UNIVERSITAS INDONESIA
PERANCANGAN STANDARISASI PETA PROSES SERVICE DENGAN METODE LEAN SIX SIGMA (STUDI KASUS DIVISI
RECOVERY PADA KONTRAKTOR TELEKOMUNIKASI)
SKRIPSI
EKA PURWANI
0806458813
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI
DEPOK JUNI 2012
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
PERANCANGAN STANDARISASI PETA PROSES SERVICE DENGAN METODE LEAN SIX SIGMA (STUDI KASUS DIVISI
RECOVERY PADA KONTRAKTOR TELEKOMUNIKASI)
HALAMAN JUDUL
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
EKA PURWANI 0806458813
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI
DEPOK JUNI 2012
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan
semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Eka Purwani NPM : 0806458813
Tanda Tangan :
Tanggal : 21 Juni 2012
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh, Nama : Eka Purwani NPM : 0806458813 Program Studi Judul Skripsi
: :
Teknik Industri PERANCANGAN STANDARISASI PETA PROSES SERVICE DENGAN METODE LEAN SIX SIGMA (STUDI KASUS DIVISI RECOVERY PADA KONTRAKTOR TELEKOMUNIKASI)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana pada Program Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas
Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Dr. –Ing. Amalia Suzianti, MT, MSc ( )
Penguji : Ir. Boy Nurtjahyo M., MSIE ( )
Penguji : Ir. Dendi Prajadhiana, MSIE ( )
Penguji : Dwinta Utari ST, MBA ( )
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 21 Juni 2012
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya, penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan
sebagai pemenuhan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik
Jurusan Teknik Industri pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Penulis
menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, penyusunan skripsi
ini tidak akan berjalan lancar. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kedua Orang tua dan adik terkasih atas segala doa, dukungan, dan
perhatiannya yang selalu menyertai hari-hari kuliah selama ini hingga
membuat saya mampu melewati hari-hari kuliah dengan keberkahan doa dan
kehangatan keluarga.
2. Ibu Dr. –Ing. Amalia Suzianti S.T., M.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi
yang selalu bermurah hati untuk berbagi ilmu, motivasi, arahan, saran, do’a,
bimbingan akademis, dan cerita-ceritanya yang membuat suasana bimbingan
terasa menyenangkan.
3. Ibu Ir. Fauzia Dianawati, M.Si. yang telah bersedia menyediakan waktu untuk
memberikan bimbingan di saat-saat menjelang siding. Terima kasih sekali
untuk masukan, dukungan, semangat, dan kehangatannya.
4. Seluruh dosen dan karyawan Departemen Teknik Industri yang selalu
memberikan bantuan dan kemudahan selama menjalani proses perkuliahan.
5. Saudara-saudara terkasih di Sintesa yang selalu mengisi hari-hari penulis
dengan tawa dan dukungan tiada henti hingga setiap momen terasa begitu
manis. Lia, Sisca, Kade, Nurul, Imma, Vivi, Sisil, Upin, Adam, Pandu, Ami,
Hegar, juga untuk seluruh keluarga besar sintesa, terima kasih untuk
kebersamaannya.
6. Saudari-saudari shalehah di RQ dengan kehangatan ukhuwah dan selalu
memenuhi hari-hari penulisan skripsi dengan doa dan tilawah tiada henti
hingga begitu banyak keberkahan yang penulis rasakan. Aini, Azizah, Dede,
Kak Asti, Kak Hani, Eva, Kak Tika, Syifa, Yuni, Fitri, Kak Winda, Anun,
Maya, Astri, Iis, Citra, Zahra, Kak Ria, Riri, dan Nuru, jazakillah ukhti.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
vi
7. Sahabat-sahabat seperjuangan magang di PT MSA. Kristina, Jimmy, dan
Fadhil, terima kasih untuk kebersamaannya hingga membuat momen
penulisan skirpsi ini terasa menyenangkan
8. Rekan-rekan PT MSA yang telah begitu banyak membantu dan membimbing
proses penyusunan skripsi ini. Pak Waskito, Berry, Mba idha, Mas Rahman,
Mas Ferdi, dan rekan-rekan semua yang tidak dapat disebutkan satu per satu
9. Sahabat-sahabat TI 2008 serta S2 2011 yang turut mendukung dan menghibur,
terutama selama penulisan skripsi. Manda, Retta, Awul, Lilis, Fitri, Sofrida,
Indah, Ika, Kak Endang, Kak Laili, Kak Ika, Kak Tika, Kak Aidha. Tetap
semangat dan saling mendukung selalu.
10. Teman-teman sebimbingan yang selalu menyemangati proses penyusunan
skripsi dan membuat suasana bimbingan terasa menyenangkan. Sesa, Darus,
Indrawan, Daniel, Rizal, dan Sendhi.
11. Teman-teman angkatan 2008 yang telah bersama selama 4 tahun di
Departemen Teknik Industri Universitas Indonesia yang selalu saling memberi
dorongan dan semangat selama ini.
12. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima
kasih untuk setiap bantuan, dukungan, semangat, kepercayaan, dan tawa.
Sekecil apa pun itu, bagi penulis hal itu sungguh sangat berarti.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT membalas segala kebaikan semua
pihak dan mencatat sebagai amal ibadah di sisi-Nya. Penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan di dalam skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak.
Depok 14 Juni 2012
Penulis
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
vii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Eka Purwani NPM : 0806458813 Program Studi : Teknik Industri Fakultas : Teknik Jenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
PERANCANGAN STANDARISASI PETA PROSES SERVICE DENGAN METODE LEAN SIX SIGMA (STUDI KASUS DIVISI
RECOVERY PADA KONTRAKTOR TELEKOMUNIKASI) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 21 Juni 2012
Yang menyatakan
(Eka Purwani)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
viii
ABSTRAK
Nama : Eka Purwani Program Studi : Teknik Industri Judul : PERANCANGAN STANDARISASI PETA
PROSES SERVICE DENGAN METODE LEAN SIX SIGMA (STUDI KASUS DIVISI RECOVERY PADA KONTRAKTOR TELEKOMUNIKASI)
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya keterlambatan proses service akibat prosedur service yang ada belum efisien. Oleh karena itu perlu dirancang standarisasi peta proses sevice untuk menentukan durasi waktu optimal untuk tiap aktivitas dalam sebuah proses service sehingga akan didapat durasi waktu proses service yang optimal. Dalam pelaksanaannya, penelitian ini dilakukan dengan studi kasus Divisi Recovery pada sebuah perusahaan kontraktor telekomunikasi. Berdasarkan studi kasus ini, waktu optimal proses service disebut sebagai Mean Time To Recovery (MTTR). Penelitian ini menggunakan pendekatan lean six sigma untuk memperbaiki aliran proses service dengan tahapan DMAIC. Hasil yang didapat adalah faktor-faktor yang berpengaruh dalam kecepatan proses service dan peta proses service baru dengan MTTR yang lebih optimal namun tetap merepresentasikan kondisi lapangan. Berdasarkan peta proses baru, MTTR untuk proses service tanpa manuver adalah 4.8 jam dengan efisiensi waktu sebesar 57% serta kenaikan nilai PCE 23% dari 44% menjadi 54%. Untuk proses service dengan manuver didapat MTTR optimal sebesar 4.36 jam dengan efisiensi waktu sebesar 66% serta kenaikan nilai PCE 22% dari 41% menjadi 50%. Hasil penelitian ini nantinya tidak hanya dapat diterapkan pada Divisi Recovery, namun juga pada divisi lain yang memiliki karakteristik proses service sejenis.
Kata Kunci: Lean six sigma, DMAIC, proses pelayanan, peta proses, kontraktor
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
ix
ABSTRACT
Name : Eka Purwani Study Program : Industrial Engineering Title : STANDARDIZE OF DESIGN SERVICE PROCESS
FLOW USING LEAN SIX SIGMA METHODE (CASE STUDY RECOVERY DIVISION AT TELECOMUNICATION CONTRACTOR)
Background of this research is many delays in service process because the procedures is not effisien. Therefore, it is necessary to standardize the service process flow to determine the optimal duration for each activity in a service process that will get the optimal of service prosess time. To conduct this research, it is used case study from Recovery Division on the telecommunications contractor. Base on this case study, we called optimal service time as mean time to recovery (MTTR). This research using lean six sigma approach for construct improvement of service prosess flow with DMAIC phases. The results is some factors which affect the speed of service prosess flow and a flowchart of the new service process flow with an optimal time, but it is still represent field conditions. The new MTTR for service process without maneuvering is 4.8 hours by the time efficiency of 57% and the increase PCE value of 23% from 44% to 54%. The new MTTR for service process with maneuvering is 4:36 hours with time efficiency by 66% and the increase PCE value of 22% from 41% to 50%. The results of this research will not only be applied to the Division of Recovery, but also in other divisions that have similar characteristics of the service process flow.
Keywords: Lean Six Sigma, DMAIC, service process, flowchart, contractor
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Diagram Keterkaitan Masalah .................................................................. 2
1.3. Rumusan Permasalahan ............................................................................ 3
1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 3
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 3
1.6. Metodologi Penelitian .............................................................................. 3
1.7. Sistematika Penulisan ............................................................................... 5
2. LANDASAN TEORI ..................................................................................... 7
2.1. Lean Management .................................................................................... 9
2.2. Six Sigma ............................................................................................... 14
2.2.1. Define ............................................................................................ 15
2.2.2. Measure ......................................................................................... 18
2.2.3. Analyze ......................................................................................... 22
2.2.4. Improve ......................................................................................... 24
2.2.5. Control .......................................................................................... 25
2.3. Fiber Optik ............................................................................................. 25
3. PENGUMPULAN DATA ............................................................................ 29
3.1. Profil Perusahaan ................................................................................... 29
3.1.1. Visi ................................................................................................ 29
3.1.2. Misi ............................................................................................... 29
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
xi
3.2. Divisi Recovery ...................................................................................... 30
3.2.1. Struktur Organisasi ........................................................................ 32
3.2.2. Proses Service ................................................................................ 32
3.3. Define .................................................................................................... 37
3.4. Measure ................................................................................................. 39
4. ANALISIS ........................................................................................................... 47
4.1. Analyze .................................................................................................. 47
4.2. Improvement .......................................................................................... 54
4.3. Control ................................................................................................... 65
5. KESIMPULAN ............................................................................................ 66
5.1. Kesimpulan ............................................................................................ 66
5.2. Saran ...................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 67
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Prinsip-prinsip Lean Manufacturing dan Lean Service ........................ 11
Tabel 2.2 ‘Seven plus One’ Type of Waste ........................................................ 12
Tabel 3.1 SIPOC Divisi Recovery PT X ............................................................. 37
Tabel 3.2 Data proses service periode Januari s.d Maret 2012 ............................ 40
Tabel 3.3 Faktor penyebab kelebihan MTTR ..................................................... 44
Tabel 4.1 Analisis proses service........................................................................ 48
Tabel 4.2 Analisis diagram afinitas proses service .............................................. 55
Tabel 4.3 Parameter statistik proses service ........................................................ 58
Tabel 4.4 Parameter statistik proses service (manuver) ....................................... 59
Tabel 4.5 Peta proses service setelah improvement ............................................ 60
Tabel 4.6 Nilai PCE dan efisiensi waktu setelah improvement ........................... 61
Tabel 4.7 Nilai PCE dan efisiensi waktu setelah improvement (manuver) .......... 61
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Diagram keterkaitan masalah .............................................................. 2
Gambar 1.2 Alur metodologi penelitian ................................................................. 5
Gambar 2.1 Pendekatan Lean Six Sigma................................................................. 7
Gambar 2.2 Peta proses integrasi konsep Lean dan Six Sigma ................................ 8
Gambar 2.3 Framework DMAIC .......................................................................... 15
Gambar 2.4 Contoh diagram pareto ...................................................................... 17
Gambar 2.5 Critical to Quality Tree ..................................................................... 17
Gambar 2.6 Contoh SIPOC of Fictitious Car Dealer............................................. 18
Gambar 2.7 P Chart ............................................................................................. 20
Gambar 2.8 Metode capability analysis ................................................................ 21
Gambar 2.10 Fishbone diagram............................................................................ 23
Gambar 2.11 Peta Proses...................................................................................... 24
Gambar 2.12 Fiber Optic...................................................................................... 26
Gambar 3.1 Struktur organisasi Divisi Recovery PT X ......................................... 32
Gambar 3.2 Tampilan digital MAP ...................................................................... 33
Gambar 3.3 Pencarian lokasi user dan POP .......................................................... 34
Gambar 3.4 Hasil pencarian lokasi dan route FO via digital Map ......................... 34
Gambar 3.5 Jarak antara user dengan POP ........................................................... 35
Gambar 3.6 CTQ proses service Divisi Recovery PT X........................................ 39
Gambar 3.7 Grafik hasil uji normalitas sample data proses service ....................... 41
Gambar 3.10 Peta proses service Divisi Recovery ................................................ 45
Gambar 4.1 Diagram pareto faktor penyebab keterlambatan MTTR ..................... 51
Gambar 4.2 DKM penyebab keterlambatan MTTR .............................................. 52
Gambar 4.3 Fishbone penyebab keterlambatan proses service .............................. 53
Gambar 4.4 Diagram afinitas tema perbaikan proses service ................................ 54
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini perkembangan perekonomian di Indonesia makin meningkat. Hal ini
mendorong sektor industri makin berkembang. Persaingan yang semakin ketat dan
kompetitif memicu tiap perusahaan untuk memiliki daya saing yang tinggi untuk
mempertahankan eksistensinya. Mutu merupakan salah satu elemen daya saing
yang paling ampuh untuk memenangkan persaingan secara sehat. Perusahaan
yang menawarkan produk bermutu tinggi akan mampu menarik pelanggan,
bahkan menumbuhkan loyalitas.
PT X merupakan salah satu perusahaan kontraktor telekomunikasi yang
bergerak dalam bidang jasa aktivasi dan maintenance fiber optik. PT X memiliki
pelanggan tunggal yaitu Client X dengan sistem subcontract. Hingga saat ini,
proses maintenance fiber optik yang dilakukan Divisi Recovery PT X belum
berjalan efesien. Hal ini terlihat dari banyaknya proses service yang melebihi
MTTR (Mean Time to Repair), yaitu standard waktu yang ditetapkan untuk
melakukan sebuah proses service. Apabila proses service yang dilakukan melebihi
MTTR, maka perusahaan akan dikenai penalti oleh pihak Client X.
Gambar 1.1. Data MTTR Divisi Recovery PT X bulan Januari 2012
(Sumber: BAPS PT X Bulan Januari. 2012)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
2
Universitas Indonesia
Berdasarkan wawancara, brainstorming, dan pengamatan awal yang
dilakukan, diketahui bahwa penyebab utama banyaknya proses service yang
melebihi ketentuan MTTR adalah karena belum efisiennya prosedur standard
proses service sehingga selama ini proses service. Salah satu indikatornya adalah
belum adanya kejelasan waktu untuk tiap aktivitas proses service sehingga proses
service yang dilakukan selama ini sangat tergantung pada keahlian individual
operator. Hal ini tentunya memerlukan analisis lebih mendalam. Oleh karena itu,
dilakukan sebuah penelitian untuk mengetahui kondisi kinerja proses service saat
ini untuk dianalisis guna merumuskan prosedur standar proses service yang lebih
efisien sesuai dengan kondisi lapangan dan kemampuan sumber daya yang
dimiliki PT X saat ini.
1.2. Diagram Keterkaitan Masalah
Gambar 1.1 Diagram keterkaitan masalah
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
3
Universitas Indonesia
1.3. Rumusan Permasalahan
Banyaknya proses service yang melebihi ketentuan MTTR yang disebabkan
karena belum efisiennya prosedur standard proses service.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan rancangan alur standard proses
maintenance service Divisi Recovery PT sebagai upaya untuk menghasilkan
standard mutu service sesuai ketentuan MTTR.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam pelaksanaannya, penelitian ini memiliki ruang lingkup permasalahan yang
meliputi:
1. Penelitian dilakukan pada Divisi Recovery PT X dengan produk berupa jasa
pelayangan maintenance fiber optik (FO)
2. Data yang digunakan hanya data FO figure 8 yang berlangsung pada bulan
Januari sampai dengan Maret 2012
3. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lean six sigma dengan
alur konsep DMAIC beserta quality tools terkait
1.6. Metodologi Penelitian
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa langkah
berikut:
1. PenentuanTopik
Penentuan topik penelitian berdasarkan peminatan bidang penelitian yang
kemudian disesuaikan kebutuhan perusahaan dan hasil konsultasi dengan dosen
pembimbing. Hasilnya penelitian ini diarahkan untuk membuat standarisasi
proses service pada Divisi Recovery PT X agar proses service dapat memenuhi
ketentuan MTTR.
2. Pengumpulan literature sebagai dasar teori
Topik literatur yang digunakan sebagai dasar teori dalam penelitian ini terkait
topik Lean Six Sigma beserta quality tools terkait dan pengetahuan dasar
tentang fiber optik sesuai lingkup kerja. Jenis Penelitian yang menggunakan
berasal dari jurnal, textbooks, dan berbagai artikel ilmiah yang terkait dengan
topik penelitian.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
4
Universitas Indonesia
3. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan pengamatan, serta
dokumen-dokumen perusahaan yang terkait dengan topik penelitian. Sebagai
landasan kuantitatif, digunakan data historis proses service selama 3 bulan
terakhir untuk mengidentifikasi masalah dan mengukur kinerja proses awal.
Selanjutnya dilakukan pengamatan, wawancara, dan pengamatan untuk
merumuskan alur proses service yang selama ini berjalan dan kendala-kendala
yang terjadi.
4. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan berdasarkan metode Lean Six Sigma dengan
tahapan DMAIC. Pada tahap ini ditetapkan fokus masalah dan pengukuran
permasalahan. Penetapan fokus masalah dilakukan dengan memetakan kondisi
proses service saat ini. Selanjutnya dari penetapan fokus masalah dan data yang
ada, dilakukan tahap pengukuran untuk mengetahui normalitas data, kapabilitas
proses, level sigma, dan peta proses saat ini saat ini.
5. Analisis hasil
Analisis hasil merupakan tahapan analisis terhadap permasalahan saat ini yang
berhasil dipetakan dan diukur pada tahap pengolahan data. Di sini digunakan
berbagai quality tools dengan pendekatan lean untuk mengidentifikasi value
added activity dan non value added activity. Selanjutnya dilakukan perhitungan
PCE (process cycle effiency) untuk menganalisis efisiensi proses. Hal ini
dilakukan untuk menimimalisasi waste agar dapat disusun langkah
improvement untuk menghasilkan alur proses service yang baru lebih efisien.
Untuk memperdalam analisis, dilakukan brainstorming dengan divisi-divisi
terkait di perusahaan.
6. Penarikan kesimpulandan saran
Kesimpulan ditarik berdasarkan hasil analisis sehingga dihasilkan rekomendasi
berupa rancangan standarisasi produk yang sesuai dengan ketentuan MTTR.
Sedangkan saran diarahkan untuk penelitian lebih lanjut terkait tema penelitian
ini.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah diagram alir yang menggambarkan
metodologi dalam penelitian ini:
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
5
Universitas Indonesia
Gambar 1.2 Alur metodologi penelitian
1.7. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
6
Universitas Indonesia
Bab 1 Pendahuluan
Menjelaskan latarbelakang masalah, diagram keterkaitan masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, batasan penelitian, metodologi penelitian, dan
sistematika penelitian.
Bab 2 Dasar teori
Dasar teori menjelaskan teori-teori dari literatur yang mendasari penelitian. Teori
yang digunakan antara lain Lean Six Sigma dan dasar-dasar fiber optik.
Bab 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengumpulan data diperoleh dari hasil wawancara, pengamatan, serta data-data
sekunder yang terkait dengan topik penelitian. Pada tahap ini dilakukan Define
dan Measure dari tahapan DMAIC.
Bab 4 Analisis
Analisis terhadap hasil pengolahan data yang telah dilakukan pada bab
sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis, dirumuskan langkah improvement dan
control yang harus akan direkomendasikan untuk membentuk standar proses
service yang lebih efisien.
Bab 5 Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan menyeluruh sebagai feedback dari tujuan penelitian sehingga dapat
ditarik saran bagi perusahaan maupun penelitian selanjutnya.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
7
Universitas Indonesia
2. BAB 2 LANDASAN TEORI
LANDASAN TEORI
Landasan teori utama yang digunakan adalah konsep Lean Six Sigma sebagai
metode yang mendasari penelitian. Vincent Gaspersz (2007) dalam bukunya yang
berjudul Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries mengatakan
bahwa sekitar 30% hingga 50% biaya dalam sebuah organisasi service disebabkan
oleh biaya terkait dengan slow speed atau performing rework untuk memuaskan
kebutuhan konsumen. Untuk itu dibutuhkan sebuah metode yang tidak hanya
berfokus pada kualitas namun juga pada kecepatan dan ketepatan kerja. Lean Six
Sigma menjadi salah satu alternatif yang banyak digunakan. Lean Six Sigma dapat
didefiniskan sebagai suatu pendekatan sistematik dan sistemik untuk
mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau aktivitas-aktivitas
yang tidak bernilai (non value added activities) melalui peningkatan terus
menerus secara radikal (radical continuous improvement) untuk mencapai tingkat
kinerja enam sigma, dengan cara mengalirkan produk dan informasi
menggunakan sistem tarik (pull system) dari pelanggan internal dan eksternal
untuk mengejar keunggulan dan kesempurnaan berupa pencapaian hasil produksi
3,4 DPMO (George, 2003, 9).
Gambar 2.1 Pendekatan Lean Six Sigma
(Sumber: Gaspersz, 2007)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
8
Universitas Indonesia
Pendekatan Lean berfokus pada penghilangan pemborosan (waste
elimination), memperlancar aliran material, produk, dan informasi, serta
peningkatan performa secara terus menerus. Sedangkan Six Sigma berfokus pada
reduksi variasi (variation reduction), pengendalian proses, dan peningkatan terus
menerus untuk mencapai zero defect. Integrasi Lean dan Six Sigma ini akan
meningkatkan kinerja bisnis dan industri melalui peningkatan kecepatan (shorter
cycle time) dan akurasi (zero defect). Pendekatan Lean akan memilah aktivitas
menjadi value added dan non value added serta membuat value added activities
mengalir lancar sepanjang value stream process. Selanjutnya non value added
activities akan direduksi melalui Six Sigma. Oleh karena itu penerapan Lean Six
Sigma akan lebih efektif dibandingkan penerapan konsep Lean atau Six Sigma
secara terpisah.
Gambar 2.2 Peta proses integrasi konsep Lean dan Six Sigma
(Sumber: Gaspersz, 2007)
Terkait dengan objek penerapan Lean Six Sigma pada penelitian ini, yaitu
pada industri jasa, maka ada beberapa atribut yang harus diperhatikan dalam
peningkatan kualitas, yaitu sebagai berikut:
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
9
Universitas Indonesia
• Ketepatan waktu pelayanan, terkait dengan waktu tunggu dan waktu proses
• Akurasi pelayanan, terkait dengan reliabilitas pelayanan dan bebas kesalahan
• Tanggung jawab, terkait dengan penerimaan pesanan dan penanganan
keluhan pelanggan eksternal
• Kelengkapan, terkait dengan lingkup pelayanan dan ketersediaan sarana
pendukung, serta layanan komplementer lainnya
• Kemudahan mendapatkan pelayanan, terkait dengan banyaknya service
point, banyaknya petugas pelayanan, serta fasilitas pendukung seperti database
untuk sumber informasi dan pemrosesan data
• Variasi model pelayanan, terkait dengan inovasi untuk memberikan pola-
pola baru dalam pelayanan
• Atribut pendukung pelayanan, terkait dengan kondisi lingkungan,
kebersihan, dan fasilitas pendukung lainnya.
2.1. Lean Management
APICS Dictionary (2005) mendefinisikan lean sebagai suatu filosofi bisnis
yang berlandaskan pada minimisasi penggunaan sumber-sumber daya (termasuk
waktu) dalam berbagai aktivitas perusahaan. Lean berfokus pada identifikasi dan
eliminasi aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah dalam aktivitas desain, produksi
atau operasi, dan supply chain management yang berkaitan langsung dengan
pelanggan. Lean yang diterapkan pada manufacturing disebut sebagai lean
manufacturing, sedangkan lean yang diterapkan dalam bidang jasa disebut lean
service.
Lean juga sering didefinisikan sebagai suatu pendekatan sistemik dan
sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau
aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah (non value-added activities) melalui
peningkatan terus menerus secara radikal (radical continuous improvement)
dengan cara mengalirkan produk dan infromasi menggunakan sistem tarik (pull
system) dari pelanggan internal dan external. Langkah ini bertujuan untuk
mengejar keunggulan dan kesempurnaan produk yang diproduksi dengan cara-
cara paling efisien untuk memperoleh biaya minimum dan dapat diserahkan tepat
waktu kepada pelanggan atau pengguna.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
10
Universitas Indonesia
Dalam lean management, aktivitas proses dibedakan atas Value Added
Activities (VAA), Non-value Added Activity (NAA), dan Business Non-value
Added Activity (BNAA) (George, 2003, 118). VAA didefinisikan sebagai aktivitas
yang berkontribusi menambah nilai produk di mata pelanggan dimana mereka
mengetahui dan bersedia membayar untuk aktivitas tersebut. NAA didefinisikan
sebagai aktivitas yang tidak memiliki nilai tambah di mata pelanggan dimana jika
diberi pilihan mereka tidak akan bersedia membayar aktivitas tersebut. NAA
sering dianggap sebagai waste sehingga dalam konsep lean, NAA harus
diminimalisasi atau dihilangkan sebisa mungkin. Namun dalam prosesnya,
terdapat NAA yang tidak dapat dihilangkan karena dibutuhkan untuk mendukung
proses produksi, biasanya berhubungan dengan masalah regulasi atau proses
bisnis. NAA semacam ini didefinisikan sebagai Business Non-value Added
Activity (BNAA). Dalam pelaksanaannya, meskipun penting namun BNAA harus
harus diminimalisasi seefisien mungkin agar biaya yang dikeluarkan lebih rendah.
Hal ini disebabkan karena sebenarnya kegiatan BNAA tidak memberikan nilai
tambah apapun bagi kualitas proses. BNAA hanya berperan untuk mempermudah
proses service dari sisi managerial dan regulasi, seperti proses accounting,
dokumentasi, dan alur perijinan.
Dalam penerapannya, terdapat lima prinsip dasar lean, yaitu sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi nilai produk (barang atau jasa) berdasarkan perspektif
pelanggan, dimana pelanggan menginginkan produk berkualitas superior
dengan harga kompetitif dan tepat waktu
2. Mengidentifikasi value stream process mapping untuk setiap produk (barang
atau jasa)
3. Menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari semua aktivitas
sepanjang proses value stream tersebut
4. Mengorganisasi agar material, informasi, dan produk mengalir lancar dan
efisien sepanjang proses value stream menggunakan pull system
5. Terus menerus mencari berbagai improvement tools and techniques untuk
mencapai keunggulan dan peningkatan terus menerus
Dalam penerapannya, terdapat perbedaan prinsip antara lean manufacturing
dan lean service, yaitu sebagai berikut:
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
11
Universitas Indonesia
Tabel 2.1 Prinsip-prinsip lean manufacturing dan lean service
(Sumber: Gaspersz, 2007, 5)
No Lean Manufacturing
(produk: barang)
Lean Service
(produk: jasa, administrasi,
kantor)
1 Spesifikasi secara tepat nilai produk
yang diinginkan oleh pelanggan
Spesifikasi secara tepat nilai
produk yang diinginkan pelanggan
2 Identifikasi value stream untuk
setiap produk
Identifikasi value stream untuk
setiap proses jasa
3 Eliminasi semua pemborosan yang
terdapat dalam aliran proses setiap
produk agar nilai (value) mengalir
tanpa hambatan
Eliminasi semua pemborosan yang
terdapat dalam aliran proses setiap
jasa (moment of truth) agar nilai
(value) mengalir tanpa hambatan
4 Menerapkan sistem tarik (pull
system) menggunakan Kanban yang
memungkinkan pelanggan menarik
nilai (value) dari produsen
Menerapkan sistem anti-kesalahan
(mistake-proof system) setiap
proses jasa (moment of truth) untuk
menghindari pemborosan dan
penundaan
5 Mengejar keunggulan untuk
mencapai kesempurnaan (zero
waste) melalui radical continuous
improvement
Mengejar keunggulan untuk
mencapai kesempurnaan (zero
waste) melalui radical continuous
improvement
Dalam perspektif lean, waste didefinisikan sebagai segala aktivitas kerja
yang tidak memberikan nilai tambah dalam proses transformasi input menjadi
output sepanjang value stream. Waste tersebut harus dihilangkan atau
diminimalisasi karena akan mengurangi kualitas produk. Pengurangan waste juga
dilakukan guna meningkatkan nilai produk di mata konsumen atau biasa dikenal
sebagai customer value. Terdapat beberapa pengelompokan jenis waste, salah satu
yang telah dikenal umum adalah ‘seven plus one’ type of waste, yaitu sebagai
berikut
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
12
Universitas Indonesia
Tabel 2.2 ‘Seven plus One’ Type of Waste
(Sumber: Ibid, 9)
No Waste Root Cause
1 Overproduction: memproduksi
lebih daripada kebutuhan
pelanggan internal dan eksternal,
atau memproduksi lebih cepat
atau lebih awal daripada waktu
kebutuhan pelanggan internal dan
eksternal
Ketiadaan komunikasi, sistem balas
jasa dan penghargaan yang tidak
tepat, hanya berfokus pada kesibukan
kerja, bukan untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan internal dan
eksternal
2 Delays (waiting time):
keterlambatan yang tampak
melalui orang-orang yang sedang
menunggu mesin, peralatan,
bahan baku, supplies, perawatan/
pemeliharaan (maintenance), dll;
atau mesin-mesin yang sedang
menunggu perawatan, orang-
orang, bahan baku, peralatan, dll.
Inkonsistensi metode kerja, waktu
penggantian produk yang panjang
(long changeover times)
3 Transportation: memindahkan
material atau orang dalam jarak
yang sangat jauh dari satu proses
ke proses berikut yang dapat
mengakibatkan waktu
penanganan material bertambah
Tata letak yang jelek (poor layout),
ketiadaan koordinasi dalam proses,
poor housekeeping, pengorganisasi
tempat kerja kurang baik (poor
workplace organization), lokasi
penyimpanan material yang banyak
dan saling berjauhan (multiple and
long distance storage location)
4
Processes: mencakup proses-
proses tambahan atau aktivitas
kerja yang tidak perlu atau tidak
efisien
Ketidaktepatan penggunaan
peralatan, pemeliharaan peralatan
kurang baik, gagal mengombinasikan
operasi-operasi kerja, proses kerja
dibuat serial padahal proses-proses
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
13
Universitas Indonesia
itu tidak saling tergantung satu sama
lain, yang seharusnya dapat dibuat
parallel
5 Inventories: pada dasarnya
inventori menyembunyikan
masalah dan menimbulkan
aktivitas penanganan tambahan
yang seharusnya tidak diperlukan.
Inventori juga mengakibatkan
extra paperwork, extra space, dan
extra cost
Peralatan yang tidak handal, aliran
kerja yang tidak seimbang, pemasok
yang kurang kapabel, forecasting
kurang akurat, ukuran batch terlalu
besar, dan waktu changeover lama
6 Motion: setiap pergerakan dari
orang atau mesin yang tidak
menambah nilai kepada barang
atau jasa yang akan diserahkan
kepada pelanggan, tetapi hanya
menambahkan biaya dan waktu
saja
Pengorganisasi tempat kerja kurang
baik, tata letak kurang tepat, metode
kerja tidak konsisten
7 Defective products: scrap,
rework, customer returns,
customer dissatisfaction
Incapable process, insufficient
training, ketiadaan prosedur-prosedur
operasi standar
8 Defective design: desain yang
tidak memenuhi kebutuhan
pelanggan, penambahan features
yang tidak perlu
Lack of customer input in design,
over-design
Dalam proses service, waste diukur dari persentase total cycle time yang
dihabiskan untuk VAA terhadap total lead time. Ukuran metrik ini didefinisikan
sebagai process cycle efficiency (PCE).
Waste Root Cause No
Tabel 2.2 Lanjutan ‘Seven plus One’ Type of Waste
(Sumber: Ibid, 9)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
14
Universitas Indonesia
Dalam lean process target nilai PCE yang akan dicapai adalah 50%, dengan
nilai PCE minimal yang harus dicapai adalah 20%. Hal ini berarti durasi VAA
memiliki porsi 20% lebih dari banyak dibanding keseluruhan total cycle time.
2.2. Six Sigma
Six Sigma didefinisikan sebagai metode peningkatan proses bisnis yang
bertujuan untuk menemukan dan mengurangi faktor-faktor penyebab kecatatan
dan kesalahan, mengurangi waktu siklus dan biaya operasi, meningkatkan
produktivitas, memenuhi kebutuhan pelanggan dengan lebih baik, mencapai
tingkat pendayagunaan aset yang lebih tinggi, serta mendapatkan imbal hasil atas
investasi yang lebih baik dari segi produksi maupun pelayanan (Evans, 2007, 3).
Apabila produk (barang/jasa) diproses pada tingkat kinerja kualitas Six
Sigma, maka diharapkan jumlah cacat produksi atau kegagalan service adalah 3,4
DPMO atau 99,99966% produk memenuhi kualifikasi mutu. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa Six Sigma dapat dijadikan sebagai ukuran target kinerja
proses industri tentang bagaimana suatu proses transaksi produk antara pemasok
(industry) dan pelanggan (pasar) sebaiknya dilakukan. Semakin tinggi target Six
Sigma yang dicapai, berarti kinerja proses produksinya semakin baik. Six Sigma
juga sering dianggap sebagai strategi terobosan yang memungkinkan perusahaan
melakukan peningkatan dramatis dan mengendalikan proses industri yang
berfokus pada pelanggan dengan memperhatikan kemampuan proses.
Penerapan Six Sigma disusun berdasarkan sebuah metodologi penyelesaian
masalah sederhana, yaitu DMAIC. DMAIC merupakan kepanjangan dari Define
(perumusan masalah), Measure (pengukuran masalah), Analyze (penganalisaan
masalah), Improve (peningkatan/perbaikan masalah), Control (pengendalian).
DMAIC digunakan untuk meningkatkan proses bisnis yang telah ada untuk
mencapai target kinerja zero defects/errors. Dalam pelaksanaannya, DMAIC
menggunakan berbagai macam perangkat statistik dan pendekatan perbaikan
proses lainnya. DMAIC juga didukung oleh berbagai quality tools pada setiap
tahapannya seperti CTQ, diagram pareto, fishbone, diagram keterkaitan masalah,
diagram afinitas, flowchart, dan lain sebagainya.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
15
Universitas Indonesia
Gambar 2.3 Framework DMAIC
(Sumber: iSixSigma, 2007)
2.2.1. Define
Define atau perumusan masalah adalah langkah paling awal yang harus
dilakukan dalam metode Six Sigma. Tujuan tahap ini adalah mengidentifikasi
masalah yang hendak diselesaikan atau ditingkatkan kualitasnya. Salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi masalah adalah dengan
mengklasifikasi jenis masalah (Smith, 2000, 43-49). Kepner dan Tregoe (1965)
mendefiniskan masalah sebagai penyimpangan antara apa yang seeharusnya
terjadi dibandingkan dengan apa yang sebenarnya terjadi di mana situasi tersebut
cukup penting sehingga membuat seseorang berfikir bahwa penyimpangan
tersebut harus dikoreksi. Sebuah riset tentang aktivitas pemecahan masalah
kualitas menyebutkan mengelompokkan lima kategori pemecahan masalah, yaitu
sebagai berikut:
1. Masalah kepatuhan, didefinisikan sebagai kinerja yang tidak memuaskan yang
dilakukan sistem tertentu. Para pengguna tidak puas dengan output sistem,
seperti tingkat kualitas atau pelayanan pelanggan. Sistem tersebut sudah
berjalan namun karena berbagai penyebab, kinerjanya dianggap tidak
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
16
Universitas Indonesia
memuaskan sehingga penyebab-penyebab tersebut harus diidentifikasi dan
sistemnya harus dikembalikan ke tujuan fungsi awal.
2. Masalah kinerja yang tidak terstruktur, diakibatkan desain sistem yang kurang
spesifik sehingga kinerjanya kurang memuaskan. Sistem penugasan belum
terstandarisasi dan belum ada prosedur atau regulasi yang mengatur detail
pelaksanaannya. Masalah ini membutuhkan pendekatan yang bersifat kreatif
untuk memecahkannya.
3. Masalah efisiensi, berasal dari sudut pandang para pemegang kepentingan di
luar pelanggan terhadap kurang memuaskannya kinerja suatu sistem. Meski
kualitas outputnya dapat diterima pelanggan, namun kinerja sistem tersebut
belum memenuhi tujuan internal organisasi. Pengindentifikasian solusi untuk
masalah ini sering kali melibatkan perampingan proses.
4. Masalah desain produk, terkait dengan desain baru yang memenuhi kebutuhan
dan harapan pengguna.
5. Masalah desain proses, terkait dengan desain proses baru atau revisi proses
yang sudah ada secara substansial. Di sini dituntut bagaimana menentukan
persyaratan proses, memberikan alternatif proses baru, serta menghubungkan
proses-proses tersebut dengan kebutuhan pelanggan.
Pada dasarnya kelompok masalah di atas adalah bentuk penerjemahan suara
konsumen, baik konsumen internal maupun eksternal. Dalam tahap define ini,
masalah-masalah tersebut akan dihubungkan dengan komponen kualitas yang
telah ditentukan dalam proses sebuah sistem. Komponen kualitas inilah yang akan
didefiniskan, diukur, dianalisis, dan diperbaiki.
Biasanya pada tahap ini digunakan diagram pareto untuk menentukan
penyebab dominan dari suatu masalah. diagram pareto menunjukkan urutan
penyebab masalah dari frekuensi terbesar hingga terkecil. Dalam penelitian,
biasanya tak semua penyebab masalah dapat diteliti karena keterbatasan waktu
dan sumber daya sehingga di sini diagram pareto membantu untuk memilah faktor
penyebab yang ‘dominan’ dan ‘tidak dominan’ untuk menentukan dan membatasi
fokus penelitian.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
17
Universitas Indonesia
Gambar 2.4 Contoh diagram pareto
(Sumber: iSixSigma, 2010)
Tools lain yang sering digunakan dalam tahap ini adalah Skema critical to
quality (CTQ). CTQ digunakan untuk mengembangkan kriteria produk
(barang/jasa) berdasarkan ekspektasi konsumen yang berhasil diidentifikasi.
Hasilnya akan dikembangkan dan didefinisikan sebagai komponen kualitas yang
akan diukur, dianalisis, dan diperbaiki. Tools yang digunakan di sini adalah CTQ
tree.
Gambar 2.5 Critical to Quality Tree
(Sumber: El-Haik, 2010)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
18
Universitas Indonesia
Pendefinisian masalah akan lebih akurat jika didukung dengan penggambaran
peta proses yang tepat. Hal ini akan memberikan gambaran menyeluruh deskripsi
proses secara mendetail sehingga akan mudah mengetahui komponen-komponen
mana yang bermasalah dan harus ditingkatkan performanya. Tools yang
digunakan ada beberapa macam, salah satunya adalah diagram SIPOC. Diagram
SIPOC mampu memberikan gambaran peta proses secara visual, yaitu tentang
hubungan antara supplier, input, process, ouput, dan customer (Pande et all, 2002,
114).
Gambar 2.6 Contoh SIPOC of Fictitious Car Dealer
(Sumber: iSixSigma.2012)
2.2.2. Measure
Measure dilakukan untuk mengukur kinerja proses pada saat sekarang
(baseline measurements) agar dapat dibandingkan dengan target yang ditetapkan.
Ukuran dan indikator menunjukkan informasi yang menjadi hasil dari proses
pengukuran. Indikator kualitias biasanya berfokus pada output proses sehingga
dalam tahap measure ini dinilai kemungkinan terjadinya defect terhadap satu juta
kemungkinan (DPMO) dari proses yang diteliti.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
19
Universitas Indonesia
Pada tahap ini dilakukan uji kecukupan data untuk mengetahui apakah
jumlah sample yang diambil sudah mencukupi atau mewakili populasi yang
sesungguhnya. Untuk itu digunakan rumus sebagai berikut (Sanders &
McCornick, 2003):
di mana:
N’ = jumlah data yang diperlukan
N = jumlah data observasi
X = nilai data
Setelah memastikan data yang diambil telah mencukupi, selanjutnya
dilakukan studi kapabilitas proses. Untuk itu dilakukan pengujian melalui diagram
kendali (control chart). Hal ini dilakukan dengan tujuan (Stamatis, 2003):
• Mengidentifikasi special variation dan memisahkannya dengan common
variation
• Menentukan jenis proses. Jika proses berada dalam pengendalian maka untuk
melakukan perbaikan (improvement) perlu perubahan yang sistematis bukan
yang disesuaikan
• Memperkirakan kemampuan proses untuk memenuhi kebutuhan pelanggan
• Mengendalikan usaha perbaikan yang berkesinambungan
• Sebagai rencana perbaikan proses
Diagram kendali yang digunakan dalam penelitian ini adalah P chart. P
chart merupakan bagian dari atribut chart yang perhitungannya didasarkan pada
perbandingan proporsi defect. Proporsi defect diartikan sebagai perbandingan
sampel yang defect dengan jumlah sample pengamatan. Data yang telah
ditentukan ditambahkan dengan perhitungan CL (Control Limit), UCL (Upper
Control Limit),dan LCL (Lower Control Limit), dimana ketiganya dirumuskan
dalam persamaan berikut:
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
20
Universitas Indonesia
Pi didefinisikan sebagai jumlah kecacatan, k sebagai jumlah produksi, dan ni
sebagai jumlah produksi tiap ke-i.
Gambar 2.7 P Chart
(Sumber: iSixSigma.2010)
Selain terkendali secara statistic, sebuah proses juga harus memiliki
kapabilitas untuk dapat ditingkatkan. Tingkat common variation harus serendah
mungkin sehingga setiap bagian yang dihasilkan proses sesuai dengan keinginan
pelanggan (Stamatis, 2003). Kemampuan proses dihitung berdasarkan binomial
capability process. Hal ini dilakukan karena data yang digunakan dalam penelitian
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
21
Universitas Indonesia
ini adalah berupa data atribut sehingga tidak dapat menggunakan kapabilitas
proses dengan perhitungan Cp, Cpk, dan Cpm yang merupakan ukuran kapabilitas
proses untuk data continuous.
Gambar 2.8 Metode capability analysis
(Sumber: Minitab tutorial, 2012)
Binomial capability process merupakan salah satu jenis uji kapabilitas
proses yang dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kapasitas proses yang
merepresentasikan sample data untuk kemudian dianalisis dan dievaluasi. Jenis uji
kapabilitas ini digunakan untuk data yang berjenis atribut, yaitu data yang
menggambarkan jumlah proporsi produk yang defect, dimana masing-masing item
diklasifikasikan dalam dua kategori, seperti defect/nondefect atau pass/fail.
Tampilan hasil pengolahan Binomial capability process dapat dilihat pada gambar
2.9.
Pengukuran terakhir dalam tahap ini adalah pengukuran nilai sigma dan
yield. Pengukuran nilai sigma digunakan untuk mengetahui saat ini proses sistem
tersebut berada pada level sigma mana. Sedangkan nilai yield merupakan
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
22
Universitas Indonesia
persentase banyaknya produk yang tidak mengalami cacat yang dapat dihasilkan
oleh suatu proses.
191715131197531
0.26
0.24
0.22
0.20
Sample
Pro
po
rtio
n
_P=0.22643
UCL=0.25552
LCL=0.19733
2015105
23.5
23.0
22.5
22.0
21.5
Sample
%D
efe
ctiv
e
Upper CI: 0.7646
%Defective: 22.64Lower CI: 22.22Upper CI: 23.07Target: 0.00PPM Def: 226427Lower CI: 222241
Upper CI: 230654Process Z: 0.7507Lower CI: 0.7367
(95.0% confidence)
Summary Stats
200019201840
26
24
22
20
Sample Size
%D
efe
ctiv
e24201612840
8
6
4
2
0
%DefectiveF
req
ue
ncy
Tar
1
Binomial Process Capability Analysis of UnavailableP Chart
Tests performed with unequal sample sizes
Cumulative %Defective
Rate of Defectives
Histogram
Gambar 2.9 Kapabilitas proses
(Sumber: minitab tutorial, 2012)
2.2.3. Analyze
Tahap analisis merupakan pemeriksaan terhadap proses, fakta, dan data
untuk mendapatkan pemahaman mengenai mengapa suatu permasalahan terjadi
dan di mana terdapat kesempatan untuk melakukan perbaikan. Biasanya terdapat
dua macam analisis yaitu analisis data dan analisis proses. Analisis data
merupakan analisis terhadap hasil pengolahan data kuantitatif yang dilakukan
pada tahap sebelumnya sehingga dapat diambil kesimpulan gambaran kondisi saat
ini. Sedangkan analisis proses dilakukan untuk menganalisis data yang bersifat
kualitatif.
Pada tahap ini terdapat beberapa tools yang dapat digunakan, antara lain
fishbone dan peta proses. Fishbone digunakan untuk membuat hipotesis mengenai
rantai penyebab dan akibat serta untuk menyaring potensi penyebab dan
mengorganisasikan hubungan antar variabel (Evans, 2007, 187).
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
23
Universitas Indonesia
Gambar 2.10 Fishbone diagram
(Sumber: Constantinides, 2006)
Pada akhir garis horizontal, sebuah permasalahan dituliskan. Setiap cabang yang
menunjuk ke ranting utama mewakili suatu kemungkinan penyebab. Cabang-
cabang yang menunjuk ke sebab-sebab merupakan kontributor dari sebab tersebut.
Diagram ini membantu mengidentifikasi penyebab yang mungkin dari suatu
maslaah sehingga pengumpulan data dan analisis dapat dilakukan secara lebih
mendalam.
Peta proses digunakan untuk mengidentifikasi urutan aktivitas atau aliran
berbagai bahan baku dan informasi di dalam suatu proses. Peta proses membantu
memudahkan pemahaman terhadap proses secara lebih mendetail dan objektif
dengan memberi gambaran mengenai langkah-langkah pengerjaan/ terjadinya
suatu proses. Peta proses disusun dengan melibatkan orang-orang yang terlibat di
dalam proses tersebut (pegawai, supervisor, manajer, dan pelanggan) untuk
membuatnya (Ibid, 178). Peta proses ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi
sumber-sumber kesalahan kerja atau cacat produksi, variasi yang tidak diinginkan,
dan kesempatan-kesempatan untuk melakukan perbaikan.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
24
Universitas Indonesia
Gambar 2.11 Peta Proses
(Sumber: iSixSigma.2010)
2.2.4. Improve
Tahap ini bertujuan untuk merumuskan solusi masalah berdasarkan hasil
analisis dari tahap sebelumnya. Solusi yang dipilih merupakan tindakan yang
mampu mengeliminasi penyebab utama maslaah (root causes), meminimumkan
variasi, dan meningkatkan efektivitas serta efisiensi sistem. Aspek penting dalam
tahap ini adalah mulai diajukannya uji hipotesa terhadap data atribut sehingga
dapat diketahui akar permasalah dan kemungkinan perbaikan yang dapat
dilakukan. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam tahap ini antara lain
sebagai berikut:
• Mencari alternative perbaikan
• Mengidentifikasi criteria perbaikan
• Merumuskan perbaikan yang paling mungkin dilakukan
• Mengevaluasi perbaikan dan memilih alternatif perbaikan yang terbaik
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
25
Universitas Indonesia
2.2.5. Control
Control merupakan tahap terakhir dalam pendekatan DMAIC, di mana
pada tahap ini dilakukan pemantauan hasil implementasi untuk memastikan
bahwa pelaksanaanya berjalan baik. Tahap ini merupakan tahap peralihan dari
perbaikan menuju pengendalian proses. Keberhasilannya tergantung pada rencana
pengendalian yang mendetail dan efektif. Untuk itu terdapat empat komponen
dalam tahap ini, yaitu sebagai barikut (Pande et all, 2002, 342):
1. Disiplin, diperlukan untuk memastikan bahwa implementasi dilakukan
dengan baik
2. Dokumentasi perbaikan, merupakan dokumen yang mudah dimengerti,
diakses, dan disesuaikan dengan kondisi
3. Mengembangkan pengukuran jalannya proses, awalnya pengukuran proses
dilakukan dari SIPOC, penentuan peta proses, dan pengukuran faktor
penyebab yang mempengaruhi proses kerja dan jumlah failure. Proses
selanjutnya adalah memonitorng proses menggunakan grafik data.
4. Mengembangkan perencanaan manajemen proses, di mana manajemen proses
terbagi atas empat hal yaitu peta proses yang berlaku, sinyal yang
menunjukkan kondisi proses, sistem untuk penanggulangan masalah yang
mungkin timbul, dan memberikan perhatian terhadap hal-hal penting lain
untuk melakukan perbaikan.
2.3. Fiber Optik
Pada dasarnya terdapat tiga macam media komunikasi, yaitu tembaga, udara
dan kaca. Tembaga sudah sejak lama dikenal sebagai media komunikasi. Berawal
dari penghantar listrik, tembaga berevolusi menjadi penghantar elektromagnetik
yang membawa pesan, suara, gambar dan data digital. Namun seiring
berkembangnya teknologi frekuensi radio, muncul alternatif media komunikasi
lain yaitu nirkabel atau wireless, sebuah komunikasi yang memanfaatkan udara
sebagai penghantar. Memasuki tahun 1980-an mulai mengenal media komunikasi
lain lebih, yaitu fiber optik.
Fiber optik adalah sebuah saluran transmisi atau sejenis kabel yang terbuat
dari kaca atau plastik yang sangat halus yang digunakan untuk mentransmisikan
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
26
Universitas Indonesia
sinyal cahaya dari satu tempat ke tempat lain. Sumber cahaya yang digunakan
biasanya adalah LED (Light Emitting Diode) atau ILD (Injection Laser Diode).
Kabel ini berdiameter sekitar 120 mikrometer. Cahaya yang ada di dalam fiber
optic tidak keluar karena indeks bias kaca lebih besar dari pada indeks bias udara.
Kecepatan transmisi fiber optik sangat tinggi sehingga sangat bagus untuk
dimanfaatkan sebagai saluran komunikasi.
Sistem komunikasi fiber optik ini memanfaatkan cahaya sebagai gelombang
pembawa informasi yang akan dikirimkan. Pada bagian pengirim, isyarat
informasi diubah menjadi isyarat optik. Lalu, diteruskan ke kanal informasi yang
juga terbuat dari fiber optik yang bertugas sebagai pemandu gelombang.
Sesampainya di penerima berkas cahaya ditangkap oleh detektor cahaya, yang
berfungsi mengubah besaran optik menjadi besaran elektrik. Sebuah kabel fiber
optik dibuat sekecil-kecilnya (mikroskopis) agar tak mudah patah/retak, dengan
perlindungan khusus sehingga besaran wujud kabel akhirnya tetap mudah
dipasang. Satu kabel fiber optik disebut sebagai core. Untuk satu sambungan/link
komunikasi kabel optik dibutuhkan dua core, satu sebagai transmitter dan satu
lagi sebagai receiver. Satu core fiber optik yang terlihat oleh mata kita adalah
masih berupa lapisan pelindungnya (coated), sedangkan kacanya sendiri yang
menjadi inti transmisi data berukuran mikroskopis, tak terlihat oleh mata.
Gambar 2.12 Struktur fiber optik
(Sumber: Hecht, 1998)
Kabel fiber optik yang paling dikenal ada dua macam, yaitu: multi-mode dan
single-mode. Transmiter cahaya berupa Light Emitting Diode (LED) atau
Injection Laser Diode (ILD) menembakkan cahaya ke dalam kabel fiber optik.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
27
Universitas Indonesia
Dalam kabel multi-mode cahaya selain lurus searah panjang kabel juga
berpantulan ke dinding core hingga sampai ke tujuan, sisi receiver. Pada kabel
single-mode pulsa cahaya ditembakkan hanya lurus searah panjang kabel. Kabel
single-mode memberi kelebihan kapasitas bandwidth dan jarak yang lebih tinggi,
hingga puluhan kilometer dengan skala bandwidth gigabyte.
Fiber optik memberikan kemungkinan yang lebih baik bagi jaringan
telekomunikasi. Fiber optik adalah salah satu media transmisi yang dapat
menyalurkan informasi dengan kapasitas besar dengan keandalan yang tinggi.
Berlainan dengan media transmisi lainnya, maka gelombang pembawa pada fiber
optik bukan gelombang elektromagnet atau listrik, akan tetapi merupakan
sinar/cahaya laser.
Sebagaimana namanya fiber optik dibuat dari gelas silika dengan penampang
berbentuk lingkaran atau bentuk-bentuk lainnya. Pembuatan fiber optik dilakukan
dengan cara menarik bahan gelas kental-cair sehingga dapat diperoleh
serabut/fiber gelas dengan penampang tertentu. Proses ini dikerjakan dalam
keadaan bahan gelas yang panas. Hal terpenting dalam pembuatan fiber optik
adalah menjaga agar perbandingan relatif antara bermacam lapisan tidak berubah
sebagai akibat tarikan. Proses pembungkusan seperti pemberian bahan pelindung
atau proses pembuatan satu ikat kabel yang terdiri atas beberapa buah hingga
ratusan kabel pengerjaannya tidak berbeda dengan pembuatan kabel biasa.
Fiber optik memiliki kelebihan kelebihan yang dimiliki oleh sistem transmisi
fiber optik dibandingkan dengan teknologi transmisi. Kelebihan fiber optik yang
lain antara lain sebagai berikut:
• Redaman transmisi yang kecil
Sistem telekomunikasi fiber optik mempunyai redaman transmisi per km
relatif kecil dibandingkan dengan transmisi lainnya, seperti kabel coaxial
ataupun kabel PCM. Hal ini berarti fiber optik sangat sesuai untuk
dipergunakan pada telekomunikasi jarak jauh, karena hanya membutuhkan
repeater yang jumlahnya lebih sedikit.
• Bidang frekuensi yang lebar
Secara teoritis fiber optik dapat dipergunakan dengan kecepatan yang tinggi,
hingga mencapai beberapa gigabyte/detik. Dengan demikian sistem ini dapat
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
28
Universitas Indonesia
dipergunakan untuk membawa sinyal informasi dalam jumlah yang besar
hanya dalam satu buah fiber optik yang halus.
• Ukurannya kecil dan ringan
Dengan demikian sangat memudahkan pengangkutan pemasangan di lokasi.
Misalnya dapat dipasang dengan kabel lama, tanpa harus membuat lubang
polongan yang baru.
• Tidak ada interferensi
Hal ini disebabkan sistem transmisi fiber optik mempergunakan sinar/cahaya
laser sebagai gelombang pembawanya. Sebagai akibatnya akan bebas dari
cakap silang (cross talk) yang sering terjadi pada kabel biasa. Atau dengan
perkataan lain kualitas transmisi atau telekomunikasi yang dihasilkan lebih
baik dibandingkan transmisi dengan kabel. Dengan tidak terjadinya
interferensi akan memungkinkan kabel fiber optik dipasang pada jaringan
tenaga listrik tegangan tinggi (high voltage) tanpa khawatir adanya gangguan
yang disebabkan oleh tegangan tinggi.
• Kelebihan lain
Adanya isolasi antara pengirim (transmitter) dan penerimanya (receiver),
tidak ada ground loop serta tidak akan terjadi hubungan api pada saat kontak
atau terputusnya fiber optik. Dengan demikian sangat aman dipasang di
tempat-tempat yang mudah terbakar. Seperti pada industri minyak, kimia, dan
sebagainya.
Namun, fiber optik juga mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya
adalah sulit membuatterminal pada kabel fiber, penyambungan fiber pun harus
menggunakan teknik dan ketelitian yang tinggi.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
29 Universitas Indonesia
BAB 3
PENGUMPULAN DATA
3. MODEL MIKRO RANTAI PRODUKSI BIODIESEL
3.1. Profil Perusahaan
PT X adalah sebuah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang
kontraktor dan integrator sistem di bidang industri/bisnis broadband,
telekomunikasi, broadcasting dan audio visual. PT X didirikan pada tahun 2005
dengan kantor pusat PT X berkedudukan di Jakarta dan mempunyai wilayah kerja
di seluruh nusantara. PT X mempunyai kantor cabang di beberapa kota yaitu di
Kota Pati, Kota Bandung, Kota Padang dan Kota Palembang.
PT X telah berpengalaman menyelesaikan banyak pekerjaan, baik
pembangunan proyek baru maupun pekerjaan pemeliharaan sistem sesuai dengan
fokusnya yaitu di bidang broadband, telekomunikasi, broadcasting dan audio
visual di beberapa propinsi di Indonesia.
Untuk memenuhi permintaan pasar yang serba cepat dan real-time, PT X
berkomitmen memberikan produk dan jasa/layanan terbaik kepada pelanggan
dengan inovasi, kualitas, reliabilitas dan efisiensi yang tinggi. Untuk mencapai hal
tersebut, PT X berdedikasi memenuhi kebutuhan pelanggan dengan menawarkan
solusi yang inovatif dengan harga yang cukup kompetitif.
PT X mendukung pelanggan dengan melakukan rekayasa sistem (system
engineering) untuk memastikan bahwa perangkat yang dijual dapat berfungsi
dengan benar dan sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan pelanggan. PT X juga
melayani pekerjaan sistem secara turnkey, yaitu meliputi perencanaan, supply
perangkat, instalasi/konstruksi, testing, commissioning, dokumentasi serta
menyedikan garansi/jaminan terhadap perangkat dan sistem yang disediakan.
3.1.1. Visi
Menjadi salah satu integrator sistem yang paling inovatif di industri
broadband, telekomunikasi, broadcasting, dan audio visual di Indonesia.
3.1.2. Misi
Memanfaatkan pengalaman selama bertahun-tahun di bidang broadband,
telekomunikasi, broadcasting, dan audio visual, dengan adanya kerjasama yang
erat dengan mitra bisnis global serta didukung dengan kerja team yang
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
30
Universitas Indonesia
profesional, PT X berkomitment menyediakan layanan terbaik dimana relatif
lebih eifisen dalam waktu dan harga dari pada yang dilakukan oleh yang lain.
3.2. Divisi Recovery
Divisi Recovery merupakan salah satu bagian dari PT X yang menangani
pelayanan maintenance untuk jaringan fiber optik. Jaringan fiber optik yang
ditangani dapat berasal dari diinstalasi Divisi Aktivasi PT X maupun dari
kontraktor lain. Hingga saat ini, sistem kerja yang dilakukan Divisi Recovery
adalah subkontrak dengan Client X. Subkontrak ini telah dijalani selama beberapa
tahun dengan perpanjangan kontrak tiap tahunnya.
Dalam menjalankan tugasnya, ruang lingkup pekerjaan yang ditangani
oleh Divisi Recovery antara lain sebagai berikut:
1. Penyediaan Help desk, berikut informasi berupa nomor telepon, fax, email
address
2. Penyediaan office yang dilengkapi dengan fasilitas komunikasi, sekaligus
berfungsi sebagai basecamp tempat stand by operator dan ruang untuk
penempatan material cadangan, penyimpanan peralatan ukur, peralatan kerja,
material instalasi dan kabel serta optik
3. Penyediaan tools dan SDM untuk team recovery yang disebar di 7 area lokasi
sebagai berikut:
a. Area Banten (1 team)
b. Area Jakarta Barat (1 team)
c. Area Jakarta Pusat (1 team)
d. Area Jakarta Utara (1 team)
e. Area Jakarta Selatan (1 team)
f. Area Bogor (1 team)
g. Area Jakarta Timur & Kerawang (1 team)
Lokasi team di masing-masing area sering disebut sebagai service point atau
serpo.
4. Pemberian response time kepada Client X dalam waktu 15 menit setelah
diterimanya Laporan Gangguan dari Client X
5. Melakukan investigasi gangguan dan melakukan inisiatif untuk melakukan
tindakan perbaikannya sesuai dengan persetujuan dari Client X .
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
31
Universitas Indonesia
6. Melakukan pekerjaan recovery route kabel FO, apabila terjadi gangguan
seperti:
a. Kabel fiber optik putus
b. Kabel/aksesoris rusak (tetapi kabel belum putus)
c. Fitment/Fitting/Olit/Joint rusak (tetapi kabel belum putus)
d. Tower/pole/tiang tumpu rusak yang mengakibatkan ganggaun maupun
potensi gangguan instalasi kabel FO
e. Sagging ulang akibat kabel FO yang kendur
f. Gangguan swing atau kabel yang tersangkut di transmisi
g. Kabel tertimpa pohon atau dilalui ranting-ranting sehingga diperlukan
perapihan atau rabas-rabas
h. Performance Power Link Budget
7. Melaksanakan pekerjaan recovery dengan standard Mean Time to Recovery
(MTTR) sejak diterimanya informasi terjadi gangguan dari CLIENT X
(koordinator piket) seperti berikut :
a. Instalasi ADSS < 12 jam
b. Instalasi Figure.8 < 6 jam
c. Instalasi FA < 8 jam
8. Penyediaan dan pelaksanaan instalasi material baru maupun material
pengganti, apabila di lapangan terdapat pekerjaan yang memerlukan adanya
penggantian material.
Dalam menjalankan kerja sama dengan Divisi Recovery PT X, Client X
memiliki petugas yang dinamakan Man on Duty (MOD). MOD bertugas untuk
mengkoordinasikan segala sesuatu terkait dengan maintenance jaringan FO.
Sedangkan petugas dari pihak Divisi Recovery PT X yang berkoordinasi dengan
MOD biasa disebut sebagai Mitra MOD. Dalam menjalankan kerja samanya,
MOD berkewajiban memberikan surat tugas beserta keterangan terkait lokasi
gangguan kepada Mitra MOD. Selanjutnya Mitra MOD akan meneruskan surat
tugas tersebut kepada team serpo yang memiliki lokasi paling dekat dengan lokasi
gangguan.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
32
Universitas Indonesia
Dalam menjalankan bisnisnya, PT X memiliki tiga divisi utama yaitu
Divisi Aktivasi, Divisi Recovery, dan Divisi Preventif. Dalam penelitian ini, objek
penelitian hanya pada Divisi Recovery. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya
hanya profil Divisi Recovery yang akan diulas lebih mendalam.
3.2.1. Struktur Organisasi
Gambar 3.1 Struktur organisasi Divisi Recovery PT X
(Sumber: Dokumen PT X, 2012)
3.2.2. Proses Service
Dalam melakukan proses service terdapat ketentuan MTTR yang harus
dipenuhi oleh operator. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah langkah
sistematik, sehingga di dapatkan hasil yang opteamal, untuk itu diperlukan sistem
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
33
Universitas Indonesia
yang terintegrasi, sederhana, jelas dan tegas, serta sumbar daya yang cukup dan
tepat, serta tools, tranportasi dan prasarana yang mencukupi.
Ketika menerima informasi ada gangguan via fax atau telepon dari MOD
maka:
1. Petugas piket PT X (Mitra MOD) akan segera melakukan koordinasi dengan
MOD Client X dan koordinator serta team leader Serpo (service point).
2. Mengirim surat tugas via fax atau email ke Serpo yang bersangkutan.
3. Bersama-sama dengan MOD melihat NVS atau Mapsource untuk mengetahui
kondisi eksisting data/informasi yang di GIS/Digital Map.
4. Melakukan pencarian lokasi pelanggan dan POP melalui digital Map.
Gambar 3.2 Tampilan digital MAP
(Sumber: Mapsource Divisi Recovery, 2012)
5. Setelah menemukan lokasi pelanggan dan POP, maka Mitra MOD akan
memberikan informasi awal kepada koordinator / team leader Serpo yang
besangkutan. Informasi awal tersebut antara lain :
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
34
Universitas Indonesia
a. Lokasi user dan POP
Gambar 3.3 Pencarian lokasi user dan POP
(Sumber: Mapsource Divisi Recovery, 2012)
b. Route atau link dari user ke POP
Gambar 3.4 Hasil pencarian lokasi dan route FO via digital Map
(Sumber: Mapsource Divisi Recovery, 2012)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
35
Universitas Indonesia
c. Jenis jalur kabel FO (ADSS, Fig 8, ADSS atau OPGW)
Gambar 3.5 Jarak antara user dengan POP
(Sumber: Digital MAP Divisi Recovery, 2012)
6. Selanjutnya team akan menuju ke POP yang bersangkutan.
7. Fault Localizer
Setelah tiba di lokasi POP, team melakukan identifikasi ODF dan port yang
digunakan. Berdasarkan informasi awal yang diperoleh dari petugas piket,
selanjutnya Team Recovery ini akan melakukan analisa kabel
patchcord/pigtail dengan bantuan Optical Fiber Identifier (OFI), Visual Fault
Locator (VFL), Optical Power Meter (OPM). Jika dipastikan patchord/pigtail
tidak bermasalah, team segera melakukan pengukuran jalur dengan
menggunakan alat OTDR. Setelah menganalisa hasil pengukuran dengan
OTDR dan membandingkan dengan informasi awal, didapatkan perkiraan
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
36
Universitas Indonesia
terjadinya lokasi gangguan. Selanjuntya dilakukan survey penyusuran jalur
hingga menemukan lokasi terjadinya gangguan.
8. Fault Recovery Process
Setelah lokasi gangguan diketahui dan diidentifikasi penyebab gangguan
(misalnya, kabel putus karena tiang roboh/kebakaran/terteampa
pohon/dryband, dll) maka stringer akan melakukan tindakan guna mengatasi
penyebab gangguan tersebut dan mulai melakukan perbaikan kabel yang putus
tersebut dengan cara melakukan penarikan kabel seperlunya. Setelah kabel
terinstal, selanjutnya jointer akan melakukan penyambungan kabel putus yang
tersebut.
Apabila diperlukan dalam identifikasi kabel FO yang bermasalah, perlu
dilakukan juga pembukaan joint box (JB) terdekat dan pemutusan core dan
pengukuran core dengan OTDR untuk idenfikasi titik putusnya kabel secara
akurat. Setelah JB dibuka dan sebelum memutus core, dilakukan analisa dan
pengukuran kabel/core dengan menggunakan alat OFI untuk memastikan
bahwa kondisi core tersebut sedang terlewati sinyal atau tidak. Hal ini untuk
mencegah/menghindari kesalahan pemotongan core.
9. Reporting
Setelah kabel tersambung, team leader Serpo melakukan koordinasi dengan
MOD Client X atau Mitra MOD, guna memastikan sistem sudah kembali
normal.
10. Perapihan
Apabila diperoleh informasi dari MOD Client X atau Mitra MOD bahwa
sistem telah berjalan normal kembali, maka jointer dan stringer segera
melakukan pekerjaan perapihan, yaitu pemasangan JB, shagging dan
pemasangan aksesoris tiang.
Setelah pekerjaan perapihan selesai team akan melakukan crosscheck kembali
dengan MOD Client X atau Mitra MOD, memastikan team sudah dapat balik
kanan (kembali ke Serpo).
11. Updating data
Pada saat pelaksanaan recovery tersebut, team juga harus melakukan
penandaan dengan GPS terhadap JB yang baru dipasang dan mencatat core
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
37
Universitas Indonesia
connection di dalam JB tersebut. Untuk selanjutnya informasi GPS Point dan
Core Connection di Joint Closure tersebut dimasukkan dalam Digital
Map/Map Source untuk update database.
3.3. Define
Define merupakan tahap awal dari rangkaian DMAIC. Define dilakukan
untuk menerjemahkan dan mendefiniskan masalah. Dalam penelitian ini, tools
yang digunakan adalah SIPOC dan CTQ.
SIPOC digunakan untuk melihat alur proses yang terjadi di perusahaan saat
ini, dimana proses disini melibatkan Supplier-Input-Output-Output-Control.
Tabel 3.1 SIPOC Divisi Recovery PT X
SIPOC di atas berguna dalam menggambarkan interaksi yang terjadi antara
proses dengan elemen-elemen yang berada di luar teknis proses service, seperti
supplier (Client X), input (surat tugas, material dan peralatan, informasi), output
(informasi jenis gangguan, lokasi titik putus, laporan), dan customer (Mitra MOD,
user, PNOC, Admin PT X). Untuk process berikut adalah penjelasan lengkapnya:
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
38
Universitas Indonesia
1. Proses service diawali dengan turunnya surat tugas dari pihak Client X ke
mitra MOD (bagian koordinator PT X untuk Client X). Dalam surat tugas
terdapat informasi lokasi gangguan dan user yang mengalami gangguan.
Surat tugas akan diteruskan ke team recovery di service point (Serpo) yang
berlokasi paling dekat dengan lokasi gangguan
2. Setelah menerima surat tugas, team langsung melakukan persiapan dan
menuju lokasi gangguan
3. Sesampainya di lokasi gangguan, team akan melakukan investigasi untuk
mengidentifikasi jenis gangguan yang terjadi. Investigasi dilakukan dengan
mengukur OFI (Optical Fiber Identifier), OPM (Optical Power Meter), dan
OTDR (Optical Time Domain Reflectometer).
4. Setelah diketahui jenis gangguan yang terjadi, selanjutnya jointer akan
melakukan pencarian titik putus melalui GPS dan VLF. Jika lokasi gangguan
sulit ditemukan, jointer akan melakukan manuver JB to JB.
5. Setelah titik putus ditemukan, stringer akan melakukan penarikan kabel FO
dan dilanjutkan dengan jointing pada JB oleh jointer.
6. Setelah selesai melakukan penanganan, team leader akan melakukan
konfirmasi ke pihak PNOC (koordinator recovery dari pihak Client X).
Sementara itu team melakukan perapihan sambil menunggu instruksi balik
kanan (tanda selesainya proses penanganan gangguan).
7. Setelah team sampai di Serpo, admin Serpo akan membuat laporan harian
yang berisi pendokumentasian proses penanganan gangguan yang tadi
berlangsung. Laporan harian ini nantinya akan dikirim ke Admin PT X.
Setelah memetakan SIPOC yang berlangsung pada Divisi Recovery,
selanjutnya disusun CTQ (Critical to Quality) untuk mengetahui faktor-faktor
yang menjadi ukuran kualitas dan bagaimana karakteristik yang dikehendaki.
Karena penelitian ini dilakukan di perusahaan, maka SIPOC dan CTQ dirumuskan
dari hasil pengamatan dan brainstorming dengan pihak-pihak terkait.
Brainstorming dilakukan untuk memberikan gambaran dan pemahaman yang
lebih mendalam serta mengakomodir kepentingan masing-masing pihak.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
39
Universitas Indonesia
Gambar 3.6 CTQ proses service Divisi Recovery PT X
Berdasarkan CTQ, diketahui bahwa terdapat empat faktor utama yang
mempengaruhi kualitas proses service terkait dengan ekspektasi konsumen (Client
X). Kualitas proses service di sini didefinisikan sebagai ketepatan dalam
memenuhi MTTR. Faktor penentunya antara lain adalah faktor teknis, eksternal,
faktor operator, faktor informasi dan koordinasi, serta faktor eksternal. Adapun
karakteristik detailnya dapat dilihat pada gambar 3.6.
3.4. Measure
Measure merupakan tahap untuk mengukur kondisi saat ini terkait proses
service di Divisi Recovery. Pada tahap ini dilakukan dua jenis pengukuran, yaitu
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
40
Universitas Indonesia
pengukuran data kuantitatif secara statistik dan pengukuran data kualitatif untuk
mengetahui memetakan proses service yang berlangsung. Pengukuran data
dilakukan untuk menguji apakah sample data yang telah diambil sudah cukup
merepresentasikan seluruh data yang terdapat sistem. Sedangkan pengukuran
proses dilakukan untuk mengukur kondisi sistem terkait dengan pemenuhan
terhadap CTQ yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya.
Data yang dijadikan sample dalam penelitian ini berjumlah 195 proses
service. Data ini diambil selama 3 bulan, yaitu mulai bulan Januari sampai dengan
Maret 2012. Sample data yang digunakan dalam penelitian ini hanya data proses
service untuk gangguan FO figure 8.
Pengolahan awal yang dilakukan adalah mengukur jumlah dan persentase
defect yang terjadi tiap minggu. Defect diartikan sebagai proses service yang
melebihi ketentuan MTTR.
Tabel 3.2 Data proses service periode Januari s.d Maret 2012
Sebelum data diolah lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
terhadap sample data. Uji normalitas dilakukan untuk memastikan persebaran
sample data normal. Untuk mempermudah pelaksanaannya, uji normalitas
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
41
Universitas Indonesia
dilakukan dengan bantuan software minitab. Berikut adalah grafik hasil uji
normalitas sample data.
Gambar 3.7 Grafik hasil uji normalitas sample data proses service
Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa persebaran sample data termasuk
normal karena semua data mendekati pada garis normal. Hanya ada satu data yang
terletak agak jauh dari garis normal, namun belum dianggap outlier dan masih
termasuk normal. Hal ini terjadi karena nilai sample data berada pada level satuan
sehingga variasi satu sama lainnya tergolong tinggi. Terlihat dari tingginya nilai
standar deviasi sample data.
Setelah sample data dinyatakan normal, selanjutnya dilakukan kapabilitas
proses. Hal ini dilakukan untuk melihat kapabilitas proses saat ini. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data atribut yaitu data yang
mengklasifikasikan suatu proses atau produk menjadi cacat atau tidak cacat, maka
uji kapabilitas yang dilakukan adalah uji kapabilitas proses secara binomial.
Sebagaimana pelaksanaan uji normalitas, uji kapabilitas juga dilakukan dengan
bantuan software minitab. Diagram hasil uji kapabilitas proses dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
42
Universitas Indonesia
121110987654321
1.0
0.5
0.0
Sample
Pro
po
rtio
n
_P=0.563
UCL=0.881
LCL=0.246
12108642
65
60
55
50
Sample
%D
efe
ctiv
e
Upper CI: 0.0222
%Defective: 56.35Lower CI: 49.11Upper CI: 63.38Target: 0.00PPM Def: 563452Lower CI: 491145
Upper CI: 633820Process Z: -0.1597Lower CI: -0.3420
(95.0% confidence)
Summary Stats
201510
80
60
40
20
Sample Size
%D
efe
ctiv
e706050403020100
4
3
2
1
0
%Defective
Fre
qu
en
cy
Tar
Binomial Process Capability Analysis of Jumlah pekerjaan defectP Chart
Tests performed with unequal sample sizes
Cumulative %Defective
Rate of Defectives
Histogram
Gambar 3.8 Binomial process capability
Diagram yang berada pada bagian kiri atas adalah diagram kontrol P atau
biasa dikenal dengan P chart. Sebagaimana telah diulas dalam dasar teori, P chart
merupakan bagian dari atribut chart yang perhitungannya didasarkan pada
perbandingan proporsi defect. Hal ini dilakukan untuk mengukur variasi yang
terdapat dalam proses. Dalam pengendalian proses terdapat istilah “common
variation” dan “special variation”. Special variation terjadi karena adanya
perubahan pada salah satu atau lebih elemen dalam sistem (man, machine,
method, environment). Semua proses yang hanya memiliki common variation
disebut proses “in control” (Ramon, 2008). Gambaran lebih jelasnya bisa dilihat
pada gambar 3.9.
Berdasarkan diagram tersebut, terlihat bahwa semua titik berada dalam
rentang spesifikasi sehingga secara statistik proses dinyatakan masih berada
dalam kendali (in control).
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
43
Universitas Indonesia
121110987654321
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Sample
Prop
orti
on _P=0.563
UCL=0.881
LCL=0.246
P Chart of Jumlah pekerjaan defect
Tests performed with unequal sample sizes
Gambar 3.9 P Chart
Dari output diagram di atas, dapat diketahui nilai batas atas (UCL) sevesar
0.0881 dan batas bawah (LCL) 0.246 dengan nilai garis pusat (CL atau P) sebesar
0.563. Terlihat bahwa sebagian besar proses berada di sekitar garis pusat (P) dan
garis batasnya (UCL dan LCL). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sampel
data yang diambil telah memenuhi uji statistik.
Diagram yang berada pada bagian kanan atas gambar 3.8 menggambarkan
proporsi defect yang terjadi dalam sample size. Terlihat bahwa range proporsi
defectnya cukup besar. Adapun kumulatif dari proporsi defect dapat dilihat pada
diagram kiri bawah. Sedangkan frekuensi jumlah defect digambarkan pada
histogram yang berada pada bagian kanan bawah.
Berdasarkan uji binomial process capability, didapat besarnya rate
defective sebesar 56.35% dengan nilai PPM sebesar 563452. Nilai rate defective
pada dasarnya sama dengan nilai PPM. Perbedaannya, rate defective dihitung
dalam bentuk proposrsi defect (ratusan) sedangkan PPM sama dengan DPMO,
yaitu nilai defect dihitung dalam 1 juta peluang. Maka dengan nilai PPM (DPMO)
sebesar 563452, didapat level sigma sebesar 1.34 (berdasarkan tabel konversi
DPMO Normal Distribution Shifted 1.5-sigma).
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
44
Universitas Indonesia
Setelah diketahui level sigmanya, selanjutnya dilakukan penentuan faktor
penyebab kelebihan MTTR (defect) pada proses service. Berdasarkan
brainstorming atas data historis laporan kronologi harian ditentukan empat faktor
penyebab utama kelebihan MTTR pada proses service, yaitu faktor internal, faktor
operator, faktor informasi dan koordinasi, dan faktor teknis. Faktor ini sama
dengan faktor penentu kualitas pada CTQ.
Tabel 3.3 Faktor penyebab kelebihan MTTR
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa dari 195 sample data proses
service yang diambil, terdapat 111 proses service yang melebihi MTTR (defect).
Setelah dilakukan pengukuran data, selanjutnya dilakukan pengukuran
proses. Pengukuran proses dilakukan dengan memetakan proses service yang
berlangsung pada Divisi Recovery saat ini. Peta proses ini dirumuskan
berdasarkan hasil brainstorming dengan pihak-pihak terkait di perusahaan dan
pengamatan secara langsung di lapangan. Berikut adalah flowchart dari proses
service yang berlangsung pada Divisi Recovery saat ini.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
45
Universitas Indonesia
Gambar 3.10 Peta proses service Divisi Recovery
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
46
Universitas Indonesia
Berdasarkan peta proses di atas diketahui bahwa proses service ternagi atas
dua macam, yaitu proses service tanpa manuver dan proses service dengan
manuver. Pada prinsipnya manuver dilakukan jika dalam pencarian titik putus,
lokasi tidak diketahui atau sulit dijangkau sehingga penanganan gangguan
dilakukan dengan manuver pada JB user terkait. Total durasi yang diperlukan
untuk melakukan sebuah proses service adalah 7.96 jam untuk proses service
tanpa manuver dan 7.65 jam untuk proses service dengan manuver. Kedua
melebihi batas MTTR yang telah ditentukan untuk proses service FO figure 8,
yaitu 6 jam. Oleh karena itu, analisis lebih dalam untuk menentukan langkah
perbaikan agar didapat waktu optimal yang memenuhi MTTR.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
47
Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS
4. BIODIESEL
4.1. Analyze
Tahap Analyze dilakukan berdasarkan kondisi yang terukur pada tahap
sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengkaji secara mendalam faktor penyebab
proses service sering kali melebihi MTTR. Tools yang digunakan dalam tahap ini
adalah flowchart, diagram pareto, fishbone, dan DKM. Flowchart digunakan
untuk menganalisis waste yang terkandung dalam tiap aktivitas proses service.
Analisis peta proses service dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu agar hasil
yang didapat akurat. Pertama analisis proses, untuk melihat jenis proses yang
terjadi dan potensinya. Selanjutnya analisis value added, apakah aktivitas tersebut
termasuk VAA, NAA, atau BNAA. Seletah peta proses dianalisis, selanjutnya
dilakukan analisis faktor penyebab yang menyebabkan terjadinya waste dalam
proses service. Untuk itu digunakan diagram pareto. Pada prinsipnya, pareto
digunakan untuk menentukan urutan faktor terbesar yang penyebab kelebihan
MTTR. Faktor penyebab yang paling besar akan dianalisis lebih mendalam
dibandingkan faktor penyebab yang lebih kecil. Faktor penyebab ini selanjutnya
akan dianlisis kembali dengan fishbone untuk dicari akar permasalahan yang
menyebabkan munculnya faktor-faktor tersebut. Tahap selanjutnya adalah mebuat
diagram keterkaitan masalah untuk melihat hubungan keterkaitan antar faktor
penyebab (akar masalah) yang terdapat pada fishbone. Langkah ini dilakukan
untuk mempermudah penentuan akar masalah utama yang harus diperbaiki pada
tahap improvement.
Langkah awal yang dilakukan dalam tahap ini adalah dengan menganalisis
peta proses service. Analisis ini dilakukan dua kali. Analisis pertama adalah
analisis proses yaitu menganalisis masing-masing aktivitas dalam proses service.
Selanjutnya tiap aktivitas proses service akan dianalisis kembali apakah termasuk
Value Added Activity (VAA), Non-value Added Activity (NAA), atau Business
Non-value Added Activity (BNAA). Hal ini dilakukan untuk menentukan langkah
penanganan yang harus dilakukan ditahap selanjutnya. Analisis peta proses
service selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
48
Universitas Indonesia
Tabel 4.1 Analisis proses service
Dalam analisis proses, kebanyakan aktivitas dinyatakan bottleneck. Hal ini
disebabkan tiap aktivitas saling terkait satu sama lain, dimana jika aktivitas kedua
hanya bisa dilakukan jika aktivitas sebelumnya sudah dilakukan. Hasil analisis
proses lain adalah rework, yaitu pada saat aktivitas manuver. Hal ini disebabkan
manuver adalah langkah lain dari pencarian titik putus untuk mengetahui titik
gangguan FO. Selain itu terdapat analisis proses berupa decision dan inspection,
yaitu pada aktivitas yang memungkinkan adanya alternatif dan inspeksi.
Dalam analisis kedua, penurunan surat tugas dan pendokumentasian
dikelompokan sebagai BNAA. Hal ini karena kedua aktivitas tersebut tidak
menambah kualitas proses service namun dari sisi management tetap diperlukan
agar proses service dapat berlangsung. Selanjutnya NAA didefinisikan sebagai
aktivitas yang tidak menambah kualitas proses service di mata konsumen (dalam
hal ini Client X) dan mengandung banyak potensi waste, indikatornya jika diberi
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
49
Universitas Indonesia
pilihan konsumen akan memilih untuk meminimalisasi atau menghilangkan
proses tersebut disbanding membayarnya. Aktivitas yang termasuk dalam NAA
antara lain aktivitas persiapan, perjalanan, pencarian titik putus, konfirmasi, serta
perapihan dan monitoring. Sisanya termasuk VAA, yaitu aktivitas utama yang
benar-benar menentukan kualitas proses service di mata konsumen dimana
indikatornya konsumen bersedia membayar untuk aktivitas tersebut. Aktivitas
yang termasuk VAA antara lain investigasi, manuver, penarikan FO, dan jointing.
Tabel 4.1 (Lanjutan) Peta proses service
Setelah melalui dua kali analisis, selanjutnya ditentukan waste yang
terkandung dalam tiap analisis. Karena faktor penentu kualitas dalam penelitian
ini adalah waktu, maka kebanyakan waste yang terkandung dalam aktivitas proses
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
50
Universitas Indonesia
service adalah delay. Waste lain adalah transportation, yaitu ketika aktivitas
tersebut memerlukan waktu untuk transportasi. Failure merupakan jenis waste
yang terkandung dalam aktivitas jointing, karena aktivitas ini rawan kesalahan
yang dapat mengakibatkan proses service dianggap gagal (link tidak Up).
Kolom terakhir dalam tabel analisis peta proses adalah langkah penanganan,
yaitu tindakan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan atau meminimalisasi
waste. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengefisiensi waktu agar proses service
dapat dilakukan secara lebih cepat. Sebagian besar langkah penanganan yang
dilakukan adalah pengurangan waktu atau peningkatan keakuratan proses.
Langkah penanganan yang berbeda terdapat pada aktivitas persiapan, yaitu
dengan eliminasi aktivitas.
Berdasarkan tabel analisis VAA dan NAA, selanjutnya dihitung nilai PCE
(Process Cycle Efficiency). Nilai PCE mengindikasikan kondisi efisiensi proses
service saat ini berdasarkan durasi waktu VAA terhadap total lead time. Berikut
adalah perhitungan PCE untuk proses service tanpa manuver dan dengan
manuver:
Nilai PCE untuk proses service tanpa manuver adalah 44% sedangkan untuk
proses service dengan manuver adalah 41%. Hal ini mengindikasikan bahwa
proporsi VAA dalam proses service sudah cukup baik yaitu di atas 20% namun
masih belum efisien karena indikator efisien yang menjadi target pencapaian
dalam lean process minimal 50% (George, 2003).
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
51
Universitas Indonesia
Setelah menganalisis peta proses service, selanjutnya akan dicari faktor
penyebab dominan yang memperlambat proses service. Tools yang digunakan
adalah diagram pareto. Faktor-faktor ini didefinisikan dari CTQ yang terdapat
pada tahap define.dan pengukuran proporsi faktor penyebab pada tahap measure.
Gambar 4.1 Diagram pareto faktor penyebab keterlambatan MTTR
Berdasarkan pareto diketahui bahwa faktor dominan yang menyebabkan
kelebihan MTTR adalah faktor eksternal (39.6%), faktor informasi dan kordinasi
(26.6%), serta faktor teknis (23%). Faktor eksternal disini meliputi kendala-
kendala yang berasal dari luar seperti cuaca buruk, macet, lokasi gangguan di
tengah pemukiman, dan lain sebagainya. Faktor informasi dan kordinasi meliputi
kendala-kendala yang akibat kesalahan atau kurang informasi dan kordinasi. Hal
ini meliputi kesulitan akses masuk, konfirmasi dan monitoring yang terlalu lama,
kesalahan informasi terkait lokasi titik putus, dan lain sebagainya. Sedangkan
faktor teknis meliputi kendala teknis yang memperlambat proses service seperti
kesulitan pencarian titik putus, kesulitan jointing, dan lain sebagainya. Sedangkan
faktor operator meliputi softskill dan disiplin yang dimiliki operator.
Analisis selanjutnya dilakukan dengan menggunakan fishbone. Fishbone
digunakan untuk mencari akar masalah berdasarkan faktor-faktor penentu kualitas
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
52
Universitas Indonesia
yang menyebabkan keterlambatan MTTR dalam diagram pareto. Sebenarnya
faktor penyebab yang dianalisis dalam fishbone hanya faktor penyebab dominan,
namun dalam penelitian ini semua faktor penyebab dianalisis namun dengan
prioritas yang berbeda. Faktor penyebab utama akan dianalisis lebih mendalam
dibandingkan faktor penyebab kedua. Faktor penyebab kedua akan dianalisis lebih
mendalam dibandingkan faktor penyebab ketiga, dan seterusnya. Dalam penelitian
ini, fishbone dipetakan berdasarkan hasil brainstorming dengan divisi-divisi
terkait di perusahaan (lihat gambar 4.2).
Berdasarkan fishbone diketahui beberapa akar permasalah yang
menyebabkan keterlambatan MTTR. Akar masalah dibagi berdasarkan faktor
penentu kualitas yang terdapat di pareto, yaitu faktor eksternal, faktor informasi
dan kordinasi, faktor teknis, dan faktor operator. Akar permasalahan yang
menyebabkan terjadinya faktor eksternal memang tidak dapat dihilangkan atau
diminimalisasi karena berada di luar kendali.
Selanjutnya akar-akar masalah pada masing-masing faktor di fishbone
dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan diagram pengendalian masalah.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui akar permasalah dari proses service secara
keseluruhan.
Gambar 4.2 DKM penyebab keterlambatan MTTR
Bagian-bagian yang berwarna kuning m
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
53
Universitas Indonesia
Bagian-bagian yang berwarna kuning pada DKM merupakan aktivitas-
aktivitas yang menjadi akar permasalahan penyebab keterlambatan MTTR pada
proses service. Faktor-faktor tersebut merupakan akar masalah utama yang perlu
diperbaiki pada tahap improvement.
r
4.3
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
54
Universitas Indonesia
4.2. Improvement
Setelah dilakukan analisis mendalam terhadap kondisi proses service, langkah
selanjutnya adalah improvement atau perbaikan proses service. Hal pertama yang
dilakukan dalam proses perbaikan ini adalah mengelompokkan permasalahan
dalam diagram afinitas. Pengelompokan ini didasarkan pada permasalahan yang
terdapat pada DKM yang telah dirumuskan pada tahap analisis.
Gambar 4.4 Diagram afinitas tema perbaikan proses service
Berdasarkan diagram afinitas di atas terdapat delapan kelompok akar masalah
yang harus ditangani untuk memperbaiki proses service agar dapat memenuhi
MTTR. Dari diagram afinitas terlihat bahwa masing-masing kelompok saling
berhubungan dan semuanya mengacu pada kelompok bagian tengah yaitu
kelompok dengan tindak penanganan membuat standard aliran proses service. Hal
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
55
Universitas Indonesia
ini mengandung arti bahwa penanganan kelompok masalah lain akan mendukung
atau mempermudah pembuatan standard aliran proses service. Penjelasan
selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.2 Analisis diagram afinitas proses service
No Aktivitas Perbaikan
Tujuan Perbaikan
Tindakan yang dilakukan
Kapasitas pelaksa-
naan
Langkah alternatif
1 Penetapan waktu standard proses
Mengefisiensikan waktu proses
• Menentukan waktu optimal untuk tiap aktivitas proses service
• Memindahkan aktivitas persiapan keluar MTTR
• Mengurangi waktu penerimaan surat tugas
Yes
2 Membuat standard alur proses service
Memastikan setiap langkah kerja memiliki standard waktu
• Membuat alur proses service baru
Yes
3 Penerapan sistem forecasting yang tepat dan terkontrol
Memastikan ketersediaan material
• Membuat forecasting untuk menentukan safety stock tiap serpo secara berkala
No
Melakukan breakdown forecasting perusahaan untuk setiap serpo berdasarkan data historis gangguan
4 Membuat database terintegrasi
Memastikan aliran informasi berjalan baik
• Membuat sistem database yang terintegrasi baik internal maupun
No
Memanfaat-kan pihak ketiga untuk membuat
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
56
Universitas Indonesia
eksternal
sistem database dengan spesifikasi sesuai kebutuhan perusahaan
5 Update data jalur, terutama untuk aktivasi baru
Memastikan semua data jalur terdata
• Selalu up date data jalur setiap selesai aktivasi baru atau penanganan gangguan
No
Membentuk team admin data yang bertugas mengumpul-kan, melakukan up dating, dan menyediakan data bagi pihak-pihak yang membutuh-kan
6 Penetapan kualitas aktivasi jaringan baru
Memastikan jaringan hasil aktivasi baru berkualitas baik
• Menetapkan kualifikasi standard untuk aktivasi baru
No
Tindakan ini menjadi wewenang CLIENT X sehingga perusahaan hanya dapat member rekomendasi standard kualifikasi untuk aktivasi
7 Memperde-tail isi kontrak kerjasama awal
Memastikan tidak ada kesalahpaha-man kontrak
• Membuat isi kontrak kerjasama secara lebih mendetail
Yes
No Aktivitas Perbaikan
Tujuan Perbaikan
Tindakan yang dilakukan
Kapasitas pelaksa-
naan
Langkah alternatif
Tabel 4.2 Lanjutan analisis diagram afinitas proses service
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
57
Universitas Indonesia
8
Memperba-iki sistem manajemen HRD
Memastikan jumlah operator memadai dan operator memiliki skill yang memadai
• Menetapkan
jumlah operator yang optimal di setiap serpo
• Menetapkan kualifikasi standard dalam perekrutan operator baru
• Melakukan pelatihan secara rutin untuk memastikan skill operator tetap memadai
No
No
No
Menghitung demand proses service tiap serpo untuk menentukan jumlah operator
Membuat SOP terkait proses recruitment SDM
HRD merancang program pelatihan secara berkala. Materinya seputar teknis pengerjaan maupun softskill pengembang-an diri
Kedelapan aktivitas perbaikan di atas harus dilakukan secara keseluruhan
karena masing-masing aktivitas akan mendukung perbaikan aktivitas lainnya.
Sebaliknya jika terdapat aktivitas yang belum diperbaiki maka akan menghambat
perbaikan aktivitas lainnya.
Langkah perbaikan pertama adalah dengan menetapkan waktu proses service.
Salah satu akar permasalah terkait waktu proses service adalah lamanya waktu
setup. Durasi waktu setup dipengaruhi oleh penurunan surat tugas dan waktu
No Aktivitas Perbaikan
Tindakan yang dilakukan
Tujuan Perbaikan
Kapasitas pelaksa-
naan
Langkah alternatif
Tabel 4.2 Lanjutan analisis diagram afinitas proses service
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
58
Universitas Indonesia
persiapan team. Waktu penurunan surat tugas pada kondisi awal memiliki variasi
yang sangat besar yaitu dari 1 menit hingga 61 menit. Hal ini menunjukkan sistem
sebelumnya belum terstandarisasi. Untuk itu pada sistem yang baru durasi
penurunan surat tugas akan distandarisasi. Sebenarnya waktu penurunan surat
tugas cukup 1 menit karena penurunan surat tugas dilakukan dengan email atau
fax namun berdasarkan data historis dan pengamatan di lapangan, terdapat banyak
faktor di luar kendali. Untuk menjaga dan mengantisipasi semua faktor eksternal
agar aktivitas tetap memenuhi MTTR, maka durasi penurunan surat tugas
ditetapkan 2 menit sesuai dengan nilai median dari data historis.
Selanjutnya ditentukan pula durasi waktu optimal untuk masing-masing
aktivitas dalam proses service sehingga akan diketahui keseluruhan waktu MTTR
yang paling optimal. Waktu optimal disini diartikan sebagai waktu tersingkat
yang paling merepresentasikan sistem sehingga memungkinkan
diimplementasikan mengingat aktivitasnya dipengaruhi faktor eksternal sehingga
durasi waktunya sangat bervariasi tergantung kondisi lapangan.
Median dapat digunakan sebagai tolak ukur nilai yang dapat
merepresentasikan nilai sebuah sistem dimana nilai dalam sistem tersebut
memiliki variasi yang sangat besar (Surdjan, 2004). Durasi waktu pada tiap
aktivitas proses service Divisi Recovery juga memiliki variasi yang sangat besar,
terlihat dari besarnya nilai standard deviasinya. Berdasarkan hal tersebut maka
durasi waktu optimal yang ditentukan untuk tiap aktivitas dalam peta proses
service diambil berdasarkan nilai mediannya.
Tabel 4.3 Parameter statistik proses service
Berdasarkan nilai median dari durasi waktu proses service, maka diperoleh
durasi waktu paling optimal yang merepresentasikan kondisi real proses service di
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
59
Universitas Indonesia
lapangan adalah 4.87 jam untuk proses service tanpa manuver. Sedangkan untuk
proses service ddengan manuver waktunya proses servicenya lebih singkat yaitu
4.47 jam.
Tabel 4.4 Parameter statistik proses service (manuver)
Kedua nilai ini berada cukup jauh di bawah batas ketentuan MTTR. Hal ini
menunjukkan bahwa proses service yang dilakukan sebenarnya dapat memenuhi
MTTR. Adanya faktor-faktor penghambatlah dan banyaknya waste yang
menyebabkan proses service yang berlangsung selama ini banyak melebihi
MTTR.
Durasi proses service sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor eksternal yang
tidak terkontrol. Oleh karena itu, durasi waktu untuk VAA diberi nilai tolerance
sebesar 10%. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan VAA merupakan aktivitas
utama yang membutuhkan kecermatan dan keakuratan dalam pengerjaannya.
Penetapan nilai tolerance juga dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak
terduga. Nilai tolerance hanya dikenakan pada VAA karena tujuan utama dari
penelitian ini adalah menghilangkan atau meminimalisasi NAA dan BNAA. Dari
segi pengerjaan, NAA dan BNAA juga tidak membutuhkan kondisi khusus
sehingga tidak diperlukan nilai tolerance. Faktor eksternal yang mempengaruhi
NAA dan BNAA diantisipasi melalui langkah-langkah perbaikan sehingga durasi
waktunya dapat ditekan seminimal mungkin.
Sebagaimana telah diulas dalam analisis, aktivitas persiapan surat tugas Hal
ini dilakukan dengan pertimbangan persiapan memiliki durasi waktu yang cukup
lama dan sering bervariasi dengan standard deviasi yang sangat besar. Secara
aktivitas, persiapan yang dilakukan team untuk setiap gangguan selalu sama, tidak
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
60
Universitas Indonesia
tergantung dari jenis gangguannya sehingga aktivitas ini tidak harus dilakukan
setelah menerima surat tugas. Dengan pertimbangan ini, aktivitas persiapan
dipindahkan setelah pendokumentasian (setelah penanganan dan team sudah di
Serpo) sehingga saat surat tugas turun, team dapat langsung menuju lokasi tanpa
melakukan persiapan terlebih dahulu.
Tabel 4.5 Peta proses service setelah improvement
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
61
Universitas Indonesia
Peta proses service baru disusun berdasarkan waktu optimal yang didapat
dari bahasan sebelumnya. Peta proses service baru harus memiliki standarisasi
yang jelas sehingga akan membantu perbaikan sistem secara keseluruhan.
Standarisasi ini digambarkan dalam indikator waktu standard untuk masing-
masing aktivitas proses service. Oleh karena itu, perbaikan peta proses service
didasarkan pada hasil analisis pada peta proses service saat ini yang telah
dibreakdown per aktivitas pada tahap sebelumnya dengan waktu optimal didapat
dari nilai median data historisnya, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Setelah proses service baru berhasil dibentuk, selanjutnya dihitung nilai PCE
baru dan efisiensi waktu yang didapat. Target nilai PCE yang akan dicapai dalam
lean service minimal sebesar 50%, hal ini mengindikasikan bahwa dalam total
lead time minimal terdapat 50% VAA.
Tabel 4.6 Nilai PCE dan efisiensi waktu setelah improvement
Tabel 4.7 Nilai PCE dan efisiensi waktu setelah improvement (manuver)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
62
Universitas Indonesia
Berdasarkan kedua tabel di atas dapat diketahui bahwa peta proses baru hasil
improvement sudah memenuhi target lean service, yaitu sudah berada di atas 50%.
Peningkatannya memang tidak terlalu besar, karena PCE awalnya memang sudah
mendekati taget. Sedangkan untuk efisiensi waktu, nilainya cukup besar yaitu
57% untuk proses service tanpa manuver dan 66% untuk proses service dengan
manuver.
Dalam penerapannya, peta proses hasil improvement ini tidak akan dapat
dilaksanakan jika tidak didukung oleh perbaikan di berbagai bagian terkait.
Adapun perbaikan yang dimaksud adalah perbaikan-perbaikan yang telah
dirumuskan dalam diagram afinitas dan dianalisis dalam tabel berikutnya.
Langkah perbaikan yang harus dilakukan berikutnya adalah melakukan
forecasting untuk menentukan safety stock tiap Serpo. Hal ini dilakukan karena
salah satu penyebab keterlambatan MTTR adalah ketiadaan material sehingga
team harus menunggu pasokan material dari pusat. Saat ini penentuan safety stock
disamakan untuk tiap Serpo padahal jumlah gangguan yang dialami masing-
masing Serpo berbeda, misalnya Serpo Selatan biasanya menangani lebih banyak
gangguan dibandingkan Serpo Timur. Forecasting ini juga harus dikontrol secara
berkala karena fluktuasi gangguan kerap terjadi, misalnya untuk bulan Januari
Serpo Selatan menangani gangguan paling banyak, namun di bulan Mei Serpo
Utara yang paling banyak. Forecasting yang tepat dalam penentuan safety stock
untuk tiap-tiap Serpo secara tidak langsung akan membantu kelancaran proses
service.
Pembuatan database terintegrasi merupakan salah satu perbaikan paling
utama yang harus dilakukan. Karena meski faktor utama penyebab gangguan
adalah faktor eksternal, namun sebagian besar pemicunya adalah ketiadaan atau
kekurangan informasi dan koordinasi. Salah satu bentuknya adalah kurangnya
data jalur sehingga team terpaksa harus melakukan pencarian titik putus secara
manual dengan trace JB to JB. Hal ini membuat proses service berlangsung lebih
lama, terlebih lagi jika dalam pencarian tersebut team terjebak macet. Menurut
hasil diskusi dengan pihak-pihak terkait, kurangnya data data jalur terjadi karena
aktivasi jaringan dilakukan oleh banyak kontraktor dan Client X selaku pemilik
jaringan tidak dapat memberikan keseluruhan data dengan alasan kerahasiaan.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
63
Universitas Indonesia
Sehingga saat pencarian titik putus bisanya team akan meminta data lokasi
gangguan melalui Mitra MOD untuk disampaikan kepada pihak Client X.
Kendalanya adalah konfirmasi dari Mitra MOD terhitung lama dan data yang
diberikan tidak memadai. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan
pembuatan database terintegrasi antara antara pihak Client X dan internal PT X
(Admin PT X dan Serpo) sehingga apabila team Serpo perlukan data lokasi,
Client X cukup memasukan data lokasi dalam database dan data tersebut akan
langsung terupdate dan diketahui oleh semua pihak. Setelah menyelesaikan
penanganan gangguan admin Serpo juga dapat mengupdate laporan gangguan
pada lokasi tersebut dalam database sehingga jika terjadi gangguan lagi di lokasi
tersebut team sudah mengetahui lokasi dan kondisi jaringan tersebut. Hal ini juga
akan mempermudah jika penanganan gangguan pada lokasi tersebut dilakukan
oleh team lain (team cadangan misalnya). Untuk pihak Client X, adanya database
ini akan menjadi salah satu alat kontrol untuk mengetahui kualitas aktivasi dan
recovery juga kondisi jaringan yang mereka miliki.
Perbaikan yang dirumuskan dalam penelitian ini bersifat terintegrasi sehingga
tidak hanya melibatkan PT X namun juga Client X. Salah satu perbaikan yang
direkomendasikan untuk Client X adalah menentukan kualitas aktivasi jaringan
baru yang harus dipenuhi oleh kontraktor yang menangani. Hal ini dilakukan
karena banyaknya lokasi yang mengalami gangguan berulang kali. Berdasarkan
wawancara dengan pihak operator lapangan, hal ini dikarenakan kualitas jointing
dan pemasangan aktivasi jaringan baru kurang baik sehingga kerap terjadi
gangguan. Dengan adanya standarisasi kualitas aktivasi jaringan baru, diharapkan
akan mengurangi frekuensi terjadinya gangguan.
Perbaikan lain yang juga melibatkan PT X dan Client X adalah perbaikan
surat kontrak. Surat kontrak yang ada saat ini kurang mendetail dalam hal teknis
pelaksanaan. Misalnya tidak disebutkan batas perhitungan ketetapan MTTR. Hal
ini menyebabkan miscommunication dalam pelaksanaannya di lapangan. Langkah
perbaikan yang harus dilakukan adalah memperdetail isi kontrak, terutama untuk
ketentuan penghitungan MTTR. Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini,
ternyata penetapan MTTR tidak optimal (kurang mencukupi) sehingga banyak
proses service yang melebihi MTTR. Hal ini harus dibicarakan lagi oleh kedua
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
64
Universitas Indonesia
belah pihak. Terkait MTTR, perlu ditentukan batas perhitungannya misalnya
mulai dari penurunan surat tugas hingga konfirmasi team dipersilahkan balik
kanan. Dalam kontrak juga perlu ditegaskan ketentuan MTTR dihitung untuk satu
gangguan di satu lokasi karena sering kali team berangkat dengan surat tugas
untuk satu gangguan namun setelah di lapangan team harus menangani lebih dari
satu gangguan dan MTTR tetap dihitung selama team bekerja.
PT X juga perlu memperbaiki sistem manajemen HRD, khususnya dalam
rekruitment operator baru. Selama ini tidak ada kualifikasi khusus dan pelatihan
untuk operator sehingga skills yang dimiliki kurang memadai. Oleh karena itu
kecepatan waktu penanganan, sangat tergantung dari skills dan pengalaman
operator. Operator baru kerjanya cenderung lebih lama dibandingkan operator
lama. Untuk itu perlu ditentukan kualifikasi khusus untuk operator, misalnya
minimal harus tamatan SMK atau kursus terkait jaringan FO sehingga operator
telah memiliki skills dasar dalam melakukan penanganan proses service. Pihak
HRD juga sebaiknya membuat sistem pelatihan secara berkala baik untuk operator
baru maupun operator lama. Untuk operator baru, materi pelatihan terkait dengan
pengenalan lingkungan kerja dan teknis pekerjaan. Sedangkan untuk operator
lama, materinya lebih ditekankan pada peningkatan softskill dan kesadaran untuk
bersikap loyal pada perusahaan, salah satunya dengan cara mematuhi SOP.
Terakhir untuk faktor eksternal, tidak ada langkah perbaikan yang dapat
dilakukan untuk mencegah atau mengurangi faktor eksternal. Yang dapat
dilakukan adalah langkah-langkah alternatif agar proses service tetap dapat
dilakukan meskipun terkendala faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal yang
sering terjadi adalah hujan. Selama ini proses service terpaksa harus berhenti saat
hujan. Hal ini bisa diatasi dengan memberikan peralatan dan pakaian pengaman
(safety tools) kepada operator agar tetap mampu bekerja saat hujan. Faktor lain
adalah macet. Hal ini sudah ditanggulangi dengan pemakaian sepeda motor
sebagai langkah alternatif untuk menuju lokasi titik putus namun tetap belum
dapat maksimal. Langkah alternatif lain yang dapat diambil adalah optimalisasi
penggunaan GPS dan Mapsource sehingga lokasi dapat diketahui dengan cepat
dan driver (operator) dapat melihat beberapa alternative jalan menuju lokasi.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
65
Universitas Indonesia
Untuk itu diperlukan driver yang mengenal baik kondisi jalan sehingga dapat
memperkirakan lokasi rawan macet dan memilih alternatif yang terbaik.
4.3. Control
Dalam penelitian ini, tahap Control diserahkan kepada pihak PT X karena
langkah improvement belum dapat diimplementasi sehingga belum diketahui
penekanan yang harus dilakukan untuk pengontrolan dan monitoring. Pada
prinsipnya, control dilakukan dengan pembuatan dokumen SOP sesuai dengan
hasil improvement. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa semua proses
service telah dilakukan sebagaimana prosedur yang telah dirumuskan dalam tahap
improvement. Control dilakukan dengan tujuan untuk memastikan improvement
tetap dilakukan sehingga kondisi sistem tetap terjaga, tidak menurun seperti
kondisi semula.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
66
66
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5. KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Dari penelitian ini diketahui bahawa faktor-faktor penyebab kelebihan MTTR
pada Divisi Recovery PT X adalah faktor eksternal (39.6%), faktor koordinasi dan
informasi (26.6%), faktor teknis (23%), dan faktor operator (10.8%). Selanjutnya
dibentuk peta proses service yang baru dengan perbaikan pada bagian-bagian
terkait sehingga untuk proses service tanpa manuver didapat MTTR optimal
adalah 4.8 jam dengan efisiensi waktu sebesar 57% serta kenaikan nilai PCE 23%
dari 44% menjadi 54%. Untuk proses service dengan manuver didapat MTTR
optimal sebesar 4.36 jam dengan efisiensi waktu sebesar 66% serta kenaikan nilai
PCE 22% dari 41% menjadi 50%.
5.2. Saran
Penulis mengajukan saran untuk mengadakan penelitian lebih mendalam
terkait dengan faktor informasi dan koordinasi dalam proses service. Faktor ini
sangat terkait dengan knowledge management di perusahaan sehingga merupakan
bidang tersendiri di luar penelitian ini. Hal ini sangat penting mengingat faktor
informasi dan koordinasi merupakan faktor kedua penyebab kelebihan MTTR dan
diduga merupakan faktor pemicu munculnya faktor eksternal yang pada akhirnya
juga menyebabkan kelebihan MTTR. Karena faktor ekstenal berada di luar
kendali (tidak dapat dihilangkan atau diminimalisasi), maka faktor informasi dan
koordinasi menjadi faktor terpenting yang harus diperbaiki untuk mencapai
MTTR yang lebih optimal.
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
67
67
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Gaspersz, Vincent. (2007). Lean Six Sigma for Manufacturing and Service
Industries. Gramedia Pustaka Utama
Michael L, George. (2003). Lean Six Sigma for Service. McGraw-Hill
Evans, James R. (2007). An Introduction to Six Sigma & Process Improvement.
Penerbit Salemba Empat
Smith, Gerald E. (2000). Too Many Types of Quality Problems, Quality Progress
Kepner, Charles H. dan Benjamin B. Tregoe. 1965. The Rational Manager.
McGraw-Hill
Pande, Peter S et all. (2002). The Six Sigma Way Team Fieldbook. McGraw-Hill
Hecht, Eugene. (1998). Optics. Addison Wesley Longman Inc: USA
Gygi, Craig, Bruce Williams, Terry Gustafson. (2006). Six Sigma Workbook for
Dummies. Canada: Wiley Publishing, Inc.
Montgomery, Douglas C. (1990). Pengantar Pengendalian Kualitas Statistik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Eitel, Dave R, et all. (2010). Improving service quality by understanding
emergency department flow: a white paper and position statement
prepared for The American Academy of Emergency Medicine. Vol. 38,
No. 1
Sokovic, M, D. Pavletic, S. Fakin. (2005). Application of Six Sigma methodology
for process design. Journal of Material Processing Technology 162-163
LaGanga, Linda R. (2011). Lean service operation: Reflection and new directions
for capacity expansion in outpatient clinics. Journal of Operation
Management 29 pp. 422-433
O’Rourke, Peter M. (2005). A multiple-case analysis of lean six sigma deployment
and implementation strategies. Air Force Institute of Technology
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
68
68
Universitas Indonesia
Lampiran 1. Cuplikan surat kontrak
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
69
69
Universitas Indonesia
Lampiran 2. Rekap data proses service periode Januari s.d Maret 2012
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
70
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
71
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
72
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
73
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
74
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
75
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
76
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
77
Universitas Indonesia
Lampiran 3. Rekap data durasi per aktivitas proses service
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
78
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
79
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
80
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
81
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
82
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
83
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
84
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
85
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
86
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
87
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
88
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
89
Universitas Indonesia
Lampiran 4. Konversi DPMO ke nilai sigma berdasarkan Motorola’s 6-Sigma
Process (Normal Distribution Shifted 1.5-sigma)
Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO
0.00 933.193 0.39 866.500 0.78 764.238 1.17 629.300 0.01 931.888 0.40 864.334 0.79 761.148 1.18 625.516 0.02 930.563 0.41 862.143 0.80 758.036 1.19 621.911 0.03 939.219 0.42 859.929 0.81 754.903 1.20 617.911 0.04 927.855 0.43 857.690 0.82 751.748 1.21 614.092 0.05 926.471 0.44 855.428 0.83 748.571 1.22 610.261 0.06 925.066 0.45 853.141 0.84 745.373 1.23 606.420 0.07 923.641 0.46 850.830 0.85 742.154 1.24 602.568 0.08 922.196 0.47 848.495 0.86 738.914 1.25 598.706 0.09 920.730 0.48 846.136 0.87 735.653 1.26 594.835 0.10 919.243 0.49 843.752 0.88 732.371 1.27 590.954 0.11 917.736 0.50 841.345 0.89 729.069 1.28 587.064 0.12 916.207 0.51 838.913 0.90 725.747 1.29 583.166 0.13 914.656 0.52 836.457 0.91 722.405 1.30 579.260 0.14 913.085 0.53 833.977 0.92 719.043 1.31 575.345 0.15 911.492 0.54 831.472 0.93 715.661 1.32 571.424 0.16 909.877 0.55 828.944 0.94 712.260 1.33 567.495 0.17 908.241 0.56 826.391 0.95 708.840 1.34 563.559 0.18 906.582 0.57 823.814 0.96 705.402 1.35 559.618 0.19 904.902 0.58 821.214 0.97 701.944 1.36 555.670 0.20 903.199 0.59 818.589 0.98 698.468 1.37 551.717 0.21 901.475 0.60 815.940 0.99 694.974 1.38 547.758 0.22 899.727 0.61 813.267 1.00 691.462 1.39 543.795 0.23 897.958 0.62 810.570 1.01 687.933 1.40 539.828 0.24 896.165 0.63 807.850 1.02 684.386 1.41 535.856 0.25 894.350 0.64 805.106 1.03 680.822 1.42 531.881 0.26 892.512 0.65 802.338 1.04 677.242 1.43 527.903 0.27 890.651 0.66 799.546 1.05 673.645 1.44 523.922 0.28 888.767 0.67 796.731 1.06 670.031 1.45 519.939 0.29 886.860 0.68 793.892 1.07 666.402 1.46 515.953 0.30 884.930 0.69 791.030 1.08 662.757 1.47 511.967 0.31 882.977 0.70 788.145 1.09 659.097 1.48 507.978 0.32 881.000 0.71 785.236 1.10 655.422 1.49 503.989 0.33 878.999 0.72 782.305 1.11 651.732 1.50 500.000 0.34 876.976 0.73 779.350 1.12 648.027 1.51 496.011 0.35 874.928 0.74 776.373 1.13 644.309 1.52 492.022 0.36 872.857 0.75 773.373 1.14 640.576 1.53 488.033 0.37 870.762 0.76 770.350 1.15 636.831 1.54 484.047 0.38 868.643 0.77 767.305 1.16 633.072 1.55 480.061
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
90
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO
1.56 476.078 1.97 319.178 2.38 189.430 2.79 98.525 1.57 472.097 1.98 315.614 2.39 186.733 2.80 96.801 1.58 468.119 1.99 312.067 2.40 184.060 2.81 95.098 1.59 464.144 2.00 308.538 2.41 181.411 2.82 93.418 1.60 460.172 2.01 305.026 2.42 178.786 2.83 91.759 1.61 456.205 2.02 301.532 2.43 176.186 2.84 90.123 1.62 452.242 2.03 298.056 2.44 173.609 2.85 88.508 1.63 448.283 2.04 294.598 2.45 171.056 2.86 86.915 1.64 444.309 2.05 291.160 2.46 168.528 2.87 85.344 1.65 440.382 2.06 287.740 2.47 166.023 2.88 83.793 1.66 436.441 2.07 284.339 2.48 163.543 2.89 82.264 1.67 432.505 2.08 280.957 2.49 161.087 2.90 80.757 1.68 428.576 2.09 277.595 2.50 158.655 2.91 79.270 1.69 424.655 2.10 274.253 2.51 156.248 2.92 77.804 1.70 420.740 2.11 270.931 2.52 153.864 2.93 76.359 1.71 416.834 2.12 267.629 2.53 151.505 2.94 74.934 1.72 412.936 2.13 264.347 2.54 149.170 2.95 73.529 1.73 409.046 2.14 261.086 2.55 146.859 2.96 72.145 1.74 405.165 2.15 257.846 2.56 144.572 2.97 70.781 1.75 401.294 2.16 254.627 2.57 142.310 2.98 69.437 1.76 397.432 2.17 251.429 2.58 140.071 2.99 68.112 1.77 393.580 2.18 248.252 2.59 137.857 3.00 65.522 1.78 389.739 2.19 245.097 2.60 135.666 3.01 64.256 1.79 385.908 2.20 241.964 2.61 133.500 3.02 64.256 1.80 382.089 2.21 238.852 2.62 131.357 3.03 63.008 1.81 378.281 2.22 235.762 2.63 129.238 3.04 61.780 1.82 374.484 2.23 232.695 2.64 127.143 3.05 60.571 1.83 370.700 2.24 229.650 2.65 125.072 3.06 59.380 1.84 366.928 2.25 226.627 2.66 123.024 3.07 58.208 1.85 363.169 2.26 223.627 2.67 121.001 3.08 57.053 1.86 359.424 2.27 220.650 2.68 119.000 3.09 55.917 1.87 355.691 2.28 217.695 2.69 117.023 3.10 54.799 1.88 351.973 2.29 214.764 2.70 115.070 3.11 53.699 1.89 348.268 2.30 211.855 2.71 113.140 3.12 52.616 1.90 344.578 2.31 208.970 2.72 111.233 3.13 51.551 1.91 340.903 2.32 206.108 2.73 109.349 3.14 50.503 1.92 337.243 2.33 203.369 2.74 107.488 3.15 49.471 1.93 333.598 2.34 200.454 2.75 105.650 3.16 48.457 1.94 329.969 2.35 197.662 2.76 103.835 3.17 47.460 1.95 326.355 2.36 194.894 2.77 102.042 3.18 46.479 1.96 322.758 2.37 192.150 2.78 100.273 3.19 45.514
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
91
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO
3.20 44.565 3.61 17.429 4.02 5.868 4.43 1.695 3.21 43.633 3.62 17.003 4.03 5.703 4.44 1.641 3.22 42.716 3.63 16.586 4.04 5.543 4.45 1.589 3.23 41.815 3.64 16.177 4.05 5.386 4.46 1.538 3.24 40.929 3.65 15.778 4.06 5.234 4.47 1.489 3.25 40.059 3.66 15.386 4.07 5.085 4.48 1.441 3.26 39.204 3.67 15.003 4.08 4.940 4.49 1.395 3.27 38.364 3.68 14.629 4.09 4.799 4.50 1.350 3.28 37.538 3.69 14.262 4.10 4.661 4.51 1.306 3.29 36.727 3.70 13.903 4.11 4.527 4.52 1.264 3.30 35.930 3.71 13.553 4.12 4.397 4.53 1.223 3.31 35.148 3.72 13.209 4.13 4.269 4.54 1.183 3.32 34.379 3.73 12.874 4.14 4.145 4.55 1.144 3.33 33.625 3.74 12.545 4.15 3.907 4.56 1.107 3.34 32.884 3.75 12.224 4.16 3.681 4.57 1.070 3.35 32.157 3.76 11.911 4.17 3.793 4.58 1.035 3.36 31.443 3.77 11.604 4.18 3.681 4.59 1.001 3.37 30.054 3.78 11.304 4.19 3.573 4.60 968 3.38 30.054 3.79 11.011 4.20 3.467 4.61 936 3.39 29.379 3.80 10.724 4.21 3.264 4.62 904 3.40 28.716 3.81 10.444 4.22 3.264 4.63 874 3.41 28.067 3.82 10.170 4.23 3.167 4.64 845 3.42 27.429 3.83 9.903 4.24 3.072 4.65 816 3.43 26.803 3.84 9.642 4.25 2.980 4.66 789 3.44 26.190 3.85 9.387 4.26 2.890 4.67 762 3.45 25.588 3.86 9.137 4.27 2.803 4.68 736 3.46 24.998 3.87 8.894 4.28 2.718 4.69 711 3.47 24.419 3.88 8.656 4.29 2.635 4.70 687 3.48 23.852 3.89 8.424 4.30 2.555 4.71 664 3.49 23.295 3.90 8.198 4.31 2.477 4.72 641 3.50 22.750 3.91 7.976 4.32 2.401 4.73 619 3.51 22.216 3.92 7.760 4.33 2.327 4.74 598 3.52 21.178 3.93 7.549 4.34 2.256 4.75 577 3.53 20.675 3.94 7.344 4.35 2.186 4.76 519 3.54 20.182 3.95 7.143 4.36 2.118 4.77 538 3.55 19.699 3.96 6.947 4.37 2.052 4.78 519 3.56 19.226 3.97 6.756 4.38 1.988 4.79 501 3.57 18.763 3.98 6.569 4.39 1.926 4.80 483 3.58 18.309 3.99 6.387 4.40 1.866 4.81 467 3.59 17.864 4.00 6.210 4.41 1.807 4.82 450 3.60 17.429 4.01 6.037 4.42 1.750 4.83 434
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012
92
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO Nilai Sigma
DPMO
4.84 419 5.25 88 5.66 16 4.85 404 5.26 85 5.67 15 4.86 390 5.27 82 5.68 15 4.87 376 5.28 78 5.69 14 4.88 362 5.29 75 5.60 13 4.89 350 5.30 72 5.71 13 4.90 337 5.31 70 5.72 12 4.91 325 5.32 67 5.73 12 4.92 313 5.33 64 5.74 11 4.93 302 5.34 62 5.75 11 4.94 291 5.35 59 5.76 10 4.95 280 5.36 57 5.77 10 4.96 270 5.37 54 5.78 9 4.97 260 5.38 52 5.79 9 4.98 251 5.39 50 5.80 9 4.99 242 5.40 48 5.81 8 4.00 233 5.41 46 5.82 8 4.01 224 5.42 44 5.83 7 5.02 216 5.43 42 5.84 7 5.03 208 5.44 41 5.85 7 5.04 200 5.45 39 5.86 7 5.05 193 5.46 37 5.87 6 5.06 185 5.47 36 5.88 6 5.07 179 5.48 34 5.89 6 5.08 172 5.49 33 5.90 5 5.09 165 5.50 32 5.91 5 5.10 159 5.51 30 5.92 5 5.11 153 5.52 29 5.93 5 5.12 147 5.53 28 5.94 5 5.13 142 5.54 27 5.95 4 5.14 136 5.55 26 5.96 4 5.15 131 5.56 25 5.97 4 5.16 126 5.57 24 5.98 4 5.17 121 5.58 23 5.99 4 5.18 117 5.59 22 6.00 3 5.19 112 5.60 21 5.20 108 5.61 20 5.21 104 5.62 19 5.22 100 5.63 18 5.23 96 5.64 17 5.24 92 5.65 17
Perancangan standarisasi ..., Eka Purwani, FT UI, 2012