hak atas tanah; formulasi normatif model fiqh · bergulat mempertahankan hidupnya menghadapi...
TRANSCRIPT
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
1
Hak Atas Tanah; Formulasi Normatif Model Fiqh
Abdul Jalil
ABSTRACT
In the name of development, strategic land positions to be discussed. Of land, the
construction can be carried out, but also appears injustice of land development.
Diversity normative rules can be traced back to differences between the approach
of rights; whether the absolute right of personal, social, or collective of all. This
term sticking such as the influence of the value system that evolved in human
groups. From here people can accept the argument of the emergence of a feeling
of having something, which provides psychological underpinnings of the concept
of rights, obligations, responsibilities and necessity. Fiqh is believed to have
contributed ideas in the use and management of land, both in the context of
individual, social or state. The basic idea is that the land must be used in
accordance utility. Someone may have the right to land (haq milkiyyah wa al-
istighlal), but in the land of no inherent rights, social rights and the state (huquq
al-irtifaq wa al-daulah). Dialectics between the three runs are complementary,
not mutually negating.
Key words: Right of Land, normative, fiqh
Bermula dari Gagasan Membangun
Pembangunan adalah salah satu konsep kunci di era global yang memancing
berbagai pertanyaan sulit tentang nilai, teknik dan pilihan. Hal ini karena ia berkaitan
dengan pertanyaan (klasik) tentang hakikat "masyarakat yang baik", dan juga masalah
siapakah yang harus menentukan isi dan tujuan masyarakat.
Mengingat cakupan masalahnya luas dan sulit, orang mudah mengaburkannya
dalam generalisasi, menggunakan-nya sebagai eufemisme untuk perubahan, modernisasi,
dan pertumbuhan.1 Padahal, pembangunan lebih rumit dari pada itu. Pinjam terminology
yang digunakan Gandhi, pemba-ngunan merupakan "realisasi potensi manusia".2
1 Seringkali terdengar kata membangun, tetapi yang terlihat ialah realitas kurangnya pembangunan
(under development). Kemiskinan dengan beberapa seginya merasuk makin dalam; buruh-tani terus
bergulat mempertahankan hidupnya menghadapi ketiadaan tanah milik; bergantung pada musim dan
cuaca, dan dengan akses yang terbatas atas benih, air dan hewan pembantu; gubuk hunian liar
menjamur di antara arus modal. Ukuran agregat pertumbuhan dalam wujud GNP dan harapan
hidup (life expectancy) bercerita tentang perkembangan yang timpang; penumpukan hutang,
lingkungan yang makin kurus, dan kesenjangan yang menganga. Michael Todaro, Economic
Development in the Third World (London: Longmans, 1977), 62. 2 Coralie Bryant dan Louise G White, Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkemban, ter. Rusyanto L
Simatupang (Jakarta: LP3ES, 1987), 3
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
2
Pembangunan adalah proses multidimensi yang mencakup perubahan-perubahan penting
dalam struktur sosial, sikap rakyat dan lembaga nasional, dan juga akselerasi
pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan (inequality, dan pemberantasan
kemiskinan absolute.
Pembangunan selalu membutuhkan infrastruktur, termasuk didalamnya pengadaan
lahan. Permasalahan yang terkait dengan pembebasan lahan privat untuk kepentingan
publik senantiasa menimbulkan polemik. Di satu sisi, negara menjamin kepemilikan sah
individu atas lahan/tanah tertentu, di sisi lain pelaksana kekuasaan negara, yakni
pemerintah, berkewajiban menjalankan agenda pembangunan infrastruktur fisik yang
kerap kali harus mengorbankan nilai kepentingan individu.
Akomodasi secara konseptual terhadap kedua kepentingan tersebut sebenarnya
sudah ada sejak tahun 1960 pada saat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dibentuk.
Dalam undang-undang tersebut kedua kepentingan itu sudah diletakkan secara hierarki
pada tingkat kepentingan yang saling mengimbangi. "…hak atas tanah apa pun yang ada
pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau
tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu
menimbulkan kerugian bagi masyarakat…." (Penjelasan Umum II, 4 UUPA).
Kepentingan umum, yang dijabarkan dari fungsi sosial tanah, tidak kalah
pentingnya dengan kepentingan individu pemilik yang dijabarkan dari fungsi ekonomi
tanah. Artinya, pada saat dibutuhkan demi kepentingan umum, kepentingan individu bisa
dikompromikan, bahkan dikalahkan, dan hak milik atas tanah harus dilepaskan.
Namun, permasalahan pertanahan terkait dengan pembebasan lahan pada masa kini
sudah demikian kompleks dan tak bisa begitu saja terjawab oleh peraturan yang sudah ada
Induk dari peraturan pertanahan jelas ada di UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960).
Namun, penjabaran undang-undang pokok menjadi undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya oleh sebagian ahli hukum dinilai belum memadai. Sebagaimana
keberadaan UU No 51 Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dan UU
No 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda di Atasnya, serta Instruksi
Presiden (Inpres) No 9/1973 dan Keputusan Presiden (Keppres) No 55/1993 sebagai
peraturan pelaksanaannya dinilai belum mampu mencari jalan keluar dari potensi konflik
pertanahan yang muncul.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
3
Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2005 yang sebagian isinya lebih
menyerupai Inpres No 9/1973 karena biasnya beberapa konsep yang dimuat kian
meninggikan prasangka publik. Apa benar 21 proyek pembangunan yang disebutkan
dalam perpres seluruhnya layak dikategorikan sebagai kepentingan umum.
Mengapa Bertanya pada Fiqh?
Ditilik dari perspektif sosio-historis, kelahiran Islam sesungguhnya merefleksikan
sebuah „pemberontakan‟ moral terhadap keangkuhan sistem peradaban masyarakat
jahiliyyah. Keangkuhan ini dapat dilihat dari perlakuan yang tidak adil terhadap
perempuan, baik yang dewasa maupun yang baru lahir, penindasan terhadap suku dan klan
yang kecil, peminggiran kaum miskin, pemusatan kekuasaan pada kaum aristokrat,
ketimpangan ekonomi, dan lain-lain.3
Idealisme tersebut, dalam dataran operasional, direpresentasikan oleh fiqh. Sebagai
disiplin yang bergumul dengan nilai, yang epistemologi dan metodologinya telah
terobjektifikasi dan terkritik, ilmu fiqh tumbuh menjadi ilmu yang paling berpengaruh di
kalangan masyarakat, melebihi cabang-cabang ilmu (keislaman) yang lain. Fiqih,
dibanding disiplin lainnya, mempunyai konsep normatif yang lebih operasional, sehingga
diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab realitas pertanahan
kontemporer di bawah sistem pemerintahan NKRI.
Alasan lain adalah untuk melakukan pressure terhadap negara dengan landasasan
teologis agar penanganan masalah tanah tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan yang
menjadi misi setiap agama. Oleh karenanya, fiqih di abad modern ini diharapkan mampu
berbicara banyak mengenai konsep pertanahan melalui penelusuran norma-norma Islam,
dalam bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat dalam teks-teks nash
mapun pengalaman historis masyarakat Islam.
3 Fazlur Rahman smenyebutkan bahwa problem akut yang dihadapi masyarakat Arab pada waktu itu,
sebagaimana tampak dalam surat-surat awal al-Qur‟an adalah pholitheisme (penyembahan berhala),
eksploitasi kaum miskin, permainan kotor dalam perdagangan dan ketiadaan tanggung jawab umum terhadap
masyarakat. Problem aktual lain yang juga menjadi ciri kehidupan waktu itu adalah perpecahan dan
kecenderungan konflik antar kabilah sehingga mudah sekali berubah menjadi perang yang berkepanjangan.
Salah satu contohnya adalah Perang Basu>s yang berlangsung 40 tahun antara Bani Bakr dan Taghli>b yang
hanya disebabkan oleh kematian seekor unta. Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press,1982), 3; Abu al-Faraj al-Isfiha>ni>,
Kita>b al-Agha>ni>, vol. 1( Beiru>t: Mat}ba‟ah al-„Arabiyyah, tt), 140-152.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
4
Mengharapkan Fiqih mempunyai konsep yang utuh tentang sistem pertanahan
tidaklah bijaksana. Karena referensi tekstual maupun historis Islam tidak memadai untuk
itu. Akan tetapi bukan berarti konsep itu tidak ada, hanya soal waktu dan aspek lokalitas
yang berbeda yang mengharuskan kita menempatkan fiqih secara proporsional, yakni
sebagai sebuah produk pemahaman yang selalu terikat oleh konteks waktu dan tempat.
Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Arab pada masa awal kenabian, sistem
ekonominya bertumpu pada perdagangan. Islam sejak awal sangat memperhatikan bidang
ini karena Islam pertama-tama dan terutama adalah agama para pedagang, bukan agama
gurun pasir serta bukan pula agama para petani.4
Baru setelah Nabi berhijrah ke Madinah dan dalam perluasan Islam selanjutnya ke
Asia Tengah dan Selatan, umat Islam mempunyai pengalaman sebagai masyarakat agraris
yang bersentuhan dengan masalah tanah, itupun lebih bersifat subsisten, yakni pertanian
yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan bukan agribisnis (pertanian yang
hasilnya berorientasi pasar). Maka dapat dipahami kalau fiqih pada waktu itu masih belum
bersentuhan dengan isu-isu pertanahan dalam pengertiannya yang sekarang ini.
Tanah memang mempunyai arti yang sangat strategis bagi kehidupan manusia di
muka bumi. Hampir seluruh sektor kehidupan manusia bergantung dan bersumber pada
tanah, baik itu sebagai lahan pertanian, tempat pemukiman, tempat usaha, tempat
peribadatan, sarana perhubungan dan sebagainya. ini sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD
45 dan UUPA no 5 tahun 1960, yaitu:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” (Pasal 33 ayat 3 UUD
45).
4Pendapat bahwa monoteisme Islam yang kuat sangat berikaitan dengan pengalaman ketidakberartian
manusia (mans experience of his own insignificance) di tengah kegersangan gurun pasir, telah dipopulerkan
pada abad ke 19 Ernest Renan serta sarjana-sarjana lainnya. Namun demikian, pendapat tersebut sebenarnya
sama sekali tidak didasarkan kepada fakta yang memadai. Orang-orang yang pertama kali menjadi Muslim
bukanlah orang-orang badui yang hidup di gurun pasir, melainkan orang-orang berasal dari pusat
perdagangan di Mekkah dan tanah pertanian di Madinah. Tetapi memang benar kalau dinyatakan bahwa
sumberdaya manusia bagi kepentingan ekspansi orang-orang Arab terutama berasal dari gurun ini; dan
barangkali bisa juga dikatakan bahwa moralitas Islam telah bercampur-baur dengan nilai-nilai utama yang
hidup di gurun pasir, kendati dalam bentuknya yang telah disesuaikan dengan kehidupan kota. Gurun pasir
juga menjadi sarana penyeberangan lewat mana para pedagang Makkah melakukan kegiatan-kegiatan
perdagangan mereka, sebagaimana laut menjadi sarana kegiatan perdagangan pedagang dari Venesia dan
wilayah Italia lainnya. Disisi lainnya, orang-orang badui jarang menjadi Muslim yang taat, baik pada masa
Nabi Muhammad maupun masa belakangan. W. Montgomerry Watt, Islam dan Peradaban Dunia, terj.
Hendro Prasetyo (Jakarta: Gramedia, 1997), 23.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
5
“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa.” (UUPA No. 5 tahun 1960).
Adanya kedua pernyataan di atas, pada prinsipnya sejalan dengan pandangan teologi
Islam, juga terasa lebih religius. Adapun pesan yang terkandung didalamnya baik moral
maupun spiritual adalah bumi (tanah) dikelola dengan penuh tanggung jawab dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama dan sekaligus bertanggung jawab
kepada Tuhan yang telah menganugerahkan kepada dan untuk seluruh umat manusia dan
makhluk lainnya.
Dalam bidang pertanian, misalnya, kepemilikan atas tanah merupakan hak asasi
petani yang harus dipenuhi oleh negara. Seorang petani hanya disebut petani, bukan buruh
tani, apabila ia mempunyai lahan yang cukup untuk memenuhi kehidupan keluarganya.
Dalam era industri, kegiatan ekonomi masyarakat tidak hanya semakin meningkat,
tetapi juga semakin beragam dan luas. Kebutuhan-kebutuhan untuk mendirikan pabrik,
pemukiman, perkantoran, pariwisata, semuanya itu memerlukan tanah yang luas. Dalam
realita ini, kelompok lemah; petani gurem, penduduk marjinal atau orang miskin yang
menghuni tanah negara, senantiasa dirugikan dan dikalahkan dalam persaingan dan
perebutan sumber daya tanah tersebut.5
Akibatnya, walaupun sudah ditetapkannya kebijaksanaan pertanahan oleh
pemerintah, namun tak dapat dipungkiri, bahwa kebijaksanaan tersebut tidak terlepas dari
adanya pengaruh prioritas-prioritasnya sendiri dan berbagai kepentingan.
Dengan adanya berbagai kepentingan (kelompok-kelompok bisnis dan industri) yang
paling banyak mempunyai akses pada proses perumusan kebijaksanaan negara, maka
kebijaksanaan alokasi tanah cenderung atau bayes kepada kepentingan individu/ kelompok
tertentu, mengesampingkan kepentingan dan hak-hak rakyat miskin. Inilah yang
melatarbelakangi berbagai unjuk rasa, protes dalam kasus-kasus tanah.
5 Secara teoritis, relasi ini sering disebut sebagai hubuungan industrial, yaitu hubungan kerjasama seluruh
aktivitas, baik sector industri, pertanian, pemerintahan, pendidikan maupun social. Hal ini dapat dilihat dalam
system-sistem kerja yang saling menguntungkan dan memuaskan secara ekonomis, psikis maupun social.
Secara singkat, konsep dasar hubungan industrial dirumuskan Islam sebagai pola perilaku manajemen yang
didasarkan pada: penghormatan setiap individu sebagai potensi, kapabelitas, pengalaman, hak dan kewajiban
masing-masing. Dimana, terjadi saling menghormati antara pimpinan atau majikan dan pekerja,saling
menghargai antar sesama pekerja, hubungan kerjasama (ta'awun) yang didasari kebijakan dan ketakwaan,
komunikasi yang baik (shalih), mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Dan,
hubungan kerjasama yang berdasarkan amanat dan profesionalisme
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
6
Melihat konteks ini semua, terutama di Indonesia pada saat demokrasi belum tegak
seperti dewasa ini, pemberian mandat oleh fiqh yang demikian besar kepada
negara/pemerintah memang terasa sangat mencemaskan. Karena mandat tersebut oleh para
penguasa telah disalahgunakan sedemikan rupa untuk kepentingan pribadi atau kelompok-
kelompok tertentu yang ujung-ujungnya adalah kepentingan pribadi juga. Sehingga timbul
sebuah pertanyaan, apakah lebih bijaksana kalau mandat tersebut di cabut dari pemerintah?
Jika ya, lalu pada siapa mandat itu harus diberikan? Memberikan kepercayaan pada negara
untuk mengurus apa yang disebut kepentingan publik memang merupakan satu kebodohan.
Akan tetapi menyerahkan mandat itu pada perorangan atau bahkan meniadakah sama sekali
tentu lebih bodoh lagi.
Napak Tilas Jejak Fiqh Pertanahan
Sebagaimana uraian diatas, dalam tilikan sejarah Islam awal, diskursus tentang tanah
berkelindan dengan sejarah sosial negara, terutamana yang terkait dengan pendapatan yang
diperoleh negara dan model distribusinya untuk kemakmuran rakyatnya, yang dikemudian
hari lebih di kenal dengan istilah kebijakan fiskal.6 Kala itu, keuangan negara diperoleh
dari Zakat, Jizyah, Ghanimah, Rikaz, Kharaj,7 Ushur,
8 Pinjaman dan Hibah dari warga
negara,9 Fay',
10 Dlaribah (pajak), dan laba dari institusi ekonomi negara.
11 Jika kita
6 Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya dalam
merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi. Dan kebijakan fiskal tersebut memiliki dua instrumen, pertama:
kebijakan pendapatan, yang tercermin dalam kebijakan pajak, kedua: kebijakan belanja. Kedua instrumen
tersebut akan tercermin dalam anggaran belanja negara. Kebijakan fiskal adalah bagian dari kebijakan
ekonomi suatu negara yang tidak dapat berdiri sendiri dalam pencapaian tujuan-tujuan ekonomi, kebijakan
penting lainnya adalah kebijakan moneter. Kebijakan fiskal akan sangat tergantung pada dua instrumen
tersebut, yaitu pendapatan dan pengeluaran. Kinerja kebijakan fiskal antara satu negara dengan lainnya akan
sangat berbeda. Ketidak samaan tersebut didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai dan
falsafah ekonomi yang dianut. Dalam masyarakat ekonomi tertinggal misalnya, kebijakan fiskal biasanya
bertujuan bagaimana mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka investasi dan menjaga keseimbangan
harga menjadi prioritas utama. Sedangkan dalam masyarakat ekonomi kapitalis yang maju biasanya
kebijakan fiskal akan terfokus pada pencapaian dan penstabilan ekonomi serta pemanfaatan atau kesempatan
penuh tenaga kerja. Ajaran Islam semenjak empat belas abad yang lalu telah menentukan pendapatan
pemerintah dan alokasi pendapatan tersebut, dengan disyariatkannya zakat, ghonimah, fai dan jizyah dalam
Al quran serta perinciannya dalam As Sunnah. Bahkan Al Quran pun dengan jelas telah menentukan alokasi
pendapatan tersebut secara rinci. 7 Akhmad Oran dan Salim Rashid, “Fiscal Policy in Early Islam”, dalam Sayed Afzal Peerzade (ed), Reading
in islamic Fiscal policy, (Delhi: Adam publishers and Distribution, 1996), 110. 8 M. Abdul Mannan, Teori dan praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin, (Yogyakarta : Dana Bhakti
Wakaf, 1997), 256. 9 S.M. Hasanuz Zaman, Economic Funtion of an Economic State: The Early experience, (Leicerster, The
Islamic Funtion, 1991), 288. 10
Kekayaan pertama di dapat dari banu Nadir, suatu suku yang tinggal dipinggiran Madinah, tetapi mereka
melanggar perjanjian. Sehingga Nabi meminta mereka kota tapi mereka menolaknya. Setelah Nabi
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
7
klasifikasikan, pendapatan tersebut ada yang bersifat rutin seperti: zakat, jizyah, khoroj,
usyur, infak dan shodaqoh serta pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer
seperti: ghanimah, fai dan harta yang tidak ada pewarisnya.
Dalam perspektif ekonomi, tanah merupakan salah satu faktor produksi12
yang sangat
esensial, sehingga dalam kepemilikannya ia sangat penting.13
Oleh karena itu kemakmuran
suatu bangsa tergantung pada penyelesaiannya secara adil dan bijaksana dalam hal
mengerahkan tentara untuk mengepungnya, akhirnya merekah menyerah tanpa kekerasan . sehingga semua
harta miliknya menjadi milik Rasulullah menurut ketentuan Qur‟an. Adiwarman A. Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : IIIT, 2002), 30-31. 11
Taqyuddin an- Nabhani, Membangun Sistwm Ekonomi Alternatif: Perspektif Islam, terj. M. Maghfur
Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 253. 12
Pernyataan ini terterah sesuai dalam pembagian faktor produksi yang dikemukakan oleh Rafiq Yunus al-
Misri yang mana dia menempatkan al-Ard (otomatis tanah masuk di dalamnya) pada urutan pertama dari tiga
kelompok faktor produksi pertama, dengan menyebutnya Awa>mil al-Inta>j al-Mustaqillah, yaitu al-Ard, al-
Amal dan al-Mal. Sedangkan kelompok faktor kedua adalah Awa>mil al-Inta>j al-Tabi‟ah, yang ada dua
yaitu: al- Mukha>tirah dan al-Zama>n. Semua faktor ini dijelaskannya dalam Rafiq Yunus al-Misri, Usul al-
Iqtisad al-Islami,( Damaskus: Dar al-Qalam, 1999), 85-98. Hal ini dapat dibandingkan dengan pembagian
faktor produksi seperti yang digulirkan oleh Mustafa al-Hamshari, yang jumlahnya ada tujuh, yaitu: pertama,
Bina>‟ al-Insa>n, kedua, al-Ard, ketiga Anwa>‟ al-milkiyyah, keempat al-Amal, kelima al-Mawa>rid,
keenam al-Tauzi, ketujuh al-Infaq. Mustafa al-Hamshari, Al-Niz}a>m al-Iqtis}a>di fi> al-Isla>m, (Riyadh:
Dar al-„Ulum, 1985), 83-390. 13
Tanah merupakan salah salah satu primadona harta benda. Status seseorang ditentukan oleh keluasan tanah
yang dimiliki. Pada dasarnya pemilik tanah dan harta benda yang lain setelah diturunkan oleh Allah adalah
hak pribadi. Kemudian klasifikasi tanah menurut fiqh Islam itu ada dua yaitu pertama Istila‟, yakni
penguasaan melalui perang, pembebasan, atau cara pendudukan lain tanpa kekerasan. Kedua Istiqrar, yakni
penguasaan melalui perwarisan secara turun temurun atau alih milik dari orang lain dengan jual beli, dan lain
sebagainya.Tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah dari pihak lain dengan cara istila‟, akan menjadi
berbeda statusnya sesuai dengan proses dan cara pengambilalihannya yang secara terbagi menjadi tiga
kategori;[a]. dikuasai secara paksa dalam suatu peperangan. Statusnya menjadi barang rampasan perang
(ghonimah); [b]. ditinggalkan oleh pemiliknya (melarikan diri) dalam situasi perang. Dalam istilah fiqihnya
disebut al-fai. Tanah-tanah “Fai” menjadi tanah negara, untuk kemaslahatan rakyat. Imam dapat menetapkan
sewanya atau pajaknya kepada orang yang mengerjakannya. Khusus untuk tanah, jumhur al-fuqaha‟ sepakat
mengenai kedudukan tanah tersebut sebagai waqaf untuk kemaslahatan rakyat banyak. Hanya saja menurut
Syafi‟iyah dan sebagian Hanabilah, pewaqafannya memerlukan ketetapan Imam, pemerintah; [c]. tanah yang
diperoleh pemerintah melelui perundingan damai (as-sulh). Tanah ini dapat menjadi tanah-negara, atau tetap
menjadi tanah milik bagi pemilik lama dengan ketentuan membayar kharaj (retribusi) atau bagi hasil yang
diatur oleh Imam.
Adapun tanah-tanah yang dikuasai karena Istiqrar, dapat diuraikan sebagai berikut: a. tanah dengan hak milik
(ardlun mamlukah), disini dapat dibedakan sebagai berikut; Yang dibudidayakan (al-ardlul „amiroh), baik
untuk pemukiman, pertanian dan lain-lain kemanfaatan. Tanah seperti ini, hak pengurusannya sepenuhnya
berada di tangan pemiliknya, orang lain tidak berhak mengelolanya tanpa seizin perniliknya,yang tidak
dibudidayakan (al-ardlul ghomiroh atau al-ardlul khorob). Yaitu tanah-tanah yang tidak dipakai untuk
pemukiman, pertanian, atau usaha-usaha lain yang produktif. Tanah ini pun tetap menjadi milik pemiliknya.
b. Tanah bebas (ardlun mubaahah), merupakan tanah yang belum ditetapkan pemiliknya, masih langsung
dibawah wewenang pemerintah, seperti: - Tanah untuk kepentingan masyarakat umum, (marafiqul balad),
seperti tempat pengembalaan ternak umum, lapangan olah raga, jalan raya, dan lain sebagainya.- Tanah yang
belum dibudidayakan tanpa pemilik (al-ardlul mawaat), menjadi tanah negara (amlakud daulah). Dan
pemerintah dapat mengaturnya sesuai dengan kepentingan kemaslahatan umum, atau mengkaplingnya
(iqtha‟), mem berikan hak guna-pakai (tahjir) dan lain-lain seperti “al hima”, “al-irtifaq”, dimana pemerintah
berhak mencabut hak tersebut apabila kepentingan umum menghendaki. Baca: M. Thalha Hasan, "Fiqh
Pertanahan", dalam Masdar F. Mas‟udi, Teologi Tanah, 87-91. bandingkan dengan Muhammad al-Shaukani,
Fat al-Qadir, 157 – 166.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
8
pertanahan.14
Di sektor pertanian, misalnya, petani tidak mungkin bekerja siang dan malam
serta mengubah padang ilalang menjadi kebun-kebun jika ia hanya berstatus sebagai
penyewa.15
Selanjutnya, dalam perihal kepemilikan tanah, al-Qur‟an sama sekali tidak pernah
menyebutkan secara eksplisit, namun hanya menetapkan hak manusia untuk mengelola,
menanami dan memiliki hasil produksinya.16
Sehingga pada masa Nabi prioritas utama atas
kepemilikan sebidang tanah pada masa itu berada di tangan pemerintah, dan selanjutnya
baru diperuntukkan untuk individual. Karenanya pemerintah dapat menghadiahkan,
membatasi maupun menarik kepemilikan sebidang tanah dari seseorang sesuai dengan
kemaslahatan masyarakat.
Untk membicarakan kepemilikan tanah, agaknya kita perlu menulusuri historitas hak
milik.
Konsep Hak Dalam Fiqh
Secara etimologis, hak mempunyai beberapa makna, diantaranya; benda, milik,
wujud, nyata, benar, apa yang dijaga, hakekat, dan sebenarnya.17
Hak juga bermakna tetap,
wajib dan pasti,18
sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah:
14
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 2, terj. Soeroyo & Nastangin, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995), 309 15
Ini sesuai ungkapan Sir Arthur Young yaitu “kekuatan kepemilikan dapat merubah padang ilalang menjadi
kebun. Hal ini berarti meningkatkan hasil berlipat ganda, pertanian maju dan orang-orang menjadi makmur.
Selain itu dalam sistem zamindari produksi menurun dan para petani hidup dalam perbudakan. Alasan inilah
mengapa para ahli ekonomi menentang sistem zamindari dan mendukung kepemilikan para petani. Empat
puluh tahun yang terakhir sejak gerakan revolusi sistem pemilikan tersebut telah dihapuskan di sebagian
besar negara Eropa dan tanah mereka dibagi dikalangan petani dan hak-hak kepemilikan diberikan kepada
mereka sehingga merasa mempunyai kepemilikan dalam pengelolahan tanah tersebut dan berusaha
membantu meningkatkan hasil dari tanah negara tersebut”. Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, 309-
310. 16
Semua ulama Islam (fuqaha) sependapat, bahwa pemilik hakiki atas semua tanah adalah Allah SWT.
Adapun pengertian milik yang diterapkan untuk manusia tidak bersifat hakiki (majazi) dan tidak mutlak
(idlofi). Dengan demikian, maka apa yang dimaksud dengan milik dalam tulisan ini tidak lebih dari “milik
majazi”, relatif. Dalam fiqih Islam hak-hak atas tanah dibedakan dalam dua macam yaitu: a. Hak Milik (haq
al-milkiyyah), disebut juga sebagai “milkul raqabah”, yang pemegangnya secara penuh berhak
membudidayakan, mengerjakan usaha, memanfaatkan investasi, menjual, menghibahkan, dan lain
sebagainya. Seperti tanah hasil budidaya yang sudah turun-temurun, maka hak kepemilikan ada pada yang
membudidayakan itu. Dalam hadits Nabi dikatakan: “Man ahya ardan maitatan fahiya lahu, Barang siapa
yang membudidayakan tanah (yang semula tanpa pemilik dan terlantar), maka tanah itu adalah miliknya”. b.
Hak Guna ( haq al-istighlal), disebut juga sebagai milk al-intifa‟, yang pemegangnya dapat memanfaatkan
tanah tersebut, sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan dengan izin pemerintah. Abdul Jalil, dkk., Fiqh
Rayat, (Yogyakarta: LkiS, 2000), 43. 17
Fairuzabadi>, al-Qamus al-Muhit, III, (Beiru>t: Da>r alFikr, tt), 221. 18
Muhammad Salam Madkur, al-Fiqh al-Isla>mi>, (Qa>hirah: Wahbah, 1995), 172.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
9
جزي كز ان ن ثطم انثاطم ( 8االفال )نحق انحق
Sedangkan secara terminologis, hak mempunyai 2 (dua) pengertian pokok;
pertama:
يجػح انقاػذ انصص انرسشزؼح انر ذظى ػه سثم اإلنزاو ػالئق اناس ي االشخاص االيال19
Kedua, hak ialah:
انسهطح انكح انشزػح ا انطهة انذ جة ألحذ ػه غز20
Dalam pengertian inilah kata hak sering dipakai. Ungkapan seperti: pembeli
mempunyai hak mengembalikan barang yang dibelinya apabila ternyata ada cacat, buruh
perempuan berhak mendapat perlakuan khusus, dan buruh berhak menerima upah untuk
menghidupi kebutuhan yang layak, adalah sederetan contoh pemakaian kata hak dalam
pengetian kedua.
Mustafa Ahmad Zarqa‟ memberikan pengertian hak yang lebih luwes, sehingga
mencakup segala macam hak, seperti hak keperdataan, hak etika, dan hak kekuasaan
umum. Dia mendefinisikannya sebagai:
اخرصاص قزر ت انشزع سهطح ا ذكهفا21
Dalam fiqh, kata hak kadang-kadang digunakan untuk pengertian umum, dan
kadang-kadang untuk pengertian khusus. Pengertian umum hak meliputi benda-benda yang
dimiliki, manfaat dan maslahah yang ditetapkan shara‟ (i‟tibariyah) seperti hak shuf‟ah,
khiyar, hadanah, dan lain-lain.
Dari paparan diatas nampak jelas bahwa hak melahirkan interaksi relasional.
Obyeknya bisa berupa benda seperti hak piutang, atau kekuasaan (wewenang) seperti hak
wali atas mereka yang berada dibawah perwaliannya. Selain itu, hak juga menuntut adanya
kekeuasaan monopolistik kepada seseorang untuk mempergunakannya. Oleh karena itu,
pemberian ijin untuk –misalnya- berburu dan pindah ke tempat lain bukan merupakan hak,
tetapi merupakan rukhsah (fasilitas).
Jadi, hak berdiri diatas asas tidak adanya persamaan dengan orang lain terhadap
benda atau hal lain yang dikuasainya. Hak timbul berdasarkan sebab khusus, seperti hak
perwalian seorang ayah terhadap anak-anaknya disebabkan adanya intisab, dan hak
19
Must}afa> Ahmad Zarqa>‟, al-Fiqh al-Isla>mi> fi Thaubih al-Jadi>d, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1967), 9 20
Mustafa Ahmad Zarqa‟, al-Fiqh al-Isla>mi> fi Thaubih al-Jadid, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1967), 10 21
Zarqa‟, al-Fiqh, 10
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
10
menuntut upah karena adanya pekerjaan. Adapun rukhsah (fasilitas) sebabnya ialah karena
adanya izin umum dari penguasa hukum.22
Dari Mana Datangnya Hak?
Bertolak dari penjelasan diatas yang menyatakan bahwa hak merupakan
ketentuan khusus yang ditetapkan oleh shara‟, maka hak lahir dari keputusan shara‟.
Jenis penetapan shara‟, secara garis besar, dapat diklasifikasi menjadi dua bentuk.
Pertama, shara‟ menetapkan hak dengan menggunakan hak prerogatifnya, sehingga
didalamnya tidak ada keterlibatan pihak lain, seperti hak menentukan jenis-jenis ritual
beserta mekanismenya.
Kedua, shara‟ menetapkan hak karena adanya sebab yang didalamnya ada
keterlibatan manusia, seperti hak suami-istri yang lahir dari pernikahan, hak buruh-majikan
yang lahir dari kontrak dan hak rakyat-penguasa yang muncul karena bai‟at (pemilihan).
Hak-hak tersebut muncul karena mereka melakukan interaksi, atau karena kehendak
pribadi, atau karena ada maslahat yang harus di rengkuh. Dengan demikian, jika diperinci,
sumber hak ada empat, yaitu: [a] Shara‟; [b] akad; [c] kehendak pribadi [d] maslahah.
a. Hak yang bersumber dari shara‟ murni.
Secara teologis, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan
mutlak atas alam semesta.23
Dia adalah Penguasa jagad yang berhak atas segala
sesuatu yang ada di sana. 24
22
Mashuda Abdurrahman, Hukum Perdata Islam (Surabaya: Central Media, 1992), 73. 23
Masalah ini sesungguhnya masih menjadi perdebatan diantara para ulama, terutama yang berdisiplin ushul
fiqh. Hal ini bermula Dari sebuah peryanyaan: apakah dunia beserta isinya ini milik manusia atau milik
tuhan. Kalangan Shafi'iyyah berargumen bahwa segala sesuatu adalah milik Allah, sehingga dia berhak
membuat aturan semaunya. Kalau toh manusia diberi wewenang mengelola, hal itu tidak lebih Dari
perpanjangan tangan Da>ri-Nya. Pikiran ini dibangun Dari firman Allah surat al-Baqarah ayat 284:
هلل يا ف انساخ يا ف األرض إ ذثذا يا ف أفسكى أ ذخف حاسثكى ت هللا فغفز ن شاء ؼذب ي شاء هللا ػه كم شء
قذز
Sedangkan ulama H{anafiyyahmenyatakan bahwa dunia beserta isinya ini sudah 'diserahkan' oleh Tuhan
kepada manusia, sehingga ia 'bebas' melakukan apa saja yang baik menurut mereka. Pikiran ini dikonstruksi
Dari firman Allah surat al-Baqarah ayat 29:
انذ خهق نكى يا ف األرض جؼا ثى اسر إن انساء فسا سثغ ساخ تكم شء ػهى 24
Dewasa ini ada dua mainstream standart moral (etika) yang mendominasi pemikiran dan sikap individu,
yaitu konsekuensialisme (consequentialism) dan non-konsekuen-sialisme (non-consequentialisme). Yang
pertama menganut madhhab utilitarianisme yang berpaham bahwa penerapan benar atau salah hanya dapat
diukur Dari sejauh mana perbuatan tersebut mendatangkan keuntungan dan menghasilkan utilitas
(kepuasan). Sejauh ada untung atau kepuasan yang didapat, maka perbuatan tersebut benar adanya.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
11
Dengan kerangka berpikir yang demikian, maka menjadi wajar jika
kemudian shara‟ mempunyai hak proregatif untuk merumuskan sesuatu, dalam
hal ini hak, tanpa harus menunggu keterlibatan pihak lain.
Yang masuk kategori ini adalah bentuk-bentuk ritus personal dan privat
ini yang terkait dengan bentuk, simbol-simbol bahkan ornamen-ornamen yang
dibakukan. Sujud, ruku‟, hajar aswad, lempar batu, kubah, menara, bulan sabit,
huruf/kalimat Arab, nama Arab, jubah, jilbab, peci, sarung, serban, dan lain-lain.
Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah penghayatan iman yang bersifat
subyektif, individual dan personal.
b. Hak yang bersumber dari interaksi relasional
Kesuksesan individual tidak hanya bisa dilihat dari usahanya secara
personal, tetapi juga pada usaha bersamanya dengan masyarakat,
lembaga-lembaga yang ada disana, dan dengan negara sebagai representasi
seluruh masyarakat. Maka tidak cukup jika seseorang hanya berperilaku dan
bermoral baik, tidak cukup sekedar melakukan upaya revolusi kesadaran terhadap
diri sendiri, tanpa melakukan transformasi terhadap lingkungan dan struktur
diluar dirinya, entah itu struktur sosial, politik, ekonomi, agama, atau struktur
yang lain.
Dalam Islam, kewajiban memang datang lebih dulu, baru kemudian
yang kedua adalah hak. Setiap individu, masyarakat dan negara memiliki
kewajiban tertentu. Sebagai hasil dari pelaksanaan kewajiban itu, setiap orang
memperoleh hak-hak tertentu.25
Setiap individu merupakan titik utama dari
Yang kedua bermadzhab deontologisme yang mengklaim bahwa bukan akibat perbuatan langsung yang
menentukan apakah perbuatan itu benar atau salah. Tetapi ditentukan berdasar “konsep tentang apa yang baik
dan apa yang buruk”.
Perbuatan, menurut pandangan ini, secara moral benar sepanjang ia didasarkan pada niat baik, dan
sebaliknya, secara moral salah bila tanpa didasari dengan niat baik. Perbuatan, bagi penganut deontologisme,
secara mendasar dilakukan karena beberapa alasan prinsip, yaitu Dari rasa kewajiban (sense of duty).
Tetapi, di samping dua mainstream standart ini, ada juga sumber moralitas yang biasanya digunakan untuk
menunjukkan bagaimana individu secara moral dapat bersikap terhadap sesuatu. Menurut Chryssides dan
Kaler, sumber ini adalah agama, yang sumber utamanya adalah Kitab Suci. Bagi umat Islam, sumber
utamanya adalah Al Qur‟an, Al Hadis, Qiyas dan Ijma yang menjadi asal syari‟ah. Syari‟ah, sebagaimana
ditegaskan Safi (1990), adalah merupakan sistem hukum dan moralitas yang mencakup seluruh wilayah
pengalaman manusia dan bermaksud mengatur seluruh aspek kegiatan manusia yang didasarkan pada
keadilan sejati. 25
Konsep ini terekam dengan baik dalam kajian us}uliyyah tentang s}ihhah dan but}la>n. S{ihhah adalah
persesuaian sebuah perilaku dengan aturan shara'. Dalam kondisi ini ia berhak mendapatkan hak thawab.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
12
pelaksanaan hak dan kewajiban itu, dan secara langsung harus memper-
tanggungjawabkan kepada Allah akan setiap perbuatannya.
Tetapi, sebagai makhluk sosial, seluruh materi dan aspirasi spiritualnya
membutuhkan usaha bersama untuk mewujudkannya. Kemajuan materi,
perubahan sosial, stabilitas politik dan perdamaian, seperti juga pendidikan,
regenerasi dan pertumbuhan ekonomi seluruhnya membutuhkan pendekatan
bersama.
Apa yang disebut kebersamaan, pada dasarnya, adalah kumpulan dari
kepentingan individual yang disatukan. Itu artinya masih ada kepentingan
individu yang muncul dari inisiatif mereka sendiri.
Untuk melindungi kehidupan, martabat, hak, menjamin tingkat
kebebasan dan menegakkan keadilan, masyarakat kemudian membentuk
fungsinya melalui lembaga-lembaga sosial dan negara.26
Tiap individu,
masyarakat dan negara, memiliki hak, sesuai dengan peran yang dimiliki
masing-masing.
c. Hak yang bersumber dari kehendak pribadi
Dalam sebuah Hadits Nabi disebutkan bahwa antara muslim yang satu
dengan yang lain diumpamakan dengan sebuah bangunan. Diantara mereka diikat
oleh sebuah sistem kemasyarakatan sehingga membentuk sebuah masyarakat
yang disebut ummah. Sistem yang mengikat mereka adalah norma Islam yang
Sedangkan But}la>n adalah ketidakpersesuaian sebuah perilaku dengan aturan syara'. Dalam kondisi ini ia
akan mendapatkan hak 'iqa>b. Dari uraian ini dapat diketahui bahwasanya hak memang datang belakangan.
Taqy al-Di>n al-Subuki>, Jam' al-Jawa>mi', vol. 1 (Beiru>t: Da>r al-Fikr, tt), 211 26
Struktur kekuasaan dalam Islam berpola melingkar tanpa ujung (daur), sehingga kalau tidak hati-hati akan
mudah diplintir dan dimanfaatkan oleh pihak lain. Roda kekuasaan Islam hanya berputar pada tiga unsur;
Allah, rasul dan ulil amri. Ketaatan kepada Allah diukur dengan al-Qur'an, ketaatan pada Rasul diukur Hadits
dan ketaatan pada ulil amri „tidak jelas‟ apa ukurannya. Sebagian teoritisi mengukur dengan materi bai'at,
sehingga jika mereka keluar Dari materi itu, rakyat tidak wajib taat lagi. Yang lain, dalam hal ini mayoritas
Ulama, Jumhur, mengukurnya dengan Qur'an-Hadits secara umum, yang dipadatkan dengan kata: selama
tidak maksiat. Jadi, ketaatan kita pada ulil amri adalah selama tidak memerintahkan maksiat, se-kalipun
secara pribadi ia bejat dan cacat moral. Ada argumentasi menarik dalam konteks ini. Imam al-Ghazali pernah
mengatakan: "walaupun bejat, lebih baik mempunyai pemimpin Dari pada tidak sama sekali".
Terlepas Dari apakah kita setuju atau tidak, pola ini adalah yang sekarang berlaku. Ulil amri (negara)
mentahbiskan dirinya sebagai penguasa yang wajib ditaati, walaupun kita tidak mengetahui apa ukurannya.
Bahkan kita juga tidak tahu: apakah mereka ulil amri yang dimaksudkan oleh al-Qur'an atau bukan. Kasus
Khumaeni adalah contoh kongkrit Dari peran ulama di bidang politik. Mereka, Khumaeni dan para mullah,
melakukan penyaDa>ran di tingkat publik mengenai model kekuasaan dan sosok ulil amri yang dikehendaki
al-Qur'an, setidaknya menurut mereka sendiri. al-Mawardi>, Ahka>m al-Sult}aniyyah (Beiru>t: Da>r al-
Fikr, tt), 123; Abdul Jalil, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, et. Al (Yogjakarta: LKiS, 2000),
17
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
13
bersifat universal dan diartikulasikan dalam norma atau tradisi lokal, sehingga
disana ada proses penerjemahan esensi Islam dalam aksidensi masyarakat Islam.
Dalam Islam, ditemukan beberapa norma yang mengundang partisipasi
pribadi untuk melakukan sesuatu demi lingkungan sosialnya. Partisipasi ini sering
disebut ta‟awun (tolong-menolong). Bentuknya-pun berfariasi, dari pengerahan
fisik sampai pengorbanan Harta. Dari proses inilah kemudian muncul hak,
sebagaimana dapat kita lihat pada nadzar, infak, hibah, dan lain lain.27
d. Hak yang bersumber dari maslahah (jalb al-masalih aw dar‟ al-mafasid)
Sejak awal, shari‟at Islam tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali
kemaslahatan manusia. Ungkapan standar, bahwa syari‟at Islam dicanangkan
demi kebahagiaan manusia, lahir-batin, dunia-akhirat, sepenuhnya mencerminkan
prinsip kemaslahatan tadi.
Secara definitif, maslahahadalah ungkapan untuk menunjukkan adanya
suatu manfaat atau hilangnya sebuah madarat.28
Manfaat atau madarat yang
menjadi bidikan maslahahbisa jadi merupakan kebahagian fisik, atau kebahagiaan
mental. Contoh yang pertama adalah dilarangnya jual beli yang mengandung
unsur penipuan (gharar). Manfaat yang hendak dihadirkan adalah terlindunginya
sistem perdagangan dari praktik yang tidak fair sehingga pelaku bisnis tidak
dirugikan. Dalam hal ini manfaatnya bersifat kongkrit karena melibatkan unsur
materiil.
Akan tetapi, dilain waktu, manfaat yang dihadirkan bersifat mental.
Misalnya Puasa. Bisa jadi secara fisik kita tidak diuntungkan dengan puasa, akan
tetapi secara mental kita mendapat manfaat sebuah ketenangan mental.29
Diyakini oleh kalangan Fuqaha' bahwa maslahahterjabarkan dalam
perlindungan terhadap 5 hak dasar, yakni: [1]Terlindunginya hak berkeyakinan
sesuai kepercayaan yang dianaut (hifz al-din); [2]Terlindunginya hak untuk hidup
secara layak (hifz al-nafs); [3]Terlindunginya hak reproduksi (hifz al-nasl);
[4]Terlindunginya hak kepemilikan atas barang dan jasa (hifz al-mal); dan
27
Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi>> wa adillatuh, vol. IV (Damascus, Da>r al-Fikr, 1984), 23 28
Abu Hamid Muhammad al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa, vol I (Beiru>t: Da>r al-Fikr, it), 284 29
Izz al-Di>n Ibn 'Abd al-Sala>m, Qawa>id al-Ahka>m Fi Mashalih al-Ana>m, Vol. 1, (Qa>hirah: Da>r al-
Ahra>r), 12
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
14
[5]Terlindunginya hak untuk berfikir bebas (hifz al-„aql), yang kemudian disebut
sebagai maqashid al-syari‟ah, tujuan utama keseluruhan atauran-aturan syari‟at,
baik yang bersifat suruhan maupun larangan; suruhan yang imperatif (wajib)
maupun yang bersifat persuasif (sunnah), atau larangan yang imperatif (haram)
maupun yang persuasif (makruh). 30
Dari 5 hak dasar ini (al-dlarûriyat al-khams), kemudian dijabarkan hak-
hak lain yang lebih rinci, baik sebagai hak-hak sekunder (al-hâjiyyat) maupun
hak-hak yang bersifat komplementer atau pelengkap (al-takmîliyyat atau al-
tahsîniyyat).
Klasifikasi Hak
Spektrum hak secara umum terbagi menjadi empat kategori sesuai dengan
sudut pandang pemiliknya, dapat tidaknya digugurkan, dapat tidaknya diwariskan,
dan sangkut pautnya dengan benda materiil.
1. Hak dilihat dari sisi pemiliknya
Ditinjau dari segi pemiliknya, hak terbagi menjadi: [a] hak Allah; [b]
hak manusia [c] hak bersama antara hak Allah dan hak manusia tetapi hak Allah
lebih dominan [d] hak bersama antara hak Allah dan Hak manusia, tetapi hak
manusia lebih banyak.
2. Hak ditinjau dari dapat-tidaknya digugurkan
Hak ditinjau dari segi dapat tidaknya digugurkan hak dibagi menjadi
dua; yakni hak yang dapat digugurkan dan hak yang tidak dapat digugurkan.
Pada dasarnya, setiap hak dapat digugurkan, kecuali apabila terdapat
sebab-sebab yang menghalangi pemiliknya untuk menggugurkannya. Hak-hak
yang dapat digugurkan misalnya hak shuf‟ah, hak khiyar, hak qisas, dll.
Hak-hak yang dapat digugurkan dibagi dua; yaitu hak yang sah
mengambil gantinya, seperti hak qisash, dan hak yang tidak sah mengambil
gantinya seperti hak shuf‟ah.
3. Hak dilihat dari dapat-tidaknya diwariskan.
30
Muhammad Abu Zahrah, Us}ull al-Fiqh, (Beiru>t: Da>r al-Fikr al-'Arabi, 1958), 366-368
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
15
Ditinjau dari segi dapat tidaknya diwariskan, hak dibagi menjadi hak
yang dapat diwaris dan hak yang tidak dapat diwaris. Hak yang dapat diwaris
seperti hak penjual menahan barang yang dijual sebelum dilunasi harganya, hak
penerima gadai menahan barang gadaian, hak-hak irtifaq, dan sebagainya.
Sedangkan hak yang tidak dapat diwaris seperti hak shuf‟ah, hak hadlanah, dan
hak perwalian.
4. Hak dinjau dari sangkut pautnya dengan benda materiil.
Ditinjau dari segi sangkut pautnya dengan benda materiil, hak dibagi
menjadi: [a] hak al-maliyyah, dan [b] hak ghair al-maliyyah
a] Hak Maliyyah
Hak Maliyyah adalah hak yang ada sangkut pautnya dengan harta,
seperti hutang piutang dan manfaat suatu barang. Hak al-maliyyah di bagi
menjadi dua, yakni Hak Shakhsi dan Hak 'Aini.
[1] Hak Shakhsi.
Hak Shakhsi ialah hak yang dimiliki seseorang berdasarkan
penetapan shara‟ atas orang lain. Hak ini dalam satu waktu berbentuk
kewajiban melaksanakan sesuatu untuk kemashlahatan pemilik hak,
seperti dalam kontrak jual beli dimana penjual mempunyai hak atas harga
yang disepakati, dan pembeli sendiri mempunyai hak atas barang yang
hendak dibeli.
Dilain waktu, hak shakhsi berbentuk keharusan untuk tidak
melakukan perbuatan yang akan merugikan pemilik hak, seperti tampak
dalam wadi‟ah (penitipan), dimana orang yang menerima titipan tidak
boleh menggunakan barang titipan agar orang yang titip tidak dirugikan.
Hak shakhsi tersebut lahir karena adanya pernyataan dari dua
pihak seperti dalam kontrak, atau dari satu pihak seperti dalam al-iradah
al-munfaridah (perikatan). Hak Shakhsi juga bisa timbul karena perbuatan
seseorang. Seseorang yang merusak barang orang lain maka berkewajiban
menggantinya dan pemilik mempunyai hak menerima penggantian
tersebut.
Disamping itu, hak ini kadang muncul karena penetapan undang-
undang seperti kerabat yang miskin berhak memperoleh hak nafkah dari
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
16
kerabat yang kaya. Oleh karena itu, dalam hak syakhs}i selalu terdapat
pihak yang mempunyai hak dan pihak yang memikul kewajiban. Menurut
hukum perdata umum, hak syakhshi ini disebut hak perseorangan
(persoonlijk recht).31
2] Hak „aini.
Hak „aini ialah hak yang timbul karena hubungan antara orang
dengan benda tertentu secara langsung, seperti hak milik. Pemilik benda
mempunyai kekuasaan langsung atas benda yang dimiliki, tanpa
menunggu keterlibatan pihak lain.
Jadi, hak „aini mempunyai dua unsur, yaitu pemilik hak dan
obyek hak (benda). Lain halnya dengan hak Shakhsi, yang selain dua
unsur tersebut, diperlukan unsur ketiga, yaitu pihak yang dituntut
melaksanakan.
Dalam satu benda, kadang-kadang terdapat dua hak yaitu hak
„aini dan hak shakhsi, sehingga memunculkan huquq al-irtifaq, yakni hak
yang melekat pada benda tetap (bukan benda bergerak) untuk memperoleh
manfaat benda tetap lain yang berdampingan dan bukan miliknya. Secara
garis besar, fiqh mengakui empat huquq al-Irtifaq, yakni: [1]. Haqq al-
Shurb (hak mempergunakan manfaat air untuk minum, mandi dan
kebutuhan primer lainnya dari air orang lain); [2], haqq al-majra (hak
pembuatan selokan air pada tanah milik orang lain0; [3] haqq al-masil
(hak membuat saluran pembuangan air); dan [4] haqq al-murur (hak lewat
di tanah orang lain). 32
Hak Atas Tanah
Dalam al-Qur‟an, tanah, langit, bumi dan segala isinya menjadi milik Allah SWT.
Dengan kata lain tanah merupakan karunia Allah SWT. Yang tidak terikat dan bersifat
31
Zarqa‟, al-fiqh, 16 32
Kajian tentang h}uqu>q al-Irtifa>q tidak begitu dikenal dalam fiqh salaf. Fuqaha kontemporer
mempergunakan istilah ini karena mengikuti hukum barat. Dalam hukum perdata umum, hak ini disebut
erfdienstbaarheid atau servituut. Mustafa Shalabi, al-Madkhal fi al-Ta‟ri>f bi al-Fiqh al-Isla>m wa
Qawa>‟id al-milkiyyah wa al-„Uqu>d fi>hi ( Qa>hirah: Da>r al-Qalam, 1968) 257; Ahmad Zarqa‟, al-Fiqh
al-Islam fi Thaubih al-Jadid (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1967), 223; Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata
(Jakarta:Pembimbing Masa, 1972), 75.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
17
universal, sama halnya air, udara, sinar matahari dan lain-lain; semuanya diperuntukkan
untuk dimanfaatkan oleh umum dan berguna bagi seluruh umat.
( 10: انزح ). االرض ضؼا نالاو
( 29: انثقزج ). انذ خهق نكى ياف االرض جؼا
Berpegang pada ayat-ayat di atas, serta tindakan Nabi ketika beliau memutuskan
untuk membangun masjid Quba, yaitu membayar harga tanah sesuai standar, kendatipun
pemilik tanah itu rela memberikannya dengan cuma-cuma. Semua itu menunjukkan
pengakuan kepemilikan pribadi atas tanah (tanah diakui negara dengan persertifikatan
seperti kita kenal sekarang). Kemudian firman Allah :
( 128: االػزاف )ا االرض هلل رثا ي شاء ي ػثاد
( 64-63: اناقؼح )افزئرى يا ذحزث ءارى ذزرػ او ح انزارػ
Dari ayat-ayat tersebut dapat menunjukkan bahwa tanah itu merupakan
pemberian Allah secara cuma-cuma, jauh dari kekuasaan manusia untuk menambahkan
apapun di dalamnya.
Karena tanah merupakan faktor penting dalam hal produksi, maka masalah
kepemilikannya harus ditentukan berdasarkan cara yang berbeda dari faktor-faktor
produksi lainnya. Jika tanah tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya atau tidak tergarap selama
bertahun-tahun, hal ini akan merugikan masyarakat, maka negara tidak pernah
mentolerirnya. Oleh karena itu, jika ada pemegang tanah menyalahgunakan hak
kepemilikannya, maka negara berhak memaksa untuk memanfaatkan tanahnya secara layak
atau mengambil tanah tersebut darinya dan menyerahkan kepada orang lain yang dapat
memanfaatkannya secara lebih baik sehingga menguntungkan masyarakat.
Dari sana tampak betapa otoritas negara dalam kebijakan pertanahan cukup
strategis dalam rangka menghindari sistem feodalisme atau sistem tuan tanah dan
konsentrasi kekayaan ditangan segelintir orang.33
Apa yang dilakukan khalifah umar dalam
me-land-reform atau menasionalisasikan tanah-tanah kaum feodal dan
mendistribusikannya pada kalangan miskin adalah sebuah contoh yang baik.34
33
Irfan al-Haq, Economic Doctrines of Islam, (Herdron, Virgina: International Institute of Islamic Thought,
1996), 162-163. 34
Kasus ini bermula ketika Umar menjadi Khalifah, sebagian orang berlebihan dalam memiliki tanah.
Mereka membuat batas-batas tanah dengan memasang batu-batu dan pagar di atas tanah tersebut untuk
mencegah orang lain memilikinya, namun mereka sendiri tidak memanfaatkan tanah tersebut sehingga tidak
terawat selama bertahun-tahun. Hal ini jelas bertentangan dengan maksud Rasulullah ketika membolehkan
Ihya>‟ al-Mawa>t. Sebab tujuan dari aktifitas ini adalah mendorong produktivitas tanah, baik untuk
mengembangkan sektor pertanian maupun sektor-sektor perekonomian yang lain, seperti pembangunan
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
18
Mengingat tanah itu sifatnya terbatas dan tidak dapat dikembangkan seperti faktor
produksi lainnya, maka regulasi tentangnya perlu diatur secara khusus. Secara rinci, jika
dilihat dari subyek penguasanya, tanah itu bisa dibagi dua.
A. Tanah yang ada dalam penguasaan pemerintah.
Sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:
( 10: انزح ). االرض ضؼا نالاو
( 29: انثقزج ). انذ خهق نكى ياف االرض جؼا
Imam Malik berpendapat sama dengan bunyi UUD-45 pasal 28 yang menyatakan
bahwa pada dasarnya seluruh tanah/bumi ada dalam penguasaan negara/pemerintah
sebagai pembawa mandat kemaslahatan umum, kecuali yang secara sah telah
menjadi milik atau ada dalam penguasaan perorangan/badan hukum
B. Tanah yang ada dalam penguasaan perorangan/badan.
Ada dua hak atas tanah jika dilihat dari hubungannya dengan seseorang/badah
hukum:
1. Hubungan hak kepemilikan (haq al-milkiyah)
Hak kepemilikan ini dapat diperoleh dengan cara-cara sbb:
a. Membuka Lahan Baru (Ihya‟ al-Mawat)35
fasilitas pemukinan maupun perdagangan. Dalam hal ini Umar memberikan batasan waktu tiga tahun kepada
pemiliknya untuk segera mengelola tanahnya, namun jika lebih dari tiga tahun tanah tersebut tidak dikelola,
maka pemiliknya dinyatakan tidak berhak lagi, dan Umar tidak segan-segan mengambil alih tanah tersebut
sebagaimana yang terjadi dalam kasus Bilal al-Harith al-Muzni, kemudian menyerahkan tanah itu kepada
orang lain yang mampu mengelo-lahnya. Bilal al-muzni adalah seorang sahabat yang mempunyai tanah luas
pemberian Rasu-lullah, tapi dia tidak dapat menggarap seluruhnya. Kemudian Umar-pun berkata kepadanya:
“Rasulullah tidak memberikan lembah itu kepadamu untuk kamu pagari agar orang-orang tidak bisa
mengambilnya, akan tetapi beliau memberikan kepadamu agar kamu meng-garapnya. Oleh karena itu,
ambillah dari tanah tersebut yang sanggup kamu kelola dan yang lainnya kamu kembalikan”. Selanjutnya
Umar membagi-bagikan tanah tersebut kepada kaum muslimin. Hasanuz Zaman, S.M. Economic Funtion of
an Economic State: The Early experience (Leicerster, The Islamic Funtion, 1991), 125 35
Para ulama berbeda pendapat dalam cara pengolahannya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah
dengan cara menggarapnya sebagai lahan pertanian. Untuk itu perlu dibersihkan pepohonan yang ada di
dalamnya, mencangkul lahan untuk pertanian, membuat saluran irigasi baik dengan menggali sumur maupun
dengan mencari sumber air lainnya, menanaminya dengan pepohonan atau tanaman yang menghasilkan serta
memagarinya. Lalu menurut ulama Shafi‟iyah menyatakan bahwa cara untuk mengolah lahan kosong yang
tidak dimiliki seseorang dikembalikan pada adat istiadat yang berlaku di daerah itu. Jika lahan itu
dimaksudkan untuk tempat tinggal maka lahan itu perlu dipagar dan membangun rumah di atasnya. Jika
dimaksudkan untuk pertanian, maka lahannya diolah, irigasinya dibuat, baik dengan menggali sumur maupun
mengambil air dari sungai dan menanami lahan itu dengan tanaman produktif sesuai dengan keinginannya.
Dan menurut ulama Hanabilah bahwa ihya‟ al-mawat itu cukup dilakukan dengan memagar sekeliling lahan
yang ingin digarap, baik untuk pertanian, tempat pengembalaan maupun untuk perumahan. Ini didasarkan
atas hadis Nabi :
(را احذ ت حثم اتا داد ػ ػائشح)ي احاط حائطا ػه ارض ف ن
Akan tetapi ulama fiqh lain menyatakan bahwa ihya‟ al-Mawat tidak cukup hanya dengan memagar sebidang
tanah tanpa menggarapnya jadi lahan pertanian atau perumahan. Imam al-Kasani, Bada‟I‟ al-Fawa‟id, jilid
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
19
Tanah mati adalah istilah bagi tanah yang tidak ada pemiliknya
dan tidak dimanfaatkan oleh satu orangpun. Sedangkan yang dimaksud
dengan menghidupkannya adalah memanfaatkan tanah itu, baik dengan
menanaminya maupun dengan mendirikan bangunan di atasnya36
berdasarkan Hadis Rasulullah:
(را احذ ت حثم انرزيذ ػ جاتز ت ػثذ هللا)ي احا ارضا يرح ف ن -
ز ارضا نسد الحذ ف احق تا - (را انثخار ات داد)ي ػ
Kedua hadis ini menunjukkan bahwa jika seseorang menggarap
sebidang lahan kosong, belum dimiliki orang lain, kemudian menggarap
lahan itu, mengairinya, menanam tumbuh-tumbuhan di atasnya dan
memagarnya, maka lahan itu menjadi miliknya. Kedua hadis itu juga
memotifasi umat Islam untuk menjadikan lahan kosong menjadi lahan
produktif, sehingga karunia yang diturunkan Allah dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.37
Sebagaimana penjelasan diatas, bahwa pada saat Umar menjadi
Khalifah, ia mendapati sebagian orang yang berlebihan dalam
memanfaatkan fasilitas ini. Mereka membuat batas-batas tanah dengan
memasang batu-batu dan pagar di atas tanah tersebut untuk mencegah orang
lain memilikinya, namun mereka sendiri tidak memanfaatkan tanah tersebut
sehingga tidak terawat selama bertahun-tahun. Hal ini jelas bertentangan
dengan maksud Rasulullah ketika membolehkan Ihya‟ al-Mawat. Sebab
tujuan dari aktifitas ini adalah mendorong produktivitas tanah, baik untuk
mengembangkan sektor pertanian maupun sektor-sektor perekonomian yang
lain, seperti pembangunan fasilitas pemukinan maupun perdagangan. Dalam
hal ini Umar memberikan batasan waktu tiga tahun kepada pemiliknya
untuk segera mengelola tanahnya, namun jika lebih dari tiga tahun tanah
tersebut tidak dikelola, maka pemiliknya dinyatakan tidak berhak lagi atas
VI, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 194.; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid V, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-
Hadithah, tt), 514. 36
An-Nabhani, Membangun sistem Ekonomi, 74. 37
Nasrun Haroen, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2000), 46.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
20
tanah tersebut.38
Dasar penetapan waktu tiga tahun adalah berdasarkan
perhitungan rasional bagi seseorang untuk menghidupkan tanahnya ataupun
mempersiapkan segala sesuatu untuk mengelolahnya, terutama jika tanah itu
terletak jauh dari tempat tinggal pemiliknya.
Selanjutnya, adanya kebijakan pembatasan waktu yang ditetapkan
oleh Umar juga atas dasar kemaslahatan masyarakat. Umar menyadari
sepenuhnya bahwa tanah adalah karunia Allah yang harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Tanah tidak boleh
dibiarkan tak terawat karena hal itu merupakan perbuatan yang mubazir dan
dipandang sebagai bentuk penyia-nyiaan terhadap karunia Allah SWT.
Disamping itu, mengingat kondisi tanah Arab yang pada umumnya berupa
padang pasir tandus dan tidak bisa ditanami, maka pengabaian terhadap
tanah yang potensial untuk pertanian dapat mengurangi hasil produksi
pertanian masyarakat secara keseluruhan. Dan lebih dari pada itu, tanah
subur yang dibiarkan tidak dikelola akan berkurang tingkat kesuburannya
dan bahkan dapat berubah menjadi tanah yang gersang sehingga kerugian
yang ditimbulkan sangat besar. Atas pertimbangan ini, kebijakan
pembatasan waktu yang ditetapkan oleh Umar terhadap tanah yang tidak
dikelola menjadi sangat mudah untuk difahami. Ini terbukti, tak seorangpun
diantara para sahabat yang mengingkarinya sehingga telah menjadi ijma‟
sahabat. Namun pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Talib dan
Mu‟awiyah batas waktu tersebut dikurangi menjadi dua tahun karena
pertimbangan kepentingan umum. Ini sebagaimana yang dilakukan Ziyad
bin Abu Safyan, Gubernur irak.39
38
Terhadap orang yang mengabaikan tanahnya tanpa dikelola selama lebih dari tiga tahun, Umar tidak segan-
segan mengambil alih tanah tersebut sebagaimana yang terjadi dalam kasus Bilal al-Harith al-Muzni,
kemudian menyerahkan tanah itu kepada orang lain yang mampu mengelolahnya. Adapun Bilal al-muzni
adalah seorang sahabat yang mempunyai tanah luas pemberian Rasulullah, tapi dia tidak dapat menggarap
seluruhnya. Kemudian Umar-pun berkata kepadanya: “Rasulullah tidak memberikan lembah itu kepadamu
untuk kamu pagari agar orang-orang tidak bisa mengambilnya, akan tetapi beliau memberikan kepadamu
agar kamu menggarapnya. Oleh karena itu, ambillah dari tanah tersebut yang sanggup kamu kelola dan yang
lainnya kamu kembalikan”. Selanjutnya Umar membagi-bagikan tanah tersebut kepada kaum muslimin.
Zaman, Economic Functions,125. 39
Ibid, 128
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
21
b. Pemilikan tanah melalui jual-beli („iwadl, tukar menukar).
Dalam hal ini, maka proses jual-beli atau tukar menukar („iwadl)
harus dijalankan berdasarkan prinsip dasar jual beli, yakni "tarâdlin"
(prinsip kesukarelaan dari kedua belah pihak). Dalam al-Qur'an dikatakan,
"Ya ayyuha al-ladzîna âmanû lâ ta‟kulû amwâlakum baynakum bi al-bâthil
illa antakûna tijâratan 'an tarâdlin minkum../Wahai orang yang beriman,
janganlah kalian makan harta sesamamu dengan cara yang tidak benar,
kecuali melalui jalan jual-beli berdasarkan suka-sama suka di antara kamu.."
Al-Nisa [4]: 28). Artinya, pihak pembeli harus suka dengan barangnya, dan
pihak penjual suka dengan harganya. Praktek-praktek penggusuran (jual beli
paksa) yang selama ini terjadi atas tanah rakyat oleh penguasa/pengusaha
secara prinsip tidak dapat diterima.
c. Pemilikan dengan cara perwarisan (mirâts).
Yakni, pemilikan yang terjadi karena peralihan hak dari seseorang
yang meninggal dunia kepada pihak-pihak tertentu dikarenakan adanya
hubungan kekerabatan (nasab). Pemilikan melalui cara ini dalam Syari'at
Islam telah diatur sedemikian rinci, baik menyangkut siapa-siapa yang
berhak mewarisi, berapa bagian masing-masing ahli waris, syarat-syarat
perwarisan, dan hambatan-hambatannya.
Ini sesuai dengan al-Qur‟an:
نهزجال صة يا ذزك انانذا االقزت انساء صة يا ذزك انانذا االقزت يا قم ي
( 7: انساء ). ا كثز صثا يفزضا
Sehingga adanya sistem Zamindari atau tuan tanah itu tidak akan pernah
dapat dijadikan patokan dalam masyarakat Islam.40
d. pemilikan melalui pemberian (hibah atau hadiah).
Dalam hal ini, siapa yang memberi dan yang menerima, serta apa
yang diberikan dan berapa, tidak diatur, kecuali bahwa: a) yang
bersangkutan (pemberi maupun menerima) telah memenuhi syarat sebagai
pelaku kontrak (dewasa, cakap, dan tidak terpaksa), atau dilakukan ooleh
40
Alasan Islam tidak menyetujui sistem zamindari atau sistem tuan tanah adalah: Pertama penguasaan sistem
tanah seperti ini bertentangan dengan prinsip distribusi kekayaan yang adil. Kedua, sistem ini akan
merintangi pemanfaatan yang tepat, karena tanah yang tidak terpakai merupakan hal yang mubazir dan
merugikan pemilik serta masharakat secara keseluruhan. M. Abdul Mannan, Ekonomi Islam, 78-79.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
22
wwali atas namanya. Dan, b) akad hibah yang dilakukan ppada ssaat sakit
tidak boleh melebihi 1/3 dari keseluruhan harta yang dimiliki.
2. Hubungan hak guna atau pemanfaatan (haq al-istighlal).
Haq al-istighlâl atau hak pemanfaatan (haq al-intifa') adalah hak yang
diberikan oleh negara/pemerintah bukan atas dzatnya tanah/bumi itu sendiri
melainkan pada pemanfaatannya belaka. Hak ini didapat melalui cara-cara:
a. Tahjir
Tahjîr adalah pengkaplingan terhadap tanah bebas yang belum
menjadi milik seseorang/badan. Berbeda dengan Imam-Imam yang lain
yang memberikan hak kepemilikan dari proses tahjîr ini, menurut Imam
Maliki tahjîr hanya memberikan hak pemanfaatan (haq al-intifa') atau hak
guna (haq al-istighlâl). Dasarnya adalah Hadist Nabi di atas, bahwa jika
sampai tiga tahun tanah tahjîr tersebut tidak dimanfaatkan sebagaimana
lazimnya, maka pemerintah dapat mencabutnya kembali dari si
pengkapling.
b. Iqtha'
Iqta’ yang disebut juga tanah hadiah, adalah system hak pakai
yang yang asal-usulnya dapat ditelusuri pada zaman Nabi muhammad.
Sistem ini mempunyai implikasi yang serius terhadap sistem tanah di Arab,
karena kehidupan orang-orang Badui yang berpindah-pindah itu
menyebabkan mereka tidak mengetahui hak pemilikan tanah oleh seseorang.
Iqta‟ mempunyai ragam makna, diantaranya seperti ungkapan Al- Shaukani
yaitu ketetapan pemerintah tentang penentuan lahan kepada seseorang yang
dianggap cakap untuk menggarap lahan tersebut,41
sebagaimana yang
dilakukan Nabi Muhammad dalam meng- Iqta‟ tanah kepada orang-orang
Badui untuk menghidupi kehidupan mereka yang telah meninggalkan
keluarga, kerabat juga harta benda mereka.
Adapun bentuk hadiah atau bantuan ini diberikan kepada dua
kelompok berdasarkan kondisinya. Pertama, diberikan kepada orang-orang
yang mampu mengolah tanah itu sendiri untuk memperbaiki kehidupan
mereka. Kedua kepada orang-orang yang berkerja sebagai pengabdi
41
Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Shaukani, Nail al-Awtar, jilid V (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), 311
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
23
masyarakat sehingga tidak dapat mengolah tanah itu sendiri. Mereka
menyuruh orang lain mengolahnya dan membagi hasil maupun
pendapatannya kepada orang-orang tersebut.42
Berdasarkan penelitian hadis dan pernyataan sejarah, ada tiga
ketegori tanah yang dijadikan Iqta‟ yaitu:
1) Tanah Tandus, yaitu tanah-tanah yang tidak pernah diolah dan
diperbaiki sebelumnya. Karena ketandusannya belum pernah orang
berani memperbaikinya. Khalifah membagi-bagikan tanah ini
dikalangan orang-orang yang menbutuhkannya agar supaya mereka mau
memperbaiki tanah-tanah tersebut dan mengolahnya. Tanah semacam
inilah yang diberikan kepada Zubair di Naqbal.43
2) Tanah-tanah tidak terpakai. Tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan
adalah tanah yang dapat diolah tapi karena suatu hal seperti sulitnya
irigasi, tanah tersebut tidak diolah. Sehingga tanah tersebut bisa di
hadiakan pada perorangan. Ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah,
beliau memberikan tanah pada Wali Aqiq agar dikelolahnya.44
3) Tanah negara, yang dimaksud disini adalah tanah yang berasal dari
wilayah taklukkan oleh para Khalifah, antara lain: tanah-tanah yang
pemiliknya gugur dimedan perang, tanah dari orang-orang yang
melarikan diri dalam masa pertempuran dan lain-lain. Dari sini Imam
Abu yusuf berpendapat bahwa kedudukan tanah-tanah ini sama seperti
tanah yang tidak mempunyai pemilik dan tidak ada yang menempatinya.
Ini terbukti bahwa pada masa awal pemerintahan Khalifah, dalam
memberikan iqta‟ tanah yang tidak berpenghuni tak satupun ahli waris
yang menuntutnya, juga tidak ada tanda-tanda perbaikan serta secara
undang-undang tidak boleh diberikan kepada seseorang (karena
kegunaannya berstatus umum). Seperti padang rumput, hutan, danau dan
lain sebagainya.45
42
Afzalur Rahman, Doktrin, 237. 43
Bahr al-Raiq, Vol. VII, 339. 44
Abu Yusuf, Kitab al-kharaj, (Lebanon: ed. Dar al-Ma‟rifah, 1353), 137 45
Ibid, 344-345
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
24
Adapun macam-macam iqta‟ menurut ulama fiqh46
ada tiga
yaitu:
a) Iqta‟ al-Mawat. Para ulama fiqh menetapkan bahwa pemerintah
dibolehkan untuk menentukan dan menyerahkan sebidang tanah
untuk digarap. Tujuannya adalah agar lahan ini menjadi lahan
produktif dan masyarakat terbantu. Alasannya adalah hadis-hadis
Nabi SAW. Dan perbuatan para sahabat. Contohnya penyerahan
tanah oleh Rasulullah kepada Bilal ibn Harith, Wa‟il ibn Hajar, Abu
Bakar, Umar Usman dan sahabat-sahabat lainnya.
b) Iqta‟ al-Irfaq (Iqta‟ al-Amir), menurut ulama shafi‟iyah dan
Hanabilah bahwa pemerintah boleh menetapkan lahan tertentu untuk
pekarangan masjid, tempat-tempat istirahat dan jalan, dengan status
hak pemanfaatan saja, bukan hak milik. Sehingga bila sewaktu-
waktu pemerintah memintah kembali tanah tersebut tidak merugikan
si pengguna. Contoh di Indonesia adalah adanya lahan-lahan yang
digarap oleh tranmigran di berbagai wilayah Indonesia. Para
transmigran dapat menggarap lahan yang ditentukan pemerintah
untuk mereka selama mereka masih bertahan di daerah tersebut.
c) Iqta‟ al-Ma‟adin. Ini berhubungan dengan barang-barang tambang.
Sehingga untuk membahas bab ini, ulama fiqh pun banyak pendapat
mengenai al-Ma‟adin.
c. Irtifak
Hak Irtifâq adalah hakuntuk ikut mendapatkan manfaat dari tanah,
terutama yang diperuntukkan bagi keperluan bersama, seperti jalan, aliran
sungai atau jalur-jalur hijau, cagar alam, dsb. Hak ini berlaku umum dan
pemanfatannya tidak boleh mengganggu keutuhan tanah itu sendiri dan
kemaslahatan yang dibutuhkan oleh orang banyak.
d. Hima
Hima hak atas tanah yang diperuntukkan secara kolektif untuk
satu suku atau lebih untuk dikelola atau untuk kebutuhan yang lain.
Pemilikan tanah pribadi merupakan sesuatu yang tidak dikenal dikalangan
46
Nasron Haroen, Fiqh mu‟amalah, 53-57
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015
25
orang Badui. Hak terbatas orang Badui atas tanah mungkin merupakan asal
usul perkembangan cadangan kolektif yang haknya dibuat mutlak.
Sedangkan suku yang lainnya berkewajiban untuk tidak mengganggu hak
itu. Dasar Hima biasanya makanan ternak atau air. Biasanya dalam Hima
terdapat satu atau lebih mata air. Sifatnya yang nomadik tampak jelas dari
kenyataan bahwa biasanya tanah itu dibiarkan tidak digarap. Pada mulanya
hak istimewa Hima tidak bersifat tetap, tetapi kemudian jika ia tetap dalam
pemilikan suatu suku selama masa yang lebih lama, maka akan menjadi
milik mereka. Seringkali Hima yang luas menjadi milik beberapa suku.
Kemudian sistem ini juga membayar „ushr al-zakat berdasarkan
hasil yang didapatkan. Jika „ushr al-zakat ini tidak dibayar maka hak atas
Hima dicabut dan orang lain berhak menempati tanah tersebut. Pemerintah
juga mempunyai Hima sendiri. Kadang-kadang pemerintah mengambil
Hima yang diperlukan untuk kemiliteran atau untuk digunakan rakyat
banyak.