disertasi otonomi daerah - unhas
TRANSCRIPT
DISERTASIASPEK HUKUM PELAKSANAAN FUNGSI
PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DALAM ERA
OTONOMI DAERAHLegal Aspecct on the Implementation of Government Function in the Field
of Organizing Education in the Era of Regional Outonomy
MUHAMMAD RAMLI HABAP0400405013
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2010
DISERTASI
ASPEK HUKUM PELAKSANAAN FUNGSI PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DALAM ERA OTONOMI
DAERAHLegal Aspecct on the Implementation of Government Function in the Field
of Organizing Education in the Era of Regional Outonomy
Disusun dan diajukan oleh:
MUHAMMAD RAMLI HABANomor Pokok P0400405013
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Disertasipada tanggal 11 Maret 2010
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Tim Promotor,
Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, SH, MHPromotor
Prof. Dr. Syamsul Bachri, SH, MS Prof. Dr. Achmad Ruslan, SH, MH Ko-Promotor Ko-Promotor
Ketua Program Studi S 3 Direktur Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Mas Bakar, SH,MH. Prof. Dr. dr.A.Razak Thaha, M.Si
TIM PROMOTOR :Promotor : Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, SH, MHKo Promotor : Prof. Dr. Syamsul Bachri, SH, MSKo Promotor : Prof. Dr. Achmad Ruslan, SH, MH
TIM PENGUJI :1. Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, SH, MH (Ketua/Promotor)
2. Prof. Dr. Syamsul Bachri, SH, MS (Anggota/Ko-Promotor)
3. Prof. Dr. Achmad Ruslan, SH, MH (Anggota/Ko-Promotor)
4. Prof.Dr. I Wayan Parsa, SH, MH (Anggota/Penilai)
5. Prof. Dr. Mas Bakar, SH, MH (Anggota/Penilai)
6. Prof. Dr.M. Yunus Wahid, SH, MH (Anggota/Penilai)
7. Dr.M. Ansyari Ilyas, SH, MH (Anggota/Penilai)
ABSTRAK
MUHAMMAD RAMLI HABA. Aspek Hukum Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah di Bidang Penyelenggaraan Pendidikan Dalam Era Otonomi Daerah (dibimbing oleh H.Aminuddin Ilmar, H.Syamsul Bachri dan Achmad Ruslan)
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengungkap dan menjelaskan pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah dalam bidang penyelenggaraan pendidikan berikut esensi kewenangan yang dimiliki masing-masing daerah; 2). Mengungkap dan menjelaskan implementasi kewenangan yang dimiliki masing-masing daerah berdasarkan Undang-Undang No, 32 Tahun 2004 dan UU No. 20 Tahun 2003, berikut sinerji kelembagaan ; 3). Mengungkap dan menjelaskan Partisipasi masyarakat dalam mendukung penyelenggaraan pendidikaan.
Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar, Kota Pare-Pare, Kabupaten Gowa, Kabupaten Pangkajene Kepulauan dan Kabupaten Sinjai. Data diperoleh melalui observasi, wawancara dan penyebaran quisioner dengan 100 responden, yang terdiri dari Pihak Eksekutif, Pihak Legislatif, dan Kelompok independen meliputi penyelenggara pendidikan swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, Tokoh Masyarakat. Analisis data dilakukan berdasarkan analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah di bidang penyeleggaraan pendidikan belum berjalan optimal, penyebabnya adalah : a. ego masing-masing daerah yang beranggapan bahwa program di bidang pendidikan bukanlah urusan wajib yang bersifat perintah,; b. ketersediaan porsi anggaran dan kemampuan keuangan daerah kabupaten/kota; c. Political Will Pemerintah daerah, karena tidak semua daerah memiliki skala prioritas pada bidang pendidikan, selain itu urusan pemerintahan yang diberikan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota meliputi Kebijakan, Pembiayaan, Kurikulum, Sarana dan Prasarana, Pendidik dan Tenaga Kependidikan serta Pengendalian mutu pendidikan juga belum berjalan optimal; (2) Program pendidikan gratis juga belum berjalan optimal dan masih membutuhkan penyempurnaan terutama yang berkaitan dengan anggaran, yang hingga kini anggaran pendidikan masih pada kisaran 13%; (3). Partisipasi masyarakat dalam kenyataannya masih minim, padahal masyarakat sebagai salah satu elemen penting dalam penyelenggaraan pendidikan, partisipasi masyarakat diwujudkan melalui wadah Komite Sekolah di tingkat sekolah, dan selama ini terkesan menjadi stempel eksekutit sekolah, sedang Dewan Pendidikan yang dibentuk di tingkat kabupaten/kota dan provinsi dan menjadi mitra pemerintah, bertujuan memberi pertimbangan (advisory agency), pendukung (support agency) baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga, juga sebagai pengontrol (controling agency) dan sebagai mediator antara eksektif dan legislatif, namun dalam kenyataannya masih jauh dari harapan.
Kata kunci : Aspek hukum, fungsi pemerintah, pendidikan, otonomi daerah.
DAFTAR ISI
HalHALAMAN JUDUL ................................................................................... iHALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iiKATA PENGANTAR.................................................................................. iiiDAFTAR ISI ........................................................................................... ivDAFTAR TABEL........................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang ..................................................................... 1B. Permasalahan Penelitian ..................................................... 33C. Rumusan Masalah ............................................................... 42D. Tujuan Penelitian ................................................................. 43E. Kegunaan Penelitian ........................................................... 43F. Orisinalitas Penelitian ........................................................... 44
BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. Pemerintahan Daerah dalam Prespektif Negara Kesatuan
Republik Indonesia................................................................ 491. Landasan Teoritik ................................................................... 492. Kajian Teoritik Tentang Konsep Negara Hukum ................... 493. Teori Demokrasi .................................……………………....... 574. Hakekat Desentralisasi........................................................... 735. Hakekat Otonomi Daerah........................................................ 87
B. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pendidikan.............................................................................. 95
1. Hakekat Kewenangan........................................................ 952. Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah...................... 1093. Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah .................... 1134. Konsep Desentralisasi Pendidikan ................................... 115 6. Teori Kebijakan Publik....................................................... 1297. Kebijakan Pendidikan dalam Kebijakan Publik................. 138
C. Peran Kelembagaan Dalam Peningkatan Sumber Daya Pendidikan............................................................................. 147
1. Paradigma Baru Pendidikan ............................................ 147 2. Pengembangan Kapasitas................................................. 160
3. Partisipasi Masyarakat. ..................................................... 165
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN (CONCEPTUAL FRAMEWORK), DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESISA. Kerangka Pemikiran...................................................................... 187B Definisi Operasional ...................................................................... 190
BAB IV METODE PENELITIANA. Tipe Penelitian ............................................................................. 193B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ................................................ 193C. Lokasi Penelitian ........................................................................ 194D. Populasi dan sampel .................................................................... 194
E. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data............................................ 197 1. Jenis Data........................................................................... 197
2. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 197F. Teknik Analisis Data .................................................................... 198
BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIANA. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. 199
B. Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pendidikan.. 2031. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan..................................... 2042. Batasan Kewenangan....................................................................... 2103. Perencanaan Pendidikan................................................................. 214
C. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi ................................................................... 232
1. Implementasi Kewenangan .............................................................. 2322. Koordinasi Kelembagaan........................................................................... 2873. Pengawasan dan Pembinaan ................................................................. 292
D. Partisipasi Masyarakat ............................................................................ 2991. Hak dan Kewajiban Masyarakat ....................................................... 2992. Peran Komite Sekolah ...................................................................... 3113. Peran Dewan Pendidikan ................................................................. 319
BAB VI PENUTUPA. Kesimpulan ........................................................................................... 326B. Saran .................................................................................................... 327
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 329
LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Lembaga Pendidikan di Lokasi Penelitian 200
Tabel 2 Jumlah Murid di Lokasi Penelitian 201
Tabel 3 Jumlah Guru di Lokasi Penelitian 202
Tabel 4 Tanggapan Responden Terhadap Ada Tidaknya Benturan
Kebijakan di Tiap Tingkatan Kewenangan 243
Tabel 5 Perbandingan Dana BOS Tahun 2008 dan 2009 253
Tabel 6 Tanggapan Responden Terhadap Efektivitas Pelaksanaan
Program Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan 255
Tabel 7 Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Operasional
Desentralisasi Pendidikan di Daerah 260
Tabel 8 Tipologi Kewenangan-kewenangan Pendidikan yang dapat
Didesentralisasikan. 262
Tabel 9 Perbandingan Anggaran Sektor Pendidikan Dalam APBD
Propinsi Sulawesi Selatan 267
Tabel 10 Pos Bantuan Pendidikan Gratis Propinsi Sulawesi Selatan 271
Tabel 11 Tanggapan Responden Terhadap Sosialisasi Kurikulum
di Tingkat Kabupaten/Kota 281
Tabel 12 Tanggapan Responden Terhadap Sosialisasi Yang Dilakukan
Terkait Dengan Kebijakan Desentralisasi Pendidikan 309
ix
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1 Pembagian Urusan Pemerintahan 210
Diagram 2 Pola Pikir Rensta Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sulawesi Selatan 2003-2008 218
Diagram 3 Kerangka Pikir Perumusan Perencanaan Pendidikan 222
Diagram 4 Tahap Perencanaan Pendidikan 225
Diagram 5 Perbandingan Anggaran Sektor Pendidikan dengan Total APBD Propinsi Sulawesi Selatan 268
Diagram 6 Lembaga konstituen (stakrholder) dan kebijakan pendidiklan Tahap Perencanaan Pendidikan 325
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Rabbul Alamin, atas rahmat, inayah dan taufiqNya sehingga penyusunan Disetasi ini dapat diselesaikan, salam dan taslim tak lupa pula penulis sampaikan kepada Nabiyullah Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin.
Penelitian yang berjudul “ Aspek Hukum Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah di Bidang Penyelenggaraan Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah, berusaha Mengungkap dan menjelaskan pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah dalam bidang penyelenggaraan pendidikan berikut esensi kewenangan yang dimiliki masing-masing daerah; 2). Mengungkap dan menjelaskan implementasi kewenangan yang dimiliki masing-masing daerah berdasarkan Undang-Undang No, 32 Tahun 2004 dan UU No. 20 Tahun 2003, berikut sinerji kelembagaan ; 3). Mengungkap dan menjelaskan Partisipasi masyarakat dalam mendukung penyelenggaraan pendidikaan.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa disertasi ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga diharapkan masukan dan bimbingan lebih lanjut dari Promotor, Ko Pomotor dan Tim Penilai, olehnya itu pada kesempatan ini pula perkenankan penulis menghaturkan rasa terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof Dr. H.Aminuddin Ilmar, SH.MH, selaku Promotor. Bapak Prof. Dr. H.Syamsul Bachri, SH,MS, dan Prof.Dr.Achmad Ruslan, SH.MH masing-masing selaku Ko-Promotor, Bapak Prof.Dr. I Wayan Parsa, SH,MH selaku Penguji Ekternal, Bapak Prof Dr. H.Mas Bakar, SH,MH, Bapak Prof. Dr, H.M.Yunus Wahid, SH,MH dan Bapak Dr. H.M.Ansyori Ilyas, SH,MH masing-masing selaku Tim Penguji, yang dengan penuh kesabaran dan ketekunannya telah mengarahkan penulis dalam penulisan Disertasi ini.
2. Rektor Universitas Hasanuddin Bapak Prof.Dr.dr. Idrus Paturusi,SpB, SpBO beserta jajarannya, Direktur Program Pascasarjana Unhas, Bapak Prof,Dr.dr Razak Taha beserta jajarannya, KPS S3 Ilmu Hukum PPS Unhas, Ibu Prof.Dr.Hj.Badriyah Rifai, SH dan Bapak Prof.Dr.H.Syamsul Bachri, SH.MS selaku Dekan Fakltas Hukum beserta para Pembantu Dekan Fakultas Hukum Unhas, dan Dosen S3 Ilmu Hukum PPS Unhas atas segala dukungan, arahan, ilmu dan sumbangsinya.
3. Bapak Dr.H.Syahrul Yasin Limpo, SH,Msi, MH, Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan beserta jajarannya yang telah memberikan dorongan moril dan bantuan ,materil sehingga penulis selalu terpacu untuk menyelesaikan studi.
4. Bapak Ir.H.Agus Arifin Nu’mang, MS. Wakil Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan yang telah banyak memberikan dorongan baik pada saat beliau masih menjabat Ketua DPRD Propinsi Sulawesi Selatan sampai saat ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.
5. Bapak H.Moh.Roem, SH, Msi Ketua DPRD Propinsi SULAWESI Selatan bersama segenap anggota DPRD Propinsi Sulawesi Selatan masa bakti 2004-2009 yang banyak memberikan motivasi dan kelonggaran waktu sehingga penulis dapat mengikuti studi tanpa mengabaikan tugas pokok di legislatif selama penulis masih aktif.
6. Bapak Walikota Makassar, Walokota Pare-Pare, Bupati Gowa, Bupati Pangkep, dan Bupati Sinjai yang banyak memberikan dukungan selama penelitian Disertasi ini berlangsung
7. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, dan para Kepala Dinas di Lokasi penelitian (Makassar,Pare-Pare, Gowa, Pangkep dan Sinjai) yang banyak mendukung terselenggaranya penelitian disertasi ini.
8. Bapak Rektor Unismuh Makassar, para Pembantu Rektor beserta jajarannya, Dekan Fakultas Sospol Unismuh Makassar beserta para dosen juga banyak memberikan motivasi dalam penyelesaian studi ini.
9. Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Sulsel, Pimpinan Aisyiyah Wilayah Sulsel, Ketua-ketua Ortom Muhammadiyah Propinsi Sulawesi Selatan yang ikut memberikan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.
10. Segenap Pimpinan Wilayah Partai Amanat Nasional Sulsel, rekan-rekan seperjuangan yang ikut berkontribusi dalam penyelesaian studi juga saya menghaturkan terima kasih.
11. Pimpinan KONI Provinsi Sulawesi Selatan beserta jajarannya,Ketua Pengda IPSI Sulsel beserta jajarannya,, Pimpinan Wilayah V Tapak Suci Putra Muhammadiyah Sulawesi Selatan beserta Dewan Pendekar yang banyak mendorong penulis sehingga dapat menyelesaikan studi.
12. Rekan-rekan mahasiswa Program Doktor PPS Ilmu Hukum Fak.Hukum Unhas yang telah memberikan dorongan, motivasi dan bantuannya baik moril maupun materil kepada penulis.
13. Rekan-rekan Advokat dan Praktisi Hukum juga banyak berkontribusi dan medorong penulis dalam menyelesaikan studi.
14. Kepada sahabatku H,Mahmud Nuhung, SE, M.E.I, Ismail Rasulong, SE, Drs.M.Yahya Mustafa, M.Si, Iriyanto Sulaiman, SE, MM, dan Drs.HM.Husni Yunus M,PdI yang banyak membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian.
15. Isteriku tercinta, Hj. Nurhaedah Samaluddin, SH, beserta anak-anakku tersayang, Hj. Ellyda Nurfajri Ramli, S.Kg. H.Achmad Muchlas Ramli S.Ked dan H.Muhammad Fachri Ramli yang dengan penuh pengertian, kesabaran dan ketabahan, merelakan waktu dan kasih sayang untuknya tersita oleh aktivitas penulis dalam proses penyelesaian studi ini
16. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua tercinta ibunda Hj, St.Aisyah Dg Ti’no, dan Ayahanda H.Haba Dg.Pabali atas segala kasih, asuhan dan darma beliau kepada penulis..Selain itu penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Kakanda Chaeruddin Haba, Dr,Hj.Maryam Haba, M.Kes, Dra.Habiba Haba, Ir. St.Hajerah Haba, Dra. St. Aminah Haba dan Dra. Ummy Kalsum Haba yang ikut memberikan dukungan dalam penyelesaian studi ini.
Sebagaimana layaknya karya buatan manusia, tentu Disertasi ini memiliki berbagai kekurangan yang masih perlu disempurnakan. Untuk itu diharapkan masukan dan kritikan dan saran membangun dari para pembaca dan ahlinya senantiasa dinantikan. Kepada Allah swt, penulis panjatkan do’a semoga berkenan menerima hasil karya ini sebagai amal ibadah kepadaNya dan semoga pula Disertasi ini bermanfaat bagi mereka yang membacanya.
Makassar, 11 Maret 2010
Muhammad Ramli Haba
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi dalam berbagai bidang di Indonesia pada penghujung
abad ke 20 M., telah membawa perubahan mendasar dan fundamental
pada semua sektor kehidupan termasuk dalam penyelenggaraan
pendidikan yang bertumpu pada dua paradigma baru yaitu otonomisasi
dan demokratisasi. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu
kewenangan pemerintah pusat yang didesentralisasikan bersama
sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya, seperti
kehutanan, pertanian, koperasi dan pariwisata.
Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih
berkualitas merupakan mandat yang harus dilaksanakan bangsa
Indonesia, sebagaimana termaktub pada alinea 4 Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD NRI 1945) yaitu “ ....untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Selanjutnya, pada Pasal 28 C
ayat (1) UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapatkan pendidikan dan mendapat manfaat dari ilmu pengetahuan
2
dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya
demi kesejahteraan umat manusia.
Amanat tersebut kemudian dipertegas dalam Pasal 31 ayat (1)
yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan”. Sejalan dengan itu Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur
dengan undang-undang.
Pendidikan bukan saja pilar terpenting dalam upaya
mencerdaskan bangsa , tetapi juga merupakan syarat mutlak bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Olehnya itu, semua warga
negara mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang baik, juga
mempunyai kewajiban untuk membangun pendidikan nasional yang
bermutu. Konsekuensinya diperlukan pemerataan pendidikan.
Salah satu perubahan mendasar dalam tatanan pemerintahan
adalah lahirnya UU No. 22 Tahun 1999, yang kemudian diganti dengan
UU No. 32 Tahun 2004. Reformasi pendidikan secara spesifik ditandai
pula dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 sebagai
pengganti UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Kedua undang-undang tersebut membawa prespektif baru
dalam konteks perbaikan sistem pendidikan sebagai urusan publik
dengan mengurangi otoritas pemerintah, baik dalam kebijakan
3
kurikulum, manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan
institusi pendidikan itu sendiri.
Terkait hal tersebut, Dede Rosyada (2007:11) menyebutkan
bahwa “arah reformasi pendidikan di awal abad ke-21 ini adalah
demokratisasi dalam pengembangan stakeholder dan pengelolaan
pendidikan yang didukung oleh komunitasnya sebagai kurikulum dan
program pembelajaran, serta kontributor dalam penyelenggaraan
pendidikan tersebut”.
Namun demikian, paradigma perbaikan sektor pendidikan, tidak
cukup hanya dengan regulasi soal kurikulum, penyelenggaraan,
pengelolaan, pembelajaran dan perbaikan sektor sumber daya manusia
(SDM) guru. Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, yang mengatur profesi guru dan dosen, kualifikasi
minimal seseorang bisa diangkat menjadi guru atau dosen, hak dan
kewajiban guru dan dosen, serta tugas-tugas teknik guru dan dosen,
semuanya merupakan perangkat sistem yang diharapkan memberikan
jaminan bahwa hasil pendidikan di Indonesia akan memiliki kualitas
outcome yang baik dan mampu berkompetisi dengan SDM negara lain.
Untuk terlaksananya UU No. 20 Tahun 2003, Presiden mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) yang memuat kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum negara kesatuan republik
Indonesia.
4
Reformasi dalam bidang pendidikan merupakan reposisi dan
bahkan rekonstruksi pendidikan. Asyumardi Azra (2006:xvii)
menyatakan, “secara garis besar pencapaian pendidikan nasional
masih jauh dari harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara
kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki
banyak kelemahan mendasar”.
Pasal 31 ayat (4) UUD NRI 1945, secara jelas menyatakan
bahwa “pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi
(constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Kewajiban konstitusi
tersebut dipertegas kembali dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Kemauan politik (political will) pemerintah dalam
mengimplementasikan UU tentang Pemerintahan Daerah ditunjukkan
dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah No, 38/2007 mengurangi sentralisasi
kekuasaan yang berlebihan di masa lampau, dan untuk menghindari
dampak dari pengaturan yang baru ini, maka berbagai pihak perlu
5
dilibatkan dalam perumusan kebijakan operasional otonomi daerah,
khususnya dalam pengelolaan pendidikan, yang meliputi aspek-aspek
kelembagaan, kurikulum, sumber daya manusia, pembiayaan, dan
sarana prasarana.
Masalah kewenangan daerah diuraikan dalam Bab III UU No. 32
tahun 2004. Ada 9 pasal (Pasal 10 s/d 18). Pasal 10 ayat (1)
menyebutkan “Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan
Pemerintah”. Ayat (2) menegaskan “Dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasar asas otonomi dan urusan pembantuan. Ayat
(3), urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional; dan agama, Pasal 11 dan Pasal 12 terkait urusan
pemerintahan, selanjutnya pada Pasal 13 ayat (1) menguraikan urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi yang
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: (a) perencanaan
dan pengendalian pembangunan, (b) perencanaan,pemanfaatan dan
pengawasan tata ruang, (c) penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat, (d) penyediaan sarana dan prasarana umum,
6
(e) penanganan bidang kesehatan, (f) penyelenggaraan pendidikan dan
alokasi sumber daya manusia potensial, (g) penanggulangan masalah
sosial, (h) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota,
(i) fasilitas pengembangan koperasi,usaha kecil dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota, (j) pengendalian lingkungan hidup; (k)
pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (l) pelayanan
kependudukan dan catatan sipil; (m) pelayanan administrasi umum
pemerintahan; (n) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk
lintas kabupaten/kota; (o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan (p) urusan
wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya apa yang menjadi urusan wajib dan menjadi
kewenangan pemerintahan daerah provinsi, itu pula yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota tercermin
dalam Pasal 14.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah
selanjutnya dibentuk Perangkat Daerah sebagaimana termaktub dalam
Pasal 120 yang terdiri dari Sekretaris Daerah, Sekretaris DPRD, Dinas
Daerah dan Lembaga Teknis Daerah.
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana
secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti
dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada
daerah, dengan mengacu kepada Undang-undang tentang
7
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, dimana besarannya disesuaikan dan diselaraskan dengan
pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Semua sumber keuangan melekat pada setiap urusan pemerintahan
yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Selain itu, daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber
keuangan antara lain berupa: kepastian tersedianya pendanaan dari
pemerintah sesuai dengan urusan yang diserahkan; kewenangan
memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak
untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang
berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; Hak untuk mengelola
kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pembiayaan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara terdapat pengaturan tentang pengawasan di bidang
pengelolaan keuangan, yaitu kekuasaan pengelolaan keuangan negara
adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, dan kekuasaan
pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan
kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah
untuk mengelola keuangan daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah
yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan
pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa gubernur/bupati/walikota
bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian
dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dengan demikian pengaturan
8
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan
menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah.
Masuknya pendidikan sebagai salah satu bidang yang
didesentralisasikan pengelolaannya memberikan makna bahwa
pemerintah pusat memiliki keinginan yang kuat untuk mendelegasikan
sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah, khususnya
dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional. Di samping itu,
bagi setiap daerah, regulasi ini menuntut peran maksimal dalam
memikirkan, merencanakan, dan mengelola sektor pendidikan secara
mandiri dan profesional.
Kondisi pendidikan di Indonesia memang menghadapi dua
masalah besar sekaligus, yakni persoalan internal dan eksternal.
Secara internal sedang dilakukan berbagai penataan dan restrukturisasi
strategi pengembangan yang lebih cepat, akurat dan akseleratif,
sementara secara eksternal, berbagai tantangan dan peluang justru
menunggu peningkatan tersebut agar lebih kompetitif.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa sentralisasi pengelolaan
pendidikan nasional selama Indonesia merdeka ternyata telah
menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai negara yang jauh
tertinggal dibanding dengan negara-negara lain di dunia. United
National Development Program (UNDP) pada tahun 2005 melansir
bahwa, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada
tingkat 112 dari 173 negara, jauh di bawah Malaysia (peringkat 55),
9
Thailand (peringkat 70), Filipina (peringkat 77), Cina (peringkat 96), dan
Vietnam (peringkat 109). Dan pada tahun 2009 UNDP melansir kembali
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada pada peringkat 111
dari 182 negara dengan skor 6,3. (http://www.setneg.go.id/index)
Kenyataan tersebut mendorong lahirnya semangat baru dan visi yang
lebih demokratis dan lebih desentralistis dalam pengelolaan bidang
pendidikan, sehingga dapat mengembangkan potensi peserta didik
sesuai dengan potensi dirinya, potensi lingkungan terdekatnya, dan
potensi yang lebih luas.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas
mengusung semangat demokratisasi, desentralisasi dan globalisasi,
terdapat sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, dalam konteks ini kebijakan
penyelenggaraan pendidikan dapat mensinergikan kepentingan
nasional dan kepentingan lokal (daerah) sehingga kualitas pendidikan
yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta didik.
Dalam Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2003 disebutkan “bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing,
membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Selanjutnya
pada Pasal 49 ayat (1) menyebutkan ”dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
10
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapan dan Belanja
Daerah (APBD). Pasal 49 ayat (4), Dana pendidikan dari Pemerintah
kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 tersebut, begitu banyak pasal-
pasal yang mengatur hak dan kewajiban pemerintah maupun
pemerintah daerah, sehingga diharapkan nantinya pemerintah daerah
bersama kelompok masyarakat ikut berperan dalam pelaksanaan
otonomi pendidikan mengingat jenis kompetensi masing-masing
daerah berbeda satu sama lain, dalam Pasal 50 ayat (5) UU No. 20
Tahun 2003 menegaskan bahwa “Pemerintah kabupaten/kota
mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.”
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, khususnya dalam penjelasan umum disebutkan “Pendidikan
nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua
warga negara Indnesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas
sehingga mampu dan produktif menjawab tantangan zaman yang selalu
berubah.
Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan :“ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa , bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
11
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
Paradigma baru pendidikan sebagai out come based
mengharuskan setiap tetesan dana, tenaga, dan waktu yang
dikeluarkan harus dipertanggungjawabkan secara terukur. Diskursus
paradigma pendidikan antara investment based versus out come
based membawa implikasi imperatif terhadap penataan manajemen
pendidikan. Manajemen perlu ditata secara demokratis, kreatif, dan
menguntungkan bersama.
Fungsi pendidikan perlu ditata ulang tidak hanya sekedar
menjalankan tugas rutin mengajar. Lebih dari itu, menurut hemat
penulis yakni mewujudkan manusia terpelajar yang memiliki keahlian
berkualitas tinggi.
Demikian pula peran legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
juga terlihat dalam proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
bersama eksekutif dalam hal ini Pemeritah Provinsi maupun
Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dalam kaitan dengan kebijakan pendidikan di tingkat daerah,
DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota memberikan kontribusi
dan arah bagi pelaksanaan pendidikan di daerah. baik berupa
dukungan anggaran pendidikan yang dialokasikan dalam APBD setiap
tahun, maupun kebijakan lain di sektor pendidikan. Misalnya seberapa
besar dana yang dialokasikan, apakah telah sesuai dengan amanah
12
Undang-Undang Dasar NRI 1945, peruntukannya seperti apa, seberapa
persen dana pendidikan terserap pada sekolah-sekolah negeri,
seberapa besar dana pendidikan yang terserap pada sekolah-sekolah
swasta.
Fenomena dunia pendidikan Indonesia memang menyiratkan
banyak masalah yang perlu mendapat pengaturan dan kebijakan. Tajuk
rencana Harian Kompas pada Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei
2005 mengingatkan kita untuk segera membangun pendidikan nasonal.
Disampaikan dalam tajuk itu keprihatinan dan kebanggaan, juga
peringatan :
Persoalan pendidikan di negeri membuat merasa prihatin…. Indeks pembangunan manusia Indonesia begitu rendah. Negara ini tertinggal dari negara lain…. Penghargaan terhadap mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan sangatlah rendah. Seorang profesor yang mencoba mendidik calon pemimpin bangsa hanya diberikan gaji Rp. 2,4 juta per bulan. Padahal pejabat, apalagi direktur badan usaha milik negara, bisa dibayar sampai ratusan juta rupiah ….
Namun demikian, di sisi lain, kita masih melihat satu-satu putra-putri yang menunjukkan prestasi dan karya besar dan itu tidak kalah dari putra-putri negara lain…..
Tidaklah keliru apabila ada yang mengatakan bahwa yang kita hadapi sebenarnya bukanlah menurunnya kualitas manusia Indonesia. Yang terjadi adalah sistem dan lingkungan yang tidak menunjang bagi manusia-manusia Indonesia itu untuk bisa berkembang secara maksimal. Budaya bangsa kita memang tidak kondusif untuk maju. Sifat iri hati, dengki, penuh syak wasangka, intrik, melekat begitu kuat bagi bangsa ini. Keberhasilan seseorang bukannya disyukuri dan dikagumi, justru menjadi bahan pergunjingan dan menimbulkan iri hati….
Tidak ada kata terlambat untuk mempersiapkan menusia-manusia berkualitas itu. Kita masih mempunyai waktu untuk mengejar ketertinggalan, karena kita bukan hanya kemampuan, tetapi potensi-potensi manusia yang memang mempunyai potensi untuk maju ……. Penataan kembali prinsip-prinsip dasar pendidikan sudah waktunya dipikirkan kembali. Terlalu lama sudah perhatian kita tertarik pada hal-hal yang praktis sehingga melupakan sesuatu yang fundamental dan berkaitan dengan masa depan bangsa ini …..
13
Apa yang dilansir Harian Kompas dalam Tajuk Rencana
sebagaimana penulis kemukakan diatas, merupakan salah satu
persoalan dalam dunia pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Darmanto (2004:15) bahwa gagalnya sistem pendidikan na�sional
dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya, ter�lihat dari
despotisme moral masyarakatnya. Praktek-praktek korupsi, kolusi,
pemerasan dan aksi clepto lainnya, lazim dilakoni oleh para pejabat
negara, yang pada dasarnya mereka menge�nyam pendidikan lebih
tinggi.Untuk Tahun 1999 saja, Darmato (2004:16) mengutip hasil survei
interna�sional The Political and Economic Risk Consultancy (PERC),
menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup di
kawasan Asia. Dalam laporan surveinya yang ditunjukkan dengan skala
0 (nol) hingga 10, di mana nilai nol menggambar�kan situasi paling ideal,
Singapura mencatat angka rata-rata 1,55 untuk korupsi dan 2,73 untuk
kronisme. Hongkong masing-�masing mencatat angka 4,56 dan 3,68.
Sementara Jepang menca�tat angka masing-masing 4,25 dan 4. Di sisi
lain, Indonesia menca�tat skor paling buruk, yakni 9,91 untuk korupsi
dan 9,09 untuk kronisme.
Human Developmen Report (HDR) Tahun 2003 Versi UNDP
dalam Joko Susilo (2007:66) ”memasuki abad 21 sumber daya manusia
kita masih kurang kompetitif dibandingkan dengan Negara-negara di
Asia Teng�gara, peringkat Human Development Index (HDI) atau
14
kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urut 112. Urutan
tersebut berada jauh di bawah Filipina (85), Thailand (74), Malaysia
(58), Brunai Darussalam (31), Korea Selatan (30), dan Singapura (28).
Keadaan ini masih diperparah dengan biaya pendidikan yang semakin
mahal”.
Sebagai perbandingan Human Development Report (HDR)
Tahun 2009 versi UNDP sebagaimana termuat dalam
http://www.setneg.go.id/index indeks pembangunan manusia di
Indonesia, indeks HDI mengalami kenaikan dari 0.729 menjadi 0.734,
namun tetap berada pada peringkat ke 111 dan berada dalam kategori
“Menengah” seperti tahun sebelumnya. Kenaikan indeks tersebut
disebabkan oleh kenaikan indikator PDB per kapita (dari US$ 3,532
menjadi US$ 3,712) dan usia harapan hidup (dari 70,1 menjadi 70,5
tahun), sedangkan tingkat kemampuan baca-tulis orang dewasa dan
rasio pendaftaran bersekolah tetap sama (yaitu 90% dan 68,2%).
Perkembangan indeks pembangunan manusia di Indonesia dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1
15
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (HDI) Versi UNDP
Dari tabel di atas tampak bahwa pendapatan per kapita di
Indonesia setiap tahunnya telah semakin meningkat. Bahkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap positif di saat sejumlah
besar negara mengalami kontraksi akibat krisis ekonomi global tahun
2008 (sebesar 4%, yang merupakan angka pertumbuhan tertinggi
ketiga setelah China dan India) berpotensi meningkatkan peringkat HDI
dalam laporan tahun mendatang.
Untuk meningkatkan indikator pendidikan, Pemerintah telah
meningkatkan alokasi anggaran pendidikan hingga mencapai 20% dari
APBN sesuai amanat konstitusi. Begitu pula sejumlah Pemimpin
Daerah (baik Gubernur, Walikota dan Bupati) telah memprioritaskan
dan melaksanakan program pendidikan dan kesehatan yang murah
(bahkan gratis).
Dalam bidang kesehatan, Pemerintah telah berusaha
meningkatkan pelayanan kesehatan dengan mengembangkan program
16
jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas). Selain program
kesehatan yang bersifat kuratif, pengembangan program yang bersifat
preventif perlu diberdayakan, agar masyarakat semakin memahami
pola hidup sehat yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat.
Keberpihakan dan keperdulian dalam bidang pendidikan dan
kesehatan ini perlu semakin diperluas secara merata ke seluruh wilayah
Indonesia, agar pencapaian peningkatan indeks pembangunan
manusia di Indonesia dapat lebih baik dibandingkan pencapaian
negara-negara lainnya.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Otonomi Daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 mengisyaratkan mengenai kemungkinan-
kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih
kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di
dalamnya , berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan
bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut
adanya perubahan pengelolaan pedidikan dari yang bersifat sentralistik
kepada yang lebih lebih bersifat desentralistik.
Sejalan dengan itu, Tilaar (2002:20) mengemukakan bahwa
desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan, Menurutnya
ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan.
Ketiga hal tersebut adalah : (a) membangun masyarakat demokratis; (b)
17
pengembangan social capacity; dan (c) peningkatan daya saing
bangsa. Ketiga hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk dijadikan
alasan mengapa desentralisasi pendidikan harus dilakukan oleh bangsa
Indonesia.
Komitmen menerapkan desentralisasi pendidikan dengan tiga
pendekatan sebagaimana dikemukakan Tilaar tersebut dapat dijadikan
acuan, namun pada sisi lain perlu pula diperhatikan karakteristik dan
kemampuan daerah. Lebih jauh Sam M.Chan (2005:2) mengemukakan,
“kalau mau jujur dengan diri sendiri, sebenarnya masih banyak
pemerintah daerah di Indonesia ini yang tidak atau belum siap untuk
menerima berbagai kewenangan, termasuk menjalankan kewenangan
di bidang pendidikan. Alasan yang sering terdengar yang digunakan
oleh daerah tersebut, di antaranya (a) sumber daya manusia (SDM)
mereka belum memadai; (b) sarana dan prasarana mereka belum
tersedia; (c) anggaran pendapatan asli daerah (PAD) mereka sangat
rendah; (d) secara psikologis, mental mereka terhadap sebuah
perubahan belum siap, mereka juga gamang atau takut terhadap upaya
perubahan”.
Sejak kemerdekaan Bangsa Indonesia tahun 1945 kebijakan di
bidang pendidikan selalu berubah sejalan dengan perubahan kabinet,
sehingga berimplikasi terhadap kualitas/mutu karena terkesan
kebijakan bersifat trial and error. Hal ini terjadi karena setiap kebijakan
di bidang pendidikan berorientasi pada kepentingan rezim
18
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, mendelegasikan otoritas pendidikan pada daerah
dan mendorong otonomisasi di tingkat sekolah, pelibatan masyarakat
dalam pengembangan kurikuler, serta pengembangan sekolah lainnya.
Namun, pembaharuan tersebut belum mampu menjawab kompleksitas
problema yang ada.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang semula diharapkan
akan meningkatkan mutu pendidikan, kenyataannya tidak demikian.
Berbagai persoalan justru muncul sejak diberlakukannya kurikulum
baru. Kurikulum 2004 menyisakan banyak persoalan tentang
ketidakpastian dalam pelaksanaan sehingga tidak berjalan optimal.
KBK meliputi sepuluh mata pelajaran, pengalaman
belajar/umum atau program belajar dan perancanaan program belajar,
sedangkan Kompetensi adalah suatu pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan atau kapabilitas yang dimiliki seseorang yang telah
menjadi bagian dari dirinya sehingga mewarnai prilaku kognitifnya,
efektif dan psikomotoriknya.
KBK bukan hanya sekadar agar siswa memahami materi
pelajaran untuk mengembankan kemampuan intelektualnya saja, akan
tetapi bagaimana pengetahuan yang dipahaminya itu dapat mewarnai
kognitifnya , prilaku yang ditampilkan dan keahliannya dalam
menerapkannya.
19
Selain KBK seperti yang penulis kemukakan diatas, pemerintah
masih terlalu mencampuri wewenang sekolah. Sebagai contoh, Ujian
Akhir Nasional (UAN) yang diterapkan tahun 2006, dan tahun 2007
kemudian berlanjut Ujian Nasional di tahun 2008 yang masih
sentra�listik degan standar nilai dan soal ujian ditentukan oleh
pemerin�tah jelas bertentangan dengan yang seharusnya dilakukan oleh
pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dalam KBK digunakan
sistem penilaian authentic assessment yang bertujuan untuk menilai
seluruh unsur kemampuan siswa dari aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Selain itu, konsep tentang sekolah demokrasi selalu
mengutamakan stakeholder dalam pengembangan kualitas pendidikan.
Perbaikan kurikulum dengan melibatkan masyarakat sebagai salah satu
elemen belum sepenuhnya tepat sasaran. Selama ini pelibatan
masyarakat hanya dalam persoalan finansial dan infrastruktur. Idealnya,
masyarakat juga berperan dalam peren�canaan, pengawasan, dan
evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah.
Susilo (2007:17), mengemukakan bahwa “pemahaman yang
sepenggal tentang kebijakan pendidikan justru menimbulkan wacana
bahwa otonomi pendidikan yang pada gilirannya memunculkan
20
komersialisasi dan kapitalisme di dunia pendidikan”.
Selain itu, dana BOS sebagai bagian dari Program Kompensasi
Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) tidak
seharusnya diklaim sebagai upaya untuk meratakan hak memperoleh
pendidikan. Tanpa PKPS BBM pun rakyat berhak mendapatkan
pendidikan dan penga�jaran yang layak sebagaimana diamanatkan
dalam UUD NRI 1945.
Penyaluran dana BOS dilandasi oleh tiga asumsi dasar.
Pertama, fenomena mahalnya buku pel�ajaran di sekolah yang
memberatkan siswa. Kedua, keberadaan komite sekolah yang selama
ini dipertanyakan netralitasnya membuat fungsi kontrolnya menjadi
lemah. Akibatnya, banyak kebijakan komite sekolah yang mendukung
keinginan manajemen sekolah tanpa melihat kemampuan orang tua
siswa terkait masalah financial. Ketiga, sikap kepala sekolah yang
sering memanfaatkan situasi dengan berlindung di balik komite sekolah
membuat manajemen sekolah semakin amburadul dan tidak kondusif.
Kondisi pendidikan di Indonesia secara kuantitatif mengalami
kemajuan. Berbagai usaha pemerintah dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional sebagai perpanjangan tangan pelaksanaan
kebijakan negara baik pada tingkat ide maupun konsep. UU Sisdiknas,
otonomi pendidikan, alokasi 20% dari APBN, APBD untuk pendidikan,
kemudian berkaitan dengan manajemen persekolahan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS), dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
21
merupakan langkah maju yang harus segera dikonkritkan. Selanjutnya
semangat reformasi harus dijalankan sehingga mampu mewarnai dan
mewujudkan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik,
terwujudkan pendidikan yang berkualitas berlandaskan budaya bangsa.
Pendidikan hendaknya ditekankan untuk terwujudnya peradaban
bangsa, yang mempunyai identitas dan jati diri.
Supriyoko (2004:33) mengemukakan peran pendidikan, ilmu dan
teknologi terhadap peradaban, yaitu sebagai berikut :
1. Pendidikan sangat menentukan kecakapan masyarakat dibidang
keilmuan dan teknologi.
2. Ilmu dan teknologi menentukan perubahan sosial dan
perkembangan budaya masyarakat.
3. Perubahan sosial dan perkembangan budaya masyarakat sangat
menentukan peradaban suatu bangsa.
4. Secara tidak langsung pendidikan sangat menentukan peradaban
suatu bangsa.
Pemahaman yang sama juga dikemukakan Djohar (2003:55)
”dalam membangun Sumber daya manusia kita tidak cukup
menggunakan wawasan fisik saja tetapi dibutuhkan wawasan
rohaniyah, diantaranya :
1. Pendidikan harus mampu membangun watak dan moral manusia.
2. Pendidikan harus memiliki manfaat transformatif
3. Pendidikan harus mempu menekan tumbuhnya kerakusan
22
4. Pendidikan harus mampu merasakan penderitaan orang lain
(empati)
5. Pendidikan harus menumbuhkan kemanfaatan dirinya.”
Pendidikan hendaknya ditekankan untuk membangun manusia
dan masyarakat Indonesia yang beradab, yang mempunyai identitas,
berdasarkan budaya bangsa , Pendidikan harus bertolak dari
pengembangan manusia Indonesia yang berbudaya dan
berperadaban, merdeka, bertaqwa, bermoral dan berakhlak,
berpengetahuan dan berketerampilan, inovatif dan kompetitif sehingga
dapat berkarya secara profesional dalam kehidupan global.
Beberapa tahun terakhir, berbagai persoalan pendidikan yang
sering kita jumpai dan dilansir media massa, antara lain :
Fenomena mahalnya harga buku. Mahalnya harga buku
disebab�kan oleh berbagai faktor yaitu jalur distribusi yang panjang,
pajak yang tinggi serta kebocoran (pemalsuan) lainnya yang dialami
oleh penerbit buku lokal. Harga buku yang mahal juga disebab�kan
karena para penerbit harus menanggung pajak import kertas, dan rabat
35-40% untuk distributor, belum lagi fee (komisi) untuk sekolah yang
juga kisarannya mencapai 30-35%.
Biaya pengadaan buku di sekolah selama ini menjadi beban
orangtua siswa setiap menjelang tahun ajaran baru. Apa lagi dengan
kurikulum yang selalu berubah-ubah, siswa terpaksa harus mengganti
buku ajar dengan yang baru walaupun sebe�narnya buku ajar yang baru
23
isinya hampir sama dengan buku lama, hanya halaman judulnya yang
diubah dengan tampilan yang lebih bagus. Pemerintah memang telah
berupaya meringankan beban orangtua siswa SD-SMP dari biaya
pendidikan melalui pengadaan buku gratis dalam bentuk bantuan
operasional sekolah (BOS). Namun, pengadaan buku gratis tersebut
diperkirakan belum bisa efektif karena hanya untuk satu mata pelajaran.
Padahal setiap tahunnya orangtua siswa harus membeli buku untuk 8�-
10 mata pelajaran (Kompas, 13 Juni 2006). Negara tetangga kita
seperti: Singapura, Malaysia, dan Thailand, sudah sejak lama
memberikan fasilitas buku gratis sampai jenjang SMA (Kedaulatan
Rakyat, 18 April 2006). Hal tersebut masih ditunjang dengan fasilitas
perpustakaan yang amat sangat memadai, bahkan electronic library
yang canggih.
Fenomena lainnya adalah, pengadaan dan penyebaran guru
yang belum merata. Kekurangan guru adalah masalah yang klasik di
dunia pen�didikan Indonesia. Depdiknas mencatat kekurangan guru di
Tanah Air pada tahun 2003 mencapai 427.903 orang. Peme�rintah telah
mengatasi kekurangan guru dengan mengangkat guru bantu sebanyak
190.714 orang. Namun tenaga guru bantu tersebut masih jauh dari
jumlah yang dibutuhkan, kekurangannya masih lebih dari 50%
(Kompas, 17 December 2003).
Menurut data Direktorat tenaga kependidikan pada tahun 2005,
jumlah kekurangan tenaga guru di Indonesia sebanyak 218.838.
24
Kekurangan guru yang cukup besar tersebut akan menghambat
peningkatan kualitas pendidikan karena guru merupakan faktor penentu
tinggi rendahnya kualitas pendidikan. Selain itu, pengadaan guru
mengalami ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pengangkatan,
contohnya: pada tahun 1999/2000, mestinya dibutuhkan guru sebanyak
13.000 tetapi pemerintah hanya meluluskan 25% dari permintaan.
Persentase itu nyaris sama untuk setiap tahun. Kendala memenuhi
permintaan itu semata-mata karena ketiadaan anggaran pemerintah
untuk menambah jumlah guru negeri (Kompas 7 Februari 2001).
Kekurangan guru tentunya akan mengakibatkan terhambatnya
proses belajar mengajar, bahkan tidak jarang seorang guru mengajar
pada bidang yang tidak sesuai dengan kemampuan akademiknya.
Tentunya kejadian tersebut secara tidak langsung memacu proses
pembodohan siswa. Dalam pengamatan penulis, kebijakan penye�baran
guru belum sesuai dengan kebutuhan tenaga pengajar di beberapa
sekolah. Salah satu kasus terjadi di salah satu sekolah di daerah ini;
sekolah mengajukan permohonan kepada Depdiknas, kemudian
Depdiknas melan�jutkan permohonan tersebut ke Pemda karena Pemda
yang mengatur distribusi ketenagakerjaan di daerah tersebut. Pemda
menugaskan dua orang guru matematika untuk mengajar di sekolah
tersebut, padahal sekolah mengajukan permohonan untuk
mendapatkan guru bahasa Inggris karena guru bahasa Inggris yang
hanya satu orang cuti hamil, sedangkan guru matematika yang juga
25
hanya satu orang masih sanggup untuk mengajar siswa di sekolah
tersebut yang hanya berjumlah 5 kelas.
Ketiga Fenomena nilai standarisasi kelulusan siswa, setiap
tahunnya pemerintah menaikkan nilai strandarisasi kelulusan siswa.
Kebijakan pemerintah tersebut dilandasi "trend" semangat baru tentang
kualitas pendidikan. Berbagai pandangan yang pro dan kontra
diutarakan oleh masyarakat seiring meningkatnya nilai standarisasi
kelulusan siswa. Sebagian masyarakat menyambut baik kebijakan
tersebut karena dianggap akan meningkatkan mutu pendidikan, dan
sebagian lagi menolak karena dianggap mempersulit siswa dan
tujuannya sebagai peningkat mutu pendi�dikan malah sebaliknya akan
memerosotkan mutu pendidikan.
Pada tahun 2004, peningkatan angka kelulusan dari 3,01
menjadi 4,01 menimbulkan kekhawatiran siswa yang bakal ti�dak lulus
akan mencapai 40 persen. Kekhawatiran ini tidak ter�bukti karena
Depdiknas melakukan konversi nilai UAN de�ngan cara mengkatrol nilai
kurang dan pengurangan nilai ba�gus, sehingga angka ketidaklulusan
bisa ditekan serendah mung�kin. Dengan menekan angka ketidaklulusan
ini, Depdiknas ingin menunjukkan kecemasan masyarakat tidak
terbukti. Namun demikian, tidak disadari tindakan ini justru bisa memicu
kecemasan masyarakat atas kompetensi dan integritas para pembuat
kebijakan di bidang pendidikan (Kompas, 15 juni 2004).
26
Keempat, fenomena tentang keberadaan sekolah swasta yang
saat ini terkesan semakin terpinggirkan, padahal beban dan tanggung
jawab antara sekolah negeri dan sekolah swasta dalam mencerdaskan
anak bangsa tidak ada beda�nya, semuanya sama. Mungkin saja
pemerintah terpengaruh dengan “dongeng bawang merah dan bawang
putih” sehingga pemerintah memberi perlakuan yang berbeda pada
sekolah swasta.
Menurut Kartono (2002:44), ”pejabat Depdiknas meng�anggap
sekolah swasta sebagai pesaing sekolah negeri yang ha�rus dilibas”.
Pendapat Kartono tersebut didukung dengan ada�nya kebijakan-
kebijakan yang merugikan dan tidak mendukung keberadaan sekolah
swasta. Dalam hal pemberian subsidi, sekolah negeri diperbolehkan
memungut iuran BP3 tanpa batas padahal honor guru sudah banyak
menjadi tanggungan pemerintah. Selain itu, sekolah negeri
mendapatkan dana rutin dari pemerintah, mendapatkan bantuan berupa
buku yang diperoleh dari dana APBD (Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah) yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitasnya,
sedangkan sekolah swasta memperoleh bantuan dari pemerin�tah
dalam jumlah yang sangat minim. Akibatnya, sekolah swasta harus
bersusah payah mencari dana dan mengolah dana yang tergolong
rendah yang hanya mengandalkan pendapatan dari iuran siswa untuk
biaya opera�sional, sekaligus untuk meningkatkan mutu, membayar guru
dan lain-lain. Padahal sekolah swasta dituntut untuk bisa berkua�litas
27
setara dengan sekolah negeri.
Bentuk diskriminasi lainnya adalah kebijakan pemerintah pada
saat pelaksanaan penerimaan siswa baru (PSB) dengan sistem on line.
Dinas Pendidikan hanya melibatkan sekolah-sekolah besar yang
bermodal (the have), padahal seharusnya sistem on line bisa dinikmati
oleh semua sekolah dengan cara sharing dana (Kedaulatan Rakyat, 20
April 2006). Dampak dari kebijakan tersebut, kursi di sekolah swasta
banyak yang kosong. Ditambah lagi adanya isu penggo�longan sekolah
negeri berdasarkan banyaknya kelas yaitu tingkat A, B, dan C. Bagi
sekolah negeri yang memiliki 5 kelas setiap tingkatan kelas termasuk
golongan B dan dicap sebagai sekolah yang bagus. Sedangkan
sekolah negeri golongan C memiliki ruang kelas kurang dari 5 setiap
tingkatan kelasnya. Dan golongan A lebih dari 5 kelas. Tentunya setiap
sekolah ingin menjadi yang terbaik sehingga mereka berlomba-lomba
menambah ruang kelas, dan logikanya banyak siswa yang tertampung
di sekolah negeri. Bila benar adanya isu ini maka sekolah swasta akan
keku�rangan siswa dan eksistensinya akan terancam gulung tikar.
Bentuk diskriminasi lainnya menurut Kartono, (2002:45).
Sekolah swasta diperbolehkan membuka pendaftaran se�telah SMA-
SMA unggulan dan negeri selesai mengadakan pe�nyaringan. Secara
terbuka Kedaulatan Rakyat melansir “Sekarang ini dunia pendidikan
terbalik, rakyat disuruh membiayai pendidikan anak-anak orang kaya
yang sekolah di negeri, sementara anak�-anak mereka yang miskin tidak
28
bisa sekolah karena tidak mampu menanggung biaya di sekolah swasta
(Kedaulatan Rakyat, 26 Juli 2006).
Fenomena terkait masalah pendidikan sebagaimana penulis
kemukakan di atas merupakan sebagian dari fenomena yang
melingkupi dunia pendidikan di Indonesia. Salah satu hal yang perlu
dicermati adalah pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
9 Tahun yang dicanangkan pada tahun 1989. Program ini mewajib�kan
kepada seluruh anak berusia 7-15 tahun untuk memperoleh
kesempatan pendidikan sampai setingkat SMP. Tentunya pendidikan
tersebut tidak gratis, banyak sekali yang harus dibayar oleh orang tua
siswa seperti uang pendaftaran, seragam sekolah, seragam olahraga,
buku dan alat tulis, SPP, transportasi, uang saku, kursus ekstra
kurikuler, dan biaya lain-lain. Jika pemerintah konsisten membebaskan
biaya pendidikan untuk program wajib belajar 9 tahun, pertanyaan
dasarnya adalah cukupkah dana anggaran pendidikan yang dijanjikan
oleh pemerintah sebesar 20 persen dari APBN?.
Dalam konteks ini, Surya (2004:18) menegaskan bahwa pendidikan
tidak mungkin murah apalagi gratis. Menurut perkiraan Depdiknas,
untuk terwujudnya pendidikan bermutu, satuan biaya per tahun per
siswa ialah Rp 13.446,5 untuk SD, Rp 27.436,5 untuk SMP, Rp
35.522,69 untuk SMA dan sekira 40 juta untuk SMK. Dengan demikian
jelas bahwa biaya pendidikan itu sangat besar atau tidak mungkin
murah apalagi gratis terutama bagi kalangan tidak mampu.
29
Dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, tersirat dengan
jelas bahwa salah satu tujuan nasional yang dirumuskan oleh para
pendiri negeri ini adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa". Makna
fundamental yang terkandung dalam pesan tersebut ialah bahwa
kekuatan dan kemajuan suatu bangsa terletak dalam kualitas sumber
daya manusianya. Kata kunci pengembangan sumber daya manusia
ialah "pendidikan" bagi seluruh warga negara yang berlangsung
sepanjang hayat sejak dari dalam keluarga, di sekolah, dan di dalam
kehidupan secara keseluruhan.
Pasal 12 (1) huruf c No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa
”setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak,
"mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya".
Demikian pula Pasal 40 ayat (1) Undang Undang No. 20 Tahun 2003
menegaskan :
(1). Pendidikan dan tenaga kependidikan berhak memperoleh :
a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
b. Penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerjanya;c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan
tugas;d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak
atas hasil kekayaan intelektual; dane. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana dan
fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugasnya.
Selanjutnya dalam Pasal 46 ayat (1) UU No.20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa, "Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat".
30
Terkait alokasi dana pendidikandiatur lebih lanjut dalam Pasal 49 ayat (1) dinyatakan bahwa, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Permanasari (Kompas, 03
Mei 2005) yang menginginkan pendidikan gratis untuk pendidikan dasar
9 tahun. Sudah lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984,
pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat
pengalaman negara industri baru (new emerging industrialised
countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa
memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang
memadai untuk mendukung pembangunan. Terlebih lagi,
pembangunan masyarakat demokratis men�syaratkan manusia
Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara
lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat
berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu
pengetahuan. Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari
mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun
hingga sembilan tahun, masih belum jelas apakah Indonesia
melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal
education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di
semua tempat.
Pada kesempatan lain Sutjipto, Rektor Universitas Negeri
Jakarta menegaskan ”persoalan pendidikan saat ini memang sangatlah
31
kompleks, dalam sebuah laporan hasil penelitian menyebutkan kasus-
kasus yang menyebabkan pendidikan nasional terpuruk di antaranya
adalah : (1) Krisis nilai yang melanda peserta didik sehingga mereka
mudah sekali untuk tawuran; (2) Kualitas pendidikan cenderung
merosot, hal itu ditandai dengan nilai Ebtanas yang menurun; (3) Angka
drop-out yang cukup tinggi; (4) Ketidak-jujuran orang yang terlibat
dalam pendidikan mulai dari peserta didik yang nyontek dan senang
tawuran, guru atau dosen plagiator sampai dengan personalia di
Depdiknas yang korup”
Selain itu, Toshiko Kinosita (Kompas 24 Mei 2002)
mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat
lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi.
Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan
pendidikan sebagai prioritas terpenting, karena masyarakat Indonesia
mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya
berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak
pernah berfikir panjang.
Dody Nandika (2007:5) mengemukakan bahwa sampai hari ini
tingkat pendidikan penduduk relatif masih rendah, lebih lanjut
dikemukakan, sampai tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk
berusia 15 tahun keatas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi
penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan sekolah
menengah pertama (SMP) ke atas masih sekitar 36,2 persen.
32
Sementara angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih
sebesar 10,12 persen (Susenas) Kondisi tersebut belum memadai
untuk menghadapi persaingan global dan belum mencukupi pula
sebagai landasan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan
(knowledge based economy)
Untuk konteks Sulawesi Selatan dapat dikemukakan kondisi
pendidikan di Sulawesi Selatan yang jumlah penduduknya sekitar 7 juta
jiwa dengan luas wilayah 45.574,48 km2, saat ini memiliki penduduk
usia sekolah pada kelompok umur 7 – 12 tahun sebanyak 968.040
orang, kelompok umur 13 – 15 tahun sebanyak 485.702 orang, dan
kelompok umur 16 – 18 tahun sebanyak 443.523 orang. Dari jumlah
tersebut, yang terserap oleh sekolah pada jenjang SD/MI sebanyak
1.060.096 orang, SLTP/MTs sebanyak 361.600, SLTA/MA sebanyak
329.245 orang, Paket A sebanyak 3.964 orang, Paket B sebanyak
9.088 orang dan Paket C sebanyak 756 orang. (sumber Diknas Provinsi
Sulsel). Data-data ini menggambarkan perlunya penataan manajemen
penyelenggaraan pendidikan di Sulawesi Selatan dengan melibatkan
seluruh unsur di dalamnya.
Kondisi pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan juga tidak
terlepas dari adanya praktek-praktek yang menyimpang dan cenderung
menjadi suatu pembenaran. Harian Fajar edisi Senin, 16 Juli 2007,
melansir adanya praktek-praktek yang dilakukan sekolah dengan
“Menjual Nama Komite dan Koperasi untuk Pungutan”. Koperasi
33
sekolah sering menjadi tameng untuk menjual perlengkapan sekolah
seperti sepatu, seragam, buku bacaan dan perlengkapan lainnya.
Pasalnya pihak sekolah selalu menampik tidak memungut biaya masuk
sekolah. Begitupun dengan biaya perlengkapan sekolah bagi siswa
baru, pihak sekolah selalu berargumen bahwa tidak ada pemaksaan
bagi siswa untuk membeli, tapi setiap siswa telah disuguhi daftar
perlengkapan sekolah untuk dibeli di koperasi.
Fakta lapangan seperti diberitakan Harian Fajar pada
pendaftaran ulang siswa, seperti SMAN 8, SMAN 11, SMPN 1, SMPN
24, SMPN 33 menerapkan strategi yang hampir sama. Tak ada lagi
istilah pembayaran masuk sekolah. Yang ada pembayaran
perlengkapan siswa yang dikelola oleh koperasi sekolah meskipun
setiap sekolah mengatakan tidak memaksakan setiap siswa untuk tidak
membelinya. Sebanyak 321 siswa dinyatakan lulus dari 1400 pendaftar
di SMAN 11 Makassar. SMAN 11 melalui wakil kepala sekolahnya
menyatakan, pembayaran masuk sekolah ditentukan oleh komite
sekolah, sementara pembayaran perlengkapan siswa baru di SMAN 11
sebesar Rp. 95 ribu yang meliputi lambang Osis, topi dan uang
pesantren kilat tiga hari.
Sementara di SMPN 33 Makassar, biaya perlengkapan siswa
sebesar Rp. 450 ribu yang meliputi baju seragam, buku bacaan, baju
olahraga yang juga diperoleh melalui badan koperasi sekolah. Hal itu
juga terjadi di SMAN 8 Makassar, hampir semua siswa yang lulus
34
sebanyak 225 orang membayar sebesar Rp. 835 ribu untuk
perlengkapan sekolah seperti baju olahraga, buku paket bacaan 6
buah, dan sepatu. Bukan itu saja ujar siswa yang lulus, melalui
wawancara dengan komite sekolah, orang tua siswa diminta untuk
memilih sumbangan untuk uang pembangunan sekolah setiap siswa
baru. Komite Sekolah SMAN 8 memutuskan tiga jenis besaran
sumbangan; pertama Rp. 1 juta, kedua Rp. 900 ribu, ketiga Rp. 800
ribu.
Kalau dihitung secara matematis, 225 orang dikalikan dengan
pembayaran perlengkapan sekolah sebesar Rp. 835 ribu, maka
koperasi dan sekolah akan mendapat pemasukan Rp. 187.875.000,-.
Belum lagi pembayaran sumbangan pembangunan yang dikelola
komite sekolah. Bila dihitung minimal 225 siswa menyumbang Rp. 800
ribu, maka setidaknya komite sekolah akan mengelola dana sebesar
Rp. 180 juta.
Fajar edisi Selasa 17 Juli 2007, kembali melansir dengan judul
berita PSB Gelombang Kedua Terindikasi “Dimainkan” Penerimaan
Siswa Baru (PSB) di sejumlah sekolah mulai “dibisniskan” dan tidak lagi
dilakukan secara transparan. Beberapa sekolah yang tidak mencukupi
kuota pada tahap pertama mencoba “dimainkan” dengan orang tua
siswa agar bisa mendapat kursi.
Padahal, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo,
menegaskan, akan menegur kepala sekolah yang menerapkan
35
pungutan tinggi kepada calon siswa. Sayang, menteri me�ngaku, tidak
berwenang menjatuhkan sanksi. Wewenang itu berada pada
pemerintah daerah di kabupaten/kota, yang ternyata belum
menerapkan aturan dengan tegas.
Kasus yang mengemuka pada pelaksanaan Ujian Nasional
tahun 2008, adalah kebocoran soal ujian nasional dan bisnis kunci
jawaban yang melibatkan dua Kepala Sekolah swasta di Makassar.
Persoalan pendidikan sebagaimana penulis kemukakan di atas,
hampir dialami semua daerah di Indonesia termasuk di Sulawesi
Selatan, sehingga mendorong penulis untuk melakukan kajian terhadap
hal-hal yang melingkupi dunia pendidikan, khususnya dalam kaitan
Aspek Hukum Terhadap Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah Di
Bidang Penyelenggaraan Pendidikan Dalam Era Otonomi Daerah.
B. Permasalahan Penelitian
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) Pasal 1 disebutkan bahwa Pendidikan adalah
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara,
36
Disebutkan pula dalam pasal di atas bahwa Pendidikan
Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar
pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman.
Sejalan dengan itu, pelaksanaan otonomi pendidikan
memungkinkan daerah semakin leluasa untuk menentukan sistem
pendidikan yang akan diterapkan di daerahnya. Menyikapi realitas ini,
daerah tidak perlu terlalu berlebihan dengan mengesampingkan
program nasional, dalam arti bahwa sistem yang digunakan di daerah,
tetap mengacu pada program nasional yang tercermin dalam empat
strategi dasar pendidikan nasional yaitu pemerataan pendidikan,
peningkatan mutu, efisiensi, dan relevansi.
Permasalahan klasik di dunia pendidikan yang sampai saat ini
belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk
mengatasinya adalah:
a. Kurangnya Pemerataan kesempatan pendidikan, sebagian besar
masyarakat merasa hanya memperoleh kesempatan pendidikan
terbatas di tingkat sekolah dasar.
b. Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia
kerja, hal ini dapat dilihat dari jumlah angka pengangguran yang
semakin meningkat di Indonesia, yang kenyataanya tidak hanya
dipengaruhi oleh terbatasnya lapangan kerja, namun adanya
37
perbedaan yang cukup besar antara hasil pendidikan dan kebutuhan
kerja.
c. Rendahnya mutu pendidikan yang indikatornya dapat dilihat dari
tingkat prestasi siswa, semisal kemampuan membaca,
kemampuan pada pelajaran IPA dan Matematika. Studi The Third
International Mathematic and Science Study Repeat TIMSS-R pada
tahun 2004 menyebutkan bahwa diantara 38 negara prestasi siswa
SMP Indonesia berada pada urutan 32 untuk IPA dan 34 untuk
Matematika.
Ad. A. Pemerataan pendidikan, memerlukan langkah-langkah yang
mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pertama, pemerintah menanggung biaya minimum pendidikan
yang diperlukan anak usia sekolah/madrasah baik negeri maupun
swasta yang diberikan secara individual kepada siswa. Dana yang
diperoleh dari masyarakat dapat digunakan untuk membiayai kegiatan
sesuai dengan keinginan masyarakat setempat.
Kedua, optimalisasi sumber daya pendidikan yang sudah
tersedia antara lain melalui pelaksanaan double shift, pemberdayaan
SLTP terbuka dan pembukaan kelas jauh tanpa mengorbankan mutu
pendidikan dan tidak mengganggu kelangsungan hidup sekolah-
sekolah swasta di sekitarnya.
38
Ketiga, memberdayakan sekolah-sekolah melalui bantuan dan
subsidi dalam rangka peningkatan mutu pengelolaan dan pembelajaran
siswa dan optimalisasi daya tampung yang tersedia.
Keempat, melanjutkan pembangunan unit sekolah baru (USB)
dan ruang kelas baru (RKB) bagi daerah-daerah yang membutuhkan
dengan memperhatikan peta pendidikan di tiap-tiap daerah sehingga
tidak mengganggu keberadaan sekolah swasta.
Kelima, memberikan perhatian khusus bagi anak usia sekolah
dari keluarga miskin, masyarakat terpencil, masyarakat terisolasi, dan
daerah kumuh sehingga tidak ada alasan bagi anak usia sekolah untuk
tidak melanjutkan sekolah sesuai dengan jenjang usia.
Keenam, meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dan
pemerintah daerah untuk ikut serta menangani pengentasan wajib
belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Sejalan dengan itu, Sidi (2001:52) menegaskan bahwa mutu
pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian
pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan
itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang
dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal
(minimum basic skill), menerapkan konsep belajar tuntas dan
membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri serta
menerapkan secara berkesinambungan kurikulum berbasis kompetensi.
39
Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan kualifikasi,
kompetensi dan profesionalisme tenaga kependidikan yang sesuai
dengan kebutuhan melalui pendidikan dan pelatihan, melalui lembaga
pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), dan lembaga diklat
profesional.
Hal lain yang juga tidak dapat ditinggalkan adalah penetapan
standar kelengkapan dan kualitas sarana prasarana pendidikan yang
menjadi persyaratan bagi setiap lembaga pendidikan dasar dan
menengah, lembaga pendidikan tinggi, sehingga dapat melaksanakan
kegiatan belajar mengajar secara optimal. Di samping itu, pelaksanaan
program peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah sebagai upaya
pemberian otonomi pedagogis kepada guru dan kepala sekolah dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar, sehingga mereka dapat
melakukan yang terbaik, meningkatkan prestasi siswa, dan kinerja
sekolah serta dapat bertanggung jawab pada orang tua dan masyarakat
tentang kualitas pembelajaran dan hasil yang dicapai.
Pada tataran ini pula, penciptaan iklim dan suasana kompetitif
dan koperatif antar sekolah dalam memajukan dan meningkatkan
kualitas siswa dan sekolah sesuai dengan standar minimal yang
ditetapkan perlu diterapkan. Melalui ikhtiar ini, setiap sekolah akan
terpacu untuk meningkatkan kualitas pengelolaan dan penyelenggaraan
pembelajaran.
40
Ad. B. Peningkatan relevansi dan efisiensi pendidikan dapat dilakukan
melalui berbagai aspek seperti :
1. Melakukan penataan manajemen pendidikan. Penataan
manajemen pendidikan ini dapat dilaksanakan dengan
melakukan pembenahan kepemimpinan sekolah sebagai unsur
utama dalam manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis
sekolah sehingga sekolah dapat mandiri, kreatif, inovatif dalam
melaksanakan kegiatan pendidikan sesuai sumber daya
pendidikan yang ada dan sesuai dengan tantangan zaman
(Tilaar, 1992:101).
2. Selain itu, juga perlu dilakukan peningkatan profesionalisme
guru. Dengan upaya-upaya ini, proses belajar mengajar
diharapkan akan ikut terangkat. Artinya ada semacam perbaikan
terhadap proses belajar mengajar di sekolah.
Pemerintah maupun Pemerintah Daerah masih merupakan
pendukung utama terhadap berlangsungnya pelayanan pendidikan,
terutama lembaga pendidikan negeri, kebijakan pemerintah juga
mendorong partisipasi masyarakat dan keluarga dalam mendukung
pelaksanaan program-program pendidikan. Selain itu peran DPR RI
dan DPRD Provinsi dan Kabupaten /Kota ikut mengambil peran dalam
menentukan arah dan kebijakan Pendidikan Nasional maupun provinsi
menjadi salah satu institusi yang akan menjadi pokus dalam penelitian
ini.
41
Ketentuan Pasal 21 (1) UU No. 20 Tahun 2003 menyebutkan :
Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendidikan dan
dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu
dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan
program pendidikan yang diselenggarakannya. Selanjutnya dalam
penjelasan Pasal 21 (1) butir 1 UU No. 20 Tahun 2003 : Gelar
akademik yang dimaksud, antara lain, sarjana, magister, dan doktor .
Selanjutnya dalam Pasal 46 (1) UU No. 20 Tahun 2003
menyatakan bahwa “Pada dasarnya pendidikan merupakan tanggung
jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah, yang
berlaku dalam hal biaya penyelenggaraan pendidikan”.
Implementasi otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokratisasi, dan
penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi
dan keanekaragaman daerah, bukan untuk memindahkan masalah
pendidikan dari pusat ke daerah, baik di kabupaten dan kota maupun di
provinsi. Demikian pula otonomi (sistem dan pengelolaan) pendidikan
bertujuan untuk meningkatkan mutu dan relevansi, serta pemerataan
pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan memindahkan atau
memberikan masalah pendidikan dari pemerintah nasional ke
pemerintah daerah.
Menurut Tilaar (2005:31) Terdapat delapan grand narrative yang
sifatnya perenial dalam dunia pendidikan di Indonesia, yaitu (1)
42
kebijakan pendidikan, (2) masalah mengenai perkembangan anak
Indonesia, (3) guru, (4) relevansi pendidikan, (5) mutu pendidikan, (6)
pemerataan (education for all), (7) manajemen pendidikan, dan (8)
pembiayaan pendidikan.
Riant Nugroho (2009:9) Tantangan terbesar dalam
pembangunan Indonesia dalam rangka mencapai tujuan konstitusi yaitu
“mencerdaskan kehidupan bangsa adalah “bagaimana membangun
kebijakan pendidikan di daerah yang ungggul, di dalam tatanan di mana
Kebijakan Pendidikan dalam konteks otonomi daerah dikaitkan dengan
Kebijakan Publik Desentralisasi (UU No. 32/2004) dan Kebijakan
Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003)
Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
mengatur tentang urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah provinsi, dan urusan wajib yang menjadi
kewenangan urusan pemerintahan kabupaten/kota khususnya huruf f
terjabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
Tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 7 ayat (1)
Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) adalah
urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah
daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota , berkaitan
dengan pelayanan dasar. Pasal 7 ayat (2) Urusan wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi : a). Pendidikan; b). Kesehatan, c)
43
lingkungan hidup. D). Pekerjaan umum, e). Penataan ruang f).
Perencanaan pembangunan; g), perumahan h) kepemudaan dan
olahraga. Perhubungan; i) penanaman modal. J). Koperasi dan usaha
kecil dan menengah k). Kependudukan dan catatan sipil, l)
ketenagakerjaan m). Ketahanan pangan n). Pemberdayaan
perlindungan dan perlindungan anak; o). Keluarga berencana dan
keluarga sejahtera p). Perhubungan q). Komunikasi dan informatika, r).
Pertanahan; s). Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, t). Otonomi
daerah, pemerintahan umum, administrasi keuaangan daerah,
perangkat daerah, kepegawaian dan persandian; u). Pemberdayaan
masyarakat dan desa, v). Sosial, w). Kebudayaan x). Statistik, y).
Kearsipan; dan z). Perpustakaan.
Selain urusan wajib sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2)
terdapat pula urusan pilihan, dalam Pasal 7 (4), Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 menyatakan Urusan pilihan meliputi : a).
Kelautan dan perikanan; b), pertanian, c), kehutanan; d), energi dan
sumber daya mineral, e). pariwisata, f), industri, g), perdagangan; dan
h) ketransmigrasian.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Khususnya pembagian urusan pemerintahan Bidang Pendidikan
Pemerintah bertanggung jawab atas 6 (enam) hal, yang terjabarkan
44
dalam 6 sub bidang yang menjadi kewenangan Pemerintah,
Pemerintahan daerah provinsi dan Pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Sub bidang dimaksud adalah : (1) Kebijakan; (2)
Pembiayaan; (3) Kurikulum; (4) Sarana dan Prasarana; (5) Pendidik
dan Tenaga Kepedidikan; serta (6) Pengendalian Mutu Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 merinci lebih jauh,
tanggung jawab Pemerintah pusat meliputi :
1. Bertanggung jawab atas penetapan kebijakan nasional
pendidikan; perencanaan strategis pendidikan nasional;
pengembangan dan penetapan standar nasional pendidikan;
2. Penetapkan pedoman pembiayaan anak usia dini, pendidikan
dasar, menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal;
3. Penetapan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah;
4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pemenuhan strandar
nasional sarana dan prasarana pendidikan, melakukan
pengawasan pendayaan gunaan bantuan, serta penetapan
standar dan pengesahan kelayakan buku pelajaran;
5. Perencanaan kebutuhan dan pengadaan pendidik dan tenaga
kependidikan serta pemindahan pendidik dan tenaga
kependidikan PNS antar provinsi;
6. Penilaian hasil belajar, evaluasi, akreditasi dan penjaminan
mutu.
45
Kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah provinsi meliputi :
1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai
dengan kebijakan nasional; perencanaan strategis pendidikan
anak usia dini, dasar, menengah dan pendidikan nonformal;
2. Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf
internasional sesuai dengan kewenangannya;
3. Melakukan koordinasi dan suverpisi pengembangan kurikulum
tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah;
4. Melakukan pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional
sarana dan prasarana pendidikan menengah, pengawasan
penggunaan buku;
5. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan
untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya;
pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga
kependidikan; pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan
PNS antar kabupaten/kota.;
6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikaan nonformal.
Pemerintah Kabupaten/Kota, juga melaksanakan kewenangan
yang sama pada skala kabupaten/kota dan lebih bersifat operasional,
misalnya:
1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota
sesuai kebijakan nasional dan provinsi; demikian pula
46
perencanaan operasional pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, menengah dan nonformal sesuai dengan perencanaan
strategis tingkat provinsi dan nasional; pengelolaan dan
penyenggaraan pendidikan anak usia dini, dasar, menengah
dan nonformal, pemberian/pencabutan izin pendirian satuan
pendidikan dasar, penyelenggaraan dan atau pengelolaan
satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional;
2. Menyiapkan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan nonformal sesuai kewenangannya, termasuk
penyiapan pembiayaan penjaminan mutu;
3. Melakukan Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum
tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar, sosialisasi
kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan, pengawasan
pelaksanaan kurikulum;
4. Melakukan penghawasan terhadap pemenuhan standar nasional
sarana dan prasarana, pendayagunaan bantuan, dan
pengawasan penggunaan buku pelajaran;
5. Melakukan perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga
kependidikan, pengangkatan dan penempatan serta pemindahan
pendidik dan tenaga kependidikan PNS,
6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar,
menengah dan nonformal, melakukan koordinasi, fasilitasi,
47
monitoring dan evaluasi pelaksanaan ujian sekiolah pada lingkup
kabupaten/kota
Kewenangan tersebut menunjukan bahwa Pemerintah pusat
melaksanakan tugas ataupun kewenangannya pada skala makro,
Pemerintah provinsi pada perencanaan yang bersifat strategis, sedang
Pemerintah kabupaten/kota lebih pada kebijakan operasional.
Selain Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Di awal
Tahun 2010, Pemerintah kembali menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Sistem Pendidikan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010,
Pemeririntah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Daerah
Kabupaten membagi tanggung jawab pengelolaan pendidikan
sebagaimana tercermin dalam pasal 17 sampai dengan pasal 27 bagi
Pemerintah Provinsi, dan bagi Pemerintah Kabupaten/kota diatur dalam
pasal 28 sampai dengan pasal 38. Sedang pengelolaan pendidikan
oleh Penyelenggara Satuan Pendidikan yang didirikan Masyarakat
diatur lebih jauh dalam pasal 39 sampai dengan pasal 48.
Dalam ketentuan pasal 17 PP Nomor 17 Tahun 2010,
ditegaskan “Gubernur bertanggung jawab mengelola system pendidikan
nasional di daerahnya serta merumuskan dan menetapkan kebijakan
daerah bidang pendidikan sesuai kewenangannya” sedang Pasal 18
48
ayat (2) mengatur tentang penjabaran kebijakan pemerintah daerah
yang dituangkan dalam : a. rencana pembangunan jangka panjang
provinsi; b. rencana pembangunan jangka menengah provinsi;
c. rencana strategis pendidikan provinsi; d.rencana kerja pemerintah
provinsi; e. rencana kerja dan anggaran tahunan provinsi; f.
peraturan daerah di bidang pendidikan; dan g. peraturan gubernur di
bidang pendidikan.
PP Nomor 17 Tahun 2010 juga mengatur tentang penjaminan
mutu pendidikan melalui akreditasi di tingkat provinsi, hal tersebut
tercermin dalam pasal 23
(1) Pemerintah provinsi melakukan dan/atau memfasilitasi penjaminan
mutu pendidikan di daerahnya dengan berpedoman pada kebijakan
nasional pendidikan dan Standar Nasional Pendidikan.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pemerintah provinsi berkoordinasi dengan unit pelaksana teknis
Pemerintah yang melaksanakan tugas penjaminan mutu pendidikan.
(3) Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemerintah provinsi mengoordinasikan dan
memfasilitasi:
a. akreditasi program pendidikan;
b. akreditasi satuan pendidikan;
c. sertifikasi kompetensi peserta didik;
d. sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau
e. sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan.
49
Kebijakan yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota sebagaimana tercermin dalam pasal 28, 29 dan pasal
34 PP No. 17 Tahun 2010. Pasal 28 menegaskan “Bupati/walikota
bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di daerahnya
dan merumuskan serta menetapkan kebijakan daerah bidang
pendidikan sesuai kewenangannya.
Selanjutnya pasal 29 ayat (2) menyebutkan Kebijakan daerah
bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan
dalam: a. rencana pembangunan jangka panjang kabupaten/kota; b.
rencana pembangunan jangka menengah kabupaten/kota; c. rencana
strategis pendidikan kabupaten/kota; d. rencana kerja pemerintah
kabupaten/kota; e. rencana kerja dan anggaran tahunan
kabupaten/kota; f. peraturan daerah di bidang pendidikan; dan g.
peraturan bupati/walikota di bidang pendidikan.
Kehadiran PP Nomor 17 Tahun 2010 semakin mempertegas
keinginan Pemerintah untuk membenahi dunia pendidikan dewasa ini
yang masih jauh tertinggal dibanding Negara-negara Asean lainnya,
Nelson Pomalinggo (2006:27) menegaskan bawah sebagian
besar dari unsur-unsur yang mempunyai kaitan langsung dengan
peningkatan mutu pendidikan seperti guru, sarana belajar, proses
belajar, sinerji orang tua, sekolah, dan masyarakat, dan iklim serta
budaya belajar kini menjadi tanggung jawab semua unsur “stakrholder”
pendidikan di daerah.
50
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota perlu memilah dan memilih secara hati-hati berbagai
strategi pembangunan pendidikan yang selama ini telah dilakukan agar
kekeliruan kolektif pada masa lalu tidak diulangi oleh pemerintah
daerah pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, hanya strategi
pembangunan pendidikan yang menunjukkan pengaruh positif yang
perlu dilanjutkan.
Lebih lanjut Nelson Poalinggo (2006:30) Strategi pembangunan
pendidikan yang efektif mutlak diperlukan, yaitu strategi pembangunan
yang memberdayakan, memberikan kepercayaan yang lebih luas, dan
mengembalikan urusan pengelolaan pendidikan kepada sekolah. Peran
pemerintah lebih ditekankan pada pelayanan, agar proses pendidikan di
sekolah berjalan secara efektif dan efisien. Peran ini dapat dilakukan
oleh semua jenjang pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun
kabupaten/kota. Dalam konteks itulah, reformasi dalam pengelolaan
pendidikan mengarah pada terciptanya kondisi yang desentralistis baik
pada tatanan birokrasi maupun pengelolaan sekolah.
Berdasarkan pada uraian diatas, maka issu penelitian diduga
kuat bahwa pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang penyelenggaraan
pendidikan dalam era otonomi daerah belum optimal
C. Rumusan Masalah
1. Seberapa jauh optimalisasi pelaksaanaan Fungsi Pemerintah
Daerah di bidang penyelenggaraan pendidikan.
51
2. Seberapa jauh sinerjitas kewenangan antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota di bidang
penyelenggaraan pendidikan.
3. Seberapa jauh peran dan partisipasi masyarakat terhadap
perumusan kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan.
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengkaji sejauh mana kewenangan dan tanggung jawab
Pemerintah. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
kabupaten/kota di bidang penyelenggaraan Pendidikan.
2. Untuk mengkaji sejauh mana implemantasi kewenangan
pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
di bidang penyelenggaraan pendidikan.
3. Untuk mengetahui, mendalami, serta menganalisis bentuk
partisipasi masyarakat berupa hak dan kewajiban, pelibatan
masyarakat dalam penyusunan kebijakan dan sejauh mana
peran Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan.
E. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan teoritis; diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
dalam bidang ilmu hukum tata negara dan administrasi negara
dalam penataan sistem penyelenggaraan desentralisasi
pendidikan di Indonesia.
b. Kegunaan Praktis; diharapkan hasil penelitian ini sebagai
sumbangan pemikiran untuk dijadikan acuan dalam
52
pengembangan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di
daerah.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi peneliti
berikutnya yang merupakan suatu konsep yang dapat dilanjutkan
dalam penataan sistem penyelenggaraan desentralisasi
pendidikan.
d. Konsep yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang terlibat dalam
menentukan arah kebijakan sistem desentralisasi pendidikan
dimasa yang akan datang.
F. Orisinalitas Penelitian
Sepanjang pengetahuan dan sejauh pelacakan kepustakaan
disertasi maupun penelitian yang mengkaji permasalahan kedudukan
dan peran pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidilan di
era otonomi daerah dari perspektif sosio-yuridis, penulis menganggap
bahwa topik ini masih tergolong baru khususnya di daerah penelitian.
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa penelitian ini masih orisinil
adanya. Jika kemudian masalah ini pernah diteliti sebelumnya,
diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat memperkaya dan atau
dapat melengkapi hasil penelitian sebelumnya.
Sebagai perbandingan atas berbagai karya tulis ilmiah baik itu
tesis maupun disertasi, berikut penulis kemukakan hasil penelitian yang
membahas tentang otonomi daerah/pemerintahan daerah, sebagai
berikut :
53
Penelitian Disertasi A. Pangerang Moenta (1999) di
Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung, adalah penelitian
tentang prinsip permusyawaratan rakyat berdasarkan pasal 18 Undang-
Undang Dasar 1945 dan Implementasinya dalam sistem pemerintahan
di daerah. Penelitian ini dititikberatkan pada wujud dan prinsip-prinsip
desentralisasi pemerintahan dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Penelitian Disertasi Bagir Manan (1990) di Pascasarjana
Universitas Padjajaran Bandung, adalah penelitian tentang Hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah menurut asas desentralisasi
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Penelitian ini dititik beratkan
pada hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tidak menjamin (1) Terciptanya
hubungan harmonis antara pemerintah pusat dan daerah. (2) Asas-
asas desentralisasi daerah (PAD) yang terdiri dari pajak daerah,
Retribusi daerah dan usaha-usaha lain daerah yang sah berpengaruh
besar terhadap pelaksanaan otonomi di Daerah Tingkat II. (3) Daerah
Tingkat II kurang mampu menggali dan mengembangkan sumber-
sumber pembiayaan (keuangan) untuk pembangunan pemerintah
daerah Tingkat II.
Penelitian Disertasi Benyamin Hoessein (1993) di Pascasarjana
Universitas Indonesia Jakarta dengan judul “Berbagai faktor yang
mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II”. Penelitian ini
dititikberatkan pada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan/faktor-
54
faktor yang mempengaruhi pemerinah memilih menitikberatkan otonomi
daerah pada daerah Tingkat II.
Penelitian Desertasi H. Syaukani H.R. yang telah dibukukan
berjudul : “Akses dan Indikator Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang
Baik (Accses and Indicators to Good Local Governance)”, Lembaga
Kajian Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (LKHK-Otda),
Yogyakarta, 2003. Disertasi ini mengupas tentang pentingnya akses
dan indikator tata kelola pemerintahan daerah yang baik. Dalam
simpulannya, dikemukakan bahwa (1) pemerintahan yang baik
merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam bentuk
terbaik yang mencakup aspek kehidupan yang sangat luas, dimulai dari
politik, ekonomi dan sosial, dan terkait erat dengan fungsi eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, serta dengan melibatkan posisi dan peran sektor
dunia usaha, dan masyarakat. Pemerintahan yang baik tersebut
dilaksanakan dengan menerapkan prinsip/kriteria yang mencakup
participation, rule of law, transparancy, responsiviness, consensus,
orientation, equity, effectiviness, and accountability, strategic vision, dan
professionalism, yang diikuti dengan penerapan asas legalitas,
yurisdiksitas, diskresional, dan asas umum pemerintahan yang baik; (2)
organisasi Negara dan organisasi administrasi baik di tingkat pusat dan
daerah sebagai unsur dalam domain state, merupakan penyelenggara
kekuasaan Negara yang memiliki peran utama dalam mewujudkan
“good local governance”.
55
Penelitian Disertasi Sodjuangon Situmorang (2002) di
Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta dengan judul “Model
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi dan
kabupaten/Kota”. Penelitian ini dititikberatkan pada bagaimana mencari
landasan filosofis dan model pembagian urusan pemerintahan yang
ideal antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam era otonomi daerah saat
ini.
Meskipun hasil-hasil penelitian tersebut di atas menjadikan
masalah otonomi daerah sebagai objek kajian dalam konteks hukum
pemerintahan, namun terdapat perbedaan yang subtantif dari penelitian
penulis yang meneliti soal titik berat otonomi daerah dengan lebih
memfokuskan pada kewenangan pemerintah daerah terhadap
penyelenggaraan pendidikan. Pilihan titik berat penelitian pada aspek
hukum terhadap pelaksanaan fungsi pemerintah daerah di bidang
penyelenggaraan pendidikan didasarkan atas beberapa pertimbangan
antara lain, dalam pelaksanaan wewenang/kewenangan pemerintah,
pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan pendidikan masih
terdapat persepsi yang berbeda, khususnya dalam kaitan tanggung
jawab dan wewenang pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten kota, kemudian mempertanyakan kembali seberapa jauh
implementasi kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota disamping itu peran dan partisipasi masyarakat meliputi
56
hak dan kewajibannya, pelibatan masyarakat dalam perumusan
kebijakan dan sejauh mana peran serta komite sekolah dan dewan
pendidikan apakah ikut menunjang atau menghambat terwujudnya
penyelenggaraan pendidikan.
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka masalah ini menarik
untuk diteliti dan dikaji lebih mendalam lagi guna memberikan
sumbangan pemikiran dalam rangka turut andil mencarikan solusi atas
persoalan-persoalan penyelenggaraan pendidikan dalam era otonomi
daerah, khususnya menyangkut aspek hukum terhadap pelaksanaan
fungsi Pemerintah Daerah di bidang penyelenggaraan pendidikan
dalam era otonomi daerah.
57
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemerintahan Daerah Dalam Prespektif Negara Kesatuan Republik Indonesia
1. Landasan Teori
Untuk menemukan konsep dalam mengembangkan dan
membangun Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan
Pendidikan di Daerah, maka penelitian ini menggunakan pendekatan
teori konsep negara hukum sebagai Grand Theory serta didukung oleh
teori demokrasi, teori desentralisasi dan teori wewenang atau
kewenangan.
2. Konsep Negara Hukum
Beberapa kepustakaan mengungkapkan bahwa terdapat tiga
58
kemungkinan cara pendekatan tentang pengertian Negara, masing-
masing meliputi kekuasaan (power), kekuatan (force) dan kewenangan
(authority). Sebenarnya ketiga-tiganya adalah kekuasaan dan berkaitan
erat. D’ Entreves, dalam (Abdullah 2007:29) menyatakan bahwa
menurut teori hukum tentang negara, “kekuasaan negara” adalah
kekuasaan hukum, artinya dipersyaratkan dan dengan petunjuk hukum,
karenanya validitas kekuasaan hanya ditentukan oleh hukum, sesegera
hukum berakhir, maka berakhir pula kekuasaan yang ada pada Negara
hukum dan kekuasaan seakan menyatu.
Menurut sejarahnya, konsep negara hukum pertama kali
dikemukan oleh Plato, kemudian dikembangkan dan dipertegas kembali
oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Politea. Plato dengan
gamblang menyampaikan pesan moral, agar penguasa berlaku adil,
menjunjung tinggi nilai kesusilaan dan kebijaksanaan serta senantiasa
memperhatikan kepentingan rakyatnya. Plato juga memaparkan konsep
agar suatu negara dikelola dan dijalankan atas dasar hukum (rule of the
game), demi warga negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam buku
ketiga dari Plato yang berjudul Namoi, Plato lebih menekankan
konsepnya pada para penyelenggara Negara agar senantiasa diatur
dan dibatasi kewenangannya dengan hukum agar tidak bertindak
sekehendak hatinya.
Aristoteles dalam bukunya Politica, mengemukan gagasannya,
bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah/dikelola
59
di atas dasar suatu konstitusi sehingga di dalam negara tersebut
hukumlah yang berdaulat. Dalam perkembangannya kemudian, mulai
abad ke-19 dikenal dengan konsep negara hukum yakni suatu konsep
negara yang diidentifikasi sebagai konsep negara hukum Eropa
Kontinental (rechtstaat) dan konsep negara hukum Anglo Saxon (rule of
law).
Freidrich Julius Stahl dalam Ridwan, dan Nikmatul Huda, terpetik
dalam Hamzah, (2009: 17), menegaskan unsur-unsur Negara hukum
Eropa Kontinental (rechstaat) adalah: a) Adanya perlindungan hak-hak
azasi manusia; b) Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan
untuk menjamin hak-hak itu; c) Adanya pemerintahan berdasarkan
perundang-undangan; dan d) Adanya peradilan administrasi dalam
perselisihan.
Rosenthal dalam Bovens, (1987;54) menyatakan bahwa konsep
Negara hukum dapat dilihat dari a) Desentralisasi kekuasaan; b)
Primata dalam politik; c) Keterbukaan pemerintahan; dan d)
Pertimbangan yang cermat tentang kepentingan rakyat dalam setiap
keputusan pemerintah.
Konsep negara hukum (rule of law) dari A.V.Decey dalam
bukunya yang berjudul An Introduction To The Study of The Law of
The Constitution, unsur-unsurnya adalah a) Supremasi aturan-aturan
hukum (Supremacy of the law); b) Kedudukan yang sama dalam
menghadapi hukum (equality before the law); c) Terjaminnya hak-hak
60
manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.
Terkait konsep rule of law dan rechstaat, oleh Philipus M.
Hadjong (1987:760) menjelaskan, bahwa; “konsep rechstaat bertumpu
pada sistem hukum Eropa Kontinental yang disebut Civil Law System”.
Sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang
disebut Common Law System”
Konsep Negara Hukum juga dikemukakan oleh Berman, dalam
Boven, (1987;56), bahwa ;“The Rule under Law”, yaitu mengadakan
pengaturan dengan hukum atau menetapkan hukum secara teratur,
Rule Under Law, mengadakan pengaturan dan atau mengatur
kewenangan di bawah kewenangan hukum ; Rule of Law mencakup
saparation power, checks and balances, dan equality before the law”
Utrecht, E (1990:132) kemudian mengingatkan, bahwa :
“agar Negara hukum itu dapat terwujud sesuai tujuannya, maka
Negara hukum itu harus didasarkan pada : a). asas legaliteit, yaitu
semua tindakan alat-alat Negara harus didasarkan atas dan dibatasi
oleh peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuasaan
tertinggi dalam Negara, yaitu Undang-Undang Dasar yang terdiri atas
peraturan-peraturan hukum dan asas-asas hukum b). Asas
perlindungan kebebasan dan hak pokok manusia/semua orang yang
ada di wilayah Negara”.
Piet Thoenes , dalam La Ode Husen (2005:23) memberikan
definisi tentang welfare state, sebagai berikut :
61
“The welfare state is a form of society characterized by a system of democration government sponsored welfare placed on a new footing and offering a guarantee of collective social care to its citizent, concurrently with the maintenance of a capitalist system production”. (Suatu bentuk masyarakat ditandai dengan suatu sistem kesejahteraan yang demokratis dan ditunjang oleh pemerintah yang ditempatkan dalam landasan baru, memberikan suatu jaminan pelayanan sosial yang kolektif pada warga negaranya dengan mempertahankan secara sejalan beriringan suatu sistem produksi kapitalis).
Internasional Commission of Jurists dalam konferensinya di
Bangkok tahun 1965 telah memperluas konsep mengenai Rule of law,
Rule of law in the modem age. Disamping hak-hak politik, hak-hak
sosial dan ekonomi harus diakui dan dipelihara, dalam arti bahwa harus
dibentuk standar-standar dasar sosial dan ekonomi.
Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang
demokratis di bawah rule of law menurut Ni’matul Huda (2007:60) ialah:
1. perlindungan konstituonal, dalam arti bahwa konstitusi selain
menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara procedural
untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2. Badan
peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial
tribunal); 3. Pemilihan umum yang bebas; 4.Kebebasan untuk
menyatakan pendapat; 5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi
dan beroposisi; 6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education)
Hirsch Ballin dalam Hamzah (2009:22) mengemukakan
pandangannya tentang ciri-ciri Negara hukum, sebagai berikut : 1.
Penguasa harus terikat pada hukum; 2. Negara harus menghormati
hak-hak mengeyam kebebasan; 3. Setiap kebijakan pemerintah harus
62
berdasarkan undang-undang; 4. Mengupayakan terwujudnya keadilan
sosial; dan 5. Hukum harus jelas dan stabil.
Di samping itu, Reuters dalam Abdullah, (2007:31)
mengemukakan, bahwa konsep Negara hukum meliputi: 1) Pemisahan
Kekuasaan (separation of power); 2) Kebijakan Negara yang bersifat
strategis harus diputuskan dalam lembaga perwakilan rakyat (DPR).
Sementara menurut C.J.M. Schuyt dalam Abdullah (2007:31)
ciri-ciri negara hukum meliputi : 1). Menganut Asas legalitas 2)
perlindungan hukum bagi warga; 3) pemerintah harus tunduk pada
hukum; 4) adanya akuntabilitas publik.
Teori fungsi negara menurut Geelhoed, dalam Hamzah
(2009:22) menjelaskan bahwa : 1) fungsi membuat peraturan (de
regulande); 2) fungsi menyelenggarakan layanan publik (de
presterende); 3) fungsi mengendalikan aktifitas warga (de stuurende);
dan 4) fungsi menyelesaikan sengketa (de arbitrerende).
Jimly Asshiddiqie, dalam Hamzah (2009:23) mengemukakan,
bahwa ada dua belas prinsip pokok Negara hukum (rechtsstaat) yang
berlaku di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok tersebut
merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tergaknya suatu
negara hukum modern, meliputi :1) supremasi hukum (Supremacy of
Law); 2) persamaan dalam hukum (Equality before the law); 3) azas
legalitas (Due Process of Law); 4) pembatasan kekuasaan; 5) organ-
organ Eksekutif Independen; 6) peradilan bebas dan tidak memihak; 7)
63
peradilan tata usaha negara; 8) peradilan tata negara; 9) perlindungan
HAM; 10) bersifat demokratis (Democratische Rechtsstaat); dan 11)
berfungsi sebagai Sarana mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat).
Marbun dan Mahfud (2000;43) mengklasifikasikan negara
hukum ke dalam dua bentuk, yaitu: 1) Legal State (negara hukum yang
statis), yaitu negara yang bertindak sebagai wasit, penjaga malam atau
menjamin keamanan yang hanya bertindak apabila terdapat gangguan
keamanan; dan 2) Welfare state (Negara hukum kesejahteraan/
dinamis) yaitu negara hukum yang tidak semata-mata menjadi penjaga
malam tetapi juga menjadi penjamin kesejahteraan warga masyarakat.
Penegasan Indonesia sebagai negara hukum, yang selama ini
diatur di dalam Penjelasan UUD NRI 1945; dalam Perubahan UUD NRI
1945 telah diangkat kedalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3), yang
mengatur bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.
Konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan
perilaku alat Negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan
hukum. Sekaligus ketentuan ini mencegah terjadinya kesewenang-
wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat
Negara maupun penduduk.
Jimly Asshiddiqie, dalam Hamzah (2009:25), menjelaskan
bahwa dalam paham negara hukum yang demikian, harus diadakan
jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut
64
prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan
kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan
rakyat. Oleh sebab itu, prinsip Negara hukum hendaknya dibangun dan
dikembangkan prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat
(democratische reschtsaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan,
ditafsirkan dan ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip
demokrasi yang diatur dalam UUD (constitutional democracy) yang
diimbangi dengan penegasan bahwa Negara Indonesia adalah Negara
hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democrische
rechtsstaat).
Peneliti beranggapan bahwa adanya desentralisasi di dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dimaknai sebagai bagian
dari perwujudan Negara hukum, oleh karena dalam desentralisasi
secara substansial terdapat pembatasan kekuasaan terhadap
pemerintah pusat, berarti di dalam desentralisasi terdapat pembatasan
wewenang dan kewenangan terhadap pemerintah pusat.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti memandang bahwa Teori
Negara Hukum relevan ditarapkan dalam disertasi ini, disamping teori
demokrasi, hakikat desentralisasi, hakikat otonomi daerah dan teori
wewenang/kewenangan pemerintahan”.
3. Teori Demokrasi
Untuk mengkaji Negara hukum Indonesia yang demokratis
dalam hubungannya dengan Fungsi Pemerintah Daerah, merupakan
65
salah satu deskripsi adanya pemisahan kekuasaan dalam Negara
hukum, Untuk memperkuat kajian terhadap Teori Negara Hukum
tersebut di atas dalam hubungannya dengan kewenangan yang dimiliki
menurut UUD NRI 1945, bersentuhan langsung dengan prinsip
demokrasi. Oleh karena itu beralasan kiranya teori demokrasi
digunakan pula untuk melengkapi dan mendukung Teori Negara
Hukum, sebagai penuntun bagi suatu Negara yang menamakan diri
sebagai Negara hukum yang demokratis, walaupun harus disadari
bahwa tidak selamanya Negara hukum itu sudah pasti demokratis.
Gagasan atau konsep negara demokrasi adalah antitesa dari
konsep negara monarchi yang memiliki kekuasaan absolut. Sejarah
telah membuktikan bahwa lahirnya pemikiran negara demokrasi
dilatarbelakangi oleh suatu keadaan, di mana hak dan kebebasan
rakyat tidak terlindungi sebagai akibat kekuasaan penguasa otoriter
yang bersifat absolute. Soehino dalam Abdul Latif (2007:37), bahwa
pada abad ke V Sebelum Masehi (SM) di Athena (Yunani Kuno) telah
melaksanakan demokrasi, walaupun demokrasi belum lahir sebagai
konsep atau teori, dan praktek demokrasi tersebut baru dilaksanakan
dalam suatu Negara Kota (City State). Athena yang dikemudian hari
mendapat sebutan demokrasi langsung, kemudian berkembang pada
abad XVII dan abad XVIII, lahir menjadi demokrasi perwakilan dan
demokrasi modern dan mendapat makna sebagai suatu sistem, cara,
atau metode mengikutsertakan rakyat dalam pengambilan keputusan,
66
Ajaran trias politica ini yang justru menentukan lahirnya negara hukum
yang dikembangkan oleh Immanuel Kant dan Reusseau dengan
kedaulatan rakyat.
Demokrasi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri
dan dua kata yaitu, demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti
memerintah. Dengan demikian demokrasi secara terminologi berarti
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat atau istilah
Inggeris “the government of the people, by the people and for the
people” Bondan Gunawan, (2000:1), dalam Thalib, (2000:8) hal yang
sama pernah juga dikemukakan oleh George Washington pada awal-
awal kemerdekaan United State of America.
Hans Kelsen (1973:282) menjelaskan, bahwa:
"that all power should be exercised by one collegiate organ the members of which are elected by the people and which should be legally responsible to the people". (bahwa semua kekuasaan harus dilaksanakan oleh satu organ kolegal yang para anggotanya dipilih oleh rakyat dan secara hukum harus bertanggung jawab kepada rakyat).
Berkaitan dengan demokrasi komunis, Strong, (1966:13)
menyatakan, bahwa:
“in the communist constitutions such phrases as `People's Democracy; `People's Republic' and 'Democratic Republic' are variously used to describle the regime'.
Ditinjau dari perkembangan teori maupun praktik, demokrasi
terus berkembang, sehingga tepatlah apa yang dikemukakan oleh Bagir
Manan (1994:2) menyatakan bahwa, ”demokrasi merupakan suatu
67
fenomena yang tumbuh, bukan suatu penciptaan”. Oleh karena itu
praktik di setiap negara tidak selalu sama. Walaupun demikian menurut
Lyphar dalam Bagir Manan dan Magnar (1996:58) menyatakan bahwa
sebuah negara dapat dikatakan demokrasi apabila memenuhi unsur-
unsur: 1) Ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota
perkumpulan; 2) Ada kebebasan menyatakan pendapat; 3) Ada hak
untuk memberikan suara dalam pemungutan suara; 4) Ada kesempatan
untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan pemerintah atau Negara;
5) Ada hak bagi para aktivis politik berkampanye untuk memperoleh
dukungan atau suara; 6) Terdapat berbagai sumber informasi; 7) Ada
pemilihan yang babas dan jujur; 8) Semua lembaga yang bertugas
merumuskan kebijakan pemerintah harus tergantung pada keinginan
rakyat.
Sargent, dalam Thalib (2000:7) sebagaimana juga dikutip oleh
Abdul Latif (2007:39) menyatakan unsur yang harus dipenuhi negara
demokrasi adalah :
(1) Citizen invocvement in political decision making; (2) Some degre of egualityomong citizens; (3) Some degre of liberty or fred to or retained by citizens; (4) A System of refresentation’ (5) An electoral system mayority role.
Demikian juga Ranuwidjaya (1983:205) dalam Thalib yang
bertitik tolak pada pemikiran kedaulatan rakyat, menyatakan pengaruh
kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi dilembagakan melalui
kaidah hukum, yaitu : (1) Jaminan mengenai hak-hak asasi dan
kebebasan manusia, syarat dapat berfungsi kedaulatan rakyat; (2)
68
Penentuan dan pembatasan wewenang pejabat negara; (3) Sistem
pembagian tugas antara lembaga yang bersifat saling membatasi dan
mengimbangi (check and balances); (4) Lembaga perwakilan sebagai
penjelmaan kedaulatan rakyat dengan tugas perundang-undangan dan
mengendalikan badan eksekutif; (5) Pemilihan umum yang bebas dan
rahasia; (6) Sistem kepartaian yang menjamin kemerdekaan politik
rakyat; (7) Perlindungan dan jaminan bagi oposisi mereka sebagai
alternatif pelaksanaan kedaulatan rakyat; (8) Desentralisasi teoritik
kekuasaan negara untuk memperluas partisipasi rakyat dalam
pengelolaan negara; (9) Lembaga perwakilan rakyat yang bebas dari
kekuasaan badan eksekutif;
Demokrasi pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dengan rakyat
dan kedaulatan rakyat, Untuk itu C.F.Strong (1966:13) menyatakan,
bahwa:
"By democracy in this sense we therefore mean a system of government in which the majority of the grown members of a political community participate through a method of representation which secures that the govemment is ultimately responsible for its actions to that majority. In another words, the contemporary constitutional state must be based on a system of democratic representation which guarantees the sovereignty of the people".(Dalam pengertian ini demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota-anggota masyarakat berpartisipasi dalam politik melalui suatu metode perwakilan yang menjamin pemerintah bertanggungjawab atas tugas-tugasnya terhadap masyarakat. Dengan kata lain secara kontemporer negara konstitusional harus didasarkan pada suatu sistem demokrasi perwakilan yang dikenal dengan kedaulatan rakyat
69
Begitu pula dengan Deliar Noer, dalam Hamzah (2009:49)
bahwa “ Negara demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan
berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut
organisasi berarti suatu pengorganisasian Negara yang dilakukan oleh
rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di
tangan rakyat”.
Secara teoritis, kedaulatan rakyat sebagai asas dan ajaran
sudah cukup tua usianya, mulai dari zaman Monarkomaken melalui
pikiran ahli filsafat seperti, Buchanan, Althusius, sampai
berkembangnya hukum alam yang dimotori oleh filsuf terkemuka
seperti, JJ Rousseau telah mengembangkan teori Volonte General
(kemauan rakyat) sebagai kekuasaan tertinggi, pandangan Rousseau
tersebut terpetik dalam Soehino (1993:121) melihat ada dua
konsekuensinya, yaitu: 1. Adanya hak dari rakyat untuk menggantikan
atau menggeser penguasa. Ini behubungan dengan boleh tidaknya
rakyat itu berevolusi terhadap penguasa; 2.Adanya faham bahwa yang
berkuasa itu rakyat, atau paham kedaulatan rakyat. Rakyat di sini
bukan sebagai penjumlahan dari pada individu-individu, melainkan
rakyat sebagai suatu Gememschaft, yang sifatnya abstrak.
Dari berbagai pendapat di atas terkandung makna bahwa
rakyat sebagai unsur utama di dalam Negara sehingga baik dalam
tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan pemerintahan,
rakyat harus selalu berperan aktif dan penentu yang utama. Oleh
70
karena itu, paham kedaulatan rakyat merupakan sendi yang
fundamental dalam negara demokrasi. Begitu halnya di Republik
Indonesia menurut Jimly Asshidiqie dalam Hamzah (2009:50), bahwa :”
kedaulatan rakyat diatur di dalam UUD NRI 1945, kedaulatan rakyat
yang terkandung dalam UUD NRI 1945 adalah kombinasi antara yang
berkembang di Barat dan tradisi budaya Indonesia di masa lalu dan
demokrasi politik (Barat ) dan demokrasi ekonomi (Sosialis)
B,C.Smith (1985:2) menjelaskan, bahwa: `kebutuhan
desentralisasi merupakan hal yang universal.
The need for same form of decentralization appears to be universal. Even the smallest states have some kind of local government with some degree of autonomy' . (kebutuhan atas bentuk desentralisasi muncul menjadi universal, termasuk Negara-negara yang paling kecil memiliki jenis pemerintahan daerah dengan berbagai tingkat otonomi)
Menurut Harold Laski, (Encyclopedia of Social Science, Vol V,
In the art, Democratcy, 1957), bahwa :
"Not definition of democracy can adequately comprise the history which the concept connotes. To some it is a form, of government, to others a way of social life. Men have found its essence in the character of the electorate; the relation between government and the people, the absence of wide economic differences between citizens the refusal to recognize privileges bulit on the birth or wealth, race or creed". (Tidak ada definisi demokrasi yang memadai untuk dijadikan konsep dalam sejarah. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan, sekaligus sebagai pandangan hidup sosial, Esensinya dapat dikemukakan dalam karakter pemilih, hubungan pemerintah dengan rakyat, tidak adanya perbedaan warga Negara di dalam bidang ekonomi, menolak pengakuan terhadap hak-hak istimewa karena kelahiran, atau karena kekayaan, karena ras, suku atau kepercayaan)
71
K.Carr (1960:25-26) menyatakan, bahwa: "Democracy is not an
easy word to define”. (Demokrasi bukanlah kata yang mudah
didefinisikan). Pendapat tersebut diperkuat pula oleh Francois Venter
(2000:193) yang menyatakan bahwa
"everyone knows what democracy is, but nobody can define it to general satisfaction". (setiap orang tahu apa demokrasi, tetapi tidak seorangpun yang dapat mendefinisikannya untuk memuaskan masyarakat)
Begitu juga dengan Mac Gregor Burn (1964:19) melihat,
bahwa:
"democracy-like liberty, equality, and justice is hard to define precisely". Selain itu Dalys M.Hill (1974:23) mencoba mengartikan
demokrasi sebagai
“on the other hand, is concerned with the national political system based on citizen participation, majority rule, consultation and discussion and the responsibility of leaders to lead". (dengan kata lain demokrasi diartikan sebagai sistem politik yang didasarkan pada partisipasi warga Negara, peraturan mayoritas, konsultasi dan diskusi dan pertanggungjawaban pimpinan terhadap pemilih)
Henry B. Mayo, dalam Mahfud, (1993;19) berpendapat, bahwa:
"A democratic political system is one in which public politicies are made on majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom'.( sistem politik yang demokratis adalah sistem yang menunjukkan dimana kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik)
72
Sementara Haque dan Martin Harrop, (2001:16) berpendapat,
bahwa ditinjau dari asal katanya:
'the word it self comes from the Greek :demokratia ; meaning rule (kratos) by the people (demos). Thus democracy in its literal and riches sans refers not to the election of the rulers by the ruled but to the denial of any separation between the two'. (Demokrasi berasal dari kata Yunani “demokratia” yang atinya kekuasaan atau aturan (kratos) oleh rakyat (demos) jadi demokrasi dalam arti harfiah adalah banyak makna, yaitu tidak hanya pemilihan terhadap pimpinan oleh masyarakat tetapi penyangkalan pemisahan terhadap keduanya).
Wood dalam Barry, (2000:281) juga menyatakan, bahwa:
“democracy is derived form the Greek word Kratos, meaning power, or rule. Democary thus means 'rule by the demos' (the demos reffering to 'the people, although the Greeks originally used this to mean the poor or 'the many). (Demokrasi berasal dari kata Yunani “Kratos” yang artinya kekuasaan atau aturan. Selanjutnya “demos” mengandung arti rakyat, meskipun pada awalnya di zaman Yunani kata rakyat tersebut digunakan dalam pengertian ‘orang sedikit’ atau ‘orang banyak’).
Pengertian rakyat oleh Norman Barry (2000:281), adalah:
“In Greek time the demos was a section of the population (the poor and numerous) and all types of government were thought of as sectional government But in modem times purely sectional rule is frowned upon and democracy has come to mean rule by the whole people'. ( Di zaman Yunani rakyat adalah suatu bagian masyarakat (sedikit dan bannyak) dan semua jenis pemerintah telah dianggap sebagai bidang pemerintahan. Tetapi di zaman modern pemikiran yang demikian telah ditinggalkan sejak demokrasi diartikan sebagai kekuasaan oleh kerseluruhan orang-orang).
Pada Tahun 1864 saat perang sipil di Amerika memuncak,
Abraham Lincoln's dalam Andrew Heywood, (2002:67) menegaskan,
bahwa kata "rakyat" di dalam kaitan dengan "demokrasi" dikembangkan
73
menjadi suatu filosofi pemerintahan govemment of the people for the
people.
Andrew Heywood (2002:69) menyatakan bahwa :
“Even in Ancient Greece, often thought of as cradle of the democratic idea, democracy tended to be viewed in negative terms. Thinkers such as Plato and Aristotle, for example, viewed democracy as a system of rule by the masses at the expense of wisdom and property. Well into the nineteenth century, the term continued to have pejorative implications, suggesting a system of 'mob rule*. Now, however, we are all democrats. Liberals, conservative, socialist, communists, anarchies and even fascists are eager to proclaim the virtues of democracy and the demonstrate their own democratic credentials. Indeed, as the major ideological systems faltered and collapsed in the late twentieth century, the flame of democracy appeared to bum yet more strongly.
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Rod Hague dan
Martin Harrop, (2001:16) yang menyatakan bahwa
We live in an increasingly democratic world. Between 1975 and 1995 the number of democracies more than doubled; as a result, most people in the world now life under tolerably democratic rule. In its current upsurge, democracy has expanded beyond its core of West Europe and former colonies in North America, Australia and New Zealand. Democrac y now embraces South Europe (for example Spain), East Europe (for example Poland), Latin America (for example Argentina) more of Asia (for example Taiwan) and parts of Africa (for example South of Africa)'.(Kita hidup pada saat berkembangnya dunia demokrasi, antara tahun 1975 sampai tahun 1995 angkaa demokrasi meningkat dua kali lipat dari pada sebelumnya. Hasilnya hampir di seluruh dunia sekarang rakyat hidup di bawah aturan demokrasi. Kenaikan arus demokrasi tersebut meluas dari Eropa barat dan dimulai dari negara-negara jajahan di Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru. Demokrasi saat itu juga mencakup juga Eropa Selatan (contohnya Spanyol), Eropa Timur (contohnya Polandia), Amerika Latin (contohnya Argentina) juga Asia (contohnya Taiwan) dan sebagaian Afrika (contohnya Afrika Selatan)
74
Praktik demokrasi langsung digambarkan oleh Corry, (1957:72),
bahwa :
“The ancient democracies were direct democracies. Each citizen participated directly in makin laws, and could expect to come to public office from time to time by lot or relation".(Demokrasi pada waktu yang lampau adalah demokrasi langsung. Setiap warga negara berpartisipasi secara langsung dalam membuat Undang-undang dan mengharapkan di masa datang menjadi kebutuhan masyarakat dari waktu ke waktu dalam hubungannya satu sama lain)
Arus gelombang demokrasi dilukiskan oleh Huntington melalui
paparan Rod Hague dan Martin Harrop, (2001:20-23) ke dalam tiga
gelombang, yakni:
“First wave between 1828 and 1926 nearly 30 countries said that they were democracy including Argentina, Austria, Australia, Britain, Canada, France, Germany, the Nederland's, New Zealand, the Scandanavian and Unitaed States. Second Wave, began in the Second World and Continued until the 1960s (1943-1962) examples India, Israel, Japan, West Germany. Third wave finally began in 1974 and 1991 examples; Southern and Eastern Europe, Latin Amaerica Part as of Africa.(Gelombang pertama di mulai dari tahun 1828 sampai dengan tahun 1926 yang hampir 30 negara menyebut dirinya demokrasi termasuk Argentina, Austria, Australia, Inggeris, Kanada, Prancis, Jerman, Belanda, Selandia Baru, Skandinavia (Swedia) dan Amerika Serikat. Gelombang kedua. Dimulai dari perang dunia kedua berlanjut sampai pada tahun 1960-an (1943-1962) sebagai contoh; India, Jepang, Israel dan Jerman Barat, sedangkan untuk gelombang ketiga adalah dimulai dari tahun 1974 sampai tahun 1991 contohnya; Eropa Utara, Eropa Selatan, Amerika Latin dan sebagian Afrika)
Mengenai unsur dan syarat demokrasi terdapat banyak
pandangan, menurut A. Dahl di dalam (Arend Lijphart,1984:58) bahwa
suatu negara dapat disebut telah menjalankan demokrasi bila negara
tersebut telah menjalankan prinsip-prinsip :1. Freedom to form and join
75
organization (Ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota
perkumpulan); 2.Freedom of expression (Ada kebebasan menyatakan
pendapat) ; 3. The right to vote (Ada hal untuk memberikan suara
dalam pemungutan suara); 4. Eligibility to public office (Ada
kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan
pemerintahan) ; 5. The right of political leaders to compete for support
and votes (Ada hak bagi pemimpin politik berkampanye untuk
memperoleh dukungan atau suara) ; 6. Alternative sources of
information Terdapat beberapa sumber informasi); 7. Free and fair
elections (Adanya pemilihan yang jujur dan bebas); 8: Institutions for
making government politics depend on votes and other expressions of
preference. (Lembaga-lembaga yang membuat kebijakan tergantung
pada pemilih )
Sementara Sigmund Neumann dalam Disertasi Pangerang
Moenta (1999:59) membagi sistern demokrasi menjadi 6 (enam) unsur
pokok, yaitu: 1) Kedaulatan nasional di tangan rakyat; 2) Memilih
altematif dengan bebas; 3) Kepemimpnan yang dipilih secara
demokratis; 4) Rule of Law, 5) Adanya partai-partai politik; 6)
Kemajemukan (pluralisme).
Selanjutnya David Held, (1997:310-311) dalam Hamzah
(2009:80) mengemukakan, bahwa terdapat 5 syarat yang harus
dipenuhi oleh suatu negara sehingga pantas untuk dikatakan sebagai
sebuah negara demokrasi, yaitu: 1.Effective participation (Partisipasi
76
yang efektif); 2. Enlightened understanding (pengertian yang jelas); 3.
Voting equality at the decisive stage (kesamaan dalam pemungutan
suara); 4. Control of the agenda (adanya pengawasan yang terjadwal;
5. Inclusivenes (sifatnya terbuka)
Pandangan Dohrendorf, Carter dan Henz, dalam Miftah
Thoha, (2003:53), bahwa: "demokrasi suatu negara dilihat dari jarak
antara realiti dan idealita pada pluralisme liberal. Semakin liberal
pluralistik suatu negara maka negara tersebut akan dianggap semakin
demokratis. Secara konvensional liberal suatu negara biasanya diukur
dari kehidupannya atas pilar-pilar demokrasi, yaitu kehidupan partai-
partai dan lembaga perwakilannya, peranan eksekutifnya, dan
kehidupan persnya".
Di dalam konsepsi hukum Neil Mac Cormick, (1999:127)
menguraikan, bahwa:
"Sovereignty is the power of law making unrestricted by any legal limit, by contract that body is politically soverign or supreme in a stale the will of which is ultimately obeyed by the citizens of the state".(Kedaulatan adalah kekuasaan untuk pembuatan hukum yang tidak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan, dan secara tegasnya bahwa suatu badan atau lembaga mempunyai kedaulatan secara politik atau kekuasaan yang tertinggi di dalam negara pada akhirnya adanya ketaatan warga negara terhadap penjara)
Konsepsi demokrasi adalah sesuatu hal yang masih abstrak,
debatebel, subjektif dan universal. Sebab pada realitasnya tidak sedikit
negara yang bersistem pemerintahan otoriter, totaliter dan diktator pun
dapat menganggap dirinya sebagai negara demokrasi. Apalagi ada
77
yang menjustifikasi bahwa suatu negara dianggap demokrasi bila
pemerintahannya mengutamakan dan berorientasi pada kepentingan
rakyat banyak, walaupun sistem pemerintahan yang dianut oleh negara
tersebut nyata-nyata adalah sistem otoriter atau diktator. Dengan
perkataan lain bahwa asumsi dasar bekerjanya sebuah demokrasi
tergantung pada kemampuan rakyat untuk menentukan arah dan
melakukan pengawasan terhadap aktivitas kenegaraan.
Sejalan dengan itu, Reformasi pendidikan merupakan suatu
proses yang kompleks dan majemuk sehingga memerlukan
pengerahan segenap potensi yang ada dalam tempo yang panjang.
Tilaar (1998:47 ) mengemukakan “ Reformasi berarti perubahan
dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada
bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-
penyimpangan dan praktek yang salah atau memperkenalkan
prosedur yang labih baik, suatu perombakan yang menyeluruh dari
suatu sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial
dan tentu saja termasuk bidang pendidikan. Reformasi juga berarti
memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat
sesuatu yang salah menjadi benar. Oleh karena itu reformasi
berimplikasi pada merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak
sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan
kebijakan institusional” Disamping itu yang lebih penting menurut
peneliti reformasi pendidikan harus memberikan peluang bagi
78
siapapun yang aktif dalam pendidikan untuk mengembangkan
langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan mutu
pendidikan.
Sejalan dengan itu, Sri Widayanti (2002:77 ) mengemukakan
“ Reformasi pendidikan diharapkan dapat memberikan implikasi positif
pada perbaikan dan pembaharuan sistem pendidikan, serta mendorong
berbagai Inovasi pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan Nasional. Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah
demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan
masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otonomi
daerah). Sehubungan dengan hal tersebut, maka peranan pemerintah
pusat akan berkurang dan meningkatkan partisipasi masyarakat.
Demikian juga peranan pemerintah pusat yang bersifat sentralistis
selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan
yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistim
desentralisasi, kedua hal ini harus berjalan secara simultan.
Konsep demokratisasi juga dituangkan dalam dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana
tercermin dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) yaitu “pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskrimanatif dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultur dan kemajemukan bangsa”. Pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
79
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, serta
dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan
bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi, dengan demikian
penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-
unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam
hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi
pendidikan. Sebagai ilustrasi bahwa penerapan teori demokrasi sejalan
dengan penelitian yang dilakukan penulis.
4. Hakikat Desentralisasi
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, isu desentralisasi
selalu menjadi pembicaraan yang aktual, hangat dan bahkan seringkali
menjadi sensitif. Hal tersebut juga nampak sejak awal kemerdekaan
Indonesia. Undang-undang yang pertama dibuat setelah Indonesia
merdeka adalah UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah. Hal tersebut menunjukkan
pentingnya masalah desentralisasi di mata para pendiri negara.
Begitu juga pada saat terjadinya reformasi tahun 1998 yang
ditandai oleh pergantian rezim pemerintahan dari rezim Orde Baru ke
orde reformasi. Salah satu agenda penting reformasi adalah mengubah
paradigma pemerintahan yang semula sangat sentralistik melalui UU
80
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, menjadi
pemerintahan yang desentralistik. Dampak dari sistem sentralistik
selama kurun waktu 32 tahun, dapat dilihat dari gerakan saparatis,
seperti yang muncul di Aceh, gerakan yang menghendaki
kemerdekaan wilayah Aceh (Gerakan Aceh Merdeka). Demikian pula
yang terjadi di Tanah Papua, Momentum reformasi dimanfaatkan oleh
gerakan-gerakan yang ada untuk lebih menekan pemerintah pusat,
yang berada pada posisi lemah. Selain gerakan yang menghendaki
kemerdekaan, muncul pula keinginan merubah bentuk negara dari
unitaris (kesatuan) menjadi negara federal.
Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia sejak awal telah
diatur melalui Undang-Undang mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945
sampai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, dan UU Nomor 32 Tahun
2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999.
Untuk memberikan pemahaman pada sub bahasan ini, peneliti
akan menguraikan secara singkat tentang otonomi, secara etimologi,
perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri
dan “nomos” yang berarti aturan, dengan demikian , otonomi berarti
mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/
kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Pemerintahan sendiri ini
meliputi peraturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan
81
sendiri dan dalam batas batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian
sendiri (Josep Riwu Kaho: 1991:14).
Pemahaman otonomi daerah di Indonesia dilandaskan pada
kebijakan publik tentang otonomi daerah yaitu UU No.32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa otonomi daerah
adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, Otonomi
merupakan produk atau desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam
pasal 1 (7) UU No.32/2004 menyebutkan bahwa “desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah
otonomi untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Menurut Koesoemahatmadja (1979:14), secara etimologis istilah
desentralisasi berasal dan bahasa latin yaitu de = lepas dan centerum =
pusat. Sehingga berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah
melepaskan dari pusat. Sedang Istilah autonomie berasal dari bahasa
Yunani (autos = sendiri; nomos = Undang-Undang) dan berarti
perundangan sendiri (zelfwetgeving).
82
Dennis A.Rondinelli dan Shabbir Cheema dalam (Riant Nugroho
2008:24) mengemukakan bahwa desentralisasi berkembang bukan saja
berkenaan dengan menurunnya efektivitas penyelenggaraan
administrasi publik yang tersentralisasi, namun juga dikarenakan
meningkatnya kompleksitas dan ketidakpastian proses pembangunan.
Dikemukan Rondinelli dan Cheema sebagai berikut
“The growing interest in decentralized planning and administrations is attributable not only to the dissilusionment with the result of central planning and the shift of emphasis to growt-with-equity policies, but also the realization that development is a complex and uncertain processthat cannot be easily planned and controlled from the centre”
Kedua penulis ini mendefinisikan desentralisasi sebagai transper
pengelolaan ke unit-unit yang lebih kecil atau berada di bawahnya.
Dikemukan sebagai berikut :
“Decentralization is …… the transper of planning, decision making, or administrative authority from central government to its field organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal organizations, local governments ,or non goverenmental organization….”
Rondinelli dan Cheema merumuskan empat bentuk utama
desentralisasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan transper
fungsi. Dikemukakan sebagai berikut
“They refer to four major forms of decentralization: deconcentration, delegation to semi-automous or parastatal agencies, devolution to local governments, and transfer functions from public to non government institution….. Deconcentration involves the redistribution of administrative responsibilities only within the central government…..Delegation (to semi autonomous or parastatal agencies) is the delegation of decision making and management
83
authority for specific functions to organizations that are not under the direct of central government ministers…..another form of decentralization seeks to creat of streng then independent levels or unit government through devolution of functions and authority. Though devolution the central government relinquishes certain functions or creates new units or government that outside ist direct control…Finally decentralization takes place in many countries through the transport of some planning and administrative responsibility or of public fungtions, from government to voluntary, private or non government institutions”
Bahkan Rondenelli dan Cheema menurut Meenakshisundaram
(dalam S.N.Jha and P.C.Mathur, 1999:55-56) membagi empat tipe
desentralisasi, yaitu pertama, dekonsentrasi diartikan distribusi
wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan; kedua,
delegasi adalah pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan
keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada
organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol
pemerintah; ketiga, devolusi adalah penyerahan fungsi dan otoritas
dan pemerintah pusat kepada daerah otonom; keempat, swastanisasi
adalah penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan
tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta."
Christopher Pollit, Johnson Birchall, dan Keith Putman dalam
Riant Nugroho (2008:26) memahami desentralisasi sebagai sebuah
upaya yang bersifat ekonomis yaitu minimalisasi biaya dari sumberdaya
yang ada, untuk meningkatkan hasil atau kerja. Dikemukakan sebagai
berikut :
“Decentralisation must aim to the performance which is refer to economy minimizing the cost of the resource input for an activity
84
….. efficiency: the ratio between inputs and utputs …..effectiveness:the extent to which original obyectives of a policy, programme or project are achieved’
Dikemukakan lebih lanjut, bahwa kualitas kinerja ditentukan oleh
standar-standar yang dapat diukur dalam takaran professional, dengan
standar-standar teknis. Aspek inti dari kinerja disentralisasi adalah
kualitas, responsibilitas, akuntabilitas dan kontrol. Dikemukakan
sebagai berikut :
“The producer quality (also refereed to as technical quality of professional quality), where the serice is measured against the professional or technical standards of the dominant professions involved in the delivering the service….. the user quality which may be defined as the degree of which user expectation of a service are satisfied or exceeded…. The aspect of performance is quality, responsiveness, accountability, control’
Dari teori-teori yang dikemukakan di atas , dapat dirumuskan
bahwa desentralisasi sebagai pendelegasian manajemen
pembangunan dan pelayanan publik kepada daerah-daerah otonom
yang diselenggarakan oleh organisasi administasi publik daerah dalam
rangka efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan.
Menurut Kencana Syafie (2002;53), bahwa “Desentralisasi
adalah penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti
pembuatan peraturan perundang-undangan maupun penyelenggaraan
pemerintahan itu sendiri, dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, untuk selanjutnya menjadi urusan rumah tangga pemerintah
daerah tersebut".
85
Pandangan Sodjuangan Situmorang, dalam disertasinya
(2002:21), bahwa "desentralisasi merupakan antitesa dari sentralisasi
penyelenggaraan pemerintahan. Antara dua kutub itu dalam
perkembangannya tidak jarang diletakkan pada kutub yang saling
berlawanan, padahal di dalam negara kesatuan di samping keliru untuk
mempertentangkan keduanya, juga antara keduanya tidak bisa
ditiadakan sama sekali. Artinya kedua konsep, sistem, bahkan teori
dimaksud saling melengkapi dan membutuhkan dalam kerangka yang
ideal sebagai sendi negara demokratis".
Cohen dan Peterson, (1999:2-3) melihat formulasi dan
pelaksanaan reformasi dan program desentralisasi melalui tiga pase,
yakni:
`In the early 1960s Proponents of decentralization focused on using the intervention to assist colonies in beginning a transition to independence, achieving political equity, and responding to rising demand for public goods ang services. The second phase in decentralization occurred from the mid-1970s to the early 1980s. Aid agencies urged government of both long independent and newly emerging countries indroduce decentralization reforms and programs in order to promote development objectives, such as improved management and sutainability of funded programs and projects, equibale distribution of economic growth, and facilitation of grassroots participation in development processes. Finally, since the mid-1980s. aid agencies have use strucuture adjustment conditionalities to pressure governments to adopt administartive decentralization reforms and programs. In park this is being done to promote the emergence of civil societies, to support the growth of democratic institutions, and to respond to ethnic, religious, or nationalist demands for regional self government and greater demands for regional self government and greater autonomy". (Di awal 1960-an pendukung desentralisasi memusatkan perhatian Negara jajahan menuju kemerdekaan, keberhasilan hak-hak politis, dan menangani masalah
86
meningkatnya permintaan untuk barang-barang publik dan jasa. Tahap yang kedua, desentralisasi terjadi dari pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an. Para pendukung pemerintah yang mandiri dengan memperkenalkan Negara-negara desentralisasi dengan reformasi dan programnya dalam rangka mempromosikan hasil pembangunan, seperti peningkatan dan kelanjutan dari program biaya dan proyek, kesamaan, kemampuan, distribusi pertumbuhan ekonomi, dan pemberian kemudahan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Terakhir, sejak pertengahan tahun 1980-an, bantuan para pendukung menggunakan penyesuaian keadaan struktur dengan memaksa pemerintah untuk mengadopsi perubahan dan program desentralisasi administrative. Pada tahap ini adalah mempromosikan kemunculan masyarakat sipil untuk mendukung pertumbuhan lembaga demokrasi, dan merespon terhadap adanya berbagai hal yang berkaitan dengan kesukuan, keagamaan, kebangsaan atau tuntutan swapraja dan ekonomi yang lebih besar). Pemahaman tentang desentralisasi, sejak dulu diantara para
sarjana terjadi perbedaan, hal itu terlihat dari pengertian yang
dikemukakan Henry Maddick (1966:23) membedakan desentralisasi
dengan dekonsentrasi, sebagai berikut:
“the delegation of authority equate for the discharge of specified functions to staff of a central department who are situated outside the headquaters. (pendelegasian kewenangan sebagai fungsi-fungsi khusus dari pemerintah pusat terhadap staf yang ada di bawahnya)
Perbedaan antara desentralisasi dengan dekonsentrasi
menurut Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessen (2001:23-25) dengan
mengutip pendapat beberapa sarjana melalui perspektif politik dan
administrasi sebagai berikut: Dari aspek politik, Parson mendefinisikan
desentralisasi, sebagai
“sharing of the governmental power by rural ruling group with other groups, each having authority within a specefic area the state. (pembagian kekuasaan pemerintahan dari pusat dengan
87
kelompok lain masing-masing mempunyai wewenang kedalam suatu daerah tertentu dari suatu negara) Sementara, dekonsentrasi adalah:
“the sharing of power between members of same ruling group having authority respectively in different areas of the state. (bagian kekuasaan antara anggota-anggota dari kelompok yang sama di dalam negara)
Mawhood dalam G.Shabbir Cheema dan Dennis A.Rondinelli,
(1992:18) menyatakan bahwa desentralisasi adalah "devolution of
power from central to local governments. ( Devolusi kekuasaan dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerinatah Daerah) Sementara
dekonsentrasi, yang dipersamakan dengan administrative
decentralisation, di definisikan sebagai transfer of administrative
responsibility from central to local governments. (perpindahan tanggung
jawab administrasi dari Pusat ke Pemerintah daerah).
Berbeda dengan pendapat para sarjana diatas, Rondinelli dan
Cheema (1992:12) merumuskan definisi desentralisasi dengan lebih
merujuk pada perspektif yang lebih luas namun tergolong perspektif
administrasi, bahwa desentralisasi adalah:
"the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local adminisitrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-,government organizations". (perpindahan perencanaan, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat ke organisasi bidangnya, unit adminisitratif daerah semi otonomi dan parastatal, pemerintah daerah, atau organisasi-organisasi non pemerintah)
Definisi yang dikemukakan Rondinelli dan Cheema tersebut
tampak lebih luas dari Person dan Mawhood, oleh karena definisi
88
tersebut tidak saja mencakup penyerahan dan pendelegasian
wewenang di dalam struktur pemerintahan tetapi juga telah
mengakomodasi pendelegasian wewenang kepada organisasi non
pemerintah , termasuk organisasi swasta. Bahkan Rondinelli dan
Cheema menurut SS Meenakshisundaram dalam (S.N.Jha and
P.C.Mathur, 1999:55-56) membagi empat tipe desentralisasi, yaitu
deconcentration, delegation, devolution, dan privatisation. Lengkapnya
dapat dikemukan sebagai berikut:
Pertama. Dekonsentrasi diartikan distribusi wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahah; Kedua, delegasi adalah pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah; Ketiga, devaluasi adalah penyerahan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah otonom; Keempat, swastanisasi adalah penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggungjawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta.
Menurut The Liang Gie, (1993:73) dalam Hamzah (2009:128-
129), bahwa alasan dianutnya desentralisasi adalah : 1). Dilihat dari
sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu
pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani. 2). Dalam
bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai
tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam
pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak
demokrasi; 3). Dari sudut tehnik organisatoris, alasan mengadakan
pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk
89
mencapai pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama
untuk diurus oleh pemerintah setempat pengurusannya diserahkan
kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat ditangani pusat diurus oleh
Pemerintah Pusat; 4) Dari sudut kultural desentralisasi perlu diadakan
supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan pada kekhususan
suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi,
watak kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya. 5) Dari sudut
kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena
Pemerintah Daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu
pembangunan tersebut.
Hal yang sama dikemukakan Amrah Muslimin, (1986:73) dalam
Hamzah (2009:129) membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi
politik, desentralisasi fungsionil dan desentralisasi kebudayaan.
Desentralisasi politik, adalah pelimpahan kewenangan dari Pemerintah
pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga
sendiri dari badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh
rakyat dalam daerah-daerah tertentu. Desentraliasi Fungsional memberi
hak kepada golongan-golongan tententu mengurus sesuatu terikat
ataupun tidak pada suatu daerah tertentu, umpama mengurus
kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa
daerah tertentu waterscape, Subak Bali). Sedang desentralisasi
kebudayaan (culturele decentralisatie) adalah memberi hak kepada
golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas)
90
menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan,
agama, dll).
Cohen dan Peterson (1999:2-3), menggunakan 6 (enam)
pendekatan, yaitu :
“basic of historical origins, by hirarchy and function, by problem being addressed and they values of the investigation, focus on patterns of administratve structure and functions that are responsible for the production and provision of collective goods and services, typically bused on the experience of a single country, and on basis of objectives. (pertama, berdasarkan pada sejarah, kedua berdasarkan herarkhi dan fungsi, ketiga, berdasarkan masalah-masalah yang muncul dan nilai-nilai penyelidikan, keempat, difokuskan pada pola-pola struktur administratif dari fungsi-fungsi yang bertranggungjawab pada hasil dan ketentuan-ketentuan dari pelayanan dan barang, dan kelima, type yang didasarkan pada pengalaman suatu negara tertentu, dan keenam, berdasarkan pada tujuannya)
Menurut Smith (1967:2), konsekuensi dari pelaksanaan asas
desentralisasi, adalah menciptakan : "local self government dan
dekonsentrasi menciptakan "local state government* atau “field
administration". Pentingnya local government, oleh Dalys M.Hill
(1974:20) dicontohkan, bahwa:
"In England local government has long been defended as a vital and integral part of democracy. Local self government is valued because it just, it safeguard and enhances the ciotizen's right, and it is an important setting for political education'. (Di Inggeris pemerintahan daerah telah lama dianggap sebagai hal yang pokok dan bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi, pemerintahan daerah otonom mempunyai makna yang penting karena dapat melindungi dan memperjuangkan hak-hak warga negara dan juga dalam membangun pendidikan warga negara)
Di dalam konteks demokrasi, keberadaan local government
merurut B.C.Smith (1985:19) dalam Hamzah (2009:135) adalah:
91
“mainly two categories: there are that claim local government is good for national democracy; and there are those where the major concern is with the benefits to the locality of local democracy. Each can be tether subdivided into three sets of interrelated values. At the national level these values relate to political education, training in leadership and political stability. At the local level the relevant values are equality, liberty and responsiveness. (Ada dua kategori yang penting dalam pemerintahan daerah, pertama untuk membangun demokrasi di tingkat nasional, kedua, memberikan keuntungan untuk demokrasi pada tingkat lokal atau daerah. Setiap tingkat selanjutnya dibagi ke dalam tiga hal yang saling berkaitan. Pada tingkat nasional hal-hal tersebut berkaitan dengan pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, dan stabilitas politik. Pada tingkat lokal atau daerah berkaitan dengan kesamaan, kemerdekaan dan tanggung jawab)
Rod Hague dan Martin Harrop (2001:211), dalam Hamzah
(2009:136) menyatakan bahwa
"Local government is universal, found in federal and unitary states a like. It Is the lowest level of elected teritoria/ organization with in the state. Variously called communes, municipalities or parishes, local government is constitutionally subordinate to provincial authoririty (in federations) or national government (in unitary states)". (Pemerintahan daerah adalah hal yang universal, karena dapat ditemukan baik pada negara yang berbentuk federal maupun negara kesatuan. Beragam sebutannya, Kota Besar, Kotapraja, atau Daerah, pemerintahan daerah secara konstitusional di bawah kewenangan Provinsi (dalam negara federal) atau dibawah pemerintahan nasional (dalam negara kesatuan)
5. Hakikat Otonomi Daerah
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah
mengakibatkan terjadinya paradigma sentralistis ke arah desentralisasi
yang ditandai dengan pemberian otonomi yang lebih luas dan nyata
kepada daerah serta pemberdayaan masyarakat (empowering).
92
Bagir Manan, (2002:26), mengemukakan "sistem rumah tangga
daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi
wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan antara Pusat dan Daerah”. Salah satu kekeliruaan
pembagian tersebut adalah bahwa daerah-�daerah akan memiliki
sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau
pengakuan maupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga
daerah".
Otonomi organik (rumah tangga organik ); Bila otonomi diartikan
sebagai segala tugas yang ada pada daerah atau dengan kata lain apa
yang harus dikerjakan oleh pemerintah daerah, maka di dalamnya
melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht;
bevoegdheiden), hak (recht) atau kewajiban (plicht) yang diberikan
kepada daerah dalam menjalankan tugasnya. Masalahnya kewenangan
mana yang diatur oleh peme�rintah pusat dan kewenangan mana yang
diatur peme�rintah daerah.
Sehubungan dengan itu, secara teoretik dapat dijumpai
beberapa jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga, yaitu: 1)
Otonomi organik (rumah tangga organik); 2) Otonomi formal (rumah
tangga formal); 3) Otonomi material ( rumah tangga materiil/substantif);
4) Otonomi riil (rumah tangga riil); 5) Otonomi nyata. bertanggung
jawab, dan dinamis.
93
Sarundajang (1999:38) menjelaskan, bahwa kelima jenis
otonomi (rumah tangga) tersebut dapat diuraikan satu persatu, sebagai
berikut: “ Otonomi organik; Otonomi bentuk ini pada dasarnya
menentukan bahwa urusan-�urusan yang menyangkut kepentingan,
daerah diibaratkan sebagai organ-organ kehidupan yang merupakan
suatu sistem yang menentukan mati hidupnya manusia, misalnya
jantung, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Tanpa kewenangan untuk
mengurus berbagai urusan vital, akan berakibat tidak berdayanya atau
matinya daerah.
Otonomi formal; otonomi bentuk ini adalah yang menjadi
urusan otonomi tidak dibatasi secara positif. Satu-satunya pembatasan
adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh mengatur, apa
yang telah diatur oleh perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dengan demikian daerah otonom lebih bebas mengatur urusan rumah
tangganya, sepanjang tidak memasuki "area" urusan pemerintah pusat.
Otonomi seperti ini merupakali hasil dan pemberian otonomi
berdasarkan teori sisa, dimana pemerintah pusat lebih dulu
menetapkan urusan-�urusan yang dipandang lebih layak diurus pusat,
sedangkan sisanya diserahkan kepada pemerintah daerah;
Otonomi materiil; dalam otonomi bentuk ini kewenangan
daerah otonom dibatasi secara positif yaitu dengan menyebutkan
secara limitif dan terinci atau secara tegas siapa saja yang berhak
diatur dan diurusnya.
94
Dalam otonomi matariil ini ditegaskan bahwa untuk mengetahui
apakah suatu urusan menjadi rumah tangga sendiri, harus dilihat pada
substansinya. Artinya bila suatu urusan secara substansial dinilai dapat
menjadi urusan pemerintah pusat; maka pemerintah lokal yang
mengurus rumah tangga sendiri pada hakikatnya tidak akan mampu
menyelenggarakan urusan tersebut. Sebaliknya apabila suatu urusan
secara substansial merupakan urusan daerah, maka pemerintah pusat
meskipun dilakukan oleh wakil-wakilnya yang berada di daerah
(pemerintah pusat di daerah), tidak akan mampu
menyeleng�garakannya. Kemudian untuk penyelenggaraan rumah
tangga itu objek tugas yang dikuasakan wewenang satu demi satu atau
dirinci secara numeratif;
Otonomi riil; otonomi bentuk ini merupakan gabungan antara
otonomi formal dengan otonomi materiil. Dalam Undang-undang
pembentukan otonomi, kepada pemerintah daerah diberikan wewenang
sebagai wewenang pangkal dan kemudian dapat ditambah dengan
wewenang lain secara bertahap, dan tidak boleh bertentangan dengan
peraturan-peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya, dengan kata lain, otonomi riil ini pada prinsipnya
menentukan bahwa pengalihan atau penyerahan wewenang urusan
tersebut didasar�kan pada kebutuhan dan keadaan serta kemampuan
daerah yang menyelenggarakannya;
95
Otonomi nyata, bertanggung jawab, dan dinamis. a. Nyata,
artinya pemberian urusan pemerintahan di bidang tertentu kepada
pemerintah daerah memang harus disesuaikan dengan faktor-faktor
tertentu yang hidup dan berkembang secara objektif di daerah. hal
tersebut harus senantiasa disesuaikan dalam arti diperhitungkan secara
cermat dengan kebijaksanaan dan tindakan�tindakan, sehingga
diperoleh suatu jaminan bahwa daerah itu secara nyata mampu
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam praktik
bahwa isi otonomi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya
tidaklah sama, balk mengenai jumlah maupun jenisnya. Hal itu wajar
karena setiap daerah memiliki perbedaan baik letak geografis, kondisi
geologis, maupun budaya, adat istiadat, serta potensi yang dimilikinya.
b. Bertanggung jawab, artinya pemberian otonomi kepada pemerintah
daerah senantiasa diupayakan supaya selaras atau sejalan dengan
tujuannya yaitu melanjutkan pembangunan yang tersebar di seluruh
pelosok negara. Ini untuk menjamin hubungan antara pusat dan daerah
dalam suasana yang harmonis dan lebih dari itu untuk menjamin
perkembangan dan pembangunan antar daerah yang serasi sehingga
laju pertumbuhan antar daerah dapat seimbang. c. Dinamis, artinya
otonomi ini menghendaki agar pelaksanaan otonomi senarrtiasa.
menjadi sarana untuk memberikan dorongan lebih baik dan maju atas
segala kegiatan pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan
yang semakin meningkat mutunya (Josef Riwu Kaho, 1991; 15).
96
Menurut Bagir Manan (2002:26), "dari kelima jenis sistem
otonomi itu, umumnya dipraktekkan hanya 3 (tiga) jenis, yaitu sistem
rumah tangga formal, sistem rumah tangga materiil dan sistem rumah
tangga nyata atau riil dengan beberapa varian".
Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap
dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat
daerah yang paling dekat dengan masyarakat. Tujuan pemberian
otonomi tetap seperti yang dirumuskan saat ini yaitu memberdayakan
daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta
masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Pemerintah juga tidak lupa untuk lebih meningkatkan efisiensi,
efektivitas dan akuntabilitas penyelenggaraan fungsi-fungsi seperti
pelayanan, pengembangan dan perlindungan terhadap masyarakat
dalam ikatan NKRI. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan seperti
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, diselenggarakan
secara proporsional sehingga saling menunjang.
Sejalan dengan itu, sebagai negara demokrasi, orientasi fungsi
negara diarahkan pada tujuan untuk mencapai negara kesejahteraan
(welfare state). Jacobsen dan Lipman, dalam Politic Science
sebagimana terpetik dalam Hendarmin (2007:98-100), menyatakan
bahwa fungsi negara dibedakan antara fungsi esensial, fungsi jasa dan
fungsi perniagaan
97
Fungsi esensial adalah fungsi yang diperlukan demi terjaminnya
eksistensi dan kelangsungan negara. Untuk melaksanakan fungsi
negara membutuhkan ketertiban dan keamanan umum, Untuk itu
negara antara lain memiliki alat negara kepolisian. Negara memerlukan
kontinuitas pemasukan dana yang dengannya negara bisa membiayai
dirinya sendiri melaksanakan pembangunan, untuk itu negara memiliki
lembaga perpajakan, Negara memerlukan kepercayaan publik akan
adanya kepastian bahwa aturan/hukum negara yang bisa dilaksanakan.
Untuk itu negara memiliki lembaga peradilan. Negara membutuhkan
jaminan rasa aman dari kemungkinan gangguan atau serbuan dari luar
yang mengancam kedaulatan negara. Untuk itu negara perlu memiliki
angkatan perang sebagai alat perlengkapan negara.
Di atas semuanya ,menurut hemat penulis bahwa semua fungsi
urusan negara adalah harus mampu menjamin, setidaknya
memberikan sejauh mungkin kemudahan, bagi terselenggaranya
pendidikan bagi setiap insan warga negara. Pendidikan adalah satu-
satunya cara, dan hanya satu-satunya untuk memperoleh sumber daya
manusia berkualitas sebagai asset utama bangsa dan paling berharga
bagi negara.
Dalam negara yang masih bernuangsa negara kekuasaan,
menurut Hendarmin (2007:99) umum terjadi mis-persepsi atas makna
dan arti pendidikan, Pendidikan diposisikan sebagai sekedar kebutuhan
keluarga dan melulu menjadi tanggungjawab keluarga. Padahal
98
pendidikan bukan hanya tanggungjawab orang tua atau keluarga,
Rakyat yang cerdas adalah kebutuhan negara. Hanya negara dengan
sumber daya manusia (SDM) yang kuatlah yang mampu menjaga
eksistensinya dalam mengarungi kanca pergaulan sekaligus persaingan
antar bangsa “..... Today, the basis of the world’s wealth is shipting from
natural recources to advanced technology...”
Untuk memelihara dan, meningkatkan kehidupan dan tarap
kehidupan warganya, negara dituntut untuk menyiapkan dan atau
meningkatkan sejumlah prasarana dasar yang melalui itu,
perekonomian negara dapat berjalan dengan baik . Membuka jalan,
membuka jalur perintis penerbangan, dan jalur pelayaran dan angkutan
laut, untuk lokasi terpencil, membuat dam untuk sistem pengairan dan
pembangkit listrik, menyiapkan pelabuhan dan lain-lain adalah sekedar
contoh.
Bagi negara berkembang yang rakyatnya belum memiliki
kemampuan (finasial, manajemen, peralatan dan teknologi) tugas dan
kewajiban dan fungsi negara adalah sebagai regulator dan fasilitator
antara lain dengan menyediakan sarana dan atau menciptakan iklim
yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnnya sistem perekonomian
rakyat secara sehat (menyediakan kredit murah, bimbingan teknis dan
manajemen, membuka peluang pasar, UU anti monopoli dan lain-lain)
Pengalaman empirik negara-negara yang telah mencapai tingkat
kemakmuran dan kesejahteraan yang tinggi adalah bahwa, lebih sedikit
99
negara membuat aturan akan lebih normal jalannya perekonomian,
artinya sedikit mungkin negara menempatkan diri sebagai “pengatur”,
lebih lanjut Hendarmin (2007:100) mengemukakan bahwa fungsi
perniagaan bagi negara lebih pada pengertian makro yakni bagaimana
menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnnya
perekonomian negara (PMA, PMDN) agar komoditas perdagangan
negara mampu menembus dan mampu bersaing di pasar global. Tugas
dan kewajiban negara, terlebih di era global, adalah menjaga
keseimbangan neraca perdagangan, menjaga dan mengatur nilai tukar
mata uang, dan menjaga kecukupan cadangan devisa minimal untuk
kurun waktu tertentu.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, digunakan prinsip otonomi
seluas-luasnya, di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintah
pusat yakni : a). politik luar negeri, b) pertahanan dan keamanan, c)
moneter/fiskal, d) peradilan (yustisi), e). agama.
Pemerintah pusat berwenang membuat norma-norma, standar,
prosedur, monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dan urusan-
urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional. Pemerintah
provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan dengan eksternal regional, dan kabupaten/kota
berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan
dengan eksternalitas lokal.
100
Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 (Amandemen) disebutkan,
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang
tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan
daerah yang diatur dengan UU. Tampak nuansa dan rasa adanya
hierarki dalam kalimat tersebut. Pemerintah Provinsi sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah diakomodasi dalam bentuk urusan
pemerintahan menyangkut pengaturan terhadap regional yang menjadi
wilayah tugasnya.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib
dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti
pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal,
prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang
bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan
daerah.
UU No. 32 Tahun 2004 mencoba mengembalikan hubungan
kerja eksekutif dan legislatif yang setara dan bersifat kemitraan.
Sebelum ini kewenangan DPRD sangat besar, baik ketika memilih
kepala daerah, maupun laporan pertanggungjawaban (LPJ) tahunan
kepala daerah. Kewenangan DPRD itu dalam penerapan di lapangan
sulit dikontrol. Saat ini, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas,
misalnya aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang
101
hanya memperoleh laporan keterangan pertanggungjawaban, serta
adanya mekanisme evaluasi gubernur terhadap rancangan Perda
APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi
pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan
daerah yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan
hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan.
Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan
DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan
daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi
masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu
hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan
lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi
masing-masing.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, jika diilustrasikan maka
fungsi penyelenggaraan pendidikan adalah fungsi esensial bagi suatu
negara atau pemerintahan, baik pemerintah, pemerintah provinsi
maupun pemerintah kabupaten/kota seperti diuraikan penulis dalam
penelitian ini.
B. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
102
1. Hakikat Kewenangan
Bhenyamin Hoessein (2005:196) mengemukakan Hakekat
negara adalah organisasi dan dalam organisasi negara, dapat
diidentifikasi dua macam kelompok organ, yang memiliki perbedaan
yang signifikan Pertama adalah organ negara (staatsorganen); kedua.
Adalah organ-organ pemerintah (regeringorganen).
Lebih lanjut dikemukakan, organ negara diatur dalam Undang-
Undang Dasar. Oleh karena itu jumlahnya adalah limitatif. Dalam
negara kesatuan, organ negara termaksud hanya dijumpai di ibu kota
negara (di tingkat pemerintahan nasional). Kedudukan organ-organ
negara itu tidak hierarkis. Sementara organ pemerintahan disebut
dalam Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu jumlahnya tidak limitatif
melainkan sesuai dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat.
Bhenyamin Hoessein (2005:197) mengemukakan bahwa “Organ
pemerintahan termaksud terdapat baik di tingkat pemerintahan nasional
maupun di subnasional. Kedudukan organ-organ pemerintahan bersifat
hierarkis di bawah Presiden (Pemerintah)”
Berkaitan dengan penyelenggaraan kewenangan pemerintah
daerah yang merupakan pelimpahan pemerintah pusat ke daerah, P.
Nicolai dalam Ridwan, (2002:73) menyatakan bahwa: “Wewenang
diartikan dengan kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan
hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk
103
menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan
lenyapnya akibat hukum tertentu”.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia sebagaimana ditulis oleh
Anton Mulyono (1998:101), kata wewenang disamakan dengan kata
kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk
bertindak, kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah dan
melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain. Selanjutnya
menurut Bagir Manan dalam Ridwan (2002:74) wewenang dalam
bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan, kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Dalam hukum
wewenang berarti hak dan kewajiban. Wewenang dalam kaitannya
dengan otonomi daerah, hak memiliki pengertian kekuasaan mengatur
sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen). Sedang
kewajiban terdiri dari kewajiban vertikal dan kewajiban horisontal.
Istilah kewenangan berasal dari kata “wewenang". Lubis
(2002:56) menguraikan pengertian wewenang dengan membedakan
tugas (functie) yaitu, tugas (functie) adalah satuan urusan pemerintahan
yang dibebankan kepada organ tertentu untuk dilaksanakan, dan
wewenang adalah pelaksanaan tekhnik urusan yang dimaksud.
Menurut peneliti penggunaan istilah tugas, kekuasaan, fungsi,
wewenang dan kompetensi dalam prakteknya sering sulit dibedakan,
bahkan cendrung dicampuraduk.
104
Menurut Marbun (2001:123), dilihat dari sifatnya, wewenang
pemerintahan dapat dibedakan atas expressimplied, fakultatif dan vrij
bestuur . Wewenang yang bersifat expressimplied adalah wewenang
yang jelas maksud dan tujuannya, terikat pada waktu tertentu dan
tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis,
isinya dapat bersifat umum dan dapat pula bersifat individual konkrit.
Wewenang pameintahan yang bersifat fakultatif adalah wewenang yang
peraturan dasarnya mementukan kapan dan dalam keadaan
bagaimana suatu wewenang dapat dipergunakan. Wewenang
pemerintahan yang bersifat vrij bestuur adalah wewenang yang
peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup yang longgar kepada
pejabat tata usaha negara untuk mempergunakan wewenang yang
dimilikinya.
Dalam hal kewenangan yang berkaitan dengan kekuasaan.
Suwoto Mulyosudarmo (1997:39) dalam disertasi Kamal Hijaz
(2007:44), menegaskan bahwa dalam sistem pembagian kekuasaan
berlaku suatu prinsip bahwa setiap kekuasaan wajib dipertanggung
jawabkan. Dengan demikian setiap pemberian kekuasaan harus
dipikirkan beban tanggung jawab bagi setiap penerima kekuasaan dan
kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab, harus secara inklusif
sudah diterima pada waktu menerima kekuasaan. Beban tanggung
jawab bentuknya ditentukan oleh cara-cara kekuasaan itu diperoleh.
105
Suwoto Mulyosudarmo (1997:39) ”pada dasarnya pemberian
kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu, perolehan
secara atributif dan perolehan secara derivatif”. Perolehan kekuasaan
secara atributif, menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan,
karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan
yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli dan
menyebabkan adanya kekuasaan yang baru. Perolehan kekuasaan
secara derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang
telah ada dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian pelimpahan
kekuasaan ini adalah pelimpahan kekuasaan yang diturunkan.
Menurut Poerwadarminta, (1998:1010) pengertian wewenang
adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu, Selanjutnya
wewenang menurut Stout dalam Ridwan, (2000:72) adalah
“keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di
dalam hubungan hukum publik. Dikemukakan pula apa yang dikatakan
oleh Tonner di dalam Ridwan, (2002:72), bahwa “kewenangan
pemerintahan adalah kemampuan untuk melaksanakan hukum positif,
sehingga dengan demikian dapat diciptakan hubungan hukum antara
pemerintah dengan warga negara”.
Selanjutnya menurut Soebagio dan Supriatna (1987:15) bahwa
"konsep/istilah wewenang disamakan dengan istilah fungsi yang dapat
juga diidentikkan dengan tugas atau peran. Pemahaman yang sama
106
juga diungkapkan oleh B.N.Marbun (1992:176) sebagai wewenang atau
tugas (peranan) yang diterjemahkan pula sebagai fungsi, sementara
fungsi diidentikkan dengan tugas atau peran.
Kata wewenang menurut Soerjono Soekanto, (1982:20)
diartikan sebagai kekuasaan yang ada pada seseorang atau
sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat
pengakuan dari masyarakat. UU No. 32 Thn 2004, mempergunakan
istilah “tugas dan wewenang”. Ada pendapat yang menyatakan,
wewenang (bevoegdheid) mengartikan tugas (pliechten), dan hak
(rechten). Sementara Bagir Manan (2001:69) mengutip SAM Stroink-
J.G. Steenbeek (1985:27), menjelaskan, bahwa "wewenang
mengandung makna kekuasaan (macho) ada pada organ (orgaan),
sedangkan tugas (taak) dan hak (recht) ada pada pejabat dan organ
(ambtsdrager). Oleh karena itu istilah wewenang', dimaksudkan untuk
menunjukkan kekuasaan (power) yang dimiliki Pemda dan DPRD".
Bagir Manan, dalam Ridwan, ( 2002:74) menjelaskan bahwa
“wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan
(macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau
tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan
kewajiban (rechten en pelichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah,
hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri
(zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen). Sedangkan
kewajiban terdiri kewajiban vertikal dan kewajiban horizontal”.
107
Philipus M.Hadjon (1997:1), menyamakan istilah wewenang atau
kewenangan, bahwa wewenang selalu menjadi bagian penting dan
bagian awal dan hukum administrasi, karena obyek administrasi adalah
wewenang pemerintahan (bestuurs bevoegdheid). Menurut Maarseven
dalam Philipus M. Hadjon, (1997:2), bahwa wewenang dideskripsikan
sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht), sehingga wewenang dalam
konsep hukum publik berkaitan dengan kekuasaan. Pada sisi lain,
menurut Hadjon, wewenang sebagai suatu konsep hukum, setidaknya
terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu: a. Komponen pengaruh, yaitu
penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku
subyek hukum; b. Komponen dasar hukum, bahwa wewenang tersebut
selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Sementara konformitas
hukum mengandung makna, adanya standar wewenang, yaitu standar
umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis
wewenang tertentu).
Menurut HD. Van Wijk dan Willen Koninjnenbelt dalam Marcus
Lukman, (1997:53), terdapat 3 (tiga) model penyerahan wewenang,
yaitu, secara Atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan yang
diperoleh secara atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan
oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan (toekenning
van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een
bestuursorgaan). Kewenangan yang diperoleh secara atribusi bersifat
sah yang berasal dari pembentukan undang-undang orisinil. Pada
108
model ini, pemberian dan penerimaan wewenang dapat menciptakan
wewenang baru atau mempeluas wewenang yang ada. Atibusi
merupakan wewenang untuk membuat keputusan yang langsung
bersumber kepada undang-undang dalam arti materil. Pembentukan
wewenang dan distribusi wewenang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang
yang didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang.
Pertanggungjawaban intern diwujudkan dalam bentuk laporan
pelaksanaan kekuasaan, sedangkan pertanggungjawaban dari aspek
eksternal adalah pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga dalam
melaksanakan kekuasaan melahirkan derita atau kerugian bagi pihak
lain. Penerima wewenang bertanggung jawab atas segala akibat negatif
yang ditimbulkan dalam melaksanakan kekuasaan.
Suermondt terpetik dalam Mustamin Dg Matutu, dkk:
(2004:138) mengemukakan perbedaan pengertian atribusi dengan
delegasi. Delegasi adalah penyerahan kewenangan-kewenangan oleh
organ yang hingga saat (penyerahan) itu ditunjuk untuk
menjalankannya, kepada satu organ lain, yang sejak saat itu
menjalankan kewenangan yang didelegasikan itu atas namanya dan
menurut pendapatnya sendiri. Sedangkan atribusi digambarkannya
sebagai pemberian kewenangan kepada suatu organ lain, yang
menjalankan kewenangan-kewenangan itu atas nama dan menurut
109
pendapatnya sendiri tanpa bahwa si pemberi itu sendiri ditunjuk untuk
menjalankan kewenangan-kewenangan itu.
Pada Konsep delegasi, tidak ada penciptaan wewenang dari
pejabat yang satu kepada yang lainnya, atau dari badan administrasi
yang satu pada yang lainnya. Penyerahan wewenang harus dilakukan
dengan bentuk peraturan hukum tertentu, pihak yang menyerahkan
wewenang disebut delegans, sedang pihak yang menerima wewenang
disebut delegataris. Setelah delegans menyerahkan wewenang kepada
delegataris, maka tanggungjawab intern dan tanggung jawab ekstern
pelaksanaan wewenang sepenuhnya berada pada delegataris.
Selanjutnya menurut Utrecht dalam Mustamin Dg Matutu dkk;
(2004:126), bahwa, "delegasi tidak memuat inisiatif membuat peraturan,
inisiatif tetap dalam tangan dari yang mendelegasikan; delegasi tidak
lain dari pada mengatur dan melanjutkan".
Pendapat Utrecht tersebut disanggah oleh Mustamin Dg.Matutu
(2004:16) dengan menyatakan justru inisiatif untuk menentukan pokok-
pokok yang harus diatur dapat beralih kepada penerima delegasi,
pendapat Mustamin Dg Matutu tersebut seakan dibenarkan oleh
pendapat Hans Peters dalam Mustamin Dg Matutu, dkk: (2004:127),
bahwa: "bahwa Generalermachting, memungkinkan inisiatif untuk
mengatur pokok-pokok tertentu itu beralih kepada yang menerima
pendelegasian karena dengan Generalermachting kewenangan
dialihkan secara umum kepada yang dikuasakan, tidak dengan terlebih
110
dahulu menentukan dan mengatur pokok-pokok tertentu dalam garis
besarnya oleh yang menerima pendelegasian". Oleh karena itu,
Mustamin Dg.Matutu, dkk (204:138) berkesimpulan bahwa berangkat
dari pandangan Suermondt di atas, dapat disimpulkan secara
sederhana hal-hal berikut :
1. Bahwa pada delegasi terjadi penyerahan kewenangan dari pihak
yang sendiri memang telah ditunjuk untuk menjalankan
kewenangan itu.
2. Sedang pada atribusi terjadi pemberian kewenangan dari yang
sendiri tidak (tanpa) ditunjuk untuk menjalankan kewenangan itu.
Pada umumnya ada dua cara pokok dari mana para Badan atau
Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) itu memperoleh wewenang, yakni
dengan jalan atribusi dan delegasi. Pada atribusi terjadi pemberian
wewenang/kewenangan pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan
dalam suatu perundang-undangan sebagaimana peneliti singgung
sebelumnya. Dalam bentuk inilah dilahirkan/diciptakan suatu
wewenang/kewenangan pemerintahan baru.
Jika ditinjau ada tidaknya delegasi dengan menggunakan letaknya
inisiatif sebagai ukurannya, maka tidaklah tepat. Oleh karena delegasi
dapat saja terjadi bila ada penyerahan (pergeseran) kewenangan dari
satu ke lain organ; sedangkan kewenangan yang diserahkan (digeser)
itu dapat meliputi baik kewenangan untuk berinisiatif, maupun
kewenangan untuk hanya mengatur lebih lanjut. Jadi delegasi dapat
111
juga mencakupi penyerahan kewenangan lebih lanjut, dan yang
menerima pendelegasian dapat berinisiatif. Argumentasi utamanya
pihak yang mendelegasikan adalah untuk meringankan diri dari suatu
beban, dan untuk meringankan dari beban yang mengatur tidak perlu
dengan jalan menyerahkan kekuasaan untuk mengatur selanjutnya,
boleh juga dengan menyerahkan kekuasaan mengatur yang meliputi
baik kekuasaan untuk berinisiatif maupun hanya kekuasaan untuk
hanya mengatur lebih lanjut apa yang telah diinisiatifkan lebih dahulu.
Suatu wewenang atau kewenangan yang lahir atas dasar
delegasi, adalah wewenang atau kewenangan yang lahir karena
adanya pelimpahan wewenang atau kewenangan dari pejabat
administrasi negara kepada subyek hukum lain untuk bertindak atas
nama dan atas tanggung jawab sendiri dari si penerima delegasi
wewenang atau kewenangan tersebut.
Pada wewenang/kewenangan yang didelegasikan pun mungkin
pula mengandung suatu kekurangan, misalnya;
a. wewengan/kewenangan yang tersebut memang tidak
mungkin didelegasikan.
b. delegasi memang dimungkinkan, tetapi kenyataannya
tidak pernah terjadi pendelegasian
c. delegasi memang mungkin dilakukan, tetapi
pendelegasiannya tidak dilakukan dengan cara yang
tepat/benar.
112
Atas dasar ini maka wewenang dan kewenangan yang lahir bersifat
melekat, tidak dapat dialihkan atau dibagi-bagi.
Pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah
propinsi dan pemerintah kabupaten/kota hanya menunjuk pada
pendelegasian dalam melaksanakan urusan-urusan pemerintahan .
Sebagai suatu pranata dalam hukum administrasi negara, delegasi
mengandung arti pengalihan kewenangan suatu kewenangan yang
ada.
Di samping delegasi, dikenal juga konsep atribusi sebagaimana
diuraikan diatas. Berbeda dengan delegasi, atributasi menunjuk pada
kewenangan yang secara limitatif diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya Philipus M.Hadjon, (1993-131) dalam Hamzah Halim
(2009:164) bahwa “baik delegasi maupun atribusi, keduanya
merupakan cara dalam membuat keputusan.
Adapun syarat-syarat delegasi sebagaimana dikemukakan
Philipus Hadjon, (1997:5) sebagai berikut :
1. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi
menggunakan wewenang yang telah dilimpahkan itu;
2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada
ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;
3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
113
4. Kewenangan memberi keterangan (penjelasan) artinya,
delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang
pelaksanaan kewenangan tersebut;
5. Peraturan kebijakan artinya, delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut;
Dengan demikian menurut Suwoto (1997:42) dalam konsep
pendelegasian kekuasaan, maka delegataris melaksanakan kekuasaan
atas nama sendiri dan dengan tanggungjawab sendiri. sehingga
pelimpahan itu disebut pelimpahan kekuasaan dan tanggung jawab.
Perolehan wewenang secara mandat, pada dasarnya adalah
suatu pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan, dengan
maksud untuk membuat keputusan atas nama pejabat tata usaha
negara yang memberi mandat. Hal tersebut berarti bahwa keputusan
yang diambil pejabat penerima mandat, pada hakekatnya merupakan
keputusan dari pejabat tata usaha negara yang memberi mandat.
Sebagai konsekwensinya, bahwa tanggung jawab atau tanggung gugat
atas diterbitkannya keputusan atas dasar suatu mandat, tetap berada
pada pejabat pemberi mandat.
Dengan kata lain pada konsep mandat, sebagaimana
dikemukakan Philipus Hadjon, (1997:7) mandataris hanya bertindak
untuk dan atas nama pemberi mandat, sehingga tanggung jawab akhir
dari keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada tangan
pemberi mandat. Selain itu untuk mandat tidak diperlukan adanya
114
ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya, karena
mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intern hirarkis dalam
organisasi pemerintahan.
Adanya pemberian dan atau pembagian wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah baik dalam bentuk atribusi
maupun delegasi, dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat
mengurus sendiri urusan rumah tangganya. Termasuk di dalamnya
wewenang menetapkan peraturan sendiri di daerah dalam rangka
penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah yang dikenal dengan
peraturan daerah.
Jika diilustrasikan maka relevansi wewenang pemerintah daerah
dengan pembentukan produk hukum daerah seperti peraturan daerah
dalam mendukung penyenggaraan pendidikan dimaksudkan untuk
melakukan pengujian mengenai keabsahan produk hukum daerah
bersangkutan, Sukismo, (2002:51), menjelaskan pula bahwa apabila
suatu produk hukum tidak didasarkan atas wewenang secara sah dan
benar, maka dapat berakibat produk hukum bersangkutan cacat hukum,
yang berarti batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
2. Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah
Mengacu pada teori tentang bentuk/dasar lahirnya
wewenang/kewenangan tersebut di atas, maka wewenang/kewenangan
yang dimiliki oleh eksekutif dengan legislatif daerah (Pemda dan DPRD)
115
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam
UU No. 32 Tahun 2004 adalah merupakan bentuk
wewenang/kewenangan yang lahir/ada berdasarkan pendelegasian dari
pemerintah pusat. Sehingga eksekutif dengan legislatif daerah dalam
melaksanakan pendelegasian wewenang/kewenangan tersebut
bertindak dan bertanggung jawab atas nama mereka sendiri dan
disitulah sesungguhnya letak keotonomian pemerintahan daerah
kabupaten/kota dalam melaksanakan otonomi daerah berdasarkan UU
No. 32 Tahun 2004.
Syarat yang disebutkan oleh Strong dalam negara kesatuan
(Unitaris), adalah: 'kedaulatan negara tidak dibagi-bagi, karena itu
dalam negara kesatuan, pendistribusian kewenangan merupakan suatu
hal yang sangat penting yang harus dilakukan secara cermat dan
didasarkan pada asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas
pembantuan (medebewind)".
Format pendistribusian kewenangan dalam NKRI, diatur dalam
Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 Thn 2004 menegaskan,
bahwa:" Ayat (2): Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah
menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan
dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Ayat (3):
Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan".
116
Kewenangan merupakan salah satu konsepsi inti dalam Hukum
Administrasi Negara, Prajudi (1994:78) menyatakan “pengertian
kewenangan dan wewenang (Comptence, bevoergdheid) walaupun
dalam praktek perbedaannya tidak selalu dirasakan perlu. Selanjutnya,
dikatakan kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberikan oleh UU)
atau dari kekuasaan eksekutif administratif”.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah juga telah mengatur tentang kewenangan baik dalam batang
tubuh maupun penjelasannya. Pengaturan tentang kewenangan
termaktub dalam Pasal 13, 17 (1a) dan ayat (2).
Dalam Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004, terdapat 16
kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah antara lain: 1.
Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. Perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. Penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana
dan prasarana umum; 5. Penanganan bidang kesehatan; 6.
Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial; 7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8.
Pelayanan bidang ketenagaakerjaan lintas kabupaten/kota; 9. Fasilitasi
pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota; 10. Pengendalian lingkungan hidup; 11. Pelayanan
pertanahan termasuk lintas batas kabupaten/kota; 12. Pelayanan
117
kependudukan, dan cacatan sipil; 13. Pelayanan administrasi umum
pemerintahan; 14. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk
lintas kabupaten/kota; 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota, dan 16. Urusan
wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sebagai implementasi dari UU No. 32 Tahun 2004, khususnya
Pasal 13, pada tahun 2007 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 38
Tahun 2007 yang mengatur secara limitatif kewenangan yang diberikan
kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam
PP No. 38 Tahun 2007 khususnya terkait kewenangan Pemerintah
Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan,
ditetapkan ada 6 (urusan) yang menjadi tugas Pemerintah Propinsi, dan
Kabupaten/Kota antara lain sebagai berikut :1. Urusan Kebijakan; 2.
Urusan Pembiayaan; 3. Urusan Kurikulum; 4. Urusan Sarana dan
Prasarana; 5. Urusan Pendidik dan Tenaga Kependidikan, serta 6.
Urusan Pengendalian Mutu Pendidikan.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, juga telah digariskan hak dan kewajiban Pemerintah dan
pemerintah daerah sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 dan pasal
11. Pasal 10 menyebutkan “Pemerintah dan pemerintah daerah
berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Selanjutnya Pasal 11 ayat (1) “Pemerintah
118
dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap
warga negara tanpa diskriminasi”; ayat (2) Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima
belas tahun. Urusan-urusan yang dilimpahkan kepada Pemerintah
daerah sebagaimana tersebut dalam penjabaran PP No. 38 Tahun
2007, juga termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang terbit
sebelumnya, diantaranya; Standarisasi Nasional Pendidikan diatur
dalam Pasal 35, Kurikulum diatur dalam Pasal 36, 37 dan 38,
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan diatur dalam Pasal 39. 40, 41,
42, 43 dan 44, sedang Sarana dan Prasarana Pendidikan diatur dalam
Pasal 45; Selanjutnya Pendanaan Pendidikan diatur dalam Pasal 46,
47, 48 dan 49
3. Kewenangan Daerah dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Penyelenggaraan program pendidikan nasional berjalan seiring
dengan kebijakan Pemerintah yang bersifat lebih makro yaitu kebijakan
politik. Dwidjowijoto (1999:13) mengemukakan “Kebijakan politik
Pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini ditata dalam
pola yang saling bergantian antara pola yang sentralistik dan
desentralistik”. sejalan dengan itu Tilaar (1995:50) mengemukakan
“Pola yang sentralistik bermakna bahwa kewenangan penyelenggaraan
119
pemerintahan lebih banyak berada di Pusat dari pada di Daerah,
sementara pola desentralistik bermakna bahwa kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan lebih banyak berada di Daerah dari
pada di Pusat. Kebijakan pendidikan mengikuti perubahan dari
kebijakan politik pemerintah yang sentralistik dan desentralistik
tersebut.
Seiring dengan pergantian kekuasaan dan pola penyelenggaraan
pemerintahan dan pengelolaan pembangunan, pada tahun 2003
ditetapkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional sebagai pengganti UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sisdiknas.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 50, 51, dan 52 secara khusus mengatur
tentang pengelolaan pendidikan di tingkat pusat dan daerah, yang
menyatakan sifat desentralistik dari penyelenggaraan pembangunan
pendidikan. Bab XIV tentang Pengelolaan Pendidikan memberikan
panduan perihal mekanisme desentralisasi penyelenggaraan
pendidikan nasional yang pada Pasal 50 dikemukakan sebagai berikut:
1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung
jawab menteri.
2) Pemerntah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional
pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
120
3) Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertarap
internasional.
4) Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan pendidikan, pengembngan tenaga
kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan
pendidikn lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan
dasar dan menengah.
5) Pemerinth kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan
pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis
keunggulan lokal.
6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi
dalam mengelola pendidikan di lembaganya.
Riant Nugroho (2008:8) mengemukakan “ bahwa sejak
reformasi hingga hari ini, kebijakan politik pendidikan nasional dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa diselenggarakan dengan pola
manajemen yang desentralistik. Pemerintah Daerah mempunyai peran
paling besar dalam keberhasilan pendidikan nasional, dibanding pada
masa sebelumnya.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
Tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Khususnya pembagian
121
urusan pemerintahan Bidang Pendidikan Pemerintah mempunyai
kewenangan dan bertanggung jawab atas 6 (enam) hal, yang
terjabarkan dalam 6 sub bidang yang menjadi kewenangan
Pemerintah, Pemerintahan daerah provinsi dan Pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Sub bidang dimaksud adalah : (1) Kebijakan; (2)
Pembiayaan; (3) Kurikulum; (4) Sarana dan Prasarana; (5) Pendidik
dan Tenaga Kepedidikan; dan (6) Pengendalian Mutu Pendidikan.
Kewenangan Provinsi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa yang menjadi
kewenangan dan tanggung jawab provinsi adalah:
1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai
dengan kebijakan nasional; perencanaan strategis pendidikan anak
usia dini, dasar, menengah dan pendidikan nonformal;
2. Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf
internasional sesuai dengan kewenangannya;
3. Melakukan koordinasi dan suverpisi pengembangan kurikulum
tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah;
4. Melakukan pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional
sarana dan prasarana pendidikan menengah, pengawasan
penggunaan buku;
5. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan untuk
pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya;
pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan;
122
pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar
kabupaten/kota;
6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikaan nonformal.
Kewenangan Kabupaten/Kota
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa Pemerintah
Kabupaten/Kota, juga melaksanakan kewenangan yang sama pada
skala kabupaten/kota dan lebih bersifat operasional, misalnya:
1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota
sesuai kebijakan nasional dan provinsi; demikian pula
perencanaan operasional pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, menengah dan nonformal sesuai dengan perencanaan
strategis tingkat provinsi dan nasional; pengelolaan dan
penyenggaraan pendidikan anak usia dini, dasar, menengah
dan nonformal, pemberian/pencabutan izin pendirian satuan
pendidikan dasar, penyelenggaraan dan atau pengelolaan
satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional;
2. Menyiapkan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan nonformal sesuai kewenangannya, termasuk
penyiapan pembiayaan penjaminan mutu;
3. Melakukan Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum
tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar, sosialisasi
123
kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan, pengawasan
pelaksanaan kurikulum;
4. Melakukan penghawasan terhadap pemenuhan standar nasional
sarana dan prasarana, pendayagunaan bantuan, dan
pengawasan penggunaan buku pelajaran;
5. Melakukan perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga
kependidikan, pengangkatan dan penempatan serta pemindahan
pendidik dan tenaga kependidikan PNS,
6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar,
menengah dan nonformal, melakukan koordinasi, fasilitasi,
monitoring dan evaluasi pelaksanaan ujian sekiolah pada lingkup
kabupaten/kota
Kewenangan tersebut menunjukan bahwa Pemerintah pusat
melaksanakan tugas ataupun kewenangannya pada skala makro,
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sedangkan Pemerintah
provinsi pada perencanaan yang bersifat strategis, demikian pula
Pemerintah kabupaten/kota lebih pada kebijakan operasional
pendidikan.
4.Konsep Desentralisasi Pendidikan
Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya
124
mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau
menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom.
Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi, sebagaimana telah
penulis kemukakan sebelumnya. Secara etimologis, istilah tersebut
berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berarti
pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara,
dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, Bab I, Pasal 1 disebutkan
bahwa “desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI.
Sedangkan menurut Jose Endriga dalam Verania Andria & Yulia
Indrawati Sari,(2000:111) desentralisasi diartikan sebagai
“systematic and rasional dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow multi–sectoral decision making as close as possible to problem area”.
Lain halnya dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan
desentralisasi sebagai “delegations of responsibilities and powers to
authorities at the lower levels”.
Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh
keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan dan efisiensi.
Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan demokrasi
melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini
diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan
terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar masyarakat
125
tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara
pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan
sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh
masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk
mendukung pemerintah lokal. Sementara itu, Kotter (1997:111) dalam
buku “Leading Change”, menyatakan bahwa lembaga yang
terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1) lebih
fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan
dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih inovatif,
dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen
dan lebih produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi
(1998:216) menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam
organisasi ke tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung
memperoleh keputusan yang lebih baik.
Dalam kaitan desentralisasi pendidikan. Fasli Djalal dkk.
menemukan relasi antara desentralisasi dengan manajemen pendidikan
dengan mengatakan bahwa:
"Desentralisasi pendidikan adalah sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan kepada kebhinekaan. Desentralisasi pendidikan diartikan sebagai pelimpahan wewenang yang lebih luas."
Pemahaman praktikal desentralisasi memang mem�punyai makna
yang lain, yaitu mengurangi beban dan campur tangan pemerintah
pusat atas hal-hal yang sudah dilakukan atau dapat dilakukan oleh
pemerintah daerah, sesuai dengan prinsip subsidaitas.
126
Pemahaman praktikalini antara lain dikemukakan oleh Suryadi dan
Budimansyah, bahwa :
"Dengan penyerahan pengelolaan pendidikan, berarti pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki keleluasaan dalam mengelola dan membina pendidikan secara mandiri, agar mencapai sasaran program pembangunan pendidikan dasar dan menengah. Wewenang itu mencakup berbagai tahapan sejak pengambilan keputusan, pemrograman, implementasi, monitoring program, sampai dengan pengadaan sarana-sarana pendidikan.
Usman Abu Bakar dalam Rian Nugroho (2008:48) mengemukakan
bahwa desen�tralisasi tidak saja mendorong pemerintah nasional
mem�bangun manajemen pendidikan yang terdesentralisasi, melainkan
juga menjadi pendorong bagi daerah untuk mengembangkan
manajemen pendidikan yang bermutu. Dikatakannya sebagai berikut:
"Dengan otonomi dan desentralisasi diharapkan semua komponen daerah lebih terpacu memberdayakan diri, mengembangkan mutu "kompetensial" sumberdaya manusia, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dan dalam penyelenggaraan pendidikan."
Dikemukakan oleh Suyanto dalam Riant Nugroho (2008:49), bahwa
dengan desen�tralisasi, maka setiap daerah harus membangun
mana�jemen pendidikan daerah yang desentralistik dan unggul agar
dapat membangun SDM yang unggul, dan pada akhirnya membangun
keunggulan daerah. Dikemukakan oleh Suyanto dalam Riant Nugroho
(2008:50) bahwa:
127
"Pendidikan memiliki fungsi penting bagi daerah terutama untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Daerah yang tidak memiliki SDM (dan sumber dana yang memadai) dapat dipastikan tidak begitu mendukung program desentralisasi dalam pendidikan. Sebab setelah pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah, daerah memang harus lebih bersifat kreatif, mandiri, dan mampu mengembangkan daerahnya demi untuk kesejahteraan masyarakat melalui berbagai program pendidikan di daerahnya. Oleh sebab itu, dalam era otonomi pendidik�an, daerah perlu membangun sektor pendidikan secara baik agar sektor ini mampu dijadikan penggerak bagi kemajuan daerah”
McGinn dan Welsh dalam Wasitohadi (2008:9) mengemukakan
bahwa terdapat tiga alasan munculnya desentralisasi pendidikan, yaitu
menurunnya kapasitas dari pemerintah pusat karena desakan
global, menurunnya kemampuan model manaje�men sentralistik
untuk menangani desakan mutu pen�didikan, dan munculnya teknologi
komunikasi dan informasi yang memungkinkan pengelolaan
manajemen pendidikan yang desentralistik, namun tetap dapat
dikendalikan oleh negara. Dikemukakan sebagai berikut:
"Pertama, ...globalisasi ekonomi dan keuangan memper�lemah pemerintah pusat. Di satu sisi, organisasi-organisasi supranasional telah mengurangi kedaulatan nasional. Di sisi lain, pergeseran ke arah pengambilan keputusan berbasis pasar telah memperkuat kelompok-kelompok lokal...(Kedua) pada saat yang sama, sistem pendidikan dimana telah menggandakan dan melipatgandakan pen�daftaran. Meningkatnya para guru dan siswa memaksa kapasitas birokrasi yang sentralistik untuk memelihara mutu. Meningkatnya ketidakpuasan publik mengakibatkan tekanan untuk menggeser pengambilan keputusan ke kelompok-kelompok lokal....(Ketiga) munculnya teknologi komunikasi dan informasi yang baru membuatnya mungkin untuk mencapai tingkat kontrol yang
128
tinggi atas sistem, dengan manajemen desentralisasi. Suatu paradigma manajemen baru yang menekankan perhatian kepada output dan bukan input telah meningkatkan pentingnya perkuatan kapasitas lokal dalam pengambilan keputusan."
Selanjutnya desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas
keputusan tetapi juga kualitas pengambilan keputusan. Dengan
desentralisasi, pengambilan keputusan lebih cepat, lebih luwes dan
konstruktif. Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang
otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatar belakangi oleh keinginan
segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua
bidang pemerintahan.
Menurut Bray dan Fiske dalam Depdiknas, (2001:3)
desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga
yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan
untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk
pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan
pembiayaan. Senada dengan itu, Husen & Postlethwaite (1994:1407)
mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai :
“the devolution of authority from a higher level of government, such as a departement of education or local education authority, to a lower organizational level, such as individual schools”.
Sementara itu, menurut Fakry Gaffar (1990:18) desentralisasi
pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan
pembangunan pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan
sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam
129
pembuatan keputusan untuk memecahkan berbagai problematika
sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya, baik menyangkut
substansi nasional, internasional atau universal sekalipun.
Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas
adalah otoritas yang diserahkan. Williams dalam Depdiknas, (2001:3-4)
membedakan adanya dua macam otoritas (kewenangan dan tanggung
jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat kepemerintah yang lebih
rendah, yaitu desentralisasi politis (political decentralization) dan
desentralisasi administrasi (administrative decentralization). Perbedaan
antara keduanya terletak dalam hal tingkat kewenangan yang
dilimpahkan.
Pada desentralisasi politik, kewenangan yang dilimpahkan
bersifat mutlak. Pemda menerima kewenangan melaksanakan
tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang otoritas untuk
menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan
untuk masyarakatnya. Hal itu mencakup kewenangan untuk
menentukan model, jenis, sistem pendidikan, pembiayaan, serta
lembaga apa yang akan melaksanakan kewenangan-kewenangan
tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi administrasi, kewenangan
yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-tugas
pendidikan di daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan
berupa strategi pengelolaan yang bersifat implementatif untuk
melaksanakan suatu fungsi pendidikan. Dalam desentralisasi model ini,
130
pemerintah pusat masih memegang kekuasaan tertinggi dalam
menentukan kebijakan makro, sedangkan pemerintah daerah
mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan,
mengatur, menyediakan dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan
lainnya.
Mengapa bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal
itu, ada berbagai pendapat dari para ahli. Husen & Postlethwaite
(1994:1407) menguraikan mengenai alasan desentralisasi (reasons for
decentralization), yaitu
(a) the improvement ofschools, (b) the belief that local is logical form of governance in ademocracy, dan (c) in participation relation to fundamental values of liberty, equality, fraternity,efficiency, and economic growth. Sementara itu, setelah melakukan studi di berbagai negara,
Fiske (1998:24-47) menyebutkan sekurang-kurangnya ada empat
alasan rasional diterapkannya sistem desentralisasi, termasuk
pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk mempertahankan
stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat dari
masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan
laissez-faire dan untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan
sosio-kultural, yakni untuk memberdayakan masyarakat lokal, (c)
alasan teknis administratif dan paedagogis, seperti untuk memangkas
manajemen lapisan tengah agar dapat membayar gaji guru tepat waktu
atau untuk meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar
mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial, seperti meningkatkan sumber
131
daya tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat
pembangunan ekonomi.
Pendapat lain yang lebih sesuai dengan konteks desentralisasi
pendidikan di Indonesia dikemukakan oleh Nuril Huda (1998:3-5),
dalam Wasitohadi (2008:10) Ia berpendapat bahwa desentralisasi
pendidikan di Indonesia dimaksudkan untuk mencapai efisiensi
pendidikan dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal. Ia juga
memberi alasan rinci mengapa pertanggungjawaban implementasi
pendidikan didesentralisasikan, yaitu:
Pertama, secara politik desentralisasi adalah cara
mendemokratiskan manajemen urusan-urusan publik (politically
decentralization is a way of democratizingthe management of public
affairs).
Di bawah skema desentralisasi, pertanggungjawaban pendidikan
tertentu diberikan kepada pemerintah daerah. DPRD mengawasi
perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di daerah. Dengan
melibatkan wakil rakyat di dalam urusan pendidikan, diharapkan akan
mendukung partisipasi masyarakat yang lebih besar di dalam
pelaksanaan pendidikan dan dalam memecahkan masalah yang
berhubungan dengannya.
Kedua, secara teknis adalah sulit untuk mengelola pendidikan
secara efisien di dalam sebuah wilayah yang luas yang berisi banyak
pulau (technically it is difficult tomanage education efficiently in a vast
132
area consisting of islands). Masalah komunikasi dan transportasi antara
pemerintah pusat dan daerah, khususnya pada masa lalu, telah
menjadi pertimbangan penting untuk desentralisasi. Lagi pula,
sentralisasi akan membuat sulit untuk memecahkan masalah - masalah
perbedaan-perbedaan regional dan untuk mempertemukan kebutuhan
dan tuntutan khusus mereka. Perbedaan-perbedaan budaya dan tingkat
perkembangan masing-masing daerah menyumbang perbedaan
perbedaan dalam kebutuhan-kebutuhan dan hakekat pendekatan untuk
menyelesaikan masalah.
Ketiga, alasan utama desentralisasi pendidikan adalah efisiensi
dan efektifitas dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan
dengan pelaksanaan pendidikan (efficiency and effectiveness in
handling problems related to the implementation of education). Dan,
alasan.
Keempat, untuk mengurangi beban administrasi yang
berlebihan dari pemerintah pusat (to reduce the overloaded burden of
administration of the central government).
Sementara itu, berbeda dengan empat argumen itu, Kacung
Marijan dalam Abdurrahmansyah, (2001:58) melihat penerapan
desentralisasi pendidikan di Indonesia justru sebagai gejala
keputusasaan pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan.
Sedangkan Arbi Sanit (2000:1) memandang penerapan desentralisasi
133
secara umum sebagai “jalan keluar” bagi problematik ketimpangan
kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal.
Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari
asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada
pemerintah lokal atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan
nasional. Waristohadi (2008:11) menegaskan bahwa “Pemberian
sebagian kekuasaan tersebut untuk mengatasi kekecewaan daerah
terhadap pemerintah pusat, yang berakar pada persoalan: (1)
ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar Jawa, (2) sentralisasi politik,
(3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi SDA, (5) represi dan pelanggaran
HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga cultural”.
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki
proses pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak
stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan
masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah
dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk
memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu,
desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan
kepada rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif
dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan
daerah.
Model-Model Desentralisasi Pendidikan
134
Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemda
membawa konsekuensi pada model pelaksanaannya. William dalam
Depdiknas, (2001:5) memerinci desentralisasi kedalam tiga model, yaitu
dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan devolusi
(devolution).
Dekonsentrasi adalah model pengalihan tanggung jawab
pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang
lebih rendah sedemikian rupa sehingga lembaga di pemerintah pusat
masih memegang kendali pelaksanaan pendidikan secara penuh.
Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan dengan membentuk
lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat melaksanakan
tanggung jawab pemerintah pusat.
Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat
meminjamkan kekuasaannya pada pemerintah daerah atau kepada
organisasi/lembaga semiotonom. Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak
diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintah memandang perlu,
otoritas itu bisa ditarik kembali,
Sementara, dalam model devolusi pemerintah pusat
menyerahkan kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan
meliputi pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas.
Kewenangan yang diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat ditarik
kembali lagi hanya karena tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di
pusat.
135
Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan
yang disampaikan. Model dekonsentrasi adalah model penyerahan
kewenangan yang paling rendah, model delegasi lebih besar/tinggi, dan
model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang
dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada
pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari
pemerintah pusat, semakin besar sumberdaya yang harus dikeluarkan
untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka
bagi penerima kewenangan untuk mencari segala upaya dalam
melaksanakan kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-
pihak lain yang mereka nilai membantu dan menguntungkan mereka.
Rondinelli dalam Husen & Postlethwaite, (1994:1412)
menambahkan satu kategori lagi, yaitu privatisasi (privatization), yaitu
model penyerahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada
pihak swasta. Model ini berbeda dengan ketiga model William dari segi
penerima kewenangan. Menurut Abdurrahmansyah (2001:61), dalam
kasus pembicaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia sejauh yang
telah dilakukan nampaknya cenderung mengambil model yang terakhir,
swastanisasi. Selain tidak terlalu rumit, menurutnya, bentuk ini terkesan
hanya sekedar pemindahan pelimpahan kewajiban dari urusan
pemerintah menjadi urusan masyarakat.
Sementara itu, Nuril Huda (1999:16) mengemukakan tiga model
desentralisasi pendidikan, yaitu (1) manajemen berbasis lokasi (site
136
based management), (2) pengurangan administrasi pusat, dan (3)
inovasi kurikulum. Pada model manajemen berbasis lokasi
dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan
pendidikan pada sekolah. Model pengurangan administrasi pusat
merupakan konsekuensi dari model pertama. Pengurangan administrasi
pusat diikuti dengan peningkatan wewenang dan urusan pada masing-
masing sekolah. Model ketiga, inovasi kurikulum menekankan pada
inovasi kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan kualitas dan
persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum ini disesuaikan
benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah yang
bervariasi.
Di antara ketiga model ini, model manajemen berbasis lokasi
yang banyak diterapkan, untuk meningkatkan otonomi sekolah dan
memberikan kesempatan kepada guru-guru, orang tua, siswa dan
anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
8. Teori Kebijakan Publik.
Donald F. Kettl (1996:9) dalam Riant Nugroho (2004:49)
mengemukakan bahwa memasuki milenium ketiga, administras publik
menghadapi empat isu kritikal, pertama, struktur, yang berkenaan
dengan tantangan menguatnya swasta dan menyusutnya pemerintahan
(best governmen is least government). Kedua berkenaan dengan
137
proses administrasi publik, yaitu yang memperhadapkan kenyataan
bahwa sumber defisit terbesar di setiap negara adalah proses
penyelenggaraan administrasi publik. Ketiga tentang nilai, yang antara
lain berkenaan dengan munculnya ikon interpreneurial government .
Keempat kapasitas, yaitu yang berkenan dengan isu kecakapan dari
administratur publik memanajeni urusan-urusan publik. Kebijakan publik
menurut Michael E Porter (1998:19) mengemukakan bahwa
keunggulan kompetitif dari setiap negara ditentukan seberapa mampu
negara tersebut menciptakan lingkungan yang menumbuhkan daya
saing dari setiap aktor di dalamnya, khususnya aktor ekonomi.
Dalam konteks persaingan global, maka tugas sektor publik
adalah membangun lingkungan yang memungkinkan setiap aktor, baik
bisnis maupun nirlaba, untuk mampu mengembangkan diri menjadi
pelaku-pelaku yang kompetitif, bukan hanya secara domestik,
melainkan global. Lingkungan itu hanya dapat diciptakan secara efektif
oleh kebijakan publik. Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang
mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya
masing-masing, dan bukan semakin menjurumuskan kedalam pola
ketergantungan.
Sebagai ilustrasi bahwa setiap hal yang ada di dunia pasti ada
tujuannya. Demikian pula kebijakan publik, hadir dengan tujuan tertentu
yaitu untuk mengatur kehidupan bersama – untuk mencapai tujuan
(misi dan visi) bersama yang telah disepakati. Juga dapat dikatakan
138
bahwa kebijakan publik adalah jalan mencapai tujuan bersama yang
dicita-citakan. Jika cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Ketuhanan,
kemanusiaan. Persatuan, Demokrasi dan Keadilan) dan UUD 1945
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum dan tidak
semata-mata kekuasaan), maka kebijakan publik adalah seluruh
prasarana dan sarana untuk mencapai “tempat tujuan” tersebut.
Dari rumusan tersebut diatas, Riant Nugroho (2004:51)
menyimpulkan bahwa :
1. Kebijakan publik mudah untuk dipahami, karena maknanya
adalah “hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional”
2. Kebijakan publik muda diukur, karena ukurannya jelas yakni
sejauh mana kemampuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh.
Namun bukan berarti kebijakan publik mudah dibuat, mudah
dilaksanakan dan mudah dikendalikan, karena kebijakan publik
menyangkut faktor politik
Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut
sebagai public policy. Seperti apakah kebijakan publik itu?, Untuk apa
dibuat atau dirumuskan?, Siapa yang bertanggung jawab
merumuskan?, Apa tujuannya? Dan seterusnya. Pertanyaan tentang
kebijakan publik adalah pertanyaan sepanjang masa karena kebijakan
publik tetap ada dan terus ada sepanjang masih ada negara yang
mengatur kehidupan bersama.
139
Wayne Parsons (2006) mengemukakan, secara harfiah ilmu
kebijaksanaan adalah terjemahan langsung dari kata policy science
Dror,(1968:6-8). Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William
Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah
public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak
berbeda. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari
kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah,
karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan
untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani
kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri
dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau
umum.
Dengan demikian, perbedaan makna antara perkataan
kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua
istilah itu diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat
umum dan ditujukan kepada masyarakat umum. Perbedaan kata
kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk
membedakan istilah policy sebagai keputusan pemerintah yang bersifat
umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah
discretion, atau keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal
pada suatu waktu tertentu. Keputusan yang bersifat kasuistis sering
terjadi dalam pergaulan. Seseorang minta "kebijaksanaan" seseorang
pejabat untuk memperlakukan secara "istimewa," atau secara
140
"istimewa" tidak memperlakukan, ketentuan-ketentuan yang ada, yang
biasanya justru ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah (public policy).
Lebih lanjut mengemukakan, kata policy secara etimologis
berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti
negara-kota. Dalam bahasa Latin kata ini berubah menjadi politia,
artinya negara. Masuk ke dalam bahasa Inggris lama (Middle English),
kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan
urusan pemerintah atau administrasi pemerintah, Dunn (1981:7). Dalam
pengertian umum kata ini seterusnya diartikan sebagai, "... a course
ofaction intended to accomplish some end" Jones,(1977:4) atau
sebagai "... what ever government chooses to do or not to do" Dye,
(1975:1). Terpetik dalam Wayne Parsons (2006)
James Anderson (1984:2-3) dalam Said ZA (2006:40), melihat
kebijakan publik dalam hubungan dengan strategi pokok kehidupan
suatu negara atau garis besar haluan negara. Dia menyebutkan
kebijakan publik Amerika adalah kebijakan ekonomi Amerika. Kebijakan
publik Saudi Arabia sebagai kebijakan perminyakan, kebijakan publik
Eropah Barat sebagai kebijakan pertanian Eropah Barat, dan
sebagainya. Menurut James Anderson, sekalipun tujuan dari tindakan
pemerintah tidak mudah dirumuskan dan tidak selalu sama, namun
secara umum kebijakan publik selalu menunjukkan ciri tertentu dari
berbagai kegiatan pemerintah.
Atas pertimbangan tersebut Anderson dalam Said ZA
141
(2006:41), mengemukakan ciri-ciri dari kebijakan, sebagai berikut :
a. Public policy is purposive, goal-oriented behavior rather than random or chance behavior. Setiap kebijakan mesti ada tujuannya. Artinya, pembuatan suatu kebijakan tidak boleh sekadar asal buat atau karena kebetulan ada kesempatan membuatnya. Bila tidak ada tujuan, tidak perlu ada kebijakan.
b. Public policy consists of couses of action – rather than saparate, discrete decision or actions – performed by goverenment officials. Maksudnya, suatu kebijakan tidak bediri sendiri, terpisah dari kebijakan yang lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi dan penegakan hukum.
c. Policy is what government do – not what they say will do or what they intern to do. Kebijakan adalah apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa yang ingin atau diniatkan akan dilakukan pemerintah.
d. Public policy may be either negative or positive. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga berupa pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan.
e. Public Policy is based on law and is autoritative. Kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat mematuhinya.
Jika dikaitkan dengan kebijakan publik yang dijalankan
pemerintah selama ini, secara politik tidak terlepas dari pencapaian
tujuan bangsa. Tujuan dari bangsa Indonesia adalah jelas Masyarakat
adil makmur berdasarkan Pancasilan dan UUD 1945.
Di dalam setiap negara, pasti ada kelompok-kelompok yang
berbeda pemikiran tentang arah mana yang dipilih untuk mencapai
tujuan bersama. Ini juga masalah bagi negara berkembang. Kita
terkebelakang jauh dibanding negara maju, tidak cukup dukungan
dana, infra struktur, sumber daya manusia, teknologi, namun harus
mengejar ketertinggalan dengan segera agar tidak semakin tertinggal,
karena makna “tertinggal” tidak saja sekadar “tertinggal” namun juga
142
“dijajah” oleh mereka yang jauh di depan kita (Riant Nugroho, 2004:53).
Pembagian pertama dari kebijakan publik adalah makna
kebijakan publik, bahwa kebijakan publik adalah ha-hal yang diputuskan
pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah
untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan. Pemerintah memutuskan untuk
memasuki usaha-usaha ekonomi persejantaan, perpupukan,
penerbangan, namun tidak memilih usaha ekonomi lain yang bersifat
besar dan menghasilkan laba besar seperti consumer goods, industri
pulp dan paper, minyak goreng, Kedua pilihan ini adalah kebijakan
publik yang diputuskan pemerintah. Mengapa ada BUMN yang
mengelola persenjataan, telekomunikasi, pelabuhan besar, bandara
udara? Karena usaha-usaha tersebut bersifat strategis secara politik
keamanan. Pada waktu perang, usaha-usaha tersebut tidak boleh jatuh
ke tangan musuh. Sementara pabrik mie instan, pembuatan bubur
kayu, industri kayu lapis, garmen, elektronika, meskipun menghasilkan
keuntungan besar, akan tetapi karena tidak bersifat strategis, maka
pemeritah tidak mengambilnya.
Sementara Privatisasi BUMN pada dasarnya tidak ditujukan
untuk mengisi kas anggaran seperti yang dilakukan Indonesia pada
jaman kepemimpinan Presiden RI Megawati Soekarnoputri, melainkan
hanya fokus kepada masalah-masalah yang strategis atau yang tidak
strategis, namun tidak bisa dikerjakan oleh masyarakat, baik karena
investasinya besar, resikonya besar, atau labanya tidak menarik.
143
Kebijakan publik “memilih dan tidak memilih” . sebagai ilustrasi
dalam beberapa hal, muncul kasus yang menyimpang dimana
pemerintah harus mengerjakan tetapi tidak mengerjakan, kemudian ada
pula pemerintah tidak perlu ikut campur. Misalnya, di seluruh dunia
usaha angkutan publik, khususnya mass rapid transportation, dikelola
oleh pemerintah karena harus murah, bersubsidi, dan sulit diperoleh
laba. Di Jakarta dan hampir seluruh kota di Indonesia, pemerintah
(daerah) menyerahkan usaha angkutan publik kepada masyarakat.
Pembagian jenis kebijakan publik yang kedua adalah bentuknya.
Kebijakan publik dalam arti luas dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan pemerintah yang
tertulis dalam bentuk peraturan perundangan, dan peraturan-peraturan
tidak tertulis namun disepakati. Yaitu yang disebut konvensi-konvensi.
Peraturan tertulisalam mudah diamati dan dipahami. Dalam kaitan itu,
Theodora J.Lewi dalam (Winarno, 2002:6) membagi amatan kebijakan
publik menjadi dua, yaitu yang berkenan dengan substansi dan yang
berkenaan dengan prosedur.
Bahwa kebijakan publik yang tertinggi adalah kebijakan publik
yang dibuat oleh lembaga legislatif. Mengingat di Indonesia, sistem
politiknya tidak secara tegas meletakkan fungsi eksekutif, legislatif,
yudikatif masing-masing secara terpisah absolut. Karena semuanya di
bawah Mejelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan joint session
dari Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan lembaga legislatif di
144
tingkat nasional bersama Dewan Perwakilan Daerah. Secara khusus
DPD bukan menggantikan Utusan Daerah namun semacam Senat
yang terdiri dari perwakilan Senat negara-negara bagian di Amerika
Serikat. Karena kedua lembaga yang mengadakan joint session
tersebut mewakili rakyat maka dapat diidentifikasi bahwa keduanya
adalah legislatif.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan publik tertinggi
dibuat oleh legislatif dan ini mengikuti prinsip dasar dari Teori Politik
Trias Politica yang diajarkan oleh Montesquieu pada abad Pencerahan
di Prancis abad 17. Secara ekstrem, formulasi kebijakan atau
perundangan adalah legislatif dan eksekutif hanya melaksanakan saja,
sementara yudikatif mengadili jika eksekutif melakukan pelanggaran.
Di masa-masa awal teori-teori administrasi publik pendekatan
ini diikuti dengan paradigma when politics end administration begin
(1900-1926). Tidak dipungkiri ini adalah ide yang paling ideal tentang
kebijakan publik, karena kebijakan publik sebenarnya adalah kontrak
antara rakyat dengan penguasa akan hal-hal penting yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan bersama, sebuah istilah diikonkan
Jean Jacques Rousseau, filsuf sosial Prancis yang sezaman dengan,
Montesquieu sebagai the social contract or principles of political right.
Dikemukakan oleh Rousseau, (1975) dalam Riant Nugroho
(2004:60). Demokrasi adalah sebuah suasana di mana seorang
penguasa dipilih bukan atas dasar kelahiran atau kekerasan namun
145
atas dasar sebuah kontrak yang dibuat bersama melalui mekanisme
pemilihan umum langsung atau tidak langsung dan siapapun yang
menjadi penguasa harus membuat kontrak sosial dengan rakyatnya.
Kebijakan publik adalah kontrak sosial itu sendiri.
Kebijakan publik yang kedua adalah yang dibuat dalam bentuk
kerjasama antara legislatif dan eksekutif. Model ini bukan menyiratkan
ketidakmampuan legislatif, namun mencerminkan tingkat kompleksitas
permasalahan yang tidak memungkinkan legislatif bekerja sendiri. Di
Indonesia produk kebijakan publik yang dibuat oleh kerja sama kedua
lembaga ini adalah Undang-Undang di tingkat nasional dan Peraturan
Daerah di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Secara khusus di
tingkat nasional untuk hal-hal tertentu yang bersifat darurat, maka
pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang atau PERPU yang bersifat sementara sampai UU-nya
dibuat. Bahkan di Indonesia yang mengesahkan UU adalah Presiden.
Undang-Undang sendiri disahkan setelah ada persetujuan legislatif dan
eksekutif (Presiden).
Kebijakan ketiga adalah kebijakan yang dibuat oleh eksekutif
saja, dalam perkembangannya, peran eksekutif tidak cukup hanya
melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh legislatif, karena semakin
meningkatnya kompleksitas kehidupan bersama diperlukan kebijakan-
kebijakan publik pelaksanaan yang berfungsi sebagai turunan dari
kebijakan publik diatasnya. UU yang telah disahkan/diundangkan tidak
146
mungkin dapat dilaksanakan jika tidak dibuat beberapa Peraturan
Pelaksanaan baik dalam bentuk PP, Kepres, hingga Keputusan Kepala
Daerah dan seterusnya.
Kebijakan publik yang hanya dibuat oleh eksekutif untuk
melaksanakan kebijakan publik yang bersifat umum yang dibuat oleh
legislatif, baik secara tunggal (UUD, Ketetapan MPR) maupun melalui
bekerja sama dengan eksekutif (Undang-Undang). Di Indonesia ragam
kebijakan publik yang ditangani eksekutif bertingkat yaitu :
1. Peraturan Pemerintah (PP)
2. Keputusan Presiden (Kepres)
3. Keputusan Menteri (Kepmen) atau Kepala Lembaga Pemerintah
Non Departemen
4. dan seterusnya.
Di tingkat daerah, yang ada adalah :
1. Keputusan Gubernur, dan bertingkat keputusan dinas-dinas di
bawahnya;
2. Keputusan Bupati, dan bertingkat keputusan dinas-dinas di
bawahnya;
Berdasarkan uraian tersebut diatas, peneliti memandang bahwa
teori kebijakan publik relevan ditarapkan dalam disertasi ini.
9. Kebijakan Pendidikan dalam Kebijakan Publik
147
Ciri-ciri umum dari suatu negara adalah merdeka atau
mempunyai kedaulatan, mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan
mempunyai pemerintahan. Manusia yang hidup di dalam negara inilah
disebut sebagai "sebuah ke�hidupan bersama". Kehidupan bersama
perlu ditata atau diatur, oleh peraturan yang berlaku untuk semuanya
dan "Aturan" merupakan bahasa awam dari kebijakan publik. Dengan
memahami fakta ini, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan publik
menentukan keberhasilan (dan kegagal�an) pembangunan dan
kemajuan setiap negara, karena ke�bijakan publik berada pada sisi hulu
dari kehidupan bersama tersebut.;
Kebijakan publik mempunyai ragam definisi. James P. Lester dan
Joseph Stewart (1997:4), meringkas sebagai berikut:
Thomas R. Dye....defines public policy as "whatgovenimentdo, why they do it, and What difference i t makes ".. Harold Lnszoell...defines public policed as "a projected program of goals, values, and practices ". David Easton see it as "the impact ofgovernrnent activihy"....Austin Ranney less public police as "a selected line o f action or a declaration of intent". Finally, James Anderson defines the teens as "a purposive course o faction followed by an actor or set of actors in dealing With a problem or matter of concern
Definisi yang banyak diikuti adalah definisi Thomas R. Dye
(1992:24) yang mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai segala
sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan
hasil yang membuat sebuah ke�hidupan bersama tampil berbeda
merupakan pemahaman yang paling banyak dikembangkan.
Dikatakannya demi�kian:
148
"Public policy is whatever government choose to do or not to do. Government do many things. Note that we are focusing not only Oil government action but also on government in action, that is, what government chooses not to do. We contend that government in action can have just as great nn impact on society as government action. " Public policy is what government do, why they do it, and what difference it makes."
David Easton (1953:129), memahami kebijakan publik sebagai
alokasi nilai-nilai yang dilakukan oleh pemerintah secara otoritatif.
Dikatakan demikian:
" the authoritative allocation of value for the whole society but is turns out that only the governrnent can authoritatively act on the "whole" society, and everything that government choose to do or not to do results in the allocation of values."
Dari definisi-definisi tersebut, dapat dikenali ciri-ciri kebijakan
public Pertama, kebijakan publik adalah ke�bijakan yang dibuat oleh
negara, yaitu berkenaan dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Kedua, ke�bijakan publik adalah kebijakan yang mengatur
kehidupan bersama atau kehidupan publik, dan bukan mengatur
ke�hidupan orang seorang atau golongan. Kebijakan publik mengatur
semua yang ada pada wilayah (domain) lembaga publik. Kebijakan
publik mengatur masalah bersama, atau masalah pribadi atau
golongan, yang sudah menjadi masalah bersama dari seluruh
masyarakat di daerah itu. Ketiga, dikatakan sebagai kebijakan publik
jika terdapat tingkat eksternalitas yang tinggi, yaitu di mana pemanfaat
atau yang terpengaruh bukan saja pengguna langsung kebijakan publik,
tetapi juga yang tidak langsung.
149
Sebagai sebuah keputusan negara, maka tujuan dari kebijakan
publik adalah membangun tertib kehidupan publik. Mengikuti istilah
Samuel Huntington, kebijakan publik dibuat untuk mengembangkan
"tertib politik."Pemikiran ini dikembangkan dari pandangan negara dari
sisi hukum, di mana negara bekerja untuk menegakkan hukum dan
keadilan untuk publik. Kebijakan publik yang berkembang di negara-
negara berkembang mempunyai dimensi yang khas, lebih luas dari
pemahaman hukum tersebut, yaitu untuk melakukan pembangunan
sebagai upaya ketertinggalannya.
James P. Lester dan Joseph Steward, Jr.(2000:8), dengan
me�ngembangkan pemikiran dari Theodore Lewi yang melihat kebijakan
publik dalam dua kategori yaitu konservatif dan liberal,
mengelompokkan menjadi kebijakan memper�tahankan status quo legal
atau konservatif dan kebijakan perubahan social pembangunan atau
liberal. Dikatakan Lester dan Steward sebagai berikut:
....liberal policies are those in which the government is used extensively to bring about social change... conservative policies, on the other hand, generally oppose the use o f government to bring aboutsocial change, but may approve government action to preserve the status quo or to promote favored interest"-'
Pada penelitian ini, peneliti memilih untuk membatasi
pemahaman kebijakan publik sebagai keputusan-keputus�an yang
dibuat oleh institusi negara, terkhusus keputusan politik pada tingkat
pemeritah provinsi dan kabupaten kota dalam rangka mencapai visi dan
150
misi provinsi dan kabupaten/kota. Keputusan politik tersebut khususnya
dibuat oleh lembaga legislatif dan/atau lembaga eksekutif. Berkenaan
dengan kebijakan publik pada tingkat daerah otonom adalah kebijakan
publik yang dibuat oleh legislatif dan/atau eksekutif di tingkat daerah
otonom.
Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik dibidang pendidikan.
Ensiklopedia Wikipedia menyebutkan bahwa kebijakan pendidikan
berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur
pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di dalamnya tujuan
pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Selengkapnya
disebutkan demikian:
Education policy refers to thecollcction of laws or rules that govern the operation ofeducation systems. It seeks to answer questions about the purpose of education, the objectives (societal and personal) that it is designed to attain, the methods for attaining them and the tools for measuring their success or-failure.'
Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen, John Codd, dan
Anne-Marie O'Neil,(2000:1-2) kebijakan pendidikan merupakan kunci
bagi keunggulan, bahkan eksistensi, bagi negara-bangsa dalam
persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan
prioritas utama dalam era globalisasi. Salah satu argumen utamanya
adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang
memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan.
Dikatakan sebagai berikut:
151
...education policy in the twenty-first century is the key to global security, sustainability and surniVal...education policies are central to such global mission.. .a deep and robust democracy at national level requires strong civil society based on norms of trust and active response citizenship and that education is central to such a goal. Thus, the strong education state is necessary to sustain democracy at the national level so that strong democratic nation-states can buttress forms of international governance and ensure that globalization becomes a force for global sustainabil ity and survival .
Margaret E. Goertz (2001:45) mengemukakan bahwa
kebijakan pendidikan berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas
anggaran pendidikan. Isu ini menjadi penting dengan me�ningkatnya
kritisi publik terhadap biaya pendidikan. Dikatakan sebagai berikut:
"...An increased emphasis on educational adequacy and thepublic's concern over the high cost of education is focusing police makers' attention on the efficiency and effectiveness of educational spending... "
Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan.
Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk
umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah
umum kepada para manajer untuk bergerak. Nurkolis, (2004:44) dalam
Wasitohadi (2008:27) .Kebijakan juga berarti “suatu keputusan yang
luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen.
Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan hati-hati
oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang
berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan
keputusan”
Sementara, menurut Slamet P.H.(2005:77) dalam Wasitohadi
152
(2008:27) “kebijakan pendidikan adalah apa yang dikatakan
(diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan.”
Dengan demikian, kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan
yang mengalokasikan nilai-nilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan
meliputi lima tipe, yaitu kebijakan regulatori, kebijakan distributif,
kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi dan kebijakan etik.
Sedangkan Noeng Muhadjir (2003:90) membedakan kebijakan
substanstif dan kebijakan implementatif. Kebijakan implementatif adalah
penjabaran sekaligus operasionalisasi dari kebijakan substantive.
Sementara itu Sugiono (2003:9) dalam Wasitohadi (2008:28)
mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy) yaitu (1) sebagai
pernyataan lisan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang
dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan
pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga
tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan
organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk bertindak dalam mencapai
tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus
memenuhi syarat sebagai berikut.
Kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat;
Kebijakan yang dibuat harus berpedoman pada kebijakan yang
lebih tinggi dan memperhatikan kebijakan yang sederajat yang
lain;
153
Kebijakan yang dibuat harus berorientasi ke masa depan;
Kebijakan yang dibuat harus adil;
Kebijakan yang dibuat harus berlaku untuk waktu tertentu;
Kebijakan yang dibuat harus merupakan perbaikan atas
kebijakan yang telah ada;
Kebijakan yang dibuat harus mudah dipahami,
diimplementasikan, dimonitor dan dievaluasi
Kebijakan yang dibuat harus berdasarkan informasi yang benar
dan up to date;
Sebelum kebijakan dijadikan keputusan formal, maka bila
mungkin diujicobakan terlebih dulu.
Herman, J. dalam Hough, J. R. (ed) (1984:44) dalam Wasitohadi
(2008:28) menjelaskan bahwa:
“Policy is sometimes used in a narrow sense to refer to formal statements of action to be followed, while others use the word ‘policy’ as a synonym for words such as ‘plan’ or ‘programme’. Many writers too do not distinguish clearly between ‘policy-making’ and ‘decision-making’”.
Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan tersebut disamaartikan
dengan konsep lain, yaitu :
Goals : desired ends to be achieved. Plans or proposals : specified means for achieving goals. Programmes : authorized means, strategies and details of
procedure for achieving goals. Decision : specific actions taken to set goals, develop plans,
implement and evaluate programmes Effects : measurable impact of programmes Laws or regulations : formal or legal expressions providing
authorization to policies.Policy, then is focused on purposive or goal oriented action or
actively rather than random or chance behaviour. It refers to courses or
154
patterns of action, rather than separate discrete decision; usually policy development and application involves a number or related decisions, rather than a single decision. Policies may vary greatly in orientation, purpose and whether they are explicitly stated. Policies may be either positive or negative in the sense that they can have as their basis decisions to take particular action in response to a problem, as well as developing simply from failure to act, or from decisions to delay action. Policies include substantive policy as well as procedural or administrative policy.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebijakan pendidikan
dipahami oleh peneliti sebagai bagian dari ke�bijakan publik, yaitu
kebijakan publik di bidang pendidik�an. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam
tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan
pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik
pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga
segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik.
Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan pendidikan nasional dapat
dicapai secara efektif dan efisien.
C. Peran Kelembagaan Dalam Peningkatan Sumber Daya Pendidikan
1. Paradigma Baru Pendidikan
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran
arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru,
meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan. Aspek
dimaksud sebagaimana dikemukakan Fasli Jalal (2001:5) yaitu (1) dari
sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari kebijakan yang top down ke
kebijakan yang bottom up, (3) dari orientasi pengembangan parsial
155
menjadi orientasi pengembangan holistik, (4) dari peran pemerintah
sangat dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara
kualitatif dan kuantitatif, serta (5) dari lemahnya peran institusi non
sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, LSM,
pesantren, maupun dunia usaha.
Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Depdiknas
(2002:10) tentang Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas
Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari “sentralistik ke
desentralistik” dan orientasi pendekatan “dari atas ke bawah” (top down
approach) ke pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach)
sebagaimana yang sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga
disebutkan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi
berlebihan” ke “debirokratisasi”, dari “Manajemen Tertutup” (Closed
Management) ke “Manajemen Terbuka” (Open Management), dan
pengembangan pendidikan, termasuk biayanya, “terbesar menjadi
tanggung jawab pemerintah” berubah ke “sebagian besar menjadi
tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka
wujud pergeseran paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai
berikut.;
a. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan
Sebelum era reformasi, pengelolaan pendidikan sangat
sentralistik. Hampir seluru kebijakan pendidikan dan pengelolaan
156
pelaksanaan pendidikan diatur dari Depdikbud. Seluruh jajaran, tingkat
Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota, bahkan
sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat terhadap
kebijakan-kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk-
petunjuk pelaksanaannya. Kakandep dan sekolah-sekolah tidak
diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah
ditetapkan oleh Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak sesuai
dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan masyarakat di
daerah.Dalam era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke
desentralistik.
Pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari
Depdiknas ke Dinas Pendidikan Provinsi, dan sebagian lainnya kepada
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan juga kepada sekolah-
sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada
rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.
Paradigma baru pendidikan nasional memberikan ruang kepada
kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota, membuat Peraturan-
Peraturan Daerah, mengenai pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.
Dengan desentralisasi manajemen pendidikan, Dinas Pendidikan
tingkat kabupaten/kota sebagai perangkat pemerintah kabupaten/kota
yang otonom, dapat membuat kebijakan kebijakan pendidikan, masing-
masing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah
Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan
157
pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota, setiap sekolah juga diberi
peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy) masing-
masing atas dasar konsep “manajemen berbasis sekolah” dan
“pendidikan berbasis masyarakat”. Perubahan dan kemajuan
pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sangat bergantung pada
kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-
masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.
b. Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up;
Sebelum UU Otonomi Daerah diberlakukan, pendekatan
pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan dengan
mekanisme pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach),
Noeng Muhadjir (2003:61) menyatakan “bahwa kebijakan yang berasal
dari atas (top down), di bawah membantu implementasinya disebut
menggunakan paradigma public policy, sedangkan kebijakan yang
berasal dari bawah (bottom up) disebut menggunakan paradigm social
policy. Berbagai kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan
hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus di
Provinsi ditentukan oleh Kanwil Depdikbud, dan dalam hal khusus
lainnya di Kabupaten/Kota ditentukan oleh Kakandepdikbud, untuk
dilaksanakan oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di
sekolah-sekolah.
Di Era reformasi, upaya pengembangan pendidikan dilakukan
dengan orientasi pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up
158
approach). Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan
keputusan di setiap level instansi, misalnya sekolah, Dinas
Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara pendidikan.
Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan
umum sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi oleh
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung
jawabnya.
c. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik
Selama ini, orientasi pengembangan pendidikan bersifat parsial,
misalnya, pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan
sebagaimana dikemukakan Fasli Jalal, (2001:5). Pendidikan juga terlalu
menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional, sosial,
fisik dan seni kurang mendapatkan tekanan (Paul Suparno, 2003:98).
Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam
pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan
unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup
bersama), to be (menjadi) kurang menonjol. Di Indonesia kesadaran
akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat anak
didik lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan
dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah pisah dan kurang
159
integrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak ada
kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan
bersifat holistik. Menurut Fasli Jalal, (2001:5) Pendidikan diarahkan
untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan
budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama,
kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum. Menurut Paul
Suparno (2003:100) dalam Wasitohadi (2008:16) , pendidikan holistik
dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah
keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses
menjadi (being).
Hent (2001:71) dalam Wasitohadi (2008:16) mengemukakan
Konsep saling keterkaitan (interdefendensi) “ Interdependensi adalah
saling ketergantungan satu unsur dengan yang lain. Masing-masing
tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada saling
ketergantungan antara guru dengan siswa, antara siswa dengan siswa
lain, antara guru dengan guru lain, dan lain-lain. Interrelasi
dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan antara
unsur yang satu dengan yang lain dalam pendidikan.
Hubungan interdependensi dimakasud adalah hubungan antara
pendidik dengan yang dididik, antara siswa dengan siswa lain, antara
pendidik dengan pendidik lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan
dengan pengajaran tetapi juga relasi sebagai manusia, sebagai pribadi.
160
Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut andil dalam sistem
itu, dalam pendidikan secara nyata siswa hanya akan berkembang bila
terlibat,ikut aktif di dalamnya.
d. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif.
Sebelum UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004, peran pemerintah
sangat dominan. Sumarno, (2001:3), menjelaskan bahwa “hampir
semua aspek dari pendidikan diputuskan kebijakan dan
perencanaannya di tingkat pusat, sehingga daerah terkondisikan lebih
hanya sebagai pelaksana” dengan kata lain pendidikan dikelola tanpa
mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah
cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan
pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab
sepenuhnya ada pada pemerintah pusat.
Lebih lanjut Tilaar, (1999:113) menegaskan bahwa masyarakat
tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan.
Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai
konstituen dari sistem pendidikan nasional yang terpenting, telah
kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk
peserta didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem
yang otoriter.
161
Sesudah diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 1999, ada
perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong
partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan
Pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah.
Pembentukan komite Sekolah didasarkan pada keputusan Mendiknas
No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite sekolah.
Pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan,
akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah
harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara
luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses sosialisasi
oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon
anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan
penyampaian hasil pemilihan.
Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite
sekolah hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban
kinerjanya maupun penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara
demokratis berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan
pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang
perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.
e. Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat.
162
Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah.
Dalam era otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi
sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan
fungsi mendidik generasi penerus bangsa.
Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap,
kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara
aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan. Institusi pendidikan
tradisionil seperti pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah
organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan
sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik,
melainkan juga diupayakan untuk nasional.
Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia
usaha/industri dan sektor swasta dalam pendidikan karena sebagai
pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung jawab
dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, Fasli Jalal, (2001:72-
73). Mengemukakan perlu dilakukan pembenahan sebagai kebijakan
dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan,
pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous
enrichment) dan pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative policy)
f. Dari ”birokrasi” ke ”debirokratisasi”.
163
Sebelum UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,
berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol
oleh pejabat-pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-
aturan (regulasi) yang ketat, bahkan sebagiannya sangat ketat dan
kaku oleh Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi
pengelolaan sebagian sekolah-sekolah, dalam iklim ”birokrasi yang
amat berlebihan”. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan
adanya pejabat birokrat yang menggunakan ”kekuasaan secara
berlebihan” dalam pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya.
Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di
sekolah-sekolah.
Selain itu, memperpendek jalur birokrasi dalam penyelesaian
masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar
”kekuasaan” atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip
profesionalisme dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang
dan tanggung jawab dalam desentralisasi. Di samping itu, juga
dilakukan ”deregulasi”, dalam arti ”pengurangan” aturan-aturan
kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, dan
prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk
berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan
penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan
prasarana/sarana untuk sekolah.
164
f. Dari ”manajemen tertutup” (close management) ke
”managemen terbuka” (open management).
Sebelum era reformasi 1999, sistem pendidikan nasional
diterapkan dalam bentuk ”manajemen tertutup”, sehingga melahirkan
kondisi yang tidak transparan, tidak ada akuntabilitas kepada publik
dalam pengelolaan pendidikan. Saat ini , manajemen pendidikan
menerapkan ”manajemen terbuka” dari pembuatan kebijakan,
pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan perbaikan
kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan
dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok
masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima
kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
g. Dari pengembangan pendidikan ”terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke ”sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders)
Sebelum diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar
menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi
tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Dalam
era reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan
pendidikan, berupa gaji honorarium/tunjangan mengajar,
165
penataran/pelatihan,rehabilitasi gedung dan lain-lain, diupayakan
supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang tua siswa
dan masyarakat (stakeholders).
Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan banyak
bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta
pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek proyek
khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal
kepentingan nasional lainnya dari Depdiknas , dan dari Dinas Provinsi.
2. Pengembangan Kapasitas
Konsep desentralisasi yang ditawarkan oleh UU No.32 tahun
2004, khususnya dalam penerapan otonomi pendidikan oleh Anneli
Milen (2006 : 3) mengapresiasi bahwa yang perlu mendapatkan
pembahasan lebih jauh adalah, apakah sudah tersedia cukup kesiapan
dari daerah untuk mengimplementasikan konsepsi tersebut”?
Pertanya�an ini memang terkesan agak memojokkan daerah, dan juga
mengandung unsur ketidakpercayaan. Akan tetapi yang menjadi
masalah kita bukan kehendak untuk menarik kembali desentralisasi,
melainkan hendak memastikan: apa yang harus dipersiapkan agar
pemerintah daerah dapat benar-�benar menjalankan konsep
desentralisasi, khususnya dalam bidang pendidikan. Pengalaman masa
lalu, harus diakui telah membentuk semacam karakter dari pemerintah
daerah, sehingga untuk segera mengubah kebiasaan lama dan
166
membentuk kebiasaan baru, tidak mudah untuk dilakukan, tanpa
sebuah perubahan yang mendasar di kalangan pemerintah daerah,
maka akan sulit bagi pemerintah daerah untuk dapat menggunakan
skema desentralisasi secara maksimal.
Anneli Milen (2006 : 6) hendak memberikan inspirasi, sebagai
berikut: Pembenahan pemerintahan daerah, pada dasarnya memiliki
makna: (1) kemampuan daerah dalam menerjemahkan aspirasi
masyarakat, dan kemampuan daerah untuk membuka ruang bagi
penyaluran aspirasi masyarakat; (2) kemampuan daerah untuk
mengkomunikasikan kepentingan daerah dan mensinergikannya
dengan gerak nasional; dan (3) kemampuan masyarakat daerah dan
seluruh pihak yang berkepentingan untuk melakukan kontrol efektif
pada penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga benar-benar
dapat bekerja sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat, dan
benar-benar dapat mengubah taraf hidup masyarakat daerah, dengan
sumberdaya yang tersedia.
Oleh sebab itu , menurut penulis pemerintah daerah perlu
memiliki kepekaan dan kemampuan dalam: (1) memahami secara
benar tugas pokok dan fungsi dari pemerintah daerah. Apa yang
dimaksudkan dengan pemahaman mengenai tugas pokok dan fungsi, di
sini, tentu bukan pemahaman yang bersifat artifisial, melainkan yang
subtansial, yang ditunjukan dengan rasa nyaman masyarakat ketika
berhubungan dengan pemerintah daerah; (2) kemampuan pemerintah
167
daerah dalam menyusun prioritas, khususnya dalam pengembangan
infrastruktur daerah dan pemberian layanan; (3) kemampuan menyusun
alokasi infrastruktur berkait dengan kebutuhan dan prioritas
pembangunan dan kemampuan dalam membuat perencanaan
pembangunan infrastruktur dan penganggaran; (5) kemampuan
menyusun standar layanan; dan (6) kemampuan dalam melakukan
komunikasi politik dengan masyarakat, sehingga diperoleh masukan
yang produktif berkaitan dengan arah pembangunan daerah.
Gambaran tersebut, pada dasarnya hanya sebagian kecil dari apa
yang memang harus dibenahi. Sejalan dengan itu, Anneli Milen (2006
:8) mengemukakan bahwa pada dasarnya ada tiga masalah dasar yang
nyata-nyata patut dipertimbangkan untuk dibenahi, yakni: Pertama,
kemampuan pemerintah daerah untuk berhubungan dengan
masyarakat daerah. Dalam masalah ini, pemerintah daerah dituntut
untuk dapat meninggalkan model lama yang menempatkan pemerintah
sebagai tukang perintah, kepada situasi yang baru, sebagai pelayanan
(yang mengurusi apa yang dibutuhkan masyarakat). Kedua,
kemampuan pemerintah daerah untuk menerjemahkan aspirasi dalam
kebijakan-kebijakan yang mendukung gerak maju masyarakat daerah.
Kebijakan daerah memang harus disusun berdasarkan aspirasi
masyarakat, partisipasi menjadi penting, namun lebih lagi adalah
kejelian untuk membuat rumusan yang nyata-nyata tidak merugikan
rakyat daerah. Dan ketiga, kemampuan untuk menjalankan kebijakan
168
sesuai dengan apa adanya, dan tidak terjebak dalam proses
manipulasi.
Dalam rangka meningkatkan peran daerah, UNDP dalam garis
panduannya mengemukakan bahwa penguatan kapasitas
menggunakan tiga tingkat : sistem, organisasi dan individu (UNDP,
1998) Disini kerangka kerja yang digunakan sama baiknya dengan
mempertimbangkan lingkungan yang kompleks dalam sektor publik dan
sektor swasta, Hilderbrand, Grindle, (1997) dalam Anneli Milen (2006)
dikatakan bahwa empat tingkat tersebut memiliki impak dalam
kapasitas, a) lingkungan tindakan, b) Kontek Institusi Sektor Publik, c)
Simpul tugas (atau Sistem), d) Organisasi
Pengembangan kapasitas tingkat makro meliputi : (1) arahan-
arahan, (2) bimbingan, (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol.
Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup kemampuan dalam
merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan
pendidikan, manajemen pada semua aspek pendidikan (kurikulum,
ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi
manajemen pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan
legislasi), pendidikan, pengembangan sumberdaya manusia,
pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta struktur
organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi,
prosedur dan mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antar
organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,
169
pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain. Kesiapan
kapasitas sumber daya mencakup sumber daya manusia
(manajer/pemimpin, staf dan pelaksana) dan sumber daya selebihnya
(uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan,
pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi oleh kesadaran bahwa
pengembangan ikhtiar pendidikan harus dilakukan secara terpadu
antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena masing-
masing memiliki pengaruh terhadap pendidikan anak.
3. Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan
Hubungan masyarakat dan pendidikan digambarkan Thomson
dalam bukunya Modern Philosophy of Edu�cation sebagai berikut:
"Educational is concerned with the problem of individual and society, is indeed, by some defined as the process of fitting the individual to take his place in society."
"Pendidikan berhubungan dengan masalah manusia pribadi dan masyarakat, dan oleh beberapa ahli diberi batasan sebagai proses penyesuaian oleh pribadi untuk melaksanakan fungsinya di dalam masyarakat."
Sementara pada bagian lain dengan mengutip tulisan John Dewey,
Richey menulis:
"On the other hand, one may believe that "education is the fundamental method of social program and reform" and that "it is the business of every one interested in education to insist upon the school as the primary and mostt effective instrument of social program and reform."
Di lain pihak, seseorang mungkin berpendapat bahwa
"pendidikan ialah metode fundamental untuk memajukan dan
170
memperbarui masyarakat" dan bahwa "itu adalah sebagai masalah
setiap orang yang berminat dengan pendidikan untuk menggunakan
sekolah sebagai alat utama dan paling efektif untuk memajukan dan
memperbaharui suatu masyarakat."
Penjelasan di atas memberi penegasan bahwa ada korelasi yang
signifikan antara masyarakat dengan pendidikan. Bahwa untuk dapat
menunaikan semua fungsi kemanusiaan dan fungsi sosial di dalam
masyarakat, atau dalam pengertian bagaimana manusia (individu)
mampu menunaikan kewajiban di dalam kehidupan sosialnya perlu ada
kesadaran-kesadaran nilai dan kecakapan-kecakapan tertentu. Dan
tentu saja kesadaran-kesadaran dan kecakapan itu tidak ada dengan
begitu saja, melainkan membutuhkan suatu proses tersendiri.
Bahwa butuh proses bagi manusia untuk dapat menunaikan
fungsi kemanusiaan dan fungsi sosial di dalam masyarakat, lantas di
sinilah kemudian terlihat bagaimana arti penting peran pendidikan di
dalamnya. Karena perkembangan kepribadian manusia ke tingkat
kematangan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor biologis,
lingkungan alamiah, maupun lingkungan sosial budaya.
Terlebih melalui bekal ilmu dan pengetahuan yang diperoleh dari
bangku pendidikan (sekolah) diharapkan nantinya bisa membawa diri,
keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya ke peradaban yang
cemerlang, menuju ke suatu kehidupan yang dinamis dan beradab.
Perlu pula dicatat bahwa pendidikan yang diperoleh oleh peserta didik
171
tidak terbatas pada institusi formal (sekolah) semata, akan tetapi
pendidikan dalam keluarga dan masyarakat.
Pembangunan berbasis manusia dan pemberdayaan
masyarakat merupakan salah satu konsep yang paling populer dewasa
ini. Konsep ini mulai muncul sekitar tahun 1970-an dan berkembang
sepanjang tahun 1980-an hingga akhir 1990-an. Perkembangannya
mungkin tidak dapat dilepaskan dari perkembangan demokrasi yang
terjadi beberapa dekade terakhir. Partisipasi masyarakat (rakyat) dalam
proses pembuatan keputusan dan pemerintahan secara umum, sebagai
salah satu prinsip demokrasi, berkembang menjadi tuntutan yang
semakin luas diterima di berbagai belahan dunia. Tuntutan akan
partisipasi ini berangkat dari pemahaman bahwa rakyat adalah pemilik
kedaulatan dan kekuasaan sesungguhnya dalam sebuah negara.
Dalam hal pendekatan pembangunan, tuntutan akan partisipasi
ini telah mengubah paradigma mengenai posisi masyarakat dalam
proses pembangunan. Masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai
objek, tetapi ikut terlibat mulai dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan hingga pertanggungjawabannya. Pendekatan ini
menyadari betapa pentingnya kapasitas masyarakat untuk
meningkatkan kemandirian dan kemampuan internalnya atas segala
sumber daya yang dimilikinya. Model semacam ini sangat menekankan
pentingnya pemberdayaan (empowerment) dan inisiatif rakyat sebagai
inti dari sumber daya pembangunan.
172
Meskipun secara umum terdapat kesepakatan akan pentingnya
pemberdayaan masyarakat, namun ada beberapa hal yang menjadi
permasalahan untuk mengimplementasikannya dalam tataran praksis.
Permasalahan tersebut khususnya menyangkut ketiadaan konsep yang
jelas mengenai apa itu pemberdayaan masyarakat; batasan
masyarakat yang sukses melakukan pemberdayaan; peran masing-
masing pemerintah, masyarakat dan swasta; mekanisme
pencapaiannya; dan sebagainya. Upaya pemberdayaan masyarakat
karena itu menuntut pengelolaan kegiatan secara lebih tepat,
akomodatif, terukur, tertib, akuntabel yang meliputi rangkaian proses
penyusunan Rencana dan Anggaran, Pelaksanaan, Pengawasan dan
Laporan Pertanggungjawaban.
Pada dasarnya pemberdayaan merupakan suatu proses
perubahan yang menempatkan kreativitas dan prakarsa masyarakat.
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa elemen penting dari
pemberdayaan adalah partisipasi. Partisipasi merupakan proses aktif,
inisiatif diambil oleh masyarakat sendiri, dibimbing oleh cara berfikir
mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga
dan mekanisme) di mana mereka dapat menegaskan kontrol secara
efektif. Dalam konteks pembangunan dan demokratisasi di Indonesia,
pemberdayaan masyarakat dalam bidang politik menjadi penting. Di
negara-negara yang menganut paham demokrasi, gagasan mengenai
partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut
173
menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya
menentukan kebijaksanaan umum (public policy).
Tingginya partisipasi menunjukkan bahwa warga negara
memahami kehidupan politik. Pada sisi yang lain, rendahnya partisipasi
dapat dianggap sebagai rendahnya kepedulian dan pengetahuan warga
negara dalam kehidupan politik atau bisa jadi terdapat batasan serta
tidak adanya kesempatan dalam kehidupan politik. Sebaliknya, di
negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari
pandangan elite politiknya yang melihat rakyat perlu dibimbing dan
dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson,(1977:3). Berpendapat
Partisipasi warga negara (private citizen) bertujuan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi
bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap
atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal,
efektif atau tidak efektif
Norman H. Nie dan Sidney Verba, (1975:1). mengemukakan
Partispasi warga negara yang legal bertujuan untuk mempengaruhi
seleksi pejabat-pejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil
mereka. Adapun warga negara yang sama sekali tidak melibatkan diri
dalam partisipasi politik disebut apati (apaty). Hal ini terjadi karena
beberapa sebab. Pertama, adanya sikap acuh tak acuh, tidak tertarik
atau rendahnya pemahaman mereka mengenai masalah politik. Kedua,
174
adanya keyakinan bahwa usaha mereka untuk mempengaruhi
kebijakan pemerintah tidak berhasil. Ketiga, mereka tinggal dalam
lingkungan yang menganggap bahwa tindakan apati merupakan suatu
tindakan terpuji.
Dalam beberapa kasus, tindakan apati bukanlah masalah yang
harus selalu dirisaukan karena tindakan acuh tak acuh dapat menjadi
positif apabila memberikan fleksibilitas pada sistem politik dibandingkan
dengan masyarakat yang terlalu aktif sehingga menjurus pada
pertikaian yang berlebihan. Di Amerika Serikat misalnya, gejala tidak
memberikan suara dapat dilihat sebagai suatu pencerminan stabilitas
sistem politik yang ada. Dan juga mereka lebih aktif dalam
berpartisipasi untuk pemecahan masalah melalui kegiatan lain.
Kecenderungan ini dapat dilihat dengan penggabungan diri tidak saja
pada organisasi-organisasi politik, tetapi juga pada organisasi bisnis,
profesi, dan sebagainya.
Menurut Myron Wiener, ada dua faktor pendorong bagi
menguatnya partisipasi politik. Pertama, tumbuhnya angkatan kerja
perkotaan yang bekerja di sektor industri yang mendorong timbulnya
organisasi buruh. Kedua, pertumbuhan komunikasi massa yaitu karena
perkembangan penduduk, transportasi, komunikasi antara pusat-pusat
kota dan daerah terbelakang, penyebaran surat kabar, penggunaan
radio, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kesadaran anggota
175
masyarakat akan pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap tiap-
tiap warga negara.
Jefry M. Paige memberikan dua indikator dalam menjelaskan
pola partisipasi politik. Pertama, kesadaran politik yakni kesadaran
seseorang akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang
menyangkut pengetahuannya mengenai lingkungan masyarakat dan
politik serta menyangkut minat dan perhatiannya terhadap lingkungan
masyarakat dan politik tempat ia hidup. Kedua, kepercayaan politik
yaitu penilaian seseorang terhadap pemerintah dan sistem politik yang
ada, apakah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak. Dengan
mengkorelasikan kesadaran politik dan kepercayaan politik itu, Paige
kemudian membagi pola partisipasi politik menjadi empat tipe:
1. Partisipasi politik dikatakan aktif apabila tingkat kesadaran dan
kepercayaan politiknya tinggi.
2. Partisipasi politik terlihat apatis jika tingkat kesadaran dan
kepercayaan politik rendah.
3. Partisipasi politik cenderung militan-radikal apabila kesadaran
politik tinggi, tetapi kepercayaan politik rendah.
4. Partisipasi politik cenderung pasif jika kesadaran politik rendah
tetapi kepercayaan politik tinggi.
Pola partisipasi politik yang ditunjukkan melalui kadar tinggi
rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan politik seperti
dikemukakan di atas, pada dasarnya ditentukan oleh setidak-tidaknya
176
tiga faktor utama, yaitu tingkat pendidikan, tingkat kehidupan ekonomi,
dan sistem.
Dalam sistem negara demokratis, partisipasi politik merupakan
elemen yang penting. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa kedaulatan
ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama
untuk menetapkan tujuan-tujuan kolektif. Anggota masyarakat yang
berpartisipasi dalam proses politik terdorong oleh keyakinan bahwa
melalui kegiatan itu kepentingan mereka akan tersalur atau
sekurangnya diperhatikan dan sedikit banyak dapat mempengaruhi
tindakan yang berwenang yang diwujudkan dalam sebuah keputusan.
Masyarakat percaya bahwa kegiatan yang mereka lakukan mempunyai
efek (political efficacy).
Konsep pemberdayaan tumbuh mulai tahun 1970-an dan terus
mengalami perkembangan hingga tahun 1990-an. Menurut Pranarka
dan Vidhyandika, konsep ini memiliki pemikiran yang searah dengan
berbagai aliran pemikiran yang berkembang pada akhir abad ke-20,
yang biasa dikenal sebagai aliran posmodernisme. Aliran
posmodernisme, termasuk di dalamnya antara lain eksistensialisme,
fenomologi, personalisme, neomarxisme, freudanisme serta berbagai
aliran strukturalisme, menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang
berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur dan antideterminisme
yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Harry Hikmat, (2001:1-2).
177
mengemukakan konsep pemberdayaan dapat dilihat sebagai akibat dari
dan reaksi terhadap alam pikiran, tata masyarakat dan budaya yang
berkembang dalam sebuah masyarakat pada awal kelahirannya.
Konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif
baru dalam pembangunan masyarakat. Proses pemberdayaan dengan
demikian merupakan depowerment dari sistem kekuasaan yang bersifat
absolut. Konsep pemberdayaan menggantikannya dengan sebuah
sistem yang baru, yang memberikan perhatian penting pada gagasan
manusia dan kemanusiaan (humanisme). Menurut Pranarka dan
Vidhyandika dalam Harry Hikmat (2001:2) gagasan humanisme ini
memiliki kesamaan dengan apa yang diajukan aliran fenomologi,
personalisme dan eksistensialisme. Aliran-aliran tersebut menolak
segala bentuk kekuasaan yang bermuara pada dehumanisasi atas
eksistensi manusia. Demikian juga dengan aliran neomarxis,
freudianisme dan lainnya yang menggugat dehumanisasi yang
dihasilkan oleh kapitalisme, industrialisasi dan teknologi.
Adimihardja, (2001:1). Pemberdayaan masyarakat merupakan
strategi besar dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada
rakyat (people based development). Pendekatan ini menyadari
pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan
kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol
internal atas sumber daya material dan non-material yang penting
melalui redistribusi modal atau kepemilikan. Pendekatan ini melihat
178
bahwa permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat bukan
semata-mata akibat penyimpangan perilaku atau masalah kepribadian,
tetapi juga sebagai akibat masalah struktural, kebijakan yang keliru,
inkonsistensi dalam implementasi kebijakan dan tidak adanya
partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pembangunan yang
bersifat sentralistik dapat menghambat tumbuhnya kesadaran
masyarakat bahwa masalah sosial yang ada merupakan masalah
masyarakat, sehingga mereka tidak mampu memanfaatkan potensi dan
sumber daya sosial yang ada untuk mengatasinya. Selain itu, kondisi
struktural yang ada tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk mengartikulasikan aspirasi serta merealisasikan potensinya,
sehingga masyarakat berada dalam kondisi yang tidak berdaya. Dalam
situasi inilah reorientasi paradigma pembangunan menjadi kebutuhan
yang mendesak.
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan biasanya
selalu dikaitkan dengan konsep kemandirian, partisipasi, jaringan kerja
dan keadilan. Menurut Rappaport dalam Hikmat (2001:3),
pemberdayaan merupakan pemahaman secara psikologis pengaruh
individu terhadap keadaan sosial, kekuatan poltik dan hak-haknya
menurut undang-undang. Sementara itu Mc Ardle dalam Hikmat
(2001:3), mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan
keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan
keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif
179
diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan”
untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi
pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka
mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada bantuan pihak luar.
Mc Ardle dalam Hikmat (2001:4), menekankan pentingnya proses
dalam pengambilan keputusan
Sebagaimana dinyatakan Craig dan Mayo dalam Hikmat
(2001:4-5), partisipasi merupakan komponen terpenting dalam upaya
pertumbuhan kemandirian dan proses pemberdayaan. Strategi
pemberdayaan menempatkan partisipasi masyarakat sebagai isu utama
pembangunan saat ini. Partisipasi aktif masyarakat di Dunia Ketiga
dinilai sebagai strategi efektif untuk meningkatkan ekonomi, sosial dan
transformasi budaya. Dengan partisipasi, pembangunan dapat
menjangkau masyarakat terlemah melalui upaya membangkitkan
semangat hidup untuk menolong diri sendiri. Dalam hal ini partisipasi
aktif masyarakat terkait dengan efektivitas, efisiensi, kemandirian dan
jaminan bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Tujuan utama dari pembangunan yang berpusat pada manusia
(people-centered development) adalah untuk menyediakan kepada
seluruh lapisan masyarakat kesempatan hidup secara utuh. Selanjutnya
Craig dan Mayo dalam Hikmat (2001:4-5)) mengemukakan, adapun
nilai-nilai dasar yang dianggap universal dalam pendekatan ini adalah
Partisipasi (participation), terutama bagi kelompok marjinal;
180
Kesinambungan (sustainability), terutama terkait dengan kelestarian
lingkungan; Integrasi sosial (social integration), yang terkait dengan
rasa keadilan; dan Hak-hak dan kemerdekaan asasi (human rights and
fundamental freedoms).
Goulet, (1990:134) Partisipasi dikonsepsikan secara baru
sebagai suatu “insentif moral” yang membolehkan kelompok marjinal
untuk merundingkan “insentif-insentif material” yang baru bagi mereka,
dan sebagai terobosan yang memperbolehkan para pelaku kecil
mendapatkan jalan untuk ikut serta pada level makro dalam pembuatan
kebijakan. Definisi kerja partisipasi dari Marshall Wolfe dalam (Goulet,
1990:135). adalah usaha-usaha terorganisir meningkatkan peranan
pengendalian atas sumber daya-sumber daya dan lembaga-lembaga
regulatif dalam satuan masyarakat tertentu, bagi kelompok-kelompok
dan gerakan-gerakan yang sampai sekarang tidak diikutsertakan dalam
pengendalian masyarakat harus memiliki kesempatan ikut berpartisipasi
dalam segala kegiatan yang ada, mulai pemeriksaan awal masalah,
daftar pemecahan yang mungkin diambil, pemilihan satu kemungkinan
tindakan, mengorganisasi pelaksanaan, evaluasi dalam tahap
pelaksanaan, hingga memperdebatkan mutu dari mobilisasi atau
organisasi lebih lanjut.
Goulet, (1990:137-139). Mengemukakan Pembangunan dalam
sebuah sistem yang non demokratis biasanya masih memperbolehkan
partisipasi di tingkat mikro (pemecahan masalah) asalkan tidak
181
mengganggu ketentuan atau aturan di tingkat makro. Lebih lanjut
Goulet mengemukakan Partisipasi ideal yang sulit ditemukan dalam
tataran praksis adalah partisipasi yang dimulai dari tingkat bawah dan
berkembang ke tingkat atas menuju bidang-bidang yang semakin
meluas dalam pembuatan keputusan. Bentuk partisipasi ideal
diprakarsai, atau sekurang-kurangnya disetujui, oleh masyarakat non-
elit yang berkepentingan pada tingkat awal dalam urutan keputusan-
keputusan. Pemberdayaan pada dasarnya adalah pemberian kekuatan
kepada pihak yang kurang atau tidak berdaya (powerless) agar dapat
memilliki kekuatan yang menjadi modal dasar aktualisasi diri.
Pemberdayaan yang dimaksud tidak hanya mengarah pada individu
semata, tapi juga kolektif (Hikmat, 2001:46-48). Pengertian ini kurang-
lebih sama dengan pendapat Payne dan Shardlow mengenai tujuan
pemberdayaan. Menurut Payne, tujuan utama pemberdayaan adalah
membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan
menentukan tindakan yang akan ia lakukan, yang terkait dengan diri
mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan. Rukminto Adi (2002:162-163) mengemukakan
“pemberdayaan menyangkut permasalahan bagaimana individu,
kelompok ataupun masyarakat berusaha mengontrol kehidupan mereka
sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai
dengan keinginan mereka.
182
Menurut Korten dalam Harry Hikmat, (2001:19) ada tiga dasar
untuk perubahan-perubahan struktural dan normatif dalam
pembangunan yang berpusat pada masyarakat yaitu: Pertama,
memusatkan pemikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada
penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong dan mendukung usaha
rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri dan untuk
memecahkan masalah-masalah mereka sendiri di tingkat individual,
keluarga dan masyarakat. Kedua, Mengembangkan struktur-struktur
dan proses organisasi yang berfungsi menurut kaidah-kaidah
organisasi. Ketiga, mengembangkan sistem-sistem produksi dan
konsumsi yang diorganisasi secara teritorial yang berlandaskan pada
kaidah-kaidah dan pemilikan serta pengendalian lokal.
Jika didiskripsikan dalam disertasi ini, maka penulis menilai
bahwa partisipasi masyarakat dalam pendidikan menjadi suatu
keharusan
183
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN (CONCEPTUAL FRAMEWORK),DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Pemikiran
Era Otonomi Daerah yang dtandai dengan lahirnya Undang-
Undang No 22 Tahun 1999, telah mengakibatkan terjadinya pergeseran
arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru
yang meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan yaitu (1)
dari sentralisasi ke desentralisasi, (2) Dari kebijakan yang top down ke
kebijakan yang bottom up; (3) Dari orientasi pengembangan yang
parsial ke orientasi pengembangan yang holistik; (4) Dari peran
pemerintah yang dominan ke meningkatnya peran serta masyarakat;
(5) Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan
institusi masyarakat, (6) Dari birokrasi ke debirokratisasi.
Jika dilihat keberadaan UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian untuk dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini. Pertama Fungsi
pemerintah dalam bidang pendidikan, yang pada intinya pemerintah
184
daerah diberikan kesempatan yang sangat luas untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat serta mengembangkan prakarsa
dan aspirasi masyarakat dalam meningkatkan pendidikan di daerahnya
Kedua Kewenangan yang dimiliki Pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah yang
pada intinya implementasi kewenangan yang diberikan Pemerintah,
antara lain terkait kebijakan, pembiayaan, kurikulum, sarana dan
prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, serta peningkatan mutu
pendidikan, Dan sejauh mana hubungan kelembagaan tersebut
berjalan, khususnya Dinas pendidikan provinsi dengan Dinas
pendidikan kabupaten/kota serta stakeholder pendidikan, demikian pula
pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh institusi terkait dan
masyarakat ; Ketiga Peran dan partisipasi masyarakat sebagaimana
termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, UU tersebut memberikan diskresi yang luas dalam
pengelolaan pendidikan, pada intinya menguji sejauh mana hak dan
kewajiban masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, selain itu
pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan pada sektor
pendidikan, peran Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan di
Kabupaten/kota
Berdasarkan pada uraian tersebut maka dapat diturunkan
beberapa variabel yang menjadi fokus penelitian sebagaimana
tergambar pada diagram dibawah ini :
185
Diagram 1
Bagan Kerangka Pikir Penelitian
UU No. 32/2004UU No. 20/2003PP No. 38/2007
ASPEK HUKUM PELAKSANAAN FUNGSI PEMERINTAH DAERAHDI BIDANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
DALAM ERA OTONOMI DAERAH
FUNGSI PEMERINTAH (X1) Urusan Pemerintahan Batasan Kewenangan Perencanaan
KEWENANGAN PEMERINTAH (X2) Sinergitas Pem. Daerah Koordinasi Kelembagaan Pengawasan & Pembinaan
PARTISIPASI MASYARAKAT (X3) Hak & Kewajiban Komite Sekolah Dewan Pendidikan
TERWUJUDNYA MODEL PENYELENGGARAAN PENDIDIKANBERBASIS KUALITAS
186
B. Definisi Operasional
a. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat
b. Pemerintah Daerah adalah pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota
c. Fungsi adalah satu jenis pekerjaan/kegiatan atau lebih yang
saling berkaitan yang menghasilkan keluaran tertentu.
d. Kewenangan adalah hak dan kekuasaan pemerintah untuk
menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan. yang dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
berkaitan penyelenggaraan pendidikan.
e. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengelola sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
peraturan perundang-undangan.
f. Desentralisasi pendidikan adalah penyerahan urusan
pemerintahan di bidang pendidikan dari pemerintaah pusat atau
daerah tingkat atasanya kepada pemerintah daerah untuk
mengurus penyelenggaraan pendidikan di daerah.
g. Peraturan Perundang-undangan ialah peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan,
mencakup pula peraturan pemerintah (PP) dan peraturan daerah
(perda) yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan.
187
h. Koordinasi Kelembagaan, adalah proses komunikasi dan
interaksi antara lembaga-lembaga pemerintah, lembaga
swadaya masyarakat, dunia usaha, kemsayarakatan dan lain-
lain. terkait pelaksanaan program-program kependidikan.
i. Sinergitas, adalah keterpaduan antara pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten kota dalam menjabarkan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan.
j. Pengawasan dan pembinaan, adalah proses kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin hasil yang diinginkan dan berperan
penting dan positif dalam proses managemen sedang
pembinaan adalah upayah yang dilakukan pemerintah dalam
menjamin terlaksananya program pendidikan.
k. Partisipasi Masyarakat, adalah menunjukkan pengertian proses
keterikatan masyarakat dalam mempengaruhi keputusan yang
berkaitan dengan pendidikan, partisipasi juga diartikan sebagai
proses dimana para pemilik kepentingan (stakeholders)
pendidikan mempengauhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif
dan kepentingan pembangunan pendidikan.
l. Komite Sekolah/Madrasah adalah lembaga mandiri yang
beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah
serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
188
m. Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang
beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli
pendidikan.
189
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengkaji Aspek Hukum
Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah di Bidang Penyelenggaraan
Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah dan implikasi hukumnya baik
dalam tataran dogmatik hukum (rechtsdogmatiek), maupun dalam
tataran teori hukum (rechts theori), Pada tataran dogmatik hukum
adalah mengkaji tentang norma-norma hukum berupa peraturan
perundang-undagan dan ketentuan peraturan hukum lainnya yang
terkait dengan asperk hukum pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang
penyelenggaraan pendidikan. Dalam konteks ini akan dikaji sejauh
mana kewenangan pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan
pendidikan.
Pada tataran teori hukum adalah pengkajian berupa teori hukum
yang urgen dan relevan berkenaan aspek hukum pelaksanaan fungsi
pemerintah di bidang penyelenggaraan pendidikan.
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan secara yuridis adalah pendekatan yang dilakukan
dengan melihat dari aspek peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah.
190
Penelitian ini termasuk penelitian sosio-yuridis, karena obyek
penelitiannya mengkaji implementasi wewenang/kewenangan
pemerintah, pemerintah propinsi dan kabupten/kota antara ketentuan-
ketentuan peraturan perundang-undagan yang mengatur fungsi
pemerintah di bidang penyelenggaraan pendidikan.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan
lokasi Provinsi Sulawesi Selatan sebagai lokasi penelitian oleh karena
masalah yang hendak dikaji dalam disertasi ini terdapat di daerah ini.
Penelitian ini tidak mengambil lokasi pembanding oleh karena
kedudukan dan peran pemerintah daerah sifatnya seragam di seluruh
daerah dalam wilayah NKRI (UU No. 32 Tahun 2004), juga karena
masalah yang hendak diteliti dan dikaji dalam kaitan fungsi pemerintah
daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan (hampir sama terjadi di
semua daerah) di seluruh wilayah NKRI.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam tiga
kelompok , yaitu :
a. Kelompok eksekutif daerah, yaitu seluruh aparat pemerintah
daerah (eksekutif) yang ada pada daerah provinsi dan
191
kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang
dipilih menjadi sampel dalam penelitian ini.
b. Kelompok legislatif daerah yaitu seluruh anggota DPRD provinsi
dan kabupaten/kota yang ada dalam wilayah kabupaten/kota
pada Provinsi Sulawesi Selatan yang terpilih menjadi sampel
dalam penelitian ini.
c. Kelompok non partisan (independent) yang tidak memihak.
Kelompok ini mewakili penyelenggara pendidikan swasta, tokoh
masyarakat, tokoh adat, LSM di daerah kabupaten/kota yang
dijadikan lokasi penelitian pada Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini ditetapkan dengan teknik
purposive sampling yaitu dengan cara menetapkan jumlah dan
kriteria sampel yang ditetapkan oleh peneliti sebelumnya, sehingga
jumlahnya terbatas kepada responden yang ada hubungannya
dengan pelaksanaan fungsi pemerintah daerah di bidang
penyelenggaraan pendidikan.
Penentuan sample dari populasi adalah, sebagai berikut :
1. Pihak eksekutif daerah dari masing-masing kabupaten/kota
terpilih, meliputi : Dinas Pendidikan Propinsi, Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, masing-masing 5 (lima) orang, dengan
perincian, sebagai berikut :
a. Dinas Pendidikan Propinsi 5 (lima) orang
192
b. Kota Makassar sebanyak 5 (lima) orang
c. Kota Pare-pare sebanyak 5 (lima) orang
d. Kabupaten Gowa sebanyak 5 (lima) orang
e. Kabupaten Sinjai sebanyak 5 (lima) orang
f. Kabupaten Pangkep sebanyak 5 (lima) orang
Sehingga jumlah sample dari unsur eksekutif daerah sebanyak
30 0rang.
2. Pihak legislatif daerah, masing-masing legislatif provinsi dan
legislatif kabupaten/kota terpilih, meliputi : Fraksi, Komisi, dan
dengan perincian, sebagai berikut :
a. DRPD Provinsi Sulsel sebanyak 10 (sepuluh) orang
b. DPRD Kota Makassar sebanyak 6 (enam) orang
c. DPRD Kota Pare-pare sebanyak 6 (enam) orang
d. DPRD Kabupaten Gowa sebanyak 6 (enam) orang
e. DPRD Kabupaten Sinjai sebanyak 6 (enam) orang
f. DPRD Kabupaten Pangkep sebanyak 6 (lima) orang.
Sehingga jumlah sample dari unsur legislatif daerah sebanyak 40
(empat puluh) orang.
3. Kelompok Independen (non partisan) meliputi : Penyelengara
Pendidikan Swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO),
Tokoh Masyarakat (Tokoh Agama & Tokoh Adat), dengan
perincian, sebagai berikut
a. Lembaga Pendidikan Swasta sebanyak 10 (sepuluh) orang
193
b. Lembaga Swadaya Masyarakat sebanyak 10 (sepuluh) orang
c. Tokoh Masyarakat sebanyak 10 (sepuluh) orang
Dari ketiga kelompok sample tersebut di atas, maka total sampel
dalam penelitian ini sebanyak 100 orang.
E. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
1. Jenis data
Jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Data primer, adalah data empirik yang diperoleh dari responden
melalui wawancara terstruktur dan kuesioner. Data tersebut
meliputi faktor-faktor yang berkorelasi dengan kedudukan dan
peranan pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan
pendidikan di era otonomi dan implikasi hukumnya khususnya di
daerah kabupaten/kota yang dipilih peneliti sebagai sample;
b. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh peneliti melalui studi
dokumen yang dihimpun dari berbagai ketentuan pemerintah
mengenai organisasi sosial maupun hasil penelitian, artikel/jurnal
ilmiah, kumpulan karya, dan lain-lain yang relevan dengan
masalah yang dibahas.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik
sebagai berikut :
194
a. Observasi (pengamatan), yaitu pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara pengamatan langsung dengan berbagai pihak
penyelenggara pemerintah daerah baik di level eksekutif maupun
pada level legislatif.
b. Wawancara secara mendalam (indepth interviews), kemudian
dilakukan sinkronisasi data atas informasi yang terkumpul.
c. Daftar pertanyaan (kuisioner) yaitu penyebaran angket kepada
responden penelitian yang berisi pertanyaan menyangkut variabel-
variabel penelitian.
F. Teknik Analisis Data
Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun data
sekunder ditelaah dengan menggunakan landasan teori kemudian
dianalisis berdasarkan analisis kualilitatif. Analisis kualitatif yang
dimaksud, adalah dengan mendeskripsikan fakta lapangan berikut
interpretasi secara utuh tentang aspek hukum pelaksanaan fungsi
pemerintah daerah dalam bidang pendidikan di era otonomi daerah.
195
BAB V
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Sulawesi Selatan terletak di jazirah Selatan Pulau Sulawesi.
Provinsi yang Beribukota di Makassar ini, terletak antara : 0°12‘-
8°LintangSelatan 116°48‘-122°36‘ Bujur Timur. Secara administratif
berbatasan : Sebelah Utara dengan Propinsi Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Barat , Sebelah Barat dengan Selat Makassar Sebelah Timur
dengan Teluk Bone Sebelah Selatan dengan Laut Flores Luas
wilayahnya, 45.764,53 km persegi meliputi 21 Kabupaten dan 3 Kota.
Kabupaten Luwu Utara kabupaten terluas dengan luas 7.502,68 km
persegi atau luas kabupaten tesebut mencapai 16,46 persen dari
seluruh wilayah Sulawesi Selatan (Sumber Sulawesi Selatan dalam
Angka 2008)
Sulawesi Selatan terdiri 21 Kabupaten yakni Kabupaten Gowa,
Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Selayar, Bulukumba, Sinjai, Bone,
Soppeng, Wajo, Enrekang, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Toraja,
Toraja Utara, Sidrap, Pinrang, Barru, Pangkep, Maros, serta 3 Kota,
yaitu, Makassar, Pare-Pare dan Palopo.
196
Sulawesi Selatan memiliki sumber daya manusia (SDM) yang
potensial untuk dikembangkan, infrastruktur pendidikan cukup
memadai, selain itu tersedia tenaga kependidikan yang cukup dalam
menata peningkatan SDM kedepan. Beberapa indikator yang
menggambarkan besarnya potensi sumber daya manusia peserta didik
dapat dilihat sebagai berikut :
Total luas wilayah Sulawesi Selatan mencapai 45.764,53 km
persegi, jumlah penduduk 7.675.893 (data 2007), yang terdiri
dari 21 Kabupaten, 3 Kota, 285 Kecamatan, 2.263 Desa dan 664
Kelurahan,
Sulawesi Selatan memiliki penduduk muda usia dibawah 25
tahun sebesar 622.969 jiwa atau (8,12%) yang merupakan usia
potensial untuk mengecap pendidikan.
Sulawesi Selatan memiliki TK Negeri 32-TK Swasta 113, Total
145, SD/MI Negeri 6715, SD/MI Swasta 439 Total 7154,
SMP/MTs Negeri 1328, SMP/MTs Swasta 604 Total 1932,
SMA/MA Negeri 442, SMA/MA Swasta 546 Total 788, SMK
Negeri 76 SMK Swasta 185, Total 261, PT Negeri 4, PT Swasta
175 Total 179, lain-lain Negeri 9, Swasta 12 Total 21 (sumber
Rekap Data Diknas online)
Pertumbuhan peserta didik dalam lima tahun terakhir
mencerminkan begitu besarnya Sumber Daya Manusia kedepan
197
yang perlu diberi perhatian khusus oleh para stakeholder
pendidikan.
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar
dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu
perubahan mendasar adalah menajemen negara yaitu dari manajemen
yang berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara
resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk
Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang
kemudian direvisi dan disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 32
Tahun 2004. Peraturan Pemerintah yang mengikuti UU No. 22 Tahun
1999 yaitu PP No 25 Tahun 2000 juga telah direvisi dan diganti dengan
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Konsekuensi dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut
adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa
dan semangat otonomi.
Sebelum penulis membahas lebih lanjut hasil penelitian ini, lebih
awal digambarkan Potensi sekolah, guru dan peserta didik di lokasi
penelitian, dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 2Jumlah Lembaga Pendidikan di Lokasi Penelitian
No Kab/Kota TK SD SLTP SLTA PT Jumlah1 Gowa 90 447 72 49 4 6622 Sinjai 62 275 67 29 - 433
198
3 Pangkep 62 350 76 32 - 5204 Pare-Pare 55 106 30 27 6 2245 Makassar 206 520 207 214 103 1250
Jumlah 475 1698 523 351 116 3089Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan dan Kanwil Departemen Agama Provinsi Sulawesi Selatan, (Sulawesi Selatan Dalam
Angka 2008)
Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa Kota
Makassar masih yang terbesar jumlah lembaga pendidikan pada semua
jenjang yang ada, yaitu 1250 (sekolah dan Perguruan Tinggi) menyusul
Kabupaten Gowa 662, Kabupaten Pangkep 520, Kabupaten Sinjai 433
dan Kota Pare-Pare 224.
Tabel 3Jumlah Murid di Lokasi Penelitian
No Kab/Kota TK SD SLTP SLTA Jumlah
1 Gowa 3.734 87.283 26.674 11.704 129.3952 Sinjai 2.564 35.891 14.446 5.887 58.7883 Pangkep 3.220 45.639 16.735 7.090 72.6844 Pare-Pare 2.645 17.694 7.642 7.865 35.8465 Makassar 12.300 159.944 69.316 58.896 301.356
Jumlah 24.463 346.451 132.878 126.712 598.069Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan dan Kanwil Departemen
Agama Provinsi Sulawesi Selatan, (Sulawesi Selatan Dalam Angka 2008)
Tabel 2 tersebut diatas menunjukkan bahwa Kota Makassar
masih yang terbesar dalam jumlah murid/siswa yaitu 301.356 siswa,
menyusul Kabupaten Gowa 129.395 siswa, Kabupaten Pangkep 72.684
siswa, Kabupaten Sinjai 58.788 siswa dan yang terendah jumlah
siswanya adalah Kota Pare-Pare 35.846 siswa
Tabel 4Jumlah Guru di Lokasi Penelitian
199
No Kab/Kota TK SD SLTP SLTA Jumlah
1 Gowa 263 1.811 1.355 957 4386 2 Sinjai 515 2.767 852 596 49103 Pangkep 201 4.938 905 764 68084 Pare-Pare 288 1.112 593 566 25595 Makassar 482 1.435 1.305 3.585 6807
Jumlah 1.749 12.063 5.010 6.468 25.452Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan dan Kanwil Departemen
Agama Provinsi Sulawesi Selatan, (Sulawesi Selatan Dalam Angka 2008)
Tabel diatas menunjukan jumlah guru/tenaga kependidikan di
lokasi penelitian, Untuk tenaga kependidikan Kabupaten Pangkep
mencapai 6808 guru, kemudian Makassar 6807 guru, menyusul
Kabupaten Sinjai 4910 guru, Kabupaten Gowa 4386 guru dan Kota
Pare-Pare 2559 guru
B. FUNGSI PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
1. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Bila disimak secara cermat UU Nomor 32 Tahun 2004 dapat
diperoleh esensi dasar sebagai berikut : Pertama, filosofi yang
digunakan adalah keanekaragaman dalam kesatuan, dengan filosofi ini
maka daerah otonom diberikan kejelasan yang besar untuk mengatur
dan mengurus kepentingan daerah dan masyarakatnya sesuai
kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Kedua, ada empat
paradigma yang digunakan mewarnai batang tubuh Undang-undang
tersebut yakni kedaulatan rakyat, demokrasi, pemberdayaan
200
masyarakat sesuai kebutuhan, dan potensi atau kemampuannya
masing-masing. Ketiga, pemberian kewenangan kepada daerah,
terutama kabupaten/kota bersifat pengakuan bukan bersifat
pengaturan. Keempat, DPRD yang berkedudukan sejajar dan
merupakan mitra Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dalam
kenyataan politisnya berkedudukan lebih kuat dari Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah (KDH), karena dapat mengusulkan pemberhentian KDH
sebelum masa jabatannya berakhir, sedangkan KDH tidak dapat
membubarkan DPRD. Corak ini bersifat semi-parlementer. Kelima,
organisasi Pemerintah Daerah dibuat luwes dan kenyal sesuai
kebutuhan dan kemampuan daerah bersangkutan, Keenam, hak dasar
yang melekat pada pengertian otonomi daerah (a) Hak untuk memilih
pimpinanannya secara bebas; (b) Hak untuk memiliki dan mengelola
kekayaan sendiri secara bebas; (c) Hak untuk membuat peraturan
daerahnya sendiri secara bebas; dan (d) Hak kepegawaian (hak
mengangkat, menempatkan, memindahkan, menggaji, memberhentikan
pegawainya sendiri). Ketujuh, ada upaya simplikasi penggunaan atas
penyelenggaraan pemerintah daerah dalam bentuk penguatan atas
desentralisasi dan pengurangan asas dekonsentrasi di kabupaten/kota.
Asas dekonsentrasi hanya dijalankan di wilayah propinsi saja;
Kedelapan, ada upaya simplikasi pengaturan mengenai desa dan
kelurahan.
201
Pengertian urusan pemerintahan adalah fungsi pemerintahan
di luar fungsi lembaga tertinggi dan tinggi negara lainnya (fungsi
eksekutif) yang dilakukan oleh Presiden, hal tersebut sejalan dengan
Teori Montesquieu bahwa selain fungsi pemerintahan yang dijalankan
eksekutif, juga dikenal adanya fungsi Legislatif yang dijalankan oleh
DPR, dan fungsi yudikatif yang dijalankan oleh lembaga peradilan.
Dengan demikian urusan pemerintahan ini tidak mencampuri fungsi
legislatif dan fungsi yudikatif.
Widjaya (2005:44), mengemukakan bahwa kewenangan
yang dapat disentralisasikan adalah urusan pemerintahan yang menjadi
kompetensi pemerintah (eksekutif), tidak meliputi kompetensi bidang
legislatif dan bidang yudikatif.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan
pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintahan daerah,
provinsi, kabupaten dan kota atau antara pemerintahan daerah yang
saling terkait, tergantung, dan strategis sebagai suatu sistem
pemerintahan. Selain itu hubungan antar pemerintahan daerah adalah
hubungan antara provinsi dengan provinsi, kabupaten/kota atau
provinsi dengan kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah yang berdasarkan kriteria tersebut terdiri atas
urusan wajib dan urusan pilihan.
202
Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi : a) perencanaan
dan pengendalian pembangunan, b) perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang, c) penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat; d) penyediaan sarana dan prasarana umum;
e) penanganan bidang kesehatan; f) penyelenggaraan pendidikan dan
alokasi sumber daya manusia potensial; g) penanggulangan masalah
sosial lintas kabupaten/kota; h) pelayanan bidang ketenagaakerjaan
lintas kabupaten/kota; i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha
kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j) pengendalian
lingkungan hidup; k) pelayanan pertanahan termasuk lintas
kabupaten/kota; l) pelayanan kependudukan, dan cacatan sipil; m)
pelayanan administrasi umum pemerintahan; o) pelayanan administrasi
penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; p) penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota, dan q) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh
peraturan perundang-undangan.
Urusan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan londisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pemerintahan
yang secara nyata ada, sesuai dengan kondisi, kekhasan serta potensi
203
yang dimiliki, antara lain pertimbangan, perikanan, pertanian,
perkebunan, kehutanan, pariwisata
Selanjutnya pasal 14 menegaskan bahwa urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota
merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota, meliputi: a)
perencanaan dan pengendalian pembangunan; b) perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c) penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d) penyediaan sarana
dan prasarana umum; e) penanganan bidang kesehatan; f)
penyelenggaraan pendidikan; g) penanggulangan masalah sosial; h)
pelayanan bidang ketenagakerjaan; i) fasilitasi pengembangan
koperasi, usaha kecil, dan menengah; j) pengendalian lingkungan
hidup; k) pelayanan pertanahan; l) pelayanan kependudukan, dan
cacatan sipil; m) pelayanan administrasi umum pemerintahan; n)
pelayanan administrasi penanaman modal; o) penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya; p) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan
oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang
berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara, antara lain
perlindungan hal konstitusional (1). perlindungan kepentingan nasional,
kesejahteraan masyarakat, ketentraman, dan ketertiban umum dalam
rangka menjaga keutuhan NKRI, (2). dan urusan pemenuhan komitmen
204
nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi
internasional.
Sedang urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di
daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib
berpedoman pada standar pelayanan minimum (SPM) secara bertahap
dan ditetapkan oleh pemerintah. Urusan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana
dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang
didesentralisasikan. Urusan pemerintahan yang diserahkan/
dilimpahkan kepada gubernur disertai dengan pendanaan sesuai
dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Urusan pemerintahan yang secara nyata ada, sesuai kondisi dan
kekhasan serta potensi yang dimiliki, antara lain pertambangan,
perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata.
Terkait urusan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah
Ketentuan pasal 13 dan 14 UU No 32 Tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah telah digariskan bahwa pendidikan merupakan urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah baik provinsi
maupun kabupaten/kota.
205
Ketentuan Pasal 13 dan 14 UU No. 32/2004 khususnya huruf f
terjabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007
tanggal 9 Juli 2007, yang mengatur Pembagian Urusan Pemerintahan
Bidang Pendidikan, urusan pemerintahan bidang pendidikan yang
diberikan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
meliputi (1) kebijakan; (2) pembiayaan; (3) kurikulum; (4) sarana dan
prasarana; (5) pendidik dan tenaga keependidikan, dan (6)
pengendalian mutu pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dalam Pasal 10 dan 11, mengatur Hak dan
Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 10 menyebutkan “ Pemerintah dan pemerintah daerah
berhak mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 11 ayat (1) menyebutkan “Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib memberikan layanan, kemudahan serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi, sedang ayat (2) menyebutkan “ Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia
tujuh sampai lima belas tahun.
206
Dari ketentuan perundang-undangan yang penulis kemukakan
diatas, dapat disimak bahwa fungsi utama pemerintah dan pemerintah
daerah adalah fungsi pelayanan, yang diimplementasikan melalui
kebijakan, pembiayaan, kurukulum, sarana dan prasarana, pendidik
dan tenaga kependidikan, serta pengendalian mutu pendidikan.
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam
melakukan kewenangan yang telah digariskan sebagaimana tertuang
dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No.
38/2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai
implementasi dari desentralisasi pendidikan yang dilakukan Pemerintah
pasca reformasi tahun 1999. Sejalan pula dengan teori desentralisasi
yang dikemukakan Rondinelli dan Cheema (1992:12) bahwa
desentralisasi adalah:
"the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local adminisitrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non government organizations". (perpindahan perencanaan, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat ke organisasi bidangnya, unit adminisitratif daerah semi otonomi dan parastatal, pemerintah daerah, atau organisasi-organisasi non pemerintah)
Definisi Rondinelli dan Cheema tersebut tidak saja mencakup
penyerahan dan pendelegasian wewenang di dalam struktur
pemerintahan tetapi juga telah mengakomodasi pendelegasian
207
wewenang kepada organisasi non pemerintah , termasuk organisasi
swasta.
2. Batasan Kewenangan
Pada uraian sebelumnya penulis telah mengemukakan
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan urusan pemerintahan
provinsi dan kabupaten kota yang mengatur tentang urusan pendidikan
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, mengatur
tentang kewenangan pemerintah daerah provinsi adalah urusan dalam
skala provinsi yang meliputi 16 urusan, salah satunya adalah
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia,
sebagaimana tertuang dalam huruf f, selanjutnya pasal 14 ayat (1)
mengatur tentang kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota
adalah urusan dalam skala kabupaten/kota yang meliputi 16 urusan,
salah satunya adalah penyelenggaraan pendidikan dan alokasi
sumber daya manusia.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah, menempatkan sektor pendidikan menjadi urusan wajib. Guna
memberikan pemahaman lebih komprehensif tentang pembagian
urusan, penulis mengemukakan struktur pembagian urusan
sebagaimana terurai dalam gambar di bawah ini :
Diagram 2
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
URUSAN PEMERINTAHAN
Urusan Pemerintahah yang sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah (ps 10(3) & (3)
- Politik luar negeri- Pertahanan- Keamanan- Yustisi- Moneter dan Fiskal- Agama
Menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan kepada perangkat pemerintahan atau wakil pemerintahan di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemda dan atau Pemdes (Ps 10 (4)
Urusan Pemerinthan di luar ps 10 (3)dapat dikelola bersama (pemerintah prop. Kab/kota dengan kriteria (ps. 11 (11)
- Eksternal- Akuntabilitas- Efisiensi
-
UrusanPemerintahan Daerah Urusan
Pemerintah
Wajib PelayananDasar Ps. 11 (3)
Pilihan Sektor Unggulan Ps 11
(3)Standar pelayanan minimum
(ps, 11 (4)
- Menyelenggara-kan sendiri
- Melimpahkan sebagian ur. Kepada gubernur
- Melimpahkan sebagian kepada Pemda dan atau Pemdes
208
Sumber : Sosialisasi UU No. 32/2004, Depdagri
Konsekuensi logis dari lahirnya kebijakan-kebijakan
pemerintahan yang signifikan di atas menandakan berubahnya
kedudukan, tugas dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan di pusat
dan daerah. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan kewenangan
masing-masing level pemerintahan yang berdampak pada perubahan
beban dan karakteristik tugas.
Di samping itu, Undang-Undang ini juga menetapkan
kewenangan bidang lain yang merupakan kewenangan pemerintah
yang berimplikasi secara nasional. Kewenangan bidang lain tersebut
meliputi kebijakan tentang perencanaan dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan, sistem
Diselenggarakan berdasarkan asasOtonomi dan tugas pembantuan (Ps 10 (2)
209
administrasi negara dan pembedayaan sumber daya manusia dan
sumber daya alam (SDM dan SDA) serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi dan standarisasi nasional.
Selanjutnya, perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat
dari lahirnya suatu kebijakan tersebut di atas secara substansif akan
mengakibatkan perubahan pada peran, tugas dan fungsi pemerintah
dan semakin besar kewenangan itu berada pada pemerintah daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional juga telah diatur kewenangan Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, hal yang sama juga dapat
disimak dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan “Urusan Pemerintahan, terdiri
atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan”, Selanjutnya Pasal 2 ayat
(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta
agama. Pasal 2 ayat (3) Urusan Pemerintahan yang dibagi bersama
antara tingkatan dan/atau susunan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah semua urusan pemerintahan di luar
210
urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Selanjutnya ayat (4)
menegaskan “Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) terdiri dari 31(tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan, salah
satunya adalah pendidikan;
Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) menegaskan bahwa urusan wajib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah kabupaten kota, berkaitan dengan
pelayanan dasar. Pasal 7 ayat (2) menyebutkan 24 sektor yang
masuk urusan wajib diantaranya sektor pendidikan, sehingga perlu
diberi prioritas.
Seperti telah disinggung sebelumnya, Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Khususnya pembagian urusan pemerintahan Bidang Pendidikan
Pemerintah mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab atas 6
(enam) hal, yang terjabarkan dalam 6 sub bidang yang menjadi
kewenangan Pemerintah, Pemerintahan daerah provinsi dan
Pemerintahan daerah kabupaten/kota. Sub bidang dimaksud adalah :
(1) Kebijakan; (2) Pembiayaan; (3) Kurikulum; (4) Sarana dan
Prasarana; (5) Pendidik dan Tenaga Kepedidikan; dan (6)
Pengendalian Mutu Pendidikan.
211
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa yang menjadi
kewenangan dan tanggung jawab provinsi adalah:
1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai
dengan kebijakan nasional; perencanaan strategis pendidikan
anak usia dini, dasar, menengah dan pendidikan nonformal;
2. Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf
internasional sesuai dengan kewenangannya;
3. Melakukan koordinasi dan suverpisi pengembangan kurikulum
tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah;
4. Melakukan pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional
sarana dan prasarana pendidikan menengah, pengawasan
penggunaan buku;
5. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan
untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya;
pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga
kependidikan; pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan
PNS antar kabupaten/kota;
6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikaan nonformal.
Kewenangan Kabupaten/Kota
Demikian halnya, Pemerintah Kabupaten/Kota juga
melaksanakan kewenangan yang sama pada skala kabupaten/kota dan
lebih bersifat operasional, misalnya:
212
1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota
sesuai kebijakan nasional dan provinsi; demikian pula
perencanaan operasional pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, menengah dan nonformal sesuai dengan perencanaan
strategis tingkat provinsi dan nasional; pengelolaan dan
penyenggaraan pendidikan anak usia dini, dasar, menengah
dan nonformal, pemberian/pencabutan izin pendirian satuan
pendidikan dasar, penyelenggaraan dan atau pengelolaan
satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional;
2. Menyiapkan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan nonformal sesuai kewenangannya, termasuk
penyiapan pembiayaan penjaminan mutu;
3. Melakukan Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum
tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar, sosialisasi
kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan, pengawasan
pelaksanaan kurikulum;
4. Melakukan penghawasan terhadap pemenuhan standar nasional
sarana dan prasarana, pendayagunaan bantuan, dan
pengawasan penggunaan buku pelajaran;
5. Melakukan perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga
kependidikan, pengangkatan dan penempatan serta pemindahan
pendidik dan tenaga kependidikan PNS,
213
6. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar,
menengah dan nonformal, melakukan koordinasi, fasilitasi,
monitoring dan evaluasi pelaksanaan ujian sekiolah pada lingkup
kabupaten/kota
Pelaksanaan kewenangan di bidang pendidikan sebagaimana
digariskan UU No.20/2003 tidak terlepas dari upaya peningkatan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) sejalan dengan napas otonomi, dengan
demikian baik Pemerintah maupun pemerintah daerah harus bersinergi
dalam mendorong pelaksanaan disentralisasi pendidikan.
3. Perencanaan Pendidikan
Uraian ini dimaksudkan untuk menggambarkan perencanaan
pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan secara singkat. Tekanannya
lebih pada menjelaskan pola pikir dan apa yang sudah direncanakan
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam mengelola pendidikan di
Sulawesi Selatan.
Bertolak pada Visi Pembangunan Sulawesi Selatan tahun 2003-
2008 yaitu “Sulawesi Selatan menjadi lebih maju dan terkemuka
dalam penerapan otonomi Daerah” dan memperhatikan strategi
dasar yang ditetapkan yaitu sebagai pusat keunggulan pembangunan
ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan Tehnologi, maka salah satu
pokok kebijakan yang menjadi kegiatan prioritas dalam memberikan
214
pelayanan kepada masyarakat adalah “ Peningkatan Kualitas Hidup
Manusia”
Sejalan dengan visi pembangunan, strategi dasar dan kegiatan
pokok pelayanan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, serta mengacu
kepada analisis lingkungan strategis Dinas Pendidikan, maka visi untuk
Dinas Pendidikan 2003-2008 sebagai berikut : MEWUJUDKAN
PELAYANAN PENDIDIKAN YANG TERKEMUKA UNTUK
MENYEDIAKAN SUMBERDAYA MANUSIA BERKUALITAS”
Sedang misi Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan
sebagaimana tercermin dalam Renstra Dinas Pendidikan Provinsi
Sulawesi Selatan 2003-2008 memfokuskan tujuan dan sasaran
pembangunan pendidikan sebagai berikut :
1. Mengembangkan pembinaan Pendidikan Dasar dan
Menengah, PLS, Pemuda, Olahraga dan Seni serta Sekolah
Luar Biasa yang berorientasi pada budaya daerah.
2. Mendorong upaya peningkatan Mutu Pendidikan di setiap
jenjang dan jalur pendidikan dengan pembangunan yang
berorienasi kepada kebutuhan daerah, nasional dan global.
3. Mendorong pengembangan sekolah unggul dan keterampilan
keahlian pada pendidikan dasar dan menengah yang
memiliki keunggulan dalam hal keImanan dan keTaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Nasionalisme dan
Patriotisme yang tinggi, wawasan iptek yang mendalam dan
215
luas, motivasi dan komitmen yang tinggi dengan ditunjang
oleh kondisi fisik yang prima.
4. Mengembangkan model dan program pembelajaran yang
mendayagunakan Teknologi Komunikasi Pendidikan sesuai
kondisi dan kebutuhan daerah.
Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi
Selatan tahun 2003-2008 secara garis besar bertujuan:
1) Merumuskan kebijakan dan program strategis yang menjamin
pelaksanaan kinerja institusi pendidikan yang efisien dan efektif
berdasarkan pembinaan pengelolaan pendidikan dengan prinsip
kepemerintahan yang baik;
2) Mengarahkan semua unsur kekuatan dan faktor kunci
keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan yang berorientasi
pada pelayanan prima dan keprofesionalan.
Sedang sasaran dari Renstra 2003-2008 adalah lembaga-
lembaga kependidikan dari jalur sekolah dan jalur luar sekolah yang
meliputi program pembinaan secara terpadu dengan orientasi :
1. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui
pembinaan manajemen dan pengembangan prestasi
2. Kompetitif siswa, guru dan sekolah dengan mendorong
pengembangan pendidikan kejuruan dan Pendidikan Luar
Sekolah untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
216
3. Pemberdayaan masyarakat melalui Komite Sekolah dan
Dewan Pendidikan serta Dunia Usaha dalam mewujudkan
pengembangan keunggulan dibidang Pendidikan.
4. Pengembangan Kurikulum sesuai kebutuhan lokal Regional
dan Nasional.
5. Pembinaan moral siswa sesuai ajaran agama yang dianut.
6. Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Secara umum, Renstra Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi
Selatan tahun 2003 – 2008 merupakan landasan dalam melaksanakan
pembangunan pendidikan di Sulawesi Selatan.
Rencana Strategis Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan 2003-
2008 disusun berdasarkan Hasil analisis lingkungan baik internal
maupun eksternal yang mengacu pada Garis-garis Besar Haluan
Pembangunan Daerah (GBHD) tahun 2002-2004, Program
Pembangunan Daerah (PROPEDA) Sulawesi Selatan Tahun 2001-
2005 dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Tugas pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi
Selatan sesuai Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001, kajian dan
analisis pembangunan pendidikan di Sulawesi Selatan yang mengacu
217
kepada Kewenangan dan Tugas Dekonsentrasi yang diberikan serta
Program dan Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional
Dari uraian tersebut diatas, digambarkan pola pikir
penyusunan RENSTRA seperti dibawah ini :
Diagram 3
Pola Pikir Renstra Dinas Pendidikan Nasional Prov Sulsel 2003-2008
Sumber data : Renstra Dinas Pendidikan Prov. Sulawesi Selatan 2003-2008
Strategi dasar yang dirumuskan dan dikembangkan Dinas
Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan adalah : 1) Menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif untuk mengembangkan potensi
keunggulan dalam arti fisik maupun sosial psikologis; 2) Memanfaatkan
LINGSTRASUL-SEL
LINGSTRADINAS PENDIDIKAN
SUL-SEL
LINGSTRAPEMPROV SUL-SEL RENSTRA PEMPROV
SULSEL 2003-2008
RENSTRA DINASPENDIDIKAN
SULSEL 2003-2008
GBHD 2002-2004RTRWP
PROPEDA 2001-2005
UU NO.22, 25/1999
DAN PP 25
RENSTRA DEPDIKNAS
RENCANA PEMBANGUNAN
PARA PIHAK
PELAKSANAAN PENBANGUNAN
REPETADA PEMPROVSULAWESI SELATAN
PERUBAHAN PARADIGMA BARUPELAYANAN/PEMBANGUNAN
LINGSTRASUL-SEL
218
potensi yang ada dari berbagai sumber-sumber daya (manusia, dana,
alam dan sarana); 3) Pelayanan pendidikann yang efektif dan efisien
untuk mendukung peran Sulawesi Selatan sebagai pusat pelayanan
Kawasan Timur Indonesia, dan 4) Pemberdayaan pengelolaan dan
penyelenggaraan sekolah dengan penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah.
Selain itu kebijakan yang dirumuskan dalam pembangunan
pendidikan adalah: 1) Pemerataan dan perluasan kesempatan belajar;
2) Peningkatan kualitas (mutu) dan relevansi pendidikan; 3)
Peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pendidikan; 4)
Pembinaan dan pengembangan kegiatan PLS, kepemudaan, olahraga
dan seni.
Sebagai implikasi dari kebijakan yang ditetapkan program dan
kegiatan prioritas Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan meliputi :1)
Perluasan daya tampung yang padat penduduknya dengan melengkapi
sarana belajar, 2) Membantu memfasilitasi anak usia sekolah yang
berprestasi dengan memberikan beasiswa , 3) Mendorong masyarakat
dan pemerintah berpartisipasi dalam penuntasan Wajib Belajar Dikdas
9 tahun; 4) Melakukan pembenahan kurikulum jalur sekolah dan jalur
luar sekolah; 5) Mendorong Kabupaten/Kota memperbanyak alat bantu
pembelajaran; 6) Membantu/memfasiitasi peningkatan kualifikasi
kompetensi dan profesionalisme tenaga kependidikan; 7) Membantu
menciptakan suasana kompetitif dan kooperatif antar siswa; 8)
219
Memfasilitasi penetapan standar dan kualitas penyelenggaraan
pendidikan bagi lembaga-lembaga pendidikan; 9) Memfasilitasi
peningkatan kinerja Kepala Sekolah dalam melakukan pembinaan
pengelolaan sekolah; 10) Mendorong perbaikan manajemen
pendidikan; 11) Mendorong/memfasilitasi pengembangan kepribadian,
profesionalisme, dan peran peran organisasi pemuda; 12
Mendorong/memfasilitasi pengembangan dan pembinaan
keolahragaan, dan 13) Mendorong/memfasilitasi peningkatan dan
pengkajian nilai budaya.
Sejalan dengan pelaksanaan PP No. 38/2007 khususnya
terkait dengan kebijakan nasional pendidikan, terungkap dari
wawancara penulis dengan Syaiful Amsi (Kabid Perencanaan Diknas
Sulsel) mengemukakan “ kebijakan nacional pendidikan merupakan dari
kebijakan pendidikan di tingkat provinsi”
Renstra Dinas Pendidikan Propinsi Sulawesi Selatan di era
kepemimpinan Gubernur Sulawesi Selatan Bapak Dr. H.Syahrul Yasin
Limpo, SH, MSI, MH sampai saat ini belum terbit, sehingga kebijakan
Gubenur Sulsel, masih mangacu pada Rensrta Diknas Provinsi Sulsel
2003-2008, Kondisi ini seharusnya tidak terjadi jika Instansi tenis dalam
hal ini Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan mempersiapkan
lebih awal rancangan Perda tentang Renstra Pendidikan Provinsi
Sulawesi Selatan, mengingat Renstra Pendidikan Sulawesi Selatan
Tahun 2003-2008 sudah sangat jauh tertinggal.
220
Di tingkat Pemerintah Provinsi telah mencanangkan kebijakan
disektor Pendidikan melalui Perda Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Gratis, sebelum terbitnya Perda tersebut
kebijakan Gubernur disektor pendidikan yang dikenal dengan Program
Pendidikan Gratis.
Pencanangan program pendidikan gratis pada tahun 2008,
hanya didasarkan pada Perjanjian Kerja Sama yang tertuang dalam
Nomor 04.B/VI/DIKNAS/2008, inti perjanjian itu adalah pemerintah
provinsi menanggung 40 persen dan kabupaten/kota sebesar 60
persen.
Di tingkat Kabupaten/Kota misalnya di Kota Makassar, Kota
Pare-Pare, Kabupaten Gowa, dalam menjalankan kebijakan di sektor
pendidikan ditopang dengan Peraturan Daerah (Perda), di Kota
Makassar dengan Perda No. 3 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Pendidikan, di Kota Pare-Pare dengan Perda Nomor 4 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Pendidikan, Kabupaten Gowa dengan Perda
Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pendidikan Gratis, Kabupaten Sinjai juga
didukung dengan Surat Keputusan Bupati Sinjai.
Berbeda dengan kabupaten/kota lainnya yang menjadi obyek
penelitian, Kabupaten Pangkejene dan Kepulauan sebagai salah satu
kabupaten yang pertama menjalankan program pendidikan gratis,
kebijakannya di sektor pendidikan hanya melaui Instruksi Bupati,
sebagaimana tercermin dari Instruksi Bupati Pangkajene dan
221
Kepulauan Nomor 440/125/Hukum Tertanggal 24 Desember 2005.
Didukung UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pemerintah Kabupaten Pangkep selain mengalokasikan dana untuk
membiayai 14 item yang digratiskan, juga memberikan tunjangan
kesejahteraan kepada guru-guru.
Selain memberikan tunjangan kesejahteraan, juga dialokasikan
anggaran untuk memberikan tunjangan khusus dengan rincian masing-
masing, tunjangan khusus daerah sangat terpencil kepala sekolah,
guru, penjaga sekolah
Pencanangan program pendidikan gratis pada tahun 2008,
hanya didasarkan pada Perjanjian Kerja Sama (MoU) Nomor
04.B/VI/DIKNAS/2008, inti perjanjian itu adalah pemerintah provinsi
menanggung 40 persen dan kabupaten/kota sebesar 60 persen.
Kemudian dipertegas melalui Peraturan Daerah Sulawesi Selatan
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
Wawancara penulis dengan Syaiful Amsi (Kabid
Perencanaan Diknas Provinsi Sulawesi Selatan) mengemukakan
bahwa :
“ sasaran dari program pendidikan gratis adalah peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan indikator Rata Lama Sekolah (RLS) dengan memperhatikan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM)” (wawancara 16/02/2010)
222
Pertanyaan yang timbul apakah kebijakan yang dilakukan
pemerintah memberi dampak bagi masyarakatnya. Jika memperhatikan
kebijakan yang ditempuh Pemerintah Provinsi, hemat penulis telah
sejalan dengan teori kebijakan publik yang dikemukakan beberapa
penulis besar dalam ilmu ini, seperti Thomas R Dye, Wayne Parson,
William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman.
Salah satu teori kebijakan publik adalah teori yang dikemukakan
Thomas R. Dye (1992:2-4) bahwa “kebijakan publik sebagai segala
sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan
hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda.
Dikatakannya demi�kian:
"Public policy is whatever government choose to do or not to do. Government do many things. Note that we are focusing not only Oil government action but also on government in action, that is, what government chooses not to do. We contend that government in action can have just as great nn impact on society as government action. " Public policy is what government do, why they do it, and what difference it makes."
Kabijakan “Pendidikan Gratis” tidak terlepas dari upaya
pemerintah provinsi memberikan pendidikan bermutu bagi warganya
khususnya warga masyarakat yang tidak mampu, juga tidak terlepas
dari upaya peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) Sulawesi
Selatan, sehingga dapat dipahami bahwa kebijakan Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sejalan dengan teori
kebijakan publik seperti penulis kemukakan diatas.
223
Dalam upaya perumusan dokumen-dokumen perencanaan
pendidikan tersebut, Slamet P.H (2005:14) dalam Wasitohadi (2008:25)
Mengemukan sebuah model perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota
sebagai berikut :
Diagram 4
Kerangka Pikir Perumusan Perencanaan Pendidikan
Sumber : Wasitohadi (2008:25)Model proses perencanaan pendidikan di atas sekaligus
memberi gambaran mengenai tahap-tahap perencanaan pendidikan
kabupaten/kota.
Analisis Lingkungan Strategis
Analisis Lingkungan Strategis
Analisis Lingkungan Strategis
Analisis Lingkungan Strategis
Analisis Lingkungan Strategis
Analisis Lingkungan Strategis
Analisis Lingkungan Strategis
224
Secara singkat Wasitohadi (2008:26) menjelaskan sebagai
berikut.
1. Melakukan analisis lingkungan strategis. Lingkungan strategis
adalah lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap
perencanaan pendidikan kabupaten/kota, misalnya: Propeda,
Renstrada, Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres,
Perda, dsb), tingkat kemiskinan, lapangan kerja, harapan
masyarakat terhadap pendidikan, pengalaman-pengalaman praktek
yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan
lingkungan strategis harus diinternalisasikan ke dalam perencanaan
pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar
menyatu dengan perubahan lingkungan strategis.
2. Melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi
pendidikan saat ini (dalam kenyataan) yang meliputi profil
pendidikan kabupaten/kota (pemerataan, mutu, efisiensi, dan
relevansi), pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen
dan sumber daya pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah, dan
best practices pendidikan saat ini.
3. Memformulasikan pendidikan yang diharapkan di masa mendatang
yang dituangkan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan tujuan
pendidikan, yang mencakup setidaknya pemerataan kesempatan,
225
mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan
kabupaten/kota.
4. Mencari kesenjangan antara butir (2) dan butir (3) sebagai bahan
masukan bagi penyusunan rencana pendidikan keseluruhan yang
akan datang (5 tahun) dan rencana jangka pendek (1 tahun).
Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan
kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan pengembangan
kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan
sekolah.
5. Berdasarkan hasil butir (4) disusunlah rencana kegiatan tahunan
untuk selama 5 tahun (rencana strategis) dan rencana kegiatan rinci
tahunan (rencana operasional/renop).
6. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota
melalui upaya-upaya nyata yang dapat meningkatkan pemerataan
kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan kapasitas manajemen
pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah.
7. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan
melakukan evaluasi terhadap hasil rencana pendidikan. Hasil
evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan sesuai dengan
yang direncanakan.
Dengan memperhatikan substansi utamanya, model tahap-
tahap perencanaan pendidikan di atas, bisa digambarkan dalam bentuk
sebagai berikut :
226
Diagram 5
Tahap Perencanaan Pendidikan
Sumber:Wasitohadi (2005:27)
Wasitohadi (2005:28) menegaskan bahwa pada hakekatnya
sebuah perencanaan dibuat dalam rangka mengubah ”situasi
pendidikan saat ini” (dalam kenyataan) menuju ke ”situasi pendidikan
Strategi Kebijakan Rencana Program
SituasiPendidikandiharapkan
Situasi Pendidikan
saat ini
Pemerataan Mutu Efisiensi Relevansi Kapasitas
Pemerataan Mutu Efisiensi Relevansi Kapasitas
menuju
227
yang diharapkan” di masa mendatang. Untuk itu, ada tiga kata kunci
yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan program
pendidikan.
a. Kebijakan Pendidikan
Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan.
Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk
umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah
umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti
suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi
pelaksanaan manajemen. Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan
secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan
bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau
terkait dengan aturan-aturan keputusan. kebijakan pendidikan adalah
apa yang dikatakan (diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam
bidang pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan berisi
keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilai-nilai. Menurut
Slamet P.H (2005:15) dalam Wasitohadi (2008:27), kebijakan
pendidikan meliputi lima tipe, yaitu kebijakan regulatori, kebijakan
distributif, kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi dan kebijakan
etik.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
dalam dua tahun terakhir telah mencanangkan program pendidikan
gratis yang merupakan wujud komitmen dan kepedulian pemerintah
228
daerah dan masyarakat guna meningkatkan pemerataan dan perluasan
kesempatan belajar serta peningkatan mutu pendidikan di Sulawesi
Selatan. Kebijakan yang sama juga dilakukan di Kota Makassar, Kota
Pare-Pare, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Gowa dan Kabupaten
Pangkep.
b, Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan dibuat dengan mengacu pada
kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan. Perencanaan pendidikan
adalah proses penyusunan gambaran kegiatan pendidikan di masa
depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan. Dalam rangka membuat perencanaan
pendidikan tersebut, perencana melakukan proses identifikasi,
mengumpulkan, dan menganalisis data-data internal dan eksternal
(esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi terkini dan yang
bermanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang
dan pendek dalam rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan
pendidikan kabupaten/kota.
Perencanaan pendidikan penting untuk memberi arah dan
bimbingan pada para pelaku pendidikan dalam rangka menuju
perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan)
dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa
depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan
ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan
229
ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan pendidikan.
Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah,
oleh karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi kemungkinan
timbulnya permasalahan yang serius sebagai dampak dari
diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah kabupaten/
kota.
C. Program pendidikan
Pada intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang
akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan,
sesuai dengan strategi dan kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan,
antara lain
1. Kualitas pendidikan
Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia
relatif rendah yang menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bersaing
dengan bangsa-bangsa lain. Terkait hal itu Dodi Nandika, (2007:16).
Mengemukakan “Kualitas pendidikan sebuah bangsa sangat ditentukan
oleh dua faktor yang mendukung, yaitu internal dan eksternal Faktor
internal meliputi jajaran dunia pendidikan, seperti Depdiknas, Dinas
Pendidikan daerah dan sekolah yang berada di garis depan, dan faktor
eksternal yaitu masyarakat pada umumnya”. Dua faktor ini haruslah
saling menunjang dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah
satu implikasi langsungnya ialah pada perlunya program-program yang
terkait seperti penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana
230
belajar, guru yang berkualitas, buku pelajaran bermutu yang terjangkau
masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan kreativitas, dan
sarana penunjang belajar lainnya.
Kualitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output,
dengan catatan bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan
proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Contoh
perencanaan kualitas misalnya, pengembangan tenaga
pendidik/kependidikan (guru, kepala sekolah, konselor, pengawas, staf
dinas pendidikan, pengembangan dewan pendidikan, dan komite
sekolah, rasio (siswa/guru, siswa/kelas, siswa/ruang kelas, siswa/
sekolah), pengembangan bahan ajar, pengembangan tes standar di
tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan per siswa, pengembangan
model pembelajaran (pembelajaran tuntas, pembelajaran dengan
melakukan, pembelajaran kontektual, pembelajaran kooperatif dan
sebagainya).
2. Efisiensi pendidikan
Efisiensi menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya
yang wajar. Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi
internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal merujuk kepada
hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input
(sumber daya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output
sekolah. Efisiensi eksternal merujuk kepada hubungan antara biaya
yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif
231
(individual, sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang didapat setelah
kurun waktu yang panjang di luar sekolah. Contoh-contoh perencanaan
peningkatan efisiensi, misalnya, peningkatan angka kelulusan, rasio
keluaran/masukan, angka kenaikan kelas, penurunan angka
mengulang, angka putus sekolah, dan peningkatan angka kehadiran
dan lain-lain.
3. Relevansi pendidikan
Relevansi menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan
dengan kebutuhan (needs), baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan
keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang meliputi berbagai sektor
dan sub-sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya,
program ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha kecil bagi siswa-
siswa yang tidak melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan
kecakapan hidup dan peningkatan jumlah siswa yang terserap di dunia
kerja.
4. Pengembangan Kapasitas
Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu
dan organisasi atau unit organisasi untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Suksesnya
desentralisasi pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kesiapan
kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan.
Pengembangan kapasitas tingkat makro meliputi : (1) arahan-arahan,
(2) bimbingan, (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol.
232
Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup kemampuan dalam
merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan
pendidikan, manajemen pada semua aspek pendidikan (kurikulum,
ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi
manajemen pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan
legislasi), pendidikan, pengembangan sumber daya manusia,
pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta struktur
organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi,
prosedur dan mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antar
organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,
pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain.
Kesiapan kapasitas sumber daya mencakup sumber daya
manusia (manajer/pemimpin, staf dan pelaksana) dan sumber daya
selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan,
pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi oleh kesadaran bahwa
pengembangan ikhtiar pendidikan harus dilakukan secara terpadu
antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena masing-
masing memiliki pengaruh terhadap pendidikan anak.
C.PELAKSANAAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN.
1. Sinergitas Pemerintah Daerah
233
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar
dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu
perubahan mendasar adalah manajemen Negara, yaitu dari
manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah.
Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam
bentuk Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang
kemudian diganti dan disempurnakan menjadi Undang-Undang No.32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk
mengimplementasikan UU No. 32 tahun 2004 Pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 tahun
2007 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah tersebut, adalah manajemen pendidikan harus
disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi.
Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan
paradigma baru pendidikan, untuk mendorong percepatan
pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh
masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus
dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal.
Hal ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan
juga muatan lokal, sebagaimana termaktub dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf j, melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk
segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk
234
menjadi ahli dalam bidang tersebut. Dengan demikian persoalan
penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat
tercipta secara otomatis.
Sejalan dengan itu, wawancara penulis dengan Syaiful Amsi
(Kabid Perencanaan Diknas Prov.Sulsel) mengemukakan:
“penerapan kurikulum tetap mengacu pada kebijakan nasional yang didukung dengan muatan lokal sesuai dengan sumber daya yang dimiliki” (wawancara 16/02/2010)
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Muhyiddin (Sekretaris
Diknas Kota Makassar),
“Kebijakan di bidang kurikulum, dilakukan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Selanjutnya dikemukakan Kurikulum Muatan Lokal disusun satuan Pendidikan, ditetapkan berdasarkan masing-masing sekolah (wawancara 17/02/2010)
Selain itu pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada
semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional juga diatur dalam Pasal 50 ayat
(3). Hal ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal
melalui penyediaan tenaga-tenaga terdidik, juga menyikapi perlunya
tersedia satuan pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan kaliber
dunia di Indonesia.
Implementasi dari ketentuan pasal tersebut di atas, sebagaimana
dikemukakan oleh Arismunandar (Kabid Dikmenum Kota Makassar). :
“Pemda Kota Makassar dalam dua tahun terakhir melaksanakan
235
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dengan harapan program sekolah rintisan ini masyarakat ikut terlibat di dalamnya” (17/02/2010)
Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas,
maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi
satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang
diperlukan juga diatur dalam Pasal 42 ayat (2). Dalam hal ini termasuk
memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau guru yang
seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk
mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12
ayat 1 huruf a dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja
secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan
penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan
kebutuhan satuan pendidikan formal diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan
(2).
Selain itu pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki
kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan
pendidikan formal maupun non formal diatur lebih lanjut dalam Pasal 62
ayat (1), sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Dengan adanya
desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan kepada
rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.
Otonomi daerah di bidang pendidikan secara tegas telah
dinyatakan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur pembagian
urusan pemerintah dan pemerintah provinsi. Pemerintah pusat hanya
236
menangani penetapan standar kompetensi siswa, pengaturan kurikulum
nasional dan penilaian hasil belajar nasional, penetapan standar materi
pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan, persyaratan
penerimaan, perpindahan dan sertifikasi siswa, kalender pendidikan
dan jumlah jam belajar efektif. Untuk provinsi, kewenangan terbatas
pada penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dari masyarakat
minoritas, terbelakang dan tidak mampu, dan penyediaan bantuan
pengadaan buku mata pelajaran pokok/modul pendidikan bagi siswa.
Tilaar (1998:37) mengemukakan ”School-based management
sebagai konsepsi dasar manajemen pendidikan masa kini merupakan
konsep manajemen sekolah yang memberikan kewenangan dan
kepercayaan yang luas bagi sekolah berdasarkan profesionalisme
untuk menata organisasi sekolah. Mencari, mengembangkan, dan
mendayagunakan resources pendidikan yang tersedia, dan
memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan sekolah yang bersangkutan. Saat ini sebagian besar
sekolah swasta sebenarnya telah melaksanakan konsepsi ini walaupun
sebagian dari mereka masih perlu meningkatkan diri dalam upaya
mencapai produktivitas sekolah yang diinginkan.
Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul
dalam kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah. Pada
hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang
saling tergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan
237
pelayanan kepada siswa, orang tua siswa, dan masyarakat. Kedua,
kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi.
Model MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang
memiliki kewenangan dalam menerapkan kebijakan, misi, tujuan,
sasaran, dan strategi yang berdampak terhadap kinerja sekolah. Kinerja
sekolah akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh
sekolah yang menyangkut pengembangan kurikulum.
Namun demikian, dalam merumuskan kebijakan, sekolah mengacu
kepada kebijakan pusat dan memperhatikan aspirasi yang berkembang
dari local state melalui dewan sekolah (school council).
Kewenangan yang didesentralisasikan dalam perumusan
kebijakan sekolah meliputi :
a. Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sekolah
sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Oleh karena itu,
sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan
hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat
rencana peningkatan mutu. Sekolah diberi wewenang untuk
melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara
internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk
memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil
238
program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini
sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan
agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
b. Pengelolaan Kurikulum
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum
standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah
pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam
impelentasinya sekolah dapat mengembangkan (memperdalam,
memperkaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi
kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi
kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
c. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah.
Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-
teknik pembelajaran dan penagjaran yang paling efektif, sesuai
dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik
guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran yang berpusat
pada siswa (student-centered) lebih mampu memberdayakan
pembelajaran siswa.
d. Pengelolaan Ketenagaan
239
Pengelolaan ketenagaaan, mulai dari analisis kebutuhan,
perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sanksi
(reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja
tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dan
sebagainya) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang
menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai
negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh Pemerintah
Pusat/Daerah.
e. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah,
mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai
pengembangan. Hal ini didasarkan oleh kenyataan bahwa
sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik
kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya.
f. Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang
sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari
oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami
kebutuhannya sehingga desentraslisasi pengalokasian/penggunaan
uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga
240
harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang
mendatangkan penghasilan” (income generating activities) sehingga
sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
g. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru,
pengembangan/pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk
melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga
sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu sudah
didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan
intensitas dan ekstensitasnya.
h. Hubungan Sekolah-Masyarakat
Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan
keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari
masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang
sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah
didesentraslisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi yang dibutuhkan
adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-
masyarakat.
i. Pengelolaan Iklim Sekolah
241
Iklim sekolah (fisik dan non fisik) yang kondusif-akademik
merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar
mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,
optimisme dan harapan/espektasi yang tinggi dari warga sekolah,
kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa
(student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah
yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah
sudah merupakan kewenangan sekolah sehingga yang diperlukan
adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif.
Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 terkait dengan pembagian
urusan pemerintahan di bidang pendidikan ada 6 sub bidang, yakni
kebijakan, pembiayaan, kurikulum, sarana dan prasarana, pendidik
dan tenaga kependidikan, dan pengendalian mutu pendidikan.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut tergambar dengan jelas
pembagian urusan pemerintahan pada masing-masing sub bidang
antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota.
Kewenangan yang dilimpahkan tersebut bersifat mutlak.
Pemerintah daerah di masing-masing tingkatan harus menerima
kewenangan melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia
memegang otoritas untuk menentukan segala kebijakan tentang
penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakatnya. Hal itu mencakup
242
kewenangan untuk menentukan model, jenis, sistem pendidikan,
pembiayaan, serta lembaga apa yang akan melaksanakan
kewenangan-kewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi
administrasi, kewenangan yang dilimpahkan hanya berupa strategi
pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di daerah. Dengan kata lain,
kewenangan yang diserahkan berupa strategi pengelolaan yang
bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan.
Dalam desentralisasi model ini, pemerintah pusat masih memegang
kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro, sedangkan
pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk
merencanakan, mengatur, menyediakan dana dan fungsi-fungsi
implementasi kebijakan lainnya.
Penelitian yang dilakukan di 5 (lima) Kabupaten/Kota di
Sulawesi Selatan menggambarkan adanya variasi implementasi
otonomi di bidang pendidikan. Bervariasinya metode dan implementasi
desentralisasi bidang pendidikan di lokasi penelitian terutama dalam
pelaksanaan konsep pendidikan gratis. Walaupun dasar aturan yang
digunakan tetap sama yaitu UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional tetapi pada tiap daerah konsepnya berbeda-beda.
Follow up melalui penerapan Peraturan Daerah, juga memiliki
karakterisasi yang berbeda pula.
243
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, terdapat
6 urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah
Kabupaten Kota, antara lain :
a. Kebijakan
Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang termasuk
sektor pelayanan dasar yang akan mengalami perubahan secara
mendasar dengan dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal baik dari segi birokrasi kewenangan penyelenggaraan pendidikan
maupun dari aspek pendanaannya.
Otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya
mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau
menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom. maka
disebut dengan desentralisasi. Pasal 1 UU No. 32/2004 disebutkan
bahwa “desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI”.
Desentralisasi juga diartikan sebagai
“systematic and rasional dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow multi–sectoral decision making as close as possible to problem area”.
Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh
keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan dan efisiensi.
244
Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan demokrasi
melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini
diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan
terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar masyarakat
tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara
pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan
sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh
masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk
mendukung pemerintah lokal.
Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain
terwujud dalam bentuk perubahan arah paradigma pendidikan, dari
paradigma lama ke paradigma baru, yang tentu juga berdampak pada
paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal, paradigma baru
pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik
kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif.
Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud, kemampuan
perencanaan pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan.
Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik diharapkan
dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius.
Berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang
yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi berpotensi
memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam
245
pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan,
terbatasnya gerak dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan,
serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah
serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat. Selain
itu, dengan perencanaan yang baik, konon, merupakan separoh dari
kesuksesan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang
telah diotonomikan di daerah.
Responden penelitian di 5 lokasi penelitian mengemukakan
pendapatnya tentang ada tidaknya benturan kebijakan tentang
penyelenggaraan pendidikan di era otonomi daerah sekarang ini.
Tabel 5Tanggapan Responden Terhadap Ada Tidaknya Benturan Kebijakan
di Tiap Tingkatan KewenanganNo Karegori Responden Total
Eksekutif Legislatif Lainnya
1 Berbenturan 5 5% 7 7% 13 13% 25 / 25%
2 Cukup Berbenturan 5 5% 10 10% 15 15% 30 / 30%
3 Tidak Berbenturan 20 20% 23 23% 2 2% 45 / 45%
Jumlah 30 30% 40 40% 30 30% 100 / 100%
Sumber : Kuisioner Penelitian setelah diolah, 2009
Berdasarkan data yang ditunjukkan pada tabel tersebut di atas
khususnya pada item pertanyaan tentang ada tidaknya benturan
kebijakan antara pemerintah daerah dengan pemerintah provinsi, dan
pemerintah pusat. Sebagian besar responden (45 %) menyatakan pada
prinsipnya tidak ada benturan kebijakan, sementara 25 % responden
menyatakan ada benturan, dan 30 % lainnya menyatakan cukup
246
berbenturan, jika diakumulasi maka terdapat 55% responden yang
menyatakan terjadi benturan kebijakan.
Benturan kebijakan pendidikan antara Pemerintah provinsi
dengan pemerintah kabupaten/kota tidak terlepas dari adanya
pemahaman yang berbeda, sebagaimana temuan penulis di lokasi
penelitian, sebagai berikut :
1. Otonomi daerah memberikan porsi yang besar kepada
daerah Kabupaten/Kota untuk mengatur kewenangannya
sendiri, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini
menyebabkan munculnya ego di masing-masing daerah
karena merasa bahwa program di bidang pendidikan yang
dicanangkan oleh pemerintah provinsi bukanlah urusan wajib
yang bersifat perintah dan harus dilaksanakan oleh
pemerintah kabupaten/kota, sehingga kabupaten/kota dapat
ikut ataupun tidak ikut dalam program dimaksud.
2. Ketersediaan anggaran; Patut diakui bahwa tidak semua
daerah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan memiliki
kemampuan yang sama dalam pelaksanaan program dan
kebijakan tertentu. Ada daerah yang memiliki anggaran yang
cukup, dan ada pula daerah yang anggarannya minim.
Olehnya itu, pelaksanaan kewenangan di bidang
penyelenggaraan pendidikan disesuaikan dengan
kemampuan keuangan daerah masing-masing, sebab porsi
247
anggaran penyelenggaraan pendidikan khususnya dalam
pelaksanaan program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan
lebih besar dibebankan kepada daerah kabupaten/kota.
3. Kemauan Politik (Political Will) pemerintah kabupaten/kota.
Oleh karena setiap daerah kabupaten/kota sebagai titik fokus
pelaksanaan otonomi daerah, maka kewenangan
implementasi desentralisasi bidang pendidikan sangat
tergantung pada keinginan politik dari pemerintah
kabupaten/kota masing-masing. Tidak semua daerah
memiliki skala prioritas pada bidang pendidikan, sehingga
program pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah
propinsi belum tentu sesuai dengan konsepsi
penyelenggaraan pendidikan yang diterapkan di kabupaten
kota masing-masing.
4. Ketidaksepakatan terhadap porsi anggaran penyelenggaraan
pendidikan. Berdasarkan pendalaman yang dilakukan penulis
di lokasi penelitian, ada semacam ego masing-masing daerah
dalam memahami konsep otonomi yang dilaksanakan. Mis
persepsi tersebut melahirkan perbedaan pemahaman
terhadap kewenangan penyelenggaraan pendidikan, yang
mengakibatkan tidak sinkronnya antara program pendidikan
yang diinginkan pemerintah propinsi dengan yang
dilaksanakan pemerinah kabupaten/kota. Hal ini banyak
248
terkait dengan porsi sharing anggaran antara pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Penulis berpandangan bahwa lahirnya perbedaan pemahaman
tentang implementasi kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan
di Provinsi Sulawesi Selatan pada dasarnya telah berada di luar
hakekat pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri. Lahirnya
ketidaksinkronan pelaksanaan program desentralisasi di bidang
pendidikan yang ditafsirkan secara terpisah-pisah oleh pemerintah
kabupaten/kota merupkan bentuk pengingkaran (sadar atau tidak)
terhadap hakekat negara.
Benturan kebijakan sebagaimana temuan penulis dilokasi
penelitian, diantisipasi oleh Diknas Kota Makassar melalui kebijakan
Pemerintah Kota dengan menerbitkan Perda Tentang Penyelenggaraan
Pendidikan, yang dibarengi dengan Keputusan Walikota Makassar,
ditegaskan lebih lanjut oleh Sekretaris Diknas Kota Makassar,
*Guna menghindari terjadinya benturan antara kebijakan Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kota, dalam pelaksanaan kewenangan tetap didasarkan pada ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku misalnya UU No.20/2003 dan PP No. 38/2007*
Temuan di lapangan menunjukkan, mutu pendidikan kita tidak
terlepas dari belum komprehensifnya pendekatan perencanaan yang
digunakan.. Perencanaan pendidikan, hanya dijadikan faktor
pelengkap atau dokumen ”tanpa makna” sehingga sering terjadi tujuan
yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal.
249
Lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan,
antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat
terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih
efektif, (3) lebih inovatif, dan (4) menghasilkan semangat kerja yang
lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih produktif. sekurang-kurangnya
ada empat alasan rasional diterapkannya sistem desentralisasi,
termasuk pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk
mempertahankan stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi
pemerintah pusat dari masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan
ideologi sosialis dan laissez-faire dan untuk menumbuhkan kehidupan
demokrasi, (b) alasan sosio-kultural, yakni untuk memberdayakan
masyarakat lokal, (c) alasan teknis administratif dan paedagogis,
seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat
membayar gaji guru tepat waktu atau untuk meningkatkan antusiasme
guru dalam proses belajar mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial,
seperti meningkatkan sumber daya tambahan untuk pembiayaan
pendidikan dan sebagai alat pembangunan ekonomi.
Desentralisasi pendidikan di Indonesia dimaksudkan untuk
mencapai efisiensi pendidikan dengan mengakomodasi aspirasi
masyarakat lokal. Ia juga memberi alasan rinci mengapa
pertanggungjawaban implementasi pendidikan didesentralisasikan,
yaitu: Pertama, secara politik desentralisasi adalah cara
mendemokratiskan manajemen urusan-urusan publik (politically
250
decentralization is a way of democratizing the management of public
affairs). Di bawah skema desentralisasi, pertanggungjawaban
pendidikan tertentu diberikan kepada pemerintah daerah. DPRD
mengawasi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di daerah.
Dengan melibatkan wakil rakyat di dalam urusan pendidikan,
diharapkan akan mendukung partisipasi masyarakat yang lebih besar di
dalam pelaksanaan pendidikan dan dalam memecahkan masalah yang
berhubungan dengannya. Kedua, secara teknis adalah sulit untuk
mengelola pendidikan secara efisien di dalam sebuah wilayah yang
luas yang berisi banyak pulau (technically it is difficult to manage
education efficiently in a vast area consisting of islands). Masalah
komunikasi dan transportasi antara pemerintah pusat dan daerah,
khususnya pada masa lalu, telah menjadi pertimbangan penting untuk
desentralisasi. Lagi pula, sentralisasi akan membuat sulit untuk
memecahkan masalah – masalah, perbedaan-perbedaan regional dan
untuk mempertemukan kebutuhan dan tuntutan khusus mereka.
Perbedaan-perbedaan budaya dan tingkat perkembangan masing-
masing daerah menyumbang perbedaan-perbedaan dalam kebutuhan-
kebutuhan dan hakikat pendekatan untuk menyelesaikan masalah.
Ketiga, alasan utama desentralisasi pendidikan adalah efisiensi
dan efektifitas dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan
dengan pelaksanaan pendidikan (efficiency and effectiveness in
handling problems related to the implementation of education). Dan,
251
alasan keempat, untuk mengurangi beban administrasi yang berlebihan
dari pemerintah pusat (to reduce the overloaded burden of
administration of the central government).
Di samping itu, dapat pula dikatakan bahwa penerapan
desentralisasi secara umum sebagai “jalan keluar” bagi problematik
ketimpangan kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah
lokal. Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari
asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada
pemerintah lokal atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan
nasional. Pemberian sebagian kekuasaan tersebut untuk mengatasi
kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang berakar pada
persoalan: (1) ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar Jawa, (2)
sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi SDA, (5) represi
dan pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga kultural.
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki
proses pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak
stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan
masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah
dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk
memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu,
desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan
kepada rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif
dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya
252
manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan
daerah.
Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah
daerah membawa konsekuensi pada model pelaksanaannya. William
dalam Depdiknas, (2001:5) memerinci desentralisasi ke dalam tiga
model, yaitu dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation),
dan devolusi (devolution). Dekonsentrasi adalah model pengalihan
tanggung jawab pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke
pemerintah yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga lembaga di
pemerintah pusat masih memegang kendali pelaksanaan pendidikan
secara penuh. Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan dengan
membentuk lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat
melaksanakan tanggung jawab pemerintah pusat. Berbeda dengan itu,
dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan kekuasaannya
pada pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom.
Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak diberikan, namun dipinjamkan.
Jika pemerintah memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali.
Sementara, dalam model devolusi pemerintah pusat menyerahkan
kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan meliputi
pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas.
Kewenangan yang diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat ditarik
kembali lagi hanya karena tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di
pusat. Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan
253
yang disampaikan. Model dekonsentrasi adalah model penyerahan
kewenangan yang paling rendah, model delegasi lebih besar/tinggi, dan
model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang
dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada
pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari
pemerintah pusat, semakin besar sumberdaya yang harus dikeluarkan
untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka
bagi penerima kewenangan untuk mencari segala upaya dalam
melaksanakan kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-
pihak lain yang mereka nilai membantu dan menguntungkan mereka.
Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang No 20 Tahun 2003
menegaskan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar
tanpa memungut biaya, Inilah dasar hukum mengapa pendidikan dasar
harus digratiskan, meskipun dalam dalam UU Sisdiknas sendiri
terminologi “gratis” tidak dikenal
Sekilas Tentang Pendidikan Gratis
Program pendidikan gratis yang merupakan program unggulan
pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebagai bentuk komitmen
kepada rakyat telah dilaksanakan melalui perjanjian kerjasama antara
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan kabupaten dan kota
yang tertuang dalam Nota Kesepahaman (MoU) Nomor
254
:04.B/VI/DIKNAS/2008. Inti perjanjian tersebut adalah Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan menanggung 40 persen dan
Kabupaten/Kota sebesar 60 persen, kemudian dipertegas lagi dengan
terbitnya Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pendidikan
Gratis.
Berdasarkan data yang ada, Pemerintah Provinsi sedikitnya
mengeluarkan anggaran sebesar 180 milyar rupiah pertahun untuk
mendukung program pendidikan gratis tersebut. Dana tersebut
dialokasikan dalam APBD Sulsel, di luar dari bantuan APBD
kabupaten/kota. Alokasi anggaran tersebut untuk membiayai 16 item
dari pendidikan dasar dan menengah. Namun dalam pelaksanaannya
menuai banyak kritik.
Budhi A.M.Syachrun, S.Pd. Guru SMA Negeri I Tanralili dan
Ketua Lembaga Kajian Guru (eLKG) Sulsel, dalam tulisannya di Harian
Tribun Timur (8 Juni 2009) mengemukakan “Ketika program tersebut
pertama kali diluncurkan, pengalokasian anggaran sangat tepat
sasaran dan sesuai dengan peruntukannya. Namun menjelang
memasuki semester 3 Tahun 2009, persoalan dan riak kecil muncul
dikalangan pendidik maupun siswa itu sendiri. Anggaran Januari-Maret
2009, diterima oleh pihak sekolah pada minggu kedua Juli. Sementara
periode April-Juni hingga kini belum mendapat titik terang.
Selain itu persoalan sebenarnya adalah para guru terbiasa
dengan sistem yang selama ini berlaku, ketika anggaran masih dikelola
255
oleh pihak Komite Sekolah, sebagai contoh, jika kegiatan sudah
dilaksanakan, maka para guru dengan sendirinya mendapatkan insentif
dari kegiatan yang sudah dilaksanakan.
Lebih lanjut dikemukakan “ketika program pendidikan gratis
diterapkan, hal seperti itu tidak lagi ditemukan, Berbagai proses,
mekanisme, potongan anggaran akan dilalui dan itu membutuhkan
waktu yang cukup lama, Ketika anggaran sudah turun misalnya,
beberapa bendahara sekolah memotong sebesar 10 persen dari dana
pendidikan gratis
Kebijakan Pemerintah dalam mendorong percepatan Wajib
Belajar (Wajar) 9 tahun adalah dengan meningkatkan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), Pada tahun 2009 dana BOS akan
dinaikkan secara signifikan, sebagaimana tergambar dalam table
berikut :
Tabel 6
Perbandingan Dana BOS Tahun 2008 dan 2009
No. Jenjang Pendidikan Tahun 2008 Tahun 2009
1 SD di Kabupaten 254.000 per siswa 387.000 per siswa
2 SD di Pekotaan 354.000 per siswa 400.000 per siswa
3. SMP di Kabupaten 354.000 per siswa 570.000 per siswa
4 SMP di Pekotaan ---- 575.000 per siswa
Sumber : Depdinas 2009
Tabel diatas menunjukkan adanya kenaikan dana BOS dari
tahun sebelumnya. Untuk menanggulangi bantuan operasional sekolah,
256
Pemerintah Pusat menganggarkan 16 triliyun rupiah untuk membiayai
operasional pendidikan dasar. Oleh karena itu tahun 2009 semua
pendidikan dasar yang belum berada pada tingkat mutu layanan
berbentuk rintisan sekolah berstandar internasional atau sekolah
berstandar internasional wajib menggratiskan para siswa dari pungutan
untuk biaya operasional. Jika saja Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
dari pemerintah pusat belum mencukupi. Maka pemerintah daerah
wajib mengkompensasi kekurangannya.
Dalam kaitan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Pemerintah
Kota Bandung melakukan improvisasi kebijakan dalam melaksanakan
program pendidikan dasar gratis. Improvisasi itu salah satunya berupa
program bantuan operasional sekolah (BOS) berkategori.
Pemkot Bandung mulai tahun ini menganggarkan BOS
pendamping senilai Rp 325,3 miliar. Dana sebesar ini digunakan untuk
membebaskan 357.813 siswa SD dan SMP, baik negeri ataupun
swasta, di Bandung dari pungutan dana sumbangan pendidikan dan
iuran bulanan (SPP). Namun, berbeda dengan BOS pusat, besaran
dana ini dibuat dalam kategori atau diklasifikasikan berdasarkan kondisi
sekolah. Untuk SD, besaran pagu dibagi dalam lima kategori, mulai dari
Rp 200.000 hingga Rp 350.000 per siswa tiap tahun. ”Adapun SMP
berkisar Rp 550.000 hingga Rp 700.000,” kata Kepala Dinas
Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji.
257
Dalam kaitan itu pemerintah daerah hendaknya tidak hanya
berpegang pada persentase alokasi APBD di sektor pendidikan di
daerah setelah pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas mengalami perumusan
alokasi yang memasukkan faktor gaji guru. Sesuai dengan uji materil
UU No. 20 Tahun 2003 oleh Mahkamah Konstitusi, setelah gaji dihitung
sebagai pembiayaan pendidikan maka saat ini hampir semua pemda
tanpa berbuat apapun telah memiliki alokasi lebih dari 20% dari
APBDnya untuk sektor pendidikan. Padahal dari persentase itu
sebagian besar memang untuk gaji. Al hasil biaya untuk operasional
sekolah masih di bawah 20% dari APBD.
Program Pendidikan Gratis diharapkan dapat disahuti oleh
pemerintah Kabupaten. Namun demikian, tidak semua daerah di
Sulawesi Selatan yang ikut berpartisipasi dengan menerapkan
pendidikan gratis di daerahnya. Dalam mendukung penyelenggaraan
pendidikan, beberapa daerah di lokasi penelitian telah menerbitkan
Peraturan Daerah, misalnya Kota Makassar dengan Perda Nomor 3
Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Kabupaten Gowa
dengan Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pendidikan Gratis, Kota
Pare-Pare dengan Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan, Kebijakan pendidikan di Kabupaten
Pangkep dan Kabupaten Sinjai keduanya bertumpu pada Surat
Keputusan Bupati.
258
Terkait hal ini, responden di daerah penelitian mengemukakan
tanggapannya seperti ditunjukkan pada tabel 6 berikut:
Tabel 7
Tanggapan Responden Terhadap Efektivitas Pelaksanaan Program Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan
No Kategori Res[pponden Total
Eksekutif Legislatif Lainnya
1 Efektif 12 12% 10 10% 10 10% 32 / 32%2 Cukup Efektif 10 10% 20 20% 15 15% 45 / 45%3 Tidak Efektif 8 8% 10 10% 5 5% 23 / 23%
Jumlah 30 30% 40 40% 30 30% 100 / 100%Sumber : Kuisioner, setelah diolah 2009
Berdasarkan tabel 7 di atas, terlihat bahwa sekitar 23%
responden yang terdiri dari tiga komponen yang menyatakan program
pendidikan gratis belum berjalan secara efektif. Walaupun demikian,
sekitar 32% responden menyatakan sudah efektif. Pernyataan
responden penelitian tersebut, paling tidak menggambarkan bahwa
pelaksanaan program pendidikan gratis belum berjalan optimal dan
masih membutuhkan penyempurnaan terutama yang berkaitan dengan
pengucuran anggaran kepada masing-masing sekolah yang masih
sering terlambat.
Secara garis besar, beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam
penerapan program pendidikan gratis, adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan perluasan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan. Artinya adalah semua anak didik tanpa kecuali harus
mengenyam pendidikan dasar, baik mereka yang berada di
259
daratan, pegunungan maupun mereka yang selama ini bermukim
dikepulauan. Targetnya adalah mereka yang masuk usia sekolah
tidak ada lagi yang tidak tahu menulis dan membaca. Dengan
biaya gratis yang diberikan oleh pemerintah, hanya orang tua
yang tidak peduli pendidikanlah yang tidak mau menyekolahkan
anak-anaknya.
2. Meningkatkan pelayanan dan pengawasan penyelenggaraan
pendidikan, Artinya adalah dengan program pendidikan gratis
menuntut stakeholder dan semua pihak yang ada didalamnya,
agar bisa memberikan pelayanan maksimal kepada rakyat,
terutama dalam hal pemenuhan hak hidup untuk mendapatkan
pendidikan yang diinginkan. Pemerintah pun menerapkan
sistem pengawasan yang berlapis demi mencapai sebuah
kepuasan.
3. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) serta
kesejahteraan bagi tenaga pendidikan. Artinya adalah dengan
adanya program pendidikan gratis bisa menghasilkan sumber
daya manusia (SDM) yang handal. Harus dihilangkan image dan
tanggapan miring bahwa sesuatu yang bersifat gratis, akan
menghasilkan kualitas yang rendahan. Di Pangkep kendati
menerapkan pendidikan gratis, tetapi terkait peningkatan kualitas
baik itu siswa maupun guru tetap dikedepankan. Guru juga
sebagai ujung tombak dan penentu utama dalam bidang
260
pendidikan, masalah kesejahteraan tetap menjadi prioritas
utama.
4. Meningkatkan penyediaan sarana dan prasaran Artinya adalah
konsekwensi dari penerapan pendidikan gratis, tidak hanya
berorientasi kepada anggaran gratis semata. Pemerintah
setempat tetap memerhatikan persoalan sarana dan prasarana
yang ada di sekolah. Kendati banyak siswanya yang berkualitas,
tetapi karena tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai,
tetap dianggap tidak berhasil dan hanya menguntungkan salah
satu pihak. Anggaran besar pun sudah dikeluarkan untuk
membenahi sarana dan prasarana tersebut.
5 Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
pendidikan. Artinya dengan adanya penerapan program
pendidikan gratis, ada umpan balik dari semua pihak, termasuk
masyarakat, bagaimana sesungguhnya aplikasi program tersebut
di lapangan. Tanpa ada peran serta masyarakat dalam
pengelolaan program ini, program ini tetap tidak bisa dikatakan
sudah berhasil. Jadi intinya semua pihak harus melibatkan diri
dalam pengelolaan pendidikan itu. Proses pendidikan yang
dikelola dan dirancang secara bagus, akan menghasilkan kualitas
pendidikan yang bisa dibanggakan, baik pada tingkat lokal,
regional, nasional maupun internasional.
261
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh responden dalam
penelitian ini sehingga di tiap daerah ada konsep dan pemahaman yang
berbeda, tetapi yang paling dominan adalah karena terbatasnya
anggaran yang harus disiapkan sebagai dana pendamping.
Sebagai contoh, konsep pendidikan gratis yang diadopsi
Kabupaten Gowa jauh berbeda dengan konsep pendidikan gratis yang
dilaksanakan di Kabupaten Sinjai. Jika di Kabupaten Gowa,
pelaksanaan pendidikan gratis berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun
2008 kelihatannya cenderung kaku dalam pelaksanaannya sebab
partisipasi orang tua dibatasi dengan aturan, Eddy Candra, Kepala
Seksi Subsidi Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa (Kompas 21/1/2009),
menegaskan “bahwa orang tua siswa tidak bisa memberikan
sumbangan dalam bentuk dana di sekolah dimana anaknya bersekolah.
Sumbangan dalam bentuk dana dapat saja diberikan tetapi di sekolah
yang tidak ada anaknya bersekolah, Sementara di Kabupaten Sinjai
dan empat Kabupaten/Kota lainnya tidak demikian. Partisipasi orang
tua siswa dalam memberikan bantuan dana tetap bisa dilakukan di
sekolah dimana anaknya bersekolah tetapi tidak ada paksaan atau
tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan pihak sekolah.
Pernyataan Eddy Chandra selaku Kepala Seksi Subsidi Dinas
Pendidikan Kabupaten Gowa sebagaimana dilansir Kompas edisi
21/1/2009, ” ........ada Salah satu pasal Peraturan Daerah Kabupaten
Gowa No 4/2008 melarang kepala sekolah/ guru melakukan pungutan
262
dalam bentuk apa pun kepada orang tua siswa. Komite sekolah pun
dilarang melakukan hal serupa. Sebagai patokan, dicantumkan 14 jenis
pungutan yang dilarang: (1) bantuan pembangunan, (2) bantuan
dengan alasan dana sharing, (3) pembayaran buku, (4) iuran Pramuka,
(5) lembar kerja siswa, (6) uang perpisahan, (7) uang foto, (8) uang
ujian, (9) uang ulangan/semester, (10) uang pengayaan/les, (11) uang
rapor, (12) uang penulisan ijazah, (13) uang infak, (14) serta segala
jenis pungutan yang membebani siswa dan orang tua.
Program pendidikan gratis yang dicanangkan Walikota Makassar
dapat dikatakan berjalan sesuai harapan, apa yang dikemukakan
Sekretaris Diknas Kota Makassar, bahwa:
”program pendidikan gratis memang diarahkan kepada masyarakat yang tidak mampu, dengan menggunakan pendekatan Wilayah, dikemukakan lebih lanjut untuk tahun 2009 ada sekitar 128 SD yang mendapat bantuan biaya pendidikan gratis, yang tersebar di 14 kecamatan, terdapat 7 SMP dan 2 SMA, sekolah dimaksud bersubsidi penuh”, (wawancara 17/02.2010)
Fakta tersebut menggambarkan bahwa dengan dasar Undang-
Undang yang sama tetapi implementasi berdasarkan kewenangan
daerah masing-masing menjadi berbeda-beda.
Terkait dengan hal tersebut, responden penelitian juga memiliki
penilaian yang beragam, terutama terkait dengan kebijakan operasional
bidang pendidikan khususnya program pendidikan gratis di Sulawesi
Selatan.
Tabel 8
263
Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan OperasionalDesentralisasi Pendidikan di Daerah
No Kategori Responden Total
Eksekutif Legislatif Lainnya1 Sangat Sesuai 5 5% 7 7% 8 8% 20/20%2 Sesuai 25 25% 30 30% 15 15% 70/70%3 Tidak Sesuai 0 3% 3 3% 7 7% 10/10%
Jumlah 30 30% 40% 40% 20 20% 100/100%Sumber : Kusioner Penelitian setelah diolah
Berdasarkan tabel tersebut, tampak bahwa sebagian besar
responden yang merupakan praktisi dan pimpinan instansi sektor
pendidikan yaitu 70 % berpandangan bahwa kebijakan operasional
bidang pendidikan di daerahnya sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang diberlakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini
berarti bahwa peraturan daerah menyangkut penyelenggaraan
pendidikan di daerah walaupun berbeda secara kontekstual dan
kebijakannya tetapi tetap mengacu kepada peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi
pendidikan, yaitu: pertama, desentralisasi kewenangan di sektor
pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (provinsi dan distrik), dan
kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian
kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep desentralisasi
pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah
dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke
264
daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang
memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada
tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.
Dilain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan
adalah peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari
hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan
lebih difokuskan pada reformasi proses belajarmengajar. Partisipasi
orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah
satu faktor yang paling menentukan.
Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang
dilakukan di Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan merupakan bagian
dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan tidak sekedar
merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Desentralisasi pendidikan akan meliputi suatu proses pemberian
kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek
pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dan pada
saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan
pada tingkat sekolah.
Tipologi komponen-komponen sktor pendidikan yang dapat
dipertimbangkan untuk didesentralisasikan dapat dilihat dalam tabel
berikut
Tabel 9
265
Tipologi Kewenangan-kewenangan Pendidikan yang dapat Didesentralisasikan.
Komponen Kewenangan
Organisasi dan Proses Belajar Mengajar
1. Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid2. Waktu belajar di sekolah3. Penentuan buku yang digunakan4. Kurikulum5. Metode pembelajaran
Manajemen Guru
1. Memilih dan memberhentikan kepala sekolah2. Memilih dan memberhentikan guru3. Menentukan gaji guru4. Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada guru5. Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada guru
Struktur dan Perencanaan
1. Membuka atau menutup suatu sekolah2. Menentukan program yang ditawarkan sekolah3. Definisi dari isi mata pelajaran4. Pengawasan atas kinerja sekolah
Sumber Daya
1. Program pengembangan sekolah2. Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif3. Alokasi anggaran non personil4. Alokasi anggaran untuk pelatihan guru
Sumber : organization for Economic Coorperation and Developmen (OECD) Methodology seperti dikutip dalam Burki. Et, al (1999) halaman 57
Kebijakan pendidikan sebagai output dari produk politik,
memiliki ragam implementasi di daerah. Walaupun sudah ada standar
acuan secara nasional dan program pendidikan gratis di tingkat provinsi
tetapi daerah Kabupaten/Kota tidak serta merta ikut dengan kebijakan
tingkat provinsi. Konsep pendidikan gratis sebagai kebijakan politik
untuk kepentingan pelayanan kebutuhan dasar di bidang pendidikan
khususnya di Sulawesi Selatan ditanggapi secara beragam. Ada daerah
yang langsung berpartisipasi dalam bentuk sharing anggaran, ada pula
yang melakukan program pendidikan gratis tanpa sharing anggaran dari
pemerintah provinsi, bahkan ada yang mengabaikan angaran yang
disiapkan Pemerintah provinsi
Menurut hemat peneliti, jika kebijakan program pendidikan
ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kualitas publik, khususnya
untuk memperluas pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan,
266
lalu mengapa di setiap daerah ada friksi dan perbedaan pemahaman
tentang konsep pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah
provinsi. Jika standar acuan yang digunakan dalam pengelolaan
pendidikan adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, lalu mengapa timbul multitafsir yang
menyebabkan tidak seragamnya konsepsi program pelayanan
pendidikan di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Terkait hal tersebut
penulis melihat bahwa faktor politik sangat menentukan
penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia, sebab setiap
daerah diberi kewenangan masing-masing untuk mengatur, mengelola,
dan merumuskan kebijakan menyangkut penyelenggaraan pendidikan
di daerahnya masing-masing.
b. Pola Pembiayaan Sektor Pendidikan.
Perubahan kewenangan pengelolaan pendidikan dengan segera
mengubah pola pembiayaan sektor pendidikan. Sebelum otonomi
daerah praktis hanya pembiayaan sekolah dasar (SD) yang menjadi
tanggung jawab Pememerintah Daerah Kabupaten/Kota, sedangkan
SLTP dan SLTA (dan juga perguruan tinggi) menjadi tanggungjawab
pusat. Pembiayaan SLTP dan SLTA dilakukan melalui Kanwil
Depdiknas (di tingkat provinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat
kabupaten/kota).
267
Setelah diberlakukannya otonomi daerah, sebagaimana
disinggung di atas, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA
menjadi tanggungjawab Pemda. Konsekwensinya, tidak ada lagi Kanwil
dan Kandepdiknas, yang ada hanyalah Dinas Pendidikan di tingkat
kabupaten/kota yang berada di bawah kendali Pemda, dan Dinas
Pendidikan provinsi yang berada di bawah kendali Pemprov. Antara
Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan provinsi
tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan provinsi masih tetap
mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan
konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya
“tangan” di daerah untuk mengimplementasikan program-programnya.
Implikasinya setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan, melalui
koordinasi dengan Pemda, khususnya Dinas Pendidikan
kabupaten/kota.
Dengan konfigurasi kelembagaan yang seperti itu pula, pola
pembiayaan pendidikan mengalami perubahan yang cukup mendasar.
Daerah memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk membiayai
sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan dari
Pusat (dan Provinsi) tetap dimungkinkan, tetapi juga harus melalui
mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam APBD
kabupaten/kota.
Menurut hemat penulis, tantangan pertama yang harus dihadapi
oleh para pengelola pendidikan adalah masalah pendanaan. Sebagai
268
ilustrasi, rendahnya kualitas gedung sekolah, terutama SD merupakan
salah satu dampak keterbatasan kemampuan pemerintah dalam
memobilisasi dana untuk sektor pendidikan.
Di sisi lain, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) memberikan beban yang sangat berat bagi
pemerintah. Pasal 49 menyatakan bahwa “pemerintah (pusat maupun
daerah) harus mengalokasikan minimal 20% anggarannya untuk
keperluan sektor pendidikandi luar gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan.”
Penelitian yang dilakukan penulis di lima lokasi penelitian
menunjukkan bahwa realisasi anggaran masih jauh dari yang
diharapkan, Pada tahun 2007 rata-rata persentase anggaran
pembangunan terhadap APBD hanya 3,14%. Bahkan persentase
tertinggi hanya mencapai 10% masih jauh dari target 20% yang
diamanatkan oleh UU Sisdiknas.
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip
keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan hal tersebut termaktub dalam
Pasal 47 ayat (1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka
pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan
sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan
pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi,
dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2)
269
Strategi anggaran penyelenggaraan pendidikan di Provinsi
Sulawesi Selatan berupaya tetap mengacu kehendak UUD NRI 1945
Pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional, dengan menetapkan anggaran pendidikan minimal
20 % dari APBD. Namun demikian, untuk konteks Provinsi Sulawesi
Selatan, selama berlakunya UU Sisdiknas belum pernah menyentuh
angka 20 % dari APBD, sehingga diperlukan dana penunjang seperti
Blogrand, Dana Alokasi Khusus (DAK) hal mana terungkap wawancara
penulis dengan Arismunandar (Kabid Dikmenum Kota Makassar) pada
tanggal 17 Februari 2010. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 10
Perbandingan Anggaran Sektor Pendidikan Dalam APBDProvinsi Sulawesi Selatan
Tahun APBD( Rp. )
Anggaran Sektor Pendidikan ( Rp. )
Persentase( % )
2006
2007
2008
2009
1.486.115.046.733,35
1.809.498.887.213,00
2.133.624.782.881,42
2.209.405.231.780,42
64.746.730.184
81.548.023.248
77.159.672.762
87.990.576.480
4,36
4,51
3,62
3,98
Sumber : APBD Provinsi Sulawesi Selatan, 2009
Tabel di atas menggambarkan bahwa tekad pemerintah untuk
memajukan sektor pendidikan yang berdasarkan perintah UU harus
tersedia anggaran minimal 20 % dari APBN/APBD masih jauh dari
harapan. Selama 4 (empat) tahun terakhir, anggaran sektor pendidikan
270
di Provinsi Sulawesi Selatan masih berada pada kisaran 3 % sampai 4
% per tahun, di luar pos bantuan pendidikan gratis
Diagram 6
Diagram Perbandingan Anggaran Sektor Pendidikan dengan Total APBD Provinsi Sulawesi Selatan
271
Sumber : APBD Sulsel TA 2006,2007.2008.2009.
Pada tahun 2006 misalnya, dari total APBD sebesar Rp. 1,4
trilyun anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 64,7 milyar
lebih atau hanya sekitar 4,36 % dari total APBD. Untuk tahun 2007 dari
total APBD Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp. 1,8 trilyun anggaran
untuk sektor pendidikan hanya Rp. 81,5 milyar lebih atau sekitar 4,51 %
dari total APBD. Pada tahun 2007 tersebut terlihat adanya kenaikan
anggaran untuk sektor pendidikan namun untuk tahun 2008 terjadi
penurunan baik jumlah nominal anggaran maupun persentasenya.
Di tahun 2008 dari total APBD sebesar Rp. 2,1 trilyun anggaran
untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 77,1 milyar lebih atau 3,62
% dari total APBD yang berarti terjadi penurunan dibanding tahun
sebelumnya. Selanjutnya untuk tahun 2009, total APBD Provinsi
Sulawesi Selatan sebesar Rp. 2,2 trilyun lebih sementara alokasi
anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 87,9 milyar lebih
atau hanya sekitar 3,98 %. Walaupun ada peningkatan persentase
dibanding tahun 2008 tetapi masih belum mencapai angkat di tahun
2006 dan tahun 2007 apalagi jika dikaitkan dengan standar minimal 20
% dari APBD.
Kenyataan ini membuktikan bahwa walaupun secara politis tekad
pemerintah untuk meningkatkan pelayanan pendidikan bagi seluruh
masyarakat sangat tinggi, tetapi kendala anggaran tetap menjadi hal
utama yang dapat menjadi faktor penghambat utama dalam
272
pelaksanaannya. Hal ini berimplikasi pada dapat terhambatnya jaminan
atas hak dan kewajiban warga negara dalam memperoleh pendidikan
secara memadai.
Sejalan dengan itu, pada tahun 2008, Gubernur Provinsi
Sulawesi Selatan mencanangkan program “pendidikan gratis” yang
diharapkan bisa membantu masyarakat yang kurang mampu, dalam
hubungan itu Edy Priyono (2008) mengemukakan :
“.......Pendidikan gratis, adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah.”
Lebih lanjut dikemukakan, jika pengertiannya demikian, maka
konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada
perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan
memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang
diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid.
Besarnya biaya satuan kemudian harus dibandingkan dengan
dana BOS (bantuan operasional sekolah) yang sejak 2005 diterima
sekolah dari pemerintah (pusat). Untuk 2007, dana BOS bernilai Rp
21.000 per siswa per bulan untuk SD/MI dan Rp 29.500 untuk
SMP/MTs.
Pertanyaan pertama, apakah sebelum mencanangkan atau
menjanjikan pendidikan gratis para (calon) pimpinan daerah sudah
menghitung biaya satuan? Pertanyaan kedua, jika ternyata biaya
273
satuan di tingkat sekolah lebih besar dibandingkan dengan dana BOS,
siapa yang akan menutup kekurangan tersebut?
Kebijakan pendidikan gratis sebagaimana dikemukakan Edy
Priyono dalam tulisannya yang dimuat Harian Pembaharuan (11
Februari 2008) “ jelas tidak membebankan kekurangan biaya tersebut
kepada masyarakat (orang tua)”. Alternatifnya hanya dua, yaitu
dipenuhi oleh pemerintah (pemda) atau dibiarkan tanpa satu pihak pun
yang menutupnya. Jika pemda yang akan menutup kekurangan biaya di
sekolah berarti diperlukan alokasi APBD sesuai dengan jumlah murid.
Kebijakan Gubernur Sulawesi Selatan melalui program
Pendidikan Gratis secara bertahap mulai dijalankan, pada Tahun
Anggaran 2008 melalui Pos bantuan pendidikan gratis di alokasikan
dana sebesar Rp. 193.586.676.000,- dan pada Tahun Anggaran 2009
di alokasikan dana sebesar Rp. 173.889.512.800, di luar dari alokasi
anggaran yang dikelola Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan.
Memasuki tahun kedua pelaksanaan program pendidikan gratis
yang merupakan ikon Gubernur Sulawesi Selatan telah menyerap
anggaran sebesar Rp. 367.476.188.800,-
Tabel 11Pos Bantuan Pendidikan Gratis Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun APBD Sektor Pendidikan (Rp)
Anggaran Pendidkan Gratis (Rp)
Jumlah(Rp)
2006200720082009
64.746.730.18481.548.023.24877.159.672.76287.990.576.480
--
193.586.676.000173.889.512,800
--
270.746.348.762261.880.089.280
274
Sumber : APBD Provinsi Sulawesi Selatan, 2009
Tabel diatas menggambarkan bahwa pada tahun 2008 anggaran
yang terserap untuk sektor pendidikan telah mencapai Rp.
270.746.348.762,-atau sebesar 12,69% dan pada Tahun 2009
anggaran yang terserap mencapai Rp. 261.880.089.280,- atau 11.85%
angka tersebut masih jauh dari amanah Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebesar 20%
Menurut hemat penulis, untuk konteks Sulawesi Selatan strategi
anggaran untuk sektor pendidikan masih membutuhkan perjuangan
panjang guna memenuhi tuntutan UU Sisdiknas yang mempersyaratkan
tersedianya anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBD diluar
anggaran gaji dan pendidikan kedinasan. Salah satu strategi yang
dapat dilakukan guna menutupi kekurangan anggaran untuk sektor
pendidikan hanya melalui sharing anggaran antara pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, disamping
mendorong tumbuhnya partisipasi dan kesadaran masyarakat secara
luas untuk turut terlibat dan atau dilibatkan dalam memikirkan sekaligus
membantu pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan di
sektor pendidikan.
Di atas kertas, Pemda memang memiliki beberapa sumber
keuangan daerah, seperti dana perimbangan (DAU, DAK dan Dana
Bagi Hasil), pendapatan asli daerah (PAD) dan pinjaman. Tapi pada
kenyataannya, rata-rata peranan PAD dalam APBD hanya sekitar 7%.
275
Sementara itu, rata-rata tertimbang rasio dana perimbangan terhadap
pengeluaran rutin adalah 1,4 yang menunjukkan bahwa tidak banyak
dana perimbangan yang bisa digunakan untuk keperluan di luar
anggaran rutin. Jelas bahwa Pemda memiliki tanggung jawab yang
besar dan bersifat jangka panjang di sektor pendidikan, tetapi tidak
memiliki sumber dana yang cukup dan stabil untuk mendanai. Jika
situasinya tidak berubah, Daerah tidak akan mampu memenuhi 20%
anggaran untuk pendidikan seperti yang diamanatkan UU Sisdiknas
dan pada gilirannya ada risiko terjadi penurunan kualitas SDM sebagai
dampak otonomi daerah
Dalam hal penyediaan anggaran sektor pendidikan misalnya,
Pemerintah Kabupaten Gowa menyediakan anggaran pendidikan yang
dialokasikan dalam APBD mencapai Rp. 11 milyar, atau setara 21,26
persen dari APBD Kabupaten Gowa.
Pemerintah Kabupaten Pangkep selain mengalokasikan dana
untuk membiayai 14 item yang di gratiskan, juga memberikan tunjangan
kesejahteraan kepada guru-guru, dengan rincian sebagai berikut:
kepala sekolah sangat terpencil mendapatkan kesejahteraan sebesar
Rp 300.000/bulan, kepala sekolah terpencil (Rp. 250.000/bulan), kepala
sekolah wilayah daratan (Rp. 200.000/bulan), kepala TK (Rp.
200.000/bulan), guru sangat terpencil (Rp. 150.000/bulan), guru
terpencil ((Rp. 100.000/bulan), kepala SLTP negeri dan swasta ((Rp.
276
250.000/bulan), guru SMA negeri dan swasta (Rp. 250.000/bulan) dan
guru SLTP negeri dan swasta (Rp. 100.000/bulan).
Selain memberikan tunjangan kesejahteraan, juga dialokasikan
anggaran untuk memberikan tunjangan khusus dengan rincian masing-
masing, tunjangan khusus daerah sangat terpencil kepala sekolah,
guru, penjaga sekolah sebesar Rp 150.000/bulan, tunjangan khusus
daerah terpencil kepala sekolah, guru, penjaga sekolah sebesar Rp
100.000/bulan dan kesejahteraan guru PAUD (Pendidikan Anak Usia
Dini) sebesar Rp 100.000/bulan.
Pemerintah juga menyediakan anggaran dalam membantu
kegiatan operasional 77 sekolah sebesar Rp. 2.005.000.000 untuk
SLTP dan SMA negeri atau swasta. Terkait dengan perkembangan
teknologi informasi dengan menyediakan koneksi jaringan internet pada
perpustakaan daerah Kab. Pangkep sebesar Rp 104.500.000,
pengadaan komputer SMA/SMP negeri & swasta 105 unit sebesar Rp
787.500.000 dan bantuan laboratorium komputer dengan perangkatnya
untuk SMA Unggulan sebesar Rp. 110.000.000.
Kota Makassar sebagai pintu gerbang kawasan timur Indonesia
mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan tahun 2009
sebesar Rp. 143 milyar, namun hanya 1 milyar rupiah yang
dianggarkan untuk pendidikan luar sekolah (PLS). disamping itu Kota
Pare-Pare dan Kabupaten Sinjai juga menganggarkan hal yang sama
pada setiap tahun anggaran, dari fakta tersebut membuktikan bahwa
277
ada keseriusan dari Pemerintah Kabupaten/Kota di lima lokasi
penelitian mendorong percepatan program Wajar Dikdas 9 tahun,
dengan memaksimalkan anggaran pada sektor pendidikan.
Dalam buku Panduan BOS Tahun 2007 dinyatakan bahwa
pemda tetap harus mengalokasikan APBD-nya untuk keperluan
operasional sekolah. Selain itu, BOS masih memperbolehkan sekolah
untuk menerima sumbangan dari orang tua yang mampu. Dengan
tegas harus "gratis" adalah bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak
mampu.
Secara implisit, hal itu menunjukkan bahwa pengelola BOS
menyadari dana BOS sebenarnya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan operasional di sekolah. Meskipun demikian, tidak semua
orang menyadari hal itu.
Sejalan dengan itu, penulis mengemukakan beberapa Fakta
yang menunjukkan bahwa berbagai "model" kebijakan pembiayaan
pendidikan di daerah.
Pertama, pemda menganggap BOS tidak cukup, sehingga
mengalokasikan dana APBD dalam jumlah cukup besar sebagai
"pendamping BOS", kemudian menggratiskan pendidikan. Sebagai
ilustrasi, sampai 2007 DKI Jakarta mengalokasikan Rp 50.000 per
siswa per bulan untuk SD dan Rp 100.000 untuk SMP. Contoh lain,
Kota Bekasi juga mengalokasikan APBD 2008 cukup besar untuk
pendamping BOS, sekitar Rp 30.000 per siswa per bulan untuk SD. Ini
278
merupakan kondisi yang mendekati "ideal". Sekolah tercukupi
kebutuhannya, sementara masyarakat menikmati pelayanan pendidikan
tanpa harus membayar.
Kedua, pemda menganggap dana BOS sudah cukup bagi
sekolah, sehingga menggratiskan sekolah, tetapi tidak mengalokasikan
(atau mengalokasikan dalam jumlah kecil) APBD-nya untuk keperluan
operasional sekolah. Ini merupakan kondisi yang sangat menyulitkan
banyak sekolah dan dikhawatirkan berimplikasi buruk bagi kualitas
pendidikan. Di sisi lain, masyarakat "menikmati" sekolah gratis,
meskipun ada "ancaman" penurunan kualitas (yang belum tentu
dirasakan dengan segera).
Ketiga, pemda menganggap BOS tidak cukup, tidak
mengalokasikan (atau mengalokasikan dalam jumlah kecil) APBD-nya,
tetapi masih memperbolehkan sekolah menarik dana partisipasi dari
masyarakat. Langkah ini tidak "populer", karena masyarakat masih
dibebani dengan biaya pendidikan. Tetapi, sekolah tidak "menderita",
karena kekurangan dana operasional masih bisa ditutup dengan
kontribusi dari orang tua/masyarakat, (Edy Priyono,11 Februari 2008).
Jika memperhatikan kondisi seperti penulis kemukakan diatas,
menunjukkan bahwa pendidikan gratis tidak selalu "baik" bagi
masyarakat. Masyarakat memang memerlukan pendidikan yang murah,
tetapi pada saat yang sama juga memerlukan pendidikan yang
bermutu. Dan sayangnya, kedua hal itu (murah dan bermutu) tidak
279
selalu bisa berjalan seiring. Bahkan ada pandangan yang leih ekstrim
bahwa pendidikan gratis yang mengabaikan peran orang tua siswa
menyalahi atau bertentangan dengan UU No 20 Tahun2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Dari sisi pembiayaan pendidikan di daerah. Menurut Edy Priyono
(2007:9) Idenya adalah bagaimana mencari sumber pembiayaan yang
memiliki dua karekteristik dasar, Pertama, cukup dan stabil bagi sektor
pendidikan di daerah untuk memenuhi target 20% untuk biaya
pendidikan. Kedua, berada dalam kewenangan Pemda, sehingga
memungkinkan dijadikan ”kebijakan fiskal” di daerah
(dinaikkan/diturunkan jika dianggap perlu)
Persoalan yang cukup mendasar adalah Standar Pembiayaan
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008, namun
hingga kini belum terbit Permendiknas, hemat peneliti jika PP No. 48
Tahun 2008 telah mengatur standar pembiayaan, untuk itu Mendiknas
segera menerbitkan Peraturan Menteri yang dapat dipedomani dalam
menetapkan komponen standar pembiayaan.
c. Kurikulum
Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun
tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di
tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden, sebagaimana tercermin
dalam pasal 50 ayat (1) UU No 20 Tahun 2003, yaitu menteri
280
pendidikan nasional, dalam hal ini Pemerintah (pusat) menentukan
kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin
mutu pendidikan nasional. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 50 ayat
(2) pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan
fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota
untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk
pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan
dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis
keunggulan lokal.
Pelaksanaan kurikulum menerapkan prinsip “Kesatuan dalam
Kebijakan dan Keberagaman dalam Pelaksanaan”. Standar nasional
disusun pusat dan cara pelaksanaannya disesuaikan masing-masing
daerah/sekolah dan madrasah. Perwujudan “Kesatuan dalam
Kebijakan” tertuang dalam pengembangan Kerangka Dasar, Standar
Kompetensi Bahan Kajian, dan Standar Kompetensi Mata Pelajaran,
beserta Pedoman Pelaksanaannya. Perwujudan “Keberagaman dalam
Pelaksanaan” tertuang dalam pengembangan silabus dan skenario
pembelajaran.
Sebagaimana diketahui bahwa kondisi masyarakat Indonesia
sangat hetorogen dengan berbagai macam keragamannya, seperti
budaya, adat, suku, sumber daya alam, dan bahkan sumber daya
manusianya. Masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan
281
kemampuan yang berbeda dalam pelaksanaan desentralisasi
pendidikan.
Hasbullah (2006:20), mengemukakan ”Permasalahan relevansi
pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan
pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang
sesuai dengan kondisi obyektif di daerahnya. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa situasi ini memacu terciptanya pengangguran lulusan akibat
tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah.
Dalam konteks otonomi daerah. Kurikulum suatu lembaga
pendidikan tidak sekedar daftar mata pelajaran yang dituntut di dalam
suatu jenis dan jenjang. Dalam pengertiannya yang luas, kurikulum
berisi kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program
pelajaran tertentu.
Oleh karena itu Hasbullah (2006:21), mengemukakan
pelaksanaan kurikulum untuk menunjang keberhasilan sebuah lembaga
pendidikan harus ditunjang hal-hal sebagai berikut:
tersedianya tenaga pengajar (guru) yang kompoten;
tersedianya fasilitas fisik atau fasilitas belajar yang
memadai dan menyenangkan;
tersedianya fasilitas bantu untuk proses belajar
mengajar;
adanya tenaga penunjang pendidikan, seperti tenaga
administrasi, pembimbing, pustakawan dan laboran;
282
tersedianya dana yang memadai;
manajemen yang efektif dan efisien;
terpelihanya budaya yang menunjang, seperti nilai-nilai
religius, moral, kebangsaan dan lain-lain;
kepemimpinan pendidikan yang visioner, transparan, dan
akuntabel.
Lebih lanjut dikemukakan, kurikulum yang amat terstruktur dan
sarat beban menyebabkan proses pembelajaran di sekolah menjadi
steril terhadap keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang
berkembang dalam masyarakat. Akibatnya, proses pendidikan menjadi
rutin, tidak menarik dan kurang mampu membentuk kreativitas murid
untuk belajar serta guru dan pengelola pendidikan dalam menyusun
dan melaksanakan pendekatan pembelajaran yang inovatif
Kurikulum dapat didiversifikasikan dengan cara disesuaikan,
diperluas, dan diperdalam untuk melayani keberagaman
penyelenggaraan satuan pendidikan, kebutuhan dan kemampuan
daerah dan sekolah dan madrasah ditinjau dari segi geografis dan
budaya serta kemampuan dan minat peserta didik sehingga sekolah
dan madrasah dapat melayani seluruh peserta didik dengan
kemampuan di bawah rata-rata, rata-rata dan di atas rata-rata untuk
mencapai hasil yang optimal.
Diversifikasi kurikulum yang melayani minat peserta didik dan
kebutuhan daerah dirancang oleh daerah, sekolah dan madrasah.
283
Perwujudan diversifikasi kurikulum pendidikan kejuruan mengacu pada
pencapaian penguasaan kompetensi sesuai dengan dunia kerja
setempat.
Diversifikasi kurikulum juga dilaksanakan untuk melayani
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Diversifikasi kurikulum
juga perlu dilaksanakan untuk peserta didik dari daerah terpencil atau
terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami
bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Dari sisi hukum, tanggung jawab pengembangan kurikulum
dilakukan secara nasional dan menjadi tanggung jawab pemerinah
pusat untuk selanjutnya ditindaklanjuti di tingkat satuan pendidikan
dengan melakukan koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum
berdasarkan standar nasional. Pengembangan dilakukan secara
berkala di tingkat sub dinas bagian kurikulum. Dinas Pendidikan
Provinsi bersama LPMP dan perguruan tinggi. Hasil rumusan
selanjutnya diaplikasikan para guru setelah sosialisasi dan pendalaman
materi terlebih dahulu.
Menurut Halide (Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan)
sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan
pendidikan dasar di daerah seharusnya disempurnakan setiap tahun
melalui Dinas Pendidikan Provinsi untuk selanjutnya diteruskan ke
284
Kabupaten/Kota dan kepada masing-masing kepala sekolah untuk
dipelajari/dipahami oleh para kelompok guru dan seterusnya diajarkan
pada murid secara penuh agar siap menghadapi Ujian Akhir Nasional.
Pengawasan terhadap pemenuhan standar isi dilakukan oleh pengawas
sekolah kemudian dilaporkan untuk ditindaklanjuti.
Pernyataan responden terkait dengan sosialisasi implementasi
kurikulum di tingkat satuan pendidikan pada lokasi penelitian
menunjukkan tanggapan yang beragam. Untuk jelasnya dapat dilihat
melalui tabel berikut.:
Tabel 12Tanggapan Responden Terhadap Sosialisasi Kurikulum
di Tingkat Kabupaten/KotaNo Kategori Responden Total
Eksekutif Legislatif Lainnya1 Optimal 5 5% 5 5% 5 5% 15 / 15%2 Kurang Optimal 17 17% 25 25% 14 14% 56 / 56%3 Tidak Optimal 8 8% 10 10% 11 11% 29 / 29%
Jumlah 30 30% 40 40% 30 30% 100 / 100%Sumber : Kuisioner Penelitian setelah diolah, 2009
Berdasarkan tabel 12 diatas menunjukkan bahwa sosialiasi
kurikulum hanya 15% responden yang menyatakan sosialiasi kurikulum
optimal, selebihnya terdapat 56% responden menyatakan kurang
optimal dan 29% menyatakan tidak optimal. Besarnya presentase
285
tersebut menunjukkan bahwa kinerja Dinas Pendidikan baik di provinsi
maupun di kabupaten/kota tidak berjalan dengan baik, sehingga
hasilnya tidak optimal, sebagaimana tercermin dalam tabel diatas.
Dalam kaitan dengan manajemen kurikulum, peningkatan
relevansi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat
antara lain perlu dilakukan manajemen kurikulum yang berangkat dari
suatu prediksi yang dapat memberikan gambaran dan keadaan
masyarakat beberapa tahun mendatang. Hal ini penting, apalagi
sekarang masyarakat cenderung lebih berfikir pragmatis, yakni suatu
tuntutan kepada lembaga pendidikan untuk dapat melahirkan out-put
yang mampu menjamin masa depan terutama dalam sektor dunia kerja.
Oleh karena itu Hasbullah (2006:22), menegaskan “kurikulum
pendidikan harus tetap dijaga agar selalu responsif dalam mengikuti
perkembangan teknologi yang menunjang pelaksanaan tugas di
lapangan.
Sejalan dengan itu, kebijakan tentang penerapan kurikulum di tingkat provinsi didasarkan pada kebijakan nasional pendidikan dengan mengacu pada muatan local dengan memperhatikan sumber daya yang ada sebagaimana dikemukakan Syaiful Amsi (wawancara 16/02.2010)
Terkait dengan pengembangan kurikulum sesuai kehendak UU
No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penulis berpendapat
bahwa walaupun tanggung jawab pengembangan kurikulum berada di
tangan pemerintah pusat dalam hal ini menteri pendidikan nasional
tetapi sosialisasinya harus benar-benar optimal sehingga implementasi
286
kurikulum berdasarkan standar isi yang ditetapkan pemerintah pusat
dapat diaplikasikan secara penuh. Untuk itu, dibutuhkan pengaturan
lebih lanjut tentang mekanisme dan tata cara pengawasan standar isi
melalui peraturan daerah baik di tingkat provinsi maupun pada tingkat
kabupaten/kota, sehingga pelaksanaannya benar-benar dapat terukur,
akuntabel, dan mudah dikontrol.
d. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana di sektor pendidikan merupakan salah
satu faktor penentu keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di
daerah. Seperti telah diungkap pada bagian sebelumnya bahwa salah
satu kendala utama dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintah
daerah di bidang pendidikan adalah terbatasnya anggaran untuk sektor
pendidikan. Berkaca pada fakta yang terungkap di lokasi penelitian,
dimana selama 4 tahun terakhir anggaran untuk sektor pendidikan di
Provinsi Sulawesi Selatan hanya berada pada kisaran tiga sampai
empat persen dari total APBD, tentu sulit mengharapkan terpenuhinya
standar sarana dan prasarana pendidikan sesuai ketentuan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007. Untuk itu, tanggung
jawab tersebut harus dipikul bersama antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah.
Kebijakan perbaikan sarana dan prasarana sektor pendidikan
khususnya yang berkaitan dengan perbaikan mutu dan kecukupan
287
sarana dan prasarana sekolah melalui APBN ditempuh dengan
pengalokasian anggaran dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK)
sektor pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2007, khususnya yang
terkait dengan Sarana dan Prasarana, baik Pemerintah Provinsi
maupun Pemerintah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk
melakukan pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana
dan prasarana pendidikan nasional, selain itu juga diberi kewenangan
untuk melakukan pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan
prasarana pendidikn demikian pula pengawasan penggunaan buku
pelajaran pendidikan.
e. Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Kewenangan ditingkat Pemerintah khususnya yang terkait
Pendidik dan Tenaga Kependidikan adalah Perencanaan kebutuhan
dan pengadaan tenaga kependidikan secara nasional, kewenangan lain
adalah pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar
provinsi serta peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan
perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan. Pada tataran
Pemerintah Provinsi juga diberikan kewenangan perencanaan
kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan demikian pula
Pemerintah Provinsi diberi kewenangan untuk mengangkat,
menempatkan tenaga kependidikan PNS dan berhak pula melakukan
288
pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar
kabupaten/kota. Akan halnya Pemerintah Kabupaten/Kota juga
diberikan kewenangan yang sama pada skala yang lebih kecil.
Dalam tiga tahun terakhir penerimaan calon Tenaga
Kependidikan PNS di lokasi penelitian belum signifikan, Tenaga
kependidikan yang tercatat di 5 lokasi penelitian mencapai 25.452
orang, Menurut data Direktorat tenaga kependidikan pada tahun 2005
jumlah kekurangan tenaga guru di Indonesia mencapai angka 218.838.
Kekurangan guru yang cukup besar tersebut akan menghambat
kualitas pendidikan karena guru merupakan faktor penentu tinggi
rendahnya kualitas pendidikan. Keadaan ini juga dialami oleh
Pemeintah Provinsi maupun kelima kabupaten/Kota yang dijadikan
obyek penelitian. Kekurangan guru tentu akan mengakibatkan
terhambatnya proses belajar mengajar, bahkan tidak jarang seorang
guru mengajar pada bidang studi yang tidak sesuai dengan
kemampuan akademiknya, belum lagi sertifikasi.
Menurut Budi AM.Syachrun, Dengan sertifikasi guru maka
kesejahteraan guru bisa sejajar dengan profesi lainnya. Persoalannya
adalah sejak digulirkan 2006 lalu, tampaknya sertifikasi hanya menjadi
momok menakutkan bagi guru. Lebih lanjut mengemukakan ketika
guru mengumpulkan portopolio, maka dalam kasus ini terkadang
mamanipulasi berkas yang dikumpulkan kepada tim assesor, misalnya
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dikumpul lima item
289
pokok bahasan itu tidak murni merupakan hasil kerja guru tersebut,
kadang disalin seutuhnya dari teman di sekolah lain. Kasus lain adalah
beban kerja guru. Di dalam aturan pedoman perhitungan beban kerja
guru yang dikeluarkan oleh Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan
Tenaga Kependidikan tahun 2008, dikatakan masih ada tambahan jam
untuk kegiatan tatap muka, selain kegiatan tatap muka di dalam kelas.
Kasus-kasus yang penulis kemukakan diatas terkesan menyimpan dari
tujuan diadakannya sertifikasi guru yaitu meningkatkan kualitas dan
kompetensi guru, kenyataannya tidak demikian sehingga menurut
penulis perlu ditinjau ulang pelaksanaan sertifikasi guru yang selama ini
dilaksanakan.
f. Pengendalian Mutu Pendidikan.
Kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota dalam pengendalian mutu pendidikan adalah
membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan nonformal, juga melakukan koordinasi,
fasilitasi dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah pada skala provinsi
bagi pemerintah provinsi dan skala kabupaten/kota pada skala
kabupaten/kota. Demikian pula penyediaan biaya penyelenggaraan
ujian sekolan dan melakukan evaluasi pengelola, satuan jalur dan jenis
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah
dan pendidikan non formal.
290
Terkait pelaksanaan Ujian Nasional yang diharapkan akan
meningkatkan kualitas pendidikan, menurut penulis UN hanya menjadi
proyek strategis pemerintah dan jajaran yang ada di bawahnya. Setiap
tahun keluar kebijakan terhadap UN, tapi akar masaalahnya tidak
pernah disentuh, dengan meminjam istilah Budi AM Syachrun , akar
masalah yang dimaksud adalah tidak adanya keinginan dari pemerintah
untuk memperbaiki proses kerja dari pelaksanaan UN ini, termasuk
memperbaiki dan menganalisis bentuk kecurangan setiap pelaksanaan
UN, alih-alih diperbaiki, justru pemerintah hanya mengejar “setoran”
keberhasilan dari masing-masing daerah tampa memperhatikan
bagaimana proses itu berlangsung.
Dalam pengendalian mutu pendidikan, salah satu daerah di
Sulsel bahkan dengan terang-terangan mengambil langkah terobosan
terkait pelaksanaan UN itu, Bupati memberikan reward jika ada sekolah
yang meluluskan siswanya 100 persen. Guru yang ada di sekolah
tersebut sangat gembira, karena mendapatkan uang sebesar Rp.
200.000,- per orang.
Apa yang diuraikan diatas merupakan gambaran Urusan
pemerintahan bidang pendidikan di lokasi penelitian, temuan-temuan
tersebut diharapkan dapat diberi apresiasi bagi pengambil kebijakan
dalam menata sistem pendidikan di Sulawesi Selatan.
2. Koordinasi Kelembagaan
291
Penyelenggaraan pendidikan menjadi sangat penting dan
strategis dalam menentukan masa depan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu sejalan dengan paradigma
baru penyelenggaraan otonomi daerah dengan tujuan memungkinkan
daerah yang bersangkutan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Maka daerah memiliki kewenangan untuk mengelola urusan
pemerintahan di daerah atas prakarsa sendiri, termasuk di dalamnya
pengelolaan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya
permasalahan pendidikan yang dihadapi daerahnya, yaitu rendahnya
kualitas pendidikan pada setiap jenjang, maka daerah diharapkan
mampu menunjukkan perannya dalam mengupayakan peningkatan
kualitas pendidikan.
Untuk itu dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan maka
peranan Dinas Pendidikan Daerah harus betul-betul optimal, upaya
yang dilakukan berupa peningkatan kualitas pendidikan di berbagai
bidang antara lain; pelimpahan kewenang manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah, sehingga sekolah dapat berpartisipasi aktif
dalam peningkatan kualitas pendidikan, hal ini ditempuh dengan
melaksanakan sosialisasi MPMBS di jajaran Dinas Pendidikan dan
sekolah, membantu sekolah menyusun rencana dan program
peningkatan kualitas pendidikan, disamping itu juga melakukan
monitoring dan evaluasi. Juga melalui peningkatan kemampuan dan
292
profesionalisme jajaran Dinas Pendidikan, selain itu Dinas Pendidikan
lebih meningkatkan upaya-upayanya yaitu melakukan program-program
peningkatan kualitas pendidikan; melalui peningkatan mutu pendidikan
dasar, mutu pendidikan menengah, pemenuhan kebutuhan belajar
mengajar dan penyediaan unit sekolah baru.
Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota (Kab/Kota) di era
otonomi daerah semakin bertambah masalahnya sejak kemunculan
kebijakan pendidikan yang diatur oleh Depdiknas yang seringkali tidak
pas untuk dilaksanakan di daerah, semisal syarat untuk ikut sertifikasi,
seorang guru harus melakukan tatap muka dengan muridnya sedikitnya
24 jam, selain itu UU Sisdiknas dinilai sebagian kalangan tidak tegas
dalam hal tanggungjawab pendanaan pendidikan, apakah negara atau
masyarakat, sehingga program wajib belajar pendidikan dasar (wajar
dikdas) 9 Tahun, sejak SD hingga lulus SMP yang seharusnya gratis,
ternyata warga masih harus membayar.
Selain masalah kebijakan, perilaku birokrasi dan birokrat
pendidikan baik tingkat depdiknas hingga dinas pendidikan Kab/kota
masih belum bersikap seperti pamong, apalagi ketika Kab/Kota menjadi
otonom, cukup banyak pejabat publik pengurus pendidikan yang
meskipun memenuhi syarat kepangkatan, sama sekali tidak memahami
esensi pendidikan.
Hingga saat ini, peran Dewan Pendidikan Provinsi,
Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah, meskipun dilindungi UU, tidak
293
berjalan dengan baik, umumnya Komite Sekolah hanya menjadi
“stempel” eksekutif sekolah dan pengambil kebijakan pendidikan di
Provinsi/Kab/Kota, sementara itu, Dewan Pendidikan juga seringkali
berfungsi sama. Seharusnya, Dewan Pendidikan memainkan peran
sebagai mitra kritis Dinas Pendidikan Provinsi dan Kab/Kota, sehingga
kebijakan yang diterapkan tidak asal asalan.
Kebijakan dan operasional SD hingga SMA semuanya sudah
diserahkan kepada otoritas Kabupaten/Kota, namun ternyata belum
berjalan sebagaimana mestinya, bahkan banyak pemerintah Kab/Kota
salah dalam menafsirkan kebijakan perundangan, semisal Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) ditafsirkan sebagai sebuah sekolah dengan
kelas ber-AC. Terlebih lagi, ukuran sukses sebuah sekolah, hanyalah
keberhasilan lulus UAN/UAS.
Salah satu masalah yang masih akut dan belum berubah
adalah cengkeraman birokrasi pendidikan, meskipun sebetulnya
konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan konsep
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) jika dilaksanakan dengan benar
akan memberi keleluasaan kepada Guru dan Sekolah berkreasi, namun
faktanya, cengkeraman birokrasi melalui pengawas sekolah masih
memasung kreatifitas guru dalam menjalankan KTSP dan Kepsek
dalam MBS. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan salah
seorang responden sebagai berikut:
294
“upaya peningkatan kualitas pendidikan melalui penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan memang memberi harapan munculnya kreasi para guru, tetapi kita di lapangan kadang-kadang masih didikte oleh pengawas yang seringkali mengesampingkan kondisi sekolah kita masing-masing, program yang sudah dibuat dengan susah payah seenaknya mereka coret dengan alasan tidak sempurna. Untung kalau dia bimbing kita untuk perbaikan, jika tidak, repotlah kita”.(HS, wawancara, 21 Juli 2009).
Fakta yang terungkap tersebut menggambarkan bahwa
masalah birokrasi masih membelit para pendidik di daerah. Sosialisasi
yang kurang maksimal atas setiap perubahan aturan kadangkala
merepotkan pelaksana pendidikan. Terkait dengan hal tersebut, ada
kesan bahwa pemerintah membuat serangkaian kebijakan di bidang
pendidikan sekedar upaya yang bersifat trial and error. Hal ini dirasakan
pula oleh para orang tua siswa yang merasa bahwa kurikulum
pendidikan yang berubah setiap saat merepotkan mereka untuk
membuat perencanaan pendanaan bagi anak-anaknya. Buku yang
digunakan juga tidak sama antar angkatan sehingga orang tua yang
memiliki dua anak yang sekolah pada dua tempat berbeda pasti buku
paket yang digunakan juga berbeda, belum lagi jika anak-anak mereka
berada pada tingkatan yang berbeda, misalnya anak pertama di kelas
III sedang anak kedua duduk di kelas II, saat anak kedua naik ke kelas
tiga, dia tidak dapat lagi memanfaatkan buku yang telah dipakai oleh
kakaknya.
Mengenai hal ini, salah seorang orang tua siswa bertutur :
295
“kita para orang tua kadang dibuat repot dengan sistem sekarang (kurikulum sekolah), mestinya aturan itu tidak terlalu cepat berubah supaya orang tua dapat menghemat anggaran untuk beli buku. Kalau bisa buku yang digunakan sama antara satu sekolah dengan sekolah lainnya sehingga bisa saling memanfaatkan, jangan sekolah yang satu buku paketnya lain, sedang yang lainnya berbeda juga. Tidak bisakah dibuat aturan tentang keseragaman seperti itu ?”(Bhr, wawancara, 25 Juli 2009)
Pada tataran bawah, sebutlah tingkat kabupaten/kota sampai
ke sekolah, ”pendidikan gratis” membawa dampak pada sejumlah
persoalan.
Pertama, kosakata dan implementasinya menimbulkan salah
tafsir dan pertentangan pendapat. Di satu pihak gratis itu berarti tanpa
ada pungutan apa pun, tetapi di pihak lain sering dikatakan gratis hanya
untuk komponen tertentu.
Kedua, implementasi pendidikan gratis terbukti meresahkan
sekolah-sekolah swasta karena sumber pendanaannya yang kian
terbatas/tersumbat karena masyarakat sering tidak amat peduli
terhadap perbedaan negeri dan swasta dalam pembiayaan.
Ketiga, kebijakan pendidikan gratis ternyata hanya menyangkut
komponen biaya operasional, sedangkan biaya investasi dan biaya
perseorangan (sesuai PP No 47/2008) tidak termasuk di dalamnya.
Keempat, berbeda dan terbatasnya kemampuan pendanaan
kabupaten/kota untuk menunjang pendidikan gratis ini sehingga
296
implementasi pendidikan gratis di satu kabupaten berbeda dengan
kabupaten lain.
Kelima, kebijakan pendidikan gratis telah begitu menyurutkan
peran serta masyarakat. Dan tragisnya, termasuk segala bentuk iuran
dihilangkan (termasuk iuran saat ada kematian warga sekolah).
Keenam, nuansa politis pendidikan gratis lebih mengemuka
dibandingkan kandungan maksudnya. Contohnya, para siswa dari
keluarga kaya tidak dipungut biaya apa pun karena pendidikan gratis
dimaknai secara politis sebagai ”hasil perjuangan politis” yang harus
dinikmati oleh siapa pun tanpa membedakan kaya miskin.
3. Pengawasan dan Pembinaan
Pengawasan mempunyai arti yang sangat luas tidak hanya
memperhatikan apa yang terjadi dan bagaimana terjadinya, tetapi
mengandung arti mengendalikan atau mengusahakan agar semua
kegiatan yang telah direncanakan mencapai tujuan yang efektif dan
efesien.
Pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan pendidikan
tercermin dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada ayat (1)
Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan
pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan
297
kewenangan masing-masing, sedang ayat (2) menegaskan “
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
prinsip transparan dan akuntabilitas publik. Berdasarkan ketentuan
pasal 66 tersebut dapat dipahami bahwa pengawasan tidak hanya
dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah namun juga
dilakukan oleh masyarakat melalui Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah. Untuk itu melalui pengawasan dapat memastikan apakah
yang dikerjakan sesuai dengan rencana, dengan pengawasan yang
seksama dapat pula ditemukan kelemahan-kelemahan dalam
pelaksanaan, dapat diketahui kesalahan-kesalahan dalam cara bekerja.
Atau pengawasan merupakan tindakan pencegahan yang bersifat
preventif agar terhindar dari kesalahan ataupun kelalaian.
Dengan pengawasan dapat memastikan apakah yang
dikerjakan sesuai dengan rencana, dengan pengawasan yang seksama
dapat pula ditemukan kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan,
dapat diketahui kesalahan-kesalahan dalam cara bekerja. Atau
pengawasan merupakan tindakan pencegahan yang bersifat preventif
agar terhindar dari kesalahan-kesalahan atau kelalaian-kelalaian dalam
melaksanakan tujuan dan dapat segera diketahui dan ditemukan usaha
perbaikannya.
Undang-Undang Dasar 1945 NRI Pasal 31 ayat ke- 4
menyebutkan “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20 % (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan
298
belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional”. Amanat tersebut memberikan gambaran kepada
kita bahwa pembiayaan pendidikan merupakan salah satu aspek
penting dalam pembangunan pendidikan secara keseluruhan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara
berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, sebagai
kelanjutan dari program pemerintah sebelumnya yaitu Gerakan
Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara pada tahun 2006
sesuai dengan Inpres No.5. Sebelumnya pada tahun 1994 pemerintah
telah mencanangkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun sebagaimana tercantum dalam Inpres No.1/1994.
Konsekuensi logis dari ketetapan-ketetapan diatas, pemerintah
wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada
tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/Mts serta satuan pendidikan
yang sederajat). Oleh karena itu, sejak tahun 2005 pemerintah
meluncurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
memberikan bantuan uang kepada sekolah berdasarkan jumlah murid.
Program BOS bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi
siswa tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang lain, agar mereka
299
memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai
tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar.
Realisasinya pada APBN 2009, sebesar 16 triliun rupiah untuk
program BOS. Berdasarkan laporan Kompas (9/1/09), pemerintah pada
tahun ini akan terus mengupayakan sekolah gratis terutama pada
sekolah negeri tingkat pendidikan dasar yakni SD dan SLTP negeri.
Pada tahun 2009 dana BOS naik 50 persen dibandingkan tahun
sebelumya. Setiap siswa SD memperoleh dana BOS Rp 397.000 per
tahun untuk tingkat kabupaten, adapun di tingkat kota mencapai Rp
400.000 per tahun, sementara tahun 2008 berjumlah Rp 254.000/tahun.
Dana BOS siswa SMP/MTS naik dari Rp 354.000 per tahun (2008)
menjadi Rp 570.000 per tahun tingkat kabupaten, sedang di kota
mencapai Rp 575.000 per tahun.
Kesimpulan dari keinginan pemerintah untuk perbaikan
pendidikan serta data jumlah alokasi anggaran untuk progam BOS,
dapat kita katakan sebagai pro poor policy and budgeting. Akan tetapi
kebijakan anggaran ini akan dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat
jika dilaksanakan secara maksimal oleh eksekutor di lapangan yaitu
sekolah, disini dibutuhkan pengawasan dari seluruh pihak. Oleh karena
itu, komite sekolah diharapkan dapat memainkan peranannya untuk
meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan melalui nasihat,
pengarahan, bantuan personalia, material, dan fasilitas maupun
pengawasan pendidikan. Masyarakat luas juga dapat berperan dalam
300
pengawasan ini dengan praduga tak bersalah tentunya, serta
memulainya dengan mengumpulkan informasi tentang dana BOS
tersebut. Jika terjadi penyimpangan, maka segera laporkan kepada
aparat penegak hukum bukan main hakim sendiri.
Penjelasan dari Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum
(JDIH) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia
menyebutkan bahwa penggunaan dana BOS adalah untuk pembiayaan
seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru pembelian buku
teks pelajaran dan buku referensi untuk dikoleksi perpustakaan
sekolah. Juga pembelian bahan-bahan habis dipakai seperti buku tulis,
kapur tulis, pensil, bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris,
langganan koran, gula kopi dan teh untuk kebutuhan sehari-hari di
sekolah. Untuk pembiayaan kegiatan kesiswaan, program remedial,
program pengayaan, olah raga, kesenian, karya ilmiah remaja,
pramuka, palang merah remaja dan sejenisnya. Untuk pembiayaan
ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar
siswa, pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang
menghadapi masalah biaya transport dari rumah ke sekolah. Khusus
untuk pesantren salafiyah dan sekolah keagamaan non Islam, dana
BOS dapat digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan membeli
peralatan ibadah. Kesemuanya dapat dirasakan langsung oleh siswa.
Selain hal tersebut diatas, dana BOS juga dapat digunakan
untuk kepentingan pengembangan profesi guru seperti pelatihan,
301
pembiayaan perawatan sekolah, pembiayaan langganan daya dan jasa
seperti listrik, air dan telepon, pembayaran honorarium bulanan guru
honorer dan tenaga kependidikan honorer sekolah, serta pembiayaan
pengelolaan BOS seperti ATK, penggandaan, surat menyurat dan
penyusunan laporan. Jika keperluan tersebut telah terpenuhi dan masih
terdapat sisa dana, maka sisa dana tersebut dapat digunakan untuk
membeli alat peraga, media pembelajaran dan mebel sekolah.
Dana BOS tidak boleh disimpan dalam jangka waktu tertentu
atau dipinjamkan kepada pihak lain atau dibelanjakan di bursa saham
dengan tujuan melipatgandakan dana tersebut. Juga tidak
diperkenankan untuk membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas
sekolah dan memerlukan biaya besar, misalnya studi banding, studi
tour (karya wisata) dan sejenisnya, kemudian membayar bonus,
transportasi, atau pakaian yang tidak berkaitan dengan kepentingan
murid, membangun gedung atau ruangan sekolah baru. Tidak boleh
untuk membeli bahan dan peralatan yang tidak mendukung proses
pembelajaran. Sama halnya dengan insentif untuk kesejahteraan guru
dan tenaga kependidikan sekolah atau kelebihan jam mengajar tidak
memakai dana BOS, karena telah dialokasikan dalam pos anggaran
lainnya dalam APBN dan APBD.
Pembiayaan pendidikan sebagaimana disinggung pada bab
sebelumnya, khususnya terkait pembiayaan program Wajar 9 Tahun,
baik yang berasal dari Pemerintah maupun berasal dari Pemerintah
302
Provinsi, secara intensif perlu dilakukan pengawasan, adanya indikasi
pelanggaran yang dilakukan pihak sekolah berupa pungutan kepada
siswa, Menurut A.Patabai Pabokori (Kepala Dinas Pendidikan Provinsi
Sulawesi Selatan) sebagaimana dilansir Seputar Indonesia
(12/10/2009) dana pendidikan gratis yang disalurkan Pemerintah
Provinsi Sulsel senilai Rp, 165 miliar pada tahun 2009 telah mengcover
seluruh biaya proses belajar mengajar dalam 14 item pembiayaan.
Lebih lanjut beliau mengatakan “Kajati harus melakukan pengawasan
pelaksanaan pendidikan gratis sesuai dengan klausul dalam MoU
antara Pemerintah Provinsi dengan Kejaksaan Tinggi.. Kepala Dinas
Pendidikan Nasional Sulsel mengatakan berdasarkan klausul
Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
disebutkan, kejaksaan wajib melakukan pengawasan terhadap
penetapan pendidikan gratis pada 24 kabupaten/kota di Sulsel. Kejati
diberikan kewenangan untuk mempidanakan aparat yang
menyelewengkan dana. Lebih lanjut ditegaskan “Kejati harus
melakukan pengawasan pelaksanaan pendidikan gratis sesuai dengan
klausul dalam MoU antara Pemprov dengan Kajati. Jadi kewenangan
sepenuhnya diserahkan kepada mereka termasuk wewenangn
penindakan” jelas Patabai Pabokori. Langkah yang dilakukan Pemprov
Sulsel membuat MoU dengan Kejati dimasudkan untuk mengantsisipasi
kemungkinan terjadinya penyimpangan ataupun pelanggaran, temuan
303
di lokasi penelitian ternyata masih terdapat sekolah yang melakukan
pungutan, ironisnya pungutan yang dilakukan sekolah termasuk item-
item yang dibiayai program pendidikan gratis.
e. Partisipasi Masyarakat
1. Hak dan Kewajiban Masyarakat
Salah satu pendekatan yang ada hubungannya dengan
partisipasi menyatakan bahwa manusia mempunyai dinamika internal
dan kapasitas yang tak terbatas untuk membantu dirinya dan untuk
berhubungan secara positif dengan lingkungannya, apabila
dikembangkan melalui perlakuan yang akurat dan dapat dipercaya.
Selain itu, partisipasi juga disadari memiliki banyak arti. Partisipasi
dapat berarti bahwa pembuat keputusan mengikutsertakan kelompok
atau masyarakat luas terlibat dalam bentuk saran, pendapat, barang,
keterampilan, bahan atau jasa. Partisipasi juga dapat berarti bahwa
kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan sendiri,
membuat keputusan dan memecahkan permasalahan mereka sendiri.
Kata, “partisipasi masyarakat” dalam pembangunan
menunjukkan pengertian pada keikutsertaan mereka dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program
304
pembangunan United Nation (1975). Dalam kebijakan nasional
kenegaraan saat ini, melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan
pembangunan atau partisipasi masyarakat dalam kegiatan
pembangunan adalah merupakan suatu konsekuensi logis dari
implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada umumnya
dimulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan,
penikmatan hasil, dan evaluasi kegiatan (Cohen dan Uphoff. 1980:44).
Secara lebih rinci, partisipasi dalam pembangunan berarti mengambil
bagian atau peran dalam pembangunan, baik dalam bentuk pernyataan
mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga,
waktu, keahlian, modal, dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasilnya (Sahidu, 1998:51).
Selama ini, penyelenggaraan partisipasi masyarakat di
Indonesia dalam kenyataannya masih terbatas pada keikutsertaan
anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan program-
program pembangunan saja. Kegiatan partisipasi masyarakat masih
lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah
atau negara. Partisipasi tersebut idealnya berarti masyarakat ikut
menentukan kebijakan pemerintah yaitu sebagai bagian dari kontrol
masyarakat terhadap kebijakan-kebijakannya.
305
Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya
anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari
kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu
sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi
masyarakat dapat dilakukan, baik secara individu atau kelompok,
bersifat spontan atau terorganisasi, secara berkelanjutan atau sesaat,
serta dengan cara-cara tertentu yang dapat dilakukan.
Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari
masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila
terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2)
adanya kemampuan, dan (3) adanya kesempatan untuk berpartisipasi.
Kemauan dan kemampuan berpartisipasi berasal dari yang
bersangkutan (warga atau kelompok masyarakat), sedangkan
kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi
kesempatan. Apabila ada kemauan tapi tidak ada kemampuan dari
warga atau kelompok dalam suatu masyarakat, sungguhpun telah diberi
kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka
partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan
kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan
oleh negara atau penyelenggara pemerintahan untuk warga atau
kelompok dari suatu masyarakat, maka tidak mungkin juga partisipasi
masyarakat itu terjadi.
306
Demikian halnya dengan partisipasi masyarakat dalam
pengembangan pendidikan di Indonesia. Perlu ditumbuhkan adanya
kemauan dan kemampuan keluarga/warga atau kelompok masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan. Sebaliknya juga
pihak penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan perlu
memberikan ruang dan/atau kesempatan dalam hal lingkup apa, seluas
mana, melalui cara bagaimana, seintensif mana, dan dengan
mekanisme bagaimana partisipasi masyarakat itu dapat dilakukan
Dalam konteks partisipasi, Illich (1983:63) menyatakan bahwa
“rakyat biasa harus mampu bertanggungjawab atas kepentingan dan
kesejahteraan sendiri. Oleh karena itu, rakyat harus diberi kesempatan
untuk ikut bertanggungjawab dalam semua bidang kehidupan baik
dalam bidang pendidikan, perawatan kesehatan, transportasi,
perencanaan pembangunan dll. Sedangkan Paulo Freire (1973:78)
menyatakan bahwa “elit pembuat keputusan harus menyadari
pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik”
Tolok ukur keotentikan pembangunan ialah apakah rakyat yang
sebelumnya hanya diperlakukan sebagai obyek yang sekedar tahu dan
melaksanakan, kini diajak untuk berpartisipasi sebagai subyek aktif
yang sadar dan bertindak secara aktif dalam mencapai tujuan hidup
sendiri. Bertitik tolak dari pandangan ini, pemahaman tentang konsep
partisipasi perlu diperluas tidak hanya ditekankan dalam bentuk
pemberian dana, barang sebagai masukan instrumental, melainkan
307
perlu dikembangkan pula berbagai bentuk partisipasi lain seperti
paritipasi dalam hal waktu, pemikiran dan gagasan, kepercayaan dan
kemauan. Rugh dan Bossert (1998:141) menyatakan bahwa
masyarakat dan keluarga dapat diajak untuk berpartisipasi dalam
masalah pendidikan atau berinteraksi dalam dua belas langkah berikut
ini:
1. Advocating enrollment and education benefits 2. Ensuring regular students attendance and completion 3. Constructing, repairing, and improving facilities 4. Contributing in-kind labor, materials, land and funds 5. Identifying and supporting local teacher candidates6. Making decisions about school location and schedules7. Monitoring and following up teacher and students attendance 8. Forming education committees to manage schools 9. Attending school meetings to know about children’s work 10.Providing skill instruction to know about children’s work 11.Helping children with studying 12.Gathering more resources and solving problems through the
education bureaucracy.
Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah. Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri
dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan
dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga,
sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai
hubungan hirarkis. Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga
mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
308
dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga,
sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan.
Kalau ditinjau secara pendekatan sistem yang mempergunakan
tiga aspek masukan, proses dan keluaran sebagai titik pengkristalan,
maka masukan pendidikan berbasis masyarakat adalah peserta didik
yang datang dari masyarakat, proses pendidikan berbasis masyarakat
terjadi di dalam masyarakat itu, dengan masukan sumberdaya dan
masukan lingkungan, asalnya terutama dari masyarakat itu sendiri,
serta keluarannya berlangsung di dalam masyarakat itu.
Yang ditekankan dalam hal ini adalah bahwa mestinya
tanggungjawab pendidikan masyarakat itu adalah masyarakat itu
sendiri. Masyarakat setempat adalah stakeholder utama dari pendidikan
di tempat itu. Masyarakat setempat bukan hanya sebagai penonton
yang kadang-kadang diundang dalam permainan. Mestinya mereka itu
berhak untuk menjadi pemain, bahkan menjadi pemain utama. Itu akan
lebih jelas bila dibandingkan dengan apa yang terjadi selama ini.
Selama ini, pendidikan seolah-olah adalah pendidikan
Pemerintah, masyarakat hanyalah klien/pelanggan belaka, ataupun
dapat dikatakan konsumer pendidikan semata-mata. Masyarakat
kadang-kadang dilibatkan, diundang ikut dalam kegiatan pendidikan
(community involvement), tetapi tidak berperan serta (community
participation).
309
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa bergesernya paradigma
pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara
pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang
sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan
semata kepentingan negara.
Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia
ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari
proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan
lingkungannya dalam artiyang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat
harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah
yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif.
Namun dalam kenyataannya, arti pembangunan mengalami
gelombang pasang sesuai kebutuhan dan tuntutannya. Pada saat di
mana suatu program pembangunan didominasi oleh peran pemerintah
dan peran masyarakat lemah, maka masyarakat lalu hanya
ditempatkan sebagai saluran mempercepat program-program
pembangunan itu.
Sebaliknya, apabila kemudian peran masyarakat kuat dan
ditempatkan sebagai subjek, maka akan bermakna sebagai upaya
pemberdayaan atau penguatan masyarakat, baik secara institusional
maupun perseorangan anggota masyarakat (Karsidi, 2002:21).
310
Memang selama ini pendidikan dapat dikatakan semuanya
terpusat. Kurikulum ditetapkan di pusat, tenaga pendidikan ditentukan
dari pusat, sarana/prasarana ‘diberikan’ dari pusat, uangnya ditentukan
dari pusat; semuanya mau diseragamkan dari pusat. Yang terjadi
adalah masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak biasa berkecimpung di
dalam kehidupan pendidikan anak-anak mereka.
Sekolah adalah sekolahnya Pemerintah, sekolahnya guru-guru,
negeri atau swasta. Yang dilematis adalah siapa yang disebut
masyarakat itu. Di dalam otonomi daerah, masyarakat diberi batasan
masyarakat Kabupaten. Tetapi tentu di dalam suatu negara kesatuan
masyarakat kabupaten adalah bagian dari masyarakat provinsi dan
selanjutnya adalah bagian dari masyarakat negara.
Bangsa Indonesia bukanlah federasi masyarakat kabupaten,
jadi meskipun otonomi daerah menyebut otonomi daerah
kabupaten/kota, itu tidaklah berarti bahwa masyarakat kabupaten
terpisah dari keseluruhan masyarakat negara kesatuan. Pertanyaan
sekarang di dalam konsep pendidikan berbasis masyarakat, apakah
yang menjadi tanggungjawab masyarakat setempat dan apa yang
menjadi tanggungjawab masyarakat nasional?.
Di dalam pendidikan berbasis masyarakat seyogianya yang
mengetahui kebutuhan pendidikan bagi warganya adalah masyarakat
itu: berapa warganya yang harus ditampung di SD dan SLTP atau
Pendidikan Dasar, berapa yang harus ditampung di pendidikan
311
menengah, berapa yang perlu ditampung di dalam kursus-kursus dan
lain sebagainya. Berapa ruang yang diperlukan dan/atau berapa
gedung yang diperlukan dan di mana harus ditempatkan, berapa biaya
yang diperlukan, berapa guru dan tenaga lain yang dibutuhkan
seharusnya lebih diketahui oleh masyarakat setempat. Tentu untuk itu
semua diperlukan data dan informasi yang akurat.
Dengan demikian diperlukan selain perangkat dinas juga
dibutuhkan suatu perangkat di dalam masyarakat yang menetapkan
kebijakan untuk kebutuhan-kebutuhan di atas, di samping dinas yang
ditugasi untuk merencanakan dan melaksanakan kebijakan yang
ditetapkan oleh masyarakat.
Masalah paling pelik yang dirasakan oleh setiap daerah adalah
tanggung jawab keuangan. Meskipun disebut otonomi pendidikan
termasuk di dalam otonomi daerah tingkat kabupaten/kota, namun
menurut hasil pendalaman peneliti, pendidikan sebenarnya adalah
tanggungjawab bersama sebagai bangsa.
Sebagai bangsa kita bertekad untuk mengadakan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun bagi semua warga. Itu berarti tidak hanya
bagi daerah/masyarakat yang mampu, tetapi juga bagi daerah yang
kurang kapasitasnya untuk itu. Dengan demikian diperlukan suatu
mekanisme di mana yang kaya membantu yang lemah; mungkin inilah
yang harus pula termasuk ke dalam perimbangan keuangan di antara
pusat dan daerah. Apakah itu diatur dengan alokasi umum atau alokasi
312
khusus. Apakah grant berdasar jumlah siswa atau jumlah penduduk
dan luas daerah; apakah untuk semua peserta didik ataukah hanya
yang di negeri saja?.
Hasil penelusuran yang dilakukan peneliti terhadap dokumen-
dokumen terkait dengan implementasi desentralisasi pendidikan di
Provinsi Sulawesi Selatan, tidak ditemukan satupun klausul yang
menempatkan masyarakat sebagai salah satu unsur penting dalam
penyelenggaraan pendidikan. Dalam Renstra Dinas Pendidikan, ada
disebutkan pada poin program dan kegiatan bahwa:
“mendorong masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota untuk berpartisipasi dalam penuntasan wajib belajar Dikdas 9 tahun”(Renstra Dinas Pendidikan Prov. Sulsel 2003-2008)
Selanjutnya, dikatakan bahwa mendorong perbaikan
manajemen pendidikan dengan memperkuat dan meningkatkan
kemampuan dan profesionalisme pengelola pendidikan, yang dirinci
dengan melakukan pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui musyawarah kerja dewan
pendidikan, komite sekolah, komite PLS, lembaga pendidikan dan dunia
usaha.
Namun demikian, tidak ada satu poin kegiatan pun dalam
rincian yang menindaklanjuti bentuk atau kegiatan yang menunjukkan
digerakkannya partisipasi masyarakat. Padahal Secara konseptual,
313
penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan menciptakan
demokrasi, pemerataan dan efisiensi.
Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan
demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang
demokratis ini diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan
pembangunan. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak
antara pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat,
penggunaan sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah
diidentifikasi oleh masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang
besar untuk mendukung pemerintah lokal.
Kotter (1997:53) menyatakan bahwa lembaga yang
terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1) lebih
fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan
dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih inovatif,
dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen
dan lebih produktif.
Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi (1998:216)
menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi
ke tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh
keputusan yang lebih baik.
Konsepsi partisipasi masyarakat yang dimaksudkan oleh
pemerintah daerah, berdasarkan hasil pengamatan peneliti hanya
dalam bentuk ”komite sekolah” sebagai pengganti BP-3 dan adanya
314
dewan pendidikan di tiap tingkatan. Mengenai tugas dan fungsinya
menjadi beragam dan cenderung tidak optimal. Komite sekolah, banyak
yang hanya menjadi “stempel” bagi kebijakan-kebijakan sekolah atau
bahkan hanya sekedar bentuk formal untuk melegitimasi kehendak
undang-undang. Hal ini bisa terjadi karena sosialisasi konsep
desentralisasi pendidikan tidak maksimal dilakukan oleh pemerintah
daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Hal
ini dapat dilihat dari tanggapan responden atas butir pertanyaan tentang
sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat
Tabel 13Tanggapan Responden Terhadap Sosialisasi Yang Dilakukan
Terkait Dengan Kebijakan Desentralisasi Pendidikan
No Kategori Responden Total
Eksekutif Legislatif Lainnya1 Optimal 7 7% 9 9% 5 5% 21 / 21%2 Kurang Optimal 19 19% 28 28% 8 8% 55 / 55%3 Tidak Optimal 4 4% 3 3% 17 17% 24 / 24%
Jumlah 30 30% 40 40% 30 30% 100 / 100%Sumber : Kuisioner Penelitian setelah diolah, 2009
Berdasarkan tabel tersebut, tergambar bahwa dari 100
responden penelitian hanya 21% yang menyatakan sosialisasi
pelaksanaan desentralisasi pendidikan berjalan optimal, selebihnya
55% menyatakan kurang optimal, dan 24% responden menyatakan
tidak optimal. Upaya menggerakkan partisipasi masyarakat melalui
sosialisasi oleh pemerintah provinsi ataupun pemerintah daerah masih
kurang optimal, hasilnya tentu bisa ditebak.
315
Masyarakat sebagai salah satu elemen penting dalam
penyelenggaraan pendidikan menjadi terlupakan karena sudah
“diwakili” oleh lembaga yang bernama “Komite Sekolah” dan “Dewan
Pendidikan” sebagai perwakilan masyarakat pemanfaat pendidikan.
Pada dasarnya, partisipasi masyarakat telah terjadi di sekolah
dalam praktik penyelenggaraan musyawarah maupun pembentukan
institusi lokal. Dua jenis kebijakan pemerintah tentang Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) di sekolah-sekolah tingkat dasar dan
menengah melalui pembentukan Komite Sekolah serta Majelis Wali
Amanah (MWA) diperguruan tinggi adalah contoh dari bentuk
perwujudan mekanisme dan struktur kelembagaan untuk menyalurkan
partisipasi masyarakat dalam penyelengaraan pendidikan.
Masalahnya adalah apakah kedua contoh kelembagaan tersebut
telah mampu menjadi saluran partisipasi yang benar-benar mewakili
masyarakat yang seharusnya diwakilinya. Lebih dari itu, apakah
lembaga-lembaga tersebut telah menjalankan fungsi penyaluran
partisipasi masyarakat dari yang seharusnya disalurkan. Selama ini
keterwakilan dalam suatu organisasi atau forum biasanya diserahkan
kepada warga negara yang digolongkan sebagai tokoh masyarakat
atau elit. Namun cara seperti ini terkadang justru menyebabkan warga
biasa (yang bukan tokoh) tidak akan mampu menjadi bagian dari forum
dan pada gilirannya tidak tersalurkan pula aspirasinya. Komponen-
komponen masyarakat baik orang tua siswa, atau kelompok-kelompok
316
masyarakat lainnya di luar sekolah, seharusnya mempunyai tanggung
jawab mengembangkan pendidikan secara mikro yaitu dalam lingkup
pendidikan di sekolah dan secara makro adalah untuk pengembangan
sumber daya manusia bangsa.
Penelusuran yang dilakukan peneliti dengan melakukan
konfirmasi kepada masyarakat ditemukan bahwa masyarakat banyak
yang tidak paham bahkan tidak tahu sama sekali apa yang dimaksud
dengan komite sekolah, siapa anggotanya, dari mana asalnya, apalagi
rincian tugas-tugasnya. Masyarakat hanya tahu kalau pendidikan di
daerahnya sudah gratis pembayaran sampai tingkatan SLTA, kecuali di
beberapa daerah yang masih ada pungutan untuk seragam dan
sumbangan sukarela orang tua yang diputuskan bersama dengan
komite sekolah.
Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan
pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan
yang menunjang terselengaranya sistem pendidikan yang relevan
dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi,
humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan.
Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan
unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orang tua dalam
hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi
pendidikan. Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk
317
memperbaiki proses pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih
banyak stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah
dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan
sekolah dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk
memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu,
desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan
kepada rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif
dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan
daerah.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tanggung
jawab pengembangan pendidikan sebagai proses sosialisasi adalah
berada pada orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat yang
berkepentingan. Tanggung jawab tersebut tidak pernah lepas tetapi
pernah mengendor, sejalan dengan dominannya paradigma
pembangunan sentralistik.
Oleh karena paradigma tersebut telah bergeser menuju kepada
peluang yang lebar bagi teraktualisasikannya kembali partisipasi
masyarakat, maka perlu segera dilakukan upaya pemulihan dan
pengembalian tanggung jawab masyarakat terhadap pengembangan
pendidikan baik dalam skala mikro maupun skala makro, karena
sebenarnya yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah justru
masyarakat itu sendiri.
318
Mengacu pada lingkup partisipasi masyarakat, maka dalam
pengembangan pendidikan, masyarakat harus dilibatkan sejak dari
proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasinya.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain
kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan non kurikuler sampai
pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar
dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang
partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di
lembaga-lembaga pendidikan lainnya non sekolah, ruang partisipasi
tersebut harus dibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan
pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-
lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Menurut penulis, cara untuk penyaluran partisipasi dapat
diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-
masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga
pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang
kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan
kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi
masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua
dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk
kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam
pengembangan pendidikan.
319
2. Peranan Komite Sekolah
Peningkatan mutu pendidikan dilakukan di tingkat manajemen
sekolah dengan memberdayakan Komite Sekolah dan membangun
Tata Kelola Yang Baik (Good Governance) dalam ketentuan
perundang-undangan setiap sekolah diwajibkan mempunyai Komite
Sekolah yang dipimpin bukan oleh guru atau kepala sekolah,
melainkan salah satu orang tua atau wali murid.
Sebagaimana dilihat dari temuan penelitian Komite Sekolah di
sekolah-sekolah adalah orang tua siswa/wali siswa yang punya
pengaruh di masyarakat, penunjukan tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kontribusi baik pemikiran maupun sumber daya lainnya.
Namun kenyataan dilapangan jauh berbeda dari yang diharapkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Riant Nugroho misalnya di
Kabupaten Jembrana pada tahun 2006 mengemukakan bahwa
Kabupaten Jembrana sebagai salah satu kabupaten di Bali melakukan
terobosan, salah satu bentuknya adalah keberadaan Bupati sebagai
Ketua Komite Sekolah. Keputusan ini diambil dalam konteks
memberikan contoh model pengelolaan komite sekolah yang
dikehendaki oleh kebijakan pendidikan di Jembrana.
Menurut Riant Nugroho (2008:134) Pendekatan model ini relatif
lebih efektif dalam membangun kualitas manajemen dari komite-komite
sekolah di Jembrana dibanding model pelatihan atau pembekalan
kompetensi pengelolaan komite sekolah. Namun demikian patut
320
dipertanyakan keberadaan Bupati sebagai Eksekutif Puncak di
Kabupaten berpotensi menimbulkan konplik kepentingan yang dapat
mengganggu efektivitas dari kinerja komite sekolah. Kritikan ini tetap
muncul meski keberadaan Bupati hanya sebagai simbol kepedulian
yang tinggi kepada Komite Sekolah, khususnya untuk membangun
kontestasi antara manajemen sekolah dengan para pihak yang terkait
secara langsung, selanjutnya Riant Nugroho menambahkan pilihan ini
dapat dinilai strategis, karena dengan perkembangan pola manajemen
pendidikan yang berbasis sekolah (school based management) maka
terdapat kecendrungan dari manajemen sekolah menjadi organ
struktural yang otoriter.
Pembentukan komite sekolah didasarkan pada keputusan
Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite
sekolah. Selain itu dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, juga
mengatur keberadaan Komite Sekolah, dalam kekentuan Pasal 56 ayat
(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana,
serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Ketentuan tersebut diatas idealnya memberikan otoritas bagi Komite
Sekolah untuk berimpropisasi dalam mendukung peningkatan
pelayanan pendidikan, penelitian dilapangan menunjukkan bahwa
Komite Sekolah tidak berperan secara maksimal khususnya dalam
321
pengambilan kebijakan pendidikan, bahkan terkesan menempatkan
Komite Sekolah sebagai “tukang stempel” eksekutif sekolah”
Kebijakan Program Pendidikan Gratis yang canangkan
Gubernur dan diselenggaran dibeberapa kabupaten/kota berdampak
tidak maksimalnya peran komite sekolah, pembatasan-pembatasan
ataupun larangan yang mengiringi pelaksanaan pendidikan gratis
membuat masyarakat pasif, sementara banyak kebutuhan sekolah
belum terpenuhi dari alokasi anggaran pendidikan dalam APBD
Kabupaten/kota maupun Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari
Pemerintah. Jika sekiranya Pemerintah Kabupaten/kota secara arif
melihat animo masyarakat mendorong penyelenggaraan pendidikan,
maka pembatasan partisipasi masyarakat seperti yang terjadi di
Kabupaten Gowa tidak perlu terjadi, masyarakat perlu diberi ruang
dalam bentuk partisipasi nyata sesuai yang disyaratkan undang-
undang.
Di Kota Makassar, ruang bagi partisipasi masyarakat tetap
terbuka, sepanjang masyarakat itu sendiri yang menginginkan,
besarnya partisipasi orang tua siswa juga tidak ditentukan (sukarela)
sebagaimana dikemukakan Muhyiddin (wawancara 17/02/2010)
Menurut panduan, pembentukan komite sekolah dilakukan
secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti
bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui
oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia
322
persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon
anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota,
proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan. Akuntabel berarti
bahwa panitia persiapan pembentukan komite sekolah hendaknya
menyampikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun
penggunaan dan kepanitiaan.
Upaya peningkatan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam
pengelolaan dan peningkatan mutu sekolah dikukuhkan dengan
mencantumkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah
termaktub dalam pasal 56 Undang-Undang No 20 Tahun 2003.
Dasar hukum utama pembentukan Komite Sekolah untuk
pertama kalinya adalah Undang-Undang No. 38 tahun 2007 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas), Rumusan Propenas
tentang pembentukan Komite Sekolah yang sebelumnya telah
dijalankan dalam bentuk Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
044/U/2002 yang merupakan acuan utama pembentukan Komite
Sekolah. Disebutkan sebagai acuan karena pembentukan Komite
Sekolah di berbagai satuan pendidikan atau kelompok satuan
pendidikan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing satuan
pendidikan atau kelompok satuan pendidikan. Demikian pula sebutan
Komite Sekolah dapat berbeda di setiap satuan pendidikan atau
kelompok satuan pendidikan.
323
Namun demikian ada prinsip yang harus difahami dalam
pembentukan Komite Sekolah. Secara terinci pelaksanaan Pasal 56 UU
ini dijelaskan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 044/U/2002. Prinsip yang dimaksud adalah
transparan, akuntabel dan demokratis.
Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan
dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan
pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai
unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite
sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang
tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang
peduli pendidikan sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 butir 24 dan
25. Kata “partisipasi masyarakat” dalam pembangunan menunjukkan
pengertian pada keikutsertaan mereka dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program pembangunan
(United Nation, 1975). Dalam kebijakan nasional kenegaraan saat ini,
melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan atau
partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan adalah
merupakan suatu konsekuensi logis dari implementasi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada umumnya
dimulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan,
penikmatan hasil, dan evaluasi kegiatan (Cohen dan Uphoff. 1980).
324
Secara lebih rinci, partisipasi dalam pembangunan berarti mengambil
bagian atau peran dalam pembangunan, baik dalam bentuk pernyataan
mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga,
waktu, keahlian, modal, dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasilnya (Sahidu, 1998).
Selama ini, penyelenggaraan partisipasi masyarakat di
Indonesia dalam kenyataannya masih terbatas pada keikutsertaan
anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan program-
program pembangunan saja. Kegiatan partisipasi masyarakat masih
lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah
atau negara. Partisipasi tersebut idealnya berarti masyarakat ikut
menentukan kebijakan pemerintah yaitu sebagai bagian dari kontrol
masyarakat terhadap kebijakan-kebijakannya.
Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya
anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari
kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu
sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi
masyarakat dapat dilakukan, baik secara individu atau kelompok,
bersifat spontan atau terorganisasi, secara berkelanjutan atau sesaat,
serta dengan cara-cara tertentu yang dapat dilakukan.
Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari
masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila
325
terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2)
adanya kemampuan, dan (3) adanya kesempatan untuk berpartisipasi.
Kemauan dan kemampuan berpartisipasi berasal dari yang
bersangkutan (warga atau kelompok masyarakat), sedangkan
kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi
kesempatan. Apabila ada kemauan tapi tidak ada kemampuan dari
warga atau kelompok dalam suatu masyarakat, sungguhpun telah diberi
kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka
partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan
kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan
oleh negara atau penyelenggara pemerintahan untuk warga atau
kelompok dari suatu masyarakat, maka tidak mungkin juga partisipasi
masyarakat itu terjadi.
Demikian halnya dengan partisipasi masyarakat dalam
pengembangan pendidikan di Indonesia. Perlu ditumbuhkan adanya
kemauan dan kemampuan keluarga/warga atau kelompok masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan. Sebaliknya juga
pihak penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan perlu
memberikan ruang dan/atau kesempatan dalam hal lingkup apa, seluas
mana, melalui cara bagaimana, seintensif mana, dan dengan
mekanisme bagaimana partisipasi masyarakat itu dapat dilakukan.
3. Peranan Dewan Pendidikan
326
Seperti diketahui bahwa sebelum otonomi daerah diberlakukan
melalui UU No. 22 Tahun 1999 kemudian direvisi menjadi UU No. 32
Tahun 2004, peran pemerintah sangat dominan. Kebijakan dan
perencanaan pendidikan semua terpusat ditangan Pemerintah,
sehingga daerah terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana.
Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas
masyarakat, malah cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di
dalam pengelolaan pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan
tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Masyarakat
tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan.
Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai
constituent dari sistem pendidikan nasional yang ikut mentukan
keberhasilan pendidikan , telah kehilangan peranannya dan tanggung
jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi korban, yaitu
apa yang disebut Tilaar (1999) sebagai obyek dari sistem yang otoriter.
Salah satu inti desentralisasi manajeman pendidikan adalah
pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan sebagai instrumen
pemanusiaan dan kemanusiaan. Kepmendiknas No. 044/U/2002
tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
tidak mengatur Dewan Pendidikan Provinsi. Merujuk pada jiwa
Kepmendiknas ini Dewan Pendidikan adalah badan yang mewadahi
peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan
dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Badan ini bersifat mandiri, tidak
327
mempunyai hubungan hierarkis atau komando dengan lembaga
pemerintahan daerah. Sifat nonhierarkis dan non komando ini menjadi
sangat relevan pada era otonomi daerah yang maniscayakan
pemberdayaan masyarakat.
Sudarman (2008:128) mengemukakan luas cakupan Dewan
Pendidikan adalah, jalur pendidikan sekolah, dan jalur pendidikan luar
sekolah. Dikemukakan terminologi “pendidikan” itu memuat dimensi
kepelatihan, idealnya program kepelatihan (struktur, fungsional dan
tehnis) terangkum pula dalam lingkup kepedulian Dewan Pendidikan
Propinsi. Dewan Pendidikan memiliki tujuan yang sangat substansial,
seperti diamanatkan dalam Kepmendikas No. 044/U/2002 tanggal 2
April 2002, yaitu Pertama. Dewan Pendidikan memiliki wadah dan
saluran aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kabijakan
dan program pendidikan. Kedua, Dewan Pendidikan meningkatkan
tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat
dalam menyelenggarakan pendidikan. Ketiga, Dewan Pendidikan
menciptakan nuansa dan kondisi transparan. Akuntabel, dan
demokratis dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
Cakupan tugas Dewan Pendidikan sebagaimana dikemukakan
Sudarman (2008:129) sangat relevan dengan lingkup substansi
akreditasi sekolah. Komponen yang dinilai dalam akreditasi adalah (1)
kurikulum/proses belajar mengajar, (2) administrasi/manajemen
sekolah, (3) organisasi/kelembagaan sekolah, (4) sarana dan
328
prasarana, (5) ketenagaan, (6) pembiayaan, (7) peserta didik/siswa, (8)
peran serta masyarakat, (9) lingkungan/kultur sekolah.
Peran Dewan Pendidikan Provinsi, meliputi (1) Pemberi
pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan
kebijakan pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah, jalur
pendidikan luar sekolah, program kepelatihan (struktur, fungsional dan
teknis), dan perguruan tinggi, (2) Pendukung (support agency), baik
yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam
penyelenggaraan pendidikan. (3) Pengontrol (controling agency) dalam
rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan serta keluaran
pendidikan. (4) Mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD,legislatif) dengan masyarakat, serta
dunia usaha.
Selain itu fungsi Dewan Pendidikan Provinsi dapat penulis
kemukakan, diantaranya : (1) Mendorong tumbuhnya perhatian dan
komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan yang bermutu untuk semua jenis dan jenjang, termasuk
perguruan tinggi. (2) Melakukan kerja sama dengan masyarakat
(perorangan/organisasi), pemerintah, dunia usaha dan DPRD
berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang
bermutu untuk semua jenis jenjang termasuk perguruan tinggi. (3)
Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai
kebutuhan pendidikan dan pelatihan yang diajukan oleh masyarakat. (4)
329
Memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada
pemerintah daerah mengenai : a. kebijakan program pendidikan dan
pelatihan, b. kriteria kinerja derah dalam bidang pendidikan dan
pelatihan; c, kriteria tenaga pendidik, khususnya guru/tutor, pelatih,
widyaswara dan kepala satuan pendidikan dan pelatihan; d. kriteria
fasilitas pendidikan dan pelatihan; e. hal-hal lain yang terkait dengan
pendidikan dan pelatihan. (5) Mendorong orang tua dan masyarakat
berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu
pendidikan dan pemerataan pendidikan. (6) Melakukan evaluasi dan
pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, serta
keluaran pendidikan dan kepelatihan.
Apa yang dikemukakan peneliti, adalah pada tataran ideal,
namun kenyataan dilapangan berbicara lain, Dari temuan penelitian,
bahwa kebijakan pendidikan di Sulawesi Selatan didominasi oleh peran
“negara” dalam hal ini “Pemeritah Daerah, sementara peran lembaga
non-negara relatif marjinal . Peran marjinal khususnya dialami oleh
Dewan Pendidikan baik yang berada di Provinsi maupun di
Kabupaten/Kota.
Peran Dewan Pendidikan dalam proses kebijakan pendidikan di
Sulawesi Selatan ditemukan sangat minim. Dewan Pendidikan daerah
pada dasarnya merupakan wadah aspirasi dari para konstituen
(stakeholders) pendidikan di daerah, khususnya dalam “menjaga” agar
kebijakan pendidikan di daerah yang pada awalnya ditujukan untuk
330
kepentingan pembangunan pendidikan rakyat daerah benar-benar
berjalan sesuai dengan tujuan awal. Peran ini diperlukan dalam
masyarakat yang berkembang menjadi masyarakat konstituen, atau
stakeholders society yang merupakan bagian penting dalam kehidupan
masyarakat dengan demokrasi moderen, Suatu kondisi dimana
lembaga negara berkolaborasi, baik dalam bentuk kerja sama maupun
dalam bentuk pengawasan dan pengendalian dengan lembaga
masyarakat (civil society)
Posisi dewan pendidikan dan komite sekolah difahami dalam
diagram berikut ini
Diagram 7
Lembaga konstituen (stakrholder) dan kebijakan pendidiklan
Sumber : Riant Nugroho (2008:37)
Sebagaimana dipaparkan pada temuan penelitian, Dewan
Pendidikan yang ada di daerah belum berfungsi secara maksimal,
disebabkan struktur organisasi dan sumber daya Dewan Pendidikan
Kebijakan Pendidikan
(Dinas/Pemda)Dewan Pendidikan
Konstituen Luas (Masyarakat
daerah)
Penyelenggaraan Pendidikan
(manajemen Sekolah)
Komite SekolahKonstituen Sempit (Orang tua murid)
331
belum ditata secara baik, karena terdiri dari para administratur birokrasi
pendidikan. Dengan keterbatasan tersebut menyulitkan Dewan
Pendidikan di daerah melaksanakan tugas-tugasnya.
Marjinalisasi dari peran Dewan Pendidikan berbeda dengan
konsep kebijakan yang menjadi salah satu arus utama pada saat ini,
Riant Nugroho (2008:138) yaitu deliberative policy analysis model, yaitu
model yang mensyaratkan bahwa setiap kebijakan termasuk kebijakan
pendidikan, dirumuskan setelah melalui proses partisipasi yang aktif,
bahkan proaktif dari publik melalui civil society institution-nya. Peran
Pemerintah hanya sebagai legalisator formal saja, Jika dihubungkan
dengan kondisi terkini Dewan Pendidikan baik di Provinsi maupun di
kabupaten/kota yang menjadi obyek penelitian menggambarkan pola
yang dianut adalah “partisipasi terbatas” sebuah konsep yang pertama
kali di perkenalkan oleh ilmuan politik Samuel Huntington, dan menjadi
anutan banyak negara berkembang di Asia pada kurun waktu 1980-
1990.
332
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
pendidikan di Provinsi Selatan belum berjalan optimal sesuai
kehendak UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 38 Tahun 2007,
baik dari sisi kebijakan, pembiayaan, kurikulum, sarana dan
prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan serta pengendalian
mutu pendidikan. Hal ini disebabkan antara pemerintah provinsi
dengan pemerintah kabupaten/kota berbeda persepsi dalam
menjabarkan kewenangan yang dimiliki, selain itu karakteristik dan
kemampuan daerah sebagai salah satu penyebab tidak
optimalnya pelaksanaan kewenangan dalam penyelenggaraan
pendidikan.
2. Sinergitas Pemerintah daerah baik Pemeritah provinsi maupun
Pemerintah kabupaten/kota sebagai mitra penyelenggaraan
333
pendidikan belum bersinergi secara signifikan dalam hal
pembagian kewenangan di bidang pendidikan, hal ini disebabkan
tidak semua pemerintah kabupaten/kota menjadikan bidang
pendidikan sebagai program prioritas, selain itu kesepakatan
besarnya anggaran pendidikan juga menjadi kendala, mengingat
kemampuan finasial pemerintah kabupaten/kota amat terbatas.
3. Adanya opini masyarakat bahwa tanggung jawab utama
pembangunan (dalam bidang pendidikan) hanya terletak ditangan
pemerintah menybabkan masyarakat merasa hanya ditempatkan
”bukan pemain utama” dan berakibat melemahkan kemauan
berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan, kondisi ini telah
merugikan pengembangan pendidikan itu sendiri dan semakin
memberatkan pemerintah sebagai penyelenggara negara.
B. Saran
Berdasarkan pada permasalahan dan hasil analisis serta
kesimpulan tersebut diatas, maka dapat disarankan sebagai
berikut :
1. Perlunya persepsi yang sama dalam mengoptimalkan
kewenangan pemerintah daerah sebagaimana tertuang dalam
UU Sisdiknas, sehingga berbagai masalah pendidikan
misalnya kebijakan, pembiayaan, kurikulum sarana dan
prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan serta
pengendalian mutu pendidikan dapat diatasi, dengan demikian
334
model penyelenggaraan pendidikan yang berbasis kualitas di
Sulawesi Selatan dapat terwujud.
2. Perlunya sinergitas Pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota menjalin kerjasama dengan
institusi penyelenggara pendidikan, disamping kerjasama
dengan lembaga-lembaga profesional, seperti perguruan
tinggi ataupun assosiasi-assosiasi profesional untuk
membantu pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota dalam merumuskan kebijakan strategis, dan
perencanaan pendidikan.
3. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan,
harus dilibatkan sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan hasil dan evaluasinya, disamping itu diperlukan
adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
mekanisme partisipasi masyarakat terhadap pengembangan
pendidikan, baik dalam skala nasional, daerah, maupun
tingkat penyelenggara pendidikan.
335
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rosali. 2000. Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme sebagai suatu alternatif. PT. Raja Grafinda Persada, Jakarta.
Abdul Latif, 2007, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upayah Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi.CV.Kreasi Total Media, Yogyakarta.
Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan. Jurnal Studi Agama Millah,1, 55-69.
Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli Andi. (1998). Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba otonomi daerah. Jurnal Penelitian Ilmu -Ilmu Sosial, PPS Universitas Brawijaya,2, 209218.
Amrah Muslimin. 1978. Aspek Hukum Otonomi Daerah. Alumni , Bandung
Anderson, James., dan David W. Brady, et.al Public Policy and Politic in America. Monterey. CA.Brooks/Cole Publishing Company, 1984.
Anneli Milen, 2006 Capacity Building Meningkatkan Kinerja Sektor
Publik, Pembaruan, Yogyakarta.
Arbi Sanit, Et al (Desember 2000) Penelitian Paradigma Baru hubungan pusat daerah di Indonesia, Format otonomi daerah masa depan
336
Azyumardi Azra. 2006, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi, Kompas Jakarta.
Bagir Manan, 1993 Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNSIKA, Kerawan
---------------------, 1994. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
---------------------, 1996, (Ed) Kedaulatan Rakyat Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna menghormati Prof.Dr/R.Sri Soemantri M, SH, Gaya Media Pratama, Jakarta.
----------------------, 2001 Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII; Yogyakarta.
Barry, Norman. 2000. An Introduction to Modern Political Theory ,Macmillan Press LTD, Fourth Edition.
Bovens, M.A.P. (et.al),1979. RechtsStaatenSturing, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.
Bendell, Tony, and Boulter, Louise, and Kelly, John, 1993, Benchmarking for Competitive Advantage, Pitman Publishing, London, United Kingdom.
Bob Lingard dan Fasal Rizvi. 1992, A reply to Barcan: theorising the ambiguities of devolution.
Bondan Gunawan 2000, Apa itu Demokrasi, Pustaka Sinar Harapan .Jakarta
B.J. Caldwell. 1993. Accounting for Current and Emerging Patterns of School Management. Decentralising the Management of Australia’s School: A Discussion Paper, National Indsustry Education Forum. Melbourne.
B.J. Caldwell and J.M. Spinks. 1988. Towards the Self-Managing School. The Self-Managing School. London : The Falmer Press.
Corry, J.A. 1957. Democracy Government and Politic, Toronto University Press
Cohen,John M, dan Peterson, Stephen. B 1999, Administrative Decentralization, Kumarian Press, USA.
337
C.S.T. Kansil 1986. Hukum Antar Tata Pemerintahan (Compa�rative Government) dalam Rangka Perbandingan Hukum Tata Negara. Erlangga, Jakarta.
Chapman, Judith (ed), 1990, School-Based Decision-Making and Management, The Falmer Press, Hampshire, United Kingdom.
Charles Cross dan Stephen Bailey, 1982, Cross and Local Govemment Law, Sweet dan Maxwell, London.
Cliffor Geertz, 1971, “The Integrative Revolution, Priomordial Sentiments and Civil Politics m the New States" dalam L. Finkle dan Richard W. Gable, Political Development and Social Change, John Wileh amnd Sons Jnc.
Danim, Sudarman, 2008, Visi Baru Manajemen Sekolah, Bumi Aksara, Jakarta.
David Peterson, School-Based Management and Student Performance, http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed336845.html, akses tgl. 25 Juli 2007.
David B. Truman. 1960. The Government Process, Political Interest And Public Opinion, Alfred A Knoft, New York.
David Osborne dan Ted Gaebler. 1995. Mewirausahakan Eksekutif daerah; Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalamSektorPublik, Pusaka Binaman Pressindo,Jakarta.
D'Entreves, A.P. 1967. The Nation of the State, An Introduction to Political Theory, Oxford University Press, 1967.
Dede Rosyada (2007), Paradigma Pendidikan Demokratis, Kencana Perdana Media Group, Jakarta.
Deddy Mulyana. 2001. Metode Penelitian Kualitatif paradigma Baru dalam
IImuSosial Lainnya. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Deliar Noer. 1983. Pengantar Ke Pemikiran Politik, CV. Rajawali Jakarta.
Dicey, A.V., 1973. An Introduction to the Study of The Law of The Constitution, St. Martin Press, Mac Millan.
338
Dye, Thomas R. 1992, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall
Dewey, J, 1927. The Publicand its Problem, Holt, New York
Dilys M. Hill. 1974. Democratic Theory And Local Govern�ment,George Allen & Unwin Ltd.
Dikmenum. 1999. Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
________. 1998, Upaya Perintisan Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
Depdiknas (2001) Desentralisasi Pendidikan, Jakarta : Komisi Nasional Pendidikan
Depdiknas, (2002) Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota)
Depdiknas (2002) Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Makro dan Mikro.
Depdiknas (2002), Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota
Depdiknas : SK. Mendiknas No. 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Jakarta, Depdiknas.
Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan 2003, Rencana Strategis Dinas Pendidikan Sulsel 2003-2008, Diknas Sulsel.
Djojonegoro, Wardiman. 1995. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Pembangunan. Jakarta: Depdikbud.
Djohar MS, 2003, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia,
Yogyakarta; IKIP
Dodi Nandika (2007), Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta, LP3ES
Dror, Yahezkel, Public Policy-Making- Reexamined. San Fransisco: Chandler Publishing Company, 1968
339
Dunn, William N. Public Policy Analysis : An Introduction. Englewood, Cliffs,N.J,; Prentice-Hall, Inc., 1981
Dwidjowijoto, R.N, Otonomi Daerah; Desentralisasi Tanpa Revolusi Jakarta : Elex Media/Gramedia. 1999
Dye, Thomas R. Understanding Piblic Policy. New Jersey, Englewood Cliffs; Prentice-Hall, Inc., 1972
Easton David, 1953, The Political System, New York: Knopt, 1953
Edward B. Fiske. 1998. Arah Pembangunan Desentralisasi Pengajaran : Politik dan Konsensus. Jakarta: Grasindo.
Engkoswara. 2001. Paradigma Manajemen Pendidikan Menyongsong Otonomi Daerah. Bandung:Yayasan Amal Keluarga.
Fasal Risvi. 1993. Contrasting percentioins of devolution. Quesnsland Teachers Union Professional Magazine.
Fakry Gaffar. (1990) Implikasi desentralisasi pendidikan menyongsong abad ke-21, Jurnal Mimbar Pendidikan,3, Tahun IX, Oktober
Fasli Jalal, 2001, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta, Adicita Karya Nusa.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fauzan. 1999. "Humanisme, Paradigma yang Terabaikan" dalam Alternatif 10 (Januari-Juni, VII). Malang.
Fiske, E.B, (1998) Desentralisasi Pengajaran, politik dan consensus Jakarta: P.T.Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Francois Venter. 2000, Constitutional Comparation, Japan, Germany, Canada &South Africa As Constitutional State, Juta & Co Ltd, and Kluwer Law International, 675 Massachusetts Avenue Cambridge USA.
E.Peach. 1994. Better Management Benefits Everyone. Education Views.
Garvey, John H., And Aleinikooff, T. Alexander. 1989. Modern Constitutional Theory, West Publishing Co, ST. Paul Minn.
Habermas, J 1989, The Structural Transformation of the Public Sphere:
340
An Inquary into A Catogorization of Bourgeois Society, Polity Press, London
Hampton, William, 1991, Local Government and Urban Politics, London, and New York, Long Man.
Hamzah Halim, (2009) Persekongkolan Politik Lokal study atas relassi antara Eksekutif dan Legislatif. Makassar: PUKAT Indonesia
Hague, Rod., dan Harrop, Martin. 2001. Comparative Government and Politics Introduction,Palgrave New York, fifth edition.
Hasbullah, (2006) Otonomi Pendidikan (Kabijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Held, David, 1977, Model of Democracy, Polity, Press 65 BridgeStreet Cambridge.
Helco, H, 1972 Reviw Article: Policy Analysis”, British Journal of Political Science, 2.83-108
Helco, H, 1974, Social Policy in Britain and Sweden, Yale University Press, New Haven.Conn.
Heywood, Andrew. 2002, Politic, Paigrave, New York, Secon Edition. Henry B, Mayom, 1960. An Introduction to Democratic Theory . Oxford
University Press, New York
Hungtintong, Samuel P. and John Nelson. (terj) Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta 1990
Hoessein, Bhenyamin. 2002. Kebijakan Desentralisasi, Jurnal Administrasi Negara Vol. I, No. 02.
Husen,T. & Postlethwaite, T,N (Eds) (1994) The international encyclopedia of education, London: Pergamon
Husen, H.La Ode, 2005, Hubungan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit CV Utomo, Bandung.
Husin, Zulkifli dan Sasongko, Rambat Nur. 2002. Penataan Kualitas dan Gaji Guru di Era Otonomi Daerah. Bengkulu: Makalah Seminar Nasional
341
Hogwood, B.W, and L.A.Gunn, 1984,Policy Analysis for the Real World, Oxford University Press, London
HR. Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara UII Press, Yogyakarta.
Isbandi Rukminto Adi, 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI).
James William Ife. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives – Vision and Analysis (Melbourne: Longman Australia Pty Ltd).
Jimly Asshidiqi 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. PT. Ikhtiar Baru van Hoeve.
Joko Susilo, 2007. Pembodohan Siswa Tersistematis. PINUS Book Publisher, Yogyakarta
John Kotter. (1997) Leading Change, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama
Josef Riwu Kaho,(1991), Prospek otonomi daerah di negara Republik Indonesia, Identifikasi beberapa faktor yang berpengaruh pada pelaksanaannya, Rajawali Press, Jakarta.
Karlof, Bengt and Ostblom, Svante, 1994, Benchmarking : A signpost to Excellence in Quality and Productivity, John Wiley and Soons, New York, USA
Kartini Kartono, 1992, Pengantar Mendidik Teoritis , Mandar Maju, Bandung.
Kathleen Kubick, School-Based Management, http://www.ed.gov/ databases/ERIC_Digests/ed301969.html, akses tgl. 27 Juli 2007.
Kelsen, Hans. 1973. General Theory of Law and State, New York Russell & Russell.
Ki Supriyoko, 2004, Pendidikan sebagai Penyangga Peradaban Bangsa.(makalah Politik Pendidikan Nasional PPS UIN Sunan Kalijaga)
Kingsley Price, 1965. Education and Philosophical Though, (Boston, USA: Allyn and Bacon Inc)
Kotler, Philip. at.al 1996, Marketing the Nation. New York; Free Press.
342
K. Carr, Robert, Marver H.Berntein, Donal H. Marrison 1960 American Democracy in The Theory and Practice. Holt Rinehart and Winston, New York.
Kusnaka Adimihardja, 2001, Participatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat (Bandung: Humaniora
Lawrence M, Friedman, 1975, Legal System, A Social Science Perspective,Russel Sage Foundation, New York.
Lasswell, H.D. 1951a “Democratic Character,”The Political Writtings of Harold D Lasswell, Free, Glencoe, III
____________, 1968, The Policy Sciences”. In The Encyclopedia of the Social Sciences, Vol 2, Macmillan/Free Press, New York.
____________, 1970a “ The Emerging Conception of the Policy Sciences”. Policy Sciences., 1:3-14
____________, 1970b. The Library as A Social Planetarium”. American Librarian, 1: 142-3
____________, 1971, A Pre-View of Policy Sciences, Elsevier, New York.
Laporan Studi Pembiayaan Pendidikan di SMP dan SMA Negeri, Balitbang Depdikbud. Jakarta, 1993.
Lester. James P.& Joseph Stewart Jr. Public Policy An Evolutionary Aproach, Belmont: Wadsworth, 2000.
Lijphart, Arend. 1984. Democracies Patterns of Majoritarian and Concensus Government in Twenty-One Countrys, Yale University New Haven and London.
Lukman, Markus, 1997, Eksistensi Peraturan Kebijakan Dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi Pascasarjana UNPAD, Bandung.
Marbun, 1992 (2006) DPR, Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya. Ghalia Indonesia; Jakaarta
Marbun, S.F (penyunting) 2001 Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty. Yogyakarta
343
Mark Olsen, John Codd & Anne-Marie O’Neil, Education Policy: Globalization, Citizenship and Democracy, London: Sage, 2001
Margaret E.Goertz, 2001. The Finance of American Public Education, Challenger of Equity, Adequacy, and Efficiency, dalam Gregory J.Cizek, ed, Handbook of Educational Policy, San Diego, Academic Press.
Michael Rutz, 2000 , Erziehung 2000; Der Schuler als End produkt dalam majalah Renischer Merkur, 2000
Mustamin Dg. Matutu, dkk, 2004 Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Di Indonesia, Penerbit, UUI Press, Yogyakarta
M. Solly Lubis. 1983. Pergeseran Garis Politik den Perundang�undangan Mengenai Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung.
M. Solly Lubis, 2002 Hukum Tata Negara, Mandar Maju. Bandung
Mac Comick, Neil. 1999. Questioning Sovereignty, Law State, and Nation In The European Commonwealth, Oxford University Press.
Meenakshisundaram, SS dalam S.N and P.C Mathur (ed) 1999, Decentralization and Local Politics, Sage Publications, New Delhi.Thousand Oaks, London.
Miftah Thoha. 2003. Eksekutif daerah dan Politik Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Mulyani A.Nurhadi (2001), Pokok Pokok Pikiran Mengenai Pengelolaan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan dalam Rangka Pelaksanaan UU RI No.22 dan 25 tahun 1999, Yogyakarta: Seminar Nasional
Moh. Kusnardi den Harmaily Ibrahim. 1979. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jilid l. Pusat studi HTN - UI, Jakarta.
Moh.Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia Liberty, Yogyakarta.
--------------------------1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES Jakarta dan UII Pres Yogyakarta.
344
Muddick, Henry, 1966. Democracy Decentralization and Development, Bombay, London, New York: Asia Publishing House.
Ni'matul Huda. 2007. Lembaga Negara dalam Transisi Demo�krasi, UII Press, Yogyakarta.
Nonet, Philippe & Selznick Philip. 1978. Law and Society inTransition, New York: Harper & Row.
Noeng Muhadjir. 2003. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research. Integrasi Penelitian, Kebijakan dan Perencanaan. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Noeng Muhadjir. 2003. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Nuril Huda. (1998). Decentralization of education in Indonesia: Problem of implementation, Jurnal Ilmu Pendidikan, 5, 3-12.
Oosterhagen, M. 1993. Separation of Powers AsA Form of Control And The Dutch Constitution, dalam Carla M. Zoethout, et al., (Eds.), Control In Constitutional Law, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht/Boston/London.
Page, Edward C, 1991, Localism and Centralism In Europe. Oxford University Press.
Parsons, Wayne. 1995, Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis, Northampton: Edward Elgar.
______________, 2006, Public Policy: Pengantar Teori & Praktek Analisis Kebijakan, Dialihbahasakan oleh Tri Wibowo Budi Santoso, Kencana Jakarta.
Pascoe, Susan and Robert, 1998, Education Reform in Australia: 1992-97 (a Case Study), The Education Reform and Management Series, Education-World Bank, Australia.
Phillipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Admini�strasi Negara. Bina Ilmu, Surabaya.
345
------------------------------- 1993. Pengantar Hukum Administrasi Negara, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
------------------------------- 1994. Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Pidato Pengukuhan Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 10 Oktober 1994.
-----------------------------1997, Wewenang, dalam Jurnal Yuridika, Edisi Nomor 5 dan 6 Tahun XII
------------------------------- 1999. Perspektif Prinsif-Prinsif Demokrasi, Peran Serta Masyarakat, Pemerataan dan Keadilan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999. Makalah: Seminar Fakultas Hukum UNAIR: Surabaya.
--------------------------1999. Hubungan Kewenangan Pemerinrtah Daerah dengan DPRD. Makalah: Seminar Nasional, Otonomi Daerah dalam Perspektif Indonesia Baru. Makassar.
Pollit, Christopher, Johnson, Birchall. And eit Putman, Decentralising Public Service Management, London MacMillan 1998.
Potter, Michael.E. 1998 (a) The Competitive Advantage of the Nation, London: MacMillan
Pomalinggo, Nelson 2006, Paradigma Pendidikan Dalam pembangunan Daerah. Pustaka Indonesia Press, Jakarta.
Ranadireksa,Hendarmin (2007) Visi Bernegara Arsitertur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung.
Roger,Everett M.,1995, Diffusion of Innovations, The Free Press, New New York, USA.
Rondinelli, Dennis, A. 1990. Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response dalam Development and Change (London, Newbury Park and New Delhi; Sage), Vol. 21.
RDH. Koesoemahatmadja, 1979. Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung
346
Riant Nugroho D. 2000.Otonomi Daerah; Desentralisasi Tanpa Revolusi. Elex Media Komputindo: Jakarta.
Riant Nugroho, (2008) Kebijakan Pendidikan Yang Unggul, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
R. Harry Hikmat, 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat , Humaniora Utama Press, Bandung.
Said Zainal Abidin, 2006, Kebijakan Publik, Suara Bebas, Jakarta.
Sam M.Chan dan Tati T.Sam, 2005 Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sarundajang, 1996, Pemerintahan daerah di berbagai Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Soehino, 1988, Perkembangan Pemerintahan Di Daerah, Liberty, Yogyakarta.
_________, 1991, 2004, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, Edisi I,II, BPFE, Yogyakarta
_________, 2005, 2004, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan Indonesia), Edisi 2005/2006, BPFE UGM, Yogyakarta
_________,1993. Ilmu Negara, Cetakan II Liberty, Yogyakarta.
Strong, C,F, 1966. Moderen Political Constitution, The English Languane Book Society And Sidwick & Jackson Limited, London
Sidi, Indra Djati. 1999. "Reformasi Pendidikan Menyongsong Milenium ke-3" dalam Buletin Pusat Perbukuan 05 November 1999. Surabaya.
Smith, BC, 1985. Decentralization, The Territorial Dimension of The State, George Allen & Unwin London.
Supriyadi, Dedi. 1997. Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek. Bandung: CV Alfabeta.
Sukismo, B, 2002. Relevansi Pengaturan Pajak Dalam Era Otonomi Daerah. Mimbar Hukum, UGM Yogyakarta, Nomor 40
Suseno, Muchlas, 1998, Percepatan Pembelajaran Menjelang Abad 21 (makalah hasil analisis dari Accelerated Learning for 21st
347
Century oleh Colin Rose and Malcolm J. Nicholl), Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Jakarta
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Soebagio dan Supriatna, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Akademika Pressindo; Jakarta
Susilo, Joko, M, 2007, Pembodohan Siswa Tersistimatis (Pinus Book Publicer. Yogyakarta.
Sutesna, Oteng. 1985. Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional. Bandung: Angkasa
Suyanto. 2001. "Membangun Sekolah yang Efektif" dalam Kompas 26 Januari 2001. Jakarta.
Syaukani, HR. Afan Gaffar, Ryaas Rasyid. 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Syafiie, Inu, Kencana, 2002, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta.
Syarif Hidayat dan Bheyamin Hoessein, 2001. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, dalam Paradigma Baru Otonomi Daerah, P2p-LIPI
Suwoto, Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta
Thaib, Dahlan, 2000, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi. Liberty, Cetakan Kedua, Yogyakarta.
The Liang Gie, 1981 (1978) Unsur-unsur Administrasi, Yogyakarta, Supersukses
Tilaar, H.A.R dan Riant Nugroho (2008), Kebijakan Pendidikan Pengantar untuk memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tilaar, H.A.R 1995, 50 Tahun Pendidikan Indonesia, Jakarta Grasindo/Gramedia.
348
--------------------- 1998. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan. Kata Pengantar Makagiansar, Bandung: Remaja Rosdakarya.
---------------------- 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, Magelang, TERA, Indonesia.
--------------------- 2002. Membedah Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta.
--------------------- 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Prespektif Posmodernisme Dan Studi Kultural, Kompas Jakarta
------------------ 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis, Rinerka Cipta Jakarta.
Tim Teknis Bappenas, 1999, School-Based Management di Tingkat Pendidikan Dasar, Naskah kerjasama Bappenas dan Bank Dunia, Jakarta.
Utrech, E., 1990. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar Baru,lakarta.
Warren., J.H., 1952. The Local iovernmentService, George Allen & Unwin Ltd, Museum Street, London.
Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta, Media Presindo.
Verania Andria & Yulia Indrawati Sari (2000) Lampu Kuning Desentralisasi urnal Analisis Sosial AKATIGA,1. Iii-vi.
Victorian's Departement of Education, 1997, Developing School Charter: Quality Assurance in Victorian Schools, Education Victoria, Melbourne, Australia.
________, 1998, How Good is Our School: School Performance for School Councillors, Education Victoria, Melbourne, Australia.
Widayati, Sri. 2002. Reformasi Pendidikan Dasar, Grasindo, Jakarta.
Widjaja A.W,1998, Titik berat Otonomi Daerah pada tingkat II, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Widjaya, HAW, 2005. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia PT.Raja Grafindo Persada.Jakarta.
349
Willbern, York, “The States as Components in Area Division of Power” dalam Maass, Arthur, Area and Power; A Theory of Local Government (Glencoe, Illinois, the Free Press, 1959).
World Bank Study. 1998, Education in Indonesia: from Crisis to Recovery Education Sector Unit, East Asia and Pacific Regional Office.
WJS. Poerwadarminta, (1998) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jalarta.
Yudoyono, Bambang, 2001, Otonomi Daerah desentralisasi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur Pemda dan Angota DPRD, Sinar Harapan, Jakarta.
B. Jurnal, Makalah, dan Pidato Pengukuhan :Bagir Manan. 1989. Susunan Pemerintahan, Makalah, Fakultas Hukum
Unpad, Bandung.--------------------1994. Pelaksanaan Demokrasi Pancasila Dalam
Pembangunan Jangka Panjang ll, Makalah Dalam Lokakarya Pancasila, Unpad, Bandung.
-------------------- 2002. Hubungan Kewenangan Antara Eksekutif daerah (Kepala Daerah) dan DPRD Dalam Penyeleng�garaan Otonomi Daerah, Makalah.
Bambang Purwoko. 2002. Ketidakmatangan Politisi Sipil, dalamMajalah Swara Otonomi Tahun I-No. ~o, Agustus 2002.
Bhenyamin Hoessin. 2002. Tentang Daerah. Makalah, Fisip UI,Jakarta, 2002, hlm.3-7
Edy Priyono (2007) Pembiayaan Pendidikan di Era Otonomi Daerah Masalah dan Prospek. Makalah.
Irtanto, Persepsi Masyarakat Kota Terhadap Otonomi Daerah,dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 46/XXV/III/ 2002, UII, Yogjakarta, 2002, H.274
Jimly Asshiddigie. 2002. Pengorganisasian Kekuasaan Legislatifdan Eksekutif, Artikel dalam Jurnal Keadilan Vol. 2 No. 1 tahun 2002.
Wasitohadi, 2008, (Makalah) Implikasi Paradigma Baru Pendidikan Terhadap Model Perencanaan Dalam Rangka Implemantasi Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi Daerah.
C. Peraturan Perundang-Undangan
350
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Biro Hukum dan Humas Sekjen Depdikbud, Jakarta, 2003.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, Sinar Grafika Jakarta, 2004
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Pedoman Penelitian Tesis dan Disertasi. 2003. Program Pascasarjana Unhas, Makassar.
Peraturan Pemerintah/Inpres/Permendiknas/Perda.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom..
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian UrusanPemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Sarana dan Prasarana.
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Srandar Pembiayaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Program Wajib Belajar 9 Tahun (Wajar 9 Tahun)
Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Panduan Pembentukan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor: 24 Tahun 2007 tentang Sarana dan Prasarana
351
Peraturan Daerah.Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pendidikan
Peraturan Daerah Kaupaten Gowa Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Gratis.
Peraturan Daerah Kota Pare-Pare Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Pendidikan.
Memorandum of Understanding (MoU) Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota Nomor 0413/VI//DIKNAS/2008 tentang Pendidikan Gratis Sulawesi Selatan
Instruksi Bupati Pangkep Nomor 440/125/Hukum tanggal 24 Desember 2005.
D. Artikel dari Media Cetak:
Anita Lie, 2004, Konversi Pembodohan Nasional, Kompas 15 Juni 2004.
Anonim, 2006, Guru dan Ortu Jangan Memproduksi Kekerasan, Kedaulatan Rakyat, 30 A[pril 2006
Anonim, 2006, Bos untuk Buku Pelajaran, Kedaulatan Rakyat 18 April 2006.
Anonim, 2006, Anggaran BOS hanya Gratiskan Satu Buku Ajar, Kompas, 13 Juni 2006.
Anonim, 2006, “Kurikulum Berbasis kebingungan” Kedaulatan Rakyat, 26 Juli 2006.
Budi AM. Syachrun, Apa Kabar Pendidikan Gratis, Artikel Tribun Timur , 8 Juli 2009 , Makassar, hal 4.
---------------------------, Menunggu Gerakan Mendiknas, Opini Fajar, 26 Oktober 2009, Makassar, hal 4
--------------------------, Mengintip Pendidikan Gratis di Pangkep, Portal Dua Berita 2008
Edy Priyono , Perangkap Pendidikan Gratis. Suara Pembaharuan: 11 Februari 2008.
352
Indira Permanasari, 2005. Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan, Kompas, 03 Mei 2005
Nasrullah Nara, 2003. Akhiri “Tambal Sulam” Pengadaan Guru, Kompas: 17 Desember 2003.
Soelastri, 2001. Fenomena Guru SD Kita, Jumlah Selalu Kurang, Pendidikan Rendah. Kompas, 7 Februari 2001.
Kolom “Menjual Nama Komite dan Koperasi untuk Pungutan, Harian Fajar, 16 Juli 2007.
Kolom “PSB Gelombang Kedua terindikasi “Dimainkan” Harian Fajar, 17 Juli 2007.
E. Disertasi : A. Hamid S. Attamimi. 1999. Peranan Keppres Rl Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenal Keppres yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Disertasi, Pascasarjana UI, Jakarta.
Andi Pangerang. 1999. Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan Pasal ~8 UUD X94,5 dan Implementasinya Dalam Sistem Pemerintahan Di Daerah, Disertasi, Pascasarjana Unpad, Bandung.
Bhenyamin Hoessein.1993. Berbagai FaktorYang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat ll, Disertasi, Pascasarjana UI.
I Gde Pantja Astawa. 2000. Hak Angket Dalam Sistem Ketata�negaraan Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Pascasarjana Unpad, Bandung.
Kamal Hijaz, 2007. Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan.
Madjid H. Abdullah. 2007. Penataan Hukum Organisasi Perangkat Daerah dalam Konteks Otonomi Daerah Serdasarkan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik, Disertasi Pascasarjana Unhas, Makassar.
Suwoto Mulyosudarmo. 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia
353
Pustaka Utamam Jakarta.
Sjahrudin Rasul. 2000. Tinjauan YuridisAkuntabilitas Penyeleng�garaan Pemerintahan Di Indonesia (Studi Kasus Korupsi Di Indonesia Dalam Era Orde Baru), Disertasi, Pasca�sarjana Unpad, Bandung.
Sodjuangon Sitimorang. 2002. Model Pernbagian Urusan Pemerintahan Antara~Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, Disertasi, Pascasarjana UI, Jakarta.
Syaukani HR. 2003. yang telah dibukukan berjudul: "Akses dan IndikatorTata Kelola Pemerintahan Daerah yang Baik (Accses and Indicators to Good Local Governance)", Lembaga Kajian Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah(LKHK-Otda), Yogyakarta.
F. Kamus dan Ensiklopedia :
Bryan A. Garner, In Chief (Ed), 1999. Biack Law Dictionary, Seventh Edition, West Group ST. Paul, Minn.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Harold Laski. 1957. Encyclopedia of Social Science, Vol V, In the art, Democracy, New York.
Moelyono, Anton dkk, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.