biodiversitas vol. 6, no. 1, january 2005 (abstract in english)

86
ISSN: 1412-033X

Upload: biodiversitas-unsjournals

Post on 30-Mar-2016

333 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Biodiversitas , Journal of Biological Diversity” or Biodiversitas encourages submission of manuscripts dealing with all biodiversity aspects of plants, animals and microbes at the level of gene, species, and ecosystem.

TRANSCRIPT

Page 1: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

ISSN: 1412-033X

Page 2: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK

Page 3: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

PENERBIT: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta,

Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta

ALAMAT PENERBIT/REDAKSI: LABOR ATORIUM PUSAT MIPA

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 398, 339; Fax.: +62-271-646655. E-mail: [email protected]; [email protected]. Online: www.biology.uns.ac.id; www.unsjournals.com

TERBIT PERTAMA TAHUN: 2000

ISSN: 1412-033X

TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 52/DIKTI/Kep/2002

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB: S u t a r n o

SEKRETARIS REDAKSI: Ahmad Dwi Setyawan, Ari Pitoyo

PENYUNTING PELAKSANA: Suranto (Biologi Molekuler), Marsusi, Solichatun (Botani),

Edwi Mahajoeno, Sugiyarto (Zoologi), Wiryanto, Kusumo Winarno (Ilmu Lingkungan)

PENYUNTING AHLI: Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D. (UGM Yogyakarta)

Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc. (IPB Bogor) Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si. (UNS Surakarta)

Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D. (Murdoch University Australia) Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc. (UGM Yogyakarta)

Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc. (ITB Bandung) Dr. Setijati Sastrapradja (Yayasan KEHATI Jakarta)

Dr. Dedi Darnaedi (Kebun Raya Bogor) Dr. Elizabeth A. Wijaya (Herbarium Bogoriense Bogor)

Dr. Yayuk R. Suhardjono (Museum Zoologi Bogor)

BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya

dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Hingga nomor ini, jurnal dikirimkan kepada institusi-institusi yang meminta tanpa biaya pengganti, sebagai bentuk pertukaran pustaka demi mendorong penelitian, perlindungan dan pemanfaatan lestari keanekaragaman hayati. Jurnal ini terbit empat kali

setahun, setiap bulan Januari, April, Juli, dan Oktober.

Page 4: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

PEDOMAN UNTUK PENULIS Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi

para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi naskah dan satu disket ukuran 3½” atau compact disc (CD), kecuali naskah yang dikirim melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali diminta satu disket untuk pencetakan.

Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word. Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau “per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah. Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya “persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan bertele-tele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini.

Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul pelari (running title) sekitar lima kata. Nama penulis atau para penulis pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama dan nomor jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor telepon genggam, nomor faksimili, alamat e-mail, dan website. Pada naskah kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk korespondensi beserta alamat dengan urutan seperti di atas. Abstract sebaiknya tidak lebih dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia (teks dalam bahasa Indonesia hanya untuk kepentingan keredaksian) atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci (Keywords) sekitar lima kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila ada), topik penelitian dan metode-metode khusus yang digunakan. Pendahuluan (Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar belakang, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan cara analisis data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditulis sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang sebaiknya dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat terjadi, bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam bentuk kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih disukai dari pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah pustaka tanpa sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan Pembahasan. Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, meskipun biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis secara singkat. Gambar dan Tabel maksimum tiga halaman, dapat dibuat dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna dapat diterima apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang tanpa gambar tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya menyertakan file digital.

Penulis dianjurkan menyertakan foto atau gambar untuk sampul depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah sendiri. Tidak ada lampiran, semua data atau analisis data dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan.

Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis, maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka. Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih, maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk., misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Smith 1982a, b; Baker and Manwell, 1991; Suranto et al., 1998). Pada sitasi bertingkat digunakan kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999).

Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti

CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut: Jurnal: Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat

protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020.

Buku: Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure

and Applied Aspects. London: Chapman and Hall. Bab dalam buku: Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular

markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V.

Abstrak: Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F.

Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of 97th Annual International Conference of the American Society for Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000.

Prosiding: Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan dae-

rah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000.

Skripsi, Tesis, Disertasi: Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae

UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.

Informasi dari Internet: Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http://

www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam

daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasi-kan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi. Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-), kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O” (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol α, β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf. Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi. Kemajuan Naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman. Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal nomor penerbitan berikutnya.

PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam jurnal ini.

Page 5: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

Pengantar Terbitan

Tidak dalam setiap terbitan Dewan Redaksi memberikan Pengantar Terbitan, namun pada pergantian tahun ini ada kejadian sangat luar biasa yang menguji ketahanan masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa, yang telah disatukan oleh Soekarno-Hatta, dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Kejadian tersebut adalah gempa bumi diikuti gelombang tsunami yang memporak-porandakan kawasan Nangroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara. Bencana alam dengan episentrum tidak jauh dari pulau Simeuleu itu telah merenggut lebih dari 100.000 jiwa warga negara Indonesia, serta sejumlah hampir sama di negara-negara tetangga. Kejadian ini merupakan bencana paling dahsyat yang pernah terjadi di nusantara, bahkan lebih dahsyat dari meletusnya gunung Krakatau pada abad ke-18, dengan korban 30.000 jiwa; bencana alam yang selama ini dikenal paling mematikan. Bencana ini menggugah rasa kemanusiaan setiap jiwa manusia. Ucapan bela sungkawa dan simpati tidak akan cukup untuk menghapuskan rasa sedih, bahkan andaikan seluruh kata-kata di bumi ini ditumpahkan, tetap tidak akan cukup untuk menunjukkan betapa dalamnya duka ini. Bantuan material berapapun jumlahnya tidak akan cukup untuk menghapuskan ingatan dari kegetiran dan kengerian ini. Namun rasa berserah diri dengan tulus ikhlas kepada Allah SWT, serta tidak putus asa atas ujian yang diberikanNya, akan membantu untuk tetap tegar, terus beribadah dan menjalankan hidup ini dengan sungguh-sungguh, sebagaimana surat yang dikirim seorang sahabat, seorang penulis pada terbitan ini:

“Syukur alhamdulillah, saya selamat dari musibah tsunami di Aceh, namun keluarga saya (istri, dua anak, dan adik) terbawa arus dan jenazahnya tidak ditemukan, dan kondisi rumah hancur total tanpa bekas, selain itu juga ada dua keponakan saya yang hilang......... Saat ini saya berada di Medan untuk mencari sanak keluarga yang mungkin (masih) ada yang selamat dan mengungsi di sana....... Salam.” SENIN, 17 JANUARI 2005

Semoga Allah SWT memberi al-jannah kepada yang dipanggilNya, dan memberikan ganti yang lebih baik kepada yang ditinggalkan. Amin.

Dewan Redaksi perlu pula melaporkan adanya perubahan jadwal penerbitan. Apabila pada tahun-tahun sebelumnya jurnal ini terbit dua kali setahun, maka mulai tahun ini – insya Allah – akan terbit empat kali setahun setiap bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya artikel yang masuk, sehingga banyak di antaranya yang terpaksa dikembalikan, bukan karena tema yang tidak sesuai dengan misi jurnal, atau kualitas tulisan yang buruk, namun semata-mata karena terbatasnya jumlah halaman.

Dalam terbitan ini materi keanekaragaman pada aras spesies dan ekosistem, masih jauh lebih banyak dari pada aras genetik. Keanekaragaman genetik merupakan the ultimate dalam kajian keanekaragaman hayati; mengingat kesempatan untuk menjelajahi dunia hayati terbuka luas hampir tanpa batas. Hal-hal baru dengan sumbangan kuat terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban sering ditemukan, namun kajian ini membutuhkan sarana dan prasarana khusus, sehingga pihak yang dapat terlibat cenderung terbatas. Di negara-negara maju yang umumnya terletak di belahan bumi utara atau selatan dengan keanekaragaman hayati terbatas, kajian keanekaragaman genetik menjadi prioritas. Di negara berkembang seperti Indonesia – tanpa menyebutnya latah – kajian ini diharapkan juga akan menjadi pandu dalam pengembangan kajian hayati, meski pada kenyataannya terdapat keterbatasan yang sangat dalam teori dan metode, yang harus diimport hampir-hampir completely built up. Akibatnya kajian keanekaragaman genetik, masih sering dikaitkan dengan istilah-istilah etalase, mercu suar, lipstik atau bahkan kemayu; para ilmuwan menghambur-hamburkan dana yang besar dengan hasil yang dipertanyakan.

Di sisi lain, terdapat ruang yang sangat luas untuk kajian keanekaragaman pada aras spesies dan ekosistem. Teori dan metode kajian ini dengan mudah dapat diterapkan oleh siapapun dengan pelatihan sederhana. Namun karena sifatnya yang lumrah, kajian ini cenderung dinomorduakan; meskipun diyakini masih terdapat ribuan spesies tumbuhan, hewan, dan mikroba Indonesia yang belum teridentifikasi, baik di hutan dan terutama di lautan. Jurnal ini tidak bermaksud menganakemaskan salah satu kajian keanekaragaman hayati, hatta keanekaragaman budaya manusia yang secara nyata mempengaruhi keanekaragaman hayati. Banyaknya publikasi keanekaragaman spesies dan ekosistem dalam jurnal ini merupakan pilihan sadar untuk memberi kesempatan kajian yang biasa-biasa itu terbaca masyarakat luas, di samping – sejujurnya – karena terbatasnya naskah kajian genetik.

Terbitan ini secara khusus didedikasikan untuk para kolega dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh dan sekitarnya, untuk terus mengeksplorasi ayat-ayat qouliyah dan kauniyahNya dalam segala keterbatasan yang ada.

Selamat membaca.

Wassalam, Dewan Redaksi

Page 6: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK

Page 7: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 1-5

♥ Alamat korespondensi:

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911. Tel.: +62-21-8754587 Fax.: +62-21-8754588 e-mail: [email protected]

Storage and the Use of Peroxydase Enzyme to Detect Germination Capability of Sandoricum koetjape Merr. Seeds-

A Neglected Tropical Fruit Species

USEP SOETISNA♥, DODY PRIADI, SRI HARTATI, ENNY SUDARMONOWATI Research Centre for Biotechnology, The Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Cibinong-Bogor 16911.

Received: 17 September 2004. Accepted: 14 October 2004.

ABSTRACT

Sandoricum koetjape which belongs to the group of mahogany, possesses seeds with sticky white aril, is a neglected local fruit species that might extinct if conservation efforts are not made. Besides preserving the embryos and embryonic axis on different periods of storage (0, 3, 5, 7 days) on a vacuum glass container containing silica gel, the latter organs were also preserved in liquid nitrogen to study the possibility of long-term storage. The water content of the preserved organs was measured in relation to the length of storage and the germination rate. To determine the role of peroxidase in the germination rate of preserved zygotic embryos, the level of peroxidase was measured. Seeds of control and of 3-day storage were mostly germinated at day-6. The average rate of germination was reduced to 23.33% when the seeds were desiccated with silica gel for 7 days which resulted in 27.69% water content. This germination capability and the length of hypocotyls seem to correlate with peroxidase activity in the seeds. In general, the higher the percentage of germination, the longer the length of hypocotyls, the higher the peroxidase activity, except for seeds desiccated for 7 days. The range of peroxidase activity was 6.81-3856.20 ΔA/2min/mg. When the seeds were desiccated for 7 days, they still could germinate at day-18 which indicated by a very high peroxidase activity. Peroxidase activity assay could detect the viability within 15 seconds while the TTZ requires 15 minutes. Although the highest percentage of survived embryonic axis after storage in liquid nitrogen was only 23.42%, the results showed that soaking in 10-20% DMSO for 20 minutes of prerequisite as without DMSO led to no survival. These results offer an alternative procedure to detect the germination ability of seeds at early stage and longer period of preservation which could contribute to future ex situ conservation.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: recalcitrant, seeds, embryos, desiccation, preservation, peroxidase, Sandoricum koetjape.

INTRODUCTION Sandoricum which belongs to the family of Meliaceae

comprises 5 species, four of which are restricted to western Malesia. The fifth, S. koetjape, is commonly cultivated mainly for its fruit and frequently naturalized from India, Burma (Myanmar) and Indo-China to Thailand, the whole of Malesian region, and tropical Australia and even in the New World Tropics. Timber plantations of S. koetjape have been established in Burma (Myanmar). The wood of this species is used for house construction, furniture, cabinet work, joinery, interior construction, shop fitting, paneling, planking and decking of boats, scantlings, carvings, butcher chopping blocks, packing cases, household implements, and sandals. The wood is also used for the production of veneer and plywood, blackboard, and for pulp and paper. It yields a good-quality charcoal and is used as firewood in Indonesia. It yields a lightweight to medium-weight hardwood with a density of 290-590 kg/m3 at 15% moisture content. The texture is moderately fine to slightly coarse and even. In Europe, the timber has been applied for furniture and interior finishing. In Malaysia, the timber is traded in mixed consignments of medium-weight hardwood. Thailand which partly exports to Great Britain, considers this timber is potential (Sosef et al., 1998).

This species is a well-known fruit tree, the fruits being eaten fresh or processed into jam and chutney. The fruits of the other Sandoricum are also edible but less palatable. S. koetjape is also an excellent shade tree with ornamental value, is planted as an avenue tree, and is suitable for use in shelter-belts. It has medicinal use as its pounded leaves are sudorific when applied to the skin and are used to make a decoction against diarrhea and fever. The powdered bark is an effective treatment for ringworm, shows anti-cancer activity, and has been used for tanning fishing nets. The roots are employed as an anti-diarrheic, anti-spasmodic, carminative, stomachic and are prescribed as a general tonic after childbirth. Limonoids isolated from the seeds showed insecticidal activity (Sosef et al., 1998).

It is semi-deciduous, small to large trees, up to 45-50 m tall and occurs scattered in primary or sometimes secondary rain forests, up to 1200 m altitude. S. koetjape has been reported from lowland dipterocarps forest but also from kerangas on podzolic soils in both perhumid and seasonal climates. It can be propagated by seed, but also by vegetative means like budding, grafting, inarching and marcotting. Seeds however, can not be stored for any length of time. The seed with or without the adhering pulp have 90-95% germination in 16-31 days. Various cultivars of this fruit tree exist including the tetraploid ones. Important tree collections are held in the Philippines, Malaysia and Thailand (Sosef et al., 1998).

There are three main categories of seed storage that have been recognized. Roberts (1973) defined orthodox and recalcitrant seeds, as those that survive long term dry storage and those that can not withstand dehydration,

Page 8: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 1-5 2

respectively. More recently, a third category, intermediate, was identified comprising seeds that can withstand dehydration to a certain extent but have reduced longevity. The first one could be further dried to low moisture contents (< 5%) without losing viability. The second one are characterized by the absence of maturation drying and are shed at moisture contents > 50% (on a Fresh Weight basis). The so-called intermediate seeds survive drying to moderately low moisture contents (8-10%) but are often injured by low temperatures (Ellis, 1991).

Zygotic embryos/embryonic axes have been quite widely used in attempts at conserving germplasm of plants with recalcitrant seeds or those with seeds in the intermediate category. Cryopreservation system which is based on the reduction and subsequent detention of the metabolic function, including the cellular division of the explants, is accomplished when materials are brought to the temperature of liquid nitrogen (-196°C). Successful cryopreservation of plant material should be achievable by the appropriate balance between tissue water content and freezing rate making the use of cryoprotectants a secondary consideration. Thus, flash-drying and very fast freezing rate could be a solution to achieving successful cryopreservation method as suggested by Berjak et al. (1989).

Peroxidase has been implicated in a various physiological processes in plants. Plant peroxidases have been related to several processes such as cell growth, lignin biosynthesis (Gross, 1977), auxin metabolism (Gaspar, 1986), disease resistance, and wound healing (Espelie et al., 1986). Research concerning plant peroxidase activity has been reported in several species such as in mung bean (Chabanet et al., 1993), peanut (Zheng and van Huystee, 1992) and in pedicel of grape (Perez and Gomez, 1998).

The objectives of the study were to investigate possible storage method for seeds and embryonic axes and to determine alternative assay employing peroxidase to detect the viability of seeds of S. koetjapi.

MATERIALS AND METHODS

Source of plant materials Seeds were collected from two mature trees grown in

the Germplasm Garden of Research Centre for Biotechnology-Indonesian Institute of Sciences in Cibinong, Bogor District, West Java, Indonesia. The trees were originated from seeds which were collected from Serpong, Banten Province. The size of the fruits from where the seeds and embryonic axis were excised was ranging from 5.5 cm (small fruits) to 8.0 cm (larger fruits) in diameter in average. The aril was removed from the seeds by scrapping with ash washed and then mixed with fungicide Dithane and followed with natural drying for 1 hour.

Water content determination and germination test

Fifteen seeds were placed in a container in a desiccator which also contains 200 g silica gel and kept for either 3, 5 or 7 days. The number of replicates was three. Water content was measured on day 0 and 3-7 days after storage by weighing before and after drying in the oven at 100oC for 5 hours. Germination was conducted by placing the seeds on a wetted tissue placed in a germinator at 37oC. Maintenance was conducted by spraying the tissues containing samples with water every day.

Growth of seeds after desiccation in growing media Having been maintained in a germinator for one month

during the germination test, the desiccated seeds were sown either in the soil or in the sand placed in a plastic tray. They were watered every other day and maintained at room temperature.

Cryopreservation of embryonic axis

Embryonic axes of S. koetjape were soaked for 20 minutes in either 10% or 20% DMSO (dimethyl-sulfoxide) or 6% sucrose. Prior to freezing, they were placed in cryo tubes and followed with 2 drops of each related cryoprotectant solution. After thawing, the axes were germinated in wetted tissue and watered every day.

Viability test using peroxidase

Enzyme extraction. Enzyme extraction was carried out by grinding approximately 0.02 g to 0.1 g embryonic axis with 1 ml extraction buffer consisting of 25 mM Tris-HCl pH 7.5 using a plastic grinder. The homogenate was centrifuged at 10,000 rpm at 4oC for 15 minutes. The supernatant was used as crude peroxidase.

Protein determination. Protein content was determined with Bradford solution using the method developed by Grey (1990) using Bovine Serum Albumin as a standard.

Enzyme assay. Total peroxidase activity was estimated colorimetrically according to Campbell and Ellis (1992). The activity was determined by adding 720 μl of 50 mM potassium phosphate pH 7.0 to 80 μl enzyme extract and 2000 μl of 0.5% guaiacol. The reaction was initiated by adding 2000 μl of 0.075% hydrogen peroxidase followed by rapid inversion. The absorbance of the mixture was monitored at 470 nm after 2 minutes. Peroxidase activity was expressed as ΔA/2min/mg protein.

Qualitative viability test

Tetrazolium test was conducted by applying 23.4 mM TTC solution in 0.05 M phosphate buffer pH 7.5 to both half-cut seeds and embryonic axis. Both germinated and non germinated ones were soaked in the solution for 15 to 60 minutes. Peroxidase solution used was the same as that for quantitative assay. Both materials (half-cut seeds and embryonic axis of germinated and non-germinated) were either soaked in 1 ml solution or given 20 μl drop of solution.

RESULTS AND DISCUSSION

Critical water content and germination pattern Water content of seeds before desiccation was 44.63%

which led to 86.67% germination in average. Desiccating the seeds for 3 days (35.20% moisture content) did not seem to have an effect on the germination rate as 90% of seeds still could germinate. Reducing the water content to 31.19% has caused the germinated rate declined 56.67% which then dropped to 23.33% when the water content was reduced to 27.69% which was achieved by 7 days desiccation. The reduction of the water content not only caused the decline of the germination rate but also the delay in the germination. Without desiccation, seeds would germinate within 6 days while those subjected to desiccation germinated in 10-18 days depending on the water content (Table 1.). Figure 1. shows the effect of desiccation period on water content and germination rate of S. koetjape seeds.

Page 9: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

SOETISNA et al. – Germination of Sandoricum koetjape 3

Table 1. Effect of desiccation period and water content on germination rate of S. koetjape seeds. Desiccation

period (days)

Moisture content

(%)

Average germination

rate (%)*

Peak of germination time (days)

0 3 5 7

44.63a 35.20ab 31.19ab 27.69b

86.67a 90.00a

56.67ab 23.33b

6 10 14 18

Note: * Observation was conducted at day-20. Figures followed with different letters indicate significant different at 1% based on Duncan Multiple Range Test.

Statistical analysis on the relation between water content and the percentage of germinated seeds showed that 7 days desiccation has reduced the germination rate significantly as the reduction of water content dropped from 44.6 to 27.7% (Table 1).

0102030405060708090

100

0 3 5 7Desiccation Period (days)

Ger

min

atio

n an

d W

ater

Con

tent

(%)

Figure 1. Effect of desiccation period on water content and germination rate of S. koetjape seeds.

The range of water content level which is considered high in order to have high germination rate suggests that this species could be grouped either intermediate or recalcitrant which requires further confirmation through series of research in the future. Critical water content of seeds under this category is varied so preliminary information has to be searched supported with experiments prior to drying or desiccation. In certain recalcitrant seeds, the reduction rate of humidity affected further storage. Azadirachta indica of Thailand provenance could maintain viability over 60% after 6 weeks storage if the seeds were subjected to sun drying for 2-3 days (Chaisurisri et al., 1986). Seeds of one plant species could behave differently as reported in neem. This plant seed has been designated as being recalcitrant (Ezumah, 1986) but also as orthodox (Tompsett, 1994), while according to Sacande et al. (1997) the seeds had intermediate storage behavior and were cold sensitive. The viable seed showed red color after treated by TTC solution (Figure 2.).

Effect of desiccation and water content on germination in growing media

The desiccated seeds could still grow and produce roots and shoots after 64-72 days depending on the desiccation treatments and growing media. Most seeds could germinate in the soil regardless desiccation treatments given as the percentage of seeds producing roots was ranging from 89.9 -100%. Unlike in the soil, those planted in the sand was ranging from 0-100% depending on desiccation periods

(Table 2.). Although the germination percentage in the sand was lower than in the soil, the number of the roots was higher and they were longer in size (Figure 3.). Sand also resulted shoots to emerge and elongate at 35 days after planting (64-72 days after desiccation and viability test in a germinator). Figure 4 shows the shoot growth of S. koetjape seeds which have been desiccated for 5 days at 2 months after sewing in sand placed in a plastic container. Those planted in the soil produced shoot slower as the shoots emerged not earlier than 55 days after planting. This indicates that seeds of S. koetjape were still viable for more than 2 months as long as the growing media is appropriate.

The fact that the growth of roots was excessive which tends to repress the growth of shoots, suggest that during germination a growth regulator to stimulate the growth of shoots such as GA3 is required.

Table 2. Effect of desiccation period and growing media on the production of roots and shoots of planted seeds of S. koetjape.

DesiccationPeriod (days)

Growing media

Seeds producing roots (%)

Number of roots

per seeds*

Seeds producing

shoots (%)

Length of

shoots(cm)*

0 3 5 7

Soil

100 100 89.9 100

5 16.5 11.5 15

0 16.7 14.6

0

- 3.0** 1.0** 0.5**

0 3 5 7

Sand 100 50

83.3 0

50 14 19 -

100 16.7 33.3

0

3.0 1.0 4.0 -

Note: *Observation at day 61 after sewing. ** All leaves were not yet opened. Cryopreservation of embryonic axis

Embryonic axis which was not treated with DMSO or high sucrose (control) could not survive after storage in liquid nitrogen for 6 days. It seems that the effect of the concentration of DMSO was different to different types of S. koetjape. The survival rates were 19.67% and 23.42% which seeds were treated with either 10 or 20% DMSO, respectively. DMSO seems to be more effective than 6% sucrose as the percentage of survival was slightly higher i.e. 23.42% and 10%, respectively (Table 3.).

The results which showed very low survival, suggest that treatments applied were not yet optimum. DMSO alone did not seem to be sufficient to protect embryonic axis to withstand ultra low temperature especially when rapid/direct freezing in liquid nitrogen is applied. Combination of DMSO with other cryoprotectants as has been applied to other plant species might solve the problems. Vitrification or encapsulation dehydration might be one alternative method for preserving embryonic axis of S. koetjape. Vitrification solution which employs 30% glycerol, 15% ethylene glycol, and 15% DMSO in liquid medium with 0.4 M sucrose could result in up to 80% survival of tropical tree species tried after immersion in liquid nitrogen (Sudarmonowati, 2000). Other cryopreservation protocol has been developed mostly for various plant species but mainly temperate species such as Allium cepa (Lakhanpaul et al., 1996). The highest percentage (62.5%) of surviving embryos of citrus “Garut” after storage in liquid nitrogen was obtained by dehydrating the naked embryos for 4 hours in laminar air flow and soaked in vitrification solution (a mixture between 0.8 M sucrose and 1.0 M glycerol) for 18 hours (Sudarmonowati et al., 1998). In other plant species such as Ribes nigrum (Benson et al., 1996), encapsulation-dehydration has given a better result than vitrification as it gave a higher survival.

germination rate

water content

Page 10: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 1-5 4

On the other hand, embryo axes of “Garut” citrus and longan fruit were more suitable with vitrification technique for preservation. This might be because the composition of vitrification solution tried (0.8 M sucrose + 0.1 M glicerol + 200 ppm citric acid) might not be sufficient. Other causes might be the high content of phenolic compounds in the zygotic embryos which triggered with the would due to the formation of ice crystal which causes the phenolic compounds accumulated. As different species seems to require different technique, optimum one for each species needs to be developed.

Water content of seeds which embryonic axis was excised was still around 44.63% which considered still high. Reduction of water content to the optimum one is, therefore, needed which implies that a technique for a more

appropriate dehydration needs to be optimized. Storage of the axis at -196oC has reduced the survival; further study is required to optimize the desiccation and freezing procedures. Embryonic axis will still be used as the use of this intact organ has the advantage that if cryopreservation procedures are successful, it should merely be a matter of manipulating post-freezing conditions to produce vigorous plantlets.

Peroxidase for detecting viability of stored seeds

The level of peroxidase declined in line with the reduction of germination rate, although in certain cases it was deviated. The highest level of peroxidase which was approaching 4000 U was obtained from seeds that have been desiccated for 7 days (Figure 5.).

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

A/2

min

/mg

prot

ein

0 3 5 7

Desiccation Period (days)

1a

1b

1c

2a

2b

2c

3a

3b

3c

Figure 5. Peroxidase activity of S. koetjape seeds after desiccation up to 7 days.

0102030405060708090

100

Hyo

coty

l Len

gth

(mm

) or P

erce

ntag

e of

See

dsS

how

ing

Per

oxid

ase

over

100

0 U

0 3 5 7Desiccation Period (days)

1a Peroxidase over 1000 U1b 1c2a 2b2c 3a3b 3c

Figure 6. Correlation between desiccation periods, hypocotyls length, and the percentage of germinated seeds of S. koetjape showing over 1000 U peroxidase level.

This treatment also led to the highest percentage of

seeds containing peroxidase at the level of over 1000 U (Figure 6.). This enzyme also indicates the ability of rooting as the highest content was obtained from organs possessing the longest roots. The higher the hypocotyls of germinated seeds were indicated by higher peroxidase

Figure 2. The assay of viability using TTC (left to right: germinated, not yet germinated but viable, dead).

Figure 3. The growth of roots and shoots from seeds of S. koetjape which have been desiccated for 0, 3, 5 and 7 days (left to right)

Figure 4. The shoot growth of S. koetjape seeds which have been desiccated for 5 days at 2 months after sewing in sand placed in a plastic container.

Page 11: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

SOETISNA et al. – Germination of Sandoricum koetjape 5

level. Peroxidase is considered to be the main enzyme responsible for the catabolism of the phytohormone IAA in higher plants, thereby, the suggestion of its participation in the regulation of plant growth as quoted by Zheng and van Huystee (1992). In terms of IAA catabolism, it can proceed in the absence (IAA oxidase) or presence (IAA peroxidase) of H2O2. The IAA oxidase and peroxidase catalyzed IAA catabolism was considered as part of auxin regulation in vivo, hence, a part of growth regulation. The correlation between auxin, in this case, IAA with peroxidase content has been proven in peanut as peroxidase content was twofold in hypocotyls cultured on medium containing high IAA (4 mg/l) as compared to control (Zheng and van Huystee, 1992). The fact that the growth of roots was considered excessive in seeds of S. koetjape after desiccation which resulted in the repression of shoot emergence indicated that the concentration of IAA is high which related to a high peroxidase level.

This result suggests that not only the viability, the length of hypocotyls of germinated seeds seems to correlate with the level of peroxidase in the seeds. The length of hypocotyls of germinated seeds desiccated for 3 days (35.2% of water content) was almost uniform while the others varied. In general, the activity of peroxidase was higher in non desiccated seeds and lower when the exposure was longer up to 5 days. In mung bean, the decrease of growth rate of hypocotyls was in parallel with the loss of cell wall extensibility which suggests changes in cell wall structure. The cessation of growth might result from cell wall stiffening processes related to the integration of diphenyl phenolic cross-linked wall polymer subunits into the polysaccharide network which is thought to be catalyzed by specific cell wall peroxidases. It was noted that in mung bean, the development of peroxidase activities in epidermal cell wall just at the onset of growth decrease (Cabhanet et al., 1993). This might explain the increase of peroxidase level when the seeds of S. koetjape were desiccated for 7 days.

Giving the peroxidase solution only 2 drops seems to be sufficient for detecting the viability of seeds. The time required using peroxidase for detecting the viability of seeds was much shorter than using TTZ, i.e. 15 seconds versus 15 minutes. The viable and germinated seeds had result much darker solution than the non germinated one (Figure 6.). This technique offers an alternative protocol for detecting the viability of stored tissues as well as other growth function. The role of peroxidase in plant species has been reported such as in Glycine max (Gillikin and Graham, 1991) and in peanut (Zheng and van Huystee, 1992).

CONCLUSIONS Drying seeds up to 35.20% water content could still

maintain the germination rate of S. koetjape to 90%, although they have been maintained for 2 months. With this condition, the longest storage period will be investigated in the future to confirm whether this water content level is the most optimum one for seed storage. It seems that there was a correlation between the viability of S. koetjape seeds and the level of peroxidase in the seeds. In addition, peroxidase activity might correlate with the growth of this species seeds. Detection of viability with peroxidase assay offers an alternative method to others as it could give faster result. Effort to cryopreserve the seeds or embryonic axis in the future would provide a long-term storage of this

recalcitrant species. Various factors affecting the success of this technique, are, therefore, need to be conducted.

ACKNOWLEDGEMENTS The authors would like to thank the technical assistance

of Ms. Nurchaedar Rahman and Mr. Nanang Taryana. The assistance of Mr. Jitno Rijadi in the documentation of the results was greatly acknowledged.

REFERENCES

Benson, E.E., B.M. Reed, R.M. Brennan, K.A. Clacher and D.A. Ross. 1996. Use of thermal analysis in the evaluation of cryopreservation protocols for Ribes nigrum L. germplasm. Cryo-Letters 17: 347-362.

Berjak, P., J.M. Farrant, D.J. Mycock and N.W. Pammenter. 1989. Recalcitrant (homoiohydrous) seeds: the enigma of their desiccation-sensitivity. Seed Science Technology 18: 297-310.

Campbell, M.M. and B.E. Ellis. 1992. Fungal elicitor-mediated responses in pine cell culture. Planta 186: 409-412.

Chabanet, A., A.M. Catesson, and R. Goldberg. 1993. Peroxidase and phenoloxidase activities in mung bean hypocotyls cell walls. Phytochemistry 33(4): 759-763.

Chaisurisri, K., B. Ponoy, and P. Wasuwanich. 1986. Storage of Azadirachta indica A. Juss seeds. The Embryon 2(1): 19-27.

Ellis, R.H. 1991. The longevity of seeds. Horticulture Science 26: 1119-1125. Espelie, K.E., V.R. Franceschi, and P.E. Kolattukudy. 1986.

Immunocytochemical localization and time course of appearance of an anionic peroxidase associated with tuberization in potato. Archives on Biochemistry and Biophysics 240: 539-545.

Ezumah, B.S. 1986. Germination and storage of neem (Azadirachta indica A. Juss) seeds. Seed Science Technology 14: 593-600.

Gaspar, T., C. Penel, T. Thorpe, and H. Greppin. 1986. Peroxidases 1970-1980: A Survey of their Biochemical and Physiologic Roles in Higher Plants. Geneva, Switzerland: University of Geneva Press.

Gillikin, J.W. and J.S. Graham. 1991. Purification and developmental analysis of the major anionic peroxidase for the seed coat of Glycine max. Plant Physiology 96: 214-220.

Grey, D. 1990. Enzyme extraction and assessment of enzyme production. In Pollard, J.W. and J.M. Walker (eds.). Methods in Molecular Biology. Vol. 6. New York: Humana Press.

Gross, G.G. 1977. Biosynthesis of lignin and related monomers. Recent Advanced in Phytochemistry 11: 141-184.

Lakhanpaul, S., P.P. Babrekar, K.P.S. Chandel. 1996. Monitoring studies in onion (Allium cepa L.) seeds retrieved from storage at -20oC and -180oC. Cryo-Letters 17: 219-232.

Perez, F.J. and M. Gomez. 1998. Gibberelic acid stimulation of isoperoxidase from pedicel of grape. Phytochemistry 48(3): 411-414.

Roberts, E.H. 1973. Predicting the storage life of seeds. Seed Science Technology 1: 499-514.

Sacande, M., S.P.C. Groot, F.A. Hoekstra, R. De Castro, and R.J. Bino. 1997. Cell cycle events in developing neem (Azadirachta indica) seeds: are they related to intermediate storage behaviour? Seed Science Research 7: 161-168.

Sosef, M.S.M., L.T. Hong, and A. Prawirohatmodjo (eds.). 1998. Plant Resources of South-East Asia No. 5(3). Timber trees: Lesser-known Timbers. Leiden: Backhuys Publishers.

Sudarmonowati, E, Rosmithayani, and E.S. Mulyaningsih. 1998. In vitro conservation of fruit tree species at -196oC. 2nd Congress of Indonesian Biotechnology Consortium and National Seminar on Biotechnology. Malang, Indonesia, 20-21 September 1998.

Sudarmonowati, E., Rosmithayani, E.S. Mulyaningsih, D. Priadi, and A. Sakai. 2000. Cryopreservation of shoot tips of two leguminous trees (Acacia mangium and Paraserianthes falcataria) using encapsulation-dehydration and vitrification. Proceedings of International Workshop on Cryopreservation of Tropical Plant Germplasm. Tsukuba, Japan, 20-23 October, 1998.

Tompsett, P.B. 1994. Capture of genetic resources by collection and storage of seed: a physiological approach. In Leakey, R.R.B. and A.C. Newton (eds.). Tropical Trees: the Potential for Domestication and the Rebuilding of Forest Resources. ITE Symposium No. 29, ECTF Symposium No. 1 London, HMSO.

Zheng, X. and R.B. van Huystee. 1992. Anionic peroxidase catalysed ascorbic acid and IAA oxidation in the presence of hydrogen peroxide: a defense system against peroxidative stress in peanut plant. Phytochemistry 31 (6): 1895-1898.

Page 12: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 6-11

♥ Alamat korespondensi:

Jl.Ir. H.Juanda 18 Bogor 16002 Tel. +62-251-324006. Fax.: +62-251-325854 e-mail: [email protected]

Biodiversity of Soil Microbes from Rhizosphere at Wamena Biological Garden (WBiG), Jayawijaya, Papua

SRI WIDAWATI♥, SULIASIH, H.J.D. LATUPAPUA, ARWAN SUGIHARTO Microbiology Division, Research Center of Biology, Indonesian Institute of Sciences, Bogor 16002

Received: 30 November 2004. Accepted: 26 Desember 2004.

ABSTRACT

The isolation, identification and population of soil microbes from rizosphere at WBiG had been done in the Soil Laboratories Microbiology, Microbiology Division, Research Center of Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor. The soil was collected randomly from 16 sites in WBiG, and taken from 0-15 cm depth. Isolates of microbes were identified by Bergeys manual method for bacteria; Ellis method for fungi, and the morphology of isolate method for Actinomycetes. The population of microbes was estimated by plate count method. The result of isolation, identification and population soil microbes from 16 samples in WBiG showed that 20 isolates of bacteria (Azotobacter sp., Accinetobacter sp. , Bacillus sp., Citrobacter sp., Flavobacterium sp., Klebsiella sp., Nitrosomonas sp., Pseudomonas sp., Rhizobium sp., Thiobacillus sp., Azospirillum sp., Azotobacter chrococcum, Bacillus panthothenticus, Chromobacterium violaceum, C.lividum, Escherrrichia coli, Flavobacterium breve, Klebsiella aerogenes, Spaerotillus natans, and Staphylococcus epidermidis); nine isolates of fungi (Aspergillus niger, Bisporomyces, Monilia sp., Cephalospharium sp., Verticillum sp., Giocladium sp., Penicillium sp., Nelicocephalum sp., and Cuninghamella sp.), and seven isolates of Actinomycetes (Streptomyces, Streptosporangium, Nocardia, Thermomonospora, Thermoactinomyces, Micromonospora, Mycobacterium). The population of Bacillus (108-109), Rhizobium (106-107), Azospirillum (106-107), and Thiobacillus (104 -109 ) were founded all of soil samples.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: soil microbes, Wamena Biological Garden (WbiG).

INTRODUCTION Biodiversity of soil microbes has been regarded as

human and vegetation life resource, especially the one connected with biological and environment resources. This can be achieved by developing a conservation system of ex-situ, like the one being pioneered by Indonesian Institute of Sciences (LIPI) in Kabupaten Jayawijaya called Wamena Biological Garden (WBiG). This is the first conservation area of ex-situ mountain biota in the Eastern part of Indonesia. It is located on Susu mountain and its surround-ings with the height of l595-1670 m above sea level. The temperature is 15-26°C with a rainfall of 1500-1900 mm. It has a wet tropical climate with vague difference between rainy and dry seasons (SW, 2004, personal observation).

WBiG is hilly with steep and gradual slopes having various typical soil colors which make it possible for the diversity of microbes, especially in rhizosphere area. WBiG environment is still virgin and has not been touched by the cruelty of chemical fertilizers and pesticides, and is an advantage and gives a positive impact to vegetation and indigenous microbes. Especially photosphere area, it is rich in biological activities as microbes feed on the carbon compounds exuded by root. Plants may exude compounds that attack certain species to the rhizosphere that protect the root from diseases (SW, 2004, personal observation).

Soil is a unity of subsistence that includes the varieties

of microbes, because microbes community is one of the important components of soil, therefore, the microbial activity and species compositions are generally influenced by the physical characteristic and soil chemical properties, climate and vegetation (Jha et al., 1992).

Soil microbes are one of biota communities, which are very interesting to be studied in order to find out their existence and uses. So, soil microbes have an important role to the subsistence on earth, because it has the role on biological and chemical cycling among the flora, fauna, and life of microbes itself. Nevertheless, not every soil microbe is suitable and compatible with the habitat and its host, and it is well known that they can perform symbiotic and com-mensalisms. Each type of microbes fills as a unique niche and plays a different role in nutrients cycling and soil structure.

Microorganism living in the soil can be grouped into bacteria, fungi, actinomycetes, algae, and protozoa (Rao, 1994). Some groups of soil microbes are useful as biofer-tilizer and biocontrol. They were Klebsiella, Nitrosomonas, Thiobacillus, Lactobacillus, Azotobacter, Azospirillum, Rhizobium, Bacillus, Pseudomonas, and Frankia (one of actinomycetes group). The other actinomycetes group is Streptomyces. It is potential as a source of various bioactive compounds used in pharmaceutical industry, agriculture and for other purpose. These Streptomyces were found to have high biodiversity and can be used as source of germ plasm. The work was also done to find candidate of bio-pesticide from Streptomyces that can be applied together with Rhizobium and phosphate solubilizing bacteria as bio-fertilizer (Lestari et al., 2002). Thus the soil microbes perform a wide range of function in the ecosystem.

The aim of the research is to know the biodiversity of soil microbes from rhizosphere at WBiG.

Page 13: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

WIDAWATI et al. – Soil microbes at Wamena Biological Garden 7

MATERIALS AND METHODS The soil was collected randomly (sampling square

method/stratification) from 16 sites from rhizosphere area at WBiG such as Susu mountain, Dapuk hill, Dapuk valley and near Dapuk river area. Soil sample number 1 to 11 was collected from Susu mountain area. This area was dominated by Imperata cylindrica. Whereas number 12 to 16 were collected from Koliken valley, Koliken hill and surround of Dapuk river. This area was dominated by I. cylindrica and seno (Castanopsis accuminattisima). The soil sample was taken from rhizosphere (0-15 cm depth). There are many different color types, physical element, and soil chemistry. It founded 11 type soil samples from WBiG (Table 1. and 2.).

One kg soil sample from 16 sites at WBiG was kept in black plastic bags (still in fresh condition) and in the Soil Microbiological Laboratory, Microbiology Division, Research Center of Biology, Indonesian Institute of Sciences, Bogor these samples were air dried before the analysis of physic element and soil chemistry. The identification of microbes population used fresh soil. The population of microbes was determined by serial dilution plate count method (Thompson, 1989; Ravina et al., 1993). Isolation, identification, and the count of population of microbes used a selective medium, i.e. Pikovskaya, tauge agar, mannitol ashby, okon, yema congo red, DPY, PY, Na, LB, TA, etc. Identification of soil microbes was estimated by morpho-logy, physiological test, microscopic and chemistry test.

Isolation, identification and population procedure of bacteria

Ten grams fresh soil was suspended into 90 ml distilled water solution. Mix on wrish action shaker for one hour to provide mechanical desegregation of bacterial cell. Subsequent dilutions were prepared by manually shaking the suspension for 10 seconds to resuspend the soil. Then transfer 1 ml an aliquot with a sterile pipette to 9 ml sterile distilled water in a test tube. This suspension was shacked manually for 10 seconds, and subsequent serial dilutions were prepared as method as noted above 10-1 to 10-7. Spread 0.2 ml of soil suspension from each serial dilution onto isolation selective agar medium (Pikovskaya, okon, manitol ashby, yema congo red, DPY, and PY). The number of bacteria colony was estimated after 3-7 days of incubation at 28oC by plate count method. Pick up the colonies to the same isolation medium, 8 strains per petridish. Select and transfer the different colonies to nutrient agar or LB (culture collection medium) or selective agar medium. The isolates of bacteria were identified by using morphological characteristic as observation of cell shape by monstaining (coccus, rod, short rod/filamentous and spore formation), gram, stain, observation of living cell (motility, spore formation, and single, paired or chain) (Krieg and Holt, 1984).

Isolation, identification, and population procedure of fungi

Ten grams soil sample was suspended onto 90 ml of distilled water (in erlenmeyer glass), than mix on writh action shaker for one hour at 120 rpm. The soil extract was diluted from 10-1 to 10-7 . Spread 0.2 ml soil sample suspension from each serial dilution onto isolation TA medium with antibiotic. It was inoculated at 28oC for 3 days. Pick up the colonies to the same isolation medium. Select and transfer the different

colonies to be identified by Charmichael et al. (1980), Domasch and Gans (1980), and Ellis (1993).

Isolation, identification, and population procedure of actinomycetes

Soil samples were dried at room temperature for 3 to 5 days. Then they were heated at 90 to 110oC for 10 to 60 minutes. The soil samples were spreaded onto isolation agar medium. They were incubated at 28oC for 7 to 14 days. Pick up the colonies to the same agar medium (8 colonies/petridish). The isolates were selected and transferred colonies to humic acid containing medium and YS medium. The isolation of medium for actinomycetes was humic acid-Vitamin agar medium: Humic acid 0.3 g, Na2HPO4 0.5 g; KCl 1.7 g, MgSO4.7H2O 0.05 g, FeSO4 7H2O 0.01 g, CaCO3 0.02g, B-Vitamins solution 2 ml, 4N-NaOH 0.6 ml, agar 18 g, pH 7.2. Humic acid-gellan gum medium: Humic acid 0.3 g, MOPS 1 g, CaCL2 0.44 g, 4 N-NaOH 0.6 ml, trace element solution 0.5 ml, gellan gum 7 g/liter, pH 7.0. Identification of actinomycetes isolates were used morphological characteristic i.e. observation of colony (growth, color of aerial and substrate mycelium, and diffusible pigment), on ISP No. 2, ISP No. 3, ISP No. 4, and YS agar media in petridish, microscopic morphology (spore, sporangium, aerial mycelium and substrate mycelium) (Miyadoh, 2003).

RESULT AND DISCUSSION

The typical characteristics of soil and vegetation at WBiG influence soil microbes diversity, such as bacteria, fungi and actinomycetes population (table 3, 4, and 5). In an aerobe condition, bacteria dominated the area and carried out some microbiological activities in the soil because fungi and actinomycetes could not grow well without oxygen (Rao, 1994).

Physical and chemical analyses show that, in general, the soil condition at WBiG is acid with pH range of 4 to 6. The soil texture is sand clay. According to Rao (1994) the soil texture depended on the percentage of sand, dust, and clay. In the case of sand clay or dust clay, its particles came together to form an aggregate. The stability of an aggregate depended on both the content of organic matter in each type of the soil (Table 1.) and the nature condition of microbes which tied the soil particles to become one. Soil texture, therefore, is important for microbes and vegetation to survive in their habitat.

Table 1. Soil physic analysis from 11 sites in Wamena Biological Garden.

Soil Texture (%) Soil samples Soil color Vegetation Sand Clay Dust1 Black Imperata cylindrica 18.03 38.06 43.012 Brown Imperata cylindrica 15.65 35.74 48.613 Gray Imperata cylindrica 10.89 38.82 49.284 Red Imperata cylindrica 11.51 65.75 22.695 Brown reddish Imperata cylindrica 16.36 43.45 40.196 Yellow Imperata cylindrica 17.51 41.42 41.067 Lime particle Imperata cylindrica 35.30 16.06 45.618 Black Pittosporum ramiflorum 5.79 51.37 42.849 Brown Vaccinium varingiaefolium 16.73 28.01 55.2610 Brown Castanopsis accuminattisima 20.17 18.56 61.2511 Dark brown Grevillea papuana 7.38 52.08 40.54

Page 14: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 6-11 8

Table 2. Soil chemistry analysis from 11 sites of Wamena Biological Garden. Soil samples

N (%)

P (ppm)

K (me/100g)

C (%) C/N Ca

(Me/100g) PH

1 0.25 (m)

2.1 (l)

0.06 (v.l)

2.76 (m)

11.04 (m)

32.90 (v.h)

5.26 (acid)

2 0.23 (m)

2.7 (l)

0.10 (l)

2.47 (m)

10.74 (l)

19.23 (h)

4.25 (acid)

3 0.04 (v.l)

1.6 (v.l)

0.13 (l)

0.36 (v.l)

9.00 (l)

9.73 (m)

4.60 (acid)

4 0.06 (v.l)

0.3 (v.l)

0.07 (v.l)

0.62 (v.l)

10.33 (l)

9.55 (m)

6.05 (acid)

5 0.06 (v.l)

0.2 (v.l)

0.07 (v.l)

0.69 (v.l)

11.50 (m)

8.88 (m)

5.00 (acid)

6 0.05 (v.l)

0.4 (v.l)

0.05 (v.l)

0.51 (l)

10.20 (l)

9.34 (m)

5.25 (acid)

7 0.03 (v.l)

0.1 (v.l)

0.05 (v.l)

0.36 (v.l)

12.00 (m)

9.03 (m)

4.65 (acid)

8 0.21 (m)

4.8 (l)

0.53 (m)

2.54 (m)

12.10 (m)

26.00 (v.h)

5.30 (acid)

9 0.23 (m)

3.3 (l)

0.26 (l)

3.85 (m)

16.74 (h)

8.82 (m)

4.90 (acid)

10 0.22 (m)

1.6 (v.l)

0.15 (l)

3.12 (h)

14.48 (m)

9.34 (m)

4.35 (acid)

11 0.30 (m)

3.9 (l)

0.36 (l)

3.05 (h)

10.17 (l)

19.23 (h)

4.80 (acid)

Annotation: v.l = very low; l = low; m = moderate; h = high; v.h = very high

The acidity level in soil sample No. 4 with I. cylindrica in

it approached normal pH (6.05) followed by element contents of N, P, K, C, C/N ratio with a low to moderate Ca content, and also did the other soil samples. This shows that most WBiG area is not fertile. This condition occurs because the agriculture pattern of the people around WBiG is still very simple and inherently dependent on natural soil fertility, because rotation system has been being practiced continuously for a long time, it decreases the soil fertility. Another possibility is that the people of Wamena never use chemical fertilizers.

It turned out that the physical and chemical conditions of the soil did not prevent the existence of microbes in the rhizosphere (Table 3, 4, 5). Those tables illustrate the results of microbes identification which go as follows: Twenty isolates of bacteria (genus and species), nine isolates of fungi (genus and species) and seven isolates of actinomycetes (genus). All these isolates were gotten from soil samples taken from the depth of 0-15 cm under rhizosphere plants. Thus, soil acidity, soil fertility, soil texture, vegetation types and perhaps the elevation of area and soil colors (Figure 1.) can influence the variety and population of microbes in a rhizosphere. Widawati and Suliasih (2001) noted, the number of microbes at Halimun mountain was influenced by the different vegetation type, soil pH, and the elevation of area. The composition of population and soil microbes activity were influenced by the different climate and vegetation (Jha et al., 1992). On the other hand the activity of microorganisms is constantly changing with temperature, moisture, pH, food supply and other environmental conditions. So, different species prefer different condition. So, microbes are generally assumed that of the major microbial group’s soil, fungi are tolerant of acidity, whereas most bacteria and actinomycetes are relative in tolerant (Gunarto, 2000).

The microbes population in the out area of rhizosphere was not as numerous as that in the rhizosphere. This can be seen in soil sample No. 7 (Table3) which contained

limestone. There might have been no association connection between microbes and local vegetation that the existence of microbes in the soil is not good. When, an association occurs between vegetation and microbes, plant root exudates macro and micro element to release it into the soil rhizosphere to create a new environment (niche) for the growth of microorganism (Setiadi, 1989). Looking at the number of population in the sample taking area Nos. 1, 4, 6, 11, 12, and 15 it was supposed that association connection between vegetation and microbes had taken place. Therefore, each type of microbe filled a special niche and played a different role in the nutrient cycle.

Microbes which were potential as bio-fertilizers were often found in rhizosphere. This is seen from the identification results. Several microbes like Azospirillum, Azotobacter, Pseudomonas, Aspergillus, and Streptomyces are potential to become bio-fertilizers or bio-controls. It is possible, because rhizosphere is rich with biological activity as microbes feed on the carbon compounds exuded by root, while organic and inorganic materials released by the plants into the areas (in the form of exudates), will be useful for life continuity of soil microbes (Setiadi, 1989) Bacteria

Bacteria are the most dominant microorganisms in the soil. They may, perhaps, cover half of the biomass in the soil. Like Table 3., all samples, which were analyzed, contained bacteria of different population number. In acid soil type with low to moderate nutrient content, bacteria population spread unevenly. The result of identification of 11 soil types in 16 rhizosphere locations produced 20 genus (including 10 species). Azospirillum sp., Bacillus sp., Pseudomonas sp., Rhizobium sp., Thiobacillus sp., and Spaerotillus natans dominated the area. These bacteria are generally found in the soil regardless of the soil condition (Rao, 1994). In the identification results of soil sample number four and fifteen, a bacterium rarely found in the soil was identified, i.e. Escherichia coli. Rao proposed (1994) that E. coli was rarely found in the soil, except as a contaminant or a waste. This happens in the land of Wamena owing to the fact that natives live a very simple life. It is probable that they empty the bowels anywhere.

Bacteria can be found in any type of soil but their population is varied because of the influence of soil texture and organic substrate in the soil. Bacteria’s ability to survive in favorable ecosystem is due to their character to form spores which have thick strong sheathes to make it easier for them to survive in a savage environment. Bacteria can also stand extreme climate condition although temperature, humidity, pH, agriculture practice, fertilizers, pesticide, and the addition of organic matter can influence their population (Rao, 1994).

Fungi

The number of fungi in the soil is fewer than those of bacteria. All fungi have mycelium thread, which are organized from individual hypha. So, a fungi colony can dominate all soil types (RAO, 1994).

Fungi identification results of 11 soil types from 16 sites at WBiG produced nine genus, including one species (Aspergillus niger) which dominated several places at WBiG. This species is a fungi colony which can be found in many soil types because it has saprophytic character whose spores can be so easily distributed by air that genus can be present everywhere (in the fields, in the prairie, in the forest soil and in the degraded land, such as an ex-gold mine).

Page 15: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

WIDAWATI et al. – Soil microbes at Wamena Biological Garden 9

Species domination is also determined by agriculture activities including crop plantation (practiced in Wamena) and the use of chemical fertilizers or pesticides (not practiced in Wamena). So, it can be said that fungi is one of the most important microbes in the soil ecosystem dynamics, because they function in the decomposition, mineralization and organize the migration of soil elements to plant root (Christensen, 1984 cit Suharna, 1999).

The results of fungi population count have the same total average (no obvious difference) (Table 4.). Thus, although a fungi colony is microbes which is more resistant to soil acidity, their live hood still depends on the availability of organic materials (Soepardi, 1978) and is much influenced by climate, especially soil moisture content (Sutejo et al., 1991).

Figure 2. One of bacteria type (holozone of phosphate solubilizing bacteria).

Figure 3. One of fungi type (holozone of phosphate solubilizing fungi).

Figure 4. The one of actinomycetes type

Table 3. Identification and Population of soil bacteria from 16 sites at Wamena Biological Garden.

The number of soil samples 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Microbes identified from soil The number of bacteria (cell/gram soil)

Azospirillum sp. 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ Azotobacter chrococcum 2+ 2+ 1+ 1+ 1+ 1+ A. paspalii 2+ 2+ 3+ 2+ 1+ 1+ 3+ 1+ Acinetobacter sp. 1+ Bacillus sp. 3+ 3+ 2+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 2+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ 3+ B.panthothenticus 3+ 2+ 3+ Citrobacter sp. 3+ 2+ 2+ 3+ 1+ Chromobacterium violaceum 3+ 2+ 1+ 2+ 1+ C.lividum 2+ 1+ 3+ Escherichia coli 1+ 1+ Flavobacterium sp. 1+ 1+ 1+ F. breve 2+ Klebsiella sp. 1+ 3+ 2+ 1+ K.aerogenes 1+ 2+ Nitrosomonas sp. 3+ 1+ 1+ 3+ 1+ 3+ 3+ 1+ Pseudomonas sp. 2+ 3+ Rhizospbium sp. 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ Spaerotillus natans 2+ 3+ 2+ 2+ 2+ 1+ 3+ + 3+ 3+ 1+ 3+ 1+ Staphylococcus epidermidis 2+ 1+ 3+ `1+ 2+ 3+ 1+ 3+ 1+ 1+ 1+ 1+ Thiobacillus sp. 2+ 1+ 1+ 3+ 1+ 1+ 1+ 1+ 1+ 2+ 2+ 1+ 2+ 1+ 1+ 1+ ∑ all bacteria type 11 9 7 11 8 12 6 9 7 8 11 10 6 8 12 7 Annotation: 1+ = low (104-105), 2+ = moderate (106), 3+ = high (107-108). The vegetation of soil sample No.1 to No.11, same as Table 1. The vegetation of soil sample No.12 to No 16: Imperata cylindrica, Imperata cylindrica, Ipomoea batatas, Castanopsis accuminattisima and Castanopsis accuminattisima.

Figure 1. Soil color from 11 sites at Wamena Biological Garden.

Page 16: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 6-11 10

Table 4. Identification and population of fungi from 16 sites at Wamena Biological Garden.

Soil samples Vegetation Species Pop.

1 Imperata cylindrica Aspergillus niger + 2 Imperata cylindrica Bisporomyces sp.. + 3 Imperata cylindrica Monilia sp. + 4 Imperata cylindrica Aspergillus niger + 5 Imperata cylindrica Aspergillus niger + 6 Imperata cylindrica Cephalospharium sp. + 7 Imperata cylindrica Aspergillus niger + 8 Pittosporum ramiflorum Aspergillus niger + 9 Vaccinium varingiaefolium Aspergillus niger + 10 Castanopsis accuminattisima Verticillum sp. + 11 Grevillea papuana Gliocladium sp. + 12 Imperata cylindrica Penicillium sp. + 13 Imperata cylindrica Penicillium type A + 14 Ipomoea batatas Penicillium type B + 15 Castanopsis accuminattisima. Nelicocephalum sp. + 16 Castanopsis accuminattisima. Cuninghamelle sp. + Table 5. Identification and population of actinomycetes from 16 sites at Wamena Biological Garden.

Soil samples Vegetation Genus Pop.

1 Imperata cylindrica Streptomyces + 2 Imperata cylindrica Streptomyces + 3 Imperata cylindrica Streptosporangium + 4 Imperata cylindrica Streptomyces + 5 Imperata cylindrica Nocardia + 6 Imperata cylindrica Nocardia + 7 Imperata cylindrica Streptomyces + 8 Pittosporum ramiflorum Micromonospora + 9 Vaccinium varingiaefolium Streptomyces + 10 Castanopsis accuminattisima Streptomyces + 11 Grevillea papuana Micromonospora + 12 Imperata cylindrica Thermoactinomyces + 13 Imperata cylindrica Streptomyces + 14 Ipomoea batatas Streptomyces + 15 Castanopsis accuminattisima. Thermomonospora + 16 Castanopsis accuminattisima. Mycobacterium +

In the acid soil area, dominated by Myristica cylindrica plants, eight fungi isolates were found and were dominated by A. niger. That species and other genus like Cuninghamella and Penicillium have a wide distribution, especially in the tropic and subtropics areas (Domsch and Gams, 1980). Then Sutedja (1991) stated that even though

fungi were resistant to soil acidity, they were not resistant to drought and poor nutrition in the soil. It was the same with WBiG soil condition. The soil is so acid with low nutrients content that the number of fungi found was fewer than those of other microbes like bacteria Rao (1994) said that all environment factors which influenced bacteria and actinomycetes migration also influenced the migration of fungi in the soil. Actinomycetes

Actinomycetes (order Actinomycetales) are a group of prokaryotic organisms belonging to gram-positive bacteria. Many of them show a branched filamentous growth, and generally form spores and some actinomycetes even form sporangia and zoospores. It mainly inhibits the soil and plays an important ecological role in recycling substances in the natural world (Miyadoh, 2003). Identification produced 6 genus from 16 soil samples, i.e. Mycobacterium, Nocardia, Micromonospora, Thermoactinomyces Streptosporangium, Actinomycetes, Thermonospora, and Streptomyces (Table 5. and 6.). Considering actinomycetes in the soil was quite plentiful, it was surprising that it was lack of the number of genus varieties. It is possible that the WBiG’s soil ecosystem is not good enough for actinomycetes resulting from acid pH and low soil nutrient. Most actinomycetes are not tolerant to soil acidity.

The population of actinomycetes will decrease at pH 5.0 (the suitable range is 6.5 to 8.0). Another factor is the method of taking the sample. It turned that the soil sample for identification was different from the soil sample for bacteria and fungi identification (0-15 cm depth). According to RAO (1994), the deeper the soil, the higher was the percentage of actinomycetes in the total microbes population. The increase of the discomposed organic matter would also increase the number of actinomycetes.

The identified actinomycetes were common genus, for example Streptomyces (almost 70%), Nocardia and Micromonospora (Table 5a), while Streptomyces genus was often found in the heap of garbage with the temperatures of 55°C to 65°C. Streptomyces species are very common in soil and responsible for the decomposition and degradation of natural and synthetic organic. Anonymous (2000) cit Sembiring (2003), note the genus of Streptomyces accommodates an unusually high degree of natural diversity with more than 500 validly described species. Nevertheless, a steady flow of new Streptomyces species are being described to accommodate either organisms isolated from diverse habitat.

Table 6. Representative characteristics of actinomycetes.

Morphology Genus Isolates No. Vegetative cell Aerial mycelium Sporangium Spore Motility Family Corybacteriaceae Mycobacterium 16 rod - - - - Nocardia 5 and 6 mycelia, fr + - long - Family Micromonosporaceae Micromonospora 8 and 11 mycelia - - - Family Streptosporangiaceae Streptosporangium 3 mycelia + + multi - Family Thermomonosporaceae Thermomonospora 15 mycelia + - 1 - Family Streptomycetaceae Streptomyces 1,2,4, 7,9,10, 13, 14 mycelia + - long - Others Thermoactinomyces 12 mycelia + - 1 -

Page 17: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

WIDAWATI et al. – Soil microbes at Wamena Biological Garden 11

CONCLUSIONS

The result of isolation, identification, and population soil

microbes in rhizosphere from 16 samples at WBiG showed that 20 isolates of bacteria (Acinetobacter sp., Azospirillum sp., Azotobacter paspalii, A. chrococcum, Bacillus sp., and Bacillus panthothenticus Chromobacterium lividum, C. violaceum, Citrobacter sp., Escherichia coli, Flavobacteri-um sp., Flavobacterium breve, Klebsiella sp., K. aerogenes, Nitrosomonas sp., Pseudomonas sp., Rhizobium sp., Spae-rotillus natans, Stapilococcus epidermidis, and Thiobacillus sp.); nine isolates of fungi (Aspergillus niger, Bisporomyces sp., Cephalospharium sp., Cuninghamella sp., Giocladium sp., Monilia sp., Nelicocephalum sp., Penicillium sp., and Verticillum sp.); and seven isolates of actinomycetes (Micromonospora, Mycobacterium, Nocardia, Streptomyces, Streptosporangium, Thermomonospora, and Thermoactinomyces). The population of Azospirillum (106-

107), Bacillus (108-109), Rhizobium (106-107), Thiobacillus (104-107), Aspergillus niger (104-105), and Streptomyces (104 -105) were founded all of soil samples.

REFERENCES

Charmichael, J.W., W.B. Kendrick, I.L. Conners, and L. Sigler. 1980. Genera of Hyphomycetes. Edmonton, Alberta: The University of Alberta Press.

Domsch, K.H. and W. Gams. 1980. Compedium of Soil Fungi. Vol. 1. London: Academic Press.

Ellis, M.B. 1993. Dematiaceous hyphomycetes. Surrey-London: IMI, Bakeham Lane, Egham, Surrey TW20 9TY, UK.

Gunarto, I., 2000. Mikroba rhizosfer: potensi dan manfaatnya. Jurnal Litbang Pertanian 19 (2): 1-20.

Jha, D.K., G.D. Sharma, and R.R Mishara. 1992. Ecology of soil microflora and mycorrhizal symbionts. Biology Fertility Soils 12: 272-278.

Krieg, N.R. and J.G. Holt.1984. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. Vol.1. Baltimore: Williams and Wilkins.

Lestari, Y. 2003. The potential of tropical streptomyces as source of new antibacterial compounds. Workshop on Diversity of Actinomycetes for Natural Conservation and Human Welfare, Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi, LIPI, Bogor, Indonesia, 1 April 2003.

Miyadoh, S. 2003. Identification Procedure for Bacteria and Actinomycetes. Diktat Training. Bogor: JICA kerjasama dengan Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi, LIPI.

Rao, N.S. 1994. Mikroorganism Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Ravina, M.D., M.J. Acea, T. Carballas. 1992. Seasonal fluctuations in micobial populations and available nutrients in forest soil. Biology Fertility Soils 16: 198-204.

Sembiring, L. 2003. Streptomyces diversity associated with the rhizozphere of tropical legume, Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. Workshop on Diversity of Actinomycetes for Natural Conservation and Human Welfare, Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi, LIPI, Bogor, Indonesia, 1 April 2003.

Setiadi. Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganism dalam Kehutanan. Bogor: PAU Bioteknologi IPB.

Soepardi, G.1978. Sifat dan Ciri Tanah 2. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Suharna, N. 1999. Pengaruh perendaman di dalam air sebelum pemindahan

terhadap pemulihan biak-biak Monascus spp, yang mengering. Jurnal Mikrobiologi Tropika 2 (2): 74-80.

Sutedja, M.M., A.G. Kartasapoetra, dan R.D.S. Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Bandung: Rineka Cipta.

Thompson, J.P. 1989. Counting viable Azotobacter chroococcum in vertisols. Plant and Soil 117: 9-16.

Widawati, S. and Suliasih. 2001. The population of nitrogen fixing bacteria and phosphate solubilizing bacteria in the rhizosphere from Gunung Halimun National Park. Edisi khusus Biodiversitas Taman Nasional Gunung Halimun. Berita Biologi 5 (6): 691-695.

Page 18: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 12-16

♥ Alamat korespondensi:

Jl. Sekip Utara Yogyakarta 55281 Tel. +62-274-580839, 543631, 902272. Fax. +62-274-580839. e-mail: [email protected]

Hubungan Kekerabatan Antar Spesies Piper Berdasarkan Sifat Morfologi dan Minyak Atsiri Daun di Yogyakarta

Relationship of species Piper based on morphological and leaf essential oils

characters in Yogyakarta

PURNOMO♥, RANI ASMARAYANI Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 55281.

Diterima: 4 Juli 2004. Disetujui: 31 September 2004.

ABSTRACT

Some of Piper species were used for traditional medicines and condiments. The leaf essential oil (terpenoid) of those Piper species usually were used as a main component in traditional medicine. The taxonomycal study was aimed to determined Piper species relationships based on morphological and leaf essential oils characters. The plants were obtained by exploring this province, and samples were collected for identification and leaf essential oils isolation purposes. Species identification were carried out based on identification key (Backer and Bakhuizen v.d. Brink, 1965; Heyne, 1987; Shaorong, 1982). The isolation of leaf essential oils was carried out using Stahl destillation method, and their composition were interpreted with liquid gas chromatography, using caryophyllene and α-pinene as a standard of essential oils component. Dendrogram, which showed phenetic relationships among those species, were obtained by hierarchical cluster analysis method. Results of the research showed that there were 8 species found as cultivated plants in Yogyakarta, which were P. miniatum Bl., P. betle L., P. recurvum Bl., P. aduncum L., P. nigrum L., P. cubeba L.f., P. retrofractum Vahl., and P. sarmentosum Roxb. Ex Hunter. Relationship between species of Piper based on morphological character showed that P. aduncum and P. sarmentosum at the same cluster on 69.2% similarity level, and 40.4% similarity level to the other clusters. Relationsips between species of Piper based on leaf essential oils character resulted the difference cluster among the species, P. retrofractum separated from the other species at 45.5% similarity level, P. aduncum and P. cubeba indicated the higest similarity level (81.5%).

© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: relationship, Piper, morphology, leaf essential oils, taxonomic characters.

PENDAHULUAN Di daerah tropis dan subtropis terdapat hampir 3000

spesies anggota genus Piper (Piperaceae), yang tersebar mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Dari jumlah tersebut, 108 spesies diantaranya diketahui berasal dari anak benua India (Steenis, 1972; Rostiana et al., 1992; Oyen dan Dung, 1999). Di Pulau Jawa, secara taksonomi terdapat 23 spesies Piper, yaitu P. baccatum Bl., P. recurvum Bl., P. molissimum Bl., P. muricatum Bl., P. polystachyum (Miq.) DC., P. cubeba L.f., P.nigrum L., P. quinque-angulatum Miq., P. bantamense Bl., P. aduncum L., P. hispidum Swart., P. caninum Bl., P. miniatum Bl., P. majusculum Bl., P. retrofractum Vahl., P. sarmen-tosum Roxb. Ex Hunter, P. abbreviatum Opiz., P. sulcatum Bl., P. blumei (Miq.) Back., P. cilibrachteum Opiz., P. arcuatum Bl., P. acre Bl., dan P. betle L. (Backer dan Bakhuizen v.d. Brink, 1965). Di wilayah konservasi lereng selatan Gunung Merapi ditemukan 8 spesies anggota Piperaceae yaitu P. aduncum L., P. miniatum Bl., P. rindu C.DC, P. ungaramense (Miq.) C.DC., Piper sp., Peperomia laevifolia (Bl.) Miq., P. tomentosa (Vahl.) A. Dietr., dan Potho-morphe subpeltata (Willd.) Miq. (Purnomo, 2000).

Spesies Piper dimanfaatkan oleh manusia untuk bahan ramuan obat tradisional dan rempah-rempah dengan nama perdagangan yang beranekaragam. Dua puluh dua (22) spesies Piper yang terdaftar dalam bahan ramuan obat dan rempah dunia, antara lain P. aduncum L., P. attenuatum Miq., P. baccatum Bl., P. bantamense Bl., P. betle L., P. crassipes Korth., P. caducibrachteatum C.DC., P. caninum Bl., P. cubeba L.f., P. decumanum L., P. elongatum Vahl., P. fragile Benth., P. guinense Schum.& Thon., P. lanatum Roxb., P. lolot C.DC., P. longifolium Ruiz & Pavon, P. longum L., P. methysticum Forst, P. nigrum L., P. retrofractum Vahl., P. saigonense C.DC., dan P. sarmentosum Roxb. (Heyne, 1987; Perry dan Metzger, 1980; Oyen dan Dung, 1999).

Konsep spesies dalam klasifikasi dengan bukti morfologi, dapat didukung oleh bukti fitokimia, yaitu senyawa metabolit sekunder termasuk terpenoid. Penggunaan sifat kimia untuk memecahkan masalah taksonomi banyak terbukti, tetapi pada beberapa kasus bukti kimia tidak sejalan dengan bukti morfologi sehingga menghasilkan sistematika yang berbeda (Davis dan Heywood, 1973; Singh, 1999). Faktor edafik dan klimatik dapat berpengaruh terhadap kuantitas minyak atsiri setiap atau suatu spesies (Sutarjadi, 1980; Whiffin, 1992), demikian pula untuk spesies Piper di wilayah Yogyakarta.

Karakter kimia spesies Piper yang cukup menonjol adalah adanya senyawa minyak atsiri (terpenoid) di daun dan buahnya, sehingga banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat, rempah-rempah, dan bumbu dapur (Oyen dan

Page 19: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

PURNOMO dan ASMARAYANI –Kekerabatan Piper di Yogyakarta 13

Dung, 1999). Fakta menunjukan bahwa bau remasan dari berbagai spesies Piper memiliki ciri khas masing-masing. Jenis senyawa (kualitatif) minyak atsiri (metabolt sekunder) dapat digunakan sebagai bukti dalam klasifikasi (Jones dan Luchsinger, 1986; Hsiao dan Lin, 1995; Wolff et al., 1997).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari spesies Piper dan hubungan kekerabatannya, berdasarkan bukti morfologi dan minyak atsiri di wilayah Yogyakarta.

BAHAN DAN METODE Inventarisasi contoh tumbuhan dilakukan berdasarkan

pertimbangan kelengkapan spesimen untuk keperluan identifikasi spesies, untuk kemudian diperlakukan sebagai herbarium kering. Identifikasi spesies Piper dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi dari pustaka-pustaka: Backer dan Bakhuizen v.d. Brink, 1965; Steenis, 1972; Heyne, 1987; Shaorong, 1982; Katzer,1998, 2001a, 2001b; dan Anonim, 2001. Sebanyak 500 gram sampel daun segar diambil dari setiap spesies dari habitat yang berbeda dengan tiga ulangan. Isolasi minyak atsiri daun dilakukan dengan metoda destilasi Stahl dan dianalisis dengan kromatografi gas cair, dengan senyawa minyak atsiri standard yaitu caryophyllene dan α-pinene (Guenter, 1952; Harborne, 1987; Gardner et al., 2002). Skema hubungan kekerabatan fenetik dibuat berdasarkan koefisien asosiasi. Data morfologi meliputi 55 sifat yang dibandingkan yaitu perawakan, akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji, serta sifat fitokimia, yaitu waktu retensi setiap puncak pada kromatogram. Data dianalisis secara deskriptif. Selanjutnya dari data kuantitatif ditentukan hubungan kekerabatan fenetik dengan metoda pengelompokan bertingkat jarak antar spesies (pasangan OTUs ditentukan berdasarkan koefisien asosiasi) (Sokal dan Sneath, 1963), dan analisis taksonomi numerik dilakukan dengan program SPSS versi 11.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Spesies Piper Dari 17 sampel Piper yang didapatkan di Yogyakarta,

dapat diidentifikasi dalam 8 spesies, yaitu: P. aduncum, P. sarmentosum, P. cubeba, P. retrofractum, P. nigrum, P. recurvum, P. miniatum, dan P. betle. Untuk pengenalan setiap spesies Piper disajikan kunci identifikasi buatan tipe paralel di bawah ini:

Kunci Identifikasi Spesies Piper dari Yogyakarta:

1. a. Batang tegak, memiliki geragih ……...........………………… 2. b. Batang memanjat, memiliki akar pelekat ………..…………. 3. 2. a. Bunga majemuk bulir, bulir tegak, sepertiga sampai

setengah bagian atas membengkok ke bawah, warna kuning pucat ......................................…..... P. aduncum L.

b. Bunga majemuk untai, untai tegak atau menjulur berwarna putih ……….. P. sarmentosum Roxb. Ex Hunter

3. a. Arah tumbuh bunga majemuk tegak-menjulur .......……… 4. b. Arah tumbuh bunga majemuk menggantung-bengkok ke

bawah ...........…………………………………………………. 5. 4. a. Buah apokarp tunggal, bertangkai dengan ujung

membulat, permukaan tangkai berbulu, warna jingga kotor ……………………………………………..… P. cubeba L.f.

b. Buah apokarp majemuk, permukaan gundul, warna merah-merah menyala ......………… P. retrofractum Vahl.

5. a. Bunga majemuk bulir ………………………..... P. nigrum L. b. Bunga majemuk untai ......……………………………………. 6. 6. a. Penampang melintang batang pipih beralur … ........………

.................................................................. P. recurvum Bl. b. Penampang batang bulat ........………………………………. 7. 7. a. Seluruh tulang cabang muncul pada pangkal ibu tulang

daun .............…….............………………… P. miniatum Bl. b. Seluruh tulang cabang berpangkal pada 1/3-½ panjang

helaian daun .......………...........………….......... P. betle L.

Gambar 1. Hubungan kekerabatan antar spesies Piper di Yogyakarta berdasarkan sifat morfologi.

P. betle

P. cubeba

P. aduncum

P. recurvum

P. miristum

P. nigrum

P. sarmentosum

P. retrofractum

71,2%

65,4%

60,6%

63,5%

69,2%

40,4%

70% 80% 60% 50% 40% 30%

71,2%

Page 20: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 12-16 14

Gambar 2. Hubungan kekerabatan antar spesies Piper di Yogyakarta berdasarkan sifat minyak atsiri daun.

Hubungan kekerabatan berdasarkan sifat morfologi

Analisis kelompok berdasarkan sifat morfologi dari spesies Piper di atas, menunjukkan skema hubungan kekerabatan fenetik dalam bentuk dendrogram (Gambar 1.). Dendrogram menunjukkan bahwa antar spesies Piper dapat dikelompokkan menjadi 2 grup pada nilai similaritas 40,4%, yaitu antara P. betle, P. retrofractum, P. recurvum, P. nigrum, P. miniatum, dan P. cubeba (kelompok 1) dengan P. aduncum, P. sarmentosum (kelompok 2). Pemisahan ini ditandai terutama pada sifat cara arah tumbuh batang tegak dan memanjat. Pada kelompok satu (1) yaitu P. betle, P. retrofractum, P. recurvum, P. nigrum berkelompok terhadap P. miniatum, P. cubeba pada nilai similaritas 60,6%, hubungan kekerabatan terdekat berdasarkan sifat morfologi tergambarkan antara P. betle dan P. retrofractum serta P. recurvum dan P. nigrum dengan nilai similaritas 71,2%, sedangkan P. miniatum dan P. cubeba pada nilai similaritas 63,5%. Pada kelompok dua

(2) beranggotakan dua spesies yaitu P. aduncum dan P. sarmentosum yang berkerabat pada nilai similaritas 69,2%.

Hubungan kekerabatan antar spesies Piper tersebut didukung oleh pendapat Singh (1999) yang menyatakan bahwa koefisien asosiasi pada nilai di atas 60% adalah pada tingkatan spesies, sehingga kelompok 1 dan 2 dalam dendrogram (koefisien asosiasi 40,4%) besar kemungkinan sebagai kategori di atas spesies Piper.

Hubungan kekerabatan berdasarkan sifat minyak atsiri

Analisis kelompok berdasarkan sifat minyak atsiri, menunjukan pengelompokan OTUs pada dendrogram yang berbeda dibandingkan sifat morfologi (Gambar 2.). Dalam dendrogram tersebut justru P. retrofractum yang secara morfologi berkerabat dekat dengan P. betle, berdasarkan sifat minyak atsiri menjadi kluster tunggal yang berbeda dengan 7 spesies Piper yang lain, dengan koefisien asosiasi 45,5%.

P. betle P. retrofractum

Gambar 3. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. betle dan P. retrofractum.

P. aduncum

P. cubeba

P. betle

P. recurvum

P. miristum

P. nigrum

P. sarmentosum

P. retrofractum

81,5%

77,7% 71,0%

70,0%

67,3%

64,2%

45,5%

80% 90% 70% 60% 50% 40%

Page 21: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

PURNOMO dan ASMARAYANI –Kekerabatan Piper di Yogyakarta 15

P. aduncum P. cubeba

Gambar 4. Kromatogram minyak atsiri dari P. aduncum dan P. cubeba.

P. sarmentosum P. nigrum

Gambar 5. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. sarmentosum dan P. nigrum.

P. recurvum P. miniatum

Gambar 6. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. recurvum dan P. miniatum.

Page 22: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 12-16 16

Bukti kromatogram minyak atsiri daun menunjukkan

bahwa P. betle ditandai oleh jenis senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi 1.075-4.433 menit mendekati waktu retensi α-pinene yaitu 1.833 menit, sehingga berkerabat dekat dengan senyawa tersebut, sedangkan P. retrofractum ditandai dengan jenis minyak atsiri dengan waktu retensi 13.905-16.558 menit, mendekati waktu retensi caryophyllene yaitu 14.918 (Gambar 3.) Ketujuh spesies Piper yang lain menjadi satu kluster dengan koefisien asosiasi 64,2%, berdasarkan nilai tersebut masih berkerabat pada tingkat spesies (Singh, 1999).

Berdasarkan sifat minyak atsiri, dapat dikatakan bahwa P. aduncum dan P. cubeba berkerabat terdekat, karena memiliki persamaan kandungan yang tinggi dengan nilai koefisien asosiasi 81,59%. Berkaitan dengan bahan alam, maka jenis minyak atsiri P. aduncum dapat menjadi alternatif pengganti dari salah satu jenis minyak atsiri pada P. cubeba. Jenis minyak atsiri dengan waktu retensi 17.709 dan 20.945 menit pada kromatogram P. cubeba merupakan pembeda antara kedua spesies Piper tersebut (Gambar 4.). Jenis minyak atsiri tersebut berkerabat dekat dengan caryophyllene (waktu retensi 14.918 menit).

P. recurvum mengelompok dengan P. aduncum dan P. cubeba dengan nilai persamaan 71% tetapi masih dalam satu kluster, hal ini disebabkan karena perbedaan senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi 8.65 dan 11.795 menit (P. recurvum), serta 21.067 menit (P. aduncum) mendekati senyawa caryophyllene. Antara P. miniatum, p. nigrum, dan P. sarmentosum membentuk kluster pada nilai kesamaan (koefisien asosiasi) 67.3%, dan memisah pada nilai koefisien asosiasi 70% antara P. sarmentosum dengan kluster P. miniatum dan P. nigrum (Gambar 2.), hal tersebut disebabkan karena perbedaan senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi 21.275, 23.367, 28.075 menit mendekati jenis senyawa caryophyllene (Gambar 5 dan 6). Antara P. miniatum dan P. nigrum membentuk kluster dengan nilai koefisien asosiasi 70%, kedua spesies berbeda pada senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi 6.838,14.678, dan 23.392 (P. miniatum) (Gambar 5 dan 6),

Pada setiap spesies Piper dengan adanya perbedaan faktor luar di habitatnya, terbukti memiliki perbedaan terutama nilai kuantitas dari jenis minyak atsiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Whiffin (1992), bahwa perbedaan tersebut terjadi karena adanya variasi kimia yang merespons terhadap perbedaan faktor luar di habitatnya.

KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa di wilayah

Yogyakarta ditemukan 8 spesies Piper yaitu: P. aduncum, P. sarmentosum, P. cubeba, P. retrofractum, P. nigrum, P. recurvum, P. miniatum, dan P. betle. Hubungan

kekerabatan spesies Piper berdasarkan sifat morfologi dan minyak atsiri menghasilkan klasifikasi yang berbeda. Spesies Piper yang berkerabat dekat secara morfologi, dapat berkerabat jauh berdasarkan minyak atsiri daun.

UCAPAN TERIMA KASIH Diucapkan terima kasih kepada Pusat Studi Obat

Tradisional (PSOT) UGM Yogyakarta, untuk penggunaan fasilitas laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. Piper aduncum L. http://www.hear.org./pier. Backer C.A. and R.C. Bakhuizen v.d. Brink. 1965. Flora of Java. Vol. 1.

Groningen: N.V.P. Noordhoff. Davis P.H., and V.H. Heywood. 1973. Principle of Angiospermae Taxonomy.

Hutington. New York: Robert E. Kreiger Publishing Co. Inc. Gardner D.R., M.H. Ralphs, D.L. Turner, and S.L. Welsh. 2002. Taxonomic

implication of diterpene alkaloids in three toxic tall larkspur species (Delphinium spp.).Biochemical Systematic and Ecology 30(2): 77-90.

Guenther, E., 1952. The Essential Oil. Vol. 5. New York: D. von Nostrad Co. Inc.

Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia; Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Edisi 2. Penerjemah: Padmawinata, K. dan I. Soediro. Bandung: Penerbit ITB.

Heyne K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 1. (Terjemahan). Jakartra: Badan Libang Kehutanan.

Hsiao J.Y. and M.L. Lin. 1995. A Chemotaxonomic study of essential oils from the leaves of genus Clerodendrum (Verbenaceae) native to Taiwan. Botanical Bulletin of Academica Sinica 36: 247-251.

Jones S.B. and A.E. Luchsinger. 1986. Plant Systematics. 2nd edition. New York: McGraw Hill Publishing Co.

Katzer, G. 1998. Cubeb Pepper (Piper cubeba L.). http://www-ang.kfunigraz.ac.at

Katzer, G. 2001a. Pepper (Piper nigrum L.). http://www-ang.kfunigraz.ac.at Katzer, G. 2001b. Long Pepper (Piper longum L. and P. retrofractum

Vahl.). http://www-ang.kfunigraz.ac.at Oyen, L.P.A. and N.X. Dung (ed.). 1999. Essential Oil Plants. Bogor: Plant

resources of South-East Asia (Prosea). Perry, L.M. and J. Metzger (eds.). 1980. Medicinal Plants of East and

Southeast Asia: Atributed, Properties, and Uses. Mass.: The Mitt Press. Purnomo, S. 2000. Species Anggota Suku Piperaceae di Lereng Selatan

Gunung Merapi. Yogyakarta: Fakultas Biolog UGM. Rostiana, O., S.M.Rosita, dan D. Sitepu. 1992. Keanekaragaman Genotipa

Sirih (Piper betle L.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1(1):16-17. Shaorong, H. 1982. Piperaceae: Piper sarmentosum.

http://www.mobot.mobot.org. Singh G. 1999. Plant Systematics. New Hampshire: Science Publisher, Inc. Sokal, R.R. and P.H.A. Sneath. 1963. Principle of Numerical Taxonomy. San

Fransisco: W.H. Freeman and Co. Steenis, C.G.G.J. van (ed.). 1972. Flora Malesiana. Series 1:

Spermatophyta. Vol.5. Groningen: Wolters-Noordhoff Pubvlishing. Sutarjadi. 1980. Penelitian Taksonomi dan Fitokimia. Surabaya: Universitas

Airlangga. Whiffin, T. 1992. Variation in chemical characters. Field Lecture and Practical

Work of Taxonomy of Tropical Tree Species: Chemotaxonomicl Approach for Genetic Diversity Inventory. Bogor: LIPI.

Wolff, R.L., L.G. Deluc, and A.M. Marpeau. 1997. Chemotaxonomic differentiation of conifer families and genera based on the seed oil fatty acid composition: mulvariate analysis. Trees 12 (2): 57-65.

Page 23: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 17-21

♥ Alamat korespondensi:

Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-368-21273. e-mail: [email protected]

Keanekaragaman dan Penggunaan Jenis-jenis Bambu di Desa Tigawasa, Bali

Diversity and utilization of bamboo species in Tigawasa Village, Bali

IDA BAGUS KETUT ARINASA♥ UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. Tabanan, Bali 82191.

Diterima: 11 Maret 2004. Disetujui: 7 Juni 2004.

ABSTRACT

Tigawasa is one of the famous traditional villages as a center of bamboo handicraft in Buleleng regency-Bali. As a center of bamboo handicraft its have been wrestled since centuries. Their peoples have done traditionally bamboo conservation surrounding their house and garden too. The marginal area, river flow area and stiff slope that are outskirts of village become to focus of bamboo conservation by their peoples, too. This research conducted at Tigawasa village in June 2003 by stripe and interview methods. Two kilometers stripe length by 50 meters width; follow the direction north south of the river was investigated. To know the utilization of kind of bamboo and their product conducted by interview to craftsman and community figure. The result of inventory knew about four genus consist of 19 species planted in this village. To know those bamboo species will be presented their key of determination. The genus of Gigantochloa and Schizostachyum to dominate of their species, and have many uses of it’s, also. Not less than 54 kind of bamboos handicraft product was produced in this village. The diversity of bamboos handicraft product, develop according progress of the technology and demand of period. Many of new products composed and use of color or paint develop to produce varieties of fixed product. Two-kind of product that is traditional boxes (“sokasi”) handicraft and woven bamboo (“bedeg”) to become this village famous at Bali, even though in foreign countries Energetic development of bamboos home industry to come to decrease stock of raw materials. About two trucks supply from east Java regularly to anticipation of decrease local stock of raw materials every week.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: inventory, utilization, bamboo species, Tigawasa village, Bali.

PENDAHULUAN Desa Tigawasa adalah sebuah desa tradisional

(“Baliaga”) yang sangat terkenal sebagai salah satu pusat kerajinan anyaman bambu di Kabupaten Buleleng-Bali. Desa ini berjarak sekitar 19 km sebelah barat kota Singaraja dan 97 km sebelah utara Denpasar, terletak pada ketinggian 500-700 m dpl. dan tofografi daerah berbukit. Jumlah penduduknya 4.608 jiwa, sebagian besar mata pencahariannya sebagai perajin anyaman bambu (Anonim, 1999). Sampai saat ini belum pernah ada laporan inventarisasi dan penggunaan jenis bambu yang sudah dikonservasi atau tumbuh secara alami untuk menunjang usahanya. Bambu ditanam di pekarangan, tegalan dan pada lahan marginal, sejak berabad-abad yang lalu. Tepian sungai yang bertopografi miring hingga curam juga merupakan tempat penanaman bambu.

Hasil kerajinan anyaman bambu yang terkenal dari desa ini adalah sokasi dan gedeg. Sokasi (sejenis bakul bertutup khas ala Bali) dibuat dari bambu bali (Gigantochloa sp.) dan bambu tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H.Schultes) Kurz. Gedeg yang khas dan kaya variasi dibuat dari jenis-jenis bambu buluh seperti: Schizostachyum lima (Blanco) Merr., Schizostachyum zollingeri Steud. dan Schizostachyum castaneum Widjaja. Berbeda dengan desa-desa lainnya di

Bali, pembuatan sokasi mempergunakan jenis-jenis bambu buluh dan untuk pembuatan gedeg mempergunakan jenis bambu tali dan bambu bali. Sekalipun pada umumnya hampir semua bambu dapat digunakan untuk anyaman, tetapi di desa Tigawasa setiap bambu mempunyai peran utama masing-masing pada jenis produk anyaman tertentu.

Sesuai dengan kemajuan teknologi dan tuntutan jaman, produk anyaman bambu semakin beraneka ragam. Muncul motif-motif baru dan pemakaian warna sebagai penghias produk. Selain menggunakan motif khas Bali, motif dari luar juga diadopsi. Demikian juga disamping mempergunakan pewarna alami, beraneka warna cat meramaikan produk yang dihasilkan (Suanda, 1995).

Pesatnya pemasaran industri rumah tangga berbahan baku bambu menyebabkan berkurangnya persediaan bahan baku. Tegakan bambu lokal yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Sekitar dua truk bambu buluh setiap minggu didatangkan secara rutin dari Jawa timur untuk mengatasi kekurangan bahan baku (Ardana, 1996).

BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di desa Tigawasa, Kecamatan

Banjar, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, tanggal 2-7 Juni 2003. Metode jalur digunakan untuk inventarisasi jenis-jenis bambu, sedangkan untuk mengetahui penggunaan jenis-jenis bambu oleh masyarakat, menggunakan metode wawancara. Wawancara dilakukan dengan perajin dan tokoh masyarakat setempat.

Page 24: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 17-21 18

Jalur penelitian dibuat sepanjang dua kilometer mengikuti sungai yang terletak disebelah timur desa yang membujur arah Utara-Selatan. Inventarisasi dilakukan terhadap semua bambu yang tumbuh atau ditanam selebar masing-masing 25 m dikanan kiri sungai tersebut. Jenis-jenis yang belum diketahui namanya, dibuat spesimen herbariumnya untuk keperluan identifikasi (Dransfield and Widjaja, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil inventarisasi yang dilakukan sepanjang jalur

penelitian, diketahui sebanyak 19 jenis dari empat marga bambu terdapat di desa Tigawasa (Tabel 1). Bali sampai saat ini mempunyai 36 jenis bambu dan sekitar 50% merupakan jenis introduksi (Arinasa dan Widjaja, 2003), sedangkan di Indonesia sampai saat ini memiliki 143 jenis bambu (Widjaja, 2001).

Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa kehidupan sosial budaya masyarakat desa sangat menyatu dan tidak bisa lepas dari bambu, seperti juga masyarakat pedesaan lainnya di Indonesia (Sastrapradja dkk., 1997). Hampir semua penduduk yang mempunyai lahan, baik di pekarangan maupun di tegalan ditanami bambu. Tidak satu pun jenis bambu luput dari nama sekalipun hanya nama daerah (lokal). Penduduk setempat tahu betul membedakan

antara jenis satu dengan jenis lainnya. Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa beberapa jenis bambu dengan nama daerah berbeda masih dikelompokkan dalam satu jenis. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut dari sisi taksonomi, namun sulit pelaksanaannya karena adanya beberapa kendala antara lain sulit mendapatkan bunganya untuk keperluan identifikasi. Untuk mengatasi kendala taksonomi disarankan untuk melaklukan identifikasi dengan mempergunakan sistem molekuler. Kebutuhan bambu oleh masyarakat terus meningkat sehingga memaksa harus ditebang sebelum waktunya.

Gigantochloa dan Schizostachyum merupakan marga bambu-bambuan terbesar masing-masing dengan delapan dan enam jenis dimana didalamnya terdapat takson yang oleh masyarakat lokal dapat dibedakan. Tidak menutup kemungkinan akan muncul jenis-jenis baru bila identifikasi sistem molekuler dapat dikerjakan.

Tabel 1 menunjukkan bahwa sekitar 63% (12 jenis) bambu dianggap asli karena sudah dimiliki sejak nenek moyang menghuni desa ini sebelum masa pemerintahan Kerajaan Majapahit. Ini membuktikan betapa menyatu kehidupan masyarakatnya dengan bambu yang masih digelutinya hingga sekarang. Sebanyak 37% (7 jenis) bambu lainnya adalah jenis introduksi yang dimasukkan beberapa dasa warsa terakhir dengan tujuan untuk penganekaragaman jenis. Penanaman bambu juga dimaksudkan sebagai usaha masyarakat untuk konservasi

tanah dan air. Berdasarkan hasil inventarisasi

diketahui jumlah seluruh rumpun yang ada pada jalur penelitian adalah 2.160 rumpun. Diameter rumpun berkisar antara 0,15-5 m dan jarak antar rumpun rata-rata 5 m. Buluh taluh dan buluh lengis (S. lima) paling banyak terdapat dalam jalur penelitian dengan jumlah 324 rumpun (15%), sedangkan yang paling sedikit ditanam adalah tiing gesing/ori (B. blumeana) yaitu sebanyak 43 rumpun (1,9%). Jenis bambu yang terdapat di desa Tigawasa termasuk populasi sepuluh besar dari 19 jenis yang ditemukan (Tabel 2).

Kunci identifikasi

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang marga dan jenis bambu dilakukan identifikasi (Arinasa dan Widjaja, 2003), khususnya yang terdapat di desa Tigawasa. Berikut ini disajikan kunci identifikasi marga dan jenis bambu hasil inventarisasi di desa tersebut sebagai berikut:

Bambusa

Bambu simpodial dengan batang yang tegak. Daun pelepah buluh yang tegak atau terlekuk balik, kuping pelepah buluh khas seperti berlekuk dan berbulu. Percabangan dengan sebuah cabang primer lebih dominan diikuti oleh satu sampai beberapa cabang sekunder dan beberapa cabang yang lebih kecil tumbuh dari pangkalnya.

Tabel 1. Hasil inventarisasi jenis-jenis bambu di desa Tigawasa. Nama Jenis Nama Daerah Ket. 1. Bambusa blumeana J.A.& J.H. Schult Tiing gesing, ori I 2. Bambusa maculata Widjaja Tiing tutul I 3. Bambusa vulgaris var.striata Tiing ampel gading I 4. Bambusa vulgaris Schrad.ex Wendl Tiing ampel gadang I 5. Dendrocalamus asper (Schult.) Backer ex Heyne Tiing petung A 6. Gigantochloa apus (J.A. & J.H.Schultes) Kurz Tiing tali A 7. Gigantochloa cf. manggong Tiing jelepung A 8. Gigantochloa hasskarliana (Kurz) Backer ex Heyne Tiing katak A 9. Gigantochloa nigrociliata (Buse) Kurz Tiing tabah I 10. Gigantochloa sp. 1 Tiing soret A 11. Gigantochloa sp. 2 Tiing bali A 12. Gigantochloa sp. 3 Tiing lidi, Tiing klotok,

Tiing mambang, A

13. Gigantochloa sp. 4 Tiing kedampal A 14. Schizostachyum brachycladum Kurz Tiing tambling

Tiing tamblang gadingA

15. Schizostachyum castaneum Widjaja Buluh kedampal I 16. Schizostachyum lima (Blanco) Merr. Buluh taluh,

Buluh lengis A

17. Schizostachyum silicatum Widjaja Buluh A 18. Schizostachyum sp. Buluh gading A 19. Schizostachyum zollingeri Steud. Buluh batu I Keterangan: A = asli, indigenous; I = introduksi, non-native. Tabel 2. Jenis-jenis bambu yang termasuk populasi sepuluh besar.

Nama Jenis Nama Daerah Populasi (%)

1. Schizostachyum lima Buluh taluh, buluh lengis 15 2. Gigantochloa apus Tiing tali 10 3. Gigantochloa sp. 2 Tiing bali 9 4. Gigantochloa sp. 3 Tiing lidi, tiing mambang, tiing klotok 8 5. Schizostachyum castaneum Buluh kedampal 6,3 6. Dendrocalamus asper Tiing petung 5,5 7. Gigantochloa hasskarliana Tiing katak 4,5 8. Gigantochloa nigrociliata Tiing tabah 4,5 9. Schizostachyum zollingeri Buluh batu 4,5 10. Bambusa maculata Tiing tutul 4,5

Page 25: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

ARINASA-Bambu dI Tigawasa, Bali 19

1. a. Buluh berduri pada pangkalnya ..… Bambusa blumeana b. Buluh tanpa duri …………………….….…………………2 2. a. Buluh hijau mengkilat sampai hijau dengan garis-garis

kuning ...................................…………………..…………..3 b. Buluh hijau dengan hanya garis garis kuning pada buluh

yang lebih rendah, buluh hitam keungu-unguan …………4 3. a. Buluh hijau mengkilat ……..………… Bambusa vulgaris b. Buluh hijau dengan garis-garis kuning ..............................

.............................................. Bambusa vulgaris var. striata 4.a. Buluh hitam keungu-unguan, kuping pelepah buluh

membulat ….....................……………………. Bambusa sp. b. Buluh hijau dengan spot-spot coklat kehitaman ….…..……

………………....................................… Bambusa maculata Dendrocalamus

Bambu simpodial, buluh tegak. Pelepah buluh dengan daun pelepah terlekuk balik, kuping pelepah buluh berlekuk, berbulu pada tepinya, ligula dengan bulu-bulu halus. Percabangan dengan sebuah cabang primer yang dominan dengan satu sampai beberapa cabang sekunder dan beberapa cabang yang lebih kecil yang tumbuh dari pangkal. Buluh muda dengan bulu-bulu beludru berwarna coklat pada bagian lebih bawah yang akan luruh bila semakin tua. Daun-daunnya dengan kuping pelepah buluh yang kurang menarik perhatian dan gundul, ligulanya setengah melingkar ....................... …………………….................................…… Dendrocalamus asper

Gigantochloa

Bambu dengan buluh tegak, Pelepah buluh dengan kuping pelepah buluh yang kurang menarik hingga kuping pelepah buluh yang kecil, gundul hingga berbulu panjang, daun pelepah buluh tegak hingga terlekuk balik, kebanyakan tertutupi oleh bulu-bulu yang berwarna coklat tua hingga hitam. 1.a. Buluh berwarna hijau dengan garis-garis kuning ...…….

..... ..….. ... ….……………..............… Gigantochloa sp. 1 b. Buluh berwarna hijau tanpa garis-garis kuning ……… 2 2.a. Ujung pelepah buluh mendatar …….……....................... 3 b. Ujung pelepah buluh meruncing …….. Gigantochloa sp. 2 3.a. Kuping pelepah buluh berdiri tegak ……………………… 4 b. Kuping pelepah buluh kurang menarik perhatian ..………

………...........................................……. Gigantochloa sp. 3

4.a. Kuping pelepah buluh mencolok ....… Gigantochloa sp. 4 b. Kuping buluh tanpa bulu …… Gigantochloa cf. manggong 5.a. Pelepah buluh gugur ….............………………….…….…6 b. Pelepah buluh melekat .………………….………..………7 6.a. Kuping pelepah buluh dengan ujung melengkung kedalam,

kuping tanpa bulu …………… Gigantochloa hasskarliana b. Kuping pelepah daun tanpa ujung tambahan, kuping

dengan bulu yang panjang……….....… Gigantochloa serik 7.a. Kuping pelepah buluh dengan bulu yang tersebar ……..…

...................................…………………. Gigantochloa apus b. Pelepah buluh dengan lekukan kecil dengan ujung tam-

bahan melengkung ke dalam ...... Gigantochloa nigrociliata Schizostachyum

Bambu simpodial, tegak, percabangan 1,5 m di atas tanah, masing-masing buku mendukung cabang-cabang hampir sama besarnya. Pelepah buluh melekat atau gugur, daun pelepah buluh tegak sampai terlekuk balik. Daun-daun dengan atau tanpa kuping yang selalu mempunyai bulu yang panjang. 1.a. Daun pelepah buluh tegak …………………..……………. 2 b. Daun pelepah buluh terlekuk balik ..…....……………… 4 2.a. Panjang daun pelepah buluh lebih panjang dari pada

lebarnya, kuping lebih kecil ………...............................… 3 b. Panjang daun pelepah buluh sepanjang lebarnya atau

lebih pendek dari pada lebarnya, kuping lebih besar .......... .………..……………........ Schizostachyum zollingeri

3.a. Daun pelepah buluh menyegitiga dengan pangkal yang melebar, kuping berlekuk 2 - 3,5 mm ……………….…… …………............................. Schizostachyum brachycladum

b. Daun pelepah buluh menyegitiga dengan pangkal yang menyempit, kuping berlekuk kurang dari 2 mm ……… ...............……………………… Schizostachyum castaneum

4.a. Pelepah buluh ditutupi oleh bulu-bulu berwarna coklat, buluh dibawah, buku ditutupi oleh bulu-bulu berwarna coklat, tidak licin ….........………. Schizostachyum silicatum

b. Pelepah buluh ditutupi oleh bulu-bulu berwarna coklat memadat, buluh dibawah buku ditutupi oleh bulu-bulu keputihan, memadat, licin …............. Schizostachyum lima

Penggunaan jenis-jenis bambu

Hasil wawancara dengan para perajin dan tokoh masyarakat desa menunjukkan bahwa setiap jenis bambu memiliki banyak fungsi, namun biasanya terdapat satu jenis kerajinan yang menjadi peran utamanya, sehingga menjadikan satu jenis bambu tertentu hanya baik digunakan untuk produk kerajinan tertentu seperti terlihat pada Tabel 3.

Bambu dapat digunakan untuk berbagai kerajinan, tiing tali (G. apus) termasuk salah satu jenis bambu yang sangat fleksibel dapat digunakan untuk beberapa keperluan. Hal yang sama juga dijumpai di daerah lain seperti Tabanan dan Karangasem (Arinasa dkk. 2003). Secara khusus bambu ini mempunyai peran utama dalam pembuatan rumah sederhana. Sebagian besar komponen rumah dapat dibuat dari bambu ini, mulai dari tiang, dinding, kaso hingga peralatan dapur. Karena kegunaannya yang banyak maka bambu ini menempati urutan kedua sebanyak 216 rumpun (10%) dari total rumpun yang ada.

Tabel 3. Penggunaan jenis-jenis bambu untuk berbagai macam kerajinan.

Fungsi Nama jenis Nama daerah Kegunaan Utama Lain1. Bambusa blumeana Tiing gesing, ori Katir jukung

Wadah/ bade ngaben Bubu ikan Sayur/rebung

√ √ √

2. Bambusa maculata Tiing tutul Mebelair Hiasan rumah Bingkai foto Bumbung jangkrik Sanan/pemikul

√ √ √ √

3. Bambusa vulgaris var.striata

Tiing ampel gading

Hiasan rumah Wadah/bade ngaben Mebelair Sayur/rebung

√ √ √

4. Bambusa vulgaris Tiing ampel gadang

Rumah sederhana Sanan/pemikul Kulkul/kentongan Sayur/rebung

√ √ √

Page 26: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 17-21 20

Kelompok buluh taluh dan buluh lengis (S. lima) sekalipun penggunaan-nya tidak sebanyak tiing tali namun buluhnya paling banyak dibutuhkan. Bambu ini mempunyai kegunaan khusus untuk membuat gedeg kualitas terbaik, suatu anyaman khas yang menjadikan desa Tigawasa sangat populer di Bali. Berbagai motif dikembangkan dan dengan buluh pilihan, anyaman ini laris dibeli sehingga mengakibatkan kekurangan bahan baku. Tiing bali (Gigantochloa sp. 2) mempunyai dua peran utama, namun peran utamanya yang terkenal adalah sebagai bahan baku sokasi. Sokasi Tigawasa sangat terkenal karena anyaman ini kaya jenis dan juga kaya motif, mulai dari ukuran besar-kecil, fungsi, bentuk anyaman dan variasi warna yang digunakan. Penggunaan buluh agar memberikan kualitas anyaman terbaik ditentukan oleh umur buluh. Secara tradisional perajin menentukan umur buluh untuk ditebang yaitu pada umur dan tahap maikut sesapi ujung bambu telah mulai bercabang dan beberapa daun sudah mekar sempurna atau umur 6-12 bulan, tergantung jenis bambu. Ada beberapa jenis bambu lain yang dapat digunakan untuk sokasi namun memberikan kualitas nomor dua.

Menurut Sumantera (1995) beberapa sarana upacara adat di Bali seperti Sekah, Sunari, Tumpang salu memerlukan jenis bambu khusus dan tidak boleh diganti dengan jenis lainnya. Sekah adalah simbolis dari badan kasar manusia dalam upacara Ngaben di Bali mempergunakan bambu buluh gading (Schizostachyum sp) yang sudah tua. Sunari adalah semacam seruling sakral yang dibuat dari tiing tamblang gading (S. brachycladum), dengan memberi beberapa lubang sedemikian rupa pada bagian atasnya, bila ditiup angin akan mengeluarkan suara merdu, sebagai sarana pengundang Dewata dalam upacara Pengabenan. Tumpang salu yang berfungsi sebagai sarana tempat mayat atau leluhur dalam upacara Pengabenan juga, mesti dibuat dari tiing ampel gading (B. vulgaris var.striata) yang sudah tua.

Kelakah adalah sejenis atap sementara dibuat dari tiing jelepung (G. cf.manggong) dan tiing mambang (Gigantochloa sp. 3) dengan cara membelah dua, dan sekat bukunya dihilangkan. Kelakah dipasang tengadah dan telungkup saling menutupi. Kelakah dari tiing jelepung lebih kuat dan bisa tahan hingga lima tahun bila dibandingkan dengan jenis mambang.

Tabel 3. Penggunaan jenis-jenis bambu untuk berbagai macam kerajinan (lanjutan).

Fungsi Nama jenis Nama daerah Kegunaan Utama Lain5. Dendrocalamus

asper Tiing petung Rumah sederhana

Gambang (kesenian) Katir jukung Lom/bom Tingklik (kesenian) Kulkul/kentongan Sayur/rebung

√ √ √ √ √ √

6. Gigantochloa apus Tiing tali Tali Usuk/kaso Rumah sederhana Sokasi Kuskusan Lampid Keranjang Paboan Nyiru Dompet Guungan/sangkar ayam Penarak/bakul Sangkar burung

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

7. Gigantochloa cf manggong

Tiing jelepung Rumah sederhana Klakah/atap Bangul/panjatan

√ √

8. Gigantochloa hasskarliana

Tiing katak Ketekung/tali pengikat mayat Jerat binatang Tali Penarak/bakul Sayur/rebung

√ √ √ √

9. Gigantochloa nigrociliata

Tiing tabah Gerantang (kesenian) Gedeg Penarak/bakul Pagar Sayur/rebung

√ √ √ √

10. Gigantochloa sp. 1 Tiing soret Rumah sederhana Bangul/panjatan Pagar

√ √

11. Gigantochloa sp. 2 Tiing bali Sokasi Wadah/bade ngaben Bangul/panjatan Penarak/bakul Suih/sirak Joli Pura sederhana Paboan Dompet Sangkar burung Usungan mayat

√ √

√ √ √ √ √ √ √ √ √

12. Gigantochloa sp. 3 Tiing lidi

Palit jan/anak tangga Penjor Gedeg Tiang poak

√ √ √

Tiing mambang

Sokasi Asagan

√ √

Tiing klotok Klakah/atap Pura sederhana Jan/tangga Tali

√ √ √

13. Gigantochloa sp. 4 Tiing kedampal Asagan Gedeg Usuk/kaso

√ √

Page 27: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

ARINASA-Bambu dI Tigawasa, Bali 21

Tiing tutul (B. maculata) akhir-akhir ini banyak dibutuhkan untuk pembuatan mebelair seperti meja dan kursi. Bambu ini disenangi karena coraknya yang artistik berkat adanya totol-totol warna coklat kehitaman sepanjang buluhnya. Penggunaan lainnya untuk bingkai foto dan hiasan rumah. Tiing ampel gading (B. vulgaris var. striata) adalah jenis bambu kedua yang banyak digunakan karena warna kuning dan strip hijaunya yang kontras menghasilkan produk yang memikat. Berbeda dengan ditempat lain seperti Gianyar banyak memerlukan tiing petung hitam (D. asper) untuk pembuatan produk ini, namun di daerah ini belum dimanfaatkan.

Semat adalah batang bambu yang dibilah kecil berfungsi untuk merangkai janur baik untuk upacara Agama (jejahitan) atau upacara lainnya, hampir setiap hari digunakan. Tidak semua jenis bambu dapat digunakan untuk semat, karena bambu yang digunakan untuk semat harus spesifik yaitu mudah patah, dapat dibilah hingga kecil dan kuat. Apabila tidak memenuhi syarat seperti itu maka hasil jejahitan tidak akan menghasilkan seni yang tinggi. Bambu buluh (S. silicatum) adalah penghasil semat yang paling bagus, disusul oleh buluh taluh (S. lima).

KESIMPULAN Hasil inventarisasi menunjukkan

bahwa di desa Tigawasa-Buleleng terdapat 19 jenis bambu (12 jenis asli dan 7 jenis introduksi). Kehidupan sosial budaya masyarakat Tigawasa telah menyatu dengan bambu sejak berabad-abad. Semua jenis bambu (19 jenis) menghasilkan 54 jenis kerajinan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999. Monografi Desa Tigawasa. Singaraja: Bagian

Pemerintahan Desa Setwilda Tk.II Buleleng-Bali. Ardana, I.B. 1996. Data Bali Membangun. Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali. Arinasa, I.B.K., N. Sudiatna, N. Swirta 2003. Laporan Penelitian dan

Eksplorasi Flora di Kabupaten Karangasem. Candikuning: UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bali-LIPI.

Arinasa, I.B.K, E.A.Widjaja, 2003. Bamboo Diversity in Bali. Seminar International Botanical Garden Congress. Candikuning, 15-18 Juli 2003.

Dransfield, S. and E. A. Widjaja, 1995. Plant Resources of South-East Asia 7. Bamboos. Leiden: Backhuys Publisher.

Sastrapradja, S., E.A. Widjaja, S. Prawiroatmodjo, S. Soenarko, 1977. Beberapa Jenis Bambu. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.

Suanda, IW. 1995. Pameran Anyaman Tradisional Bali. Denpasar: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumantera, IW. 1995. Bamboo in Balinese Rituals. Dalam: Rao, I.V.R. and C.B. Sastry (Eds).. Bamboo,People and the Environment. Proceedings of the Vth International Bamboo Workshop and the IV International Bamboo Congress. Ubud-Bali, 19-22 June 1995.

Widjaja, E.A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Bogor: Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense-LIPI.

Tabel 3. Penggunaan jenis-jenis bambu untuk berbagai macam kerajinan (lanjutan).

Fungsi Nama jenis Nama daerah Kegunaan Utama Lain14. Schizostachyum

brachycladum Tiing tambling, Tiing tamblang gading

Tempat nira Sokasi Sunari (kesenian) Hiasan rumah Sayur/rebung

√ √

√ √ √

15. Schizostachyum castaneum

Buluh kedampal Usuk/kaso Sokasi Gerantang (kesenian) Gedeg Ancak/pengaman liang lahat Sayur Sumbu/pemetik buah

√ √ √ √ √ √

16. Schizostachyum lima

Buluh taluh

Sokasi Semat/penjahit janur Gedeg Ancak/pengaman liang lahat Gedeg Sokasi

√ √ √ √ √

Buluh lengis Suling (kesenian) Ancak/pengaman liang lahat Sayur/rebung

√ √ √

17. Schizostachyum silicatum

Buluh Semat/penjahit janur Gedeg Sayur/rebung

√ √

18. Schizostachyum sp. Buluh gading Sekah/upacara ngaben Pales/tiang pancing Sayur/rebung Klikis/tiang tanaman

√ √ √

19. Schizostachyum zollingeri

Buluh Batu Tinjeh/rangka atap alang-alangGedeg Sokasi Ancak/pengaman liang lahat Sayur/rebung

√ √ √ √

Page 28: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 22-30

♥ Alamat korespondensi:

• Laboratory of Plant Chromosome and Gene Stock, Graduate School of Science, Hiroshima University, 1-4-3 Kagamiyama, Higashi-Hiroshima City, Japan, 739-8526. e-mail: [email protected];

• PKT Kebun Raya Bogor, Jl.Ir. H.Juanda 13, Bogor 16122. Tel. +62-251-352519. Fax.: +62-251-322187. e-mail: [email protected]

Keanekaragaman Palem (Palmae) di Gunung Lumut, Kalimantan Tengah

Diversity of palms (Palmae) in Gunung Lumut, Central Kalimantan

JOKO RIDHO WITONO1,2,♥ 1 Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122.

2 Laboratory of Plant Chromosome and Gene Stock, Graduate School of Science, Hiroshima University, 1-4-3 Kagamiyama, Higashi-Hiroshima City, Japan, 739-8526

Received: 30 November 2004. Accepted: 26 Desember 2004.

ABSTRACT

Kalimantan is one of biodiversity centers in Indonesia, especially for commercial timbers such as dipterocars and commercial non timbers, such as orchids, ferns, and palms. One of the biodiversity centers in Kalimantan is Gunung Lumut. Gunung Lumut is located in Barito Utara Regency, Central Kalimantan. The area is proposed as conservation area (world natural heritage) by local government, because its biodiversity richness and also water reserve. Biodiversity surveys on plants and animals have been done by Indonesian Institute of Sciences staff cooperation with the Local government since 2002 to get some data for that purposed. Based on the survey on palms taxa, Gunung Lumut has 33 species of palms in 11 genera. There are Calamus 8 species, Daemonorops 7 species, Plectocomia 1 species, Korthalsia 6 species, Ceratolobus 2 species, Eugeissona 1 species, Oncosperma 1 species, Pinanga 4 species, Iguanura 1 species, Arenga 1 species, and Licuala 1 species.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: palms, Gunung Lumut, Kalimantan, world natural heritage.

PENDAHULUAN Kalimantan yang mencakup sekitar 73% (539.460 km2)

dari Borneo, merupakan salah satu pulau yang memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan hewan yang tinggi. Di Kalimantan diperkirakan terdapat 10.000-15.000 jenis tumbuhan berbunga, 3.000 jenis merupakan jenis pohon (267 jenis merupakan jenis endemik), 146 jenis rotan, 2.000 jenis anggrek, dan 1.000 jenis paku-pakuan (Dransfield, 1992; MacKinnon et al., 1996). Keanekaragaman tumbuhan yang demikian besar terancam oleh adanya aktivitas manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam tersebut secara tidak berkelanjutan. Pada tahun 1968, diperkirakan luas hutan Kalimantan 77% dari luas daratan. Tahun 1984 menurun menjadi 73% dari luas daratan, dan pada tahun 1990 luas hutan berkurang lagi menjadi 63%. Penurunan area hutan terutama disebabkan karena adanya eksploitasi kayu dan konversi lahan menjadi daerah perkebunan, pertanian, dan pemukiman. Selain itu, luasan hutan makin berkurang secara drastis dengan seringnya kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan. Berkurangnya kawasan hutan di Kalimantan, akan diikuti dengan berkurangnya populasi maupun keanekaragaman jenis tumbuhan. Menurut teori species-area relationships, jika 50% dari areal hutan rusak, sekitar 10% jenis tumbuhan yang hidup di area tersebut akan punah. Jika 90% habitat rusak, area akan

kehilangan 50% jenis dan jika 99% habitat hilang, maka 75% jenis akan hilang (Primarck et al., 1998).

Salah satu area hutan di Kalimantan yang memiliki keanekaragaman tumbuhan yang tinggi adalah Gunung Lumut. Hutan di Gunung Lumut mencakup area seluas kurang lebih 30.000 ha, yang mencakup dua Propinsi yaitu Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Menurut MacKinnon et al. (1996), Gunung Lumut telah diusulkan sebagai area konservasi. Hal ini ditindaklanjuti dengan upaya Pemerintah Kabupaten Barito Utara yang ingin menjadikan kawasan tersebut sebagai World Natural Heritage. Pada saat dilaksanakannya ekspedisi, Gunung Lumut berstatus hutan lindung yang pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kehutanan. Gunung Lumut merupakan kawasan lindung yang terletak pada pegunungan bawah mulai dari ketinggian 615-840 m dpl. Kondisi topografi umumnya berbukit dengan kemiringan rata-rata sekitar 40-50%, jenis tanah umumnya latosol dengan seresah yang tebal terutama di daerah cekungan atau pertemuan dua bukit. Vegetasi didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan terutama dari suku Dipterocarpaceae, Myrtaceae, Euphorbiaceae, dan Arecaceae (Palmae).

Palem merupakan kelompok tumbuhan yang menarik, dari aspek keanekaragaman jenis. Palem pada umumnya berupa pohon atau semak, bervariasi dalam ukuran mulai dari 25 cm sampai 60 m, bervariasi pula bentuk daun, akar, perbungaan, buah, maupun biji. Tumbuh tunggal atau berumpun, bercabang atau tidak, pleonantik atau hapaksantik. Dari sekitar 576 jenis (46 marga) palem yang ada di Indonesia, 216 jenis (29 marga) di antaranya merupakan jenis-jenis endemik (Mogea dan Witono, 1999). Di Kalimantan diperkirakan terdapat 200 jenis (27 marga), 16 jenis di antaranya (7 marga) merupakan endemik.

Page 29: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

WITONO – Palmae di Gunung Lumut Kalimantan Tengah 23

Jenis-jenis palem di dalam kawasan Gunung Lumut belum pernah dilaporkan sampai saat ini. Dalam ekspedisi gabungan yang dilakukan oleh peneliti LIPI, staf Dinas Kehutanan, staf Bapedalda Kabupaten Barito Utara, pemuka adat, dan masyarakat lokal pada tanggal 15 September s.d. 10 Oktober 2003 diperoleh informasi tentang keanekaragaman tumbuhan, khususnya palem di kawasan ini.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan dengan metode random sampling

sepanjang jalur ekspedisi dan penelitian menuju puncak Gunung Lumut, yang tercakup dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dan area HPH PT. Indexim Utama Corp (IUC.), Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Selatan. Setiap jenis palem yang belum diketahui nama jenisnya dibuat herbarium untuk identifikasi lebih lanjut. Beberapa jenis yang materialnya lengkap, dibuat koleksi untuk disimpan di Herbarium Bogoriense dan dikirimkan ke herbarium lain di luar negeri, yaitu: Kew Herbarium, Inggris dan Fairchild Tropical Garden (FTG) Herbarium, Miami, Florida, Amerika Serikat. Beberapa material yang menghasilkan buah yang masak, dikoleksi untuk ditanam di Kebun Raya Bogor. Pelaksanaan koleksi, pencatatan karakter morfologi, dan pelabelan dilakukan di lapangan. Pengepresan dan pemberian spiritus dilakukan di basecamp, yaitu: Camp Mandala, Camp Sungai Merah, dan Camp Petak 14 K. Ketiga basecamp tersebut berada di dalam kawasan HPH PT. Indexim Utama Corp. (IUC). Proses selanjutnya yang meliputi, penggantian kertas koran, pengepresan, pengeringan, dan identifikasi dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan di Hutan

Lindung Gunung Lumut dan kawasan hutan di HPH PT. Indexim Utama Corp (IUC) (HPH yang berbatasan dengan Gunung Lumut), Barito Utara terdapat 33 jenis palem, yang termasuk dalam 11 marga (Tabel 1.). Pertelaan, persebaran, dan beberapa catatan lain akan dijelaskan pada bagian di bawah ini:

Calamus

Calamus javensis Bl. (Uway soke)-JW 290 Blume dalam Rumphia 3: 63 (1847); Beccari dalam Ann.

Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 185 (1908); Dransfield dalam Man. Ratt. Malay Pen. 198 (1979), Ratt. Sabah 136 (1984), dan Ratt. Sar. 153 (1992).

Calamus filiformis Becc., dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 186 (1908).

Calamus javensis var. acicularis Becc. dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 185 (1908).

Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 15 m, diameter batang sampai 0,5 cm (tanpa pelepah sampai 0,3 cm). Panjang ruas sampai 25 cm. Panjang daun sampai 50 cm; pelepah daun hijau muda, ketika muda berwarna hijau kemerahan, berduri segitiga pipih, duri hijau kekuningan, panjang duri 0,3-0,5 cm. Tidak bertangkai daun atau sangat pendek, terdiri atas 5 helaian daun di tiap sisi tulang daun, berbentuk bulat memanjang, tipis, agak keriput, helaian daun paling pangkal biasanya memeluk batang. Panjang flagellum/cemeti sampai 75 cm. Steril.

Persebaran: Thailand bagian selatan, Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatera, Jawa, Kalimantan, sampai Palawan. Di Gunung Lumut ditemukan pada hutan Dipterocarpaceae terutama pada ketinggian 800 m dpl dalam populasi yang kecil.

Catatan: Di Gunung Lumut, C. javensis mirip dengan C. flabellatus namun jenis tersebut daunnya lebih kusam dan jika telah kering berwarna hitam. Di Sulawesi juga terdapat jenis yang mirip dengan C. javensis, yaitu C. minahassae, namun jenis ini memiliki daun yang kaku seperti kertas.

Calamus blumei Becc. (Rotan seel brakung)-JW 291 Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 340

(1908) dan Appendix 63 (1913); Dransfield dalam Man. Ratt. Malay. Pen. 192 (1979), Ratt. Sabah 134 (1984), & Ratt. Sar. 149 (1992).

Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 10 m, Diameter batang sampai 2 cm (tanpa pelepah 1-1,2 cm), panjang ruas sampai 25 cm. Pelepah hijau pucat, kadang-kadang ditutupi oleh bintik-bintik berwarna kuning-keabu-abuan, duri jarang, panjang sampai 3 mm. Lutut tampak jelas. Selaput bumbung sampai 2 cm, warna coklat tua. Flagellum sampai 160 cm. Panjang daun sampai 70 cm, tangkai daun sampai 30 cm; helaian daun 6 di tiap sisi di sepanjang tulang daun, bentuk belah ketupat, tangkai pendek, ukuran sampai 20x7,5 cm.

Persebaran: Sumatera, Semenanjung Malaysia, sampai Borneo. Di Gunung Lumut terdapat mulai hutan Dipterocarpaceae dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 800 m dpl.

Catatan: Semua individu yang ditemukan di lokasi berada dalam keadaan steril (tidak menghasilkan bunga dan buah) dan anakan sulit ditemukan. Berdasarkan bentuk

Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan palem di Gunung Lumut.

1. Calamus javensis Bl. (JW 290) 2. Calamus blumei Becc. (JW 291) 3. Calamus paspalanthus Becc. (JW 292) 4. Calamus flabelloides Becc. (JW 294) 5. Calamus laevigatus Mart. var. Laevigatus (JW 296) 6. Calamus ornatus Bl. 7. Calamus scipionum Lour. 8. Calamus sp. (JW 309) 9. Daemonorops korthalsii Bl. (JW 286) 10. Daemonorops fissa Bl. (JW 306) 11. Daemonorops cristata Becc. (JW 315) 12. Daemonorops sabut Becc. (JW 293) 13. Daemonorops didymophylla Becc. (JW 287) 14. Daemonorops sp. (JW 289) 15. Daemonorps sp. (JW 305) 16. Plectocomia mulleri Bl. (JW 288) 17. Korthalsia echinometra Becc. (JW 310) 18. Korthalsia rostrata Bl. 19. Korthalsia rigida Bl. (JW 299) 20. Korthalsia robusta Bl. 21. Korthalsia flagellaris Miq. (JW 308) 22. Korthalsia hispida Becc. (JW 304) 23. Ceratolobus discolor Becc. (JW 301) 24. Ceratolobus subangulatus (Miq.) 25. Eugeissona utilis Becc. 26. Oncosperma horridum (Griff.) Scheff. 27. Pinanga mooreana J. Dransf. (JW 298) 28. Pinanga aristata (Burret) J. Dransf. (JW 300) 29. Pinanga patula Bl. 30. Pinanga sp. (JW 303) 31. Iguanura macrostachya Becc. (JW 307) 32. Arenga distincta Mogea (JW 314) 33. Licuala bidentata Becc. (JW 297)

Page 30: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 22-30 24

helaian daun, C. blumei mirip C. rhomboideus Bl. yang terdapat di Jawa dan Sumatera. Beberapa jenis yang daunnya berbentuk belah ketupat di Borneo, seperi C. tomentosus, C. rhomboideus, C. slootenii, dan C. penibukanensis dimasukkan ke dalam C. blumei, karena tidak terdapat perbedaan karakter morfologi yang signifikan (Dransfield, 1984).

Calamus paspalanthus Becc.-JW 292 Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 295

(1908); Dransfield dalam Man. Ratt. Malay Pen. 157 (1979), Ratt. Sabah 130 (1984), dan Ratt. Sar. 146 (1992),

Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 10 m, biasanya tumbuh merayap di atas tanah dan menghasilkan akar pada ruas yang bersentuhan dengan tanah. Diamater batang sampai 3 cm (tanpa pelepah sampai 1,25 cm). Panjang ruas sampai 15 cm. Pelepah hijau kecoklatan, berduri rapat, tegak, panjang duri sampai 5 cm. Lutut tampak jelas, menggembung. Selaput bumbung berkembang baik, bergaris, mudah pecah, dan berbentuk seperti kertas. Flagellum sampai 400 cm. Panjang daun sampai 180 cm, panjang tangkai sampai 20 cm, tulang daun tertutup oleh rambut-rambut halus yang berwarna kecoklatan, helaian daun 60 di tiap sisi tulang daun, tersusun teratur dan rapat, berbentuk linear, berduri kecil di bagian permukaan bawah. Perbuahan panjang, sampai 400 cm. Diameter buah sampai 1,6 cm, berwarna coklat kemerahan.

Persebaran: Borneo dan Semenanjung Malaya. Di Gunung Lumut ditemukan pada ketinggian sekitar 700 m dpl, sedangkan di areal HPH PT. IUC pada ketinggian 225 m dpl. Jenis ini pada dua daerah tersebut sedikit berbeda secara morfologi, di ketinggian 225 m secara umum berukuran lebih besar.

Catatan: C. paspalanthus memiliki ciri yang spesifik terutama bentuk dan panjang duri di pelepah yang berdekatan dengan tangkai daun.

Calamus flabelloides Furtado (Uway peles)-JW 294. Dransfield dalam Man. Ratt. Malay Pen. 195 (1979) dan

Ratt. Sabah 145 (1984). Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 15 m, Diameter

batang sampai 0,8 cm (tanpa pelepah sampai 0,4 cm), panjang ruas sampai 40 cm. Pelepah daun hijau tua, duri berbentuk segitiga sampai 1,5 cm. Lutut tampak jelas, sela-put bumbung tidak berkembang. Panjang flagellum sampai 90 cm. Panjang daun sampai 30 cm, tidak bertangkai daun atau sangat pendek; helaian daun 3-4 di tiap sisi tulang daun, bagian pangkal memeluk batang, bagian ujung bergabung sepanjang 1/3 sampai 2/3 bagian. Steril.

Persebaran: Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Borneo. Jenis ini terdapat di hutan Dipterocarpaceae pada area HPH PT. IUC dataran rendah, terutama pada ketinggian sekitar 225 m dpl.

Catatan: Pada fase juvenil, seringkali C. flabelloides hanya memiliki sepasang daun, setelah flagellum terbentuk dan mulai memanjat, diikuti perubahan bentuk daun.

Calamus laevigatus Mart. var. laevigatus-JW 296. Martius dalam Hist. Nat. Palm. 3: 339 (1853); Man. Ratt.

Malay Pen. 138 (1979), Ratt. Sabah 102 (1984), dan Ratt. Sar. 103 (1992).

Calamus retrophyllus Becc. dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11 (Suppl.): 123 (1913).

Pertelaan: tunggal, memanjat, tinggi sampai 10 m, diamater batang sampai 1 cm (tanpa pelepah sampai 0,4 cm), panjang ruas sampai 15 cm. Pelepah daun hijau

pucat, berduri segitiga, kadang-kadang tidak berduri. Lutut tampak jelas. Selaput bumbung jarang berkembang. Panjang daun sampai 110 cm, tidak bertangkai daun, daun paling pangkal memeluk batang, panjang cirus sampai 50 cm, helaian daun 20 di tiap sisi tulang daun, tersusun tidak teratur, berbentuk linier sampai bulat memanjang, di bagian pangkal terdapat 8 helaian daun di tiap sisi, berpasangan dan tersusun rapat, di bagian atas biasanya berkelompok dalam 2-4. Steril.

Persebaran: Borneo, Semenanjung Malaya, dan Sumatera. Jenis ini terdapat di hutan Dipterocarpaceae pada area HPH PT. IUC di ketinggian sekitar 225 m dpl.

Calamus ornatus Bl. Blume dalam Rumphia 3: 58 (1847); Beccari dalam Ann.

Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 368 (1908); Dransfield dalam Man. Ratt. Malay Pen. 201 (1979), Ratt. Sabah 150 (1984), dan Ratt. Sar. 163 (1992).

Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 30 m, diameter batang sampai 7 cm (tanpa pelepah sampai 4 cm), panjang ruas sampai 25 cm. Pelepah daun hijau tua, berduri segitiga, ukuran sampai 3x1 cm, berwarna hijau kekuningan, bagian pangkal berwarna hitam. Lutut terlihat jelas, selaput bumbung pendek. Panjang flagellum sampai 15 m, hijau tua, berduri pendek warna hitam. Panjang daun sampai 4 m, panjang tangkai sampai 75 cm, jumlah helaian daun 20-30 di tiap sisi tulang daun, warna hijau pucat, tersusun teratur, bentuk bulat memanjang. Steril.

Persebaran: Borneo, Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand bagian selatan, Philippina, dan Sulawesi. Jenis ini terdapat di di area HPH PT. IUC terutama di hutan Dipterocarpaceae campuran sampai ketinggian 500 m dpl.

Catatan: Secara morfologi memiliki kemiripan dengan C. scipionum.

Calamus scipionum Lour. (Rotan semambu) Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11: 317

(1908); Dransfield dalam Man. Ratt. Malay Pen. 203 (1979), Ratt. Sabah 150 (1984), dan Ratt. Sar. 166 (1992).

Pertelaan: berumpun, memanjat, tinggi sampai 30 m. Diameter batang sampai 3 cm (tanpa pelepah sampai 2 cm). Pelepah daun hijau tua, berduri segitiga, tersusun jarang, berbentuk segitiga, berwarna hijau kekuningan, bagian pangkal berwarna hitam, panjang sampai 5 cm. Ruas panjang, biasanya sampai 50 cm. Lutut terlihat jelas, selaput bumbung biasanya pendek. Panjang flagellum sampai 7 m, berduri hitam. Panjang daun sampai 2 m, panjang tangkai sampai 30 cm, helaian daun 25 di tiap sisi tulang daun, tersusun teratur, bentuk linier sampai bulat memanjang, bagian ujung berduri tipis. Steril.

Persebaran: Borneo, Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand bagian selatan, dan Palawan. Jenis ini terdapat di area HPH PT. IUC pada hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang telah terganggu pada ketinggian sekitar 225 m dpl.

Catatan: Jenis ini termasuk rotan berbatang besar, selain C. ornatus. Pada fase juvenil, C. scipionum sulit dibedakan dengan C. ornatus.

Calamus sp.-JW 309 Pertelaan: berumpun, memanjat, tinggi sampai 10 m.

Diameter batang sampai 1 cm (tanpa pelepah sampai 0,5 cm). Ruas panjang sampai 40 cm, pelepah berwarna hijau pucat, berduri segitiga, tersusun jarang dan tidak teratur, panjang sampai 1 cm. Lutut tampak jelas, selaput bumbung berkembang baik, berbentuk serabut. Panjang sampai 175 cm, panjang tangkai sampai 15 cm, cirus sampai 90 cm.

Page 31: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

WITONO – Palmae di Gunung Lumut Kalimantan Tengah 25

Helaian daun 8-9 di tiap sisi tulang daun, bentuk bulat memanjang, tersusun tidak teratur. Steril.

Persebaran: Di Gunung Lumut, terutama ditemukan di hutan Dipterocarpaceae campuran pada lereng bukit yang berdekatan dengan aliran sungai kecil. Populasi jenis ini bersifat lokal, populasi terbanyak pada ketinggian sekitar 700 m dpl.

Catatan: Identifikasi sampai pada tingkat jenis sulit dilakukan karena dalam keadaan steril. Berdasarkan publikasi rotan di Borneo, jenis ini tidak memiliki kemiripan morfologi dengan jenis lain yang telah diterbitkan. Daemonorops

Daemonorops korthalsii Bl. (Rotan semele)-JW 286 Blume dalam Rumphia 3: 23 (1847); Beccari dalam Ann.

Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1): 148 (1911); Dransfield dalam Ratt. Sabah 63 (1984).

Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 4 m. Diameter batang sampai 3 cm (tanpa pelepah 1,5 cm). Panjang ruas sampai 15 cm. Pelepah daun hijau tua, berduri hitam sampai 3 cm, kadang-kadang terdapat bercak berwarna coklat pada pelepah yang masih muda, duri di sekitar mulut pelepah tegak dan lebih besar dibandingkan dengan bagian yang lain. Lutut tampak jelas, selaput bumbung tidak berkembang. Panjang daun sampai 270 cm, panjang tangkai sampai 50 cm, cirus sampai 100 cm. Tangkai daun berduri panjang, duri terbatas pada permukaan atas dan kadang-kadang dalam barisan di bagian tepi. Susunan helaian daun menyirip, terdiri atas 45 helaian daun di tiap sisi tulang daun, tersusun teratur, ukuran sampai 35x1,5 cm. Perbungaan menjanggut, panjang sampai 40 cm, seludang primer segera luruh pada saat antesis, duri tersusun dalam kelompok, rakila bunga betina sampai 6 cm, seludang berukuran kecil; rakila bunga jantan pendek, panjang sampai 3 cm. Buah masak bulat telur, ukuran 1,5x1 cm, warna coklat muda. Biji ovoid, datar/rata pada dua sisi, endosperm memamah.

Persebaran: Borneo (endemik). Di Gunung Lumut terdapat di hutan Dipterocarpaceae sampai ketinggian 700 m dpl.

Catatan: D. korthalsii termasuk anggota Daemonorops hystrix kompleks. Secara morfologi, jenis ini terpisah karena adanya duri yang tumbuh terbatas pada bagian pelepah dan beberapa duri di sekitar mulut pelepah daun.

Daemonorops fissa Bl. (Rotan kijang, Siit telaus)-JW 306. Blume dalam Rumphia 3: 17 (1849); Beccari dalam Ann.

Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1): 65 (1911); Dransfield dalam Ratt. Sabah 51 (1984) dan Ratt. Sar. 43 (1992).

Pertelaan: berumpun, memanjat, tinggi sampai 8 m. Diamater batang sampai 2,5 cm (tanpa pelepah sampai 1,25 cm), panjang ruas sampai 15 cm; bergetah putih. Pelepah daun hijau kecoklatan, duri hitam, panjang 1-2 cm, terpisah-pisah atau dalam kelompok, sebagian tersusun horizontal atau membulat; banyak terdapat bercak-bercak/bulu-bulu berwarna coklat. Lutut berkembang baik, berduri seperti pada pelepah. Selaput bumbung tidak berkembang. Panjang daun sampai 270 cm, panjang tangkai sampai 40 cm dan cirus sampai 1 m; tangkai daun biasanya berduri dalam kelompok, duri segitiga pendek di sepanjang bagian tepi; helaian daun sampai 60 tiap sisi tulang daun, tersusun rapat, teratur, linear, ukuran sampai 40x1,5 cm, berduri halus di sepanjang tepi daun sampai 5 nervi pada permukaan atas maupun bawah. Perbungaan jantan dan betina sama, tegak pada saat antesis, panjang sampai 50 cm, bagian dalam tertutup rapat oleh seludang perbungaan, biasanya tetap menempel sampai buah

masak, bagian luar biasanya berduri rapat, duri sama seperti pada pelepah, banyak terdapat bercak-bercak berwarna coklat. Buah masak berukuran sampai 2 cm, biji berdiamater sampai 1,3 cm, endosperm memamah.

Persebaran: Borneo (endemik). Di Gunung Lumut terdapat di punggung bukit hutan Dipterocarpaceae campuran pada ketinggian 900 m dpl.

Catatan: Jenis ini berkerabat dekat dengan D. melanochaetes dan D. angustifolia. Jenis ini oleh Furtado (1953) dimasukkkan dalam kelompok cymbospatha, bagian dalam perbungaan tetap tertutup oleh seludang perbungaan meskipun buah telah masak.

Daemonorops cristata Becc.-JW 315 Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1): 190

(1911). Pertelaan: berumpun, batang pendek, tinggi sampai 2

m. Diameter batang sampai 3 cm (tanpa pelepah sampai 1,5 cm). Panjang ruas sampai 10 cm, Pelepah daun hijau, berduri tajam, warna coklat sampai hitam, panjang sampai 2 cm. Lutut tidak tampak jelas. Panjang daun sampai 320 cm, panjang tangkai sampai 80 cm, cirus sampai 90 cm. Tangkai daun berduri panjang, tersusun rapat, berbentuk segitiga, tajam. Helaian daun sampai 40 di tiap sisi tulang daun, tersusun teratur. Perbuahan tegak, seludang tipis, tidak berduri. Buah muda bulat, berwarna hijau, biji bulat, diameter sampai 1 cm.

Persebaran: Borneo (endemik). D. cristata ditemukan di areal HPH PT. IUC pada ketinggian sekitar 200 m dpl. dalam populasi yang kecil dan bersifat lokal.

Catatan: Jenis ini lututnya tidak tampak jelas dan berduri rapat dan panjang baik pada pelepah maupun tangkai daun.

Daemonorops sabut Becc. (Rotan duru)-JW 293 Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1):

1811 (1911); Dransfield dalam Man. Ratt. Malay Pen. 109 (1979), Ratt. Sabah 59 (1984), dan Ratt. Sar. 69 (1992).

D. annulata Becc. dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1): 174 (1911).

D. pseudomirabilis Becc. dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1): 179 (1911).

D. turbinate Becc. dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1): 225 (1911).

Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 15 m, diameter batang sampai 3 cm (tanpa pelepah sampai 1,5 cm), panjang ruas sampai 15 cm. Pelepah hijau kekuningan, duri tersusun melingkar, luruh jika telah tua/kering, warna hitam kecoklatan, panjang 1-6 cm; lutut berkembang. Panjang daun sampai 250 cm, panjang tangkai sampai 40 cm, cirus sampai 100 cm; tangkai daun bagian bawah berduri hitam, tersusun terpisah atau dalam kelompok, terdiri atas 20 helaian daun di tiap sisi tulang daun, tersusun dalam kelompok 3-6 helaian. Perbungaan jantan berwarna kuning, menggantung.

Persebaran: Borneo dan Semenanjung Malaya. Jenis ini terdapat di areal HPH PT. IUC pada hutan Dipterocarp-aceae campuran pada ketinggian sekitar 300 m dpl.

Catatan: Secara morfologi, D. sabut hampir sama dengan D. formicaria. Kedua jenis ini dibedakan berdasar-kan bentuk dan susunan helaian daun. Pada D. formicaria, bentuk helaian daun linear dan tersusun teratur, sedangkan D. sabut berbentuk bulat memanjang dan tersusun dalam kelompok.

Daemonorops didymophylla Becc. (Rotan jernang,

Uway jeranang)-JW 287

Page 32: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 22-30 26

Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1): 123 (1911); Dransfield dalam Man. Ratt. Mal. Pen. 90 (1979), Ratt. Sabah 53 (1984) dan Ratt. Sar. 43 (1992).

Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 15 m, diameter batang sampai 2,5 cm (tanpa pelepah sampai 1,25 cm), panjang ruas sampai 30 cm. Pelepah daun hijau tua, berduri mengelompok, kadang-kadang merata, duri berwarna abu-abu sampai hitam, panjang antara 0,4-2,5 cm, bagian pangkal kuning. Lutut tampak jelas. Panjang daun sampai 270 cm, tangkai daun sampai 35 cm, dan cirus sampai 100 cm. Tangkai daun biasanya membulat pada bagian pangkal, berduri pendek berwarna kekuningan pada permukaan bawah. Helaian daun sampai 20 di tiap sisi tulang daun, tersusun menyilang berhadapan, kadang-kadang teratur, ukuran sampai 35x3,5 cm, kadangkala sampai 40x2 cm, berambut di sepanjang tepinya. Perbungaan pendek sampai 20 cm, perbungaan jantan dan betina biasanya sama, pada percabangan pertama segera luruh pada saat antesis. Tangkai perbungaan dan cabang pertama berduri dengan sebagian membentuk kelompok, duri sampai 0,5 cm, rakila dan bunga tertutup oleh bulu-bulu halus yang berwarna merah kecoklatan. Buah ovoid, ukuran sampai 2,5x2 cm. Biji ovoid, beberapa bagian datar/rata, endosperm memamah.

Persebaran: Borneo, Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Thailand bagian selatan. Di Gunung Lumut, terdapat di punggung bukit pada hutan Dipterocarpaceae campuran pada ketinggian sampai 900 m dpl.

Catatan: D. didymophylla mudah diidentifikasi dari ketidakteraturan susunan helaian daun, bentuk tangkai daun yang membulat merupakan karakter yang konsisten.

Daemonorops sp. (Rotan kehes)-JW 289 Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 10 m, batang

bergaris berwarna kecoklatan. Diameter batang sampai 1 cm (tanpa pelepah sampai 0,5 cm), panjang ruas sampai 10 cm, warna hijau, berduri jarang, berbentuk segitiga, pendek, berwarna hijau kehitaman. Panjang daun sampai 80 cm, panjang tangkai sampai 2 cm, panjang cirus sampai 45 cm. Terdiri atas 13 helaian daun di tiap sisi tulang daun, helaian daun berbentuk bulat memanjang sampai bulat telur, susunan daun teratur, perbuahan pendek, seludang tidak luruh meskipun buah telah tua, warna buah jingga kecoklatan, diamater 1 cm, diameter biji 0,8 cm, endosperm memamah.

Persebaran: Di Gunung Lumut terdapat di punggung bukit yang menuju puncak.

Catatan: Jenis ini mirip dengan C. laevigatus, berdasar-kan bentuk batang dan daun serta susunan helaian daun. Namun setelah melihat perbuahan dan bentuk buah, jenis ini termasuk dalam genus Daemonorops karena seludang perbungaan tetap menempel meskipun buah telah tua dan seludang cabang perbungaan tidak ditemukan.

Daemonorps sp. (Rotan jernang, Uway jeranang)-JW 305 Pertelaan: tunggal, tinggi sampai 10 m, diameter batang

sampai 3,5 cm (tanpa pelepah sampai 1,5 cm), panjang ruas 15-25 cm. Pelepah daun hijau kecoklatan, berduri segitiga, panjang sampai 2 cm, tersusun tidak teratur, terdapat bintik-bintik berwarna coklat. Panjang daun sampai 300 cm, panjang tangkai sampai 30 cm, cirus 100 cm, terdiri atas 60 helaian daun di tiap sisi tulang daun, tersusun teratur, bentuk linier. Seludang tetap menempel meskipun buah telah masak, warna buah kuning kecoklatan, beberapa buah ditemukan adanya zat pewarna seperti pada jenis rotan jernang.

Persebaran: Di Gunung Lumut, terdapat di daerah punggung bukit yang menuju ke puncak pada hutan campuran Dipterocarpaceae ke hutan Myrtaceae di ketinggian 950 m dpl.

Catatan: Berdasarkan hasil identifikasi, jenis ini mirip dengan D. hystrix yang banyak tumbuh di Jawa. Perbeda-annya terletak pada panjang daun dan karakter buah. Pada D. hystrix, panjang daunnya hanya mencapai 120 cm dan buahnya tidak pernah menghasilkan zat pewarna. Oleh karena itu, penulis menarik kesimpulan sementara bahwa spesies ini dimasukkan dalam D. hystrix kompleks. Plectocomia

Plectocomia mulleri Bl.-JW 288 Blume dalam Rumphia 3: 71 (1847); Beccari dalam Ann.

Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 30 (1918); Dransfield dalam Man. Ratt. Malay Pen. 59 (1979), Ratt. Sabah 34 (1984), dan Ratt. Sar. 216 (1992); Madulid dalam Kalikasan 10: 55 (1981).

Pertelaan: berumpun, memanjat sampai 20 m; diameter batang sampai 3 cm (tanpa pelepah sampai 1,3 cm), panjang ruas sampai 20 cm. Pelepah daun tidak berlutut, warna hijau keabu-abuan, susunan duri teratur dalam barisan, panjang sampai 2 cm. Panjang daun sampai 4 m. Susunan helaian daun tidak teratur, biasanya dalam kelompok, tiap kelompok terdiri atas 2-5, permukaan atas berwarna hijau tua, bagian bawah berwarna hijau keputihan. Steril.

Persebaran: Borneo dan Semenanjung Malaya. Di Gunung Lumut ditemukan pada punggung bukit yang menuju puncak gunung. Korthalsia

Korthalsia echinometra Becc. (Rotan semut)-JW 310 Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 115

(1918). Dransfield, Man. Ratt. Mal. Pen. 47 (1979), Kew Bull. 36: 188 (1981), Ratt. Sabah 22 (1984), dan Ratt. Sar. 28 (1992).

Pertelaan: berumpun, batang bercabang, tinggi sampai 20 m. Diameter batang sampai 2,5 cm (tanpa pelepah 1,5 cm), panjang ruas sampai 15 cm. Pelepah hijau terang, selaput bumbung menggelembung, berisi semut, ukuran sampai 10x5 cm, berduri hitam dengan panjang mencapai 5 cm. Panjang daun sampai 175 cm, cirus sampai 75 cm, tangkai daun sampai 10 cm. Jumlah helaian daun sampai 25 di tiap sisi tulang daun, bulat memanjang, bergerigi di sekitar ujung helaian daun, ukuran sampai 30x3 cm, permukaan atas berwarna hijau tua, permukaan bawah hijau keputihan seperti kapur.

Persebaran: Sumatera, Semenanjung Malaya bagian selatan, sampai Borneo. Di Gunung Lumut dan area HPH PT. IUC terdapat dalam populasi yang besar terutama pada ketinggian 300-600 m dpl., dan dapat ditemukan di hampir semua lokasi.

Catatan: K. echinometra merupakan satu-satunya jenis yang memiliki selaput bumbung yang besar dan meman-jang. Jika selaput tersebut dipukul atau digoyang akan terdengar bunyi yang khas karena pergerakan semut yang berada di dalam selaput bumbung yang keras dan kaku.

Korthalsia rostrata Bl. Blume dalam Rumphia 2: 168 (1843); Dransfield dalam

Kew Bull. 34: 29 (1979a), 36: 184 (1981), Ratt. Sabah 25 (1984), dan Ratt. Sar. 33 (1992).

Pertelaan: berumpun, batang bercabang, tinggi sampai 20 m. Diameter batang sampai 1,2 cm (tanpa pelepah 0,6-0,8 cm), panjang ruas sampai 10 cm. Pelepah hijau pucat,

Page 33: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

WITONO – Palmae di Gunung Lumut Kalimantan Tengah 27

duri sampai 2 mm. Selaput bumbung menggelembung kecil dengan ukuran 3x2 cm, berduri, panjang sampai 3 mm, berisi semut kecil. Panjang daun sampai 110 cm, cirus sampai 60 cm, tangkai daun sampai 15 cm; jumlah helaian daun 3-7 di tiap sisi tulang daun, berbentuk belah ketupat, ukuran sampai 20x10 cm, bergerigi pada bagian ujung dengan lekukan sampai 3 mm, permukaan atas berwarna hijau, permukaan bawah hijau keputihan.

Persebaran: Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand bagian selatan, sampai Borneo. Di Gunung Lumut umum-nya terdapat di hutan Dipterocarpaceae dataran rendah.

Catatan: Ukuran selaput bumbung K. rostrata tidak sebesar K. echinometra dan semut yang berada di dalam selaput bumbung berukuran jauh lebih kecil.

Korthalsia rigida Bl.-JW 299 Blume dalam Rumphia 2: 167 (1843); Beccari dalam

Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 124 (1918); Dransfield, Man. Ratt. Mal. Pen. 38 (1979), Kew Bull. 36: 172 (1981), Ratt. Sabah 15 (1984), dan Ratt. Sar. 19 (1992).

Pertelaan: berumpun, batang bercabang, tinggi 5 m. Diameter batang sampai 1,5 cm (tanpa pelepah sampai 0,5 cm); panjang ruas sampai 20 cm. Pelepah daun hijau pucat, kadang-kadang tertutup oleh bintik-bintik berwarna abu-abu dan coklat, duri jarang, panjang sampai 1 cm. Selaput bumbung sampai 4 cm, menempel erat pada batang, tidak berduri. Panjang daun sampai 100 cm, tangkai daun sampai 10 cm dan cirrus sampai 50 cm. Helaian daun 5-6 di tiap sisi tulang daun, permukaan atas berwarna hijau tua sampai pucat, permukaan bawah hijau keabu-abuan, berbentuk belah ketupat, ukuran sampau 15x8 cm. Steril.

Persebaran: Borneo, Palawan, Sumatera, Semenanjung Malaya sampai Thailand bagian selatan. Di Gunung Lumut ditemukan pada punggung bukit di hutan Dipterocarpaceae pada ketinggian sekitar 800 m.

Catatan: Jenis ini berkerabat dekat dengan Korthalsia paucijuga, namun K. paucijuga memiliki batang yang lebih kecil, tidak memiliki tangkai daun dan helaian daun 3 sampai 4 di tiap sisi tulang daun.

Korthalsia robusta Bl. (Rotan Mea, Rotan Merah) Blume dalam Rumphia 2: 170 (1843); Beccari dalam

Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 148 (1918); Dransfield dalam Kew Bull. 36: 190 (1981), Ratt. Sabah 30 (1984), dan Ratt. Sar. 35 (1992).

K. squarrosa Becc. dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 152 (1918).

K. macrocarpa Becc. Dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 49 (1918)

Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 30 cm. Diamater batang sampai 3,5 cm (tanpa pelepah sampai 2,5 cm); panjang ruas sampai 20 cm, bagian tengah pelepah hijau dan berduri hitam, panjang sampai 1 cm. Selaput bumbung memanjang berukuran sampai 30x7 cm, berwarna coklat muda, terbagi dua, bagian ujung meruncing, kadang-kadang bagian tepi menggulung, duri rapat sampai 2 cm; banyak terdapat semut pada selaput bumbung. Panjang daun sampai 300 cm, tangkai daun sampai 20 cm dan cirus sampai 175 cm. Jumlah helaian daun sampai 10 di tiap sisi tulang daun, bentuk belah ketupat melebar, ukuran sampai 25x10 cm, permukaan atas hijau muda, permukaan bawah hijau keputihan. Steril.

Persebaran: Borneo, Sumatera, dan Palawan. Jenis ini terdapat dalam populasi yang besar terutama di area HPH PT. IUC, di tepi sungai.

Catatan: K. robusta berkerabat dekat dengan K. hispida, keduanya dibedakan berdasarkan bentuk duri pada pelepah dan selaput bumbung. Pada K. hispida tidak terdapat duri pada pelepah dan selaput.

Korthalsia flagellaris Miq. (Rotan mea, Rotan merah)-

JW 308 Beccari dalam Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 143

(1918); Dransfield dalam Man. Ratt. Mal. Pen. 42 (1979), Kew Bull. 36: 180 (1981), Ratt. Sabah 20 (1984), dan Ratt. Sar. 25 (1992).

Pertelaan: berumpun, batang bercabang, tinggi sampai 10 m. Diameter batang sampai 2,5 cm (tanpa pelepah sampai 1,25 cm), panjang ruas sampai 25 cm. Pelepah daun hijau kecoklatan, tertutup oleh bintik-bintik berwarna hitam dan bulu-bulu halus berwarna coklat. Selaput bumbung menempel rapat pada batang. Panjang daun sampai 210 cm, panjang tangkai 15 cm, panjang cirus 75 cm. Helaian daun 11-12 di tiap sisi tulang daun, bentuk belah ketupat menyempit, ukuran sampai 30x5 cm. Permukaan atas berwarna hijau, permukaan bawah hijau kecoklatan. Steril.

Persebaran: Borneo, Sumatera, dan Semenanjung Malaya. Di Gunung Lumut terdapat pada area yang vegeta-sinya didominasi oleh damar dan Dipterocarpaceae, teruta-ma di lereng-lereng bukit pada ketinggian sekitar 700 m dpl.

Catatan: Di berbagai publikasi disebutkan bahwa K. flagellumris selalu tumbuh pada hutan rawa gambut, namun di Gunung Lumut tumbuh di hutan pegunungan. Pada fase anakan, daunnya tidak pecah seperti daun Johannesteijs-mannia altrifrons. Berdasarkan karakter morfologinya, jenis ini mirip dengan K. flagellumris, namun karena dalam keadaan steril, pengamatan lebih detail perlu dilakukan, apakah spesimen tersebut K. flagellumris atau tidak.

Korthalsia hispida Becc.-JW 304 Beccari dalam Malesia 2: 72 (1884) dan Ann. Roy. Bot.

Gard. Calcutta 12 (2): 154 (1918); Dransfield dalam Man. Ratt. Mal. Pen. 50 (1979), Kew Bull. 36: 192 (1981), Ratt. Sabah 30 (1984), dan Ratt. Sar. 37 (1992).

Pertelaan: berumpun, tinggi batang sampai 10 m, bercabang di kanopi. Diameter batang sampai 3 cm (tanpa pelepah sampai 1,5 cm); panjang ruas sampai 15 cm, pelepah hijau terang, berbintik-bintik coklat, kadang-kadang berduri hitam dengan panjang sampai 2,5 cm. Selaput bumbung berkembang, ukuran sampai 25x5 cm, terbelah dua dengan bagian ujung meruncing, kedua sisi menggulung, berduri hitam sampai 2,5 cm, pada selaput bumbung banyak terdapat semut dan biasanya sangat sibuk. Panjang daun sampai 280 cm, tangkai sampai 45 cm, cirus sampai 100 cm. Helaian daun 8 di tiap sisi tulang daun. Permukaan atas hijau muda, permukaan bawah hijau keputihan seperti kapur. Steril.

Persebaran: Borneo, Sumatera, dan Malaya. Di Gunung Lumut terdapat di hutan Dipterocarpaceae campuran pada ketinggian 950 m dpl., terutama di pungung-punggung bukit.

Catatan: Jika diganggu terutama bagian selaput bumbung, semut akan keluar sehingga untuk membuat koleksi herbarium kadangkala sulit dilakukan. Ceratolobus

Ceratolobus discolor Becc. (Rotan bura, Rotan putih)-JW 301

Beccari dalam Malesia 3: 63 (1886), dan Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2): 7 (1918). Dransfield dalam Kew Bull.

Page 34: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 22-30 28

34: 25 (1979), Ratt. Sabah 173 (1984), dan Ratt. Sar. 201 (1992).

Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 10 m, diameter batang sampai 2 cm (tanpa pelepah 1 cm), panjang ruas sampai 20 cm. Pelepah daun hijau, berbintik-bintik coklat, duri berwarna hitam pucat, panjang sampai 2 cm. Lutut tampak jelas, berwarna hijau kekuningan. Selaput bumbung tidak berkembang, panjang sampai 1 cm. Panjang daun 210 cm, tangkai sampai 15 cm, cirus sampai 110 cm. Helaian daun 6-7 di tiap sisi tulang daun, berbentuk belah ketupat, bagian ujung bergerigi, sampai 35x15 cm, warna permukaan atas hijau tua, permukaan bawah abu-abu keputihan. Perbungaan jantan dan betina sama, tidak bertangkai, tegak, ukuran seludang 80x9 cm, berwarna coklat tua, keras dan hampir berkayu, tertutup oleh bulu-bulu berwarna coklat.

Persebaran: Sumatera dan Borneo. Di Gunung Lumut hanya ditemukan di punggung bukit pada hutan Dipterocarpaceae di ketinggian 800 m dpl.

Catatan: Jenis ini mirip dengan Ceratolobus concolor. Keduanya dibedakan berdasarkan ukuran dan warna helaian daun. Pada C. concolor, ukuran lebih kecil dan warna helaian daun permukaan atas dan bawah sama. Berdasarkan bentuk daun, Ceratolobus mirip dengan Korthalsia, namun Korthalsia tidak memiliki lutut dan selaput bumbung berkembang baik.

Ceratolobus subangulatus (Miq.) Becc.-JW 295 Dransfield dalam Kew Bull. 34: 12 (1979), Man. Ratt.

Malay Pen. 251 (1979), Ratt. Sabah 171 (1984), dan Ratt. Sar. 199 (1992).

Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 5 m, diameter batang sampai 0,9 cm (tanpa pelepah sampai 0,4 cm), panjang ruas sampai 10 cm. Pelepah daun hijau tua, duri jarang, berbentuk segitiga, warna hijau kecoklatan. Lutut tampak jelas; selaput bumbung tidak berkembang. Panjang daun sampai 60 cm, tangkai daun pendek sampai 3 cm, panjang cirus sampai 20 cm; helaian daun sampai 10 di tiap sisi tulang daun, bentuk bulat memanjang, tersusun teratur atau membentuk kelompok berjumlah 2-3 helaian. Steril.

Persebaran: Borneo, Semenanjung Malaya, dan Sumatera. Jenis ini terdapat di area HPH PT. IUC pada ketinggian 225 m dpl.

Catatan: Dibandingkan dengan jenis Ceratolobus yang lain, C. subangulatus memiliki bentuk daun yang berbeda, yakni bulat memanjang, sedangkan jenis lain berbentuk belah ketupat dengan bagian ujung bergerigi. Eugeissona

Eugeissona utilis Becc. Pertelaan: berumpun, batang berduri, tinggi sampai 20

m, diameter sampai 30 cm. Panjang daun sampai 5 m, tangkai daun berduri, panjang sampai 30 cm, helaian daun tersusun teratur, panjang sampai 120 cm. Perbungaan terletak di ujung batang, tumbuh tegak, panjang sampai 4 m. Buah keras, bersisik seperti buah salak.

Persebaran: Kalimantan (endemik ?). Di Gunung Lumut, jenis ini hanya ditemukan di satu lokasi yaitu di lereng punggung bukit yang menuju ke puncak Gunung Lumut pada ketinggian sekitar 750 m dpl. Di daerah tersebut, E. utilis ditemukan dalam populasi yang terbatas. Oncosperma

Oncosperma horridum (Griff.) Scheff. (Palem nibung) Hodel dalam Palms & Cycads Thai. 134 (1998) Pertelaan: berumpun, terdiri atas 3-6 individu, tinggi

sampai 20 m. Batang abu-abu, berduri tajam berwarna

hitam, panjang 5-10 cm, duri di bagian bawah akan luruh jika pohon telah dewasa. Tajuk terdiri atas 15-25 daun, tajuk pelepah berduri, panjang sampai 100 cm, meng-gembung, tangkai daun berduri, panjang sampai 60 cm, ibu tulang daun sampai 4 m, seringkali memutar, helaian daun tumbuh tegak, tersusun teratur, terdiri atas 80 helaian daun di tiap sisi tulang daun. Perbungaan 3-5 buah tiap individu, tumbuh di bawah tajuk pelepah, panjang sampai 100 cm; panjang tangkai perbungaan sampai 15 cm, menyebar, menjanggut, rakila sampai 30 buah, panjang sampai 80 cm. Buah coklat kehitaman, bulat, diameter sampai 1,5 cm.

Persebaran: Semenanjung Malaya, Philipina, Thailand, Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi, Maluku, sampai Papua. Jenis ini terdapat di area HPH PT. IUC terutama di hutan dataran rendah Dipterocarpaceae sampai pada ketinggian 500 m dpl.

Catatan: Secara morfologi O. horridum mirip dengan O. tigillarium. Perbedaannya terletak pada bentuk dan pertumbuhan daun serta tempat tumbuh. O. horridum memiliki ukuran batang dan daun yang lebih besar, ibu tulang daun seringkali memutar, helaian daun tumbuh tegak, dan umumnya tumbuh di hutan pegunungan. Sedangkan O. tigillarium memiliki ukuran batang dan daun yang lebih kecil, ibu tulang daun tidak memutar, helaian daun menjanggut, dan umumnya tumbuh di hutan rawa gambut atau hutan pantai. Pinanga

Pinanga mooreana J. Dransf. (Sepon pokek, Pinang hutan)-JW 298

Dransfield dalam Kew Bull. 34 (4): 783 (1980). Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 5 m, diameter

sampai 3 cm, panjang ruas sampai 3 cm, jarak antar ruas sampai 1 cm. Permukaan batang hijau kecoklatan di bagian atas, di bagian bawah hijau keabu-abuan, di bagian yang masih muda seringkali terdapat bintik-bintik berwarna coklat. Panjang tajuk pelepah sampai 60 cm, menggembung di bagian bawah, hijau kecoklatan, terdapat bintik-bintik berwarna coklat, jumlah daun di tajuk pohon sampai 8 buah. Panjang pelepah daun sampai 40 cm, panjang daun sampai 210 cm, panjang tangkai sampai 30 cm, diameter sampai 1,5 cm, berbintik-bintik coklat. Helaian daun 20 di tiap sisi tulang daun, tersusun teratur, di bagian pangkal sampai mendekati ujung terdiri atas 1-3 tulang daun, di bagian ujung berpasangan. Steril.

Persebaran: Borneo (endemik). Jenis ini terdapat di area HPH PT. IUC pada tanah aluvial di tepi sungai kecil pada ketinggian sekitar 200 m dpl.

Catatan: Jenis ini berkerabat dekat dengan P. malaiana. Perbedaannya terletak pada ukurannya yang lebih besar pada semua bagian mulai dari batang, daun, dan perbungaan; dan helaian daun di bagian bawah berwarna keabu-abuan.

Pinanga aristata (Burret) J. Dransf. (Sepon nayu)-JW 300 Dransfield dalam Kew Bull. 34 (4): 775 (1980) Pertelaan: tunggal, tinggi sampai 3 m, diameter batang

sampai 2,5 cm, panjang ruas sampai 7 cm, jarak antar ruas sampai 0,5 cm, batang abu-abu kecoklatan. Panjang tajuk pelepah sampai 40 cm, menggembung di bagian bawah, hijau, terdapat bintik-bintik berwarna coklat, jumlah daun di tajuk pohon 7-8 buah. Panjang pelepah daun sampai 20 cm, panjang daun sampai 90 cm, panjang tangkai sampai 15 cm, diameter sampai 1 cm. Helaian daun 11-13 di tiap sisi tulang daun, tersusun teratur, di bagian pangkal sampai mendekati ujung terdiri atas 1-2 tulang daun, di bagian ujung berpasangan. Steril.

Page 35: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

WITONO – Palmae di Gunung Lumut Kalimantan Tengah 29

Persebaran: Borneo (endemik). Di Gunung Lumut terdapat pada punggung bukit yang menuju puncak Gunung Lumut pada hutan campuran yang didominasi oleh jenis-jenis Dipterocarpaceae dan myrtaceae. Di lokasi tersebut, spesies ini ditemukan dalam populasi yang cukup besar pada ketinggian sekitar 800 m dpl.

Pinanga patula Bl. (Pinang hutan) Blume dalam Rumphia 2: 87 (1839). Pertelaan: berumpun, tinggi sampai 1 m, diameter

batang sampai 3 cm, panjang ruas sampai 10 cm, jarak antar ruas sampai 1 cm, batang abu-abu kecoklatan. Panjang tajuk pelepah sampai 30 cm, menggembung di bagian bawah, hijau kekuningan, jumlah daun di tajuk pohon buah. Helaian daun tersusun teratur, di bagian pangkal sampai mendekati ujung terdiri atas 1-2 tulang daun, di bagian ujung berpasangan. Steril.

Persebaran: Sumatera dan Kalimantan. Jenis ini terda-pat di area HPH PT. IUC pada ketinggian sekitar 200 m dpl. Pinanga sp. (Sepon nayu)-JW 303

Pertelaan: tunggal, tinggi sampai 2 m, diameter sampai 4 cm, panjang ruas sampai 9 cm, jarak antar ruas sampai 2 cm. Batang hijau keabu-abuan. Panjang tajuk pelepah sampai 85 cm, menggembung di bagian bawah, hijau kekuningan, terdapat bintik-bintik berwarna coklat, jumlah daun di tajuk pohon sampai 6 buah. Panjang pelepah daun sampai 45 cm, panjang daun sampai 210 cm, panjang tangkai sampai 60 cm, diameter sampai 1,5 cm. Helaian daun 23 di tiap sisi tulang daun, tersusun teratur, di bagian pangkal sampai mendekati ujung terdiri atas 1-3 tulang daun, di bagian ujung berpasangan.

Persebaran: Di Gunung Lumut, spesies ini terdapat di lereng bukit yang berdekatan dengan puncak pada ketinggian 1.000 m dpl.

Catatan: Jenis ini mirip dengan Areca vestiaria yang berasal dari Sulawesi pada keadaan steril. Iguanura

Iguanura macrostachya Becc. (Sepon pokek)-JW 307 Beccari dalam Malesia 3: 101 (1886); Kiew dalam

Gard’s Bull. Sing. 28 (2): 208 (1976). Pertelaan: berumpun, tinggi batang sampai 2 m,

diameter sampai 1,5 cm. Daun tetap menempel pada batang meskipun telah kering, terdapat 8 daun di tajuk, pelepah daun tipis dan berserat, panjang sampai 15 cm, panjang daun sampai 60 cm, tangkai daun 15 cm. Perbungaan bercabang sampai 2 tingkat, tumbuh di antara daun, seludang bagian luar sampai 10 cm, di bagian dalam sampai 25 cm. Buah bulat telur, buah muda berwarna putih dan lunak.

Persebaran: Sarawak, Sabah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Di Gunung Lumut terdapat di hutan Dipterocarpaceae campuran pada ketinggian 900 m dpl.

Catatan: Jenis ini hanya ditemukan di satu lokasi dengan populasi yang kecil dan berkelompok pada kondisi yang steril dan beberapa individu berbuah muda. Arenga

Arenga distincta Mogea-JW 314 Mogea dalam Rev. marga Arenga 251 (1991). Pertelaan: berumpun, berupa semak, tinggi sampai 1 m,

diameter batang sampai 1,5 cm, panjang ruas sampai 5 cm. Jumlah daun pada batang sampai 6, meyirip ganjil, panjang pelepah sampai 10 cm, tepi pelepah dan lidah daun berserabut hitam, panjang lidah daun sampai 5 cm, permukaan helaian daun bagian atas licin, bagian bawah

berbintik-bintik coklat, ujung bergerigi, jumlah tulang daun 6-10. Perbungaan jantan kadang-kadang menembus pelepah daun, tunggal, ramping, panjang sampai 30 cm. Tangkai perbungaan terbungkus oleh daun gagang, ramping, panjang sampai 25 cm; jumlah rakila 1, merunduk, ramping panjang sampai 25 cm. Perbungaan betina mirip dengan jantan, biasanya lebih pendek, panjang sampai 25 cm. Buah bulat, diameter sampai 1 cm. Berbiji 1, agak bulat sampai lonjong melebar, panjang sampai 0,6 cm.

Persebaran: Borneo (endemik) terutama di Sabah, Sarawak, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Jenis ini terdapat di area HPH PT. IUC pada ketinggian 200 m dpl.

Catatan: A. distincta berkerabat dekat dengan A. hastata, perbedaannya terletak pada susunan daunnya. Pada A. distincta daunnya menyirip ganjil, sementara pada A. hastata menyirip genap. Licuala

Licuala bidentata Becc. (Torung)-JW 297 Beccari dalam Malesia 3: 80 (1886) Pertelaan: tunggal, tidak berbatang atau berbatang

pendek, diameter batang dengan pelepah sampai 15 cm. Jumlah daun di tajuk pohon sampai 9 buah. Pelepah daun hijau kekuningan, panjang tangkai daun sampai 150 cm, berduri sampai ½ panjang tangkai daun, berwarna hijau pucat di permukaan atas, permukaan bawah hijau kekuningan, panjang daun sampai 50 cm, daun terpecah sampai 20 helaian daun, berwarna hijau tua, warna permukaan atas sama dengan permukaan bawah, ujung helaian daun bergerigi. Perbungaan interfoliar, tegak, panjang perbungaan sampai 110 cm, jumlah cabang 4. Buah muda berwarna merah, homogen.

Persebaran: Borneo (endemik ?). Jenis ini terdapat di area HPH PT. IUC pada ketinggian 600 m dpl., terutama di daerah yang agak terbuka.

KESIMPULAN

Gunung Lumut dan area HPH PT. IUC memiliki keanekaragaman palem yang cukup tinggi. Di kawasan tersebut terdapat 33 jenis palem (11 marga), yaitu Calamus 8 jenis, Daemonorops 7 jenis, Plectocomia 1 jenis, Oncosperma 1 jenis, Pinanga 4 jenis, Korthalsia 6 jenis, Licuala 1 jenis, Eugeissona 1 jenis, Iguanura 1 jenis, Ceratolobus 2 jenis, dan Arenga 1 jenis. Pengusulan kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut oleh Pemerintah Kabupaten Barito Utara untuk dijadikan kawasan World Natural Heritage merupakan langkah yang perlu didukung oleh semua pihak, karena kawasan tersebut menyimpan kekayaan biodiversitas yang tinggi, sebagai sumber penyimpan air yang penting, dan secara topografi memiliki kemiringan yang curam.

DAFTAR PUSTAKA

Beccari, O. 1886-1890. Nuovi Studi Sulle Palme Asiatiche. Malesia 3: 58-149. Beccari, O. 1908. Asiatic Palms-Lepidocaryeae. Part 1. The Species of

Calamus. Annales Royal Botanic Gardens-Calcutta 11: 1-518. Beccari, O. 1913. Asiatic Palms-Lepidocaryeae. The Species of Calamus.

Annales Royal Botanic Gardens-Calcutta 11 (Suppl.): 123. Beccari, O. 1918. Asiatic Palms-Lepidocaryeae. Part III. Annales Royal

Botanic Gardens-Calcutta 12 (2): 1-231. Blume, C.L. 1838-1843. Rumphia, Sive Commentattiones Botanicae

Imprimis de Plantis Indiae Orientali 2. Lugduni Batavorum. Blume, C.L. 1849. Rumphia, Sive Commentattiones Botanicae Imprimis de

Plantis Indiae Orientali 3. Lugduni Batavorum.

Page 36: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 22-30 30

Dransfield, J. 1974. A Short Guide to Rattans. Bogor: BIOTROP-SEAMEO Regional Center for Tropical Biology..

Dransfield, J. 1979. A Mannual of Rattans of the Malay Peninsula. Kuala Lumpur: Malaysian Forest Records No. 29. Forest Department of Malaysia

Dransfield, J. 1979a. A monograph of the genus Ceratolobus (Palmae). Kew Bulletin 34: 1-33.

Dransfield, J. 1980. Systematic notes on Pinanga (Palmae) in Borneo. Kew Bulletin 34 (4): 769-788.

Dransfield, J. 1981. A Synopsis of Korthalsia (Palmae-Lepidocaryoideae). Kew Bulletin 36: 163-194.

Dransfield, J. 1984. The Rattans of Sabah. Sabah: Forest Department, Sabah, Malaysia.

Dransfield, J. 1992. The Rattans of Sarawak. London: Royal Botanic Gardens, Kew, UK and Sarawak Forest Department, Sarawak, Malaysia.

Dransfield, J. and N. Manokaran. 1994. Plant Resources of South-East Asia 6: Rattans. Bogor: Prosea Foundation..

Dransfield, J. and N.W. Uhl. 1989. Genera Palmarum, A Classification of Palms based on the work of Harold E. Moore, Jr. The L.H. Bailey Hortorium and The International Palm Society. Lawrence KN: Allen Press.

Furtado, C.X. 1953. The genus Daemonorops in Malaya. The Gardens Bulletin Singapore 14: 49-147.

Hodel, D.R. 1998. The Palms and Cycads of Thailand. Kampon Tansacha, Nong Nooch. Lawrence KN: Tropical Garden and The International Palm Society.

Kiew, R. 1976. The Genus Iguanura Bl. (Palmae). The Gardens Bulletin Singapore 28 (2): 191-226.

MacKinnon, K., G. Hatta, H. Hakim, and A. Mangalik. 1996. The Ecology of Indonesia Series Volume III: The Ecology of Kalimantan (Indonesian Borneo). Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd.

Madulid, D.A. 1981. A Monograph of Plectocomia (Palmae: Lepidocaryoideae). Kalikasan 10: 1-94.

Martius, C.F.P. von. 1853. Historia Naturalis Palmarum. Expositio Systematica 3: 339.

Mogea, J.P. 1991. Revisi Marga Arenga (Palmae). [Disertasi]. Jakarta: FMIPA Universitas Indonesia.

Primarck, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan, dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia.

Page 37: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 31-33

♥ Alamat korespondensi:

Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16002. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail: [email protected]

Inventarisasi Tumbuhan Potensial Untuk Fitoremediasi Lahan dan Air Terdegradasi Penambangan Emas

Inventarization of potential plant for phytoremediation on degraded land and water mined

TITI JUHAETI♥, FAUZIA SYARIF, NURIL HIDAYATI Laboratorium Fisiologi Stres, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002.

Diterima: 22 Oktober 2004. Disetujui: 6 Desember 2004.

ABSTRACT

One of the most important problems in degraded mined ecosystem is contamination of soil and water by toxic substances, mainly heavy metal such as Pb and others such as cyanide. Phytoremediation could be used as an alternative technique to overcome this problem. Phytoremediation is defined as clean up of pollutans primarily mediated by photosynthetic plants. These plants have several beneficial characteristics such as the ability to accumulate metal in their shoots and an especially high tolerance to heavy metals. This research was carried out to study the potencies of local species to accumulate Pb and cyanide. Seventeen species were collected from mined waste area (namely tailing area) and then the cyanide and Pb accumulated in each species were analyzed. The result showed that some species accumulated Pb and cyanide in high concentration such as Ipomoea sp. (35.70 ppm cyanida) and Mikania cordata (Burm.f.) B.L.Robinson (11.65 ppm Pb). A series of research is needed to prove that these species are potential as heavy metal and cyanide accumulators.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: phytoremediation, heavy metal, gold mined.

PENDAHULUAN Fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk

menghilangkan polutan dari tanah atau perairan yang terkontaminasi. Akhir-akhir ini teknik reklamasi dengan fitoremediasi mengalami perkembangan pesat karena terbukti lebih murah dibandingkan metode lainnya, misalnya penambahan lapisan permukaan tanah. Fitoremediator tersebut dapat berupa herba, semak bahkan pohon. Semua tumbuhan mampu menyerap logam dalam jumlah yang bervariasi, tetapi beberapa tumbuhan mampu mengakumulasi unsur logam tertentu dalam konsentrasi yang cukup tinggi.

Sudah banyak hasil penelitian yang membuktikan keberhasilan penggunaan tumbuhan untuk remediasi dan tidak sedikit tumbuhan yang dibuktikan sebagai hiperakumulator adalah species yang berasal dari daerah tropis. Species tersebut diantaranya Thlaspi calaminare untuk seng (Zn), T. caerulescens untuk kadmium (Cd), Aeolanthus biformifolius untuk tembaga (Cu), Phylanthus serpentinus untuk nikel (Ni), Haumaniastrum robertii untuk kobalt (Co) Astragalus racemosus untuk selesium (Se), dan Alyxia rubricaulis untuk mangan (Mn) (Li, et. al., 2000 dalam Wise et. al., 2000). Selain itu Brachiaria mutica untuk air raksa (Hg) (Kartawinata, 2002, komunikasi pribadi). Review oleh Cannon (1960) serta Baker dan Brooks (1989) menunjukkan bahwa sedikitnya ada satu taksa tumbuhan yang bersifat hiperakumulator untuk kadmium, 28 taksa untuk kobalt, 37 taksa untuk tembaga, sembilan taksa untuk magnesium, 317 taksa untuk nikel dan 11 taksa untuk seng.

Indonesia memiliki keragaman jenis tumbuhan endemik/ lokal yang tinggi. Dengan banyaknya jenis flora yang dimiliki Indonesia, diperkirakan tidak sedikit pula jenis tumbuhan yang memiliki potensi sebagai hiperakumulator yang dapat digunakan untuk meremediasi lingkungan yang tercemar. Seiring bertambahnya waktu, di tempat penim-bunan tailing PT. Aneka Tambang (Antam), Pongkor, Bogor, tumbuh berbagai jenis tumbuhan rumput dan gulma berdaun lebar. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk mencari jenis-jenis tumbuhan yang pontesial untuk fitoremediasi. Penelitiannya diarahkan untuk mendapatkan jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi pada tanah dengan tingkat kelarutan logam yang relatif tinggi. Tumbuhan yang mampu tumbuh dengan baik di lahan tersebut berarti mempunyai toleransi yang baik untuk hidup pada lahan marginal. Dari sekian keragaman jenis di lahan tersebut, diduga terdapat jenis yang potensial untuk dikembangkan sebagai tumbuhan fitoremediator. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada tumbuhan pionir yang tumbuh di lahan tersebut. Tumbuhan yang diharapkan adalah yang mampu menyerap polutan dalam jumlah tinggi dalam waktu singkat. Sifat hipertoleran terhadap logam berat dan sianida adalah kunci karakteristik yang mengindikasikan sifat hiperakumulator tumbuhan potensial tersebut.

Dengan semakin meluasnya kasus kontaminasi tanah dan perairan oleh logam berat serta adanya perkembangan ilmu fitoremediasi yang pesat, maka teknik rehabilitasi alter-natif yang relatif murah dan efektif ini perlu dikembangkan. Untuk itu perlu dikembangkan penelitian tentang jenis-jenis tumbuhan yang mampu mengakumulasi logam berat dan bahan toksik lain misalnya sianida sehingga lahan menjadi aman bagi kesehatan dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari jenis-jenis tumbuhan yang dapat menyerap logam berat dan sianida dalam jumlah banyak sehingga dapat dipakai dalam fitoremediasi.

Page 38: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 31-33 32

BAHAN DAN METODE

Deskripsi lokasi penelitian Area penimbunan limbah tailing sisa pengolahan emas

di PT. Antam Pongkor, Bogor dipakai sebagai daerah penelitian karena limbah tailing ini pada awalnya merupakan bahan beracun dan berbahaya. Tailing merupakan limbah lumpur sisa proses sianida CIL (proses pelarutan emas dan perak, yang diikuti penyerapan oleh karbon aktif). Pada pengolahan emas di pertambangan ini, emas dan perak dilarutkan secara selektif menggunakan larutan sianida dengan konsentrasi 700-900 ppm. Penambahan Pb-nitrat dilakukan sebagai katalis pelarutan perak. Kandungan sianida yang masih tinggi di dalam tailing diambil kembali melalui pengaliran air yang dihasilkan dari Counter Current Decantation Thickener, kemudian dikembalikan ke dalam proses penggilingan (milling) dan peluruhan (leaching) dalam pengolahan emas. Lumpur tailing dipompakan ke unit backfill cyclone untuk mendapatkan fraksi kasar (± 10 µ) yang selanjutnya digunakan sebagai material pengisi rongga di dalam tambang dan ditampung juga di tailing dam (Antam, 2002).

Secara periodik, lumpur yang mengendap di dam tailing diangkut dan ditimbun sementara pada lahan di sekitar dam tersebut. Lumpur tanah ini mempunyai beberapa sifat kimia yang kurang menguntungkan. Hasil analisis tanah sifat kimia lumpur tailing sebagai berikut: pH KCl 6.8, pH H2O 7.8, Cu total 1260 ppm, Fe tersedia 130 ppm, Pb total 524 ppm, P2O5 total 174 mg/100g, P2O5 tersedia tidak terukur, K2O total 72 mg/100g, K2O tersedia 51 mg/100g, C organik 0.3%, N total 0.3%, Cadd 16.6 me/100g, Mgdd 3.3 me/100g, Kdd 2.0 me/100g, Nadd 3.0 me/100g, KTK 29.0 me/100g dan KB 86% (Siringoringo et. al., 2001). Memperhatikan nilai tersebut maka lahan tempat penimbunan tailing ini merupakan lahan kritis.

Analisis lumpur tailing yang dilakukan tahun 2001 me-nunjukkan Pb total tanah tailing yang tinggi yakni 524 ppm. Analisis tahun 2003 menunjukkan kandungan Pb pada tanah tailing berkisar 55-63,2 ppm, hal ini tetap merupakan nilai yang tinggi (Siringoringo et al., 2001). Unsur Pb merupakan kelompok logam berat yang tidak esensial bagi tumbuhan, bahkan dapat mengganggu siklus hara dalam tanah. Unsur Pb sampai saat ini masih dipandang sebagai bahan pencemar yang dapat menimbulkan pencemaran tanah dan lingkungan.

Inventarisasi dan skrining potensi penyerapan logam berat dalam tumbuhan pada penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian tumbuhan yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sambas (Sambas, 2002; Sambas dan

Dirman, 2002). Lokasi penelitian adalah areal penampungan limbah pengolahan emas milik PT Aneka Tambang di Pongkor, Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson daerah ini memiliki tipe iklim A dengan curah hujan sekitar 4 000-6 000 mm per tahun dengan ketinggian 620-650 m dpl. (Sambas, 2002).

Jenis tumbuhan yang dipelajari dalam penelitian ini sebagian dipilih mengikuti hasil penelitian sebelumnya yakni inventarisasi jenis tumbuhan di sekitar dam tailing (Sambas, 2002). Dalam penelitian tersebut digunakan metode pencacahan transek dan petak. Tiga buah transek ditarik tegak lurus dam tailing berlawanan arah jarum jam. Jarak antar transek sekitar 40 m. Dalam tiap transek dibuat 5 petak berukuran 1 m x 1 m dengan interval 5 m sehingga didapat 15 petak. Setiap tumbuhan bawah dicatat nama jenis, jumlah individu dan areal penutupannya (Tabel 1). Dari hasil inventarisasi ini diperoleh daftar jenis tumbuhan yang tumbuh di sekitar dam tailing disertai nilai penting, frekuensi keberadaannya di lokasi, jumlah individu, dan luas penutupan tajuk. Dari daftar tersebut kemudian dipilih beberapa jenis yang termasuk dominan atau jenis yang memiliki tingkat populasi paling tinggi pada saat pengambilan sampel, yakni pada akhir musim hujan bulan April 2003. Sampel tumbuhan kemudian diinventarisasi kembali nama jenisnya dan dianalisis potensi akumulasi Pb dan sianida di dalam jaringannya. Analisis Pb dilakukan dengan AAS, sedangkan sianida secara Spektrofotometri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik tanah tailing Hasil analisis kandungan kimia tanah tailing tertera pada

Tabel 2. dari tabel ini diketahui bahwa tanah tailing merupakan tanah yang miskin hara. Kandungan nitrogen tanah tergolong sangat rendah karena nilainya N < 0.1% sedangkan kandungan fosfor medium (CSR/FAO, 1983). Kandungan logam berat terutama timbal (Pb) cukup tinggi yaitu 55-63,2 ppm. Hasil analisis ini berbeda dengan hasil analisis yang dilakukan tahun 2001 oleh Siringoringo et. al. (2001) yang menunjukkan nilai Pb total 524 ppm. Hal ini diduga karena penanganan limbah oleh PT Antam menjadi lebih baik atau telah terjadi pencucian dari sampel lumpur limbah tersebut oleh air hujan.

Jenis tumbuhan hipertoleran serta kandungan sianida dan timbal

Sifat hipertoleran terhadap logam berat adalah kunci karakteristik yang mengindikasikan sifat hiperakumulator

suatu tumbuhan. Suatu tumbuhan dapat disebut hiperakumulator apabila memiliki karakter-karakter sebagai berikut: (i) Tumbuhan memiliki tingkat laju penyerapan unsur dari tanah yang lebih tinggi dibanding tanaman lainnya, (ii) Tumbuhan dapat mentoleransi un-sur dalam tingkat yang tinggi pada jaringan akar dan tajuknya, dan (iii) Tumbuhan memiliki laju translokasi logam berat dari akar ke tajuk yang tinggi sehingga akumulasinya pada tajuk lebih tinggi dari pada akar (Brown et al, 1995).

Di tempat penimbunan lumpur tailing tumbuh dengan cukup subur beberapa jenis tumbuhan. Untuk

Tabel 1. Beberapa jenis tumbuhan di areal Tailing Dam Pongkor, Bogor.

Jenis Suku Frekuensi Jumlah Individu

Luas penutupan (m2)

Nilai penting (%)

1. Cyperus haspan 2. Echinochloa sp 3. Cyperus kyllingia 4. Fimbristylis annua 5. Panicum repens 6. Mikania cordata 7. Sonchus arvensis

Cyperaceae Poaceae Cyperaceae Cyperaceae Poaceae Asteraceae Asteraceae

1 1 1 1 3 5 2

1 1 1 1 3 5 2

0,05 0,25 0,10 0,02 1,25 0,66 0,17

1,08 1,75 1,25 0,98 6,95 6,78 2,39

Tabel 2. Kandungan kimia lumpur tailing limbah pengolahan emas PT Antam, Pongkor

Ekstrak 1:5 Terhadap contoh kering 105°C

pH Morgan (ppm) H2O KCl N (%) Olsen

P2O5 (ppm) K Fe Zn Pb Cd 8,0 8,4

7,9 8,2

0,01 0,01

15 17

68,9 79,8

88,4 110,4

8,3 9,4

55,0 63,2

0,47 0,50

Page 39: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

JUHAETI dkk. – Jenis tumbuhan fitoremediasi tailing emas 33

tujuan fitoremediasi diutamakan tumbuhan yang bersifat semak, perdu atau jenis rerumputan. Dari tumbuhan yang mempunyai populasi terbanyak diambil sampelnya untuk kemudian diidentifikasi dan dianalisis kandungan logam berat timbal (Pb) dan sianidanya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa populasi tumbuhan terbanyak berasal dari famili Amaranthaceae, Poaceae, Cyperaceae, Convolvulaceae, Asteraceae, dan Scropulariaceae.

Dari hasil penelitian terdahulu pada tahun 2002 diperoleh sebanyak 64 jenis tumbuhan bawah yang termasuk ke dalam 57 marga dan 30 suku dengan jumlah suku terbanyak Poaceae dan Asteraceae dengan jumlah jenis masing-masing 11 dan 9. Diantara tumbuhan tersebut terdapat beberapa jenis yang dominan termasuk Mikania cordata, Mimosa pudica, Mimosa pigra, Crotalaria sp., Panicum repens, dan Sonchus arvensis (Sambas, 2002). Vegetasi yang tercatat merupakan jenis-jenis pionir dan sekunder yang tahan hidup pada kondisi miskin hara. Di antara jenis tumbuhan tersebut diharapkan ada yang memiliki potensi sebagai tumbuhan hiperakumulator atau tumbuhan yang mampu mengakumulasi logam berat dan sianida, sebagai bahan kontaminan yang utama di areal ini, dalam jumlah yang signifikan dibandingkan tumbuhan normal. Hasil analisis penyerapan logam berat dan sianida oleh tumbuhan di sekitar penampungan limbah dam tailing ini disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. menunjukkan bahwa beberapa tumbuhan memiliki potensi untuk menyerap logam berat maupun sianida. Ipomoea sp yang tumbuh di sekitar tailing, merupakan jenis liar dan berperawakan kecil menunjukkan kandungan sianida yang tinggi, yakni 35,70 ppm sehingga Ipomoea sp ini perlu diteliti lebih lanjut potensinya dalam menyerap sianida. Sementara itu Mikania cordata (Burm.f.) B.L.Robinson juga menunjukkan kandungan timbal (Pb) yang tinggi, yakni 11,65 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa ke dua tumbuhan tersebut mempunyai toleransi yang tinggi terhadap lingkungan marginal di lahan penimbunan lumpur tailing sehingga diduga tumbuhan ini potensial sebagai fitoremediator terutama pada sianida dan Pb.

Azolla dan Limnocharis flava (genjer) yang diambil dari perairan sekitar dam tailing menunjukkan bahwa dalam genjer terkandung sianida dengan kadar tinggi, yakni 9,59 ppm. Pengamatan di lokasi menunjukkan genjer ini dipanen untuk dimanfaatkan penduduk sebagai makanan ternak atau bahkan dikonsumsi. Azolla juga mengandung sianida dalam jumlah yang cukup tinggi, yakni 4,62 ppm. Pada penelitian tentang potensi tumbuhan perairan untuk fitoremediasi, ternyata azolla juga mampu menyerap Pb

dalam jumlah yang cukup tinggi. Pertumbuhan azolla pada kosentrasi Pb 50 ppm lebih baik dibandingkan pada Pb 0 ppm (Juhaeti dan Syarif, 2003). Hasil pengamatan terhadap serapan sianida pada genjer dan azolla serta serapan Pb pada azolla menunjukkan bahwa genjer dan azolla potensial sebagai tumbuhan fitoremediator.

Jenis-jenis tumbuhan lainnya yang beradaptasi dan dominan di lahan terkontaminasi juga menun-jukkan kemampuan akumulasi bahan kontaminan (berupa logam berat maupun bahan toksik lain) yang tinggi pada jaringannya, sehingga diharapkan berpotensi sebagai tumbuhan hiperakumulator

yang dapat dimanfaatkan untuk membersihkan kontaminan pada lahan maupun perairan yang tercemar (Juhaeti dan Syarif, 2003; Syarif dan Juhaeti, 2003; Hidayati dan Saefudin, 2003).

KESIMPULAN

Dari beberapa jenis tumbuhan yang toleran di lahan

tailing ternyata beberapa jenis mampu mengakumulasi sianida dan timbal dalam jumlah yang cukup besar yakni Ipomoea sp untuk sianida (HCN) serta Mikania cordata (Burm.f.) B.L.Robinson dan Azolla untuk timbal (Pb). Dari perairan di sekitar tailing ternyata Azolla dan Limnocharis flava juga menyerap sianida.

DAFTAR PUSTAKA Antam. 2002. Sekilas Informasi Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor.

Bogor: PT. Aneka Tambang Tbk. Baker, A.J.M. and R.R. Brooks. 1989. Terrestrial higher plants which

hyperaccumulate metal elements a reveiew of their distribution, ecology and phytochemistry. Biorecovery 1:81-126

Brown S.L., R.L.Chaney, J.S.Angle and A.J.M. Baker. 1995. Zink and Cadmium uptake by hyperaccumulator Thlaspi caerulescens grown in nutrient solution. Soil Science Society of America Journa 59:125-133.

Cannon, H.L. 1960. Botanical prospecting for ore deposits. Science 132: 591-598.

CSR/FAO. 1983. Reconnaissance Land Resource Surveys. Atlas Format Procedure. Bogor: Center for Soil Research.

Hidayati, N. dan Saefudin. 2003. Potensi Hipertoleransi dan Serapan Logam Beberapa Jenis Tumbuhan terhadap Limbah Pengolahan Emas. [Laporan Teknik]. Bogor: Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sumberdaya Hayati. Pusat Penelitian Biologi. LIPI.

Juhaeti, T. dan F. Syarif. 2003. Studi Potensi Beberapa Jenis Tumbuhan Air untuk Fitoremediasi. [Laporan Teknik]. Bogor: Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sumberdaya Hayati. Pusat Penelitian Biologi. LIPI. Bogor .

Sambas, E.N. dan Dirman. 2002. Analisis Vegetasi Hutan Sekitar Tailing Dam Pongkor. [Laporan Teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Sambas, E N. 2002. Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah pada Areal Tailing Dam PT Aneka Tambang (Antam) Pongkor. [Laporan Teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Bogor.

Siringoringo, H.H., C.A. Siregar, N.M. Heryanto, Kusmara, A. Rusmana, Jejen, dan Fauzi. 2001. Inventarisasi Lahan Kritis di KW Eksploitasi PT Aneka Tambang Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor. [Laporan Kegiatan Kerjasama]. Bogor: PT Aneka Tambang Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Emas dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Taman Nasional Gunung Halimun, PT Perhutani KPH Bogor dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor.

Syarif, F. dan T. Juhaeti. 2003. Pertumbuhan, Serapan Hara dan Logam Berat Berbagai Jenis Rumput yang Ditanam pada Media Tanah Tercemar. [Laporan Teknik]. Bogor: Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sumberdaya Hayati. Pusat Penelitian Biologi. LIPI.

Wise D.L, D.J Trantolo, E.J Cichon., H.I. Inyang, and U. Stottmeister (eds.) 2000. Bioremediation of Contaminated Soils. New York: Marcel Dekker Inc.

Tabel 3. Kandungan sianida dan timbal pada tumbuhan yang tumbuh dominan di sekitar tailing dan PT. Antam Pongkor, Bogor.

Kandungan (ppm) Jenis tumbuhan Famili Sianida Pb 1. Sonchus arvensis L. 2. Mikania cordata (Burm.f.)B.L.Robinson 3. Limnocharis flava *) 4. Ipomoea sp 5. Fimbristylis miliacea (L.) Vahl 6. Cyperus compactus Retz 7. Cynodon dactylon 8. Echinochloa colona Link 9. Calopogonium mucunoides Desv 10. Eulesine indica (L.) Gaertn 11. Ishaemum timorense 12. Azolla *) 13. Scoparia dulcis L.

Asteraceae Asteraceae Butomaceae Convolvulaceae Cyperaceae Cyperaceae Cyperaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Salviniaceae Scropulariaceae

3,09 3,66 9,59

35,70 1,54 2,91 1,05 6,13 3,35 1,18 n.a

4,62 4,72

3,46 11,65

n.a 7,3

4,93 1,79 0,63 2,00 6,16 4,67 0,63 n.a

6,13 Keterangan: n.a = tidak dilakukan analisis kandungan sianida dan timbal pada jaringan tumbuhan; *) Sampel diambil dari perairan sekitar dam tailing.

Page 40: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 34-39

♥ Alamat korespondensi:

Kampus USU, Jl. Tri Dharma Ujung No. 1, Medan 20155. Tel.: +62-618220605; Fax.: +62-618201920 e-mail: [email protected]

Flora Mangrove Berhabitus Pohon di Hutan Lindung Angke-Kapuk

Floristics of mangrove tree species in Angke-Kapuk Protected Forest

ONRIZAL1,♥, RUGAYAH2, SUHARDJONO2 1Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera UtaraMedan. 20155.

2 "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002

Diterima: 11 Maret 2004. Disetujui: 10 Nopember 2004.

ABSTRACT

Angke-Kapuk Protected Forest with total area 44.76 ha is part of the Tegal Alur-Angke Kapuk mangrove forests. Therefore, this forest has important role as an interface between terrestrial and marine ecosystems, whether physical, biological or social-economic aspects, to determine mangrove ecosystem as a productive and unique ecosystem in the coastal area. However, the study of floristic of the mangrove vegetation in this forest has never to be done previously. According to the study on September to November 2003, in this forest found 8 species of mangrove trees. The tree species can be classified into two groups. The first group is true mangroves (7 species), i.e. Avicennia officinalis, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Sonneratia caseolaris (major component), Excoecaria agallocha, and Xylocarpus moluccensis (minor component). The last group is mangrove associate, i.e. Terminalia catappa. In this forest also found 7 tree species, i.e. Bruguiera gymnorrhiza, Calophyllum inophyllum, Cerbera manghas, Paraserianthes falcataria, Tamarindus indicus, Acacia mangium, and A. auriculiformis as introduced species. The growth level of B. gymnorhiza, C. inophyllum and C. manghas up to now is seedling and sapling, while the growth level of another introduced species is till in pole and tree.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: mangrove tree species, Angke-Kapuk Protected Forest.

PENDAHULUAN Hutan Lindung Angke-Kapuk (HLAK) di Kecamatan

Penjaringan, Jakarta Utara merupakan satu-satunya hutan lindung dan salah satu kawasan konservasi formal yang ada di wilayah daratan DKI Jakarta. Luas kawasan HLAK tergolong kecil, yakni hanya 44,76 ha, namun mengingat keberadaan (lokasi) dan fungsinya, kawasan ini mempunyai nilai yang sangat khusus. HLAK terletak di wilayah pesisir, yakni kawasan peralihan antara daratan dan lautan di bagian utara DKI Jakarta, yang memanjang dari muara sungai Angke di bagian timur sampai perbatasan DKI Jakarta dengan Banten di bagian barat (Santoso, 2002). Kondisi demikian, menjadikan HLAK berperan penting dalam menjaga stabilitas kawasan di sekitarnya, baik aspek fisik, biologi atau sosial ekonomi yang memposisikan ekosistem mangrove penyusun HLAK sebagai ekosistem yang produktif dan unik di kawasan pesisir.

Salah satu faktor kunci dalam menjaga stabilitas kawasan pesisir adalah kondisi vegetasi, terutama pepohonan. Vegetasi yang tumbuh di kawasan HLAK adalah formasi mangrove karena seluruh kawasan tersebut dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Berbagai publikasi terkait HLAK, seperti Fakultas Kehutanan IPB (1996, 2000a, 2000b), Matrizal et al. (2002), Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati IPB (1997a, 1997b), Brastasida (2002), Kusmana (2002), dan Santoso (2002) secara garis besar berisi tentang kondisi dan fungsi ekologi, tindakan konservasi, rehabilitasi, dan pengelolaan kawasan HLAK.

Sedangkan kajian tentang studi floristik vegetasinya belum pernah dilakukan sebelumnya. Padahal, kajian tersebut merupakan kajian dasar, yang selain penting dalam pencapaian pengelolaan kawasan secara lestari, juga sangat mendukung akurasi berbagai studi yang telah dilakukan, terutama yang terkait dengan keanekaragaman flora HLAK.

Tingkat gangguan dan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan fungsi dan degradasi hutan tergolong sangat tinggi, mengingat HLAK berada di wilayah pengembangan daratan maupun lautan. Timbunan sampah, terutama sampah non-degradable, sedimentasi dari arah darat, dan abrasi dari arah laut merupakan permasalahan yang terlihat di lapangan yang mengakibatkan kerusakan/kematian pohon mangrove. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan kapasitas HLAK dalam menjalankan fungsinya juga akan berkurang. Dengan demikian, studi floristik pohon mangrove di HLAK ini menjadi penting untuk dilakukan, dimana selain akan memberikan gambaran tentang keanekaragam jenis pohon di HLAK, sekaligus akan mendukung kegiatan rehabilitasi kawasan, terutama dalam hal pemilihan jenis yang tepat.

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyusun flora pohon mangrove di HLAK. Sedangkan tujuan antaranya adalah (i) untuk mengetahui keanekaragaman flora mangrove berhabitus pohon di HLAK, dan (ii) mendapatkan data dasar yang dapat digunakan dalam pemilihan jenis untuk kegiatan rehabilitasi pada kawasan HLAK yang sudah rusak.

BAHAN DAN METODE Bahan penelitian berupa material herbarium dari

kawasan HLAK yang diambil pada bulan September-

Page 41: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

ONRIZAL dkk. – Flora mangrove di Angke-Kapuk

35

November 2003. Mengingat bentuk kawasan yang memanjang (sekitar 3,6 km) dengan lebar areal bervegetasi yang sempit (berkisar antara 0-80 m), maka jalur inventarisasi dilakukan dalam dua arah, yaitu (i) jalur yang searah batas kawasan, dan (ii) jalur tegak lurus batas luar (darat) menuju batas dalam (laut) pada bagian kawasan yang lebar areal bervegetasi ≥ 40 m. Selain pengambilan material herbarium, di lapangan dilakukan analisis dan pengukuran karakter morfologi di lapangan, dan pendataan karakter yang akan hilang apabila material spesimen diawetkan menjadi herbarium. Kegiatan berikutnya dilanjutkan di Herbarium Bogoriense (BO) berupa (i) analisis dan pengukuran karakter morfologi di lapangan (khusus untuk karakter bunga didukung dengan penggunaan mikroskop) dan (ii) identifikasi jenis dengan membandingkan material herbarium yang disimpan di BO serta publikasi flora terkait. Dalam tulisan ini, hasil analisis dan pengukuran yang disajikan dibatasi hanya pada jenis pohon mangrove asli kawasan HLAK, sedangkan jenis-jenis pohon introduksi diabaikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman jenis pohon Kawasan HLAK disusun oleh 15 jenis pohon mangrove,

8 jenis merupakan jenis asli setempat dan sisanya merupakan jenis yang ditanam yang berasal dari kawasan lain. Jenis-jenis pohon mangrove asli kawasan HLAK terbagi atas dua grup, yakni (i) mangrove sejati yang terdiri atas 7 jenis, yaitu Avicennia officinalis L. (Avicenniaceae), Rhizophora apiculata Blume, R. mucronata Lamarck, R. stylosa Griff (Rhizophoraceae), Sonneratia caseolaris (L.) Engler (Sonneratiaceae) yang merupakan komponen mayor/utama, Excoecaria agallocha L., (Euphorbiaceae) dan Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem. (Meliaceae) yang merupakan komponen minor/tambahan, dan (ii) sisanya sebagai asosiasi mangrove, yaitu Terminalia catappa L. Sedangkan 7 jenis pohon mangrove yang merupakan jenis introduksi terdiri atas 1 jenis mangrove sejati, yaitu Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamarck (Rhizophoraceae), dan 6 jenis asosiasi mangrove, yakni Calophyllum inophyllum L. (Guttiferae), Cerbera manghas L. (Apocynaceae), Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen, Tamarindus indica, Acacia mangium, dan A. auriculiformis (Leguminosae). Berdasarkan tingkat pertumbuhannya, B. gymnorrhiza, C. inophyllum dan C. manghas baru sampai pancang, sedangkan P. falcataria, T. indicus, A. mangium, dan A. auriculiformis sudah ada yang mencapai tingkat pohon.

Untuk mengenal jenis-jenis pohon mangrove asli daerah tersebut berikut ini disajikan kunci identifikasi lapangan ke 8 jenis tersebut. Kunci identifikasi lapangan

Berdasarkan hasil analisis dan pengukuran karakter morfologi, jenis-jenis pohon mangrove asli di kawasan HLAK dapat dibedakan berdasarkan karakter morfologi organ vegetatif tanpa dikombinasikan dengan organ generatif, seperti tersimpul dari kunci identifikasi berikut ini: 1.a. Pohon memiliki akar di atas substrat (aerial roots) .............. 2 2.a. Berakar nafas (pneumatophores) ......................................... 3 3.a. Akar nafas langsing seperti pensil, diameter sampai 0,7 cm

….......................................................… Avicennia officinalis 3.a. Akar nafas kokoh seperti baji, diameter mencapai 5 cm ...... 4

4.a. Daun tunggal, berhadapan; akar nafas meruncing, tinggi sampai 40 cm………..............……… Sonneratia caseolaris

4.b. Daun majemuk menyirip genap, berseling; akar nafas tumpul, tinggi sekitar 5 cm ……… Xylocarpus moluccensis

2.b. Berakar tunjang (stilt roots) .................................................. 5 5.a. Kulit kasar, retak-retak persegi empat dengan tepi

terangkat; daun melonjong membesar sampai menjorong, permukaan bawah berbintik-bintik hitam, ujung bermukro sampai 0,7 cm, tangkai hijau, daun penumpu merah atau hijau muda ....................................... Rhizophora mucronata

5.b. Kulit licin, retak-retak memanjang dengan tepi tidak terangkat ............................................................................. 6

6.a. Daun melonjong menyempit, permukaan bawah jarang/tidak berbintik-bintik hitam, ujung bermukro sampai 0,2 cm, tangkai daun muda merah, daun penumpu selalu merah ................................................. Rhizophora apiculata

6.b. Daun melonjong melebar, permukaan bawah selalu berbintik-bintik hitam, ujung bermukro sampai 0,7 cm, tangkai daun muda hijau, daun penumpu hijau muda ........... ................................................................ Rhizophora stylosa

1.b. Pohon tidak memiliki akar di atas substrat ........................ 7 7.a. Pohon bergetah putih ...……........….. Excoecaria agallocha 7.b. Pohon tidak bergetah putih ......……… Terminalia catappa

Avicennia officinalis L.

Avicennia officinalis L., Ridley Fl. Mal. Penin. 2: 640 (1923); Backer and Bakhuizen, Fl. Java 2: 613 (1965)

Pohon dengan tinggi mencapai 16 m dan dbh (diameter at breast high atau diameter setinggi dada) mencapai 40 cm; berakar nafas (pneumatophores) kecil, seperti pensil, diameter sampai 0,7 cm. Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar abu-abu, abu-abu kehijauan sampai coklat, menyerpih. Daun tunggal, berhadapan atau bersilang berhadapan, membundar telur sungsang atau melonjong melebar, panjang 6-9 cm, lebar 3-4,5 cm; pangkal runcing atau membaji, ujung membundar atau tumpul; permukaan atas hijau sampai hijau tua, permukaan bawah abu-abu, hijau keabu-abuan; panjang tangkai ± 1 cm. Perbungaan mementol (capitate), panjang 1-1,5 cm, lebar ± 0,5 cm, panjang gagang perbungaan 2,5-4 cm; disusun sampai 12 bunga. Bunga berkelopak hijau; mahkota bunga kuning atau kuning tua; benangsari 4 buah, hijau muda sampai kuning. Buah membulat telur, diameter mencapai 2,5 cm, panjang mencapai 3 cm, hijau keabu-abuan-kecoklatan, kulit berbulu halus pendek; ujung berjarum, hitam.

Ekologi. Tumbuh pada daerah yang berlumpur dalam sampai dangkal, tergenang air pasang harian, pada habitat mangrove umumnya membentuk tegakan murni. Di kawasan HLAK, tegakan jenis ini mendominasi sebagian besar kawasan. Excoecaria agallocha L.

Excoecaria agallocha L., Ridley Fl. Mal. Penin. 3 (1924) 640; Backer and Bakhuizen, Fl. Java 1: 499 (1963)

Pohon dengan tinggi mencapai 14 m dan dbh mencapai 25 cm; tidak memiliki akar di atas substrat (no prominent areal roots). Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar hijau kecoklatan sampai hitam, licin, retak-retak seperti garis vertikal; bergetah putih. Daun tunggal, berselang atau tersebar, melonjong sampai menjorong, panjang 4-7,5 cm, lebar 2-3 cm; pangkal runcing atau tumpul, ujung runcing atau meruncing; permukaan atas hijau sampai hijau tua, permukaan bawah hijau; tangkai hijau muda sampai hijau, panjang 1,5-2 cm. Perbungaan bunga jantan tipe untaian, bunga betina tandan bertangkai pendek; panjang sampai 7 cm, hijau muda kehijauan sampai hijau. Bunga berkelopak hijau kekuningan; petal hijau dan putih; benangsari 3, kuning. Buah kapsul beruang 3, licin, hijau, diameter sampai 0,7 cm.

Page 42: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 34-39 36

Gambar 1. Avicennia officinalis: a. tegakan; b. akar nafas; c. kulit batang; d. bunga; e. buah. Gambar 2. Excoecaria agallocha: a. tegakan; b. pangkal batang; c. kulit batang; d. bunga; e. buah. Gambar 3. Rhizophora apiculata: a. tegakan dan akar tunjang; b. kulit batang; c. bunga; d. bunga. Gambar 4. Rhizophora mucronata: a. tegakan; b. akar tunjang; c. kulit batang; d. bunga; e. buah dan hipokotil.

a b c d e

a b c d e

b c da

a b c d e

Page 43: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

ONRIZAL dkk. – Flora mangrove di Angke-Kapuk

37

Gambar 5. Rhizophora stylosa: a. tegakan; b. kulit batang; c. daun dan bunga; d. buah dan hipokotil. Gambar 6. Sonneratia caseolaris: a. tegakan; b. akar nafas; c. kulit batang; d. bunga, (i) bunga akan mekar, (ii) bunga muda, (iii) bunga mekar namun benangsari sudah luruh; e. buah. Gambar 7.Terminalia catappa: a. tegakan; b. pangkal batang; c. kulit batang; d. percabangan yang khas, e. bunga, f. buah. Gambar 8. Xylocarpus moluccensis: a. tegakan; b. akar nafas yang pendek; c. kulit batang; d. daun; e. buah.

b ca d

b ca d e

b ca

d

e e

(i)

(ii) (iii)

a b c d e

Page 44: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 34-39 38

Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan tanah yang agak

keras atau daerah pinggir belakang mangrove, jarang tergenang air pasang, tidak membentuk tegakan murni (sehingga digolongkan sebagai komponen minor mangrove). Di kawasan HLAK, tegakan jenis ini ditemukan sedikit dan tumbuh secara terpencar pada daerah yang agak kering dan jarang tergenang air pasang.

Rhizophora apiculata Blume

Rhizophora apiculata Blume, Ding Hou, Fl. Males. 1, 5 (4): 452 (1958); Backer and Bakhuizen, Fl. Java 1: 379 (1963)

Pohon dengan tinggi mencapai 16 m dan dbh mencapai 20 cm; berakar tunjang. Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar coklat terang, coklat keabu-abuan sampai coklat kehitaman, licin, retak-retak seperti garis vertikal. Daun tunggal, bersilang berhadapan, melonjong menyempit, panjang 10-15 cm, lebar 3,5-6,5 cm; pangkal runcing atau membaji, ujung daun bermukro sampai 0,2 cm, ujung runcing atau meruncing; permukaan atas hijau sampai hijau tua, permukaan bawah hijau kekuningan; tangkai hijau sampai merah, panjang sampai 2,5 cm; daun penumpu merah. Perbungaan selalu sepasang, gagang perbungaan tebal, hijau, panjang ± 0,5 cm. Bunga hijau sampai kecoklatan, panjang 1-1,4 cm, lebar 0,5-0,8 cm; bertangkai pendek, berembang (apiculate); kelopak hijau kekuningan, hijau kecoklatan sampai kemerahan, cuping 4; mahkota putih atau hijau muda, tidak berbulu; benangsari umumnya 12, coklat muda. Buah membulat telur menyerupai paruh, panjang 1,5-2 cm, diameter 1-1,5 cm, kulit kasar, coklat, kelopak tidak luruh, bersifat vivipari membentuk hipokotil; hipokotil hijau kekuningan sampai hijau, licin, panjang 21-32 cm, lebar 1-1,5 cm; kotiledon merah, licin, panjang 2-3 cm.

Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan lumpur yang agak keras dan dangkal, tergenang air pasang harian, bisa membentuk tegakan murni. Di kawasan HLAK, pada saat ini sudah tidak membentuk tegakan murni lagi.

Rhizophora mucronata Lamarck

Rhizophora mucronata Lamarck. Ding Hou, Fl. Males. 1, 5 (4): 453 (1958); Backer and Bakhuizen, Fl. Java 1: 380 (1963).

Pertelaan. Pohon dengan tinggi mencapai 16 m dan dbh mencapai 27 cm; berakar tunjang. Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar coklat, coklat keabu-abuan sampai coklat kehitaman, kasar, retak-retak berbentuk persegi empat dengan pinggir terangkat. Daun tunggal, bersilang berhadapan, melonjong melebar sampai menjorong, panjang 12-17 cm, lebar 5,5-10 cm; pangkal runcing atau membaji, ujung tumpul atau runcing bermukro sampai 0,7 cm; permukaan atas hijau sampai hijau tua, permukaan bawah hijau kekuningan berbintik-bintik hitam kecil; tangkai hijau, panjang 3-5 cm; daun penumpu merah atau hijau muda. Perbungaan menggarpu dengan (2)-3-(5) bunga, gagang perbungaan hijau, panjang 2-5 cm. Bunga hijau kekuningan sampai kecoklatan, panjang 1,2-1,7 cm, lebar 0,5-0,8 cm, bertangkai panjang ± 0,6 cm; kelopak hijau kekuningan, hijau kecoklatan, bercuping 4; mahkota putih, berbulu; benangsari 8, hijau muda atau coklat muda. Buah membulat telur memanjang, panjang 3,5-5 cm, lebar sekitar 1,5-2,5 cm, kulit kasar, coklat, kelopak tidak luruh, bersifat vivipari membentuk hipokotil; hipokotil hijau kekuningan sampai hijau, banyak lentisel, panjang mencapai 50 cm, diameter 1-2 cm; kotiledon hijau muda sampai hijau, licin, panjang sampai 2 cm.

Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan lumpur lunak yang dalam sampai dangkal, tergenang air pasang harian,

membentuk tegakan murni. Di kawasan HLAK, tegakan murni jenis ini masih banyak dijumpai.

Rhizophora stylosa Griff.

Rhizophora stylosa Griff. Ding Hou, Fl. Males. 1, 5 (4): 456 (1958); Backer and Bakhuizen, Fl. Java 1: 380 (1963)

Pohon dengan tinggi mencapai 10 m dan dbh mencapai 25 cm; berakar tunjang. Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar coklat, coklat keabu-abuan sampai coklat kehitaman, licin, retak-retak vertikal seperti garis dengan tepi tidak terangkat. Daun tunggal, bersilang berhadapan, melonjong melebar, panjang 8,6-12,8 cm, lebar 4,9-6,6 cm; pangkal runcing, ujung runcing bermukro sampai 0,7 cm; permukaan atas hijau sampai hijau tua, permukaan bawah hijau kekuningan berbintik-bintik hitam kecil; tangkai hijau, panjang 2,7-3,3 cm; daun penumpu hijau muda. Perbungaan menggarpu dengan (4)-5-8-(16) bunga, gagang perbungaan hijau, panjang 2,4-4,3 cm. Bunga hijau kekuningan sampai kecoklatan, panjang 1,0-1,2 cm, lebar 0,6-0,7 cm, bertangkai panjang 0,9-12,1 cm; kelopak hijau kekuningan, hijau kecoklatan, bercuping 4; mahkota putih, berbulu; benangsari 8, hijau muda atau coklat muda. Buah membulat telur memanjang, panjang 2,5-4 cm, lebar sekitar 1,5-2,5 cm, kulit kasar, coklat, kelopak tidak luruh, bersifat vivipari membentuk hipokotil; hipokotil hijau kekuningan sampai hijau, banyak lentisel, panjang mencapai 25-(54) cm, diameter 1,0-1,6 cm; kotiledon hijau muda sampai hijau, licin, panjang sampai 2 cm.

Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan lumpur dangkal, tergenang air pasang harian, membentuk tegakan murni. Di kawasan HLAK, tegakan jenis ini sudah jarang dijumpai.

Sonneratia caseolaris (L.) Engler

Sonneratia caseolaris (L.) Engler. Backer and Bakhuizen, Fl. Java 1: 258 (1963).

Pohon dengan tinggi mencapai 18 m dan dbh mencapai 40 cm; berakar nafas yang kokoh, meruncing, diameter pangkal mencapai 5 cm, tinggi mencapai 40 cm. Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar coklat keabu-abuan sampai coklat kehitaman, bergelang, adakalanya besisik. Daun tunggal, bersilang berhadapan atau berhadapan, membundar telur sungsang, melonjong sampai menjorong, panjang 7,5-12 cm, lebar 2,7-3,2 cm; pangkal runcing atau membaji, ujung tumpul atau runcing; permukaan atas hijau sampai hijau tua; permukaan bawah hijau kekuningan; tangkai pendek, hijau sampai hijau kemerahan, panjang sampai 0,5 cm; kuncup hijau muda. Bunga soliter, membulat, panjang sampai 3 cm, lebar sampai 2,5 cm; kelopak hijau, cuping 6; petal 6, merah, tipis; benangsari banyak, merah dan putih. Buah membulat dengan kelopak tidak luruh seperti bintang, hijau, diameter sampai 5 cm; tangkai putik panjang sampai 7 cm.

Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan lumpur lunak yang dalam sampai dangkal, tergenang air pasang harian, di pinggir atau muara sungai, membentuk tegakan murni. Di kawasan HLAK tegakan murni jenis ini sudah jarang dijumpai.

Terminalia catappa L.

Terminalia catappa L. Backer and Bakhuizen, Fl. Java 1: 352 (1963)

Pohon dengan tinggi mencapai 16 m dan dbh mencapai 30 cm; tidak memiliki akar di atas substrat. Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar putih keabu-abuan sampai hitam keabu-abuan, retak-retak seperti garis vertikal. Daun tunggal, spiral atau menyebar, mengumpul di ujung ranting,

Page 45: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

ONRIZAL dkk. – Flora mangrove di Angke-Kapuk

39

membundar telur sungsang, panjang 13-17 cm, lebar 9-13 cm; pangkal runcing atau membaji, ujung membundar atau tumpul; permukaan atas hijau sampai hijau tua; permukaan bawah hijau kecoklatan, berbulu halus pendek; tangkai hijau muda sampai hijau, panjang sampai 1 cm. Perbungaan tipe bulir, panjang sampai 10 cm. Bunga hijau muda sampai hijau, bulat kecil, diameter sampai 0,3 cm; kelopak hijau pada bagian luar dan putih pada bagian dalam, bercuping 5; benangsari 10, putih sampai hijau muda. Buah seperti almond, licin, hijau, hijau keabu-abuan, diameter sampai 4 cm, panjang sampai 6 cm.

Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan tanah yang agak keras atau daerah pinggir belakang mangrove, jarang tergenang air pasang, umum juga tumbuh di di daerah bukan habitat mangrove. Di kawasan HLAK, tegakan jenis ini ditemukan sedikit dan tumbuh secara terpencar pada daerah yang agak kering dan jarang tergenang air pasang.

Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem.

Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem., Mabberley et al., Fl. Males. 1, 12 (1): 376 (1995); Backer and Bakhuizen, Fl. Java 2: 118 (1965).

Pohon dengan tinggi mencapai 10 m dan dbh mencapai 20 cm; berakar nafas kokoh, tumpul, diameter mencapai 5 cm, pendek dengan tinggi hanya mencapai 5 cm. Batang silindris, adakalanya berbanir; kulit luar coklat sampai hitam, besisik atau mengelupas. Daun majemuk bersirip genap, berseling, 1-3 pasang anak daun tiap rakhis; rakhis coklat tua, panjang 4,5-9 cm; anak daun melonjong sampai menjorong, panjang 7-14 cm, lebar 2,5-6,5 cm, pangkal runcing atau membaji, ujung runcing atau meruncing; permukaan atas hijau, permukaan bawah hijau kekuningan sampai hijau; bertangkai, panjang ± 0,5 cm. Perbungaan tipe tandan dengan 10-35 bunga, panjang 6-19,5 cm; bunga kecil, diameter 0,8-1 cm; tangkai bunga 0,2-1 cm; kelopak hijau kekuningan, cuping 4; petal 4, hijau muda sampai putih kehijauan. Buah seperti bola, diameter sampai 10 cm, kulit hijau seperti kulit, licin, 4-10 biji.

Ekologi. Tumbuh pada daerah dengan tanah yang keras, jarang tergenang air pasang, umum di daerah batas luar hutan mangrove yang berbatasan dengan hutan daratan, tidak membentuk tegakan murni. Di kawasan HLAK, tegakan jenis ini sudah jarang dijumpai.

KESIMPULAN Kawasan Hutan Lindung Angke-Kapuk memiliki 15 jenis

pohon mangrove, yang terdiri atas 8 jenis asli setempat dan 7 jenis introduksi dari kawasan lain. Jenis-jenis asli kawasan HLAK adalah A. officinalis, R. apiculata, R. mucronata, S. caseolaris, E. agallocha, X. moluccensis dan T. catappa. Sedangkan jenis introduksi adalah B.

gymnorrhiza, C. inophyllum, C. manghas, P. falcataria, T. indica, A. mangium, dan A. auriculiformis. Jenis-jenis pohon mangrove asli kawasan HLAK dapat dibedakan dengan hanya menggunakan karakter morfologi organ vegetatif.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada pengelola

Hutan Lindung Angke Kapuk atas izin yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di kawasan tersebut. Demikian juga kepada pimpinan Herbarium Bogoriense atas izin untuk menggunakan koleksi herbarium dan fasilitas lain guna mendukung penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen: P.Noordhoff

Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff

Brastasida, L. 2002. Pelestarian Ekosistem mangrove di Propinsi DKI Jakarta. Dalam: Susanti, P. (ed.). Konservasi dan Rehabilitasi sebagai Upaya Pelestarian Ekosistem Mangrove DKI Jakarta. Prosiding Seminar Mangrove DKI Jakarta. Jakarta, 21 Oktober 2002.

Ding Hou. 1958. Rhizophoraceae. Flora Malesiana 1, 5 (4): 452-453. Fakultas Kehutanan IPB. 1996. Laporan Akhir: Pembinaan Habitat dan

Satwa Liar di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Bogor: Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi DKI Jakarta dengan Fakultas Kehutanan IPB.

Fakultas Kehutanan IPB. 2000a. Laporan Akhir: Penataan Kawasan Hutan Lindung di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Bogor: Kerjasama antara Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Fakultas Kehutanan IPB.

Fakultas Kehutanan IPB. 2000b. Laporan Akhir: Penyusunan Identifikasi Pemanfaatan Kawasan Lindung di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Bogor: Kerjasama antara Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Fakultas Kehutanan IPB.

Kusmana, C. 2002. Konservasi dan rehabilitasi mangrove di wilayah DKI Jakarta. Dalam: Susanti, P. (ed.). Konsrvasi dan Rehabilitasi sebagai Upaya Pelestarian Ekosistem Mangrove DKI Jakarta, Prosiding Seminar Mangrove DKI Jakarta. Jakarta, 21 Oktober 2002.

Mabberley, D.J., C.M Pannel, and A.M. Sing. 1995. Meliaceae. Flora Malesiana 1, 12 (1): 376.

Matrizal, I., Paryono, dan S. Yuwono. 2002. Evaluasi Ekosistem Mangove di Wilayah Teluk Jakarta. Bogor: Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika IPB. 1997. Laporan Akhir: Perencanaan Pengelolaan Reboisasi dan Penghijauan Kota. Bogor: Kerjasama Dinas Kehutanan DKI Jakarta dengan Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian IPB.

Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika IPB. 1997. Laporan Akhir: Perencanaan Konservasi Sumberdaya Alam di Kawasan Pantai Utara DKI Jakarta. Bogor: Kerjasama Dinas Kehutanan DKI Jakarta dengan Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian IPB.

Ridley, H.N. 1923. Flora of the Malay Peninsula. Vol. 2. London: L. Reeve. Ridley, H.N. 1924. Flora of the Malay Peninsula. Vol. 3. London: L. Reeve. Santoso, N. 2002. Prospek pengelolaan hutan mangrove Muara Angke

sebagai lokasi pendidikan lingkungan di DKI Jakarta. Dalam: Susanti, P. (ed.). Konservasi dan Rehabilitasi sebagai Upaya Pelestarian Ekosistem Mangrove DKI Jakarta, Prosiding Seminar Mangrove DKI Jakarta. Jakarta, 21 Oktober 2002.

Page 46: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 40-44

♥ Alamat korespondensi: Kampus UNLAM, Banjarbaru 70714 Tel.: +62-62511-772290 e-mail: [email protected]

Vegetasi Tepi-Baruh pada Habitat Bekantan (Nasalis larvatus) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan

Lowland-Edge Vegetation on Habitat of Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in

Rubber Forest of Tabalong District, South Kalimantan

MOCHAMAD ARIEF SOENDJOTO1,2,♥, HADI SUKADI ALIKODRA3, MOHAMMAD BISMARK4, HERU SETIJANTO5 1 Program Doktor Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Petanian Bogor (IPB), Bogor 16680

2 Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarbaru 70714, 3 Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Petanian Bogor (IPB), Bogor 16680 4 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, Bogor 16118

5 Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Petanian Bogor (IPB), Bogor 16680

Diterima: 5 Nopember 2004. Disetujui: 7 Desember 2004.

ABSTRACT

The proboscis monkey (Nasalis larvatus) frequently visits certain lowland (baruh) and never visits other, although both lowlands are inundated during rainy season or even have no water during the dry season. Data on seedling, sapling, pole, and tree of two former lowlands and of two latter ones were collected. Important value indexes were compared based on Renkonen similarity index. Treatments on vegetation were qualitatively recorded. The former lowlands had more diverse vegetation and higher security level than the latter had. Food sources, such as Hevea brasiliensis, Syzygium stapfiana, Vitex pubescens, Elaeocarpus stipularis, and Artocarpus teysmanii were available and more abundant on the former lowlands which were poorly cared. However, such condition could change anytime, because all lowlands include in the cultivated area.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: lowland-edge vegetation, Nasalis larvatus, rubber forest, Tabalong.

PENDAHULUAN Habitat bekantan (Nasalis larvatus) cenderung terkait

dengan perairan. Menurut Boonratana (2000), habitat bekantan terbatas pada hutan tepian sungai, rawa gambut, dan mangrove. Supriatna dan Wahyono (2000) menyebut habitat bekantan adalah hutan rawa, hutan muara sungai, hutan bakau dekat sungai atau vegetasi nipah (Nipa fruticans), serta rawa bakau sepanjang pantai, teluk atau daerah pasang surut. Di Taman Nasional Bako, Serawak, bekantan dijumpai di hutan kerangas-tinggi (Dipterocarpaceae), hutan mangrove dan hutan tepian-sungai, tetapi jarang dijumpai di vegetasi nipah, padang rumput, semak sekunder, area yang banyak dikunjungi manusia (Salter dan Aken, 1983), dan lahan pertanian (Salter et al., 1985). Bekantan jarang ditemukan di tegakan-murni nipah atau hutan cemara pantai (Casuarina equisetifolia) dan bukan penghuni hutan Dipterocarpaceae (Bennett dan Sebastian, 1988). Menurut Payne et al., (1985), primata ini dijumpai di hulu Sungai Kapuas (Kalimantan Barat), Tumbang Maruwe (hulu Sungai Barito, Kalimantan Tengah), serta Sungai Mahakam dan Sungai Kayan (Kalimantan Timur). Soendjoto et al. (2001) bahkan menjumpai bekantan di hutan rawa di Barito Kuala,

Kalimantan Selatan yang secara spesifik didominasi galam (Melaleuca cajuputi).

Kecenderungan habitat bekantan yang berkaitan dengan perairan juga terjadi di 10 lokasi hunian bekantan di Kabupaten Tabalong. Di lokasi-lokasi yang pada umumnya merupakan hutan karet itu terdapat perairan terbuka yang berupa sungai atau baruh, yakni hamparan lahan yang permukaannya mencekung atau lebih rendah daripada permukaan lahan sekitarnya (Soendjoto et al., 2002). Dalam pengamatan lanjutan terhadap perilaku bekantan yang berada di Desa Simpung Layung antara April 2003 dan Juli 2004, ditemukan bahwa bekantan sering mendatangi dan berada cukup lama di baruh tertentu dan tidak pernah mendatangi baruh lainnya. Bekantan berperilaku demikian, walaupun kedua kategori baruh ini digenangi air pada musim penghujan atau bahkan tidak berair sama sekali pada musim kemarau (Soendjoto, 2004, pengamatan pribadi). Kondisi ini mengisyaratkan bahwa air bukan satu-satunya kebutuhan bekantan. Ada faktor lain yang juga dibutuhkan oleh bekantan dan kebutuhan itu tersedia di baruh. Salah satu kebutuhan paling mungkin adalah pakan yang pada dasarnya bersumber dari vegetasi.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan vegetasi antara baruh yang sering didatangi dan baruh yang tidak pernah didatangi bekantan, serta mengidentifikasi kebutuhan yang mungkin didapat dari baruh tertentu tetapi tidak didapat di baruh lainnya.

Page 47: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

SOENDJOTO dkk. – Vegetasi tepi-baruh habitat Nasalis larvatus 41

BAHAN DAN METODE Pengambilan data vegetasi tepi baruh dilakukan di

hutan karet Desa Simpung Layung, Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan pada Mei 2004. Perlakuan masyarakat terhadap vegetasi diamati sampai dengan Juli 2004, ketika seluruh rangkaian penelitian diakhiri.

Sebanyak empat baruh dipilih sebagai contoh tapak, yaitu Ari, Munti, Simpung-1, dan Simpung-2. Pada tepi utara Ari, tepi timur Munti, tepi timur Simpung-1, dan tepi selatan Simpung-2 dibuat dua jalur (100x20) m2 bersinggungan. Di setiap jalur terdapat lima plot (20x20) m2. Di dalam setiap plot terdapat masing-masing satu sub-plot lebih kecil (10x10) m2, (5x5) m2, dan (2x2) m2. Pada plot (20x20) m2 dihitung jumlah tumbuhan berkayu tingkat pohon dan diukur diameter batang setinggi dada, sedangkan plot (10x10) m2 untuk tingkat tiang. Pada plot (5x5) m2 dihitung jumlah tumbuhan berkayu tingkat pancang dan pada plot (2x2) m2 untuk tingkat semai. Tumbuhan tingkat pohon adalah tumbuhan yang berdiameter ≥ 20 cm, tingkat tiang berdiameter 10-20 cm, tingkat pancang berdiameter ≤ 10 cm tetapi tingginya ≥ 1,5 m, serta tingkat semai tingginya ≤ 1,5 m. Spesies tumbuhan diidentifikasi di Wanariset Samboja, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Data selanjutnya diolah sehingga diperoleh nilai-nilai frekuensi, frekuensi relatif, kerapatan, kerapatan relatif, dominansi, dominansi relatif, dan indeks nilai penting (INP) setiap spesies tumbuhan. INP tingkat semai dan pancang merupakan hasil penjumlahan kerapatan relatif dan frekuensi relatif, sedangkan INP tingkat tiang dan pohon merupakan hasil penjumlahan kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif. Dominansi ditentukan berdasarkan luas bidang dasar yang nilainya adalah 1/4 π (D)2. Vegetasi pada setiap baruh diperbandingkan. Pembandingan dilakukan menurut persentase kemiripan atau indeks kemiripan Renkonen (Krebs, 1989) yang dihitung berdasarkan INP.

P = ∑ minimum (p1i, p2i) P = persentase kemiripan antara baruh 1 dan 2; p1i = persentase spesies i dalam baruh 1; p2i = persentase spesies i dalam baruh 2. Pembandingan juga dilakukan berdasarkan perlakuan

yang diterapkan pemilik hutan karet terhadap vegetasi tepi baruh. Perlakuan ini dideskripsikan secara kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi vegetasi Secara keseluruhan baruh di sekitar Desa Simpung

Layung ditumbuhi oleh 1 spesies tanaman budidaya, yaitu karet, dan 45 spesies tumbuhan berkayu yang tumbuh liar. Semua spesies ini tercakup dalam 23 famili (Tabel 1.). Dari semua spesies tersebut, 29 spesies tumbuh pada tingkat semai, 40 pada tingkat pancang, 9 pada tingkat tiang, dan 12 pada tingkat pohon.

Kepadatan karet pada tingkat semai, pancang, dan tiang lebih tinggi di Simpung-1 dan Simpung-2 daripada di Ari dan Munti (Gambar 1.). Pada saat bersamaan, kepadatan semai tumbuhan lain (selain karet) dibanding kepadatan semai karet relatif lebih mencolok di Ari dan Munti daripada di Simpung-1 dan Simpung-2 (Gambar 2.). Kepadatan seperti ini dapat terjadi karena di Ari dan Munti tidak ada pemeliharaan hutan karet. Sebaliknya, di dua

Tabel 1. Spesies tumbuhan di tepi baruh hutan karet Simpung Layung, Kabupaten Tabalong.

Famili Nama ilmiah Nama lokal 1. Anacardiaceae Buchanania sp. Rawa-rawa 2. Anacardiaceae Bouea oppositifolia Paning-paning 3. Anacardiaceae Gluta renghas Rengas 4. Anacardiaceae Semecarpus heterophyllus Semecarpus 5. Annonaceae Frisodielsia sp. Frisodielsia 6. Annonaceae Polyalthia sp. Polyalthia 7. Bombacaceae Durio acutifolius Durian burung 8. Connaraceae Cnethis platantha Lempe’ung 9. Dilleniaceae Dillenia exelsa Galigantan

10. Ebenaceae Diospyros sp. Kayu hirang 11. Elaeocarpaceae Elaeocarpus stipularis Bangkinang burung 12. Euphorbiaceae Aporosa lucida Lurangan 13. Euphorbiaceae Glochidion rubrum Berunai 14. Euphorbiaceae Hevea brasiliensis Karet 15. Euphorbiaceae Macaranga pruinosa Mahang 16. Euphorbiaceae Trigonostemon sp. Trigonostemon 17. Flacourtiaceae Pangium edule Kluwak 18. Guttiferae Callophyllum nodusum Unut-unut 19. Guttiferae Garcinia dulcis Mundu, penaga 20. Hypericaceae Cratoxylum cochinchinensis Mampat 21. Ixonanthaceae Ixonanthes reticulata Ixonanthes 22. Lauraceae Actinodaphne sp. Medang 23. Lauraceae Cinnamomum sp. Bungkam buaya 24. Loganiaceae Fagraea resinosa Mengkudu hutan 25. Melastomaceae Memecylon edule Kamasulan 26. Melastomaceae Pternandra rostrata Jamai, pisulan 27. Moraceae Ficus binnendykii Kariwaya 28. Moraceae Artocarpus elasticus Tarap 29. Moraceae A. integer Tiwadak 30. Moraceae A. teysmanii Tiwadak banyu 31. Myrtaceae Syzygium nigricans Jambu hutan 32. Myrtaceae S. polyanthum Salam 33. Myrtaceae S. pyrifolium Serai merah 34. Myrtaceae S. stapfiana Kujamas 35. Myrtaceae S. zeylanica Bati-bati 36. Myrtaceae Syzygium sp. 1 Syzygium 37. Myrtaceae Syzygium sp. 2 Salam laki 38. Polygalaceae Xanthophyllum affine Babuku 39. Rubiaceae Timonius lasianthoides Kupat, bengkel 40. Rutaceae Melicope hookeri Alaban kapas 41. Sapindaceae Nephelium cuspidatum Rambutan kabung 42. Symplocaceae Symplocos cochinchinensis Geminting 43. Symplocaceae S. fasciculata Habu-habu rawa 44. Symplocaceae S. cerasifolia Symplocos 45. Verbenaceae Peronema canescens Sungkai 46. Verbenaceae Vitex pubescens Alaban

0

10000

20000

30000

Ari 2250 800 50 160

Munti 5750 1040 40 92.5

Simpung-1 25500 2600 330 182.5

Simpung-2 11750 1960 310 257.5

Semai Pancang Tiang Pohon

Gambar 1. Kepadatan (individu/ha) karet menurut tingkat pertumbuhan di tepi baruh.

Page 48: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 40-44 42

baruh lainnya pemeliharaan hutan lebih intensif. Pemeliharaan yang dilakukan oleh penduduk terhadap hutan karet adalah penebasan tumbuhan liar. Terdapat tiga tindakan yang dilakukan masyarakat berkaitan dengan penebasan ini.

Pertama, penebasan harus dilakukan secara berkala. Penebasan yang biasa dilakukan di kebun karet atau di lahan yang ditanami karet unggul ini dilakukan untuk mematikan tumbuhan selain karet atau bahkan semai karet sekalipun. Perlakuan ini bermanfaat untuk memudahkan pemilik kebun memupuk dan merawat pohon satu per satu. Dari perlakuan ini yang tampak di kebun atau lahan hanyalah tegakan karet teratur rapi dan bebas dari tumbuhan lain.

Kedua, penebasan tumbuhan liar dilakukan seperlunya. Hal ini biasa dilakukan pada hutan karet. Pada musim hujan kegiatan dilakukan untuk memudahkan penyadap berpindah dari satu pohon ke pohon lain dalam penyadapan atau pengumpulan getah, mengurangi tumbuhnya jamur/cendawan di batang karet, serta memberi kesempatan kulit batang lekas kering setelah ditoreh. Pada musim kemarau, kegiatan dilakukan untuk menghindari kekeringan kulit batang. Kulit batang cepat mengering karena tajuk-tajuk karet, yang sebenarnya dapat berfungsi menutupi lantai hutan dari sinar matahari, berkurang. Pengurangan seperti ini terjadi secara alami pada musim kemarau (antara Juni dan September). Pada saat itu dedaunan karet berluruhan.

Ketiga, penebasan dilakukan kapan saja diperlukan. Hal ini biasa dilakukan oleh pemilik karet yang area hutan karetnya relatif luas atau tenaga kerjanya terbatas. Pada hutan karet luas, pemilik dapat menggilir petak. Pemilik menebas petak yang karetnya akan disadap dan membiarkan petak lain yang karetnya tidak disadap. Pemilik berharap karet yang tidak disadap dapat memulihkan luka-luka akibat torehan. Pemilik pun dapat menebangi karet pada petak tertentu untuk dijadikan ladang dan selanjutnya menyadap karet pada petak lainnya atau bahkan menanami dan memelihara karet muda pada petak yang satu atau dua tahun sebelumnya telah dijadikan ladang.

Penebasan berdampak positif. Perlakuan ini mengurangi terjadinya persaingan dalam memperoleh pakan antara karet sebagai tanaman pokok dan tumbuhan lain. Pada akhirnya pengurangan persaingan tersebut meningkatkan produksi getah karet, meningkatkan perkembangan tegakan, dan meningkatkan kemungkinan biji karet yang berjatuhan di atas tanah untuk bertumbuh menjadi bibit. Gambar 2c menunjukkan bahwa penebasan atau pemeliharaan intensif di Simpung-1 meningkatkan kepadatan semai karet daripada kepadatan semai tumbuhan lain. Hal yang sebaliknya terjadi di Simpung-2, Ari, dan Munti (Gambar 2a, 2b, 2d). Di sisi lain, penebasan menyebabkan penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan. Hal ini terlihat di Simpung-1 dan Simpung-2 yang jumlah spesies tumbuhan lainnya berturut-turut hanya 15 dan 8, sedangkan jumlah spesies tumbuhan selain karet yang ditemukan di Ari adalah 22 dan di Munti mencapai 38.

Tumbuhan selain karet yang mendominasi setiap tingkat pertumbuhan, di setiap baruh sebagai berikut: tingkat semai di Ari didominasi oleh kujamas (88,38%), geminting (39,04%), dan salam (11,47%), di Munti oleh kujamas (66,16%), paning-paning (22,98%), dan geminting (18,43%), di Simpung-1 oleh mundu (49,57%), Frisodielsia (8,94%), dan babuku (8,34%), serta di Simpung-2 oleh kujamas (52,59%), mundu (21,11%), dan babuku (19,26%). Jenis tumbuhan dominan pada tingkat pancang di Ari adalah kujamas (85,38%), mampat (12,28%), dan Seme-

0

10000

20000

30000

40000

50000

Ari (K) 2250 800 50 160

Ari (SK) 45250 4840 40 12.5

Semai Pancang Tiang Pohon

a

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

Munti (K) 5750 1040 40 92.5

Munti (SK) 26750 2520 170 67.5

Semai Pancang Tiang Pohon

b

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

Simpung-1 (K) 25500 2600 330 182.5

Simpung-1 (SK) 16250 1240 0 0

Semai Pancang Tiang Pohon

c

02000400060008000

1000012000140001600018000

Simpung-2 (K) 11750 1960 310 257.5

Simpung-2 (SK) 16250 3960 0 7.5

Semai Pancang Tiang Pohon

d

Gambar 2. Kepadatan karet dan tumbuhan selain karet di baruh (a) Ari, (b) Munti, (c) Simpung-1, dan (d) Simpung-2.

Page 49: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

SOENDJOTO dkk. – Vegetasi tepi-baruh habitat Nasalis larvatus 43

carpus (10,86%), di Munti adalah alaban (17,78%), kupat (12,67%), dan mampat (12,44%), di Simpung-1 adalah mundu (45,19%) dan bungkam buaya (6,60%), serta di Simpung-2 adalah kujamas (80,03%), mundu (26,76%), dan rawa-rawa (10,70%). Di Ari jenis tumbuhan dominan pada tingkat tiang adalah kujamas (125,31%), Semecarpus (25,34%), dan alaban (25,19%), di Munti adalah bangkinang burung (62,33%), alaban (58,62%), dan kujamas (43,92%), sedangkan di Simpung-1 dan Simpung-2 tidak ada tumbuhan lain yang mendominasi. Di Ari jenis tumbuhan dominan pada tingkat pohon adalah kujamas (13,62%), alaban (12,97%), dan Semecarpus (10,69%), di Munti alaban (46,52%), tarap (33,53%), dan bangkinang burung (15,25%), sedangkan di Simpung-1 tidak ada tumbuhan lain serta di Simpung-2 hanya mahang (14,94%).

Kemiripan vegetasi antar baruh

Tabel 2. menunjukkan indeks kemiripan antar baruh pada tingkat semai, pancang, tiang, pohon, dan semua tingkat pertumbuhan. Indeks kemiripan tertinggi untuk vegetasi tingkat semai terjadi di Ari x Munti (58,74%), sedangkan untuk pancang di Ari x Simpung-2 (58,79%). Tumbuhan penyumbang kemiripan untuk semai ini antara lain karet, kujamas, dan geminting, sedangkan untuk tingkat pancang antara lain karet, kujamas, dan babuku. Sementara itu, indeks kemiripan tertinggi pada tingkat tiang dan sekaligus tingkat pohon adalah Simpung-1 x Simpung-2, secara berturut-turut 100% dan 95,02%. Satu-satunya tumbuhan penyumbang kemiripan untuk tiang adalah karet, sedangkan untuk tingkat pohon adalah karet dan mahang.

Tabel 2. Indeks kemiripan vegetasi antar-baruh untuk setiap dan semua tingkat pertumbuhan.

Antar-baruh Semai Pancang Tiang Pohon Semua1. Ari x Munti 58,74 42,53 37,94 61,18 50,10 2. Ari x Simpung-1 20,23 24,25 42,39 87,57 43,61 3. Ari x Simpung-2 42,71 58,79 42,39 87,57 57,87 4. Munti x Simpung-1 25,13 30,69 15,90 54,61 31,58 5. Munti x Simpung-2 44,08 31,56 15,90 54,61 36,54 6. Simpung-1 x Simpung-2 53,99 57,09 100,00 95,02 76,53 Keterangan: Nilai indeks kemiripan dalam %.

Dalam kaitan vegetasi sebagai habitat bekantan, indeks

kemiripan berdasarkan tingkat pertumbuhan saja kurang memadai untuk ditafsirkan lebih jauh. Oleh sebab itu, indeks kemiripan gabungan atau berdasarkan semua tingkat pertumbuhan perlu dipergunakan. Indeks ini tetap merupakan indeks kemiripan Renkonen, tetapi nilainya diperoleh dari jumlah indeks kemiripan untuk semua tingkat pertumbuhan (dalam hal ini adalah semai, pancang, tiang, pohon) dibagi 4. Indeks kemiripan gabungan tertinggi terdapat antara Simpung-1 x Simpung-2 (76,53%). Tumbuhan penyumbang kemiripan tidak hanya karet, tetapi juga kujamas, mahang, mundu, salam laki, bungkam buaya, dan babuku.

Kaitan kondisi vegetasi dan kehadiran bekantan

Terdapat kaitan antara kondisi vegetasi dan kehadiran bekantan. Dua faktor yang melatarbelakangi seringnya bekantan mendatangi Ari dan Munti atau tidak mendatangi Simpung-1 dan Simpung-2 adalah sebagai berikut:

Pertama, Ari dan Munti menyediakan keanekaragaman tumbuhan lebih tinggi daripada Simpung-1 dan Simpung-2, sehingga terdapat lebih banyak spesies tumbuhan sumber

pakan, seperti: karet, kujamas, alaban, tiwadak banyu, dan bangkinang burung. Di hutan karet yang didominasi oleh tanaman budidaya (karet), bekantan harus beradaptasi dan menjadikan karet sebagai sumber pakan. Namun, ketika dedaunan karet meluruh atau merontok (terutama pada musim kemarau), bekantan pun harus mencari sumber pakan alternatif. Sumber pakan itu antara lain kujamas, alaban, bangkinang burung, dan tiwadak banyu (Soendjoto, 2004). Keempat tumbuhan ini tersedia di Ari dan Munti dan bahkan tiga tumbuhan pertama tergolong dominan. Kujamas memiliki akar jangkar. Perakaran ini mirip dengan perakaran bakau, sehingga mampu beradaptasi di perairan. Alaban dikenal sebagai tumbuhan pionir dan mampu cepat tumbuh di tanah kering. Pertumbuhannya yang mencapai tingkat pohon di Ari dan Munti sekaligus menegaskan bahwa kedua baruh ini dibiarkan oleh masyarakat dan tidak dipelihara intensif. Bangkinang burung dan tiwadak banyu juga termasuk tumbuhan yang mudah tumbuh. Buah bangkinang burung merupakan sumber pakan tidak hanya bagi bekantan, tetapi juga spesies burung frugivora dan hirangan (Trachipithecus auratus). Tiwadak banyu merupakan tumbuhan yang biasa ditemukan di sekitar perairan. Bekantan pernah dijumpai memakan seluruh daun. Dengan demikian, mendatangi baruh yang memiliki keanekaragaman tumbuhan tinggi merupakan strategi bekantan untuk beradaptasi terhadap berbagai sumber dan komposisi pakan. Adaptasi ini akan menguntungkan bagi kelangsungan hidup bekantan, terutama selama terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas salah satu sumber pakan. Secara umum bekantan adalah folifora (Bennett dan Sebastian, 1988). Daun merupakan jenis pakan utama bagi bekantan; proporsinya mencapai 92% dari seluruh pakan (Bismark, 1987). Tingginya tingkat konsumsi terhadap daun disebabkan oleh rendahnya keragaman jenis pohon dan tidak selalu adanya produksi buah (Soerianegara et al., 1994). Di Taman Nasional Tanjung Puting, Yeager (1989) menemukan bahwa pada Januari-Mei bekantan adalah frugifora, sedangkan pada Juni-Desember bekantan berperan sebagai pemakan dedaunan.

Kedua, Ari dan Munti memberikan tingkat keamanan yang lebih tinggi daripada Simpung-1 dan Simpung-2. Ari dan Munti terletak di dalam hutan karet dan berjarak 200-250 m dari jalan tanah Simpung – Ojik atau sekitar 500 m dari permukiman. Kondisi ini berbeda dengan Simpung-1 dan Simpung-2. Simpung-1 terletak hanya sekitar 150 m dari permukiman (Simpung Kampung) atau jalan raya Tanjung – Muara Uya, sedangkan Simpung-2 terletak hanya sekitar 100 m dari jalan tanah Simpung – Ojik. Letak ini menjadikan Ari dan Munti relatif jauh dari gangguan. Gangguan paling besar yang dihadapi bekantan adalah aktivitas manusia. Aktivitas utama manusia di hutan karet adalah penyadapan karet dan penebasan tumbuhan liar (selain karet), sedangkan di permukiman antara lain adalah aktivitas rumah tangga. Aktivitas ini menimbulkan gerakan, misalnya lalu lalang orang; serta kebisingan, misalnya suara penduduk, bunyi alat transportasi, bunyi gergaji mesin dan kapak dalam penebangan, serta bunyi pengeras suara atau alat elektronik. Pada bekantan yang hidup di hutan rawa, Yeager (1992) berpendapat bahwa pertambahan lalu lalang kendaraan sungai berdampak negatif pada populasi bekantan.

Secara umum, tingginya keanekaragaman tumbuhan dan tingginya tingkat keamanan di Ari dan Munti menunjukkan tingginya tingkat kenyamanan di kedua baruh tersebut. Bekantan adalah primata arboreal (Yasuma dan Alikodra, 1997). Tipe habitat yang berpohon tentu disukainya, karena tipe habitat ini merupakan tempat yang

Page 50: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 40-44 44

nyaman untuk berperilaku, seperti bergelantungan, bermain, dan bersembunyi. Namun, tingkat kenyamanan Ari dan Munti tentu saja dapat berubah atau menurun. Ari dan Munti, seperti juga Simpung-1 dan Simpung-2, merupakan kawasan budidaya. Ketika pepohonan karet di tepi kedua baruh ini akan disadap lagi atau bahkan dijadikan ladang, aktivitas manusia pun akan meningkat; pepohonan ditebangi sehingga keanekaragaman tumbuhan menurun. Salah satu contoh adalah yang terjadi di utara Munti (tepat berbatasan dengan baruh). Pada Juli 2004 vegetasi pada lahan sekitar 0,5 ha ditebang habis dan dipersiapkan untuk ladang. Pembakaran vegetasi hasil penebangan direncanakan sedikit demi sedikit, ketika serasah kering. Penyemprotan pestisida setelah pembakaran dan penanaman padi di lahan tersebut direncanakan bulan Oktober 2004. Kondisi ini mengubah aktivitas harian bekantan. Bekantan berusaha mencari baruh lain dan harus beradaptasi dengan lingkungan ini.

Selain keempat baruh yang dijadikan lokasi penelitian, terdapat banyak baruh di hutan karet Mabai (Desa Simpung Layung) yang luasnya diperkirakan 400 ha, misalnya Puak, Saga, Rantaubaru, Bukuan, Kuwaruh, dan Panai Buruk. Luas baruh bervariasi 20-2.500 m2 dan kedalaman 0,25-4 m. Dengan asumsi bahwa luas daerah jelajah bekantan berkisar dari 27 ha (Bismark, 1980) hingga 900 ha (Bennett dan Sebastian, 1988) dan daerah jelajah yang dipergunakan secara intensif seluas 19,4 ha (Soerianegara et al., 1994), maka baruh ini dapat dijelajahi oleh bekantan dari Ari dan Munti. Variasi luas secara alami bergantung pada potensi dan keragaman pakan (Bismark, 1987), penyebaran jenis pakan utama (Salter et al., 1985), serta faktor-faktor lingkungan lainnya, seperti perburuan (Bennett dan Sebastian, 1988) dan perubahan habitat atau peningkatan aktivitas manusia (Soerianegara et al., 1994; Alikodra, 1997).

Berdasarkan indeks kemiripan (yang mencerminkan ketersediaan pakan, tingkat keamanan, dan tingkat kenyamanan) serta kedekatan dengan sumber air (yang selalu tersedia pada musim kemarau), satu baruh yang mungkin pertama kali atau sering didatangi oleh bekantan adalah Simpung-2. Sesuai dengan arah perjalanan harian bekantan, baruh ini hanya berjarak 200 m ke arah barat laut dari Ari atau 1.500 m ke arah tenggara dari Sungai Uwi. Namun, kemungkinan pemilihan bekantan pada Simpung-2 masih perlu diteliti, karena letak baruh yang lebih dekat dengan permukiman dan jalan.

KESIMPULAN DAN SARAN Vegetasi tepi baruh Ari dan Munti memiliki

keanekaragaman tumbuhan yang lebih tinggi daripada vegetasi tepi baruh Simpung-1 dan Simpung-2. Kedua baruh ini tidak dipelihara secara intensif. Selain karet, tumbuhan yang dominan adalah kujamas, alaban, dan bangkinang burung. Tingginya keanekaragaman tumbuhan

atau tersedianya sumber pakan, serta tidak intensifnya pemeliharaan atau sedikitnya gangguan dari aktivitas manusia memicu bekantan untuk sering mendatangi Ari dan Munti. Namun penurunan keanekaragaman dan tingkat keamanan dari gangguan manusia dapat terjadi kapan saja, karena Ari dan Munti termasuk dalam kawasan budidaya, seperti halnya Simpung-1 dan Simpung 2.

Penelitian perlu dilanjutkan untuk mengetahui (i) proporsi aktivitas harian bekantan atau lebih spesifik lagi lama (jam/hari) bekantan berada di sekitar baruh; (ii) jenis tumbuhan selain karet, kujamas, bangkinang burung, tiwadak banyu, dan alaban yang menjadi sumber pakan bekantan; (iii) jenis tumbuhan dan bagian organ yang disukai bekantan; (iv) cara bekantan mengatasi ketiadaan air di baruh pada musim kemarau.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 1997. Populasi dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 5 (2): 67-72.

Bennett, E.L. and A.C. Sebastian. 1988. Social organization and ecology of proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in mixed coastal forest in Sarawak. International Journal of Primatology 9 (3): 233-255.

Bismark, M. 1980. Populasi dan tingkahlaku bekantan (Nasalis larvatus) di Suaka Margasatwa Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. [Laporan No. 357]. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan.

Bismark, M. 1987. Sosio ekologi bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Rimba Indonesia 21 (2-4): 24-35.

Boonratana, R. 2000. Ranging behaviour of proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in the Lower Kinabatangan, Northern Borneo. International Journal of Primatology 21: 497-518

Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper & Row. Payne, J., C.M. Francis, and K. Phillipps. 1985. A Field Guide to the

Mammals of Borneo. Kuala Lumpur: The Sabah Society & World Wildlife Fund Malaysia.

Salter, R.E. and K.N. Aken. 1983. The probocis monkey in Bako National Park, Sarawak. Tigerpaper 10 (3): 6-8.

Salter, R.E., N.A. MacKenzie, N. Nightingale, K.M. Aken, and P.K. Chai. 1985. Habitat uses, ranging behaviour, and food habitats of the proboscis monkey, Nasalis larvatus (van Wurmb), in Sarawak. Primates 26 (4): 436-451.

Soendjoto, M.A. 2004. A New Record on Habitat of the Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) and Its Problems in South Kalimantan, Indonesia. Tigerpaper 31 (2): 17-18.

Soendjoto, M.A., Djami’at, Johansyah, dan Hairani. 2002. Bekantan juga hidup di hutan karet. Warta Konservasi Lahan Basah 10 (4): 27-28.

Soendjoto, M.A., M. Akhdiyat, Haitami dan I. Kusumajaya. 2001. Persebaran dan tipe habitat bekantan (Nasalis larvatus) di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Media Konservasi 7 (2): 55-61.

Soerianegara, I., D. Sastradipradja, H.S. Alikodra, dan M. Bismark. 1994. Studi Habitat, Sumber Pakan, dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus) sebagai Parameter Ekologi dalam Mengkaji Sistem Pengelolaan Habitat Hutan Mangrove di Taman Nasional Kutai. [Laporan Akhir]. Bogor: Bogor: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB.

Supriatna, J. dan E.H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Yasuma, S. dan H.S. Alikodra. 1992. Mammals of Bukit Soeharto Protection Forest. Samarinda: The Tropical Rain Forest Research Project JTA 9(a)-137, PUSREHUT Special Publication No. 1 Ed. 2.

Yeager, C.P. 1989. Feeding ecology of the proboscis monkey (Nasalis larvatus). International Journal of Primatology 10(6): 497-530.

Yeager, C.P. 1992. Changes in proboscis monkeys (Nasalis larvatus) group size and density at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Tropical Biodiversity 1 (1): 49-55.

Page 51: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 45-49

♥ Alamat korespondensi:

Widyasatwaloka. Jl. Raya Cibinong KM 46, Cibinong 16911 Tel.: +62-21-8765056. Fax.: +62-21-8765068. e-mail: [email protected]

Pakan dan Habitat Kukang (Nycticebus coucang) di Hutan Lindung Perkampungan Baduy, Rangkasbitung-Banten Selatan

Feeding and habitat of slow Loris (Nycticebus coucang) in Badui Tribe conservation

forest, Rangkasbitung-south Banten

WIRDATETI♥, LILIK ENDANG SETYORINI, SUPARNO, TRI HADI HANDAYANI Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong-Bogor 16911

Diterima: 15 Juli 2004. Disetujui: 9 Desember 2004.

ABSTRACT

Feeding and habitat of slow Loris (Nycticebus coucang) in conservation forest located in Rangkasbitung-South Banten has been studied. This study was conducted in protected forest of the Paniga and Kiaralawang Baduy tribe in Cibeo for the inner Baduy and in Tinjoleat forest for the outer Baduy. The Study site was located about 250-610 m above sea level. The collected data consist of the type of feeding, nest sites and health. During the observation there were 61 plant species from 24 families which were dominated by Moraceae and Euphorbiaceae were consumed by slow Loris. Six other kinds of feed consist of small animals: reptile, mammals, aves, and insects. Nest was building on host plant from growing trees and made of litters.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: Nycticebus coucang, slow loris, Rangkasbitung conservation forest.

PENDAHULUAN Kukang (Nycticebus coucang) adalah salah satu

spesies primata dari genus Nycticebus yang penyebarannya di Indonesia meliputi pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Kukang dikenal juga dengan sebutan pukang, malu-malu atau lori, bersifat aktif di malam hari (nokturnal). Di pulau Jawa terdapat subspesies Nycticebus coucang javanicus, yang penyebarannya meliputi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ciri bulu tubuhnya berwarna coklat muda sampai coklat tua, bermata besar menonjol keluar, panjang kepala dan badannya 33 cm dengan bobot badan berkisar antara 300-1500 g. Pada bagian kepala hingga punggungnya terdapat garis coklat tua yang menjadi salah satu cirinya. Tangannya berfungsi sebagai pemegang yang telah berkembang baik (Uitgeverij 1988). Populasi kukang di alam saat ini diperkirakan cenderung menurun yang disebabkan oleh perusakan habitat dan penangkapan yang terus berlangsung tanpa memper-dulikan umur dan jenis kelamin. Penangkapan kukang yang tidak terkendali terutama untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan (pet animal). Akibatnya kukang sekarang termasuk kategori spesies terancam punah dan dilindungi Undang-undang dalam Konvensi CITES Appendix II (Anonymous, 1996). Kukang tergolong satwa pemakan segala (omnivora), seperti halnya dengan primata lainnya pakan utama adalah buah-buahan dan dedaunan. Namun demikian kukang di habitat aslinya, juga memakan biji-bijian, serangga, telur burung, kadal dan mamalia kecil (Napier and Napier, 1967).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati keadaan habitat dan jenis-jenis tumbuhan hutan yang dipilih kukang sebagai sumber pakan. Penelitian dilakukan di kawasan hutan lindung Baduy, Kecamatan Lewidamar, Kabupaten Lebak, Banten Selatan.

BAHAN DAN METODE Observasi lapangan untuk mengetahui keberadaan

kukang atau sarang kukang dilakukan dengan penjelajahan areal hutan dibantu oleh penduduk yang mengetahui sebaran kukang di sekitar hutan. Metode wawancara digunakan untuk mengetahui kemungkinan keberadaan kukang, frekuensi kemunculan kukang serta bentuk atau jenis kukang yang pernah mereka lihat. Untuk melakukan pengamatan tidak semua hutan dapat di survei, karena adanya pembagian kawasan hutan sesuai dengan kegunaannya bagi masyarakat Baduy yaitu hutan garapan, hutan lindung, dan hutan larangan. Observasi dilakukan pada hutan lindung dan hutan garapan yaitu satu lokasi di kampung Baduy Luar yaitu perkampungan Kadugketar meliputi hutan Tinjoleat, hutan Gunung Baduy dan tiga lokasi di kampung Cibeo-Baduy Dalam meliputi hutan Pagelaran (Cikakok), Paniga, dan Kiaralawang dengan ketinggian berkisar 200-635 m di dp). Kedua kawasan penelitian termasuk dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Lewidamar. Posisi lokasi penelitian diperlihatkan pada Tabel 1.

Observasi lapangan pada malam hari dan siang hari dilakukan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang dimakan kukang. Pengamatan lebih banyak dilakukan pada malam hari karena kukang adalah hewan nokturnal. Selain pengamatan langsung, informasi diperoleh juga dari penduduk yang mengetahui jenis tumbuhan hutan yang biasa dimakan oleh kukang. Tumbuhan yang diketahui

Page 52: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 45-49 46

bagian daun atau buahnya sebagai sisa pakan kukang dicatat nama lokal, ketinggian pohon, dan bagian tumbuhan yang dimakan. Selain itu sampel tanaman yang dimakan juga diambil untuk herbarium guna pengidentifikasian nama ilmiah dan analisis nutrisi. Analisis pakan dilakukan secara proksimat (bahan kering, abu, lemak, protein dan serat kasar) serta gross energi. Tingkat palatabilitas kukang terhadap suatu jenis tumbuhan juga diketahui dari perilaku makan di penangkaran.

Pengamatan habitat dilakukan pada sore sampai malam hari, saat kukang meninggalkan sarang untuk mencari pakan. Sarang yang diketahui sebagai tempat kukang berlindung dan beristirahat, dicatat nama lokal tumbuhan, diukur ketinggian sarang pada pohon tersebut dan bagian tempat bersarang.

Tabel 1. Posisi lokasi penelitian di kawasan hutan lindung Baduy-Banten. Lintang Selatan (S)

Bujur timur (T)

Ketinggian (m dpl) Lokasi

6o 36’ 003” 106o 13’ 490” 250 Gunung Tinjoleat 6o 36’ 114” 106o 13’ 520” 250 Gunung Baduy 6o 37’117” 106o 14’ 248” 400 Hutan Kiaralawang 6o 37’ 777” 106o 14’ 238” 425 Hutan Pagelaran (Cikakok) 6o 37’ 513” 106o 14’ 494” 610 Hutan Paniga 6o 36’ 812” 106o 14’ 163” 410 Kadugketar

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi observasi Desa Kanekes-Ciboleger, Kecamatan Lewidamar,

Kabupaten Lebak adalah salah satu perkampungan suku Baduy di Propinsi Banten, Jawa Barat (Gambar 1). Luasnya ± 510 Ha dengan jumlah penduduk 7181 jiwa terdiri dari 1997 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 54 kampung Baduy. Tiga kampung di antaranya termasuk Baduy Dalam dengan peradaban asli suku Baduy sedangkan 51 kampung lainnya termasuk Baduy Luar. Kampung Baduy Dalam meliputi Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Umumnya perkampungan terletak di tengah-tengah hutan garapan dan hutan lindung. Luas hutan garapan sekitar 2/3 bagian dan 1/3 bagian lainnya merupakan hutan lindung. Pada hutan lindung terdapat kawasan hutan larangan. Hutan larangan ini bagi suku Baduy Dalam, merupakan tempat yang dikeramatkan, sehingga di kawasan hutan tersebut tidak dilakukan observasi. Observasi hanya dilakukan di dalam hutan lindung diluar kawasan hutan larangan, dan hutan garapan. Pembagian hutan oleh masyarakat Baduy adalah sebagai berikut:

Hutan garapan. Di hutan ini penduduk dapat mengolah lahan untuk kegiatan pertanian, seperti tanaman padi huma, pisang, cabe dan tidak diperbolehkan menanam tanaman keras seperti cengkeh.

Gambar 1. Peta lokasi pengamatan kukang di desa Kanekes, kawasan Baduy. Keterangan: 1 = Desa Kanekes, lokasi penelitian, 2 = Kecamatan Lewidamar.

1

2

Page 53: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

WIRDATETI dkk. – Pakan dan habitat Nycticebus coucang 47

Hutan lindung. Di hutan yang dilindungi ini, penduduk

dapat memanfaatkan hasil tanaman yang tumbuh secara alami, akan tetapi tidak diperbolehkan untuk menebangnya. Seperti pada tumbuhan, demikian pula satwa tidak diperkenankan untuk diburu, kecuali jenis-jenis tertentu seperti kancil, burung, dan ikan. Penangkapan dilakukan dengan cara tradisional dan tidak diperbolehkan menggunakan bahan selain dari tumbuhan. Misalnya untuk menangkap kancil dengan menggali lubang dan tidak boleh menggunakan jerat atau senapan, burung dengan menggunakan getah dari nangka atau tanaman lain.

Hutan larangan. Hutan ini dikeramatkan oleh masyarakat Baduy, sehingga hutan ini hanya diperbolehkan bagi orang-orang tertentu. Hutan ini hanya terdapat di Baduy Dalam.

Lokasi Kampung Kadugketug, Baduy Luar

Lokasi ini terletak ± 1 km dari pintu masuk Desa Kanekes-Ciboleger dengan ketinggian 200 m dpl. Kampung ini berpenduduk 40 KK dikelilingi oleh dua gunung (perbukitan) yaitu Gunung Tinjoleat merupakan hutan lindung dan Gunung Baduy sebagai hutan garapan. Di hutan lindung Gunung Tinjoleat yang merupakan hutan sekunder, sedikit sekali jenis satwa yang ditemukan, di antaranya jenis primata (monyet ekor panjang dan lutung), ular, kadal, tupai, dan beberapa jenis burung. Menurut penduduk setempat hutan ini dulunya sering digunakan sebagai kawasan berburu tupai, kancil, dan burung untuk dimakan, akan tetapi 10 tahun terakhir hewan buruan tersebut sudah jarang terlihat.

Pada lokasi di atas tidak ditemukan kukang selama observasi, akan tetapi menurut informasi penduduk setempat, kukang pada saat-saat tertentu terlihat di pinggiran hutan. Hewan tersebut tidak diburu karena dianggap keramat dan mereka takut untuk menangkapnya. Di daerah tersebut kukang yang biasa dilihat masyarakat berwarna kecoklatan dengan strip hitam dari kepala hingga punggungnya, ukuran tubuh diperkirakan sebesar kucing muda. Ciri-ciri yang demikian sesuai dengan jenis kukang (Nycticebus coucang javanicus) yang terdapat di pulau Jawa, khususnya daerah Jawa Barat.

Lokasi Kampung Cibeo, Baduy Dalam

Lokasi ini terletak ± 14 km dari kampung Kadugketug dengan ketinggian 400 m dpl dan dibatasi oleh hutan lindung dan hutan garapan, berpenduduk ± 500 jiwa terdiri dari 90 KK. Hutan lindung di sekitar kampung Cibeo dan kawasan yang di observasi adalah hutan Cikakok, Paniga, dan Kiaralawang. Hutan lindung tersebut merupakan hutan sekunder yang mempunyai keanekaragaman cukup tinggi baik satwa maupun tumbuhan, hal ini dapat dilihat dari vegetasi hutan dan jenis satwa yang dijumpai.

Menurut penduduk setempat, pada lokasi ini sering ditemukan kukang, sama halnya dengan hutan Tinjoleat, di lokasi ini kukang juga tidak diburu dan ditangkap. Menurut keterangan penduduk yang dituakan, bahwa kukang yang ada di hutan lindung tersebut terdapat empat jenis atau bentuk, yaitu kukang yang berwarna coklat yang umum ditemukan di daerah Jawa Barat; kukang dengan bulu warna putih; kukang dengan bulu dan mata merah kecoklatan yang mereka sebut dengan kukang muka geni, dan kukang warna totol yang mereka sebut kukang muka brahma. Tiga jenis kukang selain warna coklat di atas adalah jenis baru yang diketahui, akan tetapi dalam observasi ini tidak diperoleh sampel dalam bentuk hidup.

Inventarisasi jenis pakan Seperti pada tempat-tempat lainnya, kukang sering

terlihat pada pohon aren, dan pada pohon yang sedang berbuah. Hasil wawancara dengan penduduk setempat, kukang juga sering terlihat memakan daun-daun muda atau pucuk, pangkal bunga, beberapa jenis hewan kecil seperti anak burung, kadal, cecak pohon, ular kecil, telur burung, dan serangga kecil. Hasil pengamatan, menunjukkan kukang menyukai buah-buahan rasa manis seperti buah pohon ceri, leusir dan lain-lain; buah rasa asam manis dan daun-daunan rasa asam. Di samping itu kukang juga menyukai tumbuhan yang mempunyai cairan rasa manis pada pangkal bunga atau buah seperti pada tanaman tepus hutan, air nira dari pohon aren, dan kaliandra, dengan cara mengisap cairan yang ada pada pangkal bunga atau bakal bunga. Bransilver (1999) menyatakan bahwa makanan kukang terutama adalah buah-buahan, kadang-kadang serangga dan telur burung. Jenis tumbuhan yang dimakan kukang dicantumkan pada Tabel 2. Pada tabel ini terlihat bahwa di alam kukang lebih menyukai buah-buahan dari pada daun-daunan. Di samping itu, pada pengamatan ini juga diketahui kukang mengkonsumsi pakan asal hewan, hal ini yang membedakan pakan kukang dari jenis primata lain. Terdapat enam jenis pakan asal hewan, yaitu serangga, burung, telur burung, kadal pohon, ular kecil, dan cecak pohon.

Tabel 2. menunjukkan terdapat 61 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 24 suku. Jenis tumbuh-tumbuhan tersebut umumnya dari kelompok pohon dan perdu. Jenis terbanyak adalah suku Moraceae (11 jenis) dan Euphorbiaceae (lima jenis). Jenis buah-buahan yang tidak disukai adalah yang berasa pahit, kecut, asam, dan gatal. Pucuk daun yang tidak disukai adalah dari jenis tumbuhan berdaun yang berbau menusuk atau langu, berdaun kasar, berdaun pahit, dan berdaun tebal. Jenis pakan yang tidak disukai kukang diketahui dari pengamatan penduduk dan dari uji coba pemberian beberapa jenis buah-buahan dan pucuk daun di penangkaran yang sebagian diperoleh dari alam. Kandungan nutrisi beberapa jenis pakan kukang yang diperoleh dari habitat aslinya diperlihatkan pada Tabel 3. Zat makanan berupa substansi kimia yang terkandung dalam pakan dan digunakan untuk hidup pokok, produksi dan kesehatan hewan. Kandungan zat makanan tersebut adalah karbohidrat, lemak, protein, mineral, serat kasar, vitamin dan air serta energi. Jumlah zat makanan yang dibutuhkan tergantung pada jenis hewan, umur dan tujuan dari pemberian pakan (Ensminger, 1991). Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan protein buah yang dikonsumsi kukang di alam sekitar 3,84-16,85% dan kebutuhan energi sekitar 4.000 kal/g. Ballenger (1995) menyatakan kukang adalah predator nokturnal dan makanan utamanya adalah serangga, telur burung, anak burung atau bangkai burung dan mamalia, akan tetapi juga memakan buah-buahan dan bagian lain dari tanaman. Di alam atau di habitat asli kukang mengkonsumsi 50% buah-buahan, 40% pakan asal hewan, dan 10% getah atau cairan tanaman (Supriatna dan Wahyono, 2000). Di penangkaran kukang mengkonsumsi buah-buahan seperti pepaya, pisang, markisa, jambu manis, di samping itu juga memakan roti dan jangkrik (Wirdateti dkk., 2000). Habitat kukang

Pengamatan habitat kukang dilakukan pada malam hari, karena sifat hewan ini aktif di malam hari (nokturnal). Data habitat yang diambil adalah tempat bersarang, ketinggian sarang, tipe sarang, dan jenis pohon yang ditumpangi. Hasil

Page 54: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 45-49 48

pengamatan dan wawancara dengan penduduk, diperoleh informasi bahwa pada malam hari kukang sering ditemukan di pohon aren, pohon kasungka, dan tepus hutan. Tempat bersarangnya hewan ini yaitu pada pohon yang besar dan tinggi seperti kondang (Ficus variegata Bl.), beunying (Ficus septica Burm.f), kiara koneng (Ficus annulata Bl.), dan

hamberang (Ficus sp.), dan puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.). Kukang membuat sarang pada tanaman inang yang ada pada pohon tersebut, seperti kadaka, atau jenis paku-pakuan di hutan sekunder. Tumbuhan kadaka yang ditempati dengan susunan akar yang rapat dan besar-besar, sehingga kukang terlindungi dari pemangsa. Ketinggian

Tabel 2. Daftar jenis tumbuhan pakan kukang di kawasan hutan Baduy, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung.

Nama lokal Nama ilmiah Suku Ket. Lokasi 1. Jatake Bouea maerophylla Griff Anacardiaceae B Paniga 2. Kedondong hutan Spondias dulcis Soland ex Park. Anacardiaceae B Tinjoleat 3. Ceel Calamus sp. Arecaceae U Tinjoleat 4. Lahang Arenga pinnata Arecaceae N Paniga 5. Sangkala badak Voacanga grandifolia Roffe. Apocynaceae B Cikotok 6 Bingbiringan Begonia isoptera Dryand Begoniaceae D Kiaralawang 7. Paku mencak Blechnum orientale L Blechnaceae P Cikotok 8. Mangguk Garcinia dulcis Kurt Clusiaceae B,P Gn. Baduy 9. Ceri Garcinia parvifolia Miq Clusiaceae B,P H. Cikotok 10. Araireten Ipomoea sp. Convolvulaceae D Tinjoleat 11. Aroiasaham Tetracera indica Houtt ex Christm & Panz. Dilleniaceae B Gn.Tinjoleat 12. Sempur Dillenia abovata (Bl.) Hooge Dilleniaceae B,P Cikotok 13. Korambi Omalanthus populneus (Geiseler) Pax Euphorbiaceae D Cikotok 14. Tepus Elaterio spermum tapos Bl. Euphorbiaceae P Panegak 15. Ramfere Bridelia tomentosa Blume Euphorbiaceae B Cibeo 16. Cenia Antidesma tetrandum Bl Euphorbiaceae B Cikotok 17. Gintung Bischofia javanica Bl. Euphorbiaceae B Tinjoleat 18. Ranji Dialium molum L. Fabaceae B Cikotok 19. Kaliandra Calliandra callothyrsus Meisn. Fabaceae Bg Baduy 20. Saninten Castanopsis argentea Fagaceae B Cikotok 21. Kasungka Gnetum cuspidatum Bl Gnetaceae B Kiaralawang 22. Sentul Cryptocarya sp. Lauraceae B Paniga 23. Harendong lampung Bellucia axinanthera Triana Melastomatoceae B Cikotok 24. Pisitan Lansium dimesticum Carrea Meliaceae B Cikotok 25. Kondang Ficus variegata Bl Moraceae B Tinjoleat 26. Benying Ficus septica Burm.f Moraceae B - 27. Nangka berit Artocarpus integer (Thunb.) Merrill Moraceae B Cikotok 28. Terap Artocarpus elasticus Bl Moraceae B Ciketok 29. Hamberang Ficus padana Burm.f Moraceae B Kadugketar 30. Kiara koneng Ficus annulata Bl. Moraceae B Cikotok 31. Kiara Ficus benyamina L. Moraceae B Tinjoleat 33 Sehang Ficus grossularioides Burm.f Moraceae B Cikotok 34. Drandang Ficus sinuata Thumb Moraceae B Paniga 35.. Kiara banyer Ficus vasculosa Wall Moraceae B Paniga 36.. Leles Ficus sp. Moraceae B Cikotok 37.. Pisang kole Musa zebrina van Houtte ex Planek Musaceae B.Bi Tinjoleat 38.. Kotek Musa acuminata Coea Musaceae P,Bi,B Paniga 39. Kelapa ciung Hoersfieldia glabra (Bl.) Warb Myristicaceae B Cikotok 40. Kupa Syzygium polycephalum (Miq.) Merr&Perry Myrtaceae B Paniga 41. Kaso Saccharum spontaneum L. Poaceae Bi Cikotok 42. Awi apus Gigantochloa sp. Poaceae P Cikotok 43. Cinaungan Mussaenda frondosa L. Rubiaceae P Cikotok 44. Calagor Nephelium juglandifolium Bl. Sapindaceae B Cikotok 45. Leusir Pometia painata Forst Sapindaceae B Cikotok 46. Paku daun Pleocnemia irregularis (Presl.) Holtt. Tectaria gr D Cikotok 47. Harenok Grewia tomentosa Juss Tiliaceae B Cikotok 48. Puspa Schima wallichii (DC) Korth. Theaceae P,B Paniga 49. Nangsi Villebrunea rubescens Bl. Urticaceae P Tinjoleat 50. Barahulu Alpinia sp. Zingiberaceae B Tinjoleat 51. Barahulu Amomum sp. Zingiberaceae B Paniga 52. Purut - - B Baduy 53. Tandot - - P Tinjoleat 54. Kiheur - - B Paniga 55. Pasang - - B Cikotok 56. Uspi - - B Kiaralawang 57. Bingha - - D,B Tinjoleat 58. Jenjiung - - P Tinjoleat 59. Peusar - - B Tinjoleat 60. Ganggiringan - - P Tinjoleat 61. Kitando - - P Paniga

Keterangan: bagian tumbuhan yang dimakan: D = daun, B = buah, Bg = bunga, Bi = bilus, P = pucuk, U = umbut muda (pucuk), N = Nira aren. Lokasi = nama lokasi area pengambilan sample.

Page 55: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

WIRDATETI dkk. – Pakan dan habitat Nycticebus coucang 49

Tabel 3. Kandungan zat-zat makanan dalam beberapa jenis bahan pakan kukang. Jenis Pakan BK (%) Abu (%) Lemak (%) Protein (%) SK (%) Energi Kal/g)

1. Daun ceuri 91,83 3,89 1,20 11,13 15,90 3851 2. Daun Puspa 93,08 2,97 1,09 9,27 38,76 3958 3. Buah Kasungka 83,27 0,80 2,60 12,60 37,19 3957 4. Buah kiseueur 90,23 3,80 4,63 5,20 40,07 n.a 5. Buah harendong lampung 90,09 4,06 2,72 7,39 22,06 3830 6. Buah benying 92,35 9,66 2,77 7,02 29,87 4060 7. Buah kondang 93,32 12,33 4,89 8,72 24,89 4666 8. Buah pesar 88,20 4,57 - 12,49 45,70 - 9. Buah darangdan 92,72 7,32 - 12,50 27,81 n.a

10. Buah kedondong hutan 88,26 7,11 - 3,84 7,46 n.a 11. Buah sentul 87,77 3,71 5,26 8,74 n.a 4130 12. Buah baruhulu 87,56 11,96 - 9,49 n.a n.a 13. Umbut muda ceel 91,48 7,23 0,91 10,59 n.a n.a 14. Buah kolek 87,82 26,38 - 12,79 n.a n.a 15. Araireten 89,73 9,85 0,84 16,85 n.a n.a

Keterangan: BK = bahan kering, SK = serat kasar, n.a = tidak dianalisis karena sampel tidak cukup.

sarang berkisar 12-30 m, kadang-kadang kukang juga bersarang hanya pada tumpukan daun lebat dari pohon tersebut. Pada dataran rendah kukang sering ditemukan pada tanaman bambu di perkebunan, bersarang di antara tumpukan daun yang lebat. Pengamatan dilakukan pada ketinggian 250-610 m dpl. Kukang tersebar cukup luas dapat ditemui hingga ketinggian 1300 m dpl. Bransilver (1999) menyatakan habitat kukang adalah hutan hujan tropis, sementara penyebarannya di India ditemui di hutan hijau tropis, hutan semi hijau dan hutan gugur tropis campuran (Choudhury, 1992).

Kukang yang bersifat arboreal kadang-kadang turun ke dasar hutan apabila pakan yang diinginkan berupa perdu seperti tanaman kasungka (Gnetum cuspidatum Bl.) dan tepus (suku Euphorbiaceae). Kawasan hutan Baduy Dalam yaitu di hutan lindung sekitar Cibeo, mempunyai vegetasi yang lebih beragam dibandingkan dengan hutan Tinjoleat (Baduy Luar) untuk kategori pohon. Jenis pakan lebih banyak ditemukan pada lokasi Baduy Dalam, sehingga sarang kukang lebih banyak ditemukan pada lokasi hutan lindung Baduy Dalam.

KESIMPULAN Hasil survai menemukan 61 jenis tumbuhan hutan yang

tergolong dalam 24 suku yang dipilih kukang sebagai sumber pakan. Jenis tumbuhan pakan yang terbanyak adalah dari suku Moraceae (11 jenis) dan Euphorbiaceae (lima jenis), serta enam jenis pakan asal hewan. Pakan yang disukai kukang adalah buah-buahan yang berasa manis, pucuk daun yang tidak berbau menusuk dan pahit,

serta cairan dari bunga atau bakal buah dan pakan asal hewan. Di habitat aslinya kukang bersarang pada pohon besar dan pada tumpukan daun yang lebat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati, DIP Pusat Penelitian Biologi Tahun 2002/2003, yang membiayai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1996 List of CITES Species. Jakarta: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

Ballenger, L. 1995. Toxins and toothcombs. Potential allospecific chemical defences in Nycticebus and Perodicticus in Cretures of the Dark: Nocturnal Prosimians. In Slow loris (Nycticebus coucang). ttp//www. Members.tripod.com/uakari/Nycticebus coucang.html (19 Juli 2001).

Bransilver, C. 1999. Slow loris (Nycticebus coucang). http/www.duke.edu/web/primate/slowlor.html. (28 Juli 1999).

Choudhury, A.U. 1992. The Slow loris (Nycticebus coucang) in North-east India. Primate Report. 34: 77-83.

Ensminger, M.E. 1991. Animal Science. 9th edition. Illinois: Interstate Publisher, Inc. Danville..

Napier, J.R. and P.H. Napier. 1967. A Handbook of Living Primates. London: Academic Press..

Supriatna, J. dan E.H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Uitgeverij, W. 1988. Ensiklopedia Indonesia Mamalia I. Jakarta: PT Dai Nippon Printing Indonesia.

Wirdateti, W.R Farida dan H. Dahrudin. 2001. Uji Palatabilitas pakan pada kukang (Nycticebus coucang) di penangkaran. Jurnal Fauna Tropika. 28: 1-7.

Page 56: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 50-54

♥ Alamat korespondensi:

Gedung Widyasatwaloka Jl. Raya Bogor-Jakarta Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 Tel.: +62-21-8765056/64, Faks.: +62-21-8765068 e-mail: [email protected]

Pemilihan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan dan Tempat Bersarang Kuskus (Phalanger sp.) di Cagar Alam Gunung Mutis,

Nusa Tenggara Timur

Feed Plants Selection and Nesting Site of Cuscus (Phalanger sp.) in Nature Reserve of Gunung Mutis, East Nusa Tenggara

WARTIKA ROSA FARIDA1,♥, TEGUH TRIONO2, TRI HADI HANDAYANI1, ISMAIL2 1Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911.

2Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002.

Diterima: 15 Juli 2004. Disetujui: 18 Agustus 2004.

ABSTRACT

Research on feed plants selection and nesting site of cuscus (Phalanger sp.) was conducted in Nature Reserve of Gunung Mutis, West Timor, East Nusa Tenggara. The study was done in the montane rain forest with the altitude of 1530-2010 m a.s.l. The results showed seven species of plants was selected by cuscus as their nesting site and 41 species of plants as their feed resources. Parts of the plants being consumed were young leaves, flower, and fruit. Their habitat was damaged caused by exploitation of the forest. Meanwhile, hunting pressure by local people to provide their meat supply threatens the existence of cuscuses.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: Phalanger sp., cuscus, plant, feed, nesting site, Gunung Mutis, East Nusa Tenggara.

PENDAHULUAN Kuskus adalah salah satu satwa berkantung

(marsupialia) endemik Indonesia Timur yang penyebarannya meliputi Papua, Maluku, Sulawesi, dan Timor. Kuskus yang tergolong famili Phalangeridae sudah sejak lama diburu untuk dimanfaatkan daging, bulu, dan giginya oleh penduduk setempat. Hingga saat ini beberapa jenis satwa famili Phalangeridae sudah terkategori terancam punah (endangered) dan menuju kepunahan (vulnerable), sebagian besar satwa tersebut secara hukum dilindungi dan tercantum dalam Appendix II Konvensi CITES (Baillie dan Groombridge, 1996). Kegiatan perburuan dan penangkapan kuskus di alam serta perdagangan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terancamnya keberadaan satwa tersebut di habitat aslinya.

Cagar Alam Gunung Mutis (CA Gunung Mutis) dengan luas 12.000 ha secara administratif berada di Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kecamatan Miomofa Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara. Alam Gunung Mutis merupakan daerah hutan pegunungan yang dicirikan banyaknya lumut jenggot (Usnea sp.) dan didominasi oleh tegakan ampupu (Eucalyptus urophylla). Menurut FAO/UNDP (1982) tegakan ampupu merupakan tegakan terluas di wilayah Nusa Tenggara Timur.

Di CA Gunung Mutis terdapat tiga jenis kuskus yang

dicirikan oleh perbedaan warna bulu tubuhnya, sebagaimana yang dilaporkan oleh Eduk dan Djalo (1995) yaitu kuskus berbulu abu-abu kehitaman (Phalanger gymnotis), kuskus coklat muda dada kuning (P. vestitus), dan kuskus putih (P. orientalis). Dari informasi penduduk lokal khususnya pemburu bahwa hingga saat ini kuskus di wilayah CA Gunung Mutis masih saja diburu untuk dikonsumsi dagingnya. Perburuan liar seperti ini dapat menyebabkan menurunnya populasi kuskus. Kenyataan ini menjadikan perlunya peningkatan tindakan pelestarian satwa tersebut melalui penangkaran (ex situ), sehingga dapat diharapkan satwa yang akan dimanfaatkan bukanlah hasil tangkapan langsung dari alam, tetapi satwa yang merupakan hasil perkembangbiakan di penangkaran.

Secara umum Panjang badan sampai ekor kuskus Timor berkisar 79 - 82 cm dan berat badan dewasa dapat mencapai 2 - 2,5 kg (Farida, 2000); bentuk kepala bulat dan agak besar; hidung agak meruncing; mata bulat besar menonjol keluar; telinga bulat pendek dan bagian dalamnya tidak berbulu; bulu tubuhnya lembut tebal seperti wol; serta ekor panjang prehensil yang sepertiga bagian ujungnya tidak berbulu. Kuskus memiliki lima jari dan seluruhnya kecuali ibu jari mempunyai cakar yang tajam dan sangat membengkok. Jari pertama (ibu jari) dan jari kedua berhadapan dengan ketiga jari lainnya, jari ketiga dan keempat menjadi satu terlihat seperti sebuah jari dengan dua kuku. Kuskus betina memiliki kantung yang membuka ke depan di bagian perutnya dan di dalamnya terdapat empat puting susu.

Tujuan penelitian di CA Gunung Mutis Kabupaten Timor Tengah Selatan sebagai wilayah hutan pegunungan adalah untuk menghimpun data tentang pemilihan jenis tumbuhan sebagai sumber pakan dan tempat bersarang bagi kuskus Timor dan mengamati kondisi habitat terkini.

Page 57: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

FARIDA dkk. – Phalanger di CA. Gunung Mutis, NTT 51

BAHAN DAN METODE Penelitian di CA Gunung Mutis Kabupaten Timor

Tengah Selatan telah dilakukan pada bulan Juni 2002. Data penyebaran habitat kuskus dihimpun berdasarkan laporan masyarakat/ pemburu setempat guna dilakukan pengamatan kondisi habitat kuskus timor dan pengumpulan jenis-jenis tumbuhan hutan sebagai sumber pakan dan tempat bersarang kuskus. Pengukuran tinggi pohon dan diameter batang setinggi dada dilakukan pada setiap pohon yang dijumpai sebagai sumber pakan dan/atau tempat bersarang kuskus.

Informasi mengenai jenis-jenis tumbuhan yang disukai kuskus sebagai tempat bersarang dan/atau sumber pakannya diperoleh dari wawancara dengan penduduk/pemburu setempat dan berdasarkan metode jelajah yaitu dengan cara pergi bersama beberapa penduduk mendatangi lokasi-lokasi habitat kuskus dan tumbuhan pakan di dalam hutan. Penduduk tersebut dapat menunjukkan beberapa bukti bekas-bekas sarang pada lubang-lubang kayu besar seperti bekas bulu kuskus serta bekas cakaran pada dahan pohon disekitar sarang. Pada bekas tumbuhan pakan sering meninggalkan bekas berupa sisa-sisa bagian tumbuhan yang dimakan kuskus seperti bekas renggutan pada daun, bekas gigitan pada buah, dan bekas pada batang pohon yang telah dikuliti oleh kuskus.

Untuk tujuan identifikasi nama ilmiah tumbuhan pakan dan/atau sarang kuskus, maka diambil contoh batang, ranting, dan daun, serta bunga dan buah (bila ada). Selanjutnya contoh tumbuhan tersebut disusun berlapis kertas koran bekas dan dibasahi dengan spritus sebagai pengawet untuk selanjutnya diidentifikasi di Herbarium Bogoriense/Bidang Botani, Puslit Biologi-LIPI, Bogor.

Untuk pengujian kandungan nutrisi, maka contoh bagian tumbuhan pakan yang dikonsumsi kuskus berupa daun, buah, atau bunga dikumpulkan sebanyak mungkin dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Selanjutnya setiap jenis contoh dipotong-potong, dikering anginkan dan dijemur di bawah sinar matahari hingga dicapai berat kering matahari. Analisis kandungan nutrisi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Nutrisi, Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI Cibinong. Contoh pakan dalam bentuk kering matahari selanjutnya di Laboratorium dikeringkan dalam oven selama 12 jam (dedaunan) dan selama 18 jam (buah-buahan) pada suhu 60oC, kemudian digiling halus dan disimpan dalam kantung plastik hingga analisis proksimat dilakukan berdasarkan metoda Harris (1970).

HASIL DAN PEMBAHASAN Posisi lokasi penelitian di CA Gunung Mutis, Timor

Barat, NTT disajikan pada Tabel 1.

Dari hasil pengamatan di lapangan kuskus berbulu abu-

abu kehitaman (Phalanger gymnotis) memiliki bentuk dan pola warnanya sama/mirip dengan yang ditemukan di Irian jaya; kuskus berbulu coklat muda dada kuning (P. Vestitus) belum terlihat di Irian Jaya; sedangkan kuskus berbulu putih (P. Orientalis) ada ditemukan di Irian Jaya, tetapi ada perbedaan pada warna moncong, warna lingkaran mata, warna dan panjang telinga, serta kehalusan bulunya. Ciri-ciri bentuk kepala kuskus bulat dan agak besar, hidungnya agak meruncing, mata bulat besar menonjol keluar, telinga bulat pendek bagian dalam tidak berbulu, bulu tubuhnya lembut, tebal seperti wol, ekor panjang prehensil yang sepertiga bagian ujungnya tidak berbulu (Farida, 1998).

Menurut Monk et al. (1997) di Pulau Timor hanya ada satu jenis kuskus yaitu Phalanger orientalis timorensis yang mungkin juga merupakan introduksi ke pulau tersebut. Informasi dari penduduk/pemburu di sekitar CA Gunung Mutis di Kabupaten Timor Tengah Selatan menyebutkan bahwa pada sekitar 15 tahun yang lalu mereka bisa memperoleh kuskus sebagai hasil buruan sebanyak 10-20 ekor dalam satu hari. Dewasa ini sudah agak sulit mendapatkan kuskus dalam jumlah sebanyak itu, karena populasi kuskus pun sudah semakin berkurang. Kuskus hasil buruan yang cukup banyak biasanya diawetkan menjadi dendeng sebagai persediaan lauk-pauk. Masyarakat memanfaatkan daging kuskus sebagai salah satu sumber protein (Farida, 2001).

Dari hasil pengamatan disekitar basecamp Lelofui ke arah puncak Gunung Mutis, tipe hutan yang diamati dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hutan pegunungan bawah yang dicirikan dengan kondisi hutan yang selalu hijau dengan penutupan kanopi mencapai 35 m pada ketinggian 1.000-1.800 m dpl, dan hutan pegunungan atas yang dicirikan dengan kondisi kanopi yang awet hijau dengan penutupan kanopi antara 10-20 m pada ketinggian diatas 1800 m dpl, dengan struktur tegakan yang rapat (Monk et al., 1997). Selain itu terdapat pula beberapa padang rumput di antara tegakan-tegakan hutan pegunungan ini. Pada hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas lapisan kanopi atas didominasi oleh pohon ampupu (Eucalyptus urophylla), diikuti oleh hau solalu (Podocarpus neriifolius), tune (Podocarpus imbricata) dan ajaub (Casuarina aquisetifolia) sebagai penyusun lapisan kedua. Di bawah lapisan-lapisan tajuk tersebut terdapat jenis sapling yang dominan yaitu natbona metan (Daphiphyllum glaucescens). Ciri yang membedakan hutan pegunungan atas dan bawah adalah dijumpainya jenis-jenis lumut yang melimpah pada hutan pegunungan atas. Secara umum Sukendar dkk. (1986) melaporkankan bahwa hutan pegunungan di CA Gunung Mutis khususnya di kawasan Lelofui dan sekitarnya relatif homogen, karena tingkat keragaman jenisnya yang rendah.

Tabel 1. Posisi Lokasi Penelitian di CA Gunung Mutis, Timor Barat, NTT.

LATD LATM LATS DIRLAT LONGD LONGM LONGS DIRLONG ALT (m dpl) LOKASI

9 38 891 S 124 13 324 E 1530 Stasiun WWF CA Gunung Mutis, Ds. Fatumnasi, Kec. Fatumnasi, Kab. Timor Tengah Selatan (TTS)

9 35 242 S 124 14 629 E 1550 Nasikisan, G. Mutis 9 35 460 S 124 14 435 E 1750 Lelofui, G. Mutis * * * S * * * E 1750 Oemol, G. Mutis 9 34 561 S 124 13 397 E 1875 Nefo mtasa, G. Mutis 9 34 553 S 124 13 538 E 1950 Monet nana, G. Mutis 9 34 530 S 124 13 550 E 1940 Uimbal lebin, G. Mutis * * * S * * * E 2010 Tanjakan I, G. Mutis

Keterangan: * GPS tidak memperlihatkan posisi koordinat di lokasi tersebut.

Page 58: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 50-54 52

Dari beberapa lokasi sarang/habitat/kuskus yang

dijumpai di dalam hutan, nampak bahwa habitat kuskus di C.A. Gunung Mutis mencakup hutan pegunungan atas dan bawah. Umumnya sarang berada di tegakan ampupu (Eucalyptus urophylla) yang cukup rapat dengan tajuk pohon saling menutupi satu sama lain. Tajuk yang rapat ini memudahkan kuskus untuk bergerak dan berpindah dari satu pohon ke pohon yang lainnya dengan cepat. Tabel 2 menunjukkan beberapa jenis pohon yang disukai kuskus untuk membuat sarang.

Selama masa penelitian sering dijumpai pula bahwa letak pohon ampupu (Eucalyptus urophylla) tempat sarang/habitat kuskus ditemui, selalu berdekatan dengan pohon tune (Podocarpus imbricata) atau berdekatan dengan pohon hau solalu (Podocarpus neriifolius). Hal ini dapat diduga bahwa pemilihan lokasi sarang/habitat berkaitan dekatnya sarang dengan salah satu sumber pakan alami kuskus. Tune maupun hau solalu diantaranya merupakan jenis tumbuhan hutan yang menjadi pakan alami kuskus di C.A. Gunung Mutis. Ketinggian sarang kuskus umumnya berada diatas 20 m dari tanah. Terkadang pada sebatang pohon terdapat 2-3 lubang sarang. Kuskus adalah hewan arboreal atau hewan yang hidupnya di atas pohon dan pemanjat pohon yang gesit. Selain kedua kaki dan kedua tangannya yang kuat mencengkeram dahan-dahan pohon, ekornya yang

prehensil juga merupakan tangannya yang kelima untuk mencengkeram dan bergelantungan pada dahan pohon (McKay dan Winter, 1989).

Dari hasil penelitian ternyata sebaran habitat kuskus hampir merata di CA Gunung Mutis, karena dominasi pohon ampupu yang menjadi tempat bersarang kuskus timor yang tumbuh hampir diseluruh hutan CA Gunung Mutis. Kondisi habitat umumnya sudah banyak terganggu akibat perambahan hutan dan pemanfatan hutan untuk lahan beternak sapi dan kuda. Dilaporkan oleh Republika (2000) bahwa hampir tidak ada kontrol dari aparat terhadap pencurian satwa dan kayu, selain itu kerusakan CA Gunung Mutis diperparah lagi dengan bakal dibukanya lebih dari lima pertambangan marmer disekitar wilayah cagar alam.

Tumbuhan hutan sebagai pakan kuskus timor yang teridentifikasi berjumlah 41 jenis yang tergolong dalam 27 suku (Tabel 3). Berdasarkan bagian tumbuhan yang dimakan oleh kuskus tercatat 15 jenis (36,6%) daun mudanya saja; 1 jenis (2,4%) daun muda dan bunganya; 3 jenis (7,3%) daun muda, bunga dan buahnya; 15 jenis (36,6%) daun muda dan buahnya; 6 jenis (14,7%) buahnya saja; dan 1 jenis (2,4%) umbutnya. Dari penelitian terdahulu dilaporkan oleh Farida dkk. (1999) bahwa bagian dari jenis pohon yang dimakan kuskus adalah pucuk dan

daun muda, bunga, buah, atau umbut pandan hutan, sedangkan dari jenis tumbuhan merambat, bagian yang dimakan adalah daun dan/atau buah. Tumbuhan berbuah yang menjadi pakan kuskus antara lain adalah jambu biji (Psidium guajava), yang banyak dijumpai di daerah Nasikisan (1.450 m dpl) terdapat tegakan yang cukup luas. Kuskus juga makan buah dari famili terung-terungan seperti kaulilfuj (Cyphomandra betacea) dan kaubasu (Solanum torvum). Selain buah, kuskus juga makan daun muda dan bunga. Daun muda manmana (Melastoma sylvatica) adalah contoh tumbuhan hutan yang bunganya menjadi pakan alami kuskus, sedangkan untuk jenis pangkase (Lantana camara), daun muda dan bunganya yang menjadi sumber pakan kuskus. Hau sisfafe (Neolitsea cassiaefolia) adalah jenis tumbuhan dominan di CA Gunung Mutis yang daun mudanya juga menjadi sumber pakan kuskus, yang mudah dikenali di alam karena warna daun bagian bawahnya yang keperakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuskus merupakan hewan pemakan tumbuhan (herbivora), walaupun beberapa literatur melaporkan bahwa kuskus di habitat aslinya juga mengkonsumsi telur burung, anak burung, kadal, dan anak mamalia kecil (Menzies, 1991; Petocz, 1994). Dari banyaknya jenis pakan yang dipilih kuskus berupa tumbuhan pohon, jelas terlihat bahwa kuskus adalah hewan arboreal atau hewan yang hidupnya di atas pohon.

Keterangan: = koordinat pengamatan

= Sungai 1 = Stasiun penelitian WWF

Gambar 1. Posisi lokasi pengamatan di CA Guning Mutis, Timor Barat.

Tabel 2. Tumbuhan/pohon yang disukai kuskus untuk bersarang sementara.

Nama lokal Nama jenis Tinggi (m)

Diameter (cm)

Ketinggian sarang (m)

1. Ampupu Eucalyptus urophylla 44 43,50 22, 27, dan 29 2. Nonotoni Embelia sp. Merambat - - 3. Nismetan Pterocymium tinetorium 23 16,2 20 4. Keolnasa Aphanamyxis polystachya 25 22,6 22 5. Ketapang hutan Barringtonia sp. 14 17,2 12 6. Benafo Kleinhovia hospita 8,2 32,9 7,5 7. Niko Grewia koordersiana 21 30,3 10

Page 59: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

FARIDA dkk. – Phalanger di CA. Gunung Mutis, NTT 53

Tabel 3. Daftar tumbuhan hutan sebagai sumber pakan kuskus Timor.

Nama ilmiah Suku Nama lokal Bagian yang dimakan Habitus

1. Acer laurinum Hassk. Aceraceae Hau nitu Daun muda Perdu berkayu 2. Alangium villosum (Bl.) Wang Alangiaceae A’kumfuj Daun muda & buah Pohon 3. Asplenium nidus L Aspleniaceae Snifit Daun muda Fern 4. Acalypha caturus Blume Euphorbiaceae Name mtasa Daun muda pohon 5. Drypetes microphylla Pax. & Hoffm. Euphorbiaceae Bokhail Daun muda & buah Pohon 6. Rhynchotechum sp. Gesneriaceae Lufu Daun muda & buah Pohon 7. Litsea glutinosa (Lour.) C.B. Rob. Lauraceae Bijaema Daun muda Pohon 8. Neolitsea cassiaefolia (Bl.) Merr. Lauraceae Hau sisfafe Daun muda Pohon 9. Buddleja asiatica Loureiro Loganiaceae Tastasik Daun muda Pohon 10. Scurrula obovata (Bl.) G. Don Loranthaceae Laesilo Daun muda, bunga

& buah

11. Melastoma sylvatica Blume Melastomataceae Manmana Daun muda, bunga & buah

Perdu

12. Musa sp1. Musaceae Uki Kase Daun muda & buah Terna 13. Musa sp2. Musaceae Uki mej Daun muda & buah Terna 14. Musa sp3. Musaceae Uki Muti Daun muda & buah Terna 15. Musa sp4. Musaceae Uki nats Daun & buah Terna 16. Maclura cochinchinensis (Lour.) Moore Moraceae Manuk heim Daun muda & buah Perdu berkayu 17. Maessa virgata (BI) A.DC. Myrsinaceae Nismok anak Daun muda & buah Pohon kecil 18. Syzygium rostratum (Bl.) D.C. Myrtaceae Manuk molo Daun muda & buah Pohon 19. Psidium guajava L Myrtaceae Kujawas Buah Pohon 20. Nyssa javanica (Bl.) Wang. Nyssaceae Hau neknail Daun muda Pohon 21. Freycinetia insignis Blume Pandanaceae Nonoekam Umbut Merambat 22. Passiflora edulis Sims. Passifloraceae Nonpa Buah Merambat 23. Bambusa sp. Poaceae Kaka Daun muda Rumput 24. Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne Poaceae Fetun Daun muda Rumput 25. Schizostachyum sp. Poaceae Ob Daun muda 26. Pothinia notoniana W. et. A Rosaceae Amasi Daun muda Pohon 27. Rubus fraxinifolius Poiret Rosaceae Saknati Buah Merambat 28. - Rubiaceae Nonbese Daun muda Merambat 29. Gynochthodes philippinensis (Elmer.) Merr. Rubiaceae Nonfule Daun muda & buah Merambat 30. Acronychia trifoliata Zoll. Ex Mor. Rutaceae Sensena noana Daun muda Pohon 31. Euodia latifolia D.C. Rutaceae Noteno Daun muda Pohon 32. Citrus reticulata Blanco Rutaceae Lelo kase Daun muda & buah Pohon 33. Citrus reticulata Blanco Rutaceae Lelo boko Daun muda & buah Pohon 34. Citrus sp. Rutaceae Lelo naes Daun muda & buah Pohon 35. Dodonea viscosa Jacq. Sapindaceae Maun nafu Daun muda Pohon 36. Cyphomandra betacea (Cav.) Sendtner Solanaceae Kaulilfuj Buah Perdu berkayu 37. Solanum torvum Swartz Solanaceae Kaubasu Buah Perdu berkayu 38. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore. Symplocaceae Akleo Daun muda &

bunga Pohon

39. Wikstroemia androsaemifolia Decaisne Thymelaceae Kusmelo Daun muda & buah Pohon 40. Lantana camara L. Verbenaceae Pangkase Daun muda, bunga

& buah Perdu

41. Parthenocissus heterophylla (Bl.) Merr. Vitaceae Nono babu Buah Merambat

Dari Tabel 4 terlihat kandungan nutrisi tumbuhan hutan

sebagai pakan kuskus memiliki rentang nilai yang luas khususnya untuk protein (4,31 – 27,68%) dengan rata-rata 13,28% (sd = 5,36) dan serat kasar (10,97 – 64,79%) dengan rata-rata 25,75% (sd = 11,26). Hal tersebut menunjukkan jenis tumbuhan yang dipilih kuskus sebagai sumber pakannya sangat bervariasi. Analisis kandungan nutrisi tumbuhan pakan perlu diketahui, karena hal ini penting untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bila kuskus ditangkarkan (konservasi ex situ) untuk tujuan penelitian atau pengembangan, sehingga dapat dicarikan jenis pakan alternatif yang kandungan nutrisinya mendekati kandungan nutrisi tumbuhan pakan di habitat aslinya.

KESIMPULAN Keragaman jenis tumbuhan hutan yang menjadi sumber

pakan kuskus Timor di CA Gunung Mutis cukup tinggi, yang berarti ketersediaan pakan alaminya masih cukup baik. Tercatat ada 41 jenis yang tergolong ke dalam 27 suku tumbuhan hutan sebagai sumber pakan kuskus Timor, dan berdasarkan bagian tumbuhan yang dimakan, kuskus lebih banyak mengkonsumsi daun muda dan buah. Sebagai tempat bersarang kuskus Timor menyukai enam jenis pohon (Eucalyptus urophylla, Pterocymium tinetorium, Aphanamyxis polystachya, Barringtonia sp., Kleinhovia hospita, dan Grewia koordersiana). Sebaran habitat kuskus hampir merata hingga ketinggian 2400 m dpl., karena tegakan ampupu (Eucalyptus urophylla) yang merupakan tempat kuskus bersarang/habitat tersebar merata tumbuh di hutan CA Gunung Mutis.

Page 60: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 50-54 54

Tabel 4. Kandungan nutrisi tumbuhan hutan sebagai pakan kuskus.

Jenis tumbuhan (nama lokal)

BK (%)

Abu (%)

Protein (%)

Lemak (%)

Serat kasar (%)

Energi (kal/g)

Daun muda:

1. Haunitu 92,60 4,87 11,63 1,46 33,47 3762 2. Sensena noana 92,04 8,64 21,97 1,43 18,49 4152 3. Snifit 89,74 16,32 15,35 1,22 19,94 3252 4. Manmana 89,91 9,05 12,08 2,38 23,34 3529 5. Kusmelo 92,93 7,49 14,96 2,25 26,85 4322 6. Manuk molo 94,38 5,61 13,62 2,07 35,60 4893 7. Tastasik 93,54 4,73 11,81 0,46 23,91 2418 8. Hau sisfafe 93,88 4,64 14,07 0,80 26,51 4117 9. Lupu 93,45 15,77 12,22 1,10 22,45 3685 10. Noteno 90,61 10,18 27,68 2,19 16,26 4416 11. Nonfule 93,78 9,03 13,74 1,65 45,91 3806 12. Akleo 92,47 11,77 11,36 1,47 25,37 3752 13. Bokhail 93,09 9,06 11,08 0,73 25,82 4081 14. Hau noknail 93,16 5,81 13,64 1,19 30,01 3595 15. Nismok anak 92,61 10,65 21,01 1,37 18,71 3724 16. A’kumfuj 91,34 10,32 24,47 0,68 20,66 4127 17. Nonbese 92,13 8,52 18,86 0,88 23,01 4315 18. Pangkase 92,78 9,32 19,76 0,74 20,57 4086 19. Manuk haem 92,85 11,21 18,03 0,92 n.a n.a 20. Uki nais 91,51 9,77 15,16 0,88 53,26 4032 21. Uki muti 91,96 11,77 n.a 1,17 n.a n.a 22. Uki kase 91,24 9,71 15,32 n.a n.a n.a 23. Ob 93,06 17,08 14,01 0,93 19,66 3783 24. Maun nafu 95,45 5,85 13,99 0,72 17,62 3702 25. Laesilo 96,30 9,39 7,21 0,74 12,10 3745 26. Lelo naes 96,47 8,87 9,99 1,43 18,82 3666 27. Lelo boko 96,37 9,61 6,80 1,12 28,09 3357 28. Fetun 93,96 9,49 13,42 0,42 26,91 3752 Bunga & buah: 1. Manmana 91,30 7,04 7,62 2,66 23,16 3850 2. Pangkase 93,85 6,52 9,66 0,83 30,06 3927 Buah: 1. Kaulilfuj 87,02 8,43 11,09 2,55 14,37 3843 2. Kusmelo 94,17 9,41 17,66 9,19 15,22 5366 3. Manuk molo 90,72 3,72 7,69 0,19 10,97 4232 4. Saknati 93,07 4,56 9,39 n.a. n.a n.a 5. Kaubasu 92,31 11,24 12,53 0,91 24,88 3794 6. Bokhail 93,32 4,09 2,54 0,69 64,79 3655 7. Manuk haem 92,23 9,65 13,58 n.a n.a n.a 8. Lae silo 91,78 7,19 5,34 n.a n.a n.a 9. Kujawas 94,97 3,85 4,31 2,09 33,10 3576 Keterangan: n.a = tidak dianalisis karena sampel tidak cukup.

DAFTAR PUSTAKA

Baillie, J. and B. Groombridge. 1996. IUCN Red List of Threatened Animals. IUCN Gland. Switzerland.

Eduk, E.J. dan A. Djalo. 1995. Inventarisasi Fauna di Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis, Perwakilan Kecamatan Molo Utara, Kabupaten Dati II Timor Tengah Selatan. Kupang: WWF Nusa Tenggara Project dan Universitas Widya Mandira.

FAO/UNDP. 1982. National Conservation Plan for Indonesia. 4: Nusa Tenggara. Bogor: FAO of the United Nations (Field Report 44).

Farida, W.R. 1998. Pemahaman Sifat Biologi dan Kekerabatan Famili Phalangeridae dari Satwa Berkantung Endemik Indonesia Timur dalam Upaya Pelestarian dan Pemanfaatannya. [Laporan Pelaksanaan RUT VI tahun ke-1 (Irian Jaya)]. Jakarta: Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional.

Farida, W.R. G. Semiadi, dan H. Dahruddin. 1999. Pemilihan jenis-jenis tumbuhan sebagai tempat bersarang dan sumber pakan kuskus (famili Phalangeridae) di Irian Jaya. Jurnal Biologi Indonesi 2 (5): 235-243.

Farida, W.R. 2000. Pemahaman Sifat Biologi dan Kekerabatan Famili Phalangeridae dari Satwa Berkantung Endemik Indonesia Timur dalam Upaya Pelestarian dan Pemanfaatannya. [Laporan Pelaksanaan RUT VI tahun ke-3 (Timor Barat)]. Jakarta: Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional.

Farida, W.R., G. Semiadi, Wirdateti, dan H. Dahruddin. 2001. Pemanfaatan kuskus (Phalanger sp.) oleh masyarakat Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. Biota 6 (2): 85-86.

Harris, L.E. 1970. Nutrition Research Techniques for Domestic and Wild Animals. Logan: Animal Science Department, Utah State University.

McKay, G.M. and J.W. Winter. 1989. Phalangeridae. In: Strahan, R. (ed.). Fauna of Australia. Vol. 1B. Mammalia. Canberra: Australian Government Publishing Service, Canberra.

Melnick, DJ, G.A Hoelzer, and R. Honeycut. 1992. The Mitochondrial Genome: Its uses in Anthropological Research. In: Devor, E. (ed), Molecular Application in Biological Antropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Menzies, J. 1991. A Handbook of New Guinea Marsupialia and Monotremes. Madang, PNG: Kristen Pres Inc.

Monk, K.A., Y. de Fretes, and G. Reksodiharjo-Lilley. 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd.

Petocz, R. 1994. Mamalia Darat Irian Jaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Republika. 29/07/2000. Cagar Alam Gunung Mutis NTT memprihatinkan. Sukendar, H. Simbolon, dan A. Adhikerana. 1986. Vegetasi dan Keadaan

Tanah hutan Lelofui Gunung Mutis, Soe, NTT. [Laporan Perjalanan]. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI.

Page 61: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 55-58

♥ Alamat korespondensi:

Gedung Widyasatwaloka Jl. Raya Bogor-Jakarta Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 Tel.: +62-21-8765056/64, Faks.: +62-21-8765068 e-mail: [email protected]

Morphological Comparison among Striped Puntius (Pisces: Cyprinidae) from Indonesia

HARYONO♥ Division of Zoology, Research Center for Biology, The Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Cibinong-Bogor 16911

Received: 23 April 2004. Accepted: 1 October 2004.

ABSTRACT

The striped Puntius consisting of four species, these are P. johorensis, P. gemellus, P. trifasciatus, and P. lineatus. This group marked by longitudinal stripe on body, and these varieties. The three species first of them have four long barbells, originally describe by Puntius eugrammus, and the last species has barbells 0-2 (short when present). The strange species was described from Central Mahakam areas, East Kalimantan. It’s named by Puntius sp., predicted new species but specifically study is needed. This species differ from its congener by the half stripe (+1) above the midlateral stripe on the anterior half of the body.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: striped Puntius, morphology, color pattern, truss morphometric.

INTRODUCTION The Puntius fasciatus include striped Puntius group was

recognized by Weber and de Beaufort (1916). Then Roberts (1989) and Kottelat et al. (1993) explained two species of striped Puntius, these are P. lineatus and P. eugrammus. The former species has 0-2 barbells (short when present), rostral barbells absent, 18-19 gill rakers on first gill arch, and 4-5 stripes on the body in both juveniles and adults. The last species was originally described by Bleeker (1853) with Barbus fasciatus, it replaced by Weber and de Beaufort (1916) by P. fasciatus, and has been replaced by P. eugrammus by Silas (1956), and also Eschmeyer (1998) used it. It has long barbells, 4-6 dark stripes in adults, juveniles (about 20 mm SL) have five broad vertical bars which start to break up at about 25 mm SL, and become replaced by stripes, 10 gill rakers on first gill arch.

Presently the striped Puntius divide to four species by Kottelat (1996); these are P. johorensis, P. gemellus, P. trifasciatus, and P. lineatus. The origin three species first of them are P. eugrammus. They are described based on color pattern of body. The color pattern is main character for describe species of striped Puntius, because the morphometric and meristics not successful for identification three species of them (Kottelat, 1996).

Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) is accidentally has all species of striped Puntius from Indonesia, also the strange species that marked by distinct of color pattern and named Puntius sp. This study will be compare of striped Puntius based on color pattern and truss morphometric.

MATERIALS AND METHODS Specimens are deposited in the Museum Zoologicum

Bogoriense (MZB) or Division Zoology, Research Center for Biology, The Indonesian Institute of Sciences (LIPI) in Cibinong, Bogor.

Traditional measurements used in ichthyology and counts follow Hubbs and Lagler (1949); Mohsin and Ambak (1983); also Inger and Chin (1962). Measurements of bilateral characters, such as pectoral and pelvic fin length, were made on the left side of the body. A modified box truss/truss morphometric (Figure 1.) was employed to examine shape variation among species. It method similar with Ehlinger (1991) and Humpries et al. (1981), the modification by taken 10 point of homolog, then jointed result 18 characters; the measurement is used digital caliper. The analysis refer to Morrison (1978); Kendall (1975); also Kevin et al. (2000).

Data were analyzed using the Canonical variant (discriminant function) analysis (DFA). These characters are: SPH (snout – upper part of posterior head), PHPB (posterior head – pectoral fin base), SPB (snout – pectoral

Figure 1. A schematic of truss morphometric (box truss) of striped Puntius.

Page 62: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 55-58 56

fin base), ED (eye diameter), PHDB (posterior head – anterior dorsal fin base), DBVB (anterior dorsal fin base – ventral fin base), PBVB (pectoral fin base – ventral fin base), PHVB (upper part of posterior head – ventral fin base), VBAB (ventral fin base – anterior anal fin base), PDAB (posterior dorsal fin base – anterior anal fin base), DBL (dorsal fin base length), ADAA (anterior dorsal fin base – anterior anal fin base), ABL (anal fin base), PDPA (posterior dorsal fin base – posterior anal fin base), CPL (caudal peduncle length), CPD (caudal peduncle depth), PDUCP (posterior dorsal fin base – upper caudal peduncle), PDLCP (posterior dorsal fin base – lower caudal peduncle).

The result measure by truss morphometric method showed in Table 1.The traditional methods (morphometric and meristic) was be done, with selected characters such as explained by Kottelat (1996). The result of measure and count showed in Table 3.

The numbering scheme for stripes follows Kottelat (1996), thus stripe 0 is midlateral, in general, follows the lateral line scale row; stripe +1 is the first stripe above the midlateral stripe, stripe +2 is the second stripe above the midlateral stripe, stripe –1 is the first stripe below the midlateral stripe and stripe –2 is the second stripe below the midlateral stripe.

A longitudinal dark mark are numbered as follow: row 0 is the row bearing the lateral line canals, row +1 is the row immediately above it, row –1 is the row immediately below it; the next rows are +2 and –2 respectively, etc. Stripes are numbered the same way.

RESULTS AND DISCUSSION Body shape of striped Puntius (P.

johorensis, P. gemellus, P. trifasciatus, P. lineatus, and Puntius sp.) are similar, but

the color pattern of them are varied depend on its species (Figure 2.).

The color pattern of P. johorensis, there are usually 6 narrow stripes on a reddish brown background. Stripe 0 on row 0, except on anterior most scales where it is between rows 0 and –1. Stripe +1 is between rows +1 and +2, except on anterior scales where it is on row +1. Stripe +2 is between rows +2 and +3; it ends at the beginning of the caudal peduncle. Stripe +3 is between rows +3 and +4, it is absent in the smallest specimens (about 40 mm SL). Stripe –1 is between rows –1 and 2, except on caudal peduncle where it is on row –2. Stripe –2 is on row –3, between pectoral and anal bases. Stripe +1 and –1 are on rows +2 and –2 respectively on the caudal peduncle and the dorsal and ventral midlines have the general background color of the body (Figure 2A.). Distribution in Indonesia: Jambi, Riau, East Kalimantan, and Central Kalimantan.

Figure 2. The diversity of striped Puntius in Indonesia: P. johorensis (A), P. gemellus (B) P. trifasciatus (C), Puntius sp. (D), and P. lineatus (E).

A B

CD

E

Table 1. Measurement (in mm) of striped Puntius by truss morphometric. Puntius sp. P. johorensis P. gemellus P. trifasciatus P. lineatus 1. SPH 12.03±1.39 15.27±2.42 10.11±2.28 12.58±2.49 9.30±1.44 2. PHPB 11.36±0.84 16.09±2.45 10.10±2.64 11.60±2.45 8.14±1.09 3. SPB 15.55±0.87 21.08±2.79 14.34±3.25 16.64±4.09 12.92±1.81 4. ED 4.21±0.21 5.83±0.79 3.87±0.59 4.53±0.60 3.62±0.42 5. PHDB 16.21±2.25 23.94±3.82 15.10±4.13 18.34±5.07 12.15±1.15 6. DBVB 17.68±1.29 25.58±4.57 16.11±4.54 17.36±4.72 11.80±1.63 7. PBVB 13.42±1.15 17.92±3.24 12.73±3.48 14.82±4.05 7.52±1.05 8. PHVB 21.45±1.35 29.67±4.62 19.96±5.41 23.21±5.58 14.07±1.54 9. VBAB 13.27±0.81 17.96±3.02 11.67±3.55 14.43±4.00 8.26±1.35 10. PDAB 14.84±1.21 20.23±3.32 12.73±3.92 14.62±3.64 9.17±1.42 11. DBL 8.48±0.89 12.15±2.20 8.30±3.33 8.69±2.18 5.32±0.89 12. ADAA 20.35±1.38 29.26±4.69 18.12±5.32 21.32±5.69 13.12±1.75 13. ABL 4.87±0.76 6.78±1.15 4.13±0.97 5.13±1.17 3.36±0.49 14. PDPA 14.93±0.94 20.22±3.02 12.96±3.91 15.45±4.45 9.05±1.21 15. CPL 9.89±1.06 13.12±2.16 7.57±2.06 9.95±1.67 6.85±0.67 16. CPD 6.88±0.69 10.04±1.77 6.30±1.79 7.02±1.49 4.58±0.51 17. PDUCP 19.26±1.32 26.70±4.13 17.51±4.43 21.20±4.65 13.14±1.54 18. PDLCP 21.45±1.34 26.92±9.74 19.02±4.51 22.68±4.94 14.16±1.30

Page 63: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

HARYONO – Striped Puntius from Indonesia 57

P. gemellus, there are usually 6 narrow stripes on pale brown background. Stripe 0 is on row 0, except on anterior most scales where it is between rows 0 and –1. Stripe +1 is between rows +1 and +2, except on anterior scales where it is on row +1. Stripe +2 is on row +3, except anteriorly where it is between rows +2 and +3; it ends at the beginning of the caudal peduncle. Stripe +3 is on row +4, except anteriorly where it is on row +3; it extends to end of dorsal base; it is absent in small specimens (less than 26 mm SL). The stripes on the back (especially stripes +2 or +3) may be somewhat irregular or connected. Stripe –1 is between rows –1 and –2, except caudal peduncle where it is on row –2. Stripe –2 is on row –3, between pelvic and anal origins. Stripes +1 and –1 are on rows +2 and –2 respectively on the caudal peduncle (Figure 2B.). Distribution in Indonesia: Jambi, Riau, Bangka, Belitung, and South Kalimantan.

P. trifasciatus, stripe 0 is broad, extending on the whole row 0 and part of rows –1 and +1 at the beginning and the end of lateral line; in the median area, it is over rows 0 and +1. Stripe +1 is on row +3 or between rows +3 and +4, except anteriorly where it is slightly lower, on the caudal peduncle; it is on row +3. Stripe +2 is on row +4 or between +4 and +5; it extends between nape and the posterior extremity of dorsal base; it is usually not present in specimens less than about 60 mm SL. Stripe –1 is between rows –1 and –2 above the pelvic, on row –2 in front, and on row –3 on the caudal peduncle (Fig 2C). Distribution in Indonesia: South Kalimantan, West Kalimantan, and East Kalimantan

P. lineatus, is distinguished from the other four species of striped Puntius in Indonesia by having only 0-1 pair of barbells, much shorter than eye (vs. 2 pairs of long barbells), ½ 5 scales rows between dorsal origin and lateral line (vs. ½ 4) and 4 between lateral line and pelvic origin (vs. 3); 17-20 gill rakers on anterior gill arch (vs. 7-11), mouth sub inferior (vs. terminal), and especially by its fleshy lower lip forming a continuous post labial groove in specimens larger than about 20 mm SL, a character unique among Indonesian Puntius. It is smaller species, not known to grow larger than 53 mm SL. The color pattern, stripe 0 is on row 0, except in the middle area of flank where it is between rows 0 and +1. Stripe +1 is on row 2, except in the middle where it is between row +2 and +3. Stripe +2 is on row +3 anteriorly, going progressively to row +4 posteriorly; it ends at about posterior extremity of dorsal base. Stripe –1 is on row –2, except in the middle where it is between rows –1 and –2. Stripe –2 is on row –3 and extends between pectoral and anal origin; it is usually weak or even absent (Figure 2E.). Distribution in Indonesia: Jambi and West Kalimantan.

Puntius sp., differ from all other known striped congeners by the half stripe above the midlateral stripe on the anterior half of the body. It’s based on 6 specimens and predicted as the new species. The complete descriptions are general body shape and appearance as shown in Figure 2D. Its body long and compressed, head pointed; color pattern, there are 5 narrow stripes on pale background; on the upper half of the body the reticulate pattern is well defined, formed by pigmentation at the edges of the exposed part of scales. Stripe 0 is on row 0, except on anterior most scales where it is between rows 0 and –1. Stripe +1 anterior part have 11-13 scales, it is ends lower of middle dorsal fin; posterior part stripe (+2) on row between +2 and +3, beginning scale 5-6th

from operculum with position above the anterior most, continued to caudal peduncle. The stripe +1 and +2 are differ from other species its congeners. Stripe +3 beginning at back of operculum on row +3 and +4, its end of dorsal part of caudal peduncle. Stripe –1 on row –1 and -2, beginning at base of pectoral fin, its end at lower part of caudal peduncle. Stripe –2 is on row –3, between pelvic and anal origins, it is present in all specimens examined, the stripe thin and not continued to caudal peduncle (Figure 2D.). Distribution in Indonesia: East Kalimantan.

The truss morphometric was examined by canonical discriminant analysis with two steps. First step was examined all characters, and second of them only examined selected characters (6 characters). The selection of characters following value of Wilk’s Lambda, and the result of important character such as: ED, PBVB, CPL, DBVB, PDUCP, and CPD. A plotting of selected characters by function 1, 2, and 3 explained variation each 58.24%, 25.43%, and 12.63% (Table 2.), and a joined these function explained 93.48%. This result showed separation between species of a striped Puntius (Figure 3.). A plotting between function 1, 2, and function 3 that Puntius sp. is distinct from P. johorensis, P. gemellus, P. trifasciatus, and P. lineatus. It’s closer with P. trifasciatus and P. gemellus.

Fungsi 1 analisis 1

6420-2-4-6

Fun

gsi 2

ana

lisis

1

6

4

2

0

-2

-4

Species:

Puntius trif as ciatus

Puntius lineatus

Puntius gemellus

Puntius johorensis

Punt ius sp.

Figure 3. A Plotting of striped Puntius with function 1 and 2.

If compare with P. trifasciatus (vs. 3 stripes with complete). The other characters for compare with used Table 3., such as: total length, predorsal length, preanal length, body width, upper caudal lobe length, and middle caudal rays length are less than P. trifasciatus, and another characters (body depth, interorbital width, anal fin base length) are larger than it.

If compare with P. gemellus (vs. 5-6 stripes with complete). It also has total length, predorsal length, prepelvic length, preanal length, head depth, body depth,

Table 2. Selected caharcters, Canonical variate function coefficient for five species of striped Puntius.

Characters Value of Wilk’Lambda Function 1 Function 2 Function 3

1. ED 2. PBVB 3. CPL 4. DBVB 5. PDUCP 6. CPD

0.31682 0.14531 0.08176 0.04610 0.03115 0.02207

0.211 (0.365) -2.770 (-0.893) 0.910 (0.543) 1.601 (0.416)

-1.572 (-0.397) 1.940 (1.375)

1.215 (2.100) 1.269 (0.409) 0.943 (0.563) -3.220(-0.837) 1.557 (0.393)

-0.999 (-0.708)

-0.476 (-0.023) 1.0281 (0.332) -1.431 (-0.854) 0.714 (0.186)

-0.416 (-0.105) 1.186 (0.840)

Variation explained (%) 58.24 25.43 12.63 Constant -4.212 -7.855 0.918 Annotation: standardized values followed by (in brackets) unstandardized values.

Page 64: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 55-58 58

Table 3. Selected morphometric (in mm) and meristic data of Puntius sp., P. gemellus, P. johorensis, P. lineatus, and P. trifasciatus.

Puntius sp. MZB 8146 H n = 6

P. gemellus *)MZB. 5939 H

P. johorensis *) CMK. 11141

P. lineatus MZB 8098 (n=5)

P. trifasciatus *) MZB. 5940 H Standard length

56.4 55.2 60.0 73.9 40.97 74.0 Presented of standard length 1. Total length 2. Head length 3. Predorsal length 4. Prepelvic length 5. Preanal length 6. Head depth 7. Body depth 8. Depth of caudal peduncle 9. Length of caudal peduncle 10. Snout length 11. Body width 12. Eye diameter 13. Interorbital width 14. Length of dorsal fin base 15. length of anal fin base 16. Length of pelvic fin 17. Length of pectoral fin 18. Length of upper caudal lobe 19. Length of middle caudal rays 20. Length of lower caudal lobe

129.2 25.5 51.8 52.0 73.3 21.1 31.9 13.6 20.4 8.9

13.9 7.7

10.8 16.3 9.2

18.4 20.1 28.1 9.1

32.5

128.8 **)

29.4 51.9 **)

50.6 72.0 **)

17.5 33.0 12.9 21.3 8.6

14.4 **) 8.1

10.1 15.7 9.3

19.7 20.6

29.5 **) 11.0 **)

29.3

131.8 26.9 52.3 51.8 78.2 18.6 35.1 12.2 20.6 7.4

15.2 7.7 9.2

14.8 8.5

17.7 19.4 30.9 15.2 31.7

133.3 31.8 55.3 53.5 76.0 22.7 37.2 14.3 20.4 9.2

19.4 8.0

11.2 15.6 9.7

20.0 21.0 32.5 15.2 31.4

131.50 34.39 54.20 51.19 70.52 20.97 30.55 11.86 19.55 10.04 14.27 10.38 9.85

14.81 10.21 22.21 20.69 32.79 17.99 33.48

130.0 29.5 53.1 51.4 74.6 19.9 31.1 12.8 21.1 8.4

15.8 7.7 9.6

14.1 7.8

19.5 20.8 30.0 12.0 31.5

Presented of head length 21. Snout length 22. Eye diameter 23. Interorbital width

32.1 27.7 38.9

31.5 **)

28.1 34.0

27.4 28.6 34.3

28.9 25.1 35.3

29.21 30.20 28.65

28.4 27.7 32.5

Meristic 24. Pectoral rays 25. Lateral line scales 26. Predorsal scales

15

25+2 10

14-16 25+2

10

15

26+2 11

16

26+2 10

16

25+2 12

17

25+2 10

Annotation: *) Kottelat (1996), **) differ from others species.

body width, upper and middle caudal rays length are less than P. gemellus, and another characters (snout length, interorbital width, dorsal fin base length, anal-fin base length, and pectoral fin length) are larger than it.

If compare with P. lineatus (vs. 4-5 narrow stripes). The majority of morphometric characters of Puntius sp. less than P. lineatus, such as total length, head length, predorsal length, prepelvic length, head depth, snout length, eye diameter, length of anal fin base, length of pelvic fin and lobes of caudal fin. The lips of P. lineatus is differs from other stripe Puntius.

Compare with P. johorensis (vs. 6 narrow stripes on reddish brown background). The stripe narrower, the morphometric result is almost all characters less than P. johorensis. The comparison in the above showed are Puntius sp. more close to P. trifasciatus than P. gemellus and P. johorensis. Therefore suggested are the four specimens examined differ from it, mainly on number of stripe, color pattern, selected characters and truss morphometric.

CONCLUSION

The stripe Puntius marked by longitudinal band and

differentiated mainly by 6 selected characters fiz ED, PBVB, CPL, DBVB, PDUCP, and CPD. The Puntius sp. from Central Mahakam, East Kalimantan differs from its congeners by the half stripe above the midlateral stripe on the anterior half of body; based on truss morphometric also different, therefore predicted as new species.

AKNOWLEDGMENT

I thank Dr. Darrell J. Siebert (British Museum Natural History, London) for guiding of manuscript and Drs. Agus H.

Tjakrawidjaja for allowing access to his specimens from Central Mahakam.

REFERENCES Bleeker, P., 1853. Nalezingen op de ichtyologische fauna van het eiland

Banka. Natuurkunde Tijdschrift voor Nederlansch-Indie 5: 175-194. Ehlinger, T.J., 1991. Allometry and analysis of morphometric variation in the Bluegill, Lepomis macrochirus. Copeia 2: 347-357.

Eschmeyer, W.N. 1998. Catalog of Fishes, Vol 1: Introductory Materials Species of Fishes A-L. San Francisco: California Academy of Sciences.

Hubs, L. and K.F. Lagler. 1949. Fishes of the Great Lakes Region. Ann Arbor: Cranbook Institute of Science no. 26.

Humpries, J.M., F.L. Bookstein, B. Chernoff, G.R. Smith, R.L. Elder and S.G. Poss. 1981. Multivariate discrimination by shape in relation size. Systematisc Zoology 30 (3): 291-308.

Inger, R.F. & P.K. Chin. 1962. The Freshwater Fishes of North Borneo. Kota Kinabalu: Sabah Zoological Society.

Kendall, S.M. 1975. Multivariate analysis. London: Charle Griffin & Co. Ltd. Kevin, M., S. Cushman & S. Stafford. 2000. Multivariate statistics for wildlife

and ecology research. New York: Springer-Verlag. Kottelat, M. 1992. The identify of Barbus johorensis Duncker, 1904

(Teleostei: Cyprinidae). The Raffles Bulletin of Zoology 40 (2): 187-192. Kottelat, M. 1996. The identify of Puntius eugrammus and diagnoses of two

new species of striped barbs (Teleostei: Cyprinidae) from Southeast Asia. The Raffles Bulletin of Zoology 44 (1): 301-316.

Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, and S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Singapore: Periplus.

Mohsin, A.K. M. & M.A. Ambak. 1983. Freshwater fishes of Peninsular Malaysia. Malaysia: University Pertanian Malaysia Press.

Morrison, D.F. 1978. Multivariate Statistical Methods 2nd. Auckland: McGraw-Hill.

Roberts, T.R. 1989. The freshwater fishes of western Borneo (Kalimantan Barat, Indonesia). Memoirs of the California Academy of Sciences 14: 1-210.

Silas, E.G., 1956. The systematic position of the Indian cyprinid fish, Cirrhinus fasciatus Jerdon (1849), with a new name for Barbus fasciatus Bleeker (1853). Copeia 3: 194.

Weber, M. and L.F. de Beaufort. 1916. The Fishes of the Indo-Australian Archipelago. II. Ostariophysi: II Cyprinioidea, Apodes, Synbranchi. Leiden: E.J. Brill.

Page 65: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 59-62

♥ Alamat korespondensi:

Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16002. Tel.: +62-251-321041. Fax.: +62-251-325854. e-mail: [email protected]

Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor) di Penangkaran Kalimantan Timur

Calving pattern on captive sambar deer (Cervus unicolor) in East Kalimantan

GONO SEMIADI1,♥, I.G. MADE JAYA ADHI2, ANDI TRASODIHARTO2 1 Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002.

2 Balai Inseminasi dan Pembibitan Ternak, Dinas Peternakan, Desa Api-Api, Kecamatan Petung, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur

Diterima: 28 Juli 2004. Disetujui: 1 Desember 2004.

ABSTRACT

Sambar deer (Cervus unicolor) is the biggest of tropical deer with its distribution in Indonesia limited to Kalimantan and Sumatera islands and neighboring islands near Sumatera. Several countries such as Malaysia and Thailand have been developing their tropical deer farming, whereas in Indonesia they are still in its infancy, as captive breeding. The knowledge on the biology of reproduction from tropical deer is still limited, particularly those under their natural habitat. An evaluation on the reproduction profiles of captive sambar deer were conducted by analyzing log book of the captive breeding in East Kalimantan. The results indicated that conception rates was very low, only 48,8% (SD=16.24; n=10 years) with peak calving time between June and July and mean calving date was on 4 July (SD=10.4 days; n=109 fawns). Calving interval was 388,2 days (SD=82.45; n=33 fawns), with natural nursing lasted for 148 days. Young hind gave birth for the first time at the age of 693.8 days (SD=89.40; n=4 hinds), giving a time estimate of first mating at the age of 453 days.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: Cervus unicolor, sambar deer, calving pattern, captivity, East Kalimantan.

PENDAHULUAN Rusa sambar (Cervus unicolor) merupakan rusa

terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesia terbatas di pulau Sumatera, Kalimantan dan pulau kecil di sekitar Sumatera (Whitehead, 1994). Tinggi gumba pada yang jantan dapat mencapai 160 cm dengan berat badan antara 136-320 kg, sedangkan pada yang betina mencapai 115 cm dengan berat badan 135-225 kg, tergantung pada anak jenis. Ada kecenderungan anak jenis rusa sambar yang berasal dari India dan Sri Lanka merupakan yang terbesar dan tertinggi (Awal et al., 1992, Lewis et al., 1990). Pada lingkungan peternakan di Australia, rusa sambar betina dapat mencapai berat badan 228 kg (Anderson, 1984).

Warna bulu rusa sambar umumnya coklat dengan variasinya yang agak kehitaman (gelap) pada yang jantan atau yang telah tua. Ekor agak pendek dan tertutup bulu yang cukup panjang. Keadaan bulu termasuk kasar dan tidak terlalu rapat. Pada daerah leher bagian lateral, bulu membentuk suatu surai/malai (mane). Perubahan warna bulu dari coklat cerah menjadi lebih gelap, khususnya pada yang jantan dominan, sering terlihat bersamaan dengan masuknya pejantan ke musim kawin (Semiadi, 2004 pengamatan pribadi).

Daerah habitat asli rusa sambar berupa daerah payau atau berair, namun dengan berkembangnya wilayah

perkebunan kelapa sawit di habitat rusa sambar, mereka terbukti dapat berkembang dengan baik (Semiadi, 2004 pengamatan pribadi). Salah satu strategi pengembangan populasi rusa di penangkaran adalah memahami sifat reproduksinya. Namun saat ini pengetahuan yang mendalam mengenai biologi reproduksi dari rusa tropik yang ditangkarkan pada habitat aslinya masih sangat terbatas. Pada kelompok rusa, telah diketahui bahwa pada musim kawin, pejantan akan berkompetisi dengan pejantan lain untuk dapat menguasai kelompok betina yang dapat dikawininya. Sifat kompetisi ini akan membentuk suatu susunan kekuatan penguasaan yang disebut hieraki, pejantan yang dapat menguasai kelompok betina disebut pejantan dominan. Sedangkan sifat mengumpulkan beberapa ekor betina oleh seekor pejantan disebut pengumpulan harem (Semiadi dan Nugraha, 2004).

Di beberapa negara seperti Australia, Thailand dan Malaysia, rusa sambar telah diternakkan dan berkembang dengan baik. Di Indonesia, pemeliharaan masih dalam bentuk penangkaran, walau telah dilakukan sejak tahun 1990 di Kalimantan Timur (Muchsinin dkk., 2002). Tujuan utama pemeliharan rusa sebagai hewan ternak di luar negeri adalah untuk dimanfaatkan dagingnya yang disebut venison, serta tanduknya yang disebut ranggah. Pemanfaatan ranggah ini hanya dilakukan saat ranggah masih dalam umur muda yang disebut velvet antler. Dalam siklus pertumbuhannya, ranggah mempunyai siklus ranggah keras, luruh dan ranggah muda, yang bersiklus terus selama hidup rusa (Semiadi dan Nugraha, 2004).

Pemahaman hal-hal yang berhubungan dengan reproduksi pada rusa saat ini lebih banyak pada rusa yang berasal dari daratan Eropa, seperti rusa merah (Cervus elaphus), dan sedikit pada rusa yang berasal dari daerah

Page 66: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 59-62 60

tropik (English, 1992; Monfort et al., 1993). Berhasilnya pemahaman keadaan reproduksi suatu jenis rusa akan banyak membantu usaha peningkatan populasi rusa tangkaran, antara lain melalui strategi manajemen reproduksi. Untuk itu dilakukan kajian terhadap pola kelahiran dan hal-hal yang berkaitan dengan pola reproduksi pada rusa sambar yang ditangkarkan.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan mulai bulan Maret hingga

Nopember 2002, di penangkaran rusa sambar (Cervus unicolor) milik Pemda Kalimantan Timur di Desa Api-Api, Kecamatan Petung, Kabupaten Penajam Paser Utara. Kegiatan penangkaran dimulai tahun 1990, dengan fasilitas yang telah tersedia saat ini adalah delapan buah pedok (padang rumput kecil) yang mencapai luasan 9,5 hektar dan kandang kerja (yard) yang dilengkapi penjepit rusa (deer crush). Enam hektar dari pedok telah ditanami rumput unggul dan sisanya masih dalam taraf persiapan.

Kegiatan penelitian terbagi atas dua kelompok, berupa (i) kajian terhadap pola sebaran kelahiran dan perkawinan yang tercantum dalam catatan perkembangan populasi (log book) dan (ii) pengamatan pola pertumbuhan ranggah. Kegiatan pencatatan perkembangan populasi rusa dilakukan oleh pihak manajemen penangkaran sejak pertama kali rusa tiba di lokasi penangkaran. Namun, pencatatan yang tertata rapi hanya didapat pada kurun waktu bulan April 1992 hingga Juli 2001.

Rusa ditempatkan dalam pedok secara berkelompok, bercampur antara jantan dan betina dewasa (≥ 20 bulan), sehingga perkawinan berjalan secara alami sepanjang waktu. Jumlah pejantan pada kelompok dewasa dalam satu masa paling sedikit adalah 5 ekor dewasa dengan betina dewasa paling sedikit 10 ekor. Fluktuasi populasi di akhir tahun berubah setiap saat dan mencapai maksimum 30 jantan dewasa dan 24 betina dewasa di tahun 2001. Monitoring kelahiran anak dilakukan dengan mengontrol pedok setiap dua hingga empat hari sekali, sehingga sedikit sekali kemungkinan terjadi kehilangan pantauan anak yang baru lahir. Setiap kelahiran kemudian dicatat dalam log book. Angka konsepsi (%) betina dihitung dengan cara membagi jumlah anak yang lahir pada satu periode dengan jumlah induk produktif yang ada pada periode yang sama, dihitung per delapan bulan, dengan mengambil rata-rata lama masa bunting rusa sambar sekitar 240 hari (Semiadi, 2004 pengamatan pribadi). Pencatatan langsung juga dilakukan pada beberapa individu betina muda yang melahirkan dan menyusui, serta pejantan selama enam bulan (Mei-Nopember 2002), sehingga beberapa indikator reproduksi yang memungkinkan dihitung juga dianalisis. Pada pejantan, pertumbuhan ranggah diamati dengan mencatat jumlah jantan yang berada pada posisi ranggah keras, ranggah muda (velvet), dan yang luruh ranggahnya. Pencatatan ini dilakukan setiap dua minggu selama enam bulan, sehinga tergambarkan perubahan status pertumbuhan ranggah dari masing-masing pejantan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan populasi rusa dari tahun 1992 hingga

tahun 2001 terlihat pada Tabel 1. Peningkatan jumlah anak mulai terlihat di tahun 1996, saat penangkaran telah berjalan selama enam tahun dan populasi induk dewasa mulai meningkat. Fluktuasi populasi mengalamii perubahan

jumlah dikarenakan oleh kematian serta pengiriman ke beberapa penangkaran di Kalimantan Timur.

Tabel 1. Perubahan populasi rusa sambar di setiap akhir tahun dari 1992 hingga 2001.

Tahun Jantan Dewasa

Betina Dewasa Anak

1992 5 10 9 1993 5 11 17 1994 12 21 11 1995 12 20 21 1996 11 20 30 1997 15 25 34 1998 19 29 48 1999 24 33 53 2000 21 29 64 2001 30 24 56

Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka konsepsi

tergolong sangat rendah, dengan rata-rata 48,8% (SD=16,24%; n=10 tahun), sedangkan nilai terendah adalah 30,9% dan tertinggi 83,3% (Gambar 1.). Kecenderungannya adalah semakin banyak rusa betina dewasa tersedia, ternyata tidak diimbangi dengan kenaikkan jumlah anak secara signifikan. Sedangkan sebaran kelahiran anak rusa terjadi setiap bulan sepanjang tahun, dengan puncak kelahiran pada bulan Juni dan Juli dengan rata-rata tanggal kelahiran 4 Juli (SD=10,4 hari; n=109 anak; Gambar 2.).

0102030405060708090

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

Tahun pengamatan

Angk

a ko

nsep

si (%

)

Gambar 1. Angka konsepsi (%) induk rusa sambar di penangkaran.

Imbangan kelamin anak jantan dan betina menunjukkan

nilai sempurna 55 : 54, dengan kematian anak sebelum umur sapih (4 bulan) sebesar 13 ekor (11,9%). Dari data yang terbatas, diperoleh gambaran bahwa interval kelahiran anak di penangkaran adalah 388,2 hari (SD=82,45 hari; n=33 ekor). Mengasumsikan rata-rata lama kebuntingan adalah 240 hari, maka masa penyusuan alami pada anak rusa yang lahir di penangkaran adalah 148 hari (± 5 bulan). Rusa betina muda pertama kali melahirkan teridentifikasi pada umur 693,8 hari (SD=89,40 hari; n=4), yang berarti konsepsi untuk pertama kali terjadi pada umur sekitar 453 hari (± 15 bulan).

Penampilan reproduksi rusa jantan, masih belum banyak data yang dapat ditampilkan. Data terbatas menunjukkan bahwa semua rusa jantan dewasa berada pada kondisi ranggah keras yang bersamaan waktunya,

Page 67: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

SEMIADI dkk. – Pola kelahiran Cervus unicolor 61

dengan kisaran lama pada kondisi ranggah keras antara 5-7 bulan (Tabel 2). Informasi pertumbuhan ranggah dari jantan muda (≤ 2 tahun) masih belum dapat ditabulasi mengingat kesulitan dalam mengidentifikasi individu.

02468

10121416

J P M A M J J A S O N D

Bulan

Anak

yan

g la

hir (

ekor

)

Gambar 2. Sebaran kelahiran anak rusa sambar (ekor) di penangkaran selama 10 tahun.

Tabel 2. Sebaran jantan dewasa dalam masa pertumbuhan ranggah di saat penelitian lapang. Pejantan J P M A M J J A S O N D Muda -1 • • • • V V V V K K • • Otong • • • • K K K K M a t i Bravo • • • • K K K K K K • Cama • • • • K K K K K K C • Memey • • • • K K K C V V K • Kuning • • • • K K K K K K K • Bradock • • • • K K K C V V K • Amor • • • • K K K K K K C • Gareng • • • • K K K K K K K • Toi • • • • K K K K C V V • Bagong • • • • K K K K K K K • Keterangan: v = ranggah velvet; c = ranggah luruh; k = ranggah keras.; • = tidak ada pengamatan.

Indikator keberhasilan pengembangan suatu populasi penangkaran dapat ditinjau dari nilai produktivitas induk dan persentase anak hidup pada umur 12 bulan. Sangat rendahnya rata-rata angka persentase kelahiran (49%) merupakan hal yang harus mendapatkan perhatian dari segi manajemen perkawinan. Di Selandia Baru, persentase kelahiran anak rusa sambar di penangkaran yang terendah hanya 78% (Semiadi et al., 1994). Persentase kelahiran pada rusa timor yang berada di Mauritius dan Kaledonia Baru adalah antara 80-100% (Bianchi et al., 1994: Lalouette, 1985) dan di Australia antara 90-97% (van Mourik, 1986). Pada hasil perkawinan silang antara rusa timor betina dengan rusa sambar jantan persentase kelahiran juga rendah, hanya 32% (van Mourik dan Schurig, 1985). Namun produk dari perkawinan silang ini tampaknya lebih disebabkan oleh persoalan perbandingan ukuran badan yang tidak seimbang antar rusa sambar yang besar dengan rusa timor yang 30% lebih kecil dari rusa sambar.

Beberapa kemungkinan dari rendahnya angka konsepsi dalam penelitian ini adalah (i) faktor program perkawinan yang belun ada, sehingga kelahiran banyak terjadi di musim yang kurang sumber pakannya (kemarau) dan mengakibatkan induk lebih lama menyusui anaknya serta mundurnya berahi paska kelahiran. Terlebih dengan melihat pada data interval kelahiran yang mencapai 388 hari, dengan lama masa menyusui mencapai lima bulan,

secara tidak langsung akan menurunkan angka produktivitas induk, (ii) adanya permasalahan fertilitas baik pada jantan ataupun betina potensial, (iii) tetap dipakainya induk tua (> 7 tahun) dalam perkawinan, (iv) kemampuan pejantan untuk kawin menjadi menurun sebagai akibat dari seringnya pertarungan antar pejantan yang disatukan dalam satu kelompok dengan betina. Hal ini disebabkan oleh sifat hieraki dan pengumpulan harem pada kelompok rusa jantan di musim kawin.

Gambar 3. Pola kelahiran rusa tropik di Kebun Binatang Surabaya (Semiadi dan Subekti, 1996).

Pola kelahiran rusa sambar yang dapat berlangsung sepanjang tahun memang merupakan ciri khas reproduksi rusa tropik (English, 1984; Monfort et al., 1993; Semiadi, 1998; Semiadi et al., 1994) (Gambar 3.), tetapi pada kelompok penangkaran ini tampak pula adanya kecenderungan sentralisasi kelahiran yaitu pada bulan Juni dan Juli. Kelahiran yang terjadi di dua bulan tersebut dirasa tidak akan produktif dipandang dari sudut kepentingan induk dan anak, mengingat saat itu anak membutuhkan susu yang tinggi serta induk perlu energi untuk memulihkan kondisi badan paska kelahiran. Pada kenyataannya lingkungan alam berada pada posisi musim kemarau yang membatasi ketersediaan hijauan bermutu. Iklim mikro setempat menunjukkan bahwa kemarau dimulai sekitar bulan Mei dan berakhir pada bulan September/Oktober, dengan puncaknya pada bulan Juli/Agustus. Untuk itu

Page 68: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 59-62 62

pengalihan puncak kelahiran ke bulan saat cukup dengan hijauan berkualitas, melalui perkawinan terkontrol atau penyediaan pakan secara cut and carry selama puncak musim kemarau merupakan beberapa alternatif yang dapat dipertimbangkan.

Rusa sambar di Selandia Baru mempunyai masa puncak kelahiran di bulan April dan Mei, dengan rata-rata tanggal kelahiran 8 Mei (Semiadi et al., 1994), sedangkan di Surabaya, rata-rata tanggal kelahiran adalah 16 Juni (Semiadi dan Soebekti, 1996). Di Nusa Tenggara Timur, rusa timor mempunyai rata-rata tanggal kelahiran 4 Juli (Semiadi, 1998). Dibandingkan dengan rata-rata tanggal kelahiran pada penelitian ini, tampak bahwa kisaran kelahiran rusa sambar tidak terlalu jauh, antara bulan Mei hingga Juli.

Dalam hal imbangan jenis kelamin yang lahir, hasil analisis pada enam jenis ungulata di daerah beriklim dingin, termasuk rusa, menunjukkan adanya kecenderungan betina sekitar 25% lebih tinggi dibandingkan jantan. Faktor nutrisi yang sangat baik selama kebuntingan menunjukkan perannya yang positif terhadap ketidakseimbangan perbandingan kelamin yang lahir (Hoefs dan Nowlan, 1994). Namun tampaknya sifat ini belum terlihat pada kelompok rusa tropik. Pada rusa timor imbangan kelamin jantan betina adalah 1,3: 1,0 (Semiadi, 1998).

Mengingat populasi pejantan yang termonitor untuk perkembangan ranggahnya masih sangat terbatas (11 ekor) dengan koleksi data yang demikian pendek (6 bulan), maka belum dapat memberikan gambaran yang baik tentang penampilan pejantan. Namun dari data yang sangat terbatas ini diketahui adanya kecenderungan sinkronisasi jantan secara alami dalam posisi ranggah keras. Hal ini juga tampak pada kelompok rusa sambar yang ada di Selandia Baru (Semiadi et al., 1994). Lama pejantan dalam ranggah keras yang mencapai sekitar enam bulan menujukkan lamanya pejantan berpotensi di musim kawin. Beberapa laporan menyatakan bahwa pada rusa tropik, jantan dalam keadaan ranggah keras dapat mencapai lebih dari satu tahun, walau tidak terlalu sering (Kitchener, 1961).

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa

kelahiran pada rusa sambar (Cervus unicolor) tropik terjadi

setiap saat dengan pejantan dalam kondisi ranggah keras cenderung mengelompok dalam satu periode tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, R. 1984. Deer farming in Australia. In: Deer Refresher Course Proceedings no. 72. Sydney: University of Sydney.

Awal, A., N.J Sarker, and K.Z. Husain. 1992. Breeding records of sambar deer (Cervus unicolor) in captivity. Bangladesh Journal of Zoology 20: 285-290.

Bianchi, M., S. Lebel, J.C. Hurlin, P. Humblot, P. Chardonnet, and M. Thibier. 1994. Reproductive pattern of rusa deer (Cervus timorensis russa) in New Caledonia. In: Milne, J.A (ed.). Recent Developments in Deer Biology. Aberdeen, U.K.: Macaulay Land Use Research Institute..

English, A.W. 1992. Management strategies for farmed chital deer. In: R.D Brown. (ed.). The Biology of Deer. New York: Springer-Verlag Publication.

Hoefs, M. and U. Nowlan. 1994. Distorted sex rations in young ungulates: the role of nutrition. Journal of Mammalogy 75: 631-636.

Kitchener, H.J. 1961. The sambar deer-Cervus unicolor equinus. Malayan Nature Journal 15: 52-61.

Lalouette, J.A. 1985. Development of deer farming in Mauritius. In: Fennessy, P.F and K.R. Drew (eds.) Biology of deer production. Proceedings. The Royal Society of New Zealand Bulletin 22: 379-380.

Lewis, J.C., L.B. Flynn, R.L. Marchinton, S.M. Shea, and E.M.Marchinton. 1990. Part I. Introduction, study area description and literature review. In: Ecology of sambar on St. Vincent National Wildlife Refugee. Florida. Tall Timbers Research Station. Tallahassee Bulletin 25: 1-12.

Monfort, S.L., J.L. Brown, M. Bush, T.C. Wood, C. Wemmer, A. Vargas, L.R. Williamson, R.J. Montali, and D.E. Wildt. 1993. Circannual inter-relationships among reproductive hormones, gross morphometry, behaviour, ejaculate characteristics and testicular histology in Eld’s deer stags (Cervus eldi thamin). Journal of Reproduction and Fertility 98: 471-480.

Muchsinin, M., G. Semiadi, A. Dradjat, and W.R. Farida. 2002. Pengembangan rusa sambar sebagai jenis hewan ternak baru di Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata. Lembaga Penelitian IPB, Bogor, 5 Pebruari 2002.

Semiadi, G. 1998. Pola kelahiran Rusa timorensis di Nusa Tenggara Timur. Hayati 5: 22-24.

Semiadi, G and Soebekti, K. 1996. Pola kelahiran rusa bawean di penangkaran dan perbandingannya dengan kelompok Cervidae lainnya. Berkala Penelitian Hayati 2: 81-86.

Semiadi, G., P.D Muir, and T.N. Barry. 1994. General biology of sambar deer (Cervus unicolor) in captivity. New Zealand Journal of Agricultural Science 37: 79-85.

Semiadi, G and R.T.P. Nugraha, 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.

van Mourik, S. 1986. Reproductive performance and maternal behaviour in farmed rusa deer (Cervus (Rusa) timorensis). Applied Animal Behaviour Science 15: 147-159.

van Mourik, S. and V. Schurig. 1985. Hybridization between sambar (Cervus (rusa) unicolor) and rusa (Cervus (rusa) timorensis) deer. Zoologisher Anzeiger Jena 214: 177-184.

Whitehead, G.K. 1994. Encylopedia of Deer. Shrewsbury: Swann Hill Press.

Page 69: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 63-65

♥ Alamat korespondensi:

Kampus Bulak Sumur UGM Yogyakarta 55281 Tel. +62-274-588074. Fax. +62-274-565268 e-mail: [email protected]

Peranan Makrofauna Tanah dalam Proses Dekomposisi Serasah Acacia mangium Willd.

The roles of soil macrofauna on litter decomposition of Acacia mangium Willd

MUSYAFA♥ Laboratorium Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281

Diterima: 13 Pebruari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004

ABSTRACT

Acacia mangium has been widely planted in industrial forest plantation (HTI). High litter accumulation in floor of A. mangium (Acacia) plantation due to slow process of decomposition, may disturb nutrient cycling process. It is also vulnerable to forest fire especially in dry season. The research was aimed to clarify the density of soil macrofauna in Acacia plantation and the roles of macrofauna in the decomposition of Acacia litter. The density of macrofauna was estimated by using pitfall traps and hand-sorting method in Acacia stand, at Wanagama Reaserch Center, Gadjah Mada University (GMU). In the laboratory, Spirobolus sp. (Diplopoda) were fed with the litter of Acacia and the ingestion rate, defecation rate, and assimilatioan rate were determined. C and N content of the litter and feces were analyzed at Laboratory of Soil Science, Faculty of Agriculture GMU. The results showed that the density of soil macrofauna was low (74.6 individual/m2). The study in laboratory showed that Spirobolus did not est newly fallen leaves of Acacia. Ingestion rate, defecation rate, assimilation efficiency of millipede fed with partly decomposed Acacia leaves were 76.8 mg/g/day, 7.0 mg/g/day, 6.1 mg/g/day respectively. C/N ratio of feces was lower than that of partly decomposed Acacia leaves. It indicated significant change during gut passage of Spirobolus sp. This millipede should be introduced in Acacia plantation as a potential decomposer.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: soil macrofauna, decomposition, ingestion rate, defecation rate, C/N ratio

PENDAHULUAN

Acacia mangium (mangium) banyak ditanam pada Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk berbagai keperluan seperti pembuatan pulp dan kayu bangunan. Kelebihan dari jenis ini adalah bentuk batangnya lurus, tajuk cepat menutup tanah, mempunyai pertumbuhan yang cepat dan dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur. Salah satu masalah dalam tegakan mangium adalah terakumulasinya serasah di lantai hutan. Siklus hara akan terhambat jika serasah tidak terdekomposisi dengan baik. Penumpukan serasah yang berlebihan pada lantai hutan juga rawan terhadap kebakaran. Sifat serasah, kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan minimnya aktifitas organisme pengurai menyebabkan lambatnya proses dekomposisi (Sydes dan Grime, 1981 dalam Widyastuti dkk., 1999).

Widyastuti dkk. (1999) menunjukkan jamur Trichoderma spp. dapat mempercepat dekomposisi serasah mangium. Selain jamur, fauna tanah juga dapat membantu proses dekomposisi serasah. Makrofauna tanah dapat mengubah serasah menjadi fragmen kecil dan feses, meningkatkan luas areal permukaan dan memodifikasi substrat untuk kolonisasi bakteri (Parkinson, 1998). Meskipun fauna tanah bertanggung jawab kurang dari 5% dari total respirasi dekomposer, biomasnya biasanya berhubungan dengan tingkat dekomposisi (Schaefer dan Schaeuermann, 1990). Aktivitas makrofauna tanah dapat memencarkan spora,

miselium jamur dan bakteri yang berperan dalam proses dekomposisi serasah. Olechowicz (1987) menemukan ada hubungan yang kuat antara kesuburan tanah, jumlah dan biomas makrofauna tanah.

Kontribusi makrofauna tanah dalam proses dekomposisi dapat secara langsung ataupun tidak langsung (Visser, 1985 dan Anderson, 1988 dalam Teuben dan Roelofsma, 1990). Kontribusi secara langsung dapat dilihat dari nutrien yang mengalami pelindian karena makrofauna sendiri. Sedangkan efek tidak langsung terjadi jika makrofauna itu mempengaruhi mikroorganisme yang berperan dalam proses dekomposisi. Efek secara tidak langsung ini dilakukan dengan mengubah kualitas substrat bagi mikroorganisme, seperti mengubah rasio C: nutrien yang dapat dipertukarkan (exchangeable nutrient) di dalam substrat (Coleman dkk., 1983 dalam Teuben dan Roelofsma, 1990).

Comminutor, seperti isopoda dan milipoda mempunyai peranan dalam proses dekomposisi secara langsung karena memakan serasah yang banyak, menghasilkan feses dan mempunyai efisiensi asimilasi yang rendah. Menurut Rushton dan Hassal (1987) binatang menyeleksi makanan berdasarkan bagaimana kecepatan nutrient yang dapat diserap. Dudgeon dkk. (1990) menunjukkan tingkat konsumsi (ingestion rate) isopoda Burmoniscus ocellatus adalah 48,4 mg/g/hari. Slavecz (1993) menunjukkan feses isopoda mempunyai C/N rasio yang lebih rendah daripada serasah.

Mengingat potensi makrofauna tersebut diperlukan penelitian dasar tentang ekologi makrofauna tanah, dimulai dari menginventarisir jenis-jenis yang ada dan mengetahui kemampuan makrofauna mendekomposisi serasah secara fisik maupun kimiawi. Tujuan penelitian ini adalah untuk

Page 70: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 63-65 64

mengetahui: (i) kepadatan makrofauna tanah dekomposer pada lantai tegakan mangium, (ii) kemampuan makrofauna tanah dekomposer dalam mendekomposisi serasah mangi-um, (iii) kandungan karbon dan nitrogen pada serasah dan feses yang dihasilkan makrofauna dekomposer.

BAHAN DAN METODE

Tempat penelitian Penelitian dilakukan di tegakan mangium Petak 17,

Hutan Pendidikan Wanagama Gunung Kidul milik Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta dan di Laboratorium Perlin-dungan Hutan, Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. Analisis C dan N total serasah dan feses milipoda dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni s.d. Agustus 2002.

Cara penelitian Kepadatan makrofauna

Makrofauana tanah dikoleksi dari lantai hutan ukuran 25x25 cm sampai kedalaman 10 cm. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juli 2002 dengan ulangan 9 kali. Makrofauna dikoleksi dengan hand-sorting dan diawetkan dalam alkohol 70% untuk diidentifikasi di Laboratorium Perlindungan Hutan UGM Yogyakarta. Untuk makrofauna yang mempunyai aktifitas tinggi (high motility) ditangkap dengan pitfall trap. Dua puluh lima pitfall trap dipasang pada lantai hutan, dengan jarak 4-5. Setelah 3 hari pitfall trap diambil dan makrofauna yang tertangkap dikumpulkan untuk diidentifikasi.

Kemampuan makrofauna mendekomposisi serasah

Pada penelitian di tegakan mangium jumlah individu makrofauna dekomposer sangat rendah. Oleh karena itu pada eksperimen tentang fungsi makrofauna dalam proses dekomposisi di laboratorium digunakan Spirobolus sp. (Julidae, Diplopoda). Jenis ini terdapat melimpah di daerah sekitar Wanagama terutama pada serasah tanaman kayu putih, tetapi tidak ditemui pada seresah mangium. Apabila dalam penelitian ini dapat dibuktikan Spirobolus sp. Mempunyai kemampuan yang baik untuk mendekomposisi seresah mangium maka perlu dilakukan introduksi jenis ini pada tegakan mangium untuk membantu proses dekomposisi seresah.

Tiga ekor Spirobolus sp. yang diambil dari seresah kayu putih di sekitar Wanagama (berat masing-masing individu 0,38-0,45 g) dimasukkan dalam kotak plastik berdiameter 15 cm. Serasah mangium baru, seresah mangium yang belum terdekomposisi atau setengah terdekomposisi (partly decomposed), dengan berat kering angin 0,88 g dimasukkan dalam kotak plastik. Kotak plastik ditempatkan dalam ruangan dengan suhu kamar selama 8 hari. Berat kering serasah yang tersisa ditimbang untuk mengetahui kemampuan makrofauna mendekomposisinya. Feses yang dihasilkan dikumpulkan, dikeringkan dan ditimbang. C dan N total serasah sebelum dimakan, sisa serasah, dan feses yang dihasilkan Spirobolus sp. dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepadatan makrofauna tanah Kepadatan populasi makrofauna tanah pada serasah

dan tanah (kedalaman 10 cm) dengan cara hand-sorting dan pitfall trap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kepadatan populasi makrofauna tanah (individu/m2) yang dikoleksi dari lantai tegakan mangium sampai kedalaman 10 cm dengan cara hand-sorting dan pitfall trap.

Hand-sorting Pitfall trap Kepadatan (individu/m2) Taksa Serasah Tanah Total

Kepadatan (individu/

trap) 1. Oligochaeta 0 3,6 3,6 0 2. Arachnida 3,6 12,4 16 0,08 3. Isopoda 0 10,6 10,6 0 4. Diplopoda 0 0 0 0 5. Chilopoda 0 3,5 3,5 0 6. Hexapoda:

a. Orthoptera 0 0 0 0 b. Coleoptera 1,8 1,8 3,6 0 c. Isoptera 1,8 0 1,8 0 d. Hymenoptera 5,3 30,2 35,5 6,36 e. Dermaptera 0 0 0 0

Total 12,4 62,2 74,6 6,44

Kepadatan populasi makrofauna pada bulan Juli adalah 74,6 individu/m2 terdiri dari 12,4 individu/m2 pada serasah dan 62,2 individu/m2 pada tanah. Taksa yang dominan adalah Formicidae, Arachnida dan Isopoda yang meliputi 70% dari total makrofauna. Total makrofauna pada bulan Juli ini lebih tinggi daripada yang dikoleksi pada tempat yang sama bulan September 2001 (29,7 individu/m2) dan lebih rendah dari yang dikoleksi pada bulan November 2001 (94 individu/ m2) (Musyafa, 2001). Jumlah individu dekomposer seperti Isopoda (10,6 individu/m2), Isoptera (1,8 individu/m2), Oligochaeta (3,6 individu/m2), Diplopoda (0) pada bulan Juli sangat rendah.

Jumlah individu makrofauna tanah pada permukaan serasah yang tertangkap dengan pitfall trap dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah individu makrofauna tanah (high motile) pada permukaan serasah yang tertangkap pada bulan Juli 6,44 individu/trap, lebih rendah dari yang tertangkap pada bulan November 2001 (10,2 individu/trap) (Musyafa, 2001). Dengan metode ini tidak ditemukan taksa yang berperan sebagai dekomposer.

Populasi mektofauna tanah yang berperan sebagai dekomposer pada tegakan mangium di Wanagama sangat rendah, sehingga aktivitas makrofauna dalam proses dekomposisi seresah juga rendah. Untuk meningkatkan peranan makrofauna tanah dalam proses dekomposisi diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan populasi makrofauna dekomposer antara lain dengan mengintro-duksikan dekomposer yang potensial.

Kemampuan makrofauna tanah mendekomposisi serasah

Pada penelitian laboratorium digunakan dekomposer Spirobolus sp. yang diberi makan serasah daun mangium. Feeding experiment Spirobolus sp. yang diberi makan serasah daun mangium dapat dilihat pada Tabel 2.

Spirobolus sp. hanya makan serasah yang terde-komposisi sebagian, dan tidak memakan serasah baru atau serasah yang belum terdekomposisi. Musyafa (2001) menyebutkan Armadillidum vulgare lebih menyukai daun aoki dan cedar yang telah terdekomposisi dibandingkan dengan serasah yang baru. Soma dan Saito (1983) menyatakan tekstur serasah daun mempengaruhi preferensi makrofauna tanah.

Page 71: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

MUSYAFA – Dekomposisi serasah Acacia mangium 65

Tabel 2. Feeding experiment dengan menggunakan Spirobolus sp. yang diberi makan serasah daun mangium. Serasah

baru Serasah belum terdekomposisi

Serasah terdekomposisi

sebagian Tingkat konsumsi (mg/g/hari)

- - 76,8

Tingkat pengeluaran feses (mg/g/hari)

- - 72,0

Efisiensi assimilasi (%)

- - 6,1

Daun mangium yang terdekomposisi sebagian lebih lunak dibandingkan dengan serasah baru. Di samping itu adanya aktivitas mikroorganisme dapat meningkatkan kandungan nutrien. Serasah mangium yang masih baru selain teksturnya keras, kemungkinan juga mengandung zat yang tidak disukai oleh Spirobolus sp. Pada serasah yang telah terdekomposisi sebagian tingkat makannya 76,8 mg/g/hari, tingkat defekasi 72,0 mg/g/hari, dan tingkat efisiensinya 6,1%. Slavecz (1993) menyebutkan tingkat makan isopod Protracheoniscus amoenus 15,9 mg/g/hari, tingkat defekasi 11,5 mg/g/hari, dan efisiensi assimilasi 26,2%. Pada Cylisticus convexus, tingkat makan 9,1 mg/g/hari, tingkat defekasi 7,6 mg/g/hari, dan efisiensi asimilasi 16,4%. Dibandingkan dua jenis isopod yang diteliti oleh Slavecs (1993) tingkat makan dan defekasi milipoda yang diberi makan mangium ini jauh lebih tinggi.

Kandungan bahan organik (BO), karbon, total nitrogen serasah daun mangium dan feses yang dikeluarkan oleh Spirobolus sp. disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan bahan organik (BO), karbon, total nitrogen serasah daun mangium dan feses yang dikeluarkan oleh Spirobolus sp.

Media BO (%)

Karbon (%)

Nitrogen(%) C/N

Serasah baru 88,6 51,4 1,2 42,1 Serasah terdekomposisi sebagian (awal)

88,6 51,4 1,8 29,2

Serasah terdekomposisi sebagian (akhir)

88,2 51,2 1,6 33,2

Feses 87,3 51,5 2,2 25,9

Kandungan N paling tinggi terdapat pada feses (2,16%,) kemudian diikuti serasah yang terdekomposisi sebagian (1,76% dan 1,57%) dan paling kecil pada serasah baru (1,2%). C/N rasio paling tinggi pada serasah baru (42,08%), serasah yang terdekomposisi sebagian (29,21% dan 33,16%) dan paling rendah feses (25,99%). Binatang sapropafag mempunyai pengaruh terhadap dekomposisi dengan memproduksi feses yang lebih terdekomposisi daripada serasah. Hal ini juga dibuktikan pada Glomeris marginata oleh Bocock (1963), pada Oniscus asellus oleh Gunnarson dan Tunlid (1986). Slavecz (1993) juga menunjukkan feses dari dua Isopod mempunyai C/N rasio yang lebih rendah daripada serasah. Adanya perbedaan C/N rasio antara feses dan serasah

menunjukkan adanya proses perubahan yang cukup signifikan selama melewati usus Spirobolus sp.

Tingkat makan Spirobolus sp. Terhadap serasah mangium yang terdekomposisi sebagian cukup tinggi. Jenis perlu diintroduksi pada tegakan mangium di Wanagama yang mempunyai populasi makrofauna dekomposer sangat rendah agar proses dekomposisi dapat berjalan lebih baik. Oleh karena itu diperlukan penelitian lanjutan tentang kemamp[uan adaptasi Spirobolus sp. Pada tegakan mangium.

KESIMPULAN

Kepadatan makrofauna (termasuk makrofauna dekomposer) pada tegakan mangium pada bulan kering (Juli) cukup rendah (74,6 individu/m2). Spirobolus sp. (Diplopoda) tidak memakan serasah yang baru (belum terdekomposisi oleh mikroorganisme). Tingkat makan, tingkat pengeluaran feses, dan efisiensi asimilasi Spirobolus sp. yang diberi makan serasah mangium yang terdekomposisi sebagian berturut-turut 76,8 mg/g/hari, 7,0 mg/g/hari dan 6,1%. C/N rasio feses Spirobolus sp. lebih rendah daripada serasah yang terdekomposisi sebagian. Spirobolus sp. berpotensi diintroduksi pada tegakan mangium untuk membantu proses dekomposisi.

DAFTAR PUSTAKA

Bocock, K.L. 1963. The digestion and assimilation of food by Glomeris. In: Proceeding of Coll. Soil Fauna, Soil Microfauna, and their Relationship. Amsterdam: North Holland Publishing.

Dudgeon, D., M.H.T. Ma, and P.K.S. Lam. 1990. Differential palatabilityof leaf litter to four sympatric isopods in a Hongkong forest. Oecologia. 84: 398-403.

Gunnarson, T. and A. Tunlid. 1986. Recycling of fecal pellets in isopods: microorganism and nitrogen compounds as potential food of Oniscus acellus. Soil Biology and Biochemistry 18: 595-600.

Musyafa. 2001. Ekologi Makrofauna Tanah pada Tegakan Acacia mangium Willd. [Laporan Penelitian]. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.

Olechowicz, E. 1987. Density and biomass of soil macrofauna from different forest ecosystems of the Kampinos forest (Poland). Ekologia Polska 34 (4): 689-710.

Parkinson, D. 1998. Linkages between resources availability, microorganisms, and soil invertebrates. Agriculture, Ecosystem and Environment 24: 21-32.

Rushton, S.P. and M. Hassal 1987. Effects of food qaulity on isopod population dynamics. Functional Ecology 1: 359-367.

Schaefer, M. and J. Schauermann. 1990. The soil fauna of beech forest: comparison between a mull and a moder soil. Pedobiologia 34: 299-314.

Soma, K. and T. Saito. 1983. Ecological studies of soil organisms with references to the decomposition of pine needle. II. Litter feeding and breakdown by woodlouse, Porcellio scaber. Plant and Soil 75: 139-151.

Slavecz, K. 1993. Needle consumption by two terrestrial isopods, Protracheoniscus amoenus (C.L. Koch) and Cylisticus convexus (de Geer) (Isopoda, Oniscidea). Pedobiologia. 37: 57-64

Teuben, A. and T.A.P.J. Roelofsma. 1990. Dynamic interactions between functional groups of soil arthropods and microorga-nisms during decomposition of coniferous litter in microcosm experiments. Biological Fertility of Soils. 9: 145-151.

Widyastuti, S.M., Sumardi, dan Supriyanto. 1999. Pemanfaatan biofungisida, Trichoderma sp. untuk mempercepat penguraian serasah Acacia mangium. Mediagama 1 (1): 13-20.

Page 72: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 66-69

♥ Alamat korespondensi:

Kampus Unsyiah Banda Aceh 23111, NAD. Tel./fax.: +62-0651-555622 e-mail: [email protected]

REVIEW: Current Status of Extenders and Cryoprotectants on Fish

Spermatozoa Cryopreservation

MUCHLISIN Z.A.

Department of Marine Sciences, Faculty of Sciences Syiah Kuala University, Banda Aceh 23111 Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia.

Received: 21 Mei 2004. Accepted: 30 September 2004.

ABSTRACT

An important component of many studies of cryopreservation of fish spermatozoa is the type of extenders and cryoprotectants. The suitability of extenders and cryoprotectants differs from one fish to another. There are many studies have been done in cryopreservation of fish spermatozoa. However, there are few review have been done. This review reveals some aspects of cryopreservation especially the role of extender and cryoprotectant in fish sperm cryopreservation. Fish produce high viscosity of sperm and in some cases only small volume is produced. Before cryopreserved in liquid nitrogen, sperm have to dilute with extenders and for long-term cryopreservation, cryoprotectants are needed to protect the sperm cell from cold and hot shock treatments and prevent cell dehydration during pre-freezing, freezing and post thawed. The suitability of extenders and cryoprotectants differs from one fish to another. Over the last decade, studies on the cryopreservation of mammalian sperm, animal husbandry sperm and human sperm have progressed significantly but studies on fish sperm is still confined to some aquatic.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: fish, sperm, cryopreservation, extenders, cryoprotectants.

INTRODUCTION Cryopreservation is the method to preserve the milt.

This method has been applied in fish sperm. According to Chao and Liao (2001), cryopreservation of fish sperm has been well established for many years in many finfish species. This method offers several benefits such as stock protection from being totally eliminated due to sudden diseases outbreak, natural disaster, or accidents such as oil spills. Other advantages of cryopreservation include stable supply of sperm for optimal utilization in hatchery production and laboratory experiments, easy stock transportation among hatcheries, improvement in selective breeding whereby stock can be maintained more economically and effectively, experimental material for advanced studies, such as gene transfer.

The principle of cryopreservation is to cause cell dehydration and eventually concentrate the cytosol with minimum injury so that ice crystallization in the cytosol is minimized during quenching in liquid nitrogen. Major cryoinjuries can occur in relation to freezing and thawing process during conventional cryopreservation within the temperature ranges of generalized cryopreservation procedures due to the cold shock during freezing and hot shock when the samples thawed. The cryoinjuries occur during pre-freezing and post-thawing, at the temperature range between 0 and –40oC. Other causes of cryoinjuries include pH fluctuation, ice crystal formation, osmotic pressure, and cryoprotectant toxicity (Chao and Liao, 2001).

In addition, Hammerstedt et al. (1990) reported that ice formation and changes in osmotic pressure are other major

causes of spermatozoa damage during cryopreservation, and the ability of spermatozoa plasma membrane to resist structural damage during cryopreservation may be related to the type of fatty acids in the spermatozoa plasma membrane and the strength of the bonds between membrane components.

It was postulated that fatty acids protect the cell from osmotic pressure of extenders and cryoprotectants solution and hot or cold shock during freezing and thawing further prevent cell dehydration and damages.

EXTENDERS In terms of cryopreservation, extenders have been very

well studied because cryopreservation is difficult without them. An extender is a medium to dilute sperm and to get a larger amount of diluted sperm for artificial induce breeding purposes, while a cryoprotectant is a material which added into an extended sperm dilutions to protect the sperm from cold and hot shock and cryo toxicity during cryopreservation (Muchlisin, 2004b). Some of extenders that used for cryopreservation of sperm in various fish species was listed in Table 1. (Chao, 1996).

Fish produces high viscosity of sperm and in some cases only small volume is produced. Extenders are playing a vital role in cryopreservation, it needed for sperm dilution, and generally it induced initial motility and increased fertilization of cryopreserved sperm. It is known that spermatozoa can be preserved for a day to years and their motility could be retained under low temperatures.

Ringer and physiology solutions are common practical extenders to dilute the milt, since these solutions are easy to prepare. A physiology solution contains 7.98 g/L NaCl and 0.2 g/L NaHCO3 (Alawi et al., 1995) while Ringer solution has 7.5 g/L NaCl, 0.2 g/L KCl, 0.20 g/L CaCl2, 0.20

Page 73: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

MUCHLISIN Z.A. – Fish spermatozoa cryopreservation

67

g/L and NaHCO3. Ringer solution is commonly used in freshwater fish spermatozoa. Although, modified Ringer contains 13.5 g/l NaCl, 0.60 g/l KCl, 0.25 g/l CaCl2, 0.35 g/l MgCl2, and 0.2 g/l NaHCO3 is used for marine fish spermatozoa. Ringer with milk and Ringer with honey are also reported to be suitable for tilapia (Oreochromis niloticus).and milkfish (Chanos chanos) or black porgy (Acanthopagrus schlegeli) spermatozoa respectively (Chao, 1991). In addition, Muchlisin et al. (2004a) find that Ringer solutions at dilution ratio of 1:20 resulted in higher sperm motility of bagrid catfish (Mystus nemurus).

Another extender that can be used is saline solution consisting of 75 mmol/L NaCl, 70 mmol/L KCl, 2 mmol CaCl2, 1 mmol/L MgSO4, and 20 mmol/L tris (pH 8) which is suitable for cyprinid fish spermatozoa (Lahnsteiner et al., 2000). In addition, Kurokura-1 which contains of 128.4 mM NaCl. 2.7 mM KCl, 1.4 mMCaCl2, 2.4 mMNaHCO3 is suitable for common carp (Cyprinus carpio) spermatozoa (Linhart, et al., 2000).

CRYOPROTECTANTS Like extenders, cryoprotectants are also playing

important role in cryopreservation particularly for long-term cryopreservation. Cryoprotectants are needed to protect the sperm cell from cold and hot shock treatments and prevent cell dehydration. Cryoprotectants provide cryoprotection to labile enzymes, for example catalase, and stabilize protein in unfrozen and aqueous solutions. They can also prevent ice formation during prefreezing, but the same levels of cryoprotectants can be lethal to unfrozen cell (Chao, 1991). However, cryoprotectants have some disadvantages in that it can induce protein denaturation at higher temperature and cause cryoprotectant toxicity in cellular systems. The toxicity of the diluents is a major limitation to successful spermatozoa cryopreservation of fishes. Some of cryoprotectants that used in cryopreservation studies was listed in Table 2. (Chao, 1996).

Since spermatozoa are very sensitive cells and are easily affected by diluents such as extenders and cryoprotectants, studies on the cryoprotectants and extenders, in terms of spermatozoa preservation are important to determine the most suitable extenders, cryoprotectants and their concentration for certain fish species. Chao (1991) also reported that very few spermatozoa survive at very low temperature without cryoprotectant due to the ice crystals that were formed.

In addition, cryoprotectants added to milt greatly extends the tolerance of spermatozoa to freezing particularly when it is done at slower rate. Here the optimal cooling rate depends on the nature and concentration of the cryoprotectant that is used. For instance, in grey mullet and

black porgy, 5-15% glycerol showed satisfactory function, while in the tilapias, 15% milk and 5% methanol as diluents-cryoprotective agent mixture gave satisfactory motility and fertility.

DMSO (dimethyl-sulfoxide) at various concentrations is generally used as a cryoprotectant for animal cells, for example 10% DMSO resulted in a high percentage of motile milkfish spermatozoa (Chao, 1991), Artic charr (Salvelinus alpinus) (Richardson et al., 2000b), and spotted sea trout (Cynoscion nebulosus) (Wayman et al., 1996), whereas 12% DMSO was found suitable for Atlantic salmon (Salmo salar L) spermatozoa (Gallant et al., 1993). However, 10% Dimethyl-acetamide (DMA) was more effective than 10% DMSO for cryopreservation of rainbow trout (Ochorhynchus mykiss) spermatozoa (McNiven et al., 1993; and Richardson, et al., 2000a) and African catfish (Clarias gariepinus) spermatozoa (Horvath and Urbanyi, 2000).

Also available as a cryoprotectant is glycerol which was found to be a more effective cryoprotectant than DMSO and ethylene glycol (EG) for European catfish (Silarus glanis) spermatozoa (Linhart et al., 1993). In contrast, Marian and Krasznai (1987) found DMSO better than EG in European catfish, and propylene glycol (PG) in yellowtail founder (Pleuronectes ferrugineus) (Richardson et al., 1995). Methanol also has a good protective effect for fish spermatozoa. For example, 10% methanol is suitable for cryopreservation of bitterling spermatozoa (Ohta et al., 2001), spine foot fish (Chao, 1991), bagrid catfish (Muchlisin and Muhammadar, 2002), European catfish (Ogier de Baulny et al., 1999) and African catfish (Viveiros et al., 2000), and 5% methanol is reported to be suitable for tilapia spermatozoa (Chao, 1991).

Table 2. Cryoprotectants used in cryopreservation studies (Chao, 1996). Acetamide Glycerol monoacetate Proline Aline (L) Glycine Propylene glycol Albumin Hydroxyethyl starch Pyridine-N-Oxide Ammonium acetate Inositol Ribose Chloroform Lactose Serine Choline Magnesium chloride Sodium bromide Dextrans Magnesium sulfate Sodium chloride Diethyl glycol Maltose Sodium iodide Dimethyl acetamide Mannitol Sodium nitrate Dimethyl formamide Mannose Sodium sulfate Dimethyl sulphoxide Methanol Sorbitol Erythritol Methyl acetamide Sucrose Ethanol Methyl formamide Triethylene glycol Ethylene glycol Methyl urea Trimethylamine

acetate Formamide Phenol Urea Glucose Pluronic polyols Valine Glycerol Polyethylene glycol Xylose Glycerophosphate Polyvinyl pyrrolidone -

Table 1. The type of extenders used for cryopreservation of sperm in various fish species (Chao, 1996).

NaCl KCl CaCl2 MgCl2 NaHCO3 Taps Caps Glucose Yolk Honey Milk Ingredient (g/L) (g/l) (mmol) (ml)

Species Recommended

Marine fish ringer

13.5

0.6

0.25

0.35

0.2

-

-

-

-

-

-

Marine fish

Freshwater fish ringer 7.5 0.2 0.20 - 0.2 - - - - - - Freshwat. fish Taps 2.9 3.2 0.07 0.03 - 15 - - - - - Tilapia Caps 2.9 3.2 0.07 0.03 - - 15 - - - - Tilapia Milk in ringer 7.5 0.2 0.20 - 0.2 - - - - - 150 Tilapia V2e 7.5 0.38 - - 2.0 - - 1.0 0.2 - - Tilapia V2f 7.5 - - - 2.0 - - 1.0 0.2 - - Tilapia Honey in ringer 7.5 0.6 0.60 0.35 0.2 - - - - 1 - Black porgy,

milkfish

Page 74: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 66-69 68

“CO-CRYOPROTECTANTS” Besides cryoprotectants and extenders, some

researchers have used a combination of several materials known as “co-cryoprotectants” such as egg yolk, milk, honey, sucrose and glucose to the diluents (Table 3). For instance, Chao et al. (1987) reported that the simplest formulation such as 5% glucose has generally been the most successful for cryopreservation of tilapia sperm. Further simple or single component diluents such as diluted 0.5% honey or glucose in Ringer solution were found functional in both laboratory and field for milkfish and black porgy (Chao et al., 1987). Milt diluted with Ringer solution which has been previously combined in methanol is an ideal freezing medium in cryopreserved sperm of several tilapia species including Oreochromis aureus, Oreochromis mossambicus, Oreochromis niloticus, Tilapia zilli, Oreochromis niloticus x Oroechromis aureus hybrid and red tilapia (Oreochromis sp. hybrid) (Chao, 1991).

Egg yolk has been tested as an additive material to extenders and cryoprotectants in many cryopreservation studies. Ciereszko et al. (1993) compared two combined cryoprotectants and found that 8% DMSO with 10% egg yolk gave significantly higher fertilization rate than 20% glycerol with 0.3 M glucose in yellow perch. In addition, Lahnsteiner et al. (1996) pointed out that the addition of egg yolk (7% and 20%) and sucrose (0.5%) significantly increased the quality of rainbow trout semen in comparison without these additives.

Anuar and Chan (2000) used an extender containing of 0.16 g calcium chloride, 8 g sodium chloride, 0.4 g potassium chloride, 0.2 g magnesium sulfate, 0.12 g potassium dihydrogen phosphate, 0.06 g sodium hydrogen carbonate, 10 g glucose and 0.15 g amphicilin for Clarias batrachus spermatozoa, and reported a 68% of sperm motility at the beginning of storage with survival until day 12, but a combination of cryoprotectant with 15% DMSO and 15% egg yolk maintained sperm motility until day 28.

In marine fish, a combination of Erdahl-Graham`s solution (which contains 0.29 g of CaCl2.H2O, 0.4 g of MgCl2.6H2O, 0.5 g of Na2HPO4, 5.1 g of KCl, 11.7 g of NaCl., 0.2 g of citric acid, 20 g of glucose, 20 mL at 1.27 g 100mL-1 KOH, 20 mL at 5.3 g 100 mL-1 bicine, 2 dm3 of distilled water) and 10% egg yolk showed positive effects on milt of northern pike (Esox lucius) with increasing fertility rate (Babiak et al., 1995; 1999). Moreover, Piironen (1993) found that the addition of egg yolk in extender for sperm cryopreservation increased the fertilization rates in brown trout (Salmo trutta m. lacustris L), although in Artic charr addition of egg yolk into the diluents decreased the fertilization rate. Similarly, in aspius (Aspius aspius), the presence of egg yolk in the extender significantly decreased cryopreservation success (Babiak et al., 1998).

In addition to the cryoprotectant used, the acceptable dilution ratios of the extenders appear to vary in fish. For example 1 part milt: 1 part extender for the sperm of grey mullet, black porgy, and tilapia; 1:4 for milkfish; and 1:20 for

grouper (Chao and Liao, 2001). Tables 1 and 2 show the types of, cryoprotectants, extenders and co-protectants are commonly used respectively.

EFFECT OF CRYOPRESERVATION ON THE SPERM MOTILITY AND FERTILITY

Motility and fertilization rate of cryopreservation

spermatozoa is usually inferior to that of fresh milt. Thus, with frozen semen 15 times more spermatozoa are required for obtaining sufficient fertility in rainbow trout. The lower fertility observed could be due to several factors among them (i) low motility of post-thaw spermatozoa, (ii) the reduced percentage of motile spermatozoa after undergoing freezing and thawing and (iii) low fertility regardless of motility of cryopreserved sperm (Ohta et al., 1995).

In walking catfish (Clarias batrachus) for example, spermatozoa motility decreased from 80% to 59%, and 38% after 20, 40, and 120 minutes respectively at a temperature of 10oC (Anuar and Chan, 2000). However, Oetome et al. (1996) studied the effect of different cryoprotectants on sperm motility of African catfish, and found that fresh and cryopreserved semen resulted in no significant difference in hatching rate of 82.25% and 78.9% for the fresh and cryopreserved sperm respectively.

Furthermore, Ohta et al. (2001) studied the effect of five cryoprotectants namely DMSO, glycerol, methanol, DMA and DMF in Japanese bitterling spermatozoa cryopreservation, they reported that the additional of 10 % DMSO or N, N-dimethylacetamide (DMA) to the diluents increased the percent motility significantly. The results also showed that 10% methanol plus 90% fetal bovine serum as suitable diluents for cryopreservation of Japanese bitterling spermatozoa and those samples should be cooled to –40oC at low freezing rate for effective storage.

Ohta et al. (1995) suggested a correlation between the percentage of fertility and motility of amago salmon (Oncorhynchus masou) after thawing, in that high percentage of motility can increase the fertility. Similar results were found in sea bass and turbot spermatozoa (Dreanno et al., 1998).

Contrarily, Ciereszko et al. (1999) reported no relation-ship between the motility and sperm fertility in rainbow trout, since 0% motility had 67.9% fertilization success. They considered three possible explanations for the phenomenon of cryopreserved sperm for this observation: (i) sperm motility was suppressed by conditions of the sperm analysis chamber, (ii) sperm motility was activated by an egg factor, or (iii) eggs can be fertilized by immotile spermatozoa. The existence of a factor in egg and ovarian fluid that can stimulate sperm motility and could fertilize the egg support the theory that sperm motility was activated by an egg factor. Unfortunately, the mechanism for the stimulation of sperm motility by the egg factor remains unclear. It is suspected that some of the steroid hormones in egg and ovarian have played a role in this phenomenon.

Table 3. The types of co-cryoprotectants used in cryopreservation studies.

Co-protectants Combined with Fish species References Glucose 5% Ringer Milkfish Chao et al. (1987); Muchlisin et al. (2004a). Honey 0.5% Ringer Black porgy Chao et al. (1987) Milk Ringer-methanol Tilapias Chao, (1991) Egg yolk 10% DMSO Yellow perch Ciereszko et al. (1993) Egg yolk 7&20%+ sucrose (0.5%) - Rainbow trout Lahnsteiner et al. (1996) Egg yolk 15% DMSO Walking catfish Annuar and Chan (2000) Egg yolk 10%+ sucrose 0.6M Erdahl-DMSO Northern pike Babiak et al. (1999)

Page 75: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

MUCHLISIN Z.A. – Fish spermatozoa cryopreservation

69

However, in the most successful cryopreservation, sperm maybe viable and motile after cryopreservation, but their fertility was reduced. Roberts et al. (2000) reported many cryopreserved sperm were immotile, and that the motile sperm rapidly lost their motility and swimming velocity after dilution. They also found the highest fertilization rates obtained were only 20-40%.

CONCLUSIONS Cryopreservation has several benefits such as stock

protection, a stable supply of sperm for optimal utilization in hatchery production and laboratory experiments, easy stock transportation, improvement in selective breeding and gene transfer. In fact, fish produce a high viscosity of sperm and in some cases only small volume is produced. Extenders and cryoprotectants are important and play a vital role in cryopreservation. Extenders are needed for sperm dilution to produce large volume of diluted sperm while cryoprotectants are also needed to protect the sperm cell from cold and hot shock treatments and prevent cell dehydration during pre-freezing, freezing and post thawed, and its greatly extends the tolerance of spermatozoa to freezing particularly when it is done at slower rate. The optimal cooling rate depends on the nature and concentration of the cryoprotectant that is used. In addition, the suitability of extenders and cryoprotectants differs from one fish to another.

ACKNOWLEDGEMENT We gratefully acknowledge Prof. Dr. Roshada Hashim of

University Sciences Malaysia for her suggestion to improve this manuscript. Thanks are also due to all members of peer group of Marine Sciences Department Faculty of Sciences, Syiah Kuala University for their helpful during phases of manuscript preparation.

REFERENCES

Alawi, H., Nuraini, N. Aryani, and S. Hutapea. 1995. Pengembangbiakan Ikan. Pekanbaru: Fakultas Perikanan Univ. Riau.

Anuar, H and S.K. Chan. 2000. Studies on the cryopreservation of keli kayu, Clarias batrachus spermatozoa. In: Proceeding of National fisheries symposium: Challenges to sustainable fisheries development in the next decade (National Agriculture Policy III). Kuala Lumpur: Ministry of Agriculture, Department of Fisheries Malaysia.

Babiak, I., J. Glogowski, M.J. Luezynski, D. Kucharezyk, and M. Luezynski. 1995. Cryopreservation of the milk of the northern pike. Fish Biology 46 (5): 819-828.

Babiak, I., J. Glogowski, R. Kujawa, D. Kucharezyk, and L. Mamearz. 1998. Cryopreservation of sperm of common crap, Cyprinus carpio L. Aquaculture Research 28 (7): 567-571.

Babiak, I., J. Glogowski, M.J. Luezynski, M. Luenzynski, and W. Demianowiez. 1999. The effect of egg yolk, low density lipoprotein, methylxanthines and fertilization diluent on cryopreservation efficiency of Northern pike (Esox lucius) spermatozoa. Theriogenology 52: 473-479.

Chao, N.H., W.C. Chao, K.C. Liu, and I.C. Liao. 1987. The properties of tilapia sperm and its cryopreservation. Fish Biology 30: 107-118.

Chao, N.H. 1991. Fish sperm cryopreservation in Taiwan: Technology advancement and extention efforts. International Symposium on Reproductive Biology in Aquaculture. Taipei: Department of Aquaculture, Taiwan Fisheriesv Research Institute.

Chao, N.H. 1996. Cryopreservation of finfish and shellfish sperms. Taiwan Fisheries Research 4(2):157-170.

Chao, N.H and I.C. Liao. 2001. Cryopreservation on finfish and shellfish gametes and embryos. Aquaculture 197: 161-189.

Ciereszko, A., Ramseyer, L., and Dabroski, K. 1993. Crypreservation of yellow perch semen. Progressive Fisheries Culturist American Fisheries Society 55 (4): 261-264.

Ciereszko, A., K. Dabarowski, F. Lin, S.A. Christ, and G.P. Toth. 1999. Effect of extenders and time of storage before freezing on motility and fertilization of cryopreserved Muskellunge spermatozoa. Progressive Fisheries Culturist American Fisheries Society 128: 542-548.

Dreanno, C., M. Suquet, E. Desbruyeres, J. Cosson, H. le Delliou, and R. Billard. 1998. Effect of urine on semen quality in turbot (Scophthalmus maximus). Aquaculture 169: 247-262.

Gallant, R.K., G.F. Richardson and M.A. McNiven. 1993. Comparison of different extender for the cryopreservation of atlantic salmon spermatozoa. Theriogenology 40: 479-486.

Hammerstedt, R.H., J.K. Graham, and J.P. Nolan. 1990. Cryopreservation of mammalian sperm: What we ask them to survive. Andrology 11(3): 73-88.

Horvath, A., and B. Urbanyi. 2000. The effect of cryoprotectant on the motility and fertilizing capacity of cryopreserved African catfish, Clarias gariepinus sperm. Aquaculture Research 31 (3): 317-324.

Lahnsteiner, F., B. Berger. A. Horvath, T. Weismann, and R. Patzner. 1996. The influence of various cryoprotectants on semen quality of the rainbow trout (Ochorhynchus mykiss) before and after cryopreservation. Journal of Applied Ichthyology 12 (2): 99-106. 21.

Lahnsteiner, F., Berger. B., A. Horvath, B. Urbanyi, and T. Weismann. 2000. Cryopreservation of spermatozoa in cyprinid fishes. Theriogenology 54: 1477-1498.

Linhart, O., R. Billard, and J.P. Proteau. 1993. Cryopreservation of European catfish (Silarus glanis L) spermatozoa. Aquaculture 115: 347-359.

Linhart, O., M. Rodina, and J. Cosson. 2000. Cryopreservation of sperm in common carp Cyprinus carpio: sperm motility and hatching success of embryos. Cryobiology 41: 241-250.

Marian, T. and Z.L. Krasznai. 1987. Cryopreservation of European catfish (Silarus glanis L) sperm. In: K Tiew (ed.). Selection, Hybridization and Genetic Engineering in Aquaculture. Vol I. Hamburg: FAO/EIFAC.

McNiven, M.A., R.K.Gallant, and G.F. Richardson. 1993. Dimethyl-acetamide as a cryopreservation for rainbow trout spermatozoa. Theriogenology 40: 943-948.

Muchlisin Z.A. and Muhammadar. 2002. Long-term cryopreservation of baung spermatozoa, Mystus nemurus: Effect of various cryoprotectants on motility and fertility. Torani 12 (4): 204-210.

Muchlisin Z.A., R. Hashim and A. Chong. 2004a. Preliminary study on the cryopreservation of bagrid catfish spermatozoa : Effect of different extenders and cryoprotectants on the motility after short-term storage. Theriogenology, 62 (1-2): 25-37.

Muchlisin Z.A. 2004b. Preliminary study on spermatozoa cryopreservation and evaluation of dietary protein on gonadal development of bagrid catfish (Mystus nemurus) female Broodstock. Thesis, University Sciences Malaysia, Penang.

Muchlisin Z.A. 2004c. Ultra structure of baung (Mystus nemurus) spermatozoa. Hayati, 9 (2) : 75-77.

Oetome, Z.J., R.N. Nunes, C.K. Kouassi, S. Hem, J.F. Agnese. 1996. Testicular structure, spermatogenesis and sperm cryopreservation in the African clariid catfish. Aquaculture Research 27 (11): 805-813.

Ogier de Baulny, B., C. Labbe, and G. Maisse. 1999. Membrane integrity, mitochondrial activity, ATP content, and motility of the European catfish (Silarus glanis) testicular spermatozoa after freezing with different cryoprotectant. Cryobiology 39: 177-184.

Ohta, H., H. Shimma, and K. Hirose. 1995. Relationship between fertility and motility of cryopreserved spermatozoa of the amago salmon Oncorhynchus masou ishikawae. Fisheries Science 61 (5): 886-887.

Ohta, H., K. Kawamura, T. Unuma, and Y. Takegoshi. 2001. Cryopreserva-tion of the sperm of the Japanese bitterling. Fish Biology 58: 670-681.

Piironen, J. 1993. Cryopreservation of sperm from brown trout (Salmo trutta m. lacustris L) and Arctic charr (Salvelinus alpinus L.) Aquaculture 116 (2-3): 275-285.

Richardson, G.F., L.W. Crim, Z. Yao, and C. Short. 1995. Cryopreservation of yellowtail flouder (Pleuronectes ferrugineus) semen. In: Goetz, F.W, and P. Thomas, (eds.). Proc. of the Fifth International Symposium on the Reproductive Physiology of Fish, 2-8 July, 1995, The University of Texas, Austin-Texas. 136p.

Richardson, G.F., T.L. Miller, and M.A. McNiven. 2000a. Cryopreservation of rainbow trout semen using dimethyl-acetamide or dimethyl-sulfoxide as cryoprotectant and three size of straw. In: Norberg, B., O.S. Kjesbu, G.L. Taranger, E. Anderson, and S.O. Stefansson (eds.). Proc. of the 6th International Ssymposium on the Rreproductive Pphysiology of Ffish, 4-9 July 1999, Bergen. Institute of Marine Research and University of Bergen. 443p.

Richardson, G.F., T.L. Miller, and M.A. McNiven. 2000b. Cryopreservation of Arctic charr, Salvelinus alpinus L., semen in various exters and in three sizes of straw. Aquaculture 31: 307-315.

Roberts, R., S. Adams, J. Smith, A. Pugh, A. Janke, S. Buchanan, P. Hessian, and P. Mladenov. 2000. Cryopreservation of abalone (Haliotis iris) sperm. Shellfish Research 19 (1): 530.

Viveiros, A.T.M., N. So, and J. Komen. 2000. Sperm cryopreservation of African catfish, Clarias gariepinus: cryoprotectants, freezing rates and sperm: egg dilution ratio. Theriogenology 54:1395-1408.

Wayman, W.R., R.G. Thomas, and Tiersch. 1996. Cryopreservation of sperm of spotted seatrout (Cynoscion nebulosus). Gulf Research Report 9 (3): 183-188.

Page 76: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 1 Januari 2005 Halaman: 70-75

♥ Alamat korespondensi:

Jl. Ir. Sutami No. 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-637457. e-mail: [email protected].

REVIEW: Karakteristik Sumberdaya Genetik Ternak Sapi Bali

(Bos-bibos banteng) dan Alternatif Pola Konservasinya

The Characteristics of Genetic Resource of Bali Cattle (Bos-bibos banteng) and the Alternative of It's Conservation Methods

ACHMAD NUR CHAMDI♥ Jurusan Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126

Diterima: 16 Maret 2004. Disetujui: 10 Nopember 2004.

ABSTRACT

Bali cattle is an Indonesian native beef cattle, the result of domestication of Banteng (Bos-bibos banteng). The main problem faced in the development of Bali cattle is the low quality of breed, which is predicted as the effect of inbreeding or raising management. The affects of genetic and cross breeding which usually inflict a loss are the decreasing of cattle’s endurance, fertility and birth weight. Seeing the fact, the government effort to introduce a quality bull to the breed source areas, the determination of cattle release including the controll on the cutting of productive female cattle, and to exactly count the number of Bali cattle which can be released in order to do not disturb its population balance, so it is necessary to do conservation attempt by in-situ and ex-situ. The result of this study shows that the characteristics on genetic resource of Bali cattle which comprises documentation, evaluation on reproduction and production, and attempt in increasing Bali cattle’s genetic quality in Indonesia have been done, eventhough those are still limited.

© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: Bali cattle, animal genetic resource, reproduction, production.

PENDAHULUAN Kondisi peternakan sapi potong saat ini masih

mengalami kekurangan pasokan sapi bakalan lokal karena pertambahan populasi tidak seimbang dengan kebutuhan daging nasional, sehingga terjadi impor sapi potong bakalan dan daging (Putu et al., 1997). Kebutuhan daging sapi di Indonesia saat ini dipasok dari tiga pemasok yaitu: peternakan rakyat (ternak lokal), industri peternakan rakyat (hasil penggemukan sapi potong ex-import) dan impor daging (Oetoro, 1997). Sapi potong merupakan hewan ternak dengan keanekaragaman jenis tinggi dan ditemukan hampir di semua negara, termasuk Indonesia (Lelana et al., 2003). Wilayah Indonesia didiami oleh tiga bangsa besar ternak sapi potong yaitu Ongole, Bali dan Madura beserta peranakan-peranakannya (Talib dan Siregar, 1998; Kusumaningsih, 2002). Penyebaran bangsa-bangsa sapi ini mulai dari ujung Sumatera sampai ke Maluku, dengan proporsi sekitar 50% tersebar di Pulau Jawa (Talib dan Siregar,1998). Populasi sapi bali di Indonesia sekitar 2.632.125 ekor atau sekitar 26,92% dari total populasi sapi potong yang ada di Indonesia sehingga diharapkan dapat menyuplai kebutuhan daging nasional (Tanari, 2001).

Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos-bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994), dan merupakan sapi asli Pulau Bali (Payne dan Rollinson, 1974 cit Sutan, 1988). Sapi bali menjadi primadona sapi potong di Indonesia karena mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, serta

dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan ladang (Putu et al., 1998; Moran, 1990), persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi pada persilangan (Pane, 1990), daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan persentase kelahiran dapat mencapai 80 persen (Ngadiyono, 1997 cit Tanari, 2001). Namun ada juga beberapa kekurangannya yaitu pertumbuhannya lambat, peka terhadap penyakit Jembrana, penyakit ingusan (malignant catarrhal fever) dan Bali ziekte (Darmadja, 1980; Hardjosubroto, 1994).

Kunci pengelolaan yang optimal terhadap sumberdaya genetika ternak adalah keragaman genetik. Perbedaan genetik antar spesies, bangsa, kelompok ternak adalah memungkinkan produsen memilih salah satu set gen untuk mencapai tujuan tertentu pada suatu lingkungan tertentu (Subandriyo, 1997). Mempertahankan keragaman genetik sangat penting, akan tetapi langkah-langkah tertentu perlu diperhatikan, apabila sumberdaya genetik akan dikelola secara baik yaitu melalui karakterisasi sumberdaya genetik ternak. Langkah pertama yang perlu diperhatikan adalah dokumentasi. Dokumentasi adalah upaya untuk mengetahui keberadaan suatu bangsa dan bagaimana performannya pada berbagai macam kondisi lingkungan. Jadi dokumentasi dilakukan untuk mengetahui informasi setiap bangsa. Langkah kedua adalah evaluasi, yaitu perbandingan antar dua bangsa atau lebih serta persilangannya. Langkah ketiga adalah pengembangan program pemuliaan (development breeding plan). Dalam pengembangan program pemuliaan, tidak ada cara umum yang dapat memenuhi semua situasi. Akan tetapi pengetahuan yang diperoleh dari dokumentasi dan evaluasi, serta struktur dari industri peternakan merupakan dasar yang diperlukan dalam program pemuliaan. Langkah keempat adalah konservasi. Konservasi mungkin perlu

Page 77: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

CHAMDI - Karakteristik Bos-bibos banteng 71

dilakukan atau mungkin tidak, informasinya tergantung pada dokumentasi dan evaluasi (Turner, 1981). Dalam makalah ini dikemukakan karakterisasi sumberdaya genetika ternak sapi bali yang merupakan ternak lokal Indonesia dalam kaitannya dengan upaya pelestarian yang dilakukan terhadap ternak sapi bali di Indonesia.

TERNAK SAPI BALI

Sapi bali (Bos-bibos banteng) yang berasal dari domestikasi Banteng dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan setempat. Demikian pula dengan penyebaran pada lingkungan di luar wilayah Indonesia (tropis dan sub tropis), sapi bali tidak mengalami kesulitan dalam arti fungsi reproduksi dan berjalan secara normal sebagaimana pada daerah asalnya (Copland, 1974; Kirby, 1979; McCool, 1992, Sivarajasingham, 1992; dan Asa et al., 1993 cit Talib et al., 1998). Sampai saat ini penyebaran populasi sapi bali telah meluas yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Pulau Jawa kecuali Propinsi DKI Jakarta. Konsentrasi sapi bali terbesar adalah di Sulawesi Selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok (Tanari, 2001). Jumlah sapi bali di Sulawesi Selatan dan Pulau Timor telah jauh melampaui populasi sapi bali ditempat asalnya Pulau Bali (Soehadji, 1990). Sapi bali juga dapat ditemukan di kebun-kebun binatang dan Taman Safari di luar negeri, secara liar dan terpelihara juga dapat dilihat pada hutan-hutan tropis dan negara-negara Asia Tenggara dan Australia Utara (Talib et al., 1998).

Ditinjau dari sistematika ternak, sapi bali masuk familia Bovidae, Genus bos dan Sub-Genus Bovine, yang termasuk dalam sub-genus tersebut adalah Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus (Hardjosubroto, 1994), sedangkan Williamson dan Payne (1978) menyatakan bahwa sapi bali (Bos-bibos Banteng) yang spesies liarnya adalah banteng termasuk Famili bovidae, Genus bos dan sub-genus bibos. Sapi bali mempunyai ciri-ciri khusus antara lain: warna bulu merah bata, tetapi yang jantan dewasa berubah menjadi hitam (Hardjosubroto, 1994). Satu karakter lain yakni perubahan warna sapi jantan kebirian dari warna hitam kembali pada warna semula yakni coklat muda keemasan yang diduga karena makin tersedianya hormon testosteron sebagai hasil produk testes (Aalfs, 1934 cit Darmadja, 1980).

Karakteristik lain yang harus dipenuhi dari ternak sapi bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis hitam yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada yang betina bentuk tanduk yang ideal yang disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah ke belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam, tanduk ini berwarna hitam (Hardjosubroto, 1994).

EVALUASI TERNAK SAPI BALI

Ukuran linier tubuh ternak Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan

ternak sapi bali adalah rendahnya kualitas bibit yang diduga

akibat dari faktor inbreeding (silang dalam) atau tatalaksana pemeliharaan. Pengaruh genetik dan kawin silang yang biasanya merugikan yaitu penurunan daya tahan, kesuburan ternak dan bobot lahir ternak (Sariubang et al., 1998). Hal ini sesuai dengan pernyataan Mikema (1987) bahwa pengaruh silang dalam dapat meningkatkan proporsi lokus-lokus genetik yang heterosigot, bersamaan dengan itu akan terjadi "depresi persedarahan" yang berakibat pada berkurangnya daya tahan, kesuburan dan bobot lahir ternak. Warwick et al. (1983) menyatakan bahwa perkawinan silang dalam pada ternak sapi potong mengakibatkan penurunan bobot badan sebesar 2,5-5,0 kg setiap kenaikan 10% silang dalam.

Melihat kenyataan tersebut, pemerintah berupaya mengintroduksikan pejantan unggul pada daerah sumber bibit pada tahun 1989/1990. Pada awalnya diprogram bahwa satu wilayah diintroduksikan satu jenis pejantan (semen). Terbukanya informasi dan adanya kesempatan yang sama untuk memilih jenis semen yang disukai menyebabkan berbagai bangsa telah disebarkan ke beberapa wilayah (Sitorus et al., 1995). Pada saat ini walaupun proporsi genotipe induk sapi bali (asli) yang dimiliki peternak masih tinggi, akan tetapi persilangan dengan jenis sapi lain melalui program Inseminasi Buatan (IB) telah banyak terjadi. Kecenderungan peternak melakukan persilangan antara sapi bali induk dengan jenis semen lain yang unggul berdasarkan pada kenyataan bahwa nilai jual anak sapi bali persilangan lebih baik dibandingkan dengan anak sapi bali murni. Melihat kecenderungan peternak untuk melakukan persilangan antar breed sapi ini, dimungkinkan untuk dilakukan evaluasi anak sapi persilangan hasil IB. Evaluasi penampilan produksi dapat dilihat dari bobot badan dan pertambahan bobot badannya. Pendekatan lainnya yaitu dapat dengan mengamati ukuran linier tubuh sapi yang berkorelasi erat dengan bobot badan (Handiwirawan et al., 1998). Hal ini sesuai dengan pendapat Hardjosubroto (1994) bahwa beberapa ukuran tubuh ternak telah diketahui berkorelasi dan merupakan indikator bagi bobot badan sapi seperti tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan.

Sariubang et al. (1998) melaporkan bahwa introduksi pejantan luar ke dalam populasi sapi bali di daerah sumber bibit Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan ternyata dapat meningkatkan bobot lahir rata-rata 1,92 kg pada turunan pertama (F1). Demikian juga lingkar dada dan tinggi pundak, sedangkan panjang badan tidak nampak pengaruhnya. Data bobot lahir pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pengaruh pejantan unggul nyata (P<0.05) terhadap bobot lahir anak. Dimana JU x BL berbeda nyata (P<0.05) dengan JL x BL maupun JL x BDS, sedangkan JL x BL dan JL x BDS tidak berbeda nyata (P>0.05).

Lebih lanjut dilaporkan bahwa korelasi ukuran-ukuran tubuh pada saat lahir dan pada saat mencapai umur bibit (2 tahun) terlihat bahwa pertumbuhan ukuran tubuh pada turunan dari pejantan luar lebih besar dibandingkan dengan turunan pejantan lokal (Tabel 2). Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan Lasley (1978) bahwa peningkatan bobot lahir ternak berkorelasi dengan bobot sapih.

Penampilan eksterior sapi bali sama halnya dengan ternak ruminansia lainnya, yang dapat dipakai sebagai indikator kemampuan produksi dan reproduksi. Tolok ukur lingkar dada (LD) mempunyai hubungan yang erat dengan bobot badan dengan koefisien korelasi sebesar 0,90-0,98 (Lana et al., 1979). Lingkar dada pada sapi bali dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur ternak, kondisi lingkungan hidupnya seperti letak ketinggian dari permukaan laut maupun pakan yang ada (Prabowo et al., 1992).

Page 78: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 70-75 72

Tabel 1. Bobot lahir, tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan sapi bali persilangan di Kabupaten Barru dan Luwu, Sulawesi Selatan (Sariubang et al., 1998).

Pengamatan Parameter Bobot lahir (kg) Tinggi pundak (cm) Lingkar dada (cm) Panjang badan (cm) JL x BL 11,83 61,33 61,71 42,47 JU x BL 13,77 63,96 63,91 42,91 JL x BDS 11,95 58,90 57,45 41,51 Keterangan: JL = Jantan lokal, JU = Jantan unggul, BL = Betina lokal, BDS = Betina di bawah standar.

Tabel 2. Rata-rata ukuran linier tubuh sapi bali pada umur 2 tahun (Sariubang et al., 1998). Ukuran tubuh Jenis kelamin JL x BL JU x BL JL x BDS

Jantan 108,8 + 3,4 105,8 + 7,0 107,7 + 6,9 Panjang badan (cm) Betina 104,0 + 0,2 103,0 + 1,8 100,6 + 7,1 Jantan 104,4 + 2,1 103,2 + 1,9 109,4 + 9,2 Tinggi pundak (cm) Betina 100,4 + 4,8 98,6 + 3,6 101,2 + 9,8 Jantan 148,5 + 4,2 141,7 + 5,3 149,8 +10,2 Lingkar dada (cm) Betina 133,2 + 8,0 131,1 + 7,6 137,7 + 9,2

Tabel 3. Ukuran tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada sapi bali dan persilangannya di Kabupaten Lombok Timur, NTB (Handiwirawan et al., 1998).

Tinggi pundak (cm) Panjang badan (cm) Lingkar dada (cm) Jenis semen Induk <31 hari 61-90 hari < 31 hari 61-90 hari < 31 hari 61-90 hari

Bali 63,20+6,34 (10)

76,73+9,33 (11)

56,00+5,60 (10)

71,73+8,11 (11)

69,80+5,90 (10) 91,18+9,92 (11) Bali

Persilangan

- - - - - -

Bali 68 (1)

86,67+6,09 (6)

56 (1)

82,00+6,45 (6)

75 (1)

106,83+12,09 (6)

Brahman

Persilangan 77,50+6,36 (2)

- 69,50+9,19 (2)

- 87,50+0,71 (2) -

Bali 70,00+2,16 (13)

82,42+7,60 (12)

65,00+4,14 (13)

80,42+8,76 (12)

78,62+3,07 (13) 105,00+11,92 (12)

Limousin

Persilangan 72,40+2,61 (5)

89,50+5,89 (6)

67,00+6,21 (5)

92,83+9,33 (6)

83,20+6,22 (5) 110,67+9,16 (6)

Bali 70,80+5,02 (5)

83,67+8,39 (12)

59,00+9,33 (5)

84,25+8,19 (12)

76,80+6,30 (5) 106,00+9,84 (12)

Simental

Persilangan 79,67+3,20 (6)

89,36+5,84 (11)

73,00+1,10 (6)

90,64+12,51 (11)

85,00+2,10 (6) 117,27+21,91 (11)

Keterangan: angka dalam kurung adalah jumlah sapi yang diukur.

Lubis dan Sitepu (1998) melaporkan bahwa pada sapi

bali betina umur 2-2,5 tahun menunjukkan rata-rata tinggi pundak antara 112-114 cm, panjang badan antara 115-116 cm dan lingkar dada antara 151-154 cm. Sedangkan Handiwirawan et al. (1998) melaporkan bahwa ukuran tinggi pundak sapi bali lebih rendah dibandingkan dengan sapi persilangan Brahman x Bali (Brahbal), Limousin x Bali (Limbal), Simental x Bali (Simbal). Pada kelompok umur <31 hari ukuran tinggi pundak sapi bali adalah 63,20+6,34 cm, sedangkan yang tertinggi adalah persilangan dengan Limousin dan Simental (70,00+2,16 dan 70,80+5,02 cm). Pada kelompok umur 61-90 hari, tinggi pundak anak sapi persilangan dengan Brahman menjadi paling tinggi diantara sapi persilangan dengan Limousin dan Simental (86,67+6,09 vs 82,42+7,60 dan 83,67+8,39 cm). Ukuran panjang badan terpendek untuk kelompok umur <31 hari adalah pada sapi bali yaitu 56,00+5,60 cm sedangkan yang paling panjang adalah sapi Limbal yaitu 65,00+4,14 cm. Ada kecenderungan sapi Brahbal memiliki pertambahan ukuran panjang lebih cepat dibanding sapi yang lain, hal ini terlihat pada kelompok umur 61-90 hari, sapi Brahbal memiliki ukuran 82,00+6,45 cm sedangkan sapi Limbal

memiliki ukuran 80,42+8,76 cm. Diantara ukuran lingkar dada sapi persilangan pada umur <31 hari, sapi Limbal memiliki ukuran sedikit lebih panjang yaitu 78,62+3,07 cm, akan tetapi pada umur 61-90 hari sapi Brahbal, Limbal dan Simbal memiliki ukuran relatif sama, berturut-turut 106,83+12,09 cm; 105,00+11,92 cm dan 106,00+9,84 cm (Tabel 3).

Reproduksi ternak

Dalam upaya pengembangan populasi ternak sapi Bali, kasus kegagalan reproduksi merupakan kejadian yang sering dijumpai. Di lapangan, keadaan ini biasanya terungkap antara lain dengan keterlambatan dewasa kelamin, nilai service per conception (S/C) yang tinggi, jarak beranak yang panjang dan selang post partus estrus yang panjang (Majestika, 1998). Nilai service per conception sapi bali yaitu 1,22 (Davendra et al., 1973), antara 1-2 (Lubis dan Sitepu, 1998), dan 1,35 (Anonim, 1979). Lama kebuntingan (pregnancy rate) sekitar 287+0,7 hari (Davendra et al., 1973), 286+15 hari (Darmadja dan Sutedja, 1976), 9,55 bulan (Pastika dan Darmadja, 1976), dan antara 276-295 hari (Lubis dan Sitepu, 1998).

Page 79: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

CHAMDI - Karakteristik Bos-bibos banteng 73

Kemudian rata-rata kembali birahi setelah beranak (post partus estrus) antara 106-165 hari (Lubis dan Sitepu, 1998). Sedangkan jarak beranak (calving interval) dilaporkan antara 15,48-16,28 bulan atau 15,88+0,4 bulan (Davendra et al., 1973), antara 373-683 hari atau 528+155 hari (Darmadja dan Sutedja, 1976), dan antara 351-440 hari (Lubis dan Sitepu, 1998). Jarak beranak yang ideal adalah 12 bulan (Bozwort et al., 1971), atau antara 12-14 bulan (Jainudeen dan Hafez, 1987). Hal ini berarti bahwa dalam waktu 60 hari setelah melahirkan, induk sapi harus sudah dikawinkan atau diinseminasi kembali dan bunting. Jarak beranak merupakan salah satu cara untuk mengukur efisiensi usaha ternak (Bozwort et al., 1971), dan menunjukkan tingkat performans reproduksi ternak sapi (Fonseca et al., 1983).

Produktivitas ternak

Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu tertentu (Hardjosubroto, 1994). Produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Seiffert, 1978). Wodzicka-Tomaszewska et al. (1988) menyatakan bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi. Dijelaskan pula bahwa tingkat dan efesiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat dan efesiensi reproduksinya. Menurut Djanuar (1985) bahwa produktivitas sapi potong dapat ditingkatkan baik melalui modifikasi lingkungan atau mengubah mutu genetiknya, namun dalam prakteknya adalah kombinasi antara kedua alternatif di atas.

Trikesowo et al. (1993) cit Tanari (2001) menyatakan bahwa yang termasuk dalam komponen performans produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan. Hasil penelitian terdahulu yang mengamati potensi produksi sapi bali yaitu seperti bobot lahir antara 15-17 kg (Djagra et al., 1979), persentase kematian sebelum dan sesudah disapih yang mencapai 7-27% (Darmadja dan Sutedja, 1976; Sumadi et al., 1982; Nggobe et al., 1991), dan kematian dewasa yang mencapai 2,7% (Sumbung et al., 1978).

Selanjutnya, Putu et al. (1998) melaporkan bahwa pemberian pakan konsentrat tambahan sebanyak 3 kg/ekor/hari pada sapi bali umur kebuntingan +7 bulan memberikan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) yang lebih tinggi setelah 47 hari perlakuan dibandingkan

kelompok kontrol pada sapi bali (0,53 vs 0,14 kg/ekor/hari). Sedangkan bobot lahir anak dari sapi bali yaitu 22,93 vs 20,21 kg. Angka kematian anak sapi bali sebelum umur 47 hari pada kelompok tanpa pemberian pakan konsentrat tambahan (kontrol) lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian konsentrat yaitu sebesar 12,5% vs 6,3% (Tabel 4). Penyebab kematian anak sapi bali secara umum disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik. Menurut Talib et al., 1998), faktor-faktor tersebut yaitu bobot lahir yang rendah, kondisi fisik ternak, produksi susu induk rendah, waktu laktasi yang pendek (4 bulan) dan kekurangan pakan pada saat disapih.

Bahar dan Rakhmat (2003) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi bali yang digembalakan dengan pakan hijauan lokal pada musim kemarau berkisar antara 0,05-0,1 kg/ekor/hari, sedangkan pada musim hujan antara 0,2-0,4 kg/ekor/hari. Sehingga untuk meningkatkan produktivitas sapi bali khususnya di musim kemarau perlu pemanfaatan secara maksimal limbah pertanian seperti jerami padi, jerami kacang dan jerami ubi jalar, serta pemanfaatan daun leguminosa untuk perbaikan nutrisi ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Vercoe dan Frisch (1980) bahwa sifat produksi dan reproduksi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa sapi, keadaan tanah, kondisi padang rumput, penyakit dan manajemen. Termasuk dalam hal ini manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan ternak. Oleh karena itu perbaikan mutu sapi potong haruslah ditekankan pada peningkatan sifat produksi dan reproduksi yang ditunjang oleh pengelolaan yang baik dari segi zooteknis dan bioekonomis.

UPAYA PELESTARIAN TERNAK SAPI BALI Dalam upaya pelestarian dan pengembangan populasi

ternak sapi bali sebagai sumberdaya genetika ternak lokal Indonesia, perlu diperhatikan faktor pemuliaan ternak. Program pemuliaan ternak sapi bali dapat dilakukan melalui seleksi persilangan, yang pelaksanaannya tergantung dari dokumentasi dan evaluasi pada kondisi tertentu. Pemuliaan ternak melalui seleksi pada umumnya sangat lambat, akan tetapi seleksi harus tetap dilaksanakan untuk mempertahankan kemurnian dan konservasi melalui usaha pengelolaan ternak sapi Bali. Penyebaran sapi bali telah meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi sapi bali terbesar di Sulawesi selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok, namun kemurnian sapi bali tetap dipertahankan di Pulau Bali, sebagai sumber bibit yang pembinaannya dilakukan oleh Proyek Pembibitan dan Pengembangan

Tabel 4. Performans produksi dan reproduksi sapi bali setelah diberi pakan konsentrat (Putu et al., 1998).

Sapi Bali Kontrol (K) Perlakuan (P) Parameter

n Min Max Rerata n Min Max Rerata

Bobot awal (kg) 16 184 301 247,5 16 199 319 247,56 Score kondisi badan 16 3 6 4,18 16 3 6 4,06 Bobot hari ke-47 (kg) 16 186 308 255,38 15 240 344 273,67 PBBH hari ke-47 (kg/ekor) 16 -0,64 0,70 0,14 15 -0,19 1,34 0,53 Persentase kelahiran (%) 15 - - 93,80 16 - - 100,00 Berahi setelah partus (%) 3 - - 18,75 2 - - 13,33 Berat lahir (kg) 14 16 30 20,21 16 16 28 22,93 Berat lahir betina (kg) 8 16 23 18,60 8 16 23 19,50 Berat lahir jantan (kg) 6 16 30 22,3 8 16 28 20,60 Mortalitas anak (%) 2 - - 12,50 1 - - 6,25

Page 80: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

BIODIVERSIT AS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 70-75 74

Sapi bali (P3-Bali) (Tanari, 2001). Pemerintah juga telah berupaya untuk meningkatkan mutu genetik ternak sapi bali antara lain melalui seleksi yaitu program pengembangan pusat pembibitan ternak di daerah pedesaan (village breeding centre). Sedangkan untuk pengembangan usaha peternakan sapi Bali, Pemerintah menerapkan pola pengembangan peternakan rakyat melalui dua model, yaitu Pola Swadaya dan Pola Kemitraan. Pola swadaya merupakan pola pengembangan peternakan rakyat yang mengandalkan swadaya dan swadana peternak, baik secara individu maupun kelompok. Sedangkan pola kemitraan (PIR-NAK) merupakan kerjasama yang saling antara perusahaan inti dengan peternak rakyat sebagai plasma. Dijelaskan pula bahwa dalam kerjasama atau kemitraan ini, seluruh kegiatan pra-produksi, produksi hingga pasca produksi dilakukan dengan kerjasama antara plasma dan inti (Anonim, 1998; Bank Indonesia, 2003).

Tabel 5. Dinamika populasi ternak sapi bali di Propinsi Bali (1990-2000) (Biro Pusat Statistik, 2000 cit Kusumaningsih, 2002).

Tahun Populasi ternak (ekor) Perubahan populasi (%)

1990 456.179 - 1991 435.789 - 4,68 1992 471.888 7,65 1993 483.687 2,44 1994 491.329 1,56 1995 513.700 4,35 1996 528.400 2,78 1997 538.800 1,93 1998 524.615 - 2,70 1999 526.013 0,27 2000 529.064 0,58

Selain itu, dalam melaksanakan pengembangan

populasi ternak sapi Bali, penentuan pengeluaran ternak termasuk pengendalian pemotongan ternak betina produktif perlu diperhatikan, dan menghitung dengan tepat jumlah ternak sapi bali yang dapat dikeluarkan, agar tidak mengganggu keseimbangan populasinya dari suatu wilayah (Tanari, 2001). Tabel 5 menunjukkan dinamika populasi ternak sapi bali di daerah asalnya yaitu Propinsi Bali, dimana ada kecenderungan mengalami peningkatan populasi sampai akhir tahun 1997, namun setelah itu populasinya cenderung turun. Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa out put sapi potong dari suatu wilayah tertentu agar keseimbangan populasi ternak potong tersebut tetap konstan dipengaruhi antara lain natural increase, tingkat kematian ternak, kebutuhan ternak pengganti, jumlah ternak tersingkir, pemasukan ternak hidup dan besarnya proyeksi kenaikan populasi ternak di daerah tersebut.

Dalam upaya pengembangan ternak sapi bali di suatu wilayah tertentu perlu dilengkapi dengan rancangan peningkatan mutu genetik ternak (Winter, 2003). Salah satu cara untuk mempertahankan mutu genetik ternak sapi bali dan berbagai bangsa sapi lain di daerah sumber bibit adalah menghitung dengan tepat jumlah sapi dari berbagai mutu genetik bibit yang dapat dikeluarkan, seimbang dengan jumlah dan mutu bibit yang perlu dipertahankan sebagai ternak pengganti. Selain cara tersebut diatas dapat pula dilakukan persilangan sapi bali dengan berbagai bangsa lain. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa persilangan sapi bali dengan berbagai bangsa lain menghasilkan sapi silangan yang menunjukkan sifat pertumbuhan yang meningkat sebanyak 50–100%. Hal ini terutama terjadi

sebagai hasil persilangan dengan sapi Bos Indicus, Bos Taurus, dan berbagai bangsa baru silangan seperti Santa Gertrudis, Droughtmaster, Belmot Red, Braford, Brangus dan lainnya (Martojo, 1989).

Pentingnya upaya untuk melestarikan sumberdaya genetika ternak sapi bali tidak perlu diragukan lagi, akan tetapi akan lebih menguatkan apabila ditindaklanjuti dengan pengorganisasian secara jelas dan dalam pelaksanaannya didukung dengan peraturan perundang-undangan. Pelesta-rian secara in-situ melibatkan banyak pihak, karena ternak rakyat, pemilik dan masyarakat sekitarnya turut mempunyai andil yang besar (Setiadi et al., 1998). Sehingga sebaiknya dilakukan upaya pelestarian gabungan dari cara in-situ maupun ex-situ, karena akan memberikan hasil yang lebih menguntungkan. Salah satu cara untuk mencegah kepunahan sapi bali dapat didekati dengan pendekatan kriteria teknis, ekonomis, sosial budaya dan politis.

KESIMPULAN Karakterisasi sumberdaya genetik ternak sapi bali

melalui dokumentasi dan evaluasi telah dilakukan, walaupun masih sangat terbatas. Pengembangan program pemuliaan ternak melalui seleksi telah diupayakan oleh pemerintah melalui Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi bali (P3-Bali) dan pusat pembibitan ternak pedesaan (village breeding centre), meskipun pada umumnya belum seperti yang diharapkan. Upaya peningkatan mutu genetik ternak sapi bali melalui persilangan telah dilakukan di Indonesia sejak lama, tetapi secara umum kurang berhasil karena tidak dilakukan secara sistematis dan tidak dipertahankan adaptasi ternak impor terhadap lingkungan Indonesia. Selain itu, juga perlu dilakukan upaya pelesta-rian dan pengembangan ternak sapi bali secara gabungan yaitu melalui cara in-situ dan ex-situ. Pendidikan dan penyuluhan mengenai upaya pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah secara berkelanjutan perlu disebarluaskan kepada para peternak dan masyarakat secara luas.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1979. Laporan Performans Sapi bali dan Ongole di Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur. Bogor: Direktorat Jenderal Produksi Peternakan dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

Anonim. 1998. Kajian Pola Pengembangan Peternakan Rakyat Berwawasan Agribisnis. Bogor: Direktorat Jenderal Peternakan dan Lembaga Penelitian IPB.

Bank Indonesia. 2003. Informasi sistem usaha kemitraan: dalam usaha produksi ternak sapi potong. http://www.bi.go.id/sipuk/lm/ind/sapi_potong/aspek_teknis_produksi.htm

Bahar, S. dan Rakhmat. 2003. Kajian pertumbuhan sapi bali yang digembalakan dengan pakan hijauan lokal. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 28-29 September 2003.

Bozworth, R.W., G. Ward, E.P. Cal, and E.R. Bonewitz. 1971. Analysis of factors affecting calving interval of dairy cows. Journal of Dairy Science 55: 334-339.

Copland, R.S. 1974. Observation on Banteng cattle in Sabah. Tropical Animal Health and Production 6: 89.

Darmadja, S.D.N.D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali. [Disertasi]. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Darmadja, D. dan P. Sutedja. 1976. Masa kebuntingan dan interval beranak pada sapi Bali. Prosiding Seminar Reproduksi Sapi Bali. Universitas Udayana. Denpasar, Bali.

Davendra, C.T.; Lee, K.C. and Pathmasingam. 1973. The productivity of Bali cattle in Malaysia. Agricultural Journal 49: 183-197.

Djanuar, R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Djagra, I.B., I.K. Lana, dan I.K. Sulandra. 1979. Faktor-faktor yang ber-pengaruh pada berat lahir dan berat sapih sapi Bali. Prosiding Seminar Keahlian di Bidang Peternakan. Denpasar: Universitas Udayana.

Page 81: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

CHAMDI - Karakteristik Bos-bibos banteng 75

Fonseca, F.A., J.H. Britt, B.T. McDaniel, J.C.Wilk, and A.H. Rakers. 1983. Reproductive traits of Holstein and Jersey: Effect of the age, milk yield and clinical abnormalities and involution of cervics and uterus, ovulation, estrous cycles, detection of estrous, conception rate, and days open. Journal of Dairy Science 66: 1128.

Handiwirawan, E., E.D. Setiawan, I.W. Mathius, Santoso, dan A. Sudibyo. 1998. Ukuran tubuh anak sapi bali dan persilangannya di Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Jaenudeen, M.R., and E.S.E. Hafez. 1987. Reproductive cycles: Cattle and water buffalo. In: Hafez, E.S.E. (ed.) Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Philadelphia: Lea and Febiger.

Kirby, G.M.W. 1979. Bali cattle in Australia. World Review of Animal Production 31: 24.

Kusumaningsih, A. 2002. A Glance of Cattle (Bos javanicus) as an Indonesian Natural Rresource. http://rudyct.250x.com/sem1_012/anni_kusumaningsih.htm.

Lana, K., D. Djagra, dan K. Sulandra. 1979. Bobot lahir sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Penunjang Peternakan. Denpasar, Bali: Universitas Udayana.

Lasley, J.F. 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3rd ed. New York: Prentice Hall Inc.

Lelana, N.E., Sutarno, dan N. Etikawati. 2003. Identifikasi poliformisme pada fragmen ND-5 DNA mitokondria sapi Benggala dan Madura dengan teknik PCR-RLFP. Biodiversitas 4 (1): 1-6.

Lubis, A.M., dan P. Sitepu. 1998. Evaluasi produktivitas sapi perah yang terseleksi di dua lokasi penelitian KUD Sarwa Mukti dan KUD Pasir Jambu. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998.

Majestika. 1998. Manipulasi uterus untuk memperpendek selang post partus ke estrus pertama pada sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998.

Martojo H. 1989. Pengembangan peternakan di Sumatera dalam menyongsong era tinggal landas. Prosiding Seminar Nasional Peternakan. Padang, 14-15 September 1988.

McCool, C. 1992. Buffalo and Bali cattle: Exploiting their reproductive behaviour and physiology. Tropical Animal Health and Production 24: 165.

Mikema, D. 1987. Dasar Genetik dalam Pembudidayaan Ternak. Jakarta: Bharata Karya Aksara.

Moran. J.B., 1990. Performans dari sapi-sapi Pedaging di Indonesia dalam Kondisi Pengelolaan Tradisional dan Diperbaiki. Laporan Seminar Ruminansia II. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak.

Nggobe, M. Bathseba Tiro, A. Bamualim, dan R.B. Wirdahayati. 1991. Pemberian suplemen pada akhir masa kebuntingan terhadap bobot lahir, produksi susu induk dan kematian anak sapi bali pada musim kemarau. http://pustaka.bogor.net/publ/jp3/jp211-34.htm.

Oetoro. 1997. Peluang dan tantangan pengembangan sapi potong. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Januari 1997.

Pane, I. 1990. Upaya peningkatan mutu genetik sapi Bali di P3 Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Bali, 20-22 September 1990.

Pastika, M. dan D. Darmadja. 1976. Performans reproduksi sapi Bali. Prosiding Seminar Reproduksi Sapi Bali. Denpasar, Bali: Universitas Udayana.

Prabowo, A., M. Sariubang, M. Sabrani, dan A. Tikupadang. 1992. Performans Sapi bali Betina di Bawah Standar Bibit di Daerah Transmigrasi Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Gowa: Sub Balai Penelitian Ternak.

Putu, I.G., K. Diwyanto, P. Sitepu, dan T. D. Soedjana. 1997. Ketersediaan dan kebutuhan teknologi produksi sapi potong. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Januari 1997.

Putu, I.G., P. Situmorang, A. Lubis, T.D. Chaniago, E. Triwulaningsih, T. Sugiarti, I.W. Mathius dan B. Sudaryanto. 1998. Pengaruh pemberian

pakan konsentrat tambahan selama dua bulan sebelum dan sesudah kelahiran terhadap performan produksi dan reproduksi sapi potong. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998.

Sariubang, M., D. Pasambe, dan Chalidjah. 1998. Pengaruh kawin silang terhadap performans hasil turunan pertama (F1) pada sapi Bali di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998.

Seiffert, G. W. 1978. Simulated selection for reproductive rate in beef cattle. Journal of Animal Science 61: 402-409.

Setiadi, B., I.W. Mathius, dan I.K. Sutama. 1998. Karakterisasi sumberdaya kambing Gembrong dan alternatif pola konservasinya. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998.

Sivarajasingham, S. 1992. Improvement of indigenous cattle and buffalo breeds in South East Asia. Proceeding of the 6th AAAP Animal Science Congress. Bangkok: 151.

Sitorus, P., Subandriyo, L.H. Prasetyo, S. Rachmawati, S.N. Tambing, A. Gunawan, dan B. Setiadi. 1995. Pengaruh Penyebaran Berbagai Jenis Sapi Bibit melalui Inseminasi Buatan terhadap Penyebaran dan Pengembangan Ternak Sapi di Kawasan Timur Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Soehadji, 1990. Kebijaksanaan pemuliaan ternak (breeding policy) khusus sapi bali dalam pengembangan peternakan. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Denpasar, 20-22 September 1990.

Subandriyo. 1997. Pengelolaan sumberdaya genetika ternak domba di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah: 44-50.

Sumadi, P.A., Soepiyono, dan H. Mulyadi. 1982. Produktivitas sapi Ongole, Bali dan Brahman Cross di ladang ternak Bila Rivet Ranch Sulawesi Selatan. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Cisarua, 6-9 Desember 1982.

Sumbung, F.P. 1977. Performans reproduksi sapi Bali. Prosiding Seminar Ruminansia. Bogor: Direktorat Jenderal Peternakan, Puslitbangnak dan Fapet IPB.

Sutan, S.M. 1988. Perbandingan Performans Reproduksi dan Produksi antara Sapi Brahman, Peranakan Ongole dan Bali di Daerah Transmigrasi Batumarta, Sumatra Selatan. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Talib, C. dan A. R. Siregar. 1998. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pedet PO dan cross breednya dengan Bos Indicus dan Bos Taurus dalam pemeliharaan tradisional. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998.

Talib, C., A. Bamualim, dan A.Pohan. 1998. Problematika pengembangan sapi bali dalam pemeliharaan di padang penggembalaan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998.

Tanari, M. 2001. Usaha Pengembangan Sapi bali sebagai Ternak Lokal dalam Menunjang Pemenuhan Kebutuhan Protein asal Hewani di Indonesia. http://rudyct.250x.com/sem1_012/m_tanari.htm.

Turner, H.N. 1981. Animal genetic resources. Int. Goat and Sheep Res. 1(4): 243.

Vercoe, J.E. dan J.E. Frisch. 1980. Pemuliaan dari segi genetik sapi pedaging di daerah tropik. Laporan Seminar Ruminansia II. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak.

Warwick, E.J., J.M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Ilmu Pemuliaan Ternak. Edisi kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Williamson, G., dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Winter, W.H. 2003. Cattle production in eastern Indonesia. A Summary of collaborative research. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: 28-29 September 2003.

Wodzicka-Tomaszewska, M., T.D. Chaniago, and I.K. Sutama. 1988. Reproduction in Relation to Animal Production in Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor-Australia Project.

Page 82: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

Karakterisasi Genetik Anjing Kintamani Menggunakan Petanda Mikrosatellite I KETUT PUJA

77-81

Isolasi, Enumerasi, dan Karakterisasi Bakteri Rhizobium dari Tanah Kebun Biologi Wamena, Papua SRI PURWANINGSIH

82-84

Actinomycetes Selulolitik dari Tanah Hutan Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi ATIT KANTI

85-90

Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis AHMAD DWI SETYAWAN, INDROWURYATNO, WIRYANTO, KUSUMO WINARNO, ARI SUSILOWATI

91-95

Keanekaragaman Bambu di Pulau Sumba ELIZABETH A. WIDJAJA, KARSONO

96-100

Studi Taksonomi Micromelum Blume (Rutaceae) di Indonesia TAHAN UJI

101-103

Studi Keragaman Anggrek di Cagar Alam Gunung Simpang, Jawa Barat DWI MURTI PUSPITANINGTYAS

104-109

Eksplorasi Jenis Palem di Pulau Mioswar Kabupaten Teluk Wondama YOHANES Y. RAHAWARIN

110-114

Kunci Identifikasi Rotan (Calamus spp.) Asal Sulawesi Tengah Berdasarkan Struktur Anatomi Batang ANDI TANRA TELLU

115-119

Keanekaragaman Spesies Tingkat Pohon di Kawasan Taman Wisata Alam Ruteng Nusa Tenggara Timur DEDE SETIADI

120-125

Komposisi Jenis dan Struktur Vegetasi Hutan di Kawasan Pakuli, Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah PURWANINGSIH, RAZALI YUSUF

126-132

Pemencaran Syzygium cormiflorum (F. Muell.) B. Hyland. di Sekitar Pohon Induk dalam Cagar Alam Lamedae, Kolaka, Sulawesi Tenggara DEDEN MUDIANA

133-137

Dinamika Hutan Dipterocarp Campuran Wanariset Semboja, Kalimantan Timur Setelah Tiga Kali Kebakaran Tahun 1980-2003 HERWINT SIMBOLON

138-143

Pemanfaatan Tebu dalam Upacara Adat di Kabupaten Tabanan, Bali I NYOMAN PENENG, I WAYAN SUMANTERA

144-146

Review: Penelitian Biodiversitas Serangga di Indonesia: Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) dan Peran Ekosistemnya SHAHABUDDIN, PURNAMA HIDAYAT, WORO ANGGRAITONINGSIH NOERDJITO

147-152

Gambar sampul depan:

Penampang melintang batang rotan (Calamus spp.)

Terbit empat kali setahun

ISSN: 1412-033X

Page 83: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

p

oto

ng

di

sin

i p

oto

ng

di

sin

i

Yth.: Pembaca dan Kolega Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi berikut: ☻Jawa: Rp. 100.000,00.

☺ Luar Jawa: Rp. 130.000,00.

Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge) sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas. Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941.

Surakarta, 1 Januari 2005

Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya berlangganan jurnal:

Biodiversitas, Journal of Biological Diversity

dengan besar biaya:

Lama waktu Jawa Luar Jawa 1 tahun Rp. 100.000,00 Rp. 130.000,00 2 tahun Rp. 200.000,00 Rp. 260.000,00 3 tahun Rp. 300.000,00 Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada: Nama : …………………………………………

Alamat : ………………………………..……….

…………………………………………………………

…………………………………………………………

Tel. & Fax : …………………………………………

E-mail : ………………………………….……..

Kirim dengan

perangko

KEPADA Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas

d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax. +62-271-663375; E-mail: [email protected] Website: www.unsjournals.com

Page 84: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

po

ton

g d

i s

ini

po

ton

g d

i s

ini

Yth.: Pembaca dan Kolega Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi berikut: ☻Jawa: Rp. 100.000,00.

☺ Luar Jawa: Rp. 130.000,00.

Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge) sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas. Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941.

Surakarta, 1 Januari 2005

Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya berlangganan jurnal:

Biodiversitas, Journal of Biological Diversity

dengan besar biaya:

Lama waktu Jawa Luar Jawa 1 tahun Rp. 100.000,00 Rp. 130.000,00 2 tahun Rp. 200.000,00 Rp. 260.000,00 3 tahun Rp. 300.000,00 Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada: Nama : …………………………………………

Alamat : ………………………………..……….

…………………………………………………………

…………………………………………………………

Tel. & Fax : …………………………………………

E-mail : ………………………………….……..

Kirim dengan

perangko

KEPADA Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas

d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax. +62-271-663375; E-mail: [email protected] Website: www.unsjournals.com

Page 85: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK

Page 86: Biodiversitas vol. 6, no. 1, January 2005 (abstract in English)

Storage and the Use of Peroxydase Enzyme to Detect Germination Capability of Sandoricum koetjape Merr. Seeds-A Neglected Tropical Fruit Species USEP SOETISNA, DODY PRIADI,SRI HARTATI, ENNY SUDARMONOWATI

1-5

Biodiversity of Soil Microbes from Rhizosphere at Wamena Biological Garden (WBiG), Jayawijaya, Papua SRI WIDAWATI, SULIASIH, H.J.D. LATUPAPUA, ARWAN SUGIHARTO

6-11

Hubungan Kekerabatan Antar Spesies Piper Berdasarkan Sifat Morfologi dan Minyak Atsiri Daun di Yogyakarta PURNOMO, RANI ASMARAYANI

12-16

Keanekaragaman dan Penggunaan Jenis-jenis Bambu di Desa Tigawasa, Bali IDA BAGUS KETUT ARINASA

17-21

Keanekaragaman Palem (Palmae) di Gunung Lumut, Kalimantan Tengah JOKO RIDHO WITONO

22-30

Inventarisasi Tumbuhan Potensial Untuk Fitoremediasi Lahan dan Air Terdegradasi Penambangan Emas TITI JUHAETI, FAUZIA SYARIF, NURIL HIDAYATI

31-33

Flora Mangrove Berhabitus Pohon di Hutan Lindung Angke-Kapuk ONRIZAL, RUGAYAH, SUHARDJONO

34-39

Vegetasi Tepi-Baruh pada Habitat Bekantan (Nasalis larvatus) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan MOCHAMAD ARIEF SOENDJOTO, HADI SUKADI ALIKODRA, MOHAMMAD BISMARK, HERU SETIJANTO

40-44

Pakan dan Habitat Kukang (Nycticebus coucang) di Hutan Lindung Perkampungan Baduy, Rangkasbitung-Banten Selatan WIRDATETI, LILIK ENDANG SETYORINI, SUPARNO, TRI HADI HANDAYANI

45-49

Pemilihan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan dan Tempat Bersarang Kuskus (Phalanger sp.) di Cagar Alam Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur WARTIKA ROSA FARIDA, TEGUH TRIONO, TRI HADI HANDAYANI, ISMAIL

50-54

Morphological Comparison between Striped Puntius (Pisces: Cyprinidae) from Indonesia HARYONO

55-58

Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor) di Penangkaran Kalimantan Timur GONO SEMIADI, I.G. MADE JAYA ADHI, ANDI TRASODIHARTO

59-62

Peranan Makrofauna Tanah dalam Proses Dekomposisi Serasah Acacia mangium Willd. MUSYAFA

63-65

REVIEW: Current Status of Extenders and Cryoprotectants on Fish Spermatozoa Cryopreservation MUCHLISIN Z.A.

66-69

REVIEW: Karakteristik Sumberdaya Genetik Ternak Sapi Bali (Bos-bibos banteng) dan Alternatif Pola Konservasinya ACHMAD NUR CHAMDI

70-75

Gambar sampul depan:

Kuskus (Phalanger sp.)

Terbit empat kali setahun

ISSN: 1412-033X