fragmentasi gerakan buruh di indonesia.pdf

15
Universitas Sumatera Utara

Upload: hadan

Post on 14-Jan-2017

227 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

ISSN: 0216-9290

POLITEIA JURNAL ILMU POLITIK Volume 3|Nomor 1|Januari 2011

MANAGEMENT DIRECTOR

P. Anthonius Sitepu

CHIEF EDITOR Muryanto Amin

VICE CHIEF/SENIOR EDITOR

Husnul Isa Harahap

JUNIOR EDITORS Fuad Hasan Lubis, Fernanda Putra Adela, Dana Permana, Walid Mustafa

EDITORIAL BOARD

Heri Kusmanto Subhilhar

T. Irmayani Tonny P. Situmorang

Rosmeri Sabri Zakaria Taher

Ahmad Taufan Damanik Evi Novida Ginting

Warjio Indra Kesuma Nasution

Indra Fauzan Faisal Andri Mahrawa

MARKETING OFFICER

Emma Sari Munthe

Diterbitkan atas kerjasama: ASOSIASI ILMU POLITIK CABANG MEDAN DAN

LABORATORIUM ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Untuk berlangganan: Satu tahun (2 Edisi) Rp.80.000,- (belum termasuk biaya pengiriman)

Jurnal Politeia adalah wadah bagi para ilmuan atau peminat masalah-masalah politik dalam

menuangkan pemikiran ilmiah. Jurnal Politeia menyampaikan undangan berpartisipasi menulis kepada siapa saja dengan kriteria tulisan yang sesuai dengan tema politik

Alamat:

POLITEIA Jurnal Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760; Email: [email protected]

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Medan ©Copy Right 2011 Dilarang menggandakan, menerbitkan kembali seluruh atau sebahagian isi jurnal

tanpa seizin dari penerbit

Desain halaman sampul depan oleh: Aris Pratomo

iiUniversitas Sumatera Utara

Page 4: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

DAFTAR ISI Daftar Isi............................................................................................................................ iii Perilaku Politik Orang Banjar di Perbaungan FAISAL RIZA................................................................................................................... 1-12 Eksistensi Partai Golkar di Kabupaten Labuhanbatu pada Pemilu 2009 HUSNUL ISA HARAHAP ............................................................................................... 13-22 Pemilihan Kepala Desa di Desa Air Joman Kabupaten Asahan Tahun 2007 HERI KURNIAWAN........................................................................................................ 23-35 Konflik di Era Otonomi Daerah ROBINSON SEMBIRING................................................................................................ 36-46 Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru MURYANTO AMIN ........................................................................................................ 47-56 Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia HERI KUSMANTO .......................................................................................................... 57-70 Petunjuk Penulisan ........................................................................................................... v

iiiUniversitas Sumatera Utara

Page 5: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru

47

Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia

Pasca Orde Baru

MURYANTO AMIN

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan,

Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email: [email protected]

Diterima tanggal 1 September 2010/Disetujui tanggal 4 Oktober 2010

At a period of new order, labour movement in Indonesia is ordinary social organization. This

happened because labor organization during the period prohibited to do political activity. The

impact is labor organization didn’t have power to influence government policy at labour issue.

Since the new order was collapses, labour has become as the political power in politics.

Nevertheless that still has not yet become the real power. This Study states its problem is because

labour movement organization is fragmented. This Study discusses why this condition can happen.

To answer that question, this study uses the approach of relation between state and civil society and

use literature study and document in data collecting. The finding is: First, the labor organization in

Indonesia haves history burden, especially memory about new order experience that bridles labor

movement; The elite of labour movement organization affect different political way, because must

follow its political party rule; Last, the labour movement didn't have a movement pattern with

tactical and systematic target goals.

Keywords: Labour movement, fragmented organization, political participation.

Pendahuluan

Dinamika gerakan buruh di Indonesia dapat

dilihat sebagai refleksi dari kecenderungan

pada ikatan etnis, agama dan ideologi. Situasi

itu kemudian diperkuat dengan alasan bahwa

pembentukan serikat buruh pada dasarnya

sangat difasilitasi oleh solidaritas yang

muncul karena persamaan nasib, pengalaman

dan perjuangan.1 Setidaknya motif seperti itu

terjadi pada tahun 1950-an di Indonesia dan

berakhir pada masa Orde Baru.2 Kajian

1 E.P. Thomson, The Making of English Working

Class, (London: Pelican, 1968), hal. 68. 2 Kajian tentang watak politik gerakan serikat

buruh yang radikal pada tahun 1950-an dapat

dilihat dalam buku Iskandar Tedjasukmana. Lihat

Iskandar Tedjasukmana, ―Watak Politik Gerakan

Arthreya di India menjadi menarik karena

rasa identitas atau kesadaran kelas ternyata

berguna untuk mengorganisasi buruh, meski

ikatan etnis, agama, dan kedaerahan juga

dapat mempengaruhi persepsi dan cara

pandang para pekerja secara individual.3

Dalam sejarah Indonesia, mobilisasi gerakan

organisasi buruh selalu dilakukan untuk

kepentingan politik sehingga sering pula

memunculkan kembali polarisasi dari gerakan

Serikat Buruh‖, Modern Indonesia Project

Southeast Asia Program Department of Far

Eastern Studies, (Ithaca, New York: Cornell

University, April 2008). hal. 135-146. 3 Ankatesh B. Arthreya, Barriers Broken:

Production Relation and Agrarian Change in

Tamil Nandu, (Newburry Park, Calofornia: Sage,

1990), hal. 71.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru

48

serikat buruh yang memang pernah ada.

Fenomena seperti itu sebenarnya terjadi di

hampir semua negara di dunia.

Paska jatuhnya pemerintahan Orde Baru,

gerakan buruh memiliki permasalahan kelas

ketika proses industrialisasi telah merasuk ke

dalam individu buruh itu sendiri khususnya

paska jatuhnya pemerintah Orde Baru. Per-

juangan serikat pekerja di Indonesia telah

mengalami pergeseran dari isu-isu kesejah-

teraan menjadi perjuangan eksistensial yang

hanya sekadar mempertahankan pekerjaannya

sendiri. Gerakan buruh saat ini kondisinya

sangat fragmented secara sangat luas. Frag-

mentasi itu bisa berdasarkan orientasi dan

afiliasi politiknya, programnya, figurnya, dan

macam-macam. Problem ini menjadi masalah

utama buruh sehingga tidak memiliki posisi

tawar-politis yang kuat, baik dengan pengu-

saha maupun dengan penguasa. Problem

lainnya adalah rendahnya kesadaran beror-

ganisasi di kalangan buruh dan ini terkait

dengan warisan depolitisasi Orde Baru yang

cukup lama. Pada saat itu hampir semua

sektor di-depolitisasi, termasuk sektor buruh

sehingga para buruh cenderung menghindari

persoalan-persoalan politik yang konkret.

Meskipun kebebasan untuk membentuk

organisasi telah diatur dalam undang-undang,

namun bukan berarti dengan serta merta

diiringi oleh kemampuan untuk menata

pengorganisasian buruh. Banyak faktor yang

mempengaruhi lemahnya institusi buruh,

sejak jatuhnya pemerintah Orde Baru dian-

taranya adalah tingkat pengangguran yang

tinggi sebagai akibat dari krisis ekonomi

memberikan pengaruh negatif. Di sisi lain,

warisan subordinasi, tekanan dan kontrol

yang ketat selama Orde Baru, telah me-

nyebabkan kelas pekerja hanya memiliki

sedikit keterampilan dan kemampuan ber-

organisasi.

Kondisi di atas akhirnya menjebak para

aktivis buruh untuk terlibat hanya pada

persoalan-persoalan spesifik buruh semata.

Mereka hanya sibuk dengan urusan-urusan

sektoralnya saja dan jarang terlibat dalam

persoalan-persoalan kebangsaan yang lebih

luas. Sehingga, kebebasan berorganisasi yang

dimiliki oleh kaum buruh tidak diiringi

dengan penguatannya sebagai kekuatan sosial

dan politik dan tetap berada pada posisi yang

lemah. Untuk merespon perubahan sisten

ekonomi-politik, serikat buruh perlu menata

ulang berbagai aspek gerakan. Beragam latar

belakang sejarah harus dijadikan sebagai

cermin saja untuk tidak mengulangi sejarah

kelam buruh. Dengan latar belakang seperti

itu, maka pertanyaan penting yang hendak

dibahas dalam makalah ini adalah mengapa

gerakan buruh semakin terfragmentasi pada

saat perluasan kebebasan membentuk

organisasi semakin terbuka lebar saat ini?

Pendekatan dan Metode

Studi ini dilakukan dengan pendekatan relasi

negara dan masyarakat (state and civil

society) tertutama dikaitkan dengan

industrialisasi dan pembangunan ekonomi..

Fokusnya pada gerakan buruh di Indonesia.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara

studi pustaka dan dokumen. Analisis

dilakukan dengan metode pemaparan sejarah

serta perbandingan fenomena teruma terkait

dengan struktur kelas dan konfliknya.

Kekuatan Politik Kaum Buruh di

Indonesia

Gerakan serikat buruh dapat dilihat dalam

konteks relasi negara dan masyarakat (state

and civil society) tertutama dikaitkan dengan

industrialisasi dan pembangunan ekonomi.

Konsep-konsep tentang relasi tersebut banyak

yang menjelaskan bahwa dalam proses

industrialisasi tentu akan menimbulkan

persoalan dalam aliansi-aliansi politik

maupun kondisi dan kecenderungannya di

hampir seluruh kekuatan politik dan ekonomi

di Dunia Ketiga tidak terkecuali di Indonesia.

Di pihak civil society sendiri terdapat

kecederungan bahwa elemen-elemennya yang

paling dianggap progresif adalah kelas

menengah atau kaum borjuis, karena

merekalah yang paling memungkinkan

mengembangkan aspirasinya dan dianggap

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru

49

sebagai agen demokratis ketimbang kelas

pekerja. Sedangkan di pihak state, proses

industrialisasi mengharuskan melakukan

tekanan-tekanan kepada kelompok-kelompok

lain dalam civil society yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakatnya.

Model negara birokratis-otoriter menjelaskan

bahwa pada dasarnya, munculnya tekanan

negara kepada civil society untuk alasan

industrialisasi merupakan tindakan yang tidak

bisa dihindarkan dan pada gilirannya

mempengaruhi negara dan kekuatan-kekuatan

politik.4 O’Donnell kemudian menjelaskan

bahwa betapa peningkatan dan deepening

(pendalaman) industrialisasi akan

menimbulkan ketegangan antara negara dan

unsur-unsur masyarakat, yang mengandung

potensi terjadinya krisis legitimasi negara.5

Istilah civil society di Indonesia sendiri

berkembang dengan acuan yang paling besar

pada kajian para pemilik modal atau kelas

menengah dan sering mengabaikan

kepentingan lain yang tersubordinasikan

seperti buruh misalnya.6 Namun, sebenarnya

terdapat suatu konservatisme politik dalam

kelas-kelas ini karena ketergantungannya

pada negara. Sehingga, persoalannya

kemudian adalah menemukan cara untuk

memutus ikatan-ikatan atau mengurangi

ketergantungan tersebut. Meskipun terlalu

sulit untuk menciptakan kepentingan bersama

yang menonjol dalam civil society.

4 Lihat Guilllermo O’Donnell dan Philipe C.

Schmitter, Transition from Authoritarian Rule:

Tentative Conclusions about Uncertain

Democracies, (Baltimore: John Hopkins

University Press, 1986). 5 Ibid., hal. 15

6 Pemikir ekonomi-politik yang dipengaruhi

Marxis seperti Arif Budiman, Sjahrir misalnya

juga mengambil sikap serupa. Bahwa para

pengusaha atau pemilik modal/kelas menengah

akan semakin besar vis a vis negara meskipun

secara perlahan dan tidak langsung. Lihat Arif

Budiman (ed.), ―State and Civil Society in

Indonesia‖, Monash Papers on Southeast Asia,

22, (Clayton: Monash University, 1990).

AS Hikam misalnya melihat adanya

kepentingan dari berbagai kelompok yang

berlainan (profesional kelas menengah,

pekerja, wartawan, petani, dan lain

sebagainya) dan saling bertalian saat mereka

berhadapan dengan kekuasaan negara.7

Persoalan yang muncul kemudian adalah

fragmentasi civil society yang diakibatkan

oleh menononjolnya loyalitas kelompok

khususnya di tengah-tengah kelas menengah.

Akibatnya, muncul suatu pemahaman bahwa

harus ada kepentingan politik bersama yang

objektif dan lebih luas untuk mengatasi

keterpecahan yang didasarkan atas loyalitas

sempit itu. Dengan demikian, kekuatan-

kekuatan kelompok-kelompok masyarakat

akan semakin efektif dalam membatasi

kekuasaan negara.

Salah satu usulan strategis untuk membuka

ruang politik bagi negara-negara yang

terhambat dalam melakukan industrialisasi

adalah aliansi antara pekerja dan kelas

menengah.8 Namun, usulan itu tidak mudah

terjadi di Indonesia karena telah berlangsung

penyingkiran politik terhadap kelas pekerja

selama Orde Baru bukan hanya di arena

politik namun juga dari wacana intelektual.

Pada saat yang sama pula, kaum pekerja

sendiri memang terlambat untuk bergabung

dengan kekuatan politik lainnya. Gerakan

buruh pada saat jatuhnya pemerintahan

Soeharto itu berlangsung secara parsial atau

terpisah dengan gerakan-gerakan kekuatan

politik lainnya, kalaupun bertemu hanya

dianggap untuk kepentingan taktis saja bukan

strategis. Akibatnya, gerakan buruh secara

keseluruhan terpecah-pecah dan tidak teratur.

Gerakan ini tidak menghasilkan agenda

konkrit dalam kaitannya dengan reformasi

ekonomi yang dapat menampung aspirasi

buruh.

Meskipun munculnya kekuatan civil society,

namun bukan berarti kekuatan state itu

7 AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society,

(Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 3-8. 8 Dietrich Rueschmeyer (et.all), Capitalist

Development and Democracy, (Cambridge: Polity

Press, 1992).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru

50

menurun. Paska jatuhnya pemerintah

Soeharto yang terjadi adalah negara jauh

lebih lemah, namun di sisi lain, terdapat pula

civil society— kekuatan buruh, yang

terpecah-pecah dan tidak teratur. Gerakan

buruh masih tetap tersubordinasikan dan

tidak banyak mempunyai pengaruh terhadap

sebagian besar agenda reformasi yang

didukung kaum reformis kelas menengah.

Proses industrialisasi masa Orde Baru, jelas

meminggirkan kaum buruh dalam kemajuan

ekonomi kelompok buruh itu sendiri. Setelah

itu terdapat ruang kebebasan dalam

demokratisasi yang dimiliki oleh kaum buruh

seperti menyalurkan aspirasi ekonomi dan

politiknya sesuai dengan kehendaknya dan

tidak lagi terkungkung dalam satu koridor

tertentu. Namun, kebebasan politik itu tidak

dibarengi dengan kemampuan untuk

meningkatkan manajemen pengorganisasian

buruh secara integratif.

Sejarah kekuatan gerakan serikat buruh di

Indonesia sudah dimulai sejak awal

perjuangan nasionalis dan menunjukkan

peran yang cukup menonjol. Gerakan buruh

ketika itu, tidak hanya berbasis pada wilayah

sosial-ekonomi, namun juga berwatak politis.

Meskipun pada tahun 1920-an dikekang oleh

kekuasaan kolonial Belanda, namun gerakan

buruh bangkit kembali dalam bentuk

perjuangan senjata, yang dikenal dengan

lasykar buruh, di tahun-tahun 1945-1949.

Bentuk perjuangannya yaitu mempertahankan

tempat kerja melawan tentara Belanda dan

merampas fasilitas-fasilitas produksi milik

asing dalam suatu gerakan nasional.

Kekuatan buruh itu muncul terkait afiliasi

gerakannya dengan partai politik yang

merupakan kekuatan politik sah dan sangat

menonjol serta kekuatan borjuasi domestik

belum muncul sama sekali.

Kekuatan gerakan serikat buruh ini semakin

berkembang pada tahun 1950-an ketika

mempelopori nasionalisasi perusahaan-

perusahaan Belanda dan perusahaan milik

asing lainnya. Praktik itu bermula dari

gagasan yang muncul tentang masuknya

dewan-dewan pekerja yang menjalankan

perusahaan tersebut. Namun, perusahaan-

perusahaan itu akhirnya menjadi perusahaan

milik negara yang dikendalikan militer dan

tidak jarang mengalami pergesekan dengan

gerakan buruh yang lebih militan untuk

berjuang mempertahankan hidup. Keadaan

ketika itu menunjukkan empat federasi

nasional yang besar, tiga federasi kecil, dan

sejumlah organisai buruh yang baru dibentuk

serta sangat kecil dalam ukuran dan

keanggotaannya. Diantara organisasi buruh

yang besar adalah Sentral Organisasi Buruh

Indonesia (SOBSI) dan Serikat Buruh Per-

kebunan Republik Indonesia (SARBUPRI)

yang berafiliasi dengan SOBSI.9

Sejarah gerakan buruh yang cukup aktif dan

bersifat politis ini mengalami penurunan yang

drastis pada saat Orde Baru menyusun koalisi

kekuatan politik yang dipimpin tentara yang

sebelumnya didahului oleh penghancuran

Partai Komunis Indonesia (PKI). Pengam-

bilalihan fungsi manajerial atas perusahaan-

perusahaan negara yang dilakukan tentara

untuk menjaga kedamaian industrial. Se-

hingga, mengharuskan tentara untuk terlibat

langsung dalam konfrontasi dengan serikat-

serikat pekerja radikal yang terkait dengan

SOBSI. Penyingkiran organisasi itu dari

kancah politik berakibat pada melemahnya

kaum buruh secara signifikan pada awal

kemunculan Orde Baru.

Konsolidasi kekuasaan negara terjadi sangat

cepat setelah pendirian Orde Baru. Kontrol

yang sangat ketat dijalankan kepada buruh

sampai pada tahun 1973 dibentuklah sebuah

organisasi buruh secara tunggal yang

9 Gerakan serikat buruh yang radikal dan

mempelopori nasionalisasi itu terlihat jelas di

perusahaan perkebunan milik Belanda dan

perusahaan asing lainnya dilakukan oleh SOBSI

dan SARBUPRI yang berkaitan dengan PKI.

Suasana hubungan buruh dan pengusaha, saat itu,

diwarnai oleh konflik seperti pemogokan kerja

yagn berakibat kepada menurunya produktivitas.

Untuk jelasnya lihat Ann Laura Stoler,

Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk

Perkebunan Sumatera: 1870-1979, (Yogyakarta:

Karsa, 1985), hal. 213-214.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru

51

disetujui oleh negara dan berbentuk federasi

yaitu FBSI (Federasi Buruh Seluruh

Indonesia). Bersamaan dengan itu, hubungan

gerakan buruh dengan partai politik

diputuskan dan aktivitas FBSI didesak hanya

menyangkut wilayah sosial dan ekonomi.10

Orde Baru mengadopsi gagasan tentang

pemisahan wilayah sosial-ekonomi dari

wilayah politik untuk meminimalisir gerakan

buruh yang di masa-masa sebelumnya sangat

menonjol.

Pada tahun 1985 FBSI merubah namanya

menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh

Indonesia) agar lebih terpusat, hierarkis

sehingga lebih mudah dikontrol.

Transformasi terus dilakukan untuk

menyesuaikan perkembangan dari keinginan

negara dan di tahun 1995 berubah nama

menjadi FSPSI (Federasi Serikat Pekerja

Seluruh Indonesia) dan terakhir pada tahun

2001 menjadi KSPSI (Konfederasi Serikat

Pekerja Seluruh Indonesia). Ketika tahun

1980-an, organisasi ini disiapkan untuk

membantu aparat keamanan dalam

mengindentifikasi dan menghadapi berbagai

perkembangan yang membahayakan di

bidang perburuhan. Semua penataan itu

dilakukan untuk menjamin stabilitas politik

bagi keberhasilan ekonomi dalam wacana

resmi bahwa kaum buruh dianggap sebagai

sumber gangguan.

Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto,

pekerja setidaknya menghadapi berbagai

rintangan besar dalam membangun gerakan

buruh yang efektif. Pertama, mobilisasi

modal internasional ke seluruh negara-negara

di dunia menyebabkan melemahnya daya

tawar pekerja secara global. Modal

internasional itu diinjeksi ke industri-industri

padat buruh yang berupah rendah dan

berorientasi ekspor. Industri seperti itu

menghasilkan karakter pekerja yang berusia

muda, perempuan dan mudah berpindah-

10

Agus Sudono, FBSI Dahulu, Sekarang, dan

Yang Akan Datang, (Jakarta: The Limits of

Openness, Human Right in Indonesia and East

Timor, 1981), hal. 26.

pindah dari satu perusahaan ke perusahaan

lain. Kedua, sangat berlebihnya persediaan

buruh di Indonesia akan terus menjadi faktor

penghambat yang serius bagi perkembangan

suatu gerakan kelas pekerja yang kuat.

Realitas akan tingkat pengangguran dan

kekurangan pekerja yang tinggi sebagai

akibat krisis ekonomi saat itu.

Sepanjang tahun 1999 dan 2000-an jumlah

angka pengangguran menjadi membengkak

hampir 17 juta dari kira-kira 90 juta tenaga

kerja (Kompas, 19 Februari 2000). Fakta itu

disebabkan karena perekonomian mengalami

penyusutan hingga 14 persen di tahun 1999.

Bahkan dalam masa-masa kemajuan

ekonomi, hanya 2,3 juta dari 2,7 juga tenaga

kerja baru yang dapat diserap dalam setiap

tahunnya. Keadaan seperti itu jelas tidak

mendukung bagi usaha-usaha untuk

memperkuat kemampuan kaum pekerja

dalam berorganisasi.

Sebelum krisis ekonomi terjadi dan di akhir-

akhir jatuhnya Orde Baru, aktivitas organisasi

yang independen di tingkat akar rumput

memperlihatkan tantangannya terhadap

kekakuan korporatisme otoriter Orde Baru.

Pembentukan satu wadah yang ditopang oleh

negara direspon dengan berkembangbiaknya

wadah-wadah organisasi berbasis komunitas

lokal yang seringsekali bekerja sama dengan

organisasi non pemerintah (ornop) berbasis

buruh. Sebagian ornop dan kaum pekerja

kemudian bergabung dalam berbagai usaha

yang secara langsung ditujukan untuk

membentuk serikat-serikat buruh yang

independen dari negara. Upaya seperti itu

antara lain melahirkan misalnya SBM

Setiakawan (Serikat Buruh Merdeka

Setiakawan) yang dibentuk pada tahun 1990

dan SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia)

pada tahun 1992. Keduanya menjalankan

aktivitas yang begitu beragam seperti

memajukan pendidikan buruh, koperasi,

program latihan organisasi dan kelompok-

kelompok diskusi yang bertujuan

memperkuat pemahaman gerakan hak-hak

buruh. Upaya tersebut kemudian mendapat

sokongan dari lembaga-lembaga internasional

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru

52

atau negara-negara yang memiliki keterkaitan

dengan organisasi buruh seperti Belanda dan

Jerman. Serikat buruh yang terbentuk tersebut

kemudian meluaskan hubungannya dengan

kelompok-kelompok mahasiswa.

Hingga saat ini, bisa dipastikan, bahwa kaum

pekerja tidak menemukan sarana untuk maju

berkembang ke arah bentuk-bentuk organisasi

yang lebih matang dan efektif, terlepas dari

perkembangan politik yang terjadi paska

pemerintahan Soeharto. Mereka masih tetap

tidak mampu membangun organisasi-orga-

nisasi yang menyerupai gerakan minju-no-jo

di Korea Selatan di akhir 1980-an, atau KMU

di Filipina, yang kehadirannya cukup nyata

dan signifikan untuk mencegah berbagai

usaha yang bertujuan untuk menghancurkan

mereka lewat tindakan sewenang-wenang

atau penindasan pemerintah.

Aliansi buruh dengan kelompok-kelompok

kelas menengah hanya terbatas dengan ornop

dan aktivis mahasiswa, meskipun sebagian

pekerja ―berkerah putih‖ di sektor perbankan,

finansial dan angkutan udara – yang juga

terancam oleh krisis ekonomi – juga

berencana untuk membentuk serikat-serikat

independen. Perkembangan inilah yang

kemudian dapat dilihat bahwa aliansi antar

serikat pekerja menjadi tidak lebih kuat dari

periode yang pernah dialami Indonesia ketika

tahun 1950-an.

Benih Konflik Gerakan Serikat Buruh

Ketika harapan akan bangkitnya serikat buruh

untuk memperjuangkan kepentingannya

ternyata diikuti dengan kondisi yang tidak

mendukung untuk itu. Setidaknya pada tahun

1999 telah terdaftar lima belas serikat buruh

di Departemen Tenaga Kerja, meski

organisasi buruh yang militan tidak tertarik

untuk menerima pengakuan dari negara.

Terlepas dari kebangkitan ini, besarnya

pengangguran secara masif di Indonesia

sangat mungkin memunculkan rintangan

terhadap kemajuan nyata yang tengah dibuat

kaum buruh.

Sementara itu, dengan adanya perubahan

undang-undang partai politik, partai-partai

yang berbasis buruh juga telah berdiri dan

melibatkan sebagian tokoh-tokoh penting di

FSPSI yang di masa lalu biasanya merupakan

pendukung setia Golkar. Meskipun begitu,

partai-partai buruh ini tetap jauh dari kaum

pekerja dan sebagian besar tidak lebih dari

sekedar arena permainan elit-elit politik. Jika

kita lihat dari hasil pemilu 1999 dan 2004

baik PDIP dan Golkar, yang memenangkan di

kedua pemilihan umum itu, tidak mempunyai

hubungan secara organik dengan gerakan

buruh. Para pemimpin partai-partai itu

merupakan hasil kombinasi dari pejabat yang

mendukung Orde Baru serta sekelompok

kecil para ahli ekonom liberal – yang sering

sekali tidak memiliki keterkaitan secara erat

dengan kepentingan kaum buruh.

Implikasi yang terjadi kemudian bagi gerakan

buruh adalah bahwa tidak banyaknya

kecenderungan yang mengarah pada

konsolidasi di antara para aktivis buruh

independen selama masa transisi hingga saat

ini. Sebagian elit-elit itu kemudian

berkecimpung untuk perselisihan paham, dan

pilihan yang strageis untuk kepentingan-

kepentingan pribadi. Namun, mereka juga

sadar bahwa keadaan yang terpecah-pecah itu

membuat posisi objektifnya semakin lemah

dan tidak banyak membantu kemampuan

mereka untuk memanfaatkan kesempatan

apapun yang telah terhidang oleh runtuhnya

Orde Baru.

Sekalipun serikat-serikat pekerja pendatang

baru telah berhasil memperoleh pengaruh

dalam kerangka resmi hubungan-hubungan

industri, namun keterpecahan bibit gerakan

buruh independen yang terus terjadi

merupakan suatu cerminan dari tidak

padunya gerakan civil society secara umum.

Ini menunjukkan bahwa terjadi

ketidakpaduan diantara kelompok-kelompok

dan kelas-kelas sosial yang paling

dipinggirkan selama Orde Baru. Sejumlah

besar serikat-serikat kerja independen yang

didirikan dalam tahun 1999 sampai 2000-an

yang telah menantang penataan institusional

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru

53

oleh negara dan sebelumnya hanya mengakui

FSPSI jarang menemukan kebulatan dalam

memperjuangkan hak-hak para anggotanya.

Bahkan FSPSI mengalami perpecahan

internal yang serius dengan munculnya

FSPSI Reformasi. Menjelang tahun 2001,

lebih dari tiga lusin organisasi serikat buruh

berfederasi telah mendaftar ke Departemen

Tenaga Kerja. Sayangnya, kemunculan

serikat–serikat pekerja itu tidak diiringi oleh

respon positif dalam mengelola desakan

tuntutan untuk upah dan kondisi kerja yang

lebih baik. Pada tahun 2003 telah terjadi 273

kali pemogokan dan secara mengejutkan

menunjukkan tidak adanya hambatan-

hambatan serius dalam aksi mogok tersebut.

Fenomena mogok kerja ketika itu tidak

direspon secara integratif oleh serikat pekerja

agar memiliki kekuatan yang padu untuk

memperhatikan kesejahteraan buruh dalam

tataran politik nasional.11

Ketidakpaduan serikat-serikat pekerja

disebabkan karena profil dari organisasi

cukup bervariasi. Sebut saja misalnya

Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia

(PPMI) yang didirikan terkait dengan Ikatan

Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang

dibentuk oleh Habibie. Serikat ini memiliki

kepentingan untuk mendukung kelompok

kelas menengah muslim yang sedang bangkit

untuk menguasai kekuasaan birokrasi.

Operator politik jarigan Habibie lainnya

seperti Jumhur Hidayat, mantan aktivis

mahasiswa anti Soeharto, menbentuk

Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia

(Gaspermindo). Sementara Agus Sudono,

mantan Ketua Umum FBSI, mendirikan

organisasi dengan singkatan nama yang sama

dengan federasi buruh yang terkait dengan

Masyumi pada tahun 1950-an, yaitu

Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia

(Gasbiindo).

11

Ulasan lengkap tentan hal ini lihat Vedi R.

Hadiz, ―Globalization, Labor and the State: The

Case of Indonesia‖, Asia Pacific Business Review,

(Edisi Khusus tentang Globalisai dan Buruh di

Asia).

Bersamaan itu pula, jenis-jenis organisasi

buruh lain bermunculan yang berbasis

wilayah dan dulunya menentang

pemerintahan Soeharto seperti Serikat Buruh

Jabotabek, Jaringan Buruh Antar Kota

(Jebak), Serikat Buruh Sumatera Utara

(SBSU), Komite Buruh Aksi Reformasi

(Kobar). Kobar terkait erat dengan kelompok-

kelompok kecil buruh radikal dan telah

memainkan peran instrumental dalam

pembentukan Federasi Nasional Perjuangan

Buruh Indonesia (FNPBI). Organisasi buruh

lainnya juga terbentuk di Surabaya seperti

Serikat Buruh Reformasi Surabaya dan

Serikat Buruh Independen Indonesia di Jawa

Tengah.

Perdebatan tentang kemungkinan

diperlukannya partai-partai politik berbasis

buruh juga meluas. Namun, ironisnya, tokoh-

tokoh terkait FSPSI membentuk Partai

Pekerja Indonesia hanya sehari sebelum

Soeharto mundur. Partai lain seperti Partai

SPSI, juga dibentuk oleh sekelompok

pemimpin serikat buruh yang berbeda,

sementara Muchtar Pakpahan mendirikan

Partai Buruh Nasional (PBN). Selain itu,

Partai Solidaritas Pekerja (PSP) dibentuk

dengan bantuan dana yang diduga berasal

dari seorang anggota keluarga Soeharto.

Meski demikian, semua partai itu tampil

buruk pada pemilu 1999 dan 2004. Tak satu

pun kursi DPR yang dapat mereka raih.

Faktor penting kegagalan di balik itu adalah

terletak pada kenyataan bahwa para pekerja

agaknya tidak memberikan suaranya secara

padu, dan banyak aktivis buruh yang enggan

melakukan usaha-usaha untuk membentuk

parti-partai buruh semu seperti itu. Para

aktivis itu mungkin khawatir terhadap

manipulasi-manipulasi yang dilakukan oleh

para oportunis politik. Atas dasar itu, mereka

kemudian lebih memprioritaskan penguatan

gerakan serikat buruh. Kebanyakan dari

mereka menyatakan bahwa tidak ada partai

buruh murni yang bisa tumbuh subur tanpa

adanya suatu gerakan buruh yang efektif.

Tanpa gerakan semacam itu, sebuah partai

buruh tidak akan dapat sejalan dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru

54

klaimnya sebagai representasi kepentingan

pekerja. Efek langsungnya adalah bahwa para

pekerja tetap menjadi swing voters. Dengan

tidak adanya partai buruh yang riil bersamaan

dengan kehadiran sederetan organisasi buruh,

tidak ada satu pun yang memiliki legitimasi

untuk bernegosiasi atas nama pekerja dengan

berbagai kelompok elit politik.

Aliansi diantara berbagai kelompok buruh

juga sulit dilakukan lantaran fragmentasi

dalam gerakan buruh, kendati pun ada

beberapa pengecualian. Sebut saja misalnya

Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBI)

yang terdiri dari Gaspermindo dan Gasbiindo,

yang terbentuk tahun 1999, sementara Forum

Solidaritas Unionis (FSU) secara agak aneh

menghimpun berbagai organisasi yang

memiliki perbedaan orientasi seperti SBSI,

FSPSI Reformasi, FNPBI, serta sebuah

serikat buruh para pekerja kelas menengah

sektor perbankan dan keuangan. Namun,

pengelompokan-pengelompokan ini

tampaknya lebih bersifat ad hoc daripada

permanen.

Meskipun di tengah-tengah partai politik

besar seperti PDIP dan Golkar misalnya

terdapat departemen-departemen buruh

namun hanya sedikit dari mereka yang

menunjukkan minat untuk mengembangkan

konstituen buruh yang kuat selama Pemilu

1999 dan Pemilu 2004. Banyak pihak yang

meyakini bahwa simpati para pekerja industri

diberikan pada PDIP pimpinan Megawati

Soekarnoputri terutama karena aura

populisme dan egalitarianisme Soekarno yang

dipancarkan partai itu. Ironisnya, posisi partai

ini terhadap buruh hanya terbatas pada

komentar-komentar mengenai perlindungan

kepada buruh sebagai faktor produksi

manusia yang bersifat khusus dan hanya niat

untuk mengembangkan suatu sistem jaminan

sosial, namun tidak sampai pada langkah

konkrit dalam bentuk legislasi dan

pengawasan yang ketat. Sementara, tidak ada

perwakilan buruh di dewan pimpinan pusat

dan sebaliknya sering pula terjadi milisi sipil

PDIP telah disewa para pengusaha industri

untuk meredam gejolak buruh.12

Aneka perubahan ekonomi-politik

internasional juga mempengaruhi gerakan

buruh di Indonesia yang memiliki ciri

khasnya sendiri dan membedakannya dengan

gerakan buruh di Eropa misalnya. Beberapa

perbedaan adalah sebagai berikut pertama

Struktur masyarakat Indonesia berbeda

dengan Eropa. Di Indonesia tidak ada

kapitalis borjuasi munis dan proletar murni,

sedangkan di negara-negara Eropa perbedaan

kelas itu jelas ada. Tidak ada kelas buruh

sejati karena mayoritas buruh di Indonesia

bekerja di sektor agrikultur, Usaha Kecil

Menengah (UKM) dan Koperasi, serta sektor

informal. Sedangkan majikan tidak pula dapat

disamakan dengan kategori kelas borjuasi

murni sesuai dengan kategori Marx ketika

melihat dan menyampaikan ide tentang

analisis kelas untuk meningkatkan posisi

politik kaum buruh. Perbedaan ini merupakan

kasus yang khas di Indonesia dengan

masyarakat di Eropa seperti Inggris dan

Jerman.

Mengorganisasi buruh dengan tujuan akhir

menumbangkan kelas kapitalis jelas salah

kaprah atau kesilapan strategi dan ahistoris

yang berakibat pada semakin melemahnya

posisi tawar buruh. Sejak beberapa tahun lalu,

baik di ILO maupun wadah serikat buruh

dunia (ITUC) mengembangkan social

dialogue sebagai kunci penyelesaian

perselisihan perburuhan. Perubahan yang

perlu dilakukan adalah membuat sistem yang

lebih adil. Perundingan menjadi lebih

produktif ketimbang konfrontasi di jalanan.

Mogok dan demo tetap perlu sebagai

12

Meskipun Jacob Nuwawea, Menteri Tenaga

Kerja dan Tranmigrasi di Pemerintahan Megawati

Soekarnoputri dan Ketua Umum FSPSI (satu-

satunya organisai buruh masa Orde Baru yang

mengaku telah mereformasi dirinya), namun

kebijakan perburuhan ketika itu baru pada tataran

normatif di saat munculnya beragam organisasi

buruh. Beberapa kebijakan perburuhan ketika itu

justru menimbulkan beberapa permasalahan

hubungan antara pengusaha-pekerja.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru

55

pamungkas, tetapi tidak bisa dijadikan

sebagai indikator mengukur kehebatan

gerakan buruh yang diorganisir. Indikator

utama terpulang pada apa hasil akhir positif

yang diterima buruh.

Kedua, kualifikasi pemahaman para aktivis

buruh di Indonesia tidak sama dengan aktivis

buruh di Eropa. Selama ini banyak aktivis

buruh bergelut dalam tataran normatif,

misalnya terkait kenaikan upah, THR, dan

pesangon. Aktivis buruh di Indonesia belum

begitu paham usulan yang bersifat makro,

seperti konsep pengupahan yang lebih adil,

sistem jaminan sosial, konsep peningkatan

produktivitas, dan penanggulangan

pengangguran. Para aktivis buruh di

Indonesia cenderung lebih mengedepankan

sikap reaktif daripada solutif dalam

merespons kebijakan baru. Sedangkan di

negara-negara Eropa, aktivis buruh lebih

mengelaborasi usulan-usulan alternatif yang

masuk akal sehinga dapat memperluas

dukungan dari masyarakat. Sehingga, gerakan

buruh di Eropa memiliki relevansinya baik

bagi buruh dan masyarakat.

Ketiga, terkait dengan ideologi aktivis serikat

buruh. Banyak aktivis serikat buruh di

Indonesia yang tidak jernih memposisikan

dirinya sebagai pejuang buruh. Ada aktivis

serikat buruh yang sering berpindah dari satu

serikat buruh ke serikat buruh lainnya

sehingga memperluas fragmentasi, kemudian

menjadi pengurus di partai yang tidak punya

program perburuhan, termasuk juga memiliki

perusahaan outsourching, menjadi kuasa

hukum buruh, tetapi justru mengorbankan

buruh. Sementara yel-yel yang diteriakkan

melakukan revolusi buruh dan perjuangan

kelas. Aktivis ‖setengah hati‖ dengan

orientasi pragmatis hanya menambah deretan

panjang fragmentasi buruh di Indonesia.

Berbeda dengan para aktivis buruh di negara-

negara Eropa, di mana para aktivisnya sangat

menekankan pentingnya ideologi yang harus

diyakini. Sebentuk perangkat perjuangan

aktivis buruh baik di partai politik dan

parlemen selalu terkait dengan platform dan

program yang sesuai dengan aspirasi buruh.

Sehingga, ketika perubahan ekonomi terjadi,

para aktivis dan pemimpin buruh

menempatkan kepentingan buruh dan

masyarakat sebagai garda terdepan dalam

perjuangan kebijakan publik.

Untuk merespon perubahan sistem ekonomi-

politik, serikat buruh di Indonesia perlu

menata ulang berbagai aspek gerakannya.

Reposisi diperlukan guna memperkuat

relevansi gerakan buruh. Ada tiga alasan

penting mengapa serikat buruh perlu

mereposisi. Pertama, perubahan politik dan

demokratisasi. Setelah Indonesia meratifikasi

Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan

Berserikat Tahun 1998, buruh bebas

membentuk serikat buruh, bahkan Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2000 mengizinkan

hanya dengan 10 orang, serikat buruh bisa

didirikan. Itu sebabnya kini ada ratusan atau

tercatat 87 serikat buruh tingkat nasional dan

ratusan lainnya di tingkat daerah. Pengalaman

internasional gerakan buruh mencatat

banyaknya serikat buruh cenderung

mendorong fragmentasi, konflik

horizontal,dan melemahkan perjuangan

buruh.

Kedua, terkait dengan perubahan sistem

fleksibilitas kerja baru. Liberalisasi

outsourching dan buruh kontrak sejak

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

menyulitkan pola pengorganisasian serikat

buruh. Praktik outsourching dan kerja

kontrak membuat buruh menjadi moving

target, selalu bergerak dari majikan yang satu

ke majikan yang lain, dengan kondisi kerja

berlainan. Situasi ini tidak bisa diikuti serikat

buruh dengan struktur model lama (old

fashioned structure) yang biasanya mengikuti

hierariki birokrasi pemerintah (pusat,

provinsi, dan kabupaten/kota). Model seperti

ini tak cukup fleksibel dalam merespons

perubahan pasar kerja. Perlu dipertimbangkan

dan justru diperbanyak model organiasi

matriks yang bersifar fleksibel pula untuk

merespons situasi ekonomi yang semakin

cepat berubah.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru

56

Ketiga, kian terintegarisnya pasar global

pasar global dan kuatnya peran korporasi

multinasional (MNC’s) membuat gerakan

buruh domestik harus memiliki jaringan kerja

kuat dengan gerakan buruh internasional.

Jejaring dengan gerakan buruh internasional

menjadi keniscayaan. Aktivis serikat buruh

diharuskan memahami peta ekonomi global,

seperti dalam Global Compact, panduan

OECD atas MNC’s, kesepakatan

internasional antara federasi serikat buruh

internasional dan MNC’s (IFA), konvensi

ILO, kebijakan Uni Eropa atas investasi, dan

tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate

Social Responsibility).

Pasar kerja telah berubah, gerakan buruh

harus lebih canggih daripada masa lalu.

Gerakan buruh yang hanya mengandalkan

militansi dan mobilisasi massa tidak lagi

efektif. Dibutuhkan gerakan buruh yang

memiliki kapasitas bernegosiasi, lobi, riset,

penguasaan bahasa asing, dan menawarkan

alternatif kebijakan. Aneka perubahan

tersebut menuntut beberapa penyesuaian di

tingkat organisasi. Struktur buruh harus

mengikuti kecenderungan fleksibilitas pasar

kerja. Kantor serikat buruh di kawasan buruh,

jam kerja yang disesuaikan shift kerja buruh.

Struktur serikat buruh nasional harus lebih

sederhana sehingga tidak membebani

keuangan saat berkongres atau menghadiri

pertemuan nasional. Organsisi buruh harus

lebih fleksibel dan mampu secara finansial.

Penutup

Model negara birokratis-otoriter yang telah

diterapkan selama 32 tahun masa Orde Baru

memiliki implikasi yang menjelaskan

munculnya kembali kekuatan buruh dalam

bentuk yang berbeda, yakni terfragmentasi.

Fragmentasi itu akhirnya menjadi masalah

utama buruh sehingga tidak memiliki posisi

tawar-politis yang kuat, baik dengan

pengusaha maupun dengan penguasa. Ada

tiga hal utama mengapa hal ini bisa terjadi.

Pertama, terfragmentasinya gerakan buruh

disebabkan karena organisasi buruh di

Indonesia memiliki beban sejarah, terutama

sejarah orde baru yang melarang organisasi

buruh berpolitik; Kedua, dibukanya

kesempatan yang luas dalam berpolitik

menyebabkan elit organisasi gerakan buruh

terserap kedalam organisasi partai politik

yang berlainan; Ketiga, gerakan buruh belum

memiliki pola gerakan yang terarah dengan

target tujuan yang jelas serta sistematis.

Bahkan sebagian kalangan buruh masih

memiliki paradigma yang mengikuti

paradigma konflik kelas. Solusi penting yang

harus dilakukan adalah mencari sebuah

tempat yang sah dalam arena politik sekaligus

mengendapkan terlebih dahulu sekat-sekat

politik masa lalu. Tugas berat ini hanya bisa

dilakukan jika aktivis buruh tidak

memisahkan perjuangan hak-hak ekonomi

dan agenda sosial yang lebih luas. Kualfikasi

aktivis dan pemimpin serikat buruh harus

ditingkatkan untuk kemampuan bernegosiasi,

lobi, penguasaan bahasa asing, dan memiliki

kemampuan untuk menawarkan alternatif

kebijakan. Serikat buruh perlu pula

mengoreksi para aktivisnya yang aktif di

parpol yang tidak menyuarakan aspirasi dan

kepentingan buruh.

Daftar Pustaka Thomson, E.P. 1968. The Making of English

Working Class. London: Pelican.

Tedjasukmana, Iskandar. 2008. Watak Politik

Gerakan Serikat Buruh. Modern Indonesia

Project Southeast Asia Program Department

of Far Eastern Studies (April). Ithaca, New

York: Cornell University.

Arthreya, Ankatesh B. 1990. Barriers Broken:

Production Relation and Agrarian Change in

Tamil Nandu. Newburry Park, Calofornia:

Sage.

O’Donnell, Guilllermo dan Philipe C. Schmitter.

1986. Transition from Authoritarian Rule:

Tentative Conclusions about Uncertain

Democracies. Baltimore: John Hopkins

University Press.

Budiman, Arif (ed.). 1990. State and Civil Society

in Indonesia. Monash Papers on Southeast

Asia, 22. Clayton: Monash University.

Hikam, AS. 1996. Demokrasi dan Civil Society.

Jakarta: LP3ES.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru

57

Rueschmeyer, Dietrich (et.all). 1992. Capitalist

Development and Democracy. Cambridge:

Polity Press.

Stoler, Ann Laura. 1985. Kapitalisme dan

Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera:

1870-1979. Yogyakarta: Karsa.

Sudono, Agus. 1981. FBSI Dahulu, Sekarang, dan

Yang Akan Datang. Jakarta: The Limits of

Openness, Human Right in Indonesia and

East Timor.

Hadiz, Vedi R. Globalization, Labor and the State:

The Case of Indonesia. Asia Pacific Business

Review. (Edisi Khusus tentang Globalisai dan

Buruh di Asia).

Universitas Sumatera Utara