bab ii tinjauan pustaka a. psychological well-being pada...

31
16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja 1. Pengertian Psychological Well-Being Istilah psychological well-being pertama kali berangkat dari pandangan filsuf Aristoteles mengenai paham eudaimonisme, yang mengatakan bahwa psychological well-being berisi tentang memenuhi dan mewujudkan daimon atau sifat dasar manusia melalui proses aktualisasi diri akan potensi-potensi yang dimilikinya (Gough dalam Purwaningrum, 2016). Eudaemonia merupakan salah satu pendekatan yang fokus pada keberfungsian penuh dari diri individu untuk bertumbuh dan berarti di dalam mewujudkan tujuan yang dapat dicapai oleh diri sendiri, sehingga individu dapat merasa damai, dan dapat mengapresiasi kehidupannya (Rachmayani & Ramdhani, 2014). Konsep Ryff tentang psychological well-being sendiri merujuk pada Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi (individuation), konsep Allport tentang kematangan, konsep Erikson dalam menggambarkan individu mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepuasaan hidup, serta kriteria positif individu yang bermental sehat yang dikemukakan johanda (dalam Ryff, 1989). Berdasarkan pendekatan tersebut, Ryff pada tahun 1989 berusaha membuat sebuah teori yang dapat menggambarkan eudaemonia, dengan melibatkan ahli filsafat dan psikologi (perkembangan, klinis, humanistik) untuk

Upload: ngocong

Post on 24-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja

1. Pengertian Psychological Well-Being

Istilah psychological well-being pertama kali berangkat dari pandangan

filsuf Aristoteles mengenai paham eudaimonisme, yang mengatakan bahwa

psychological well-being berisi tentang memenuhi dan mewujudkan daimon

atau sifat dasar manusia melalui proses aktualisasi diri akan potensi-potensi

yang dimilikinya (Gough dalam Purwaningrum, 2016). Eudaemonia

merupakan salah satu pendekatan yang fokus pada keberfungsian penuh dari

diri individu untuk bertumbuh dan berarti di dalam mewujudkan tujuan yang

dapat dicapai oleh diri sendiri, sehingga individu dapat merasa damai, dan dapat

mengapresiasi kehidupannya (Rachmayani & Ramdhani, 2014).

Konsep Ryff tentang psychological well-being sendiri merujuk pada Rogers

tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan

Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang

individuasi (individuation), konsep Allport tentang kematangan, konsep

Erikson dalam menggambarkan individu mencapai integrasi dibanding putus

asa, konsep Neugarten tentang kepuasaan hidup, serta kriteria positif individu

yang bermental sehat yang dikemukakan johanda (dalam Ryff, 1989).

Berdasarkan pendekatan tersebut, Ryff pada tahun 1989 berusaha membuat

sebuah teori yang dapat menggambarkan eudaemonia, dengan melibatkan ahli

filsafat dan psikologi (perkembangan, klinis, humanistik) untuk

17

menggambarkan makna dari fungsi positif manusia, sehingga terbentuklah teori

psychological well-being yang digunakan hingga saat ini (Ryff & Singer dalam

Rachmayani & Ramdhani, 2014). Berdasarkan pendekatan tersebut, Ryff &

Keyes (1995) mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi

dimana individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan orang lain, dapat

membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu

mengendalikan lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki

tujuan hidup yang lebih bermakna, serta berusaha untuk terus mengembangkan

potensi dalam dirinya.

Konsep pychological well-being ini merupakan gambaran dari kesehatan

psikologis seseorang. Tingkat kesehatan psikologis ini didasarkan pada

pemenuhan kriteria fungsi kesehatan mental positif yang dikemukakan oleh

para ahli psikologi (Ryff, 1989). Selanjutnya, menurut Seligman (dalam

Saputra, Goei, & Lanawati, 2016), menjelaskan well-being berdasarkan dari

dimensi eudaimonic well-being mencakup seberapa bahagia individu, seberapa

engaged individu dengan hidupnya, sejauh mana individu memiliki hubungan

yang positif dengan orang lain, apakah individu memiliki makna hidup, dan

sebanyak apakah pencapaian yang dapat membanggakan individu. Sedangkan,

menurut Diener (dalam Papalia, Olds, Feldman, 2008; 804), psychological well-

being dapat didefinisikan sebagai sebuah perasaan subjektif akan kenyamanan

atau kebahagiaan dari hasil evaluasi seseorang atas kehidupannya.

Berdasarkan beberapa teori tentang psychological well-being diatas maka

pada penelitian ini, definisi dari psychological well-being yang digunakan

18

peneliti merupakan definisi dari Ryff & Keyes (1995) sehingga dapat diambil

kesimpulan, psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu

memiliki sikap positif terhadap dirinya dan orang lain, dapat membuat

keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu

mengendalikan lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki

tujuan hidup yang lebih bermakna, serta berusaha untuk terus mengembangkan

potensi dalam dirinya.

2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being

Dimensi psychological well-being menurut Ryff (1989) terdiri dari enam

dimensi yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang

lain (positive relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap

lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose of life), serta

pertumbuhan pribadi (personal growth). Dimensi-dimensi tersebut akan

berkembang dengan cara yang bervariasi pada individu dalam upaya untuk

dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1995 dalam Keyes, Shmotkin & Ryff, 2002

dalam Djabumir, 2016). Dimensi-dimensi tersebut terdiri dari :

a. Penerimaan diri (self-acceptance).

Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga

sebagai karakteristik utama dari individu dalam mencapai aktualisasi diri,

berfungsi secara optimal, dan dewasa. Individu dapat mencapai aktualisasi

diri, berfungsi secara optimal dan matang ketika individu mampu

menerima diri baik kelebihan maupun kekurangannya (Rachmayani &

Ramdhani, 2014). Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan

19

menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang

untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani.

Hal tersebut menurut Ryff (1995) menandakan psychological well-being

yang tinggi.

Individu yang memiliki tingkat yang tinggi pada penerimaan diri

ditandai dengan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan

menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya termasuk sifat positif

maupun negatif, serta memiliki pandangan positif terhadap kehidupan

masa lalu. Sedangkan individu yang memiliki tingkatan rendah pada

dimensi ini mereka memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik

akan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa

kecewa dengan pengalaman masa lalu dan mempunyai pengharapan untuk

tidak menjadi dirinya saat ini (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011

; 806)

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others).

Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam

konsep psychological well-being. Ryff menekankan pentingnya membina

hubungan yang baik dengan orang lain, yaitu individu yang memiliki

hubungan yang hangat dengan orang lain, mampu membangun

kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati serta perhatian

terhadap orang lain. Memiliki hubungan dengan orang lain yang hangat

merupakan salah satu kriteria dari sebuah kedewasaan (Djabumir, 2016).

20

Individu yang mempunyai tingkatan yang baik pada dimensi hubungan

positif dengan orang lain ditandai dengan adanya hubungan yang hangat,

memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian

terhadap kesejahteraan orang lain, mempunyai rasa afeksi dan empati yang

kuat, rasa sayang dan keintiman, serta memahami konsep memberi dan

menerima dalam hubungan antara sesama manusia. Sedangkan individu

yang memiliki tingkatan yang rendah pada dimensi ini mereka memiliki

sedikit hubungan dengan orang lain dan dapat dipercaya, merasa sulit

untuk hangat, terbuka dan peduli terhadap orang lain tidak berniat

membuat kompromi untuk mempertahankan ikatan yang penting dengan

orang lain (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806).

c. Kemandirian (autonomy).

Kemandirian digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas

namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang

mandiri adalah dapat mengevaluasi kemampuannya sendiri sehingga dapat

berusaha secara optimal (Rachmayani & Ramdhani, 2014). Dimensi

otonomi mencerminkan kemandirian (autonomy), dan kemampuan untuk

menentukan tindakan sendiri.

Individu yang memiliki tingkat otonomi yang baik ditandai dengan

sikap yang mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan

berperilaku dengan cara tertentu, serta mampu mengevaluasi diri sendiri

dengan standar pribadi. Sedangkan individu yang memiliki otonomi yang

rendah ditandai dengan selalu memikirkan tuntutan dan evaluasi orang

21

lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain serta cenderung

mengkonfirmasi tekanan sosial untuk berfikir dan bertindak dengan cara

tertentu (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806).

d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery).

Dimensi penguasaan lingkungan merupakan kemampuan individu

untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan keinginan

dan kebutuhannya, yang dapat diartikan sebagai salah satu karakteristik

kesehatan mental. Dimensi ini menekankan pada kemampuan individu

untuk maju dengan caranya sendiri dan sampai sejauh mana individu

tersebut peka terdapat peluang-peluang yang ada di lingkungannya.

Individu yang memiliki penguasaan yang baik terhadap lingkungan

ditandai dengan kemampuannya dalam memilih atau memanipulasi

keadaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadinya dan

memanfaatkannya secara maksimal. Individu juga mampu

mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik dan mental.

Sebaliknya individu yang kurang dapat menguasai lingkungannya adalah

individu yang kesulitan dalam mengatur kegiatan sehari-hari, hanya

memiliki sedikit tujuan atau target, kurang memiliki kontrol pada dunia

luar serta tidak merasa mampu untuk mengubah apa yang ada diluar dirinya

serta tidak peka terhadap peluang-peluang yang ada dilingkungannya (Ryff

dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806).

22

e. Tujuan hidup (purpose in life).

Dimensi ini berbicara tentang keyakinan individu bahwa hidup ini

bermakna. Individu mencari makna dan tujuan kehidupannya sendiri

sehingga dapat mencapai kesehatan mental dan juga proses perkembangan

yang matang (Rachmayani & Ramdhani, 2014).

Individu yang memiliki perasaan bahwa hidupnya bermakna adalah

individu yang memiliki keterarahan dalam hidupnya, mempunyai perasaan

bahwa kehidupan disaat ini dan masa lalu adalah bermakna, individu

tersebut juga memegang teguh kepercayaan yang membuat tujuan

hidupnya lebih berarti, dan memiliki target yang ingin dicapai dalam hidup.

Sedangkan individu yang kurang memiliki tujuan hidup akan kurang

memaknai tujuan hidupnya, tidak memiliki tujuan hidup/ target yang ingin

dicapai, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu kehidupanya dan

tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidupnya lebih berarti,

tidak memiliki pandangan atau keyakinan yang memberikan makna pada

kehidupan (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 ; 806).

f. Pertumbuhan pribadi (personal growth).

Dimensi pertumbuhan pribadi berbicara mengenai kemampuan individu

untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya. Dimensi ini dibutuhkan

oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah

satu hal penting dalam dimensi ini adalah kebutuhan individu untuk

mengaktualisasikan diri, dan keterbukaan terhadap pengalaman-

pengalaman baru.

23

Individu yang mempunyai pertumbuhan diri yang baik akan memiliki

perasaan untuk terus berkembang dan melihat diri sendiri sebagai sesuatu

yang terus bertumbuh, menyadari potensi-potensi yang terdapat dalam

dirinya dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan perilakunya dari

waktu ke waktu. Sedangkan individu yang kurang baik dalam pertumbuhan

dirinya akan menunjukkan ketidakmampuan dalam mengembangkan sikap

dan perilaku yang baru, mempunyai perasaan sebagai pribadi yang stagnan

dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku tertentu serta tidak

tertarik dengan kehidupan yang sedang dijalaninya (Ryff dalam Papalia,

Olds & Feldman , 2011 ; 806).

Berdasarkan uraian aspek psychological well-being dari Ryff (1989) diatas,

dapat diambil kesimpulan bahwa aspek psychological well-being terdiri dari

penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive

relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan

(environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan

pribadi (personal growth). Dalam penelitian ini, dimensi psychological well-

being dari Ryff (1989) tersebut akan peneliti gunakan untuk mengungkap

psychological well-being pada mahasiswa yang bekerja.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada

individu antara lain:

1. Faktor-faktor demografis

24

Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan

budaya. Melalui berbagai penelitian, Ryff (1989) menemukan beberapa

faktor-faktor demografis yang mempengaruhi perkembangan psychological

well-being seseorang.

a. Usia

Dalam penelitian Ryff, ditemukan bahwa perbedaan usia ternyata

memiliki pengaruh terhadap perbedaan dimensi-dimensi psychological

well-being. Selanjutnya Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009)

menemukan bahwa beberapa dimensi psychological well-being, seperti

penguasaan lingkungan dan otonomi cenderung meningkat seiring

dengan bertambahnya usia, dari dewasa muda hingga dewasa akhir.

Sebaliknya pada dimensi pertumbuhan pribadi dan dimensi tujuan hidup

cenderung menurun dari usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

Individu yang berada dalam usia dewasa muda memiliki skor yang

tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan

hidup sementara pada dimensi hubungan positif dengan orang lain,

penguasaan lingkungan, dan otonomi memiliki skor rendah, selanjutnya

bagi individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki skor yang

tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, otonomi, dan hubungan

positif dengan orang lain sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi,

tujuan hidup, dan penerimaan diri mendapat skor rendah Ryff (dalam

Ryan & Deci, 2001).

25

b. Jenis kelamin.

Menurut Ryff dalam penelitiannya menemukan bahwa perbedaan jenis

kelamin mempengaruhi dimensi psychological well-being. Ditemukan

perempuan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam membina

hubungan yang positif dengan orang lain serta memiliki pertumbuhan

pribadi yang lebih baik daripada pria. Ryff & Singer (dalam Tenggara,

Zamralita & Suyasa, 2008) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa

jenis kelamin berpengaruh terhadap adanya perbedaan yang signifikan

pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi

pertumbuhan pribadi. Dari keseluruhan perbandingan usia (usia 25-39;

usia 40-59; usia 60-74), wanita menunjukkan angka psychological well-

being yang lebih tinggi daripada pria. Sementara keempat aspek

psychological well-being lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang

signifikan (Ryff & Singer dalam Tenggara, Zamralita & Suyasa, 2008).

c. Status Sosial Ekonomi

Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009) mengemukakan bahwa perbedaan

kelas sosial ekonomi memiliki hubungan dengan profil psychological

well-being individu. Dari penelitian diketahui bahwa profil

psychological well-being yang tinggi khususnya pada dimensi tujuan

hidup dan pengembangan pribadi, dijumpai pada individu yang

memiliki tingkat pendidikan tinggi baik pada wanita maupun pria.

Selanjutnya psychological well-being yang tinggi juga ditemui pada

individu yang mempunyai status pekerjaan yang tinggi.

26

d. Budaya

Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009) menemukan bahwa adanya

perbedaan psychological well-being antara masyarakat yang memiliki

budaya yang berorientasi pada individualisme dan kemandirian seperti

dalam dimensi penerimaan diri atau otonomi lebih menonjol dalam

konteks budaya barat. Sementara itu masyarakat yang memiliki budaya

yang berorientasi kolektifitas dan saling ketergantungan dalam konteks

budaya timur seperti yang termasuk dalam dimensi hubungan positif

dengan orang yang bersifat kekeluargaan.

2. Dukungan Sosial

Dukungan sosial berkaitan dengan rasa nyaman, perhatian, penghargaan

atau pertolongan yang dipersepsikan, diterima individu dan berasal dari

banyak sumber, seperti dari pasangan hidup, teman, rekan kerja, dokter atau

organisasi masyarakat (Sarafino dalam Lakoy, 2009). Tujuannya adalah

memberi dukungan dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup, dapat

membantu perkembangan pribadi yang lebih positif memberikan support

pada individu dalam menghadapi masalah hidup sehari-hari. Menurut Davis

(dalam Kartikasari, 2013) individu yang mendapatkan dukungan sosial

memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi.

3. Daur hidup keluarga

Sejumlah peneliti telah melakukan studi dengan menggunakan indikator

psychological well-being seperti konsep diri, kesehatan mental, ketegangan

peran dan kepuasan hidup, untuk mempelajari hubungan antara daur hidup

27

keluarga dengan psychological well-being dari anggota keluarga (Lakoy,

2009). Selanjutnya masa perahlian dari satu periode ke periode berikutnya,

dianggap sebagai saat yang penuh dengan stres karena masing-masing

anggota keluarga saling menyesuaikan kembali hubungan, peran dan

pengharapan.

Sedangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being

antara lain sebagai berikut :

1. Kepribadian

Kepribadian sering dihubungkan dengan dimensi psychological well-being,

Schumutte & Ryff (dalam Kasturi, 2016) menemukan sifat neurotik,

ekstrovet dan conscientiousness adalah prediktor yang konsisten dari

dimensi-dimensi psychological well-being khususnya dimensi penerimaan

diri, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup. Ryff (dalam Kasturi, 2016)

menjelaskan bagaimana faktor kepribadian (big five personality) dapat

mempengaruhi psychological well-being. Tipe extroversion,

conscientiousness, low neuroticism, berpengaruh secara signifikan terhadap

psychological well being. Faktor yang dipengaruhi oleh ketiga faktor

tersebut yaitu self-acceptance, environment mastery, dan purpose in life.

Agreeableness dan extraversions berpengaruh terhadap positive

relationship with others, sementara low neuroticism akan mempengaruhi

autonomy. Selanjutnya keterbukaan terhadap pengalaman baru akan

berpengaruh kuat terhadap personal growth.

28

2. Religiusitas

Najati (dalam Bestari, 2016) menjelaskan bahwa kehidupan seseorang yang

religius dan sesuai dengan keagamaannya dapat membantu individu

tersebut untuk menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan dalam

dirinya. Ellison menjelaskan bahwa antara religiusitas dengan

psychological well-being memiliki korelasi yang kuat, dengan tingkat

religiusitas yang tinggi akan membantu individu untuk mencapai

psychological well-being-nya. Individu akan lebih mudah merasakan

peningkatan psychological well-being ketika memiliki tingkat religiusitas

yang baik walaupun individu tersebut memiliki kecenderungan ekstraversi

yang rendah (Bestari, 2016).

3. Psychological Capital (Modal Psikologis)

Para peneliti di bidang kesehatan dan psikologi kesehatan menunjukkan

bahwa kesejahteraan (well-being) dipengaruhi oleh beberapa hal,

diantaranya adalah self-efficacy, optimism, hope, dan resiliency (Avey,

Luthans & Jensen dalam Yuniarti & Muchtar, 2014). Penelitian Singh &

Mansi (2009), menyatakan bahwa psychological capital merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi munculnya psychological well-being. Ini

berarti bahwa psychological capital merupakan salah satu komponen yang

mempengaruhi, baik meningkatkan atau menurunkan tingkat psychological

well-being pada individu.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya

psychological well-being pada individu terjadi karena beberapa faktor yang

29

mempengaruhi meliputi faktor demografis (usia, jenis kelamin, status sosial

ekonomi, budaya), dukungan sosial, daur hidup keluarga, kepribadian,

religiusitas dan psychological capital. Pada penelitian ini peneliti menggunakan

psychological capital sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

psychological well-being. Menurut peneliti, psychological capital penting

dimiliki oleh mahasiswa untuk tetap dapat bertahan dan termotivasi untuk

mencapai keberhasilan dalam pendidikannya. Hal ini dikarenakan konsep

utama dari psychological capital bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan

kinerja individu (Liwarto, 2015), sebagai penahan “buffer” stress (Riolli,

Savicki & Richards, 2012), modal sikap dan perilaku yang berperan besar

dalam menentukan keberhasilan (Yuniarti & Muchtar, 2014), dan sebagai salah

satu faktor dalam meningkatkan psychological well-being (Singh & Mansi,

2009).

4. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja

Mahasiswa yang bekerja oleh Dudija (2011) didefinisikan sebagai individu

yang menuntut ilmu pada jenjang perguruan tinggi dan berstatus aktif, yang

juga menjalankan usaha atau sedang berusaha mengerjakan suatu tugas yang

diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh orang yang bersangkutan.

Sedangkan Abdullah dan Dan (dalam Salam 2015) mendefinisikan mahasiswa

yang bekerja dengan istilah part time study artinya adalah individu yang sudah

bekerja dan menggunakan sebagian waktunya untuk belajar secara reguler

ataupun non-reguler dengan waktu yang dapat dipilih seperti pada sore hari

30

ataupun pada pagi hari bahkan pada akhir minggu terutama untuk

menyesuaikan waktu antara belajar dan bekerja.

Umumnya individu yang telah bekerja berada pada usia dewasa awal, yaitu

20-40 tahun saat memasuki dunia pendidikan di perguruan tinggi (Papalia, Olds

dan Feldman, 2009). Menurut Dariyo (dalam Iriani dan Ninawati, 2005),

perkembangan masa dewasa muda (awal) merupakan jenjang usia di mana

tahap perkembangan seseorang sedang berada pada puncaknya yang ditandai

dengan adanya keinginan untuk mengaktualisasikan segala ide pemikiran yang

dimatangkan selama mengikuti pendidikan tinggi untuk meraih kehidupan

ekonomi yang tinggi (mapan).

Menurut Ryff & Singer (dalam Harpan, 2015), kebutuhan individu akan

aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan perspektif umum dari

pengembangan pribadi, dimana individu yang dapat melakukan pengembangan

pribadi dengan baik adalah individu yang mampu melalui dan menghadapi

berbagai tantangan baru dalam setiap periode tahapan perkembangannya,

terbuka pada pengalaman baru dan menyadari potensi yang ada dalam diri serta

mampu melakukan perbaikan dalam hidup setiap waktu. Proses pengaktualisasi

diri pada individu akan muncul sebagai buah dari suatu kondisi positif individu

yang mengarah pada kebahagiaan yang sesungguhnya yang disebut

psychological well-being (Ryff dalam Mabruri, 2010).

Ryff & Keyes (1995), mendefinisikan psychological well-being sebagai

sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan

orang lain, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, dapat

31

membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu

mengendalikan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan

hidup yang lebih bermakna, serta kemampuan untuk terus mengembangkan

potensi dalam dirinya. Individu dengan tingkat psychological well being-nya

tercukupi akan mudah menghadapi masalah-masalah, sehingga mampu

terhindar dari stress, mampu mengontrol diri dengan sangat baik, berinteraksi

sosial dengan baik serta terhindar dari depresi dan permasalahan-permasalahan

hidup yang akan mengganggu dirinya (Sitinjak, 2015). Pendapat Sitinjak

tersebut sejalan dengan pendapat Purwaningrum (2016), bahwa dengan

memiliki psychological well-being yang tinggi maka akan mengantarkan

individu pada pribadi yang menyadari keberadaan dan kebermaknaannya,

sehingga bisa mengubah tantangan yang ditemuinya menjadi kesempatan

untuknya menunjukkan aktualisasi diri. Seseorang yang memiliki

psychological well-being yang baik akan merasa nyaman, dan bahagia serta

dapat menjalankan fungsinya sebagai manusia secara positif (Noviasari &

Dariyo, 2016).

Oleh karena itu, menurut Dariyo (dalam Iriani dan Ninawati, 2005),

individu (mahasiswa) diharapkan dapat mewujudkan taraf psychological well-

being yang maksimal. Hal ini dapat tercapai dengan : (1) adanya penerimaan

diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu (self acceptance), artinya

individu dengan penerimaan diri yang baik akan memandang dirinya secara

positif, mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga mampu

merasakan kepuasan dalam hidupnya; (2) adanya keterbukaan akan

32

pengalaman-pengalaman baru (personal growth), artinya individu yang mampu

berfungsi secara baik adalah individu yang mampu berkembang dan

meningkatkan potensi diri dengan menyadari pengalaman dan peristiwa yang

ada disekitarnya; (3) memiliki keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan

memiliki tujuan (purpose in life). Hal ini berarti bahwa individu yang memiliki

tujuan hidup yang jelas akan mampu merealisasikan apa yang diinginkannya

sehingga dapat membawa dirinya ke kehidupan yang lebih baik; (4) memiliki

hubungan yang positif dan berkualitas dengan orang lain (positive relationship

with others). Individu yang mampu menjalin dan menjaga hubungan yang

hangat dengan orang lain merupakan individu yang matang; (5) memiliki

kemampuan mengatur kehidupannya dan lingkungannya secara efektif

(environmental mastery), artinya individu yang memiliki tingkat environmental

mastery yang tinggi adalah individu yang mampu menggunakan peluang dan

menciptakan kesempatan untuk mengembangkan dirinya, dan (6) memiliki

kemampuan untuk menentukkan tindakan sendiri (autonomy). Individu yang

memiliki tingkat kemandirian yang tinggi akan mampu mengatur sikap dan

berpikir kritis apa yang terbaik bagi dirinya dan bagaimana harus bertindak

(Dariyo dalam Iriani dan Ninawati, 2005; Rachmayani & Ramdhani, 2014).

Berdasarkan uraian diatas maka psychological well-being penting diupayakan

oleh mahasiswa yang bekerja dalam rangka mewujudkan aktualisasi diri dan

menghindarkan diri dari permasalahan-permasalahan yang mengganggu

dirinya.

33

B. Psychological Capital

1. Pengertian Psychological Capital

Avey, Luthans & Jensen (dalam Yuniarti & Muchtar, 2014)

membedakan konstruk psychological capital dari aspek yang telah ada

sebelumnya seperti human capital (seperti pengetahuan, keterampilan,

kemampuan, dan pengalaman) dan social capital (seperti mengenal diri sendiri,

hubungan orang lain, dan lain-lain). Konsep psychological capital

menggabungkan human capital dan social capital untuk memperoleh

keutungan kompetitif melalui pengembangan identitas diri seseorang (Luthans

& Avolio dalam Yuniarti & Muchtar, 2014). Sederhananya, human capital

(modal manusia) berkaitan dengan “apa yang anda ketahui”, dan social capital

(modal sosial) berkaitan dengan “siapa yang kamu kenal”, sedangkan

psychological capital (modal psikologis) berkaitan dengan “who you are” dan

“what you can become” (Luthans, Avey, Avolio, Norman & Combs ; Luthans

& Youssef dalam Nurfaizal, 2016).

Dengan memanfaatkan ide-ide dari psikologi positif, keilmuan

organisasi positif dan bidang yang muncul dari perilaku organisasi positif atau

positive organizational behavior (POB). Istilah perilaku organisasi positif

(POB) diciptakan oleh Luthans, Luthans & Jensen (2012) dan didefinisikan

sebagai “penelitian dan penerapan pada kekuatan sumber daya manusia dan

kemampuan psikologis berorientasi positif yang dapat diukur, dikembangkan,

dan dikelola secara efektif untuk meningkatkan kinerja di tempat kerja saat ini”

(Luthans, Luthans & Jensen, 2012).

34

POB juga memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain

yaitu : (a) berdasarkan teori dan penelitian; (b) menggunakan pengukuran yang

dapat diandalkan dan valid; (c) menjadi state-like atau karakter yang dapat

dibentuk (bertentangan dengan trait-like atau karakter yang tidak dapat

dibentuk, yang sifatnya lebih tetap, misalnya karakteristik kepribadian) dan

karenanya terbuka akan perkembangan; dan (d) memiliki pengaruh terhadap

kinerja (Luthans, Luthans & Jensen, 2012).

Luthans dkk. (2007) menyatakan bahwa psychological capital

merupakan bagian dari positive organizational bahaviour (POB) karena

memiliki karakteristik state-like seperti yang terdapat pada POB. Psychological

Capital sendiri diartikan sebagai sebuah kapasitas psikologis positif individu

yang berkembang dengan karakteristik: (1) memiliki keyakinan terhadap

kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar

berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self efficacy); (2)

membuat atribusi yang positif (optimism) mengenai keberhasilan sekarang dan

masa depan; (3) menjaga fokus pada tujuan, dan jika diperlukan, mengarahkan

kembali jalan menuju tujuan (hope) agar berhasil; dan (4) ketika dihadapkan

pada masalah dan kesulitan tetap dapat bertahan dan terus maju, bahkan

melampaui sebelumnya (resilience) untuk mencapai sukses (Luthans dkk,

2007).

Pada penelitian ini, definisi dari psychological capital yang digunakan

peneliti merupakan definisi dari (Luthans dkk, 2007). Sehingga dapat diambil

kesimpulan, bahwa psychological capital dapat didefiniskan sebagai sebuah

35

kapasitas psikologi positif individu yang dicirikan oleh adanya keyakinan diri

terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang

cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self

efficacy), kekuatan berfikir positif dalam mencapai kesuksesan di masa kini dan

masa depan (optimism), memiliki harapan dalam mencapai tujuan (hope) dan

kemampuan untuk bertahan dan terus maju yang berguna untuk membantu

individu tersebut mencapai kesuksesan (resiliency).

2. Dimensi Psychological Capital

Sesuai dengan definisi yang telah dipaparkan diatas, terdapat empat dimensi

dalam psychological capital yaitu self- efficacy, optimism, hope dan resiliency

(Luthans dkk, 2007).

a. Self-efficacy (keyakinan diri terhadap keberhasilan)

Istilah Self-efficacy muncul pertama kali dalam teori belajar sosial

Albert Bandura. Menurut teori ini, self-efficacy membuat perbedaan pada

bagaimana orang merasa, berpikir, berperilaku, dan memotivasi diri.

Bandura menjelaskan pentingnya self-efficacy sebagai keyakinan yang

berfungsi sebagai serangkaian tindakan penting yang dapat mempengaruhi

motivasi, afektif, dan tindakan individu (Zulkosky, 2009). Sementara itu

Luthan dkk. (2007: 38) mendefinisikan Self-efficacy sebagai keyakinan

individu tentang kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, sumber

daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan

suatu tugas dalam konteks tertentu. Luthans dkk. (2007: 38) mengemukakan

bahwa orang yang memiliki efikasi diri memiliki karakteristik :

36

a) Mampu menentukan target yang tinggi bagi dirinya dan mampu

mengerjakan tugas-tugas yang sulit.

b) Menerima tantangan dengan senang.

c) Memiliki motivasi yang tinggi.

d) Melakukan berbagai usaha untuk mencapai tujuan atau target yang telah

mereka buat.

e) Gigih ketika dihadapkan pada sebuah hambatan.

Sebaliknya individu yang memiliki self efficacy rendah, cenderung akan

memiliki keragu-raguan, umpan balik negatif, kritik sosial, kegagalan yang

berulang (Luthans dkk, 2007).

b. Optimism

Menurut Luthans dkk. (2007), dalam konteks psychological capital, sifat

optimism bukan hanya tentang memprediksi bahwa hal-hal yang baik akan

terjadi dikemudian, melainkan juga meliputi alasan dan atribusi yang

digunakan untuk menjelaskan suatu kejadian, baik itu kejadian yang positif,

negatif, yang terjadi dimasa lampau, masa kini maupun masa yang akan

datang. Sedangkan menurut Chang (dalam Chusniyah & Pitaloka, 2012),

optimism sebagai konstruk kognitif terdiri dari keyakinan umum atas hasil

positif berdasarkan perkiraan rasional dari kecenderungan seseorang untuk

meraih kesuksesan dan keyakinan akan kemampuan seseorang untuk

meraihnya. Individu dengan optimisme yang tinggi akan mampu merasakan

implikasi secara kognitif dan emosional ketika mendapatkan kesuksesan.

Individu dengan optimism yang tinggi mampu menentukan nasibnya sendiri

37

meskipun mendapatkan tekanan dari orang lain, mampu memberikan

ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terkait ketika dirinya

mencapai kesuksesan (Luthans dkk, 2007).

c. Hope

Snyder (dalam Luthans dkk, 2007:66) mendefinisikan harapan sebagai

positive motivational state atau kondisi motivasi positif yang didasari oleh

interaksi akan perasaan sukses yaitu (1) agency/ willpower (goal-directed

energy atau kekuatan-keinginan) dan (2) pathways (planning to meet goals

atau perencanaan untuk mencapai tujuan). Dengan kata lain, harapan

terdiri dari dua komponen penting, yaitu; komponen pertama adalah

agency/ willpower yang merupakan persepsi bahwa tujuannya akan

mampu dicapai. Agency merupakan motivasi mental individu untuk

memulai usaha dalam meraih tujuan (Snyder dalam Chusniyah & Pitaloka,

2012). Keyakinan akan keberhasilan ini, meliputi kemampuan

mengoptimalisasikan energi guna mencapai keberhasilan, tidak hanya pada

masa sekarang atau yang akan datang, melainkan juga adanya jejak atau

pengalaman keberhasilan pada waktu sebelumnya (Chusniyah & Pitaloka,

2012). Komponen kedua adalah pathway thinking yang merupakan

kemampuan untuk mengenali dan melihat jalan dalam mencapai tujuan.

Suatu rute atau jalan piker yang mampu memberikan gambaran dan

prediksi tentang cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan (Snyder

dalam Chusniyah & Pitaloka, 2012).

38

d. Resiliency

Resiliency didefinisikan sebagai kemampuan untuk “memantul kembali”

atau bangkit dari kesulitan, konflik, kegagalan, sehingga dapat

menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung

jawab (Luthans dkk, 2007). Berbeda dengan self-efficacy, optimism, dan

hope yang lebih bersifat proaktif, ketahanan dari seseorang lebih bersifat

reaktif, yang terjadi ketika seseorang berhadapan dengan perubahan,

ketidakbaikan, atau ketidakpastian (Luthans dkk. dalam Yuniarti &

Muchtar, 2014).

Berdasarkan uraian diatas, dimensi-dimensi pada psyhological capital

saling bersinergi atau berinteraksi satu sama lain. Apabila psyhological capital

hanya dianalisis satu atau beberapa karakteristik saja, penelitian tersebut menjadi

tidak memadai karena psyhological capital tidak akan menjadi “psyhological

capital” apabila salah satu dari dimensinya tidak ada (Luthans dalam Rolos, 2016).

Melalui dimensi psychological capital maka dapat diperoleh gambaran,

sebagai berikut, yaitu apabila mahasiswa yakin akan kemampuannya dalam

menyelesaikan semua tugas yang dia miliki (self efficacy) dan percaya bahwa

kesulitan yang dihadapi hanya berlangsung sementara (optimism) maka mahasiswa

akan tetap bertahan dan bangkit kembali dari kegagalan dan kesulitan yang

dihadapinya (resiliency) sehingga dalam menjalani kehidupannya sebagai

mahasiswa dan sebagai pekerja, mahasiswa tetap memiliki harapan dan tujuan pada

pencapaian keberhasilan dalam akademiknya (hope). Mahasiswa yang optimis

dapat mencapai tujuan akan lebih termotivasi dan berupaya dalam menghadapi

39

segala tekanan yang berasal dari kehidupannya sebagai mahasiswa maupun pekerja

sehingga menjadikan diri mereka menjadi lebih tahan banting (resilien).

Berdasarkan uraian dimensi psychological capital dari Luthans dkk. (2007) diatas,

maka dapat diambil kesimpulan bahwa dimensi psychological capital terdiri atas:

self-efficacy, optimism, hope dan resiliency. Dimensi psychological capital dari

Luthans dkk. (2007) tersebut akan peneliti gunakan untuk mengungkap

psychological capital pada mahasiswa yang bekerja.

C. Pengaruh Psychological Capital Terhadap Psychological Well-Being

Pada Mahasiswa Yang Bekerja

Mahasiswa yang bekerja adalah individu yang sudah bekerja dan

menggunakan sebagian waktunya untuk belajar secara reguler ataupun non-reguler

dengan waktu yang dapat dipilih seperti pada sore hari ataupun pada pagi hari

bahkan pada akhir minggu terutama untuk menyesuaikan waktu antara belajar dan

bekerja (Abdullah dan Dan dalam Salam, 2015). Menurut Utami, Hardjono &

Karyanta (2014), sebagai mahasiswa yang merupakan bagian dari sebuah lembaga

pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemandirian dan tanggung

jawab untuk menyelesaikan tugas akademik yang telah ditetapkan, guna mencapai

kompetensi yang diharapkan oleh perguruan tinggi yang menjadi almamaternya.

Agar dapat mencapai kompetensi yang diharapkan maka mahasiswa harus

mampu mengatasi setiap tuntutan yang berasal dari lingkungannya dan merasakan

psychological well-being pada kegiatannya tersebut. Psychological well-being

sendiri dapat dicapai apabila individu berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan

40

hidupnya hingga dapat mengembangkan diri selengkap mungkin, serta mampu

mewujudkan kebahagiaan yang disertai dengan pemaknaan hidup yang ditandai

dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup, dan tidak adanya tanda-tanda

depresi (Ryff dalam Megawati & Herdiyanto, 2016; Putri dan Rustika, 2017).

Winefield dkk. (dalam Sarirah, 2016), mengungkapkan dalam penelitiannya

bahwasannya seseorang yang memiliki psychological well-being yang positif

cenderung memiliki tekanan psikologis yang rendah, begitu juga sebaliknya

seseorang yang memiliki psychological well-being yang rendah cenderung

mengalami tekanan psikologis yang tinggi.

Berdasarkan uraian diatas, maka psychological well-being penting untuk

diupayakan oleh semua mahasiswa, karena psychological well-being merupakan

kunci bagi individu agar menjadi sehat secara mental. Kondisi mental yang sehat

mengarahkan individu untuk berusaha mencapai keseimbangan dalam hidup

dengan menerima kualitas positif dan negatif diri, menyadari potensi yang dimiliki,

mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sulit, serta mampu memberikan

kontribusi kepada orang lain dan lingkungan (Putri & Rustika, 2017).

Diantara beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being,

penelitian ini hanya menitikberatkan pada faktor psychological capital.

Psychological capital sendiri merupakan bagian dari positive organizational

behavior yang didefinisikan oleh Luthans dkk (2007) sebagai suatu studi dan

aplikasi yang memiliki orientasi positif dari kekuatan sumber daya manusia dan

kemampuan psikologis yang bisa diukur, dikembangkan, dan diatur secara efektif

untuk meningkatkan performa pada lingkungan pekerjaan (Mikko, 2012). Oleh

41

karena itu penelitian tentang psychological capital lebih banyak ditemukan dalam

penelitian dalam lingkungan organisasi dan selalu menjadi faktor penting dalam

meningkatkan produktivitas karyawan (Nafees & Jahan, 2017).

Psychological capital sendiri diartikan sebagai sebuah kapasitas psikologi

positif individu, yang dicirikan oleh adanya keyakinan diri atau efikasi diri dalam

melakukan tindakan dan mengerahkan usaha agar berhasil dalam melakukan tugas-

tugas yang menantang (self efficacy); kekuatan berfikir positif dalam mencapai

kesuksesan dimasa kini dan masa depan (optimism); keadaan emosional positif

untuk menjaga fokus pada tujuan, dan jika diperlukan, mengarahkan kembali jalan

menuju tujuan agar berhasil (hope); dan ketika individu dihadapkan pada masalah

dan kesulitan tetap dapat bertahan dan kembali bangkit, bahkan melampaui

sebelumnya untuk mencapai sukses (resiliency). Terdapat empat dimensi yang

dapat membentuk psychological capital pada diri individu, yaitu self efficacy,

optimism, hope, dan resiliency (Luthans dkk, 2007).

Dimensi pertama, self-efficacy memiliki kaitan erat dengan psychologycal

well-being. Penelitian Siddiqui (2015), mengungkapkan bahwa self efficacy

memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap semua dimensi pada

psychological well-being. Jika self efficacy meningkat maka akan diikuti dengan

meningkatnya psychological well-being sebaliknya jika self efficay rendah maka

akan semakin rendah psychological well-being pada individu. Menurut Rego dkk

(dalam Octaviani, Ilhamuddin & Susilawati, 2014), individu yang memiliki self-

efficacy cenderung percaya pada kemampuan yang ada pada dirinya sehingga dapat

menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif yang diperlukan untuk mencapai

42

kesuksesan dari tugas yang dibebankan. Individu dengan efikasi diri tinggi melihat

tantangan sebagai masalah yang harus dipecahkan, sangat menikmati hidup dan

yakin dengan segala kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah yang

sedang dihadapi. Bila seseorang mencapai kegagalan dalam mencapai kesuksesan

maka seseorang akan bertahan untuk tetap berusaha dengan serius agar yang akan

datang dapat mencapai keberhasilan sebagaimana yang diharapkan (Sulthon,

2014). Kepekaan seseorang pada rasa keberhasilannya akan mendorong dirinya

mencari berbagai macam usaha meningkatkan prestasi dan kesejahteraan personal

(Sulthon, 2014).

Seseorang dengan self efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka mampu

melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian disekitarnya, sedang

seseorang dengan self efficacy rendah akan menganggap dirinya tidak mampu

dalam mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya sehingga cenderung akan

mudah menyerah (Ghufron & Risnawati dalam Utami, 2016). Oleh karena itu,

mahasiswa bekerja yang memiliki tingkat self efficacy yang tinggi akan

menunjukkan kapasitas kemandirian yang baik dalam mengatur sikap, berfikir

kritis apa yang terbaik bagi dirinya dan bagaimana harus bertindak untuk

menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya, lebih termotivasi

dalam menyelesaikan tugas-tugas dan memiliki komitmen yang kuat dalam

mengejar tujuan mereka.

Psychological well-being tidak terlepas dari sikap optimis yang dimiliki

individu. Menurut Luthans dkk. (2007), dalam konteks psychological capital, sifat

optimism bukan hanya tentang memprediksi bahwa hal-hal yang baik akan terjadi

43

dikemudian, melainkan juga meliputi alasan dan atribusi yang digunakan untuk

menjelaskan suatu kejadian, baik itu kejadian yang positif, negatif, yang terjadi

dimasa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Lebih lanjut, Carver &

Scheier (2002), menyatakan bahwa individu yang optimis mampu mempertahankan

psychological well-being selama masa stress dibandingkan dengan individu yang

pesimis. Individu yang optimis akan mengambil tindakan langsung dalam

menyelesaikan permasalahan dan lebih terencana dalam mengatasi kesulitan yang

dihadapi. Sebaliknya, individu yang pesimis memilih untuk menghindar dan

bereaksi menolak ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan.

Menurut Harpan (2015), individu yang optimis cenderung dapat mengontrol

kehidupannya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih berguna untuk

meningkatkan psychological well-being. Mahasiswa yang memiliki optimism yang

tinggi akan memandang setiap masalah dengan lebih positif, tidak akan mudah

menyerah, selalu aktif dalam merencanakan sebuah tindakan nyata untuk

menyelesaikan masalah dan memiliki rencana dalam mengatasi kesulitan yang

dihadapi. Sebaliknya bila mahasiswa bekerja memiliki optimism yang rendah

cenderung memilih untuk menghindari kesulitan serta mudah tertekan ketika

menghadapi tuntutan dalam lingkungan.

Dimensi hope atau harapan merupakan sumber motivasi yang memiliki

komponen kognitif yang mampu meningkatkan psychological well-being pada

individu. Snyder dkk (dalam Yuniarti & Muchtar, 2014) mendefinisikan harapan

(hope) sebagai sebagai kodisi motivasi positif yang didasari oleh interaksi akan

perasaan sukses (1) agency (goal-directed energy) dan (2) pathways (planning to

44

meet goals). Harapan merupakan sumber motivasi yang memiliki komponen

kognitif. Sumber daya psikologis ini memberikan harapan bahwa sasaran akan

dicapai. Orang dengan harapan yang tinggi sangat termotivasi untuk mencapai

keberhasilan dalam tugas.

Individu dengan hope yang tinggi akan cenderung mendorong individu

untuk menyelesaikan semua tanggung jawabnya, memiliki keyakinan akan

kemampuannya dalam mengatasi permasalahan serta tetap memperoleh kepuasan

meskipun sedang mengalami stress atau tekanan dalam pekerjaannya dan

kuliahnya. Sebaliknya, apabila individu memiliki hope yang rendah cenderung

akan kurang memahami pentingnya tujuan yang akan dicapainya dimasa depan,

sehingga mahasiswa menjadi kurang bersungguh-sungguh dalam mengerahkan

usaha yang besar untuk mencapai keberhasilan. Menurut Yuniarti & Muchtar

(2014), mempertahankan harapan selama masa krisis merupakan aspek penting

yang harus dimiliki untuk mencapai kesejahteraan (well-being) pada individu.

Sedangkan dimensi terakhir dari psychological capital adalah resiliency.

Resiliency merupakan faktor kunci dalam melindungi dan sekaligus meningkatkan

kesehatan mental yang baik yang membuat seseorang dapat beradaptasi dengan

jatuh bangunnya kehidupan (Mayasari, 2014). Dalam hal ini resiliency dianggap

sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam

membangun kekuatan emosional dan psikologikal seseorang (Affifah, 2016). Pada

mahasiswa yang bekerja, tuntutan dari perannya akan menimbulkan dampak yang

tidak menyenangkan bagi individu seperti munculnya stress. Stres merupakan

kondisi yang tidak bisa dihindari oleh mahasiswa yang bekerja, oleh karena itu

45

dengan mempertahankan resiliency yang tinggi maka mahasiwa yang bekerja akan

mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan selama masa studi, mampu

beradaptasi dengan jadwal bekerja dan kuliah yang tinggi, mampu menghadapi

tekanan deadline tugas-tugas serta mampu meningkatkan kemajuan dalam dirinya.

Sebaliknya bila mahasiswa yang bekerja memiliki resiliency yang rendah maka

akan cenderung mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup, tidak

memiliki target atau tujuan untuk menyelesaikan pendidikannya atau dampak yang

perlu dikhwatirkan adalah berhenti kuliah sebelum masa studi berakhir.

Keterkaitan hubungan antara psychological capital terhadap psychological

well-being sebagaimana telah diuraikan diatas juga didukung oleh hasil penelitian

Datu & Valdez (2016). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif

antara psychological capital terhadap well-being. Selain itu, menurut Datu &

Valdez (2016), dukungan sumber daya psikologis dalam bentuk hope, optimism,

resiliency, dan self efficacy terkait dengan kognitif, afektif, psikologis, dan

kesejahteraan sosial yang lebih besar. Sehingga psychological capital yang tinggi

juga akan berdampak pada psychological well-being yang tinggi juga, sebaliknya

jika psychological capital rendah maka terbentuk juga psychological well-being

yang rendah juga. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa

psychological capital dapat mempengaruhi psyhological well being pada

mahasiswa yang bekerja.

46

Gambar 1

Kerangka berpikir Pengaruh Psychological Capital Terhadap Psychological

Well-Being

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka peneliti mengajukan

hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara

psychological capital terhadap psychological well-being pada mahasiswa yang

bekerja.

Psychological Well- Being (Ryff, 1989)

Psychological capital (Luthans dkk. 2007)