continuing education airlangga

21
 K U L I A H TATA LAKSANA BRONKIOLITIS (Treatment of Bronchiolitis) Landia Setiawati, Retno Asih S, Makmuri MS Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya

Upload: shirotamen

Post on 15-Oct-2015

38 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Pendidikan Sepanjang Hayat FK UNAIR Bronkiolitis

TRANSCRIPT

  • K U L I A H TATA LAKSANA BRONKIOLITIS

    (Treatment of Bronchiolitis) Landia Setiawati, Retno Asih S, Makmuri MS

    Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    Korespondensi : Landia Setiawati Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya Jl. Mayjen Prof Moestopo 6-8 Surabaya Telp. 031-5018934, 031-5501697 Fax 031-5501748 E mail: [email protected] ABSTRACT Bronchiolitis is the most common lower respiratory tract infection in children less than 2 years of age and is the most frequent cause of hospitalization in infants under 6 months of age. It is not only a considerable cause of morbidity, but also leads to death in severe cases due to respiratory failure. Mortality is higher in children with underlying congenital heart disease, chronic lung disease or immunodeficiency. The only non controversial part of the treatment is supportive. Children with mild bronchiolitis, which form the large majority of cases, are treated at home. Antipyretics and adequate fluid intake are most often sufficient. Parents are however informed about monitoring of features of progressive worsening of respiratory distress and danger signs signaling need for hospitalization. Treatment for infants with bronchiolitis includes correction of hypoxia with oxygen, minimal handling and carefull non invasive monitoring for apnea and respiratory failure. Fluid and adequate nutrition therapy is needed to prevent dehydration. Prevention strategies include washing hands, cleaning environment surfaces, isolation infants and children with RSV. Inhaled beta2 agonist, the anticholinergic agent ipratropium bromide and nebulized epinephrine may have some benefit. Corticosteroids may be effective in cases of moderate to severe RSV. Antiviral therapy may be used for high risk and severely ill patients. Prophylaxis with RSV immunoglobulin can reduce hospitalization rates in high risk patients. A major source of confusion over therapies, especially in older infants, arises from the fact that viral bronchiolitis can be hard to distinguish from asthma with associated viral respiratory infection.

    Keywords: Bronchiolitis therapy, RSV infection ABSTRAK

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    Bronkiolitis merupakan penyakit infeksi saluran nafas bagian bawah yang sering terjadi pada bayi dan anak yang berusia dibawah dua tahun. Di RS Dr. Soetomo Surabaya, proporsi penderita bronkiolitis adalah terbesar kedua setelah pneumonia dari seluruh penderita ISPA yang rawat inap. Tatalaksana utama pada penderita bronkiolitis adalah terapi suportif seperti oksigenasi, pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Tindakan isolasi penderita, pengendalian infeksi serta edukasi kepada orang tua penderita juga perlu diperhatikan. Selain itu dapat diberikan pula agonis beta2 secara inhalasi, epinefrin, atau ipratropium bromida. Kortikosteroid dianjurkan pada kasus bronkiolitis berat. Pemberian antivirus dan upaya pencegahan dengan imunoglobulin dapat dipertimbangkan pada kasus bronkiolitis dengan resiko tinggi. Antibiotika diberikan bila ada infeksi sekunder. Hingga saat ini masih timbul kontroversi tentang tatalaksana bronkiolitis, karena sesungguhnya bronkiolitis sangat sulit dibedakan dengan asma yang dipicu oleh infeksi virus saluran napas. Kata kunci: Terapi bronkiolitis, infeksi RSV BATASAN

    Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejalagejala obstruksi bronkiolus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada.1 EPIDEMIOLOGI

    Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 6090% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%.2

    Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan.1,3 Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan.4 Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    terjadinya penyakit yang lebih berat.1,3-5 Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan 2003 didapatkan lebih dari 50% penderita bronkiolitis berusia 6 bulan ke bawah.6

    Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki.1,3,4 Di RSU Dr. Soetomo penderita laki-Iaki lebih banyak seperti terlihat pada gambar 1.6 Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu.1-5

    0102030405060708090

    Januari April Juli Oktober

    Laki-lakiPerempuan

    Gambar 1. Jumlah kasus bronkiolitis berdasarkan jenis kelamin di Instalasi Rawat Inap lKA RSU

    Dr. Soetomo tahun 2003.6

    RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari.4,5

    Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan.1,2.4,5 Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak didapatkan pada bulan Januari sampai bulan Mei .6 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

    RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.1,2,4,5

    Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus . Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas. 1,2,7,8

    Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total. 9-11

    Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV. 12

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari . 7-9,11

    Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda.

    Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk.12,13 Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. 13

    Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV .13,14

    Gambar 2. Perubahan umur dengan respon imun adaptif terhadap infeksi RSV. Dikutip dari Holt

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    PG.,Sly PD. Interaction between RSV infection, asthma, and atopy: Unraveling the Complexities. J.Exp.Med, November 2002;196:1271-5.14

    Kerusakan epitel saluran nafas akibat infeksi RSV mengakibatkan

    terjadinya peningkatan paparan terhadap antigen dan alergen, hilangnya faktor relaksasi termasuk nitric oxide, paparan syaraf sensoris kolinergik pada iritan fisik dan kimia (gambar 3), prostaglandin dan leukotrien, bergesernya respon imun pada Th2, dan adanya sitokin proinflamatori seperti IL-4, IL-, RANTES, IL-2, MIP-1a, MCP1, IFN-g, IL-6, IL-8, TNF-a.7,8

    Gb.3. Respon inflamasi selular pada infeksi virus saluran napas. Dikutip dari: Gern JE. Virus induces inflamation in airways. Dalam: Mellins, Chernick. Basic mechanism of pediatric respiratory disease, 2nd ed. Hamilton London: BC Decker Inc., 2002; 518-27 7

    EPITHELIUM NGF SENSORY NERVES NK 1

    RECEPTORS SUBSTANCE P

    T Cells PMNs Vessels Mast Cells Cytokines Chemotaxis Edema LTs

    RESPIRATORY

    SYNCYTIAL VIRUS

    IRRITANTS ALLERGENS MEDIATORS

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    Gambar 4. Interaksi neuroinflamasi dan neural remodeling pada saluran jalan nafas yang terinfeksi

    RSV .Dikutip dari Piedemonte 2002 8

    Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa RSV menyebabkan keluarnya

    NGF (nerve growth factor) yang dapat mengakibatkan perubahan jangka pendek maupun jangka panjang pada distribusi dan reaktifitas saraf sensoris saluran nafas. Hal inilah yang memberikan kontribusi pada reaksi inflamasi yang berlebihan pada saat dan sesudah terjadi infeksi.8 MANIFESTASI KLINIS

    Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan.1-5

    Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    DIAGNOSIS

    Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing. 1,3-5

    Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.16 Tabel 2.1 Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) (dikutip dari

    Klassen, 1991)

    SKOR 0 1 2 3 4

    Skor maksimal

    Wheezing -Ekspirasi -Inspirasi -Lokasi

    (-) (-) (-)

    Akhir

    Sebagian 2dr4 lap

    paru

    Semua 3dr4 lap paru

    Semua

    4 2 2

    Retraksi -Supraklavikular -Interkostal -Subkostal

    (-) (-) (-)

    Ringan Ringan Ringan

    Sedang Sedang Sedang

    Berat Berat Berat

    3 3 3

    TOTAL 17 Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk

    menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap.3-5

    Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang.1,3,5 Kim dkk (2003) mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinofilia.17 Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.1,9,10

    Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.1,3-5

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya, berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale merupakan diagnosis banding yang tersering. Diagnosis banding bronkiolitis adalah: asma bronkiale, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis . 1,3-5,18-21

    Beberapa perbedaan antara bronkiolitis dan asma :

    ASMA BRONKIOLITIS

    Penyebab hiperreaktivitas virus bronkus Umur > 2 tahun 6 bulan-2 tahun Sesak berulang ya tidak Onset sesak akut insidious ISPA atas + / - selalu +

    Atopi keluarga sering jarang Alergi lain sering -

    Respon bronkodilator cepat lambat Eosinofil normal

    Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.1,18,19 TATA LAKSANA

    Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi, pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus. 3-5,18,19

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    Di Bagian Anak RS Dr Soetomo Surabaya selain terapi suportif, secara rutin nebulasi agonis ?2 juga diberikan pada setiap penderita bronkiolitis. Steroid sistemik diberikan pada kasuskasus berat. Antibiotika diberikan bilamana keadaan umum penderita kurang baik, atau ada dugaan infeksi sekunder dengan bakteri. 20,21

    Penanganan bronkiolitis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Soetomo:

    A. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita B. Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse

    oxymetry dan bila perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi mekanik.

    C. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan dengan cairan normal saline, diberikan 4 6 kali per-hari

    D. Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV E. Antibiotika: penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi

    sekunder F. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung

    Tabel 2. Terapi bronkiolitis (RSV): rekomendasi dari Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ). 4

    Clear evidence for effectiveness

    Supportive care

    Suplemental oxygen

    Possibly effective

    Nebulized ipratropium bromide (Atroven) with or without nebulized albuterol (Proventil)

    Oral or inhaled corticosteroids

    Parental dexamethasone

    Nebulized epinephrine

    Possibly effective for most severe cases

    Helium-oxygen combination

    Surfactant

    Probably ineffective

    Aerosolized ribavirin (Virazole)

    Antibiotics (unless patient has a clear focus or bacterial infection)

    Nebulized furosemide

    RSV-IG (RespiGam)

    Inhaled interferon alfa-2a (Roferon-A)

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    rhDNAse

    Beberapa kategori diatas (tabel 2) berbeda dengan rekomendasi pengobatan yang dikeluarkan senter lain. American Academy of Pediatrics (AAP) tidak merekomendasi penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan RSV, yang kemungkinan efektif menurut AHRQ.

    Terapi Oksigen

    Oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit. 1,3-5,18

    Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada kasus gagal napas, serta apnea berulang. CPAP biasa digunakan untuk mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberi keuntungan dengan cara membuka saluran napas kecil , mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat yang tidak membaik dengan ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-frequency jet ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). 4,5,11,18

    Terapi cairan

    Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infus dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distres napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul. 4,5,18,20,21

    Antibiotika Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spektrum luas.22,23 Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis.3-5,18 Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika.20 Di bagian anak RSU Dr. Soetomo Surabaya, pada penderita bronkiolitis selain diberikan hidrasi dan oksigenasi juga diberikan antibiotika bilamana keadaan umum penderita kurang baik, penyakit yang berat atau ada dugaan infeksi sekunder dengan bakteri.20,21

    Antivirus (Ribavirin)

    Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. 2,4,5,18 Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan SaO2, penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan dirumah sakit lebih singkat, dan perbaikan fungsi paru. Tetapi pada penelitian lain penggunaan ribavirin tidak memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk jumlah sampel yang terlibat, dan keterlambatan dalam memulai terapi. Kekurangan dari terapi ribavirin harganya yang mahal, resiko terjadi toksisitas pada pekerja. 4,5,18,24,25 Menurut American Academy of Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan pada bronkiolitis dengan kondisi spesifik, seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 3. Kriteria terapi ribavirin untuk infeksi berat RSV akut pada bayi dan anak-anak yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatrics (1996) 26

    Ribavirin therapy may be considered for :

    Those with complicated congenital heart disease, including pulmonary hypertension

    Those with bronchopulmonary dysplasia, cystic fibrosis, or other chronic lung conditions

    Previously healthy premature infants (

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    Hospitalized patients who may be at increased risk of progressing from a mild to a more complicated course because they are

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    Isoproterenol +4 0 3-15 1-2

    Metaproterenol +4 +3 30-60 3-4

    Terbutalin +4 +4 60 4

    Salbutamol +4 +4 30-60 4-6

    Fenoterol +4 +4 30-60 4-6

    Pada tabel diatas tampak bahwa salbutamol, terbutalin, dan fenoterol

    merupakan agonis selektif 2 yang mempunyai efek simpatomimetik dengan efek kardiovaskular yang minimal serta lama kerja 4-6 jam. Pemberian salbutamol inhalasi mempunyai onset kurang dari 15 menit dan efek puncak dicapai dalam 30-60 menit. Inhalasi dengan epinefrin kurang dianjurkan karena bersifat non selektif, bekerja pada reseptor alfa dan beta.

    Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan 20

    1. Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli)

    2. Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier 3. Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan

    serangan pertama asma 4. Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan

    epinefrin. Di bagian anak RS Dr.Soetomo menggunakan dosis salbutamol 0,1mg/kg/

    dosis (0,1ml larutan 0,1%/kg/dosis) Kortikosteroid

    Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektifitas kortikosteroid untuk pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita bronkiolitis anak dengan menggunakan deksametason oral pada anak yang telah menggunakan nebulasi salbutamol tidak didapatkan perbedaan antara grup perlakuan dan plasebo pada saturasi oksigen, laju nafas, skor RDAI dan lamanya rawat inap.3-5,18 Hasil yang hampir sama juga didapatkan pada pemberian deksamateson intravena pada penderita bronkiolitis, dan ternyata tidak didapatkan perbedaan pada skor klinis, laju nafas, skor klinis, dan tes fungsi paru pada hari ke 3.1,18,27 Richter melakukan penelitian nebulasi budesonide pada penderita bronkiolitis saat rawat inap dan dilanjutkan sampai dengan 6 minggu dan ternyata mendapatkan hasil bahwa tidak mengurangi gejala bronkiolitis dan tidak mencegah wheezing pasca bronkiolitis.33 Tetapi Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang rawat jalan mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis.34

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    Penelitian meta-analisis tentang penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi dengan bronkiolitis menunjukkan perbaikan dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan lama timbulnya gejala.35 Sedangkan AAP tidak merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada bayi yang dirawat dirumah sakit dengan bronkiolitis. Pemberian kortikosteroid oral 1mg/kgbb pada bayi usia 8 mgg-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4 jam pertama dan penurunan jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi. Tetapi tidak ada perbedaan skor klinis setelah 7 hari terapi.34 Preparat steroid inhalasi dibuat untuk mendapatkan efek topikal yang maksimal dengan efek sistemik yang minimal. Beberapa preparat inhalasi yang tersedia diantaranya Beclomethason propionate, budesonide, flunisolide, fluticason propionate, triamcinolone acetonide.41 Perbedaannya terletak pada afinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid, lipofilitas dan bioavaibilitas sistemik. Preparat steroid inhalasi yang ideal bila memiliki efek topikal yang tinggi, bioavaibilitas sistemik rendah serta proses inaktivasi di hepar yang cepat dan sempurna, misalnya flutikason, budesonid, mometason. Mekanisme kerja kortikosteroid inhalasi , yaitu: 36

    - Didalam sel, kortikosteroid menembus membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid dalam sitoplasma, yang selanjutnya menembus nucleus dan berikatan dengan glucocorticoid respon elements (GRE) untuk meningkatkan transkripsi gen reseptor-2 dalam paru manusia dan tikus, membutuhkan waktu 6-12 jam.

    - Menghambat pembentukan sitokin tertentu, seperti IL-1, TNFa, GM-CSF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-8.

    - Meningkatkan pembentukan reseptor-2 dan mencegah reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat agonis 2 jangka panjang

    - Mempercepat regenerasi sel epitel - Mengurangi jumlah sel-sel inflamasi

    PENCEGAHAN

    Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA . 20,21,24

    Penggunaan imunoglobulin (RSV-IG) pada bayi berumur kurang dari 24 bulan dengan Bronchopulmonary dysplasia (BPD), bayi prematur (kurang dari 35 minggu) menunjukkan hasil penurunan signifikan: jumlah yang terinfeksi RSV, jumlah penderita masuk rumah sakit serta memperpendek waktu perawatan di rumah sakit dan ICU. RSV-IG dapat di toleransi dengan baik.37

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F glycoprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal hyperimmune globulin , diberikan secara intra vena , juga bisa dipakai sebagai imunoprofilaksis pasif pada bronkiolitis. 3-5,18,24,37 Tahun 1998, AAP merekomendasikan Palizumab sebagai profilaksis RSV pada anak kurang dari 2 tahun dengan penyakit paru menahun, anak yang mendapat terapi RSV dalam 6 bulan pertama dan bayi prematur (32-35 minggu). AAP tidak merekomendasikan pada pasien dengan penyakit jantung sianosis atau immunocompromised karena belum pernah dilakukan penelitian pada kelompok ini.4,5,18,37

    Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated, subunit, live recombinant) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi yang adekuat.25,37

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    DAFTAR PUSTAKA 1. Orenstein DM. Bronchiolitis. In: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM eds.

    Nelsons Textbook of pediatrics; 17th ed.Philadelphia: WB Saunders, 2004; 1285-7. 2. Hayden FG, Ison MG. Respiratory Viral Infections. ACP Medicine.Infectious

    Disease XXV 2004:1-16.

    Penyebab: RSV, parainfluenze, influenza,adenovirus, mycoplasma.Usia :< 2 tahun Gejala : Panas , pilek, batuk disusul sesak napas, wheezing ekspiratoir, sianosis (Bayi kecil: apnea) Foto Dada : hiperinflasi, penebalan peribronkial, atelektasis , infiltrat Periksa: kesadaran , pernapasan, wheezing, warna kulit, status hidrasi, Skor RDAI

    Ringan: RDAI Sianosis +, Sesak hebat Dehidrasi +, Hipoksia +, Apnea +, Makan/minum -

    ALGORITMA TATALAKSANA BRONKIOLITIS

    Diagnosa Banding Bronkiolitis: Infeksi : Pertussis, Bronkopneumonia Non Infeksi : Asma, Gastroesophageal reflux, Corpus Alienum Saluran Napas, Tracheoesophageal fistula, Cystic Fibrosis

    Rawat Jalan Hidrasi oral, nutrisi, Suportif, Pastikan: pengetahuan orang tua + , transportasi ke RS memadai

    Rumah Sakit: Oksigenasi, Hidrasi, Nutrisi Albuterol : 0,1 mg/kg/dosis dalam 3 cc normal saline secara nebulisasi, bisa diulangi tiap 4 6 jam, Antibiotika : disesuaikan, Suportif

    MEMBURUK Cek :Foto Dada, Gas Darah, EKG, Elektrolit. Oksigenasi, bila perlu: ventilasi mekanik, Nebulasi Albuterol, Steroid: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis IV, Antibiotika spektrum luas, Suportif

    Bronkiolitis dengan resiko tinggi: Lahir prematur, usia < 3 bulan, Penyakit jantung bawaan, Penyakit paru kronis, Riwayat asma/ alergi pada keluarga

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    3. Fitzgerald DA, Kilham HA. Bronchiolitis: assessment and evidence-based management.MJA 2004;180:399-404.

    4. Steiner RWP. Treating Acute Bronchiolitis Associated with RSV.American Family Physician 2004;69:326-30.

    5. Black CP. Systematic review of Biology and Medical Management of Respiratory Syncytial Virus Infection. Respir care 2003;48:209-30.

    6. Data instalasi Rawat Inap Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr.Soetomo 2002-2004 (tidak dipublikasikan).

    7. Gern JE. Virus induces inflamation in airways. In: Mellins, Chernick eds. Basic mechanism of pediatric respiratory disease; 2nd ed. Hamilton London: BC Decker Inc, 2002; 518-27.

    8. Piedimonte G. Pathophysiological mechanism for respiratory synticial virus-reactive airway disease link. Respir Res 3 (suppl 1) 1999; S21-S25.

    9. McCarthy CA, Hall CB. Respiratory Syncytial Virus: concern and control. Pediatr Rev 2003; 24:301-8.

    10. DeNicola LK, Gayle MO. Bronchiolitis. Jacksonville Medicine 2003; www.dcmsoline.org/jax-medicine/1998journals/september98/

    11. Hall CB. Respiratory syncytial virus. In: Feigin R, Cherry J eds. Textbook of pediatric infectious diseases; 4th ed. Philadelphia: WB Saunders, 1997; 2084-111.

    12. Darville T, Yamauchi T. Respiratory Syncytial Virus. Pediatr Rev 1998; 19:55-61.

    13. Bar-on ME, Zanga JR. Bronchiolitis. Community aquired respiratory infection in children. Primary Care 1996;23:805-17.

    14. Holt PG, Sly PD. Interaction between RSV Infection, Asthma and Atopy: Unraveling the Complexities. J Exp Med 2002;196:1271-5.

    15. Rocholl C, Gerber K, Daly , Pavia AT, Byington CL. Adenoviral Infection in Children: the impact of rapid diagnosis. Pediatrics 2004;113:51-6.

    16. Klassen TP. Recent advances in the treatment of Bronchiolitis and Laryngitis. Pediatr Clin of North Am 1997; 44:249-58.

    17. Kim CK, Kim SW, Park CS, Kim BI, Kang H, Koh YY. Bronchoalveolar lavage cytokine profiles in acute asthma and acute bronchiolitis. J Allergy Clin Immunol 2003;112: 64-71.

    18. Garzon LS, Wiles L. Management of respiratory syncytial virus with lower respiratory infection in infants and children. AACN Clin Issues 2002;13: 421-30.

    19. Bordley WC, Viswanathan M, King VJ et al. Diagnosis and testing in Bronchiolitis. Arch Pediatr Adolesc Med 2004;158:119-25.

    20. Makmuri MS. Penatalaksanaan infeksi saluran pernafasan akut. Simposium penangananan terpadu penyakit infeksi saluran pernafasan secara rasional. 1998 : 1-12.

    21. Gunadi S, Makmuri MS. Pulmonologi. In: Pedoman diagnosis dan terapi Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr Soetomo Surabaya. Surabaya:RSUD Dr Soetomo, 1994;219-42 .

    22. Wright RB, Pomerantz WJ, Luria JW. New Approach to Respiratory Infections in Children. Emerg Med Clin of North America 2002; 20: 93-102.

    23. NN. Bronchiolitis. http://www.pedscom.wustl.edu/All-Net/english/pulm page/ bronchio/intro.html-9k. [diakses 9 april 2005]

    24. Lozano JM. Bronchiolitis. Clin Evid 2004;12:370-84

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    25. Meissner HC. Uncertainty of Viral Lower Respiratory Tract Disease.Pediatrics 2001;108:1000-3.

    26. AAP.Comitte on infectious disease: use of ribavirin in the treatment of RSV infection. J Pediatr 1996; 92:501-4.

    27. Barben J, Hammer J. Current Management of Acute Bronchiolitis in Switzerland. Swiss Med Wkly 2003;133:9-15.

    28. Kellner JD, Ohisson A, Gadomski AM, Wang EF. Efficacy of bronchodilator therapy in bronchiolitis. A meta analysis. Arch Pediatr Adolesc Med 1996; 150: 1166-72.

    29. Arniati NP, Udjiani EP, Setiawati L, Makmuri MS, SantosaG. Efikasi bronkodilator salbutamol nebulizer pada penatalaksaan bronkiolitis 1999. Tidak dipublikasikan.

    30. Wainwright C, Francis P. Treatment of bronchiolitis. www.nejm.org [diakses 29 Oktober 2004]

    31. Kristjansson s, Lordup-Carlsen KC, Wennergren G et al. Nebulized racemic adrenaline in treatment of acute bronchiolitis in infants and toodlers. Arch Dis Child 1993; 69: 650-4.

    32. Purwanto SH. Terapi inhalasi pada pediatri gawat darurat. In: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXX. Pendekatan farmakologik pada pediatri gawat darurat FKUI. Jakarta 1993; 73-92.

    33. Richter H, Seddon P. Early nebulized budesonide in the treatment of bronchiolitis and the prevention of post bronchiolitic wheezing. J Pediatr 1998;132: 849-53.

    34. Schuh S, Coates AL, Binnie R, et al. Efficacy of oral dexamethasone in outpatients with acute bronchiolitis. J Pediatr 2002; 140: 27-32.

    35. Garrison MM, Christakis DA, Harvey E, Cumming P, Darvis RL. Systemic corticosteroids in infant bronchiolitis: A meta analysis. Pediatric 2000; 105: e44-9.

    36. Barnes PJ. Scientific rationale for inhaled combination therapy with long-acting 2-agonists and corticosteroids. Eur Respir J 2002; 19: 182-91.

    37. Sethi GR, Nagar G. Evidence based treatment of bronchiolitis. Indian J Pediatr 2004; 71: 733-7.

  • Continuing Education XXXV

    Tatalaksana Bronkiolitis Makmuri MS, dr., SpA(K)

    PERTANYAAN

    A. Bagaimana membedakan bronkiolitis berulang dengan asma bronkiale?

    B. Apakah terapi inhalasi bisa digunakan secara rutin pada bronkiolitis,

    sampai berapa lama?

    C. Bagaimana pedoman pemberian antibiotika pada bronkiolitis?

    D. Bagaimana cara praktis penilaian derajat bronkiolitis?

    E. Apakah bronkiolitis dapat berlanjut menjadi asma, apakah hal ini dapat

    dicegah?