indikator penerapan ham universal dan ham partikular dalam

22
SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018 Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam Putusan Mk No 46/Puu-Viii/2010 Tentang Anak Di Luar Perkawinan Dan Putusan Mk No 8/Puu-Xii/2014 Tentang Perkawinan Beda Agama By: Hanif Millata Ibrahim Abstract This research presents there are at least, three differences due to Human Rights implemention in this two verdicts; the lawsuit object and the interpretation model of Constitution and constitutional courts tends to apply contextual understanding in the order of MK No. 46/PUU-VIII/2010 and tends to apply textual understanding in the order of MK MK No. 8/PUU-XII/2014. While there are 5 indicators of Human Rights implementation. First, the interpretation of constitution should give a maximum protection to minorities. Second, it must accomodate a relevant international covenant and it’s not yet regulated in legislation. Third, it must protect it constitutional rights of civilian. Fourth, to recover the violated constitutional rights. Fifth, it should be formed by technology developments, economic aspect, global socio-cultural that is not contradicted to fundamental principles of Pancasila. Abstrak Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tiga faktor penerapan HAM dalam dua putusan ini, yaitu objek perkara, pola penafsiran Konstitusi, dan MK menerapkan pemahaman cenderung kontekstual dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 dan cenderung tekstual dalam Putusan MK No. 8/PUU-XII/2014. Sedangkan indikator penerapan HAM universal terdapat lima indikator. Pertama, penafsiran Konstitusi harus memberikan perlindungan maksimal kepada kelompok minoritas. Kedua, mengakomodasi kovenan Internasional yang relevan di Indonesia dan belum diatur dalam perundang-undangan. Ketiga, melindungi hak konstitusional warga negara. Keempat, memulihkan kembali hak-hak konstitusional yang dilanggar. Kelima, harus didasarkan pada perkembangan teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya internasional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Penafsiran Konstitusi, Mahkamah Konstitusi A. Pendahuluan Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 memiliki konsekuensi bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara serta penduduk harus berdasar hukum sesuai dengan prinsip the rule of Law, and not of Man, yang sejalan dengan pengertian ‘nomocratie’,

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam Putusan Mk No 46/Puu-Viii/2010 Tentang Anak Di Luar

Perkawinan Dan Putusan Mk No 8/Puu-Xii/2014 Tentang Perkawinan Beda Agama By: Hanif Millata Ibrahim

Abstract This research presents there are at least, three differences due to Human Rights implemention in this two verdicts; the lawsuit object and the interpretation model of Constitution and constitutional courts tends to apply contextual understanding in the order of MK No. 46/PUU-VIII/2010 and tends to apply textual understanding in the order of MK MK No. 8/PUU-XII/2014. While there are 5 indicators of Human Rights implementation. First, the interpretation of constitution should give a maximum protection to minorities. Second, it must accomodate a relevant international covenant and it’s not yet regulated in legislation. Third, it must protect it constitutional rights of civilian. Fourth, to recover the violated constitutional rights. Fifth, it should be formed by technology developments, economic aspect, global socio-cultural that is not contradicted to fundamental principles of Pancasila. Abstrak Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tiga faktor penerapan HAM dalam dua putusan ini, yaitu objek perkara, pola penafsiran Konstitusi, dan MK menerapkan pemahaman cenderung kontekstual dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 dan cenderung tekstual dalam Putusan MK No. 8/PUU-XII/2014. Sedangkan indikator penerapan HAM universal terdapat lima indikator. Pertama, penafsiran Konstitusi harus memberikan perlindungan maksimal kepada kelompok minoritas. Kedua, mengakomodasi kovenan Internasional yang relevan di Indonesia dan belum diatur dalam perundang-undangan. Ketiga, melindungi hak konstitusional warga negara. Keempat, memulihkan kembali hak-hak konstitusional yang dilanggar. Kelima, harus didasarkan pada perkembangan teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya internasional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Penafsiran Konstitusi, Mahkamah Konstitusi A. Pendahuluan

Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 memiliki konsekuensi bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara serta penduduk harus berdasar hukum sesuai dengan prinsip the rule of Law, and not of Man, yang sejalan dengan pengertian ‘nomocratie’,

Page 2: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

116

yaitu kekuasaan dijalankan oleh hukum, ‘nomos’.1 Melihat konsekuensi tersebut, dapat dilihat bahwa dalam negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan. Negara tidak maha kuasa, negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang dan harus memiliki lembaga yudisial yang independen.2

Dalam perjalanan ketatanegaraan, Indonesia memiliki lembaga yudisial berupa Mahkamah Agung sebelum reformasi. Tetapi tidak dengan lembaga penafsiran konstitusi, selama penafsiran Konstitusi atas UUD 1945 dilaksanakan oleh lembaga non-yudisial, ketatanegaraan masih belum berkembang baik, maka diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai teori penafsiran Konstitusi yang sesuai dengan konstitusionalisme dalam UUD 1945 dan perkembagan ketatanegaraan, baik prosedural maupun subatansial, sehingga dibentuklah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amandemen ketiga UUD 1945 yang secara kelembagaan memiliki wewenang untuk melakukan penafsiran Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.3

Setelah lima belas tahun, MK tidak lepas dari permohonan-permohonan judicial review yang menyangkut permasalahan HAM. Keluhan masyarakat mulai bermunculan, termasuk putusan yang dianggap kontroversi yang berkaitan dengan HAM. Misal, kritik terhadap putusan MK No 97/PUU-XIV/2016 terkait penghayat aliran kepercayaan,4 putusan MK No 46/PUU-XIV/2016 yang diisukan dengan wacana LGBT,5 sebelumnya terdapat juga putusan-putusan yang kontroversial karena MK dinilai inkonsisten dalam menentukan putusan terkait dengan hak sipil dan hak politik, yaitu: (1) Putusan No. 065/PUU-II/2004 untuk menguji Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, khususnya pemberlakuan hukum secara surut; (2) Putusan 102/PUU-VII/2009 untuk menguji Undang-undang No. 42 Tahun 2008 tentang

1 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hlm. 88.

2 Udargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 3.

3 Aidul Fitriciada Azhary, “Konstitusi dan Demokratisasi: Studi tentang Model Penafsiran Konstitusi bagi Pengujian Konstitusional yang Demokratis di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 2, (september 2007), hlm. 162.

4"Putusan MK Membuat Eksistensi Penghayat Kepercayaan Diakui Negara", https://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/18573861/putusan-mk-membuat-eksistensi-penghayat-kepercayaan-diakui-negara. diakses pada 14 Maret 2018 Pukul 07.42. WIB.

5http://www.negarahukum.com/hukum/mk-tidak-legalkan-lgbt-dan-kumpul-kebo.html diakses pada 14 Maret 2018 pukul 19. 15. WIB.

Page 3: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

117

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; (3) Putusan No. 140/PUU-VII/2009 untuk menguji Undang-undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama6, dan lainnya. Maka dijelaskan bahwa seiring menyelesaikan sengketa MK, berkembang pula ragam penafsiran hukum HAM oleh MK. Sejauh ini, terdapat empat macam pandangan tentang HAM yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, yaitu pandangan universal absolut, universal relatif, partikularistik absolut dan partikularistik relatif.7

Demikian dengan beberapa putusan MK, terkadang menggunakan penafsiran HAM partikular absolut, partikular relatif pun sebaliknya. Oleh karena itu, ada empat putusan MK yang bersangkutan dengan hubungan keperdataan, lebih khusus perkawinan, yaitu: Pertama, putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang status keperdataan anak di luar nikah; Kedua, putusan MK No. 8/PUU-XII/2014 yang menolak seluruhnya permohonan pembatalan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 karena membatasi hak dalam malaksanakan nikah beda agama; Ketiga, putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 tentang Perjanjian Perkawinan; Keempat, putusan MK No. 13/PUU-XV/2017 yang berimplikasi membatalkan larangan pernikahan sekantor.

Dari empat penelitian ini, hanya akan dikaji dua putusan yang dinilai dari dua perspektif HAM berbeda. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 menyebutkan bahwa pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dibaca “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

6 Suparman Marzuki, “Perspektif Mahkamah Konstitusi Tentang Hak Asasi

Manusia”, Jurnal Yudisial, Vol. 6 No. 3 Desember 2013, hlm. 189.

7 Pertama, pandangan universal absolut yang menganggap bahwa nilai-nilai HAM bersifat Universal sehingga implementasinya tanpa harus memperhitungkan kondisi-kondisi sosial budaya lokal setempat. Kedua, pandangan universal relatif yang melihat HAM selain sebagai persoalan universal namun demikian harus memperhitungkan aturan-aturan internasional yang sudah berlaku sebelumnya dengan nilai-nilai yang berkembang di suatu Negara. Ketiga, pandangan partikularistik absolut yang memaknai HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa yang tidak dapat dicampuri oleh negara-negara lain. Pandangan ini sering menimbulkan kesan chauvinistik dan egoistik. Keempat, pandangan partikularistik relatif, yang melihat HAM sebagai nilai-nilai universal juga merupakan masalah masyarakat setempat dalam arti penerapannya masih harus memperhatikan kondisi sosio—kultural masyarakat lokal, termasuk di dalamnya faktor agama. Disarikan dari artikel Umar sholahudin, “HAM Pancasila; Partikularisme HAM Bercita Rasa Keindonesiaan”, diakses dari http://fh.unair.ar.id/ , pada tanggal 22 Mei 2018 Pukul 11.29.

Page 4: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

118

mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Dalam hal ini, MK menggunakan paradigma HAM universal-relatif dalam menyelesaikan judicial review machica.8 Putusan ini dikenal sebagai putusan revolusiner karena berani berfikir progresif, meloncat dari normativitas dalam bidang keperdataan, sehingga berimplikasi pada jenjang kehidupan anak di luar perkawinan dengan bapak biologisnya, termasuk kewarisan.9

Satu putusan lainnya yaitu putusan MK No 8/PUU-XII/2014 yang menolak seluruhnya permohonan. Dalam permohonannya menyebutkan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 dianggap merugikan hak konstitusional para pemohon yang ditentukan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dalam putusan ini, MK menggunakan paradigma HAM particular-relatif dengan dipengaruhi faktor agama, yang dalam ketatanegaraannya pemeluk agama islam melangsungkan pernikahan harus dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) dan dicatatkan ke kantor catatan sipil untuk selain agama islam.10 Dalam hal ini, secara jelas eksistensi hukum Islam dapat ditegakkan kembali oleh penafsiran Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Peran putusan MK telah mengkorelasikan antara hukum agama dan negara yang berpijak pada maqashidu-syariah11

Atas dua alasan tersebut, perlu dikaji dan didalami tentang apa indikator MK dapat memutuskan perkara Judcial review sesuai dengan paradigma HAM partikular dan HAM universal. Penelitian ini dikaji agar tidak terjadi kesalahahpahaman publik bahwa MK inkonsistensi dalam menangani perkara HAM, maka penting dikaji tentang indikator penafsiran MK dalam menggunakan paradigma HAM terutama lewat

8 Disampaikan oleh Faiq Tobroni, S.HI., M.H dalam The 1st Annual International

Conference Call For Paper on Islamic Law di Gedung Prof. K.H. Saifuddin Zuhri UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 27 November 2017.

9 Dika Juan Aldira, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Kewarisan Anak Luar Pernikahan (Analisis Terhadap Putusan MK No. 4/PUU-VIII/2010),” Skipsi, Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung 2017.

10 Disampaikan oleh Faiq Tobroni, S.HI., M.H dalam The 1st Annual International Conference Call For Paper on Islamic Law di Gedung Prof. K.H. Saifuddin Zuhri UIN Sunan Kalijaga Yogy akarta pada 27 November 2017.

11 Islamiyati, “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/Puu/Xii/2014 Kaitannya Dengan Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam Di Indonesia,” Jurnal Al-Ahkam, Volume 27, Nomor 2, (Oktober 2017), hlm. 157.

Page 5: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

119

studi atas putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 dan putusan MK No 8/PUU-XII/2014. B. Faktor-Faktor Perbedaan Penerapan HAM Universal Dan

HAM Partikular Dalam Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK No. 8/PUU-XII/2014. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak manusia yang dimuculkan dari

gejala-gejala sejarah global. Euforia barat secara bertahap melalui revolusi-revolusi menindaklanjuti klaim-kalim manusia yang didukung oleh konsep-konsep yang berpusat pada perikemanusiaan, martabat inheren manusia, kesetaraan, kebebasan yang melekat pada setiap manusia. Kekhwatiran barat terhadap otoritas agama terus menjadikan kemanusiaan universal sebagai anti-tesis agama.

Dalam perjalanan HAM, masyarakat internasional bersepakat menjadikan HAM sebagai suatu tolak ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa (a commond standard of achiavement for all peoples and all nations). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat Internasional suatu rezim HAM internasional yang disiapkan PBB dan dikenal dengan istilah International Bill of Human Rights.12

Teori HAM universal merupakan doktrin kontemporer generasi ketiga HAM dari rangkaian perspektif moral universalis. Pada tahun 1948 PBB membuat interpretasi resmi HAM pertama melalui DUHAM. International Bill of Human Rights adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada tiga instrumen pokok HAM Internasional beserta optional protocol-nya yang dirancang oleh PBB.13

Sementara menurut relativisme budaya bahwa gagasan tentang HAM

barat akan memaksakan dimensi ke dimensi lain sehingga budaya timur akan terhegemoni dengan budaya barat, Ignas Kleden menyebutnya

12 Rhona K.M. Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM

UII, 2008), hlm. 12.

13 Ketiga instrumen itu adalah: (i) Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights); (ii) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights); dan (iii) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights). Sedangkan optical protocol yang masuk dalam kategori ini adalah protokol pilihan Kovenan hak-hak sipil dan politik (the Optional Protocol to the Covenant on Civil an Political Rights) disebut sebagai instumen pokok karena kedudukan yang sentral dalam corpus hukum HAM internasional. Lihat Louis Henkin, “The International Bill of Rights: The Univesal Declaration and the Covenants,” dalam R. Bernhardt dan JA. Jolowicz (eds), International Enforcement of Human Rights, 1987, dalam Rhona K.M. Smith dkk., Hukum Hak., hlm. 36.

Page 6: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

120

hegemoni grand-narrative.14 Mortimer menyebutnya sebagai agenda anti-agama yang tersembunyi.15 Bahkan puncak kemanusiaan universal telah menemui titik tinggi dalam berbahai konvensi Internasional. Agenda HAM selain menjadi jawaban, juga menjadi tolak-ukur di berbagai negara, khususnya di Negara-negara dunia ketiga.16

Faktor-faktor di atas tidak dapat dilepaskan dari perkembangan HAM di Indonesia saat ini. Meski tidak dapat dipungkiri, sejarah ketatanegaraan Indonesia Orde Baru juga menjadi bagian besar agenda Reformasi ketatanegaraan dan pengakuan Hak-hak kemanusiaan di Indonesia. Pengakuan hak-hak kemanusiaan itu dicatatkan langsung dalam Konstitusi Indonesia pada amandemen kedua. Setidaknya ada 18 ketentuan Hak asasi yang bersifat individual yang bunyinya adalah ‘setiap orang’.17

Terdapat 18 dari 21 ketentuan terkait hak yang mengatur hak indivdu secara umum, selanjutnya terdapat empat ketentuan lainnya merupakan hak yang khusus dimiliki warga negara dan hak kelompok. Yaitu, satu ketentuan khusus untuk warga negara dan dua ketentuan terkait kelompok khusus, yaitu anak dan masyarakat tradisional. Hak khusus yang dimiliki oleh warga negara adalah hak untuk memperoleh kesempatan yang sama

14 E. Howard, HAM: Penjajahan Dalih Relativisme Budaya, (Jakarta: PT Pustaka

Utama Budaya, 2000), hlm. X.

15 Mortimer. E, “Islam and Human Rights” index on Cencorship, October, 183, no. 12, hlm. 5 dalam Mashood A. Baderin, Hukum Internasional., hlm. 12.

16 Ada tiga deklarasi yang memperkenalkan HAM partikular untuk mencari jalan keluar HAM universal. Secara khusus kita akan memperkenalkan HAM dalam perpektif relativisme budaya karena keberadaannya sebagai negara dengan mayoritas beragama Islam. Ada dua dokumen penting mengenai HAM dalam Islam pasca DUHAM, yakni Deklarasi Universal HAM dalam Islam (tahun 1981),16 dan Deklarasi Kairo (tahun 1991). Dua dokumen itu penting dan mendasar berkenaan dengan HAM dalam Islam. Deklarasi kairo lebih dikenal dalam merumuskan HAM dalam perspektif relativisme budaya, sebab dokumen ini menindaklanjuti deklarasi universal HAM dalam Islam (1981) dan semakin praktis dibawah Organisasi Konferensi Islam (OKI). Dokumen Deklarasi Kairo disahkan dalam pertemuan internasional negara-negara Islam di Kairo tahun 1991 oleh para menteri luar negeri. Hal ini didorong karena menyadari betapa penting dan mendesaknya membaharui dokumen mengenai HAM yang lebih selaras dengan konteks budaya timur, praktis dan aplikatif dalam Dr. Martinus Sardi, MA,Mengenal Hak Asasi Manusia dalam Islam Beradasarkan DeklrasiKairo.http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/3914/Martinus%20Sardi_Megenal%20HAM%20dalam%20Islam%20Berdasarkan%20Deklarasi%20Kairo.pdf?sequence=1 diakses pada 19 Maret 2018 pkl. 13.47.

17 Lihat Pasal 28 A, 2B ayat (1), 28C ayat (1), (2), 28D ayat (1), (2), 28E ayat (1), (2), (3), (4), 28F , 28G ayat (1), (2), 28H ayat (1), (2), (3), (4), 28I ayat (2) UUD 1945.

Page 7: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

121

dalam pemerintahan,18 Sedangkan dua ketentuan khusus rentan itu mengatur ketentuan anak,19 dan kelompok masayarakat tradisional.20

Anak menjadi sorotan khusus dalam Konstitusi Indonesia, karena anak sering menjadi objek pelanggaran HAM. Ketentuan ini diberlakukan khusus sebagaimana diakui dalam Konvenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik secara mutatis mutandis berlaku untuk perlindungan khusus bagi anak-anak. ICCPR General Comment No. 17: Article 24 (Rights of the child)21 menyebutkan bahwa setiap anak harus diperlakukan tanpa diskriminasi berkenaan ras, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, harta benda atau kelahiran, berhak atas upaya-upaya perlindungan sebagaimana yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak di bawah umur oleh keluarga, masyarakat dan Negara.

Dalam Pasal 7 Deklarasi Kairo Organisasi Konferensi Islam tentang HAM juga menyetujui ketentuan-ketentuan yang diajukan dalam konvensi anak. Karena dianggap selaras dalam ajaran-ajaran hukum Islam menyangkut kebutuhan untuk seutuhnya menghargai HAM anak.22

Dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 memberikan pertimbangan bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan” berkaitan erat dalam perspektif yang lebih luas, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Maka anak menjadi objek dalam putusan ini.

Sebelumnya perlu diketahui bahwa dalam kenyataan yang ada di masyarakat luas, anak Indonesia terdapat tiga macam status kelahirannya.

18 Lihat Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.

19 Lihat Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945.

20 Lihat Pasal Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945.

21 “Article 24 of the International Covenant on Civil and Political Rights recognizes the right of every child, without any discrimination, to receive from his family, society and the State the protection required by his status as a minor. Consequently, the implementation of this provision entails the adoption of special measures to protect children, in addition to the measures that States are required to take under article 2 to ensure that everyone enjoys the rights provided for in the Covenant. The reports submitted by States parties often seem to underestimate this obligation and supply inadequate information on the way in which children are afforded enjoyment of their right to a special protection.”dalam ICCPR General Comment No. 17: Article 24 (Rights of the child)

22 Lihat, laporan awal kerajaan Saudi Arabia tentang Konvensi Hak Anak (ck.no.546), paragraf 27. Lihat juga pernyataan umum Uni Emirat Arab pada masa penyusunan Draf Konvensi Hak Anak bahwa: ‘ketentuam-ketentuan konvensi Hak Anak yang masih dalam draft ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum islam dan tidak pula bertentangan dengan Konstitusi Uni Emirat Arab’ dalam Mashood A. Baderin, Hukum Internasional., hlm. 158.

Page 8: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

122

Yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak yang lahir di luar perkawinan, anak hasil zina (anak tanpa perkawinan).23 Anak yang lahir di luar perkawinan dan anak hasil zina menjadi objek pembahasan dalam penelitian ini.

Anak yang lahir di luar perkawinan, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Maka perkawinan yang demikian "sah" dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun perkawinan seperti perkawinan siri machica. Perkawinan ini secara material telah memenuhi ketentuan syari'at sesuai maksud Pasal 2 (1) UU No 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam memberikan definisi lain yang bersifat memberikan penjelasan pada Pasal 2 menyatakan bahwa Perkawinan dalam Islam yaitu akad yang mistaqon gholizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksakannya merupakan ibadah.24 Dengan kata lain, perkawnan ini sah secara agama tetapi tidak sah secara formil karena tidak dicatatkan di KUA maupun di catatan sipil karena tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pada pasal tersebut jo Pasal 10 ayat 3 PP No 9 Tahun 1975. Berbeda dengan dengan anak hasil zina yang lahir tanpa dan tidak ditindaklanjuti dengan anak perkawinan. Dia tidak benarkan satupun dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

Putusan MK yang memberikan hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ayah biologisnya termasuk hubugan nasab, waris dan sebagainya adalah anak di luar perkawinan yang sah secara agama tetapi tidak absah secara formil karena tidak dicatatkan, sedangkan anak yang lahir dari tanpa perkawinan (hasil zina) tidak dinasabkan kepada ayahnya biologisnya, maka tidak ada hubungan waris dan keluarga tetapi hanya sebatas hubungan keperdataan untuk keperluan formil.25 Hal ini diungkapkan juga oleh zakkiyah, karena menasabkan anak di luar

23 Definisi Zina dalam anak hasil zina adalah anak yang lahir perempuan dan laki-

laki biologisnya yang sama sekali tidak terikat perkawinan (tanpa perkawinan), baik keduanya belum menikah, salah satunya sudah menikah dengan pasangan lain, atau masing-masing keduanya sudah menikah dengan masing-masing pasangannya.

24 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2014), hlm. 40.

25 Pidato disampaikan Moh. Mahfudz MD dalam acara LC TV One berjudul “Benarkah MK Melegalkan Zina dan LGBT”, tanggal 19 Desember 2017.

Page 9: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

123

perkawinan (anak zina) kepada ayah biologisnya merupakan suatu

tindakan yang akan merusak eksistensi dari maqaṣidu-ssyar’iyyah.26 Maka perlindungan anak secara konstitusionalitas dalam perundang-

undangan Negara Indonesia, ICCPR General Comment No. 17: Article 24 (Rights of the child) dan Pasal 7 Deklarasi Kairo Organisasi Konferensi Islam tentang HAM telah dijelaskan sebagaimana penjelasan di atas bahwa anak diberikan hak khusus. Karena anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak memberikan dosa kepada anak, melainkan perbuatan laki-laki dan perempuan yang sudah seharusnya bertanggungjawab atas lahirnya anak tersebut. Oleh karena itu, anak diberikan hubungan keperdataan kepada ayah biologisnya.

Amar putusan dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa mahkamah menerangkan apa yang menjadi hukum (declaratoir) Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 yang berbunyi, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai bapaknya. Kemudian Mahkamah meniadakan hukum tersebut dan menciptakan hukum yang baru (constitutief), “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk dengan keluarga ayahnya.”

Putusan ini bersifat declaratoir constitutief, 27 yang artinya menegaskan bahwa pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian meniadakan serta menciptakan hukum baru tentang permasalahan kedudukan anak di luar perkawinan. Keadilan yang diambil majelis hakim konstitusi dalam hal ini didasarkan pada rasionalisasi

26 Zakkyah, “Nasab Anak Luar Kawin Menurut ”Hifzhu Nasl” Kajian Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,” Jurnal Yudisial, Vol. 9 No. (2 Agustus 2016). Hlm.1.

27 Jenis putusan yang disimpulkan dari amarnya dapat dibedakan antara putusan yang bersifat declaratoir, constitutief dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan di mana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Sedangkan putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi. Lihat Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta, 2011), hlm. 205-206.

Page 10: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

124

keadilan subtantif, yang mana hubungan perdata antara bapak dan anak bukan hanya dapat diwujudkan melalui hubungan perkawinan namun juga melalui hubungan darah.

Dalam sistem Civil Law yang diterapkan di Indonesia, putusan MK tidak diperkenankan untuk membuat norma baru atau memperluas penafsiran (positif legislator), karena putusan MK harus bersifat negatif legislator. Dalam putusan MK ini hakim membuat norma baru melalui putusan yang bersifat constitutief. Dalam disertasi Martitah di Universitas Diponogoro, MK dapat menjadi positif legislator karena tiga hal. Pertama, jika putusan MK dapat mengakibatkan kekosongan hukum. Kedua, jika ada Undang-undang bertentangan dengan Undang-undang lain. Ketiga, jika penafsiran dari sebuah Undang-undang itu kabur yang mengakibatkan putusan konstitusional bersyarat.28 Alasan yang pertama dan ketiga ini yang dijadikan alasan MK untuk memutus putusan MK perkara machica muchtar.29

Moh. Mahfud MD sebagai ketua MK pada waktu itu menyebutkan bahwa MK terkadang perlu membuat terobosan-terobosan hukum untuk mewujudkan keadilan. Mahfud MD dalam putusan ini memiliki pengaruh signifikan dalam pola penafsiran Konstitusi. Bahkan Mahfud MD menyatakan secara tegas bahwa dalam kebuntuan dalam memberikan solusi, terobosan diperlukan, posisi demikian telah melahirkan putusan-putusan MK yang mendobrak kebekuan hukum dengan melakukan penafsiran baru yang meminggirkan dominasi penafsiran hukum lama, bahkan dalam beberapa perkara menyimpangi asas-asas hukum yang selama ini dipegang oleh para yuris.30

Pan Mohamad Faiz menyebut ada “the greatest dissenter” di MK Indonesia, yaitu Maruarar Siahaan sebagai mahasiswa bimbingan Satjipto Rahardjo ketika menyusun disertasinya di Universitas Dioponegoro, Arief Hidayat sebagai mantan Dekan Fakultas Hukum UNDIP, dan Mahfud MD sebagai sahabat dekat Satjipto Rahardjo sesama akademisi di bidang hukum.31 Pola pemikiran penafsiran progresif ini sangat mempengaruhi

28 Martitah, Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive Legislature,

(Jakarta: Konstitusi Press, 2013), hlm. 43.

29 Pidato disampaikan Moh. Mahfudz MD dalam acara LC TV One berjudul “Benarkah MK Melegalkan Zina dan LGBT”, tanggal 19 Desember 2017.

30 Moh. Mahfud MD, “Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Hukum No. 4 Vol. 1 Jakarta, 16 oktober 2009, hlm. 5.

31 Pan Mohamad Faiz, “Dimensi Judicial Activism dalam Putusan Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Konstitusi, Vol 13. No. 2, Juni 2016, hlm. 423-424.

Page 11: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

125

dinamika putusan hakim terhadap kemerdekaan serta kemandirian hakim dalam memutus perkara.

Dari penjelasan di atas, penulis menangkap bahwa dalam putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 yang bersifat declaratoir constitutief. MK menggunakan pola penafsiran orginalist Fungsional/struktural dalam membatalkan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 yang berbunyi, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, karena inkonstitusional, dan menggunakan pola penafsiran non-originalist doktrinal dalam memutuskan konstitusional bersyarat bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata juga ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, karena melihat konteks modern yang berkembang di Indonesia. Penggunaan dua interpretasi dalam suatu putusan tidak dilarang karena bentuk dari kemerdekaan hakim MK. Hakim dapat menggunakan ragam interpretasi dalam mengkaji sebuah perkara judicial review.32

Putusan yang bersifat progresif ini, meski tidak secara sitematis mengkaitkan dengan landasan yuridis dan konvenan internasional, telah memiliki implikasi untuk mengembalikan hak-hak anak (yang dalam Konstitusi Indonesia termasuk kelompok rentan) dengan mempertimbangkan keadilan subtantif agar sesuai dengan ketentuan Konfensi Hak Anak (confention on the rights og child) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 dan berlaku sebagai hukum internasional pada tanggal 2 September 1990, dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990; dikemukakan bahwa di dalam Konfensi ini telah melahirkan prinsip-prinsip/asas umum perlindungan anak, yaitu prinsip perlindungan aktif (actif protection), prinsip non-diskriminasi (nondiscrimination), prinsip sesuatu yang terbaik bagi anak (the best interest of the child), prinsip hak hidup, keberlangsungan hidup, dan perkembanagan (the rights to life, survival, and development) dan prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).33

Ketentuan status anak di luar perkawinan memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya setelah dibuktikah secara DNA dalam konteks hukum nasional telah merepresentasikan makna perlindungan

32 Wawancara dengan Aidul Fitriciada, Ketua Komisi Yudisial RI, tanggal 3 Mei

2018.

33 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,2005), hlm. 104.

Page 12: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

126

khusus hak asasi anak, “children are afforded enjoyment of their right to a special protection,” ketentuan ini telah diratifikasi oleh Negara Indonsia yang meratifikasi semua ketentuan ICCPR dalam Undang-undang 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR sehingga putusan ini memiliki perspektif HAM universal-relatif. Dalam konteks Islam putusan ini tidak bisa disebut putusan yang revolusioner, melainkan suatu penorobosan hukum Islam kepada hukum nasional, lalu hukum nasional mengakomodasi hukum islam secara subtantif karena hukum waris tidak hanya dilihat dari segi pencatatan saja, melainkan akad yang sah secara islam, kecuali hasil perzinahan belum melakukan perkawinan yang sebatas hubungan keperdataan tanpa hubungan nasab dan waris dengan pertimbangan perlindungan masa depan anak.34

Dengan begitu, ketentuan tentang perlindungan anak yang merupakan hak asasi universal yang memiliki aturan dasar dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945, CCPR General Comment No. 17: Article 24 (Rights of the child) dan Pasal 7 Deklarasi Kairo Organisasi Konferensi Islam tentang HAM. Maka perspektif HAM universal yang digunakan tidak absolut, melainkan universal relatif, perpaduan perlindungan HAM anak dan akomodasi hukum nasional terhadap hukum islam.

Sedangkan dalam putusan MK No. 8/PUU-XII/2014 tentang pernikahan beda agama. Pemohon merasa hak atas kebebasan beragamanya terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena memberi legitimasi kepada negara untuk mencampuradukan perihal administrasi dan pelaksanaan ajaran agama serta mendikte penafsiran agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan. Tapi MK berpendapat lain, karena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam perkawinan berupa pencatatan. Agama menjadi landasan untuk meruskan keturunan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia. Negara berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum bersama dalam tali ikatan perkawinan. Agama memberikan keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-undang menetapkan keabsahan administratif.

Dari enam agama yang diakui oleh Negara Indonesia, lima ajaran agama mereka tidak menghendaki perkawinan beda agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, hindu, dan budha. Hanya ada satu agama yang

34 Wawancara dengan Aidul Fitriciaada, Ketua Komisi Yudisial RI, tanggal 3 Mei

2018.

Page 13: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

127

tidak mengatur pernikahan beda agama secara tegas dalam ajarannya baik secara formil ataupun materi, yaitu agama Konghucu.35

Atas dasar penjelasan di atas, MK menolak seluruh permohonan para pemohon. Nilai dasar pancasila dijadikan pijakan dalam menentukan pertimbangan, bahwa agama dan Negara di Indonesia adalah sebuah kesatuan yang disebut twin tolerantion. Hakim MK dalam putusan ini pun menggunakan pola penafsiran originalist fungsional/struktual, karena diperngaruhi oleh struktur hukum serta analisa sejarah yang sudah berkembang dan menjadi nilai dasar di Indonesia. The family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and the State.

Sedangkan dalam Pasal 28B ayat (1) 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Maka dari ketentuan-ketentuan diatas ada kesesuaian antara Pasal 16 ayat (1) DUHAM dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, yaitu setiap perkawinan memiliki tujuan yang melekat berupa membentuk keluarga (right to marry and to found a family), dan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan perkawinan sah, apabila dilakukan menuurt agama atau kepercanyaannya masing-masing telah diakomodir dengan frasa “without any limitation due to race, nationality or religion.” Lebih ditekan dalam Article 16 paragraf 3 DUHAM bahwa keluarga adalah masyarakat murni (budayanya) yang harus dilindungi oleh Negara.36

Perlu digaris bawahi pada kalimat akhir penjelasan ketentuan General Comment No. 19, bahwa Negara mengharuskan pernikahan dengan perayaan ritual agama (for a State to require that a marriage which is celebrated in accordance with religious rites), tetapi harus juga mengakui perkawinan perdata yang tercatatkan karena tidak bertentangan dengan aturan ini (or registered also under civil law is not incompatible with the Covenant). Maka, menurut konvenan ini dapat disimpulkan bahwa di suatu Negara dapat dimungkinkah dua jenis perkawinan, yaitu perkawinan berdasarkan agama dan perkawinan berdasarkan perdata.37

35 Lihat Pertimbangan hukum putusan MK No. 8/PUU-XII/2014 tentang

pernikahan beda agama.

36 Article 16 paragraf 3 DUHAM berbunyi, “The family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and the State”.

37 Lihat CCPR General comment No. 19: Article 23 (The Family) paragraf 4 menyebutkan, “In this connection, the Committee wishes to note that such legal provisions must be

Page 14: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

128

Pertimbangan MK dalam putusan ini, menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dimungkinkan perkawinan yang berlaku di Indonesia dapat melahirkan perkawinan yang religius (berdasarkan agama), pun sebaliknya. Misalnya, perkawinan yang religius itu menghendaki sistem perkawinan yang dibentuk dalam keluarga hanya menganut bsatu agama, itu dibolehkan karena hak. Jikamelakukan perkawinan perdata, implikasinya jika perkawinan beda agama tidak dikehendaki dalam agamanya, maka dia tidak tunduk pada nilai agama, sehingga dalam mencari kepastian hukum dalam keniscayaann yang berkembang dicatatkan di kantor catatan sipil, karena perkawinan perdata diakui dalam kovenan DUHAM. Yang tidak dibolehkan adalah perkawinan LGBT karena melanggar nilai dasar dan juga tidak dapat membentuk keluarga secara kodrati.38

Alasan-alasan di atas yang menjadikan argumentasi subtantif yang didasarkan pada nilai dasar, dimana hukum agama diadopsi kepada hukum nasional. Putusan ini dipengaruhi relatifisme budaya yang hidup dan berkembang di Indonesia, yang juga diakomodasi oleh konvenan article 16 DUHAM dan konvenan ICCPR General comment No. 19: Article 23 (The Family) paragraf 4, sehingga dalam putusan ini MK menggunakan perspektif HAM partikular-relatif.

Oleh karena itu, ada tiga perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan HAM dalam penelitian ini. Dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yaitu: Pertama, Objek judicial review adalah anak yang memiliki perlindungan khusus dalam konstitusi Indonesia maupun konvenan Internasional; Kedua, putusan ini menggunakan pola penafsiran Konstitusi orginalist Fungsional/struktural dan non-orginalist doktrinal, dimana penafsiran Konstitusi orginalist Fungsional/struktural digunakan untuk membatalkan pasal dan penafsiran Konstitusi non-orginalist doktrinal digunakan untuk pendekatan progresif dalam memperluas tasfiran norma hukum; Ketiga, hakim konstitusi menggunakan batas atas dalam menafsirkan Konstitusi sehingga lebih bersifat kontekstual.

compatible with the full exercise of the other rights guaranteed by the Covenant; thus, for instance, the right to freedom of thought, conscience and religion implies that the legislation of each State should provide for the possibility of both religious and civil marriages. In the Committee’s view, however, for a State to require that a marriage, which is celebrated in accordance with religious rites, be conducted, affirmed or registered also under civil law is not incompatible with the Covenant. States are also requested to include information on this subject in their reports”.

38Wawancara dengan Aidul Fitriciaada, Ketua Komisi Yudisial RI, tanggal 3 Mei 2018.

Page 15: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

129

Sedangkan dalam putusan MK No. 8/PUU-XII/2014 yaitu: pertama, objek judcial review adalah perkawinan yang dalam konvenan internasional ketentuan perkawinan harus dilaksanakan sesuai keadaan masyarakat negara itu sendiri; Kedua, putusan ini menggunakan pola penafsiran Konstitusi originalist fungsional/struktural yang besar dipengaruhi oleh nilai dasar Sila Ketuhanan Yang Maha Esa; Ketiga, hakim konstitusi menggunakan batas bawah dalam menafsirkan konstitusi sehingga lebih tekstual. C. Indikator Penerapan HAM Mahkamah Konstitusi Dalam

Putusan Mk No. 46/PUU-VIII/2010 Dan Putusan Mk No. 8/PUU-XII/2014. Mahkamah Konstitusi disebut dengan the guardian of the constitution.

Kedudukan MK setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka.39 Pemilihan dan penggunaan metode interpretasi merupakan otonomi atau kemerdekaan hakim dalam penemuan hukum.40 Kemerdekaan hakim dalam menentukan metode penafsiran yang digunakan ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Selain itu, dalam Putusan MK No. 5/PUU-IV/2006 juga dinyatakan secara tegas bahwa:

“....Kemerdekaan dimaksud juga diartikan bahwa hakim bebas memutus sesuai dengan nilai yang diyakininya melalui penafsiran hukum, walaupun putusan yang didasarkan pada penafsiran dan keyakinan demikian mungkin berlawanan dengan mereka yang mempunyai kekuasaan politik dan administrasi.”

Satjipto Raharjo menyatakan bahwa hukum senantiasa membutuhkan pembadanan. Ia tidak bias berhenti untuk tetap merupakan konsep yang abstrak. Kesemuanya menghendaki untuk bisa diwujudkan dalam masyarakat. Mewujudkan konsep-konsep yang abstrak tersebut membutuhkan apa yang disebut dengan badan. Hukum membutuhkan institusionalisasi, yang dalam hal ini berupa bantuan berbagai saran agar

39Miftakhud huda, “Ultra Petita dalam pengujian Undang-undang, Jurnal

Konstitusi, Vol.4 No.3 (September 2007), hlm. 144.

40Jimly Asshidqie, Pengantar Ilmu Tata Negara Jilid I, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 78.

Page 16: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

130

hal-hal yang abstrak dapat menjadi konkrit.41 Dalam hal ini progresif akan bertentangan dengan konsep tekstual. Dimana para “penganut” konsep tekstual memandang hukum secara kaku yang hanya didasarkan pada apa yang tertulis dalam teks.

Saldi Isra dalam penelitiannya mengkaji bahwa putusan-putusan MK, pada mulanya seringkali hanya melindungi bunyi ketentuan UUD 1945, namun dalam perkembangannya MK juga mencoba melengkapi kaedah-kaedah hukum yang berlaku umum. Cara berpikir progresif yang dianut oleh MK tersebut sesuai dengan “slogan” yang coba MK bangun sepanjang periode kepemimpinan MK yang kedua, yaitu “menegakkan keadilan substantif”. Perkembangan pengujian undang-undang di MK ini memperlihatkan pergeseran cara pandang tersebut. Dari berpikir sekedar tekstual ke arah cara berpikir hukum yang lebih progresif.42

Supremasi konstitusi telah menjadi ciri yang menonjol dari negara yang menganut paham demokrasi modern, karena konstitusi merupakan kontrak sosial (social contract) baru yang memuat norma-norma Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi sebagi wujud dari kemauan seluruh rakyat. Dalam perjalananya, progresivitas putusan-putusan MK tidak jarang pula memuat putusan-putusan yang kontroversial. Misalnya putusan-putusan yang memiliki pola penafsiran universal yang terkadang dianggap telah keluar dari aturan prosedural yang membatasinya untuk melahirkan keadilan substantif. Selain itu, MK terkadang tidak dapat dikontrol sehingga sering melakukan praktik judicial activism dalam putusan-putusannya.

Judcial activism pertama kali diperkenalkan oleh Arthur Schlesinger pada Januari 1947 dalam majalah Fortune.43 Pada umumnya, judicial activism selalu dilekatkan dalam konteks di mana hakim membuat aturan hukum (judges making law) dalam putusannya.44Menurut Black Law Dictionary, judicial activism diartikan “Philosophy of judicial decision making whereby judges

41 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta: Genta

Publishing, 2010), hlm. 3.

42Saldi Isra, “Perkembanagan Pengujian Perundang-Undangan Di Mahkamah Konstitusi (Dari Cara Berfikir Tekstual ke Progresif)”, Jurnal PUSAKO, Universitas Andalas, 2010, hlm. 177.

43Keenan D. Kmiec, “The Origin and Current Meanings of ‘Judicial Activism”, California Law Review, Volume 92, Issue 5, Oktober 2004, hlm. 1446 dalam Pan Muhammad Faiz, “ Dimensi Judicial Activism dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, (Juni 2016), hlm. 407.

44 Ibid.

Page 17: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

131

allow their personal views about public policy, among other factors, to guide their decisions”.

Definisi menurut black menyatakan bahwa judcial activisme dikaitkan dengan adanya campur tangan lembaga yudisial yang dianggap telah mencampuri sistem demokrasi melalui otokrasi yudisial. Dalam putusan-putusan MK di Indonesia, progresitivitas putusan dapat berimplikasi baik kepada masyarakat dan tidak menutup kemungkinan, akan memberi implikasi yang ditolak oleh masyarakat. Dalam penelitian ini, putusan MK yang bersifat universal sering mendapat sorotan serta pertimbangan di kalangan sarjana hukum karena sudah keluar dari limitasi Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Batasan HAM dimaksudkan agar hak asasi yang dimiliki setiap orang atau setiap individu bukan tanpa batas. Melainkan hak seseorang hanya bebas dimiliki dan dilaksanakan sepanjang pelaksanaannya tidak melanggar hak dan kebebasan orang lain. Pembatasan hak sebagaimana dimaksud Pasal 28J ayat (2) merupakan otoritas negara. Hanya saja, terdapat ketentuan yang mengatur bahwa ada sejumlah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Artinya negara tidak dapat menyimpangi tanggung jawabnya secara hukum, termasuk keadaan darurat sekalipun. Sebab, hak-hak ini merupakan HAM minimal yang tidak boleh dilanggar dalam kondisi apapun (non derogable). Sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Batasan-batasan ternasuk ke dalam nilai dasar yang dimiliki Indonesia. Maka praktik judicial activism tidak boleh melanggar batasan-batasan yang diatur oleh nilai dasar Indonesia.

Dalam penelitiannya, Smithey dan Ishiyama melakukan studi perbandingan mengenai tingkatan judicial activism terhadap MK dan lembaga sejenisnya di delapan negara bekas komunis, yaitu Ceko, Estonia, Georgia, Latvia, Lituania, Moldova, Rusia, dan Slowakia. Mereka melakukan serangkaian hipotesa awal dengan membuat lima faktor penyebab terjadinya judicial activism, yaitu: 1.adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah; 2. adanya konstitusi atau dokumen tertulis; 3. independensi peradilan; 4. fragmentasi dan efektivitas partai politik; dan 5. dukungan dan legitimasi publik terhadap kinerja pengadilan. Hasilnya menunjukan bahwa faktor fragmentasi dan efektivitas partai politik serta faktor dukungan dan legitimasi publik terhadap pengadilan merupakan faktor utama dalam menciptakan terjadinya judcial activism.45

45Shannon Ishiyama Smithey dan John Ishiyama, “Judicial Activism in Post-

Communist Politics”, Law and Society Review, Volume 36, Issue 4, Januari 2002, hlm. 725 – 727.

Page 18: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

132

Dalam konteks Indonesia, hasil tersebut belum dapat dijadikan analisa yang sama terhadap judcial activim di Indonesia. Penulis mempertimbangkan beberapa faktor yang akan menjadikan hasil berbeda, meski ada juga beberapa persamaan seperti sistem kepartaian di Indonesia adalah multi partai, belum lagi dengan penelitian Mahfud MD yang menyatakan bahwa politik di Indonesia determinan atas hukum. Berikut beberapa pertimbangannya:

1. Setiap zaman yang berkembang memilki faktor determinan yang beragam di Indonesia;46

2. Nilai-nilai dasar di Indonesia tidak lepas dari konsep religiusitas,47 tidak seperti komunis;

3. Pola penafisran Konstitusi secara kontekstual dengan mengedepankan keadilan subtantif baru banyak dilakukan pada perkembangan MK periode kedua;48

4. Perubahan ketatanegaraan dan pengakuan Jaminan HAM dalam Konstitusi Indonesia lebih baru daripada usia Konstitusi negara-negara yang diteliti oleh Smithey dan Ishiyama.

Maka perlu diperhatikan agar MK tidak terjebak dalam fragmentasi dan efektivitas partai politik, karena MK adalah lembaga yudikatif yang memiliki kemerdekaan menafsirkan Konstitusi. MK harus bisa memberikan kepercayaan publik bahwa putusan-putusan MK dilakukan secara mandiri tanpa intervensi luar pengadilan sehingga diperlukan indikator dalam mengkaji perkara judicial review, khususnya berkaitan dengan HAM. Dalam hal ini, MK juga bertugas untuk melindungi dan memajukan hak asasi melalui pertimbangan-pertimbangan putusannya.

Christopher G. Buck berpendapat bahwa secara umum judicial activism haruslah berlandaskan pada prinsip hukum dan tidak dapat dilepas pada diskresi pengadilan semata. Selain itu, judicial activism yang terjadi di beberapa kasus tertentu dapat memperoleh justifikasi sepanjang memuat prinsip-prinsip dalam memutus suatu perkara yang dikenal dengan istilah virtue jurisprudence, diantaranya, yaitu:49

46 Wawancara dengan Aidul Fitriciaada, Ketua Komisi Yudisial RI, tanggal 3 Mei 2018.

47 Ibid.

48Baca keseimpulan serta orientasi slogan periode kedua MK dalam penelitian Saldi Isra, “Perkembanagan Pengujian Perundang-Undangan., hlm. 107.

49Christopher G. Buck, “Judicial Activism” dalam Gary L. Anderson dan Kathryn G. Herr, editor, Encyclopedia of Activism and Social Justice, California: SAGE Publication, 2007, hlm. 785 dalam Pan Muhammad Faiz, “ Dimensi Judicial Activism., hlm. 409.

Page 19: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

133

1. Hak-hak dan kebebasan warga negara yang dijamin oleh Konstitusi (Principled implicationism).

2. Hak-hak yang memberikan perhatian khusus kepada kelompok minoritas atau rentan yang memperoleh dampak negatif dari proses demokrasi berbasis mayoritas (Principled Minoritariansim).

3. Pemulihan dan pelindungan hak-hak konstitusional indvidu atau kelompok yang dilanggar (Principled Remedialism).

4. Mempertimbangkan perkembangan dunia hukum internasional (Principled Internasiomalism).

Konsep virtue jurisprudence ini cukup relevan diterapkan menjadi bagian

indikator penerapan penafsiran Kontitusi perpektif HAM universal di Indonesia agar putusan tidak hanya dari pertimbangan melalui diskresi pengadilan semata. Faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 dan putusan MK No. 8/PUU-XII/2014 juga perlu diperhitungkan dalam penentuan indikator perapan HAM universal MK. Penyusun menyimpulkan terdapat lima (5) indikator penerapan HAM universal indonesia dalam penelitian ini, yaitu:

1. Penafsiran Kontitusi yang dikaji untuk memberikan perlindungan maksimal kepada kelompok minoritas atau rentan yang memperoleh dampak negatif dari proses peraturan yang didasarkan pada pertimbangan mayoritas.

2. Penafsiran Konstitusi untuk mengakomodasi kovenan Internasional yang relevan di Indonesia dan belum diatur dalam perundang-undangan.

3. Penafsiran Kontitusi untuk melindungi hak konstitusional warga negara.

4. Penafsiran untuk memulihkan kembali hak-hak konstitusional yang dilanggar.

5. Penafsiran Kontitusi yang didasarkan pada perkembangan teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya internasional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila.

D. Penutup

Dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak di Luar Perkawinan yang memiliki perspektif hukum HAM universal-relatif dan putusan MK No. 8/PUU-XII/2014 tentang Perkawinan Beda Agama yang memiliki hukum HAM perspektif partickular-relatif didapatkan tiga faktor perbedaan yang melatarbelakangi perspektif HAM. Dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yaitu: Pertama, Objek judicial review adalah anak yang memiliki perlindungan khusus dalam konstitusi Indonesia

Page 20: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

134

maupun konvenan Internasional; Kedua, putusan ini menggunakan pola penafsiran Konstitusi orginalist Fungsional/struktural dan non-orginalist doktrinal, dimana penafsiran Konstitusi orginalist Fungsional/struktural digunakan untuk membatalkan pasal dan penafsiran Konstitusi non-orginalist doktrinal digunakan untuk pendekatan progresif dalam memperluas tasfiran norma hukum; Ketiga, hakim konstitusi menggunakan batas atas dalam menafsirkan Konstitusi sehingga lebih bersifat kontekstual. Sedangkan dalam putusan MK No. 8/PUU-XII/2014 yaitu: pertama, objek judcial review adalah perkawinan yang dalam konvenan internasional ketentuan perkawinan harus dilaksanakan sesuai keadaan masyarakat negara itu sendiri; Kedua, putusan ini menggunakan pola penafsiran Konstitusi originalist fungsional/struktural yang besar dipengaruhi oleh nilai dasar Sila Ketuhanan Yang Maha Esa; Ketiga, hakim konstitusi menggunakan batas bawah dalam menafsirkan konstitusi sehingga lebih tekstual.

Faktor-faktor yang melatarbelakangi perbedaan penerapan HAM dua putusan ini, menjadi bagian tolak ukur yang dikaji lebih dalam melalui konsep virtue jurisprudence untuk menemukan indikator-indikator relevan yang menjadi dasar legitimasi hakim Konstitusi dapat menerapkan perspektif HAM universal dalam objek perkara juducial review. Terdapat lima indikator yaitu: Pertama, penafsiran Kontitusi yang dikaji untuk memberikan perlindungan maksimal kepada kelompok minoritas atau rentan yang memperoleh dampak negatif dari proses peraturan yang didasarkan pada pertimbangan mayoritas; Kedua, penafsiran Konstitusi untuk mengakomodasi kovenan Internasional yang relevan di Indonesia dan belum diatur dalam perundang-undangan; Ketiga, penafsiran Kontitusi untuk melindungi hak konstitusional warga Negara; Keempat, penafsiran untuk memulihkan kembali hak-hak konstitusional yang dilanggar; Kelima, penafsiran Kontitusi yang didasarkan pada perkembangan teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya internasional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila.

E. DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku

Asshidqie, Jimly, Pengantar Ilmu Tata Negara Jilid I, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Baderin, Mashood A., Hukum Internasional Hak AsasiManusia & Hukum Islam, Jakarta: Komisi Nasional HakAsasiManusia, 2010.

Page 21: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

135

Buck, Christopher G., “Judicial Activism” dalam Gary L. Anderson dan Kathryn G. Herr, editor, Encyclopedia of Activism and Social Justice, California: SAGE Publication, 2007.

El-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,2005.

Gautama, Udargo, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1998.

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2015.

Howard,E, HAM: Penjajahan Dalih Relativisme Budaya, Jakarta: PT Pustaka Utama Budaya, 2000.

Martitah, Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Jakarta: Konstitusi Press, 2013.

Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum Asai-Esai Terpilih, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Rhona K.M. Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.

Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2014.

Sumber Jurnal, Skripsi dan Tesis Aidul Fitriciada Azhari, Konstitusi dan Demokratisasi: Studi tentang

Model Penafsiran Konstitusi bagi Pengujian Konstitusional yang Demokratis di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 2, september 2007.

Aldira Dika Juan, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Kewarisan Anak Luar Pernikahan (Analisis Terhadap Putusan MK No. 4/PUU-VIII/2010), Skipsi, Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung 2017.

Islamiyati, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/Puu/Xii/2014 Kaitannya Dengan Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam Di Indonesia, Jurnal Al-Ahkam, Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017.

Miftakhud Huda, “Ultra Petita dalam pengujian Undang-undang, Jurnal Konstitusi, Vol.4 No.3 September 2007.

Moh. Mahfud MD, “Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Hukum No. 4 Vol. 1 Jakarta, 16 oktober 2009.

Page 22: Indikator Penerapan Ham Universal Dan Ham Partikular Dalam

Hanif Millata Ibrahim: Indikator Penerapan Ham Universal Dan...

SUPREMASI HUKUM Vol. 7, No. 1, Juni 2018

136

Pan Muhammad Faiz, “Dimensi Judicial Activism dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni 2016.

Saldi Isra, “Perkembangan Pengujian Perundang-undangan Di Mahkamah Konstitusi (Dari Cara Berfikir Tekstual ke Progresif)”, Jurnal PUSAKO, Universitas Andalas, 2010.

Shannon Ishiyama Smithey dan John Ishiyama, “Judicial Activism in Post-Communist Politics”, Law and Society Review, Volume 36, Issue 4, Januari 2002.

Suparman Marzuki, “Perspektif Mahkamah Konstitusi Tentang Hak Asasi Manusia”, Jurnal Yudisial, Vol. 6 No. 3 Desember 2013.

Sumber Tidak diterbitkan

Faiq Tobroni, S.HI., M.H dalam The 1st Annual International Conference Call For Paper on Islamic Law di Gedung Prof. K.H. Saifuddin Zuhri UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 27 November 2017.

Wawancara dengan Aidul Fitriciaada, KetuaKomisi Yudisial RI, tanggal 3 Mei 2018

Sumber Online http://fh.unair.ar.id/ http://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/18573861/putusan-mk-

membuat-eksistensi-penghayat-kepercayaan-diakui-negara. http://www.negarahukum.com/hukum/mk-tidak-legalkan-lgbt-dan-

kumpul-kebo.html. http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/3914/Martinu

s%20Sardi_Megenal%20HAM%20dalam%20Islam%20Berdasarkan%20Deklarasi%20Kairo.pdf?sequence=1