Pengaruh Koagulan untuk Pengolahan Air Danau UI yang Dipadu dengan Proses Ozonasi dan Filtrasi Guna Mendapatkan Air Bersih
Maylina Chandra Puspita, Anondho Wijanarko
Chemical Engineering Department, Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, Depok,
16424, Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak Krisis air bersih yang terjadi akibat pencemaran air mendorong dilakukannya suatu upaya pengolahan air untuk mendapatkan air bersih, salah satunya adalah dengan proses filtrasi. Namun, adanya fouling factor dan ketidakstabilan dari fluks menyebabkan kemampuan membran untuk menyeleksi zat yang melewatinya menjadi berkurang, sehingga kualitas hasil filtrasi menjadi tidak stabil dan cenderung menurun. Untuk mengatasi masalah tersebut, air perlu dipretreatment dengan proses koagulasi sebelum memasuki membran. Pada penelitian kali ini, tiga jenis koagulan yaitu aluminium sulfat, polialuminium klorida, dan polialuminium silikat klorida (PaSiC) dengan variasi dosis, yaitu 10, 30, 50, dan 70 ppm diuji dan dibandingkan untuk mendapatkan jenis dan dosis koagulan yang paling efektif untuk meningkatkan kualitas air berdasarkan parameter total dissolved solid, kekeruhan, dan pH. Efektifitas koagulasi dan kinerja membran filtrasi meningkat dengan penambahan koagulan PaSiC dengan dosis 50 ppm. Efektifitas koagulasi pada koagulan ini berdasarkan penurunan total dissolved solid sebesar 49.16 % dan kekeruhan sebesar 64.29%. Hasil akhir dari pengolahan air dengan koagulan PaSiC 50 ppm yang dipadu dengan proses ozonasi dan filtrasi menghasilkan air dengan pH 6.95, total dissolved solid sebesar 8.06 ppm dengan penurunan total sebesar 87.90% dan kekeruhan sebesar 0 FAU dengan penurunan total sebesar 100%. Influence of Coagulant for Water Treatment in UI Lake Combined with Ozonation and
Filtration Process to Get Clean Water
Abstract Clean water crisis caused by water pollution prompted a water treatment efforts to get clean water, one of them by filtration process. However, the presence of fouling factor and flux instability cause a membrane's ability to select the substances that pass through it become less, so the quality of filtration result becomes unstable and tends to decline. To overcome these problems, the water need to be pretreated by coagulation process before entering the membrane. In this research, three types of coagulant are aluminum sulphate, polyaluminium chloride, and polyaluminium silicate chloride (PaSiC) with varied dose of 10, 30, 50, and 70 ppm were tested and compared to getting the type and dose of coagulant that is most effective to improve the water quality based on total dissolved solid, turbidity and pH parameters. Coagulation effectivity and membrane filtration performance increase with the addition of PaSiC coagulant at a dose of 50 ppm. Coagulation effectivity of this coagulant based on reduction of total dissolved solid of 49.16% and turbidity of 64.29%. The final result of water treatment with PaSiC coagulant at 50 ppm combined with ozonation and filtration process produce water with a pH of 6.95, total dissolved solid of 8.06 ppm with total reduction of 87.90% and the turbidity of 0 FAU with total reduction of 100%. Keywords: Coagulant; Coagulation; Filtration; Ozonation; Water Treatment Pendahuluan
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang paling penting dalam kehidupan
manusia. Namun, semakin bertambahnya jumlah penduduk dan pertumbuhan industri, tingkat
kerusakan lingkungan juga semakin parah. Salah satu kerusakan lingkungan yang terjadi
adalah pencemaran air. Masalah air bersih akibat pencemaran air juga dirasakan di lingkungan
Universitas Indonesia. Enam danau di lingkungan Universitas Indonesia yang terdiri dari
Danau Kenanga, Danau Agathis, Danau Mahoni, Danau Puspa, Danau Ulin, dan Danau Salam
telah menunjukkan tanda-tanda tercemar. Tanda-tanda pencemaran terlihat dari kondisi air
Danau UI yang berwarna hijau kebiruan, berbau, dan berbusa. Pencemaran pada Danau UI
berasal dari tiga sumber, yaitu dari Pasar Kemiri Muka Depok, Kampung Bambon, dan
Kukusan, Beji. Air danau memiliki kemampuan untuk melakukan self purification. Namun,
beban limbah yang masuk ke dalam Danau UI sudah terlalu berat sehingga air danau tidak
sanggup melakukan self purification (Erwin, 2012). Untuk itu, perlu dilakukan pengolahan air
Danau UI.
Terdapat berbagai macam proses yang dapat digunakan untuk pengolahan air, salah
satunya adalah proses membran filtrasi. Proses filtrasi merupakan proses pengolahan air yang
paling sederhana yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas air dengan cara
memisahkan partikel pengotor yang terdapat dalam air berdasarkan ukurannya. Proses ini
memiliki kelebihan dibandingkan proses pengolahan air lainnya, diantaranya seperti
pemisahan dapat dilakukan pada temperatur ruangan tanpa adanya perubahan fasa, hemat
energi, prosesnya tidak dekstruktif terhadap zat-zat yang dipisahkan, dan tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan (Eva, 2005). Salah satu proses filtrasi yang digunakan
untuk pengolahan air bersih adalah reverse osmosis. Proses reverse osmosis menggunakan
membran dengan ukuran pori antara 0,0001 – 0,001 µm. Proses ini dapat menghilangkan
bakteri dan virus, zat warna karena adanya bahan organik tanpa menghasilkan zat kimia
berbahaya, dan ion multivalensi. Selain itu, membran reverse osmosis dapat menurunkan total
dissolved solid (TDS) sehingga kesadahan air menjadi berkurang.
Permasalahan besar dalam penggunaan membran pada proses pengolahan air adalah
adanya fouling factor dan ketidakstabilan dari fluks. Akibatnya, kemampuan membran untuk
menyeleksi zat yang melewatinya menjadi berkurang, sehingga kualitas hasil filtrasi menjadi
tidak stabil dan cenderung menurun. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan suatu
pretreatment sebelum air memasuki membran. Pretreatment yang dilakukan berupa proses
koagulasi (Eva, 2005). Koagulasi merupakan metode yang digunakan untuk memisahkan
senyawa dalam bentuk koloid dan suspensi yang terdapat dalam air. Efisiensi koagulasi-
flokulasi sangat mempengaruhi kinerja treatment secara keseluruhan. Peningkatan efisiensi
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
tahap koagulasi menjadi faktor kunci bagi peningkatan efisiensi treatment pengolahan air
secara keseluruhan (Zouboulis, 2008). Untuk itu, perlu dilakukan pengujian dan perbandingan
terhadap beberapa koagulan agar didapatkan koagulan yang paling efektif dalam pengolahan
air bersih terutama untuk mengatasi masalah fouling pada membran sehingga proses
pengolahan dan kualitas air yang dihasilkan menjadi lebih baik.
Tinjauan Teoritis
Pengolahan air bersih adalah suatu usaha teknis yang dilakukan untuk memberikan
perlindungan pada sumber air dengan cara perbaikan mutu air hingga mencapai mutu yang
diinginkan agar aman dipergunakan oleh masyarakat. Jenis pengolahan air bersih secara
umum dibagi menjadi tiga, yaitu penjernihan, pelunakan dan desinfeksi. Proses penjernihan
bertujuan untuk menurunkan kekeruhan dengan menurunkan kuantitas dari logam besi dan
mangan yang terdapat pada air. Proses pelunakan merupakan proses yang bertujuan untuk
menurunkan kesadahan pada air, sedangkan proses desinfeksi merupakan proses yang
bertujuan untuk membunuh bakteri pantogen yang terdapat pada air. Secara umum proses
pengolahan air bersih dibagi menjadi tiga proses dasar, yaitu proses kimia, fisika dan biologi.
Pemilihan proses sangat tergantung dari kualitas dan jenis pengotor pada air dan tujuan
pengolahan. Proses yang dipakai dapat hanya satu jenis saja atau perpaduan dari beberapa
proses (Teknik Lingkungan ITB, 2009).
a. Proses Koagulasi-Flokulasi
Koagulasi merupakan proses pengolahan air yang secara luas digunakan, karena
prosesnya sederhana, tidak memerlukan biaya yang mahal, efektif untuk mengurangi
kekeruhan dan bahan organik alami yang dapat menimbulkan bau, rasa yang tidak enak, dan
pertumbuhan bakteri pada air. Koagulasi dapat digunakan untuk memisahkan senyawa dalam
bentuk koloid dan tersuspensi yang terdapat dalam air dengan penambahan koagulan sehingga
terbentuk gumpalan (flok) yang nantinya akan mengendap pada bagian dasar bak penjernihan
sehingga dihasilkan air yang jernih. Koloid adalah partikel yang memiliki ukuran antara 1 –
0,1 nm. Partikel ini tidak dapat mengendap dan tidak dapat dipisahkan dengan proses-proses
perlakuan fisik konvensional.
Fenomena utama yang mengendalikan perilaku koloid adalah gaya Van Der Waals,
zeta potensial (gaya elektrostatik) dan gerak Brown. Gaya Van Der Waals adalah gaya yang
menyebabkan partikel-partikel koloid berkumpul membentuk agregat. Zeta potensial adalah
jumlah gaya tolak atau muatan listrik yang disebabkan karena adanya tumpang tindih lapisan
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
ganda elektrik yang bermuatan sama, yang mencegah aglomerasi dan pengendapan partikel di
dalam air. Mayoritas koloid memiliki muatan negatif sehingga zeta potensialnya rendah dan
koagulasi diinduksi oleh penambahan kation dengan valensi tinggi. Koagulasi optimum akan
terjadi ketika zeta potensialnya sama dengan nol.
Koagulasi dilakukan dengan penambahan bahan kimia atau biasa disebut koagulan.
Secara umum mekanisme koagulasi-flokulasi terdiri dari tiga tahapan (Roekmijati, 2005).
1. Koagulasi, proses destabilisasi partikel suspensi atau koloid melalui penetralan muatan
dengan penambahan koagulan yang memiliki muatan berlawanan dengan partikel koloid.
2. Flokulasi, partikel yang sudah stabil mengumpul dan membentuk mikroflok. Mikroflok
tersebut akan bersentuhan satu sama lain sehingga membentuk pinflok. Tumbukan dan
interaksi yang terus menerus antara pinflok dengan polimer organik atau anorganik
sehingga membentuk makroflok.
3. Sedimentasi, proses pemisahan makroflok dari cairan karena adanya gaya gravitasi.
Gambar 1. Mekanisme koagulasi-flokulasi
Destabilitasasi koloid merupakan aspek penting dalam proses koagulasi untuk
menghilangkan koloid. Partikel-partikel koloid penyebab kekeruhan di dalam air memiliki
muatan permukaan yang sejenis dan biasanya berupa muatan negatif yang disebabkan oleh
penggantian kation maupun adsorpsi zat anionik. Karena muatan partikel koloid yang sejenis
maka kekuatan ionik di dalam air menjadi rendah, sehingga koloid akan tetap stabil. Suspensi
atau koloid bisa dikatakan stabil jika semua gaya tolak menolak antar partikel lebih besar dari
gaya tarik massa, sehingga didalam waktu tertentu tidak terjadi agregasi.
Untuk menghilangkan kondisi stabil, harus merubah gaya interaksi diantara partikel
dengan pembubuhan zat kimia (sebagai donor muatan positif) agar gaya tarik menarik
menjadi lebih besar. Ion positif ditambahkan ke dalam air sampai pada suatu titik dimana
partikel koloid tidak saling tolak-menolak satu sama lainnya (Suryadiputra, 1995).
Penambahan kation-kation dengan valensi tinggi menekan muatan partikel dan jarak efektif
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
dari lapisan ganda, dengan demikian dapat mengurangi zeta potensial. Dengan melarutnya
koagulan, kation menetralisir muatan negatif pada koloid. Pada sistem pengolahan air,
koagulasi terjadi pada unit pengadukan cepat (flash mixing), karena koagulan harus tersebar
secara cepat dan reaksi hidrolisa hanya terjadi dalam beberapa detik, jadi destabilisasi muatan
negatif oleh muatan positif harus dilakukan dalam periode waktu hanya beberapa detik.
Selain melalui mekanisme penetralan muatan, destabilisasi juga dapat dicapai melalui
satu atau kombinasi dari dua atau lebih mekanisme setelah penambahan koagulan, antara lain
kompresi dari lapisan ganda elektrik, adsorbsi dan interparticle bridging, dan penjeratan
dalam presipitat dengan menggunakan dosis koagulan yang berlebih yang disebut “sweep
flocculation”. Proses koagulasi diikuti dengan proses flokulasi dimana pada proses ini terjadi
pengadukan secara lambat. Tujuan pengadukan lambat adalah untuk menghasilkan partikel-
partikel flok yang lebih besar dan lebih rapat. Terdapat dua mekanisme flokulasi, yaitu
mekanisme perikinetik dan ortokinetik. Mekanisme perikinetik (micro-flocculation) adalah
flokulasi pada partikel koloid 1 µm atau yang lebih kecil karena gerak Brownian, sedangkan
mekanisme ortokinetik (macro-flocculation) adalah flokulasi yang didasarkan pada perbedaan
kecepatan pengadukan pada air yang dapat menyebabkan adanya interaksi partikel (> 1 µm).
Keberhasilan proses koagulasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
• Derajat Keasaman (pH)
Setiap koagulan mempunyai range pH yang spesifik dimana presipitasi yang maksimum
akan terbentuk sekaligus titik kelarutan minimum.
• Temperatur
Pada temperatur yang rendah, kecepatan reaksi lebih lambat sedangkan viskositas air lebih
besar sehingga flok lebih sukar mengendap.
• Dosis Koagulan
Air dengan turbiditas yang tinggi memerlukan dosis koagulan yang banyak. Dosis
koagulan persatuan unit turbiditas tinggi, akan lebih kecil dibandingkan dengan dosis
persatuan untuk air dengan turbiditasnya rendah. Hal ini disebabkan karena dalam air
yang mempunyai turbiditas tinggi, kemungkinan terjadinya tumbukan antara partikel akan
lebih besar. Kecepatan pengendapan dipengaruhi oleh berat jenis partikel, berat jenis
cairan, gravitasi, konstanta dan viskositas.
b. Proses Disinfeksi
Disinfeksi adalah pemusnahan mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit.
Disinfeksi merupakan langkah untuk mencegah paparan mikroorganisme pantogen penyebab
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
penyakit seperti virus, bakteri dan parasit protozoa (Bitton, 1994). Proses disinfeksi juga
dapat digunakan untuk memisahkan senyawa besi, mangan, dan hidrogen sulfida yang
terdapat dalam air (Langlais, 1991). Salah satu disinfektan yang sering digunakan dalam
proses disinfeksi adalah ozon.
Ozon merupakan oksidan yang sangat kuat yang mengandung tiga atom oksigen dan
merupakan jenis gas yang sangat reaktif. Ozon dapat dihasilkan melalui beberapa cara, yaitu
secara elektrosisis, kimiawi, termal atau fotokimia, dan melalui peluahan muatan listrik
(electric discharge). Ozon dapat bersifat bakterisidal, fungisidal (Inggriani, 2007) dan karena
molekul ozon memiliki energi yang sangat besar juga, maka ozon dapat menginaktivasi virus
dan beberapa jenis protozoa (Sudigdo Sastroasmoro, 2004). Dalam media cair, ozon
menghasilkan radikal bebas yang menginaktivasi mikroorganisme. Ozon dapat mempengaruhi
permeabilitas, aktivitas enzim dan DNA dari mikroorganisme. Residu guanin dan timin
merupakan sasaran dari penggunaan ozon.
Pada bakteri ozon dapat berpenetrasi ke kapsul bakteri, mempengaruhi secara
langsung integritas cytoplasmic, dan mengganggu beberapa tingkat kompleksitas metabolik
serta dapat mengganggu integritas kapsul bakteri melalui oksidasi fosfolipid dan lipoprotein.
Ozon juga dapat berpenetrasi ke dalam membran sel, bereaksi dengan substansi sitoplasma
dan mengubah circular plasmid DNA tertutup (ccDNA) menjadi circular DNA terbuka
(ocDNA), yang dapat mengurangi efisiensi proliferasi bakteri, sehingga pertumbuhan bakteri
terhambat. Pada jamur, mekanisme efek fungisidal ozon belum terkarakterisasi secara
lengkap. Ozon dikatakan dapat menghambat pertumbuhan jamur pada beberapa tahap
tergantung dari fase pertumbuhannya dan adanya budding cell (Inggriani, 2007).
c. Proses Filtrasi
Pada proses filtrasi, partikel-partikel dan pengotor dipisahkan berdasarkan ukuran
partikelnya dengan menggunakan media filter. Membran filtrasi adalah proses pemisahan
yang dilakukan dengan bantuan gaya dorong berdasarkan sifat kimia dan fisika dari
komponen tersebut, di mana membran bertindak sebagai penghalang selektif untuk membatasi
lewatnya polutan seperti organik, nutrisi, kekeruhan, mikroorganisme, dan ion logam
anorganik yang memungkinkan air yang relatif jernih untuk melewati. Membran merupakan
suatu lapisan tipis antara dua fasa fluida yaitu fasa umpan (feed) dan fasa permeat yang dapat
memisahkan zat dengan ukuran yang berbeda serta membatasi transpor dari berbagai spesi
berdasarkan sifat fisik dan kimianya. Membran bersifat semipermeabel, berarti membran
dapat menahan spesi-spesi tertentu yang lebih besar dari ukuran pori membran dan
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
melewatkan spesi-spesi lain dengan ukuran lebih kecil. Sifat selektif dari membran ini dapat
digunakan dalam proses pemisahan.
Perbedaan sifat permeabilitas inilah yang menunjang proses membran untuk
diterapkan di hampir seluruh bidang terutama industri kimia. Gaya dorong yang menjadi dasar
terjadinya proses separasi pada membran dapat berupa perbedaan konsentrasi, perbedaan
tekanan, perbedaan tempertur dan perbedaan potensial listrik antara larutan bagian luar
membran dengan larutan yang berada di bagian dalam membran. Besarnya laju perpindahan
komponen-komponen yang akan dipisahkan sebanding dengan besarnya gaya dorong yang
diberikan. Terdapat tiga tahapan proses permeasi melalui membran, yaitu pelarutan molekul
ke permukaan datang, difusi melintasi membran, dan desorbsi melalui permukaan pergi
(Mulder, 1996)
Gambar 2. Mekanisme perpindahan massa pada membran
Salah satu proses membran filtrasi adalah reverse osmosis. Reverse osmosis adalah
proses membran dalam pemurnian air dengan menggunakan tekanan hidrostatik untuk
membawa air melalui membran semipermeabel dimana sejumlah besar zat kontaminan akan
dihilangkan. Prinsip dasar reverse osmosis adalah memberi tekanan hidrostatik yang melebihi
tekanan osmosis larutan sehingga pelarut dalam hal ini air, dapat berpindah dari larutan yang
memiliki konsentrasi zat terlarut tinggi ke larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut
rendah. Prinsip reverse osmosis ini dapat memisahkan air dari komponen-komponen yang
tidak diinginkan seperti komponen organik, non organik, bakteri, virus, partikulat, serta ion
atau garam terlarut, dengan demikian akan didapatkan air dengan tingkat kemurnian yang
tinggi (William, M.E., 2003).
Membran reverse osmosis memiliki kerapatan sebesar 0,0001 mikron. Membran
reverse osmosis yang digunakan untuk pengolahan air harus memiliki beberapa karakteristik.
Pertama dan paling utama adalah membran harus memiliki sifat permeabilitas yang tinggi
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
terhadap air. Selain itu, membran juga harus memiliki derajat semipermeabilitas yang tinggi
dalam arti laju transportasi air melewati membran harus jauh lebih tinggi dibandingkan laju
transportasi ion-ion yang terlarut dalam umpan. Kedua, rata-rata air yang menembus
permukaan membran per unit (fluks air) harus tinggi untuk memperoleh produk yang baik
agar proses analisisnya ekonomis. Ketiga, membran harus tahan lama, secara kimia, fisika,
dan biologi serta memiliki daya pakai yang lama. (Belfort, G. 1984). Membran
semipermeabel pada aplikasi reverse osmosis terdiri dari lapisan tipis polimer pada penyangga
berpori (fabric support). Pada aplikasi reverse osmosis, konfigurasi modul membran yang
digunakan adalah spiral wound.
Kriteria yang penting dalam menentukan kinerja membran dapat dilihat dari fluks
permeat dan persen rejeksi membran (Radiman dkk, 2002).
1. Fluks Permeat
Fluks permeat merupakan salah satu parameter penting dalam melihat kinerja
membran. Fluks permeat atau laju permeasi didefinisikan sebagai volume cairan yang
menembus membran (volume permeat) per satuan luas permukaan per satuan waktu. Harga
fluks menunjukkan kecepatan alir permeat saat melewati membran. Harga fluks ini sangat
tergantung pada jumlah dan ukuran pori-pori membran.
! =!!
Dimana,
J = Fluks permeat
Q = Laju alir permeat
A = Luas permukaan membran
2. Selektivitas (Persen Rejeksi) Membran
Selektivitas atau efisiensi pemisahan adalah kemampuan membran untuk meloloskan
spesi tertentu dan menahan spesi yang lain (Mulder, 1996). Selektivitas biasanya dinyatakan
dengan rejeksi (R) yang menunjukkan harga fraksi konsentrasi zat terlarut yang tertahan oleh
membran.
!! =!! − !!!!
×100%
Rx = Persen rejeki membran terhadap zat X
XF = Kadar zat X dalam fasa umpan
XP = Kadar zat X dalam fasa permeat
(1)
(2)
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Metode Penelitian
Gambar 3. Diagram alir penelitian
Penelitian ini dimulai dari tahap studi literatur untuk mengumpulkan informasi terkait
proses pengolahan air khususnya proses koagulasi, ozonasi dan filtrasi, informasi mengenai
parameter kualitas air dan baku mutu air yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku,
dan analisis-analisis mengenai kualitas air. Tahapan selanjutnya adalah melakukan preparasi
alat dan bahan. Pada tahapan preparasi alat dilakukan perancangan dan pembuatan alat
pengolahan air. Alat pengolahan air terdiri dari dua bak penampungan yang masing-masing
berfungsi sebagai tempat koagulasi dan ozonasi, pompa dan tiga buah filter.
Gambar 4. Skema unit pengolahan air
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Tahapan preparasi bahan terdiri dari pengambilan sampel air danau dan preparasi
koagulan polialuminium silikat klorida (PaSiC). Sampel air berasal dari Danau Mahoni
Universitas Indonesia yang diambil menggunakan teknik gabungan tempat. Lokasi
pengambilan air terdiri dari tiga tempat yaitu aliran masuk, di tengah danau dan aliran keluar.
Pada tahap preparasi koagulan PaSiC, pembuatan koagulan dilakukan dengan metode
polimerisasi komposit dengan menambahkan asam polisilikat ke dalam polialuminium
klorida. Setelah dilakukan preparasi, sampel air danau dianalisis untuk mengetahui kualitas
awal air danau yang terdiri dari analisis pH, total dissolved solid (TDS), dan kekeruhan. Air
yang sudah dianalisis dilakukan pretreatment dengan proses koagulasi lalu dianalisis kembali.
Pada tahapan koagulasi dilakukan variasi terhadap jenis dan dosis koagulan. Setelah itu, air
didisinfeksi dengan mengalirkan ozon kemudian difiltrasi. Air hasil filtrasi dianalisis untuk
mengetahui kualitas pengolahan air secara keseluruhan.
Hasil dan Pembahasan
a. Efektifitas Koagulasi Berdasarkan pH
pH menggambarkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan. Pengukuran pH sangat
penting dilakukan, karena pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan
proses koagulasi. Setiap koagulan mempunyai range pH yang spesifik dimana presipitasi yang
maksimum akan terbentuk. Berdasarkan data percobaan diketahui bahwa air danau memiliki
pH rata-rata sebesar 7.67 yang berarti air danau memiliki pH yang sedikit basa. Setelah proses
koagulasi dilakukan terjadi perubahan pH dari air. Perubahan pH untuk setiap jenis dan dosis
koagulan setelah proses koagulasi ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 4. Pengaruh penambahan koagulan terhadap pengurangan pH setelah koagulasi
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Dari Gambar 4 dapat diketahui bahwa setelah air inlet diberikan pretreatment berupa
proses koagulasi, terjadi kecenderungan penurunan nilai pH dimana penurunan pH paling
besar terjadi pada penambahan koagulan aluminium sulfat. Penurunan pH pada penambahan
aluminium sulfat 10, 30, 50, dan 70 ppm berturut-turut sebesar 0,04; 0,43; 0,65 dan 0,68.
Penurunan nilai pH terjadi karena pembentukan ion H+ saat koagulan bereaksi dengan air.
Reaksi hidrolisis aluminium sulfat dalam air melepas ion H+ sebanyak 6H+, hal ini yang
menyebabkan aluminium sulfat memiliki penurunan pH yang paling tinggi. Selain itu,
karakter asam dari kation Al3+ dan produk hidrolisis yang memiliki muatan positif yang lebih
tinggi juga menjadi penyebab tingginya penurunan nilai pH dari penambahan koagulan
aluminium sulfat.
Pada koagulan polialuminium klorida (PAC), juga terjadi perubahan pH. Pada
pemberian dengan dosis 10 ppm terjadi kenaikan pH sebesar 0,10. Pada pemberian PAC
dengan dosis 30, 50 dan 70 terjadi penurunan pH berturut-turut sebesar 0,32; 0,50 dan 0,61.
Penurunan pH yang terjadi tidak sebesar saat penambahan koagulan aluminium sulfat. Hal ini
dikarenakan pada reaksi hidrolisis PAC hanya dilepaskan 1 buah ion H+ dan pada koagulan
pra-polimerisasi seperti PAC memiliki kemampuan menahan dari proses hidrolisis lanjutan.
Untuk koagulan PaSiC, terjadi perubahan pH juga namun tidak sebesar dua jenis koagulan
lainnya. Pada penggunaan PaSiC dengan dosis 10 ppm terjadi penurunan pH sebesar 0,04,
sedangkan pada dosis 30, 50, dan 70 ppm terjadi kenaikan pH berturut-turut sebesar 0,08;
0,08 dan 0,01. Perubahan pH yang tidak terlalu besar ini disebabkan karena penggabungan
rantai silika ke dalam struktur PAC menyebabkan penurunan densitas muatan koagulan.
Adanya ikatan antara spesi aluminium dengan jembatan silika meningkatkan ketahanan PaSiC
dari hidrolisis lebih lanjut.
Dari gambar di atas juga dapat diketahui bahwa dengan meningkatnya dosis koagulan
dari 10 sampai 70 ppm pada koagulan jenis aluminium sulfat dan PAC, nilai penurunan pH
juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena ion hidrogen yang dihasilkan dari reaksi
pembentukan ion aquometalik juga semakin banyak. Namun, secara garis besar penurunan pH
akibat penambahan koagulan tidak terlalu signifikan. Penurunan pH tertinggi hanya sebesar
0.68 yaitu pada saat penambahan koagulan aluminium klorida pada dosis 70 ppm.
b. Efektifitas Koagulasi Berdasarkan Penurunan TDS Keefektifan proses koagulasi dilihat berdasarkan kemampuannya untuk merejeksi
semua bahan dalam bentuk molekul atau ion baik itu zat organik maupun anorganik yang
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
terdapat pada sebuah larutan dan dapat melewati filter dengan ukuran pori 2,0 µm atau lebih
kecil. Pada penelitian ini, pengukuran TDS dilakukan menggunakan metode electrical
conductivity (EC). Ion dari konsentrasi padatan terlarut dalam air membuat air memiliki
kemampuan untuk menghasilkan arus listrik yang dapat diukur menggunakan conductivity
meter. Alat yang digunakan adalah conductivity meter merk Lutron YK-2005WA. Hasil
konduktivitas air yang didapatkan dikonversi ke dalam TDS menggunakan condictivity
converter yang terdapat pada situs (http://www.lenntech.com/calculators/conductivity/tds-
engels.htm). Persentase penurunan TDS untuk setiap jenis dan dosis koagulan setelah proses
koagulasi ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Pengaruh penambahan berbagai koagulan terhadap persentase penurunan TDS
Gambar 5 menunjukkan adanya penurunan padatan terlarut setelah dilakukan
pretreatment koagulasi. Penambahan koagulan sebagai donor muatan positif menetralisir
muatan negatif pada koloid yang menyebabkan zeta potensial atau gaya elektrostatik dari
partikel koloid menjadi berkurang. Setelah terjadi destabilisasi muatan, partikel tersebut
berkumpul dan membentuk mikroflok. Dengan bantuan pengadukan lambat, terjadi tumbukan
dan interaksi terus menerus yang menyebabkan terbentuknya makroflok. Makroflok perlahan
mengendap dan menyebabkan air menjadi lebih jernih. Mengendapnya partikel koloid yang
ternetralisir ini menyebabkan total padatan terlarut di dalam air menjadi berkurang.
Berdasarkan gambar 5 dapat diketahui bahwa penggunaan koagulan aluminium sulfat
dalam proses koagulasi menunjukkan penurunan nilai koagulasi yang paling buruk. Pada
penggunaan koagulan dengan dosis 10, 30, dan 50 ppm terjadi penurunan TDS dengan
persentase berturut-turut sebesar 1,4%, 3,5%, dan 8,43%. Persentase penurunan TDS yang
tidak begitu signifikan disebabkan karena air inlet memiliki pH > 7.0. Kinerja koagulan
-10
0
10
20
30
40
50
60
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Aluminium SulfatPolialuminium KloridaPolialuminium Silikat Klorida
% P
enur
unan
TDS
Dosis Koagulan (ppm)
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
aluminium sulfat sangat dipengaruhi oleh pH, karena pH mempengaruhi interaksi antara
aluminium dan senyawa organik yang ada di dalam air (Zhao et al., 2009). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh A.I. Zouboulis dan N.D. Tzoupanos, aluminium sulfat
memiliki kinerja yang optimum pada pH 6.5-7. Pada koagulan non-polimerisasi seperti
aluminium sulfat, efisiensi koagulasi sangat bergantung pada pembentukan endapan Al(OH)3
daripada mekanisme netralisasi muatan. Di wilayah lebih basa, yang terjadi adalah
pembentukan spesi aluminum terlarut bermuatan negatif, yaitu ion aluminat, Al(OH)4-, yang
tidak bereaksi dengan partikel koloid bermuatan negatif, sehingga terjadi penurunan dari
efisiensi koagulasi.
Persentase pengurangan TDS pada penggunaan koagulan PAC dengan dosis 10, 30,
50, dan 70 ppm berturut-turut sebesar 1,54%, 5,98%, 10,31%, dan 18,28%. Hasil ini
menunjukkan persentase pengurangan TDS yang lebih baik dibandingkan penggunaan
aluminium sulfat. Hal ini mungkin karena PAC diproduksi dengan cara hidrolisis parsial
aluminium klorida dimana produk hidrolisa aluminum parsial sudah terkandung di dalam
koagulan PAC tidak seperti produk hidrolisa aluminum dari koagulan aluminium sulfat yang
terbentuk setelah pembubuhan aluminium sulfat ke dalam air. Pada jenis koagulan dengan
tingkat pre-polimerisasi lebih tinggi menghasilkan konsentrasi monomer Al3+ yang lebih
rendah dan polimer aluminium kationik yang lebih besar dan stabil sehingga lebih tahan
terhadap hidrolisis lebih lanjut. Selain itu, merujuk pada percobaan yang dilakukan A.I.
Zouboulis dan Tzoupanos pada tahun 2009, PAC komersial memiliki rentang pH optimum
yang lebih besar dari aluminium sulfat dimana rentang pH optimun PAC berada pada pH 7-8.
Pada penggunaan koagulan PaSiC, persentase pengurangan TDS jauh lebih baik
dibandingkan dengan dua jenis koagulan lainnya. Persentase pengurangan TDS pada
penggunaan koagulan PaSiC dengan dosis 10, 30, 50, dan 70 ppm berturut-turut sebesar
4,58%, 23,08%, 49,16%, dan 50,46%. Keunggulan PaSiC didasarkan pada penggabungan
asam polisilikat dengan PAC yang dapat berinteraksi dengan aluminium dan hidrolisat oleh
ikatan Al-O-Si untuk membentuk spesies kompleks silika-aluminium terhidrolisis dengan
ukuran dan berat molekul yang lebih besar sehingga efisiensi agregasi menjadi meningkat
(Gao et al., 2002). Selain itu, kehadiran silika juga meningkatkan ketahanan spesi aluminium
terhadap hidrolisis lebih lanjut. Namun, interaksi antara asam polisilikat bermuatan negatif
sebagian besar akan menetralkan muatan positif dari PAC yang menyebabkan lemahnya efek
netralisasi muatan dalam proses koagulasi. Sebagai akibatnya, surface bridging adsorption
dan entrapment lebih efektif dalam penyisihan TDS dibandingkan dengan netralisasi muatan.
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Selain berat molekul, keunggulan PaSiC dikarenakan pH air inlet berada pada kisaran pH
optimum dari koagulan ini, yaitu pada pH nilai 6,5-9.
Dapat dilihat pada Gambar 5 bahwa semakin meningkat dosis koagulan yang
diberikan, persentase pengurangan TDS semakin meningkat pula. Hal ini berlaku untuk
penambahan koagulan aluminium sulfat dari dosis 10 sampai 50 ppm, penambahan koagulan
PAC dari dosis 10 sampai 70 ppm, dan penambahan koagulan PaSiC dari dosis 10 sampai 70
ppm. Peningkatan dosis menyebabkan pembentukan partikulat tidak larut menjadi meningkat
dan peningkatan jumlah presipitat tersebut akan diikuti oleh peningkatan frekuensi tumbukan
yang memacu pertumbuhan flok. Flok yang besar dapat mengendap secara lebih cepat,
sehingga terjadi penurunan TDS yang lebih baik.
Pada penggunaan koagulan aluminium sulfat dengan dosis 70 ppm terjadi peningkatan
nilai total dissolved solid sebesar 1.42%. Hal ini dapat terjadi karena pada penambahan kadar
70 ppm, kation yang dilepaskan terlalu berlebih daripada yang dibutuhkan oleh partikel koloid
dalam air yang bermuatan negatif untuk membentuk flok. Penyerapan kation yang berlebih
menyebabkan partikel koloid akan bermuatan positif dan terjadi gaya tolak-menolak antar
partikel, sehingga terjadi deflokulasi flok. Deflokulasi flok akan menyebabkan partikel koloid
terbentuk kembali dalam air yang memungkinkan nilai TDS menjadi semakin besar.
c. Efektifitas Koagulasi Berdasarkan Penurunan Turbiditas
Turbiditas atau kekeruhan merupakan ukuran sifat air dalam meneruskan cahaya.
Pengukuran turbiditas dilakukan berdasarkan perbandingan dari intensitas sinar hamburan
terhadap suspensi referensi pada kondisi yang sama. Pada penelitian ini, pengukuran
turbiditas sampel dilakukan menggunakan alat colorimeter merk HACH DR/890. Efektifitas
koagulasi berdasarkan penyisihan kekeruhan menyatakan persen penyisihan kekeruhan akibat
proses koagulasi. Persentase penurunan turbiditas untuk setiap jenis dan dosis koagulan
setelah proses koagulasi ditunjukkan pada Gambar 6.
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Gambar 6. Pengaruh penambahan berbagai koagulan terhadap persentase penurunan turbiditas Grafik di atas menunjukkan penurunan turbiditas atau kekeruhan pada air danau
setelah dilakukan pretreatment koagulasi. Kekeruhan terjadi disebabkan oleh adanya material
organik maupun anorganik tersuspensi dan koloid di dalam air. Dengan adanya proses
koagulasi, material organik maupun anorganik tersuspensi dan koloid di dalam air menjadi
berkurang. Penggunaan ketiga koagulan dalam proses koagulasi berkontribusi dalam
penurunan kekeruhan air danau. Kekeruhan berhubungan dengan TDS, sehingga grafik
penurunan turbiditas memiliki pola yang sama dengan grafik penurunan TDS.
Penurunan turbiditas paling rendah ditunjukkan pada penggunaan koagulan aluminium
sulfat yang dikarenakan kondisi air inlet tidak sesuai dengan kondisi optimum penggunaan
aluminium sulfat. Persentase penurunan turbiditas pada penggunaan aluminium sulfat dengan
dosis 10, 30, 50, dan 70 ppm secara berturut turut sebesar 30%, 37,04%, 55% dan 33,33%.
Dosis 70 ppm menunjukkan hasil yang paling rendah, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa pada penggunaan aluminium sulfat 70 ppm terjadi deflokulasi yang
menyebabkan bertambahnya nilai padatan terlarut. Hal ini menyebabkan tingginya kekeruhan
air pada dosis tersebut.
Pada penggunaan koagulan PAC dengan dosis 10, 30, 50 dan 70 ppm terjadi
penurunan persentase turbiditas secara berturut-turut sebesar 11,11%, 45,83%, 56,10%, dan
64,00%. Penurunan turbiditas pada penambahan PAC 10 ppm menunjukkan hasil yang paling
buruk. Hal ini mungkin disebabkan partikel koloid terdispersi di larutan, dan dengan
penambahan dosis yang sedikit menyebabkan rendahnya tumbukan atau kontak antar partikel
sehingga flok yang dihasilkan kecil. Flok yang kecil membutuhkan waktu yang lama untuk
mengendap. Pada saat pengambilan sampel, kemungkinan flok tersebut belum mengendap
sempurna dan terdapat flok yang ikut teranalisis sehingga penuranan kekeruhan tidak
menunjukkan hasil yang signifikan.
10
20
30
40
50
60
70
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Aluminium SulfatPolialuminium KloridaPolialuminium Silikat Klorida
Perse
ntas
e Pen
urun
an Tu
rbidi
tas
Dosis Koagulan (ppm)
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Secara garis besar, koagulan PAC mampu memberikan penurunan kekeruhan yang
lebih baik dibandingkan aluminium sulfat, yang disebabkan dalam presipitat PAC struktur
polimeriknya tetap utuh, sehingga membantu dalam menjerat partikel koloid untuk
menggumpal. Pada penggunaan koagulan PaSiC menunjukan hasil yang paling baik. Pada
penggunaan koagulan PAC dengan dosis 10, 30, 50 dan 70 ppm terjadi penurunan persentase
turbiditas secara berturut-turut sebesar 30,77%, 50%, 64,29%, dan 66,67%. Berat dan ukuran
molekul yang besar akibat penambahan silika ke dalam struktur PAC meningkatkan
kemampuan adsorpsi partikel sehingga penurunan turbitidas meningkat.
d. Pengaruh Proses Ozonasi dan Filtrasi dalam Proses Pengolahan Air
Setelah dilakukan proses koagulasi, air danau dengan perlakuan jenis dan koagulan
yang berbeda kemudian di treatment dengan menggunakan ozon selama 10 menit. Setelah itu,
air di filter dengan menggunakan membran reverse osmosis guna mendapatkan air dengan
kualitas yang lebih baik lagi. Pengaruh pemaduan proses ozonasi dan filtrasi sebagai sebagai
proses pengolahan lanjutan dari proses koagulasi ditinjau dari perubahan pH, persentase
penurunan dari TDS, kekeruhan dan COD. Berdasarkan data perubahan pH, hasil filtrasi
berada dikisaran pH 6,79 sampai 8,78. Mayoritas hasil filtrasi menunjukkan kenaikan pH, hal
ini mungkin disebabkan karena proses disinfeksi dengan menggunakan ozon. Peningkatan pH
dapat disebabkan oleh penyisihan senyawa organik yang bersifat asam oleh proses ozonasi.
Senyawa organik tersebut akan teroksidasi oleh ozon menjadi CO2 dan H2O. pH hasil filtrasi
masih berada pada kisaran pH yang dizinkan untuk air kelas satu menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
75
80
85
90
95
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Aluminium SulfatPolialuminium KloridaPolialuminium Silikat Klorida
Pers
enta
se P
enur
unan
TD
S
Dosis Koagulan (ppm)
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Gambar 7. Persentase penurunan TDS untuk berbagai jenis dan dosis koagulan setelah proses ozonasi dan filtrasi Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa setelah proses ozonasi dan filtrasi terjadi
penurunan nilai pH yang sangat signifikan yang berarti adanya proses ozonasi dan filtrasi
sangat efektif dalam mengurangi total padatan terlarut yang masih tersisa di dalam air yang
telah di treatment dengan proses koagulasi. Dari gambar diatas diketahui bahwa pada
penggunaan koagulan PaSiC, persentase pengurangan TDS mengalami penurunan pada dosis
70 ppm hal ini disebabkan karena pada proses koagulasi, penurunan TDS pada dosis ini sudah
cukup tinggi.
Gambar 8. Persentase penurunan kekeruhan untuk berbagai jenis dan dosis koagulan setelah proses ozonasi dan
filtrasi
Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa terjadi penurunan terhadap kekeruhan yang
signifikan setelah dilakukan proses ozonasi dan filtrasi. Pada koagulan aluminium klorida 50
ppm, polialuminium sulfat 70 ppm, dan PaSiC 50 ppm terjadi penurunan turbiditas hingga
100% yang artinya kekeruhan air sama dengan 0. Persentase penurunan turbiditas paling
rendah terjadi pada penggunaan koagulan aluminium klorida 70 ppm karena pada dosis ini
kinerja aluminium menurun akibat deflokulasi sehingga kualitas air hasil koagulasi kurang
baik. Sedangkan pada PaSiC 70 ppm penurunan terjadi karena koagulasi berjalan sangat baik.
50
60
70
80
90
100
110
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Aluminium SulfatPolialuminium KloridaPolialuminium Silikat Klorida
Pers
enta
se P
enur
unan
Kek
eruh
an
Dosis Koagulan (ppm)
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Gambar 9. Persentase penurunan TDS untuk berbagai jenis dan dosis koagulan untuk keseluruhan proses
pengolahan air
Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa terjadi penurunan TDS yang sangat
signifikan pada keseluruhan proses pengolahan air. Dimana proses pengolahan air paling
efektif adalah dengan penggunaan koagulan PaSiC pada dosis 50 ppm, dengan penurunan
TDS sebesar 93.85%. Air inlet pada pemakaian koagulan ini sebesar 131 ppm sedangkan air
hasil filtrasinya sebesar 8.06 ppm.
Gambar 10. Persentase penurunan kekeruhan untuk berbagai jenis dan dosis koagulan untuk keseluruhan proses
pengolahan air
Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa terjadi penurunan kekeruhan yang sangat
signifikan pada keseluruhan proses pengolahan air. Pada koagulan aluminium klorida 50 ppm,
polialuminium sulfat 70 ppm, dan PaSiC 50 ppm terjadi penurunan turbiditas hingga 100%
yang artinya kekeruhan air sama dengan 0 FAU.
75
80
85
90
95
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Aluminium KloridaPolialuminium KloridaPolialuminium Silikat Klorida
Pers
enta
se P
enur
unan
TDS
Dosis Koagulan (ppm)
70
75
80
85
90
95
100
105
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Aluminium SulfatPolialuminium KloridaPolialuminium Silikat Klorida
Pers
enta
se P
engu
rang
an T
urbi
dita
s
Dosis Koagulan (ppm)
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Dari hasil perubahan pH, penurunan TDS dan turbiditas dapat disimpulkan bahwa
koagulan yang paling efektif dalam pengolahan air danau UI yang bersumber dari Danau
Mahoni adalah koagulan PaSiC dengan dosis 50 ppm. Penggunaan koagulan ini menghasilkan
hasil akhir, yaitu air dengan pH 6.95, kandungan padatan terlarut sebesar 8.06 dan kekeruhan
sebesar 0 FAU. Hasil akhir ini memenuhi persyaratan untuk air kelas 3 sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air berdasarkan beberapa parameter yang diuji.
Kesimpulan • Proses pengolahan air yang terdiri dari proses koagulasi, ozonasi dan filtrasi terbukti dapat
meningkatkan kualitas air. Hal ini dapat dilihat dari perubahan pH yang terjadi dan
persentase penyisihan total padatan terlarut dan turbiditas.
• Proses koagulasi terbaik terjadi pada koagulan PaSiC pada dosis 70 ppm dengan pH akhir
7,69, TDS sebesar 64,9 ppm dengan persentase penurunan sebesar 50,46% dan kekeruhan
sebesar 9 FAU dengan persentase penurunan sebesar 66,67%.
• Berdasarkan hasil analisis dari keseluruhan proses, koagulan PaSiC dengan dosis 50 ppm
merupakan koagulan yang paling baik untuk pengolahan air Danau UI. Penggunaan
koagulan ini menghasilkan hasil akhir, yaitu air dengan pH 6.95, kandungan padatan
terlarut sebesar 8.06 ppm dan kekeruhan sebesar 0 FAU.
• Kualitas air hasil pengolahan dengan PaSiC dengan dosis 50 ppm memenuhi persyaratan
untuk air kelas satu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
berdasarkan parameter TDS, kekeruhan dan pH namun perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut terhadap parameter-parameter lainnya.
Saran • Untuk mengetahui pengaruh jenis dan dosis koagulan secara lebih jelas harus dilakukan
pengujian terlebih dahulu dengan menggunakan air sintetis agar didapatkan kondisi awal
yang sama untuk setiap perlakuan.
• Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan analisis pengaruh pH terhadap
hasil koagulasi dari koagulan dengan jenis dan dosis yang berbeda dan melalukan
pembuatan koagulan dengan metode co-polimerisasi.
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Daftar Referensi Bayu Satria Pratama. (2005). Pengolahan Air Danau UI untuk Pengolahan Air Bersih dengan
Integrasi Proses Adsorbsi, Filtrasi dan Ozonasi. Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia, Depok.
Bitton Gabriel. (1994). Wastewater Microbiology. A John Wiley and Sons, INC., New York.
Eckenfelder, Wesley. 1989. Industrial Water Pollution Control. 2nd Edition. New York:
McGraw Hill International Edition.
Erwin Nurdin. (2012). Danau UI Butuh Perhatian Intensif. Dikutip dari
http://www.suaramahasiswa.com (2 Oktober 2015).
Eva Fathul Karamah dan Andrie Oktafauzan Lubis. (2005). Pralakuan Koagulasi dalam
Proses Pengolahan Air dengan Membran: Pengaruh Waktu Pengadukan Pelan
Koagulan Aluminium Sulfat terhadap Kinerja Membran. Fakultas Teknik,
Universitas Indonesia.
Inggriani. (2007). Ozone: “The Silent Healer”. http://stanfordcenter.com/artikel/OZONThe%
20Silent%20Healer.pdf. (7 Juli 2016).
Kadhum M. Shabeeb, Hayder A. Abdulbari dan Ali A. Abbas. (2012). Treatment of Pulp and
Paper Mill Wastewater By Poly-Aluminum-Silicate-Chloride (Pasic) Through
Coagulation-Flocculation Process. Al-Qadisiya Journal For Engineering Sciences,
Vol. 4, No. 4.
Metcalf and Edy. (1991). Wastewater Engineering. 3rd edition. New York: MacGraw Hill
International Edition.
Mulder, Marcel. (1996). Basic Principles of Membrane Technology. Netherlands: Kluwer
Academic Publisher.
N. D. Tzoupanos and A. I. Zouboulis. (2008). Coagulation-Flocculation Processes in
Water/Wastewater Treatment: The Application of New Generation of Chemical
Reagents. 6th IASME/WSEAS International Conference on Heat Transfer, Thermal
Engineering and Environment (HTE'08). Rhodes, Greece. ISBN: 978-960-6766-97-
8
Program Studi Teknik Lingkungan. (2009). Pengantar Pengolahan Air. Bandung: Institut
Teknologi Bandung.
Radiman C.L. dan Suendo, V. Perkembangan Sains dan Teknologi. Proseding Seminar Kimia
bersama UKM-IIB ke-5, hal 15-22, Malaysia, 16-17 Juli 2002.
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016
Roekmijati W. (2005). TGP Pencegahan Pencemaran/Pengelolaan Limbah. Fakultas Teknik,
Universitas Indonesia.
Sudigdo Sastroasmoro. (2004). Terapi Ozon. http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20
Kajian%20HTA/2004/Terapi%20Ozon.doc. (7 Juli 2016)
Suryadiputra. (1995). Pengantar Kuliah Pengolahan Limbah: Pengolahan Air Limbah
dengan Metode Kimia (Koagulasi dan Flokulasi). Fakultas Perikanan, Istitut
Pertanian Bogor.
Tarsoen Waryono. (2012). Danau UI Butuh Perhatian Intensif. Dikutip dari
http://www.suaramahasiswa.com (2 Oktober 2015).
William, M.E. (2003). A Brief Review of Reverse Osmosis Membrane Technology. EET
Corporation and Williams Engineering Services Company.
B. Gao, X. Huang, Y. Wang, Q. Yue, Q. Li, Y. Zhang. (2014). Coagulation Performance and
Flocs Properties of A New Composite Coagulant: Polytitanium–Silicate–Sulfate.
Chemical Engineering Journal 245 (2014) 173–179.
Pengaruh koagulan ..., Maylina Chandra Puspita, FT UI, 2016