hak atas tanah; formulasi normatif model fiqh · bergulat mempertahankan hidupnya menghadapi...

25
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 1 Hak Atas Tanah; Formulasi Normatif Model Fiqh Abdul Jalil ABSTRACT In the name of development, strategic land positions to be discussed. Of land, the construction can be carried out, but also appears injustice of land development. Diversity normative rules can be traced back to differences between the approach of rights; whether the absolute right of personal, social, or collective of all. This term sticking such as the influence of the value system that evolved in human groups. From here people can accept the argument of the emergence of a feeling of having something, which provides psychological underpinnings of the concept of rights, obligations, responsibilities and necessity. Fiqh is believed to have contributed ideas in the use and management of land, both in the context of individual, social or state. The basic idea is that the land must be used in accordance utility. Someone may have the right to land (haq milkiyyah wa al- istighlal), but in the land of no inherent rights, social rights and the state (huquq al-irtifaq wa al-daulah). Dialectics between the three runs are complementary, not mutually negating. Key words: Right of Land, normative, fiqh Bermula dari Gagasan Membangun Pembangunan adalah salah satu konsep kunci di era global yang memancing berbagai pertanyaan sulit tentang nilai, teknik dan pilihan. Hal ini karena ia berkaitan dengan pertanyaan (klasik) tentang hakikat "masyarakat yang baik", dan juga masalah siapakah yang harus menentukan isi dan tujuan masyarakat. Mengingat cakupan masalahnya luas dan sulit, orang mudah mengaburkannya dalam generalisasi, menggunakan-nya sebagai eufemisme untuk perubahan, modernisasi, dan pertumbuhan. 1 Padahal, pembangunan lebih rumit dari pada itu. Pinjam terminology yang digunakan Gandhi, pemba-ngunan merupakan "realisasi potensi manusia". 2 1 Seringkali terdengar kata membangun, tetapi yang terlihat ialah realitas kurangnya pembangunan (under development). Kemiskinan dengan beberapa seginya merasuk makin dalam; buruh-tani terus bergulat mempertahankan hidupnya menghadapi ketiadaan tanah milik; bergantung pada musim dan cuaca, dan dengan akses yang terbatas atas benih, air dan hewan pembantu; gubuk hunian liar menjamur di antara arus modal. Ukuran agregat pertumbuhan dalam wujud GNP dan harapan hidup (life expectancy) bercerita tentang perkembangan yang timpang; penumpukan hutang, lingkungan yang makin kurus, dan kesenjangan yang menganga. Michael Todaro, Economic Development in the Third World (London: Longmans, 1977), 62. 2 Coralie Bryant dan Louise G White, Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkemban, ter. Rusyanto L Simatupang (Jakarta: LP3ES, 1987), 3

Upload: vukhue

Post on 06-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

1

Hak Atas Tanah; Formulasi Normatif Model Fiqh

Abdul Jalil

ABSTRACT

In the name of development, strategic land positions to be discussed. Of land, the

construction can be carried out, but also appears injustice of land development.

Diversity normative rules can be traced back to differences between the approach

of rights; whether the absolute right of personal, social, or collective of all. This

term sticking such as the influence of the value system that evolved in human

groups. From here people can accept the argument of the emergence of a feeling

of having something, which provides psychological underpinnings of the concept

of rights, obligations, responsibilities and necessity. Fiqh is believed to have

contributed ideas in the use and management of land, both in the context of

individual, social or state. The basic idea is that the land must be used in

accordance utility. Someone may have the right to land (haq milkiyyah wa al-

istighlal), but in the land of no inherent rights, social rights and the state (huquq

al-irtifaq wa al-daulah). Dialectics between the three runs are complementary,

not mutually negating.

Key words: Right of Land, normative, fiqh

Bermula dari Gagasan Membangun

Pembangunan adalah salah satu konsep kunci di era global yang memancing

berbagai pertanyaan sulit tentang nilai, teknik dan pilihan. Hal ini karena ia berkaitan

dengan pertanyaan (klasik) tentang hakikat "masyarakat yang baik", dan juga masalah

siapakah yang harus menentukan isi dan tujuan masyarakat.

Mengingat cakupan masalahnya luas dan sulit, orang mudah mengaburkannya

dalam generalisasi, menggunakan-nya sebagai eufemisme untuk perubahan, modernisasi,

dan pertumbuhan.1 Padahal, pembangunan lebih rumit dari pada itu. Pinjam terminology

yang digunakan Gandhi, pemba-ngunan merupakan "realisasi potensi manusia".2

1 Seringkali terdengar kata membangun, tetapi yang terlihat ialah realitas kurangnya pembangunan

(under development). Kemiskinan dengan beberapa seginya merasuk makin dalam; buruh-tani terus

bergulat mempertahankan hidupnya menghadapi ketiadaan tanah milik; bergantung pada musim dan

cuaca, dan dengan akses yang terbatas atas benih, air dan hewan pembantu; gubuk hunian liar

menjamur di antara arus modal. Ukuran agregat pertumbuhan dalam wujud GNP dan harapan

hidup (life expectancy) bercerita tentang perkembangan yang timpang; penumpukan hutang,

lingkungan yang makin kurus, dan kesenjangan yang menganga. Michael Todaro, Economic

Development in the Third World (London: Longmans, 1977), 62. 2 Coralie Bryant dan Louise G White, Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkemban, ter. Rusyanto L

Simatupang (Jakarta: LP3ES, 1987), 3

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

2

Pembangunan adalah proses multidimensi yang mencakup perubahan-perubahan penting

dalam struktur sosial, sikap rakyat dan lembaga nasional, dan juga akselerasi

pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan (inequality, dan pemberantasan

kemiskinan absolute.

Pembangunan selalu membutuhkan infrastruktur, termasuk didalamnya pengadaan

lahan. Permasalahan yang terkait dengan pembebasan lahan privat untuk kepentingan

publik senantiasa menimbulkan polemik. Di satu sisi, negara menjamin kepemilikan sah

individu atas lahan/tanah tertentu, di sisi lain pelaksana kekuasaan negara, yakni

pemerintah, berkewajiban menjalankan agenda pembangunan infrastruktur fisik yang

kerap kali harus mengorbankan nilai kepentingan individu.

Akomodasi secara konseptual terhadap kedua kepentingan tersebut sebenarnya

sudah ada sejak tahun 1960 pada saat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dibentuk.

Dalam undang-undang tersebut kedua kepentingan itu sudah diletakkan secara hierarki

pada tingkat kepentingan yang saling mengimbangi. "…hak atas tanah apa pun yang ada

pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau

tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu

menimbulkan kerugian bagi masyarakat…." (Penjelasan Umum II, 4 UUPA).

Kepentingan umum, yang dijabarkan dari fungsi sosial tanah, tidak kalah

pentingnya dengan kepentingan individu pemilik yang dijabarkan dari fungsi ekonomi

tanah. Artinya, pada saat dibutuhkan demi kepentingan umum, kepentingan individu bisa

dikompromikan, bahkan dikalahkan, dan hak milik atas tanah harus dilepaskan.

Namun, permasalahan pertanahan terkait dengan pembebasan lahan pada masa kini

sudah demikian kompleks dan tak bisa begitu saja terjawab oleh peraturan yang sudah ada

Induk dari peraturan pertanahan jelas ada di UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960).

Namun, penjabaran undang-undang pokok menjadi undang-undang dan peraturan

pelaksanaannya oleh sebagian ahli hukum dinilai belum memadai. Sebagaimana

keberadaan UU No 51 Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dan UU

No 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda di Atasnya, serta Instruksi

Presiden (Inpres) No 9/1973 dan Keputusan Presiden (Keppres) No 55/1993 sebagai

peraturan pelaksanaannya dinilai belum mampu mencari jalan keluar dari potensi konflik

pertanahan yang muncul.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

3

Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2005 yang sebagian isinya lebih

menyerupai Inpres No 9/1973 karena biasnya beberapa konsep yang dimuat kian

meninggikan prasangka publik. Apa benar 21 proyek pembangunan yang disebutkan

dalam perpres seluruhnya layak dikategorikan sebagai kepentingan umum.

Mengapa Bertanya pada Fiqh?

Ditilik dari perspektif sosio-historis, kelahiran Islam sesungguhnya merefleksikan

sebuah „pemberontakan‟ moral terhadap keangkuhan sistem peradaban masyarakat

jahiliyyah. Keangkuhan ini dapat dilihat dari perlakuan yang tidak adil terhadap

perempuan, baik yang dewasa maupun yang baru lahir, penindasan terhadap suku dan klan

yang kecil, peminggiran kaum miskin, pemusatan kekuasaan pada kaum aristokrat,

ketimpangan ekonomi, dan lain-lain.3

Idealisme tersebut, dalam dataran operasional, direpresentasikan oleh fiqh. Sebagai

disiplin yang bergumul dengan nilai, yang epistemologi dan metodologinya telah

terobjektifikasi dan terkritik, ilmu fiqh tumbuh menjadi ilmu yang paling berpengaruh di

kalangan masyarakat, melebihi cabang-cabang ilmu (keislaman) yang lain. Fiqih,

dibanding disiplin lainnya, mempunyai konsep normatif yang lebih operasional, sehingga

diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab realitas pertanahan

kontemporer di bawah sistem pemerintahan NKRI.

Alasan lain adalah untuk melakukan pressure terhadap negara dengan landasasan

teologis agar penanganan masalah tanah tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan yang

menjadi misi setiap agama. Oleh karenanya, fiqih di abad modern ini diharapkan mampu

berbicara banyak mengenai konsep pertanahan melalui penelusuran norma-norma Islam,

dalam bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat dalam teks-teks nash

mapun pengalaman historis masyarakat Islam.

3 Fazlur Rahman smenyebutkan bahwa problem akut yang dihadapi masyarakat Arab pada waktu itu,

sebagaimana tampak dalam surat-surat awal al-Qur‟an adalah pholitheisme (penyembahan berhala),

eksploitasi kaum miskin, permainan kotor dalam perdagangan dan ketiadaan tanggung jawab umum terhadap

masyarakat. Problem aktual lain yang juga menjadi ciri kehidupan waktu itu adalah perpecahan dan

kecenderungan konflik antar kabilah sehingga mudah sekali berubah menjadi perang yang berkepanjangan.

Salah satu contohnya adalah Perang Basu>s yang berlangsung 40 tahun antara Bani Bakr dan Taghli>b yang

hanya disebabkan oleh kematian seekor unta. Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an

Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press,1982), 3; Abu al-Faraj al-Isfiha>ni>,

Kita>b al-Agha>ni>, vol. 1( Beiru>t: Mat}ba‟ah al-„Arabiyyah, tt), 140-152.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

4

Mengharapkan Fiqih mempunyai konsep yang utuh tentang sistem pertanahan

tidaklah bijaksana. Karena referensi tekstual maupun historis Islam tidak memadai untuk

itu. Akan tetapi bukan berarti konsep itu tidak ada, hanya soal waktu dan aspek lokalitas

yang berbeda yang mengharuskan kita menempatkan fiqih secara proporsional, yakni

sebagai sebuah produk pemahaman yang selalu terikat oleh konteks waktu dan tempat.

Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Arab pada masa awal kenabian, sistem

ekonominya bertumpu pada perdagangan. Islam sejak awal sangat memperhatikan bidang

ini karena Islam pertama-tama dan terutama adalah agama para pedagang, bukan agama

gurun pasir serta bukan pula agama para petani.4

Baru setelah Nabi berhijrah ke Madinah dan dalam perluasan Islam selanjutnya ke

Asia Tengah dan Selatan, umat Islam mempunyai pengalaman sebagai masyarakat agraris

yang bersentuhan dengan masalah tanah, itupun lebih bersifat subsisten, yakni pertanian

yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan bukan agribisnis (pertanian yang

hasilnya berorientasi pasar). Maka dapat dipahami kalau fiqih pada waktu itu masih belum

bersentuhan dengan isu-isu pertanahan dalam pengertiannya yang sekarang ini.

Tanah memang mempunyai arti yang sangat strategis bagi kehidupan manusia di

muka bumi. Hampir seluruh sektor kehidupan manusia bergantung dan bersumber pada

tanah, baik itu sebagai lahan pertanian, tempat pemukiman, tempat usaha, tempat

peribadatan, sarana perhubungan dan sebagainya. ini sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD

45 dan UUPA no 5 tahun 1960, yaitu:

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara

digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” (Pasal 33 ayat 3 UUD

45).

4Pendapat bahwa monoteisme Islam yang kuat sangat berikaitan dengan pengalaman ketidakberartian

manusia (mans experience of his own insignificance) di tengah kegersangan gurun pasir, telah dipopulerkan

pada abad ke 19 Ernest Renan serta sarjana-sarjana lainnya. Namun demikian, pendapat tersebut sebenarnya

sama sekali tidak didasarkan kepada fakta yang memadai. Orang-orang yang pertama kali menjadi Muslim

bukanlah orang-orang badui yang hidup di gurun pasir, melainkan orang-orang berasal dari pusat

perdagangan di Mekkah dan tanah pertanian di Madinah. Tetapi memang benar kalau dinyatakan bahwa

sumberdaya manusia bagi kepentingan ekspansi orang-orang Arab terutama berasal dari gurun ini; dan

barangkali bisa juga dikatakan bahwa moralitas Islam telah bercampur-baur dengan nilai-nilai utama yang

hidup di gurun pasir, kendati dalam bentuknya yang telah disesuaikan dengan kehidupan kota. Gurun pasir

juga menjadi sarana penyeberangan lewat mana para pedagang Makkah melakukan kegiatan-kegiatan

perdagangan mereka, sebagaimana laut menjadi sarana kegiatan perdagangan pedagang dari Venesia dan

wilayah Italia lainnya. Disisi lainnya, orang-orang badui jarang menjadi Muslim yang taat, baik pada masa

Nabi Muhammad maupun masa belakangan. W. Montgomerry Watt, Islam dan Peradaban Dunia, terj.

Hendro Prasetyo (Jakarta: Gramedia, 1997), 23.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

5

“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha

Esa.” (UUPA No. 5 tahun 1960).

Adanya kedua pernyataan di atas, pada prinsipnya sejalan dengan pandangan teologi

Islam, juga terasa lebih religius. Adapun pesan yang terkandung didalamnya baik moral

maupun spiritual adalah bumi (tanah) dikelola dengan penuh tanggung jawab dalam rangka

mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama dan sekaligus bertanggung jawab

kepada Tuhan yang telah menganugerahkan kepada dan untuk seluruh umat manusia dan

makhluk lainnya.

Dalam bidang pertanian, misalnya, kepemilikan atas tanah merupakan hak asasi

petani yang harus dipenuhi oleh negara. Seorang petani hanya disebut petani, bukan buruh

tani, apabila ia mempunyai lahan yang cukup untuk memenuhi kehidupan keluarganya.

Dalam era industri, kegiatan ekonomi masyarakat tidak hanya semakin meningkat,

tetapi juga semakin beragam dan luas. Kebutuhan-kebutuhan untuk mendirikan pabrik,

pemukiman, perkantoran, pariwisata, semuanya itu memerlukan tanah yang luas. Dalam

realita ini, kelompok lemah; petani gurem, penduduk marjinal atau orang miskin yang

menghuni tanah negara, senantiasa dirugikan dan dikalahkan dalam persaingan dan

perebutan sumber daya tanah tersebut.5

Akibatnya, walaupun sudah ditetapkannya kebijaksanaan pertanahan oleh

pemerintah, namun tak dapat dipungkiri, bahwa kebijaksanaan tersebut tidak terlepas dari

adanya pengaruh prioritas-prioritasnya sendiri dan berbagai kepentingan.

Dengan adanya berbagai kepentingan (kelompok-kelompok bisnis dan industri) yang

paling banyak mempunyai akses pada proses perumusan kebijaksanaan negara, maka

kebijaksanaan alokasi tanah cenderung atau bayes kepada kepentingan individu/ kelompok

tertentu, mengesampingkan kepentingan dan hak-hak rakyat miskin. Inilah yang

melatarbelakangi berbagai unjuk rasa, protes dalam kasus-kasus tanah.

5 Secara teoritis, relasi ini sering disebut sebagai hubuungan industrial, yaitu hubungan kerjasama seluruh

aktivitas, baik sector industri, pertanian, pemerintahan, pendidikan maupun social. Hal ini dapat dilihat dalam

system-sistem kerja yang saling menguntungkan dan memuaskan secara ekonomis, psikis maupun social.

Secara singkat, konsep dasar hubungan industrial dirumuskan Islam sebagai pola perilaku manajemen yang

didasarkan pada: penghormatan setiap individu sebagai potensi, kapabelitas, pengalaman, hak dan kewajiban

masing-masing. Dimana, terjadi saling menghormati antara pimpinan atau majikan dan pekerja,saling

menghargai antar sesama pekerja, hubungan kerjasama (ta'awun) yang didasari kebijakan dan ketakwaan,

komunikasi yang baik (shalih), mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Dan,

hubungan kerjasama yang berdasarkan amanat dan profesionalisme

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

6

Melihat konteks ini semua, terutama di Indonesia pada saat demokrasi belum tegak

seperti dewasa ini, pemberian mandat oleh fiqh yang demikian besar kepada

negara/pemerintah memang terasa sangat mencemaskan. Karena mandat tersebut oleh para

penguasa telah disalahgunakan sedemikan rupa untuk kepentingan pribadi atau kelompok-

kelompok tertentu yang ujung-ujungnya adalah kepentingan pribadi juga. Sehingga timbul

sebuah pertanyaan, apakah lebih bijaksana kalau mandat tersebut di cabut dari pemerintah?

Jika ya, lalu pada siapa mandat itu harus diberikan? Memberikan kepercayaan pada negara

untuk mengurus apa yang disebut kepentingan publik memang merupakan satu kebodohan.

Akan tetapi menyerahkan mandat itu pada perorangan atau bahkan meniadakah sama sekali

tentu lebih bodoh lagi.

Napak Tilas Jejak Fiqh Pertanahan

Sebagaimana uraian diatas, dalam tilikan sejarah Islam awal, diskursus tentang tanah

berkelindan dengan sejarah sosial negara, terutamana yang terkait dengan pendapatan yang

diperoleh negara dan model distribusinya untuk kemakmuran rakyatnya, yang dikemudian

hari lebih di kenal dengan istilah kebijakan fiskal.6 Kala itu, keuangan negara diperoleh

dari Zakat, Jizyah, Ghanimah, Rikaz, Kharaj,7 Ushur,

8 Pinjaman dan Hibah dari warga

negara,9 Fay',

10 Dlaribah (pajak), dan laba dari institusi ekonomi negara.

11 Jika kita

6 Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya dalam

merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi. Dan kebijakan fiskal tersebut memiliki dua instrumen, pertama:

kebijakan pendapatan, yang tercermin dalam kebijakan pajak, kedua: kebijakan belanja. Kedua instrumen

tersebut akan tercermin dalam anggaran belanja negara. Kebijakan fiskal adalah bagian dari kebijakan

ekonomi suatu negara yang tidak dapat berdiri sendiri dalam pencapaian tujuan-tujuan ekonomi, kebijakan

penting lainnya adalah kebijakan moneter. Kebijakan fiskal akan sangat tergantung pada dua instrumen

tersebut, yaitu pendapatan dan pengeluaran. Kinerja kebijakan fiskal antara satu negara dengan lainnya akan

sangat berbeda. Ketidak samaan tersebut didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai dan

falsafah ekonomi yang dianut. Dalam masyarakat ekonomi tertinggal misalnya, kebijakan fiskal biasanya

bertujuan bagaimana mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka investasi dan menjaga keseimbangan

harga menjadi prioritas utama. Sedangkan dalam masyarakat ekonomi kapitalis yang maju biasanya

kebijakan fiskal akan terfokus pada pencapaian dan penstabilan ekonomi serta pemanfaatan atau kesempatan

penuh tenaga kerja. Ajaran Islam semenjak empat belas abad yang lalu telah menentukan pendapatan

pemerintah dan alokasi pendapatan tersebut, dengan disyariatkannya zakat, ghonimah, fai dan jizyah dalam

Al quran serta perinciannya dalam As Sunnah. Bahkan Al Quran pun dengan jelas telah menentukan alokasi

pendapatan tersebut secara rinci. 7 Akhmad Oran dan Salim Rashid, “Fiscal Policy in Early Islam”, dalam Sayed Afzal Peerzade (ed), Reading

in islamic Fiscal policy, (Delhi: Adam publishers and Distribution, 1996), 110. 8 M. Abdul Mannan, Teori dan praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin, (Yogyakarta : Dana Bhakti

Wakaf, 1997), 256. 9 S.M. Hasanuz Zaman, Economic Funtion of an Economic State: The Early experience, (Leicerster, The

Islamic Funtion, 1991), 288. 10

Kekayaan pertama di dapat dari banu Nadir, suatu suku yang tinggal dipinggiran Madinah, tetapi mereka

melanggar perjanjian. Sehingga Nabi meminta mereka kota tapi mereka menolaknya. Setelah Nabi

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

7

klasifikasikan, pendapatan tersebut ada yang bersifat rutin seperti: zakat, jizyah, khoroj,

usyur, infak dan shodaqoh serta pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer

seperti: ghanimah, fai dan harta yang tidak ada pewarisnya.

Dalam perspektif ekonomi, tanah merupakan salah satu faktor produksi12

yang sangat

esensial, sehingga dalam kepemilikannya ia sangat penting.13

Oleh karena itu kemakmuran

suatu bangsa tergantung pada penyelesaiannya secara adil dan bijaksana dalam hal

mengerahkan tentara untuk mengepungnya, akhirnya merekah menyerah tanpa kekerasan . sehingga semua

harta miliknya menjadi milik Rasulullah menurut ketentuan Qur‟an. Adiwarman A. Karim, Sejarah

Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : IIIT, 2002), 30-31. 11

Taqyuddin an- Nabhani, Membangun Sistwm Ekonomi Alternatif: Perspektif Islam, terj. M. Maghfur

Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 253. 12

Pernyataan ini terterah sesuai dalam pembagian faktor produksi yang dikemukakan oleh Rafiq Yunus al-

Misri yang mana dia menempatkan al-Ard (otomatis tanah masuk di dalamnya) pada urutan pertama dari tiga

kelompok faktor produksi pertama, dengan menyebutnya Awa>mil al-Inta>j al-Mustaqillah, yaitu al-Ard, al-

Amal dan al-Mal. Sedangkan kelompok faktor kedua adalah Awa>mil al-Inta>j al-Tabi‟ah, yang ada dua

yaitu: al- Mukha>tirah dan al-Zama>n. Semua faktor ini dijelaskannya dalam Rafiq Yunus al-Misri, Usul al-

Iqtisad al-Islami,( Damaskus: Dar al-Qalam, 1999), 85-98. Hal ini dapat dibandingkan dengan pembagian

faktor produksi seperti yang digulirkan oleh Mustafa al-Hamshari, yang jumlahnya ada tujuh, yaitu: pertama,

Bina>‟ al-Insa>n, kedua, al-Ard, ketiga Anwa>‟ al-milkiyyah, keempat al-Amal, kelima al-Mawa>rid,

keenam al-Tauzi, ketujuh al-Infaq. Mustafa al-Hamshari, Al-Niz}a>m al-Iqtis}a>di fi> al-Isla>m, (Riyadh:

Dar al-„Ulum, 1985), 83-390. 13

Tanah merupakan salah salah satu primadona harta benda. Status seseorang ditentukan oleh keluasan tanah

yang dimiliki. Pada dasarnya pemilik tanah dan harta benda yang lain setelah diturunkan oleh Allah adalah

hak pribadi. Kemudian klasifikasi tanah menurut fiqh Islam itu ada dua yaitu pertama Istila‟, yakni

penguasaan melalui perang, pembebasan, atau cara pendudukan lain tanpa kekerasan. Kedua Istiqrar, yakni

penguasaan melalui perwarisan secara turun temurun atau alih milik dari orang lain dengan jual beli, dan lain

sebagainya.Tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah dari pihak lain dengan cara istila‟, akan menjadi

berbeda statusnya sesuai dengan proses dan cara pengambilalihannya yang secara terbagi menjadi tiga

kategori;[a]. dikuasai secara paksa dalam suatu peperangan. Statusnya menjadi barang rampasan perang

(ghonimah); [b]. ditinggalkan oleh pemiliknya (melarikan diri) dalam situasi perang. Dalam istilah fiqihnya

disebut al-fai. Tanah-tanah “Fai” menjadi tanah negara, untuk kemaslahatan rakyat. Imam dapat menetapkan

sewanya atau pajaknya kepada orang yang mengerjakannya. Khusus untuk tanah, jumhur al-fuqaha‟ sepakat

mengenai kedudukan tanah tersebut sebagai waqaf untuk kemaslahatan rakyat banyak. Hanya saja menurut

Syafi‟iyah dan sebagian Hanabilah, pewaqafannya memerlukan ketetapan Imam, pemerintah; [c]. tanah yang

diperoleh pemerintah melelui perundingan damai (as-sulh). Tanah ini dapat menjadi tanah-negara, atau tetap

menjadi tanah milik bagi pemilik lama dengan ketentuan membayar kharaj (retribusi) atau bagi hasil yang

diatur oleh Imam.

Adapun tanah-tanah yang dikuasai karena Istiqrar, dapat diuraikan sebagai berikut: a. tanah dengan hak milik

(ardlun mamlukah), disini dapat dibedakan sebagai berikut; Yang dibudidayakan (al-ardlul „amiroh), baik

untuk pemukiman, pertanian dan lain-lain kemanfaatan. Tanah seperti ini, hak pengurusannya sepenuhnya

berada di tangan pemiliknya, orang lain tidak berhak mengelolanya tanpa seizin perniliknya,yang tidak

dibudidayakan (al-ardlul ghomiroh atau al-ardlul khorob). Yaitu tanah-tanah yang tidak dipakai untuk

pemukiman, pertanian, atau usaha-usaha lain yang produktif. Tanah ini pun tetap menjadi milik pemiliknya.

b. Tanah bebas (ardlun mubaahah), merupakan tanah yang belum ditetapkan pemiliknya, masih langsung

dibawah wewenang pemerintah, seperti: - Tanah untuk kepentingan masyarakat umum, (marafiqul balad),

seperti tempat pengembalaan ternak umum, lapangan olah raga, jalan raya, dan lain sebagainya.- Tanah yang

belum dibudidayakan tanpa pemilik (al-ardlul mawaat), menjadi tanah negara (amlakud daulah). Dan

pemerintah dapat mengaturnya sesuai dengan kepentingan kemaslahatan umum, atau mengkaplingnya

(iqtha‟), mem berikan hak guna-pakai (tahjir) dan lain-lain seperti “al hima”, “al-irtifaq”, dimana pemerintah

berhak mencabut hak tersebut apabila kepentingan umum menghendaki. Baca: M. Thalha Hasan, "Fiqh

Pertanahan", dalam Masdar F. Mas‟udi, Teologi Tanah, 87-91. bandingkan dengan Muhammad al-Shaukani,

Fat al-Qadir, 157 – 166.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

8

pertanahan.14

Di sektor pertanian, misalnya, petani tidak mungkin bekerja siang dan malam

serta mengubah padang ilalang menjadi kebun-kebun jika ia hanya berstatus sebagai

penyewa.15

Selanjutnya, dalam perihal kepemilikan tanah, al-Qur‟an sama sekali tidak pernah

menyebutkan secara eksplisit, namun hanya menetapkan hak manusia untuk mengelola,

menanami dan memiliki hasil produksinya.16

Sehingga pada masa Nabi prioritas utama atas

kepemilikan sebidang tanah pada masa itu berada di tangan pemerintah, dan selanjutnya

baru diperuntukkan untuk individual. Karenanya pemerintah dapat menghadiahkan,

membatasi maupun menarik kepemilikan sebidang tanah dari seseorang sesuai dengan

kemaslahatan masyarakat.

Untk membicarakan kepemilikan tanah, agaknya kita perlu menulusuri historitas hak

milik.

Konsep Hak Dalam Fiqh

Secara etimologis, hak mempunyai beberapa makna, diantaranya; benda, milik,

wujud, nyata, benar, apa yang dijaga, hakekat, dan sebenarnya.17

Hak juga bermakna tetap,

wajib dan pasti,18

sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah:

14

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 2, terj. Soeroyo & Nastangin, (Yogyakarta: Dana Bhakti

Wakaf, 1995), 309 15

Ini sesuai ungkapan Sir Arthur Young yaitu “kekuatan kepemilikan dapat merubah padang ilalang menjadi

kebun. Hal ini berarti meningkatkan hasil berlipat ganda, pertanian maju dan orang-orang menjadi makmur.

Selain itu dalam sistem zamindari produksi menurun dan para petani hidup dalam perbudakan. Alasan inilah

mengapa para ahli ekonomi menentang sistem zamindari dan mendukung kepemilikan para petani. Empat

puluh tahun yang terakhir sejak gerakan revolusi sistem pemilikan tersebut telah dihapuskan di sebagian

besar negara Eropa dan tanah mereka dibagi dikalangan petani dan hak-hak kepemilikan diberikan kepada

mereka sehingga merasa mempunyai kepemilikan dalam pengelolahan tanah tersebut dan berusaha

membantu meningkatkan hasil dari tanah negara tersebut”. Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, 309-

310. 16

Semua ulama Islam (fuqaha) sependapat, bahwa pemilik hakiki atas semua tanah adalah Allah SWT.

Adapun pengertian milik yang diterapkan untuk manusia tidak bersifat hakiki (majazi) dan tidak mutlak

(idlofi). Dengan demikian, maka apa yang dimaksud dengan milik dalam tulisan ini tidak lebih dari “milik

majazi”, relatif. Dalam fiqih Islam hak-hak atas tanah dibedakan dalam dua macam yaitu: a. Hak Milik (haq

al-milkiyyah), disebut juga sebagai “milkul raqabah”, yang pemegangnya secara penuh berhak

membudidayakan, mengerjakan usaha, memanfaatkan investasi, menjual, menghibahkan, dan lain

sebagainya. Seperti tanah hasil budidaya yang sudah turun-temurun, maka hak kepemilikan ada pada yang

membudidayakan itu. Dalam hadits Nabi dikatakan: “Man ahya ardan maitatan fahiya lahu, Barang siapa

yang membudidayakan tanah (yang semula tanpa pemilik dan terlantar), maka tanah itu adalah miliknya”. b.

Hak Guna ( haq al-istighlal), disebut juga sebagai milk al-intifa‟, yang pemegangnya dapat memanfaatkan

tanah tersebut, sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan dengan izin pemerintah. Abdul Jalil, dkk., Fiqh

Rayat, (Yogyakarta: LkiS, 2000), 43. 17

Fairuzabadi>, al-Qamus al-Muhit, III, (Beiru>t: Da>r alFikr, tt), 221. 18

Muhammad Salam Madkur, al-Fiqh al-Isla>mi>, (Qa>hirah: Wahbah, 1995), 172.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

9

جزي كز ان ن ثطم انثاطم ( 8االفال )نحق انحق

Sedangkan secara terminologis, hak mempunyai 2 (dua) pengertian pokok;

pertama:

يجػح انقاػذ انصص انرسشزؼح انر ذظى ػه سثم اإلنزاو ػالئق اناس ي االشخاص االيال19

Kedua, hak ialah:

انسهطح انكح انشزػح ا انطهة انذ جة ألحذ ػه غز20

Dalam pengertian inilah kata hak sering dipakai. Ungkapan seperti: pembeli

mempunyai hak mengembalikan barang yang dibelinya apabila ternyata ada cacat, buruh

perempuan berhak mendapat perlakuan khusus, dan buruh berhak menerima upah untuk

menghidupi kebutuhan yang layak, adalah sederetan contoh pemakaian kata hak dalam

pengetian kedua.

Mustafa Ahmad Zarqa‟ memberikan pengertian hak yang lebih luwes, sehingga

mencakup segala macam hak, seperti hak keperdataan, hak etika, dan hak kekuasaan

umum. Dia mendefinisikannya sebagai:

اخرصاص قزر ت انشزع سهطح ا ذكهفا21

Dalam fiqh, kata hak kadang-kadang digunakan untuk pengertian umum, dan

kadang-kadang untuk pengertian khusus. Pengertian umum hak meliputi benda-benda yang

dimiliki, manfaat dan maslahah yang ditetapkan shara‟ (i‟tibariyah) seperti hak shuf‟ah,

khiyar, hadanah, dan lain-lain.

Dari paparan diatas nampak jelas bahwa hak melahirkan interaksi relasional.

Obyeknya bisa berupa benda seperti hak piutang, atau kekuasaan (wewenang) seperti hak

wali atas mereka yang berada dibawah perwaliannya. Selain itu, hak juga menuntut adanya

kekeuasaan monopolistik kepada seseorang untuk mempergunakannya. Oleh karena itu,

pemberian ijin untuk –misalnya- berburu dan pindah ke tempat lain bukan merupakan hak,

tetapi merupakan rukhsah (fasilitas).

Jadi, hak berdiri diatas asas tidak adanya persamaan dengan orang lain terhadap

benda atau hal lain yang dikuasainya. Hak timbul berdasarkan sebab khusus, seperti hak

perwalian seorang ayah terhadap anak-anaknya disebabkan adanya intisab, dan hak

19

Must}afa> Ahmad Zarqa>‟, al-Fiqh al-Isla>mi> fi Thaubih al-Jadi>d, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1967), 9 20

Mustafa Ahmad Zarqa‟, al-Fiqh al-Isla>mi> fi Thaubih al-Jadid, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1967), 10 21

Zarqa‟, al-Fiqh, 10

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

10

menuntut upah karena adanya pekerjaan. Adapun rukhsah (fasilitas) sebabnya ialah karena

adanya izin umum dari penguasa hukum.22

Dari Mana Datangnya Hak?

Bertolak dari penjelasan diatas yang menyatakan bahwa hak merupakan

ketentuan khusus yang ditetapkan oleh shara‟, maka hak lahir dari keputusan shara‟.

Jenis penetapan shara‟, secara garis besar, dapat diklasifikasi menjadi dua bentuk.

Pertama, shara‟ menetapkan hak dengan menggunakan hak prerogatifnya, sehingga

didalamnya tidak ada keterlibatan pihak lain, seperti hak menentukan jenis-jenis ritual

beserta mekanismenya.

Kedua, shara‟ menetapkan hak karena adanya sebab yang didalamnya ada

keterlibatan manusia, seperti hak suami-istri yang lahir dari pernikahan, hak buruh-majikan

yang lahir dari kontrak dan hak rakyat-penguasa yang muncul karena bai‟at (pemilihan).

Hak-hak tersebut muncul karena mereka melakukan interaksi, atau karena kehendak

pribadi, atau karena ada maslahat yang harus di rengkuh. Dengan demikian, jika diperinci,

sumber hak ada empat, yaitu: [a] Shara‟; [b] akad; [c] kehendak pribadi [d] maslahah.

a. Hak yang bersumber dari shara‟ murni.

Secara teologis, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan

mutlak atas alam semesta.23

Dia adalah Penguasa jagad yang berhak atas segala

sesuatu yang ada di sana. 24

22

Mashuda Abdurrahman, Hukum Perdata Islam (Surabaya: Central Media, 1992), 73. 23

Masalah ini sesungguhnya masih menjadi perdebatan diantara para ulama, terutama yang berdisiplin ushul

fiqh. Hal ini bermula Dari sebuah peryanyaan: apakah dunia beserta isinya ini milik manusia atau milik

tuhan. Kalangan Shafi'iyyah berargumen bahwa segala sesuatu adalah milik Allah, sehingga dia berhak

membuat aturan semaunya. Kalau toh manusia diberi wewenang mengelola, hal itu tidak lebih Dari

perpanjangan tangan Da>ri-Nya. Pikiran ini dibangun Dari firman Allah surat al-Baqarah ayat 284:

هلل يا ف انساخ يا ف األرض إ ذثذا يا ف أفسكى أ ذخف حاسثكى ت هللا فغفز ن شاء ؼذب ي شاء هللا ػه كم شء

قذز

Sedangkan ulama H{anafiyyahmenyatakan bahwa dunia beserta isinya ini sudah 'diserahkan' oleh Tuhan

kepada manusia, sehingga ia 'bebas' melakukan apa saja yang baik menurut mereka. Pikiran ini dikonstruksi

Dari firman Allah surat al-Baqarah ayat 29:

انذ خهق نكى يا ف األرض جؼا ثى اسر إن انساء فسا سثغ ساخ تكم شء ػهى 24

Dewasa ini ada dua mainstream standart moral (etika) yang mendominasi pemikiran dan sikap individu,

yaitu konsekuensialisme (consequentialism) dan non-konsekuen-sialisme (non-consequentialisme). Yang

pertama menganut madhhab utilitarianisme yang berpaham bahwa penerapan benar atau salah hanya dapat

diukur Dari sejauh mana perbuatan tersebut mendatangkan keuntungan dan menghasilkan utilitas

(kepuasan). Sejauh ada untung atau kepuasan yang didapat, maka perbuatan tersebut benar adanya.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

11

Dengan kerangka berpikir yang demikian, maka menjadi wajar jika

kemudian shara‟ mempunyai hak proregatif untuk merumuskan sesuatu, dalam

hal ini hak, tanpa harus menunggu keterlibatan pihak lain.

Yang masuk kategori ini adalah bentuk-bentuk ritus personal dan privat

ini yang terkait dengan bentuk, simbol-simbol bahkan ornamen-ornamen yang

dibakukan. Sujud, ruku‟, hajar aswad, lempar batu, kubah, menara, bulan sabit,

huruf/kalimat Arab, nama Arab, jubah, jilbab, peci, sarung, serban, dan lain-lain.

Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah penghayatan iman yang bersifat

subyektif, individual dan personal.

b. Hak yang bersumber dari interaksi relasional

Kesuksesan individual tidak hanya bisa dilihat dari usahanya secara

personal, tetapi juga pada usaha bersamanya dengan masyarakat,

lembaga-lembaga yang ada disana, dan dengan negara sebagai representasi

seluruh masyarakat. Maka tidak cukup jika seseorang hanya berperilaku dan

bermoral baik, tidak cukup sekedar melakukan upaya revolusi kesadaran terhadap

diri sendiri, tanpa melakukan transformasi terhadap lingkungan dan struktur

diluar dirinya, entah itu struktur sosial, politik, ekonomi, agama, atau struktur

yang lain.

Dalam Islam, kewajiban memang datang lebih dulu, baru kemudian

yang kedua adalah hak. Setiap individu, masyarakat dan negara memiliki

kewajiban tertentu. Sebagai hasil dari pelaksanaan kewajiban itu, setiap orang

memperoleh hak-hak tertentu.25

Setiap individu merupakan titik utama dari

Yang kedua bermadzhab deontologisme yang mengklaim bahwa bukan akibat perbuatan langsung yang

menentukan apakah perbuatan itu benar atau salah. Tetapi ditentukan berdasar “konsep tentang apa yang baik

dan apa yang buruk”.

Perbuatan, menurut pandangan ini, secara moral benar sepanjang ia didasarkan pada niat baik, dan

sebaliknya, secara moral salah bila tanpa didasari dengan niat baik. Perbuatan, bagi penganut deontologisme,

secara mendasar dilakukan karena beberapa alasan prinsip, yaitu Dari rasa kewajiban (sense of duty).

Tetapi, di samping dua mainstream standart ini, ada juga sumber moralitas yang biasanya digunakan untuk

menunjukkan bagaimana individu secara moral dapat bersikap terhadap sesuatu. Menurut Chryssides dan

Kaler, sumber ini adalah agama, yang sumber utamanya adalah Kitab Suci. Bagi umat Islam, sumber

utamanya adalah Al Qur‟an, Al Hadis, Qiyas dan Ijma yang menjadi asal syari‟ah. Syari‟ah, sebagaimana

ditegaskan Safi (1990), adalah merupakan sistem hukum dan moralitas yang mencakup seluruh wilayah

pengalaman manusia dan bermaksud mengatur seluruh aspek kegiatan manusia yang didasarkan pada

keadilan sejati. 25

Konsep ini terekam dengan baik dalam kajian us}uliyyah tentang s}ihhah dan but}la>n. S{ihhah adalah

persesuaian sebuah perilaku dengan aturan shara'. Dalam kondisi ini ia berhak mendapatkan hak thawab.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

12

pelaksanaan hak dan kewajiban itu, dan secara langsung harus memper-

tanggungjawabkan kepada Allah akan setiap perbuatannya.

Tetapi, sebagai makhluk sosial, seluruh materi dan aspirasi spiritualnya

membutuhkan usaha bersama untuk mewujudkannya. Kemajuan materi,

perubahan sosial, stabilitas politik dan perdamaian, seperti juga pendidikan,

regenerasi dan pertumbuhan ekonomi seluruhnya membutuhkan pendekatan

bersama.

Apa yang disebut kebersamaan, pada dasarnya, adalah kumpulan dari

kepentingan individual yang disatukan. Itu artinya masih ada kepentingan

individu yang muncul dari inisiatif mereka sendiri.

Untuk melindungi kehidupan, martabat, hak, menjamin tingkat

kebebasan dan menegakkan keadilan, masyarakat kemudian membentuk

fungsinya melalui lembaga-lembaga sosial dan negara.26

Tiap individu,

masyarakat dan negara, memiliki hak, sesuai dengan peran yang dimiliki

masing-masing.

c. Hak yang bersumber dari kehendak pribadi

Dalam sebuah Hadits Nabi disebutkan bahwa antara muslim yang satu

dengan yang lain diumpamakan dengan sebuah bangunan. Diantara mereka diikat

oleh sebuah sistem kemasyarakatan sehingga membentuk sebuah masyarakat

yang disebut ummah. Sistem yang mengikat mereka adalah norma Islam yang

Sedangkan But}la>n adalah ketidakpersesuaian sebuah perilaku dengan aturan syara'. Dalam kondisi ini ia

akan mendapatkan hak 'iqa>b. Dari uraian ini dapat diketahui bahwasanya hak memang datang belakangan.

Taqy al-Di>n al-Subuki>, Jam' al-Jawa>mi', vol. 1 (Beiru>t: Da>r al-Fikr, tt), 211 26

Struktur kekuasaan dalam Islam berpola melingkar tanpa ujung (daur), sehingga kalau tidak hati-hati akan

mudah diplintir dan dimanfaatkan oleh pihak lain. Roda kekuasaan Islam hanya berputar pada tiga unsur;

Allah, rasul dan ulil amri. Ketaatan kepada Allah diukur dengan al-Qur'an, ketaatan pada Rasul diukur Hadits

dan ketaatan pada ulil amri „tidak jelas‟ apa ukurannya. Sebagian teoritisi mengukur dengan materi bai'at,

sehingga jika mereka keluar Dari materi itu, rakyat tidak wajib taat lagi. Yang lain, dalam hal ini mayoritas

Ulama, Jumhur, mengukurnya dengan Qur'an-Hadits secara umum, yang dipadatkan dengan kata: selama

tidak maksiat. Jadi, ketaatan kita pada ulil amri adalah selama tidak memerintahkan maksiat, se-kalipun

secara pribadi ia bejat dan cacat moral. Ada argumentasi menarik dalam konteks ini. Imam al-Ghazali pernah

mengatakan: "walaupun bejat, lebih baik mempunyai pemimpin Dari pada tidak sama sekali".

Terlepas Dari apakah kita setuju atau tidak, pola ini adalah yang sekarang berlaku. Ulil amri (negara)

mentahbiskan dirinya sebagai penguasa yang wajib ditaati, walaupun kita tidak mengetahui apa ukurannya.

Bahkan kita juga tidak tahu: apakah mereka ulil amri yang dimaksudkan oleh al-Qur'an atau bukan. Kasus

Khumaeni adalah contoh kongkrit Dari peran ulama di bidang politik. Mereka, Khumaeni dan para mullah,

melakukan penyaDa>ran di tingkat publik mengenai model kekuasaan dan sosok ulil amri yang dikehendaki

al-Qur'an, setidaknya menurut mereka sendiri. al-Mawardi>, Ahka>m al-Sult}aniyyah (Beiru>t: Da>r al-

Fikr, tt), 123; Abdul Jalil, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, et. Al (Yogjakarta: LKiS, 2000),

17

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

13

bersifat universal dan diartikulasikan dalam norma atau tradisi lokal, sehingga

disana ada proses penerjemahan esensi Islam dalam aksidensi masyarakat Islam.

Dalam Islam, ditemukan beberapa norma yang mengundang partisipasi

pribadi untuk melakukan sesuatu demi lingkungan sosialnya. Partisipasi ini sering

disebut ta‟awun (tolong-menolong). Bentuknya-pun berfariasi, dari pengerahan

fisik sampai pengorbanan Harta. Dari proses inilah kemudian muncul hak,

sebagaimana dapat kita lihat pada nadzar, infak, hibah, dan lain lain.27

d. Hak yang bersumber dari maslahah (jalb al-masalih aw dar‟ al-mafasid)

Sejak awal, shari‟at Islam tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali

kemaslahatan manusia. Ungkapan standar, bahwa syari‟at Islam dicanangkan

demi kebahagiaan manusia, lahir-batin, dunia-akhirat, sepenuhnya mencerminkan

prinsip kemaslahatan tadi.

Secara definitif, maslahahadalah ungkapan untuk menunjukkan adanya

suatu manfaat atau hilangnya sebuah madarat.28

Manfaat atau madarat yang

menjadi bidikan maslahahbisa jadi merupakan kebahagian fisik, atau kebahagiaan

mental. Contoh yang pertama adalah dilarangnya jual beli yang mengandung

unsur penipuan (gharar). Manfaat yang hendak dihadirkan adalah terlindunginya

sistem perdagangan dari praktik yang tidak fair sehingga pelaku bisnis tidak

dirugikan. Dalam hal ini manfaatnya bersifat kongkrit karena melibatkan unsur

materiil.

Akan tetapi, dilain waktu, manfaat yang dihadirkan bersifat mental.

Misalnya Puasa. Bisa jadi secara fisik kita tidak diuntungkan dengan puasa, akan

tetapi secara mental kita mendapat manfaat sebuah ketenangan mental.29

Diyakini oleh kalangan Fuqaha' bahwa maslahahterjabarkan dalam

perlindungan terhadap 5 hak dasar, yakni: [1]Terlindunginya hak berkeyakinan

sesuai kepercayaan yang dianaut (hifz al-din); [2]Terlindunginya hak untuk hidup

secara layak (hifz al-nafs); [3]Terlindunginya hak reproduksi (hifz al-nasl);

[4]Terlindunginya hak kepemilikan atas barang dan jasa (hifz al-mal); dan

27

Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi>> wa adillatuh, vol. IV (Damascus, Da>r al-Fikr, 1984), 23 28

Abu Hamid Muhammad al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa, vol I (Beiru>t: Da>r al-Fikr, it), 284 29

Izz al-Di>n Ibn 'Abd al-Sala>m, Qawa>id al-Ahka>m Fi Mashalih al-Ana>m, Vol. 1, (Qa>hirah: Da>r al-

Ahra>r), 12

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

14

[5]Terlindunginya hak untuk berfikir bebas (hifz al-„aql), yang kemudian disebut

sebagai maqashid al-syari‟ah, tujuan utama keseluruhan atauran-aturan syari‟at,

baik yang bersifat suruhan maupun larangan; suruhan yang imperatif (wajib)

maupun yang bersifat persuasif (sunnah), atau larangan yang imperatif (haram)

maupun yang persuasif (makruh). 30

Dari 5 hak dasar ini (al-dlarûriyat al-khams), kemudian dijabarkan hak-

hak lain yang lebih rinci, baik sebagai hak-hak sekunder (al-hâjiyyat) maupun

hak-hak yang bersifat komplementer atau pelengkap (al-takmîliyyat atau al-

tahsîniyyat).

Klasifikasi Hak

Spektrum hak secara umum terbagi menjadi empat kategori sesuai dengan

sudut pandang pemiliknya, dapat tidaknya digugurkan, dapat tidaknya diwariskan,

dan sangkut pautnya dengan benda materiil.

1. Hak dilihat dari sisi pemiliknya

Ditinjau dari segi pemiliknya, hak terbagi menjadi: [a] hak Allah; [b]

hak manusia [c] hak bersama antara hak Allah dan hak manusia tetapi hak Allah

lebih dominan [d] hak bersama antara hak Allah dan Hak manusia, tetapi hak

manusia lebih banyak.

2. Hak ditinjau dari dapat-tidaknya digugurkan

Hak ditinjau dari segi dapat tidaknya digugurkan hak dibagi menjadi

dua; yakni hak yang dapat digugurkan dan hak yang tidak dapat digugurkan.

Pada dasarnya, setiap hak dapat digugurkan, kecuali apabila terdapat

sebab-sebab yang menghalangi pemiliknya untuk menggugurkannya. Hak-hak

yang dapat digugurkan misalnya hak shuf‟ah, hak khiyar, hak qisas, dll.

Hak-hak yang dapat digugurkan dibagi dua; yaitu hak yang sah

mengambil gantinya, seperti hak qisash, dan hak yang tidak sah mengambil

gantinya seperti hak shuf‟ah.

3. Hak dilihat dari dapat-tidaknya diwariskan.

30

Muhammad Abu Zahrah, Us}ull al-Fiqh, (Beiru>t: Da>r al-Fikr al-'Arabi, 1958), 366-368

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

15

Ditinjau dari segi dapat tidaknya diwariskan, hak dibagi menjadi hak

yang dapat diwaris dan hak yang tidak dapat diwaris. Hak yang dapat diwaris

seperti hak penjual menahan barang yang dijual sebelum dilunasi harganya, hak

penerima gadai menahan barang gadaian, hak-hak irtifaq, dan sebagainya.

Sedangkan hak yang tidak dapat diwaris seperti hak shuf‟ah, hak hadlanah, dan

hak perwalian.

4. Hak dinjau dari sangkut pautnya dengan benda materiil.

Ditinjau dari segi sangkut pautnya dengan benda materiil, hak dibagi

menjadi: [a] hak al-maliyyah, dan [b] hak ghair al-maliyyah

a] Hak Maliyyah

Hak Maliyyah adalah hak yang ada sangkut pautnya dengan harta,

seperti hutang piutang dan manfaat suatu barang. Hak al-maliyyah di bagi

menjadi dua, yakni Hak Shakhsi dan Hak 'Aini.

[1] Hak Shakhsi.

Hak Shakhsi ialah hak yang dimiliki seseorang berdasarkan

penetapan shara‟ atas orang lain. Hak ini dalam satu waktu berbentuk

kewajiban melaksanakan sesuatu untuk kemashlahatan pemilik hak,

seperti dalam kontrak jual beli dimana penjual mempunyai hak atas harga

yang disepakati, dan pembeli sendiri mempunyai hak atas barang yang

hendak dibeli.

Dilain waktu, hak shakhsi berbentuk keharusan untuk tidak

melakukan perbuatan yang akan merugikan pemilik hak, seperti tampak

dalam wadi‟ah (penitipan), dimana orang yang menerima titipan tidak

boleh menggunakan barang titipan agar orang yang titip tidak dirugikan.

Hak shakhsi tersebut lahir karena adanya pernyataan dari dua

pihak seperti dalam kontrak, atau dari satu pihak seperti dalam al-iradah

al-munfaridah (perikatan). Hak Shakhsi juga bisa timbul karena perbuatan

seseorang. Seseorang yang merusak barang orang lain maka berkewajiban

menggantinya dan pemilik mempunyai hak menerima penggantian

tersebut.

Disamping itu, hak ini kadang muncul karena penetapan undang-

undang seperti kerabat yang miskin berhak memperoleh hak nafkah dari

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

16

kerabat yang kaya. Oleh karena itu, dalam hak syakhs}i selalu terdapat

pihak yang mempunyai hak dan pihak yang memikul kewajiban. Menurut

hukum perdata umum, hak syakhshi ini disebut hak perseorangan

(persoonlijk recht).31

2] Hak „aini.

Hak „aini ialah hak yang timbul karena hubungan antara orang

dengan benda tertentu secara langsung, seperti hak milik. Pemilik benda

mempunyai kekuasaan langsung atas benda yang dimiliki, tanpa

menunggu keterlibatan pihak lain.

Jadi, hak „aini mempunyai dua unsur, yaitu pemilik hak dan

obyek hak (benda). Lain halnya dengan hak Shakhsi, yang selain dua

unsur tersebut, diperlukan unsur ketiga, yaitu pihak yang dituntut

melaksanakan.

Dalam satu benda, kadang-kadang terdapat dua hak yaitu hak

„aini dan hak shakhsi, sehingga memunculkan huquq al-irtifaq, yakni hak

yang melekat pada benda tetap (bukan benda bergerak) untuk memperoleh

manfaat benda tetap lain yang berdampingan dan bukan miliknya. Secara

garis besar, fiqh mengakui empat huquq al-Irtifaq, yakni: [1]. Haqq al-

Shurb (hak mempergunakan manfaat air untuk minum, mandi dan

kebutuhan primer lainnya dari air orang lain); [2], haqq al-majra (hak

pembuatan selokan air pada tanah milik orang lain0; [3] haqq al-masil

(hak membuat saluran pembuangan air); dan [4] haqq al-murur (hak lewat

di tanah orang lain). 32

Hak Atas Tanah

Dalam al-Qur‟an, tanah, langit, bumi dan segala isinya menjadi milik Allah SWT.

Dengan kata lain tanah merupakan karunia Allah SWT. Yang tidak terikat dan bersifat

31

Zarqa‟, al-fiqh, 16 32

Kajian tentang h}uqu>q al-Irtifa>q tidak begitu dikenal dalam fiqh salaf. Fuqaha kontemporer

mempergunakan istilah ini karena mengikuti hukum barat. Dalam hukum perdata umum, hak ini disebut

erfdienstbaarheid atau servituut. Mustafa Shalabi, al-Madkhal fi al-Ta‟ri>f bi al-Fiqh al-Isla>m wa

Qawa>‟id al-milkiyyah wa al-„Uqu>d fi>hi ( Qa>hirah: Da>r al-Qalam, 1968) 257; Ahmad Zarqa‟, al-Fiqh

al-Islam fi Thaubih al-Jadid (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1967), 223; Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata

(Jakarta:Pembimbing Masa, 1972), 75.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

17

universal, sama halnya air, udara, sinar matahari dan lain-lain; semuanya diperuntukkan

untuk dimanfaatkan oleh umum dan berguna bagi seluruh umat.

( 10: انزح ). االرض ضؼا نالاو

( 29: انثقزج ). انذ خهق نكى ياف االرض جؼا

Berpegang pada ayat-ayat di atas, serta tindakan Nabi ketika beliau memutuskan

untuk membangun masjid Quba, yaitu membayar harga tanah sesuai standar, kendatipun

pemilik tanah itu rela memberikannya dengan cuma-cuma. Semua itu menunjukkan

pengakuan kepemilikan pribadi atas tanah (tanah diakui negara dengan persertifikatan

seperti kita kenal sekarang). Kemudian firman Allah :

( 128: االػزاف )ا االرض هلل رثا ي شاء ي ػثاد

( 64-63: اناقؼح )افزئرى يا ذحزث ءارى ذزرػ او ح انزارػ

Dari ayat-ayat tersebut dapat menunjukkan bahwa tanah itu merupakan

pemberian Allah secara cuma-cuma, jauh dari kekuasaan manusia untuk menambahkan

apapun di dalamnya.

Karena tanah merupakan faktor penting dalam hal produksi, maka masalah

kepemilikannya harus ditentukan berdasarkan cara yang berbeda dari faktor-faktor

produksi lainnya. Jika tanah tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya atau tidak tergarap selama

bertahun-tahun, hal ini akan merugikan masyarakat, maka negara tidak pernah

mentolerirnya. Oleh karena itu, jika ada pemegang tanah menyalahgunakan hak

kepemilikannya, maka negara berhak memaksa untuk memanfaatkan tanahnya secara layak

atau mengambil tanah tersebut darinya dan menyerahkan kepada orang lain yang dapat

memanfaatkannya secara lebih baik sehingga menguntungkan masyarakat.

Dari sana tampak betapa otoritas negara dalam kebijakan pertanahan cukup

strategis dalam rangka menghindari sistem feodalisme atau sistem tuan tanah dan

konsentrasi kekayaan ditangan segelintir orang.33

Apa yang dilakukan khalifah umar dalam

me-land-reform atau menasionalisasikan tanah-tanah kaum feodal dan

mendistribusikannya pada kalangan miskin adalah sebuah contoh yang baik.34

33

Irfan al-Haq, Economic Doctrines of Islam, (Herdron, Virgina: International Institute of Islamic Thought,

1996), 162-163. 34

Kasus ini bermula ketika Umar menjadi Khalifah, sebagian orang berlebihan dalam memiliki tanah.

Mereka membuat batas-batas tanah dengan memasang batu-batu dan pagar di atas tanah tersebut untuk

mencegah orang lain memilikinya, namun mereka sendiri tidak memanfaatkan tanah tersebut sehingga tidak

terawat selama bertahun-tahun. Hal ini jelas bertentangan dengan maksud Rasulullah ketika membolehkan

Ihya>‟ al-Mawa>t. Sebab tujuan dari aktifitas ini adalah mendorong produktivitas tanah, baik untuk

mengembangkan sektor pertanian maupun sektor-sektor perekonomian yang lain, seperti pembangunan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

18

Mengingat tanah itu sifatnya terbatas dan tidak dapat dikembangkan seperti faktor

produksi lainnya, maka regulasi tentangnya perlu diatur secara khusus. Secara rinci, jika

dilihat dari subyek penguasanya, tanah itu bisa dibagi dua.

A. Tanah yang ada dalam penguasaan pemerintah.

Sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:

( 10: انزح ). االرض ضؼا نالاو

( 29: انثقزج ). انذ خهق نكى ياف االرض جؼا

Imam Malik berpendapat sama dengan bunyi UUD-45 pasal 28 yang menyatakan

bahwa pada dasarnya seluruh tanah/bumi ada dalam penguasaan negara/pemerintah

sebagai pembawa mandat kemaslahatan umum, kecuali yang secara sah telah

menjadi milik atau ada dalam penguasaan perorangan/badan hukum

B. Tanah yang ada dalam penguasaan perorangan/badan.

Ada dua hak atas tanah jika dilihat dari hubungannya dengan seseorang/badah

hukum:

1. Hubungan hak kepemilikan (haq al-milkiyah)

Hak kepemilikan ini dapat diperoleh dengan cara-cara sbb:

a. Membuka Lahan Baru (Ihya‟ al-Mawat)35

fasilitas pemukinan maupun perdagangan. Dalam hal ini Umar memberikan batasan waktu tiga tahun kepada

pemiliknya untuk segera mengelola tanahnya, namun jika lebih dari tiga tahun tanah tersebut tidak dikelola,

maka pemiliknya dinyatakan tidak berhak lagi, dan Umar tidak segan-segan mengambil alih tanah tersebut

sebagaimana yang terjadi dalam kasus Bilal al-Harith al-Muzni, kemudian menyerahkan tanah itu kepada

orang lain yang mampu mengelo-lahnya. Bilal al-muzni adalah seorang sahabat yang mempunyai tanah luas

pemberian Rasu-lullah, tapi dia tidak dapat menggarap seluruhnya. Kemudian Umar-pun berkata kepadanya:

“Rasulullah tidak memberikan lembah itu kepadamu untuk kamu pagari agar orang-orang tidak bisa

mengambilnya, akan tetapi beliau memberikan kepadamu agar kamu meng-garapnya. Oleh karena itu,

ambillah dari tanah tersebut yang sanggup kamu kelola dan yang lainnya kamu kembalikan”. Selanjutnya

Umar membagi-bagikan tanah tersebut kepada kaum muslimin. Hasanuz Zaman, S.M. Economic Funtion of

an Economic State: The Early experience (Leicerster, The Islamic Funtion, 1991), 125 35

Para ulama berbeda pendapat dalam cara pengolahannya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah

dengan cara menggarapnya sebagai lahan pertanian. Untuk itu perlu dibersihkan pepohonan yang ada di

dalamnya, mencangkul lahan untuk pertanian, membuat saluran irigasi baik dengan menggali sumur maupun

dengan mencari sumber air lainnya, menanaminya dengan pepohonan atau tanaman yang menghasilkan serta

memagarinya. Lalu menurut ulama Shafi‟iyah menyatakan bahwa cara untuk mengolah lahan kosong yang

tidak dimiliki seseorang dikembalikan pada adat istiadat yang berlaku di daerah itu. Jika lahan itu

dimaksudkan untuk tempat tinggal maka lahan itu perlu dipagar dan membangun rumah di atasnya. Jika

dimaksudkan untuk pertanian, maka lahannya diolah, irigasinya dibuat, baik dengan menggali sumur maupun

mengambil air dari sungai dan menanami lahan itu dengan tanaman produktif sesuai dengan keinginannya.

Dan menurut ulama Hanabilah bahwa ihya‟ al-mawat itu cukup dilakukan dengan memagar sekeliling lahan

yang ingin digarap, baik untuk pertanian, tempat pengembalaan maupun untuk perumahan. Ini didasarkan

atas hadis Nabi :

(را احذ ت حثم اتا داد ػ ػائشح)ي احاط حائطا ػه ارض ف ن

Akan tetapi ulama fiqh lain menyatakan bahwa ihya‟ al-Mawat tidak cukup hanya dengan memagar sebidang

tanah tanpa menggarapnya jadi lahan pertanian atau perumahan. Imam al-Kasani, Bada‟I‟ al-Fawa‟id, jilid

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

19

Tanah mati adalah istilah bagi tanah yang tidak ada pemiliknya

dan tidak dimanfaatkan oleh satu orangpun. Sedangkan yang dimaksud

dengan menghidupkannya adalah memanfaatkan tanah itu, baik dengan

menanaminya maupun dengan mendirikan bangunan di atasnya36

berdasarkan Hadis Rasulullah:

(را احذ ت حثم انرزيذ ػ جاتز ت ػثذ هللا)ي احا ارضا يرح ف ن -

ز ارضا نسد الحذ ف احق تا - (را انثخار ات داد)ي ػ

Kedua hadis ini menunjukkan bahwa jika seseorang menggarap

sebidang lahan kosong, belum dimiliki orang lain, kemudian menggarap

lahan itu, mengairinya, menanam tumbuh-tumbuhan di atasnya dan

memagarnya, maka lahan itu menjadi miliknya. Kedua hadis itu juga

memotifasi umat Islam untuk menjadikan lahan kosong menjadi lahan

produktif, sehingga karunia yang diturunkan Allah dapat dimanfaatkan

semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.37

Sebagaimana penjelasan diatas, bahwa pada saat Umar menjadi

Khalifah, ia mendapati sebagian orang yang berlebihan dalam

memanfaatkan fasilitas ini. Mereka membuat batas-batas tanah dengan

memasang batu-batu dan pagar di atas tanah tersebut untuk mencegah orang

lain memilikinya, namun mereka sendiri tidak memanfaatkan tanah tersebut

sehingga tidak terawat selama bertahun-tahun. Hal ini jelas bertentangan

dengan maksud Rasulullah ketika membolehkan Ihya‟ al-Mawat. Sebab

tujuan dari aktifitas ini adalah mendorong produktivitas tanah, baik untuk

mengembangkan sektor pertanian maupun sektor-sektor perekonomian yang

lain, seperti pembangunan fasilitas pemukinan maupun perdagangan. Dalam

hal ini Umar memberikan batasan waktu tiga tahun kepada pemiliknya

untuk segera mengelola tanahnya, namun jika lebih dari tiga tahun tanah

tersebut tidak dikelola, maka pemiliknya dinyatakan tidak berhak lagi atas

VI, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 194.; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid V, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-

Hadithah, tt), 514. 36

An-Nabhani, Membangun sistem Ekonomi, 74. 37

Nasrun Haroen, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2000), 46.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

20

tanah tersebut.38

Dasar penetapan waktu tiga tahun adalah berdasarkan

perhitungan rasional bagi seseorang untuk menghidupkan tanahnya ataupun

mempersiapkan segala sesuatu untuk mengelolahnya, terutama jika tanah itu

terletak jauh dari tempat tinggal pemiliknya.

Selanjutnya, adanya kebijakan pembatasan waktu yang ditetapkan

oleh Umar juga atas dasar kemaslahatan masyarakat. Umar menyadari

sepenuhnya bahwa tanah adalah karunia Allah yang harus dimanfaatkan

sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Tanah tidak boleh

dibiarkan tak terawat karena hal itu merupakan perbuatan yang mubazir dan

dipandang sebagai bentuk penyia-nyiaan terhadap karunia Allah SWT.

Disamping itu, mengingat kondisi tanah Arab yang pada umumnya berupa

padang pasir tandus dan tidak bisa ditanami, maka pengabaian terhadap

tanah yang potensial untuk pertanian dapat mengurangi hasil produksi

pertanian masyarakat secara keseluruhan. Dan lebih dari pada itu, tanah

subur yang dibiarkan tidak dikelola akan berkurang tingkat kesuburannya

dan bahkan dapat berubah menjadi tanah yang gersang sehingga kerugian

yang ditimbulkan sangat besar. Atas pertimbangan ini, kebijakan

pembatasan waktu yang ditetapkan oleh Umar terhadap tanah yang tidak

dikelola menjadi sangat mudah untuk difahami. Ini terbukti, tak seorangpun

diantara para sahabat yang mengingkarinya sehingga telah menjadi ijma‟

sahabat. Namun pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Talib dan

Mu‟awiyah batas waktu tersebut dikurangi menjadi dua tahun karena

pertimbangan kepentingan umum. Ini sebagaimana yang dilakukan Ziyad

bin Abu Safyan, Gubernur irak.39

38

Terhadap orang yang mengabaikan tanahnya tanpa dikelola selama lebih dari tiga tahun, Umar tidak segan-

segan mengambil alih tanah tersebut sebagaimana yang terjadi dalam kasus Bilal al-Harith al-Muzni,

kemudian menyerahkan tanah itu kepada orang lain yang mampu mengelolahnya. Adapun Bilal al-muzni

adalah seorang sahabat yang mempunyai tanah luas pemberian Rasulullah, tapi dia tidak dapat menggarap

seluruhnya. Kemudian Umar-pun berkata kepadanya: “Rasulullah tidak memberikan lembah itu kepadamu

untuk kamu pagari agar orang-orang tidak bisa mengambilnya, akan tetapi beliau memberikan kepadamu

agar kamu menggarapnya. Oleh karena itu, ambillah dari tanah tersebut yang sanggup kamu kelola dan yang

lainnya kamu kembalikan”. Selanjutnya Umar membagi-bagikan tanah tersebut kepada kaum muslimin.

Zaman, Economic Functions,125. 39

Ibid, 128

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

21

b. Pemilikan tanah melalui jual-beli („iwadl, tukar menukar).

Dalam hal ini, maka proses jual-beli atau tukar menukar („iwadl)

harus dijalankan berdasarkan prinsip dasar jual beli, yakni "tarâdlin"

(prinsip kesukarelaan dari kedua belah pihak). Dalam al-Qur'an dikatakan,

"Ya ayyuha al-ladzîna âmanû lâ ta‟kulû amwâlakum baynakum bi al-bâthil

illa antakûna tijâratan 'an tarâdlin minkum../Wahai orang yang beriman,

janganlah kalian makan harta sesamamu dengan cara yang tidak benar,

kecuali melalui jalan jual-beli berdasarkan suka-sama suka di antara kamu.."

Al-Nisa [4]: 28). Artinya, pihak pembeli harus suka dengan barangnya, dan

pihak penjual suka dengan harganya. Praktek-praktek penggusuran (jual beli

paksa) yang selama ini terjadi atas tanah rakyat oleh penguasa/pengusaha

secara prinsip tidak dapat diterima.

c. Pemilikan dengan cara perwarisan (mirâts).

Yakni, pemilikan yang terjadi karena peralihan hak dari seseorang

yang meninggal dunia kepada pihak-pihak tertentu dikarenakan adanya

hubungan kekerabatan (nasab). Pemilikan melalui cara ini dalam Syari'at

Islam telah diatur sedemikian rinci, baik menyangkut siapa-siapa yang

berhak mewarisi, berapa bagian masing-masing ahli waris, syarat-syarat

perwarisan, dan hambatan-hambatannya.

Ini sesuai dengan al-Qur‟an:

نهزجال صة يا ذزك انانذا االقزت انساء صة يا ذزك انانذا االقزت يا قم ي

( 7: انساء ). ا كثز صثا يفزضا

Sehingga adanya sistem Zamindari atau tuan tanah itu tidak akan pernah

dapat dijadikan patokan dalam masyarakat Islam.40

d. pemilikan melalui pemberian (hibah atau hadiah).

Dalam hal ini, siapa yang memberi dan yang menerima, serta apa

yang diberikan dan berapa, tidak diatur, kecuali bahwa: a) yang

bersangkutan (pemberi maupun menerima) telah memenuhi syarat sebagai

pelaku kontrak (dewasa, cakap, dan tidak terpaksa), atau dilakukan ooleh

40

Alasan Islam tidak menyetujui sistem zamindari atau sistem tuan tanah adalah: Pertama penguasaan sistem

tanah seperti ini bertentangan dengan prinsip distribusi kekayaan yang adil. Kedua, sistem ini akan

merintangi pemanfaatan yang tepat, karena tanah yang tidak terpakai merupakan hal yang mubazir dan

merugikan pemilik serta masharakat secara keseluruhan. M. Abdul Mannan, Ekonomi Islam, 78-79.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

22

wwali atas namanya. Dan, b) akad hibah yang dilakukan ppada ssaat sakit

tidak boleh melebihi 1/3 dari keseluruhan harta yang dimiliki.

2. Hubungan hak guna atau pemanfaatan (haq al-istighlal).

Haq al-istighlâl atau hak pemanfaatan (haq al-intifa') adalah hak yang

diberikan oleh negara/pemerintah bukan atas dzatnya tanah/bumi itu sendiri

melainkan pada pemanfaatannya belaka. Hak ini didapat melalui cara-cara:

a. Tahjir

Tahjîr adalah pengkaplingan terhadap tanah bebas yang belum

menjadi milik seseorang/badan. Berbeda dengan Imam-Imam yang lain

yang memberikan hak kepemilikan dari proses tahjîr ini, menurut Imam

Maliki tahjîr hanya memberikan hak pemanfaatan (haq al-intifa') atau hak

guna (haq al-istighlâl). Dasarnya adalah Hadist Nabi di atas, bahwa jika

sampai tiga tahun tanah tahjîr tersebut tidak dimanfaatkan sebagaimana

lazimnya, maka pemerintah dapat mencabutnya kembali dari si

pengkapling.

b. Iqtha'

Iqta’ yang disebut juga tanah hadiah, adalah system hak pakai

yang yang asal-usulnya dapat ditelusuri pada zaman Nabi muhammad.

Sistem ini mempunyai implikasi yang serius terhadap sistem tanah di Arab,

karena kehidupan orang-orang Badui yang berpindah-pindah itu

menyebabkan mereka tidak mengetahui hak pemilikan tanah oleh seseorang.

Iqta‟ mempunyai ragam makna, diantaranya seperti ungkapan Al- Shaukani

yaitu ketetapan pemerintah tentang penentuan lahan kepada seseorang yang

dianggap cakap untuk menggarap lahan tersebut,41

sebagaimana yang

dilakukan Nabi Muhammad dalam meng- Iqta‟ tanah kepada orang-orang

Badui untuk menghidupi kehidupan mereka yang telah meninggalkan

keluarga, kerabat juga harta benda mereka.

Adapun bentuk hadiah atau bantuan ini diberikan kepada dua

kelompok berdasarkan kondisinya. Pertama, diberikan kepada orang-orang

yang mampu mengolah tanah itu sendiri untuk memperbaiki kehidupan

mereka. Kedua kepada orang-orang yang berkerja sebagai pengabdi

41

Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Shaukani, Nail al-Awtar, jilid V (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), 311

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

23

masyarakat sehingga tidak dapat mengolah tanah itu sendiri. Mereka

menyuruh orang lain mengolahnya dan membagi hasil maupun

pendapatannya kepada orang-orang tersebut.42

Berdasarkan penelitian hadis dan pernyataan sejarah, ada tiga

ketegori tanah yang dijadikan Iqta‟ yaitu:

1) Tanah Tandus, yaitu tanah-tanah yang tidak pernah diolah dan

diperbaiki sebelumnya. Karena ketandusannya belum pernah orang

berani memperbaikinya. Khalifah membagi-bagikan tanah ini

dikalangan orang-orang yang menbutuhkannya agar supaya mereka mau

memperbaiki tanah-tanah tersebut dan mengolahnya. Tanah semacam

inilah yang diberikan kepada Zubair di Naqbal.43

2) Tanah-tanah tidak terpakai. Tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan

adalah tanah yang dapat diolah tapi karena suatu hal seperti sulitnya

irigasi, tanah tersebut tidak diolah. Sehingga tanah tersebut bisa di

hadiakan pada perorangan. Ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah,

beliau memberikan tanah pada Wali Aqiq agar dikelolahnya.44

3) Tanah negara, yang dimaksud disini adalah tanah yang berasal dari

wilayah taklukkan oleh para Khalifah, antara lain: tanah-tanah yang

pemiliknya gugur dimedan perang, tanah dari orang-orang yang

melarikan diri dalam masa pertempuran dan lain-lain. Dari sini Imam

Abu yusuf berpendapat bahwa kedudukan tanah-tanah ini sama seperti

tanah yang tidak mempunyai pemilik dan tidak ada yang menempatinya.

Ini terbukti bahwa pada masa awal pemerintahan Khalifah, dalam

memberikan iqta‟ tanah yang tidak berpenghuni tak satupun ahli waris

yang menuntutnya, juga tidak ada tanda-tanda perbaikan serta secara

undang-undang tidak boleh diberikan kepada seseorang (karena

kegunaannya berstatus umum). Seperti padang rumput, hutan, danau dan

lain sebagainya.45

42

Afzalur Rahman, Doktrin, 237. 43

Bahr al-Raiq, Vol. VII, 339. 44

Abu Yusuf, Kitab al-kharaj, (Lebanon: ed. Dar al-Ma‟rifah, 1353), 137 45

Ibid, 344-345

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

24

Adapun macam-macam iqta‟ menurut ulama fiqh46

ada tiga

yaitu:

a) Iqta‟ al-Mawat. Para ulama fiqh menetapkan bahwa pemerintah

dibolehkan untuk menentukan dan menyerahkan sebidang tanah

untuk digarap. Tujuannya adalah agar lahan ini menjadi lahan

produktif dan masyarakat terbantu. Alasannya adalah hadis-hadis

Nabi SAW. Dan perbuatan para sahabat. Contohnya penyerahan

tanah oleh Rasulullah kepada Bilal ibn Harith, Wa‟il ibn Hajar, Abu

Bakar, Umar Usman dan sahabat-sahabat lainnya.

b) Iqta‟ al-Irfaq (Iqta‟ al-Amir), menurut ulama shafi‟iyah dan

Hanabilah bahwa pemerintah boleh menetapkan lahan tertentu untuk

pekarangan masjid, tempat-tempat istirahat dan jalan, dengan status

hak pemanfaatan saja, bukan hak milik. Sehingga bila sewaktu-

waktu pemerintah memintah kembali tanah tersebut tidak merugikan

si pengguna. Contoh di Indonesia adalah adanya lahan-lahan yang

digarap oleh tranmigran di berbagai wilayah Indonesia. Para

transmigran dapat menggarap lahan yang ditentukan pemerintah

untuk mereka selama mereka masih bertahan di daerah tersebut.

c) Iqta‟ al-Ma‟adin. Ini berhubungan dengan barang-barang tambang.

Sehingga untuk membahas bab ini, ulama fiqh pun banyak pendapat

mengenai al-Ma‟adin.

c. Irtifak

Hak Irtifâq adalah hakuntuk ikut mendapatkan manfaat dari tanah,

terutama yang diperuntukkan bagi keperluan bersama, seperti jalan, aliran

sungai atau jalur-jalur hijau, cagar alam, dsb. Hak ini berlaku umum dan

pemanfatannya tidak boleh mengganggu keutuhan tanah itu sendiri dan

kemaslahatan yang dibutuhkan oleh orang banyak.

d. Hima

Hima hak atas tanah yang diperuntukkan secara kolektif untuk

satu suku atau lebih untuk dikelola atau untuk kebutuhan yang lain.

Pemilikan tanah pribadi merupakan sesuatu yang tidak dikenal dikalangan

46

Nasron Haroen, Fiqh mu‟amalah, 53-57

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015

25

orang Badui. Hak terbatas orang Badui atas tanah mungkin merupakan asal

usul perkembangan cadangan kolektif yang haknya dibuat mutlak.

Sedangkan suku yang lainnya berkewajiban untuk tidak mengganggu hak

itu. Dasar Hima biasanya makanan ternak atau air. Biasanya dalam Hima

terdapat satu atau lebih mata air. Sifatnya yang nomadik tampak jelas dari

kenyataan bahwa biasanya tanah itu dibiarkan tidak digarap. Pada mulanya

hak istimewa Hima tidak bersifat tetap, tetapi kemudian jika ia tetap dalam

pemilikan suatu suku selama masa yang lebih lama, maka akan menjadi

milik mereka. Seringkali Hima yang luas menjadi milik beberapa suku.

Kemudian sistem ini juga membayar „ushr al-zakat berdasarkan

hasil yang didapatkan. Jika „ushr al-zakat ini tidak dibayar maka hak atas

Hima dicabut dan orang lain berhak menempati tanah tersebut. Pemerintah

juga mempunyai Hima sendiri. Kadang-kadang pemerintah mengambil

Hima yang diperlukan untuk kemiliteran atau untuk digunakan rakyat

banyak.