fenomena ungkapan tradisional bahasa sunda di kota …

18
165 TOTOBUANG Volume 8 Nomor 1, Juni 2020 Halaman 165182 FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA BANDUNG: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK (The Phenomenon of Sundanese Language Traditional Expression in Bandung City: Sociolinguistics Analysis) Asri Soraya Afsari a , Cece Sobarna b , & Yuyu Yohana Risagarniwa c a,b,c Fakultas Ilmu Budaya, UniversitasPadjadjaran Jl. Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor, Sumedang Pos-el: [email protected] Diterima: 30 April 2020; Direvisi: 9 Mei 2020; Disetujui: 13 Mei 2020 doi: https://doi.org/10.26499/ttbng.v8i1.217 Abstract The purpose of this study is describing the existence and utilization of Sundanese language traditional expressions in Bandung speech community today. The method was descriptive. Data collection techniques was done by direct interviews with informants in the field using Sundanese and in natural situation communication. The main informant was a culture-supporting community who really known-well the traditional expressions. The informant was assumed, at least, to understand it as a form of culture. Moreover, notes techniques was used too. The analytical method used distributional. The results showed that: there are 206 data traditional expressions which is still known by the people in Bandung. The sub-district that is still familiar with traditional expressions is Ujungberung with a percentage of 100%. The sub-district that is unknow-well of traditional expressions is Sumur Bandung with a percentage of 15%. In terms of usage, Sundanese language traditional expressions are still used in the domain of: family, intimate, neighborliness, education, government, employment, and religion. The function of using expessions is to remind, to advise, to admonish, to calm, to affirm, to appeal, and to express the feelings. Keywords: expression. Sundanese language, speech community, domain, language function Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan eksistensi dan penggunaan ungkapan tradisional bahasa Sunda yang ada di lingkungan masyarakat tutur Kota Bandung dewasa ini. Metode yang digunakan deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung kepada informan di lapangan dengan menggunakan bahasa Sunda dan dalam situasi yang asli (natural situation communication). Informan utama yang dipilih adalah masyarakat pendukung budaya yang memahami ungkapan tradisional. Informan tersebut diasumsikan paling tidak mengetahui ungkapan tradisional sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Di samping itu, digunakan pula teknik catat. Metode analisis yang digunakan adalah distribusional. Hasil analisis menunjukkan bahwa: ungkapan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat tutur di Kota Bandung berjumlah 206 data. Kecamatan yang masih mengenal ungkapan tradisional dengan baik adalah Ujungberung dengan jumlah persentase 100%. Kecamatan yang sudah tidak lagi mengenal ungkapan tradisional dengan baik adalah Sumur Bandung dengan jumlah persentase 15%. Dari segi penggunaan, ungkapan tradisional bahasa Sunda masih digunakan dalam ranah: keluarga, kekariban, ketetanggan, pendidikan, pemerintahan, kerja, dan agama. Fungsi penggunaan ungkapan untuk mengingatkan, menasihati, menegur, menenangkan, mengiaskan, mengimbau, dan mengungkapkan perasaan. Kata-kata kunci: ungkapan, bahasa Sunda, masyarakat tutur, ranah, fungsi bahasa PENDAHULUAN Bandung merupakan salah satu kota besar yang ada di Indonesia. Sebagai sebuah kota besar, Bandung banyak diburu oleh para pendatang baik yang berasal dari desa maupun kota lainnya untuk dijadikan sebagai tempat mengadu nasib. Saat ini jumlah penduduk kota Bandung tergolong tinggi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, jumlah

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

165

TOTOBUANG

Volume 8 Nomor 1, Juni 2020 Halaman 165—182

FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA

DI KOTA BANDUNG: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

(The Phenomenon of Sundanese Language Traditional Expression

in Bandung City: Sociolinguistics Analysis)

Asri Soraya Afsaria, Cece Sobarnab, & Yuyu Yohana Risagarniwac

a,b,c Fakultas Ilmu Budaya, UniversitasPadjadjaran

Jl. Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor, Sumedang

Pos-el: [email protected]

Diterima: 30 April 2020; Direvisi: 9 Mei 2020; Disetujui: 13 Mei 2020

doi: https://doi.org/10.26499/ttbng.v8i1.217

Abstract

The purpose of this study is describing the existence and utilization of Sundanese language traditional

expressions in Bandung speech community today. The method was descriptive. Data collection techniques was

done by direct interviews with informants in the field using Sundanese and in natural situation communication.

The main informant was a culture-supporting community who really known-well the traditional expressions.

The informant was assumed, at least, to understand it as a form of culture. Moreover, notes techniques was used

too. The analytical method used distributional. The results showed that: there are 206 data traditional

expressions which is still known by the people in Bandung. The sub-district that is still familiar with traditional

expressions is Ujungberung with a percentage of 100%. The sub-district that is unknow-well of traditional

expressions is Sumur Bandung with a percentage of 15%. In terms of usage, Sundanese language traditional

expressions are still used in the domain of: family, intimate, neighborliness, education, government,

employment, and religion. The function of using expessions is to remind, to advise, to admonish, to calm, to

affirm, to appeal, and to express the feelings.

Keywords: expression. Sundanese language, speech community, domain, language function

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan eksistensi dan penggunaan ungkapan tradisional bahasa

Sunda yang ada di lingkungan masyarakat tutur Kota Bandung dewasa ini. Metode yang digunakan deskriptif.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung kepada informan di lapangan dengan

menggunakan bahasa Sunda dan dalam situasi yang asli (natural situation communication). Informan utama

yang dipilih adalah masyarakat pendukung budaya yang memahami ungkapan tradisional. Informan tersebut

diasumsikan paling tidak mengetahui ungkapan tradisional sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Di samping itu,

digunakan pula teknik catat. Metode analisis yang digunakan adalah distribusional. Hasil analisis menunjukkan

bahwa: ungkapan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat tutur di Kota Bandung berjumlah 206 data.

Kecamatan yang masih mengenal ungkapan tradisional dengan baik adalah Ujungberung dengan jumlah

persentase 100%. Kecamatan yang sudah tidak lagi mengenal ungkapan tradisional dengan baik adalah Sumur

Bandung dengan jumlah persentase 15%. Dari segi penggunaan, ungkapan tradisional bahasa Sunda masih

digunakan dalam ranah: keluarga, kekariban, ketetanggan, pendidikan, pemerintahan, kerja, dan agama.

Fungsi penggunaan ungkapan untuk mengingatkan, menasihati, menegur, menenangkan, mengiaskan,

mengimbau, dan mengungkapkan perasaan.

Kata-kata kunci: ungkapan, bahasa Sunda, masyarakat tutur, ranah, fungsi bahasa

PENDAHULUAN

Bandung merupakan salah satu kota

besar yang ada di Indonesia. Sebagai sebuah

kota besar, Bandung banyak diburu oleh

para pendatang baik yang berasal dari desa

maupun kota lainnya untuk dijadikan

sebagai tempat mengadu nasib. Saat ini

jumlah penduduk kota Bandung tergolong

tinggi. Berdasarkan data dari Badan Pusat

Statistik (BPS) Kota Bandung, jumlah

Page 2: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182

166

penduduk Kota Bandung sampai

pertengahan tahun 2019 mencapai 2 507 888

jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas 1,26 juta

jiwa laki-laki dan 1,24 juta perempuan.

Secara geografis, Kota Bandung terletak

berada pada posisi 107º36’ Bujur Timur dan

6º55’ Lintang Selatan. Luas wilayahnya

mencapai 16.729,65 Ha. Perhitungan luasan

ini didasarkan pada Peraturan Daerah

Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung

Nomor 10 Tahun 1989 tentang Perubahan

Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat

II Bandung sebagai tindak lanjut dari

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1987

tentang Perubahan Batas Wilayah

Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung

dengan Kabupaten Daerah Tingkat II

Bandung. Adapun secara administratif, Kota

Bandung berbatasan dengan beberapa daerah

kabupaten/kota lainnya, yaitu: dengan

Kabupaten Bandung dan Kabupaten

Bandung Barat di sebelah utara berbatasan;

dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota

Cimahi di sebelah barat; dengan Kabupaten

Bandung di sebelah timur; dan dengan

Kabupaten Bandung di sebelah selatan. Dan

secara morfologi regional, Kota Bandung

terletak di bagian tengah “Cekungan

Bandung”, yang mempunyai dimensi luas

233.000 Ha (RPJM Kota Bandung, 2018).

Kehadiran para pendatang ke Kota

Bandung untuk sekolah (kuliah), bekerja,

ataupun menetap menjadikan masyarakat

tutur di Bandung begitu heterogen. Hal ini

berdampak pula pada segi sosial, ekonomi,

ataupun budaya. Dari segi budaya, misalnya

penggunaan bahasa daerah keberadaannya

kini di Kota Bandung mulai luntur.

Sumarsono (2007, hlm. 280) menyatakan

bahwa orang yang tinggal di pusat

perkotaan, industri, atau perdagangan, jika

dia adalah penutur minoritas sangat mungkin

bergeser bahasanya ke bahasa yang dipakai

secara luas di situ. Dalam penelitian ini

bahasa yang dimaksud adalah bergesernya

bahasa daerah (Sunda) ke dalam bahasa

Indonesia. Padahal bahasa daerah

merupakan salah satu kekayaan budaya yang

dimiliki oleh setiap bangsa dan merupakan

warisan turun-temurun yang tidak ternilai

harganya. Bahasa mengodifikasi realitas

yang ada dalam suatu masyarakat tutur,

termasuk masyarakat Sunda. Kandungan

setiap budaya dapat terungkap dalam

bahasanya, salah satunya melalui ungkapan

tradisional bahasa Sunda.

Sebagai bentuk kearifan lokal, ungkapan

tradisional seperti yang dikemukakan oleh

Masduki (2015, hlm. 296) dimiliki oleh

setiap suku bangsa dan sangat erat kaitannya

dengan karakter dan nilai-nilai yang

berkembang dalam suku bangsa tersebut.

Beragam kehidupan dan pengalaman setiap

suku bangsa menghasilkan ungkapan

tradisional yang beragam pula. Tentu banyak

hal yang ditemukan dan dapat dijadikan

nilai-nilai dalam berkehidupan dari

perjalanan kehidupan setiap suku bangsa,

tidak terkecuali bagi suku (masyarakat)

Sunda. Senada dengan Masduki, Widyastuti

(2012, hlm. 148) menjelaskan bahwa

ungkapan tradisional merupakan bagian dari

kearifan lokal. Oleh karena itu, ungkapan

tradisional dimiliki oleh suku-suku bangsa

dalam lingkungan etnis tertentu.

Berdasarkan fenomena bahwa ungkapan

tradisional tersebut ada pada etnis budaya

masyarakat, maka dapat disebutkan bahwa

ungkapan tradisional tersebut bersifat

universal.

Ungkapan berkembang di lingkungan

masyarakat tutur secara lisan. Biasanya

ungkapan ini dipergunakan sebagai suatu

cara, bagaimana orang Sunda

menyampaikan norma-normanya dengan

tidak secara langsung. Norma-norma ini

dipergunakan sebagai sistem dalam proses

sosialisasi dan sistem pengendalian sosial

yang efektif. Artinya, efektif di sini

menyangkut suatu prinsip keselarasan yang

meliputi ketenangan dan keteraturan.

Khusus kata teratur sebenarnya memberi

pernyataan kesanggupan untuk memberi

kehidupan, memelihara suatu kerapian yang

sempurna. Orang Sunda yakin bahwa

Page 3: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)

167

dengan mempertahankan hal tersebut

kekacauan tidak akan terjadi.

Ungkapan tradisional dalam masyarakat

tutur, disampaikan oleh penutur (selanjutnya

disingkat Pn) agar petutur (selanjutnya

disingkat Pt) mengetahui mana nilai-nilai

yang baik dan mana nilai-nilai yang

dianggap tidak baik. Nilai yang dianggapnya

tidak baik itu harus dihindari. Nilai yang

baik dijadikan pegangan hidup. Nilai yang

mengandung fungsi pokok sebagai penegak

norma sosial yang dipergunakan untuk

pegangan perilaku masyarakat tutur. Makna

yang ada dalam ungkapan tradisional yang

dimiliki orang Sunda bersifat metafora dan

ada yang secara wajar atau lugu, semuanya

dapat dipelajari dengan saksama sehingga

dapat dipergunakan untuk melihat aspek

kehidupan masyarakat pendukungnya.

Ungkapan tradisional ini sangat estetis,

karena mengandung unsur irama dan

kekuatan bunyi kata. Hal itu mudah diingat

dan tidak mudah berubah. Struktur dan

bunyi kata-katanya pada dasarnya tidak

berubah dari generasi ke generasi

berikutnya. Ungkapan tradisional di samping

mengandung pesan dan nasihat, juga

menyiratkan makna dan nilai-nilai moral

yang tinggi serta mencerminkan kearifan

dari masyarakat penciptanya. Mengingat

begitu banyaknya nilai dan manfaat yang

terkandung dalam ungkapan tradisional

maka pelestarian dan pendokumentasian

ungkapan tradisional sangat penting

dilakukan. Di samping itu, ungkapan

tradisional merupakan warisan budaya yang

harus dijaga dan dilestarikan agar tidak

mengalami kepunahan oleh perubahan

zaman. Perkembangan dan tuntutan zaman

telah membawa dampak perubahan besar

bagi khazanah kebudayaan daerah,

khususnya bagi tatanan kehidupan pada

masyarakat tutur. Fenomena ini telah

mengakibatkan ungkapan tradisional

mengalami pergeseran pemaknaan terhadap

unsur-unsur kebudayaan. Hal tersebut

disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu

pemahaman masyarakat tutur tentang

ungkapan tradisional yang minim, tidak ada

kesadaran masyarakat setempat untuk

mejunjung tinggi budayanya, keengganan

masyarakat untuk mempelajari ungkapan

tradisional tersebut dan masih banyak faktor

lainnya (Sihwatik, 2017, hlm. 94). Dengan

demikian, kajian terkait dengan ungkapan

tradisional salah satunya yang terdapat di

Kota Bandung sebagai sebuah kota yang

memiliki masyarakat tutur heterogen perlu

dilakukan.

Penelitian terkait ungkapan tradisional

Sunda sudah banyak dilakukan, tercatat

beberapa nama seperti Maryati dan

Muhtadin (2009) telah menyusun Kamus

Idiom Sunda-Indonesia. Kamus ini berisi

kumpulan ungkapan, peribahasa, idiom, dan

sisindiran dalam bahasa Sunda. Muhtadin,

Lyra, dan Amaliasari (2012) menulis artikel

berjudul Kekayaan Batin Kaum Intelektual

Sunda Abad 16: Kajian Ungkapan Bahasa

dalam Naskah Sunda Kuno di Kabupaten

Garut yang dipublikasikan pada Metalingua:

Jurnal Penelitian Bahasa. Artikel ini berisi

deskripsi ungkapan bahasa, nilai-nilai

kekayaan batin, dan segi-segi kearifan lokal

yang patut diteladani dari kandungan naskah

Sunda kuno abad 16. Dan Masduki (2015)

menulis artikel berjudul Kearifan Lokal

Orang Sunda dalam Ungkapan Tradisional

di Kampung Kuta Kabupaten Ciamis yang

dimuat pada Patanjala: Jurnal Penelitian

Sejarah dan Budaya. Artikel mengkaji

makna yang terkandung dalam kearifan

lokal babasan dan paribasa, terutama yang

mengatur tentang manusia sebagai pribadi,

hubungan manusia dengan lingkungan

masyarakat, hubungan manusia dengan

alam, hubungan manusia dengan Tuhan

yang ada di Kampung Kuta, Kab. Ciamis.

Serta Handayani, Afsari, dan Hasanah

(2019) yang menyusun buku hasil penelitian

berjudul Mitos dalam Ungkapan Berbahasa

Sunda dan Prancis. Buku ini mengulas

tentang mitos sebagai acuan awal

terbentuknya ungkapan dalam bahasa Sunda

dan Prancis. Terkait penelitian yang khusus

mengkaji penggunaan ungkapan tradisonal

Page 4: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182

168

bahasa Sunda pada masyarakat tutur etnis

Sunda di Kota Bandung sepengetahuan

peneliti belum dilakukan.

Penelitian ini pun berbeda dengan

peneltian terdahulu sebab penelitian ini

menjaring data yang bersumber dari

masyarakat etnis Sunda yang ada di Kota

Bandung sedangkan penelitian sebelumnya

mengambil data dari sumber tertulis, seperti

buku pelajaran bahasa Sunda dan karya

sastra Sunda serta naskah Sunda Kono.

Penelitian terdahulu mengkaji dari segi

struktur, semantik, dan budaya sedangkan

penelitian ini berada pada wilayah

sosiolinguistik. Kebaruan dari penelitian ini

dabandingkan dengan penelitian sebelumnya

adalah penelitian ini berupaya untuk

memberikan gambaran kondisi aktual

keberadaan ungkapan tradisonal bahasa

Sunda, khususnya di Kota Bandung.

Mengingat data ungkapan yang dijaring di

lapangan dilakukan pada tahun 2019.

Berdasarkan uraian di atas, dapat

dirumuskan fokus permasalahan penelitian

terkait dengan ungkapan tradisional, (1).

keberadaan ungkapan tradisional bahasa

Sunda yang ada di lingkungan masyarakat

Kota Bandung; (2) penggunaan ungkapan

tradisional yang masih dikenal di lingkungan

masyarakat Kota Bandung. Penelitian ini

bertujuan untuk, (1) mendeskripsikan

keberadaan ungkapan tradisional bahasa

Sunda yang ada di lingkungan masyarakat

Kota Bandung dan (2) mendeskripsikan

penggunaan ungkapan tradisional yang

masih dikenal di lingkungan masyarakat

Kota Bandung.

LANDASAN TEORI

Ungkapan Tradisional

Ungkapan merupakan salah satu bentuk

gaya bahasa yang berupa kiasan bahasa yang

berupa kalimat atau kelompok kata yang

bersifat padat, ringkas, sederhana, dan berisi

tentang norma, nilai, nasihat, perbandingan,

perumpamaan, prinsip, dan tingkah laku

(Sua, 2017, hlm. 4). Adapun pengertian

tradisional menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (daring) adalah menurut tradisi

(adat). Dengan demikian, ungkapan

tradisional dapat dipahami sebagai kiasan

bahasa yang berupa kalimat atau kelompok

kata yang bersifat padat, ringkas, sederhana,

dan mengandung norma, nilai, nasihat,

perbandingan, perumpamaan, prinsip, dan

tingkah laku yang berlaku pada adat suatu

masyarakat. Terdapat berbagai sumber yang

menjelaskan terkait definisi ungkapan

tradisional, di antaranya ungkapan tradisonal

dapat diartikan sebagai kumpulan kata yang

mempunyai arti (Soedarsono dalam

Mujinem, 1993, hlm. 38). Ungkapan

tradisional adalah kalimat perkataan yang

tetap susunannya dan biasanya mengiaskan

sesuatu maksud yang sesuai dengan sikap

dan cara berpikir serta bertindak yang selalu

berpegang teguh pada norma, adat dan

kebiasaan yang turun -temurun dalam

sekelompok masyarakat (KBBI 2019).

Ahli lainnya, Sibarani (2012, hlm. 123)

menyatakan bahwa ungkapan tradisional

merupakan salah satu tradisi lisan yang perlu

dilestarikan karena ungkapan-ungkapan

tradisional ini banyak mengandung

pengajaran, nasihat, pendidikan, serta

norma-norma yang berlaku di dalam

kehidupan bermasyarakat. Lebih jauh,

Sibarani mengemukakan bahwa tradisi lisan

merupakan kegiatan budaya tradisional suatu

masyarakat yang diwariskan secara turun-

temurun dengan media lisan dari satu

generasi ke generasi lain, baik lisan maupun

nonlisan. Lebih lanjut Sibarani menguraikan

bahwa tradisi lisan memiliki ciri (1)

kebiasaan berbentuk lisan, sebagian lisan,

dan bukan lisan, (2) memiliki peristiwa atau

kegiatan sebagai konteksnya, (3) dapat

diamati dan ditonton, (4) bersifat tradisional,

(5) diwariskan secara turun-temurun, (6)

proses penyampaian dengan media lisan, (7)

mengandung nilai-nilai budaya sebagai

kearifan lokal, (8) memiliki varian, (9)

berpotensi direvitalisasi dan diangkat secara

kreatif sebagai sumber industri budaya, dan

(10) milik bersama komunitas tertentu.

Page 5: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)

169

Ungkapan tradisional sering disebut juga

dengan peribahasa atau pepatah. Burtan

Brussel (dalam Danandjaja, 2007, hlm. 28)

menyatakan ungkapan tradisional

merupakan kebijaksanaan orang banyak

yang merupakan kecerdasaran seseorang

(Maksud dari defenisi tersebut yaitu

ungkapan tradisional itu merupakan milik

orang banyak tetapi yang selalu

menggunakannya hanya beberapa saja.

Terdapat tiga sifat hakiki yang perlu

diperhatikan dalam ungkapan tradisional,

yaitu:

(a) Peribahasa harus berupa satu kalimat

ungkapan tidak cukup hanya berupa

satu kata tradisional saja, misalnya

"astaga" atau ajegile".

(b) Peribahasa ada dalam bentuk yang

standar misalnya, "seperti kodok yang

sombong" bukan peribahasa.

(c) Suatu peribahasa harus mempunyai

vitalitas (daya hidup) tradisi lisan

yang dapat dari bentuk, bentuk klise

tulisan. yang berbentuk syait, iklan,

reportase olahraga dan sebagainya.

Ungkapan tradisional (bahasa) yang

dimiliki oleh suatu masyarakat tutur dapat

menyiratkan pula bagaimana wujud

pandangan hidup yang dianut atau dipegang

oleh masyarakat tersebut. Misalnya, dalam

masyarakat Sunda, ungkapan tradisional

dapat menyangkut pandangan hidup orang

Sunda tentang manusia sebagai pribadi,

pandangan hidup tentang hubungan manusia

dengan masyarakat, pandangan hidup

tentang hubungan manusia dengan alam,

pandangan hidup tentang hubungan manusia

dengan Tuhan, pandangan hidup tentang

hubungan manusia dalam mengejar

kemajuan lahiriah dan batiniah (Warnaen,

1987, hlm. 5). Dengan demikian, dapat

dipahami bahwa ungkapan bahasa

merupakan representasi dari pandangan

hidup yang dimiliki oleh suatu masyarakat.

Fungsi-Fungsi Bahasa

Sosiolinguistik memandang bahwa

fungsi bahasa bukan sekadar merupakan alat

untuk menyampaikan pikiran. Lebih dari itu

fungsi bahasa ternyata dapat dilihat dari

berbagai sudut penutur, petutur, topik, kode,

dan amanat tuturan (periksa Chaer,

2010:15). Haliday dalam Chaer (2010, hlm.

15) menyebutkan bahwa dari segi Pn, bahasa

memiliki fungsi personal (pribadi). Dalam

hal ini bahasa berfungsi untuk menyatakan

sikap Pt. Pn bukan hanya mengungkapakan

emosi melalui bahasa, tetapi juga

memperlihatkan emosi pada saat

menyampaikan tuturannya. Dengan

demikian, Pt dapat menduga apakah Pn

sedih, marah, atau gembira. Dari segi Pt,

bahasa memiliki fungsi direktif, yaitu

mengatur tingkah laku Pt. Jadi, bahasa tidak

hanya membuat Pt melakukan sesuatu, tetapi

melakukan kegiatan yang sesuai dengan

yang diinginkan oleh Pn. Hal ini dapat

dilakukan melalui tuturan-tuturan yang

menyatakan perintah, imbauan, permintaan,

ataupun rayuan. Dari segi relasi antara Pn-

Pt, bahasa memiliki fungsi fatik, yaitu fungsi

menjalin hubungan, memelihara,

memperlihatkan solidaritas sosial. dari segi

topik ujaran, bahasa memiliki fungsi

referensial, ada pula yang menyebutkan

dengan istilah fungsi denotatif atau fungsi

informatif, yaitu bahasa berfungsi sebagai

alat untuk membicarakan objek atau

peristiwa yang ada di sekeliling Pn atau

yang ada dalam budaya pada umumnya. dari

segi kode yang digunakan, bahasa memiliki

fungsi metalingual atau metalinguistik, yaitu

bahasa digunakan untuk membicarakan

bahasa itu sendiri. Hal ini misalnya tampak

pada proses pembelajaran bahasa. kaidah-

kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan

dengan bahasa. Segi lainnya adalah amanat

(message). Pada segi ini bahasa memiliki

fungsi imaginatif atau fungsi poetic speech

menurut Jacobson (1960) dalam Halliday

(1992, hlm. 21), yaitu bahasa dapat

digunakan untuk menyampaikan pikiran,

gagasan, dan perasaan; baik yang

sebenarnya, ataupun yang hanya imaginatif

Page 6: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182

170

(khayal/rekaan saja). Fungsi ini umumnya

berupa puisi, cerita, dongeng, lelucon, yang

digunakan untuk kesenangan Pn, ataupun Pt.

Bahasa dalam ungkapan tradisional

Sunda memiliki beberapa fungsi, di

antaranya fungsi nasihat dan larangan.

Nasihat adalah suatu didikan yang diberikan

berdasarkan kebenaran dengan maksud

untuk menegur dan membangun seseorang

dengan tujuan yang baik. Nasihat selalu

bersifat mendidik. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI, 2019) nasihat

berarti (1) ajaran atau pelajaran baik; ujaran

petunjuk, peringatan, teguran yang baik. (2)

amanat yang terkandung dalam suatu cerita.

Larangan adalah perintah atau aturan yang

melarang suatu perbuatan karena berbagai

faktor yang melatar belakangi. Salah satunya

karena melanggar norma adat istiadat atau

etika yang menjadi patokan dalam suatu

masyarakat tutur. Dalam penelitian ini teori

fungsi-fungsi bahasa dan ungkapan akan

digunakan sebagai pisau analisis untuk

membedah fungsi-fungsi penggunaan

ungkapan tradisonal bahasa Sunda yang

masih dikenal oleh masyarakat tutur etnis

Sunda di Kota Bandung.

Penggunaan dan pemilihan bahasa

termasuk tuturan ungkapan tidak lepas dari

konteks tempat berlangsungnya tuturan

tersebut. Di samping konteks terdapat pula

ranah. Sumarsono (2007, hlm. 204)

menerangkan bahwa ranah merupakan

konstelasi antara partisipan (paling tidak dua

orang), lokal, dan topik. Greenfield (1972)

dalam Rahardi (2009, hlm. 39) menyebutkan

bahwa berdasarkan hasil riset yang telah

dilakukan, terdapat lima ranah untuk melihat

bentuk-bentuk kebahasaan: keluarga,

persahabatan, agama, Pendidikan dan kerja.

Adapun ranah sosial penggunaan bahasa

menurut Parasher dalam Sumarsono (2007,

hlm. 206) meliputi tujuh ranah, yakni

keluarga, kekariban, ketetanggan

(neighborhood), transaksi, pendidikan,

pemerintahan, dan lapangan pekerjaan.

Analisis ranah menurut pandangan

Greebfield dan Parasher ini akan digunakan

sebagai landasan dalam mengkaji ranah

penggunaan ungkapan tradisional pada

masyarakat etnis Sunda di Kota Bandung.

METODE Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif dengan metode deskriptif yaitu

metode yang bertujuan membuat deskripsi,

membuat gambaran, lukisan secara

sistematis, faktual dan akurat mengenai data,

sifat serta hubungan fenomena yang diteliti

(Djajasudarma, 2010, hlm. 9). Dalam

penelitian ini digunakan metode lapangan

sebab peneliti terjun langsung ke

masyarakat. Sumber data yang digunakan

adalah masyarakat Kota Bandung

pendukung budaya yang memahami

ungkapan tradisional dan dipilih sesuai

kriteria: gender (laki-laki/perempuan), suku

Sunda, usia (antara 15-49 tahun, dan > 50

tahun). Penelitian ini menggunakan tiga

sumber data untuk setiap kecamatan.

Penentuan ini mengikuti pandangan Mahsun

(2005, hlm. 135) bahwa untuk setiap daerah

pengamatan setidaknya digunakan tiga

sumber data. Dari ketiga sumber tersebut,

satu menjadi sumber utama dan dua lainnya

sebagai pendamping. berdasarkan kriteria

yang telah ditentukan maka jumlah ini

dianggap cukup mewakili unsur masyarakat

etnis Sunda di Kota Bandung.

Pemupuan data dilakukan dengan

metode wawancara (cakap). Mahsun (2005,

hlm. 226) menyatakan bahwa metode

wawancara atau interviu dilakukan dengan

cara peneliti melakukan percakapan atau

kontak dengan Pn selaku narasumber. Dalam

penelitian ini pengumpulan data dilakukan

dengan teknik wawancara langsung kepada

narasumber di lapangan dengan

menggunakan bahasa Sunda dan dalam

situasi yang asli (natural situation

communication). Arah percakapan dilakukan

dengan menggunakan instrumen berupa

daftar tanyaan terstruktur menyangkut

ungkapan tradisional bahasa Sunda. Teknik

ini dilakukan untuk mendapatkan data

akurat. Di samping itu, dilakukan pula

Page 7: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)

171

teknik catat yang terdiri atas beberapa tahap

sebagai berikut (1) penelusuran pustaka,

sebagai titik tolak dalam penelitian. Untuk

mendapat hasil yang relevan antara data dan

teori, diperlukan beberapa referensi yang

sesuai dan berkorelasi dengan masalah yang

diteliti. (2) pengumpulan data, dilakukan

dengan cara mencari dan mengumpulkan

data melalui wawancara langsung dengan

narasumber dan pencatatan di lapangan

terkait ungkapan tradisional yang masih

dikenal dan penggunaannya dalam berbagai

ranah. (3) penyeleksian data, data yang telah

dikumpulkan lalu diseleksi atau dipilih

berdasarkan jenis ungkapan tradisional dan

jenis ranah penggunaan. (4)

pengklasifikasian data, dilakukan dengan

mengklasifikasikan data yang telah diseleksi

menurut jenis, ranah penggunaan, dan fungsi

penggunaannya. (5) penganalisisan data,

data yang telah sesuai lalu dianalisis

berdasarkan teori yang sudah ditentukan dan

berdasarkan tujuan penelitian sesuai dengan

kaidah kebahasaan. (6) penyimpulan data,

merupakan jawaban dari rumusan penelitian.

Metode analisis yang digunakan adalah

metode kajian distribusional. Metode ini

menggunakan alat penentu unsur bahasa

yang diteliti. Metode distribusional sejalan

dengan penelitian deskriptif dalam

membentuk perilaku data penelitian

(Djajasudarma, 2010, hlm. 69). Cara kerja

metode distribusional yakni dengan teknik

pemilihan data berdasarkan kategori

(kriteria) tertentu dari segi kegramatikalan

sesuai dengan ciri-ciri alami yang dimiliki

oleh data penelitian (Djajasudarma, 2010,

hlm. 69)

Lokasi penelitian berpusat di Kota

Bandung, Jawa Barat. Ruang lingkup lokasi

penelitian meliputi 30 Kecamatan, sebagai

berikut: Ujungberung, Cibiru Sukasari,

Panyileukan, Cibeunying Kidul, Coblong,

Cidadap, Sukajadi, Batu Nunggal, Sukajadi,

Mandalajati, Regol, Ranca Sari, Gedebage,

Kiaracondong Cicendo, Sumur Bandung,

Bandung Wetan, Cibeunying Kaler,

Arcamanik, Bojong Loa Kidul, Buah Batu,

Antapani, Bandung Kulon, Cinambo,

Bojong Loa Kaler, Astana Anyar, Bandung

Kidul, Babakan Ciparay, Lengkong, dan

Andir.

PEMBAHASAN

I. Keberadaan Ungkapan Tradisional

Bahasa Sunda yang Ada di

Lingkungan Masyarakat Kota

Bandung

Data ungkapan tradisional bahasa Sunda

yang berhasil dijaring di lapangan berjumlah

206 data. Berdasarkan segi pandangan

hidup, data-data ungkapan tersebut

menyangkut pandangan hidup orang Sunda

tentang manusia sebagai pribadi, pandangan

hidup tentang hubungan manusia dengan

masyarakat, alam, hubungan manusia

dengan Tuhan, dan hubungan manusia

dalam mengejar kemajuan lahiriah serta

batiniah. Dari 206 data ungkapan yang telah

dihimpun ternyata tidak semua ungkapan

tradisional masih dikenal oleh masyarakat

tutu etnis Sunda di Kota Bandung. Hasil

pemupuan data melalui wawancara terhadap

informan di 30 kecamatan di Kota Bandung

menunjukkan bahwa sebagian masyarakat

tutur etnis Sunda yang masih mengenal

ungkapan tradisional dengan baik berada di

wilayah Bandung Timur (perbatasan Kota

Bandung). Masyarakat tutur etnis Sunda

yang masih mengenal dengan baik ungkapan

tradisional adalah masyarakat tutur

Kecamatan Ujungberung sebesar 100%.

Adapun masyarakat tutur etnis Sunda yang

sudah jarang mengenal ungkapan tradisional

adalah masyarakat tutur Kecamatan Sumur

Bandung sebesar 15%. Persentase di

Kecamatan Sumur Bandung kecil mengingat

lokasi ini berada di pusat kota sehingga

masyarakat tutur etnis Sunda di sana lebih

banyak menggunakan bahasa Indonesia

dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya,

mereka sudah jarang mengenal lagi

ungkapan tradisional. Jumlah data ungkapan

tradisional bahasa Sunda yang masih dikenal

oleh masyarakat tutur di 30 kecamatan di

Page 8: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182

172

Kota Bandung dapat diamati pada tabel

berikut. Tabel 1

Jumlah Ungkapan Tradisional

yang masih Dikenal oleh Masyarakat Tutur Etnis

Sunda di Kota Bandung

NO NAMA

KECAMATAN

JUMLAH DATA

UNGKAPAN

YANG MASIH

DIKENAL

1. Ujungberung 206

2. Cibiru 198

3. Sukasari 121

4. Panyileukan 69

5. Cibeunying

Kidul

141

6. Coblong 44

7. Cidadap 117

8. Sukajadi 129

9. Mandalajati 185

10. Regol 88

11. Ranca Sari 116

12. Gedebage 147

13. Kiaracondong 149

14. Cicendo 49

15. Sumur Bandung 31

16. Batu Nunggal 191

17. Bandung Wetan 122

18. Cibeunying

Kaler

33

19. Arcamanik 139

20. Bojong Loa

Kidul

91

21. Buah Batu 54

22. Antapani 73

23. Bandung Kulon 40

24. Cinambo 152

25. Bojong Loa

Kaler

98

26. Astana Anyar 151

27. Bandung Kidul 131

28. Babakan Ciparay 165

29. Lengkong 198

30. Andir 78

Pada tabel 1 dapat diamati bahwa

jumlah tertinggi data ungkapan tradisional

yang masih dikenal oleh masyarakat tutur di

Kota Bandung berada di Kecamatan

Ujungberung yakni sebanyak 206 data.

Jumlah kedua dan ketiga tertinggi terdapat di

Kecamatan Cibiru dan Lengkong masing-

masing berjumlah 198 data ungkapan

tradisonal serta Kecamatan Batu Nunggal

sebanyak 191 data ungkapan tradisonal.

Adapun jumlah terendah data ungkapan

tradisional yang masih dikenal oleh

masyarakat tutur di Kota Bandung berada di

Kecamatan Sumur Bandung sebanyak 31

data.

Berdasarkan jumlah persentasenya,

ungkapan tradisional yang masih dikenal

oleh masyarakat tutur etnis Sunda pada 30

kecamatan di Kota Bandung dibagi ke dalam

tiga bagian, yakni jumlah persentase

ungkapan yang masih dikenal sebesar

kurang dari 35%, antara 35-70%, dan lebih

besar dari 70%. Berikut disajikan ketiga

tabel jumlah yang menunjukkan persentase

tersebut.

Tabel 2

Kecamatan yang masih Mengenal Ungkapan

Tradisional Bahasa Sunda di Kota Bandung

berdasarkan Jumlah Persentase < 35%

NO NAMA

KECAMATAN

JUMLAH DATA

UNGKAPAN

YANG MASIH

DIKENAL (%) < 35%

1. Panyileukan 34

2. Coblong 21

3. Cicendo 24

4. Sumur Bandung 15

5. Cibeunying Kaler 16

6. Buah Batu 26

7. Bandung Kulon 19

Pada tabel 2, dapat diamati bahwa

masyarakat tutur etnis Sunda yang mengenal

ungkapan tradisional dengan jumlah

persentase kurang dari 35% ada di 8

kecamatan di Kota Bandung. Delapan

kecamatan tersebut adalah Panyileukan,

Coblong, Cicendo, Sumur Bandung,

Cibeunying Kaler, Buah batu, dan Bandung

Kulon. Persentase terendah dari delapan

kecamatan ini berada pada angka 15% yakni

Kecamatan Sumur Bandung sedangkan

persentase tertinggi berada pada angka 34%

yakni Kecamatan Panyileukan.

Page 9: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)

173

Tabel 3

Kecamatan yang masih Mengenal Ungkapan

Tradisional Bahasa Sunda

di Kota Bandung berdasarkan Jumlah Persentase

35-70%

NO NAMA

KECAMATAN

JUMLAH DATA

UNGKAPAN YANG

MASIH DIKENAL (%)

ANTARA 35 – 70 %

1. Sukasari 59

2. Cibeunying

Kidul

68

3. Cidadap 57

4. Sukajadi 63

5. Regol 43

6. Ranca Sari 56

7. Bandung Wetan 59

8. Cibeunying

Kaler

16

9. Arcamanik 67

10. Bojong Loa

Kidul

44

11. Antapani 35

12. Bojong Loa

Kaler

45

13. Bandung Kidul 64

14. Andir 38

Berikutnya, pada tabel 3 dapat diamati

bahwa masyarakat tutur etnis Sunda yang

mengenal ungkapan tradisional dengan

jumlah persentase antara 35 % sampai 70%

terdapat di 13 kecamatan di Kota Bandung.

Tiga belas kecamatan tersebut adalah

Sukasari, Cibeunying Kidul, Cidadap,

Sukajadi, Regol, Rancasari, Bandung Wetan,

Arcamanik, Bojong Loa Kidul, Antapani,

Bojong Loa Kaler, Bandung Kidul, dan

Andir. Persentase terendah dari tiga belas

kecamatan ini berada pada angka 35% yakni

Kecamatan Antapani sedangkan persentase

tertinggi berada pada angka 67% yakni

Kecamatan Arcamanik.

Tabel 4

Kecamatan yang masih Mengenal Ungkapan

Tradisional Bahasa Sunda

di Kota Bandung berdasarkan Jumlah Persentase

< 35%

NO NAMA

KECAMATAN

JUMLAH DATA

UNGKAPAN YANG

MASIH DIKENAL (%)

ANTARA >70 %

1. Ujungberung 100

2. Cibiru 96

3. Mandalajati 89

4. Batu Nunggal 93

5. Cinambo 74

6. Astana Anyar 73

7. Babakan Ciparay 80

8. Lengkong 96

9. Kiaracondong 72

Pada tabel 4 dapat diamati bahwa

masyarakat tutur etnis Sunda yang mengenal

ungkapan tradisional dengan jumlah

persentase lebih besar dari 70% terdapat di 9

kecamatan di Kota Bandung. Sembilan

kecamatan tersebut adalah Ujungberung,

Cibiru, Mandalajati, Batu Nunggal,

Cinambo, Astana Anyar, Babakan Ciparay,

Lengkong, dan Kiaracondong. Persentase

terendah dari sembilan kecamatan ini berada

pada angka 72% yakni Kecamatan

Kiaracondong sedangkan persentase

tertinggi berada pada angka 100% yakni

Kecamatan Ujungberung.

II. Penggunaan Ungkapan Tradisional

yang masih Dikenal oleh Masyarakat

Tutur di Kota Bandung

Dalam praktiknya, ungkapan tradisional

yang masih dikenal sampai saat ini oleh

masyarakat tutur etnis Sunda di Kota

Bandung digunakan dalam ranah: keluarga,

kekariban, ketetanggan, pendidikan, pemerintahan, kerja, dan agama.

Penggunaan ungkapan ini pun memiliki

fungsi bahasa yang berbeda-beda. Berikut

disajikan uraian penggunaan ungkapan

dalam setiap ranah beserta fungsi-fungsinya.

Page 10: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182

174

a. Ranah Keluarga

Pada ranah ini ungkapan tradisional

masih banyak digunakan oleh masyarakat

tutur etnis Sunda yang berusia lanjut baik

laki-laki maupun perempuan. Ungkapan ini

digunakan dalam situasi nonformal seperti

tampak pada tuturan berikut.

(1) Ari ngarasakeun jadi jelema teu pinter,

kudu bodo alewoh. Loba tatanya ka

sasama, sangkan aya kanyaho.

‘Jika merassa menjadi orang yang tak

pintar, harus banyak bertanya karena

banyak tidak tahu. banyak bertanya

kepada sesame supaya memiliki

pengetahuan.’

(2) Kudu datang katingali tarang, indit

katingali punduk kanu jadi kolot, supaya

hate kolot jadi regreg.

‘Datang dan pergi harus permisi pada

orangtua, supaya tenang hati.’

(3) “Ibaratna banda tatalang raga. Engke ge

bisa disiar deui ari geus sehat mah. Nu

penting mah ayeuna hayu urang bawa eta

budak ka rumah sakit.

‘Ibaratnya lebih baik mengeluarkan

kekayaan untuk menyelamatkan badan.

(harta) bisa dicari. Yang penting sekarang

mari kita bawa anak ini ke rumah sakit.’

(4) Dina mutuskeun hiji perkara. Sakabeh

masalah kudu dibeuweung diutahkeun,

supaya hasilna adil keur sararea.

‘Dalam memutuskan sebuah kasus. semua

masalah perlu dipikirkan masak-masak

supaya hasilnya adil untuk semua (pihak).

(5) Ujang mah budak epes meer, teu kaur

diheureuyan saeutik sok gampang ceurik.

Teu hade eta teh.

‘Ujang itu anak cengeng. sedikit saja

diganggu langsung menangis. Tidak baik

itu.’

Pada (1) ungkapan bodo alewoh ‘bodoh

tetapi banyak bertanya’ dan (2) ungkapan

datang katingali tarang, indit katingali

punduk ‘datang dan pergi harus permisi’

pada masyarakat Sunda masih digunakan

dalam hubungan Pn-Pt yakni orangtua baik

ayah maupun ibu kepada anak. Ungkapan ini

pun biasa digunakan dalam hubungan kakek

atau nenek kepada cucunya atau juga paman

atau bibi kepada keponakannya. Keadaan

emosi partisipan para penutur pada

ungkapan (1) dan (2) berlangsung dalam

suasana yang serius. Fungsi ungkapan yang

digunakan oleh Pn kepada Pt pada (1) dan

(2) berupa nasihat. Pada (3) Banda tatalang

raga ‘lebih baik mengeluarkan kekayaan

untuk menyelamatkan badan’ dan (4)

dibeuweung diutahkeun ‘menghadapi

sesuatu harus dipikirkan matang-matang’

digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni

suami kepada istrinya atau pun sebaliknya

dan dalam hubungan orangtua kepada anak.

Keadaan emosi partisipan para penutur pada

ungkapan (3) berlangsung dalam suasana

sedih dan ungkapan (4) berlangsung dalam

suasana santai tetapi serius. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt

pada (3) dan (4) mengandung saling

mengingatkan dan nasihat. Adapun

ungkapan (5) epes meer ‘cengeng’

digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni

orangtua kepada anak. Keadaan emosi

partisipan para penutur pada ungkapan (5)

berlangsung dalam suasana santai tetapi

serius dan fungsi penggunaan ungkapan

sebagai teguran.

b. Ranah Kekariban

Pada ranah ini ungkapan tradisional

digunakan dalam lingkungan pertemanan

baik laki-laki maupun perempuan.

Ungkapan berlangsung dalam situasi

nonformal. Cermati data di bawah ini.

(6) Geus we atuh, tong nyarekan meni lak-lak

dasar kitu. Kapan buruk-buruk ge papan

jati, keun da engke ge geura inget di mana

nyimpen jaketna. Maklum manehna mah

rada limpeuran.

‘Sudah, jangan marah terus-terusan seperti

itu. Kan, baik buruk adalah saudara

sendiri, biar saja nanti juga ingat di mana

menaruh jaketnya. Maklum dia agak

pelupa.’

(7) Enya oge cerewed, tapi Yani kaitung

hambur bacot murah congcot. Boga sifat

Page 11: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)

175

ramah jeung sering nulungan jelema anu

keur kasusahan.

‘Biarpun cerewet, tapi Yani terbilang

ramah dan sering menolong. Memiliki

sifat ramah dan sering menolong orang

yang sedang kesusahan.’

(8) Kumaha maneh mah siga monyet

ngagugulung kalapa bae, ongkoh

dirawatan eta barang, tapi teu bisa

makena.

‘Bagaimana kamu ini seperti memiliki

barang tetapi tidak tahu manfaat dari

barang tersebut, katanya merawat barang

tetapi tidak mengerti cara

menggunakannnya.’

(9) Sigana mah tadi Si Kosim ngan ukur tawar

gatra ngajak dahar teh. Buktina da euweuh

sangu dina meja makanna oge.

‘Sepertinya tadi Si Kosim menawari atau

mengajak hanya sebagai bentuk

penghormatan, dengan harapan yang

diajak atau ditawari tidak merespons.

Buktinya di meja makan tidak ada nasi

sama sekali.’

Pada (6) ungkapan buruk-buruk ge

papan jati ‘baik buruk adalah saudara

sendiri’ digunakan dalam hubungan Pn-Pt,

yakni pertemanan (teman sekelas). Pn-Pt

berjenis kelamin laki-laki. Keadaan emosi

partisipan para penutur pada ungkapan (6)

berlangsung dalam suasana kesal. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt

pada (6) untuk menenangkan hati Pt yang

sedang jengkel kepada adiknya sendiri.

Pada (7) hambur bacot murah congcot

‘cerewet tapi terbilang ramah dan sering

menolong’ digunakan dalam hubungan Pn-

Pt, yakni pertemanan (teman bermain). Pn-

Pt berjenis kelamin perempuan. Keadaan

emosi partisipan para penutur pada

ungkapan (7) berlangsung dalam suasana

santai. Fungsi ungkapan yang digunakan

oleh Pn kepada Pt pada (7) untuk

menyiaskan sifat baik Yani, salah seorang

teman mereka.

Pada (8) ungkapan siga monyet

ngagugulung kalapa ‘seperti memiliki

barang tetapi tidak tahu manfaat dari barang

tersebut’ digunakan dalam hubungan Pn-Pt,

yakni persahabatan (teman dekat). Pn-Pt

berjenis kelamin laki-laki. Keadaan emosi

partisipan para penutur pada ungkapan (8)

berlangsung dalam suasana normal dan

santai. Fungsi ungkapan yang digunakan

oleh Pn kepada Pt pada (8) untuk

mengingatkan agar Pt bisa memanfaatkan

barang (mesin jahit) warisan dari orangtua

dengan sebaik-baiknya.

Pada (9) ungkapan tawar gatra

‘menawari atau mengajak hanya sebagai

bentuk penghormatan, dengan harapan

yang diajak atau ditawari tidak merespons’

digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni

pertemanan (teman sekelas). Pn-Pt berjenis

kelamin laki-laki. Keadaan emosi partisipan

para penutur pada ungkapan (9)

berlangsung dalam suasana normal. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada

Pt pada (9) sebagai bentuk kekecewaan

kepada Kosim, teman Pn-Pt yang menawari

mereka makan hanya untuk tujuan basa-

basi saja.

c. Ranah Ketetanggan

Dalam ranah ini, ungkapan tradisional

digunakan dalam berbagai situasi yang

terjadi di lingkungan masyarakat tutur etnis

Sunda, khususnya di lingkungan tempat

tinggal yang berdekatan atau bersebelahan

seperti tampak pada data berikut.

(10) Jalaran geus aya babadamian kamari

antara warga jeung petugas sampah,

masalah runtah geus bisa direngsekeun.

Warga ngan ukur mere waragad tambahan

saeutik, supaya runtah bisa diangkut deui ti

tiap-tiap imah ku petugas. Ieu bisa disebut

caina herang laukna beunang.

‘Sehubungan dengan adanya pertemuan

kemarin antara warag dengan petugas

sampah, masalah sampah sudah

diselesaikan. warga hanya memberi sedikit

uang tambahan agar sampah bisa diangkut

kembali oleh petugas dari tiap-tiap rumah.

dengan demikian, dapat dikatakan

menyelesaikan masalah dengan mencari

jalan tengah yang saling menguntungkan

semua pihak.’

Page 12: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182

176

(11) Geus dihin pinasti, tutulis Hyang Widhi,

pun Emang kamari pisan ngantunkeun.

Padahal sadinten sateuacanna masih

katingal sehat, tiasa ubral obrol sareng sim

kuring.

‘Sudah suratan takdir, paman saya

kemarin meninggal. Padahal sehari

sebelumnya masih terlihat sehat, bisa

berbincang-bincang dengan saya.’

(12) Ieu mah etang-etang dog-dog

pangrewong. Sim kuring hoyong nambihan

pamadegan, saperkawis iuran warga.

‘ini hanya menambahkan pembicaraan.

Saya ingin menambahkan pendapat, terkait

iuran warga.’

(13) Dasar jelema gede hulu, karek kabeuli

motor second wae, meuni geus teu daek

nanya.

‘Dasar orang sombong, baru juga mampu

beli motor bekas, sudah tidak mau

menyapa.’

(14) Agil mah rada hampang leunguen. Sok

gampang nampiling mun ambek teh.

‘Agil itu agak mudah marah dan (dia)

sering menempeleng jika sedang marah.’

Pada (10) ungkapan caina herang laukna

beunang ‘menyelesaikan masalah dengan

mencari jalan tengah yang saling

menguntungkan semua pihak’ digunakan

dalam hubungan Pn-Pt, yakni Ketua RW

dan para Ketua RT. Pn-Pt berjenis kelamin

laki-laki. Keadaan emosi partisipan para

penutur pada ungkapan (10) berlangsung

dalam suasana normal pada kegiatan rapat

RW. Fungsi ungkapan yang digunakan oleh

Pn kepada Pt pada (10) untuk menenangkan

hati Pt atas permasalahan yang terjadi. Pn

menyakinkan Pt bahwa setiap masalah dapat

diselesaikan secara baik dan kekeluargaan.

Pada (11) ungkapan dihin pinasti, tutulis

Hyang Widhi ‘suratan takdir’ digunakan

dalam hubungan Pn-Pt, yakni tetangga. Pn-

Pt berjenis kelamin laki-laki. Keadaan emosi

partisipan para penutur pada ungkapan (11)

berlangsung dalam suasana duka. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt pada (11) untuk mengungkapkan perasaan

sedih dan kaget kepada Pt. Pn merasa sedih

dan tidak percaya bahwa paman yang selama

ini terlihat sehat mendadak meninggal dunia.

Pada (12) ungkapan dog-dog

pangrewong ‘menambahkan pembicaraan’

digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni

peserta rapat dan ketua rapat. Pn-Pt berjenis

kelamin perempuan-laki-laki. Keadaan

emosi partisipan para penutur pada

ungkapan (12) berlangsung dalam suasana

normal. Ungkapan (12) terjadi pada

kegiatan rapat warga yang dihadiri oleh

ketua RW, Sekretaris RW, dan ketua-ketua

seksi. Fungsi ungkapan yang digunakan

oleh Pn kepada Pt pada (12) untuk

mengungkapkan pendapat dengan cara

halus dan sopan sebagai perwakilan dari

seksi rohani.

Pada (13) ungkapan gede hulu

‘sombong’ digunakan dalam hubungan Pn-

Pt, yakni teman sepermaian. Pn-Pt berjenis

kelamin laki-laki. Keadaan emosi partisipan

para penutur pada ungkapan (8) berlangsung

dalam suasana kesal. Fungsi ungkapan yang

digunakan oleh Pn kepada Pt pada (13)

untuk menyebutkan perubahan sifat Pt.

Pada (14) ungkapan hampang leungeun

‘ringan tangan’ digunakan dalam hubungan

Pn-Pt, yakni tetangga dekat. Pn-Pt berjenis

kelamin perempuan. Keadaan emosi

partisipan para penutur pada ungkapan (14)

berlangsung dalam suasana normal. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt

pada (14) untuk menjelaskan watak Agil,

salah satu tetangga mereka yang terkenal

mudah terpancing emosi dan ringan tangan.

d. Ranah Pendidikan

Ungkapan-ungkapan tradisional yang

terdapat pada ranah ini digunakan baik

dalam lingkungan sekolah umum maupun

pesantren, seperti terlihat dalam data berikut.

(15) Ayeuna mah ibaratna budaya urang teh

keur ngalaman siga jati kasilih ku junti, ku

asupna budaya deungeun nu ngaranjah ka

sagala widang.

‘Sekarang ini diibaratkan budaya kita tengah

mengalami seperti yang baik tersisihkan

Page 13: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)

177

oleh keburukan, dengan masuknya budaya

luar yang menguasai segala bidang.’

(16) Maraneh mah ngadon kumeok memeh

dipacok. Can ge der maen bola geus

katingali sieun ti heula. Entong ningali

pedah awakna lewih garede, da can tangtu

maena alus.

‘Kalian itu malah kalah sebelum

bertanding. Permainan belum dimulai

sudah terlihat takut. Jangan melihat

badannya yang lebih besar-besar, sebab

belum tentu (mereka) bermain bagus.’

(17) Sanes bade mapagahan ngojay ka meri, da

sadayana tangtos tos apal. Ieu mah sakadar

ngemutan deui, bilih aya nu teu acan terang.

‘Bukan bermaksud untuk memberi tahu

kepada orang yang 130 lebih tahu. Ini

hanya sekadar mengingatkan saja, kalau-

kalau ada yang belum tahu.’

(18) Hirup teh kudu bisa ngindung ka waktu,

ngabapa ka jaman, mun hayang panceg teu

tinggaleun ti batur, da sasatna ayeuna mah

zaman gampang robahna alatan kamajuan

media informasi jeung teknologi.

‘Hidup itu harus bisa menyelaraskan

dengan perkembangan zaman, jika ingin

teguh tidak tertinggal dari yang lain, karena

pada dasarnya saat ini zaman mudah

berubah oleh kemajuan media informasi dan

teknologi.’

Pada (15) ungkapan jati kasilih ku junti

‘seperti yang baik tersisihkan oleh

keburukan’ digunakan dalam hubungan Pn-

Pt, yakni guru dan para siswa. Pn berjenis

kelamin laki-laki dan pt berjenis kelamin

laki-laki dan perempuan. Keadaan emosi

partisipan para penutur pada ungkapan (15)

berlangsung dalam suasana formal.

Ungkapan (15) terjadi pada kegiatan belajar

mengajar di sebuah sekolah. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada

Pt pada (15) untuk mengingatkan Pt bahwa

saat ini budaya luar begitu deras masuk ke

negara kita. Masuknya budaya tersebut

membawa banyak pengaruh negatif dan

membuat budaya lokal kita menjadi

tersingkir.

Pada (16) ungkapan kumeok memeh

dipacok ‘kalah sebelum bertanding’

digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni

guru olahraga- para siswa. Pn berjenis

kelamin laki-laki dan pt berjenis kelamin

laki-laki dan perempuan. Keadaan emosi

partisipan para penutur pada ungkapan (16)

berlangsung dalam suasana formal. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt

pada (16) untuk memberikan nasihat berupa

teguran untuk tujuan kebaikan Pt agar pt

semangat dan pantang mundur serta tidak

mudah menyerah dalam menghadapi lawan

ketika bertanding sepak bola.

Pada (17) ungkapan mapatahan ngojay

ka meri ‘memberi tahu kepada orang yang

130 lebih tahu’ digunakan dalam hubungan

Pn-Pt, yakni narasumber dan para peserta

seminar. Pn berjenis kelamin laki-laki dan

pt berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan. Keadaan emosi partisipan para

penutur pada ungkapan (17) berlangsung

dalam suasana formal. Ungkapan (17)

terjadi pada kegiatan seminar Teknik

berpidato yang baik dan benar. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada

Pt pada (17) sebagai bentuk kesantunan

sehubungan dengan Pt adalah para pendidik

(guru).

Pada (18) ungkapan ngindung ka waktu,

ngabapa ka jaman ‘menyelaraskan dengan

perkembangan zaman’ digunakan dalam

hubungan Pn-Pt, yakni guru kelas- para

siswa. Pn berjenis kelamin laki-laki dan pt

berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Keadaan emosi partisipan para penutur pada

ungkapan (18) berlangsung dalam suasana

formal. Fungsi ungkapan yang digunakan

oleh Pn kepada Pt pada (18) untuk

memberikan petuah kepada Pt agar dalam

menjalani hidup harus bisa beradapatasi

dengan perubahan zaman.

e. Ranah Pemerintahan

Dalam ranah pemerintahan, ungkapan-

ungkapan tradisional di antaranya digunakan

dalam lingkungan kantor pemerintahan

tingkat kelurahan, seperti tampak dalam data

berikut.

Page 14: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182

178

(19) Sagala permasalahan kudu disawalakeun

babarengan. Hade ku omong, goreng ku

omong, teu bisa diputuskeun mung ku

sapihak.

‘Segala permasalahan harus didiskusikan

bersama. Semua permasalahan harus

dirundingkan, tidak bisa diputuskan secara

sepihak.’

(20) Di usum Pilkada ieu tong gampang

haripeut ku teuteureuyeun. Ngan dibibita

ku barang nu teu sabaraha, urang jadi

salah pilih pamingpin.

‘Pada musim Pilkada ini jangan mudah

tergoda oleh iming-iming. Hanya dirayu

dengan barang yang tidak seberapa, kita

jadi salah memilih pemimpin.’

Pada (19) ungkapan hade ku omong, goreng ku omong ‘semua permasalahan

harus dirundingkan’ dan (20) ungkapan

haripeut ku teuteureuyeun ‘tergoda oleh

iming-iming’ digunakan dalam hubungan

Pn-Pt, yakni lurah dan staf pemerintahan

kelurahan. Pn berjenis kelamin laki-laki dan

pt berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Keadaan emosi partisipan para penutur pada

ungkapan (19) dan (20) berlangsung dalam

suasana formal. Ungkapan ini terjadi saat

kegiatan rapat kelurahan. Fungsi ungkapan

yang digunakan oleh Pn kepada Pt pada (19)

untuk mengingatkan Pt agar dalam

menghadapi permasalahan apapun dalam

pekerjaan hendaknya diselesaikan secara

musyawarah sehingga tidak ada pihak yang

merasa dirugikan. Adapun Fungsi ungkapan

yang digunakan oleh Pn kepada Pt pada (20)

untuk mengimbau Pt agar bersikap bijak

tidak mudah terdoga oleh janji-janji yang

belum pasti dari calon pemimpin kepala

daerah dalam Pilkada.

f. Ranah Kerja

Ungkapan-ungkapan tradisional yang

terdapat pada ranah ini digunakan baik

dalam lingkungan perkantoran pemerintah

maupun swasta. Amatilah data-data berikut.

(21) Ka luhur sausap rambut, ka handap

sausap dampal. Sim kuring masrahkeun

diri sakujur awak, bade ngadunungan ka

bapak. Etang-etang gegentos kolot abdi nu

tos tilar dunya.

‘(menggambarkan penyerahan diri

secara total yang berkaitan kesetiaan

terhadap seseorang), saya memasrahkan

seluruh jiwa dan raga, akan mengabdi

kepada bapak. sebagai pengganti orangtua

saya yang telah meninggal dunia.’

(22) Kudu boga pikir rangkepan ari

mercayakeun pagawean ka batur teh.

Maklum jaman ayeuna geus loba jelema

anu teu jujur.

‘Harus punya pemikiran berhati-hati dan

rasa curiga jika mempercayakan suatu

pekerjaan kepada orang lain. Maklum zaman

sekarang sudah banyak orang yang tidak

jujur.’

(23) Silaing mah pagawean teh ngan mopo

memeh nanggung. Moal boga

baranggawe.

‘Kamu itu kerjanya hanya bermalas-

malasan saja. tidak akan punya pekerjaan.’

(24) Sugan mah ngabuntut bangkong

pagawean teh, asa teu ageus- angeus.

Padahal sabulan deui kudu geus rengse

dilaporkeun.

‘Tampaknya pekerjaan ini tidak akan

pernah selesai. padahal sebulan lagi sudah

harus dilaporkan.’

Pada (21) ungkapan ka luhur sausap

rambut, ka handap sausap dampal

‘menggambarkan penyerahan diri secara

total yang berkaitan kesetiaan terhadap

seseorang’ digunakan dalam hubungan Pn-

Pt, yakni calon majikan-calon karyawan. Pn

berjenis kelamin laki-laki dan pt berjenis

kelamin laki-laki. Keadaan emosi partisipan

para penutur pada ungkapan (21)

berlangsung dalam suasana normal. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt

pada (21) sebagai wujud janji setia kepada

Pt. Pn berjanji jika dia diterima kerja di

tempat Pt maka Pn agar bekerja sepenuh

hati, mengabdi, dan akan menganggap Pt

bukan hanya sebagai majikan tetapi juga

sebagai orangtua yang tidak akan mungkin

dikhianati.

Pada (22) ungkapan piker rangkepan

‘pemikiran berhati-hati dan rasa curiga’

Page 15: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)

179

digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni

karyawan senior-karyawan junior. Pn

berjenis kelamin laki-laki dan pt berjenis

kelamin laki-laki. Keadaan emosi partisipan

para penutur pada ungkapan (22)

berlangsung dalam suasana formal dan

bertempat di sebuah perkantoran. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt

pada (22) untuk menasihati Pt agar waspada

dalam memberikan kepercayaan pekerjaan

kepada orang lain. Mengingat zaman

sekarang mencari orang jujur dan dapat

dipercaya itu tidak mudah.

Pada (23) ungkapan mopo memeh

nanggung ‘bermalas-malasan’ digunakan

dalam hubungan Pn-Pt, yakni mandor-buruh

bangunan. Pn berjenis kelamin laki-laki dan

pt berjenis kelamin laki-laki. Keadaan emosi

partisipan para penutur pada ungkapan (23)

berlangsung dalam suasana normal dan

bertempat di sebuah tempat proyek

pembangunan rumah. Fungsi ungkapan yang

digunakan oleh Pn kepada Pt pada (23)

untuk menegur Pt yang bekerja tidak

semangat dan tampak seperti terpaksa. Pn

menyakinkan Pt jika Pt tidak sungguh-

sungguh dalam bekerja maka di mana pun Pt

bekerja tidak akan diterima.

g. Ranah Agama

Pada ranah agama penggunaan ungkapan

bahasa Sunda ditemukan pada kegiatan

pidato peringatan hari-hari besar keagamaan

ataupun ceramah di lingkungan masjid,

pengajian, dan pesantren, Berikut analisis

data-data tersebut.

(24) Bobot sapanon carang sapakan,

langkung saur bahe carek, sim kuring

neda dihapunten bilih aya bahasa anu

matak nyinggung manah para saderek.

‘(Ungkapan memohon maaf bila ada

kekurangan dan kesalahan dalam

perkataan), saya memohon maaf jika ada

kata-kata yang salah yang tidak berkenan di

hati hadirin sekalian.’

(25) Sok, Jang tong pondok hareupan. Terus

sing rajin macana. Ibaratna cikaracak

ninggang batu laun-laun jadi legok, pasti

maneh bakal bisa. Keun rada telat

dibanding jeung nu lian ge.

‘Ayo, Nak jangan mudah menyerah. Terus

rajinlah membaca. Ibaratnya suatu

pekerjaan bila dilakukan dengan

sungguh-sungguh dan tidak mudah

berputus asa, pasti akan membuahkan

hasil. Kamu pasti bisa. Tak apa agak

terlambat dibandingkan tidak sama sekali.’

(26) Tong munjung ka gunung, muja ka

sagara, bisi doraka. Gusti Alloh moal

sukaeun. Jalma samodel kitu bagian

naraka tempatna Munjung kudu ka

indung, muja kudu ka bapak.

‘jangan menyembah gunung memuja laut,

nanti berdosa. Allah tidak akan suka.

Orang seperti itu tempatnya di neraka,

berbakti harus kepada kedua orang tua,

bukan memuja gunung dan lautan.’

(27) Aya paribasa - tunggul tong dirurud,

catang tong dirumpak, hirup katungkulan

ku umur, paeh teu nyaho dimangsa-,

lamun urang hayang salamet dunya

akherat. Sakabeh pagawean anu aya di

dunya, aya hukum nu ngaturna. Teu

meunang dirumpag sambarangan. Awal

akhir pasti aya babalesna ti Gusti Alloh.

‘Ada peribahasa - dalam hidup tidak

boleh melanggar aturan hukum yang

berlaku, baik hukum agama, adat, atau

negara, semua akan dimintai

pertanggungjawabannya, untuk itu kita

harus menjalani hidup ini dengan baik,

karena kematian pasti akan datang dan

kita tidak tahu kapan itu akan terjadi.

Jika kita ingin selamat dunia akhirat.

Semua pekerjaan yang ada di dunia, ada

hukum yang mengaturnya. tidak boleh

diubah semabarangan. Awal akhir pasti ada

balasannya dari Allah.’

Pada (24) ungkapan bobot sapanon

carang sapakan, langkung saur bahe carek

‘ungkapan memohon maaf bila ada

kekurangan dan kesalahan dalam perkataan’

digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni

Ketua RT-warga RT. Pn berjenis kelamin

laki-laki dan pt berjenis kelamin laki-laki

dan perempuan. Keadaan emosi partisipan

para penutur pada ungkapan (24)

berlangsung normal dan bertempat di sebuah

masjid dalam kegiatan peringatan Maulid

Nabi. Fungsi ungkapan yang digunakan oleh

Pn kepada Pt pada (24) untuk mengiaskan

Page 16: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182

180

permohonan maaf Pn kepada Pt. Jika selama

menyampaikan pidato terdapat kata-kata Pn

yang kurang berkenan di hati Pt.

Pada (25) ungkapan cikaracak ninggang

batu laun-laun jadi legok ‘suatu pekerjaan

bila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan

tidak mudah berputus asa, pasti akan

membuahkan hasil’ digunakan dalam

hubungan Pn-Pt, yakni Ustad-murid

pesantren. Pn berjenis kelamin laki-laki dan

pt berjenis kelamin laki-laki. Keadaan emosi

partisipan para penutur pada ungkapan (25)

berlangsung dalam suasana normal dan

bertempat di sebuah pesantren. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt

pada (25) untuk menasihati Pt yang tidak

begitu pintar dalam mengaji. Pn menasihati

Pt untuk tetap tekun mengaji meski

kemampuannya terbatas karena dengan

belajar tekun dan bersungguh-sungguh kelak

Pt akan lancar mengaji.

Pada (26) ungkapan munjung kudu ka

indung, muja kudu ka bapak ‘berbakti harus

kepada kedua orang tua’ dan (27) ungkapan

tunggul tong dirurud, catang tong dirumpak,

hirup katungkulan ku umar, paeh teu nyaho

dimangsa ‘dalam hidup tidak boleh

melanggar aturan hukum yang berlaku, baik

hukum agama, adat, atau negara, semua

akan dimintai pertanggungjawabannya,

untuk itu kita harus menjalani hidup ini

dengan baik, karena kematian pasti akan

datang dan kita tidak tahu kapan itu akan

terjadi’ digunakan dalam hubungan Pn-Pt,

yakni Penceramah-audiens. Pn berjenis

kelamin laki-laki dan pt berjenis kelamin

laki-laki dan perempuan. Keadaan emosi

partisipan para penutur pada ungkapan (26)

berlangsung dalam suasana normal dan

bertempat di sebuah mesjid. Fungsi

ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt

pada (26) untuk mengingatkan Pt supaya

tidak menuhankan benda mati sebab hal itu

perbuatan musyrik. Pn menganjurkan Pt

untuk mengabdi kepada kedua orangtua

sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.

Adapun Fungsi ungkapan yang digunakan

oleh Pn kepada Pt pada (27) sebagai wujud

pengiasan nasihat. Pn menasihati agar Pt

jangan melakukan perbuatan yang

melanggar aturan hukum jika ingin sehat di

dunia dan akhirat. Setiap aturan hukum

memiliki sanksi hukum.

PENUTUP

Ungkapan tradisional bahasa Sunda

sampai saat ini ternyata masih dikenal oleh

sebagian masyarakat tutur etnis Sunda di

Kota Bandung. Berdasarkan penelitian ini

ungkapan tradisional yang berhasil dihimpun

sebanyak 206 data. Dari 30 kecamatan di

Kota Bandung, Ujungberung merupakan

kecamatan yang masih mengenal ungkapan

tradisional dengan baik. Terbukti dengan

masih dikenalnya 206 ungkapan tradisional

atau sebanyak 100% data ungkapan oleh

masyarakat tutur etnis Sunda Ujungberung.

Adapun kecamatan yang sudah tidak lagi

mengenal ungkapan tradisional dengan baik

adalah Sumur Bandung. Masyarakat tutur

etnis Sunda Sumur Bandung hanya

mengenal 31 ungkapan tradisional atau

sebanyak 15% dari jumlah data.

Dari segi penggunaan, Ungkapan

tradisional masih digunakan oleh masyarakat

tutur etnis Sunda dalam hubungan Pn-Pt dari

usia remaja hingga dewasa dan genre laki-

laki - laki-laki; laki-laki - perempuan; laki-

laki - laki-laki dan perempuan, serta

perempuan - perempuan. Ungkapan

tradisional digunakan dalam berbagai situasi

tutur baik formal maupun informal dan

berlangsung dalam suasana normal, sedih,

kesal, dan marah. Ungkapan tradisional yang

masih dikenal oleh masyarakat tutur etnis

Sunda di Kota Bandung dipakai dalam

berbagai ranah yakni keluarga baik keluarga

inti maupun keluarga besar; kekariban

seperti teman karib, teman sekelas, dan

sahabat; ketetanggan baik yang tinggal di

sebelah rumah maupun yang berdekatan;

pendidikan baik pendidikan umum/sekolah,

perguruan tinggi, maupun pesantren;

pemerintahan seperti pemerintahan tingkat

kelurahan; kerja seperti lingkungan

perkantoran pemerintahan dan swasta; dan

Page 17: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)

181

agama seperti kegiatan ceramah keagamaan

dan pengajian. Adapun penggunaan

ungkapan tradisional dalam ranah

transaksional tidak ditemukan dalam

penelitian ini. Penggunaan ungkapan

tradisional berfungsi untuk mengingatkan,

menasihati, menegur, menenangkan,

mengiaskan, mengimbau, dan

mengungkapkan perasaan. Fungsi

mengingatkan, menasihati, menegur,

menenangkan, mengiaskan, dan mengimbau

memiliki muatan positif untuk kebaikan Pt

sedangkan fungsi mengungkapkan perasaan

berhubungan dengan kedukaan, kesopanan,

kesantunan, kesetiaan, kekecewaan, dan

kekesalan.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kota Bandung. (2019). Diperoleh dari

https://bandungkota.bps.go.id/public

ation/2019/08/16/bd52ff3d885d75c0

4ddcfb17/kota-bandung-dalam-

angka-2019.html

Chaer, Abdul & Leonie Agustina (2010).

Sosiolinguistik: Perkenalan Awal

(Cetakan Kedua). Jakarta: Penerbit

Rineka Cipta.

Danandjaja, James. (2007). Folklor

Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng,

dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti. Cet. VII.

Djajasudarma, T. Fatimah. (2010). Metode

Linguistik: Ancangan Metode

Penelitian dan Kajian (Cetakan

Ketiga). Bandung: Eresco.

Halliday,. M.A.K. dan Ruqaiya Hasan.

(1992) Bahasa, Konteks, dan Teks

(terjemahan). Yogyakarta: Gajah

Mada University Press.

Handayani, Tri Vincentia, Asri Soraya

Afsari, Ferli Hasanah. (2019). Mitos

dalam Ungkapan Berbahasa Sunda

dan Perancis. Jatinangor: Unpad

Press.

RPJM Kota Bandung. (2018). diperoleh dari

https://ppid.bandung.go.id/wp-

content/uploads/2016/09/Peraturan-

Daerah-No.-03-Tahun-2014-

Rencana-Pembangunan-Jangka-

Menengah-Daerah-RPJMD-Tahun-

2013-2018.pdf.

Mujinem. (1993). Fungsi Folklor Lisan

(Ungkapan Tradisional) dalam

Kehidupan Orang Jawa. Cakrawala

Pendidikan: Jurnal Ilmiha

Pendidikan. 3(12). Edisi November

1993. 33-46.

Muhtadin, Teddi, Hera Meganova Lyra,

Dian Amaliasari. (2012). Kekayaan

Batin Kaum Intelektual Sunda Abad

16: Kajian Ungkapan Bahasa dalam

Naskah Sunda Kuno di Kabupaten

Garut. Metalingua: Jurnal Penelitian

Bahasa. 10(2). Desember 2012.

Mahsun. (2005). Metode Penelitian Bahasa:

Strategi, Metode dan Tekniknya.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Masduki, Aam (2015). Kearifan Lokal

Orang Sunda dalam Ungkapan

Tradisional di Kampung Kuta,

Kabupaten Ciamis. Patanjala: Jurnal

Penelitian Sejarah dan Budaya. 7(2).

Edisi Juni 2015. 295 – 310.

Rahardi, Kunjana. (2009). Sosiopragmatik.

Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sastrawijaya, M. Maryati, Teddi Muhtadin,

Mimin Rukmini D. (2010). Kamus

Idiom Sunda-Indonesia. Bandung:

PT Kiblat Buku Utama.

Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal:

Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi

Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan

(ATL).

Sihwatik. (2017). Kajian Bentuk, Fungsi,

dan Makna Ungkapan Tradisional

Wacana Sorong Serah Aji Krama di

Kabupaten Lombok Barat dan

Relevansinya dalam Pembelajaran

Mulok di SMP. RETORIKA: Jurnal

Ilmu Bahasa, 3(1). Edisi April 2017.

93-103.

Sua, Andi Tenri. (2017, 11 Maret 2020).

Bentuk, Fungsi, dan Nilai Ungkapan

Bugis Masyarakat Bone. Diperoleh

dari

Page 18: FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA DI KOTA …

Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182

182

http://eprints.unm.ac.id/11205/1/AR

TIKEL%20DISERTASI%20OK.pdf.

\

Sumarsono. (2013). Sosolinguistik.

Yogjakarta: SABDA, Pustaka

Pelajar.

Warnaen, Suwarsih. (1987). Pandangan

Hidup Orang Sunda: Seperti

Tercermin dalam Tradisi Lisan dan

Sastra Sunda. Bandung: Bagian

Proyek Penelitian dan Pengkajian

Kebudayaan Sunda (Sundanologi)

Dirjen Kebudayaan Depdikbud.

Widyastuti, Sri Harti. (2012). Kandungan

Nilai Moral dalam Ungkapan

Tradisional Jawa dan Pepatah Cina.

LITERA: Jurnal Penelitian Bahasa,

Sastra, dan Pengajarannya, 11 (1),

Edisi April 2012. 147-157.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online).

Tersedia di:

http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/i

ndex.php. Diakses 30 Maret 2020.