halaman judul -...
TRANSCRIPT
TESIS
IMPLEMENTASI PRINSIP KEADILAN PEMUNGUTAN PAJAKTERHADAP PELAKU E-COMMERCE
(The Implementation of Fairness Principle of Tax Collection toE-commerce Actor)
Disusun dan Diajukan Oleh :
ITSAR NURYANTO SAMBIAP3600216018
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATANFAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2018
i
HALAMAN JUDUL
IMPLEMENTASI PRINSIP KEADILAN PEMUNGUTAN PAJAK TERHADAP
PELAKU E-COMMERCE
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Kenotariatan
Disusun dan diajukan Oleh:
ITSAR NURYANTO S
P3600216018
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Nama : ITSAR NURYANTO SAMBIA
N I M : P3600216018
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan tesis yang
berjudul IMPLEMENTASI PRINSIP KEADILAN PEMUNGUTAN PAJAK
TERHADAP PELAKU E-COMMERCE adalah benar-benar karya saya
sendiri. Hal yang bukan merupakan karya saya dalam penulisan tesis ini
diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku.
Makassar, 14 Agustus 2018
Yang membuat pernyataan,
ITSAR NURYANTO SAMBIA
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamiin, puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Karunia, dan Hidayah-Nya
sehingga penulis mampu menyelesaikan sebuah karya ilmiah berupa
Tesis dengan judul “IMPLEMENTASI PRINSIP KEADILAN
PEMUNGUTAN PAJAK TERHADAP PELAKU E-COMMERCE”,
sebagai salah satu syarat Untuk Mencapai Gelar Magister pada
Program Studi Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Serta lantunan shalawat dan salam kepada Rasulullah
SAW beserta keluarga, sahabat-sahabat, dan umatnya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang-yang tak terhingga kepada:
1. Kedua orang tua penulis yang tercinta ayahanda Sambia dan
ibunda Rostina yang selama ini banyak memberikan dukungan yang
sangat bermanfaat dalam menyemangati penulis untuk melakukan
kegiatan pendidikannya mulai dari tingkat dasar hingga perguruan
tinggi dengan penuh kasih sayang dan rasa cintanya yang tak
terhingga. Begitu juga telah merawat dan membimbing saya
sehingga terlahir dan dewasa sampai pada saat ini. Oleh karenanya
ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya dengan berharap
v
mereka tetap membimbing saya untuk menapaki kehidupan yang
mendatang.
2. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA., selaku Rektor
Universitas Hasanuddin beserta para wakil rektor, staf, dan
jajarannya.
3. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin serta para wakil dekan I, II, dan III
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
4. Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si. selaku Ketua Prodi
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah
memberikan kesempatan bagi penulis untuk menulis tesis ini.
5. Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, SH.,MH. selaku Pembimbing I dan
Bapak Ruslan Hambali. SH.,MH. selaku pembimbing II yang telah
dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulis sehingga
tesis ini dapat terselesaikan. Dan merupakan kebanggaan tersendiri
bagi penulis telah dibimbing oleh beliau.
6. Bapak Dr. Winner Sitorus, S.H., M.H., LL.M., Ibu Dr. Oky Deviany,
.S.H., M.H., Ibu Dr. A. Tenri Famauri, S.H., M.H. selaku dewan
penguji, yang telah memberikan ilmu, nasihat, serta bantuan
lainnya.
7. Seluruh dosen, pegawai, maupun staf civitas akademika Fakultas
Hukum Universitas Hasanudin yang telah memberikan ilmu, nasihat,
serta bantuan lainnya.
vi
8. Hendro Adipurna, S.H., Jupriadi, S.H., Aslan Amin, S.H., Andry
Akbar, S.H., Faizal Achmad, S.H., Rakhmat Wiwin Hisbullah, S.H.
M.Kn, Sitti Paradiba Rambega, S.H., Nurliana, S.H., Heny Sugiarti,
S.H., Athifa Ramadhani, S.H., Andi Dettia Cawa, S.H., Githa
Ramadhani, S.H., Iswahyudi Adipradana, S.H., Andika Dwi
Anugerah, S.H., Ismail TH. Sapiu, S.H., dan Indah Ayu Satrika,
S.H., M.H., mereka merupakan sahabat-sahabat terbaik yang
penulis miliki, terima kasih atas waktu dan kebersamaan yang
membuat sepenggal perjalanan hidup ini menjadi lebih ringan, lebih
berwarna, dan lebih indah. Terima kasih atas pengertian dan
kesabaran yang kau tunjukkan dalam mengahadapi sikap, watak,
dan kelakuan penulis yang tidak semua orang bisa memahami dan
menghadapinya. Terima kasih.
9. Kakanda terbaik penulis, Almadany Talaohu, S.H., yang senantiasa
mendengar curahan hati dan keluhan penulis, memberi kritikan dan
masukan kepada penulis. Setiap momen di antara kita, entah
moment itu bahagia atau tidak, dan kita tidak pernah peduli akan hal
itu. Terima kasih karena sudah bersedia sharing cerita-cerita
bahagiamu padaku. Tidak akan ada kebahagiaan tanpa berbagin
pengalaman yang seru, terima kasih kakandaku atas segala waktu,
moment kebersamaan, dukungan, dan semangat hidup yang
selama ini kau berikan.
vii
10. Adinda Rizki Febrisari, S.H., yang telah menemani, menyemangati
dengan tulus penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.
11. Teman-teman RENVOI KENOTARIATAN 2016, teman
seperjuangan penulis sejak berstatus sebagai mahasiswa Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Unhas.
12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini,
baik, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dalam
penyusunan karya ilmiah lainnya yang lebih baik. Akhir kata,
semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.
Makassar, 14 Agustus 2018
Penulis,
ITSAR NURYANTO SAMBIA
viii
ABSTRAK
ITSAR NURYANTO SAMBIA. Implementasi Prinsip Keadilan Pemungutan Pajak Terhadap Pelaku E-commerce (dibimbing oleh Achmad Ruslan dan Ruslan Hambali). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi prinsip keadilan pemungutan pajak terhadap pelaku E-commerce serta menganalisis dampak yang ditimbulkan terhadap ketidakadilan dalam pemungutan pajak terhadap pelaku E-commerce. Tipe penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris yang mengkhususkan pada jenis Pajak Penghasilan (PPh) dengan mengumpulkan data primer berupa hasil wawancara dan data sekunder berupa data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari hasil penelitian baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, (1) pemungutan pajak terhadap pelaku E-commerce belum mencerminkan rasa keadilan antara pelaku E-commerce. hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama, kurangnya pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap pelaku E-commerce khususnya melalui media sosial pribadi; Kedua, sistem pajak yang berlaku di oleh Indonesia (Self Assessment) memberikan peluang kepada pelaku E-commerce dari media sosial pribadi untuk bertindak menghindari pemungutan pajak; Ketiga, kepatuhan Wajib Pajak atas peraturan pajak terkait pemungutan Pajak Penghasilan (PPh); Keempat, pengetahuan tentang pajak terkait aturan pajak yang berlaku, dan (2) dampak yang ditimbulkan terhadap ketidakadilan dalam pemungutan pajak terhadap pelaku E-commerce, yaitu pemasukan keuangan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) terhadap pelaku E-commerce berkurang mengingat peraturan yang ada hanya mengatur pemungutan pajak transaksi E-commerce Marketplace khususnya Bukalapak dan persepsi pelaku E-commerce yang negatif mempengaruhi pola pikir pelaku E-commerce lainnya yang belum menjadi Wajib Pajak. Kata kunci : Pemungutan pajak, Keadilan, E-commerce
ix
ABSTRACT
ITSAR NURYANTO SAMBIA. The Implementation of Fairness Principle of Tax Collection to E-commerce Actor. (supervised by Achmad Ruslan and Ruslan Hambali).
This study aims to analyze the implementation of fairness principle of tax collection to E-commerce actor, and to describe the impact of unfairness in tax collection on the actor of E-commerce.
This type of research was an empirical juridical research specializing on the type of the Income Tax (PPh). The data consisted of primary and secondary data. The primary data was conducted through interview, and the secondary data was found through literature study. The data then were analyzed qualitatively.
The results of the research indicates that, (1) the tax collection of the actor of E-commerce has not reflected in the sense of justice among the actors. This is influenced by several factors, mainly: first, the lack of government supervision of the E-commerce actor, especially through personal social media; second, the applicable tax system in Indonesian (self assessment) provided an opportunity for E-commerce actors and personal social media to act and avoid collecting taxes; third, taxpayer compliance with tax relus related to the collection on income tax (PPh); fourth, the knowledge of taxes related to the prevailing tax rules; and (2) the impact of unfair tax collection on the actor of E-commerce is first, the income of state finance from income tax (PPh) to the actor of E-commerce is reduced considering that the existing rules only regulates tax collection of Marketplace E-commerce transactions especially Bukalapak; and second the negative perceptions of E-commerce actors influence the mindset of other E-commerce actors who have not become Taxpayers.
Keywords: Tax Collection, Justice, E-commerce
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ...............................................................................
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................. viii
ABSTRACT ............................................................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................. x
DAFTAR TABEL ................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 12
E. Keaslian Penelitian ................................................................... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................................... 15
A. E-commerce .............................................................................. 15
1. Pengertian E-commerce ..................................................... 15
2. Mekanisme Transaksi E-commerce .................................... 15
B. Pajak .......................................................................................... 17
1. Pengertian Pajak ................................................................. 17
xi
2. Asas Pemungutan Pajak ..................................................... 18
3. Fungsi Pajak ....................................................................... 20
4. Prinsip-Prinsip Pemungutan Pajak ...................................... 22
5. Pemungutan Pajak .............................................................. 24
6. Sistem Pemunguan Pajak ................................................... 25
7. Kepatuhan Perpajakan ........................................................ 27
8. Kesadaran Wajib Pajak ....................................................... 29
C. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) ....................................... 35
1. Tarif PPh Pasal 21 .............................................................. 38
2. Subjek Pajak Penghasilan .................................................. 40
3. Objek Pajak dan Yang Bukan Objek PPh ........................... 44
D. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ................................................ 47
1. Subjek Pajak Pertambahan Nilai ......................................... 48
2. Objek Pajak dan Bukan Objek PPN .................................... 49
E. Dasar Hukum E-commerce ...................................................... 52
1. Subjek dan Objek E-commerce........................................... 56
F. Teori ........................................................................................... 60
1. Teori Keadilan ..................................................................... 60
2. Teori Pengawasan .............................................................. 64
G. Kerangka Pikir ........................................................................... 67
H. Definisi Operasional ................................................................. 68
Bab III METODE PENELITIAN ................................................................ 70
A. Tipe Penelitian ........................................................................... 70
xii
B. Lokasi Penelitian ....................................................................... 70
C. Populasi Dan Sampel ............................................................... 70
D. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 71
E. Prosedur Pengumpulan Data ................................................... 72
F. Teknik Analisis Data ................................................................. 73
Bab IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 74
A. Implementasi Prinsip Keadilan Pada Pemungutan Pajak
Terhadap Pelaku E-commerce ................................................. 74
B. Dampak Ketidakadilan Pemungutan Pajak Pelaku
E-commerce ............................................................................. 111
Bab V PENUTUP ................................................................................... 117
A. KESIMPULAN .......................................................................... 117
B. SARAN ..................................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pelaku E-commerce Pada Market Place (Bukalapak)………… 84
Tabel 2. Pelaku E-commerce Pada Media Sosial Pribadi
(Instagram) …………………………………………………………. 85
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Penerimaan Pajak ……………………………………………. 113
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang dapat
digunakan sebagai alat untuk mengatur kegiatan ekonomi. Pajak juga
berfungsi sebagai alat atau instrumen yang digunakan untuk memasukan
dana secara optimal ke dalam kas negara, dalam artian bahwa fungsi
pajak sebagai instrumen penarik masyarakat untuk dimasukkan ke dalam
kas negara. Adapun dana yang berasal dari pajak dipergunakan bagi
penyelengaraan dan aktifitas pemerintahan. Pajak merupakan gejala
sosial dalam suatu masyarakat, sehingga tanpa adanya masyarakat, tidak
mungkin ada pajak. Pajak sebenarnya merupakan utang, dalam arti
bahwa utang anggota masyarakat kepada masyarakat, dimana utang
menurut pengertian hukum adalah perikatan (verbintenis).1
Menurut Cort Van Der Linden, pajak merupakan kewajiban
penduduk suatu Negara untuk berusaha dan berhak untuk memperoleh
perlindungan (hukum dan sosial ekonomi), untuk itu penduduk Negara
berkewajiban membayar pajak kepada Negara2. Undang-undang
perpajakan sendiri tidak memberikan definisi pajak sampai dengan
1 Ali Chidir, 2007, Hukum Pajak Elementer, Bandung: PT. Eresco, hlm.172 Bohari, 2012, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 21
2
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur bahwa:3
Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang olehorang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkanundang-undang, dengan mendapatkan imbalan secara tidaklangsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun pajak secara kewilayahan terbagi dalam dua kategori, yaitu
pajak pusat dengan landasan hukumnya berbentuk undang-undang, dan
pajak daerah dengan landasan hukumnya berbentuk peraturan daerah.
Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia adalah self
assessment, yang berarti sistem yang memberikan kepercayaan dan
tanggung jawab yang lebih besar untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan berkewajiban melaksanakan
pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
pemenuhan kewajiban wajib pajak, salah satunya pajak penghasilan.
Anjarini dalam bukunya menyebutkan bahwa self assessment system
selama ini dalam prinsipnya telah membuat anggapan bahwa pajak tidak
lagi dianggap sebagai beban melainkan sebuah tugas kenegaraan yang
harus di laksanakan.4
3 Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang PerubahanKetiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan. Undang-Undang ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentangPenetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 2008 tentangPerubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum danTata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
4 Anjarini, Kusujarwati, dkk, 2012, Analisis Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak DalamMeningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Pada KPP Pratama Jakarta Sawah BesarSatu: Jurnal Akuntasi Perpajakan, hlm. 12
3
Dianutnya self assessment system membawa misi dan
konsekuensi perubahan sikap atau (kesadaran) yang terjadi pada
masyarakat untuk membayar pajak dengan sukarela. Kesadaran yang
tinggi dari wajib pajak merupakan faktor penting dari wajib pajak dalam
pelaksanaan sistem tersebut. Sehingga semakin tinggi tingkat kesadaran
wajib pajak, maka pemahaman dan pelaksanaan kewajiban perpajakan
semakin baik sehingga dapat meningkatkan kepatuhan. 5
Tinggi rendahnya wajib pajak dalam mematuhi kewajiban
perpajakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah
kepatuhan dan kesadaran wajib pajak. Pemahaman wajib pajak serta
kesungguhan wajib pajak untuk melaporkan dan membayar kewajiban
perpajakannya sesungguhnya mencerminkan tingkat kesadaran wajib
pajak. Apabila kesadaran masyarakat atas pajak masih rendah maka akan
menyebabkan banyaknya potensi pajak yang tidak dapat di manfaatkan. 6
Adapun pajak masa kini dihadapkan dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang pesat,
seiring dengan kebutuhan hidup masyarakat yang semakin tinggi. Dari hal
tersebut, timbul pemikiran masyarakat untuk memanfaatkan keadaan
dengan berbisnis agar memiliki penghasilan sendiri dalam memenuhi
kebutuhan hidup diera modern saat ini. Ide berbisnis muncul dengan
menggunakan media online atau disebut dengan istilah transaksi E-
5 Darmayanti, Theresia Woro, 2004, Pelaksanaan Self Assessment System Menurut WajibPajak (Studi Kasus pada Wajib Pajak Badan Salatiga): Jurnal Ekonomi dan Bisnis, hlm. 108
6 Muliari, Ni Ketut dan Ery Setiawan, 2011, Pengaruh Persepsi tentang Sanksi Perpajakandan Kesadaran Wajib Pajak pada Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi di KantorPelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur: Jurnal akuntansi dan bisnis Denpasar, FakultasEkonomi Universitas Udayana, hlm. 5
4
commerce. Transaksi E-commerce merupakan transaksi bisnis yang
dilakukan secara elektronik, sehingga transaksi antara pelaku
E-commerce dan pembeli dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun.
Transaksi seperti ini sedang digemari oleh masyarakat modern
penggunaan internet aktif.
Transaksi E-commerce berbeda dengan transaksi pada umumnya
yang memperdagangkan barang dagangan mereka di suatu tempat jual-
beli pada umumnya seperti pasar tradisional, pasar modern, pasar
swalayan, dan toko-toko pada umumnya yang dapat di lihat dan dapat di
sentuh langsung. E-commerce di perdagangkan pada suatu website atau
sebuah akun sosial media public yang berkecimpung dalam transaksi E-
commerce, seperti: bukalapak, lazada, dan PT.Kudo, sementara untuk
media sosial pribadi seperti: facebook, twitter, dan instagram.7
Masalah kemudian muncul dari transaksi E-commerce terkait
pengenaan pajak penghasilan pelaku E-commerce, yakni pajak yang
dibebankan kepada pelaku E-commerce belum efektif secara menyeluruh.
Di lapangan ditemukan pelaku E-commerce yang berjualan melalui media
sosial pribadi dan tidak membayar pajak penghasilan sekalipun
penghasilan yang didapatkan setiap bulan sudah mencapai batas minimal
sebagai wajib pajak atau sudah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
101/PMK.010/2016 adalah Rp 54.000.000 /tahun dan Rp 4.500.000 /bulan
7 Fuadi, Arabella Oentari, Yeni Mangonting, 2013, Pengaruh Kualitas Pelayanan PetugasPajak, Sanksi Perpajakan dan Biaya Kepatuhan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM,Tax & Accounting Review, hlm. 33
5
untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi. Hal ini dikarenakan oleh, penjualan
di media sosial pribadi adalah bersifat bebas tanpa adanya aturan
tertentu, tidak adanya pihak-pihak yang bertanggungjawab atas penjualan
terhadap pemungutan pajak tersebut, kurangnya pengetahuan pelaku E-
commerce terkait pajak, kurangnya sosialisasi dari pihak berwajib atas
pemungutan pajak, hingga kurangnya pengawasan dari pihak berwajib
atas bisnis online ini.
Hal ini berbanding terbalik dengan pelaku E-commerce yang
menjajakkan dagangannya di dalam wadah resmi sesuai Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan
Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-commerce. Adapun wadah resmi
sesuai dengan Surat Edaran tersebut terdapat empat (4) model transaksi
E-commerce: yaitu Online marketplace, Classified Ads, Daily Deals, dan
Online Retail. Di mana pelaku online yang menjajakkan dagangannya
melalui Online marketplace, classified Ads, Daily Deals dan Online Retail
secara otomatis akan menjadi wajib pajak penghasilan apabila
penghasilan yang di dapat dari berjualan telah melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP).
Hal ini dapat terjadi karena, badan usaha yang tergabung dalam
Online marketplace, Classified Ads, Daily Deals, dan Online Retail
bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak untuk mengawasi
transaksi para pelaku online di dalam. Sehingga apabila, ada pelaku
online yang telah memenuhi standar sebagai wajib pajak, maka Direktorat
6
Jendral Pajak di wilayah masing-masing akan mengirimkan surat
pemberitahuan sebagai wajib pajak sebagai bentuk peringatan. Hal ini
tentunya membantu pemerintah dalam mendata wajib pajak, sehingga
para pelaku online yang sudah memenuhi standar sebagai wajib pajak
akan sulit untuk menghindarinya. Berbeda dengan pelaku online melalui
media sosial pribadi yang tidak memiliki aturan khusus. Sehingga
seringnya para pelaku online yang tergabung dalam badan usaha terkait
memilih untuk keluar dan menjajakkan dagangannya melalui media sosial
pribadi saja. Hal ini juga tentunya akan berdampak pada pemasukan dari
badan usaha tersebut, mengingat badan usaha tersebut harus membayar
pajak, dan memberikan gaji kepada karyawannya.
Pada dasarnya penerimaan pendapatan pajak maksimal
membutuhkan kepatuhan dan kesadaran masyarakat untuk menjalankan
kewajibannya sesuai dengan kebijakan yang berlaku yang berlaku.
Persoalan mengenai kepatuhan membayar pajak telah menjadi masalah
yang penting karena jika wajib pajak tidak patuh maka dapat menimbulkan
keinginan untuk melakukan tindakan seperti penghindaran, pengelakan
dan pelalaian pajak yang pada akhirnya akan merugikan negara yaitu
dengan berampak pada berkurangnya penerimaan pajak.8 Hal ini sama
dengan tingkat kesadaran masyarakat atas kewajiban perpajakan. Kedua
hal ini, sama sekali tidak dapat dipaksakan selaku pribadi atau badan
hukum. Akan tetapi, pemerintah dapat bertindak tegas untuk mendorong
8 Ibid., hlm. 35
7
kepatuhan dan kesadaran pribadi/badan hukum dengan mengadakan
pengawasan yang ketat serta aturan dan sanksi yang tegas pula.
Ketika yang terjadi kepatuhan dan kesadaran masyarakat kurang,
maka tentunya akan berdampak pada kurangnya pendapatan Negara
yang bermuara dari sistem perpajakan di Indonesia. Walaupun hingga
saat ini, dengan kebijakan perpajakan yang ada belum mampu menjaring
potensi pajak, khususnya jenis usaha online shop dengan menggunakan
transaksi E-commerce. Adapun beberapa akun online shop tersebut
adalah Missy Shop, Hana Shop, Lov Limitee, Permata Shop, dan Tshop
yang berada di Kota Makassar.
Sementara itu, jika telusuri lebih dalam bahwa uang pajak yang di
terima pemerintah akan di keluarkan lagi untuk masyarakat yang akan di
gunakan untuk membiayai kepentingan umum sehari-harinya. Sehingga
dapat di katakan bahwa hal ini akan berdampak besar pada
perekonomian negara. Adapun Kewajiban pajak merupakan kewajiban
publik yang pribadi, yang tidak dapat di alihkan kepada orang lain. Wajib
pajak dapat menunjuk atau minta bantuan atau memberi kuasa kepada
orang lain, akan tetapi kewajiban publik yang melekat pada dirinya
(persoonlijk), khususnya mengenai pajak-pajak langsung tetap ada
padanya dan ia tetap bertanggung jawab, sekalipun orang lain dapat ikut
bertanggungjawab.
Selain undang-undang pajak, pengaturan khusus mengenai pajak
atas transaksi E-commerce sendiri terdapat dalam Surat Edaran Direktur
8
Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan
Perpajakan Atas Transaksi E-commerce. Selain itu, Ditjen Pajak
mengeluarkan SE-06/PJ/2015 tentang Pemotongan dan atau Pemungutan
Pajak Penghasilan atas Transaksi E-commerce.9
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, mengatur
bahwa:
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaranpajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hakdan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan perpajakan.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 28
Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
selanjutnya mengatur bahwa:
Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif danobjektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganperpajakan wajib mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat JenderalPajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempatkedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan Nomor PokokWajib Pajak.
Pungutan pajak hanya diterapkan pada kanal marketplace khususnya
pelaku E-commerce yang jualan online dengan membuka toko online,
seperti tokopedia, bukalapak, shopee, OLX, berniaga, elevenia, dan
lazada. Adanya ketidakadilan pemungutan pajak terhadap pelaku
E-commerce ini, memungkinkan untuk para penjual pada marketplace
keluar dari kanal tersebut dan lebih memilih untuk berjualan pada kanal-
9 Rahmat fiansyah, 2015, Aturan Pajak Bisnis Online Ditargetkan Rampung Tahun Ini,diakses dari: http://ekbis.sindonews.com/read/989943/150/aturan-pajak-bisnis-online-ditargetkan-rampung-tahun-ini-1429149243, Pada Tanggal 16 Januari, Pukul [15.30 WITA]
9
kanal di media sosial pribadi yang tidak di kenakan pajak penghasilan.
Sehingga pada akhirnya, para pengelola marketplace akan kehilangan
secara signifikan pendapatannya yang di peroleh dari pendapatan komisi
yang di peroleh dari para pelapaknya.
Sejatinya bahwa tidak adanya pemungutan pajak dari transaksi
yang terjadi di dunia digital melalui media sosia pribadi, merupakan bentuk
ketidakadilan pemungutan pajak terkhusus pajak penghasilan. Bayangkan
saja, toko-toko yang berjualan barang setiap hari harus melakukan
pungutan dan pembayaran pajak. Padahal, barang yang di perjualbelikan
notabene sama, sehingga seharusnya alokasi beban pajak pada berbagai
golongan masyarakat harus mencerminkan keadilan. Mengenai hak ini
ada dua kriteria yang lazim digunakan untuk melihat apakah alokasi
beban pajak telah mencerminkan aspek keadilan, yaitu kemampuan
membayar dari wajib pajak (ability to pay) dan prinsip benefit (benefit
principel).
Selanjutnya menurut Aristoteles, keadilan merupakan tindakan
yang terletak di antara memberikan terlalu banyak dan terlalu sedikit.
Keadilan dapat diartikan memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai
dengan apa yang menjadi haknya.10 Selanjutnya menurut John Rawls,
jaminan keadilan harus di awali dengan dua prinsip dasar keadilan, yaitu:
Pertama, Prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas
kesempatan, dalam prinsip ini perbedaan sosial ekonomi harus diatur
10 Ibid.,
10
sedimikian rupa sehingga memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
mereka yang kurang beruntung; Kedua, Prinsip kekebasan yang sama
sebesar-besarnya, dalam artian bahwa setiap orang memiliki hak yang
sama atas seluruh sistem kekebasan yang ada dan yang sesuai dengan
kebebasan itu.11
Dalam mewujudkan jaminan keadilan diperlukan adanya lembaga-
lembaga tertentu yang berfungsi untuk memperjuangkan berlakunya
kedua prinsip di atas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Menurut Miriam Budiardjo, ada lima lembaga yang dibutuhkan
dalam mengupayakan jaminan keadilan, yaitu: Pertama, Pemerintahan
yang terbuka dan bertanggung jawab; Kedua, Dewan perwakilan rakyat
yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam
masyarakat, yang dipilih melalui pemilu yang bebas dan rahasia; Ketiga,
Organisasi politik yang mencakup satu atau lebihi partai politik; Keempat,
Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat; dan
Kelima, Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi
manusia dan mempertahankan keadilan.12
Sehingga wajar saja bila pemerintah ingin memungut pajaknya
apalagi melihat potensi pajak dalam pembangunan yang semakin besar.
Katakanlah bila saat ini transaksi E-commerce telah mencapai Rp.394
triliun. Dengan dikenai PPh dengan tarif 1% saja, ada potensi penerimaan
11 Ibid.,12 Ibid.,
11
Rp.3,9 triliun, belum lagi dari PPN bisa berkali-kali lipat.13 Aparat pajak
menyebut bahwa pungutan pajak terhadap bisnis online bukanlah hal
baru, melainkan transaksi dari itu sekadar objek pajak yang belum dipajaki
atau dipungut. Wajar saja bila pemerintah ingin memungut pajaknya.
Apalagi bila melihat potensi penjualan online yang semakin besar.
Sebagai upaya untuk menerapkan keadilan bagi seluruh wajib pajak,
pungutan pajak E-commerce merupakan sebuah keharusan. Akan tetapi,
kemampuan pemerintah memberikan level playing field yang sama
dengan mampu menjangkau kanal media sosial juga harus dipenuhi
sebab temanya tetap sama, yakni keadilan dalam pemungutan pajak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi prinsip keadilan pada pemungutan pajak
terhadap pelaku E-commerce?
2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan terhadap ketidakadilan dalam
pemungutan pajak terhadap pelaku E-commerce?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi prinsip keadilan
pada pemungutan pajak terhadap pelaku E-commerce.
13 Ade Hapsari Lestarini, 2017, Menimbang keadilan pajak E-commerce. diakses dari:http://www.metronews.com/embed/JKRIx2pb, diakses pada Tanggal 16 Januari 2018, Pukul [16.40WITA]
12
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dampak yang ditimbulkan
terhadap ketidakadilan dalam pemungutan pajak terhadap pelaku
E-commerce.
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh manfaat sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis
Manfaat penelitian secara teoritis digunakan sebagai bukti empiris
bagi pengembangan ilmu pengetahuan.14 Penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai bahan kajian atau bahan penelitian lebih
lanjut serta menambah informasi yang berkaitan dengan prinsip-
prinsip keadilan terhadap pelaku E-commerce
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai berikut:
a. Bagi Direktur Jenderal Pajak, sebagai sumbangan pemikiran dan
sebagai kontribusi ilmiah dalam mengoptimalkan penerimaan
pajak penghasilan dari E-commerce.
b. Bagi pengusaha online, sebagai salah satu referensi dalam
pelaksanaan pembayaran pajak penghasilan dan pajak
pertambahan nilai yang sesuai dengan peraturan yang ada.
14 Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Bisnis, Cetakan Enam Belas, Bandung: CVAlfabeta, hlm. 10
13
E. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian ini memuat uraian sistematis mengenai hasil-
hasil karya ilmiah lainnya yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu
atau hampir sama namun obyeknya berbeda.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Suriyadi (2015) yang berjudul
Pengaturan Perpajakan Dalam Transaksi E-commerce Dalam Rangka
Penghindaran Pajak Berganda. Penelitian tesis ini fokus terhadap
pemungutan pajak atas transaksi E-commerce berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yang dikaitkan
dengan sengketa hak pemajakan yang berimplikasi terhadap munculnya
pajak berganda, sehingga pengenaan sanksi terhadap subjek pajak yang
tidak melakukan kewajiban perpajakan tidak dapat diterapkan.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Mahu, Nur Aini yang berjudul
Penerapan Pajak Penghasilan Pada Transaksi E-commerce di
Yogyakarta. Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis
penghasilan yang timbul dari transaksi E-commerce yang dapat dijadikan
objek pajak dan dapat tidaknya penerapan konsep BUT (Bentuk Usaha
Tetap) pada server terhadap transaksi E-commerce di Yogyakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yaitu meneliti bahan
perundang-undangan sebagai bahan primer serta bahan pustaka sebagai
data sekunder.15
15 Electronic theses & dissertations, 2005, Penerapan pajak penghasilan pada transaksi E-commerce di Yogyakarta. diakses dari: http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=penelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=28616, Pada Tanggal 16Januari 2018, Pukul [18.30 WITA]
14
Dari judul penelitian di atas, jelas bahwa pembahasannya berbeda
dengan pembahasan yang diangkat oleh penulis karena tidak mengkaji
mengenai prinsip-prinsip keadilan perpajakan terhadap pelaku E-
commerce. Oleh karena itu, tidak mengulangi penelitian sebelumnya,
karena belum ada penelitian sejenis yang telah dilakukan.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. E-commerce
1. Pengertian E-commerce
E-commerce merupakan salah satu keunggulan dari internet. Ada
beberapa sebutan E-commerce yaitu internet Commerce , Ecom, atau
Immerce, yang pada dasarnya semua sebutan di atas mempunyai makna
yang sama. Istilah-istilah tersebut berarti membeli atau menjual secara
elektronik, dan kegiatan ini di lakukan pada jaringan internet.
Ada beberapa definisi Electronic Commerce atau sering disebut
atau disingkat menjadi E-commerce, menurut David Baum “E-commerce
sebagai salah satu set teknologi, aplikasi, dan proses bisnis yang dinamis
yang menghubungkan perusahaan, konsumen, dan komunitas tertentu
melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, pelayanan, dan
informasi yang dilakukan secara elektronik”16.
2. Mekanisme Transaksi E-commerce
Mekanisme transaksi E-commerce di mulai dengan adanya
penawaran suatu produk tertentu oleh penjual (misal berada atau
bertempat kedudukan di AS) di suatu situs melalui server yang berada di
Indonesia. Apabila konsumen di Indonesia melakukan pembelian maka
konsumen tersebut akan mengisi “order mail” yang di sediakan oleh pihak
16 John Hutagaol, dkk, 2007, Kapita selekta Perpajakan, Jakarta: Salemba Empat, hlm. 48
16
penjual. Cara pembayaran yang dapat dilakukan oleh konsumen tersebut
yaitu dengan:
1) Transaksi model ATM;
2) Pembayaran langsung antara dua pihak yang bertransaksi tanpa
perantara;
3) Dengan perantara pihak ketiga;
4) Micropayment (recehan), dan
5) Anonymous digital cash.
Apabila proses pembayaran tersebut telah di otorisasi, maka proses
pengiriman dapat di lakukan. Cara pengiriman atas produknya, apakah
barang berwujud (melalui pengiriman biasa), jasa, atau produk digital
(melalui proses download).17 Adapun dalam setiap kegiatan E-commerce
tentunya tidak selamanya berjalan mulus. Seperti halnya menurut
Mardiasmo 2 (dua) jenis hambatan terhadap pelaksanaan pemungutan
pajak yang dapat di kelompokkan yaitu:18
a. Perlawanan pasif, yaitu masyarakat enggan (pasif) membayar
pajak, yang dapat disebabkan antara lain:
a) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat;
b) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami
masyarakat;
c) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan
dengan baik.
17 Ibid., hlm. 5118 Mardiasmo,2011, Perpajakan,Edisi revisi, Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 8
17
b. Perlawanan aktif, yaitu meliputi semua usaha dan perbuatan
yang secara langsung ditujukkan kepada fiskus dengan tujuan
untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain:
a) Tax Advoidance, usaha meringankan beban pajak dengan
tidak melanggar Undang-undang;
b) Tax Evasioni, usaha meringankan beban pajak dengan cara
melanggar Undang-undang (menggelapkan pajak).
B. Pajak
1. Pengertian Pajak
Pajak adalah bantuan, baik secara langsung mapun tidak langsung
yang dipaksakan oleh kekuasaan poitik dari penduduk atau dari barang
untuk menutup belanja pemerintah. Pajak sebagai bantuan uang secara
incidental atau secara periodic (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang
di pungut oleh badan yang bersifat umum (Negara), untuk memperoleh
pendapatan, di mana terjadi suatu tatbestand (sasaran pemajakan), yang
karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak. 19
Pajak merupakan iuran wajib yang di pungut oleh pemerintah dari
masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin Negara dan
biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat di tunjuk secara
langsung di dasarkan undang-undang. Pemungutannya dapat di paksakan
19 Siti Resmi, 2008, Perpajakan, Teori dan Kasus, Edisi pertama, Jakarta: SalembaEmpat, hlm. 2
18
kepada subyek pajak, dan tidak ada balas jasa yang langsung dapat di
tunjuk penggunaannya.20
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat di paksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat di tunjukkan dan yang di gunakan
untuk membayar pengeluaran umum.21
2. Asas Pemungutan Pajak
Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya Wealth of Nations
mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim di kenal
dengan “four canons taxation” atau sering di sebut “The four Maxims”
dengan uraian sebagai berikut:22
1) Asas equality yaitu bahwa pembagaian tekanan pajak di antara
masing-masing subyek pajak hendaknya di lakukan secara
seimbang dengan kemampuannya. Kemampuan wajib pajak dapat
di ukur dengan penghasilan yang di nikmati masing-masing wajib
pajak di bawah perlindungan pemerintah. Negara tidak di
perbolehkan mengadakan pembedaan atau diskriminasi di antara
sesama wajib pajak.
2) Asas certainly yaitu bahwa pajak yang di bayar oleh wajib pajak
harus pasti/jelas dan tidak mengenal kompromi, dalam arti bahwa
20 Tunggal Anshari Setia Negara, 2017, Ilmu Hukum Pajak, Malang: Setara Press, hlm. 321 R.Santoso Brotodihardjo, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika
Aditama, hlm. 2522 Mardiasmo, 2011, Perpajakan, edisi Revisi, Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 25
19
dalam pemungutan pajak harus ada kepastian hukum mengenai
subyeknya, obyek dan waktu pembayarannya.
3) Asas convenience of payment yaitu pajak hendaknya di pungut
pada saat yang tepat atau saat yang paling baik bagi wajib pajak
yaitu sedekat mungkin dengan saat di terimanya penghasilan.
4) Asas efficiency yaitu bahwa pemungutan pajak hendaknya di
lakukan sehemat mungkin, dalam arti bahwa biaya pemungutan
pajak hendaknya lebih kecil dari hasil penerimaan pajaknya.
Menurut W.J. de Lange ada 7 (tujuh) asas pokok perpajakan
adalah sebagai berikut: 23
1) Asas Kesamaan, dalam arti bahwa seseorang dalam keadaan yang
sama hendaknya di kenakan pajak yang sama. Tidak boleh ada
diskriminasi dalam pemungutan pajak.
2) Asas Daya Pikul, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa setiap
wajib pajak hendaknya terkena beban pajak yang sama. Ini berarti
orang yang pendapatannya tinggi di kenakan pajak yang tinggi,
yang pendapatannya rendah di kenakan pajak yang rendah dan
pendapatannya di bawah basic need di bebaskan dari pajak.
3) Asas Keuntungan Istimewa, bahwa seseorang yang mendapatkan
keuntungan istimewa hendaknya di kenakan pajak istimewa pula.
23 Soetrisno, PH, 1982, Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara, Yogyakarta: FakultasEkonomi UGM, hlm. 56
20
4) Asas Manfaat, mengatakan bahwa pengenaan pajak oleh
pemerintah di dasarkan atas alasan bahwa masyarakat menerima
manfaat barang-barang dan jasa yang di sediakan oleh pemerintah.
5) Asas Kesejahteraan, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa
dengan adanya tugas pemerintah yang pada satu pihak
memberikan atau menyediakan barang-barang dan jasa bagi
masyarakat dan pada lain pihak menarik pungutan-pungutan untuk
membiayai kegiatan pemerintah tersebut, akan tetapi sebagai
keseluruhan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
6) Asas Keringanan Beban, asas ini menyatakan bahwa meskipun
pengenaan pungutan merupakan beban masyarakat atau
perorangan dan betapapun tingginya kesadaran berwarga Negara,
akan tetapi hendaknya di usahakan bahwa beban tersebut sekecil-
kecilnya.
7) Asas Keseimbangan, asas ini menyatakan bahwa dalam
melaksanakan berbagai asas tersebut yang mungkin saling
bertentangan, akan tetapi hendaknya selalu di usahakan sebaik
mungkin. Artinya tidak mengganggu perasaan hukum, perasaan
keadilan, dan kepastian hukum.
3. Fungsi Pajak
Pajak mempunyai fungsi penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan Karena pajak
merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai semua
21
pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Pajak mempunyai
beberapa fungsi sebagai berikut:24
1) Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan Negara, pajak berfungsi untuk
membaiayai pengeluaran-pengeluaran Negara. Untuk mejalankan
tugas rutin Negara dan melaksanakan pembangunan, Negara
membutuhkan biaya. Biaya ini dapat di peroleh dari penerimaan
pajak. Untuk pembiayaan pembangunan, uang di keluarkan dari
tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri di kurangi
pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun di
tingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang
semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
2) Fungsi mengatur (regulered)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui
kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa di
gunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam
rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun
luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak.
Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah
menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
3) Fungsi stabilitas
24 Direktorat Jenderal Pajak, 2005, Masalah Pajak di Indonesia: Jakarta, hlm. 54
22
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk
menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga
sehingga inflasi dapat di kendalikan, hal ini bisa di lakukan antara
lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat,
pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4) Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah di pungut oleh Negara akan di gunakan untuk
membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang
ada pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat.
4. Prinsip-prinsip Pemungutan Pajak
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila
terlalu tinggi, masyarakat akan tidak membayar pajak, namun bila
terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana
yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka
pemungutan pajak harus memenuhi beberapa prinsip-prinsip sebagai
berikut:25
1) Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam
perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
25 Joseph R. Kaho, 2007, Keuangan di Era Otonomi Daerah, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.35
23
Contohnya dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak.
Pajak di berlakukan bagi setiap warga Negara yang memenuhi
syarat sebagai wajib pajak dan sanksi atas pelanggaran pajak di
berlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran.
2) Pengaturan pajak harus berdasarkan undang-undang
Pasal 23 A UUD 1945 menjelaskan bahwa pajak dan pungutan
yang bersifat untuk keperluan Negara diatur dengan undang-
undang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penyusunan UU tentang pajak, yaitu pemungutan pajak yang di
lakukan oleh Negara yang berdasarkan UU tersebut harus di jamin
kelancarannya.
3) Jaminan hukum
Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak di perlakukan
secara umum. Jaminan hukum akan terjaganya kerasahasiaan bagi
para wajib pajak.
4) Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus di usahakan sedemikian rupa agar tidak
mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi,
perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai
merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya
usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan
menengah.
24
5) Pemungutan pajak harus efisien
Biaya-biaya yang di keluarkan dalam rangka pemungutan pajak
harus di perhitungkan. Jangan sampai pajak yang di terima lebih
rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh Karena itu,
system pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk di
laksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami
kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan
maupun dari segi waktu.
5. Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak adalah kegiatan atau aktifitas mengambil pajak
yang harus di bayarkan oleh wajib pajak oleh petugas atau lembaga
yang memiliki kewenangan memungut pajak, sebagai pembayaran
atas imbalan penggunaan fasilitas atau jasa yang diberikan
terhadapnya. Pembayaran tersebut bersifat wajib karena si pembayar
telah memanfaatkan fasilitas atau jasa dari orang lain.26
Pemungutan pajak adalah kegiatan mengambil pajak sebagai
kewajiban dari wajib pajak atas penggunaan fasilitas, pelayanan/jasa
atau bidang pekerjaan tertentu yang di gunakan oleh seseorang untuk
kepentingannya.27 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka
yang di maksud dengan pemungutan pajak adalah kegiatan atau
aktifitas mengambil pajak dari wajib pajak atas fasilitas atau bidang
pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
26 Mardiasmo, 2012, Perpajakan, Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 2527 Kunarjo, 2008, Hukum Perpajakan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 23
25
6. Sistem Pemungutan Pajak
1) Official Assessment System
Official assessment system adalah suatu system pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-
cirinya sebagai berikut:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada
pada fiscus;
b. Wajib pajak bersifat pasif;
c. Utang pajak timbul setelah di keluarkannya Surat Ketetapan
Pajak (SKP) oleh fiscus.
2) Self-Assessment System
Self-assessment system adalah suatu system pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan
sendiri besarya pajak yang terutang. Ciri-cirinya sebagai berikut:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada
pada wajib pajak sendiri;
b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang;
c. Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi;
d. Adanya kepastian hukum;
e. Sederhana penghitungannya;
f. Mudah pelaksanaan;
26
g. Lebih adil dan merata;
h. Penghitungan pajak di lakukan oleh wajib pajak.
Sistem ini umumnya di terapkan pada jenis pajak yang wajib
pajaknya di pandang cukup mampu untuk menghitung dan
menetapkan utang pajaknya sendiri. Oleh karena sistem ini
memberikan kepercayaan yang besar kepada wajib untuk
menghitung, menetapkan, dan menyetor pajaknya sendiri maka
akan berhasil dengan baik jika wajib pajak sudah memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Tax consciousness/kesadaran pajak wajib pajak;
b. Kejujuran wajib pajak;
c. Tax mindedness wajib pajak, hasrat untuk membayar pajak;
d. Tax discipline, disiplin wajib pajak terhadap pelaksanaan
peraturan-peraturan pajak.
Dengan demikian, wajib pajak akan memenuhi kewajiban-
kewajiban yang di bebankan kepadanya oleh undang-undang
seperti memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) pada
waktunya, membayar pajak pada waktunya dan sebagainya
tanpa di peringatkan untuk melakukan hal itu.
3) With Holding System
With holding system adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiscus dan
bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya
27
pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri with holding system ini
terletak pada wewenang menentuka besarnya pajak terutang yang
ada pada pihak ketiga, selain fiscus dan wajib pajak.28
7. Kepatuhan Perpajakan
Kepatuhan menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti tunduk
atau patuh pada ajaran atau peraturan. Menurut Norman D. Nowak,
kepatuhan wajib pajak memiliki pengertian yaitu “suatu iklim kepatuhan
dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam
situasi di mana:
1) Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
2) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas;
3) Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar;
4) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.29
Menurut Safri Nurmanto bahwa kepatuhan perpajakan dapat di
definisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.30
Kepatuhan wajib pajak merupakan pemenuhan kewajiban
perpajakan yang di lakukan oleh pembayar pajak dalam rangka
memberikan kontribusi bagi pembangunan dewasa ini yang
diharapkan di dalam pemenuhannya di berikan secara sukarela.
28 Tunggul Anshari Setia Negara, 2017, Ilmu Hukum Pajak, Malang: Setara Press, hlm. 2429 Bambang Hariyanto, 2012, Pengertian kepatuhan wajib pajak menurut ahli, diakses
dari:http://www.bambanghariyanto.com/2012/06/pengertian-kepatuhan-wajib-pajak.html?m=1,Pada Tanggal 18 Januari 2018, Pukul [23.30 WITA]
30 Ibid.,
28
Kepatuhan wajib pajak menjadi aspek penting mengingat sistem
perpajakan Indonesia menganut system self assessment di mana
dalam prosesnya secara mutlak memberikan kepercayaan kepada
wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melapor
kewajibannya.31
Kepatuhan dalam perpajakan merupakan ketaatan, tunduk dan
patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Wajib pajak yang patuh
adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
pajak. Ada 2 macam kepatuhan, yaitu:
1) Kepatuhan formal yaitu suatu keadaan di mana wajib pajak
memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang perpajakan.
2) Kepatuhan material yaitu suatu keadaan di mana wajib pajak
memenuhi semua ketentuan material perpajakan sesuai dengan isi
dan jiwa undang-undang perpajakan.32
Wajib pajak dapat di kelompokkan sebagai wajib pajak yang patuh
bila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Tepat waktu menyampaikan surat pemberitahuan pajak;
2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak
kecuali telah mendapat izin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak;
31 Ibid.,32 Supadmi, Ni Luh, 2009, Meningkatkan Kepatuhan Pajak Melalui Kualitas Pelayanan,
Jurnal Akuntansi dan Bisnis. Denpasar: Fakultas Ekonomi UNUD, hlm. 215
29
3) Tidak pernah di jatuhi hukuman karena melakukan tindakan
pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir;
4) Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana di maksud dalam UU perpajakan;
5) Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir
di audit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa
pengecualian atau pendapat wajar dengan pengecualian sepanjang
tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.33
8. Kesadaran Wajib Pajak
Menurut kamus besar dalam bahasa Indonesia, kesadaran adalah
keadaan tahu, mengerti, dan merasa. Kesadaran untuk mematuhi
ketentuan (hukum pajak) yang berlaku tentu menyangkut faktor-faktor
apakah ketentuan tersebut telah diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati.
Bila seseorang hanya mengetahui berarti kesadaran wajib pajak
tersebut masih rendah. Kesadaran wajib pajak adalah suatu kondisi di
mana wajib pajak mengetahui, memahami, dan melaksanakan
ketentuan perpajakan dengan benar dan sukarela. Pengetahuan dan
pemahaman tentang perpajakan sangat penting karena dapat
membantu wajib pajak dalam mematuhi aturan perpajakan. Wajib
pajak harus melaksanakan aturan itu dengan benar dan sukarela. Jadi,
kesadaran wajib pajak adalah suatu kondisi dimana wajib pajak
mengetahui, mengakui, menghargai, dan menataati ketentuan
33 Alim, Setiadi, 2005, Perencanaan Pajak Penghasilan Yayasan yang Bergerak di BidangPendidikan, Jurnal Akuntansi dan Teknologi Informasi, hlm. 5
30
perpajakan yang berlaku serta memiliki kesungguhan dan keinginan
untuk memenuhi kewajiban pajaknya.34
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian direktorat jenderal pajak
dalam membangun kesadaran dan kepedulian sukarela wajib pajak
antara lain:
1) Melakukan sosialisasi sebagaimana dinyatakan dirjen pajak
bahwa kesadaran membayar pajak datangnya dari diri sendiri,
maka menanamkan pengertian dan pemahaman tentang pajak bisa
di awali dari lingkungan keluarga sendiri yang terdekat, melebar
kepada tetangga, lalu dalam forum-forum tertentu dan ormas-ormas
tertentu melalui sosialisasi. Dengan tingginya intensitas informasi
yang di terima oleh masyarakat, maka dapat secara perlahan
merubah mindset masyarakat tentang pajak kearah yang positif.
Beragam bentuk sosialisasi bisa di kelompokkan sebagai berikut:
a. Berdasarkan metode
Penyampaiannya bisa melalui acara yang formal ataupun
informal. Acara formal biasanya menggunakan format acara
yang di susun sedemikian rupa secara resmi. Contohnya
seperti sosialisasi bendaharawan, sosialisasi pemda, seminar
dan sebagainya. Acara informal biasanya menggunakan
format acara yang lebih santai dan tidak resmi. Contohnya
34 Anonim, 2011, Kesadaran Wajib Pajak, diakses dari: http://zetzu.blogspot.in/2011/08/kesadaran-wajib-pajak.html?m=1, Pada Tanggal 19 Januari 2018, Pukul [20:40 WITA]
31
seperti ngobrol santai dengan wartawan, dengan tokoh
masyarakat dan sebagainya.
b. Berdasarkan segmentasi
Bisa membaginya untuk kelompok umur tertentu, kelompok
pelajar dan mahasiswa, kelompok pengusaha tertentu,
kelompok profesi tertentu, kelompok/ormas tertentu.
c. Berdasarkan media
Sosialisasi dapat di lakukan melalui media elektronik dan
media cetak. Misalnya dilakukan dengan talkshow di radio
atau televisi, membuat opini, ulasan dan tanya jawab di koran,
tabloid atau majalah. Iklan pajak pun mempunyai pengaruh
dan dampak positif terhadap meningkatkan kesadaran dan
kepedulian sukarela wajib pajak. Bentuk propaganda lainnya
seperti spanduk, banner, papan iklan/billboard, dan
sebagainya.
2) Memberikan kemudahan dalam segala hal pemenuhan
kewajiban perpajakan dan meningkatkan mutu pelayanan kepada
wajib pajak. Jika pelayanan tidak beres atau kurang memuaskan
maka akan menimbulkan keengganan wajib pajak melangkah ke
kantor pelayanan pajak. Pelayanan sebagai wajah DJP harus
mencitrakan sebuah keramahan, keanggunan, dan kenyamanan.
Pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang dapat menciptakan
suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa
32
manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan wajib pajak.
3) Meningkatkan citra good governance yang dapat
menimbulkan adanya rasa saling percaya antara pemerintah dan
masyarakat wajib pajak, sehingga kegiatan pembayaran pajak akan
menjadi sebuah kebutuhan dan kerelaan, bukan suatu kewajiban.
Dengan demikian tercipta pola hubungan antara negara dan
masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban yang dilandasi
dengan rasa saling percaya.
4) Memberikan pengetahuan melalui jalur pendidikan
khususnya pendidikan perpajakan. Melalui pendidikan diharapkan
dapat mendorong individu kea rah yang positif dan mampu
menghasilkan pola pikir yang positif yang selanjutnya akan dapat
memberikan pengaruh positif sebagai pendorong untuk
melaksanakan kewajiban membayar pajak;
5) Dengan penegakan hukum yang benar tanpa pandang bulu
akan memberikan deterent efect yang efektif sehingga
meningkatkan kesadaran dan kepedulian sukarela wajib pajak.
Walaupun DJP berwenang melakukan pemeriksaan dalam rangka
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, namun
pemeriksaan harus dapat dipertanggung jawabkan dan bersih dari
intervensi apapun sehingga tidak mengaburkan makna penegakan
33
hukum serta dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat
wajib pajak.
6) Membangun trust atau kepercayaan masyarakat terhadap
pajak. Akibat kasus gayus kepercayaan masyarakat terhadap ditjen
pajak menurun sehingga upaya penghimpunan pajak tidak optimal.
Atas kasus seperti gayus itu para aparat perpajakan seharusnya
dapat merespon dan menjelaskan dengan tegas bahwa jika
masyarakat mendapatkan informasi bahwa ada korupsi di
lingkungan ditjen pajak, jangan hanya memandang informasi dari
sudut yang sempit saja. Jika tidak segera dijelaskan maka
masyarakat kemudian bersikap resistance dan enggan membayar
pajak karena beranggapan bahwa pajak yang dibayarkannya
paling-paling hanya akan dikorupsi. Sesuai dengan iklan pajak
“LUNASI PAJAKNYA AWASI PENGGUNAANNYA”. Hal ini
tentunya memerlukan adanya transparansi dan akuntabilitas dari
Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak harus
senantiasa berusaha membangun kepercayaan para wajib pajak
kemudian seharusnya menjamin dan menjawab kepercayaan
tersebut dengan melakukan pembenahan internal. Sehingga
terwujudkan kondisi dimana masyarakat benar-benar merasa
percaya bahwa pajak yang mereka bayarkan tidak akan dikorupsi
dan akan disalurkan sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
34
7) Merealisasikan program sensus perpajakan nasional yang
dapat menjaring potensi pajak yang belum tergali. Dengan program
sensus ini diharapkan seluruh masyarakat mengetahui dan
memahami masalah perpajakan serta sekaligus dapat
membangkitkan kesadaran dan kepedulian, sukarela menjadi wajib
pajak dan membayar pajak.35
Adapun dalam meningkatkan pengetahuan serta wawasan
terhadap peraturan perpajakan. Adapun indikator pemahaman
peraturan perpajakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan telah
oleh Widayati dan Nurlis (2010), yaitu:36
a. Kewajiban kepemilikan NPWP, setiap Wajib pajak yang memiliki
penghasilan wajib untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP sebagai salah satu sarana untuk pengadministrasian pajak.
b. Pengetahuan dan pemahaman mengenai hak dan kewajiban
sebagai wajib pajak. Apabila wajib pajak telah mengetahui
kewajibannya sebagai wajib pajak, maka mereka akan
melakukannya, salah satunya adalah membayar pajak.
c. Pengetahuan dan pemahaman mengenai sanksi perpajakan.
Semakin tahun dan paham wajib pajak terhadap peraturan
perpajakan, maka semakin tahu dan paham pula wajib pajak
35 Herry Susanto, 2012, Membangun kesadaran dan kepedulian sukarela wajiib pajak,diakses dari: http://www.pajak.go.id/content/article/membangun-kesadaran-dan-kepedulian-sukarela-wajib-pajak, Pada Tanggal 19 Januari 2018, Pukul [20:43 WITA]
36 Widayati dan Nurlis, 2010, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemauan untukMembayar Pajak WAjib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Pekerjaan Bebas (Studi Kasus padaKPP Pratama Gambir Tiga), Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto
35
terhadap sanksi yang akan diterima bila melalaikan kewajiban
perpajakan mereka. Pengetahuan dan pemahaman mengenai
PTKP dan PKP.
C. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
32/PJ/2015, Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) adalah pajak
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi subyek pajak dalam negeri.
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 pada Pasal 9
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 adalah
sebagai berikut:
1. Penghasilan kena pajak yang berlaku bagi:
a. Pegawai tetap
b. Penerima pensiun berkala
c. Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara
bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima
dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
d. Bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
c, yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan.
36
2. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus
ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap atau
tenaga kerja lepas yang menerima upah harian, upah mingguan,
upah satuan atau upah borongan,3636sepanjang penghasilan
kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah
melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
3. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang
berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3
huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat
berkesinambungan.
4. Jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima
penghasilan selain penerima penghasilan di atas.
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Pajak PEr-32/PJ/2015
Pasal 3 adalah orang pribadi yang merupakan:
1. Pegawai;
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
37
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri
dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris,
penilai dan aktuaris;
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang
film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto
model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat, pelukis dan seniman lainnya;
c. Olahragawan;
d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan
moderator;
e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik,
komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa
kepada suatu kepanitiaan;
g. Agen iklan;
h. Pengawas atau pengelola proyek;
i. Pembawa pesanan atau menemukan langganan atau yang
menjadi perantara;
j. Petugas penjaja barang dagangan;
k. Petugas dinas luar asuransi; dan/atau
l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct
selling dan kegiatan sejenis lainnya.
38
m. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas tidak
merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang
sama;
n. Mantan pegawai; dan/atau
o. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam
suatu kegiatan, antara lain:
a) Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain
perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu
pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
b) Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau
kunjungan kerja;
c) Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai
penyelenggara kegiatan tertentu;
d) Peserta pendidikan dan pelatihan; atau
e) Peserta kegiatan lainnya.
1. Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
Tarif pemotongan PPh Pasal 21 dijelaskan pada Pasal 17 ayat (1)
huruf a. Tarif berikut berlaku pada Wajib Pajak yang memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP):
1) WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp
50.000.000,00 adalah 5%;
39
2) WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50.000.000,00
sampai dengan Rp 250.000.000,00 adalah 15%;
3) WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250.000.000,00
sampai dengan Rp 500.000.000,00 adalah 25%;
4) WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500.000.000,00
adalah 30%;
5) Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20%
lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.
Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Bagi Penerima
Penghasilan yang Tidak Memiliki NPWP pada Pasal 20 Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, sebagai berikut:
1) Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP,
dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20%
daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki
NPWP;
2) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% dari jumlah PPh
Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan
memiliki NPWP;
3) Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat
tidak final. PPh tidak final merupakan pajak penghasilan yang tidak
langsung dikenakan saat menerima objek atau sumber penghasilan
40
tertentu, pajak penghasilannya diakumulasikan40selama 1 tahun
pajak dan dihitung secara berlapis. Sedangkan PPh final
merupakan pajak penghasilan yang langsung dikenakan saat
menerima objek atau sumber penghasilan tertentu, contoh: bunga
tabungan;
4) Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala
sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21
dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama
sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember,
PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif
sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-
bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.
2. Subjek Pajak Penghasilan (PPh)
Subjek pajak penghasilan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000 dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa yang menjadi subjek
adalah:37
1) Orang Pribadi;
37 Penjelasan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
41
2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak;
3) Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang
tidak melakukan usaha yang meliputi, Perseroan terbatas (PT),
Perseroan Komanditer (CV), Badan Usaha Milik Negara atau
Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pension,yayasan dan bentuk badan lainnya.
4) Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang dimaksud dengan BUT adalah
bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. Tempat kedudukan manajemen;
b. Cabang perusahaan;
c. Kantor perwakilan;
d. Gedung kantor;
e. Pabrik;
f. Bengkel;
g. Pertambangan dan penggalian sumber alam wilayah kerja
pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi
pertambangan;
42
h. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, kehutanan;
i. Proyek konstruksi instalasi atau proyek perakitan;
j. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas;
k. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak
didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang
menerima premi asuransi atau menanggung resiko di
Indonesia.
Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, baru
menjadi subjek pajak di Indonesia apabila mereka menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia, misalnya penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan adalah:
a. Dividen;
b. Bunga, royalty, sewa;
c. Penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. Imbalan sehubungan dengan penggunaan jasa, pekerjaan dan
kegiatan;
e. Hadiah dan penghargaan; dan
f. Pensuinan dan pembayaran berkala lainnya.38
38 Bohari, 2012, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 49
43
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 3 ayat (1) tentang
Pajak Penghasilan menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk
objek pajak sebagai berikut:
a. Badan perwakilan negara asing;
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau
pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan
warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan
keputusan menteri keuangan dengan syarat:
a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
b) Tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota;
c) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan dengan
syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
44
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
3. Objek Pajak dan yang Bukan Objek Pajak Penghasilan
Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan, mengatur bahwa:
Objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahankemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak,baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambahkekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dandalam bentuk apa pun.
Penghasilan yang menjadi objek pajak dapat dikelompokkan
menjadi empat kelompok yaitu:39
1) Penghasilan diterima orang pribadi dari pekerjaan;
2) Penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas (laba usaha);
3) Penghasilan dari modal atau penggunaan harta seperti bunga,
sewa, dividen, royalty;
4) Penghasilan lain termasuk keuntungan pembebasan hutang,
laba selisih kurs, penilaian kembali, pengalihan harta, undian,
penghasilan yang bukan objek pajak.
Walaupun masuk sebagai penghasilan namun ada beberapa
penghasilan yang tidak termasuk objek pajak. Penghasilan yang
bukan objek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan meliputi:
39 Sugeng wahyono, 2012, Mengurus Pajak itu Mudah, PT. Elex Media Komputindo.Jakarta, hlm. 28
45
1) Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau
badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan;
3) Warisan;
4) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai
pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
5) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau
kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah;
6) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
7) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh
perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi,
badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
46
b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar
kepemilikan saham tersebut;
8) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya
telah disahkan oleh menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi
kerja maupun pegawai;
9) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension
sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan;
10) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
11) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa
dana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau
pemberian ijin usaha;
12) Penghasilan yang dterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan
dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat
badan pasangan usaha tersebut:
47
a. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang
ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan; dan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
D. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas
setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari
produsen ke konsumen. Dalambahasa Inggris, PPN disebut Value Added
Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak
tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain,
penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak
yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada
pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha
Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus
disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak
keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP 47menjual produknya,
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli,
memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar
10% (sepuluh persen). Dasar hukum utama yang digunakan untuk
penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983
48
berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994,
Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun
2009.40
1. Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Subjek pajak dari pajak pertambahan nilai 1984 yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah pengusaha
kena pajak. Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apa
pun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya:
1) Menghasilkan barang, pengusahanya disebut
pabrikan/produsen;
2) Mengimpor barang, pengusahanya disebut eksportir;
3) Melakukan usaha perdagangan, pengusahanya disebut
pedagang; dan
4) Melakukan usaha jasa, pegusahanya disebut pengusaha jasa.
Pengusaha menurut Undang-undang pajak pertambahan nilai
nomor 18 tahun 2000 wajib melaporkan usahanya kepada pejabat
pajak di tempat pengusaha itu bertempat tinggal atau tempat
kedudukan usaha itu, dalalm jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
usaha dimulai untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak
(PKP).41
40 Waluyo, dan Wirawan B. ilyas, 2008, Perpajakan Indonesia, Jakarta: Salemba Empat,hlm. 67
41 Bohari, 2012, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 52
49
2. Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak Pertambahan Nilai
A. Objek Pajak Pertambahan Nilai
Pada dasarnya semua barang dan jasa adalah objek PPN. Akan
tetapi, karena adanya pertimbangan ekonomi, sosial, dan budaya,
maka diatur sendiri oleh Undang-undang PPN bahwa ada barang dan
jasa tertentu yang tidak dipungut serta dikecualikan dari pengenaan
PPN dan dibebaskan dari pungutan PPN.
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 telah menjelaskan apa
saja yang menjadi objek PPN dalam Pasal:
a. Pasal 4 ayat (1)
Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPN disebutkan PPN
dikenakan atas:
a) Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang
dilakukan oleh pengusaha;
b) Impor barang kena pajak;
c) Penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang
dilakukan oleh pengusaha;
d) Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean;
50
e) Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean; dan
f) Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
b. Pasal 16 C
Pajak pertambahan nilai dikenakan atas kegiatan membangun
sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan
keputusan menteri keuangan.
c. Pasal 16 D
Pajak pertambahan nilai dikenakan atas penyerahan barang kena
pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh pengusaha kena pajak, kecuali atas
penyerahan aktiva yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
B. Bukan Objek Pajak Pertambahan Nilai
Selain mengatur mengenai apa saja yang menjadi objek PPN,
Undang-undang PPN juga mengatur mengenai apa saja barang tidak
kena pajak (non BKP) dan jasa tidak kena pajak (non JKP).
1. Barang Tidak Kena Pajak (non BKP)
Berdasarkan Pasal 4A ayat (2), jenis barang yang tidak dikenai
pajak pertambahan nilai adalah barang tertentu dalam kelompok
barang sebagai berikut:
51
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya;
b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak;
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan
minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha
jasa boga atau catering; dan
d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
2. Jasa Tidak Kena Pajak (non JKP)
Berdasarkan Pasal 4A ayat (3), jenis jasa yang tidak dikenai pajak
pertambahan nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai
berikut:
1) Jasa pelayanan kesehatan medis;
2) Jasa pelayanan sosial;
3) Jasa pengiriman surat dengan perangko;
4) Jasa keuangan;
5) Jasa asuransi;
6) Jasa keagamaan;
7) Jasa pendidikan;
8) Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
9) Jasa kesenian dan hiburan;
52
10) Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan
udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari jasa angkutan udara luar negeri;
11) Jasa tenaga kerja;Jasa perhotelan;
12) Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum;
13) Jasa penyediaan tempat parker;
14) Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
15) Jasa pengiriman uang dengan wesel pos, dan;
16) Jasa boga atau catering.
E. Dasar Hukum E-commerce
Perkembangan teknologi membawa banyak perubahan dalam gaya
hidup masyarakat saat ini, misalnya yang paling banyak adalah pada
gadget dan kecenderungan beraktivitas di dunia maya. Melalui internet,
dikenal berbagai hal mulai dari jejaring sosial, aplikasi, berita, video, foto
hingga berbelanja melalui internet membuat kita semakin mudah
berbelanja, tanpa menghabiskan waktu dan tenaga, karena kemudahan
inilah membuat Usaha online semakin diminati.
Usaha Online adalah kegiatan jual beli barang dan jasa melalui
media Internet. Kegiatan Usaha online ini merupakan bentuk komunikasi
baru yang tidak memerlukan komunikasi tatap muka secara langsung,
melainkan dapat dilakukan secara terpisah dari dan keseluruh dunia
53
melalui notebook, komputer ataupun handphone yang tersambut dengan
layanan akses internet.42
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan Pasal 4 ayat (1) huruf e bahwa ruang lingkup perdagangan
salah satunya meliputi:
“perdagangan melalui sistem elektronik”
Dalam Pasal 65 ayat (4) bahwa pelaku usaha perdagangan melalui sistem
elektronik wajib untuk menyediakan data tentang:
a. Identitas dan legalitas pelaku usaha sebagai produsen atau
pelaku usaha distribusi;
b. Persyaratan teknis barang yang ditawarkan;
c. Persyaratan teknis atau kualifikasi jasa yang ditawarkan;
d. Harga dan cara pembayaran barang dan/atau jasa;
e. Cara penyerahan barang.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013
tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-commerce,
usaha online meliputi proses bisnis sebagai berikut:
a. Proses Bisnis Jasa Penyediaan Tempat dan/atau Waktu
a) Online Marketplace Merchant melakukan pendaftaran dan
memberikan persetujuan atas perjanjian yang ditetapkan
oleh penyelenggara online marketplace;
42 Priyo Utomo, 2013, Raja bisnis online, Yogyakarta: Mediakom, hlm. 12
54
b) Penyelenggara Online Marketplace melakukan verifikasi,
menyetujui permohonan pendaftaran dan menerbitkan
invoice atas Monthly Fixed Fee;
c) Online Marketplace Merchant melakukan pembayaran atas
Monthly Fixed Fee melalui rekening Penyelenggara Online
Marketplace;
d) Penyelenggara Online Marketplace menyediakan tempat
dan/atau waktu kepada online marketplace merchant untuk
memajang content (teks, grafik, video penjelasan, informasi,
dan lain-lain) barang dan/atau jasa dan melakukan
penjualan di Toko Internet melalui mal internet.
b. Proses Bisnis Penjualan Barang dan/atau Jasa
a) Online Marketplace Merchant menawarkan barang dan/atau
jasa yang akan dijual dengan mengunggah data dan/atau
informasi terkait barang dan/atau jasa yang akan dijual di
Toko Internet melalui mal internet;
b) Penyelenggara Online Marketplace melakukan verifikasi dan
menampilkan data dan/atau informasi terkait barang
dan/atau;
c) jasa yang akan dijual di toko internet melalui mal
internet.Pembeli melakukan pemesanan di Toko Internet
melalui Mal Internet. Untuk memesan barang dan/atau jasa
55
di Mal Internet, beberapa penyelenggara online marketplace
mensyaratkan Pembeli untuk mendaftarkan diri;
d) Penyelenggara Online Marketplace mengeluarkan rincian
transaksi beserta jumlah yang harus dibayar oleh pembeli di
toko internet melalui mal internet (contohnya jenis barang,
harga barang, jumlah barang, metode pembayaran,
mekanisme pengiriman, dan biaya-biaya terkait lainnya);
e) Pembeli melakukan pembayaran melalui Escrow Account
yang telah ditetapkan oleh penyelenggara online
marketplace;
f) Penyelenggara Online Marketplace di toko internet melalui
mal internet menyampaikan notifikasi kepada online
marketplace merchant untuk melakukan pengiriman barang
dan/atau jasa kepada pembeli;
g) Online Marketplace Merchant melakukan pengiriman barang
dan/atau jasa kepada Pembeli, baik dengan menggunakan
fasilitas pengiriman sendiri atau melalui penyedia jasa
pengiriman. Selanjutnya, online marketplace merchant juga
mengirimkan notifikasi kepada penyelenggara online
marketplace untuk memberitahu bahwa online marketplace
merchant telah melakukan pengiriman barang dan/atau jasa
kepada pembeli.
56
c. Proses bisnis penyetoran hasil penjualan kepada online
marketplace merchant oleh penyelenggara online marketplace
a) Penyelenggara online marketplace menyetor hasil penjualan
kepada online marketplace merchant melalui rekening yang
telah ditetapkan oleh online marketplace merchant;
b) Jumlah yang disetor oleh penyelenggara online marketplace
kepada online marketplace merchant adalah sebesar nilai
transaksi dikurangi dengan per Sale fee, point fee, serta
tagihan lainnya;
c) Periode penyetoran hasil penjualan oleh penyelenggara
online marketplace kepada online marketplace merchant
adalah sesuai dengan isi perjanjian.
Transaksi E-commerce merupakan salah satu jenis transaksi yang
kompleks dan berkembang pesat di Indonesia. Pada praktiknya, terdapat
beberapa model dalam penyelenggaraan transaksi E-commerce, yaitu
online marketplace, classifield ads, daily deals, dan online retail.
1. Subyek dan Objek E-commerce
Subjek pajak:
1) Orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari
jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media lain untuk
penyampaian informasi;
2) Online marketplace merchant;
3) Penyelenggara online marketplace;
57
4) Daily deals merchant;
5) Penyelenggara daily deals merchant;
6) Penyelenggara online retail.
Objek pajak:
1) Penghasilan dari jasa penyediaan tempat dan/atau waktu
dalam media lain untuk penyampaian informasi merupakan objek
pajak penghasilan (PPh) yang wajib dilakukan pemotongan PPh
Pasal 23, Pasal 21, atau Pasal 26. Termasuk dalam pengertian
media lain untuk penyampaian informasi adalah situs internet
yang digunakan untuk mengoperasikan toko, memajang content
(kalimat grafik, video penjelasan, informasi, dan lain-lain) contoh
proses barang dan/atau jasa, dan/atau melakukan penjualan.
Imbalan sehubungan jasa penyediaan tempat dan/atau waktu
dalam situs internet untuk penyampaian informasi dalam bisnis
online marketplace ini dapat berupa monthly fixed fee, rent fee,
registration fee, fixed fee, atau subscription fee;
2) Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media lain
untuk penyampaian informasi merupakan jasa kena pajak (JKP).
Penyerahan JKP di dalam daerah pabean atau pemanfaatan JKP
dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dikenai PPN;
3) Penghasilan dari penjualan barang dan/atau penyediaan
jasa merupakan objek PPh. Apabila penghasilan dari penjualan
barang dan/atau penyediaan jasa merupakan objek
58
pemotongan/pemungutan PPh, maka wajib untuk dilakukan
pemotongan/pemungutan PPh;
4) Penghasilan dari jasa perantara pembayaran merupakan
objek PPh yang wajib dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal
23, atau Pasal 26;
5) Jasa perantara pembayaran, yang diserahkan oleh
penyelenggara online marketplace kepada online marketplace
merchant, merupakan jasa kena pajak (PJK). Penyerahan JKP di
dalam daerah pabean atau pemanfaatan JKP dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean dikenai PPN;
6) Penyerahan yang dilakukan oleh daily deals merchant
kepada pembeli BKP dan/atau JKP, yang dapat berupa:
a. Penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP di dalam
daerah pabean; dan atau;
b. Ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud,
dan/atau ekspor JKP.
7) Jasa perantara pembayaran yang diserahkan oleh
penyelenggara daily deals kepada daily deals merchant
merupakan jasa kena pajak (JKP).
Beberapa dasar hukum pemungutan pajak usaha online adalah
sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan adalah pajak yang dipotong atas penghasilan
59
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi dalam negeri;
2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Dalam aturan ini dijelaskan bahwa setiap pelaku usaha wajib
menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan
benar. Dan apabila terjadi sengketa maka dapat diselesaikan
melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian
sengketa lainnya;
3) Surat Edaran Pajak Nomor SE- 62/PJ/2013 tentang penegasan
ketentuan perpajakan atas transaksi E-commerce. Dalam aturan
ini disebutkan ada empat model E-commerce yang dikenakan
pajak pertambahan nilai (PPn) 10% (sepuluh persen), yaitu
marketplace, classified ads, daily deals, dan peritel online.
Perkembangan berikutnya, Ditjen Pajak mengeluarkan SE-
06/PJ/2015 tentang pemotongan dan atau pemungutan pajak
penghasilan atas transaksi E-commerce;
4) Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010
Tahun 2010 tentang pelaksanaan pengenaan pajak penghasilan
Pasal 25 bagi wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu
(WPOPPT). Dalam ketentuan ini diatur bahwa para pengusaha
60
orang pribadi dikenakan PPh sebesar 0,75% dari omzet setiap
bulannya.
F. Teori
1. Teori Keadilan
Keadilan merupakan hal yang sangat esensial bagi jehidupan
manusia, namun kadang kala keadilan hanya menjadi bahan
perdebatan tiada akhir, apa itu keadlian, bagaimana wujud keadilan,
dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang rumit mengenai
keadilan, sehingga keadilan muncul hanya sebagai wacana
perdebatan, diskusi-diskusi kaum intelektual. Keadilan harus
diwujudkan agar mampu memaknai supremasi hukum, menghilangkan
imparsialitas hukum, dan tetap pada entitas keadilan.43
Keadilan berasal dari kata adil, menurut kamus bahasa Indonesia
adil adalah tidadk sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat
sebelah. Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan
tindakan didasarkan atas norma-norma yang objektif, jadi tidak
subjektif apalagi sewenang-wenang. Keadilan pada dasarnya adalah
suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama, adil menurut yang
satu belum tentu adil bagi yang lainnya, kapan seseorang menegaskan
bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan
dengan ketertiban umum di mana suatu skala keadilan diakui. Skala
keadilan sangat bervariasi dari suatu tempat ke tempat lain, setiap
43 Sukarno Aburaera, Muhadar, dan Maskun, 2014, Filsafat Hukum Teori dan praktik,Cetakan ke-2, Jakarta: Prenadamedia Group, hlm. 178
61
skala didefinisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai
dengan ketertiban umum dari masyarakat tesebut.44
Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang
harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk
mewujudkan tujuan negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh
warganya dan seluruh wilayahnya.45 Didalam pancasila kata adil
terdapat pada sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab,
disamping itu juga termuat dalam sila kelima, keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia. Nilai kemanusiaan yang adil dan keadilan
sosial mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai
makhluk yang berbudaya dan berkodrat adil, yaitu adil dalam
hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil
terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya
serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya adalah
bahwa manusia harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi nilai-nilai
keadilan yang harus diwujudkan meliputi:46
1) Keadilan distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara
terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi
keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk
44 Agus Santoso, 2014, Hukum, Moral, dan Keadilan, Cetakan ke-2, Jakarta: PrenadaMedia, hlm. 85
45 Ibid., hlm. 8746 Ibid., hlm. 91
62
kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup
bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban.
2) Keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu hubungan keadilan warga
negara terhadap negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang
wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam negara; dan
3) Keadilan komulatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga
satu dengan lainnya secara timbal balik.
Kata adil atau keadilan adalah kombinasi dari nilai-nilai moral dan
sosial yang merupakan pengejawantahan dari: 47
1) Fairness (kejujuran/keadilan/kewajaran)
2) Balance (keseimbangan);
3) Temperance (pertengahan, menahan diri); dan
4) Stragtforwardness (kejujuran).
Menurut Adolf Wagner, pemungutan pajak yang adil adalah
pemungutan pajak yang diberlakukan secara umum kepada semua
Wajib Pajak dan dibebankan kepada setiap Wajib Pajak yang
mempunyai ability to pay secara merata, bahwa satu struktur tarif pajak
berlaku kepada setiap wajib pajak yang mempunyai kemampuan
membayar. Semakin besar ability to pay seorang Wajib Pajak, semakin
47 Ibid., hlm 94
63
besar presentase pajak yang harus dibayar. Dalam perpajakan dikenal
2 (dua) macam prinsip keadilan, yaitu:48
1. Keadilan Horizontal (Horizontal Equity) mengandung pengertian
bahwa penyelenggaraan pajak harus secara umum dan merata, yang
berarti semua orang mempunyai kemampuan ekonomis atau yang
mendapat tambahan kemampuan ekonomis yang sama harus
dikenakan pajak yang sama.
2. Keadilan Vertikal (Vertical Equity) pada hakikatnya berkenaan
dengan kewajiban membayar pajak yang kemampuan membayarnya
tidak sama, yaitu semakin besar kemampuannya untuk membayar
pajak harus semakin besar tarif pajak yang dikenakan.
Keadilan horizontal adalah keadilan yang dicapai melalui
pengenaan pajaknya sama atas semua tambahan kemampuan
ekonomis yang sama tanpa membedakan sumber penghasilannya
dan tanpa membedakan jenis-jenis penghasilan. Wajib Pajak yang
mendapatkan penghasilan yang sama dengan jumlah tanggungan
yang sama tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber
penghasilan akan dikenakan pajak yang sama pula, diterapkan hanya
satu macam struktur pajak, atau biasa disebut equal treatment for the
equals.
Keadilan vertikal adalah keadilan yang dicapai melalui pengenaan
pajak yang berbeda apabila jumlah penghasilan seorang wajib pajak
48 Chairil Anwar Pohan, 2017, Pembahasan Komprehensif Pengantar Perpajakan Teoridan Konsep Hukum Pajak Edisi 2, Jakarta: Mitra Wacana Media, hlm. 148
64
berbeda. Semakin besar jumlah penghasilan seorang wajib pajak
akan semakin besar tarif pajak yang harus dikenakan atas wajib pajak
tersebut.49
Keadilan vertikal mensyaratkan adanya: 50
a. Struktur tarif yang progresif, yaitu semakin besar penghasilan
neto seorang wajib pajak, maka tarif pajaknya harus semakin
besar;
b. Perbedaan besarnya tarif adalah jumlah seluruh penghasilan
atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis, bukan
karena perbedaan sumber penghasilan atau perbedaan jenis
penghasilan, atau biasa disebut dengan unequal treatment for
the unequals.
Asas keadilan secara vertikal pada dasarnya berkenaan dengan
penentuan besarnya pajak terutang yang harus dibayar oleh wajib
pajak. Hal ini erat kaitannya dengan penentuan besarnya tarif pajak.
Beban pajak seharusnya dibagi berdasarkan kemampuan untuk
membayar kontribusi guna membiayai kegiatan pemerintah. Ukuran
bagi kemampuan membayar (ability to pay) beban pajak dapat berupa
penghasilan netto, bisa juga berupa kekayaan maupun berupa
49 Chairil Anwar Pohan, 2016, Mereviu Basis Pemajakan Perusahaan Pelayaran NasionalBerdasarkan “Deemed Profit” Atas Penghasilan Dari Usaha Angkutan Laut, Jurnal Ilmiah IlmuAdministrasi, hlm. 125
50 Ibid., hlm. 125
65
pengeluaran belanja untuk konsumsi atau kombinasi dari kedua atau
ketiga ukuran tersebut.51
2. Teori Pengawasan
Terselenggaranya pengawasan dalam sebuah institusi yakni untuk
menilai kinerja suatu institusi dan memperbaiki kinerja sebuah
institusi. Oleh karena itu dalam setiap perusahaan mutlak, bahkan
rutin adanya sistem pengawasan. Dengan demikian, pengawasan
merupakan instrument pengendalian yang melekat pada setiap
tahapan operasional perusahaan.
Fungsi pengawasan dapat dilakukan setiap saat, baik selama
proses manajemen atau administrasi berlangsung maupun setelah
berakhir untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan suatu organisasi
atau kerja. Fungsi pengawasan dilakukan terhadap perencanaan dan
kegiatan pelaksanaannya. Kegiatan pengawasan sebagai fungsi
manajemen bermaksud untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan
kegagalan yang terjadi setelah perencanaan dibuat dan dilaksanakan.
Keberhasilan perlu dipertahanakan dan jika mungkin ditingkatkan
dalam perwujudan manajemen/administrasi berikutnya dilingkungan
suatu organisasi/unit kerja tertentu. Sebaliknya setiap kegagalan
harus diperbaiki dengan menghindari penyebabnya baik dalam
menyusun perencanaan maupun pelaksanaannya.
51 Ibid., hlm. 126
66
Untuk itulah, fungsi pengawasan dilaksanakan, agar diperoleh
umpan balik (feed back) untuk melaksanakan perbaikan bila terdapat
kekeliruan atau penyimpangan sebelum menjadi lebih buruk dan sulit
diperbaiki.
Menurut Lyndal F. urwick, pengawasan adalah upaya agar sesuatu
dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan
instruksi yang dikeluarkan.
67
G. Kerangka Berpikir
1. TEORI KEADILAN2. TEORI PENGAWASAN PEMERINTAH
IMPLEMENTASI PRINSIP KEADILAN PEMUNGUTAN PAJAK
TERHADAP PELAKU E-COMMERCE
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945b. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakanc. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangand. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Infomasi dan
Transaksi Elektronike. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilanf. Surat Edaran Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan
Ketetuan Perpajakan atas Transaksi E-commerceg. Surat Edaran Pajak Nomor SE-06/PJ/2015 tentang Pemotongan
dan atau Pemungutan Pajak Penghasilan Transaksi E-commerce
Terwujudnya KeadilanPemungutan Pajak Terhadap
Pelaku E-commerce
Implementasi Prinsip KeadilanPemungutan Pajak Terhadap
Pelaku E-Commerce
Dampak yang Ditimbulkan dariKetidakadilan Pemungutan Pajak
Pelaku E-Commerce
1. Pengawasan Pemerintah2. Sistem Pajak di Indonesia
3. Kepatuhan Wajib Pajak4. Pengetahuan Pajak
1.Pemasukan Keuangan Negara2. Persepsi Pelaku E-commerce
68
H. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional yang dimaksudkan untuk menyatukan
pandangan dalam penulisan inni dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. E-commerce merupakan aktivitas yang berkaitan dengan
pembelian, penjualan, pemasaran barang ataupun jasa dengan
memanfaatkan sistem elektronik seperti internet ataupun jaringan
komputer.
2. Pajak adalah kontribusi wajb kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
3. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar
pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
4. Kepatuhan Wajib Pajak merupakan pemenuhan kewajiban
perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka
memberikan kontribusi bagi pembangunan yang diharapkan di dalam
pemenuhannya diberikan secara sukarela.
5. Prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran
umum maupun individual yang dijadikan oleh seseorang/ kelompok
sebagai sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak.
69
6. Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai
sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang.
7. Pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan
seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan
yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya.
8. Sanksi adalah tindakan-tindakan (hukuman) untuk memaksa
seseorang menaati aturan atau menaati ketentuan undang-undang.
9. Pemungutan Pajak adalah kegiatan memungut sejumlah pajak
yang terutang atas suatu transaksi.
10. Penerimaan Pajak adalah penghasilan yang diperoleh oleh
pemerintah yang bersumber dari pajak rakyat.
11. Persepsi adalah tindakan menyusun, mengenali, dan
menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan
pemahaman tentang lingkungan
.
70
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah Yuridis Empiris dengan
mengkhususkan pada jenis Pajak Penghasilan (PPh). Dalam penelitian ini
dilakukan penelitian terhadap pelaku E-commerce dalam penerapan
kewajiban perpajakan yang terkait dengan Pajak Penghasilan (PPh), serta
keadilan perpajakan terhadap pelak E-commerce.
B. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data dan informasi secara lengkap dan konkrit,
maka penulis melakukan penelitian ini di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Makassar Selatan, Bukalapak dan aplikasi Instagram. Pemilihan lokasi ini
karena terkait dan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Dalam artian bahwa, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Selatan
dipilih karena untuk mengeroscek penerapan kebijakan pajak, Bukalapak
dan Instagram dipilih karena keduanya sedang banyak digunakan oleh
masyarakat.
C. Populasi dan Sampel
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian adalah 10
(sepuluh) pelaku E-commerce yang menggunakan marketplace
(bukalapak) dan 10 (sepuluh) yang menggunakan media sosial pribadi
71
(instagram) di Kota Makassar. Dari keseluruhan populasi tersebut maka
ditarik beberapa sampel dalam penelitian ini, yaitu:
1. Pelaku E-commerce marketplace 5 orang;
2. Pelaku E-commerce media sosial pribadi 5 orang
D. Jenis dan Sumber Data
Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam
pelaksaaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber.
Berdasarkan sumbernya data terdiri dari data lapangan dan data
kepustakaan. Jenis data ini meliputi data primer dan data sekunder.
1) Data primer merupakan sumber data yang langsung dari lapangan
dengan cara melakukan wawancara dengan sumber atau
responden.52
2) Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan (library research) dengan menelaah dan mengutip dari
bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang
akan diteliti.
1. Bahan hukum primer terdiri dari:
a. Undang-undang Dasar 1945 Amandemen Keempat Pasal
23A
b. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan
52 Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Bisnis, Cetakan Enam Belas, Bandung: CV.Alfabeta, hlm. 3
72
c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
d. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan
Transaksi Elektronik
e. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak
Penghasilan
f. Surat Edaran Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 tentang
Penegasan Ketetuan Perpajakan atas Transaksi E-
commerce
g. Surat Edaran Pajak Nomor SE-06/PJ/2015 tentang
Pemotongan dan atau Pemungutan Pajak Penghasilan
Transaksi E-commerce
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari
bahan hukum yang dapat membantu pemahaman dalam
menganalisa serta memahami permasalahan, berbagai buku
hukum, arsip, dan dokumen dan makalah.
3. Bahan hukum tersier
Bersumber dari berbagai sumber pendukung bahan seperti
kamus hukum dan sumber dari internet.
E. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
73
1) Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan
menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan
pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang ditelti.
2) Observasi yaitu pengumpulan data dilakukan ke instansi-instansi
terkait untuk pengumpulan data berkaitan dengan penelitian.
3) Wawancara adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan
bertatap muka (face to face) antara pencacah dengan sumber yang
dapat dipercaya.
F. Teknik Analisis Data
Keseluruhan data yang diperoleh dari penelitian ini, baik data
primer maupun data sekunder diolah dan dianalisis secara kualitatif untuk
selanjutnya dideskripsikan guna memberikan pemahaman dengan
menggambarkan, menguraikan dan menjelaskan hasil penelitian ini.
74
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Implementasi Prinsip Keadilan Pada Pemungutan Pajak Terhadap
Pelaku E-commerce
Pada dasarnya E-commerce merupakan kegiatan jual beli
barang/jasa transmisi dana/data melalui jaringan elektronik, terutama
internet. Di masa kini E-commerce telah mengalami berbagai macam
perkembangan, mulai dari fungsi sampai dengan jenis-jenis E-commerce
yang hingga saat ini terdapat tujuh jenis dasar E-commerce atau bentuk
bisnis E-commerce dengan karakteristik berbeda, yaitu: 53
1. Business-to-Business (B2B)
B2B E-commerce meliputi semua elektronik barang atau jasa yang di
lakukan antar perusahaan. Produsen dan pedagang tradisional biasanya
menggunakan jenis E-commerce ini. Umumnya E-commerce dengan jenis
ini di lakukan dengan menggunakan EDI (Electronic Data Interchange)
dan email dalam proses pembelian barang dan jasa, informasi dan
konsultasi, atau pengiriman dan permintaan proposal bisnis. EDI
(Electronic Data Interchange) adalah proses transfer data yang terstruktur,
dalam format standar yang di setujui, dari satu sistem komputer ke sistem
komputer lainnya dalam bentuk elektronik. Adapun contoh website E-
commerce B2B adalah Bizzy dan Ralali.
53 Rebecca, 2016, Jenis-jenis E-commerce dan Contohnya, diakses dari:https://www.progresstech.co.id/blog/jenis-E-commerce/, Pada Tanggal 20 Mei 2018, Pukul [13.30WITA]
75
2. Business-to-Consumer (B2C)
B2C adalah jenis E-commerce antara perusahaan dan konsumen
akhir. Hal ini sesuai dengan bagian ritel dari E-commerce yang biasa di
operasikan oleh perdagangan ritel tradisional. Jenis ini lebih mudah dan
dinamis, namun juga lebih menyebar secara tak merata atau bahkan bisa
terhenti. Jenis E-commerce ini biasa di gunakan oleh penjual atau
produsen yang serius menjalankan bisnis dan mengalokasikan sumber
daya untuk mengelola situs sendiri. Beberapa website di Indonesia yang
menerapkan E-commerce tipe ini adalah Bhinneka, Berrybenka dan
Tiket.com.
3. Consumer-to-Consumer (C2C)
C2C merupakan jenis E-commerce yang meliputi semua transaksi
elektronik barang atau jasa antar konsumen. Umumnya transaksi ini di
lakukan melalui pihak ketiga yang menyediakan platform online untuk
melakukan transaksi tersebut. Beberapa contoh penerapan C2C adalah
website di Indonesia adalah Tokopedia, Bukalapak, PT. Kudo Indonesia
dan Lamido. Di sana penjual diperbolehkan langsung berjualan barang
melalui website yang telah ada.
4. Consumer-to-Business (C2B)
C2B adalah jenis E-commerce dengan pembalikan utuh dari transaksi
pertukaran atau jual beli barang secara tradisional. Jenis E-commerce ini
sangat umum dalam proyek dengan dasar multi sumber daya. Contohnya
adalah sebuah website dimana desainer website menyediakan beberapa
76
pilihan logo yang nantinya hanya akan di pilih salah satu yang di anggap
paling efektif. Platform yang umumnya menggunakan jenis E-commerce
ini adalah pasar yang menjual foto bebas royalty, gambar, media dan
elemen desain seperti www.istockphoto.com.
5. Business-to-Administration (B2A)
B2C adalah jenis E-commerce yang mencakup semua transaksi yang
di lakukan secara online antara perusahaan dan administrasi publik. Jenis
E-commerce ini melibatkan banyak layanan, khususnya di bidang-bidang
seperti fiskal, jaminan sosial, ketenagakerjaan, dokumen hukum dan
register, dan lainnya. Jenis E-commerce ini telah meningkat dalam
beberapa tahun terakhir dengan investasi yang dibuat melalui E-
government atau pihak pemerintah. Beberapa contoh website administrasi
publik yang menerapkan B2C adalah www.pajak.go.id, www.allianz.com
dan www.bpjs-online.com. Disana perusahaan dapat melakukan proses
transaksi atas jasa yang mereka dapatkan langsung kepada pihak
administrasi publik.
6. Consumer-to- Administration (C2A)
Jenis C2A meliputi semua transaksi elektronik yang di lakukan antara
individu dan administrasi publik. Contoh area yang menggunakan jenis
E-commerce ini adalah: pendidikan, jamsostek, pajak, dan kesehatan.
Contoh penerapan C2A sama dengan B2A, hanya saja pembedanya ada
pada pihak individu-administrasi publik dan perusahaan-administrasi
publik.
77
7. Online-to-Offline (O2O)
O2O adalah jenis E-commerce yang menarik pelanggan dari saluran
online untuk toko fisik. O2O mengidentifikasikan pelanggan di bidang
online seperti email dan iklan internet, kemudian menggunakan berbagai
alat dan pendekatan untuk menarik pelanggan agar meninggalkan lingkup
online. Contohnya, sebuah pusat kebugaran tidak akan bisa didirikan di
ruang tamu rumah anda, namun dengan menggunakan layanan O2O
yang di sediakan perusahaan seperti Groupon Inc, pusat kebugaran
tersebut bisa menyalurkan bisnis offline nya menjadi online. Beberapa
website di Indonesia yang menerapkan jenis O2O adalah Kudo dan
MatahariMall. Seperti yang di lakukan oleh perusahaan ritel besar di
Amerika, Walmart.
Adapun yang ramai di gunakan oleh masyarakat Indonesia adalah
jenis transaksi Consumer to Consumer (C2C). Transaksi ini di lakukan
melalui pihak ketiga yang menyediakan platform online untuk melakukan
transaksi. Beberapa contoh penerapan C2C di Indonesia adalah
Tokopedia, PT. Kudo Indonesia, dan Bukalapak. Adapun karakteristik dari
bukalapak, yakni: di dalam platform ini penjual/pelaku online
diperbolehkan langsung berjualan barang melalui website dan aplikasi
yang telah ada. Bukalapak juga diciptakan sebagai media bisnis teruntuk
masyarakat luas dalam melakukan transaksi jual-beli dengan melalui
transaksi E-commerce. Bukalapak saat ini banyak digunakan oleh
masyarakat luas, mengingat bukalapak menawarkan banyak promosi,
78
potongan harga, hingga kemudahan dalam mengakses aplikasinya.
Bukalapak.
Penggunaan website/aplikasi dari bukalapak terhitung mudah
dengan langkah-langkah transaksi sebagai berikut:
1. Ketik atau download aplikasi Bukalapak.com;
2. Login akun Bukalapak. Kalau belum memiliki akun, maka daftar
terlebih dahulu dengan klik daftar dan isi data diri, lalu
konfirmasi dengan email dan nomor handphone;
3. Lalu ketik keyword di kolom pencarian yang berhubungan
dengan barang yang di inginkan;
4. Jika sudah menemukan barang yang di inginkan, langsung klik
“Beli” atau bisa klik “tambahkan ke keranjang” jika ingin
berbelanja lagi;
5. Jika sudah selesai berbelanja, klik “bayar transaksi” dengan
terlebih dahulu memastikan data diri dan alamat tujuan sudah
terisi dengan benar. Pada tahap ini pembeli bisa menuliskan
catatan untuk penjual berupa detail barang yang di inginkan
seperti ukuran, warna, dan lain-lain;
6. Tahap terakhir adalah memilih metode pembayaran bisa lewat
transfer, kartu kredit, dan melalui minimarket;
7. Setelah barang sampai, maka pembeli melakukan konfirmasi
dengan mengklik “Konfirmasi Terima Barang” pada halaman
detail transaksi.
79
Sementara untuk transaksi melalui media sosial pribadi, penulis
melakukan penelitian terhadap pelaku E-commerce yang melakukan
kegiatannya melalui instagram. Instagram penulis pilih karena, instagram
merupakan salah satu media sosial pribadi yang sedang ramai digunakan
masyarakat luas. Berbeda halnya dengan bukalapak, instagram memiliki
karakteristik sebagai media sosial pribadi yang digunakan untuk lalukan
sosialisasi antara orang yang satu dengan lainnya. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu yang didukung dengan meningkatnya pengguna
instagram, saat ini instagram turut dijadikan sebagai media bisnis. Hal ini
disebabkan oleh, di instagram pelaku online bebas berjualan apa saja dan
kapan saja tanpa harus ada registrasi atau sesuatu terkait administrasi.
Adapun langkah-langkah untuk melakukan kegiatan E-commerce
terhitung sangat mudah dan praktis, yaitu:
1. Buka aplikasi instagram;
2. Kemudian pilih explorer yang berada di sebelah gambar Home.
Pilih lambing search yang ada di pojok kanan atas. Ketik nama
akun online shop yang diinginkan;
3. Kemudian buka profil online shop tersebut dan melihat barang
apa yang akan dibeli. Jika sudah menemukan barang yang di
inginkan, selanjutnya kita memesan barang tersebut melalui
contact person yang di sediakan atau yang tertera di profil akun
online shop;
80
4. Setelah memesan barang, penjual akan mengirimkan nomor
rekening pribadi kepada pembeli untuk melakukan transfer
sesuai dengan harga barang yang di inginkan ditambah dengan
biaya ongkos kirim namun tidak jarang juga bebas ongkos kirim;
5. Setelah mengirim bukti transfer kepada penjual, sebelumnya
pembeli mengirim data pemesanan barang sesuai dengan
format yang disediakan;
6. Setelah itu tinggal menunggu pesanan barang datang ke tempat
yang dituju.
Dalam platform online sesuai dengan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 Tentang Penegasan Ketentuan
Perpajakan Atas Transaksi E-commerce pada transaksi E-commerce
Online Maketplace, setidaknya ada 3 (tiga) pihak yang terlibat, yaitu:
1. Penyelenggara Online Marketplace, adalah pihak yang
menjalankan kegiatan usaha mal internet;
2. Online Marketplace Merchant, adalah pihak yang membuka dan
mengoperasikan toko internet untuk melakukan penjualan
barang dan/atau jasa di toko internet melalui mal internet;
3. Pembeli, adalah pihak yang melakukan pembelian barang
dan/atau jasa dari Online Marketplace Merchant di toko internet
melalui mal internet.
Sementara untuk media online pribadi hanya ada penjual dan
pembeli yang terlibat di dalamnya. Dari segi langkah-langkah pemesanan
81
antara bukalapak dan instagram, pada dasarnya tidak memiliki perbedaan
yang signifikan. Perbedaan justru terdapat pada proses awal pelaku online
akan bergabung, dimana pada bukalapak terdapat beberapa tahapan
administrasi, sementara pada instagram sama sekali tidak memiliki syarat
apapun.
Berdasarkan penjelasan umum terkait transaksi E-commerce,
selanjutnya akan dibahas terkait implementasi prinsip keadilan pada
pemungutan pajak terhadap pelaku E-commerce. Berbicara tentang
pemungutan pajak pelaku E-commerce, dalam hal ini penulis fokuskan
pada Pajak Penghasilan (PPh) yang di kaitkan dengan kebijakan di bidang
perpajakan, seperti: subyek Pajak Penghasilan (PPh), obyek Pajak
Penghasilan (PPh), jenis penghasilan dikenai pajak bersifat final,
kepatuhan Wajib Pajak, dan pengawasan Wajib Pajak.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan mengatur bahwa:
Yang menjadi subyek pajak adalah:a. Orang Pribadi;b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak;c. Badan; dand. Bentuk usaha tetap.
Selanjutnya obyek Pajak Penghasilan (PPh) secara tegas di atur
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan mengatur bahwa:
Yang menjadi obyek pajak adalah penghasilan, yaitu setiaptambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperolehWajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
82
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untukmenambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan.Sementara jenis penghasilan yang dikenai pajak bersifat final diatur
dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan mengatur bahwa:
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpananyang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orangpribadi;
b. Penghasilan berupa hadiah undian;c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi derivative yang diperdagangkan di bursa, dantransaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modalpada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaanmodal ventura;
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanahdan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate,dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atauberdasarkan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan pajak penghasilan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pelaku E-commerce, baik dalam bentuk badan
ataupun perorangan (pribadi), jenis kegiatan transaksi E-commerce, serta
penghasilan yang didapatkan sudah dapat digolongkan sebagai wajib
pajak yang kena pajak penghasilan. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa
wajib pajak yang dapat dikenakan pajak penghasilan hanyalah wajib pajak
yang sudah memenuhi standar Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP),
yakni seseorang yang berpenghasilan minimal Rp. 4.500.000,-/bulan atau
Rp. 54.000.000,-/tahun. Hal ini sesuai dengan Pasal 21 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016. Sehingga dapat dikatakan bahwa,
sekalipun orang/badan tersebut berkecimpung pada kegiatan yang kena
83
pajak penghasilan, namun jika belum memenuhi batas minimal PTKP
tersebut, maka orang/badan tersebut tidak dapat dikenakan pajak
penghasilan.
Adapun implementasi keadilan dalam pajak, seringnya
diterjemahkan sebagai keadilan bahwa setiap wajib pajak itu harus adil
dan merata. Dalam artian bahwa pajak yang dikenakan kepada orang-
orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak
tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya.54 Pada
kesempatan ini, penulis ingin mengkaji keadilan dalam sudut pandang
antar sesama pelaku E-commerce yang bergabung dalam badan usaha
yaitu, bukalapak dan pelaku E-commerce dengan menggunakan media
sosial pribadi instagram. Dilapangan penulis mewawancarai seorang
pelaku online yang bergabung dengan bukalapak yakni, Toko Liewind
Store, dimana pemiliknya mengatakan bahwa:55
Saya menjadi wajib pajak karena saya sadar sudah memilikipenghasilan tetap setiap bulannya melalui online shop saya dibukalapak. Selain itu, petugas pajak juga sudah mengirimkan suratpemberitahuan untuk membayar pajak.
Selanjutnya pada elmuttaqishop yang berjualan baju di bukalapak.
Owner/pemilik mengatakan bahwa:56
Saya belum menjadi wajib pajak, saya belum bayar pajak karenapenghasilan saya dari berjualan di bukalapak hanya sekitar Rp.1.500.000,- setiap bulannya. Selain itu belum ada juga surat
54 Rosdiana, Haula, Rasin Tarigan, 2005, Perpajakan, Teori dan Aplikasi, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, hlm. 121
55 Wawancara dilakukan melalui website Bukalapak dengan owner/pemilik Liewind Store,Pada Tanggal 10 Mei 2018, Pukul [11:10 WITA]
56 Wawancara dilakukan melalui website Bukalapak dengan owner/pemilik Alfatih Shop,Pada Tanggal 08 Mei 2018, Pukul [15:05 WITA]
84
pemberitahuan dari Kantor Pajak untuk bayar pajak, sepertipelapak lainnya yang penghasilannya sudah di atas Rp. 5.000.000,-
Selanjutnya terdapat beberapa pelaku E-commerce wajib pajak yang
berjualan di bukalapak yang terlampir pada tabel berikut:
TABEL 1. Pelaku E-commerce Pada Market Place (Bukalapak)
NO. Nama PelakuE-commerce Status Alasan
1. X Wajib Pajak Patuh pada peraturan, pemberitahuan dariKantor Pajak
2. XX Wajib Pajak Sadar dan ada surat pemberitahuan dari KantorPajak
3. XXX Wajib Pajak Sadar dan ada surat pemberitahuan dari KantorPajak
4. XXXX Wajib Pajak Patuh pada peraturan, pemberitahuan dariKantor Pajak
5. XXXXX Belum WajibPajak
Penghasilan belum mencapai minimalPenghasilan Tidak Kena Pajak dan belum ada
pemberitahuan dari Kantor Pajak
Sumber: Data Primer Dari Hasil Wawancara Tahun 2018
Selain itu, penulis juga mewawancarai pelaku E-commerce melalui
instagram dengan nama toko online Missy shop yang mengatakan
bahwa:57
Penghasilan saya setiap bulan kurang lebih Rp. 5.000.000,- danpekerjaan saya memang hanya sebagai penjual di online shopinstagram. Saya tidak mengetahui kalau penghasilan dari jualanonline melalui media sosial pribadi (instagram) harus bayar pajak,karena tidak pernah ada penyuluhan atau surat pemberitahuanpajak online yang saya dapat. Selain saya, banyak juga online shoplain seperti saya yang tidak membayar pajak karena tidak tahu.
Selanjutnya terdapat beberapa pelaku E-commerce yang menggunakan
media sosial pribadi, dapat dilihat dalam tabel berikut:
57 Wawancara dilakukan melalui aplikasi instagram dengan owner/pemilik Toko MissyShop, Pada Tanggal 10 Mei 2018, Pukul [11:02 WITA]
85
TABEL 2. Pelaku E-commerce Pada Media Sosial Pribadi (Instagram)
NO. Nama PelakuE-commerce Status Alasan
1. X Belum Wajib Pajak Tidak mengetahui dan tidak adapemberitahuan dari pihak terkait
2. XX Belum Wajib Pajak Tidak mengetahui tahu denganaturan pajak yang berlaku
3. XXX Belum Wajib PajakTakut ke Kantor Pajak dan tidak
mengetahui sistematikapengurusan pajak
4. XXXX Belum Wajib Pajak Tidak mengetahui aturan
5. XXXXX Belum Wajib Pajak Tidak mengetahui aturan
Sumber: Data Primer Dari Hasil Wawancara Tahun 2018
Dari wawancara dan tabel di atas, dapat diketahui bersama
perbedaan antara pelaku E-commerce melalui bukalapak dan media
sosial pribadi (instagram). Pada pelaku E-commerce melalui bukalapak
yang berpenghasilan sudah memenuhi PTKP secara sadar mendaftarkan
diri sebagai wajib pajak dan membayar pajak penghasilannya. Hal ini
didorong dengan adanya himbauan dari Kantor Pajak setempat dengan
memberikan surat pemberitahuan pajak penghasilan. Adanya kerja sama
antara Kantor Pajak setempat dengan bukalapak menjadikan pelaku E-
commerce mudah untuk dilacak. Sementara bagi pelaku E-commerce di
bukalapak yang belum memenuhi PTKP, tentunya belum menjadi wajib
pajak. Akan tetapi, Kantor pajak setempat terus memantahu para pelaku
tersebut melalui nilai transaksi yang dilakukan setiap saat, hal ini menjadi
salah satu bentu pengawasan pemerintah secara aktif terhadap wajib
pajak penghasilan.
86
Sementara itu, bagi pelaku E-commerce yang menggunakan media
sosial pribadi (instagram) sendiri mengakui bahwa penghasilannya jika
dilihat menurut aturan, seharusnya sudah melebihi standar PTKP dan
sudah harus mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dan membayar pajak
penghasilannya. Akan tetapi, pelaku E-commerce tersebut tidak
mengetahui bahwa penghasilan dari online shopnya tersebut harus
dikenakan pajak penghasilan. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa penjualan
yang dilakukan menggunakan media sosial pribadi bersifat bebas, tanpa
adanya pihak-pihak yang bertanggungjawab atas kegiatan tersebut.
Kurangnya pengetahuan tentang pajak juga menjadi masalah selanjutnya.
Hal ini tentunya menjadi kekurangan dalam manjaring pelaku E-commerce
yang seharusnya sudah menjadi wajib pajak terkhusus pajak penghasilan
melalui kegiatan jual-beli online.
Dari kesenjangan yang timbul antara pelaku E-commerce yang
berdagang di bukalapak dengan pelaku E-commerce yang berdagang
melalui instagram, tampak adanya ketidakmerataan pemungutan pajak
yang menimbulkan adanya ketidakadilan pemungutan pajak terhadap
pelaku E-commerce secara keseluruhan. Dimana, bagi pelaku E-
commerce yang melalui bukalapak, jika penghasilannya sudah melebihi
PTKP, maka sudah harus menjadi wajib pajak dan membayar pajak
penghasilannya. Sementara bagi pelaku E-commerce melalui instagram,
sekalipun penghasilannya sudah melebihi PTKP, tidak secara otomatis
menjadi wajib pajak, yang dikarenakan oleh banyak hal, seperti: tidak
87
tahu-menau, tidak adanya pemberitahuan dari pihak yang
bertanggungjawab mengurusi perpajakan, atau bahkan sengaja untuk
menghindari pajak dengan tidak mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.
Dalam sebuah artikel dari salah satu koran Indonesia, yaitu Media
Indonesia pernah membahas terkait keadilan pengenaan pajak terhadap
pelaku E-commerce, dalam artikel itu disebutkan bahwa:58
Bila pungutan pajak hanya diterapkan pada kanal marketplace,para pelapak hampir pasti akan keluar dari kanal itu dan lebihmengaktifkan jualannya pada kanal-kanal di media sosial pribadisehingga para pengelola marketplace akan kehilangan secarasignifikan pendapatan dari pendapatan komisi yang diperoleh daripara pelapaknya.
Dari pihak bukalapak sendiripun mengakui adanya ketidakadilan dalam
pemungutan pajak terhadap pelaku E-commerce. Dalam wawancara juru
bicara bukalapak mengatakan bahwa:59
Kami merasa rugi apabila para pelapak kami mulai keluar danmenjual secara mandiri menggunakan media sosial pribadi. Hal iniberpengaruh pada penghasilan kami yang menurun, mengingatkami mendapatkan penghasilan dari komisi yang kami tarik daripelapak kami. Penghasilan kami penting bagi keberlangsunganusaha kami mengingat kami merupakan suatu badan usaha yangmembayar pajak secara rutin setiap tahunnya, belum lagi kami jugaharus membayar gaji karyawan kami. Bermacam-macam alasanpelapak untuk keluar, namun yang utama adalah karena parapelapak mulai melihat peluang besar dari media sosial pribaditanpa harus memikirkan membayar pajak dan mematuhi aturanyang berlaku dalam marketplace.
Selanjutnya dari pihak Pelaku E-commerce yang tergabung dalam
bukalapak menyampaikan keluhannya terhadap ketidakadilan
58 AHL, 2017, Menimbang Keadilan Pajak E-commerce, Koran Media Indonesia, hlm. 1559 Wawancara dilakukan melalui aplikasi Whats App dengan perwakilan dari Bukalapak
Indonesia, Pada Tanggal 10 Mei 2018, Pukul [10:22 WITA]
88
pemungutan pajak E-commerce. Dari hasil wawancara dengan pemilik
Liewind Store mengatakan bahwa:60
Sebenarnya kami merasa tidak adil, karena ketika kami yangberjualan di bukalapak sudah berpenghasilan melebihi dari standarPTKP, maka secara otomatis kami akan dikirimkan suratpemberitahuan wajib pajak dari kantor pajak dan juga adanyapemberitahuan dari pihak bukalapak. Sehingga kami tidak memilikicela untuk menghindari pajak atau bahkan menunda untukmendaftarkan diri sebagai wajib pajak.
Dari hasil wawancara dengan 3 (tiga) narasumber, dapat di ambil
kesimpulan bahwa, pemungutan pajak terhadap pelaku E-commerce
belum menunjukkan rasa keadilan. Sebagaimana pelaku E-commerce
yang bergabung dalam marketplace diawasi oleh Direktorat Jendral Pajak
melalui transaksi penjualanya, sementara pelaku E-commerce dengan
media sosial pribadi sama sekali tidak diawasi, dalam artian bersifat
bebas, kecuali para penjual di Online shop dengan sendirinya patuh dan
sadar akan kewajiban pembayaran pajaknya apabila telah memperoleh
penghasilan dengan nilai minimal sesuai PTKP yang telah di tetapkan
oleh pemerintah.
Menurut Adolf Wagner, pemungutan pajak yang adil adalah
pemungutan pajak yang diberlakukan secara umum kepada semua Wajib
Pajak dan di bebankan kepada setiap Wajib Pajak yang mempunyai ability
to pay secara merata, bahwa satu struktur tarif pajak berlaku kepada
setiap wajib pajak yang mempunyai kemampuan membayar. Semakin
besar ability to pay seorang Wajib Pajak, semakin besar presentase pajak
60 Wawancara dilakukan melalui aplikasi bukalapak dengan owner/pemilik Liewind Store,pada Tanggal 10 Mei 2018, Pukul [11:10 WITA]
89
yang harus di bayar. Dalam perpajakan dikenal 2 (dua) macam prinsip
keadilan, yaitu:61
1. Keadilan Horizontal (Horizontal Equity) mengandung pengertian
bahwa penyelenggaraan pajak harus secara umum dan merata,
yang berarti semua orang mempunyai kemampuan ekonomis
atau yang mendapat tambahan kemampuan ekonomis yang
sama harus di kenakan pajak yang sama;
2. Keadilan Vertikal (Vertical Equity) pada hakikatnya berkenaan
dengan kewajiban membayar pajak yang kemampuan
membayarnya tidak sama, yaitu semakin besar kemampuannya
untuk membayar pajak harus semakin besar tarif pajak yang
dikenakan.
Berdasarkan pada teori dari Adolf Wagner di atas, prinsip keadilan
horizontal sangatlah sesuai dengan prinsip keadilan dalam perpajakan
yang di anut oleh Bangsa Indonesia. Di mana parameter prinsip keadilan
dalam pemungutan pajak terlihat pada adanya pemerataan dan perlakuan
yang sama serta adanya perlindungan terhadap warga negara terhadap
tindakan semena-mena penguasa dalam pemungutan pajak tersebut itu
sendiri. Prinsip keadilan horizontal ini juga sangatlah sesuai jika
diteraokan pada pelaku E-commerce secara menyeluruh. Sekalipun
demikian, di lapangan masih saja ada cela untuk tidak membayar pajak
atau bahkan dengan sengaja menghindari pajak.
61 Chairil Anwar Pohan, 2017, Pembahasan Komprehensif Pengantar Perpajakan Teoridan Konsep Hukum Pajak Edisi 2, Jakarta: Mitra Wacana Media, hlm. 148
90
Dalam prinsip keadilan horizontal di katakan bahwa
penyelenggaraan pajak harus secara umum dan merata, yang berarti
bahwa semua orang dalam hal ini pelaku E-commerce yang mempunyai
kemampuan ekonomis atau yang mendapat tambahan kemampuan
ekonomis yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Hal ini juga
yang seharusnya diberlakukan terhadap pelaku E-commerce. Di mana,
terhadap pelaku E-commerce yang bergabung dalam marketplace
(bukalapak), maupun pelaku E-commerce yang menggunakan media
sosial pribadi (instagram) selama mendapatkan kemampuan ekonomis
yang di artikan sebagai penghasilan dari berjualan online pada batasan
tertentu harus di kenakan pajak yang sama, tanpa memperdebatkan
sarana/media yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan tersebut.
Adapun batasan yang di maksudkan adalah batasan Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP).
Akan tetapi, pada kenyataannya hal ini sangat sulit dterapkan
terhadap pelaku E-commerce, sehingga pada akhirnya menimbulkan
ketidakadilan pemungutan pajak. Terhadap pelaku E-commerce yang
menggunakan media sosial pribadi (instagram), bersifat bebas. Hal ini
dapat dilihat dari tidak adanya keterlibatan pihak berwenang (kantor pajak)
dalam memantahu transaksi penjualan, melainkan pihak yang terlibat
hanyalah penjual dan pembeli pada online shop, dan juga tidak adanya
aturan yang mengikat para penjual dan pembeli itu sendiri. Sementara
pada marketplace para pelaku E-commerce di awasi secara ketat dan
91
bersifat terus-menerus oleh Kantor Pajak yang bekerjasama dengan
marketplace terkait dan marketplace juga bersifat aktif dalam memberikan
himbauan pajak.
Ketidakadilan ini perlu mendapat perhatian khusus, mengingat
bahwa, antara pelaku E-commerce dari bukalapak dengan instagram
memperdagangkan barang yang sama, seperti: pakaian, aksesoris,
pernak-pernik rumah, sepatu, hingga makanan. Harga yang di patok oleh
para pelaku E-commerce dibukalapak inipun hampir sama dengan harga
yang di patok oleh para pelaku E-commerce diinstagram. Hanya saja,
pada marketplace seringnya memberikan kemudahan-kemudahan yang
dapat memikat para pembeli, seperti halnya biaya ongkos kirim yang
digratiskan dan juga keamanan dalam transaksi jual-beli. Kemudahan ini
juga sebagai salah satu cara agar pendapatan pelapak dan perusahaan
secara umum meningkat.
Sederhananya ketidakadilan muncul pada saat hal yang sama di
perlakukan secara tidak sama, dan juga ketika hal yag tidak sama di
perlakukan sama. John Rawls mengemukakan pendapatnya, bahwa
masyarakat yang tertata dengan baik adalah jika ia tidak hanya di rancang
untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya, namun secara efektif di
atur oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu:62
a. Setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain
menganut prinsip keadilan yang sama;
62 Sri Pudyatmoko. 2015. Memahami Keadilan Di Bidang Pajak. Cahaya Atma Pustaka:Yogyakarta. hlm 6
92
b. Institusi-institusi sosial dasar pada umumnya sejalan dengan
prinsip-prinsip tersebut. Dalam hal ini institusi di anggap adil
ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang antar orang
dalam memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan
menentukan keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang
saling berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial;
c. Adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan pada pembagian
keuntungan dalam kehidupan sosial. Keadilan sosial di sini
melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi dan stabilitas.
Dalam hal ini John Rawls banyak berbicara tentang keadilan di
bidang ekonomi.
Adil (equalty) beban pajak harus dibagi di antara para warga
masyarakat dengan seadil mungkin. Supaya pajak itu adil, menurut
Gilarso biasanya dipergunakan tiga patokan berikut ini:63
a. Beban pajak harus sesuai dengan daya pikul (kemampuan
membayar) dari si Wajib Pajak. Patokan ini dikenal dengan
nama asas “ability to pay”. Sudah sewajarnyalah kalau orang
yang lebih mampu (kaya) memberikan sumbangan yang lebih
besar pula kepada negara. Misalnya, pajak mobil mewah lebih
tinggi daripada pajak untuk kendaraan bermotor;
63 Ibid. hlm 12
93
b. Tarif pajak progresif, artinya: makin tinggi pendapatan
seseorang, dikenakan tarif pajak dengan presentasi yang makin
besar pula;
c. Beban pajak disesuaikan dengan manfaat yang diperoleh.
Orang yang mendapat manfaat lebih besar dari pengeluaran
pemerintah tertentu sudah selayaknya memberikan sumbangan
yang lebih besar pula. Asas ini dikenal dengan nama “benefit
principle”. Misalnya, pajak kendaraan bermotor lebih berat
daripada pajak sepeda, dan pajak mobil lebih tinggi daripada
pajak untuk sepeda motor.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menarik beberapa
faktor penyebab ketidakadilan dalam pemungutan pajak terhadap pelaku
E-commerce, yaitu:
1. Pengawasan Pemerintah
Dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan membayar
pajak, kantor pelayanan pajak pratama Makassar selatan dalam
bidang Account Representative (AR)/Waskon (Pengawasan dan
Konsultasi) melakukan pengawasan terhadap wajib pajak. Adapun
tugas Account Representative berdasarkan Pasal 4 Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.01/2015
Tentang Account Representative Pada Kantor Pelayanan Pajak,
mengatur bahwa:
94
Account Representative yang menjalankan fungsipengawasan dan penggalian potensi wajib pajak mempunyaitugas:
a. Melakukan pengawasan kepatuhan kewajibanperpajakan wajib pajak;b. Menyusun profil wajib pajak;c. Analisis kinerja wajib pajak; dand. Rekonsiliasi data wajib pajak dalam rangkaintensifikasi dan himbauan kepada wajib pajak.
Kita mengawasi pajak E-commerce sama halnya mengawasi
pedagang konvensional, yang sedikit berbeda adalah fiskus yang
bertugas mengawasi kewajiban perpajakan terlebih khusus di
bidang Account Representative dan penyuluhan tugasnya
melakukan penyuluhan yang belum terjangkau dan menjadi
terjangkau, mengawasi yang sudah memiliki NPWP dan
mengawasi yang belum memiliki NPWP, kalau sudah berkewajiban
membayar pajak maka harus membayar pajak.64
Sementara tugas dan fungsi Account Representative menurut
Keputusan Menteri Keuangan Nomor.161/KM/2005 tentang uraian
jabatan struktural dan pelaksana KPP sebagai berikut:
a. Memberikan pelayanan perpajakan kepada Wajib Pajak
yang menjadi tanggung jawabnya yang berkaitan dengan
pemenuhan hak dan kewajiban sesuai dengan prosedur yang
berlaku dan tepat waktu;
64 Wawancara dengan Mohamad Prima Andika (Account Representative) tanggal 9 Mei2018
95
b. Memberikan informasi tentang peraturan perpajakan yang
baru kepada Wajib Pajak yang menjadi tanggung jawabnya baik
melalui surat ataupun benda elektronik;
c. Menjembatani kepentingan Wajib Pajak dengan seksi yang
terkait dalam rangka memberikan pelayanan yang prima kepada
Wajib Pajak yang menjadi tanggung jawabnya untuk
memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan
oleh Wajib Pajak.
Account Representative akan memberikan informasi mengenai:
a. Rekening Wajib Pajak untuk semua jenis pajak;
b. Kemajuan proses pemeriksaan dan restitusi;
c. Interpretasi dan penegasan atas suatu peraturan;
d. Perubahan data identitas Wajib Pajak;
e. Tindakan pemeriksaan dan penagihan pajak;
f. Kemajuan proses keberatan dan banding
g. Perubahan peraturan perpajakan yang berkaitan dengan
kewajiban Wajib Pajak.
h. Memonitor penyelesaian pemeriksaan pajak, proses
keberatan serta mengevaluasi hasil banding;
i. Memonitor kepatuhan Wajib Pajak melalui pemanfaatan data
dan SAPT (sistem administrasi perpajakan terpadu);
j. Merekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka intensifikasi,
dengan demikian setiap Wajib Pajak dapat menanyakan hak
96
dan kewajiban perpajakannya kepada setiap Account
Representative di KPP.
Lebih lanjut Prima Andika mengatakan bahwa:
Untuk transaksi E-commerce yang banyak di lakukan melaluiinternet adalah sudah terutang PPh, masalah yang di alamiadalah penggalian potensinya belum fokus ke E-commercedan pengawasannya masih manual dan sumber dayamanusia yang ada, dengan cara memantahu setiap kegiatanonline shop di instagram yang memiliki penjualan terbanyak,yang sering dikunjungi dan memiliki pengikut terbanyak,karena hal tersebut ada indikasi penjualan dan penghasilanyang besar. Sebaliknya pelaku E-commerce yang berjualandi Bukalapak dapat dideteksi keberadaanya dan rekeningnyamelalui kerjasama yang dilakukan Direktur Jenderal Pajakdengan pihak Bukalapak”.
Account Representative juga memiliki fungsi sebagai pegawasan
atas kewajiban pajak Wajib Pajak, pengawasan yang diberikan
agar dapat mengawasi dan mengingatkan Wajib Pajak atas pajak
yang di kenakan terhadapnya, tugas sebagai pengawas adalah:65
a. Account Representative membuat perhitungan surat tagih
kepada Wajib Pajak;
b. Account Representative membuat surat pemberitahuan
perubahan besarnya nilai pajak Wajib Pajak;
c. Account Representative memberikan himbauan mengenai
penyetoran pajak SPT masa dan tahunan;
d. Account Representative mengusulkan pemeriksaan dan
penyidikan sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
65 M. Situmorang, Viktor dan Jusuf Juhir, 1994, Aspek Pengawasan Melekat dalamLingkungan Aparatur Pemerintah, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm. 25
97
Lebih lanjut Prima Andika mengatakan bahwa:
Pemberian NPWP secara jabatan atau sepihak, kantor pajakbisa melakukan hal tersebut ketika orang tersebut menolakmenindaklanjuti himbauan dari pajak untuk mendaftarkan dirimenjadi wajib pajak. Maka kantor pajak berhak melakukanperbuatan hukum untuk menerbitkan NPWP dan memungutpajaknya 5 tahun ke belakang jika usahanya sudah berjalan5 tahun atau lebih.
Dalam Pasal 22 Undang-undang republik Indonesia nomor 16
tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
menyebutkan bahwa:
a. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah
melampaui waktu 5 (lima) tahun terhihtung sejak penerbitan
surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, serta
surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, dan surat
keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan
banding, serta putusan peninjauan kembali.
b. Daluarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tertangguh apabila:
a) Diterbitkan surat paksa
b) Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung
maupun tidak langsung
c) Diterbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar
sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau surat
ketetapan pajak kurang bayar tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
d) Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
Selanjutnya mengenai teori pengawasan menurut Lyndall F.
Urwick, pengawasan adalah upaya agar sesuatu dilaksanakan
sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi yang
98
dikeluarkan. Dalam hal ini untuk menciptakan masyarakat patuh
membayar Pajak Penghasilan, khususnya pada pelaku E-
commerce harus dilakukan pengawasan secara terus menerus dan
menerapkan sanksi yang tegas bagi Wajib Pajak yang
melanggarnya, serta dilakukan pengawasan terhadap pelaku E-
commerce yang memiliki penghasilan PTKP agar di berikan
himbauan surat teguran untuk menjadi Wajib Pajak dengan
mendaftarkan diri di kantor pajak.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah selain melakukan
pengawasan secara terus menerus terhadap Wajib Pajak,
khususnya pelaku E-commerce, harus pula di lakukan
sosialisasi/penyuluhan pajak yang berkesinambungan, serta dapat
memperlihatkan pemanfaatan yang nyata dari pungutan pajak
kepada masyarakat. Menurut pandangan penulis, pengawasan
Account Representative berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib
Pajak karena Account Representative memberikan pengawasan
kepada Wajib Pajak terhadap kewajiban pajaknya, pengawasan
yang diberikan dapat mengawasi dan mengingatkan Wajib Pajak
tentang pajak yang di kenakan terhadap Wajib Pajak.
Adanya kenyamanan dan kepuasan bagi Wajib Pajak hal ini
berdampak pada kepatuhan seorang Wajib Pajak tersebut untuk
membayar kewajibannya yaitu membayar pajak tepat waktu. Maka
dari itu, pengawasan Account Representative sudah seharusnya
99
bisa untuk diterapkan diseluruh kanal transaksi E-commerce.
Sehingga, para wajib pajak dari transaksi E-commerce bisa terlacak
dengan mudah dan tidak tercipta kesenjangan dalam pemungutan
pajak antara pelaku E-commerce melalui bukalapak dan instagram.
2. Sistem Pajak di Indonesia
Indonesia menganut sistem pajak self assessment yang
memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak
untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak
yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.66
Wajar adanya apabila dalam setiap kebijakan yang diambil, akan
ada kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sama halnya
dengan system self assessment system. Dalam praktik, apabila di
sandingkan dengan kegiatan transaksi E-commerce memiliki
kekurangan yang menjadi cela bagi para pelaku E-commerce yang
menggunakan media sosial pribadi yang tidak bertanggungjawab
untuk menghindari pajak atau bahkan bertindak seakan-akan tidak
memiliki tanggungjawab atas pajak dari penghasilan yang
diperoleh.
Dalam praktik, apakah Direktorat Jenderal Pajak akan
mengecek siapa yang membeli? Apakah ada bukti transaksi yang
di tandatangani penjual dan pembeli? jawabannya tentu tidak,
karena dalam transaksi yang sering terjadi menggunakan sistem
66 Nufransa Wira Sakti, 2014, Buku Pintar Pajak E-commerce, Jakarta: Visimedia, hlm. 72
100
kepercayaan di mana pembeli menyetor uang via atm/transfer dan
kemudian penjual akan mengirimkan barang yang di maksud.
Sementara alat bukti yang tersisa hanyalah kertas bukti transfer
dan bukti pengiriman. Beda halnya, jika transaksi tersebut di
lakukan oleh pelaku E-commerce yang tergabung dalam
marketplace, di mana bukti transfer dapat terdeteksi oleh pengawas
pajak.
Menurut penulis walaupun pelaku E-commerce di berikan
kepercayaan untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri
jumlah pajaknya, di sini pihak pemerintah khususnya Direktur
Jenderal Pajak harus memberikan penyuluhan dan pengawasan
terhadap pelaku E-commerce khususnya yang menggunakan
media sosial pribadi seperti instagram. Hal ini sejalan dengan Pasal
12 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
menyebutkan bahwa:
Setiap Wajib Pajak wajib membayar yang terutang sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undanganperpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanyasurat ketetapan pajak.
Dalam Pasal tersebut, jelas adanya bahwa pemerintah juga
menghendaki Wajib Pajak bersifat aktif dalam membayar pajak.
Aktif di sini berarti menghitung sendiri pajak yang terutang tanpa
menunggu adanya ketetapan pajak.
101
3. Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan wajib pajak adalah pemenuhan kewajiban
perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka
memberikan kontribusi bagi pembangunan, yang diharapkan
didalam pemenuhannya diberikan secara sukarela. Kepatuhan
wajib pajak menjadi aspek penting mengingat sistem perpajakan
Indonesia menganut sistem self assessment dimana secara mutlak
memberikan kepercayaan kepada seorang wajib pajak untuk
menghitung, membayar, dan melapor kewajibannya. Menurut
Chaizi Nasucha, kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi sebagai
berikut:67
a. Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri;
b. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan
(SPT);
c. Kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak
terutang; dan
d. Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
Terdapat 3 (tiga) macam alternative strategi kepatuhan yang
merupakan produk dari kebijakan perpajakan yang dipilih oleh
fiskus, seperti berikut:68
a. Strategi kepatuhan yang sebaiknya dilancarkan oleh fiskus
adalah melaksanakan komitmennya secara konsisten memberikan
67 Chaizi Nasucha, 2005, Reformasi Administrasi Publik; Teori dan Praktik, PT. GramediaWidiasarana Indonesia: Jakarta, hlm,45
68 Ibid., hlm. 156
102
kemudahan dalam pelayanan yang terbaik (make it easy). Peran
aktif Account Representatif (AR) dari Direktorat Jenderal Pajak
dalam memberikan penyuluhan dan informasi yang diperlukan agar
Wajib Pajak merasa nyaman dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, sehingga dengan semakin meningkatnya tingkat
kesadaran Wajib Pajak maka pada gilirannya Wajib Pajak akan
menunjukkan tingkat kepatuhan yang tinggi;
b. Strategi kepatuhan yang sebaiknya di lancarkan oleh fiskus
adalah dengan cara memberikan bantuan pelayanan dan
pencerahan bagaimana memahami aturan pajak dan prosedur
administrasi yang menyertainya dengan benar (assist to comply).
Dalam konteks ini, strategi kepatuhan pajak yang di bangun atas
dasar kepercayaan pada iktikad baik Wajib Pajak di harapkan dapat
memberikan sentiment positif bagi Wajib Pajak sehingga di
kemudian hari Wajib Pajak akan membatalkan niatnya untuk
menghindar pajak, sehingga kembali dapat meningkatkan
kepatuhannya;
c. Melakukan upaya pencegahan penghindaran pajak dengan
upaya pencarian fakta-fakta yang menjadi alasan Wajib Pajak untuk
menghindar, dan menemukan data atau informasi yang terkait
dengan potensi penyimpangan aturan pajak (deter by detection).
Data atau informasi yang di peroleh tersebut selanjutnya dapat di
tindaklanjuti oleh fiskus dengan mengirimkan surat teguran atau
103
peringatan lainnya kepada Wajib Pajak yang bersangkutan sebagai
alat untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak yang baik.
Kepatuhan dalam kewajiban perpajakan yang harus di lakukan
oleh Wajib Pajak adalah mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak
untuk mendapatkan NPWP untuk memenuhi ketentuan pada Pasal
2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
mengatur bahwa:
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratansubjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan di bidang perpajakan, wajibmendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajakyang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempatkedudukan Wajib Pajak, dan tempat kegiatan usaha wajibpajak, dan kepada wajib pajak diberikan nomor pokok wajibpajak.
Persyaratan subjektif yang dimaksudkan adalah persyaratan
yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam
undang-undang pajak penghasilan, yaitu orang pribadi, warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak, badan usaha, dan bentuk usaha tetap. Sementara
persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk
melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.69
69 Nufransa Wira Sakti, 2014, Buku Pintar Pajak E-commerce, Visimedia: Jakarta, hlm. 7
104
Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk
mendapatkan NPWP, dikenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan perpajakan. Sanksi yang timbul karena tidak
mempunyai NPWP adalah diberikan terlebih dahulu NPWP secara
jabatan. Berdasarkan NPWP tersebut, kemudian dilakukan
pemeriksaan. Hasil pemeriksaan dapat menimbulkan surat
ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) dan jika Wajib Pajak
melakukan dengan sengaja tidak mengingikan NPWP dan
menimbulkan kerugian negara, maka dikenakan denda paling lama
enam tahun dan denda paling tinggi empat kali pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar (Pasal 39 Undang-undang Nomor 16
tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).
Dalam hal Wajib Pajak tidak mengindahkan ketentuan ini, maka
kepada Wajib Pajak tersebut akan dikenakan sanksi berupa
penetapan NPWP/SPPKP secara jabatan, penetapan pajak
terutang secara jabatan, bunga, kenaikan, denda, dan pidana
penjara.70 Selanjutnya dalam Pasal 39 undang-undang nomor 16
tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
menyebutkan bahwa:
1. Setiap orang dengan sengaja:
70 Agus Setiawan, Basri Musri. 2006. Perpajakan Umum. PT. Rajagrafindo Persada:Jakarta. hlm 2
105
a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak;
b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor
Pokok Wajib Pajak atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan
d. Menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaiamana
dimaksud dalam Pasal 29
f. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain
yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak
menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di
Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku,
catatan, atau dokumen lain;
h. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola
secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi
online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(11); atau
i. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
106
4. Pengetahuan Pajak
Pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan
merupakan suatu proses dimana oleh wajib pajak mengetahui
tentang perpajakan dan mengaplikasikan pengetahuan itu untuk
membayar pajak. Terhadap meningkatnya pengetahuan
perpajakan seseorang, baik formal dan non formal akan berdampak
postif terhadap kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak.
Sebaliknya bahwa, terhadap rendahnya kepatuhan wajib pajak
disebabkan oleh pengetahuan wajib pajak serta persepsi tentang
pajak dan petugas pajak yang masih rendah. Sebagian wajib pajak
memperoleh pengetahuan pajak dari petugas pajak, selain itu ada
yang memperoleh dari media informasi, konsultan pajak, seminar
dan pelatihan pajak.
Sementara terkait pemahaman peraturan perpajakan adalah
suatu proses dimana wajib pajak memahami dan mengetahui
tentang peraturan dan undang-undang serta tata cara perpajakan
dan menerapkannya untuk melakukan kegiatan perpajakan seperti,
membayar pajak, melaporkan SPT, dan sebagainya. Jika
seseorang telah memahami dan mengerti tentang perpajakan maka
akan terjadi peningkatan pada kepatuhan wajib pajak.
Pengetahuan wajib pajak terhadap peraturan pajak tentu berkaitan
dengan pemahaman seorang wajib pajak tentang peraturan pajak.
Hal tersebut dapat diambil contoh ketika seorang wajib pajak
107
memahami atau dapat mengerti bagaimana cara membayar pajak,
melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) dan lain sebagainya.
Ketika seorang wajib pajak memahami tata cara perpajakan maka
dapat pula memahami peraturan perpajakan.
Sementara jika dicermati secara seksama, alur/proses untuk
seseorang menjadi wajib pajak itu tidaklah sulit. Seperti halnya yang
disampaikan oleh pegawai pajak, bahwa:71
Jika sudah memiliki penghasilan di atas PTKP maka selanjutnyamendaftar diri menjadi Wajib Pajak dan membuat NPWP di kantorpajak, setelah itu di arahkan ke Peraturan Pemerintah Nomor 46tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari UsahaYang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki PeredaranBruto Tertentu karena di bawah 4.3 Milyar setahun maka tarifpajaknya 1%.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013
Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima
Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu,
mengatur bahwa:
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WajibPajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai pajakpenghasilan yang bersifat final
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46
Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha
Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Perederan Bruto
Tertentu, mengatur bahwa:
71 Wawancara dengan Mohamad Prima Andika (Account Representative), Pada Tanggal 9Mei 2018
108
Besarnya tarif pajak penghasilan yang bersifat final sebagaimanadalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen).
Dari hasil wawancara di atas penulis berpendapat bahwa tidak ada
klasifikasi secara khusus terhadap pelaku E-commerce, yang ada hanya
klasifikasi sebagai pedagang UMKM. Hal ini diatur dalam kementerian
perindustrian mengenai jenis-jenis usaha seperti perdagangan eceran,
perdagangan besar, barang-barangnya tergantung apa yang dijual.72 Hal
ini tentunya tidak sejalan perkembangan teknologi digital, karena dunia
kita semakin digital maka kedepannya sudah tidak ada lagi toko offline,
semua toko menjual secara online. Oleh karena itu, Sektor perpajakan
melalui E-commerce memiliki potensi yang sangat besar dan dalam hal ini
pelaku E-commerce wajib dipungut PPh dengan syarat objektif dan syarat
subjektif terpenuhi.73
Dari pemaparan di atas penulis berpendapat bahwa, terkait
transaksi E-commerce melalui marketplace dengan media sosial pribadi
merupakan suatu pilihan yang disajikan seiring dengan perkembangan
teknologi yang ada saat ini. Keduanya memiliki ciri khas, karakteristik dan
keuntungannya masing-masing, kembali kepada konsumen yang akan
menggunakannya. Akan tetapi, sebagai konsumen yang baik dan taat
hukum, baiknya mendukung kebijakan pemerintah yang ada. Selain itu,
terhadap transaksi E-commerce melalui media sosial pribadi, pada
dasarnya kurang tepat. Hal ini karena media sosial pribadi merupakan
72 Wawancara dengan Mohamad Prima Andika (Account Representative) tanggal 9 Mei2018
73 Wawancara dengan Mohamad Prima Andika (Account Representative) tanggal 9 Mei2018
109
media yang diciptakan untuk sarana bersilaturrahmi dan bersosialisasi.
Oleh karenanya, kurang tepat apabila digunakan sebagai wadah untuk
berbisnins. Akan tetapi, mengingat perkembangan teknologi dengan
gelaja yang timbul dimasyarakat, pada akhirnya media sosial pribadi
digunakan sebagai media untuk berbisinis, pemerintah harus segera turun
tangan untuk menertibkan hal tersebut dengan membuat suatu regulasi
yang dapat mewadahi keseluruahan kegiatan transaksi E-commerce.
Selanjutnya, penulis berharap Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
yakni Sensus Pajak Nasional, menjadi salah satu media atau cara untuk
mendata/mensensus semua Wajib Pajak, baik itu pelaku E-commerce
yang berjualan di Bukalapak maupun pelaku E-commerce di media sosial
pribadi, sehingga dengan adanya sensus pajak nasional yang dilakukan
secara menyeluruh diharapkan dapat menciptakan pemungutan pajak
yang adil, ekonomis dan efisien. Sebagaimana secara konseptual
pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:74
a. Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan
untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil
dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanannya.
Contohnya adalah dengan mengatur hak dan kewajiban para Wajib
Pajak, pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang
memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak dan sanksi atas pelanggaran
74 Joseph R. Kabo, 2007, Keuangan di Era Otonomi Daerah, Jakarta: Rineka Cipta: hlm.46-47
110
pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran;
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang
Pasal 23A UUD 1945 menjelaskan bahwa pajak dan pungutan
yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-
undang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penyusunan Undang-undang tentang pajak, yaitu pemungutan
pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan Undang-
undang tersebut harus dijamin kelancarannya;
c. Jaminan hukum
Jaminan hukum bagi para Wajib Pajak untuk tidak diperlakukan
secara umum. Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi
para Wajib Pajak;
d. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar
tidak mengganggu kondisi perkenomoian, baik kegiatan produksi,
perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai
merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya
usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan
menengah;
e. Pemungutan pajak harus efisien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak
harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih
111
rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu,
sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk
dilaksanakan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak akan mengalami
kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan
maupun dari segi waktu.
B. Dampak Ketidakadilan Pemungutan Pajak Pelaku E-commerce
1. Pemasukan Keuangan Negara
Berdasakan hasil wawancara penulis dengan Mohamad Prima
Andika sebagai Account Representative Kantor Pajak Pratama
Makassar Selatan, mengatakan bahwa:
Dampak dari ketidakadilan dalam pemungutan pajak terhadappelaku E-commerce adalah berpengaruh pada pemasukankeuangan negara. Mengingat bahwa, transaksi E-commerce saatini sedang digandrungi oleh masyarakat Indonesia, menginatbanyaknya kemudahan yang ditawarkan melalui transaksi E-commerce ini. Sekalipun dampak ini adalah dampak jangkapanjang, akan tetapi jika dibiarkan maka akan tampak padaterlambatnya pembangunan disetiap daerah, hingga rencanapemasukan keuangan negara dari pajak meleset jauh.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa pajak merupakan sumber
keuangan utama bagi Indonesia. Hal tersebut telah tercantum di dalam
Pasal 33 pada Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatur bahwa
bumi, air, dan juga kekayaan alam yang ada di dalamnya tersebut
dikuasai oleh negara, dan semuanya itu dipakai untuk kemakmuran
rakyat. Atas dasar ketentuan inilah kemudian menjadi alasan mengapa
pajak menjadi sumber utama keuangan Negara. Pembangunan pada
setiap daerah, baik itu untuk kabupaten, kota, dan provinsi, sangat
112
bergantung pada Aggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau yang
disingkat dengan APBN. Dalam postur APBN 2018, pendapatan
negara diproyeksikan sebesar Rp. 1.894,7 triliun, dimana jumlah
tersebut berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp. 1.618,1 triliun.75
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merujuk kepada
perkembangan kegiatan perekonomian suatu negara yang
menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat
bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat dalam jangka
panjang. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi merupakan salah satu
indikator yang dapat digunakan sebagai nilai keberhasilan
pembangunan.
Dalam kegiatan ekonomi yang sebenarnya, pertumbuhan
ekonomi ditunjukkan oleh adanya perkembangan ekonomi secara fisik.
Contoh perkembangan fisik adalah pertambahan jumlah dan produksi
barang industry, perkembangan infrastruktur, pertambahan jumlah
fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, jalan, perkembangan
barang manufaktur, dan sebagainya. Pendapatan negara tahun 2018
diproyeksikan sebesar Rp 1.894,7 trilliun. Jumlah ini berasal dari
penerimaan pajak sebesar Rp 1.618,1 trilliun, penerimaan negara
bukan pajak sebesar Rp 275,4 trilliun dan hibah sebesar Rp 1,2 trilliun.
Dapat dilihat pada gambar 1 dibawah.
75 Kemetrian Keuangan Republik Indonesia, 2018, APBN 2018, diakses dari:http://www.kemekeu.go.id/apbn2018, pada Tanggal 13 Juli 2018, pukul 20:14 wita.
113
Gambar 1. Penerimaan Perpajakan
Lebih lanjut menurut Mohamad Prima Andika yang menjabat sebagai
bagian Account Representative (AR)/Waskon (Pengawasan dan
Konsultasi) mengemukakan bahwa akibat atau dampak tidak patuh
membayar pajak adalah pembangunan negara tidak akan berjalan
dengan baik, apalagi negara kita menghutang ke negara lain sehingga
utang negara semakin banyak, maka negara kita tidak akan menjadi
negara tidak berkembang dalam sektor pendidikan dan pembangunan.
114
2. Persepsi Pelaku E-commerce
Terhadap persepsi pelaku E-commerce, penulis melihat bahwa
dampak dari ketidakadilan pemungutan pajak terhadap pelaku E-
commerce turut dipengaruhi dari persepsi yang tercipta dimasyarakat,
terkhusus sesama pelaku E-commerce secara luas. Pada dasarnya
persepsi timbul akibat adanya komunikasi yang dilakukan seseorang
kepada seorang lain dengan tujuan untuk menyampaikan informasi.
Informasi yang disampaikan tersebut diterima setiap orang dengan
cara yang berbeda-beda, dengan tidak menutup kemungkinan adanya
penerimaan yang sama. Hal ini disebabkan oleh persepsi orang-orang
yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut. Miftah Thoha
mengemukakan bahwa:76
Persepsi pada hakikatnya adalah proses kogntif yangdialami oleh setiap orang dalam memahami informasitentang lingkungannya, baik lewat penglihatan,pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman.
Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan
bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap
situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi.
Persepsi timbul karena diawali dengan adanya obyek peristiwa atau
situasi yang hadir, kemudian situasi yang hadir tersebut di registrasi
atau diterima oleh panca indera baik itupenglihatan, pendengaran,
penyentuhan, perasaan, dan penciuman yang diinterpretasikan sesuai
dengan cara pendalaman, motivasi dan kepribadian seseorang yang
76 Miftah Thoha, 2009, Perilaku organisasi: konsep dasar dan aplikasinya, Jakarta: RajaGrasindo Perkasa, hlm. 141
115
kemudian akan menimbulkan umpan balik yang dapat mempengaruhi
persepsi seseorang.
Persepsi jika disandingkan dengan dampak ketidakadilan pajak
terhadap pelaku E-commerce tentunya sangat berpengaruh. Hal ini
mengingat bahwa, bagi sebagian besar orang informasi yang diterima
dari seseorang akan mempengaruhinya terhadap sesuatu tersebut.
Terhadap pelaku E-commerce, seseorang yang belum menjadi wajib
pajak atas penghasilannya memiliki kemungkinan akan terus seperti
itu, ketika seorang tersebut melihat contoh atau mendapat informasi.
Dalam artian bahwa, ketika seorang pelaku E-commerce yang
seharusnya sudah menjadi wajib pajak, melihat bahwa masih banyak
juga pelaku E-commerce lainnya yang belum menjadi wajib pajak dan
sampai saat ini tidak ada satupun pihak yang mendatanginya untuk
menegur atau apapun itu, maka secara tidak sadar hal tersebut akan
semakin meyakinkannya atas tindakannya tersebut.
Selain dari contoh yang dilihatnya langsung, persepsi ini juga bisa
muncul seiring dengan berkembangnya teknologi. Di lihatnya di media
cetak dan elektronik bahwa atas tidak mendaftarnya seseorang
menjadi wajib pajak, tidak adapula dampak negatif yang di terimanya,
seperti teguran dari pihak terkait atau didatangi pihak berwajib, atau
pembekuan usahanya. Terkait persepsi yang timbul akibat pengaruh
teknologi ini, tanpa di sadari media memang terkesan atau bahwa
tidak menyoroti permasalahan apakah seseorang tersebut sudah
116
menjadi wajib pajak atau belum. Padahal, dampak dari oemberitaan
itu, tentunya akan sangat besar terhadap masyarakat, khusunya
pelaku E-commerce lainnya. Dari peristiwa itu, dapat menciptakan
persepsi seseorang akan hal tertentu dan meyakinkan orang itu
bahwa yang saat ini terjadi bukanlah masalah besar, kecuali ada
kesadaran dan kepatuhan dari diri pribadi orang tersebut.
117
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN1. Pemungutan pajak terhadap pelaku E-commerce belum
mencerminkan rasa keadilan antara pelaku E-commerce. Adapun
faktor-faktornya adalah sebagai berikut: Pertama, kurangnya
pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap pelaku E-
commerce khususnya melalui media sosial pribadi; Kedua, sistem
pajak yang berlaku di Indonesia (Self Assessment) memberikan
peluang kepada pelaku E-commerce dari media sosial pribadi
untuk bertindak menghindari pemungutan pajak; Ketiga,
kepatuhan Wajib Pajak atas peraturan pajak terkait pemungutan
Pajak Penghasilan (PPh); Keempat, pengetahuan tentang pajak
terkait aturan pajak yang berlaku.
2. Dampak yang ditimbulkan terhadap ketidakadilan dalam
pemungutan pajak terhadap pelaku E-commerce, adalah:
Pertama, pemasukan keuangan negara dari Pajak Penghasilan
(PPh) terhadap pelaku E-commerce berkurang mengingat
peraturan yang ada hanya mengatur pemungutan pajak transaksi
E-commerce Marketplace khususnya Bukalapak dan persepsi
pelaku E-commerce yang negatif mempengaruhi pola pikir pelaku
E-commerce lainnya yang belum menjadi Wajib Pajak.
118
B. SARAN
1. Kepada pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dan
aparatur terkait untuk segera membuat regulasi (aturan) yang
spesifik mengatur tentang pajak E-commerce agar tercipta
keadilan terhadap pelaku E-commerce yang mencakup seluruh
media yang digunakan untuk transaksi E-commerce.
2. Kepada pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak,
agar membentuk suatu tim/badan pengawas cyber crime yang
bekerja untuk mengawasi dan mengantisipasi kejahatan yang
dapat timbul dalam transaksi E-commerce.
3. Kepada Direktorat Jenderal Pajak perlu mengadakan
pendataan kembali terhadap pelaku E-commerce dengan
bekerjasama dengan media sosial terkait yang sering digunakan
sebagai media/sarana oleh pelaku E-commerce sehingga potensi
pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai dari transaksi E-
commerce dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Agus Santoso, 2014, Hukum, Moral, dan Keadilan, Cetakan ke-2, Jakarta:Prenada Media
Agus Setiawan dan Basri Musri, 2006, Perpajakan Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Ali Chidir, 2007, Hukum Pajak Elementer, Bandung: PT. Eresco
Bohari, 2012, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada
Chairil Anwar Pohan, 2017, Pembahasan Komprehensif PengantarPerpajakan Teori dan Konsep Hukum Pajak Edisi 2, Jakarta: MitraWacana Media
Chaizi Nasucha, 2005, Reformasi Administrasi Publik; Teori dan Praktik.Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
John Hutagaol, dkk, 2007, Kapita selekta Perpajakan, Jakarta: SalembaEmpat
Joseph R. Kaho, 2007, Keuangan di Era Otonomi Daerah, Jakarta: RinekaCipta
Kunarjo, 2008, Hukum Perpajakan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta
M. Situmorang, Viktor dan Jusuf Juhir, 1994, Aspek Pengawasan Melekatdalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Mardiasmo, 2011, Perpajakan, Edisi revisi, Yogyakarta: Penerbit Andi
_________, 2012, Perpajakan, Yogyakarta: Penerbit andi
Miftah Thoha, 2009, Perilaku organisasi: konsep dasar dan aplikasinya,Jakarta: Raja Grasindo Perkasa
Nufransa Wira Sakti, 2014, Buku Pintar Pajak E-commerce, Jakarta:Visimedia
Priyo Utomo, 2013, Raja bisnis online, Yogyakarta: Mediakom
R.Santoso Brotodihardjo, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung:Refika Aditama
Rosdiana, Haula, Rasin Tarigan, 2005, Perpajakan, Teori dan Aplikasi,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Siti Resmi, 2008, Perpajakan, Teori dan Kasus, Edisi pertama. Jakarta:Salemba Empat
Soetrisno, PH, 1982, Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara, Yogyakarta:Fakultas Ekonomi UGM
Sri Pudyatmoko, 2015, Memahami Keadilan Di Bidang Pajak, Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka
Sugeng wahyono, 2012, Mengurus Pajak itu Mudah, Jakata: PT. ElexMedia Komputindo
Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Bisnis, Cetakan Enam Belas,Bandung: CV. Alfabeta
Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Bisnis, Cetakan Enam Belas,Bandung: CV Alfabeta
Sukarno Aburaera, Muhadar, dan Maskun, 2014, Filsafat Hukum Teoridan praktik, Cetakan ke-2, Jakarta: Prenadamedia Group
Tunggal Anshari Setia Negara, 2017, Ilmu Hukum Pajak, Malang: SetaraPress
Waluyo, dan Wirawan B. ilyas, 2008, Perpajakan Indonesia. Jakarta:Salemba Empat
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atasUndang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umumdan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang ini diubah denganUndang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang PenetapanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara PerpajakanMenjadi Undang-Undang.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 TentangKetentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
JURNAL:Alim, Setiadi, 2005, Perencanaan Pajak Penghasilan Yayasan yang
Bergerak di Bidang Pendidikan, Jurnal Akuntansi dan TeknologiInformasi
Anjarini, Kusujarwati, dkk, 2012, Analisis Pelaksanaan Pemeriksaan PajakDalam Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi PadaKPP Pratama Jakarta Sawah Besar Satu: Jurnal AkuntasiPerpajakan
Chairil Anwar Pohan, 2016, MEREVIU BASIS PEMAJAKANPERUSAHAAN PELAYARAN NASIONAL BERDASARKAN“DEEMED PROFIT” ATAS PENGHASILAN DARI USAHAANGKUTAN LAUT, Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi
Darmayanti, Theresia Woro, 2004, Pelaksanaan Self Assessment SystemMenurut Wajib Pajak (Studi Kasus pada Wajib Pajak BadanSalatiga): Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Fuadi, Arabella Oentari dan Yeni Mangonting, 2013, Pengaruh KualitasPelayanan Petugas Pajak, Sanksi Perpajakan dan BiayaKepatuhan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM. Tax &Accounting Review
Muliari, Ni Ketut dan Ery Setiawan, 2011, Pengaruh Persepsi tentangSanksi Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak pada KepatuhanPelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kantor Pelayanan PajakPratama Denpasar Timur: Jurnal akuntansi dan bisnis Denpasar,Fakultas Ekonomi Universitas Udayana
Supadmi, Ni Luh, 2009, Meningkatkan Kepatuhan Pajak Melalui KualitasPelayanan, Jurnal Akuntansi dan Bisnis. Denpasar: FakultasEkonomi UNUD
Widayati dan Nurlis, 2010, “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemauanuntuk Membayar Pajak WAjib Pajak Orang Pribadi yang MelakukanPekerjaan Bebas (Studi Kasus pada KPP Pratama Gambir Tiga)”,Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto
MEDIA ONLINE:Ade Hapsari Lestarini, 2017, Menimbang keadilan pajak e-commerce.
diakses dari: http://www.metronews.com/embed/JKRIx2pb, diaksespada Tanggal 16 Januari 2018, Pukul [16.40 WITA]
Anonim, 2011, Kesadaran Wajib Pajak, diakses dari:http://zetzu.blogspot.in/2011/08/kesadaran-wajib-pajak.html?m=1,Pada Tanggal 19 Januari 2018, Pukul [20:40 WITA]
Bambang Hariyanto, 2012, Pengertian kepatuhan wajib pajak menurutahli. Diakses dari:http://www.bambanghariyanto.com/2012/06/pengertian-kepatuhan-wajib-pajak.html?m=1, Pada Tanggal 18 Januari 2018, Pukul [23.30WITA]
Electronic theses & dissertations, 2005, Penerapan pajak penghasilanpada transaksi e-commerce di Yogyakarta. diakses dari:http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=penelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=28616, Pada Tanggal 16 Januari 2018, Pukul [18.30WITA]
Herry Susanto, 2012, Membangun kesadaran dan kepedulian sukarelawajiib pajak, diakses dari:http://www.pajak.go.id/content/article/membangun-kesadaran-dan-kepedulian-sukarela-wajib-pajak, Pada Tanggal 19 Januari 2018,Pukul [20:43 WITA]
Kemetrian Keuangan Republik Indonesia, 2018, APBN 2018, diakses dari:http://www.kemekeu.go.id/apbn2018, pada Tanggal 13 Juli 2018,pukul [20:14 WITA]
Rahmat fiansyah, 2015, Aturan pajak bisnis online ditargetkan rampungtahun ini. diakses dari:http://ekbis.sindonews.com/read/989943/150/aturan-pajak-bisnis-online-ditargetkan-rampung-tahun-ini-1429149243, Pada Tanggal16 Januari, Pukul [15.30 WITA]
Rebecca, 2016, Jenis-jenis E-commerce dan Contohnya, diakses dari:https://www.progresstech.co.id/blog/jenis-e-commerce/, PadaTanggal 20 Mei 2018, Pukul [13.30 WITA]
MEDIA CETAK:Direktorat Jenderal Pajak, 2005, Masalah Pajak di Indonesia: Jakarta