Download - Makalah Jigsaw Final Doc
LAPORAN JIGSAW
Blok Endokrin & Metabolisme (MAC 308)
PBL 7:
Astrellatiffany : 2012.060.039
Cyntia. T. A : 2012.060.041
Yuri Fitri Budiman : 2012.060.054
Cindy Caroline : 2012.060.089
Denish Gunawan : 2012.060.090
Garry Grimaldy : 2012.060.109
Christy : 2012.060.165
Stefanie Louissa : 2012.060.166
Jonathan : 2012.060.176
Yustinus : 2012.060.195
Felicia : 2012.060.197
Yonathan Ardhana : 2012.060.208
Claudia Vebrianti : 2012.060.209
Fakultas Kedokteran
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
2015
Retinopati diabetik
Definisi:
Suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan sumbatan dari
pembuluh darah yang memperdarahi jaringan mata yang sensitif terhadap cahaya (retina),
seperti: arteriol pre-kapiler retina, kapiler-kapiler, dan vena retina.
Epidemiologi:
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia
dewasa antara umur 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kali lebih mudah
mengalami kebutaan dibanding non-diabetes. Retinopati diabetik dapat terjadi pada siapa saja
yang yang memiliki DM tipe I atau DM tipe II.
Etiologi:
Penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun keadaan
hiperglikemia kronis memiliki hubungan terhadap perkembangan retinopati diabetik.
Ada tiga proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia:
Jalur poliol
Poliol: suatu senyawa gula dan alkohol.
Hiperglikemia kronis menyebabkan produksi berlebihan serta akumulasi dari poliol
dalam jaringan termasuk di lensa dan saraf optik. Sifat dari senyawa poliol: tidak dapat
melewati membrana basalis sehingga tertimbun dalam jumlah banyak di dalam sel dan
menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan gangguan morfologi
maupun fungsional sel.
Glikasi non-enzimatik
Glikasi non-enzimatik terhadap protein dan asam deoksiribonukleat (DNA) yang terjadi
selama hiperglikemia dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA. Protein
yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi
sel.
Protein kinase C/PKC
PKC memiliki pengaruh terhadap permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis
membrana basalis dan proliferasi sel vaskular. Pada saat hiperglikemia, aktivitas PKC di
retina dan endotel meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol
(suatu regulator PKC) glukosa.
Faktor risiko
Durasi dari diabetes
Semakin lama menderita diabetes, risiko terkena retinopati diabetik semakin besar.
Kontrol glukosa
Penurunan hemoglobin glikosilasi menunjukkan penurunan yang signifikan juga
terhadap terjadinya retinopati daibetik.
Usia
Terjadinya peningkatan prevalensi terjadinya retinopati diabetik pada DM tipe 1
seiring bertambahnya usia.
“ Pasien dengan diabetes mellitus tipe I tidak mengalami retinopati hingga 3-5 tahun
awitan penyakit, penderita dengan DM tipe II sering mengalami retinopati diabetik
pada saat di diagnosis.”
Hipertensi
Kolesterol yang tinggi
Pubertas
“Post-menarchal 3.2 kali lebih berisiko dari pada pre-menarchal”
“Orang berumur lebih dari 13 tahun saat didiagnosis DM memiliki risiko yang lebih
besar terkena retinopati daibetik dibandingkan pada usia yang lebih muda.”
Kehamilan
“Ibu hamil dengan DM tipe I memiliki risiko dua kali lebih besar dibanding wanita tidak
hamil.”
Patofisiologi
1. Retinopati diabetik non proliferative.
Pada pasien diabetes mellitus terjadi hiperglikemia yang menyebabkan tingginya
aldose reduktasese hingga terjadi ketidakseimbangan elektrolit dan kematian sel perisit
retina. Hiperglikemia juga bersifat toksik pada membrane basalis sehingga terjadi
penebalan membrane basalis yang disertai pelepasan endotel pembuluh darah retina dari
membrane basalis. Dinding endotel juga melemah dan membentuk mikroaneurisma.
Akibatnya terbentuk celah yang menyebabkan pengeluaran plasma, eritrosit dan platelet
sehingga membentuk hard eksudat dan hemoragik blot. Edema macula merupakan
penyebab terjadinya gangguan penglihatan. Hal ini dikarenakan oleh rusaknya sawar
darah retina bagian endotel kapiler sehingga ada kebocoran cairan dan plasma ke dalam
retina dan sekitarnya. Edema ini tampak sebagai eksudat kuning berisi lemak di sekitar
aneurisma. Terutama di bagian temporal macula.
2. Retinopatidiabetik proliferative.
Merupakan stadium yang paling berat dimana terjadi penyumbatan kapiler
mikrovaskuler (hemoragic blot) dan kebocoran plasma berlanjut disertai iskemik pada
dinding retina. Pada perkembangannya akan terjadi neovaskularisasi atau pembentukan
pembuluh darah baru yang abnormal dan dapat menembus jaringan vitreus. Selain itu
neovaskularisasi juga dapat mengganggu aliran cairan aqueous humor sehingga pada
penderita retinopati diabetic proliferative dapat terjadi glaucoma. Ciri khas dari stadium
ini adalah cotton wool spot, blot haemorrage, intra retinal microvascular abnormal, dan
rangkaian vena sepertimanik-manik.
Manifestasi Klinis
A. Non-poliferatif retinopati diabetik :
Mikroaneurisma ( terdeteksi pertama kali di inner nuclear layer dari retina ).
Hemoragi blot dan hemoragi dot ( terdapat di middle retinal layer ).
Eksudat keras ( terdapat diantara inner plexiform layer dan inner nuclear layer ).
o Vascular beading, vascular looping, sausage like segmentation dari vena
o Cotton wool spots / eksudat lunak / infark serabut saraf
( dikarenakan adanya oklusi kapiler dari lapisan serabut saraf retina )
Abnormalitas mikrovaskular intraretina ( pembuluh darah kolateral + ).
Edema retina ( dikarenakan adanya penumpukan cairan diantara outer plexiform layer
dan inner nuclear layer nantinya edema akan menyebar ke seluruh lapisan retina).
B. Poliferatif retinopati diabetik
Tahap lanjut dari non-poliferatif retinopati diabetik.
Neovaskularisasi + ( new vessels at disc atau new vessels elsewhere )
Tatalaksana
• Kontrol sistemik ( kontrol tekanan darah,kadar HbA1C, cegah terjadinya anemia, kontrol
kadar kolesterol darah )
• Fotokoagulasi laser ( untuk pasien dengan PDR dan severe NPDR )
• Pars plana vitreous surgery ( pars plana vitrectomy )
• Farmakoterapi
• Kortikosteroid inhibisi aktivitas VEGF yang berperan dalam pembentukan
neovaskularisasi
• Aldose reduktase inhibitor mencegah terjadinya kematian sel kapiler dan
mikroaneurisma.
• Long acting octreotide ( analog somatostatin dan GF ) memperlambat
progresivitas dari retinopati, namun tidak berpengaruh dalam memperbaiki
ketajaman pengelihatan
• ACE Inhibitors menghambat VEGF
Prognosis
• Poliferatif diabetik retinopati
10% meninggal
50% mengalami kebutaan
• Pasien dengan poliferasi pada bagian perifer memiliki prognosis pengelihatan yang lebih
baik daripada poliferasi pre- dan peri-papiler.
• Pasien dengan retinopati diabetik yang diikuti dengan kontrol kolesterol yang buruk
memiliki prognosis yang buruk.
HHNS
Definisi dan Diagnosis
Keadaan HHNS (Hyperglicemic Hyperosmolar Nonketotic Syndrome) merupakan suatu
kegawatdaruratan medis, biasa terjadi pada pasien lanjut usia, namun dapat terjadi pada pasien
dewasa muda dan remaja, biasa merupakan awal dari manifestasi DM tipe2. Memiliki mortalitas
lebih tinggi dari DKA dan berkomplikasi dengan gangguan vascular. Keadaan ini memiliki onset
beberapa hari dan manifestasi dehidrasi dan gangguan metabolism yang lebih ekstrim. HHNS
adalah suatu komplikasi dari Diabetes Mellitus tipe 2 yang dapat bersifat life-threatening.
Biasanya ditandai dengan keadaan hiperglikemi, dehidrasi sel, peningkatan osmolalitas serum,
tanpa adanya asidosis.
Epidemiologi
5-15% dari keadaan darurat akibat kondisi hiperglikemik disebabkan HHNS. Pada orang
dewasa prevalensi terjadinya HHNS 17.5/ 100.000 orang per tahunnya. Hasil survey di USA
yang terbaru menyatakan 4% dari anak-anak penderita DM tipe 2 mengalami komplikasi HHNS.
Setiap tahunnya insidensi HHNS meningkat seiring dengan peningkatan angka terjadinya
obesitas pada anak-anak dan remaja. Pada penelitian yang dilakukan di University of Illinois
College og Medicine, terdapat rata-rata kematian pada pasien DM dengan HHNS 10-15% lebih
besar disbanding dengan pasien DM dengan Diabetes ketoasidosis.
Patofisiologi
HHNS berawal dari DM 2 yang menyebabkan diuresis glukosuria. Adanya glukosa yang
berlebih pada ginjal akan menyebabkan absorbsi air terganggu sehingga banyak air yang
diekskresi. Pada orang dengan fungsi ginjal normal, saat kadar gula dalam darah melewati
ambang batas, akan terjadi glikosuria dan diuresis osmotik sebagai usaha tubuh untuk membuang
kelebihan glukosa (normal range 180-250 mg/dl), namun lama kelamaan volume cairan di
pembuluh darah akan menurun akibat proses diuresis osmotic ini, perfusi darah ke ginjal akan
menurun dan akhirnya mengganggu fungsi ginjal untuk mengeksresi kan glukosa yang berlebih.
Diuresis osmotic juga menyebabkan hilangnya elektrolit seperi sodium, potassium,
magnesioum, dan fosfat. Ekskresi air melalui urin akan melebihi ekskresi sodium, sehingga
terjadi dehidrasi hipertonik pada sel tubuh. Pada HHNS, penyebab tidak terjadinya ketoasidosis
masih diperdebatkan. Salah satu sumber menyebutkan hal ini disebabkan pankreas dapat
memproduksi insulin dalam jumlah kecil, insulin ini cukup untuk mencegah terjadinya lipolisis
dari jaringan tubuh.
Manifestasi Klinis
HHNS dapat bersifat asimtomatik, sehingga sulit untuk didiagnosis. Biasanya HHNS ada
pada pasien dewasa dengan DM 2 yang tidak diketahui atau dengan DM 2 yang sedang dalam
masa terapi farmakologis. Obat-obat diuretik sering kali menyebabkan dehidrasi berat pada
pasien.
Gejala umum yang biasanya dialami pasien HHNS yaitu polidipsi, poliuri, penurunan
berat badan, dan dehidrasi. Dehidrasi ditandai dengan berkurangnya turgor kulit, mukosa bukal
yang kering, dan suhu pada ujung-ujung ekstrimitas yang menurun akibat kurangnya perfusi ke
perifer. Gejala dehidrasi tersebut akan hilang apabila dilakukan rehidrasi cairan dengan segera.
Gejala lainnya yang mungkin terjadi antara lain kulit kering, takikardi, hipotensi, JVP rendah,
penuruntan status mental, dan di beberapa pasien terjadi kelainan neurologi fokal (hemiparesis,
hemianopsia, atau kejang) serta dapat menjadi koma. Pada pasien koma, osmolalitas serum >350
mOsm/ kg. Dehidrasi pada pasien HHNS meningkatkan risiko thrombosis vascular, termasuk
thrombosis pada otak dan oklusi arteri mesenteric.
1. Diagnosis
Diagnosis laboratorium pada HHNS:
Gula darah >600 mg/ dL
Osmolaritas serum >320 mOsm/ kg air
pH >7,3
ketonemia: negative atau dalam jumlah sangat rendah.
Potassium: normal atau naik dalam jumlah rendah
Tatalaksana
Tujuan teapi pada HHNS adalah menyembuhkan etiologi penyebab keadaan ini dengan:
Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang
Menormalkan elektrolit dalam tubuh
Normalkan osmolalitas
Terapi insulin
Mencegah thrombosis vena dan arteri serta komplikasi lain
1. Fluid therapy
Mengembalikan cairan intravascular yang hilang untuk perfusi ke ginjal, otak,
dan organ lain yang adekuat. Tonisitas cairan perlu diperhatikan, bila penurunan gula
darah terjadi tiba-tiba, dapat menyebabkan edema otak. Pemberian cairan IV bertujuan
mendapatkan keseimbangan dengan 3-6 liter selama 12 jam, dan penggantian kelhilangan
cairan sisanya pada 12 jam berikutnya. Biasanya cairan yang digunakan adalah cairan
isotonik sampai pasien stabil (0.9% saline). Apabila kondisi pasien tidak membaik, ganti
dengan saline 0.45% dengan insulin.
Pemberian Na kedalam plasma tidak boleh melebihi 10 mmol/L dalam 24 jam.
Ketika gula darah mencapai 250 – 300 mg/dl, dapat ditambahkan dextrose 5% dan insulin
dapat diturunkan. Pasien diedukasikan untuk minum ketika sudah normal dan stabil, serta
memonitor pasien agar tidak terjadi komplikasi.
2. Menormalkan elektrolit dalam tubuh
Terapi potassium
Apabila kadar potassium dalam darah kurang dari 3,3 mEq/ L maka diberikan
insulin dan potassium sampai kadar mencapai 3,3 mEq/ L. Apabila kadar
potassium antara 3,3 dan 5 mEq/ L, maka potassium diberikan secara IV sampai
kadar mencapai 4 – 5 mEq/ L. apabila kadar potassium ada diatas 5 mEq/ L, maka
potassium tidak diberikan sampai kadar kurang dari 5 mEq/ L.
Terapi fosfat
Penggantian kadar fosfat dilakukan apabila kadarnya dalam tubuh < 1 mEq/ L
dan terdapat kelemahan otot. Penurunan kadar fosfat dapat menyebabkan
pergeseran kurva disodiasi oksigen ke kiri. Hilangnya fosfat akan digantikan dari
infuse 0.2-0.3 mEq/kg
Terapi insulin dan Hiperosmolaritas
Insulin dalam dosis rendah dibutuhkan untuk koreksi kelainan metabolik pada pasien HHNS,
kadar gula darah tidak boleh berubah drastis untuk menghindari edema serebral. Insulin
diberikan dalam bolus inisial 0,15 U/ kg IV dengan drip 0,1 U/ kg sampai glukosa darah
mencapai kadar 250-300 mg/ dL. Setelah glukosa darah sampai pada kadar 300 mg/ dL, maka
segera tambahkan dekstrose sampai kedaan hyperosmolar hilang. Apabila pasien sudah dapat
makan kembali, insulin IV dapat diganti dengan insulin subkutan.
Diabetes Ketoasidosis
Definisi
Diabetes Ketoasidosis (DKA) adalah komplikasi akut dari diabetes mellitus yang sering
terjadi dan dapat menyebabkan kematian. Keadaan ini terjadi apabila glukosa tidak dapat masuk
ke dalam sel atau dipakai sebagai sumber energi karena tidak ada maupun kurangnya insulin.
Akhirnya sumber energi dipecah dari lemak dan menghasilkan produk samping berupa keton.
Komplikasi ini paling sering terjadi pada diabetes melitus tipe 1 karena destruksi sel β pankreas
menyebabkan defisiensi insulin yang sangat berat.
Patofisiologi
Keadaan defisiensi insulin memicu pelepasan hormon counterregulatory yaitu
katekolamin, kortisol, glukagon, dan GH yang berfungsi untuk meningkatkan produksi glukosa,
namun juga menurunkan penggunaan glukosa. Keadaan defisiensi insulin yang berat
menurunkan uptake glukosa, meningkatkan degradasi lemak yang menghasilkan pelepasan asam
lemak bebas, sehingga memicu jalur glukoneogenesis dan ketogenesis di hati.
Pengaktifan jalur glukoneogenesis akibat kurangnya insulin menghasilkan produk β-
hidroksibutirat dan asam asetoasetat yang berlebihan sehingga meningkatkan konsentrasi keton
dalam darah. Pembentukan keton menyebabkan penurunan pembentukan bikarbonat, sehingga
hiperketonemia memungkinkan terjadinya peningkatan asam tanpa mengalami netralisasi oleh
bikarbonat sebagai buffer darah. Oleh karena itu, orang yang mengalami hiperketonemia juga
mengalami asidosis metabolik.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis yang sering dijumpai pada pasien diabetes dengan ketoasidosis adalah
pernapasan Kussmaul karena pasien mengalami asidosis metabolik sehingga tubuh melakukan
kompensasi pengeluaran asam dengan cara membuang CO₂ dari pernapasan.
Gambaran klinis lain dapat dijumpai adanya muntah, nyeri abdomen, dehidrasi dan
tercium aroma aseton pada pernapasan pasien.
Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk pasien DKA :
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk pasien DKA :
Pemeriksaan Hasil
HbA1C Mengontrol level glukosa pada pasien DM
Anion gap (elektrolit) Biasanya >15 mEq/L
pH gas darah < 7,30 (darah yang digunakan biasanya darah
arteri, namun pengambilan darah vena juga dapat
diterima)
BUN, level kreatinin Biasanya meningkat karena dehidrasi dan
penurunan perfusi ke ginjal
CBC Biasanya meningkat pada pasien DKA
EKG Melihat status KV akibat kadar kalium seperti
Kriteria DKA Keadaan
Hiperosmolar
Hiperglikemia
Mild
(Glukosa >
250 mg/dl)
Moderate
(Glukosa >
250 mg/dl)
Severe
(Glukosa >
250 mg/dl)
Glukosa > 600
mg/dl
Anion gap >10 mEq/L >12 mEq/L >12 mEq/L Bervariasi
pH 7,24-7,30 7,0-7,24 <7,0 >7,30
Status
mental
Sadar Sadar Stupor/koma Stupor/koma
Keton serum + + + -
Bikarbonat
serum
15-18 mEq/L 10-15
mEq/L
<10 mEq/L >18 mEq/L
Keton urin + + + -
iskemia dan MI
Bikarbonat serum < 18 mEq/L
Glukosa serum Biasanya > 250 mg/dl
Keton serum Biasanya 7-10 mmol/L
Magnesium serum Dapat rendah atau normal karena diuresis
osmotik
Fosfat serum Normal atau meninggi, namun mudah dikoreksi
dengan treatment
Kalium serum Bervariasi
Natrium serum Biasanya rendah
Osmolalitas serum >320 mOsm/kg
Urinalisis Melihat kondisi glikosuria atau ketonuria. Dapat
juga digunakan untuk mendeteksi UTI
Tatalaksana
a. Fluid Replacement
Apabila ditemukan tanda-tanda dehidrasi, maka fluid replacement harus
segera dilakukan. Larutan yang biasa digunakan adalah saline 0,9% sebesar 15-20
ml/kgBB/jam atau 1 L/jam. Setelah itu monitoring status pasien (status
kardiovaskular, status mental, TTV, level elektrolit, urin). Setelah pasien dalam
keadaan stabil, maka larutan yang diberikan dapat diturunkan hingga 4-14
ml/kgBB/jam atau 250-500 ml/jam.
Apabila setelah pemberian cairan level Na kembali normal atau tinggi (> 135
mEq/L) maka larutan saline 0,9% dapat diganti dengan saline 0,45%. Dekstrosa
dapat ditambahkan apabila level glukosa < 200 mg/dl.
b. Insulin
Untuk mengkoreksi hiperglikemia, maka ditambahkan insulin ke dalam
cairan IV 1-2 jam setelah cairan IV diberikan. Dengan pemberian insulin biasanya
level glukosa akan menurun sebesar 50-70 mg/dl setiap jam nya. Setelah level glukosa
< 200 mg/dl maka kadar insulin dapat diturunkan dari 0,14 unit/kg/jam menjadi 0,05-
0,1 unit/kg/jam dan dapat ditambahkan dekstrosa untuk mempertahankan level
glukosa 150-200 mg/dl. Insulin dapat diberikan juga secara subkutan menggunakan
analog insulin kerja cepat seperti Lispro untuk alternatif pemberian insulin secara
intravena.
c. Kalium
Level kalium diobservasi setiap 2-4 jam sekali pada tahap awal DKA.
Apabila level kalium masih normal, maka kalium dapat diberikan 10-15 mEq/jam.
Dalam tatalaksana DKA, tujuan utamanya adalah mencapai level kalium 4-5 mEq/L.
Apabila level kalium 3,3-5,2 mEq/L tetapi output urin masih normal, maka kalium
dapat diberikan 20-30 mEq/jam. Apabila level kalium >5,3 mEq/L, maka diberikan
terapi insulin tanpa kalium hingga level kalium berada pada 3,3-5,2 mEq/L. Beberapa
guideline merekomendasikan kalium yang digunakan adalah kalium klorida (KCl), ada
juga beberapa bentuk kalium lain yaitu kalium fosfat (K3PO4) atau kalium asetat
(KCOOH)
d. Bikarbonat
Terapi bikarbonat pada pasien DKA masih kontroversial karena dalam
beberapa studi ditemukan bahwa pemberian bikarbonat pada pasien DKA dengan pH
6,9 hingga 7,1 tidak memberikan efek yang berarti. Namun American Diabetic
Association dalam guidelines nya merekomendasikan penggunaan bikarbonat pada
pasien dengan pH < 6,9. Bikarbonat yang digunakan sebanyak 100 mEq ditambah 400
ml air steril dan 20 mEq KCl sebanyak 200 ml per jam. Terapi diulang setiap 2 jam
hingga pH pasien naik di atas 6,9.
e. Fosfat dan Magnesium
Defisiensi fosfat dapat menyebabkan kelelahan otot, rhabdomyolisis,
hemolysis, respiratory failure, dan aritmia jantung. Karena itu apabila level fosfat <
1 mg/dl segera tambahkan kalium fosfat sebanyak 20-30 mEq ke dalam cairan
IV.Sedangkan defisiensi magnesium dapat menyebabkan kram otot, tremor,
parestesi, kejang, dan aritmia jantung. Pemberian magnesium dilakukan apabila level
magnesium < 1,2 mg/dl.
Prognosis
Mortality rate untuk DKA adalah 0,2-2% dan kebanyakan terjadi di negara berkembang.
Adanya kondisi koma, hipotermia, dan oliguria biasanya menandakan prognosis yang buruk.
Pasien dengan DKA yang diterapi dengan baik memiliki prognosis yang sangat baik, terutama
pada pasien yang masih muda. Prognosis terburuk biasanya terjadi pada pasien lansia yang
mengalami sakit berat (MI, sepsis, pneumonia) ketika mengidap DKA apalagi bila pasien ini
tidak diterapi di ICU.
Sebelum ditemukan insulin tahun 1992, mortality rate DKA mencapai 100%. Namun
dalam 3 dekade terakhir mortality rate DKA menurun dari 7,96% mencapai 0,67%.
Penyebab kematian utama pada pasien DKA adalah edema serebral. Penyebab lainnya
adalah hipokalemia berat, adult respiratory distress syndrome dan kondisi komorbid seperti
pneumonia dan MI.
Hipoglikemi
Epidemiologi
Sekitar 90% penderita diabetes yang mendapatkan terapi insulin pernah mengalami
episode hipoglikemi. Pada pendeita DM tipe 1 rata-rata pernah mengalami 2 episode
hipoglikemia simptomatik/ minggu dan 1 epidose hipoglikemi berat/ tahun. Sekitar 2-4% dari
populasi mengalami kematian akibat hipoglikemi. Pada DM tipe 2 frekuensi hipoglikemi lebih
rendah. Risiko pasien DM tipe2 mengalami hipoglikemi berat di beberapa tahun awal yaitu
sekitar 7% dan meningkat 25% pada perjalanan penyakit lebih lanjut, insiden hipoglikemi sangat
terkait dengan control glikemi yang ketat.
Definisi
Hipoglikemia adalah kondisi yang dikarakterisasi dengan rendahnya glukosa darah secara
abnormal, biasanya kurang dari 70 mg/dl.
Etiologi
Penyebab hipoglikemi terkait diabetes mellitus adalah akibat dari medikasi atau dosis
pemakaian insulin yang berlebih. Penyebab lain yang memungkinkan terjadinya hipoglikemi
terutama pada pasien diabetes mellitus adalah kandungan karbohidrat yang terlalu sedikit dalam
makanan, melewatkan jam makan, aktivitas fisik berlebihan, dan konsumsi alkohol berlebih.
Fisiologi kounter regulasi glukosa
Ambang Glikemik
Penurunan konsentrasi glukosa plasma secara normal berespons sebagai berikut :
1. Peningkatan konsentrasi insulin seiring dengan penurunan konsentrasi glukosa pada batas
fisiollogis. Secara fisiologis, konsentrasi glukosa plasma postabsorsi adalah 72-108 mg/dl
(4,0-6,0 mmol/l).
2. Peningkatan sekresi glukagon dan epinefrin seiring dengan penurunan konsentrasi
glukosa dibawah batas fisiologis. Ambanng glikemik adalah 65-70 mg/dl (3,6-3,9
mmol/l)
3. Munculnya gejala neuroglikopenik dan neurogenik serta gangguan kognitifpada
konsentrasi glukosa yang lebih rendah, yaitu 50-55mg/dl (2,8-3,0 mmol/l)
Mekanisme Glikemik
Penurunan konsentrasi glukosa dideteksi oleh hipothalamus dan beberapa regio otak
lainnya serta situs visceral, seperti vena portal, dan diteruskan ke sistem saraf pusat lewat nervus
kranial (aferen parasimpatik) pada sistem sensoris viscera, terutama N. Vagus, serta melewati
saraf spinal (aferen simpatik). Signal-signal tersebut akan diintegrasikan di otak dan
menyebabkan terjadinya respon otonom pada hipothalamus dan melibatkan batang otak.
Hipoglikemia memicu peningkatan signal pada neuron simpatik dan simpatoadrenal sert
parasimpatik. Hipoglikemi juga menyebabkan peningkatan sekresi growth hormone dan
adrenokortikotropin sebagai respon dari hipofisis. Lewat mekanisme yang meningkatkan
aktivitas otonom, hipoglikemia juga dapat menyebabkan penurunan sekresi insulin oleh β-cel
dan peningkatan sekresi glukagon oleh α-cell.
Sekresi insulin tergantung dari konsentrasi glukosa. Seiring dengan penurunan
konsentrasi glukosa, insulin juga menurun; sekresi insulin hampir berhenti pada keadaan
hipoglikemia. Sekresi insulin juga dapat menghambat α2-Adrenergik karena aktivasi
simpatoadrenal.
Sebagai hasil dari penurunan sekresi insulin, peningkatan sekresi glukagon, dan aktivasi
otonomik dan hipofisis yang disebabkan karena hipoglikemia terjadi peningkatan produksi
glukosa endogen, pembentukan glukosa oleh jaringan lain selain otak, peningkatan lipolisis dan
proteolisis, serta peningkatan tekanan darah sistolik dan heart rate.
Pertahanan terhadap Hipoglikemia
Kounterregulasi glukosa adalah mekanisme fisiologis yang mencegah atau memperbaiki
keadaan hipoglikemia. Penurunan sekresi insulin, yang membantu peningkatan produksi glukosa
hepatik dan renal serta penurunan utilisasi glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin,
seperti otot, adalah sistem pertahanan utama terhadap penurunan konsentrasi glukosa.
Peningkatan sekresi glukagon yang menstimulasi glikogenolisis dan membantu
glukoneogenesis sangat berperan penting dalam keadaan hipoglikemia. Peningkatan sekresi
epinefrin yang menstimulasi glikogenolisis dan glukoneogenesis yang selanjutnya akan memicu
glukoneogenesis dengan substrat lai, seperti asam amino, laktat, dan gliserol, serta membatasi
utilisasi glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin. Namun, akan menjadi berbahaya jika terjadi
defisiensi sekresi glukagon. Glukagon dan epinefrin bereaksi secara cepat untuk meningkatkan
konsentrasi glukosa plasma. Peningkatan sekresi kortisol dan growth hormone menghamabt
utilisasi glukosa oleh jaringan sensitif insulin dan membantu produksi glukosa pada jangka
waktu yang lebih lama berperan dalam pertahanan terhadap hipoglikemia yang berkepanjangan,
namun kortisol dan growth hormonetidak dapat secara cepat memperbaiki hipoglikemia
berkepanjangan atau mencegah terjadinya hipoglikemia setelah puasa semalaman, yaitu saat
tidur.
Insulin, glukagon, dan epinefrin merupakan faktor terpenting dalam kounterregulasi
glukosa. Tidak hanya insuli, namun sekresi ketiga hormon ini mengalami gangguan pada
diabetes tipe 1.
Patofisiologi Kounterregulasi Glukosa pada Diabetes
Diabetes tipe 1
Insulin eksogen yang berlebihan secara relatif maupun absolut menyebabkan konsentrasi
glukosa plasma menurun pada diabetes tipe 1. Seiring dengan penurunan level glukosa,
konsentrasi insulin tidak menurun, konsentrasi insulin tersebut tidak diregulasi dan sebenarnya
merupakan hasil dari absorbsi pasif dari insulin yang didapat dan farmakokinetiknya. Hal ini
menandakan bahwa sistem pertahanan utama terhadap hipoglikemia pda diabetes tipe 1 hilang.
Seiring dengan penurunan level glukosa, sekresi glukagon tidak mengalami peningkatan pada
diabetes tipe 1. Ini merupakan defek signaling, tidak ada respon sekresi glukagon terhadap
stimulus lain selain hipoglikemia. Mekanisme respon terhadap tidak adanya respon terhadap
hipoglikemia yang merupakan karakteristikmpada diabetes tipe 1 belum diketahui, tapi hal ini
dihubungkan dengan defisiensi insulin endogen.
Penurunan respon epinefrin pada keadaan hipoglikemia terjadi karena gangguan
fungsional dari medula adrenal. Namun, terjadi pula efek tambahan terhadap neuropati
otonomik. Respon epinefrin sebenarnya berguna untuk memperbaiki keadaan konsentrasi
glukosa plasma yang rendah.
Diabetes tipe 2
Pada diabetes tipe 2, hipoglikemia jarang terjadi. Hal ini terjadi karena, mekanisme
kounterregulasi glukosa ditemukan pada diabetes tipe 2 tahap awal. Frekuensi hipoglikemia
berhubungan dengan durasi terapi insulin. Pada keadaan defisiensi insulin progresif pada
diabetes tipe 2, pasien mendapatkan terapi insulin eksogen, hal ini meningkatkan frekuensi
terjadinya hipoglikemia pada diabetes tipe 2. Pasien tersebut akan mengalami defek pada
kounterregulasi glukosa seperti pada diabetes tipe 1. Pada pasien diabetes tipe 2 yang sudah
mengalami defisiensi insulin, juga mengalami kehilangan respon sekresi glukagon sebagai
respon terhadap hipoglikemia.
Diagnosis
Diagnosis hipoglikemi berdasarkan gejala klinis dan menggunakan Whipple’s Triad.
Gejala klinis timbul akibat keadaan hipoglikemi akan memicu pengeluaran hormon epinefrin dan
hormon stress sehingga timbulah gejala-gejala berupa cemas, penglihatan kabur, bingung,
pusing, fatigue, ngantuk, lemas, palpitasi, lapar, gugup, mimpi buruk, berkeringat, dan tremor.
Whipple’s Triad:
1. Kadar gula darah rendah (dibawah 70 mg/dL)
2. Gejala hipoglikemi yang timbul saat kadar gula darah rendah
3. Gejala hipoglikemi yang membaik setelah mendapat perawatan
Tata laksana
Prinsip prevensi
1. Penanganan diabetes mandiri (didukung edukasi dan pemberdayaan)
2. Monitor gula darah mandiri/ deteksi gula darah secara kontinyu
3. Insulin atau regimen obat lain yang fleksibel dan tepat
4. Kadar gula darah individu yang ingin dicapai
5. Pertimbangan faktor resiko hipoglikemi
6. Dukungan dan bimbingan professional
Peningkatan kesadaran akan hipoglikemi dilakukan dengan mengedukasi pasien. Penggunaan
long-acting basal insulin dapat menstabilkan kadar gula sehingga dapat mengurangi resiko
hipoglikemi. Penggunaan regimen basal-bolus insulin pump therapy juga menurunkan resiko
hipoglikemi.
Daftar pustaka RD:
• http://diabetes.diabetesjournals.org/content/16/10/728.full.pdf+html
• http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2636123/
• http://www.hindawi.com/journals/isrn/2013/343560/
• http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2636123/
• http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1005073
• http://m.care.diabetesjournals.org/content/26/suppl_1/s99.full
Daftar Pustaka HHNS:
http://www.diabetologists-abcd.org.uk/JBDS/JBDS_IP_HHS_Adults.pdf
http://www.aafp.org/afp/2005/0501/p1723.html
http://medind.nic.in/icb/t06/i1/icbt06i1p55.pdf
http://www.jpeds.com/article/S0022-3476%2809%2901192-5/abstract
http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/
9781627036962-c1.pdf?SGWID=0-0-45-1444221-p175373182
Daftar Pustaka DKA:
McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Rote NS. Pathophysiology : The biologic basis
for disease in adults and children. 6th Ed. Missouri:Elsevier; 2010.
Hyperglicemic crisis in adults : pathophysiology, presentation, pitfalls, and preventions
[Internet]. [cited 14 May 2015]. Available from:
http://clinical.diabetesjournals.org/content/27/1/19.full
http://www.aafp.org/afp/2013/0301/p337.html
http://emedicine.medscape.com/article/118361-overview#aw2aab6b2b7
Daftar pustaka Hipoglikemi:
1. http://care.diabetesjournals.org/content/26/6/1902.full
2. http://www.diabetes.org/living-with-diabetes/treatment-and-care/blood-glucose-control/
hypoglycemia-low-blood.html
3. http://www.nhshighland.scot.nhs.uk/YourHealth/Diabetes/Documents/
hypoalgorithm_vsn8.pdf
4. http://m.clinical.diabetesjournals.org/content/26/4/170.full
5. http://www.jdmdonline.com/content/pdf/2251-6581-11-17.pdf
6. http://guidelines.diabetes.ca/browse/chapter14