perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pengaruh workshop .../pengaruh...perpustakaan.uns.ac.id...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH WORKSHOP PENDIDIKAN INKLUSIF
TERHADAP KOMPETENSI GURU MENANGANI KELAS INKLUSIF
DI KABUPATEN WONOGIRI
TAHUN 2012
SKRIPSI
Oleh:
EKA RATNAWATI
K5108027
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGARUH WORKSHOP PENDIDIKAN INKLUSIF
TERHADAP KOMPETENSI GURU MENANGANI KELAS INKLUSIF
DI KABUPATEN WONOGIRI
TAHUN 2012
Oleh :
EKA RATNAWATI
K5108027
SKRIPSI
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa
Jurusan Ilmu Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
Kesuksesan tidak akan pernah datang bagi orang yang hanya menunggu
tanpa berbuat, kesuksesan hanya bagi orang yang selalu berbuat untuk
mewujudkan apa yang diinginkan #
(Penulis)
Keluhanmu tidak akan membuatmu keluar dari masalah, tapi usahamu
yang akan membuatmu keluar dari masalah #
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Seiring rasa syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk:
Ayah dan ibuku tercinta
Terimakasih atas doamu yang tiada terputus, pengorbanan yang tiada
henti, dan kasih sayang yang tiada terbatas serta nasehat dan dukungan
yang kalian berikan selama ini. Aku sayang kalian berdua.
Suami dan anakku tercinta
Terimakasih karena senantiasa memberikan doa, kasih sayang, keceriaan,
dan selalu ada disampingku baik disaat suka dan duka,maupun disaat
kusehat dan kusakit. Kalian adalah semangat bagiku, aku sayang kalian.
Adikku tersayang
Terimakasih untuk doa, dukungan, semangat, dan keceriaan yang
diberikan.
Priske Widyastuti
Terimakasih selama ini telah menjadi sahabat yang baik yang mau
mendengarkan keluh kesahku, semoga persahabatan kita tak kan pernah
berakhir.
Rekan-rekan yang melakukan penelitian bersama di Wonogiri
Terimakasih atas kerjasama kalian semua.
Teman-teman PLB angkatan 2008
Almamater
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRAK
Eka Ratnawati. PENGARUH WORKSHOP PENDIDIKAN INKLUSIFTERHADAP KOMPETENSI GURU MENANGANI KELAS INKLUSIF DIKABUPATEN WONOGIRI TAHUN 2012. Skripsi, Fakultas Keguruan danIlmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juli 2012.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh workshoppendidikan inklusif terhadap kompetensi guru dalam menangani kelas inklusif diKabupaten Wonogiri tahun 2012.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan desain One grouppre test-post test design, dimana sekelompok subyek dikenai perlakuan untukjangka waktu tertentu, dan pengaruh perlakuan diukur dari perbedaan antarapengukuran awal (pre test) dan pengukuran akhir (post test). Pada penelitian inisampel yang digunakan adalah guru umum sekolah dasar dengan perwakilan 2orang guru dari setiap kecamatan di Wonogiri yang berjumlah 50 guru. Teknikpengumpulan data menggunakan teknik skala, yaitu skala likert untuk mengukurkompetensi guru. Penelitian ini menggunakan metode analisis statistik parametrik,yaitu T- Test for correlated means atau Paired-Samples T -Test.
Dari hasil analisis deskriptif dapat diperoleh nilai rata-rata post test lebihbesar yaitu 372,56 daripada nilai rata-rata pre test 334,82. Hasil analisisparametrik diperoleh nilai dengan P = 0.000 < α = 0,05. Kesimpulan penelitianmenyatakan bahwa ada pengaruh secara signifikan pelaksanaan workshoppendidikan inklusif terhadap kompetensi guru menangani kelas inklusif diKabupaten Wonogiri tahun 2012.
Kata kunci: workshop pendidikan inklusif, kompetensi guru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
ABSTRACK
EkaRatnawati. WORKSHOP ON THE INFLUENCE OF INCLUSIVEEDUCATION TEACHER COMPETENCE IN DEALING WITH CLASSINCLUSIVE WONOGIRI YEAR 2012. Thesis, Faculty of Teacher Trainingand Education Surakarta Sebelas Maret University. July 2012.
The purpose of this study was to determine the effect of inclusiveeducation workshop on teacher’s competence in managing the inclusive classroomin Wonogiri 2012.
This study used an experiment method with a One group pre test-post testdesign, where a group of subjects was treated for a certain period, and the effect oftreatment was measured from the difference of pre test and post test. In this studythe sample used primary school teachers with two representatives from eachdistrict in Wonogiri which account for 50 teachers. Data collection techniques usethe technique of Likert scale to measure teacher’s competence. This study used aparametric statistical analysis, the T-test for correlated means or Paired-SamplesT-Test.
the descriptive analysis of the data showed a mean value of 372.56 is posttest greater than the mean of pre test 334.82. The results of parametric analysis ofvalues obtained with P=0.000 < α = 0,05. The study shows that there is significantinfluence of the implementation of inclusive education workshop on teacher’scompetence to manage Wonogiri inclusive classroom in the district in 2012.
Key words: workshop on inclusive education, teacher competence
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang
memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Ataskehendak-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGARUH WORKSHOP
PENDIDIKAN INKLUSIF TERHADAP KOMPETENSI GURU
MENANGANI KELAS INKLUSIF DI KABUPATEN WONOGIRI TAHUN
2012”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk
mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Luar Biasa, Jurusan
Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk
bantuannya, penulis sampaikan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatulah, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;
2. Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;
3. Drs. Amir Fuady, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;
4. Drs. Rusdiana Indianto, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP
UNS Surakarta, yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi;
5. Drs. Hermawan, M. Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Luar Biasa
FKIP UNS dan Pembimbing akademik yang telah memberikan ijin untuk
menyusun skripsi serta memberikan arahannya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
6. Prof. Drs. Sunardi, M.Sc, Ph.D, selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah
memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan;
7. Dewi Sri Rejeki, S.Pd, M.Pd, selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah
memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis
menyelesaikan skripsi ini;
8. Segenap Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Luar Biasa yang telah
memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga peneliti mampu menyelesaikan
penulisan skripsi ini;
9. Berbagai pihak yang telah membantu peneliti demi lancarnya penulisan skripsi
ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan karena
keterbatasan penulis. Dengan segala rendah hati penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan bagi pengembang ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan pada umumnya.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... ii
HALAMAN PENGAJUAN............................................................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... v
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................... ... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
ABSTRACK .................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ..................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL............................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi
DAFTAR GRAFIK.......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... . 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah ................................................................... 4
D. Rumusan Masalah ...................................................................... 5
E. Tujuan Penelitian ....................................................................... 5
F. Manfaat Penelitian ..................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA....................................................................... . 6
A. Kajian Toeri ...................... ......................................................... 6
1. Kajian Kompetensi Guru....................................................... 6
a. Pengertian Kompetensi .................................................. 6
b. Komponen Kompetensi .................................................. 8
c. Pengertian Kompetensi Guru………………………….. 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
d. Komponen Kompetensi Guru ......................................... 10
2. Kajian Workshop/Pelatihan ................................................. 19
a. Pengertian Workshop/Pelatihan...................................... 19
b. Jenis-Jenis Workshop/Pelatihan...................................... 20
c. Tujuan Workshop/Pelatihan............................................ 21
3. Kajian Pendidikan Inklusif.................................................... 21
a. Sejarah Pendidikan Inklusif………………………........ 21
b. Pengertian Pendidikan Inklusif………………………… 24
c. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif……… 26
d. Karakteristik Pendidikan Inklusif……………………… 32
e. Model-model Sekolah Inklusif………………………… 33
f. Pendidikan Inklusif di Indonesia……………………… 36
g. Kebijakan Pendidikan Inklusif di Indonesia………….. 37
B. Kerangka Berpikir ...................................................................... 38
C. Hipotesis...................................................................................... 40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN........................................................ 42
A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 42
1. Tempat Penelitian.................................................................. 42
2. Waktu Penelitian ................................................................... 42
B. Rancangan penelitian .................................................................. 42
C. Populasi dan Sampel .................................................................. 43
1. Populasi ................................................................................. 43
2. Sampel................................................................................... 44
D. Teknik Pengambilan sampel…………… ................................... 44
E. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 47
1. Pengertian skala .................................................................... 48
2. Karakteristik Skala ................................................................ 48
3. Jenis-jenis Skala .................................................................... 49
F. Teknik Analisis Data .................................................................. 55
BAB IV HASIL PENELITIAN ..................................................................... . 57
A. Deskripsi Data…………………………………………………. 57
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
1. Hasil Penelitian…………………………………………….. 57
a. Data Kompetensi Guru Sebelum Perlakuan………….. 58
b. Data Kompetensi Guru Setelah Perlakuan…………… 60
B. Pengujian Hipotesis …………………………………………... 62
C. Pembahasan Hasil Penelitian………………………………….. 63
BAB V KESIMPULAN, IMPIKASI DAN SARAN....................................... 65
A. Kesimpulan …………………………………………………… 65
B. Implikasi ……………………………………………………… 65
C. Saran…………………………………………………………... 66
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 67
LAMPIRAN…………………………………………………………………. 70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1. Jadwal Waktu Penelitian……………............................................. 42
Tabel 3.2. Desain Penelitian One Group Pre test-post test .............................. 43
Table 3.3. Kisi-Kisi Instrumen......................................................................... 52
Tabel 4.1. Deskriptif Statistik................................................................. ......... 58
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Nilai Pre test ................................................. 58
Tabel 4.3. Deskriptif Statistik .......................................................................... 60
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Nilai Post test................................................. 60
Tabel 4.5. Ringkasan Hasil Deskriptif Data Niai Pre test dan Post test .......... 62
Tabel 4.6. Perhitungan Analisis data ............................................................... 62
Tabel 4.7. Hasil Tes Statistik .......................................................................... 62
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir ............................................................ 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR GRAFIK
Grafik.4.1. Grafik Histogram Kompetensi Guru sebelum Perlakuan…….. 59
Grafik.4.2. Grafik Histogram Kompetensi Guru setelah Perlakuan………… 61
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kisi-kisi Angket/Skala ................................................................ 70
Lampiran 2. Skala Kompetensi Guru............................................................... 84
Lampiran 3. Data Guru yang Mengikuti Workshop ........................................ 97
Lampiran 4. Data Sekolah yang Mewakili Kecamatan dalam Workshop ....... 99
Lampiran 5. Data nilai pre test dan post test .................................................... 100
Lampiran 5. Perhitungan Uji T-Test…………………………………… ........ 102
Lampiran 6. Perhitungan Analisis Data Pre Test ............................................. 103
Lampiran 7. Perhitungan Analisis Data Post Test .......................................... 105
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian............................................................... 107
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 5 Ayat 1 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa ”Setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Hal ini
menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh
kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga
macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar
Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga
pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama,
sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB
Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung
berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda.
Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak
berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar
mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun
perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang
keberatan menerima anak berkelainan.
Pada umumnya lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-
anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak
hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan,
terutama yang kemampuan ekonomi orangtuanya lemah, terpakasa tidak
disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan
disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa
tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat
diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.
Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib
belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-
anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum
mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang
belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD
terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi
anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan
bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang
berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan
terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa
penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak
lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini
dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan
anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh
karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama
dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD)
terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala
sesuatunya. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu
persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Tidak
mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang
sangat mahal dan waktu yang cukup lama.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas inklusif, yang
siswanya terdiri atas anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan khusus,
disamping diperlukan guru kelas dan guru mata pelajaran, diperlukan pula guru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pendidikan khusus (GPK) yang merupakan partner guru kelas dan guru mata
pelajaran dalam upaya melayani anak berkebutuhan khusus agar potensi yang
dimiliki berkembang optimal. Hal ini dapat dimaklumi karena memang guru kelas
dan guru bidang studi tersebut ketika masih menempuh studi di lembaga
pendidikan (SPG/IKIP) tidak dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan
mengajar anak berkebutuhan khusus.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut perlu diupayakan pengadaan tenaga
kependidikan yang ikut berperan serta menangani anak-anak berkebutuhan khusus
di sekolah umum dan juga pembinaannya, agar mereka dapat melayani sesuai
dengan kebutuhannya.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik. Guru mempunyai fungsi, peran dan kedudukan yang sangat strategis
dalam pembangunan nasional bidang pendidikan, sehingga profesi guru perlu
dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Selain itu guru memiliki peran
sebagai ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan, dengan
demikian peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan dengan upaya
peningkatan kompetensi guru, termasuk guru sekolah inklusif.
Undang-Undang RI. Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga
menyiratkan antara lain untuk mewujudkan guru yang profesional, bermutu,
sejahtera, dan bermartabat. Keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat
mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Hampir semua
bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong
keberadaan guru yang berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh
pemerintah di banyak Negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju
peningkatan mutu dan memberikan jaminan serta kesejahteraan hidup guru yang
memadai.
Tidak semua guru umum siap untuk menjadi guru yang berkualitas
terutama untuk mengajar anak berkebutuhan khusus, karena kualitas guru di
Indonesia pada umunya masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain
disebabkan oleh belum terpenuhinya kualifikasi pendidikan minimal guru, yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
diamanatkan Undang-Undang RI No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan
Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
yaitu antara lain menetapkan kualifikasi pendidikan minimal guru adalah S1 dan
D4.
Kualitas guru, termasuk guru sekolah inklusif bagi anak-anak berkelainan
atau berkebutuhan khusus merupakan salah satu unsur terpenting dalam
memberikan layanan pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, penulis
mengambil judul penelitian “Pengaruh Workshop Pendidikan Inklusif
Terhadap Kompetensi Guru Menangani Kelas Inklusif Di Kabupaten
Wonogiri Tahun 2012”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan
permasalahannya sebagai berikut:
1. Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas inklusif masih banyak
terdapat guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pendidikan khusus
yang belum memenuhi kompetensi sebagai seorang guru.
2. Salah satu dari beberapa alternatif yang dipilih Pemerintah
Kota/Kabupaten untuk meningkatkan kompetensi guru dalam
menangani kelas inklusif adalah dengan diadakannya workshop
pendidikan inklusif. Permasalahan yang timbul adalah apakah dengan
workshop pendidikan inklusif tersebut dapat meningkatakan
kompetensi guru dalam menangani kelas inklusif.
C. Pembatasan Masalah
Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Subyek penelitian ini adalah semua guru Sekolah Dasar yang ada di
Kabupaten Wonogiri.
2. Obyek penelitian ini adalah kompetensi para guru Sekolah Dasar yang
ada di Kabupaten Wonogiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah terurai di atas, maka masalah
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Apakah workshop pendidikan
inklusif berpengaruh terhadap kompetensi guru dalam menangani kelas inklusif di
Kabupaten Wonogiri”.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh workshop pendidikan inklusif terhadap kompetensi guru
menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan dalam bidang pendidikan luar biasa tentang
pengaruh workshop pendidikan inklusif terhadap kompetensi guru
dalam meningkatkan kualitas pelayanan bagi anak didik.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan pemikiran lebih lanjut dalam rangka meningkatkan
kompetensi guru di Indonesia.
b. Sebagai masukan bagi lembaga pendidikan dalam meningkatkan
kualitas pelayanan bagi anak didik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Kajian Kompetensi Guru
a. Pengertian Kompetensi
Zurnali (2010) merangkum beberapa pengertian kompetensi dari pakar.
Berikut akan disajikan definisi kompetensi:
1) Richard E. Boyatzis mengemukakan: kompetensi merupakan karakteristik-
karakteristik dasar seseorang yang menuntun atau menyebabkan keefektifan
dan kinerja yang menonjol.
2) Menurut Glossary Our Workforce Matters, kompetensi adalah karakteristik
dari karyawan yang mengkontribusikan kinerja pekerjaan yang berhasil dan
pencapaian hasil organisasi. Hal ini mencakup pengetahuan, keahlian dan
kemampuan ditambah karakteristik lain seperti nilai, motivasi, inisiatif dan
kontrol diri.
3) Le Boterf menyatakan: kompetensi merupakan sesuatu yang abstrak, hal ini
tidak menunjukkan adanya material dan ketergantungan pada kegiatan
kecakapan individu. Jadi kompetensi bukan keadaan tapi lebih pada hasil
kegiatan dari pengkombinasian sumberdaya personal (pengetahuan,
kemampuan, kualitas, pengalaman, kapasitas kognitif, sumberdaya
emosional, dan lainnya) dan sumberdaya lingkungan (teknologi, database,
buku, jaringan hubungan, dan lainnya).
4) Menurut Sinnott, kompetensi adalah alat pengkritisi dalam tugas kerja dan
pergantian perencanaan. Di tingkat minimum, kompetensi berarti: a)
mengenali kapabilitas, sikap dan atribut yang dibutuhkan untuk memenuhi
staf saat ini dan dimasa depan sebagai prioritas organisasi dan pertukaran
strategis dan b) memfokuskan pada usaha pengembangan karyawan untuk
menghilangkan kesenjangan antara kapabilitas yang dibutuhkan dengan
yang tersedia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Dari definisi-definisi yang dikemukakan para ahli tersebut, banyak
ditemukan dalam penelitian-penelitian disertasi dan tesis menggunakan acuan
pada definisi kompetensi yang dikemukakan oleh Richard E. Boyatzis, yang
menyatakan kompetensi merupakan karakteristik-karakteristik dasar seseorang
yang menuntun atau menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol.
Dan tidak sedikit pula penelitian-penelitian kompetensi yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan di dunia untuk melihat kompetensi para
pekerja/karyawannya yang menggunakan pendapat Boyatzis ini.
Menurut Zurnali (2010), hal ini dengan pertimbangan bahwa para
karyawan yang memiliki kompetensi tidak akan menghasilkan perilaku yang
berorientasi pada pelanggan yang optimal jika pekerja tidak diberikan
kebebasan, keleluasaan, dan kemandirian dalam mengendalikan pekerjaannya
baik yang mencakup keputusan inti berkenaan dengan pekerjaan, kerangka
waktu, maupun isi yang berhubungan dengan substansi keputusan.
Menurut Yodhia (2007), secara general, kompetensi sendiri dapat
dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut
personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku
kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dalam
sejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft
competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan
untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun
interaksi dengan orang lain. Contoh soft competency adalah: leadership,
communication, interpersonal relation, dll. Tipe kompetensi yang kedua sering
disebut hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan
kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain,
kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan
pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah : electrical
engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dll.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
b. Komponen Kompetensi
Komponen-komponen atau karakteristik yang membentuk sebuah
kompetensi menurut Spencer & Spencer (1993 : 11) adalah :
1) Motives, yaitu konsistensi berpikir mengenai sesuatu yangdiinginkan atau dikehendaki oleh seseorang, sehingga menyebabkansuatu kejadian. Motif tingkah laku seperti mengendalikan,mengarahkan, membimbing, memilih untuk menghadapi kejadianatau tujuan tertentu.
2) Traits, yaitu karakteristik fisik dan tanggapan yang konsistenterhadap informasi atau situasi tertentu.
3) Self Concept, yaitu sikap, nilai, atau imaginasi seseorang.4) Knowledge, informasi seseorang dalam lingkup tertentu. Komponen
kompetensi ini sangat kompleks. Nilai dari knowledge test, seringgagal untuk memprediksi kinerja karena terjadi kegagalan dalammengukur pengetahuan dan kemampuan sesungguhnya yangdiperlakukan dalam pekerjaan.
5) Skills, yaitu kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas fisik ataumental tertentu.
Komponen kompetensi motives dan traits disebut hidden competency
karena sulit untuk dikembangkan dan sulit mengukurnya. Komponen
kompetensi knowledge dan skills disebut visible competency yang cenderung
terlihat, mudah dikembangkan dan mudah mengukurnya. Sedangkan
komponen kompetensi self concept berada di antara kedua kriteria kompetensi
tersebut.
Definisi yang diajukan oleh Spencer & Spencer menjelaskan bahwa
dalam menggunakan konsep kompetensi harus ada “Kriteria Pembanding”
(Criterion Reference) untuk membuktikan bahwa sebuah elemen kompetensi
mempengaruhi baik atau buruknya kinerja seseorang.
c. Pengertian Kompetensi Guru
Menurut McAhsan dalam Mulyasa (2003:38) mengemukakan bahwa
kompetensi: “…is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a
person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she
can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor
behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah
menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku
kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
Finch dan Crunkilton dalam Mulyasa (2003:38) memberikan pengertian
kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan
apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Pengertian tersebut
menggambarkan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan, sikap, dan
apresiasi yang harus dimiliki oleh guru.
Sofo (1999:123) mengemukakan “A competency is composed of skill,
knowledge, and attitude, but in particular the consistent applications of those
skill, knowledge, and attitude to the standard of performance required in
employment”. Dengan kata lain kompetensi tidak hanya mengandung
pengetahuan, keterampilan dan sikap, namun yang penting adalah penerapan
dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan tersebut dalam
pekerjaan.
Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa: “kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki,
dihayati, dan dikuasi oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan”.
Majid (2005:6) menjelaskan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru
akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan
terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam
menjalankan fungsinya sebagai guru.
Robbins (2001:37) menyebut kompetensi sebagai ability, yaitu
kapasitas seseorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu
pekerjaan. Selanjutnya dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk oleh
dua faktor, yaitu faktor kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan
kegiatan mental sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
perlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan,
kekuatan, dan keterampilan.
Gordon dalam Mulyasa (2003:38) menjelaskan beberapa aspek atau
ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai berikut:
(1) Pengetahuan atau “knowledge”, yaitu kesadaran dalam bidangkognitif;
(2) Pemahaman atau “understanding”, yaitu kedalaman kognitif danafektif yang dimiliki oleh seseorang;
(3) Keterampilan atau “skills”, yaitu suatu kemampuan yang dimilikioleh seseorang untuk melakukan tugas atau pekerjaan yangdibebankan kepadanya;
(4) Nilai atau “value”, yaitu ukuran/standar perilaku yang telahdiyakini dan secara psikologis telah menyat dalam diri seseorang;
(5) Sikap atau “attitude”, yaitu perasaan senang dan tidak senang ataureaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar;
(6) Minat atau “interest”, yaitu kecenderungan seseorang untukmelakukan sesuatu perbuatan.
Berdasarkan pengertian-pengertian kompetensi tersebut di atas, maka
kompetensi guru merupakan perpaduan dari pegetahuan, pemahaman,
keterampilan, nilai, sikap dan minat seseorang yang berprofesi sebagai guru,
sehingga yang bersangkutan dapat menampilkan perilaku-perilaku utama
kognitif, afektif dan psikomotor yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak sebagai seorang guru.
d. Komponen Kompetensi Guru
Kompetensi mengajar dapat dikatakan merupakan kemampuan dasar
yang mengimplikasikan apa yang seharusnya dilaksanankan guru atau pendidik
dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi yang dimiliki oleh setiap pendidik
akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Seorang pendidik senantiasa
dituntut untuk mengembangkan pribadi dan profesinya secara terus menerus,
juga dituntut untuk mampu dan siapa berperan secara profesional dalam
lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, seorang guru harus
mampu mengembangkan empat aspek kompetensi bagi dirinya, yaitu:
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi professional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
1) Kompetensi Pedagogik
Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik”. Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini
dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran. Kompetensi ini dapat
dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar,
kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar
mengajar, dan kemampuan melakukan penilaian.
a) Kompetensi Menyusun Rencana Pembelajaran
Menurut Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi
penyusunan rencana pembelajaran meliputi:
(1) Mampu mendeskripsikan tujuan,(2) Mampu memilih materi,(3) Mampu mengorganisir materi,(4) Mampu menentukan metode/strategi pembelajaran,(5) Mampu menentukan sumber belajar atau media dan alat
peraga pembelajaran,(6) Mampu menyusun perangkat penilaian,(7) Mampu menentukan teknik penilaian, dan(8) Mampu mengalokasikan waktu.
Berdasarkan uraian di atas, merencanakan program belajar
mengajar merupakan proyeksi guru mengenai kegiatan yang harus
dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung, yang mencakup:
merumuskan tujuan, menguraikan deskripsi satuan bahasan, merancang
kegiatan belajar mengajar, memilih berbagai media dan sumber belajar,
dan merencanakan penilaian penguasaan tujuan.
b) Kompetensi Melaksanakan Proses Belajar Mengajar
Melaksanakan proses belajar mengajar merupakan tahap
pelaksanaan program yang telah disusun. Dalam kegiatan ini kemampuan
yang di tuntut adalah keaktifan guru menciptakan dan menumbuhkan
kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun. Guru
harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah
kegiatan belajar mengajar dicukupkan, apakah metodenya diubah, apakah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
kegiatan yang lalu perlu diulang, manakala siswa belum dapat mencapai
tujuan-tujuan pembelajaran.
Pada tahap ini disamping pengetahuan teori belajar mengajar,
pengetahuan tentang siswa, diperlukan pula kemahiran dan keterampilan
teknik belajar, misalnya: prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu
pengajaran, penggunaan metode mengajar, dan keterampilan menilai
hasil belajar siswa.
Yutmini (1992:13) mengemukakan, persyaratan kemampuan
yang harus di miliki guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar
meliputi kemampuan:
(1) Menggunakan metode belajar, media pelajaran, dan bahanlatihan yang sesuai dengan tujuan pelajaran,
(2) Mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran danperlengkapan pengajaran,
(3) Berkomunikasi dengan siswa,(4) Mendemonstrasikan berbagai metode mengajar, dan(5) Melaksanakan evaluasi proses belajar mengajar.
Hal serupa dikemukakan oleh Harahap (1982:32) yang
menyatakan, kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan
program mengajar adalah mencakup kemampuan:
(1) Memotivasi siswa belajar sejak saat membuka sampaimenutup pelajaran,
(2) Mengarahkan tujuan pengajaran,(3) Menyajikan bahan pelajaran dengan metode yang relevan
dengan tujuan pengajaran,(4) Melakukan pemantapan belajar,(5) Menggunakan alat-alat bantu pengajaran dengan baik dan
benar,(6) Melaksanakan layanan bimbingan penyuluhan,(7) Memperbaiki program belajar mengajar, dan(8) Melaksanakan hasil penilaian belajar.
Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar menyangkut
pengelolaan pembelajaran, dalam menyampaikan materi pelajaran harus
dilakukan secara terencana dan sistematis, sehingga tujuan pengajaran
dapat dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien. Kemampuan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan kegiatan
belajar mengajar terlihat dalam mengidentifikasi karakteristik dan
kemampuan awal siswa, kemudian mendiagnosis, menilai dan merespon
setiap perubahan perilaku siswa.
Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi melaksanakan
proses belajar mengajar meliputi:
(1) Membuka pelajaran,(2) Menyajikan materi,(3) Menggunakan media dan metode,(4) Menggunakan alat peraga,(5) Menggunakan bahasa yang komunikatif,(6) Memotivasi siswa,(7) Mengorganisasi kegiatan,(8) Berinteraksi dengan siswa secara komunikatif,(9) Menyimpulkan pelajaran,(10)Memberikan umpan balik,(11)Melaksanakan penilaian, dan(12)Menggunakan waktu.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melaksanakan proses
belajar mengajar merupakan sesuatu kegiatan dimana berlangsung
hubungan antara manusia, dengan tujuan membantu perkembangan dan
menolong keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Pada dasarnya
melaksanakan proses belajar mengajar adalah menciptakan lingkungan
dan suasana yang dapat menimbulkan perubahan struktur kognitif para
siswa.
c) Kompetensi Melaksanakan Penilaian Proses Belajar Mengajar
Menurut Sutisna (1993:212), penilaian proses belajar mengajar
dilaksanakan untuk mengetahui keberhasilan perencanaan kegiatan
belajar mengajar yang telah disusun dan dilaksanakan. Penilaian
diartikan sebagai proses yang menentukan betapa baik organisasi
program atau kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai maksud-
maksud yang telah ditetapkan.
Commite dalam Wirawan (2002:22) menjelaskan, evaluasi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari setiap upaya manusia,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
evaluasi yang baik akan menyebarkan pemahaman dan perbaikan
pendidikan, sedangkan evaluasi yang salah akan merugikan pendidikan.
Tujuan utama melaksanakan evaluasi dalam proses belajar mengajar
adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat
pencapaian tujuan instruksional oleh siswa, sehingga tindak lanjut hasil
belajar akan dapat diupayakan dan dilaksanakan. Dengan demikian,
melaksanakan penilaian proses belajar mengajar merupakan bagian tugas
guru yang harus dilaksanakan setelah kegiatan pembelajaran berlangsung
dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa mencapai
tujuan pembelajaran, sehingga dapat diupayakan tindak lanjut hasil
belajar siswa.
Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penilaian belajar
peserta didik, meliputi:
(1) mampu memilih soal berdasarkan tingkat kesukaran, (2)mampu memilih soal berdasarkan tingkat pembeda, (3) mampumemperbaiki soal yang tidak valid, (4) mampu memeriksa jawab,(5) mampu mengklasifikasi hasil-hasil penilaian, (6) mampumengolah dan menganalisis hasil penilaian, (7) mampu membuatinterpretasi kecenderungan hasil penilaian, (8) mampumenentukan korelasi soal berdasarkan hasil penilaian, (9) mampumengidentifikasi tingkat variasi hasil penilaian, (10) mampumenyimpulkan dari hasil penilaian secara jelas dan logis, (11)mampu menyusun program tindak lanjut hasil penilaian, (12)mengklasifikasi kemampuan siswa, (13) mampu mengidentifikasikebutuhan tindak lanjut hasil penilaian, (14) mampumelaksanakan tindak lanjut, (15) mampu mengevaluasi hasiltindak lanjut, dan (16) mampu menganalisis hasil evaluasiprogram tindak lanjut hasil penilaian.
2) Kompetensi Kepribadian
Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar,
memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pengembangan sumber daya manusia. Kepribadian yang
mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik
terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil
sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
“ditiru” (di contoh sikap dan perilakunya). Kepribadian guru merupakan
faktor terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik.
Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000:225-
226) menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah
ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah
akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya
terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang
sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru
dalam menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan
keterbukaan psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta
merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara
simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada
umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi.
Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan
ranah cipta yang prematur dalam pengamatan dan pengenalan. Dalam
Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian
adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan
berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”.
Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai
kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang
diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini
mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri,
penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri.
Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan
kemampuan personal guru, mencakup:
(1) Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnyasebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikanbeserta unsur-unsurnya,
(2) Pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yangseyogyanya dianut oleh seorang guru,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
(3) Kepribadian, nilai, sikap hidup ditampilkan dalam upaya untukmenjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi parasiswanya.
Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi personal
mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga menjadi
sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh siswa.
Berdasarkan uraian di atas, kompetensi kepribadian guru tercermin dari
indikator (1) sikap, dan (2) keteladanan.
3) Kompetensi Sosial
Guru yang efektif adalah guru yang mampu membawa siswanya
dengan berhasil mencapai tujuan pengajaran. Mengajar di depan kelas
merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi. Menurut
Undang-undang Guru dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan
guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan
peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat
sekitar”.
Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi sosial adalah
kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam
berhubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini termasuk
keterampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab
sosial.
Untuk dapat melaksanakan peran sosial kemasyarakatan, guru harus
memiliki kompetensi (1) aspek normatif kependidikan, yaitu untuk menjadi
guru yang baik tidak cukup digantungkan kepada bakat, kecerdasan, dan
kecakapan saja, tetapi juga harus beritikad baik sehingga hal ini bertautan
dengan norma yang dijadikan landasan dalam melaksanakan tugasnya, (2)
pertimbangan sebelum memilih jabatan guru, dan (3) mempunyai program
yang menjurus untuk meningkatkan kemajuan masyarakat dan kemajuan
pendidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan
kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada
tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya
sebagai guru.
Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi sosial
mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan
peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan
dengan anggota masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru tercermin melalui
indikator (1) interaksi guru dengan siswa, (2) interaksi guru dengan kepala
sekolah, (3) interaksi guru dengan rekan kerja, (4) interaksi guru dengan
orang tua siswa, dan (5) interaksi guru dengan masyarakat.
4) Kompetensi Profesional
Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi
pelajaran secara luas dan mendalam”. Surya (2003:138) mengemukakan
kompetensi profesional adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar
dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional. Kompetensi
profesional meliputi kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu
penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa
tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru
lainnya.
Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan
kemampuan profesional mencakup:
(1) Penguasaan pelajaran yang terkini atas penguasaan bahan yangharus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan bahan yangdiajarkan tersebut,
(2) Penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasankependidikan dan keguruan,
(3) Penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan danpembelajaran siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi profesional
mengharuskan guru memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang
subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan
metodologi yaitu menguasai konsep teoretik, maupun memilih metode yang
tepat dan mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.
Depdiknas (2004:9) mengemukakan bahwa kompetensi profesional
meliputi:
(1) pengembangan profesi, (2) pemahaman wawasan, dan (3)penguasaan bahan kajian akademik. Pengembangan profesi meliputi(a) mengikuti informasi perkembangan iptek yang mendukungprofesi melalui berbagai kegiatan ilmiah, (b) mengalihbahasakanbuku pelajaran/karya ilmiah, (c) mengembangkan berbagai modelpembelajaran, (d) menulis makalah, (e) menulis/menyusun diktatpelajaran, (f) menulis buku pelajaran, (g) menulis modul, (h) menuliskarya ilmiah, (i) melakukan penelitian ilmiah (action research), (j)menemukan teknologi tepat guna, (k) membuat alat peraga/media, (l)menciptakan karya seni, (m) mengikuti pelatihan terakreditasi, (n)mengikuti pendidikan kualifikasi, dan (o) mengikuti kegiatanpengembangan kurikulum. Pemahaman wawasan meliputi (a)memahami visi dan misi, (b) memahami hubungan pendidikandengan pengajaran, (c) memahami konsep pendidikan dasar danmenengah, (d) memahami fungsi sekolah, (e) mengidentifikasipermasalahan umum pendidikan dalam hal proses dan hasil belajar,(f) membangun sistem yang menunjukkan keterkaitan pendidikandan luar sekolah. Penguasaan bahan kajian akademik meliputi (a)memahami struktur pengetahuan, (b) menguasai substansi materi, (c)menguasai substansi kekuasaan sesuai dengan jenis pelayanan yangdibutuhkan siswa.
Berdasarkan uraian di atas, kompetensi profesional guru tercermin
dari indikator (1) kemampuan penguasaan materi pelajaran, (2) kemampuan
penelitian dan penyusunan karya ilmiah, (3) kemampuan pengembangan
profesi, dan (4) pemahaman terhadap wawasan dan landasan pendidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
2. Kajian Workshop/Pelatihan
a. Pengertian Workshop/Pelatihan
Dimaknai dari kata dasarnya Workshop sendiri adalah tempat kerja
bisa juga disebut Bengkel, dimana intinya workshop adalah tempat tenaga
kerja (mekanik,montir dll) melakukan kegiatan teknis dengan didukung alat-
alat kerja.
Workshop adalah pelatihan kerja, yang meliputi teori dan praktek dalam
satu kegiatan terintegrasi. Definisi lain dari workshop adalah wadah atau
tempat penampungan untuk memodifikasi data dan alat-alat.
Dalam supervisi pendidikan menyebutkan Workshop pendidikan adalah
suatu kegiatan belajar kelompok yang terdiri dari petugas-petugas pendidikan
yang memecahkan problema yang dihadapi melalui percakapan dan bekerja
secara kelompok maupun bersifat perseorangan.
Workshop sering juga diartikan sebagai training, training jika diartikan
dalam bahasa indonesia artinya pelatihan. Dengan definisi tersebut sangat jelas
bahwa kita benar-benar akan praktik. Training bersifat “learning by doing”,
dipandu oleh pelatih dan kita praktik apa yang diajarkan.
Menurut Nitisemito (1996:35) pelatihan atau training adalah suatu
kegiatan yang bermaksud untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap,
tingkah laku ketrampilan, dan pengetahuan dari karyawannya sesuai dengan
keinginan perusahaan.
Menurut Simamora (1999:345) pelatihan adalah serangkaian aktifitas
yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan
pengalaman atau perubahan sikap seseorang.
Moekijat (1991:2) mendefinisikan pelatihan merupakan usaha yang
bertujuan untuk menyesuaikan seseorang dengan lingkungannya, baik
lingkungan di luar pekerjaan, maupun lingkungan di dalamnya.
Payaman Simanjuntak (2005) mendefinisikan pelatihan merupakan
bagian dari investasi SDM (human investment) untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan kerja, dan dengan demikian meningkatkan
kinerja pegawai. Pelatihan biasanya dilakukan dengan kurikulum yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
disesuaikan dengan kebutuhan jabatan, diberikan dalam waktu yang relatif
pendek, untuk membekali seseorang dengan keterampilan kerja.
Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
pengertian atau definisi dari workshop/pelatihan adalah suatu kegiatan yang
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap seseorang
untuk meningkatkan kinerjanya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
b. Jenis-Jenis Workshop/Pelatihan
Jenis workshop ditentukan berdasarkan lembaga/organisasinya, waktu
dan sifatnya.
Menurut Simamora (2006:278) ada lima jenis-jenis pelatihan yang
dapat diselenggarakan:
1) Pelatihan keahlianPelatihan keahlian (skills training) merupakan pelatihan yang seringdi jumpai dalam organisasi. Program pelatihannya relatif sederhana:kebutuhan atau kekuragan diidentifikasi rnelalui penilaian yang jeli.Kriteria penilalan efekifitas pelatihan juga berdasarkan pada sasaranyang diidentifikasi dalam tahap penilaian.
2) Pelatihan UlangPelatihan ulang (retraining) adalah subset pelatihan keahilan.Pelatihan ulang berupaya memberikan kepada para karyawankeahlian-keahlian yang mereka butuhkan untuk menghadapi tuntutankerja yang berubah-ubah. Seperti tenaga kerja instansi pendidikanyang biasanya bekerja rnenggunakan mesin ketik manual mungkinharus dilatih dengan mesin komputer atau akses internet.
3) Pelatihan Lintas FungsionalPelatihan lintas fungsional (cros fungtional training) melibatkanpelatihan karyawan untuk melakukan aktivitas kerja dalam bidanglainnya selain dan pekerjan yang ditugaskan.
4) Pelatihan TimPelatihan tim merupakan bekerjasarna terdiri dari sekelompokindividu untuk menyelesaikan pekerjaan demi tujuan bersama dalamsebuah tim kerja.
5) Pelatihan KreatifitasPelatihan kreatifitas (creativitas training) berlandaskan pada asumsibahwa kreativitas dapat dipelajari. Maksudnya tenaga kerja diberikanpeluang untuk mengeluarkan gagasan sebebas mungkin yangberdasar pada penilaian rasional dan biaya dan kelaikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
c. Tujuan Workshop/Pelatihan
Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatan kemampuan individu bagi
kepentingan jabatan saat ini.
Tujuan umum pelatihan sebagai berikut : (1) untuk mengembangkan
keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih
efektif, (2) untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat
diselesaikan secara rasional, dan (3) untuk mengembangkan sikap, sehingga
menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan
manajemen (pimpinan).
Menurut Carrell dan Kuzmits (1982:278), tujuan utama pelatihan dapat
dibagi menjadi 5 yaitu:
1) Untuk meningkatkan ketrampilan karyawan sesuai denganperubahan teknologi.
2) Untuk mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru agar menjadikompeten.
3) Untuk membantu masalah operasional.4) Untuk menyiapkan karyawan dalam promosi.5) Untuk memberi orientasi karyawan untuk lebih mengenal
organisasinya.
Menurut Procton dan Thornton (1983:4) tujuan pelatihan dibagi
menjadi 2, yaitu:
1) Untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan bisnis dan operasional-operasional industri sejak hari pertama masuk kerja.
2) Memperoleh kemajuan sebagai kekuatan yang produktif dalamperusahaan dengan jalan mengembangkan kebutuhan ketrampilan,pengetahuan dan sikap.
3. Kajian Pendidikan Inklusif
a. Sejarah Pendidikan Inklusif
Menurut Sunardi (2002) dalam makalah Program Pengajaran Individual
dijelaskan sejarah pendidikan lnklusi. Pada awal XX, layanan PLB di sediakan
di sekolah-sekolah khusus (segregatif) bagi penyandang gangguan penglihatan,
gangguan pendengaran, cacat mental dan gangguan emosi. Penyediaan layanan
PLB di sekolah biasa tidak dimungkinkan, karena pendidikan pada saat itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
ditekankan pada pemberian ketrampilan membaca, menulis dan berhitung.
Anak luar biasa kan mengalami kesulitan mengikuti kecepatan belajar anak-
anak normal di sekolah biasa. Meskipun tujuan semula dari penyediaan
layanan PLB di sekolah segregatif adalah menyiapkan anak luar biasa
mengikuti pelajaran di sekolah biasa, tujuan ini tidak pernah terwujud, bahkan
sekolah-sekolah khusus ini kemudian berubah fungsinya menjadi panti-panti
pemeliharaan dan penampungan.
Pada tahun 1910, beberapa sekolah di kota besar mulai memberikan
layanan pendidikan bagi anak luar biasa, itupun terbatas pada anak-anak cacat
mental tingkat ringan dan sedang. Anak-anak ini dididik sepenuhnya di kelas-
kelas khusus terpisah dari teman-teman sebaynya yang normal. Untuk itu,
diperlukan instrumen asesmen untuk menjaring anak-anak yang harus
dipisahkan di kelas khusus. Hasilnya adalah tes intelegensi yang dikembangkan
oleh Alferd Binet dan Theodore Simon. Dengan temuan ini, kelas-kelas khusus
bagi anak tuna grahita sedang dan ringan tumbuh menjamur di Amerika
Serikat. Keadaan ini berlangsung sampai pertengahan abad XX.
Perubahan terbesar mulai terjadi pada awal tahun 1960-an. Keberadaan
kelas-kelas khusus ini mulai dipertanyakan. Pendidikan luar biasa di kelas-
kelas khusus yang segregatif dianggap tidak etis, dapat mengakibatkan stigma
yang akan terbawa oleh anak selama hidupnya, berpengaruh negatif pada harga
diri anak, dan menghambat perkembangan sosialisasi anak. Secara filosofis,
pendidikan segregatif ini juga tidak masuk akal, sebab tujuan pendidikan
adalah menyiapkan anak hidup secara wajar dan layak di masyarakat, tetapi
anak justru dipisahkan dari kehidupan masyarakat normal. Faktor lain yang
dipertanyakan adalah jumlah penghuni kelas-kelas khusus secara tidak
proposional sebagian besar justru terdiri dari anak-anak golongan minoritas.
Dari beberapa kasus tersebut menunjukan bahwa telah terjadi salah identifikasi
yang dapat disebabkan oleh tes intelegensi yang dipakai yang terbias oleh
faktor bahasa dan budaya.
Berbagai kasus peradilanpun banyak bermunculan di berbagai negara
bagian, yang intinya memprotes kasus-kasus diskriminasi dalam pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
dan asesmen anak dan kasus-kasus penempatan anak yang tidak tepat dan yang
paling penting bagi dunia PLB saat itu adalah hasil penelitian. Terbukti bahwa
tidak ada perbedaan prestasi belajar anak tuna grahita ringan dan sedang yang
dididik di kelas khusus dan kelas biasa tanpa layanan khusus. Dengan
demikian, bentuk layanan dengan tambahan biaya ekstra yang tidak kecil tidak
efisien.
Pada saat itulah bentuk penyediaan pendidikan khusus terpisah dari
pendidikan untuk anak normal mulai dipertanyakan. Pada pertengahan abad
XX pula munculah konsep baru yang dikenal dengan mainstreaming atau
normalisasi atau least restrictive environment. Konsep ini muncul pertama kali
di Eropa. Mainstreaming disebut juga dengan pendidikan terpadu, yaitu
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkelainan bersekolah
di sekolah umum, belajar bersama anak normal, tapi anak berkelainan harus
menyesuaikan sistem yang berlaku di sekolah umum. Belajar dari model
segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif
penempatan pendidikan bagi anak berkelainan di sekolah umum. Alternatifnya
yaitu: kelas biasa/reguler penuh; kelas biasa/reguler dengan tambahan
bimbingan di dalam kelas; kelas biasa /reguler dengan tambahan bimbingan di
luar kelas; kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa; kelas
khusus penuh; sekolah khusus dan sekoalh khusus berasrama.
Dikutip dalam Widyastono (2004) Selanjutnya pada era 90-an muncul
model pendidikan inklusif, yang merupakan perkembangan terkini dari model
pendidikan bagi anak berkelainan. Secara formal ditegaskan dalam pernyataan
Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan bagi Anak Berkelainan
pada bulan Juni 1994 yang dihadiri oleh Menteri Pendidikan sedunia bahwa
”Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memunginkan semua
anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun
perbedaan yang mungkin ada pada mereka”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
b. Pengertian Pendidikan Inklusif
Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat
dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian
sumber-sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model
pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan
dan atau kelainan yang dimiliki individu.
Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan
anak-anak berkebutuhan khusus kedalam program sekolah. Konsep inklusif
memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang
memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang
ada di sekolah.
Nasichin (2001) yang menjelaskan Pendidikan inklusif adalah
pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk
belajar bersama-sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum , dan
pada akhirnya mereka bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga
tercipta suasana belajar yang kondusif.
Stainback dan stainback menjelaskan pengertian pendidikan inklusif
sebagai berikut:
Sekolah yang inklusif adalah sekolah yang menampung semua
murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program
pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan
dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat
diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu,
sekolah yang inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat
diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu
dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain
agar kebutuhan individualnya terpenuhi (Widyastono:2004).
Staub dan Peck dalam mengemukakan bahwa pendidikan inklusif
adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan , sedang dan berat secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukan bahwa kelas inklusif merupakan
kelas yang sesuai bagi anakl berkelainan apapun jenis kelainan dan
bagaimanapun gradasinnya (Widyastono:2004).
Sedangakan menurut UNESCO dalam Girma Berhanu (2011) yangdimuat di (http//www.international journalofspecialeducation.com/articles)menjelaskan pengertian inklusif, sebagai berikut:
The fundamental principle of the inclusive school is that allchildren should learn together, wherever possible, regardless ofany difficulties or differences they may have. Inclusive schoolsmust recognize and respond to the diverse needs of their students,accommodating both different styles and rates of learning andensuring quality education to all through appropriate curricula,organizational arrangements, teaching strategies, resource useand partnerships with their communities.Yang atinya, ” Pada prinsipnya sekolah inklusif yaitu bahwaseluruh anak-anak seharusnya belajar bersama, dimanapun hali itudimungkinkan terjadi, meski beberapa kesulitan atau perbedaan-perbedaan yang mungkin mereka miliki. Sekolah inklusif harusmengetahui dan tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhanmurid/siswa mereka yang sangat bervariasi, mengakomodasikeduanya baik gaya maupun tingkat belajar yang berbeda danmemastikan pendidikan yang berkualitas bagi semua melaluikurikulum yang tepat, penyusunan keorganisasian, strategi-strategi mengajar, penggunaan sumber daya dan rekan kerjadengan komunitas mereka.
Baihaqi dan Sugiarmin (2006:75-76) menyatakan bahwa hakikat
inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial,
dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi
mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang
dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi
mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan
belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang
bermutu tinggi dan tepat. Baihaqi dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa
memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan
individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu
harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan
yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan individu tersebut. Perbedaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan
harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70
Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif
adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya.
Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat
Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan
Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa
pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa
bersama-sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah
ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi
disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan
dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil.
Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan inklusif adalah system layanan pendidikan yang menerima semua
siswa tanpa terkecuali, dan menyatukan antara anak berkebutuhan khusus
dengan anak normal dalam satu kelas yang sama. Sehingga akan terjadi
interaksi sosial yang baik antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan
khusus.
c. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
di Indonesia yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris.
Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
1) Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia
adalah pancasila yang merupakan falsafah bangsa, dasar negara, dan lima
pilar sekaligus merupakan cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih
mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filosofi ini merupakan
wujud pengakuan kebhinekaan manusia. Bertitik tolak dari filosofi Bhineka
Tunggal Ika, kelainan dan keberbakatan merupakan salah satu bentuk
kebhinekaan individu manusia atau disebut ”individual difference” seperti
halnya perbedaan warna kulit, suku, ras, bahasa, budaya atau agama. Dalam
individu penyandang kelainan pasti juga mempunyai keunggulan-
keunggulan tertentu, demikian juga di dalam diri individu yang berbakat
tentu juga terdapat kelemahan/kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk
yang diciptakan sempurna. Keunggulan dan kelemahan/kecacatan harus
dapat diwujudkan dalam sistem pendidikan yang memungkinkan terjadinya
interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap toleransi dan
menghargai perbedaan individu.
2) Landasan Yuridis
Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas:
a) Undang-Undang Dasar 1945
(1) Pasal 31 ayat 1: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Pasal 31 ayat 2: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat,
terutama pada pasal-pasal:
(1) Pasal 5: Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan
yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
(2) Pasal 6 ayat 1: Setiap penyandang cacat berhal memperoleh
pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan.
c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
utamanya pada pasal:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
(1) Pasal 49: Negara, pemerintah, keluarga dan orangtua wajib
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
memperoleh pendidikan.
(2) Pasal 51: Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental
diberikan kesempatan yang sama dan aksebilitas untuk memperoleh
pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
d) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
(1) Pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengemban kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk: berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
(2) Pasal 5 ayat 1: Setiap warga negara mempunyai hakk yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
(3) Pasal 5 ayat 3: Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang
serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh layanan
pendidikan khusus.
(4) Pasal 5 ayat 4: Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
(5) Pasal 12 ayat 1.b: Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuannya.
(6) Pasal 12 ayat 1.f: Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan
belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas
waktu yang ditetapkan.
(7) Pasal 32 ayat 1: Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
proses pembelajaran karena kelainan fisik, mental, social, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
(8) Pasal 32 ayat 2: Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan
bagi peserta didik di: Daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat
adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam,bencana
social, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
(9) Pasal 33 ayat 3: Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung
kemampuan berbahasa asing peserta didik.
(10)Pasal 45 ayat 1: Setiap satuan pendidikan formal dan non formal
menyediakan sarana prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan
dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, social,
emosional, dan kejiwaan peserta didik.
(11)Pasal 61 ayat 1: Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat
kompetensi.
(12)Pasal 61 ayat 2: ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai
pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu
jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh
satuan pendidikan yang terakreditasi.
(13)Pasal 61 ayat 3: Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara
pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga
masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk
melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang
diselenggarakan satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga
sertifikasi.
e) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
f) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan.
g) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20
Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4
(empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
h) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa.
i) Khusus untuk DKI Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu:
Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif
3) Landasan Empiris
Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif yaitu:
a) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human
Rights)
b) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children)
c) Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World
Conference on Education for All)
d) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan
Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the
equalization of opportunitites for person with dissabilities)
e) Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusif 1994
(Salamanca Statement on Inclusive Education)
f) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000
(The Dakar Commitment on Education for All)
g) Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju
Pendidikan Inklusif”
h) Rekomendasi Bukit tinggi 2005 mengenai pendidikan yang
inklusif dan ramah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Menurut Widyastono (2004) Penyelenggaraan pendidikan inklusif
mempunyai landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris seperti di bawah
ini.
1) Landasan FilosofisLandasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di
Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus
cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang
disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan
kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horisontal
yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi
ini. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan)
dan hanyala satu bentuk kebhinekaan seperti halnya bahasa, budaya
atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat
ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam individu anak
normal pasti terdapat juga kecacatan tertentu. Karena semua manusia
tidak ada yang sempurna. Hal ini juga sebaiknya diterapkan dalam
sistem pendidikan yang memungkinkanadanya pergaulan atau
interaksi antarsiswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih
asah, silih asih dan silih asuh.
2) Landasan YuridisLandasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif
adalah deklarasi Salamanca oleh para menteri pendidikan sedunia.
Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas deklarasi PBB
tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang
berujung pada peraturan standar PBB tahun 1993 tentang
kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh
pendidikan sebagai bagi integral dari sistem pendidikan yang ada.
Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memunginkan
semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang
kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Di Indonesia, penerapan inklusif dijamin undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
dalam penejalasan pasal 15 antara lain menyebutkan bahwa
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan
diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus.
3) Landasan PedagogisPasal 3 Undang-undang No 20 tahun 2003 menyebutkan
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kretaif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab. Jadi, melaui pendidikan, peserta didik
berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai
perbedaan dan berpartispiasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil
tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di
sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya mereka harus diberi
kesempatan bersama teman sebayanya.
4) Landasan EmpirisPenelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-
negara barat sejak tahun1980-an. Penelitian yang berskala besar
dipelopori oleh the National Academy of Science (Amerika Serikat).
Hasilnya menunjukan bahwa klasifikasi dan penempatan anak
berkelainan di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan
diskriminatif. Penelitian ini merekomendasikan agar pendidikan
khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil
identifikasi yang tepat, yang betul-betul dapat menentukan anak
berkelainan yang tergolong berat. Namun, beberapa pakar
mengemukakan sangat sulit untuk melakukan identifikasi anak
berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat
heterogen.
Beberapa penelitian kemudian melakukan meta analisis yang
dilakukan oleh Carlberg dan Kavale(1980) terhadapa 50 buah
penelitian; oleh Wang dan Barker (1994/1995) terhadap 11 buah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
penelitian; dan oleh Barker (1994) terhadap 13 buah penelitian,
menunjukan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik
terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan
dan teman sebayanya.
d. Karakteristik Pendidikan Inklusif
Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusif adalah satu
komunitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan
individual setiap murid. Untuk itu, Sapon-Shevin mengemukakan lima profil
pembelajaran di sekolah inklusif.
1) Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitaskelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargaiperbedaan. Guru mempunyai tanggungjawab menciptakan suasanakelas yang menampung semua anak secara penuh denganmenekankan suasana dan perilaku social yang menghargaiperbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, social-ekonomi, suku, agama, dsb.
2) Pendidikan inklusif berarti penerapan kurikulum yang multileveldan multimodalitas. Mengajar kelas yang memang dibuat heterogenmemerlukan perubahan kurikulum secara mendasar. Guru di kelasinklusif secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yangkaku, berdasarkan buku teks, atau materi basal ke pembelajaranyang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, berfikir kritis,pemecahan masalah, dan asesmen secara autentik.
3) Pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untukmengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitanerat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelastradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untukdapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus digantidengan model murid-murid bekerja sama, saling mengajar, dansecara aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri danpendidikan teman-temannya. Kaitan antara pembelajarankooperatif dan kelas inklusif sekarang jelas; semua anak berada disatu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk saling belajardari yang lain.
4) Pendidikan inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dankelasnya secara terus-menerus dan penghapusan hambatan yangberkaitan dengan isolasi profesi. Meskipun guru selalu dikelilingioleh orang lain, pekerjaan mengajar dapat menjadi profesi yangterisolasi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusif meliputi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
pengajaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagaicara mengukur ketrampilan, pengetahuan, dan bantuan individuyang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama tim antaraguru dengan profesi lain diperlukan, seperti para profesional, ahlibina bahasa dan wicara, petugas bimbingan, dsb. Meskipun untukdapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukanpelatihan dan dorongan, kerjasama yang diinginkan ternyata dapatterwujud.
5) Pendidikan inklusif berarti melibatkan orangtua secara bermaknadalam proses perencanaan. Pendidikan inklusif sangat bergantungkepada masukan orangtua pada pendidikan anaknya, misalnyaketerlibatan mereka dalam penyusunan Program PengajaranIndividual. (Sunardi 2011: 7-8).
Kelas inklusif menampung anak yang heterogen, ditangani oleh tenaga
dari berbagai profesi sebagai satu tim, sehingga kebutuhan individual setiap
anak dapat terpenuhi. Hal ini tentu saja menuntut banyak perubahan pada
sistem pembelajaran konvensional seperti yang dipakai di Indonesia sekarang.
e. Model-Model Sekolah Inklusif
Banyak model sekolah inklusif yang dilaksanakan diberbagai negara,
tetapi pada prinsipnya mempunyai kesamaan dalam implementasinya.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia yang lebih sesuai adalah
model bahwa pendidikan inklusif sama dengan istilah ”mainstreaming“ yang
diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak
berkelainan/berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhan individualnya.
Dengan demikian penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling
bebas diantara alternatif layanan yang disediakan dan didasarkan pada potensi
dan jenis serta ingkat kelainannya. Penempatan tersebut tidak permanen, tetapi
sementara; dengan demikian siswa bekelainan dimungkinkan secara fleksibel
pindah dari satu alternatif layanan ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa
intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya inklusif, tetapi dalam
prakteknya menyediakan berbagai alternatif layanan yang sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan mereka. Model ini sering disebut dengan nklusi
moderat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Menurut Vaughn, Bos & Schumn penempatan anak berkelainan/
berkebutuhan pendidikan khusus di sekolah inklusif di Indonesia dapat
dilakukan dengan dengan berbagai model, yaitu: (a) Kelas reguler ”Full
Inclusion”; (b) Kelas reguler dengan cluster; (c) Kelas reguler dengan pull out;
(d) Kelas reguler dengan cluster dan pull out; (e) Kelas khusus dengan
berbagai pengintegrasian; (f) Kelas khusus penuh. Seterusnya dapat dikaji lebih
lanjut tentang model sekolah inklusif di Indonesia sebagai berikut:
1) Kelas reguler ”Full Inclusion”Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersamaanak lain sepanjang hari di kelas reguler/inklusif denganmenggunakan kurikulum yang sama.
2) Kelas reguler dengan “cluster”Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersamaanak lain di kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus.
3) Kelas reguler dengan “pull out”Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersamadengan anak lain di kelas reguler/inklusif, namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik/keluar dari kelas reguler/inklusif ke ruangsumber untuk belajar dan mendapat layanan bimbingan dari GuruPembimbing Khusus.
4) Kelas reguler dengan “cluster” dan “pull out”Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersamadengan anak lain di kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus,dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik/keluar dari kelasreguler/inklusif ke ruang sumber untuk belajar dan mendapatlayanan bimbingan dari Guru Pembimbing Khusus.
5) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasianAnak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar danmendapat layanan bimbingan dari Guru Pendidikan Khusus/GuruPembimbing Khusus di dalam kelas khusus pada sekolahreguler/inklusif, tetapi dalam bidang-bidang tertentu dapat belajarbersama anak lain di kelas reguler/inklusif.
6) Kelas khusus penuhAnak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar danmendapat layanan bimbingan dari Guru Pendidikan Khusus/GuruPembimbing Khusus di dalam kelas khusus pada sekolahreguler/inklusif. (Widyastono:2004)
Dalam model sekolah inklusif tersebut anak berkelainan/berkebutuhan
pendidikan khusus tidak harus berada di kelas reguler/inklusif pada setiap saat
untuk mengikuti semua mata pelajaran atau “inklusif penuh”, tetapi sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus dapat berada di kelas
khusus/ruang sumber atau ruang terapi karena jenis dan tingkat kelainan yang
cukup berat. Bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang
jenis dan tingkat kelainannya tergolong berat, memungkinkan untuk lebih
banyak waktunya berada di kelas khusus/ruang sumber pada sekolah
reguler/inklusif. Bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang
jenis dan tingkat kelainannya sangat berat, sehingga tidak memungkinkan
belajar di sekolah reguler/inklusif dapat disalurkan ke sekolah khusus atau
disebut Sekolah Luar Biasa atau Panti Rehabilitas/Sosial, dan atau sekolah
rumah sakit “Hospital School”.
Sekolah inklusif dapat memilih model mana yang akan diterapkan
secara fleksibel, artinya suatu saat dapat berganti model, karena pertimbangan
berbagai hal, tergantung pada hal-hal yang antara lain adalah sebagai berikut:
(1) jumlah anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang dilayani;
(2) jenis dan tingkat kelainan anak; (3) ketersediaan sumberdaya manusia
(SDM) termasuk Guru Pendidikan Khusus/Guru Pembbimbing Khusus; dan (4)
sarana dan prasarana yang tersedia.
f. Pendidikan Inklusif di Indonesia
Berdasarkan Proposal Hibah Bersaing, Sunardi (2012) menjelaskan
bahwa pada tahun 2010, Sunardi dkk meneliti implementasi pendidikan
inklusif di Indonesia, dengan fokus pada manajemen institusi,
penerimaan/identifikasi/penilaian siswa, pembelajaran, evaluasi, dan sarana
penunjang eksternal. Sampel yang diteliti meliputi 186 sekolah dengan total
24.412 siswa, yang 12 persen-nya (3.419) tergolong siswa dengan kebutuhan
khusus. Di sekolah-sekolah tersebut, juga terdapat 34 siswa luar biasa atau
gifted (0.1 persen). Dari sekian siswa berkebutuhan khusus, 56 persen-nya
adalah lelaki dan 44 persen-nya adalah perempuan. Hasil penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
menunjukkan, dalam hal manajemen institusi, mayoritas sekolah-sekolah ini
telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), secara sah
mengangkat para koordinator, melibatkan beberapa kelompok terkait, dan
menyelenggarakan serangkaian rapat koordinasi rutin.
Namun, masih banyak sekolah yang belum merestrukturisasi organisasi
mereka. Mengenai penerimaan/identifikasi/penilaian siswa, 54 persen sekolah
telah menyiapkan kuota untuk siswa berkebutuhan khusus. Hanya 19,4 persen
sekolah yang menerapkan proses seleksi penerimaan siswa, yang mana
separuhnya menggunakan prosedur berbeda untuk calon siswa berkebutuhan
khusus. Kurang lebih 50 persen sekolah-sekolah ini telah memodifikasi
kurikulum mereka, termasuk beberapa standar. Terkait dengan pembelajaran,
68 persen sekolah inklusif melaporkan, mereka telah memodifikasi proses
pembelajarannya. Sayangnya, hanya sedikit sekolah yang menyediakan
peralatan khusus bagi siswa dengan gangguan penglihatan, keterbatasan fisik,
gangguan wicara dan pendengaran, dan siswa autis, berbakat luarbiasa. Dalam
hal evaluasi siswa, lebih dari 50 persen sekolah melaporkan, mereka telah
memodifikasi soal ujian, administrasi dan alokasi waktu, serta laporan
kemajuan siswa. Ditengarai, terdapat penurunan dramatis untuk ujian nasional.
Sementara itu, sarana penunjang eksternal dalam bentuk dana, pelatihan dan
fasilitas sebagian besar disediakan oleh pemerintah provinsi dan Direktorat
Pendidikan Khusus (hlm.9).
g. Kebijakan Pendidikan Inklusif di Indonesia
Kebijakan menuju pendidikan iklusi telah lama dilaksanakan di
Indonesia, yaitu antara lain pada tanggal 8 September 1977 telah
ditandatangani perjanjian kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia
yang diwakii Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan Hellen
Keller International Incorporated (HKI) dari Amerika Serikat guna peningkatan
pendidikan anak tunanetra di Indonesia. Proyek kerjasama dimakdsud
mempunyai dua program utama, yaitu pengembangan orientasi dan mobilitas
dan pendidikan terpadu anak tunanetra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Dalam merintis pendidikan terpadu menuju inklusif bagi anak tunanetra
telah diselenggarakan kursus/penetaran untuk menyiapkan Guru khusus/Guru
Pembimbing Khusus, yang pertama kali dilakukan di IKIP Bandung pada
tahun 1978. Setelah menyelesaikan kursus/penataran, para calon Guru
Pembimbing Khusus mendapat tugas mempersiapkan diri di kancah dengan
Tim/Unit Pelaksanaan Pendidikan Terpadu/Inklusif, antara lain dengan
melakukan survey anak tunanetra, studi fisibilitas dan sosialisasi implementasi
pendidikan terpadu/inklusif di wilayah setempat, yaitu antara lain Jawa Barat,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Jawa
Timur. Pada awal tahun ajaran 1979-1980, rintisan pendidikan terpadu menuju
inklusif bagi anak tunanetra dengan resmi dilaksanakan di Bandung dan
sekitarnya.
Dengan prosedur yang sama, rintisan pendidikan terpadu menuju
inklusif bagi anak tunanetra dilaksanakan secara resmi di Daerah Istimewa
Yogyakarta pada awal tahun ajaran 1980-1981. Kemudian menyusul Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dan Jawa Timur pada tahun 1981-1982, disusul dengan
daerah-daerah lainnya.
Pada tahun 1984 rintisan pendidikan terpadu/inklusif bagi anak
tunanetra telah diadakan evaluasi, dan menunjukkan hasil yang baik, serta
mendapat rekomendasi untuk dilaksanakan bagi anak-anak berkelainan yang
lain, di daerah-daerah lain di Indonesia. Seterusnya Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan
Terpadu Bagi Anak Cacat. Selain itu Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI juga telah
mengeluarkan Surat Edaran nomor: 6718/C/I/89 tertanggal 15 Juli 1989 perihal
perluasan kesempatan belajar bagi anak berkelainan di sekolah umum, dan
Direktur Pendidikan Dasar Ditjen PDM Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI mengirimkan surat nomor: 0267/C2/U. 1994 tertanggal 30
Maret 1994 perihal Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu yang ditujukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
kepada para Kepala Kanwil Depdikbud Propinsi diseluruh Indonesia, untuk
perhatian Kepala Bidang Pendidikan Dasar/Pendidikan Dasar dan Guru.
Dalam surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI,
(1986:2) tersebut dijelaskan antara lain bahwa yang dimaksud dengan:
1)Pendidikan terpadu adalah model penyelenggaraan programkurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan, 2)anak cacat ialah anak yang memiliki kelainan jasmani dan atau rohaniyang terdiri dari cacatnetra, cacatrungu, cacatgrahita, cacatdaksa,cacatlaras, 3) Guru Pembimbing Khusus ialah guru khusus yangbertugas di sekolah umun, memberikan bimbingan dan pelayanankepada anak cacat yang mengalami kesulitan dalam mengikutipendidikan di sekolah yang menyelenggarakan program pendidikanterpadu, 4) Kurikulum yang digunakan pada sekolah yangmenyelenggarakan program pendidikan terpadu adalah kurikulum yangberlaku pada sekolah yang bersangkutan, 5) Anak cacat yang mengikutiprogram Pendidikan Terpadu, adalah mereka yang mempunyaikemampuan mengikuti pendidikan dengan anak normal di lembagapendidikan berdasarkan pengamatan dan pemeriksaan oleh tenaga ahliyang relevan.
B. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir pada dasarnya merupakan arah penalaran penelitian
untuk dapat sampai pada pemberian jawaban atas permasalahan yang telah
dirumuskan.
Penyusunan kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dipaparkan
sebagai berikut:
a. Pendidikan inklusif merupakan model pelayanan pendidikan yang baru
bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia, dimana menempatkan anak
berkebutuhan khusus dengan teman sebayanya yang normal dalam
pembelajaran di kelas regular.
b. Dengan adanya pendidikan inklusif ini, menjadikan sekolah yang memiliki
label sekolah inklusif harus memiliki sarana dan prasarana yang jauh lebih
lengkap daripada sekolah umum. Hal ini dikarenakan adanya peserta didik
yang berkebutuhan khusus, sehingga sekolah harus menyesuaikan dengan
jenis kebutuhannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
c. Kurikulum yang digunakan di kelas inklusif adalah kurikulum anak
normal (regular) yang disesuaikan (dimodifikasi) sesuai dengan
kemampuan awal dan karakteristik siswa. Jadi kurikulum yang digunakan
harus fleksibel dan responsive terhadap keberagaman kebutuhan semua
anak (ada penyesuaian terhadap tingkat dan irama perkembangan anak).
d. Pemahaman guru terhadap pendidikan inklusif di Indonesia masih relatif
rendah, dengan demikian harus ada upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan pemahaman guru terhadap pendidikan inklusif.
e. Kompetensi guru di Indonesia tentang pendidikan inklusif masih rendah,
dengan demikian harus ada upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
kompetensi guru tentang adanya pendidikan inklusif. Salah satu alternative
yang dipilih adalah dengan menyelenggarakan workshop pendidikan
inklusif.
f. Adanya pendidikan inklusif diharapkan dapat merubah sikap guru terhadap
keberadaan anak berkebutuhan khusus. Guru harus bisa memperlakukan
anak berkebutuhan khusus dengan baik sama seperti anak normal.
g. Dengan adanya pendidikan inklusif diharapkan sikap orangtua normal bisa
menerima keberadaan ABK yang belajar bersama anak normal dalam satu
kelas, begitu juga dengan orangtua ABK yang tidak perlu malu karena
anaknya memiliki kekurangan dibandingkan teman sebayanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Dari uaraian kerangka berfikir di atas, penulis coba gambarkan dalam
bentuk bagan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Alur Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Menurut Sugiyono (2008:64) “Hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian
telah dinyatakan dalam kalimat pertanyaan”.
Menurut Arikunto (2006:59) “Hipotesis adalah suatu jawaban yang
bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui
data yang terkumpul”.
Sutrisno menyatakan ”Hipotesis adalah dugaan yang mungkin benar
atau mungkin salah” (2004: 62). Sedang Supranto menyatan bahwa ” Hipotesis
merupakan suatu preposisi atau anggapan yang sering benar atau digunakan
PendidikanInklusif
Sarana danPrasarana
PemahamanGuru
SikapOrangtua
Kurikulum
SikapGuru
KompetensiGuru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
sebagai dasar pembuatan keputusan atau pemecahan persoalan atau dasar
penelitian lebih lanjut” (2001: 124).
Menurut Nazir (2003:151) “Hipotesis adalah pernyataan yang diterima
secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat
fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta paduan dalam verifikasi”.
Dari pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hipotesis adalah
suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian
sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, dan merupakan dasar kerja serta
paduan dalam verifikasi.
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir di atas, maka
penulis mengemukakan hipotesis sebagai berikut: “Pelaksanaan workshop
pendidikan inklusif dapat berpengaruh terhadap kompetensi guru dalam
menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri tahun 2012”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian adalah tempat dimana penelitian dilaksanakan. Dalam
penelitian ini penulis memilih tempat penelitian di Kabupaten Wonogiri.
2. Waktu Penelitian
Kegiatan ini dilaksanakan selama 7 bulan dari bulan januari sampai
dengan bulan juli 2012.
Tabel 3.1 Rincian Kegiatan Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
Kegiatan 2012
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
PengajuanJudulMenyusunProposalPerijinanPengumpulanData :PengambilandataPengolahandataAnalisis dataLaporan HasilPenelitian
B. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian eksperimen. Menurut Sugiyono
(2008:6) menyatakan bahwa “Penelitian eksperimen merupakan metode penelitian
yang digunakan untuk mencari pengaruh treatment (perlakuan) tertentu. Dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
penelitian ini digunakan metode eksperimen yaitu kegiatan percobaaan dengan
memberikan perlakuan berupa pemberian workshop pendidikan inklusif.
Di dalam suatu penelitian terdapat beberapa rancangan penelitian yang
dapat digunakan. Menurut Suryabrata (2002:101) terdapat 6 macam desain
penelitian, diantaranya ialah:
1. Two groups, randomized post test only design2. One group, pre test-post test design3. The statistic groupcomparison : Randomized control group only design4. Randomized group, pre test-post test design5. Randomized Solomon, four group design6. Factoral designDesain yang digunakn dalam penelitian ini yaitu One Group Pretest-
Posttest Design, dimana sekelompok subyek diberikan perlakuan untuk jangka
waktu tertentu. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan diberikan,
dan perbedaan antara hasil pengukuran awal (T1) dengan hasil pengukuran akhir
(T2) adalah merupaka pengaruh perlakuan yang diberikan.
Desain penelitian ini digambarkan seperti tabel berikut:
Tabel 3.2 Desain Penelitian One Group Pre test-Post test
Pengukuran Perlakuan Pengukuran
Pre test Treatment Post test
T1 X T2
Keterangan:
(1) T1 : Tes awal sebelum diberi perlakuan (pre test)
(2) X : Perlakuan menggunakan workshop pendidikan inklusif
(3) T2 : Tes akhir setelah diberikan perlakuan (post test)
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi menurut Arikunto (2006:130) adalah “keseluruhan subyek
penelitian”. Sedangkan menurut Hadi (1990:220), populasi ialah “seluruh
penduduk yang dimaksudkan untuk diselidiki mempunyai suatu sifat yang sama”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Mardikanto (2001:90) mengemukakan ”populasi adalah keseluruhan
individu, keadaan, atau gejala yang dijadikan objek penelitian”, sedangkan
Sugiono (2010: 61)mengemukakan ”populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.
Dari pengertian di atas, populasi merupakan keseluruhan subyek penelitian
yang paling sedikit memiliki sifat yang sama. Adapun populasi dalam penelitian
ini adalah semua guru di Kabupaten Wonogiri.
2. Sampel
Menurut Hadi (1990:70) “Sampel adalah sebagian individu yang
diselidiki”. Sedangkan menurut Arikunto (2006:131) “Sampel adalah sebagian
atau wakil dari populasi yang diteliti”.
Mardikanto (2001:90) mengungkapkan “ sampel adalah sub populasi yang
diyakini oleh peneliti dapat mewakili populasi atau memiliki karakteristik yang
dimiliki oleh populasinya”.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan, sampel adalah sebagian atau
wakil populasi yang diteliti. Sampel harus representatif. Sampel dari penelitian ini
adalah guru yang mengikuti workshop pendidikan inklusif yaitu sebanyak 50 guru
yang ditunjuk dari 25 kecamatan yang ada di Wonogiri.
D. Teknik Pengambilan Sampel
Ada dua jenis metode dalam pengambilan sampel, yang pertama yaitu
metode penarikan sampel probabilitas (probability sampling). Pada jenis ini,
peluang terpilihnya masing-masing responden diketahui. Dan yang kedua adalah
non probabilitas (nonprobability sampling). Pada jenis kedua ini kemungkinan
terpilihnya dari setiap responden anggota populasi tidak diketahui.
Jenis-jenis sampling probabalitas antara lain:
1. Random Sampling (Penarikan Sampel secara Acak)
Di dalam sampel acak setiap anggota populasi memiliki kemungkinan
yang sama untuk menjadi anggota sampel. Kemungkinan untuk menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
anggota sampel berlaku bagi semua individu-individu terlepas dari
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan selama mereka
menjadi anggota populasi.
2. Systematic Sampling (Penarikan Sampel secara Sistematik)
Penarikan sampel secara sistematik bisa dipakai bilamana unit-unit
populasi terdaftar secara acak. Cara ini sangat sederhana dalam arti kita
tidak perlu memerlukan banyak tenaga untuk memilih anggota sampel.
3. Stratified Random Sampling (Penarikan Sampel secara Acak Berstrata)
Strata yang berarti tata berjenjang, walaupun kata stratum memiliki arti
jenjang, namun dalam metode pengambilan sampel acak berstrata dapat
diterapkan bagi setiap pembagian golongan sampel, lepas dari golongan
itu berjenjang atau tidak. Yang penting kelompok-kelompok didalam
populasi atau subpopulasi itu tidak ovrelap, tumpang tindih dan masing-
masing dapat dipisahkan secara eksklusif, artinya tidak bisa terjadi satu
unit sampel dapat tergolongan atau muncul didalam dua kelompok yang
berbeda.
4. Cluster sampling (Penarikan Sampel dengan cara Berumpun)
Penarikan sampel dengan cara ini pada hakekatnya sama dengan
pengambilan sampel secara acak dengan perbedaan bahwa setiap unit
sampelnya adalah kumpulan atau cluster daripada unsur-unsurnya.
5. Area Sampling
Cluster sampling juga dapat disebut area sampling. Istilah ini dipakai
bila kerangka sampelnya tersusun berdasarkan pada wilayah tertentu
yang luas.Area sampling umumnya dipakai bila kita tidak mungkin dan
tidak praktis untuk menyusun kerangka pengambilan sampel (sampling
frame) yang meliputi suatu daerah yang luas.
Jenis–Jenis Sampling Nonprobabilitas:
1. Convenience Sampling atau Accidental Sampling
Didalam cara pengambilan sampel dengan cara ini penelitian semata-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
mata memilih siapa saja yang dapat diraih pada saat penelitian diadakan
sebagai respondennya.
2. Quota Sampling
Cara pengambilan sampel dengan cara quota sebenernya sama dengan
cara pengambilan sampel dengan brstratifikasi, Stratified Sampling.
Didalam cara pengambilan sampel dengan cara quota ini, peneliti
menentukan strata apa yang relevan untuk diteliti. Namun perlu diingat
disini, pengertian strata bukan hanya berarti lapisan saja, tetapi dalam
arti yang luas, sesuai engan apa yang sudah diperbincangkan dalam
stratified sampling.
3. Dimensional Sampling
Cara pengambilan sampel dengan teknik ini adalah pada dasarnya ialah
bentuk multidimensional daripada quota sampling. Jalan pikiran cara
pengambilan sampel dengan cara ini ialah mengkhususkan seluruh
dimensi – dimensi atau variable-variabel yang dijadikan minat didalam
penelitian yang ada didalam populasinya dan merasa yakin bahwa
setiap kombinasi dari dimensi-dimensi terwakili paling tidak oleh satu
kasus.
4. Snowball Sampling
Snowball sampling adalah penarikan sampel bertahap yang makin lama
respondennya makin membesar. Penarikan model ini biasa diibaratkan
dengan sebuah bola salju yang semula adalah keciil berkembang
menjadi membesar seraya dia menggelinding dari bukit.
5. Extreme or Deviant Case Sampling (Pengambilan Sampel terhadap
Kasus-Kasus Ekstrim atau Menyimpang)
Pengambilan sampel yang seperti ini menitikberatkan pada kasus-kasus
yang kaya informasi karena kasus-kasus tersebut memiliki ciri-ciri yang
tidak biasa atau ciri yang istimewa dalam hal-hal tertentu.
6. Maximum Variation Sampling (Pengambilan Sampel Variasi
Maximum)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Strategi pengambilan sampel variasi maksimum dimaksudkan untuk
dapat menangkap atau menggambarkan suatu tema sentral dari studi
melalui informasi yang silang menyilang dari berbagai tipe responden.
7. Pengambilan Sampel Homogen
Pengambilan sampel ini berlawanan dngan pengambilan sampel variasi
maksimum. Maksud dari pengambilan sampel homogen adalah untuk
menggambarkan sejumlah kekhususan sub kelompok scara mendalam.
8. Typical Case Sampling (Pengambilan Sampel Tipikal)
Dalam upaya peneliti untuk meggambarkan sebuah program atau
peserta dari program pada orang yang belum terbiasa dengan program
tersebut dapat dibantu dngan cara memberikan gambaran tentang profil
kualitatif dari satu kasus atau lebih yang bersifat tipikal.
9. Critical Case Sampling (Pengambilan Sampel Kritis)
Strategi pengambilan sampel kritis ini dimaksudkan untuk memperoleh
penjelasan melalui kasus-kasus yang dianggap kritis. Kritis disini yang
dimaksudkan adalah istimewa, baik karena keunggulannya maupun
keterbelakangannya.
10. Criterion Sampling ( Pengambilan Sampel Berkriteria )
Dasar pemikiran pengambilan sampel dengan teknik ini adalah untuk
meninjau ulang dan mempelajari kembali seluruh kasus yang telah
memenuhi criteria penting yang telah ditentukan.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik pengambilan sampel probabilitas dengan jenis Stratified Non Random
Sampling (Penarikan Sampel Non Acak Berstrata) karena setiap kecamatan hanya
diwakili oleh 2 orang guru saja yang ditunjuk oleh UPTD setempat.
E. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Arikunto (2002) teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang
teratur untuk mendapatkan data yang relevan dengan masalah yang diteliti
(hlm.223-224). Teknik pengumpulan data bertujuan untuk mendapatkan data yang
menjelaskan atau menjawab permasalahan peneliti secara objektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Menurut Sumadi Suryabrata (1997:84) kualitas data ditentukan oleh
kualitas pengambilan data atau alat pengukurnya.Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan teknik pengumpulah data berupa skala.
Skala
1. Pengertian Skala
Skala merupakan alat ukur psikologi yang mengukur suatu hal yang
tidak tampak dari seseorang, misal kekecewaan, motivasi, sikap pengambilan
keputusan, minat dll. Azwar (2007) mengatakan bahwa “Skala lebih banyak
dipakai untuk menamakan alat ukur afektif.( hlm3)”
Sedangkan menurut Furhan (2007) menjelaskan bahwa skala adalah
seperangkat nilai angka yang ditetapkan kepada subjek, objek, atau tingkah
laku dengan tujuan mengukur sifat (hlm 278).
Selanjutnya Kerlinger mendefinisikan skala sebagai suatu perangkat
simbol atau angka-angka dalam bentuk simbol atau angka yang ditetapkan
menurut aturan individu (atau tingkah laku mereka) di mana skala diterapkan,
penerapan dinyatakan melalui pemilihan individu skala apa saja yang dianggap
perlu diukur(Sevilla, dkk.1993:215).
Skala tidak sama dengan nilai tidak sama dengan tes, karena hasil dari
skala ini tidak menunjukan keberhasilan atau kegagalan, kekuatan atau
kelemahan. Skala mengukur seberapa jauh seseorang memiliki ciri-ciri yang
ingin diteliti.
Dari penjelasan mengenai pengertian skala di atas dapat disimpulkan
bahwa skala adalah instrument untuk mengukur hal-hal yang bersifat
psikologis pada individu, misal sikap, minat, nilai-nilai dll.
2. Karakteristik skala
Azwar (2007) menjelaskan beberapa karakteristik skala psikologi
antara lain adalah:
a) Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung
mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator
perilaku dari atribut yang bersangkutan. Dalam hal ini meskipun subjek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
yang diukur memahami pertanyaan atau pernyataan namun tidak
mengetahui arah jawaban yang dikehendaki oleh pertanyaan yang diajukan
sehingga jawaban yang diberikan akan tergantung pada interpretasi subjek
terhadap pertanyaan tersebut dan jawabannya lebih bersifat proyektif,
yaitu berupa proyeksi dari perasaan atau kepribadiannya.
b) Dikarenakan atribut psikologis diungkap secara tidak langsung lewat
indikator-indikator perilaku sedangkan indikator perilaku diterjemahkan
dalam bentuk aitem-aitem, maka skala psikologi selalu berisi banyak
aitem. Jawaban subjek terhadap satu aitem baru merupakan sebagian dari
banyak indikasi yang mengenai atribut yang diukur, sedangkan
kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis baru dapat dicapai bila semua
aitem telah direpons
c) Respons subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau
“salah”. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur
dan sungguh-sungguh. Hanya saja, jawaban yang berbeda akan
diterpretasikan berbeda pula (hlm.4).
3. Jenis-jenis Skala
Pengembangan skala untuk mengukur sikap, nilai-nilai dan minat
dapat meliputi beberapa macam teknik. Furhan (2007) memaparkan empat
macam skala dalam pengukuran sikap, antara lain:
a) Skala Likert (Summated rating scale)
Skala jenis likert merupakan sejumlah pernyataan positif dan
negatif mengenai suatu objek sikap. Hal ini senada dengan Sumadi
Suryabrata (2000) yang mengatakan ”skala Likert tergolong skala untuk
orang dan pada rancangan dasarnya disusun untuk mengukur sikap”(184).
Dalam memberikan respons terhadap pernyataan-pernyataan dalam skala
ini, subjek menunujukan apakah ia sangat setuju, setuju, tidak mempunyai
pilihan, tidak setuju atau sangat tidak setuju terhadap tiap-tiap pernyataan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Skor setiap subjek ditetapkan dengan menjumlah nilai yang ditetapkan
untuk tiap-tiap respons.
Skala Likert harus disusun secara sitematis sesuai dengan aturan
penyusunannya. Adapun langkah-langkah penyusunan skala Likert sebagai
berikut:
1) Mengumpulakan sejumlah besar pernyataan yang menyenangkan atau
yang tidak menyenangkan tentang objek sikap,
2) Memilih dari kumpulan ini pernyataan-pernyataan yang menyenangkan
dan tidak menyenangkan dalam jumlah yang kira-kira sama,
3) Memberikan butir-butir pernyataan ini kepada sejumlah individu, dan
meminta mereka untuk mengemukakan pendapat terhadap tiap-tiap
pernyataan itu dengan menetapkan apakah mereka sangat setuju, setuju,
tidak mempunyai pilihan, tidak setuju atau sangat tidak setuju dengan
pernyataan itu,
4) Menghitung skor tiap-tiap individu dengan menggunakan cara yang
sudah dijelaskan di atas,
5) Melakukan analisis butir pernyataan (item analysis) guna memilih butir-
butir pernyataan yang menghasilkan diskriminasi tinggi. Melalui
analisis butir pernyataan ini,
b) Skala Thurstone (Equal appearing intervals)
Skala Thurstone mengembangkan suatu metode untu menentukan
nilai skala tertentu pada hal-hal yang mewakili berbagai tingkat sikap yang
menyenangkan.
Adapun langkah-langkah dalam menyusun skala Thurstone antara
lain adalah:
1) Mengumpulkan sejumlah besar pernyataan tentang objek sikap,
2) Memberikan pernyataan-pernyataan tersebut kepada sejumlah penilai.
Biasanya untuk menilai pernyataan-pernyataan ini digunakan lima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
puluh samapi seratus orang. Mencari skala yang akan ditetapkan pada
setiap nilai pernyataan dengan jalan menentukan median bobot
ataukedudukan skala yang telah ditetapkan pada pernyataan itu oleh
para penilai.
3) Memilih dua puluh samapi tiga puluh pernyataan yang terbesar secara
merata di sepanjang skala dari satu ujung ke ujung yang lain.
Pernyataan-pernyataan ini menjadi skala sikap.
c) Skala Guttman (Cumulative scale)
Teknik Guttman ini digolongkan sebagai skala berdimensi tunggal
(unidimensional), bermaksud menetapkan apakah sikap yang sedang
diselidiki itu benar-benar hanya menyangkut satu dimensi saja. Suatu
sikap dianggap berdimensi tunggal hanya kalau sikap itu menghasilkan
skala kumulatif, yaitu skala butir-butirnya berkaitan satu sama lain
sedemikian rupa sehingga seorang subjek yang setuju denga pernyataan
nomor 2, akan juga merasa setuju dengan pernyataan nomor 1; subjek
yang setuju dengan prnyataan nomor 3, akan juga setuju dengan
pernyataan nomor 1 dan 2, demikian seterusnya.
d) Skala perbedaan makna (Semantic differential scales)
Skala perbedaan makna didasarkan pada pandangan bahwa objek
itu mempunyai dua macam makna bagi seseorang, yaitu makna denotatif
dan konotatif yang dapat dinilai sendiri-sendiri. Makna denotatif suatu
objek dapat dengan mudah dinyatakan, namun tidak begitu dengan makna
konotatifnya. Bisa dan ada gunanya mengukur makna makna konotatif
suatu objek secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan sejumlah
kata sifat yang mempunyai dua kutub (bipolat) dan meminta beberapa
orang untuk menilai objek-objek tersebut dengan berpedoman pada kata
sifat ini. (hlm278-285).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis skala Likert, yang
diukur disini adalah kompetensi guru sebelum diadakan workshop dan setelah
diadakan workshop. Skala likert tentang kompetensi guru ini merupakan skala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
yang telah diujicobakan oleh seorang dosen UNY yaitu ibu Sari Rusdiyati di
sekolah-sekolah inklusi yang ada di Yogyakarta yang terdiri dari 108 item yang
masing-masing menilai tentang kompetensi pedagogik terdiri atas 43 item,
kompetensi kepribadian terdiri atas 21 item, kompetensi sosial terdiri atas 9
item, dan kompetensi professional terdiri atas 35 item. Skor dari skala terdiri
dari 5 pilihan yaitu 5 menunjukkan sangat baik, 4 menunjukkan baik, 3
menunjukkan cukup, 2 menunjukkan kurang, dan 1 menunjukkan sangat
kurang.
Tabel 3.3. Kisi-Kisi Instrumen Pengukur Komponen Kompetensi Guru
Sekolah Inklusif
Komponen Indikator Jumlah
Pedagogik
1.1. Kemampuan melakukan identifikasi dan asesmen tentang
AB/ABPK.
4
1.2. Kemampuan menguasi teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran AB/ ABPK.
3
1.3. Kemampuan mengembangkan kurikulum yang terkait dengan
mata pelajaran yang diampu sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi AB/ABPK.
6
1.4. Kemampuan menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang
mendidik bagi AB/ABPK.
6
1.5. Kemampuan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk kepentingan pembelajaran AB/ABPK.
3
1.6. Kemampuan memfasilitasi pengembangan potensi
AB/ABPK untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki.
2
1.7. Kemampuan berkomunikasi secara efektif, empatik, dan
santun dengan AB/ABPK.
2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
1.8. Kemampuan menyelenggarakan asesmen akademik, penilaian
dan evaluasi proses dan hasil belajar bagi AB/ABPK.
7
1.9. Kemampuan memanfaatkan hasil asesmen akademik,
penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran
AB/ABPK.
4
1.10. Kemampuan melakukan tindakan reflektif untuk
peningkatan kualitas pembelajaran AB/ABPK.
3
1.11. Kemampuan melaksanakan pembelajaran kompensatoris
bagi AB/ABPK.
3
Kepribadian
2.1. Memiliki keyakinan, nilai dan sikap positif terhadap
pendidikan inklusi bagi AB/ABPK.
2
2.2. Memiliki keyakinan bahwa AB/ABPK memiliki kemampuan
belajar dan dapat dididik secara inklusi.
2
2.3. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, social, dan
kebudayaan nasional Indonesia dalam mendidik AB/ABPK.
2
2.4. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak
mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat serta
dalam memperlakukan AB/ABPK.
3
2.5. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil,
dewasa, arif,dan berwibawa dalam mendidik AB/ABPK.
2
2.6. Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa
bangga menjadi guru sekolah inklus bagi AB/ABPK.
3
2.7. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru sekolah inklusi bagi
AB/ABPK.
2
2.8. Memiliki sikap yang terbuka, ramah, hangat, dan bersahaja
terhadap semua peserta didik termasuk AB/ABPK.
2
2.9. Menjunjung tinggi hak-hak AB/ABPK untuk memperoleh
kesetaraan pendidikan.
2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Sosial
3.1. Bersikap inklusi, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif
terhadap AB/ABPK karena pertimbangan jenis kelamin,
agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status
sosal-ekonomi.
2
3.2. Kemampuan berkomunikasi secara efektif, empatik, dan
santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang
tua, masyarakat dan AB/ABPK.
3
3.3. Kemampuan beradaptasi di tempat bertugas di seluruh
wilayah Republik Indonesia yag memiliki keragaman sosial
budaya dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas
pendidikan inklusi bagi AB/ABPK.
2
3.4. Kemampuan berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri
dan profesi lain secara lsan dan tulisan atau bentuk lain,
dalam meningkatkan kualitas pendidikan inklusi bagi
AB/ABPK.
2
Profesional
4.1. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan
yang mendukung mata pelajaran yang diampu, bagi
AB/ABPK.
2
4.2. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, bagi
AB/ABPK.
3
4.3. Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara
kreatif dalam pembelajaran AB/ABPK.
2
4.4. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan
dengan melakukan tindakan reflektif dalam pembelajaran
AB/ABPK.
4
4.5. Kemampuan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri
dalam pembelajaran AB/ABPK.
2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
4.6. Kemampuan memahami peraturan perundang-undangan dan
kebijakan yang berlaku terkait dengan permasalahan
AB/ABPK.
2
4.7. Kemampuan melakukan pembelajaran adaptif bagi
AB/ABPK.
4
4.8. Kemampuan melakukan pembelajaran kolaboratif bagi
AB/ABPK.
6
4.9. Kemampuan melakukan pembelajaran akomodatif bagi
AB/ABPK.
4
4.10. Kemampuan melakukan pembelajaran kontekstual bagi
AB/ABPK.
6
JUMLAH 108
(Sumber data : data primer 2012)
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan teknik parametrik yaitu tes rangking bertanda T-test for
correlated means atau paired-samples T-test. Teknik ini digunakan peneliti
karena sesuai dengan jenis eksperimen dan jenis data yang ada pada penelitian.
Penelitian ini menggunakan One Group Pre test-Post test Design, yaitu
sekelompok subyek yang dikenai perlakuan dalam jangka waktu tertentu,
pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan diberikan, dan pengaruh
perlakuan diukur dari perbedaan antara pengukuran awal (T1) dan pengukuran
akhir (T2).
Adapun langkah-langkah analisis T-test for correlated means atau paired-samples
T-test adalah sebagai berikut:
1. Perumusan Hipotesis
Rumusan hipotesis duapihak :
Ho : T1= T2 (Tidak terdapat pengaruh yang signifikan pada kompetensi
guru dalam menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri
tahun 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Ha : T1 ≠ T2 (Terdapat pengaruh yang signifikan pada kompetensi guru
dalam menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri
tahun 2012).
2. Pemilihan taraf signifikansi (α)
Taraf signifikansi yang dipilih adalah = 5%.
3. Penentuan Statistik Uji.
Statistik uji yang digunakan adalah T-test for correlated means atau
paired-samples T-test dengan program SPSS
4. Keputusan Uji.
Keputusan uji dalampenelitian adalah:
a) Jika Asymp. Sig Z ≤ 5 % (α = 0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima.
Maka Hipotesis dalam penelitian ini berbunyi: Terdapat pengaruh
yang signifikan pada kompetensi guru dalam menangani kelas inklusif
di Kabupaten Wonogiri tahun 2012 adalah signifikan.
b) Jika Asymp. Sig Z ≥ 5 % (α = 0,05) maka Ho diterima dan Ha ditolak.
Maka Hipotesis dalam penelitian ini berbunyi : Terdapat pengaruh
yang tidak signifikan pada kompetensi guru dalam menangani kelas
inklusif di Kabupaten Wonogiri tahun 2012 adalah tidak signifikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh workshop pendidikan inklusif terhadap kompetensi guru menangani
kelas inklusif di kabupaten wonogiri tahun 2012.
Berikut ini akan disajikan pembahasan hasil penelitian secara berturut-
turut mengenai deskripsi data meliputi pembahasan hasil-hasil penelitian yang
telah diperoleh. Pembahasan selanjutnya adalah pengujian hipotesis dan
pembahasan analisis data.
A. Deskripsi Data
Deskripsi data dimulai dengan tahap persiapan penelitian sebelum
melaksanakan penelitian yang sebenarnya untuk memperoleh hasil yang
diharapkan. Berikut ini adalah penjabaran dari tahapan persiapan hingga
pemerolehan hasil penelitian :
1. Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh workshop pendidikan
inklusif terhadap kompetensi guru menangani kelas inklusif di kabupaten
Wonogiri tahun 2012.
Sebelum diolah menggunakan Uji T-test for correlated means atau Paired
Samples T-test yang dibantu menggunakan program SPSS, terlebih dahulu penulis
jabarkan deskripsi data pre test dan post test dari kelompok eksperimen beserta
grafik histogramnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
a. Data Kompetensi Guru Sebelum Perlakuan
Tabel 4.1 Deskriptif Statistik
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 pre-test 334,82 50 69,857 9,879
post-test 372,56 50 72,505 10,254(Sumber data : Data primer 2012)
Rata-rata nilai pre test kompetensi guru adalah 334,82 dengan simpangan
baku atau standar deviasi sebesar 69,857.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Nilai Pre test Kompetensi GuruPRE TEST
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 483-502 1 2,0 2,0 2,0
463-482 2 4,0 4,0 6,0
443-462 2 4,0 4,0 10,0
423-442 1 2,0 2,0 12,0
403-422 2 4,0 4,0 16,0
383-402 5 10,0 10,0 26,0
363-382 6 12,0 12,0 38,0
343-362 2 4,0 4,0 42,0
323-342 5 10,0 10,0 52,0
303-322 1 2,0 2,0 54,0
283-302 12 24,0 24,0 78,0
263-282 7 14,0 14,0 92,0
243-262 1 2,0 2,0 94,0
203-222 3 6,0 6,0 100,0
Total 50 100,0 100,0(Sumber data : Data primer 2012)
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi sebelumnya dapat disajikan dalam
bentuk grafik histrogram sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Grafik.4.1 Kompetensi Guru sebelum Perlakuan
Dari data tabel dan grafik di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi
guru sebelum diberi perlakuan (workshop) adalah jumlah guru yang mendapatkan
nilai terendah sebanyak 3 orang dan yang mendapat nilai tertinggi sebanyak 1
orang. Sebanyak 12 orang guru dari 50 orang guru yang mengikuti workshop
memperoleh nilai 283-302, ini merupakan jumlah terbanyak dibandingkan dengan
jumlah guru yang memperoleh nilai lebih rendah maupun lebih tinggi dari 283-
302. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi guru sebelum diberi perlakuan
(workshop) memang masih rendah.
b. Data Kompetensi Guru Setelah Perlakuan
Deskripsi data nilai, deskripsi statistik, deskripsi frekuensi, dan grafik
histogram kompetensi guru sesudah perlakuan (post test).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Tabel 4.3 Deskriptif Statistik
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 pre-test 334,82 50 69,857 9,879
post-test 372,56 50 72,505 10,254
Data setelah dihitung diperoleh hasil sebagai berikut rata-rata kompetensi
guru sebesar sebesar 372,56 dengan simpangan baku atau standar deviasi sebesar
72,505.
Tabel 4.4 Tabel Distribusi Frekuensi Nilai Post test Kompetensi Guru
POST TEST
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 524-543 1 2,0 2,0 2,0
484-503 4 8,0 8,0 10,0
464-483 3 6,0 6,0 16,0
444-463 3 6,0 6,0 22,0
424-443 2 4,0 4,0 26,0
404-423 3 6,0 6,0 32,0
384-403 6 12,0 12,0 44,0
364-383 1 2,0 2,0 46,0
344-363 6 12,0 12,0 58,0
324-343 4 8,0 8,0 66,0
304-323 9 18,0 18,0 84,0
284-303 5 10,0 10,0 94,0
264-283 1 2,0 2,0 96,0
244-263 2 4,0 4,0 100,0
Total 50 100,0 100,0(Sumber data: Data primer 2012)
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi di atas dapat disajikan dalam grafik
histrogram berikut ini :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Grafik.4.2 Kompetensi Guru Sesudah Perlakuan
Dari data tabel dan grafik di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi
guru setelah diberi perlakuan (workshop) adalah jumlah guru yang mendapatkan
nilai terendah sebanyak 2 orang dan yang mendapat nilai tertinggi sebanyak 1
orang. Sebanyak 9 orang guru dari 50 orang guru yang mengikuti workshop
memperoleh nilai 304-323, ini merupakan jumlah terbanyak dibandingkan dengan
jumlah guru yang memperoleh nilai lebih rendah maupun lebih tinggi dari 304-
323. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi guru setelah diberi perlakuan
(workshop) terjadi peningkatan nilai yang diperoleh guru. Jadi dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan workshop berpengaruh terhadap kompetensi guru menangani
kelas inklusif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Tabel 4.5 Ringkasan Hasil Deskriptif Data Nilai Pre test dan Post testKompetensi Guru
Variabel N Variasi NilaiTerendah
NilaiTertinggi
Rata-rata
StdDeviasi
Kompetensi
Guru
50
50
Pre test
Post test
203
244
485
535
334,82
372,56
69,857
72,505
(Sumber data: data primer 2012)
Berdasarkan deskripsi data tersebut diatas, diketahui bahwa rata-rata
kompetensi guru pada waktu pre test diperoleh nilai 334,82 dan nilai rata-rata post
test kompetensi guru diperoleh nilai 372,56. Selisih nilai rata-rata yang cukup
banyak memperlihatkan bahwa ada perbedaan kompetensi sebelum dan setelah
dilakukan perlakuan/treatment. Apakah perbedaan itu bermakna secara statistik,
akan diuji pada analisis data.
B. Pengujian Hipotesis
Untuk membuktikan hipotesis tentang adanya pengaruh workshop
pendidikan inklusif terhadap kompetensi guru menangani kelas inklusif di
Kabupaten Wonogiri tahun 2012. Digunakan analisis Uji T-test for correlated
means atau Paired-Samples T-test adalah sebagai berikut :
Tabel 4.6 Perhitungan Analisis Data Nilai Tempat Bilangan Sebelum danSesudah Perlakuan
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 pre-test 334,82 50 69,857 9,879
post-test 372,56 50 72,505 10,254
Tabel 4.7 Hasil Tes
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 pre-test & post-test 50 ,893 ,000
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Berdasarkan tabel diperoleh data bahwa rata-rata pre test adalah 334,82
dengan simpangan baku sebesar 69,857 dan post test adalah 372,56 dengan
simpangan baku 72,505, nilai probabilitas (p) = 0.000, dengan taraf signifikansi
(α) 5%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan workshop tentang
pendidikan inklusif mempunyai pengaruh positif dalam meningkatkan kompetensi
guru dalam menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri tahun 2012.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan teori pada bab II, Kompetensi guru merupakan perpaduan
dari pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap, dan minat seseorang
yang berprofesi sebagai guru, termasuk guru sekolah inklusif bagi anak
berkebutuhan khusus, sehingga yang bersangkutan dapat menampilkan perilaku-
perilakun utama kognitif, afektif dan psikomotor yang direfleksikan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak sebagai seorang guru.
Dalam bidang keguruan, kompetensi mengajar dapat dikatakan merupakan
kemampuan dasar yang mengimplikasikan apa yang seharusnya dilaksanakan
guru dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru
akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya.
Majid (2005:6) menjelaskan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru
akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan
terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam
menjalankan fungsinya sebagai guru.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru reguler
sekolah inklusif di Kabupaten Wonogiri masih terbilang rendah, hal ini dapat
dilihat pada tabel 4.2 yang menunjukkan bahwa nilai terendah adalah 203.
Untuk meningkatkan kompetensi guru yang masih rendah tersebut, salah
satu cara yang diambil adalah dengan mengadakan workshop. Sesuai dengan teori
pada bab II, Workshop adalah pelatihan kerja, yang meliputi teori dan praktek
dalam satu kegiatan terintegrasi. Definisi lain dari workshop adalah wadah atau
tempat penampungan untuk memodifikasi data dan alat-alat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Workshop pendidikan adalah suatu kegiatan belajar kelompok yang terdiri
dari petugas-petugas pendidikan yang memecahkan problema yang dihadapi
melalui percakapan dan bekerja secara kelompok maupun bersifat perseorangan.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah diadakan
workshop pendidikan inklusif kompetensi guru umum sekolah inklusif di
Kabupaten Wonogiri meningkat. Hal ini dapat dilihat pada table 4.3 yang
menunjukkan nilai terendah adalah 244 ini berarti terjadi peningkatan dari nilai
sebelumnya 203 menjadi 244, selisih nilai terendah pada saat pre test dan post test
adalah sebesar 41.
Berdasarkan hasil ringkasan nilai pre test dan post test diketahui bahwa
perolehan nilai rata-rata kemampuan dasar kompetensi guru sebesar 334,82
dengan nilai tertinggi 485 dan nilai terendah 203 dengan simpangan baku atau
standar deviasi sebesar 69,857. Terjadi peningkatan perolehan nilai sesudah
pemberian perlakuan (workshop) nilai rata-rata kompetensi sebesar 372,56 dengan
nilai tertinggi 535 dan nilai terendah 244 dengan simpangan baku atau standar
deviasi sebesar 72,505. Data peolehan nilai pre test dan post test diatas dapat
disimpulkan terjadinya perubahan perolehan nilai yang dialami guru setelah
mendapatkan perlakuan. Perubaahan itu dapat diamati dari selisih perolehan nilai
tertinggi pada waktu pre test dan post test sebesar 50 dan nilai terendah pada
swaktu pre test dan post test sebesar 41 serta peningkatan rata-rata kompetensi
guru sebesar 37,74. Pendapat diatas telah diperkuat kebenarannya dengan
disajikannya perubahan nilai pre test dan post test yang menunjukan adanya
peningkatan yang signifikan setelah guru diberikan perlakuan dengan pelaksanaan
workshop pendidikan inklusif. Ringkasan data nilai pre test dan post test diatas
juga menunjukan bahwa dengan pelaksanaan workshop pendidikan inklusif bisa
meningkatkan kompetensi guru dalam menangani kelas inklusif.
Dengan data di atas, dapat diketahui bahwa hipotesis yang diajukan pada
Bab II dapat diterima dan telah terbukti bahwa, “Pelaksanaan workshop
pendidikan inklusif dapat berpengaruh terhadap kompetensi guru dalam
menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri tahun 2012”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dan dengan
pengolahan menggunakan perhitungan SPSS, dihasilkan bahwa pelaksanaan
workshop yang berjudul “Mengenal Pendidikan Inklusi “ diperoleh nilai rata-rata
pre test 334,82 dan post test sebesar 372,56.
Sehingga, kesimpulan dari penelitian ini adalah pelaksanaan workshop
pendidikan inklusif efektif dalam meningkatkan kompetensi guru dalam
menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri tahun 2012.
B. Implikasi
Berdasarkan kajian teori serta melihat hasil penelitian ini, maka akan
disampaikan implikasi yang berguna dalam meningkatkan kompetensi guru.
Workshop pendidikan inklusif adalah salah satru cara yang efektif dalam
meningkatkan kompetensi guru dalam menangani kelas inklusif. Hasil penelitian
ini dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah kemampuan guru
dalam menangani kelas inklusif. Pelaksanaan workshop ini kiranya dapat
meminimalisir kurangnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam menangani
kelas inklusif.
Hasil penelitian ini juga bisa diterapkan sebagai pedoman untuk
meningkatkan kompetensi guru dalam menangani kelas inklusif. Pelaksanaan
workshop pendidikan inklusif dapat membantu meningkatkan kompetensi guru
dalam menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ini, peneliti memberikan saran-
saran sebagai berikut:
1. Sebaiknya pelaksanaan workshop ini dilakukan secara terus-menerus
atau berkesinambungan agar kompetensi guru dapat menjadi lebih
baik lagi.
2. Sebaiknya alokasi waktu pada saat pelaksanaan workshop harus sesuai
dengan jadwal kegiatan.
3. Sebaiknya pada saat pelaksanaan workshop terutama pada saat
mengerjakan soal pre test dan post test peserta diberi pengarahan
bahwa tidak perlu mencontek karena tidak ada jawaban benar maupun
salah.
4. Pada saat pelaksanaan workshop sebaiknya tidak hanya kegitan
diskusi kelompok tetapi juga ada sesi Tanya jawab untuk mengukur
seberapa besar kompetensi guru tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. (2004). Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan.Bandung : Alfabeta
Arikunto, S. (1993). Manajemen Pengajaran Secara Manusia. Jakarta : RinekaCipta
_________ (2002). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
(2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Dan Praktek. Jakarta :PT Rineka Cipta
Azwar, S.(2007). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Belajar
Baihaqi, MIF. & Sugiarmin, M. (2006). Memahami dan Membantu Anak ADHD.Bandung: PT. Refika Aditama
Berhanu, G. (2011). Inclusive Education in Sweden: Responses, Challenges, andProspects. http//www.internationaljournalofspecialeducation.com/articles(diakses 5 febuari 2012, 10.18)
Carrel & Kuzmitz. (1982). http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/11/pelatihan-tenaga-kerja-definisi-tujuan_11.html (diakses 26 Juli 2012, 20.13)
Depdiknas (2004). Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan. Jakarta:Author
Furchan, A. (2007). Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta: PustakaBelajar
Hadi, S. (1990). Metodelogi Research. Yogyakarta : UGM Press
Harahap, B. (1982). Supervisi Pendidikan yang Dilaksanakan oleh Guru, KepalaSekolah, Penilik dan Pengawas Sekolah. Jakarta: Damai Jaya
Majid, A. (2005). Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan StandarKompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Menteri Peendidikan Nasional RI. (1984). Keputusan Menteri Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia No. 002/U/1986 tentang PendidikanTerpadu Anak Cacat. Jakarta : Departemen Pendidikan dan KebudayaanRI
Moekijat. (1991). http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/11/pelatihan-tenaga-kerja-definisi-tujuan_11.html (diakses 26 Juli 2012, 20.13)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Mulyasa, E. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, danImplementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nasichin.(2001).Kebijakan Direktorat Pendidikan Luar Biasa.Jurnal RehabilitasiDan Remedial. Jurnal Rehabilitasi Dan Remedial Tahun 11, No 2,Desember 2001
Nasir, Moh. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Nitisemito. (1996). http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/11/pelatihan-tenaga-kerja-definisi-tujuan_11.html (diakses 26 Juli 2012, 20.13)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
Procton & Thornton. (1983). http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/11/pelatihan-tenaga-kerja-definisi-tujuan_11.html (diakses 26 Juli 2012, 20.13)
Robbins, S. P. (2001). Organizational Behavior. New Jersey: Pearson EducationInternational
Selvia,C.G,dkk.(1993).Pengantar Metode Penelitian.Jakarta:Penerbit UniversitasIndonesia
Simamora. (1993). http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/11/pelatihan-tenaga-kerja-definisi-tujuan_11.html (diakses 26 Juli 2012, 20.13)
________. (2006). http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/11/pelatihan-tenaga-kerja-definisi-tujuan_11.html (diakses 26 Juli 2012, 20.13)
Sofo, F. (1999). Human Resource Development, Perspective, Roles and PracticeChoice. Business and Professional Publishing, Warriewood, NWS
Spencer, Lyle M., Jr. & Signe M., Spencer. (1993). Competence at Work: Modelsfor Superior Performance. John Wiley & Sons. Inc
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:Alfabeta
________ (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Sunardi.2002. Makalah Program Pengajaran Individual. Surakarta
(2012).Pengembangan Perangkat Kurikulum, Pembelajaran DanEvaluasi Dalam Pendidikan Inklusi. Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Suryabrata, S. (2000). Pengembangan Alat Ukur Psikologi. Yogyakarta:AndiOffset
___________ (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Surya, Muhammad. (2003). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung:Yayasan Bhakti Winaya
Sutisna, Oteng. (1993). Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis dan PraktisProfesional. Bandung: Angkasa
Syah, Muhibbin. (2000). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru danDosen
Usman, Moh. Uzer. (1994). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT RemajaRosdakarya.
Widyastono, H. (2004). Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi AnakBerkelainan.Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan.Jurnal Pendidikan DanKebudayaan No 046 Tahun Ke-10, Januari 2004
Wirawan. (2002). Profesi dan Standar Evaluasi. Jakarta: Yayasan BangunIndonesia & UHAMKA Press
Yodhia, A. (2007), http://strategimanajemen.net/2007/09/06/membangun-
manajemen-sdm-berbasis-kompetensi/ (diakses tanggal 14 Maret 2012,
21.54
Yutmini, S. (1992). Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: FKIP UNS
Zurnali, Cut. (2010). "Learning Organization, Competency, Organizational
Commitment, dan Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka
Riset Manajemen Sumberdaya Manusia di Masa Depan", Penerbit Unpad
Press, Bandung