PENALARAN UMAR BIN AL-KHATTHAB
TENTANG SUNNAH NABI
Oleh : M. Nawawi
A. Beberapa Kasus Pemahaman Umar Terhadap Sunnah Nabi
Contoh-contoh pemahaman Umar terhadap Sunnah Nabi banyak
terdapat baik dalam kitab-kitab hadits atau fiqih, terutama kitab-kitab yang
memang disusun khusus untuk menghimpun riwayat-riwayat dari Umar bin
al-Khatthab, seperti kitab Musnad al-Faruq karya Ibnu Katsir (w.744 H), atau
kitab Fiqih Umar karya Dr. Ruwai'i al-Ruhaili dan kitab Mausu'ah Fiqh Umar
karya Dr. Muhammad Rawwas.
Untuk kepentingan penelitian ini, penulis hanya mengambil beberapa
beberapa kasus pemahaman Umar, baik sejalan atau tidak sejalan secara literal
dengan hadits. Hal ini dipaparkan sebagai bahan analisis pada pembahasan
berikutnya guna menemukan pola pemahaman dan pandangan (epistimologi)
Umar tentang sunnah Nabi Saw.
Adapun kasus-kasus pemahaman Umar yang akan diambil adalah
mencakup bidang ibadah dan non ibadah (mu'amalah, kekeluargaan dan
kemasyarakatan).
A.1. Bidang Ibadah
Untuk bidang ibadah diambil dua masalah, yaitu shalat Tarawaih dan ritus
mencium Hajar Aswad pada saat melakukan tawaf.
A.1.1. Shalat Tarawaih
Pada zaman Nabi shalat Tarawaih (qiyam ramadlan) dilaksanakan
setelah lewat tengah malam, dan tidak dalam bentuk shalat berjama'ah (formal)
dengan seorang imam(yang terhimpun dalam satu tempat). Hal ini berjalan
sampai awal pemerintahan khalifah Umar bin al-Khatthab. Kemudian Umar
memprakarsai dilakukannya shalat tarawaih berjamaah secara resmi dibawah
69
pimpinan seorang imam di masjid, yang dilaksanakan pada awal malam (setelah
shalat isya') sebagaimana yang berlaku sekarang.
Keterangan di atas di ambil dari riwayat al-Bukhari sebagai berikut:1
ابن عن مالك أخبرنا يوسف بن الله عبد ح��������دثنا هري��رة أبي عن ال��رحمن عبد بن حميد عن ش��هاب
عليه الله ص�����لى الله رس�����ول أن عنه الله رضي له غفر واحتس��ابا إيمانا رمضان قام من قال وسلم
رس��ول فت��وفي ش��هاب ابن ق��ال ذنبه من تق��دم ما ك��ان ثم ذلك على واألمر وسلم عليه الله صلى الله
من وص���������درا بكر أبي خالفة في ذلك على األمرعنهما الله رضي عمر خالفة
ابن عن عقيل عن الليث ح��دثنا بكير بن يحيى حدثنا عنها الله رضي عائشة أن ع��روة أخ��برني ش��هاب خ�رج وس��لم عليه الله ص��لى الله رسول أن أخبرته
وص��لى المس��جد في فص��لى الليل ج��وف من ليلة أك��ثر ف��اجتمع فتح��دثوا الن��اس فأصبح بصالته رجال فتح��دثوا الن��اس فأص��بح معه فص��لوا فص��لى منهم رس��ول فخ��رج الثالثة الليلة من المسجد أهل فكثر بص��الته فص��لوا فص��لى وس��لم عليه الله ص��لى الله أهله عن المس���جد عجز الرابعة الليلة ك���انت فلما
أقبل الفجر قضى فلما الص��بح لص��الة خ��رج ح��تى يخف لم فإنه بعد أما ق��ال ثم فتش��هد الن��اس على عليكم تف��ترض أن خش��يت ولك��ني مك��انكم علي
1Al-Hafid Ahmad bin Ali bin Hajar al-Atsqalani, selanjutnya disebut Ibnu Hajar, Fath al-Bary, (Bairut: Dar al-Fikr, l993 M.), juz IV, h. 778-779; Riwayat yang mirip dengan penuturan al-Bukhari di atas terdapat pula pada Ibnu Katsir, Musnad al-Faruq Amir al-Mu'minin Umar bin al-Khatthab (Dar al-Wafa' li al-Thiba'ah wa al-Nasyr, tth), juz I, h. 186-187; lihat pula pada Muhammad bin Abd. Baqi bin Yusuf al-Zarqani, selanjutnya disebut al-Zarqani, Syarah al-Zarqani 'Ala Muwattha' al-Imam Malik (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, l990 M.), juz I, h. 333-340
70
عليه الله ص��لى الله رس��ول فت��وفي عنها فتعج��زواذلك على واألمر وسلم
عبد عن الزب���ير بن ع���روة عن ش���هاب ابن وعن بن عمر مع خرجت قال أنه القاري عبد بن الرحمن
إلى رمض�����ان في ليلة عنه الله رضي الخط�����اب الرجل يص��لي متفرق��ون أوزاع الناس فإذا المسجد
فق��ال الرهط بصالته فيصلي الرجل ويصلي لنفسه لكا واحد ق��ارئ على هؤالء جمعت لو أرى إني عمر
ثم كعب بن أبي على فجمعهم ع�������زم ثم أمثل ن بص��الة يص��لون والن��اس أخ��رى ليلة معه خ��رجت ين��امون وال��تي ه��ذه البدعة نعم عمر ق��ال ق��ارئهم
وك��ان الليل آخر يريد يقوم��ون التي من أفضل عنهاوله أ يقومون الناس
Menurut penelitian Ibnu Hajar al-Astqalani, riwayat tersebut validitasnya
dapat dipertanggung jawabkan.2
Para ulama sepakat bahwa qiyam ramadlan hukumnya “sunnat”. Tetapi
tidak ada instruksi khusus dari Nabi agar salat yang dimaksud dilaksanakan
secara berjama'ah di bawah pimpinan (baca'an) seorang imam. Ketika
mengomentari pernyataan " ذالك على واالمر الله رس��ول فتوفى ",
Ibnu Hajar mengartikan sebagai " ويح ال�ترا في الجماعة ترك ".3 Agak
mirip dengan komentar Ibnu Hajar, al-Kirmani menyatakan bahwa praktik yang
terjadi di kalangan kaum muslimin saat itu, (sampai awal pemerintahan Umar)
dilaksanakan menurut caranya sendiri-sendiri (ada yang melaksanakan secara
2Ibnu Hajar, Ibid, h. 7803Ibnu Hajar, Ibid, h. 781. Komentar yang sama juga terdapat pada al-Zarqani, op.cit,
h. 338; lihat pula pada Abu al-Thayyib Muhammad Syamsu al-Haq al-Adhim Abadi, selanjutnya disebut Abadi, Aun al-Ma'bud Syarh Sunan Abu Dawud, (al-Maktabah al-Salafiyah, l979 M.), juz IV, h. 245. Dinyatakan bahwa kaum Muslimin melaksanakan qiyam ramadlan secara sendiri-sendiri.
71
munfarid, dan ada yang melaksanakan secara berkelompok, tapi tidak dalam
bentuk jamma'ah formal, sebab sang imam tidak niat berjama'ah).4
Namun mereka berbeda pendapat apakah shalat qiyam ramadlan yang
dimaksud itu bersifat umum, dalam arti shalat malam(di bulan Ramadlan)
secara umum, termasuk shalat tahajjud, atau merupakan shalat tertentu yang
populer dengan istilah shalat Tarawaih.5
Dari keterangan ini dipahami bahwa pelaksanaan qiyam ramadlan pada
masa Nabi, tidak diperintahkan secara berjamaa'ah dibawah pimpinan seorang
imam secara formal. Akan tetapi setelah memasuki masa peperintahan Umar,
qiyam ramadlan, mulai dicanangkan dalam bentuk berjamaah dibawah pimpinan
seorang imam.
Pelaksanaan qiyam ramadlan, sebagaimana diprakarsai Khalifah Umar
tersebut, oleh para ulama dinyatakan sebagai hal yang baru, tanpa preseden dari
Nabi. Hal ini diperlihatkan oleh beberapa penulis sejarah Umar bin al-
Khatthab. Ia dinyatakan sebagai orang yang pertama kali (awwalu man)
memperkenalkan tradisi shalat tarawaih secara berjamaah dibawah pimpinan
seorang imam secara formal.6 Bukti lain yang digunakan untuk mendukung
penilaian tersebut adalah pernyataan Umar sendiri (setelah melihat praktik
yang dicanagkannya) "ni'ma al-bid'ah hadzihi", sebagaimana tercantum pada
riwayat Abd. Rahman bin Abd. Qari di atas.
Al-Zarqani menyatakan bahwa pernyataan Umar : “ni'ma al-bid'ah
hadzihi “ merupakan bukti bahwa dialah orang pertama yang memprakarsai
tradisi berjamaah secara formal dalam shalat tarawaih. Kata "bid'ah" di sini
mengandung makna mencipta sesuatu tampa preseden sebelumnya. Umar
4Shahih al-Bukhari bi Syarh al-Kirmani, (Bairut: Dar al-Fikr, tth), juz VIII, h. l53. Dalam Mausu'at Fiqh Umar, Dr. Muhammad Rawwas menyelaskan halaman 457 bahwa praktik shalat tarawaih sebelum masa pemerintahan Umar, dilaksanakan secara munfarid atau dengan cara berkelompok yang terpencar-pencar.
5Ibnu Hajar, op.cit, , h. 779; al Zarqani, op.cit, h. 337. Lihat pula Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, selajutnya disebut al-Syaukani, Nail al-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhbar Syarah Muntaqa al-Akhbar, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth), juz III, h. 49-50. Imam al-Nawawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan qiyam ramadlan adalah shalat Tarawaih.
6Ibnu Sa'ad, Al-Tabaqat al-Kubra, ( Bairut: Dar al-Shadir, l985), jilid III, h. 281, lihat pula Jalaluddin al-Suyuthy, Tarih al-Khulafa’ (Bairut: Dar al-Fikr, tth), h. 128
72
dalam hal ini sebagai penciptanya, kemudian diikuti para sahabat yang lain dan
seluruh kaum muslimin hingga kini.7
Memang terdapat riwayat yang menuturkan bahwa Ubay bin Ka'ab telah
mempraktikkan jamaah tarawaih secara formal pada zaman Nabi, dan telah
memperoleh restu beliau. Akan tetapi dalam riwayat ini, menurut penelitian
Ibnu Hajar terdapat seorang bernama Muslim bin Khalid yang dinyatakan sebagai
rawi yang dla'if.8
Mengomentari perbuatan Umar tersebut (dengan menggunakan
alasan yang mirip dengan logika al-Zarqani di atas), Abd. Husen Syarafuddin
al-Musawi, mengecamnya sebagai perbuatan orang yang lupa (al-ghaflah)
terhadap hikmah yang terkandung dalam syari'at Allah. Dalam konteks ini
dikemukakannya pula hadits Nabi yang menyatakan bahwa shalat sunnat di
rumah lebih baik dibanding shalat di masjid.9
Bagaimana sebenarnya pemahaman Umar dalam hal ini, sehingga
menimbulkan kontroversi. Benarkah Umar melanggar sunnah Nabi.
Hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar kaum muslimin di
seluruh dunia mempraktikkan tradisi shalat Tarawaih dengan mengacu kepada
contoh yang dicanagkan Umar. Ulama Hanafi, Imam Malik, dan Ulama Syafi'i
telah mempraktikkan qiyam ramadlan (tarawaih) secara berjamaah, walau
terdapat perbedaan pendapat mengenai keutamaannya bagi bilangan rekaat di
atas dua puluh.10 Demikian pula para ulama yang menyepakati jumlah rekaat
7Al-Zarqani, op.cit, h. 340; dinyatakan sebagai bid'ah, karena Nabi sendiri dan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq tidak mentradisikan (mensunnahkan) pelaksanaan shalat dimaksud secara berjamaah.
8Ibnu Hajar, op.cit, h. 78l; dalam penjelasannya, Ibnu Hajar menyatakan bahwa menurut riwayat yang dapat dipercaya, bahwa Umarlah orang yang pertama kali mengumpulkan manusia (untuk melaksanakan shalat tarawaih) di bawah komando (bacaan) Ubay bin Ka'ab.
9Abd. Husen Syarafiddin al-Musawi, selanjutnya disebut al-Musawi, Al-Nash wa al-Ijtihad, (Qom; sayid al-Syuhada, l404 H.), h. 253-254; Dalam hal ini agaknya Syarafuddin memahami hadits tersebut terlepas dari konteksnnya (sebab wurud). Menurut riwayat al-Nasa'i dari Zaid bin Tsabit, bahwa sabda Nabi ini disampaikan karena para sahabat sangat berkecenderungan untuk melaksanakan qiyam al-lail di masjid bersama Nabi. Apabila hal ini dibiarkan, Nabi hawatir (bahwa shalat qiyam al-lail harus di masjid) akan difahami sebagai ketentuan mengikat. Dalam riwayatnya yang lain dari Ibnu Umar dinyatakan bahwa perintah Nabi agar para sahabat melaksanakan shalat sunnat di rumah, bertujuan supaya rumah mereka tidak sepi bagai ‘tempat pemakaman’ dan hanya berfungsi sebagai tempat tidur saja. Lihat Jalaluddin al-Suyuthy, Syarh Sunan al-Nasa'i, (Kairo: Dar al-Hadits, 1987), juz III, h. 197-198
10Syamsuddin al-Sarakhsi, al-Mabsuth, (Bairut: Dar al-Fikr, l989), jilid I, h. 144-145
73
dibawah dua puluh, juga telah mempraktikkannya secara berjamaah. Walhasil
kecuali kalangan Syi'ah, kaum Muslimin menganggap tarawaih secara berjamaah
sebagai sunnah yang baik untuk diikuti.11
Memahami sunnah Nabi tentang qiyam ramadlan (tarawaih) ini, Umar
tampaknya tidak hanya memperhatikan apa yang “dilakukan Nabi” saja, tetapi
ia juga memperhatikan “sabda Nabi”. Dalam sabdanya, beliau menyatakan
bahwa siapa pun yang melaksanakan qiyam ramadlan atas dasar iman dan
ketulusan, maka akan diampuni (dosa-dosanya) oleh Allah. Dalam sabda ini
kandungannya sangat umum; tidak ditentukan apakah dilaksanakan secara
berjamaah atau munfarid. Juga tidak ada ketentuan berapa jumlah rekaat yang
harus dicapainya. Yang penting dilakukan atas dasar iman dan ketulusan
(ikhlash). Sabda ini kemudian dilengkapi oleh Nabi dengan praktik yang
dilakukannya di masjid. Hanya beberapa hari saja beliau melakukannya di
masjid, yang diikuti oleh para sahabat, kemudian beliau tidak mentradisikannya
(muwadhabah) karena ada kehawatiran timbulnya kesalah fahaman di kalangan
umat, sehingga perbuatan itu disalah fahami sebagai ketentuan yang mengikat
dan memberatkan.
Kehawatiran Nabi sebagaimana tercermin pada riwayat Urwah dari
A'isyah di atas mengandung beberapa kemungkinan makna; pertama, Nabi
hawatir adanya anggapan bahwa qiyam ramadlan itu wajib; kedua, ia hawatir
timbulnya anggapan bahwa qiyam ramadlan harus dilakukan di masjid; ketiga, ia
hawatir timbulnya anggapan bahwa qiyam ramadlan harus dilaksanakan secara
berjamah di masjid,12 walau sesungguhnya para sahabat sendiri bersemangat
(berkecenderungan) untuk melakukan secara berjamaah. Jadi kehawatiran Nabi
ini agaknya ingin meneguhkan keumuman sabdanya sendiri, bahwa yang
penting dari praktik qiyam ramadlan dilaksanakan atas dasar iman dan
ketulusan (dan sesuai dengan kemampuannya).
Dalam pada itu, pada sabda Nabi di atas (riwayat Urwah dari A'isyah)
terdapat ungkapan " مكانتكم على يخف لم فإنه " atau dalam riwayat lain
dinyatakan " صنعت لذي ا رأيت قد " (saya telah mengetahui apa yang telah
11Al-Syaukani, op.cit, h. 5012Sebagai bandingan lihat uraian senada pada al-Zarqani, op.cit, h. 336
74
engkau perbuat). Menurut al-Kirmani, makna ungkapan Nabi ini sebagai
penggambaran bahwa Nabi telah mengetahui semangat dan kecenderungan
para sahabat untuk melakukan qiyam ramadlan secara berjamaah.13 Ungkapan
Nabi tersebut memperlihatkan bahwa perbuatan dan kecenderungan para
sahabat tersebut tidak dibenci oleh Nabi. Bahkan terdapat riwayat al-Nasa'i dari
Abu Dzar bahwa Nabi memberinya ijin jika sekiranya shalat tersebut dilakukan
dengan berjama'ah.14
Dengan demikian, walau tidak ada intruksi khusus dari Nabi, bukan berarti
beliau melarang dilakukannya berjamaah dalam salat qiyam ramadlan. Motif
tidak dilakukannya berjamaah secara resmi oleh Nabi, adalah kehawatiran
munculnya kesalah-fahaman sebagai cara dan ketentuan yang mengikat,
sehingga akan memberatkan kaum muslimin. Namun karena motif semacam
itu (pada masa pemerintahan Umar) dianggap sudah tidak ada lagi, maka
dicanangkanlah qiyam ramadlan (tarawaih) secara berjamah dibawah pimpinan
seorang imam (secara formal) di masjid.15
Atas dasar pemehaman seperti ini, maka dapat difahami mengapa Umar
memprakarsai dilakukannya salat Tarawaih secara berjamaah dengan formal.
Di samping itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar dibanding bila kaum
muslimin melakukannya secara terpencar-pencar menurut caranya masing-
masing. Dalam berjamaah terdapat syi'ar bagi islam,16 mirip dengan shalat
Hari-Raya (Ied),17 dan dapat menggugah semangat (ghirah) para jamaah.18
Sungguhpun demikian, secara pribadi, Umar tidak selalu
melakukannya di Masjid bersama para jamaah. Sebab ia sendiri berpandangan
bahwa shalat qiyam ramadlan di akhir malam lebih utama dibanding pada awal
malam.19 Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa pencanangan shalat
13Al-Kirmani, Syarakh Shahih al-Bukhari, (Dar al-Fikt, tth), juz VI, h. 19814al-Suyuthy, Syarh Sunan....op.cit, h. 20215Lihat Dr. Sulaiman Muhammad al-Thamawi, selanjutnya disebut al-Thamawi, Umar
bin al-Khatthab wa Ushul al-Siyasah, (Bairut: Dar al-Fikr, l969), h. 194
16Al-Sarakhsi, op.cit, h. 14517Al-Syaukani, op.cit, h. 5018Ibnu Hajar, op.cot, h. 78119Ibid, h. 782. Tentang mana yang lebih utama antara shalat pada awal malam atau ahir
malam, dikalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat. Lihat al-Kirmani, op.cit, h. 155.
75
tarawaih berjamaah itu dilakukan oleh Umar dalam rangka pengaturan shalat
umat (semacam memberikan format bagi masyarakat supaya mereka memiliki
acuan, bila ingin melakukannya di masjid secara berjamaah), namun sifatnya
tidak mengikat secara kaku, sebab dia sendiri tidak selalu melakukannya di masjid
bersama para jama'ah. Itulah sebabnya maka al-Syafi'i sendiri secara pribadi
sama dengan Umar - lebih suka malakukannya di rumah.20
Dengan demikian, sunnah Nabi tentang qiyam ramadlan bagi Umar
bukan hanya terletak pada kesan yang tampak dipermukaan dari perbuatan
Nabi, tetapi juga mencakup semangat yang dikandungnya. Melalui
penelusuran dan pemahaman atas keseluruhan ungkapan dan tindakan Nabi
yang berkaitan dengan qiyam ramadlan dengan pemahaman atas situasi dan
kondisi yang melingkupinya, maka Umar dapat menagkap esensi dari yang
dikehendaki oleh Nabi.
A.1.2. Ritus Mencium Hajar Aswad
Mencium Hajar Aswad merupakan bagian kegiatan ritual yang dianjurkan
bagi kaum muslimin yang sedang melakukan thawaf.21 Imam Bukhari dari Ibnu
Umar menuturkan sebagai berikut:22
استالم عن عنهما الله رضي عمر ابن رجل سأل عليه الله صلى الله رسول رأيت فقال الحجر ويقبله يستلمه وسلم
Namun al-Nasa'i meriwayatkan dari Abu Dzar dan Nu'man bin Basyir, bahwa mereka pernah melakukan qiyamu ramadlan bersama Nabi dalam kaadaan yang berbeda; ketika melakukan shalat pada malam 23 ramadlan. Nabi melakukannya sampai sepertiga malam yang pertama (ila tsuluts al-lail al-awwal); ketika melakukan pada malam 25, Nabi melaksanakan hingga tengah malam (ila nisf al-lail); sedang ketika pada malam 27, Nabi melakukannya sampai hampir memasuki waktu sahur. Lihat al-Suyuthy, Sarh Sunan....op.cit, h. 202-203. Dari sini dapat dipahami bahwa agaknya Nabi pernah mengahiri shalat dimaksud bersama sahabatnya sebelum tengah malam (tsuluts al-lail al-awwal). Berarti shalat tersebut dilaksanakan mulai awal malam.
20Muhammad bin Idris al-Syafi'i, al-Umm, ditakhrij oleh Mahmu Mathraji, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), juz IX, h. 25
21Ahmad Syah Waliullah al-Dahlawi, selanjutnya di sebut al-Dahlawi, Hujjatullah al-Balighah, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, l995), juz II, h. 109
22Ibnu Hajar, op.cit, juz IV, h. 276
76
Umar bin al-Khatthab dalam hal ini dituturkan sangat patuh terhadap
tradisi rutus mencium Hajar Aswad sebagaimana dicontohkan Nabi, walau ia
sendiri tidak mampu menjangkau makna yang terdapat dalam ritus tersebut
kecuali hanya sebagai ketundukan kepada Nabi.
Ibnu Katsir telah mencatat riwayat tentang sikap Umar ini melalui
beberapa riwayat sebagai berikut:23
األعمش عن س��فيان أخبرنا كث��ير بن محمد ح��دثنا رضي عمر عن ربيعة بن ع���ابس عن إب���راهيم عن إني فقال فقبله األسود الحجر إلى جاء أنه عنه الله
النبي رأيت أني ولوال تنفع وال تضر ال حجر أنك أعلمقبلتك ما يقبلك وسلم عليه الله صلى
Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dari Aswad bin Amir dari Zuhair
dari A'masy. Riwayat senada juga dituturkan oleh al-Bukhari dan Abu Dawud dari
Muhammad bin Katsir dari Sufyan al-Tsauri. Melalui jalur Zaid bin Aslam dari
ayahnya dari Umar. Hadits ini juga diriwayatkan al-Bukhari, Muslim dan al-
Nasa'i.
Dalam Fath al-Bari dijelaskan, agaknya Umar memang benar-benar
tidak mampu memahami mengapa sebuah batu harus dicium sebagai bagian dari
ritus thawaf. Namun karena hal itu dilakukan dan dicontohkan oleh Nabi, maka
baginya tidak ada pilihan lain kecuali mengikutinya menurut makna yang dhahir.
Hanya saja karena masyarakat Arab pada saat itu baru saja meninggalkan dan
terbebas dari penyembahan berhala, maka Umar perlu memberikan keterangan
bahwa ritus menciun Hajar Aswad itu bukan disebabkan oleh adanya kekuatan
magis yang ada didalamnya, tetapi harus ditujukan semata-mata sebagai
23Ibnu Katsir, op.cit, h. 310-311, Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh al-Bukhari di bab hajji pada pasal ma dzukira fi al-hajar al-aswad.
77
kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya mengapa Umar
berkomentar :
تنفع وال تضر ال حجر أنك أعلم إني فقال
Beranjak dari peristiwa ini, Ibnu Hajar menyatakan bahwa ungkapan dan
perbuatan Umar ini melahirkan ketentuan (kaidah): "Kepatuhan terhadap
ketentuan Syar'i, yang berhubungan dengan aturan agama, yang tidak dapat
dipahami (dijangkau makna dan hikmahnya), harus dilakukan sebaik mungkin
sebagaimana makna "dhahirnya".24
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terhadap ketentuan
syar'i, yang menyangkut ketentuan agama, dan tidak dapat dipahami maknanya
(ibadah mahdlah dan ghairu ma'qulat al-ma'na), Umar hanya akan mengikutinya
secara literal.
A.2. Bidang Non Ibadah
Untuk bidang ini contoh yang diambil adalah meliputi masalah jual beli
umu al-walad, jual beli khamr (arak), masalah talaq tiga dalam satu majlis dan
hukuman had bagi peminum arak.
A.2.1. Jual beli Umu al-Walad
Para sejarawan banyak yang menulis bahwa Khalifah Umar adalah
orang yang pertama kali melarang penjualan ummu al-walad.25 Para
penghimpun hadits juga banyak menuturkan mengenai pendapat Umar ini. Al-
Baihaqi misalnya dalam al-Sunan al-Kubra menuturkan riwayat tersebut lebih
dari sepuluh sanad.26 Imam Malik dari Nafi' meriwayatkan
sebagai berikut:27
24Ibnu Hajar, op.cit, h. 260-26125al-Suyuthi, Tarih.._. op.cit, h. 128. Kesimpulan senada dikemukakan pula oleh al-
Thamawi, op.cit, h. 205
26Abu Bakar Ahmad bin Hasan bin Ali al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra, (Bairut: Dar al-Fikr, tth), juz X, h. 342-348
27Muhammad Zakariya al-Kandahlawi, Aujaz al-Masalik ila Muwattha' Malik, (Bairut: Dar al-Fikt, l974), juz X, h. 357
78
عمر أن عمر بن الله عبد عن نافع عن مالك حدثني فإنه سيدها من ت ولد وليدة أيما قال ب الخطا بن ف���إذا بها يس���تمتع وهو يورثها وال يهبها وال يبيعها ال
حرة فهي مات
Menurut penelitian Ibnu Katsir, riwayat tersebut memiliki sanad yang
shahih.28 Hal ini diakui juga oleh al-Nawawi (w. 676 H.) dalam kitab al-
Majmu'.29
Pendapat Umar tersebut oleh para ulama dinyatakan sebagai hal yang
baru berdasar riwayat dari Jabir bin Abdullah sebagai berikut:30
ص��لى الله رس��ول عهد االوالدعلى بعناأمه��ات ق��ال الله عمررضي ك��ان فلما بكر وأبي وسلم عليه اللهفانتهينا نهانا عنه
Al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’, menyatakan bahwa riwayat di atas
dituturkan pula oleh Abu Dawud dan al-Daraquthni dengan sanad yang
shahih.31
Memang terdapat riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda:32
28Ibnu Katsir, op.cit., juz I, h. 37329Abu Zakariya Muhyiddin Syarf al-Nawawi, Al-Majmu' Syarh al-Muhadzab, (Mesir:
Idarah al-Thiba'ah al-Muniriyah, tth), juz IX, h. 24330Al-Baihaqi, op.cit., h. 347, riwayat semakna juga dituturkan melui riwayat Abu Said al-
Khudzri.31Al-Nawawi, op.cit., h. 34332al-Baihaqi, Al-Sunan al-Shughra, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, l992), jilid II, h.
554
79
دبره عن معتقة فهي مته أ منه ت ولد أيمارجل
Namun hal ini tidak secara eksplisit melarang penjualan ummu al-walad
secara mutlak, sebab imam Ja'far al-Shadiq dan kaum Syi'ah Imamiyah (dengan
berdasar riwayat ini) tetap memperbolehkan memperjual-belikannya ketika
majikannya masih hidup.33 Padahal pendapat Umar sebagaimana tersebut dalam
riwayat Nafi' di atas adalah melarangnya secara mutlak sejak kelahiran sang anak,
baik pada saat majikannya masih hidup atau telah meninggal.
Di kalangan para ulama memang terdapat perbedaan, apakah larangan
penjualan ummu al-walad itu murni dari Umar, atau dari Nabi. Al-Khatthabi
sebagaimana dikutip al-Syuakani menyatakan, boleh jadi pada awalnya Nabi
memperbolehkan, kemudian pada ahirnya malarang penjualan ummu al-walad,
tetapi tidak populer dan hanya diketahui oleh Umar.34 Pendapat al-Khatthabi ini,
agaknya patut untuk dipertanyakan; mengapa Umar baru menyampaikannya
ketika menjabat sebagai Khalifah, padahal ia sangat terkenal sebagai orang
yang terbuka dan berani menyampaikan pendapat. Dalam pada itu riwayat
senada, yang disandarkan kepada Nabi ternyata memiliki riwayat yang
lemah.35 Berdasar uraian ini, maka sikap al-Syafi'i yang menisbatkan pendapat
tersebut hanya murni sebagai pendapat Umar, tampaknya lebih memiliki dasar
yang kuat.36
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pendapat Umar
ini sejalan dengan sunnah Nabi atau tidak. Hal ini perlu memperoleh penjelasan
yang memadai, karena pendapat yang terkesan tidak sejalan dengan apa yang
dipraktikkan di masa Nabi dan Abu Bakar ini merupakan pendapat jumhur.37
Meski riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi tentang larangan
penjualan ummu al-walad ini dinilai tidak kuat, tetapi menyimpulkan pendapat
Umar sebagai bertentangan dengan sunnah Nabi, agaknya perlu
33al-Syaukani, op.cit, juz IV (jilid II) h. 9934Al-Syaukani, Ibid., h. 9835Ibid, h. 9636Ibnu Hajar, loc.cit.37Al-Kandahlawi, op.cit., h. 358
80
pertimbangan yang mendalam, sebab al-Qur'an sendiri selalu menganjurkan
pembebasan perbudakan melalui berbagai cara.
Idealisme syari'at islam, sesungguhnya tidak meyukai perbudakan. Tetapi
oleh karena perbudakan pada masa Islam awal (masa Nabi dan Sahabat)
merupakan norma umum yang berlaku di seluruh dunia, maka tidak ada
alternatif lain bagi syari'at islam kecuali menerimanya sebagai institusi. Namun
pada saat yang sama senantiasa mengupayakan pembatasan dan
memperjuangkan pembebasan melalui berbagai cara. Oleh karena itu ada yang
berpendapat bahwa penerimaan syari'at pada saat itu tidak bisa dinilai
sebagai hukum yang final dan kongklusif.38
Dalam kaitannya dengan idealisme tersebut, walau Umar belum mampu
menghapus perbudakan, namun jelas bahwa ia telah berupaya untuk
menguranginya. Ikhtiyar tersebut antara lain berupa pembebasan orang-orang
Arab dari belenggu perbudakan. Hal ini diperlihatkan oleh pernyataannya
sendiri: "Tidak ada orang Arab dapat menjadi budak".39 Kemudian secara
bertahap ide tersebut diterapkan pula diluar orang Arab. Kepada Abu Musa al-
Asy'ary, ia kirimkan surat perintah supaya para penggarap tanah dan para
pekerja tidak dijadikan sebagai budak.40
Atas dasar kenyataan ini, larangan penjualan ummu al-walad, boleh
jadi merupakan salah satu ikhtiyar Umar bin al-Khatthab untuk mewujudkan
cita-cita Islam mebebaskan perbudakan.
Dalam hadits Nabi banyak sekali penuturan yang mendorong supaya
kaum muslimin melakukan ikhtiyar demi terciptanya kehidupan tanpa
38Lihat Abdullah Ahmad al-Na'im, Dekonstruksi Syari’at, (Yogyakarta: LKIS dan Pustaka Pelajar, l994), h. 329-333; beberapa ayat al-Qur'an yang menganjurkan upaya emansipatif misalnya tersebut pada QS.9:60; QS.2:17,177; QS.4:92; QS.58:3; QS.90:11-13; QS.24:33. Dalam konteks ini Fazlur Rahman menjelaskan bahwa lembaga perbudakan pada saat itu sudah terkandung dalam struktur masyarakat. Oleh karenanya, maka pelarangan yang mendadak tidak akan menyelesaikan masalah. Oleh sebab itu tidak ada alternatif yang lebih baik kecuali menerimanya, tetapi pada saat yang sama, usaha moral dan hukum selalu dilakukan untuk membebaskannya, dan menciptakan kaadaan di mana perbudakan akan hilang. Lihat Islam, (Bandung: Pustaka, l984), h. 44
39Syibli Nu'mani, Umar bin Khatthab Yang Agung, (Bandung: Pustaka, l994), h. 42140ibid., h. 423
81
perbudakan. Al-Baihaqa, Ahmad, al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi dan al-
Baghawi meriwayatkan sebagai berikut:41
وس��لم عليه الله ص��لى الله رس��ول ق��ال هري��رة ابي عن من عض���������وا منها عضو بكل الله اعتق رقبة اعتق من
بفرجه فرجه حتى النار من اعضائه
Diriwayatkan dari A'isyah, bahwa ketika Nabi wafat beliau tidak
meningalkan harta dan budak. Hal ini oleh al-Baihaqi dijadikan sebagai dalil
bahwa Ummu Ibrahim (budak Nabi) pada saat beliau wafat, telah terbebas. Ini
menandakan bahwa perbudakan hendaknya diakhiri.42 dan hendaknya sebelum
seseorang meninggal dunia budak-budak yang dukuasainya supaya dibebaskan.
Hadits riwayat Ibnu Abbas di atas, walau tidak menjelaskan secara
eksplisit tentang larangan penjualan ummu al-walad, tetapi memberi isyarat
bahwa kebebasannya merupakan keniscayaan. Masih diijinkannya sang majikan
menguasainya semasa masih hidup, karena dipandang demi kebaikan ummu al-
walad itu sendiri, sebab sang majikan tentu akan memperlakukannya dengan
baik.43 Jadi semangat hadits riwayat Ibnu Abbas ini sebenarnya mengacu kepada
kebebasan sejak ummu al-walad melahirkan sang anak. Tetapi karena berada pada
kekuasaan majikan dipandang lebih baik (daripada hidup terpisah), maka Nabi
baru menetapkan kebebasannya secara eksplisit sesudah sang majikan
meninggal.
Berdasar alasan di atas, maka jumhur ulama’, dengan mengikuti
pendapat Umar, melarang menjual ummu al-walad secara mutlak, baik sewaktu
majikannya masih hidup atau setelah meninggal dunia.44
41Lihat al-Baihaqi, Al-Sunan al-Shughara, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, l992), jilid
II, h. 52742ibid., h. 554-55543Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka, l984), h. 277 44Al-Kandahlawi, op.cit., h. 358. lihat pula al-Nawawi, op.cit., h. 243
82
Dalam konteks ini, Dr. Muhammad Rawwas menjelaskan bahwa oleh
karena sang anak yang terlahir berstatus merdeka, maka sang ibu juga harus
merdeka, sebab tidak logis seorang anak merdeka lahir dari rahim seorang ibu
yang berstatus budak, dan sebagai akibat lanjut dari kebebasan yang
disandangnya, maka ummu al-walad tidak bisa dinilai sebagai komoditi yang
dapat diperjual-belikan.45
Berdasar uraian tersebut, maka pemahaman Umar atas sunnah Nabi yang
berkaitan dengan penjualan ummu al-walad, berangkat dari esensi dan
idealisme ajaran yang dikehendaki syari'at islam. Dengan demikian ia
memahaminya dari maqasid al-syar'i. Di samping itu ia juga memahaminya
melalui konteks situasi yang melatari penerimaan institusi perbudakan pada masa
awal islam. Dari pemahaman inilah, kemudian ia berusaha sedapat mungkin
memperjuangkan pembatasan perbudakan. Termasuk bagian dari ikhtiyar ini,
maka ia canangkan larangan penjualan ummu al-walad.
Berbekal pemahaman yang holistik (terpadu dan menyeluruh) atas
sunnah Nabi yang dijiwai oleh al-Qur'an, ditambah pemahaman atas tujuan dan
situasi yang melingkupi syari'at islam tentang perbudakan, maka Umar dapat
menangkap spirit dan substansi yang dikandungnya, sehingga ia mampu
menerapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan dan tantangan yang
dihadapinya. Pengakuan syari'at islam pada masa awal islam terhadap institusi
perbudakan, termasuk didalamnya penjualan ummu al-walad, merupakan
usaha persuasif dan bertahap menuju pembebasan secara total.
A.2.2. Jual beli Khamr
أن عنه الله رضي لعمر كر ذ ق���ال عب���اس ابن عن رس��ول ن أ سمرة الله قاتل فقال خمرا باع سمرة
45Dr. Muhammad Rawwas, Mausu'at Fiqh Umar Ibn al-Khatthab, (tanpa tempat, tanpa penerbit, 1981), h. 131-132
83
اليه��ود الله لعن ق��ال وس��لم عليه الله ص��لى اللهفتجملوهافباعوا السحوم حرمت
Riwayat ini dituturkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Ahmad dengan
sanad yang shahih.46
Riwayat di atas menuturkan bahwa Umar bin al-Khatthab melarang jual
beli khamr. Dengan demikian ia memahami sabda Nabi dalam hal ini persis
sebagaimana bunyi teks yang disabdakan. Al-Syaukani menuturkan hadits
Nabi riwayat jama'ah dari Jabir sebagai berikut:47
س���مع أنه عنهما الله رضي الله عبد بن ج���ابر عن الفتح ع��ام يق��ول وسلم عليه الله صلى الله رسول
والميتة الخمر بيع ح��رم ورس��وله الله إن بمكة وهو أرأيت الله رس���ول يا فقيل واألص���نام والخ���نزير
بها وي��دهن الس��فن بها يطلى فإنها الميتة ش��حوم ثم ح�رام هو ال فق��ال الن��اس بها ويستص�بح الجل��ود
ذلك عند وس��لم عليه الله ص��لى الله رس��ول ق��ال جمل��وه ش��حومها ح��رم لما الله إن اليهود الله قاتل
ثمنه فأكلوا باعوه ثم
Dr. Muhammad Rawwas menjelaskan, telah sampai suatu laporan kepada
Umar, bahwa Samurah telah mengutip (memungut) khamr dari warga dzimmi
sebagai pembayaran jizyah dan Kharraj. Kemudian khamr itu dijual
46Ibnu Katsir, op.cit., h. 34247Al-Syaukani, op.cit., juz V, h. 141-142
84
(diuangkan), dan hasilnya dimasukkan ke kas negara (bait al-mal). Umar
berkata: "Terkutuklah Samurah (seorang amil yang bertugas di Irak), yang telah
mencampur harta fay' kaum muslimin dengan hasil penjualan hamr. Khamr itu
haram dan hasil penjualannya juga haram".48
Pemahaman Umar yang terkesan literal ini, dapat dimengerti karena
khamr tersebut mendatangkan mafsadat, karena ia mendorong timbulnya
permusuhan. Hal ini tidak saja ditegaskan secara formal oleh al-Qur'an,
misalnya surat al-Ma'idah: 91
في والبغضاء وة ا العد بينكم يوقع ان الشيطان يريد انما فهل الص���الة وعن ذكرالله عن كم ويصد الخمروالميسر
منتهون انتم
tetapi juga menurut realitas yang ada, ia juga terbukti merusak susunan syaraf
otak dan mendatangkan berbagai penyakit, baik fisik maupun psihis. Oleh
karena itu, larangan penjualan khamr sangat masuk akal, sebab ia bisa menjadi
pemicu (pembuka pintu) bagi tumbuhnya kegemaran peminum, dan pada
gilirannya merupakan akses munculnya sejumlah mafsadat, seperti tindak
kejahatan dan berbagai kerawanan sosial. Dengan demikian larangan penjualan
khamr, bisa menutup, atau paling tidak mengurangi munculnya kerusakan,
sehingga kesehatan dan ketentraman dapat terpelihara.
Jadi, pemahaman Umar, yang terkesan tekstual dan literal ini,
sebenarnya adalah kontekstual juga, sebab dilandasi dengan alasan yang jelas
demi suatu tujuan yang jelas pula, yaitu kemaslahatan umum.
A.2.3. Talak Tiga Dalam Satu Majlis
Dituturkan dalam beberapa kitab hadits, bahwa Umar membuat
keputusan berbeda dengan keputusan Nabi tentang talak tiga dalam satu majlis;
Nabi menetapkan sebagai jatuh talak satu (raj'i), sedangkan Umar
menetapkan sebagai jatuh talak tiga (ba'in).48Dr. Muhammad Rawwas, op.cit., h. 132
85
Imam Muslim menuturkan riwayat tersebut dalam tiga redaksi. Antara
lain riwayat yang disampaikan dari Ibnu Abbas sebagai berikut: 49
رس��ول عهد على الطالق ك��ان ق��ال عباس ابن عن من وس��نتين بكر وأبي وس��لم عليه الله ص��لى الله
بن عمر فق�����ال واح�����دة الثالث طالق عمر خالفة ك��انت قد أمر في اس��تعجلوا قد الناس إن الخطاب
عليهم فأمضاه عليهم أمضيناه فلو أناة فيه لهم
Dalam penuturan Ibnu Abbas di atas, diperlihatkan dengan jelas bahwa
tradisi talak tiga dalam satu majlis dinyatakan sebagai talak satu. Hal ini terjadi
sejak zaman Nabi hingga awal pemerintahan Khalifah Umar. Kemudian oleh
suatu kaadaan (manusia pada saat itu cenderung tergesa-gesa dalam urusan
yang memerlukan kesabaran), maka untuk mengatasi persoalan tersebut, Umar
menetapkannya sebagai talak tiga (ba'in).
Di kalangan para ulama memang terjadi perbedaan pendapat. Al-
Syafi'i, Malik, Abu Hanifah, Ahmad dan jumhur ulama sepakat dengan pendapat
Umar. Sedangkan bagi sebagian ulama lainnya seperti Thawus (seorang sahabat
Nabi) dan sebagian ahli dhahir berpendapat sebagai jatuh talak satu berdasar
hadits Rukanah.50
49Al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, (Mesir: al-Mathba'ah al-Mishriyah, l924),juz IX, h. 70-71, lihat pula Ahmad al-Sahar Nufuri, Badzl al-Majhud fi Halli Abi Dawud, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth), juz X (jilid V), h. 297-300. Terhadap riwayat tersebut, baik Imam Muslim atau Abu Dawud, tidak menjelaskan nilai kualitasnya, tetapi riwayat tersebut banyak dituturkan dalam kitab-kitab hadits, walau dengan redaksi yang agak berbeda.
50Al-Nawawi, ibid., h. 70. Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Ibnu Hazm menyatakan bahwa talak tiga kali yang diungkapkan sekaligus dalam satu majlis, hukumnya tergantung niat yang dikehendaki. Bila dimaksudkan sebagai ta'kid, maka jatuh satu. Sebaliknya bila sekiranya dikehendaki (diniati) lebih dari satu, maka jatuh talak sebagaimana terucap. Lihat; Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm, selanjutnya disebut Ibnu Hazm, Al-Muhalla, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyah, l970), juz XI, h. 473
86
Dalam satu riwayat Imam Ahmad menuturkan dari Ibnu Abbas bahwa
Rukanah bin Abd. Yazid mentalak istrinya tiga kali dalam satu majlis.
Kemudian ia sangat berduka atas perbuatannya itu. Rasulullah menegurnya:
"Bagaimana engkau mentalaknya". Rukanah menjawab: "Aku talak dia tiga kali
dalam satu majlis", maka Rasulullah bersabda: "Itu adalah talak satu, rujuklah
kembali jika engkau menginginkan". Rukanah pun kemudian merujuknya
kembali.51
Berdasar penuturan riwayat ini, keputusan yang ditetapkan Umar
terkesan berbeda dengan keputusan Nabi. Mencermati keputusan Umar ini para
ulama mengungkapkannya dengan sejumlah alternatif jawaban. Di antara
jawaban yang dianggap lebih shahih menyatakan bahwa perubahan ketetapan
hukum yang dilakukan umar tersebut didorong oleh adanya perubahan kaadaan
yang dialami oleh masyarakat yang menjadi subyek hukum. Pada masa Nabi,
Abu Bakar dan awal pemerintahan Umar, ucapan talak tiga dalam satu majlis
dimaksudkan sebagai ta'kid, karena itu dianggap sebagai talak satu. Sedangkan
mulai pada pertengahan pemerintahan Umar, ketika sedang terjadi degradasi
(etik), talak tiga cenderung mengarah menjadi ungkapan yang berdiri sendiri-
sendiri. Hal ini diperlihatkan oleh ungkapan Umar sendiri bahwa manusia pada
saat itu cenderung tergesa-gesa terhadap masalah yang semestinya
memerlukan pengendalian dan kesabaran. Atas dasar inilah, Umar kemudian
menetapkan talak tiga sebagai apa adanya sesuai dengan jumlah yang terucap.52
Ibnu Qayyim dalam satu uraiannya menyatakan bahwa keputusan Umar
tersebut merupakan salah satu contoh dari kaidah: "Perubahan fatwa terjadi
akibat terjadinya perubahan zaman".53
Bahwa talak tiga sekaligus (dalam satu majlis), dinyatakan satu pada
masa Nabi adalah sesuatu yang sangat jelas bagi Umar. Dijadikannya talak
dalam bentuk termin ( مرة بعد مرة ) merupakan kesempatan dan keluasan
yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Oleh sebab itu maka menjatuhkannya
51Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I'lam al-Muwwaqqi'in 'an Rabbi al-'Alamin,(Bairut: Dar al-Fikr, tth), juz III, h. 42, lihat pula Ibnu Hajar, op.cit, juz X, h. 455-456; hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Ya'la dengan sanad yang shahih.
52Al-Sahar Nufuri, loc.cit., jilid V, h. 265, lihat pula al-Nawawi, op.cit., h. 7153Ibnu al-Qayyim, I'lam ... op.cit., h. 47
87
sekaligus menjadi talak tiga dalam satu majlis, tidak mungkin terjadi. Makna
ungkapan " مرتان الطالق " menunjuk kepada suatu perbuatan yang masing-
masing berdiri sendiri-sendiri. Semuanya itu merupakan hal yang jelas, baik
dari sudut perspektif al-Qur'an, sunnah Nabi atau ilmu bahasa Arab. Demikian
pula jika dilakukan perhitungan “pukul rata” di kalangan sahabat, pasti dapat
dinyatakan bahwa pendapat tentang talak tiga (dalam satu majlis) dinilai jatuh
talak satu, akan tampak lebih dominan. Itulah sebabnya, mengapa sebagian
ahli ilmu berpendapat bahwa talak sebagaimana dimaksud (jatuh satu)
merupakan hasil ijma'.54
Ketetapan ini tidak hanya berlaku di masa Nabi dan Abu Bakar saja,
tetapi juga berlaku sampai masa awal pemerintahan Umar. Namun ketika
Umar melihat munculnya kecerobohan menjatuhkan talak tiga sekaligus, ia
menangkapnya sebagai sikap pelecehan yang meremehkan persoalan talak. Atas
alasan ini, dan demi terwujudnya tuntutan kemaslahatan, ia kemudian
menetapkan talak dimaksud sebagai talak tiga, di mana hak rujuk menjadi
tercabut sebelum mantan istrinya itu kawi lagi secara normal (bukan nikah tahlil).
Hal ini dimaksudkan Umar sebagai hukuman bagi mereka yang tidak berhati-
hati.55
Keputusan Nabi sebagaimana dituturkan Ibn Abbas adalah sangat
tepat, sebab pada saat itu talak sebagaimana dimaksud belum menjadi trend
umum, dan mereka sangat berhati-hati dalam masalah talak, serta masih berada
dalam batas-batas yang dibenarkan syariat. Namun ketika terjadi perubahan, di
mana kehati-hatian terhadap talak mulai terganggu (orang mulai bermain-
main dengan talak dan menjatuhkannya diluar aturan yang dibenarkan
syariat), maka keputusan Umar juga amat tepat sebagai hukuman dan sekaligus
mengurangi kecendrungan buruk tentang talak yang terjadi dalam masyarakat.
Dengan demikian keputusan Umar sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang
ada pada zamannya.56
54Ibid., h. 44-4655Ibid., h. 47. Bandingkan dengan Muhammad Ali al-Sayis, Nasy'at al-Fiqh al-Ijtihadi
Wa Athwarih, (Al-Azhar: Majma' al-Buhuts al-Islamiyah, l970), h. 69-7056Ibn Qayim, Ibid. Bandingkan dengan Muhammad Anis Ubadah. Umar Bin al-
Khatthab Wa al-Tasyri' al-Islami, (Kairo : Majlis al-A'la Li al-Su'un al-Islamiah, tth). h. 86-87. Hukuman yang ditetapkan Umar ini dimaksudkan agar para suami tidak bertindak semena-mena terhadap isterinya yang dapat diceraikan kapan saja dengan ungkapan emosional yang
88
Pandangan Umar ini agaknya dilakukan melalui pemahaman
konteks. Ketika Rukanah mengadu kepada Nabi tentang kasus dirinya
(menceraikan istri tiga kali dalam satu majlis), ia sangat berduka dan menyesal.
Hal ini menjadi indikator bahwa perbuatan Rukanah terjadi karena lalai dan
bukan kesengajaan. Itulah sebabnya, maka Nabi menetapkan kasus Rukanah
sebagai talak satu. Berbeda dengan konteks ini ialah apa yang disaksikan Umar
pada masa pemerintahannya. Mereka melakukan talak tiga sekaligus bukan
hanya sekedar sebagai sebagai kelalaian, tetapi sudah sampai pada tingkat
kecerobohan dan semena-mena. Atas pertimbangan ini, Umar kemudian
menetapkan sebagai talak tiga. Jadi oleh karena konteksnya berbeda, maka
keputusan hukumnyapun berbeda.57
Keputusan Nabi dalam hal ini boleh jadi terkait dengan kapasitasnya
sebagai hakim. Demikian pula keputusan Umar. Maka oleh karena tuntutan dan
tantangan yang dihadapi berbeda, keputusan keduanyapun berbeda sesuai
dengan kemaslahatan yang diminta. Landasan pertimbangan yang melatari
keputusan Nabi, pada masa Umar sudah tidak dijumpai lagi. Sementara itu al-
Qur'an meminta supaya perceraian itu dilaksanakan dengan cara yang ihsan
(tasrih bi ihsan). Jadi kasus yang dihadapi Nabi dengan yang dihadapi Umar,
secara substansial memang berbeda. Itulah sebabnya, maka hasil keputusannya-
pun mengalami perbedaan.
A.2.4. Hukuman Peminum Khamr
Para ulama sepakat bahwa para peminum arak (khamr), diancam dengan
sangsi hukuman had (dera), tetapi mereka berbeda mengenai kadar hukuman
dera yang dimaksud. Ulama Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa kadar
menyakitkan. Dengan demikian diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga untuk kembali mentaati nilai-nilai etis yang diterapkan agama.
57Apa yang dilakukan Rukanah dengan dengan penyesalan dan kedukaan mendalam, jelas memperlihatkan akan kelalaiannya. Kemudian dari pengakuannya sendiri, bahwa ia hanya ingin mentalak satu kali, dapat dijadikan indikasi bahwa ia masih ingin hidup bersama lagi dengan istrinya. Dengan demikian perbuatan tersebut sama sekali jauh dari sikap pelecehan terhadap talak dan sang istri. Pada masa pemerintahan Umar, kaadaannya sangat berbeda. Pengucapan talak tiga sekaligus cenderung mengarah kepada tindakan yang merendahkan institusi talak itu sendiri, dan tidak menghurmati harkat dan martabat pasangannya. Lihat Anis Ubbadah, Ibid.,
89
hukuman tersebut berupa delapan puluh kali dera. Sedangkan ulama Syafi'i
menyetujui empat puluh kali dera.58
Dalam satu riwayat al-Bukhari menuturkan sebagai berikut:59
بن يزيد عن الجعيد عن إب����راهيم بن مكي ح����دثنا ن����ؤتى كنا ق����ال يزيد بن الس����ائب عن خص����يفة
عليه الله ص���لى الله رس���ول عهد على بالش���ارب فنقوم عمر خالفة من وصدرا بكر أبي وإمرة وسلم
عمر إمرة آخر كان حتى يتنا وأرد ونعالنا بأيدينا إليهثمانين جلد وفسقوا عتوا إذا حتى أربعين فجلد قال أنس عن قتادة حدثنا هشام حدثنا مسلم حدثنا بالجريد الخمر في وسلم عليه الله صلى النبي جلد
أربعين بكر أبو وجلد والنعال
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan sebagai
berikut:60
ح��دثنا ق��اال بشار بن ومحمد المثنى بن محمد حدثنا قت��ادة س��معت ق��ال ش��عبة ح��دثنا جعفر بن محمد
58Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, l983), juz II, h. 335. Secara lebih rici bisa dilihat pula al-Syaukani, op.cit., jilid IV (juz VII), h. 142
59Ibnu Hajar, op.cit., juz XIV, h. 12-1360Imam Muslim, Shahih Muslim , (Bandung: Dahlan, tth)juz II, h. 57,
riwayat yang sama dituturkan pula oleh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Sughra jilid II, halaman 290 dengan tanpa menyebutkan nilai sanadnya.
90
عليه الله ص��لى الن��بي أن مالك بن أنس عن يحدث تين بجريد فجلده الخمر شرب قد برجل أتي وسلم
عمر ك�����ان فلما بكر أبو وفعله ق�����ال أربعين نحو الح��دود أخف ال��رحمن عبد فق��ال الن��اس استش��ار
عمر به فأمر ثمانين
Dari penuturan riwayat di atas, terkesan adanya riwayat yang agak
membingungkan tentang hukuman yang diberikan oleh Nabi terhadap
peminum arak. Menyikapi persoalan ini para ulama berbeda pendapat.
Sebagian di antara mereka berpendapat bahwa Nabi tidak menentukan jumlah
tertentu. Atas dasar ini mereka menyatakan bahwa hukuman peminum arak itu
berupa ta'zir.61 Untuk itu ketentuannya diserahkan kepada kebijakan
pemerintah (imam).62
Sebagian ulama mencoba mempertemukan beberapa riwayat di atas
menjadi satu tesa yang saling melengkapi. Pendapat yang kedua ini mendukung
suatu kesimpulan bahwa menurut sunnah Nabi, hukuman peminum arak itu
didera sebanyak empat puluh kali. Alasan yang digunakan ialah hadits
riwayat Anas yang menyatakan bahwa Abu Bakar menghukum empat puluh
kali. Di samping itu juga berdasar riwayat Muslim dari Ibnu Mundzir, bahwa
Khalifah Usman memerintahkan Ali bin Abi Thalib supaya mendera Walid bin
Uqbah (yang telah meminum arak). Kemudian Ali memerintahkan
Abdullah bin Ja'far untuk melakukan ekskusi. Ketika sampai pada hitungan ke
empat puluh, Ali memerintahkan supaya hukuman itu diahiri, dan berkata:
61Muhammad bin Isma'il al-Shan'ani, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, tth), juz IV, h. 30
62Bandingkan dengan Muhammad Abu Suhbah, selanjutnya disebut Abu Suhbah Al-Hudud fi al-Islam wa Muqaranatuha bi al-Qawanin al-Wadl'iyah, (al-Hai'ah al-'Ammah li Syu'un al-Mathabi' al-Amiriyah, l974), h. 276
91
"Nabi mendera empat puluh kali, demikian pula Abu Bakar. Sedang Umar
mendera delapan puluh kali. Semua itu merupakan sunnah".63
Ibnu Hajar menjadikan praktik Abu Bakar dan Ali di atas sebagai dasar
(hujjah) bahwa praktik yang terjadi pada masa Nabi adalah hukuman dera empat
puluh kali. Hal ini dipandang tidak bertentangan dengan penuturan Anas di atas,
sebab penyebutan kira-kira empat puluh kali (nahwa arba'in) merupakan
penyebutan yang mendekati. Boleh jadi penyebutan Anas tersebut didorong oleh
sikap hati-hati.
Berangkat dari penjelasan yang tersebut terahir di atas, maka keputusan
Umar menetapkan hukuman dera sebanyak delapan puluh kali, bisa di asumsikan
sebagai berbeda dengan tradisi sebelumnya.
Dalam riwayat al-Sa'ib bin Yazid di atas, dituturkan bahwa keputusan
Umar tersebut di tetapkan dalam konteks para peminum yang bandel. Dengan
begitu keputusan ini tidak muncul begitu saja, tetapi didorong oleh kaadaan
sosial tertentu.
Dr. Muhammad Abu Subhah menjelaskan bahwa pada masa
pemerintahan Umar (tepatnya pada paruh masa pemerintahannya yang terahir)
banyak sekali peminum yang bandel dan tidak lagi meperdulikan ancaman
hukuman had yang berlaku (40 kali dera). Oleh karena itu, maka Umar
bermusyawarah dengan para sahabat (untuk mengatasi problem yang
dihadapi). Abd. Rahman bin Auf berpendapat supaya mereka dihukum had yang
paling ringan yaitu delapan puluh kali. Demikian pula Ali bin Abu Thalib juga
mengusulkan hukuman yang sama. Dalam ungkapan yang populer Ali
menyatakan: "Saya berpendapat hukuman mereka adalah delapan puluh dera,
sebab seorang peminum akan mabuk, dan jika mabuk akan berkata-kata
ngawur (tidak karuan). Jika demikian ia akan menuduh dan berkata-kata
kebohongan, maka hukumannya adalah (sama dengan hukuman) had penuduh
palsu". Umar menganggap usulan ini sebagai hal yang baik. Karena itu ia
63Bandingkan dengan Ibnu Hajar, op.cit., juz XIV, h. 18 ; Ibnu Hajar mengutip pendapat al-Baihaqi, Muslim, al-Turmudzi dan Ibnu Abd. Barr, bahwa riwayat ini shahih dan dapat dipercaya. Lihat pula Imam Muslim, loc.cit.,
92
kemudian merintahkan untuk melaksanakan hukuman sebagaimana yang
diusulkan.64
Maksud ditetapkannya hukuman had bagi para peminun adalah untuk
mendidik (dan mejerakan) supaya para pelakunya kembali ke jalan yang benar.
Jika sekiranya ancaman hukuman empat puluh kali dera yang berlaku
sebelumnya berlaku cukup efektif guna mencegah terjadinya
pelanggaran, maka pada saat paruh terahir pemerintahan Umar (ketika orang-
orang semakin berani meneguk minuman arak, yang pada gilirannya
menimbulkan dampak distruktif), maka tambahan hukuman menjadi delapan
puluh dera, merupakan salah satu upaya alternatif yang dipandang baik, guna
mengembalikan kecenderungan hawa nafsu yang buruh, menjadi jiwa yang
bersih dan suci. Dengan demikian hukuman tambahan tersebut berfungsi sebagai
tindakan prefentif (saddu al-dzari'ah).65
Memperhatikan penjelasan ini, maka salah satu pertimbangan ketetapan
Umar adalah adanya perubahan sosial dan melihat pada tujuan hukum. Jika
hukum yang lama (empat puluh kali) tetap dipertahankan, maka tujuan
ditetapkannya hukuman tersebut tidak akan tercapai. Itulah sebabnya maka
bentuk hukumannya mesti dimodifikasi sesuai dengan perkembangan yang
dihadapi.66
64Abu subhah, op.cit., h. 274. Lihat pula al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra,... op.cit., jilid VIII, h. 320
65Anis Ubbadah, op.cit., h. 84-8566Apabila kita perhatikan konteks kesejarahan larangan minum arak, dimulai pada
periode Makkah, yang dijelaskan melalui surat al-Nahl: 66-69. Kemudian disusul periode Madinah, yang dijelaskan berturut-turut mulai al-Baqarah: 219; al-Nisa': 43; dan al-Ma'idah: 90-91, maka dapat dijadikan petunjuk, bahwa proses graduasi larangan tersebut dilakukan untuk merespon konteks sosial yang dihadapi. Dengan bercermin pada peristiwa ini, maka pemberian hukuman terhadap para peminum juga bisa dilakukan melalui pertimbangan yang sama, sesuai dengan konteks sosial yang menjadi tantangannya. Keputusan Umar menambah hukuman menjadi delapan puluh dera, sangat boleh jadi muncul atas pertimbangan seperti ini, demi suatu kemasla-hatan. Apalagi masyarakat muslim (dan penduduk daerah muslim) pada saat itu sudah merupakan komunitas yang kompleks, dan pada saat yang sama pengkonsumsian arak telah dapat mengancam keserasian sosial. Lihat Ibnu Hajar, op.cit., juz XIV, h. 12-13. 1). Dalam pembahasan ilmu ushul pemahaman Umar tersebut dilakukan dengan menggunakan penalaran ta’lili, yaitu penalaran hukum yang didasari oleh pertimbangan illat al-hukmi. Salah satunya disebut illat tasyri’i, yaitu illat yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu ketentuan hukum dapat terus berlaku, atau sudah sepantasnya berubah, karena illat yang mendasarinya telah berubah. Perubahan hukum tersebut bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, pemahaman tentang illat hukum itu sendiri telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Contohnya illat zakat pertanian. Kedua, pemahaman terhadap illat tidak berubah, tetapi tujuan penerapan hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan yang di harapkan. Contohnya adalah penbagian tanah Fai’.Selanjutnya lihat pada Dr. Al Yasa Abubakar, Ke Arah Ushul Fiqih Kontemporer :
93
B. Analisis Epistimologi Umar Tentang Sunnah Nabi
Dari penjelasan mengenai pemahaman Umar bin al-Khatthab
sebagaimana tersebut pada contoh-contoh di atas, diperoleh kesimpulan bahwa
pemahaman yang dilakukannnya tidak keluar dari kaidah-kaidah umum
pemahaman sunnah Nabi yang telah dirumuskan para ulama.
Ketika Umar memahami ketentuan qiyam ramadlan, ia tidak hanya
memperhatikan perbuatan yang dilakukan Nabi, tetapi mencoba menggabungkan
sabda dan praktik beliau. Bahkan konteks keduanya, yang dihubungkan dengan
situasi makro psikologi sahabat yang demikian bersemangat untuk melaksanakan
seruan Nabi tentang qiyam ramadlan. Melalui pemahaman “tematik-
kontekstual” ini, Umar telah berhasil menangkap esensi dan ide sunnah Nabi
yang berkaitan dengan qiyam ramadlan. Maka pencanangan shalat tarawaih
secara berjamaah (formal) di awal malam, merupakan hasil ijtihad Umar yang
dituntun oleh sunnah Nabi.
Berbeda dengan peristiwa di atas, adalah sikap dan pemahaman Umar
yang berkaitan dengan ritus mencium Hajar Aswad. Dalam hal ini ia tidak
mampu menemukan substansi dan ide yang dikandungnya, kecuali mengikuti
dan mentaati contoh dan uswah Nabi. Oleh sebab itu, maka dalam hal ini, tidak
ada pilihan lain baginya, kecuali hanya melaksanakan apa adanya sesuai dengan
dhahirnya petunjuk yang dicontohkan dan dipraktikkan Nabi.
Dua contoh pemahaman Umar di bidang ibadah di atas, memperlihatkan
bahwa ada dua pola yang digunakan Umar untuk memahami sunnah Nabi
berkaitan dengan peribadatan. Pertama, terhadap sunnah Nabi yang dapat
dipahami (ditangkap) maknanya (ide dan substansi yang dikandungnya),
maka ia pergunakan pemahaman kontekstual; yaitu mengaitkan sunnah Nabi
dengan latar belakang historis, baik mikro maupun makro,67 dan tujuan ditetap
Sistematika Alternatif Untuk Penalaran, dalam Jurnal Ar Raniri (IAIN Ar Raniri : 1990), h. 17-18
67Yang dimaksud latarbelakang makro adalah situasi umum yang yang dialami kaum muslimin saat terjadinya sunnah Nabi. Sedangkan latar belakang mikro adalah situasi khusus yang melatari (sebab wurud atau illat) hadirnya sunnah Nabi.
94
kannya. Hal ini bisa diperhatikan pada pemahamannya tentang shalat
tarawaih di atas. Umar melihat bahwa alasan yang menghalangai Nabi untuk
keluar ke Masjid pada saat para sahabat demikian bersemangat untuk shalat
bersama beliau, adalah kehawatiran akan timbulnya kesalah-fahaman di kalangan
para sahabat. Nabi hawatir jangan-jangan berjamaah di masjid di pandang
sebagai syarat shalat tarawaih, sehingga akan memberatkan kaum muslimin.
Untuk itu ketika kehawatiran serupa dipandang sudah tidak ada lagi (pada paruh
terahir masa pemerintahannya), Umar lalu mencanangkan tarawaih secara
berjamaah dengan formal.68
Contoh lain yang mirip dengan ini adalah larangan Umar tentang Hajji
Tamatthu'. Ia mengetahui bahwa ketentuan al-Qur'an telah membolehkan
beribadah hajji dengan cara ini, dan Nabi-pun telah melaksanakannya. Namun
karena ia hawatir munculnya kecenderungan keengganan kaum muslimin untuk
melaksanakan hajji yang afdlal, maka Umar-pun mengumumkan larangan
tersebut, dengan mengutip ayat "Wa atimmu al-Hajja Wa al-Umrata li Allah".69
Kedua, terhadap sunnah Nabi yang tidak dapat difahami ma'nanya, maka
ia gunakan pemahaman yang tekstual; artinya ia hanya mengikuti kandungan
yang diperlihatkan secara dhahir oleh sabda atau praktik Nabi.70 Sebab hanya
dengan sikap seperti itulah ketaatan kepada Nabi bisa direalisasikan. Hal ini
diperlihatkan oleh sikap Umar berkaitan dengan ritus menciun Hajar Aswad di
atas. Contoh lain yang mirip adalah sikap Umar terhadap tradisi Raml (lari-lari
kecil dengan mengangkat bahu pada tiga putaran pertama saat melaksanakan
68Lihat; al-Thamawi, op.cit., h.194. Dalam istilah lain, pemahaman seperti disebut sebagai penalaran ta'lili; yaitu suatu teori pemahaman yang dibangun di atas paradigma bahwa ketentuan yang diturunkan Allah (termasuk sunnah Nabi sebagai bagian organik dari al-Qur'an) untuk manusia pasti memiliki alasan logis dan hikmah yang hendak dicapainya. Sebagian alasan logis itu disebut secara eksplisit, atau hanya diisyaratkan , atau bahkan harus melalui perenungan mendalam terlebih dahulu. Namun perlu diingat bahwa terdapat alasan logis (illat hukum) yang mungkin tak dapat dijangkau, terutama di bidang ibadah. Lihat pada Dr. Alyasa Abubakar, Beberapa Teori Penalaran Fiqih Dan Penerapannya, dalam Dr. Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, l991), h. 179
69Riwayat tentang peristiwa ini, dituturkan antara lain oleh Ibnu Katsir pada Musnad al-Faruq, juz I, h. 303-304, dengan sanad yang jaiyid.
70Dalam istilah lain, penalaran semacam ini di sebut dengan penalaran bayani; yaitu pemahaman yang dibangun atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan. Lihat; Dr. Al-Yasa Abubakar,Ke Arah Ushul Fiqih Kontemporer; Sitematika Alternatif untuk penalaran, dalam Journal Ilmiyah Ar-Raniry, (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry, nomor 68, l990), h. 17
95
thawaf).71 Tradisi ini menurut Umar adalah ditujukan untuk mengkounter
anggapan orang-orang kafir, bahwa kaum muslimin itu tidak memiliki fisik yang
kuat, karena itu tidak akan mampu mengitari Ka'bah (semacam unjuk
kekuatan). Tetapi setelah orang-orang kafir sudah musnah dan Islam mengalami
kemenangan, ritus ini masih tetap diperlakukan. Umar dalam hal ini juga tidak
mampu menangkap substansi maknanya. Oleh karena itu baginya tidak ada
pilihan lain kecuali mengikuti apa yang contohkan Nabi.72
Sedangkan pemahaman Umar terhadap ketentuan sunnah Nabi yang
berkaitan dengan bidang non ibadah, sepenuhnya dilakukan secara kontekstual;
yaitu dengan mengkaitkan latar belakang historis dan tujuan yang hendak
dicapai oleh sunnah Nabi tersebut. Hal ini diperlihatkan misalnya ketika
memahami penjualan ummu al-walad, talak tiga dalam satu majlis, hukuman
bagi peminum arak sebagaimana tergambar pada contoh dalam pembahasan di
atas.
Ketika memahami kasus penjualan ummu al-walad misalnya, Umar tidak
saja mengkaitkan dengan sosio-historis yang melatari kebolehan penjualannya di
zaman Nabi, tetapi ia juga mengkaitkan dengan kehendak ideal dari syari'at
Islam yang berkaitan dengan perbudakan dan emansipasinya di bawah sinaran
dan jiwa al-Qur'an. Kemudian diproyeksikannya kedalam kondisi aktual yang
sedang dihadapi.
Secara sitematis, pemahaman Umar ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, memahami sunnah Nabi melalui pendekatan sosio-historis;
artinya pernyataan dan aktivitas Nabi yang spesifik (misalnya Nabi membiarkan
praktik penjualan ummu al-walad pada zamannya) difahami dengan mengkaji
(secara terkait) situasi aktual, di mana pernyataan atau aktivitas Nabi itu hadir
sebagai jawabannya, dan pada saat yang sama situasi umum (makro) masyarakat
(seperti struktur, tradisi dan istitusi-institusinya) juga disertakan dalam konteks
pemahamannya (misalnya perbudakan merupakan bagian inhern dari struktur
masyarakat yang ada saat itu).73 Dengan demikian situasi historisnya dapat
dipahami, dan pada gilirannya akan difahami pula mengapa dan untuk tujuan apa
71Ibnu Katsir, op.cit., h. 31772Ibid., h. 316. Lihat pula pada al-Thamawi, op.cit, h. 19373Lihat catatan kaki pada nomor 35
96
pernyataan atau aktivitas Nabi tersebut hadir sebagai responnya (jawabannya).
Mengetahui dan memahami setting sosial yang melatari ketentuan Nabi
ini sangat bermanfaat guna mengetahui ide dan spirit yang dikehendakinya secara
utuh, sebab jika ia difahami dengan memisahkan asumsi-asumsi sosialnya, maka
sangat mungkin terjadi distorsi informasi dan kesalah fahaman.74 Sebagai
wacana teks, sunnah Nabi sesungguhnya menyimpan sekian banyak gagasan
yang hendak disajikan. Oleh karena itu tanpa memahami motif, suasana
psikologis, dan sasaran yang hendak dituju (terbayangkan) oleh
penyajinya sendiri, akan menimbulkan kesalah fahaman.75
Dalam konteks ini, Fazlur Rahman menyatakan bahwa wahyu yang
disampaikan Nabi ataupun perbuatan yang dilakukan, tidak dapat terlepas dari
situasi historis yang aktual pada masanya.76 Ia tidak muncul dalam suatu
kevakuman (tetapi sebagai solusi terhadap masalah-masalah aktual). Sungguhpun
begitu sebagai bagian organik dari al-Qur'an (bayan), sunnah Nabi harus bisa
menembus dan melampaui konteks historisnya.
Dari uraian di atas, kejian mendalam terhadap latar sosio-historis (sabab
wurud) pernyataan atau aktivitas Nabi memiliki nilai amat penting, sebab ia akan
mengantar untuk mengidentifikasi dan memahami setepat mungkin
hubungan antara pernyataan legalnya dengan tujuan yang berkelindan
dengannya yang dikandung oleh pernyataan tersebut.
Kedua, memahami sunnah Nabi melalui pendekatan tematik
(maudlu'i); artinya Umar tidak hanya memperhatikan satu pernyataan atau
aktivitas tertentu yang dilakukan Nabi, tetapi ia hubungkan dan bandingkan
dengan pernyataan atau aktivitas beliau ya.0ng lain, bahkan dengan al-Qur'an
yang membahas persoalan sama. Dalam kasus penjualan ummu al-walad di atas
misalnya, Umar mengaitkannya dengan ketentuan Nabi yang lain dan idealisme
74Qamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, l996), h. 23
75Ibid., h. 2. Dalam konteks ini Umar adalah orang yang hadir ketika Nabi berbicara atau melakukan aktivitas. Oleh karena itu kesan yang ditangkapnya akan lebih lengkap dibanding dengan orang (generasi) yang tidak dapat menyaksikan langsung, dan hanya mendengar dari penuturan orang kedua, ketiga dan seterusnya. Apalagi bagi generasi belakangan yang hanya membaca teks tertulis dari sunnah Nabi.
76Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka, l984), h. 14
97
al-Qur'an tentang perbudakan. Dengan begitu, akan dapat difahami esensi
sebenarnya dari idealisme yang dicita-citakan oleh sunnah Nabi dalam kaitannya
dengan masalah perbudakan, termasuk penjualan ummu al-walad.
Pemahaman semacam ini sangat penting untuk dilakukan, guna
mengetahui struktur sunnah Nabi; mana bagian yang berbicara tentang das sein
(realitas yang ada), dan mana bagian yang berbicara tentang das sollen (realitas
ideal sebagai cita-cita). Bagian kategori pertama berfungsi membeberkan
realitas yang menjadi tantangan kaum muslimin, sementara bagian kategori yang
kedua berfungsi menegaskan tujuan kemana seharusnya ikhtiyar kaum
muslimin harus ditambatkan.77
Melalui pemahaman semacam ini, maka sikap Nabi yang membiarkan
berlangsungnya jual beli ummu al-walad di masanya, tidak bisa dinilai sebagai
legislasi yang final dan kongklusif. Ketetapan itu hanyalah merupakan solusi
yang bersifat sementara dan ad-hoc, sesuai dengan problem aktual yang
dihadapinya. Sementara itu legislasi ideal yang mesti diperjuangkan ialah upaya
pembebasan secara bertahap.
Demikian pula kasus talak tiga dalam satu majlis. Sikap Nabi yang
menetapkan talak tersebut sebagai talak satu bagi Rukanah, juga tidak bisa
dipandang sebagai kesimpulan hukum yang final dan konklusif, karena legislasi
ideal yang mesti diperjuangkan adalah praktik talak yang baik dengan tetap
menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum wanita (Tasrihun bi ihsan). Dengan
77Bandingkan dengan pernyataan Syeh Muhammad al-Ghazali dalam, Studi Kritis Atas Hadits Nabi, (Bandung: Mizan, l989), h. 39; Dalam konteks kajian ini ia nyatakan bahhwa di antara manfaat kajian hadits secara tematik adalah sangat berguna untuk mengetahui antara ajarannya yang qoth'i dan yang dzanni; Bandingkan pula dengan Abdullah Ahmad al-Na'im, op.cit, h. 330-333; Fazlur Rahman, Islam...op.cit., h. 44-45; Dalam kajian bayani pemahaman tematik ini berguna untuk mengetahui antara pernyataan yang mutlak dengan yang muqayyad, antara yang umum dengan yang khusus, dan antara yang muhkam dengan yang mutasyabih. Selajutnya lihat Yusuf Qardlawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi, (Bandung: Karisma, l993), h. l06; Dalam suatu uraian terdapat suatu pendapat yang menyatakan bahwa makna muhkamat adalah mengacu kepada ajaran-ajaran yang qath'i, yaitu ajaran yang bersifat primer sebagai peneguhan terhadap nilai-nilai dasar yang substansial dan universal. Sedangkan istilah mutasyabihat mengacu kepada ajaran yang dhanni, yang berfungsi sebagai methode (syari'at, tariqat, cara), yang bersifat skunder untuk merealisasikan ajaran yang bersifat primer, seperti keadilan, kemaslahatan dan lain sebagainya. Selanjutnya lihat pada Masdar F. Mas'udi, Agama Keadilan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, l99l), h. 19-21. Sementara itu Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi menyatakan bahwa yang menjadi tambatan hukum yang harus diperjuangkan (ghayah) oleh syari'at adalah kemaslahatan. Di mana saja ditemukan kemaslahatan, maka di sanalah hukum Allah. lihat Al-Madkhal ila Ilmi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Kitab al-Jadidah, l965), h.l6
98
demikian jika sekiranya ketetapan Nabi sebagaimana diterapkan kepada
Rukanah tersebut sudah tidak efektif lagi untuk mencapai kondisi tasrihun bi
ihsan, maka seorang hakim bisa mengembangkan preseden yang telah ditetapkan
Nabi tersebut sesuai tuntutan kemaslahatan (obyektif universal, bukan
kemaslahatan subyektif personal). Maka kebijakan Umar menetapkan talak tiga
dalam satu majlis, menjadi talak bai'n, adalah mengacu kepada pertimbangan
semacam ini.
Ketiga, memproyeksikan pemahaman yang telah dilakukan ke dalam
konteks kekinian; Artinya pemahaman yang telah diperoleh melalui dua
pendekatan di atas, dipertemukan secara dialektik dengan problem kontemporer
yang sedang dihadapinya (aktual). Oleh sebab itu maka pengkajian secara
mendalam terhadap situasi kekinian harus dilakukan se-kritis mungkin, guna
memperoleh pemahaman yang tepat tentang karakteristik dan prinsip-prinsip
yang dimilikinya.78 Sehingga penerapan hukum yang dilakukan benar-benar
sesuai dengan konteksnya.
Hukuman peminum arak misalnya, pada zaman Nabi dan Abu Bakar
serta pada awal pemerintahan Umar, ditetapkan sebanyak empat puluh kali
dera(pukulan). Hal ini dilakukan atas pertimbangan situasi di mana
pengkonsumsian arak jarang ditemukan, dan kalaupun ada tidak sampai
mengganggu keserasian sosial. Kaum Muslimin sudah memiliki kesadaran yang
tinggi untuk mematuhi larangan agama, dan semakin menyadari akan bahaya
yang dikandung oleh pengkonsumsian arak. Sementara itu idealisme syari'at
Islam (termasuk sunnah Nabi) adalah terhapusnya pengkonsumsian arak sama
sekali dalam masyarakat. Dengan demikian hukuman empat puluh kali dera
tersebut memiliki relevansi yang cukup signifikan dengan cita-cita ideal yang
diharapkan, dan pada saat yang sama masih cukup efektif untuk melindungi dan
mengawal cita ideal yang diharapkan tersebut. Akan tetapi ketika mamasuki
paruh terahir(paruh ke dua) masa pemerintahan Umar,(di mana wilayah
penaklukan semakin luas, dan kesejahtraan ummat semakin baik ), maka
78Kajian kritis terhadap situasi kekinian ini amat penting, guna mengetahui apakan perubahan yang terjadi itu benar-benar fundamental atau hanya bersifat artifisial belaka. Secara lebih ditel bisa dilihat pada Fazlur Rahman, Metode Alternatif Neo Modernisme Islam, (Bandung: Mizan, l993), h. 5l.
99
kecenderungan hidup mewah mulai muncul, dan pada saat yang sama
kecenderungan pengkonsumsian arak mulai meningkat, bahkan cenderung
melecehkan dan tidak memperdulikan ancaman hukuman yang telah ditetapkan
(empat puluh kali dera).79 Atas pertimbangan ini Umar menyetujui tambahan
hukuman menjadi delapan puluh kali dera.
Bercermin kepada pemahaman Umar di atas, secara teoritis, dengan
adanya perubahan situasi dan kondisi, hukum bisa saja penerapannya terjadi
perubahan,80 tetapi tidak mesti harus berubah, sebab banyak sekali ketentuan
hukum yang dicanagkan oleh Nabi, tetap memiliki relevansi dan efektifitas
cukup tinggi dalam mengawal cita-ideal yang ingin dicapai oleh Syari'at
(mewujudkan prinsip-prinsip yang hendak dicapai oleh suatu ajaran). Larangan
Nabi tentang jual beli arak misalnya, adalah dicanangkan untuk mencapai
kemaslahatan manusia, yaitu sebagai tindakan preventif demi melindungi
kepentingan dlaruri berupa akal.81 Ketentuan ini pada masa Nabi dinilai
memiliki hubungan yang relevan dengan larangan minum arak, serta memiliki
efektifitas yang tinggi untuk menekan kecenderungan pengkonsumsian arak.
Sementara itu pada masa Umar (bahkan mungkin sampai kini), korelasi
tersebut agaknya masih cukup tinggi. Itulah sebabnya maka Umar tidak
memandang perlu melakukan upaya modifikasi dengan mencari trobosan baru,
guna meningkatkan nilai efektifitasnya. Pemberlakuan larangan jual beli arak
agaknya masih dipandang cukup relevan, sehingga tidak perlu misalnya
memberikan sangsi hukuman kepada para penjual arak. Jadi yang menjadi
tambatan perlu atau tidaknya modifikasi hukum adalah nilai kemaslahatan
79Abu Subhah, op.cit., h. 274. Lihat pula Dr. Ruwai'i al-Ruhaili, Fiqih Umar,(Jakarta: Purtaka al-Kautsar, l994), jilid II, h. 94-95
80Bandingkan dengan misalnya Ibnu al-Qayyim, I'lam al-uwaqqi'in...op.cit., h. l481Bandingkan misalnya dengan Dr. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran
Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, l99l), h. 129-130; Diharamkannya arak bagi kaum muslimin adalah demi melindungi akal, maka melarang penjualannya berfungsi sebagai instrumen yang mendukung larangan bersangkutan. Dengan begitu larangan jual beli arak berfungsi preventif.
100
manusia,82 sejalan dengan missi karasulan Muhammad sendiri sebagai rahmat
bagi semesta.
Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
sunnah Nabi, bagi Umar bin al-Khatthab, bukan semata apa yang secara harfiyah
dikatakan oleh Nabi saw. dan bukan pula yang secara lahiriyah diperbuatnya.
Sunnah Nabi adalah sesuatu yang kontekstual dan historis, yaitu makna atau ide
dan cita-cita yang ada dibalik perkataan dan perbuatan beliau.83 Dengan
demikian maka sunnah Nabi berbeda dengan istilah hadits Nabi. Jika hadits
adalah riwayat verbal dan formal tentang apa yang diucapkan, dilakukan dan
ditaqrirkan Nabi, maka sunnahnya adalah sekaligus sepirit dan substansi yang
ada dibalik apa yang disebut hadits tersebut.
Untuk menangkap sunnah Nabi tidak cukup hanya dengan membaca
teksnya saja (walaupun hal ini juga penting), sebab yang dipotret oleh teks,
sebagian besar baru lapisan permukaannya saja. Apabila hendak dipahami,
mesti melalui kajian sosio-historis, dan bila perlu melalui psico-analisis. Sebab
Nabi, meski selalu berada dibawah pengawasan wahyu, adalah seorang yang
berbicara untuk manusia. Apa yang diperbuat dan dikatakannya adalah
refleksi dari responnya terhadap kenisbian waktu, tempat dan situasi di mana ia
berada.
Bertitik tolak dari pengertian sunnah Nabi seperti tersebut terahir di
atas, maka otoritasnya - sebagai konsekuensi logis - tidak terletak semata
pada makna lahiriyahnya sebagai laporan verbal, tetapi lebih terletak pada
totalitas kandungannya, termasuk kekuatan sosiologis yang mendorong
munculnya sebuah sunnah Nabi (kekuatan yang mendorong lahirnya
kebijaksanaan Nabi). Pandangan ini agaknya tidak mengenal pemisahan 82Ibnu al-Qayyim, loc.cit., Bahwa syari'at dibangaun atas landasan demi meraih hikmah
dan kemaslahatan manusia di dunia dan ahirat, yaitu terlaksananya keadilan, cinta kasih, kemaslahatan dan kebijaksanaan, maka setiap masalah yang menyimpang dari tujuan tersebut, tidak bisa disebut syari'at. Bandingkan dengan Dr. Husen Hamid Hissan, Nadhariyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar al-Nahdlah al-Arabiyah, l97l), h. muqaddimah.
83Bandingkan dengan definisi Kalam Allah yang dirumuskan Imam Asy'ary. Al-Syahrastani menyatakan : "Kalam Allah, menurut al-Asy'ary, adalah makna yang berdiri di luar kata-kata. Kata-kata atau bahasa yang sebagaimana diturunkan atas lisan Malaikat kepada para Nabi, hanyalah simbul atas kalam azali. Simbul (bahasa) adalah mahluk yang baru, sedangkan makna yang disampaikan melalui simbul adalah yang qadim dan azali. Lihat al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, (Bairut: Dar al-Fikr, tth), h. 96
101
berbagai kapasitas yang disandang Nabi. Jadi semua sunnah Nabi yang
bersifat tasyri'i (baik berkaitan dengan kapasitas sebagai Rasul, sebagai qadli,
dan sebagai kepala negara) memilki otoritas yang mengikat. Hanya saja daya
ikat itu tidak terletak semata-mata pada makna lahiriyahnya secara verbal, tetapi
lebih pada sistem nilai dan prinsip-prinsip yang terdapat pada totalitas
kandungannya, termasuk kekuatan-kekuatan yang ada dibelakangnya.
Sungguhpun demikian, berhubung ketentuan dan petunjuk Nabi itu
biasanya diberikan untuk merespon situasi tertentu (husus), dan hal ini tidak
akan terulang secara persis, maka ia (sunnah Nabi) tidak bersifat statis, karena
itu ia bisa diapresiasi (melalui penafsiran) secara kreatif dan dinamis, sesuai
dengan bentuk-bentuk sosial yang beraneka ragam. Sesuai dengan fungsinya
sebagai petunjuk, maka sunnah Nabi umumnya84 lebih bersifat indikatif.
Namun demikian, ia sebagai ajaran Nabi yang berfungsi sebagai hidayah harus
mampu menembus batas-batas konteks historisnya.
Pandangan Umar ini agaknya dipengaruhi oleh kedalaman pengtahuan dan
kemampuannya dalam menangkap jiwa dan tujuan syari'ah dalam
merealisasikan kemaslahatan dan menghindar dari kerusakan85 Ketentuan Nabi
yang pada umumnya terkait dengan kekuatan sosio-historisnya, ditangkap oleh
Umar sebagai kebijakan yang mengacu ke arah terwujudnya kemaslahatan.86
Umar adalah salah satu dari sahabat dekat Nabi, sehingga selain telah
memperoleh pengjaran al-Qur'an, juga telah mendapatkan pengajaran tentang
kebijaksanaan (al-hikmah) dari Nabi. Sehingga sunnah Nabi itu dapat terserap
ke dalam kepribadiannya dan membentuk wawasan etis pada dirinya87
84Dikatakan umumnya karena ada beberapa ketentuan Nabi yang tidak bisa dijangkau maknanya, terutama menyangkut ibadah murni. Terhadap ketentuan seperti ini bagi Umar tidak ada pilihan lain kecuali mengikutinya secara tekstual.
85Muhammad Anis Ubbadah, op.cit., h. 56. Sebagai bandingan lihat QS. al-Ambiya':107; QS.al-Naml:77; al-Jatsiyah: l9; al-Isra': 82; Yunus: 57; al-A'raf: l53, 203; al-Hajj: 78 dan al-Ma'idah: 7. Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa syari'at itu dicanagkan Tuhan (termasuk Muhammad sebagai Rasul-Nya), ditujukan untuk kemaslahatan hamba-Nya di dunia untuk menuju ahirat. Keterlibatan Umar hidup bersama Nabi juga menjadi salah satu faktor yang banyak membantunya dalam memahami syari'at islam, berikut jiwa dan karakter yang dikandungnya, sebab ajaran Nabi itu telah terserap (terinternalisasi) kedalam jiwa Umar dan kepribadiannya.
86Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, l992), h. 406
87Di dalam surat al-Baqarah: 151 dan al-Nisa': 113 dijelaskan bahwa Nabi memperoleh pengajaran dari Allah berupa al-Kitab (al-Qur'an), kebijaksanaan (al-hikmah) dan sesuatu yang
102
Oleh karena itu apabila keputusan Umar dibaca semata-mata sebagai
riwayat yang berdiri sendiri, maka akan menimbulkan kesan berbeda dengan
keputusan Nabi, dan oleh karenanya tidak memiliki dayaguna dan manfaat
dalam konteks pengembangan pemikiran di bidang hukum dan hadits Nabi.
Namun bila difahami dengan mengaitkan kekuatan sosio-historis yang
melatarinya (mengapa Umar membuat keputusan berbeda dengan ketetapan
Nabi), maka akan memiliki manfaat sangat besar,88 terutama bagi perumusan
kaidah pengembangan pemikiran hukum dimasa sekarang, dan masa datang,
sehingga mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengantisipasi dan
menghadapi problem aktual sepanjang masa, sesuai dengan adagium "al-Islam
shalihun li kulli zaman".
Salah satu contoh bisa diambil, misalnya tentang obyek yang dikenai
zakat dari hasil pertanian. Dalam salah satu instruksinya, Nabi menyatakan agar
(para Amil zakat) tidak memungut zakat dari hasil pertanian (al-zauru') kecuali
empat macam komoditi; yaitu gandum kering, gandum basah, zabib dan kurma.89
Sampai saat ini komoditas hasil pertanian selain empat macam di atas,
seperti tebu, cengkeh, kelapa, buah-buahan, sayur-sayuran, kopi dan lain
sebagainya, masih diperdebatkan di kalangan para ulama. Padahal telah jelas
bahwa komoditas tersebut berdaya-guna dan memiliki nilai ekonomis yang
tinggi.
Apabila kita pergunakan pola pemahaman Umar diatas, maka
kesimpulannya sangat jelas dan akan membantu memecahkan perbedaan
pendapat yang ada. Melalui kajian sosio-historis, diketahui bahwa pada
masa Nabi, selain empat macam komoditas pertanian di atas, tidak memiliki
nilai ekonomis yang tinggi. Ekonomi pertanian pada saat itu masih bertumpu
pada empat macam komoditas di atas. Oleh karena itu jika sekiranya pada
(sebelumnya) Nabi tidak mengetahuinya ('allamakum ma lam takun ta'lam). Sedangkan dalam surat al-Baqarah: 129 dan 'Ali 'Imran: 164 diterangkan bahwa selain mengajarkan al-Qur'an kepada umatnya, Nabi juga mengajarkan al-hikmah (kebijaksanaan), atau dalam istilah yang populeh mengajarkan sunnah. Oleh karena itu Umar sebagai sahabat dekat Nabi telah mewarisi kebijaksanaan (hikmah) yang telah diajarkan oleh Nabi.
88Fazlur Rahman, Membuka ... op.cit., h. 26989lihat;Ibnu Katsir, op.cit., h. 249; Dalam riwayat Abi Syaibah dan Daraquthni, empat
macam komoditi tersebut berupa gandung kering dan basah serta kurma dan anggur (bukan zabib); lihat pula pada Abu Ubaidah al-Qasim Ibnu Salam, Kitab al-Amwal, (Bairut: Dar al-Fikr, l988), h. 567; Yusuf Qardlawi, Fiqh al-Zakat, (Bairut: Mu'assasah al-Risalah, l99l), juz I, h. 349-350
103
zaman Nabi, selain empat macam komoditas di atas juga memiliki nilai
ekonomis, maka dapat diduga kuat akan dikenai pungutan zakat pula.
Kemudian melalui kajian tematik (al-jam'u, atau populer dengan
sebutan maudlu'i), akan diketahui bahwa zakat itu dipungut dari orang-orang
kaya, demi tegaknya tatanan kehidupan yang adil dan seimbang. Banyak sekali
hadits maupun ayat al-Qur'an yang memberikan isyarat bahwa beban membayar
zakat itu merupakan kewajiban orang-orang kaya, untuk membiayai kebutuhan
upaya pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur, termasuk di
dalamnya mengentas kemiskinan, kebodohon dan keterbelakangan ummat.
Apabila hal ini diproyeksikan pada kehidupan saat ini, maka menjadi
sangat jelas bahwa komoditas pertanian jenis apapun yang memiliki nilai
ekonomis dan berdaya-guna, akan dikenai pungutan zakat.
Di bidang ibadah ambil contoh misalnya tentang ihram dari miqat
makani bagi orang yang naik pesawat terbang. Selama ini diperdebatkan apakah
diijinkan berihram dengan mengambil miqat kota Jedah.
Ketika Nabi menjelaskan tentang miqat makani, beliau telah menetapkan
tempat-tempat tertentu, misalnya Yalamlam bagi jamaah yang datang dari daerah
Yaman dan yang searah dengannya, termasuk Indonesia. Bagi orang yang
berpegang secara ketat dengan ketentuan ini, akan menganggap bahwa miqat
jamaah hajji dari Indonesia adalah di dalam pesawat ketika memasuki daerah
yang sejajar dengan Yalamlam, walaupun secara tehnis sulit dilakukan dengan
sempurna.
Melalui kajian sosio-historis, tujuan penetapan Nabi terhadap tempat-
tempat tersebut (sebagai miqat), adalah karena merupakan pintu gerbang
memasuki kota Makkah. Kini kota Jeddah adalah pintu gerbang kota Makkah
bagi jamaah yang datang dengan menggunakan pesawat terbang. Dalam pada itu
melalui melalui kajian tematik (al-jam'u), orang yang mengawali ihram
disunnahkan melakukan persiapan yang baik dengan melakukan beberapa
perbuatan yang dianjurkan (disunnahkan). Sementara itu hal ini tidak akan
dapat dikerjakan dengan sempurna di dalam pesawat yang sedang terbang pada
ketinggian tertentu. Bahkan bila dipaksakan akan berbahaya bagi keselamatan
104
penumpang. Maka atas pertimbangan ini tidak ada salahnya menjadikan kota
Jeddah sebagai miqat makani, demi kemaslahatan para jamaah.90
Dalam konteks yang mirip, Umar telah menetapkan Dzat al-Iraq sebagi
miqat makani bagi jamaah yang datang dari arah Iraq, atas pertimbangan
kemaslahatan.91
Akan tetapi berbeda dengan hal di atas, mengenai persoalan ibadah
yang tidak bisa difahami maknanya, dan tidak ada alasan yang kuat untuk
melakukan modifikasi hukum (karena tidak ada kemaslahatannya), maka Umar
dalam hal ini hanya memahami dan melaksanakannya secara tekstual.
90Bandingkan dengan penjelasan Prof. Dr. Quraish Shihab, Reaktualisasi dan Kritik, dalam Prof. Dr. H. Munawir Sadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: IPHI dan Paramadina, l995), h. 327
91Ibnu Katsir, op.cit., h. 300
105