faktor-faktor kesejahteraan sebagai prediktor …

17
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018) 54 FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR KEMAMPUAN AKADEMIK (BAHASA, MATEMATIKA, DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM) PADA ANAK USIA SEKOLAH DI SURABAYA Wellbeing Factors for Predicting Academic Achievements (Language, Mathematics, and Science) among School-Age Children in Surabaya Margaretha Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya [email protected] Abstract. This research focused on identifying best predictors of education achievements, namely, Language, Mathematics and Science. As a pilot study, about 348 of 8-grade students in Surabaya were assessed on their wellbeing, relationship and mental health factors by using a comprehensive measure of wellbeing. The measure was constructed from Middle Years Development Instrument and Health Behaviour in School-aged Children. Multivariate path analysis was used to examine the associations between predictors and the academic outcomes. The result showed that each of Language, Mathematics and Science has a unique set of predictors. This study provides a map of contextual factors and their dynamicity in building the pathway toward wellbeing and academic resilience among school-age children in Surabaya. The finding of this study is expected to support the development of evidence-based intervention for optimizing education attainments via the improvement of wellbeing among school-age children, which is important for guiding the development of educational policy in Surabaya. Keywords: academic achievement, non-cognitive factors, wellbeing factors, school-age children Abstrak. Penelitian ini berfokus untuk mengidentifikasi prediktor kemampuan akademik, yaitu, Bahasa, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sebagai studi awal, sekitar 348 siswa kelas 8 di Surabaya diukur kemampuan akademik, kesejahteraan, relasi sosial dan faktor kesehatan mental dengan menggunakan alat ukur kesejahteraan yang komprehensif, yaitu: Middle Years Development Instrument and Health Behaviour in School-aged Children. Analisis jalur multivariat digunakan untuk menguji hubungan antara prediktor dan kemampuan akademik. Hasilnya menunjukkan bahwa masing-masing kemampuan akademik, Bahasa, Matematika, dan Sains memiliki seperangkat prediktor yang unik. Studi ini memberikan peta faktor kontekstual serta dinamika faktor-faktor non-kognitif dalam membangun kesejahteraan dan kemampuan akademik anak usia sekolah di Surabaya. Temuan penelitian ini diharapkan dapat mendukung pengembangan intervensi berbasis data ilmiah dalam rangka mengoptimalkan pencapaian pendidikan melalui peningkatan kesejahteraan di antara anak-anak usia sekolah, yang juga akan mendukung pengembangan kebijakan pendidikan di Surabaya. Kata kunci: kemampuan akademik, faktor non-kognitif, faktor kesejahteraan, anak usia sekolah PENDAHULUAN Dalam rangka mendukung perkembangan anak usia sekolah, maka sistem pendidikan perlu menciptakan keseimbangan antara penyelenggaran program pendidikan akademik dan juga pengembangan keterampilan pribadi dan sosial; dimana keduanya harus hadir dalam dalam kurikulum sekolah (Atkinson & Hornby, 2002). Akan tetapi, hal ini menjadi lebih sulit dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, karena penekanan utama pendidikan lebih ditempatkan pada tujuan penguatan kemampuan kognitif. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan telah menjadi sangat bergantung pada penggunaan tes terstandar sebagai penentu keberhasilan akademik ( high- stake exam), dan ditambah lagi keinginan berkompetisi dalam sistem peringkat akademik di seluruh dunia (misalkan the Programme of International Student Assessment; PISA). Negara- negara dan sekolah-sekolah bersaing mencetak skor terbaik di peringkat global tersebut. Fokus pada tujuan akademik telah menyebabkan berkurangnya peran sekolah dalam hal pengembangan pribadi, sosial dan moral siswa. Perlu dipahami, keberhasilan akademik sebenarnya bukan hanya ditentukan oleh faktor kognitif. Inteligensi dianggap sebagai prediktor

Upload: others

Post on 15-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

54

FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN

SEBAGAI PREDIKTOR KEMAMPUAN AKADEMIK

(BAHASA, MATEMATIKA, DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM)

PADA ANAK USIA SEKOLAH DI SURABAYA

Wellbeing Factors for Predicting Academic Achievements (Language, Mathematics,

and Science) among School-Age Children in Surabaya

Margaretha Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

[email protected]

Abstract. This research focused on identifying best predictors of education achievements, namely, Language, Mathematics and Science. As a pilot study, about 348 of 8-grade students in Surabaya were assessed on their

wellbeing, relationship and mental health factors by using a comprehensive measure of wellbeing. The

measure was constructed from Middle Years Development Instrument and Health Behaviour in School-aged Children. Multivariate path analysis was used to examine the associations between predictors and the

academic outcomes. The result showed that each of Language, Mathematics and Science has a unique set of

predictors. This study provides a map of contextual factors and their dynamicity in building the pathway toward wellbeing and academic resilience among school-age children in Surabaya. The finding of this study is

expected to support the development of evidence-based intervention for optimizing education attainments via

the improvement of wellbeing among school-age children, which is important for guiding the development of

educational policy in Surabaya.

Keywords: academic achievement, non-cognitive factors, wellbeing factors, school-age children

Abstrak. Penelitian ini berfokus untuk mengidentifikasi prediktor kemampuan akademik, yaitu, Bahasa, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sebagai studi awal, sekitar 348 siswa kelas 8 di Surabaya diukur

kemampuan akademik, kesejahteraan, relasi sosial dan faktor kesehatan mental dengan menggunakan alat ukur kesejahteraan yang komprehensif, yaitu: Middle Years Development Instrument and Health Behaviour in

School-aged Children. Analisis jalur multivariat digunakan untuk menguji hubungan antara prediktor dan

kemampuan akademik. Hasilnya menunjukkan bahwa masing-masing kemampuan akademik, Bahasa,

Matematika, dan Sains memiliki seperangkat prediktor yang unik. Studi ini memberikan peta faktor

kontekstual serta dinamika faktor-faktor non-kognitif dalam membangun kesejahteraan dan kemampuan akademik anak usia sekolah di Surabaya. Temuan penelitian ini diharapkan dapat mendukung pengembangan

intervensi berbasis data ilmiah dalam rangka mengoptimalkan pencapaian pendidikan melalui peningkatan

kesejahteraan di antara anak-anak usia sekolah, yang juga akan mendukung pengembangan kebijakan

pendidikan di Surabaya.

Kata kunci: kemampuan akademik, faktor non-kognitif, faktor kesejahteraan, anak usia sekolah

PENDAHULUAN

Dalam rangka mendukung perkembangan

anak usia sekolah, maka sistem pendidikan perlu menciptakan keseimbangan antara

penyelenggaran program pendidikan akademik dan juga pengembangan keterampilan pribadi

dan sosial; dimana keduanya harus hadir dalam dalam kurikulum sekolah (Atkinson & Hornby,

2002). Akan tetapi, hal ini menjadi lebih sulit dilakukan dalam beberapa tahun terakhir,

karena penekanan utama pendidikan lebih ditempatkan pada tujuan penguatan

kemampuan kognitif. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan telah menjadi sangat

bergantung pada penggunaan tes terstandar

sebagai penentu keberhasilan akademik (high-

stake exam), dan ditambah lagi keinginan

berkompetisi dalam sistem peringkat akademik

di seluruh dunia (misalkan the Programme of

International Student Assessment; PISA). Negara-

negara dan sekolah-sekolah bersaing mencetak skor terbaik di peringkat global tersebut. Fokus

pada tujuan akademik telah menyebabkan berkurangnya peran sekolah dalam hal

pengembangan pribadi, sosial dan moral siswa. Perlu dipahami, keberhasilan akademik

sebenarnya bukan hanya ditentukan oleh faktor kognitif. Inteligensi dianggap sebagai prediktor

Page 2: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

55

utama dari prestasi akademik. Namun,

meskipun memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi akademik, intelegensi

ditemukan hanya mampu memprediksi sekitar 50% dari prestasi akademik (Suarez-Alavrez,

Fernandez-Alonso, & Muniz, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 50% varian

dijelaskan oleh variabel non-kognitif lainnya. Berbagai penelitian sebelumnya

menunjukkan adanya hubungan positif antara keterampilan non-kognitif dan prestasi

akademik. Binet pada 1916 menemukan bahwa prestasi akademik di sekolah tidak dapat

dijelaskan hanya oleh kecerdasan; tetapi siswa juga harus memiliki kualitas, seperti:

kemampuan fokus, kemauan belajar dan karakter yang baik (Duncan dkk., 2007).

Beberapa peneliti telah mengalihkan perhatian mereka pada faktor psikologis,

kontekstual sosial, dan emosional sebagai prediktor yang prestasi akademik (Lee & Shute,

2010). Payung terminologi digunakan adalah 'keterampilan non-kognitif', yaitu serangkaian

perilaku, sikap, dan strategi yang telah terbukti terkait dengan keberhasilan individu (Garcia,

2014). Pendidik dan pembuat kebijakan pendidikan semakin tertarik dalam

mengembangkan keterampilan non-kognitif siswa dalam mendukung kesuksesan baik di

selama anak di sekolah dan di masa depan (Egalite, Mills, & Greene, 2016).

Sejak itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan bagaimana keterampilan

non-kognitif dapat mempengaruhi prestasi kognitif siswa di sekolah, serta untuk mengukur

dampak keterampilan non-kognitif pada kesehatan mental di kalangan anak usia sekolah. Seperangkat perilaku, sikap, dan

strategi belajar ditemukan sebagai prediktor keberhasilan individu di masa depan disebut

sebagai keterampilan non-kognitif (Garcia, 2014; 2016).

Keterampilan akademik awal dan perilaku sosio-emosional juga ditemukan terkait dengan

prestasi akademik karena kedua kapasitas non-kognitif ini menyediakan dasar untuk adaptasi

kelas yang positif (Cuhna dkk., 2006). Penelitian juga telah menemukan bahwa faktor

kesejahteraan anak dan perilaku positif, seperti harga diri dan locus of control, adalah penentu

penting kesuksesan pada masa kehidupan dewasa (Carneiro, Crawford, & Goodman,

2007; Feinstein, 2000). Temuan-temuan itu telah mengarahkan

langkah menuju penguatan program pengembangan keterampilan non-kognitif di

sekolah. Lebih lanjut, riset juga menemukan

bahwa keterampilan non-kognitif responsif

terhadap intervensi pendidikan (Cunha & Heckman, 2008; Dee & West, 2011; Jackson,

2012). Dampaknya ke masa depan juga menjadi sangat yang penting, seperti: berkembangnya

keterampilan sosial yang efektif (Mischel, Shoda, & Peake, 1988), peningkatan kinerja

pada tugas-tugas akademik (Blackwell, Trzesniewski, & Dweck, 2007; Mischel, Shoda,

& Rodriguez, 1989; Zimmerman, 2000), mengurangi penggunaan rokok, alkohol, dan

ganja (Wulfert dkk., 2002), kesehatan fisik yang lebih baik, serta peningkatan kemampuan untuk

menangani situasi sulit di masa dewasa (Moffitt dkk., 2011).

Salah satu bentuk keterampilan non-kognitif dalam bidang pendidikan yang telah banyak

diteliti adalah konsep diri akademik (academic

self concept). Konsep diri akademik didefinisikan

sebagai persepsi seseorang atas kemampuan akademiknya (Seaton dkk., 2014). Review

literatur membedakan antara 'konsep diri' (harga diri atau kepercayaan diri secara umum)

dan 'konsep diri akademik' (keyakinan tentang kompetensi akademis). Konsep-diri akademik

ditemukan lebih berkaitan erat dengan prestasi akademik daripada konsep diri umum

(Zimmerman, 2000). Sebuah meta-analisis yang komprehensif oleh Valentine dan rekan (2004)

menyimpulkan bahwa konsep diri akademik memberikan dampak positif pada prestasi

akademik anak, namun pengaruhnya tergolong ringan.

Penelitian sebelumnya juga menemukan hubungan positif antara ketekunan dan prestasi

akademik. Ketekunan (perseverance) secara

umum dianggap sebagai kemampuan bekerja

menuju tujuan jangka panjang dan mempertahankan upaya meskipun ada

tantangan. Duckworth dan rekan (2007) menemukan korelasi positif antara ketekunan

dan nilai kuliah (mampu menjelaskan sekitar 4% dari varians dalam prestasi akademik).

Menariknya, setelah mengendalikan variabel seperti usia dan Intelligence Quotient (IQ), hasil

tetap menunjukkan bahwa ketekunan memprediksi keberhasilan akademik lebih baik

daripada IQ. Lounsbury dan rekan (2009) mempelajari 24

kekuatan karakter dalam kaitannya dengan nilai rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dalam

sampel 237 mahasiswa Sarjana. Lima kekuatan karakter adalah prediktor signifikan dari IPK,

yaitu: Ketekunan, Cinta Belajar, Humor, Keadilan dan Kebaikan; semua bersama-sama

menjelaskan tentang 17% variasi dalam IPK. Van Blerkom (1996), dalam sebuah studi

Page 3: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

56

terhadap 140 mahasiswa sarjana, menemukan

korelasi ringan antara ketekunan dan nilai kuliah.

Konsep yang berkaitan dengan ketekunan adalah disiplin diri. Duckworth dan rekan

(2007) menemukan bahwa disiplin diri dapat memprediksi nilai akhir dan skor tes prestasi di

siswa kelas delapan. Beberapa penelitian juga mengkaji tingkat persistensi anak-anak di taman

kanak-kanak. Data dari Studi Longitudinal Anak Usia Dini, sampel nasional 20.000 anak

di taman kanak-kanak di Amerika Serikat, digunakan untuk mengidentifikasi faktor

prediktif prestasi akademik (West dkk., 2016). Selain faktor sosio-demografi, penelitian ini

menemukan bahwa tingkat penguasaan tugas seorang guru yang berkorelasi dengan prestasi

membaca dan matematika. West dan rekan (2016) menjelaskan bahwa dengan ketekunan,

seorang anak dapat mempertahankan kemampuan untuk tetap fokus dan bersemangat

untuk belajar, dan yang pada gilirannya akan secara positif mempengaruhi kemampuan

akademik mereka, seperti Membaca dan Matematika.

Keterampilan non-kognitif lainnya yang telah banyak diteliti adalah keterampilan

prososial. Kemampuan siswa dalam mengembangkan, mempertahankan hubungan

sosial dengan orang-orang di sekelilingnya ternyata berdampak pada kesejahteraan

akademik. Durlak dan rekan (2011) melakukan meta-analisis lebih dari 200 intervensi yang

ditujukan untuk meningkatkan pembelajaran sosial dan emosional anak-anak dari taman

kanak-kanak sampai sekolah menengah (usia 5-18). Studi ini adalah salah satu tinjauan yang paling ekstensif tentang intervensi prososial di

anak usia sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa peserta didik mendapat manfaat dari

intervensi di sekolah, dan keterampilan prososial meningkat. Di samping itu, siswa

yang berpartisipasi juga menunjukkan prestasi akademik yang lebih tinggi. Garcia (2014)

mengidentifikasi beberapa keterampilan belajar dengan komponen prososial, yang penting

untuk keberhasilan belajar, di antaranya adalah: kehadiran (absensi), kebiasaan kerja, perilaku

mencari bantuan, juga pemecahan masalah sosial dan akademik.

Persepsi tentang iklim sekolah secara keseluruhan juga dianggap sebagai faktor

protektif untuk kesejahteraan siswa (Shochet dkk., 2006; Syvertsen dkk., 2009). Meskipun

menentukan hubungan kausalitas sulit, namun penelitian menemukan bahwa siswa yang

merasa bahwa mereka diterima di sekolah dan

memiliki pengalaman positif di sekolah

cenderung untuk bersekolah lebih sering dan memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi.

Bagian lain dari hidup sebagai seorang anak, juga tentang menghadapi tantangan hidup; dan

ini dapat mengarah pada pengembangan perilaku masalah, baik secara internal

(perubahan suasana hati, perasaan dan pemikiran internal) dan juga eksternal

(perilaku). Survei kesehatan mental remaja global oleh WHO melaporkan bahwa maslah

perilaku dan emosional dialami banyak anak antara usia 4-17 tahun (Sawyer dkk., 2001;

WHO, 2016). Masalah-masalah psikologis ini telah menyebabkan prestasi akademik yang

lebih rendah di antara anak-anak usia sekolah dan dipengaruhi secara negatif dengan

kesejahteraan mereka. Dalam populasi umum, masalah kesehatan mental terutama terdiri dari

perilaku dan masalah emosional selama masa kanak-kanak (Moilanen, Shaw, & Maxwell,

2010). Masalah perilaku biasanya termasuk penolakan, atau perilaku oposisi dengan Guru

dan orang tua, hiperaktif dan agresi, atau sering dikenal sebagai masalah Eksternalisasi, karena

anak-anak menunjukkan manifestasi lahiriah dari masalah mentalnya. Masalah emosional

biasanya termasuk kecemasan, penarikan diri dan depresi; yang sering disebut sebagai

masalah Internalisasi, karena anak-anak mengalami tekanan batin batin yang mungkin

tidak terbuka atau tidak jelas bagi orang lain. Masalah internalisasi seperti masalah afektif

telah ditemukan terkait dengan jumlah hari membolos atau lebih banyaknya hari belajar

dengan gangguan (Galera dkk., 2009; Glied & Pine, 2002). Masalah-masalah eksternalisasi seperti Gangguan Deviant Oposisi dan

Gangguan Perilaku telah dikaitkan dengan berkurangnya produktivitas di ruang kelas

(Fjord dkk., 2008). Di sisi lain, Bullying juga merupakan

fenomena di sekolah. Bullying biasanya

didefinisikan sebagai intimidasi atau penghinaan yang ditargetkan yang tidak dapat

dihindari oleh korban; perlakukan bullying dapat

bersifat fisik, verbal, sosial atau penindasan di

dunia maya. Anak usia sekolah yang mengalami penindasan lebih mungkin

mengalami stres yang tinggi, masalah emosional, dan persoalan psikosomatik, yang

pada gilirannya dikaitkan dengan absen dari sekolah dan prestasi akademik yang lebih

rendah (Juvonen & Graham, 2014; Van der Ploeg, Steglich, & Veenstra, 2016).

Kebahagiaan dan afek positif berperan penting dalam pengalaman hidup manusia

Page 4: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

57

karena mereka mewakili keadaan yang lebih

disukai secara intrinsik, dan bentuk-bentuk emosi positif ini dapat mengoptimalkan fungsi

hidup manusia lainnya (Isen, 2003; King dkk., 2006). Emosi positif juga penting dimunculkan

di proses pendidikan di sekolah. Riset menemukan bahwa emosi positif menghasilkan

perhatian yang lebih baik, pemikiran yang lebih kreatif dan pemikiran yang lebih holistik (Bolte

dkk., 2003; Fredrickson & Branigan, 2005; Rowe dkk., 2007); dan sebaliknya emosi negatif

yang menghasilkan perhatian yang lebih sempit, berpikir kritis, dan berpikir analitik (Bolte dkk.,

2003). Kedua cara berpikir itu penting, tetapi jika sekolah hanya menekankan pemikiran kritis

dan kurang mengindahkan berpikir kreatif, maka sebagai konsekuensinya, suasana negatif

lebih sering ditemukan di ruang kelas (Seligman dkk., 2009).

Tidak semua siswa memiliki sikap positif terhadap sekolah karena mereka mungkin

mengalami berbagai jenis masalah mental dalam kehidupan mereka walaupun

keterampilan kognitif mereka tergolong baik. Siswa yang merasa bahwa mereka memiliki

sedikit kendali atas kinerja ujian mereka, akan rentan terhadap suasana hati atau emosi negatif,

seperti: keputusasaan dan ketidakbahagiaan (Buric & Soric, 2012). Gilman dan Huebner

(2006) menemukan bahwa kepuasan hidup yang tinggi akan relatif stabil daripada suasana

hati yang positif, dan lebih memiliki dampak yang signifikan pada fungsi adaptasi psikososial

serta lebih sedikit masalah emosional dan perilaku.

Kepuasan hidup, sebagai salah satu indikator kunci kesejahteraan subjektif, didefinisikan sebagai penilaian umum subjektif individu atas

perasaan dan sikapnya mengenai kehidupannya pada satu titik waktu tertentu, dan valensinya

berkisar dari negatif hingga positif. Persepsi atas prestasi sekolah, kepuasan hidup, dan

penyesuaian psikologis telah ditemukan saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain

(Inglehart dkk., 2007; Isen, 2003). Selanjutnya, siswa dengan kepuasan hidup yang tinggi akan

memiliki harapan yang lebih besar dan mengalami sedikit tekanan intrapersonal

daripada siswa dengan kepuasan hidup yang rendah (Gilman & Huebner, 2006). Dengan

demikian, emosi positif dan kepuasan hidup dapat dianggap sebagai indikator utama

kesejahteraan subyektif (subjective wellbeing;

SWB).

Selain emosi positif terhadap kehidupan, penghayatan hidup yang baik juga dapat

ditunjukkan oleh sikap positif bahkan dalam

menghadapi kesulitan, ini dikenal sebagai

kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing;

PWB). PWB dalam konteks pendidikan menekankan pada pentingnya mempertahankan

keadaan siswa yang positif, seperti: suasana hati dan sikap yang positif, resiliensi, kepuasan atas

diri sendiri dan juga atas hubungan dengan orang di sekitarnya, serta pengalaman di

sekolah (ACU dan Erebus International, 2008). Definisi PWB ini relatif umum dan mencakup berbagai atribut serta pengalaman yang

mencerminkan motivasi, resiliensi, afeksi, dan perilaku adaptif (Fraillon, 2004; King dkk.,

2006; Phan & Ngu, 2015; Soutter, 2011). Farrington dan rekan (2012) meneliti

pengendalian diri, dan ketekunan sebagai keterampilan non-kognitif yang penting atas

prestasi pendidikan. Mereka juga menemukan bahwa keterampilan non-kognitif berinteraksi

satu sama lain dan mengarahkan siswa untuk terlibat dalam perilaku yang lebih pro-

akademik, seperti menghadiri sekolah, menyelesaikan pekerjaan rumah, dan belajar;

dan hal-hal ini dapat menghasilkan pencapaian akademik yang lebih baik.

Jennings dan Di Prete (2010) menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki tingkat sikap

belajar yang positif akan belajar lebih banyak di sekolah daripada anak-anak yang sikap

belajarnya lebih negatif. Stankov, Morony dan Lee (2014) menunjukkan bahwa keyakinan diri

adalah prediktor non-kognitif terbaik atas kemampuan matematika dalam PISA 2003.

Berbagai temuan empiris ini semakin menegaskan bahwa penumbuhan keterampilan

non-kognitif ini sangat penting dan akan memiliki konsekuensi jangka panjang yang baik

melalui pendidikan di masa usia sekolah. Banyak penelitian juga telah menunjukkan

korelasi yang kuat antara keterampilan kognitif dan non-kognitif. West dan rekan (2015)

melakukan meta-analisis studi pada keterampilan non-kognitif, dan menemukan

bahwa atribut non-kognitif, seperti: keyakinan diri (self-efficacy), kontrol diri dan keterampilan

pro-sosial adalah prediktor kuat kemampuan akademik siswa, bahkan setelah mengendalikan

faktor kemampuan kognitif dan faktor demografi (Duckworth, Tsukayama, & Mei,

2010). Salah satu penjelasan potensial mengenai

hubungan positif antara keterampilan non-kognitif dan prestasi akademik disampaikan

oleh Deci dan rekan (1985). Mereka mengusulkan bahwa faktor non-kognitif

berfungsi sebagai faktor yang mempengaruhi proses pengaturan pembelajaran. Misalnya,

Page 5: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

58

kemampuan determinasi diri, merupakan

keterampilan non-kognitif yang mendukung perilaku dengan motivasi intrinsik seperti

terlibat dalam pembelajaran, karena siswa akan senang melakukan belajar yang telah menjadi

pilihan pribadinya. Sebaliknya, tindakan-tindakan yang bermotivasi eksternal hanya akan

dikerjakan untuk mendapatkan hadiah atau untuk menghindari hukuman. Artinya,

memiliki keterampilan non-kognitif akan memungkinkan siswa untuk menghasilkan

perilaku berdasarkan motivasi intrinsik dan hal inilah yang akan mendukung kinerja kognitif

mereka. Namun, penelitian lain juga menemukan

bahwa keterampilan non-kognitif rentan terhadap perubahan dari lingkungan,

pengalaman hidup, dan interaksi sosial. Misalnya, interaksi antara faktor psikologis dan

kontekstual dengan kemampuan akademik di masing-masing masa tahapan perkembangan

akan bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi prediktor terbaik (faktor-faktor kesejahteraan, faktor protektif dan problem

psikologis) atas kemampuan akademik Bahasa, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

(IPA). Dengan memetakan faktor kontekstual dan memahami dinamika unik pada masing-

masing kemampuan akademik, maka dapat dipahami proses menuju ke resiliensi dan

kesehatan mental pada anak usia sekolah (Lee & Shute, 2010). Penelitian ini mengajukan

hipotesa bahwa Bahasa, Matematika dan IPA akan memiliki seperangkat prediktor yang unik

dan dengan dinamikanya yang khas.

METODE

Alat ukur disusun oleh peneliti dari tinjauan literatur tentang MDMI dan HBSC. Proses

adaptasi dilakukan dengan dimulai dari upaya menerjemahkan materi ke Bahasa Indonesia.

Peneliti utama bekerja dengan 3 asisten peneliti yang memiliki pengetahuan tingkat lanjut atas

Bahasa Inggris. Setiap orang menerjemahkan item secara independen, membandingkan

terjemahan, mendiskusikan setiap item untuk menemukan kesepakatan makna kata dan

kalimat, lalu melakukan penerjemahan ulang. Setelah itu, peneliti dan asisten peneliti

mengkaji dan menyempurnakan terjemahan akhir.

Untuk studi pilot, draft pertama disurvei

kepada 5 siswa SMP untuk mendapatkan

umpan balik langsung pada pemahaman mereka tentang item. Revisi item dilakukan

setelah penerimaan umpan balik tersebut.

Pengambilan data dilakukan dengan cara

online survey. Survei ini dilakukan di sekolah

yang dikoordinasi oleh tiga mahasiswa psikologi dengan bantuan supervisi dari para

guru. Siswa diberitahu bahwa partisipasi itu bersifat sukarela. Tak satu pun dari siswa kelas

8 menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, dan tidak ada kompensasi keuangan yang

ditawarkan selain pensil, sebagai suvenir per orang. Semua alat ukur telah lulus review oleh kantor Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan

telah disetujui oleh otoritas sekolah. Sampel adalah 348 siswa yang terdiri dari

182 anak perempuan (52,3%) dan 166 anak laki-laki (47,7%). Dengan usia rata-rata dari sampel

penelitian ini adalah 12 tahun (M = 12,97, SD = .45), semuanya adalah siswa kelas 8 dari

sekolah menengah pertama di Surabaya (lihat tabel 2 untuk data deskriptif). Berkenaan

dengan nilai-nilai yang hilang, semua variabel dalam penelitian ini hanya memiliki kurang dari

10% data yang hilang dan ditemukan hilang secara acak. Oleh karena itu, data dianggap

tepat untuk analisis lebih lanjut. Dalam analisis jalur multivariat, penelitian ini melakukan

Imputasi Rerata (mean imputation) pada setiap

item yang dianggap hilang.

Penelitian ini mengumpulkan data pada 4 kelompok variabel, seperti: 1) prestasi

akademik, 2) faktor kesejahteraan sosial, 3) faktor kesehatan mental, dan 4) hubungan

protektif (lihat tabel 1 untuk daftar variabel). Pertanyaan survei terutama berasal dari bagian-

bagian dari Middle Years Development Instrument

yang dibuat di Human Learning Partnership,

Universitas British Columbia, Kanada oleh

Kimberly Schonert-Reichl (Schonert-Reichl dkk., 2012).

Selain itu, beberapa aitem juga berasal dari

Perilaku Kesehatan Anak Usia Sekolah atau Health Behaviour in School-aged Children (HBSC;

Aarø et al., 1986) yang dikembangkan oleh

World Health Organization (Kuntcshe & Ravens-Sieber, 2015; Piette dkk., 1993; Aarø

dkk., 1986). Koefisien reliabilitas semua skala

pengukuran kesejahteraan dan keterampilan non-kognitif tergolong memuaskan, kecuali untuk masalah Hyperactivity dan Peer problem

dari Strength and Difficulties Questionnaires.

Namun, ini mungkin disebabkan karena rendahnya laporan masalah psikologis ini

dalam sampel penelitian ini. Kemampuan akademik. Prestasi akademik

diukur menggunakan nilai rapor dari semester akhir di kelas 7. Penelitian ini berfokus pada 3

mata pelajaran, Bahasa Indonesia sebagai

Page 6: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

59

prestasi akademik untuk Bahasa, dan juga

Matematika dan IPA. Skor prestasi akademik dihitung dari semua penilaian dari seluruh

tahun pendidikan; sehingga ditempatkan sebagai indikator keseluruhan kinerja akademik.

Skala yang digunakan setara dengan persentil dari 0 hingga 100. Siswa dengan nilai akademik

yang hilang dikeluarkan dari analisis data. Skala Kesejahteraan Subyektif dan Kepuasan

Hidup. Skala Kepuasan Hidup menggunakan

Subjective Wellbeing and Life Satisfaction (SWLS;

Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985) telah diuji properti psikometriknya oleh berbagai

penelitian sebelumnya. Item SWLS meminta individu memberikan respon tentang sejauh

mana mereka setuju atau tidak setuju dengan pernyataan tertentu. Setiap pernyataan

dirancang khusus untuk menangkap kepuasan atas kehidupan. Setiap item dijawab pada skala

1-7 yang berkisar dari Sangat Tidak Setuju hingga Sangat Setuju. Skor kumulatif tinggi

menunjukkan kepuasan terhadap kehidupan. Skor total akan dihitung untuk mendapatkan

mean SWLS. Kesejahteraan Psikologi. Skala Kesejahteraan

Psikologis menggunakan skala Psychological Wellbeing (PWB; Diener dkk., 2009). Skala

terdiri dari delapan item yang menggambarkan aspek penting dari fungsi manusia mulai dari

hubungan positif, perasaan kompetensi, hingga memiliki arti dan tujuan dalam kehidupan.

Setiap item dijawab pada skala 1-7 yang berkisar dari Sangat Tidak Setuju hingga Sangat

Setuju. Semua item dituliskan dalam arah yang positif. Skor tinggi menandakan bahwa

responden memandang diri mereka sangat positif di berbagai bidang fungsi dan kekuatan.

Skor total akan dihitung untuk mendapatkan mean PWB.

Kebahagiaan. Para siswa menunjukkan

sejauh mana mereka mengalami perasaan

bahagia yang positif. Empat item dengan skala 1-5 digunakan untuk mengukur kebahagiaan,

misalnya: "Saya merasa bahagia". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin

kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk

mendapatkan mean kebahagiaan. Optimisme. Para siswa menunjukkan sejauh

mana mereka mengalami perasaan optimis positif. Empat item dengan skala 1-5 digunakan

untuk mengukur optimisme, misalnya: "Saya optimis tentang masa depan saya". Format

tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5

(sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk mendapatkan mean optimisme.

Kesedihan. Para siswa menunjukkan sejauh

mana mereka mengalami perasaan sedih yang

negatif. Tiga item dengan skala 1-5 digunakan untuk mengukur kesedihan, misalnya: "Saya

merasa tidak bahagia banyak waktu". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin

kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk

mendapatkan mean optimisme. Kekhawatiran. Para siswa menunjukkan

sejauh mana mereka mengalami perasaan khawatir atau cemas negatif. Empat item skala

1-5 yang digunakan untuk mengukur kekhawatiran, misalnya: "Saya khawatir banyak

tentang hal-hal di rumah". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum

dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk

mendapatkan mean kekhawatiran. Keterlibatan kognitif. Para siswa menunjukkan

sejauh mana mereka telah terlibat secara kognitif (cognitive engagement) dengan studi dan

karya mereka di sekolah. Lima item digunakan untuk mengukur keterlibatan kognitif misalnya:

"Ketika saya menemukan sesuatu yang sulit, maka saya mencoba cara lain". Format

tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5

(sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk mendapatkan rerata keterlibatan kognitif.

Flow. Para siswa menunjukkan sejauh mana

mereka telah merasakan secara optimal selama

belajar dan bekerja di sekolah. Tiga item skala 1-5 digunakan untuk mengukur flow misalnya:

"Ketika saya mempelajari sesuatu yang baru, saya kehilangan jejak berapa banyak waktu

yang telah berlalu". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1

(sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk mendapatkan

mean flow.

Ketekunan. Para siswa menunjukkan sejauh

mana mereka telah mengalami ketekunan (perseverance) dalam menyelesaikan studi mereka

dan bekerja di sekolah. Tiga item 1-5 digunakan

untuk mengukur ketekunan misalnya: "Saya menyelesaikan apa pun yang saya mulai".

Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan

dihitung untuk mendapatkan mean ketekunan. Regulasi emosi. Para siswa menunjukkan

sejauh mana mereka telah mengalami

kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan emosi mereka. Empat item 1-5

digunakan untuk mengukur regulasi emosi misalnya: "Ketika saya ingin merasa kurang

Page 7: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

60

buruk (misalnya sedih, marah atau khawatir)

tentang sesuatu, saya mengubah cara saya memikirkannya". Format tanggapan untuk item

berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju).

Skor total akan dihitung untuk mendapatkan rerata pengaturan emosi.

Konsep diri akademik. Para siswa

menunjukkan sejauh mana mereka memperoleh konsep diri yang positif tentang kemampuan mereka dalam melakukan studi dan bekerja di

sekolah. Tiga item dengan skala 1-5 digunakan untuk mengukur konsep diri akademik,

misalnya: "Bahkan jika pekerjaan di sekolah sulit, saya bisa mempelajarinya". Format

tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5

(sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk mendapatkan rata-rata konsep diri akademik.

Persepsi hubungan dengan Orangtua. Para siswa

menunjukkan sejauh mana mereka telah

mengalami dukungan emosional dan kritik dari orang tua mereka. Dua-belas buah pernyataan

yang digunakan untuk mengukur hubungan protektif dan resiko dengan ayah dan ibu,

misalnya: "Ibu menenangkan saya ketika saya marah" untuk memahami hubungan dengan ibu

dan "Ayah menenangkan saya ketika saya kesal" untuk memahami hubungan dengan

Ayah. Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak

setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung per dimensinya, untuk mendapatkan

mean dukungan orangtua dan kritik orang tua. Hubungan protektif dengan Guru. Para siswa

menunjukkan sejauh mana mereka telah mengalami keterlibatan emosional dan

dukungan dari guru mereka di sekolah. Lima item digunakan untuk mengukur hubungan

protektif dengan guru, misalnya: "Sebagian besar guru saya benar-benar mendengarkan apa

yang harus saya katakan". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum

dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk

mendapatkan mean hubungan protektif dengan guru.

Hubungan Protektif dengan Teman sebaya. Para

siswa menunjukkan sejauh mana mereka telah

menerima interaksi positif dan penerimaan dengan rekan-rekan mereka. Lima item

digunakan untuk mengukur hubungan protektif dengan teman sebaya, misalnya: "Saya memiliki

teman sebaya yang saya bisa ceritakan tentang segala hal". Format tanggapan untuk item

berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju).

Skor total akan dihitung untuk mendapatkan

mean hubungan dengan teman sebaya. Hubungan Protektif dengan Sekolah. Para siswa

menunjukkan sejauh mana mereka peduli dan

memiliki perasaan positif terhadap sekolah. Lima item digunakan untuk mengukur

hubungan protektif di sekolah, termasuk item berikut: "Guru dan siswa memperlakukan satu

sama lain dengan hormat di sekolah ini". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak

setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk mendapatkan rata-rata

hubungan protektif dengan sekolah. Religiusitas. Para siswa menunjukkan sejauh

mana mereka menganggap pentingnya

mempraktekkan agama mereka dalam kehidupan sehari-hari mereka dan ketika

berhadapan dengan masalah. Empat item digunakan untuk mengukur religiusitas, misalnya: "Penting bagi Anda untuk berdoa

ketika Anda memiliki masalah pribadi". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin

kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk

mendapatkan mean religiusitas. Faktor kesehatan mental. Strength and

Difficulties Questionnaires (SDQ; Goodman,

1997) digunakan untuk mengukur masalah psikologis yang ditangani oleh siswa. Ada

empat masalah psikologis yang diukur, seperti: masalah emosional (mis. “Saya khawatir

banyak”), melakukan masalah (mis. “Saya sangat marah dan sering kehilangan

kesabaran”), Hiperaktif (mis. “Saya gelisah, Saya tidak bisa tinggal diam untuk "" panjang,

dan masalah teman sebaya (mis. "Anak-anak lain atau orang muda memilih pada saya atau menggertak saya"). Selain itu, SDQ juga

mengukur kekuatan pribadi atau perilaku prososial (mis. Saya mencoba bersikap baik

kepada orang lain. Saya peduli dengan perasaan mereka “). Setiap indikator dinilai oleh 5 item

dalam skala tiga poin (1 = tidak benar, 2 = agak benar, 3 = benar). Item dalam setiap per

dimensi dijumlah lalu dicari nilai reratanya, baik pada masing-masing masalah psikologis

dan juga perilaku prososial. Bullying. Para siswa menunjukkan sejauh

mana mereka telah mengalami intimidasi atau penghinaan yang tidak dapat dihindari atau

dipertahankan secara fisik, verbal, sosial atau penindasan maya. Skala empat item yang

digunakan untuk mengukur bullying, misalnya:

"seberapa sering Anda telah diganggu oleh siswa lain dengan cara fisik". Format respons

untuk item berkisar sepanjang skala 5 poin (1 =

Page 8: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

61

tidak pernah, 2 = satu atau dua kali, 3 = hampir

setiap bulan, 4 = hampir setiap minggu, 5 = beberapa kali seminggu). Skor total akan

dihitung untuk mendapatkan mean bullying.

Faktor demografis. Penelitian ini mengumpulkan usia, jenis kelamin, dan status

sosial-ekonomi orang tua (SES). Pertanyaan penelitian ini dibahas dalam dua

langkah. Pertama, properti psikometrik alat ukur

yang digunakan dalam penelitian ini.

Exploratory Factor Analysis (EFA) digunakan

untuk mengkonfirmasi konstruk laten dengan

menggunakan IBM SPSS versi 21. Kedua,

korelasi dan analisis regresi hierarkis dilakukan

pada faktor kesejahteraan, faktor kesehatan mental dan faktor hubungan protektif dengan

menggunakan IBM SPSS versi 21. Hal ini dilakukan untuk memetakan model yang

diujikan. Ketiga, analisis jalur multivariat

dilakukan dengan menggunakan IBM AMOS

versi 21. Model ini digunakan untuk menjelaskan kemampuan akademik anak usia

sekolah di Surabaya. Analisis jalur multivariat dipilih karena merupakan pendekatan statistik

komprehensif untuk menguji hipotesis tentang hubungan antar variabel. Penelitian ini

menggunakan skor faktor yang diperoleh dari analisis faktor.

Table 1. Daftar nama variabel penelitian

Nama variabel Singkata

n

Reliabi

litas

Kemampuan

akademik

Bahasa Bahasa

Matematika Mat Ilmu Pengetahuan

Alam IPA

Faktor

kesejahteraan

Kesejahteraan psikologis

PWB .87

Kesejahteraan subyektif dan kepuasan

hidup

SWLS .78

Kebahagiaan Happy .83

Optimisme Optimism

.77

Kesedihan Sad .74 Kekhawatiran Worry .78 Keterlibatan kognitif CogEng .74 Flow Flow .71

Ketekunan Perse. .63 Regulasi Emosi EmoReg

. .77

Konsep diri akademik

ASC .70

Faktor relasi

protektif

Dukungan orang tua RelSupport

.76

Kritik orang tua RelCritic

ism

.81

Hubungan dengan Guru

RelTeacher

.80

Hubungan dengan

teman sebaya

RelPeer .83

Hubungan dengan

sekolah

RelScho

ol

.77

Religiusitas Relig. .71

Faktor Kesehatan

Mental

Pro-sosial ProSoc. .66 Masalah Emosional Emo.pro

b .65

Masalah Perilaku Con.pro

b

.65

Hyperactivity Hyp.prob

.43

Problem teman sebaya

Peer.prob

.43

Bullying Bully .60

Keterangan: Koefisien Alpha dilaporkan untuk

reliabilitas.

HASIL Statistik deskriptif

Deskriptif disajikan pada Tabel 2. Sebagai pemeriksaan normalitas, tes Kolmogorov

Smirnov digunakan; dan penelitian ini menemukan semua variabel secara signifikan

menyimpang dari distribusi normal (p <.05).

Namun, dari indeks lain, seperti: kemiringan, dan kurtosis (lihat tabel 2), juga inspeksi visual,

penelitian ini menemukan bahwa penyimpangan masih dalam kisaran yang dapat

diterima (kurang dari ± 2). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan data kasar untuk analisis parametrik utama.

Tabel 3 memberikan perbandingan mean berdasarkan gender, bersama dengan Cohen d

sebagai ukuran ukuran efek (partial eta squared).

Hasil menunjukkan perbedaan gender yang signifikan untuk prestasi akademik pada

Bahasa, tetapi tidak signifikan untuk Matematika dan IPA. Anak perempuan

umumnya mendapat nilai lebih tinggi pada Bahasa dan juga pada beberapa indikator

kesejahteraan sosial dan emosional, seperti: PWB, Optimisme, Keterlibatan Kognitif,

Ketekunan, Regulasi Emosi, Konsep Diri Akademik, Religiusitas.

Anak laki-laki melaporkan perilaku pro-sosial yang lebih tinggi dan lebih banyak

problem perilaku dan masalah bullying

dibandingkan dengan anak perempuan. Dalam

hal masalah psikologis, anak perempuan melaporkan masalah emosional lebih tinggi

daripada anak laki-laki. Anak perempuan juga melaporkan memiliki lebih banyak dukungan

dari Guru dan teman sebaya daripada anak laki-laki. Namun, perlu dicatat bahwa efek

perbedaannya lemah. Pola temuan perbedaan gender ini menunjukkan pentingnya gender

dimasukkan dalam analisis statistik selanjutnya.

Page 9: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

62

Pengurangan Data Properti psikometrik dari semua variabel

penelitian dianalisis dengan menggunakan

EFA. Data disajikan dalam lampiran tabel 1 hingga 3. Dari EFA, penelitian ini menemukan

hampir semua variabel laten cukup untuk menjelaskan varians dalam konstruksi yang

diukur (nilai varians > 40%). Namun, masalah Hyperactivity, yang diukur dengan SDQ,

ditemukan sedikit di bawah standar skor varian dijelaskan (38,45%). Ini juga mungkin terkait

dengan rendahnya laporan masalah Hiperaktif dalam sampel penelitian ini. Namun, ini dapat

diterima, karena problem psikologis tidak terjadi terlalu sering dan intensif dalam populasi

normal. Oleh karena itu, data hasil pengukuran dimasukkan dalam analisa data, namun perlu

pemahaman kritis dalam menginterpretasikan hasilnya. Skor laten dari analisa faktor variabel

yang digunakan untuk analisis lebih lanjut.

Korelasi antara faktor kesejahteraan,

hubungan protektif dan masalah psikologis

pada anak usia sekolah di Surabaya Sebagai langkah awal, matriks korelasi

Pearson two-tailed disajikan pada Tabel 4.

Kemampuan akademik berkorelasi ringan

dengan faktor kesejahteraan, faktor hubungan protektif dan faktor kesehatan mental. Namun,

perlu dipahami bahwa masing-masing kemampuan akademik berkorelasi dengan

faktor kesejahteraan yang berbeda-beda. Lalu, analisis regresi dilakukan untuk

menguji kemampuan prediksi faktor kesejahteraan, faktor hubungan protektif dan

faktor kesehatan mental pada kemampuan akademik (lihat tabel 5). Analisa regresi

menunjukkan bahwa setiap kemampuan akademik diprediksi oleh berbagai variabel yang

berbeda. Nilai Bahasa dapat diprediksi berdasarkan jenis kelamin, keterlibatan kognitif, flow, kritik orang tua, dan juga oleh kemampuan

akademik dalam mata pelajaran lainnya.

Kemampuan matematis dapat dijelaskan secara unik oleh kapasitas pro-sosial, kekhawatiran,

masalah emosional, masalah perilaku, dan kritik orang tua. Sementara IPA diprediksi oleh

masalah emosional anak, kekhawatiran, keterlibatan kognitif, dan kritik orang tua.

Faktor kesejahteraan, hubungan protektif,

faktor kesehatan mental dan faktor demografik mampu menjelaskan sekitar 11% untuk Bahasa,

sekitar 8% untuk Matematika dan hanya sekitar 1% dari varian dalam IPA. Sebagian besar

prediksi berasal dari hasil berupa nilai lain, yang menunjukkan pengaruh besar aspek kognitif

pada kemampuan akademik (sekitar 33-35%).

Dari temuan ini, model awal dibangun (lihat gambar 1).

Page 10: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

63

Tabel 2. Data deskriptif variable penelitian Variabel Min. Max. M (SD) Skewness

(SE) Kurtosis (SE)

Bahasa Mat IPA

Demografik

Usia 12 14 12.97 -.12 (.13) 2.07 (.26) .02 -.05 -.05

SES 1 6 4.14 -.17 (.13) -.81 (.27) .02 -.03 -.05

Kemampuan akademik

Bahasa 84 95 88.18 (2.22) .70 (.13) -.28 (.21) .42** .44** Mat 80 99 87.14 (4.05) .38 (.13) .21 (.26) .54**

IPA 84 97 91.06 (2.95) -.20 (.13) -.76 (.26)

Faktor kesejahteraan

SWLS 2 7 5.11 (.99) -.66 (.13) .29 (.26) .02 -.03 .00 PWB 3 7 5.76 (.73) -.32 (.13) -.33 (.26) .12* .02 -.02 Happy 1 5 3.74 (.81) -.14 (.13) -.89 (.26) .10 .00 -.01 Optimism 2 5 4.16 (.69) -.59 (.13) -.46 (.26) .11* .05 -.02 Sad 1 5 3.24 (.71) -.26 (.13) .58 (.26) -.03 -.01 -.01

Worry 1 5 3.75 (.74) -.52 (.13) .45 (.26) -.05 -.14** -.09 CogEngt 2 5 3.72 (.69) .02 (.13) -.81 (.26) .24** .08 .07 Flow 1 5 3.33 (.94) -.14 (.13) -.59 (.26) .19** .06 .03 Perse. 2 5 4 (.55) -.08 (.13) -.57 (.26) .19** .09 .03 EmoReg 2 5 4.13 (.63) -.33 (.13) -.51 (.26) .11* -.00 -.03 ASC 2 5 4.10 (.61) -.35 (.13) -.59 (.26) .16** .14** .08

Protective Relationship factors

RelSupport 1 5 4.36 (.51) -.90 (.13) .66 (.26) .05 .03 -.02 RelCriticism 1 5 3.72 (.74) -.51 (.13) .06 (.26) -.09 -.14** -.09 RelTeacher 1 5 3.10 (.54) -.30 (.13) -.58 (.26) .06 -.02 -.10 RelPeer 1 5 4.28 (.72) -1.11 (.13) 1.46 (.26) .15** .06 -.02

RelSchool 1 5 3.93 (.53) .17 (.13) -.33 (.26) .03 -.04 -.05 Relig. 3 5 4.65 (.38) -1.11 (.13) 1.05 (.26) .12* -.05 -.05

Mental health factors

ProSoc. 1 3 2.56 (.33) -.39 (.13) -.79 (.26) .06 -.07 -.03 Emo.prob 1 3 1.80 (.44) .30 (.13) -.49 (.26) .00 -.00 -.09*

Con.prob 1 3 1.52 (.29) .59 (.13) -.26 (.26) -.03 -.11* .01

Hyp.prob 1 3 1.86 (.36) -.09 (.13) -.33 (.26) .02 -.03 -.10 Peer.prob 1 3 1.88 (.25) .53 (.13) .07 (.26) .02 .08 .04 Bully 1 4 1.52 (.53) 1.55 (.13) 2.92 (.26) -.04 .05 -.00

Keterangan: N= 348. Min.= Skor Minimum, Max.= Skor Maximum, M= Mean, SD= Standard deviation, SE= Standar kesalahan. Koefisien korelasi antara kesejahteraan dengan Bahasa, Matematika dan IPA. * = p < .05, ** = p < .01

Tabel 3. Perbandingan mean antar gender

Keterangan: a = mean anak perempuan lebih tinggi daripada mean anak laki-laki. b = mean anak laki-laki lebih tinggi daripada mean anak perempuan.

Variabel Perempuan Laki-laki Effect size

Kemampuan akademik

Bahasa 88.91a 86.83 .04 Mat 86.96 85.76 .00 IPA 90.16 89.86 .00

Faktor kesejahteraan

PWB 5.88a 5.62 .03 SWLS 5.16 5.04 .00 Happy 3.80 3.67 .00 Optimism 4.25a 4.07 .01 Sad 3.22 3.26 .00

Worry 3.79 3.71 .00 CogEng 3.80a 3.64 .01 Flow 3.32 3.64 .00 Perse. 4.08a 3.91 .02 EmoReg. 4.24a 4.01 .03 ASC 4.18a 4.00 .02

Faktor relasi protektif

RelSupport 4.39 4.33 .00 RelCriticism 3.66 3.79 .00 RelTeacher 3.16a 3.03 .01 RelPeer 4.46a 4.07 .07

RelSchool 3.95 3.90 .00 Relig. 4.70a 4.60 .02

Faktor Kesehatan Mental

ProSoc. 1.45 1.60b .08 Emo.prob 1.86a 1.72 .02

Con.prob 1.48 1.56b .01 Hyp.prob 1.88 1.83 .00 Peer.prob 1.89 1.86 .00 Bully 1.45 1.60b .02

Page 11: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

64

Page 12: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

65

Page 13: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

66

Analisis Model Jalur Model pertama diuji (lihat gambar 1) yang

terdiri dari jalur yang signifikan dan tidak

signifikan (tabel 6). Seperti yang diharapkan, kemampuan Bahasa diprediksi berdasarkan

jenis kelamin, keterlibatan kognitif, aliran, persepsi kritik orang tua, dan juga oleh

pencapaian dalam mata pelajaran akademik lainnya. Kemampuan Matematika juga

dijelaskan secara unik oleh banyak faktor, seperti: kemampuan pro-sosial, kekhawatiran,

masalah emosional, masalah perilaku, dan kritik orangtua yang dirasakan anak. Sementara

IPA diprediksi oleh masalah emosional anak, kekhawatiran, keterlibatan kognitif, dan kritik

orang tua yang dirasakan anak. Penelitian ini menggunakan beberapa indeks

modifikasi (modification indices) untuk

meningkatkan model. Beberapa jalur tidak

langsung menuju prestasi akademik ditemukan menjadi signifikan. Selain itu, beberapa

kovarian pada pengukuran kesalahan (error

measurement) juga ditentukan, dan modifikasi ini

telah secara signifikan meningkatkan kekuatan

model. Dengan demikian, model akhir ditetapkan (lihat gambar 2). Hasil dari prosedur

Structural Equation Modelling (SEM) terakhir

disajikan pada Tabel 7. Indeks goodness-of-fit

menghasilkan rasio chi-square/derajat-kebebasan

(χ2/df) sebesar 1,61, Comparative Fit Index

(CFI)= 0,97, dan TLI (Tucker-Lewis)= ,97.

Dengan Root Mean Square Error of Approximation

(RMSEA=,04. χ2 (89, N = 348) untuk model

terakhir adalah 144 (p <.001).

PEMBAHASAN Penelitian ini mendukung secara empiris

mengenai pengaruh faktor kesejahteraan atas kemampuan akademik anak usia sekolah.

Bahasa ditemukan diprediksi berdasarkan jenis kelamin; di mana anak perempuan memperoleh

skor lebih tinggi daripada anak laki-laki. Hasil ini mengkonfirmasikan studi sebelumnya pada

efek gender pada kemampuan Bahasa. Menariknya, tidak ada perbedaan gender yang

signifikan yang ditemukan pada Matematika dan IPA dalam sampel penelitian ini. Namun,

hasil ini masih harus dikonfirmasi dalam sampel dengan jumlah yang lebih besar.

Kemampuan matematika sebagian besar diprediksi oleh kekhawatiran, dan masalah

emosional. Bahkan, pada sampel ini ditemukan anak-anak yang memiliki keterampilan prososial yang tinggi menunjukkan kemampuan

Matematika yang sedikit lebih buruk. Tampaknya, anak-anak usia sekolah

berhadapan dengan Matematika dengan

perasaan dan sikap yang lebih negatif. Namun demikian, anak-anak dengan konsep diri yang

baik sebagai pembelajar menunjukkan prestasi yang lebih baik dalam Matematika.

Tabel 7. Model akhir

Parameter

estimate Unstandardized

(SE) Standardi

zed

Bahasa on IPA .31 (.15) .42*** Flow .33 (.09) .15*** CognEng .30 (.09) .14***

Gender -1.42 (.19) -.32*** Mat on Bahasa .38 (.08) .20*** IPA .60 (.06) .44*** ConductProb -.51 (.18) -.12*** EmoProb .61 (.20) .15***

Worry -.49 (.19) -.12*** ASC .54 (.18) .13*** ProSoc -.51 (.17) -.12*** IPA on RelCriticism -.33 (.15) -.10* ASC on

RelPeer .11 (.04) .11** Flow on EmoProb .57 (.16) .57*** Optimism on

RelPeer .17 (.04) .17*** Worry on

RelCriticism .10 (.03) .09** ProSoc on PWB .42 (.05) .42*** EmoReg .17 (.05) .17*** RelTeacher .20 (.05) .19*** EmoProb on

Worry 1.48 (.22) 1.46***

ProSoc .16 (.05) .16**

CogEng -.24 (.07) .24*** ConductProb

on

Worry .17 (.05) .17*** RelCriticism .17 (.05) .15** CogEng -.16 (.05) -.16** RelTeacher on CogEng .50 (.06) .50***

RelPeer on Gender -.44 (.09) -.22*** CogEng .26 (.05) .26*** PWB on Perse .24 (.04) .24*** EmoProb -.14 (.03) -.14***

Optimism .21 (.04) .21*** Relig .17 (.04) .17*** CogEng .17 (.05) .17***

Keterangan: data tabel ini dapat diinterpretasi seperti membaca tabel regresi. B= koefisien jalur. ß= koefisien

jalur yang terstandar. SE= Standard Error koefisien. * = p

< .05, ** = p < .01, *** = p < .001.

IPA ditemukan hanya diprediksi oleh kritik

orang tua yang dirasakan oleh anak. Hal ini menarik, karena tampaknya prestasi sains dapat

dijelaskan bukan oleh faktor kesejahteraan internal anak melainkan faktor kesejahteraan

eksternal. Temuan ini menunjukkan pentingnya hubungan orangtua-anak pada pembelajaran

anak-anak.

Page 14: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

67

Selain itu, kritik orangtua juga ditemukan

berpengaruh terhadap kemampuan akademik anak, bahkan lebih kuat daripada pengaruh

dukungan orang tua terhadap kemampuan akademik. Temuan ini mengindikasikan bahwa

pengaruh negatif relasi dengan orang tua ini perlu disikapi dengan hati-hati, sehingga tidak

memberikan dampak kontraproduktif terhadap prestasi akademik anak. Sekolah sebaiknya

dapat bekerja sama dengan orang tua untuk meningkatkan kualitas hubungan mereka

dengan anak-anak. Hubungan dengan guru dan teman sebaya

juga ditemukan memiliki pengaruh tidak langsung terhadap prestasi akademik anak.

Tampaknya dengan memiliki hubungan dekat dengan teman sebaya, anak-anak dapat

memperoleh optimisme, dan konsep diri akademik yang lebih positif. Selain itu,

dukungan yang dirasakan dari guru juga akan meningkatkan keterampilan prososial anak-

anak. Pada gilirannya, baik konsep diri akademik dan keterampilan prososial akan

mempengaruhi prestasi yang lebih baik dalam Matematika.

Temuan penting lainnya dalam penelitian ini adalah pengaruh langsung yang signifikan dari

masalah psikologis, seperti: masalah emosional dan masalah perilaku, pada prestasi akademik,

terutama pada Matematika. Selain itu, masalah psikologis ini ditemukan terkait dengan

perasaan negatif, seperti kekhawatiran. Tetapi beberapa faktor kesejahteraan juga ditemukan

berfungsi sebagai penyangga terhadap masalah psikologis, seperti: keterlibatan kognitif dan

keterampilan prososial. Temuan ini sangat menjanjikan untuk dipelajari lebih lanjut sebagai upaya penyusunan intervensi

pencegahan masalah psikologis anak di sekolah. Secara keseluruhan, penelitian ini

menemukan bahwa faktor kesejahteraan, faktor kesehatan mental dan faktor hubungan protektif

berpengaruh, melalui jalur langsung atau tidak langsung, pada kemampuan akademik di antara

anak-anak usia sekolah di Surabaya. Implikasi penelitian ini untuk sistem

pendidikan adalah bahwa faktor kesejahteraan layak mendapatkan perhatian lebih di sekolah.

Diperlukan perencanaan dan pelaksanaan proses pendidikan yang lebih banyak untuk

menumbuhkan faktor kesejahteraan, seperti: keterlibatan kognitif, perilaku prososial, flow dan

konsep diri akademik. Sekolah tidak boleh hanya fokus pada penyediaan pembelajaran

pengetahuan secara kognitif di sekolah. Lebih banyak program sekolah diperlukan untuk

meningkatkan konsep diri anak-anak sebagai

pembelajar, kemampuan untuk menikmati

pekerjaan dan keterampilan sosial mereka, serta untuk mendapatkan teman dan koneksi sosial.

Dengan demkian, sekolah akan lebih baik memperlengkapi anak-ank usia sekolah untuk

menghadapi masa depan mereka.

Pernyataan: Penelitian ini dilakukan di bawah Payung Penelitian Kesehatan Mental Anak

Usia Sekolah oleh Margaretha, S.Psi., P.G.Dip.Psych., M.Sc., atas kerjasama dan

dukungan antara Fakultas Psikologi Universitas Airlangga dan Dinas Pendidikan Pemerintah

Kota Surabaya serta dari Australia Award Indonesia tahun 2017.

*****

REFERENSI ACU and Erebus International. (2008). Scoping

study into approaches to student

wellbeing: Literature review. Report to the Department o f Education,

Employment and Workplace Relations. Sydney, Australia: Australian Catholic

University. Adams, R. J., Wilson, M. & Wang, W. (1997).

The multidimensional random coefficients multinomial logit model.

Applied Psychological Measurement, 21, 1-

23.

Aarø LE, Wold B, Kannas, L, Rimpelä M.

(1986) Health behaviour in school-children. A WHO cross-national survey.

Health Promotion International, 1, 17-33.

Bolte, A., Goschke, T. & Kuhl, J. (2003)

Emotion and intuition: effects of positive and negative mood on implicit judgments

of semantic coherence, Psychological

Science, 14, 416-421.

Buric ́, I., & Soric ́, I. (2012). The role of test hope and hopelessness in self-regulated

learning: Relations between volitional strategies, cognitive appraisals and

academic achievement. Learning and

Individual Differences, 22, 523–529.

Carneiro, P., Crawford, C., & Goodman, A. (2007). The impact of early cognitive and

non-cognitive skills on later outcomes. In CEE Discussion Paper 00092.

Cunha, F., & Heckman, J. J. (2008).

Formulating, identifying and estimating the technology of cognitive and non-cognitive skill formation. Journal of Human

Resources, 43, 738-782.

Page 15: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

68

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). The general

causality orientations scale: Self-determination in personality. Journal of

research in personality, 19, 109-134.

Dee, T. S., & West, M. R. (2011). The non-cognitive returns to class size. Educational

Evaluation and Policy Analysis, 33, 23-46.

Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The satisfaction with

life scale. Journal of Personality Assessment,

49, 71-75.

Diener, E., Wirtz, D., Biswas-Diener, R., Tov,

W., et al. (2009). New Measures of Well-Being. Social Indicators Research Series, 39,

247-266. Doi: 10.1007/978-90-481-2354-4 12.

Duckworth, A. L., Tsukayama, E., & May, H. (2010). Establishing causality using

hierarchical linear modeling: An illustration predicting achievement from

self-control. Social Psychological &

Personality Science, 1, 311-317.

Duncan, G. J., Dowsett, C. J., Claessens, A., Magnuson, K., Huston, A. C., Klebanov,

P., ... & Sexton, H. (2007). School readiness and later achievement.

Developmental psychology, 43, 1428.

Durlak, J. A., Weissberg, R. P., Dymnicki, A.

B., Taylor, R. D., & Schellinger, K. B. (2011). The Impact of Enhancing

Students’ Social and Emotional Learning: A Meta-Analysis of School-Based

Universal Interventions. Child

Development, 82, 405-432. Doi:

10.1111/j.1467- 8624.2010.01564.x

Egalite, A. J., Mills, J. N., & Greene, J. P. (2016). The softer side of learning:

Measuring students’ non-cognitive skills. Improving Schools, 19, 27-40.

Farrington, C., Roderick, M., Allensworth, E., Nagaoka, J., Keyes, T. S., Johnson, D., & Beechum, N. O. (2012). Teaching adolescents to become learners: The role of noncognitive

factors in shaping school performance. Chicago,

IL: University of Chicago Consortium on Chicago School Research.

Feinstein, L. (2000). The relative economic importance of academic, psychological and

behavioural attributes developed on childhood.

Centre for Economic Performance, London School of Economics and Political Science.

Fraillon, J. (2004). Measuring student well-being in the context of Australian

schooling: Discussion paper. The

Australian Council for Educational Research,

2, 1-54.

Fredrickson, B.L. & Branigan, C. (2005)

Positive emotions broaden the scope of attention and thought-action repertoires,

Cognition & Emotion, 19, 313-332.

Frojd, S.A., Nissinen, E.S., Pelkonen, M.U.,

Marttunen, M.J., … & Kaltiala-Heino, R. (2008). Depression and school

performance in middle adolescent boys and girls. Journal of Adolescence, 31, 485-

498. Galera, C., Melchior, M., Chastang, J.F.,

Bouvard, M.P., & Fombonne, E. (2009). Childhood and adolescent hyperactivity-

inattention symptoms and academic achievement 8 years later: the GAZEL

youth study. Psychology Medicine, 39, 1895-

1906.

Garcia, E. (2014). The need to address non-cognitive skills in the Education Policy

Agenda. Economic Policy Institute, 386.

García, E., & Weiss, E. (2016). Making Whole-

Child Education the Norm: How Research and Policy Initiatives Can Make

Social and Emotional Skills a Focal Point of Children's Education. Economic Policy

Institute.

Gilman, R., & Huebner, E.S. (2006).

Characteristics of adolescents who report very high life satisfaction. Journal of Youth

and Adolescence, 35, 311-319.

Glied, S., & Pine, D.S. (2002). Consequences and correlates of adolescent depression. Archives of Pediatric Adolescence Medicine,

156, 1009-1014.

Inglehart, R., Foa, R., Peterson, C. & Welzel,

C. (2007) Development, freedom, and rising happiness: a global perspective,

Perspectives on Psychological Science, 3, 264-

285.

Isen, A.M. (2003). Positive affect, systematic

cognitive processing, and behavior: Toward integration of affect, cognition,

and motivation. In F. Dansereau and F.J. Yammarino (Eds.), Multi-level issues in

organizational behavior and strategy (pp.55-

62). Oxford: Elsevier Science.

Jackson, C. K. (2012). Non-cognitive ability, test scores, and teacher quality: Evidence from 9th

grade teachers in North Carolina (NBER

Working Paper No. 18624). Retrieved

from http://www.nber.org/papers/ w18624.

Jennings, J. L., & DiPrete, T. A. (2010). Teacher effects on social and behavioral

skills in early elementary school. Sociology

of Education, 83, 135-159.

Page 16: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

69

Juvonen, J. & Graham, S. (2014). Bullying in

schools: The power of bullies and the plight of victims. Annual Review of

Psychology, 65, 159-85.

King, L.A., Hicks, J.A., Krull, J.L., & Del Gaiso, A.K. (2006). Positive affect and

the experience of meaning in life. Journal

of Personality and Social Psychology, 90, 179-

196. Kuntsche, E., & Ravens-Sieberer, U. (2015).

Monitoring adolescent health behaviours and social determinants cross-nationally

over more than a decade: introducing the Health Behaviour in School-aged

Children (HBSC) study supplement on trends. The European Journal of Public

Health, 25, 1-3. Doi: 10.1093/

eurpub/ckv009 Lounsbury, J. W., Fisher, L. A., Levy, J. J., &

Welsh, D. P. (2009). An investigation of character strengths in relation to the academic success of college students.

Individual Differences Research, 7, 52-69.

Lee, J., & Shute, V. (2010). Personal and social-contextual factors in K-12 academic

performance: An integrative perspective on student learning. Educational

Psychologist, 45, 185-202.

Mischel, W., Shoda, Y., & Peake, P. K. (1988). The nature of adolescent competencies

predicted by preschool delay of gratification. Journal of Personality and

Social Psychology, 54, 687-696.

Moffitt, T. E., Arseneault, L., Belsky, D.,

Dickson, N., Hancox, R. J., Harrington, H., . . . Caspi, A. (2011). A gradient of

childhood self control predicts health, wealth, and public safety. Proceedings of the

National Academy of Sciences of the United

States of America, 108, 2693-2698.

Moilanen, K. L., Shaw, D. S., & Maxwell, K. L. (2010). Developmental cascades:

Externalizing, internalizing, and academic competence from middle

childhood to early adolescence. Development and psychopathology, 22, 635-

653.

Phan, H. P., & Ngu, B. H. (2015). Validating personal well-being experiences at school: a quantitative examination of secondary

school students. Education, 136, 34-52.

Piette D, Maes L, Peeters R, Prevost M, Stevens AM, De Smet P and Smith C (1993) The

WHO-collaborative Study: Health Behaviour in School Children in Belgium.

Methodology and dissemination of data. Archives of Public Health, 51, 387-405.

Rowe, G., Hirsh, J.B., Anderson, A.K. &

Smith, E.E. (2007) Positive affect increases the breadth of attentional

selection. PNAS Proceedings of the National

Academy of Sciences of the United States of

America, 104, 383-388.

Sawyer, M. G., Arney, F. M., Baghurst, P. A., Clark, J. J., Graetz, B. W., Kosky, R. J.,

... & Rey, J. M. (2001). The mental health of young people in Australia: key findings

from the child and adolescent component of the national survey of mental health and well-being. Australian and New Zealand

Journal of Psychiatry, 35, 806-814.

Schonert-Reichl, K. A., Guhn, M., Gadermann, A. M., Hymel, S., Sweiss, L., &

Hertzman, C. (2012). Development and validation of the Middle Years

Development Instrument: Assessing children’s well-being and assets across

multiple contexts. Social Indicators

Research, 114, 345-369. Doi:

10.1007/s11205-012-0149-y Seaton, M., Parker, P., Marsh, H. W., Craven,

R. G., & Yeung, A. S. (2014). The reciprocal relations between self-concept,

motivation and achievement: juxtaposing academic self-concept and achievement

goal orientations for mathematics success. Educational Psychology, 34, 49-72.

Seligman, M.E.P., Ernst, R.M., Gillham, J., Reivich, K., & Linkin, M. (2009). Positive

education: positive psychology and classroom interventions. Oxford Review of

Education, 35, 293-311.

Shochet, I.M., Dadds, M.R., Ham, D., & Montaque, R. (2006). School

connectedness is an underemphasized parameter in adolescent mental health:

Results of a community prediction study. Journal of Clinical Child and Adolescent

Psychology, 35, 170-179.

Soutter, A. K. (2011). What can we learn about wellbeing in school? The Journal of Student

Wellbeing, 5, 1-21.

Stankov, L., Morony, S. & Lee, Y.P. (2014). Confidence: the best non-cognitive

predictor of academic achievement? Educational Psychology, 34, 9-28. Doi:

10.1080/01443410.2013.814194 Suárez-Álvarez, J., Fernández-Alonso, R., &

Muñiz, J. (2014). Self-concept, motivation, expectations, and

socioeconomic level as predictors of academic performance in mathematics.

Learning and Individual Differences, 30, 118-

123.

Page 17: FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR …

PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)

70

Syvertsen, A. K., Flanagan, C. A., & Stout, M.

D. (2009). Code of silence: Students' perceptions of school climate and

willingness to intervene in a peer's dangerous plan. Journal of educational

psychology, 101, 219.

Van Blerkom, M. L. (1996). Academic Perseverance, Class Attendance, and

Performance in the College Classroom. Van der Ploeg, R., Steglich, C. & Veenstra, R.

(2016). The support group approach in

the Dutch KiVa anti-bullying programme: effects on victimisation, defending and

well-being at school, Educational Research, 58:3, 221-236, DOI:

10.1080/00131881.2016.1184949 Warm T.A. (1989). Weighted Likelihood

Estimation of Ability in Item Response Theory. Psychometrika, 54, 427-450.

West, M. R., Kraft, M. A., Finn, A. S., Martin, R. E., Duckworth, A. L., Gabrieli, C. F.,

& Gabrieli, J. D. (2016). Promise and paradox: Measuring students’ non-

cognitive skills and the impact of schooling. Educational Evaluation and

Policy Analysis, 38, 148-170.

Wu, M. L., Adams, R. J., & Wilson, M. R.

(1997). ConQuest: Multi-Aspect Test

Software. Camberwell, Australia:

Australian Council for Educational Research.

Wulfert, E., Block, J. A., Santa Ana, E., Rodriguez,