banu 2018 bali neurology update tropical disease and

276
BANU 2018 Bali Neurology Update Tropical Disease and Neuropediatric Cases : Revisiting (Re)-Emerging Issues with National Priorities Editor: dr. I A Sri Indrayani, Sp.S dr. Putu Gede Sudira, Sp.S Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K) Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K) Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K) dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S(K) dr. Ni Putu Witari, Sp.S dr. Ketut Widyastuti, Sp.S UDAYANA UNIVERSITY PRESS

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BANU 2018

Bali Neurology Update

Tropical Disease and Neuropediatric Cases :

Revisiting (Re)-Emerging Issues with National Priorities

Editor:

dr. I A Sri Indrayani, Sp.S

dr. Putu Gede Sudira, Sp.S

Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K)

Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)

Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)

dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S(K)

dr. Ni Putu Witari, Sp.S

dr. Ketut Widyastuti, Sp.S

UDAYANA UNIVERSITY PRESS

ii | B A N U 6

Bali Neurology Update 2018

Tropical Disease and Neuropediatric Cases :

Revisiting (Re)-Emerging Issues with National Priorities

Editor:

dr. I A Sri Indrayani, Sp.S

dr. Putu Gede Sudira, Sp.S

Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K)

Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)

Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)

dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S(K)

dr. Ni Putu Witari, Sp.S

dr. Ketut Widyastuti, Sp.S

Penerbit:

Udayana University Press

Kampus Universitas Udayana Denpasar

Email: [email protected]

Website: http://penerbit.unud.ac.id

2018, x + 261 pages, 14.8 x 21 cm

ISBN 978-602-294-297-9

iii | B A N U 6

SAMBUTAN KETUA UMUM PENGURUS PUSAT PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF

INDONESIA (PP PERDOSSI)

Om Swastiastu.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua.

Om Namo Budhaya.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas

rahmat dan karunia-Nya kita bersama-sama dapat segera mengikuti acara

The 6th

Bali Neurology Update (BANU 6th

). Acara ini merupakan agenda ilmiah resmi

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), yang rutin dilaksanakan di

regional kawasan Bali, Lombok, Nusa Tenggara Barat, hingga Nusa Tenggara Timur.

Acara ilmiah ini merupakan sarana penunjang pengembangan ilmu

pengetahuan kedokteran umumnya dan Neurologi khususnya, yang dapat dimanfaatkan

oleh mahasiswa kedokteran, dokter umum, dokter residen, dan dokter spesialis neurologi

guna tetap update terhadap perkembangan ilmiah terbaru. Hal ini berguna untuk menjaga

wawasan ilmiah sekaligus meningkat kompetensi yang dimiliki selama ini. Semua itu demi

peningkatkan pelayanan kita kepada masyarakat.

The Bali Neurology Update (BANU) selalu menyajikan wawasan ilmiah baru, baik

dalam konsep epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, terapi, dan prevensi berbagai penyakit

neurologis. Pemilihan judul serta penyajian materi mempertimbangkan aspek yang sedang

ramai dibicarakan dan dialami oleh klinisi di tanah air, serta selalu berorientasi pada bukti

ilmiah terkini (Evidence-based medicine/ EBM). Kali ini BANU menyajikan tema besar

Neuroinfeksi dan Neuropediatri. Kedua topik ini memiliki angka kejadian serta jumlah

populasi berisiko yang cukup tinggi di Indonesia. Kasus yang muncul dan merebak dapat

berupa kasus yang baru pertama kali terjadi maupun kasus yang sebelumnya sudah pernah

muncul dan tertangani dengan baik. Hal ini membuatnya menjadi isu nasional yang strategis

dalam bidang kesehatan. Peran tenaga medis baik dokter spesialis, dokter umum,

mahasiswa kedokteran, ataupun paramedis pada fase kegawatdaruratan maupun restorasi

dapat meningkatkan angka harapan hidup dan/ atau kualitas hidup pasien.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia menyambut hangat dan

menyampaikan selamat atas penyelenggaraan BANU 6th

ini. Semoga BANU 6th

ini berjalan

sukses sebagaimana BANU sebelumnya, sekaligus dapat terus berjalan berkesinambungan.

Terima kasih dan ucapan selamat saya sampaikan kepada panitia BANU 6th

atas kerja keras

serta kerjasamanya yang baik dalam menyelenggarakan kegiatan ini. Akhir kata, selamat

mengikuti rangkaian acara symposium dan workshop BANU-6, semoga acara ini bermanfaat

untuk kemajuan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Om Santi Santi Santi Om

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Prof. Dr. dr. Moh. Hasan Machfoed, Sp.S(K), M.S.

Ketua Umum PP PERDOSSI

iv | B A N U 6

SAMBUTAN KETUA PERDOSSI CABANG DENPASAR

Om Swastyastu,

Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa,

karena atas berkat rahmat-Nya sejawat semua dapat mengikuti acara ilmiah tahunan Bali

Neurology Update (BANU) yang keenam. Acara ini adalah acara rutin tahunan yang

terselenggara atas kerjasma PERDOSSI cabang Denpasar dengan Program Pendidikan

Dokter Spesialis-I (PPDS-I) Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Acara ilmiah ini menjadi sangat penting mengingat perkembangan ilmu

kedokteran, khususnya dibidang Neurologi, sehingga diperlukan Pendidikan kedokteran

berkelanjutan sebagai usaha untuk meningkatkan keilmuan guna penatalaksanaan pasien

yang lebih baik.

Seiring dengan meningkatnya jumlah populasi penduduk di Indonesia dimana

diikuti dengan perubahan gaya hidup penduduknya sehingga terjadi lonjakan angka kasus

infeksi yang khusunya berhubungan dengan bidang Neurologi yang terjadi pada usia

dewasa maupun pada anak. Sehingga diperlukan pengetahuan yang lebih baik di bidang ini.

Oleh karena itu, topik yang diangkat dalam acara ilmiah kali ini adalah “Tropical Disease and

NEuropediatri cases : Revisiting (Re)-Emerging Issues with National Priorities”

Besar Harapan BANU keenam yang kami selenggarakan akan dapat

memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan kepada sejawat sekalian. Atas nama

PERDOSSI cabang Denpasar, kami mengucapkan selamat mengikuti acara ini dan juga

terima kasih kepada seluruh panitia yang telah mempersiapkan acara ini sehingga dapat

berlangsung dengan baik.

Om, Santi, Santi, Santi, Om.

Hormat kami ,

Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Sp.S(K)

Ketua PERDOSSI cabang Denpasar

v | B A N U 6

SAMBUTAN KETUA PANITIA

BALI NEUROLOGY UPDATE 2018

Om Swastiastu.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua.

Om Namo Budhaya.

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha

Kuasa yang telah melimpahkan rahmat, bimbingan, petunjuk dan kekuatan-Nya

kepada kita, acara “The 6th Bali Neurology Update (BANU 6th)” akan segera

diselenggarakan. Tema besar yang diambil oleh BANU 6th adalah “Tropical

Disease and Neuropediatric cases: Revisiting (RE)- Emerging Issues with National

Priorities”.

Prioritas masalah kesehatan menjadi tantangan nasional yang harus

ditangani lebih lanjut oleh semua pihak. Indonesia sebagai negara

megadiversitas beriklim tropis memiliki kekayaan hayati dan non hayati

melimpah yang berpotensi memberikan keuntungan dan kerugian. Relevansi di

ranah neurologi klinis terkait penyakit dan/ atau kondisi tropis berupa

merebaknya kembali beberapa kasus sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) menjadi

salah satu contoh nyata. Kasus rabies, neurosistiserkosis, meningitis

streptococcus suis, difteri, dan program imuniasasi anak untuk japanese

enchephalitis (JE) menjadi tantangan bagi klinisi tanah air. Begitu pula dengan

kasus endemis dan/ atau sporadik seperti meningitis, ensefalitis, malaria serebral,

tetanus, poliomielitis, dsb. Selain itu, sebagai sebuah negara berkembang

dengan kurva pertumbuhan penduduk berbentuk piramida, jumlah penduduk

kelompok usia anak dan remaja adalah sepertiga jumlah total penduduknya.

Penanganan kasus penyakit neurologis yang menyerang kelompok usia ini

memerlukan penanganan yang sinergis dan terpadu oleh dokter spesialis

neurologi, dokter spesialis anak, maupun dokter umum. Semua kasus di atas,

mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012 memiliki skala

kompetensi 3A/B dan 4, yang artinya seorang dokter umum diwajibkan mampu

menangani tuntas, atau minimal mampu melaksanakan penanganan pertama

manajemen terpadu pasien dengan diagnosis tersebut. Pada ranah dokter

spesialis, kasus-kasus di atas menjadi kompetensi wajib yang harus ditangani

secara terpadu. Realitanya, sering kali kita tidak bisa bekerja sendiri-sendiri dan

membutuhkan kerja sama terpadu dengan pihak lain (spesialiasi dan profesi

lain).

vi | B A N U 6

Adapun benang merah antara tema neurologi terkait penyakit tropis

dan neuropediatri adalah kedua topik ini sama-sama memiliki angka kejadian

serta jumlah populasi berisiko yang cukup tinggi di Indonesia. Kasus yang

muncul dan merebak dapat berupa kasus yang baru pertama kali terjadi

maupun kasus yang sebelumnya sudah pernah muncul dan tertangani dengan

baik. Peran tenaga medis baik dokter spesialis, dokter umum, mahasiswa

kedokteran, ataupun paramedis pada fase kegawatdaruratan maupun restorasi

dapat meningkatkan angka harapan hidup dan/ atau kualitas hidup pasien.

Akhir kata semoga acara ini dapat berlangsung dengan baik. Tahap

persiapan hingga pelaksanaan nanti kami susun dengan sebaik-baiknya. Kami

tunggu kehadirannya di BANU 6th.

Om Santi Santi Santi Om

Wassalamualaikum Wr. Wb.

dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S

Ketua Panitia The 6th Bali Neurology Update

vii | B A N U 6

DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................................................... i

SAMBUTAN KETUA UMUM PP PERDOSSI ....................................................................... iii

SAMBUTAN KETUA PERDOSSI CABANG DENPASAR ................................................... iv

SAMBUTAN KETUA PANITIA 5TH

BANU 2017 ................................................................... v

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... vii

SIMPOSIUM I

Diagnosis and critical management of cerebral malaria ............................................. 1

dr. I.B. Indrajaya, Sp.S

Emerging Infectious Disease: Meningitis S.suis ............................................................ 15

dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S(K)

Rabies : Update in prevention strategy .......................................................................... 21

dr. Candida Isabel Lopes, Sp.S

SIMPOSIUM II

Intepretation of clinical and lumbar puncture results in CNS infection ................ 33

dr. A.A. Ayu Suryapraba, Sp.S

Neurological manifestation in Dengue .......................................................................... 40

dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K)

Neurocognition aspect of HIV .......................................................................................... 41

Dr. dr. A. A.A. Putri Laksimdewi, Sp.S(K)

SIMPOSIUM III

Challenge in diagnosis and treatment of Neurocysticercosis ................................. 56

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

Prevention of Neurotropical infection in specific endemic area in Indonesia :

focus on malaria cerebral, JEE and M.Suis ..................................................................... 61

dr. Aditarini, Sp.MK

Special consideration of AED therapy in CNS Infection ............................................ 66

Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K)

SIMPOSIUM IV

Methanol and mushroom intoxication .......................................................................... 84

Prof. Dr. dr. Sri Sutarni, Sp.S(K)

Neurological manifestation in near drowning .............................................................. 91

Dr. Wayan Widyantara, Sp.S

SIMPOSIUM V

Encephalopathy or encephalitis? ...................................................................................... 99

dr. Ni Putu Witari, Sp.S

Diagnosis & Management of JE encephalitis endemic area ................................... 105

Dr. dr. I.G.N. Putu Suwarba, Sp.A(K)

Neurophysiological study finding in leprosy patients .............................................. 114

dr. Komang Arimbawa, Sp.S

viii | B A N U 6

SIMPOSIUM VI

Migraine : different management in children and adult .......................................... 122

Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)

Assesment and Management of Pain in children ...................................................... 136

Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K)

Snoring in children : impact, cause and treatment ................................................... 137

dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S

Attention Deficit Hyperactivity Disorder ........................................................................ 151

dr. Sri Yenni T, M. Biomed, Sp.S

SIMPOSIUM VII

Cerebral Vein Sinus Thrombosis .................................................................................... 164

dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S

Secondary prevention in stroke with AF ...................................................................... 172

dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S

SIMPOSIUM VIII

AED consideration in children with epilepsy ............................................................... 178

dr. Siti Aminah, Sp.S(K)

How to differentiate seizure or movement disorder in children? .......................... 186

Dr. dr. Anna Marita Gelgel, Sp.S(K)

Common and specific EEG finding in children epilepsy .......................................... 195

dr. A.A. A. Meidiary, Sp.S

Ketogenic Diet in Children with Epilepsy .................................................................... 202

dr. I.G.A.M. Riantarini, Sp.S

ABSTRAK POSTER

1. Risk on Developing Epilepsy After Having Episode of Febrile Seizure in

Children : Evidence Based Case Report ..................................................... 204

A.A. Yuniari, A.F. Priarti, A.A. Mahardika

2. Risk on Developing Epilepsy After Having Episode of Febrile Seizure in

Children : Evidence Based Case Report ..................................................... 205

A.A. Yuniari, A.A. Mahardika, R.A. Soebardi

3. Case Report : Refractory Status Epilepticus in Child with

Meningoencephalitis .................................................................................. 206

Fabian J.Junaidi, Saphira Evani

4. Hubungan Kadar Gula Darah Puasa saat Terjadinya Stroke dengan NIH

Stroke Scale pada Pasien Stroke Iskemik Akut di RSUP Dr. Sardjito,

Yogyakarta................................................................................................... 207

Hermawan Hanjaya, Paryono, Ismail Setyopranoto

5. Retinopati sebagai Penanda Prognostik Gangguan Neurologis pada

Penderita Malaria Serebral yang Bertahan Hidup : Sebuah Tinjauan

Sistematik Mini ............................................................................................ 208

IF Gosal, A. Prabata

6. Infeksi Streptococcus suis pada Manusia dengan Presentasi Klinis

Meningitis Bakteri dan Atritis ...................................................................... 209

ix | B A N U 6

IGM Ardika Aryasa, Ni Made Susilawathi, Anak Agung Ayu Suryapraba

Indradewi Karang

7. Karakteristik Klinik dan Lokasi Tumor Otak di RS Siti Khadijah Sepanjang-

Sidoarjo tahun 2015-2017 ............................................................................ 210

Lathifatul Fikriyah, Muhammad Hamdan

8. Fahr’s Disease : A Case Series ..................................................................... 211

Margaret, Jennifer Simca, Retno Jayantri Ketaren, Evlyne Erlyana

Suryawijaya

9. Case Report : Anti-NMDA Receptor Encephalitis in a Young Woman ..... 212

M.A. Limawan, P. Susanto, D. Imran

10. Angka Kejadian Kasus Vertigo Vestibular di Rumah Sakit Umum Daerah

Padangan Bojonegoro, Jawa Timur Periode Januari 2018-Juli 2018 ......... 213

Sheila Widyariskya Firdausy

11. Gambaran Profil Lipid, Leukosit, Hematokrit, Gula Darah Acak pada Pasien

Stroke Non-Hemoragik Rumah Sakit Santa Elisabeth –

Lubuk Baja, Batam ....................................................................................... 214

Tommy Sarongku

12. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Lokasi Nyeri Muskuloskeletal pada

Pasien Obesitas di Puskesmas Denpasar Selatan II ........................................ 215

Luh Nyoman Ari Trisnasanti, IA Sri Wijayanti, Putu Eka Widyadharma,

Thomas Eko Purwata

13. Penyebab Dizziness pada Pasien Usia Lanjut Berdasarkan Pendekatan

Secara Neuroanatomi di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar Periode

April 2018- Juli 2018 ................................................................................................. 216

I.A. Sri Indrayani, Ni Putu Witari, Ketut Widyastuti, I Putu Sudira, I.B. Putu

Putrawan

14. Perbedaan Latensi Gelombang Brainstem Auditory Evoked Potential pada

penderita Diabetes Melitus yang datang ke Poliklinik Saraf dan Poliklinik

Diabetes RSUP Sanglah Denpasar Periode April sampai Juli 2016

berdasarkan durasi menderita DM ............................................................. 217

Gunawan SE, Arimbawa IK, Putra IGN

15. HIV-Associated Neurocognitive Disorder (HAND) pada Pasien dengan HIV

tanpa Infeksi Oportunistik ........................................................................... 218

Dhyatmika GP, Widyastuti K, Laksmidewi AAAP

16. Disseminated Neurocysticercosis and Muscular Cysticercosis : A Rare

Finding Case Report .................................................................................... 219

Hesti Hepataningrum, Ni Made Susilawathi

17. Laporan Kasus Prognosis Penderita Malaria Berat dengan Klinis Malaria

Serebral........................................................................................................ 220

Putra IBD, Susilawathi NM

18. Gambaran Multidimensi dari Manajemen Epilepsi Paska Stroke; Laporan

Serial Kasus ................................................................................................... 222

Naryana KAS, Gelgel AM

19. Abscess-like Glioma pada Massa di Mesensefalon .................................. 223

Putri Eka Pradnyaning, IA Sri Indrayani, DPG Purwa Samatra

x | B A N U 6

20. Laporan Kasus : High Grade Glioma pada anak ....................................... 224

Sihanto R.D., Thomas Eko Purwata

21. Laporan Kasus : Perdarahan Subaraknoid dan Kehamilan....................... 225

I.G.A. Aria Tristayanthi, I.B. Kusuma Putra

22. Laporan Kasus : Neurosistiserkosis mimicking Tumor Serebri ................. 226

Winda Arista Haeriyoko, Ni Made Susilawathi, A.A. Raka Sudewi, IGN

Purna Putra

23. Afasia Selektif pada Pasien Multilingual sebagai Gejala Transient Ischemic

Attack ........................................................................................................... 227

Pristanova Larasanti, A.A.A Putri Laksmidewi

24. Profil Penderita Miastenia Gravis di Poli Saraf RSUP Sanglah Tahun 2016-

2017 .............................................................................................................. 228

Kelvin Yuwanda, Komang Arimbawa, IGN Purna Putra

WORKSHOP DRY NEEDLING

Sindrom Nyeri Miofasial.................................................................................................... 229

Jimmy Barus, Octavianus Darmawan

Prinsip Dasar Dry Needling dalam Manajemen Sindrom Nyeri Myofasial ......... 240

I Putu Eka Widyadharma

WORKSHOP BOTULINUM TOXIN INJECTION

Overview Botulinum Toksin (BOTOX) ........................................................................... 230

D.P.G. Purwa Samatra

WORKSHOP PAIN INTERVENTION : USG GUIDING

Peran Ultrasound dalam Diagnosa dan Tatalaksana Sistem Muskuloskeletal ... 240

Yusak MT Siahaan

Ultrasonografi pada Lutut ............................................................................................... 249

Yusak MT Siahaan

WORKSHOP PAIN EDUCATION

Pain pathway and mechanism ........................................................................................ 253

Thomas Eko Purwata

Penilaian Nyeri ..................................................................................................................... 254

Ida Ayu Sri Wijayanti

Prinsip Penatalaksanaan Nyeri Akut .............................................................................. 259

Ida Ayu Sri Wijayanti

1 | B A N U 6

DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN KRITIS MALARIA SEREBRAL

Indrajaya Manuaba

RSUD Wamena, Papua

Pendahuluan

Malaria tidak diragukan lagi merupakan penyakit parasite paling

penting yang menjangkiti manusia. Diseluruh dunia hampir 3 milyar orang

berisiko terkena infeksi malaria. Setiap tahun terdapat 219 juta kasus dan hampir

1 juta kematian. Terminologi “complicated malaria” meliputi sejumlah sindroma

klinis sebagai berikut : cerebral malaria, severe anemia, respiratory

distress/acidosis, dan multiorgan system failure. Penderita dengan complicated

malaria berisiko mengalami kematian akibat dari penyakitnya, sedangkan

penderita dengan uncomplicated malaria umumnya dapat pulih sempurna.

Sindroma klinis “cerebral malaria” didefinisikan sebagai keadaan koma yang

tidak dapat dijelaskan pada penderita yang mengalami malaria parasitemia, yang

menjadi penyebab kematian pada sebahagian besar penderita. Usia anak di

Afrika dan usia dewasa di Asia merupakan kelompok demografik yang paling

sering mengalami malaria serebral, meskipun 80% kasus malaria serebral dan

90% kasus kematian berasal dari sub-sahara Afrika. Malaria serebral umumnya

berakibat fatal apabila tidak diatasi, di mana dengan melalui perawatan optimal,

angka kematian mencapai 15% sampai 25%. Laporan klinis, penduduk Afrika usia

anak dengan complicated malaria sebagian besar mengalami gangguan

serebral, disertai perjalanan onset koma dan kejang yang berlangsung cepat. Di

samping tanda-tanda disfungsi SSP, penderita usia dewasa dengan malaria

komplikata seringkali mengalami kegagalan fungsi renal, hepatik, dan

respiratorik. Dalam definisi, penderita dewasa harus menunjukkan tanda

disfungsi SSP untuk dapat didiagnosis sebagai Malaria Serebral. Di lain pihak,

terkadang penderita anak manifestasinya dibarengi dengan non-central nervous

system organ dysfunction. Pada kedua kelompok usia, multiorgan system

involvement mengindikasikan prognosis buruk.

Angka kematian pada penderita anak dan dewasa dengan malaria

serebral adalah tinggi, meskipun pada penderita dewasa penyebab langsung

dari kematian lebih diakibatkan oleh penyebab non-SSP dibandingkan penderita

anak. Sepertiga dari kasus malaria serebral pada anak yang dapat bertahan

memperlihatkan neurologic sequelae. Epilepsi, gangguan kognitif, kelainan

perilaku, serta defisit neurologis yang meliputi motorik, sensorik dan gangguan

berbicara merupakan sekuelae yang sering dijumpai pada anak, dan lebih jarang

dijumpai pada kasus malaria serebral dewasa yang dapat bertahan.

2 | B A N U 6

Oleh dampak buruk yang ditimbulkan, upaya untuk menurunkan

kasus malaria terus dilakukan. Pencegahan infeksi dengan penggunaan

insecticide-impregnated bed nets dan mosquito control dewasa ini telah

didukung oleh pemerintah dan NGO. Meskipun insiden dan prevalensi malaria

telah menurun pada beberapa belahan dunia, namun pemberantasan malaria di

seluruh dunia masih menjadi tujuan masadepan. Riset terhadap vaksin malaria

sedang berlangsung, dan penelitian untuk menemukan effective adjunctive

therapy strategies terhadap penderita dengan malaria serebral masih terus

dilakukan. Menurunkan angka kematian dan disabilitas neurologis yang

diakibatkan oleh malaria serebral hanya akan berhasil apabila insiden dari infeksi

malaria mengalami penurunan secara drastis dan strategi terapi yang lebih

efektif telah didapatkan.

Patogenesis

Meskipun kondisi klinis diberikan nama malaria “serebral”, parasitnya

sendiri tidak memasuki parenkim otak, melainkan sejumlah proses patofisiologis

berinteraksi di dalam vaskulatur serebral atau sistemik yang pada akhirnya

menginduksi koma dan mengakibatkan seringnya outcome kematian dan

disabilitas neurologis.

Walaupun telah dilakukan riset secara intens, namun pathogenesis

dari malaria serebral masih belum lengkap diketahui. Sebahagian besar hipotesis

mendasarkan kepada tissue samples yang didapatkan melalui otopsi. Namun

perlu diketahui bahwa mekanisme yang menimbulkan kondisi koma adalah

berbeda dengan mekanisme yang mengakibatkan kematian. Hal yang paling

penting terletak pada elemen dari siklus hidup parasit yang membedakan

Plasmodium falciparum (dan belakangan, Plasmodium knowlesi) dari tiga spesies

lainnya yang menginfeksi manusia, yaitu: adanya sekuestrasi dari eritrosit yang

terinfeksi parasit didalam mikrovaskulatur dari tubuh, termasuk pada jaringan

otak. Akan tetapi, meskipun proses sekuestrasi adalah penting, namun kondisi

tersebut saja tidak cukup untuk menimbulkan koma. Proses patofisiologis lainnya

tidak diragukan lagi berinteraksi secara lokal untuk menimbulkan koma dan dan

tanda gangguan neurologis lainnya. Hal yang terpenting dari mekanisme lokal

ini adalah: abnormalitas sitokin di dalam darah dan abnormalitas dari sawar

darah otak.

Pada kasus fatal malaria serebral, jaringan otak tampak membengkak

dan pucat. Histologic hallmark adalah berupa gambaran pembuluh darah

serebral yang dipenuhi oleh eritrosit yang terinfeksi parasit (parasitized

erythrocytes). Gambaran fluorescein angiograms pada pembuluh darah retina

memperlihatkan pembuluh darah yang dipenuhi oleh eritrosit yang terinfeksi

parasit menunjukkan adanya gangguan perfusi. Kondisi yang sama tampaknya

3 | B A N U 6

terjadi pada jaringan otak yang mengalami dampak berupa hipoksia,

hipoglikemia, dan inflamasi.

Siklus Hidup

Proses sekuestrasi akan menghentikan eritrosit yang terinfeksi parasit

mengitari sirkulasi darah melalui mekanisme erythrocyte-endothelial interaction

dan adhesion. Mekanisme ini terjadi berkat adanya parasite-encoded proteins

yang diekspresikan di permukaan eritrosit yang memiliki afinitas berikatan

dengan sel endothel.

Dua belas sampai lima belas jam setelah invasi parasit kedalam

eritrosit, membran sel eritrosit memperlihatkan knoblike projection dalam jumlah

banyak yang berisikan parasite-encoded proteins, yaitu: PfEMP1 (Plasmodium

falciparum erythrocyte membrane protein 1). Protein PfEMP1 dimunculkan

(encoded) oleh var genes. Terdapat sekurangnya 60 var genes per parasite

genome, dan ekspresinya dikendalikan secara epigenetik. Hanya satu varian var

yang akan diekspresikan dalam sekali waktu.

Host endothelial cell receptors bagi PfEMP1 meliputi: CD36, ICAM-1,

VAR2CSA (di dalam plasenta), dan EPCR (endothelial cell protein C receptor).

Interaksi sel eritrosit yang terinfeksi dengan sel endothel pada pembuluh darah

kapiler dan postcapillary venules akan mengakibatkan obstruksi mikrovaskular

dan aktivasi sel endothelial. Pada saat sequestered erythrocyte schizont

mengalami ruptur, maka di wilayah lokal akan terjadi pelepasan heme dan

hemoglobin yang pada gilirannya akan menimbulkan penurunan kadar nitric

oxide, di mana pada akhirnya mengakibatkan semakin memburuknya disfungsi

endothel. Proses sekuestrasi terjadi di seluruh bagian tubuh, di mana yang paling

berat terjadi pada organ: usus, otak, jantung, paru, dan jaringan lemak subkutan.

Sekuestrasi merupakan gambaran khas dari infeksi oleh P. falciparum. Infeksi

oleh P. knowlesi juga dapat mengakibatkan erythrocyte sequestration, namun

infeksi oleh P. vivax, P. ovale, dan P. malariae tidak menimbulkan sekuestrasi dari

eritrosit.

Meskipun atraktif dipakai untuk menjelaskan kondisi koma pada

penderita dengan malaria serebral, namun sekuestrasi saja tidak memadai untuk

mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran. Keseluruhan dampak dari

parasitemia terhadap tubuh merupakan penentu utama dari penyakit. Histidine-

rich protein 2 (HRP-2) merupakan protein parasit yang sangat banyak dilepaskan

pada saat schizont mengalami ruptur; pemantauan kualitatif dari protein ini

merupakan dasar yang digunakan pada uji diagnostik cepat malaria (malaria

rapid diagnostic test) yang tersedia secara luas dewasa ini. Pemeriksaan protein

ini dapat pula diukur secara kuantitatif dan dapat memberikan petunjuk jumlah

4 | B A N U 6

total dari parasit yang menginfeksi tubuh. Pengukuran kuantitatif dari HRP-2

memberikan petunjuk tingkat keparahan penyakit yang lebih tinggi pada

penderita dengan kadar serum HRP-2 yang lebih tinggi.

Sekuestrasi terlihat pada gambaran histologis dari eritrosit yang

terinfeksi. Pada eritrosit yang terinfeksi, sel eritrosit tampak kehilangan

penampakan bikonkavitas nya, menjadi tampak bulat (spherical), dan menjadi

kurang memiliki sifat lentur (less deformable) dibandingkan dengan eritrosit

yang tidak terinfeksi. Eritrosit yang mengalami sekuestrasi tampak menempel

pada endothelium vaskular sampai pada akhirnya mengalami ruptur dan

mengganggu aliran darah laminar. Eritrosit yang tidak terinfeksi harus melewati

ruang vaskular yang sempit sehingga mengakibatkan terjadinya formasi “clumps

of infected and uninfected erythrocytes”, yang disebut formasi “rosettes”.

Dengan akibat menurunkan kecepatan aliran darah pada vaskulatur serebral,

maka keberadaan formasi “rosettes” akan memperburuk kondisi sekuestrasi.

Aliran darah laminar juga diperburuk oleh adanya infected erythrocyte-platelet

interactions, yang disebut “platelet-mediated clumping”.

Inflamasi

Kadar sitokin, mediator inflamasi yang terlarut, mengalami

peningkatan pada darah penderita malaria berat baik dewasa maupun anak.

Namun demikian, penelitian menggunakan metode assay terhadap kadar serum

dari sitokin spesifik memperlihatkan hasil beragam. Kadar dari baik

proinflammatory cytokines (seperti, interleukin 6) dan anti-inflammatory

mediators (interleukin 10) dapat meningkat. Sedangkan, peningkatan kadar dari

proinflammatory mediators lainnya, seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan

interleukins 1, 8, dan 12 tidaklah dijumpai konsisten pada serum penderita

dengan malaria serebral. Di dalam parenkim otak sendiri, kenyataannya dapat

jauh berbeda. Proinflammatory cytokines ditemukan dalam kadar lebih tinggi

pada jaringan otak penderita anak yang meninggal oleh malaria serebral

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Produksi lokal dari TNF-α telah

dibuktikan sebagai central mediator dari timbulnya kondisi koma pada malaria

serebral, yang berasal dari makrofag (kemunculannya respon eritrosit yang

mengalami sekuestrasi atau ruptur yang menempel pada endothelium vaskular)

dan dari mikroglia di dalam paremkim otak. Circulating TNF-α tampaknya tidak

unik bertanggungjawab dalam terjadinya koma pada malaria serebral. Studi

dengan memberikan adjunctive anti-TNF-α antibody pada penderita anak

dengan malaria serebral menunjukkan adanya penurunan kadar sirkulasi dari

sitokin, namun tidak menunjukkan adanya penurunan dari lamanya koma

dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan terapi standar

antimalarial.

5 | B A N U 6

Gambar 1. Siklus hidup malaria.1

Peningkatan Tik

Di Afrika, pada kasus anak dengan malaria serebral, edema serebral

dan meningkatnya tekanan intrakranial umum terjadi. Kondisi ini dapat

ditunjukkan melalui pemeriksaan radiografis maupun melalui pemeriksaan klinis

dengan ditemukannya tanda edema papil dan sindroma herniasi sentral atau

uncal. Anak dengan malaria serebral yang memperlihatkan edema papil memiliki

risiko relatif kematian 4,5 kali lebih tinggi dibandingkan penderita anak yang

tidak menunjukkan edema papil. Sedangkan di Asia, di mana malaria serebral

lebih umum dijumpai pada penderita dewasa, peningkatan tekanan intrakranial

jarang dijumpai baik secara radiografis maupun klinis.

Patofisiologi yang melatarbelakangi peningkatan TIK belumlah jelas.

Penelitian neuropatologis menunjukkan bukti adanya endothelial cell activation

dan kerusakan BBB. Pada kasus fatal, umum dijumpai adanya peningkatan

volume jaringan otak, dan terjadinya edema vasogenik sebagai akibat dari

kerusakan BBB kemungkinan menjadi penyebabnya. Dijumpai adanya

perivascular ring hemorrhages, terutama pada substansia alba dari serebrum

dan substansia alba serta substansia gresia dari serebellum. Dengan berjalannya

waktu, fokus perdarahan tersebut akan diserap dan digantikan dengan Durck

granuloma berupa area sentral yang terdiri dari neuronal necrosis yang

dikelilingi oleh reactive gliosis. Adanya sequestered erythrocyte mass sendiri

akan menimbulkan peningkatan volume otak. Apabila drainase vena terhalang

oleh sekuestrasi parasit pada kapiler dan poskapiler venulae, maka akan terjadi

kongesti vaskular, yang semakin memperburuk proses patofisiologis lain yang

melatarbelakangi koma dan kematian.

6 | B A N U 6

Penyumbang potensial lainnya dari peningkatan TIK meliputi:

cytotoxic edema, vascular congestion, dan hiperemia yang ditimbulkan oleh

meningkatnya brain metabolic demands akibat dari demam, anemia, kejang, dan

hipoglikemia.

Gambar 2. Gambaran T1-weightened MRI, tampak adanya peningkatan derajat

berat dari volume jaringan otak pada penderita dengan retinopathy-positive

cerebral malaria. A: pada pandangan sagital tampak adanya cerebellar tonsilar

herniation (lingkaran), penyempitan (effacement) dari prepontine cistern (panah),

dan kompresi dari ventrikel ke-empat (kepala panah). Pada penampang aksial B:

tampak penyempitan ventrikel lateralis. C: tampak penyempitan dari sulcal

marking (kepala panah putih) dan penyempitan dari ambient cisterns (kepala

panah hitam), penebalan area kortikal, dan peningkatan signal secara difus pada

area kortikal.1

Diagnosis

Meskipun definisi klinis dari malaria serebral memiliki sensitivitas yang

tinggi, namun spesifisitasnya rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya high

community rates dari asymptomatic parasitemia, terutama pada wilayah

geografis dengan high transmission intensity di mana malaria serebral umum

dijumpai. Asymptomatic carriage dari malaria dapat dijumpai separuh dari

populasi. Sehingga, penderita koma akibat dari latarbelakang etiologi non-

malaria (mis., viral encephalitis, kondisi postinfectious, atau intoksikasi) namun

secara insidental menunjukkan parasitemia akan dapat terdiagnosis mengalami

infeksi. Sebagai penyebab terjadinya kondisi akut yang disertai koma. Angka

false-positive seperti ini tampaknya cukup tinggi. Pada sebuah seri kasus,

sebanyak 23% penderita yang memenuhi kriteria diagnosis klinis malaria

serebral, dimana kemudian meninggal dan menjalani otopsi tidak dijumpai

adanya sequestered parasitized erythrocyte didalam vaskulatur serebral nya.

Beruntungnya, penderita anak yang mengalami parasitemia disertai koma oleh

malaria dibandingkan dengan nonmalarial coma etiology dapat dibedakan

melalui ada tidaknya gambaran malarial retinopathy.

7 | B A N U 6

Gambar 3. Temuan postmortem penderita dengan malaria serebral. A: potongan

koronal segar penderita yang meninggal dengan retinopathy-positive cerebral

malaria. Tampak girus mendatar, dan sulkus menyempit disertai bintik

perdarahan yang luas mengenai substansia alba. B: penampakan dekat dari

perdarahan substansia alba. C: penampakan dekat dari perdarahan substansia

alba (pengecatan: hematoxylin and eosin). D: penampakan sangat dekat dari

perdarahan substansia alba. Tampak fibrin clot dan sequestered parasite di

dalam pembuluh darah sentral (panah). Terlihat extravasated red blood cells

yang tidak terinfeksi oleh parasit malaria.1

Malarial Retinopathy

Retinopati malaria pertama kali dipublikasikan pada tahun 1993, dan

beberapa tahun kemudian gambaran patologis ini telah diidentifikasi dengan

baik. Retina memperlihatkan tiga gambaran abnormal yang utama: tampak

keputihan, perubahan warna pembuluh darah, dan perdarahan. Dua

abnormalitas yang pertama adalah karakteristik untuk malaria. paling jelas

tampak pada wilayah sekitar macula, atau di perifer, yang menandai area

dengan gangguan perfusi. Segmen pembuluh darah dengan warna oranye atau

keputihan (predominan venulae) menandai area dengan intravascular

sequestration. Intraerythrocytic parasites memakan host cell hemoglobin

menimbulkan penampakan bercak fokal berupa pale erythrocyte, sehingga

menghasilkan gambaran segmen pembuluh darah yang tampak oranye atau

keputihan melalui pemeriksaan oftalmoskop. Perdarahan retina seringkali

memperlihatkan keputihan pada bagian tengahnya, dan tampak menyerupai

kondisi klinis lainnya (mis., hipertensi, anoksia, HIV). Namun, pada comatose

parasitemic patient, gambaran tersebut merupakan bukti adanya malarial

retinopathy. Perdarahan umumnya dijumpai diantara retinal layer, namun dapat

juga meluas sampai preretinal space. Dapat juga dijumpai edema papil. Edema

8 | B A N U 6

papil tersendiri saja tidak dapat menjadi bukti adanya malarial retinopathy,

namun apabila temuan tersebut bersamaan dengan satu atau lebih temuan

kelainan retina lainnya maka keseluruhan temuan tersebut akan memperburuk

prognosis. Penderita dengan malarial retinopathy berat memiliki risiko kematian

lebih tinggi. Yang menarik, kadar plasma dari HRP-2 (putative marker dari

tingkat keparahan infeksi parasit tubuh) dapat membedakan penderita anak

yang positif mengalami retinopati malaria dengan yang tidak.

Pemeriksaan retinal angiography pada penderita anak dengan

retinopati malaria memperlihatkan adanya area dengan central dan peripheral

nonperfusion. Pada penderita yang mengalami kepulihan, evaluasi ulangan

melalui angiografi retina memperlihatkan adanya reperfusi pada area yang

semula tanpa aliran darah. Jarang dijumpai gangguan penglihatan pada

penderita yang pulih dari retinopathy-positive cerebral malaria.

Abnormalitas retina dapat dideteksi melalui pemeriksaan baik indirect

maupun direct ophthalmoscopy. Temuan abnormalitas retina 95% sensitif dan

90% spesifik dalam mengidentifikasi penderita anak yang memperlihatkan bukti

histologis adanya sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi didalam pembuluh darah

pada otopsi, dan sesuai dengan kriteria diagnosis klinis dari malaria serebral.

Penderita dengan malaria serebral klinis yang tidak menunjukkan adanya

malarial retinopathy kemungkinan memiliki latarbelakang nonmalarial sebagai

penyebab koma yang dialaminya. Penting bagi penderita dengan retinopathy-

negative untuk ditelusuri etiologi nonmalarial dari koma yang dialami.

Malarial retinopathy belum teridentifikasi dengan baik pada penderita

dewasa. Perdarahan retina dijumpai sebanyak 15% dari kasus dewasa, dan

temuan ini meningkatkan risiko kematian. Perubahan warna pembuluh darah

retina jarang ditemukan dibandingkan kasus anak. Studi klinis-patologis masih

terbatas.

Gambar 4. Malarial retinopathy. Foto fundus dari penderita anak dengan

retinopathy-positive cerebral malaria. A: macular whitening (panah hitam). B:

retinal whitening yang berada ekstramakular (panah hitam). C: tampak sebaran

white-centered hemorrhage dan perimacular whitening (panah hitam).

Perubahan warna di perifer (panah putih) adalah artifak. D: perluasan vessel

whitening.1

9 | B A N U 6

SKALA KOMA UNTUK ANAK DAN DEWASA

Blantyre Coma Scale Glasgow Coma Scale

Motor

response to

painful

stimulus

Localizes pain

Generalized

withdrawal

No response

2

1

0

Obeys commands

Localizes pain

Flexion/withdrawal

Decorticate posturing

Decerebrate posturing

No response

6

5

4

3

2

1

Verbal

response to

speech or

painful

stimulus

Appropriate speech or

normal cry

Abnormal cry

No cry or sounds

2

1

0

Oriented and converses

normally

Awake but disoriented

Utters inappropriate

words

Incomprehensible

sounds

No sounds

5

4

3

2

1

Eye

movements

Visually follows

moving object or face

Does not visually

follows moving object

or face

1

0

Opens eyes

spontaneously

Opens eyes in response

to voice

Opens eyes in response

to pain

No eye opening

4

3

2

1

10 | B A N U 6

Malaria berat umumnya menunjukkan manifestasi berupa satu atau lebih

keadaan klinis berikut:

- koma (malaria serebral),

- asidosis metabolik,

- anemia berat,

- hipoglikemia,

- gagal ginjal akut, atau

- edema paru akut.

Apabila penderita tidak mendapatkan penanganan medis, malaria berat

umumnya berakibat fatal.

Malaria falciparum berat (severe falciparum malaria) didefinisikan sebagai satu

atau lebih kondisi klinis berikut ini, yang berlangsung dengan tanpa

ditemukannya penyebab alternatif lain, pada keadaan ditemukannya

Plasmodium falciparum asexual parasitaemia :

- Penurunan kesadaran: GCS ˂ 11 pada dewasa, atau BCS ˂ 3 pada

anak.

- Prostration: kelemahan umum sampai mengakibatkan penderita tidak

mampu duduk, berdiri, atau berjalan dengan tanpa bantuan.

- Kejang berulang (multiple convulsions): lebih dari dua episode dalam

kurun 24 jam.

- Asidosis: dijumpai base deficit ˃ 8 mEq/L, atau kadar bikarbonat

plasma ˂ 15 mmol/L, atau kadar laktat plasma vena (venous plasma

lactate) ≥ 5mmol/L. Asidosis berat memperlihatkan manifestasi klinis

sebagai kegagalan pernafasan (nafas cepat dan dalam).

- Hipoglikemia: kadar glukosa darah atau plasma ˂ 2,2 mmol/L (˂ 40

mg/dL).

- Anemia malaria berat (severe malarial anemia): kadar Hb ≤ 5 g/dL,

atau nilai hematokrit ≤ 15% pada anak usia ˂ 12 tahun; dan ≤ 7 g/dL,

atau ≤ 20% pada dewasa; dengan hasil hitung parasit ˃ 10.000/µL.

- Gangguan fungsi ginjal: plasma atau serum creatinine ˃ 265 µmol/L (3

mg/dL), atau urea darah ˃ 20 mmol/L.

- Jaundice: plasma atau serum bilirubin ˃ 50 µmol/L (3 mg/dL) dengan

hitung parasit ˃ 100.000/µL.

- Edema paru: terbukti melalui pemeriksaan radiologis, atau saturasi

oksigen ˂ 92% pada udara ruangan dengan laju respirasi ˃ 30/menit,

seringkali disertai dengan chest indrawing dan krepitasi pada

auskultasi.

11 | B A N U 6

- Tanda perdarahan yang nyata: meliputi perdarahan hidung berulang

atau berlangsung lama, perdarahan pada gusi ataupun pada tempat

pungsi vena, hematemesis atau melena.

- Tanda syok: Compensated shock didefinisikan sebagai capillary refill ≥

3 detik, atau adanya temperature gradient pada tungkai (mid to

proximal limb), namun dengan tanpa adanya hipotensi.

Decompensated shock didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik

˂70 mmHg pada anak, atau ˂ 80 mmHg pada dewasa, disertai

dengan tanda gangguan perfusi (akral dingin atau prolonged capillary

refill).

- Hiperparasitemia: P. falciparum parasitemia ˃ 1%.

Mortalitas malaria berat yang tidak mendapatkan penanganan

(terutama malaria serebral) mendekati 100%. Dengan pemberian terapi

antimalarial yang efektif dengan segera dan perawatan suportif maka mortalitas

menurun menjadi 10 – 20%.

Tujuan utama terapi malaria berat adalah mencegah kematian. Tujuan

berikutnya adalah pencegahan disabilitas dan mencegah recrudescent infection.

Kematian pada malaria berat seringkali terjadi dalam beberapa jam pertama

setelah masuk rumah sakit, sehingga sangat penting highly effective antimalarial

drug diberikan sesegera mungkin. Manajemen malaria berat dalam garis

besarnya terdiri dari:

- penilaian klinis penderita,

- terapi antimalarial spesifik, dan

- terapi tambahan serta penanganan suportif.

Penilaian Klinis

Malaria merupakan kegawat-daruratan medis. Kelapangan jalan nafas

harus dipertahankan pada penderita tidak sadar, dan pernafasan serta sirkulasi

mendapatkan pemantauan. Pasang kanula intravena, dan kadar gula darah,

hematokrit atau hemoglobin, parasitemia, dan pada dewasa fungsi ginjal harus

segera diperiksa. Pemeriksaan klinis seksama perlu dikerjakan, termasuk menilai

kesadaran menggunakan coma score. Penderita dengan kesadaran menurun

perlu menjalani pungsi lumbar untuk pemeriksaan analisis CSF, untuk

menyingkirkan meningitis bakterial.

Tingkat asidosis merupakan penentu penting dari outcome; bila

memungkinkan perlu dilakukan pemeriksaan kadar plasma bikarbonat atau

kadar laktat dari vena. Bila fasilitas memungkinkan, pada penderita tidak sadar,

kondisi hiperventilasi atau syok, perlu dilakukan pemeriksaan pH dan gas darah

kapiler atau arterial. Pemeriksaan darah juga harus meliputi: cross-matching,

hitung darah lengkap, hitung platelet, pembekuan, kultur, dan biokimia lengkap.

12 | B A N U 6

Keseimbangan cairan dari penderita juga perlu diperhatikan dengan seksama

pada malaria berat untuk menghindari over atau under-hydration.

Diagnosis banding dari demam pada penderita kritis sangat beragam.

Koma disertai demam dapat disebabkan oleh meningoensefalitas atau malaria.

Malaria serebral tidak disertai oleh tanda iritasi meningen (kaku kuduk, fotofobia,

atau Kernig’s sign), namun dapat dijumpai keadaan opisthotonic. Oleh karena

meningitis bakterial yang tidak memperoleh penanganan akan bersifat fatal,

maka pengerjaan diagnostic lumbar puncture diperlukan untuk menyingkirkan

kondisi ini. Juga terdapat situasi clinical overlap antara septikemia, pneumonia,

dengan malaria berat, dan kondisi ini dapat berlangsung bersamaan. Bila

memungkinkan, sampel darah perlu selalu diambil pada saat kedatangan

penderita untuk pemeriksaan kultur bakterial. Pada wilayah endemik malaria,

terutama bila parasitemia banyak dijumpai pada kelompok usia muda, adalah

sulit untuk menyingkirkan septikemia dengan segera pada anak dengan

kesadaran menurun. Menghadapi kasus tersebut, maka empirical parenteral

broad-spectrum antibiotic harus diberikan sesegera mungkin bersamaan dengan

terapi antimalarial.

Terapi

Terapi penderita malaria berat dewasa dan anak (termasuk bayi,

perempuan hamil pada semua trimester dan ibu menyusui) dengan memberikan

artesunate intravena atau intramuskular sekurangnya selama kurun 24 jam atau

sampai penderita mentoleransi medikasi oral. Setelah itu, tuntaskan terapi

dengan pemberian ACT (artemisin-based combination therapy), dan berikan

primaquine dosis tunggal.

Anak dengan BB ˂ 20 kg harus mendapatkan dosis artesunate yang

lebih tinggi (3 mg/kg BB per dosis) dibandingkan dengan anak dengan berat

badan yang lebih besar dan dewasa (2,4 mg/kg BB per dosis).

Perawatan Suportif

Penderita dengan malaria berat membutuhkan perawatan ICU. Observasi klinis

diperlukan dengan memantau: tanda vital, coma score, dan urine output. Kadar

glukosa darah perlu dipantau setiap 4 jam, terutama pada penderita dengan

penurunan kesadaran.

Manajemen klinis menghadapi manifestasi dan komplikasi berat dari malaria oleh

P. falciparum

Manifestasi atau komplikasi Manajemen segera

Koma (malaria serebral) Pertahankan jalan nafas, posisi miring,

singkirkan penyebab lain yang dapat

diatasi (treatable cause) dari koma

13 | B A N U 6

(meliputi: hipoglikemia, meningitis

bakterial); bila diperlukan lakukan

intubasi.

Hiperpireksia Berikan kompres dingin dan antipiretik.

Kejang Pertahankan jalan nafas; atasi segera

dengan pemberian diazepam

intravena atau rektal, lorazepam,

midazolam atau paraldehida

intramuskular. Periksa kadar gula

darah.

Hipoglikemia Koreksi hipoglikemia, dan pertahankan

dengan pemberian infus mengandung

glukosa. Meskipun hipoglikemia

didefinisikan sebagai glukosa ˂ 2,2

mmol/L, namun ambang intervensi

dilakukan pada ˂ 3 mmol/L untuk anak

˂ 5 tahun, dan ˂ 2,2 mmol/L untuk

anak lebih tua dan dewasa.

Anemia berat Transfusi menggunakan fresh whole

blood.

Acute pulmonary edema Posisikan penderita 45 , berikan

oksigen, berikan diuretik, hentikan

cairan intravena, lakukan intubasi dan

berikan PEP atau CPAP pada kondisi

life-threatening hypoxemia.

Acute kidney injury Singkirkan penyebab pre-renal, periksa

keseimbangan cairan dan kadar

natrium urin; pada keadaan yang

menunjukkan gagal ginjal, lakukan

hemodialysis, atau peritoneal dialysis.

Perdarahan spontan dan koagulopati Berikan transfusi menggunakan fresh

whole blood; berikan injeksi vitamin K.

Daftar Pustaka

14 | B A N U 6

1. Douglas G. Postels, Terrie E. Taylor. Cerebral Malaria. In: Michael

Scheld, Richard J. Whitely, Christina M. Marra, editors. Infections of

The Central Nervous System. 4th Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer;

2014.

2. World Health Organization. Guidelines for The Treatment of Malaria.

3rd

Ed. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data; 2015.

3. World Health Organization. World Malaria Report 2012. Geneva:

World Health Organization; 2012.

4. Leech JH, Barnwell JW, Miller LH, et al. Identification of A Starin-

specific Malarial Antigen Exposed On The Surface of Plasmodium

falciparum-infected Erythrocytes. J Exp Med. 1984.

5. Buhari M. Morphological Changes in Malaria. African J Clin Exper

Microbiol. 2005.

6. Lewallen S, Taylor TE, Molyneux ME, et al. Ocular Fundus Finding in

Malawian Children with Cerebral Malaria. Opthalmology. 1993.

15 | B A N U 6

MENINGITIS STREPTOCOCCUS SUIS SEBAGAI PENYAKIT INFEKSI EMERGING

Ni Made Susilawathi

Departemen Neurologi FK UNUD/RS UNUD-BALI

Abstrak

Meningitis Streptococcus suis (S. suis) terjadi akibat paparan terhadap

babi dan produk babi yang terinfeksi. Kasus infeksi S. suis mengalami

peningkatan secara signifikan beberapa tahun terakhir, sebagian besar kasus

terjadi di Asia Tenggara bahkan pernah dilaporkan kejadian wabah di Cina.

Kasus pertama infeksi S. suis di Bali terjadi pada tahun 2014 pada pasien dengan

meningitis dan sepsis, selanjutnya kejadian meningitis S. suis di Bali mengalami

peningkatan dan dilaporkan terjadi dibeberapa kabupaten di Bali. S. suis

menyebabkan infeksi sistemik dengan meningitis sebagai manifestasi klinis yang

paling sering terjadi. Manifestasi lain yang ditemukan seperti sepsis, endokarditis,

artritis, endopthalimitis, uveitis, spondylodisitis, opthalmoplegia dan abses

epidural. Tuli sensorineural merupakan komplikasi yang sering pada meningitis

S. suis.

Pendahuluan

Streptococcus suis (S. suis) adalah patogen babi yang dapat

menyebabkan infeksi sistemik pada manusia.1,2

Infeksi S. suis pada babi pertama

kali dilaporkan oleh seorang dokter hewan pada tahun 1954 setelah kejadian

wabah meningitis, septikemia dan artritis purulenta pada anak babi.1 Kasus

meningitis S. suis pada manusia dilaporkan terjadi di Denmark pada tahun 1968.3

Kejadian infeksi S. suis mengalami peningkatan bebarapa tahun terakhir di

kawasan Asia Tenggara, bahkan pernah dilaporkan adanya wabah infeksi S. suis

yang terjadi di Cina pada tahun 1998 dan 2005.4 Bakteri S. suis dilaporkan

sebagai penyebab tersering meningitis dewasa di Vietnam, penyebab kedua di

Thailand dan penyebab ketiga di Hongkong.5 Kasus pertama meningitis S. suis di

Bali dilaporkan terjadi pada tahun 2014 dan setelah itu kejadiannya cenderung

mengalami peningkatan, infeksi S. suis merupakan penyakit infeksi emerging

yang perlu diwaspadai.6

S.suis merupakan bakteri gram positif, berbentuk kokus, bersifat fakultatif

anaerob dan secara serologis memiliki 35 serotipe dan serotipe 2 dikenal

sebagai serotipe yang paling virulen dan sebagai penyebab utama penyakit

pada babi dan manusia.7,8

Penyakit Infeksi Emerging

Penyakit infeksi emerging (PIE) adalah suatu penyakit menular yang

baru diketahui keberadaanya dengan angka kejadian yang meningkat tajam. PIE

sebagian besar bersifat zoonosis yang penularannya dari hewan ke manusia.

16 | B A N U 6

Perubahan lingkungan, demografi manusia dan hewan, praktek pertanian, faktor

budaya dan sosial seperti kebiasaan makanan berperanan dalam munculnya

penyakit zoonosis menjadi PIE.9

Meningitis S. suis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh

bakteri S. suis yang memiliki reservoir alamiah pada babi dan ditularkan melalui

kontak langsung dengan babi terinfeksi dan mengkonsumsi produk babi yang

terkontaminasi S. suis.8

Infeksi S. suis merupakan PIE yang kejadiannya dilaporkan meningkat

dan menimbulkan problem kesehatan masyarakat.9 Kejadian wabah infeksi S.

suis di Cina yang menginfeksi lebih dari 200 orang dengan angka kematian

sekitar 20 % menunjukkan ancaman patogen ini terhadap kesehatan manusia.10,11

Laporan kejadian infeksi S. suis sebagian besar berasal dari Asia. Hal

ini dimungkinkan karena kontak manusia dengan babi sangat dekat akibat dari

kebiasaan masyarakat memelihara babi di belakang rumah, pemotongan babi

sering dilakukan di rumah atau tempat terbuka tanpa pengawasan petugas dan

dijual di pasar tradisional, kebiasaan mengkonsumsi olahan babi yang

segar/mentah sangat popular di beberapa negara di Asia serta kebiasaan

mengolah dan mengkonsumsi daging babi sakit yang dapat meningkatkan risiko

penularan S. suis ke manusia.1,10,11

Manifestasi Klinis Infeksi S. Suis

S. suis menyebabkan infeksi sistemik yang melibatkan berbagai organ

dengan manifestasi klinis bervariasi.1,2

Meningitis merupakan manifestasi yang

paling sering ditemukan (68 %) diikuti oleh sepsis (25 %), artritis septik (12,9 %),

sindrom syok toksik (25,7 %), endokarditis (12,4 %) dan endopthalmitis (4,6 %).7

Keluhan di kulit berupa purpura, ekomosis, bula hemorgik dan purpura fulminan

dapat ditemukan pada pasien dengan infeksi S.suis.1

Masa inkubasi infeksi S. suis bervariasi yang berhubungan dengan

mekanisme penularannya. Masa inkubasi lebih singkat apabila terinfeksi melalui

luka di kulit dan menyebar cepat secara hematogen sedangkan masa inkubasi

lebih panjang apabila terinfeksi melalui konsumsi oral. Kejadian wabah di Cina

dilaporkan masa inkubasi berkisar 3 jam sampai 14 hari dengan rerata 2.2 hari. 7,11

Meningitis S. suis umumnya terjadi pada usia dewasa dengan rerata

usia 51 tahun, dominan laki-laki dan sangat jarang terjadi pada anak-anak.

Faktor predisposisi utama adalah riwayat kontak dengan babi/ daging babi (61

%) dan riwayat pasien memiliki luka di kulit saat kontak dengan babi (20%).

Faktor yang lain adalah alkoholism (19 %), diabetes (5 %), splenektomi (1 %), dan

penggunaan obat imunosupresan (0,3 %).7

Manifestasi klinis meningitis S. suis secara umum sama dengan

meningitis bakteri akibat penyebab lain1 dengan gejala yang paling sering adalah

17 | B A N U 6

febris (97 %), nyeri kepala (95 %), kaku kuduk (93 %), dan perubahan kesadaran

(31 %). Trias klasik meningitis yang terdiri dari febris, kaku kuduk dan perubahan

kesadaran hanya dijumpai pada 9 % kasus.8 Meningitis S. suis sering disertai

dengan bakteremia yang mirip dengan meningitis S. pneumoniae dan N.

meningitidis. Komplikasi infeksi S. suis dapat menimbulkan gagal ginjal akut,

sindrom distress pernafasan akut, Disseminated intravascular coagulation (DIC)

dan sindrom syok toksik yang berhubungan dengan mortalitas yang tinggi.1

Tuli sensorineural merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai

sekitar 53 % pasien, yang terjadi pada nada tinggi. Derajat ketulian dapat sangat

berat dan permanen, namun pada beberapa kasus dilaporkan mengalami

perbaikan seiring dengan waktu. Keluhan disfungsi vestibular seperti ataksia

dapat terjadi berhubungan dengan ketulian.1,7

Tingkat mortalitas infeksi S. suis bervariasi, kurang dari 3% (di negara

maju) sampai lebih dari 26% (di Asia). 7,8,10

Syok septik dan peningkatan kadar

alanine transaminase meningkatkan risiko kematian.7

Penegakan Diagnosis Meningitis S. Suis

Standar baku untuk mendiagnosis meningitis adalah pemeriksaan

cairan serebrospinalis (CSS).12

Pemeriksaan CSS sangat penting dalam

penegakan diagnosis meningitis bakteri, identifikasi patogen penyebab dan

menguji sensitifitas antibiotika secara in vitro. Gambaran CSS pada meningitis

bakteri adalah pleositosis dominan neurotrofil, peningkatan kadar protein (> 50

mg/dl ) dan kadar glukosa rendah/ hipoglikoria (< 45 mg/dl).13

Diagnosis definitif untuk meningitis bakteri adalah pemeriksaan kultur

CSS. S. suis pada kultur CSS memberikan gambaran koloni bakteri α hemolitik

berantai. Koloni ini kemudian diperiksa lebih lanjut dengan uji biokimia secara

konvensional atau dengan sistem semiotomatis seperti VITEX-2 Compact

(Biomerieux) untuk mengidentifikasi spesies S. suis. Hasil kultur sering negatif

apabila pemeriksaan CSS tertunda dan dikerjakan setelah pemberian antibiotika.

S.suis sering didiagnosis keliru sebagai S. viridans atau S. pneumoniae terutama

spesimen dari CSS. Pemeriksaan CSS dengan teknik PCR dapat meningkatkan

kemampuan identifikasi S. suis secara spesifik dan juga dapat mendeteksi gene

yang berperanan dalam faktor virulensi S.suis. 1,7

Penanganan Meningitis S. Suis

Penatalaksanaan meningitis S.suis sama dengan meningitis bakteri

akibat bakteri patogen lainnya seperti S. pneumoniae & N. meningitides. Terapi

antibiotika harus diberikan segera, tanpa ada penundaan saat diagnosis

meningitis ditegakkan. S. suis secara umum masih sensitif dengan antibiotika

golongan penisilin dan sefalosporin. Terapi antibiotika empiris dengan

menggunakan seftriakson 2 gram setiap 12 jam selama 14 hari atau penisilin G

18 | B A N U 6

24 juta IU setiap 24 jam selama minimal 10 hari secara intravena dapat

digunakan pada penanganan meningitis S.suis 1,7,8 Beberapa pasien meningitis

S.suis dilaporkan mengalami kekambuhan setelah pengobatan antibiotika

selama 2 minggu dengan ceftriakson atau penisilin, dan memberikan respon

yang baik setelah pemberian antibiotika diperpanjang sampai 4-6 minggu.1,8

Pemberian deksametason (0,4 mg/kgBB selama 4 hari) sebagai terapi

adjuvan meningitis bakteri dapat menurunkan mortalitas dan mengurangi

komplikasi neurologis termasuk gangguan pendengaran.1,8

Pencegahan Infeksi S. Suis

Infeksi S. suis merupakan penyakit zoonosis yang dapat dicegah

penularannya. Babi sakit merupakan sumber infeksi utama pada S. suis sehingga

pengawasan terhadap babi sakit merupakan kunci pencegahan penularan pada

manusia. Wabah infeksi S. suis sering terjadi di negara berpenghasilan rendah

dengan peternakan babi yang intensif dimana pengawasan terhadap infeksi

pada peternakan babi sangat kurang akibat kondisi kandang yang kotor, lembab

dan berventilasi buruk dengan makanan yang terkontaminasi. Peningkatan

kualitas kondisi penangkaran babi dan vaksinasi babi merupakan metode efekif

untuk mengurangi wabah infeksi S.suis pada babi sehingga mengurangi risiko

penularan pada manusia.2, 14

Vaksinasi S. suis untuk manusia belum ditemukan sehingga

pengawasan yang ketat pada perdagangan dan pemotongan daging babi

merupakan langkah penting dalam pengedalian penyebaran infeksi dari babi ke

manusia. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang penyakit ini pada populasi

yang berisiko tinggi disertai dengan pengetahuan mempersiapkan dan

mengolah produk babi yang aman dapat membantu mengurangi infeksi ada

manusia. Pengetahuan yang penting perlu diketahui antara lain: pemakaian

sarung tangan saat mengolah produk babi apabila terdapat luka terbuka,

mencuci tangan dan membersihkan peralatan secara menyeluruh setelah kontak

dengan produk babi dan memasak produk babi dengan matang. WHO

merekomendasikan untuk memasak daging babi hingga mencapai suhu internal

70OC atau kaldunya menjadi jernih (bukan berwarna merah muda).

2,14

Kesimpulan

Meningitis S. suis sering tidak terdiagnosis sehingga diperlukan

peningkatan kesadaran tentang patogen ini dikalangan dokter klinisi dan

mikrobiologi. Tindakan pencegahan yang sederhana seperti memakai sarung

tangan saat memproses daging babi, selalu mencuci tangan setelah mengolah

daging babi dan memasak produk babi dengan baik sangat efektif menghindari

infeksi S. suis. Para wisatawan harus menyadari kebiasaan makan produk babi

19 | B A N U 6

mentah atau setangah matang dibeberapa daerah dapat meningkatkan risiko

penularan infeksi S. suis.

Daftar Pustaka

1. Wertheim HF, Nghia HD, Taylor W, Schultsz C. Streptococcus suis: an

emerging human pathogen. Clin Infect Dis. 2009; 48:617-625.

2. Lun ZR, Wang QP, Chen XG, Li AX, Zhu XQ. Streptococcusi suis: an

emerging zoonotic pathogen. Lancet Infect Dis. 2007.; 7: 201-09.

3. Perch B., Kristjansen P., Skadhuge Kn. Grup R Streptococci Pathogenic

For Man. Acta path. Microbiol. Scandinav. 1968, 74; 69-76.

4. Feng Y, Zhang H, Wu Z, Wang S, Cao M, Hu D, et al. Streptococcus

suis infection An emerging/reemerging challenge of bacterial

infectious diseases?. Virulence. 2014, 5(4): 477-497

5. Goyette-Desjardins G, Auger JP, Xu J, Segura M, Gottschalk M.

Streptococcus susi, an important pig pathogen and emerging

zoonotic agent-un update on the worldwide distribution based on

serotyping and sequence typing. Emerging Microbe and

Infections,2014; 3,e45;doi:10.1038/emi.

6. Susilawathi NM, Tarini NMA, Sudewi AAR. Meningitis Bakterial

Streptococcus suis dengan Tuli Sensorineural Bilateral. Neurona. 2016,

34(1):55- 59.

7. Fong IW. Zoonotic Streptococci: A Focus on Streptococcus suis. In

Fong IW, editor. Emerging Zoonoses, Emerging Infectious Diseases of

the 21st Century, Springer International Publishing AG. 2017, p.189-

210

8. van Samkar A, Brouwer MC, Schultsz C, van der Ende A, van de Beek.

Streptococcus suis Meningitis: A Systematic Review and Meta-analysis.

PLOS Negl Trop Dis 2015, 9(10):1-10

9. Jafry KT, Ali S, Rasool A, Raza A, Gill Z. Zoonoses. Int. J.Agric. Biol.

2009,11:217-220

10. Gottschalk M, Fittipaldi N, Segura M. Streptococcus suis Meningitis. In

Christodoulides M, editor. Meningitis: Cellular and Molecular Basis.

C.A.B. International 2013; p.184-198

11. Yu H, Jing H, Chen Z, Zheng H, Zhu X, Wang, et al. Human

Streptococcus suis outbreak, Sichuan, China. Emerg Infect Dis 2006

,12:914-920

12. van de Beek D, Brouwer M, Hasbun R, Koedel U, Whitney C, Wijdicks

E. Community-acquired bacterial meningitis. Nature Review. Disease

Primers. 2016, 2; 1-20

20 | B A N U 6

13. Tan YC, Gill AK, Kim KS. Treatment Strategies for central nervous

system infections: an update. Expert Opin. Pharmacother. 2014, 16(1);1-

17

14. Papatsiros VG, Vourvidis D, Tzitzis AA, Meichannetsidis PS, Stougiou

D, Mintza D, et al. Streptococcus suis: an important zoonotic

pathogen for human- prevention aspects.Veterinary World. 2011, 4(5):

216-221

21 | B A N U 6

RABIES: UPDATE IN PREVENTION STRATEGY

Candida Isabel Lopes Sam

Neurology Department, Tjark Corneille Hillers Hospital-Maumere

School of Medicine, Nusa Cendana University-Kupang

Abstract

Rabies is a vaccine-preventable viral zoonotic disease which occurs in

more than 150 countries and territories. Dogs are the main source of human

rabies deaths, contributing up to 99% of all rabies transmissions to humans.

Infection causes ten thousands deaths every year, largely in Asia and Africa. Forty

percent of people bitten by suspect rabid animals are children under 15 years of

age. Rabies prevention involves two main, non-exclusive strategies: (i) dog

vaccination to interrupt virus transmission to humans; and (ii) human vaccination

i.e. post-exposure prophylaxis (PEP) and pre-exposure prophylaxis (PrEP).

PEP is administered promptly following exposure to rabies, and

consists of timely, rigorous wound care, administration of rabies immunoglobulin

(RIG) in severe exposures, and a series of intradermal (ID) or intramuscular (IM)

rabies vaccines. Long, complicated PEP regimens and the high cost, low

availability, uncertain quality and short shelf life of RIG are barriers to PEP

implementation. PrEP is indicated for individuals who face occupational and/or

travel-related exposure to rabies virus in specific settings or over an extended

period. PrEP consists of a series of rabies vaccines, followed by booster

vaccination in case of exposure.

The new WHO recommendations for rabies immunization was

announced on the early 2018. These updated recommendations are based on

new evidence and directed by public health needs that are cost-, dose- and

time-sparing, while assuring safety and clinical effectiveness. In addition, new

guidance on prudent use of rabies immunoglobulin (RIG) is provided. The

following review article summarized the main point of the updated WHO

position on rabies prevention as endorsed by the Strategic Advisory Group of

Experts on immunization (SAGE) at its meeting in October 2017.

Keywords: Rabies, Prevention, Prophylaxis, Vaccine, WHO

1. Pendahuluan

Rabies disebut juga penyakit anjing gila adalah penyakit zoonosis

yang disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus dan termasuk dalam

family Rhabdoviridae; merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat,

yang hampir selalu berakibat fatal setelah timbulnya gejala klinis.1,2

Penyebaran

virus rabies pada manusia dapat terjadi melalui goresan atau gigitan hewan

22 | B A N U 6

penular rabies (HPR) yang merusak kulit, atau melalui kontak langsung dengan

permukaan mukosa seseorang, seperti hidung, mata atau mulut. Pernah

dilaporkan adanya transmisi virus rabies setelah transplantasi jaringan atau

organ dari donor yang meninggal dengan rabies yang tidak terdiagnosis.2,3

Rabies terdapat pada semua benua kecuali Antartika, dan lebih dari

95% kematian manusia akibat rabies terjadi di Asia dan Afrika. Meskipun Vaksin

Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (Rabies Imunoglobulin) yang efektif

tersedia di berbagai negara tetapi sering kali tidak dapat diakses oleh mereka

yang membutuhkan karena pada umumnya rabies menginfeksi masyarakat

dengan sosial ekonomi rendah yang tinggal di daerah terpencil.2,4

World Health Organization (WHO) melaporkan rata-rata biaya VAR

untuk Post Exposure Prophylaksis (PEP) sebesar 40 US$ di Afrika dan 49 US$ di

Asia. Keadaan ini jelas akan menjadi beban keuangan pada keluarga miskin yang

terkena dampak dengan pendapatan harian rata-rata hanya 1-2 US$ per orang.

Setiap tahun, lebih dari 15 juta orang diseluruh dunia mendapatkan VAR untuk

mencegah ratusan ribu kematian akibat rabies.4

2. Epidemiologi

Lebih dari 150 negara di dunia telah terjangkit rabies. Australia,

Selandia Baru, Jepang, Papua Nugini dan Negara Kepulauan Pasifik saat ini

bebas rabies. Namun status bebas rabies pada suatu negara atau daerah dapat

berubah kapan saja. Misalnya, pada tahun 2008 di Propinsi Bali, dilaporkan

adanya kasus rabies pada binatang kemudian menyebar ke manusia.

Sebelumnya Bali bebas rabies, meskipun di daerah lain di Indonesia masih

terdapat kasus rabies.3 Selama periode 2012-2016 dilaporkan kasus gigitan HPR

di Indonesia sebanyak 373.000 kejadian dan sebanyak 288.417 (77,3%)

mendapatkan PEP dengan suntikan VAR. Sebanyak 555 kasus dilaporkan

meninggal dengan gejala-gejala rabies atau 112 kematian pertahun.5

Setiap tahun lebih dari 59.000 orang meninggal akibat rabies dan

lebih dari 15 juta orang di seluruh dunia mendapatkan suntikan VAR untuk

mencegah tertular penyakit ini. Sembilan puluh sembilan persen transmisi rabies

ke manusia melalui gigitan anjing rabies dan sekitar 30 - 60% dari korban adalah

anak-anak di bawah usia 15 tahun. Dengan demikian salah satu cara untuk

eliminasi rabies dilakukan melalui vaksinasi anjing dan mencegah gigitan anjing

atau HPR lainnya.2,6

3. Manifestasi Klinis

Rabies hampir selalu berakibat fatal. Masa inkubasi rabies sekitar 3 - 8

minggu, tetapi dapat juga berkisar 1 minggu sampai beberapa tahun. Perbedaan

masa inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis atau strain virus

rabies, jumlah virus yang masuk, kedalaman luka gigitan, banyaknya persarafan

23 | B A N U 6

di sekitar luka, imunitas penderita dan lokasi luka gigitan; semakin dekat luka

gigitan ke sistem saraf pusat, maka gejala klinis akan lebih cepat muncul. Oleh

karena itu luka gigitan di atas daerah bahu (leher, muka dan kepala), pada jari

tangan atau jari kaki, area genitalia dan luka yang lebar, dalam atau multiple

merupakan luka dengan risiko tinggi. Luka risiko rendah adalah jika terjadi

jilatan pada luka terbuka atau gigitan yang menimbulkan luka lecet di area

badan, tangan dan kaki.2-4

Manifestasi klinis penyakit rabies terdiri dari beberapa fase yaitu fase prodromal,

sensoris, eksitasi dan paralisis. 2,7,8

Fase prodromal: pada fase ini muncul gejala berupa demam, malaise, mual, nafsu

makan menurun, sakit kepala dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa

hari.

Fase sensoris: penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada bekas

luka, kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan

terhadap rangsang sensorik

Fase eksitasi: peningkatan tonus otot dan peningkatan aktivitas simpatis berupa

hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan

fase eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium

ini adalah munculnya berbagai fobia seperti hidrofobia, fotofobia dan aerofobia.

Hidrofobia merupakan gejala khas penyakit rabies karena tidak ditemukan pada

penyakit encephalitis lainnya. Pada fase ini dapat terjadi apnoe, sianosis, kejang

dan takikardi. Gejala eksitasi tetap berlangsung sampai penderita meninggal.

Fase paralitik: disebut sebagai rabies paralitik, bentuk ini ditandai dengan

paralisis otot. Terjadi secara bertahap dimulai dari bagian bekas luka gigitan atau

cakaran. Penurunan kesadaran terjadi secara perlahan dan akhirnya mati karena

paralitik otot pernapasan dan jantung.

4. Pencegahan

Rabies adalah penyakit yang mematikan, tetapi bisa dicegah. WHO

terus mempromosikan pencegahan rabies pada manusia melalui upaya eliminasi

rabies pada anjing dan pencegahan gigitan anjing. Untuk itu diperlukan strategi

pendekatan One Health, yaitu kerja sama lintas sektor khususnya antara

kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan.9,10

Aliansi Global telah sepakat untuk mengupayakan agar tidak terjadi

kematian pada manusia akibat rabies di tahun 2030, berfokus pada peningkatan

akses PEP bagi korban gigitan, memberikan edukasi tentang pencegahan gigitan

HPR, dan memperluas cakupan vaksinasi anjing untuk mengurangi risiko

paparan pada manusia.2

4.1. Eliminasi rabies pada anjing

24 | B A N U 6

Rabies merupakan penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi.

Vaksinasi anjing adalah strategi yang sangat cost-effective mencegah penularan

rabies pada manusia. Vaksinasi anjing akan menurunkan angka kematian akibat

rabies dan mengurangi kebutuhan vaksinasi paska paparan.2,11

4.2. Edukasi dan Upaya Pencegahan Gigitan HPR

Edukasi tentang perilaku anjing dan upaya pencegahan gigitan anjing

pada manusia terutama anak-anak harus diintegrasikan dalam program vaksinasi

rabies, karena bisa menurunkan kejadian rabies pada manusia serta mengurangi

beban biaya penanganan akibat gigitan anjing.2,11

Peningkatan kesadaran akan pencegahan dan pengendalian rabies di

masyarakat termasuk pendidikan dan informasi tentang bagaimana menjadi

pemilik anjing yang bertanggung jawab, bagaimana mencegah gigitan anjing,

dan upaya yang harus dilakukan setelah digigit.

Pendidikan tentang penularan rabies diberikan kepada masyarakat

yang akan berkunjung ke daerah endemis rabies agar menghindari kontak

dengan HPR setempat. Jangan membiarkan anak-anak memberi makan,

menepuk atau bermain dengan HPR. Anjing mampu meloncat dan menggigit di

daerah wajah dan kepala anak-anak, yang merupakan gigitan risiko tinggi. Tetap

waspada saat berjalan, berlari ataupun bersepeda.2,3,11

Sebelum melakukan perjalanan, para wisatawan atau masyarakat

diberi informasi tentang vaksinasi rabies, vaksinasi pra-paparan ataupun

vaksinasi booster, dan apa yang harus dilakukan jika mereka digigit oleh HPR

walaupun sudah mendapat vaksinasi sebelumnya.2,3

4.3. Pre Exposure Prophylaxis (PrEP)

VAR efektif dan aman digunakan untuk pencegahan pra-paparan atau

Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP). PrEP direkomedasikan untuk mereka yang

berisiko tinggi terpapar rabies karena pekerjaan, perjalanan atau tinggal di

daerah endemis rabies dimana sulit untuk mendapatkan pencegahan paska

paparan (Post Exposure Prophylaxis) yang adekuat dan cepat. Korban gigitan

HPR yang sudah mendapatkan PrEP, tidak perlu diberikan Rabies

Immunoglobulin (RIG) atau Serum Anti Rabies (SAR).2,12

PrEP tidak direkomendasikan untuk diberikan secara massal ke seluruh

populasi karena tidak cost-effective. PrEP perlu dipertimbangkan untuk diberikan

secara luas kepada masyarakat yang tinggal di daerah terpencil yang sulit

mendapatkan akses PEP dengan kejadian gigitan anjing per tahun sebesar >5%

atau terdapat kasus rabies pada kelelawar.2,12

VAR bisa diberikan secara

intramuscular (IM) dan intradermal (ID) dengan jadwal pemberian seperti pada

tabel 1.

25 | B A N U 6

Pemberian secara Intramuskuler (IM)

Dosis VAR pada pemberian secara IM sama untuk bayi, anak-anak dan

dewasa, yaitu sebesar 0,5 mL atau 1,0 mL tergantung tipe vaksinnya, disuntikkan

pada hari ke 0 dan hari ke 7.2

Lokasi pemberian di otot deltoid untuk orang dewasa dan anak-anak

berusia 2 tahun keatas, sedangkan untuk anak-anak di bawah 2 tahun lokasi

penyuntikan di daerah paha anterolateral. Jangan menyuntikkan VAR di region

gluteus karena kegagalan PEP telah dilaporkan ketika diberikan melalui rute ini.

Kemungkinan lemak subkutan yang tebal di regio gluteus mempengaruhi

imunogenitas VAR.2,13

Pemberian secara Intradermal (ID)

Pemberian secara ID untuk PreEP direkomendasikan karena selain

aman dan efektif, dosis vaksin dapat dikurangi sehingga dapat menekan biaya

vaksinasi. Hal ini sangat membantu pengendalian rabies di negara sedang

berkembang yang kesulitan dalam hal pembiayaan.2,14

Dosis VAR pada pemberian secara ID sama untuk bayi, anak-anak dan

dewasa, yaitu sebesar 2 x 0,1 mL; disuntikkan pada hari ke 0 dan hari ke 7. Lokasi

suntikan di regio deltoid, di paha anterolateral dan daerah supraskapula.2,15-17

Pemberian intradermal menggunakan syringe 1,0 mL dengan jarum pendek dan

dilakukan oleh tenaga terlatih.2

PrEP bagi orang dengan imunitas menurun (immunocompromised)

diberikan seperti pada orang sehat (immunocompetent) plus suntikan VAR

ketiga pada hari ke 21-28 seperti tampak pada table 1.2

Tabel 1. Panduan Pencegahan Pra Paparan menurut WHO2

Rute

Pemberian

Lama

Pemberian

Jumlah Suntikan saat Kunjungan

(hari ke 0, 3, 7, 14, 21-28)

Immunocompetent Immunocompromised

Intradermal

(ID)

7 hari 2 – 0 – 2 – 0 – 0

2 – 0 – 2 – 0 – 2

Intramuskuler

(IM)

7 hari 1 – 0 – 1 – 0 – 0

1 – 0 – 1 – 0 – 1

Dua jenis VAR yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM) Indonesia yaitu jenis Purified Vero cell rabies vaccine (PVRV, Verorab®)

dan Purified chick embryo cell vaccine (PCECV, Rabipur®

) bisa diberikan secara

IM maupun ID.7

26 | B A N U 6

Vaksinasi Booster

Pemberian VAR sebagai booster secara periodik tidak diperlukan

kecuali mereka yang karena pekerjaannya kemungkinan terpapar dengan virus

rabies secara berkesinambungan, misalnya seorang pekerja laboratorium yang

kontak dengan virus rabies hidup konsentrasi tinggi. Bagi pekerja dengan jenis

pekerjaan diatas harus dilakukan pemeriksaan serologi setiap 1-2 tahun untuk

memonitor apakah kadar neutralizing antibody yang ada akan mampu

melindungi dari penularan virus rabies sewaktu-waktu akibat paparan yang tidak

disadari ataupun paparan akibat kecelakaan kerja.2

Profesional yang tidak berisiko sering terpapar secara

berkesinambungan, misalnya seorang dokter hewan atau petugas kesehatan

hewan lainnya, sebaiknya melakukan pemeriksaan serologi setiap 2 tahun.

Karena imunitas yang diinduksi VAR bisa bertahan puluhan tahun, vaksinasi

booster direkomendasikan hanya jika titer neutralizing antibody< 0,5 IU/mL.2

Jika pemeriksaan serologi tidak memungkinkan, perlu tetap

dipertimbangkan pemberian booster sebelum mulai melakukan pekerjaan

berisiko tinggi terpapar virus rabies. Namun demikian booster sebisa mungkin

diberikan mengacu pada titer neutralizing antibody dan pada mereka yang

berisiko tinggi terpapar virus rabies secara berkesinambungan.2

Mereka yang tinggal atau yang berencana melakukan perjalanan ke

daerah endemis rabies dan sudah pernah mendapatkan vaksinasi lengkap (PrEP

maupun PEP), pemberian booster tidak diperlukan lagi.2

5. Tata Laksana Gigitan Hpr

5.1. Manajemen Luka

Salah satu langkah terpenting setelah terpapar virus rabies adalah

manajemen luka. Pencucian luka dengan menggunakan sabun merupakan hal

yang sangat penting dan harus segera dilakukan jika terjadi paparan (jilatan,

cakaran atau gigitan) dengan HPR. Virus rabies dapat diinaktivasi dengan sabun

karena selubung luar virus yang terdiri dari lipid akan larut oleh sabun.2,7

Pencucian luka dilakukan sesegera mungkin dengan sabun di bawah

air mengalir selama kurang lebih 15 menit. Pencucian luka tidak menggunakan

peralatan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan luka baru dimana virus akan

semakin masuk ke dalam.2,3,7

Setelah dilakukan pencucian luka sebaiknya diberikan antiseptik

seperti povidon iodine, alkohol 70% dan antiseptik lainnya untuk membunuh

virus rabies yang masih tersisa di sekitar luka gigitan.2,3

27 | B A N U 6

Luka gigitan sebaiknya tidak boleh dijahit. Pada luka gigitan kategori

III yang sangat memerlukan jahitan, bisa dilakukan jahitan situasi setelah

pemberian SAR secara infiltrasi di sekitar luka.2,3,7

5.2. Vaksinasi

Setelah pencucian luka, selanjutnya dilakukan pemberian VAR disertai

atau tanpa SAR berdasarkan kategori paparan dan jenis kontak dengan HPR

(Tabel 2). Hal lain yang juga menjadi pertimbangan adalah (i) apakah korban

yang terpapar sudah divaksin sebelumnya dan (ii) bagaimana imunitas

tubuhnya.2

Tabel 2. Kategori Paparan dan Rekomendasi Tata Laksana menurut WHO2

Kategori Paparan

Jenis Kontak dengan HPRa

Rekomendasi Tata Laksana

Kategori I

Menyentuh atau memberi makan hewan

Jilatan pada kulit utuh

Lakukan pencucian luka

Tidak diberikan VARb atau SAR

c

Kategori II

Menggigit kulit terbuka

Luka goresan kecil atau lecet tanpa

perdarahan

Lakukan pencucian dan perawatan luka

Segera berikan VAR

Hentikan pemberian VAR bila HPR tetap

sehat setelah diobservasi selama 10 hari

atau jika hasil pemeriksaan laboratorium

tidak terbukti rabies dengan teknik

pemeriksaan yang memadai

Kategori III

Gigitan atau cakaran yang menimbulkan

luka transdermal tunggal atau multiple

Jilatan pada kulit yang tidak utuh

Kontaminasi selaput lendir dengan air liur

Kontak langsung dengan kelelawar

Lakulan pencucian dan perawatan luka

Segera berikan VAR dan SAR

Hentikan pemberian VAR bila HPR tetap

sehat setelah diobservasi selama 10 hari

atau jika hasil pemeriksaan laboratorium

tidak terbukti rabies dengan teknik

pemeriksaan yang memadai aHPR Hewan Penular Rabies;

bVAR Vaksin Anti Rabies;

cSAR Serum Anti Rabies

5.2.1. PEP pada Orang yang Belum Divaksin Sebelumnya

Vaksin Anti Rabies (VAR)

Pemberian VAR pada PEP merupakan upaya aktif untuk merangsang

tubuh memproduksi neutralizing antibody. Suntikan VAR bisa dilakukan secara

IM dan ID. Pemberian VAR secara ID selain efektif, juga lebih hemat jika

diimplementasikan di daerah dengan kasus gigitan HPR tinggi. Dosis dan lokasi

28 | B A N U 6

pemberian VAR pada PEP sama dengan pada PreEP, sedangkan waktu

pemberiannya bisa dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Panduan Pencegahan Paska Paparan menurut WHO2

Lama

Pemberian

Jumlah Suntikan saat Kunjungan

(hari ke 0, 3, 7, 14, 21-28)

Intradermal

(ID)

7 hari 2 – 2 – 2 – 0 – 0

Intramuskuler (IM) 14-28 hari 1 – 1 – 1 – 1 - 0

Intramuskuler (IM) 21 hari 2 – 0 – 1 – 0 – 1

Pada korban gigitan HPR dengan imunitas yang menurun

(immunocompromised) atau sedang mengkonsumsi obat imunosupresan,

sebaiknya mendapatkan pilihan PEP terbaik termasuk pemberian SAR pada

paparan kategori II dan III. Jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan

kadarneutralizing antibody, 2-4 minggu setelah pemberian VAR untuk bisa

memutuskan apakah perlu diberikan VAR tambahan atau tidak.2

Dalam keadaan terpaksa, diperkenankan memberikan VAR dengan

jenis dan rute yang berbeda dengan yang sudah diberikan sebelumnya.18

Serum Anti Rabies (SAR)

Peran Serum Anti Rabies (SAR) atau Rabies Immunoglobulin (RIG)

adalah melakukan neutralizing virus rabies (imunisasi pasif) di sekitar luka gigitan

HPR sebelum sistim imun korban memproduksi neutralizing antibody secara

aktif setelah pemberian VAR.2

SAR harus diberikan kepada semua korban gigitan kategori III (Tabel

2), kecuali jika korban sudah mendapatkan PreEP sebelumnya. SAR diberikan

dosis tunggal, sebaiknya diberikan secepatnya bersamaandengan mulainya

pemberian VAR (hari 0) dalam rangka PEP. Tidak direkomendasikan pemberian

SAR, 7 hari setelah pemberian VAR dosis pertama, sebab respon antibodi secara

aktif terhadap pemberian VAR sudah mulai sehingga pemberian SAR akan

mubazir bahkan penggunaannya dapat menekan tingkat respon amnestic dan

neutralizing antibody yang beredar.2

Dosis maksimum human RIG adalah 20 IU/kilogram berat badan,

sedangkan dosis equine RIG sebesar 40 IU/kilogram berat badan; dosis sama

untuk bayi, anak-anak dan orang dewasa. RIG harus diinfiltrasi sebanyak

mungkin di dalam dan sekitar luka, jika masih ada sisa volume RIG bisa

disuntikan IM di lokasi terdekat dengan lokasi luka. Beberapa penelitian

29 | B A N U 6

menunjukkan bahwa suntikan sisa RIG secara IM tidak memberikan tambahan

perlindungan terhadap rabies dibandingkan dengan pemberian infiltrasi saja.

Sebaliknya, jika luka parah dan volume RIG tidak cukup untuk infiltrasi pada

semua luka yang ada -misalnya gigitan anjingmultiple dan luas pada anak kecil-,

RIG bisa diencerkan dengan normal salin sehingga mendapatkan jumlah yang

cukup untuk infiltrasi semua luka secara hati-hati.19,20

Skin testing sebelum pemberian equine RIG tidak perlu dilakukan lagi

karena tidak mampu memprediksi kemungkinan terjadinya efek merugikan

paska vaksinasi.2

5.2.2 PEP pada Orang yang Sudah Divaksin Sebelumnya

Manajemen luka harus tetap dilakukan tanpa menghiraukan vaksinasi

rabies sebelumnya. Orang yang terbukti telah mendapatkan PrEP atau PEP

lengkap; atau PEP terputus setelah mendapatkan paling sedikit 2 dosis VAR

(setara PrEP), akan diberikan 2 dosis VAR pada hari ke 0 dan ke 3 secara IM

maupun ID.2

Pemberian 2 dosis VAR ini juga diberlakukan bagi mereka yang

immunocompromised, namun harus dilakukan pemeriksaan titer neutralizing

antibody setelah dosis ke 2 untuk memastikan bahwa titer neutralizing antibody

sudah memadai yaitudiatas 0.5 IU/mL.2

SAR tidak diperlukan dan tidak boleh diberikan, karena

penggunaannya dapat menekan tingkat respon amnestic dan neutralizing

antibody yang beredar.2 Pemberian VAR dengan atau tanpa SAR, tidak

diperlukan jika paparan terjadi < 3 bulan paska PEP lengkap.21

Kontraindikasi

Rabies merupakan penyakit dengan case fatality rate mendekati 100%.

Oleh karena itu tidak ada kontraindikasi absolute untuk menggunakan VAR atau

SAR sebagai PEP pada orang dengan risiko terpapar virus rabies atau lyssavirus

lainnya.2

PEP bisa diberikan dengan aman kepada bayi, ibu hamil, ibu menyusui

dan orang dengan penurunan imunitas (immunocompromised), termasuk anak-

anak yang terinfeksi HIV. Pemberiannya dilakukan oleh petugas kesehatan yang

sudah terlatih akan indikasi, cara pemberian dan tata laksana jika terjadi kejadian

ikutan.2,3,7

Seperti halnya vaksinasi pada umumnya, penerima vaksin tetap

diobservasi 15-20 menit setelah vaksinasi. Jika pernah mengalami reaksi berat

terhadap salah satu komponen vaksin, sebaiknya menggunakan vaksin jenis

lainnya. Korban gigitan HPR yang alergi terhadap telur atau protein telur,

seharusnya tidak menggunakan VAR jenis Purified chick embryo cell vaccine

(Rabipur®) melainkan jenis Purified Vero cell rabies vaccine (Verorab

®).

3

30 | B A N U 6

Gambar 1. Tata Laksana Paparan Hewan Penular Rabies1

6. Kesimpulan

Lebih dari 150 negara di dunia telah terjangkit rabies dan setiap tahun

lebih dari 55.000 orang meninggal karena rabies. Rabies memang penyakit yang

mematikan, tetapi terbukti bisa dicegah dengan tata laksana yang cepat dan

tepat.

Meskipun VAR dan SAR yang efektif tersedia di berbagai negara tetapi

sering kali tidak dapat diakses oleh mereka yang membutuhkan karena pada

umumnya rabies menginfeksi masyarakat dengan sosial ekonomi rendah yang

tinggal di daerah terpencil.

Beberapa bukti dari berbagai penelitian terbaru khususnya terkait

pemberian VAR dan SAR yang efektif, aman, lebih praktis (waktu pemberian

lebih singkat) dan lebih ekonomis (dosis pemberian lebih kecil dan harga lebih

murah); diharapkan akan meningkatkan akses masyarakat yang memerlukan

upaya pencegahan rabies sehingga tidak akan terjadi lagi kematian sia-sia pada

manusia akibat rabies di tahun 2030.

31 | B A N U 6

Daftar Pustaka

1. Tarantola A. Four Thousand Years of Concepts Relating to Rabies in Animal

and Humans, Its Prevention and Its Cure. Trop Med Infect Dis.2017;2,5.

2. WHO Expert Consultation on Rabies: Third Report. Geneva: World Health

Organization; 2018 (WHO Technical Report Series No. 1012).

3. The AustralianImmunisationHandbook.10thed.2017.Available at:http://www.

Immunise.health.gov.au/internet/immunise/publishing.nsf/Content/84C9EC

562B14AA1CCA257D4D00238E25/$File/4-16_Rabies.pdf (accessed June

2018)

4. WHO fact sheet on rabies. Available at http://www.who.int/ mediacentre/

factsheets/ fs099/en, accessed May 2018

5. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Surveilans Epidemiologi Rabies

pada Manusia di Indonesia. 2017

6. Hampson K, Coudeville L, Lembo T et al. Estimating the Global Burden of

Endemic Canine Rabies. PLoS Negl Trop

Dis.2015.DOI:10.1371/journal.pntd.0003709

7. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit. Buku Saku Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus

Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia. 2016

8. Sudewi AAR. Rabies. In: Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K, editors. Infeksi

pada Sistem saraf. Surabaya: AUP;2011.p.55-61

9. Garg S, Basu S, Dahiya N. A review of current strategy for rabies prevention

and control in the developing world. Indian J Comm Health 2017; 29 (1): 10-

6.

10. Lavan RP, King AIM, Sutton DJ, Tunceli K. Rationale and support for a One

Health program for canine vaccinationas the most cost-effective means of

controlling zoonotic rabies inendemic settings. Vaccine 2017;35:1668-74

11. Department of Health, Philippines. National Rabies Prevention and Control

Program. Manual of Operations.2012

12. Kessels JA, Recuenco S, Navarro-Vela AM et al. Pre-exposure rabies

prophylaxis: a systemic review. Bull World Health Organ 2017;95:210-9

13. Wieten RW, Leenstra T, van Thiel PP, van Vugt M, Stijnis C, Goorhuis A et al.

Rabies vaccinations: are abbreviated intradermal schedules the future?. Clin

Infect Dis.2012;56(3):414-9

14. Buchy P, Preiss S, Singh V, Mukherjee P. Heterogeneity of Rabies

Vaccination Recommendations across Asia. Trop Med Infect Dis

2017;2,23;doi:10.3390/tropicalmed2030023

32 | B A N U 6

15. Melerczyk C, Vakil HB, Bender W. Rabies pre-exposure vaccination of

children with purified chick embryo cell vaccine (PCECV). Hum Vaccine &

Immunother 2013;9 (7):1454-9

16. Lau CL, Hohl N. Immunogenicity of a modified intradermal pre-exposure

rabies vaccination schedule using a purified chick embryo cell vaccine: an

observational study. Travel Med Infect Dis. 2013;11(6):427-30

17. Mills DJ, Lau CL, Fearnley EJ, Weinstein P. The immunogenicity of a

modified intradermal pre-exposure rabies vaccination schedule- a case

series of 420 travelers. J Travel Med. 2011;18(5):327-32

18. Ravish HS, Sudarshan MK, Madhusudana SN, Annadani RR, Narayana DH,

Belludi AY et al. Assessing safety and immunogenity of post-exposure

prophylaxis following interchangeability of rabies vaccines in humans. Hum

Vaccin Immunother. 2014;10(5):1354-8

19. Bharti OK, Madhusudana SN, Wilde H. Injecting rabies immunoglobulin

(RIG) into wounds only:a significant saving of lives and costly RIG.Hum

Vaccine Immunother.2017;13(4):762-5

20. Bharti OK, Madhusudana SN, Gaunta PL, Belludi AY. Local infiltration of

rabies immune-globulins without systemic intramuscular administration: an

alternative cost effective approach for passive immunization againt rabies.

Hum Vaccine Immunother. 2016;12(3):837-42

21. Sudarshan MK, Ravish HS, Narayana DHA. Time interval for booster

vaccination following re-exposure to rabies in previously vaccinated

subjects. Asian Biomed 2011;5(5):589-93

33 | B A N U 6

ANALISA LCS PADA KASUS NEUROINFEKSI:

FOKUS PADA MENINGITIS BAKTERIAL

A.A.Ayu Suryapraba Indradewi K.

Departemen Neurologi RSUP Sanglah

Denpasar/FK Universitas Udayana

Pendahuluan

Analisa likuor cerebrospinal (LCS) merupakan salah satu metode

pemeriksaan yang memungkinkan klinisi untuk mengetahui kondisi di dalam

sistem saraf pusat meliputi otak, medulla spinalis dan meninges, sehingga dapat

digunakan untuk menegakkan diagnosis berbagai penyakit susunan saraf pusat

(SSP). Analisa LCS yang dilakukan dengan tepat juga membantu membedakan

kasus infeksi dengan non infeksi.1

Meningitis bakterial akut adalah salah satu infeksi SSP dengan

morbiditas dan mortalitas yang tinggi di seluruh dunia. Angka kejadian

meningitis bakterial akut tertinggi di negara berkembang di beberapa area yang

spesifik. Membedakan meningitis bakterial dan non bakterial merupakan hal

yang penting untuk menentukan terapi. Penundaan pemberian terapi pada

meningitis bakterial akut akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Gejala

klinis yang bervariasi pada meningitis bakterial dipengaruhi berbagai variable

seperti usia, durasi penyakit, adanya penyakit penyerta dan mikroorganisme

yang terlibat. Gejala klasik meningitis yaitu trias demam, kaku kuduk dan

perubahan status mental dijumpai penuh atau sebagian pada 50-95% kasus dan

hanya memiliki 40-50% sensitivitas dalam mendiagnosis meningitis bakterial

sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis

dengan.2,3

Perubahan parameter laboratorium dapat serupa pada kasus-kasus

yang berbeda sehingga seringkali menimbulkan kesulitan interpretasi. Kombinasi

dari berbagai parameter rutin seperti protein, albumin, immunoglobulin, glukosa

dan perubahan seluler ditunjang dengan pemeriksaan beberapa antigen dan

antibodi spesifik untuk agen infeksi tertentu dapat meningkatkan sensitivitas

maupun spesifisitas analisa LCS sebagai alat diagnostik.3,4

Tinjauan Pustaka

Likuor cerebrospinalis (LCS) merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang

disekresikan oleh pleksus khoroideus ke dalam ventrikel otak. LCS merupakan

jendela bagi klinisi untuk mengetahui kondisi di sistem saraf pusat, termasuk di

dalamnya otak, medulla spinalis dan meninges. Dengan analisis yang tepat dari

komponen LCS dapat diketahui berbagai penyakit SSP seperti meningitis,

penyakit demyelinisasi, keganasan dan perdarahan subaraknoid.1

34 | B A N U 6

Tahap pertama dari analisis LCS adalah pemeriksaan opening pressure

yang diikuti pemeriksaan makroskopis. Pada tahap ini dinilai warna, kekeruhan

dan adanya bekuan. Selanjutnya dinilai parameter rutin seperti kadar protein,

glukosa, jumlah sel dan hitung jenisnya, pemeriksaan mikroskopik dan kultur.

Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan antara lain aglutinasi latex dan

polymerase chain reaction (PCR).3,5,6

Opening pressure

Secara fisiologis, LCS merupakan air dan SSP 80% terdiri dari air.

Seperti cairan pada umumnya, SSP dan LCS pada ruang kraniovertebral bersifat

mudah mengalami penekanan. Menurut hukum Pascal, tekanan yang diberikan

pada cairan dalam ruang tertutup akan diteruskan sama besar ke segala arah.

Penyebaran tekanan bergantung pada bentuk dan ukuran dari ruang yang

tempat cairan berada. Maka, tekanan pada LCS di bagian lumbal akan

menggambarkan tekanan intracranial. Meningkatnya tekanan intracranial akan

mendesak LCS dan cairan intravascular. Jika kompensasi ini gagal, peningkatan

tekanan lebih lanjut akan menyebabkan parenkim otak mengalami herniasi ke

bawah melalui foramen magnum.7

Tekanan pembukaan atau opening pressure pasien diperiksa dalam

posisi lateral decubitus dengan kepala dan tungkai dalam posisi netral sejajar

tempat tidur. Meniscus LCS akan berfluktuasi pada antara 4 dan 10 mm dengan

respirasi. Pasien diminta tidak mengejan dan bernapas seperti biasa. Opening

pressure normal berkisar antara 10-100 mmH2O pada anak-anak, 60-200 mmH2O

pada usia >8 tahun, dan hingga 250 mmH2O pada obesitas. Normalnya opening

pressure pada posisi lateral decubitus adalah di bawah 180 mmH2O. Hipotensi

intrakranial adalah kondisi dimana opening pressure kurang dari 60 mmH2O; hal

ini jarang dijumpai kecuali bila terjadi kebocoran LCS riwayat lumbal pungsi

sebelumnya atau dehidrasi berat. Opening pressure di atas 25 mmH2O

menunjukkan adanya hipertensi intrakranial. Pada meningitis umumnya opening

pressure meningkat antara 200-500 mmH2O.5,6

Makroskopis

Warna normal LCS adalah jernih. Adanya leukosit hingga 200 sel/mm3

atau eritrosit hingga 400 sel/mm3 akan menyebabkan kekeruhan pada LCS.

Xanthochromia adalah perubahan warna menjadi kuning, jingga atau merah

muda pada LCS yang disebabkan oleh lisisnya eritrosit yang menyebabkan

pemecahan hemoglobin menjadi oksihemoglobin, methemoglobin dan bilirubin.

Perubahan ini terjadi bila eritrosit telah berada pada cairan spinal selama 2 jam

dan menetap selama 2-4 minggu. Xanthochromia dijumpai pada lebih dari 90%

dengan perdarahan subaraknoid dalam 12 jam onset dan pada pasien dengan

kadar bilirubin serum 10-15 mg/dL. Kadar protein LCS >150 mg/dL seperti pada

35 | B A N U 6

kondisi infeksi atau inflamasi, maupun akibat lumbal pungsi yang traumatik

dengan eritrosit >100.000/mm3 juga dapat memberikan gambaran

xanthochromia.5 Sampel LCS yang didiamkan semalaman pada lemari pendingin

dapat mengalami pembentukan pellicle, yaitu bekuan halus yang terdiri dari

fibrinogen dan leukosit, khas pada meningitis tuberkulosa berbentuk seperti

sarang laba-laba.8 Warna cairan yang purulen atau kuning kehijauan merupakan

indikator yang cukup mendasar untuk pemberian terapi antibiotika empirik bagi

meningitis bakteri bahkan sebelum hasil analisa LCS didapatkan.3

Jumlah sel & hitung jenis sel

Pada dewasa, jumlah sel pada LCS normalnya hingga 5 sel

leukosit/mm3.5 Sebanyak 87 % pasien dengan meningitis bakterial memiliki

leukosit LCS lebih dari 1000 sel/mm3 dan 99% memiliki sel lebih dari 100 per

mm3. Sel yang kurang dari 100 per mm

3 lebih umum dijumpai pada meningitis

viral.3,5,9

Peningkatan jumlah sel leukosit LCS juga dapat terjadi setelah kejang,

perdarahan intraserebral, keganasan dan beberapa kondisi inflamasi lainnya.

Normalnya LCS tidak mengandung eritrosit. Adanya eritrosit pada LCS

dapat disebabkan oleh pungsi lumbal yang traumatik atau perdarahan

subaraknoid. Pungsi lumbal yang traumatik terjadi pada sekitar 20% dari seluruh

tindakan pungsi lumbal dan akan menyebabkan peningkatan leukosit dengan

koreksi 1 leukosit untuk setiap 500-1000 eritrosit pada LCS. Cara lain yang dapat

dilakukan adalah melakukan tes 3 tabung yaitu menampung LCS berturut-turut

pada 3 tabung, apabila jumlah eritrosit relatif konstan maka penyebabnya adalah

perdarahan subaraknoid.5 Menurut Roos et al

6, koreksi dapat dilakukan dengan

rumus berikut:

Leukosit LCS sebenarnya = Leukosit LCS-Leukosit Darah x Eritrosit LCS

Eritrosit darah

Leukosit LCS pada dewasa normalnya terdiri dari 70% limfosit dan

30% monosit. Kadang eosinofil atau sel polimorfonuklear (PMN) dijumpai pada

LCS normal. Predominansi neutrofil >80% merupakan petunjuk untuk meningitis

bakterial. Namun ini dapat menyesatkan karena pada 10-32% meningitis

bakterial dapat dijumpai predominansi limfosit pada awal infeksi terutama jika

jumlah leukosit kurang dari 1000 sel/mm3.6 Di lain pihak, sekitar 20-75% pasien

dengan meningitis viral dapat menunjukkan predominansi PMN pada awal

infeksi yang pada akhirnya akan berubah menjadi predominansi monosit dalam

hitungan beberapa jam.6,10

36 | B A N U 6

Kadar protein LCS

Konsentrasi protein LCS adalah salah satu parameter yang paling

sensitif untuk indikator proses patologis pada SSP. Protein LCS pada bayi baru

lahir mencapai 150 mg/dL. Rentang nilai normal pada dewasa antara 18-58

mg/dL.5

Pada meningitis bakterial bakteri memasuki sawar mukosa dengan

cara menembus atau melalui celah antar sel epitel. Kapsul bakteri merupakan

faktor pertahanan utamanya dalam aliran darah terutama terhadap antibodi

yang bersirkulasi, komplemen pembunuh yang dimediasi sel dan fagositosis

neutrofil. Patogen harus melewati blood brain barrier (BBB) untuk menyebabkan

meningitis. Sekali perlekatan bakteri pada endotel serebrovaskulaer terjadi,

beberapa strategi dapat dilakukan oleh pathogen untuk bermigrasi melintasi

BBB untuk memperoleh akses menuju LCS, dapat berupa (a) perlintasan

paraseluler dengan merusak hubungan endotel interselular, (b) transport

transelular dengan trancytositosis aktif maupun pasif dan (c) invasi ke dalam

leukosit selama diapedesis. Masuknya neutrofil ke dalam LCS membutuhkan

proses perlekatan dan bergulingnya leukosit pada permukaan endothelium yang

diikuti adhesi pada endothel dan selanjutnya emigrasi menembus dinding

pembuluh darah.6

Suatu proses yang merusak BBB menyebabkan peningkatan

konsentrasi protein LCS. Kadar protein di atas 50 mg/dL pada LCS yang

didapatkan dari lumbal pungsi ruang subaraknoid atau konsentrasi protein LCS

yang diambil dari ventrikel lebih dari 15 mg/dL dianggap abnormal. Bila lumbal

pungsi traumatik dan terdapat darah pada LCS, konsentrasi protein dikoreksi

dengan membagi 1 mg protein per dL untuk 1000 eritrosit pada LCS.6

Selain pada infeksi, peningkatan konsentrasi protein LCS juga

ditemukan pada perdarahan intrakranial, multiple sclerosis, Guillain Barre

syndrome, keganasan, kelainan endokrin, penggunaan obat-obatan tertentu

atau kondisi inflamasi lainnya. Pada meningitis bakterial kada protein LCS

meningkat dengan rerata anatara 1 g/L hingga 5 g/L. Pada beberapa variasi

kasus kadar protein dapat normal, ditemukan pada 1-10% kasus meningitis

bakterial.3,5

Meningkatnya kadar protein LCS dapat dijelaskan melalui 3 proses

patologis:

- meningkatnya jumlah protein plasma yang masuk akibat peningkatan

permeabilitas BBB. Kadar protein LCS dalam kasus ini

menggambarkan jumlah keseluruhan protein plasma, baik normal

maupun abnormal

- sintesis lokal protein dalam SSP, dalam hal ini IgG

37 | B A N U 6

- terganggunya resorpsi protein LCS oleh villi araknoidales

Peningkatan kadar protein LCS merupakan indikator penting

terjadinya peningkatan permeabilitas endotel akibat berbagai penyakit

neurologis.11

Kadar Glukosa LCS

Kadar glukosa LCS normal adalah dua per tiga dari kadar glukosa

serum pada pengambilan sampel dalam 2 sampai 4 jam. Rasio ini akan menurun

dengan meningkatnya kadar serum glukosa. Kadar glukosa LCS tidak akan

melebihi 300 mg/dL tanpa mempertimbangkan kadar glukosa serum.5,9

Infeksi SSP dapat menyebabkan turunnya kadar glukosa, namun

biasanya pada infeksi virus kadar glukosa LCS adalah normal.5,12

Kadar glukosa

LCS tidak menyingkirkan infeksi karena hingga 50% pasien dengan meningitis

bakterial dapat memiliki kadar glukosa LCS yang normal. Kondisi inflamatorik

lain dan perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan hypoglychorracia

(rendahnya kadar glukosa pada LCS). Peningkatan kadar glukosa LCS hanya

disebabkan oleh peningkatan kadar glukosa serum dan tidak ada kondisi

pathogen yang menyebakan hal tersebut.5,13

Patofisiologi hypoglichorracia belum sepenuhnya dimengerti tetapi

kemungkinan besar multifaktorial. Kemungkinan penyebab di antaranya meliputi

turunnya penghantaran glukosa pada plexus choroideus akibat turunnya aliran

darah, menurunnya transport glukosa melewati BBB, meningkatnya metabolisme

di otak dan meningkatnya transport glukosa dari LCS menuju sistem vena.

Sebelumnya diperkirakan hypoglichorracia pada meningitis bakterial disebabkan

oleh peningkatan laju glikolisis oleh bakteri atau sel imun, namun pemahaman

ini tidak lagi dianut secara umum.14,15

Kadar Laktat LCS

Kadar laktat pada serum maupun LCS adalah 2 mmol/L dan

konsentrasi laktat LCS tidak dipengaruhi oleh kadar laktat serum. Pemeriksaan ini

hanya memakan waktu beberapa menit dan tidak terlalu mahal.3

Bila konsentrasi laktat tinggi, meningitis bakterial dapat dicurigai. Hal

ini disebabkan oleh metabolisme anaerobik lokal sebagai akibat dari klirens

bakteri oleh neutrofil. Konsentrasi laktat penting untuk diperhatikan (mengingat

kadarnya yang tidak dipengaruhi kadar laktat serum dan hanya menggambarkan

metabolisme pada LCS) secara parallel dengan kadar glukosa (yang secara

kontinyu dipengaruhi konsentrasi glukosa serum). Maka, konsentrasi glukosa LCS

yang rendah ketika konsentrasi laktat normal berarti tidak terjadi konsumsi

glukosa pada LCS dan penyebabnya adalah hipoglikemia.16

Pengecatan Gram

38 | B A N U 6

Pengecatan Gram positif pada 60-80% kasus meningitis bakterial yang

belum diobati dan 40-60% kasus partially treated. Sensitivitasnya berdasarkan

agen penyebab berkisar dari 90% pada meningitis pneumococcal atau

staphylococcal hingga kurang dari 50% pada meningitis akibat Listeria. Pada

kasus meningitis akibat Candida atau fungi lainnya dapat ditemukan hifa.

Sensitivitas pengecatan Gram dipengaruhi berbagai faktor seperti teknik

laboratorium, kualitas cat yang digunakan, jumlah kuman, dan pengalaman

personil laboratorium.

Beberapa teknik pengecatan lain perlu dilakukan tergantung

kecurigaan penyebab meningitis. Pengecatan bakteri tahan asam (BTA) harus

dilakukan apabila dicurigai tuberculosis sebagai penyebab. Pengecatan India ink

dapat mendeteksi Cryptococcus sampai dengan 50% kasus. Toxoplasmosis

dapat dideteksi dengan pengecatan Wright atau Giemsa.5

Kultur

Kultur LCS masih menjadi baku emas untuk penegakan diagnosis

meningitis bakterial. Pemeriksaan ini dilakukan pada agar darah 5% dan agar

coklat yang diperkaya. Pemberian antibiotik sebelum pemeriksaan lumbal pungsi

dapat menurunkan sensitivitas kultur, terutama bila dilakukan secara

intramuskuler atau intravena.5,17,18

Kultur bakteri M. tuberculosis membutuhkan sampel yang cukup

besar, 15-40 ml dan memerlukan waktu yang lama untuk tumbuh yaitu hingga 6

minggu. HAsilnya dapat positif pada 56% pada pemeriksaan pertama kali dan

sensitivitasnya meningkat menjadi 83% bila dilakukan pada 4 pemeriksaan yang

berbeda.5

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase chain reaction (PCR) merupakan kemajuan besar dalam

diagnosis meningitis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang

tinggi untuk berbagai infeksi SSP, memerlukan waktu yang relatif singkat dan

sampel LCS yang sedikit.5,19

Daftar Pustaka

1. Shenoy A. Desai H. Mandvekar A. 2017. Cerebrospinal fluid- A

clinicopathological Analysis. Journal of The Association of Physicians

of India. Vol 65

2. Fouad R. Khairy M. Fathalah W. Gad T. El-Kholy B. Yosry A. 2014. Role

of Clinical Presentation and Routine CSF Analysis in the Rapid

Diagnosis of Acute Bacterial Meningitis in Cases of Negative Gram

Stained Smears. Hindawi Publishing Corporation Journal of Tropical

Medicine

39 | B A N U 6

3. Viallon A. Bothelo-Nevers E. Zeni F. 2016. Clinical Decision rules for

acute bacterial meningitis: current insights. Open Access Emergency

Medicine :8 7–16

4. Deisenhammer F. Bartos A. Egg R. Gilhus N.E. Giovannoni G. Rauer S.

Selebjerg F. 2006. Guidelines on routine cerebrospinal fluid analysis.

Report from an EFNS task force. European Journal of Neurology. 13:

913–922

5. Seehusen D.A. Reeves M.M. Fomin D.A. 2003. Cerebrospinal Fluid

Analysis. Am Fam Phsycian; 68: 1103-8

6. Roos K.L., Tunkel A.R., Van de Beek D., Scheld W.M., Whitley R.J.,

Marra C.M. 2014. Infections of the central nervous system. Wolters

Kluwer Health

7. Biller J. Gruener G. Brazis P. 2011. De Myer’s The Neurologic

Examination: A Programmed text. McGrawHill. Pp539-545

8. Nagda K.K., 1981. Procoagulant activity of cerebrospinal fluid in health

and disease. Indian J Med Res 74:107–110

9. Fishman R.A. 1992. Cerebrospinal fluid in diseases of the nervous

system. 2d ed. Philadelphia: Saunders,

10. Powers W.J. 1985. Cerebrospinal fl uid lymphocytosis in acute bacterial

meningitis. Am J Med.;79:216–220.

11. Jurado R., Walker H.K. 1990. Cerebrospinal Fluid in: Clinical Methods:

The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition.

Boston: Butterworth

12. Niu M.T., Duma R.J., 1990Meningitis due to protozoa and helminths.

Infect Dis Clin North Am;4:809-41.

13. Dougherty J.M., Roth R.M. 1986. Cerebral spinal fluid. Emerg Med Clin

North Am;4:281-97.

14. Chow e., Troy S.B., 2014. The Differential Diagnosis of

Hypoglycorrhachia in Adult Patients. Am J Med Sci; 348(3): 186–190

15. Viola G.M. 2010. Extreme hypoglycorrhachia: not always bacterial

meningitis. Nat Rev Neurol.;6(11):637–641

16. Machado L.D.R., Livramneto J.A., Vianna L.S. 2013. Cerebrospinal fluid

analysis in infectious diseases of the nervous system: when to ask,

what to ask, what to expect. Arq Neuropsiquiatr;71(9-B):693-698■

17. Wubbel L. McCracken GH Jr .1998.. Management of bacterial

meningitis. Pediatr Rev 1998;19(3):78-84.

18. Kaplan S.L. 1999. Clinical presentations, diagnosis, and prognostic

factors of bacterial meningitis. Infect Dis Clin North Am ;13:579-94.

40 | B A N U 6

19. Cinque P, Scarpellini P, Vago L, Linde A, Lazzarin A. 1997. Diagnosis of

central nervous system complications in HIV-infected patients:

cerebrospinal fluid analysis by the polymerase chain reaction.

AIDS;11:1-17

41 | B A N U 6

NEUROLOGICAL MANIFESTATIONS OF DENGUE INFECTION

A.A. Bgs. Ngr. Nuartha

Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Manifestasi neurologi pada pasien dengan infeksi virus dengue adalah

manifestasi yang tidak lazim dan jarang. Manifestasi neurologi akan

memperburuk gambaran klinis seperti misalnya ensefalopati (yang lebih sering),

dan yang lebih jarang – sangat jarang: ensefalitis, meningitis, mielitis, neuritis,

auto-imun/immune mediated neurological syndrome (ensefalomielitis

diseminata akuta, mielitis transversa, neuromielitis optika, neuritis optika, neuritis

kranialis dan neuritis lain, sindrom Guillain- barre), gangguan serebro vaskular

(stroke), gangguan neuromuskular (mialgia, miositis, rabdomiolisis, paralisis

hipokalemik). Diagnosis dini dan penanganan yang tepat mungkin akan

memberi hasil yang lebih baik, dan yang tidak meninggal tanpa atau dengan

gejala sisa.

42 | B A N U 6

NEUROCOGNITIVE ASPECT OF HIV

Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S (K)

Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sudah menjadi epidemi

di seluruh dunia termasuk Indonesia. Komplikasi neurologis primer mencakup

demensia, ensefalopati, mielopati, polineuropati perifer distal sedangkan

kelainan sekunder adalah akibat dari infeksi oportunistik karena imunosupresi

oleh virus HIV. HIV-Associated Neurocognitive Disorders (HAND) atau dulu lebih

dikenal sebagai AIDS dementia complex (ADC) merupakan komplikasi pada SSP

dibedakan menjadi kelainan primer dan sekunder dengan gejala khas yang

ditemukan berupa kelainan neurokognitif dan kelainan motorik.

Modalitas kognitif terdiri dari beberapa domain yaitu memori, bahasa,

praksis, visuospasial, atensi konsentrasi, kalkulasi, mengambil keputusan, berpikir

nalar dan berpikir abstrak. Infeksi HIV mempengaruhi otak terutama daerah

neokorteks bagian frontal dan basal ganglia. Terjadi gangguan pada fronto-

striato-thalamo-cortical loop, yang pada fase awal mempengaruhi basal ganglia

dan kemudian pada fase lanjut mempengaruhi neokorteks dan hipokampus.

Pada daerah subkortikal, nukleus kaudatus dan putamen dijumpai viral load

yang lebih tinggi dibandingkan daerah kortikal, gambaran khas yang ditemukan

berupa gangguan kognitif subkortikal terutama adanya gangguan keterampilan

motorik, kecepatan memproses informasi dan gangguan fungsi eksekutif.

Pemakaian ARV dilaporkan mampu meningkatkan CD4+ dan

menurunkan viral load, selanjutnya dapat meningkatkan kualitas hidup dan

memperbaiki fungsi kognitif, namun sejak ditemukan regimen HAART,

manifestasi klinik HAND makin tidak dapat diprediksi, sangat berfluktuatif

sepanjang waktu perjalanan infeksi HIV. Penggunaan terapi kombinasi

antiretroviral disebutkan dapat meningkatkan umur harapan hidup dan terdapat

perbaikan signifikan dari gejala dan progresifitasnya.

Keynote: Human Immunodeficiensy Virus (HIV), Gangguan Neurokognitif, HAND

The 6 th Bali Neurology Update 2018. Tropical Disease and Neuropediatric

Cases: Revisiting (Re)-Emerging Issues with National Priorities, Prime Hotel Bali,

September 6th – 9

th 2018.

Divisi Neurobehavior, Departemen / KSM Neurologi FK-UNUD/RSUP Sanglah

Denpasar

43 | B A N U 6

Pendahuluan

Pada Infeksi Human Immunodeficiensy Virus (HIV) terjadi gangguan

pada fronto-striato-thalamo-cortical loop, yang mempengaruhi basal ganglia

pada fase awal dan neokorteks hipokampus pada fase lanjut. HIV-Associated

Neurocognitive Disorders (HAND) juga disebut sebagai AIDS dementia complex

(ADC) atau HIV encephalitis memiliki gejala khas berupa kelainan neurokognitif

dan kelainan motorik.

Domain kognitif meliputi atensi konsentrasi, memori, bahasa, praksis,

visuospasial, kalkulasi, mengambil keputusan, reasoning dan berpikir abstrak.

Kelainan kognitif yang khas pada kasus terinfeksi HIV adalah gangguan kognitif

subkortikal berupa gangguan keterampilan motorik, kecepatan memproses

informasi dan gangguan fungsi eksekutif.1 Disebutkan HAND bisa ditangani dan

bahkan bisa dicegah dengan pemberian terapi antiretroviral. Studi

memperlihatkan pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART)

memperbaiki performa neuropsikologikal pada pasien dengan HAD (HIV-

Associated Dementia).

Epidemiologi Hiv

Angka kumulatif kejadian HIV pada Maret 2017 sejumlah 242.699

meningkat dibandingkan Akhir Desember 2016 yaitu 232.323 kasus, tertinggi di

DKI Jakarta (46.758), Jawa Timur (33.043), Papua (25.586), Jawa Barat (24.650)

dan Jawa Tengah (18.038).2

Pada Juni 2017 dilaporkan angka kejadian HIV di DKI Jakarta (48.502),

Jawa Timur (35.168), Papua (27.052), Jawa Barat (26.066) dan Jawa Tengah

(19.272) meningkat antara 1.500- 2.000 kasus pada masing masing propinsi

tersebut dalam waktu 3 bulan.

Propinsi Bali sebelumnya pernah menempati urutan kedua setelah

Papua. Angka laporan HIV Juni 2017 terdapat 15.873, meningkat dibanding

Maret 2017 sejumlah 15.237 kasus, semuanya menuntut perhatian para klinisi dan

semua pihak. Jumlah kasus HIV/AIDS di Bali dilaporkan mengalami peningkatan

setiap tahunnya, kasus terbanyak dilaporkan pada kelompok usia produktif 25-

39 tahun, dengan penyebaran terbanyak melalui hubungan seksual.2

Penelitian Widyastuti 2010 di RSUP Sanglah Denpasar, tentang

hubungan gangguan kognitif dengan jumlah limfosit T CD4+ pada penderita HIV

dengan ARV. Didapatkan hasil bahwa angka CD4+ nadir rendah ditemukan pada

penderita HIV yang mengalami gangguan kognitif.3 Penelitian sebelumnya di

RSUP dr Sardjito Yogyakarta, Widyadharma dkk 2008 melaporkan bahwa

terdapat proporsi gangguan kognitif pada penderita HIV sebesar 33,3% dan

terdapat perbedaan nilai CD4+

pada penderita HIV dengan dan tanpa gangguan

44 | B A N U 6

kognitif.4 Penelitian lain di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2016, Sukarini dkk

melaporkan bahwa faktor risiko independen kejadian gangguan fungsi kognitif

pada penderita HIV pra ARV dengan limfosit T CD4+ ≤200 sel/µl adalah sebesar

9,06 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita HIV dengan limfosit T CD4+

˃ 200 sel/µl. Demikian pula pada penelitian lain yang dilakukan oleh Surya

Antara dkk 2018 di RSUP Sanglah Denpasar, melaporkan bahwa pada penderita

HIV dengan HAART yang memiliki kadar malondialdehide serum tinggi secara

signifikan meningkatkan faktor risiko gangguan kognitif sebanyak 19,1 kali

dibandingkan penderita HIV dengan HAART yang memiliki kadar

malondialdehide serum rendah. Penelitian ini membuktikan hubungan marker

stress oksidatif terhadap kejadian gangguan kognitif.5,6

Klasifikasi Gangguan Neurokognitif Pada Hiv

HIV-Associated Neurocognitive Disorders (HAND) juga disebut

sebagai AIDS dementia complex (ADC) atau HIV encephalitis memiliki gejala

khas berupa kelainan neurokognitif dan kelainan motorik. Pada awalnya

American Academy of Neurology (AAN), tahun 1991 mempublikasikan kriteria

diagnosis gangguan kognitif pada penderita HIV (HIV associated neurocognitive

disorder/ HAND) yaitu HIV-associated dementia (HAD) dan minor cognitive

motor disorder (MCMD), selanjutnya kriteria HAND direvisi sehubungan ada

perubahan epidemiologi dan penggunaan ARV secara luas di dunia termasuk

negara berkembang. HAND mempunyai 3 kriteria diagnosis yaitu: Asymptomatic

Neurocognitive Impairment (ANI), HIV- associated Mild Neurocognitive Disorder

(MND), HIV- associated dementia (HAD).7,8

Berdasarkan evaluasi neuropsikologis yang melibatkan domain

kognitif yang multiple meliputi kemampuan motorik sederhana, kemampuan

persepsi sensoris, kemampuan persepsi motorik kompleks, memori kerja dan

atensi, memori recall dan belajar, kemampuan bahasa dan fungsi ekskutif serta

abstraksi juga sering ditemukan gangguan emosi dan perilaku seperti cemas,

depresi, selanjutnya terdapat evaluasi penamaan (9)

:

HIV Associated Neurocognitive Disorder (HAND)

1. Asymptomatic Neurocognitive Impairment (ANI)

2. Minor Neurocognitive Disorder (MND)

3. HIV-Associated Dementia (HAD)

Pathogenesis Gangguan Neurokognitif Pada Hiv

HIV adalah anggota genus Lentivirus, keluarga Retrovirus yang

ditandai oleh suatu periode laten yang panjang dan sebuah sampul lipid dari sel

induk yang mengelilingi sebuah pusat protein RNA, yang mereplikasi dengan

menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia.

Target utama infeksi HIV pada SSP adalah monosit, makrofag, mikroglia dan

45 | B A N U 6

astrosit. Virus HIV menginfiltrasi SSP dengan melewati BBB bersama monosit

melalui mekanisme “Trojan Horse”. Monosit yang terinfeksi berdiferensiasi

didalam SSP mengaktifkan mikroglia (perivascular microglia) dan makrofag serta

bertindak sebagai antigen presenting cell bagi limfosit T sehingga limfosit T

dapat mengenal dan mengekspresikan reseptor CD4+ pada permukaannya. Nilai

CD4+ rendah memberi indikasi berkurangnya sel-sel darah putih yang berperan

dalam sistem pertahanan tubuh manusia yang meningkatkan kemungkinan

seseorang mendapat infeksi opportunistik.9,10,11,12

Permukaan kapsul virus memiliki dua glikoprotein yaitu gp41

(glikoprotein transmembran) juga gp120 (glikoprotein permukaan), diantara

nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Infeksi HIV dimulai

dengan pengikatan gp120 pada selubung HIV dengan reseptor CD4+ pada

permukaan sel limfosit yang diperkuat oleh koreseptor kemokin CCR5/CXCR4.

Siklus reproduksi diawali dengan transkripsi virus RNA oleh enzim reverse

transcriptase menjadi double-stranded DNA (dsDNA) sebagai provirus. Provirus

memasuki nukleus dan berintegrasi dengan mediator enzim integrase. Provirus

tidak aktif dalam beberapa bulan/tahun, dan tidak memproduksi virion, kondisi

ini disebut sebagai fase laten. Provirus teraktivasi oleh antigen, sitokin atau faktor

lain yang memicu nuclear factor kB (NF-kB) aktif yang berikatan dengan 5’Long

Terminal Repeats (LTR). Transkripsi DNA menjadi RNA dan polipeptida yang

dipecah oleh enzim protease membentuk virus baru yang siap menginfeksi sel

target berikutnya.13

Virus HIV bersifat highly neurotrophic sehingga pada tahap

awal sudah menyerang susunan saraf tepi dan susunan saraf pusat.13

HIV dapat

melewati Blood Brain Barrier secara langsung maupun tidak langsung. Aktivasi

makrofag dan mikroglia melepaskan protein virus HIV berupa gp120, Tat

(transactivator protein), Vpr (virus protein r) dan mediator kimia yang bersifat

neurotoksik antara lain quinolinic acid dan excitotoxic amino acid (EAAs) seperti

glutamat dan L-sistein, asam arakhidonat, platelet activating factor (PAF), nitric

oxide (NO) dan tumor necrosis factor (TNF-α). Mediator kimia tersebut

menimbulkan gangguan BBB yang memudahkan masuknya virus HIV ke SSP.

Stimulasi reseptor N-methyl-D aspartate (NMDA) menyebabkan meningkatnya

pelepasan Ca2+ intraseluler dan glutamat. Konsentrasi glutamat otak dan

neurotoksin lainnya meningkat dan menyebabkan kematian

neuron/apoptosis.9,10,14

Secara langsung dengan merusak dendrit juga sinaps dan

selanjutnya melalui mekanisme tidak langsung berupa proses inflamasi neuron

(neuroinflamasi) yang mengakibatkan berbagai kerusakan sistem saraf, proses

inflamasi lokal dan diffus substansia alba juga kelainan mikrovaskuler. Seperti

diketahui, asam amino dan glutamat secara normal dikeluarkan ke celah sinap

dan dibersihkan kembali oleh astrosit. Molekul ini mengaktifkan reseptor NMDA

46 | B A N U 6

di neuron dan menyebabkan ion Ca2+

akan masuk kedalam sel. Namun kadar

glutamat ekstrasel yang tinggi hasil dari stimulasi neuron yang berlebihan

gangguan penyerapan kembali oleh astrosit menyebabkan terjadi hiperaktivasi

dari NMDA channel sehingga kadar Ca2+

di dalam sitoplasma neuronal

meningkat dan menyebabkan kematian neuronal eksitotoksik.15

Kerusakan neuron yang terjadi akibat mekanisme langsung melalui

interaksi protein virus seperti gp120, Tat dan Vpr yang dihasilkan oleh sel-sel

terinfeksi dan mekanisme tidak langsung akibat proses inflamasi dari aktivasi

monosit, makrofag dan astrosit yang selanjutnya menginduksi neuronal injury

dan apoptosis sehingga menyebabkan terjadinya demensia.14

Stress oksidatif juga berperan dalam terjadinya HAND. Terbukti pada

analisa jaringan otak terdapat peningkatan produk peroksidasi lipid, pada

stadium lanjut didapatkan oksidasi intraseluler diffuse dalam bentuk penurunan

kadar antioksidan enzimatik GSH dan peningkatan kadar produksi peroksidasi

lipid yang menyebabkan kaskade apoptosis. Pada kasus terinfeksi HIV-1 juga

ditemukan gp 120 dan protein Tat memiliki sifat stress oksidatif. Protein gp 120

dan Tat merangsang produksi ceramide melalui aktivitas sphingomyelinase yang

berlebihan melalui induksi aktivasi koreseptor CXCR4 selanjutnya terjadi proses

neurotoksik.9

5. GANGGUAN NEUROKOGNITIF PADA HIV

Gangguan saraf yang terjadi pada kasus HIV, fase awal maupun lanjut

dapat berupa kerusakan susunan saraf pusat (SSP) dan perifer. Kelainan

neurologis infeksi HIV dibedakan menjadi kelainan primer dan sekunder.

Komplikasi pada SSP berupa gangguan fungsi kognitif sering terjadi. HIV-

associated neurocognitive disorder (HAND) yang paling berat adalah HIV-

associated dementia (HAD), yang ringan berupa Mild Neurocognitive Disorder

(MND 51,5%).16,17

Berdasarkan derajat kelainan pada infeksi HIV, 30-60% kasus

terinfeksi dilaporkan mengalami gangguan neurokognitif.

Modalitas kognitif terdiri dari beberapa domain yaitu memori, bahasa,

praksis, visuospasial, atensi konsentrasi, kalkulasi, mengambil keputusan,

reasoning dan berpikir abstrak.16

Gambaran khas kelainan kognitif pada kasus

terinfeksi HIV berupa gangguan kognitif subkortikal terutama adanya gangguan

keterampilan motorik, kecepatan memproses informasi dan gangguan fungsi

eksekutif.19

Pada daerah subkortikal, nukleus kaudatus dan putamen dijumpai

viral load yang lebih tinggi dibandingkan daerah kortikal. HIV cenderung

menyerang neuron neuron pada daerah subkortikal terutama basal ganglia

dapat dilihat pada pemeriksaan neuro-imaging. Pada stadium lanjut ditemukan

penurunan volume basal ganglia, pemeriksaan PET Scan dilaporkan ada

penurunan transporter dopamin. Disfungsi frontal pada stadium lanjut

47 | B A N U 6

memperlihatkan kerusakan basal ganglia dan berkurangnya volume nukleus

kaudatus, secara klinis ditemukan gangguan atensi, gangguan keterampilan

motorik, kecepatan mem proses informasi yang masuk dan kemampuan

berbahasa verbal.20

Gejala Klinis Hiv-Associated Neurocognitive Disorders (Hand)

Asymtomatic Neurocognitive Impairment (ANI)

Asymtomatic Neurocognitive Impairment (ANI) adalah manifestasi

HAND yang paling ringan, bahkan pasien biasanya tidak merasakan adanya

gejala sama sekali. Penderita ANI biasanya terdiagnosa pada 1/3 pasien dengan

HIV. 21

Memiliki gejala penurunan kognitif yang subklinis disertai dengan

menurunnya peforma pada pemeriksaan neuropsikologi pada 2 domain kognitif

atau lebih.22

Walaupun biasanya pada pemeriksaan awal bisa didapatkan

pemeriksaan status mental formal menunjukkan hasil yang normal. Tetapi ketika

penyakit tersebut mengalami progresifitas, pasien mulai mengalami kesulitan

dalam mengerjakan tugas yang membutuhkan konsentrasi dan atensi. Ketika

penyakit sudah semakin berat, pemeriksaan status behavior memperlihatkan

hasil semakin buruk dan bisa mengenai beberapa domain. Disisi lain pasien juga

terlihat apatis dan terkadang bersifat tidak acuh dengan penyakitnya. Sejalan

dengan penurunan kognitif biasanya pasien pada awalnya juga mengalami

ataxia.9

Mild Neurocognitive Disorder (MND)

MND memiliki gejala yang serupa dengan ANI tetapi pada MND

disertai dengan gejala yang simptomatik yang terdiagnosa pada 20% pasien HIV

dan meningkat pada pasien yang diterapi dengan kombinasi antiretroviral

(cART).9,22

Pasien dengan MND biasanya merupakan pasien dengan status imun

yang sudah mulai membaik yang terbukti dengan kadar CD4+ yang tinggi.

Gangguan neurokognitif yang ditemukan ringan sampai sedang dan disertai

gangguan pada aktivitas hariannya. Gejala awal yang sering dikeluhkan berupa

kesulitan untuk konsentrasi dan atensi. Terkadang juga pasien merasa menjadi

lambat dalam berpikir atau juga sering lupa dengan janji sehingga

membutuhkan catatan bila membuat perjanjian. Saat mengerjakan tugas, tugas

menjadi terkesan sulit dan perlu waktu untuk menyelesaikan tugas. Penderita

MND biasanya menyadari kelainan kognitifnya dan lebih sulit dalam

mengerjakan tugas sehari hari. MND juga memiliki efek pada sistem piramidal

dan ekstrapiramidal sehingga menyebabkan gejala berupa ataksia, tremor,

inkoordinasi.9, 14

HIV-associated dementia (HAD)

HIV-associated dementia (HAD) pertama kali diperkenalkan sekitar 25

tahun yang lalu sebagai AIDS-dementia complex diagnosa HAD sampai saat ini

48 | B A N U 6

masih menjadi tantangan untuk para klinis karena sampai saat ini tidak ada studi

diagnostik atau pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk HAD.20

Didapatkan gangguan neurokognitif derajat sedang sampai berat dan sangat

jelas memperlihatkan gangguan dalam melakukan aktivitas harian. HAD

merupakan manifestasi serius dari infeksi HIV sistem saraf pusat dan mencakup

spektrum yang luas meliputi defisit motorik, perilaku dan kognitif .23

Gejala-gejala yang sering ditemukan memperlihatkan kerusakan pada

substansia alba dan substansia grisea subkortikal terutama daerah basal ganglia,

thalamus dan batang otak. HIV-Dementia menunjukkan dementia subkortikal

yang khas terutama karena didapatkan gangguan memori, gangguan

pengulangan selektif, gangguan pada memori yang baru, perubahan pada

kepribadian yang khas berupa apathy-inertia, irritability dan perlambatan umum

dalam proses berpikir. Temasuk didalamnya gangguan atensi, konsentrasi,

gangguan kecepatan mengolah informasi-respon terhadap waktu, memori,

kelancaran berbicara, pengertian abstrak, kapasitas visuospasial dan

visuokonstruksi.

Proses penyimpanan memori terjadi di seluruh bagian otak. Korteks

serebri berfungsi sebagai pusat persepsi primer. Kemudian dikirim melalui serat-

serat assosiasi ke bagian otak yang lain. Sehingga impuls mempunyai arti, data

diolah dan disimpan yang akan dimunculkan lagi apabila diperlukan. Dua pusat

memori yaitu memori verbal di lobus temporalis kiri dan memori visual di lobus

temporalis kanan. Jenis memori ada 2, berdasarkan penggunaan memori sehari-

hari terdapat memori semantik (memori kata-kata/bahasa), memori faktual

(berhubungan dengan fakta dan penjelasan), memori episodik (memori sesaat

sesuai situasi), memori sensorik (berdasarkan impuls yang diterima panca indra)

dan memori insting (berdasarkan insting) dan berdasarkan lamanya memori

tersimpan diketahui ada memori segera (recent memory) berupa kemampuan

untuk menyimpan informasi yang sangat singkat (beberapa detik / menit) ,

memori jangka pendek yaitu kemampuan menyimpan memori beberapa menit

sampai hari dan memori jangka panjang yaitu kemampuan untuk menyimpan

memori sampai bertahun-tahun.

Komponen mayor pada HAD adalah disfungsi psikomotor.

Pemeriksaan untuk melihat psikomotor dapat dilakukan dengan trail making,

pegboard dan tes symbol-digit.24 Gangguan kognitif biasanya muncul paling

awal diikuti gejala motorik yang pada awalnya berupa gangguan keseimbangan

dan gangguan koordinasi. Gangguan keterampilan motorik pada tangan

tampak pada awal penyakit, mengakibatkan tulisan jadi jelek. Gangguan

koordinasi langkah biasanya akan menyebabkan pasien sering tersandung dan

terjatuh ketika berjalan, pada akhirnya akan menyebabkan langkah nampak

49 | B A N U 6

lambat dan kaku. Terkadang gejala motorik bersifat asimptomatik tetapi pada

pemeriksaan fisik kita dapatkan hiperefleks dan refleks patologis yang positif.9

Pemakaian ARV mampu meningkatkan CD4 dan menurunkan viral

load, selanjutnya bahkan cenderung meningkatkan kwalitas hidup dan

memperbaiki fungsi kognitif. Namun prevalensi kelainan neurocognitif masih

berkitar 51,5%.16,17,18

Sejak ditemukan regimen HAART, manifestasi klinik HAND

makin tidak dapat diprediksi, sangat berfluktuatif sepanjang waktu perjalanan

infeksi HIV.

Penilaian Gangguan Neurokognitif Pada Hiv

Penilaian neurokognitif fokus pada kemampuan kecepatan motorik

(chiefly motor speed), konsentrasi dan motorik disertai manipulasi. Penilaian

fungsi kognitif secara kuantitatif pada gangguan kognitif seperti MMSE, MoCa-

INA, CERAD, HDS/ IHDS disertai pemeriksaan lainnya misalnya pemeriksaan

Digit Span dan Trail Making Test (TMT-A dan TMT-B).

Pemeriksaan fungsi kognitif ini perlu waktu yang cukup lama

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan bahasa.

Pemeriksaan neuropsikologi untuk mengetahui penurunan fungsi

kognitif secara sederhana adalah Mini Mental State Examination (MMSE), namun

MMSE ini dirancang untuk skrining demensia kortikal sehingga kurang sensitif

untuk jenis subkortikal seperti gangguan kognitif pada HIV.25

HIV dementia scale (HDS) merupakan pemeriksaan singkat namun

sensitif untuk menentukan penderita HIV yang beresiko mengalami demensia.

HIV dementia scale (HDS) mencakup :

- Sub test penilaian kecepatan motorik (menulis abjad) memori (menyebut 4

kata dalam 5 menit), kemampuan konstruksional (menggambar kubus) dan

fungsi eksekutif.

- Sub test gerakan mata antisakadik.

Selanjutnya dikembangkan penapisan yang lebih praktis yaitu IHDS

(International HIV-Dementia Scale) yang menilai demensia pada HIV terdiri dari 3

subtest yaitu kecepatan motorik, psikomotorik dan registrasi recall memori. Studi

di USA menyatakan IHDS memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 55% dengan

cut off ≤ 10. (24,26)

International HIV Dementia Scale (IHDS) yang fokus pada

pemeriksaan kecepatan motorik dan psikomotorik sehingga mudah digunakan

pada budaya yang berbeda. IHDS tidak memerlukan kemampuan berbahasa

yang lancar, mudah dikerjakan hanya memerlukan waktu 2-3 menit dan tidak

mebutuhkan instrumen khusus lainnya.25,27

IHDS terdiri dari 3 kelompok subtest yaitu :

1. Timed Finger Tapping Test untuk menilai kecepatan motorik.

50 | B A N U 6

2. Timed Alternating Hand Sequence Test untuk menilai kecepatan

psikomotorik

3. Memory recall Test yang dinilai secara ber urutan.

Timed Fingertapping Test adaptasi dari Unified Parkinson's Disease Rating Scale

(UPDRS). Jumlah ketukan dua jari pertama pada tangan non dominan diukur

dengan menyuruh penderita membuka dan menutup jari-jarinya selebar dan

secepat mungkin dalam waktu 5 detik dengan nilai normal ≥ 15 ketukan/5 detik.

Test Timed Alternating Hand Sequence, adaptasi dari Test Motorik

Luria dengan melakukan gerakan tangan non dominan secepat mungkin dalam

waktu 10 detik dengan urutan gerakan yaitu: kepalkan tangan di atas permukaan

yang datar, letakkan tangan dengan posisi datar di atas suatu permukaan dan

letakkan tangan tegak lurus diatas permukaan datar pada sisi jari ke lima. Tiga

posisi tangan tersebut dicontohkan oleh pemeriksa kemudian perintahkan

penderita melakukan gerakan tersebut sebanyak 2 kali secara benar sebelum

test dimulai. Nilai maksimal 4, bila pasien dapat melakukan 4 gerakan tersebut

dalam waktu 10 detik secara benar.

Memory recall test pada IHDS sama dengan HDS yaitu menyebutkan 4 kata

untuk diingat (anjing, topi, buncis, merah) kurang lebih 1 detik setiap kata. Kata-

kata tersebut diulang oleh pemeriksa sampai penderita mampu mengingat

semua kata tersebut dengan benar. Beritahu penderita bahwa kata kata tersebut

harus diingat kemudian nanti akan ditanya lagi. Penderita akan disuruh

mengulang kata kata tersebut setelah timed finger tapping Test dan alternating

hand sequence. Kata kata yang tidak dapat diingat di beri pancingan dengan

semantic seperti: binatang (untuk anjing), sejenis pakaian (untuk topi), sayur

(untuk buncis) dan warna (merah). Nilai 1 untuk masing-masing kata yang dapat

diingat secara spontan dan nilai 0,5 untuk masing-masing jawaban yang benar

setelah dipancing. Nilai IHDS total diperoleh dengan menjumlahkan semua nilai

subtest (nilai maksimal 12). IHDS memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 55%

dengan cut off ≤10.26

Keterbatasan IHDS yaitu tidak dapat mendeteksi gangguan

kognitif ringan pada penderita HIV sehingga IHDS hanya berguna untuk skrining

dan tidak digunakan sebagai pengganti seluruh test neuropsikologi saat

mendiagnosis HAD.

Test Neuropsikologi standar antara lain adalah: digit span, grooved

pegboard dan trail making test (TMT-A dan TMT-B). Pemeriksaan neuropsikologi

lengkap dapat diganti dengan skrining neuropsikologi singkat dengan cara

menambahkan test neuropsikologi terhadap domain yang paling dipengaruhi

oleh infeksi HIV tersebut. Terdapat dua test neuropsikologi yang dapat dilakukan

bersamaan dengan IHDS untuk menilai gangguan neurokognitif yaitu Trail

Making Test (TMT) dan Digit Span Test. Tanpa alat bantu khusus dan waktu yang

51 | B A N U 6

diperlukan kurang dari 20 menit, hanya diperlukan beberapa pelatihan. Digit

Span Test, menilai atensi, konsentrasi dan memori kerja. Fungsi eksekutif dan

fungsi psikomotor dapat dinilai dengan Trail Making Test.

Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap (karena anemia dilaporkan sebagai faktor prediktor

yang berhubungan dengan gangguan kognitif), CD4, Viral load.

Analisa Likuor Serebrospinal (LCS)

LCS rutin tidak spesifik namun pemeriksaan viral load pada LCS dan

limfosit T sitotoksik LCS dilaporkan berkorelasi dengan gangguan kognitif).28

Pada pemeriksaan rutin tidak ada perbedaan spesifik dengan infeksi otak

lainnya. Pada kasus HAD penemuan LCS nonspesifik berupa pleositosis ringan

dan peningkatan ringan protein sekitar 60%. Tetapi dapat ditemukan kelainan

pada Immunoglobulin (Ig) G dan ada oligoclonal bands namun ini pun juga bisa

ditemukan pada pasien tanpa HAD sehingga seringkali pemeriksaan ini tidak

dikerjakan. HIV dapat diisolasi langsung atau HIV DNA dari LCS dengan

polymerase chain reaction dan antigen HIV dapat dideteksi pada penderita

tanpa gejala neurologis.9

Neuroimaging

Penilaian ini sangat diperlukan, pada awalnya untuk membedakan

dengan kelainan lain seperti primary CNS Lymphoma. Selanjutnya membedakan

kelainan yang khas tetapi tidak selalu hanya pada HAD yaitu diffuse cerebral

atrophy yang umumnya lebih banyak di daerah subkortikal dibandingkan daerah

kortikal baik penemuan CT sken maupun MRI.9

CT Sken dan MRI dilakukan untuk mengidentifikasi abnormalitas otak

penderita HIV yang mengalami gangguan kognitif. Pada pemeriksaan CT-Sken

dan MRI menunjukkan peningkatan ruang sulkus dan ventrikel, berkurangnya

substansia alba dan substansia grisea, tampak abnormalitas pada area

subkortikal dan kortikal pada kelainan yang lanjut. Kejadian infeksi HIV

menyebabkan menyusutnya jumlah neuron dan demielinisasi hipokampus, basal

ganglia dan nukleus kaudatus yang mengakibatkan atropi otak secara progresif

dengan gejala gangguan motorik dan kognitif.29

Walaupun tidak khas untuk HAD, tetapi biasanya ditemukan atrofi

serebral yang difus, disertai perubahan white matter subkortikal atau

periventricular.9,22

(gambar 1).

52 | B A N U 6

Gambar 1 A. gambar MRI T1, tampak jelas gambaran serebral dan kortikal atrofi.

Gambar 1B gambar MRI T2, hiperintense pada area periventrikel yang

menggambarkan abrnomalitas white matter22

Diagnosis

Sampai saat ini untuk melakukan diagnosis HAND masih menjadi

tantangan, karena belum ada marker diagnosis yang spesific. Diperlukan untuk

mengeklusi dari infeksi oppotunistik pada sistem saraf pusat, delirium, gangguan

psikiatri, kondisi toksik dan gangguan metabolik serta penyakit neurodegeneratif

lainnya sebelum melakukan diagnosis.22

Tes Neurokognitif

Tes neurokognitif formal yang umum dilakukan dapat membantu

dalam menegakan diagnosis dan juga bisa membantu dalam memonitor

perkembangan pada pasien. Pemeriksaan neuropsikologi fokus pada kecepatan

motorik, konsentrasi dan manipulasi motorik. Pemeriksa harus waspada karena

pada beberapa pasien MND memiliki hasil yang cukup normal bila dibandingkan

dengan populasi sedangkan pada orang normal justru bisa didapatkan hasil

yang kurang memuaskan yang bisa disebabkan oleh banyak faktor.

Tatalaksana

Berbagai penelitian sudah menyatakan bahwa HAD bisa ditangani dan

bisa dicegah dengan pemberian terapi antiretroviral. Pemberian highly active

antiretroviral therapy (HAART) dapat memperbaiki performa

neuropsikologikal/neurokognitif penderita HAD.9,30,31

Terdapat penurunan angka

kejadian HAD sekitar 75% di negara berkembang setelah pemberian HAART.

53 | B A N U 6

Untuk mendapatkan tatalaksana yang optimal pada pasien dengan

HAD, pemberian HAART harus memperhatikan kepatuhan pasien terhadap

terapi. Pemberian regimen yang tidak rumit dan sedikit efek samping. Contoh

yang paling sering dipakai adalah pemberian dosis tunggal Efavirenz, formulasi

kombinasi (Combivir [lamivudine + zidovudine], Kaletra [lopinavir + ritonavir]

Atripla [efavirenz + tenofovir+ emtricitabine], Complera [rilpivirine + tenofovir +

emtricitabine] atau Stribild [elvitegravir + cobicistat + tenofovir+ emtricitabine).9

Kepatuhan juga bisa ditingkatkan dengan penggunan timer, kotak pil dan

pemantauan makan obat dari keluarga sekitar cukup membantu kepatuhan

dalam meminum obat.

Pemilihan HAART ini masih cukup kontroversial, memilih obat

antiretroviral yang baik dalam penetrasi otak atau memilih yang cepat

mengurangi duplikasi HIV RNA. Antiretroviral dengan indeks CNS penetration-

effectiveness (CPE) yang tinggi berarti agen antiretroviral tersebut dapat

penetrasi ke sistem saraf pusat dan mengganggu replikasi HIV pada cairan

serebrospinal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antiretroviral dengan

CPE tinggi biasanya berhasil menekan duplikasi HIV RNA pada sistem saraf

pusat. Supresi HIV RNA diharapkan dapat mengarah pada perbaikan

neurokognitif. Tetapi pada beberapa penelitian lain juga menyajikan data pada

pasien yang mendapatkan HAART dengan indeks CPE yang tinggi justru

mengarah pada perburukan performa dari neurokognitif. Hal ini diduga karena

kegagalan antiretroviral terapi dalam mengontrol reservoir HIV yang terdapat

pada monosit. Sebagai alternatif skor monocyste efficacy (ME) bisa

dipergunakan untuk mengevaluasi kemampuan antiretroviral pada sistim

saraf.9,22

Penelitian pendahuluan memberikan gambaran bahwa skor ME

berkorelasi dengan performa neurokognitif bahkan ketika indeks CPE rendah.32

Kesimpulan

Demensia adalah suatu sindrom penurunan fungsi intelektual

dibanding sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial

dan profesional yang tercermin dalam aktivitas hidup keseharian, biasanya

ditemukan juga perubahan perilaku yang tidak disebabkan oleh delirium

maupun gangguan psikiatri mayor. Pada penderita HIV, kerusakan neuron yang

terjadi berupa mekanisme langsung melalui interaksi protein virus seperti gp120,

Tat dan Vpr yang dihasilkan oleh sel-sel terinfeksi dan mekanisme tidak langsung

akibat proses inflamasi dari aktivasi monosit, makrofag dan astrosit yang

selanjutnya menginduksi neuronal injury dan apoptosis sehingga menyebabkan

terjadinya demensia. Demensia pada HIV umumnya disebut HIV associated

neurocognitive disorder (HAND), yang memiliki karakteristik disfungsi dari

kognitif, behaviour dan motorik yang biasanya terjadi pada fase lanjut dari

54 | B A N U 6

infeksi. Gejala dari HAND sendiri sangat bervariasi dari yang secara klinis tidak

bermanifestasi sampai dementia berat. Secara umum HAND dibagi menjadi HIV

associated dementia (HAD), gejala yang lebih ringan disebut minor

neurocognitive disorder (MND), dan pada kasus asimptomatik disebut dengan

asymptomatic neurocognitive impairement (ANI).

Sampai saat ini untuk melakukan diagnosis HAND masih menjadi

tantangan, karena belum ada marker diagnosis yang spesifik. Penelitian

memperlihatkan pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART)

memperbaikan performa neuropsikologis pasien dengan HAD. Penurunan angka

kejadian HAD sekitar 75% pada negara berkembang setelah pemberian HAART

harus memperhatikan kepatuhan pasien terhadap terapi. Penggunaan terapi

kombinasi antiretroviral disebutkan dapat meningkatkan umur harapan hidup

dan terdapat perbaikan signifikan dari gejala dan progresifitasnya.

Daftar Pustaka

1. Ong, P.A., Laksmidewi, A.A.A.P., Rambe, A., Widjojo, F.S. Panduan Nasional

Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia, Perhimpunan

Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2015

2. Departemen Kesehatan RI. Laporan Triwulaan 1 2017 situasi

perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia. Direktorat Jendral

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. 2017

3. Widyastuti, K. Angka CD4+ Nadir sebagai Faktor Risiko Gangguan Kognitif

pada penderita HIV di RSUP Sanglah Denpasar. Tesis 2011.

4. Widyadharma, E., Saiti, S., Nuradyo, D. Perbedaan Angka CD4+ penderita

HIV dengan gangguan Kognitif dan Tanpa Gangguan Kognitif, Sekolah

Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, 2008.

5. Sukarini, N.P., Raka Sudewi, A.A., Laksmidewi, A.A.A.P. Tesis. Limfosit T

CD4+ ≤ 200 sel/µl sebagai faktor risiko Gangguan kognitif pada penderita

HIV di RSUP Sanglah Denpasar. Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf

Universitas Udayana, 2016

6. Surya Antara, I.N.B., Raka Sudewi, A.A., Laksmidewi, A.A.A.P. Tesis. Kadar

Malondialdehid Serum Tinggi meningkatkan factor risiko Gangguan

Kognitif pada penderita HIV dengan HAART. Program Pendidikan Dokter

Spesialis Saraf Universitas Udayana 2018

7. Antinori, A., Arendt, G., Becker, J., Brew, B., Byrd, D., Cherner, M., Clifford,

D., Cinque, P., Sacktor, N., Valcour, V., Wojna, V. Updated research

nosology for HIV-associated neurocognitive disorders. Neurology; 69;

2007 p 1789-1799 .

55 | B A N U 6

8. Grant, I. Neurocognitive disturbance in HIV. Int Rev of Psychiatry;

20(1):2008 p.33-47.

9. Verma Ashok., Berger, Joseph R. Neurological Manifestations of Human

Immuno deficiency Virus Infection in Adults. In Bradley’s Neurology in

Clinical Practice. Daroff, R.B., Jancovic, J., Mazziotta, J.C., Pomeroy, S.L. 7 th

edition. Elsevier London Philadelphia. 2016, p 1102- 1120

10. Ghafouri, M., Amini, S., Khalili, K., Sawaya, B. HIV-1 associated dementia:

symptoms and causes.Retrovirology; 2006, 3: 28

11. Levinson, P., Choi, R.Y., Cole, A.L., Hirbod, T., Rhedin, S., Payne, B., Guthrie,

B.L., Bosire, R., Cole, A.M., Farquhar, C., Broliden, K.. HIV-Neutralizing

Activity of Cationic Polypeptides in Cervicovaginal Secretion of Woman in

HIV Serodiscordant Relationship. Plos One, 2012

12. Jay, C.A., Ho, E.L., Halperin, J. Infectious causes of dementia. In Non-

Alzheimer’s and Atypical Dementia. Ed Geschwind, M.D and Belkoura.C.R.

John Wiley &Sons, Ltd. 2016

13. Valcour, VG., Shiramizu, BT., Shikuma, CM. HIV DNA in circulating

monocytes as a mechanism to dementia and other HIV complications. J

Leukoc Biol 87, 2010, p 621-626.

14. Kaul, M., Lipton, S.A.. Mechanism of Neuronal Injury and Death In HIV-1

Associated Dementia. Current HIV Research; 4: 2006, p 307-318

15. Szydlowska, K., Tymianski, M. Calcium, Ischemia and exitotoxicity. Cell

Calcium.; 47 (2): 2010, p. 122-9

16. Robertson, K., Liner, J., Heaton, R. Neuropsychological Assessment of HIV-

Infected Populations in International Settings. Neuropsychol Rev; 19: 2009,

p 232-249

17. Ciccarelli, N., Fabbiani, M., Giambenedetto, D., Fanti, I., Colafigli, M.,

Bracciale, I., Tamburrini, E., Cauda, R., DeLuca,A., Silveri, M.C., 2010.

Persistence and Progression of HIV-associated Neurocognitive Disorder.

Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections. San Francisco.

18. Hodges, J.R., Kipps, C.M. Cognitive Assessement for Clinicians. J. Neurol

Neurosurg Psych; 76: 2009, p 22-30

19. Woods, S.P., Moore, D.J., Weber, E., Grant, I. Cognitive Neropsychology of

HIV-Associated Neurocognitive Disorders. Neuropsychol Rev; 19: 2009, p

152-168

20. Wang, G., Chang, J., Volkow, N., Telang, F., Logan, J., Ernst, T., Fowler, J.

Decreasing Brain Dopaminergic Transporters in HIV- associated dementia

patient. Brain ; 127: 2004, p 2452-2458

21. Saylor, D., Dickens, A.M., Sacktor, N., Haughey, N., Slusher, B., Pletnikov,

M., Mankowski, JL., Brown, A., Volsky, D.J., Mc Arthur, J.C. HIV-associated

56 | B A N U 6

neurocognitive disorder- pathogenesis and prospects for treatment. Nat

Rev Neurol, 12 , 2016. p 309.

22. Aminoff, M.J., Josephson, S.A. Aminoff Neurology and General Mediine.

Fifth edition. ed. Amsterdam Academic Press. 2014

23. Lindl, K.A., Marks, D.R., Kolson, D.L., Jordan-Sciutto, K.L. HIV-associated

neurocognitive disorder: pathogenesis and therapeutic opportunities. J

Neuroimmune Pahrmaco, 5, 2010, p 294-309

24. Ropper, A.H., Samuels, M.A., Klein, J. Adams and Victor’s Principles of

Neurology, New York, McGraw-Hill Education Medical, 2014

25. Singh.D., Sunpath, H., John, S., Eastham, L., Gouden, R. 2008. The Utility of

a Rapid Screening Tool for Depression and HIV Dementia amongst

Patients with Low CD4 counts- a preliminary report. African Journal of

Psychiatry; 11: 2008, p 282-286

26. Sacktor, N.C., Wong, M., Nakasujja, N., Skolasky, R.L., Selnes, O.A., Musisi,

S., Robertson, K., McArthur, J.C., Ronald, A., Katabira, E. The International

HIV Dementia Scale: a new rapid screening test for HIV dementia. AIDS,

19:2005, p 1367-1374.

27. Satriawan, D.N., Widyadharma, E., Adnyana, M.O. Tesis. Uji Reliabilitas

Skala Demensia HIV International pada penderita HIV di RSUP Sanglah.

Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf Universitas Udayana, 2010

28. Ellis, R. 2010. HIV and antiretroviral Therapy: impact on central nervous

system. Prog Neurobiol. 2010. P. 185-187

29. Ances, B., Roc, A., Wang, J., Korczykowski, M., Okawa, J., Stern, J., Kim, J.,

Wolf, R., Lawler, K., Kolson, D., Detre, J. Caudate blood flow and volume

are reduced in HIV= neurocognitively impaired patients. Neurology; 66;

2006, p 862-866

30. Clifford, D.B., Ances, B. M. HIV-associated neurocognitive disorder. Lancet

Infect Dis, 13. 2013, p 976-86.

31. Mc.Arthur, J.C., Steiner, J., Sacktor, N., Nath, A. Human Immunodeficiency

virus-associated neurocognitive disorders: Mind the gap. Ann Neurolo,

67,2010.p 699-714.

32. Shikuma, C.M., Nakamoto, B., Shiramizu, B., Liang, C.Y., Degruttola, V.,

Bennett, K., Paul, R., Kallianpur, K., Chow, D., Gavegnano, C., Hurwitz, S. J.,

Schinazi, R. F., Valcour, V.G. Antiretroviral mpnocyte efficacy score linked

to cognitive impairment in HIV. Antivir Ther, 17, 2012 p. 1233-42

57 | B A N U 6

CHALLENGE IN DIAGNOSIS AND MANAGEMENT

NEUROCYSTICERCOSIS

A.A. Raka Sudewi

Neurology Department, Faculty of Medicine

Udayana University/Sanglah Hospital

Denpasar, Bali

Abstract

Neuroysticercosis (NCC) is a zoonotic disease caused by the form of T.

solium parasite larvae. NCC is a major cause of seizures / epilepsy and is a health

problem that results in morbidity and mortality, especially in endemic areas. This

disease is endemic in several countries such as India, China and Indonesia. In

Indonesia endemic in North Sumatra, Bali, Irian Jaya, Timor, Flores, North

Sulawesi and West Kalimantan. However, this disease can also be found in some

developed countries which are cases of imports from immigrants or those who

accidentally eat, contaminated food in the form of eggs from the parasite while

traveling in endemic areas. The cause of this disease has been known with

certainty, but the diagnosis and treatment of this case is still a challenge that

requires further research. This is because the life cycle of the parasite, through

various stages / changes ranging from the form of the larvae, bubble worms to

calcification, affects different treatments according to the stage. In addition, the

location of cysts in the brain also requires a special approach that is different, for

example, for cysts located in the ventricles, the treatment is different from that of

cysts in the brain parenchyma.

Abstrak

Neurosistiserkosis (NCC) merupakan penyakit zoonosis yang

disebabkan oleh bentuk larva parasit T. solium. NCC sebagai penyebab utama

terjadinya kejang/epilepsy dan merupakan masalah kesehatan yang

mengakibatkan terjadinya morbiditas dan mortalitas terutama di daerah

endemis. Penyakit ini bersifat endemis pada beberapa Negara seperti India,

China dan Indonesia. Di Indonesia endemis di Sumatera Utara, Bali, Irian Jaya,

Timor, Flores, Sulawesi Utara dan Kalimantan Barat. Meskipun demikian penyakit

ini juga dapat ditemukan di beberapa negara maju yang merupakan kasus

import dari para imigran atau mereka yang secara kebetulan memakan,

makanan yang terkontaminasi dalam bentuk telur dari parasit tersebut saat

melakukan bepergian di daerah endemic.

Penyebab penyakit ini telah diketahui secara pasti, namun diagnosis

dan penanganan kasus ini masih merupakan tantangan yang memerlukan

58 | B A N U 6

penelitian lebih lanjut. Hal ini disebabkan karena siklus hidup parasit tersebut,

melalui berbagai stadium/ perubahan mulai dari bentuk larva, cacing gelembung

sampai terjadinya kalsifikasi, berdampak pada penanganan yang berbeda sesuai

stadiumnya. Selain itu lokasi kista di otak juga memerlukan pendekatan khusus

yang berbeda, misalnya untuk kista yg berlokasi di ventrikel penanganannya

berbeda dengan kista yang berada di parenkim otak.

Pendahuluan

NCC merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bentuk

larva parasit T. solium. NCC sebagai penyebab utama terjadinya kejang/epilepsi

dan merupakan masalah kesehatan yang mengakibatkan terjadinya morbiditas

dan mortalitas terutama di daerah endemis. NCC merupakan penyakit zoonosis

yang disebabkan oleh bentuk larva parasit T. solium. NCC sebagai penyebab

utama terjadinya kejang/epilepsi dan merupakan masalah kesehatan yang

mengakibatkan terjadinya morbiditas dan mortalitas terutama di daerah

endemis.

Epidemiologi

Kejadian NCC tidak bisa dipisahkan dari adanya kasus infeksi cacing

pita dewasa T. solium yang dikenal sebagai taeniasis dan juga kejadian

sistiserkosis pada babi sebagai sumber penularannya.

NCC bersifat endemis pada beberapa negara seperti Afrika, Eropa

Timur, Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan. T. solium juga dilaporkan di Asia

terutama di Cina dan Indonesia, di Indonesia endemis di Sumatera Utara, Bali,

Irian Jaya dan beberapa daerah lainnya Timor, Flores, Sulawesi Utara dan

Kalimantan Barat.1 Kasus NCC pertama kali dilaporkan di Bali oleh Ngoerah

(1975). Setelah diadakannya CT scan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah

Denpasar pada tahun 1991 maka semakin banyak kasus NCC yang dapat

dideteksi. Rakas S (1998) melaporkan 25 kasus yang terdiri dari: 15 laki, 10

perempuan dengan rentang umur 23-65 tahun. Dari 25 kasus 68% dengan

serangan epilepsy, 24% dengan sefalgia, 8% dengan penurunan kesadaran,

disorientasi dan penurunan fungsi memori yang progresif.2 Meskipun demikian

penyakit ini juga dapat ditemukan di beberapa negara maju yang merupakan

kasus import dari para imigran atau secara kebetulan memakan, makanan yang

terkontaminasi dalam bentuk telur dari parasit tersebut saat melakukan

bepergian di daerah endemis. Seperti yang dilaporkan pada seorang Mongolia,

mengalami serangan kejang epilepsi setelah bepergian ke India dan China. Hasil

penelusuran pemeriksaan biomolekuler ditemukan Coxl dengan haplotype

ABO66489 sesuai dengan parasit dari India.3

Siklus Hidup dan Penularannya

59 | B A N U 6

T. solium adalah cacing pita yang hidup sebagai parasit, termasuk

kelas Cestoda, phylum Plathyhelmintes. Cacing ini hidup pada saluran

pencernaan dan tersebar luas di seluruh dunia. Cacing ini mempunyai jangka

waktu hidup yang lama sampai duapuluh lima tahun. Manusia adalah hospes

definitive tunggal karena merupakan tempat hidup cacing dewasa dan juga

merupakan hospes perantara untuk kistanya. Cacing dewasa ukurannya 4-8

meter, dengan jumlah proglotid 800-1000 segmen dan proglotid terminal adalah

proglotid gravid dengan kandungan telur sekitar 30.000 yang sering dijumpai

pada kandungan feses penderita. Jika telur tertelan oleh babi atau hospes

perantara yang sesuai, dalam usus telur tersebut akan pecah dan onkosfer akan

terlepas, dengan bantuan kait onkosfer akan menembus dinding usus lalu masuk

ke dalam pembuluh darah portal atau saluran limfe di daerah usus, Akhirnya

mencapai sirkulasi sistemik dan dengan menggunakan kait yang dimiliki akan

sampai berada pada beberapa organ otak, jantung, mata, hati, paru, dan otot.

Pada jaringan larva akan berkembang menjadi sistiserkus yang stabil dalam

waktu 4-8 minggu. Siklus hidup akan menjadi komplit apabila manusia makan

daging babi yang kurang masak yang mengandung larva sistiserkus yang masih

aktif/hidup. Skoleks dengan kait yang dimiliki akan dipakai untuk melekatkan diri

pada mukosa jejenum dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa.4

Tantangan Diagnosis dan Penanganannya

Diagnosis pasti NCC ditegakkan atas dasar temuan adanya skoleks

pada dinding kista dari pemeriksaan neuroimaging MRI/CT scan atau dari hasil

pemeriksaan histologis. Studi tentang NCC terus dikembangkan dalam upaya

untuk meningkatkan akurasi diagnosis dan penannganan NCC. Hal ini dilakukan

mengingat stadium larva yang ada di otak terus mengalami perubahan selama

berada di dalam kista yang dicerminkan dengan perubahan gambaran

neuroimaging dari kista tersebut. Penemuan adanya parasit/skoleks pada hasil

pemeriksaan patologi anatomi atau pada CT scan/MRI sangat penting dalam

mendiagnosis NCC. Gambaran CT scan pada parenkim otak dapat berupa 1).

Nodul soliter/multiple atau lesi densitas rendah tanpa enhancement yang

menunjukkan sistiserkus yang masih aktif/hidup, 2). Lesi hipodens/isodens

dengan ring enhancement mencerminkan kista yang degenerasi/ tidak aktif, 3).

Kalsifikasi yang menunjukkan parasit yang sudah tidak aktif, 4). edema otak difus,

ventrikel kecil dengan nodul multipel yang enhancement pada pemberian

kontras dihubungkan dengan sindrom ensefalitis.5 MRI lebih sensitif untuk

mendeteksi kista intraventrikular atau di subarahnoid. empat stadium perubahan

pada kista. Masing masing fase perubahan kehidupan parasit tersebut di dalam

kista akan tercermin pada gambaran neuroimaging.6 Perubahan stadium

kehidupan parasit di dalam sistem saraf akan mempengaruhi perubahan

60 | B A N U 6

penatalaksanaan NCC. Penatalaksanaan sangat tergantung dari viabilitas parasit,

jumlah dan lokasi kista. Kista dengan paradsit yang masih hidup/aktif dapat

diberikan albendazol atau prazikuantel, sedangkan pada parasit yang tidak

aktif/mati penanganannya bersifat simtomatis. Pada kasus kasus tertentu dengan

kista yang besar dipertimbangkan untuk dilakukan operasi. Dengan

perkembangan teknologi neuroimaging dan peningkatan akurasi test imunologi

maka kemampuan untuk diagnosis dan penatalaksanaan NCC diharapkan

menjadi semakin baik.7

Pendukung diagnosis seperti eosinofilia, serologis dengan

ELISA/imunoblot akurasinya masih belum dapat dihandalkan. Data yang tersedia

tentang validitas diagnostic untuk kriteria NCC ventrikuler masih sangat rendah.8

Demikian juga dengan beberapa kriteria diagnosis yang dibuat oleh Del Brutto

dan Carpio masih dalam proses penelitian dan penyempurnaan lebih lanjut.

Kesimpulan

NCC sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di bidang

neurology, sebagai penyebab utama terjadinya epilepsi terutama di daerah

endemis seperti di Indonesia. Meskipun parasite sebagai penyebab penyakit ini

sudah diketahui secara pasti namun penegakan diagnosis masih merupakan

tantangan dan penelitian lebih lanjut mengingat viabilitas parasit yang berada di

dalam kista mengalami beberapa stadium perubahan dan berpengaruh

terhadap penatalaksanaanya.

Daftar Pustaka

1. Simanjuntak GM, Sri M, Hargono C, Rasidi R, Sutopo B. An

investigation of taeniasis and cysticercosis in Bali Southeast Asean

J.Trop. Med. Public Health.1977:8:494-497.

2. Raka Sudewi AA, Nuartha AABN. Neurosistiserkosis di Rumah Sakit

Umum Pusat Denpasar. Musyawarah Kerja dan Pertemuan Ilmiah

Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Malang,

Indonesia. 1998.

3. Davaasuren A, Davaajav A, Ukhnaa B, Purvee A, Unurkhaan S, Luvsan

A, Logan JE, Ito A. Neurocysticercosis: A case study of Mongolia

traveler who visited China and India with an updated review in Asia,

Travel Medicine and Infectious Disease. 2018, doi: 10.1016

4. Cameron M.L., Durack DT. Helminthic Infection of The Central

Nervous System. In; Scheld W.M., Whitly R.J, Durack D.T., editors.

Infection of The Central Nervous System. New York: Raven Press; 1991;

825-857.

61 | B A N U 6

5. Carpio A, Ugalde J. Neuroimaging in neurocysticercosis. eMedicine

Journal. 2002; 3 (2):1-19

6. Carpio A, Romo M.L. Imaging and epidemiology. Asian Pacific Journal

of tropical medicine. 2017:821-822.

7. Del Brutto OH, Nash TE, White Jr AC, Rajshekar PP, Wilkins G, Singh,

CM Vasquez, Salgado P, Gilman RH, Garcia HH. Revised diagnostic

criteria for neurocysticercosis. Journal of the Neurological

Sciences:372(2017)202-210.

8. Bustos JA, Garcia HH, Del Brutto OH. Reliability of diagnostic criteria

for neurocysticercosis for patients with ventricular cystic lesions or

granulomas: A systematic review. Am J Trop. 2017

62 | B A N U 6

PREVENTION OF NEUROTROPICAL INFECTION IN SPECIFIC ENDEMIC AREA IN

INDONESIA

Ni Made Adi Tarini

Departemen/ KSM Mikrobiologi Klinik FK UNUD/RSUP Sanglah

Abstrak

Infeksi neurotropik masih merupakan infeksi yang mengancam jiwa

dengan tingkat kematian dan kecacatan yang tinggi terutama dinegara

berkembang. Etiologi infeksi pada susunan saraf pusat dan otak beragam yaitu

bakteri, virus, jamur dan parasit. Malaria dan Japanese Encephalitis (JE)

merupakan dua penyakit yang menjadi fokus bagi pemegang otoritas kesehatan

di dunia seperti WHO maupun dalam negeri yaitu Kementrian kesehatan karena

jumlah insiden yang masih tinggi dan komplikasi kerusakan organ otak yang

menetap. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus suis juga

meningkat dalam beberapa tahun terakhir khususnya di Negara Asia. Hal ini

diperlukan suatu tindakan pencegahan untuk menurunkan rantai penularan

sehingga berdampak pada penurunan insiden penyakit dan dapat mencegah

komplikasi. Tindakan pencegahan yang dilakukan tergantung dari agen

penyebab penyakit dan metode transmisi dari masing-masing penyakit.

Kata kunci : Infeksi neurotropik, pencegahan, Malaria, Japanese Encephalitis,

Meningitis Streptococcus suis

Latar Belakang

Infeksi pada susunan saraf pusat (SSP) seperti meningitis dan

meningoensefalitis masih banyak ditemukan. Meningitis merupakan infeksi pada

membran atau selaput yang mengelilingi otak yang mempunyai tingkat

kematian dan kecacatan yang tinggi terutama di negara berkembang. Meningitis

bakterialis mengancam kehidupan dan harus dapat dibedakan dengan

meningitis aseptik yang disebabkan oleh virus. Estimasi insiden meningitis adalah

2.6 – 6 kasus per 100,000 individu per tahun, sedangkan di United States 1.5

kasus per 100.000 individu dengan angka kematian 15.6%.1 Meningitis dapat

disebabkan oleh bakteri, virus, parasit dan jamur. Peningkatan kasus meningitis

bakteri ditemukan meningkat dari studi sebelumnya khususnya yang disebabkan

oleh Streptococcus suis. 2 Streptococcus suis merupakan oportunistik patogen

pada hewan babi dan merupakan agen zoonotik. Selain etiologi meningitis juga

63 | B A N U 6

dapat menyebabkan endocarditis, arthritis, pneumonia, and septikemia.3 Pada

manusia S. suis dapat menyebabkan meningitis berat sampai septik syok dan

mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Salah satu gejala klinis meningitis S.

suis dan merupakan komplikasi yang sering terjadi pada kasus ini adalah

hilangnya pendengaran permanen (tuli) atau disfungsi vestibular, sekitar 50 –

65% di negara Eropa dan Asia. 4,5

Selain meningitis bakterialis, infeksi pada SSP dapat disebabkan oleh

virus maupun parasit yang diperantarai oleh vektor seperti Japanese Encephalitis

dan Malaria. Japanese encephalitis (JE) disebabkan oleh Japanese encephalitis

virus (JEV) yang merupakan kelompok virus flaviviridae. Virus ini ditransmisikan

oleh nyamuk culex ke hewan seperti babi, burung air maupun ke manusia.6,7

Daerah endemis JE adalah Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Timur dan Pasifik.

diperkirakan tiga milyar penduduk hidup di daerah endemis JE ini dan

insidennya 30.000-50.000 kasus per tahun. Komplikasi JE dapat menyebabkan

kerusakan neurologik yang menetap.6 Perkembangan penyakit lain yang

menyebabkan kerusakan otak adalah malaria jika tidak diterapi dengan baik.

Malaria merupakan penyakit yang mengancam kehidupan yang disebabkan oleh

parasit plasmodium dan penyebaran penyakit malaria ini melalui gigitan nyamuk

Anopheles betina.8 Pada tahun 2016 diperkirakan 216 juta kasus malaria pada 91

negara dimana hal ini meningkat 5 juta kasus dari tahun 2015, dengan angka

kematian 445.000.9 Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan baik di

dunia maupun Indonesia terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak

balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan

dapat menurunkan produktivitas kerja. Penyakit ini juga masih endemis di

sebagian besar wilayah Indonesia. Program eliminasi malaria di Indonesia

tertuang dalam keputusan Menteri Kesehatan RI No 293/MENKES/SK/IV/2009,

dimana pengendalian ini dilakukan secara bertahap dari satu pulau atau

beberapa pulau sampai seluruh pulau terbebas dari penularan malaria sampai

tahun 2030.10

Peningkatan kasus infeksi pada susunan saraf pusat yang disebabkan

beberapa bakteri, virus maupun parasit ini harus disertai dengan peningkatan

metode metode pencegahan untuk menurunkan insidennya mengingat

komplikasi yang dihadapi menyebabkan beberapa kerusakan organ yang

menetap terutama otak. Adapun beberapa pencegahan yang dapat dilakukan

tergantung dari cara transmisi dari penyakit itu sendiri, apakah melalui perantara

vektor, kontak langsung atau melalui makanan dan minuman.11

PENCEGAHAN

Pencegahan yang dapat dilakukan pada penyakit yang ditransmisikan

melalui vektor dapat dilakukan beberapa langkah seperti kontrol vektor,

64 | B A N U 6

mencegah gigitan nyamuk maupun profilaksis dengan menggunakan obat

maupun vaksinasi.9,12

Beberapa upaya pengendalian vektor lainnya yang dapat

dilakukan adalah tindakan pengendalian larva Anopheles sp (jentik) secara

kimiawi, menggunakan insektisida, biological control ( menggunakan ikan

pemakan jentik), manajemen lingkungan, dan lain-lain.10

World Health

Organization (WHO) merekomendasikan untuk kontrol vektor dewasa dapat

dilakukan dengan dua langkah yaitu menggunakan kelambu yang mengandung

insektisida dan metode penyemprotan dinding dalam rumah dengan insektisida

yang dikenal dengan indoor residual spraying (IRS).9

Menghindari gigitan

nyamuk merupakan salah satu pencegahan tertular penyakit malaria maupun JE,

dengan menggunakan lotion anti nyamuk, memakai pakaian yang tertutup dan

menghindari paparan nyamuk saat jam puncak gigitan.9,12

Profilaksis yang

dianjurkan untuk JE adalah vaksinasi. Terdapat 2 vaksin yang diijinkan oleh FDA

yaitu Inactivated mouse brain - derived vaccine (JE-VAX(JE-MB)) dapat diberikan

pada anak berumur ≥ 1 tahun dan Inactivated Vero Cell Culture-derived Vaccine

(IXIARO (JE-CV)) dapat diberikan pada usia ≥ 17 tahun. Vaksin JE diberikan pada

individu yang berada pada daerah endemis, petugas laboratorium dan individu

yang akan berkunjung lama ke daerah endemis JE.13

Profilaksis untuk malaria

dapat menggunakan obat antimalaria bagi para traveler yang akan berkunjung

ke daerah endemis malaria. Untuk ibu hamil yang tinggal di daerah transmisi

sedang hingga tinggi, WHO merekomendasikan pengobatan pencegahan

intermiten dengan sulfadoksin-pirimetamin, pada setiap kunjungan antenatal

yang dijadwalkan setelah trimester pertama. Demikian pula, untuk bayi yang

tinggal di daerah penularan tinggi Afrika, 3 dosis pengobatan pencegahan

intermiten dengan sulfadoksin-pirimetamin direkomendasikan, diberikan

bersamaan dengan vaksinasi rutin. sedangkan vaksin untuk malaria.9,14

Saat ini

telah dikembangkan vaksin untuk malaria yaitu RTS,S/AS01 (Mosquirix). Vaksin ini

memberikan perlindungan parsial terhadap malaria pada kelompok anak-anak.

Vaksin ini sedang dievaluasi di sub-Sahara Afrika sebagai alat pengendalian

malaria komplementer yang berpotensi sebagai tambahan pada tindakan

pencegahan yang direkomendasikan WHO. vaksin ini masih sedang uji coba dan

masih dalam pengawasan. Pada bulan November 2016, WHO mengumumkan

bahwa vaksin RTS, S akan diluncurkan dalam proyek-proyek percontohan di

beberapa daerah terpilih di 3 negara di sub-Sahara Afrika: Ghana, Kenya dan

Malawi. Vaksinasi ini akan dimulai pada tahun 2018 dan akan diperluas jika

keamanan dan efektivitas dianggap dapat diterima.9

Berbeda dengan Malaria dan JE, pencegahan Meningitis

Streptococcus suis berfokus pada pencegahan kontak dengan vektor dalam

kasus ini adalah babi, pengawasan lingkungan dan produk makanan dari babi.

65 | B A N U 6

Faktor risiko utama untuk infeksi S. suis dalam wabah adalah keterlibatan atau

kontak langsung dalam penyembelihan babi dan babi yang sakit atau kontak

langsung dengan bangkai babi yang mati karena penyebab yang tidak

diketahui.15

Selain faktor risiko diatas, konsumsi produk darah dan daging babi

mentah pada beberapa daerah di Asia juga merupakan jalur transmisi dari MSS.16

Sehingga pendekatan pencegahannya ada dua yaitu

1. Pencegahan pada manusia adalah pengawasan pada peternakan babi,

Rumah potong hewan serta pengawasan terhadap daging mentah dan

produk makanan.

2. Pencegahan pada hewan Babi adalah pemisahan babi berdasarkan umur,

isolasi babi yang sakit dan vaksinasi. Streptococcus suis dapat dibunuh

melalui memasak dengan baik dan matang.

Amatilah kebersihan pribadi dan lingkungan yang baik setiap saat,

hindari kontak dengan babi yang sakit atau mati dan feses mereka, cuci tangan

secara menyeluruh setelah kontak dengan babi dapat mengurangi risiko infeksi

Streptococcus suis.17

Daftar Pustaka

1. Bamberger DM. Diagnosis, initial management, and prevention of

meningitis. Am Fam Physician. 2010 Dec 15;82(12):1491-8.

2. Van Samkar A, Brouwer MC, Schultsz C, van der Ende A, van de Beek D.

Streptococcus suis meningitis: a systematic review and meta-analysis. PLoS

neglected tropical diseases. 2015 Oct 27;9(10):e0004191.

3. Nutravong T, Angkititrakul S, Panomai N, Jiwakanon N, Wongchanthong W,

Dejsirilert S, Nawa Y. Identification of major Streptococcus suis serotypes 2,

7, 8 and 9 isolated from pigs and humans in upper northeastern Thailand.

Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health. 2014 Sep

1;45(5):1173.

4. Hughes JM, Wilson ME, Wertheim HF, Nghia HD, Taylor W, Schultsz C.

Streptococcus suis: an emerging human pathogen. Clinical Infectious

Diseases. 2009 Mar 1;48(5):617-25.

5. Suankratay C, Intalapaporn P, Nunthapisud P, Arunyingmongkol K, Wilde

H. Streptococcus suis meningitis in Thailand. Southeast Asian Journal of

Tropical Medicine & Public Health. 2004 Dec;35(4):868.Suankratay et al,

2004

6. Erlanger TE, Weiss S, Keiser J, Utzinger J, Wiedenmayer K. Past, present, and

future of Japanese encephalitis. Emerging infectious diseases. 2009

Jan;15(1):1.

66 | B A N U 6

7. Misra UK, Kalita J. Overview: japanese encephalitis. Progress in

neurobiology. 2010 Jun 1;91(2):108-20.

8. Guerin PJ, Olliaro P, Nosten F, Druilhe P, Laxminarayan R, Binka F, Kilama

WL, Ford N, White NJ. Malaria: current status of control, diagnosis,

treatment, and a proposed agenda for research and development. The

Lancet infectious diseases. 2002 Sep 1;2(9):564-73.

9. WHO. Malaria. 2018

10. Kementerian Kesehatan RI. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Buletin

Jendela Data dan Informasi Kesehatan. 2011

11. Ross S, Furrows S. RAPID Infection Control Nursing. Wiley Blackwell. 2014;

p. 121.

12. CDC. Prevention Japanese Encephalitis. 2015.

https://www.cdc.gov/japaneseencephalitis/prevention/index.html

13. MMWR. Japanese Encephalitis Vaccines. 2010;59(RR-1)

14. WHO. World Malaria Report. 2017

15. Yu H, Jing H, Chen Z, Zheng H, Zhu X, Wang H, Wang S, Liu L, Zu R, Luo L,

Xiang N. Human streptococcus suis outbreak, Sichuan, China. Emerging

infectious diseases. 2006 Jun;12(6):914.

16. Huong VT, Hoa NT, Horby P, Bryant JE, Van Kinh N, Toan TK, Wertheim HF.

Raw pig blood consumption and potential risk for Streptococcus suis

infection, Vietnam. Emerging infectious diseases. 2014 Nov;20(11):1895.

17. White M. Pig Health – Streptococcal Meningitis. NADIS. Animal Health

Skills. 2018

67 | B A N U 6

SPECIAL CONSIDERATION OF AED THERAPY IN CNS INFECTION

Dr. dr. DPG Purwa Samatra, Sp.S (K)

Departemen Neurologi RSUP Sanglah Denpasar/FK Universitas Udayana

Pendahuluan

Suatu bangkitan epileptik didefinisikan oleh International League

against Epilepsy (ILAE) sebagai “kejadian transien dari tanda dan atau gejala

dikarenakan oleh aktivitas neuronal atau inkonisasi yang berlebihan di otak”.1

Epilepsi secara konsep dikarakteristikkan sebagai kecenderungan dari otak untuk

menghasilkan kejang epileptik, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,

psikologis dan sosial.1 Dikarenakan defenisi konseptual ini sulit diaplikasikan

secara klinis, maka dibentuklah definisi secara operasional yaitu epilepsi dapat

dipertimbangkan apabila dijumpai dua kejadian kejang yang tidak diprovokasi

yang terjadi dengan waktu lebih dari 24 jam diantara kejang dan satu kejang

yang tidak diprovokasi serta memiliki kemungkinan kejang berikutnya sebesar

minimal 60% pada 10 tahun berikutnya, serta suatu sindrom epilepsi.2

Epidemiologi

Prevalensi dari epilepsi adalah 5-8 per 1000 populasi pada negara

berkembang dan 10 per 1000 populasi pada negara sedang berkembang.4

Perbedaan demografis ini mungkin disebabkan perbadaan pada faktor resiko

epilepsi seperti infeksi dan ketidakmampuan dalam perawatan antenatal dan

perinatal.5 Perbedaan yang serupa juga dijumpai pada insidens dari epilepsi

dimana meta analisis pada tahun 2011 menunjukkan bahwa insidens pertahun

adalah 45 per 100,000 populasi pada negara berkembang dan 82 per 100,000

populasi pada negara sedang berkembang.6

Patofisiologi

Suatu kejang epileptik diakibatkan oleh sinkronisasi transien dari

neuron di otak yang abnormal dimana mengganggu pola normal dari

komunikasi neuronal dan mengakibatkan cetusan listrik pada

elektroensefalografi (EEG). Kelainan ini menyebabkan gejala dan tanda yang

beragam

68 | B A N U 6

Gambar 1. Klasifikasi Tipe Kejang menurut ILAE 2017

DIAGNOSIS

Diagnosis dari suatu kejang dapat didasarkan pada deskripsi

sistematik dari kejadian kejang pasien yang disaksikan oleh saksi mata, dan

mungkin tidak memerlukan pemeriksaan spesifik. Perekaman ketika onset

terjadinya kejang dengan kamera telepon selular dapat membantu. Namun

sayangnya, banyak yang masih kesulitan memahami semiologi yang berguna

untuk membedakan kejang epileptik dan kelainan lainnya seperti sinkop dan

serangan psikogenik non epileptik yang menyebabkan misdiagnosis.7

Diagnosis yang tepat dari suatu sindrom epileptik dapat sulit,

dikarenakan memerlukan kriteria yang kompleks dan berbagai investigasi

bergantung pada kelainan yang dicurigai. Riwayat keluarga, riwayat penyakit,

usia onset, jenis kejang, status neurologis dan kognitif, dan EEG interiktal wajib

dilaksanakan. MRI kepala biasanya diperlukan, kecuali pada pasien dengan

epilepsi juvenil atau anak-anak absan, epilepsi juvenil miokolonik, atau epilepsi

anak-anak dengan paku sentrotemporal. Pemeriksaan darah, punksi lumbal dan

pemeriksaan lain dapat membantu ketika dicurigai etiologi tertentu.7

TERAPI

Sekitar 70% dari pasien bebas kejang dengan terapi medikamentosa

yang adekuat, dengan angka respons bervariasi bergantung pada sindrom

epilepsi, penyebab utama, dan faktor lainnya.10

Tidak ada satupun obat

antiepilepsi yang ideal sebagai pengobatan lini pertama pada semua pasien.

Seperti yang direkomendasikan oleh National Institute for Health and Care

Excellence, pilihan terapi harus mempertimbangkan tipe kejang, sindrom kejang

dan karakteristik lainnya seperti usia, jenis kelamin dan komorbid.11 Walaupun

obat antiepilepsi klasik seperti karbamazepin dan asam valproat banyak

digunakan sebagai terapi lini pertama, beberapa obat generasi yang lebih baru

69 | B A N U 6

makin banyak digunakan sebagai terapi inisial, kebanyakan dikarenakan

tolerabilitas yang lebih baik dan interaksi obat yang lebih sedikit.7

Berdasarkan laporan dari Glauser dkk, pasien dewasa dengan kejang

fokal yang baru direkomendasikan pemberian karbamazepin (CBZ),

levetirasetam (LEV), fenitoin (PHT), dan zonisamid (ZNS). CBZ, LEV, PHT, dan ZNS

merupakan level A, asam valproat (VPA) merupakan level B, Gabapentin (GBP),

Lamotrigin (LTG), Oxarcbazepine (OXZ), phenobarbital (PB), topiramat (TPM) dan

vigabatrin (VGB) merupakan level C. sedangkan clonazepam (CZP) dan

primidone (PRM) merupakan level D. Sedangkan dewasa dengan kejang general

tonik klonik direkomendasikan CBZ, LTG, OXC, PB, PHT, TPM, dan VPA sebagai

level C dan GBP, LEV, VGB sebagai level D pada monoterapi awal pada dewasa

dengan kejang general tonik klonik.12

Jenis Kejang Studi

Kelas I

Studi

Kelas II

Studi

Kelas III

Level bukti efikasi dan

efektif

Kejang parsial 4 1 34 Level A : CBZ, PHT, LEV,

ZNS

Level B : VPA

Level C : GBP, LTG,

OXC, PB, TPM, VGB

Level D : CZP, PRM

Kejang tonik

klonik

0 0 27 Level A : -

Level B : -

Level C : CBZ, LTG,

OXC, PB, PHT, TPM,

VPA

Level D : GBP, LEV, VGB

Tabel 1. Studi dan bukti dari terapi jenis kejang12

Infeksi Intra Kranial / Meningitis Bakterial

Meningitis bakterialis akut adalah keadaan kedaruratan neurologi.

Penanganan yang segera dan komprehensif dapat menyelamatkan nyawa

pasien. Gejala klinis yang paling sering dikeluhkan adalah panas badan, nyeri

kepala dan fotofobia. Pada keadaan lebih lanjut dapat dijumpai penurunan

kesadaran, kejang hemiparesis dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang

khas untuk meningitis adalah didapatkannya kaku kuduk. Kaku kuduk pada

meningitis bakterialis akut sangat nyata, sedangkan pada meningitis

subakut/kronis lebih ringan. Pada stadium lebih lanjut, dapat dijumpai

gejala/tanda hidrosefalus seperti nyeri kepala yang berat, muntah-muntah,

kejang, papiledema.

70 | B A N U 6

Definisi Dan Etiologi

Meningitis bakterialis akut adalah infeksi meningitis yang terjadi dalam

waktu kurang dari 3 hari dan umumnya disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini

sering juga disebut sebagai meningitis bakterialis atau meningitis purulenta.

Penyebab paling sering adalah 3 jenis bakteri yaitu Neisseria meningitidis

(meningokokus), Streptococcus pneumonia (pneumokokus), dan Hemophylus

influenza. Meningitis bakterialis pada neonatus dan usia tua dapat disebabkan

oleh beberapa jenis bakteri lain.

Patogenesis Dan Patofisiologi

Otak dan medulla spinalis dilindungi secara anatomis oleh 3 selaput

otak (meningen, terdiri dari duramater, arakhnoid dan piamater) dan secara

kimiawi oleh sawar darah otak. Secara umum, istilah meningitis menunjuk ke

infeksi yang menyerang meningen ini. Infeksi yang ada menyebabkan selaput ini

meradang dan membengkak, dan proses inflamasi yang ada merangsang

reseptor-reseptor nyeri yang ada pada selaput itu sehingga menimbulkan gejala

nyeri dan kaku kuduk.

Bakteri dapat mencapai struktur intrakranial melalui beberapa cara.

Secara alami bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen dan infeksi di

nasofaring atau perluasan infeksi dari struktur intrakranial misalnya sinusitis atau

infeksi telinga tengah. Infeksi bakterial pada SSP juga dapat terjadi karena

trauma kepala yang merobek duramater, atau akibat tindakan bedah saraf.

Meningitis bakterialis bermula dengan kolonisasi bakteri di nasofaring.

Bakteri menghasilkan immune globulin A protease yang bisa merusak barrier

mukosa dan memungkinkan bakteri menempel pada sel epitel nasofaring.

Setelah berhasil menempel pada sel epitel, bakteri akan menyelinap melalui

celah antar sel dan masuk ke aliran darah.

Bakteri yang biasa menyebabkan meningitis bakterialis akut

mempunyai kapsul polisakarida yang bersifat antifagositik dan anti komplemen,

sehingga bisa lepas dari mekanisme pertahanan seluler yang umumnya

menghadang struktur asing yang masuk ke dalam aliran darah. Bakteri kemudian

akan mencapai kapiler susunan saraf pusat lalu masuk ke ruang subarakhnoid.

Kurangnya pertahanan seluler di dalam ruang subarachnoid membuat bakteri

yang ada akan mudah bermultiplikasi.

Gejala Klinik

Gejala klinis yang paling sering dikeluhkan adalah panas badan, nyeri

kepala dan fotofobia. Pada keadaan lebih lanjut dapat dijumpai keluhan

penurunan kesadaran, kejang, hemiparesis dan lam lain. Pada pemeriksaan fisik,

tanda yang khas untuk meningitis adalah didapatkannya kaku kuduk. Kaku

kuduk pada meningitis bakterialis akut sangat nyata, sehingga dapat dengan

71 | B A N U 6

mudah ditemukan. Pada stadium lebih lanjut, dapat dijumpai tanda hidrosefalus

seperti nyeri kepala yang berat, muntah-muntah, kejang, papiledema.

Perjalanan klinis meningitis bakterialis pada orang dewasa biasanya

diawali dengan infeksi saluran nafas atas yang ditandai dengan panas badan dan

keluhan-keluhan pernapasan diikuti dengan munculnya gejala-gejala SSP seperti

nyeri kepala dan kaku kuduk yang nyata. Gejala lain yang mungkin ada adalah

muntah-muntah, penurunan kesadaran (drowsy, bingung), kejang dan fotofobia.

Meningitis meningokokus seringkali diawali dengan gejala dan tanda

septikemia dan syok septik. Keluhan yang biasa dirasakan pasien adalah panas

badan disertai nyeri pada lengan dan/atau tungkai, atau didapatkan tanda-tanda

septikemia seperti kulit yang teraba dingin atau kebiruan pada bibir. Adanya rash

(papula sampai ekimosis) pada ekstremitas dapat menjadi petunjuk infeksi

meningokokus. Meningitis meningokokus seringkali menyebabkan epidemi

meningitis, sehingga jika didapatkan gejala di atas pada sekelompok orang

(misalnya siswa satu sekolah, jamaah haji satu kloter), penyakit ini harus dicurigai

dan diambil langkah pencegahan jangka panjang (melaporkan ke Dims

Kesehatan setempat, meliburkan sekolah, memberi kemoprofilaksis untuk orang-

orang yang kontak dengan pasien) selain mengobati pasien.

Pemeriksaan Penunjang

Pungsi lumbal (lumbar puncture/LP) merupakan tindakan medis yang

paling sering dikerjakan untuk menegakkan diagnosis infeksi SSP, khususnya

meningitis dan ensefalitis. Pada prinsipnya LP harus dikerjakan pada setiap

kecurigaan meningitis dan/atau ensefalitis. Adanya demam, nyeri kepala dan

penurunan kesadaran merupakan indikasi untuk melakukan LP.

Pada umumnya tindakan LP aman untuk dilakukan. Risiko kematian

akibat herniasi orak setelah tindakan LP dapat diminimalisir dengan melakukan

pemeriksaan CT-Scan terlebih dahulu pada keadaan-keadaan sebagai berikut:

1. Papiledema yang nyata

2. Penurunan kesadaran yang dalam atau yang memburuk dengan cepat

3. Didapatkannya defisiti neurologi fokal, termasuk adanya kejang parsial

4. Kecurigaan lesi desak ruang intracranial

Hal-hal lain yang menjadi kontraindikasi tindakan LP adalah sebagai berikut:

1. Infeksi lokal di punggung bawah tempat akan dilakukan LP

2. Syok akibat berbagai sebab

3. Koagulopati: riwayat penggunaan antikoagulan atau adanya tanda DIC

4. Jumlah trombosit < 50.000 pada pemeriksaan darah tepi

Diagnosis, Kriteria Diagnosis Dan Diagnosis Diferensial

Kecurigaan meningitis bakterialis akut biasanya ditegakkan pada

penderita yang datang dengan gejala dan tanda klinis: demam, kaku kuduk,

72 | B A N U 6

penurunan kesadaran. Perlu diingat bahwa pada pasien neonatus atau yang

sudah sangat tua dan pasien imunokompromi mungkin gejala dan tandanya

tidak nyata.

Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) dapat dilihat pada Tabel 1, dan

temuan yang khas adalah sebagai berikut:

1. Jumlah sel meningkat, kadang bisa mencapai puluhan ribu

2. Pada hitung jenis biasanya didapatkan predominansi neutrophil, sebagai

tanda infeksi akut. Pada meningitis bakterialis yang sempat diobati namun

tidak sempurna (partially treated) dapat dijumpai predominansi monosit

3. Kadar glukosa CSS rendah, umumnya kurang dan 30% dari kadar gula

darah sewaktu lumbal pungsi dikerjakan

4. Pewarnaan gram dan kultur umumnya dapat menemukan kuman

penyebab (80% pewarnaan gram mendapatkan kuman penyebab,

keberhasilan kultur tergantung cara transportasi CSS setelah diambil dan

keterampilan laboratorium mikrobiologi untuk menanam bakteri).

Pemeriksaan tambahan lain yang bisa dikerjakan, jika tersedia adalah

pemeriksaan tes aglutinasi latex terhadap 3 kuman penyebab yang sering, atau

dilakukan PCR. Kultur darah positif pada 30-80% kasus.

Pendekatan Diagnostik Meningitis Bakterialis

1. Segera lakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologi pada kecurigaan

meningitis bakterialis untuk menemukan sumber infeksi, penyakit yang

mendasari dan kontraindikasi tindakan LP

2. Segera ambil darah untuk pemeriksaan rutin dan kultur bakteri

3. Lakukan pemeriksaan CT-Scan/ MRI jika ada indikasi. Jika diputuskan akan

dilakukan CT-Scan/MRI, berikan dahulu antibiotika empirik (sesuai umur

dan kecurigaan bakteri penyebab)

4. Berikan deksametason sebelum atau bersamaan dengan pemberian dosis

pertama antibiotika

5. Jika LP tertunda, sedapat mungkin LP dilakukan dalam 2-3 jam setelah

pemberian antibiotik agar masih dapat menjumpai bakteri atau gambaran

CSS yang khas

Penatalaksanaan

Secara umum, penatalaksanaan meningitis bakterialis dapat mengikuti

diagram berikut:

1. Rejimen terapi empirik sesuai dengan usia, kondisi klinis dan pola resistensi

antibiotika setempat (jika data tersedia). Jika tidak ada data lokal yang

tersedia, dapat diikuti rekomendasi umum sebagai mana dapat dilihat pada

Tabel 2

2. Sesuaikan antibiotika segera setelah hasil kultur didapatkan

73 | B A N U 6

3. Deksametason diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama

antibiotika. Dosis yang dianjurkan adalah 0,15 mg/kgBB (1U mg per

pemberian pada orang dewasa) setiap 6 jam selama 2-4 hari.

4. Pertimbangkan merawat pasien di ruang isolasi, terutama jika diperkirakan

penyebabnya adalah H. influenzae atau N. meningitidis

5. Pada kecurigaan infeksi N. meningitidis berikan kemoprofilaksis kepada

(lihat Tabel 3):

a. Orang yang tinggal serumah

b. Orang yang makan dan tidur di tempat yang sama dengan

pasien

c. Orang yang menggunakan sarana umum bersama dengan

pasien dalam 7 hari terakhir

d. Murid sekolah yang sekelas dengan pasien

e. Petugas kesehatan yang ada kontak langsung dengan sekret

mulut dan hidung pasien dalam 7 hari terakhir

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi:

1. Komplikasi segera: edema otak, hidrosefalus, vaskulitis, trombosis sinus

otak, abses/efusi subdural, gangguan pendengaran

2. Komplikasi jangka panjang: gangguan pertumbuhan dan perkembangan

pada pasien anak, epilepsi

Meningitis Tuberkulosis

Meningitis tuberkulosis termasuk salah satu tuberkulosis

ekstrapulmoner dan merupakan penyakit infeksi susunan saraf pusat (SSP)

subakut dan fokus primer paru. Menurut WHO, (2003) diperkirakan 8 juta orang

terjangkit TBC setiap tahun dan 2 juta meninggal. Pada tahun 1997 diperkirakan

TBC menyebabkan kematian lebih dan 1 juta penduduk di negara-negara Asia.

Riggs (1956) menyatakan bahwa antara 5-10% penderita TBC akan meninggal,

dan 25% akan berlanjut menjadi infeksi. Meningitis TBC lebih sering pada anak

terutama anak usia 0-4 tahun di daerah dengan prevalensi TBC tinggi.

Sebaliknya di daerah dengan prevalensi TBC rendah, meningitis TBC lebih sering

dijumpai pada orang dewasa.

Di Amerika Serikat meningitis TBC ditemukan pada 32% kasus

meningitis dan menurun drastis kurang dari 8% dalam 25 tahun kemudian,

sedangkan di India pada tahun yang sama 60% kasus terjadi pada anak usia 9

bulan - 5 tahun. Berdasarkan data di Departemen Neurologi RS Cipto

Mangunkusumo, pasien yang dirawat di IRNA B, tahun 1996 terdapat 15

penderita dengan kasus meningitis dengan kematian 40%, tahun 1997, 13 kasus

dengan kematian 50,85% dan tahun 1998 dengan kematian 46,15% dan 13

74 | B A N U 6

penderita. Di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit DR. M. Djamil Padang,

selama tahun 2007 didapatkan kasus meningitis TBC sebanyak 9 penderita dan

tahun 2008 dengan 7 orang penderita.

Meningitis tuberkulosis merupakan meningitis yang paling banyak

menyebabkan kematian dan kecacatan. Dibandingkan dengan meningitis

bakterialis akut, perjalanan penyakit meningitis TBC lebih lama dan perubahan

atau kelainan dalam cairan serebro spinalis (CSS) tidak begitu hebat. Dewasa ini

terutama di negara-negara maju, penderita meningitis TBC merupakan

komplikasi HIV dengan gejala yang lebih kompleks, seperti infiltrat pulmoner

difus dengan limfadenopati torakal.

Definisi

Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi

tuberkulosis primer. Secara histologis meningitis tuberkulosis merupakan

meningoensefalitis (tuberkulosis) dengan invasi ke selaput dan jaringan susunan

saraf pusat.

Penyebab

Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh Mycobactenum tuberculosis

jenis Hominis, jarang oleh jenis Bovinum atau Aves.

Patofisiologi

Meningitis tuberkulosis selalu terjadi sekunder dari proses

tuberkulosis, fokus primernya berada di luar otak. Fokus primer biasanya di paru-

paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang, sinus nasalis, traktus

gastrointestinal, ginjal, dan sebagainya.

Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada

selaput otak secara hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel

kecil (beberapa milimeter sampai 1 sentimeter) berwarna putih, terdapat pada

permukaan otak, sumsum tulang belakang. Tuberkel tersebut selanjutnya

melunak, pecah dan masuk ke dalam ruang subaraknoid dan ventrikel sehingga

terjadi peradangan difus.

Penyebaran dapat pula terjadi secara perkontinuitatum dari

peradangan organ atau jaringan di daerah selaput otak seperti proses di

nasofaring, pneumonia, endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis sinus

kovernosus, atau spondilitis. Penyebaran kuman dalam ruang subaraknoid

menyebabkan reaksi radang pada piameter dan araknoid, CSS, ruang

subaraknoid dan ventrikel.

Akibat reaksi radang ini maka akan terbentuk eksudat kental,

serofibrinosa dan gelatinosa oleh kuman-kuman serta toksin yang mengandung

sel-sel mononuklear, limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fibroblas.

Eksudat mi tidak terbatas di dalam ruang subarahnoid saja tetapi terutama

75 | B A N U 6

berkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-

pembuluh darah piameter dan menyerang jaringan otak di bawahnya sehingga

proses sebenarnya adalah meningoensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat

akuaduktus, fisura Sylvii, foramen Magendi, foramen Luschka dengan akibatnya

adalah terjadinya hidrosefalus, edema papil akibat terjadinya peningkatan

tekanan intrakramal. Kelainan ini juga terjadi pada pembuluh-pembuluh darah

yang berjalan di dalam ruang subaraknoid berupa kongesti, peradangan dan

penyumbatan sehingga selam arteritis dan flebitis juga mengakibatkan infark

otak terutama pada bagian korteks, medulla oblongata dan ganglia basalis.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis meningitis

tuberkulosis memperlihatkan gejala yang bervariasi dan tidak spesifik. Selama 2-

8 minggu dapat ditemukan malaise anoreksia, demam, nyeri kepala yang

semakin memburuk, perubahan mental, penurunan kesadaran, kejang,

kelumpuhan saraf kranial (II, III, IV, VI, VII, VIII), hemiparese. Pemeriksaan

funduskopi kadang-kadang memperlihatkan tuberkel pada khoroid, dan edema

papil menandakan adanya peninggian tekanan intrakranial.

Perjalanan penyakit Meningitis tuberkulosis memperlihatkan 3 stadium:

Stadium I (Stadium awal)

Gejala prodromal non spesifik yaitu apatis, iritabilitas, nyeri kepala

ringan, malaise, demam. anoreksia, muntah, nyeri abdomen.

Stadium II (Intermediate)

Gejala menjadi jelas ditemukan "drowsy" perubahan mental, tanda

iritasi meningen, kelumpuhan saraf III, IV, VI.

Stadium III (Stadium lanjut)

Penderita mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau

koma, kejang, gerakan involunter, dapat ditemukan hemiparese.

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium rutin pada meningitis tuberkulosis jarang yang khas,

bisa ditemui leukosit meningkat, normal atau rendah dan diff. count

bergeser ke kin kadang-kadang ditemukan hiponatremia akibat

SIADH.

2. Pemeriksaan CSS

3. Terdapat peningkatan tekanan pada lumbal pungsi 40-75% pada anak

dan 50% pada dewasa. Warna jernih atau xantokhrom terdapat

peningkatan protein dan 150-200 mg/dl dan penurunan glukosa pada

cairan serebrosprnal. Terdapat penurunan klonda, ditemukan

76 | B A N U 6

pleiositosis, jumlah sel meningkat biasanya tidak melebihi 300

sel/mm3. Differential count PMN predominan dan limpositik.

4. Mikrobiologi

5. Ditemukan Mycobacterium tuberculosis pada kultur cairan

serebrospmal merupakan baku emas tetapi sangat sulit, lebih dan

90% hasilnya negatif.

6. Polymerase chain reaction (PCR) spesifitas tinggi tetapi sensitivitas

moderat.

7. Pada pemeriksaan foto rontgen toraks ditemukan tuberkulosis aktif

pada paru dan dapat sembuh sampai 50% pada dewasa dan 90%

pada anak-anak.

8. Hasil tes PPD ruberkulin negatif pada 10-15% anak-anak dan 50%

pada dewasa.

9. CT Scan dan MRI

10. Pemeriksaan CT scan dengan kontras ditemukan penebalan meningen

di daerah basal, infark, hidrosefalus, lesi granulomatosa. Pemeriksaan

MRI lebih sensitif dari CT Scan, tetapi spesifitas juga masih terbatas.

Penatalaksanaan

Penderita meningitis tuberkulosis harus dirawat di rumah sakit, di

bagian perawatan intensif. Dengan menentukan diagnosis secepat dan secepat

mungkin pengobatan segera dapat dimulai.

Perawatan Umum

Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan

dengan sungguh-sungguh, antara lam: kebutuhan cairan dan elektrolit,

kebutuhan gizi, posisi penderita, perawatan kandung kemih dan defekasi.

Kebutuhan cairan, elektrolit serta gizi dapat diberikan melalui infus

maupun saluran pipa hidung. Di samping itu, pengobatan untuk hiperpireksia,

gelisah atau kejang juga diberikan.

Pengobatan

Saat ini telah tersedia berbagai macam Tuberkulostatika, pada

umumnya Tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi, dikenal sebagai

triple drugs, ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis Tuberkulostatika

lainnya. Kita harus kritis untuk menilai efektivitas masing-masing obat terutama

dalam hal timbulnya resistensi.

Berikut ini adalah beberapa contoh Tubekulostatika yang dapat diperoleh di

Indonesia:

1. Isoniazid (INH), diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari (pada

anak) dan pada dewasa dengan dosis 400 mg/hari. Efek samping

berupa neuropati, gejala-gejala psikis.

77 | B A N U 6

2. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, pada orang

dewasa dapat diberikan dengan dosis 600 mg/hari dengan dosis

tunggal. Efek samping sering ditemukan pada anak di bawah 5 tahun

dapat menyebabkan neuritis optika, muntah, kelainan darah perifer,

gangguan hepar dan flu-like-symptom.

3. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kg/BB/hari -150 mg/hari

Efek samping dapat menimbulkan neuritis optika.

4. PAS atau Para-Amino-Salicilyc-Acid diberikan dengan dosis 200

mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis dapat diberikan sampai 12 g/hari.

Efek samping dapat menyebabkan gangguan nafsu makan.

5. Streptomisin, diberikan intramuskuler selama lebih kurang 3 bulan.

Dosisnya adalah 30-50 mg/kgBB/hari. Oleh karena bersifat ototoksik

maka harus diberikan dengan hati-hati. Bila perlu pemberian

Streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan

sampai CSS menjadi normal.

6. Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3

mg/ kgBB/hari (dosis normal) 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama

2-4 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari

selama 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid seluruhnya adalah lebih

kurang 3 bulan, apabila diberi deksametason maka obat mi diberikan

secara intravena dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam. Pemberian

deksametason ini terutama bila ada edema otak. Apabila keadaan

membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap sampai 4 mg

setiap 6 jam secara intravena. Pemberian kortikosteroid parenteral

ditujukan untuk mengurangi eksudat di bagian basal mencegah

terjadinya nekrosis, perlengketan dan menghalangi blok spinal.

Pemberian kortikosteroid dapat membahayakan penderita karena

munculnya super infeksi, kemampuan menutupi penyakitnya (masking

effect).

Abses Serebri

Hingga akhir abad ke 19 abses serebri masih merupakan penyakit

yang serius dan fatal. Terapi yang sukses pertama kali dilaporkan oleh Dr JF

Weeds pada tahun 1868 dengan melakukan drainase abses serebri di lobus

frontal dari seorang letnan kAvaleri yang tertembak pada bagian kepalanya.

Selanjutnya Sir William Macewen menjadi pionir operasi abses serebri setelah

pada tahun 1893 telah mempublikasikan monograf berjudul: "Pyogenic infective

disease of the brain and spinal cord".1

Banyak perubahan dalam penatalaksanaan abses serebri.

Perkembangan pesat terjadi setelah ditemukan CT scan tahun 1970 sebagai

78 | B A N U 6

diagnostik baku, rejimen obat antibiotik, serta kemajuan dalam teknik bedah

saraf yang dilakukan lebih awal telah berdampak pada perbaikan prognosis

penyakit.2'3

Definisi

Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai

sebagai serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus

yang dikelilingi oleh kapsul.4-7

Epidemiologi

Di Indonesia belum ada data pasti, namun di Amerika Serikat

dilaporkan sekitar 1500-2500 kasus abses serebri per tahun.8 Prevalensi

diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000 orang/tahun. Jumlah penderita pria lebih banyak

dan pada wanita, yaitu dengan perbandingan 2-3:1.1,9

Dengan perkembangan pelayanan vaksinasi, pengobatan pada infeksi

pediatri, serta pandemi AIDS, terjadi pergeseran prevalensi ke usia dekade 3-5

kehidupan.3,10,11

Patogenesis

Mekanisme kuman masuk ke otak melalui beberapa cara;3,8,12,13,14,15

1. Perluasan langsung dan kontak fokus infeksi (25-50%); berasal dan sinus,

gigi, telinga tengah, atau mastoid. Akses menuju vena drainase otak melalui

vena emissari berkatup yang menjadi drain regio ini.

2. Hematogen (30%); berasal dan fokus infeksi jauh seperti endokarditis

bakterial, infeksi primer paru dan pleura. Sering menghasilkan muhipel

abses serebri.

3. Setelah trauma kepala maupun tindakan bedah sarat yang mengenai dura

dan leptomening

4. Kriptogenik (hingga 30%); tidak ditemukan jelas sumber infeksinya.

Etiologi

Banyak organisme dapat menjadi penyebab abses serebri, tergantung pada

lokasi masuknya infeksi.

Infeksi oportunistik meningkatkan penyebab abses serebri pada

pasien dengan transplantasi organ, HIY imunodefisiensi. Organisme

tersebut: Toxoplosma gondii dan Nocardia, Aspergillus, serta

Candida.12,13,17

Faktor risiko predisposisi lain, seperti: penggunaan jalur intravena,

kelainan jantung, diabetes, steroid kronis, alkoholik dan neoplasma. 3,8,10

79 | B A N U 6

Bila sumber infeksi tidak jelas, maka dapat diisolasi flora dan kuman

anaerob saluran napas atas.

Gejala Klinis

Manifestasi klinis abses serebri bervariasi tergantung pada tingkat

penyakit, virulensi penyebab infeksi, status imun pasien, lokasi abses, jumlah lesi,

dan ada tidaknya meningitis atau ventikulitis. 18,19

Manifestasi klinis abses serebri

dapat terbagi dalam 3 kelompok. 3,10,13,20

1. Sistemik: demam subfebril, kurang dari 50% kasus.

2. Serebral umum: sering dikaitkan dengan peningkatan TIK, yaitu:

a. Nyeri kepala kronis progresif (> 50%)

b. Mual, muntah

c. Penurunan kesadaran

d. Papil edema

3. Serebral fokal:

a. Kejang, sering general (40%)

b. Perubahan status mental (50%)

c. Defisit neurologi fokal motorik, sensorik, dan nervus kranial

(50%)

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium 1,3,21,38,

Leukositis PMN, peningkatan LED

Kultur darah positif hanya pada 30% kasus, kultur dari jaringan lain

yang diduga sebagai fokus.

Kultur terhadap hasil operasi abses menunjukkan 40% negatif,

mungkin disebabkan pemberian antibiotika sebelumnya.22

Pungsi lumbal tidak dianjurkan, hasil kurang spesifik, bahaya herniasi

2. Imajing

CT scan (tanpa dan dengan kontras): pada fase serebritis dijumpai lesi

densitas rendah batas iregular, setelah terbentuk kapsul tebal akan

didapati "ring enhancement".

MRI lebih sensitif, terutama pada fase awal infeksi dan lesi di daerah

fosa posterior.

3. Penunjang lain:

EEG: abnormalitas EEC di lokasi lesi berupa gelombang lambat

kontinu

Diagnosis

Diagnosis abses serebri ditegakkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik

serta pemeriksaan penunjang. Pencitraan otak merupakan gold standard

diagnosis.

80 | B A N U 6

Penatalaksanaan

Penanganan abses serebri harus dilakukan segera, meliputi

penggunaan antibiotika yang sesuai, tindakan bedah (drainase atau eksisi), atasi

edema serebri dan pengobatan infeksi primer lokal. Secara umum pemilihan

rejimen antibiotika empirik sebagai pengobatan first line abses serebri

didasarkan atas sumber infeksi: 24

Perluasan langsung dari sinus, gigi, telinga tengah: Penicillin G +

Metronidazole + sefalospurin gen III ^ Penyebaran via hematogen

atau trauma penetrasi kepala: Nafcillin + metromdazole +

sefalospurin gen III

Pos operasi: Vancomisin (untuk MRSA) + seftasidim atau sefepim

(Pseudmnonas)

Tidak dijumpai faktor predisposisi: Metronidazol + vancomisin +

sefalosporin gen III

Tindakan bedah drainase atau eksisi pada abses serebri diindikasikan untu:26

Lesi dengan diameter > 2,5 cm

Terdapat efek massa yang signifikan ^ Lesi dekat dengan ventrikel

Kondisi neurologi memburuk

Setelah terapi 2 minggu abses membesar atau setelah 4 minggu ukuran

abses tak mengecil.

Terapi medikamentosa saja tanpa tindakan operatif dipertimbangkan pada

kondisi seperti:3,24,27

Abses tunggal, ukuran kurang dari 2 cm

Abses multipel atau yang lokasinya sulit dijangkau

Keadaan kritis, pada stadium akhir

Pengobatan abses serebri biasanya merupakan kombinasi antara

pembedahan dan medikamentosa untuk eradikasi organisme invasif.22

Lama

pengobatan antibiotika tergantung pada kondisi klinis pasien, namun biasanya

diberikan intravena selama 6-8 minggu dilanjutkan dengan per oral 4—8

minggu untuk cegah relap.3,8,17,28

CT scan kepala ulang dilakukan untuk melihat

respon terapi.

Kortikosteroid penggunaannya masih kontrovesial. Efek anti-inflamasi

steroid dapat menurunkan edema serebi dan TIK namun steroid juga

menyebabkan penurunan penetrasi antibiotika dan memperlambat

pembentukan kapsul. Mereka yang menggunakan steroid terutama untuk

indikasi edema serebri masif vane mengancam terjadinya herniasi.10,24

Laporan studi dengan jumlah kasus kecil menunjukkan bahwa terapi

oksigen hiperbarik pada awal pengobatan abses serebri akan memperpendek

lama waktu pemberian antibiotika.29,30

81 | B A N U 6

Di bawah ini akan disajikan beberapa tabel mengenai penyebab status

epileptikus pada infeksi sistem saraf pusat dan interaksi obat anti epilepsi

dengan antibiotik.

Tabel 2. Penyebab Status Epileptikus pada Infeksi Sistem Saraf Pusat

Tabel 3. Interaksi antara obat anti epilepsi dengan antibiotik

Kelas

Antibiotik

Obat Interaksi Komentar

Makrolid,

seperti

Eritromisin,

claritomisin,

telitromisin

Carbamazepin Meningkatkan konsentrasi plasma

Carbamazepin pada pemberian

Claritromisin dan eritromisin

Phenytoin Meningkatkan konsentrasi plasma

Phenytoin pada pemberian Claritromisin

82 | B A N U 6

dan eritromisin

Quinolon,

seperti

Ciprofloxacin,

Levofloxacin,

Moxifloxacin

OAE Dapat menurunkan ambang kejang

Umumnya obat anti epilepsi yang enzyme inducer seperti pada OAE

generasi 1, sehingga harus berhati-hati pada pemakaian antibiotik yang bersifat

enzyme inducer.

Kesimpulan

Tidak tertutup kemungkinan banyak pasien dengan infeksi intrakranial

akan mengalami kejang sehingga pemilihan obat anti kejang pada pasien harus

cermat dengan memperhatikan:

1. Sebaiknya diindetifikasi interaksi antara obat anti epilepsi itu sendiri

2. Perlu diperhatikan interaksi antara obat anti epilepsi yang diberikan

dengan obat antibiotik yang diberikan pada pasien.

3. Edukasi pasien mengenai efek samping obat anti kejang

4. Pada pasien dengan kerusakan multi organ handaknya diperhatikan

mengenai metabolisme dan eksresi dari obat anti kejang dan perlu

penyesuaian dengan farmakokinetik dengan obat antibiotik.

Daftar Pustaka

1. Durand ML, Calderwood SB, Weber DJ, Miller SI, Southwick FS, Caviness VS,

Jr. et al. Acute bacterial meningitis in adults. A review of 493 episodes.

N.Engl.J.Med. 1993; 328(1): 21-8.

2. Greenberg MS. Handbook of Neurosurgery, 5th Ed. Thieme, New York, 2001.

P. 211-6.

3. GilroyJ. Infectious Disease. In: Basic Neurology, 3rd Ed. McGraw-Hill, New

York, 1991, p. 432-9.

4. Kaplan SL, Smith EO. Wills C. Feigin RD. Association between preadmission

oral antibiotic therapy and cerebrospinal fluid findings and sequelae caused

by Haemophilias influenzae type b meningitis. Pediatr.Infect.Dis. 1986; 5(6):

626-32.

5. Kashyap RS, Kainthlal RR Satputel RM, Agarwall NP, Chandakl NH, Purohit HJ

et al. Differential diagnosis of tuberculous meningitis from partially-treated

pyogenic meningitis by cell ELISA. BMC Ncurol. 2006.

6. Roos KL, Tunkel AR, Scheld WM. Acute Bacterial Meningitis. In: Scheld WM.

Whitley RJ. Marra CM. editors. Infections of the Central Nervous System. 3

ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins: 2004. p. 347-422.

83 | B A N U 6

7. Ross KL. 100 maxim's in neurology: meningitis. Arnold-Hodder Headline

Group. London. 1996. p: 6-34.

8. Samuels MA. Manual of Neurologic Therapeutic, 7th Ed. Lippincott Williams

& Wilkins, Philadelphia.

9. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL, Scheld WM,

Whitley RJ. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis.

Clinical Infectious Diseases 2004; 39: 1267-84.

10. Roper AH dan Samuels MA. Infections of the Nervous Sistem (Bacterial,

Fungal, Spirochetal, Parasite) and Sarcoidosis. In: Principles of Neurology1.

Adam and Victor's. 9L1 Ed. New York - Toronto. McGraw Hill Medical 2009:

667-707.

11. Zugcr A. Tuberculosis. In: Scheld WM, Whitley Rj, Marra CM (eds). Infection

of the central nervous sistem, third ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins. 2004 p. 441-157.

12. Koshy AA dan Jay CA. infections of the nervous sistem. In: Bloom JC and

David RB (eds). Clinical Adult Neurology, third ed. New York. Demos

Medical: 341-343.

13. Rom WN. Tuberculosis, second ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins. 2004 p. 445-458.

14. Krieger S. Neurologic infections. In: Frontera JA (ed). Decision making in

Neurocritical Care. New York: Thieme Medical Publishers. Inc. 2009. p. 134-

148.

15. Jannis J. Tata laksana dan Diagnosis Meningitis tuberkulosis. Dalam:

Pertemuan Regional Jakarta - Bandung- Palembang 24-25 Oktober 1998.

16. KNI PERDOSSI. Standar Kompetensi Spesialis Saraf. Jakarta. , 2008

17. Fisher RS, van Emde Boas W, Blume W, et al. Epileptic seizures and epilepsy:

definitions proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and

the International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia 2005; 46: 470–72.

18. Fisher R, Acevedo C, Arzimanoglou A, et al. A practical clinical defi nition of

epilepsy. Epilepsia 2014; 55: 475–82.

19. Fischer RS et al. Revised Classification of seizures. 2017 Accessed at :

https://www.epilepsy.com/article/2016/12/2017-revised-classification-seizures

20. Thurman DJ, Beghi E, Begley CE, et al, and the ILAE Commission on

Epidemiology. Standards for epidemiologic studies and surveillance of

epilepsy. Epilepsia 2011; 52 (suppl 7): 2–26

21. Newton CR, Garcia HH. Epilepsy in poor regions of the world. Lancet 2012;

380: 1193–201

84 | B A N U 6

22. Ngugi AK, Kariuki SM, Bottomley C, Kleinschmidt I, Sander JW, Newton CR.

Incidence of epilepsy: a systematic review and meta-analysis. Neurology

2011; 77: 1005–12.

23. Moshe SL et al. Epilepsy : New Advances. Lancet 2014; 1-15

24. Galanopoulou AS, Moshe SL. Neuronal network mechanisms—sex and

development. In: Faingold C, Blumenthal H, eds. 2013. Neuronal Networks in

Brain Function, CNS Disorders, and Therapeutics. Amsterdam: Elsevier

25. Ono T, Galanopoulou AS. Epilepsy and epileptic syndrome. Adv Exp Med

Biol 2012; 724: 99–113.

26. Kaur H et al. Antiepileptic drugs in development pipeline : a recent update.

eNeurologicalSci. Elsevier 2015;43-46

27. Nice Guideline 137. The epilepsies: The diagnosis and management of the

epilepsies in adults and children in primary and secondary care. National

Institute of Clinical Excellence, London, January 2012 (revised December

2013). http://www.nice.org.uk/nicemedia/live/13635/57779/57779.pdf

28. Glauser T et al. Updated ILAE evidence review of antiepileptic drug efficacy

and effectiveness as initial monotherapy for epileptic seizures and

syndromes. Epilepsia 2013;1-13

29. de Tisi J, Bell GS, Peacock JL, et al. The long-term outcome of adult epilepsy

surgery, patterns of seizure remission, and relapse: a cohort study. Lancet

2011;378: 1388–95.

85 | B A N U 6

METHANOL AND MUSHROOM INTOXICATION

Sri Sutarni

Departemen Neurologi, Subdivisi Neurotoksikologi

FKKMK/ RSU Sardjito-Yogyakrta

Abstract

Background: Intoxication of methanol and mushroom increase time by time.

Methanol intoxication usually cause by mixture with other solvent, mushroom

intoxication by eating and indigestion.

Aim: give an information how did the toxicity happened, etiology,

pathophysiology, clinical manifestation and management for these intoxication

Results: Methanol has low relative toxicity, except mix with another solvent.

Quickly absorb in gastrointestinal tract then metabolized in the liver. Slow

metabolism makes the accumulation in the body with the outcome is metabolic

acidosis. The early clinical manifestation are CNS depression, eye damage, and

the late period may be coma, seizures, parkinson like syndrome, putamen

necrosis and hemorrhage. Mushroom intoxication cause by irritan of

gastrointestinal with nausea, vomiting, abdomen cramps and diare. Morphology

of mushroom are very important to know before cooking. Clinical manifestation

effect also to kidney, liver, clotting of the blood, electrolyte disturbance etc.

Conclusion: prevent from toxicity is very important, clinical manifestation and

management for these condition need to minimalize the sequele effect.

Keywords: methanol, mushroom, intoxication, clinical manifestation,

management

Abstrak

Latar belakang: keracunan methanol dan mushroom meningkat dari waktu ke

waktu. keracunan methanol biasanya karena campuran dengan pelarut lain,

sedangkan keracunan mushroom terjadi saat dimakan atau masuk saluran cerna

Tujuan: memberikan informasi bagaimana mekanisme terjadinya keracunan,

penyebab, patofisilogi dan penanganannya

Hasil: Sebenarnya methanol mempunyai toksisitas derajat rendah kecuali bila

dicampur dengan pelarut lain. Penyerapan cepat dalam saluran pencernaan,

untuk kemudian dimetaboliser di hepar. Metabolisme yang lambat akan

membuat methanol terakumulasi dalam tubuh dengan akibat asidosis metabolik.

Fase awal berakibat depresi sistema saraf pusat, kerusakan mata, dan pada fase

lanjut berakibat koma, kejang, gejala mirip parkinson, kematian jaringan dan

perdarahan putamen. Keracunan mushroom disebabkan oleh rangsangan

kesistema pencernaan dengan manifestasi mual, muntah, kramp perut dan diare.

86 | B A N U 6

Sangat penting mengetahui morfologi jamur yang sehat sebelum dimasak.

Manifestasi klinis yang dijumpai juga berimbas pada ginjal, hati, waktu

penjendalan darah, gangguan elektrolit, dll.

Kesimpulan: pencegahan terhadap keracunan akibat methanol dan mushroom

sangat penting, manifestasi klinis dan managemen pada kondisi keracunan,

meminimaliser gejala sisa yang mungkin terjadi.

Kata kunci: methanol, mushroom, keracunan, manifestasi klinis, tatalaksana

Latar Belakang

Keracunan methanol dan mushroom meningkat dari waktu ke waktu.

Keracunan methanol biasanya akibat oplosan atau dicampur denga pelarut lain

yang membuat makin meningkatkan tingkat keracunannya1, sedangkan

keracunan Mushroom atau jamur terjadi setelah dimakan dan berefek pada

pencernaan.2

Keracunan Methanol

Methanol juga diketahui sebagai Wood Alkohol, biasa digunakan

sebagai pelarut organik yang dapat berakibat keracunan. Methanol sering

digunakan sebagai pelarut dalam industri komersial. Masalah yang timbul dari

negara berkembang muncul pada sosioekonomi rendah.

Etiologi dan patofisiologi keracunan Methanol

Methanol sesungguhnya mempunyai tingkat toksisitas yang relative

rendah. Efek samping yang muncul adalah akibat tertimbunnya asam formiat

sebagai hasil metabolisme methanol. Masalah muncul setelah methanol tertelan,

dengan cepat diserap oleh sistema pencernaan, untuk kemudian dimetabolisme

di hati dan dipecah, seperti gambar berikut: 3,4

Metabolisme Methanol dalam tubuh:

Gambar 1. Metabolisme Methanol dalam tubuh

Langkah pertama1 :

87 | B A N U 6

Methanol akan dipecah menjadi formaldehid oleh enzim alkohol

dehidrogenase, dengan waktu paruh antara 1-2 menit, kemudian metabolisme

akan melambat.

Langkah kedua:

Formaldehid dipecah menjadi asam formiat oleh enzim aldehide

dehidrogenase, selanjutnya mengikat oksigen menjadi CO2 + H2O dengan

tetrahidrofolate.

Langkah ketiga:

Melambatnya metabolisme asam formiat berimbas pada akumulasi

dalam tubuh sehingga terjadi asidosis metabolik.

1.3 Manifestasi klinis keracunan methanol 1,4

Pada stadium awal keracunan Methanol, akan menekan sistem saraf

pusat derajat ringan akibat beda osmolalitas yang timbul sehingga terjadi

asidosis metabolik karena terpecahnya asam formiat dan laktat serta kadar

methanol yang cukup tinggi. Periode laten ini mencapai 12 – 24 jam seperti pada

gambar 2.

Periode berikutnya adalah periode lanjut yang berefek pada timbulnya

vertigo, lethargi, koma, kejang, gejala mirip parkinson, kematian jaringan dan

perdarahan putamen.

Efek pecandu alkohol bisa mengenai otak, serta semua target organ

misalnya : paru, hepar, ginjal, pankreas, kelenjar keringat, organ seksual laki2

dan wanita, mulut, esophagus, otot, jantung, perut besar, usus, jari tangan dan

kaki, sistem saraf serta tulang (gambar 2 berikut).

88 | B A N U 6

Gambar 2. Efek pecandu Alkohol

1.4. Kerusakan pada mata: 1

Terjadi akibat terputusnya fungsi mitokondria saraf mata sehingga

menjadi hiperemia, edema dan atrofi nervus optikus. Asam formiat merusak

mielin saraf mata serta demielinisasi nervus optikus. Kerusakan terbesar terjadi

pada retrolaminar saraf mata, pembengkakan didalam akson dan kerusakan

organela. Retina dapat mengecil atau tidak ada perubahan. Penurunan medan

penglihatan, fotofobia, defek pupil, hiperaemia diskus optikus, edema retina,

skotoma sentral dan buta.

1.5 Saluran pencernaan: Nyeri perut, pankreatitis dan transaminitis

1.6 Ginjal: kerusakan ginjal mendadak dan mioglobulinuria walaupun

jarang

Diagnosis

Penggunaan teknik imaging guna mengetahui kaitan manifestasi klinis

yang dijumpai yang berhubungan dengan topik komplikasi neurologi biasanya

sering terjadi pada kasus dengan asidosis berat, terjadi perubahan EKG, sinus

takikardi, perubahan gelombang T yang tidak spesifik.

Funduskopi: beberapa jam setelah menelan methanol terjadi edema retina di

regio perimakula. Perlu observasi terhadap terjadinya edema optik dan

hiperemia dalam 48 jam.

Gangguan gerak: muncul beberapa minggu setelah terpajan, tremor, coghweel

rigidity, stoop posture, shuffling gait dan hipokinesia.

Terapi1,4

Simptomatis, tergantung manifestasi klinis yang dihadapi. Pemberian

fomepizole atau ethanol lewat enzim alkohol dehidrogenase (AD) sebagai

methanol kompetitor. Inhibisi lebih efektif dalam mengikat serta saturasi enzim

AD dalam hepar dapat memblokir ikatan methanol untuk kemudian diekskresi

ginjal yang kurang toksik dibanding formaldehyd dan asam formiat. Enzim AD

juga merubah ethanol menjadi asetaldehide + natrium bikarbonat yang kurang

toksik dari molekul organiknya, sehingga tidak terjadi asidosis metabolik. Bila

kadar S-Formiat mencapai ≥ 3,7 mmol/liter sudah meracuni mata dan indikasi

untuk hemodialisis /hemofiltrasi untuk menarik methanol dan formiat dari darah,

juga sebagai pencegahan kerusakan mata yang berfungsi antidotum sistemik.

Asam folat dapat mengikat formiat. Obat-obatan simptomatis diberikan bila

muncul gangguan gerak, dapat diberikan obat-obat anti parkinson misalnya

levodopa, amantadine, bromocryptine, dll

89 | B A N U 6

Komplikasi1

Gangguan Visus

Mekanisme toksisitas methanol terhadap mata belum diketahui secara

jelas. Kemungkinan metabolit toksik asam Formiat meracuni saraf mata pada

binatang percobaan dan penelitian pada manusia. Kadar methanol lebih dari 20

mg/ dl mengakibatkan kerusakan mata.

Gangguan Gerak

Gejala seperti Parkinson biasanya muncul setelah keracunan methanol

pada fase lanjut. Asam formiat mempunyai predileksi akumulasi pada

konsentrasi yang tinggi di putamen. Fenomena ini juga belum jelas

patofisiologinya. Asam formiat mungkin mengalami kegagalan dalam jalur

dopaminergik serta meningkatnya aktivitas enzim dopa b hidroksilase. Kekakuan

otot mempunyai respon minim dengan obat-obat tradisional

Prognosis

Kadar asam formiat ≥ 11 – 12 mmol/L berakibat gejala sisa pada sistem

saraf pusat serta mata dengan angka kematian cukup tinggi khususnya bila ≥

17,5 mmol/L. Kadar laktat lebih atau sama dengan 7,0 mmol/L atau pH 6,87

mempunyai prognosis jelek mencapai 90% kematian, dan bila bertahan hidup

dengan gejala sisa yang cukup berat. Managemen gangguan asam basa

tergantung jumlah methanol yang masuk kedalam tubuh. Hal ini akan berimbas

pada berat ringannya metabolik asidosis dan makin berat gangguan asam basa

akan makin jelek prognosisnya. Jumlah akumulasi asam formiat dalam darah

mempunyai hubungan langsung dengan morbiditas dan mortalitas pasien.

Keracunan Mushroom / Jamur5,6

Keracunan Mushroom akan merangsang sistem pencernaan 20 menit

sampai 4 jam setelah makan. Manifestasi klinis yang muncul berupa: mual,

muntah, perut kram serta diare.

Penting mengetahui morfologi jamurnya terlebih dahulu. Pada kondisi

normal jamur segar atau setelah dimasak selama 7 – 10 hari, dilihat warna serta

baunya, mengandung vitamin D, mineral serta protein. Kondisi aman untuk

dimakan, kebersihan, mencegah penyebaran racun lewat lalat atau binatang

pengerat dapat mencegah penyebaran lewat Food borne illness. Dalam kondisi

potongan bertahan selama 5 – 7 hari, dan beku dapat bertahan 6 – 8 bulan.

90 | B A N U 6

Gambar 3. Kondisi mushroom normal

Kondisi Abnormal

Kondisi mushroom beracun berbeda dengan mushroom yang fresh

dan segar. Permukaan biasanya lebih tipis, warna lebih gelap, mudah rusak.

Terjadi perubahan warna saat dipotong. Tudung jamur berwarna kecoklatan.

Ukuran, ketebalan dan baunya berbeda dibanding dengan mushroom normal.

Gambar 4. Kondisi mushroom abnormal

Manifestasi Klinis Intoksikasi Mushroom5

Gejala saluran pencernaan berupa: berak darah, rasa di perut tidak

nyaman, perut kram. Kegagalan fungsi ginjal dan hepar, serta gangguan

penngentalan darah dan efek halusinogen.

Terjadinya rhabdomiolisis akan mengganggu pernafasan, inflamasi di

sel otot jantung menyebabkan miokarditis yang berakhir dengan kematian.

Satu minggu setelah makan jamur munculah asam acronylic sebagai

neurotransmitter glutamat. Kemudian terjadi gangguan elektrolit yang dapat

dilihat dari gambar dibawah ini:

91 | B A N U 6

Gambar 5. Gangguan Elektrolit

Managemen Keracunan Mushroom6:

Hentikan konsumsi mushroom penyebab keracunan makanan serta

segera koreksi elektrolit. Setelah 6 – 24 jam mushroom tertelan, fungsi ginjal dan

hepar masih baik, tetapi setelah 24 jam diperlukan obat anti muntah atau

memuntahkannya bila memungkinkan, hentikan diare dengan memberikan

relaksan otot, atau obat anti diare, serta vitamin K. Bila terjadi kerusakan di ginjal

dan hati, maka akan terjadi perdarahan akibat gangguan faktor pengentalan

darah. Haloperidol diberikan bila terjadi halusinasi serta anti oksidan guna

mencegah efek karsinogen.

Kesimpulan

Prevalensi keracunan methanol serta mushroom meningkat dari waktu

ke waktu. Edukasi pada pasien khususnya untuk generasi muda tentang bahaya

racun methanol. Bagaimana cara mencegah keracunan methanol, efek samping

yang bersifat ireversibel khususnya terhadap mata, kognitif, gangguan fungsi

hepar dan ginjal perlu dicermati. Managemen keracunan methanol dengan

pemberian ethanol, fomepizole, dan hemodialisis.

Untuk racun mushroom dilihat terlebih dahulu warna, kesegaran,

warna dan texturenya. Observasi bila ada efek halusinogenik, kardiogenik, dan

karsinogenik. Jauhkan mushroom dari penderita, awasi gejala pencernaan, ginjal,

hepar, serta waktu pengentalan darah harus diperiksa.

Koreksi Elektrolit dan pengobatan simptomatis perlu dilakukan untuk

keracunan mushroom.

Daftar Pustaka

1. Sutarni S, Gofir A, Malueka RG. Sari Neurotoksikologi cet 1. Pustaka

Cendekia, Yogyakarta. 2007

92 | B A N U 6

2. Koppe LC. Clinical symptomatology and managemen of Mushroom

intoxication poisoning. 1993. http://www.ncbi.nlm.noh.gov .pubmed

3. Korabitha K. Methanol toxicity: background, etiology and

pathophysiology. 2017. http://emedicine medscape.com

4. Kraut JA approved to the treatment of Methanol intoxication

Am.J.Kidney dis 68(1):161-7, 2016

5. Erguven M. Mushroom posoning. Indian J. Pediatr. 2007

http://www.ncbi.nln

6. Horowitz BZ. Mushroom toxicity treatment and management

approach. 2015. http://emedicine medscape.com

93 | B A N U 6

NEUROLOGICAL ASPECT OF DROWNING

I Wayan Widyantara

Neurology Department, Faculty of Medicine

Udayana University/Sanglah Hospital

Denpasar, Bali

1. PENDAHULUAN.

Tenggelam adalah peristiwa perendaman atau perendaman dalam

cairan yang menyebabkan gangguan pernafasan. Definisi ini dibuat pada tahun

2002 oleh The Brain Resuscitation Task Force yang bertemu selama World

Congress on Drowning, karena berbagai definisi tenggelam (Suominen dan

Vahatalo, 2012). Tenggelam, meskipun definisi yang relatif sederhana, ternyata

menjadi penyebab utama ketiga kematian karena kecelakaan di seluruh dunia

dengan 7% dari semua kematian yang terkait dengan cedera, sementara muncul

di urutan kedua di bawah masalah yang sama di antara anak-anak berusia 1

hingga 14 tahun di AS.1

2. EPIDEMIOLOGI.

Pada tahun 1970, tenggelam adalah penyebab kematian ketiga di AS,

yang mengakibatkan 7.860 kematian di AS saja dan sekitar 15.000 kematian di

seluruh dunia.2 Dalam perspektif yang lebih luas, ada 80.000 orang korban

tenggelam dapat bertahan hidup setiap tahun, dengan 6.000 orang meninggal

karenanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sekitar 1 dari 13 orang

meninggal karena tenggelam. Di antara mereka, hampir setengah dari usia

muda (yaitu kurang dari 20 tahun). Bahkan, data epidemiologi yang lebih baru

menunjukkan bahwa tenggelam menjadi penyebab utama kematian pada

kelompok usia 5 hingga 14 tahun.3 Sebuah studi epidemiologi yang melihat ke

dalam profil pasien yang tenggelam di Turki telah menunjukkan bahwa usia rata-

rata anak-anak tenggelam adalah 4,2 tahun dengan balita (0-4 tahun) menjadi

kelompok usia yang paling sering oleh hampir 70%.4 Mungkin insiden tenggelam

yang lebih representatif dapat diperoleh dengan data dari Thailand yang

menunjukkan 107 per 100.000 anak-anak berusia 2 tahun.5 Ada beberapa faktor

risiko independen untuk tenggelam dan ini termasuk usia kurang dari 14 tahun,

jenis kelamin laki-laki, penggunaan alkohol, berada di negara berpenghasilan

rendah, berada di daerah pedesaan, pendidikan rendah, paparan air, perilaku

berisiko, dan kurangnya pengawasan.

3. DEFINISI.

Pada tahun 2002, The Brain Resuscitation Task Force yang bertemu di

World Congress on Drowning telah membentuk consensus ahli mengenai

definisi tenggelam. Dinyatakan bahwa "tenggelam adalah proses mengalami

gangguan pernafasan dari perendaman / pencelupan dalam cairan".6 Oleh

94 | B A N U 6

karena itu, definisi menunjukkan suatu proses daripada definisi "staccato". Ini

berimplikasi pada definisi berikutnya, yaitu jika korban dapat diselamatkan, itu

didefinisikan sebagai tenggelam tidak fatal. Namun, jika korban meninggal

setiap saat sebagai akibat dari tenggelam, maka itu disebut sebagai tenggelam

fatal. Lebih jauh lagi, ahli konsensus juga menghapuskan istilah-istilah yang tidak

spesifik seperti “hampir tenggelam, kering/basah tenggelam, tenggelam

sekunder, atau tenggelam aktif/ pasif”.

4. PATOFISIOLOGI.

Ketika seseorang dalam proses tenggelam, ada batas di mana dia

tidak bisa lagi menahan saluran udara mereka dan akhirnya air akan mengalir ke

mulut, yang akan meludah atau tertelan. Korban kemudian akan mencoba yang

terbaik untuk menahan nafas mereka. Tetapi pada akhirnya, mereka tidak akan

lagi mampu menahan dorongan pernapasan mereka. Ketika mereka akhirnya

mencoba untuk menghirup, sebagian air akan tumpah ke saluran pernapasan

dan memicu batuk. Selama proses ini, kadang-kadang air yang disedot juga

memicu laringospasme, meskipun sebentar, karena mekanisme pelepasan

sebagai konsekuensi dari hipoksia otak. Ketika proses tenggelam terus

berlangsung (atau orang tersebut tidak diselamatkan), air akan terus mengalir

masuk dan hipoksia menyebabkan hilangnya kesadaran, apnea, dan henti

jantung.7 Dinyatakan bahwa proses tenggelam terjadi secara singkat,

berlangsung dari detik ke menit. Hasil akhir dari air yang disedot ke paru-paru

bisa berakibat fatal. Akibatnya menyebabkan disfungsi alveoli yang diinduksi air

(edema paru), kehilangan surfaktan, dan peningkatan permeabilitas membran

alveolar-kapiler, yang semuanya mengakibatkan penurunan komplians paru,

peningkatan area dengan ventilasi yang sangat rendah atau nol hingga perfusi

paru-paru, atelektasis, serta bronkospasme.8

Tenggelam juga memiliki efek mendalam pada otak korban. Hipoksia

akibatnya menyebabkan cedera otak hipoksia atau anoxic dan iskemik (yang

disebut cedera hipoksik/anoksik/HAI). Diketahui bahwa sel-sel otak hanya dapat

bertahan sekitar 4 menit dalam ketiadaan atau berkurangnya suplai oksigen (mis.

anoksia dan hipoksia serebri). Selanjutnya, hipoksia berarti suplai oksigen

berkurang meskipun perfusi darah yang cukup ke organ. Ketika HAI terjadi, ia

bertanggung jawab atas hilangnya kesadaran selama tenggelam dan sekuele

neurologi pada penderita tenggelam yang selamat.

5. DIAGNOSIS.

Dampak neurologis dari tenggelam jelas dapat dikonfirmasi oleh

riwayat tenggelam (yaitu perendaman atau perendaman ke dalam air) dan

manifestasi neurologis berikutnya yang mengikuti. Dilaporkan bahwa korban

yang tenggelam dapat menderita ataksia, disartria, dan tetraplegia, serta

95 | B A N U 6

gangguan memori, dan defisit visuospasial.9 Bahkan, temuan yang paling umum

pada kasus berat HAI yang diinduksi tenggelam terdiri dari kombinasi memori

dan defisit motorik dengan gangguan fungsi eksekutif,10

dan defisit lain yang

kurang umum termasuk kelancaran semantic verbal panjang dan pendek, serta

pembelajaran verbal bila dibandingkan dengan kasus-kasus HAI akibat gagal

napas.11 Pada korban tenggelam anak, gangguan neurologis yang dilaporkan

berupa defisit motorik seperti gangguan keterampilan motorik halus serta

memori dan defisit eksekutif, meskipun jarang.12,13

Studi terbaru juga menggabungkan beberapa modalitas pencitraan

untuk konfirmasi prognostik. Selanjutnya, seperti yang dinyatakan sebelumnya,

bagian otak yang sering cedera akibat tenggelam adalah ganglia basalis,14

hipokampus,15

dan korteks serebri oksipital dan parietal. Sebagai contoh, MRI

dapat menunjukkan pola karakteristik hiperintensitas sinyal, bergantung pada

area yang terpengaruh (misalnya ganglia basalis, hipokampus, oksipital, atau

korteks parietal).16,17

Selain itu, kepala MRI atau CT scan juga mampu

menunjukkan edema otak (meskipun dalam kasus ini, MRI lebih andal, karena itu

lebih umum digunakan).17

Sebuah penelitian membandingkan hasil MRI struktural dan

fungsional dan pemeriksaan neuropsikologi dari orang yang selamat kronis

dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Studi ini tidak menemukan perbedaan

antara kelompok yang selamat dan kelompok kontrol dalam hal penilaian

neuropsikologis, dan MRI struktural. Namun, fMRI menunjukkan peningkatan

respon otak di area motorik (putamen kiri dan insula), dan fungsi memori

(kuneus kiri dan girus lingualis) di antara yang selamat. Para peneliti

menyimpulkan bahwa perubahan otak fungsional di area motorik dan visual

dapat menandakan kapasitas otak berkurang tanpa adanya perubahan struktural

dan neurobehavioral. Selanjutnya, ketika korban tenggelam diberikan tugas

motorik, putamen kiri lebih jelas mengalami aktivasi jika dibandingkan dengan

kontrol, menunjukkan bahwa area ini mungkin bertanggung jawab untuk

adaptasi di area klasik perekrutan dari jaringan area motor. Bahkan, putamen

lebih aktif menjalankan fungsi motorik pada populasi lansia, sejalan dengan

penurunan kinerja yang diamati terlihat di antara korban yang tenggelam.18

Sementara itu, pemeriksaan pendukung yang relatif sederhana seperti

EEG, terutama secara berkelanjutan sangat bermanfaat dalam memprediksi hasil

klinis korban yang tenggelam.13

Misalnya, tanggapan terhadap rangsangan

pendengaran dan nyeri merupakan petunjuk prognostik yang penting daripada

EEG dominan tunggal.19

Selain itu, burst atau generalized suppression, status

epileptikus, atau non-reaktif. Selain itu, somatosensory evoked potential juga

dapat digunakan dalam prognostikasi karena tidak dipengaruhi sedasi dan

96 | B A N U 6

gangguan metabolik bila dibandingkan dengan EEG, meskipun dengan tingkat

akurasi yang lebih rendah.

Dalam hal evaluasi laboratorium, beberapa penanda dapat berguna

dalam membantu diagnosis dan masalah prognosis. Misalnya, asidosis laktat

berat dan hiperglikemia yang sering ditemukan pada korban dengan waktu

perendaman dan resusitasi yang lama, maka dapat digunakan sebagai pertanda

untuk prognosis yang buruk, kecuali bila ditemukan pada anak-anak hipotermik

yang tenggelam dalam air dingin.20

6. TATALAKSANA.

Resusitasi awal melibatkan menempatkan korban dalam posisi

terlentang dengan kepala dan tubuh pada tingkat yang sama. Jika korban masih

aktif bernapas dalam kondisi tidak sadar, maka korban harus ditempatkan dalam

posisi dekubitus lateral. Resusitasi jantung-paru (RJP) harus dimulai segera.

Diketahui bahwa tenggelam dapat menyebabkan pola napas gasping atau

apnea ketika jantung masih berdetak. Dalam hal ini, ventilasi tanpa kompresi

dada cukup untuk resusitasi. Selain itu, henti jantung ketika terjadi pada korban

tenggelam, cenderung karena kurangnya suplai oksigen. Oleh karena itu, RJP

dengan ABC relatif terhadap urutan CAB dianjurkan. European Resusciation

Council merekomendasikan lima langkah resusitasi pernapasan, bukan dua

karena ventilasi awal lebih sulit dicapai karena air yang terperangkap di dalam

alveoli menghambat difusi gas. Secara epidemiologis, tingkat keberhasilan RJP

pada korban tenggelam relatif lebih tinggi dibandingkan henti jantung-

pernapasan akibat kausa lain (misal: serangan jantung), dikarenakan usia mereka

yang biasanya lebih muda.

97 | B A N U 6

Gambar 1. Skenario resusitasi pada penderita tenggelam.21

Selanjutnya, korban harus ditangani dengan tepat oleh tim Advanced

Life Support. Spzilman dkk21

merekomendasikan penggolongan korban ke dalam

6 jenis triase yang berbeda, di mana setiap skenario akan diperlakukan berbeda,

disesuaikan dengan kebutuhan dan prediksi kelangsungan hidup mereka

(gambar 1).

Pemberian oksigen aliran tinggi (hingga 15 liter per menit) dapat

dibenarnkan dalam kondisi akut. Kapanpun korban menunjukkan tanda

kelelahan pernafasan atau eksaserbasi, pasien dapat diintubasi dan dibantu

98 | B A N U 6

ventilasi mekanik. Saturasi oksigen ditargetkan antara 92% dan 96%.

Hemodinamik harus distabilkan dengan infus kristaloid intravena setiap kali

korban menunjukkan gangguan hemodinamik, terlepas dari jenis tenggelam (air

tawar atau air asin). Perawatan lanjutan biasanya dilakukan di ruang perawatan

intensif dimana korban akan dirawat sesuai dengan protokol ARDS. Diketahui

bahwa korban tenggelam pulih lebih cepat dan lebih baik daripada pasien

dengan ARDS karena penyebab lain. Penyapihan ventilasi mekanik dapat dimulai

setelah 24 jam. Salah satu komplikasi paru yang penting untuk ditangani adalah

pneumonia, meskipun hanya 12% pasien korban tenggelam yang pada akhirnya

akan membutuhkan terapi antibiotik untuk pneumonia.22

Dari perspektif neurologis, ketika RJP dilakukan, terdapat risiko

kerusakan neurologis yang serupa. Dalam hal ini, hipotermia terapeutik dapat

memberikan efek protektif. Hipotermia mengurangi konsumsi oksigen otak,

menunda anoksia seluler, dan penurunan ATP yang dependen terhadap susu

tubuh. Diketahui bahwa tingkat konsumsi oksigen otak berkurang sekitar 5%

dengan setiap 1 ℃ penurunan suhu dalam kisaran 37 ℃ hingga 20 ℃.23

Bahkan,

European Resuscitation Council merekomendasikan hipotermia yang diinduksi

selama 12-24 jam untuk anak-anak yang tetap koma setelah resusitasi, meskipun

kurangnya bukti.24

Rekomendasi serupa juga telah diadvokasi untuk korban

dewasa.21

7. PROGNOSIS.

Prognosis setelah tenggelam bervariasi tergantung pada berbagai

faktor. Di antara kelompok pediatrik, 52 dari 54 korban yang tenggelam di air

tawar dengan rata-rata waktu di dalam air sekitar 3,7 menit tidak mengalami

defisit neurologis permanen. Dilaporkan bahwa korban selamat yang memiliki

prognosis baik adalah mereka yang memiliki tingkat intelegensi yang lebih tinggi

daripada populasi umum dan ini mungkin terkait dengan aspek visuomotor yang

lebih superior, sehingga memiliki kesintasan yang lebih baik pula. Namun,

kerusakan otak permanen dapat lebih umum daripada yang diharapkan karena

sekitar 10% dari korban menderita komplikasi neurologis yang berat.25

Rupanya,

hasil klinis bergantung pada resusitasi sedini mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nasrullah M, Muazzam S: Drowning Mortality in the United States, 1999–

2006. J Community Health 2011, 36:69–75.

2. Layon JA, Modell JH. Drowning: update 2009. Anesthesiology 2009; 110-

1390-401.

3. WHO. Injuries and violence prevention: noncommunicable  diseases  and 

mental  health: fact sheet on drowning. Geneva:  World

99 | B A N U 6

Health Organization. 2003.http://www.who.int/violence_injury_prevention/ ot

her_injury/drowning/en/index.html [diakses: 1 Agustus 2018].

4. Taskesen M, Pirinccioglu AG, Yaramis A. Drowning and Near-Drowning in

Children in the Southeast of Turkey. JAEM 2015; 14: 16-8.

5. Linnan  M, Anh  LV, Cuong PV, dkk.  Special series on child injury: child

mortality  and  injury  in  Asia:  survey  results  and  evidence.  Florence,  Italy: 

UNICEF  Innocenti Research Center, 2007.

6. Van Beeck EF, Branche CM, Szpilman  D, Modell  JH,  Bierens  JJLM. A new

definition of  drowning:  towards  documentation  and  prevention  of  a 

global  public  health problem. Bull World Health Organ  2005; 83: 853-6.

7. Grmec  S,  Strnad  M,  Podgorsek  D.  Comparison  of  the  characteristics  and 

outcome among patients suffering from  out-of-hospital primary cardiac

arrest and  drowning victims in cardiac arrest. Int  J  Emerg Med 2009; 2: 7-12.

8. Orlowski JP,  Abulleil MM, Phillips JM. The hemodynamic and cardiovascular

effects of near drowning in hypotonic, isotonic, or hypertonic solutions. Ann

Emerg  Med 1989; 18: 1044-9.

9. Nucci MP, Lukasova K, Sato JR, Jr AE. Brain injury after moderate drowning:

subtle alterations detected by functional magnetic resonance imaging.

Brain Imaging and Behavior 2016: 1-11.

10. Lim C, Alexander MP, LaFleche G, Schnyer DM, Verfaellie M. The

neurological and cognitive sequelae of cardiac arrest. Neurology 2004;

63(10): 1774–8.

11. Garcia-Molina A, Roig-Rovira T, Enseñat-Cantallops A, dkk.

Neuropsychological profile of persons with anoxic brain injury: differences

regarding physiopathological mechanism. Brain Injury 2006; 20(11): 1139–45.

12. Hughes SK, Nilsson DE, Boyer RS, dkk. Neurodevelopmental outcome for

extended cold water drowning: a longitudinal case study. Journal of the

International Neuropsychological Society 2002; 8(4): 588–95.

13. Suominen PK, Sutinen N, Valle S, Olkkola, KT, Lönnqvist T. Neurocognitive

long term follow-up study on drowned chil dren. Resuscitation 2014; 85(8),

1059–64.

14. Nucci-da-Silva MP, Amaro Jr E. A systematic review of magnetic resonance

imaging and spectroscopy in brain injury after drowning. Brain Injury 2009;

23(9): 707–14.

15. Samuelson H, Nekludov M, Levander M. Neuropsychological outcome

following near-drowning in ice water: two adult case studies. Journal of the

International Neuropsychological Society 2008; 14(4): 660–6.

16. Howard RS, Holmes PA, Koutroumanidis MA. Hypoxic-ischaemic brain

injury. Pract Neurol 2011, 11:4–18.

100 | B A N U 6

17. Haque IU, Udassi JP, Zaritsky AL. Outcome following cardiapulmonary

arrest. Pediatr Clin North Am. 2008 55: 969–87.

18. Mathys C, Hoffstaedter F, Caspers J, dkk. An age-related shift of resting-

state functional connectivity of the subthalamic nucleus: a potential

mechanism for compensating motor performance decline in older adults.

Frontiers in Aging Neuroscience 2014; 23(6): 178.

19. Cheliout-Heraut F, Sale-Franque F, Hubert P, Bataille J. Cerebral anoxia in

near-drowning of children. The prognostic value of EEG. Neurophysiol Clin

1991, 21:121–132.

20. Kemp AM, Sibert JR. Outcome in children who nearly drown: a British Isles

study. BMJ 1991, 302: 931–33.

21. Spilzman D, Bierens J JLM, Handley AJ, Orlowski JP. Drowning. N Engl J

Med 2012; 366: 2102-10.

22. Van Berkel M, Bierens JJ, Lie RL, dkk.   Pulmonary oedema, pneumonia and

mortality in submersions victims: a retrospective study in 125 patients.

Intensive Care  Med 1996; 22: 101-7.

23. Polderman KH. Application of therapeutic hypothermia in the ICU:

opportunities  and  pitfalls  of  a  promising  treatment  modality.  Part  1: 

indications  and  evidence. Intensive Care  Med 2004; 30: 556- 75.

24. Biarent D, Bingham R, Eich C, dkk. European resuscitation council guidelines

for resuscitation 2010. Section 6.Paediatric life support. Resuscitation 2010,

8:1364–88.

25. Quan L. Near-drowning. Pediatr Rev 1999; 20: 255-60.

101 | B A N U 6

ENCEPHALOPATHY OR ENCEPHALITIS?

Ni Putu Witari

Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University/Sanglah

Hospital

Denpasar, Bali

Penurunan kesadaran merupakan kedaruratan medis sering

dikonsulkan ke bagian neurologi baik di UGD maupun di ruang perawatan.

Sangat penting untuk mengetahui penyebab penurunan kesadaran karena

beberapa kondisi dapat reversibel sempurna atau fatal bergantung pada cepat

dan tepatnya penganan. Hal ini memerlukan anamnesis, pemeriksaan klinis

neurologis dan penunjang yang tepat (laboratorium, lumbal punksi, imejing, EEG

maupun evoked potential.1,2

Penyebab penurunan kesadaran secara umum terbagi atas dua

kelompok besar yaitu kelainan struktural otak dan penyakit yang mengakibatkan

kelainan otak multifokal, diffus, dan ensefalopati metabolik. Contoh kelainan

struktural otak adalah massa intraserebral supratentorial maupun infra tentorial;

massa epidural, dural, subdural; perdarahan epidural, subdural maupun

intraserebral, stroke, kontusio serebri, dan cedera kepala traumatik lainnya;

penyakit infeksi dan inflamasi yang menimbulkan lesi destruktif seperti ensefalitis

dan ensefalomielitis akut diseminata (acute disseminated

encephalomyelitis/ADEM)1,2

Pada evaluasi awal sangat penting membedakan kedua kelompok ini

dengan cepat melalui anamnesa yang cermat (awitan, keluhan sebelum

penurunan kesadaran, riwayat trauma, riwayat penyakit dan pengobatan

sebelumnya, riwayat pemakaian zat, riwayat bepergian, riwayat kontak dengan

hewan atau pekerjaan tertentu) dan pemeriksaan klinis neurologis yang teliti.

Secara umum pada kelainan struktural, dalam pemeriksaan klinis neurologis akan

ditemukan tanda-tanda kerusakan fokal spesifik melalui evaluasi pola nafas,

evaluasi motorik, respon okulomotorik, respon pupil, dan pemeriksaan

penunjang.1,2

Penyebab disfungsi otak yang difus bisa diakibatkan oleh proses

inflamasi dan non inflamasi jaringan otak. Proses inflamasi jaringan otak ada

yang disebabkan oleh infeksi langsung terhadap jaringan otak (ensefalitis) dan

oleh proses non infeksi seperti ADEM, AHLE yang terjadi karena reaksi imun

setelah suatu infeksi maupun setelah vaksinasi ataupun ensefalitis imun pada

sindroma paraneoplastic neurologik. Proses non inflamasi yang menyebabkan

disfungsi otak difus (ensefalopati) ada akibat infeksi sistemik (tifoid ensefalopati,

102 | B A N U 6

malaria serebral), ada terkait sepsis, ada terkait kelainan metabolik dan

elektrolit.2-4

1. Ensefalitis

Ensefalitis adalah adanya proses peradangan parenkim otak dengan

bukti klinis disfungsi otak. Ini bisa disebabkan oleh infeksi difus (biasanya oleh

virus) dan kondisi non-infektif seperti ADEM, AHLE, NMDA reseptor ensefalitis,

VGKC reseptor ensefalitis, limbik enseflalitis yang kemungkinan merupakan

paraneoplastik syndrome terkait proses imun.2,5

1.1. Ensefalitis

Virus herpes simpleks tipe 1, VZV, EBV, gondok, campak dan

enterovirus bertanggung jawab untuk sebagian besar kasus ensefalitis virus pada

individu imunokompeten.2 Virus menghancurkan jaringan dengan invasi

langsung dan sebagai akibat dari respon imun terhadapnya. Mereka lebih lanjut

dapat merusak fungsi neurologis akibat racun yang dihasilkan serta akibat sitokin

dan prostaglandin yang hadir karena menanggapi adanya infeksi yang

mengganggu fungsi neuron.1

Meskipun bakteri, jamur, dan parasit dapat menyerang otak

(encephalitis) dengan atau tanpa keterlibatan meninges (meningoencephalitis),

mereka cenderung membentuk infeksi lokal. Meskipun banyak virus dapat

menyebabkan ensefalitis, termasuk sejumlah virus nyamuk dengan variasi

regional dalam prevalensi, sejauh ini penyebab paling umum dan serius dari

sporadis ensefalitis adalah tipe herpes simpleks I, selain HSV dan enterovirus.1,2

Pemeriksaan rutin LCS tidak terlalu membantu. Biasanya ada

pleocytosis dengan jumlah sebanyak 100 sel dan konsentrasi protein rata-rata

100 mg / dL. Eritrosit mungkin atau mungkin tidak ada. Sebanyak 10% pasien

mungkin memiliki pemeriksaan LCS normal ketika awal masuk. Namun, deteksi

PCR virus herpes simplex di LCS sangat membantu diagnostik. EEG dapat

membantu jika menunjukkan perlambatan atau aktivitas epileptiform yang

timbul dari lobus temporal. CT dan MRI sangat membantu, menunjukkan edema

dan kemudian destruksi terutama di lobus temporal dan frontal, dan sering di

korteks insular. Kerusakan awalnya bisa unilateral tetapi biasanya dengan cepat

menjadi bilateral. Diagnosis banding mencakup bentuk-bentuk lain dari

ensefalitis termasuk bakteri dan virus, dan bahkan astrocytomas di lobus

temporal medial, yang mungkin muncul dengan kejang dan lesi densitas rendah

yang halus.1,2,6

Tanda-tanda tambahan mungkin termasuk gangguan otonom dan

hipotalamus, diabetes insipidus dan SIADH. Gejala dan manifestasi klinis bukan

merupakan petunjuk diagnostik yang dapat diandalkan untuk mengidentifikasi

penyebab. Demikian juga, perjalanan penyakit dan keparahannya tergantung

103 | B A N U 6

pada host dan faktor-faktor lain seperti kekebalan dan usia. Secara umum,

pasien sangat muda dan sangat tua menunjukkan mnaifestasi klinis lebih berat.2,6

Pencitraan, punksi lumbal dan pemeriksaan LCS rutin serta EEG akan membantu

penegakan diagnosis sementara pemeriksaan spesifik terhadap kemungkinan

patogen penyebab (PCR, antibodi spesifik, kultur, pengecatan) akan sangat

membantu menegakkan kuman penyebab.1,6

1.2. Ensefalitis akibat Respon Imum

ADEM adalah kelainan demielinasi inflamasi sistem saraf pusat,

sebagian besar monophasic, terjadi terutama pada anak-anak dan infant.

Umumnya terjadi paska infeksi (terutama virus) dan vaksinasi. Paska infeksi virus

yg dihubungkan dengan ADEM antara lain Measles, Mumps, Rubella, Varicella,

Influenza A or B, Rocky Mountain spotted fever, HIV, HTLV-1, Hepatitis A or B,

Herpes simplex, Human herpes virus 6, Epstein-Barr, Cytomegalovirus, Vaccinia

dan Coxsackie. Sedangkan paska infeksi bakteri yang dihubungkan dengan

ADEM antara lain paska infeksi Mycoplasma, Leptospira, Chlamydia, Legionella,

Borrelia, Campylobacter dan Streptococcus. Vaksinasi yang dilaporkan

berhubungan dengan ADEM adalah Rabies, Diphtheria–tetanus–polio, Smallpox,

Measles, Japanese B encephalitis dan Hog.3,5,7

Klinis neurologis ADEM bervariasi, terdapat manifestasi fokal dan

global, onset cepat, perkembangan dalam jam dan mencapai puncak dalam

beberapa hari. Dapat dijumpai meningismus, sakit kepala, dan demam. Kejang

lebih sering pada ADEM pascainfeksi daripada setelah vaksin. Kesadaran dapat

menurun hingga koma. Gejala psikosis dapat terjadi. Gejala fokal sangat

heterogen dan tergantung lokasi dan derajat inflammatory–demyelinating

process pada CNS. Defisit multifokal merupakan kombinasi lesi pyramidal dan

serebelum. Sistem saraf perifer dapat juga terlibat terutama pada ADEM paska

vaksinasi Rabies.3,5,7

Leucoencephalomyelitis haemorrhagic akut (AHLE) sangat jarang,

lebih berat (sering fatal) dari ADEM yang mungkin mewakili gradien keparahan

penyakit yang sama. Analisis cairan serebrospinal (CSF) didapatkan tekanan

intrakranial meningkat dan reaksi seluler pleomorfik dengan limfosit, neutrofil,

dan sejumlah besar eritrosit, yang mencerminkan proses mikro-haemorrhagik.3,5,7

Ensefalitis yang terkait paraneoplastik neurologi sindroma (PNS)

sangat jarang. Di ataranya adalah ensefalitis anti NMDA reseptor dan voltage

gate kalium channel encephalitis yang menyebabkan ensefalitis limbik, maupun

PNS ensefalomyelitis. Patogenesis belum seluruhnya diketahui, namun diyakini

sebagai gangguan akibat immune-mediated. Bukti yang mendukung hal ini

adalah adanya antibodi terhadap antigen kanker sekaligus terhadap sel saraf

normal. Tumor secara ektopik mengekspresikan antigen yang biasanya secara

104 | B A N U 6

eksklusif diekspresi hanya pada sistem saraf. Struktur antigen dalam tumor

identik dengan struktur antigen saraf normal yang oleh sistem kekebalan tubuh

dianggap sebagai benda asing, yang menyebabkan terbentuknya antibodi

paraneoplastik.8,9

Kecurigaan yang menunjuk ke arah PNS, disamping adanya 'sindrom

klasik' seperti ensefalitis limbik yang sering disertai gejala psikiatrik, kejang dan

gerak involunter, adalah perjalanan klinis subakut dan progresif, mengenai

berbagai area SSP dan atau perifer dan adanya faktor risiko tumor yang tinggi

pada individu (misalnya merokok, penurunan berat badan, dll.). Langkah

diagnosis pada dugaan PNS adalah membuktikan bahwa sindroma tersebut

imune mediated dan menyingkirkan diagnosis deferensial yang mungkin

mendasari (8,9).

2. Ensefalopati

Ensefalopati menurut Collins Dictionary of Medicine didefinisikan

sebagai setiap gangguan degeneratif atau non-inflamasi lainnya yang

mempengaruhi otak secara luas. Menurut Chaudhuri, Ensefalopati adalah

disfungsi otak non inflammatory yang difus. Penyebab ensefalopati sangat luas

dan beragam meliputi masalah metabolik, toksik bahan eksogen maupun

endogen, juga gangguan elektrolit. Ensefalopati dapat tampil dalam berbagai

spektrum klinis dari ringan sampai berat dengan ancaman nyawa; dapat berupa

gangguan atensi, memori, perubahan personalitas hingga stupor atau koma.

Terminologi ensefalopati sering didahului berbagai istilah yang merujuk pada

kondisi spesifik yang menjadi penyebabnya. Berikut berbagai penyebab

penurunan kesadaran yang bersifat multifokal, difus dan penyakit metabolik

yang menyebabkan stupor dan koma.1,4

2.1. Ensefalopati terkait infeksi sistemik

Pada malaria serebral, ensefalopati terjadi akibat sekuestrasi eritrosit

yang terinfeksi parasit, mempersempit lumen vaskular dan mempengaruhi

mikrosirkulasi organ vital termasuk otak, suplay nutrisi ke otak berkurang.

Penyumbatan microvessel ini juga merusak BBB akibat hipertensi lokal yang

merusak tight junction. Selain itu deformabilitas eritrosit yang terinfeksi parasit

maupun yang tidak terinfeksi sangat berkurang, eritrosit menjadi kaku terutama

saat melewati mikrovaskular. Kesemuanya bersinergi menyebabkan hipoksia

dengan asidosis laktik, disfungsi organ dan kematian. Faktor lainnya juga

berperan seperti adanya kejang, asidosis atau hipoglikemia.10,11

Pada demam Typhoid, dehidrasi berat terkait penurunan asupan oral

dan meningkatnya insensibible water loss menyebabkan gangguan perfusi

jaringan termasuk otak, bertanggung jawab pada terjadinya ensefalopati tifoid.

105 | B A N U 6

Selain ensefalopati, tifoid juga dilaporkan menyebabkan inflamasi non infeksi

pada jaringan otak akibat proses imun berupa ADEM.12

2.2. Ensefalopati Metabolik

Setiap pasien dengan koma metabolik memiliki gambaran klinis

berbeda, tergantung penyakit kausatifnya, kedalaman koma, dan komplikasi

yang diberikan oleh penyakit komorbid atau pengobatan mereka. Diagnosis

ditegakkan dengan mengeksklusi kemungkinan kelainan struktural dan juga

etiologi lainnya (gangguan elektrolit, endokrin ataupun intoksikasi). Karenanya

pasien yang dicurigai mengalami ensefalopati metabolik menjalani serangkaian

pemeriksaan klinis, anamnesa cermat, pemeriksaan imaging (CT atau MRI)

maupun EEG. Pasien dengan ensefalopati metabolik tidak memperlihatkan

kelainan spesifik pada pencitraan.1,13

Pasien ensefalopati metabolik memiliki tanda-tanda motorik abnormal

bilateral seperti tremor, mioklonus, dan, terutama, asteriks. Rekaman EEG terjadi

perlambatan difus, tidak ada kelainan fokal. Pasien dengan penyakit struktural,

memperlihatkan tanda-tanda motorik fokal abnormal atau unilateral. EEG

mungkin lambat, tetapi sebagai tambahan pada lesi supratental, ditemukan

tanda proses fokal. Akhirnya, ensefalopati metabolik berbeda lesi struktural

dalam hal kombinasi gejala dan evolusi gejala. Penyakit metabolik membebani

berbagai level neuraxis secara simultan. Perburukan klinis menurut pola

rostrocaudal tidak terjadi seperti yang dapat kita lihat pada penurunan

kesadaran akibat lesi struktural supratentorial.1,13

2.3. Septik Ensefalopati

Septik ensefalopati merupakan sindroma multifaktorial, akibat

disfungsi serebral difus yang diinduksi respon sistemik terhadap infeksi, tidak ada

bukti klinis dan laboratorium adanya infeksi langsung pada otak dan juga tidak

disebabkan tipe ensefalopati lainnya seperti ensefalopati hepatik maupun

uremik. Spektrum klinis dapat hanya berupa gangguan atensi, disorientasi,

agitasi, hingga koma. Meskipun tidak ada invasi ataupun infeksi langsung pada

CNS, paca septik ensefalopati dapat dijumpai abnormalitas EEG, SSEP,

peningkatan biomarker seperti neuron- specific enolase, S-100 𝛽 protein. Tak

ada laboratorium maupun imaging spesifik untuk septik ensefalopati dan

diagnosis septik ensefalopati merupakan diagnosis eksklusi yang hanya dapat

ditegakkan setelah menyingkirkan infeksi, metabolik dan toksis melalui

investigasi dengan penunjang yang tepat. Ensefalopati septik disebabkan

kerusakan langsung pada otak melalui kerusakan mitokondrial, disfungsi

endotel, gangguan neurotransmisi dan gangguan homeostasis calsium pada

jaringan otak.1,4

Ringkasan

106 | B A N U 6

Ensefalitis harus dibedakan dari ensefalopati yang merupakan

gangguan fungsi otak yang bukan karena proses struktural atau peradangan

langsung. Ini dimediasi melalui proses metabolisme dan dapat disebabkan oleh

intoksikasi, obat-obatan, disfungsi organ sistemik (misalnya hati, pankreas) atau

infeksi sistemik.

Daftar Pustaka

1. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum and Posner’s Diagnosis

of Stupor and Coma. 4th Edition. Oxford University Press 2007; 103-

107; 171-173: 194-200.

2. Venkatesan A dan Geocadin RG. Diagnosis and management of acute

encephalitis. A practical approach. Neurology: Clinical Practice 2014;

206-212.

3. Bennetto, Scolding N. Inflamatory/Post Infectious Encephalomyelitis. J

Neurol Neurosurg Psychiatry 2004;75(Suppl I): i22–i28.

4. Chaudhry N dan Duggal AK. Review Article Sepsis Associated

Encephalopathy) Advances in Medicine. 2014. Article ID 762320.

5. Dutra LA dkk. Autoimmune encephalitis: A Review of Diagnosis and

Treatment. Arq Neuropsiquiatr 2018;76(1):41-49.

6. Steinera dkk. Viral encephalitis: a review of diagnostic methods and

guidelines for management. EFNS European Journal of Neurology

2005; 12: 331–48.

7. Adhikari R, Tayal A, Chhetri PK, Pokhrel B. Acute Disseminated

Encephalomyelitis Following Typhoid Fever: A Case Report. Journal of

College of Medical Sciences-Nepal 2013; 9(4): 54-58.

8. Leypoldt F dan Wandinger P. Paraneoplastic neurological syndromes.

British Society for Immunology, Clinical and Experimental Immunology

2013; 175: 336–348.

9. Posner JB. Paraneoplastic Syndromes Involving the Nervous System.

Aminoff’s Neurology and General Medicine, Fifth Edition. 2014.

Elsevier Inc. 563-583.

10. Dondorp AM. Pathophysiology, clinical presentation and treatment of

cerebral malaria. Neurology Asia 2005; 10: 67 – 77

11. Idro R, Jenkins NE, Newton C. Pathogenesis, clinical features, and

neurological outcome of cerebral malaria Review. 2005 4(12):827-40.

12. Daniel T, Leung dkk. Encephalopathy in Patients with Salmonella

enterica Serotype Typhi Bacteremia Presenting to a Diarrheal Hospital

in Dhaka, Bangladesh. Am. J. Trop. Med. Hyg. 2012; 86(4): 698-702.

107 | B A N U 6

13. Sasap MN, Worthley LIG. Neurologic Complications of Critical Illness:

Part I. Altered States of Consciousness and Metabolic

Encephalopathies. Critical Care and Resuscitation 2002; 4: 119-132.

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

JAPANESE ENCEPHALITIS

I Gusti Ngurah Made Suwarba

Departemen Pediatri Divisi Neuropediatri RSUP Sanglah

Denpasar/FK Universitas Udayana

Japanese ensefalitis (JE) merupakan infeksi pada susunan saraf pusat

yang disebabkan oleh virus Japanese Ensefalitis dan ditularkan oleh nyamuk.

Siklus hidup JEV melibatkan babi sebagai reservoir/amplifying host, unggas air

(water bird) sebagai karier dan spesies nyamuk Culex sebagai vektor. Binatang

lain juga disebut bisa menjadi resorvoir JEV seperti sapi,kuda, kambing, kucing,

tikus, ayam dan kelelawar. Manusia terinfeksi JEV secara kebetulan dan manusia

merupakan dead end host karena titer virus tidak dapat dipertahankan tetap

tinggi pada host manusia.1,2

Japanese ensefalitis merupakan penyebab utama

gangguan neurologi pada anak-anak di negara Asia terutama Asia Timur dan

Asia tenggara teramsuk Indonesia. Angka kematian JE cukup tinggi sekitar 10-

30% dan 30-50% dari yang bertahan hidup mengalami gejala sisa neurologis

dan/atau psikiatri sedang sampai berat dalam jangka panjang.3

Etiologi

Virus JE termasuk Arbovirus grup B, famili Flaviviridae dan genus

Flavivirus. Virus ini berbentuk sferis, diameter 40-60 nm, inti virion terdiri dari

asam ribonukleat (RNA). Virus JE berkembang-biak dalam sel hidup yaitu di

dalam nukleus dan sitoplasma.1 Siklus kehidupan virus JE dapat berlangsung

terus seperti skema pada Gambar 1.10

Sejarah

Virus Japanese Encephalitis pertama kali dikenal pada kuda dan

manusia pada tahun 1871. Epidemi yang berat terjadi di Jepang pada tahun

1924. Pertama kali diisolasi dari jaringan otak manusia dari kasus JE yang

meninggal di Jepang pada tahun 1935. Kemudian pada tahun 1938 virus JE

dapat diisolasi dari nyamuk Culex tritaeniorhyncus yang bertindak sebagai vektor

utama dalam penularan JE. Selanjutnya terjadi penyebaran dan peningkatan

108 | B A N U 6

kasus di India, Nepal, Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan

Australia.4,5

Di Indonesia virus JE dapat diisolasi dari nyamuk Culex pada tahun

1971 dan kemudian dari nyamuk Anopheles. Diagnosis JE pada manusia dapat

ditegakkan tahun 1981 berdasarkan kriteria WHO dan pemeriksaan IAHA

(immune adherence hemaglutination) di Jakarta. Di Bali kasus JE banyak

dilaporkan oleh karena populasi babi sebagai reservoir utama banyak di Bali.6

Epidemiologi

Secara epidemiologi di negara negara Asia Timur infeksi virus JE

terjadi secara epidemi pada musim panas sedangkan di negara negara Asia

Selatan dan Asia tenggara, insiden tertinggi terjadi pada musim hujan. Telah

dilaporkan sebanyak 68.000 kasus JE terjadi setiap tahun yang terutama

menyerang anak di bawah usia 15 tahun terutama di Asia.6,7.

Sebagian besar infeksi virus JE asimptomatik dan hanya 1%

berkembang menjadi penyakit (Unni dkk., 2011).Penelitian surveilen JE pada anak

dibawah 12 tahun telah dilakukan di seluruh rumah sakit di Bali dari Juli 2001

sampai Desember 2003. Angka insiden JE di Bali 8,2 per 100.000 anak per

tahun.3.9

Berdasarkan data Subdit zoonosis Ditjen PPM-PL, DepKes RI dalam

kurun waktu tahun 1993-2016, terlihat bahwa spesimen positif JE pada manusia

ditemukan di 14 propinsi yang tersebar di seluruh Indonesia yaitu Bali, Riau, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Kalimantan

Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Papua.6

Epidemiologi kasus JE dapat dilihat pada Gambar 2.10

Gambar 1. Siklus hidup virus Japanese ensefalitis.10

109 | B A N U 6

Gambar 2. Epidemiologi Japanese Ensefalitis.10

Patogenesis

Patogenesis infeksi virus JE dimulai dari transmisi JEV saat manusia

tergigit nyamuk yang terinfeksi virus JE. Segera setelah Culex yang infektif

menggigit manusia yang rentan, virus JE menuju sistem getah bening sekitar

tempat gigitan nyamuk (kelenjar regional) dan berkembang-biak, kemudian

masuk ke peredaran darah dan menimbulkan viremia pertama. Viremia ini

sangat ringan dan berlangsung singkat. Melalui aliran darah virus menyebar ke

organ tubuh seperti susunan saraf pusat dan organ ekstraneural. Virus

dilepaskan dan masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan viremia kedua

yang bersamaan dengan penyebaran infeksi di jaringan dan menimbulkan gejala

penyakit sistemik.2

Pada jaringan otak, virus berkembang-biak di dalam sel dengan cepat

pada retikulum endoplasma yang kasar serta badan golgi dan setelah itu

menghancurkannya. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitis sel neuron,

glia dan endotel meningkat, mengakibatkan cairan di luar sel mudah masuk ke

dalam sel dan menimbulkan edema sitotoksik. Area otak yang terkena dapat

pada thalamus, ganglia basal, batang otak, serebelum, hipokampus dan korteks

serebral.1,5

Di sisi lain virus JE sebagai virus yang tergolong neurotropik mungkin

dapat menimbulkan kerusakan jaringan saraf dengan jalan seperti apa yang

terjadi pada virus neurotropik lainnya, yaitu setelah masuknya virus ke tubuh

manusia terutama setelah viremia yang kedua, tubuh manusia membentuk

antibodi antivirus. Antibodi ini bereaksi dengan antigen membentuk kompleks

antigen antibodi yang beredar dalam darah dan masuk ke susunan saraf pusat.

Di dalam susunan saraf pusat menimbulkan proses inflamasi dengan akibat

timbulnya edema dan selanjutnya terjadi anoksia, yang pada akhirnya terjadi

kematian sel susunan saraf pusat yang luas.3.5

110 | B A N U 6

Manifestasi Klinis

Gejala klinis JE tidak berbeda secara klinis dengan ensefalitis yang

disebabkan oleh virus lain. Namun bervariasi tergantung dari berat ringannya

kelainan susunan saraf pusat, umur dan lain-lain. Spektrum penyakit dapat

berupa hanya demam disertai nyeri kepala, meningitis aseptik, dan

meningoensefalitis. Masa inkubasi 5-15 hari, setelah itu perjalanan penyakit akan

melalui 4 stadium klinis yaitu:3,5,7

1. Stadium prodromal: berlangsung 2-3 hari dimulai dari keluhan sampai

timbulnya gejala terserangnya susunan saraf pusat. Gejala yang

sangat dominan adalah demam, nyeri kepala. Demam selalu ada dan

tidak mudah diturunkan dengan obat antipiretik. Nyeri kepala

biasanya hebat dan tidak bisa dihilangkan dengan pemberian

analgetik. Gejala lain berupa malaise, anoreksia, keluhan dari traktus

respiratorius seperti batuk, pilek dan keluhan traktus gastrointestinal

seperti mual, muntah dan nyeri di daerah epigastrium. Namun

mungkin saja seorang pasien JE hanya mengalami demam ringan atau

gangguan pernafasan ringan.

2. Stadium akut: dapat berlangsung 3-4 hari, ditandai dengan demam

tinggi yang tidak turun dengan pemberian antipiretik. Demam tetap

tinggi, kontinyu dan lamanya demam berlangsung 7-8 hari sejak

terinfeksi. Timbul gejala tekanan intrakranial meningkat berupa nyeri

kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran dari apatis

hingga koma. Dapat disertai gangguan keseimbangan dan koordinasi,

kelemahan otot-otot, tremor, kekakuan pada wajah (wajah seperti

topeng). Apabila meningen telah terinfeksi dan membengkak maka

pasien akan merasakan nyeri dan kekakuan pada leher. Tanda iritasi

meningen berupa kuku kuduk biasanya timbul 1-3 hari setelah sakit.

Terdapat juga kekakuan otot otot atau kelemahan otot. Kelemahan

otot yang menyeluruh timbul pada minggu ke-2 atau ke-3. Wajah

seperti topeng, tanpa ekspresi, ataksia, tremor kasar, gerakan-gerakan

involunter, kelainan saraf kranial, paresis, refleks tendon dalam

meningkat atau menurun dan refleks patologis babinsky positif. Pada

kasus ringan mulai penyakitnya perlahan-lahan, demam tidak tinggi,

nyeri kepala ringan, demam akan menghilang pada hari ke-6 atau ke-

7 dan kelainan neurologi menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah

mulainya penyakit. Pada kasus berat, awitan penyakit sangat akut,

hiperpireksia, kejang serial sampai status epileptikus, disertai kelainan

neurologik yang progresif. Dapat disertai penyulit kardio-respirasi,

koma dan diakhiri dengan kematian pada hari ke-7 dan ke-10. Pasien

111 | B A N U 6

dapat bertahan hidup dan mengalami perbaikan dalam jangka waktu

yang lama. Kadang-kadang dapat disertai penyulit berupa infeksi

bakteri dan meninggalkan gejala sisa permanen. Tanda yang agak

khas pada JE adalah terjadinya perabahan gejala susunan saraf pusat

yang cepat, misalnya penderita hiperefleksi diikuti dengan hiporefleksi.

Status kesadaran pasien dapat bervariasi dari disorientasi, delirium,

somnolen sampai koma. Dapat disertai oligouria, diare dan bradikardi

relatif. Pada stadium ini pemeriksaan cairan serebrospinal

menunjukkan leukositosis yang pada awalnya didominasi sel PMN

tetapi setelah beberapa hari menjadi limfositosis. Albuminuria sering

ditemukan. Apabila penderita dapat melalui stadium ini, maka demam

akan turun pada hari sakit ke-7 dan gejala akan menghilang pada hari

ke-14. Apabila penderita tidak bisa melalui stadium akut ini, demam

akan tetap tinggi dan gejala memburuk. Pada kasus yang fatal,

perjalanan penyakit berlangsung cepat, penderita mengalami koma

dan meninggal dalam 10 hari.

3. Stadium sub-akut: gejala gangguan susunan saraf pusat berkurang

namun seringkali pasien menghadapi masalah pneumonia ortostatik,

infeksi saluran kemih dan dekubitus sebagai akibat perawatan lama.

Gangguan fungsi saraf dapat menetap, seperti paralisis spastik,

hipotrofi otot, fasikulasi, gangguan saraf kranial dan gangguan

ekstrapiramidal. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat

pemasangan kateter urin.

4. Stadium konvalesens: berlangsung lama dan ditandai dengan

kelemahan, letargi, gangguan koordinasi, tremor dan neurosis. Berat

badan dapat sangat menurun. Stadium ini dimulai saat

menghilangnya inflamasi yaitu pada saat suhu kembali normal. Gejala

neurologik bisa menetap dan cenderung membaik. Bila penyakit JE

berat dan berlangsung lama maka penyembuhan lebih lambat, tidak

jarang sisa gangguan neurologik berlangsung lama. Pasien menjadi

kurus dan kurang gizi. Gejala sisa yang sering dijumpai ialah

gangguan mental berupa emosi tidak stabil, paralisis upper atau lower

motor neuron. Afasia dan psikosis organik jarang dijumpai.

Diagnosis Japanese Ensefalitis

Diagnosis JE ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis,

dan hasil pemeriksaan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan

adanya infeksi oleh virus JEV misalnya: anak tinggal di daerah endemis JE atau

anak tinggal di tempat yang memungkinkan siklus virus JE berlangsung dengan

baik seperti kepadatan Culex yang tinggi, adanya hewan piaraan/ peternakan

112 | B A N U 6

babi, daerah persawahan, atau memasuki musim penghujan. Berikut ini adalah

definisi kasus JE Masa inkubasi infeksi JEV sekitar 5 sampai 14 hari, sebelum

muncul manifestasi klinis. Secara klinis, JE tidak dapat dibedakan dengan

ensefalitis yang disebabkan virus lain.11,12

Pemeriksaan laboratorium

Sampel yang dapat digunakan adalah darah, cairan serebrospinal,

hasil otopsi otak dan vektor.12,13

a. Pemeriksaan darah/serum

Pada pemeriksaan darah akan ditemukan anemia dan leukositosis

ringan, trombositopenia ringan dan peningkatan laju endap darah. Natrium

serum dapat menurun karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak

adekuat.

Sampel serum JE harus diambil dalam 4 hari setelah onset penyakit

jika digunakan untuk isolasi virus dan minimal 5 hari setelah onset jika

untuk pemeriksaan antibodi IgM. Sampel kedua (serum konvalesen) harus

diambil minimal 10-14 hari setelah sampel I untuk pemeriksaan serologi.

b. Pemeriksaan cairan serebrospinal

Pada analisis cairan serebrospinal, tampak jernih sampai opalesens,

tergantung dari jumlah leukosit, pleositosis bervariasi antara 20-5.000/mL.

Pada beberapa hari pertama tampak neutrofil dan limfosit, tetapi setelah itu

tampak limfosit dominan, kadar glukosa normal atau sedikit menurun,

sedangkan kadar protein meningkat 50-100 mg/dL. Cairan serebrospinal

jarang mengandung virus, kecuali pada kasus-kasus berat dan fatal.

c. Uji serologi

Diagnosis baku untuk JE adalah pemeriksaan IgM dan IgG Capture

ELISA (Enzyme Linked Imunno-sorbent Assay) dari serum atau cairan

serebrospinal. Sensitivitasnya mendekati 100%, bila kedua spesimen

tersebut diperiksa. Beberapa reaksi silang dapat timbul dari flavivirus lain

misalnya virus dengue, virus West Nile dan pasca vaksinasi JE dan Yellow

fever. Untuk kepentingan pemeriksaan serologis, serum harus diambil

minimal 5 hari dari onset penyakit, sedangkan cairan serebrospinal diambil

minimal 4 hari setelah onset penyakit.12,13

Uji serologi Immune Adherence Hemaglutination (IAHA),

menggunakan spesimen serum akut dan konvalesen. Uji IAHA dikatakan

positif bila terdapat peningkatan titer antibodi sebesar 4 kali atau lebih.12

Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI), juga menggunakan spesimen serum

akut dan konvalesens. Uji HI dikatakan positif bila titer antibodi serum akut

1/20 atau lebih sedangkan pada spesimen konvalesen meningkat 4 kali atau

lebih. Keunggulan cara ini adalah dapat dilakukan dengan peralatan

113 | B A N U 6

laboratorium sederhana, reagennya mudah didapat, serta biayanya relatif

murah. Kelemahannya adalah tidak dapat membedakan JE dari flavivirus

yang lain seperti virus dengue dan virus West Nile.13

d. Pemeriksaan Pencitraan

Pencitraan susunan saraf pusat dapat mendukung diagnosis.

Pemeriksaan MRI dan CT Scan sering memperlihatkan adanya lesi bilateral

pada thalamus yang disertai perdarahan. Ganglia basalis, putamen, pons,

medula spinalis dan serebelum juga terlihat abnormal.1,5,14

Pengobatan

Sampai sekarang belum ada pengobatan definitif untuk Japanase

ensefalitis. Pengobatan bersifat simtomatis dan suportif, sehingga pencegahan

menjadi sangat penting. Beberapa terapi simtomatik yang lazim dikerjakan

antara lain:2,5,7

a. Menghentikan kejang

Pada saat terjadi kejang harus secepatnya diatasi dengan pemberian

obat anti kejang sesuai dengan tatalaksana kejang akut dan status epileptikus.

Diazepam, Phenobarbital dan Phenytoin dapat digunakan untuk mengatasi

kejang.

b. Menurunkan demam

Di samping menghentikan kejang, demam harus segera diturunkan

oleh karena dapat menyulitkan pengobatan kejang. Untuk menurunkan demam

dapat dilakukan dengan pemberian obat antipiretik seperti parasetamol dan

terapi suportif.

c. Mengurangi edema otak

Manitol hipertonik 20% dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g/kgBB

secara infus intravena dalam 30 menit, dan dapat diulangi tiap 4-6 jam. Manitol

dapat menarik cairan ektravaskular ke dalam pembuluh darah otak. Untuk

meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah balik, anak ditidurkan dalam

posisi netral dengan kepala lebih tinggi 20-30° sehingga dapat membantu

mengurangi tekanan intrakranial.1

Pencegahan dan Pemberantasan

Pencegahan dan pemberantasan JE ditujukan pada manusia, vektor

nyamuk Culex beserta larvanya dan reservoir babi.14,15

Untuk menghindari gigitan nyamuk Culex, perlu tidur memakai kelambu

atau mempergunakan repelen anti nyamuk atau memakai obat pembasmi

nyamuk.11

114 | B A N U 6

Membasmi nyamuk dengan cara konvesinonal, yaitu melakukan

penyemprotan dengan insektisida yang mempunyai efek residu seperti DDT,

malation dan fenitrotion perlu dipertimbangkan.

Memberantas larva nyamuk dengan penggunaan larvasida seperti

fenitrotion dan fention masih sangat efektif membunuh larva.13

Untuk memutuskan mata rantai siklus hidup JEV maka peternakan

babi secara besar-besaran supaya dibangun jauh di luar perumahan penduduk.

Kandang babi dibuat bersih dan bebas nyamuk. Di beberapa negara seperti

Jepang dan Cina babi muda divaksinasi dengan hasil yang sangat memuaskan

dalam menekan kasus JE.11.15

Vaksin JE sebaiknya diberikan kepada setiap orang yang tinggal di

daerah endemis, petugas laboratorium yang terpapar virus JE dan wisatawan

yang berkunjung ke daerah endemis.14

Introduksi vaksin JE di Indonesia dimulai

di Bali pada tahun 2018 dengan sasaran rutin anak umur 9 bulan -15 tahun.13,15

Prognosis

Prognosis JE tergantung dari beberapa faktor diantaranya usia dan

gejala klinis. Jika mendapat penanganan intensif angka mortalitas sebesar 5-10%,

bahkan di negara berkembang angka mortalitas mencapai 35% (Campbell GL,

dkk, 2012). Gejala sisa sedang dan berat ditemukan pada 30 -70% kasus,

umumnya pada anak usia dibawah 10 tahun dan pada bayi akan lebih berat.

Gejala sisa dapat berupa gangguan pada: sistem motorik halus (72%),

kelumpuhan (44%), gerakan abnormal (8%), perilaku agresif (72%), emosi tak

terkontrol (72%), gangguan perhatian (55%), depresi (38%), intelektual abnormal

(72%), retardasi (22%), gangguan fungsi neurologi lain berupa: gangguan

ingatan (46%), afasia (36%), epilepsi (20%), paralisis saraf kranial (16%) dan

kebutaan (2%).7,9

Daftar Pustaka:

1. Bale, JF.Viral infection of the nervous system. Dalam: Swaiman KF,

Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology:

Principles and practice. Edisi ke-5. China: Elsevier Saunders; 2012.

h.1263-90.

2. Unni SK, Ruzek D, Chhatbar C, Mishra R, Johri MK, Singh SK.

Japanese encephalitis virus: from genome to infectome.

Microbes and Infection, 2011, 13: 312-21. Available from:

www.elsevier.com/locate/micinf.

115 | B A N U 6

3. Kari K, Liu W, Gautama K, Mammen MP, Clemens JD, Nisalak A, dkk. A

hospital-based surveillance for Japanese encephalitis in Bali,

Indonesia. BMC medicine; 2006, 4:8. diunduh dari:

http://www.biomedcentral.com/1741-7015/4/8.

4. Erlanger T E, Weiss S, Keiser J, Utzinger J., Wiedenmaye K. Past,

present, and future of Japanese Encephalitis. Emerging Infectious

Disease, 2009, 15:1. Diunduh dari: www.cdc.gov/eid.

5. Saxena SK, Tiwari S, Saxena R, Mathur A, Nair MPN. Japanese

Encephalitis: an emerging and spreading Arbovirosis. 2012. Available

from www.interchopen.com.

6. Kemenkes RI. Japanese Encephalitis Berkolerasi dengan Banyaknya

Area Persawahan Peternakan Babi dan Burung Rawa. 2017. Available

at : http://www.depkes.go.id/article/view/17040400003/japanese-

encephalitis-disease-correlates-with-numbers-of-rice-field-area-pig-

farms-and-wading-birds.html 8 April 2018.

7. Campbell GL, Hills SL, Fischer M, Jacobson JA, Hoke CH, Hombach JM,

dkk. Estimated global incidence of Japanese encephalitis: a systematic

review. Bulletin WHO, 2012. 89:10.

8. Appaiahgari MB, Vrati S. Clinical development of IMOJEV®-a

recombinant Japanese encephalitis chimeric vaccine (JE-CV). Expert

Opin.Biol.Ther, 2012; 12 (9).

9. Suwarba IGN, Andayani AR, Sukrata IW, Sunetra W. Japanese

Encephalitis incidence and its association with the length of stay and

long-term outcome in 2015, Bali-Indonesia.available from:

balimedicaljournal.org.

10. Tiwari S.2012.Japanese Enchepalitis : A Review Of The Indian

Perspective. Department of Microbiology Sanjay Gandhi Post

Graduate Institute of Medical Sciences Uttar Pradesh India.The

Brazilian journal of Infectious Disease;16(6):564-573.

11. WHO. Guideline for prevention and control of Japanese Encephalitis.

2006.

12. Wang H, Liang G.2015. Epidemiology Of Japanese Encephalitis:

Past, Present, and Future prospects. Department of viral

encephalitis, institute for viral Disease Control and Prevention,

Chinese Center for Disease Control and Prevention, Beijing

People’s Republic of China. Therapeutics and Clinical Risk

Management;11:435–448.

13. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Indroduksi Vaksin Japanese

Ensefalitis di Indonesia. 2017.

116 | B A N U 6

14. Daly J, Solomon T. The Immunological basis for immunization series:

modul; 13: Japanese Encephalitis virus. WHO, 2010.

15. WHO.Information Sheet Observed Rate Of Vaccine Reaction

Japanese Enchepalitis Vaccine. 2014. Global Vaccine Safety

Essential Medicines & Health Products 20 Avenue Appia, CH-1211

Geneva 27 Switzerland:1-5.

PEMERIKSAAN NEOROFISIOLOGI PADA PASIEN MORBUS HANSEN

Komang Arimbawa

Departemen Neurologi RSUP Sanglah Denpasar/FK Universitas Udayana

PENDAHULUAN

Morbus Hansen merupakan salah satu penyebab utama neuropati

nontraumatik yang bermanifestasi secara klinis sebagai lesi pada kulit dan saraf

perifer. Gangguan fungsi saraf dapat dilihat dari pemeriksaan konduksi saraf

sebelum munculnya gambaran klinis pada pasien dan adanya gejala-gejala

penyakit. Kerusakan saraf pada lepra bervariasi mulai dari keterlibatan saraf

intradermal pada kulit hingga lesi utama pada saraf perifer ataupun batang saraf

otak. Keterlibatan saraf dapat kita lihat manifestasinya sebagai pembesaran

saraf-saraf superfisial seperti pada aurikular, ulna, median, radialis kutaneus,

peroneus superfisialis, sural, dan tibia posterior yang secara klinis akan terpalpasi

apabila terdapat penebalan. Terkadang keluhan nyeri tekan sering didapatkan

apabila secara bersamaan terdapat neuritis.1 Gangguan saraf sensoris pada lesi

kulit lepra dapat diketahui dari hilangnya sensasi terhadap suhu, perabaan, atau

nyeri. Sebanyak tiga puluh persen serabut saraf sensoris dirusak oleh bakteri

bacillus lepra sebelum menimbulkan gangguan saraf sensoris yang

bermanifestasi secara klinis. Kerusakan saraf pada lepra dapat muncul berupa

117 | B A N U 6

“Silent Neuropathy” tanpa tanda-tanda dan gejala yang jelas ataupun sebagai

penyakit yang bermanifestasi secara klinis seperti kelemahan, atrofi atau

kontraktur. Fenomena sarung tangan dan kaus kaki (glove and stocking pattern)

pada gangguan saraf sensoris terjadi karena kerusakan serabut saraf tipe C yang

memberikan sensasi panas dan dingin, dimana sensasi ini yang paling awal akan

menghilang selama perjalanan penyakit. Setelahnya sensasi raba/sentuhan akan

hilang diikuti dengan hilangnya sensasi nyeri.1,2

TINJAUAN PUSTAKA

Kelainan fungsional pada kecepatan konduksi saraf selalu mendahului

munculnya manisfestasi klinis kerusakan saraf. Penurunan signifikan pada

kecepatan konduksi saraf motorik dapat didapatkan pada saraf normal pasien

lepra. Manfaat dilakukannya evaluasi elektrofisiologi fungsi saraf pada diagnosis

dan penilaian berbagai neuropati sudah dipelajari. Saraf sensoris merupakan

saraf pertama yang akan terlihat mengalami gangguan pada pasien lepra. Oleh

karena itu, untuk mendeteksi lepra secara dini, konduksi saraf sensoris tersebut

perlu dinilai. Neuropati merupakan salah satu komplikasi yang paling sering

terjadi pada pasien lepra yang bermanifestasi pada gangguan sensorik, motorik

ataupun autonom.3 Kemampuan merusak dari inflamasi granulomatosa pada

lepra tuberkuloid sudah banyak diketahui dan menjadi penjelasan dasar

mengenai terjadinya kerusakan saraf pada pasien TT dan BT. Selain itu,

ketidakteraturan dan tingginya infiltrasi kutaneus bakteri pada penyakit lepra

bereplikasi pada saraf pasien-pasien tersebut.4 Mekanisme cedera pada saraf

orang-orang dengan lepra sulit untuk dijelaskan karena pada dasarnya saraf

memiliki kemampuan mempertahankan integritas dasarnya untuk beberapa

waktu dan mampu menjaga fungsinya bahkan ketika dalam kondisi terinfeksi

berat. Evaluasi pemeriksaan elektrofisiologi pada konduksi saraf dinilai dari 3

kriteria seperti kecepatan, amplitudo, dan latensi dari respon yang ditimbulkan.3,4

Epidemiologi

Lepra masih menjadi salah satu neuropati perifer yang paling sering

dapat dicegah dan diterapi. Patomekanisme yang terjadi di dalamnya melibatkan

respon imun granulomatosa kronik yang menginfeksi kulit dan saraf akibat

Mycobacterium leprae yang berada di makrofag dan sel Schwann. Bakteri

tersebut merupakan satu-satunya yang mengganggu proses mielinisasi dan

menyebabkan neuropati perifer. Prevalensi lepra secara global pada akhir kuartal

pertama dari 2015 sebesar 0.31 per 10.000 populasi dengan total kasus baru

sebesar 213.899 yang dilaporkan dari 121 negara. Wilayah Asia Tenggara (South

East Asian Region/SEAR) merupakan penyumbang kasus lepra terbanyak sebesar

72% dari kasus baru global yang sudah dihimpun. Nepal merupakan salah satu

118 | B A N U 6

dari 13 negara endemik lepra terbesar di dunia, dimana ditemukan 3.046 kasus

baru pada tahun 2014.5

Deformitas dan kecacatan merupakan luaran terburuk dari neuropati

perifer pada penyakit lepra dan tujuan yang paling penting dalam

penatalaksanaan lepra adalah mencegah disabilitas yang mungkin terjadi melalui

deteksi awal gangguan saraf. Ketika neuropati perifer pada pasien lepra dideteksi

dan ditatalaksana sejak awal, gangguan primer yang sudah terjadi dapat kembali

menjadi normal. Oleh karena itu, deteksi awal dan tatalaksana yang tepat pada

gangguan fungsi saraf (nerve function impairment/NFI) merupakan parameter

penting pada penyakit lepra.6 Kecacatan Grade 2 baru merupakan sebuah

indikator dalam mendeteksi kasus-kasus lepra yang terlambat. Selain itu, strategi

lepra secara global mentargetkan penurunan dari kecacatan Grade 2 baru

sebesar 35% (2011-2015). Kecacatan Grade 2 secara global sebesar 1.25/1.000.000

populasi dan di SEAR sebesar 0.45/100.000 populasi pada tahun 2014. Di Nepal,

kecacatan Grade 2 terlihat pada 4% kasus baru lepra pada tahun 2014.

Perubahan patologi yang terlihat pada saraf selalu didahului dengan

tahap blokade fungsional dari konduksi impuls saraf. Kegunaan dari pemeriksaan

elektrofisiologi dari fungsi saraf adalah untuk mendiagnosis dan menilai

terjadinya neuropati yang berbeda. Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Brakel dkk, menyatakan bahwa abnormalitas sensorik ulna terdeteksi-

monofilamen didahului oleh konduksi saraf sensorik yang abnormal pada 100%

kasus.7

Pemeriksaan Konduksi Saraf Motorik

Latensi merupakan waktu antara stimulus dan respon yang terjadi.

Pada pemeriksaan saraf motorik, latensi ini termasuk didalamnya adalah waktu

konduksi saraf dan waktu transmisi neuromuskular. Latensi distal diukur dari titik

rangsangan distal hingga ke defleksi pertama dari dasar. Amplitudo dari respon

motorik yang ditimbulkan membawa informasi yang penting. Hal tersebut

tergantung dari jumlah akson yang mengkonduksi impuls dari titik rangsangan

ke otot, jumlah kompleks terminal cabang saraf yang berfungsi dan volume otot.

Latensi proksimal dimulai dari titik rangsangan proksimal dan berakhir pada

defleksi pertama dari dasar. Amplitudo diukur dari dasar hingga ke puncak

negatif. Kecepatan konduksi (conduction velocity/CV) dihitung dengan membagi

panjang segmen saraf antara dua titik rangsangan dengan perbedaan antara

latensi proksimal dan distal. Melalui cara ini, konduksi distal yang lambat dan

setiap perlambatan pada transmisi neuromuskular dapat dieliminasi. Kecepatan

konduksi motorik yang dihitung melalui cara ini dapat mencerminkan konduksi

akson motorik tercepat.8

Pemeriksaan Konduksi Saraf Sensorik

119 | B A N U 6

Pemeriksaan konduksi saraf sensorik didapat dari rangsangan pada

saraf-saraf jari untuk menilai potensial sensorik ortodromik pada daerah yang

lebih proksimal atau rangsangan pada batang saraf untuk menilai potensial

antidromik jari-jari. Latensi merupakan waktu dari rangsangan diberikan hingga

puncak positif pertama dari potensial aksi saraf sensorik (sensory nerve action

potential/SNAP). Waktu terjadinya latensi sesuai dengan diameter serabut

sensorik yang luas dan mampu mengkonduksikan lebih cepat dibandingkan

dengan serabut motorik sebesar 5-10%. Amplitudo SNAP harus diukur dari

puncak positif pertama hingga puncak negatif tertinggi. SNAP tersebut kecil dan

pemerataan sinyal biasanya dibutuhkan. Konduksi saraf sensorik pada saraf

perifer tidak melibatkan transmisi sinaptik, sehingga stimulasi saraf pada satu

tempat sudah cukup untuk menghitung CV. CV sendiri dapat diketahui dengan

membagi panjang segmen saraf dari titik rangsangan hingga ke titik perekaman

dengan latensi puncak positif.8

Peran Pemeriksaan ENMG Pada Morbus Hansen

Lepra adalah salah satu penyebab neuropati yang berat pada negara-

negara berkembang. Diagnosis dari penyakit lepra cukup menantang terutama

untuk lepra neuritis. Pemeriksaan konduksi saraf merupakan modalitas non-

invasif untuk menilai keterlibatan saraf perifer pada penyakit lepra. Pemeriksaan

konduksi memiliki kelebihan yaitu merupakan proses observasi kuantitatif yang

tidak bergantung pada kerja sama pasien atau kesan subyektif dari pengamat.9

Pemeriksaan ini membantu mengevaluasi neuropati perifer untuk menilai

progresivitas penyakit dan memonitor intervensi pengobatan yang telah

diberikan. Kerugian yang ada pada pemeriksaan ini adalah faktor biaya dan

diperlukannya orang yang ahli dalam melakukan pemeriksaan tersebut.

Apabila memungkinkan, pemeriksaan konduksi saraf dasar harus

dilakukan. NCS harus diulang setiap tahunnya pada pasien yang menggunakan

thalidomide jangka panjang, ketika terdapat gejala baru dari neuritis, atau

temuan gangguan fungsi saraf setelah MDT selesai. Selain itu, kami

menyarankan juga untuk mengkombinasikan modalitas ini dengan modalitas

non-invasif lainnya seperti USG saraf yang dapat membantu menegakkan

diagnosis pada kasus-kasus yang meragunkan, jauh lebih dini. Pemeriksaan ini

mampu memberikan informasi mengenai perubahan morfologi saraf, tekstur

echo dan lokasi pembesaran saraf, keterbatasannya adalah pada ketersediaan

mesin ultrasound dengan resolusi tinggi, ahli teknis dan biaya.10

Dapat

disimpulkan bahwa pemeriksaan konduksi saraf dapat membantu lepra tipe

tuberkuloid fase awal karena memungkinkan ketersediaan metode non-invasif

untuk menilai tingkat disfungsi saraf dan tipe serabut saraf yang terlibat (motorik

ataupun sensorik).

120 | B A N U 6

Pada kasus-kasus fase awal dimana kerusakan yang terjadi lebih

kepada perlambatan dari konduksi serabut saraf (kecepatan serabut saraf rata-

rata), perubahan pada kecepatan konduksi bisa saja tidak terlalu bermakna.

Kondisi ini membuat klinisi membutuhkan pemeriksaan serabut-serabut saraf

yang cepat secara terpisah karena potensial yang direkam adalah dari serabut-

serabut bermyelin. Modalitas ini cukup sensitif dan perubahan subklinik dapat

diketahui sejak awal walaupun pada saraf yang secara klinis tidak terlibat. Lebih

jauh, parameter sensorik merupakan parameter saraf yang biasanya terkena

pada fase awal perjalanan penyakit lepra.8,10

Hasil Pemeriksaan ENMG Pada Morbus Hansen

Pada saraf perifer (baik sensorik dan motorik), kerusakan mungkin

akan terjadi pada periode praklinis dan dapat berubah menjadi kelemahan

anggota tubuh yang nyata (pada saraf sensorik dan motorik) pada kondisi

penyakit fase akhir. NCS dapat menjadi modalitas penting dalam mendeteksi

awal neuropati perifer pada penyakit lepra. Pada penelitian ini, dari 74 subyek

yang dimasukkan ke dalam penelitian, 78% mengalami lepra tipe multibasiler

dan 22% sisanya terkena lepra tipe pausibasiler. Kurang dari separuh total pasien

(43%) mengalami gangguan konduksi saraf pada saat penegakan diagnosis, dan

neuropati sensorik lebih sering terjadi daripada neuropati motorik. Konduksi

saraf lebih banyak terganggu pada pasien dengan status BI yang positif. Tipe

aksonal sensorik-motorik merupakan pola neuropati perifer tersering pada

pasien dalam penelitian kami, diikuti oleh tipe aksonal sensorik-motorik dan

demielinasi (misal tipe neuropati campuran). Saraf sural dan ulna merupakan

saraf sensorik dan motorik yang paling sering tampak mengalami gangguan

pada pemeriksaan konduksi saraf. Amplitudo merupakan parameter yang paling

sering terpengaruhi batik untuk SNAP dan CMAP, dan terganggu pada seluruh

saraf yang mengalami gangguan dari NC. Durasi merupakan parameter NCS

yang paling sedikit terpengaruh (utamanya pada SNAP).

Pada penelitian cohort INFIR, 38% pasien mengalami kerusakan saraf

yang didiagnosis melalui pemeriksaan konduksi saraf pada saat diagnosis lepra

ditegakkan, yang mana hasil ini sangat serupa dengan hasil pada penelitian kami

(43%)10

. Angka tertinggi dari gangguan fungsi saraf secara klinis dilaporkan dari

Etiopia (55%), sedangkan penelitian di Thailand dan Bangladesh melaporkan

angka kelainan fungsi saraf masing-masing sebesar 18% dan 12%. Sebuah

penelitian dari Nepal Barat menunjukkan bahwa saraf sensorik lebih sering

mengalami gangguan (12%) dibandingkan dengan saraf motorik (7%) seperti

pada hasil penelitian yang telah kami lakukan. Berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Ramadan dkk yang menyatakan bahwa konduksi saraf motorik

lebih banyak mengalami gangguan dibandingkan dengan saraf sensorik. Lebih

121 | B A N U 6

dari separuh pasien MB yaitu 32/58 (55%), tetapi tidak pada pasien PB, yang

memiliki NCS abnormal. Namun, pada penelitian sebelumnya, 92% pasien MB

memiliki NCS abnormal. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Chaurasia dkk

juga menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian kami, dimana pasien

pausibasiler mengalami keterlibatan neurologi yang luas.9,10

Tipe aksonal sensorik-motorik merupakan pola neuropati perifer

tersering (37,5%) pada pasien kami, yang selanjutnya diikuti oleh tipe aksonal

sensorik-motorik dan demielinasi (22%). Namun, pola neuropati perifer tipe

aksonal campuran dan demielinasi merupakan tipe yang paling sering

ditemukan pada penelitian sebelumnya. Saraf sural merupakan saraf yang paling

sering mengalami kelainan (22%) diantara saraf sensorik, yang selanjutnya diikuti

oleh saraf ulna (18%). Serupa dengan penelitian kami, banyak penelitian

sebelumnya mendapatkan bahwa saraf sural merupakan saraf sensorik yang

paling sering terkena pada penyakit lepra. Fungsi elektrofisiologi dari sistem

saraf dievaluasi melalui amplitudo dasar, kecepatan konduksi, latensi dan durasi.

Amplitudo merupakan penjumlahan dari aktivitas aksonal di batang

otak. Amplitudo potensial aksi saraf sensorik (Sensory nerve action

potential/SNAP) merupakan parameter yang paling sering terkena dan

mengalami kelainan di semua saraf sensorik (100%) seperti pada penelitian yang

kami lakukan juga menunjukkan adanya kelainan konduksi saraf. Durasi, latensi,

dan kecepatan konduksi dari SNAP saraf sural juga mengalami kelainan di 82%

pasien dengan kelainan konduksi saraf sural. Namun kondisi tersebut tidak

mengalami gangguan secara signifikan di saraf lainnya. Tidak seperti penelitian

yang telah kami lakukan, beberapa penelitian mengenai elektrofisiologi telah

mengobservasi bahwa pada proporsi kasus yang signifikan, didapatkan bahwa

kecepatan sensorik berada pada batas bawah dari batas normal atau mengalami

sedikit perlambatan ketika amplitudo dan durasi dari potensial aksi dalam jarak

yang normal. Pada penelitian terdahulu, NC sensorik dari saraf ulna

menunjukkan penurunan yang signifikan dari segi kecepatan konduksi,

perpanjangan latensi distal, penurunan amplitudo pada 77,5% pasien. Tetapi,

hasil penelitian yang dilakukan oleh Van Brakel dkk, menunjukkan bahwa latensi

sensorik dan amplitude ulna menunjukkan hasil abnormal pada sangat sedikit

pasien (13% dan 31%).11

Diantara saraf motorik, saraf ulna nampaknya menjadi saraf yang

paling sering mengalami kelainan (24%), dan selanjutnya diikuti dengan saraf

peroneus komunis (16%).12

Penelitian yang dilakukan oleh Kumar dkk,

menyebutkan bahwa paralisis lebih sering terjadi pada distribusi saraf ulna

dibandingkan dengan saraf lainnya pada pasien dengan lepra. Kondisi ini

menunjukkan bahwa saraf ulna merupakan saraf motorik yang paling sering

122 | B A N U 6

terkena pengaruh dari penyakit lepra. Suhu yang lebih dingin mendukung

peningkatan jumlah bakteri, trauma berulang dan patah tulang dapat

berimplikasi sebagai penyebab dasarnya. Hal tersebut juga serupa ditemukan

pada penelitian yang dilakukan oleh Husein dkk. Pada pemeriksaan konduksi

saraf sensorik, amplitudo dari potensial aksi motorik (CMAP) juga terkena

dampaknya pada semua saraf (100%) dengan hasil tidak normal pada konduksi

saraf motoriknya. Parameter lain dari CMAP seperti durasi, latensi, kecepatan

konduksi, dan latensi gelombang F juga mengalami gangguan pada beberapa

pasien saja. Namun, pada beberapa penelitian sebelumnya, latensi motorik ulna,

kecepatan konduksi dan amplitudo menunjukkan hasil abnormal pada 35%,

38%, dan 31% masing-masing.

Latensi sensorik dan amplitudo ulna juga menunjukkan hasil abnormal

sebesar 13% dan 31% dari semua subyek yang telah diteliti13

. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Ramadan dkk, penurunan signifikan pada kecepatan

konduksi saraf motorik, pemanjangan latensi distal dan penurunan amplitudo

pada saraf median, ulna, dan peroneus komunis didapatkan masing-masing

sebesar 72%, 70%, dan 80%. Hal tersebut menunjukkan bahwa sudah banyak

penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pemeriksaan

elektrofisiologi dapat mendeteksi neuropati lepra pada fase awal dibandingkan

dengan modalitas pemeriksaan klinis lainnya.11,12

Oleh karena itu, pemeriksaan

elektrofisiologi dapat digunakan untuk mendeteksi neuropati lepra subklinis

yang dapat membantu mencegah neuropati klinis. Hingga saat ini belum ada

bukti yang dapat menunjukkan bahwa perkembangan neuropati klinis bisa

dicegah pada individu-individu dengan neuropati lepra subklinis. Namun,

penelitian multisenter internasional randomisasi terkontrol (TENLEP) pada 6

pusat di Asia, termasuk Nepal, melakukan penelitian mengenai efikasi terapi

prednisolone untuk mencegah progresivitas dari kelainan-kelainan yang terjadi

sebelum berlanjut pada tahap gangguan klinis.14

DAFTAR PUSTAKA

1. Ooi WW, Srinivasan J. Leprosy and the peripheral nervous system:

Basic and clinical aspects. Muscle Nerve. 2004;30:393–409 Viallon A.

Bothelo-Nevers E. Zeni F. 2016. Clinical Decision rules for acute

bacterial meningitis: current insights. Open Access Emergency

Medicine :8 7–16

2. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Fitzpatrick's Dermatology in General

Medicine. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,

Leffell DJ, editors. 7th ed. New York: Mc Graw Hill; 2008

123 | B A N U 6

3. Kar S, Krishnan A, Singh N, Singh R, Pawar S. Nerve damage in

leprosy: An electrophysiological evaluation of ulnar and median

nerves in patients with clinical neural deficits: A pilot study. Indian

Dermatol Online J. 2013;4:97–101

4. Scollard DM. The biology of nerve injury in leprosy. Lepr

Rev. 2008;79:242–253

5. World Health Organization . Weekly epidemiological record. World

Health Organization. Geneva: World Health Organization; 2010. pp.

35:337–35:348

6. Chaurasia RN, Garg RK, Singh MK, Verma R, Shukla R. Nerve

conduction studies in paucibacillary and multibacillary leprosy: a

comparative evaluation. Indian J Lepr. 2011;83:15–22

7. Lockwood DN, Saunderson PR. Nerve damage in leprosy: a continuing

challenge to scientists, clinicians and service providers. Int

Health. 2012;4:77–85

8. Vashisht D, Das AL, Vaishampayan SS, Vashisht S, Joshi R. Nerve

conduction studies in tuberculoid leprosy. Indian Dermatol Online J.

2014;5(Suppl 2):S71–5

9. Sasaki S, Takeshita F, Okuda K, Ishii N. Mycobacterium leprae and

leprosy: A compendium. Microbiol Immunol. 2001;45:729–36

10. Kimura J. Principles and practice. 3rd ed. New York: Oxford University

Press; 2001. Electrodiagnosis in disease of nerve and muscle

11. Kar S, Krishnan A, Singh N, Singh R, Pawar S. Nerve damage in

leprosy: An electrophysiological evaluation of ulnar and median

nerves in patients with clinical neural deficits: A pilot study. Indian

Dermatol Online J. 2013;4(2):97–101

12. McKnight J, Nicholls PG, Loretta D, Desiken KV, Lockwood DN, Wilder-

Smith EP, et al. Reference values for nerve function assessment among

a study population in northern India: Sensory and motor nerve

conduction. Neurol Asia. 2010;15(1):39–54

13. Mora-Brambila AB, Trujillo-Hernández B, Coll-Cardenas R, Huerta M,

Trujillo X, Vásquez C, et al. Blink reflex, H-reflex and nerve conduction

alterations in leprosy patients. Lepr Rev. 2006;77:114–20

14. Van Brakel WH, Nicholls PG, Das L, Barkataki P, Maddali P, Lockwood

DN, et al. The INFIR Cohort Study: assessment of sensory and motor

neuropathy in leprosy at baseline. Lepr Rev. 2005;76(4):277–295

124 | B A N U 6

Migraine: different management in children and adult

I Made Oka Adnyana

Departemen Neurologi RSUP Sanglah

Denpasar/FK Universitas Udayana

Pendahuluan

Nyeri kepala migren sering tidak tediagnosis dengan baik, sehingga

terapinya juga kurang memuaskan, dan akan mengganggu kualitas hidup karena

terjadi penuruan produktifitas dan sering tidak hadir di tempat kerja/sekolah.

Migren diderita lebih banyak pada wanita (18%) dibandingkan laki-laki (6%).

Prevalensi migren pada anak dan pubertas cenderung meningkat dari

prasekolah (3%) dan umur sekolah (4-11%), pada anak-anak tidak ada perbedaan

jenis kelamin sedangkan pada pubertas terdapat predileksi jenis kelamin yaitu

prevalensi lebih tinggi pada wanita.1

Migren adalah kompleks neurovaskuler, dan kelainan transmisi

genetik yang ditandai dengan hipereksitabiltas neuron sensorik otak. Stimuli

pada sistem trigeminovaskuler yang melayani pembuluh darah besar intrakranial

dan koneksinya dengan neuron diyakini sebagai awal terjadinya kaskade nyeri

kepala migren. Sekresi neurotransmitter seperti substansi P dan calcitonin gene-

related peptide (CGRP) yang mengakibatkan inflamasi dan dilatasi pebuluh drah

otak, mengakibatkan timbulnya nyeri kepala migren dan gejala yang

menyertainya.2

Kriteria diagnostic migren anak3:

A. Migren tanpa aura.

1. Sekurang-kurangnya 5 serangan yng menggambarkan gejala 2-4

dibawah ini.

2. Nyeri kepala berlangsung antara 1 dan 48 jam.

3. Paling tidak 2 gejala dibawah ini

*. Lokasi bilateral/unilateral.

*. Berdenyut.

*. Nyeri sedang sampai berat.

*. Diperberat oleh aktifitas fisik.

4. Paling tidak satu gejala penyerta.

` *. Mual/muntah.

*.Foto/fonofobia.

B. Migren dengan aura.

1. Sekurang-kurangnya 2 serangan yang menggambarkan keadaan

dibawah ini.

2. Paling tidak 3 gejala berikut.

125 | B A N U 6

` *. Aura anatomi yang berlangsung secara gradual.

*. Aura bersifat reversible.

*. Aura berlangsung kurang dari 1 jam.

*. Nyeri kepala timbul dalam 1 jam setelah aura.

4. Migren tanpa aura (dewasa)4:

A. Sekurang-kurangnya nyeri kepala berlangsung selama 4-72

jam (belum diobati atau sudah diobati akan tetapi belum

berhasil).

B. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara

karakteristik berikut:

1. Lokasi unilateral.

2. Kualitas berdenyut

3. Intensitas nyeri sedang atau berat.

4. Keadaan diperberat oleh aktifitas fisik atau

diluar kebiasaan aktivitas fisik rutin (seperti

berjalan atau naik tangga).

C. Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini:

1. Nausea dan/atau muntah.

2. Fotofobia dan fonofobia

D. Tidak berkaitan dengan penyakit lain.

5. Migren dengan aura (aura tipikal).

A. Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan yang memenuhi

kriteria B.

B. Adanya aura yang terdiri atas paling sedikit satu dari di

bawah ini akan tetapi tidak dijumpai kelemahan motorik.

1. Gangguan visual yang reversible dengan gejala positif

(cahaya yang berkedip-kedip, bintik-bintik atau garis-

garis) dan /atau gejala negatif (hilangnya

penglihatan).

2. Gangguan sensoris yang reversible dengan gejala

posotif (seperti tertusuk jarum, (pins and needles)

dan/atau gejala negatif (rasa kebas).

3. Gangguan berbicara disfasia yang reversible.

C. Paling sedikit dua dari dibawah ini.

1. Gejala visual homonim dan/atau gejala

sensoris unilateral.

2. Paling tidak timbul satu macam aura secara

gradual ≥ 5 menit.

126 | B A N U 6

3. Setiap gejala berlangsung ≥ 5 menit dan ≤

60 menit.

D. Nyeri kepala memenuhi kriteria B-D dari migren tanpa

aura dimulai bersamaan dengan aura atau sesudah aura

selama 60 menit.

E. Tidak berkaitan dengan penyakit lain.

Patofisologi migren

Patofisiologi migren sampai saat ini terus dikembangkan, tetapi

patofosiologi pada anak dan dewasa adalah mirip. Patofisiologi migren

sangat kompleks dan tidak hanya fenomena neurovaskuler saja. Nyeri

pada migren pertama diantarkan oleh jalur trigeminovaskuler. Sistem

sensorik aferen trigeminovaskuler mempersarafi meningen dan pembuluh

darah besar akan menjadi aktif kemudain mengalami sensitisasi yang

kemudian akan mengaktifkan neuron lainnya. Keadaan ini dihubungkan

dengan inflamasi meningen dan terjadinya nyeri. Disfungsi pertama terjadi

di batang otak yang mengatur tonus pembuluh darah dan sensasi nyeri.

Neuropeptida vasokatif seperti serotonin dan calcitonin gene-related

peptide (CGRP) bertanggungjawab terhadap terjadinya fenomena vaskuler

pada migren. Serotonin mempunyai efek inhibisi desenden sehingga di

susunan saraf pusat sehingga menghambat terjadinya migren, sedangkan

CGRP merupakan vasodilator yang poten sehingga menjadi pemicu

serangan migren. Patofisiologi migren juga nampaknya melibatkan peran

genetik. Keadaan ini didukung oleh model binatang dengan familial

hemiplegic migraine yang memperlihatkan peningkatan neurotransmisi

glutamat yang mengaktifkan neuron nosiseptik yang dengan gejala khas

yaitu aura sebelum migren.2

Penatalaksanaan.

Penatalaksanaan migren adalah multifaktorial, dan yang terpenting

adalah hubungan antara pasien dengan pemberi jasa kesehatan (dokter).

Penatalaksanaan meliputi mengetahui faktor pencetus, gejala sebelum

timbulnya serangan migren, penggunaan obat bebas (tanpoa resep) dan

beberapa modalitas terapi yang bisa digunakan sendiri oleh pasien. Terapi

abortif digunakan untuk menghilang nyeri kepalanya dan terapi preventif

digunakan untuk mengurangi frekuensi dan keparahan nyeri kepala.2

Tujuan utama terapi migren adalah mengilangkan nyeri kepala dan

gejala yang menyertai, mengembalikan penderita ke aktifitas yang normal,

memperbaiki penatalaksanaan nyeri kepala, efek samping minimal,

memperbaiki kualitas hidup dan mencegah terjadinya medical overuse

headache (MOH). Pemilihan obat harus memperhatikan farmakokinetik

127 | B A N U 6

dan farmakodinamik, terutama pada anak-anak, disamping efek

sampingnya. Monoterapi lebih dipilih dan dosis disesuaikan dengan berat

badan. Terapi simtomatik diberikan terutama yang sangat jarang (≤ 4

kali/bulan), kontra indikasi terapi abortif dan hasil yang kurang baik

dengan terapi preventif.5

Efektifitas dan keamanan terapi migren pada anak masih sangat

terbatas, efek rata2 plasebo pada anak lebih besar diandingkan dengan

dewasa (20-66%; 6-44%). Obat yang digunakan pada serangan migren

akut pada anak adalah asetaminopen, NSAIDs, antiemetik dan triptan.3

Asetaminofen dan NSAIDs.

Obat ini banyak diteliti untuk terapi migren akut pada anak dan

pubertas. Dari studi kepustakaan tidak ada keraguan penggunaan

asetaminofen dan NSAIDs untuk terapi migren akut mulai dari umur

sangat dini dengan dosis asetaminofen (15 mg/kgBB) dan ibuprofen (7,5-

10 mg/kgBB).3

Penelitian oleh Lewis et al.6, meneliti pada anak unur 6-12 tahun

dengan metode double-blind, placebo-control study membandingkan

ibuprofen dengan dosis 7,5 mg/kgBB dengan plasebo mendapatkan hasil

ibuprofen lebih efektif secara bermakna menurunkan beratnya nyeri

kepala dalam 2 jam (76:53%, p=0,006). Peneelitian oleh Hamalainen et al.7,

yang meneliti efek asetaminofen dan ibuprofen pada 88 anak dengan

metode double-blind cross over study mendapatkan hasil ibuprofen dan

acetaminofen keduanya efektif secara bermakna menurunkan nyeri kepala

dalam 1 dan 2 jam.

Asetaminofen dan ibuprofen dalam studi lain juga memperlihatkan

lebih efektif secara bermakna dibandingkan dengan plasebo dalam jam

pertama terapi dalm menurunkan intensitas nyeri dan kekambuhan nyeri

kepala. Efek samping dari asetaminofen yaitu, rash, eritema pansitopenia

dan ibuprofen adalah nyeri lambung, mual dan muntah. Kedua obat bisa

memicu rekasi hipersensitif, gagal hati dan anemia hemolitik.8

NSAIDs lain yang bisa digunakan adalah nimesulid. Studi open label

membandinkan nimesulid 2,5 mg/kgBB dan asetaminophen 15 mg/kgBB

memperlihatkan efektifitas yang sama (Soriani et al., 2001). Indometasin

dengan dosis 25 mg/kgBB yang dikombinasikan dengan proklorperazin

dan kafein yang bisa digunakan pada orang dewasa bisa digunakan pada

anak dengan nyeri kepala primer bila terdapat kontra indikasi dengan

NSADIS lan dan triptan.9

Derivat ergot

128 | B A N U 6

Preparat ini jarang digunakan pada anak, karena efek emetik dan

vasokonstriksi karena berikatan dengan beberapa reseptor.3

Antiemetik

Antiemetik atau agonist dopamin seperti domperidon,

metoklorperamid, prometasin, prokorpreazin digunakan terutama pada

migren dengan muntah yang hebat. Di ruang gawat darurat anak Kanada

obat yang digunakan adalah metoklorperamid dan prokloperazin, tetapi

domperidon lebih sering dipakai karena karena toleransinya lebih baik.10

Triptans

Triptan adalah obat standard untuk migren pada orang dewasa.

Triptan yang pertama dikenal adalah sumatriptan. Triptan merupakan

agonis reseptor serotonin (5HT-1B/1D) dan menpunyai dua efek yaitu

sebagai neurotropik dengan cara menghambat depolarisasi serat sensorik

trigeminal dan pelepasan neuropeptoda vasoaktif sepert CGRP dan efek

vasoaktif yaitu vasokontriksi pembuluh darah serebral yang selektif.

Generasi triptan yang lebih baru bisa melewati sawar darah otak sehingga

bisa menghambat nukelues trigemin kaudalis yang berperan dalam

memperoses nyeri.5,11

Triptan biasanya digunakan pada umur diatas 18 tahun, kecuali

sumtriptan nasal spray 10 mg bisa digunakan pada umur 12-17 tahun di

beberapa negara Eropa. Bentuk almotriptan oral sudah disetujui olahe

FDA untuk serangan migren umur 12-17 tahun.6 Penelitian randomizied,

placebo-control oleh Hamalaine et al12

pada 23 anak (8-16 tahun) dengan

migren diterapi dengan sumatriptan (50-100 mg) tidak memberikan hasil

yang berbeda dengan kontrol, tetapi peneltian multicenter placebo-

control oleh Derosier et al.,13

terapi dengan sumtriptan oral (85 mg)

digabung dengan sodium naproksen (500 mg) pada anak umur 12-17

tahun memperlihatkan efektifitas yang bermakna dibandingkan plasebo

dalam perbaikan nyeri dalam 2 jam (24: 10 %, p=0,003) dan juga

dtoleransi dengan baik. Sumtriptan subkutan diteliti pada dua studi open

label. Studi pertama dikerjakan pada 17 anak berumur 6-16 tahun dengan

dosis 6 mg untuk anak dengan berat badan > 30 kg dan 3 mg untuk anak

dengan berat badan < 30 kg) memberikan hasil positif sebanyak 60%,

tetapi efek samping terjadi pada 15 dari 17 pasien seperti terasa tertekan di

dada dan leher atau kesemutan (tingling).14

Studi kedua yaitu pada 50

pasien dengan umur 6-18 tahun dengan dosis sumtriptan 0,06mg/kgbb

memeprlihatkan efektifitas sebanyak 78%, sebanyak 26% dalam waktu 30

129 | B A N U 6

menit, 46% dalam waktu 60 menit dan 6% antara 1-2 jam. Efek samping

yang terjadi yaitu sebanyak 80% seperti tidak nyaman di kepala, leher dan

dada.15

Sumatriptan nasal spray (5, 10, dan 20 mg) memberikan hasil yang

lebih baik dibandingkan dengan plasebo pada anak berumur 6-17 tahun.

Penelitian open label sumtriptan nasal spray pada anak-anak di Italia

memperlihatkan efikasi dan tolerabilitas yang baik.16

Jenis triptan yang lain digunakan adalah:

Zolmitriptan oral dengan dosis 2,5-5 mg yang dikerjakan dengan metode

open label pada anak berumur 12-17 tahun memperlihatkan hasil yang

lebih menguntungkan, meskipun belum dikonfirmasi dengan cohort-

control trial.17 Zolmitriptan nasal spray dengan dosis 5 mg yang diberikan

pada anak berumur 12-17 tahun, mendapatkan hasil terjadi pengurangan

nyeri kepala dalam 15 menit, dan dalam 1 jam memberi respon yang lebih

baik dibandingkan dengan plasebo (58.1: 43.3%). Juga lebih baik dalam

mengurangi intensitas nyeri kepala, dan gejala migren lainnya.7

Rizatriptan: Efektifitas rizatriptan oral 5 mg tidak lebih baik dibandingkan

dengan plasebo, tetapi peneltian belakangan dengan metode open label

study dosis 5-10 mg, pada anak 12-17 tahun efektifitasnya sebanyak 77%

dan ditoleransi dengan baik.18,19

Eletriptan (40 mg) dan almotriptan (12,5 mg) juga diteliti pada anak 12-17

tahun, tetapi hasilnya tidak lebih baik dibandingkan plasebo21,22

tetapi

suatu peneltian control trial almotriptan dengan dosis 6.25, 12,5 dan 25

mg oleh Linders et al22

mendapatkan hasil lebih dibandingkan dengan

plasebo dan juga mengurangi gejala penyerta migren seperti

foto/fonofobia dan juga ditoleransi dengan baik.

Triptan adalah obat yang ditoleransi dengan baik pada anak-anak,

tetepai efektifitas kurang dibandingkan dengan dewasa, kecuali beberapa

bentuk oral seperti rizatriptan dan almotriptan dan bentuk nasal spray

seperti sumatriptan dan zolmitriptan. Rendahnya efektifitas pemberian per

oral disebabkan karena pendeknya durasi kerja dan efek stasis gaster pada

migren anak. Diantara sediaan yang memberi respon dan ditoleransi

dengan baik pada anak diatas umur 12 tahun adalah sumtriptan nasal

spray.23

Terapi pencegahan

Tujuan terapi preventif adalah mengurangi frekuensi dan intensitas

nyeri kepala, penggunaan terapi simtomatik, disabilitas dan memperbaiki

kualitas hidup. Terapi preventif diberikan selama 2-3 bulan dan dilakukan

monitor nyeri kepala kepala dengan buku harian untk melihat pola nyeri

130 | B A N U 6

kepalanya, karena migren pada anak-anak mengalami remisi spontan

sebanayak 25,7-28,1%.24

Terapi pencegahan diberikan pada anak dengan kriteria sebagai berikut:24

1. Paling tidak 4 kali serangan dalam 1 bulan, terutama bila nyeri

kepala sedang/berat.

2. Nyeri kepala berlangsung lebih dar 4 jam.

3. Nyeri kepala tidak berespon dengan obat abortif/respon terhadap

obat abortif jelek.

4. Toleransi jelek terhadap terapi abortif.

Obat yang digunakan untuk terapi preventif adalah:

1. Calcium-channel blocker

Flunarizin adalah obat pilihan untuk prevensi migren pada anak-

anak dan pubertas. Suatu control, crossover, doublel-blind study pada

63 subyek berumur 5-11 tahun dengan dosis 5 mg per hari

memperlihatkan terjadi penuruanan prekuensi dan durasi serangan.

Efek samping yang terjadi adalah peningkatan nafsu makan dan berat

badan, sedasi yang sedang dan gejala ekstra piramidal meskipun

sangat jarang dan gejala efek samping akan hilang bila obat

dihentikan. Dosis yang direkomendasikan adalah 3-5mg dosis tunggal

pada malam hari.25

2. Antihipertensi

β-blocker sering digunakan untuk pencegahan migren

meskipun mekanisme belum begitu jelas. Penelitian di Scandinavia

dengan dosis 60-120 mg/hari (1-3 mg kgBB/hari) meperlihatkan hasil

yang lebih baik dibandingkan dengan plasebo. Penggunaan

metoprolol pada berbagai jenis kepala primer tidak lebih baik

dibandingkan dengan terapi nonfarmakologi (biofeedback dan

relaksasi).26

3. Serotonin modulator

a. Pizotifen

Pizotipen diteliti pada anak umur 6-15 tahun pada 37 subyek

dengan dosis 1,5 mg/hari selama 3 bulan. Hasilnya adalah pizotipen

bisa menurunkan frekuensi nyeri kepala tetapi terjadi efek samping

yang moderat seperti sedasi, peningkatan nafsu makan. Hasil berbeda

didapat pada studi kontrol berikutnya yaitu pemberian pizotipen pada

anak umur 7-14 tahun dengan jumlah subyek sebanyak 47 anak

dengan dosis 1-1,5 mg/hari selama 6 bulan mendapatkan hasil tidak

berbeda dengan placebo dalam menurunkan jumlah dan durasi

131 | B A N U 6

serangan nyeri kepala. Dosis yang dianjurkan adalah 1-1,5 mg/hari

(0,04 mg/kgbb/hari).27

b. Cyproheptadine.

Penelitian open label dengan dosis 0,2-0,4 mg/kgBB/hari

selama 3-6 bulan, memperlihatkan perbaikan sebanyak 68% kasus

dan sembuh total sebanyak 21%. Efek samping yang terjadi yaitu

kelelahan, penambahan berat badan, dizziness. Indikasi kontra adalah

asma, glaukoma, dan ulkus peptikum. Dosis yang direkomendasikan

adalah 0,2-0,4 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal.28

4. Antidepresan

a. Amitriptilin

Penelitian amitriptilin telah dikerjakan pada beberapa open label

trials. Studi pertama pada 24 subyek dengan umur 6-12 tahun yang

diberikan amitriptilin 1,5 mg/kg/hari selama 2 bulan memperlihatkan

penurunan frekuensi serangan sebanyak 75% kasus, tetapi yang

mengalami dropout sebanyak 20% karena efek sampingnya seperti

peningkatan berat badan.29

Penelitian lainnya oleh Hershey et al.30

,

pada 192 subyek berumur 9-15 tahun dengan dosis 0,25-1

mg/kgbb/hari memperlihatkan efektifitas untuk perbaikan frekuensi

dan penurunan rata nyeri kepala sebanyak 84,2% kasus dengan

toleransi yang baik dan memberikan perbaikan untuk jangka panjang.

Studi ini kemudian dikonformasi oleh Lewsi et al6 yang mendapatkan

efektifitas sebanayk 80% pada 73 subyek berumur 3-12 tahun dengan

dosis 10 mg/hari. Dosis yang direkomendasikan adalah 0,25-1

mg/kgbb/hari. Efek samping yang timbul adalah mulut kering,

mengantuk, peningkatn berat badan, hipotensi ortostatik. Indikasi

kontra adalah penyakit jantung, glaucoma dan gagal ginjal dan liver.

Karena efek sampingnya oleh para ahli pemakaian amitriptilin sangat

dibatasi.5

b. Trazodone

Suatu studi placebo-controlled crossover pada 40 pasien

migren anak dengan umur 7-18 tahun dengan dosis 1 mg/kg/hari

dengan dosis terbagi 3 kali memberikan perbaikan dalam fekuensi

dan durasi nyeri kepala.16

5.Antiepilepsi

a. Divalproate

Studi pertama divalproate adalah open-label study pada 42

subyek berumur 7-16 tahun dosis 15-45 mg/kg/hari selama 6 bulan.

Hasilnya terdapat perbaikan pola nyeri kepala setelah 4 bulan yaitu

132 | B A N U 6

terjadi penurunan 50% nyeri kepala pada 78,5% pasien dan 75% pada

14,2% dan 9,5% bebas nyeri kepala tetapi terjadi efek samping pada

29 dari 42 pasien.31

Hasil ini kemudian dikonfirmasi oleh Serdaroglu et

al.,32

yang meneliti efek divalproate pada anak berumur 9-17 tahun

dengan dosis 500-1000 mg/hari yang juga memberikan perbaikan

pola nyeri kepala pada anak dengan migren. Penelitian multi senter

besar divalproate extended release dengan dosis 250, 500 dan 1000

mg tidak memberikan hasil yang bemakna dalam efikasi penurunan

nyeri dalam 4 minggu terapi, dan juga tidak lebih baik dalam kualitas

hidup pasien yang dinilai dengan pediaricMidas (PedMIDAS), tetapi

efek samping yang terjadi juga tidak berbeda bermakna antara terapi

dan plasebo.33

Penelitian yang dilakukan oleh Unalp et al.,34

yang

mebandingkan efektifitas divalprote (n=20 orang) dengan topiramate

(n=28 orang) mendapatkan kedua obat berhasil menurunkan

frekuensi, beratnya, durasi dan PedMIDAS. Dosis yang

direkomendasikan adalah 15-30 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 2-3

kali. Efek samping adalah penambahan berat badan, rash kulit dan

alopesia. Indikasi kontra penyakit liver.5

b.Topiramate

Studi open label pertama menggunakan topiramate dikerjakan

pada tahun 2000 pada 75 subyek berumur 8-15 tahun dengan dosis

1,4±0,7 mg/kg/hari selama 3-11 bulan, memebrikan hasil yang baik

dalam menurunkan frekuensi, durasi dan intensitas nyeri kepala dan

PedMIDAS. Efek sampingnya adalah gangguan kognitif (12%)

penurunan berat badan (6%) dan gangguan sensorik (3%).35

Stusi

open-label 3 tahun kemudian pada 24 subyek yang tidak memberi

respon dengan terapi propilaksis lainnya diberikan topiramate

dengan dosis 3,5±1,7 mg/kg/hari mendapatkan hasil terjadi

perbaikan durasi nyeri kepala sebanyak 87,5% dan intensitas nyeri

kepala (58,3%), dengan efek samping yang ringan (33%).36

Peneltian oleh Winner al.20

pada 162 subyek dengan umur 6-15

tahun dengan dosis 2-3 mg/kg memperlihatkan penurunanan yang

sangat banyak dalam frekuensi nyeri kepala, tetapi secara statistik

penurunannya adalah borderline (p=0,06) tetapi ditoleransi dengan

baik. Penelitian lain yaitu oleh Lakshmi et al.,37

dengan

menggunakan topiramate 100 mg 2 kali sehari memperlihatkan

terjadi penurunanan secara bermakna jumlah nyeri kepala,

disabilitas dan absen di sekolah dalam sebulan. Peneltian oleh Lewis

et al.,6 pada penderita migren berumur 12-17 tahun dengan dosis 50

133 | B A N U 6

atau 100 mg/hari selama 16 minggu memperlihatkan efikasi yang

bermakna dalam menurunkan frekuensi nyeri kepala dalam sebulan

dibandingkan dengan plasebo (72,2: 44,4%), tetapi hanya dengan

dosis 100 mg.

c. Levitiracetam

Studi open-label pada 19 pasien berumur 3-17 tahun dengan

dosis levetiracetam 250-500 mg mengurangi remisi sebanyak 53%,

perbaikan 37% tidak efektif 10% dan efek samping 16%.38

Penelitian

Palkanis e al.,39

pada 20 orang migren berumur rata2 10,6 tahun

dengan dosis 20-40 mg/kg/hari selama 2-3 bulan memperlihatkan

terjadi penurunan bermakna dalam frekuensi dan disabilitas, dan

hanya 3 orang yang mengalami efek samping (iritabel dan agresif).

d. Gabapentin

Suatu studi open-label pada 18 pasien berumur 6-17 tahun

dengan dosis 15-30 mg/kg/hari memeprlihatkan efikasi sebesar

80%. Efek samping yang terjadi adalah mengantuk, penambahan

berat badan, rash pada kulit dan alopesia.4o

Pendapat para ahli dari studi meta-analisis disebutkan terapi preventif

migren pda anak-anak dan pubertas kurang memberikan efek dibandingkan

dengan terapi simptomatik. Hanya flunarizine mempunyai cukup bukti pada

anak-anak. Flunarizin telah diakui di Eropa tetap tidak di Amerika Serikat.

Cyproheptadin, amitriptilin, divalproex dan lvetiracetan belum cukup bukti

sebagai prevensi pada anak-anak. Efektifitas propranolol masih kontradiktif.

Pizotifen, nimodipine dan klonidin tidak efeltif, tetapi topiramate cukup

menjanjikan sebagai prevensi pada migren anak.6

Untuk kepentingan praktek klinik dengan mempertimbangkan rasio

efikasi dan toleransinya sebagai prevensi migren pada anak-anak obat yang

digunakan adalah: flunarizine, serotonin antagonis (pizotipen, cyproheptadine

dan neuromodulator (topiramate).5

Pendapat para ahli terhadap terapi migren pada anak yaitu dengan

menggunakan obat over-the counter medication (OTC) seperti ibuprofen dan

asetaminofen untuk nyeri ringan, sedang dan berat. Pemakaian obat ini tidak

boleh lebih dari 2-3 kali/minggu. Pada nyeri kepala yang sedang dan berat yang

tidak berespon dengan OTC, terapi yang direkomendasikan adalah triptan atau

kombinasi NSAID/triptan. Jenis triptan yang direkomendasikan oleh FDA adalah

almotriptan, tetapi cuma tersedia dalam bentuk tablet sehingga kurang baik

penyerapannya pada penderita dengan mual dan muntah. Pada penderita

dengan mual dan mntah yang lebih baik adalah pemberian triptan nasal spray,

134 | B A N U 6

karena telah cukup bukti efektifitasnya. Pemberian edukasi pada pasien dan

keluarga adalah sangat penting.41

Terapi migren pada orang dewasa adalah terdiri menghindari faktor

pencetus, terapi abortif dan profilaksis. Terapi abortif terdiri dari yang spesifik

yaitu ergotamine dan golongan triptan, dan terapi abortif non spesifik yaitu:

analgetik sederhana, NSAIDs dan antiemetik. Terapi profilaksis yaitu obat

golongan beta bloker, antidepresan trisiklik, dan obat anti epileptik.4

Kesimpulan

Patofosiologi migren pada anak tidak jauh berbeda dengan orang

dewasa, demikian juga penatalaksanaannya. Obat yang digunakan saat serangan

akut adalah analgetik sederhana, NSAIDs dan triptan (nasal spary). Preparat

ergotamine jarang digunakan. Untuk terapi pencegahan obat yang

direkomendasikan adalah flunarizine, serotonin antagonis dan topiramate.

Kepustakaan

1. Lewis DW., Aswal S., dahl g. 2002. Quality standards Subcommitee of

the America Academy neurology; Practice Committee of the Child

Neurology Society. Practice parameter: Evaluation of children and

adolescent with recurrent headaches: report of the quLITY Standard

Subcommitee of The American Academy of neurology and the

Practice committee of child Neurology Society. Neurology; 59(4) 490-

498.

2. Molony MF., Johson CJ. 2011. Migraine headache: Diagnosis and

management. Journal of Midwifery & Women Helath; 56: 282-292.

3. O'Brien HL., Kabbouche MA., Hershey AD. 2010. Treatmrnt acute

migriane in pediatric population. Curr. Treat.Options Neurol; m12 (3):

178-185.

4. Perdossi. 20018. Konsensus Nasional V Kelompok studi Nyeri Kepala

Perdossi.

5. Toldo I, De carlo, D., Bolzonela B., Sartori S., Battistella PA. 2012. The

pharmacological treatment of migraine in children and adolescent: an

overview. Expert Rev.Neurother; 12(9): 1133-1142.

6. Lewis DW., Winner P., Hershey AD., Wasiewski WW. 2007. Adolescent

Migraine Steering Commitee. Efficacy of zolmitriptan nasal spray in

adolescent migraine. Pediatric; 120(2): 390-396.

7. Halmalainen ML., Hoppu K., Santavauri P. 1997. Sumtriptan for

migraine attack in children: a randomized placebo-controlled study.

Neurology; 48: 1100-1103.

135 | B A N U 6

8. Hamalainen ML. Migraine in children and adolescent: a guide to drug

treatment. CNS drug; 20(10): 813-821.

9. Moorjani BI., Rothner AD. 2001. Indometahcine responsive headache

in children ans adolescent. Semin. Pediatr. Neurol; 8 (1): 40-45.

10. Richer LP., Laycock K., Miler K. 2010. Treatment of children with

migraine in emergency departemen: national practice variation study.

Pediatric. 126: e150-e155.

11. Vollono C., Vigevano F., Tarantino S., Valeriani M., Triptan other han

sumtriptan in child and adolencent migraine: literature review. Expert

Rev.Neurother; 11(3): 395-401.

12. Hamalainen ML., Hoppu K., Santovuori P. 1997. Sumatriptan for

migraine attack in children; a randomized placebo-controlled sutdy.

Neurology; 48: 1100-1103,

13. Derosier FJ., lewis D., hershey AD., 2012. Randomized trila of

sumatriptan and naproxen sodium combination in adolescent

migraine. pediatric; 129 (6): e1411-e1420.

14. McDonald JT., 1994. Treatment of juvenile migraine with subcutaneus

sumatriptan. Headache; 34(10): 581-582.

15. Linders SL. 1996. Subcutaneus sumtriptan in the clinical setting: the fist

50 concecutivie patiemts with acute migraine in pediatric neurology

office pracitce. Hedache; 36(7): 419-422.

16. Batistella PA., 2007. Synptomatic treatment of pediatric migraine: an

open-label study with sumtripatan nasal spray. J. Headche Pain

8(suppl.): S22.

17. Rothner AD., Wasieski W., Winter P. Lewis D., Stankowski J. 2006.

Zolmitriptan oral tablet in migraine treatmnent: high placebo respons

in adolescent. Headache; 46(1): 101-109.

18. Visser WH., Winner P., Strohmaier K. 2004. Rizatriptan protocol 059

and 061 Study group. Rizatriptan 5 mg for the acute migraine in

adolescent: a randomized, doubel blind, placebo-control study.

Headache; 44(9): 891-899.

19. Ahonen K., Hamalainen ML., Eerola M., Hoppu K., 2006. A

randomized trial of rizatriptan in migraine attack in children.

Neurology 76(7): 1135-1140.

20. Winner P., Pearlman EM., Linders SL. 2005. Topiramate pediatric

Migraine Study Investigators. Topiramate for mograine prevention in

children: a randomized, double-blind, controlled trial. Hedache; 45:

1304-1312.

136 | B A N U 6

21. Badwin JR, Fleishaker JC, Azie nE, Carel BJ. 2004. A Comparasion of

the pgarmacokinetics and tolerability of the anti-migraine compound

almotriptaninhelathy adolescent adults. Cephalagia; 24(4): 288-292.

22. Linders SL., Mathew NT., Cady RK., Finlayson G., Iskhanian G., Lewis

DW. 2008. Efficacy and tolerability of almotriptan in adolescent: a

randomized, double-blind placebo-control trial. Headache 48 (9):

1326-1336.

23. Callenbach PM., Pels LP., Mulder PG. 2007. SUM30042 Trial Group.

Sumtriptan nasal spray in the acute treatment of migraine in

adolsecent and children. Eur. J. Pediatr. Neurol; 11(6): 325-330.

24. Kienbacher C., Wober C., Zesch HE. 2007. Clinical features,

classification and migraine and tension-type headache in children and

adolescent: a long- term follow-up study. Cephalagia; 26(7): 820-830.

25. Sorge F., De Simone R., Marano E., Nolano M., Orefice G., Carrieri P.

1996. Flunarizine in prophylaxis of children migraine: A double blind,

placebo-control, crossover study. Cephalagia; 8(1): 1-6.

26. Ludvigsson J. 1974. Propranolol used in prophylaxis of migraine in

children. Acta Neurol Scand; 50(1): 109-115.

27. Giliies D., Sills M., Forsythe I. 1986. Pizotifen (Sanomigran) in childhood

migraine. A double blind trial. Eur. Neurol; 25(1): 32-35.

28. Bille B., Ludvigsson J., Sanner G. 1997. Prophylaxis of migraine in

children. Headache; 17(2): 61-63.

29. Sorge F., Barone P., Steardo L., Romano MR. 1982. Amitriptylin as

prophylaxis for migraine in children. Acta Neurol. (Napoli). 4(5): 362-

367.

30. Heshey AD, Powers SW, Bewntti AL, Degrauw TJ. 2000. Effectiveness

of amitryptiline in the prophylactic management of childhood

headches. Headache 40(7): 539549.

31. Caruso JM., Brown WD., Exil G., Cascon GG. 2000. The efficacy of

divalproaex sodium in the prophylactic treatment of children with

migraine. Headache; 40(8): 672-676.

32. Serdaroglu G, Erhan E, Tekgul H. 2002. Sodium valproate prophylaxis

in childhoold migraine. Headache; 42(8): 819-822.

33. Apostol G., Cady RK., Laforet GA. 2008. Divalproaex extended release

in adolescent migraine prophylaxis: results of a randomized, double-

blind, placebo-controlled study. Headache; 48(7): 1012-1025.

34. Unalp A., Uran N., Ozturk A. 2008. Comparison of the effectiveness of

topitamate and sodium valproate in pediatric migraine. J. Child

Neurol; 23(12): 1377-1381.

137 | B A N U 6

35. Hershey AD., Poers SW., Vockell AL, LeCates S., Kabbouche M. 2002.

Effectivenes of topiramate in the prevention of childhood headache.

Headache; 42(8): 810-818.

36. Campistol J., Campos J., Cass C., Herranz JL. 2005. Topiramate in the

prophylactic treatment of migraine in children. J. Child Neurol; 2005:

20(3): 251-253.

37. Lakshmi CV., Singhi P., Malhi P., Ray M. 2007. Topiramate in the

prophylaxis of pediatric migraine: a double-blind placebo-controlled

trial. J. Child. Neurol; 22 (7): 829-835.

38. Miller GS., Efficacy and safety of levetiracetam prophylaxis in pediatric

migraine. Hedache; 44(3): 238-243.

39. Palkanis A., Kring D., Meier L., Levetiracetam prophylaxis in pediatric

migraine-an open label study. Hedache; 4793): 427-430.

40. Belman AL, Milazo M, Savatic M. 2001. Gabapentin for migraine

prophylaxis in children. Ann neurol. 50 (suppl 1): 109-

41. O'Brien HL., Kabbouche MA., Hershey AD. 2012. Treating pediatric

migraine: an expert opinion. Expert Opinion.Pharmacother (early

online): 959-966.

138 | B A N U 6

ASSESSMENT AND MANAGEMENT OF PAIN IN CHILDREN

Thomas Eko P

Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University/Sanglah

Hospital

Denpasar, Bali

Abstrak

Asesmen dan managemen nyeri pada anak relatif lebih ribet dan sulit

dibandingkan orang dewasa. Asesmen nyeri merupakan kunci utama untuk

managemen nyeri yang efektif. Tanpa asesmen nyeri kita tidak dapat

mengevaluasi efektivitas dari tindakan yang kita lakukan. Sayangnya sampai saat

ini pasien anak yang menderita masih under-assessment dan under-treated

sehingga mengakibatkan kualitas hidup pasien anak menurun.

Terdapat bermacam-macam cara untuk mengases nyeri pada anak

tetapi belum ada alat asesmen yang bersifat universal dan tervalidasi. Asesmen

nyeri pada anak tergantung pada umur. Pendekatan asesmen nyeri didasarlan

pada 3 hal yaitu: skala nyeri subyektif (tergantung apa yang dikatakan oleh

pasien anak), behavior dan indikator fisiologi. Alat asesmen yang banyak dipakai

antara lain: CRIES scale untuk neonatus, FLACC untuk infant, Wong Baker dan

Numeric Rating Scale untuk anak yang lebih besar.

Managemen nyeri pada anak pada prinsipnya dibagi menjadi non

farmakologik dan farmakologik. Pendekatan non farmakologis merupakan lini

pertama untuk managemen nyeri pada anak meliputi pemberian sukrose,

masase, kompres panas/dingin, distraksi dan pemberian Air Susu Ibu (breast

feeding), sedangkan terapi farmakologik sesuai dengan steppladder WHO

dengan analgesik non opioid, analgesik adjuvan dan opioid.

139 | B A N U 6

SNORING IN CHILDREN: CAUSE, IMPACT, AND TREATMENT

Desak Ketut Indrasari Utami

Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University/Sanglah

Hospital

Denpasar, Bali

Abstract

Snoring is a phenomenon that is often encountered in everyday life

both in adults and children. Snoring divided into rare (occasional snoring) and

daily (habitual snoring). Occurrence rate of occasional snoring is about 26% -

30%, while habitual snoring about 5% -7%. The most common cause of snoring

in children aged 3-6 years due to differences in growth rates of tonsils and

adenoid faster than jaw growth. Other causes are obesity and craniofacial

anomalies. Habitual snoring in children should be cautioned as part of cardinal

Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) symptoms. The OSAS can have an

impact on daytime performance, cardiovascular disease, neurobehavior

disturbance, insulin resistance, type 2 diabetes mellitus, metabolic syndrome,

somatic growth disorders, decreased quality of life, and depression. Diagnosis of

OSAS can be established based on complaints, physical examination, diagnostic

investigation with Polysomnography (PSG) as the gold standard. Management of

snoring by OSAS may include pharmacological therapy (decongestant drugs,

intra nasal corticosteroids, mometasone furoate), surgical treatment

(tonsiloadenoidectomy, reconstruction of craniofacial anomalies), Possitive

Airway Pressure (PAP) therapy, weight loss, diet and exercise, and comorbid

disease management.

Keywords: snoring, child, cause, impact, management

Abstrak

Tidur mendengkur (snoring) merupakan fenomena yang sering

dijumpai dalam kehidupan sehari-hari baik pada dewasa maupun anak-anak.

Mendengkur ada yang jarang timbul (occasional snoring) dan ada yang timbul

hampir setiap hari (habitual snoring). Angka kejadian occasional snoring lebih

tinggi yaitu sekitar 26%-30%, sedangkan habitual snoring sekitar 5%-7%.

Penyebab snoring tersering pada anak usia 3-6 tahun karena adanya perbedaan

kecepatan pertumbuhan tonsil dan adenoid yang lebih cepat dibandingkan

pertumbuhan rahang. Penyebab lainnya adalah obesitas dan anomali

kraniofasal. Habitual snoring pada anak patut diwaspadai sebagai bagian dari

gejala kardinal Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS). Bahaya OSAS dapat

berdampak pada performa di siang hari, munculnya penyakit kardiovaskuler,

140 | B A N U 6

dampak neurobehaviour, resistensi insulin, Diabetes Melitus tipe 2, sindroma

metabolik, gangguan pertumbuhan somatik, menurunnya kualitas hidup, serta

depresi. Diagnosis OSAS dapat ditegakkan berdasarkan keluhan, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan penunjang maupun dengan alat Polysomnography (PSG)

sebagai standar emasnya. Penatalaksanaan snoring akibat OSAS dapat berupa

terapi farmakologi (obat-obat dekongestan, kortikosteroid intra nasal,

mometasone furoate), terapi pembedahan (tonsiloadenoidektomi, rekonstruksi

anomali kraniofasial), terapi Possitive Airway Pressure (PAP), penurunan berat

badan, diet dan olah raga, serta penanganan penyakit komorbid.

Kata kunci: mendengkur, anak, penyebab, dampak, penatalaksanaan

1. Pendahuluan

Mendengkur atau mengorok merupakan hasil dari getaran atap lunak

rongga mulut (palatum molle) dan uvula yang meimbulkan suara nyaring yang

keluar dari saluran respiratori.1 Tidur mendengkur merupakan penomena yang

sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Tidur mendengkur dapat terjadi

pada laki-laki, perempuan, juga pada orang tua maupun anak-anak. Suara

dengkuran seringkali mengganggu orang di sekitarnya. Penyebab tidur

mendengkur pada dewasa dan anak-anak adalah berbeda, dan memerlukan

pendekatan yang berbeda pula. Seringkali mendengkur atau mengorok pada

anak dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa ditemui dan dianggap sesuatu hal

yang menurun dari orangtuanya. Mendengkur dapat menjadi salah satu gejala

yang diyakini dapat menimbulkan masalah pernapasan di kemudian hari

sehingga perlu diwaspadai. Kewaspadaan terhadap gejala mendengkur pada

anak di beberapa negara maju cukup tinggi, tetapi di Indonesia masih kurang

diperhatikan.1,2

Mendengkur ada yang jarang timbul (occasional snoring) dan

ada yang timbul hampir setiap hari (habitual snoring). Angka kejadian occasional

snoring lebih tinggi yaitu sekitar 26%-30%, sedangkan habitual snoring sekitar

5%-7%.2,3

Bila terdapat habitual snoring pada anak, maka perlu ditindaklanjuti

karena hal tersebut dapat merupakan gejala atau dapat berkembang menjadi

OSAS (Obstructive Sleep Apnea Syndrome), yang kelak dapat menyebabkan

masalah serius pada anak.1 Spektrum mendengkur pada anak mulai ringan

sampai berat adalah primary snoring (PS), upper airway resistance syndrome

(UARS), obstructive hypoventilation (OH), dan OSAS. Perbedaan spektrum

tersebut didasarkan pada patofisiologi dan gejala yang terjadi akibat

mendengkur.2 Istilah primary snoring (mendengkur primer) digunakan untuk

menggambarkan anak dengan kebiasaan mendengkur yang tidak berkaitan

dengan apnea obstruktif, hipoksia atau hipoventilasi.4,5

2 Penyebab Snoring Pada Anak

141 | B A N U 6

Lebih cepatnya perkembangan tonsil dan adenoid dibandingkan

dengan perkembangan rongga mulut pada anak usia 3-6 tahun menyebabkan

kejadian mendengkur adalah tertinggi di usia tersebut. Perbedaan percepatan

pertumbuhan tersebut mengakibatkan adanya sumbatan atau penyempitan

jalan napas.3,6

Ukuran adenoid dan tonsil tidak berbanding lurus dengan berat

ringannya OSAS. Hipertrofi adenoid dan tonsil dapat juga menyebabkan penyulit

pada anak dengan kelainan dasar tulang. Walaupun pada sebagian besar anak

OSAS membaik setelah dilakukan adenotonsilektomi, namun sebagian kecil akan

menetap setelah dioperasi. Pada suatu penelitian sebagian kecil anak dengan

OSAS yang telah berhasil diatasi dengan operasi adenotonsilektomi kemudian

mengalami rekurensi gejalanya selama masa remaja.7

Pembesaran jaringan

limfadenoid ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti paparan

iritan lingkungan, seperti asap rokok, infeksi, rinitis alergi, dan asma.8 Faktor

genetik juga kemungkinan berpengaruh pada pusat ventilasi, anatomi, atau

keduanya, berdasarkan hasil studi kohort.8,9

Penyebab lain snoring adalah anak dengan anomali kraniofasial yang

mengalami penyempitan struktur saluran nafas yang nyata (mikrognasi dan

midface hipoplasia) akan mengalami OSAS. Pada anak dengan disproporsi

kraniofasial dapat menyebabkan sumbatan saluran nafas meskipun tanpa

disertai hipertrofi adenoid.10

Obesitas merupakan penyebab OSAS yang lain. Pada dewasa,

obesitas merupakan penyebab utama OSAS sedangkan pada anak tidak

demikian. Terjadinya OSAS pada obesitas karena adanya penyempitan saluran

nafas bagian atas akibat penimbunan jaringan lemak di dalam otot dan jaringan

lunak di sekitar saluran nafas, maupun kompresi eksternal leher dan rahang.10,11

Penentuan obesitas dapat dilakukan dengan cara menghitung body mass index

(BMI) dan pengukuran lingkar leher. Untuk penentuan OSAS, yang lebih

berperan adalah lingkar leher dibandingkan dengan BMI. Telah diketahui bahwa

lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah atas berhubungan dengan

peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula diduga berhubungan

dengan mendengkur dan OSAS. Diduga bahwa penumpukan lemak pada

daerah leher dapat membuat saluran nafas atas menjadi lebih sempit.

Kemungkinan lain adalah pada pasien obesitas dengan leher yang besar

mempunyai velofarings yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat

mempermudah terjadinya sumbatan saluran nafas atas pada waktu tidur.10

Gambar 1. Turbulensi aliran udara yang disebabkan oleh hipertropi tonsilar dan

jaringan adenoid.11

3. Dampak Snoring Akibat Osa Pada Anak

3.1 Dampak Neurobehavior

142 | B A N U 6

Salah satu dampak OSA pada anak adalah gangguan perilaku dan

neurokognitif. Selain itu, juga dapat menyebabkan hiperaktivitas, gangguan

perhatian, dan defisit kognitif. Mekanisme pasti hal ini belum dibuktikan. Namun,

kemungkinan besar disebabkan karena fragmentasi tidur dan hipoksia episodik

selama tidur menyebabkan perubahan substrat neurokimiawi korteks prefrontal

yang berujung pada disfungsi dan hilangnya sel neuron.8,12

3.2 Mengantuk Berlebih pada Siang Hari

Pada 13-20% anak dengan OSA didapatkan mengantuk berlebih pada

siang hari atau excessive daytime sleepiness (EDS). Hal ini sangat mengganggu

kegiatan tumbuh kembang anak saat siang hari. Mengantuk berlebih pada siang

hari mengganggu aktivitas belajar dan bermain di sekolah.8,13

3.3 Kualitas Hidup dan Depresi

Obstruktive Sleep Apnea yang dibarengi dengan obesitas dapat

menurunkan kualitas hidup anak. Terganggunya tidur akan meningkatkan

kelelahan yang menyebabkan iritabilitas, gangguan konsentrasi, mood depresif,

dan penurunan minat pada aktivitas harian. Penurunan kualitas hidup harian

berpengaruh pada hubungan anak dengan keluarga, sekolah, dan teman

sebaya. Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan antara OSA dengan

kualitas hidup harian pasien.8,14

3.4 Dampak Kardiovaskuler

OSA pada anak dapat menyebabkan kelainan kardiovaskuler seperti

yang terjadi pula pada dewasa. Pada anak dengan OSA ditemukan perubahan

pengaturan tekanan darah, hipertensi sistemik, dan perubahan ukuran ventrikel

kiri. Perubahan ini akibat peningkatan aktivitas dan reaktivitas simpatis yang

terus berkembang seiring OSA.8,15

Pada OSA, terjadi respons inflamasi yang ditandai peningkatan nilai C

Reactive Protein (CRP). Respons inflamasi pada pembuluh darah kecil pasien

menyebabkan disfungsi endotel yang memperburuk kualitas kardiovaskuler

pasien. Hipoksia yang terjadi saat anak tidur juga meningkatkan tekanan arteri

pulmonal yang menyebabkan disfungsi ventrikel kanan.8,15

3.5 Resistensi Insulin, Diabetes Tipe 2, dan Sindrom Metabolik

OSA dikenal sebagai salah satu faktor risiko sindrom metabolik pada

dewasa. Pada anak, resistensi insulin dan perubahan profil lipid terutama

dipengaruhi oleh obesitas. Bila pasien obesitas juga menderita OSA, risiko

menderita sindrom metabolik meningkat enam kali lipat dibandingkan pasien

obesitas tanpa OSA.8,16

3.6 Gangguan Pertumbuhan Somatik

Gangguan pertumbuhan pada anak dengan OSA terjadi pada 5%

pasien, didasari oleh penurunan kadar insulin-like growth factor I dan hormon

143 | B A N U 6

pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan kebanyakan akan menghilang setelah

terapi.8,16

4. Diagnosis, Penatalaksanaan Dan Prognosis

4.1 Diagnosis

4.1.1 Anamnesis

Pada anak berusia di bawah lima tahun, mendengkur merupakan

keluhan yang paling sering terkait tidur. Anak mengalami occasional snoring bila

episode mendengkur terjadi <3 kali per minggu dan habitual snoring bila

mendengkur ≥3 kali per minggu.9 Tidak seluruh anak yang mengalami habitual

snoring diklasifikasikan OSA. Pada habitual snoring tidak didapatkan apnea

obstruktif, hipopnea, episode terbangun untuk bernapas ataupun pertukaran gas

abnormal seperti pada OSA.17

Seringkali yang dilaporkan adalah keluhan lain seperti bernapas

melalui mulut, diaforesis, gerakan dada paradoksikal, sering terbangun, dan

episode apnea. Sedangkan anak berusia lima tahun atau lebih seringkali

menunjukkan enuresis, masalah perilaku, gangguan perhatian, dan gagal

tumbuh.9,18

Tiga tanda kardinal OSA membedakannya dengan keluhan

mendengkur biasa adalah adanya habitual snoring (≥3 malam/ minggu),

peningkatan usaha bernapas, dan terganggunya tidur.17

Skrining riwayat tidur anak secara rinci sebaiknya menjadi bagian dari

pemeriksaan rutin kesehatan anak. Anamnesis saja sulit membedakan dengkuran

primer dengan OSA pada anak.16,19

Informasi subyektif pasien dan guru di

sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan survei Obstructive Sleep

Disorders-6 (OSD-6) yang telah divalidasi untuk menilai keparahan, gangguan

tidur, stres emosional, dan keterbatasan aktivitas pada pasien dengan gangguan

tidur obstruktif.16,17

4.1.2 Pemeriksaan Fisik

Anak dengan OSA harus dinilai berat badan dan tinggi badan karena

anak dengan OSA empat atau lima kali lebih sering memiliki berat badan

berlebih dibandingkan anak tanpa OSA. Penilaian fisik kepala dan leher menilai

ada tidaknya stigmata-stigmata kelainan genetik. Selanjutnya menilai rongga

hidung dan mulut; dilihat adanya makroglosia, pembesaran tonsil, dan kelainan

lain.16

Kombinasi pemeriksaan meliputi penentuan klasifikasi Mallampati,

abnormalitas faring, dan indeks massa tubuh (IMT), dapat memperkirakan ada

tidaknya dan derajat beratnya OSA. Pemeriksaan fisik anak dengan OSA

terutama untuk menilai keadaan anatomis yang menyebabkan penyempitan

jalan napas atas, walaupun bukan menjadi baku emas penegakan diagnosis

OSA.8,9

4.1.3 Pemeriksaan Penunjang

144 | B A N U 6

Pemeriksaan penunjang seperti polisomnografi diperlukan untuk

membantu menegakkan diagnosis OSA. Beberapa pemeriksaan diagnostik lain

untuk OSA adalah oksimetri nokturnal, perekaman video, dan pemeriksaan tidur,

namun tidak dapat menilai periode tidur REM yang saat kejadian OSA justru

sering terjadi.9,16

4.1.3.1 Polisomnografi

Pemeriksaan pada saat tidur menggunakan polisomnografi (PSG)

merupakan baku emas untuk menegakkan diagnosis OSAS, walaupun

penggunaannya secara rutin tidak dilakukan.3,16

Pada anak, tanda dan gejala

obstructive sleep apnea lebih ringan dari pada orang dewasa; karena itu

diagnosisnya lebih sulit dan harus dipertegas dengan polisomnografi.

Polisomnografi juga akan menyingkirkan penyebab lain dari gangguan

pernafasan selama tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif

mengenai beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk

mengevaluasi keadaannya setelah operasi.10

Indikasi polisomnografi pada anak:16

• Membedakan dengkuran primer dengan dengkuran terkait OSA

• Menilai mengantuk berlebihan pada siang hari (excessive daytime

sleepiness)

• Ketidakpastian apakah hasil pemeriksaan cukup mengacu pada

kebutuhan operasi

• Anak dengan laringomalasia dengan gejala yang memberat

selama tidur

• Obesitas anak yang berhubungan dengan hiperkapnia,

mendengkur, dan gangguan tidur yang belum bisa dijelaskan

sebabnya

• Anak dengan anemia sel sabit dengan gejala OSA atau krisis

vasooklusif terkait tidur

• Jika penurunan berat badan atau CPAP dipilih sebagai terapi

utama

Kriteria diagnostik OSA pada anak berbeda dari kriteria untuk OSA

pada dewasa. Indeks Apnea-Hipopnea (Apnoea-Hypopnea Index/AHI) adalah

indeks keparahan apnea saat tidur yang menggabungkan apnea dan hipopnea.

AHI adalah jumlah apnea dan hipopnea. Pada orang dewasa, nilai AHI

dikategorikan menjadi 5-15/jam sebagai ringan, 15-30/jam sebagai sedang, dan

>30/jam sebagai berat. Pada anak-anak, AHI >1 dan desaturasi oksigen ≥4%

merupakan indikator adanya OSA ringan, nilai AHI 5-10 mengindikasikan OSA

ringan sampai dengan sedang, dan nilai AHI >10 pada anak usia 12 tahun atau

145 | B A N U 6

kurang menandakan OSA sedang sampai dengan berat. Nilai AHI lebih dari 5

pada anak mengindikasikan dimulainya terapi.20,21

Walaupun polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk

diagnosis OSA, pemeriksaan tersebut termasuk mahal, menghabiskan waktu,

dan tidak secara umum tersedia di seluruh pusat kesehatan. Kombinasi observasi

orang tua, temuan klinis, dan pemeriksaan radiologis adanya penyempitan

saluran napas atas dapat berguna sebagai skrining awal sebelum pasien dirujuk

untuk menjalani polisomnografi.16

a. Uji tapis:

Pemeriksaan dengan polisomnografi memerlukan waktu,

biaya yang mahal, dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan,

maka diperlukan uji tapis untuk membantu menegakkan diagnosis.

Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan

kuesioner. Brouillette dkk menunjukkan bahwa penelitian tidur yang

abnormal dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang

disebut skor OSAS. Dengan menggunakan skor tersebut, dapat

diprediksi kemungkinan OSA. Beberapa peneliti dapat menerima

penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak

menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73%

dan spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi.10

Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83

Keterangan:

D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali sekali ; 2: sering, 3:

selalu)

A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)

S: snoring /mendengkur (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering,

3: selalu)

Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan

nilai:

• Skor < -1 : bukan OSAS

• Skor -1 sampai 3,5 : mungkin OSAS mungkin bukan OSAS

• Skor > 3,5 : sangat mungkin OSAS

b. Observasi selama tidur

Kejadian OSAS dapat didiagnosis dengan observasi

langsung, anak di suruh tidur di tempat praktek dokter demikian

pula OSAS dapat didiagnosis dengan melakukan review

audiotapes/ videotapes yang dapat dilakukan di rumah. Beberapa

variabel yang dinilai adalah kekerasan dan tipe inspirasi,

pergerakan selama tidur, frekuensi terbangun, banyaknya apnea,

146 | B A N U 6

retraksi, dan nafas dengan mulut. Cara tersebut mempunyai nilai

sensitifitas 94%, spesifisitas 68%, nilai prediksi positif 83%, dan

nilai prediksi negatif 88%.7

Observasi selama tidur dapat dilakukan dengan

menggunakan pulse oximetry. Pada saat tidur anak dipantau

penurunan nilai saturasi dengan menggunakan oksimetri.

Pencatatan pulse oximetry secara kontinyu selama tidur

dianjurkan sebagai tes skrining dan dapat memperlihatkan

desaturasi secara siklik yang menjadi karakteristik suatu OSAS,

tetapi tidak akan mendeteksi pasien OSAS yang tidak berkaitan

dengan hipoksia. Dengan menggunakan metode di atas nilai

prediksi positif sebesar 97% dan nilai prediksi negatif 53%. Hal ini

berarti bahwa apabila terjadi penurunan saturasi selama tidur

maka kemungkinan menderita OSAS cukup besar tetapi apabila

tidak terdeteksi pada pemantauan dengan oksimetri maka di

perlukan pemeriksaan polisomnografi.22

c. Pemeriksaan laboratorium

Beberapa penanda hipoksia kronis seperti polisitemia atau

peningkatan ekskresi metabolit ATP dapat sebagai indikator non

spesifik OSAS. Pasien dengan hiperkapnia kronis selama tidur dapat

mengalami peningkatan bikarbonat serum yang persisten akibat

kompensasi alkalosis metabolik. Beberapa jenis sitokin diketahui

mempunyai efek somnogenik dan berperan penting dalam proses

tidur. Interleukin-1 dan TNF-α dapat meningkatkan slow wave sleep

dan pemberian anti TNF-α antibodi dapat menghambat fase

NREM. Irama sirkadian dari pelepasan TNF-α mengalami gangguan

pada pasien OSAS, kadar puncak fisiologis pada malam harinya

menghilang sedangkan pada siang hari kadar puncaknya

meningkat.23

4.2 Penatalaksanaan Snoring akibat OSA pada Anak

Penanganan OSA pada anak ditujukan terutama pada kondisi terkait

yang mendasari terjadinya OSA. Rekomendasi American Academy of Pediatrics,

langkah penting pertama adalah skrining. Saat kunjungan rutin kesehatan,

dokter harus menanyakan apakah anaknya mengorok. Bila ya, harus dilakukan

anamnesis dan pemeriksaan lebih lanjut.9,16

4.2.1 Tindakan Bedah

Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah tonsilektomi dan/atau

adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi kraniofasial.10

Adenotonsilektomi merupakan standar terapi utama OSA pada anak dengan

147 | B A N U 6

gambaran kraniofasial normal. Keberhasilan adenotonsilektomi mencapai 85%;

lebih rendah jika dikaitkan dengan adanya gangguan stuktur wajah seperti

retrognatia dan deviasi septum. Jika anak memiliki OSA dan hipertrofi

adenotonsiler, adenotonsilektomi dianjurkan sebagai lini pertama terapi. Namun,

jika anak OSA tanpa hipertrofi adenotonsiler, terapi lain harus dipertimbangkan

terlebih dahulu.3,16

Adapun kontra indikasi dan risiko komplikasi pembedahan

dijabarkan dalam tabel berikut.

Tabel 1. Kontraindikasi adenotonsilektomi pada anak3

Kontraindikasi Absolut

Kontraindikasi Absolut

Tidak adanya jaringan adenotonsiler

(jaringan telah diangkat)

Kontraindikasi Relatif Tonsil/adenoid yang sangat kecil

Obesitas derajat berat dan

tonsil/adenoid yang kecil

Kelainan perdarahan yang tidak dapat

diatasi

Palatoskizis submukosa

Kondisi medis lain yang membuat

pasien tidak stabil saat operasi

Kebanyakan pasien OSA dapat menjalani terapi operatif secara rawat

jalan atau pelayanan satu hari. Pasien berisiko tinggi seperti OSA derajat berat

pada polisomnografi, usia ≤3 tahun, dan anak dengan kondisi medis terkait yang

menyulitkan harus menjalani rawat inap setelah operasi.17

Tabel 2. Faktor risiko komplikasi pernapasan post-operatif pada anak dengan

OSA17

• Usia lebih muda dari 3 tahun

• OSA derajat berat pada polisomnografi

• Komplikasi jantung akibat OSA

• Gagal tumbuh

• Obesitas

• Anomali kraniofasial

• Kelainan neuromuscular

• Infeksi pernapasan yang sedang diderita

Setelah adenotonsilektomi, dilakukan evaluasi ulang untuk

menentukan terapi lanjutan yang diperlukan. Komplikasi adenotonsilektomi pada

pasien OSA termasuk dehidrasi, perdarahan, dan insufisiensi velofaringeal.3,16

Tindakan operatif bermanfaat mengurangi gejala dan memperbaiki

perilaku, kualitas hidup, dan temuan polisomnografi, sehingga lebih baik

dilakukan lebih dini pada anak usia sekolah.24

Adenotonsilektomi memberikan

148 | B A N U 6

hasil yang memuaskan pada kebanyakan kasus anak dengan OSA. Anak dengan

usia lebih besar, obesitas, OSA derajat berat atau dengan penyakit asma

memiliki risiko lebih besar mengalami gejala sisa OSA.25

Paska tonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan pemantauan

dengan polisomnografi sebagai tindak lanjut. Terkadang gejala masih ada dan

dalam beberapa minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non medis lainnya

seperti penanganan obesitas tetap dilakukan meskipun telah dilakukan

tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.26

4.2.2 Continuous positive airway pressure (CPAP)

Nasal continuous positive airway pressure (CPAP) telah digunakan

dengan hasil yang baik pada anak termasuk bayi, anak obesitas, sindrom Down,

akondroplasia, dan dengan kelainan kraniofasial. Penggunaan CPAP

direkomendasikan pada yang tidak dapat menjalani adenotonsilektomi atau

pada pasien yang memiliki gejala sisa OSA setelah operasi. Sebenarnya indikasi

pemberian CPAP adalah apabila setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau

adenoidektomi pasien masih mempunyai gejala OSAS atau sambil menunggu

tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP

adalah kepatuhan berobat dan hal tersebut memerlukan persiapan pasien yang

baik, edukasi, dan pemantauan yang intensif.7,27

CPAP menggunakan peralatan elektronik yang mengalirkan tekanan

udara konstan melalui sungkup nasal. Aliran tekanan udara ini bertujuan untuk

penyesuaian mekanis saluran napas atas dan memperbaiki kapasitas residual

fungsional paru. Tekanan untuk tiap anak berbeda, sehingga CPAP harus diatur

dan dicoba terlebih dahulu di laboraturium pemeriksaan tidur sebelum

penggunaan rutin.3,28

CPAP efektif menghilangkan OSA pada 85% anak dan memperbaiki

saturasi oksigen nadir dan fase REM tidur. Anak berusia lebih dari dua tahun

sering tidak nyaman menggunakan CPAP seperti yang dialami orang dewasa.16

Efek samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran udara

di sekitar selang masker. Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering,

konjungtivitis, dan ruam pada kulit. Dekongestan, tetes hidung dengan NaCl

fisologis atau penggunaan sistem CPAP dengan menggunakan humidifer dapat

mengurangi efek samping.27

4.2.3 Penurunan berat badan

Penurunan berat badan mutlak dilakukan pada pasien obesitas.

Penurunan berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS yang nyata dan

merupakan kunci keberhasilan terapi OSAS pada anak dengan predisposisi

obesitas. Namun, menurunkan berat badan pada anak lebih sulit dilakukan dari

pada dewasa. Pendekatan yang dilakukan harus bertahap karena menurunkan

149 | B A N U 6

berat badan secara drastis tidak dianjurkan pada anak. Perlu kesabaran dan

perhatian tenaga kesehatan lebih banyak dalam yang menangani pasien dengan

obesitas. Cara ideal adalah menurunkan berat badan secara perlahan dan

konsisten, hal ini memerlukan waktu lama. Selain memperbaiki diet pada

obesitas, hal yang perlu diperhatkan adalah penyakit lain yang mungkin

menyertainya seperti diabetes melitus atau hipertensi. Oleh karena itu sambil

menunggu berat badan turun diperlukan pemasangan CPAP. Nasal CPAP harus

digunakan sampai mencapai penurunan berat badan yang cukup. Peningkatan

berat badan akan memperburuk OSAS dan penurunan berat badan dapat

menurunkan gejala OSAS. Dalam hal penanganan obesitas termasuk di

dalamnya adalah modfikasi perilaku, terapi diet, olah raga (exercise), dan obat-

obatan. Pada pasien OSAS yang berat dan memberi komplikasi yang potensial

mengancam hidup memerlukan perawatan di rumah sakit.7,29

4.2.3 Obat-obatan

Faktor yang umumnya dapat mempermudah terjadinya OSAS pada

anak adalah obstruksi hidung. Obstruksi hidung dapat diobati dengan

dekongestan nasal atau kortikosteroid inhaler. Penggunaan kortikosteroid

intranasal ditujukan untuk menangani pembesaran adenotonsilar pada anak.

Preparat kortikosteroid sistemik dengan efek antiinflamasi dan efek limfolitik

mampu mengecilkan ukuran jaringan limfoid.3 Kortikosteroid intranasal menjadi

pilihan untuk anak dengan OSA ringan dengan kontraindikasi adenotonsilektomi

atau OSA ringan yang masih bergejala setelah operasi. Kortikosteroid intranasal

juga direkomendasikan pada OSA anak dengan rinitis dan obstruksi saluran

napas atas akibat hipertrofi adenotonsilar. Preparat yang telah diteliti

penggunaannya untuk OSA pada anak adalah steroid nasal topikal dan inhibitor

anti-leukotrin seperti Montelukast. Suatu penelitian menemukan manfaat

penggunaan mometasone furoate selama empat minggu untuk pasien anak

dengan gangguan tidur yang disertai hipertrofi adenoid.28

Progesteron telah digunakan sebagai stimulan pernafasan pada

pasien anak dengan Obesity Hipoventilation Syndrom. Keberhasilan pemberian

obat-obat tersebut kurang bermakna sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat

penenang dan obat yang mengandung alkohol harus dihindarkan karena dapat

memperberat OSAS.26

5. Prognosis

Prognosis OSA pada anak seringkali lebih baik dibandingkan OSA

dewasa. Sebanyak 87,7% anak mengalami perbaikan bermakna kualitas hidup

jangka pendek dan 74,5% mengalami perbaikan besar kualitas hidup setelah

ditangani terutama adenotonsilektomi. Selain peningkatan kualitas hidup

kebanyakan anak juga mengalami peningkatan tinggi dan berat badan serta

150 | B A N U 6

perbaikan performa di sekolah. Hanya 5,1% anak menyatakan penurunan kualitas

hidup setelah operasi.19

Prognosis OSA yang tidak diterapi pada anak dapat berat akibat

dampak jangka panjang seperti hipertensi, iskemia miokard, gagal jantung

kongestif, dan stroke. Selain itu, OSA yang dibiarkan tidak diterapi juga dapat

menyebabkan gagal tumbuh dan gangguan belajar pada anak.16

6. PENUTUP

Snoring atau mendengkur dapat terjadi pada anak-anak dan dapat

berupa occasional maupun habitual snoring. Bila anak mengalami habitual

snoring maka perlu diwaspadai karena dapat merupakan bagian dari tiga tanda

kardinal OSA yang berbeda dengan keluhan mendengkur biasa yaitu adanya

habitual snoring (≥3 malam/ minggu), peningkatan usaha bernapas, dan

terganggunya tidur. Penegakan diagnosis snoring oleh karena OSA dapat

melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang sampai baku emas

berupa polisomnografi (PSG). Dampak OSA pada anak telah diketahui secara

luas yaitu risiko terjadinya penyakit-penyakit kardiovaskuler, gangguan

neurobehavior, resistensi insulin, Diabetes Melitus tipe 2, sindroma metabolik,

gangguan pertumbuhan somatik, mengantuk berlebihan di siang hari,

penurunan kualitas hidup dan depresi. Penatalaksanaan snoring oleh karena

OSA pada anak dapat berupa terapi farmakologi, terapi non farmakologi

(pembedahan, CPAP), maupun gaya hidup (penurunan berat badan, olah raga,

diet), serta penanganan penyakit-penyakit komorbid.

Daftar Pustaka

1. Anuntaseree W, Kuasirikul S, Suntornlohanakul S. 2005. Natural history

of snoring and obstructive sleep apnea in Thai school-age children.

Pediatr Pulmonol. 39:415-20.

2. Marcus CL, Brooks LJ, Draper KA, Gozal D, Halbower AC, Jones J, dkk.

2012. Diagnosis and management of childhood obstructive sleep

apnea syndrome. Pediatrics. 130:576-84.

3. Lumeng JC, Chervin RD. 2008. Epidemiology of pediatric obstructive

sleep apnea. Proceedings of the American Thoracic Society. 5(2): 242-

52.

4. Marcus CL, Carroll JL. 1994. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam:

Loughlin GM, Eiger H, penyunting. Respiratory disease in children;

diagnosis and management. Baltimore. William & Wilkins. 475-91.

5. Carroll JL, Loughlei GM. 1992. Diagnostic criteria for obstructive sleep

apnea syndrome in children. Pediatr Pulmonol. 14:71-4.

151 | B A N U 6

6. Chang SJ, Chae KY. 2010. Obstructive sleep apnea syndrome in

children: Epidemiology, pathophysiology, diagnosis and sequelae.

Korean J Pediatr. 53:863-71.

7. Schechter MS. 2002. Technical report: Diagnosis and management of

childhood obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 109:1-20.

8. Dayyat E, Kheirandish-Gozal L, Gozal D. 2007. Childhood obstructive

sleep apnea: One or two distinct entities? Sleep Med Clin. 2(3): 433-

44.

9. Kaswandani N. 2010. Obstructive sleep apnea syndrome pada anak.

Maj Kedokt Indon. 60(7): 295-6.

10. Supriyatno B, Deviani R. 2005. Obstructive sleep apnea syndrome

pada anak. Sari Pediatri. Vol. 7:2. 77 – 84.

11. Gursanscky J, Boston M, Kamani T. 2017. A Snoring Children. BMJ; 357:

j2124.

12. Beebe D. 2006. Neurobehavioral morbidity associated with disordered

breathing during sleep in children: A comprehensive review. SLEEP.

29(9): 1115-34.

13. Capdevila OS, Kheirandish-Gozal L, Dayyat E, Gozal D. 2008. Pediatric

obstructive sleep apnea. Proceedings of the American Thoracic

Society. 5(2): 274-82.

14. Jackman AR, Biggs SN, Walter LM, Embuldeniya US, Davey MJ, Nixon

GM, et al. 2013. Sleep disordered breathing in early childhood: Quality

of life for children and families. Sleep. 36(11): 1639-46.

15. Ng DK, Chan CH. 2009. Childhood obstructive sleep apnea contributes

to a leading health Burden. American Journal of Respiratory and

Critical Care Medicine. 2009; 179(9): 853.

16. Welch KC, Goldberg AN. 2012. Sleep disorders. In: Lalwani AK, editor.

Current diagnosis and treatment otolaryngology head and neck

surgery. USA: Mc Graw Hill. p.567-9.

17. American Academy of Pediatrics. 2012. Diagnosis and management of

childhood obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 130(3): 576-

84.

18. Izu SC, Itamoto CH, Pradella-Hallinan M, Pizarro GU, Tufi k S, Pignatari

S, et al. 2010. Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) in mouth

breathing children. Braz j otorhinolaryngol (impr). 76(5).

19. Li AM, So HK, Au CT, Ho C, Lau J, Ng SK, et al. 2010. Epidemiology of

obstructive sleep apnoea syndrome in Chinese children: A two-phase

community study. Thorax. 2010; 65: 991-7.

152 | B A N U 6

20. Beck SE, Marcus CL. 2009. Pediatric polysomnography. Sleep Med

Clin. 4(3): 393-406.

21. Surya PB, Randeep G, Sushil KK. 2014. Obstructive sleep apnea

syndrome in children. Int J Med Med Sci. 1(2): 14-20.

22. Annelies VE, Stijn LV. 2018. Improving the diagnosis of obstructive

sleep apnea in children with nocturnal oximetry-based evaluations,

Expert Review of Respiratory Medicine, 12:3, 165-167.

23. Entzian P, Linnemann K. Schlaak M. 1996. Obtructive sleep apnea

syndrome and circadian rhytms of hormones an cytokines. Am J

Respir Crit Care Med. 153:1080-6.

24. Marcus CL, Moore RH, Rosen CL, Giordani B, Garetz SL, HG Taylor, et

al. 2013. A randomized trial of adenotonsillectomy for childhood sleep

apnea. N Engl J Med. 368(25): 2366-76.

25. Urquhart DS. 2013. Investigation and management of childhood sleep

apnoea. Hippokratia. 17(3): 196-202.

26. Supriyatno B, Deviani R, Tumbelaka A, Kariani EBK, Rahajoe NN. 2005.

Characteristics and risk factors of snoring and the prevalence of

suspected obstructive sleep apnea in children. Pediatr Indones. 45:40-

5.

27. Teschler H, Jones MB, Thomson AB, dkk. 1996. Automated continuo

positive airway pressure titration for obstructive sleep apnea

syndrome. Am J Respir Crit Care Med. 154:734-40.

28. Bhattacharjee R, Kheirandish-Gozal L, Spruyt K, Mitchell RB,

Promchiarak J, SImakajornboon N, et al. 2010. Adenotonsillectomy

outcomes in treatment of obstructive sleep apnea in children. Am J

Respir Cirt Care Med. 182: 676-83.

29. Smith RS, Ronald J, Delaive K, Walld R, Manfreda J, Kryger MH. 2002.

What are obstructive sleep apnea patients being treated for prior to

this diagnosis?. Chest. 121:164-72.

30. Wojciech Kukwa, Christian Guilleminault, Magdalena Tomaszewska,

Andrzej Kukwa, Antoni Krzeski, Ewa Migacz. 2018. Prevalence of upper

respiratory tract infection in habitually snoring and mouth breathing

children. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology 107

(2018) 37-41.

153 | B A N U 6

ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)

Sri Yenni Trisnawati

Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University/Sanglah

Hospital

Denpasar, Bali

1. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah suatu kondisi

perkembangan dengan inatensi atau gangguan perhatian dan kekacauan atau

distractibility dengan atau tanpa disertai hiperaktif. Berdasarkan Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition (DSM-IV) mendifinisikan

ADHD sebagai suatu gangguan neurobehaviour yang menetap dan disertai

gejala berupa ketidakmampuan memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan

impulsivitas yang tidak sesuai dengan usia perkembangan.

2. Epidemiologi

Angka prevalensi ADHD bervariasi, disebabkan perubahan kriteria

diagnostik yang terus direvisi dan juga perbedaan lokasi geografis serta estimasi

sampel yang dipakai.2 Berdasarkan revisi terakhir didapatkan angka prevalensi

ADHD sebesar 4%-12% (dengan estimasi 8%-10%) dan terdiri dari 9,2% (5,8%-

13,6%) laki-laki dan 2,9% (1,9%-4,5%) perempuan.2 Menurut klasifikasi Diagnosis

and statistical manual of mental disorders (DSM) IV anak perempuan lebih

banyak termasuk dalam tipe gangguan perhatian.1,3

Prevalensi ADHD di dunia diperkirakan berkisar 2-9,5% pada anak usia

sekolah. Dikutip dari laporan penelitian Graetz dkk mengenai prevalensi ADHD

di Australia didapatkan angka sebesar 7,5% pada usia 6-17 tahun. Dikuyip dari

laporan pertemuan WHO regional Timur Tengah, bahwa menurut Walker (2007)

pada Negara berkembangdiestimasikan prevalensi sebesar 3-11% dan cenderung

menurun pada usia remaja hingga dewasa. Wihartono dkk (2007) dalam

penelitiannya pada tujuh sekolah dasar di kabupaten Bantul Yogyakarta

didapatkan angka 5,37% dengan rasio laki-laki banding perempuan 10:1.

3. Etiologi

Etiologi ADHD menurut teori yang ada saat ini meliputi factor genetic,

structural fungsional otak, dan disregulasi neurotransmitter serta aspek interaksi

lintasan dan tahapan perkembangan otak dengan pajanan lingkungan.

3.1. Faktor Genetik

Penelitian riwayat keluarga dan saudara kembar menunjukkan

keterlibatan factor genetic didalam ADHD, dimana peranannya sebesar 30-35%.

Anak yang dalam keluarganya ada yang menyandang ADHD akan memiliki

kemungkinan ADHD sekitar 6-8 kali lebih tinggi disbanding pada populasi

154 | B A N U 6

umum. Castellanos dan Tannock (2002) mengidentifikasi variasi gen spesifik

dalam ADHD dengan dua gen terkuat adalah alel dopamine transporter 1 (DAT

1) 10R yang berhubungan dengan peningkatan aktifitas reuptake dopamine dan

alel dopamine receptor D4 (DRD4) 7R yang mengubah transmisi dopamine

dalam jaringan neural dan membuat reseptor postsinaptik menjadi kurang

sensitive terhadap dopamine sehingga terjadi penurunan aktivitas jalur

dopaminergik dalam lintasan mesokortikolimbik dan lintasan nigrostriatal.

3.2. Faktor struktural dan fungsional otak

Bukti fungsional dan struktural ADHD menunjukkan adanya disfungsi

otak yaitu prefrontal, nukleus kaudatus dan globus palidus. Kelainan disregulasi

neurotransmitter ADHD disebabkan karena ketidakseimbangan norepinefrin (NE)

dan dopamin (DA), lebih tepatnya terjadi kelebihan NE dalam lokus seruleus dan

terjadi deficit DA dalam sistem mesolimbik frontal.

3.3. Faktor disregulasi neurotransmitter

Studi neurofarmakologi menunjukkan bahwa disregulasi sistem

noradrenalin menyebabkan gangguan fungsi atensi kortikal posterior, serta

gangguan disregulasi dopamine yang menyebabkan gangguan fungsi eksekutif.

Serotonin berperan dalam diferensiasi neuronal, perkembangan dendrite,

sinaptogenesis dan mielinisasi akson, mengatur pembelahan sel serta regulasi

factor neurotropik saat perkembangan.

3.4. Faktor lintasan atau tahapan perkembangan otak

Kasus ADHD tertentu karena tidak diterimanya suatu “budaya” pada

usia tertentu sehingga gejala ADHD diharapkan membaik jika kondisi lingkungan

mendukung atau sebaliknya, gejala tersebut akan menetap jika stressor

psikososial dialami berkepanjangan.

4. Patofisiologi

Dasar neurobiologist ADHD masih belum diketahui dengan jelas,

tetapi saat ini terdapat 2 hipotesis, yaitu: 1) hipotesis frontostriatal yang

mempostulasikan adanya disfungsi sirkuit frontostriatal, didasarkan pada

sejumlah temuan penelitian anatomis dan fungsional serta dari temuan

penelitian neuroimaging. 2) Hipotesis kortikal posterior menunjukkan adanya

perubahan pada kortek posterior lainnya, pada tingkat anatomis dan fungsional.

Disfungsi korteks prefrontalis (prefrontal cortex, PFC) adalah

komponen fundamental dalam ADHD. PFC menggunakan working memory

untuk memandu prilaku, menghambat impuls yang tidak sesuai dan

memungkinkan perencanaan dan penyusunan secara efektif. Individu dengan

ADHD menunjukkan gangguan pada tes fungsi lobus frontalis. Secara spesifik,

PFC kanan diketahui secara konsisten lebih kecil pada subjek ADHD

155 | B A N U 6

Menurut perkembangan dinamis ADHD, perubahan fungsi

dopaminergik memainkan peranan penting melalui kegagalan dalam mengatur

transmisi sinyal nondopaminergik (terutama glutamate dan GABA).

5. Evaluasi ADHD pada anak

Diagnosis ADHD tidak dapat dibuat hanya berdasarkan informasi

sepihak dari orang tuanya, setidaknya terdapat pula informasi dari sekolah. Pada

penderita harus dilakukan pemeriksaan yang mempertimbangkan situasi dan

kondisi saat pemeriksaan, dan kemungkinan hal yang lain yang mungkin menjadi

pemicu ADHD.

5.1. Kriteria Diagnosis dan Manifestasi Klinis

Adapun kriteria untuk menentukan ADHD mengacu pada DSM-IV

tahun 2005 sebagai berikut:

1.1 Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah suatu kondisi

perkembangan dengan inatensi atau gangguan perhatian dan kekacauan atau

distractibility dengan atau tanpa disertai hiperaktif. Berdasarkan Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition (DSM-IV) mendifinisikan

ADHD sebagai suatu gangguan neurobehaviour yang menetap dan disertai

156 | B A N U 6

gejala berupa ketidakmampuan memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan

impulsivitas yang tidak sesuai dengan usia perkembangan.

2.2 Epidemiologi

Angka prevalensi ADHD bervariasi, disebabkan perubahan kriteria

diagnostik yang terus direvisi dan juga perbedaan lokasi geografis serta estimasi

sampel yang dipakai.2 Berdasarkan revisi terakhir didapatkan angka prevalensi

ADHD sebesar 4%-12% (dengan estimasi 8%-10%) dan terdiri dari 9,2% (5,8%-

13,6%) laki-laki dan 2,9% (1,9%-4,5%) perempuan.2 Menurut klasifikasi Diagnosis

and statistical manual of mental disorders (DSM) IV anak perempuan lebih

banyak termasuk dalam tipe gangguan perhatian.1,3

Prevalensi ADHD di dunia diperkirakan berkisar 2-9,5% pada anak usia

sekolah. Dikutip dari laporan penelitian Graetz dkk mengenai prevalensi ADHD

di Australia didapatkan angka sebesar 7,5% pada usia 6-17 tahun. Dikuyip dari

laporan pertemuan WHO regional Timur Tengah, bahwa menurut Walker (2007)

pada Negara berkembangdiestimasikan prevalensi sebesar 3-11% dan cenderung

menurun pada usia remaja hingga dewasa. Wihartono dkk (2007) dalam

penelitiannya pada tujuh sekolah dasar di kabupaten Bantul Yogyakarta

didapatkan angka 5,37% dengan rasio laki-laki banding perempuan 10:1.

2.3 Etiologi

Etiologi ADHD menurut teori yang ada saat ini meliputi factor genetik,

struktural fungsional otak, dan disregulasi neurotransmitter serta aspek interaksi

lintasan dan tahapan perkembangan otak dengan pajanan lingkungan.

a. Faktor Genetik

Penelitian riwayat keluarga dan saudara kembar

menunjukkan keterlibatan factor genetic didalam ADHD, dimana

peranannya sebesar 30-35%. Anak yang dalam keluarganya ada yang

menyandang ADHD akan memiliki kemungkinan ADHD sekitar 6-8

kali lebih tinggi disbanding pada populasi umum. Castellanos dan

Tannock (2002) mengidentifikasi variasi gen spesifik dalam ADHD

dengan dua gen terkuat adalah alel dopamine transporter 1 (DAT 1)

10R yang berhubungan dengan peningkatan aktifitas reuptake

dopamine dan alel dopamine receptor D4 (DRD4) 7R yang mengubah

transmisi dopamine dalam jaringan neural dan membuat reseptor

postsinaptik menjadi kurang sensitive terhadap dopamine sehingga

terjadi penurunan aktivitas jalur dopaminergik dalam lintasan

mesokortikolimbik dan lintasan nigrostriatal.

b. Faktor struktural dan fungsional otak

Bukti fungsional dan structural ADHD menunjukkan adanya

disfungsi otak yaitu prefrontal, nucleus kaudatus dan globus palidus.

157 | B A N U 6

Kelainan disregulasi neurotransmitter ADHD disebabkan karena

ketidakseimbangan norepinefrin (NE) dan dopamin (DA), lebih

tepatnya terjadi kelebihan NE dalam lokus seruleus dan terjadi deficit

DA dalam sistem mesolimbik frontal.

c. Faktor disregulasi neurotransmitter

Studi neurofarmakologi menunjukkan bahwa disregulasi

sistem noradrenalin menyebabkan gangguan fungsi atensi kortikal

posterior, serta gangguan disregulasi dopamine yang menyebabkan

gangguan fungsi eksekutif. Serotonin berperan dalam diferensiasi

neuronal, perkembangan dendrite, sinaptogenesis dan mielinisasi

akson, mengatur pembelahan sel serta regulasi factor neurotropik saat

perkembangan.

d. Faktor lintasan atau tahapan perkembangan otak

Kasus ADHD tertentu karena tidak diterimanya suatu

“budaya” pada usia tertentu sehingga gejala ADHD diharapkan

membaik jika kondisi lingkungan mendukung atau sebaliknya, gejala

tersebut akan menetap jika stressor psikososial dialami

berkepanjangan.

2.4 Patofisiologi

Dasar neurobiologist ADHD masih belum diketahui dengan jelas, tetapi

saat ini terdapat 2 hipotesis, yaitu: 1) hipotesis frontostriatal yang

mempostulasikan adanya disfungsi sirkuit frontostriatal, didasarkan pada

sejumlah temuan penelitian anatomis dan fungsional serta dari temuan

penelitian neuroimaging. 2) Hipotesis kortikal posterior menunjukkan adanya

perubahan pada kortek posterior lainnya, pada tingkat anatomis dan fungsional.

Disfungsi korteks prefrontalis (prefrontal cortex, PFC) adalah komponen

fundamental dalam ADHD. PFC menggunakan working memory untuk

memandu prilaku, menghambat impuls yang tidak sesuai dan memungkinkan

perencanaan dan penyusunan secara efektif. Individu dengan ADHD

menunjukkan gangguan pada tes fungsi lobus frontalis. Secara spesifik, PFC

kanan diketahui secara konsisten lebih kecil pada subjek ADHD

Menurut perkembangan dinamis ADHD, perubahan fungsi dopaminergik

memainkan peranan penting melalui kegagalan dalam mengatur transmisi sinyal

nondopaminergik (terutama glutamate dan GABA).

2.5 Evaluasi ADHD pada anak

Diagnosis ADHD tidak dapat dibuat hanya berdasarkan informasi

sepihak dari orang tuanya, setidaknya terdapat pula informasi dari sekolah. Pada

penderita harus dilakukan pemeriksaan yang mempertimbangkan situasi dan

158 | B A N U 6

kondisi saat pemeriksaan, dan kemungkinan hal yang lain yang mungkin menjadi

pemicu ADHD.

2.6. Kriteria Diagnosis dan Manifestasi Klinis

Adapun kriteria untuk menentukan ADHD mengacu pada DSM-IV

tahun 2005 sebagai berikut:

Diagnosis harus meliputi dapat tidaknya memusatkan perhatian atau

hiperaktivitas atau impulsivitas

2.6.1. Tidak dapat memusatkan perhatian (A1)

Enam atau lebih dari gejala tidak dapat memusatkan perhatian yang

menetap paling sedikit 6 bulan sampai pada derajat terjadinya

maladaptive dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan:

• Sering gagal dalam memusatkan perhatian pada hal–hal kecil atau

membuat kesalahan/ kecerobohan pada pekerjaan sekolah atau

aktivitas lain.

• Sukar mempertahankan perhatian pada tugas atau aktivitas.

• Tidak mendengarkan bila diajak berbicara langsung.

• Tidak mengikuti petunjuk dan gagal menyelesaikan pekerjaan

sekolah, tugas atau kewajiban.

159 | B A N U 6

• Kesukaran dalam mengatur tugas dan aktivitas.

• Sering menghindari atau enggan terikat pada tugas yang

membutuhkan dukungan mental yang terus menerus (pekerjaan

sekolah atau pekerjaan rumah).

• Sering menghilangkan benda-benda yang dibutuhkan dalam

tugas dan aktivitas.

• Mudah terganggu oleh rangsang luar.

• Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari.

2.6.2. Hiperaktivitas dan impulsivitas (A2)

Enam atau lebih gejala hiperaktivitas–impulsivitas yang menetap selama 6

bulan sampai pada derajat terjadinya maladaptive dan tidak sesuai

dengan tingkat perkembangan.

• Tampak gelisah dengan tangan atau kaki yang menggeliat-geliat

di tempat duduk.

• Sering meninggalkan tempat duduk dimana situasinya diharapkan

untuk duduk tenang.

• Sering berlari atau memanjat berlebihan dalam situasi dimana hal

itu tidak sesuai.

• Sering mengalami kesulitan bila bermain atau bersenang–senang

diwaktu senggang dengan kondisi tenang/ diam.

• Selalu bergerak terus atau berlaku bagaikan didorong oleh mesin.

• Sering bicara berlebihan.

• Sering menjawab dahulu sebelum pertanyaan selesai diajukan,

• Sering sulit menunggu giliran.

• Sering menyela dan memaksakan kehendak pada orang lain

(memotong pembicaraan atau permainan).

Semua gangguan tersebut

• Muncul sebelum usia 7 tahun.

• Muncul dalam dua atau lebih keadaan (misal di rumah, sekolah

atau tempat kerja)

• Gejala ini tidak terjadi semata - mata dalam perjalanan gangguan

perkembangan pervasif, skizofrenia atau gangguan psikotik

lainnya.

• Tidak lebih baik bila bersama sama dengan gangguan mental

lainnya (misal gangguan mood atau gangguan cemas).

Adapun kriteria diagnosis ADHD menurut DSM V adalah sebagi berikut:

160 | B A N U 6

161 | B A N U 6

Terdapat beberapa kondisi yang menyerupai gejala ADHD atau terdapat

bersamaan dengan ADHD, seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.

3. Terapi

Penatalaksanaan anak usia prasekolah (4-5 tahun), harus diberikan

terapi tingkah laku sebagai pengobatan lini pertama dan dapat diresepkan

methylphenidate dengan dosis 5 mg/kgBB. Pada anak usia sekolah (6-11 tahun)

diberikan terapi ADHD sesuai rekomendasi dengan methylphenidate (dosis

5mg/kgBB) dan atau terapi behavior. Sedangkan untuk usia dewasa (12-18

tahun) diberikan terapi ADHD sesuai rekomendasi FDA dengan pemberian

metylphenidate (dosis 5 mg/kgBB) dan terapi tingkah laku.

162 | B A N U 6

163 | B A N U 6

Berikut beberapa obat-obatan yang digunakan dalam penatakasanaan ADHD

164 | B A N U 6

DAFTAR PUSTAKA

1. Barkley R. Attention-deficit hyperactivity disorder: A handbook for

diagnosis and treatment (2nd ed.). 1993. New York: Guilford Press.

2. Boanaschewski T, Becker K., Scherag S, Franke B, Coghill D. Molecular

genetics of attention-deficit/hyperactivity disorder. Eur Child Adolesc

Psychiatry 2010; 19:237-257.

3. Chang FM, Kidd JR, Livak KJ, Pakstis AJ, Kidd KK. The word-wide

distribution of allele frequencies at the human dopamine D4 receptor

locus. Hum Genet. 1996; 98(1):91-101

4. American Psychiatric association. Diagnostic and statistical manual of

mental disorders, 4th ed, 2005. Washington DC.

5. Weiss M, & Murray C. Assessment and management of attention-

deficit hyperactivity disorder in adults. Journal of the Canadian

Medical Association 2003; 168: 715-731.

6. Barkley RA. Driving impairments in teens and adults wit attention-

deficit/hyperactivity disorder. In T.J. Spencer (Ed), Adult attention-

deficit/ hyperactivity disorder. Psychiatric Clinics of North America,

June 2004, 27(2). New York: Elsevier.

165 | B A N U 6

7. Polanzyk GV, Rohde LA, de Lima MA, et al. The worldwide ADHD

prevalence: a systematic review and meta-regression analysis.

Scientific Proceedings of the Joint Annual Meeting of the American

Academy of Child & Adolescent Psychiatry and the Canadian

Academy of Child & Adolescent Psychiatry (Toronto, 2005. Oct 18-23).

8. Thursina C, Wibowo S, Sadewa AH, Sutarni S. Hubungan Dopamine

Transporter (DAT1) dengan Gambaran Neurologis dan Neuropsikologi

pada anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

Universitas Gadjah Mada. Disertasi 2015.

9. Saputro D, Muchlas M. Gangguan Hiperkinetik pada anak di DKI

Jakarta, Penyusunan instrument diagnosis baru, penentuan prevalensi,

penelitian patofisiologi dan upaya terapi. Disertasi 2004. Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada

10. Wihartono W, Sutarni S, Setyaningsih I. Faktor Risiko Attention

Deficit/Hyperactivity Disorder pada murid sekolah dasar di Kecamatan

Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Universitas Gadjah Mada. Tesis 2007.

11. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th edition

tahun 2005.

12. Chugani DC, Muzik O, Behen M, Rothermel R, Janisse JJ, Lee J,

Chugani HT. Developmental changes in brain serotonin synthesis

capacity in autistic and nonautistic children. Ann Neurol 1999, 45:287-

295

13. Karminester DD. Attention deficit hyperactivity disorder and

methylphenidate: when society misunderstands medicine, McGill

Journal of Medicine 1997; 3, 105-114

14. Juneja M, Jain R, Singh V, Mallika V. Iron deficiency in Indian children

with attention deficit hyperactivity disorder. Indian Pediatri 2010;

47(11):955-958.

15. Barbara T, Felt MD, Biermann B. Diagnosis and Management of ADHD

in Children. American Academy of Family Physicians.2014; 90(7):456-

464.

166 | B A N U 6

CVST: COMMON BUT UNDERDIAGNOSED DISEASE

I.G.N Budiarsa

Neurology Department, Faculty of Medicine

Udayana University/Sanglah Hospital

Denpasar, Bali

1. PENDAHULUAN

Trombosis sinus vena serebral (CVST) adalah kondisi langka yang

ditandai dengan trombosis sinus dural dan / atau vena serebral. CSVT

menyumbang sekitar 0,5-3% dari semua jenis stroke, dengan perkiraan kejadian

untuk orang dewasa 3-4 per juta.2 Pada era pra-antibiotik, sebagian besar kasus

CVST disebabkan oleh infeksi. Namun, saat ini CVST lebih mungkin dihasilkan

dari koagulopati. Beberapa faktor dapat bertanggung jawab untuk CVST, seperti

trombofilia, kolitis, kehamilan, dehidrasi, infeksi, medikamentosa tertentu

(misalnya kontrasepsi oral, NAPZA), atau trauma kepala.

CVST merupakan penyakit yang unik karena kesulitan dalam diagnosis

dan manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Karena manifestasi klinisnya yang

luas dan beragam, CVST harus dipertimbangkan dengan indeks kecurigaan yang

tinggi setiap kali manifestasi klinis menyerupai penyakit tersebut. Kesulitan dalam

menegakkan diagnosis akibatnya menghasilkan data epidemiologi yang

bervariasi. Kejadian yang akurat dari CVST belum ditetapkan dengan beberapa

pendaftar stroke termasuk CVST. Namun, sebuah studi patologis menemukan

prevalensi CVST menjadi setinggi 9,3% di antara subyek yang diotopsi.

Perbedaan data ini mencerminkan bahwa CVST mungkin kurang terdiagnosis.

Dengan demikian, pemahaman profesional perawatan kesehatan mengenai

penyakit ini harus ditingkatkan dengan lebih tepat.

Dalam ulasan singkat ini, kita akan membahas tentang patogenesis,

fitur klinis, konfirmasi diagnosis, dan perkembangan saat ini dalam pengelolaan

kasus CVST.

2. PATOGENESIS.

CVST terjadi karena oklusi baik di vena serebral atau sinus vena. Oklusi

vena menyebabkan obstruksi aliran keluar dan kongesti vena, sehingga

meningkatkan tekanan hidrostatik dan edema berikutnya. Ketika diperiksa secara

mikroskopis, vena menjadi melebar dan edema, disertai dengan perdarahan

petekial yang dapat bergabung menjadi hematoma. Di sisi lain, oklusi sinus vena

serebral dapat menyebabkan hipertensi intrakranial. Tekanan intrakranial

meningkat sebagai akibat dari penyerapan LCS yang lambat karena gangguan

167 | B A N U 6

pengaliran vena setelah trombosis sinus vena. Dalam kondisi terakhir, CVST

menjadi simptomatik ketika suplai darah kolateral tidak adekuat, menyebabkan

iskemia otak dan infark.6 CVST dapat dikelompokkan berdasarkan sinus vena

yang terkena sebagai berikut: 86% pada sinus transversal, 62% pada sinus sagital

superior, 18% pada sinus lurus, 17% pada vena kortikal, 12% pada vena jugularis,

11% di vena Galen dan vena otak internal.7

Gambar 1. Anatomi Vena Serebral pada Manusia

3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO.

Penyebab predisposisi CVT adalah multipel. Konsep umum yang

berkaitan dengan faktor risiko CVST dapat disesuaikan dengan triad Virchow

yang terdiri dari stasis darah, perubahan dinding pembuluh darah dan komposisi

darah. Faktor risiko biasanya dibagi menjadi risiko yang didapat (misalnya,

operasi, trauma, kehamilan, puerperium, sindrom antifosfolipid, kanker, hormon

eksogen) dan risiko genetik (trombofilia yang diturunkan).

4. MANIFESTASI KLINIS.

CSVT dapat menghasilkan manifestasi klinis yang bervariasi, dan

variabilitas tersebut bergantung pada beberapa aspek, seperti lokasi dan

perluasan trombosis, tingkat oklusi vena, usia pasien, dan sifat penyakit yang

mendasari atau faktor predisposisi. 30% CVST muncul sebagai kejadian akut,

terlihat dalam 48 jam hingga 30 hari. Di sisi lain, kasus CVST kronis berhubungan

dengan 20% kasus yang berkembang selama 1 hingga 6 bulan. Temuan klinis

pada CSVT biasanya disebabkan oleh gangguan drainase vena, ICH, cedera otak

fokal dari iskemia vena / infark atau hemoragik, atau campuran dari keduanya.

Nyeri kepala adalah gejala yang paling umum di CSVT yang muncul pada

hampir 90% kasus. Nyeri kepala CVST muncul sebagai akibat dari distensi

168 | B A N U 6

dinding vena atau karena peradangan lokal atau kebocoran darah di atas

permukaan otak yang mengiritasi serabut saraf peka nyeri di duramater. Nyeri

yang ditimbulkan bersifat difus dan progresif yang dapat berlangsung selama

beberapa hari hingga minggu,1 tetapi, pada sebagian kecil pasien dapat muncul

sebagai nyeri kepala hebat (thunderclap headache), menunjukkan suatu proses

hemoragik (perdarahan subaraknoid), atau sebagai nyeri kepala migren,

sehingga menyulitkan diagnosis karena manifestasi klinis yang unilateral dan

intermiten. Manifestasi klinis lengkap CVST dapat dilihat pada tabel 1.

Hampir 12-31,9% pasien mengalami kejang sebagai manifetasi klinis

CSVT, tetapi 44,3% pasien mungkin mengalami kejang pada tahap awal

penyakit.8 Proporsi serupa telah ditemukan pada penelitian lain.

9,10 defisit fokal

sensorik dan motorik sangat umum dan kadang-kadang menunjukkan lokasi

vena yang mengalami oklusi, terutama ketika terjadi paresis nervus kranialis

seperti pada paralisis N.IV.6 Kejang fokal atau umum sering terjadi, terjadi pada

hampir 40% pasien.1 Pada pasien dengan kejang, kelumpuhan Todd dapat

disajikan di hampir 54% kasus.9

Perjalanan manifestasi klinis dapat diringkas sebagai berikut: nyeri

kepala intensif dan progresif, gejala utama; kejang (39,3%); paresis (37,2%);

papilledema (28,3%); perubahan kondisi mental (22%), afasia (19,1%), pingsan

atau koma (13,9%), diplopia (13,5%), dan defisit visual (13,2%).

Ada juga faktor risiko penting untuk CVST, termasuk puerperium,

menggunakan kontrasepsi oral, telah menjalani operasi besar dalam 15 hari

terakhir, kehamilan, perokok aktif, anemia berat, dan migren.

Tabel 1. Manifestasi klinis CVST

Tipe Karakteristik

Sindrom fokal Adanya defisit fokal yang berkaitan

dengan nyeri kepala, kejang, atau

perubahan status mental

Perdarahan intraserebral Nyeri kepala, mual, muntah, edema

papil

Ensefalopati subakut difus Perubahan status mental

Sindroma sinus kavernosus Oftalmoplegia disertai nyeri, kemosis,

dan proptosis

DIAGNOSIS

CVST harus dipertimbangkan pada semua wanita muda yang

menderita nyeri kepala yang tidak biasa yang dapat menjadi progresif dengan

defisit neurologis fokal dan tanpa faktor risiko vaskular. Karena manifetasi klinis

yang bervariasi, studi neuroimaging perlu dikerjakan apabila terdapat kecurigaan

169 | B A N U 6

klinis. Karena MRV CTV yang semakin mudah diakses, prosedur invasif seperti

angiografi serebral dan venografi serebral lebih jarang diperlukan.

Pedoman klinis Eropa terbaru dari CVST merekomendasikan MRV

sebagai alternatif untuk DSA untuk konfirmasi diagnostik CVST, meskipun

kekuatan dan kualitas studi yang lemah dan rendah dari masing-masing bukti

tersebut.11 Selain itu, CTV juga direkomendasikan sebagai alternatif untuk DSA di

membangun diagnosis CVST. Sekali lagi, ini didasarkan pada kualitas bukti yang

rendah, maka rekomendasi yang lemah. Selain itu, perbandingan langsung

antara MRV dan CTV menunjukkan akurasi diagnostik yang sama. Ada 3

penelitian penting yang termasuk 85 pasien dengan kecurigaan CVST. Diagnosis

dikonfirmasi pada 45 pasien dengan CT venografi dan 43 pasien dengan MRV.

CT venografi lebih mudah dan lebih sering menunjukkan sinus atau vena

serebral kecil dengan aliran rendah daripada MRV.11 Ketika MRV digunakan

sebagai baku emas, CT venografi ditemukan memiliki sensitivitas dan spesifisitas

75-100% tergantung pada sinus atau vena yang terlibat.12

Dari dua penelitian

tambahan mengenai MDCTA dalam diagnosis CVT, 13,14

satu membandingkan

MDTCA dengan MRV dan MRI pada 19 pasien yang dicurigai CVT, diagnosis

dikonfirmasi pada 10. Dalam studi kedua, MDCTA, MRV dan MRI dilakukan di 33

pasien. Diagnosis CVT dibuat pada 20 pasien, pembacaan konsensus dianggap

sebagai baku emas.

Terdapat beberapa keuntungan dari CT venografi dibandingkan

dengan teknik pencitraan MR, seperti akuisisi gambar yang cepat dan tidak ada

kontraindikasi untuk alat pacu jantung dan feromagnetik. Kerugian dari CT

venografi adalah paparan yang signifikan terhadap radiasi pengion dan

kebutuhan bahan kontras IV. CT venografi memiliki akurasi diagnostik yang

setara dengan MRV dalam mendiagnosis CVST. Sedangkan beberapa kerugian

dari CTV konvensional adalah pengeditan yang memakan waktu dan bergantung

pada operator yang diperlukan untuk menghilangkan lebih dari

memproyeksikan tulang untuk tampilan angiografi pembuluh intrakranial,

paparan radiasi, dan masalah yang terkait dengan penggunaan kontras dalam

pengaturan fungsi ginjal yang buruk, atau pada pasien dengan alergi materi

kontras. MRV lebih disukai daripada CTV karena kelemahan ini. Kesimpulannya,

bagaimanapun, CTV dapat diandalkan seperti MRV dalam mengkonfirmasikan

diagnosis CVST.

5. TATALAKSANA.

Strategi pengobatan ditujukan untuk mengontrol atau mengobati

patologi yang mendasari, mengendalikan ICH dan pengobatan kejang atau

defisit fokal yang disebabkan oleh edema serebral atau infark. Antikoagulan

digunakan hampir secara universal dan pada kasus tertentu, teknik endovaskular

170 | B A N U 6

dan bedah telah digunakan untuk menghilangkan bekuan darah. Teknik bedah

lebih lanjut digunakan untuk mengobati gejala sisa CSVT seperti hidrosefalus,

stroke hemoragik.

Antikoagulan telah digunakan sebagai pengobatan utama. Alasannya

adalah mencegah trombosis dan mencegah komplikasi. Meskipun

penggunaannya luas, terapi antikoagulan di CVST tetap kontroversial karena

berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan. Sebuah meta-analisis yang

melibatkan dua percobaan acak menunjukkan bahwa antikoagulasi dengan

heparin (unfractionated [UFH] atau low-molecular weight heparin [LMWH])

dikaitkan dengan penurunan hasil yang buruk yang tidak mencapai signifikansi

statistik (RR untuk kematian atau ketergantungan 0,46, 95% CI 0,16-1,31; RR

untuk kematian 0,33, 95% CI 0,08-1,21).15,16

Tiga puluh empat dari 79 pasien

(43%) memiliki perdarahan intraserebral pada awal (sebelum pengacakan). Jika

perdarahan intraserebral dianggap bergejala, RR untuk komplikasi perdarahan

besar heparin dibandingkan plasebo adalah 0,33 (95% CI 0,035-2,99).

Baik LMWHs maupun UFH digunakan untuk pengobatan CVT.17

UFH

biasanya umumnya diberikan secara intravena dan membutuhkan penyesuaian

dosis berdasarkan nilai APTT. UFH memiliki waktu paruh yang singkat dan efek

antikoagulannya dapat dibalik dengan protamine sulfat. Efek antikoagulan dari

UFH, bagaimanapun, tidak dapat diprediksi, dan pasien sering overdosis.18,19

LMWH diberikan sebagai suntikan subkutan berdasarkan berat badan dan

memiliki farmakokinetik yang lebih mudah diprediksi, tetapi efeknya hanya dapat

sebagian dibalik dengan protamine sulfat. Pada kelompok pasien tertentu,

seperti mereka dengan insufisiensi ginjal berat, LMWH merupakan

kontraindikasi. UFH diberikan secara intravena pada dosis awal 5000 IU, dan

kemudian infus dipertahankan pada 1000 UI/jam atau dosis respon untuk

mencapai waktu APTT 60-80 detik.

Satu percobaan acak langsung membandingkan LMWH dengan UFH

pada pasien dewasa dengan CVST.20

Secara total, 66 pasien dilibatkan. Enam

dari 32 pasien (19%) dialokasikan untuk UFH meninggal selama masuk rumah

sakit, dibandingkan dengan 0 dari 34 (0%) dialokasikan untuk LMWH (RR LMWH

vs UFH 0,073, 95% CI 0,0043-1,24). Pasien yang diobati dengan LMWH telah

lebih sering pulih sepenuhnya setelah tiga bulan (RR 1,37, 95% CI 1,02-1,83).

Sebuah komplikasi hemoragik besar terjadi pada tiga pasien yang diobati

dengan UFH (semua ekstrakranial), dibandingkan dengan 0 pasien di lengan

LMWH (RR 0,13, 95% CI 0,0072-2,51).

Hasil dari penelitian non-acak juga menunjukkan bahwa LMWH

dikaitkan dengan hasil yang lebih baik daripada UFH (OR yang disesuaikan untuk

kematian atau ketergantungan 0,42, 95% CI 0,18-1,0) dan kurang ICH baru

171 | B A N U 6

(disesuaikan atau 0,29, 95% CI 0,07-1,3). Sebuah meta analisis Cochrane dari

penelitian acak pada pasien dengan trombosis leg-vena dan emboli paru

menunjukkan bahwa LMWH memiliki risiko kematian yang secara signifikan lebih

rendah (OR 0,62, 95% CI 0,46-0,84) dan komplikasi hemoragik berat (OR 0,50,

95). % CI 0,29-0,85) dibandingkan dengan UFH dalam kondisi ini.21

Mengingat

bukti saat ini, itu adalah bijaksana untuk mengelola LMWH atas UFH karena

kemanjuran non-inferior dengan efek samping yang lebih sedikit.

Trombolisis endovaskular umumnya disediakan untuk kasus berat,

tetapi tidak ada uji acak yang dilakukan.17

Tampaknya kedua trombolisis

endovaskular dan kraniektomi dekompresi semakin banyak digunakan. Dalam

studi ISCVT, 2% pasien menerima trombolisis dan 1% pasien menerima

kraniektomi dekompresi, 7 dalam survei internasional yang disebutkan di atas,

43% dokter telah menggunakan terapi baik selama 5 tahun terakhir.17

Dalam dua

seri terbesar di mana obat fibrinolitik digunakan, terjadi reperfusi di sebagian

besar kasus (71,4%). 22,23

Herniasi yang disebabkan oleh efek massa unilateral adalah penyebab

utama kematian pada CVST. Pada pasien CVST dengan lesi parenkim besar yang

menyebabkan herniasi, pembedahan dekompresif telah menyelamatkan nyawa

dan sering menghasilkan hasil fungsional yang baik, bahkan pada pasien dengan

kondisi klinis yang berat.

Kejang harus diobati dengan antikonvulsan yang tepat. Fenitoin

direkomendasikan untuk pengobatan kejang pada pasien yang memerlukan

formulasi parenteral. Atau, injeksi fenobarbital atau natrium valproat dapat

digunakan jika pasien alergi terhadap fenitoin. Diazepam atau lorazepam dapat

digunakan untuk mengobati status epileptikus, tetapi pasien juga harus

diberikan antikonvulsan dengan durasi yang lebih lama untuk mencegah kejang

berulang.

6. KESIMPULAN.

CVST adalah penyakit trombotik vaskular dengan patogenesis dan

presentasi klinis yang unik. Kadang-kadang bisa menjadi tantangan diagnostik.

Umumnya, pencitraan dengan menggunakan CTV atau MRV cukup dan sangat

akurat dalam mengkonfirmasikan diagnosis CVST. Perawatan melibatkan

antikoagulasi, trombolisis, thrombectomy mekanik, dan tindakan umum dan

suportif lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Saposnik G, Barinagerrementeria F, Brown RD, et al. Diagnosis and

Management of Cerebral Venous Thrombosis: A Statement for Healthcare

172 | B A N U 6

Professionals From the American Heart Association/American Stroke

Association. Stroke 2011; 42: 1158-92.

2. Stam J. Thrombosis of the cerebral veins and sinuses. N Engl J Med

2005;352:1791-8.

3. Ruiz-Sandoval JL, Chiquete E, Bañuelos-Becerra LJ, Torres-Anguiano C,

González-Padilla C, Arauz A, et al. Cerebral venous thrombosis in a Mexican

multicenter registry of acute cerebrovascular disease: The RENAMEVASC

study. J Stroke Cerebrovasc Dis 2012;21:395-400.

4. Towbin A. The syndrome of latent cerebral venous thrombosis: its

frequency and relation to age and congestive heart failure. Stroke.

1973;4:419–30.

5. Sanz Gallego I, Fuentes B, Martínez-Sánchez P, Díez Tejedor E. Do cerebral

venous thrombosis risk factors influence the development of an associated

venous infarction? Neurologia 2011;26:13-9.

6. Guenther G, Arauz A. Cerebral venous thrombosis: A diagnostic and

treatment update. Neurologia 2011;26:488-98.

7. Ferro JM, Canhão P, Stam J, Bousser MG, Barinagarrementeria F. Prognosis

of cerebral vein and dural sinus thrombosis: Results of the International

Study on Cerebral Vein and Dural Sinus Thrombosis (ISCVT). Stroke

2004;35:664-70.

8. Kalita J, Chandra S, Misra UK. Signifcance of seizure in cerebral venous sinu

thrombosis. Seizure 2012;21:639-42.

9. Masuhr F, Busch M, Amberger N, et al. Risk and predictors of early epileptic

seizures in acute cerebral venous and sinus thrombosis. Eur J Neurol

2006;13:852-6.

10. Gosk-Bierska I, Wysokinski W, Brown RD, et al. Cerebral venous sinus

thrombosis: Incidence of venous thrombosis recurrence and survival.

Neurology 2006;67:814-9.

11. Ferro JM, Bousser M-G, Canhao P, et al. European Stroke Organisation

guideline for the diagnosis and treatment of cerebral venous thrombosis –

Endorsed by the European Academy of Neurology. European Stroke

Journal 2017; 2(3): 195-221.

12. Khandelwal N, Agarwal A, Kochhar R, et al. Comparison of CT venography

with MR venography in cerebral sinovenous thrombosis. Am J Roentgenol

2006; 187: 1637–43.

13. Linn J, Ertl-Wagner B, Seelos KC, et al. Diagnostic value of multidetector-

row CT angiography in the evaluation of thrombosis of the cerebral venous

sinuses. Am J Neuroradiol 2007; 28: 946–52.

173 | B A N U 6

14. Gaikwad AB, Mudalgi BA, Patankar KB, et al. Diagnostic role of 64-slice

multidetector row CT scan and CT venogram in cases of cerebral venous

thrombosis. Emerg Radiol 2008; 15: 325–33.

15. De Bruijn SFTM and Stam J for the Cerebral Venous Sinus Thrombosis

Study Group. Randomized, placebocontrolled trial of anticoagulant

treatment with lowmolecular-weight heparin for cerebral sinus thrombosis.

Stroke 1999; 30: 484–8.

16. Einhaupl KM, Villringer A, Meister W, et al. Heparin treatment in sinus

venous thrombosis. Lancet 1991; 338: 597–600.

17. Coutinho JM, Seelig R, Bousser MG, et al. Treatment variations in cerebral

venous thrombosis: an international survey. Cerebrovasc Dis 2011; 32: 298–

300.

18. Fennerty AG, Thomas P, Backhouse G, et al. Audit of control of heparin

treatment. BMJ 1985; 290: 27–28.

19. Aarab R, van Es J, de Pont AC, et al. Monitoring of unfractionated heparin in

critically ill patients. Neth J Med 2013; 71: 466–71.

20. Misra UK, Kalita J, Chandra S, et al. Low molecular weight heparin versus

unfractionated heparin in cerebral venous sinus thrombosis: a randomized

controlled trial. Eur J Neurol 2012; 19: 1030–6.

21. Erkens PM and Prins MH. Fixed dose subcutaneous low molecular weight

heparins versus adjusted dose unfractionated heparin for venous

thromboembolism. Cochrane Database Syst Rev 2010; (9): CD001100.

22. Kim SY, Suh JH. Direct endovascular thrombolytic therapy for dural sinus

thrombosis: Infusion of alteplase. AJNR Am J Neuroradiol 1997;18:639-45.

23. Horowitz M, Purdy P, Unwin H, Carstens G, Greenlee R, Hise J, et al.

Treatment of dural sinus thrombosis using selective catheterization and

urokinase. Ann Neurol 1995;38:58-67.

174 | B A N U 6

Prevensi Sekunder Stroke Pada Pasien Atrial Fibrilasi

dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S

Bagian/SMF Neurologi

FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Fibrilasi atrial (AF) berhubungan dengan peningkatan risiko stroke

iskemik sebanyak 3-5 kali. AF seringkali terjadi bersamaan dengan masalah

jantung lainnya, seperti gagal jantung kronis, dimana hampir 50 persen

menderita AF, dan sindrom koroner akut, dimana hampir 25 persen menderita

AF. Tromboprofilaksis yang adekuat penting untuk mencegah kejadian stroke,

namun selain itu dapat juga menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan yaitu

perdarahan.

Stroke iskemik yang berhubungan dengan AF seringkali berasal dari

kardioemboli dan oleh karena itu menimbulkan mortalitas dan morbiditas yang

lebih tinggi dibandingkan dengan penyebab lainnya. Stroke iskemik yang

berhubungan dengan AF dapat dicegah dikarenakan keefektifitas dari

antikoagulan oral (OAC) yang cukup baik. Pada meta analisis, antagonis vitamin

K (VKA) misalnya warfarin mengurangi stroke atau tromboemboli sistemik

sebesar 64% dan mortalitas sebesar 26% dibandingkan plasebo. Akhir-akhir ini

antikoagulan oral kerja langsung (DOAC) seperti apixaban, dabigatran,

edoxaban, dan rivaroxaban membantu pada kelemahan pada VKA termasuk

peningkatan perdarahan intrakranial dan perlunya monitoring yang ketat.1

Faktor risiko pada stroke dengan AF

Patofisiologi emboli pada AF mempunyai beberapa faktor. Penurunan

sistole atrial pada AF menyebabkan stasis darah pada atrium kiri. Selain itu, pada

AF juga sering dijumpai pembesaran atrium kiri dan left atrial appendage serta

inflamasi pada jaringan atrial. Pada pasien AF juga dijumpai abnormalitas dari

jalur koagulasi dan fibrinolisis yang menyebabkan kondisi hiperkoagubilitas

kronis.2

Analisis sistematik dari AF Working Group menyimpulkan faktor risiko

yang paling sering berhubungan dengan stroke adalah usia, riwayat stroke/TIA

sebelumnya, hipertensi, dan diabetes melitus. Usia merupakan faktor

independen dari stroke dengan peningkatan resiko 1,5 kali per dekade.

Peningkatan stroke sebesar 2,5 kali ditemukan pada pasien dengan stroke

sebelumnya/TIA. Hipertensi meningkatkan risiko sebesar 2 kali dan diabetes

melitus meningkatkan risiko sebesar 1,7 kali dan merupakan faktor risiko

independen pada stroke.3

175 | B A N U 6

Data lain menunjukkan bahwa gagal jantung dekompensasi

meningkatkan risiko stroke pada AF, baik dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri masih

baik atau menurun. Jenis kelamin wanita juga berhubungan dengan peningkatan

risiko dari stroke, terutama wanita usia >65 tahun. Suatu meta-analisis

menyimpulkan peningkatan sebesar 1,31 kali dari risiko stroke pada wanita

dengan AF, terutama dengan usia 75 tahun.4

Penyakit sistemik lain seperti riwayat infark miokardial dan penyakit

arteri perifer meningkatkan risiko stroke pada AF. Gagal ginjal, terutama

penurunan laju filtrasi glomerular dengan proteinuria, meningkatkan risiko

stroke. Biomarker darah lainnya juga berhubungan dengan peningkatan stroke

seperti peningkatan kadar fibrin, D-dimer dan faktor von willebrand.

Gambar 1. Mekanisme Penyebab AF4

Manajemen prevensi sekunder pada pasien dengan AF

Terapi antikoagulan dapat mencegah mayoritas stroke iskemik pada

pasien dengan AF dan memperpanjang angka harapan hidup. Terapi ini lebih

superior dibandingkan tidak diterapi atau aspirin dengan pasien dengan AF,

kecuali pada pasien dengan risiko stroke yang sangat rendah, dan oleh karena

itu antikoagulan diberikan pada kebanyakan pasien dengan AF. Walaupun

demikian, masih banyak dijumpai pemakaian yang kurang adekuat atau

penghentian yang awal dari terapi antikoagulan.5

Kejadian yang tidak diinginkan seperti perdarahan baik yang masif

maupun minor serta perlunya untuk memonitor dengan ketas mengenai terapi

VKA merupakan alasan utama dari menunda atau menghentikan pemberian

antikoagulan. Namun demikian, risiko stroke tanpa antikoagulan melebihi risiko

176 | B A N U 6

perdarahan walaupun pada lansia, pasien dengan gangguan kognitif atau pasien

dengan angka kejadian jatuh yang tinggi. Risiko perdarahan pada aspirin tidak

jauh berbeda dibandingkan risiko perdarahan pada terapi VKA atau NOAC,

sementara VKA dan NOAC secara efektif mencegah stroke pada pasien dengan

AF.6,7

Prediksi risiko stroke dan perdarahan

Suatu algoritme CHA2-DS2-VASc yang simple, mudah diaplikasikan

secara klinis mengenai stratifikasi risiko stroke pada pasien dengan AF

ditemukan pada tahun 1990an dan telah divalidasi pada berbagai populasi

digunakan sebagai pedoman terapi pasien AF. Penggunaan skor ini

mempermudah terhadap pengambilan keputusan terapi OAC pada pasien

dengan AF. Pada skor ini, pasien tanpa faktor risiko stroke tidak memerlukan

terapi antitrombotik, namun pasien dengan faktor risiko stroke (skor 1 atau lebih

pada pria, dan 2 atau lebih pada wanita) memerlukan terapi OAC.6

Gambar 2. Prevensi stroke dengan AF6

Beberapa skor mengenai risiko perdarahan telah diciptakan,

kebanyakan pada pasien dengan VKA. Skor ini termasuk HAS-BLED (hipertensi,

fungsi hati dan ginjal yang abnormal, stroke, riwayat perdarahan, INR yang labil,

usia lansia, obat-obatan), ORBIT (Outomes Registry for Better Informed

Treatment of Atrial Fibrillation) dan ABC (age, biomarkers, clinical history).

Beberapa variabel stroke bertumpang tindih antara risiko stroke dan perdarahan,

seperti usia tua. Usia tua merupakan salah satu prediktor penting bagi stroke

177 | B A N U 6

iskemik dan kecenderungan berdarah pada pasien AF. Skor risiko perdarahan

yang tinggi bukan merupakan alasan menunda pemberian OAC.10

Gambar 3. Skor HAS-BLED6

Terapi Pencegahan Stroke Sekunder

Antagonis Vitamin K

Warfarin dan VKA lainnya merupakan antikoagulan pertama yang

digunakan pada pasien AF. VKA telah digunakan sebagai agen antikoagulan oral

satu-satunya selama lebih dari 60 tahun. VKA telah mengurangi risiko stroke

sebanyak dua pertiga dan mortalitas dibandingkan kontrol. Namun, VKA

memiliki kelemahan yaitu onset kerja yang lambat, kebutuhan dosis yang

beragam yang bergantung pada asupan makanan yang mengandung vitamin K

serta polimorfisme gen serta interaksi obat yang cukup banyak. Penggunaan

VKA ketika diberikan pada waktu yang adekuat pada dosis yang sesuai (TTR)

efektif sebagai prevensi stroke pada pasien AF. Terdapat skor SAME-TT2R2 untuk

mengidentifikasi pasien yang mencapai TTR yang baik pada terapi VKA. VKA

merupakan terapi satu-satunya pada pasien AF dengan penyakit jantung valvular

dan katup jantung prostesis.6,9

Antikoagulan oral antagonis non vitamin K

Saat ini, NOAC dikategorikan menjadi 2 kelas, yaitu inhibitor trombin

langsung oral (dabigatran) dan inhibitor faktor Xa oral (rivaroxaban, apixaban,

edoxaban). Pemeriksaan rutin pada NOAC tidak diperlukan dikarenakan

karakteristik farmakodinamik dan farmakokinetik cukup dapat diprediksi dan

jendela terapi cukup lebar. Oleh karena itu, penggunaan dalam NOAC dalam

klinis semakin meningkat.

Pada percobaan ARISTOTLE (Apixaban for Reduction in Stroke and

Other Thrombo-embolic Events in Atrial Fibrillation), apixaban 5 mg dua kali

sehari mengurangi stroke atau emboli sistemik sebesar 21% dibandingkan

178 | B A N U 6

warfarin, dengan pengurangan sebesar 31% pada perdarahan mayor dan 11%

pada mortalitas. Angka kejadian stroke hemoragik lebih rendah pada apixaban

dan perdarahan gastrointestinal sama pada kedua jenis terapi. Apixaban

merupakan NOAC yang pernah dibandingkan dengan aspirin pada pasien AF

dengan hasil apixaban mengurangi stroke dan emboli sistemik sebesar 55%

dibandingkan aspirin, dengan hanya sedikit perbedaan pada angka kejadian

perdarahan gastrointestinal dan intrakranial.11

Studi RE-LY (Randomized Evalutation of Long-Term Anticoagulation

Therapy), dabigatran 150 mg dua kali sehari mengurangi stroke dan emboli

sistemik sebanyak 35% dibandingkan warfarin dengan tanpa perbedaan yang

signifikan pada kejadian perdarahan. Dabigatran 110 mg dua kali sehari tidak

inferior dibandingkan warfarin pada prevensi stroke dan emboli sistemik, dengan

kejadian perdarahan 20 persen lebih kecil. Dabigatran 150 mg dua kali sehari

secara signifikan mengurangi stroke iskemik sebesar 24% dan mortalitas vaskular

sebesar 12%, sementara perdarahan gastrointestinal meningkat sebesar 50%.12

Pada studi ENGAGE AF-TIMI 48 (Effective Anticoagulation with Factor

Xa Next Generation in Atrial Fibrillation – Thrombolysis in Myocardial Infarction

48), edoxaban 60 mg sehari sekali dan edoxaban 30 mg sekali sehari

dibandingkan dengan warfarin. Edoxaban 60 mg sehari sekali tidak lebih inferior

dibandingkan warfarin. Edoxaban 60 mg sekali sehari mengurangi kejadian

stroke dan emboli sistemik sebesar 21% dibandingkan warfarin, sementara

edoxaban 30 mg sekali sehari tidak lebih inferior dibandingkan warfarin dalam

mengurangi stroke dan emboli sistemik namun menurunkan angka kejadian

perdarahan mayor sebesar 54%. Hanya dosis edoxaban 60 mg yang dianjurkan

dalam prevensi stroke pada AF.13

Studi ROCKET-AF (Rivaroxaban Once Daily Oral Direct Factor Xa

Inhibition Compared with Vitamin K Antagonism for Prevention of Stroke and

Embolism Trial in Atrial Fibrillation), pasien dirandomisasi pada rivaroxaban 20

mg sekali sehari atau VKA, dengan dosis yang disesuaikan pada gangguan

fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus 30-49 ml/menit. Rivaroxaban tidak

lebih inferior dibandingkan warfarin sebagai prevensi stroke dan emboli sistemik.

Rivaroxaban tidak mengurangi angka mortalitas, stroke iskemik atau perdarahan

mayor dibandingkan VKA. Terjadi peningkatan kejadian perdarahan

gastrointestinal, namun penurunan signifikan pada perdarahan intrakranial

dibandingkan warfarin.14

Daftar Pustaka

179 | B A N U 6

1. Hart R.G. dkk. 2007. Meta-analysis: antithrombotic therapy to prevent

stroke in patients who have nonvalvular atrial fibrillation. Ann Intern

Med. 146(12):857-867

2. Lip G.Y.H., Lane D.A. 2015. Stroke prevention in atrial fibrillation : A

systematic review. JAMA. 313(19):1960-1962

3. Stroke Risk in Atrial Fibrillation Working Group. 2007. Independent

predictors of stroke in patients with atrial fibrillation: a systematic

review. Neurology. 69(6):546-554

4. Wagstaff A.J. dkk. 2014. Is female sex a risk factor for stroke and

thromboembolism in patients with atrial fibrillation? a systematic

review and meta-analysis. QJM.

5. Kamel H. dkk. 2016. Atrial Fibrillation and Mechanism of Stroke time

for new model. Stroke. 47(3):895-900

6. January C.T., dkk. 2014. AHA/ACC/HRS guideline for the management

of patients with atrial fibrillation: a report of the American College of

Cardiology/American HeartAssociation Task Force on Practice

Guidelines and the Heart Rhythm Society. J AmColl Cardiol. 2014;

64(21):e1-e76

7. Foody J.M. 2017. Reducing the risk of stroke in elderly patients with

non-valvular atrial fibrillation: a practical guide for clinicians. Clin Interv

Aging. 12:175-187

8. European Society of Cardiology. 2016. 2016 ESC Guidelines for the

management of atrial fibrillation developed in collaboration with

EACTS. European Heart Journal. 37: 2893-2962

9. Ball J. 2017. Which anticoagulant for stroke prevention in atrial

fibrillation? The BMJ. 359:J5399

10. Senoo K. dkk. 2016. Evaluation of the HAS-BLED, ATRIA, and ORBIT

Bleeding Risk Scores in Patients with Atrial Fibrillation Taking Warfarin.

The American Journal of Medicine. 129:600-607

11. Granger C.B. dkk. 2011. Apixaban versus Warfarin in Patients with Atrial

Fibrillation. NEJM. 365(11):981-992

12. Connolly S.J. 2009. Dabigatran versus Warfarin in Patients with Atrial

Fibrillation. NEJM. 361(12): 1139-1142

13. Giugliano R.P. dkk. 2013. Edoxaban versus Warfarin in Patients with

Atrial Fibrillation. NEJM. 369:22

14. Patel M.R. dkk. 2011. Rivaroxaban versus Warfarin in Nonvalvular Atrial

Fibrillation. 365(11): 883-891

180 | B A N U 6

HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN PADA PEMBERIAN ANTIEPILEPSI PADA ANAK

dr. Siti Aminah SpS(K), M.Si Med

KSM/ Departemen Neurologi RSHS/ FK Unpad Bandung

1. Pendahuluan

Epilepsi merupakan kelainan neurologis yang paling sering dan serius

pada anak. Di Amerika prevalensi epilepsi pada anak kurang dari 16 tahun adalah

4,9% per 1000 populasi.1, 2

Terdapat sekitar 68 juta penderita epilepsi diseluruh

dunia.3 Prevalensi penderita epilepsi di UK (Inggris) menunjukan hampir 25%

merupakan anak dibawah usia 15 tahun.4

Berdasarkan biaya perawatan untuk kasus di bidang neurologi,

Epilepsi ini menduduki ranking ke 9 dari 53 kasus neurologi.5 Pengobatan yang

efektif dan penatalaksanaan bangkitan epilepsi, terutama pada anak sangat

penting dan berpengaruh langsung terhadap kualitas hidup. Saat ini guidelines

untuk epilepsi pada anak yang dikeluarkan oleh NICE (British National Institute

for health care Excellence) melihat bukti perbedaan efektifitas dan keselamatan

masing2 obat anti epilepsi yang digunakan pada berbagai tipe epilepsi.

Tujuan pengobatan adalah untuk memastikan adanya keseimbangan

positif antara keuntungan yang diharapkan dengan resiko pengobatan dengan

memperhitungkan biaya serta efek yang diharapkan dan yang tidak

diharapkan.6,7

Penetapan keseimbangan antara keuntungan dan resiko (Benefit risk

balance) ditentukan oleh hubungan antara dosis, pemaparan, efek yang tidak

diharapkan dan yang diharapkan terhadap sign dan symptom penyakit.6, 7

Saat

ini terdapat berbagai jenis obat antiepilepsi mulai dari OAE lama (konvensional),

generasi ke dua dan generasi ke tiga.

Pada 2 dekade terahir beberapa obat antiepilepsi baru telah disetujui

untuk digunakan, walau demikian obat lama masih digunakan karena

ketersediaan dan biaya.8 Obat antiepilepsi baru ini digunakan sebagai tambahan

pemakain obat epilepsi lini pertama pada anak dengan epilepsi intraktabel.9

Obat baru ini lebih efektif dan lebih aman digunakan dibanding obat lini

pertama (OAE konvensional).

Untuk itu perlu memahami bagaimana menentukan OAE yang akan dipakai

pada anak dengan epilepsi.

2. Prinsip Dasar

Begitu diagnosa epilepsi atau sindroma epilepsi ditegakan, ada

beberapa keputusan yang harus diambil untuk penggunaan OAE.10

Keputusan

pemberian OAE tergantung dari individu (frekuensi bangkitan, sindroma epilepsi

dan temuan pada pemeriksaan neurologis, juga harapan orang tua . Berbagai

181 | B A N U 6

usaha dilakukan untuk mengetahui secara pasti resiko berkembangnya epilepsi

(bangkitan berulang, bangkitan spontan) sesudah terjadinya bangkitan pertama

yang tidak diprovokasi.10

Keputusan untuk memberi obat antiepilepsi, kapan pemberiannya

masih tergantung individual. Kebanyakan tenaga medis akan memberikan OAE

setelah bangkitan beberapa kali (cluster), atau setelah terjadi status epilepticus

yang tidak diprovokasi.10

Identifikasi sindrom atau bentuk bangkitan akan memberi informasi

tentang prognosa epilepsi dan pemilihan obatnya. Penggunaan pada bayi dan

anak harus memperhitungkan profil keamanan dan ketersediaan obat10

, karena

masih banyak yang tidak diketahui tentang pengaruh efek samping obat jangka

panjang terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dan juga efek jangka

pendek terhadap perilaku, fungsi kecerdasan dan pola tidur.

Setelah dipilih obat yang paling sesuai, maka pemberian harus

monoterapi dengan dosis terendah yang dapat mengontrol bangkitan tanpa

menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Hal ini dapat terjadi pada 70%

anak. Pada anak usia dibawah 12 tahun, dosis harus berdasarkan mg/kgbb.

Bila kontrol bangkitan masih suboptimal atau terdapat hubungan

dosis dengan respons, dosis dapat dinaikan sampai bangkitan terkontrol atau

muncul efek samping yang tidak diinginkan. Bila efek samping muncul sebelum

bangkitan terkontrol maka obat diganti atau ditambahkan dengan OAE lain

(politerapi). Pemilihan obat kedua, sama dengan pada pemilihan obat pertama

tapi ditambah dengan kemungkinan potensi interaksi antara kedua obat.

Bila dengan OAE pertama kejang berkurang tapi belum hilang, maka

tambahkan obat ke 2 yang sesuai. Setelah didapatkan dosis obat sehingga

bangkitan terkontrol sempurna (bebas kejang), maka setelah 2-3 bulan bebas

bangkitan, obat pertama diturunkan bertahap sampai dihentikan, sehingga

pengobatan tetap dengan monoterapi.

Politerapi dengan 2 OAE akan menambahkan keberhasilan dalam

mengontrol bebas bangkitan sebanyak 10%. Politerapi ini akan menimbulkan

masalah dalam interaksi pharmakodinamik yang akan menurunkan efektifitas

masing2 obat, kesulitan menginterpretasikan efek dari masing2 obat, toksisitas

bertambah, meningkatkan interaksi idiosinkrasi toksis.

Pemilihan obat yang akan ditambahkan, tergantung bentuk

bangkitan/ sindrom epilepsi dan profil keamanan obat. Harus diketahui cara

kerja masing2 obat, apakah ke duanya bersifat sinergi atau antagonis.

Kombinasi dengan 3 obat OAE tidak akan berefek dalam

meningkatkan/menambah kontrol bangkitan, hanya akan menambah resiko dan

frekuensi efek samping obat. 3 OAE hanya dibolehkan pada saat substitusi

182 | B A N U 6

dimana 1 obat direncanakan ditambahkan dan akan menghentikan 1 macam

obat yang lain. Tapi kenyataannya memulai pemberian dengan politerapi lebih

mudah dibanding menghentikanmya.10

3. Klasifikasi OAE

Berdasarkan anjuran NICE technology appraisal 79, OAE

diklasifikasikan atas OAE yang sudah tersedia sebelum 1989, yaity

phenobarbitone, phenitoin, carbamazepin, sodium valproate, bensidiazepin

(clobazam, clonazepam) dimasukan dalam kelompok OAE lama. OAE baru yaitu

generasi ke 2, sebanyak 14 molekul ditemukan sepanjang 1989-2009, yaitu

felbamate, vigabatrin, lamotrigine, gabapentin, topiramate, tiagabine,

levetiracetam, oxcarbazepine, pregabalin, rufinamid, stirpentol, dan zinosamid.

Generasi ke 3 yaitu eslicarbazepin asetat dan lacosamide.11

Setiap obat antiepilepsi mempunyai potensi efek samping, maka

diperkenalkan molekul yang baru yang bertujuan memperbaiki kontrol

bangkitan tanpa memproduksi efek yang tidak diharapkan.11 Penanganan

epilepsi pada anak dengan obat lama yang dipilih dengan tepat , dapat

membebaskan kejang pada 80% populasi.12

, tapi OAE lama mempunyai efek

samping yang bersifat akut dan subakut.

OAE baru diduga efektifitasnya lebih besar dan toksisitasnya lebih

rendah. Politerapi berhubungan dengan meningkatnya efek samping karena

interaksi pharmacodinamik

4. Obat Yang Tersedia

OAE generasi lama yang paling banyak digunakan adalah sodium

valproate dan carbamazepine.10

Phenitoin dan Phenobarbiton digunakan hanya bila obat yang lain

gagal mengontrol bangkitan. Phenitoin dan phenobarbitone digunakan sebagai

obat pilihan pertama pada tatalaksana akut bangkitan neonatal.

Bensodiazepin efektif digunakan untuk bangkitan umum, fokal dan

beberapa sindroma epilepsi. Penggunaannya terbatas karena adanya toksisitas

akut dan dapat terjadi toleransi.Penggunaan sebagai inisial terapi di berika pada

bayi dan anak yang bangkitannya hanya myoklonik yang dapat diobati dengan

clonazepam atau clobazam dosis rendah sebagai monoterapi.

Clobazam sering kali efektif digunakan sebagai add on terapi pada

bangkitan parsial (dengan atau tanpa umum sekunder), absans atipikal, electrical

status epilepticus of slow wave sleep (ESESS) dan katamenial epilepsi. Lamotrigin

dapat digunakan sebagai monoterapi pada anak usia lebih dari 12 tahun, tapi

sebagai adjunctive terapi sejak usia 2 tahun. Vigabatrin dapat sebagai

monoterapi pada anak dengan infantile spasm (pilihan obat pertama), terutama

bila dasarnya adalah tuberosklerosis.

183 | B A N U 6

Dapat pula digunakan pada bangkitan fokal dengan/tanpa umum

sekunder, bangkitan yang didasari kelainan structural (fokal cortical dysplasia,

tumor derajat rendah). Dapat meningkatkan bangkitan myoklonik dan absence

tipikal. Didapatkan efek samping berupa konstriksi lapang pandang perifer pada

40% dewasa dan 20-25% anak yang lebih besar yang mendapatkan vigabatrin,

sehingga tidak boleh digunakan pada dewasa dan anak yang lebih besar.

Penggunaannya harus sangat mempertimbangkan rasio keuntungan dan

kerugian.

Topiramat sebagai monoterapi pada anak usia diatas 6 tahun. Efektif

digunakan untuk bangkitan onset fokal dan sindrom Lennox Gastaut. Baik untuk

bangkitan tonik dan atonik. Digunakan sebagai monoterapi pada bangkitn fokal

dan bangkitan tonik klonik umum primer.

Levetiracetam sebagai monoterapi pada usia diatas 4 tahun. Sebagai

adjunctive terapi pada bangkitan fokal mulai usia 1 bulan, bangkitan myoklonik

pada remaja diatas 12 tahun dan dewasa dengan juvenile myoklonik epilepsi.

Lamotrigin, topiramate dan levetiracetam mempunya spektrum kerja

yang luas, efektif untuk berbagai tipe bangkitan umum dan fokal, relative aman

dari efek samping yang serius, Lamotrigin dapat dipakai untuk bangkitan

absence typical, tapi tidak efektif untuk bangkitan myoklonik.

Oxcarbazepin mempunyai struktur yang sama dengan

carbamazepine, cara kerja sama dengan carbamazepine, tapi tidak melewati

metabolisme 11 epoxyde metabolit, maka efek sampingnya lebih kecil dibanding

carbamazepine. Dapat memperburuk keadaan bangkitan absanse dan myoklonik

yang terjadi pada epilepsi umum.10

5. Cara Pemilihan Obat

Epilepsi dan sindroma epilepsi pada anak kebanyakan berhubungan

dengan bangkitan umum, sehingga pilihan obatnya sodium valproate. Sodium

valproate lebih superior dalam menangani bangkitan umum dibanding

topiramate dan lamotrigine.10

Diduga sodium valproate meningkatkan resiko terjadinya efek pada

janin dari ibu yang mengkonsumsi sodium valproate, maka tidak boleh

diberikan pada perempuan usia subur.10

Epilepsi yang berhubungan dengan

bangkitan fokal jarang terjadi pada anak. Terapi pilihan adalah Carbamazepin.

Bisa juga dengan Lamotrigin dan Oxcarbazepin.

West sindrom yang ditandai dengan spasme infantile dan

hypsarithmia pada EEG, dianjurkan memakai ACTH atau prednisolone. Dapat

pula digunakan Vigabatrin. Dravet sindrom atau severe myoklonik epilepsi of

infancy, pilihan obatnya sodium valproate, clobazam dan topiramate. Hindari

184 | B A N U 6

obat yang bekerja di sodium channel (lamotrigine, phenytoin) karena akan

meningkatkan bangkitan.

Penelitian pada Lennox Gestaut sindrom, menunjukan tidak ada obat

yang lebih efektif dibanding yang lainnya. Tapi lamotrigine, clobazam,

topiramate dapat digunakan sebagai add on terapi.

Penting untuk penggunaan OAE lama/ konvensional sebagai terapi

awal dengan benar.10

Dosis Maintenance OAE Pada Anak10

OBAT TOTAL HARIAN mg/kgBB/hari PEMBERIAN

PERHARI

Carbamazepin

Clobazam

Clonazepam

Lamotrigin

Levetiracetam

Oxcarbazepine

Phenobarbitone

Phenytoin

Sodium valproate

Topiramate

Vigabatrin

Zonisamide

10-20

0,5-1,5

0,1-0,3

2-5 (bila diberi bersama valproate)

4-10 (bila monoterapi atau bersama obat

bukan valproate)

30-50

20-30

4-8

4-8

20-40

4-8 (dosis awal 0,5 mg/kgbb/hari)

50-100

4-5

2/3

2

2/3

2

2

2

2

2

2

2

2

a. Pemakaian Obat Generasi Pertama

Penanganan epilepsi masih berdasarkan kriteria gejala (symptom)

yang merupakan dasar diagnose dan pemilihan obat.7 Guerini menyatakan

tujuan pengobatan epilepsi adalah mengontrol, setidaknya mengurangi

bangkiatan tanpa menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan yang

merusak kualitas hidup.11

Sodium valproate paling sering digunakan pada epilepsi anak , karena

bekerjanya pada spektrum yang luas (broad spektrum).8 Guideline

merekomendasikan Asam valproate dan carbamazepine sebagai antiepilepsi lini

pertama. Ditemukan bahwa penggunaan Lamotrigin, oxcarbazepine dan

levetiracetam meningkat.8

b. Pemakaian OAE Jenis Baru

NICE merekomendasikan bahwa OAE baru dapat digunakan bila

bangkitan tidak dapat ditangani dengan OAE lama, atau pada hal-hal tertentu

185 | B A N U 6

misalnya terdapat kontraindiksi terhadap OAE lama, dapat berinteraksi dengan

obat yang rutin dimakan anak, ditolerasi buruk oleh anak, anak memasuki masa

yang potensial untuk kehamilan.

Anak bila memungkinkan, harus diobati dengan OAE monoterapi. Bila

tidak berhasil dengan OAE pertama, dapat dicoba dengan OAE yang lain.

Kombinasi terapi (adjunctive atau add on) bila dengan monoterapi tidak berhasil

membebaskan dari kejang.

Semua anak yang mengalami kejang tanpa panas pertama harus

sesegera mungkin diperiksa oleh spesialis untuk tata laksana epilepsi agar

diagnose pasti dapat ditegakan dan dimulai terapi yang dibutuhkan. Terapi

harus direview berkala agar anak tidak dibiarkan lama dalam keadaan tidak

efektif atau toleransi buruk dengan obat yang diberikan.

Guideline di India merekomendasikan pemakaian obat antiepilepsi

baru pada kasus epilepsi refrakter sebagai add on terapi yang gagal dengan

terapi lini pertama. Obat baru ini boleh digunakan oleh orang yang mengenal

pharmakokinetik obat, indikasi, dosis, efek samping dan kemungkinan adanya

interaksi obat.9

OAE baru ini ternyata efeknya tidak lebih superior dibanding obat lini

pertama, tapi tolerabilitasnya lebih baik dan profil farmakokinetiknya lebih baik.9

Obat yang dapat digunakan sebagai monoterapi :

Oxcarbazepine pada bangkitan dengan onset parsial

Lamotrigine pada remaja perempuan dengan epilepsi umum

idiopatik.

Levetiracetam pada perempuan dengan epilepsi myoklonik juvenile.

Pada epilepsi dengan onset baru, OAT baru boleh digunakan sebagai

monoterapi pada :

Lamotrigin pada bangkitan parsial dan umum

Oxcarbazepin pada bangkitan parsial.

Catatan : lamotrigine dan Vigabatrin akan memperburuk bangkitan

myoklonik.

Penggunaan sebagai add on terapi :

Topiramate dan zonisamid pada infantile spasme yang gagal dengan

terapi hormonal dan Vigabatrin

Topiramat untuk add on terapi pada epileptic encephalopathy (Lenox

gastaut sindrom dan epilepsi astatik myokloni).

Lamotrigine, levetiracetam untuk epilepsi parsial refrakter

Lamotrigine pada bangkitan tonik (seperti pada Lennox Gestaut

syndrome)

6. Efek Samping Obat

186 | B A N U 6

Penelitian Anderson M pada penderita epilepsi usia < 18 tahun

menemukan 1/3 anak mengalami efek samping obat selama terapi.13

Obat yang

paling banyak digunakan adalah carbamazepine, asam valproate dan Lamotrigin.

1 dari 10 anak dihentikan karena rash yang disebabkan carbamazepine dan

lamotrigine. Penelitian lain menunjukan penghentian obat dengan jumlah yang

sama pada pemakaian carbamazepine dan asam valproate, dan ada juga yang

menemukan pada carbamazepine dan phenobarbital. Hampir semua obat

antiepilepsi mempunyai efektifitas yang sama dalam mengontrol bangkitan, tapi

berbeda dalam hal keamanannya.

Sejak tahun 1970, monoterapi menjadi penatalaksanaan yang standar

untuk menangani epilepsi , karena politerapi akan meningkatkan toksisitas,

resiko efek samping dan interaksi obat terutama pada anak.12, 13

OAE sebagai

monoterapi efektif pada 60-70% kasus.13

. Monoterapi dengan OAE lama dapat

membebaskan kejang pada 80% kasus.

Beberapa OAE mempunyai jalur pharmakokinetik yang sama, misalnya

induksi dan inhibisi enzim menyebabkan masalah pada saat dikombinasikan.

Misalnya kombinasi asam valproate dan lamotrigine. Asam valproat akan

menginhibisi lamotrigine glucuronidasi, sehingga meningkatkan konsentrasi

dalam plasma dan toksisitas. OAE juga ada yang mempunyai mekanisme

pharmakodinamik yang sama, sehingga akan menambah efek dan

meningkatkan efek samping obat. Disarankan kombinasi obat dengan

mekanisme kerja yang berbeda.14

Politerapi akan meningkatkan kemungkinan efek samping obat pada

anak. Pemberian politerapi hanya bila dosis terapeutik maksimal dari monoterapi

tidak efektif. Pada pemberian OAE, tenaga medis dan orang tua harus

memonitor adanya efek samping obat , terutama masalah perilaku dan

somnolen.13

7. Kesimpulan

Penanganan epilepsi pada anak memerlukan perhatian khusus karena

anak sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Terdapat beragam

obat yang tersedia mulai dari OAE lama, generasi ke 2 dan generasi ke 3, tetapi

pengobatan harus dimulai dengan OAE konvensional (lama).

Pemberian obat diusahakan monoterapi untuk menghindari interaksi

antar obat yang akan meningkatkan efek samping obat dan toksisitas. OAE

generasi baru, bisa diberikan dalam bentuk add on atau adjunctive pada kasus

epilepsi refrakter.

Kepustakaan

187 | B A N U 6

1. Nice Technology Appraisal. The clinical effectiveness and cost effectiveness of

newer drugs for epilepsi in children. Nice Technology Appraisal,. 2004;79.

2. Lyons B. Use of newer antiepileptic drugs in children : How NICE are we ?

www.progressnp.com.

3. Ngugi A. Estimation of the burden of active and life time epilepsi: a meta

analytic approach. Epilepsia. 2010;51:883-90.

4. Cardarelli W. The burden of epilepsi to patient and payers. Am J Manag Care.

2010;16:331-6.

5. Olesen J. The economic cost of brain disorder in Europe. Eur J Neurol.

2012;19:155-62.

6. Bellanti F. Integration of PKPD Relationship Into Benefit Risk Analysis. Br J Clin

Pharmacol. 2015;80:979-91.

7. Dijkman S. Review Pharmacotherapy in pediatrc epilepsi : from trial and error

to rational drug and dose selection- along way to go. Expert opinion on drug

metabolism toxicology. 2016;12(10):1143-56.

8. Egunsola O. Anti epileptic drug utilisation in paediatrics : a systematic review.

BMJ Paediatrics open 2017. 2017;1.

9. Aneja S. Newer Anti epileptic drug. Review article. Indian Pediatrics.

2013;50(15):1033-40.

10.Appleton R. Drug treatment in Paediatric epilepsi.

11. Guerrini R. Safety and Tolerability of Antiepileptic Drug Treatment in Children

with Epilepsi. Drug Saf. 2012;35(7):519-33.

12.Patsalos P. New antiepileptic drugs. AnnClin Biochem. 1999;36:10-9.

13.Anderson M. A prospective study of adverse drug reactions to antiepileptic

drugs in children. BMJ Open. 2015;5.

14. St Louis E. Truly rational polytherapy : maximizing efficacy and minimizing

drug interaction, drug load and adverse effect. Curr Neuropharmacol.

2009;7:96-105.

188 | B A N U 6

HOW TO DIFFERENTIATE A SEIZURE OR A MOVEMENT DISORDER IN CHILDREN

Anna Marita Gelgel

Neurology Department, Medical Faculty Udayana University/Sanglah Hospital

Denpasar, Bali

Neuropediatry and Epilepsy Study groups of Perdossi Denpasar

Abstract

A seizure is an abnormal synchronous burst of neuronal activity, with

epilepsy defined as a propensity to having seizures. Epilepsy is differentiated

from movement disorders by the presence of characteristic ictal and interictal

discharges on electroencephalography (EEG) and events may evolve into or

associated with generalized tonic-clonic or other seizures.

Cortical involvement is a key factor in epileptic seizures, with the

disruption between cortical and subcortical pathways influencing the semiology

of the events. Altered functioning of subcortical structures is primarily implicated

in generating paroxysmal movement disorders, although hypersynchronous

discharges have not been disproved as the basis for PMD.1

A movement disorder is a group of conditions characterized by

alteration in normal motility, posture or tone, alone or in combination. Usually

associated with abnormalities of the basal ganglia and their connections and

occur in several different neurological disorders. Abnormal movements can be

the main or initial features of disease or they can occur as a late manifestation.2

Sometimes it is difficult to differentiate other paroxysmal events such

as epilepsy from a movement disorder. Brief paroxysmal stereotyped events are

the cardinal feature in both epilepsy and paroxysmal movement disorders.3

References

1. Peeraully T., Kaji R., Tan EK. 2014. The borderland between epilepsy

and movement disorders. In: Jankovic J., Poewe W. eds. Movement

disorders in neurologic and systemic disease. Cambridge UnivPress.

333-47

2. Mauricio R. Delgado MR., Albright AL. 2003. Movement Disorders in

Children: Definitions, Classifications, and Grading Systems. J Child

Neurol. 18: S1–S8

189 | B A N U 6

3. Fenichel GM. 2009. Movement disorders. In: Clinical Pediatric

Neurology. A sign and symptoms approach. 6th ed. Saunders Elsevier,

Philadelphia. 293-311

BAGAIMANA MEMBEDAKAN KEJANG DENGAN

GANGGUAN GERAK PADA ANAK

Anna Marita Gelgel

Pokdi Saraf Anak dan Epilepsi, Perdossi Denpasar

Departemen/KSM Neurologi FK. UNUD/RSUP. Sanglah Denpasar, Bali

Pendahuluan

Suatu bangkitan merupakan suatu letupan (burst) aktivitas neuronal

sinkron yang abnormal, bila berulang, maka akan disebut sebagai bangkitan

epileptik.

Epilepsi dibedakan dari gangguan gerak karena adanya lepas muatan

listrik iktal dan interiktal khas pada elektroensefalografi (EEG) dan kejadian

tersebut dapat menyertai bangkitan umum tonik klonik atau bangkitan yang lain.

Keterlibatan korteks merupakan faktor kunci dari bangkitan epileptik,

dengan adanya disrupsi diantara jaras korteks dan subkorteks yang

mempengaruhi semiologi bangkitan. Perubahan fungsi struktur subkorteks

secara primer berimplikasi terhadap generator gangguan gerak paroksismal,

meski lepas muatan hipersinkron tidak dapat dipungkiri sebagai dasar terjadinya

gangguan gerak paroksismal (paroxysmal movement disorder /PMD).1

Sementara itu, gangguan gerak merupakan suatu kelompok keadaan

yang ditandai oleh perubahan dalam motilitas, postur, baik secara sendirian atau

dalam bentuk kombinasi keduanya. Biasanya disebabkan oleh abnormalitas

ganglia basalis dan koneksinya yang timbul dalam beberapa gangguan

neurologi yang berbeda. Gerakan abnormal dapat menjadi gambaran utama,

gambaran awal dari sebuah penyakit atau dapat juga menjadi manifestasi akhir

dari penyakit itu sendiri.2

Kadang-kadang sulit membedakan kejadian paroksismal lainnya

seperti epilepsi dengan gangguan gerak karena kejadian stereotipik paroksismal

singkat merupakan gambaran kardinal pada kedua gangguan baik epilepsi

maupun gangguan gerak.3

Angka kejadian

Epilepsi didapatkan sekitar 0,5%-1% dalam populasi anak dan

merupakan suatu keadaan neurologis kronik paling sering. Namun data untuk

190 | B A N U 6

seberapa banyak kasus salah diagnosis antara epilepsi dianggap sebagai

gangguan gerak atau sebaliknya pada anak tidaklah diketahui secara pasti

namun dari hasil penelitian di Inggris pada kasus dewasa, dikatakan bahwa

kesalahan tersebut berkisar antara 20-30%. Kasus yang sama pada anak

mengacu pada data dewasa tersebut dengan perkiraan lebih buruk lagi

mengingat banyak kasus gangguan gerak pada anak disalah diagnosiskan

sebagai epilepsi, begitu juga sebaliknya.4,5

Etiologi

Bangkitan epileptik dan gangguan gerak sering dikatakan memiliki

penyebab yang berbeda, namun ada tumpang tindih dimana dari sudut

semiologi saja pun tidak cukup untuk membedakan keduanya yang dapat

bermanifestasi dalam beberapa kelainan tertentu, khususnya dalam

channelopathies. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam beberapa kasus ada

mekanisme genetik yang sama sebagai dasar kelainan.

Mekanisme kejadian

Berbagai mekanisme penyebab timbulnya epilepsi telah disampaikan

oleh para ahli seperti adanya defek gen pada kasus mutasi kanal ion, perubahan

fungsi sinaptik dan bagian intrinsik neuronal, mekanisme neurokimia yang

menyebabkan terjadinya peningkatan eksitabilitas serta sinkronisasi sel neuron

serta ketidakseimbangan antara system neurotransmitter glutamate dan

gamma-aminobutyric acid memegang peranan penting dalam epileptogenesis.6

Jaras dopaminergic dalam otak, termasuk mesokortikolimbik dan jaras

nigrostriatal, mempengaruhi regio kortikal yang terlibat dalam epilepsi baik

secara langsung ataupun tidak langsung melalui proyeksi talamokortikal.

Observasi pada bangkitan fokal dengan versi kepala (head version) atau distonia

iktal jarang menjadi umum, sebagai bukti tambahan dari sejumlah pemeriksaan

molekular, imajing, studi neuromodulatorik menyatakan bahwa ganglia basalis

berpengaruh dalam efek inhibitorik pada propagasi bangkitan. Terdapat bukti

bahwa agonis dopamin menurunkan bangkitan, sementara neuroleptik

meningkatkan, menurunkan aktivitas substansia nigra pars reticula, menekan

bangkitan umum.

Gangguan metabolism atau transport monoamine neurotransmitters

atau pterins (co-enzymes dalam jaras sintesis dopamin ditandai oleh epilepsi,

dimana gambaran ekstrapiramidalis adalah tremor, distonia dan koreoatetosis.

Semua bukti ini menunjukkan peran sistem dopaminergik dalam

interupsi propagasi bangkitan dengan peran ganglia basalis sebagai struktur

gerbang (gating).7

Gambaran Klinik dan penanganan.

191 | B A N U 6

Batas antara kejang dengan gangguan gerak pada anak sudah

menjadi persoalan pelik sejak lama. William Richard Gowers pada tahun 1907

sudah membahas tentang hal ini yang dia sebut sebagai “borderland of

epilepsy” yakni sebuah gangguan seperti epilepsy tapi bukan epilepsi.3 Tidak

seperti bangkitan parsial kompleks atau general, gangguan gerak secara umum

tidak mengganggu kesadaran. Walau bagaimanapun, beberapa jenis bangkitan

dapat menimbulkan sedikit perubahan kesadaran, namun dalam sejumlah kasus

gangguan gerak terkait tidur (sleep-related movement disorders), pasien juga

tak dapat mengingat kejadian yang dialami. Pada anak dengan keterlambatan

tumbuh kembang, gangguan kognitif atau perubahan status mental, akan

semakin sulit membedakan suatu bangkitan dengan gangguan gerak. 3,7,8,9,10

I.Epilepsi

1.Mioklonus versus epilepsi mioklonik

Mioklonus merupakan gerakan involunter yang singkat, tiba-tiba

disebabkan oleh kontraksi otot (mioklonus positif) atau inhibisi (mioklonus

negatif). Dapat berasal dari berbagai lokasi sepanjang neuraksis; korteks,

korteks-subkorteks, subkorteks-suprasegmental, segmental dan perifer. Kedua

jenis mioklonus dan bangkitan dapat muncul setelah diffuse cortical hypoxic

injuries, neurodegenerative syndromes, ensefalitis dan toxic-metabolic disorders.

Mioklonus dapat dipresipitasi oleh sejumlah obat-obatan.

EMG penting untuk evaluasi mioklonus kortikal. Pada mioklonus

esensial, EMG burst adalah 100 millisecond range dengan asynchronous firing

diantara otot agonist dan antagonist, dan hasil EEG tak berhubungan. Namun,

pada post-hypoxic myoclonus, EMG burst adalah singkat, berakhir dalam 10-20

milidetik, khas dengan synchronous agonist dan antagonist muscle firing.

Epilepsi mioklonus bisa merupakan manifestasi sendirian atau satu dari sejumlah

tipe bangkitan dalam setting chronic seizure disorder dengan hasil EEG yang

berhubungan.

Reflex myoclonus adalah satu bentuk mioklonus kortikal, dicetuskan

oleh sentuhan atau regangan otot. Khas pada pemeriksaan neurofisiologi

dengan peningkatan somatosensory evoked potential (SEP) kortikal gelombang

parietal dan memperpanjang reflex latensi EMG ke stimulasi saraf.

Reflex myoclonic epilepsy merupakan age-dependent, idiopatik,

generalized epileptic syndrome yang tampak pada usia 2 tahun pertama

kehidupan, dengan serangan terjadi secara eksklusif setelah stimulus taktil dan

auditorik. EEG iktal menunjukkan generalized spike and wave atau polyspike and

wave discharges dengan normal interictal tracing.

192 | B A N U 6

Asam valproat, levetiracetam and klonazepam merupakan obat yang

meningkatkan transmisi GABAergic dan efektif untuk menangani gangguan

gerak mioklonik. Beberapa obat anti epileptik dapat mencetuskan mioklonus;

gabapentin, pregabalin, lamotrigine namun tidak diketahui bagaimana cara

kerjanya karena obat ini juga modulasi transmisi GABAergik. Ada spekulasi

bahwa AED yang menurunkan mioklonus mungkin tidak beraksi melalui

mekanisme GABAergik yang sama sebagaimana mereka menurunkan bangkitan.

2.Infantile spasms

Merupakan kejadian epileptik age-dependent, biasanya muncul

sebelum usia setahun ditandai khas oleh kontraksi simetris bilateral, singkat tiba-

tiba dari muskulatur aksial. EEG interiktal menunjukkan hipsaritmia, chaotic,

irregular, high voltage slow spike and wave discharges. Berbagai mutasi gen

yang melayani berbagai fungsi molekular berbeda dalam pathogenesis IS. Gen

ini menyandi faktor transkripsi terlibat dalam perkembangan ventral forebrain

dan proliferasi dan migrasi interneuron GABAergik menunjukkan fenotipe yang

termasuk gangguan gerak dan gangguan kognitif berat sebagai tambahan

dalam IS.

II.Channelopathies

Merupakan sekelompok gangguan disebabkan oleh mutasi kanal ion

yang diturunkan. Menunjukkan gejala pada kedua keadaan heterogenisitas

fenotipe dan genotype, sehingga mutasi dalam gen berbeda bisa menyebabkan

penyakit yang sama dan mutasi berbeda dalam gen sama bisa memiliki

manifestasi berbeda. Channelopathies telah menjadi center stage mentautkan

patofisiologi molekular mendasari epilepsi dan PMD (paroxysmal movement

disorders).

Obat anti epilepstik (OAE) yang bekerja pada kanal ion dapat dipakai

untuk mengobati epilepsy dan sejumlah gangguan gerak.

1.Channelopathy epilepsies

Banyak gen kunci teridentifikasi dalam kasus idiopathic generalized

epilepsy syndrome yang menyandi (encode) kanal ion. Disfungsi kanal ion telah

dibuktikan berperan dalam kejadian epilepsi parsial. Perubahan molecular yang

terjadi, membuktikan bahwa ada perubahan dalam ekspresi kanal ion yang

berperan dalam epileptogenesis.

2.Autosomal dominant nocturnal frontal lobe epilepsy (ADNFLE)

Gangguan ini termasuk dalam kategori nocturnal paroxysmal events

yang terdiri dari epilepsy, gangguan gerak, dan gangguan tidur yang sering

tampil menjadi tantangan diagnostic. Orang dengan NFLE dan beberapa TLE

193 | B A N U 6

memiliki gejala prominent nocturnal seizures, yang dalam semiology mirip

dengan berbagai gangguan gerak termasuk periodic leg movements of sleep,

sleep bruxisms, nocturnal leg cramps dan rhythmic movement disorders, REM

behavior disorders, confusional arrousals, sleep terrors dan sleep walking. Dapat

diterapi dengan karbamazepin dan oxkarbazepin untuk focal onset seizures.

3.Benign familial epilepsy in neonates and infants (BFNC)

Merupakan autosomal dominant epilepsy syndrome ditandai oleh

afebrile seizures dengan awitan minggu pertama dalam kehidupan (first week of

life). Disebabkan oleh mutasi dalam dua gen KCNQ2 pada kromosom 20 atau

KNCQ3 dalam kromosom 8 yang menyandi voltage-dependent potassium

channel. Terganggunya potassium-dependent repolarization sehingga

menyebabkan hipereksitabilitas neuron. Epilepsi ini terjadi pada bayi dengan

tumbuh kembang normal dan hilang spontan pada usia 16 bulan.

Generalized epilepsy with febrile seizure plus (GEFS+) terjadi setelah

usia 6 tahun atau biasanya disertai afebrile generalized tonic-clonic seizures.

Dapat juga menunjukkan jenis bangkitan lain seperti, lena, miklonik, atonik dan

bangkitan parsial. Ditemukan mutase yang diturunkan secara autosomal

dominan dalam 3 gen kanal dan satu reseptor GABA, SCN1B (chromosome 19),

SCN1A (chromosome 2), SCN2A dan GABAa (chromosome 5). Hipereksitabilitas

neuronal diakibatkan meningkatnya konduksi sodium yang masuk atau

menurunnya aksi inhibisi GABAergik.

III. Channelopathy PMDs.

1.Hyperekplexia.

Gangguan ini ditandai oleh respon startle berlebihan terhadap stimuli

auditorik, visual atau taktil. Hyperekplexia bisa mirip startle epilepsy. Bila tampak

dalam periode neonatus, bayi bisa menunjukkan hipotoni umum yang membaik

selama tidur. Symmetrical jerking keempat ekstremitas tanpa habituasi dapat

dibangkitkan dengan sentuhan pada ujung hidung dan bayi bisa mengalami

serangan tonik dengan apnea. Bentuk minor ditandai oleh respon startle tanpa

hipertonia atau mioklonus nocturnal. Mutasi gen GLRA1 penyandi alpha 1

subunit dari reseptor glycine bisa diturunkan dalam model autosomal dominant

atau recessive yang paling sering ditemukan.

2.Paraneoplastic and autoimmune conditions

Walaupun belum jelas bagaimana kompleks imun diangkut melewati

sawar darah otak, gangguan susunan saraf pusat dapat disertai dengan antibodi

terhadap kanal ion, reseptor, protein sinaptik dan target lainnya. Beberapa

gangguan paraneoplastic tidak disertai tumor.

Sejumlah gangguan paraneoplastik dan penyakit otoimun

memberikan gejala gangguan gerak dan bangkitan. Paraneoplastic

194 | B A N U 6

encephalomyelitis memberikan gejala sindrom susunan saraf pusat seperti;

ensefalitis limbik, ensefalitis batang otak, opsoclonus myoclonus dan stiff person

syndrome. Gambaran ensefalitis limbik adalah amnesia, gejala psikiatrik,

bangkitan lobus temporal.

IV. Non-channelopathy PMD

1.Paroxysmal kinesigenic dyskinesia.

Merupakan gangguan autosomal dominant dengan awitan kanak-

kanak, ditandai oleh serangan yang sering berlangsung singkat seperti chorea,

distonia, atetosis dan balismus yang diinduksi oleh gerakan atau antisipasi

gerakan. Kesadaran tidak terganggu selama episode berlangsung dan berespon

baik terhadap OAE seperti fenitoin dan karbamazepin.

2.Epilepsy dan movement disorders in sleep.

Beberapa kasus parasomnia dan jenis bangkitan berbagi semiology

klinik yang sama. Berbeda dengan beberapa sindrom epilepsi, secara umum,

bangkitan tidak terjadi secara eksklusif pada malam hari. Pada nocturnal frontal

epilepsy syndrome (NFLE), serangan sering timbul selama 30 menit pertama

waktu tidur, awitan pada tidur stadium 2. EEG iktal dan interiktal sering normal,

membuat bingung untuk gambaran kliniknya. Parasomnia tidur Non rapid eye

movement (NREM), biasanya terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja

termasuk juga, confusional arrousals, sleep terrors dan somnabulisme. Terjadi

pada slow-wave sleep selama sepertiga pertama tidur malam.

Periodic limb movement of sleep (PLMS) adalah gerakan ekstremitas

stereotipik, repetitive selama tidur NREM. Biasanya banyak terjadi pada orangtua

dan kebanyakan asimptomatik. Bisa juga tampak pada restless leg syndrome,

REM sleep behavior disorder (RBD) dan narcolepsy.

Benign sleep myoclonus of infancy (BSMI) dulu dikenal sebagai benign

neonatal sleep myoclonus, adalah fenomena non epileptic yang terjadi pada usia

1 bulan, dan menghilang pada usia 6 sampai 12 bulan. Ditandai khas dengan

repetitive myoclonic jerks dari badan dan ekstremitas yang dapat dipresipitasi

oleh goyangan and berhenti waktu bangun tidur. Anak yang terkena

perkembangannya normal dengan EEG tidak menunjukkan aktivitas epileptiform.

Sejumlah gangguan epileptik bisa mirip semiologi BSMI.

Diagnosis

Setelah melakukan observasi dan anamnesis terstruktur maka

dilakukan pemeriksaan EEG, video-EEG monitoring, EMG, polysomnography,

laboratorium metabolic, imajing, pemeriksaan DNA.

Penanganan

Dapat diberikan terapi sesuai gejala klinis dan penyakit yang

mendasari pilihan yang ada;

195 | B A N U 6

-Obat anti epilepsi

-Obat agonis dopamin

-Obat antagonis dopamin

-Deep brain stimulation

-Terapi gen

Kesimpulan

Epilepsi dan PMD merupakan gangguan dimana keduanya bersifat

paroksismal dalam asal muasal penyakitnya, sering dengan semiologi yang sama

dan berbagi jaras molekular umum yang sama juga. Walaupun diperkirakan

mempunyai kelompok yang berbeda namun gangguan ini dapat mewakili satu

keterkaitan. Menguasai pengetahuan proses molekular yang mendasari dengan

baik maka akan membentuk strategi pengobatan dengan target lebih baik,

termasuk pemakaian DBS untuk berbagai sindrom epilepsi dan manipulasi

agonis D2 serta antagonis D1.

Prominence channelopathies memberikan kesempatan terapi yang

nyata. Perkembangan ion channel activators atau facilitators akan memampukan

penguatan arus atau mengizinkan modifikasi channel gating yang menyebabkan

aktivasi lebih cepat, deaktifvasi lebih lambat atau mengubah voltage

dependence. Tidak seperti terapi agonis dan antagonis, terapi dengan target

tersebut tidak akan menyebabkan perubahan dalam kinetik memberikan respons

yang lebih baik dengan efek samping yang lebih sedikit.

Daftar Pustaka

1 Peeraully T., Kaji R., Tan EK. 2014. The borderland between epilepsy

and movement disorders. In: Jankovic J., Poewe W. eds. Movement

disorders in neurologic and systemic disease. Cambridge UnivPress.

333-47

2 Mauricio R. Delgado MR., Albright AL. 2003. Movement Disorders in

Children: Definitions, Classifications, and Grading Systems. J Child

Neurol. 18: S1–S8

3 Fenichel GM. 2009. Movement disorders. In: Clinical Pediatric

Neurology. A sign and symptoms approach. 6th ed. Saunders Elsevier,

Philadelphia. 293-311

4 Aaberg KM., Gunnes N., Bakken IJ., Soraas CL., Berntsen A., Magnus P.,

Lossius MI., Stoltenberg C., Chin R., Suren P. 2017. Incidence and

prevalence of childhood epilepsy: A Nationwide Cohort Study.

Pediatrics.139(5):1-9

5 Nice. 2002. Costs of epilepsy misdiagnosis. Avail. from;

https://www.nice.org.uk

196 | B A N U 6

6 Engelborghs S., D’Hooge R., Deyn PP De. 2000. Pathophysiology of

epilepsy. Acta Neurol. Belg. 100:201-13

7 Singer HS DL., Mink JW., Gilbert DL., Jankovic J. 2016. PMD.

In:Movement disorders in childhood. 2nd

ed. Elsevier. 82-98

8 Henry TR. 2012. Seizures and epilepsy: Pathophysiology and Principles

of Diagnosis. Hospital Physician Board Review Manual. Epilepsy vol 1

9 Singer HS DL., Mink JW., Gilbert DL., Jankovic J. 2016. Developmental

movement disorders. In:Movement disorders in childhood. 2nd

ed.

Elsevier. 7-76

10 Singer HS DL., Mink JW., Gilbert DL., Jankovic J. 2016. Movement

disorders in autoimmune diseases. In:Movement disorders in

childhood. 2nd

ed. Elsevier. 410-21

197 | B A N U 6

Common and specific EEG Finding in specific epileptic syndromes especially in

children epilepsy

AAA Meidiary

Bagian/SMF Neurologi

FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Abstract

Electroencephalography (EEG) is the electrical study of brain

activity. EEG used on humans to examine electrical activity within the brain’s

cortical grey matter1 and it was later discovered that aberrant cortical activity

is seen in many neuro-pathologies. It is especially relevant in seizure

disorders, in particular epilepsy. Normal EEG does not exclude the diagnosis

of epilepsy and an abnormal EEG does not, in itself, establish a diagnosis of

epilepsy. With a definite diagnosis of epilepsy, EEG helps to classify seizure

type or the associated epileptic syndrome. Specific EEG finding in specific

syndrome epilepsy help us to diagnose and manage epilepsy.

Key word: EEG, epilepsy syndrome

I. Pendahuluan

Electroencephalography (EEG) merupakan alat untuk merekam

aktivitas listrik otak. Alat ini pertama digunakan pada manusia oleh psikiater

Jerman Hans Berger tahun 1929 untuk memeriksa aktivitas litrik otak.

Sebelum ditemukan CT scan dan MRI, EEG digunakan untuk banyak kasus

seperti epilepsi, tumor intra kranial, stroke, trauma serebri, ensefalitis dan

kasus-kasus penurunan kesadaran serta untuk menentukan mati otak.

Dengan ditemukannya alat imaging yang lain, penggunaan EEG terutama

pada kasus epilepsi.1

II. Neurofisiologi EEG

Untuk mencatat aktivitas listrik otak tidak perlu membuka kepala untuk

memasang sensor tetapi dengan meletakkan sensor yang disebut elektroda

198 | B A N U 6

pada permukaan kulit kepala. Gelombang EEG berasal dari sumasi potensial

post sinaptik sel pramid lapisan dalam korteks. Otak mengandung sekitar

100 miliar neuron yang saling berhubungan. Neuron mengandung badan sel

dan satu atau lebih dendrit yang berakhir pada sinaps. Pada sinaps terjadi

aktivitas inhibisi dan eksitasi impuls antara dua neuron. Transmisi sinaps

dicetuskan dengan pelepasan neurotransmitter yang menimbulkan

perubahan voltase membran sel. Aktivitas sinaps membuat lapangan elektrik

yang disebut postsynaptic potential. Post synaptic potential dari satu neuron

terlalu kecil, karena itu untuk dapat dikenali lapangan elektrik yang

terbentuk merupakan gabungan potensial post sinaps 1000 atau lebih grup

neuron.3 Pada kenyataannya tidak semua lapangan elektrik yang dibentuk

otak cukup kuat untuk melewati jaringan, tulang dan permukaan kulit.

Penelitian menyebut aktivitas listrik terutama yang berasal dari neuron

piramidal dapat tercatat di permukaan kulit.2 Sel neuron pyramidal

ditemukan pada semua lobus otak (paretal, temporal, oksipital dan frontal)

dan sumasi post sinaps sel tersebut menimbulkan gelombang EEG yang

tercatat pada permukaan kulit kepala.2

Gelombang EEG yang dijumpai dapat berupa:3

III. Indikasi EEG

Elektroensefalografi (EEG) merupakan alat penunjang diagnosis

yang penting di bidang neurologi khususnya neurologi anak. Abnormalitas

EEG ini dijumpai pada semua penyakit neurologi yang melibatkan korteks.

EEG ini berguna untuk menentukan lokasi kelainan tetapi tidak spesifik dan

tidak dapat membuat diagnosis pasti (1)

Gambaran abnormal EEG berupa

spike atau sharp wave pada penderita epilepsy juga bisa dijumpai pada

199 | B A N U 6

kondisi selain epilepsy. Karena itu adanya gambaran epileptiform discharges

tidak secara absolut mendiagnosis suatu epilepsy. Gambaran EEG normal di

sisi lain tidak menghilangkan kemungkinan menderita epilepsy. EEG dapat

menegakkan diagnosis suatu bangkitan hanya bila manifestasi klinis terjadi

bersamaan dengan electrographic discharges .1

Elektroensefalografi merupakan komponen utama untuk

mengevaluasi epilepsi. EEG memberikan informasi penting tentang irama

latar belakang, gelombang epileptiform dan diperlukan untuk diagnosis

sindrome epilepsi yang spesifik. Diagnosis seperti ini memberi informasi

penting tentang prognosis, pemilihan obat anti epilepsy dan kapan waktu

yang tepat untuk menghentikan obat anti epilepsy. EEG merupakan salah

satu komponen yang diperlukan untuk klasifikasi syndrome epilepsy seperti

diperlihatkan pada tabel 1.

Tabel 1. Features Used to Classify Epileptic Syndromes (1)

Seizure Type(s)

Partial onset

Simple, complex, secondarily generalized

Generalized onset

Absence, tonic, tonic-clonic, atonic, myoclonic

Specific

Spasms, gelastic, others

Cluster of Signs and Symptoms Customarily Occurring Together

Age of onset

Etiology

Anatomy

Precipitating factors

Severity: prognosis, benign or malignant

EEG, both ictal and interictal

Duration of epilepsy

Associated clinical features

Chronicity

Diurnal and circadian cycling

----------------------------------------------------------------------------------

IV. Gambaran EEG pada sindrom epilepsi spesifik

Sindrom epilepsi yang spesifik sering dimulai pada onset anak-

anak dan berlangsung sampai dewasa. Pembicaraan akan dimulai dari

sindrom epilepsi general dan dilanjutkan sindrom epilepsi fokal.

A. Generalized epilepsy syndrome

1. Absence epilepsy

200 | B A N U 6

Bangkitan utama berupa dialeptic seizure yaitu bangkitan non

motorik, bisa berupa bengong yang berlangsung beberapa detik namun

sering. Bangkitan mulai umur 6 – 7 tahun dan puncak pada 10 dan 12 tahun.

Bisa mengalami remisi secara spontan. Dan bila berlanjut sampai dewasa,

dapat menjadi bangkitan tonik klonik. Predisposisi herediter. Pemeriksaan

klinis neurologi dan neeuromaging normal. Gambaran EEG berupa

Generalized spike wave complex.4

Gambar A.1. 3 Hz spike wave complex generalized

2. Juvenile Myoclonic Epilepsy

Bangkitan utama berupa generalized myoclonic seizure pada

kedua bahu. Terutama pada pagi hari dan bertambah dengan sleep

deprivation. Gambaran EEG berupa generalized polyspike dan generalized

spike and wave complex.

Gambar A. 2. Polyspike generalized

201 | B A N U 6

3. Lennox Gastaut syndrome

Lennox Gastaut syndrome (LGS) adalah penyakit yang berat,

dengan bangkitan campuran, tonik, atonik dan mioklonik dan dijumpai

adanya retardasi mental. Onset mulai umur 1 sampai 8 tahun. Dijumpai

defisit neurologis dan abnormalitas neuroradiologi. Pada EEG dijumpai slow

spike wave complex (SSWC) dimana frekuensi spike 1,5 – 2,5 HZ dengan

slow back ground (Gambar A. 3).1

4. Grandmal epilepsy

Grandmal epilepsy mulai pada dekade kedua kehidupan.

Bangkitan berupa generalized tonic clonic seizure yang sering muncul pada

jam pertama bangun tidur. Dapat dicetuskan dengan sleep deprivation.

Pemeriksaan neurologis dan imaging normal. Gambaran EEG interictal

berupa generalized spike and wave complex (Gambar A.4)

Gambar A. 3. Slow spike wave complex

202 | B A N U 6

Gambar A. 4. Spike wave generalized

5. West’s syndrome /Infantle Spasme (IS)

Merupakan suatu sindrom epilepsi yang ditandai dengan

bangkitan myoclonic atau tonic, gambaran EEG hypsarrhytmia dan retardasi

mental. Dijumpai pada tahun pertama kehidupan, onset umur 3 bulan. IS

dibedakan menjadi idiopatik, simptomatik dan kriptogenik. EEG interiktal

menunjukkan gambaran hypsarrhytmia yatu perlambatan voltage tinggi,

tidak ritmik (irregular/background disorganized), dengan spike/sharp wave

multiregional. EEG interictal menunjukkan electrodecremental dimana

hypsarrhytmia diikuti flattening (Gambar A.5).1

Gambar A.5: Hypsarrhytmia generalized. EEG Seizure generalized. Epileptic

spasme.

B. Focal epilepsy syndrome

203 | B A N U 6

1. Benign epileptiform discharges of childhood (BEDC)

Merupakan epilepsi pada anak yang paling sering dan prognosis

baik. Onset umur 1 – 14 tahun. Gambaran klinis Unilateral facial sensory

motor symptom, oropharyngeal manifestation, speech arrest,

hypersalivation. Bila ada tonic clonic seizure disebut rolandic epilepsy.

Gambaran EEG berupa sharp and slow wave complex pada daerah C3 – C4.

Gambar B.1. BEDC temporocentral kiri

2. Temporal lobe epilepsy

Manifestasi klinis berupa bangkitan fokal complex yaitu motor

arrest, automatism, amnesia, post ictal confusion durasi 1 menit. Bisa

berlanjut menjadi secondary GTCS. Gambaran EEG pada lateral temporal

lobe epilepsy (LTLE) yaitu spike/sharp wave pada middle dan posterior

temporal (T3 – T5 dan T4 dan T6). Pada Mesial Temporal Lobe epilepsy

(MTLE) gambaran EEG berupa spike dan sharp wave pada temporal anterior

(F7-F8 atau T1-T2).

3. Frontal lobe epilepsy

Gambaran EEG pada frontal lobe epilepsy bisa berupa spike/

sharp wave di frontal. Pada mesial frontal lobe epilepsy gambaran spike

wave dijumpai pada Cz, C3, C4.

V. Ringkasan

EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang penting untuk

menegakkan diagnosis sindrom epilepsi karena dapat menunjukkan

gambaran yang spesifik pada sindrom epilepsi yang juga spesifik.

Daftar Pustaka

1. Riviello JJ. Pediatric EEG Abnormalities In The Clinical Neurophysiology

Primer. Edited by A.S .Blum and S.B Rutkove. Humania Press

Inc,Totowa,NJ

204 | B A N U 6

2. Erik K, Lauren C: Electroencephalography (EEG): An Introductory Text

and Atlas of Normal and Abnormal Findings in Adults, Children, and

Infants.

3. EEG Pocket guide © 2016, iMotions.

205 | B A N U 6

Diet Ketogenik pada Epilepsi Pediatri

dr. I.G.A.M. Riantarini, Sp.S

Siloam Hospital, Bali

Abstrak

Angka insiden epilepsi tertinggi pada tahun pertama kehidupan,

disaat pertumbuhan maksimal dari otak. Pada sepertiga kasus epilepsi menjadi

bagian dari ensefalopati dimana aktivitas epileptik itu sendiri akan mengganggu

fungsi kognitif dan tingkah laku penderita serta sulit dikontrol dengan

farmakoterapi. Strategi berikutnya dari penanganan epilepsi intraktabel adalah

terapi diet sebelum pembedahan. Terapi diet yang dikenal sejak lampau untuk

penderita epilepsi adalah diet ketogenik (DK).

Diet ketogenik adalah diet yang mengutamakan asupan lemak yang

tinggi dengan protein secukupnya dan karbohidrat seminimal mungkin. Hasil

dari DK yaitu badan keton (asam asetoasetat, beta hidroksi-butirat dan aseton)

merupakan sumber energi pengganti glukosa bagi otak yang poten

meningkatkan ambang kejang selain efek neuroprotektor. Diet ketogenik dapat

diberikan di seluruh belahan dunia, pada semua kelompok usia, tanpa

memandang jenis epilepsi/sindrom epilepsi sesuai dengan indikasi dan

kontraindikasinya. Beberapa jenis epilepsi pada pasien pediatrik yang termasuk

dalam ensefalopati epileptik dan kemungkinan menjadi intraktabel terhadap

farmakoterapi adalah sindrom Ohtahara, spasme infantile, sindrom West,

sindrom Lennox-Gastaut, tuberosklerosis kompleks, bahkan dengan kelainan

metabolik seperti glucose transporter-1 deficiency, pyruvate dehydrogenase

complex (PDHC) deficiency, dan mitochondrial respiratory chain complex

deficiency. Pada kondisi tersebut penting untuk lebih agresif dalam

penanganannya untuk mengontrol kejang dan mengoptimalkan perkembangan

kognisi secara bersamaan. Telah banyak studi membuktikan efikasi dan

tolerabilitas dari DK yang cukup baik. Hampir 15% dari pasien yang

mendapatkan DK menjadi bebas kejang dan lebih dari 50% pasien mengalami

pengurangan frekuensi kejang >50%, sehingga dapat mengurangi penggunaan

OAE. Efek samping yang terjadi dalam jangka pendek (keluhan gastrointestinal

seperti mual, konstipati) sebagian besar dapat ditolerir/tidak berarti dan efek

jangka panjang dapat dicegah dengan pemberian suplemen sejak memulai DK.

Di negara Indonesia, penggunaan DK masih sangat kurang karena

klinisi masih banyak yang belum menyadari manfaat, tehnik atau cara

mengerjakannya. Dengan berpikir positif akan manfaat DK pada pasien epilepsi

dan mulai mengerjakannya pada usia pasien sedini mungkin akan membantu

menyelamatkan sumber daya manusia bangsa kita.

206 | B A N U 6

Daftar Pustaka

1. Berg AT, Berkovic SF, Brodie, MJ, et al. Revised terminology and concepts

for organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE commission

on classification and terminology, 2005-2009. Epilepsia 2010;51(4): 676-685.

2. Nordli DR, Kuroda MM, Carr.oll J, et al. Experience with the ketogenic diet

in infants. Pediatrics Vol.108 no1. July 2001

3. Dressler A, Trimmel-Scwahofer P, Reithofer E, et al. The ketogenic diet in

infants-advantages of early use. Epilepsy Research 2015;16: 53-58.

4. van der Louw E, van der Hurk D, Neal E, et al. Ketogenic diet guidelines for

infants with refractory epilepsy. European Journal of Paediatric Neurology

2016;20:798-809.

5. Kang HC, Chung DE, Kim DW, et al. Early- and late-onset complications of

the ketogenic diet for intractable epilepsy. Epilepsia 2004;45:1116-1123.

6. Eun SH, Kang HC, Kim DW, Kim HD, Ketogenic diet for the treatment of

infantile spasm. Brain Dev. 2006;28:566-571.

7. Payne ET, Zhao XY, Frndova H, et al, Seizure burden is independently

associated with short term outcome in critically ill children. Brain

2014;137:1429-1438.

8. Vehmeijer FOL, van der Louw E, Arts WFM et al, Can we predict efficacy of

the ketogenic diet in children with refractory epilepsy?. European Journal

of Paediatric Neurology 2015; 19:701-705.

9. Paleologou E, Ismayilova N, Kinali M, Use of the ketogenic diet to treat

intractable epilepsy in mitochondrial disorder. Journal of Clinical Medicine

2017; 6,56 :doi:10.3390/jcm6060056

10. Felton EA, Cervenka MC. Dietary therapy is the best option for refractory

nonsurgical epilepsy. Epilepsia 2015; 56(9): 1325-1329.

11. Kang HC, Lee YM, Kim HD, Lee JS, and Slama A, Safe and effective use of

the ketogenic diet in children with epilepsy and mitochondrial respiratory

chain complex defects. Epilepsia 2007; 48 (1): 82-88.

12. Thammongkol S, Vears DF, Bicknell-Royle J, et al, Efficacy of the ketogenic

diet: which epilepsies respond?. Epilepsia 2012; 53 (3): e55-e59.

13. Caraballo R, Noli D, Cachia P, Epilepsy of infancy with migrating focal

seizures: three patients treated with the ketogenic diet. Epileptic Disorder

2015; 17(2):194-7.

14. Nelson GR, Management of infantile spasms. Transl Pediatr 2015; 4(4): 260-

270.

207 | B A N U 6

15. Hong AM, Turner Z, Hamdy RF, Kossoff EH, Infantile spasms treated with

the ketogenic diet: Prospective single-center experience in 104 consecutive

infants. Epilepsia 2010;51(8) : 1403-1407.

1. Risk on Developing Epilepsy After Having Episode of Febrile Seizure in Children:

Evidence Based Case Report

A.A. Yuniari1, A.F. Priarti

1, A.A. Mahardika

2

1Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

2Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Introduction: Febrile seizure happened mostly in children aged 6 months to 5

years. Some cases of febrile seizure have develop to epilepsy in the future and

concern has been raised whether getting febrile seizure is a greater risk to

develop an epilepsy. This evidence based report aims to evaluate the risk in

patients who had febrile seizure to develop to epilepsy in the future.

Methods: The search was conducted on PubMed®, EBSCO®, and Cochrane®

using the search tools containing keywords risk, develop, epilepsy, febrile seizure

with synonyms and related terms.

Results: Four studies are included after meeting eligible criteria for this report.

Study Cansu A, et al. suggested that simple febrile seizure (OR 4.04; 95% CI:

2.22-7.46) and complex febrile seizure (OR 21.97; 95% CI: 9.24-55.80) can

increase the risk of getting epilepsy. Two Studies by Daoud AS, et al. and Tripathi

M, et al. also has shown the increase of risk in getting epilepsy for patients who

suffered febrile seizure. One cohort study by Vastergaard M, et al. (OR 5.43; 95%

CI: (5.19- 5.69) also indicates the elevation of the risk in epilepsy.

Discussion: Study by Cansu A, et al. show the bigger risk in patient who got

complex febrile seizure to develop epilepsy. Study by Daoud AS, et al. and

Tripathi M, et al. suggested the increased risk on developing epilepsy but both

studies did not classify the febrile seizure. The study by Vestergaard M, et al.

suggested that febrile seizure may increase risk of epilepsy in the future with

4.31% of patient who had febrile seizure develop an epilepsy case.

Conclusion: Episode of febrile seizure in children can increase the risk of epilepsy,

the risk may be bigger in children who had complex febrile seizure compared to

simple febrile seizure.

Keywords: risk, develop, epilepsy, febrile seizure

208 | B A N U 6

2. Risk on Developing Epilepsy After Having Episode of Febrile Seizure in Children:

Evidence Based Case Report

A.A. Yuniari1, A.A. Mahardika

2, R.A. Soebardi

3

1Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

2Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta 3Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, RSCM, Jakarta

Latar belakang: Cerebral Palsy (CP) merupakan disabilitas kronik motorik yang

paling sering dijumpai pada anak. Menurut data dari Centers for Disease Control

and Prevention (CDC), prevalensi CP mencapai 1,5 sampai 4 per 1000 kelahiran

hidup. Nyeri dan spasme yang dirasakan pasien CP membuat keterbatasan

dalam bergerak. Oleh sebab itu, pasien CP dapat mengalami kontraktur karena

adanya pembatasan gerak spontan. Mengurangi spastisitas otot dapat

mencegah adanya kontraktur. Obat golongan benzodiazepine dapat digunakan

karena murah, efektif, dan dapat ditoleransi dengan baik sebagai obat pelemas

otot.

Metode: Penelusuran literatur dilakukan pada tiga database yaitu Pubmed,

Cochrane, dan EBSCO menggunakan kata kunci cerebral palsy, diazepam,

clonazepam, benzodiazepine, dan spasticity.

Hasil: Pada akhir penelusuran literatur didapatkan dua artikel randomized control

trial (RCT) yang dianggap cukup sesuai untuk ditelaah lebih lanjut. Studi Dahlin,

et al. validitasnya dinilai tidak cukup baik. Nilai kepentingan dari kedua artikel

tidak dapat dinilai karena tidak mempresentasikan hasilnya dengan jelas. Pada

studi pertama diperoleh berkurangnya tahanan spastik pada semua kecepatan di

kelompok yang diberi clonazepam. Studi Mathew, et al. mendapatkan adanya

penurunan signifikan pada spastisitas.

Diskusi: Berdasarkan data yang tersedia disimpulkan bahwa validitas artikel

pertama tidak dapat dinilai karena tidak menampilkan data demografik. Selain

itu, artikel tersebut tidak menyebutkan mengenai metode intention to treat.

Pada artikel kedua metode intention to treat tidak disebutkan secara langsung,

namun pada hasil melibatkan semua sampel. Berdasarkan nilai kepentingan,

kedua artikel tidak menyajikan hasil secara jelas. Artikel pertama menunjukan

nilai mean reduction setelah injeksi sebesar 69% (p<0.001) bermakna secara

statistik namun tidak diketahui bermakna secara klinis. Sedangkan artikel kedua

menyajikan hasil menggunakan grafik dengan indikator Ashworth scale.

Berdasarkan aplikabilitas, artikel pertama memiliki kondisi yang berbeda dengan

pasien dalam kasus, sedangkan artikel kedua sesuai dengan PICO.

Kesimpulan: Belum terdapat bukti yang cukup untuk menentukan efektivitas obat

golongan benzodiazepin untuk mengurangi spastisitas pasien cerebral palsy.

209 | B A N U 6

Kata Kunci: Cerebral palsy, benzodiazepine, spastisitas

3.Case Report: Refractory Status Epilepticus

in Child with Meningoencephalitis

Fabian J. Junaidi, Saphira Evani

Karitas Hospita-Southwest Sumba, East Nusa Tenggara

Meningoencephalitis is the infection of the central nervous system by virus,

bacteria, tuberculosis, or fungus. This disease can affect everyone, especially they

who have lack of immune system like children, malnourished patients, eldery

people, and people with diseases that reduce the body's immune system

(immunocompromised). The symptoms of meningoencephalitis which often

occur are loss of consciousness, fever, headache, seizure, and behavioral

changes, with or without focal neurological deficits. Seizure that occurs in some

cases is difficult to be overcome so that it can become status epilepticus. Status

epilepticus is a neuropediatric emergency. Status epilepticus is characterized by

seizures for more than 30 minutes or repeated seizures without recovery of

consciousness between the seizures. We present a case of 1-year-old boy with

meningoencephalitis accompanied by refractory status epilepticus that was not

successfully treated with the first and second line seizure therapies. The seizure

experienced by the patient was finally stopped after given Midazolam which is

one of the third line seizure therapies. This patient was treated at Karitas

Hospital, Southwest Sumba, with all its limitations. The patient was discharged

from the hospital with improved condition without any maintenance seizure

medication.

Keywords: Status epilepticus, Meningoencephalitis, Neuropediatric

210 | B A N U 6

4.Hubungan Kadar Gula Darah Puasa saat Terjadinya Stroke

dengan NIH Stroke Scale pada Pasien Stroke Iskemik Akut

di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Hermawan Hanjaya1, Paryono

2, Ismail Setyopranoto

2

1Asisten Departemen Neurologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta dan Dokter

Internsip di RS POLRI Bhayangkara Yogyakarta 2Staf Pengajar Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan

Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gajah Mada / RSUP dr. Sardjito

Yogyakarta

Latar belakang: Hiperglikemia merupakan kejadian yang sering terjadi pada

pasien stroke iskemik, Hiperglikemia bisa terjadi pada 20-50% pasien stroke

iskemik akut. Hiperglikemia merupakan suatu hal yang berdampak buruk

terhadap luaran klinis pasien stroke iskemik, dan juga dapat memperburuk

angka kematian pasien stoke. Kadar gula darah puasa (GDP) merupakan salah

satu indikator yang praktis dilakukan di praktek klinis untuk menilai kondisi

hiperglikemia.

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara kadar GDP dengan nilai NIH Sroke

Scale (NIHSS) pada pasien stroke iskemik akut yang dirawat di RSUP dr Sardjito

yogyakarta.

Metode: Terdapat 50 pasien stroke iskemik pada bulan Januari-Mei 2018 pada

stroke registry yang akan diteliti. Penelitian merupakan penelitian kohort

retrospektif. Kadar GDP pasien diambil saat pertama admisi di rumah sakit, dan

skor NIHSS akan dihitung saat awal dan akhir saat pasien keluar dari rumah sakit.

Hasil: Pada uji pearson ditemukan adanya hubungan lemah (r=0.1), dengan hasil

analisis yang tidak bermakna (p=0.344). Sedangkan, chi-square menunjukkan

adanya hubungan yang bermakna (p=0.03), disertai dengan hubungan klinis

yang bermakna, dengan perbedaan proporsi >30%. Uji t-test pada hasil delta

NIHSS awal dan akhir tidak menunjukkan adanya hasil yang signifikan (p=0.68).

Hasil uji multivariat akan dilakukan untuk mengevaluasi faktor penganggu.

Kesimpulan: Terdapat korelasi yang signifikasn baik secara statistik dan klinis

pada GDP saat serangan stroke dengan skor NIHSS yang tinggi pada pasien

iskemik akut. Namun, uji analisis yang lain tidak menunjukkan hasil yang

bermakna.

Kata Kunci: GDP, NIHSS, Stroke Iskemik Akut, Gula darah puasa

211 | B A N U 6

5.Retinopati sebagai Penanda Prognostik Gangguan Neurologis pada

Penderita Malaria Serebral yang Bertahan Hidup: Sebuah Tinjauan Sistematik

Mini

IF Gosal, A. Prabata

Rumah Sakit Permata Depok, Jawa Barat, Indonesia

Latar Belakang: Di Indonesia, setiap tahunnya telah dilaporkan adanya beberapa

juta kasus dari Malaria, dan sekitar 68% kasus, disebabkan oleh Plasmodium

falciparum. Malaria serebral merupakan komplikasi mematikan dari infeksi

Plasmodium falciparum yang dapat menyebabkan gangguan neurologis bagi

penderitanya yang bertahan hidup. Studi terbaru menunjukkan bahwa penderita

malaria serebral dengan retinopati yang bertahan hidup, lebih mungkin untuk

menderita gangguan neurologis. Kami bertujuan untuk menentukan apakah

retinopati dapat menjadi penanda prognostik gangguan neurologis pada

penderita malaria serebral yang bertahan hidup.

Metode: Kami melakukan pencarian terstruktur di beberapa sumber data,

termasuk Pubmed, Ebscohost, Ovid, dan Proquest untuk studi kohort tentang

topik ini. Kemudian, studi prognosis yang dipilih telah melalui penilaian kritis

berdasarkan penilaian kritis studi prognosis Oxford CEEBM.

Hasil: Tiga penelitian kohort prospektif yang terdiri dari 458 subjek yang

memenuhi semua kriteria inklusi, dinilai secara kritis. Gangguan neurologis yang

mungkin muncul adalah epilepsi (9-10%), neurodisabilitas baru atau pemeriksaan

neurologis abnormal (7,2-23,1%), dan gangguan perilaku yang mengganggu

(10,6%). Rasio Odds berkisar dari 31,8-37,2.

Diskusi: Satu penelitian menunjukkan hasil signifikan yang menunjukkan

hubungan retinopati dan gangguan neurologis, tetapi tidak pada dua lainnya.

Perbedaan antara hasil tersebut mungkin dihasilkan dari perbedaan lokasi,

subjek total, dan metode untuk menilai gangguan neurologis.

Kesimpulan: Temuan yang tidak konsisten dalam penelitian yang dipilih

membuat retinopati masih dapat dipertanyakan sebagai penanda prognostik

dari gangguan neurologis pada malaria serebral. Namun, hal tersebut masih bisa

menjadi penanda penting di masa depan dengan penelitian yang luas dan lebih

baik di masa depan.

Kata kunci: Retinopati, Malaria Serebral, Gangguan Neurologis

212 | B A N U 6

6.Infeksi Streptococcus suis pada Manusia dengan

Presentasi Klinis Meningitis Bakteri dan Artritis

IGM Ardika Aryasa1, Ni Made Susilawathi

2, Anak Agung Ayu Suryapraba

Indradewi Karang2

1RSU Puri Raharja Denpasar

2SMF Neurologi, Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar

Infeksi Streptoccocus suis (S.suis) telah dikenal sebagai infeksi

zoonosis yang berkembang pada manusia dan terdistribusi secara global

terutama di Asia. Infeksi yang berhubungan dengan babi ini merupakan

penyebab utama meningitis khususnya pada mereka yang memiliki riwayat

kontak dengan babi yang terinfeksi dan olahan daging babi yang

terkontaminasi. Infeksi ini juga dapat menunjukkan presentasi klinis sebagai

sepsis, artritis septik, endokarditis dan endoptalmitis.

Kami melaporkan dua kasus infeksi S.suis dengan manifestasi

meningitis bakteri dan artritis. Kedua kasus datang ke rumah sakit dengan

keluhan demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Diagosis meningitis telah

ditegakkan dan bakteri S.suis ditemukan pada cairan serebrospinal. Keluhan

nyeri sendi dirasakan kedua pasien saat hari pertama perawatan di rumah sakit

namun bengkak pada kedua sendi dilaporkan beberapa hari setelah perawatan.

Kedua pasien diterapi dengan ceftriaxone dengang terapi adjunctive

dexametason. Pasien dipulangkan tanpa disabilitas. Dalam laporan ini kami

mengilustrasikan faktor risiko, presentasi klinis dan mekanisme infeksi S.suis pada

manusia.

Meskipun patogenesis yang spesifik dari infeksi S.suis belum diketahui

secara pasti, penting untuk memahami bahwa infeksi S.suis merupakan infeksi

hematogen sistemik yang dapat menunjukkan beberapa presentasi klinis.

Kata kunci: Infeksi S.suis,meningitis bakteri, artritis septik

213 | B A N U 6

7.Karakteristik Klinik dan Lokasi Tumor otak di RS Siti Khadijah Sepanjang –

Sidoarjo tahun 2015-2017

Lathifatul Fikriyah1, Muhammad Hamdan

2

Latar Belakang: Tumor otak merupakan suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak

ataupun ganas, membentuk massa dalam ruang intra cranial atau di medulla

spinalis. Tumor otak merupakan penyebab kematian yang kedua dari semua

kasus kanker yang terjadi pada pria berusia 20-39 tahun. Namun di Indonesia

masih minim data mengenai tumor otak terutama di Sidoarjo.

Tujuan: untuk mengetahui karakteristik klinik dan lokasi tumor otak.

Metode dan Sampel: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan

pendekatan cross sectional. Sampel merupakan data seluruh pasien tumor otak

yang terdiagnosis secara CT Scan Kepala dengan Kontras.

Hasil Penelitian dan kesimpulan: Selama periode 2015-2017 terdapat 34 kasus.

Dari 34 kasus secara keseluruhan diketahui bahwa wanita lebih banyak terkena

tumor otak dibanding pria dengan perbandingan 1,3:1. lokasi tumor terbanyak

pada daerah frontal dengan 52,9% kasus. Gejala yang paling banyak dikeluhkan

adalah sakit kepala (82.3 %) dari 34 kasus. Ditemukan kasus tumor otak

terbanyak pada rentang usia 41-50 tahun (43 %), kemudian pada rentang usia

51-60 tahun (32%), pada rentang usia 31-40 tahun (14%) dan pada rentang usia

0-20 tahun (11%). Dapat dikatakan bahwa dari hasil penelitian, puncak kasus

tumor otak berada pada decade lima kehidupan.

Kata kunci: Karakteristik histopatologi, karakteristik klinik tumor otak.

214 | B A N U 6

8.Fahr’s Disease: A Case Series

Margaret1, Jennifer Simca

1, Retno Jayantri Ketaren

2, Evlyne Erlyana Suryawijaya

2

1Siloam General Teaching Hospital, Tangerang, Indonesia

2 Department of Neurology Siloam Hospitals Lippo Village, Tangerang, Indonesia

Introduction: Fahr’s Disease (FD) is a rare neurological disorder characterized by

abnormal calcified deposits in basal ganglia and cerebral cortex. The most

frequently affected area is basal ganglia, thalamus, hippocampus, cerebral

cortex, and cerebellum. The prevalence of FD is still unknown, with a higher

incidence among males and typically affects individuals in the fourth and sixth

decades of their lives. The disease can manifest as movement disorders,

cerebellar dysfunction along with psychiatric changes and cognitive impairment.

There are very limited reports on FD in Indonesia, so which lead us to the

making of this case report to improve our awareness and knowledge of FD.

Findings: We hereby report two cases from our hospital of a 87 year-old female

and 54 year-old male patient. The first patient presented with a history of

sudden stabbing headache since 2 days before admission. Neurologic

examination and cognitive assessment was normal. Brain CT Scan revealed

prominent calcifications in the basal ganglia, corona radiate and cerebellum

bilaterally. The second patient presented with a history of sudden weakness of

the left extremities and difficulty talking since the day before admission. Physical

examination showed left-sided weakness and central paralysis of the VIIth

andXIIth cranial nerve. Brain CT Scan showed diffuse calcifications in the basal

ganglia, hemisphere cerebellum bilateral, and periventricular white matter with

acute infarct on the right pons. Both patients have no history of previous

diseases and known family history of FD. Patients were treated according to their

symptoms.

Conclusion: Physicians should be aware of FD in patients with basal ganglia

calcifications, absence of metabolic cause, an infection or traumatic cause. There

are currently no specific treatments for FD but management and treatment

objective mainly focus on symptomatic relief of the patient.

Keywords: Fahr’s Disease, calcification, headache, acute stroke

215 | B A N U 6

9.Case Report: Anti-NMDA Receptor Encephalitis in A Young Woman

M.A. Limawan1, P. Susanto

1, D. Imran

2

1Department of Neurology, Saint Carolus Hospital, Jakarta, Indonesia

2Department of Neurology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Cipto

Mangunkusumo

A young woman, 17 years old, was admitted to Emergency Department with

agitation, paranoia, psychosis, and violent behaviors for about a month.

Laboratory and radiology examination (head CT-scan with contrast and head

MRI) was revealed normal. Liquor cerebrospinal examination was revealed an

increase of protein and decrease sodium cloride. Glasgow Coma Scale was 8

(E2M4V2). On hospital day 12, anti-NMDA (N-methyl D-aspartate) receptor was

positive. A highly dose of methylprednisolone is given for 5 days. An

immunotherapy with Rituximab is done two times with an interval of 1 week.

Cognitive improvement, behavior, and level of conciousness emerged with

Rituximab. The patient recovered and discharged on hospital day 24. Anti-

NMDA receptor encephalitis is not uncommon. However, clinicians should

consider anti-NMDA encephalitis in young woman with uncertain etiology,

prominent psychiatric symptoms, seizures, and/or movement disorders. Anti-

NMDA receptor encephalitis is mainly identified in young females with ovarian

tumour, malignancies, or teratoma. In this case, the patient suffered from anti-

NMDA receptor encephalitis with normal result of abdominal ultrasound and

thorax radiology.

216 | B A N U 6

10.Angka Kejadian Kasus Vertigo Vestibular di Rumah Sakit Umum Daerah

Padangan Bojonegoro, Jawa Timur Periode Januari 2018-Juli 2018

Sheila Widyariskya Firdausy

Dokter Umum di Rumah Sakit Umum Daerah Padangan Bojonegoro

Latar Belakang: Insiden vertigo di Indonesia pada tahun 2017 sangat tinggi yaitu

sekitar 50% dan vertigo vestibular merupakan keluhan ketiga yang sering

dikeluhkan penderita di praktek umum. Keluhan utama dan gejala klinis pasien

vertigo yang datang ke RSUD Padangan, Bojonegoro sangat bervariasi. Belum

ada penelitian yang membahas angka kejadian pasien vertigo vestibular di RSUD

Padangan, baik dari segi epidemiologi maupun gejala klinis.

Tujuan: Mengetahui angka kejadian pasien vertigo vestibular berdasarkan

demografi, klinis, dan etiologi di RSUD Padangan, Bojonegoro periode Januari

2018-Juli 2018.

Metode: Penelitian deskriptif retrospektif melalui telaah rekam medik pasien

neurologi di poliklinik saraf dan rawat inap di RSUD Padangan, Bojonegoro

dengan diagnosis vertigo vestibular.

Hasil: Didapatkan 30 pasien vertigo vestibular dengan rerata usia 54 tahun (SB ±

15,29), jenis kelamin laki-laki 18 pasien (60%) petani 10 pasien (33%), dan

didapatkan terbanyak 23 pasien (77%) dengan status menikah dan pendidikan

SD 10 pasien (33%).Gejala klinis pasien vertigo vestibular paling banyak dengan

keluhan utama pusing berputar 57%, keluhan otonom mual dan muntah 30%,

dan tidak ada keluhan penyerta 23%, Diagnosis klinis terbanyak pasien vertigo

vestibular adalah BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo) 53%.

Kesimpulan: Pasien vertigo vestibular dengan rerata usia 54 tahun, jenis kelamin

laki-laki, tingkat pendidikan SD, petani, dan menikah. Klinis pasien vertigo

vestibular didapatkan keluhan utama pusing berputar, keluhan otonom mual

dan muntah, dan tidak ada keluhan penyerta, dan etiologi terbanyak pasien

vertigo vestibular adalah BPPV.

Kata Kunci: Vertigo Vestibular, Gejala Klinis, Benign Paroxysmal Positional Vertigo

217 | B A N U 6

11.Gambaran Profil Lipid, Leukosit, Hematokrit, Gula Darah Acak Pada Pasien

Stroke Non-Hemoragik Rumah Sakit Santa Elisabeth - Lubuk Baja, Batam

Tommy Sarongku

Latar Belakang: Stroke merupakan salah satu dari tiga penyakit paling mematikan

di Indonesia. Dislipidemia, diabetes mellitus dan banyak faktor lainnya

berpengaruh terhadap kejadian stroke non-hemoragik.

Tujuan: Untuk menganalisis abnormalitas profil lipid, leukosit, hematokrit dan

gula darah acak pasien stroke non-hemoragik.

Metode: Kami mengumpulkan data secara retrospektif 41 pasien yang dirawat

inap di RS Elisabeth dengan stroke non hemorrhagic antara Januari-Juni 2018

yang terdiri dari 20 pasien laki-laki dan 21 perempuan. Kriteria inklusi adalah

pasien dengan stroke non-hemoragik tanpa penyakit penyerta pada paru dan

jantung yang dibuktikan gambaran elektrokardiogram normal serta rontgen

dada.

Hasil: Pemeriksaan laboratorium dengan pengambilan darah vena segera

dilakukan pada 41 pasien dengan analisa profil kolesterol total (TC), 25 dari 41

pasien > 200mg/dl (60,97%), trigliserida 35 dari 41 pasien, <200 gr/dl (85,3%),

high density lipoprotein (HDL) 25 dari 41 pasien, 35-60mg/dl (60,9%), low

density lipoprotein (LDL) 15 dari 41 pasien, 160-200mg/dl (43,9%), kadar

hematokrit 27 dari 41 pasien, 36-46% (65,8%), leukosit perifer 37 dari 41 pasien,

4-11 u/uL(90,2%), gula darah dari 24 dari 41 pasien, 140-180 mg/dl (58,5%).

Kesimpulan: Kami menyimpulkan bahwa stroke non-hemoragik berhubungan

dengan peningkatan total kolesterol, LDL, dan gula darah serum acak.

Kata kunci: Stroke non hemorrhagic, profil lipid, leukosit, gula darah

218 | B A N U 6

12.Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Lokasi Nyeri Muskuloskeletal pada

Pasien Obesitas di Puskesmas Denpasar Selatan II

Luh Nyoman Ari Trisnasanti, IA Sri Wijayanti, Putu Eka Widyadharma,

Thomas Eko Purwata

Departemen/KSM Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP

Sanglah, Denpasar, Bali

Latar Belakang: Obesitas dan nyeri menjadi masalah sosial kesehatan yang cukup

penting. Lebih dari 1,9 milyar orang dewasa usia diatas 18 tahun termasuk

overweight, dimana lebih dari 650 juta diantaranya obesitas. Penderita obesitas

memiliki risiko lebih besar untuk menderita nyeri. Lokasi nyeri muskuloskletal

pada obesitas paling sering adalah di punggung bawah dan ekstremitas bawah.

Penelitian ini berbasis komunitas karena penelitian mengenai hubungan Indeks

Massa Tubuh (IMT) dengan lokasi nyeri muskuloskletal pada pasien obesitas

yang berbasis komunitas masih jarang dilakukan.

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan IMT dengan lokasi nyeri muskuloskletal

pada pasien obesitas di Puskesmas Denpasar Selatan II.

Metode: Jenis penelitian yang digunakan yaitu observasional analitik dengan

metode potong lintang. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 58 sampel

yang didapat dengan teknik consecutive sampling. Data diperoleh dengan

melakukan wawancara terstruktur berdasarkan pertanyaan pada kuisioner

Hasil: Sampel didapatkan selama periode bulan Juni-Juli 2018. Kemungkinan

subyek dengan IMT kategori obesitas kelas II menjadi faktor risiko nyeri

muskuloskletal pada ekstremitas bawah 0,524 kali lebih besar dibanding obesitas

kelas I. Hasil analisis menunjukkan hasil tersebut signifikan secara statistik (OR =

0.524, 95% CI: 0.37-0.735).

Simpulan: Korelasi antara obesitas dengan lokasi nyeri muskuloskletal pada

ekstremitas bawah bermakna secara statistik.

Kata Kunci: Obesitas, nyeri muskuloskletal, ekstremitas bawah

219 | B A N U 6

13.Penyebab Dizziness pada Pasien Usia Lanjut Berdasarkan Pendekatan Secara

Neuroanatomi di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar Periode April 2018-Juli

2018

I. A. Sri Indrayani, Ni Putu Witari, Ketut Widyastuti, I Putu Sudira, I. B. Putu

Putrawan Departemen/KSM Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali

Latar Belakang: Dizziness merupakan suatu kumpulan gejala gangguan

keseimbangan yaitu sensasi dan persepsi hubungan tubuh dengan ruang yang

mempunyai gejala seperti pusing berputar (Vertigo), perasaan ringan seolah

akan pingsan (Presyncope), perasaan goyang dan tidak seimbang ketika berdiri

atau berjalan (Disequilibrium), dan rasa melayang atau mengambang (Light

headedness) yang sering menyulitkan kita dalam menentukan faktor penyebab

dan pemeriksaan lanjutan untuk megurangi resiko jatuh pada usia lanjut.

Tujuan: Untuk mengidentifikasi faktor penyebab dizziness berdasarkan

pendekatan neuroanatomi pada usia lanjut guna menentukan rencana

pemeriksaan lanjutan dan sebagai data dasar untuk penelitian berikutnya.

Metode: Penelitian diskriptif dengan rancang bangun potong lintang. Pasien di

poliklinik geriatri yang mempunyai keluhan dizziness dicari faktor penyebabnya

melalui catatan medis pasien untuk mengidentifikasi faktor penyebab dizziness

berdasarkan pendekatan neuroanatomi.

Hasil: Didapatkan 112 subyek terdiri dari 50 pria (44.64%) dan 62 wanita (55.35%),

jenis dizziness vertigo 32 (28.57%), presyncope 52 (46.42%), disequilibrium 19

(16.96%), Light headedness 9 (8.03%), faktor resiko kardiovaskular 51 (48.1%),

BPPV 33 (29.46%), CKD 9 (8.03%), DM 6 (5.35%) gangguan penglihatan 5

(4.46%), faktor resiko lain seperti neuropati, stress, otitis media, tumor

serebelum, dehidrasi sekitar 1.78%, gangguan reseptor berdasarkan pendekatan

neuroanatomi gangguan visual 5 (4.46%), gangguan vestibular 35 (32.40%),

gangguan proprioseptik 17 (15.18%), gangguan pada batang otak 52 (46.42%),

gangguan pada lobus temporalis 0%.

Kesimpulan: Jenis dizziness terbanyak pada usia lanjut adalah tipe presyncope

dengan penyakit dasar kardiovaskular dan gangguan reseptor terbanyak

berdasarkan pendekatan neuroanatomi terjadi pada batang otak.

Kata Kunci: Faktor penyebab dizziness, usia lanjut, neuroanatomi

220 | B A N U 6

14.Perbedaan Latensi Glombang Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP) pada

penderita Diabetes Melitus (DM) yang datang ke Poliklinik Saraf dan Poliklinik

Diabetes RSUP Sanglah Denpasar Periode April sampai Juli 2016 berdasarkan

durasi menderita DM

Gunawan SE, Arimbawa IK, Putra IGN

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah,

Denpasar, Bali

Latar Belakang: Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik komplek

yang dapat menimbulkan gangguan pada berbagai sistem organ yang

dipengaruhi juga oleh durasi penyakit. Neuropati diabetik bahkan juga

melibatkan susunan saraf pusat. Gangguan pendengaran pada jalur auditori baik

ditingkat nervus akustik dan di jalur susunan saraf pusat dapat dideteksi dengan

metode sederhana dan non invasif, yaitu Brainstem Auditory Evoked Potentials

(BAEP).

Tujuan: Mengetahui perbedaan latensi BAEP pada penderita DM berdasarkan

durasi menderita DM

Metode Penelitian: Penelitian dengan metode potong lintang terhadap 30

penderita DM rawat jalan di Poliklinik Saraf dan Poliklinik Diabetes RSUP Sanglah

periode April hingga Juli 2016. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu dengan

durasi diabetes militus 1 sampai 5 tahun dan 5 sampai 10 tahun. Dilakukan

pengukuran latensi BAEP (latensi III, V, IPL I-III, III-V, dan I-V) di kedua telinga

pada masing-masing subyek. Hasil pengukuran dianalisa dengan menggunakan

uji t tidak berpasangan.

Hasil Penelitian: Didapatkan rerata latensi BAEP gelombang V dan IPL III-V

,konsisten lebih panjang pada penderita DM dengan durasi 5-10 tahun secara

statistic signifikan (p<0,05).

Simpulan: Terdapat perbedaan latensi BAEP pada penderita DM dengan

perbedaan durasi penyakit 5 tahun dan lebih dari 5 tahun. Studi ini

menggambarkan peranan durasi penyakit terhadap gangguan pendengaran

terkait DM yang akan muncul cepat atau lambat. Metode BAEP dapat digunakan

sebagai skrining awal terhadap pasien DM untuk prognosa penyakit yang lebih

baik.

Kata kunci: brainstem auditory evoked potential, diabetes melitus, latensi

gelombang, gangguan pendengaran

221 | B A N U 6

15.HIV-Associated Neurocognitive Disorder (HAND) pada Pasien dengan HIV

tanpa Infeksi Oportunistik

Dhyatmika GP1, Widyastuti K

2, Laksmidewi AAAP

2

1PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

2Staf Pengajar dan Konsultan Divisi Neurobehavior Departemen Neurologi FK

UNUD/RSUP Sanglah

Latar Belakang: Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah menjadi

epidemi di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Salah satu komplikasi infeksi HIV

pada sistem saraf pusat (SSP) berupa gangguan fungsi kognitif yang disebut

HIV-associated neurocognitive disorder (HAND). Replikasi HIV dalam jangka

waktu panjang terjadi pada astrosit dan mikroglia, yang dapat menurunkan

fungsi neuronal. HAND terkait dengan aktivitas virus dan mediator inflamasi sel

imun pada SSP sehingga menyebabkan kerusakan neuron otak.

Kasus: Pasien perempuan, 28 tahun, suku Bali, mengeluh mudah lupa yang

dialami sejak 2 tahun lalu. Pasien masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari

secara mandiri walaupun keluhan lupa terkadang dirasakan mengganggu. Pasien

memiliki riwayat infeksi HIV sejak bulan September 2015 dengan CD4 16 sel/µl

dan mendapat terapi ARV fixed-dose combination dengan regimen tenofovir,

lamivudine, dan efavirenz. Pemeriksaan neurobehavior dijumpai atensi baik,

gangguan memori terutama new learning ability, memori tunda, asosiasi

berpasangan, gangguan visuospasial dan eksekutif, ADL dan IADL mandiri,

MMSE: 24, MoCA Ina: 14, Clock Drawing Test: 3, Trial making test A baik, Trial

making test B terganggu, International HIV Dementia Scale (IHDS): 10.5, Skala

penilaian depresi Hamilton: 15. Hasil CT Scan kepala dalam batas normal.

Diskusi: Dari hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan dalam HAND tipe

Asymptomatic Neurocognitive Impairment (ANI). Kadar CD4 diketahui

berhubungan dengan derajat kerusakan neuron otak dan kadar CD4 nadir

rendah (≤ 200 sel/µl) merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kognitif pada

pasien dengan HIV. Pemberian terapi kombinasi ARV dapat menunjukkan

peningkatkan performa fungsi kognitif dan fungsional.

Simpulan: Infeksi HIV secara langsung pada SSP dapat menyebabkan gangguan

neurokognitif dan inisiasi pemberian terapi ARV dini merupakan usaha

pencegahan terjadinya perburukan lebih lanjut.

Kata kunci: HIV, gangguan kognitif, HAND, CD4, ARV

222 | B A N U 6

16.Disseminated Neurosysticercosis and Muscular Cysticercosis: A Rare Finding

Case Report

Hesti Heptaningrum1, Ni Made Susilawathi

2

1PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

2Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Disseminated cysticercosis is a larvae of Taenia solium found in multiple parts of

the body such as the brain, spine, eyes, muscle tissue, skin, lungs and liver.

Neurocysticercosis (NCC) is parasitic infection of the Central Nervous System

(CNS) caused by T. solium larvae. We reported a case of a disseminated

cysticercosis involving CNS and muscle tissue in a 26-year-old Timorese woman,

with chronic progressive vascular headache. Neuroimaging of the head shows

cystic lessions with intraparenchimal eccentric scolex appearance and

extracranial cystisercosis. The ELISA-based NCC serology test showed positive

results. Based on Del Brutto’s criteria, this case was a definite NCC. Patient was

treated with Albendazole 400 mg twice daily for 1 month and Dexamethasone

0.5 mg as adjuvant therapy, in which the headache improved after 2 weeks of

treatment. This case is interesting to report because it is rarely found in other

areas and is mostly found endemically in Eastern Indonesia.

Keywords: disseminated cysticercosis, neurocysticercosis, muscular cysticercosis,

rare finding, case report

223 | B A N U 6

17.Laporan Kasus Prognosis Penderita Malaria Berat dengan Klinis Malaria Serebral

Putra IBD1, Susilawathi NM

2

1PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

2Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Pendahuluan. Malaria serebral adalah suatu gejala neurologis yang berat dan

fatal dari malaria berat disebabkan infeksi parasit berbentuk sporozoa dari genus

Plasmodium yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopeles betina. Prevalensi

Malaria tahun 2013 di Indonesia adalah 6%. Malaria berat terjadi pada 5-10% dari

seluruh kasus malaria. Malaria serebral terjadi pada 11,4% dari kasus malaria

berat. Nusa Tenggara Timur memiliki insiden 6,8% dan prevalensi 23,3% pada

kasus malaria. Prognosis dari malaria dapat ditentukan menggunakan Malaria

Score for Adult (MSA).

Kasus. Perempuan, 27 tahun, suku Timor dengan ke IRD dengan keluhan tidak

sadar memberat sejak 4 hari SMRS disertai dengan demam, nyeri kepala sejak 5

hari SMRS. Kedua mata dan seluruh tubuh pasien dikatakan kuning dan muntah

sejak 5 hari SMRS. Pasien dirawat bersama interna dengan Malaria billiosa,

hipoglikemia, Acute Kidney Injury stadium III dengan asidosis metabolik, anemia

ringan, trombositopenia. Pasien dikatakan pernah menderita malaria saat masih

SD dikatakan sembuh. Pasien berasal dari Togo Manu, Sumba Barat, Nusa

Tenggara Timur. Pemeriksaan umum pada pasien didapatkan tensi 100/60

mmHg, frekuensi napas 34 per menit, denyut nadi 108 per menit, suhu 39O,

ikterus konjungtiva dan mukosa kulit. Pemeriksaan neurologis didapatkan

Glasgow Coma Scale E3V4M5 (somnolen), tidak ditemukan kaku kuduk, tanda

Kernig, Brudzinski dan defisit neurologis fokal. Malaria rapid tes positif. Hapusan

darah tepi didapatkan ring form dan gametosit Plasmodium Falsiparum +1. CT-

Scan kepala menunjukkan edema serebri. Skoring MSA didapatkan yaitu tidak

anemia berat skor 0, terdapat Acute Kidney Injury skor 2, distres napas skor 3,

malaria serebral skor 4 dengan total skor 9. Mortalitas sebesar 2% untuk skor

MSA 0 – 2, 10% untuk MSA 3–4, 40% untuk MSA 5–6 dan 90% untuk MSA 7 – 10.

Pasien mendapatkan terapi artesunat, inj 2.4 mg/kgBB pada jam ke 0 - 12 - 24 -

48 - 72 sampai 7 hari intravena, setelah perawatan selama 2 hari pasien

kemudian meninggal dengan penyebab kegagalan multi organ.

Kesimpulan. Malaria serebral merupakan kasus yang jarang ada di Bali. Skoring

dapat membantu untuk menentukan mortalitas pada suatu kasus malaria.

Skoring MSA merupakan salah satu skoring dengan tingkat sensitivitas dan

spesifitas yang tinggi dan mudah digunakan karena berdasarkan gejala klinis dan

224 | B A N U 6

pemeriksaan laboratorium. Prognosis buruk pada skor MSA 7-10 dengan tingkat

mortalitas sebesar 90%.

Kata Kunci: Malaria Serebral, infeksi parasit, prognosis, MSA, mortalitas

225 | B A N U 6

18.Multidimensi dari Manajemen Epilepsi Pasca Stroke; Laporan Serial Kasus

Naryana KAS1, Gelgel AM

2

1PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

2Staf Pengajar Divisi Epilepsi Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Pendahuluan. Epilepsi pasca stroke (EPS) adalah kasus yang cukup sering

diterima di rumah sakit dengan prevalensi 12,4%. Tatalaksana EPS membutuhkan

perawatan jangka panjang dan biaya yang tinggi.

Kasus 1: Seorang pria 69 tahun, dengan keluhan kehilangan kesadaran setelah

mengalami bangkitan umum tonik klonik. Pasien didiagnosis status epileptikus

dengan penyebab EPS. Riwayat OAE dikonsumsi secara teratur. Pasien

mengalami stroke berulang karena hipertensi tidak terkontrol sehingga memicu

terjadinya bangkitan.

Kasus 2: Seorang pria 85 tahun, dengan keluhan bangkitan dua kali sebulan.

Pasien terdiagnosis EPS dengan terapi OAE secara teratur. Riwayat hipertensi

dan aritmia terkontrol. Pasien mengalami malnutrisi dan infeksi paru terkait

perawatan di rumah yang buruk oleh keluarga berpendidikan rendah. Akses

nutrisi melalui pipa nasogastrik. Kondisi sistemik ini kemudian memicu

bangkitan.

Kasus 3: Seorang wanita 80 tahun terdiagnosis EPS dengan bangkitan parsial.

Terapi OAE dengan carbamazepine dihentikan karena alergi. Pilihan OAE

berikutnya fenitoin, dihentikan juga karena pasien mengalami aritmia. pasien

diberikan clonazepam dan kejang terkontrol.

Diskusi. Tiga kasus EPS dengan pola bangkitan yang variatif dan bermacam

penyakit yang mendasari. Faktor risiko stroke yang tidak terkontrol

menyebabkan stroke baru yang dapat memicu bangkitan meskipun OAE telah

diberikan dengan dosis tepat. Manajemen yang tidak tepat dan ketidaktahuan

pengasuh di rumah dapat menimbulkan kekurangan gizi, infeksi paru yang

timbul karena berbaring di tempat tidur, sehingga memicu bangkitan. Kasus

terakhir menggambarkan pilihan OAE harus mempertimbangkan aspek masing

masing pasien seperti usia dan efek samping obat.

Kesimpulan. Penanganan EPS membutuhkan pendekatan komprehensif. Penyakit

dasar, aspek individu setiap pasien, dan pengetahuan pengasuh merupakan

komponen penting untuk diperhatikan.

Kata Kunci: Epilepsi Pasca Stroke, Obat Anti Epilepsi, Faktor Resiko, Penjaga

Pasien

226 | B A N U 6

19.Abscess-like Glioma pada Massa di Mesensefalon

Putri Eka Pradnyaning1, IA Sri Indrayani

2, DPG Purwa Samatra

2

1PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

2Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Latar Belakang: Batang otak merupakan lokasi yang jarang untuk kemunculan

suatu massa, walaupun berbagai peyebab telah diidentifikasi dapat

menyebabkan massa di batang otak. Pada kasus-kasus tumor dan infeksi hanya

1-2% yang bermanifestasi di batang otak, dengan gejala-gejala sesuai dengan

letak lesi dan inti-inti nervus kranialis yang terkena. Pencarian etiologi untuk

menegakkan diagnosis pasti melalui biopsi terhambat oleh letak massa di

batang otak sehingga diagnosis banding masih berdasarkan modalitas

pencitraan dan laboratorium yang tersedia.

Kasus: Pasien perempuan, usia 34 tahun, mengeluh nyeri kepala sejak 7 bulan,

makin lama makin berat. Pasien juga mengeluh pandangan kabur yang makin

lama makin berat hingga hanya dapat melihat cahaya, rasa tebal pada wajah

sebelah kiri sejak 2 bulan terakhir, dan penurunan berat badan sejak 2 bulan.

Pemeriksaan neurologi didapatkan penurunan visus kedua mata, papil atrofi

sekunder kedua mata, oftalmoparesis mata kiri, dan hipestesi area nervus V2 dan

V3 kiri. MRI kepala menunjukkan adanya massa dengan ring-enhancement di

mesensefalon kiri dan hidrosefalus non komunikans akibat obstruksi massa di

ventrikel IV.

Kesimpulan: Diagnosis Dorsal Midbrain Glioma (DMG) pada pasien ditunjang

oleh klinis yang relatif stabil dalam jangka waktu relatif lama serta tidak

tampaknya tanda-tanda inflamasi baik dari pencitraan MRI kepala dan

laboratorium. Pasien perlu monitoring klinis dan kondisi massa melalui

pencitraan MRI kepala berkala. Terapi pembedahan hanya dipertimbangkan

pada kondisi perburukan secara cepat.

Kata kunci: Dorsal Midbrain Glioma, mesensefalon, abses mesensefalon

227 | B A N U 6

20.Laporan Kasus: High Grade Glioma pada Anak

Sihanto R.D.1, Thomas Eko Purwata

2

1PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

2Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Latar Belakang: Glioma merupakan tumor otak yang tumbuh dari sel-sel glial

yang paling banyak dijumpai, sekitar 50% dari tumor otak primer dibanding

tumor otak primer lainnya. Pada anak-anak 70% terletak pada infratentorial yang

berasal dari serebelum, batang otak dan mesensefalon. Insiden pada pria lebih

banyak dibanding dengan wanita dengan perbandingan 55:45. Penderita glioma

mempunyai angka harapan hidup yang rendah karena sering mengalami

resistensi terapi. Harapan hidup pada tahun ke-2 penderita high grade glioma

kurang dari 20% meskipun terapi berhasil, sering menimbulkan sekuel

neurodefisit yang signifikan.

Laporan Kasus: Pasien perempuan 15 tahun mengeluhkan nyeri kepala kronis

progresif, paresis nervus okulomotorius, troklearis dan abdusen sinestra, paresis

parsial nervus abdusen dekstra, paresis nervus fasialis dekstra supra nuklear,

ptosis sinestra, hemiparesis spastik sisi kanan, dengan diagnosis tumor serebri

primer pada daerah subkorteks lobus temporal sisi kiri berdasarkan hasil MRI

dan setelah dilakukan reseksi tumor dengan kraniektomi didapatkan hasil high

grade glioma sehingga pasien dilakukan kemoterapi dan radioterapi.

Diskusi: Tatalaksana pasien dengan high grade glioma adalah kombinasi dari

reseksi tumor, radioterapi dan kemoterapi. Terapi bedah bukan merupakan

tindakan kuratif melainkan bertujuan untuk meningkatkan harapan hidup yang

lebih lama dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Peran radioterapi untuk

memperpanjang durasi untuk hidup serta kemoterapi secara khusus fokus pada

agen kloroetil seperti carmustine (BCNU) atau lomustine (CCNU). Hasil terbaik

jika radioterapi dilakukan setelah tindakan bedah dilakukan.

Kesimpulan: Harapan hidup high grade glioma meningkat bila dilakukan terapi

bedah, kemoterapi dan radioterapi meskipun menimbulkan sekuel.

Kata Kunci: high grade glioma,harapan hidup, neurodefisit

228 | B A N U 6

21.Laporan Kasus: Perdarahan Subaraknoid dan kehamilan

I.G.A. Aria Tristayanthi1, I.B. Kusuma Putra

2

1PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

2Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Latar Belakang: Perdarahan subaraknoid pada kehamilan jarang terjadi,

dilaporkan terjadi pada 1 per 10.000 kehamilan. Diperlukan penegakkan diagnosa

yang baik untuk pemilihan terapi tepat untuk menurunkan angka kematian pada

ibu dan janin.

Laporan Kasus: Perempuan,33 tahun, mengeluhkan nyeri kepala hebat diseluruh

kepala yang mendadak, pasien sedang hamil 25 minggu. Pemeriksaan

ditemukan kaku kuduk. Tidak ditemukan kelainan neurologi fokal. Hasil CT scan

normal. Tes tiga tabung cairan serebrospinal darah. Pada CT Angiografi

ditemukan aneurisma pada arteri cerebri anterior kanan dan arteri superior

carotid sifon. Pengobatan dilakukan secara konservatif hingga janin cukup bulan.

Diskusi: Penegakkan diagnosis dengan CT Angiografi lebih dipilih pada pasien

dengan kehamilan. Terapi secara konservatif hingga bayi cukup bulan. Apabila

diperlukan operasi Caesar dapat dilakukan. Diagnosa dan terapi yang baik akan

menurunkan angka kematian pada bayi dan janin.

Kesimpulan: Angka kematian pada ibu dan janin dengan perdarahan

subaraknoid menurun bila dilakukan terapi yang cepat.

Kata Kunci: perdarahan subaraknoid, kehamilan, nyeri kepala

229 | B A N U 6

22.Laporan Kasus: Neurosistiserkosis mimicking Tumor Serebri

Winda Arista Haeriyoko1, Ni Made Susilawathi

2, A.A. Raka Sudewi

2, IGN Purna

Putra2

1PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

2Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Pendahuluan. Neurocysticercosis (NCC) adalah infeksi parasit pada otak yang

disebabkan oleh larva dari Taenia sollium dalam bentuk kista. Manifestasi klinis

NCC bervariasi dari infeksi asimtomatik hingga kondisi berat ang mengancam

nyawa. Gejala klinis yang utama adalah seizure epilepsi (66-90%), sakit kepala,

gejala saraf, gangguan penglihatan, hydrocephalus, meningitis kronis, dan

encephalitis serta nodul pada otot. Epilepsi akan muncul apabila sistiserkus

terdapat dalam jumlah yang cukup banyak dapat mencapai sistem saraf pusat

dan setelah mengalami pengapuran, sehingga kadang-kadang gejala baru

muncul 20 tahun setelah infeksi.

Laporan Kasus. Pasien pria berusia 61 tahun dengan keluhan nyeri kepala berat

disertai dengan mual dan muntah. Pasien juga mengalami kejang degan tipe

bangkitan umum tonik klonik, penurunan berat badan dengan nyeri dan nodul

kehitaman pada kulit. Saat awal datang, pasien sempat didiagnosa dengan

kecurigaan tumor serebri. Pasien melakukan pemeriksaan CT Scan kepala dan

MRI kepala dengan kontras tampak adanya gambaran massa pada lobus

frontalis kiri dan intraventrikel lateralis kanan. Pasien dilakukan pemeriksaan USG

abdomen atas bawah dan bone survey untuk menyingkirkan kemungkinan

metastase. Pada pemeriksaan bone survey ditemukan larva sistiserkosis multipel

di soft tissue. Setelah dilakukan pemeriksaan diagnostik, pasien mendapat terapi

albendazol selama 1 bulan dan levetiracetam hingga saat ini. Pasien akan

melakukan MRI kepala ulang untuk evaluasi terapi.

Kesimpulan. Diagnosis sistiserokis perlu dipertimbangkan pada kasus kejang

dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan nodul pada kulit terutama

bagi pasien yang berasal dari daerah endemis atau pernah bepergian ke daerah

endemis. MRI kepala lebih sensitif dibandingkan CT kepala dalam mendeteksi

sistiserkosis intraparenkimal. Penanganan sistiserkosis intraparenkimal dan

ekstraparenkimal cukup dengan medikamentosa tanpa terapi pembedahan.

Kata kunci: sistiserkosis, intraprenkimal, ekstraparenkimal

230 | B A N U 6

23.Afasia Selektif pada Pasien Multilingual sebagai Gejala Transient Ischemic

Attack

Pristanova Larasanti1, AAA Putri Laksmidewi

2

1PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

2Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Pendahuluan: afasia selektif adalah gangguan pada satu atau lebih bahasa pada

individu yang bilingual atau multilingual. Gangguan bisa melibatkan semua

bahasa yang dikuasai atau hanya satu/beberapa bahasa saja, biasanya dengan

derajat yang berbeda. Bahasa ibu tidak selalu intak dalam kasus afasia selektif.

Gejala klinis yang tidak khas juga sering dirancukan dengan histeria.

Kasus: wanita, suku Bali, 53 tahun, datang dengan keluhan gangguan berbicara

mendadak dimana pasien hanya bisa berbahasa Inggris, dan tidak bisa berbicara

dalam bahasa ibunya (bahasa Indonesia dan bahasa Bali). Ditemukan non-

fluensi, anomia, gangguan repetisi, gangguan membaca dan menulis pada

bahasa ibu, dengan pemahaman yang intak, sementara fungsi bahasa Inggris

tidak terganggu. Skala depresi Hamilton normal. Hasil CT-scan kepala dalam jam

pertama setelah awitan adalah normal. Ibu kandung pasien memiliki riwayat

yang sama saat menderita serangan stroke. Gejala pasien membaik dalam 12

jam, dan pasien didiagnosis dengan Transient Ischemic Attack dengan afasia

selektif.

Diskusi: Gejala ini sesuai dengan laporan kasus oleh Silverberg dan Gordon

dimana pada pasien dengan infark akut regio temporal kiri ditemukan bahasa

ibu mengalami gangguan lebih berat. Hal ini mungkin dijelaskan oleh teori yang

menyebutkan satu area semantik yang sama bertanggungjawab untuk

memberikan konsep yang sama mengenai kata-kata dalam berbagai bahasa

yang memiliki arti yang sama, meskipun area yang bertanggungjawab untuk

menyimpan kata-kata ini berbeda. Meskipun pada kasus ini pencitraan belum

bisa membantu menegakkan etiologi, namun awitan akut dan faktor resiko

vaskuler berupa umur dan merokok, dan adanya riwayat keluarga, menaikkan

TIA sebagai diagnosis kerja.

Kesimpulan: Mekanisme bahasa bilingual atau multilingual masih belum jelas

sehingga gambaran klinis afasia selektif adalah beragam dan sering dikelirukan

sebagai histeria. Bahasa ibu tidak selalu intak. Diagnosis bisa ditegakkan

berdasarkan pemeriksaan fisik dan tes fungsi berbahasa yang lengkap serta bukti

adanya suatu lesi korteks pada otak dan menyingkirkan faktor psikis atau histeria

sebagai penyebabnya.

Kata kunci: afasia selektif, multilingual, transient ischemic attack

231 | B A N U 6

24.Profil Penderita Miastenia Gravis di Poli Saraf RSUP Sanglah tahun 2016-2017

Kelvin Yuwanda*, Komang Arimbawa**, IGN Purna Putra**

*PPDS Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

**Staff Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar

Latar Belakang : Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun dimana

antibodi berikatan dengan reseptor asetilkolin atau molekul yang berperan

fungsional pada membran post sinaps di taut saraf otot. Angka insidens tahunan

miastenia gravis berkisar 8-10 kasus per 1 juta orang. Belum ada penelitian yang

membahas karakteristik penderita MG di Bali pada umumnya dan RS Sanglah

pada khususnya, baik dari segi epidemiologi, gejala klinis maupun dari hasil

pemeriksaan penunjang khususnya repetitive nerve stimulation (RNS).

Metode : Studi deskriptif potong lintang pada subyek dengan miastenia gravis di

poli saraf RSUP Sanglah pada periode Januari 2016-Desember 2017.

Pengambilan sampel penelitian menggunakan non-randomized sampling jenis

konsekutif. Subjek dikatakan mengalami miastenia gravis berdasarkan klinis.

Hasil Penelitian : Berdasarkan 24 subjek dengan miastenia gravis yang datang ke

poli saraf RSUP Sanglah periode januari 2016-Desember 2017 terdapat 6 subjek

laki-laki dan 18 subjek perempuan dengan rerata usia 37 tahun dengan keluhan

okular sebanyak 70,8% dan 29,2 % dengan keluhan ekstraokular. Dari 24 subjek

dengan keluhan okular, dijumpai 10 subjek dengan unilateral ptosis, 4 subjek

dengan bilateral ptosis dan 3 pasien dengan ptosis dan kelemahan motorik. Dari

hasil RNS disimpulkan 16 (66,6%) subjek dengan dekremen positif dan 8 (33,3%)

subjek dengan dekremen negatif.

Kesimpulan : Subjek MG di poli saraf RSUP Sanglah Denpasar lebih sering

dijumpai pada perempuan dengan rerata usia <50 tahun. Gejala keluhan okular

mayoritas dikeluhkan oleh subjek dengan hasil RNS dekremen positif ditemukan

sebanyak >50% dari subjek.

Kata kunci : Miastenia gravis, profil, repetitive nerve stimulation

232 | B A N U 6

PRINSIP DASAR DRY NEEDLING DALAM MANAJEMEN SINDROM NYERI

MIOFASIAL

I Putu Eka Widyadharma

Divisi Nyeri dan Nyeri Kepala Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP

Sanglah Denpasar

Abstrak

Nyeri miofasial semakin banyak dijumpai pada kehidupan sehari-hari.

Penyakit ini dapat menyerang seluruh otot tubuh yang ditandai dengan keluhan

utama berupa nyeri yang bisa disertai dengan keluhan gangguan gerakan.

Keluhan ini utamanya disebabkan adanya miofasial trigger point akibat adanya

taut band pada otot. Sindrom ini bisa menyerang semua kelompok umur, terjadi

secara akut dan bisa pula menjadi kronis apabila tidak ditangani dengan baik.

Manajemen pada sindrom ini dapat berupa terapi medikamentosa maupun non

medikamentosa. Manajemen medikamentosa berupa obat-obat golongan

NSAID, COX-2 inhibitor, sampai opioid. Manajemen non medikamentosa berupa

fisioterapi, yoga dan massage. Terapi intervensi juga sering dilakukan meliputi

tindakan trigger poini injection menggunakan anestesi lokal dan steroid.

Tindakan intervensi lain yang dikembangkan saat ini adalah Dry needling (DN).

DN berupa tindakan injeksi menggunakan jarum filliform tanpa memasukkan zat

ke dalam tubuh. Tindakan DN ini bisa dilakukan pada sebagian besar otot tubuh

dengan efektivitas yang baik dan efek samping yang minimal. Diperlukan

pemahaman anatomi otot dan prinsip dasar DN dan latihan untuk melakukan

tindakan needling secara tepat dan benar.

Kata Kunci: Sindrom Nyeri Miofasial, myofascial trigger point, taut band, dry

needling, terapi

233 | B A N U 6

OVERVIEW BOTULINUM TOKSIN (BOTOX)

D.P.G. Purwa Samatra

Bagian/SMF Neurologi

FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Toksin botulinum (BOTOX/BTX/BoNT) adalah bahan yang telah

dikenal selama lebih dari satu abad dan digunakan untuk tujuan medis selama

lebih dari 50 tahun. BOTOX dapat digunakan sebagai pengobatan dalam banyak

bidang medis, baik bidang neurologi maupun non neurologi. Dalam bidang

neurologi, BOTOX paling sering digunakan pada kasus-kasus movement

disorder, seperti distonia, spasme hemifasial, dan blefarospasme.1 Namun

beberapa penelitian terbaru melaporkan BOTOX dapat digunakan sebagai terapi

pada nyeri neuropatik.2,3,4

Toksin botulinum adalah protein dan neurotoksin yang dihasilkan oleh

bakteri Clostridium botulinum. Toksin botulinum, juga disebut "miracle poison"

adalah salah satu racun yang paling mematikan yang dikenal, dengan perkiraan

pada manusia dosis mematikan (LD-50) dari 1,3-2,1 ng/kg intravena atau

intramuskuler dan 10-13 ng/kg ketika dihirup. Bakteri Clostridium botulinum ini

merupakan gram positif, bersifat anaerob, membentuk spora batang yang biasa

ditemukan pada tanaman, tanah, air dan saluran usus hewan. Toksin Botulinum

(BOTOX) dapat menyebabkan botulisme, yaitu suatu penyakit serius dan

mengancam jiwa pada manusia dan hewan.5

Toksin botulinum ini dibagi menjadi 7 neurotoksin (tipe A, B, C (C1, C2)

D, E, F, dan G), yang mempunyai antigen dan serologis berbeda tetapi secara

struktural mempunyai persamaan. Botulisme manusia disebabkan terutama oleh

jenis A, B, E, dan F (namun sangat jarang). Jenis C dan D menyebabkan toksisitas

hanya pada hewan.6

Mekanisme Kerja

Toksin botulinum bekerja dengan pengikatan presinaptik pada terminal

saraf kolinergik menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin dan

menyebabkan efek blok neuromuskular. Mekanisme ini merupakan dasar bagi

perkembangan toksin sebagai alat terapi. Pemulihan terjadi melalui sprouting

aksonal proksimal dan persarafan otot kembali dengan pembentukan taut saraf

otot yang baru. De Paiva dan rekan menunjukkan bahwa terjadi regenerasi dari

taut saraf otot yang asli. Mekanisme kerja toksin botulinum dibagai menjadi 2

tahap, yaitu: 7

Tahap I. Blok komunikasi otot-saraf

Botox memblok transmisi impuls saraf yang terlalu aktif ke otot yang

ditargetkan secara selektif mencegah pelepasan neurotransmitter asetilkolin

234 | B A N U 6

(Ach) pada taut saraf otot, mencegah kontraksi otot sementara. Efek yang terjadi

hanya bersifat lokal. Pada distonia servikal, Botox juga dapat mencegah

pelepasan neuropeptida karena stimulasi nyeri dalam saraf perifer.

A. Pengikatan (Binding)

Neurotoksin bagian heavy chain (H) dalam bahan aktif yang

terkandung dalam Botox berikatan ke membran sel saraf motorik

melalui molekul "akseptor" afinitas tinggi yang tak dikenal. Tindakan

pengikatan afinitas tinggi ini memungkinkan untuk pengambilan yang

efisien dari BOTOX oleh saraf motorik dan secara selektif memfasilitasi

target pengobatan pada tempat suntikan.

Gambar 1. Proses Pengikatan6

B. Internalisasi (Internalizing)

Setelah terjadi pengikatan, molekul protein BOTOX

melewati membran sel saraf motorik dan masuk ke dalam sitoplasma

melalui proses yang disebut endositosis. Di sinilah komponen

enzimatik (light chain) dari molekul protein BOTOX diaktifkan.

Gambar 2. Proses Internalisasi6

235 | B A N U 6

C. Pemblokiran (Blocking)

Di dalam saraf motorik, light chain (L) dari molekul

protein BOTOX memecah protein (disebut SNAP25) menyebabkan

vesikel yang menyimpan neurotransmitter asetilkolin tidak dapat

melekat dengan membran sel. Pembelahan protein SNAP25

mencegah vesikel bersatu dengan membran dan mencegah

pelepasan asetilkolin ke neuromuscular junction (ruang antara saraf

motorik dan otot). Dengan demikian, impuls saraf yang mengontrol

kontraksi otot diblokir sehingga aktivitas otot menurun. Pembelahan

protein SNAP25 juga memblok pelepasan neuropeptida yang terlibat

dalam transmisi sensasi nyeri (termasuk substansi P, glutamat, CGRP),

Secara teori dapat mengurangi sensitisasi nyeri pada saraf perifer. Ini

mungkin cara BOTOX dalam mengurangi nyeri leher yang

berhubungan dengan distonia servikal, meskipun mekanisme yang

pasti belum diketahui.6

Gambar 3 Proses Pemblokiran6

Tahap II Pengembalian Komunikasi Otot-Saraf

Efek dari BOTOX secara umum hanya sementara. Aktivitas impuls saraf

sebelumnya dan kontraksi otot yang terkait dimulai kembali setelah beberapa

bulan, tergantung pada masing-masing individu dan indikasi pemberian

pengobatan.6

A. Pertumbuhan Saraf (nerve sprouting)

Ujung-ujung saraf baru tumbuh dan terhubung ke otot setelah

ujung-ujung saraf asli diblok, memperbaharui kemampuan saraf yang

menimbulkan kontraksi otot.

236 | B A N U 6

Gambar 4. Pertumbuhan Saraf6

B. Pembentukan Kembali Hubungan Saraf Utama

Pada tahap ini terjadi pertumbuhan kembali saraf baru dan ujung-

ujung saraf asli mendapatkan kembali fungsinya, menunjukkan bahwa

pengobatan dengan neurotoxin BOTOX tidak mengubah neuromuscular

junction secara permanen.

Gambar 5. Pembentukan kembali Saraf Utama6

Indikasi

BOTOX mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam

pengobatan berbagai kondisi medis, terutama strabismus dan distonia fokal,

spasme hemifasial, Tics, tremor dan berbagai kelainan akibat spastisitas. BOTOX

ini dapat digunakan sebagai alternatif terhadap tindakan pembedahan.1,2,3

237 | B A N U 6

Tabel 1. Rekomendasi toksin botulinum dalam penanganan pada spasme

hemifasial2

Tabel 2. Rekomendasi toksin botulinum dalam penanganan pada

gangguan gerak 12

BOTOX digunakan untuk meredakan gejala blefarospasme, dan

distonia servikal idiopatik (tortikolis spasmodik), pengelolaan hiperhidrosis aksila

yang berat, dimana tidak merespon terhadap pengobatan topikal dengan

238 | B A N U 6

antiperspiran atau antihidrotik, sebagai profilaksis sakit kepala pada orang

dewasa dengan migrain kronis (sakit kepala pada setidaknya 15 hari per bulan

minimal 8 hari).

Tabel 3. Rekomendasi neurotoksin botulinum pada kelainan autonom dan nyeri

(Simpson&Gracies, 2008)

Pemberian BOTOX dalam pengelolaan disfungsi kandung kemih pada

pasien dewasa yang tidak adekuat dengan pemberian antikolinergik, seperti

kandung kemih yang terlalu aktif dengan gejala inkontinensia urin, urgensi dan

frekuensi dan overaktivitas detrusor neurogenik dengan inkontinensia urin

karena cedera tulang belakang (traumatik atau non-traumatik).9,10

Pemberian

100-200 U toksin botulinum A dapat digunakan untuk mengatasi neurogenic

destrussor overactivity dan overactive bladder.12

BOTOX juga diindikasikan untuk spastisitas fokal, termasuk

pengobatan pada kelainan bentuk kaki equinus dinamis akibat spastisitas pada

anak penyandang pasien cerebral palsy, cacat pergelangan tangan dan

spastisitas ekstremitas atas berhubungan dengan stroke pada orang dewasa.

Cacat pada pergelangan kaki akibat spastisitas ekstremitas bawah berhubungan

dengan stroke pada orang dewasa.1,3,4

Pada kasus spastisitas pasca stroke, toksin

botulinum A dengan dosis 90-350MU dan 360 -1500 MU yang disuntikan secara

intramuskular dilaporkan dapat mengurangi spastisitas pada ekstremitas atas,

239 | B A N U 6

sedangkan dosis 100-400MU dan 400-1500 MU dapat digunakan untuk

mengurangi spastisitas pada ekstremitas bawah.3

BOTOX dapat digunakan sebagai terapi pada nyeri neuropatik seperti

trigeminal neuralgia, neuralgia post herpetika, neuralgia pasca trauma dan

sindrome terowongan carpal.1,5

Pemberian 100 U toksin botulinum A secara

subkutan dapat mengurangi neuralgia post herpetika. Pemberian 100 U toksin

botulinum A intradermal dapat mengurangi neuralgia pasca trauma (p<0,001).

Sedangkan untuk trigeminal neuralgia dapat digunakan dosis toksin botulinum A

sebesar 40-60 U secara subkutan (p=0,0001).5

Kontraindikasi

Penggunaan toksin botulinum tipe A (BOTOX) harus dihindari pada

pasien dengan hipersensitifitas terhadap produk toksin botulinum atau terhadap

semua komponen yang ada dalam formulasi, adanya infeksi pada lokasi injeksi.

pada injeksi intradetrusor perlu diperhatikan jika ada infeksi saluran kencing atau

retensi urine akut.7

Toksin botulinum merupakan kontraindikasi pada pasien yang

menderita penyakit motor neuron yang sudah ada sebelumnya misalnya

miastenia gravis, sindrom Eaton-Lambert, ketidakstabilan psikologis, perempuan

yang sedang hamil dan menyusui. Pemantauan hati-hati harus dilakukan pada

anak-anak karena akan mengubah fungsi sel seperti pertumbuhan akson. 7

Beberapa obat mengurangi transmisi neuromuskuler dan umumnya

harus dihindari pada pasien yang diobati dengan toksin botulinum. Ini termasuk

aminoglikosida (dapat meningkatkan efek toksin botulinum), penisilamin, kina,

klorokuin dan hydroxychloroquine (dapat mengurangi efek), calcium channel

blockers, dan warfarin atau aspirin (dapat mengakibatkan memar). 7,11

Efek Samping

Suntikan dengan toksin botulinum umumnya ditoleransi dengan baik

dan mempunyai efek samping yang sedikit. Reaksi idiosinkrasi jarang terjadi, jika

terjadi umumnya ringan dan bersifat sementara. Sakit ringan dapat terjadi akibat

injeksi, edema lokal, eritema, mati rasa sementara, sakit kepala, malaise atau

mual ringan. Efeknya berkurang dengan meningkatnya jarak dari tempat

suntikan, tapi mungkin terjadi penyebaran ke otot-otot dan jaringan lain di

dekatnya. Efek samping sementara yang paling ditakuti yaitu kelemahan atau

kelumpuhan otot di dekatnya yang disebabkan oleh aksi toksin. Ini biasanya

sembuh dalam beberapa bulan dan pada beberapa pasien dalam beberapa

minggu, tergantung pada lokasi, kekuatan suntikan, dan otot-otot yang dibuat

berlebihan lemah. 7

Sekitar 1-3% dari pasien mungkin mengalami ptosis sementara. Hal ini

terjadi karena migrasi toksin botulinum pada otot levator palpebra superior.

240 | B A N U 6

Pasien sering diperintahkan untuk tetap dalam posisi tegak selama tiga sampai

empat jam setelah penyuntikan dan menghindari manipulasi daerah tersebut.

Kontraksi aktif otot-otot di bawah pengobatan dapat meningkatkan penyerapan

racun dan mengurangi difusi. Ptosis biasanya berlangsung 2-6 minggu. Hal ini

dapat diobati dengan obat tetes mata apraclonidine 0,5% yang merupakan agen

alfa-adrenergik yang merangsang otot Müller dan segera mengangkat kelopak

mata atas. Perawatan ini biasanya dapat meningkatkan kelopak mata 1-3 mm.

Pengobatan yaitu dengan pemberian 1 sampai 2 tetes tiga kali per hari terus

menerus sampai ptosis hilang. Untuk menghindari ptosis, sebaiknya tempat

suntikan berjarak 1 cm di atas alis dan tidak melewati garis midpupil.

Apraclonidine merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hipersensitivitas

terhadap zat tersebut. Fenilefrin 2,5% dapat digunakan sebagai alternatif. Neo-

Synephrine merupakan kontraindikasi pada pasien dengan glaukoma sudut

sempit dan pada pasien dengan aneurisma. 7

Pasien yang menerima suntikan dalam pada otot leher untuk tortikolis

dapat terjadi disfagia karena difusi toksin ke dalam orofaring. Hal ini biasanya

hanya berlangsung beberapa hari atau minggu. Beberapa pasien mungkin

memerlukan makanan lunak. Meskipun kelemahan menelan tidak pemberikan

toksisitas sistemik, jika sangat parah kemungkinan terjadi resiko aspirasi.

Beberapa pasien mengalami kelemahan leher, yang terutama terlihat ketika

mencoba untuk mengangkat kepala dari posisi terlentang. Hal ini terjadi karena

kelemahan otot sternokleidomastoid, akibat injeksi langsung atau difusi. Ini lebih

sering terjadi pada wanita dengan leher panjang dan tipis. Hindari efek samping

dengan menggunakan dosis terendah yang efektif dan tepat menempatkan

toksin ke platysma tersebut. Efek jauh ditunjukkan oleh tes elektromiografi

khusus juga dapat terjadi, tetapi kelemahan otot yang jauh atau kelemahan

umum, mungkin karena toksin menyebar dalam darah, tetapi sangat jarang

terjadi. Namun, hindari injeksi intravaskular karena penyebaran dalam jumlah

besar toksin dapat meniru gejala botulisme.12

Memar dapat terjadi terutama jika vena kecil terkoyak atau pasien

memakai aspirin, vitamin E, atau NSAID. Idealnya, pasien harus berhenti minum

produk ini dua minggu sebelum prosedur. Sakit kepala dapat terjadi setelah

suntikan BOTOX. Namun, dalam sebuah studi oleh Carruthers et al, kejadian ini

tidak melebihi kelompok plasebo. Hal ini diduga disebabkan oleh trauma injeksi,

bukan sesuatu yang melekat dalam toksin. Bahkan, suntikan toksin botulinum

sangat aman. Sampai saat ini, tidak ada bahaya jangka panjang yang signifikan

dari suntikan toksin botulinum telah diidentifikasi lebih dari kelompok plasebo.

Ringkasan

241 | B A N U 6

Toksin botulinum adalah protein dan neurotoksin yang dihasilkan oleh

bakteri Clostridium botulinum. Toksin botulinum ini dibagi menjadi 7

neurotoksin ( tipe A, B, C [C1, C2], D, E, F, dan G), yang mempunyai antigen dan

serologis berbeda tetapi secara struktural mempunyai persamaan. Toksin

botulinum bekerja dengan pengikatan presinaptik pada terminal saraf kolinergik

menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin dan menyebabkan efek blok

neuromuskular.

Toksin botulinum tipe A (BOTOX) mempunyai peranan yang sangat

signifikan dalam pengobatan berbagai kondisi medis, terutama strabismus dan

distonia fokal, spasme hemifasial, dan berbagai kelainan akibat spastisitas, nyeri

kepala, hiperhidrosis, disfungsi kandung kemih, overaktivitas detrusor

neurogenik dan nyeri neuropatik. Efek samping dari injeksi BOTOX yang terjadi

biasanya ringan dan bersifat sementara.

Daftar Pustaka

1. Brown, Alexandra., Schutz, Sonja., Simpson, David. Botulinum toxin for

neuropathic pain and spasticity: an overview. Pain Manage:2014;4(2;

129–151

2. Hallet,Mark., Albanese, Alberto., Dressler, Dirk., Segal, Karen R.,

Simpson, David., Truong, Daniel., Jankovic, Joseph. Evidence-based

review and assessment of botulinum. Toxicon 67 (2013) 94–114

3. Intioso, Domenico. Therapeutic Use of Batulinum Toxin in

Neurorehabilitation. Journal of Toxicology: Vol 2012:802893

4. Kedlaya, Divakara; Lorenzo, Consuelo. Botulinum Toxin Overview.

Medscape. 2014.Availableat

:http://emedicine.medscape.com/article/325451-overview#aw2aab6b3

5. Mittal, Shivam.,Safarpour, Delaram., Jabbari, Rahman. Botulinum Toxin

Treatment of Neuropathic Pain. Semin Neurol:2016;36:73–83.

6. Mullenberg, Crystal; Van Hove, Caroline and Lao, Kellie. 2010. History

and Development Botox. Irvine : Allergan Inc

7. Nigam, P.K; Nigam, A.Botulinum toxin. Indial J Dermatol: 2010:55 (1):

8-14. Available from :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2856357/

8. Oh, Hyun-Mi.,Chung, Myung Eun. Botulinum Toxin for Neuropathic

Pain: A Review of the Literature.Toxins:2015;7;3127-3154

9. Orasanu, Bogdan., Mahajan, Sangeeta T. 2013. The use of Botulinum

toxin for the treatment of overactive bladder syndrome. Indian Journal

of Urology; 29(1):2-11

242 | B A N U 6

10. Santos-Silva, Andre., da Silva, Carlos Martins, Cruz, Fransisco. 2013.

Botulinum Toxin treatment for bladder dysfunction. International

Journal of Urology: 10:956-962

11. Schmitz, Gery; Lepper, Hans; et all. 2009. Farmakologi dan Toksikologi.

Ed. 3. EGC. Jakarta: Hal 42-43.

12. Simpson, D.M; Gracies, J.M. 2008. Assessment : Botulinum neurotoxin

for the treatment of spasticity (an evidence-based review. AAN :

Neurology ; 70 : 1691-169

243 | B A N U 6

244 | B A N U 6

PERAN ULTRASOUND DALAM

DIAGNOSA DAN TATALAKSANA SISTEM MUSKULOSKELETAL

Yusak MT Siahaan

Departemen Neurologi

Universitas Pelita Harapan / Siloam Hospital Lippo Village

Abstrak

Ultrasound (US) telah digunakan sebagai pilihan pertama dalam

investigasi evaluasi penyakit muskuloskeletal. Penggunaan Ultrasound dalam

mendiagnosa kasus muskuloskeletal meningkatkan dan membantu secara

signifikan temuan klinis. Demikian juga penggunaan ultrasound sebagai alat

panduan injeksi telah meningkatkan ketepatan suntikan.

Pendahuluan

Ultrasound pada awalnya merupakan alat yang didominasi oleh ahli

radiologi, tetapi saat ini penggunaan alat tersebut telah digunakan secara luas

pada multi-spesialis sebagai alat penunjang yang rutin digunakan untuk menilai

asesmen klinis.

Penggunaan ultrasound merupakan metode yang sangat praktis dan

cepat terutama dalam sistem muskuloskeletal. Ultrasound dapat disiapkan

dengan cepat dalam praktek klinis untuk menilai bermacam sendi pada satu kali

pertemuan dan dapat menjawab keluhan dalam banyak permasalahan

musculoskeletal dengan cepat. Selain secara relatif lebih murah dengan

keuntungan pemeriksaan yang “real time” ultrasound dapat digunanakan

sebagai pelayanan diagnostik pada komunitas yang lebih luas atau bahkan pada

area/lapangan olahraga

Ultrasound muskuloskeletal memerlukan pengunaan gelombang

frekuensi yang tinggi (3-17 MHz) untuk dapat mencapai gambaran jaringan

lunak atau struktur tulang pada tubuh untuk mendiagnosa gambaran patologik

atau sebagai alat panduan “realtime” prosedur intervensional.

Kelebihan dan Kelemahan Ultrasound

- Kelebihan

Ultrasound mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya :

Bersifat noninvasif

Dapat melakukan “scanning“ struktur anatomi dengan cepat

Tidak ada radiasi

Dapat memvisualisasikan jarum dan struktur yang menjadi target “real

time”

245 | B A N U 6

Aplikasi

Pemeriksaan “real time” dinamik ultrasound dapat menunjukan

instabilitas tendon seperti misalnya pada dislokasi anterior extensor

carpi ulnaris (ECU).1

Diagnosa “impingement of the shoulder” dengan menunjukan

gambaran struktur yang tertekan dan penyebab instrinsik maupun

ekstrinsik. Resolusi tinggi dapat menghasilkan gambaran anatomi

dari tendon, saraf, ligamen, kapsul sendi, otot maupun struktur yang

berkaitan lainnya.2

Gambar 1. Struktur N Medianus

- Kelemahan

Berikut adalah kelemahan dan keterbatasan ultrasound dalam menilai

struktur anatomi sistem muskuloskeletal

o Sangat tergantung pada kemampuan operator

o Sulit menilai struktur yang lebih dalam walau dengan tehologi yang

lebih maju

Aplikasi Ultrasound pada Sistem Muskuloskeletal

1. Diagnostik

Ultrasound telah digunakan secara luas dalam mendiagnosa kelainan pada

sistem Muskuloskeletal :3

Tendon (tendinopathy, tears)

Otot (strains)

Saraf (Sindroma Jepitan Saraf)

Ligamen (sprains)

Sendi (efusi)

246 | B A N U 6

Gambar 2. Sistematika anatomi sistem musculoskeletal pada ultrasound

Kartilage

Pada sistem muskuloskeletal kartilago umumnya dibedakan antara

fibrocartilage dan cartilage

Sebagai contoh fibrocartilage adalah Triangular Fibrocartilage

Complex (TFCC) pergelangan tangan, meniskus lutut, labrum dari

sendi pangkal paha dan sendi glenohumeral.

Gambar 3. Triangular fibrocartilage complex pergelangan tangan

Tulang

Salah satu kelemahan ultrasound pada sistem muskuloskeletal

adalah menilai struktur tulang Jendela akustik yang terbatas akan

menyebabkan terbatasnya “acoustic view”. Gambaran kortek yang

terang merefleksikan gelombang ultrasound dan akan tampak

dalam bentuk struktur yang hiperekoik.

247 | B A N U 6

Gambar 4. Gambaran hiperekoik sendi pangkal paha

Sendi

Gambaran “seagull” merupakan gambaran yang sering ditemukan

pada sendi

Gambar 5. Gambaran “seagull”

Tendon

Pada ultrasound tendon dan ligament akan tampak dalam struktur

liner yang hiperekoik dengan fibril yang ekogenik. Tergantung

pada sudut insonasinya gambaran ekogen tendon dan ligamen

akan berubah dari hiperekoik menjadi hipoekoik Gambaran

anisotropi seringkali digunakan dalam menbedakan area anatomi

yang sulit seperti misalnya pada area pergelangan tangan dimana

seringkali sulit membedakan angtra saraf medianus dan tendon

tendon fleksor

248 | B A N U 6

Gambar 6. Gambaran hiperekoik struktur tendon

- Ligamen

Gambaran ligamen pada ultrasound akan nampak dalam bentuk linear

hiperekoik, yang akan semakin jelas saat ligament tersebut diregangkan

Gambar 7. Gambaran ultrasound “longitudinal view” struktur ligamen

- Otot

Gambaran ultrasound otot umumnya hipoekoik disertai fibrillar linier yang

hiperekoik dalam otot tersebut dan gambaran jaringan konektif yang hiperekoik

disekitarnya

249 | B A N U 6

Gambar 8. Gambaran hipoekoik otot disertai hiperekoik pada “longitudinal view”

Gambar 9. Gambaran otot pada “transverse view”

- Fasia

Gambaran ultrasound longitudinal dari otot paha bagian proksimal menunjukan

gambaran fasia superfisial yang terdiri dari jaringan lemak yang dipisahkan oleh

suatu “hyperechoic linear bands” yang tipis.

Fasia yang lebih dalam akan tampak tipis dan hiperekoik yang menutupi

gambaran otot yang hipoekoik

250 | B A N U 6

Gambar 10. Gambaran struktur fasia pada ultrasound

- Bursa

Umumnya garis synovial dari sendi, bursa atau tendon dapat dilihat sebagai

garis iso atau hiperekoik dengan disertai cairan sinovial hipoekoik didalamnya.

Cairan tersebut bersifat “compressible dan displaceable”

Gambar 11. Gambaran bursa pada area tendon achiles

- Saraf

Dengan menggunakan probe dengan frekuensi tinggi, kita akan dapat melihat

gambaran saraf tepi yang umumnya berupa faskel linear hiperekoik yang

dikelilingi oleh endoneurium dan perineurium yang hiperekoik.4

251 | B A N U 6

Gambar 12. Gambaran N Medianus pada “transverse dan longitudinal view”

2. Aplikasi Terapi

Penggunaan ultrasound lainnya yang telah dipakai secara luas adalah sebagai

alat panduan dalam penyuntikan Berikut adalah contoh penggunaan Ultrasound

yang umum digunakan dalam praktek pelayanan kesehatan sehari hari :5

Sendi bahu: injeksi pada bursa subacromial/ deltoid, sendi acromioclavicular,

tendon biceps

Sendi pangkal paha , bursa greater trochanteric, bursa Iliopsoas dan ischial

tuberosity

Sendi lutut, bursa pre-patellar, kista meniscus , kista Baker

Sendi CMC dan STT

Lateral/Medial Epicondilitis

Saraf Lateral Femoral Cutaneous

Tenotomy

PRP

DAFTAR PUSTAKA

1. Bianchi S., Martinoli C., Sureda D., Rizzatto G. 2001. Ultrasound of the

hand. Eur J Ultrasound 14: 29–34

252 | B A N U 6

2. Bureau N.J., Beauchamp M., Cardinal E., Brassard P. 2006. Dynamic

sonography evaluation of shoulder impingement syndrome. Am J

Roentgenol 187: 216–220

3. Grassi W., Filippucci E., Farina A., Cervini C. 2000. Current comment

sonographic imaging of tendons. Arthritis Rheum 43: 969–976

4. Duncan I., Sullivan P., Lomas F. 1999. Sonography in the diagnosis of

carpal tunnel syndrome. AJR Am J Roentgenol 173: 681–684

5. Curatolo M., Eichenberger U. 2008. Ultrasound in interventional pain

management. Eur J Pain Suppl 2: 78–8

6. Del Cura J.L. 2008. Ultrasound-guided therapeutic procedures in the

musculoskeletal system. Curr Probl Diagn Radiol 37: 203–218

7. Backhaus M., Ohrndorf S., Kellner H., Strunk J., Backhaus T.M., Hartung

W., et al. 2009. Evaluation of a novel 7-joint ultrasound score in daily

rheumatologic practice: a pilot project. Arthritis Rheum 61: 1194–1201

8. Hmamouchi I., Bahiri R., Srifi N., Aktaou S., Abouqal R., Hajjaj-Hassouni

N. 2011. A comparison of ultrasound and clinical examination in the

detection of flexor tenosynovitis in early arthritis. BMC Musculoskelet

Disord 12: 91

253 | B A N U 6

ULTRASONOGRAFI PADA LUTUT

Yusak MT Siahaan

Departemen Neurologi

Fakultas Kedokteran UPH / Siloam Hospitals Lippo Village

Pendahuluan

Pemeriksaan baku emas untuk pencitraan lutut dan pergelangan kaki

adalah menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Meskipun demikian,

ultrasonografi (USG) memiliki beberapa kelebihan yang signifikan selain biayanya

yang ekonomis, yaitu :

1. Memberi gambaran akurat terutama pada jaringan lunak, seperti

bursitis, tendinosis, jepitan saraf

2. Melakukan pemeriksaan dinamis dan kompresi, seperti tendon

snapping dan efusi

3. Mendeteksi sendi dalam pembebanan

4. Membantu akurasi palpasi pada pemeriksaan fisik

5. Melakukan pemeriksaan multiplanar

Selain itu, peran lain yang tidak kalah pentingnya adalah dalam

bidang terapeutik, yakni untuk memandu tindakan injeksi dengan presisi tinggi

sehingga meningkatkan keakuratan dan menurunkan dosis obat yang diberikan.

Pemeriksaan diagnostik dengan USG untuk lutut terutama ditujukan

untuk jaringan lunak ekstensor dan fleksor, ligamentum kolateral, penilaian

kartilago femur, osteofit, bursa periartikular, efusi, dan hipertrofi sinovial

sedangkan penggunaan USG dalam praktek sehari-hari juga relevan dengan

tindakan manajemen nyeri lutut seperti blok genikular lutut dan hidrodiseksi

nervus perifer.

254 | B A N U 6

PEMERIKSAAN RUTIN ULTRASONOGRAFI PADA LUTUT

Anterior

- Transverse Scan Patela

- Longitudinal Suprapatela

- Patela Ligament

255 | B A N U 6

Medial

- Pes Anserine

- Medial Colateral Ligament

Lateral

- Lateral Colateral Ligament

256 | B A N U 6

Posterior

- Fossa Poplitea

Daftar Pustaka

1. Borg F., Agrawal S., Dasgupta B. 2008. The use of musculoskeletal

ultrasound in patient education. Ann Rheum Dis 67: 419

2. Curatolo M., Eichenberger U. 2008. Ultrasound in interventional pain

management. Eur J Pain Suppl 2: 78–83

3. Del Cura J.L. 2008. Ultrasound-guided therapeutic procedures in the

musculoskeletal system. Curr Probl Diagn Radiol 37: 203–

218 [PubMed]

4. Grassi W. 2003. Clinical evaluation versus ultrasonography: who is the

winner? J Rheumatol 30: 908–909 [PubMed]

5. Kane D., Balint P.V., Sturrock R.D. 2003 Ultrasonography is superior to

clinical examination in the detection and localization of knee joint

effusion in rheumatoid arthritis. J Rheumatol 30: 966–971 [PubMed]

6. Draghi F, Danesino GM, Coscia D, Precerutti M, Pagani C. Overload

syndromes of the knee in adolescents: Sonographic findings. J

Ultrasound [Internet]. 2008 Dec [cited 2018 Mar 5];11(4):151–7.

Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23396316

257 | B A N U 6

Pain pathways and mechanism

Thomas Eko P

Dep/KSM Neurologi FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Akhir-akhir ini masalah nyeri menarik perhatian dunia. WHO

merekomendasikan nyeri sebagai tanda vital kelima, sedangkan deklarasi

Montreal menyatakan bahwa bebas nyeri adalah hak asasi manusia.

Asesmen dan penatalaksanaan nyeri di seluruh dunia masih dibawah

standar. Perlu edukasi nyeri yang lebih luas dan mendalam pada seluruh tenaga

kesehatan sehingga diharapkan mereka dapat memahami nyeri dengan lebih

baik dan benar. Diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang pain

pathway dan mekanisme nyeri. Penatalaksanaan nyeri yg rasional adalah

didasarkan pada mekanisnenya.

Terdapat perbedaan yang mendasar pain pathway dan mekanisme

dari nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik sehingga penatalaksanaannya pun juga

berbeda. Pada nyeri neuropatik tidak melalui proses transduksi tetapi langsung

mengaktivasi nosiseptor melalui proses yang lebih kompleks. Terapi untuk nyeri

nosiseptif adalah obat-obatan golongan analgesik dan anti inflamasi non steroid

sedangkan untuk nyeri neuropatik obat-obatan tersebut kurang responsif, untuk

nyeri neuropatik yg mempan adalah golongan analgesik adjuvan antara lain anti

konvulsan dan anti depresan.

Kata kunci : pain pathway, mekanisme, nyeri neuropatik, nyeri nosiseptik

258 | B A N U 6

PENILAIAN NYERI

Ida Ayu Sri Wijayanti

Bagian/SMF Neurologi

FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau

cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang

menunjukkan kerusakan jaringan. Penting kiranya mengetahui skala nyeri khusus

bagi para praktisi kesehatan untuk menilai tingkat rasa nyeri yang dialami pasien.

Skala nyeri ini akan membantu kita dalam membedakan tingkat beratnya suatu

penyakit sehingga dapat membantu menegakkan diagnosis yang akurat,

membantu merencanakan pengobatan yang tepat, dan mengevaluasi efektivitas

pengobatan yang telah diberikan.

Penilaian nyeri sangat penting dan menantang untuk dilakukan. Nyeri

bersifat sangat subyektif dan sampai saat ini belum ada penilaian nyeri secara

obyektif yang cukup memuaskan. Nyeri juga bersifat multidimensi, sehingga

perlu dinilai dengan melihat seluruh aspek (sensorik, afektif dan kognitif)

berdasarkan pengalaman nyeri yang sudah dialami pasien sebelumnya.

Sehingga penatalaksanaan antara satu pasien dengan pasien lainnya pun akan

berbeda-beda.

Underassessment terhadap nyeri menjadi penyebab utama

ketidakberhasilan penatalaksanaan nyeri. Penelitian di Amerika Serikat

mendapatkan bahwa penatalaksanaan nyeri yang tidak optimal disebabkan oleh

ketidakmampuan klinisi untuk melakukan penilaian nyeri dengan baik. APS telah

memasukan nyeri sebagai tanda vital ke 5. Hal ini menekankan bahwa penilaian

nyeri sama pentingnya dengan penilaian standar empat tanda-tanda vital dan

bahwa para klinisi perlu mengambil tindakan segera bila pasien menyampaikan

adanya nyeri.

Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan para klinisi, pasien

maupun sistem pelayanan kesehatan merupakan salah satu penghambat dalam

penatalaksanaan nyeri yang tepat. Teknik penilaian nyeri oleh para professional

kesehatan dan keengganan pasien untuk melaporkan nyeri merupakan dua

masalah utama. Prinsip penanganan nyeri yang efektif tergantung pada

pemeriksaan dan penilaian nyeri yang seksama baik berdasarkan infromasi

subyektif maupun obyektif, komitmen para klinisi untuk mematuhi standar dan

pedoman prinsip-prinsip utama dalam penilaian dan penatalaksanaan nyeri.

259 | B A N U 6

Beberapa prinsip utama dalam penilaian dan penatalaksanaan nyeri adalah

sebagai berikut:

- Semua pasien berhak untuk mendapatkan penilaian dan

penatalaksanaan nyeri yang tepat.

- Nyeri selalu bersifat subjektif, sehingga keluhan langsung dari

pasien menjadi indikator utama terjadinya nyeri. Para klinisi

diharapkan menerima dan berempati terhadap keluhan pasien

dan tidak ada alasan untuk tidak mempercayai apa yang

disampaikan kepadanya.

- Kondisi fisiologis dan perilaku yang digunakan sebagai salah satu

penilaian nyeri secara objektif, bersifat tidak sensitif dan tidak

spesifik. Observasi secara objektif hendaknya tidak

menggantikan penilaian terhadap keluhan pasien kecuali jika

pasien tidak mampu untuk berkomunikasi.

- Pendekatan yang digunakan dalam penilaian nyeri hendaknya

disesuaikan dengan kondisi populasi pasien. Pertimbangan

khusus diperlukan terutama pada pasien dengan kesulitan

berkomunikasi, sehingga anggota keluarga harus dilibatkan

dalam proses penilaian ini.

- Nyeri dapat terjadi meskipun tidak didapatkan keluhan fisik,

walaupun demikian kondisi ini sebaiknya tidak langsung

dikaitkan dengan adanya gangguan psikologis.

- Setiap pasien memiliki tingkat nyeri yang berbeda-beda ketika

mendapatkan stimulus nyeri, sehingga tidak ada ambang batas

nyeri yang seragam

- Toleransi terhadap nyeri berbeda-beda pada masing-masing

individu, bergantung pada herediter, energy level, coping skills,

dan pengalaman nyeri.

Hal penting dalam penilaian awal nyeri termasuk bagaimana

membuat suatu hubungan yang baik dengan pasien, memberikan gambaran

proses penilaian nyeri yang dilakukan. Kondisi ini akan sangat membantu dalam

melibatkan pasien untuk menegakan diagnosis, berkolaborasi untuk memilih

pengobatan yang sesuai dengan harapan pasien. Untuk mencapai tujuan

tersebut, maka diperlukan riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan pemilihan alat

diagnostik yang tepat.

Riwayat Pasien

Riwayat pasien meliputi riwayat medis pasien, obat, kebiasaan

(misalnya merokok, konsumsi alkohol), riwayat keluarga, dan psikososial. Riwayat

260 | B A N U 6

kondisi pasien yang lengkap dapat memberikan banyak manfaat, termasuk

perbaikan penatalaksanaan, mengurangi efek samping pengobatan,

meningkatkan fungsi dan kualitas hidup, dan pemanfaatan lebih baik sarana

kesehatan.

Informasi subyektif

Informasi yang subyektif, spesifik oleh pasien (atau informasi yang

dilaporkan sendiri) merupakan cara utama pada evaluasi nyeri. Namun, informasi

laporan-sendiri (self-reported) ini dipengaruhi oleh usia, status kognitif,

disabilitas fisik, penggunaan obat pasien dan harapan pasien dan profesional

kesehatan terhadap terapi. Informasi laporan-sendiri dapat diperoleh melalui

wawancara mendetil dan/atau menggunakan cara-cara pemeriksaan dimensi

tunggal atau multidimensi.

Wawancara untuk nyeri sebaiknya menggunakan kombinasi

pertanyaan terbuka dan tertutup untuk memperoleh informasi yang diperlukan

untuk mengetahui masalah pasien. Selain itu, perhatikan juga faktor-faktor

seperti menetukan lokasi yang lebih privasi ketika melakukan wawancara,

menunjukkan sikap yang suportif dan tidak menghakimi, memperhatikan tanda-

tanda verbal dan nonverbal, dan meluangkan waktu yang cukup untuk

melakukan wawancara.

Penggunaan mnemonik PQRST juga akan membantu klinisi mengumpulkan

informasi vital yang berkaitan dengan penilaian Nyeri.

Mnemonik PQRST untuk Evaluasi Nyeri Nyeri

P Penyebab nyeri

Q Quality/kualitas nyeri

R Regio (lokasi) atau penyebaran nyeri

S Subyektif deskripsi oleh pasien mengenai tingkat nyerinya

T Temporal atau periode/waktu yang berkaitan dengan nyeri

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik termasuk dalam penilaian awal nyeri. Klinisi

menggunakan pemeriksaan ini untuk membantu mengidentifikasi penyebab

yang mendasari nyeri dan meyakinkan pasien bahwa keluhan nyeri yang

dirasakan, ditangani dengan serius. Selama pemeriksaan ini, klinisi menilai

kondisi fisik umum pasien, dengan memberikan perhatian khusus pada sistem

muskuloskeletal dan sistem saraf serta lokasi nyeri. Dokter juga dapat

mengevaluasi tanda-tanda khusus seperti gerakan, respon terhadap rangsangan

panas atau dingin, cara bernafas ataupun perubahan posisi.

Alat Diagnostik

Pemilihan alat diagnostik ditentukan oleh karakteristik nyeri dan

penyebab yang mendasarinya. Pemilihan alat diagnostik yang tepat, akan

261 | B A N U 6

memberikan diagnosis yang lebih akurat dan akan memberikan kondisi luaran

pasien yang baik (mengurangi nyeri dan efek samping dari terapi, meningkatkan

fungsi dan kualitas hidup). Namun, alat diagnostik dimaksudkan untuk

melengkapi, bukan menggantikan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien.

Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri

menggunakan skala assessment nyeri unidimensional (tunggal) atau

multidimensi. Rating scale digunakan untuk menilai nyeri yang bersifat tunggal,

pasien sendiri yang melaporkan intensitas nyeri yang dirasakannya. Meskipun

sangat bermanfaat dalam menilai nyeri akut dengan etiologi yang jelas (misalnya

nyeri paska operasi), tetapi terlalu sederhana untuk menilai modalitas tipe nyeri

lainnya. Sehingga para ahli menyarankan menggunakan penilaian

multidimensional pada nyeri yang kompleks dan persisten.

1. Unidimensional:

a. Visual Analog Scale (VAS)

b. Numeric Rating Scale (NRS)

c. Categorical scales

Penilaian nyeri yang mudah dilakukan kepada pasien dengan deskripsi

intensitas nyeri menggunakan verbal atau visual.

Verbal Rating Scale (VRS)

Wong Baker Pain Rating Scale

Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat

menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka.

262 | B A N U 6

2. Multidimensional

Menilai dengan lebih detail mengenai karakteristik nyeri dan dan

dampak klinisnya pada kehidupan sehari-hari pasien.

The Brief Pain Inventory (BPI)

Adalah kuesioner medis yang digunakan untuk menilai nyeri, mudah

dan cepat untuk digunakan dalam menilai intensitas nyeri dan disabilitas pasien.

Terdiri dari beberapa pertanyaan mengenai pengalaman nyeri selama 24 jam.

Awalnya digunakan untuk menilai nyeri kanker, namun sudah divalidasi juga

untuk menilai nyeri kronik.

McGill Pain Questionnaire (MPQ)

Terdiri dari empat bagian: (1) gambar nyeri, (2) indeks nyeri (PRI), (3)

pertanyaan-pertanyaan mengenai nyeri terdahulu dan lokasinya; dan (4) indeks

intensitas nyeri yang dialami saat ini. Terdiri dari 78 kata sifat, yang dibagi ke

dalam 20 kelompok. Setiap set mengandung sekitar 6 kata yang

menggambarkan kualitas nyeri yang makin meningkat.

Memorial Pain Assessment Card

Merupakan instrumen yang cukup valid untuk evaluasi efektivitas dan

pengobatan nyeri kronis secara subjektif. Terdiri atas 4 komponen penilaian

tentang nyeri meliputi intensitas nyeri, deskripsi nyeri, pengurangan nyeri dan

mood.

Daftar Pustaka

1. National Pharmaceutical Council. Pain: Current Understanding of

Assessment, Management, and Treatments. 2001.

2. Kelompok Studi Nyeri. Konsensus Nasional 1 : Penatalaksanaaan nyeri

neuropatik. Perdossi: 2011.

3. Raylene MR. 2008; terj. D. Lyrawati, 2009. Penilaian Nyeri. Cited. AHRQ

Publication No. 02-E032. Rockville: Agency for Healthcare Research and

Quality, July 2002

4. Narayan MC. Culture's Effects on Pain Assessment and Management. The

American journal of nursing 2010; 110(4):38-47; quiz 48-9.

263 | B A N U 6

5. Sollami A, Marino L, Fontechiari S, Fornari M, Tirelli P, Zenunaj E. Strategies

for Pain Management: A Review. Acta Biomed for Health Professions 2015;

Vol. 86, S. 2: 150-157

PRINSIP PENATALAKSANAAN NYERI AKUT

Ida Ayu Sri Wijayanti

Bagian/SMF Neurologi

FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Nyeri adalah bentuk peringatan terhadap tubuh akan adanya kerusakan jaringan.

Nyeri akan membantu setiap individu untuk tetap hidup dan tetap beraktivitas

secara fungsional. Namun, Nyeri selalu menjadi permasalahan kesehatan yang

sangat kompleks, dan menjadi salah satu alasan utama seseorang untuk

mendatangi tenaga medis. Nyeri dapat mengenai semua orang, semua usia,

jenis kelamin, suku dan status sosial. Penatalaksanaan nyeri yang tidak adekuat

memiliki konsekuensi yang merugikan dan dampak buruknya berimplikasi cukup

besar pada seluruh aspek kehidupan penderitanya. Nyeri akut yang tidak

terkendali dapat menyebabkan komplikasi medis yang serius (seperti

pneumonia, trombosis vena dalam), gangguan pemulihan dari cedera, dan /

atau berkembang menjadi nyeri kronis. Penatalaksanaan nyeri kronis yang tidak

adekuat dapat mengganggu kemampuan individu untuk melakukan aktivitas

sehari-hari dan mengurangi kualitas hidup. Selain disabilitas, nyeri yang tidak

ditangani dengan optimal dapat menimbulkan penderitaan yang signifikan,

individu dengan nyeri tidak terkontrol dapat mengalami kecemasan, ketakutan,

kemarahan hingga depresi.

Sebelumnya, nyeri akut didefinisikan hanya terkait dalam hal durasi.

Namun saat ini dipandang sebagai suatu pengalaman sensorik, emosional dan

kognitif yang kompleks dan tidak menyenangkan yang terjadi sebagai respons

terhadap kerusakan jaringan. Berbeda dengan nyeri kronis, nyeri akut akan

menghilang dengan penyembuhan kerusakan jaringan yang mendasarinya.

Nyeri akut biasanya merupakan nyeri nosiseptif. Sumber umum nyeri akut

termasuk trauma, pembedahan, persalinan, prosedur medis, dan keadaan

penyakit akut. Nyeri akut berfungsi sebagai fungsi biologis penting, karena

mampu memperingatkan potensi atau tingkat cedera. Sejumlah refleks protektif

264 | B A N U 6

(misalnya mekanisme withdrawal, spasme otot, respons otonom) sering

menyertainya. Namun, "stress hormone response" yang diakibatkan oleh cedera

akut juga dapat menimbulkan efek fisiologis dan emosional yang merugikan.

Bahkan stimulasi nyeri dalam durasi waktu yang singkat dapat menyebabkan

nyeri hebat, remodeling neuronal, dan nyeri kronis. Sehingga sangat penting

memberikan fokus perhatian pada pencegahan agresivitas nyeri dan

pengobatan nyeri akut untuk mengurangi komplikasi, salah satunya

perkembangan ke keadaan nyeri kronis.

Penilaian klinis secara terfokus, dapat membantu menentukan

penyebab nyeri dan selama penilaian untuk kondisi yang mendasari, nyeri akut

dapat dikendalikan dengan menggunakan pengobatan farmakologis jangka

pendek (dengan atau tanpa perawatan nonfarmakologi). Evaluasi rutin terhadap

penatalaksanaan nyeri yang telah diberikan menggunakan modalita skala nyeri

memungkinkan klinisi untuk memantau efektivitas pengobatan dan untuk

menentukan perubahan-perubahan yang diperlukan.

Pain relief ladder dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan

langkah-langkah pendekatan penatalaksanaan nyeri kanker dan juga dapat

digunakan untuk pasien dengan nyeri non-maligna akut dan nyeri kronis.

Pemberian terapi adjuvan dapat dimulai sesuai kebutuhan pada setiap langkah.

Terapi yang dimaksudkan antara lain antidepresan (misalnya, trisiklik untuk nyeri

neuropatik akut), antikonvulsan (misalnya, gabapentin, dan glukokortikoid

(misalnya, deksametason untuk mengurangi nyeri pasca operasi, mual, dan

muntah). Efektivitas analgesik meningkat dengan setiap langkah tingkatan,

seperti halnya potensi penyalahgunaan obat atau kecanduan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pilihan

farmakoterapi awal nyeri adalah menggunakan terapi non-opioid seperti

acetaminophen atau obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). Karakteristik nyeri

akut dan faktor risiko pasien harus dipertimbangkan ketika memilih antara

golongan acetaminophen dan NSAID (misalnya aspirin, OAINS non selektif

lainnya, cyclooxygenase-2 [COX-2] NSAID selektif). Pada penderita nyeri akut,

diperlukan penatalaksanaan dengan tujuan menghilangkan nyeri dengan cepat.

Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat, yaitu dengan memberikan obat

dengan efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis yang optimal. Pemilihan

dosis optimal obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien sendiri dan

tingkat keparahan nyeri.

Inflamasi akut akan menimbulkan pengeluaran berbagai mediator

inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, leukotrin, dan sitokin inflamasi,

sehingga mengaktivasi nosiseptor secara langsung dan tidak langsung. Sebagian

dari mediator-mediator inflamasi tersebut dapat langsung mengaktivasi

265 | B A N U 6

nosiseptor dan sebagian lainnya menyebabkan sensitisasi nosiseptor yang

menyebabkan hiperalgesia. Mekanisme nyeri akut diawali oleh proses transduksi

yang mengubah sinyal-sinyal noksius kimiawi menjadi potensial aksi. Potensial

aksi terjadi karena adanya depolarisasi membran sebagai akibat pembukaan

saluran natrium. Obat-obat yang dapat menstabilkan membran (misalnya

anestesi lokal) dapat menghambat pembentukan potensial aksi dari nosiseptor.

Obat-obat NSAID dapat mencegah transduksi dengan menghambat berbagai

mediator inflamasi.

Apabila terapi dengan golongan non-opioid seperti acetaminophen

atau NSAID tidak cukup mengontrol nyeri, langkah berikutnya adalah

mempertimbangkan pemberian golongan opioid, dengan atau tanpa terapi

non-opioid. Golongan opioid seperti hidrokodon dan oksikodon biasanya

dikombinasikan dengan acetaminophen atau NSAID. Kombinasi opioid ini lebih

efektif untuk penatalaksanaan nyeri postoperatif. Dalam meta-analisis dari uji

coba terkontrol acak double-blind, pasien yang menerima opioid, seperti morfin,

dikombinasikan dengan NSAID, secara signifikan memiliki skor nyeri yang lebih

rendah dan memerlukan lebih sedikit opioid untuk mengontrol nyeri.

Golongan opioid agonis, seperti morfin, merupakan analgetik kuat

yang dapat digunakan apabila kombinasi golongan opioid dengan

acetaminophen atau NSAID tidak cukup mampu untuk mengontrol nyeri dengan

intensitas sedang sampai berat.Sampai saat ini masih belum ada bukti untuk

menyarankan opioid jenis tertentu lebih efektif ataupun lebih buruk daripada

morfin. Namun, terdapat bukti yang menyatakan bahwa kodein kurang efektif

daripada morfin maupun opioid agonis lainnya karena afinitasnya yang rendah

terhadap reseptor opioid. Pedoman klinis terbaru merekomendasikan bahwa

durasi terapi opioid agonis dibatasi jika digunakan untuk meredakan nyeri

pinggang. Penilaian ulang terhadap kondisi pasien, pilihan pengobatan lain, atau

rujukan spesialis harus dipertimbangkan jika nyeri pasien tidak membaik.

Daftar Pustaka

1. National Pharmaceutical Council. Pain: Current Understanding of

Assessment, Management, and Treatments. 2001.

2. Kelompok Studi Nyeri. Konsensus Nasional 1 : Penatalaksanaaan

nyeri neuropatik. Perdossi: 2011.

3. Blondell R, Azadfard M, Wisniewski A. Pharmacologic Therapy for

Acute Pain. Am Fam Physician. 2013;87(11):766-772.

4. Lucas Meliala, Rizaldi P. Breakthrough in Management Acute Pain.

Dexa Media. 2007;4(20):151-161.

266 | B A N U 6

5. Schug S, Palmer G, Scott D, Halliwell R, Trinca J. Acute Pain

Management: Scientific Evidence,fourth edition, 2015. MJA.

2016;204(8):315-317.

6. Wardhan R, Chelly J.Recent advances in acute pain management:

understanding the mechanisms of acute pain, the prescription of

opioids, and the role of multimodal pain therapy. F1000Research

2017, 6(F1000 Faculty Rev):2065.