asupan energi, zat gizi dan status gizi pada balita ispa ... · primer diperoleh dari hasil...

76
ASUPAN ENERGI, ZAT GIZI DAN STATUS GIZI PADA BALITA ISPA DAN TIDAK ISPA DI KECAMATAN CIPATAT KAB. BANDUNG BARAT Fauzan Bayu Ramdani DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Upload: nguyenbao

Post on 19-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

ASUPAN ENERGI, ZAT GIZI DAN STATUS GIZI PADA BALITAISPA DAN TIDAK ISPA DI KECAMATAN CIPATAT KAB.

BANDUNG BARAT

Fauzan Bayu Ramdani

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKATFAKULTAS EKOLOGI MANUSIAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

ABSTRACT

FAUZAN BAYU RAMDANI. Energy and Nutrient Intake, and Nutritional Status inToddlers with Acute Respiratory Infections (ARI) and without ARI at sub-districtCipatat Bandung Barat. Supervised by HADI RIYADI and LEILY AMALIAFURKON

ARI (acute respiratory infection) is an important health issue that causeshighly enough death of infant and toddlers about 1 among 4 death occured. Eachchild annualy expected 3-6 times infected by ARI Myrnawati research (2003) alsofound about 20-30% infant mortality causes by ARI. Based on the resultsof Indonesian Demographic and Health Survey, there were several factor thatcause respiratory disease such as environment, weather, parents occupation,age, and food intake (Depkes 2002). Main purpose of this research are to know

the differences of energy intake, nutrients and nutritional status of toddlers ARIsuspect and non ARI suspect at Cipatat, Bandung Barat. This study wasimplemented by cross-sectional design. Data collection was conducted inAgustus to September 2010, with a total sample of 60 persons. Examplecollected by purposive with the criteria has an history of respiratory illness duringthe last 2 weeks (as a group of ARI suspect) and has no history of respiratoryinfection (as a group of non ARI suspect) that registered at Puskesmas Cipatat.Category ARI and non ARI was determined based on existing data in PuskesmasCipatat by doctor's diagnosis.

The data collection then processed and analyzed descriptively andstatistically using Miccrosoft excel and SPSS 16.0. Data processing includeediting, coding and data entry. To knowing difference of adequacy level ofenergy, nutrients and nutritional status between ARI suspect and non ARIsuspect was used Indeppendent Sample T-test.

Based on the results of statistical analysis there were significantdifferences between energy intake, protein and zinc on infants ARI suspect andnon ARI suspect (p=0,043) (0,004) and (p=0,036) (p<0,05). There was nosignificant difference between intake of vitamin A, vitamin E, vitamin C and Feamong todlers with ARI and (p>0,05). From the results of anthropometricmeasurements that the nutritional status on the indicators BB/U, TB/U, andBB/TB there was no difference between group of toddler with ARI and withoutARI (p>0,05).

Key word : Energy and Nutrient Intake, Nutritional status, Acute RespiratoryInfections (ARI)

RINGKASANFAUZAN BAYU RAMDANI. Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada BalitaISPA dan Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat. Dibimbing olehHADI RIYADI dan LEILY AMALIA FURKON

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu mengetahui perbedaan asupanenergi, zat gizi dan status gizi pada balita ISPA dan tidak ISPA di KecamatanCipatat Kabupaten Bandung Barat. Adapun tujuan khususnya yaitu (1)Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh, (2) Mengetahuikarakteristik balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (3) Mengetahui tingkatkecukupan energi dan zat gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (4)Mengetahui status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (5)Mengetahui perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita penderita ISPAdan tidak ISPA (6) Mengetahui perbedaan status gizi antara balita penderitaISPA dan tidak ISPA.

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study, yaitu modelpendekatan atau observasi sekaligus pada satu saat. Lokasi penelitian diKecamatan Cipatat di mana terdapat daerah penambangan batu kapur. Lokasidipilih berdasarkan pertimbangan tingginya polusi udara akibat kegiatanpenambangan batu kapur tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustusdan September 2010. Contoh dalam penelitian ini adalah anak balita usia 12-59bulan yang berada di daerah ruang lingkup wilayah kerja Puskesmas Cipatat.Pemilihan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria mempunyai riwayatpenyakit ISPA selama 2 minggu terakhir (sebagai kelompok ISPA) dan tidakmemiliki riwayat ISPA (sebagai kelompok tidak ISPA) serta terdaftar diPuskesmas Cipatat. Kategori ISPA dan tidak ISPA ditetapkan berdasarkan datayang ada di Puskesmas Cipatat berdasarkan hasil diagnosa dokter. Jumlahcontoh masing-masing kelompok adalah 30 sehingga total 60 anak balita.

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Dataprimer diperoleh dari hasil wawancara dengan alat bantu kuesioner. Data primermeliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh, data kebiasaan merokokdalam rumah, data karakteristik individu contoh, data konsumsi makanan sertadata antropometri. Data sekunder berasal dari puskesmas yaitu data profilpuskesmas dan data kejadian penyakit ISPA selama 2 minggu terakhir. Datadiolah dan dianalisis secara deskriptif dan statistik. Program komputer yangdigunakan adalah Miccrosoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for Windows.Proses pengolahan data meliputi editing, coding, dan entry data. Untukmengetahui perbedaan tingkat kecukupan energi, zat gizi dan status gizi antarapenderita ISPA dan tidak ISPA menggunakan uji Independent Samples T-Test.

Sebanyak 36,7% tingkat pendidikan orang tua contoh pada balita ISPAhanya sampai tingkat SLTP, sedangkan pada balita tidak ISPA (40%) sampaitingkat SLTA. Sebagian besar 60% jenis pekerjaan ayah contoh pada balita ISPAadalah buruh pabrik, sedangkan pada balita tidak ISPA (33,3%) sebagai buruhdan pegawai swasta. Besar keluarga contoh adalah kategori keluarga kecil padabalita ISPA (50%) sedangkan pada balita tidak ISPA (73,3%). Tingkatpendapatan berdasarkan BPS pusat (2004) yaitu sebesar Rp. 139.000,- perkapita per bulan, bahwa sebagian besar 63,3% rumah tangga balita ISPAtergolong miskin, sedangkan balita tidak ISPA (63,3%) tergolong tidak miskin.Sebagian besar 76,7% anggota keluarga contoh pada balita ISPA mempunyaikebiasaan merokok dalam rumah, sedangkan pada balita tidak ISPA (63,3%).

Mayoritas 83,3% responden yang menderita ISPA berumur 12-36 bulan,sedangkan balita tidak ISPA (80%). Berdasarkan jenis kelaminnya sebagian

besar 63,3% responden laki-laki menderita ISPA, sedangkan pada balita tidakISPA (56,7%) responden adalah perempuan.

Berdasarkan tingkat kecukupan energi diketahui bahwa sebagian besarbalita ISPA dan balita tidak ISPA masing-masing 56,7% dan 40% mengalamidefisiensi berat. Dari hasil uji statistik terdapat perbedaan yang signifikan antaraasupan energi pada balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Tingkat kecukupanprotein pada balita ISPA yang tergolong mengalami defisiensi berat adalah 40%,sedangkan pada balita tidak ISPA (43,3%) mengalami tingkat kecukupan lebih.Ada perbedaan yang signifikan antara asupan protein pada balita ISPA dan tidakISPA (p<0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin A mengalami defisensiberat, pada balita ISPA (80%) sedangkan pada balita tidak ISPA (70%). Tidakada perbedaan yang signifikan antara asupan vitamin A pada balita ISPA dantidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin E mengalamidefisiensi berat, pada balita ISPA (93,3%) sedangkan pada balita tidak ISPA(96,7%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan vitamin E padabalita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan vitaminC mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA sebesar 70% sedangkan padabalita tidak ISPA sebesar 63,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan antaraasupan vitamin C pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besartingkat kecukupan seng mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA maupunbalita tidak ISPA sebesar 96,7%. Ada perbedaan yang signifikan antara asupanseng pada balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Sebagian besar tingkatkecukupan besi mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA sebesar 76,7%sedangkan pada balita tidak ISPA sebesar 63,3%. Tidak ada perbedaan yangsignifikan antara asupan besi pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).

Sebagian besar 56,7% status gizi contoh berdasarkan BB/U mengalamistatus gizi normal, baik pada balita ISPA maupun tidak ISPA. Tidak adaperbedaan yang signifikan antara status gizi berdasarkan BB/U pada balita ISPAdan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar contoh mengalami status gizi normalberdasarkan TB/U, pada balita ISPA (60%) sedangkan pada balita tidak ISPA(70%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi berdasarkan TB/Upada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar contoh mengalamistatus gizi normal berdasarkan BB/TB, pada balita ISPA sebesar 80% sedangkanpada balita tidak ISPA (83,3%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antarastatus gizi berdasarkan BB/TB pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan yang signifikan antara asupanenergi, protein, dan seng pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini dapatdikatakan bahwa ISPA mempengaruhi terhadap asupan energi, protein, danseng. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa asupan vitamin A, vitamin E.vitamin C, dan Fe dalam kategori defisiensi berat sehingga perlu untukmeningkatkan asupan. Dengan demikian para orang tua balita sebaiknyamelakukan pencegahan dengan mengupayakan kebutuhan zat gizi agarkecukupan terpenuhi, dan menghilangkan kebiasaan merokok dalam rumah.Untuk Puskesmas diharapkan melakukan penyuluhan kepada orang tua tentangpentingnya makanan bergizi untuk memenuhi kecukupan gizi anak dan bisamenekan angka kejadian ISPA pada balita agar tidak menjadi akut.

ASUPAN ENERGI, ZAT GIZI DAN STATUS GIZI PADABALITA ISPA DAN TIDAK ISPA DI KECAMATAN CIPATAT KAB.

BANDUNG BARAT

FAUZAN BAYU RAMDANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKATFAKULTAS EKOLOGI MANUSIAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

Judul Skripsi : Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita ISPA dan

Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat

Nama : Fauzan Bayu RamdaniNrp : I14086012

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS

NIP. 19610615 198603 1004

Dosen Pembimbing II

Leily Amalia Furkon, STP, M.Si

NIP. 19721209 200501 2001

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS

NIP. 19621218 198703 1001

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUPPenulis lahir di Bandung pada tanggal 14 Mei 1987, penulis merupakan

anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan bapak Suwinda dan ibu Teti

Suryati.

Pendidikan formal pertama di tempuh pada tahun 1991-1993 di TK

Pertiwi Desa Rajamandala. Tahun 1993 memulai pendidikan di SD Negeri RAMA

I selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2002 penulis menamatkan pendidikan di

SLTP Negeri 1 Cipatat. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 9

Bandung hingga tahun 2005. Selama di SMA penulis aktif dalam kegiatan

organisasi seperti pecinta alam dan kegiatan olahraga.

Pada tahun 2005 penulis diterima di Poltekkes DEPKES Bandung

Jurusan Gizi. Selama kuliah di Jurusan Gizi, penulis aktif dalam kegiatan

kemahasiswaan seperti Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), dan ikatan remaja

masjid. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan studi pada Program

Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis telah menyelesaikan penelitian akhir dan menyusun skripsi di

bawah bimbingan Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS dan Ibu Leily Amalia Furkon, STP, M.Si.

dengan judul “Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita ISPA dan

Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat”.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat,

kasih sayang, kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Asupan Energi, Zat Gizi

dan Status Gizi pada Balita ISPA dan Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat

Kabupaten Bandung Barat”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam

memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian

Bogor. Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:

1. Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S sebagai dosen pembimbing satu skripsi yang telah

memberikan bimbingan selama penelitian, penulisan dan penyelesaian skripsi

ini.

2. Leily Amalia Furkon, STP, M.Si sebagai dosen pembimbing dua skripsi yang

telah memberikan bimbingan selama penelitian, penulisan dan penyelesaian

skripsi ini.

3. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S sebagai dosen pembimbing akademik.

4. Ibu Mira Dewi, S.Ked sebagai pemandu seminar dan penguji skripsi, yang

telah memberikan masukan dan saran.

5. Orangtua (Bapak dan Ibu), kakak dan adik-adik atas kasih sayang, doa dan

bantuannya baik moril maupun materiil sehingga penulis bisa menyelesaikan

skripsi ini.

6. Semua pihak yang belum tertulis diatas yang telah memberikan bimbingan

dan bantuannya dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi

ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang

membangun dari semua pihak yang membaca. Penulis mengucapakan terima

kasih, semoga Allah SWT, senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita

semua, Aamiin.

Bogor, Januari 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

DAFAR TABEL............................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR....................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi

PENDAHULUAN

Latar Belakang ................................................................................... 1

Tujuan ................................................................................................ 3

Hipotesis ............................................................................................. 3

Kegunaan............................................................................................ 3

TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut ........................................................ 4

Status Gizi........................................................................................... 6

Konsumsi Pangan .............................................................................. 9

Energi.................................................................................................. 10

Zat-zat Gizi yang Berperan dalam Imunitas......................................... 11

Angka Kecukupan Gizi ........................................................................ 18

KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................ 19

METODOLOGI PENELITIAN

Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 21

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ................................................... 21

Jenis dan Cara Pengumpulan Data .................................................... 22

Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ 23

Definisi Operasional ........................................................................... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran umum Lokasi Penelitian .................................................... 26

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh.................................... 26

Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga ............................................... 30

Karakteristik Individu ........................................................................... 32

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi .............................................. 34

Status Gizi .......................................................................................... 46

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ......................................................................................... 51

Saran .................................................................................................. 52

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 53

LAMPIRAN .................................................................................................. 57

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kategori Status Gizi Pada Berbagai Ukuran Antropometri......... 7Tabel 2. Angka Kecukupan Gizi Vitamin C yang di Anjurkan Pada

Berbagai Kelompok Usia............................................................. 16Tabel 3. Bahan makanan sumber besi..................................................... 18Tabel 4. Jenis peubah dan cara pengumpulan data................................. 22Tabel 5. Cara pengolahan data................................................................ 23Tabel 6. Kategori Status Gizi Balita.......................................................... 24Tabel 7. Sebaran orang tua (ayah) contoh berdasarkan tingkat

pendidikan..................................................................................... 27Tabel 8. Sebaran jenis pekerjaan ayah contoh......................................... 28Tabel 9. Sebaran besar keluarga pada contoh......................................... 29Tabel 10. Sebaran pendapatan keluarga contoh........................................ 30Tabel 11. Sebaran kebiasaan merokok dalam rumah contoh.................... 31Tabel 12. Sebaran umur contoh................................................................. 32Tabel 13. Sebaran jenis kelamin contoh..................................................... 33Tabel 14. Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan

tidak ISPA menurut jenis kelamin per hari.................................. 33Tabel 15. Rata-rata konsumsi pangan sumber energi per hari................... 34Tabel 16. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi............. 35Tabel 17. Rata-rata konsumsi pangan sumber protein per hari.................. 36Tabel 18. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein............ 37Tabel 19. Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin A per hari 38Tabel 20. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A ....... 39Tabel 21. Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin E per hari 40Tabel 22. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin E........ 40Tabel 23. Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin C per hari 41Tabel 24. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C........ 42Tabel 25. Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber seng per hari....... 43Tabel 26. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan seng............... 43Tabel 27. Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber besi per hari........ 44Tabel 28. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan besi................ 45Tabel 29. Sebaran status gizi contoh menurut BB/U.................................. 47Tabel 30. Sebaran status gizi contoh berdasarkan TB/U........................... 48Tabel 31. Sebaran status gizi contoh berdasarkan BB/TB......................... 49

DAFTAR GAMBARHalaman

Gambar 1. Bagan interelasi antara kurang vitamin A (KVA) dengan

infeksi........................................................................................ 14

Gambar 2. Kerangka pemikiran hubungan konsumsi dengan kejadian

penyakit ISPA pada balita......................................................... 20

Gambar 3. Kerangka cara penarikan contoh.............................................. 21

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian.................................................................. 56

Lampiran 2. Surat Pernyataan Kesediaan Mengikuti Penelitian................... 57

Lampiran 3. Kuesioner Karakteristik Soisal Ekonomi................................... 58

Lampiran 4. Form Food Recall..................................................................... 59

Lampiran 5. Output Analisi Data................................................................... 60

PENDAHULUAN

Latar BelakangArah dan kebijakan pembangunan bidang kesehatan, diantaranya

menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk

meningkatkan derajat kesehatan termasuk didalamnya keadaan gizi

masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup serta kecerdasan

rakyat pada umumnya (Suhardjo 2003). Masalah gizi yang banyak

dihadapi Indonesia meliputi gizi kurang atau yang mencakup susunan

hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan yang tidak

mencukupi kebutuhan. Anak balita (1-5 tahun) merupakan kelompok umur

yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (KEP) atau termasuk

salah satu kelompok masyarakat yang rentan gizi (Sedioetama 2000).

Menurut Sediaoetama (2000) bahwa anak balita akan mengalami

proses pertumbuhan yang sangat pesat, sehingga memerlukan zat-zat

makanan yang relatif lebih banyak dengan kualitas yang lebih tinggi. Hasil

pertumbuhan pada saat dewasa, sangat bergantung dari kondisi gizi dan

kesehatan sewaktu masa balita. Di negara berkembang anak-anak umur

0-5 tahun merupakan golongan yang paling rawan terhadap gizi.

Kelompok yang paling rawan di sini adalah periode pasca penyapihan

khususnya kurun umur 1-3 tahun. Anak-anak biasanya menderita

bermacam-macam infeksi serta berada dalam status gizi rendah (Suhardjo

2003)Status gizi rendah akibat masalah gizi pada anak, akan berpengaruh

terhadap daya tahan tubuh yang rendah dan rentan terhadap serangan penyakit

infeksi, seperti diare, flu, ISPA, campak, dll. Apabila kejadian penyakit infeksi

tidak segera ditangani maka akan mempengaruhi tingginya angka kematian

balita. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, angka

kejadian infeksi saluran pernafasan akut di Jawa Barat pada anak usia 0-5 tahun

pada tahun 2003 sebesar 5% (Dinkes Jabar 2005).

Menurut Sediaoetama (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi status

gizi seseorang adalah konsumsi makanan dan infeksi. Konsumsi makan dan

infeksi tersebut keduanya saling berkaitan. Konsumsi makan yang kurang dapat

menyebabkan daya tahan tubuh menjadi menurun, sehingga mudah untuk

terjadinya infeksi. Begitu juga apabila sudah terjadi infeksi, maka nafsu makan

menurun dan menyebabkan konsumsi makan berkurang, sehingga terjadi

gangguan salah satunya adalah zat gizi baik makro maupun mikro.

ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) merupakan masalah kesehatan

yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi

yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6

episode ISPA setiap tahunnya. Penelitian Myrnawati (2003) juga menemukan

bahwa 20-30% kematian balita disebabkan oleh ISPA (diacu dalam Zyiefa 2009).

Berdasarkan hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia ada beberapa

faktor yang menyebabkan penyakit ISPA diantaranya adalah lingkungan, cuaca,

pekerjaan orang tua, umur, dan konsumsi makanan (Depkes 2002).

Menurut studi longitudinal yang dilakukan oleh Yoon et al (tahun 1997)

pada anak dibawah 2 tahun di metro Cebu-Philiphina menyatakan bahwa

terdapat pengaruh status gizi kurang terhadap kematian anak di bawah dua

tahun. Penelitian ini juga membuktikan bahwa status gizi kurang (berdasarkan

BB/U) berhubungan dengan faktor resiko terjadinya ISPA pada anak. Penurunan

berat badan akan meningkatkan 1,7 kali resiko terjadinya ISPA (AJCN 1997).

Pertambangan kapur Gunung Masigit terletak di daerah perbukitan

di Cipatat, Bandung, Jawa Barat. Pertambangan kapur ini merupakan

pertambangan tradisional dengan perilaku kerja pekerja yang berisiko

sehingga pekerja pertambangan memiliki risiko tinggi untuk terkena

penyakit ISPA akibat terpajan oleh debu kapur. Dari hasil penelitian yang

dilakukan oleh Eka (2009) sebanyak 56% pekerja mengalami gejala ISPA.

Debu yang cukup banyak dan menimbulkan pencemaran udara bagi

masyarakat sekitar dihasilkan dari penambangan batu kapur yang terdiri

dari pengadaan bahan baku, pengangkutan bahan, dan pada saat

pembakaran bahan. Aktivitas pengolahan batu kapur di desa Citatah

Kecamatan Cipatat sudah dilakukan sejak tahun 1960. Selain memiliki

fungsi sebagai penampung air batuan di kawasan Citatah, pengolahan

batu kapur juga memiliki manfaat ekonomi, yaitu batu kapur yang bisa

dijual dan dijadikan industri kerajinan marmer (Yusuf 2010). Dengan

demikian meskipun memiliki manfaat ekonomi, dampak dari

penambangan batu kapur harus mendapat perhatian yang lebih serius

terutama ISPA pada balita. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai asupan energi, zat gizi, dan status gizi

pada balita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung

Barat.

TujuanTujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan

asupan energi, zat gizi, dan status gizi pada balita ISPA dan tidak ISPA di

Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat.

Tujuan KhususSecara khusus penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:

1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh penderita

ISPA dan tidak ISPA

2. Mengetahui karakteristik balita penderita ISPA dan tidak ISPA

3. Mengetahui asupan dan tingkat kecukupan energi serta zat gizi

antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA

4. Mengetahui status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA

5. Mengetahui perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita

penderita ISPA dan tidak ISPA

6. Mengetahui perbedaan status gizi antara balita penderita ISPA dan

tidak ISPA

Hipotesis1. Ada perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita penderita

ISPA dan tidak ISPA

2. Ada perbedaan status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak

ISPA

KegunaanPenelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi kepada

pembaca pada umumnya dan masyarakat Kecamatan Cipatat pada

khususnya mengenai kondisi tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan

status gizi, kaitannya dengan kejadian ISPA pada balita.

TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)Infeksi saluran pernapasan atas di kenal sebagai ISPA adalah penyakit

infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring,

atau laring (Algsagaff et al 1998). ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) yang

diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI)

mempunyai pengertian sebagai berikut:

a. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli

beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah

dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan

bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-

paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini,

jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan.

b. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.

Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk

beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini

dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang

disebabkan oleh infeksi jasad renik bakteri, virus maupun riketsia tanpa atau

disertai radang parenkim paru. ISPA adalah penyakit penyebab angka absensi

tertinggi, lebih dari 50% semua angka tidak masuk kerja/sekolah karena sakit

ISPA (Algsagaff et al 1998).

Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptokokus, stafilokokus,

pnemokokus, hemofilus, korinekbakterium dan bordetella. Virus penyebab ISPA

antara lain adalah golongan miksovirus, adenovirus, pikornavirus, mikoplasma,

hipervirus dan lain-lain.

Gejala ISPA dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu ringan,

sedang dan berat. Gejala ringan ditandai dengan batuk, serak yaitu anak

bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara

atau menangis), pilek yaitu mengeluarkan lendir / ingus dari hidung, panas, atau

demam dengan suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba dengan

punggung tangan terasa panas, perlu berhati-hati karena jika anak menderita

ISPA ringan sedangkan ia mengalami panas badannya lebih dari 390C, gizinya

kurang umurnya 6 bulan atau kurang maka anak tersebut menderita ISPA

sedang (Depkes 2002).

Gejala sedang ditandai jika gejala seperti pernafasan lebih dari 50x

permenit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40x

permenit pada anak yang berumur satu tahun lebih. Cara menghitung

pernafasan ialah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit.

Untuk menghitung dapat digunakan arloji, suhu lebih dari 390C (diukur dengan

thermometer), tenggorokan berwarna merah, timbul bercak campak, telinga sakit

atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga, pernafasan berbunyi seperti

mengorok (mendengkur), pernafasan berbunyi menciut-ciut (Depkes 2002).

Gejala ISPA berat yang ditandai dengan bibir atau kulit membiru, lubang

hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas, anak tidak

sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan berbunyi seperti mengorok dan

anak tampak gelisah, sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas, nadi lebih

cepat dari 160x permenit atau tidak teraba, tenggorokkan berwarna merah

(Depkes 2002).

Faktor risiko yaitu faktor yang mempengaruhi atau memudahkan

terjadinya penyakit, tiga faktor risiko infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), yaitu

: keadaan sosial ekonomi dengan cara mengasuh atau mengurus anak,

keadaan gizi dan cara pemberian makanan, kebiasaan merokok dan

pencemaran udara (Depkes 2002).

Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan

dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan

dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat

iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga

menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh

bakteri di saluran pernafasan. Akibat dari hal tersebut akan menyebabkan

kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat

dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi

saluran pernafasan (Mukono 1997)

Faktor yang meningkatkan morbiditas, yaitu kurang gizi, BBLR,

pemberian ASI tidak memadai, polusi udara, kepadatan dalam rumah

kekurangan vitamin A dan vitamin C. Sedangkan faktor yang meningkatkan

mortalitas, yaitu tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat

pendidikan ibu rendah, jangkauan pelayanan kesehatan rendah.

ISPA bila mengenai saluran pernafasan bawah, khususnya pada bayi,

anak-anak dan orang tua, memberikan gambaran klinik yang berat dan jelek,

berupa bronchitis dan banyak berakhir dengan kematian. ISPA disebabkan

karena virus maka wanita lebih rentan terkena dibandingkan dengan laki-laki

namun pada waktu mensis mereka lebih tahan terhadap infeksi virus (Depkes

2002).

Status GiziStatus gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara

asupan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh. Status gizi dapat dikatakan baik

apabila pola makan kita seimbang artinya banyak dan jenis makanan yang kita

makan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Status gizi seseorang dipengaruhi

oleh banyak faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya

setempat. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang

cukup akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola

makannya sehari-hari (Depkes 2002).

Kondisi kesehatan anak saat diperiksa lebih banyak yang sakit pada

kelompok status gizi bawah. Risiko kurang gizi juga lebih tinggi secara nyata bila

konsumsi semua zat gizi pada anak lebih rendah. Riwayat kelahiran juga

berperan dalam risiko kurang gizi antara lain tempat lahir dan penolong

persalinan (Depkes 2002).

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan balita ada dua macam yaitu

faktor dalam yaitu jumlah dan mutu makanan, kesehatan balita (ada atau

tidaknya penyakit) sedangkan faktor luarnya yaitu tingkat ekonomi, pendidikan,

perilaku orang tua atau pengasuh, sosial budaya / kebiasaan, kesediaan bahan

makanan di rumah tangga (Depkes 2002).

Banyak faktor yang mempengaruhi baik buruknya keadaan seorang

balita. Keadaan gizi pada kehamilan merupakan penentu utama bagi

kelangsungan hidup anak. Growth faltering (menurunnya pertumbuhan)

merupakan tanda terjadinya keadaan gizi yang tidak baik. Kejadian ini bisa

disebabkan oleh dua hal yaitu karena asupan makan yang salah atau tidak

memenuhi gizi seimbang dan karena penyakit infeksi (Sumardi 1995 diacu dalam

Fitri 2008).

Hubungan yang signifikan antara status gizi dengan ISPA tidak lain

karena status gizi sangat berpengaruh terhadap status imun atau kekebalan

anak. Kurang gizi pada anak akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan

tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan

infeksi menjadi turun. Hal inilah yang menyebabkan anak sangat potensial

terkena penyakit infeksi seperti ISPA (Siswatiningsih 2001 diacu dalam

Maitatorum 2009).

Penelitian yang dilakukan Smith et al (1991) menyebutkan bahwa anak

yang mengalami kurang gizi kronik berdampak terhadap sel imun mediasi dan

produksi antibodi, sehingga memperbesar peluang terjadinya penyakit infeksi.

Konsentrasi antibodi antipneumococcal pada anak kurang gizi juga sangat

rendah, sehingga meningkatkan risiko terserang infeksi saluran pernafasan

seperti ISPA (diacu dalam Maitatorum 2009). Disamping kurang gizi, anak yang

mengalami gizi lebih juga mengalami risiko lebih tinggi terkena penyakit infeksi

jika dibandingkan dengan status gizi normal. Seperti yang dikemukakan oleh

Chandra (1991) yang menyatakan bahwa anak dengan status gizi lebih

mempunyai penurunan jumlah limfosit, penurunan aktivitas sel Natural-killer (sel-

NK) dan penurunan stimulasi limposit T jika dibandingkan dengan anak status

gizi normal. Penurunan sistem kekebalan tubuh inilah yang menyebabkan anak

potensial terkena penyakit infeksi (diacu dalam Maitatorum 2009).

Parameter antropometri merupakan dasar dari penelitian status gizi.

Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa

indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur

(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan

(BB/TB) (Arisman 2003).

Tabel 1 Kategori Status Gizi Pada Berbagai Ukuran Antropometri

Indeks KategoriBB/U Gizi lebih : > 2.0 SD

Gizi baik : - 2.0 SD s/d + 2.0 SDGizi kurang : < - 2 SDGizi buruk : < - 3 SD

TB/U Normal : ≥ - 2 SDPendek/stunted : < - 2 SD

BB/TB Gemuk : > 2.0 SDNormal : - 2 SD s/d + 2 SDKurus/wasted : < - 2.0 SDSangat kurus : < - 3 SD

Sumber : Depkes (2000), Arisman (2003)

Berat Badan menurut Umur (BB/U)Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran

massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang

mendadak, misalnya karena terserang infeksi, menurunnya nafsu makan atau

menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter

antropometri yang labil. Dalam keadaan kesehatan baik dan keseimbangan

antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan akan

berkembang mengikuti pertambahan umur (Supariasa 2001).

Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal terdapat dua kemungkinan

perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang secara cepat atau lebih

lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka

indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara

pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik badan yang labil, maka indeks

BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional

status) (Supariasa 2001).

Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring

dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,

relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang pendek.

Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu

relatif lama (Supariasa 2001).

Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks ini

menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan

bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status masa lampau, juga

lebih erat kaitanya dengan status sosial ekonomi (Supariasa 2001).

Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan berat badan. Dalam

keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan

tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Jelliefe pada tahun 1966 telah

memperkenalakan indeks ini untuk mengindentifikasi status gizi (Supariasa 2001)

Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi

saat ini (sekarang). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, indeks BB/TB mempunyai

beberapa kelebihan yaitu: tidak memerlukan data umum, dapat membedakan

proporsi badan (gemuk, normal atau kurus) dan kelemahannya adalah : tidak

dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan

atau kelebihan tinggi badan menurut umumya, karena faktor umur tidak

dipertimbangkan, dalam prakteknya sering mengalami kesulitan dalam

melakukan pengukuran panjang/tinggi badan pada kelompok balita.

Membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relatif lebih lama (Supariasa

2001).

Konsumsi PanganMenurut Riyadi (2006), konsumsi pangan seseorang atau sekelompok

orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada empat faktor utama yang

mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk

keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga,

pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan.

Sumarwan (2002) menyatakan bahwa memahami usia konsumen adalah

penting karena konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan

jasa yang berbeda pula. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan

selera dan kesukaan terhadap merk. Seorang yang berumur relatif muda akan

relatif lebih cepat dalam menerima sesuatu yang baru.

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan

seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang

lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas dibanding dengan orang yang

berpendidikan rendah (Hardinsyah 1985 diacu dalam Permana 2006).

Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang

paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Terdapat hubungan yang

erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang

menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan

masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Apabila

penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada umumnya juga

meningkat mutunya (Suhardjo 1989).

Menurut Suhardjo (1989), keluarga yang berpenghasilan rendah

menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk pangan dan keluarga

yang berpenghasilan tinggi akan menurunkan pengeluaran untuk pangan.

Keluarga yang berpenghasilan rendah akan rendah pula jumlah uang yang

dibelanjakan untuk pangan. Jika penghasilan menjadi semakin baik, jumlah uang

yang dipakai untuk membeli makanan dan bahan makanan juga akan meningkat

sampai tingkat tertentu dimana uang tidak dapat bertambah secara berarti.

Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan

pengeluaran untuk konsumsi pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak

kelahiran antar anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah.

Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk

memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi

sebagian dari anggota keluarga itu (Martianto dan Ariani 2004 diacu dalam

Rosyida 2010).

EnergiManusia membutuhkan energi untuk menjalani hidup, menunjang

pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi tersebut diperolah dari

karbohidrat, protein dan lemak yang ada dalam bahan makanan (Almatsier

2002). Manusia yang kurang makan akan lemah, baik daya kegiatan, pekerjaan-

pekerjaan fisik maupun daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan

yang diterima tubuhnya yang dapat menghasilkan energi (Marsetyo 2005).

Secara berturut-turut energi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan

tersebut adalah sebagai berikut : untuk memenuhi kebutuhan energi basal, untuk

aktifitas tubuh, untuk keperluan khusus (Moehji 2002).

Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO (1985) adalah konsumsi

energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi

seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat

aktifitas yang sesuai dengan kesehatan jangka panjang, dan yang

memungkinkan pemeliharaan fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi

(Almatsier 2002).

Kebutuhan energi setiap anak berbeda-beda, walaupun pada umur yang

sama, terutama oleh adanya perbedaan aktifitas fisik (Pudjiadi 2000). Pada anak

masa sekolah, aktifitas anak lebih banyak, baik di sekolah maupun di luar

sekolah, sehingga anak perlu energi lebih banyak. Pertumbuhan anak lambat

tetapi pasti, sesuai dengan banyaknya makanan yang dikonsumsi anak

(Soetjiningsih 2002).

Energi yang digunakan untuk melakukan aktifitas dalam kehidupan

sehari-hari didapatkan oleh tubuh dari energi yang dilepaskan di dalam tubuh

pada proses pembakaran zat makanan (Irianto 2004). Setelah melakukan

aktifitas fisik yang berat, seseorang akan mengalami proses oksidasi dalam sel

yang lebih aktif dibandingkan apabila tidak melakukan gerak fisik yang berat.

Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya energi basal metabolisme (Suhardjo

1992).

Zat-zat Gizi yang Berperan Dalam ImunitasProtein

Protein merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia setelah air

(Winarno 2002), seperlima bagian tubuh adalah protein, setengahnya ada di

dalam otot, seperlimanya di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di

dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Protein

mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu

membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2004).

Khusus untuk anak-anak, asupan protein di perlukan lebih tinggi daripada orang

dewasa, karena mereka masih dalam masa pertumbuhan (Irianto 2004).

Fungsi protein diantaranya untuk membantu pertumbuhan, pemeliharaan

dan membangun enzim, hormon dan imunitas, oleh sebab itu protein sering kali

disebut sebagai zat pembangun. Protein dibagi dua, yakni berasal dari hewani

dan nabati. Sumber pangan yang mengandung protein antara lain ikan, telur,

daging, susu dan kacang-kacangan (Almatsier 2004).

Hasil kajian pemantauan konsumsi makanan yang dilaksanakan tahun

1995 sampai 1998 di wilayah pedesaan prevalensi rumah tangga defisit protein

pada tingkat rumah tangga sudah tinggi pada tahun 1995. Mulai dengan

prevalensi sebesar 35% rumah tangga defisit protein, kemudian berkurang

menjadi 24% pada tahun 1996, akan tetapi terjadi kecenderungan meningkat dari

tahun 1996 ke tahun 1998 (Latief dkk dalam WKNPG VII 2000).

Vitamin ADiantara beberapa jenis zat gizi, vitamin A merupakan zat gizi yang telah

banyak terbukti memiliki keterkaitan dengan status imunitas. Vitamin A

merupakan senyawa poliisoprenoid yang mengandung cincin sikloheksenil.

Vitamin A atau retinol merupakan istilah generik bagi semua senyawa dari

sumber hewani yang memperlihatkan aktivitas biologik vitamin A. Senyawa

tersebut disimpan dalam bentuk ester retinol di dalam hati. Di dalam sayur,

vitamin A berwujud sebagai provitamin dalam bentuk pigmen β-karoten berwarna

kuning (Murray 2003). β-karoten merupakan antioksidan dan mempunyai peran

dalam menangkap radikal bebas peroksi di dalam jaringan pada tekanan parsial

oksigen yang rendah (Murray 2003).

Radikal bebas yaitu atom atau molekul yang memiliki satu atau lebih

elektron yang tidak berpasangan. Adanya kecenderungan memperoleh elektron

dari substansi lain menjadikan radikal bebas bersifat sangat reaktif. Namun, tidak

semua jenis oksigen reaktif merupakan radikal bebas, diantaranya oksigen

singlet (tunggal) dan H2O2 (Murray 2003). Karotenoid memperlihatkan

kemampuannya dalam menghambat reaksi radikal bebas. β-caroten sangat

efisien menurunkan radikal trichloromethylperoxyl (Sies dan Stahl 1995). Secara

biologis karotenoid kurang aktif daripada retinol. Selain itu, sumber dietari

karotenoid juga kurang diproses dan diserap secara efisisen di usus. Maka,

untuk mencapai efek yang serupa dengan retinol, β-karoten vitamin A harus

dicerna sebanyak enam kali lebih banyak (melalui massa makanan) (Sommer

2004).

Sifat kimia vitamin A, yaitu kristal alkohol berwarna kuning dan larut

dalam lemak atau pelarut lemak, stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Namun

demikian, vitamin A mudah sekali teroksidasi oleh udara dan akan rusak jika

dipanaskan pada suhu tinggi bersama sinar, udara, dan lemak yang sudah tengik

(Winarno 2002).

Vitamin A penting untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh,

kesehatan mata, melawan bakteri dan infeksi, mempertahankan kesehatan

jaringan epitel, membantu pembentukkan tulang dan gigi (Hartono 2000).

Antioksidan juga merupakan bahan yang menghambat atau mencegah

keruntuhan, kerusakan atau kehancuran akibat oksidasi (Youngson 2005).

Aktivitas enzim antioksidan meningkat pada alveolar macrophages perokok

muda tanpa gejala, tapi sel yang serupa dari perokok umur tua memperlihatkan

penurunan aktivitas dan terjadi ketidakseimbangan oksidan-antioksidan (Sridhar

1995).

Selain itu, antioksidan juga merupakan suatu senyawa yang dapat

menghambat atau mencegah kerusakan karena oksidasi pada suatu molekul

target. Perusakan oksidatif adalah serangan dari molekul radikal bebas

(superoksida, hidroksil radikal) atau molekul non radikal (singlet oksigen dan

ozon) kepada molekul biologis (Sitompul 2003). Radikal bebas dapat terbentuk

melalui pernafasan. Saat kita bernafas, akan masuk oksigen (O2) yang sangat

dibutuhkan oleh tubuh untuk proses pembakaran gula menjadi CO2, H2O, dan

energi. Namun demikian, dengan bernafas atau oksigen yang berlebihan saat

olahraga terjadi reaksi yang kompleks dalam tubuh dan menghasilkan produk-

produk sampingan berupa radikal bebas, yaitu radikal oksigen singlet, radikal

peroksida lipid, radikal hidroksil, dan radikal superoksida. Semua radikal bebas

oksigen ini sangat cepat merusak jaringan-jaringan sel. Sehingga oksigen dapat

menjadi pemasok radikal bebas. Saat kita menghirup udara terpolusi oleh asap

rokok dan asap pembakaran bensin mobil dapat memicu terbentuknya radikal

bebas seperti radikal oksigen singlet, yang dapat merusak jaringan paru

(Kumalaningsih 2006).

Peroksidasi lipid merupakan mekanisme umum kerusakan jaringan oleh

radikal bebas yang diketahui bertanggungjawab pada kerusakan sel dan

menyebabkan banyak kejadian patologis. Selama inflamasi paru, peningkatan

jumlah ROS (Reactive Oxygen Species) dan RNI (Reactive Nitrogen

Intermediates) diproduksi sebagai konsekuensi letusan phagocytic pernafasan.

Produksi Reactive Oxygen Species (ROS) oleh phagocytes aktif dapat

disebabkan oleh mikrobakteria. Meskipun hal tersebut merupakan bagian penting

dalam pertahanan melawan mikrobakteria, hasil perluasan ROS dapat

mengakibatkan luka pada jaringan dan inflamasi. Hal ini dapat berkontribusi lebih

jauh pada immunosuppression, terutama dengan kapasitas antioksidan yang

tidak berpasangan, diantaranya pasien yang terinfeksi HIV. Selain itu, malnutrisi

yang terjadi pada pasien TB dapat menambah kapasitas antioksidan yang tidak

berpasangan dalam pasien tersebut (Reddy et al 2004).

Reactivate oxygen species terjadi pada jaringan dan dapat merusak DNA,

protein, karbohidrat, dan lemak. Reaksi penghapusan yang potensial diawasi

oleh sistem antioksidan enzimatik dan non enzimatik yang menghilangkan

prooksidan dan mencari radikal bebas. Kemampuan karotenoid larut lemak

adalah untuk memadamkan molekul oksigen singlet dapat menjelaskan

beberapa sifat karotenoid, tidak tergantung pada aktivitas provitamin A (Mascio

et al 1991).

Kaitan antara Vitamin A dan Kejadian InfeksiMenurut Supariasa (2002) Penyakit infeksi berkaitan dengan keadaan gizi

kurang sehingga merupakan hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat

memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk akan mempermudah

terjadinya infeksi. Berikut adalah bagan kaitan antara vitamin A dan kejadian

infeksi.

Gambar 1 Bagan interelasi antara kurang vitamin A (KVA) dengan infeksi

Tingkat keparahan penyakit selalu berkorelasi dengan tingkat defisiensi

vitamin A. Kematian selalu berhubungan dengan infeksi diantaranya pneumonia

dan diare berat. Pemberian vitamin A dosis besar dapat menurunkan risiko

kematian akibat infeksi (Rolfes et al 2006). Untuk mengurangi pengaruh infeksi

dan memperbaiki status gizi, pasien dianjurkan untuk menjalani diet yang

dianjurkan oleh ahli gizi.

Vitamin EFungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam

lemak dan mudah memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur

cincin ke radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat

merusak, yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Bila menerima

hidrogen, radikal bebas menjadi tidak reaktif. Pembentukan radikal bebas terjadi

didalam tubuh dalam proses metabolisme aerobik normal pada waktu oksigen

secara bertahap direduksi menjadi air. Radikal bebas yang dapat merusak itu

juga diperoleh tubuh dari benda-benda polusi, ozon dan asap rokok (Almatsier

2004).

Walaupun vitamin E adalah antioksidan larut lemak utama di dalam

membran sel, konsentrasinya sangat kecil yaitu satu molekul per 2000-3000

molekul fosfolipida. Diduga terjadi regenerasi dengan bantuan vitamin C atau

reduktase lain yang mereduksi radikal vitamin E ke bentuk aslinya. Sumber

utama vitamin E adalah minyak tumbuh-tumbuhan, terutama minyak kecambah

gandum dan biji-bijian. Minyak kelapa dan zaitun hanya sedikit mengandung

vitamin E. Sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber vitamin E yang

baik. Daging, unggas, ikan, dan kacang-kacangan mengandung vitamin E dalam

jumlah terbatas (Almatsier 2004).

Panas, Gangguannafsu makan,

Gangguan absorpsiGangguan utilisasi dll

infeksi

Kekuarangan Vitamin A

Perubahan Integrasi EpitelJaringan Limfoid

Imunitas Spesifik MekanismeNon Spesifik

dll

Vitamin CVitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air, tidak tahan terhadap

panas dan dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. Vitamin C membantu

spesifik enzim dalam melakukan fungsinya. Vitamin C juga berperan sebagai

antioksidan. Vitamin C juga penting untuk membentuk kolagen, serat, struktur

protein serta meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi dan membantu

tubuh menyerap zat besi (Almatsier 2004)

Vitamin C diperlukan pada pembentukan zat kolagen oleh fibroblast

hingga merupakan bagian dalam pembentukan zat intersel. Keadaan

kekurangan vitamin C akan mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C

diperlukan proses pematangan eritrosit dan pada pembentukan tulang dan

dentin, vitamin C mempunyai peranan penting pada respirasi jaringan (Pudjiadi

2001).

Vitamin C banyak sekali manfaatnya salah satunya adalah mencegah

infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau

pengaruh terhadap fungsi kekebalan. Menurut Pauling, mengemukakan bahwa

mengkonsumsi vitamin C dalam dosis tinggi dapat menyembuhkan infeksi

(Almatsier 2004).

Jeruk, brokoli, sayuran berwarna hijau, kol (kubis), melon dan stawberi

mempunyai kandungan vitamin C yang tinggi. Selain dari sayuran dan buah-

buahan vitamin C juga terdapat dalam makanan hewani seperti hati, ginjal tapi

yang paling banyak mengandung vitamin C terdapat dalam buah-buahan dan

sayuran (Marsetyo 2005).

Sama seperti vitamin A, vitamin C juga jika berlebihan ataupun

kekurangan akan menimbulkan masalah, diantaranya jika kekurangan vitamin C

akan mengakibatkan skorbut, anemia, perdarahan gusi serta depresi dan

gangguan saraf. Kelebihan juga akan mengakibatkan hal yang tidak baik seperti

hiperoksaluria dan resiko lebih tinggi terhadap batu ginjal (Almatsier 2004).

Kebutuhan vitamin C pada manusia itu berbeda sesuai dengan golongan

umurnya, peningkatan konsumsi vitamin C dibutuhkan dalam keadaan stress

psikologik atau fisik, seperti luka, panas tinggi atau suhu lingkungan tinggi dan

pada perokok. Apabila dimakan dalam jumlah melebihi kecukupan atau dalam

jumlah sedang, sisa vitamin C akan dibuang dari tubuh tanpa perubahan.

Sedangkan pada tingkat lebih tinggi (500 mg) atau lebih akan dimetabolisme

menjadi asam oksalat. Dalam jumlah banyak asam oksalat dapat berubah

menjadi batu ginjal (Pudjiadi 2001).

Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Vitamin C yang di Anjurkan Pada BerbagaiKelompok Usia

No Kelompok Umur AnakBB

Kg

TB

Cm

Vit C

Mg

1. 0 - 6 bulan 6.0 60 402. 7 - 11 bulan 8.5 71 403. 1 – 3 tahun 12.0 90 404. 4 – 6 tahun 17.0 110 45

Depkes RI 2005

Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu

sayur dan buah terutama yang asam (Almatsier 2004). Jeruk, brokoli, sayuran

berwarna hijau, kol (kubis), melon dan stawberi mempunyai kandungan vitamin C

yang tinggi. Selain dari sayuran dan buah-buahan vitamin C juga terdapat dalam

makanan hewani seperti hati, ginjal tapi yang paling banyak mengandung vitamin

C terdapat dalam buah-buahan dan sayuran (Marsetyo 2005).

SengDi Indonesia, data defisiensi seng masih terbatas. Sejauh ini belum

dijumpai penelitian seng dalam skala besar di Indonesia. Hal ini disebabkan

rentannya kontaminasi penanganan spesimen sejak persiapan, pelaksanakan

dan pemrosesan baik di lapangan maupun di laboratorium untuk penentuan

seng. Secara keseluruhan, sekitar 800.000 anak yang meninggal per tahun

berkaitan dengan defisiensi seng. Kematian dan peningkatan penyakit infeksi ini

mengakibatkan 1,9% dari keseluruhan DALYs (Disability Adjusted Life Years)

yang berkaitan dengan defisiensi seng. Menurut WHO, secara global jumlah

tersebut terjadi 10,8 juta kematian anak per tahun berkaitan dengan defisiensi

seng, vitamin A, dan besi, atau sekitar 19% keseluruhan kematian anak.

Pengaruh suplementasi seng terhadap penyakit infeksi saluran nafas akut

(ISPA) masih belum jelas, akan tetapi suplementasi seng dapat mengurangi

morbiditas ISPA melalui perbaikan sistem imun. Suplementasi seng

meningkatkan fungsi imun, termasuk hipersensitivitas tipe lambat, dan

meningkatkan jumlah limfosit CD4 (helper). Pada penelitian eksperimental,

defisiensi seng terbukti mengganggu fungsi imun seluler dan humoral. Gangguan

fungsi imun ini menyebabkan anak rentan terhadap penyakit infeksi termasuk

ISPA (Bhandari et al diacu dalam Sudiana 2005).

Defisiensi seng menyebabkan gangguan fungsi imun non spesifik seperti

kerusakan epitel saluran nafas, menggangu fungsi leukosit PMN, sel natural killer

dan aktivitas komplemen dan fungsi imun spesifik seperti penurunan jumlah

sitokin. Gangguan fungsi imun non spesifik dan spesifik tersebut akhirnya

memudahkan anak menderita ISPA (Shankar et al diacu dalam Sudiana 2005).

BesiMineral yang penting bagi pekerja adalah zat besi (Fe). Fungsi zat besi

adalah untuk membentuk hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen

yang sangat diperlukan pada proses metabolisme di dalam sel, pembentukan

energi. Kekurangan zat besi akan berakibat anemia (Mahan 2000).

Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam

tubuh manusia dan hewan. Yaitu sebanyak 3-5 gr di dalam tubuh manusia

dewasa, besi mempunyai beberapa fungsi essensial dalam tubuh, sebagai alat

angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Sebagai alat angkut elektron di

dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi di dalam jaringan tubuh.

(Almatsier 2004).

Sebelum di absorpsi di dalam lambung, besi di bebaskan dari ikatan

organik protein. Hal ini terjadi dalam suasana asam di dalam lambung dengan

adanya HCL dan Vitamin C yang terdapat di dalam makanan. Absorbsi terjadi di

bagian usus halus. Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi hem seperti

yang terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani dan besi non

hem dalam makanan nabati. Besi hem di absorpsi di dalam sel mukosa sebagai

kompleks feritin utuh. Taraf absorbsi besi di atur oleh mukosa saluran cerna yang

di tentukan oleh kebutuhan tubuh, transferin mukosa yang di keluarkan ke dalam

empedu berperan sebagai alat angkut protein yang bolak-balik membawa besi

kepermukaan sel usus halus untuk di ikat oleh transferin reseptor dan kembali ke

rongga untuk mengangkut besi lain (Winarno 2002).

Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terdapat, baik

di negara maju maupun di negara berkembang. Defisiensi besi terutama

menyerang golongan rentan seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui

serta pekerja berpenghasilan rendah. Kekurangan besi terjadi dalam tiga tahap.

Tahap pertama terjadi bila simpanan besi berkurang yang dilihat dari penurunan

feritin dalam plasma hingga 12 ug/L. Tahap kedua terlihat dengan habisnya

simpanan besi. Tahap ketiga terjadi anemia gizi besi terlihat dari kadar

hemoglobin total turun di bawah nilai normal. Anemia gizi besi merupakan salah

satu masalah gizi di Indonesia. Sebagian besar anemia gizi ini disebabkan

karena makanan yang kurang mengandung besi (Almatsier 2004).

Tabel 3 Bahan makanan sumber besi

Bahan makanan Berat (gr) Kandungan besi (mg)Tempe 100 10.0Kacang kedelai kering 100 8.0Udang segar 100 8.0Kacang hijau 100 6.7Hati sapi 100 6.6Daun kacang panjang 100 6.2Kacang merah 100 5.0Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan Depkes (1979). Almatsier (2001)

Angka Kecukupan GiziAngka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang

diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut

kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu, seperti kehamilan

dan menyusui (Riyadi 2006). Kecukupan gizi merupakan suatu taraf asupan

yang dianggap dapat memenuhi kecukupan gizi semua orang sehat menurut

berbagai kelompoknya sehingga kebutuhan pangan hanya diperlukan

secukupnya (Khumaidi 1994). Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif

dan kuantitatif. Ukuran kualitatif meliputi nilai sosial dan cita rasa beragam jenis

pangan, sedangkan nilai kuantitatif yang umum digunakan yakni kandungan gizi.

Almatsier (2004) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi adalah taraf

konsumsi zat-zat gizi essensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai

cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kegunaannya

untuk berbagai keperluan yang menyangkut populasi, seperti merencanakan dan

menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok penduduk.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kualitas udara yang buruk akibat penambangan batu kapur dan asap

kendaraan bermotor dapat menyebabkan terjadinya polusi udara, sehingga akan

mengakibatkan gangguan pada pernapasan. Jika kualitas udara yang buruk

terjadi berangsur terus menerus dan terhisap oleh balita, maka akan

menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan atau yang dikenal sebagai ISPA.

Polusi udara selain dari faktor luar rumah juga bisa terjadi dalam rumah seperti

asap rokok, jumlah orang yang merokok dan asap rokok yang dihasilkan dapat

memperburuk kualitas udara yang dihisap. ISPA adalah radang akut saluran

pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh jasad renik bakteri, virus,

maupun riketsia dengan gejala batuk, pilek, demam, dan sesak napas.

Balita umur 12-59 bulan merupakan golongan yang paling rawan gizi dan

rentan terhadap penyakit, karena pada usia ini merupakan periode pasca

penyapihan. Jika pada periode ini konsumsi makan kurang dan tidak mencukupi

kebutuhan, maka akan menyebabkan daya tahan tubuh menjadi kurang, dan

dalam jangka waktu tertentu akan mengakibatkan penurunan status gizi menjadi

rendah atau bisa menjadi buruk dan balita yang mempunyai status gizi rendah

akan mudah terinfeksi oleh penyakit. Infeksi juga akan menyebabkan seseorang

mengalami penurunan nafsu makan dan menyebabkan konsumsi makan

berkurang sehingga status gizi yang sebelumnya baik menjadi rendah, atau

status gizi rendah menjadi buruk.

Kecukupan gizi merupakan taraf asupan yang dianggap memenuhi

kecukupan gizi semua orang sehat menurut berbagai kelompok. Faktor-faktor

yang menentukan kecukupan gizi seseorang yaitu umur, jenis kelamin, berat

badan dan tinggi badan. Tingkat kecukupan gizi seseorang berkaitan dengan

konsumsi pangan dimana hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi

keluarga seperti pendidikan, pekerjaan, besar keluarga dan pendapatan.

Pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam memilih bahan pangan yang

lebih baik dalam kualitas dan kuantitas. Pekerjaan yang berhubungan dengan

pendapatan akan mempengaruhi seseorang dalam penyediaan pangan dan

meningkatkan taraf kesehatan. Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan

perkapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan.

Gambar 2 Kerangka pemikiran hubungan konsumsi dengan kejadian penyakitISPA pada balita

: Variabel diteliti

: Variabel tidak diteliti

: Hubungan yang dianalisis

: Hubungan yang tidak dianalisis

Keadaan Sosial EkonomiKeluarga

1. Pendidikan2. Pekerjaan3. Besar Keluarga4. Pendapatan

PolusiUdara

Konsumsi panganContoh

Karakteristik Contoh1. Umur2 Jenis kelamin3 BB dan TB

Status Gizi(BB/U, TB/U, BB/TB

ISPA / tidakISPA

Tingkat Kecukupan

Status Imunitas

PenambanganBatu Kapur

Kebiasaan Merokokdalam rumah

Nafsu makan

AKG

METODOLOGI PENELITIAN

Desain, Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian ini menggunakan desain cross-sectional study, yaitu desain

penelitian untuk mempelajari dinamika antara faktor terpapar dan faktor tidak

terpapar, dengan model pendekatan atau observasi sekaligus pada satu saat.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Cipatat desa Citatah dimana terdapat daerah

penambangan batu kapur. Lokasi dipilih berdasarkan pertimbangan tingginya

polusi udara akibat kegiatan penambangan batu kapur tersebut. Penelitian ini

dilakukan pada bulan Agustus dan September 2010.

Jumlah dan Cara Penarikan ContohContoh dalam penelitian ini adalah anak balita usia 12-59 bulan yang

berada di daerah ruang lingkup wilayah kerja Puskesmas Cipatat. Metode yang

digunakan dalam pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan

kriteria mempunyai riwayat penyakit ISPA selama 2 minggu terakhir (sebagai

kelompok ISPA) dan tidak memiliki riwayat ISPA (sebagai kelompok tidak ISPA)

serta terdaftar di Puskesmas Cipatat. Kategori ISPA dan tidak ISPA ditetapkan

berdasarkan data yang ada di Puskesmas Cipatat berdasarkan hasil diagnosis

dokter di puskesmas setempat. Jumlah contoh masing-masing kelompok adalah

30 sehingga total 60 anak balita. Penetapan sampel kelompok ISPA dan tidak

ISPA dilakukan berdasarkan rekomendasi dan hasil diagnosis. Menurut

Singarimbun dan Efendi (2006) untuk menguji beda dan membandingkan antar

kelompok seperti T-test dan analisis varian pada setiap sel dalam rancangan

analisis jumlah sampel minimal adalah 30 sampel pada masing-masing kasus.

Gambar 3 Kerangka cara penarikan contoh

Balita 12-59 bulan

Di Kecamatan Cipatat

Terdaftar di Puskesmas

ISPA

n=30Tidak ISPA

n=30

Jenis dan Cara Pengumpulan dataData yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data

primer diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan alat bantu

kuesioner. Data primer meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh

(pendidikan, pekerjaan, besar keluarga, dan pendapatan), data kebiasaan

merokok dalam rumah, serta data karakteristik contoh (umur, jenis kelamin), data

konsumsi makanan serta data antropometri (berat badan, dan tinggi badan)

contoh. Sedangkan data sekunder berasal dari puskesmas meliputi data profil

puskesmas dan data kejadian penyakit ISPA pada balita selama 2 minggu

terakhir.

Data karakteristik sosial ekonomi keluarga, data kebiasaan merokok

dalam rumah dan data karakteristik contoh diperoleh dengan menjawab daftar

pertanyaan pada kuesioner. Data tingkat konsumsi energi dan zat gizi dapat

diketahui dari konsumsi pangan yang diperoleh melalui recall 2x24 jam konsumsi

pangan pada hari yang tidak berurutan. Data yang dikumpulkan yaitu jumlah

pangan yang dikonsumsi yang dinyatakan dalam satuan ukur rumah tangga

(URT), hasilnya dikonversikan ke dalam satuan gram (g).

Jenis data status gizi yang dikumpulkan adalah jenis kelamin, umur, berat

badan dan tinggi badan contoh dengan menghitung nilai z-skor. Cara

pengumpulan datanya diperoleh dengan pengukuran berat badan dan tinggi

badan langsung di lokasi penelitian. Jenis dan cara pengumpulan data dapat

dilihat pada Tabel 4 dibawah ini :

Tabel 4 Jenis peubah dan cara pengumpulan dataNo Variabel Data Jenis

DataCara

PengumpulanAlat Ukur

1. Keadaan UmumLokasi

Demografi, jumlahpenduduk

Sekunder Data Puskesmas Pengambilandata Puskesmas

2. Kejadian ISPA Contoh penderitaISPA dan tidakmenderita ISPA

Sekunder Data Puskesmas Pengambilandata Puskesmas

3. Karakteristiksosial ekonomikeluarga

Pendidikan,Pekerjaan, Besarkeluarga,Pendapatan

Primer Wawancara Kuesioner

4. Kebiasaanmerokok

Kebiasaan merokokdalam rumah

Primer Wawancara Kuesioner

5. KarakteristikContoh

Umur , JenisKelamin

Primer Wawancara Kuesioner

6. Asupan Energidan zat gizi

Konsumsi makanan Primer Wawancara Kuesioner FoodRecall 2x24 jam

7. Status Gizi Berat badan, Tinggibadan

Primer PengukuranAntropometri

TimbanganCamry danMicrotoise

Pengolahan dan Analisis DataProses pengolahan data meliputi editing, coding, cleaning, entry dan

analisis. Program komputer yang digunakan untuk pembuatan data base dan

pengolahan data adalah Microsft Exel 2007 sedangkan analisis data dengan

menggunakan program SPSS versi 16 for windows.

Data karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh meliputi, tingkat

pendidikan ayah, jenis pekerjaan ayah, besar keluarga, dan pendapatan

keluarga, data kebiasaan merokok dalam rumah, dan data karakteristik contoh

diolah dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dianalisis secara deskriptif.

Tabel 5 Cara pengolahan data

Data Variabel Kategori

Karakteristik

sosial ekonomi

keluarga contoh

Pendidikan Tidak sekolah, SD SLTP SLTA dan Perguruan Tinggi

Jenis pekerjaan Tidak Bekerja Petani Buruh Pegawai Swasta Pegawai Negeri (PNS)

Besar keluarga Kecil (≤ 4) Sedang (4-6) Besar (≥ 7)

BKKBN (1998)

Pendapatan Miskin (<Rp. 139.000) Tidak miskin (≥Rp. 139.000)

BPS Pusat (2004)

Kebiasaan

merokok

Kebiasaan merokok

dalam rumah

Ya Tidak

Karakeristik

contoh

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan

Umur 12-36 bulan 37-59 bulan

(penetapan umur berdasarkan AKG, 2004)

Status gizi contoh diolah dengan cara mentabulasi hasil pengukuran

parameter berat badan, tinggi badan, dan umur. Parameter tersebut digunakan

untuk mencari nilai median dan simpang baku yang ada pada buku rujukan

WHO-NCHS. Nilai tersebut akan digunakan untuk menghitung z-skor dengan

menggunakan rumus:

z-skor = nilai individu subyek – nilai median baku rujukannilai simpang baku rujukan

Hasil perhitungan z-skor akan digunakan untuk menentukan status gizi

sampel berdasarkan kategori seperti pada tabel berikut :

Tabel 6 Kategori Status Gizi Balita

Indeks Kategori

BB/U Gizi lebih : > 2.0 SDGizi baik : - 2.0 SD s/d + 2.0 SDGizi kurang : < - 2 SDGizi buruk : < - 3 SD

TB/U Normal : ≥ - 2 SDPendek/stunted : < - 2 SD

BB/TB Gemuk : > 2.0 SDNormal : - 2 SD s/d + 2 SDKurus/wasted : < - 2.0 SDSangat kurus : < - 3 SD

Dimodifikasi dari SK Menkes 920/Menkes/SK/VIII/2002Data konsumsi pangan diolah dengan cara mentabulasi hasil recall 24

jam yang dilakukan selama 2 hari, selanjutnya diolah dengan menggunakan

program Nutrisurvey 2007 untuk mendapatkan data asupan energi dan zat gizi

(protein, vitamin A, E, C, seng dan Fe ). Data tersebut kemudian di bandingkan

dengan angka kecukupan gizi (AKG) untuk mendapatkan data tingkat kecukupan

Energi dan Zat Gizi. Kemudian dikategorikan menjadi lima yaitu :

Defisit berat : < 70%

Defisit sedang : 70 – 79 %

Defisit ringan : 80% - 89 %

Normal : 90% - 119 %

Lebih : > 120%

(Depkes, Nasoetion 2008).

Analisis dataUntuk mengetahui perbedaan tingkat kecukupan energi, zat gizi dan

status gizi antara penderita ISPA dan tidak ISPA dilakukan uji beda

Indeppendent sample T-test mengggunakan program SPSS versi 16 for window.

Definisi OperasionalContoh adalah anak balita yang berusia 12-59 bulan yang menderita

ISPA dan tidak menderita ISPA, merupakan pasien dari puskesmas Cipatat.

ISPA adalah infeksi saluran pernafasan atas maupun bawah yang

ditunjukan dengan adanya demam, batuk dan pilek yang telah di tetapkan oleh

dokter.

Tidak ISPA adalah seseorang yang tidak terdiagnosa oleh dokter terkena

ISPA dan tidak mengalami demam, batuk dan pilek.

Status gizi adalah suatu keadaan yang menggambarkan kondisi

seseorang mengalami kondisi normal, kurang atau lebih berdasarkan

antropometri.

Asupan gizi adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan

yang dikonsumsi oleh seseorang dalam periode waktu tertentu yang biasanya

dinyatakan dalam satuan zat gizi per kapita/hari.

Tingkat kecukupan adalah suatu tingkatan dari sejumlah makanan yang

dikonsumsi oleh individu atau kelompok dalam periode waktu tertentu

dibandingkan dengan AKG.

Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi

setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran &

aktivitas tubuh, untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang telah atau sedang

ditempuh dan dikategorikan berdasarkan jenjang pendidikan SD, SMP, SMA dan

Perguruan Tinggi.

Pekerjaan adalah jenis suatu usaha yang sedang dilakukan dengan

tujuan mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan.

Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang hidup dibawah

pengelolaan sumberdaya yang sama.

Pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan

atau yang diusahan yang dinilai dengan uang dalam satu bulan.

Kebiasaan merokok dalam rumah adalah suatu aktivitas membakar

tembakau yang kemudian dihisap asapnya baik menggunakan rokok maupun

menggunakan pipa dan dilakukan dalam rumah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi PenelitianPuskesmas Cipatat merupakan salah satu Puskesmas di wilayah UPTD

kesehatan Cipatat, termasuk Puskesmas DTP Rajamandala, dan Puskesmas

Sumur Bandung. Puskesmas Cipatat terletak di Desa Cipatat Kecamatan

Cipatat, tepatnya di Jl. Raya Padalarang-Cianjur, luas wilayah kerja Puskesmas

Cipatat sekitar 4.355,94 Ha.

Wilayah kerja Puskesmas Cipatat terdiri dari 4 desa, 78 RW, dan 253 RT.

Adapun ke 4 desa tersebut adalah : Desa Cipatat, Desa Citatah, Desa

Kertamukti, Desa Sarimukti. Diantara 4 desa tersebut, sebanyak 2 desa yaitu

desa Cipatat dan desa Citatah berada di pinggir jalan Padalarang-Cianjur, dan 2

desa lainnya cukup jauh dari jalan raya provinsi sehingga cukup sulit untuk

menjangkaunya sehingga sarana transportasi yang dipakai harus menggunakan

kendaraan roda dua bila ingin mencapai pelosok. Karena dua desa berada di

pinggir jalan maka kecenderungan kecelakaan lalu lintas sering terjadi

Berdasarkan hasil pendataan tahun 2009 jumlah penduduk di Kecamatan

Cipatat sebesar 37.939 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 18.833 jiwa dan

penduduk wanita 19.106 jiwa. Mata pencaharian penduduk sebagian besar

petani dan sebagiannya lagi sebagai buruh pabrik kapur dan batu marmer.

Data puskesmas setempat menunjukan bahwa para buruh pabrik memiliki

kecenderungan terkena penyakit saluran pernafasan dan TBC paru yang cukup

tinggi. Dari data tersebut juga didapatkan bahwa jumlah balita yang menderita

ISPA sekitar 349 dari 6.322 jiwa maka prevalensi balita ISPA di Puskesmas

Kecamatan Cipatat adalah 5,52% (laporan Puskesmas Cipatat 2009).

Karakteristik sosial ekonomi keluarga contohTingkat Pendidikan

Sumber daya manusia (SDM) merupakan hal penting dalam

pembangunan suatu bangsa dan mutunya sangat dipengaruhi oleh tingkat

pendidikan dan latihan, kesehatan dan gizi, lingkungan hidup mereka tinggal

serta kemampuan ekonomi suatu keluarga (Hapsari et al 2009). Seseorang yang

memiliki tingkat pendidikan tinggi dapat mendapatkan pekerjaan yang layak

sehingga dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, selain itu tingkat

pendidikan orang tua juga mempengaruhi terhadap keadaan status gizi anak.

Menurut Sab’atmaja et al (2010) orang tua yang memiliki tingkat pendidikan

cukup tinggi mempunyai prevalensi gizi kurang yang rendah pada anaknya,

sedangkan orang tua yang memiliki pendidikan yang rendah umumnya balita

memiliki prevalensi gizi kurang yang lebih tinggi. Karena variabel pendidikan

merupakan indikator pengetahuan dan perilaku yang berhubungan dengan

kesadaran individu terhadap kesehatan. Berikut adalah sebaran tingkat

pendidikan orang tua contoh dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran orang tua (ayah) contoh berdasarkan tingkat pendidikan

KategoriISPA Tidak ISPA

n % n %

Tidak Tamat SD 1 3,3 0 0Tamat SD 7 23,3 7 23,3Tamat SLTP 11 36,7 7 23,3Tamat SLTA 9 30 12 40Perguruan Tinggi 2 6,7 4 13,3

Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan orang

tua contoh balita ISPA hanya sampai tingkat SLTP (36,7%), sedangkan pada

balita tidak ISPA sebanyak 40% sampai tingkat SLTA. Tingkat pendidikan

mempengaruhi terhadap perilaku seseorang baik dalam pemilihan bahan

makanan untuk memenuhi kebutuhan gizinya maupun pola asuh terhadap anak.

Penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di masyarakat. Hal ini

perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak

menyerang balita yang rentan terhadap infeksi. Jika tingkat pendidikan rendah

maka perilaku seseorang dalam upaya pencegahan maupun penanggulangan

penyakit ISPA sangat rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa peran keluarga

dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab

bila penanganan kurang atau buruk akan berpengaruh terhadap perjalanan

penyakit dari yang ringan menjadi lebih berat.

Jenis PekerjaanJenis pekerjaan orangtua dapat menggambarkan pendapatan keluarga

maupun kemampuan seseorang dalam menyerap informasi. Pendapatan yang

dihasilkan dari pekerjaan tersebut berpengaruh pada tingkat daya beli bahan

makanan sebuah keluarga. Asupan makanan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya

pendapatan. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka daya beli bahan

makanannya pun tinggi sehingga asupan makanan menjadi tinggi pula. Asupan

makanan yang kurang akan menimbulkan masalah gizi dimana masalah gizi

akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat (Suhardjo 2003).

Jenis pekerjaan masyarakat desa Citatah pada umumnya sebagai petani

dan buruh pabrik penambang batu kapur maupun pengrajin batu marmer.

Sebaran jenis pekerjaan orangtua ayah contoh dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran jenis pekerjaan ayah contoh

KategoriISPA Tidak ISPA

n % n %

Tidak bekerja 1 3,3 0 0Petani 7 23,3 6 20Buruh 18 60 10 33,3Pegawai swasta 2 6,7 10 33,3PNS 2 6,7 4 13,3

Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel diatas sebagian besar 60% jenis pekerjaan ayah

contoh balita ISPA bekerja sebagai buruh pabrik, sedangkan pada balita tidak

ISPA ayah contoh bekerja sebagai buruh dan pegawai swasta yaitu masing-

masing sebesar 33,3%. Keadaan gizi erat kaitannya dengan keadaan sosial

ekonomi keluarga terutama jenis pekerjaan yang mendukung terhadap tinggi

rendahnya pendapatan keluarga. Jika pendapatan kurang maka masalah yang

terjadi pada anak balita adalah keadaan gizi kurang dimana hal tersebut

disebabkan oleh kekurangan sumber energi dan protein. Pada anak-anak, gizi

kurang dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap infeksi dan

mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan (Almatsier 2003).

Besar KeluargaBesar keluarga dalam suatu rumah tangga juga termasuk salah satu

faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Besar keluarga juga menyebabkan

bertambahnya biaya pengadaan pangan untuk dikonsumsi. Anak-anak yang

sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap

gizi kurang di antara semua anggota keluarga, tahun-tahun awal masa kanak-

kanak yaitu pada umur satu hingga enam tahun berada dalam kondisi yang

paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi ini sering terjadi sebab

seandainya besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak

berkurang (Suhardjo 1989).

Menurut Robert et al (1994) bahwa pertambahan jumlah anggota

keluarga akan memberikan dampak merugikan kepada status gizi anggota

rumah tangga termasuk anak berumur di bawah dua tahun. Bertambahnya

jumlah anggota keluarga akan menyebabkan masalah kelaparan dan kesempitan

ruang. Hal ini menyebabkan terbatasnya ruang gerak dan menghambat jalan

sirkulasi udara sehingga memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap

kesehatan. Berikut adalah sebaran besar keluarga contoh dapat dilihat pada

Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran besar keluarga pada contoh

KategoriISPA Tidak ISPA

n % n %

Keluarga kecil 15 50 22 73.3Keluarga sedang 12 40 7 23.3Keluarga besar 3 10 1 3.3

Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 30 balita yang

dikategorikan menderita ISPA sebesar 50% termasuk dalam keluarga kecil dan

40% temasuk kedalam keluarga sedang, sedangkan pada kategori tidak ISPA

mayoritas sebesar 73,3% termasuk kedalam keluarga kecil dan 23,3% termasuk

kedalam keluarga sedang. Pada penelitian ini menunjukan bahwa besar keluarga

tidak ada kaitaannya dengan kejadian ISPA di Puskesmas Cipatat, namun besar

keluarga merupakan faktor yang menyebabkan anak-anak terkena penyakit

ISPA. Karena banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam suatu rumah

akan menghambat jalan sirkulasi udara, jika besar keluarga tidak diiringi dengan

luas rumah yang sesuai maka ruangan akan menjadi sempit sehingga

menyebabkan tempat tinggal menjadi kumuh dan berisiko tinggi terhadap

tertularnya penyakit ISPA (Endah et al 2009). Penelitian yang dilakukan oleh

Victoria pada tahun 1993 menyatakan bahwa makin meningkat jumlah orang per

kamar akan meningkatkan kejadian ISPA. Semakin banyak penghuni rumah

berkumpul dalam suatu ruangan kemungkinan mendapatkan risiko untuk

terjadinya penularan penyakit akan lebih mudah, khususnya bayi yang relatif

rentan terhadap penularan penyakit (Depkes RI 2001). Dalam penelitian ini luas

rumah dan ketersediaan fentilasi udara tidak diteliti, karena keterbatasan

penelitian dan waktu yang diperlukan.

Tingkat PendapatanDengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka akan terjadi

perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang

yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi

pangan (Suhardjo 1989). Menurut Madanijah (2004) keadaan ekonomi keluarga

relatif lebih mudah diukur dan mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi

pangan, terutama pada golongan miskin. Pada golongan miskin mereka

menggunakan sebagian pendapatannya untuk kebutuhan makanan. Faktor

ekonomi yang paling berperan adalah keluarga dan harga (baik harga pangan,

maupun harga komoditas kebutuhan dasar). Berikut adalah Tabel 10

menampilkan sebaran tingkat pendapatan keluarga contoh.

Tabel 10 Sebaran pendapatan keluarga contoh

KategoriISPA Tidak ISPA

n % n %

Miskin (<Rp. 139.000) 19 63,3 11 36,7Tidak miskin (≥Rp. 139.000) 11 36,7 19 63,3

Total 30 100 30 100

Tingkat pendapatan berdasarkan BPS pusat (2004) yaitu sebesar Rp.

139.000,- per kapita per bulan, didapatkan bahwa sebagian besar (63,3%) dari

rumah tangga balita ISPA tergolong miskin, sedangkan pada balita tidak ISPA

sebagian besar (63,3%) tidak miskin. Dalam hal ini ISPA lebih banyak diderita

oleh keluarga yang miskin, karena pada keluarga miskin rata-rata mempunyai

kondisi lingkungan yang kurang baik misalnya lantai dasar rumah masih

memakai semen, dinding rumah masih memakai bilik kayu, dan ketersediaan

fentilasi yang kurang ditambah dengan kurangnya daya beli terhadap makanan.

Jika daya beli kurang maka konsumsi makan akan menjadi kurang dan asupan

energi dan zat gizi akan kurang dan tidak memenuhi kecukupan gizi.

Kebiasaan Merokok dalam RumahDeterminasi tempat tinggal menentukan daerah rural dan urban dengan

asumsi ada perbedaan antara daerah urban yang dihubungkan dengan

kepadatan penduduk, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daerah

tersebut, misalnya sanitasi lingkungan, polusi udara. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Puslit Penyakit Menular dalam Cermin Dunia kedoteran no.70.th

1991 no 15 tentang pengaruh lingkungan terhadap penyakit ISPA menyatakan

bahwa faktor yang berpengaruh antara lain jumlah orang yang merokok, jumlah

rokok yang dihisap, masuknya asap dapur kedalam ruangan keluarga, fentilasi

rumah yang tidak baik, jarak antara rumah dengan tempat sampah. Keadaan

lingkungan dapat mempengaruhi episode kejadian ISPA pada anak. Sebaran

kebiasaan merokok adalam rumah contoh dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 11 Sebaran kebiasaan merokok dalam rumah contoh

KategoriISPA Tidak ISPA

n % n %

Merokok 23 76,7 19 63,3Tidak merokok 7 23,3 11 36,7

Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada balita ISPA dan

tidak ISPA mayoritas kepala keluarga atau anggota keluarga memiliki kebiasaan

merokok dalam rumah dengan anggota keluarga, masing-masing sebanyak 23

orang (76,7%) dan 19 orang (63,3%). Hampir sebagian besar keluarga

mempunyai kebiasaan merokok bersama dengan anggota keluarga lain, baik

pada kelompok balita ISPA maupun pada kelompok balita tidak ISPA. Kaitannya

antara asap rokok dengan kejadian ISPA karena produksi CO terjadi selama

merokok. Asap rokok mengandung CO dengan konsentrasi lebih dari 20.000

ppm selama dihisap. Konsentrasi tersebut terencerkan menjadi 400-500 ppm.

Konsentrasi CO yang tinggi di dalam asap rokok yang terisap mengakibatkan

kadar COHb di dalam darah meningkat. Selain berbahaya terhadap orang yang

merokok, adanya asap rokok yang mengandung CO juga berbahaya bagi orang

yang berada di sekitarnya karena asapnya dapat terisap (Fardiaz 1992).

Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar

memberikan risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok

dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI 2001).

Dalam penelitian ini tidak menguji apakah kebiasaan merokok dalam

rumah berhubungan dengan kejadian ISPA, namun perlu diwaspadai bahwa

udara yang sudah tercemar karena penambangan kapur ditambah dengan asap

dari rokok dalam rumah dapat menambah episode kejadian ISPA pada anak dan

mempengaruhi proses penyembuhan penyakit ISPA menjadi lama.

Karakteristik ContohUmur

Umur merupakan faktor gizi sehingga umur berkaitan erat dengan status

gizi (Apriadji 1986). Usia balita merupakan kelompok rentan terhadap kesehatan

dan gizi, karena masih berlangsungnya proses tumbuh kembang yang sangat

pesat, yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotor, mental dan sosial.

Stimulasi psikososial harus dimulai sejak dini dan tepat waktu untuk tercapainya

perkembangan psikososial yang optimal. Oleh karena itu, pada usia ini balita

sangat membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk menunjang pertumbuhan

dan perkembangannya. ISPA dapat menyerang semua manusia baik pria

maupun wanita pada semua tingkat usia, terutama pada usia kurang dari 5 tahun

karena daya tahan tubuh balita lebih rendah dari orang dewasa sehingga mudah

menderita ISPA.

Umur diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuh, bayi dan balita

merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga

masih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Hal senada dikemukakan oleh

Suwendra (1988), bahkan semakin muda usia anak makin sering mendapat

serangan ISPA. Berikut sebaran umur contoh dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.

Tabel 12 Sebaran umur contoh

KategoriISPA Tidak ISPA

n % n %

12-36 bulan 25 83,3 24 8037-59 bulan 5 16,7 6 20

Total 30 100 30 100

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas 83,3% responden yang

menderita ISPA berumur satu sampai tiga tahun, sedangkan 16,7% berumur

empat sampai lima tahun. Hampir sama pada kelompok tidak ISPA mayoritas

80% responden berumur satu sampai tiga tahun dan 20% responden berumur

empat sampai lima tahun. Menurut Endah et al (2009) umur 12-36 bulan

merupakan umur yang paling sering dijumpai menderita infeksi saluran

pernafasan akut dibandingkan kelompok umur 37-59 bulan. Hal ini dikarenakan

seiring bertambahnya umur asupan makan balita yang berumur 37-59 bulan jenis

makanannya lebih beragam dan bervariasi sehingga asupan vitamin dan mineral

dari makanan semakin baik.

Jenis KelaminJenis kelamin merupakan faktor yang menentukan dalam status gizi,

antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan sangat berbeda dari segi aktifitas

fisik maupun metabolisme dalam tubuh. Pada balita kebutuhan akan zat gizi

belum dibedakan, namun pada saat usia 10 tahun kebutuhan akan zat gizi

dibedakan menurut jenis kelamin. Berikut sebaran jenis kelamin contoh dapat

dilihat pada Tabel 13 berikut ini :

Tabel 13 Sebaran jenis kelamin contoh

KategoriISPA Tidak ISPA

n % n %

Laki-Laki 19 63,3 13 43,3Perempuan 11 36,7 17 56,7Total 30 100 30 100

Berdasarkan jenis kelaminnya sebagian besar responden laki-laki

mempunyai persentase sebesar 63,3% menderita ISPA, sedangkan 43,3% tidak

menderita ISPA. Namun pada jenis kelamin perempuan sebesar 56,7% tidak

menderita ISPA, hal ini tidak sejalan dengan pernyataan dari Depkes RI (2002)

yang menyatakan bahwa balita perempuan lebih rentan menderita ISPA dari

pada laki-laki disebabkan karena daya tahan tubuh laki-laki lebih kuat di

bandingkan dengan perempuan. Hal ini diduga karena anak laki-laki lebih banyak

beraktifitas bermain diluar rumah, dan sering menghirup udara yang sudah

tercemar akibat penambangan batu kapur tersebut. Akan tetapi hal tersebut

merupakan asumsi saja, disini peneliti akan melakukan percobaan analisis sebab

akibat perbedaan sebaran jenis kelamin dengan membandingkan rata-rata

asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan tidak ISPA menurut jenis

kelamin.

Tabel 14 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan tidak ISPAmenurut jenis kelamin per hari

Rata-rata asupanper hari

ISPA Tidak ISPA

Laki-laki Perempuan Laki-laki perempuan(n=19) (n=11) (n=13) (n=17)

Energi (kkal) 820,26 862,3 981,92 946,93Protein (gram) 24,06 24,73 30,11 33,96Vitamin A (RE) 517,47 163,53 214,06 871,6Vitamin E (mg) 1,78 1,51 1,85 2,5Vitamin C (mg) 21,38 26,12 26,5 35,7Seng (mg) 2,99 2,91 3,42 3,64Besi (mg) 7,35 3,5 5,3 4,89

Dari tabel 14 terlihat bahwa laki-laki yang menderita ISPA mempunyai

asupan energi lebih rendah (820,26 kkal) dibandingkan dengan perempuan

(862,3 kkal), sedangkan pada balita yang tidak ISPA jenis kelamin laki-laki

mempunyai asupan energi lebih tinggi (981,92 kkal) dibandingkan dengan

perempuan (946,93 kkal). Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini laki-laki

yang menderita ISPA mempunyai asupan energi lebih rendah dibandingkan

dengan perempuan yang menderita ISPA

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi

Konsumsi dan tingkat kecukupan energiKekurangan energi terjadi bila asupan energi melalui konsumsi makanan

kurang dari energi sesuai dengan kebutuhan. Tubuh akan mengalami

keseimbangan energi negatif, akibatnya adalah berat badan kurang dari berat

badan yang seharusnya (ideal). Kekurangan energi pada bayi dan anak-anak

akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa akan terjadi penurunan

berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan adalah

kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan

daya tahan terhadap penyakit infeksi. Kelebihan energi terjadi bila konsumsi

energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi akan

dirubah menjadi lemak tubuh, akibatnya adalah berat badan lebih atau

kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan, dalam hal

karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga karena kurang bergerak.

Kegemukan merupakan faktor resiko penyakit kronis seperti diabetes mellitus,

hipertensi, PJK, kanker dan memperpendek usia harapan hidup (Almatsier

2004). Berikut adalah rata-rata konsumsi pangan sumber energi dapat dilihat

pada Tabel 15 :

Tabel 15 Rata-rata konsumsi pangan sumber energi per hari

Jenis panganISPA Tidak-ISPA

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG Energi (%)

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG Energi (%)

Nasi 174 37 221,67 41,0Biskuat 11,73 6,5 11,73 5,7Roti 11,33 4,4 4,5 1,5Tahu 28,17 4,3 34,3 4,6Tempe 10,33 4,0 25,5 8,7Susu 21 2,7 127,67 8,6Mie 9,23 3,71 23,5 8,2Bubur 55,7 3,9 26,6 1,7

Pada tabel 15 hanya menampilkan bahan makanan sumber energi yang

mempunyai nilai kontribusi paling besar saja. Jenis pangan sumber energi yang

di konsumsi balita ISPA adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari,

biskuat 11,73 gr/hari dan roti 11,33 gr/hari, dibandingkan dengan kelompok tidak

ISPA jenis pangan sumber energi yang dikonsumsi adalah nasi rata-rata

konsumsi sebesar 221,67 gr/hari, tempe 25,5 gr/hari, dan susu 127,67 gr/hari.

Sumber energi yang mempunyai konsentrasi tinggi adalah bahan makanan

sumber lemak seperti kacang-kacangan dan biji-bijian, setelah itu bahan

makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-umbian dan gula murni.

Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi menjamin tercukupinya kebutuhan

energi dan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, berikut adalah sebaran contoh

berdasarkan tingkat kecukupan energi dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi

Tingkat kecukupan energiISPA Tidak ISPA

n % n %

Defisiensi berat 17 56,70 12 40,00Defisiensi sedang 4 13,30 6 20,00Defisiensi ringan 3 10,00 3 10,00Normal 5 16,70 8 26,70Lebih 1 3,30 3 3,30

Total 30 100,0 30 100,00Rata-rata asupan 837±264,234 962±198,308

Rata-rata tingkat kecukupan (%) 68,32 78,53

Berdasarkan tingkat kecukupan energi diketahui bahwa sebagian besar

56,7% balita ISPA dan balita tidak ISPA (40%) mengalami defisiensi berat. Pada

penelitian ini asupan energi yang paling rendah yaitu 409 kkal dan tertinggi yaitu

1521 kkal dengan rata-rata asupan energi pada balita ISPA yaitu 837 kkal dan

standar deviasi sebesar 264,234. Sedangkan balita yang tidak ISPA mempunyai

rata-rata asupan energi sebesar 962 kkal dan standar deviasinya 198.

Berdasarkan uji statistik nilai p = 0,043 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada

perbedaan yang signifikan antara asupan energi pada balita ISPA dan tidak

ISPA.

Asupan energi berasal dari sejumlah bahan makanan yang dikonsumsi

oleh seseorang. Balita yang terinfeksi ISPA akan mengalami kehilangan nafsu

makan dikarenakan karena batuk-batuk, pilek, dan kelelahan sehingga

mempengaruhi kemampuan mengkonsumsi makanan karena kegiatan makan

menambah sesak nafas. Oleh karena itu mengapa balita yang menderita ISPA

mengalami defisiensi tingkat berat kecukupan energi.

Konsumsi dan tingkat kecukupan proteinFungsi utama protein bagi tubuh yaitu untuk membentuk jaringan baru

dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein dapat juga berfungsi

sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi dari

karbohidrat dan lemak. Protein dapat mengatur keseimbangan cairan dalam

jaringan dan pembuluh darah, yaitu dengan menimbulkan tekanan osmotik koloid

yang dapat menarik cairan dari jaringan ke dalam pembuluh darah (Winarno

2002).

Fungsi lain dari protein yaitu untuk tumbuh kembang anak dan

pembentukkan hormon, enzim, dan antibodi (Hartono 2000). Kemampuan tubuh

untuk memerangi infeksi bergantung pada kemampuannya untuk memproduksi

antibodi terhadap organisme yang menyebabkan infeksi tertentu atau terhadap

bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Tingkat kematian pada anak-

anak yang menderita gizi kurang kebanyakan disebabkan oleh menurunnya daya

tahan terhadap infeksi karena ketidakmampuannya membentuk antibodi dalam

jumlah yang cukup (Almatsier 2004).

Tabel 17 Rata-rata konsumsi pangan sumber protein per hari

Jenis panganISPA Tidak-ISPA

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG Protein (%)

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG Protein (%)

Nasi 174 15,04 221,67 14,41Telur 18,73 8,69 36,84 13,14Tempe 10,33 7,82 25,5 14,53Tahu 28,17 6,49 34,3 5,95Susu 21 2,29 127,67 27,67Mie 9,23 3,0 23,5 5,75Ikan Segar 2,3 1,31 14,67 6,18

Pada tabel 17 menyajikan bahan makanan yang mempunyai nilai

kontribusi protein paling besar. Jenis pangan sumber protein yang di konsumsi

balita ISPA adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari, telur 18,33

gr/hari dan tempe 10,33 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis

pangan sumber protein yang dikonsumsi adalah susu rata-rata konsumsi sebesar

127,67 gr/hari, tempe 25,5 gr/hari, dan nasi 217,67 gr/hari. Bahan makanan

hewani merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutu seperti

telur, susu, daging, unggas, dan ikan. Sedangkan sumber protein nabati adalah

kedelai dan hasilnya seperti tempe dan tahu. Berikut sebaran tingkat kecukupan

protein pada contoh dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein

Tingkat kecukupan proteinISPA Tidak ISPA

n % n %

Defisiensi berat 12 40 3 10

Defisiensi sedang 2 6,7 3 10

Defisiensi ringan 2 6,7 3 10

Normal 8 26,7 8 26,7

Lebih 6 20 13 43,3

Total 30 100,00 30 100,00

Rata-rata asupan 24,3±9,86 32,3±10,9

Rata-rata tingkat kecukupan (%) 75,93 100,9

Tingkat kecukupan protein pada balita ISPA umumnya (40%) mengalami

defisiensi berat, sedangkan pada balita tidak ISPA umumnya (43,3%) mengalami

tingkat kecukupan lebih. Rata-rata asupan protein pada balita ISPA sebesar

24,33 gr dan standar deviasinya adalah 910,94. Pada balita tidak ISPA rata-rata

asupan protein sebesar 32,3 gr dan standar deviasinya 10,93. Berdasarkan uji

terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan protein pada balita ISPA dan

tidak ISPA (p<0,05). Sumber protein yang dikonsumsi antara balita ISPA dan

tidak ISPA hampir sama antara lain nasi, telur, tempe, tahu, susu dan ikan akan

tetapi jumlah yang dikonsumsi berbeda. Hal ini disebabkan karena nafsu makan

yang menurun diakibatkan karena kondisi tubuh yang sakit karena infeksi

merupakan faktor utama konsumsi protein menjadi berkurang. Selain itu keadaan

sosial ekonomi juga sangat mempengaruhi terhadap kecukupan protein dan

kejadian ISPA.

Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin AMenurut Winarno (2002) fungsi vitamin A yaitu sebagai salah satu zat gizi

yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Anak yang cukup

mendapatkan asupan vitamin A, apabila mengalami diare, campak / penyakit

infeksi lain, maka penyakit tersebut tidak menjadi parah, sehingga tidak

membahayakan jiwa anak. Asupan vitamin A sering dijumpai tidak cukup karena

faktor musim dan tidak didapatkannya makanan yang kaya vitamin A pada anak.

Vitamin A mudah rusak karena pengaruh pemasakan atau penyimpanan.

Absorpsi vitamin A kurang apabila kandungan provitamin A dan vitamin A dalam

tubuh juga kurang sehingga akan menyebabkan terjadinya penurunan daya

tahan tubuh yang berakibat pada kejadian infeksi. (Husaini dan Muhilal 1996).

Banyak studi yang mengakaitkan antara KVA dan ISPA dengan berbagai

hasilnya, namun pada umumnya menunjukkan bahwa KVA memiliki risiko relatif

tinggi terhadap terjadinya ISPA. Studi Sommer dkk, di Indonesia dan studi Milton

dkk, di India menunjukkan asosiasi yang kuat antara Xeroftalmia moderat dengan

menunjukkan peningkatan kejadian ISPA, sementara penelitian Mamdani. Di

Australia menunjukkan rendahnya kejadian ISPA pada anak-anak yang diberi

suplemen vitamin A dibandingkan dengan anak-anak yang tidak diberi suplemen

vitamin A. Keadaan tersebut dapat dijelaskan melalui percobaan pada binatang,

dimana didapatkan adanya kreatinisasi dan kerusakan sel-sel penghasil cairan

pada saluran nafas, baik bagian atas maupun bawah (Santoto 1992). Berikut

rata-rata konsumsi bahan makanan yang mengandung sumber vitamin A.

Tabel 19 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin A per hari

Jenis panganISPA Tidak-ISPA

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG vitamin A (%)

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG vitamin A (%)

Telur 18,33 13,6 36,83 17,48Bayam 5,33 7 3 2,53Wortel 1,67 6,7 10 25,6Ubi Jalar 1,33 2,9 3,33 4,1Kangkung 3,67 2,9 1,3 0,68Semangka 12,67 1,4 23,33 1,67

Vitamin A terdapat didalam pangan hewani sedangkan karoten terutama

didalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, dan kuning telur,

sedangkan sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau serta buah-buahan

seperti kangkung, bayam, wortel, pepaya, mangga dan jeruk. Tabel 19

menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi

vitamin A paling besar. Jenis pangan sumber vitamin A yang di konsumsi balita

ISPA adalah telur rata-rata konsumsi sebesar 18,33 gr/hari, bayam 5,33 gr/hari

dan wortel 1,67 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan

sumber vitamin A yang dikonsumsi adalah wortel rata-rata konsumsi sebesar 10

gr/hari, telur 36,83 gr/hari, dan ubi 3,33 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan

vitamin A dapat dilihat pad Tabel 20 berikut ini :

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A

Tingkat kecukupan vitamin AISPA Tidak ISPA

n % n %

Defisiensi berat 24 80 21 70Defisiensi sedang 1 3,3 2 6,7Defisiensi ringan 3 10 3 10Normal 1 3,3 0 0Lebih 1 3,3 4 13,3

Total 30 100,00 30 100,00Rata-rata asupan 375±1.141 586±1.835

Rata-rata tingkat kecukupan (%) 88,23 137,88

Sebaran tingkat kecukupan vitamin A yang terlihat pada tabel 20

menunjukan bahwa balita yang menderita ISPA mengalami defisensi berat

sebesar 80%, sedangkan balita yang tidak menderita ISPA sebesar 70%. Rata-

rata kecukupan vitamin A balita ISPA dan balita tidak ISPA adalah 375 RE dan

587 RE, sedangkan standar deviasinya adalah 1.141 dan 1.835. Hasil analisis

menggunakan Independent samples t-test menunjukan tidak ada perbedaan

yang signifikan antara asupan vitamin A pada balita ISPA dan tidak ISPA

(p=0,595) (p>0,05). Hal ini disebabkan karena pada saat anak menginjak usia

balita yaitu umur 12-59 bulan, banyak permasalahan yang dihadapi terutama

makan. Pada usia ini anak sangat sulit sekali makan, suka makanan jajanan dan

tidak menyukai sayuran. Sedangkan sumber vitamin A yang paling baik terdapat

pada sayuran hijau dan buah-buahan.

Jika balita yang menderita ISPA terus mengalami defisiensi berat vitamin

A maka fungsi sel-sel kelenjar kulit menjadi kering, kasar dan luka sukar sembuh.

Membran mukosa tidak dapat mengeluarkan cairan ende dengan sempurna

sehingga mudah terserang bakteri (infeksi). Vitamin A berpengaruh terhadap

fungsi kekebalan tubuh manusia (Almatsier 2004). Sehingga, fungsi kekebalan

tubuh menurun sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi

trakea dan paru-paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan ender

sehingga mudah dimasuki mikroorganisme atau virus dan menyebabkan infeksi

saluran pernafasan (Almatsier 2004).

Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin EFungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam

lemak dan mudah memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur

cincin ke radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat

merusak, yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Tabel 21

menyajikan rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin E.

Tabel 21 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin E per hari

Jenis panganISPA Tidak-ISPA

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG vitamin E (%)

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG vitamin E (%)

Telur 18,33 22 36,83 35Kue 5,23 18,8 12,63 34,4Chiki 5,00 18 5,06 4,5Tempe 10,33 12,4 25,50 23,2Ikan segar 2,33 2,8 14,67 13,3

Vitamin E banyak terdapat dalam bahan makanan, sumber utama

vitamin E adalah minyak tumbuh-tumbuhan terutama minyak kecambah

gandum dan biji-bijian. Sayuran, buah-buahan dan juga daging, ikan

merupakan sumber vitamin E yang baik namun dalam jumlah yang

terbatas. Tabel 21 menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi

mempunyai nilai kontribusi vitamin E paling besar. Jenis pangan sumber

vitamin E yang di konsumsi balita ISPA adalah telur rata-rata konsumsi

sebesar 18,33 gr/hari, kue 5,23 gr/hari dan chiki 1,67 gr/hari, di

bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber vitamin E

yang dikonsumsi adalah telur rata-rata konsumsi sebesar 36,83 gr/hari,

kue 12,63 gr/hari, dan tempe 25,5 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan

vitamin E dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini :

Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin E

Tingkat kecukupan vitamin EISPA Tidak ISPA

n % n %

Defisiensi berat 28 93,3 29 96,7Defisiensi sedang 1 3,3 1 3,3Defisiensi ringan 1 3,3 0 0Normal 0 0 0 0Lebih 0 0 0 0

Total 30 100,00 30 100,00Rata-rata asupan 1,67±1,27 2,2±1,12

Rata-rata tingkat kecukupan (%) 25,69 33,8

Pada penelitian ini asupan vitamin E yang paling rendah yaitu 0 mg dan

tertinggi yaitu 4,8 mg dengan rata-rata asupan vitamin E pada balita ISPA yaitu

1,67 mg dan standar deviasi sebesar 1,27. Anjuran angka kecukupan gizi vitamin

E umur 1-3 tahun yaitu 6 mg sedangakn umur 4-5 tahun yaitu 7 mg. Sebagian

besar tingkat kecukupan vitamin E mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA

(93,3%) sedangkan pada balita tidak ISPA (96,7%). Hasil analisis menggunakan

Independent samples t-test menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan

antara asupan vitamin E pada balita ISPA dan tidak ISPA. nilai p=0,088 (p>0,05).

Defisiensi vitamin E jarang ditemukan oleh sebab makanan sehari-hari

mengandung cukup vitamin E, akan tetapi dalam penelitian ini hampir sebagian

besar balita mengalami defisiensi berat vitamin E. Hal ini diduga karena balita

mengalami defisiensi juga protein dan vitamin A. Seperti yang kita ketahui bahwa

sumber vitamin E terdapat pada sayuran, buah-buahan dan daging. Namun

sumber vitamin E yang banyak dikonsumsi oleh balita ISPA maupun tidak ISPA

berasal dari makanan jajanan seperti kue dan chiki, dimana minyak tumbuh-

tumbuhan sebagai sumber vitamin E digunakan dalam proses pengolahan

makanan tersebut.

Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin CFungsi vitamin C yaitu membantu enzim dalam melakukan fungsinya dan

juga bekerja sebagai antioksidan. Vitamin C juga penting untuk membentuk

kolagen, serat, struktur protein serta meningkatkan ketahanan tubuh terhadap

infeksi dan membantu tubuh menyerap zat besi. Keadaan kekurangan vitamin C

akan mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C diperlukan proses

pematangan eritrosit dan pada pembentukan tulang dan dentin, vitamin C

mempunyai peranan penting pada respirasi jaringan (Pudjiadi 2001).

Vitamin C banyak sekali manfaatnya salah satunya adalah mencegah

infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau

pengaruh terhadap fungsi kekebalan. Menurut Pauling, mengemukakan bahwa

mengkonsumsi vitamin C dalam dosis tinggi dapat menyembuhkan infeksi

(Almatsier 2004). Berikut adalah rata-rata konsumsi bahan makanan sumber

vitamin C.

Tabel 23 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin C per hari

Jenis panganISPA Tidak-ISPA

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG vitamin C (%)

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG vitamin C (%)

Jeruk 13 19,7 11,33 46,12Pepaya 4 10,1 25 12,61Ale-ale 36,67 9,5 13,3 2,52Mangga 4,33 8,8 0 0Bayam 5,33 7,3 3 3,03Kentang 6,67 4,1 0 0

Vitamin C pada umumnya hanya terdapat didalam pangan nabati, yaitu

sayur dan buah terutama yang berasa asam, seperti jeruk, nanas, rambutan,

pepaya, gandaria, dan tomat. Tabel 23 menampilkan konsumsi bahan makanan

yang mempunyai nilai kontribusi vitamin C paling besar. Jenis pangan sumber

vitamin C yang di konsumsi balita ISPA adalah jeruk rata-rata konsumsi sebesar

13 gr/hari, pepaya 4 gr/hari dan minuman ale-ale 1,67 gr/hari, di bandingkan

dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber vitamin C yang dikonsumsi

adalah pepaya rata-rata konsumsi sebesar 25 gr/hari, jeruk 11,33 gr/hari, dan

bayam 3 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan vitamin C dapat dilihat pada Tabel

24 berikut ini :

Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C

Tingkat kecukupan vitamin CISPA Tidak ISPA

n % n %

Defisiensi berat 21 70 19 63,3Defisiensi sedang 1 3,3 1 3,3Defisiensi ringan 1 3,3 2 6,7Normal 3 10 2 6,7Lebih 4 13,3 6 20

Total 30 100,00 30 100,00Rata-rata asupan 23,27±28,74 31,71±35,53

Rata-rata tingkat kecukupan (%) 54,75 74,61

Pada penelitian ini asupan vitamin C yang paling rendah yaitu 0,6 mg dan

tertinggi yaitu 165,4 mg dengan rata-rata asupan vitamin C pada balita ISPA

yaitu 23,27 mg dan standar deviasi sebesar 28,74. Sebaran tingkat konsumsi

vitamin C yang terlihat pada tabel 24 menunjukan bahwa balita yang menderita

ISPA mengalami defisensi berat sebesar 70%, sedangkan balita yang tidak

menderita ISPA sebesar 63,3%. Berdasarkan uji statistik nilai p=0,316 (p>0,05).

Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan

vitamin C pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini diduga karena faktor

ketidaksukaan balita terhadap buah-buahan dan sayuran, dan lebih menyukai

makanan jajanan seperti chiki.

Konsumsi dan tingkat kecukupan sengDi Indonesia, data defisiensi seng masih terbatas. Sejauh ini belum

dijumpai penelitian seng dalam skala besar di Indonesia. Hal ini disebabkan

rentannya kontaminasi penanganan spesimen sejak persiapan, pelaksanakan

dan pemrosesan baik di lapangan maupun di laboratorium untuk penentuan

seng. Secara keseluruhan, sekitar 800.000 anak yang meninggal per tahun

berkaitan dengan defisiensi seng. Kematian dan peningkatan penyakit infeksi ini

mengakibatkan 1,9% dari keseluruhan DALYs (Disability Adjusted Life Years)

yang berkaitan dengan defisiensi seng. Menurut WHO, secara global jumlah

tersebut terjadi 10,8 juta kematian anak per tahun berkaitan dengan defisiensi

seng, vitamin A, dan besi, atau sekitar 19% keseluruhan kematian anak. Berikut

rata-rata konsumsi bahan makanan sumber seng.

Tabel 25 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber seng per hari

Jenis pangan

ISPA Tidak-ISPA

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG seng (%)

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG seng (%)

Nasi 174 20,9 221,67 25Tahu 28,16 5,9 7,2 6,8Telur 18,33 5,5 11,1 10,5Tempe 10,33 5 12,2 11,5Baso 3,5 4 13 13,9

Sumber paling baik adalah sumber protein hewani, terutama daging, hati,

kerang, dan telur. Serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga merupakan

sumber yang baik, namun mempunyai ketersediaan biologik yang rendah. Tabel

25 menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi

seng paling besar. Jenis pangan sumber seng yang di konsumsi balita ISPA

adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari, tahu 28,16 gr/hari dan telur

18,33 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber

seng yang dikonsumsi adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 221,67 gr/hari,

baso 13 gr/hari, dan tempe 12,2 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan seng dapat

dilihat pada Tabel 26 berikut ini :

Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan seng

Tingkat kecukupan sengISPA Tidak ISPA

n % n %

Defisiensi berat 29 96,7 29 96,7Defisiensi sedang 0 0 0 0Defisiensi ringan 1 3,3 1 3,3Normal 0 0 0 0Lebih 0 0 0 0

Total 30 100,00 30 100,00Rata-rata asupan 2,95±1,13 3,54±0,99

Rata-rata kecukupan (%) 32,96 39,55

Secara keseluruhan berdasarkan tingkat kecukupan seng diketahui

bahwa balita yang menderita ISPA maupun tidak menderita ISPA mayoritas

mengalami defisiensi berat sebesar 96,7%. Pada penelitian ini asupan seng yang

paling rendah yaitu 1,5 mg dan tertinggi yaitu 6,8 mg dengan rata-rata asupan

seng pada balita ISPA yaitu 2,95 mg dan standar deviasi sebesar 1,13.

Berdasarkan uji statistik nilai p=0,036 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada

perbedaan yang signifikan antara asupan seng dengan balita ISPA dan tidak

ISPA. Walaupun sama-sama mengalami defisiensi berat, akan tetapi asupan

seng pada balita tidak ISPA lebih tinggi dengan rata-rata asupan 3,54 mg atau

rata-rata kecukupan sebesar 39,55%. Dari hasil penelitian bahwa di Indonesia

tingkat konsumsi seng pada kelompok umur 12-59 bulan rata-rata sebesar 23-

36% AKG. Tidak seperti zat gizi lainnya, tubuh tidak memiliki cadangan seng,

akan tetapi seng ada di hampir semua sel dan jaringan tubuh terkadang dalam

konsentrasi yang tinggi. Beberapa studi memperlihatkan suplementasi seng

dapat meningkatkan pertumbuhan anak, menurunkan kejadian diare, malaria dan

pneumonia serta mortalitas (Herman 2009).

Konsumsi dan tingkat kecukupan besiMineral yang penting bagi pekerja adalah zat besi (Fe). Fungsi zat besi

adalah untuk membentuk Hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen

yang sangat di perlukan pada proses metabolisme di dalam sel, pembentukan

energi. Kekurangan zat besi akan berakibat anemia (Mahan 2000).

Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam

tubuh manusia dan hewan. Yaitu sebanyak 3-5 gr di dalam tubuh manusia

dewasa, besi mempunyai beberapa fungsi essensial dalam tubuh, sebagai alat

angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Sebagai alat angkut elektron di

dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi di dalam jaringan tubuh.

(Almatsier 2004).

Tabel 27 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber besi per hari

Jenis panganISPA Tidak-ISPA

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG Besi (%)

Konsumsi(gr/hari)

Kontribusi terhadapAKG Besi (%)

Tempe 10,33 18,64 25,5 52,61Nasi 174 14,97 221,67 21,9Roti 11,33 10,40 4,5 4,74Telur 18,33 7,67 36,83 17,69Bayam 5,33 5,23 3 3,38Mie 9,23 4,45 23,5 13,00

Sumber paling baik adalah sumber protein hewani, terutama daging, hati,

unggas dan ikan. Serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga beberapa jenis

buah, jumlah besi perlu diperhatikan kualitas besi didalam makanan, dinamakan

juga ketesediaan biologik (bioavabilitas) pada umumnya besi didalam daging

mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi dibandingkan dengan sayuran,

terutama yang mengandung asam okslalat yang tinggi seperti bayam. Tabel 27

menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi besi

paling besar. Jenis pangan sumber besi yang di konsumsi balita ISPA adalah

tempe rata-rata konsumsi sebesar 10,33 gr/hari, nasi 174 gr/hari dan roti 11,33

gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber besi

yang dikonsumsi adalah tempe 25,5 rata-rata konsumsi sebesar 25,5 gr/hari,nasi

221,67 gr/hari, dan telur 36,83 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan besi dapat

dilihat pada tabel 28 berikut ini :

Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan besi

Tingkat kecukupan FeISPA Tidak ISPA

n % n %

Defisiensi berat 23 76,7 19 63,3Defisiensi sedang 3 10 3 10Defisiensi ringan 2 6,7 2 6,7Normal 1 3,3 4 13,3Lebih 1 3,3 2 6,7

Total 30 100,00 30 100,00Rata-rata asupan 5,816±10,64 5,06±2,75

Rata-rata kecukupan (%) 68,42 59,5

Secara keseluruhan berdasarkan tingkat konsumsi besi diketahui bahwa

sebagian besar tingkat kecukupan besi mengalami defisiensi berat, pada balita

ISPA sebesar 76,7% sedangkan pada balita tidak ISPA sebesar 63,3%. Pada

penelitian ini rata-rata asupan besi pada balita ISPA yaitu 5,81 mg dan standar

deviasi sebesar 10,64. Berdasarkan uji statistik nilai p=0,169 (p>0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan besi

pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini diduga karena sumber makanan yang

kaya akan zat besi seperti daging, hati dan ikan jarang dikonsumsi. Sedangkan

zat besi yang dikonsumsi oleh balita ISPA dan tidak ISPA sebagian besar

berasal dari serealia dan kacang-kacangan, dimana bioavabilitasnya yang

rendah.

Status Gizi

Hubungan yang signifikan antara status gizi dengan ISPA tidak lain

karena status gizi sangat berpengaruh terhadap status imun atau kekebalan

anak. Kurang gizi pada anak akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan

tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan

infeksi menjadi turun. Hal inilah yang menyebabkan anak sangat potensial

terkena penyakit infeksi seperti ISPA (Siswatiningsih 2001).

Penelitian yang dilakukan smith et al (1991) menyebutkan bahwa anak

yang mengalami kurang gizi kronik berdampak terhadap sel imun mediasi dan

produksi antibodi, sehingga memperbesar peluang terjadinya penyakit infeksi.

Konsentrasi antibodi antipneumococcal pada anak kurang gizi juga sangat

rendah, sehingga meningkatkan risiko terserang infeksi saluran pernafasan

seperti ISPA. Disamping kurang gizi, anak yang mengalami gizi lebih juga

mengalami risiko lebih tinggi terkena penyakit infeksi jika dibandingkan dengan

status gizi normal. Seperti yang dikemukakan oleh Chandra (1991) yang

menyatakan bahwa anak dengan status gizi lebih mempunyai penurunan jumlah

limfosit, penurunan aktivitas sel Natural-killer (sel-NK) dan penurunan stimulasi

limposit T jika dibandingkan dengan anak status gizi normal. Penurunan sistem

kekebalan tubuh inilah yang menyebabkan anak potensial terkena penyakit

infeksi.

Status Gizi BB/UUntuk menentukan atau menaksir status gizi seseorang dilakukan

pengukuran untuk menilai berbagai tingkatan kurang gizi yang ada atau mungkin

ada. Pengukuran yang dipakai biasanya menunjuk kepada indikator atau

parameter dan dinamakan demikian karena berguna sebagai indeks untuk

menunjukan kepada tingkatan status gizi dan kesehatan yang berbeda (Suhardjo

1996).

Indikator berat badan dipergunakan pada masa bayi sampai balita untuk

melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan

klinis. Seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor. Disamping itu pula,

berat badan dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan dosis obat dan

makanan. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan

mineral pada tulang. Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat dan

protein otot menurun. Pada orang yang edema dan ascites, terjadi penambahan

cairan dalam tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan jaringan lemak dan otot,

khususnya terjadi pada orang kekurangan gizi (Supariasa 2001).

Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting, dipakai

pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok

umur. Berat badan merupakan hasil peningkatan/penurunan semua jaringan

yang ada pada tubuh. Antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lain.

Berat badan dipakai sebagai indikator yang terbaik pada saat ini untuk

mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap

perubahan sedikit saja, pengukuran objektif dan dapat diulangi, dapat digunakan

timbangan apa saja yang relatif murah, mudah dan tidak memerlukan banyak

waktu. Kerugiannya, indikator berat badan ini tidak sensitif terhadap proporsi

tubuh. Misalnya pendek gemuk atau tinggi kurus (Soetjiningsih 2004).

Indikator berat badan sering dimanfaatkan dalam klinik sebagai bahan

informasi untuk menilai keadaan gizi, baik akut maupun kronis, serta untuk

penilaian tumbuh kembang anak dan kesehatan. Selain itu, berat badan juga

dapat digunakan untuk memonitor keadaan kesehatan, misalnya pada

pengobatan penyakit (Soetjiningsih 2004). Berikut sebaran status gizi contoh

menurut BB/U.

Tabel 29 Sebaran status gizi contoh menurut BB/U

KategoriISPA Tidak ISPA

n % n %

Kurang (-3.0 SD s/d -2.0 SD) 13 43,3 13 43,3Baik (-2.0 SD s/d 2.0 SD) 17 56,7 17 56,7Lebih (< - 3 SD) 0 0 0 0

Total 30 100,00 30 100,00Rata-rata z-skor -1,71±0,84 -1,59±0,93

Secara keseluruhan berdasarkan indikator BB/U diketahui bahwa balita

yang menderita ISPA dan tidak menderita ISPA mayoritas sebesar 56,7%

memiliki status gizi normal atau baik. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukan

bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi balita menurut

BB/U pada balita ISPA dan tidak ISPA yang ditunjukan oleh nilai p=0,60

(p>0,05). Hal tersebut diduga karena kondisi ISPA yang diamati dalam penelitian

ini adalah terbatas sekitar 2 minggu, sehingga kurang menggambarkan efek dari

ISPA. Namun jika balita pada keadaan gizi yang normal atau baik akan lebih

cepat mengalami penyembuhan dibandingkan dengan balita gizi kurang, dimana

pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan

serangannya lebih lama dan lebih mudah terserang ISPA kembali dibandingkan

karena faktor daya tahan tubuh yang rendah. Di samping itu penyakit infeksi

sendiri menyebabkan nafsu makan balita menurun dan mengakibatkan

kekurangan gizi.

Status gizi TB/UTinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring

dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,

relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang pendek.

Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu

relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut diatas, maka indeks ini

menggambarkan status gizi masa lalu. Berikut adalah sebaran status gizi contoh

berdasarkan TB/U.

Tabel 30 sebaran status gizi contoh berdasarkan TB/U

KategoriISPA Tidak ISPA

n % n %

Buruk (<-3,0) 0 0 1 1,00Pendek/Stunted (-3,0 SD s/d -2,0) 12 40,00 8 26,0Normal (-2,0- s/d 2,0) 18 60,00 21 70,00

Total 30 100,00 30 100,00Rata-rata z-skor -1,42±1,54 -1,45±1,28

Sebagian besar contoh mengalami status gizi normal berdasarkan TB/U,

pada balita ISPA (60%) sedangkan pada balita tidak ISPA (70%). Berdasarkan

hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi

berdasarkan TB/U dengan balita ISPA dan tidak ISPA yang ditunjukan dengan

nilai p=0,932 (p>0,05). Penderita ISPA dapat berlangsung sampai dengan 14

hari karena berdasarkan proses akut tersebut, akan tetapi jika ditangani dengan

baik dan status gizi seseorang baik maka proses penyembuhan bisa lebih cepat.

Oleh karena itu mengapa dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan status

gizi antara penderita ISPA dan tidak ISPA, karena parameter yang digunakan

adalah tinggi badan menurut umur, dimana parameter tersebut menggambarkan

keadaan gizi masa lampau.

Status Gizi BB/TBBerat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam

keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan

tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Hal ini didukung dengan faktor-faktor

seperti konsumsi, pengetahuan dalam memilih makanan, pendapatan, akses

pangan, pelayanan kesehatan, serta pola asuh yang baik. Indeks BB/TB

merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini/sekarang

(Supariasa 2001). Berikut adalah sebaran status gizi contoh berdasarkan BB/TB.

Tabel 31 Sebaran status gizi contoh berdasarkan BB/TB

KategoriISPA Tidak ISPA

n % n %Kurus (-2.00 SD) 6 20,00 5 16,70Normal (-2.00 SD ± 2.00 SD) 24 80,00 85 83,30Gemuk (>2.00 SD) 0 00,00 0 00,00

Total 30 100,00 30 100,00Rata-rata z-skor -1,054 ± 1,124 -0,898 ± 1,057

Status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan secara umum

berkategori normal. Balita yang menderita ISPA mayoritas 80% dan balita tidak

menderita ISPA 83,30%. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status

gizi balita yang menderita ISPA dan tidak menderita ISPA berdasarkan BB/TB

yang ditunjukan oleh p=0,74 (p>0,05). Hal ini dikarenakan berat badan balita

mayoritas normal, pertumbuhan dan perkembangan berat badan dan tinggi

badan berlangsung normal. Artinya meningkatnya berat badan diiringi dengan

bertambahnya tinggi badan balita sehingga anak terlihat normal. ISPA pada

balita dapat menyebabkan tubuh menjadi kurus karena zat gizi yang seharusnya

digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan terganggu melawan infeksi

yang masuh kedalam tubuh. Namun dalam penelitian ini efek dari infeksi tersebut

terhadap status gizi tidak terlihat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap masing-masing 30 penderita ISPA

dan tidak ISPA dapat disimpulkan bahwa :

Sebanyak 36,7% tingkat pendidikan orang tua contoh pada balita ISPA

hanya sampai tingkat SLTP, sedangkan pada balita tidak ISPA (40%) sampai

tingkat SLTA. Sebagian besar 60% jenis pekerjaan ayah contoh pada balita ISPA

adalah buruh pabrik, sedangkan pada balita tidak ISPA (33,3%) sebagai buruh

dan pegawai swasta. Besar keluarga contoh adalah kategori keluarga kecil pada

balita ISPA (50%) sedangkan pada balita tidak ISPA (73,3%). Sebagian besar

63,3% rumah tangga balita ISPA tergolong miskin, sedangkan balita tidak ISPA

(63,3%) tergolong tidak miskin. Sebagian besar 76,7% anggota keluarga contoh

pada balita ISPA mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah, sedangkan pada

balita tidak ISPA (63,3%).

Mayoritas 83,3% responden yang menderita ISPA berumur 12-36 bulan,

sedangkan balita tidak ISPA (80%). Berdasarkan jenis kelaminnya sebagian

besar 63,3% responden laki-laki menderita ISPA, sedangkan pada balita tidak

ISPA (56,7%) responden adalah perempuan.

Berdasarkan tingkat kecukupan energi diketahui bahwa sebagian besar

56,7% balita ISPA dan balita tidak ISPA (40%) mengalami defisiensi berat. Dari

hasil uji statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan energi pada

balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Tingkat kecukupan protein pada balita ISPA

(40%) mengalami defisiensi berat, sedangkan pada balita tidak ISPA (43,3%)

mengalami tingkat kecukupan lebih. Ada perbedaan yang signifikan antara

asupan protein pada balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Sebagian besar tingkat

kecukupan vitamin A mengalami defisensi berat, pada balita ISPA (80%)

sedangkan pada balita tidak ISPA (70%). Tidak ada perbedaan yang signifikan

antara asupan vitamin A pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian

besar tingkat kecukupan vitamin E mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA

(93,3%) sedangkan pada balita tidak ISPA (96,7%). Tidak ada perbedaan yang

signifikan antara asupan vitamin E pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).

Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin C mengalami defisiensi berat, pada

balita ISPA sebesar 70% sedangkan pada balita tidak ISPA sebesar 63,3%.

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan vitamin C pada balita ISPA

dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan seng mengalami

defisiensi berat, pada balita ISPA maupun balita tidak ISPA sebesar 96,7%. Ada

perbedaan yang signifikan antara asupan seng pada balita ISPA dan tidak ISPA

(p<0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan besi mengalami defisiensi berat,

pada balita ISPA sebesar 76,7% sedangkan pada balita tidak ISPA sebesar

63,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan besi pada balita

ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).

Sebagian besar 56,7% status gizi contoh berdasarkan BB/U mengalami

status gizi normal, baik pada balita ISPA maupun tidak ISPA. Sebagian besar

contoh mengalami status gizi normal berdasarkan TB/U, pada balita ISPA (60%)

sedangkan pada balita tidak ISPA (70%). Sebagian besar contoh mengalami

status gizi normal berdasarkan BB/TB, pada balita ISPA sebesar 80% sedangkan

pada balita tidak ISPA (83,30%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara

status gizi berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB pada balita ISPA dan tidak ISPA

(p>0,05).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan yang signifikan antara

asupan energi, protein, dan seng pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini dapat

dikatakan bahwa ISPA mempengaruhi terhadap asupan energi, protein, dan

seng. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa asupan vitamin A, vitamin E,

vitamin C, dan Fe dalam kategori defisiensi berat sehingga perlu untuk

meningkatkan asupan. Dengan demikian para orang tua balita sebaiknya segera

melakukan pencegahan dengan mengupayakan kebutuhan zat gizi agar

kecukupan terpenuhi. Untuk Puskesmas diharapkan melakukan penyuluhan

tentang gizi agar kejadian ISPA tidak menjadi parah dan menjadi akut.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang

mempengaruhi kejadian ISPA seperti luas bangunan rumah, ketersediaan

fentilasi, keadaan lingkungan tempat tinggal, dan status imuniasasi yang tidak

diteliti oleh peneliti sehingga dalam penelitian selanjutnya dapat ditambahkan

variabel-variabel tersebut.

DAFTAR PUSTAKAAlmatsier, S. (2004). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia

Pustaka Utama. (2005). “Penuntun Diet”. Jakarta : PT Gramedia

Pustaka UtamaAlsagaff H and W.B.M Taib Saleh. (1998). Ilmu Penyakit Paru. Airlangga

University PressArisman. 2003. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit buku

kedokteran EGC.BPS ( 2004). Profil Kemiskinan di Indonesia 2004. Jakarta : BPSDepkes RI. (2001). Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. dalam

http//kesehatanlingkungan.com. Januari 2010. (2002). Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Akut Untuk Penanggulangan Pnemonia Pada Balita.Jakarta. http//Litbang.depkes.co.id. Januari 2010

Dinkes Jabar. (2005). Profil Kesehatan Propinsi Jawa Barat Tahun 2004.Bandung

Eka, DS. (2009). “Hubungan antara pemajanan particulate matter 10µm(PM10) dengan gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)pada pekerja pertambangan kapur tradisional” (studi dipertambangan kapur tradisional gunung masigit, Cipatat,Kabupaten Bandung Barat Tahun2009).http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id-125375 &lokasi-lokal, Oktober 2010

Endah, N et al. (2009). “Penyakit ISPA Hasil Riskesdas Di Indonesia”.dalam Buletin Penelitian Kesehatan Edisi Suplement hal 50-55tahun 2009. Bogor

Fitri, I (2008). Analisis Asupan Vitamin A, Vitamin C dan kejadian penyakit ISPApada anak balita. Karya Tulis Ilmiah. Poltekkes Depkes Bandung.Jurusan Gizi

Gibson, R.S. (1991). Principles Of Nutrition Assesment. New York : OxfordUniversity Press.

Hapsari, D et al. (2009). “Pengaruh Lingkungan Sehat dan Perilaku HidupSehat Terhadap Kesehatan”. dalam Buletin Penelitian KesehatanEdisi Suplement hal 40-49 tahun 2009. Bogor

Hardinsyah. (1996). Angka Kecukupan Energi Protein, Lemak dan SeratMakanan, Prosding Widyakarya Nasional pangan dan Gizi VIII,LIPI, Jakarta : 317-330

Hartono, A. (2000). “Asuhan Nutrisi Rumah Sakit”. Jakarta : Penerbit BukuKedokteran EGC.

Herman, S. (2009) “Review On The Problem Of Zinc Defficiency, ProgramPrevention And Its Prospect” dalam Media Penelitian danPengembangan Kesehatan volume XIX tahun 2009. Bogor

Husaini dan Muhilal. (1996). “Defesiensi Zat Gizi Makro”. dalam PeranPangan dan Gizi Dalam Menyongsong Era Globalisasi. Surabaya: Pergizi Pangan Indonesia Jawa Timur

Irianto, K. (2004). Gizi dan Pola Hidup Sehat: Yrama Widya. Bandung

Khumaidi M. 1994. Bahan Pengajaran Gizi Masyarakat. Jakarta: PT. BPKGunung Mulia bekerja sama dengan Pusat Antar UniversitasPangan dan Gizi IPB.

Kumalaningsih, S. (2006). Anti Oksidan. Jakarta : Bumi AksaraLaporan Puskesmas Cipatat. (2009). Bandung. Puskesmas Cipatat 2009.Madanijah, S. Pola Konsumsi Pangan, dalam Pengantar Pangan dan Gizi.

BogorMahan, K. (2000). Peranan dan Gizi Untuk Kualitas Hidup. Jakarta : PT.

Rajagrafindo Persada.Maitatorum, E (2009). Hubungan Status Gizi, Asupan Protein dan Asupan

Seng dengan kejadian ISPA pada anak Balita di RW VIIKelurahan Sewu Kecamatan Jebres Kota Surakarta. Skripsi.Surakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan dalamhttp//linkpdf.com/skripsi/hubungan status gizi asupan protein danseng pada ispa. Oktober 2010

Marsetyo. (2005). Ilmu Gizi, Korelasi Gizi, Kesehatan dan ProduktifitasKerja. Jakarta. PT. Rineka cipta

Moehji, S. 2003. Ilmu Gizi 2 dalam Penanggulangan Gizi Buruk. PapasSinar Sinanti. Jakarta.

Mukono. (1997). “Pengaruh Pencemaran Udara Terhadap ISPA” dalamwww.Error! Hyperlink reference not valid. [20 Februari 2011]

Murray, R.K. (2003). Biokimia Harper. Jakarta : Penerbit Buku KedokteranEGC

Nkondjock , Andre and Ghadirian, Parviz. “Intake of Specific Carotenoidsand Essential Fatty Acids and Breast Cancer Risk in Montreal,Canada” dalam American Journal of Clinical Nutrition 79(5) : 857– 864

Permana SM. 2006. Gaya hidup pria dewasa di pedesaan dan perkotaanBogor kaitannya dengan faktor risiko penyakit jantung koroner.Skripsi Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan SumberdayaKeluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pudjiadi, S. (2001). Ilmu Gizi Klinis Pada Anak edisi ke-4. Jakarta : BalaiPenerbit FKUI

Reddy et al. (2004). “Role of Free Radicals and Antioxidants inTuberculosis Patients” dalam Indian Journal of Tuberculosis 51 :213-218

Riyadi. 2006. Gizi dan Kesehatan Keluarga. Jakarta: Universitas Terbuka.Rolfes et al. (2006). “Understanding Nutrition and Clinical Nutrition”.

Seventh edition. USA : Thomson Higher EducationRosyida A. 2010. Tingkat Konsumsi Energi dan Zat Besi (Fe), Status Gizi

dan Produktivitas Kerja Karyawan Pada Bagian Produksi PT AirMancur Palur, Karanganyar. Sarjana Jurusan Gizi Masyarakatdan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor, Bogor.

Sab’atmaja, S. et al (2010). “Analisis determinan Positive Deviance StatusGizi Balita di Wilayah Miskin Dengan Prevalensi Kurang GiziRendah dan Tinggi”. Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2010 volume 5(1): 103-112.

Satoto (2001). Seleneium dan Kurang Iodium dalam Kumpulan NaskahPertemuan Ilmiah Nasional Gangguan Akibat Kurang Yodium(GAKY) 2001 editor Djokomoeljanto, dkk. Semarang, Badanpenerbit Universitas Diponegoro. 2001 dalamhttp//kalbe.co.idfilescdkfiles. Oktober 2010

Sies ,Helmut and Stahl, Wilhelm. (1995). “Vitamins E and C, β-Carotene,and Other Carotenoids as Antioxidants” dalam American Journalof Clinical Nutrition 62 : 1315S – 12S

Singarimbun, M dan Efendi, S. (2006). “Tipe, Metode dan Peneliian”,Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta

Sitompul, B. (2003). “Antioksidan dan Penyakit Aterosklerosis” dalamMEDIKA No.6 tahun XXIX :373-377

Soediaoetama, AD. (1997). Ilmu Gizi II. Jakarta : Penerbit BukuKedokteran EGC.

, 2000. Ilmu gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta :Dian Rakyat.Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Anak. Jakatra : EGC penerbit

buku kedokteran.Sommer, A. (2004). Defesiensi Vitamin A dan Akibatnya Edisi 3. Jakarta :

EGCSridhar. (1995). “Nutrition and Lung Health” dalam British Medical Journal

310 : 75–76Sudiana, I. (2005). “pengaruh suplementasi seng terhadap morbiditas

diare dan infeksi saluran pernafasan akut pada anak umur 6bulan-2 tahun. TESIS. UNDIP 2005.

Suhardjo. (1989). Sosio Budaya gizi. Pusat Antar Universitas Pangan danGizi IPB. Bogor

. (2003). Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Bogor : Bumi AksaraSupariasa I D Nyoman, dkk. (2001). Penilaian Status Gizi. Penerbit buku

kedokteran EGC. JakartaWinarno. F.G. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia

Pustaka UtamaWNPG VIII. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi

Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI.Yoon et al. (1997). The effect of malnutrition on the risk of diarrheal and

respiratory mortality in children < 2 y of age in Cebu, Philippines.http://www.ajcn.org/cgi/content/abstract/65/4/1070

Yusuf, A (2010). Berribu tetes air mata untuk karst Citatah. Bandung :Pikiran Rakyat 29 Mei 2010

Zyefa. (2009). ISPA dan Vitamin A. dalamhttp//forumsains.com/kesehatan/ISPA danvitaminA. Agusutus2010

LAMPIRAN

Lampiran 2 Surat Pernyataan Kesediaan Mengikuti PenelitianPROGRAM PENYELENGARAAN KHUSUS S1 MAYORILMU GIZI

DEPARTEMEN KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

SURAT PERNYATAANKESEDIAAN MENGIKUTI PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :Nama :Umur :Alamat :

Bersedia membantu dan memberikan keterangan yang diperlukan dalampenelitian.

Peneliti : Fauzan Bayu Ramdani

Judul : Asupan Energi, Zat Gizi, dan Status Gizi antarabalita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan Cipatat

Tujuan Penelitian :Mengetahui Perbedaan Antara Asupan Energi, ZatGizi, dan Status Gizi pada Balita ISPA dan tidak ISPA

Bandung,....................2010

Nama Contoh

(....................................)

Lampiran 3 Kuesioner Karakteristik Soisal Ekonomi

KUESIONER KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RESPONDEN

Kode Responden:

Nama enumerator :

Hari/tgl wawancara :

Tanda tangan enumerator :

Tanda tangan responden :

A. IDENTITAS RESPONDEN1. Nama

:………………………………………………

2. Tempat tanggal lahir

:………………………………………………

3. Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2.

Perempuan

4. Berat Badan : .............................. kg

5. Tinggi Badan : .............................. cm6. Frekuensi / waktu batuk, pilek : ………..hari / minggu

7. Sesak nafas : …………kali / menit

8. Suhu badan : ……0C

9. Hasil diagnosa : ………………………

B. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RESPONDEN1. Nama ibu/bapak : ………………………

2. Pekerjaan : ………………………

3. Pendidikan Terakhir : ………………………

4. Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah :……….. orang

5. Pekerjaan (suami/istri) :……………….

6. Pendapatan anda sekarang dalam sebulan : Rp. …………..

7. Pendapatan (suami/istri) dalam sebulan : Rp. …………..

8. Kebiasaan Merokok dalam rumah : 1. Ya 2. Tidak

Lampiran 4 Form Food RecallFORM FOOD RECALL 24 JAM

Kode Responden:

Nama Balita :Alamat :Tgl wawancara :Hari ke :

WaktuNama

Hidangan

Bahan

Makanan

Porsi Konsumsi

KeteranganJumlah URT

Berat

(g)

1 2 3 4 5 6

Pagi

selingan

Siang

Catatan : .................................................................................................................................................................................................................................

....Lampiran 5 Output Analisis Data

A. Perbedaan Status gizi (BB/U) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPA

B. Perbedaan Status gizi (TB/U) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPA

Selingan

Malam

selingan

Group Statistics

penyakit ygdiderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

nilai Z skoreISPA 30 -1.7143 .84505 .15428

tidak ispa 30 -1.5937 .93816 .17128

Independent Samples Test

Levene's Testfor Equality of

Variancest-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

MeanDifference

Std. ErrorDifference

95% ConfidenceInterval of the

DifferenceLower Upper

nilai Zskore

Equalvariancesassumed

.931 .338 -.523 58 .603 -.12067 .23053 -.58211 .34078

Equalvariances not

assumed-.523 57.378 .603 -.12067 .23053 -.58222 .34089

Group Statistics

penyakit ygdiderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Independent Samples Test

Levene's Test forEquality ofVariances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

MeanDifference

Std. ErrorDifference

95% ConfidenceInterval of the

Difference

Lower Upper

nilai Zskore

Equalvariancesassumed

2.069 .156 .086 58 .932 .03167 .36767 -.70430 .76763

Equalvariances not

assumed.086 56.182 .932 .03167 .36767 -.70481 .76814

C. Perbedaan Status gizi (BB/TB) dengan Balita ISPA dan Tidak ISPAGroup Statistics

penyakit ygdiderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

nilai Z skoreISPA 30 -1.0543 1.12474 .20535

tidak ispa 30 -.8980 1.05712 .19300

Independent Samples Test

Levene's Test forEquality ofVariances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

MeanDifference

Std. ErrorDifference

95% ConfidenceInterval of the

Difference

Lower Upper

nilai Zskore

Equalvariancesassumed

.000 1.000 -.555 58 .581 -.15633 .28181 -.72044 .40778

Equalvariances not

assumed-.555 57.778 .581 -.15633 .28181 -.72049 .40782

D. Perbedaan Asupan Energi antara Balita ISPA dan tidak ISPA

Group Statistics

penyakit ygdiderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

energi ISPA 30 837.07 264.234 48.242

tidak ispa 30 962.10 198.308 36.206

Independent Samples Test

Levene's Test forEquality ofVariances

t-test for Equality of Means

nilai Z skore ISPA 30 -1.4277 1.54674 .28240

tidak ispa 30 -1.4593 1.28956 .23544

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

MeanDifference

Std. ErrorDifference

95% ConfidenceInterval of the

DifferenceLower Upper

energi

Equalvariancesassumed

.936 .337 -2.073 58 .043 -125.023 60.317 -245.762 -4.285

Equalvariances not

assumed

-2.073 53.801 .043 -125.023 60.317 -245.963 -4.084

E. Perbedaan Asupan Protein antara Balita ISPA dan tidak ISPA

Group Statistics

penyakit ygdiderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

protein ISPA 30 24.3343 9.86370 1.80086

tidak ispa 30 32.2967 10.93597 1.99663

Independent Samples Test

Levene's Test forEquality ofVariances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

MeanDifference

Std. ErrorDifference

95% ConfidenceInterval of the

Difference

Lower Upper

protein

Equalvariancesassumed

.764 .386 -2.961 58 .004 -7.96233 2.68879 -13.34453 -2.58013

Equalvariances not

assumed

-2.961 57.393 .004 -7.96233 2.68879 -13.34575 -2.57892

F. Perbedaan Asupan Vitamin A antara Balita ISPA dan tidak ISPAGroup Statistics

penyakit ygdiderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Vit_A ISPA 30 3.7589E2 1141.01900 208.32061

tidak ispa 30 5.8667E2 1835.70397 335.15216

Independent Samples Test

Levene'sTest for

Equality ofVariances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

MeanDifference

Std. ErrorDifference

95% Confidence Interval ofthe Difference

Lower Upper

Vit_AEqual

variancesassumed

.484 .489 -.534 58 .595 -210.77333 394.61937 -1000.68983 579.14316

Independent Samples Test

Levene'sTest for

Equality ofVariances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

MeanDifference

Std. ErrorDifference

95% Confidence Interval ofthe Difference

Lower Upper

Vit_AEqual

variancesassumed

.484 .489 -.534 58 .595 -210.77333 394.61937 -1000.68983 579.14316

Equalvariances

notassumed

-.534 48.498 .596 -210.77333 394.61937 -1003.99837 582.45170

G. Perbedaan Asupan Vitamin E antara Balita ISPA dan tidak ISPA

Group Statistics

penyakit ygdiderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Vit_E ISPA 30 1.6767 1.27676 .23310

tidak ispa 30 2.2167 1.12743 .20584

Independent Samples Test

Levene's Test forEquality ofVariances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

MeanDifference

Std. ErrorDifference

95% Confidence Intervalof the Difference

Lower Upper

Vit_E

Equal variancesassumed .036 .850 -

1.736 58 .088 -.54000 .31098 -1.16249 .08249

Equal variancesnot assumed

-1.736 57.125 .088 -.54000 .31098 -1.16269 .08269

H. Perbedaan Asupan Vitamin C antara Balita ISPA dan tidak ISPAGroup Statistics

penyakit ygdiderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

vit_C ISPA 30 23.2767 28.74753 5.24856

tidak ispa 30 31.7133 35.53105 6.48705

Independent Samples TestLevene's Testfor Equality of

Variancest-test for Equality of Means

F Sig. t dfSig.(2-

tailed)

MeanDifference

Std. ErrorDifference

95% ConfidenceInterval of the

Difference

Lower Upper

vit_C

Equalvariancesassumed

.576 .451 -1.011 58 .316 -8.43667 8.34441 -

25.13982 8.26649

Equalvariances not

assumed

-1.011 55.578 .316 -8.43667 8.34441 -

25.15533 8.28200

I. Perbedaan Asupan Zink antara Balita ISPA dan tidak ISPAGroup Statistics

penyakit ygdiderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Zink ISPA 30 2.9567 1.13371 .20699

tidak ispa 30 3.5467 .99090 .18091

J. Perbedaan Asupan Besi antara Balita ISPA dan tidak ISPA

Group Statistics

penyakit yg

diderita N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Kat_Tbesi ISPA 30 1.4667 1.00801 .18404

tidak ispa 30 1.9000 1.37339 .25075

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-

tailed)

Mean

Difference

Std. Error

Differenc

e

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Kat_Tb

esi

Equal variances

assumed5.256 .026 -1.393 58 .169 -.43333 .31104 -1.05594 .18927

Equal variances not

assumed-1.393 53.217 .169 -.43333 .31104 -1.05713 .19047