dampak krisis ekonomi indonesia terhadap petani kecil dan ...i).pdf · teori, pertanyaan dan...

44
ISSN 0854-9818 June 2000 OCCASIONAL PAPER NO. 28(I) Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen CENTER FOR INTERNATIONAL FORESTRY RESEARCH Office address: Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16680, Indonesia Mailing address: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, Indonesia Tel.: +62 (251) 622622; Fax: +62 (251) 622100 E-mail: [email protected] Website: http://www.cifor.cgiar.org

Upload: leduong

Post on 09-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

ISSN 0854-9818June 2000OCCASIONAL PAPER NO. 28(I)

Dampak Krisis Ekonomi Indonesiaterhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alamdi Luar Jawa

William D. Sunderlin,Ida Aju Pradnja Resosudarmo,Edy Rianto danArild Angelsen

CENTER FOR INTERNATIONAL FORESTRY RESEARCHOffice address: Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16680, IndonesiaMailing address: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, IndonesiaTel.: +62 (251) 622622; Fax: +62 (251) 622100E-mail: [email protected]: http://www.cifor.cgiar.org

Page 2: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

Sistem CGIAR

Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR) merupakan kelompok

donor informal dari 41 donor dunia baik sektor swasta maupun masyarakat yang dibentuk

guna mendukung jaringan kerja 16 lembaga penelitian pertanian internasional. Sistem

CGIAR didirikan pada tahun 1971, di mana CIFOR merupakan anggota terbaru, adalah

bagian dari sistem penelitian pertanian global yang menerapkan solusi ilmiah bagi

permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang tidak mampu di seluruh dunia.

CIFOR

CIFOR dibentuk di bawah Sistem CGIAR sebagai tanggapan terhadap keprihatinan dunia

akan konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan dan

kepunahan hutan. Kegiatan penelitian dilakukan melalui kerjasama kemitraan dengan

perorangan dan lembaga penelitian di negara-negara berkembang dan maju. Sifat dan

lamanya kerjasama ini ditentukan oleh kajian masalah yang sedang dihadapi. Agenda

penelitian ini selalu dikaji ulang dan dapat berubah sewaktu-waktu jika mitra kerja CIFOR

menemukan masalah dan kesempatan baru.

Page 3: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

Dampak Krisis Ekonomi Indonesiaterhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alamdi Luar Jawa

William D. Sunderlin,Ida Aju Pradnja Resosudarmo,Edy Rianto danArild Angelsen

Page 4: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

Daftar Isi

Ringkasan 1

1. Pendahuluan 1

2. Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3

3. Metode Penelitian 6

3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

3.2 Sensus pendahuluan 8

3.3 Survei terhadap responden, pertanyaan yangdiajukan dan pendekatan 8

3.4 Survei kualitatif 8

3.5 Survei migrasi 9

4. Hasil Temuan 9

4.1 Karakteristik rumah tangga yang dikaji 9

4.2 Dampak terhadap kesejahteraan petani kecil 11

4.3 Pengaruh terhadap tutupan hutan alam 20

4.4. Ringkasan temuan utama 28

4.5 Pertanyaan-pertanyaan yang tidak terpecahkan 29

5. Kesimpulan dan Rekomendasi 30

Ucapan Terima Kasih 31

Catatan Akhir 31

Daftar Pustaka 33

Lampiran: 35

Lampiran 1. Penentuan perkiraan jumlah peladang berpindahdan jumlah penduduk di kawasan hutanIndonesia di pulau-pulau utama di luar Jawa 35

Lampiran 2. Kriteria dalam menentukan desa kajian 36

Lampiran 3. Kelebihan dan kelemahan dari kerangka sampel 37

Lampiran 4. Stratifikasi sensus data untuk menyeleksiresponden survei rumah tangga 38

Page 5: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

Daftar Gambar

Gambar 1. Indeks harga komoditi ditinjau dari indeks hargakonsumsi pangan, Januari 1997 – September 1999. 4

Gambar 2. Peta Indonesia yang menunjukkan lokasi propinsi dandesa yang dikaji. 7

Gambar 3. Tahun yang digunakan sebagai rujukan dalampendekatan mengingat kembali (recall approach). 8

Gambar 4. Rumah tangga kajian berdasarkan tanaman utamayang dihasilkan pada tahun 1998-99, untuk semua propinsi. 9

Gambar 5. Rumah tangga kajian berdasarkan tanaman utama yangdihasilkan pada tahun 1998-99 dan berdasarkan propinsi kajian. 10

Gambar 6. Tingkat ketergantungan rumah tangga terhadap pendapatandari komoditi yang diekspor pada tahun 1998-99. 11

Gambar 7. Pandangan responden tentang status mereka pada periode 3(1998-1999) dibandingkan dengan periode 1 (1996-1997). 11

Gambar 8. Klasifikasi rumah tangga kajian berdasarkan pengalaman krisisdan propinsi kajian. 12

Gambar 9. Klasifikasi rumah tangga kajian berdasarkan persepsirumah tangga atas pengalaman selama krisis dan tanamansumber pendapatan utama pada tahun 1998-99. 13

Gambar 10. Apa yang dilakukan rumah tangga kelompok “lebih buruk/sulit”dalam mengatasi krisis? 15

Gambar 11. Apa yang dilakukan oleh rumah tangga kelompok “lebih mudah”dengan pendapatan tambahan yang diperoleh selama krisis? 15

Gambar 12. Jumlah rumah tangga kajian yang memperoleh pendapatanuang/tunai dari sumberdaya hutan, perbandingan dariperiode 1, 2 dan 3. 17

Gambar 13. Perubahan jumlah rumah tangga yang memperoleh pendapatandalam bentuk uang dari sumberdaya hutan, menurutpropinsi kajian dan periode penelitian. 18

Gambar 14. Perubahan jumlah rumah tangga yang memperoleh pendapatandalam bentuk uang dari sumberdaya hutan, menurut jenissumberdaya dan periode penelitian. 18

Gambar 15. Perbandingan antara pendapatan kotor rumah tangga rata-ratadan pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk input pertanian,sebelum krisis, dan periode krisis. 19

Gambar 16. Perubahan dalam pengeluaran rumah tangga rata-rata untukinput pertanian pada tahun 1996-97, 1997-98 dan 1998-99. 20

Gambar 17. Pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk input pertanianberdasarkan tanaman sumber pendapatan utama tahun1996-97, 1997-98 dan 1998-99. 20

Gambar 18. Pembukaan lahan untuk pertanian pada tahun 1996-1999sesuai tujuan pemanfaatan. 21

Gambar 19. Jumlah luas lahan yang dibuka oleh rumah tangga kajianselama masa krisis (pertengahan1997 - pertengahan1999),berdasarkan propinsi dan jenis tutupan lahan. 22

Gambar 20. Perubahan luasan komoditi ekspor dan tanaman pangan,tahun kedua masa krisis (1998-99) dibandingkan dengantahun sebelum krisis (1996-97). 24

Gambar 21. Proporsi responden yang membuka dan tidak membuka lahan,menurut jenis pengalaman selama krisis. 26

Gambar 22. Luas lahan rata-rata yang dibuka per rumah tangga,menurut jenis pengalaman selama masa krisis. 26

Page 6: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

Daftar Tabel

Tabel 1. Kerangka sampel untuk propinsi, desa dan rumah tanggayang dikaji. 6

Tabel 2. Uji nilai tengah (independent means test) dari estimasi pendapatantotal yang dibedakan berdasarkan ECI tinggi dan ECI rendah/tanpa ECI, sebelum krisis dan selama krisis. 12

Tabel 3. Persepsi kehidupan/kesejahteraan rumah tangga selamatahun 1998-99 dibandingkan dengan tahun 1996-97, berdasarkanpendapatan yang diperoleh dari komoditi ekspor tahun 1998-99 13

Tabel 4. Persepsi responden tentang pengaruh kekeringan dan kebakaranhutan pada tahun 1997-98, berdasarkan propinsi kajian 14

Tabel 5. Persepsi responden menyangkut pengaruh mana yang lebih buruk,krisis ekonomi atau kekeringan dan kebakaran hutan, berdasarkanpropinsi kajian. 14

Tabel 6. Hubungan antara pengalaman selama krisis dan kemampuan untukmenabung/menyimpan. 16

Tabel 7. Hubungan antara pengalaman selama krisis dengan perolehanbantuan pemerintah selama krisis. 16

Tabel 8. Uji nilai tengah (independent means test) pembandingan tingkatbantuan pemerintah yang diterima oleh kelompok yang merasakehidupannya lebih mudah dan lebih sulit selama masa krisis, dankelompok dengan ECI tinggi dan ECI rendah/tidak ada ECI. 17

Tabel 9. Proporsi dari rumah tangga kajian yang membuka lahan selamamasa krisis (periode 2 dan 3) menurut propinsi. 21

Tabel 10. Analisa chi-square tentang siapa yang membuka hutan selamamasa krisis (periode 2 dan 3) berdasarkan tingkat pendapatanyang diperoleh dari komoditi ekspor (tinggi atau rendah) 23

Tabel 11. Uji nilai tengah (independent means test) luas lahan rata-rata yangdibuka, dibedakan berdasarkan tinggi dan rendah/tidak adanya ECI,sebelum krisis dan selama krisis. 23

Tabel 12. Jumlah pembukaan hutan berdasarkan jenis tanaman utama(berdasarkan nilainya) selama masa pemanfaatan bidang lahangarapan, pada periode 1, 2 dan 3. 25

Tabel 13. Luas lahan rata-rata yang digarap per rumah tangga berdasarkanperiode kajian dan pengalaman selama krisis. 27

Tabel 14. Luas lahan rata-rata yang digarap per rumah tangga menurutperiode kajian dan menurut kelompok jenis tanaman utama sesuaidengan tingkat keberhasilan dalam menghadapi krisis. 27

Page 7: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

William D. Sunderlin,* Ida Aju Pradnja Resosudarmo,*Edy Rianto* dan Arild Angelsen**

* Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor,Indonesia.

** Department of Economics and Social Science, AgriculturalUniversity of Norway, Ås, Norway.

Dampak Krisis Ekonomi Indonesiaterhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam

di Luar Jawa

1. Pendahuluan

Di dalam tulisan ini akan diulas hasil penelitian tentangdampak krisis ekonomi di Indonesia terhadapkesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam maupundi sekitar hutan alam, terhadap sistem pertaniannya, danterhadap hutan yang mereka kelola. Titik tolak yangpaling sesuai digunakan adalah tinjauan terhadap faktadasar menyangkut krisis dan peran sektor pertanianditengah krisis.

Dimulai pada pertengahan tahun 1997 negara-negaraASEAN terpuruk oleh krisis ekonomi regional yangdisebabkan oleh depresiasi mata uangnya terhadap dollar

Ringkasan

Dua puluh juta manusia tinggal di dalam atau di sekitar hutan alam yang ada di Indonesia. Hutan tropikabasahnya, dengan luasan terbesar yang tersisa di dunia, paling banyak ditemui di Sumatra, Kalimantan,Sulawesi dan Irian Jaya. Dibandingkan dengan negara lainnya di Asia, krisis ekonomi regional berkepanjanganyang dimulai pada pertengahan tahun 1997 lebih kuat pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia.

Survei secara acak telah dilakukan terhadap 1.050 rumah tangga di 6 buah propinsi di luar Jawa dengantujuan memahami dampak krisis tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan dan praktek pertanian serta pembukaan hutan. Secara khusus penelitian ini berupaya untuklebih jauh memahami munculnya kesempatan yang saling bertolak belakang dengan terjadinya depresiasiyang drastis atas mata uang rupiah Indonesia terhadap dollar Amerika: di satu pihak penghasil komoditieksport pertanian dapat memperoleh penghasilan berlebih dari tingginya harga pasar; dilain pihakmeningkatnya biaya hidup menetralkan potensi perolehan pendapatan.

Diantara temuan penting dari penelitian ini adalah: (1) dua per tiga dari rumah tangga yang dikaji melaporkanbahwa mereka merasa kehidupannya lebih buruk dan hanya seperlima melaporkan merasa lebih baik selamakrisis berlangsung dibandingkan pada tahun sebelum krisis; (2) hal ini terjadi kendati pada kenyataanya tigaper empat dari rumah tangga yang dikaji memperoleh penghasilan dari komoditi ekspor; (3) pembukaanlahan hutan sedikit meningkat pada tahun pertama krisis dan meningkat lebih tinggi pada tahun ke dua krisis;(4) semakin banyak lahan dibuka untuk tanaman ekspor dengan sistem menetap dan semakin sedikit lahandibuka bagi tanaman pangan yang menggunakan sistem perladangan berpindah; dan (5) kelompok yangmerasa lebih buruk dan lebih baik kehidupannya cenderung membuka lahan selama masa krisis, dan membukalahan yang lebih luas dibandingkan dengan mereka yang merasa kesejahteraanya tidak mengalami perubahanyang berarti.

Bertolak belakang dengan anggapan umum bahwa masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya tidakterpengaruh oleh krisis, maka penduduk di kawasan hutan menilai kehidupan mereka lebih buruk selamakrisis dibandingkan dengan sebelumnya. Terlebih lagi, tekanan atas hutan meningkat meskipun ada kesimpulanyang mungkin diperoleh dari terjadinya perubahan ke arah peningkatan pertanian menetap selama krisis.Pelajaran utama yang didapat adalah: (1) petani memerlukan bantuan dalam mendiversifikasi sumberpendapatannya agar mereka terlindung dari kemungkinan guncangan ekonomi di masa mendatang; dan (2)perlunya peningkatan kesadaran tentang bagaimana ketidakstabilan makro ekonomi dapat menimbulkankonsekuensi lingkungan yang tidak diinginkan.

Amerika. Indonesia merupakan yang terparah diantarasemua negara di Asia. Menurut seorang analis,“Keruntuhan perekonomian Indonesia merupakan yangpaling berpengaruh terhadap ekonomi manapun yangberorientasi pasar yang penting dalam beberapa dekadeini” (Evans 1998:5). Perekonomian Indonesiaberkembang dengan kecepatan rata-rata tahunan 6,5%pada kurun waktu 1967-1997, sedangkan pada tahun 1998

Page 8: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

2 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

mengalami kontraksi sebesar 13,6% (Hill 1999:23).Pertumbuhan diproyeksikan akan mencapai 0,8% di tahun1999 (EIU 1999:11). Mata uang rupiah mengalamipenurunan nilai dari Rp. 2.400 pada bulan Juli 1997 menjadirata-rata Rp. 8.300 selama periode September 1997 sampaiSeptember 1999. (Nilai rupiah sempat mencapai puncaknyapada level Rp. 16.000 – 17.000 terhadap dollar Amerika dibulan Januari dan juga bulan Juli 1998, dan selanjutnyaberada pada kisaran Rp.8.000). Diantara bentuk perubahanakibat krisis ekonomi adalah meningkatnya kecepatankemiskinan secara keseluruhan dari 11% di tahun 1996menjadi 14-20% di tahun 1998 (Poppele et al. 1999:14),meningkatnya pengangguran, melonjaknya angka inflasidan hilangnya daya beli konsumer, gentingnyaketidakstabilan sosial, dan runtuhnya kekuasaaan yangdijabat selama 32 tahun oleh Soeharto sebagai presiden dinegara ini pada bulan Mei 1998.

Turunnya nilai rupiah secara dramatis mempunyai maknadua sisi. Di satu pihak menimbulkan kelumpuhanterutama di sektor ekonomi daerah perkotaan yang sangattergantung pada dollar Amerika. Sektor konstruksi,industri dan perbankan mengalami kehancuran parahkarena ketidakmampuannya untuk membiayai imporbahan baku yang diperlukan dan/atau olehketidaksanggupannya untuk membayar hutangnya dalambentuk dollar. Di lain pihak, sektor pedesaan sepertipertanian yang tidak begitu tergantung pada dollarterlindungi dari pengaruh krisis yang terburuk.

Sejak awal krisis, para ahli dan pembuat kebijakanmenganjurkan untuk memberikan perhatian khusus dibidang pertanian (terutama ekspor pertanian) sebagaiupaya untuk mencari jalan keluar dari krisis. Berikutadalah beberapa argumentasi mengenai status khususbidang pertanian. Pertama, adanya kemungkinanpeningkatan penghasilan yang tinggi dari ekspor yangdisebabkan oleh depresiasi rupiah terhadap dollarAmerika 1 dan oleh relatif rendahnya biaya produksipertanian. Kedua, pertanian banyak menyerap tenagakerja 2 dan sangat penting dalam mengatasi masalahpengangguran di saat pemerintah merasa bahwamemelihara kondisi pemerintahan yang stabil merupakanprioritas strategi utama. Ketiga, sama pentingnya dalamupaya pemerintah untuk memelihara kestabilan, pertanianmenyediakan pasokan komoditi kebutuhan dasar.Keempat, produksi tanaman pertanian domestik yang jikatidak dihasilkan sendiri harus diimpor tidak hanyamengurangi pengangguran dan memasok kebutuhandasar, tetapi juga memberikan kebebasan penggunaancadangan mata uang asing yang langka untuk dipakai bagikeperluan lainnya. Untuk berbagai alasan yangdisebutkan di sini, sektor pertanian tampaknya lebih baikdibandingkan perekonomian secara keseluruhan dikebanyakan negara berkembang lainnya yang mengalami

krisis ekonomi di tahun-tahun belakangan ini. Di banyaknegara kontribusi relatif sektor pertanian cenderungmenurun seiring dengan perkembangan ekonomi yangcepat, dan cenderung meningkat dengan menurunnyapertumbuhan ekonomi.

Kepercayaan yang diberikan pada sektor pertanian secaraumum telah terbukti. Dari awal mula krisis sampai kuartalketiga tahun 1998, sektor pertanian (termasuk pertanian,kehutanan, dan perikanan) menunjukkan pertumbuhan0 – 1%, melebihi sektor-sektor lainnya (NRMP 1999:7).Selain itu, dari tahun 1997 sampai 1998, sumbanganpertanian terhadap total jumlah tenaga kerja meningkatdari 40,7% menjadi 45,0% - satu-satunya sektor dimanatenaga kerja mengalami peningkatan (Hill 1999:39).

Proyek penelitian yang digunakan sebagai dasar tulisanini mengajukan dua buah pertanyaan yang sifatnya luas:(1) Apa dampak dari krisis ekonomi Indonesia terhadap

kesejahteraan petani kecil yang tinggal di dalam atausekitar kawasan hutan alam?; dan

(2) Apa dampak krisis terhadap praktek pertanian petanikecil tersebut dan selanjutnya bagaimanapengaruhnya terhadap tutupan hutan alam?

Pertanyaan yang pertama sangat penting karena terdapatsekitar 20 juta orang yang tinggal di dalam maupun disekitar hutan alam di 5 pulau besar di Indonesia. Populasiini termasuk sekitar 6 juta orang anggota rumah tanggapeladang berpindah. (Untuk mendapatkan angka populasiini, lihat Lampiran 1). Petani kecil di desa-desa hutanmungkin merupakan masyarakat yang paling dirugikandan paling rentan di Indonesia. Segmen masyarakatpedesaan ini mempunyai kesempatan dan keterbatasanyang berbeda dibandingkan dengan sebagian besarkelompok populasi lainnya. Upaya untuk memahamidampak krisis terhadap kehidupan mereka harus dilakukandengan memperhatikan perbedaan perbedaan ini.

Belum pernah ada penelitian utama yang dilakukantentang dampak krisis terhadap kesejahteraan dari sub-kelompok petani tertentu ini. Meskipun demikian,terdapat berbagai laporan yang menyatakan bahwamasyarakat Indonesia di pedesaan pada umumnya,khususnya yang berada di luar Jawa, relatif sedikit sekaliterpengaruh krisis, dan kenyataanya malah ada yangmakmur. Seperti contohnya, Evans (1998:34)mengatakan bahwa masyarakat di luar Jawa “mengalaminasib yang lebih baik (dibandingkan masyarakat di Jawa),dengan tingginya harga komoditi yang diperdagangkan(setidaknya dalam bentuk rupiah).” Dari Mei 1997sampai Mei 1998, perbandingan nilai perdagangan (termsof trade) petani di Jawa lebih rendah, tetapi lebih tinggidi Bali, Sulawesi dan Sumatra (Evans 1998:28). Hill(1999:27-28, 45) sepakat dengan asumsi peneliti lainnya

Page 9: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

3CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

yang mengatakan bahwa, pada umumnya, masyarakat didaerah pedesaan tidak terpengaruh secara buruk olehkrisis atau malahan telah diuntungkan dengan adanyadepresiasi rupiah. 3 Jellinek dan Rustanto (1999)mengatakan bahwa masyarakat miskin Jawa tidak banyakterpengaruh karena daya lenting di sektor pertanian daninformal. Booth (1999:137) mengatakan bahwa devaluasi[sic] akan meningkatkan harga produk pertanian dalamrupiah dan meningkatkan pendapatan produsen. Satuperkecualian dari konsensus umum adalah Warr(1999:27) yang menyatakan ”... sebagian besar pendudukmiskin, termasuk banyak produsen pertanian, tampaknyamengalami penderitaan, terutama mereka yangmerupakan net-produsen pangan.”

Pertanyaan yang kedua tentang dampak terhadap hutanalam sudah dijelaskan dengan kenyataan bahwa sudahmenjadi pendapat umum bahwa petani kecil, khususnyamereka yang terlibat swidden cultivation (atau seringdisebut shifting cultivation), merupakan penyebab utamadeforestasi di Indonesia. 4 Fraser (1998:143-145),contohnya, mengatakan bahwa sebagian besar darihilangnya tutupan hutan di Indonesia yang diperkirakansebesar 1 juta ha per tahun dapat dijelaskan denganpertumbuhan populasi petani kecil yang tinggal dikawasan hutan. Dapat dimengerti bahwa jika krisisberdampak nyata terhadap kehidupan petani tersebut,maka pengaruhnya juga dapat dilihat pada masa bera(lahan kosong yang tidak ditanami) dan praktekpembukaan hutan yang dilakukan. 5 Sangat pentingdicatat bahwa di Indonesia terdapat kecenderungan untukmenjauhi perladangan berpindah dan beralih ke produksitanaman keras dengan menggunakan sistem pertanianmenetap karena menurunnya keuntungan dari praktekyang disebutkan pertama dibandingkan yang disebutkanterakhir (van Noordwijk et al. 1995:11-12; Tomich etal. 1998:65-69). 6 Penting untuk diketahui bagaimanakrisis ekonomi mempengaruhi keuntungan komparatifyang diperoleh dari dua sistem pertanian ini.

Belum pernah ada hasil temuan penelitian yangdipublikasikan menyangkut pertanyaan yang kedua.Meskipun demikian, media banyak melaporkan beritatentang pembukaan hutan berkaitan denganmeningkatnya harga komoditi ekspor tertentu. Beberapayang dapat dicatat adalah artikel tentang pembukaanhutan mangrove pesisir untuk peternakan udang, sertaartikel tentang meningkatnya daya tarik untukmembudidayakan cokelat, kopi dan lada.7

Tulisan ini terdiri dari 4 bab yang berurutan. Bab 2mengemukakan teori, pertanyaan dan berbagai hipotesayang diuji di lapangan. Bab 3 menjelaskan metodologipenelitian lapangan. Bab 4 mengemukakan hasil temuan.Bab 5 memuat kesimpulan dan diskusi berbagairekomendasi kebijakan.

2. Teori, Pertanyaan dan Hipotesa

Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerikasebesar dua pertiganya yang terjadi secara drastis merupakankejadian utama dari krisis ekonomi. Hal ini menyebabkankegagalan bisnis secara besar-besaran, pemutusan hubungankerja dan pengangguran, kegagalan pembayaran pinjamandan bank, kelangkaan kredit, penarikan investasi asing, danstagnasi serta menurunnya sebagian besar sektorperekonomian Indonesia. Meskipun demikian, seperti telahdisinggung sebelumnya, konsekuensi dari depresiasi tidaksecara keseluruhan buruk bagi seluruh masyarakat danperusahaan. Konsekuensi depresiasi tersebut secaramendasar berbeda tergantung tingkat akses terhadappenghasilan dari ekspor. Mereka yang menjual ke pasarekspor dapat memperoleh keuntungan besar yang tidakterduga karena penghasilan dalam bentuk dollar selamamasa krisis dapat (dirata-ratakan) menghasilkan tiga kalilipat penghasilan rupiah. Penghasilan ini, tentunya, harusseimbang dengan meningkatnya biaya produksi begitu pulameningkatnya harga bahan pangan dan barang konsumenlainnya. Sebaliknya, mereka yang tidak mempunyai aksespenghasilan dollar Amerika melalui hubungan denganpasar ekspor mungkin menghadapi stagnasi ataukemungkinan penurunan pendapatan riil dan meningkatnyabiaya produksi.

Adanya kemungkinan perbedaan penghasilan ini nyataterlihat pada sektor pertanian melalui tinjauan hargakomoditi setiap bulannya dari bulan Januari 1997 sampaiSeptember 1999 (Gambar 1). Berawal pada bulan Juli1997 harga lada hitam, lada putih, cokelat, dan kopi dalamrupiah melambung tinggi, mencapai puncaknya padapertengahan tahun 1998, dan kemudian menurun kembalisecara tajam. Harga ini selanjutnya tetap atau terusmenurun secara perlahan sampai pertengahan tahun 1999.Perbedaan ini sangat menyolok pada harga padi (IR-36),suatu komoditi bukan ekspor, yang harganya relatif tetapselama krisis. Meskipun demikian, ada catatan, bahwaada beberapa komoditi ekspor (kelapa sawit, karet, kayumanis) yang harganya tidak naik secara drastis, danbahkan jauh dibawah indeks harga konsumen pangan.Ini menggambarkan satu hal yang kunci. Hargakomoditas ekspor berubah setiap waktu tidak hanyasebagai fungsi dari nilai relatif rupiah terhadap dollarAmerika, tetapi juga disebabkan oleh pergerakan hargadunia, dan mungkin juga merefleksikan perbedaan dalamsistem pemasaran dan biaya transportasi. Dengandemikian, seperti yang akan terlihat, mengasumsikanbahwa petani yang berorientasi ekspor memperolehkeuntungan dan petani yang berorientasi pasar domestikmengalami kerugian adalah terlalu simplistik. Meskipundemikian, ada satu pelajaran yang dapat dipetik, bahwameningkatnya harga komoditi ekspor tertentu telahberpotensi memberikan kemungkinan keuntungan yangbesar kepada petani secara tidak terduga.

Page 10: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

4D

ampak K

risis Ekonom

i Indonesia terhadap Petani K

ecil dan Tutupan Hutan A

lam di Luar Jaw

a

Bulan/tahun

Beras IR-36 Karet 1 Karet 2Minyak kelapa sawit (CPO) Lada putih Lada hitamKayu manis

Cokelat

Kopi

Indeks harga pangan (1996 = 100)

0

Jan-

97

Mar

-97

Apr-9

7M

ei-97

Jun-

97Ju

l-97

Agu-9

7Sep

-97

Okt-97

Nov-9

7Des

-97

Feb-9

7

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

Jan-

98

Mar

-98

Apr-9

8M

ei-98

Jun-

98Ju

l-98

Agu-9

8Sep

-98

Okt-98

Nov-9

8Des

-98

Feb-9

8

Jan-

99

Mar

-99

Apr-9

9M

ei-99

Jun-

98Ju

l-99

Agu-9

9Sep

-99

Feb-9

9

Gambar 1. Indeks harga komoditi ditinjau dari indeks harga konsumsi pangan, Januari 1997 – September 1999.

Page 11: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

5CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

Dari fakta di atas maka sangat jelas bahwa analisa yangmeyakinkan tentang bagaimana petani kecil menjalanikrisis ekonomi di Indonesia harus menyelidiki pulaperbedaan akses petani terhadap penghasilan darikomoditi ekspor. Oleh karena itu, dalam proyekpenelitian ini petani kecil diklasifikasikan ke dalam dua(2) kelompok besar: (1) petani dengan penghasilankomoditi ekspor tinggi atau high export commodityincome (selanjutnya disebut rumah tangga “ECI tinggi”),diartikan sebagai mereka yang penghasilan dari komoditiekspor pertaniannya besarnya setengah atau lebih daritotal penghasilan tunai rumah tangganya pada tahuntertentu; dan (2) petani dengan penghasilan komoditiekspor rendah atau low export commodity income(selanjutnya disebut rumah tangga “ECI rendah”),diartikan sebagai mereka yang penghasilan dari komoditiekspor pertaniannya kurang dari setengah dari totalpenghasilan tunai rumah tangga pada tahun tertentu.

Dua buah pertanyaan penelitian utama yang dikemukakanpada bagian pendahuluan sekarang di uraikan denganlebih luas lagi berdasarkan teori dan istilah yang barusaja dijelaskan. Khususnya:(1) Kesejahteraan. Apakah implikasi dari tinggi dan

rendahnya akses terhadap pendapatan dari komoditiekspor bagi kesejahteraan petani kecil di tengahmasa krisis? Apa upaya-upaya penyesuaiankehidupan selama krisis, dan bagaimanapenyesuaian ini berbeda menurut akses relatifterhadap penghasilan dari komoditi ekspor?Intervensi politik apa yang mungkin diperlukanuntuk membantu rumah tangga-rumah tanggatersebut menjaga kelangsungan tingkat pendapatanyang cukup dari sumber daya yang layak lingkungandi tengah masa krisis?

(2) Konsekuensi terhadap tutupan hutan. Apa pengaruhyang berbeda dari segmentasi antara rumah tanggadengan ECI tinggi dan ECI rendah terhadapkuantitas dan kualitas tutupan hutan alam?Khususnya, bagaimana meningkatnya penghasilanrumah tangga ECI tinggi dan stagnasi ataumenurunnya penghasilan rumah tangga ECI rendahmempengaruhi keputusan untuk membuka hutanseperti lamanya masa bera, luas dan lokasi hutanyang dibuka, teknologi yang digunakan, danpenilaian komparatif hutan yang digunakan untukkeperluan bukan pertanian?

Hipotesa menyangkut masalah kesejahteraan

Dua buah hipotesa telah diformulasikan tentangbagaimana krisis mempengaruhi kesejahteraan petanikecil di kawasan yang berhutan:(1) Berdasarkan kunjungan ke calon lokasi penelitian di

tahun 1998, dan pengamatan bahwa pada beberapakasus peningkatan biaya melebihi perolehan

pendapatan, maka disimpulkan bahwa krisismempunyai pengaruh negatif yang lebih besardibandingkan terhadap apa yang semula diperkirakan(Angelsen dan Resosudarmo 1999).

(2) Berdasarkan hasil temuan terbaru dampak krisisekonomi di Kamerun, kami membuat hipotesa bahwapada beberapa masyarakat hutan terdapat tingkatketergantungan yang lebih besar terhadap hasil hutanbukan kayu (HHBK) sebagai sumber penghasilanalternatif. Hal ini juga sejalan dengan tesis umumbahwa HHBK dapat berfungsi sebagai “jaringpengaman.” Namun demikian, “serbuan HHBK”dapat menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya secara berlebihan, dan karena itu hanyamungkin merupakan solusi jangka pendek.

Hipotesa terhadap masalah pembukaan hutan

Berkenaan dengan pertanyaan menyangkut pembukaanhutan, kami membuat hipotesa bahwa rumah tanggadengan ECI tinggi cenderung membuka lebih banyaklahan hutan selama krisis dibandingkan sebelum krisis,dan rumah tangga dengan ECI rendah memperlihatkanrespons yang sangat beragam, mulai dari meningkatnyakecepatan pembukaan, kecepatan pembukaan yang sama,dan menurunnya kecepatan pembukaan. Asumsi tersebutlebih dirinci lagi ke dalam empat hipotesa berikut ini:(1) Rumah tangga dengan ECI tinggi, yang kondisi

ekonominya lebih baik dan melalui keluarga yang“bermigrasi kembali” atau pulang kampung, melaluipengurangan pengalokasian tenaga kerja dariaktivitas yang kurang menguntungkan, dan/ataudengan memperkerjakan buruh, mampu untukmembuka lebih banyak lahan hutan dibandingkansebelumnya;

(2) Sebagian rumah tangga dengan ECI rendah kondisiekonominya lebih buruk dan membuka lebih banyaklahan hutan dibandingkan sebelumnya sebagaikompensasi meningkatnya biaya komoditi dasar;

(3) Sebagian rumah tangga dengan ECI rendah kondisiekonominya lebih buruk, lebih mengantungkan diripada HHBK, dan rata-rata membuka lahan hutandengan jumlah yang sama dengan sebelumnya;

(4) Sebagian rumah tangga dengan ECI rendah kondisiekonominya lebih buruk dan membuka lebih sedikitlahan hutan dibandingkan sebelumnya karenaanggota keluarganya sudah menjadi bagian daritenaga kerja pada rumah tangga dengan ECI tinggi.

Sebagai bagian dari pengujian terhadap ke empat hipotesatersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiapakah petani cenderung bereaksi terhadap hargakomoditi pertanian yang lebih tinggi (baik tanamanekspor maupun bukan ekspor) dengan jalan memperluaslahan garapannya, atau dengan cara meningkatkanintensitas produksinya melalui pengelolaan yang lebih

Page 12: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

6 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

baik atau dengan lebih banyak input, atau keduanya.Kami menduga bahwa hasil tersebut akan dipengaruhioleh kisaran reformasi politik, ekonomi dan faktoragronomis yang mencakup hal sebagai berikut:• Kemungkinan meningkatnya perambahan petani ke

dalam kawasan hutan lindung yang diakibatkan olehkurangnya pengawasan pemerintah dan menurunnyakapasitas penegakan hukum;

• Kemungkinan terjadinya penjarahan yang berkaitandengan krisis dan sengketa kepemilikan lahan (jikapenegakan hak kepemilikan menjadi masalah, petaniakan merasa malas untuk membuka lahan baru di hutanyang letaknya jauh dari rumah mereka);

• Sejauh mana petani mengharapkan kenaikan hargamenjadi permanen (jika kenaikan harga dilihat sebagaipermanen, maka akan diikuti oleh lebih banyakpembukaan lahan);

• Sejauh mana petani tergantung pada komoditi konsumsidan sejauh mana harga-harga ini telah meningkat(semakin tinggi kenaikan harga, maka ektensifikasi atauintensifikasi akan semakin tinggi pula);

• Lama waktu tanaman menjadi produktif (waktu yanglama untuk suatu tanaman menjadi produktif akanmemberi reaksi ekstensifikasi yang lebih kecil);8

• Tingkat intensitas tenaga kerja dan biaya transportasi(jika tinggi, petani tidak akan membuka lahan baru yangjauh dari rumahnya dimana tutupan hutan lebih lebat);

• Diantara rumah tangga yang mempunyai ECI tinggi,maka yang kaya ada dalam posisi yang lebih baikuntuk mengambil keuntungan dari terbukanyakesempatan, contohnya, dengan dimilikinya modalyang cukup untuk melakukan investasi danmemperkerjakan buruh.

3. Metode Penelitian

Bab ini menyajikan informasi mengenai metode yangdigunakan untuk meneliti dampak krisis terhadap petanikecil dan kondisi hutan alam yang ada di luar Jawa.Kelima bagian dari bab ini akan mengemukakan: (1)kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan; (2)sensus pendahuluan terhadap rumah tangga; (3) pemilihanresponden untuk survei, pertanyaan-pertanyaan yangdiajukan pada survei kuantitatif, dan pendekatan yangdigunakan dalam pengambilan data; (4) survei kualitatif,dan (5) survei tentang migrasi.

3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitianlapangan

Survei dengan sampel acak yang representatif dari rumahtangga petani kecil di kawasan hutan alam diputuskanmenjadi cara yang paling tepat untuk menjawab danmenguji pertanyaan-pertanyaan penelitian yang utamadan hipotesa-hipotesa.

Lima propinsi yang dipilih untuk penelitian adalah Riau/Jambi, 9 Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,dan Sulawesi Tengah. Propinsi-propinsi tersebut dipilihdengan mengacu pada tiga kriteria. Pertama, kamimenginginkan propinsi yang memiliki keragaman tipekomoditi/tanaman ekspor yang tinggi, dengan catatanbahwa produksi karet cenderung dominan di Sumatra danKalimantan Barat; Lampung banyak menghasilkan kopi;dan produksi cokelat terpusat di Sulawesi Tengah. Kedua,kami ingin mengikutsertakan aneka ragam kerapatan danumur tutupan hutan, mulai dari hutan tua dan relatifmelimpah di Kalimantan Timur dan Riau/Jambi, sampaipada hutan sekunder muda dan relatif jarang di Lampung.Ketiga, kami ingin menangkap sejumlah pengalamanyang berkaitan dengan masa musim kemarau dankebakaran hutan pada tahun 1997 – 98. Menyadari bahwapengaruh musim kering dan kebakaran akan bercampuraduk dengan pengaruh krisis ekonomi,10 kami berupayauntuk mengikutsertakan kawasan yang paling parahdilanda musim kering dan kebakaran (Lampung danKalimantan Timur), dan juga kawasan yang tidak terlaluparah atau sedikit sekali terpengaruh (Riau/Jambi)sehingga kita dapat mendapatkan pengetahuan melaluiperbedaan ini.

Penelitian lapangan dilaksanakan melalui survei dengansampel acak dari 1,050 rumah tangga — 210 rumahtangga di masing-masing ke lima propinsi. Dalam setiappropinsi, survei dilakukan terhadap 35 rumah tangga dimasing-masing ke enam desa. Kerangka sampel disajikanpada Tabel 1 dan lokasi desa pada setiap propinsi yangdikaji disajikan pada Gambar 2. Perlu ditekankan disinibahwa kami tidak dapat menyatakan bahwa tingkatpropinsi dapat terwakili disini. Di dalam teks kami akanmerujuk pada “propinsi kajian” untuk lebih menyingkat,tetapi hal ini tidak diartikan bahwa data kami secara penuhmewakili kondisi di ke lima propinsi tersebut.

6 35 2106 35 2106 35 2106 35 2106 35 210

Total 30 210 1.050

Propinsi Jumlah desa kajian

Jumlah rumah tangga

di setiapdesa

Jumlah rumah tangga

di setiappropinsi

Riau/JambiLampungKalimantan BaratKalimantan TimurSulawesi Tengah

Tabel 1. Kerangka sampel untuk propinsi, desa dan rumahtangga yang dikaji.

Catatan: Riau dan Jambi masing-masing dipilih 3 buah desa.

Kriteria untuk memilih desa yang dikaji dan evaluasikelebihan dan kelemahan dari kerangka sampel disajikanberturut-turut pada Lampiran 2 dan 3.

Page 13: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

7C

IFO

R O

ccasional Paper N

o. 28(I)W

illiam D

. Sunderlin, Ida A

ju Pradnja R

esosudarmo, E

dy Rianto dan A

rild Angelsen

Gambar 2 . Peta Indonesia yang menunjukkan lokasi propinsi dan desa yang dikaji.

Page 14: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

8 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

3.2 Sensus pendahuluan

Sensus pendahuluan terhadap seluruh rumah tangga diempat puluh desa (delapan di masing-masing propinsi)dilakukan pada bulan Februari – April 1999. Pada awalnyadelapan desa dipilih pada masing-masing propinsi sehinggadapat diseleksi enam yang terbaik untuk survei rumahtangga, dan dengan demikian dua desa pada masing-masingpropinsi dapat dijadikan cadangan jika pada suatu saat salahsatu dari enam desa yang terpilih tidak sesuai.

Sensus yang dilakukan mempunyai tiga tujuan. Pertama,sensus dijadikan sebagai alat untuk meyakinkan bahwakarakteristik sosial-ekonomi desa sesuai dengan kriteriaseleksi desa (lihat Lampiran 2) dan untuk memperkeciljumlah desa pada propinsi dari delapan desa menjadienam desa. Kedua, sensus memberikan informasiuniversal (pada satu tingkat desa dan tidak hanyaberdasarkan sampel) mengenai informasi kunci sepertimigrasi, jenis kegiatan pertanian, praktek pembukaanhutan, dan pemanfaatan sumber daya hutan. Ketiga,informasi sensus digunakan sebagai dasar untukmenstratifikasi seleksi acak responden survei rumahtangga. Informasi tambahan tentang stratifikasi datasensus untuk seleksi responden survei rumah tanggadisajikan pada Lampiran 4.

3.3 Survei terhadap responden, pertanyaanyang diajukan dan pendekatan

Survei rumah tangga secara kuantitatif diterapkan ataskepala rumah tangga dan pasangannya (pada kasus kepalarumah tangga dengan pasangan). Survei dilakukan daribulan Juni sampai dengan Agustus 1999.

Maksud dari survei rumah tangga ini adalah untukmengumpulkan informasi yang mendalam menyangkutberagam topik dari sampel yang berjumlah 35 rumahtangga di masing-masing tiga puluh desa yang dikaji.Diantara topik yang diselidiki adalah: (1) informasi dasartentang rumah tangga seperti pekerjaan dan kegiatan dariseluruh anggota rumah tangga; (2) persepsi perubahankesejahteraan dan sumber penghasilan selama tigaperiode rujukan dengan mengukur perubahan yang terjadi

selama tahun sebelum krisis dan dua tahun pertama masakrisis (lihat spesifikasi dibawah); (3) tingkat kehidupanyang diukur dengan melihat kondisi rumah, kepemilikanaset, perubahan praktek/cara menabung danketergantungan pada kredit, dan kepemilikan lahan; (4)perubahan praktek pertanian selama tiga tahun rujukan;(5) perubahan praktek pembukaan hutan selama tigatahun rujukan; dan (6) perubahan dalam mengumpulkandan memperoleh hasil hutan selama tiga tahun rujukan.Pendekatan survei amat tergantung pada kemampuanresponden untuk mengingat kembali informasi rumahtangga pada tiap-tiap periode dalam tiga perioda rujukan.Dengan cara ini, status rumah tangga sebelum dan selamakrisis dapat dibandingkan. Ketiga periode ini adalah:Periode 1 1 Juli 1996 sampai 30 Juni 1997, persis

masa satu tahun sebelum dimulainya krisisekonomi;

Periode 2 1 Juli 1997 sampai 30 Juni 1998, tahunpertama krisis ekonomi, dan juga jangkawaktu terjadinya dampak terburuk musimkering dan kebakaran hutan;

Periode 3 1 Juli 1998 sampai 30 Juni 1999, tahunkedua krisis ekonomi, dan masa dua belasbulan sebelum tanggal wawancara surveirumah tangga.

Dari sudut pandang metodologi, pembedaan Periode 1dari Periode 2 dan Periode 3 penting dilakukan untukmemahami status rumah tangga dan kegiatannya sebelumdan selama krisis. Tetapi pembedaan Periode 2 dariPeriode 3. juga sama pentingnya, mengingat banyakrumah tangga yang sangat terpengaruh oleh musim keringdan kebakaran pada Periode 2, dan dimana pengaruhnyajauh lebih sedikit pada Periode 3. Gambar 3menggambarkan ke tiga tahun rujukan dibandingkandengan tahun kalender sebelumnya.

3.4 Survei kualitatif

Wawancara kualitatif lanjutan dan setengah terstrukturdilaksanakan pada bulan September – Oktober 1999,setelah dilakukan survei rumah tangga secara kuantitatif.Wawancara dilakukan dengan 8 – 16 penduduk desa yangdianggap kompeten sebagai sumber informasi penting.

1996 1997 1998 1999Jan. Des. Jan. Des. Jan. Des. Jan. Des.

Periode 1

Juli 96 - Juni 97

Periode 2

Juli 97 - Juni 98

Periode 3

Juli 98 - Juni 99

Tahun sebelumkrisis mulai.

Tahun pertama krisis.Tahun kekeringan

dan kebakaran hutan.

Tahun kedua krisis.Masa 12 bulan

sebelum wawancara.

Gambar 3. Tahun yang digunakan sebagai rujukan dalam pendekatan mengingat kembali (recall approach).

Page 15: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

9CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

Maksud dari survei kualitatif adalah untuk memperolehpemahaman lebih dalam tentang informasi yang diperolehmelalui survei rumah tangga kuantitatif dan untukmelengkapi uji hipotesa.

3.5 Survei migrasi

Hipotesa menyangkut perubahan pembukaan hutan,seperti diterangkan di atas, mengasumsikan bahwaperubahan jumlah angkatan kerja rumah tangga, yangdisebabkan oleh migrasi sehubungan dengan krisis,mungkin dapat mempengaruhi praktek pembukaanhutan. Meskipun demikian topik ini tidak dapat ditelitimelalui survei rumah tangga kuantitatif ini karena,seperti disebutkan di atas, responden survei kuantitatifdibatasi pada mereka yang sudah tinggal di desa kajiansecara terus menerus sejak tahun pertama sebelumdimulainya masa krisis. Akibatnya, kelompok yangmelakukan migrasi ke desa kajian karena krisis tidakdilibatkan dalam survei rumah tangga kuantitatif. Olehsebab itu, kami mengadakan survei kecil pada seluruhkepala keluarga yang berdasarkan hasil sensus rumahtangga, melakukan migrasi ke desa kajian mulai sejakawal masa krisis pada pertengahan tahun 1997. Dalamsurvei ini diajukan pertanyaan tentang tempat asalsebelum migrasi, jenis pekerjaan di tempat asal, danalasan-alasan melakukan migrasi (baik alasan‘pendorong’ maupun alasan ‘penarik’).

4. Hasil Temuan

Temuan penelitian dikemukakan dalam lima bagian yangterdiri dari: (1) informasi umum mengenai karakteristikrumah tangga yang dikaji; (2) dampak krisis terhadapkesejahteraan ekonomi petani kecil; (3) dampak krisisterhadap praktek pembukaan hutan; (4) ringkasan dari hasiltemuan utama; dan (5) pertanyaan yang belum terpecahkan.

4.1 Karakteristik rumah tangga yang dikaji

Informasi tentang komoditi yang dihasilkan dan tingkatketergantungan rumah tangga yang dikaji terhadapkomoditi ekspor disajikan terlebih dahulu sebagai latarbelakang dari hasil temuan yang didiskusikan pada bagianselanjutnya.

Secara menyolok, komoditi utama yang diukur sebagaisumber pendapatan tunai terbesar penghasil tanamandalam rumah tangga pada Periode 3 adalah karet, denganjumlah 276 (32%) dari 870 rumah tangga berdasarkandata yang tersedia (Gambar 4). Di tempat kedua danketiga berturut-turut yaitu kopi (161 rumah tangga, 19%)dan cokelat (139 rumah tangga, 16%). Ketiga komoditiekspor ini mencakup 66% dari total, dan seluruh jeniskomoditi ekspor (termasuk ketiganya dan lada, kelapasawit dan kayu manis) yang terdiri dari 683 rumah tanggaatau 79% dari total.

34

146

10

16

20

20

20

25

29

35

56

63

161

276

0 50 100 150 200 250 300

139

Seluruh propinsi : Riau/Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah

Tidak tahu

Tidak berlaku

Kacang tanah

Kayu manis

Kelapa

Lain-lain

Cabe

Padi sawah

Jagung

Kelapa sawit

Lada

Tanaman pangan lain

Cokelat

Kopi

Karet

Jumlah rumah tangga

Gambar 4. Rumah tangga kajian berdasarkan tanaman utama yang dihasilkanpada tahun 1998-99, untuk semua propinsi.

Page 16: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

10 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

Lampung

19

1

3

6

6

11

14

14

15

18

103

0 20 40 60 80 100 120

Tidak berlaku

Kacang tanah

Cabe

Padi sawah

Jagung

Lain-lain

Kelapa

Tanaman pangan lain

Lada

Cokelat

Kopi

Jumlah rumah tangga

67

1

1

3

12

126

0 50 100 150

Kalimantan Barat

Tidak berlaku

Kelapa

Tanaman pangan lain

Cabe

Lada

Karet

Jumlah rumah tangga

30

8

1

2

2

2

5

6

29

35

42

0 10 20 30 40 50 60

48

Kalimantan Timur

Tidak tahu

Tidak berlaku

Karet

Kelapa

Lain-lain

Cabe

Tanaman pangan lain

Kacang tanah

Lada

Kelapa sawit

Kopi

Cokelat

Jumlah rumah tangga

4

28

3

3

2

11

19

23

44

73

0 20 40 60 80

Sulawesi Tengah

Tidak tahu

Tidak berlaku

Kacang tanah

Kelapa

Lain-lain

Kopi

Padi sawah

Jagung

Tanaman pangan lain

Cokelat

Jumlah rumah tangga

24

1

3

5

12

16

149

0 50 100 150 200

Riau dan Jambi

Tidak berlaku

Tanaman pangan lain

Lain-lain

Kopi

Cabe

Kayu manis

Karet

Jumlah rumah tangga

Gambar 5. Rumah tangga kajian berdasarkan tanaman utama yang dihasilkan pada tahun 1998-99 dan berdasarkanpropinsi kajian.

Propinsi-propinsi secara jelas dibedakan oleh jeniskomoditinya. Rumah tangga kajian di Riau/Jambi danKalimantan Barat didominasi oleh produksi karet, dankaret tidak ditemukan di ketiga propinsi lainnya. Rumahtangga kajian di Lampung didominasi oleh produksi kopi.Gambaran yang membedakan pada rumah tangga kajiandi daerah Kalimantan Timur adalah distribusi yang relatifsama diantara empat komiditi utama: cokelat, kopi, kelapasawit, dan lada. Cokelat merupakan tanaman penghasilutama pada rumah tangga kajian di Sulawesi Tengah,tetapi berbagai tanaman pangan lainnya juga diproduksidisini (Gambar 5).

Rumah tangga yang dikaji digolongkan berdasarkan proporsipenghasilan tunai kotor pada Periode 3 yang berasal darikomoditi ekspor pertanian. Gambar 6 menunjukkan bahwapropinsi yang dikaji dibedakan secara jelas oleh tingkatketergantungannya terhadap komoditi ekspor. KalimantanTimur mempunyai tingkat ketergantungan yang tertinggidengan 71% dari rumah tangga kajian memperoleh lebihdari separuh penghasilannya dari komoditi ekspor. Riau/Jambi berada di tempat kedua dengan 57%, KalimantanBarat ketiga dengan 35,9%, Lampung keempat dengan35,7%, dan Sulawesi Tengah berada di tempat terakhirdengan 27,4% (Gambar 6).

Page 17: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

11CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

23,514,4

22,436,8

31,9

28,7

41,931,1

19,9

35,8

30,547,4

23,8 24,9

35,5

21,2

14,1 9,6 11,9

35,5

6,2

9,0

33,0

11,0

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Riau/Jambi

Lampung KalimantanBarat

KalimantanTimur

SulawesiTengah

0%

> 0% dan < 50%≥ 50% dan < 100%

100%

% d

ari r

umah

tang

ga

Semuapropinsi

Gambar 6. Tingkat ketergantungan rumah tangga terhadap pendapatan dari komoditi yang diekspor padatahun 1998-99.

4.2 Dampak terhadap kesejahteraan petanikecil

Temuan umum menyangkut kesejahteraan

Responden yang disurvei diminta untuk menilaikesejahteraan rumah tangga mereka pada tahun keduakrisis (Periode 3, 1998-99) dibandingkan dengan tahunsebelum krisis (Periode 1, 1996-97). Ada empat pilihanjawaban yang disediakan: “lebih baik”, “sama”, “lebihburuk”, dan “tidak tahu”. Enam ratus lima puluh sembilanresponden (63%) menyatakan lebih buruk; 188 (18%)mengalami situasi yang sama; 199 (19%) mengatakanbahwa mereka merasa lebih baik; dan 4 (0%) tidak tahu(Gambar 7). Dengan demikian temuan pertama danpaling utama adalah bahwa hampir dua dari setiap tigarumah tangga petani merasa kehidupan mereka lebih

19%

63%

18%

0%Lebih mudah/

lebih baik

Lebih sulit

Sama saja

Tidak tahu

Gambar 7. Pandangan responden tentang status merekapada periode 3 (1998-1999) dibandingkandengan periode 1 (1996-1997).

buruk selama krisis dibanding sebelum krisis. Kenyataanini berbeda nyata dengan anggapan umum bahwakehidupan petani selama masa krisis baik-baik saja, danhal ini sejalan dengan observasi yang kami lakukanselama kunjungan persiapan lapangan (Angelsen danResosudarmo 1999).

Hasil temuan berbeda secara jelas oleh propinsi yangdikaji. Kalimantan Timur dan Lampung merupakanpropinsi kajian dimana kebanyakan rumah tanggaterhindar dari akibat yang buruk. Keadaan KalimantanTimur paling baik dengan 59% dari rumah tangganyamenyatakan merasa keadaannya lebih baik atau sama;Lampung menduduki tempat kedua dengan 51%;Kalimantan Barat berada di tempat ketiga dengan 30%;Sulawesi Tengah yang keempat dengan 27%; dan terakhirRiau/Jambi dengan 18% (Gambar 8).

Temuan ini mengejutkan dalam tiga hal. Pertama,keadaan Kalimantan Timur paling baik diantara ke limapropinsi diukur dari bagaimana responden menilai kondisikesejahteraan rumah tangganya, sedangkan padakenyataannya propinsi ini di Indonesia terkenal sebagaidaerah yang paling parah dilanda oleh musim kemaraudan kebakaran di tahun 1997-98 (lihat diskusi di bawah).Kedua, keadaan Lampung kelihatannya baik, dan keadaanRiau/Jambi cukup buruk, sementara kajian yangdilakukan Badan Pusat Statistik (BPS 1999:17)mendapatkan hasil yang berlawanan.11 Meskipundemikian perlu dicatat bahwa hasil yang dikemukakanoleh BPS hanya berdasarkan pengamatan pada tahunpertama krisis sedangkan hasil penelitian ini didasarkanpada tahun kedua. Selain itu, populasi sampel berbedaantara 2 studi ini. Ketiga, memang agak mengejutkan

Page 18: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

12 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

bahwa keadaan petani di Sulawesi Tengah dinyatakanburuk karena reputasinya menurut media massa yangmenyatakan bahwa daerah ini baik-baik saja di tengahkrisis, sebagian besar disebabkan oleh adanya anggapanbesarnya keuntungan yang diperoleh dari produksicokelat.

Hubungan antara kesejahteraan denganpenghasilan ekspor dan komoditi tertentu

Pendapatan kotor rumah tangga diukur untuk ke tigaperiode penelitian. Pada Tabel 2, data ini diklasifikasisilang dengan variabel binary yang menunjukkan tingkatpendapatan dari komoditi ekspor (ECI). Kelompokdengan ECI “tinggi” memperoleh setengah atau lebihpendapatannya dari sumber ini pada perioda tertentusesuai dengan yang tertera di Tabel, sedangkan kelompokECI “rendah” mendapat kurang dari setengahpendapatannya dari sumber ini. Hasil studi menunjukkanbahwa pada tahun sebelum krisis (Periode 1), rumah

73%

41%

70%

49%

82%

10%

33%

7%

27%

13%17%

26%23%24%

5%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Riau/Jambi

Lampung KalimantanBarat

KalimantanTimur

SulawesiTengah

Lebih mudah/lebih baik

% d

ari r

umah

tang

ga y

ang

dite

liti

Lebih sulit Sama saja

Gambar 8. Klasifikasi rumah tangga kajian berdasarkan pengalaman krisis danpropinsi kajian.

a = diasumsikan ragam sama

≥ 50% 457 (45,8%) 2.450.5971996-97(prakrisis) < 50% 540 (54,2%) 3.607.403

0,000 0,000

≥ 50% 493 (50,8%) 5.863.7041997-98(krisis) < 50% 478 (49,2%) 5.457.814

0,226 0,556

≥ 50% 442 (44,8%) 6.068.9261998-99(krisis) < 50% 545 (55,2%) 5.161.072

0,000 0,107

Periode waktu

ProporsipendapatanECI dari total

Jumlah rumah tangga

dan persentasi dari total

Total pendapatan

rata-rata rumah tangga (Rp.)

Significance (uji kesamaan

ragam)a

Significance (uji kesamaan nilai

tengah/mean dua arah)a

Tabel 2. Uji nilai tengah (independent means test) dari estimasi pendapatan total yang dibedakan berdasarkanECI tinggi dan ECI rendah/tanpa ECI, sebelum krisis dan selama krisis.

tangga dengan ECI rendah memperoleh pendapatan kotorsekitar 50% lebih tinggi dibandingkan rumah tanggadengan ECI tinggi, dan perbedaanya nyata/signifikansecara statistik. Di tahun pertama krisis (Periode 2),pendapatan kotor tumbuh cepat pada kedua kategoritersebut. Penghasilan rumah tangga ECI tinggimengungguli rumah tangga ECI rendah tetapi tidak padatingkat yang nyata secara statistik. Pada tahun keduakrisis (Periode 3), pendapatan kotor rumah tangga denganECI tinggi terus agak meningkat sementara pada rumahtangga ECI rendah, menurun. Perbedaan antarapendapatan kelompok ECI tinggi dan rendah lebih besarketimbang pada Periode 2 (tetapi tetap tidak pada tingkatyang nyata secara statistik).

Data tentang pandangan responden yang disurveimengenai kesejahteraan mereka (lihat Gambar 7)diklasifikasi silang menurut tingkat pendapatan darikomoditi ekspor pada Periode 3 dengan variabel empattingkat. Hasil yang diberikan pada Tabel 3 menunjukkanhubungan yang kuat antara tingkat pendapatan dari

Page 19: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

13CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

komoditi ekspor dan anggapan tingkat kesejahteraan yangdirasakan responden. Diantara mereka yang memperolehseluruh pendapatannya dari komoditi ekspor, 33 % merasakehidupannya lebih baik selama tahun kedua krisis dan46% merasa lebih buruk/sulit. Sebaliknya, diantaramereka yang tidak memperoleh pendapatan apapun darikomoditi ekspor, hanya 13% yang menyatakan merasakehidupannya lebih baik/mudah dan 71% menyatakanmerasa kehidupannya lebih buruk/sulit.

Rumah tangga kajian digolongkan berdasarkan komoditiutama yang diperdagangkan pada Periode 3 dan persepsimereka terhadap kesejahteraan rumah tangga padaPeriode 3 dibandingkan dengan Periode 1. Gambar 9menunjukkan hasil dengan urutan peringkat tanaman darikiri ke kanan yaitu dari yang paling berhasil sampaidengan yang paling sedikit berhasil. Yang paling berhasiladalah lada, dengan hampir tiga per empat dari kelompokyang tergantung pada tanaman ini mengalami perbaikankesejahteraan rumah tangganya di tengah krisis. Yangpaling buruk adalah cabe, dengan kira-kira 5% mengalamiperbaikan kesejahteraan. Dapat dicatat bahwa jumlahprodusen pada tiap-tiap kategori komoditi mempunyaiimplikasi yang penting. Kenyataan bahwa produsen karetmengalami akibat yang buruk sangat penting karenamewakili sekitar sepertiga dari rumah tangga yang dikaji.Sebaliknya, penampilan yang baik dari kelapa relatif tidaknyata karena jumlah produsen diantara rumah tanggakajian sangat kecil (20 atau sekitar 2% dari total).

Dapat dicatat bahwa kemampuan komoditi tertentu untukmembantu kesejahteraan rumah tangga pada umumnyaberhubungan dengan pergerakan harga komoditi tersebutseperti yang disajikan pada Gambar 1. Contohnya, ladaberada pada peringkat tertinggi pada Gambar 9 danmerupakan komoditi yang menunjukkan peningkatanharga keseluruhan tertinggi selama periode bulan Januari1997 sampai September 1999 (Gambar 1). Sebaliknya,karet berada pada peringkat terendah dari komodoti padaGambar 9 dalam hal sumbangannya terhadapkesejahteraan rumah tangga dan, bersamaan dengan itu,harganya secara keseluruhan mengalami penurunan padamasa bulan Januari 1997 sampai September 1999

8

10 6

8614 83

51 21212

14 18

6

128

432

348

5 30

1 1

42

136

31

8

2114

3 341 1

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Lada

Kel

apa

saw

it

Kel

apa

Kop

i

Pad

i saw

ah

Cok

elat

Tana

man

pan

gan

lain

Jagu

ng

Kar

et

Kay

u m

anis

Cab

e

% d

ari r

umah

tang

ga y

ang

men

ghas

ilkan

tana

man

per

tani

an

Lebih mudah/lebih baik

Lebih sulit

Sama saja

Gambar 9. Klasifikasi rumah tangga kajian berdasarkan persepsi rumah tangga atas pengalamanselama krisis dan tanaman sumber pendapatan utama pada tahun 1998-99.

Tabel 3. Persepsi kehidupan/kesejahteraan rumah tanggaselama tahun 1998-99 dibandingkan dengantahun 1996-97, berdasarkan pendapatan yangdiperoleh dari komoditi ekspor tahun 1998-99.

Samasaja

Total

100% 64(46,4%)

29(21%)

45 (32,6%)

138(100%)

≥ 50% dan <100% 192(63,8%)

53(17,6%)

56(18,5%)

301(100%)

> 0% dan < 50% 201(64,4%)

50(16,0%)

61(19,6%)

312(100%)

0% 165(71,1%)

36(15,5%)

31(13,4%)

232(100%)

Total 622(63,3%)

168(17,1%)

193(19,6%)

983(100%)

Persepsi kehidupan/kesejahteraan rumah tangga selama tahun 1998-99 dibandingkan dengan tahun 1996-97

Tingkat pendapatan dari ECI

Lebih sulit/buruk

Lebih mudah/baik

Total kolom kedua, ketiga dan keempat lebih rendah nilainyadibandingkan dengan tingkat kesejahteraan yang dijelaskan padapada halaman 11, 14 dan 15 karena variabel-variabel ini diklasifikasisilang dengan variabel ECI.

Page 20: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

14 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

(Gambar 1). Cokelat merupakan kasus pertengahan yangpenting dan dapat dijadikan pelajaran. Seperti halnya lada,cokelat mengalami pertumbuhan harga yang spektakulardari pertengahan 1997 sampai 1998 (Gambar 1). Lalumengapa petani cokelat cenderung merasa kondisinyalebih buruk pada tahun kedua masa krisis (1998-99)dibandingkan dengan tahun sebelum krisis? (Gambar 9).Alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa turunnyaharga cokelat pada tahun 1998-99 jauh lebih tajamdibandingkan dengan lada, bahkan berada dibawah indeksharga pangan pada pertengahan tahun 1999 (Gambar 1).

Hubungan antara krisis dengan musim kemaraudan kebakaran tahun 1997-98

Responden survei diminta untuk menjawab pertanyaanapakah musim kemarau dan kebakaran yangmemporakporandakan sebagian besar kawasan diIndonesia dari pertengahan 1997 sampai pertengahan1998 berpengaruh pada kondisi rumah tangga mereka.Jawabannya, dibagi berdasarkan propinsi yang dikaji,menunjukkan respons yang sangat beragam. KalimantanTimur merupakan kawasan yang paling parah dilandabencana tersebut, dimana 100% dari rumah tangga kajianmelaporkan adanya pengaruh musim kemarau dankebakaran. Sekitar tiga per empat rumah tangga kajiandi Lampung dan Sulawesi Tengah, dan setengah darirumah tangga di Kalimantan Barat mengatakan bahwamereka merasakan adanya pengaruh musim kemarau dankebakaran. Daerah yang paling sedikit dilanda bencanatersebut adalah Riau/Jambi dengan hanya sepertiga darirumah tangga mengatakan adanya pengaruh musimkemarau dan kebakaran (Tabel 4).

Sejumlah 371 responden (35%) yang mengalamipengaruh negatif dari keduanya, baik krisis ekonomimaupun musim kering/kebakaran diminta untuk menilaimana dari ke dua fenomena tersebut yang berpengaruhlebih buruk terhadap rumah tangga mereka. Hasilnyamembenarkan asumsi bahwa untuk mencoba mengetahuipengaruh krisis ekonomi maka sangat penting untukmembedakan kedua fenomena tersebut. Pada tingkatkeseluruhan, 41,5% mengatakan bahwa pengaruh krisisekonomi lebih buruk, 30,5% mengatakan pengaruhkemarau dan kebakaran lebih buruk, dan 28%mengatakan bahwa keduanya sama. Ada perbedaan yangsangat besar diantara propinsi yang dikaji yaitu pada satuekstrim dengan 79,7% dari responden di KalimantanBarat mengatakan bahwa pengaruh krisis ekonomi lebihburuk, dan pada ekstrem lainnya, hanya 6,4% dariresponden di Kalimantan Timur mengatakan bahwapengaruh krisis ekonomi lebih buruk (Tabel 5).

Propinsi

Ya Tidak

Total

Riau/Jambi 73(34,8%)

137(65,2%)

210(100%)

Lampung 149(77,2%)

44(22,8%)

193(100%)

Kalimantan Barat 95(45,2%)

115(54,8%)

210(100%)

Kalimantan Timur 210(100,0%)

0(0%)

210(100%)

Sulawesi Tengah 150(71,8%)

59(28,2%)

209(100%)

Total 677(65,6%)

355(34,4%)

1.032(100%)

Apakah ada pengaruh dari kekeringan dan/kebakaran

hutan pada periode 1997-1998 yangterasa di rumah tangga ini?

Tabel 4. Persepsi responden tentang pengaruh kekeringandan kebakaran hutan pada tahun 1997-98,berdasarkan propinsi kajian.

Tabel 5. Persepsi responden menyangkut pengaruh manayang lebih buruk, krisis ekonomi atau kekeringandan kebakaran hutan, berdasarkan propinsi kajian.

Propinsi Total

Riau/Jambi 36(57,1%)

17(27,0%)

10(15,9%)

63(100%)

Lampung 14(24,6%)

17(29,8%)

26(45,6%)

57(100%)

Kalimantan Barat 51(79,7%)

10(15,6%)

3(4,7%)

64(100%)

Kalimantan Timur 5(6,4%)

34(43,6%)

39(50,0%)

78(100%)

Sulawesi Tengah 48(44,0%)

26(23,9%)

35(32,1%)

109(100%)

Total 154(41,5%)

104(28,0%)

113(30,5%)

371(100%)

Yang mana yang berakibat lebih buruk terhadap kesejahteraan rumah tangga ini: Krisis moneter ataukekeringan/kebakaran hutan 1997-98?

Krisis ekonomi

Keduanya sama saja

Kekeringan dan Kebakaran

hutan

Penyesuaian kehidupan petani terhadap pengaruhkrisis secara umum

Sejumlah 659 responden (63% dari total responden) yangmengatakan bahwa mereka merasa kehidupannya lebihburuk/sulit pada Periode 3 ketimbang Periode 1 dimintauntuk menjawab bagaimana respons/reaksi merekaterhadap kesulitan yang disebabkan oleh krisis. Kepadamereka dibacakan daftar kemungkinan respons terhadapkrisis dan diminta untuk menyatakan apakah merekamenerapkan respons tersebut pada situasi mereka atautidak. (Diasumsikan bahwa rumah tangga melakukan

Page 21: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

15CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

penyesuaian terhadap krisis dalam berbagai cara,sehingga diharapkan adanya beberapa jawaban yangsesuai dari rumah tangga tertentu yang diwawancarai).Mereka juga diminta untuk menyatakan cara mengatasikesulitan yang tidak termasuk dalam daftar. Responsyang diberikan disarikan pada Gambar 10. Kebanyakanresponden (lebih dari setengah) melakukan penyesuaianterhadap pengaruh negatif dengan jalan bekerja lebihkeras atau bekerja lebih lama. Sekitar sepertiga dariresponden melakukan penyesuaian terhadap krisis dengancara mengurangi pengeluaran rumah tangga, dengan caramenemukan sumber pendapatan tambahan atau baru, ataudengan cara memperluas lahan yang diolah. Sekitarseperempat dari rumah tangga melakukan penyesuaiandengan cara menanam satu atau lebih jenis tanamantambahan, atau dengan cara bergantung pada jumlahtabungan/simpanan atau pada beberapa kasus mengurastabungan yang dimiliki. Jawaban dipilah berdasarkantinggi dan rendahnya ketergantungan terhadappendapatan dari komoditi ekspor pada Periode 3. Rumahtangga dengan ECI rendah memberikan rata-rata respons

yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga ECItinggi di seluruh kategori respons.

Sejumlah 199 responden (19% dari total) yangmengatakan bahwa kehidupan mereka lebih baik/mudahpada Periode 3 ketimbang Periode 1 diminta menjawabbagaimana mereka menggunakan kelebihan daripendapatannya. Kepada mereka dibacakan daftarkemungkinan pemanfaatan penghasilan ekstra dandiminta untuk mengatakan apakah mereka menerapkanrespons tersebut terhadap situasi yang mereka alami atautidak. (Sama dengan pertanyaan tentang penyesuaianterhadap adanya kesulitan, maka diharapkan adanya lebihdari satu jawaban pada sejumlah rumah tangga tertentu).Mereka juga diminta untuk mengatakan cara yang merekagunakan dalam memanfaatkan pendapatan tambahanyang tidak terdapat dalam daftar. Respons yang diberikandisarikan pada Gambar 11. Lebih dari setengah darirumah tangga tersebut mampu meningkatkantabungannya/simpanannya atau mulai menabung jikamereka belum mempunyai simpanan sebelumnya.

0 10 20 30 40 50 60 70

Cara penyesuaian rumah tangga yang merasa kehidupannya lebih sulit mengatasi krisis

Mengganti tanaman utama

Mencari sumber pencaharian ditempat lain

Cara lain

Mengandalkan uang tabungan

Menambah jenis tanaman lain

Memperluas lahan garapan

Berusaha mencari sumber pencaharian lain

Menekan/mengurangi pengeluaran tertentu

Bekerja lebih keras/lebih lama

% dari responden dalam setiap kategori

ECI tinggiECI rendah

Gambar 10. Apa yang dilakukan rumah tangga kelompok “lebih buruk/sulit” dalam mengatasi krisis?

0 10 20 30 40 50 60

ECI tinggi

ECI rendah

Penggunaan kelebihan pendapatan oleh rumah tangga yang merasa kehidupannya lebih baik selama krisis

Membeli tanah/lahan baru

Lebih banyak waktu luang

Lain-lain

Membeli makanan yang lebih baik

Membangun rumah

Menabung

Membeli barang

Persentase responden

Gambar 11. Apa yang dilakukan oleh rumah tangga kelompok “lebih mudah” dengan pendapatantambahan yang diperoleh selama krisis?

Page 22: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

16 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

Sekitar kurang dari setengah mampu untuk meningkatkanpembelian barang-barang rumah tangga, sekitar sepertigamampu membangun rumah atau memperbaiki rumahnya.Sekitar seperenam dari responden sanggup membelilahan, membeli pangan berkualitas lebih tinggi, danmeningkatkan waktu luangnya. Hal menarik adalah,pembagian respons berdasarkan rumah tangga ECI tinggidan ECI rendah pada Periode 3, menunjukkan bahwarumah tangga ECI rendah cenderung memberi rata-ratarespons yang lebih besar ketimbang rumah tangga ECItinggi. Satu perkecualian yaitu bahwa rumah tangga ECItinggi memiliki kecenderungan lebih besar untukmeningkatkan simpanannya.

Penyesuaian dalam bentuk simpanan dan bantuanpemerintah

Secara keseluruhan, terdapat hubungan yang sangat kuatantara persepsi responden tentang kesejahterannya selamakrisis dan kemampuan mereka untuk menabung.Sejumlah 508 rumah tangga yang mampu menyimpanuang/menabung pada waktu tertentu di sepanjang sejarahrumah tangga mereka ditanyai apakah mereka bisamenyimpan lebih banyak uang pada saat wawancaradilakukan dibandingkan dengan yang mereka perolehselama tahun sebelum dimulainya krisis. Sebagian besar(89,5%) dari mereka yang merasa kehidupannya lebihburuk/sulit menyatakan bahwa selama krisis mereka tidakdapat menabung sebanyak sebelumnya. Sebagian besar(74,8%) dari mereka yang mengaku merasa lebih baikmengatakan bahwa mereka sanggup menyimpan lebihbanyak uang selama krisis (Tabel 6).

Memanfaatkan bantuan pemerintah kemungkinan adalahsatu upaya penting untuk mengatasi krisis. Beberapaindikasi menunjukkan bahwa bantuan pemerintah(bantuan ini meliputi pinjaman di bidang pertanian dansubsidi padi, pupuk, dan insektisida) ditujukan untuk

mereka yang benar-benar membutuhkannya. Tabel 7menunjukkan kelompok yang merasa kondisinya “lebihburuk” selama krisis menduduki peringkat tertinggidalam penerimaan bantuan pemerintah (70,3%), diikutioleh kelompok “sama” (59,6%) dan yang terakhir merekayang merasa kondisinya “lebih baik” (56,8%). Perbedaantersebut nyata pada tingkat 0,05 dengan membuatperbandingan chi-square antara kelompok yang “lebihburuk” dengan kelompok “lebih baik”, dan antarakelompok “lebih buruk” dengan kelompok “sama”. Patutdipertanyakan mengapa kelompok yang merasa lebih baikatau kelompok yang tidak merasakan perubahan statusmendapatkan bantuan dari pemerintah. Namun demikianada kemungkinan bahwa itu bukan berarti terjadikesalahan dalam pengalokasian sumber daya pemerintah.Ada kemungkinan bahwa tersedianya bantuan pemerintahdapat mengurangi akibat buruk krisis pada beberaparumah tangga, sehingga mereka dapat berubah status darikelompok “lebih buruk” ke kelompok “sama” ataubahkan menjadi kelompok “lebih baik.”

Tabel 6. Hubungan antara pengalaman selama krisis dankemampuan untuk menabung/menyimpan.

Bisa Sama saja Tidak bisa

Total

Lebih sulit 21(6,9%)

11(3,6%)

274(89,5%)

306(100%)

Sama saja 12(19,0%)

8(12,7%)

43(68,3%)

63(100%)

Lebih mudah 104(74,8%)

11(7,9%)

24(17,3%)

139(100%)

Total 137(27,0%)

30(5,9%)

341(67,1%)

508(100%)

Apakah rumah tangga ini dapat menyisihkan uang untuk ditabung

dalam jumlah yang lebih besarpada masa waktu satu tahun terakhir

ini, jika dibandingkan masa waktu satu tahun sebelum krisis dimulai?

Persepsi responden tentang kehidupan rumah tangga tahun 1998-99 diban-dingkan dengantahun 1996-97

Tabel 7. Hubungan antara pengalaman selama krisisdengan perolehan bantuan pemerintah selamakrisis.

Ya Tidak

Total

Lebih sulit 463(70,3%)

196(29,7%)

659(100,0%)

Sama saja 112(59,6%)

76(40,4%)

188(100,0%)

Lebih mudah 113(56,8%)

86(43,2%)

199(100,0%)

Total 688(65,5%)

358(34,5%)

1.046(100,0%)

Perbandingan chi-square

Exactsignificance

(2 arah)

Exact significance

(1 arah)

Lebih sulit: Lebih mudah 0,001 0,000

Lebih sulit: Sama saja 0,008 0,004

Lebih mudah: Sama saja 0,607 0,325

Apakah responden memperoleh bantuan pemerintah selama krisis?

Pengalaman di masa krisis

Para responden diminta untuk menyebutkan jumlah dannilai bantuan pemerintah yang mereka peroleh padaPeriode 1, 2, dan 3. Tabel 8 berisi ringkasan data mengenainilai bantuan pemerintah yang telah diterima yangdikelompokkan berdasarkan kelompok yang merasakehidupannya lebih baik/lebih mudah dan yang merasakehidupannya lebih buruk/lebih sulit pada Periode 3, danberdasarkan rumah tangga dengan ECI tinggi dan rendahpada Periode 3. Kelompok yang merasa kehidupannyalebih baik menerima bantuan pemerintah sedikit lebihbanyak dibanding kelompok yang merasa kehidupannyalebih buruk, meskipun perbedaannya tidak nyata. Rumah

Page 23: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

17CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

tangga dengan tingkat ECI-tinggi menerima bantuanyang 50% lebih banyak daripada rumah tangga denganECI-rendah dan perbedaannya nyata. Untuk dua alasan,tidak sepantasnya menyimpulkan bahwa hal inimerupakan bantuan pemerintah yang salah penempatan(walaupun hal itu mungkin saja terjadi). Pertama, sepertiyang telah disebutkan di atas, ada kemungkinan bahwabantuan pemerintah dapat mengurangi dampak pengaruhburuk krisis; disamping juga membantu mengubah statussebagian rumah tangga ke ECI-tinggi. Kedua, rumahtangga dengan ECI-tinggi cenderung memiliki tingkatpendapatan lebih rendah pada masa sebelum krisis,sehingga perbaikan status belum tentu merupakan suatuhasil yang tidak diinginkan.

Jumlah rumah tangga yang memperoleh pendapatan tunaidari sumber daya hutan meningkat dari 245 (23,3% darikeseluruhan) pada Periode 1, menjadi 263 (25,0%) padaPeriode 2, dan 345 (32,9%) pada Periode 3 (Gambar 12).Namun ada variasi yang cukup besar diantara propinsikajian pada jumlah rumah tangga yang memperolehpendapatan tunai dari hutan (Gambar 13). Penggunaansumber daya hutan mengalami peningkatan pada masakrisis di seluruh propinsi kecuali Kalimantan Timur (adalaporan yang menunjukkan kerusakan hutan diKalimantan Timur akibat musim kemarau dan kebakaranhutan pada Periode 2). Secara relatif, penggunaan sumberdaya hutan meningkat tajam di Riau/Jambi, diikuti olehKalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Lampung. Patutdiperhatikan bahwa hal ini sedikit banyaknya paraleldengan peringkat urutan kesejahteraan di propinsi kajian(Gambar 8). Rumah tangga kajian di Riau/Jambimengalami masa yang paling sulit saat krisis, diikuti olehSulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Lampung, danKalimantan Timur.

Rata-rata(Rp.)

N Signifikan(uji kesamaan

ragam)

Signifikanuji kesamaannilai tengah/

mean dua arah

207.050,4 113

205.190,1 4540,705 0,966

267.789,9 272

160.117,1 3950,000 0,001

Kategori perbandingan

Persepsi kelompok yang merasalebih mudah pada tahun 1998-99dibandingkan tahun 1996-97

Persepsi kelompok yang merasa lebih sulit pada tahun 1998-99dibandingkan tahun 1996-97

Lebih dari 50% pendapatan rumah tangga berasal dari ECI

Kurang dari 50% pendapatan rumah tangga berasal dari ECI

Tabel 8. Uji nilai tengah (independent means test)pembandingan tingkat bantuan pemerintah yangditerima oleh kelompok yang merasakehidupannya lebih mudah dan lebih sulit selamamasa krisis, dan kelompok dengan ECI tinggi danECI rendah/tidak ada ECI.

Penyesuaian melalui peningkatan ketergantunganterhadap sumberdaya hutan

Penelitian kualitatif dan kuantitatif menegaskan bahwabanyak rumah tangga menyesuaikan diri terhadappengaruh krisis yang merugikan, sebagian dengan carameningkatkan ketergantungannya terhadap sumber dayahutan (pada tulisan ini “sumber daya hutan” mempunyaiarti luas yaitu kayu dan bukan kayu). Temuan cenderunguntuk menegaskan hipotesa kedua yang berhubungandengan kesejahteraan, yang menyatakan adanyaketergantungan yang makin besar pada hasil hutan nonkayu, sebagai dampak dari krisis.

245 263345

805 787

705

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Periode 1 Periode 2 Periode 3

Tidak punya pendapatan uangMempunyai pendapatan uang

% d

ari s

elur

uh r

umah

tang

ga y

ang

dika

ji

Gambar 12. Jumlah rumah tangga kajian yangmemperoleh pendapatan uang/tunai darisumberdaya hutan, perbandingan dari periode1, 2 dan 3.

Kayu dan rotan merupakan sumber daya hutan yangterpenting bagi perolehan pendapatan rumah tanggadiukur dari jumlah rumah tangga yang memanfaatkansumber daya ini dan diukur dari pertumbuhanpenggunaannya selama krisis (Gambar 14). Sangat jelasterlihat dari penelitian kualitatif bahwa menurunnyapengawasan pemerintah terhadap akses hutan berperanbesar dalam peningkatan eksploitasi kayu oleh para petanikecil. Oleh karena itu, sangatlah tidak bijaksana untukmenyimpulkan bahwa penderitaan merupakan satu-satunya faktor yang relevan untuk menerangkan

Page 24: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

18 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

terjadinya peningkatan pemanfaatan sumber daya hutan.Penting untuk ditunjukkan bahwa volume sumber dayahutan yang dimanfaatkan oleh rumah tangga kajianmengalami peningkatan pada beberapa rumah tangga danpenurunan pada lainnya. Beberapa pertanyaan mengenaialasan penyebab diajukan kepada 433 responden (38,4%dari total) yang memperoleh pendapatan dari hutan padaPeriode 1 dan 3. Dua ratus tiga puluh responden (21,9%dari total) mengambil kayu dari hutan pada Periode 1dan 3. Pemanfaatan kayu meningkat dari Periode 1 kePeriode 3 pada 137 rumah tangga (59,6%), sedangkan

18 rumah tangga (7,8%) tidak berubah, dan 75 rumahtangga (32,6%) mengalami penurunan. Beberapa alasandari meningkatnya pemanfaatan kayu adalah: harga kayuyang lebih mahal (69% dari responden); lebih banyakpembeli (41%); penemuan daerah pasokan/suplai yangbaru (17%); perbaikan jalan (12%); dan semakinbanyaknya tenaga kerja di keluarga (11%). Diantaraalasan terjadinya penurunan eksploitasi kayu adalah:turunnya suplai (56,4%); daerah persediaan/bahan suplai(53,8%) semakin jauh; penurunan tenaga kerja di keluarga(19,2%); dan meningkatnya persaingan (14,1%)

Seratus tiga puluh tujuh responden (13,0% dari total)memungut rotan dari hutan pada Periode 1 dan 3.Pemanfaatan atas sumber ini meningkat dari Periode 1ke Periode 3 pada 89 rumah tangga (65,0%), 8 rumahtangga tidak berubah (5,8%), dan 40 rumah tanggamengalami penurunan (29,2%). Diantara alasan-alasanmeningkatnya pemanfaatan rotan adalah: harga lebihmahal (49,4%); meningkatnya jumlah pembeli (39,3%);menemukan pasokan baru (13,5%). Alasan dari turunnyapemanfaatan rotan adalah: turunnya pasokan (70%); jarakyang lebih jauh ke pasokan (67,5%); semakin besarnyapersaingan (17,5%).

Penyesuaian melalui migrasi

Survei mengenai migrasi mengungkapkan bahwa sangatsedikit rumah tangga ( 81 dari total 2820 rumah tanggayang disensus atau 2,9%) yang pindah ke desa kajiansemenjak mulainya masa krisis ekonomi. Dari 81 rumahtangga tersebut, sebagian besar pindah ke Sulawesi Tengah(34 rumah tangga) atau Lampung (33). Hanya 31 rumah

63

29

121

14

118

52

40

88

13

70

50

29

93

14

59

0 20 40 60 80 100 120 140

Sulawesi Tengah

Kalimantan Timur

Kalimantan Barat

Lampung

Riau dan Jambi

Jumlah rumah tangga

Pro

pins

i

Periode 1Periode 2Periode 3

Gambar 13. Perubahan jumlah rumah tangga yang memperoleh pendapatan dalam bentuk uang darisumberdaya hutan, menurut propinsi kajian dan periode penelitian.

Gambar 14. Perubahan jumlah rumah tangga yangmemperoleh pendapatan dalam bentuk uangdari sumberdaya hutan, menurut jenissumberdaya dan periode penelitian.

Periode 1 Periode 2 Periode 3

Jum

lah

rum

ah ta

ngga

Kayu

Rotan

Binatang

Madu hutan

Buah-buahan

Gaharu

Nira

Lain-lain

Jelutung

Page 25: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

19CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

tangga (38,3%) yang berpindah karena berkurangnya atauhilangnya sumber penghasilan mereka di daerah asal.Lima puluh enam rumah tangga (69,1%) dari 81 rumahtangga pindah ke desa kajian dengan alasan bahwa krisisekonomi telah menciptakan kesempatan untukmemperoleh pendapatan di daerah tersebut.

Perubahan dalam pengeluaran rumah tanggaselama masa krisis

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengertimengapa, meskipun kenaikan harga bermacam-macamkomoditas ekspor (Gambar 1), dan kenyataan bahwasebagian besar rumah tangga mempunyai sedikitnyabeberapa ECI (Gambar 6), dan naiknya pendapatannominal rumah tangga secara menyolok (Tabel 2), hampir2/3 rumah tangga adalah kelompok yang merasakehidupan mereka lebih buruk/sulit (Gambar 7). Alasannyata mengapa banyak rumah tangga yang menyatakandiri sebagai kelompok yang kehidupannya lebih buruk/sulit adalah karena biaya hidup nominal meningkat lebihcepat dari pendapatan normal, hal ini didukung oleh datakualitatif hasil penelitian. Untuk menghindariberkurangnya konsumsi riil secara menyolok, petanimeningkatkan pengeluaran nominal lebih tinggidaripadapendapatan nominalnya. Akibatnya adalahberkurangnya simpanan atau kekayaan.

Data kuantitatif tidak dapat memberikan keterangansecara jelas karena tidak diajukan pertanyaan yangmenangkap perubahan-perubahan dalam pengeluaranrumah tangga secara keseluruhan dalam 3 periode.Peningkatan pengeluaran keseluruhan yang lebih cepatatas pendapatan ditunjukkan secara tidak langsung dalam2 cara. Pertama, rumah tangga yang menyatakan bahwapengeluaran nominal mereka lebih tinggi pada Periode 3dibanding Periode 1 (93,7%) jumlahnya lebih besar, lebihtinggi dari jumlah rumah tangga yang menyatakanpendapatan nominal mereka lebih tinggi pada Periode 3dibanding Periode 1 (80,2%). Hal ini benar tidak hanyapada tingkat keseluruhan, tapi juga di setiap propinsi yangdikaji. Indikasi secara tidak langsung yang kedua yaiturata-rata pengeluaran rumah tangga untuk input pertanianmeningkat sepanjang 3 periode, walaupun penerimaannominal rata-rata meningkat tajam dari Periode 1 kePeriode 2, dan sedikit menurun pada Periode 3 (Gambar15). Perhatikan bahwa, secara rata-rata pengeluaran untukinput pertanian merupakan sebagian kecil daripengeluaran dan pendapatan keseluruhan.12

Kenyataan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk inputpertanian, secara rata-rata, menempati porsi sangat kecildari pendapatan, tidak menyembunyikan fakta adanyaperbedaan besar berdasarkan propinsi dan jenis komoditi.

Gambar 15. Perbandingan antara pendapatan kotor rumahtangga rata-rata dan pengeluaran rumahtangga rata-rata untuk input pertanian,sebelum krisis, dan periode krisis.

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

1000

2000

3000

4000

5000

6000

Periode 1 Periode 2 Periode 3

Periode

Pen

dapa

tan

(dal

am r

ibua

n ru

piah

)

Pen

gelu

aran

(da

lam

rib

uan

rupi

ah)

0

Pendapatan Pengeluaran

Catatan: Analisa ini termasuk seluruh rumah tangga kajian yangmenggunakan input pertanian, baik dibeli maupun tidak.

Pada kasus tertentu, perbedaan ini dapat mempengaruhikesejahteraan rumah tangga. Gambar 16 memperlihatkandata rata-rata biaya untuk input pertanian per rumahtangga berdasarkan propinsi dan periode kajian.Perhatikan bahwa sejauh ini Kalimantan Timur memilikibiaya tertinggi, sedangkan Riau/Jambi dan KalimantanBarat dengan biaya terendah. Gambar 17 menjelaskanperbedaan yang terjadi di antara propinsi yang dikajiyang menyangkut biaya input pertanian. Biaya input ladadan kelapa sawit menempati posisi tertinggi, terutama diKalimantan Timur (Gambar 5). Sebaliknya, biaya inputpertanian untuk tanaman karet menempati urutanterendah di antara seluruh komoditas yang terwakili dipenelitian ini (Gambar 17). Hal ini menjelaskanrendahnya rata-rata biaya input pertanian di Riau/Jambidan Kalimatan Barat, di mana karet merupakan hasil bumiyang paling dominan.

Keinginan untuk diversifikasi

Salah satu pelajaran penting yang dapat dipetik dalamwawancara kualitatif adalah kenyataan bahwa petanimerasa rentan terhadap perubahan harga. Pada beberapawawancara, responden mengatakan bahwa mereka telahmemulai, atau berencana untuk memulai komoditas baruuntuk memperkecil kemungkinan menjadi korban akibatdari turunnya harga di kemudian hari. Satu jenis komoditiyang sering dibicarakan adalah kelapa sawit. Respondenmenyatakan, bahwa diversifikasi menggunakankomoditas baru terhambat oleh kurangnya pengetahuan,lahan atau modal.

Page 26: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

20 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1996-97

1997-98

1998-99

(da

lam

rib

uan

rupi

ah)

Lada

Kel

apa

saw

it

Kop

i

Pad

i saw

ah

Cok

elat

Jagu

ng

Kar

et

Cab

e

Gambar 17. Pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk input pertanian berdasarkantanaman sumber pendapatan utama, 1996-97, 1997-98 dan 1998-99.

0

200

400

600

800

1000

1200

Riau/Jambi

Lampung KalimantanBarat

KalimantanTimur

SulawesiTengah

1996-97

1997-98

1998-99

(da

lam

rib

uan

rupi

ah)

Gambar 16. Perubahan dalam pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk input pertanianpada tahun 1996-97, 1997-98 dan 1998-99.

4.3 Pengaruh terhadap tutupan hutan alam

Temuan umum tentang tutupan hutan

Pertanyaan diajukan ke seluruh responden, apakahmereka telah membuka lahan baru dalam 3 tahun sebelumwawancara, yaitu antara pertengahan 1996 sampai denganpertengahan 1999. Tujuh ratus empat belas responden(68% dari total) mengatakan telah membuka lahan barupada periode tersebut. Responden tersebut diminta untuk

menyebutkan luas areal yang disiapkan serta tujuanpenggunaan menurut 3 pilihan kemungkinan, yaitu (1)hanya perladangan berpindah; (2) keduanya baikperladangan berpindah dan pertanian menetap; (3) hanyapertanian menetap. 13

Hasilnya diperlihatkan pada Gambar 18 danmenunjukkan 2 hasil penting. Pertama, jumlahpembukaan lahan meningkat secara perlahan-lahan dariPeriode 1 ke Periode 2, dan meningkat tajam antara

Page 27: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

21CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

287 282 251

116 135265

6284

202

0

100

200

300

400

500

600

700

800

Jum

lah

pem

buka

an la

han

1996-97 1997-98 1998-99

Pertanian menetap saja

Pertanian berpindah dan menetapPertanian berpindah saja

Gambar 18. Pembukaan lahan untuk pertanian pada tahun1996-1999 sesuai tujuan pemanfaatan.

Periode 2 dan Periode 3. (Catatan: jumlah pembukaanlahan melampaui jumlah rumah tangga, karena beberaparumah tangga membuka lebih dari 1 bidang lahan dalamsatu periode). Kedua, terjadinya perubahan tujuanpenggunaan pembukaan lahan selama ke tiga periode.Jumlah pembukaan lahan untuk “hanya perladanganberpindah” turun perlahan pada seluruh periode. Jumlahpembukaan lahan untuk kategori “perladangan berpindahdan pertanian menetap” dan “hanya pertanian menetap”meningkat sedang dari Periode 1 ke Periode 2, danmeningkat tajam dari Periode 2 ke Periode 3.

Tabel 9 memperlihatkan jumlah dan proporsi rumahtangga yang membuka lahan selama krisis (selamaPeriode 2 dan 3), dikelompokkan berdasarkan propinsiyang dikaji. Terdapat perbedaan yang menyolok padafrekwensi pembukaan lahan di antara propinsi kajian.Sebagian besar (92,9%) rumah tangga yang diteliti diKalimantan Barat melakukan pembukaan lahan selamakrisis, sebaliknya di Lampung jumlah rumah tangga yangmelakukan pembukan lahan kurang dari sepertiga(30,5%). Tingginya tingkat pembukaan lahan diKalimantan Barat, begitu juga di Riau/Jambi (76,2%),sebagian disebabkan oleh usaha komoditi karet dan dayatarik untuk untuk membuka lebih banyak lahan untukkebun karet. (Isu ini akan dijelaskan dengan lebih rincikemudian). Rendahnya tingkat pembukaan lahan diLampung sebagian disebabkan oleh relatif terbatasnyalahan hutan di propinsi tersebut.

Responden yang membuka lahan diminta untukmenyebutkan luas areal yang dibuka (seperti yang

Propinsi

Yes No

Total

160 50 210Riau/Jambi(76,2%) (23,8%) (100%)

64 146 210Lampung(30,5%) (69,5%) (100%)

195 15 210Kalimantan Barat(92,9%) (7,1%) (100%)

157 53 210Kalimantan Timur(74,8%) (25,2%) (100%)

95 115 210Sulawesi Tengah(45,2%) (54,8%) (100%)

671 379 1.050Total(63,9%) (36,1%) (100%)

Apakah rumah tangga membuka lahan selama masa krisis

(tahun 1997-98 dan 1998-99)?

Tabel 9. Proporsi dari rumah tangga kajian yang membukalahan selama masa krisis (periode 2 dan 3)menurut propinsi.

disebutkan di atas) dan juga menyebutkan jenis lahanyang dibuka, menurut kategori di bawah ini:

• hutan primer• hutan sekunder, berumur 30 tahun atau lebih• hutan sekunder, berumur 10-30 tahun• hutan sekunder, berumur 6-10 tahun• hutan sekunder, berumur 1-5 tahun• padang rumput atau semak belukar• lahan hutan bekas kebakaran• hutan tanaman atau kebun• dll

Hasilnya yang memperlihatkan total area yang dibukaoleh rumah tangga kajian, dan dikelompokkanberdasarkan jenis lahan yang dibuka dan berdasarkanpropinsi yang dikaji, disajikan pada Gambar 19. Hal yangsangat menyolok adalah luas lahan yang dibuka selamakrisis di Kalimantan Barat hampir dua kali luas lahanyang dibuka di Riau/Jambi dan Kalimantan Timur, empatkali luasan yang dibuka di Sulawesi Tengah, dan delapankali luas lahan yang dibuka di Lampung. Data yang tidakterlihat pada Gambar menunjukkan bahwa rata-rata tanahyang dibuka per rumah tangga di Kalimantan Baratselama masa krisis (2,36 ha) juga jauh lebih luas biladibandingkan propinsi lainnya, yaitu: 1,60 ha diKalimantan Timur; 1,48 ha di Riau/Jambi; 1,12 ha diSulawesi Tengah; dan 0,95 ha di Lampung. Dengandemikian perbedaan antar propinsi dalam total luas lahanyang dibuka merupakan refleksi dari tidak hanyaberagamnya jumlah dan proporsi rumah tangga yangmembuka lahan (Tabel 9), tapi juga besarnya perbedaanrata-rata lahan yang dibuka per rumah tangga.

Gambar 19 juga menampilkan perbedaan tiap propinsiberdasarkan jenis lahan yang dibuka. Proporsi lahan yang

Page 28: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

22D

ampak K

risis Ekonom

i Indonesia terhadap Petani K

ecil dan Tutupan Hutan A

lam di Luar Jaw

a

Sulawesi Tengah

Kalimantan Timur

Kalimantan Barat

Lampung

Riau dan Jambi

Pro

pins

i

Luas lahan yang dibuka (ha)

Hutan primer Rimba tua (30 thn +) Rimba muda (10-30 thn) Belukar tua (6-10 thn) Belukar muda ((1-5 thn)

Semak/rumput Hutan bekas terbakar Hutan tanaman/kebun Lain

47

59

110

26

32

18

30

89

10

19

48

49

125

28

26

17

78

141

15

8

34

7

7

11

3

5

5

55

5

8

3

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

1 1

1 2

Gambar 19. Jumlah luas lahan yang dibuka oleh rumah tangga kajian selama masa krisis (pertengahan 1997 - pertengahan1999), berdasarkan propinsi dan jenistutupan lahan.

Page 29: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

23CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

Periode Jumlah Rata-rata luaslahan yangdibuka(ha)

rumahtangga

≥ 50% 166 1,09Periode 1

(1996-97) < 50% 221 1,110,226 0,819

≥ 50% 168 1,23Periode 2

(1997-98) < 50% 231 1,140,945 0,299

≥ 50% 250 1,00Periode 3

(1998-99) < 50% 298 1,060,206 0,426

≥ 50% 284 1,60Periode 2-3

(1997-99) < 50% 340 1,700,211 0,440

Proporsi pendapatan ECI dari pendapatan

total

Signifikan(uji kesamaan

ragam)a

Signifikan (uji kesamaan nilai

tengah/mean dua arah)a

Tabel 11. Uji nilai tengah (independent means test) luas lahan rata-rata yang dibuka, dibedakan berdasarkantinggi dan rendah/tidak adanya ECI, sebelum krisis dan selama krisis.

a = diasumsikan ragam sama

dibuka pada dua kawasan hutan dalam kategori umur tertua(hutan primer dan hutan sekunder berumur 30 tahun ataulebih), berkisar dari yang tertinggi di Riau/Jambi (setengahdari total di propinsi tersebut) dan terendah di Lampung(tidak satupun hutan yang dibuka). Pembukaan tipe hutanini dihitung berdasarkan proporsi dari seluruh lahan yangdibuka pada ke tiga propinsi lainnya rendah, berkisar antara5 – 15%. Perlu dicatat bahwa pembukaan hutan sekundermuda (umur 1-5 tahun dan 6-10 tahun) mencakup hampirkebanyakan lahan yang dibuka di Kalimantan Barat,Sulawesi Tengah dan Lampung; kurang dari setengah diKalimantan Timur; dan sekitar sepertiga di Riau/Jambi.Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar dari lahan yangdibuka di ke lima propinsi yang dikaji merupakan lahanhutan dan bukannya lahan tidak berhutan.

Pembukaan hutan dalam kaitannyadengan tingkat ECI

Hipotesa menyangkut isu pembukaan hutanmengasumsikan bahwa rumah tangga dengan tingkat ECItinggi cenderung untuk membuka lebih besar lahanselama krisis dibandingkan sebelum krisis, sementararumah tangga dengan tingkat ECI rendah memperlihatkanperbedaan besar dalam pembukaan lahannya, mulai daritinggi, ke medium, dan ke rendah. Asumsi umum adalah,secara rata-rata, rumah tangga dengan ECI akan membukalahan pada masa krisis lebih luas dibanding rumah tanggadengan ECI rendah. Uji statistik dilakukan untuk melihatapakah tingkat ECI memiliki hubungan yang signifikandengan frekwensi pembukaan hutan, atau dengan rata-rata luas lahan yang dibuka.

Analisa chi-square dilakukan dengan tabulasi silangvariabel “pembukaan hutan selama krisis (Periode 2 dan3)” (ya atau tidak) dengan variabel binary tingkatpenghasilan ECI pada Periode 3 (tinggi atau rendah).Hasil perhitungan yang diperlihatkan pada Tabel 10menunjukkan bahwa 284 (64,3%) dari 442 rumah tanggaECI tinggi dan 341 (62,6%) dari 545 rumah tangga ECI

Tabel 10. Analisa chi-square tentang siapa yang membukahutan selama masa krisis (periode 2 dan 3)berdasarkan tingkat pendapatan yang diperolehdari komoditi ekspor (tinggi atau rendah).

a = Dihitung hanya untuk tabel 2x2.b = Tidak ada (0%) sel-sel yang nilai harapannya kurang dari 5.

Nilai harapan minimum adalah 162,11.

rendah membuka lahan selama masa krisis, dan perbedaandiantara ke dua proporsi tersebut secara statistik tidaksignifikan.

Uji beda nilai tengah (independent means test) dilakukanuntuk melihat apakah rata-rata luas lahan yang dibukaoleh rumah tangga ECI tinggi dan rumah tangga ECIrendah berbeda secara nyata. Pada Tabel 11 ditunjukkan

Ya Tidak

Total

Tinggi (≥ 50%)

284(64,3%)

158(35,7%)

442(100%)

Rendah (< 50%)

341(62,6%)

204(37,4%)

545(100%)

Total 625(63,3%)

362(36,7%)

987(100%)

Uji-uji Chi-Square

0,298b 1

0,230 1

0,298

0,298

1

1

987

Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

LikelihoodRatio

Fisher's Exact Test

N of Valid Cases

Nilai

0,585

0,631

0,585

0,596 0,316

0,585

Asymp.Sig.(2 arah)

Exact.Sig.(2 arah)

Asymp.Sig.(2 arah)

db

Linear-by-LinearAssociation

Apakah rumah tangga membuka lahan selama masa krisis?

(Periode 2 dan 3)

Tingkat pendapatan darikomoditi eksporpada periode 3

Page 30: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

24 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

0

50

100

150

200

250

300

Karet Cokelat Kopi Lada Rotan Kayu manis Kelapasawit

Kelapa

0

50

100

150

200

250

Padi sawah Padi ladang Jagung Ubi kayu Pisang

Lebih besar

Sama sajaLebih kecil

Lebih besar

Sama sajaLebih kecil

Jum

lah

rum

ah ta

ngga

Jum

lah

rum

ah ta

ngga

Perubahan luasan komoditi ekspor 1998-99 dibandingkan dengan 1996-97

Perubahan luasan komoditi pangan 1998-99 dibandingkan 1996-97

Gambar 20. Perubahan luasan komoditi ekspor dan tanaman pangan, tahun kedua masa krisis (1998-99)dibandingkan dengan tahun sebelum krisis (1996-97).

rata-rata luas lahan yang dibuka oleh rumah tangga ECIrendah sedikit lebih besar dibandingkan yang dibuka olehrumah tangga ECI tinggi pada Periode 1, 3 dan 2-3, tetapilebih rendah pada Periode 2. Secara statistikperbedaannya tidak nyata/signifikan.

Secara ringkasan, gabungan uji tersebut di atasmembuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyatadalam praktek pembukaan hutan pada rumah tanggadengan ECI tinggi atau ECI rendah, dalam artian frekwensipembukaan atau luas area yang dibuka selama masa krisis.Ke empat hipotesa yang didasari oleh asumsi perbedaanyang mendasar tersebut tampaknya sebagian besar tidakbenar, meskipun ada bagian dari hipotesa tersebut yangmungkin benar. (Hal ini akan dijelaskan kemudian).

Perubahan dalam praktek pertanian

Perubahan dalam praktek pembukaan hutan, sebagaimanadiperlihatkan secara tidak langsung pada Gambar 18,berhubungan erat dengan perubahan praktek pertanianmereka selama krisis. Pembukaan lahan terutamatanaman pangan bukan ekspor (padi kering pada sistemperladangan berpindah) turun dalam ukuran relatif danabsolut sesuai dengan berjalannya Periode 1 ke-2 dan

ke-3. Pembukaan lahan untuk berbagai komoditi ekspormeningkat perlahan dari Periode 1 ke Periode 2, kemudianmeningkat dengan cepat antara Periode 2 dan 3.

Perkembangan tersebut dapat dilihat juga dari data yangmenunjukkan perubahan luasan relatif lahan yangdigunakan untuk komoditi tertentu selama tiga masa kajian.Gambar 20 menunjukkan perubahan relatif (lebih besar,tetap, lebih kecil) komoditi tertentu antara Periode 3 dan1, berdasarkan jumlah rumah tangga, dan dibedakan antarakomoditi ekspor (bagian atas dari Gambar) dan tanamanpangan (bagian bawah Gambar). Perlu diperhatikan bahwauntuk 6 dari 8 komoditi ekspor (seluruhnya kecuali rotandan kelapa), jumlah rumah tangga yang meningkatkan luaslahannya adalah 2 kali atau lebih besar bila dibandingkandengan jumlah rumah tangga yang mengurangi lahannyauntuk komoditi tertentu. Dalam kasus karet, cokelat, lada,dan kelapa sawit, perbandingan antara jumlah rumahtangga yang meningkatkan luas lahannya dengan yangmemperkecil luas lahannya adalah sebanyak 3 kali ataulebih. Dapat dibandingkan dengan situasi tanaman pangandimana perbedaan yang besar antara jumlah rumah tanggayang meningkatkan luas lahannya dengan jumlah rumahtangga yang memperkecil luas lahannya hanya ditunjukkanoleh padi sawah dan pisang.

Page 31: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

25CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

Kecenderungan ini bahkan lebih jelas jika observasiditujukan pada perubahan penggunaan lahan seiringdengan berjalannya waktu. Responden diminta untukmenyebutkan tanaman utama (dalam ukuran nilainya) yangakan diproduksi selama jangka umur lahan, pada petak-petak lahan yang dibuka pada Periode 1, 2, dan 3. Hasilnyadapat dilihat pada Tabel 12. Padi ladang merupakantanaman utama pada 61,6% dari bidang lahan yang dibukapada Periode 1; turun menjadi 53,7% pada Periode 2, danselanjutnya turun drastis menjadi 34,4% pada Periode 3.Pembukaan lahan dengan tujuan untuk komoditi ekspor(karet, lada, cokelat, kopi, dan kayu manis) secarabersamaan meningkat dari 32,6% pada Periode 1, menjadi37,7% pada Periode 2, dan 55,4% pada Periode 3.

Periode 1(1996-97)

Periode 2(1997-98)

Periode 3(1998-99)

Jeniskomoditi

N % N % N %

284 61,6 266 53,7 243 34,4

83 18,0 99 20,0 193 27,3

10 2,2 20 4,0 64 9,1

30 6,5 42 8,5 58 8,2

6 1,3 11 2,2 50 7,1

6 1,3 14 2,8 47 6,6

21 4,6 15 3,0 26 3,7

6 1,3 13 2,6 11 1,6

13 2,8 11 2,2 11 1,6

2 0,4 4 0,8 4 0,6

Total 461 100,0 495 100,0 707 100,0

Padi ladang

Karet

Lada

Cokelat

Kopi

Padi sawah

Kayu manis

Tanaman pangancampuran

Lain-lain

Jagung

Tabel 12. Jumlah pembukaan hutan berdasarkan jenistanaman utama (berdasarkan nilainya) selamamasa pemanfaatan bidang lahan garapan, padaperiode 1, 2 dan 3.

Catatan: Data ini termasuk bidang pertama dan kedua yang dibuka.

Paradoks karet

Perubahan sistem pertanian dan praktek pembukaan lahanseperti dijelaskan di atas, yang sedikit banyaknya dapatdijelaskan dalam bentuk perubahan harga komoditasdisajikan pada Gambar 1. Masuk di akal bila hargakomoditi ekspor meningkat tajam bila dibandingkandengan komoditi pangan bukan ekspor, maka komoditiekspor akan cenderung menggantikan komoditi pangannon-ekspor. Walaupun hal tersebut memerlukan waktulama (2-10 tahun), yaitu mulai dari penanaman sampaihasilnya siap dipasarkan.

Namun demikian kasus karet merupakan sebuahparadoks. Jika harga karet relatif tidak berubah (Gambar1), mengapa banyak rumah tangga yang memperluas

lahannya (untuk karet) selama krisis melebihi merekayang mengurangi lahannya dengan faktor angka 5(Gambar 20), dan mengapa jumlah lahan yang dibukauntuk ditanami karet sebagai hasil utama meningkat lebihdari 2 kali lipat, yaitu 83 pada Periode 1 menjadi 193pada Periode 3 (Tabel 12)? Singkatnya, mengapa karetmenjadi begitu populer pada saat harganya relatif tetapdan seharusnya akan menurunkan popularitasnya? Iniadalah pertanyaan penting, tidak hanya untuk mengertimengenai kesejahteraan rumah tangga yang dikaji, tetapijuga untuk mengerti mengenai praktek pembukaan lahan,karena sejumlah besar pembukaan hutan selama krisis adadi Kalimantan Barat (Gambar 19) dan tanaman utama yangdihasilkan di propinsi tersebut adalah karet (Gambar 5).Paradoks ini juga terjadi di Riau/Jambi, dimanapembukaan lahan untuk karet sangat jelas terlihat.

Jawaban dari paradoks tersebut dapat ditemukan denganmembandingkan karakteristik karet dengan komoditiperdagangan alternatif lainnya. Di bawah ini adalahbeberapa sifat karet yang menjadikannya komoditi yangtetap diminati walaupun harganya turun. Pertama, biayayang dikeluarkan untuk pemeliharaan tegakan karet(dalam bentuk waktu dan biaya input) lebih rendah biladibandingkan dengan komoditas lainnya. Ini merupakanpertimbangan kunci bagi para petani yang memilikiketerbatasan waktu dan modal, apalagi selama krisisekonomi berlangsung. 14 Kedua, tidak seperti tanamanlainnya, karet dapat dipanen sepanjang tahun (kecuali padamasa sulit di musim hujan). Hal ini berarti petani dapatmemperoleh pendapatan pada waktu yang diinginkan,tidak perlu menunggu saat panen (sebagai contoh, masapanen kelapa sawit dan kopi kurang fleksibel). Ketiga,karet relatif tahan lama, yang berarti memiliki persyaratanpenjualan yang lebih mudah dibanding tanaman lain,misalnya kelapa sawit. Keempat, pada pertengahan 1998,yaitu masa untuk ditanami komoditi baru, harga karetsecara riil meningkat (Gambar 1), dan harga karet nominaldi tingkat petani 2 sampai 3 kali lipat lebih tinggi dariharga sebelum krisis.

Masih ada karakteristik lainnya dari karet yang dapatmenjelaskan mengapa karet begitu banyak ditanamselama masa krisis. Petani yang terletak di dataran rendahSumatera dan Kalimantan Barat hanya sedikit atau tidakmempunyai alternatif untuk menanam karet, sehinggatidak mengherankan jika mereka memusatkan perhatianmereka pada sumber pendapatan yang telah terjamin.Akhirnya, produksi karet latex lebih dibatasi olehketersediaan tenaga kerja daripada jumlah tegakan yangbisa disadap. Dalam jangka pendek, produksi latex dapatditingkatkan dengan memperbanyak frekwensipenyadapan dan dilakukan secara intensif.15

Page 32: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

26 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

Pembukaan lahan dalam kaitannya dengankesejahteraan rumah tangga

Data pembukaan lahan diklasifikasi silang dengan datatentang perbandingan kesejahteraan selama masa krisisuntuk mengetahui apakah ada kecenderungan yangsignifikan berkenaan dengan responden pada kelompokyang merasa kehidupannya lebih baik, tetap, dan lebihburuk. Gambar 21 memperlihatkan proporsi dari rumahtangga yang membuka lahan selama krisis dalam tigakategori kesejahteraan. Gambar 22 memperlihatkan luaslahan rata-rata yang dibuka oleh rumah tangga dalam 3kategori kesejahteraan yang diperbandingkan.

Di kedua analisa tersebut terlihat nyata adanya fenomenabentuk huruf U di mana kelompok “lebih buruk” dan“lebih baik” pada ujung ekstrim cenderung memiliki nilailebih tinggi dari kelompok “sama” yang terletak di antarakedua kategori ini. Khususnya proporsi respondenpembuka lahan yang merasa “lebih buruk” (67%) dan“lebih baik” (61%) lebih tinggi dibandingkan dengankelompok yang merasa kondisinya “sama” (59%)(Gambar 21). Demikian juga dengan rata-rata luas lahanyang dibuka oleh kelompok yang merasa “lebih buruk”(1,72 ha) dan “lebih baik” (1,69 ha) lebih besardibandingkan dengan kelompok yang merasa kondisikesejahteraannya “sama” (1,41 ha) (Gambar 22).

Uji statistik diadakan untuk melihat apakah kelompok“lebih buruk/sama” dan “lebih baik/sama” memilikiperbedaan yang nyata. Uji chi-square terhadap proporsirumah tangga yang membuka lahan memperlihatkanperbedaan nyata antara kelompok “lebih buruk” (67%)dan kelompok “sama” (59%) pada tingkat 0,10.Perbedaan antara kelompok “lebih baik” dengankelompok “sama” tidak terlalu nyata, tetapi perlu diingatbahwa mereka yang mengaku kelompok “lebih baik” jugasering membeli tanah. Bisa dilihat kembali bahwa 1/6dari kelompok yang kondisinya “lebih baik” membelitanah dengan penghasilan tambahan mereka (Gambar 11).Jika perbedaan antara kelompok “lebih baik” dengankelompok “sama” dikaitkan dengan perolehan tanah (baikpembukaan lahan maupun melalui pembelian), makaperbedaannya mungkin bisa nyata.

Uji nilai tengah (independent means test) dilakukan untukmenilai rata-rata luas lahan yang dibuka antara kelompok“lebih buruk/sama” dan kelompok “lebih baik/sama”.Perbedaan antara kelompok “lebih buruk” dengankelompok “sama” terlihat nyata pada tingkat 0,05 digabungan kedua Periode 2 dan 3 (saat krisis), tetapi tidaknyata pada masing-masing periode itu. Perbedaan antarakelompok “lebih baik” dan kelompok “sama” terlihatnyata pada tingkat 0,05 pada Periode 2 dan tingkat 0,10pada gabungan Periode 2 dan 3.

Uji statistik ini menguatkan kesan adanya perbedaan nyatapada praktek pembukaan lahan yang berkaitan dengankondisi yang dialami pada masa krisis (lebih buruk, sama,lebih baik). Ada satu hal yang patut dipikirkan, apakahada suatu kondisi/keadaan pada kondisi ekstrimpengalaman krisis ekonomi yang memicu kemungkinanlebih besar untuk melakukan pembukaan lahan danmembuka lahan yang lebih luas. Apakah mungkinkelompok yang merasa kondisi kehidupannya lebih burukcenderung untuk melakukan pembukaan lahan, danmembuka lahan yang lebih luas karena terpaksa olehkeadaan mereka? Sebaliknya, apakah masuk akal jikakelompok “lebih baik” cenderung melakukan pembukaan

67%

59% 61%

33%

41% 39%

0

50

100

150

200250

300

350

400

450

500550

600650

700

Lebih sulit Sama saja Lebih baik

Jum

lah

resp

onde

n

Persepsi kehidupan periode 3 dibanding periode 1

Tidak membuka lahanMembuka lahan

Gambar 21. Proporsi responden yang membuka dan tidakmembuka lahan, menurut jenis pengalamanselama krisis.

1.72

1.411.69

0

0.5

1

1.5

2

Lebih sulit Sama saja Lebih baik

Rat

a-ra

ta lu

as la

han

(ha)

Nilai tengah

Persepsi kehidupan periode 3 dibanding periode 1

Gambar 22. Luas lahan rata-rata yang dibuka per rumahtangga, menurut jenis pengalaman selamamasa krisis.

Page 33: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

27CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

lahan dan membuka lahan yang lebih luas karenameningkatnya pendapatan yang memberikan peluangbagi mereka untuk mengerjakan hal tersebut?

Data yang ada tidak dapat digunakan untuk ujikeseluruhan terhadap hipotesa, tetapi analisa tambahanyang dilakukan mengesankan bahwa hal ini bisa dianggapsebagai bukan penjelasannya, atau bukan penjelasanselengkapnya. Pengolahan/tabulasi silang rata-rata luasanlahan yang ditanami/digarap oleh rumah tangga kajiandan ketiga kategori kesejahteraan menunjukkan bahwafenomena “bentuk huruf U” terjadi sebelum masa krisis;oleh karena itu fenomena tersebut tidak dianggap (atautidak sepenuhnya) sebagai akibat krisis (Tabel 13). Perludiperhatikan bahwa rata-rata luas lahan yang digarap lebihrendah di seluruh periode bagi mereka yang masukkategori “sama” dibandingkan dengan kelompok “lebihburuk” dan kategori “lebih baik”. Secara statistikperbedaan-perbedaannya nyata pada tingkat 0,05 untukseluruh periode.

Mengapa perbedaan-perbedaan ini terjadi bahkansebelum krisis dimulai? Paling tidak sebagian darijawaban merupakan kebetulan yang berhubungan dengan

perbedaan luas rata-rata lahan yang ditanami oleh jeniskomoditi tertentu, dan bagaimana jenis komoditi iniberhubungan dengan anggapan kesejahteraan selamakrisis. Ingat kembali bahwa komoditi-komoditi yangmerupakan pendapatan utama rumah tangga mempunyaihubungan dengan kesejahteraan yang secara tegasberbeda (Gambar 9).

Dengan maksud untuk menguji hipotesa “secarakebetulan” ini, 11 jenis komoditi (pada Gambar 9)digolongkan ke dalam 3 kategori menurut tingkatkeberhasilannya dalam meningkatkan kesejahteraanselama krisis. Ketiga kategori keberhasilan tersebutadalah: (1) tinggi, untuk lada, kelapa sawit, kelapa, dankopi; (2) menengah, untuk padi sawah, cokelat, berbagaitanaman pangan; (3) rendah, untuk jagung, karet, kayumanis, dan cabe. Tabel 14 memperlihatkan rata-rata luaslahan yang ditanami oleh rumah tangga yang diklasifikasisilang dengan komoditi menurut kategori di atas. Hasilnyamendukung hipotesa “secara kebetulan” tersebut.Komoditi yang keberhasilannya tergolong ke dalamkategori tinggi dan rendah memiliki rata-rata luas lahanyang tinggi, sedangkan yang tingkat keberhasilannyamenengah luasnya relatif lebih kecil.16

Periode 1(1996-97)

Periode 2(1997-98)

Periode 3(1998-99)

N Luas rata-rata Luas rata-rata Luas rata-rata(ha)

N(ha)

N(ha)

Tinggi 272 1,99 272 2,02 272 2,03

Sedang 227 1,68 227 1,75 229 1,96

Rendah 340 3,23 340 3,48 340 3,72

Total 839 2,41 839 2,54 841 2,69

Jenis tanamanutama menurutprofil keberhasilan

Tabel 14. Luas lahan rata-rata yang digarap per rumah tangga menurut periode kajian dan menurutkelompok jenis tanaman utama sesuai dengan tingkat keberhasilan dalam menghadapi krisis.

Tinggi = Lada, kelapa sawit, kelapa, kopiSedang = Padi sawah, cokelat, tanaman pangan lainnyaRendah = Jagung, karet, kayu manis, cabe

Periode 1(1996-97)

Periode 2(1997-98)

Periode 3(1998-99)

N Luas rata-rata(ha)

Luas rata-rata(ha)

Luas rata-rata(ha)

N N

Lebih sulit 650 2,25 650 2,41 652 2,55

Sama saja 184 1,89 184 1,97 183 2,17

Lebih mudah 198 2,58 198 2,68 198 2,81

Total 1.032 2,25 1.032 2,38 1.033 2,53

Pengalamanselama masakrisis

Tabel 13. Luas lahan rata-rata yang digarap per rumah tangga berdasarkan periode kajian danpengalaman selama krisis.

Page 34: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

28 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

Secara ringkas, komoditi tertentu yang diproduksi padatahun sebelum krisis cenderung mempengaruhikesejahteraan responden kearah kondisi tertentu.Kecenderungan untuk membuka lahan dan luasan lahanyang dibuka secara positif berkaitan dengan posisi ekstrimkesejahteraan (lebih buruk dan lebih baik). Meskipundemikian, pada kenyataannya hubungan tersebuttergantung pada kondisi, dan secara mendasar kaitannyalebih kepada jenis komoditi yang menghasilkankesejahteraan yang berbeda.

4.4. Ringkasan temuan utama

Penelitian lapangan diadakan untuk mengetahui dampakkrisis ekonomi di Indonesia terhadap: (1) kesejahteraanmasyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar hutanalam di luar pulau Jawa; dan (2) konsekuensi terhadaptutupan hutan akibat perubahan sistem pertanian yangdikarenakan oleh krisis. Dilakukan uji hipotesa-hipotesaberkenaan dengan kesejahteraan dan konsekuensi krisispada tutupan hutan.

Hipotesa yang menyatakan bahwa konsekuensi bagikesejahteraan rumah tangga akan lebih negatifdibandingkan dengan yang diantisipasi telah diverifikasi.Kenyataannya, temuan bertolak belakang dengananggapan konvensional yang mengatakan bahwa padaumumnya masyarakat pedesaan di Indonesia cenderungmampu keluar dari konsekuensi negatif krisis karenaadanya akses terhadap pendapatan dari ekspor. Aksesterhadap pendapatan dari ekspor tidak terbukti dapatdijadikan penyangga terhadap krisis karena biaya hidupdan biaya produksi pertanian meningkat lebih cepatketimbang pendapatan kotor.

Hipotesa yang menyatakan bahwa ketergantungan padahasil hutan bukan kayu akan meningkat telah diverifikasisecara umum. Terdapat kecenderungan bagi petani untukmengganti pendapatan mereka yang hilang (yang berasaldari pertanian) dengan pendapatan dari hasil hutan secaraluas (tidak hanya hasil hutan bukan kayu tetapi jugakayunya). Meningkatnya pemanfaatan kayu dimotivasitidak hanya oleh keterbatasan ekonomi, tetapi juga olehkurangnya kehadiran petugas kehutanan dan petugaskeamanan di kawasan hutan alam.

Hipotesa yang mengasumsikan bahwa terdapat perbedaanmendasar dalam praktek pembukaan hutan oleh rumahtangga dengan ECI tinggi dan ECI rendah secara umumterbukti tidak benar. Tidak ada perbedaan yang nyataantara kedua tipe rumah tangga tersebut dalam frekwensipembukaan lahan atau luas lahan yang dibuka.

Bagaimanapun juga, hasil temuan akhir ini tidak berartibahwa perbedaan antara ECI tinggi dan ECI rendah

tidak relevan. Sebaliknya, sangatlah relevan –baik darisegi kesejahteraan maupun akibatnya terhadap tutupanhutan - tapi relevansinya termanifestasi dengan carayang tidak diantisipasi dalam formulasi hipotesa.Diantara temuan yang berkaitan dengan ECI tersebutadalah sebagai berikut:

• Rumah tangga dengan ECI rendah memilikipendapatan kotor lebih tinggi dibanding rumahtangga dengan ECI tinggi pada masa 1 tahunsebelum krisis, lalu pada masa krisis, pendapatankotor rumah tangga ECI tinggi lebih besar daripadarumah tangga ECI rendah (Tabel 2).

• Rumah tangga dengan ECI tinggi cenderung untukmenganggap/merasa bahwa kesejahteraan merekalebih baik (kehidupan mereka lebih mudah)dibanding rumah tangga dengan ECI rendah dimasa krisis (Tabel 3).

• Terdapat perbedaan besar dalam kesejahteraanyang dirasakan selama krisis (lebih buruk, sama,lebih baik) sesuai dengan komoditi utamapertanian yang diperdagangkan yang dihasilkanoleh rumah tangga (Gambar 9).

• Rumah tangga dengan ECI tinggi mendapatbantuan yang lebih besar dari pemerintah di masakrisis, tapi tidak jelas apa artinya (Tabel 7).

• Pembukaan lahan meningkat tajam di tahun keduamasa krisis (Gambar 18), dan ini terutamaditujukan untuk menanam komoditi untuk ekspor,baik disebabkab harga yang menarik (contohnya,lada dan cokelat), maupun alasan untuk menjaminpendapatan dalam jangka panjang (contohnya,karet).

• Selama krisis, komoditi tanaman eksporberkembang lebih pesat dibanding tanamanpangan dari segi jumlah rumah tangga yangmeningkatkan produksinya (Gambar 20) dan darisegi pemanfaatan utama yang direncanakan bagilahan yang baru dibuka (Tabel 12).

Temuan penting lainnya tidak berhubungan secaralangsung dengan pendapatan yang diperoleh darikomoditi ekspor, yaitu:

• Dalam interview kualitatif banyak responden yangmengatakan bahwa kerentanan mereka berkaitandengan ketergantungan mereka terhadap beberapajenis komoditi tertentu. Dengan demikian pilihanpendapatan mereka pada saat terjadinya perubahanharga yang menyolok, terbatas.

• Bagi rumah tangga yang merasakan dampaknegatif dari keduanya yaitu kemarau/kebakarandan krisis ekonomi, pengaruh yang disebutkanpertama dinilai lebih buruk ketimbang yangdisebutkan terakhir di dua propinsi (Lampung danKalimantan Timur) (Tabel 5).

Page 35: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

29CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

• Terdapat variasi sangat besar di antara propinsiyang dikaji dalam hal frekuensi pembukaanlahan (Tabel 9), dalam jumlah rata-rata lahanyang dibuka tiap rumah tangga, dan dalam totalluas lahan yang dibuka selama masa krisis(Gambar 19).

• Kelompok yang selama masa krisiskesejahteraannya berada pada ujung-ujung ekstrim(persepsi kesejahteraan lebih buruk dan lebih baik)mempunyai kemungkinan lebih besar untukmembuka lahan (Gambar 21) dan membuka lahanyang lebih luas (Gambar 22) dibandingkan denganmereka yang merasa kesejahteraannya tetap sama.Hasil ini tampaknya sedikit kaitannya dengankarakteristik pengalaman yang diakibatkan olehkrisis dibandingkan kaitannya dengan produksikomoditi tertentu sebelumnya yang menyebabkanberagamnya kesejahteraan (Tabel 13 dan 14).

4.5 Pertanyaan-pertanyaan yang tidakterpecahkan

Ada 6 buah isu penelitian yang belum terpecahkan:

1) Apa yang dapat menjelaskan keragaman persepsikesejahteraan yang besar diantara propinsi-propinsiyang dikaji? Khususnya, mengapa KalimantanTimur dan Lampung terlihat relatif baik di mana hasilpengamatan pada dua propinsi tersebut sajalah yangmenunjukkan bahwa lebih dari setengah dari rumahtangga terhindar dari kelompok yang merasakehidupannya “lebih buruk” (Gambar 8)? Mengaparumah tangga di kedua propinsi tersebut merasakeadaannya relatif baik padahal kenyataannyamereka yang paling menderita karena musimkemarau dan kebakaran hutan? Jawabannya tidakjelas, tetapi ada alasan untuk menduga bahwa hasilyang positif berkaitan dengan dominasi komoditiekspor bukan karet dalam campuran komoditi utamayang diproduksi (Gambar 5). (Riau/Jambi danKalimantan Barat keadaannya buruk, dan karetadalah tanaman dominan di kedua propinsi tersebut).Ciri lain yang membedakan Kalimantan Timur danLampung adalah keanekaragaman komoditi eksporyang diproduksi dibandingkan dengan propinsikajian lainnya (Gambar 5).

2) Apakah meningkatnya minat petani terhadapkomoditi ekspor selama krisis dan menjauhnyamereka dari tanaman pangan merupakan gejalasementara atau seterusnya? Data penelitian tidakmenyediakan jawaban untuk pertanyaan ini.Meskipun demikian, ada dua hal penting yang perludicatat. Pertama, seperti disebutkan sebelumnya,kecenderungan untuk beralih dari perladangan

berpindah ke komoditi tanaman menetap secaraperlahan, telah terjadi sebelum krisis ekonomi (vanNoordwijk 1995; Tomich et.al 1998). Masih perludiketahui apakah krisis memberikan modifikasinyata atas kecenderungan sebelumnya, dan jikabenar, sejauh mana krisis memberikan modifikasinyata atas kecenderungan ini? Kedua, bukan hanyakrisis dan perubahan harga komoditi yangmenyebabkan meningkatnya minat terhadaptanaman keras pada pertanian kecil. Beberaparesponden dalam wawancara kualitatif mengatakanbahwa meningkatnya tekanan terhadap lahan karenapertumbuhan penduduk dan migrasi masuk, dansebagai akibatnya dengan langkanya lahan,memotivasi petani untuk menanam tanaman kerassebagai tanda/batas lahan kepemilikan. Juga adakecenderungan bahwa lemahnya kontrol pemerintahuntuk masuk ke hutan lindung memotivasipembangunan tanaman keras pada kawasan yangbaru dibuka ini.

3) Apakah implikasi atas pergeseran dari tanaman keraske tanaman pangan, dan dari perladangan berpindahke pertanian menetap terhadap tutupan hutan? Secaraprinsip seseorang dapat mengasumsikan bahwaimplikasinya akan positif karena dua alasan. Pertama,secara rata-rata, luas lahan yang diperlukan bagipertanian menetap untuk mendapatkan tingkat nilaipertanian tertentu lebih sedikit dibandingkan denganperladangan berpindah karena tidak perlu membukalahan untuk masa bera. Kedua, beberapa komoditicenderung tumbuh di bawah naungan pohon padasistem agroforestry, secara tidak langsung berartipembukaan hutan untuk mencari tingkat nilaipertanian tertentu tidak terlalu ekstensif. Namundemikian, tidak mungkin untuk menarik kesimpulan/hasil akhir yang positif yang demikian berdasarkandata penelitian yang ada karena, seperti yang terlihatpada Gambar 18, pembukaan lahan untuk tanamanmenetap sebagian besar merupakan tambahan(additional) dan bukan mengganti/substitusi untuktanaman pangan dan perladangan berpindah.

4) Apakah implikasi dari migrasi penduduk yangdisebabkan karena krisis terhadap tutupan hutan?Hasil kajian kami menunjukkan bahwa implikasinyakecil, karena hanya sebanyak tiga persen rumahtangga yang berimigrasi ke desa sejak dimulainyakrisis. Tetapi perlu diingat jika rendahnya kecepatanmigrasi ini mungkin disebabkan oleh proses seleksiyang sengaja menetapkan desa kajian berukuransedang (lihat Lampiran 3, “Kelebihan dan kelemahandari kerangka sampel”). Tidak jelas apakah migrasike luar Pulau Jawa cenderung tidak seimbang ke desaberukuran kecil, sedang atau besar. Jika untuk alasan

Page 36: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

30 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

tertentu mereka lebih memilih desa ukuran kecil –atau besar, maka bisa jadi penelitian tidak dapatmewakili populasi migran. Perlu dilakukanpenelitian lanjutan untuk memahami lebih jauh lagikonsekuensi dari migrasi yang disebabkan oleh krisisterhadap tutupan hutan.

5) Apakah implikasi dari upaya orang-orang berduit dikota yang membayar petani untuk membuka lahanhutan untuk menanam modal di bidang pertanianterhadap tutupan hutan? Kami menemukan bahwapemodal orang-orang kota membiayai pembukaanlahan untuk menanamkan modalnya dalam tanamancokelat di Sulawesi Tengah, tetapi kami tidakmenyelidiki secara sistematis ruang lingkup praktektersebut disana maupun di propinsi lainnya, begitupula dengan tingkat dimana praktek yang dilakukandipengaruhi pergerakan harga.

6) Sampai seberapa besar pembukaan lahan hutanselama masa krisis merupakan respons terhadapperubahan ekonomi, dan seberapa besar merupakanrespons terhadap perubahan politik? Survei datarumah tangga secara kuantitaif memberikan buktiyang menyimpulkan adanya hubungan sebab akibatantara perubahan harga dan keputusan untukmembuka hutan. Data kualitatif memberikan buktikuat bahwa perubahan politik, khususnya,menurunnya pengawasan dan pengamanan batashutan sesudah runtuhnya Suharto, memainkan peranyang kuat dalam memacu kolonisasi kawasan hutanlindung. Sampai saaat ini belum diketahui bagaimanapengaruh ke dua faktor ini bila dibandingkan satudengan yang lainnya terhadap perubahan tutupanhutan, dan bagaimana interaksi antar keduanya.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Hasil temuan penelitian ini menambah perkembangankumpulan literatur yang ada sampai saat ini denganmenunjukkan bahwa perubahan makroekonomi, baikterencana maupun sengaja dibuat dalam bentuk programpenyesuaian struktural (Kaimowitz et al. akandipublikasikan) atau devaluasi mata uang (Eba’a Atyi1998), dan baik tidak terencana dan secara spontan dalambentuk krisis ekonomi, perubahan nilai mata uang danperubahan harga komoditi (Mertens et al. akandipublikasikan; Ndoye dan Kaimowitz, akandipublikasikan; Sunderlin et al. 1999) dapatmenyebabkan konsekuensi yang tidak terduga dan bahkandalam beberapa kasus tidak diinginkan bagi masyarakatyang ada di kawasan hutan dan bagi pengelolaan sertaperlindungan hutan alam yang tersisa.

Kasus di Kamerun secara khusus dapat dijadikanpelajaran. Petani mengalami kehancuran sejak tahun1986 disebabkan oleh krisis ekonomi dan jatuhnya hargakomoditi ekspor telah mengalihkan sistem pertaniannyadari monokultur tanaman cokelat dan kopi menjadi sistemtanaman campuran dan sistem tanaman pangan.Diversifikasi spontan jenis komoditi mungkin bermanfaatbagi petani dalam artian menolong melindungi merekadari risiko ketergantungan terhadap sistem monokulturdan kemungkinan kejutan harga di kemudian hari.Meskipun demikian, perubahan sistem pertanianmenyebabkan meningkatnya laju deforestasi, terutamamelalui pembukaan hutan untuk memproduksi tanamanpangan baru. Berlawanan dengan situasi di Indonesiadimana dalam beberapa hal adanya krisis menyebabkanpeningkatan dan bukan penurunan harga komoditi ekspordan menjadikan komoditi ekspor semakin menarik.17

Tetapi pokok-pokok dari kedua krisis tersebut sama, yaituketergantungan terhadap beberapa jenis komoditi danturunnya daya beli riil mengakibatkan kehancurankesejahteraan petani, dan perubahan mendadak terhadapsistem pertanian menyebabkan setidaknya peningkatankecepatan pembukaan hutan secara temporer.

Ada dua buah rekomendasi yang dibuat untuk dapatdigunakan membantu menghindari akibat-akibat sepertiini di kemudian hari. Pertama, direkomendasikan bahwaperlu ditanamkan/ditekankan pengertian tentangkemungkinan konsekuensi lingkungan dan sosial yangmerugikan bagi hutan dan penduduk di kawasan hutandalam proses perencanaan kebijakan nasional daninternasional secara luas. Kata “luas” disini perluditekankan karena upaya tersebut di atas sebaiknya tidakhanya dibatasi untuk kebijakan yang berkaitan dengansektor kehutanan saja, tetapi juga melibatkan seluruhkebijakan sektor di luar bidang kehutanan yang mungkinrelevan. Sudah semakin jelas bahwa kebijakan di luarbidang kehutanan mempunyai peran lebih besar dalammenentukan nasib penduduk di kawasan hutan dan hutanalam ketimbang kebijakan kehutanan.

Kedua, direkomendasikan pula bahwa perlu dirancangsuatu program untuk membimbing petani secara aktifdalam upaya untuk melakukan diversifikasi komoditiyang dihasilkan dan sumber pendapatan mereka. Hal iniakan membantu mengatasi pengaruh yang merugikanterhadap kesejahteraan akibat terjadinya kejutan hargakomoditi di kemudian hari. Sejauh tahapan kebijakantersebut berhasil dilakukan untuk menstabilkanpendapatan petani dan sistem pertanian, maka hal inidapat pula membantu dalam mengurangi naiknyapembukaan hutan akibat dari ketidakamanan danketidakstabilan ekonomi.

Page 37: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

31CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

Ucapan Terima Kasih

Kami merasa berhutang banyak atas kebaikan yangdiberikan oleh para responden survei di desa-desa kajian,dan tanpa kesabaran dan kerjasama yang penuhpengertian maka penelitian ini tidak akan terlaksana.

Untuk itu terima kasih kami tujukan terutama kepada IwanKurniawan, M. Yusup Napiri, Wahyu Fathurrahman Riva,Soaduon Sitorus, dan Franky Zamzani, yang telah berperanserta dalam penyusunan konsep penelitian ini, dan telahmelaksanakan kerja lapangan dengan baik di tempat yangjauh selama berminggu-minggu, serta menulis laporan-laporan yang sangat bermanfaat. Kepada AhmadDermawan, yang memberikan kontribusi yang pentingdalam pengumpulan informasi mengenai perubahan harga-harga komoditas dan membantu dalam merapikan danmenyusun data. Atie Puntodewo, yang bekerja kerasmembuat peta lokasi penelitian. Teman-teman kerja diCIFOR dan International Centre for Research inAgroforestry (Asia Tenggara), yang telah membantu dalam

memilih lokasi penelitian. Yayasan Dian Tama(Kalimantan Barat), WWF Taman Nasional Bukit TigaPuluh (Riau), Yayasan Pusaka Alam Nusantara (SulawesiTengah), dan BIKAL (Kalimantan Timur), yang sangatmembantu dalam melakukan kunjungan lapanganpendahuluan, pemilihan lokasi, dan kerja lapangan.

Kami sangat menghargai upaya rekan-rekan, Jean Aden,Tim Brown, Anne Casson, Carol Pierce Colfer, DavidKaimowitz, Stephen Mink, dan Meine van Noordwijk,yang telah memberikan saran-saran yang berarti dalampenyusunan laporan ini. Penulis sendiri bertanggung jawabatas segala kesalahan yang ada dalam penulisan laporanini.

Proyek penelitian ini dibiayai oleh Bank Dunia danMacArthur Foundation. Dana yang disebutkan terakhirdisalurkan melalui kerjasama antara CIFOR dan Centerfor Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta.

Catatan Akhir

1 Depresiasi nilai rupiah terhadap dollar Amerika sebesartiga kali lipat diartikan bahwa sejumlah tertentupenghasilan dalam bentuk dollar yang diperoleh dari eksporkomoditi pertanian dapat menghasilkan pendapatan rupiahsebesar tiga kali lebih besar dari sebelumnya.2 Meskipun pertanian terhitung menyumbang hanyasekitar 20% dari produk domestik bruto Indonesia, tetapimenyerap 45% tenaga kerja.3 Hill (1999:27-28, 45) mengatakan bahwa kesejahteraanpetani dari sektor pertanian tidak secara langsungdirugikan, bahwa “pertumbuhan ekspor naik danmenguntungkan mereka yang memperoleh pendapatandari sektor ini” dan bahwa “banyak orang di sektorpertanian dan sektor informal tidak mengalami masa sulit,dan mungkin bahkan penghasilannya meningkat.” Lebihjauh lagi dia mengatakan bahwa “standar kehidupanmengalami penurunan yang serius tetapi tidak merupakanbencana.”4 Meskipun petani kecil jelas merupakan penyebabpenting deforestasi di Indonesia, peran mereka dalammerusak hutan mungkin terlalu dilebih-lebihkan. Lihat:Sunderlin dan Resosudarmo (1996); Sunderlin (1997);dan Sunderlin dan Resosudarmo (1999).5 Pembukaan hutan di luar pulau Jawa di Indonesiaumumnya melibatkan penebangan vegetasi secara total.Pada beberapa kasus petani berusaha menyelamatkan

jenis tanaman tertentu yang bernilai pada saat prosespembukaan lahan (contohnya, durian), tetapi biasanyaterkena dampak dari pembakaran pembukaan lahan dantidak dapat pulih dengan baik. Komunikasi pribadidengan Meine van Noordwijk, 24 Januari 2000.6 Menurut van Noordwijk, et.al. (1995:11-12) Indonesiadapat digolongkan ke dalam empat zona berdasarkantransformasi dari perladangan berpindah (di tulisan asaldisebut “swidden cultivation”) menjadi pertanian menetap(di tulisan ini disebut “sedentary agriculture”): “(1)transformasi ke pertanian menetap di Jawa dan Bali terjadisebelum tahun 1880; (2) di Sumatra Utara dan Barat danKalimantan Selatan, transisi ini hampir sempurnasebelum pertengahan abad ke-20; (3) kebanyakantransformasi di Sumatra terjadi selama pertengahan abad20; dan (4) selebihnya di Kalimantan dan Irian Jaya masihberada di tahap awal transformasi.” Penggolongan iniberdasarkan data dari Richard dan Flint (1993:B8-B11).7 Contoh dapat dilihat pada: “Shrimp ponds sweep awaySE Sulawesi Mangrove Forest.” The Jakarta Post, 8 Juni1999, p.7; “Ratusan hektar hutan bakau berubah fungsi.”Banjarmasin Post, 26 Agustus 1998, (on line); “Masakeemasan kakao di tengah krisis,” Kompas, 7 Januari,1998, p.9; “Coffee business perks up in Central Aceh,”Jakarta Post, 9 Februari 1998, p.7; “Lampung pepperpickers profit from rupiah’s demise,” The IndonesianObserver, 4 Agustus 1998, p.8.

Page 38: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

32 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

8 Dalam mengkaji isu ini, sangat penting untukmembedakan masa periode biologis dan finansial. Karethanya dapat disadap mulai umur 5 atau 6 tahun keatas,tetapi karena biaya investasi rendah, sesudahnya dapatcepat menguntungkan. Sebaliknya, kalau kelapa sawit,dapat mulai menghasilkan pada tahun ketiga, tetapikarena biaya tinggi, modal tidak kembali sampai tahunkesembilan. (Komunikasi pribadi, Meine van Noordwijk,10 Januari 2000).

9 Mengingat relatif kecilnya luasan, Riau dan Jambidigabung menjadi satu di dalam kajian.

10 Penelitian oleh Elmhirst, et.al. (1998), berdasarkanpenelitian lapangan di Lampung Utara, memperlihatkanbagaimana pengaruh krisis berlipat ganda dengan adanyamusim kering yang berkepanjangan pada tahun 1997-98di beberapa lokasi.

11 Kajian memberikan empat skala peringkat dampakkrisis mulai dari “sangat besar,” “besar,” “rata-rata,” dan“kecil.” Lampung diberi peringkat “dampak besar” dalamkategori “daya lenting ekonomi,” “keamanan pangandan ketersediaan barang,” “pengangguran dan keamanansosial,” dan “kesehatan dan keluarga berencana”. Riaudan Jambi diberi peringkat “dampak kecil” dalamkategori “daya lenting ekonomi,” “keamanan pangan danketersediaan barang,” “kesehatan dan keluargaberencana” dan “pendidikan”.

12 Analisa dibatasi pada rumah tangga (537 selama dalamPeriode 1; 526 dalam Periode 2; 570 dalam Periode 3)yang menggunakan input pertanian – baik dibeli maupuntidak. Kenyataan bahwa proporsi utama dari rumahtangga ini (168 dalam Periode 1; 149 dalam Periode 2;dan 140 dalam Periode 3) tidak mempunyai pengeluarantunai untuk inputnya berarti bahwa pengeluarannya

kelihatan lebih kecil ketimbang jika analisa diterapkanhanya pada rumah tangga yang mengeluarkan tunai untukmemperoleh input pertanian.13 Pertanyaan disusun sedemikian sehingga sangat jelasmemperlihatkan bahwa kami tertarik untuk mengetahuibukan tujuan penggunaan lahan seketika setelah lahandibuka, tetapi penggunaan lahan selama lahan digunakanoleh rumah tangga. Dengan catatan bahwa “perladanganberpindah” hampir selamanya berarti menanam padi lahankering, sedangkan “pertanian menetap” berarti menanamtanaman seperti karet, cokelat, kopi dan lainnya.14 Hal ini benar-benar terjadi pada kasus hutan kebun karettradisional, tetapi tidak untuk jenis karet hibrid yangdiproduksi oleh sedikit rumah tangga dalam contohsurvei.15 Wawasan yang ada dalam paragraf ini merupakansumbangan dari Meine van Noordwijk. Komunikasipribadi, 10 Januari 2000.16 Diantara komoditi yang tinggi keberhasilannya, kelapasawit mempunyai rata-rata luasan areal tanaman yangpaling tinggi (2,8 ha) dan lada di tempat berikutnyadengan luas rata-rata 2,5 ha. Ini meningkatkan rata-ratauntuk kategori tanaman yang tinggi tingkatkeberhasilannya, yang secara numerik didominasi olehkopi (dengan rata-rata luasan hanya 1,7 ha). Diantarakomoditi yang keberhasilannya rendah, karet secara nyatamempunyai rata-rata tertinggi (3,7 ha) dan secara numerikdominan. Kategori keberhasilan pertengahan(intermediate) secara numerik didominasi oleh cokelatdengan rata-rata luas 1,9 ha.17 Devaluasi mata uang CFA franc pada bulan Januari1994 sebagian memulihkan daya tarik untukmemproduksi komoditi ekspor.

Page 39: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

33CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

Daftar Pustaka

Angelsen, A. dan Resosudarmo, I.A.P. 1999. Krismon,farmers and forests: The effects of the economic crisison farmers’ livelihoods and forest use in the outerislands of Indonesia, Center for International ForestryResearch (CIFOR). Bogor, Indonesia.

Biro Pusat Statistik (BPS). 1999. Laporan survei dampakkrisis pada tingkat kecamatan di seluruh Indonesia1998. BPS, Jakarta.

Booth, A. 1999. The impact of the crisis on poverty andequity. In: Arndt, H.W. dan Hill, H. (eds.) SoutheastAsia’s economic crisis: Origins, lessons, and the wayforward. Allen and Unwin, Australia. pp. 128-141.

Eba’a-Atyi, R. 1998. Cameroon’s logging industry:Structure, economic importance, and effects ofdevaluation. Occasional Paper No. 14. Center forInternational Forestry Research (CIFOR). Bogor,Indonesia.

Economist Intelligence Unit (EIU). 1999. CountryReport: Indonesia. 3rd quarter 1999. The EconomistIntelligence Unit, United Kingdom.

Elmhirst, B., Hermalina, dan Yuliyanti. 1998. ‘Krismon’and ‘Kemarau’: A downward sustainability spiral ina North Lampung Translok Settlement. In: vanNoordwijk dan de Foresta, H. (eds.) Agroforestry inlandscapes under pressure. Lampung researchplanning trip, 17-21 June 1998. ICRAF SoutheastAsia.. Bogor, Indonesia.

Evans, K. 1998. Survey of recent developments. Bulletinof Indonesian Economic Studies 34(3):5-36.

Fraser, A.I. 1998. Social, economic and political aspectsof forest clearance and land-use planning in Indonesia.In: Maloney, B.K. (ed.) Human activities and thetropical rainforest. Kluwer Academic Publishers, TheNetherlands. pp. 133-150.

Hill, H. 1999. The Indonesian economy in crisis: Causes,consequences, and lessons. Institute of SoutheastAsian Studies, Singapore.

Jellinek, L. dan Rustanto, B. 1999. Survival strategies ofthe Javanese during the economic crisis. The WorldBank, Jakarta.

Kaimowitz, D., Erwidodo, Ndoye, O., Pacheco, P danSunderlin, W.D. 1998. “Considering the Impact ofStructural Adjustment Policies on Forest in Bolivia,Cameroon and Indonesia”. Unasylva 49(194):57-64.

Mertens, B., Sunderlin W.D., Ndoye, O., dan Lambin,E.F. Akan diterbitakan. Impact of MacroeconomicChange on Deforestation in South Cameroon:Integration of household and remotely-senses data.World Development.

Ndoye, O. dan Kaimowitz, D. Akan diterbitakan. Macro-economics, markets, and the humid forests ofCameroon, 1967-1997. Journal of Modern AfricanStudies.

Natural Resources Management Project (NRMP). 1999.Analysis of natural resource impacts of Indonesia’sfinancial crisis. Briefing on a study commissionedby Deputy V of BAPPENAS, with updates throughthe third quarter of 1998. 28 Januari 1999.NRMP,Indonesia.

Poppele, J., Sumarto, S. dan Pritchett, L. 1999. Socialimpacts of the Indonesian economic crisis: New dataand policy implications. Social Monitoring and EarlyResponse Unit (SMERU), Jakarta.

Richards, J.F. dan Flint, E.P. 1993. Historic land use andcarbon estimates for South and Southeast Asia 1880-1980. Environmental Sciences Division, PublicationNo. 4174. Oak Ridge, Carbon Dioxide InformationAnalysis Center, Oak Ridge National Laboratory,Tennessee.

Sunderlin, W. D. dan Resosudarmo, I. A.P. 1996. Ratesand causes of deforestation in Indonesia: Towards aresolution of the ambiguities. Occasional Paper No.9. Center for International Forestry Research(CIFOR), Bogor, Indonesia.

Sunderlin, W.D. 1997. Shifting cultivation anddeforestation in Indonesia: Steps toward overcomingconfusion in the debate. Rural Development ForestryNetwork. Network Paper 21b. OverseasDevelopment Institute.London.

Sunderlin, W. D. dan Resosudarmo, I.A.P. 1999. Theeffect of population and migration on forest cover inIndonesia. Journal of Environment and Development8(2):152-169.

Page 40: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

34 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

Sunderlin, W.D., Ndoye, O., Bikié, H., Laporte, N. danPokam, J. 1999. Economic Crisis, Small-ScaleAgriculture, and Forest Cover Change in SouthernCameroon. Belum diterbitkan.

Tomich, Thomas P. et al. 1998. Alternatives to slashand burn in Indonesia: Summary report and synthesisof phase II. International Centre for Research inAgroforestry, South East Asia. Bogor, Indonesia.

van Noordwijk, M. et al. 1995. Alternatives to slashand burn in Indonesia: Summary report of phase I.International Centre for Research in Agroforestry,South East Asia. Bogor, Indonesia.

Warr, P.G. 1999. Indonesia’s crisis and the agriculturalsector. In: Simatupang, P., Pasaribu, S, Bahri, S danStringer, R. (eds.) Indonesia’s economic crisis: Effectson agriculture and policy responses. Centre forInternational Economic Studies, University ofAdelaide.

Page 41: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

35CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

Penentuan jumlah peladang berpindah

Fraser (1998:140), dengan mengambil data statistik dariDepartemen Kehutanan, mengatakan bahwa 1,26 jutarumah tangga di lima pulau besar di Indonesia bergantungpada sistem perladangan berpindah.1 Jumlah tersebutmewakili sekitar 14% dari total penduduk pedesaan dipulau-pulau tersebut. Kelima pulau tersebut adalahSumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, dan Maluku(Fraser, 1998:134).

Menurut data yang telah disurvei dalam penelitian ini,terdapat 4,79 jumlah anggota rumah tangga pada rumahtangga pedesaan kawasan hutan rata-rata.

Dengan mengalikan jumlah rumah tangga peladangberpindah (1.260.000) dengan jumlah anggota keluargarata-rata (4,79), akan didapat jumlah total peladangberpindah sebesar 6.035.400 atau kira-kira 6 juta orang.

Penentuan jumlah penduduk desa di kawasanhutan

Penduduk desa di kawasan hutan terdiri dari petani yangmemproduksi hanya hasil ladang, petani yangmemproduksi hanya tanaman tahunan, petani yangmemproduksi baik tanaman ladang maupun tanamantahunan, buruh tani, dan penduduk lainnya yang tidakberkecimpung dalam pertanian. Menurut data surveipenelitian ini, peladang berpindah (yaitu petani yanghanya memproduksi tanaman ladang atau keduanya baikladang dan tanaman tahunan) rata-rata berjumlah 29,1%dari total penduduk pedesaan di kawasan hutan. Jadi,jumlah peladang berpindah dapat diperkirakan yaitusebesar 20.740.206 (6.305.400 : 0,291), atau kira-kirasebesar 20 juta penduduk hutan.

Rasio peladang berpindah dari total penduduk desa dikawasan hutan sebesar 29,1% dapat dijelaskan di bawahini. Dari 5.179 rumah tangga pedesaan di kawasan hutan(diperoleh dari sensus yang diadakan untuk penelitianini), kira-kira sejumlah 1.900 yang membuka lahan hutandalam 3 periode, dari pertengahan 1996 sampai denganpertengahan 1999. (Angka yang sebenarnya adalah 1.756,tetapi kami menaikkannya menjadi 1.900 rumah tanggakarena sensus selesai pada bulan Maret-April 1999,sebelum mencapai pertengahan 1999). Diasumsikan

Lampiran 1.

Penentuan perkiraan jumlah peladang berpindahdan jumlah penduduk di kawasan hutan Indonesia

di pulau-pulau utama di luar Jawa

bahwa angka ini mencakup seluruh jumlah peladangberpindah, dengan asumsi bahwa rumah tangga membukalahannya sedikitnya sekali dalam tiga tahun. Kami telahmenghitung survei rumah tangga di 30 desa, bahwa 79,3%dari seluruh pembukaan hutan mulai pertengahan 1996s/d pertengahan 1999 adalah baik untuk ladang berpindahsaja, atau kombinasi dari ladang berpindah dan pertanianmenetap. Dari data di atas dapat diperkirakan jumlahrumah tangga perladang berpindah di 40 desa yangmelakukan pembukaan hutan (1.900 x 0,793), yaitusebesar 1.507. Sedangkan proporsi dari rumah tanggapeladang berpindah terhadap seluruh rumah tangga dihutan sebesar 29,1% (1.507 : 5.179).

Perlu dicatat bahwa jumlah peladang berpindah danpenduduk pedesaan di kawasan hutan ini merupakanestimasi kasar dan jumlah yang sebenarnya mungkin lebihrendah atau lebih tinggi. Perhitungan kami bisa sajamelebihi angka yang sebenarnya jika dilihat dari sudutpandang bahwa estimasi jumlah 1,26 juta peladangberpindah beranjak dari perhitungan di tahun 1980 dankami mengasumsikan bahwa jumlahnya sekarang sudahberkurang. Meskipun demikian, perhitungan kamimungkin juga lebih rendah dari angka yang sebenarnya,mengingat bahwa jumlah responden di 40 buah desa yangdisensus yang mengatakan bahwa mereka membukalahan hutan mungkin rendah. (Kami tahu bahwa beberaparesponden yang belum mengenal tim peneliti kami selamaperiode sensus, merasa ragu-ragu untuk mengakui bahwamereka telah membuka lahan hutan, terutama di kawasanhutan lindung).

Juga perlu untuk dicatat bahwa proporsi peladangberpindah terhadap total penduduk desa di kawasan hutansangat beragam tergantung dari desa dan propinsinyamasing-masing. Sebagai contoh, dari 40 desa yangdisensus, hanya 30% dari responden di Lampung pernahmembuka lahan hutan. Sedangkan di Kalimantan Barat,95% dari responden pernah membuka lahan hutan.

1 Fraser menggunakan istilah “shifting cultivation”. Versi bahasaInggris dari laporan ini menggunakan istilah “swidden cultivation”.Kami memperoleh kesulitan mencari padanan dari istilah “swiddencultivation” dan “shifting cultivation”. Karenanya versi bahasaIndonesia laporan ini menggunakan istilah perladangan berpindahbaik untuk “swidden cultivation” maupun untuk “shiftingcultivation” dan peladang berpindah untuk “swidden cultivator”.

Page 42: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

36 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

Ada 30 desa kajian yang dipilih berdasarkan 6 kriteria dibawah ini:

1. Desa tersebut harus memiliki jumlah tutupan hutanyang memadai. Hutan harus memiliki 10% atau lebihtutupan tajuk dalam radius 5 km dari pusat desa.Tujuan utama terpenuhinya kriteria ini adalah untukmenghindari desa yang proses deforestasinya sudahsangat jauh sehingga sulit untuk mengetahui kaitanantara perluasan lahan pertanian dengan perubahantutupan hutan. Perlu diingat bahwa “hutan”didefinisikan sebagai hutan alam (baik hutan primermaupun sekunder), dan tidak termasuk hutantanaman.

2. Praktek yang dilakukan oleh petani desa harusmemiliki pengaruh yang cukup besar terhadaptutupan hutan. Dari perkiraan terbaik yang diperolehdari nara sumber setempat, 1/3 atau lebih pendudukdesa harus mempraktekkan bentuk kegiatan pertanianyang berkaitan dengan pembukaan lahan hutan baiksecara reguler atau sedikitnya sesekali, baik untukladang berpindah atau tanaman menetap. (Kamidapat menerapkan kriteria ini di seluruh propinsikecuali Lampung, karena kurangnya tutupan hutandi beberapa desa, yang berarti kurang dari sepertigarumah tangga yang melakukan pembukaan hutan).

3. Sebagian besar penduduk desa melakukan kegiatanpertanian dan atau peternakan sebagai sumberpendapatan dalam bentuk tunai. Hal ini untuk

Lampiran 2.

Kriteria dalam menentukan desa kajian

meyakinkan bahwa sebagian besar responden rumahtangga merupakan bagian dari ekonomi pasar, olehkarena itu mereka terpengaruh (positif atau negatif)oleh depresiasi mata uang yang menyolok/tajam.

4. Tiap desa kajian harus memiliki setidak-tidaknya 40rumah tangga (jumlah minimum sampel) dansebanyak-banyaknya 200 rumah tangga. (DiKalimantan Timur, 2 desa yang letaknya berdekatanserta memiliki rumah tangga di bawah jumlahminimum digabungkan jadi satu, sehinggamembentuk sebuah “desa” dengan jumlah rumahtangga di atas minimum).

5. Diupayakan untuk menghindari desa-desa yangterkena dampak kemarau dan kebakaran hutan secaraparah pada musim kemarau dan kebakaran hutanyang terjadi pada tahun 1997-1998. Dengan carademikian kami bermaksud untuk meyakinkan bahwapengukuran pendapatan dan praktek pembukaanhutan sebelum dan sesudah krisis merupakancerminan yang relatif tepat dari krisis ekonomi, danbukan diakibatkan oleh gejala lain.

6. Sejauh memungkinkan, desa kajian di dalam sebuahpropinsi akan tersebar agar dapat merefleksikankeanekargamanan sosial ekonomi dan bioregional.Kita menyadari bahwa di beberapa propinsi(contohnya Lampung dan Kalimantan Barat), kriteriaini akan sulit untuk diterapkan karena langkanyatutupan hutan alam yang tersisa.

Page 43: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

37CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

Terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan dalamkerangka sampel kami yang harus dicatat. Pertama,karena kebutuhan, kami memilih desa-desa target secarasistematis ketimbang acak, karena tidak ada databasemengenai desa-desa kawasan hutan yang dapatdipergunakan. Pendekatan ini mencapai 2 hal sekaligus,yaitu memperkecil jenis desa yang diteliti, sehinggasampel lebih representatif, dan hal ini terjadi walaupunsebagian besar jenis desa tidak diketahui. Kedua, denganmengambil jumlah sampel yang sama yaitu 35 rumahtangga per desa, kita bisa menyederhanakan analisatingkat desa, meskipun hal ini mengakibatkan adanya biassampel ke arah desa yang lebih kecil. Hal ini bukanlahsesuatu yang serius, karena selang ukuran desa yang dikajiagak rendah (sebagian besar ada dalam selang 85-115

Lampiran 3.

Kelebihan dan kelemahan dari kerangka sampel

rumah tangga). Lebih jauh lagi, pembobotan sampelberdasarkan besarnya desa dapat mengatasi masalah ini.Ketiga, dengan membatasi ukuran desa antara 40-200rumah tangga, desa yang lebih kecil atau lebih besar tidakakan diikutsertakan. Kami tidak memandang ini sebagaimasalah yang serius karena desa yang sangat kecil (lebihkecil dari 20 rumah tangga misalnya) cenderung beradadi daerah pedalaman dan mungkin tidak memilikihubungan kuat dengan pasar. Sedangkan desa yang besarcenderung lebih dekat ke kota dan seringkali hanyamempunyai sedikit tutupan hutan. Dalam memilih desaberukuran sedang, kami mengoptimalkan kriteria (yangkemungkinan saling bersaing) antara hubungan maksimaldengan pasar dan maksimal tutupan hutan alam yangmasih ada.

Page 44: Dampak krisis ekonomi Indonesia terhadap petani kecil dan ...I).pdf · Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3 3. Metode Penelitian 6 3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

38 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

Dari sensus pendahuluan telah terkumpul sebanyak 5.179rumah tangga di 40 desa. Pemilihan 30 desa yang palingcocok memperkecil menjadi 2.820 rumah tangga.Kemudian jumlah rumah tangga diperkecil menjadi2.668 sesuai dengan kriteria yang ada di bawah ini.

Rumah tangga yang dipilih dibatasi menurut:(1) Kepala rumah tangganya tetap tinggal di desa kajian

selama periode yang diselidiki (pertengahan 1996 -pertengahan 1999). Spesifikasi ini bertujuan untukmeyakinkan bahwa perbandingan diantara tigaperiode penelitian (pertengahan 1996 - pertengahan1997; pertengahan 1997 - pertengahan 1998; danpertengahan 1998 - pertengahan 1999) untuk tiaprumah tangga didasarkan pada kegiatan mereka didesa kajian saja. Dengan kata lain, kami inginmenghindari analisa yang tidak berarti, seperticontohnya, terjadinya perubahan pendapatan danperubahan komoditi sehubungan dengan perpindahandari satu desa ke desa lain ketimbang sehubungandengan faktor-faktor yang berkaitan dengan krisis.

Lampiran 4.

Stratifikasi sensus data untuk menyeleksiresponden survei rumah tangga

(2) Kepala rumah tangga yang merupakan “petani”dalam arti mereka menggarap lahan pertanian danmempunyai kontrol dalam pengambilan keputusanpengelolaannya. Buruh pertanian tidak termasukdisini, dimana perubahan harga komoditas tidakberarti perubahan dalam pengambilan keputusanpengelolaan lahan.

Dari 2.668 rumah tangga tersebut, 1.050 rumah tangga(35 di setiap 30 desa) dipilih secara acak untuk menjadiresponden bagi survei rumah tangga.

Rata-rata ukuran desa yaitu 112 rumah tangga. Padakasus-kasus dimana sebuah desa melebihi batas (200+rumah tangga), maka akan dipilih sebuah dusun dalamdesa. Selang ukuran dusun desa dalam kerangka sampeladalah: 75-125 rumah tangga di Riau/Jambi; 44-122 diLampung; 83-144 di Kalimantan Barat; 67-89 diKalimantan Timur; dan 75-106 di Sulawesi Tengah.