journal reading.doc

Upload: chity-girls

Post on 02-Mar-2016

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Journal Reading

BASICS OF FLUID AND BLOOD TRANSFUSION THERAPY IN PEDIATRIC SURGICAL PATIENTS

Oleh:

Muhammad Yusuf Musthafa(207.121.0017)Cici Damayanti(208.121.0039)

Sitti Rahmawati(208.121.0042)Pembimbing: dr. Jhony Budi Satriyo,M.Kes, Sp.AnSMF ANASTESI

KEPANITRAAN KLINIK MADYA

RSUD KANJURUHAN KEPANJEN MALANGFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG2013KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Ucapan puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahaNya, makalah jurnal reading ini dapat penulis selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam malakah jurnal reading ini, penulis membahas mengenai Basics of Fluid and Blood Transfusion Therapy in Pediatric Surgical Patients.

Makalah jurnal reading ini dibuat untuk memenuhi tugas Kepanitraan Klinik Madya SMF Anastesi. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan jurnal reading ini masih jauh dari sempurna. Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya penulis mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi, dan saran untuk itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada dr. Jhony Budi Satriyo, M.Kes, Sp.An selaku pembimbing Kepanitraan Klinik Madya SMF Anestesi dan rekan mahasiswa yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah jurnal eading ini.

Demikian makalah jurnal reading ini penulis buat. Semoga bermanfaat.

Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Malang, Mei 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar ....................................................................................i

Daftar Isi..............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................2BAB III PEMBAHASAN...................................................................3

3.1. Intraduction..........................................................................3

3.2.Crystalloids..........................................................................33.3.Preoperative Estimation of Fluid Deficit:

Facts and Controversies.......................................................43.4.Intraoperative Fluid Management........................................63.5.Perioperative Dextrose: Rationale For Avoiding

Both Hypoglycaemia and Hyperglycaemias........................6

3.6.Volume Replacement During Infancy: Indications

And Choice of Crystalloids and Colloids.............................7

3.7.Colloids.................................................................................8

3.8.Postoperative Fluid Therapy..................................................93.9.Intraoperative Pediatric Blood Tranfusion Therapy..............10

3.10. Other Practical Tips.............................................................13

BAB IV PENUTUP............................................................................14

4.1.Kesimpulan..........................................................................14DAFTAR PUSTAKA

iiiBAB 1PENDAHULUAN

Terapi cairan perioperatif, elektrolit dan transfusi darah pada bayi dan anak-anak masih diperdebatkan, tentang formula dan penggunaanya dalam praktek dan kadang menimbulkan suatu kesalahan. Pemberian cairan perioperatif, kristaloid, koloid dan komponen darah, biasanya digunakan untuk menstabilkan kardiovaskular untuk mempertahankan perfusi jaringan. Akhir-akhir ini, kontrovensi muncul untuk penggunaan glukosa dan hipotonik kristaloid sebagai terapi cairan perioperatif pada anak-anak. Terapi transfusi intraoperatif pada anak, biasanya berhubungan dengan transfusi darah masif (apabila darah yang hilang 1 volume darah) merupakan suatu kompleks yang rumit antara volume darah pasien dan volume darah individu dari produksi transfusi. Terapi cairan, elektrolit, dan transfusi darah dibutuhkan pada perioperatif pasien pediatric karena membatasi terjadi kesalahan. Artikel ini membahas konsep-konsep dasar dalam cairan perioperatif dan terapi transfusi darah pada anak.

Kata kunci: Puasa, terapi cairan, hiperglikemia, hipoglikemia, hiponatremia, transfusi darah masif, perioperatif, terapi transfusi

BAB IITINJAUAN PUSTAKABAB IIIPEMBAHASAN3.1. IntraductionManajemen perioperatif cairan pada bedah pediatri telah menjadi perbincangan yang menarik dan diperdebatkan, yaitu mengenai peresepan antara volume dan komposisi yang harus dipakai tiap pasien, tipe operasi dan kejadian yang diinginkan pada saat perioperatif. Total air dalam tubuh bayi baru lahir adalah 75-80% dan menurun secara bertahap saat dewasa sekitar 60%. Cairan ekstraseluler (ECF) mewakili 45% dari berat badan neonates dan 30% pada usia 1 tahun, dibandingkan dengan saat dewasa 20%. Bayi lebih dapat melakukan kompensasi, sedangkan pada neonates dengan perbandingan luas kulit dan berat, tingginya cairan, dan terbatasnya kemampuan ginjal, serta lebih besar tingkat kehilangan air yang tidak disadari melalui kulit dan tingginya aliran darah, yang semuanya secara klinis dapat mnenyebabkan dehindrasi dalam jangka waktu yang pendek. Menejemen cairan yang tepat diperlukan dalam pasien pediatric dikarenakan seringnya terjadi kesalahan.3.2.Crystalloids : The 4/2/1 Role

Pada tahun 1957 holliday dan segar pertama kali memperkenalkan cara peresepan cairan intra vena berdasarkan estimasi kebutuhan metabolic pada pasien. Pengeluaran kalori dihitung mencapai 100kcal/kg untuk bayi dengan berat 3-10 kg. 1000 kcal +50 kcal/kg untuk berat badan lebih dari 10 kg tetapi kurang dari 20 kg, dan 1500 kcal+ 20 kcal/kg untuk berat 20 kg dan diatasnya. Untuk kondisi dibawah normal, 1 ml air dibutukan untuk memetabolisme 1 kcal, yang didapatkan dari penjumlahan dari kehilangan air secara tidak disadari baik melalui kulit, jalan nafas dan pengeluaran urin. Untuk itu pada saat anak bangun, kalori dan konsumsi air harus seimbang dan aturan kebutuhan cairan berdasarkan berat untuk tiap jam ini berkembang menjadi yang disebut aturan 4/2/1 untuk menejemen terapi cairan pada anak.

Pada study yang sama, holliday dan segar mengartikan kebutuhan elektrolit untuk maintenance berdasarkan komposisi volume susu manusia dan susu sapi, dimana merekomendasikan 2mEq/100 kcal/hari natrium dan klorida, dan 3 meq/100 kcal/hari untuk kalium. kebutuhan elektrolit tersebut secara teori berasal dari hypotonic maintenance yang umumnya digunakan di rumah sakit anak yaitu 5% dextrose (D5) dengan 0,45% normal saline (NS). Pada beberapa dekade, cairan yang diberikan untuk anak-anak oleh dokter spesialis anak adalah 1:4 atau 1:3 saline berdasarkan konsep ini. Study terbaru menunjukkan penggunaan hypotonic solution pada stress yang diinduksi meningkatkan pengeluaran hormone anti diuretic (ADH) secara perioperatif dapat menyebabkan hiponatremic encephalopathy, kerusakan saraf permanen dan bahkan menyebabkan kematian. 3.3.Preoperative Estimation of Fluid Deficit:Facts and Controversies Secara historis, pemberian cairan intraopertif diperlukan untuk mengganti cairan yang hilang pada praoperatif dan selama pembedahan. Secara konvensional, akibat puasa pre-operasi pada anak-anak yang menyebabkan kehilangan cairan sekunder.Pada tahun 1975, furman dkk, mengusulkan perhitungan kehilangan cairan pra operasi dengan mengalikan tiap jam, aturan 4/2/1/, pada pasien dengan (Nil Per Oral). Mereka menyatakan penggantian volume cairan pada 1 jam pertama dari pembedahan diikuti dengan yang lain pada 2 jam berikutnya. Pada tahun 1986, berry menyederhanakan metode Furman dkk, dengan memberikan larutan elektrolit (bolus) pada anak yang sehat selama jam pertama operasi. Berry menyimpulkan bahwa, anak-anak usia 3 tahun dan lebih mudah harus mendapatkan 25 ml/kg cairan sedangkan pada anak-anak usia 4 tahun dan lebih tua harus mendapatkan cairan 15 ml/kg.

Metode Furman dkk dan Berry dikembangkan berdasarkan pada asumsi bahwa pasien telah NPO untuk setidaknya 6-8 jam. Perdebatan tentang pentingnya dehidrasi pra operasi sekunder NPO menjadi kurang penting karena pedoman puasa baru untuk operasi elektif diterbitkan oleh American Society of anestesi (ASA), dengan pemberian cairan hingga 2 jam sebelum anestesi [Tabel 2]. Meskipun demikian, pada anak-anak, belum ada data yang mungkin pada saat operasi dengan NPO selama lebih dari 2 jam atau memiliki defisit yang signifikan terkait dengan proses penyakit mereka. Bahwa tidak ada data untuk menentukan jumlah yang tepat dari defisit cairan yang terjadi pada anak-anak puasa normal, bukti kuat menunjukkan bahwa pasien dewasa yang sehat akan mempertahankan volume intravaskular yang normal. Estimasi derajat dehidrasi pra operasi didasarkan pada tanda-tanda klinis klasik [Tabel 3]. Dalam situasi klinis akut,penurunan berat badan anak biasanya indikasi yang sangat baik dari total kehilangan cairan.Tanda yang paling penting dari status hidrasi normal adalah fungsi ginjal. Dengan demikian, pemantauan urin output sangat penting untukmengevaluasi dan menangani kehilangan cairan. Koreksi 1% dehidrasi membutuhkan sekitar 10ml/kg cairan. Dehidrasi pada pasien pediatrik membutuhkan resusitasi, bolus ringer laktat (RL) 20ml/kg secara intravena sesegera mungkin. Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah menjaga cairan dan keseimbangan elektrolit dan, sebagai konsekuensi stabilitas kardiovaskular normal. Kekurangan volume intravaskuler dapat diberikan larutan normotonic dan normo-osmolar. Larutan kristaloid seperti RL, NS atau larutan koloid dapat digunakan pada awal resusitasi.

3.4.Intraoperative Fluid ManagementTerapi cairan pada saat operasi (intra operasi) diberikan berdasarkan kebutuhun metabolik basal (terapi maintenance), kompensasi dari kehilangan cairan saat preoperatif dan kehilangan cairan saat operasi. Kehilangan cairan pada ruang ke 3 mengacu pada kehilangan cairan pada ruang ekstraseluler, dan pada anak anak biasanya mencapai 1 ml/kg/jam untuk bedah minor dan 15 ml/kg/jam untuk bedah mayor seperti bedah abdomen atau bahkan sampai 50 ml/kg/jam pada bedah necrotizing enterocolitis bayi premature. Kehilangan cairan pada ruang ke 3 harus diganti dengan cairan kristaloid (NS/RL). Namun pemberian cairan NS dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan hipercloremic yang bisa menyebabkan asidosis metabolik. Beberapa penelitian lain mengungkapkan pemberian cairan koloid atau kristaloid saat operasi akan mengurangi komplikasi post operasi seperti odema jaringan karena kehilangan pada ruang ke -3 dan mempercepat penyembuhan pasca operasi.

3.5.Perioperative Dextrose: Rationale For Avoiding Both Hypoglycaemia and Hyperglycaemia

Baik hipoglikemia maupun hiperglikemia akan menyebabkan gangguan pada pasien anak anak. Pada kondisi hipoglikemia akan memicu respon stres dan perubahan aliran darah otak dan metabolisme. Gangguan pada perkembangan saraf anak bisa terjadi bila kondisi hipoglikemia tidak tertangani dengan baik. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa injuri cerebral terjadi pada hipoglikemia yang menetap (kadar glukosa < 45 mg/dl / 2,6 mmol/L). Insiden hipoglikemia pada preoperatif sekitar 0-2,5 % dan ini biasanya disebabkan oleh kondisi puasa antara 8 19 jam.

Hiperglikemia juga dilaporkan dapat merusak sistem saraf. Hal ini terjadi karena pada kondisi hiperglikemia menyebabkan iskemia dan hipoksia karena metabolisme anaerob dari kelebihan glukosa, terjadi akumulasi laktat, penurunan pH intrasel, dan gangguan dari fungsi sel yang menyebabkan kematian sel. Selain itu hiperglikemia dapat menyebabkan diuresis osmosis sehingga bisa terjadi dehidrasi dan gangguan dari elektrolit.

Sekarang ini, penggunaan cairan dekstrose pada intraoperativ hanya pada anak anak yang memiliki resiko tinggi hipoglikemia, dan pada kondisi tertentu menggunakan konsentrasi dekstrose yang lebih rendah (1%, 2,5%) atau kombinasi dengan RL (RL 1/2 D2,5%). Pasien yang memiliki resiko tinggi terjadi hipoglikemia adalah neonatus, anak anak yang menerima hiperalimentasi, dan mempunyai penyakit endokrinopati yang mendapatkan monitor khusus untuk kadar glukosa dan menerima infus glukosa (120 300 mg/kg/jam).

3.6.Volume Replacement During Infancy: Indications And Choice of Crystalloids and ColloidsKetika menentukan penggunaan cairan kristaloid atau koloid kita harus memperhatikan tipe kehilangan cairan (fluid loss atau plasma loss), efek pada pemberian cairan tersebut pada volume intravaskuler, cascade coagulasi, mikrosirkulasi dan reaksi alergi. Kristaloid adalah cairan pertama yang bisa digunakan untuk mengatasi kehilangan darah baik absolute ataupun relatif saat operasi pada anak anak. Kebanyakan anestesiologis menggunakan kombinasi RL dan NS untuk mengganti cairan dan maintenance selama operasi. Keuntugan penggunaan cairan tersebut adalah harga murah, sedikit efek pada koagulasi, tidak ada resiko anafilaksis dan resiko transmisi oleh agen infeksius. Normalnya 15 20 ml/kg/jam dari RL / NS selama 15 20 menit dapat menstabilkan sistem kardiovaskuler. Setelah pemberian cairan kristaloid sebanyak 30 50 ml/kg, pemberian cairan koloid seperti albumin atau koloid sintetik berguna untuk menstabilkan tekanan onkotik. Hal ini sangat penting sebab saat intra operasi pada anak anak osmoloaritas cairan tubuh harus mendekati normal fisiologis tubuh untuk menghindari terjadinya hiponatremia, penambahan glukosa 1-2,5 % untuk menghindari hypoglikemia dan jika diperlukan penambahan anion seperti acetat, laktat, malate untuk menghindari asidosis metabolik kususnya pada pasien neonatus.

3.7.ColloidsCairan Koloid dapat dibagi ke dalam ke dalam protein alami seperti albumin, dan koloid sintetik seperti HES, gelatin dan dextran. Albumin adalah gold standar pada pemberian cairan koloid. Cairan albumin 5 % mempunyai tekanan osmotik sama dengan volume plasma dimana 25 % cairan akan menyebabkan ekspansi cairan cairan ke intravaskuler sebanyak 3 5 kali. Namun pada kasus pasien dengan peningkatan permeabilitas seperti luka bakar, sepsis pemberian albumin akan menyebabkan albumin pindah ke interstisiel dan semakin memperburuk keadaan. Cairan albumin digunakan sebagai plasma expander pada pasien neonatus dan anak anak.

HES adalah koloid sintetik yang dibentuk dari polisakarida. Cairan ini memiliki berat molekul yang besar dan osmolaritas yang tinggi yang memiliki efek lebih lama namun juga dapat merubah abnormalitas pada koagulasi, memperburuk fungsi renal, dan pruritus. Produk terbaru dari HES memiliki berat molekul dan osmolaritas yang lebih ringan sehingga efek samping dapat diminimalisir.

Gelatin adalah polipeptida yang diproduksi oleh degradasi dari bovine kolagen. Cairan ini juga memiliki efek samping ke sistem koagulasi seperti cairan HES. Namun pada beberapa penelitian pemberian cairan gelatin dapat menyebabkan necrotizing enterocolitis pada bayi prematur. Dextran adalah water soluble glucose polymer/ polisakarida yang disintesis oleh spesifik bakteri dari sukrosa. Sediaan jenis cairan ini adalah dextran 10%, dextran 40%, dextran 70 . Dextran akan menginduksi Von hildebrand syndrome dan meningkatkan fibrinolisis. Efek samping lain dari pemberian dextran adalah ARF pada pasien stroke iskemia dan reaksi anafilaksis. Penggunaan dextran pada anak anak dibatasi yaitu 20 ml/kg/hari.

Hypertonic Saline Pada anak-anak dengan cedera otak traumatis, salin hipertonik (4 ml/kg) dapat meningkatkan tekanan perfusi serebral dalam 3 hari setelah trauma kepala bila dibandingkan dengan RL. Efek samping kemungkinan sindrom demi elinasiosmotik, peningkatan tekanan intrakranial, ARF akibat peningkatan osmolaritas serum. Peterson, dkk melaporkan bahwa tidak ada anak yang menderita ARF setelah penggunaan salin hipertonik, namun hiperkalsemia dan kesenjangan non-anion asidosis metabolik adalah kelainan elektrolit umum yang terkait dengan penggunaannya. Keduanya, klinis tidak relevan jika natriumserum disimpan di bawah 155 mmol/L.

3.8.Postoperative Fluid TherapyJika asupan oral harus ditunda (misalnya setelah operasi abdomen), terapi cairan harus diberikan pada akses vena perifer jika durasi infus intravena tidak diperkirakan melebihi 5 hari atau akses vena sentral ketika nutrisi parenteral jangka panjang diperlukan. Terapi cairan harus memenuhi kebutuhan metabolisme dasar, dan kompensasi gastrointestinal (misalnya suction lambung) dan kerugian tambahan (misalnya demam). Hiponatremia pasca operasi adalah gangguan elektrolit yang paling sering pada periode pasca operasi. Hiponatremia berat (