang Sawa, Kota Agung
Barat, Kota Agung Timur, Pulau Panggung, Ulu Belu, Air Naningan,
Talang Padang, Sumberejo, Gisting, Gunung Alip, Pugung, Bulok, Cukuh
Balak, Kelumbayan, Limau, Kelumbayan Barat. Ibukota Kabupaten
Tanggamus yaitu Kota Agung. Posisi Kabupaten Tanggamus dengan ini
berada pada selatan Provinsi
60
Lampung dan bersebelahan langsung dengan Bukit Barisan Selatan.
Bagian selatan Kabupaten Tanggamus memiliki salah satu teluk terkenal
yaitu Teluk Semaka dimana daerah ini merupakan salah satu sumber mata
pencaharian masyarakat dan terdapat pelabuhan ikan.
Gambar 2. Peta lokasi Kabupaten Tanggamus
Batas-batas wilayah Kabupaten Tanggamus secara administratif dapat
dirinci sebagai berikut :
a) Sebelah Utara : Kabupaten Lampung Barat dan Lampung Tengah
b) Sebelah Selatan : Samudera Indonesia
c) Sebelah Barat : Kabupaten Lampung Barat
d) Sebelah Timur : Kabupaten Pringsewu.
Luas daratan Kabupaten Tanggamus adalah 2.855,46 Km2 dan luas
wilayah laut Kabupaten Tanggamus adalah 1.799,5 Km2 disekitar induk
teluk Semaka dengan panjang pesisir 210 Km. Topografi daratan
KecamatanSumberejo
61
Kabupaten Tanggamus beragam terdiri dari daratan tinggi dan rendah,
dengan komposisi 40 persen berbukit dan bergunung dengan ketinggian
antara 0 hingga 2115 meter. Potensi daerah di Kabupaten Tanggamus
sebagian digunakan untuk pertanian. Selain itu, terdapat beberapa potensi
lain yaitu tambang emas, batu pualam dan marmer, energi panas bumi dan
sumber air panas untuk energi alternatif .
2) Keadaan Demografi Kabupaten Tanggamus
Jumlah penduduk Kabupaten Tanggamus berjumlah 560.286 jiwa, dengan
tingkat kepadatan penduduk mencapai 196 jiwa /km2. Kecamatan dengan
kepadatan penduduk tertinggi terdapat pada Kecamatan Gisting dengan
kepadatan 1161 jiwa/km2 sedangkan kepadatan penduduk terendah
terdapat pada Kecamatan Limau dengan kepadatan 73 jiwa/km2. Jumlah
Penduduk Kabupaten Tanggamus adalah sebesar 560.286 jiwa. Presentase
perbandingan jumlah penduduk laki laki sebesar 292.370 jiwa dan jumlah
penduduk perempuan sebesar 267.916 jiwa. Sex ratio penduduk
Kabupaten Tanggamus sebesar 109,13. Penduduk Kabupaten Tanggamus
berada pada kelompok umur yang sangat beragam.
Tabel 11. Banyaknya penduduk Kabupaten Tanggamus menurutkelompok umur tahun 2019
Kelompok Umur Jumlah penduduk(jiwa)
Persentase (%)
0-14 162.940 29,0815-64 370.592 66,14>64 26.750 4,77
Jumlah 560.282 100Sumber : Tanggamus dalam angka, 2019.
62
Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa pada tahun 2013 jumlah penduduk
Kabupaten Tanggamus memiliki presentase besar pada kelompok umur
14-64 tahun yaitu sebesar 66,14 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
penduduk Kabupaten Tanggamus berada pada umur produktif sehingga
dapat berkontibusi aktif dan penuh dalam pembangunan. Hal ini didukung
oleh kondisi letak geografis Kabupaten Tanggamus yang memiliki
topografi di pegunungan sehingga sangat mendukung usahatani sayuran,
buah-buahan dan perkebunan. Penduduk yang berada pada range umur
produktif tentu akan memberikan dampak yang positif kepada daerah
dimana wilayah penduduk berada.
3) Perekonomian
Potensi sumber daya alam yang dimiliki Kabupaten Tanggamus sebagian
besar dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian . Selain itu masih terdapat
beberapa sumber daya alam lain yang potensial untuk dikembangkan
antara lain pertambangan emas, bahan galian seperti granit dan batu
pualam atau marmer. Disampimg itu juga terdapat sumber air panas dan
panas bumi yang memungkinkan untuk dikembangkan menjadi
pembangkit energi listrik alternatif.
Sektor terbesar yang mempengaruhi perekonomian Kabupaten Tanggamus
adalah sektor pertanian dengan tanaman pangan yang menjadi sektor
utama. Selain tanaman pangan, tanaman perkebunan juga merupakan
salah satu subsektor yang menguatkan perekonomian di Kabputen
tanggamus. Kabupaten Tanggamus merupakan pusat produksi kopi di
63
Provinsi Lampung. Kabupaten Tanggamus melakukan upaya untuk
meningkatkan kualitas dan produksi kopinya, salah satunya dengan
menerapkan sertifikasi kopi. Sertifikasi kopi merupakan pemberian
jaminan tertulis dari pihak ketiga independen bahwa kopi beserta proses
yang mendukungnya telah memenuhi persyaratan kesehatan,keamanan,
keselamatan dan ingkungan. Salah satu sertifikasi yang diterapkan di
Kabupaten Tanggamus adalah sertifikasi Common Code for the Coffe
Community (4C).
B. Gambaran Umum Kecamatan Sumberejo
Kecamatan Sumberejo adalah salah satu dari 13 kecamatan yang ada di
Kabupaten Tanggamus. Kecamatan Sumberejo memiliki 13 Desa/ Pekon
diantaranya Margoyoso, Dadapan, Margodadi, Agropeni, Sumber Mulyo,
Wonoharjo, Tegal Binangun, Sidomulyo, Sumberejo, Kebumen, Agromulyo,
Sidorejo dan Simpang Kanan. Kecamatan Sumberejo berpusat pada Desa
Sumberejo. Kecamatan sumberejo merupakan salah satu kecamatan yang
memberikan kontribusi cukup besar dalam produksi sayur-mayur di
Kabupaten Tanggamus. Batas administratif Kecamatan Sumberejo
diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Sebelah Utara : Kecamatan Pulau Panggung
b) Sebelah Selatan : Hutan Lindung
c) Sebelah Barat : Kecamatan Pulau Panggung
d) Sebelah Timur : Kecamatan Gisting.
64
Jumlah penduduk Kecamatan Sumberejo pada tahun 2012 sangat fluktuatif
namum merata pada tiap daerahnya. Persebaran penduduk merata
berdasarkan luas wilayah dari tiap desa. Penduduk di Kecamatan Sumberejo
memiliki persebaran yang merata tergantung pada luas wilayah dari setiap
desa. Luas wilayah yang dimiliki masing-masing desa pun beragam, dimana
luas wilayah tertinggi terdapat pada Desa Dadapan, dan Desa Margodadi,
sedangkan terendah terdapat pada Desa Kebumen dan Desa Agromulyo.
Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat banyak diusahakan oleh
penduduk Kecamatan Sumberejo. Masyarakat banyak yang mencari
penghidupan dari sektor pertanian. Sebagian besar lahan yang ada di
Kecamatan Sumberejo digunakan pada sektor pertanian. Presentase tertinggi
ada pada penggunaan dalam lahan perkebunan sebesar 24 persen. Hal ini
menunjukkan masyarakat masih banyak yang bermata pencaharian di sektor
pertanian.
Penduduk yang berada di Kecamatan Sumberejo selain bermata pencaharian
sebagai pada sektir pertanian, juga bermata pencaharian lain diluar sektor
pertanian, baik dari sektor formal maupun informal seperto seperti pedagang,
nelayan, buruh , karyawan, pegawai swasta, PNS dan juga TNI-Polri Luas
lahan yang usahakan pada sektor pertanian di Kecamatan Sumberejo terdiri
atas beberapa jenis lahan diantaranya lahan sawah, lahan kebun, kolam, dan
lain lain. Pada pembagiannya luas lahan yang diusahakan dibagi menjadi
lahan kering dan basah. Lahan basah terdiri atas sawah dan kolam, sedangkan
lahan kering terdiri atas kebun, tegalan dan lain lain.
115
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
1) Usahatani kopi petani sertifikasi di Kecamatan Sumberejo memiliki
keunggulan kompetitif dengan nilai PCR (Private Cost Ratio) 0,53.
2) Usahatani kopi petani sertifikasi di Kecamatan Sumberejo memiliki
keunggulan komparatif dengan nilai DCR (Domestic Cost Resource) 0,38.
3) Hasil analisis dampak kebijakan menggunakan PAM menunjukkan nilai
OT Rp -20.236.272,61 ; IT Rp -9.457.275,15 ; FT Rp 19.418.876,84; NT
Rp -39.495.630,44; NPCO 0,92; NPCI 0,43; EPC 0,96 ; PC 0,73 ;
SRP -0,15. Dampak berupa insentif input produksi melalui subsidi input
tradable serta pemanfaatan faktor domestik bagi petani untuk
mengefisiensikan biaya produksinya untuk meningkatkan pendapatan
belum didukung dengan kebijakan proteksi output yang mampu
mengantisipasi distorai perdagangan, sehingga kebijakan pemerintah
terhadap input-output secara menyelururh belum mengoptimalkan
pendapatan dan keuntungan aktual petani.
4) Keunggulan kompetitif dan komparatif pada usahatani kopi di Kecamatan
Sumberejo peka terhadap penurunan volume produksi, elastisitas PCR.
115
( 1,35), elastisitas DCR (1,37). Keunggulan kompetitif usahatani kopi di
Kecamatan Sumberejo tidak peka terhadap perubahan harga output,
elastisitas PCR.( 0,97), keunggulan komparatif peka terhadap perubahan
harga output, elastisitas DCR (1,09). Keunggulan kompetitif dan
komparatif pada usahatani kopi di Kecamatan Sumberejo tidak peka
terhadap kenaikan harga input, elastisitas PCR (Urea 0,15 ; SP36 0,16 ;
Phonska 0,22 ; ZA 0,14), elastisitas DCR (Urea 0 ; SP36 0; Phonska 0 ;
ZA 0).
B. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah
1) Pemerintah Kabupaten Tanggamus, dengan keunggulan komparatif dan
kompetitif yang dimiliki kopi di Kecamatan Sumberejo diharapkan dapat
menetapkan kebijakan yang mampu merangsang peningkatan
produktivitas yaitu melalui penguatan kelembagaan petani dengan
menguatkan pelatihan dan pendampingan.
2) Petani lain diharapkan dapat meningkatkan produksi dan menerapkan
secara keseluruhan prinsip keberlanjutan sesuai dengan prinsip prinsip
pada sertifikasi 4C (Common Code for the Coffee Community).
3) Peneliti lain diharapkan dapat melanjutkan penelitian dengan tujuan untuk
mengetahui bagaimana peningkatan mutu usahatani kopi petani sertifikasi
serta keberlanjutan usahatani kopi di Kecamatan Sumberejo Kabupaten
Tanggamus.
116
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, L. 2015. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif UsahataniKopi Robusta Di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus. Skripsi.Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. 2014. Luas areal dan Produksi Kopi.http://aeki.co.id. Diakses 31 Januari 2019.
Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. 2014. Eksportir Berharap ProduktivitasPetani Kopi Bisa Optimal. http://.aeki.co.id. Diakses 31 Januari 2019.
Abdullah, P., Alisjahbana, A. S., Effendi, N. dan Boediono. 2002.Daya Saing Daerah Konsep dan Pengukuranny di Indonesia. BBFE.Yogyakarta.
Alghoziyah, Ismono, R. H. dan Sayekti, W. D. Daya Saing Usahatani KaretRakyat di Desa Kembang Tanjung, Kecamatan Abung Selatan, KabupatenLampung Utara. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. Vol. 4 (3) : 244-252.http://jurnal.fp.unila.ac.id/index.php/JIA/article/download/1498/1352.Diakses 6 November 2018.
Aprizal, P.S., Apriyani dan Sriyoto. 2013. Analisis Daya Saing Usahatani KelapaSawit Di Kabupaten Mukomuko (Studi Kasus Desa Bumi Mulya).ARISEP. Vol. 12 (2) : 133-146. https://ejournal.unib.ac.id/index.php/agrisep/article/view/478/pdf_16. Diakses 5 November 2018.
Ardiyani, F. dan Erdiansyah, N. P. 2012. Sertifikasi Kopi Berkelanjutan diIndonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.
Badan Pusat Statistik. 2018. PDB Triwulanan Atas Dasar Harga KonstanMenurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2014-2018. Badan PusatStatistik. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2018. Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah),2007-2018.Badan PusatStatistik. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2018. Lampung dalam Angka2018. BPS Provinsi Lampung. Bandar Lampung.
117
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus. 2018. Kabupaten Tanggamusdalam angka 2018. BPS Provinsi Lampung. Bandar Lampung.
Bank Indonesia. 2019. Tingkat Inflasi, Suku Bunga, dan Nilai Tukar UangPeriode 2018. http://www.bi.go.id. Diakses 3 Februari 2019.
Baso, R. L. dan Anindita, R. 2018. Analisis Daya Saing Kopi Indonesia. JurnalEkonomi Pertanian dan Agribisnis. Vol. 2 (1) : 1-9. https://jepa.ub.ac.id/index. php/jepa /article/view/23/20. Diakses 5 November 2018.
Bungin, B. 2005. Metodologi Penenlitian Kuantitaif : Komunikasi, ekonomi, danKebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Kecana. Jakarta.
Dewan 4C. 2015. Kode Perilaku 4C. www.4c-coffeeassociation.org. Diakses 9Februari 2019.
Dinawati, E. 2006. Analisis Kelayakan Ekonomi dan Daya Saing UsahataniKakao di Kabupaten Lampung Timur. Skripsi. Universitas Lampung.Bandar Lampung.
Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, KementerianPertanian. 2012. Peluang besar industri kopi. http://agribisnis.deptan.go.id/.Diakses 31 Januari 2019.
Direktorat Jendral Perkebunan. 2018. Luas areal, produksi dan produktivitastanaman perkebunan kopi tahun 2012-2017.Direktorat Jendral Perkebunan,Kementerian Pertanian.Jakarta.
Dirgantoro, C. 2002. Keunggulan bersaing melalui proses bisnis. PT. Grasindo.Jakarta.
Gittinger. J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua.Terjemahan Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Hady, H. 2004. Ekonomi Internasional. Ghalia Indonesia. Jakarta
Hermayanti, N. W., Abidin, Z. dan Santoso, H. 2013. Analisis Daya SaingUsahatani Kelapa Sawit di Kecamatan Waway Karya, KabupatenLampung Timur. Jurnal Ilmu Ilmu Agribisnis. Vol. 1 (1) : 44-52.http://jurnal.fp.unila.ac.id/index.php/JIA/article/view/130. Diakses 5November 2018.
Incamilla, A., Arifin, B. dan Nugraha, A. 2015. Keberlanjutan Usahatani KopiAgroforesti di Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus. JurnalIlmu-Ilmu Agribisnis. Vol. 3 (3) :260-267. http://jurnal.fp.unila.ac.id/index.php/JIA/article/download/1050/955. Diakses 9 Februari 2019.
118
International Coffee Organization. 2018. Monthly export statistics - September2018.http://www.ico.org/. Diakses 19 November 2018.
Juwita, T., Prasmatiwi, F. E. dan Santoso, H. 2014. Manfaat FinansialPembinaan Verifikasi Kopi dalam Upaya Peningkatan Mutu Kopi: StudiKasus Program Verifikasi Binaan PT Nestle Indonesia di KabupatenTanggamus. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. Vol. 2 (3): 276-284.http://jurnal.fp.unila.ac.id/index.php/JIA/article/download/811/741. Diakses 9Februari 2019.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2019. Penetapan Nilai TransaksiDengan Menggunakan Rumus. Diakses online dihttps://bppk.kemenkeu.go.id/id/publikasi/artikel/148-artikel-bea-dan-cukai/9144-penetapan-nilai-transaksi-dengan-menggunakan-rumus-tertentu-tepatkah. www. Kemenkeu.go.id. Diakses 3 Oktober 2019.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, 2018. Rapman Kopi,Informasi Komprehensip Dunia Kopi Indonesia dan Global. DiaksesOnline di ekon.go.id. Diakses 11 Desember 2018.
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, 2018. Harga Kopi DuniaJeblok, Eksportir Lirik Pasar Domestik.http://www.kemenperin. go.id.Diakses 13 Desember 2018.
Kementerian Pertanian. 2017. Outlook Kopi : Komoditas Pertanian SubsektorPerkebunan Kopi. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2018. Statistik Makro Sektor Pertanian : Negara tujuanekspor kopi Indonesia tahun 2018. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2018. Statistik Makro Sektor Pertanian : Neraca volumeperdagangan komoditas perkebunan Indonesia, 2013- 2017.Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2018. Statistik Makro Sektor Pertanian : Volume dannilai ekspor kopi di Indonesia, tahun 2013-2017. Jakarta.
Kusmiati, A. dan Nursyamsiah, D.Y. 2015. Kelayakan Finansial Ushatani KopiArabika dan Prospek Pengembangannya di Ketinggian Sedang. Agroekonomi.Vol. 4 (2) : 221-234. http://journal.trunojoyo.ac.id/ agriekonomika/article/view/976. Diakses 9 Februari 2019.
Leimona, B., Aaruzaman,S., Arifin,B., Yasmin,F., Hasan,F., Agusta,H., Sprang, P.,Jaffe, S. dan Frias, J. 2015. Kebijakan dan Strategi “ Pertanian Hijau”Indonesia: Menjembatani Kesenjangan antara Aspirasi dan Aplikasi. WorldAgroforestry Centre (ICRAF)-Southeast Asia Regional Program. Bogor.
Malian, A. H., Rachman, B. dan Djulin, A. 2004. Permintaan Ekspor Dan DayaSaing Panili di Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 22 (1) :
119
26-45. http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/jae/article/download/4789/4049. Diakses 9 Februari 2019.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.
Murtiningrum, F., Asriani, P. S. dan Badrudin, R. 2014 Analisis Daya SaingUsahatani Kopi Robusta (Coffea Canephora) Di Kabupaten RejangLebong. AGRISEP. Vol. 13 (1) :1-14. https://ejournal.unib.ac.id/index.php/agrisep/article/view/676/600. Diakses 9 Februari 2019.
Nitisemito, A. dan U. Burhan. 2004. Wawasan Studi Kelayakan dan EvaluasiProyek. PT Bumi Aksara. Jakarta
Pearson, S., Gotsch, C. dan Bahri, S. 2005. Aplikasi Policy AnalisysMatrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Prawirosentono, S. 2002. Bahasan Komprehensif Strategi PengambilanKeputusan Bisnis. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Ramanda, E., Hasyim, A. I. dan Lestari, D.A.H. 2016. Analisis Daya Saing DanMutu Kopi Di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat. JurnalIlmu-Ilmu Agribisnis.Vol.4 (3) : 253-261. http://jurnal.fp.unila.ac.id/index.php/JIA/article/download/1499/1353. Diakses 5 November 2018.
Salvatore, 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga .Jakarta.
Sambodo, M.T., Ahmad, H. F. dan Purwanto, L A. 2007. Mengurai Benang KusutDaya Saing Indonesia. LIPI Press. Jakarta.
Saptana. 2010. Tinjauan Konseptual Mikro-Makro Daya Saing dan StrategiPembangunan Pertanian. Forum Penelitian Agro-Ekonomi. Vol. 28 (1): 1-8.http://garuda.ristekdikti.go.id/documents/detail/454903. Diakses 15 Oktober2019.
Simatupang, P. 2012. Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian.Jakarta.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soetriono. 2009. Strategi Peningkatan Daya Saing Agribisnis Kopi Robusta denganModel Daya Saing Tree Five. http://pse.litbang.pertanian.go.id>MKP_A1.Diakses pada tanggal 10 Mei 2019.
Sugiarto, Siagian, D., Sunarto, L.S. dan Oetomo, D.S. 2003. Teknik Sampling.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
120
Supriyadi, A., Wahyuningsih, S. dan Awami, S. N. 2014. Analisis PendapatanUsahatani Kopi Rakyat di kecamatan Limbanagan, Kabupaten Kendal.Mediagro. Vol. 10 (1) : 1-13. https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id. Diakses17 Desember 2018.
Suratiyah, K. 2009. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wahyuni, S.S. , Utama, S.P. dan Mulyasari, G. Analisis Kelayakan FinansialUsahatani Kopi Arabika di Desa Bandung Baru, Kecamatan Kabawetan,Kabupaten Kepahiang. AGRISEP. Vol 1(1) : 43-50.https://ejournal.unib.ac.id/index.php/agrisep/article/view/524. Diakses 16November 2019.
Widhyapuri, M.M., Antara, M. dan Dewi, I.A.L. 2018. Keunggulan Komparatifdan Kompetitif Komoditi Kopi Arabika di Desa Ulian Kecamatan Kintamani,Kabupaten Banglu. Jurnal Agribisnis dan Agrowisata. Vol. 7 (2) : 248-255.https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAA/article/view/39255. Dikases 6November 2018.
World Bank Commodity Price Data. 2019. Data Pink Sheet.http://pubdocs.worldbank.org/en/921301546633915027/CMO-Pink-Sheet-January-2019.pdf. Diakses 11 Februari 2019.