faktor-faktor kesejahteraan sebagai prediktor …
TRANSCRIPT
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
54
FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN
SEBAGAI PREDIKTOR KEMAMPUAN AKADEMIK
(BAHASA, MATEMATIKA, DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM)
PADA ANAK USIA SEKOLAH DI SURABAYA
Wellbeing Factors for Predicting Academic Achievements (Language, Mathematics,
and Science) among School-Age Children in Surabaya
Margaretha Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Abstract. This research focused on identifying best predictors of education achievements, namely, Language, Mathematics and Science. As a pilot study, about 348 of 8-grade students in Surabaya were assessed on their
wellbeing, relationship and mental health factors by using a comprehensive measure of wellbeing. The
measure was constructed from Middle Years Development Instrument and Health Behaviour in School-aged Children. Multivariate path analysis was used to examine the associations between predictors and the
academic outcomes. The result showed that each of Language, Mathematics and Science has a unique set of
predictors. This study provides a map of contextual factors and their dynamicity in building the pathway toward wellbeing and academic resilience among school-age children in Surabaya. The finding of this study is
expected to support the development of evidence-based intervention for optimizing education attainments via
the improvement of wellbeing among school-age children, which is important for guiding the development of
educational policy in Surabaya.
Keywords: academic achievement, non-cognitive factors, wellbeing factors, school-age children
Abstrak. Penelitian ini berfokus untuk mengidentifikasi prediktor kemampuan akademik, yaitu, Bahasa, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sebagai studi awal, sekitar 348 siswa kelas 8 di Surabaya diukur
kemampuan akademik, kesejahteraan, relasi sosial dan faktor kesehatan mental dengan menggunakan alat ukur kesejahteraan yang komprehensif, yaitu: Middle Years Development Instrument and Health Behaviour in
School-aged Children. Analisis jalur multivariat digunakan untuk menguji hubungan antara prediktor dan
kemampuan akademik. Hasilnya menunjukkan bahwa masing-masing kemampuan akademik, Bahasa,
Matematika, dan Sains memiliki seperangkat prediktor yang unik. Studi ini memberikan peta faktor
kontekstual serta dinamika faktor-faktor non-kognitif dalam membangun kesejahteraan dan kemampuan akademik anak usia sekolah di Surabaya. Temuan penelitian ini diharapkan dapat mendukung pengembangan
intervensi berbasis data ilmiah dalam rangka mengoptimalkan pencapaian pendidikan melalui peningkatan
kesejahteraan di antara anak-anak usia sekolah, yang juga akan mendukung pengembangan kebijakan
pendidikan di Surabaya.
Kata kunci: kemampuan akademik, faktor non-kognitif, faktor kesejahteraan, anak usia sekolah
PENDAHULUAN
Dalam rangka mendukung perkembangan
anak usia sekolah, maka sistem pendidikan perlu menciptakan keseimbangan antara
penyelenggaran program pendidikan akademik dan juga pengembangan keterampilan pribadi
dan sosial; dimana keduanya harus hadir dalam dalam kurikulum sekolah (Atkinson & Hornby,
2002). Akan tetapi, hal ini menjadi lebih sulit dilakukan dalam beberapa tahun terakhir,
karena penekanan utama pendidikan lebih ditempatkan pada tujuan penguatan
kemampuan kognitif. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan telah menjadi sangat
bergantung pada penggunaan tes terstandar
sebagai penentu keberhasilan akademik (high-
stake exam), dan ditambah lagi keinginan
berkompetisi dalam sistem peringkat akademik
di seluruh dunia (misalkan the Programme of
International Student Assessment; PISA). Negara-
negara dan sekolah-sekolah bersaing mencetak skor terbaik di peringkat global tersebut. Fokus
pada tujuan akademik telah menyebabkan berkurangnya peran sekolah dalam hal
pengembangan pribadi, sosial dan moral siswa. Perlu dipahami, keberhasilan akademik
sebenarnya bukan hanya ditentukan oleh faktor kognitif. Inteligensi dianggap sebagai prediktor
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
55
utama dari prestasi akademik. Namun,
meskipun memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi akademik, intelegensi
ditemukan hanya mampu memprediksi sekitar 50% dari prestasi akademik (Suarez-Alavrez,
Fernandez-Alonso, & Muniz, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 50% varian
dijelaskan oleh variabel non-kognitif lainnya. Berbagai penelitian sebelumnya
menunjukkan adanya hubungan positif antara keterampilan non-kognitif dan prestasi
akademik. Binet pada 1916 menemukan bahwa prestasi akademik di sekolah tidak dapat
dijelaskan hanya oleh kecerdasan; tetapi siswa juga harus memiliki kualitas, seperti:
kemampuan fokus, kemauan belajar dan karakter yang baik (Duncan dkk., 2007).
Beberapa peneliti telah mengalihkan perhatian mereka pada faktor psikologis,
kontekstual sosial, dan emosional sebagai prediktor yang prestasi akademik (Lee & Shute,
2010). Payung terminologi digunakan adalah 'keterampilan non-kognitif', yaitu serangkaian
perilaku, sikap, dan strategi yang telah terbukti terkait dengan keberhasilan individu (Garcia,
2014). Pendidik dan pembuat kebijakan pendidikan semakin tertarik dalam
mengembangkan keterampilan non-kognitif siswa dalam mendukung kesuksesan baik di
selama anak di sekolah dan di masa depan (Egalite, Mills, & Greene, 2016).
Sejak itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan bagaimana keterampilan
non-kognitif dapat mempengaruhi prestasi kognitif siswa di sekolah, serta untuk mengukur
dampak keterampilan non-kognitif pada kesehatan mental di kalangan anak usia sekolah. Seperangkat perilaku, sikap, dan
strategi belajar ditemukan sebagai prediktor keberhasilan individu di masa depan disebut
sebagai keterampilan non-kognitif (Garcia, 2014; 2016).
Keterampilan akademik awal dan perilaku sosio-emosional juga ditemukan terkait dengan
prestasi akademik karena kedua kapasitas non-kognitif ini menyediakan dasar untuk adaptasi
kelas yang positif (Cuhna dkk., 2006). Penelitian juga telah menemukan bahwa faktor
kesejahteraan anak dan perilaku positif, seperti harga diri dan locus of control, adalah penentu
penting kesuksesan pada masa kehidupan dewasa (Carneiro, Crawford, & Goodman,
2007; Feinstein, 2000). Temuan-temuan itu telah mengarahkan
langkah menuju penguatan program pengembangan keterampilan non-kognitif di
sekolah. Lebih lanjut, riset juga menemukan
bahwa keterampilan non-kognitif responsif
terhadap intervensi pendidikan (Cunha & Heckman, 2008; Dee & West, 2011; Jackson,
2012). Dampaknya ke masa depan juga menjadi sangat yang penting, seperti: berkembangnya
keterampilan sosial yang efektif (Mischel, Shoda, & Peake, 1988), peningkatan kinerja
pada tugas-tugas akademik (Blackwell, Trzesniewski, & Dweck, 2007; Mischel, Shoda,
& Rodriguez, 1989; Zimmerman, 2000), mengurangi penggunaan rokok, alkohol, dan
ganja (Wulfert dkk., 2002), kesehatan fisik yang lebih baik, serta peningkatan kemampuan untuk
menangani situasi sulit di masa dewasa (Moffitt dkk., 2011).
Salah satu bentuk keterampilan non-kognitif dalam bidang pendidikan yang telah banyak
diteliti adalah konsep diri akademik (academic
self concept). Konsep diri akademik didefinisikan
sebagai persepsi seseorang atas kemampuan akademiknya (Seaton dkk., 2014). Review
literatur membedakan antara 'konsep diri' (harga diri atau kepercayaan diri secara umum)
dan 'konsep diri akademik' (keyakinan tentang kompetensi akademis). Konsep-diri akademik
ditemukan lebih berkaitan erat dengan prestasi akademik daripada konsep diri umum
(Zimmerman, 2000). Sebuah meta-analisis yang komprehensif oleh Valentine dan rekan (2004)
menyimpulkan bahwa konsep diri akademik memberikan dampak positif pada prestasi
akademik anak, namun pengaruhnya tergolong ringan.
Penelitian sebelumnya juga menemukan hubungan positif antara ketekunan dan prestasi
akademik. Ketekunan (perseverance) secara
umum dianggap sebagai kemampuan bekerja
menuju tujuan jangka panjang dan mempertahankan upaya meskipun ada
tantangan. Duckworth dan rekan (2007) menemukan korelasi positif antara ketekunan
dan nilai kuliah (mampu menjelaskan sekitar 4% dari varians dalam prestasi akademik).
Menariknya, setelah mengendalikan variabel seperti usia dan Intelligence Quotient (IQ), hasil
tetap menunjukkan bahwa ketekunan memprediksi keberhasilan akademik lebih baik
daripada IQ. Lounsbury dan rekan (2009) mempelajari 24
kekuatan karakter dalam kaitannya dengan nilai rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dalam
sampel 237 mahasiswa Sarjana. Lima kekuatan karakter adalah prediktor signifikan dari IPK,
yaitu: Ketekunan, Cinta Belajar, Humor, Keadilan dan Kebaikan; semua bersama-sama
menjelaskan tentang 17% variasi dalam IPK. Van Blerkom (1996), dalam sebuah studi
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
56
terhadap 140 mahasiswa sarjana, menemukan
korelasi ringan antara ketekunan dan nilai kuliah.
Konsep yang berkaitan dengan ketekunan adalah disiplin diri. Duckworth dan rekan
(2007) menemukan bahwa disiplin diri dapat memprediksi nilai akhir dan skor tes prestasi di
siswa kelas delapan. Beberapa penelitian juga mengkaji tingkat persistensi anak-anak di taman
kanak-kanak. Data dari Studi Longitudinal Anak Usia Dini, sampel nasional 20.000 anak
di taman kanak-kanak di Amerika Serikat, digunakan untuk mengidentifikasi faktor
prediktif prestasi akademik (West dkk., 2016). Selain faktor sosio-demografi, penelitian ini
menemukan bahwa tingkat penguasaan tugas seorang guru yang berkorelasi dengan prestasi
membaca dan matematika. West dan rekan (2016) menjelaskan bahwa dengan ketekunan,
seorang anak dapat mempertahankan kemampuan untuk tetap fokus dan bersemangat
untuk belajar, dan yang pada gilirannya akan secara positif mempengaruhi kemampuan
akademik mereka, seperti Membaca dan Matematika.
Keterampilan non-kognitif lainnya yang telah banyak diteliti adalah keterampilan
prososial. Kemampuan siswa dalam mengembangkan, mempertahankan hubungan
sosial dengan orang-orang di sekelilingnya ternyata berdampak pada kesejahteraan
akademik. Durlak dan rekan (2011) melakukan meta-analisis lebih dari 200 intervensi yang
ditujukan untuk meningkatkan pembelajaran sosial dan emosional anak-anak dari taman
kanak-kanak sampai sekolah menengah (usia 5-18). Studi ini adalah salah satu tinjauan yang paling ekstensif tentang intervensi prososial di
anak usia sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa peserta didik mendapat manfaat dari
intervensi di sekolah, dan keterampilan prososial meningkat. Di samping itu, siswa
yang berpartisipasi juga menunjukkan prestasi akademik yang lebih tinggi. Garcia (2014)
mengidentifikasi beberapa keterampilan belajar dengan komponen prososial, yang penting
untuk keberhasilan belajar, di antaranya adalah: kehadiran (absensi), kebiasaan kerja, perilaku
mencari bantuan, juga pemecahan masalah sosial dan akademik.
Persepsi tentang iklim sekolah secara keseluruhan juga dianggap sebagai faktor
protektif untuk kesejahteraan siswa (Shochet dkk., 2006; Syvertsen dkk., 2009). Meskipun
menentukan hubungan kausalitas sulit, namun penelitian menemukan bahwa siswa yang
merasa bahwa mereka diterima di sekolah dan
memiliki pengalaman positif di sekolah
cenderung untuk bersekolah lebih sering dan memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi.
Bagian lain dari hidup sebagai seorang anak, juga tentang menghadapi tantangan hidup; dan
ini dapat mengarah pada pengembangan perilaku masalah, baik secara internal
(perubahan suasana hati, perasaan dan pemikiran internal) dan juga eksternal
(perilaku). Survei kesehatan mental remaja global oleh WHO melaporkan bahwa maslah
perilaku dan emosional dialami banyak anak antara usia 4-17 tahun (Sawyer dkk., 2001;
WHO, 2016). Masalah-masalah psikologis ini telah menyebabkan prestasi akademik yang
lebih rendah di antara anak-anak usia sekolah dan dipengaruhi secara negatif dengan
kesejahteraan mereka. Dalam populasi umum, masalah kesehatan mental terutama terdiri dari
perilaku dan masalah emosional selama masa kanak-kanak (Moilanen, Shaw, & Maxwell,
2010). Masalah perilaku biasanya termasuk penolakan, atau perilaku oposisi dengan Guru
dan orang tua, hiperaktif dan agresi, atau sering dikenal sebagai masalah Eksternalisasi, karena
anak-anak menunjukkan manifestasi lahiriah dari masalah mentalnya. Masalah emosional
biasanya termasuk kecemasan, penarikan diri dan depresi; yang sering disebut sebagai
masalah Internalisasi, karena anak-anak mengalami tekanan batin batin yang mungkin
tidak terbuka atau tidak jelas bagi orang lain. Masalah internalisasi seperti masalah afektif
telah ditemukan terkait dengan jumlah hari membolos atau lebih banyaknya hari belajar
dengan gangguan (Galera dkk., 2009; Glied & Pine, 2002). Masalah-masalah eksternalisasi seperti Gangguan Deviant Oposisi dan
Gangguan Perilaku telah dikaitkan dengan berkurangnya produktivitas di ruang kelas
(Fjord dkk., 2008). Di sisi lain, Bullying juga merupakan
fenomena di sekolah. Bullying biasanya
didefinisikan sebagai intimidasi atau penghinaan yang ditargetkan yang tidak dapat
dihindari oleh korban; perlakukan bullying dapat
bersifat fisik, verbal, sosial atau penindasan di
dunia maya. Anak usia sekolah yang mengalami penindasan lebih mungkin
mengalami stres yang tinggi, masalah emosional, dan persoalan psikosomatik, yang
pada gilirannya dikaitkan dengan absen dari sekolah dan prestasi akademik yang lebih
rendah (Juvonen & Graham, 2014; Van der Ploeg, Steglich, & Veenstra, 2016).
Kebahagiaan dan afek positif berperan penting dalam pengalaman hidup manusia
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
57
karena mereka mewakili keadaan yang lebih
disukai secara intrinsik, dan bentuk-bentuk emosi positif ini dapat mengoptimalkan fungsi
hidup manusia lainnya (Isen, 2003; King dkk., 2006). Emosi positif juga penting dimunculkan
di proses pendidikan di sekolah. Riset menemukan bahwa emosi positif menghasilkan
perhatian yang lebih baik, pemikiran yang lebih kreatif dan pemikiran yang lebih holistik (Bolte
dkk., 2003; Fredrickson & Branigan, 2005; Rowe dkk., 2007); dan sebaliknya emosi negatif
yang menghasilkan perhatian yang lebih sempit, berpikir kritis, dan berpikir analitik (Bolte dkk.,
2003). Kedua cara berpikir itu penting, tetapi jika sekolah hanya menekankan pemikiran kritis
dan kurang mengindahkan berpikir kreatif, maka sebagai konsekuensinya, suasana negatif
lebih sering ditemukan di ruang kelas (Seligman dkk., 2009).
Tidak semua siswa memiliki sikap positif terhadap sekolah karena mereka mungkin
mengalami berbagai jenis masalah mental dalam kehidupan mereka walaupun
keterampilan kognitif mereka tergolong baik. Siswa yang merasa bahwa mereka memiliki
sedikit kendali atas kinerja ujian mereka, akan rentan terhadap suasana hati atau emosi negatif,
seperti: keputusasaan dan ketidakbahagiaan (Buric & Soric, 2012). Gilman dan Huebner
(2006) menemukan bahwa kepuasan hidup yang tinggi akan relatif stabil daripada suasana
hati yang positif, dan lebih memiliki dampak yang signifikan pada fungsi adaptasi psikososial
serta lebih sedikit masalah emosional dan perilaku.
Kepuasan hidup, sebagai salah satu indikator kunci kesejahteraan subjektif, didefinisikan sebagai penilaian umum subjektif individu atas
perasaan dan sikapnya mengenai kehidupannya pada satu titik waktu tertentu, dan valensinya
berkisar dari negatif hingga positif. Persepsi atas prestasi sekolah, kepuasan hidup, dan
penyesuaian psikologis telah ditemukan saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain
(Inglehart dkk., 2007; Isen, 2003). Selanjutnya, siswa dengan kepuasan hidup yang tinggi akan
memiliki harapan yang lebih besar dan mengalami sedikit tekanan intrapersonal
daripada siswa dengan kepuasan hidup yang rendah (Gilman & Huebner, 2006). Dengan
demikian, emosi positif dan kepuasan hidup dapat dianggap sebagai indikator utama
kesejahteraan subyektif (subjective wellbeing;
SWB).
Selain emosi positif terhadap kehidupan, penghayatan hidup yang baik juga dapat
ditunjukkan oleh sikap positif bahkan dalam
menghadapi kesulitan, ini dikenal sebagai
kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing;
PWB). PWB dalam konteks pendidikan menekankan pada pentingnya mempertahankan
keadaan siswa yang positif, seperti: suasana hati dan sikap yang positif, resiliensi, kepuasan atas
diri sendiri dan juga atas hubungan dengan orang di sekitarnya, serta pengalaman di
sekolah (ACU dan Erebus International, 2008). Definisi PWB ini relatif umum dan mencakup berbagai atribut serta pengalaman yang
mencerminkan motivasi, resiliensi, afeksi, dan perilaku adaptif (Fraillon, 2004; King dkk.,
2006; Phan & Ngu, 2015; Soutter, 2011). Farrington dan rekan (2012) meneliti
pengendalian diri, dan ketekunan sebagai keterampilan non-kognitif yang penting atas
prestasi pendidikan. Mereka juga menemukan bahwa keterampilan non-kognitif berinteraksi
satu sama lain dan mengarahkan siswa untuk terlibat dalam perilaku yang lebih pro-
akademik, seperti menghadiri sekolah, menyelesaikan pekerjaan rumah, dan belajar;
dan hal-hal ini dapat menghasilkan pencapaian akademik yang lebih baik.
Jennings dan Di Prete (2010) menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki tingkat sikap
belajar yang positif akan belajar lebih banyak di sekolah daripada anak-anak yang sikap
belajarnya lebih negatif. Stankov, Morony dan Lee (2014) menunjukkan bahwa keyakinan diri
adalah prediktor non-kognitif terbaik atas kemampuan matematika dalam PISA 2003.
Berbagai temuan empiris ini semakin menegaskan bahwa penumbuhan keterampilan
non-kognitif ini sangat penting dan akan memiliki konsekuensi jangka panjang yang baik
melalui pendidikan di masa usia sekolah. Banyak penelitian juga telah menunjukkan
korelasi yang kuat antara keterampilan kognitif dan non-kognitif. West dan rekan (2015)
melakukan meta-analisis studi pada keterampilan non-kognitif, dan menemukan
bahwa atribut non-kognitif, seperti: keyakinan diri (self-efficacy), kontrol diri dan keterampilan
pro-sosial adalah prediktor kuat kemampuan akademik siswa, bahkan setelah mengendalikan
faktor kemampuan kognitif dan faktor demografi (Duckworth, Tsukayama, & Mei,
2010). Salah satu penjelasan potensial mengenai
hubungan positif antara keterampilan non-kognitif dan prestasi akademik disampaikan
oleh Deci dan rekan (1985). Mereka mengusulkan bahwa faktor non-kognitif
berfungsi sebagai faktor yang mempengaruhi proses pengaturan pembelajaran. Misalnya,
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
58
kemampuan determinasi diri, merupakan
keterampilan non-kognitif yang mendukung perilaku dengan motivasi intrinsik seperti
terlibat dalam pembelajaran, karena siswa akan senang melakukan belajar yang telah menjadi
pilihan pribadinya. Sebaliknya, tindakan-tindakan yang bermotivasi eksternal hanya akan
dikerjakan untuk mendapatkan hadiah atau untuk menghindari hukuman. Artinya,
memiliki keterampilan non-kognitif akan memungkinkan siswa untuk menghasilkan
perilaku berdasarkan motivasi intrinsik dan hal inilah yang akan mendukung kinerja kognitif
mereka. Namun, penelitian lain juga menemukan
bahwa keterampilan non-kognitif rentan terhadap perubahan dari lingkungan,
pengalaman hidup, dan interaksi sosial. Misalnya, interaksi antara faktor psikologis dan
kontekstual dengan kemampuan akademik di masing-masing masa tahapan perkembangan
akan bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi prediktor terbaik (faktor-faktor kesejahteraan, faktor protektif dan problem
psikologis) atas kemampuan akademik Bahasa, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA). Dengan memetakan faktor kontekstual dan memahami dinamika unik pada masing-
masing kemampuan akademik, maka dapat dipahami proses menuju ke resiliensi dan
kesehatan mental pada anak usia sekolah (Lee & Shute, 2010). Penelitian ini mengajukan
hipotesa bahwa Bahasa, Matematika dan IPA akan memiliki seperangkat prediktor yang unik
dan dengan dinamikanya yang khas.
METODE
Alat ukur disusun oleh peneliti dari tinjauan literatur tentang MDMI dan HBSC. Proses
adaptasi dilakukan dengan dimulai dari upaya menerjemahkan materi ke Bahasa Indonesia.
Peneliti utama bekerja dengan 3 asisten peneliti yang memiliki pengetahuan tingkat lanjut atas
Bahasa Inggris. Setiap orang menerjemahkan item secara independen, membandingkan
terjemahan, mendiskusikan setiap item untuk menemukan kesepakatan makna kata dan
kalimat, lalu melakukan penerjemahan ulang. Setelah itu, peneliti dan asisten peneliti
mengkaji dan menyempurnakan terjemahan akhir.
Untuk studi pilot, draft pertama disurvei
kepada 5 siswa SMP untuk mendapatkan
umpan balik langsung pada pemahaman mereka tentang item. Revisi item dilakukan
setelah penerimaan umpan balik tersebut.
Pengambilan data dilakukan dengan cara
online survey. Survei ini dilakukan di sekolah
yang dikoordinasi oleh tiga mahasiswa psikologi dengan bantuan supervisi dari para
guru. Siswa diberitahu bahwa partisipasi itu bersifat sukarela. Tak satu pun dari siswa kelas
8 menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, dan tidak ada kompensasi keuangan yang
ditawarkan selain pensil, sebagai suvenir per orang. Semua alat ukur telah lulus review oleh kantor Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan
telah disetujui oleh otoritas sekolah. Sampel adalah 348 siswa yang terdiri dari
182 anak perempuan (52,3%) dan 166 anak laki-laki (47,7%). Dengan usia rata-rata dari sampel
penelitian ini adalah 12 tahun (M = 12,97, SD = .45), semuanya adalah siswa kelas 8 dari
sekolah menengah pertama di Surabaya (lihat tabel 2 untuk data deskriptif). Berkenaan
dengan nilai-nilai yang hilang, semua variabel dalam penelitian ini hanya memiliki kurang dari
10% data yang hilang dan ditemukan hilang secara acak. Oleh karena itu, data dianggap
tepat untuk analisis lebih lanjut. Dalam analisis jalur multivariat, penelitian ini melakukan
Imputasi Rerata (mean imputation) pada setiap
item yang dianggap hilang.
Penelitian ini mengumpulkan data pada 4 kelompok variabel, seperti: 1) prestasi
akademik, 2) faktor kesejahteraan sosial, 3) faktor kesehatan mental, dan 4) hubungan
protektif (lihat tabel 1 untuk daftar variabel). Pertanyaan survei terutama berasal dari bagian-
bagian dari Middle Years Development Instrument
yang dibuat di Human Learning Partnership,
Universitas British Columbia, Kanada oleh
Kimberly Schonert-Reichl (Schonert-Reichl dkk., 2012).
Selain itu, beberapa aitem juga berasal dari
Perilaku Kesehatan Anak Usia Sekolah atau Health Behaviour in School-aged Children (HBSC;
Aarø et al., 1986) yang dikembangkan oleh
World Health Organization (Kuntcshe & Ravens-Sieber, 2015; Piette dkk., 1993; Aarø
dkk., 1986). Koefisien reliabilitas semua skala
pengukuran kesejahteraan dan keterampilan non-kognitif tergolong memuaskan, kecuali untuk masalah Hyperactivity dan Peer problem
dari Strength and Difficulties Questionnaires.
Namun, ini mungkin disebabkan karena rendahnya laporan masalah psikologis ini
dalam sampel penelitian ini. Kemampuan akademik. Prestasi akademik
diukur menggunakan nilai rapor dari semester akhir di kelas 7. Penelitian ini berfokus pada 3
mata pelajaran, Bahasa Indonesia sebagai
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
59
prestasi akademik untuk Bahasa, dan juga
Matematika dan IPA. Skor prestasi akademik dihitung dari semua penilaian dari seluruh
tahun pendidikan; sehingga ditempatkan sebagai indikator keseluruhan kinerja akademik.
Skala yang digunakan setara dengan persentil dari 0 hingga 100. Siswa dengan nilai akademik
yang hilang dikeluarkan dari analisis data. Skala Kesejahteraan Subyektif dan Kepuasan
Hidup. Skala Kepuasan Hidup menggunakan
Subjective Wellbeing and Life Satisfaction (SWLS;
Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985) telah diuji properti psikometriknya oleh berbagai
penelitian sebelumnya. Item SWLS meminta individu memberikan respon tentang sejauh
mana mereka setuju atau tidak setuju dengan pernyataan tertentu. Setiap pernyataan
dirancang khusus untuk menangkap kepuasan atas kehidupan. Setiap item dijawab pada skala
1-7 yang berkisar dari Sangat Tidak Setuju hingga Sangat Setuju. Skor kumulatif tinggi
menunjukkan kepuasan terhadap kehidupan. Skor total akan dihitung untuk mendapatkan
mean SWLS. Kesejahteraan Psikologi. Skala Kesejahteraan
Psikologis menggunakan skala Psychological Wellbeing (PWB; Diener dkk., 2009). Skala
terdiri dari delapan item yang menggambarkan aspek penting dari fungsi manusia mulai dari
hubungan positif, perasaan kompetensi, hingga memiliki arti dan tujuan dalam kehidupan.
Setiap item dijawab pada skala 1-7 yang berkisar dari Sangat Tidak Setuju hingga Sangat
Setuju. Semua item dituliskan dalam arah yang positif. Skor tinggi menandakan bahwa
responden memandang diri mereka sangat positif di berbagai bidang fungsi dan kekuatan.
Skor total akan dihitung untuk mendapatkan mean PWB.
Kebahagiaan. Para siswa menunjukkan
sejauh mana mereka mengalami perasaan
bahagia yang positif. Empat item dengan skala 1-5 digunakan untuk mengukur kebahagiaan,
misalnya: "Saya merasa bahagia". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin
kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk
mendapatkan mean kebahagiaan. Optimisme. Para siswa menunjukkan sejauh
mana mereka mengalami perasaan optimis positif. Empat item dengan skala 1-5 digunakan
untuk mengukur optimisme, misalnya: "Saya optimis tentang masa depan saya". Format
tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5
(sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk mendapatkan mean optimisme.
Kesedihan. Para siswa menunjukkan sejauh
mana mereka mengalami perasaan sedih yang
negatif. Tiga item dengan skala 1-5 digunakan untuk mengukur kesedihan, misalnya: "Saya
merasa tidak bahagia banyak waktu". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin
kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk
mendapatkan mean optimisme. Kekhawatiran. Para siswa menunjukkan
sejauh mana mereka mengalami perasaan khawatir atau cemas negatif. Empat item skala
1-5 yang digunakan untuk mengukur kekhawatiran, misalnya: "Saya khawatir banyak
tentang hal-hal di rumah". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum
dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk
mendapatkan mean kekhawatiran. Keterlibatan kognitif. Para siswa menunjukkan
sejauh mana mereka telah terlibat secara kognitif (cognitive engagement) dengan studi dan
karya mereka di sekolah. Lima item digunakan untuk mengukur keterlibatan kognitif misalnya:
"Ketika saya menemukan sesuatu yang sulit, maka saya mencoba cara lain". Format
tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5
(sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk mendapatkan rerata keterlibatan kognitif.
Flow. Para siswa menunjukkan sejauh mana
mereka telah merasakan secara optimal selama
belajar dan bekerja di sekolah. Tiga item skala 1-5 digunakan untuk mengukur flow misalnya:
"Ketika saya mempelajari sesuatu yang baru, saya kehilangan jejak berapa banyak waktu
yang telah berlalu". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1
(sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk mendapatkan
mean flow.
Ketekunan. Para siswa menunjukkan sejauh
mana mereka telah mengalami ketekunan (perseverance) dalam menyelesaikan studi mereka
dan bekerja di sekolah. Tiga item 1-5 digunakan
untuk mengukur ketekunan misalnya: "Saya menyelesaikan apa pun yang saya mulai".
Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan
dihitung untuk mendapatkan mean ketekunan. Regulasi emosi. Para siswa menunjukkan
sejauh mana mereka telah mengalami
kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan emosi mereka. Empat item 1-5
digunakan untuk mengukur regulasi emosi misalnya: "Ketika saya ingin merasa kurang
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
60
buruk (misalnya sedih, marah atau khawatir)
tentang sesuatu, saya mengubah cara saya memikirkannya". Format tanggapan untuk item
berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju).
Skor total akan dihitung untuk mendapatkan rerata pengaturan emosi.
Konsep diri akademik. Para siswa
menunjukkan sejauh mana mereka memperoleh konsep diri yang positif tentang kemampuan mereka dalam melakukan studi dan bekerja di
sekolah. Tiga item dengan skala 1-5 digunakan untuk mengukur konsep diri akademik,
misalnya: "Bahkan jika pekerjaan di sekolah sulit, saya bisa mempelajarinya". Format
tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5
(sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk mendapatkan rata-rata konsep diri akademik.
Persepsi hubungan dengan Orangtua. Para siswa
menunjukkan sejauh mana mereka telah
mengalami dukungan emosional dan kritik dari orang tua mereka. Dua-belas buah pernyataan
yang digunakan untuk mengukur hubungan protektif dan resiko dengan ayah dan ibu,
misalnya: "Ibu menenangkan saya ketika saya marah" untuk memahami hubungan dengan ibu
dan "Ayah menenangkan saya ketika saya kesal" untuk memahami hubungan dengan
Ayah. Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak
setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung per dimensinya, untuk mendapatkan
mean dukungan orangtua dan kritik orang tua. Hubungan protektif dengan Guru. Para siswa
menunjukkan sejauh mana mereka telah mengalami keterlibatan emosional dan
dukungan dari guru mereka di sekolah. Lima item digunakan untuk mengukur hubungan
protektif dengan guru, misalnya: "Sebagian besar guru saya benar-benar mendengarkan apa
yang harus saya katakan". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum
dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk
mendapatkan mean hubungan protektif dengan guru.
Hubungan Protektif dengan Teman sebaya. Para
siswa menunjukkan sejauh mana mereka telah
menerima interaksi positif dan penerimaan dengan rekan-rekan mereka. Lima item
digunakan untuk mengukur hubungan protektif dengan teman sebaya, misalnya: "Saya memiliki
teman sebaya yang saya bisa ceritakan tentang segala hal". Format tanggapan untuk item
berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju).
Skor total akan dihitung untuk mendapatkan
mean hubungan dengan teman sebaya. Hubungan Protektif dengan Sekolah. Para siswa
menunjukkan sejauh mana mereka peduli dan
memiliki perasaan positif terhadap sekolah. Lima item digunakan untuk mengukur
hubungan protektif di sekolah, termasuk item berikut: "Guru dan siswa memperlakukan satu
sama lain dengan hormat di sekolah ini". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin kontinum dari 1 (sangat tidak
setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk mendapatkan rata-rata
hubungan protektif dengan sekolah. Religiusitas. Para siswa menunjukkan sejauh
mana mereka menganggap pentingnya
mempraktekkan agama mereka dalam kehidupan sehari-hari mereka dan ketika
berhadapan dengan masalah. Empat item digunakan untuk mengukur religiusitas, misalnya: "Penting bagi Anda untuk berdoa
ketika Anda memiliki masalah pribadi". Format tanggapan untuk item berkisar sepanjang 5-poin
kontinum dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Skor total akan dihitung untuk
mendapatkan mean religiusitas. Faktor kesehatan mental. Strength and
Difficulties Questionnaires (SDQ; Goodman,
1997) digunakan untuk mengukur masalah psikologis yang ditangani oleh siswa. Ada
empat masalah psikologis yang diukur, seperti: masalah emosional (mis. “Saya khawatir
banyak”), melakukan masalah (mis. “Saya sangat marah dan sering kehilangan
kesabaran”), Hiperaktif (mis. “Saya gelisah, Saya tidak bisa tinggal diam untuk "" panjang,
dan masalah teman sebaya (mis. "Anak-anak lain atau orang muda memilih pada saya atau menggertak saya"). Selain itu, SDQ juga
mengukur kekuatan pribadi atau perilaku prososial (mis. Saya mencoba bersikap baik
kepada orang lain. Saya peduli dengan perasaan mereka “). Setiap indikator dinilai oleh 5 item
dalam skala tiga poin (1 = tidak benar, 2 = agak benar, 3 = benar). Item dalam setiap per
dimensi dijumlah lalu dicari nilai reratanya, baik pada masing-masing masalah psikologis
dan juga perilaku prososial. Bullying. Para siswa menunjukkan sejauh
mana mereka telah mengalami intimidasi atau penghinaan yang tidak dapat dihindari atau
dipertahankan secara fisik, verbal, sosial atau penindasan maya. Skala empat item yang
digunakan untuk mengukur bullying, misalnya:
"seberapa sering Anda telah diganggu oleh siswa lain dengan cara fisik". Format respons
untuk item berkisar sepanjang skala 5 poin (1 =
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
61
tidak pernah, 2 = satu atau dua kali, 3 = hampir
setiap bulan, 4 = hampir setiap minggu, 5 = beberapa kali seminggu). Skor total akan
dihitung untuk mendapatkan mean bullying.
Faktor demografis. Penelitian ini mengumpulkan usia, jenis kelamin, dan status
sosial-ekonomi orang tua (SES). Pertanyaan penelitian ini dibahas dalam dua
langkah. Pertama, properti psikometrik alat ukur
yang digunakan dalam penelitian ini.
Exploratory Factor Analysis (EFA) digunakan
untuk mengkonfirmasi konstruk laten dengan
menggunakan IBM SPSS versi 21. Kedua,
korelasi dan analisis regresi hierarkis dilakukan
pada faktor kesejahteraan, faktor kesehatan mental dan faktor hubungan protektif dengan
menggunakan IBM SPSS versi 21. Hal ini dilakukan untuk memetakan model yang
diujikan. Ketiga, analisis jalur multivariat
dilakukan dengan menggunakan IBM AMOS
versi 21. Model ini digunakan untuk menjelaskan kemampuan akademik anak usia
sekolah di Surabaya. Analisis jalur multivariat dipilih karena merupakan pendekatan statistik
komprehensif untuk menguji hipotesis tentang hubungan antar variabel. Penelitian ini
menggunakan skor faktor yang diperoleh dari analisis faktor.
Table 1. Daftar nama variabel penelitian
Nama variabel Singkata
n
Reliabi
litas
Kemampuan
akademik
Bahasa Bahasa
Matematika Mat Ilmu Pengetahuan
Alam IPA
Faktor
kesejahteraan
Kesejahteraan psikologis
PWB .87
Kesejahteraan subyektif dan kepuasan
hidup
SWLS .78
Kebahagiaan Happy .83
Optimisme Optimism
.77
Kesedihan Sad .74 Kekhawatiran Worry .78 Keterlibatan kognitif CogEng .74 Flow Flow .71
Ketekunan Perse. .63 Regulasi Emosi EmoReg
. .77
Konsep diri akademik
ASC .70
Faktor relasi
protektif
Dukungan orang tua RelSupport
.76
Kritik orang tua RelCritic
ism
.81
Hubungan dengan Guru
RelTeacher
.80
Hubungan dengan
teman sebaya
RelPeer .83
Hubungan dengan
sekolah
RelScho
ol
.77
Religiusitas Relig. .71
Faktor Kesehatan
Mental
Pro-sosial ProSoc. .66 Masalah Emosional Emo.pro
b .65
Masalah Perilaku Con.pro
b
.65
Hyperactivity Hyp.prob
.43
Problem teman sebaya
Peer.prob
.43
Bullying Bully .60
Keterangan: Koefisien Alpha dilaporkan untuk
reliabilitas.
HASIL Statistik deskriptif
Deskriptif disajikan pada Tabel 2. Sebagai pemeriksaan normalitas, tes Kolmogorov
Smirnov digunakan; dan penelitian ini menemukan semua variabel secara signifikan
menyimpang dari distribusi normal (p <.05).
Namun, dari indeks lain, seperti: kemiringan, dan kurtosis (lihat tabel 2), juga inspeksi visual,
penelitian ini menemukan bahwa penyimpangan masih dalam kisaran yang dapat
diterima (kurang dari ± 2). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan data kasar untuk analisis parametrik utama.
Tabel 3 memberikan perbandingan mean berdasarkan gender, bersama dengan Cohen d
sebagai ukuran ukuran efek (partial eta squared).
Hasil menunjukkan perbedaan gender yang signifikan untuk prestasi akademik pada
Bahasa, tetapi tidak signifikan untuk Matematika dan IPA. Anak perempuan
umumnya mendapat nilai lebih tinggi pada Bahasa dan juga pada beberapa indikator
kesejahteraan sosial dan emosional, seperti: PWB, Optimisme, Keterlibatan Kognitif,
Ketekunan, Regulasi Emosi, Konsep Diri Akademik, Religiusitas.
Anak laki-laki melaporkan perilaku pro-sosial yang lebih tinggi dan lebih banyak
problem perilaku dan masalah bullying
dibandingkan dengan anak perempuan. Dalam
hal masalah psikologis, anak perempuan melaporkan masalah emosional lebih tinggi
daripada anak laki-laki. Anak perempuan juga melaporkan memiliki lebih banyak dukungan
dari Guru dan teman sebaya daripada anak laki-laki. Namun, perlu dicatat bahwa efek
perbedaannya lemah. Pola temuan perbedaan gender ini menunjukkan pentingnya gender
dimasukkan dalam analisis statistik selanjutnya.
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
62
Pengurangan Data Properti psikometrik dari semua variabel
penelitian dianalisis dengan menggunakan
EFA. Data disajikan dalam lampiran tabel 1 hingga 3. Dari EFA, penelitian ini menemukan
hampir semua variabel laten cukup untuk menjelaskan varians dalam konstruksi yang
diukur (nilai varians > 40%). Namun, masalah Hyperactivity, yang diukur dengan SDQ,
ditemukan sedikit di bawah standar skor varian dijelaskan (38,45%). Ini juga mungkin terkait
dengan rendahnya laporan masalah Hiperaktif dalam sampel penelitian ini. Namun, ini dapat
diterima, karena problem psikologis tidak terjadi terlalu sering dan intensif dalam populasi
normal. Oleh karena itu, data hasil pengukuran dimasukkan dalam analisa data, namun perlu
pemahaman kritis dalam menginterpretasikan hasilnya. Skor laten dari analisa faktor variabel
yang digunakan untuk analisis lebih lanjut.
Korelasi antara faktor kesejahteraan,
hubungan protektif dan masalah psikologis
pada anak usia sekolah di Surabaya Sebagai langkah awal, matriks korelasi
Pearson two-tailed disajikan pada Tabel 4.
Kemampuan akademik berkorelasi ringan
dengan faktor kesejahteraan, faktor hubungan protektif dan faktor kesehatan mental. Namun,
perlu dipahami bahwa masing-masing kemampuan akademik berkorelasi dengan
faktor kesejahteraan yang berbeda-beda. Lalu, analisis regresi dilakukan untuk
menguji kemampuan prediksi faktor kesejahteraan, faktor hubungan protektif dan
faktor kesehatan mental pada kemampuan akademik (lihat tabel 5). Analisa regresi
menunjukkan bahwa setiap kemampuan akademik diprediksi oleh berbagai variabel yang
berbeda. Nilai Bahasa dapat diprediksi berdasarkan jenis kelamin, keterlibatan kognitif, flow, kritik orang tua, dan juga oleh kemampuan
akademik dalam mata pelajaran lainnya.
Kemampuan matematis dapat dijelaskan secara unik oleh kapasitas pro-sosial, kekhawatiran,
masalah emosional, masalah perilaku, dan kritik orang tua. Sementara IPA diprediksi oleh
masalah emosional anak, kekhawatiran, keterlibatan kognitif, dan kritik orang tua.
Faktor kesejahteraan, hubungan protektif,
faktor kesehatan mental dan faktor demografik mampu menjelaskan sekitar 11% untuk Bahasa,
sekitar 8% untuk Matematika dan hanya sekitar 1% dari varian dalam IPA. Sebagian besar
prediksi berasal dari hasil berupa nilai lain, yang menunjukkan pengaruh besar aspek kognitif
pada kemampuan akademik (sekitar 33-35%).
Dari temuan ini, model awal dibangun (lihat gambar 1).
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
63
Tabel 2. Data deskriptif variable penelitian Variabel Min. Max. M (SD) Skewness
(SE) Kurtosis (SE)
Bahasa Mat IPA
Demografik
Usia 12 14 12.97 -.12 (.13) 2.07 (.26) .02 -.05 -.05
SES 1 6 4.14 -.17 (.13) -.81 (.27) .02 -.03 -.05
Kemampuan akademik
Bahasa 84 95 88.18 (2.22) .70 (.13) -.28 (.21) .42** .44** Mat 80 99 87.14 (4.05) .38 (.13) .21 (.26) .54**
IPA 84 97 91.06 (2.95) -.20 (.13) -.76 (.26)
Faktor kesejahteraan
SWLS 2 7 5.11 (.99) -.66 (.13) .29 (.26) .02 -.03 .00 PWB 3 7 5.76 (.73) -.32 (.13) -.33 (.26) .12* .02 -.02 Happy 1 5 3.74 (.81) -.14 (.13) -.89 (.26) .10 .00 -.01 Optimism 2 5 4.16 (.69) -.59 (.13) -.46 (.26) .11* .05 -.02 Sad 1 5 3.24 (.71) -.26 (.13) .58 (.26) -.03 -.01 -.01
Worry 1 5 3.75 (.74) -.52 (.13) .45 (.26) -.05 -.14** -.09 CogEngt 2 5 3.72 (.69) .02 (.13) -.81 (.26) .24** .08 .07 Flow 1 5 3.33 (.94) -.14 (.13) -.59 (.26) .19** .06 .03 Perse. 2 5 4 (.55) -.08 (.13) -.57 (.26) .19** .09 .03 EmoReg 2 5 4.13 (.63) -.33 (.13) -.51 (.26) .11* -.00 -.03 ASC 2 5 4.10 (.61) -.35 (.13) -.59 (.26) .16** .14** .08
Protective Relationship factors
RelSupport 1 5 4.36 (.51) -.90 (.13) .66 (.26) .05 .03 -.02 RelCriticism 1 5 3.72 (.74) -.51 (.13) .06 (.26) -.09 -.14** -.09 RelTeacher 1 5 3.10 (.54) -.30 (.13) -.58 (.26) .06 -.02 -.10 RelPeer 1 5 4.28 (.72) -1.11 (.13) 1.46 (.26) .15** .06 -.02
RelSchool 1 5 3.93 (.53) .17 (.13) -.33 (.26) .03 -.04 -.05 Relig. 3 5 4.65 (.38) -1.11 (.13) 1.05 (.26) .12* -.05 -.05
Mental health factors
ProSoc. 1 3 2.56 (.33) -.39 (.13) -.79 (.26) .06 -.07 -.03 Emo.prob 1 3 1.80 (.44) .30 (.13) -.49 (.26) .00 -.00 -.09*
Con.prob 1 3 1.52 (.29) .59 (.13) -.26 (.26) -.03 -.11* .01
Hyp.prob 1 3 1.86 (.36) -.09 (.13) -.33 (.26) .02 -.03 -.10 Peer.prob 1 3 1.88 (.25) .53 (.13) .07 (.26) .02 .08 .04 Bully 1 4 1.52 (.53) 1.55 (.13) 2.92 (.26) -.04 .05 -.00
Keterangan: N= 348. Min.= Skor Minimum, Max.= Skor Maximum, M= Mean, SD= Standard deviation, SE= Standar kesalahan. Koefisien korelasi antara kesejahteraan dengan Bahasa, Matematika dan IPA. * = p < .05, ** = p < .01
Tabel 3. Perbandingan mean antar gender
Keterangan: a = mean anak perempuan lebih tinggi daripada mean anak laki-laki. b = mean anak laki-laki lebih tinggi daripada mean anak perempuan.
Variabel Perempuan Laki-laki Effect size
Kemampuan akademik
Bahasa 88.91a 86.83 .04 Mat 86.96 85.76 .00 IPA 90.16 89.86 .00
Faktor kesejahteraan
PWB 5.88a 5.62 .03 SWLS 5.16 5.04 .00 Happy 3.80 3.67 .00 Optimism 4.25a 4.07 .01 Sad 3.22 3.26 .00
Worry 3.79 3.71 .00 CogEng 3.80a 3.64 .01 Flow 3.32 3.64 .00 Perse. 4.08a 3.91 .02 EmoReg. 4.24a 4.01 .03 ASC 4.18a 4.00 .02
Faktor relasi protektif
RelSupport 4.39 4.33 .00 RelCriticism 3.66 3.79 .00 RelTeacher 3.16a 3.03 .01 RelPeer 4.46a 4.07 .07
RelSchool 3.95 3.90 .00 Relig. 4.70a 4.60 .02
Faktor Kesehatan Mental
ProSoc. 1.45 1.60b .08 Emo.prob 1.86a 1.72 .02
Con.prob 1.48 1.56b .01 Hyp.prob 1.88 1.83 .00 Peer.prob 1.89 1.86 .00 Bully 1.45 1.60b .02
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
64
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
65
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
66
Analisis Model Jalur Model pertama diuji (lihat gambar 1) yang
terdiri dari jalur yang signifikan dan tidak
signifikan (tabel 6). Seperti yang diharapkan, kemampuan Bahasa diprediksi berdasarkan
jenis kelamin, keterlibatan kognitif, aliran, persepsi kritik orang tua, dan juga oleh
pencapaian dalam mata pelajaran akademik lainnya. Kemampuan Matematika juga
dijelaskan secara unik oleh banyak faktor, seperti: kemampuan pro-sosial, kekhawatiran,
masalah emosional, masalah perilaku, dan kritik orangtua yang dirasakan anak. Sementara
IPA diprediksi oleh masalah emosional anak, kekhawatiran, keterlibatan kognitif, dan kritik
orang tua yang dirasakan anak. Penelitian ini menggunakan beberapa indeks
modifikasi (modification indices) untuk
meningkatkan model. Beberapa jalur tidak
langsung menuju prestasi akademik ditemukan menjadi signifikan. Selain itu, beberapa
kovarian pada pengukuran kesalahan (error
measurement) juga ditentukan, dan modifikasi ini
telah secara signifikan meningkatkan kekuatan
model. Dengan demikian, model akhir ditetapkan (lihat gambar 2). Hasil dari prosedur
Structural Equation Modelling (SEM) terakhir
disajikan pada Tabel 7. Indeks goodness-of-fit
menghasilkan rasio chi-square/derajat-kebebasan
(χ2/df) sebesar 1,61, Comparative Fit Index
(CFI)= 0,97, dan TLI (Tucker-Lewis)= ,97.
Dengan Root Mean Square Error of Approximation
(RMSEA=,04. χ2 (89, N = 348) untuk model
terakhir adalah 144 (p <.001).
PEMBAHASAN Penelitian ini mendukung secara empiris
mengenai pengaruh faktor kesejahteraan atas kemampuan akademik anak usia sekolah.
Bahasa ditemukan diprediksi berdasarkan jenis kelamin; di mana anak perempuan memperoleh
skor lebih tinggi daripada anak laki-laki. Hasil ini mengkonfirmasikan studi sebelumnya pada
efek gender pada kemampuan Bahasa. Menariknya, tidak ada perbedaan gender yang
signifikan yang ditemukan pada Matematika dan IPA dalam sampel penelitian ini. Namun,
hasil ini masih harus dikonfirmasi dalam sampel dengan jumlah yang lebih besar.
Kemampuan matematika sebagian besar diprediksi oleh kekhawatiran, dan masalah
emosional. Bahkan, pada sampel ini ditemukan anak-anak yang memiliki keterampilan prososial yang tinggi menunjukkan kemampuan
Matematika yang sedikit lebih buruk. Tampaknya, anak-anak usia sekolah
berhadapan dengan Matematika dengan
perasaan dan sikap yang lebih negatif. Namun demikian, anak-anak dengan konsep diri yang
baik sebagai pembelajar menunjukkan prestasi yang lebih baik dalam Matematika.
Tabel 7. Model akhir
Parameter
estimate Unstandardized
(SE) Standardi
zed
Bahasa on IPA .31 (.15) .42*** Flow .33 (.09) .15*** CognEng .30 (.09) .14***
Gender -1.42 (.19) -.32*** Mat on Bahasa .38 (.08) .20*** IPA .60 (.06) .44*** ConductProb -.51 (.18) -.12*** EmoProb .61 (.20) .15***
Worry -.49 (.19) -.12*** ASC .54 (.18) .13*** ProSoc -.51 (.17) -.12*** IPA on RelCriticism -.33 (.15) -.10* ASC on
RelPeer .11 (.04) .11** Flow on EmoProb .57 (.16) .57*** Optimism on
RelPeer .17 (.04) .17*** Worry on
RelCriticism .10 (.03) .09** ProSoc on PWB .42 (.05) .42*** EmoReg .17 (.05) .17*** RelTeacher .20 (.05) .19*** EmoProb on
Worry 1.48 (.22) 1.46***
ProSoc .16 (.05) .16**
CogEng -.24 (.07) .24*** ConductProb
on
Worry .17 (.05) .17*** RelCriticism .17 (.05) .15** CogEng -.16 (.05) -.16** RelTeacher on CogEng .50 (.06) .50***
RelPeer on Gender -.44 (.09) -.22*** CogEng .26 (.05) .26*** PWB on Perse .24 (.04) .24*** EmoProb -.14 (.03) -.14***
Optimism .21 (.04) .21*** Relig .17 (.04) .17*** CogEng .17 (.05) .17***
Keterangan: data tabel ini dapat diinterpretasi seperti membaca tabel regresi. B= koefisien jalur. ß= koefisien
jalur yang terstandar. SE= Standard Error koefisien. * = p
< .05, ** = p < .01, *** = p < .001.
IPA ditemukan hanya diprediksi oleh kritik
orang tua yang dirasakan oleh anak. Hal ini menarik, karena tampaknya prestasi sains dapat
dijelaskan bukan oleh faktor kesejahteraan internal anak melainkan faktor kesejahteraan
eksternal. Temuan ini menunjukkan pentingnya hubungan orangtua-anak pada pembelajaran
anak-anak.
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
67
Selain itu, kritik orangtua juga ditemukan
berpengaruh terhadap kemampuan akademik anak, bahkan lebih kuat daripada pengaruh
dukungan orang tua terhadap kemampuan akademik. Temuan ini mengindikasikan bahwa
pengaruh negatif relasi dengan orang tua ini perlu disikapi dengan hati-hati, sehingga tidak
memberikan dampak kontraproduktif terhadap prestasi akademik anak. Sekolah sebaiknya
dapat bekerja sama dengan orang tua untuk meningkatkan kualitas hubungan mereka
dengan anak-anak. Hubungan dengan guru dan teman sebaya
juga ditemukan memiliki pengaruh tidak langsung terhadap prestasi akademik anak.
Tampaknya dengan memiliki hubungan dekat dengan teman sebaya, anak-anak dapat
memperoleh optimisme, dan konsep diri akademik yang lebih positif. Selain itu,
dukungan yang dirasakan dari guru juga akan meningkatkan keterampilan prososial anak-
anak. Pada gilirannya, baik konsep diri akademik dan keterampilan prososial akan
mempengaruhi prestasi yang lebih baik dalam Matematika.
Temuan penting lainnya dalam penelitian ini adalah pengaruh langsung yang signifikan dari
masalah psikologis, seperti: masalah emosional dan masalah perilaku, pada prestasi akademik,
terutama pada Matematika. Selain itu, masalah psikologis ini ditemukan terkait dengan
perasaan negatif, seperti kekhawatiran. Tetapi beberapa faktor kesejahteraan juga ditemukan
berfungsi sebagai penyangga terhadap masalah psikologis, seperti: keterlibatan kognitif dan
keterampilan prososial. Temuan ini sangat menjanjikan untuk dipelajari lebih lanjut sebagai upaya penyusunan intervensi
pencegahan masalah psikologis anak di sekolah. Secara keseluruhan, penelitian ini
menemukan bahwa faktor kesejahteraan, faktor kesehatan mental dan faktor hubungan protektif
berpengaruh, melalui jalur langsung atau tidak langsung, pada kemampuan akademik di antara
anak-anak usia sekolah di Surabaya. Implikasi penelitian ini untuk sistem
pendidikan adalah bahwa faktor kesejahteraan layak mendapatkan perhatian lebih di sekolah.
Diperlukan perencanaan dan pelaksanaan proses pendidikan yang lebih banyak untuk
menumbuhkan faktor kesejahteraan, seperti: keterlibatan kognitif, perilaku prososial, flow dan
konsep diri akademik. Sekolah tidak boleh hanya fokus pada penyediaan pembelajaran
pengetahuan secara kognitif di sekolah. Lebih banyak program sekolah diperlukan untuk
meningkatkan konsep diri anak-anak sebagai
pembelajar, kemampuan untuk menikmati
pekerjaan dan keterampilan sosial mereka, serta untuk mendapatkan teman dan koneksi sosial.
Dengan demkian, sekolah akan lebih baik memperlengkapi anak-ank usia sekolah untuk
menghadapi masa depan mereka.
Pernyataan: Penelitian ini dilakukan di bawah Payung Penelitian Kesehatan Mental Anak
Usia Sekolah oleh Margaretha, S.Psi., P.G.Dip.Psych., M.Sc., atas kerjasama dan
dukungan antara Fakultas Psikologi Universitas Airlangga dan Dinas Pendidikan Pemerintah
Kota Surabaya serta dari Australia Award Indonesia tahun 2017.
*****
REFERENSI ACU and Erebus International. (2008). Scoping
study into approaches to student
wellbeing: Literature review. Report to the Department o f Education,
Employment and Workplace Relations. Sydney, Australia: Australian Catholic
University. Adams, R. J., Wilson, M. & Wang, W. (1997).
The multidimensional random coefficients multinomial logit model.
Applied Psychological Measurement, 21, 1-
23.
Aarø LE, Wold B, Kannas, L, Rimpelä M.
(1986) Health behaviour in school-children. A WHO cross-national survey.
Health Promotion International, 1, 17-33.
Bolte, A., Goschke, T. & Kuhl, J. (2003)
Emotion and intuition: effects of positive and negative mood on implicit judgments
of semantic coherence, Psychological
Science, 14, 416-421.
Buric ́, I., & Soric ́, I. (2012). The role of test hope and hopelessness in self-regulated
learning: Relations between volitional strategies, cognitive appraisals and
academic achievement. Learning and
Individual Differences, 22, 523–529.
Carneiro, P., Crawford, C., & Goodman, A. (2007). The impact of early cognitive and
non-cognitive skills on later outcomes. In CEE Discussion Paper 00092.
Cunha, F., & Heckman, J. J. (2008).
Formulating, identifying and estimating the technology of cognitive and non-cognitive skill formation. Journal of Human
Resources, 43, 738-782.
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
68
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). The general
causality orientations scale: Self-determination in personality. Journal of
research in personality, 19, 109-134.
Dee, T. S., & West, M. R. (2011). The non-cognitive returns to class size. Educational
Evaluation and Policy Analysis, 33, 23-46.
Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The satisfaction with
life scale. Journal of Personality Assessment,
49, 71-75.
Diener, E., Wirtz, D., Biswas-Diener, R., Tov,
W., et al. (2009). New Measures of Well-Being. Social Indicators Research Series, 39,
247-266. Doi: 10.1007/978-90-481-2354-4 12.
Duckworth, A. L., Tsukayama, E., & May, H. (2010). Establishing causality using
hierarchical linear modeling: An illustration predicting achievement from
self-control. Social Psychological &
Personality Science, 1, 311-317.
Duncan, G. J., Dowsett, C. J., Claessens, A., Magnuson, K., Huston, A. C., Klebanov,
P., ... & Sexton, H. (2007). School readiness and later achievement.
Developmental psychology, 43, 1428.
Durlak, J. A., Weissberg, R. P., Dymnicki, A.
B., Taylor, R. D., & Schellinger, K. B. (2011). The Impact of Enhancing
Students’ Social and Emotional Learning: A Meta-Analysis of School-Based
Universal Interventions. Child
Development, 82, 405-432. Doi:
10.1111/j.1467- 8624.2010.01564.x
Egalite, A. J., Mills, J. N., & Greene, J. P. (2016). The softer side of learning:
Measuring students’ non-cognitive skills. Improving Schools, 19, 27-40.
Farrington, C., Roderick, M., Allensworth, E., Nagaoka, J., Keyes, T. S., Johnson, D., & Beechum, N. O. (2012). Teaching adolescents to become learners: The role of noncognitive
factors in shaping school performance. Chicago,
IL: University of Chicago Consortium on Chicago School Research.
Feinstein, L. (2000). The relative economic importance of academic, psychological and
behavioural attributes developed on childhood.
Centre for Economic Performance, London School of Economics and Political Science.
Fraillon, J. (2004). Measuring student well-being in the context of Australian
schooling: Discussion paper. The
Australian Council for Educational Research,
2, 1-54.
Fredrickson, B.L. & Branigan, C. (2005)
Positive emotions broaden the scope of attention and thought-action repertoires,
Cognition & Emotion, 19, 313-332.
Frojd, S.A., Nissinen, E.S., Pelkonen, M.U.,
Marttunen, M.J., … & Kaltiala-Heino, R. (2008). Depression and school
performance in middle adolescent boys and girls. Journal of Adolescence, 31, 485-
498. Galera, C., Melchior, M., Chastang, J.F.,
Bouvard, M.P., & Fombonne, E. (2009). Childhood and adolescent hyperactivity-
inattention symptoms and academic achievement 8 years later: the GAZEL
youth study. Psychology Medicine, 39, 1895-
1906.
Garcia, E. (2014). The need to address non-cognitive skills in the Education Policy
Agenda. Economic Policy Institute, 386.
García, E., & Weiss, E. (2016). Making Whole-
Child Education the Norm: How Research and Policy Initiatives Can Make
Social and Emotional Skills a Focal Point of Children's Education. Economic Policy
Institute.
Gilman, R., & Huebner, E.S. (2006).
Characteristics of adolescents who report very high life satisfaction. Journal of Youth
and Adolescence, 35, 311-319.
Glied, S., & Pine, D.S. (2002). Consequences and correlates of adolescent depression. Archives of Pediatric Adolescence Medicine,
156, 1009-1014.
Inglehart, R., Foa, R., Peterson, C. & Welzel,
C. (2007) Development, freedom, and rising happiness: a global perspective,
Perspectives on Psychological Science, 3, 264-
285.
Isen, A.M. (2003). Positive affect, systematic
cognitive processing, and behavior: Toward integration of affect, cognition,
and motivation. In F. Dansereau and F.J. Yammarino (Eds.), Multi-level issues in
organizational behavior and strategy (pp.55-
62). Oxford: Elsevier Science.
Jackson, C. K. (2012). Non-cognitive ability, test scores, and teacher quality: Evidence from 9th
grade teachers in North Carolina (NBER
Working Paper No. 18624). Retrieved
from http://www.nber.org/papers/ w18624.
Jennings, J. L., & DiPrete, T. A. (2010). Teacher effects on social and behavioral
skills in early elementary school. Sociology
of Education, 83, 135-159.
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
69
Juvonen, J. & Graham, S. (2014). Bullying in
schools: The power of bullies and the plight of victims. Annual Review of
Psychology, 65, 159-85.
King, L.A., Hicks, J.A., Krull, J.L., & Del Gaiso, A.K. (2006). Positive affect and
the experience of meaning in life. Journal
of Personality and Social Psychology, 90, 179-
196. Kuntsche, E., & Ravens-Sieberer, U. (2015).
Monitoring adolescent health behaviours and social determinants cross-nationally
over more than a decade: introducing the Health Behaviour in School-aged
Children (HBSC) study supplement on trends. The European Journal of Public
Health, 25, 1-3. Doi: 10.1093/
eurpub/ckv009 Lounsbury, J. W., Fisher, L. A., Levy, J. J., &
Welsh, D. P. (2009). An investigation of character strengths in relation to the academic success of college students.
Individual Differences Research, 7, 52-69.
Lee, J., & Shute, V. (2010). Personal and social-contextual factors in K-12 academic
performance: An integrative perspective on student learning. Educational
Psychologist, 45, 185-202.
Mischel, W., Shoda, Y., & Peake, P. K. (1988). The nature of adolescent competencies
predicted by preschool delay of gratification. Journal of Personality and
Social Psychology, 54, 687-696.
Moffitt, T. E., Arseneault, L., Belsky, D.,
Dickson, N., Hancox, R. J., Harrington, H., . . . Caspi, A. (2011). A gradient of
childhood self control predicts health, wealth, and public safety. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United
States of America, 108, 2693-2698.
Moilanen, K. L., Shaw, D. S., & Maxwell, K. L. (2010). Developmental cascades:
Externalizing, internalizing, and academic competence from middle
childhood to early adolescence. Development and psychopathology, 22, 635-
653.
Phan, H. P., & Ngu, B. H. (2015). Validating personal well-being experiences at school: a quantitative examination of secondary
school students. Education, 136, 34-52.
Piette D, Maes L, Peeters R, Prevost M, Stevens AM, De Smet P and Smith C (1993) The
WHO-collaborative Study: Health Behaviour in School Children in Belgium.
Methodology and dissemination of data. Archives of Public Health, 51, 387-405.
Rowe, G., Hirsh, J.B., Anderson, A.K. &
Smith, E.E. (2007) Positive affect increases the breadth of attentional
selection. PNAS Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of
America, 104, 383-388.
Sawyer, M. G., Arney, F. M., Baghurst, P. A., Clark, J. J., Graetz, B. W., Kosky, R. J.,
... & Rey, J. M. (2001). The mental health of young people in Australia: key findings
from the child and adolescent component of the national survey of mental health and well-being. Australian and New Zealand
Journal of Psychiatry, 35, 806-814.
Schonert-Reichl, K. A., Guhn, M., Gadermann, A. M., Hymel, S., Sweiss, L., &
Hertzman, C. (2012). Development and validation of the Middle Years
Development Instrument: Assessing children’s well-being and assets across
multiple contexts. Social Indicators
Research, 114, 345-369. Doi:
10.1007/s11205-012-0149-y Seaton, M., Parker, P., Marsh, H. W., Craven,
R. G., & Yeung, A. S. (2014). The reciprocal relations between self-concept,
motivation and achievement: juxtaposing academic self-concept and achievement
goal orientations for mathematics success. Educational Psychology, 34, 49-72.
Seligman, M.E.P., Ernst, R.M., Gillham, J., Reivich, K., & Linkin, M. (2009). Positive
education: positive psychology and classroom interventions. Oxford Review of
Education, 35, 293-311.
Shochet, I.M., Dadds, M.R., Ham, D., & Montaque, R. (2006). School
connectedness is an underemphasized parameter in adolescent mental health:
Results of a community prediction study. Journal of Clinical Child and Adolescent
Psychology, 35, 170-179.
Soutter, A. K. (2011). What can we learn about wellbeing in school? The Journal of Student
Wellbeing, 5, 1-21.
Stankov, L., Morony, S. & Lee, Y.P. (2014). Confidence: the best non-cognitive
predictor of academic achievement? Educational Psychology, 34, 9-28. Doi:
10.1080/01443410.2013.814194 Suárez-Álvarez, J., Fernández-Alonso, R., &
Muñiz, J. (2014). Self-concept, motivation, expectations, and
socioeconomic level as predictors of academic performance in mathematics.
Learning and Individual Differences, 30, 118-
123.
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
70
Syvertsen, A. K., Flanagan, C. A., & Stout, M.
D. (2009). Code of silence: Students' perceptions of school climate and
willingness to intervene in a peer's dangerous plan. Journal of educational
psychology, 101, 219.
Van Blerkom, M. L. (1996). Academic Perseverance, Class Attendance, and
Performance in the College Classroom. Van der Ploeg, R., Steglich, C. & Veenstra, R.
(2016). The support group approach in
the Dutch KiVa anti-bullying programme: effects on victimisation, defending and
well-being at school, Educational Research, 58:3, 221-236, DOI:
10.1080/00131881.2016.1184949 Warm T.A. (1989). Weighted Likelihood
Estimation of Ability in Item Response Theory. Psychometrika, 54, 427-450.
West, M. R., Kraft, M. A., Finn, A. S., Martin, R. E., Duckworth, A. L., Gabrieli, C. F.,
& Gabrieli, J. D. (2016). Promise and paradox: Measuring students’ non-
cognitive skills and the impact of schooling. Educational Evaluation and
Policy Analysis, 38, 148-170.
Wu, M. L., Adams, R. J., & Wilson, M. R.
(1997). ConQuest: Multi-Aspect Test
Software. Camberwell, Australia:
Australian Council for Educational Research.
Wulfert, E., Block, J. A., Santa Ana, E., Rodriguez,