bab ii tinjauan pustaka a. psychological well-being pada...
TRANSCRIPT
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja
1. Pengertian Psychological Well-Being
Istilah psychological well-being pertama kali berangkat dari pandangan
filsuf Aristoteles mengenai paham eudaimonisme, yang mengatakan bahwa
psychological well-being berisi tentang memenuhi dan mewujudkan daimon
atau sifat dasar manusia melalui proses aktualisasi diri akan potensi-potensi
yang dimilikinya (Gough dalam Purwaningrum, 2016). Eudaemonia
merupakan salah satu pendekatan yang fokus pada keberfungsian penuh dari
diri individu untuk bertumbuh dan berarti di dalam mewujudkan tujuan yang
dapat dicapai oleh diri sendiri, sehingga individu dapat merasa damai, dan dapat
mengapresiasi kehidupannya (Rachmayani & Ramdhani, 2014).
Konsep Ryff tentang psychological well-being sendiri merujuk pada Rogers
tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan
Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang
individuasi (individuation), konsep Allport tentang kematangan, konsep
Erikson dalam menggambarkan individu mencapai integrasi dibanding putus
asa, konsep Neugarten tentang kepuasaan hidup, serta kriteria positif individu
yang bermental sehat yang dikemukakan johanda (dalam Ryff, 1989).
Berdasarkan pendekatan tersebut, Ryff pada tahun 1989 berusaha membuat
sebuah teori yang dapat menggambarkan eudaemonia, dengan melibatkan ahli
filsafat dan psikologi (perkembangan, klinis, humanistik) untuk
17
menggambarkan makna dari fungsi positif manusia, sehingga terbentuklah teori
psychological well-being yang digunakan hingga saat ini (Ryff & Singer dalam
Rachmayani & Ramdhani, 2014). Berdasarkan pendekatan tersebut, Ryff &
Keyes (1995) mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi
dimana individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan orang lain, dapat
membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu
mengendalikan lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki
tujuan hidup yang lebih bermakna, serta berusaha untuk terus mengembangkan
potensi dalam dirinya.
Konsep pychological well-being ini merupakan gambaran dari kesehatan
psikologis seseorang. Tingkat kesehatan psikologis ini didasarkan pada
pemenuhan kriteria fungsi kesehatan mental positif yang dikemukakan oleh
para ahli psikologi (Ryff, 1989). Selanjutnya, menurut Seligman (dalam
Saputra, Goei, & Lanawati, 2016), menjelaskan well-being berdasarkan dari
dimensi eudaimonic well-being mencakup seberapa bahagia individu, seberapa
engaged individu dengan hidupnya, sejauh mana individu memiliki hubungan
yang positif dengan orang lain, apakah individu memiliki makna hidup, dan
sebanyak apakah pencapaian yang dapat membanggakan individu. Sedangkan,
menurut Diener (dalam Papalia, Olds, Feldman, 2008; 804), psychological well-
being dapat didefinisikan sebagai sebuah perasaan subjektif akan kenyamanan
atau kebahagiaan dari hasil evaluasi seseorang atas kehidupannya.
Berdasarkan beberapa teori tentang psychological well-being diatas maka
pada penelitian ini, definisi dari psychological well-being yang digunakan
18
peneliti merupakan definisi dari Ryff & Keyes (1995) sehingga dapat diambil
kesimpulan, psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu
memiliki sikap positif terhadap dirinya dan orang lain, dapat membuat
keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu
mengendalikan lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki
tujuan hidup yang lebih bermakna, serta berusaha untuk terus mengembangkan
potensi dalam dirinya.
2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being
Dimensi psychological well-being menurut Ryff (1989) terdiri dari enam
dimensi yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang
lain (positive relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap
lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose of life), serta
pertumbuhan pribadi (personal growth). Dimensi-dimensi tersebut akan
berkembang dengan cara yang bervariasi pada individu dalam upaya untuk
dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1995 dalam Keyes, Shmotkin & Ryff, 2002
dalam Djabumir, 2016). Dimensi-dimensi tersebut terdiri dari :
a. Penerimaan diri (self-acceptance).
Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga
sebagai karakteristik utama dari individu dalam mencapai aktualisasi diri,
berfungsi secara optimal, dan dewasa. Individu dapat mencapai aktualisasi
diri, berfungsi secara optimal dan matang ketika individu mampu
menerima diri baik kelebihan maupun kekurangannya (Rachmayani &
Ramdhani, 2014). Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan
19
menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang
untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani.
Hal tersebut menurut Ryff (1995) menandakan psychological well-being
yang tinggi.
Individu yang memiliki tingkat yang tinggi pada penerimaan diri
ditandai dengan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan
menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya termasuk sifat positif
maupun negatif, serta memiliki pandangan positif terhadap kehidupan
masa lalu. Sedangkan individu yang memiliki tingkatan rendah pada
dimensi ini mereka memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik
akan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa
kecewa dengan pengalaman masa lalu dan mempunyai pengharapan untuk
tidak menjadi dirinya saat ini (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011
; 806)
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others).
Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam
konsep psychological well-being. Ryff menekankan pentingnya membina
hubungan yang baik dengan orang lain, yaitu individu yang memiliki
hubungan yang hangat dengan orang lain, mampu membangun
kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati serta perhatian
terhadap orang lain. Memiliki hubungan dengan orang lain yang hangat
merupakan salah satu kriteria dari sebuah kedewasaan (Djabumir, 2016).
20
Individu yang mempunyai tingkatan yang baik pada dimensi hubungan
positif dengan orang lain ditandai dengan adanya hubungan yang hangat,
memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian
terhadap kesejahteraan orang lain, mempunyai rasa afeksi dan empati yang
kuat, rasa sayang dan keintiman, serta memahami konsep memberi dan
menerima dalam hubungan antara sesama manusia. Sedangkan individu
yang memiliki tingkatan yang rendah pada dimensi ini mereka memiliki
sedikit hubungan dengan orang lain dan dapat dipercaya, merasa sulit
untuk hangat, terbuka dan peduli terhadap orang lain tidak berniat
membuat kompromi untuk mempertahankan ikatan yang penting dengan
orang lain (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806).
c. Kemandirian (autonomy).
Kemandirian digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas
namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang
mandiri adalah dapat mengevaluasi kemampuannya sendiri sehingga dapat
berusaha secara optimal (Rachmayani & Ramdhani, 2014). Dimensi
otonomi mencerminkan kemandirian (autonomy), dan kemampuan untuk
menentukan tindakan sendiri.
Individu yang memiliki tingkat otonomi yang baik ditandai dengan
sikap yang mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan
berperilaku dengan cara tertentu, serta mampu mengevaluasi diri sendiri
dengan standar pribadi. Sedangkan individu yang memiliki otonomi yang
rendah ditandai dengan selalu memikirkan tuntutan dan evaluasi orang
21
lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain serta cenderung
mengkonfirmasi tekanan sosial untuk berfikir dan bertindak dengan cara
tertentu (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806).
d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery).
Dimensi penguasaan lingkungan merupakan kemampuan individu
untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan keinginan
dan kebutuhannya, yang dapat diartikan sebagai salah satu karakteristik
kesehatan mental. Dimensi ini menekankan pada kemampuan individu
untuk maju dengan caranya sendiri dan sampai sejauh mana individu
tersebut peka terdapat peluang-peluang yang ada di lingkungannya.
Individu yang memiliki penguasaan yang baik terhadap lingkungan
ditandai dengan kemampuannya dalam memilih atau memanipulasi
keadaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadinya dan
memanfaatkannya secara maksimal. Individu juga mampu
mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik dan mental.
Sebaliknya individu yang kurang dapat menguasai lingkungannya adalah
individu yang kesulitan dalam mengatur kegiatan sehari-hari, hanya
memiliki sedikit tujuan atau target, kurang memiliki kontrol pada dunia
luar serta tidak merasa mampu untuk mengubah apa yang ada diluar dirinya
serta tidak peka terhadap peluang-peluang yang ada dilingkungannya (Ryff
dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806).
22
e. Tujuan hidup (purpose in life).
Dimensi ini berbicara tentang keyakinan individu bahwa hidup ini
bermakna. Individu mencari makna dan tujuan kehidupannya sendiri
sehingga dapat mencapai kesehatan mental dan juga proses perkembangan
yang matang (Rachmayani & Ramdhani, 2014).
Individu yang memiliki perasaan bahwa hidupnya bermakna adalah
individu yang memiliki keterarahan dalam hidupnya, mempunyai perasaan
bahwa kehidupan disaat ini dan masa lalu adalah bermakna, individu
tersebut juga memegang teguh kepercayaan yang membuat tujuan
hidupnya lebih berarti, dan memiliki target yang ingin dicapai dalam hidup.
Sedangkan individu yang kurang memiliki tujuan hidup akan kurang
memaknai tujuan hidupnya, tidak memiliki tujuan hidup/ target yang ingin
dicapai, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu kehidupanya dan
tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidupnya lebih berarti,
tidak memiliki pandangan atau keyakinan yang memberikan makna pada
kehidupan (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 ; 806).
f. Pertumbuhan pribadi (personal growth).
Dimensi pertumbuhan pribadi berbicara mengenai kemampuan individu
untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya. Dimensi ini dibutuhkan
oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah
satu hal penting dalam dimensi ini adalah kebutuhan individu untuk
mengaktualisasikan diri, dan keterbukaan terhadap pengalaman-
pengalaman baru.
23
Individu yang mempunyai pertumbuhan diri yang baik akan memiliki
perasaan untuk terus berkembang dan melihat diri sendiri sebagai sesuatu
yang terus bertumbuh, menyadari potensi-potensi yang terdapat dalam
dirinya dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan perilakunya dari
waktu ke waktu. Sedangkan individu yang kurang baik dalam pertumbuhan
dirinya akan menunjukkan ketidakmampuan dalam mengembangkan sikap
dan perilaku yang baru, mempunyai perasaan sebagai pribadi yang stagnan
dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku tertentu serta tidak
tertarik dengan kehidupan yang sedang dijalaninya (Ryff dalam Papalia,
Olds & Feldman , 2011 ; 806).
Berdasarkan uraian aspek psychological well-being dari Ryff (1989) diatas,
dapat diambil kesimpulan bahwa aspek psychological well-being terdiri dari
penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive
relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan
(environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan
pribadi (personal growth). Dalam penelitian ini, dimensi psychological well-
being dari Ryff (1989) tersebut akan peneliti gunakan untuk mengungkap
psychological well-being pada mahasiswa yang bekerja.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada
individu antara lain:
1. Faktor-faktor demografis
24
Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan
budaya. Melalui berbagai penelitian, Ryff (1989) menemukan beberapa
faktor-faktor demografis yang mempengaruhi perkembangan psychological
well-being seseorang.
a. Usia
Dalam penelitian Ryff, ditemukan bahwa perbedaan usia ternyata
memiliki pengaruh terhadap perbedaan dimensi-dimensi psychological
well-being. Selanjutnya Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009)
menemukan bahwa beberapa dimensi psychological well-being, seperti
penguasaan lingkungan dan otonomi cenderung meningkat seiring
dengan bertambahnya usia, dari dewasa muda hingga dewasa akhir.
Sebaliknya pada dimensi pertumbuhan pribadi dan dimensi tujuan hidup
cenderung menurun dari usia dewasa muda hingga dewasa akhir.
Individu yang berada dalam usia dewasa muda memiliki skor yang
tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan
hidup sementara pada dimensi hubungan positif dengan orang lain,
penguasaan lingkungan, dan otonomi memiliki skor rendah, selanjutnya
bagi individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki skor yang
tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, otonomi, dan hubungan
positif dengan orang lain sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi,
tujuan hidup, dan penerimaan diri mendapat skor rendah Ryff (dalam
Ryan & Deci, 2001).
25
b. Jenis kelamin.
Menurut Ryff dalam penelitiannya menemukan bahwa perbedaan jenis
kelamin mempengaruhi dimensi psychological well-being. Ditemukan
perempuan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam membina
hubungan yang positif dengan orang lain serta memiliki pertumbuhan
pribadi yang lebih baik daripada pria. Ryff & Singer (dalam Tenggara,
Zamralita & Suyasa, 2008) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa
jenis kelamin berpengaruh terhadap adanya perbedaan yang signifikan
pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi
pertumbuhan pribadi. Dari keseluruhan perbandingan usia (usia 25-39;
usia 40-59; usia 60-74), wanita menunjukkan angka psychological well-
being yang lebih tinggi daripada pria. Sementara keempat aspek
psychological well-being lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan (Ryff & Singer dalam Tenggara, Zamralita & Suyasa, 2008).
c. Status Sosial Ekonomi
Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009) mengemukakan bahwa perbedaan
kelas sosial ekonomi memiliki hubungan dengan profil psychological
well-being individu. Dari penelitian diketahui bahwa profil
psychological well-being yang tinggi khususnya pada dimensi tujuan
hidup dan pengembangan pribadi, dijumpai pada individu yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi baik pada wanita maupun pria.
Selanjutnya psychological well-being yang tinggi juga ditemui pada
individu yang mempunyai status pekerjaan yang tinggi.
26
d. Budaya
Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009) menemukan bahwa adanya
perbedaan psychological well-being antara masyarakat yang memiliki
budaya yang berorientasi pada individualisme dan kemandirian seperti
dalam dimensi penerimaan diri atau otonomi lebih menonjol dalam
konteks budaya barat. Sementara itu masyarakat yang memiliki budaya
yang berorientasi kolektifitas dan saling ketergantungan dalam konteks
budaya timur seperti yang termasuk dalam dimensi hubungan positif
dengan orang yang bersifat kekeluargaan.
2. Dukungan Sosial
Dukungan sosial berkaitan dengan rasa nyaman, perhatian, penghargaan
atau pertolongan yang dipersepsikan, diterima individu dan berasal dari
banyak sumber, seperti dari pasangan hidup, teman, rekan kerja, dokter atau
organisasi masyarakat (Sarafino dalam Lakoy, 2009). Tujuannya adalah
memberi dukungan dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup, dapat
membantu perkembangan pribadi yang lebih positif memberikan support
pada individu dalam menghadapi masalah hidup sehari-hari. Menurut Davis
(dalam Kartikasari, 2013) individu yang mendapatkan dukungan sosial
memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi.
3. Daur hidup keluarga
Sejumlah peneliti telah melakukan studi dengan menggunakan indikator
psychological well-being seperti konsep diri, kesehatan mental, ketegangan
peran dan kepuasan hidup, untuk mempelajari hubungan antara daur hidup
27
keluarga dengan psychological well-being dari anggota keluarga (Lakoy,
2009). Selanjutnya masa perahlian dari satu periode ke periode berikutnya,
dianggap sebagai saat yang penuh dengan stres karena masing-masing
anggota keluarga saling menyesuaikan kembali hubungan, peran dan
pengharapan.
Sedangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being
antara lain sebagai berikut :
1. Kepribadian
Kepribadian sering dihubungkan dengan dimensi psychological well-being,
Schumutte & Ryff (dalam Kasturi, 2016) menemukan sifat neurotik,
ekstrovet dan conscientiousness adalah prediktor yang konsisten dari
dimensi-dimensi psychological well-being khususnya dimensi penerimaan
diri, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup. Ryff (dalam Kasturi, 2016)
menjelaskan bagaimana faktor kepribadian (big five personality) dapat
mempengaruhi psychological well-being. Tipe extroversion,
conscientiousness, low neuroticism, berpengaruh secara signifikan terhadap
psychological well being. Faktor yang dipengaruhi oleh ketiga faktor
tersebut yaitu self-acceptance, environment mastery, dan purpose in life.
Agreeableness dan extraversions berpengaruh terhadap positive
relationship with others, sementara low neuroticism akan mempengaruhi
autonomy. Selanjutnya keterbukaan terhadap pengalaman baru akan
berpengaruh kuat terhadap personal growth.
28
2. Religiusitas
Najati (dalam Bestari, 2016) menjelaskan bahwa kehidupan seseorang yang
religius dan sesuai dengan keagamaannya dapat membantu individu
tersebut untuk menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan dalam
dirinya. Ellison menjelaskan bahwa antara religiusitas dengan
psychological well-being memiliki korelasi yang kuat, dengan tingkat
religiusitas yang tinggi akan membantu individu untuk mencapai
psychological well-being-nya. Individu akan lebih mudah merasakan
peningkatan psychological well-being ketika memiliki tingkat religiusitas
yang baik walaupun individu tersebut memiliki kecenderungan ekstraversi
yang rendah (Bestari, 2016).
3. Psychological Capital (Modal Psikologis)
Para peneliti di bidang kesehatan dan psikologi kesehatan menunjukkan
bahwa kesejahteraan (well-being) dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya adalah self-efficacy, optimism, hope, dan resiliency (Avey,
Luthans & Jensen dalam Yuniarti & Muchtar, 2014). Penelitian Singh &
Mansi (2009), menyatakan bahwa psychological capital merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi munculnya psychological well-being. Ini
berarti bahwa psychological capital merupakan salah satu komponen yang
mempengaruhi, baik meningkatkan atau menurunkan tingkat psychological
well-being pada individu.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya
psychological well-being pada individu terjadi karena beberapa faktor yang
29
mempengaruhi meliputi faktor demografis (usia, jenis kelamin, status sosial
ekonomi, budaya), dukungan sosial, daur hidup keluarga, kepribadian,
religiusitas dan psychological capital. Pada penelitian ini peneliti menggunakan
psychological capital sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
psychological well-being. Menurut peneliti, psychological capital penting
dimiliki oleh mahasiswa untuk tetap dapat bertahan dan termotivasi untuk
mencapai keberhasilan dalam pendidikannya. Hal ini dikarenakan konsep
utama dari psychological capital bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan
kinerja individu (Liwarto, 2015), sebagai penahan “buffer” stress (Riolli,
Savicki & Richards, 2012), modal sikap dan perilaku yang berperan besar
dalam menentukan keberhasilan (Yuniarti & Muchtar, 2014), dan sebagai salah
satu faktor dalam meningkatkan psychological well-being (Singh & Mansi,
2009).
4. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja
Mahasiswa yang bekerja oleh Dudija (2011) didefinisikan sebagai individu
yang menuntut ilmu pada jenjang perguruan tinggi dan berstatus aktif, yang
juga menjalankan usaha atau sedang berusaha mengerjakan suatu tugas yang
diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh orang yang bersangkutan.
Sedangkan Abdullah dan Dan (dalam Salam 2015) mendefinisikan mahasiswa
yang bekerja dengan istilah part time study artinya adalah individu yang sudah
bekerja dan menggunakan sebagian waktunya untuk belajar secara reguler
ataupun non-reguler dengan waktu yang dapat dipilih seperti pada sore hari
30
ataupun pada pagi hari bahkan pada akhir minggu terutama untuk
menyesuaikan waktu antara belajar dan bekerja.
Umumnya individu yang telah bekerja berada pada usia dewasa awal, yaitu
20-40 tahun saat memasuki dunia pendidikan di perguruan tinggi (Papalia, Olds
dan Feldman, 2009). Menurut Dariyo (dalam Iriani dan Ninawati, 2005),
perkembangan masa dewasa muda (awal) merupakan jenjang usia di mana
tahap perkembangan seseorang sedang berada pada puncaknya yang ditandai
dengan adanya keinginan untuk mengaktualisasikan segala ide pemikiran yang
dimatangkan selama mengikuti pendidikan tinggi untuk meraih kehidupan
ekonomi yang tinggi (mapan).
Menurut Ryff & Singer (dalam Harpan, 2015), kebutuhan individu akan
aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan perspektif umum dari
pengembangan pribadi, dimana individu yang dapat melakukan pengembangan
pribadi dengan baik adalah individu yang mampu melalui dan menghadapi
berbagai tantangan baru dalam setiap periode tahapan perkembangannya,
terbuka pada pengalaman baru dan menyadari potensi yang ada dalam diri serta
mampu melakukan perbaikan dalam hidup setiap waktu. Proses pengaktualisasi
diri pada individu akan muncul sebagai buah dari suatu kondisi positif individu
yang mengarah pada kebahagiaan yang sesungguhnya yang disebut
psychological well-being (Ryff dalam Mabruri, 2010).
Ryff & Keyes (1995), mendefinisikan psychological well-being sebagai
sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan
orang lain, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, dapat
31
membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu
mengendalikan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan
hidup yang lebih bermakna, serta kemampuan untuk terus mengembangkan
potensi dalam dirinya. Individu dengan tingkat psychological well being-nya
tercukupi akan mudah menghadapi masalah-masalah, sehingga mampu
terhindar dari stress, mampu mengontrol diri dengan sangat baik, berinteraksi
sosial dengan baik serta terhindar dari depresi dan permasalahan-permasalahan
hidup yang akan mengganggu dirinya (Sitinjak, 2015). Pendapat Sitinjak
tersebut sejalan dengan pendapat Purwaningrum (2016), bahwa dengan
memiliki psychological well-being yang tinggi maka akan mengantarkan
individu pada pribadi yang menyadari keberadaan dan kebermaknaannya,
sehingga bisa mengubah tantangan yang ditemuinya menjadi kesempatan
untuknya menunjukkan aktualisasi diri. Seseorang yang memiliki
psychological well-being yang baik akan merasa nyaman, dan bahagia serta
dapat menjalankan fungsinya sebagai manusia secara positif (Noviasari &
Dariyo, 2016).
Oleh karena itu, menurut Dariyo (dalam Iriani dan Ninawati, 2005),
individu (mahasiswa) diharapkan dapat mewujudkan taraf psychological well-
being yang maksimal. Hal ini dapat tercapai dengan : (1) adanya penerimaan
diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu (self acceptance), artinya
individu dengan penerimaan diri yang baik akan memandang dirinya secara
positif, mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga mampu
merasakan kepuasan dalam hidupnya; (2) adanya keterbukaan akan
32
pengalaman-pengalaman baru (personal growth), artinya individu yang mampu
berfungsi secara baik adalah individu yang mampu berkembang dan
meningkatkan potensi diri dengan menyadari pengalaman dan peristiwa yang
ada disekitarnya; (3) memiliki keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan
memiliki tujuan (purpose in life). Hal ini berarti bahwa individu yang memiliki
tujuan hidup yang jelas akan mampu merealisasikan apa yang diinginkannya
sehingga dapat membawa dirinya ke kehidupan yang lebih baik; (4) memiliki
hubungan yang positif dan berkualitas dengan orang lain (positive relationship
with others). Individu yang mampu menjalin dan menjaga hubungan yang
hangat dengan orang lain merupakan individu yang matang; (5) memiliki
kemampuan mengatur kehidupannya dan lingkungannya secara efektif
(environmental mastery), artinya individu yang memiliki tingkat environmental
mastery yang tinggi adalah individu yang mampu menggunakan peluang dan
menciptakan kesempatan untuk mengembangkan dirinya, dan (6) memiliki
kemampuan untuk menentukkan tindakan sendiri (autonomy). Individu yang
memiliki tingkat kemandirian yang tinggi akan mampu mengatur sikap dan
berpikir kritis apa yang terbaik bagi dirinya dan bagaimana harus bertindak
(Dariyo dalam Iriani dan Ninawati, 2005; Rachmayani & Ramdhani, 2014).
Berdasarkan uraian diatas maka psychological well-being penting diupayakan
oleh mahasiswa yang bekerja dalam rangka mewujudkan aktualisasi diri dan
menghindarkan diri dari permasalahan-permasalahan yang mengganggu
dirinya.
33
B. Psychological Capital
1. Pengertian Psychological Capital
Avey, Luthans & Jensen (dalam Yuniarti & Muchtar, 2014)
membedakan konstruk psychological capital dari aspek yang telah ada
sebelumnya seperti human capital (seperti pengetahuan, keterampilan,
kemampuan, dan pengalaman) dan social capital (seperti mengenal diri sendiri,
hubungan orang lain, dan lain-lain). Konsep psychological capital
menggabungkan human capital dan social capital untuk memperoleh
keutungan kompetitif melalui pengembangan identitas diri seseorang (Luthans
& Avolio dalam Yuniarti & Muchtar, 2014). Sederhananya, human capital
(modal manusia) berkaitan dengan “apa yang anda ketahui”, dan social capital
(modal sosial) berkaitan dengan “siapa yang kamu kenal”, sedangkan
psychological capital (modal psikologis) berkaitan dengan “who you are” dan
“what you can become” (Luthans, Avey, Avolio, Norman & Combs ; Luthans
& Youssef dalam Nurfaizal, 2016).
Dengan memanfaatkan ide-ide dari psikologi positif, keilmuan
organisasi positif dan bidang yang muncul dari perilaku organisasi positif atau
positive organizational behavior (POB). Istilah perilaku organisasi positif
(POB) diciptakan oleh Luthans, Luthans & Jensen (2012) dan didefinisikan
sebagai “penelitian dan penerapan pada kekuatan sumber daya manusia dan
kemampuan psikologis berorientasi positif yang dapat diukur, dikembangkan,
dan dikelola secara efektif untuk meningkatkan kinerja di tempat kerja saat ini”
(Luthans, Luthans & Jensen, 2012).
34
POB juga memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain
yaitu : (a) berdasarkan teori dan penelitian; (b) menggunakan pengukuran yang
dapat diandalkan dan valid; (c) menjadi state-like atau karakter yang dapat
dibentuk (bertentangan dengan trait-like atau karakter yang tidak dapat
dibentuk, yang sifatnya lebih tetap, misalnya karakteristik kepribadian) dan
karenanya terbuka akan perkembangan; dan (d) memiliki pengaruh terhadap
kinerja (Luthans, Luthans & Jensen, 2012).
Luthans dkk. (2007) menyatakan bahwa psychological capital
merupakan bagian dari positive organizational bahaviour (POB) karena
memiliki karakteristik state-like seperti yang terdapat pada POB. Psychological
Capital sendiri diartikan sebagai sebuah kapasitas psikologis positif individu
yang berkembang dengan karakteristik: (1) memiliki keyakinan terhadap
kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar
berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self efficacy); (2)
membuat atribusi yang positif (optimism) mengenai keberhasilan sekarang dan
masa depan; (3) menjaga fokus pada tujuan, dan jika diperlukan, mengarahkan
kembali jalan menuju tujuan (hope) agar berhasil; dan (4) ketika dihadapkan
pada masalah dan kesulitan tetap dapat bertahan dan terus maju, bahkan
melampaui sebelumnya (resilience) untuk mencapai sukses (Luthans dkk,
2007).
Pada penelitian ini, definisi dari psychological capital yang digunakan
peneliti merupakan definisi dari (Luthans dkk, 2007). Sehingga dapat diambil
kesimpulan, bahwa psychological capital dapat didefiniskan sebagai sebuah
35
kapasitas psikologi positif individu yang dicirikan oleh adanya keyakinan diri
terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang
cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self
efficacy), kekuatan berfikir positif dalam mencapai kesuksesan di masa kini dan
masa depan (optimism), memiliki harapan dalam mencapai tujuan (hope) dan
kemampuan untuk bertahan dan terus maju yang berguna untuk membantu
individu tersebut mencapai kesuksesan (resiliency).
2. Dimensi Psychological Capital
Sesuai dengan definisi yang telah dipaparkan diatas, terdapat empat dimensi
dalam psychological capital yaitu self- efficacy, optimism, hope dan resiliency
(Luthans dkk, 2007).
a. Self-efficacy (keyakinan diri terhadap keberhasilan)
Istilah Self-efficacy muncul pertama kali dalam teori belajar sosial
Albert Bandura. Menurut teori ini, self-efficacy membuat perbedaan pada
bagaimana orang merasa, berpikir, berperilaku, dan memotivasi diri.
Bandura menjelaskan pentingnya self-efficacy sebagai keyakinan yang
berfungsi sebagai serangkaian tindakan penting yang dapat mempengaruhi
motivasi, afektif, dan tindakan individu (Zulkosky, 2009). Sementara itu
Luthan dkk. (2007: 38) mendefinisikan Self-efficacy sebagai keyakinan
individu tentang kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, sumber
daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan
suatu tugas dalam konteks tertentu. Luthans dkk. (2007: 38) mengemukakan
bahwa orang yang memiliki efikasi diri memiliki karakteristik :
36
a) Mampu menentukan target yang tinggi bagi dirinya dan mampu
mengerjakan tugas-tugas yang sulit.
b) Menerima tantangan dengan senang.
c) Memiliki motivasi yang tinggi.
d) Melakukan berbagai usaha untuk mencapai tujuan atau target yang telah
mereka buat.
e) Gigih ketika dihadapkan pada sebuah hambatan.
Sebaliknya individu yang memiliki self efficacy rendah, cenderung akan
memiliki keragu-raguan, umpan balik negatif, kritik sosial, kegagalan yang
berulang (Luthans dkk, 2007).
b. Optimism
Menurut Luthans dkk. (2007), dalam konteks psychological capital, sifat
optimism bukan hanya tentang memprediksi bahwa hal-hal yang baik akan
terjadi dikemudian, melainkan juga meliputi alasan dan atribusi yang
digunakan untuk menjelaskan suatu kejadian, baik itu kejadian yang positif,
negatif, yang terjadi dimasa lampau, masa kini maupun masa yang akan
datang. Sedangkan menurut Chang (dalam Chusniyah & Pitaloka, 2012),
optimism sebagai konstruk kognitif terdiri dari keyakinan umum atas hasil
positif berdasarkan perkiraan rasional dari kecenderungan seseorang untuk
meraih kesuksesan dan keyakinan akan kemampuan seseorang untuk
meraihnya. Individu dengan optimisme yang tinggi akan mampu merasakan
implikasi secara kognitif dan emosional ketika mendapatkan kesuksesan.
Individu dengan optimism yang tinggi mampu menentukan nasibnya sendiri
37
meskipun mendapatkan tekanan dari orang lain, mampu memberikan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terkait ketika dirinya
mencapai kesuksesan (Luthans dkk, 2007).
c. Hope
Snyder (dalam Luthans dkk, 2007:66) mendefinisikan harapan sebagai
positive motivational state atau kondisi motivasi positif yang didasari oleh
interaksi akan perasaan sukses yaitu (1) agency/ willpower (goal-directed
energy atau kekuatan-keinginan) dan (2) pathways (planning to meet goals
atau perencanaan untuk mencapai tujuan). Dengan kata lain, harapan
terdiri dari dua komponen penting, yaitu; komponen pertama adalah
agency/ willpower yang merupakan persepsi bahwa tujuannya akan
mampu dicapai. Agency merupakan motivasi mental individu untuk
memulai usaha dalam meraih tujuan (Snyder dalam Chusniyah & Pitaloka,
2012). Keyakinan akan keberhasilan ini, meliputi kemampuan
mengoptimalisasikan energi guna mencapai keberhasilan, tidak hanya pada
masa sekarang atau yang akan datang, melainkan juga adanya jejak atau
pengalaman keberhasilan pada waktu sebelumnya (Chusniyah & Pitaloka,
2012). Komponen kedua adalah pathway thinking yang merupakan
kemampuan untuk mengenali dan melihat jalan dalam mencapai tujuan.
Suatu rute atau jalan piker yang mampu memberikan gambaran dan
prediksi tentang cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan (Snyder
dalam Chusniyah & Pitaloka, 2012).
38
d. Resiliency
Resiliency didefinisikan sebagai kemampuan untuk “memantul kembali”
atau bangkit dari kesulitan, konflik, kegagalan, sehingga dapat
menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung
jawab (Luthans dkk, 2007). Berbeda dengan self-efficacy, optimism, dan
hope yang lebih bersifat proaktif, ketahanan dari seseorang lebih bersifat
reaktif, yang terjadi ketika seseorang berhadapan dengan perubahan,
ketidakbaikan, atau ketidakpastian (Luthans dkk. dalam Yuniarti &
Muchtar, 2014).
Berdasarkan uraian diatas, dimensi-dimensi pada psyhological capital
saling bersinergi atau berinteraksi satu sama lain. Apabila psyhological capital
hanya dianalisis satu atau beberapa karakteristik saja, penelitian tersebut menjadi
tidak memadai karena psyhological capital tidak akan menjadi “psyhological
capital” apabila salah satu dari dimensinya tidak ada (Luthans dalam Rolos, 2016).
Melalui dimensi psychological capital maka dapat diperoleh gambaran,
sebagai berikut, yaitu apabila mahasiswa yakin akan kemampuannya dalam
menyelesaikan semua tugas yang dia miliki (self efficacy) dan percaya bahwa
kesulitan yang dihadapi hanya berlangsung sementara (optimism) maka mahasiswa
akan tetap bertahan dan bangkit kembali dari kegagalan dan kesulitan yang
dihadapinya (resiliency) sehingga dalam menjalani kehidupannya sebagai
mahasiswa dan sebagai pekerja, mahasiswa tetap memiliki harapan dan tujuan pada
pencapaian keberhasilan dalam akademiknya (hope). Mahasiswa yang optimis
dapat mencapai tujuan akan lebih termotivasi dan berupaya dalam menghadapi
39
segala tekanan yang berasal dari kehidupannya sebagai mahasiswa maupun pekerja
sehingga menjadikan diri mereka menjadi lebih tahan banting (resilien).
Berdasarkan uraian dimensi psychological capital dari Luthans dkk. (2007) diatas,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa dimensi psychological capital terdiri atas:
self-efficacy, optimism, hope dan resiliency. Dimensi psychological capital dari
Luthans dkk. (2007) tersebut akan peneliti gunakan untuk mengungkap
psychological capital pada mahasiswa yang bekerja.
C. Pengaruh Psychological Capital Terhadap Psychological Well-Being
Pada Mahasiswa Yang Bekerja
Mahasiswa yang bekerja adalah individu yang sudah bekerja dan
menggunakan sebagian waktunya untuk belajar secara reguler ataupun non-reguler
dengan waktu yang dapat dipilih seperti pada sore hari ataupun pada pagi hari
bahkan pada akhir minggu terutama untuk menyesuaikan waktu antara belajar dan
bekerja (Abdullah dan Dan dalam Salam, 2015). Menurut Utami, Hardjono &
Karyanta (2014), sebagai mahasiswa yang merupakan bagian dari sebuah lembaga
pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemandirian dan tanggung
jawab untuk menyelesaikan tugas akademik yang telah ditetapkan, guna mencapai
kompetensi yang diharapkan oleh perguruan tinggi yang menjadi almamaternya.
Agar dapat mencapai kompetensi yang diharapkan maka mahasiswa harus
mampu mengatasi setiap tuntutan yang berasal dari lingkungannya dan merasakan
psychological well-being pada kegiatannya tersebut. Psychological well-being
sendiri dapat dicapai apabila individu berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan
40
hidupnya hingga dapat mengembangkan diri selengkap mungkin, serta mampu
mewujudkan kebahagiaan yang disertai dengan pemaknaan hidup yang ditandai
dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup, dan tidak adanya tanda-tanda
depresi (Ryff dalam Megawati & Herdiyanto, 2016; Putri dan Rustika, 2017).
Winefield dkk. (dalam Sarirah, 2016), mengungkapkan dalam penelitiannya
bahwasannya seseorang yang memiliki psychological well-being yang positif
cenderung memiliki tekanan psikologis yang rendah, begitu juga sebaliknya
seseorang yang memiliki psychological well-being yang rendah cenderung
mengalami tekanan psikologis yang tinggi.
Berdasarkan uraian diatas, maka psychological well-being penting untuk
diupayakan oleh semua mahasiswa, karena psychological well-being merupakan
kunci bagi individu agar menjadi sehat secara mental. Kondisi mental yang sehat
mengarahkan individu untuk berusaha mencapai keseimbangan dalam hidup
dengan menerima kualitas positif dan negatif diri, menyadari potensi yang dimiliki,
mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sulit, serta mampu memberikan
kontribusi kepada orang lain dan lingkungan (Putri & Rustika, 2017).
Diantara beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being,
penelitian ini hanya menitikberatkan pada faktor psychological capital.
Psychological capital sendiri merupakan bagian dari positive organizational
behavior yang didefinisikan oleh Luthans dkk (2007) sebagai suatu studi dan
aplikasi yang memiliki orientasi positif dari kekuatan sumber daya manusia dan
kemampuan psikologis yang bisa diukur, dikembangkan, dan diatur secara efektif
untuk meningkatkan performa pada lingkungan pekerjaan (Mikko, 2012). Oleh
41
karena itu penelitian tentang psychological capital lebih banyak ditemukan dalam
penelitian dalam lingkungan organisasi dan selalu menjadi faktor penting dalam
meningkatkan produktivitas karyawan (Nafees & Jahan, 2017).
Psychological capital sendiri diartikan sebagai sebuah kapasitas psikologi
positif individu, yang dicirikan oleh adanya keyakinan diri atau efikasi diri dalam
melakukan tindakan dan mengerahkan usaha agar berhasil dalam melakukan tugas-
tugas yang menantang (self efficacy); kekuatan berfikir positif dalam mencapai
kesuksesan dimasa kini dan masa depan (optimism); keadaan emosional positif
untuk menjaga fokus pada tujuan, dan jika diperlukan, mengarahkan kembali jalan
menuju tujuan agar berhasil (hope); dan ketika individu dihadapkan pada masalah
dan kesulitan tetap dapat bertahan dan kembali bangkit, bahkan melampaui
sebelumnya untuk mencapai sukses (resiliency). Terdapat empat dimensi yang
dapat membentuk psychological capital pada diri individu, yaitu self efficacy,
optimism, hope, dan resiliency (Luthans dkk, 2007).
Dimensi pertama, self-efficacy memiliki kaitan erat dengan psychologycal
well-being. Penelitian Siddiqui (2015), mengungkapkan bahwa self efficacy
memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap semua dimensi pada
psychological well-being. Jika self efficacy meningkat maka akan diikuti dengan
meningkatnya psychological well-being sebaliknya jika self efficay rendah maka
akan semakin rendah psychological well-being pada individu. Menurut Rego dkk
(dalam Octaviani, Ilhamuddin & Susilawati, 2014), individu yang memiliki self-
efficacy cenderung percaya pada kemampuan yang ada pada dirinya sehingga dapat
menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif yang diperlukan untuk mencapai
42
kesuksesan dari tugas yang dibebankan. Individu dengan efikasi diri tinggi melihat
tantangan sebagai masalah yang harus dipecahkan, sangat menikmati hidup dan
yakin dengan segala kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi. Bila seseorang mencapai kegagalan dalam mencapai kesuksesan
maka seseorang akan bertahan untuk tetap berusaha dengan serius agar yang akan
datang dapat mencapai keberhasilan sebagaimana yang diharapkan (Sulthon,
2014). Kepekaan seseorang pada rasa keberhasilannya akan mendorong dirinya
mencari berbagai macam usaha meningkatkan prestasi dan kesejahteraan personal
(Sulthon, 2014).
Seseorang dengan self efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka mampu
melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian disekitarnya, sedang
seseorang dengan self efficacy rendah akan menganggap dirinya tidak mampu
dalam mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya sehingga cenderung akan
mudah menyerah (Ghufron & Risnawati dalam Utami, 2016). Oleh karena itu,
mahasiswa bekerja yang memiliki tingkat self efficacy yang tinggi akan
menunjukkan kapasitas kemandirian yang baik dalam mengatur sikap, berfikir
kritis apa yang terbaik bagi dirinya dan bagaimana harus bertindak untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya, lebih termotivasi
dalam menyelesaikan tugas-tugas dan memiliki komitmen yang kuat dalam
mengejar tujuan mereka.
Psychological well-being tidak terlepas dari sikap optimis yang dimiliki
individu. Menurut Luthans dkk. (2007), dalam konteks psychological capital, sifat
optimism bukan hanya tentang memprediksi bahwa hal-hal yang baik akan terjadi
43
dikemudian, melainkan juga meliputi alasan dan atribusi yang digunakan untuk
menjelaskan suatu kejadian, baik itu kejadian yang positif, negatif, yang terjadi
dimasa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Lebih lanjut, Carver &
Scheier (2002), menyatakan bahwa individu yang optimis mampu mempertahankan
psychological well-being selama masa stress dibandingkan dengan individu yang
pesimis. Individu yang optimis akan mengambil tindakan langsung dalam
menyelesaikan permasalahan dan lebih terencana dalam mengatasi kesulitan yang
dihadapi. Sebaliknya, individu yang pesimis memilih untuk menghindar dan
bereaksi menolak ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan.
Menurut Harpan (2015), individu yang optimis cenderung dapat mengontrol
kehidupannya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih berguna untuk
meningkatkan psychological well-being. Mahasiswa yang memiliki optimism yang
tinggi akan memandang setiap masalah dengan lebih positif, tidak akan mudah
menyerah, selalu aktif dalam merencanakan sebuah tindakan nyata untuk
menyelesaikan masalah dan memiliki rencana dalam mengatasi kesulitan yang
dihadapi. Sebaliknya bila mahasiswa bekerja memiliki optimism yang rendah
cenderung memilih untuk menghindari kesulitan serta mudah tertekan ketika
menghadapi tuntutan dalam lingkungan.
Dimensi hope atau harapan merupakan sumber motivasi yang memiliki
komponen kognitif yang mampu meningkatkan psychological well-being pada
individu. Snyder dkk (dalam Yuniarti & Muchtar, 2014) mendefinisikan harapan
(hope) sebagai sebagai kodisi motivasi positif yang didasari oleh interaksi akan
perasaan sukses (1) agency (goal-directed energy) dan (2) pathways (planning to
44
meet goals). Harapan merupakan sumber motivasi yang memiliki komponen
kognitif. Sumber daya psikologis ini memberikan harapan bahwa sasaran akan
dicapai. Orang dengan harapan yang tinggi sangat termotivasi untuk mencapai
keberhasilan dalam tugas.
Individu dengan hope yang tinggi akan cenderung mendorong individu
untuk menyelesaikan semua tanggung jawabnya, memiliki keyakinan akan
kemampuannya dalam mengatasi permasalahan serta tetap memperoleh kepuasan
meskipun sedang mengalami stress atau tekanan dalam pekerjaannya dan
kuliahnya. Sebaliknya, apabila individu memiliki hope yang rendah cenderung
akan kurang memahami pentingnya tujuan yang akan dicapainya dimasa depan,
sehingga mahasiswa menjadi kurang bersungguh-sungguh dalam mengerahkan
usaha yang besar untuk mencapai keberhasilan. Menurut Yuniarti & Muchtar
(2014), mempertahankan harapan selama masa krisis merupakan aspek penting
yang harus dimiliki untuk mencapai kesejahteraan (well-being) pada individu.
Sedangkan dimensi terakhir dari psychological capital adalah resiliency.
Resiliency merupakan faktor kunci dalam melindungi dan sekaligus meningkatkan
kesehatan mental yang baik yang membuat seseorang dapat beradaptasi dengan
jatuh bangunnya kehidupan (Mayasari, 2014). Dalam hal ini resiliency dianggap
sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam
membangun kekuatan emosional dan psikologikal seseorang (Affifah, 2016). Pada
mahasiswa yang bekerja, tuntutan dari perannya akan menimbulkan dampak yang
tidak menyenangkan bagi individu seperti munculnya stress. Stres merupakan
kondisi yang tidak bisa dihindari oleh mahasiswa yang bekerja, oleh karena itu
45
dengan mempertahankan resiliency yang tinggi maka mahasiwa yang bekerja akan
mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan selama masa studi, mampu
beradaptasi dengan jadwal bekerja dan kuliah yang tinggi, mampu menghadapi
tekanan deadline tugas-tugas serta mampu meningkatkan kemajuan dalam dirinya.
Sebaliknya bila mahasiswa yang bekerja memiliki resiliency yang rendah maka
akan cenderung mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup, tidak
memiliki target atau tujuan untuk menyelesaikan pendidikannya atau dampak yang
perlu dikhwatirkan adalah berhenti kuliah sebelum masa studi berakhir.
Keterkaitan hubungan antara psychological capital terhadap psychological
well-being sebagaimana telah diuraikan diatas juga didukung oleh hasil penelitian
Datu & Valdez (2016). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif
antara psychological capital terhadap well-being. Selain itu, menurut Datu &
Valdez (2016), dukungan sumber daya psikologis dalam bentuk hope, optimism,
resiliency, dan self efficacy terkait dengan kognitif, afektif, psikologis, dan
kesejahteraan sosial yang lebih besar. Sehingga psychological capital yang tinggi
juga akan berdampak pada psychological well-being yang tinggi juga, sebaliknya
jika psychological capital rendah maka terbentuk juga psychological well-being
yang rendah juga. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
psychological capital dapat mempengaruhi psyhological well being pada
mahasiswa yang bekerja.
46
Gambar 1
Kerangka berpikir Pengaruh Psychological Capital Terhadap Psychological
Well-Being
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka peneliti mengajukan
hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara
psychological capital terhadap psychological well-being pada mahasiswa yang
bekerja.
Psychological Well- Being (Ryff, 1989)
Psychological capital (Luthans dkk. 2007)