Download - Hospital Majapahit Vol 2 No 1
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
1/113
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
2/113
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
3/113
PENGANTAR REDAKSI
Tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi semua merupakan visi kesehatan Indonesia yang
rencananya akan dicapai pada tahun 2015 menimbulkan implikasi yang kuat bagi masyarakat semua
golongan. Sehingga diperlukan upaya pengembangan status kesehatan bagi semua golongan, diawali dengan
penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan derajat kesehatan bagi semua. Jurnal ini disusun untuk
mengungkap artikel yang berdasarkan pada semua penelitian dasar bidang kesehatan yang dilaksanakanpada semua golongan umur di Indonesia khususnya wilayah Jawa Timur.
Artikel yang pertama adalah tulisan dari Dwi Harini Puspitaningsih, dosen Poltekkes Majapahit yang
mengungkap tentang Pengaruh Senam Otak Terhadap Perubahan Perilaku Anak Attention Deficit And
Hyperactivity (ADHD) Penelitian Quasi Eksperimental Di Sekolah Anak Bermasalah (SAB) Harapan Aisyiyah
Mojokerto. Artikel ini menjelaskan bahwa terjadi perbedaan perubahan perilaku anak ADHD pada kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan setelah diberikan senam otak. Hal ini terjadi karena pada kelompok kontrol
tetap diberikan terapi lain yang biasa digunakan, sedangkan pada kelompok perlakuan diberikan tambahan
senam otak sehingga perubahan perilaku yang didapatkan pada kelompok perlakuan lebih besar. Perubahan
perilaku anak ADHD terjadi setelah diberikan senam otak pada kelompok perlakuan. Hal ini disebabkan
senam otak merupakan gerakan integrative yang mengoptimalkan kerja otak dan keseimbangan otak kanan
maupun otak kiri sehingga emosi dan perilaku anak ADHD menjadi lebih stabil dan terkontrol. Senam otak
mempengaruhi perubahan perilaku anak ADHD dengan mengaktifkan jembatan hemisfer otak kanan dan kiri,merangsang arus informasi dalam otak dan system syaraf sehingga koordinasi otak kanan dan kiri menjadi
efektif dan efisien.
Artikel yang kedua ditulis oleh Tri Peni dengan judul Hubungan Pendidikan Ibu Dengan Perilaku Ibu Dalam
Pencarian Pengobatan Balita Pneumonia Di Kabupaten Purworejo. Artikel ini menjelaskan bahwa pendidikan
ibu secara statistik mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan
balita pneumonia di kabupaten Purworejo, sedangkan variabel lain yang secara statistik mempunyai
hubungan yang bermakna dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di kabupaten
purworejo adalah status ekonomi dan penyuluhan. Sehingga perlu adanya pendidikan non formal pada
masyarakat khususnya pada ibu yang berpendidikan rendah yaitu dengan mengadakan penyuluhan tentang
tanda dan gejala pneumonia dengan bahan dan bentuk penyuluhan yang lebih inovatif. Hal ini dapat
dilakukan dengan bekerja sama pada media cetak (Koran, majalah) atau media elektronik (radio, televisi,
internet). Untuk lebih menambah daya tarik bisa disertakan gambar. Lebih memperhatikan Askeskin bagimasyarakat tidak mampu (ekonomi rendah), dengan melakukan seleksi sasaran secara tepat dan bagi
petugas kesehatan tidak boleh membedakan antara pasien Askeskin dan yang bukan Askeskin.
Artikel yang ketiga ditulis oleh dr. Achmad Husein yang membahas tentag faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Sumberrejo
Situbondo. Artikel ini menjelaskan bahwa ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan umur, tidak ada
pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan jenis kelamin, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies
dengan pendidikan, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan tingkat pengetahuan, ada pengaruh
antara penyakit kulit skabies dengan personal hygiene, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan
kepadatan penghuni kamar. Para santri harus membiasakan diri untuk berperilaku sehat dan selalu menjaga
kebersihan dan meningkatkan personal hygiene sedangkan pengasuh pondok pesantren seharusnya
memperhatikan kebersihan dan tingkat kepadatan kamar santri.
Artikel yang keempat ditulis oleh dr. Rahmi Syarifatun Abidah yang membahas tentang tingkat kecemasan
ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan di Poli kandungan RSUD. Prof. Dr. Soekandar
Mojosari Mojokerto. Artikel ini menjelaskan bahwa sebagian besar responden mengalami kecemasan ringan
dengan prosentase 6,6% sedangkan yang mengalami kecemasan sedang dengan prosentase 73,3% dan 20%
mengalami kecemasan berat. Oleh sebab itu tenaga kesehatan seharusnya memberikan dukungan secara
psikologis pada klien agar tingkat kecemasan ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan
bisa berkurang.
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
4/113
Artikel yang kelima ditulis oleh Yudha Laga Hadi Kusuma yang membahas tentang Tingkat Ketergantungan
Lansia Dalam Aktivitas Hidup Sehari-hari di Panti Sosia Tresna Wreda (PSTW) Jombang. Artikel ini
menjelaskan bahwa sebanyak 22 lansia dengan prosentase 45,8 %, lansia mengalami ketergantungan
moderat. Hal ini sesuai dengan kriteria penilaian kemampuan fungsional yang telah dimodifikasi dari indeks
barthel, sedangkan 7 lansia termasuk dalam ketergantungan berat atau sangat tergantung dengan prosentase
14,6%, 8 lansia termasuk dalam ketergantungan ringan dengan prosentase 16,7%, dan 11 lansia termasuk
mandiri 22,9%. Sehingga perlu diupayakan untuk melatih kemampuan secara fisik dan memberi motivasipada lansia bahwa mereka mampu melakukan segala aktivitasnya tanpa tergantung orang lain.
Artikel yang keenam ditulis oleh Nati yang membahas tentang Faktor-faktor yang melatarbelakangi
pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Pada Bayi Usia 0-6 bulan di desa Simongagrok Dawar
Blandong Mojokerto. Artikel ini menjelaskan bahwa pengetahuan ibu tentang pemberian MP-ASI adalah
kurang sebanyak 57,143%, pendidikan umumnya SMP/ MTs sebesar 47,619%, penghasilan umumnya < 500
ribu rupiah sebanyak 61,905%. Selain itu faktor-faktor yang melatarbelakangi tidak diberikannya ASI
eksklusif adalah karena ASI tidak cukup dan ibu bekerja dengan prosentase 66,667% sedangkan alasan yang
melatarbelakangi dalam pemberian MP–ASI terlalu dini adalah karena para ibu menginginkan bayinya cepat
sehat sebanyak 47,619%. Pemberian MP–ASI yang terlalu dini pada bayi masih banyak ditemukan di
masyarakat seperti pemberian makanan berupa pisang, madu, air tajin, air gula, susu formula dan makanan
lainnya. Padahal MP-ASI baru boleh mulai diperkenalkan sejak bayi berusia 6 bulan. Karena jika pemberian
MP – ASI diberikan terlalu dini akan berdampak pada timbulnya penyakit pada bayi seperti Diare danMalnutrisi.
Artikel yang ketujuh ditulis oleh Nurul Aini, yang membahas tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi
perilaku merokok pada remaja di SMK “ Raden Patah” Kecamatan Mojosari Mojokerto. Artikel ini
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku merokok di SMK “Raden Patah” Kecamat an
Mojosari Kabupaten Mojokerto antara lain: faktor pengetahuan responden sebagian besar pada kategori
pengetahuan kurang sebanyak 91 orang dengan prosentase 94,8% dan tidak ada responden pada kategori
pengetahuan baik, faktor psikologi responden sebagian besar pada kategori mendukung sebanyak 72 orang
dengan prosentase 75% dan sebagian kecil pada kategori tidak mendukung sebanyak 24 orang dengan
prosentase 25%, faktor lingkungan responden sebagian besar pada kategori tidak mendukung sebanyak 52
orang dengan prosentase 54,2% dan sebagian kecil pada kategori mendukung sebanyak 44 orang dengan
prosentase 45,8%. Oleh karena itu petugas kesehatan mempunyai peranan yang sangat penting untuk dapat
memberikan penyuluhan tentang bahaya perilaku merokok sehingga remaja dapat lebih waspada terhadapbahaya perilaku merokok.
Mojokerto, Februari 2010
Redaksi
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
5/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
1
PENGARUH SENAM OTAK TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU ANAK ATTENTION DEFFICIT AND HYPERACTIVITY (ADHD)
PENELITIAN QUASY-EXPERIMENTAL DI SEKOLAH ANAK BERMASALAH (SAB)HARAPAN AISYIYAH MOJOKERTO
Dwi Harini, S. Kep. NersDosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) represents disparity which is marked by 3
main symptoms of emotion; that is inattention, hyperactivity, and impulse behavior. Brain gym
plays a part in the balance of left and right brain so that the balance of emotion also will be
reached. However, the influence of brain gym on behavioral changes in children with ADHD has not
known yet clearly. The goal of this research is to analyze the influence of brain gym on behavioral
changes in ADHD children.Quasy experimental pre-post test design was used in this study. 14 respondents (ADHD children) in
SAB Harapan Aisyiyah Mojokerto were selected and divided into 2 groups of 7 experiment and
control group. The intervention was brain gym for a month (3 times a week). There are two
variables used here; they were brain gym as independent variable and behavioral changes of ADHD
as dependent variable was. Data were taken from questionnaire and observation of respondents.
Then, the data were presented as descriptive statistics and statistical analysis was carried by using
Wilcoxon Signed Rank Test with significance level = 0,05 and Mann-Whitney Test with significance
level = 0,05 and analyzed by using software SPSS 12.0.
Finally, the results showed that there was influence of brain gym to behavioral changes of ADHD
children (p=0,007). In conclusion, routine barin gym can cause behavioral changes in ADHD
children as marked by better attention, more controlled activity, and decrease of impulsive
behaviour. Further research is required by involving larger number of respondents, longer than amonth and better measurement so that the result will be more accurate.
Key words: brain gym, behavioral changes, children with ADHD.
A. PENDAHULUAN. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan
perilaku/perkembangan mental yang tidak sesuai yang disebabkan disfungsi neurobiologik
dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian (inatensi), hiperaktivitas, dan
impulsivitas (Landover, 2005). Anak ADHD biasanya sulit berkonsentrasi dan kurang
memusatkan perhatian karena fungsi otak kiri dan kanan mereka kurang terkoordinasi
(Olivia&Satya, 2004). 50-60% anak dengan ADHD gejalanya akan terus berlanjut hingga
saat dewasa (Wed, 2002). Bila tidak dapat diidentifikasi dan dilakukan perawatan yangsesuai, ADHD akan bedampak serius baik di lingkungan rumah, akademik, sosial maupun
lingkungan kerja.
Sekolah Anak Bermasalah (SAB) Harapan Aisyiyah Mojokerto menggunakan terapi
modifikasi perilaku dan intervensi khusus komunitas saja. Padahal, senam otak merupakan
alternative lain untuk terapi ADHD karena senam otak memungkinkan orang menguasai
bagian otak yang semula tidak dikuasainya (Kartini, 2003). Gerakan-gerakan senam otak
dapat mengaktifkan neurotransmitter yang ada di dalamnya yang berfungsi sebagai
pengendalian terhadap perilaku agresif, impulsive, serta sulit berkonsentrasi
(Dennison&Dennison, 2002) sehingga senam ini sangat cocok untuk anak yang kesulitan
belajar, dan susah berkonsentrasi.
Dari uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian guna mengetahui keefektifan
senam otak sebagai alternative terapi untuk anak penderita hiperaktif sehingga dapat
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
6/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
2
memberi masukan bagi perawat khususnya dalam memberikan asuhan keperawatan.
Penelitian ini akan mencari jawaban atas rumusan permasalahan, yaitu: bagaimana perilaku
(atensi, aktivitas, impulsivitas) anak ADHD pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah
diberikan senam otak, bagaimana perilaku (atensi, aktivitas, impulsivitas) anak ADHD pada
kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan senam otak, dan bagaimana pengaruhsenam otak terhadap perubahan perilaku (atensi, aktivitas, impulsivitas) anak ADHD.
B. TINJAUAN PUSTAKA.1. Konsep Senam Otak.
a. Pengertian.
Senam otak atau brain gym adalah serangkaian latihan berbasis gerakan tubuh
sederhana. Gerakan itu dibuat untuk merangsang otak kiri dan kanan (dimensi
lateralitas); meringankan atau merelaksasi belakang otak dan bagian depan otak
(dimensi pemfokusan); merangsang sistem yang terkait dengan perasaan/emosional,
yakni otak tengah (limbis) serta otak besar (dimensi pemusatan) (Anonim, 2008).
Menurut Paul E. Denisson, Ph.D., ahli senam otak dari lembaga Educational Kinesiology,
Amerika Serikat, meski sederhana, brain gym mampu memudahkan kegiatan belajar
dan melakukan penyesuaian terhadap ketegangan, tantangan, dan tuntutan hidup
sehari-hari (Paul E. Denisson Ph.D, 2008).
b. Gerakan senam otak.
Senam otak dilakukan melalui tiga dimensi, yakni lateralitas komunikasi,
pemfokusan pemahaman, dan pemusatan pengaturan. Lateralitas komunikasi (dimensi
kiri-kanan) Bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan belajar. Gerakannya
menyangkut mendengar, melihat, menulis, bergerak, dan sikap positif. Gerakan-
gerakan itu menyerap kemampuan komunikasi yang lebih cepat.
Pemfokusan pemahaman (dimensi muka-belakang) Bermanfaat membantu
kesiapan dan konsentrasi untuk menerima hal-hal baru dan mengekspresikan apa yang
sudah diketahui. Gerakan berupa latihan meregangkan otot menyangkut konsentrasi,pengertian, dan pemahaman. Misalnya dengan melipat lutut dan sikut bayi berulang
kali atau mengangkat tangan ke atas lalu digerakkan ke muka ke belakang.
Pemusatan pengaturan (dimensi atas-bawah) membantu meningkatkan energi
yang menyangkut berjalan, mengorganisasi, tes atau ujian. Hal ini bermanfaat untuk
membantu seluruh potensi dan keterampilan yang dimiliki serta mengontrol emosi,
seperti menggerakkan kepala ke atas ke bawah, mengangkat beban ringan atau benda
lainnya, kemudian digerakkan ke atas ke bawah.Senam otak ini bisa dilakukan di mana
saja, kapan saja dan oleh siapa saja termasuk bayi. Porsi latihan yang tepat adalah
sekitar 10-15 menit, sebanyak 2-3 kali dalam sehari.
Latihan terdiri dari 26 gerakan yang sederhana dan bisa dilakukan siapa saja.
Berikut enam di antara gerakan dasar senam otak untuk anda latih kapan dan dimana
saja (Febrian, 2008).
1) Gerakan Silang.
Cara: Kaki dan tangan digerakkan secara berlawanan. Bisa ke depan, samping atau
belakang. Agar lebih ceria anda bisa menyelaraskan dengan irama musik. Manfaat:
Merangsang bagian otak yang menerima informasi dan bagian yang
mengungkapkan informasi, sehingga memudahkan proses mempelajari hal-hal
baru dan meningkatkan daya ingat.
2) Olengan Pinggul.
Cara: Duduk dilantai. Posisi tangan dibelakang, menumpi ke lantai dengan siku di
tekuk. Angkat kaki sedikit lalu olengkan pinggul ke kiri dan ke kanan dengan rileks.
Manfaat: Mengaktifkan otak untuk kemampuan belajar, melihat dari kiri ke kanan,
kemampuan memperhatikan dan memahami.
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
7/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
3
3) Pengisi Energi.
Cara : Duduk nyaman di kursi, kedua lengan bawah dan dahi diletakkan di atas
meja. Tangan ditempatkan di depan bahu dengan jari-jari menghadap sedikit ke
dalam. Ketika menarik napas rasakan napas mengalir ke garis tengah seperti
pancuran energi, mengangkat dahi, kemudian tengkuk dan terakhir punggung atas.Diafragma dan dada tetap terbuka dan bahu tetap rileks. Manfaat: Mengembalikan
vitalitas otak setelah serangkaian aktivitas yang melelahkan, mengusir stres,
meningkatkan konsentrasi dan perhatian serta meningkatkan kemampuan
memahami dan berpikir rasional.
4) Menguap Berenergi.
Cara : Bukalah mulut seperti hendak menguap lalu pijatlah otot-otot di sekitar
persendian rahang. Lalu melemaskan otot-otot tersebut. Manfaat: Mengaktifkan
otak untuk peningkatan oksigen agar otak berfungsi secara efisien dan rileks,
meningkatkan perhatian dan daya penglihatan, memperbaiki komunikasi lisan dan
ekspresif serta meningkatkan kemampuan untuk memilah informasi.
5) Luncuran Gravitasi.
Cara : Duduk di kurasi dan silangkan kali. Tundukkan badan dengan lengan ke
dapan bawah. Buang napas ketika turun dan ambil napas ketika naik. Lakukan
dengan posisi kaki berganti-ganti. Manfaat: Mengaktifkan otak untuk rasa
keseimbangan dan koordinasi, meningkatkan kemampuan mengorganisasi dan
meningkatkan energi.
6) Tombol Imbang.
Cara : Sentuhkan 2 jari ke belakang telinga, pada lekukan di belakang telinga
sementara tangan satunya menyentuh pusar selama kurang lebih 30 detik. Lalukan
secara bergantian. Selama melakukan gerakan itu dagu rileks dan kepala dalam
posisi normal menghadap ke depan. Manfaat: Mengaktifkan otak untuk
kesiapsiagaan dan memusatkan perhatian, mengambil keputusan, berkonsentrasi
dan pemikiran asosiatif (Buku: Brain Gym, Paul E. Dennison PhD, Gail E. Dennison,Penerbit PT. Grasindo). Senam otak pada anak sebenarnya sangat sederhana.
Contohnya, menggerakkan anggota badan secara menyilang dengan perantara
mainan. Bisa berbentuk robot, boneka, bola, balon, atau apa saja yang sesuai
dengan usia anak. Hal yang penting, gerakan yang dilakukan anak melewati garis
tengah antara tubuh bagian kanan dan tubuh bagian kiri.
2. Konsep Usia Prasekolah (4-5 tahun).a. Pengertian usia prasekolah.
Anak usia prasekolah adalah anak dengan usia 3-5 tahun (Markum, 1991). Anak
usia prasekolah adalah masa kanak-kanak dini (prasekolah) yang berusaha
mengembalikan lingkungan dan mulai belajar menyesuaikan diri secara sosial
(Hurlock, 1998).
Bila dikaitkan dengan lembaga pendidikan prasekolah, usia prasekolah dapat
diartikan sebagai usia antara tiga sampai enam tahun dimana dalam jalur pendidikan
TK mereka dimasukkan dalam pengelompokkan sebagai berikut (Depdikbud, 1990a):
1) Kelompok A, untuk anak tiga sampai empat tahun.
2) Kelompok B, untuk anak umur empat sampai lima tahun.
3) Kelompok C, untuk anak usia lima sampai enam tahun.
Pada usia prasekolah anak memang tidak diwajibkan untuk mengikuti kegiatan
dalam suatu lembaga pendidikan prasekolah yang ada. Bila kebutuhan anak akan
suasana bermain bersama dalam kelompok di lingkungan tempat tinggalnya sudah
terpenuhi maka anak tidak perlu masuk dalam lembaga pendidikan prasekolah. Namun
di lain pihak lembaga prasekolah juga dapat dikatakan membantu mempersiapkan
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
8/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
4
anak memasuki dunia sekolah baik secara sosial, intelektual maupun emosional
sehingga dapat berpengaruh baik bagi penyesuaian diri anak dengan lingkungannya.
Sesuai dengan tahap perkembangannya maka usia prasekolah juga memliki ciri-
ciri perkembangannya sendiri.
b.
Ciri perkembangan anak usia prasekolah.Terdapat beberapa tahap dalam perkembangan pemikiran anak, yaitu:
1) Senso-motorik (dari lahir sampai dua tahun).
2) Praoperasional (dari dua sampai tujuh tahun).
3) Operasi konkret (dari tujuh sampai sebelas tahun).
4) Operasi formal (dari sebelas sampai enambelas tahun).
Mengacu pada batasan di atas berkembangnya kemampuan bahasa, anak
menjadi lebih mampu merepresentasikan dunianya melalui kesan mental dan simbol.
Namun pada tahap ini simbol sangat tergantung pada persepsi dan intuisinya sendiri.
Hal ini lebih dikenal sebagai semiotic function. Anak mulai dapat membuat
sesuatu seperti simbol mental, kata, atau obyek yang mewakili berbagai sesuatu yang
saat itu tidak ada di hadapannya.
Anak pada tahap ini sangat egosentris. Ia mulai menaruh minat pada hal-hal di
luar dirinya namun ia hanya melihat dari sudut pandangnya sendiri.
Bila disimpulkan secara sederhana ciri-ciri kognisi anak di tahap
praoperasional adalah sebagai berikut :
1) Concreteness atau berpikir secara konkret, dimana anak baru dapat berpikir
mengenai hal-hal nyata di sekelilingnya.
2) Realisme yaitu kecenderungan kuat untuk menanggapi sesuatu sebagai hal yang
riel atau nyata.
3) Egosentrisme yaitu melihat segala sesuatu dengan kacamata sendiri. Semua hal
berpusat pada si anak.
4) Animisme ialah kecenderungan untuk berpikir bahwa obyek di lingkungannya
memiliki kualitas kemanusiaan seperti yang dimiliki anak. Batu, pohon, dan lain-lainnya akan dianggap memiliki perasaan dan pikiran yang sama dengan dirinya
sendiri.
5) Centration adalah kecenderungan untuk mengkonsentrasikan diri pada hanya satu
aspek dari suatu situasi. Hal ini bisa saja bersifat fisik misalnya memperhatikan
hanya untuk satu jangka waktu tertentu.
6) Dominasi perseptual. Pemikiran anak usia prasekolah didominasi oleh persepsi
mereka sendiri atas sebuah situasi dan mereka tidak mampu merefleksikan
persepsi tersebut.
7) Perhatian pada keadaan dan bukan pada perubahan. Anak prasekolah lebih
memikirkan tentang bagaimana keadaan suatu hal sekarang ini atau hingga taraf
tertentu, akan menjadi apa nantinya. Namun ia tidak memusatkan pemikiran pada
bagaimana perubahan terjadi dari keadaan sekarang menuju keadaan nanti.
8) Irreversibility ialah kemampuan untuk berpikir tentang apa yang terjadi sekarang
dan yang mungkin terjadi dan bagaimana mencapai tujuan selanjtnya.
9) Konsep yang simplistic yaitu kecenderungan untuk berpikir secara sederhana.
Misalnya konsep ‘paman’ adalah pria setengah baya yang sering datangkepertemuan keluarga.
10) Idiosinkrotik, yaitu kecenderungan untuk menggunakan konsep-konsep yang
hanya dapat dipahami dirinya sendiri.
11) Konsep yang tidak reliable atau tidak dapat diandalkan. Hal tersebut terjadi karena
konsep yang mereka gunakan dan ciri-ciri yang mendefinisikannya dapat berubah-
ubah dengan cepat dari waktu ke waktu.
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
9/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
5
12) Kecenderungan berpikir secara absolut adalah kecenderungan untuk tidak dapat
mengubah konsep berpikir yang sedauh digunakan untuk suatu hal. Misalnya,
dalam konsep besar atau kecil, anak akan menanggapi benda yang kecil sebagai
kecil yang absolut atau besar yang absolut dan tidak dapat menerima hal-hal yang
ada diantaranya.13) Dasar berpikir sering tidak dapat dipahami. Mereka dapat bertindak seakan-akan
tindakan mereka diarahkan oleh suatu konsep namun tidak mungkin menjelaskan
konsep yang digunakan atau menggunakan konsep tersebut bila diminta.
Melihat pada ciri-ciri kognisi anak usia prasekolah tersebut di atas, maka
diperlukan pemahaman dan upaya pendekatan khusus. Artinya, pemberian
rangsangan-rangsangan mental terhadap mereka harus dilakukan secara sederhana
dan konkret, tidak melalui konsep-konsep yang abstrak, serta mempertimbangkan
keterbatasan-keterbatasan mereka dengan upaya pemdekatan yang penuh pengertian.
c. Perkembangan anak.
1) Tanda-tanda Tumbuh Kembang.
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang terjadi pada setiap
makhluk manusia. Pertumbuhan yang terjadi pada anak tidak hanya meliputi hal
yang terlihat seperti perubahan fisik, tetapi juga perubahan dan perkembangan
dalam segi lain seperti berpikir, berperasaan, bertingkah laku, bahkan dalam
berbahasa atau berkomunikasi (Soegeng, 2004).
Dalam proses perkembangan, terjadi perubahan-perubahan perilaku sosial, bahasa
dan komunikasi, maupun kognisi. Perkembangan yang terjadi pada setiap anak
dapat berlangsung dengan kecepatan berbeda untuk bidang yang berbeda. Seorang
anak yang maju dalam perkembangan motorik. Mungkin kurang maju dalam
perkembangan bahasa (Mussen, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa proses
tumbuh kembang tersebut mengikuti suatu pola tertentu yang unik untuk setiap
anak, baik dalam tumbuh kembang bagian-bagian tubuh, organ-organ, dan
jaringan maupun secara psikologis.2) Aspek Tumbuh Kembang Anak.
Ada empat aspek tumbuh kembang, yaitu :
a) Perkembangan Kemampuan Gerak Kasar, adalah gerakan yang mungkin
dilakukan oleh seluruh tubuh, yang melibatkan sebagian dari bagian tubuh
dan biasanya memerlukan tenaga karena dilakukan oleh otot-otot yang lebih
besar.
b) Perkembangan Kemampuan Gerak Halus, yaitu hanya melibatkan bagian-
bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tidak
memerlukan banyak tenaga.
c) Perkembangan Kemampuan Bicara, Bahasa dan Kecerdasan adalah
komunikasi aktif (menyanyi, berbicara) dan komunikasi pasif (mengerti dan
melakukan yang diperintahkan) perlu dikembangkan secara bertahap melalui
berbagai indra anak.
d) Perkembangan Kemampuan Bergaul dan Mandiri. Jika dalam kehidupannya
seorang anak bergantung pada orang lain dalam hal pemenuhan
kebutuhannya, maka dengan mempunyai teman seorang anak akan terpacu
untuk melakukan gerakan motorik secara lebih. Anak terdorong untuk
melakukan sendiri berbagai hal secara lebih. Anak terdorong untuk
melakukan sendiri berbagai hal dan bergaul dengan orang lain. Dengan
bertambahnya usia kemampuan ini akan lebih ditingkatkan dan anak diajar
tentang aturan-aturan, disiplin, sopan santun dan sebagainya (Depkes, 1993
dalam Soegeng, 2004).
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
10/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
6
Menurut Soegeng (2004), ada dua faktor yang mempengaruhi proses tumbuh
kembang optimal seorang anak, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar.
a) Faktor dari Dalam.
Merupakan faktor-faktor yang ada dalam diri anak itu sendiri, baik faktor
bawaan maupun faktor yang diperoleh termasuk di sini adalah :(1) Hal-hal yang diturunkan dari orang tua maupun generasi sebelumnya
yaitu warna rambut, bentuk tubuh.
(2) Unsur berfikir dan kemampuan intelektual yaitu kecepatan dalam
berfikir.
(3) Keadaan kelenjar zat-zat dalam tubuh yaitu kekurangan hormon yang
dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak.
(4) Emosi dan sifat-sifat (temperamen) tertentu yaitu pemalu, pemarah,
tertutup dan lainnya.
b) Faktor dari Luar.
Yaitu faktor-faktor yang ada diluar atau berasal dari luar diri anak, mencakup
lingkungan fisik dan sosial serta kebutuhan fisik anak.
(1)
Keluarga.
Pengaruh keluarga pada sikap dan kebiasaan keluarga dalam mengasuh
dan mendidik anak, hubungan orang tua dengan anak, hubungan antara
saudara dan lainnya, keluarga hendaknya menunjang proses
pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. Termasuk dalam hal ini
adalah usia muda ibu, jumlah anak di bawah tiga tahun yang lebih dari
satu. Ibu atau pengasuh yang tidak kompeten dalam mengasuh anak,
lingkungan hidup yang kotor dan tidak teratur. Anggota keluarga yang
tidak harmonis, kemiskinan dan ketidak cukupan, perilaku anggota
keluarga yang tidak baik.
(2) Gizi.
Keadaan gizi tergantung dari tingkat konsumsi yaitu kualitas hidanganyang mengandung semua kebutuhan tubuh. Ada tingkatan kesehatan gizi
lebih dan gizi kurang. Akibat dari gizi yang tidak baik, maka timbul yang
biasa disebut kurang gizi (malnutrisi) yang menonjol adalah kurang
kalori dan protein, vitamin A, yodium, zat besi dan lainnya.
(3) Budaya.
Faktor lingkungan masyarakat dalam hal ini asuhan dan kebiasaan suatu
masyarakat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Misalnya hal kebersihan, kesehatan dan pendidikan. Tata cara dan
kebiasaan yang diberlakukan masyarakat tidak selalu sesuai dengan
syarat-syarat kebersihan dan kesehatan. Demikian juga sikap dan
pandangan atau cara berfikir suatu masyarakat belum tentu sesuai
dengan kondisi masyarakat yang lebih luas.
(4) Teman Bermain dan Sekolah.
Lingkungan sosial seperti teman sebaya, tempat dan alat bermain,
kesempatan pendidikan yang diperoleh yaitu bersekolah akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
C. METODE PENELITIAN.1. Desain Penelitian.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian tipe quasy eksperimen, dimana desain
berusaha mengungkap hubungan sebab akibat dari senam otak terhadap perilaku anak
ADHD dengan cara melibatkan kelompok kontrol disamping kelompok eksperimental.
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
11/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
7
KERANGKA KERJA
Gambar 1. Kerangka Kerja Pengaruh Senam Otak Terhadap Perubahan Perilaku Anak
Attention Defficit And Hyperactivity (ADHD)
2. Hipotesis.a. Ha : Ada perbedaan perilaku (atensi, aktivitas, impulsivitas) anak ADHD pada
kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan senam otak pada kelompok
eksperimen
b. Ha : Ada perbedaan perilaku (atensi, aktivitas, impulsivitas) anak ADHD pada
kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan senam otakc. Ha : Ada pengaruh senam otak terhadap perubahan perilaku (atensi, aktivitas,
impulsivitas) anak ADHD.
3. Populasi, Sampel, Variabel Dan Instrumen Penelitian.Populasi dalam penelitian ini adalah anak ADHD plus (disertai gangguan perilaku
lain) di Sekolah Anak Bermasalah Aisyiyah Mojokerto, yaitu berjumlah 22 orang. Dalam
penelitian ini jumlah sampel yang digunakan adalah populasi yang berjumlah 14 orang,
yaitu yang memenuhi kriteria inklusi :
a. Anak dengan gangguan perilaku ADHD murni (tanpa gangguan perilaku lain).
b. Anak usia di bawah 8 tahun.
c. Anak bersedia diajak senam otak otak (kooperatif)
d.
Bersedia menjadi responden (diwakili oleh orang tua).
Terapi Kombinasi1. Obat
2. Diit
3. Modifikasi perilaku
4. Senam Otak
ADHDInatensi
Hiperaktivitasimpulsivitas
Gerakan senam otak
Aktifkan jembatan emas otak
Informasi neuron hemisfer otak
Koordinasi peralihan fungsi
hemisfer kanan&kiri
1. Atensi baik
2. Aktivitas terkontrol
3.
Impuls terkontrol
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
12/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
8
Penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu dengan cara memilih sampel sesuai
dengan yang dikehendali peneliti.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu: terapi senam otak
sebagai variabel bebas dan perubahan perilaku anak ADHD sebagai variabel tergantung.
Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen: untuk variabel dependenmenggunakan lembar observasi rating scale bentuk skor yang terdiri dari 18 pertanyaan
sesuai dengan gejala ADHD pada DSM-IV berdasarkan SNAP-IV Rating Scale, dan untuk
variabel independen menggunakan instrumen panduan dan keterangan senam otak serta
kaset yang digunakan sebagai iringan musik untuk senam otak.
Pengumpulan data dilakukan dengan mengacu pada kriteria inklusidengan
responden kelonpok perlakuan dan kelompok kontrol yang diberi pre-test dan post-test .
Penurunan nilai dari pre-test ke post-test menunjukkan adanya perubahan perilaku ADHD
yang lebih baik sehingga dapat diketahui progresivitas dari sampel dan efektivitas terapi.
4. Teknik Analisis Data.Data tersebut diolah dan diuji dengan menggunakan uji statistic Wilcoxon Signed
Rank Test dengan tingkat kemaknaan p 0,05 (program window SPSS) dengan skala data
ordinal. Dan untuk mengetahui adanya pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji Mann-Whitney Test dengan
tingkat kemaknaan p 0,05.
D. HASIL PENELITIAN.
Tabel 1. Distribusi pre-test dan post-test serta perubahan perilaku anak ADHD sebelum
dan sesudah diberi senam otak di SAB Harapan Aisyah Mojokerto tanggal 13 Juni –
7 Juli 2005
No.
Kelompok Perlakuan
No.
Kelompok Kontrol
Pretest Postest PerubahanNilai
Pretest Postest PerubahanNilai
1 26 21 5 1 33 33 0
2 23 21 2 2 38 37 1
3 23 20 3 3 35 35 0
4 40 37 3 4 31 30 1
5 32 26 6 5 31 29 2
6 38 35 3 6 36 33 3
7 39 36 3 7 37 35 2
X = 31,57
SD=0,591
X= 28,00
SD=7,746
X = 34,43
SD=2,820
X= 33,14
SD=2,854
Nilai p value = 0,016 pada tingkatsignifikansi 5%.
Nilai p value = 0,041 pada tingkatsignifikansi 5%.
Dalam uji statistic Wilcoxon Signed Rank Test kelompok kontrol diperoleh hasil
perubahan perilaku yang bermakna sebesar p = 0,041 pada level p 0,05. hal ini berarti ada
perubahan perilaku pada kelompok kontrol. Sedangkan uji statistic Wilcoxon Signed Rank
Test kelompok perlakuan diperoleh hasil perubahan pre-test dan post-test yang bermakna
sebesar p = 0,016 pada level p hal ini berarti ada perubahan perilaku yang bermakna dan
signifikan pada kelompok perlakuan.
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
13/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
9
Tabel 2. Tabulasi silang Pengaruh pemberian senam TAK terhadap perubahan perilaku
anak ADHD di SAB Harapan Aisyiyah Mojokerto pada tanggal 13 Juni–7 Juli 2005
KelompokPerubahan perilaku ADHD
TotalKurang baik Cukup baik Baik
Kontrol 6 (86%) 1 (14%) 0 7 (100%)Perlakuan 1(14%) 5 (72%) 1 (14%) 7 (100%)Nilai Signifikan p = 0,007 pada level p 0,05
Tabel di atas menunjukkan perbandingan tingkatan perubahan perilaku antara
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Dari 7 responden kelompok kontrol didapatkan
6 responden (86%) menunjukkan perubahan perilaku yang kurang baik dan 1 responden
(14%) menunjukkan perubahan perilaku yang cukup baik. Sedangkan 7 responden
kelompok perlakuan didapatkan 1 responden (14%) menunjukkan perilaku kurang baik, 5
responden (72%) dengan perubahan perilaku cukup baik, dan 1 responden (14%) dengan
perubahan perilaku yang baik.
E.
PEMBAHASAN.1. Perilaku anak ADHD yang tidak mendapat senam otak (kelompok kontrol) sebelumdan sesudah diberikan senam otak.
Dari 7 responden yang tidak diberi senam otak, 5 diantaranya mengalami
perubahan nilai sedangkan 2 responden yang lain tidak mengalami perubahan nilai. Dalam
penelitian ini, kelompok kontrol tetap mendapatkan terapi seperti sebelumnya, yaitu terapi
obat dan terapi komunitas (perilaku) yang juga sangat berpengaruh terhadap perubahan
perilaku anak ADHD.
2. Perilaku anak ADHD yang mendapat senam otak (kelompok perlakuan) sebelum dansesudah diberikan senam otak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden pada kelompok perlakuan
mengalami perubahan nilai (penurunan) yang artinya terjadi perubahan perilaku (atensi,aktivitas, impulsivitas) yang lebih baik. Hasil uji statistic Wilcoxon Signed Rank Test
menunjukkan adanya perubahan yang bermakna dan signifikan, yaitu p=0,016 pada level
p 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa senam otak dapat mempengaruhi perubahan
perilaku pada anak ADHD, antara lain seperti atensinya menjadi lebih baik, aktivitasnya
lebih terkontrol, dan perilaku impulsifnya berkurang.
3. Pengaruh senam otak terhadap perubahan perilaku anak ADHD.Perilaku pada anak ADHD dalam hal ini meliputi perhatian (atensi), aktivitas, dan
impulsivitas mengalami gangguan dalam pengendaliannya. Gerakan-gerakan dalam senam
otak yang berprinsip pada gerakan cross the midline berpengaruh terhadap pengendalian
perilaku dan emosi anak ADHD. Perubahan perilaku yang paling tampak selama prosespenelitian adalah anak ADHD makin hari makin mau diajak senam otak, bahkan mengajak
untuk melakukan senam otak dengan gerakan yang benar dan dapat mengingat gerakan
senam otak dengan benar.di kelas, anak ADHD lebih mau memperhatikan gurunya dan mau
mengerjakan tugas sesuai dengan instruksi gurunya, mereka juga tidak terlalu banyak
beranjak dari tempatnya dan dapat duduk dnegan tenang pada saat pelajaran berlangsung.
Hal tersebut terjadi karena gerakan pada senam otak merangsang arus informasi dalam
otak dan system saraf membebaskan kemampuan belajar dari dalam dan berfungsi sangat
efesien (Tri, 2001). Dengan melakukan gerakan senam otak, neurotransmitter dalam otak
mengatur keseimbangan emosi sehingga dapat terkontrol produksinya. Dengan gerakan
tersbeut pula, kemampuan otak anak-anak ADHD juga dapat diperbaiki dalam hal
kerusakan otak, sulit konsentrasi, dan depresi.
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
14/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
10
F. PENUTUP.Hasil penelitian menunjukkan terjadi perubahan perilaku anak ADHD pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hal ini terjadi karena pada kelompok kontrol
tetap diberikan terapi lain yang biasa digunakan, sedangkan pada kelompok perlakuan
diberikan tambahan senam otak sehingga perubahan perilaku yang didapatkan padakelompok perlakuan lebih besar. Perubahan perilaku anak ADHD terjadi setelah diberikan
senam otak pada kelompok perlakuan. Hal ini disebabkan senam otak merupakan gerakan
integrative yang mengoptimalkan kerja otak dan keseimbangan otak kanan maupun otak
kiri sehingga emosi dan perilaku anak ADHD menjadi lebih stabil dan terkontrol. Senam
otak mempengaruhi perubahan perilaku anak ADHD dengan mengaktifkan jembatan
hemisfer otak kanan dan kiri, merangsang arus informasi dalam otak dan system syaraf
sehingga koordinasi otak kanan dan kiri menjadi efektif dan efisien.Pemberian senam pada
anak ADHD sebagai terapi penunjang perlu dilaksanakan lebih intensif dan rutin baik di
institusi maupun di rumah untuk mendpatkan hasil yang lebih optimal. Pemberian senam
otak juga dapat digunakan sebagai salah satu bentuk asuhan keperawatan sebagai upaya
dalam pengembangan Ilmu Keperawatan Jiwa Anak terutama dalam aktivitas fisik yang
terintegrasi agar dapat lebih meningkatkan peran dan eksistensi perawat. Oleh sebab itu
perlu penelitian lebih lanjut tentang pengaruh senam otak terhadap perilaku anak ADHD
khususnya dalam aspek biomolekuler dan neurotransmitter pada kerja otak anak ADHD.
DAFTAR PUSTAKA.Accardo, PJ., Whitman, B.Y., Blondis, T.A., Stein. A.M. (2000). Attention Deficits And
Hyperactivityin children and adult, Diagnosis, treatment and management, second edition.
New York: Marcell Dekker. Inc: hal 3.
Akhmad (2004). Optimalkan Kemampuan Anak Lewat Senam Otak . http://www.kompas.com
tanggal 10 Februari 2005 jam 10.20.
Denison PE, Dennison GE. 2002. Brain Gym,Senam Otak . Jakarta: Grasindo.
Ida Fitria. 2002. Manfaat Brain Gym. http://www.beritapenabur.org/200206/laporanutama/braingym.htm tanggal 8 Desember 2004 jam 13.10.
Joseph Sergeant. 2002. ADHD/ HKD Diagnosis and Management , Amsterdam: Department of
clinical neuripsychology, Vrije Universiteit, hal 13-18.
Kartini.2003. Senam Otak . www.dnet.net.id/kesehatan/beritasehat.id tanggal 11 Mei 2005 jam
09.30.
Landouver, MD.2005. Children and Adults with Attention deficits Hyperactivity Disorder .
http://www.chad.org tanggal 28 Februari 2005 jan 10.27
Maramis WF. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
Notoatmojo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (prinsip-prinsip dasar ). Jakarta: Rineka Cipta.
10 .Novartis Cooperation.2003. Anak Hyperaktif . http://www.nimh.nih.gov tanggal 28 Februari
2005 jam 10.27.
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
15/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
11
HUBUNGAN PENDIDIKAN IBU DENGAN PERILAKU IBU DALAMPENCARIAN PENGOBATAN BALITA PNEUMONIA
DI KABUPATEN PURWOREJO
Tri Peni, M.Kes.Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
Pneumonia remains a serious problem as it is one of major causes in under- five children’s morbidityand mortality worldwide; however, it gets little concern, including in Indonesia. In Purworejo
District, the finding coverage of this disease in community health centers is still low (3.7%), due to
the fact that it may be caused by inappropriate care seeking behavior. This study was conducted to
know the relationship between mother’s educational level and care seeking behavior for under -five
children’s pneumonia. This was an observational study with cross sectional design. The study was
conducted in community health centers and hospital in Purworejo District. The subjects were 126mothers with pneumonia under-five children brought to appointed community health centers and
hospital fulfilling inclusion criteria. Independent variable was mothers’ education and dependent
variable was mothers’ care seeking behavior for pneumonia under -five children. The study used
primary data analyzed by univariable analysis, bivariable with chi-square, and multivariable with
logistic regression. Prevalence of bad behavior respondents was 59.52%. Mothers with lower
educational level had risk of 2,38 times higher in bad care seeking behavior than those with higher
educational level with 95%CI=1,02-5,51. Confounding variable contributing significant influence
was economic status and dissemination of information. Mothers’ education is related to care
seeking behavior for pneumonia under-five children. Another Factors related to mothers ’ careseeking behavior in Purworejo District are economic status and dissemination of information.
Keywords: care seeking behavior, mothers’ education, pneumonia under -five children.
A. PENDAHULUAN.Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) terutama pneumonia merupakan
penyakit yang dapat mengancam jiwa dan perlu mendapat perhatian. Pneumonia menjadi
masalah serius yang merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian balita
di seluruh dunia. Pneumonia bahkan disebut sebagai wabah raya yang terlupakan (The
Forgotten Pandemic), karena begitu banyak korban yang meninggal karena pneumonia
tetapi sangat sedikit perhatian yang diberikan terhadap masalah pneumonia.1
Di Indonesia pneumonia merupakan salah satu masalah utama kesehatan
masyarakat. Pada tahun 2004 kejadian pneumonia pada balita sebanyak 625.611 penderita,
dan pada tahun 2005 terjadi penurunan yaitu sebanyak 600.720 penderita. Sedangkan
angka kematian pada balita karena pneumonia pada tahun 2005 mencapai 204 balita, yangterdiri dari 155 pasien usia kurang dari 1 tahun dan 49 pasien usia 1–4 tahun.2 Secarateoritis diperkirakan bahwa penderita pneumonia akan meninggal bila tidak diberikan
pengobatan. Bila hal ini benar maka diperkirakan tanpa pemberian pengobatan akan
didapat 250.000 kematian balita akibat pneumonia setiap tahunnya.3
Berdasarkan laporan hasil rekapitulasi P2ISPA Kabupaten Purworejo pada tahun
2005 cakupan pneumonia di seluruh Puskesmas Kabupaten Purworejo mencapai (3,7%).4
Hal ini dimungkinkan karena perilaku pencarian pengobatan yang tidak tepat. Bila penyakit
pneumonia dapat dideteksi lebih dini dan diobati secara tepat, maka dari berbagai
pengalaman negara-negara didunia kematian akibat ISPA terutama pneumonia dapat
diturunkan secara dratis.1
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
16/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
12
Keterlambatan pencarian pengobatan atau bahkan tidak ada upaya sama sekali
untuk berobat merupakan penyebab tingginya angka kematian anak.5 Tindakan atau
intervensi yang dilaksanakan dengan benar dan pada waktu yang tepat bisa mencegah
tingginya angka kematian anak.6 Memperbaiki perilaku keluarga untuk mencari
pertolongan secepat mungkin, bisa sangat membantu dalam menurunkan angka kematiananak di Negara berkembang.7
Pendidikan ibu yang rendah berhubungan dengan rendahnya utilisasi pelayanan
kesehatan. Pendidikan ibu merupakan faktor predisposisi sebagai prediktor penggunaan
pelayanan kesehatan. Ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kekuatan untuk
mengambil keputusan dalam rumah tangganya dan memahami pentingnya pencegahan
atau perawatan pada fasilitas kesehatan.7,8 Pendidikan berhubungan positif dengan
kelangsungan hidup anak dinegara sedang berkembang.9
Ibu merupakan orang yang paling dekat dengan anak dan ibu mempunyai perhatian
yang lebih terutama mengenal gejala penyakit yang diderita anaknya, sebagai langkah awal
dalam pencarian pengobatan.10 Pendidikan yang tinggi sangat diperlukan oleh ibu untuk
mengatasi dan melawan hambatan budaya dan norma sosial yang merugikan.
Kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional atau mengobati sendiri jika
sakit merupakan penyebab yang kuat tingginya angka kematian anak.9
Di Kabupaten Purworejo, tingkat pendidikan ibu yang tamat Akademi dan
Perguruan tinggi sebanyak (3%), tamat SMU atau SMK (13%), tamat SLTP (17,4%), tamat
SD (34,8%), tidak tamat SD (15,4%) dan tidak sekolah (16,3%).11 Berdasarkan latar
belakang tersebut diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”apakahterdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan
balita pneumonia di Kabupaten Purworejo?“. Tujuan dari penelitian ini adalah untukmengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian
pengobatan balita pneumonia di Kabupaten Purworejo dan untuk mengetahui faktor-faktor
lain yang mempengaruhi perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di
Kabupaten Purworejo.
B. TINJAUAN PUSTAKA.1. Gambaran Umum Penyakit Pneumonia.
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan bagian bawah
(alveoli) pada paru-paru, biasanya disebabkan oleh invansi kuman bakteri, yang ditandai
oleh gejala klinis batuk, kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat ataupun tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam. Terjadinya pneumonia pada anak sering kali
bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang disebut
bronkopneumonia (Depkes R.I., 2005). Batasan lain menurut Amin dkk. (1990), pneumonia
adalah radang pada parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang, dengan atau
tanpa disertai infiltrasi dari sel radang kedalam dinding alveoli dan rongga interstisium.
Menurut Putra dkk. (1997) Pneumonia merupakan radang parenkim paru dan juga
merupakan salah satu dari penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Infeksi paru
bisa terjadi apabila mekanisme pertahanan tubuh terganggu dan organisme mencapai
saluran pernapasan bagian bawah secara aspirasi atau melalui penyebaran hematogen.
Infeksi pada saluran pernapasan yang diakibatkan oleh bakteri dapat melalui berbagai cara
yaitu: a) terjadinya peningkatan sekresi yang dapat mempermudah terjadinya aspirasi
cairan yang mengandung bakteri masuk ke dalam paru; b) terjadinya penurunan aktivitas
dari silia sehingga mengurangi pembersihan bakteri; c) terganggunya respon imun lokal
dan aktivitas dari bakterisidal makrofag alveoli.
Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya
sukar untuk diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan
hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia.
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
17/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
13
Hanya biakan dari aspirat paru serta pemeriksaan specimen darah yang dapat diandalkan
untuk membantu penetapan etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan specimen aspirat
paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab
pneumonia pada balita tetapi punksi paru merupakan prosedur yang beresiko dan
bertentangan dengan etika jika hanya dimaksudkan untuk penelitian (Depkes, R.I., 2005).Menurut publikasi WHO, hasil penelitian diberbagai negara menyatakan bahwa
dinegara berkembang streptococcus pneumoniae dan Haemophylus influenzae merupakan
bakteri yang selalu ditemukan pada dua per tiga dari hasil isolasi sebanyak (73,9%) aspirat
paru dan (69,1%) dari specimen darah. Sedangkan di negara maju pneumonia pada anak
umumnya disebabkan oleh virus. Di Indonesia, penelitian di Pulau Lombok tahun 1997-
2003 memperlihatkan pada usap tenggorok pada anak usia
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
18/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
14
2. Pendidikan dan Kesehatan Anak.Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan
ketrampilan manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung dari
kualitas pendidikan (Depkes, R.I., 2005). Menurut Page et al. (1970), pendidikan adalah
semua proses pengembangan kemampuan dan perilaku manusia, agar dapat memilih danmengontrol kehidupan yang diperoleh disekolah atau lembaga pendidikan lain. Djojonegoro
dan Suryadi (1995) mengemukakan bahwa pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai
unsur utama dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM). Sumber daya manusia
dapat dianggap bernilai jika memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian,
serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan.
Buor (2003) mengemukakan terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu
dengan kesehatan anak di negara sedang berkembang. Hal ini dikarenakan ibu merupakan
orang yang paling dekat dengan anak dan ibu mempunyai perhatian yang lebih terutama
mengenal gejala penyakit yang diderita anaknya, sebagai langkah awal dalam pencarian
pengobatan (Sa’adudin, 1999). Pendidikan ibu merupak an faktor predisposisi sebagai
prediktor penggunaan pelayanan kesehatan. Ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai
kekuatan dan lebih percaya diri untuk mengambil keputusan dalam menghadapi
permasalahan kesehatan anaknya yaitu dengan melakukan perawatan pada fasilitas
kesehatan (Thind and Cruz, 2003).
Sreeramareddy et al . (2006) pada hasil penelitiannya di Nepal Barat mengemukakan
bahwa pendidikan ibu yang rendah berhubungan dengan rendahnya utilisasi pelayanan
kesehatan. Kecenderungan menggunakan pelayanan tradisional atau mengobati sendiri jika
sakit merupakan penyebab yang kuat tingginya angka kematian anak. Hambatan yang besar
dalam penggunaan pelayanan kesehatan karena takhayul yang kuat. Pendidikan formal
yang tinggi sangat diperlukan oleh ibu untuk mengatasi dan melawan hambatan budaya
dan norma sosial yang merugikan (Buor, 2003).
Pendidikan berhubungan dengan kemampuan baca tulis dan kesempatan seseorang
menerima serta menyerap berbagai informasi, termasuk informasi kesehatan. Informasiyang diterima akan meningkatkan pengetahuan sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku
hidup sehat, termasuk upaya pencarian pengobatan anak sakit secara tepat (Hayati, 2005).
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi dan nalar seseorang,
karena dengan pendidikan tinggi seseorang akan lebih mudah menerima dan memilih suatu
perubahan yang lebih baik (Suprapto, dkk., 2004).
3. Perilaku Pencarian Pengobatan.Perilaku (manusia) merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan
tindakan (Sarwono, 1997). Menurut Azwar (1995) untuk dapat memprediksi perilaku
adalah mencoba melihat penyebab perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas
kemauan sendiri) berdasarkan asumsi adalah sebagai berikut; a) bahwa manusia umumnya
melakukan sesuatu dengan cara–cara masuk akal; b) manusia mempertimbangkan semuainformasi yang ada; c) secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan
implikasi tindakannya.
Green (2000) mengungkapkan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok
yaitu perilaku dan faktor lingkungan. Perilaku itu sendiri dibentuk oleh tiga faktor yaitu ; a)
faktor predisposisi ( predisposing factor ) mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai, dan tradisi, faktor ini merupakan faktor pendorong terhadap perilaku
yang menjadi dasar bagi perilaku, b) faktor pendukung (enabling factor ) merupakan faktor
pendorong terhadap perilaku yang memungkinkan suatu motivasi/aspirasi terlaksana,
faktor ini mencakup potensi dan sumber daya yang ada di masyarakat dalam wujud
lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas sarana kesehatan, c) faktor penguat atau
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
19/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
15
pendorong (reinforcing factor ) merupakan faktor penyerta, terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas, keluarga, teman atau kelompok dari masyarakat.
Andersen (1995) mengemukakan model perilaku keluarga dalam menggunakan
pelayanan kesehatan (behavior model of families use of health services) dipengaruhi oleh 3
komponen pokok yaitu: 1) predisposing component , yang menggambarkan ciri individu ataumasyarakat yang melekat pada dirinya sebelum mengalami sakit yang menyebabkan
perbedaan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Komponen ini terdiri dari: a) faktor
demografi (usia, jenis kelamin dan status perkawinan); b) faktor struktur sosial (tingkat
pendidikan, pekerjaan, kesukuan dan ras); c) faktor keyakinan terhadap kesehatan
(pengetahuan, kepercayaan, dan persepsi terhadap pelayanan kesehatan); 2) enabling
component , merupakan kemampuan untuk mencari pelayanan kesehatan, meliputi: a)
sumber daya keluarga (pendapatan dan jangkauan asuransi kesehatan); b) sumber daya
masyarakat (jumlah sarana kesehatan yang ada, jarak ke fasilitas, ketersediaan fasilitas
kesehatan, obat dan sarana yang mendukung; 3) need component , merupakan kebutuhan
akan pelayanan kesehatan yang diwujudkan berupa tindakan. Kebutuhan (need ) dibagi
dalam dua kategori: dirasa ( perceived ) dan dievaluasi berdasarkan prosedur diagnostik.
Kebutuhan merupakan dasar stimulus langsung apabila ada faktor predisposisi dan
enabling.
Beberapa studi menyatakan bahwa perilaku pencarian pertolongan ditentukan oleh
besarnya keluarga, usia ibu dan pendidikan ibu. Kurangnya akses kesehatan karena faktor
biaya merupakan masalah penting yang menghambat pencarian pelayanan kesehatan pada
masyarakat kota dan desa (Thind and Cruz, 2003; Sreeramareddy et.al., 2006). Studi lain
juga melaporkan bahwa keparahan penyakit yang dirasakan dan pengenalan ibu pada tanda
dan gejala tertentu anak sakit merupakan faktor penting untuk menentukan perilaku
pencarian pelayanan kesehatan (Yoder and Hornik, 1996; D’Souza, 1999 cit Taffa and
Chepngeno, 2005).
Goldman and Heuveline (2000) dalam studinya di Guatemala mengemukakan
bahwa perilaku pencarian pengobatan pada anak sakit dipengaruhi oleh keseriusanpenyakit, usia anak, dan urutan kelahiran anak. Sementara hasil penelitian Thind and
Andersen (2003), melaporkan bahwa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan
kesehatan pada balita dengan ISPA di Republik Dominika adalah jenis kelamin balita, lokasi
tempat tinggal, dan status ekonomi keluarga.
Penelitian Sreeramareddy et al. (2006) di Nepal Barat melaporkan pendapatan
keluarga, jumlah gejala penyakit, pendidikan ibu dan keseriusan penyakit merupakan faktor
yang mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan anak sakit di Nepal barat. Taffa and
Chepngeno (2005), mengemukakan bahwa determinan perilaku pencarian pengobatan
pada anak sakit adalah persepsi sakit, usia anak, pendapatan keluarga, dan faktor finansial,
sedangkan penelitian Djaja (2001) berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
mengemukakan bahwa perilaku pencarian pengobatan anak balita dengan ISPA
dipengaruhi oleh pendidikan ibu, sosial ekonomi keluarga, usia balita dan jumlah balita
dalam rumah tangga.
4. Landasan Teori.Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka tersebut maka kerangka teori yang
berhubungan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan anak balita pneumonia
sebagai berikut :
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
20/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
16
Gambar 1 : Model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan (Andersen, 1995)
C. METODE PENELITIAN.1. Desain Penelitian.
Jenis penelitian ini adalah observasional, dengan menggunakan rancangan cross
sectional . Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Purworejo.
2. Kerangka Konsep.Berdasarkan landasan teori tersebut, maka dapat dirumuskan kerangka konsep
penelitian sebagai berikut :
Praktik
kesehatan
pribadi
Pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
Status
kesehatan
yang dirasa
Evaluasi
statuskesehatan
Kepuasan
konsumen
Predisposing Characteristic :
1. Demografi : usia, jenis
kelamin, status perkawinan.
2. Struktur sosial : pendidikan,
status ekonomi, pekerjaan,
suku, ras.
3. Health beliefs :
pengetahuan, kepercayaan,
persepsi.
Enabling Resources :1. Sumber daya keluarga :
pendapatan, asuransi
kesehatan.
2. Sumber daya masyarakat :
Jumlah sarana kesehatan,
jarak, obat, sarana
pendukung, petugas
kesehatan, penyuluhan.
Need :1. Di rasa
2. Di evaluasi
Sistem
pelayanan
kesehatan
Lingkungan
eksternal
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
21/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
17
KERANGKA KONSEPTUAL
Gambar 2. Kerangka Konseptual Penelitian Hubungan Pendidikan Ibu Dengan Perilaku
Ibu Dalam Pencarian Pengobatan Balita Pneumonia Di Kabupaten Purworejo
3. Hipotesis.Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi mempunyai resiko lebih kecil untuk
berperilaku kurang baik dalam pencarian pengobatan balita pneumonia dibandingkan
dengan ibu yang berpendidikan rendah.
4. Populasi, Sampel, Dan Sampling.Penentuan lokasi penelitian menggunakan purposive sampling dimana peneliti
menetapkan 8 Puskesmas pada wilayah perkotaan dan pedesaan dengan melihat kasuspneumonia terbanyak pada tahun 2005 yaitu Puskesmas Purworejo, Puskesmas Mranti,
Puskesmas Butuh, Puskesmas Pituruh, Puskesmas Purwodadi, Puskesmas Banyuasin,
Puskesmas Sruwohrejo dan Puskesmas Grabag, serta dua buah Rumah Sakit pemerintah
dan swasta yaitu Rumah Sakit PKU Muhammadiyah dan Rumah Sakit Umum Saras Husada
Purworejo.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah ibu (responden) yang mempunyai balita
yang mengalami gejala pneumonia berdasarkan hasil pengamatan petugas medis yaitu di
Puskesmas oleh paramedis dan di Rumah Sakit oleh dokter. Kriteria eksklusi adalah ibu
dengan anak balita yang mengalami gejala penyakit lain seperti ISPA non pneumonia, ibu
(responden) bukan penduduk yang bermukim/tinggal di wilayah Kabupaten Purworejo.
5. Analisis Data.Analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini menggunakan program
komputer dengan analisis univariabel untuk mengetahui distribusi frekuensi, analisis
bivariabel menggunakan Chi-sguare dan multivariabel menggunakan regresi logistik .
D. HASIL PENELITIAN.1. Analisis Univariabel.
Analisis univariabel digunakan untuk menghitung distribusi frekuensi dan proporsi
variabel penelitian. Hasil analisis univariabel dari 126 ibu (responden) yang membawa
anak balitanya ke Puskesmas/Rumah Sakit adalah sebagai berikut :
1. Usia ibu
2. Usia anak
3. Jarak
4. Status ekonomi keluarga
5.
Penyuluhan
Perilaku Pencarian
PengobatanPendidikan Ibu
Variabel Bebas Variabel Terikat
Variabel Luar
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
22/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
18
Tabel 1. Hasil Analisis Univariabel Berdasarkan Variabel Penelitian.
Variabel n %Perilaku pencarian pengobatan
Kurang baik 75 59,52Baik 51 40,48
Pendidikan ibu
Rendah 74 58,73
Tinggi 52 41,27
Usia ibu
≥ 35 tahun 55 43,65
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
23/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
19
Tabel 2. Analisis bivariabel antara variabel terikat dengan variabel luar.
Variabel
Perilaku PencarianPengobatan
x² P RPCI
95%
Kurang baik
n (%)
Baik
n (%)Pendidikan ibu
Rendah 53(71,62%) 21(28,38%) 10,89 0,001* 1,71 1,198-2,457
Tinggi 22(42,31%) 30(57,69%)
Usia ibu
≥ 35 tahun 36(65,45%) 19(34,55%) 1,42 0,232 1,28 0,840-1,974
< 35 tahun 39(54,93%) 32(45,07%)
Usia balita
25-59 bln 43(69,35%) 19(30,65%) 5,25 0,021* 1,56 1,039-2,339
0 -24 bln 31(49,21%) 32(50,79%)
Jarak
Jauh 31(55,36%) 25(44,64%) 0,84 0,394 0,84 0,571-1,243
Dekat 44(62,86%) 26(37,14%)
Status ekonomi
Rendah 52(78,79%) 14(21,21%) 21,35 0,000* 2.52 1.577-4,044
Tinggi 23(38,33%) 37(61,67%)
Penyuluhan
Tidak pernah 60(65,22%) 32(34,78%) 4,59 0,032* 1.27 1,003-1,620
Pernah 15(44,12%) 19(55,88%)
Keterangan *= signifikan
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
24/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
20
pencarian pengobatan balita pneumonia, ditunjukkan dengan 95%CI dari RP memuat angka
1 dan p>0,05. Hasil uji statistik pada variabel status ekonomi diperoleh X 2=21,35 dan p
value sebasar 0,000, nilai RP =2,52 dengan rentang CI =1,577-4,044. Hasil ini
menggambarkan bahwa ibu yang berstatus ekonomi rendah berisiko mempunyai perilaku
kurang baik dalam pencarian pengobatan balita pneumonia 2,49 kali lebih besar dari padaibu yang berstatus ekonomi tinggi. Hubungan tersebut juga bermakna secara statistik yang
terlihat dari nilai p
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
25/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
21
Analisis model 1, untuk melihat hubungan pendidikan ibu dengan perilaku ibu
dalam pencarian pengobatan balita pneumonia. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa ibu yang mempunyai tingkat pendidikan rendah mempunyai
kemungkinan 3,44 kali lebih besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan dengan ibu
yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi.Analisis model 2 dengan memasukkan semua variabel menunjukkan terjadinya
perubahan pada variabel pendidikan ibu menjadi tidak bermakna p>0,05; OR=2,04;
CI 95%(0,84-4,98). Jika dibandingkan dengan model 1, maka terlihat adanya perubahan nilai
OR dan nilai -2log likelihood. Perubahan nilai -2log likelihood (x2) model 1 dan model 2
adalah sebesar 28,26 sedangkan nilai x2 tabel dengan derajat bebas 5 adalah 11,07. Karena
perbedaan x2 hitung lebih besar dari nilai x2 tabel maka dapat disimpulkan bahwa
perbedaan OR variabel pendidikan pada model 1 dan model 2 bermakna.
Analisis model 3 setelah variabel usia ibu dan jarak tidak diikutkan, hasilnya tidak
jauh beda dengan model 2. Variabel ekonomi dan penyuluhan tetap menunjukkan
hubungan yang bermakna dan variabel pendidikan tetap menunjukkan hubungan yang
tidak bermakna. Pada model 3 ini -2log likelihood juga mengalami perubahan. Karena nilai
x2 hitung=27,86 lebih besar dari nilai x2 tabel dengan derajat bebas 3 adalah 7,81, sehingga
dapat disimpulkan bahwa perbedaan OR variabel pendidikan ibu pada model 1 dan model 3
tersebut bermakna.
Analisis model 4 dengan mengikutsertakan variabel status ekonomi dan
penyuluhan menunjukkan terjadinya perubahan pada variabel pendidikan yaitu menjadi
bermakna ( p
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
26/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
22
maupun multivariabel menunjukkan bahwa pendidikan ibu secara signifikan berhubungan
dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia. Pendidikan orang tua
khususnya ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam kelangsungan hidup anak.
Karena dengan pendidikan yang tinggi, maka seseorang dapat menerima berbagai informasi
dari luar. Pendidikan ibu merupakan faktor predisposisi sebagai prediktor penggunaanpelayanan kesehatan. Ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kekuatan dan lebih
percaya diri untuk mengambil keputusan dalam menghadapi permasalahan kesehatan
anaknya yaitu dengan melakukan perawatan pada fasilitas kesehatan.8 Hasil temuan ini
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pendidikan dan pekerjaan sebagai faktor
predisposisi yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan baik.13 Pada
analisis multivariabel nilai RP =2,38 yang berarti bahwa ibu yang berpendidikan rendah
mempunyai resiko berperilaku kurang baik sebesar 2,38 kali dibandingkan ibu yang
berpendidikan tinggi. Sreeramareddy et al . (2006) pada hasil penelitiannya di Nepal Barat
mengemukakan bahwa pendidikan ibu yang rendah berhubungan dengan rendahnya
utilisasi pelayanan kesehatan.7 Kecenderungan menggunakan pelayanan tradisional atau
mengobati sendiri jika sakit merupakan penyebab yang kuat tingginya angka kematian
anak. Hambatan yang besar dalam penggunaan pelayanan kesehatan karena takhayul yang
kuat. Pendidikan formal yang tinggi sangat diperlukan oleh ibu untuk mengatasi dan
melawan hambatan budaya dan norma sosial yang merugikan.9 Namun hasil temuan ini
berbeda dengan hasil penelitian di Bangladesh yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita
ISPA.14 Taffa and Chepngeno pada penelitiannya di Nairobi juga menyampaikan hal yang
sama bahwa pendidikan ibu tidak berhubungan dengan perilaku ibu dalam pencarian
pengobatan pada anak sakit.15
Hasil analisis univariabel menunjukkan bahwa alasan responden bersedia untuk
pergi ke Puskesmas/Rumah Sakit adalah karena faktor jarak yang dekat dengan tempat
tinggal mereka, yaitu sebesar 70 responden (55,56%), jika dibandingkan dengan jumlah
responden yang jaraknya jauh lebih sedikit yaitu 56 responden (44,44%). Namun padaanalisis statistik menunjukkan hubungan yag tidak bermakna antara jarak tempat tinggal
responden dari fasilitas kesehatan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita
pneumonia di Kabupaten Purworejo (p>0,05). Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian
Lapau (1978) yang disitasi oleh Ijami (2004) yang menyatakan bahwa semakin dekat
tempat tinggal dengan puskesmas maka dalam pencarian pengobatannya akan cenderung
ke puskesmas.16 Tidak adanya hubungan antara jarak dengan perilaku ibu dalam pencarian
pengobatan dimungkinkan adanya faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor finansial
atau juga karena akses yang tidak sulit dan tersedianya sarana transportasi.
Analisis usia ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia
menunjukkan hubungan yang tidak bermakna ( p>0,05). Hal ini berarti tidak ada perbedaan
antara tingkat usia ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan. Hasil temuan ini
berbeda dengan penelitian di Nairobi, yang menyatakan bahwa usia ibu sangat
mempengaruhi kebijakan untuk mencari pelayanan kesehatan diluar rumah. 15
Hasil analisis usia anak dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita
pneumonia juga menunjukkan hasil yang tidak bermakna (p>0,05). Hal ini berarti tidak ada
hubungan atau pengaruh antara tingkat usia anak dengan perilaku ibu dalam pencarian
pengobatan. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan di Kerala, India dan
di Republik Dominika yang melaporkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara
usia anak dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan.17,18 Berbeda dengan hasil
penelitian di Guatemala, yang melaporkan bahwa anak usia ≤ 1 tahun cenderung dibawakepelayanan kesehatan dari pada anak usia 13-59 bulan.19
Hasil analisis status ekonomi dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan
secara statistik menunjukkan hubungan yang bermakna ( p
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
27/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
23
bivariabel maupun pada tahap multivariabel. Hal ini sesuai dengan temuan di Republik
Dominika yang melaporkan bahwa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan
kesehatan di Republik Dominika adalah status ekonomi keluarga.18 Hasil penelitian di
daerah kumuh Nairobi melaporkan bahwa ibu-ibu dengan tingkat sosial ekonomi rendah
biasanya menunggu dan mengamati anaknya dalam beberapa waktu sebelum merekamengunjungi ke pusat pelayanan kesehatan, sehingga kondisi anaknya bisa semakin parah
pada saat dibawa ke pelayanan kesehatan.15
Analisis variabel penyuluhan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan
menunjukkan hubungan yang siknifikan ( p
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
28/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
24
6. Jones, G., Steketee, R.W., Black, R.E., Bhutta, Z.A., Morris, S.S. and the Bellagio Child Survival
Study Group (2003) How many child deaths can we prevent this year? Available from:
(juli) vol 362, pp. 65-71
7. Sreeramareddy, C.T., Shankar, R.P., Sreekumaran, B.V., Subba, S.H., Joshi, H.S.
Ramachandran, U. (2006) Care Seeking behavior for Chilhood illness-questionaire Survey inWestern Nepal. Available from:
[Accessed 22 Desember 2006].
8. Thind, A., Cruz, A.M. (2003) Determinants of Children’s Health Services Utilization in the
Philippines. Journal of Tropical Pediatrics, vol. 49, no. 5, pp. 269-273.
9. Buor, D. (2003) Mother’s education and childhood mortality in Ghana. Available
from: [Accessed 9 Maret 2007]
10. Sa’adudin, I., (1999) Mengupayakan Perubahan Perilaku Ibu Balita dalam MenurunkanKasus Pneumonia, Bulletin Epidemiologi, vol.6, no.4, pp.28-31.
11. Badan Pusat Statistik Kabupaten Purworejo, (2005) Kabupaten Purworejo Dalam Angka
tahun 2005, Kabupaten Purworejo.
12. Waldman, R., Bartlett,. Campell, C.C., Steketee, R.W., (1996) Overcoming Remaining Barriers:
The Pathway to Survival, Arlington, VA, BASICS (Basic Support Institutional Chidl Survival),
pp. 1-12.
13. Andersen, R.M. (1995) Revisiting the Behavioral Model and Access to Medical Care: . Does it
Matter?, Journal of health and Social Behavior , vol.36, no 3, pp. 1-10.
14. Zaman, K., Zeitlyn, S., Chakraborty, J., Francisco, A., Yunus, M., (1997) Acute lower
Respiratory Infections in Rural Bangladesh Children: Patterns of Treatment and
Identification of Barriers, Southeast Asia Journal of Tropical Medicine and Public Health, vol
28, no.1, pp.99-106.
15. Taffa, N., Chepngeno, G., ( 2005) Determinants of health care seeking for childhood illnesses
in Nairobi slums. Tropical Medicine and International Health, vol. 10, no. 3, pp. 240-245.
16. Ijami,R., (2004) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Ibu dalam Pencarian
Pengobatan Anak Tersangka Menderita Demam Berdarah Ke Fasilitas Kesehatan DiBanjarbaru, Tesis Program Pasca Sarjana, UGM. Yogyakarta.
17. Pillai, R.K., Williams, S.V., Glick, H.A., Polsky, D., Berlin, J.A., and Lowe, R.A., (2003) Faktors
Affecting Decisions to Seek Treatment for Sick Children in Kerala India, Social Science and
Medicine, vol 1, no. 3, pp. 1-8.
18. Thind, A., Andersen, R., (2003) Respiratory Illness in The Dominican Republic: what are The
Predictors for health Services Utilization of Young Children? Social Science & mediine 56, pp.
1173-1182.
19. Goldman, N., Heuveline, P. (2000) Health Seeking Behavior for Child Illness in Guatemala.
Tropical Medicine and Internasional Health, vol 5, no 2, pp.145-155.
20. Green, L., (2000) Health Promotion planning Education and Environmental Approach,
Boston, MeyfieldPublising Co Johns Hopkins University.
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
29/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
25
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA PENYAKIT KULIT SKABIESPADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SYAFI’IYAH
SUKOREJO SUMBEREJO SITUBONDO
dr. Achmad Husein Ketua Quality Assurance Poltekkes Majapahit
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit
kulit skabies pada santri di pondok pesantren Salafiyah – Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo.Rancang bangun penelitian ini adalah cross sectional, obyek penelitian ini adalah semua santri
yang tinggal di pondok pesantren Salafiyah – Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo. Jumlahsampel sebanyak 100 santri yang dipilih secara sistematik random sampling, uji statistik yang
digunakan adalah chi–square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh antara
penyakit kulit skabies dengan umur, tidak ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan jeniskelamin, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan pendidikan, ada pengaruh antara
penyakit kulit skabies dengan tingkat pengetahuan, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies
dengan personal hygiene, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan kepadatan penghuni
kamar. Kepada para santri disarankan agar membiasakan diri untuk berperilaku sehat dan selalu
menjaga kebersihan dan meningkatkan personal hygiene sedangkan pengasuh pondok pesantren
diharapkan lebih memperhatikan kebersihan dan tingkat kepadatan kamar santri.
Kata kunci : skabies, santri.
A. PENDAHULUAN.H. L Bloom (1994) menyatakan bahwa keadaan kesehatan dipengaruhi oleh 4 faktor
yaitu : faktor lingkungan, perilaku kesehatan, pelayanan kesehatan dan yang terakhir adalah
keturunan. Begitu juga dengan munculnya penyakit kulit scabies. Scabies adalah penyakitkulit yang disebabkan oleh Sarcoptes. Sarcoptes Scabiei termasuk filum antropoda, ordo
askarima, super familly sarcoptes (Djuanda, 1999). Scabiei yang mengadakan iritasi kulit
oleh karena parasit ini menggali parit-parit di dalam epidermis sehingga menimbulkan
gatal-gatal dan merusakkan kulit penderita (Soedarto, 1996). Penyakit kulit skabies
ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Dibeberapa negara
berkembang prevalensi skabies 6%-7% dari populasi umum dan cenderung tinggi terutama
pada anak-anak dan dewasa. Menurut Dep. Kes. RI prevalensi skabies seluruh Indonesia
pada tahun 1996 adalah 4,6%-12,95%. Prevalensi skabies sangat tinggi, misalnya Pondok
Pesantren yang padat penghuninya, mencapai 72,2% dan prevalensi tertinggi pada anak
usia 11 – 15 tahun (Sungkar, 1994).
Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat, dapat mengenalsemua ras, golongan dan umur di seluruh dunia. Banyak dijumpai pada anak dan dewasa
muda, dapat mengenai semua umur, insiden sama pria dan wanita (Harahap. M 2000). Cara
penularan atau transmisi penyakit ini melalui 2 cara yaitu : Kontak langsung dengan kulit,
misalnya : berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual dan Kontak tak langsung
(melalui benda) misalnya : pakaian, handuk seprei, bantal dan lain-lain.
Studi pendahuluan yang dilakukan di Salafiyah - Syafi’iyah Sukorejo SumberejoSitubondo menunjukkan bahwa penghuni Pondok Pesantren di wilayah tersebut yang
terpapar penyakit kulit skabies pada enam bulan terakhir yaitu pada tanggal 2 Mei 2005
terdapat: 50 santri putra dan 45 santri putri dari 3000 santri.
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan non formal yang memberikan
pengaruh cukup besar di masyarakat karena dianggap sebagai panutan masyarakat. Di
Pondok Pesantren dikenal dengan padat penghuninya padahal perjalanan penyakit kulit
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
30/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
26
scabies erat hubungannya dengan kebersihan perorangan dan lingkungan, personal hygiene
meliputi; mandi, ganti pakaian, gunting kuku, keramas, dan lain-lain (Djuanda, 1999).
Berdasarkan uraian diatas peneliti bermaksud meneliti tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di Pondek Peantren Salafiyah -
syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo.Berdasarkan uraian di atas maka muncul pertanyaan masalah, faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di Pondok Pesantren di
Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo.
B. TINJAUAN PUSTAKA.1. Konsep Skabies.
a. Definisi.
Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes. Scabiei yang
mengadakan iritasi kulit oleh karena parasit ini menggali parit-parit di dalam
epidermis sehingga menimbulkan gatal-gatal dan merusakkan kulit penderita
(Soedarto, 1996).
b.
Epidemiologi.
Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat, dapat
mengenal semua ras, golongan dan umur di seluruh dunia. Banyak dijumpai pada anak
dan dewasa muda, dapat mengenai semua umur, insiden sama pria dan wanita
(Harahap. M 2000).
Cara penularan (transmisi):
1) Kontak langsung (kontak langsung dengan kulit), misalnya : berjabat tangan, tidur
bersama dan hubungan seksual.
2) Kontak tak langsung (melalui benda) misalnya : pakaian, handuk seprei, bantal dan
lain-lain.
Penularan biasanya oleh sarcoptes skabies betina yang sudah dibuahi atau
kadang-kadang dalam bentuk larva. Dikenal pula sarcoptes scabies var animalis yangkadang-kadang dapat menulari manusia, terutama pada hewan peliharaan misalnya
anjing (Djuanda, 1999).
c. Etiologi.
Sarkoptes skabies termasuk filum Arthropoda, kelas Arac honida, ordo Ackarima,
super familly Sarcoptes. Pada manusia disebut sarcoptes scabies var horminis. Kecuali itu
terdapat sarcoptes scabies yang lain, misalnya pada kambing dan babi (Djuanda, 1999).
Secara marfologi sarcoptes merupakan tungau kecil yang berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata. Tungau intranslusen, berwarna putih kotor, dan
tidak bermata, ukurannya yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350,
sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk
dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang didepan sebagai alat untuk melekat dan 2
pasang kaki belakang pada bentuk berakhir dengan rambut, sedangkan pada jantan
pasangan kaki kanan 3 berakhir pada rambut dan ke 4 berakhir dengan alat pelekat.
Siklus hidup tungau ini sebagai berikut, setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi
diatas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari
dalam terowongan yang digali oleh betina. Tungau betina yang dibuahi menggali
terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2–3 mili meter sehari dan
sambil melekat telurnya 2–4 butir sehari mencapai 40 atau 50, bentuk betina yangdibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telur akan menetas biasanya dalam waktu 3–
5 hari dan menjadi larva yang mempunayi 2 pasang kaki. Larva ini tinggal dalam
terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2–3 hari larva akan menjadi neiya yang
mempunyai 2 betuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki. Seluruh hidupnya mulai
dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8–12 hari. Tungau dapat
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
31/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
27
hidup diluar kulit hanya 2–3 hari dan pada suhu kamar 21oC dengan kelembaban relatif40% - 80 % (Djuanda, 1999).
d. Patogenese.
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya tungau skabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasiterhadap sektreta dan eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan
setelah infeksi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya popula, vesikula, ekskoreasi, krusta dan infeksi skander.
e. Gejala klinis.
Ada 4 tanda gejala kardinal :
1) Pruritas rukturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktifitas
tungau ini lebih tinggi pada suhu lembab panas.
2) Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu juga pada
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal juga keadaan
hiposensitisasi, dimana penderita mengalami infeksi tungau, tetapi tidak
memberikan gejala walaupun seluruh anggota keluarga terserang skabies,
penderita ini bersifat sebagai pembawa (carries)
3) Adanya terowongan (kurikulus) pada tempat-tempat predileksi berwarna putih
keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelole, rata-rata panjang 1 cm, pada
ujung terowongan ditemukan paula atau vesikel . Jika timbul infeksi sekunder
ruang kulitnya menjadi polimaf (pustula, eksroreasi, dan lain-lain). Tempatnya
predileksi tersebut biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang
tipis yaitu : sela-sela jari tangan, pergelangan tangan , bagian volar, siku bagian
luar, lipat ketiak bagian depan, areola mamae (wanita), umbilicus, bokong,
genetalia eksterna (pria) dan bagian perut bawah. Pada bayi dapat menyerang
telapak tangan dan telapak kaki.4) Menemukan tungau dengan cara biopsi kulit ini merupakan hal yang diagnostik,
dapat ditemukan satu atau lebih stadium tungau hidup ini.
f. Diagnosis.
Cara menemukan tungau skabies :
1) Carilah mula-mula terowongan kemudian pada ujung yang terlihat papula atau
vesikel dicongkel dengan jarum dan diletakkan di atas sebuah kaca obyek, lalu
ditutup dengan kaca penutup dan dilihat dengan mikroskop cahaya.
2) Dengan cara menyikat dengan sikat dan ditampung diatas selembar kertas putih
dan dilihat di kaca pembesar.
3) Dengan membuat scratch test , caranya : lesi dijepit dengan 2 jari, kemudian dibuat
irisan tipis dengan pisau dan diperiksa dengan mikroskop cahaya dan pewarnaan
H.E.
g. Pengobatan.
1) Syarat obat yang ideal adalah :
a) Harus efektif terhadap semua stadium tungau.
b) Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksin.
c) Tidak berbau, kotor, serta tidak merusak atau mewarnai pakaian.
d) Mudah diperoleh dan harganya murah.
2) Jenis obat yang topical :
a) Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20 % bentuk salep atau
krim. Preparat ini tidak efektif terhadap stadium telor, maka penggunaannya
tidak boleh lebih dari 3 hari. Kekurangannya yang lain adalah berbau atau
mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi.
-
8/17/2019 Hospital Majapahit Vol 2 No 1
32/113
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 1, Februari 2010
28
b) Emulsi benzil , benzoat (20-25%) efektif terhadap semua stadium diberikan
setiap malam selama 3 kali. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi dan
kadang-kadang gatal setelah dipakai.
c) Gamma benzena heksa klorida (gameksan = gamexane) kadar 1 % dalam krim
atau losio termasuk obat pilihan karena efektf terhadap semua stadium,mudah digunakan dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada
anak dibawah 6 tahun dan waktu hamil, karena terhadap toksin susunan saraf
pusat, pemberian cukup sekali, kecuali masih ada gejala diulang seminggu
kemudian. Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulang
seminggu kemudian.
d) Krotamiton 10% dalam krim atau lasio yang merupakan obat pilihan
mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal, harus dijauhkan dari
mata, mulut dan uretra.
h. Pencegahan.
Menghindari kontak langsung dan dapat juga melalui alat-alat : tempat tidur,
handuk dan pakaian, perjalanan penyakit ini erat hubungannya dengan kebersihan
perorangan dan kebersihan lingkungan.
2. Konsep Personal Hygiene. Kebersihan adalah yang terpenting. Kebersihan mengandung pengertian yang luas
yang mempunyai kaitan baik dengan kebersihan pribadi atau kebersihan lingkungan, yaitu
wilayah sekitar kita bertempat tinggal dan bekerja (Gunawan, R, 1997).
Kata hygiene berasal dari mitologi purba yaitu hygiene, dewi kesehatan dari Yunani.
Adapun arti dari hygiene berarti sehat, personal hygiene berarti tindakan memelihara
kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan dan psikisnya (Wolf dkk, 1994).
Personal hygiene mempunyai arti yang besar dalam memelihara dan
mempertahankan kehidupan seseorang. Setiap orang mempunyai tuntunan dan pandangan
yang berbeda mengenai kebutuhan personal hygiene, menurut Wolf, dkk (1994) antara lainsebagai berikut :
a. Mandi.
Maksud terpenting dari mandi adalah membersihkan kulit, air untuk mandi
disesuaikan dengan keinginan seseorang, sebaiknya memakai sabun dengan
kandungan anti septik kemudian dikeringkan dengan handuk, menggosok dengan
handuk jangan terlalu keras takut iritasi, setelah itu bisa ditaburkan bedak/deodoran
sesuai dengan keinginan, yang perlu diperhatikan adalah lipatan-lipatan kulit untuk
diperhatikan dengan seksama. Mandi yang dianjurkan minimal 2x sehari.
b. Pakaian.
Harus sering diganti serta dibersihkan. Kebersihan pakaian juga merupakan hal
yang perlu diperhatikan (minimal 2x sehari).
c.
Kuku.
Harus digunting pendek dan tidak mempunyai ujung yang runcing. Ujung kuku
yang tajam dapat menimbulkan kerusakan kulit.
d. Tangan.
Dicuci di bawah kran yang mengalir dengan menggunakan sabun dan juga
setelah dari toilet. Dianjurkan mengeringkan dengan handuk kecil yang terbuat dari
kain.
e. Rambut.
Dapat menyimpan banyak kuman penyakit, oleh karena itu dapat menjadi
sumber infeksi, sehingga menggantung sampai kebahu