desentralisasi atau resentralisasi - researchgate

106
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/318727269 Desentralisasi atau Resentralisasi ? Tinjauan Kritis Terhadap UU NO.23/2014 Book · April 2015 CITATIONS 0 READS 6,601 1 author: Some of the authors of this publication are also working on these related projects: Literature Review on Development Discourse From Global to Indonesian Context View project Budi Kurniawan Lampung University 12 PUBLICATIONS 1 CITATION SEE PROFILE All content following this page was uploaded by Budi Kurniawan on 27 July 2017. The user has requested enhancement of the downloaded file.

Upload: others

Post on 05-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/318727269

Desentralisasi atau Resentralisasi ? Tinjauan Kritis Terhadap UU NO.23/2014

Book · April 2015

CITATIONS

0READS

6,601

1 author:

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Literature Review on Development Discourse From Global to Indonesian Context View project

Budi Kurniawan

Lampung University

12 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Budi Kurniawan on 27 July 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.

Page 2: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

Proceeding Seminar Nasional "UU Pemda: Solusi atau Masalah Yang Baru?"

Bandar Lampung, 30 April 2015

Desentralisasi atau Resentralisasi ?

Tinjauan Kritis Terhadap UU NO 23/2014

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 3: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 2

Selamat membaca

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 4: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 1

Arah Politik Pemerintahan UU NO 23/2014 Oleh: Ari Darmastuti 1

Pengantar

Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami pasang surut

sejarah yang panjang, dimulai sejak awal kemerdekaan (Undang-Undang nomor

22/1948) sampai saat ini (Undang-Undang nomor 23/2014), dengan berbagai sifat

pengaturan yang berbeda-beda. Perbedaan sifat pengaturan pemerintahan daerah

tersebut sangat tergantung pada arah politik pemerintahan yang dibentuk, yaitu

arah yang ingin memberi keleluasaan gerak kepada unit pemerintahan di tingkat

bawah atau justru pengelolaan pemerintahan sentralistis dan seragam pada tingkat

bawah. Masalah arah politik pengaturan pemerintahan daerah ini telah menjadi

pokok pangkal “keributan” yang tidak ada habisnya dalam sejarah otonomi daerah

di Indonesia.

Secara alamiah pemerintah daerah tentu menginginkan wewenang dan sumberdaya

yang cukup untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang mesti diembannya, tetapi

pemerintah pusat secara alamiah memliki kecenderungan untuk memiliki

kewenangan yang agar dapat leluasa melaksanakan keinginan strategis untuk

kepentingan bangsa. Dalam beberapa diskusi dan debat akademik yang penulis

hadiri dan ikuti, keinginan pemerintah pusat untuk memiliki kewenangan cukup

tersebut khususnya dinilai lebih didorong oleh apa yang oleh Nordholt dan Klinken

dinyatakan bahwa reformasi di Indonesia telah menyebabkan runtuhnya

otoritarianisme digantikan pemerintahan demokratis, tetapi juga telah

mengakibatkan hilangnya ketertiban digantikan ketidaktertiban . Dengan alasan 2

bahwa otonomi daerah telah menghasilkan “raja-raja kecil di daerah” serta

munculnya ketidakpatuhan kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat dan

pemerintah provinsi, kelihatannya undang-undang terbaru tentang pemerintahan

Ketua Program Studi dan dosen Magister Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Lampung1

Henk Schulte Nordhold dan Geryy van Klynken. Renegotiating Boundaries: Local Politics 2

in Post Suharto Indonesia. Leiden: KTILV Press. 2007: 1

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 5: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 2

daerah meletakkan kembali dasar-dasar sentralisme dalam pengaturan tentang

pemerintahan daerah di Indonesia.

Paper pendek ini merupakan analisis singkat dan kritis tentang arah politik

pemerintahan di Indonesia versi Undang-Undang nomor 23/2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Secara khusus paper ini menyoroti beberapa aspek penting

dalam pertimbangan filosofis, dalam konsep serta beberapa pasal kritis dalam

batang tubuh UU terbaru. Paper diakhiri dengan simpulan pendek serta solusi

yang mungkin diambil guna perbaikan substansi pengaturan pemerintahan di

Indonesia di masa yang akan datang.

Hilangnya Semangat Otonomi dalam UU 23/2014

Penulis mencatat bahwa semangat otonomi daerah telah hilang dalam

pertimbangan filosofis munculnya Undang-Undang nomor 23/4014. Dalam dasar

pertimbangan Undang-Undang, prinsip otonomi daerah (nyata dan bertanggung-

jawab versi UU 5/1974 maupun otonomi luas versi UU 22/1999) tidak disebutkan

atau hilang dalam pertimbangan UU. Karena prinsip otonomi sama sekali tidak

disebut dalam pertimbangan UU, maka penyebutan Daerah Otonom menjadi tidak

memiliki dasar filosofis karena otonomi daerah bukan prinsip yang menjadi dasar

pengaturan pemerintahan daerah. Pernyataan bahwa urusan konkurenlah yang

menjadi dasar hak otonomi daerah tidaklah kuat karena bukan urusan yang

menentukan otonomi, tetapi jenis otonomi daerahlah yang menjadi dasar apakah

daerah memiliki wewenang yang sungguh otonom atau tidak. Apalagi urusan

konkuren sendiri sudah ditentukan dengan rinci dalam UU, hal ini semakin

memberi indikasi kuat tentang arah dihilangkannya otonomi daerah dalam UU ini.

Hilangnya semangat otonomi dalam Undang-Undang nomor 23/2014 sangat

mengherankan karena setelah sentralisme model orde baru dinilai gagal

menyelesaikan isu ketidakadilan antara Timur dan Barat, antara Jawa dan luar

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 6: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 3

Jawa, maka otonomi luas di tingkat kabupaten/kota dinilai lebih sesuai dengan

tuntutan keadilan pembangunan. Peletakan kewenangan besar di tingkat Pusat

dan provinsi justru membuat model pemerintahan daerah semakin jauh dari

idealisme memberikan pelayanan yang lebih dekat kepada masyarakat. Bagaimana

kabupaten/kota akan dapat memberikan pelayanan jika sumberdaya dikuasai Pusat

dan Daerah? Hilangnya otonomi di tingkat kabupaten/kota juga akan memberi

potensi besar terhadap gagalnya pengelolaan pemerintahan desa karena

kabupaten/kota tidak akan memiliki sumberdaya memadai untuk bisa

mengkoordinir dan melaksanakan fungsinya secara memadai untuk mengawasi

pelaksanaan UU Desa.

Selain hilangnya semangat otonomi dalam pengaturan pemerintahan daerah dalam

UU ini, penulis mencatat aspek lain yang cukup ganjil dari dasar penggantian UU

32/2004. Dalam dasar pertimbangan disebutkan bahwa UU nomor 32/2004 tentang

Pemerintahan Daerah dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,

ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perlu

dikemukakan bahwa belum pernah ada debat akademis yang serus tentang

kelemahan UU 32/2004, khususnya menyangkut prinsip otonomi daerah di

Indonesia. Satu-satunya hal yang menjadi debat publik yang cukup serius adalah

diperlukannya secara tegas pemisahan pengaturan pemerintahan daerah,

pemerintahan desa dan Pilkada. Terlihat UU 23/2014 justru menguatkan keinginan

politik kelompok tertentu di parlemen yang ingin menguasai proses pilkada agar

hasilnya seragam dengan kehendak koalisi di DPR. Dengan keyakinan bahwa koalisi

tertentu akan menguasai pilkada maka kemudian kemudian terjadi rekayasa lebih

lanjut untuk mengatur agar sistim pemerintahan daerah kembali mengarah ke

sentralisasi dengan melemahkan azas otonomi daerah yang luas menjadi azas

otonomi terbatas.

Hilangnya semangat otonomi bukan hanya bahwa otonomi daerah tidak disebutkan

dalam dasar pertimbangan, tetapi juga dalam ketentuan umum Pasal 1 (12) yang

mengemukakakn konsepsi Daerah Otononom sebagai “kesatuan masyarakat hukum

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 7: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 4

yang......berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam sistim NKRI.” Terdapat perubahan cukup signifikan dari

mengatur dan mengurus urusan rumah-tangganya sendiri menjadi mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa daerah kehilangan

independensi “rumah tangga” dan aspek kekuasaan dalam rumah tangga, menjadi

sebatas “urusan pemerintahan”. Daerah otonom bukan unit otonom lagi (baik

provinsi maupun kabupaten/kota) tetapi menjadi sekedar berwenang mengatur

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat.

Hilangnya semangat otonomi juga terlihat lebih lanjut dalam pengaturan tentang

azas. Azas otonomi tidak disebutkan sama sekali; dan dalam ketentuan tentang

azas, yang ada hanyalah azas penyelenggaraan urusan pemerintahan (pasal 5 ayat

(4)). Dalam pasal ini disebutkan dengan jelas bahwa penyelenggaraan Urusan

Pemerintahan dilaksanakan dengan azas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas

Pembantuan. Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang ini telah mengatur

dengan rigid apa saja Urusan Pemerintahan konkuren yang dilaksanakan bersama

antara Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Penyebutan 5 (lima) urusan strategis nasional (agama, hukum, luarnegri,

pertahanan keamanan dan keuangan) sebagai urusan “absolut” justru menjadi

dasar bagi “kecurigaan” penulis bahwa kemudian istilah strategis digunakan

sebagai argumen bagi penguasaan sumberdaya yang selama ini telah diserahkan

kepada daerah untuk pembiayaan pelaksanaan urusan otonomi.

Ketentuan lain yang cukup membingungkan dalam pengaturan pemerintahan

daerah dalam Undang-Undang ini adalah bahwa untuk melaksanakan pemerintahan

daerah, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam

menyelenggarakan Urusan Pemerintahan. Dalam penjelasan pasal tentang hal ini,

kebijakan disebutkan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah pedoman

penyelenggaraan urusan konkuren baik yang untuk kewenangan Pemerintah Pusat

maupun Daerah. Meski demikian, tidak jelas apa yang dimaksud sebagai pedoman

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 8: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 5

tersebut karena tidak disebutkan lebih lanjut, apakah berupa Peraturan

Pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan Menteri, atau yang lainnya. Dalam

Undang-Undang sebelumnya hal ini disebutkan dengan jelas. Ketidakjelasan justru

dapat menimbulkan spekulasi yang merugikan untuk kepastian pengaturan

hubungan kewenangan dan keuangan antara Pusat dan daerah.

“Skenario” lebih lanjut bagi hilangnya semangat otonomi daerah dalam Undang-

Undang ini adalah ketentuan dalam Pembagian urusan antara Pemerintah Pusat

dan pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang disebutkan terdapat tiga jenis

urusan, yaitu absolut, konkuren dan pemerintahan umum. Dalam ketentuan

tentang apa yang menjadi urusan Pemerintahan Pusat, provinsi dan kabupaten,

maka jelas daerah akan kehilangan kontrol sama sekali atas sumberdaya yang

berada dalam posisi “lintas daerah”. Semua sumberdaya atau masalah yang

bersifat “lintas daerah” menjadi kewenangan sepenuhnya tingkat pemerintahan di

atasnya. Sepintas pengaturan seperti ini terlihat ideal. Tetapi pada periode

sebelumnya dan saat ini, daerah justru sering diminta pertanggung-jawaban dan

dinilai tidak bertanggung-jawab terhadap masalah yang sebenarnya bukan

kewenangannya, tetapi terjadi di daerahnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari

kondisi yang menunjukkan bahwa tidak ada urusan yang sama sekali tidak

menyangkut kabupaten/kota atau provinsi karena daerahlah yang menjadi lokasi

dari setiap urusan dan masalah. Menghilangkan sama sekali daerah di tingkat

bawah dalam urusan yang bersifat lintas daerah justru akan menghiangkan

semangat kebersamaan dalam penyelesaian urusan yang membutuhkan koordinasi

vertikal.

Hal yang paling kontroversial dalam pengaturan Undang-Undang ini yang

menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan sentralisme adalah pengaturan

urusan bidang kehutanan, kelautan dan energi dan sumberdaya mineral. Ketiga

urusan ini dibagi menjadi urusan Pusat dan Provinsi (Pasal 14 UU 23/2014).

Pengaturan seperti ini bertentangan dengan prinsip pengaturan urusan sebelumnya

yang menyatakan bahwa sumberdaya dan masalah yang diurus Pusat dan Provinsi

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 9: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 6

adalah urusan yang bersifat lintas provinsi atau lintas kabupaten. Prinsip urusan

pemerintahan itu dianulir sendiri oleh pembuat Undang-Undang dalam ketentuan

Pasal 14. Bagaimana dengan sumberdaya kelautan, perikanan dan energi dan

sumberdaya mineral yang hanya ada dalam satu kabupaten? Bagaimana dengan

hak masyarakat kabupaten/kota bersangkutan?

“Penyeragaman urusan” pemerintahan daerah eperti formula yang digariskan

dalam Undang-Undang ini juga tidak sesuai dengan kemampuan daerah yang

secara nyata berbeda satu dengan lainnya. Riset penulis menunjukkan bahwa

kemampuan daerah untuk melaksanakan fungsi lintas sektor dalam satu wilayah

provinsi sangat berbeda satu sama lain . Untuk itu dibutuhkan formula pengaturan 3

urusan yang lebih mengakomodir perbedaan kemampuan antar daerah, bukan

formula yang seragam.

Penutup

Osborne dan Gaebler menyatakan bahwa pemerintah harus mampu melaksanakan 4

10 prinsip entrepreneurial spirit. Sementara itu World Bank dalam Laporan 5

Pembangunan tahun 1997 menyatakan bahwa pemerintah memiliki fungsi-fungsi:

(1) meletakkan dasar-dasar hukum; (2) melakukan investasi di bidang pelayanan

sosial dan infrastruktur; (3) mengadakan kebijakan yang kukuh; (4) melindungi

yang lemah; (5) melindungi lingkungan hidup. Sedangkan J.E. Anderson , 1989, 6

menyatakan bahwa fungsi pemerintah ada 7 (tujuh) yaitu: ( 1) menyediakan

Ari Darmastuti. 2014. Local Autonomy and Inter-Sector Performance Based Government in Lampung 3

Province. Journal of Government and Politics. Volume 5 Number 2 August 2014

David Osborne dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley Publishing Co4

World Bank. Laporan Pembangunan 1997.5

Budi Setiyono. 2005. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Semarang: Pusat Kajian 6

Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 10: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 7

infrastruktur sosial; (2) menyediakan barang dan jasa kolektif; (3) menyelesaikan

konflik antar anggota masyarakat; (4) menjaga iklim persaingan; (5) melindungi

lingkungan hidup; (6) menyediakan akses minimum kepada individu terhadap

barang dan jasa; (7) menstabilkan ekonomi.

Bagaimana pemerintah akan dapat melaksanakan semua fungsi dan kewajibannya?

Jawabannya jelas, bahwa pemerintah harus memiliki sumberdaya yang memadai

untuk itu. Ketika suatu daerah, dalam Undang-Undang lebih tepatnya kabupaten/

kota, kehilangan kewenangan atas sumberdaya, maka jelas bahwa daerah tidak

akan dapat melaksanakan semua fungsi dan kewajibannya. Sungguh ironis bahwa

pembuat Undang-Undang menghilangkan semangat otonomi daerah dan keadilan

pembangunan, suatu langkah mundur dari semangat reformasi.

Daftar Pustaka

Anderson. J. E. 1989.

Darmastuti, Ari. 2014. Local Autonomy and Inter-sector Performance Based

Governance in Lampung Province. Journal of Government and Politics. Volume 5

Number 2, August 2014.

Nordhold, Henk Schulte, dan Geryy van Klynken. 2007. Renegotiating

Boundaries: Local Politics in Post Suharto Indonesia. Leiden: KTILV Press.

Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-

Wesley Publishing Co

Setiyono, Budi. 2005. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi.

Semarang: Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Worldbank. Laporan Pembangunan 1997.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 11: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 8

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF UU No. 23 TAHUN 2014 ) 7

Oleh Syarief Makhya ) 8

UU No.23 Tahun 2014 ) tentang Pemerintahan Daerah secara resmi diberlakukan 9

sejak Bulan Oktober 2014, menggantikan UU 32 tahun 2004. Sejak disyahkan UU

No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah nyaris UU ini tidak banyak dikritisi

atau dibicarakan oleh para praktisi dan akademisi pemerintahan tentang hal-hal

yang baru dalam praktek berpemerintahan, seakan-akan tidak ada yang baru atau

bahkan nyaris tidak ada isu yang layak untuk diperbicangkan.

Jika ditilik dari latar belakang munculnya UU Pemda yang baru ini, maka

sebenaranya lahirnya UU tersebut bukan produk dari problem penyelenggaraan

pemerintahan yang mendasar, karena tidak ada isu subtanstif di era UU No.32/

2004 yang mencuat untuk diperbincangkan, tetapi lebih disebabkan alasan

ketidaksesuaian UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan perkembangan keadaan,

ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

UU No.5/1974 bisa bertahan selama 25 tahun, UU No.22/1999 efektifnya hanya

berjalan 3 tahun, dan UU 32/2004 hanya berlangsung selama 10 tahun untuk

kemudian diganti dengan UU 23/2014. Perubahan tersebut cenderung akibat dari

) Disampaikan Pada Semnas tentang UU Pemerintahan Daerah : Solusi atau Masalah Baru, yang 7

diselenggarakkan, Lab Politik Lokal dan Otda Jur ilmu Pemerintahan, Pascasarjana MIP FISIP Unila dan APAKSI Korwil Lampung, Kamis 30 April 2015 di Universitas Lampung.

) Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) FISIP Universitas Lampung8

) UU No.23 Tahun 2014, ada perubahan yaitu dengan dikeluarkannya UU No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan 9

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU. Dalam UU No.2 tahun 2015 hanya Pasal 101 dan pasal 154 yang dirubah terkait dengan Tugas dan Wewenang DPRD.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 12: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 9

dinamika perubahan politik yang terjadi di pemerintah Pusat. Jadi, secara

hipotesis UU No.23/2014 juga bukan produk perubahan UU pemda yang final,

potensi untuk berubah juga terbuka lebar tergantung pada dinamika dan tarik

menarik kepentingan politik di pemerintah pusat. Artinya, Indonesia sesunggunya

belum memiliki model ideal dalam mengatur proses penyelenggaraan

pemerintahan di Daerah untuk kepentingan jangka panjang.

Visi pemerintahan yang ingin dibangun dalam UU No.23 tahun 2014, yaitu dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah ditujukan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat, melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah.

Sementara, prinsip yang dibangun dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

yaitu demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhasan daerah dalam sistem NKRI

(lihat konsideran UU No.23/2014).

Namun, pertanyaan yang layak untuk diajukan, apakah visi tersebut bisa

diwujudkan? Sebagian jawaban atas pertanyaan ini secara normatif akan bisa

dilihat dari subtansi UU No.23/2014, apakah bisa menjawab dan memberikan solusi

terhadap problem implementasi otonomi daerah sekarang ini, atau justru

menimbulkan persoalan baru?

Telaah UU No. 23 Tahun 2014

Secara umum UU No. 23 Tahun2014 yang terdiri atas 411 pasal, jika dibandingan

dengan tiga UU sebelumnya (UU No.5 Tahun 1974, UU No.22 tahun 1999 dan UU No.

32 tahun 2004), UU ini jauh lebih komprehensif, rinci dan ada terobosan baru

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam tulisan ini sebagian dari

potret penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan ditelaah dari (a) Relasi

Kekuasaan Kepala Daerah dengan DPRD, (b) Distribusi Kewenangan, (c) Kebijakan

Perencanaan Pembangunan, (d) inovasi daerah (e) Akses Publik, (e) Pemerintahan

umum.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 13: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 10

(a) Relasi Kekuasaan

Jika dipertanyakan lembaga mana yang memiliki kewenangan untuk

mengontrol proses penyelenggaraan pemerintahan daerah? Jawabannya secara

konstitutional adalah DPRD. Namun, bagaimana meletakan fungsi pengawasan

ini dalam konstruksi penyelenggaraan pemerintahan. Dalam UU No. 23 Tahun

2014 tidak ada perubahan yang berarti atau hampir sama dengan kontruksi

yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 yaitu Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu perangkat daerah.

Implikasi dari kontruski penyelenggaraan seperti tersebut yaitu fenomena

kekuasaan menjadi terintegratif. DPRD diletakan sebagai mitranya pemerintah

daerah, sehingga model yang dikembangkan adalah hubungan kerjasama,

mengurangi konflik dan mengedepankan legitimasi formal. Akibatnya, fungsi

kontrol DPRD terhadap jalannya pemerintah tereduksi dan tidak efektif.

(b) Distribusi Kewenangan

Dalam UU no 23 tahun 2014, urusan pemerintahan dibagi atas urusan absolut

yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, urusan pemerintahan umum, dan

Urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Urusan

pemerintahan absolut  adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi

kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan

Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan

Daerah kabupaten/kota.  Urusan pemerintahan umum  adalah Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala

pemerintahan.

Untuk urusan konkuren atau urusan pemerintahan yang dibagi antara

Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dibagi

menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan

Pemerintahan Wajib  adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan

oleh semua Daerah. Sedangkan  Urusan Pemerintahan Pilihan  adalah Urusan

Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 14: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 11

yang dimiliki Daerah. Urusan pemerintah wajib yang diselenggaraan

oleh pemerintah daerah  terbagi menjadi Urusan Pemerintahan yang berkaitan

dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan

Pelayanan Dasar.

Esensi dari penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur berdasarkan distribusi

kewenangan tersebut adalah untuk merealisasikan fungsi – fungsi pemerintahan

di bidang pelayanan publik, pembangunan dan pemberdayaan, dan keamanan,.

Pelaksanaan fungsi itu membutuhkan kejelasan kewenangan yang memadai dan

dukungan anggaran yang maksimal. Oleh karena itu, pada tataran

implementasinya distribusi kewenangan membawa konsekuensi tidak hanya

menyangkut sumber pendanaannya tetapi juga terkait dengan sumber

pemasukan bagi pendapatan daerah. Penyerahan kewenangan yang tidak

menghasilkan sumber PAD, maka harus dibebankan pada pemerintah daerah

yang menjadi tanggunjawabnya melalui pendanaan APBD, sebaliknya

kewenangan yang mempunyai dampak terhadap sumber pendapatan PAD akan

memberi kontribusi bagi peningkatan APBD.

Hasil penelitian yang dilakukan DPD RI (2011:36) urusan yang berpotensi

meningkatkan kesejahteraan rakyat yaitu sektor pertambangan, perikanan,

pertanian, perkebuhan, kehutanan dan parawisata. Dalam UU No.23 Tahun

2014, beberapa urusan tersebut yang selama ini dikelola oleh Kabupaten/Kota

seperti pertambangan, pendidikan menengah, dan kehutanan sekarang menjadi

urusan Pemerintah Provinsi. Pengambilalihan kewenangan tersebut akan

memberi dampak yang tidak menguntungkan bagi pemerintah kabupaten/kota

seperti berkurangannya PAD.

Keberadaan pemerintah Provinsi, seharusnya lebih diarahkan pada peran,

koordinasi, fasilitatif, insentif dan pemberdayaan bukan melakukan peran

secara langsung khususnya dalam pemberian pelayanan publik dan

pembangunan, kecuali yang sifatnya lintas Kabupaten/Kota; karena pelayanan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 15: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 12

publik sebagian besar berada di kabupaten/kota, maka kabupaten/kota

dibutuhkan kewenangan strategis dan sumber anggaraan yang memadai.

Distribusi kewenangan harus dipertimbangkan aspek kelayakan implementasinya

dan dampaknya serta memberi jaminan untuk bisa berfungsinya

penyelenggaraan pemerintahan secara optimal; Isu pokoknya yang harus

dikedepankan adalah persoalan distribusi alokasi sumber daya. Persoalan ini lah

yang sebenarnya menjadi sumber konflik kepentingan.

Sebagai pendukung alasan tersebut yaitu anggaran sekarang ini hampir 70 %

ada di Pusat, dan 30 % di Daerah. Distribusi anggaran pusat ke daerah 10

dilakukan melalaui DAU, DBH dan DAK. Secara teknis pembagian distribusi itu

tidak dilakukan dalam sistem manajemen yang transparan dan adil, akses untuk

memperoleh dana tersebut, harus dilakukan melalui loby atau memiliki akses

dengan pejabat di pemerintah pusat.

Dari aspek manajemen pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan bukan

hanya sebatas pada tercapainya efisiensi atau efektivitas pemerintahan, tetapi

juga harus mengedepankan aspek pemerataan pembangunan. Oleh karena itu

penumpukan anggaran di Pusat dan distribusi anggarannya harus dievaluasi dan

diarahkan pada pencapaian pemerataan pembangunan.

(c) Kebijakan Perencanaan Pembangunan,

Dalam UU No. 23 Tahun 2014, kebijakan ini diatur dalam Pembangunan Daerah

(Bab X). Kebijakan perencanaan pembangunan yang diatur dalam Bab X UU

23/2014 tersebut, merupakan bentuk penyempurnaan dari kebijakan yang

diatur dalam UU 32/2004. Dalam bab ini, perencanaan disusun secara

sistematis, dalam RPJPD, RPJMD, RKPD. Dalam dokumen perencanaan tersebut

) Data ini bersumber dari Surat Bupati Aceh Tengah Kepada Presiden tentang Masukan UU No.23 tahun 10

2014, Tanggal 7 Januari 2015

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 16: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 13

khususnya RPJMD harus merupakan penjabaran visi, misi, dan program kepala

daerah. Ini menunjukkan bahwa isu kepentingan publik dipersepsikan oleh

kepentingan politik yang bersifat personal. Pengalaman sejauh ini, pengaruh

kepentingan kepala daerah sangat dominan dalam mengimplementasikan

kebijakan perencanaan pembangunan dan seringkali kesinambungannya tidak

terjaga serta juga bertolak belakang dengan kepentungan publik yang

dipersepsikan oleh masyarakat luas (kepentingan publik yang pluralistik).

(d) UU 23 Tahun 2014, memberi naunsa baru yaitu yaitu adanya pasal khusus yang

mengatur tentang inovasi daerah (Bab XXI, Pasal 386 sd 390). Dengan adanya

ketentuan ini, maka setiap daerah bisa melakukan terobosan kebijakan sesuai

dengan inovasi yang dikembangkan di daerahnya; daerah bisa melakukan

inisiatif untuk membuat kebijakan yang inovatif, tanpa harus menunggu

persetujuan atau restu dari pemerintah pusat. Ketentuan ini adalah wujud dari

kebijakan desentralisasi a simetris. Dengan adanya ketentuan pasal ini, maka

tidak ada alasan bagai pejabat di daerah untuk melakukan inisiatif untuk

menjalankan sebuah perubahan di daerahnya serta tidak perlu khawatir

terjerat dalam masalah hukum.

(e) Akses Publik

Hampir sama dengan UU 32/2004, UU Pemerintahan Daerah yang baru pun

membuka akses publik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Regulasi

akses publik dalam UU 23 Tahun 2014, diatur dalam Bab XIV tentang partisipasi

masyarakat dan Bab XXI tentang Informasi Pemerintahan Daerah. Adanya

Partisipasi publik dan Informasi Publik menegaskan bahwa pemerintah harus

memberi ruang bagi publik dalam proses pembuatan kebijakan, mengontrol

dan mengevaluasi kebijakan, serta pemerintah dituntut untuk terbuka,

sehingga informasi harus bisa diakses oleh publik.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 17: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 14

Namun, ketentuan peranserta publik dan keterbukaan informasi publik

cenderung hanya kebijakan simbolik yang tidak memiliki kekuatan memaksa,

sehingga praktis tidak terimplementasikan secara optimal, karena masih

kuatnya dominasi peran pemerintah.

e. Pemerintahan Umum

UU ini juga sebagian mengembalikan warisan UU No.5/1974 dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah, seperti pembentukan Forkominda,

memperkuat peran gubernur dalam kapasitas sebagai kepala wilayah (pasal

91-94), dan memfungsionalisasikan kembali urusan pemerintahan umum oleh

Kecamatan (pasal 225)

Penguatan Gubernur sebagai Pusat harus diterjemahkan sebagai bentuk

intervensi positif yaitu memberi jaminan untuk kepentingan (a) terlaksananya

urusan pemerintahan umum (b) memfasilitasi dan mendistribusi sumberdaya

secara adil bagi kepetingan kabupaten/kota; (c) berperan aktif dan terlibat

dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi kabupaten/kota.

Simpulan

Efektif tidaknya penyelenggaraan pemerintahan prinsipnya ditentukan oleh sistem

dan kapasitas kepemimpinan kepala daerah. UU 23/2014, adalah sebuah sistem

untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Dalam prakteknya implementasi

UU Pemda sebagaimana terjadi selama ini, ada problem implementasi yaitu ada

subtansi regulasi yang hanya sebatas` simbolik dan tidak bisa terimplementasikan

karena faktor lemahnya kekuatan pemaksa dan terjadi perebutan kepentingan

dikalangan elit politik dan pemerintahan yang tidak bisa dikontrol serta

terbatasnya sumber anggaran.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 18: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 15

UU No. 23 Tahun 2014, yang ingin membangun pemerintahan yang demokratis,

secara hipotesis sulit untuk diwujudkan karena pengelolaan kekuasaan tidak diatur

secara tepat yaitu bagaimana agar penyelenggaraan pemerintahan itu bisa

dikontrol secara efektif. Sementara isu pokok yang terkait dengan distribusi alokasi

sumber daya, sebagai isu pokok untuk penyelenggaraan pelayanan publik dan

pembangunan di daerah, masih belum diatur untuk menjamin pemerataan dan

keadilan pembangunan di daerah-daerah terutama yang berada di luar Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

DPD.RI. 2011. Desain Pola Hubungan Kewenangan Kabupaten/Kota dengan

Provinsi, Sekertariat Jendral DPD RI. Jakarta

Undang-Undang PEMDA, Sinar Grafika, Jakarta. 2015

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 19: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 16

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014: PEMERINTAHAN DAERAH YANG EFEKTIF-EFISIEN DAN RESENTRALISASI

Hertanto Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Magister Ilmu Pemerintahan

FISIP UNILA

PENDAHULUAN

Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah

dirubah oleh UU No. 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, merupakan UU yang ketiga

pada pemerintahan periode reformasi. Sebelumnya ada UU No. 22 tahun 1999 dan

UU No. 32 tahun 2004.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 20: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 17

Selama kurun 1999-2014 itu, praktik desentralisasi dan otonomi daerah di era

Reformasi sudah berjalan selama satu dasawarsa lebih. Setelah tiga dekade

sebelumnya terbiasa diatur dan diperintah dari pusat (Jakarta), kini, daerah

memiliki kewenangan jauh lebih besar. Banyak hal sudah terjadi. Beberapa kepala

daerah bekerja secara kreatif dan banyak melakukan inovasi kebijakan. Mereka

mampu menerbitkan kemakmuran di daerah masing-masing. Namun, cukup banyak

juga kepala daerah yang kurang atau bahkan tidak berhasil menyejahterakan

rakyatnya. Mereka justru terperangkap dalam pusaran kekuasaan. Pusat-pusat

kekuasaan yang telah menyebar memang menghadirkan sejumlah komplikasi. Di

antaranya, hubungan birokrasi dan pembagian wewenang pemerintah pusat dan

pemerintah daerah serta kompetensi sumber daya manusia yang tidak sama antara

satu daerah dengan daerah lain. Kekuasaan yang berhimpun di tangan elite yang

dipilih secara langsung juga memunculkan masalah tersendiri. Dinamika politik

lokal itu bagaikan pisau bermata dua: menguntungkan bila elite politik berpihak

sepenuhnya pada kepentingan publik dan mencederai rakyat kalau mereka

membangun "kartel" dengan lebih mengutamakan kepentingan kelompok (Prisma,

Juli 2010: 74).

Sehingga, tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk meningkatkan layanan

publik dan kesejahteraan rakyat, merupakan dua persoalan yang hingga sekarang

masih terlihat sangat mahal kendati daerah sudah diberi kewenangan cukup besar.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 21: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 18

UU Nomor 23 tahun 2014 dilahirkan dari latar persoalan-persoalan di atas. Untuk

itu, menurut mantan Mendagri Gamawan Fauzi diperlukan adanya paradigma

kewenangan daerah yang efektif dan efisien (Prisma, Juli 2010: 74). Ini yang

antara lain memunculkan Pasal 14 ayat (1), dimana “penyelenggaraan urusan

pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral

dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi”.

Ada dua dua sudut pandang yang hampir sama dari segi praktek pemerintahan yang

berjalan dan seting kebijakan desentralisasi dan otonomi yang diterapkan. Dua-

duanya, beranggapan karena berbagai pertimbangan, maka kebijakan sentralisasi

kerap menjadi pilihan utama dalam mengatasi masalah hubungan pusat dan daerah

di Indonesia.

Pemerintahan yang Efektif dan Efisien

Menurut Gamawan Fauzi (2010: 75), desentralisasi dalam negara kesatuan

diberikan oleh pusat kepada daerah. Bila empunya wewenang minta

pertanggungjawaban, maka daerah yang diberi mandat seharusnya bertanggung

jawab. Tetapi terkadang seorang bupati diundang oleh gubernur (sebagai wakil

pemerintah pusat) tidak mau datang. Bupati merasa itu sebagai haknya. Padahal,

dia hanya menerima kewenangan yang telah diberikan.

Dengan demikian, menurut Gamawan, ke depan pola seperti ini akan dirubah.

Jadi, penyerahan kewenangan tidak lagi berprinsip "luas, nyata, dan bertanggung

jawab", tetapi efektif dan efisien. Kewenangan seperti apa yang akan lebih efektif

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 22: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 19

dan efisien bila diurus oleh pemerintah pusat atau provinsi atau kabupaten-kota.

Jadi, kriterianya tidak lagi "luas, nyata, dan bertanggung jawab", tetapi efektif dan

efisien. Hal strategis apa yang harus tetap dipegang pusat dan tidak diserahkan ke

daerah.

Pandangan ini mewakili argumentasi pemerintah pusat yang mendesain berlakunya

undang-undang tentang pemerintahan daerah saat ini.

Resentralisasi

Menurut beberapa pakar yang mewakili kalangan masyarakat, akar persoalan

desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia adalah, pertama, relasi kekuasaan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia lebih cenderung

mengarah ke kutub sentralisasi daripada desentralisasi (Hidayat 2010: 17). Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada tingkat minimal mencoba menggeser pendulum

sentralisasi ke kutub desentralisasi, namun UU No. 32/2004 justru cenderung

mengembalikannya ke posisi semula (sentralisasi). Salah satu penyebab gerak balik

pendulum desentralisasi tersebut adalah karena konsep desentralisasi yang

diterapkan sejak awal kemerdekaan relatif tidak mengakomodasi perspektif

desentralisasi politik (kewenangan) tetapi lebih berkiblat pada perspektif

desentralisasi administrasi (urusan). Pada tingkat "pernyataan", sering

dikemukakan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk

mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokal, namun pada tingkat

"kenyataan" wewenang yang diserahkan kepada daerah sangat dibatasi, dan kontrol

pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah juga sangat ketat.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 23: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 20

Kedua, realitas implementasi desentralisasi dan otonomi daerah juga

menggambarkan fokus perhatian agenda reformasi yang berlangsung selama

sepuluh tahun pertama (1999-2009) lebih banyak dicurahkan pada upaya

memperbaiki dan membangun institusi negara (state institutional reform).

Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas negara relatif

belum mendapat perhatian yang memadai. Akibatnya, "kehadiran" negara dalam

praktik kehidupan sehari-hari menjadi samar-samar atau bahkan "absen".

Reformasi desentralisasi dan otonomi daerah yang berlangsung sepuluh tahun

terakhir juga sebagai bagian dari state institutional reform minus state capacity.

Karena itu, kehadiran desentralisasi dan otonomi daerah terlihat "sangat nyata"

dalam bentuk institusi, tetapi "tidak kentara" dalam fungsi. Desentralisasi dan

otonomi daerah juga "sangat nyata" hadir dengan kemasan demokrasi, namun "roh"

yang terkandung di dalamnya masih sangat bernuansa sentralisasi (Hidayat 2010:

18).

Ketiga, ada tiga problematik sehubungan dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004

sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, yakni problem konstitusi, problem

komitmen pemangku kepentingan, dan problem inkonsistensi kebijakan (Haris

2014: 198). Problem konstitusi terkait dengan amanat Pasal 18 (baru), Pasal 18A

dan Pasal 18B UUD 1945 yang menjadi dasar penerbitan UU No. 32/2004 yang

membuka peluang penafsiran yang lebar bagi penyusun UU (DPR dan pemerintah)

tentang ruang lingkup agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Sehingga prinsip

desentralisasi, esensi otonomi daerah dan pemerintahan daerah, struktur

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 24: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 21

pemerintahan daerah (Pemda dan DPRD), hubungan pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah, dan hubungan antarpemerintahan daerah (propinsi-

kabupaten/kota dan sebaliknya) cenderung "mundur kembali" dibandingkan UU No.

22/1999.

Adapun, problem komitmen pemangku kepentingan terkait dengan sikap

pemerintah pusat, DPR, dan parpol, yang tidak punya komitmen terhadap agenda

desentralisasi dan otonomi daerah. Sedangkan problem inkonsistensi kebijakan

terkait dengan persoalan lembaga regulator, format regulasi, dan ruang lingkup

kebijakan otonomi daerah. Lembaga regulator berkaitan dengan wacana urgensi

keterlibatan DPD-sebagai wakil-wakil Daerah—dalam penyusunan regulasi otonomi

daerah. Otoritas regulator berkenaan dengan batas-batas yang boleh dan tidak

boleh diubah dalam regulasi otonomi daerah apabila telah ada grand design yang

jelas mengenai arah agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Format regulasi

berkaitan dengan wacana perlunya penyatuan (kompilasi) antara UU tentang

Pemerintahan Daerah dan UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, serta

di sisi lain pemisahan pengaturan kebijakan otonomi daerah dan pemilihan

kepala daerah (Pilkada). Sementara itu, ruang lingkup regulasi berhubungan

dengan cakupan kewenangan pemerintah di satu pihak, dan kewenangan

pemerintahan daerah di pihak lain (Haris 2012: 204).

Keempat, desain otonomi lokal yang pada dasarnya bukan merupakan isu teknis

pemerintahan melainkan indikasi dari persaingan sengit antara kepentingan-

kepentingan yang bersaing memperebutkan sumber daya material yang konkret

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 25: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 22

(Hadiz 2005: 241). Jakarta jelas punya kepentingan tersendiri dalam

mempertahankan kendali atas potensi lokal - paling tidak sebanyak mungkin -

sambil berusaha menyeimbangkan hal ini terhadap aspirasi untuk mendapatkan

otonomi yang lebih luas. Di lain pihak, elite-elite lokal ingin mendapatkan kendali

langsung atas potensi yang sama untuk kepentingan mereka sendiri, dengan secara

tipikal menyebut-nyebut ketidakadilan yang terjadi pada masa lalu yang

memungkinkan Jakarta untuk mengeksploitasi kekayaan dengan merugikan pihak

lokal. Belum lagi masalah ketidakmerataan kemakmuran di berbagai daerah di

Indonesia. Oleh karena itu persaingan utamanya adalah tentang penguasaan

sumber-sumber daya, meskipun hal ini diutarakan atas nama harga-diri lokal, atau

identitas etnik atau kedaerahan versus persatuan nasional. Sumber daya yang

diperebutkan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Oleh karena itu

desentralisasi pada akhirnya bukan hanya masalah perhitungan teknis saja, tetapi

lebih mendasar lagi yaitu masalah persaingan kekuasaan. Suatu perjuangan konkret

memperebutkan kekuasaan dan sumber daya di antara kepentingan-kepentingan

yang berbeda di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Termasuk di dalamnya

kepentingan-kepentingan predatoris yang dipupuk di bawah Orde Baru tetap

muncul dalam persaingan ini (Hadiz 2005: 206).

PENUTUP

Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan

peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 26: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 23

daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih

memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah

dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan

tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan

negara (Konsideran UU No. 23 tahun 2014).

Berdasarkan pengalaman hubungan pusat dengan daerah, selalu diwarnai trend

naik-turun dan bergesernya pendulung kekuasaan dari sentralisasi kepada

desentralisasi, dan sebaliknya. Bila terjadi masalah antara pusat dan daerah,

kebijakan yang diambil oleh pusat kerapkali melakukan resentralisasi. Karena ada

kekhawatiran daerah punya ‘kekuatan’ yang tidak bisa dikendalikan oleh pusat

atau mengarah kepada desintegrasi NKRI. Sejarah desentralisasi di Indonesia

senantiasa ditandai oleh prasangka tersebut (Wignjosoebroto 2010: 61).

Sebenarnya, periode Reformasi merupakan pembalikan sentralisasi Orde Baru ke

arah desentralisasi yang membawa harapan besar bagi tumbuhnya era otonomi

daerah (Haris 2012; Hidayat 2010).

Oleh karena itu, apa pun perbedaan ancangan konseptual dan asumsi paradigmatik

di antara pihak-pihak yang berkompeten, dalam persoalan desentralisasi,

seharusnya sama-sama bertolak dari sebuah kebijakan bahwa kekuasaan dalam

tata pemerintahan yang terlalu terpusat tidaklah menguntungkan. Berdasarkan

pertimbangan itu, perlu diupayakan berkurangnya kekuasaan pusat di satu sisi dan

bertambahnya kewenangan daerah di sisi lain. Semua pihak harus lebih

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 27: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 24

mengedepankan kepentingan dan peran sentral masyarakat yang memiliki

kebebasan serta menyadari hak-hak konstitusionalnya sebagai warga suatu negara

demokratis.

PUSTAKA PENDUKUNG

Fauzi, Gamawan. 2010. “Paradigma Kewenangan Daerah yang Efektif dan Efisien”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 74-83.

Hadiz, Vedi R. 2005. “Desentralisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis”. Dalam Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES. Hlm. 272-304.

Haris, Syamsuddin. 2014. “Desentralisasi Asimetris, Problem atau Solusi?”. Dalam Masalah-masalah Demokrasi & Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Obor. Hlm. 191-218.

Hidayat, Syarif. 2010. “Mengurai Peristiwa-Merentas Karsa: Refleksi Satu Dasa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 3-22.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2010. “Satu Abad Desentralisasi di Indonesia”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 58-69.

Dokumen

RI, Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

RI, Undang-undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 28: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 25

Kritik dan Saran Untuk Perbaikan UU 23 tahun 2014 Oleh: Budi Kurniawan

UU 23 tahun 2014 lahir dari adanya keresahan akan dampak negatif yang

ditimbulkan UU no 32 tahun 2004. Ada beberapa masalah yang disorot sebagai

kelamahan UU lama yang ditulis oleh sang arsitek, yakni DIRJEN Otda Kemendagri,

Djohermansyah Djohan di Kompas (25 April 2015) beberapa waktu yang lalu.

Pertama dan yang paling penting adalah lemahnya fungsi gubernur dan pemerintah

pusat dalam mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Dalam banyak kasus,

gubernur sebagai kepanjangan pemerintah pusat di daerah gagal mencegah abuse

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 29: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 26

of power dari pemerintah kota dan kabupaten terutama dalam masalah

pertambangan, kelautan dan kehutanan. Dampak negatifnya adalah kerusakan

lingkungan yang parah akibat eksploitasi pemerintah kabupaten dan kota dalam

rangka meningkatakan pendapatan daerah. Muncul raja-raja kecil di daerah yang

tanpa bisa dikontrol gubernur dan pemerintah pusat ini, dalam banyak kasus tidak

bisa berkoordinasi dengan gubernur yang biasannya dikarenakan perbedaan latar

belakang politik. Dan di sisi yang lain gubernur berada pada posisi menggantung

tanpa bisa berpijak. Kedua, maraknya daerah pemekaran yang kebablasan. Ketiga,

ada kewenangan yang tumpang tindih.

Selain itu dalam naskah akademiknya (2011: 13-16), Kementrian dalam negeri

merasa perlu melakukan revisi terhadap UU ini dikarenakan adanya overhead cost

akibat otonomi daerah yang berimbas pada naiknya anggaran kepagawaian.

Overhead cost ini dianggap membebani anggaran daerah yang tidak sedikit

mengorbankan sektor vital lainnya yang lebih layak untuk diprioritaskan seperti

infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Dampak –dampak negatif inilah menurut

pemerintah pusat yang menjadi latar belakang mengapa UU 32 tahun 2004 perlu

direvisi. Tulisan ini akan membahas beberapa catatan kritis penulis terhadap UU ini

dan bagaimana solusi yang dapat ditawarkan untuk menjawab permasalahan

otonomi daerah.

Proses Pembuatan Kebijakan yang Tidak Demokratis

UU ini dalam proses policy making-nya pun tidak melibatkan banyak aktor di luar

negara. Penulis sendiri yang bekerja di kampus tidak pernah diajak untuk

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 30: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 27

membahas UU yang penting ini. Daerah pun apalagi, kabupaten dan kota yang

menjadi objek kebijakan ini gelisah justru ketika UU ini telah disahkan dan

berdampak bagi mereka.

Ada asymmetric information diantara anak bangsa yang berkepentingan akan UU

ini. UU yang lebih menyorot perhatian publik adalah UU pilkada langsung atau

tidak langsung. Televisi dan Koran yang basisnya di Jakarta dan umumnya dimiliki

tokoh politik nasional lebih mengcover UU ini ketimbang UU pemda karena

memang berkaitan dengan kepentingan elite politik Jakarta. Sehingga perdebatan

di ruang publik lebih didominasi Jakarta ketimbang daerah di saat TV nasional yang

mendominasi rumah kita lebih bias Jakarta. Implikasinya adalah perdebatan dan

pembahasan UU ini kurang, dan akhirnya UU ini lolos tanpa ada perdebatan yang

berarti di ruang publik.

Kesalahan Paradigma

Kesalahan fatal dalam UU ini adalah masih terkungkungnya paradigma hierarkis

ketimbang network atau jaringan. Jakarta masih beranggapan bahwa pengawasan

itu harus hirarkis padahal kenyataannya paradigma ini sudah usang dan

ditinggalkan dalam paradigma manajemen publik atau pemerintahan. Jika kita

lihat tulisan Dirjen Otda di Kompas, jelas bahwa di benak perancang UU ini yang

mengawasi pemerintahan daerah adalah kekuasaan hirarkis diatasnya yakni

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 31: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 28

Gubernur dan Pemerintah Pusat. Dalam UU ini paradigma ini bisa dilihat dari pasal

91, UU 23/2014 tentang fungsi pengawasan Gubernur.

Padahal dalam paradigma network atau istilah lain democratic governance, justru

seharusnya pemerintahan itu harus meninggalkan paradigma hierarkis dan beralih

ke hubungan yang harizontal. Bahkan dalam pidato guru besarnya, mensekneg,

Prof Pratikno menegaskan(2009) bahwa; “Struktur pemerintahan pun mengalami

perubahan yang cukup signifikan. Karakter struktur kelembagaan pemerintahan

yang sebelumnya bersifat hierarkis bergeser menjadi lebih horisontal dengan aktor

yang semakin banyak”. Anehnya disaat paradigma pemerintahan saat ini di dunia

meninggalkan paradigma hierarkis dan lebih horizontal (Owen Hughes,2011),(Guy B

Peters, 2011:63), UU ini masih mengusung paradigma yang usang ini.

Dalam struktur pemerintahan yang horizontal (atau dalam banyak literatur

diistilahkan governance ) justru pengawasan itu seharusnya dilakukan oleh aktor di

luar kelembagaan negara, yang dalam istilah studi pemerintahan dikenal dengan

istilah networks. Ini artinya penguatan networks seperti masyarakat sipil agar

mereka lebih berdaya dalam mengawasi pemerintahan justru yang harus lebih

ditingkatkan dan difokuskan. Pakar pemerintahan, Rhodes ( 2007: 1246) misalnya

malah mengatakan bahwa governance itu sebenarnya maknanya adalah model

pemerintahan melalui networks. Ini artinya paham bahwa pemerintahan hanya

proses hierarkis di dalam institusi negara sebagaimana paradigma UU ini adalah

sesuatu yang tidak tepat dan tidak sejalan dengan dinamika pemerintahan saat ini

yang lebih demokratis dan melibatkan banyak aktor.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 32: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 29

Betulkah overhead Cost ?

Jika dikatakan bahwa otonomi daerah selama ini overhead cost, maka fakta di

lapangan justru otonomi daerah telah memajukan ekonomi daerah ditengah fakta

memang terjadi overhead cost. Banyaknya jumlah uang yang beredar di daerah

telah menciptakan multiplier effect yang berdampak positif bagi daerah. Misalnya

Pembangunan perkantoran telah menciptakan tata ruang baru yang memberi space

bagi pedagang-pedagang kecil. Lapangan kerja baru pun dibuka dan memberi

dampak bagi naiknya income penduduk lokal.

Memang harus diakui komponen terbanyak dari pengeluaran APBD di banyak daerah

adalah dalam sektor belanja pemerintah khususnya belanja pegawai dan tentu saja

pembangunan perkantoran bagi daerah otonom baru. Namun itu biasanya terjadi di

tahap awal pembentukan daerah baru. Ini adalah sebuah kewajaran jika beban

belanja pemerintah DOB berlebih, namun seiring waktu akan dikurangi. Solusinya

bukanlah dengan mengurangi kewenangan namun lebih fokus kepada bagaimana

daerah di dorong untuk membuat politik anggaran yang sehat.

Namun, tidak semua daerah gagal dalam kebijakan anggarannya, dan ini sangat

tergantung dari kualitas kepala daerah ketimbang sistem otonomi daerahnya. Data

dari Indonesia Governance Index 2014 misalnya mencatat ada daerah yang berhasil

secara efektif mengurangi belanja pegawai dan lebih berpihak kepada sektor yang

lainnya yang lebih penting seperti Kabupaten Siak Riau. Siak membuktikan bahwa

tidak selamanya desentalisasi menciptakan overhead cost.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 33: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 30

Hal ini sekali lagi ditegaskan bahwa bukan sistem desentralisasinya yang

bermasalah tetapi lebih ke kualitas kepemimpinan daerah. Bicara tentang kualitas

kepemimpinan daerah akhirnya kembali ke masalah kepartaian. Artinya tetap saja

dapur masalah itu diproduksi oleh sistem kepartaian kita yang belum mampu

menghasilkan kepemimpinan daerah yang berkualitas.

Solusi yang Tambal Sulam

Sayangnya solusi yang ditawarkan pemerintah pusat adalah fokus pada pengambil-

alihan wewenang ketimbang peningkatan pengawasan. Pusat melihat masalahnya

adalah pada daerah yakni pemerintah kabupaten dan kota yang dianggap

terlampau melimpah kewenangannya. Sehingga pemikiran tambal sulam kembali

terjadi. Menurut pusat, "Jika daerah gagal dan melakukan penyimpangan maka

ambil alih wewenang dan kembalikan ke pusat melalui perpanjangan tangan

mereka di daerah yakni gubernur".

Namun, pada kenyataannya tidak semua daerah dikatakan gagal dalam

menyelaraskan antara eksploitasi alam dan kelestarian lingkungan hidup. Masih ada

daerah yang bisa dikatakan maju dengan memanfaatkan kekayaan alamnya secara

bijak sekaligus melestarikan lingkungan hidup. Namun memang harus diakui jujur

bahwa eklorasi pertambangan dan kehutanan telah menyumbang banyak kerusakan

lingkungan dan menyumbang banyak kepala daerah masuk penjara karena kasus

suap.

UU otonomi daerah sebagai tuntutan dari reformasi politik 1998 telah sukses

mengantarkan pembangunan di berbagai daerah. Jika selama ini kekayaan alam

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 34: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 31

daerah dikeruk dan dibawa Jakarta sehingga ouputnya lebih banyak dirasakan

Jakarta, dengan otonomi daerah telah banyak daerah maju dan berkembang pesat

ekonominya sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Dengan lahirnya

UU ini ditakutkan potensi daerah malah dimatikan, kabupaten dan kota bisa

kehilangan modal penting bagi pembangunan mereka.

Jika ada kekurangan seharusnya pemerintah tidak mencabut kewenangan tetapi

meningkatkan pengawasan. Salah satunya dengan peningkatan partisipasi

masyarakat dalam pemerintahan. Adagium power tends to corrupt akan berlaku

dimana saja ada kewenangan itu berada. Oleh karena itulah perlu fokus ke

pengawasan dengan melibatkan masyarakat atau aktor-aktor di luar negara.

Dahulu ketika orde baru dengan sentralismenya, penyimpangan terjadi di pusat.

Dampak ketimpangan pusat dan daearah, Jawa dan luar Jawa masih kita rasakan

hingga saat ini. Seiring dengan tuntutan demokrasi, otonomi daerahpun

diberlakukan dengan UU 22 tahun 1999 dan 32 tahun 2004. Titik tekan otonomi

daerah berada di pemerintah kabupaten dan kota. Bisa kita katakan penyimpangan

kekuasaan meluas hingga ke daerah. Namun dengan mengambilalih kewenangan

kota dan kabupaten melalui UU yang baru ini, bisa saja terjadi kemungkinan

penyimpangan terhadap kekuasaan akan terjangkit ke Provinsi. Sehingga kemudian

hari tidak menutup peluang akan ada revisi kembali bahkan sentralisasi jika pola

pikir tambal sulam masih ada di benak pengambil kebijakan.

Solusi Bagi Perbaikan: Perlunya Desentalisasi Yang menjamin terciptanya

Inclusive institution

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 35: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 32

Perdebatan tentang apa sebaiknya model pemerintahan daerah kita saat ini tidak

akan selesai jika tidak ada kontrak sosial baru diantara berbagai pemangku

kepentingan terutama daerah tentang bagaimana seharusnya sistem pemerintahan

daerah ini. Ini artinya NKRI bukanlah harga mati. Negara Kesatuan perlu segera di

bahas kembali diantara anak bangsa ini. Founding fathers kita seperti Hatta dan

Tan Malaka misalnya lebih memilih federasi ketimbang kesatuan. Namun kerena

intervensi militer dan rezim orde baru perdebatan tentang apakah kesatuan atau

federasi menjadi taboo untuk dibahas.

Alternatif lain di luar federasi atau sentralisme kesatuan adalah apa yang digagas

teman-teman UGM dengan asymmetric decentralization di dalam bingkai negara

kesatuan. Model ini ( walau sebagian sudah diakomodir di UU 23/2014) bahkan

telah menjadi program di nawacita Presiden Jokowi. Kuatnya pengaruh UGM

terhadap Jokowi terlihat dari diadopisnya model ini dalam nawacita. Artinya ada

kemungkinan besar UU ini akan direvisi jika merujuk ke nawacita. UU ini sendiri

adalah produk pemerintahan SBY yang didominasi intelektual IPDN sehingga bisa

dimaklumi jika model pemerintahannya dalam UU ini masih kental dengan

paradigma lama orde baru yang sentralistis. Karena sudah kita maklumi IPDN

cenderung serius dalam mencetak pamong ketimbang pengembangan keilmuan

yang tempatnya di Universitas.

Namun yang paling penting apakah kita mengadopsi model sentralisme orde baru,

atau federasi ataupun asymmetric decentralization adalah memastikan bahwa

sistem pemerintahan daerah kita bisa mampu melakukan perbaikan bagi institusi

politik dan ekonomi ke arah institusi yang inclusive. Kegagalan banyak negara

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 36: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 33

dalam pembangunan dan menciptakan kesejahteraan disinyalir banyak disebabkan

oleh faktor tidak mampunya negara beralih dari sistem extractive institution ke

inclusive institution dari institusi politik dan ekonominya seperti yang

dikemukakan pengarang buku best seller “Why Nation Fail”, Robinson dan

Acemoglu, (2012:144-145). Berikut penjelasan theory of Instituions yang diolah

dari slide kuliah umum Robinson dan Acemoglu di LSE tanggal 8 Juni 2012:

Dua pakar ekonomi-politik ini menawarkan sistem desentralisasi karena menjamin

sistem politik yang pluralistik sebagai ciri inclusive institution. Namun dalam

banyak kasus desentralisasi di banyak negara justu menjadi pemicu lemahnya

penegakan dan keteraturan hukum dan sentralisasi justru lebih bisa memastikan.

Oleh sebab itu perlu ada konsensus utama di bangsa ini tujuan kita jelas

kesejahteraan, namun cara nya mana yang efektif sesuai dengan konteks

Indonesia, desentarlisasi atau sentralisasi. Yang jelas yang diutamakan adalah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 37: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 34

bagaimana sistem pemerintahan daerah kita mampu meningkatkan partisipasi

politik masyarat secara adil tanpa diskriminasi dan tanpa menguntungkan elite

tertentu. Inilah yang disebut political inclusive institution itu. Wallahu a’lam

Referensi

Acemoglu, D & Robinson, J.A 2012 “Why nation fail: the origin of power, prosperity and poverty”, Crown Publisher, New York

________________________, 2011 ‘ Why nation fail: the origin of power, prosperity and poverty, Slide in Morishma Lecture, LSE June 8, 2011, London

Djohermansyah, D 2015 “Kado Hari Otonomi” Kompas, 25 April 2015

Hughes, O 2003, ‘Public management in developing countries’ Public management And Administration, 3rd edn, Palgrave, Basingstoke, pp.218-27

Kemendagri, 2011, Naskah Akademik RUU tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta

Kemitraan, 2014 “Menata Indonesia dari Daerah” Kemitraan, Jakarta

Peters, G. B,2011, Governance as political theory, Critical Political Studies, Vol. 5 No. 1 pp. 63-72

Pratikno, 2009 “Rekonsolidasi Reformasi Indonesia: Kontribusi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif” Pidato guru besar UGM, Yogyakarta

Rhodes, R.A.W, 2007, Understanding governance: Ten years on, Organization Studies , Vol. 28, No. 8, pp. 1243-126

UU No 23 tahun 2014

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 38: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 35

NAWACITA DAN DESENTRALISASI ASIMETRIS:

SEKEDAR JANJI ATAU SOLUSI SERIUS MENGATASI PROBLEMATIKA

OTONOMI DAERAH DI INDONESIA 11

Makalah/policy paper disampaikan dalam Prosiding dan pada acara Seminar Nasional UU 11

Pemerintahan Daerah Baru: Desentralisasi atau Resentralisasi? Diselenggarakan Magister Ilmu Pemerintahan dan Lab. Politik Lokal dan Otonomi Daerah JIP FISIP Universitas Lampung, di Rektorat Unila, Kamis 30 April 2015.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 39: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 36

OLEH SYAFARUDIN, M.A. 12

Pergantian Presiden dan DPR, seperti biasa, diikuti episode gonta-ganti Undang-

undang. Celakanya dengan perubahan kebijakan tidak serta merta problematika

penataan otonomi daerah di Indonesia mereda bahkan muncul persoalan atau

kerumitan baru. Sejatinya persoalan otonomi daerah sejak era orde lama tidaklah

mudah alias memang sangat kompleks . 13

Begitu juga saat terbitnya UU Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014 di ujung

Pemerintahan Presiden SBY sebagai revisi terhadap UU 32 Tahun 2004. UU

Pemerintahan Daerah yang belum genap setahun itu kemudian pada era Presiden

Jokowi diamandemen menjadi UU No.2 Tahun 2015. Revisi UU tersebut di

tahun 2015 ini hanya memuat perubahan dalam fungsi DPRD namun tidak

menyentuh subtansi lain yang signifikan.

Kedua UU ini yakni UU 23/2014 dan revisinya UU No 2/ 2015 cenderung berpotensi

(bahkan ada pihak yang mengabarkan kepada penulis sudah menimbulkan

masalah baru ) jika dibandingkan dengan UU Pemerintahan daerah yang telah 14

berlaku dan dijalankan sebelumnya sejak tahun 1999 dan 2004, yakni UU No.

22/1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.

Penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, korespondensi 12

email: [email protected]

Tak heran rekan akademisi seperti Prof. Pratikno pernah mencatatnya dalam label 13

“Desentralisasi, Pilihan yang Tidak Pernah Final”, Abdul Gaffar Karim melukiskan dalam tulisan “Bangunan Goyah di atas Fondasi bermasalah: Otonomi Daerah di Indonesia; dalam buku “Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia”, Abdul Gaffar Karim (editor), cetakan ke-2, 2006, JIP UGM dan Pustaka Pelajar Yogyakarta.

Di daerah yang kaya hasil tambang ada kabar bupati ngambek dan ngancam mundur dari 14

jabatan Bupati karena kewenangan perizinan tambang yang semula domain/kewenangan Bupati kini harus ditarik menjadi kewenangan Gubernur selaku kepala daerah yang sekaligus Pembantu Presiden di daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 40: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 37

Bila lebih jauh kita rentangkan sejarah maka terlihat bahwa persoalan klasik yang

terus berulang sejak diberlakukan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan

Daerah pada era orde baru sampai dengan UU 2/2015 tentang Pemerintahan

Daerah salah satunya adalah menata format ideal hubungan antara pemerintah

pusat, pemerintah provinsi dan dengan pemerintah kabupaten/kota terkait

pelaksanaan pembagian/perimbangan wewenang dan keuangan atau/bagi hasil

masing-masing dalam bingkai negara kesatuan (Unitarian). Diikuti persoalan/

pertanyaan berulang yang lain, misalnya seputar pertanyaan apa kontribusi

finansial pemerintah pusat sekarang dalam pemekaran daerah dan kerjasama

antardaerah, termasuk yang senantiasa berulang ditanyakan daerah adalah pola

perimbangan keuangan pusat dan daerah dan atau antar daerah; yang seperti apa

yang ingin didorong pemerintahan baru sekarang ini.

Masih ingat dalam lintasan memori kita bahwa UU 22/1999 dan UU 32/2004 yang

lahir dalam era reformasi semangatnya sama yakni mengutamakan desentralisasi

berbasis di kabupaten/kota sebagai lokus otonomi daerah. Pilihan desentralisasi ini

dimaklumi sebagai obat penawar atau koreksi terhadap praktek keliru era

pemerintahan orde baru yang mengedepankan asas sentralisasi, penghisapan

daerah , dan uniformitas yang sudah berlangsung cukup lama 25 tahun

(1974-1999).

Celakanya, praktek otonomi daerah era reformasi yang baru berjalan belia atau

berusia 10-11 tahun ini sudah dirubah kembali dengan 4(empat) nuansa kontroversi

dan paradoksal sebagai berikut:

(1) keinginan Resentralisasi berbasis di Provinsi dengan berbagai alasan dan

hasil evaluasi dan ini masih bisa diperdebatkan; Bila UU 32/2004 masih

memberikan kewenangan/perizinan cukup bagi pemerintah kabupaten/kota di

sektor kelautan, kehutanan, dan pertambangan; maka pada UU Pemerintahan

Daerah 23/2014 dan UU 2/2015 terlihat dominannya kewenangan pemerintah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 41: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 38

provinsi ketimbang Pemerintah Kabupaten/kota dalam sektor kelautan, kehutanan,

dan pertambangan.

(2) menerapkan Desentralisasi Simetris yang berujung uniformitas dan

sudah lama format tersebut (bersama format “desentralisasi asimetris terpaksa

berlaku”) dikritik para pakar ; 15

(3)Presiden, Mendagri, dan Staf Kemendagri cenderung lamban merespon

dan mencari solusi terhadap persoalan otonomi daerah yang muncul belakangan

ini ; 16

(4) Dalam kebingungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten

membuat pola hubungan kewenangan yang harmonis. Saya mencatat dan sekaligus

menggarisbawahi bahwa Pemerintah pusat atau pembantu Presiden beserta Parpol

pendukung pemerintahan sekarang selain lamban juga bingung dan cenderung lupa

Lihat A.A.GN Ari Dwipayana, Menata Desentralisasi Indonesia, Makalah, Jurusan 15

Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011, hlm. 1-2. Ari mencatat banyak kerancuan, pelaksanaan politik hukum desentralisasi dan otonomi daerah 13 tahun terakhir terkait hubungan pusat – daerah secara komprehensif, serta dipertanyakan komitmennya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Lihat juga Laporan Penelitian Prof. Pratikno, dkk, Desentralisasi Asimetris di Indonesia:

Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010. Dalam laporan bahkan disebutkan bahwa pemerintah pusat selama ini tidak memiliki desain desentralisasi asimetris untuk diterapkan di daerah. Kalaupun desain itu ada, lebih disebabkan oleh tuntutan dari daerah tertentu akibat munculnya berbagai permasalahan dan ancaman disintegrasi.hal.138.

Misalnya, tatkala kewenangan Gubernur/pemerintah provinsi diperbesar dalam sektor 16

kehutanan, pertambangan, dan kelautan di daerah; kenapa hal ini masih digantung pusat atau belum dikeluarkannya PP (peraturan pemerintah) sebagai petunjuk pelaksanaannya. Begitu juga tatkala pemerintah kabupaten ingin melakukan pemekaran daerah dengan tahapan manajemen transisi 3 tahun sebagai daerah kabupaten persiapan. kenapa masih digantung atau belum dikeluarkannya PP (peraturan pemerintah) tentang tatacara pemekaran daerah atau pembentukan daerah persiapan sebagai petunjuk pelaksanaannya.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 42: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 39

menerjamahkan janji Nawacita (sembilan agenda prioritas) yang memuat

Desentralisasi Asimetris yang sudah dijadikan bahan kampanye politik presiden

dan partai politik pengusung sejak tahun lalu. Padahal bila janji Nawacita--yang

memuat desentralisai asimetris, membangun tata kelola pemerintahan yang

efektif, dan revolusi mental —yang juga sebagai bentuk kontrak sosial dan kontrak 17

politik itu dipahami dan dilaksanakan dalam regulasi dan aksi yang segera maka

persoalan otonomi daerah yang kompleks diyakini banyak pihak bisa cepat diurai

untuk mencapai visi Indonesia hebat.

Desentraliasi Asimetris: Alasan Penerapan, Urgensi, Implikasi Diharapkan, dan

Optimisme Pakar

Dalam negara kesatuan Indonesia, sebagaimana kita ketahui penyelenggaraan

pemerintahan daerah adalah kombinasi beberapa sistem dimana selain

menggunakan sistem sentralisasi, dikenal juga penerapan sistem

desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan

oleh Pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau

kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Tugas pembantuan adalah

penugasan dari Pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa, bisa

juga tugas dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa

Lihat poin 2 Nawacita Jokowi-JK “ Kami akan membuat pemerintah selalu hadir dengan 17

membangun tata kelola pemerintahan yang bersih efektif, demokratis dan terpercaya’. Poin 3 Nawacita “Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan dengan sub poin prioritas (1) desentralisasi asimetris; (2) pemerataan pembangunan antar wilayah terutama desa, kawasan timur Indonesia dan kawasan perbatasan.(3) penataan daerah otonomi baru untuk kesejahteraan rakyat; poin 8 Nawacita “Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa”.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 43: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 40

serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas

tertentu.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Daerah

otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas

wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sistem Desentralisasi ini secara teoritis terbagi 2 yakni Desentralisasi Simetris

(format penyelenggaraan pemda yang sama untuk tiap wilayah, provinsi dan atau

kabupen/kota) dan Desentralisasi Asimetris (format penyelenggaraan pemda

yang tidak sama/berbeda untuk tiap wilayah, provinsi dan atau kabupen/kota).

Desentralisasi Asimetris (assymmetric decentralization) bukan konsep asing di

Indonesia karena sudah diterapkan dengan alasan politik, sejarah dan budaya

(political, history and cultural driven) misalnya dalam bentuk daerah otonomi

khusus (Papua, Aceh), daerah khusus (Jakarta) dan daerah Istimewa (Yogyakarta).

Desentralisasi Asimetris dalam Nawacita yang saya pahami adalah konsep

menarik karena tawaran penerapan otonomi daerah yang berbeda tiap wilayah/

kawasan atau provinsi/kabupaten/kota bukan karena alasan politis sejarah atau

budaya semata; tapi lebih jauh karena melihat perbedaan kapasitas

pemerintahan local (local goverment capacity driven) dan didorong pula setelah

melihat kenyataan perbedaan karakter wilayah, potensi sumber daya alam dan

manusia di Indonesia.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 44: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 41

Bila kita cermati substansi Nawacita jelas bahwa implikasi penerapan

Desentraliasi Asimetris secara praksis selain bertujuan (1) mewujudkan tata

kelola pemerintahan yang efektif; sekaligus (2) strategi pemerintah membangun

Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dan (3)

strategi cerdas pemerataan pembangunan antarwilayah terutama desa, kawasan

timur Indonesia dan kawasan perbatasan serta (4) sebagai bagian strategi

penataan daerah otonomi baru (DOB) untuk kesejahteraan rakyat.

Optimisme bahwa penerapan desentralisasi asimetris akan menjadi obat baru

dalam penataan daerah otonomi di Indonesia muncul sejak lama dari kalangan

peneliti dan akademisi diantaranya:

❖ “Inti desentralisasi asimetris adalah terbukanya ruang gerak

implementasi dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan

pemerintahan di luar ketentuan umum dan khusus. Mengapa provinsi?

Ini karena level kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam

perundangan pemerintahan selama ini. Dalam hal ini, desentralisasi asimetris dapat menjadi terobosan akan

kebuntuan mekanisme forma dimana pengaturan asimetris itu

diterapkan”. ( Prof. M. Mas’ud Said, Ph.D. Dewan Pakar Mayarakat

Ilmu Pemerintahan Indonesia dalam artikel “Perlu Desentralisasi

Asimetris dalam .Negara Kesatuan”. Jurnal Borneo Administrator Vol.

6 No. 2, 2010).

❖ “Desentralisasi asimetris di Indonesia merupakan sebuah

keberlanjutan sejarah yang telah dimulai dari masa kolonial dan

ditegaskan dalam tiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia.

Dasar dari desentralisasi asimetris tersebut dapat dirujuk dalam

konstitusi sebagai kesatuan hukum tertinggi. Desentralisasi asimetris

menyangkut urusan yang fundamental terkait pola hubungan pusat

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 45: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 42

dan daerah menyangkut disain kewenangan,kelembagaan, finansial

dan kontrol yang berbeda”.

(Bayu Dardias Kurniadi, Staf pengajar di Jurusan Politik dan

Pemerintahan, Fisipol UGM. Ketua Tim Kajian “Evaluasi Desentralisasi

Asimetris yang Mensejahterakan: Pengalaman Aceh dan Papua”,

kerjasama Yayasan TIFA dan JPP Fisipol UGM tahun 2012).

❖ “Argumentasi tentang pentingnya pengembangan desentralisasi

asimetris di Indonesia didasarkan pada argumentasi sebagai berikut, 1)

Desain asimetris dirancang untuk menjawab persoalan lokal/daerah

dengan menggunakan kapasitas governability sebagai tolok ukur utama;

2) Desain asimetris dirancang untuk menjawab tantangan globalisasi; 3)

Desain asimetris harus diletakkan di atas prinsip kebineka-an sosio-

kultural Indonesia; 4) Asimetris tidak hanya menjangkau masalah2 lokal,

juga kebutuhan nasional”

(Kotan Y. Stefanus,, Staf Pengajar Pascasarjana FH Undana, 2012)

Catatan Penutup

(1) Meski tujuan dan implikasi yang diharapkan baik dan muncul

optimisme dari berbagai pihak , Saya kira kita perlu juga

memperhatikan tiga saran dari pakar politik lokal dan otonomi daerah

yang lebih seni or yakni “bahwa Pengaturan asimetris desentralisasi 18

karena faktor capacity driven ini harus memperhatikan (a) memiliki

jangka waktu dalam pelaksanaannya, bisa temporer dan bisa

permanen; (b) bentuk pengaturan asimetris formatnya bisa finansial

atau fungsional; dan (c) skope pengaturan asimetris bervariasi,

tergantung di level pemerintah yang mana pengaturan asimetris itu

diterapkan”.

Cornelis Lay dan Josep Riwu Kaho. Modul kuliah Politik Desentralisasi. JPP FISIP 18

UGM. 2007. Tidak dipublikasikan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 46: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 43

(2) Pelaksanaan revolusi mental atau perubahan dari kerja lambat

menjadi cepat, minta dilayani menjadi melayani, tertutup menjadi

terbuka, mobilisasi menjadi partisipatif nampaknya perlu mulai

dilakukan oleh pemerintah pusat sendiri terutama jajaran

kemendagri. Sudah saatnya rancangan kebijakan tindaklanjut dari UU

Pemda dikonsultasikan ke publik, diseminarkan bersama asosiasi

pemda di kampus, hal ini tentu sesuai semangat Nawacita yang

mengutamakan partisipasi publik.Semoga Nawacita dan Desentralisasi

Asimetris bukan sekedar janji tapi solusi nyata mengatasi

problematika otonomi daerah di Indonesia.***

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 47: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 44

KEPEMIMPINAN POLITIK LOKAL

(Telaah Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah)

Oleh : Robi Cahyadi Kurniawan 19

A. PENDAHULUAN

Pengesahan Undang-undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah yang baru yakni UU

No 2 Tahun 2015 menimbulkan keresahan terutama dikalangan pemerintah daerah

Kabupaten dan Kota. UU ini merupakan revisi dari UU yang baru saja dibuat tahun

2014, yakni UU No 23 tahun 2014. Menariknya dalam beberapa bulan saja, UU

yang disetujui oleh DPR tidak lama setelah pergantian pemerintahan direvisi

kembali seiring dengan dikembalikannya proses pemilihan kepala daerah dari

DPRD ke rakyat secara langsung, seperti yang diamanahkan oleh Undang-Undang

tentang Pemilukada

Perubahan dalam UU yang terbaru hanya pada fungsi DPRD yang menyesuaikan

konteks pemilihan kepala daerah yang kembali langsung oleh rakyat. Substansi

yang lain pada UU sebelumnya ( UU 23 tahun 2014) tidak banyak yang berubah.

Namun jika dibandingkan dengan UU yang telah berlaku dan dijalankan

sebelumnya yakni UU No 32 tahun 2004 ada beberapa hal subsatansial yang

berubah.

UU Pemerintahan daerah yang baru lahir dari adanya keresahan yang ditimbulkan

UU sebelumnya. Salah satu masalah dalam UU No 32 tahun 2004 adalah lemahnya

fungsi gubernur dalam mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Dalam

pandangan pemerintah lokal, Gubernur bukanlah atasan mereka, karen Walikota

dan Bupati dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga Gubernur seolah kehilangan

kekuasaan mereka terhadap Bupati dan Walikota. Masalah-masalah pertambangan,

kelautan dan kehutanan menjadi eksplotasi utama Bupati dan Walikota untuk

Robi Cahyadi Kurniawan M.A, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP UNILA.19

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 48: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 45

meningkatkan PAD dan menguntungkan diri sendiri tanpa melihat dampak negatif

dari kebijakan yang telah ia buat.

Raja-raja kecil didaerah banyak sekali bermunculan sejak rezim pilkada

(pemilukada) dimulai. Koordinasi kepada pemerintah pusat , dalam hal ini

Gubernur sebagai kepanjangan tangan Presiden menjadi sangat kacau. Otonomi

daerah yang diharapkan menjadi pemicu majunya daerah karena bisa mengelola

kekayaan dan potensi alamnya secara mandiri, berubah menjadi ajang korupsi dan

memperkaya diri.

Dampak negatifnya adalah banyak kekayaan alam yang tidak dipergunakan dengan

semestinya, digadaikan kepada pihak ketiga yang memiliki modal, serta

menguntungkan elit lokal dan pejabat daerah. Dilain pihak beban anggaran pemda

kabupaten/kota bertambah dengan alasan belanja pegawai , serta pembangunan

yang tidak tepat sasaran. Sehingga pemerintah pusat mengambil alih kewenangan

pemerintah daerah seperti yang tertuang dalam UU No 23 tahun 2014. Tulisan ini

mencoba menganalisa tentang fenomena elit lokal dalam kaitannya dengan

implementasi UU No 23 tahun 2014, khususnya pada pasal 14.

B. TEORI TENTANG ELIT DALAM POLITIK LOKAL

Teori tentang elit dikembangkan oleh tiga ilmuan Italia, yaitu ; Robert Mitchels

dengan konsepnya ’hukum besi oligarkhi ’, Gaetano Mosca dengan dikotomi 20

’governing elite and non governing ’, Vilfredo Pareto dengan konsep ’the ruling 21

class dan the ruled class’ dan ide tentang ’elite circulation ’. Mereka meletakkan 22

fondasi yang kuat tentang studi elit sejak tahun 1915. Basis pemikiran mereka

bersumber pada pendapat Aristoteles tentang peran yang dimainkan sejumlah

Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi, 20

terjemahan. Mien Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 1984

Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 193921

Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 193522

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 49: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 46

minoritas yang memegang kekuasaan dalam sejarah manusia (oligarkhi/

aristokrasi). Pengertian elit mengalami transformasi menjadi ’a small and powerful

group’ sejak saat itu . 23

Dua perspektif utama dalam studi tentang elit yaitu pluralis ( democratic elite

theory) dan marxis (class theory ). Teori elit menyatakan bahwa 24

ketidakseimbangan dalam masyarakat sebagai hal yang alamiah dan faktor yang

given. Dalam sebuah masyarakat selalu ada orang-orang yang ditempatkan dalam

posisi yang lebih baik dibandingkan kelompok masyarakat lain. Teori kelas yang

dipelopori oleh Karl Marx, membagi masyarakat menjadi dua katagori berdasar

kepemilikan alat-alat produksi; yang memiliki dan menguasai alat produksi disebut

the rulling class. Sedangkan kelas yang lain ; mereka yang tidak memiliki alat

produksi, mereka diatur, diekploitasi dan dimiliki oleh kelas yang lebih berkuasa.

Dalam negara-negara dunia ketiga, terdapat beberapa elit lokal yang terbentuk.

Joel S. Migdal menyebutnya sebagai Local Strongmen yang merupakan refleksi 25

kekuatan masyarakat yang plural serta kelemahan negara (strong societies and

weak states). Setiap kelompok dalam masyarakat memiliki pemimpinnya

sendiridan pemimpin ini relatif otonom terhadap negara. Sifat otonom ini

menyebabkan keberlangsungan ’lokal strongman’ tergantung pada ’social capacity’

negara. Kemampuan negara untuk membuat warganya mematuhi aturan permainan

dalam masyarakat yang dibuat oleh negara disebut social capacity. Termasuk

kemampuan untuk menyediakan sumber daya untuk mencapai tujuan pokoknya

serta mengatur perilaku masyarakat sehari-hari. Di negara-negara dunia ketiga

kemampuan negara tersebut lemah, sehingga menyebabkan menjamurnya local

strongman.

Lebih lanjut Migdal mengemukakan bahwa local strongmen dapat bertahan asalkan

ia berkolaborasi dengan negara dan partai politik pemerintah. Berdasarkan itu

Scoot, 1990: ix23

Etzioni-Halevy, 1993, Scott, 199124

Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001 : 8525

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 50: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 47

maka terbentuklah ’triangle of accomodation’. Yang terjadi kemudian, triangle ini

mengijinkan sumberdaya negara untuk memperkuat local strongmen dan

organisasinya, dan keberlangsungan local strongmen tergantung juga pada

kekuatan negara untuk mengatur kontrol mereka. Mereka belajar mengakomodasi

pemimpin yang populis untuk ’menangkap’ organisasi negara pada level yang lebih

rendah . 26

B. TELAAH UNDANG-UNDANG NO 23 Tahun 2014 DARI PERSPEKTIF ELIT

Akar permasalahan mengapa penulis merasa perlu untuk mengkaji undang-undang

ini berdasarkan perspektif elit adalah karena tarik menarik kewenangan kemudian

menjadi latar belakang lahirnya UU No 23 tahun 2014 ini. Otonomi darah yang

digadang-gadang merupakan bentuk terbaik dari penyelenggaraan pemerintahan,

menurut pendapat penulis sudah berubah menjadi sebuah arena memperkaya diri

bagi para pemimpin dan elit lokal, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.

Didalam undang-undang No 23 tahun 2014 pasal 14 disebutkan; ayat 1 :

Penyelenggaraan Urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, energi dan

sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi. Ayat 2

dituliskan ; Urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana disebut pada ayat

(1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi

kewenangan daerah kabupaten/kota. Ayat 3, dituliskan ; Urusan pemerintahan

bidang energi dan sumberdaya mineral sebagaimana yang disebut pada ayat (1)

yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan

pemerintah pusat. Ayat 4, dituliskan; Urusan pemerintahan bidang energi dan

sumberdaya mineral sebagaimana yang disebut pada ayat (1) yang berkaitan

dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupatan/kota menjadi

kewenangan kabupaten /kota.

Ibid. Midgal, 25626

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 51: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 48

Sekilas dari pemaparan pasal 14 terdapat keadilan berbagi kewenangan yakni

diayat 3, pemerintah pusat memiliki hak dalam pengelolaan minyak dan gas bumi,

dilain pihak daerah kabupaten/kota memiliki hak mengelola taman kota dan

pemanfaatan langsung panas bumi.

Dalam perspektif elit, dalam kacamata teori Marx, yang dijelaskan mengenai

produksi, maka keputusan pasal 14 dalam UU N0 23 tahun 2014 ini adalah murni

dikarenakan tentang kelas menurut pendapat penulis. Pemerintah pusat

mempunyai kelas yang lebih tinggi dibandingkan pemerintah daerah. Pusat

memiliki hak yang lebih pantas untuk memproduksi dan menghasilkan publik goods

bagi masyarakat dengan menguasai sumber daya alam yang paling dicari dan paling

menguntungkan.

Dalam konteks teori kapitalisme, penulis berpendapat bahwa pemerintah pusat

yang terdiri dari bagian eksekutif dan legislatif memiliki keinginan mengambil

keuntungan lebih besar dan lebih banyak dalam hal ekploitasi minyak dan gas

bumi. Dalam banyak kasus, bahwa penguasaan minyak dan gas telah menjadi

sumber penghasilan partai politik dengan menempatkan wakil-wakilnya dijajaran

pemerintahan umtuk menjadi menteri dan direktur pertamina (contoh kasus Rudi

Rubiantara dan Sultan Bhatogana politisi Partai Demokrat dalam korupsi SKK

Migas).

Dalam konteks lokal, dalam perspektif local strongmen-nya Midgal, bahwa

kekuatan lokal diramu dengan kelemahan negara menjadikan banyak kekuatan-

kekuatan lokal baru. Serupa dengan Bossism di Filiphina, penulis berpendapat

bahwa kekuatan lokal di kabupaten dan kota di Indonesia dalam hal ini konteks

yang lebih sempit adalah Provinsi Lampung lahir dari kolaborasi penguasa (Bupati

dan Walikota) dengan pengusaha.

Dengan pengambilalihan kewenangan minyak bumi dan gas ke pemerintah pusat,

yang paling dirugikan adalah penguasa dan pengusaha lokal. Asumsi penulis, dalam

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 52: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 49

konteks lokal kabupaten-kabupaten di Provinsi Lampung yang memiliki cadangan

minyak bumi dan gas bumi, perusahaan-perusahaan asing telah mengeluarkan

dana yang telah di alokasikan untuk melancarkan eksploitasi mereka di daerah.

Misalnya Chevron yag menggali cadangan gas dan minyak bumi yang ada di

Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus.

Pembagian kewenangan yang dirasa tidak adil oleh daerah ini juga cenderung

dapat menciptakan peluang neo-feadalisme dengan budaya paternalistik dan

menciptakan pola patron klien yang baru. Kembali ke masa orde barau dimana

pemerintah usat sebagai patron (raja) dan pemerintah daerah sebagai klien

(hamba) khususnya bagi pengelolaan migas.

UU No 23 tahun 2014 yang telah direvisi sebagian kecil pasalnya dan dimuat dalam

UU No 2 tahun 2015 telah menjadi sebuah pekerjaan rmah yang berat bagi daerah-

daerah kabupaten kota, khususnya yang memiliki kandungan minyak dan gas bumi

yang banyak. Peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang ini memang

belum ada, untuk itu diperlukan peraturan yang sistemtik dan mengatur seadil-

adilnya tentang bagi hasil daerah yang memiliki kandungan minyak dan gas.

Fenomena Aceh dan Papua, bisa menular ke daerah-daerah lain di Indonesia adalah

hal disintegrasi bangsa dan juga kecendrungan keinginan kuat memisahkan diri

dari NKRI jika masalah pembagian kuota ini tidak diberlakukan dengan bijak dan

adil. Jika kecendrungan ini didukung kuat oleh lokal stongmen dan bossism kuat

didaerah yang ditopang oleh dana dari pengusaha , maka kemungkinan disintegrasi

daerah bisa mungkin terjadi.

Pasal 14 Undang-Undang No 23 tahun 2014 memang hanya terdiri dari beberapa

ayat, namun besar konsekuensinya dalam konteks hubungan antara pusat dan

daerah, karena juga menyangkut pembagian jatah kue perekonomian yang berguna

untuk pembangunan daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 53: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 50

Kepemimpinan politik lokal , dalam hal ini konteks Bupati dan Walikota

menanggapi berlakunya UU No 23 tahun 2014 , selain perlu pembagian kue yang

lebih adil juga dibutuhkan pengawasan yang melekat sehingga pemimpin lokal

tidak menjadi raja kecil yang cenderung menyelewengkan dana pemerintah pusat.

Hendaknya diaturan peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU No 2 tahun

2015 revisi dari UU No 23 tahun 2014 juga memberikan sanksi yang tegas dan

merujuk dalam pasal 72,73 dan 74 Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang

pertanggungjawaban kepala daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Agger, 2003, Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan& Implikasinya, Kreasi Wacana

Yogyakarta

Apter, David E. 1997, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta

Josep R. Kaho & Cornelis Lay dalam Modul Kuliah Politik Desentralisasi, bab

dinamika politik lokal, pascasarjana Ilmu Politik, 2005

Malik Djamaludin, Dedy dan Inantara, 1994. Komunikasi Persuasif. Bandung: PT

Remaja Rosda Karya

Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi,

terjemahan. Mien Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 1984

Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001

Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 1939

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 54: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 51

Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 1935

Mulyana, Deddy.Dr, M.A.2005 Nuansa-Nuansa Komunikasi.Bandung: PT Remaja

Rosda Karya.

Nimmo, Dan. 2001 Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja

Rosda Karya

Suwarno, P.J.1994, Habengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemeritahan

Yogyakarta, 1942-1947, sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta; Kanisius

Undang-Undang

Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang telah direvisi

sebagian menjadi UU No 2 tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah

Website

Nugroho , (2009) ‘Ulasan Politik”

http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/16/kha1.htm, ulasan Dr Nugroho,

Dosen Psikologi Politik di Unnes.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 55: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 52

UU NO.23/2014 dan Menggagas Model Pilgub

(Catatan untuk RUU Pemilukada)

Oleh: Arizka Warganegara

Membaca UU NO.23 tahun 2014, undang-undang tentang Pemerintah Daerah yang

baru seolah berada pada sebuah titik (di) antara. Undang-undang baru ini bisa

lebih mem-balance-kan kontekstualitas dan eksistensi pemerintah daerah menjadi

lebih prudent atau sebaliknya membuat pemerintah daerah kembali dalam skema

shadow sentralisasi.

Undang-undang yeng terdiri dari 411 pasal itu telihat sangat ‘gemuk’ dan super-

duper. Saya bisa memperkirakan undang-undang ini ‘kemungkinan’ dan bisa jadi

menjadi undang-udang mengenai pemerintah daerah yang tertebal seantero dunia.

Semua aspek kepemerintahan menjadi bagian yang seolah ingin dibahas walaupun

pada bagian lain, undang-undang ini juga akan dilengkapi dengan dua UU lain,

yaitu UU Pemilukada dan UU Pemerintahan Desa.

Kita tentunya ingat bahwa salah satu point penting reformasi adalah

penyelenggaran atau implementasi penuh terhadap otonomi daerah. Kabupaten

dan Kota sebagai pusat kecenderungan dan sentral pengembangan demokrasi lokal.

Pada bagian lain, pasal mengenai pemilihan kepala daerah, yaitu pasal 62

berbunyi: “ketentuan pemilihan kepala daerah diatur dengan undang-undang”

menurut saya masih ambigu dan saya tidak tahu sudah sampai manakah

pembahasan detail mengenai model pemilihan untuk gubernur tersebut. Dilain sisi

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 56: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 53

ketika membaca UU No. 23 tahun 2014 terlihat jelas bahwa peran Gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat di daerah begitu besar.

Di sela UU Pemilukada yang masih di-godok, menarik untuk mendiskusikan wacana

Pemilihan Gubernur, tentunya ada kelompok yang pro dan kelompok yang kontra.

Bagi kelompok yang menyukai rezim Pemilukada terutama Pemilukada di level

provinsi mengatakan ini adalah bagian dari skema pengulangan “kelakuan” rezim

orde baru yang sangat sentralistis dan manipulatif, akan tetapi dipihak yang lain

mengatakan bahwa ini adalah bagian naluriah dari proses demokrasi yang

menganut logika trial and error (coba dan salah) sekaligus bagian dari upaya

penataan ulang rezim pilkada yang cenderung menyebabkan in-efisiensi

demokrasi.

Opsi Pemilihan Gubernur

Jika penghapusan Pilkada di level provinsi maka terdapat beberapa opsi bagi

Pemilihan Gubernur kedepan, beberapa opsi tersebut akan terurai dalam tulisan

berikut ini:

Opsi pertama, Gubernur akan dipilih langsung oleh Presiden argumentasinya adalah

bahwa dalam konteks negara kesatuan Gubernur bertindak sebagai wakil dari

pemerintah pusat di daerah maka secara politik Gubernur memegang kewenangan

yang diberikan Presiden kepadanya dan mempunyai inisiatif kewenangan bagi

daerahnya sebagai bagian dari pemberian mandat Presiden kepada Gubernur

tersebut.

Opsi kedua, Gubernur akan dipilih kembali oleh DPRD secara murni melalui

mekanisme pemilihan keterwakilan. Secara detail penjabarannya, setiap anggota

DPRD mempunyai satu suara untuk memilih Gubernur hal ini merujuk kembali

seperti pada UU NO.22 Tahun 1999, diawal reformasi, Gubernur, Bupati dan

Walikota memang dipilih oleh anggota DPRD.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 57: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 54

Opsi ketiga ini merupakan usulan penulis yang menurut saya sebagai bagian dari

kompromi politik, pada tahap awal para Calon Gubernur akan di- fit and proper

test oleh para anggota DPRD kemudian hasil dari fit and proper test diajukan

kepada Presiden. Atau mekanisme sebaliknya Presiden yang menentukan satu atau

lebih Calon Gubernur kemudian DPRD yang melakukan fit and proper test dan

kemudian dilanjutkan untuk memilih satu diantara beberapa nama yang diajukan

Presiden tersebut, proses seperti ini sudah sering dilakukan oleh Presiden sebagai

contoh misalkan pemilihan Gubernur Bank Indonesia.

Beberapa Kekurangan dan Kelebihan

Memang ketika kita menilik berbagai kemungkinan opsi tersebut masing-masing

mempunyai kelebihan dan kekurangannya.

Pada opsi pertama misalkan, ketika Gubernur sebagai kepala daerah di sebuah

provinsi murni dipilih oleh Presiden maka yang akan terjadi adalah sebuah

subjektifitas politik. Sebuah “tema” besar yang sebenarnya sangat kita hindari di

era reformasi, masih ingat misalkan di era orde baru betapa politik patronase

menjadi sangat kental terutama untuk pengisian pos Bupati, Walikota sampai

Gubernur. Dengan konsep teritorial politik maka setiap pejabat yang menduduki

pos-pos tersebut mesti ditunjuk dan mendapat “restu” secara politik oleh

Presiden, sehingga kepemimpinan politik daerah tidak bisa berkembang dengan

baik apalagi bicara soal penataan demokrasi di level lokal.

Walaupun dalam mekanisme seperti ini ada kebaikannya terutama dalam menjaga

ranah integrasi bangsa, dengan konsep teritorial politik melalui mekanisme

Gubernur ditunjuk oleh presiden seperti ini maka secara politik konsep Unitary

State atau Negara Kesatuan akan terjaga dengan baik.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 58: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 55

Pada opsi kedua, Gubernur dipilih oleh anggota DPRD, dengan model yang kedua

ini kita pernah melakukannya dan pada waktu itu diatur dalam UU NO.22 Tahun

1999. Secara umum memang model pemilihan murni melalui mekanisme DPRD ini

sangat murah dan mudah teknisnya, panitia pemilihan hanya menyiapkan kertas

pemilihan dan kotak pemilihan kemudian pemilihan pun dapat dilaksanakan.

Kelemahan dengan model seperti ini, akan terjadi konfigurasi politik daerah yang

Legislative Heavy dimana lembaga legislatif akan lebih mendominasi perjalanan

pemerintah daerah, logikanya secara politik Gubernur dipilih oleh anggota DPRD.

Menurut saya, opsi yang paling ideal adalah opsi yang ketiga yaitu kewenangan

DPRD hanya sampai pada tahap melakukan fit and proper test saja terhadap para

kandidat Gubernur tersebut. Langkah selanjutnya DPRD melakukan perangkingan

berdasarkan pembobotan kuantitatif dari calon yang memiliki skor tertinggi sampai

terendah, mekanisme selanjutnya nama-nama calon Gubernur tersebut diserahkan

kepada Presiden untuk kemudian dipilih nah dalam konteks ini hak prerogratif

presiden untuk menentukan gubernur terpilih.

Makanisme ini menurut saya sangat kompromis dibandingkan dengan opsi pertama

atau kedua, secara politik kepentingan elit politik lokal terakomodasi, disisi lain

kepentingan presiden sebagai pemengang mandat kekuasaan tertinggi juga

terakomodasi. Walaupun mekanisme yang ketiga ini akan sangat sulit untuk

diakomodasi.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 59: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 56

UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah :

Simalakama Bandul Kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota

Oleh : Feni Rosalia

UU Pemerintahan Daerah pada dasarnya adalah undang-undang yang mengatur

terselenggaranya roda pemerintahan daerah dengan mengutamakan pelaksanaan

azas desentralisasi. UU Pemerintahan Daerah beberapa kali mengalami pasang

surut sehingga harus beberapa kali mengalami perubahan karena dinilai tidak

sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Walaupun perubahan regulasi beberapa

kali mewarnai perjalanan kehidupan pemerintah daerah, namun pada prinsipnya

tetap mengacu pada visi dasar penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu diarahkan

untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,

pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya

saing daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan,

keadilan, keistemewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Visi dasar dari kebijakan otonomi daerah tersebut

dengan demikian sejalan dengan semangat pendalaman demokrasi (deepening

democracy) dan semangat untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif (effective

governance) demi pelayanan publik yang lebih baik.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 60: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 57

Esensi perubahan regulasi tentang pemerintahan daerah dengan visi yang ideal

tersebut tidak menjadi masalah jika dapat diterapkan dengan baik, dalam arti

memperhatikan tata cara pembagian kewenangan tidak hanya pusat ke daerah

tetapi yang lebih penting adalah pembagian kewenangan antara propinsi dengan

kabupaten/kota sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah. Jangankan

berbicara aplikasi UU tersebut, menyentuh dasar proses pembentukannya saja

apalagi bagaimana aturan pelaksanaannya masih dipertanyakan. Bandul

kewenangan bergerak tidak mengikuti aturan (yang notabene belum jelas), bandul

kewenangan ditarik sana sini tergantung pemahaman para pihak pemeroleh

kewenangan. Dapat dikatakan bahwa aparat pemerintah daerah baik di propinsi

maupun kabupaten/kota masih belum ada kesepahaman, wajar jika masyarakat

mengalami kebingungan, bingung dengan regulasinya dan bingung melihat aparat

tarik menarik kewenangan. Miris memang !...

Tidak dipungkiri jika isu aktual pasca UU No 23 tahun 2014 terkait kelembagaan

adalah terjadinya benturan dan tarik menarik kewenangan. Bandul kewenangan

diperebutkan antara kabupaten/kota dan propinsi. Pergerakan bandul kewenangan

seperti buah simalakama, bergerak ke kabupaten/kota salah tetapi mau mengarah

ke propinsipun tidak bisa berjalan. Inti permasalahan adalah akibat regulasi yang

belum jelas di tingkat pusat. Pemerintah belum mengeluarkan petunjuk teknis dan

pelaksana dari UU No 23 Tahun 2014. Selain itu propinsi sebagai pihak yang

diberikan kewenangan versi UU Pemerintahan Daerah yang baru juga belum

menerbitkan aturan terkait pelaksanaan kewenangan yang dimaksud.

Penyelesaian masalah yang tidak menyelesaikan masalah !....

Mengacu pada keluarnya UU Pemerintahan Daerah yang baru, jelas dalam beberapa

bidang mengharuskan bandul kewenangan bergerak mengarah ke propinsi tetapi

ternyata kabipaten/kota sebagai si empunya awalnya tetap menarik bandul

tersebut ke arahnya, dapat dianalisis jika keluarnya UU Pemerintahan Daerah yang

dimaksudkan untuk mengatasi masalah pemerintahan daerah tetapi ternyata tidak

menyelesaikan masalah dengan tuntas. Kesalahan pengambilan kebijakan terulang,

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 61: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 58

tetapi tidak menjadi pembelajaran. Pemerintah dengan mudahnya mengambil

keputusan dengan jalan pintas, hanya memperhatikan aspek pragmatis tetapi tidak

diikuti dengan aspek konsepsi dan teoritis. Pemerintah juga tidak cermat

menganalisa keputusan yang dipandang dapat mengatasi permasalahan konkrit.

Kesalahan pemerintah yang paling fatal adalah manakala pemerintah tidak

mempertimbangkan kemungkinanan-kemungkinan rasional lainnya. Yang terjadi

adalah dorongan untuk segera melakukan aksi tanpa memperhatikan aspek lainnya.

Simalakama bandul kewenangan akan terus terjadi manakala aturan pelaksana UU

23 tahun 2014 belum keluar baik dari pemerintah pusat maupun propinsi.

Walaupun tidak dibenarkan dalam UU Pemerintahan Daerah, namun kabupaten/

kota akan terus menjalankan kewenangannya dengan pertimbangan untuk

keberlangsungan pelayanan. Begitu pula Propinsi akan tetap bersikukuh akan

kewenangan yang dimilikinya dengan dasar kewenangan dan legalitas pelayanan.

Beberapa kewenangan yang beralih dari kabupaten/kota kepada propinsi adalah

kewenangan pertambangan dan pendidikan. Kota/Kabupaten dilarang menerbitkan

izin usaha pertambangan (IUP) mineral logam, bukan logam, dan bebatuan

sebagaimana kewenangan yang biasa dimilikinya, namun berhubung aturan

pelaksanaannya belum ada baik dari pemerintah pusat maupun propinsi sehingga

saat ini masih banyak daerah kabupaten/kota yang memaksakan untuk

mengeluarkan IUP. Kewenangan yang juga beralih dari kabupaten/kota ke propinsi

adalah urusan pendidikan menengah, urusan kehutanan (kecuali pelaksanaan

pengelolaan tahura kabupaten/kota), dan urusan ESDM (kecuali penerbitan izin

pemanfaatan langsung panas bumi dalam kabupaten/kota).

Tarik menarik kewenangan pada dasarnya bersumber dari benturan kebijakan

antara UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No 4 tahun

2009 tentang Minerba. UU Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan

pertambangan kepada propinsi, di lain pihak UU Minerba memberikan kewenangan

pertambangan kepada Kabupaten/Kota. Untuk kasus ini dalam ilmu hukum dikenal

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 62: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 59

istilah lex specialis derogat legi generalis, yaitu asas penafsiran hukum yang

menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan

hukum yang bersifat umum (lex generalis)(International Principle of Law, trans

leg.org). Perlu kajian khusus untuk menentukan mana yang lex specialis dan mana

yang lex generalis.

Akhirnya sebagai rekomendasi tulisan ini, penulis menyarankan agar pemerintah

segera menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU no

23 tahun 2014. Demikian pula propinsi sebagai daerah yang diberikan kewenangan

segera dapat mengeluarkan petunjuk teknis terkait pelaksanaan kewenangan yang

dimilikinya.  Internalisasi dan pendalaman bagi SKPD tentang kewenangan masing-

masing daerah, diikuti arti pentingnya urusan sangat diperlukan, mengingat bahwa

urusan merupakan entry point (pintu masuk) bagi program dan kegiatan.

Simalakama bandul kewenangan bukan mustahil terus terjadi jika tidak ada

kejelasan isi regulasi yang memuat di manakah urusan itu berada.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 63: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 60

OTONOMI DAERAH VS SENTRALISASI BARU 27

OLEH:

Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si 28

Era Reformasi yang dimulai dengan tumbangnya rezim Orde Baru dengan ditandai

dengan tumbangnya kekuasaan presiden Soeharto menimbulkan konsep dan

paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan salah satu konsep yang lahir

pada zaman tersebut adalah kosep Otonomi Daerah. Konsep Otonomi daerah

timbul dengan adanya UU Pemerintahan daerah yaitu UU No 22 Tahun 1999 serta

UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Konsep penyelenggaraan

pemerintahan sebelum adanya konsep otonomi daerah adalah pemerintah sebagai

agen tunggal dalam penyelenggaraan pemerintahan baik itu urusan yang

menyangkut pemerintahan pusat maupun urusan pemerintahan di Daerah.

Pemerintah Daerah pada saat itu tidak diperkenankan mengurus rumah tangganya

sendiri karena urusan daerah menjadi wewenang pemerintah pusat.

Disampaikan Pada Seminar Nasional Labpolotda JIP MIP Fisip Unila Kamis, 30 April 2015.27

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung.28

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 64: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 61

Pada saat UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah disahkan oleh

Pemerintah bersama DPR maka konsep penyelenggaraan pemrintahan yang ada di

Indonesia mengalami perubahan diberbagai macam aspek. Daerah diberikan

kebebasan untuk mengatur wilayahnya sendiri tanpa campur tangan dari

pemerintah pusat. Konsep penyelenggaraan pemerintahan inilah yang dikenal

dengan sebutan “Otonomi Daerah”. Paradigma Otonomi daerah yang sudah

berjalan hampir selama 1 (dekade) ini banyak menimbulkan dampak positif dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah yaitu, Perkembangan proses demokrasi

dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan akan meningkat. Konsep Otonomi

daerah ini telah menelurkan semangat untuk memilih pemimpin daerah baik itu

Bupati ataupun Walikota melalui pemilihan kepala daerah langsung (PILKADA).

Masyarakat secara bebas memilih langsung pemimpin mereka tanpa campur tangan

dari pihak lain. Dampak Positif yang lainnya mengenai konsep otonomi Daerah ini

adalah Pemerintah daerah bebas mengolah dan menggali potensi daerahnya

masing-masing tanpa adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Pemerintah

daerah semakin termotivasi untuk mengali potensi yang ada di daerah dengan

harapan pembangunan yang ada di daerah semakin maju karena adanya konsep

Otonomi Daerah ini.

Setelah 10 (sepuluh) tahun berjalan konsep otonomi daerah ini juga telah

menimbulkan problematika-problematika yang ada di daerah. Berdasarkan data

Kemendagri pada tahun bulan Desember 2014 kepala daerah yang tersangkut

korupsi berjumlah 343 (tiga ratus empat puluh tiga) kepala daerah. Kepala daerah

ini yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah

pengelolaan keuangan daerah. Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan,

hingga tahun 2010, ada 206 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Tahun

selanjutnya, Kemendagri mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah (tahun

2011), 41 kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013).

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 65: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 62

Sementara itu, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tersangkut di KPK

hingga tahun 2014 yakni mencapai 56 kepala daerah. Tjahjo menyebutkan,

sebagian besar diketahui melakukan korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah

yang bersumber pada penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah,

pengadaan barang dan jasa, belanja hibah dan bansos, dan belanja perjalanan

dinasi. Kemendagri mengungkapkan, penyebab banyaknya kepala daerah yang

terkena kasus korupsi adalah komitmen antikorupsi yang belum memadai, tidak

adanya integritas, belum diterapkannya e-procurement, dan rentannya birokrasi

terhadap intervensi kepentingan. 29

Timbulnya korupsi di daerah seakan timbul karena konsep otonomi daerah yang

memberikan kebebasan setiap daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri

tanpa campur tangan pemerintah pusat. Proses pilkada yang menimbulkan

berbagai macam tindak korupsi di daerah seakan-akan memperburuk citra

paradigma otonomi daerah itu sendiri. Selain itu juga konsep otonomi juga

memperlemah peran dari pemerintah daerah provinsi untuk mengawasi

penyelenggaraan pemerintahan yang ada di daerah. Wewenang pemerintah

provinsi hanya sebagai pengawas dan tidak mempunyai wewenang untuk

memberikan sanksi kepada pemerintah daerah kabupaten ataupun kotamadya jika

daerah tersebut tidak bias mengurus rumah tangganya sendiri.

Problematika yang cukup pelik tersebut akhirnya mendorong Pemerintah bersama

dengan DPR membuat terobosan untuk menanggulangi permasalahan yang ada di

daerah dengan disyahkannya UU Pemerintahan yang Baru yaitu UU No 23 Tahun

2014. Pada Pasal 9 UU No 23 Tahun 2014 ini menyatakan bahwa urusan

pemerintahan dibagi menjadi 3 (tiga) urusan pokok yang terdiri atas urusan

pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan

umum. Urusan Pemerintahan yang ada pada UU ini lebih mengatur terperinci

dimna urusan yang harus dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah

http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/21114211/Mendagri.29

343.Kepala.Daerah.Tersangkut.Kasus.Hukum

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 66: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 63

provinsi, ataupun pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya. Sebelum adanya

UU Pemerintahan yang baru ini pemerintah daerah diberi kekuasaan sebesar-

besarnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan

pemerintah pusat. Dengan adanya UU Pemerintahan daerah yang baru ini membuat

peran pemerintah daerah kabupaten/kotamadya menjadi kecil dalam mengurus

rumah tangganya sendiri.

Persoalan kewenangan Kepala daerah kabupaten/walikota dalam menjalankan

pemerintahan juga sudah mulai diawasi secara ketat oleh pemerintah daerah

provinsi. Sebelum adanya UU No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.

Gubernur hanya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang hanya bertugas

untuk menjadi koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi

dan kabupaten/kota selain itu juga tugas gubernur pembinaan dan pengawasan

penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/Kota. Gubernur tidak memiliki

wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada daerah jika daerah tidak

menjalankan urusan pemerintahan dengan baik. Setelah UU Pemerintahan daerah

yang terbaru terbit kewenangan Gubernur sangat luas untuk mengawasi jalannya

pemerintahan kabupaten/Kotamadya. Ketika seorang Bupati atau Walikota

membuat kebijakan atau membuat perda yang tidak sesuai dengan asas

penyelenggaraan pemerintahan maka di dalam pasal UU No 23 Tahun 2014

Gubernur dapat membatalkan peraturan daerah yang sudah dibuat oleh bupati

ataupun walikota. Sedangkan ketika seorang Bupati ataupun walikota tidak bias

menjalankan urusan yang dibebankan pemerintah pusat kepada daerah maka

Gubernur memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk menjatuhkan sanksi kepada

bupati atau walikota karena tidak bias menjalankan apa yang telah diperintahkan

oleh pemerintah pusat.

Beberapa hal pokok yang ada pada UU 23 Tahun 2014 ini jika kita runtut diatas

sebenanrya timbul karena konsep dan semangat otonomi daerah yang sudah

berjalan selama hampir 1 dekade ini tidak berjalan dengan baik. Daerah diberi

kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 67: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 64

pemerintah pusat. Tetapi pada kenyataanya konsep otonomi daerah ini disalah

gunakan kewenangannya timbul raja-raja kecil di daerah untuk menguasai potensi

yang ada di daerah. Timbul berbagai macam proses pemekaran di daerah baik itu

pemekaran provinsi, Kotamadya/Kabupaten dan bahkan pemekaran kecamatan

banyak terjadi. Masalah yang timbul akibat otonomi daerah ini juga menimbulkan

ketimpangan antar daerah yang satu daerah yang lain karena sumber daya alam

yang ada di suatu daerah tidak sama dengan daerah lain. Dengan demikian banyak

ketimpangan pemerataan pembangunan di daerah-daerah.

Sebenarnya Bila kita lihat konsep penyelenggaraan pemerintahan pada UU

Pemerintahan yang baru UU No 23 Tahun 2014 secara eksplisit menimbulkan

kembali konsep sentralistik yang pada zaman Orde Baru konsep ini diterapkan

dalam penyelenggaraan pemerintahan. Konsep Sentralistik ditandai dengan adanya

peran yang cukup besar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi

untuk mengawasi pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya dalam mengurus

rumah tangganya sendiri. Konsep sentralistik inilah yang mulai dianggap oleh elit-

elit di daerah dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan mereka. Hal inilah

yang menjadi tantangan bagi semua aspek masyarakat yang ada di lingkungan

pemerintahan baik itu elit local ataupun elit pusat dalam memandang UU

pemerintahan terbaru ini. Apakah konsep pemerintahan daerah yang berdasarkan

UU No 23 Tahun 2014 yang sedikit banyak ada unsur sentralistik digabungkan

dengan konsep otonomi daerah yang sudah berjalan hampir 10 tahun berjalan ini

dapat berjalan dengan baik, mudah-mudahan konsep yang dikeluarkan oleh

pemerintah dan DPR membawa kebaikan bagi daerah dan juga bagi masyarakatnya.

Aamiiin.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 68: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 65

DINAMIKA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH di INDONESIA 30

Oleh : Himawan Indrajat 31

Hubungan pusat dan daerah di Indonesia mengalami pasang surut, ada masa ketika

daerah tidak mempunyai kemandirian bahkan hanya dieksploitasi oleh pemerintah

pusat seperti ketika orde baru berkuasa pola hubungan pusat dan daerah sangat

sentralistik melalui undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Daerah, daerah tidak memiliki kewenangan atau otonomi untuk

mengurus urusan pemerintahnya sendiri semua pemerintah pusat yang

menentukkan. Dan kecenderungan pemerintah daerah saat itu adalah Excecutive

Disampaikan Pada Seminar Nasional Labpolotda JIP MIP Fisip Unila Kamis, 30 April 201530

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung31

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 69: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 66

Heavy, karena Kepala Daerah adalah wakil langsung yang ditunjuk pemerintah

pusat walaupun dia dipilih melalui DPRD, dan fungsi DPRD juga sangat lemah.

Kemudian setelah pemerintahan orde baru jatuh di gantikan pemerintahan transisi

Habibie pada masa awal reformasi dilakukan perubahan besar pada pola hubungan

pusat daerah yang tidak lagi tersentralisasi tapi desentralisasi, dengan disyahkan

undang-undang nomor 22 tahun 1999. Dengan undang-undang tersebut daerah

mendapat otonomi yang sangat luas. Daerah benar-benar menikmati otonominya,

terutama kabupaten/kota karena otonomi yang dilaksanakan saat itu titik beratnya

ada di kabupaten/kota, kekuatan provinsi dilucuti, serta kepala daerah seperti

gubernur, bupati dan walikota tidak lagi ditunjuk oleh pusat dan kemudian dipilih

oleh DPRD, tetapi DPRD langsung yang memilih para calon kepala daerah tersebut.

dalam pelaksanaannya ternyata undang-undang tersebut dianggap terlalu

memberikan kebebasan yang berlebihan, seperti bupati/walikota dianggap sebagai

raja-raja kecil, kemudian konflik sumber daya alam antar daerah juga sangat

tajam, bahkan timbul konflik antara DPRD dan Bupati/Walikota ada beberapa

kepala daerah yang diberhentikan karena berkonflik dengan DPRD seperti kasus

Bupati Kampar Jefry Noer dan Bupati Temanggung.

Karena banyak permasalahan tersebut kemudian dilakukan perubahan dengan

disyahkannya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,

kebebasan daerah sedikit diperketat walaupun daerah masih diberikan kebebasan.

DPRD tidak bisa lagi sewenang-wenang untuk memberhentikan Kepala Daerah,

kemudian Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat bukan lagi melalui

DPRD karena pemilihan tidak langsung melalui DPRD potensi money politic

sangatlah tinggi dengan menyuap anggota DPRD, diharapkan dengan pilkada secara

langsung pemimpin yang terpilih benar-benar pilihan rakyar.

Persoalan utama dalam pelaksanaan undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan

kemudian undang-udnag nomor 32 tahun 2004 adalah kordinasi kebijakan

pemerintah pusat kadang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 70: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 67

Kemudian muncullah undang-undang nomor 23 tahun 2014 yang bermaksud untuk

bisa menselaraskan kebijakan pemerintah pusat atau program-program nasional

dengan kebijakan daerah. Nuansa dari undang-undang pemerintah daerah baru ini

lebih menekankan pada asas dekosentrasi dibandingkan undang-undang pemerintah

daerah sebelumnya yang lebih menekankan pada asas desentralisasi dengan titik

berat otonomi daerah pada kabupaten/kota. Provinsi yang sebelumnya lemah dan

kewenangannya sangat terbatas melalui undang-undang ini posisinya diperkuat

dengan penambahan fungsi dan kewenangan melalui Gubernur untuk mengawasi

pelaksanan pemerintah daerah di kabupaten/kota. Seperti yang tercantum dalam

pasal 91 yang mengatur tugas dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Dalam pasal 91 disebutkan tugas dari Gubernur dalam pembinaan dan pengawasan

terhadap penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang menjadi kewenangan

daerah kabupaten/kota adalah :

1. Mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraa Tugas

Pembantuan di Daerah kabupaten/kota.

2. Melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya.

3. Memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di wilayahnya.

4. Melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang

RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi

daerah.

5. Melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan

6. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Sementara kewenangan dari Gubernur dalam melaksanakan fungsi kewenangannya

adalah :

1. Membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/walikota.

2. Memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 71: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 68

3. Menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan

antar-Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

4. Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang

pembentukan dan susunan Perangkat Daerah kabupaten/kota; dan

5. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Selain itu masih terkait dengan tugas dan kewenangan Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat adalah “Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat

menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

kepada penyelenggaran pemerintah daerah kabupaten/kota”.

Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat inilah yang menjadi persoalan

karena seolah otonomi pada daerah kabupaten/kota dibatasi serta seperti set

back kembali pada kondisi orde baru yang sentralistik. Sebenarnya undang-undang

ini disyahkan pada akhir kepemimpinan pemerintahan presiden Susilo Bambang

Yudoyono, yang kemudian oleh pemerintahan presiden yang baru terpilih Joko

Widodo melakukan perubahan kedua undang-undang nomor 23 tahun 2014 dengan

undang-undang nomor 9 tahun 2015, tetapi perubahan tersebut tidak membahas

tentang otonomi pada kabupaten/kota, perubahan yang dibahas adalah soal tugas

kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta tugas DPRD provinsi serta DPRD

Kabupaten/Kota.

Dari perubahan tersebut memang terlihat bahwa pemerintah pusat ingin

“menjaga” atau “mengawasi” daerah khusus kabupaten/kota melalui provinsi agar

program-program pemerintah dapat terlaksana dengan baik. Seperti kita ketahui

bahwa program pemerintahan baru Joko Widodo untuk membangun infrastruktur

transpotasi nasional sangatlah ambisius dari jalan tol di sumatera, pembangunan

pelabuhan baru, membangun konektivitas transpotasi laut melalui tol laut dan

program-program yang lain seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia

Pintar. Apabila hal ini tidak didukung oleh pemerintah daerah tentu akan menjadi

hambatan dalam penerapannya.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 72: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 69

Tetapi bagi saya itu adalah ketakutan yang berlebihan dari pemerintah pusat, dan

pola pikir hubungan pusat daerah pemerintah masih bersifat hierarkis vertikal,

daerah kabupaten/kota harus tunduk dan patuh pada kebijakan yang seragam

walaupun maksudnya itu baik. Tetapi dengan memberikan power pada Gubernur ini

untuk memberikan sanksi dan penghargaan terhadap pemerintah kabupaten/kota

tentu merupakan suatu kemunduran, apalagi Gubernur memilili kewenangan untuk

membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota yang menyangkut RPJPD, RPJMD,

APBD, Perubahan APBD, Pertanggungjawaban APBD, tata ruang daerah, pajak

daerah, dan retribusi daerah apabila menurut Gubernur ternyata bertentangan

dengan peraturan lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum

seperti yang diatur pasal 249 dan 250 undang-undang nomor 23 tahun 2014. Tentu

menyimpan potensi konflik yang sangat besar antara pemerintah kabupaten/kota

dengan pemerintah provinsi.

Padahal yang digadang-gadang dari pemerintahan baru sekarang adalah dukungan

terhadap proses demokrasi, termasuk didalamnya pola hubungan pusat dan daerah

yang terdesentralisasi. Bukan malah memperlemah posisi daerah kabupaten/kota,

pemerintah pusat dan DPR RI harus melalukan perubahan segera agar proses

demokrasi tetap berjalan sesuai dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945.

KEWENANGAN KEPALA DAERAH PASCA UU PEMERINTAHAN YANG BARU

“DITAMBAH ATAU DIPERSEMPIT” 32

Oleh:

ANDRI MARTA, S.I.P, M.I.P 33

DiSampaikan Pada Semnar Nasional LABPOLODA JIP MIP FISIP UNILA DAN APKASI32

Dosen Tetap Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Lampung 33

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 73: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 70

❖ PENDAHULUAN

Sebelum masa penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada

suatu kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh pemerintah bersama-sama dengan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yaitu dengan telah disahkannya Undang-Undang

Pilkada dan Undang-Undang Pemerintahan daerah yang baru yaitu UU No 22 Tahun

2014 dan UU No 23 Tahun 2014 sebagai pengganti dari Undang-Undang

Pemerintahan daerah yang lama yaitu UU No 32 tahun 2004. Perhatian masyarakat

pada saat itu cenderung melihat dan memperhatikan substansi tentang UU No 22

tahun 2014 tentang Pilkada karena pada UU tersebut mengatur pemilihan kepala

daerah melalui DPRD yang secara tak langsung tidak mempergunakan suara rakyat

dalam memilih pemimpin daerah mereka. Pada dasarnya jika kita memperhatikan

lebih rinci lagi Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu UU Nomor 23

tahun 2014 memiliki beberapa aspek yang harus kita kaji lagi dalam proses

pemerintahan daerah yang ada di Indonesia terutama tentang berkurangnya peran

Pemerintah daerah dalam urusan penyelenggaraan fungsi pemerintahan.

❖ Masalah yang timbul terhadap kewenangan Kepala Daerah Kabupaten

atau Kotamadya

Sebelum disahkannya UU Pemerintahan yang baru ini, konsep otonomi daerah

sangat kuat sekali dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang ada

di daerah. Hal ini berdasarkan oleh UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Daerah diberi wewenang untuk mengurus dan melaksanakan proses

penyelenggaraan pemerintahannya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat

ataupun pemerintah Provinsi. Menurut Mariun (1979) mengungkapkan bahwa

dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat

inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya

kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah,

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 74: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 71

karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan

kebutuhan setempat . 34

Dengan semangat desentralisasi, daerah menggunakan otonomi yang dimilikinya

untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola sumber daya-sumber daya yang

dipunyainya. Reformasi telah menghantarkan ke gerbang demokrasitisasi yang akan

membawa perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yang semula sentralistis

menjadi desentralistis. Perubahan itu berimplikasi pada terjadinya pergeseran

lokus kekuasaan, dari pusat ke daerah. Desentralisasi memberikan surga baru pada

daerah-daerah, karena selama 3 (tiga) dekade kekayaan alam yang dimiliki daerah

tidak pernah dinikmatinya. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang mencolok di

daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya, tetapi penduduknya tetap miskin

Pada prosesnya selama 1 (satu) dekade terakhir ini konsep otonomi daerah

menimbulkan berbagai macam permasalahan yang ada di daerah seperti timbul

raja-raja kecil di daerah karena kekuasaan mereka turun menurun dan juga

timbulnya korupsi kepala daerah yang memimpin daerah tersebut. Menurut

Kemendagri hamper 30% kepala daerah tersangkut korupsi di daerah yang mereka

pimpin. Melihat poblematika yang cukup kompleks ini maka pemerintah bersama

DPR mengesahkan UU pemerintahan yang baru untuk menggantikan UU No 32

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Proses pembentukan UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ini

dilandasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat konsep otonomi

daerah yang salah diterapkan di masing-masing daerah di wilayah Indonesia.

Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah ini

menitikberatkan pada pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang lalu urusan

penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih di fokuskan kepada aspek otonomi

daerah yang ditandai dengai konsep Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas

Mariun. 1979. Azas-Azas Ilmu Pemerintahan. Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengaembangan. Fakultas 34

Sospol UGM

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 75: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 72

Pembantuan. Ketika UU No 23 Tahun 2014 disahkan paradigma tentang

penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih difokuskan pada 3 (tiga) aspek urusan.

Menurut UU no 23 Tahun 2014 Pasal 9 ayat (10) tentang pembagian urusan yaitu

urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan

pemerintahan umum.

Pada UU pemerintahan yang baru ini juga di jelaskan bahwa Peran Gubernur sangat

memiliki kewenangan dalam hal penyelenggaraan pemerintaha di daerah. Menurut

UU No 32 Tahun 2004 Pasal 38 ayat 1, Gubernur hanya sebagai kepanjangan dari

pemerintah pusat di daerah yang hanya koordinasi pengawasan oleh pemerintah

pusat kepada daerah dan juga pembinaan tugas pembantuan yang diberikan

pemerintah pusat di daerah. Pada UU No 23 Tahun 2014 menjelaskan bahwasanya

Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, diatur lebih spesifik seperti yang diatur

dalam pasal 91-93.  Adapun tugas tersebut melakukan pembinaan dan pengawasan

terhadap penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Kabupaten/Kota, melakukan

monev dan supervisi, melakukan evaluasi APBD dan lain-lain, dapat membatalkan

Perda dan memberikan persetujuan terhadap Raperda Kabupaten/Kota, serta

dapat memberikan sanksi kepada Bupati/Walikota.

Pada proses penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang berkaitan dengan

bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral UU No 23 Tahun

2014 ini mengatur bahwa urusan ini dibagi hanya untuk pemerintah pusat dan juga

pemerintah daerah provinsi. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah daerah

kabupaten atau kotamadya tidak memonopoli kekayaan yang ada di daerah

sehingga korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah Bupati atau Walikota dapat

dikurangi.

Pada akhirnya UU No 23 Tahun 2014 ini menimbulkan berbagai macam aspek

permasalahan baru karena UU ini tidak sesuai dengan UU No 4 tahun 2009 tentang

Pertambangan Minyak dan Batu Bar a (Minerba). Pada UU pemerintahan yang baru

ini dijelaskan bahwa pemberian ijin dan pemanfaatan hasil tambang, kehutanan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 76: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 73

dan mineral hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah

provinsi. Tetapi dalam isi UU minerba dijelaskan bahwa yang berhak untuk

menerbitkan ijin dan pemanfaatan tentang pertambangan Minyak dan Batu Bara

(Minerba) adalah pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya. Hal inilah yang

menjadi masalah yang timbul saat ini pada pemerintahan di daerah.

Secara eksplisit dapat kita pahami berdasarkan pemaparan diatas bahwa konsep

UU pemerintahan yang baru yaitu UU No 23 Tahun 2014 sebanarnya membonsai

kewenangan daerah Kabupaten atau Kotamadya untuk mengurus rumah tangganya

sendiri. Undang-undang ini cenderung menghidupkan pola sentralisasi yang ada

pada zaman Orde Baru tersebut, bahwa kewenangan yang mutlak dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pada pemerintah pusat dan juga

pemerintah daerah provinsi. Undang-undang ini juga sedikit demi sedikit

menghilangkan konsep otonomi daerah yang mulai diperkenalkan sejak awal masa

reformasi. Karena pada saat roses pelaksanaan konsep otonomi daerah yang

hamper 10 (sepuluh tahun) ini berjalan timbul banyak permasalahan yang ada di

daerah seperti banyak kepala daerah yang terkena kasus korupsi, timbul juga raja-

raja kecil yang ada di daerah yang posisi Gubernur saat itu hanya sebagai wakil

pemerintah pusat yang ada di daerah saja tanpa memiliki kewenangan yang jelas

dalam mengawasi jalannya pemerintahan daerah Kabupaten/Kotamadya.

Proses pembentukan sampai disahkannya UU pemerintahan yang baru Nomor 23

Tahun 2014 ini menimbulkan suara pro dan kontra dikalangan pemerintah pusat

dan juga pemerintah daerah. Pemerintah Pusat beralasan lahirnya UU ini bukan

semata-mata untuk menghidupkan kembali konsep sentralistis yaitu kewenangan

pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi lebih besar dalam mengatur

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ada di daerah Kabupaten/Kotamadya.

Tetapi untuk mengurangi dominasi atau peran yang terlampau jauh oleh Bupati/

Walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah. Reaksi berbeda

dikemukakan oleh para Bupati/Walikota yang ada di Indonesia. Menurut Bupati

Tanjab Barat, Usman Ermulan yang dikutip dari harian Info Jambi, beliau

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 77: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 74

mengatakan bahwa UU No 23 Tahun 2014 ini berpotensi menimbulkan keresahan di

berbagai daerah. Sebab, pelaksanaan UU Pemda itu akan kembali memunculkan

praktek Orde Baru jilid II. Beberapa kekuasan atau wewenang yang selama ini

dimiliki oleh kepala daerah di tingkat II secara bertahap akan dilimpahkan ke

Pemerintah provinsi. 35

❖ Solusi

Permasalahan-permasalahan diatas sebenarnya penulis lihat dapat diselesaikan

apabila seluruh elemen duduk bersama membahas tentang persoalan dan isi dari

UU pemerintahan yang baru tersebut. Pemerintah Pusat harus menjelaskan secara

rinci maksud dan tujuan yang ada di UU pemeritahan yang baru ini kepada

pemerintahan yang ada di daerah sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam memahami UU No 23 Tahun 2014

ini.

Selain itu pemerintah pusat juga harus menerbitkan peraturan turunannya dari UU

No 23 Tahun 2014 ini yaitu tentang Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan

dengan pokok dan isis dari Undang-Undang ini sehingga proses pelaksanaan UU

pemerintahan yang baru ini dapat berjalan optimal dan dapat digunakan oleh

semua pihak dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.

http://infojambi.com/pemerintahan/14917-usman-ermulan-minta-tinjau-ulang-pelaksanaan-uu-pemda.html35

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 78: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 75

“Transparansi Pemerintahan”, Dapatkah Terwujud? Melyansyah SA 36

❖Pendahuluan

Pemerintahan yang transparan sampai hari ini masih sekedar jargon.

Keterbukaan informasi publik dalam setiap level pemerintahan sangat sulit

diwujudkan. Akses untuk mendapatkan informasi publik pun sangat sulit atau

bahkan ditiadakan. Dalam research Indonesia Governance Index tahun 2014

memberikan nilai rata-rata nasional tata kelola pemerintahan daerah hanya 5,7

(dengan 1 sebagai kriteria sangat buruk dan 10 sebagai kriteria sangat baik).

Pencapaian ini masih jauh dari hasil yang diharapkan, terlebih lagi banyak daerah

yang memperoleh nilai di bawah nilai rara-rata nasional. Buruknya tata kelola

pemerintahan tersebut juga berbanding lurus dengan rendahnya transparansi di

dalam penyelenggaraan pemerintahan. Rata- rata kinerja pemerintah transparansi

pemerintah masuk dalam kategori cenderung buruk dengan nilai indeks 4,58 (1

untuk kriteria tidak transparan dan 10 untuk kriteria sangat transparan). Hal ini 37

menunjukkan bahwa masih sulitnya akses terhadap informasi publik (dokumen-

dokumen pemerintah yang tidak tergolong rahasia, seperti dokumen keuangan,

LKPJ, penggunaan dana aspirasi DPRD) di sebagain besar daerah di Indonesia.

Lahirnya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini memberikan

harapan sekali lagi untuk menguatkan komitmen setiap pemerintah daerah untuk

mewujudkan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

❖Transparency for Good Governance

Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung. Saat ini 36

aktif dalam kepengurusan LABPOLOKDA di bidang kajian.

Abdul Malik Gismar dkk, Menuju Masyarakat yang Cerdas dan Pemerintahan yang Responsif(Laporan 37

Eksklusif Indonesia Governance Index 2012), Jakarta, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan(The Partnership For Governance Reform), 2013, hal.34.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 79: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 76

Transparansi dan good governance merupakan satu kesatuan utuh yang saling ko-

eksitensi. Good governance disebut sebagai pemerintahan yang baik jika memenuhi

prinsip transparan, sebaliknya transparansi merupakan sebuah keharusan untuk

mencapai good governance.

Transparansi penyelenggaraan pemerintahan memiliki arti yang sangat penting

dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk mengetahui kebijakan yang akan

dan telah diambil oleh pemerintah. Bahkan dengan adanya transparansi

penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan feedback

atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.

Kajian terkait konsep transparansi kini semakin berkembang. Beberapa konsep

transparansi yang ditawarkan oleh beberapa literatur adalah sebagai berikut :

1. As transparency is a core governance value. The regulatory activities of government constitute one of the main contexts within which transparency must be assured. There is a strong public demand for greater transparency, which is substantially related to the rapid increase in number and influence of non governmental organisations (NGOs) or civil society groups‟, as well as to increasingly well educated and diverse populations. (OECD, 2004 : 66).

2. Transparansi yaitu dapat diketahui oleh banyak pihak (yang berkepentingan) mengenai perumusan kebijakan (politik) dari pemerintah, organisasi dan badan usaha. Good Governance tidak membolehkan manajemen pemerintahan yang tertutup. (Tjokromidjoyo, 2003 :123). 38

3. Transparansi dapat dimaknai sebagai adanya pemberian informasi yang selalu relevan untuk melakukan evaluasi lembaga. (Bauhr & Nasiritousi forthcoming).

4. Transparansi merupakan keterbukaan, yaitu jalannya pemerintahan harusnya dapat diprediksi ( should be predictabel) dan diselenggarakan dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak sewenang-wenang. (Hood 2006, 14). 39

Arifin Tahir, 2011, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta : 38

Pustaka Indonesia Press.

Monika Baur & Marcia Grimes, 2012, What Is Government Transparency? ; New Measures and Relevance 39

for Quality Government, Goteburg : University of Gothenburg.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 80: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 77

Kemudian Smith (2004:66), mengemukan bahwa proses transparansi meliputi :

1. Standard procedural requirements (Persayaratan Standar Prosedur), bahwa proses pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan memperhatikan kebutuhan masyarakat.

2. Consultation processes (Proses Konsultasi), Adanya dialog antara pemerintah dan masyarakat.

3. Appeal rights (Permohonan Izin), adalah pelindung utama dalam proses pengaturan. Standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari adanya korupsi. Tidak hanya proses pembuatan izin, transparansi juga dimaknai sebagai publikasi seluruh kegiatan pemerintah di dalam website lembaga pemerintahan.

Seperti dikatakan Stephan G. Grimmelikhuijsen dalam jurnal The Effects of

Transparency on the Perceived Trustworthiness of a Government Organization ,

“Governments all around the world are enhancing their transparency by providing

all sorts of information about government activities and performance on public

Web sites.” 40

Dari berbagai pandangan tentang definisi Good Governance dan Transparansi

diatas, maka disimpulkan bahwa keduanya memiliki korelasi yang signifikan dimana

suatu pemerintahan dapat dikatakan baik (Good governance) berarti pemerintahan

tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip tranparansi.

❖Komitmen Transparansi dalam UU Pemda terbaru

Sejak zaman kolonial hingga sekarang kurang lebih ada 10 peraturan perundang-

undangan yang mengatur pemerintahan daerah di Indonesia. Dimulai dari

Desentralisatie WET 1903 yang merupakan produk kolonial belanda kemudian pasca

Stephan G. Grimmelikhuijsen & Albert J. Meijer The Effects of Transparency on them Perceived 40

Trustworthiness of a Governmen Organization Evidence from an Online Experiment, Journal of Public Administration Research and Theory Advance Access published November 5, 2012

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 81: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 78

kemerdekaan lahirlah UU No. 1 tahun 1995 yang cenderung dominan sentralistis,

kemudian pasca reformasi lahir UU No. 22 tahun 1999 yang cenderung

desentralistis, selanjutnya pada masa demokratisasi lahir UU No.32 tahun 2004

yang menggabungkan sentralistis dan desentralistis dan yang terakhir adalah UU

No.23 tahun 2014 yang mengandung visi efektivitas pemerintahan. UU

pemerintahan daerah yang terbaru ini memang memilki banyak sekali perubahan

diantaranya penghapusan dan perubahan beberapa pasal terkait pemilihan kepala

daerah dan anggota DPRD serta adanya penambahan bab dalam UU ini.

Penambahan bab yang menjadi perhatian adalah adanya penambahan bab

pelayanan publik yang dimuat dalam BAB XIII tentang Pelayanan Publik. Secara

eksplisit bab tersebut menjelaskan tentang mekanisme pelayanan publik yang baik.

Berikut merupakan kutipan dari bab XIII terkait pelayanan publik :

BAB XIII PELAYANAN PUBLIK

Bagian Kesatu Asas Penyelenggaraan

Pasal 344

(1)Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggaranya pelayanan publik berdasarkan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

(2)Pelayanan publik diselenggarakan berdasarkan pada asas: a. kepentingan umum; b. kepastian hukum; c. kesamaan hak; d. keseimbangan hak dan kewajiban; e. keprofesionalan; f. partisipatif; g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h. keterbukaan; i. akuntabilitas; j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. ketepatan waktu; dan l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 82: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 79

Berdasarkan kutipan dua pasal di atas membuktikan bahwa UU pemerintahan

daerah yang baru ini benar-benar berkomitmen untuk memperbaiki kualitas

pelayanan publik di tingkat daerah dengan berdasarkan pada asas-asas pelayanan

publik di atas salah satunya adalah asas keterbukaan (transparansi). Keterbukaan

di dalam UU ini didefinisikan sebagai asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif

tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas

hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. ini membuktikan bahwa UU

pemerintahan yang baru menaruh perhatian besar pada asas transparansi.

Kemudian asas keterbukaan juga tertuang jelas dalam BAB XXII tentang Informasi

Pemerintahan Daerah dalam pasal 391 ayat 1 dan 2 yang berbunyi, “Pemerintah

Daerah wajib menyediakan informasi Pemerintahan Daerah yang terdiri atas: a.

informasi pembangunan Daerah; dan b. informasi keuangan Daerah” kemudian

dalam ayat 2 disebutkan bahwa, “Informasi Pemerintahan Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dikelola dalam suatu sistem informasi Pemerintahan

Daerah”. Tidak hanya sebatas kewajiban informasi tetapi ditegaskan kembali di

dalam pasal 393 ayat 2E yang berbunyi bahwa Informasi keuangan daerah

sebagaimana yang dimaksud digunakan untuk mendukung keterbukaan informasi

kepada masyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UU

pemerintahan daerah yang terbaru memiliki komitmen yang sangat kuat untuk

mengutamakan transparansi atau keterbukaan dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

❖Collaborative Transparency

Konsep transparansi merupakan konsep yang booming bersamaan dengan

pelaksanaan good governance di berbagai negara. Konsep transparansi ini

merupakan konsep yang lahir dari landasan filosofi bahwa pemerintahan yang

demokratis adalah pemerintahan yang memilki keterbukaan informasi publik.

Gagasan terkait urgensi transparansi juga sering di kutip dalam kongres di

Washington, yang menyebutkan bahwa “pemerintahan yang populer tanpa ada

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 83: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 80

informasi yang populer adalah sebuah lelucon, pengetahuan akan mengatur

kebodohan seseorang oleh karena itu setiap orang harus mempersenjatai diri

dengan kekuasaan informasi.” Artinya setiap warga negara harus memilki hasrat

dan keinginan untuk mengetahui informasi publik.

Keterbukaan informasi sendiri terdiri dari beberapa generasi. Generasi yang

pertama yaitu hak untuk mengetahui kebijkan (righ to know) dimana setiap warga

negara memilki hak untuk mengetahui apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh

pemerintah. Generasi yang kedua adalah targeted transparancy policy yaitu

merupakn perbaikan dari generasi pertama yaitu tidak hanya memperhatikan hak

publik untuk mendapatkan informasi publik tapi lebih berorientasi pada capaian

atau target dari transparansi itu sendiri. Generasi yang ketiga adalah collaborative

transparency policies yaitu sebuah generasi transparansi yang memadukan generasi

pertama dan kedua dengan transformasi komputer jaringan internet agar publik

bisa mengetahui informasi secara cepat sehingga pemerintahan menjadi lebih

efektif dan efisien. 41

Generasi ketiga merupakan model transparansi yang tepat untuk merealisasikan

transparansi dalam UU pemerintahan yang terbaru. UU ini megutamakan asas

keterbukaan informasi melali media tertentu. Alternatif media yang cukup efektif

saat ini adalah menggunakan jaringan internet. Oleh karena itu model

collaborative transparency merupakan model yamg dapat menunjang terwujudnya

transparansi di Indonesia. Konsep transparansi yang dibangun dalam UU ini sejalan

dengan konsep collaborative transparency, namun masih harus mencari media

yang tepat untuk mewujudkan transparansi itu sendiri.

Sebagian besar pemda di Indoneisa sudah memilki website sebagai sumber

informasi namun website tersebut hanya dibuat tanpa dimuat dengan informasi

update. Fenomena tersebut terjadi hampir di seluruh Kabupaten/Kota di

Archon Fung, Mary Graham & David Weil, 2007, Full Disclosure : The Politics, Perils and Promise of 41

Targeted Transparency, New York : Cambridge University Press

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 84: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 81

Indonesia. Artinya hampir sebagian besar Kabupaten/Kota di Indonesia hanya

setengah hati untuk menerapkan transparansi. Permasalahan tersebut harus

menjadi perhatian penting dalam pelaksanaan UU pemda terbaru ini. Terutama

pada pembuatan PP nanti sebagai turunan dari UU ini, legislator harus

memperhatikan kemungkinan terulang kembali permasalahan klasik dari website

pemerintah daerah yang bisa dikatakan mati. Padahal melalui website tersebut

pemda dapat memberikan pelayanan publik kepada masyarakat lebih efektif dan

efisien.

❖Simpulan

Berbagai tantangan dan hambatan akan mengahampiri pelaksanaan UU No. 23

tahun 2014. Berbagai masalah penghambat transparansi harus mampu diselesaikan.

Dimulai dari komitmen pemda yang rendah, keterbatasan SDM dan sarana dan

prasrana pendukung. Isu pelayanan publik yang transparan yang dimuat dalam UU

ini sejalan dengan konsep transparansi collaborative transparency yaitu

menggunakan komputer dan jaringan internet untuk mewujudkan transparansi.

Berbagai masalah di atas harusnya dapat menjadi motivasi bagi UU untuk

menyelesaikan maslah tersebut. Kemudian model transparansi yang ditawarkan

juga dapat dijadikan alternatif untuk mewujudkan transparansi. Pada akhirnya

kembali pada pertanyaan yang diajukan di atas, apakah UU No. 23 tahun 2014

dapat menjawab tantangan dan berbagai permasalahan yang ada. Apabila UU ini

tidak mampu menciptakan keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya maka

UU ini bisa dikatakn gagal mewujudkan transparansi.

❖Referensi

Baur, Monika & Grimes, Marcia. 2012. What Is Government Transparency? ; New Measures and Relevance for Quality Government. Goteburg : University of Gothenburg.

Fung, Archon dkk. 2007. Full Disclosure : The Politics, Perils and Promise of Targeted Transparency. New York : Cambridge University Press.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 85: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 82

G. Grimmelikhuijsen, Stephan & J. Meijer, Albert. The Effects of Transparency on them Perceived Trustworthiness of a Governmen Organization Evidence from an Online Experiment. Journal of Public Administration Research and Theory Advance Access published November 5, 2012.

Malik Gismar, Abdul dkk. 2013. Menuju Masyarakat yang Cerdas dan Pemerintahan yang Responsif(Laporan Eksklusif Indonesia Governance Index 2012). Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan(The Partnership For Governance Reform).

Tahir, Arifin. 2011. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta : Pustaka Indonesia Press.

Menakar Peluang Partisipasi Masyarakat

dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Oleh

Darmawan Purba, S.IP., M.IP

Pendahuluan

Era reformasi sering digunakan untuk membatasi masa-masa kelam demokrasi di

Indonesia dan dijadikan momentum bersejarah terhadap lahirnya orde reformasi.

Pada saat itu salah satu fenomena yang terjadi adalah gelombang demokratisasi

yang sangat kuat, setidaknya terdapat dua isu besar yang menjadi tuntutan

reformasi dibidang politik. Pertama, perubahan sistem kepartaian dimana pada

masa orde baru hanya ada tiga peserta yang memiliki kesempatan untuk mengikuti

pemilihan umum yaitu Golkar, PDI dan PPP menjadi sistem partai banyak. Kedua,

diberlakukannya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi melalui UU

No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Konsekuensi berlakunya undang

undang tersebut adalah semakin terbukanya keran demokrasi di tingkat lokal. Hal

ini penting mengingat penyelenggaraan pemerintahan daerah membutuhkan

legitimasi politik yang kuat, sesuai nilai dan semangat demokrasi yang

memposisikan kedaulatan berada di tangan rakyat.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 86: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 83

Kedua fenomena tersebut di atas, memposisikan masyarakat dalam konteksnya,

yaitu sebagai pihak yang memiliki otoritas yang dimandatkan kepada wakilnya baik

di DPRD maupun terhadap kepala daerah. Semangat tersebut ternyata hanya

menjadi harapan semu bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang secara substansi diharapkan dapat mendorong

akselerasi pembangunan daerah ternyata kerap kandas di tengah jalan. Pada

prakteknya penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan sendiri tanpa

menempatkan masyarakat sebagai faktor dominan dalam pembangunan di daerah.

Sebagai sebuah organisasi, pemerintah daerah mendapatkan dan memanfaatkan

pendanaan yang bersumber dari “dana publik” yang dianggarkan dalam APBN

maupun APBD, serta memiliki fungsi untuk memberikan layanan kepada

masyarakat. Setelah reformasi pemerintah daerah dituntut untuk merumuskan

perencanaan yang stratejik mengingat perubahan demi perubahan di masyarakat

sangat dinamis dan menuntut adanya tanggung jawab dan penyelesaian secara

konkrit oleh pemerintah daerah. Sebagai konsekuensi adanya pembagian urusan

antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, baik urusan wajib maupun

urusan kongruen. Namun demikian fenomena pemerintahan daerah justru tidak

mencerminkan semangat demokrasi yang mengiringi kebijakan dedentralisasi yang

sedang berlangsung. Beberapa indikasi, seperti: (1) kepala daerah terlibat korupsi,

(2) pembangunan tidak berjalan, (3) konflik antar pemerintahan daerah, serta

masih banyak problem pemerintahan daerah lainnya yang kerap menimbulkan

ketidakpercayaan publik.

Pada saat pilkada langsung panorama yang terjadi adalah koalisi antara elit (calon

kepala daerah) dengan massa, begitu juga pada saat pemilu legislatif terjadi

koalisi antara caleg dengan para pemilih. Namun setelah pilkada dan pemilu yang

mengemuka justru koalisi antara elit dengan elit. Masyarakat sebagai faktor

dominan dalam pembentukan pemerintahan justru terpinggirkan. Kepala daerah

dan DPRD hanya menjadikan masyarakat sebagai objek suksesi politik semata.

Salah satu contoh kongkrit rendahnya keberpihakan pemerintahan daerah terhadap

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 87: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 84

masyarakat adalah postur APBD yang tidak proporsional antara anggaran publik

dengan anggaran aparatur. Implikasinya, pembangunan didaerah tidak sesuai

dengan harapan dan janji-janji politik elit saat pemilu dan pilkada. Banyak

pembangunan yang mandek dan berjalan tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Pelembagaan politik di DPRD pun tidak sesuai harapan masyarakat, oleh karenanya

partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi suatu

yang mutlak.

Makna Partisipasi Publik

Persoalan partisipasi masyarakat seharusnya menjadi titik tekan dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah, hal ini penting sebagai komitmen

mendudukkan masyarakat sebagai:pertama, tidak semua urusan dan persoalan di

masyarakat diketahui oleh pemerintah, kedua,masyarakat berhak ikut serta dalam

perumusan setiap kebijakan publik yang pasti akan mempengaruhi kehidupan

mereka. Dengan demikian kebijakan desentralisasi mulai dari Undang-Undang No.

99 Tahun 1999 hingga Undang-Undang No.23 Tahun 2014 sudah seharusnya

melibatkan partisipasi masyarakat. Sejalan dengan substansi partisipasi tersebut,

dalam prinsip-prinsip good governance dikemukakan bahwa: (1) adanya partisipasi

langsung maupun tak langsung dari semua warga dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat; (2) terjaminnya penegakan hukum; (3) tranparansi; (4) pemerintah

yang tanggap; (5) orientasi pada konsensus; (6) efisiensi dan efektivitas dalam

aktivitas bernegara; (7) akuntabilitas; (8) visi yang strategis.

Dengan demikian, melibatkan rakyat dalam segala kebijakan pemerintahan

memang tidak dapat dinafikan dan merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk

membangkitkan rasa memiliki rakyat terhadap segala aspek kebijakan dari

pemerintah. Oleh karena itu dorongan harus diberikan oleh pemerintah untuk

melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan. Sejumlah kajian mengemukakan bahwa

pelibatan rakyat merupakan suatu proses kesadaran untuk pembangunan dan dapat

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 88: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 85

membantu penyelesaian masalah-masalah pembangunan. Melalui partisipasi

masyarakat berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat dapat disesuaikan

dengan perencanaan pembangunan daerah. Lebih dari itu, melalui partisipasi

masyarakat secara tidak langsung terjadi pengawasan penyelenggaraan

pemerintahan di daerah.

Norma Partisipasi Masyarakat

Pasca reformasi salah satu tuntutan yang dilembagakan adalah penyelengaraan

desentralisasi atau sering disebut otonomi daerah. Selama ini secara normatif

penyelenggaraan desentralisasi diwujudkan dalam undang-undang pemerintahan

daerah. Tercatan sudah tiga undang-undang yang ditetapkan dalam menopang

penerapan desentralisasi. Terkait ruang partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan pemerintah daerah menunjukkan bahwa masih terbatasnya ruang

partisipasi masyarakat di dalam ketentuan perundangan tersebut.

Perbandingan Ruang Partisipasi Masyarakat

dalam UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014

Undang-Undang Pemda Uraian Isi Undang-Undang

Ruang Partisipasi

Masyarakat dalam

Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999

(1) Pasal 18, Ayat 1 huruf h

DPRD bertugas menampung dan menindaklanjuti aspirasi Daerah

dan masyarakat.

(2) Pasal 22 Poin e

DPRD mempunyai kewajiban mememperhatikan dan menyalurkan

aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta

memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

(3) Pasal 92

Dalam penyelenggaraan pembangunan Kawasan Perkotaan,

Pemerintah Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat dan pihak

swasta. Pengikutsertaan masyarakat, merupakan upaya

pemberdayaan masyarakat dalam pembangunanperkotaan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 89: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 86

Sumber: UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014

Berdasarkan muatan UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014 menunjukkan

bahwa ruang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

masih belum tegas, secara spesifik muatan masing undang-undang sebagai berikut:

pertama, pada UU 22/1999 masih bersifat pasif dan hanya terbatas pada ruang

tugas dan fungsi DPRD sebagai representasi masyarakat. Kedua, dalam UU

R u a n g P a r t i s i p a s i

M a s y a r a k a t d a l a m

Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004

Pasal 139

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau

tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan

Perda.

(2) Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan

rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundang-

undangan.

R u a n g P a r t i s i p a s i

M a s y a r a k a t d a l a m

Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014

Pasal 354

(1) Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah

Daerah mendorong partisipasi masyarakat.

(2) Dalam mendorong partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), Pemerintah Daerah:

(a) menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah kepada masyarakat; (b) mendorong

kelompok dan organisasi masyarakat untuk berperan aktif dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah melaluidukungan

pengembangan kapasitas masyarakat; (c) mengembangkan

pelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan yang

memungkinkan kelompok dan organisasikemasyarakatan dapat

terlibat secara efektif; dan/atau

(3) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mencakup:

(a) penyusunan Perda dan kebijakan Daerah yang mengatur dan

membebani masyarakat; (b) perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan

Daerah; (c) pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam Daerah;

dan (d) penyelenggaraan pelayanan publik.

(4) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dilakukan dalam bentuk: (a) konsultasi publik; (b) musyawarah;

(c) kemitraan; (d) penyampaian aspirasi; (e) pengawasan;

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 90: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 87

32/2004, ruang partisipasi masyarakat juga masih bersifat fasif dan terbatas pada

tugas DPRD dalam perumusan peraturan daerah semata. Ketiga, pada UU 23/2014

ruang partisipasi masyarakat sudah memiliki pola dan cenderung bersifat aktif,

dimana pemerintah daerah disyaratkan mendorong partisipasi masyarakat berupa

aktifitas, cakupan, dan bentuk partisipasi yang sudah terpola dan

terarah.Perubahan UU Pemerintahan Daerah tersebut menunjukkan adanya

penyempurnaan partisipasi masyarakat, namun demikian belum ada jaminan

pemerintahan daerah akan berkomitmen dalam penerapannya.

Penutup

Sebagai bentuk penyempurnaan penyelenggaraan pemerintahan daerah,

termuatnya ruang partisipasi masayarakat dalam UU 23/2014 secara khusus dalam

Bab tersendiri menunjukkan adanya peluang penguatan partisipasi masyarakat

dimasa yang akan datang. Namun demikian ketentuan tentang partisipasi

masyarakat masih bersifat fleksibel dan belum tegas, sehingga dalam

penerapannya merlukan dukungan beberapa aspek sebagai berikut: (1) adanya

proses pemilu dan pilkada daerah yang fair sehingga menghasilkan kepala daerah

dan anggota DPRD benar-benar merakyat dan terbuka pada rakyat; (2) adanya

political will dari kepala daerah untuk menyiapkan perangkat peraturan yang

mendorong partisipasi masyarakat; (3) adanya kemauan kepala daerah dan DPRD

untuk memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat sebagai social

control; (4) adanya social movement kelompok masyarakat sipil yang independen

dan terbuka; serta (5) adanya dukungan dari media, dalam memberikan akses

informasi bagi masyarakat secara luas.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 91: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 88

KAJIAN INTERMESTIK: RUANG KERJASAMA DAERAH TANPA BATAS

Dwi Wahyu Handayani, M.Si.

Era desentralisasi memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk memiliki

kewenangan, kemandirian dan keleluasaan dalam mengelola potensi daerah.

Kemampuan daerah dalam memanfaatkan kebijakan desentralisasi, kreativitas dan

inovasi menghasilkan derajat kemajuan daerah yang berbeda. Pemerintah daerah

harus mampu membaca konteks domestik dengan segala kemampuan biokrasi,

lembaga politik, masyarakat, infrastruktur dan sebagainya. Bahkan, tantangannya

semakin nyata dalam menghadapi fenomena geliat global, yang semakin

menyertakan siapa pun di dalamnya. Realita ini menghadirkan landasan dalam UU

Pemerintahan Daerah yang sejak awal menelaah mengenai jalinan kerjasama

daerah, melampaui batas negara.

Globalisasi telah menegaskan telah tercipta dunia tanpa batas (borderless world)

yang seolah membentuk suatu global village bagi masyarakat dunia. Referensi

global tersebut memberikan pengaruh dalam proses perumusan kebijakan,

sehingga tidak semata faktor domestik. Konteks internasional, misalnya Masyarakat

Ekonomi Asean (MEA) telah menuntut beberapa hal diantaranya tercipta pasar

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 92: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 89

bebas, sehingga produk dari negara Asean bebas masuk ke negara anggota lainnya.

Ketentuan tersebut menciptakan persaingan yang kemudian mengukur daya saing

produk. Produk pertanian misalnya, ketika Indonesia akan memprioritaskan pada

jenis pangan tertentu untuk tujuan ekspor maka akan terkait kebijakan

pemerintah daerah mengenai pertanian.

Hal yang telah disepakati pemerintah pusat dengan negara lain mengenai

kerjasama dengan negara lain, tentu saja dalam implementasinya akan terkait

pemerintah daerah. Demikian juga kesepakatan MEA, kunci keberhasilan

sesungguhnya adalah kesiapan pemerintah daerah khususnya di level kota/

kabupaten. Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah memberikan ruang bagi

pemerintah daerah, untuk melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah, NGO,

kelompok bisnis dari negara lain.

Landasan kerja sama daerah terdapat pada UU Pemerintah Daerah No 23 tahun

2014 pasal 363 bahwa kerja sama dapat dilakukan oleh daerah dengan lembaga

atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Kerjasama dengan pihak luar negeri ini tidak menjadi hal

yang wajib, sebagaimana kerjasama antardaerah dalam lingkup internal.

Pasal 367 menjelaskan bahwa kerja sama daerah dengan lembaga dan/atau

pemerintah daerah di luar negeri meliputi pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi; pertukaran budaya; peningkatan kemampuan teknis dan manajemen

pemerintahan; promosi potensi daerah; dan kerja sama lainnya yang tidak

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaksanakan

setelah mendapat persetujuan pemerintah pusat.

Sebelumnya, pra tahapan penandatangan perjanjian internasional, daerah harus

mengikuti mekanisme internal daerah yaitu adanya pendapat dan pertimbangan

DPRD kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di

daerah serta adanya persetujuan DPRD terhadap rencana kerjasama internasional

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 93: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 90

yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu juga berkoordinasi dengan

Departemen Luar Negeri dan pemerintah pusat. 42

Demikian proses globalisasi, para aktor internasional juga meluas tidak hanya

melingkupi negara (state actors) saja, meluas pada aktor-aktor selain negara (non-

state actors) seperti organisasi internasional, LSM, perusahaan multinasional

(MNCs), media, pemerintah daerah, kelompok-kelompok minoritas, bahkan

individu.

Beragam aktor dalam hubungan dan kerjasama luar negeri di samping membuat

proses pengambilan keputusan semakin kompleks juga membuka peluang bagi

pemantapan diplomasi Indonesia. Kajian intermestik yang mempertemukan faktor

internasional dan domestik telah secara eksplisit terdapat dalam yang akan

menjadi landasan hukum desentralisasi. Selanjutnya, aturan teknis dalam

implementasinya perlu dijabarkan kembali dalam aturan menteri, ataupun

pedoman teknis, dan perda.

Telaah ini mengharapkan, ada sinergi peran ide dan kepentingan dari para aktor

domestik maupun internasional dalam kebijakan model. Peran ide sangat

berpengaruh dalam proses penyaringan awal alternatif kebijakan yang didasari

oleh transmisi pengetahuan dari jaringan intelektual, perdebatan ide diantara

koalisi advokasi yang menghasilkan proses learning mengarah pada konsensus.

Sedangkan peran kepentingan aktor sangat berpengaruh dalam proses politik, yaitu

kompetisi diantara para koalisi advokasi dengan tujuan untuk mengarahkan

keputusan agar sesuai dengan kepentingannya, yang didasari oleh konsensus ide/

keyakinan yang dimilikinya. Dengan demikian dalam pendekatan intermestik faktor

ide dan kepentingan aktor menjadi sama-sama penting. Hal inilah yang

membedakan pendekatan/model intermestik dengan model-model teori lainnya,

karena sebagian memahami perubahan kebijakan hanya sebagai proses perjuangan

Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah Revisi 42

Tahun 2006. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2006 (Belum ada panduan terbaru yang mengacu kepada UU Pemerintahan Daerah yang baru).

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 94: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 91

kepentingan aktor domestik atau internasional saja, dan sebagian yang lain

memahami perubahan kebijakan sebagai proses transmisi ide/pengetahuan

sehingga kalaulah terjadi perubahan kebijakan domestik pasti melibatkan interaksi

transnasional. 43

Jaringan kerjasama pemerintah daerah dan pihak luar negeri juga menegaskan

adanya diplomasi pararel. Stephane Paquin menjelaskan bahwa “paradiplomacy

when a mandate has been granted to official representatives of a sub-state

government in order to negotiate with international actors. Jose Luis Rhi Sausi

menyatakan “parallel diplomacy as “the participation of non-central government

in iternational relations by establishing ad hoc contacts with private and public

entities abroad,with the objective of promoting socioeconmic and cultural affairs

as well as any other external dimension of its constitutional competencies.” 44

Diplomasi pararel memberikan arahan bagi pemerintah lokal untuk melakukan

negosiasi dengan aktor internasional “economic and trade policy:the promotion

and attraction of foreign investment and decision making centers;the promotion

of exports, science and technology, energy,environment, education, immigration

and persons mobility, multilateral relations, international development and

human rights, are all part of the main issues of parallel diplomacy.” 45

Kerjasama pemerintah daerah dengan pihak luar negeri masih perlu dioptimalkan.

Data Direktorat Penataan Perkotaan Ditjen Bina Pembangunan Daerah, jumlah

daerah yang telah menjalankan kerjasama sister city sampai tahun 2013 adalah

Dyah Estu Kurniawati. Pendekatan Intermestik Dalam Proses Perubahan Kebijakan: Sebuah 43

Review Metodologis. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jshi/article/ view File/1519/1623. Diakses pada 20 April 2015.

Maria Eugenia Cruset (editor). 2011. Migration and New International Actors: An Old 44

Phenomenon Seen With New Eyes. Penerbit Cambridge Scholars Publishing.

Ibid.45

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 95: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 92

sebanyak 102 dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU). Beberapa hal 46

yang menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan kerjasama tersebut, antara

lain: belum tersedianya pedoman pelaksanaan yang detail sejak tahap

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pelaksanaan kerjasama tersebut;

kurang siapnya pemerintah daerah/kota dan komunitas yang akan terlibat dalam

kerjasama sister city; belum ada sinkronisasinya informasi yang dibutuhkan

antardaerah/komunitas terhadap kota di luar negeri yang akan diajak/mengajak

kerjasama sister city; belum sesuainya bidang-bidang yang akan dikerjasamakan

dengan potensi dan kebutuhan daerah/komunitas; dan belum tercantumnya

program/kegiatan kerjasama sister city dalam dokumen perencanaan

pembangunan daerah, sehingga kegiatan sister city belum mendapat dukungan

anggaran yang memadai. 47

Kelemahan lainnya adalah perbedaan sistem hukum di negara asing dengan sistem

hukum yang berlaku di Indonesia. Pola koordinasi yang hanya bersifat vertikal

menimbulkan konflik antardaerah otonom. Misal, konflik investasi Bandara

Adisucipto Yogyakarta, antara Kabupaten Kulon Progo dengan Pemerintah Provinsi

DI Yogyakarta. Kabupaten Kulon Progo membuat perjanjian kerjasama dengan

Cekoslovakia untuk mengembangkan bandara internasional. Sedangkan pihak

pemerintah Provinsi DIY menjalin kerjasama dengan investor dari Eropa untuk

membangun bandara di Kabupaten Bantul. 48

Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah Jumat, 21 Oktober 2014. http://46

www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38. Diakses pada 20 April 2015.

Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah. Jumat, 21 Oktober 2014 15:38 WIB. 47

http://www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38. Diakses pada 20 April 2015.

Takdir Ali Mukti. Tinjauan Yuridis dan Teoritis Terhadap Kerjasama Internasional Daerah Otonom. 48

Un i ve r s i t a s Muhammad iyah Yogyaka r ta . h t tp ://www.academia .edu/2307909/ Tinjauan_Yuridis_Dan_Teoritis_Terhadap_Kerjasama_Internasional_Daerah_Otonom. Diakses pada 20 April 2015.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 96: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 93

Catatan penting bagi implementasi UU Perintahan Daerah khususnya

pada bab kerjasama daerah adalah bagaimana pemerintah provinsi

yang saat ini memiliki kewenangan dominan, mampu memfasilitasi

antar kota/kabupaten bersinergi dalam pengembangan kerjasama

antardaerah dan dengan pihak luar negeri.

Politik Hukum UU Pemeritahan Daerah:

Desentralisasi suatu keharusan

Oleh: Suwondo

PendahuluanAda tiga konsep yang terkait satu dengan yang lain jika kita membahas masalah

Pemerintahan Daerah di Indoneia yakni demokrasi, desentralisasi dan negara

kesatuan Republik Indoesia. Setelah tumbangnya pemerintshan Orde Baru, dan

muncul orde reformasi, harapan masyarakat akan bertumpu pada pemerintahan

yang didukung oleh rakyat, sehingga pemerintahan yang didukung oleh rakyat

diharapkan akan menjadi obat bagi rakyat dalam menata kehidupan mereka baik

bernegara berbangsa dan bermasyarakat. Perubahan yang bersifat struktural dan

juga kultural, diharapan akan mnjadi pliar dalam berbagai aspek ketataanegaraan,

baik sistem aturan dan juga aktor yang terlibat di dalam. Itu lahyang disistilah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 97: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 94

sebagai proses demokratisasi dalam berbagai bidang, dengan nengedepnkan

kedaulatan di tangan rakyat.

Proses demokratisasi tersebut dalam tataran berikut jelas akan berimplikasi pada

sistem pemerintahan daerah yang tadi bersifat otoriter dan cenderung sentralistik

menjadi desentralistis. Dalam tataran yuridis masalah pemerintahan daerah

tersebut muncul dengan dikeluarkannya UU No. 22 Thun 1999. Namun

desentralisasi yang diatur UU tersebut menjadi melambat setelah dikeluarkan UU

No. 32 tahun 2004, walau dalam undang-undang ini mulai diatur mengenai pilkada

yang dipilih secara langsung, mengiringi pemilihan presiden dan wakil presiden

yang juga dilaksanakan secara langsung. Dengan berlakunya UU no. 32 tersebut,

era sentralisasi kembali menguat, karena walupun daerah diberi otonomi daerah,

namun kebebasan dan kemandirian daerah utnutk mengatur rumah tangganya

dibatasi oleh pemerintah atasnya. Sebagai contoh, karena bersifat negara

kesatuan, maka peraturan daerah (perda) atau pejabat eselon tinggi harus

mendapat persetujuan dari pemerintah di atas. Dengan kata lain walaupun UU

tersebut menganut paham desentraliasi, tapi dsentraliasi yang dilakukan masih

kuat unsur sentralisasinya. Undang No. 32 tahun 2004 tersebut berlanjut dengan

perubahan UU pemda yang baru yakni UU no. 23 tahun 2014 dan revisinya UU no. 2

tahun 2015, tetap unsur desentralisasi yang bertopeng sentralisasi masih cukup

menonjol.

Nampaknya desentralisasi di Indonesia, akan selalu rumit. Kerumitan tersebut

salah satunya dikaitkan dengan aspek lain yakni bentuk negara Indonesia yang

menganut negara kesatuan (unitary state) yang lebih fokus pada penyeragaman

daripada perbedaan.

Desentralisasi dan Negara Kesatuan

Desentralisasi yang bermakna penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada

daerah untuk mengatur rumah tangganya sesuai dengan kemampuan dan

kebutuhan daerah yang bersangkutan. Karena pengaturan tersebut disesuaikan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 98: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 95

dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, maka desentralisasi jelas ingin

menghilangkan keseragaman yang diciptakan oleh pusat, serta mengakui hak-hak

tradisional masyarakat yang memiliki karakteristik beranekaragam serta ciri khas

sejarah, budaya, teknologi, pranata dan nilai-nilai sosial, maupun kearifan lokal

lainnya. Oleh sebab itu jika pemerintah terutama pemerintah pusat mengabaikan

fakta obyektif berupa sumber daya alam, kekayaan dan warisan budaya atau yang

berpikir bahwa masyarakat bergerak linier dalam satu arah dan cara yang sama,

bukanlah desentralisasi yang sesungguhnya.

Maka, ketika UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU Nomor 32/2004, dan sekarang

diganti dengan UU no. 23 Tahun 2014 yang dirivisi lagi dengan UU N. 2 tahun 2015,

munculah banyak kritik dan keberatan dari berbagai kalangan, khususnya aktor-

aktor di tingkat lokal. Aturan yang baru ini dianggap membawa agenda sentralisasi

atau penyeragaman baru, dengan dibungkus pada agenda kerangka negara

kesatuan. Semangat keragaman menjadi menipis, dan pengakuan terhadap

karakteristik yang khas dari suatu daerah semakin menghilang. Atas berbagai kritik

ini, berkembanglah wacana tentang bagaimana sebaiknya desentralisasi yang ideal

untuk kondisi Indonesia mendatang desentralisasi yang seragam layaknya dalam

negara kesatuan atau desentraliasi yang tidak seragam disesuaikan dengan kondisi

daerah?

Dalam UU yang terbaru tersebut termuat 411 pasal termasuk lampiran yang tidak

terpisahkan. Ada hal yang manarik bahwa dalam undang-undang diatur bahwa ada

kewenangan obsulut, konkuren dan juga pilihan yang diperjelas dalam lampiran. Di

samping itu dalam penjelasan dinyatakan bahwa Pemberian otonomi seluas luasnya

kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara

kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan

nasional dan tidak ada kedaulatan pada daerah. Oleh karena itu, seluas apapun

otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan

pemerintahan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintah Daerah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 99: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 96

pada Negara Kesatuan Merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan. Nasional.

Kedua hal tersebut yang menarik untuk dikaji dalam bagian berikut:.

Dari Penjelasan undang-undang pemerintahan tersebut jelas dan tegas bahwa

desentralisasi dalam negara kesatuan tetap terikat kepada pemerintahan pusat dan

ketentuan yang mengatur dalam pembagian kekuasaan tersebut jelas menunjukkan

bahwa pemerintah pusat membagi kekuasaan secara kaku dengan mengatur secara

detail urusan-urusan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan Pemerintah

Daerah. Dengan pembagian urusan secara detail, berarti pemerintah pusat benar-

benar masuk terlalu dalam untuk mengatur dan terlibat langsung pada

pemerintahan daerah. Untuk ini, penulis melihat bahwa desentralisasi masih

menjadi pemanis saja, karena dibatasi hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak

boleh dilakukan pemerintah daerah. Seharus pemerintah pusat tidak bersifat

demikian, tapi menyerahkan seluruh urusan kepada daerah, kecuali kewenangan

obsolut. Kalau mau desentralisasi berjalan sesuai dengan kemapuan dan juga

aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Di samping hal di atas, maka dalam lampiran dari undang-undang pemerintahan

yang baru jelas menggambarkan urusan-urusan yang menjadi kewajiban

pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan juga pemeritah kabupaten/kota.

Dengan pembagian urusan yang demikian, memaksa kewenangan pemerintah sudah

dibatasi mana yang menjadi hak pemerintah pusat dan juga mana yang menjadi

hak pemerintah daerah.

Menghadapi ketentuan yuridis demikian, jika revisi kembali tidak dapat dilakukan

dengan segera, maka apa yang dapat dilakukan oleh Daerah? Lalu, apakah

desentralisasi dalam konsep negara kesatuan menjadi hal yang tidak mungkin?

Untuk itu penulis melihat bahwa membicarakan desentralisasi yang dalam negara

kesatuan mestinya tidak dipersepsikan sebagai bentuk penyimpangan dari ide

dasar desentralisasi yang mengedepankan “keseragaman”, namun justru dipandang

sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni menciptakan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 100: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 97

efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sehingga keinginan masyarakat

terpenuhi, sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal.

Pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan

cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi,

kebutuhan, dan latar belakang sejarah masing-masing daerah kedalam sistem

kebijakan nasional. Dan mengingat bahwa setiap daerah / wilayah dalam sebuah

negara memiliki anatomi politik, sosial, maupun kultural yang beragam, maka

desain desentralisasi yang berbeda (atau asimetris) menjadi alternatif yang

strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah

nasional. Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara federal pada

masa modern sekarang ini, desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan

sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi

ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal, namun juga menjadi strategi

kultural untuk merealisasikan prinsip diversity in unity atau unity in diversity.

(Jurnal Borneo Adminitsrtor, Vol. 6 no.2 tahun 2010).

Dengan desentralisasi yang berbeda ini urusan pemerintah yang pilihan dapat

disikapi oleh Pemerintah Daerah dengan mengidentifikasikan potensi dan

karakteristik daerahnya masing-masing, dan tidak perlu berkecenderungan bahwa

seluruh bidang urusan harus dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah yang

tidak memiliki wilayah laut, tentu tidak layak membentuk Dinas Perikanan dan

Kelautan. Demikian pula suatu daerah yang bercirikan kota besar, bahkan

metropolitan, pembentukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang

tidak perlu. Jika setiap daerah tidak memiliki orientasi untuk membentuk

kelembagaan secara maksimal, maka desentralisasi asimetris berdasarkan jenis-

jenis urusan akan terbangun dengan sendirinya.

Jika kita lihat pada fakta politik, maka desentralisasi yang berbeda sesungguhnya

juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan

kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1)

otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 101: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 98

provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( UU No. 21/1999) dan Nangroe Aceh

Darussalam (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta

sebagai Ibukota Negara (UU No. 29/2007). Ketika beberapa bentuk otonomi

dijalankan secara bersamaan seperti inilah, maka desentralisasi berbeda telah

terjadi.

Pemberian desentralisasi tidak akan mengancam keutuhan negara kesatuan,

negara-negara kesatuan di dunia juga banyak yang menerapkan desentralisasi

asimetris, seperti di Jepang, China, atau Perancis. Faktanya, meskipun mereka

menerapkan desentralisasi asimetris, namun keutuhan atau integritas negara

kesatuan tidak tergoyahkan. Di Jepang, desentralisasi asimetris bisa disaksikan

dalam kebijakan Penetapan suatu daerah sebagai kota inti (Chukaku-shi) atau kota

dengan kasus istimewa (Tokurei-shi). China juga memberikan perlakuan berbeda

kepada daerah melalui penerapan konsep market decentralization. Berdasarkan

konsep ini, pemerintah China menciptakan kawasan ekonomi khusus, kota-kota

pantai (open coastal cities), dan zona pembangunan. Pada tahun 1978 ditetapkan

empat kawasan ekonomi khusus, yakni Shenzhen, Zhuhai, Shantou dan Xiamen.

Kebijakan ini dibarengi juga dengan pemberian otonomi yang sangat luas kepada

provinsi Guangdong and Fujian untuk membangun ekonomi di wilayahnya, misalnya

diberikannya kewenangan untuk menyetujui investasi bernilai lebih dari US $ 30

juta. Untuk lebih memperkuat market decentralization tadi, hingga 1984 telah

ditetapkan 14 kota-kota pantai dan beberapa kota di pedalaman (sepanjang daerah

aliran sungai Yangtze dan perbatasan dengan Russia) yang diberikan kewenangan

luas serupa dengan kawasan ekonomi khusus (Montinola, Qian and Weingast, dalam

Basuki, 2006). Hal serupa terjadi di Perancis dimana dari 22 Region yang ada,

wilayah Corse atau Corsica merupakan region yang diberi otonomi khusus yang

tidak dimiliki oleh 21 Region lainnya. Secara obyektif hal ini didorong oleh posisi

geografis Corsica yang agak terpisah dari wilayah daratan serta memiliki latar

belakang sejarah yang spesifik (Tri Widodo, dalam Jurnal Borneo Administrator,

2010).

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 102: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 99

Terakhir bahwa demokratisasi, desentralisasi dan negara kesatuan bukanlah

sebagai tujuan, namun hanya alat atau cara untuk mewujudkan tujuan berbangsa

dan bernegara, yakni pemerintahan yang bertanggung jawab dan menciptakan

kesejahteraan bagi masyarakat keseluruhan.

Biodata Para Penulis

Ari Darmastuti

Lahir di Gunung Kidul dan mengabdi sebagai dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan UNILA sejak tahun 1986. Meraih gelar s1 dari jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, S2 bidang ilmu Politik dari Iowa State University Amerika Serikat dan menyelesaikan gelar Doktor dari Universitas Indonesia. Saat ini menjabat ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan, UNILA.

Arizka Warganegara

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 103: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 100

Mulai mengabdi di jurusan Ilmu Pemerintahan sejak tahun 2006. Pernah menjadi mahasiswa berprestasi Unila. Menyelesaikan S1 dari Jurusan Ilmu Pemerintahahan tahun 2003. S2 bidang ilmu politik diperoleh tahun 2005 dari Universiti Kebangsaan Malaysia. Saat ini sedang menyelesaikan program s3 di bidang Geografi Politik di Leeds University, Inggris. Tulisannya tersebar di media nasional seperti Media Indonesia dan Koran Sindo, Kolumnis tetap di Lampost ini adalah anggota dewan pakar lampung post.

Budi Kurniawan

Studi s1 di bidang Ilmu Pemerintahan diselesaikan di UGM pada tahun 2005. Mengabdi di Jurusan Ilmu Pemerintahan UNILA sejak tahun 2006. Tahun 2010 memperoleh beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) untuk mengambil gelar master dalam bidang kebijakan Publik di Crafword School of Public Policy, ANU, di Canberra Australia. Tulisannya tersebar di media nasional seperti the Jakarta Post dan Republika. Saat ini diamanahi Jabatan Kepala Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah FISIP UNILA.

Darmawan Purba

Beliau adalah Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, Terlahir di Aceh Tamiang 1 Juni 1981 menempuh studi S1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan Unila, dan melanjutkan Program Master di Kampus yang sama. Selain mengajar beliu aktif melakukan survey-suvei opini public dan berbagai riset nasional.

Denden Kurnia Drajat

Beliau ada ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan. Pria kelahiran 29 Juli 1960 ini menyelesaikan studi S1 di Universitas Padjajaran kemudian melanjutkan S2 medapatkan gelar magister di Universitas yang sama. Menjadi dosen di Juruan Pemerintahan UNILA sejak tahun 1990.

Dwi Wahyu Handayani

Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan dan mengajar juga di Jurusan Hubungan Internasional Fisip Unila. Lulusan S1 Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammmadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 2001. Kemudian melanjutkan S2 Ilmu Politik konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun 2004.

Feni Rosalia

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 104: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 101

Meraih gelar Doktor bidang Ilmu Pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung tahun 2012. Gelar master bidang komunikasi Pembangunan dari IPB. Ibu super sibuk kelahiran tahun 1969 ini adalah mahasiswa s1 terbaik di Jurusan Pemerintahan pada angkatannya. Mengajar di Jurusan Pemerintahan sejak tahun 1990.

Hertanto

Menyelesaikan s1 dari jurusan Ilmu Pemerintahan Undip dan s2 dari Universitas Gadjah Mada dalam bidang ilmu politik. Pernah menjabat menjadi Dekan FISIP UNILA. Tahun 2013 beliau menyelesaikan gelar Philosophy of Doctor (Ph. D) di bidang Ilmu Politik dari Universiti Kebangsaan Malaysia, menjadi dosen di Jurusan Pemerintahan FISIP UNILA sejak tahun 1986.

Himawan Indrajat

Pria kelahiran kota Purwokerto tahun 1983 ini menyelesaikan s1 dari jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto pada tahun 2006, dan kemudian melanjutkan S2 jurusan Ilmu Politik di Universitas Indonesia serta menyelesaikannya pada tahun 2008. Aktivitasnya sekarang menjadi dosen jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, sementara dalam kegiatan kemasyrakatan aktif dalam organisasi kepemudaan Pemuda Muhammadiyah provinsi Lampung.

Robi Cahyadi

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan yang concern pada kajian ilmu politik dan Pemerintahan. Menyesaikan s1 dalam bidang Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjajaran Bandung. Setelah dari Bandung beliau terbang ke Jogjakarta untuk mengambil gelar s2 di bidang Ilmu Politik di UGM dengan tema research tentang voting behavior. Saat ini sedang menempuh pendidikan Doktor dalam bidang ilmu Politik di Universitas Padjajaran Bandung. Beliau adalah pengamat politik yang pendapatnya banyak dikutitip media lokal seperti Lampung Post, Radar Lampung dan Tribun. Menjadi dosen di JIP UNILA sejak tahun 2005.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 105: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 102

Suwondo

Lahir di Ketapang Sungkai pada tahun 1959. Memperoleh gelar S1 Jurusan Ilmu Pemerintahan lulus tahun 1984. Meraih gelar master of art dari Universitas Indonesia tahun 1991. Bapak dari tiga orang anak dan kakek dari empat orang cucu adalah peraih Doktor Politik Pertama di Provinsi Lampung yang diselesaikannya pada tahun 2002. Pernah menjabat ketua KPU Provinsi Lampung tahun 2003-2009. Ketua KKN UNILA 2008-2013. Ketua tenaga ahli Gubernur Lampung 2011-2014

Syafarudin

Meraih gelar s1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA. Meraih gelar MA dari Universitas Gadjah Mada. Tulisannya tersebar di media nasional dan lokal. Pernah menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Pasca UGM. Menjadi dosen di Jurusan Pemerintahan UNILA sejak tahun 2005. Menjadi ketua Labpolotda JIP UNILA dari tahun 2011 hingga tahun 2015.

Syarief Makhya

Meraih galar Doktor dalam bidang Ilmu Pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung 2013. S2 dibidang kebijakan Publik ditempuh di Universitas Brawijaya Malang. Pria kelahiran Bandung tahun 1959 ini memperoleh gelar s1 Ilmu Pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung. Pernah menjabat menjadi wakil dekan bidang akademik di FISIP UNILA. Beliau juga merupakan aktivis sosial di PW Muhammadiah Lampung. Tulisan beliau tersebar di media nasional dan lokal.

Andri Marta

Pria kelahiran Bandar Lampung, 4 Maret 1990, merupakan putra pasangan bapak toni dan ibu Dra. Rosiaani Lakhan Meraih gelar S1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA. Meraih gelar Magister Ilmu Pemerintahan pada Tahun 2015. Pernah beberapa kali mengikuti pelatihan dan juga seminar baik di tingkat lokal maupun nasional. Sejak awal April 2015 menjadi Dosen Tetap di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA.

Melyansyah

Seorang pria yang lahir pada tanggal 20 Mei 1995 di Bandar Dewa sebuah desa terpencil di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Merupakan putra pertama dari pasangan Bapak Sobri Abdullah dan Ibu Fatimah. Dalam kegitan sehari-hari aktif dalam menganalisis kajian politik dan pemerintahan dan kebetulan sekarang sedang belajar sebagai peneliti muda di Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah FISIP Unila. Pernah beberapa kali aktif dalam forum diskusi politik dan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Page 106: Desentralisasi atau Resentralisasi - ResearchGate

! 103

pemerintahan, terakhir mengikuti diskusi dan debat dalam Politic and Governance Day 2015 (POLGOV Day) di Universitas Gajah Mada.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

View publication statsView publication stats