jurnal psikologi psikobuana - 13-28 - pemrofilan
DESCRIPTION
Jurnal Ilmiah Psikologi PSIKOBUANA menggelorakan riset, pertukaran akademis serta praktik profesional yang berkenaan dengan persoalan-persoalan psikologis yang terjadi di tanah air pada umumnya dalam rangka pengembangan psikologi buana Indonesia pada khususnya. Jurnal Psikobuana diterbitkan pada bulan Februari, Juni, dan Oktober, oleh Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta.SIDANG PENYUNTING: Mitra Bestari:Prof. Koentjoro, Ph.D., Dr. A.A. Anwar Prabu M., Prof. Dr. Enoch Markum, Dr. Limas Sutanto; Penyunting Penyelia: Prof. Dr. Agus Djoko; Penyunting Eksekutif: Juneman, S.Psi.Web site: http://www.psikobuana.com===========Psychology contributes to criminal profiling process. Unfortunately, after intensive review on latest research findings, it is detected that most criminal profiling process is not based on strong scientific assumptions. This article explains the reasons why criminal profiling is quite a problem for psychology as a science. The author proposes several ideas to overcome this problem. The first idea is about the accurate understanding of criminal profiling scientific status. The science-pseudoscience-non science dichotomy and protoscience-science spectrum will support this understanding. The second idea is that there are some things to be considered for criminal profiling in order to be a prestigious discipline and be used scientifically appropriate by scientists and practitioners of forensic psychology and criminology. [ Jurnal Ilmiah Psikologi Psikobuana, Vol.1 No.1, page 13-28 ] http://www.psikobuana.comTRANSCRIPT
Editorial
Kolokium Psikologi Indonesia ke-19 telah diselenggarakan di Padang, Sumatera Barat, pada 30
April sampai dengan 2 Mei 2009. Kolokium Psikologi Indonesia, yang merupakan wadah
berkumpulnya institusi penyelenggara pendidikan psikologi di Indonesia, telah menyepakati
sejumlah hal, antara lain metamorfosis diri menuju sebuah organisasi yang berbadan hukum serta
pengubahan nama "Magister Profesi Psikologi" atau pun “Program Pendidikan Profesi Psikologi
Jenjang Magister (P4JM)” menjadi "Magister Psikolog". Mengenai hal yang terakhir ini, naskah
kajian akademik masih dipersiapkan dalam rangka pengajuannya ke Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI untuk kodifikasi, meskipun pendidikan akademik yang
menghasilkan psikolog profesional telah ada sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Bersama antar
Dekan Fakultas Psikologi se-Indonesia dan Himpunan Psikologi Indonesia/Himpsi No.
02/KOL.PSI/02, 25 Oktober 2002. Nampaknya, justru kajian epistemologis yang mendalam
terhadap nama dan substansi “Magister Psikolog” masih perlu terus dilakukan, dan memang tidak
cukup dengan sekadar perbandingan analogis dengan “persenyawaan magister-profesi” dalam
Magister Advokat atau Magister Manajemen. Dalam periode panjang yang kita lalui sejak 2002 ini,
kita menjadi semakin menyadari arti penting epistemologi dalam (pendidikan) psikologi. Dalam
kolokium juga didiskusikan mengenai harapan yang besar agar penyelenggara pendidikan psikologi
semakin mempersempit peluang menganggur alumnus Sarjana Psikologi dari sisi penyusunan
scientific vision berupa profil dan kompetensi lulusan serta penyusunan struktur kurikulum dan
rancangan pembelajaran. Terkait dengan hal ini, kesepakatan Kolokium ke-19 berupa pemerluasan
dan pemerjelasan cakupan kompetensi Sarjana Psikologi menjadi, antara lain, tidak hanya mampu
merancang, akan tetapi juga mampu mempraktikkan intervensi psikologis, seperti konseling
terhadap problem-problem non-patologis (parameter “patologis”: kitab Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association dan Pedoman
penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) serta pengetesan psikologis untuk tes-
tes psikologis level A dan level B, menjadi salah satu hal yang relevan. Lagi, dengan kesepakatan
ini, nampaknya perlu diadakan redefinisi yang lebih presisif dan akurat terhadap terminologi
“Praktik Psikologi” dalam Kode Etik Psikologi Indonesia maupun Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga Himpsi yang menurut rencana akan disahkan perubahannya pada Kongres XI
Himpsi di Surakarta pada Maret 2010.
Pada edisi perdana Jurnal Psikobuana ini, M. Enoch Markum mengkaji sumbangsih psikologi
sosial dalam pengentasan kemiskinan, yang meliputi intervensi individual, kultural dan struktural.
Apabila dikaitkan dengan harapan kolokium di atas, maka sesungguhnya kajian-kajian semacam ini
sangat perlu digalakkan. Sarjana Psikologi sesungguhnya tidak perlu terus menjadi “tukang tes”
melainkan juga dapat berkarya dalam lapangan-lapangan yang lebih luas, seperti dalam psikologi
kemiskinan (psychology of poverty). Selanjutnya, Juneman dalam artikelnya mengenai pemrofilan
kriminal―bagian dari psikologi forensik―menunjukkan bahwa pelibatan penggunaan perspektif
protoscience dan pseudoscience ternyata berguna dalam melihat secara lebih tepat status
epistemologis pemrofilan kriminal sebagai sebuah ilmu psikologis dan berimplikasi pada
pengembangan aplikasinya. Dalam kaitan dengan ini, sudah sejak 1985, Alvin I. Goldman dalam
jurnal Synthese mengingatkan kita bahwa pertanyaan-pertanyaan epistemologis pernah dilihat
secara “terpisah dengan tajam (sharply separated) dari psikologi”, padahal tidak perlu seperti itu.
APA (American Psychological Association) yang menjadi referensi internasional pun memiliki
Divisi ke-24, yakni Society for Theoretical and Philosophical Psychology, yang tugasnya “…
encourages and facilitates informed exploration and discussion of psychological theories and
issues in both their scientific and philosophical dimensions and interrelationships” (APA, 2009).
Dalam kaitan dengan kerja-kerja kolokium di atas, jelas bahwa kolokium psikologi bersama Himpsi
saat ini memiliki urgensi justru untuk memperkuat fondasi epistemologis “Magister Psikolog”.
Dalam artikel berikutnya, Eunike Sri Tyas Suci memberikan gambaran empiris perilaku jajan
murid sekolah dasar di Jakarta, yang temuannya memiliki arti penting untuk menstimulasi
penerapan psikologi kesehatan (psychology of health). Selanjutnya, sementara alat ukur dalam
bidang psikologis banyak mengasumsikan pengukuran unidimensi, Wahyu Widhiarso melakukan
kajian mengenai koefisien reliabilitas pada pengukuran kepribadian yang bersifat multidimensi.
Pada akhirnya, Hatib Abdul Kadir, Limas Sutanto, serta Koentjoro dan Beben Rubianto
berturut-turut menelaah fenomena latah dari sudut psikoantropologis, kritik Bandler terhadap
kinerja psikolog dan profesi kesehatan mental lain, serta perilaku radikal umat Islam dengan pisau
analisis psikologi sosial.
Penyunting
Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1
Daftar Isi Editorial Penyunting Daftar Isi Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial M. Enoch Markum Mempertanyakan Pemrofilan Kriminal Sebagai Sebuah Ilmu Psikologis Juneman Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar di Jakarta Eunike Sri Tyas Suci Koefisien Reliabilitas Pada Pengukuran Kepribadian yang Bersifat Multidimensi Wahyu Widhiarso Menafsir Fenomena Latah sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu (Suatu Kajian Psikoantropologi) Hatib Abdul Kadir Menyimak Kritik Bandler Limas Sutanto Radikalisme Islam dan Perilaku Orang Kalah Dalam Perspektif Psikologi Sosial Koentjoro dan Beben Rubianto Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana
i–ii
iii
1–12
13–28
29–38
39–48
49–59
60–63
64–70
71-72
Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 1–12
Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial
M. Enoch Markum
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
This article describes poverty which is a big problem on this planet,
particularly in Indonesia. The estimation is that there are 1.4 billion poor
people in the world and there are about 35 million poor people in
Indonesia. Poverty affects several aspects of life such as: education,
housing, crimes, and mental health. All of the presidents of Indonesia,
many non-governmental organizations and the society, have been trying to
prevent the increasing rate of poverty. Unfortunately, there is no
significant result so far. Incomplete understanding about poverty might
explain the non-significant result of poverty prevention. Poverty is usually
stated as the poor people's lacking of entrepreneurship, of skill, and that
the poor has negative personality sides. Based on this incomplete
understanding, this article proposes some alternatives for comprehensive
poverty elimination through individual, cultural and structural
intervention. The social psychology approach for poverty eradication
means that the intervention is for the individual and his/her social
environment in which social structural and cultural are included.
Individual intervention means that we need to cut out the poverty circle.
Cultural intervention means that we need to change this deprivation
culture. Structural intervention means that we need to change the
paradigm about the poor held by those who deal with policies related to
poverty.
Keywords: poverty culture, poverty cycle, deprivation, frustration,
uncontrollability, helplessness, depression, passivity, dependency,
empowerment
Salah satu masalah kemanusiaan yang
dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. Dengan
tolok ukur pendapatan per kapita 1,25 dolar AS,
diperkirakan jumlah penduduk miskin di dunia
1,4 milyar orang (“Understanding poverty,”
2009). Menghadapi kenyataan ini, komunitas
internasional telah membuat kesepakatan dan
menyatakan komitmennya pada kesempatan
United Nations Millennium Summit tahun 2000
di New York. Hasil dari pertemuan tersebut
dituangkan dalam Deklarasi Milenium yang
ditandatangani oleh sejumlah negara (termasuk
Indonesia) yang mempunyai sejumlah sasaran
atau dikenal dengan Millennium Development
Goals (MDGs) yang harus dicapai pada tahun
2015. Di antara delapan sasaran dimaksud,
1
2 MARKUM
salah satunya adalah “menanggulangi
kemiskinan dan kelaparan”.
Bila Indonesia berniat mematuhi Deklarasi
Milenium, maka waktu yang tersisa untuk
mengatasi masalah kemiskinan ini sangat
pendek atau tinggal enam tahun lagi. Melihat
data BPS 2008 mengenai penduduk miskin di
Indonesia yang berjumlah 34,90 juta orang dan
data Susenas BPS 2006 mengenai penurunan
angka kemiskinan dari tahun ke tahun yang
tidak cukup signifikan, misalnya penduduk
miskin tahun 2004: 36,10 juta; tahun 2005:
35,10 juta; dan tahun 2006: 39,10 juta
(Brodjonegoro, 2007), maka wajar kiranya bila
kita meragukan keberhasilan Indonesia
mencapai MDSs tahun 2015; apalagi bila kita
mencermati dampak krisis ekonomi global 2008
yang mulai dirasakan oleh Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang semula
diperkirakan 6,0%, dengan terjadinya krisis
ekonomi global 2008, menurut perhitungan
Pemerintah hanya akan mencapai 4,5%
(“Kemiskinan bertambah,” 2009). Demikian
pula, jumlah orang miskin tahun 2009 yang
semula diperhitungkan oleh Pemerintah 32,38
juta orang akan meningkat menjadi 33,71 juta
orang atau setara dengan 14,87% jumlah
penduduk Indonesia. Dalam hubungan dengan
kemiskinan ini, pendapat Fadhil Hasan berikut
ini akan menguatkan pesimisme kita terhadap
pencapaian MDGs oleh Pemerintah tahun 2015.
Menurut Hasan (“Kemiskinan bertambah,”
2009), melambatnya pertumbuhan ekonomi
akan mengakibatkan pengangguran karena
setiap 1,0% pelambatan pertumbuhan ekonomi
akan mengakibatkan 300.000 orang kehilangan
kesempatan kerja. Jika angka ini dikalikan
dengan empat orang anggota keluarga, maka
akan ada 1,2 juta orang yang tidak ternafkahi
atau jatuh miskin. Sementara itu, terdapat
sekitar 600.000 tenaga kerja Indonesia (TKI)
yang akan dipulangkan dari luar negeri.
Bila kita mencermati sejarah kemiskinan
dan penanggulangannya di Indonesia, maka
sebenarnya masalah kemiskinan ini tidak
pernah luput dari perhatian Pemerintah, siapa
pun yang menjadi presiden (Kusumaatmadja,
2007). Hal ini dapat kita saksikan dengan
diawali oleh Presiden Soekarno yang
menuangkan program kemiskinan dalam
Pembangunan Nasional Berencana Delapan
Tahun; Presiden Soeharto dengan program
Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program
Kesejahteraan Sosial (Prokesos), dan lain-lain;
Presiden Habibie dengan Jaringan Pengaman
Sosial, Penanggulangan kemiskinan di
Perkotaan (P2KP), dan lain-lain; Presiden
Abdurrahman Wahid dengan Jaring Pengaman
Sosial (JPS), Kredit Ketahanan Pangan (KKP),
dan lain-lain; Presiden Megawati Soekarnoputri
dengan Komite Penanggulangan Kemiskinan
(KPK) dan Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP); sampai dengan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dengan
Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan (TKPK), Bantuan Langsung Tunai
(BLT), dan lain-lain.
Di samping upaya Pemerintah, masyarakat
pun ikut berperan dalam mengatasi kemiskinan,
seperti yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UI dengan memberikan
penghargaan kepada para wirausahawan sosial
(2006). Demikian pula Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) telah berpartisipasi dalam
mengentaskan kemiskinan, antara lain LSM
Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil,
Bina Desa, Bina Masyarakat Sejahtera, dan
Bina Sumber Daya Mitra.
Dalam hubungan dengan peran masyarakat
dalam mengentaskan kemiskinan ini, perlu
PENGENTASAN KEMISKINAN 3
dikemukakan upaya seorang profesor ekonomi
dari Bangladesh yang memperoleh hadiah
Nobel Perdamaian 2006, yaitu Muhammad
Yunus. Hal ini perlu dikemukakan karena ia
telah berhasil dengan Grameen Bank-nya
memberikan pinjaman kepada masyarakat
miskin tanpa agunan (94% perempuan) untuk
digunakan sebagai modal usaha.
Perlu juga diketengahkan pelibatan partai
politik dalam pengentasan kemiskinan yang
disayangkan perhatian dan intensitas
kegiatannya baru meningkat pada saat
menjelang kampanye pemilihan kepala daerah
dan pemilihan umum.
Upaya penanggulangan kemiskinan yang
telah berlangsung sejak lama dan telah
melibatkan pihak pemerintah, swasta, LSM, dan
partai politik sebagaimana diuraikan terdahulu
tampaknya belum berhasil menurunkan angka
kemiskinan secara bermakna (Brodjonegoro,
2007). Hal ini disebabkan antara lain oleh: (a)
luasnya masalah kemiskinan, ±15% penduduk
miskin dari seluruh penduduk Indonesia, (b)
penanganan kemiskinan yang tidak terintegrasi
karena ego sektoral yang sangat kuat, (c) tidak
melibatkan dan memberdayakan (empowering)
orang miskin dalam mengatasi kemiskinan, (d)
peraturan perundangan yang tidak memihak
kaum miskin, dan (e) kemiskinan dilihat
sebagai masalah ekonomi dan keterampilan
teknis semata-mata.
Cara pandang kemiskinan yang terakhir ini
(menekankan faktor ekonomi atau keterbatasan
modal usaha dan keterampilan teknis) terlihat
dari dikucurkannya dana yang besar oleh
pemerintah dan didirikannya sejumlah balai
latihan kerja (BLK), serta diselenggarakannya
berbagai kursus keterampilan singkat. Sebagai
ilustrasi anggaran pemerintah untuk mengatasi
kemiskinan dari tahun ke tahun tampak terus
meningkat: 18 triliun (tahun 2004), 23 triliun
(2005), 42 triliun (2006), dan 51 triliun (2007)
(Kusumaatmadja, 2007). Dalam kenyataan
terbukti bahwa alokasi anggaran pengentasan
kemiskinan yang naik dari tahun ke tahun ini
tidak berhasil menurunkan angka kemiskinan
secara bermakna karena selain posisi tawar
(bargaining position) orang miskin yang lemah,
juga mereka tidak mampu melihat peluang
bisnis (business opportunity) sehubungan
dengan kenaikan anggaran pengentasan
kemiskinan.
It is important to stress that alleviating
poverty is not only a matter of giving financial
aid, but more significantly, giving the poor a
sense of individual mastery over their lives
which preserves their dignity and self respect.
(Ortigas, 2000, h. 44)
Berdasarkan kutipan Ortigas di atas, jelas
bahwa pengentasan kemiskinan bukan semata-
mata masalah permodalan dan keterampilan
teknis, melainkan masalah bagaimana
membangkitkan perasaan mampu mengatasi
hidup di kalangan orang miskin dengan cara
yang bermartabat dan menjaga harga-diri.
Dalam hubungan inilah, disiplin
psikologi―khususnya melalui pendekatan
psikologi sosial―dapat memberikan
sumbangan terhadap upaya pengentasan
kemiskinan.
Akibat Kemiskinan
Pembahasan mengenai akibat kemiskinan
dalam tulisan ini dibatasi pada akibat
kemiskinan terhadap berbagai fenomena
kehidupan yang dialami oleh masyarakat miskin
perkotaan sebagai akibat urbanisasi. Untuk itu
marilah kita cermati perbandingan jumlah
4 MARKUM
penduduk miskin pedesaan dan perkotaan di
Indonesia dari tahun 2000 sampai 2006
(Susenas BPS, 2006, dalam Brodjonegoro,
2007) sebagaimana tampak dalam Tabel 1. Tabel 1 Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan dan Pedesaan Tahun 2000 – 2006
Jumlah Penduduk Miskin (dalam juta orang)
Tahun Perkotaan Pedesaan Total
2000 12,3 26,4 38,7 2001 8,6 29,3 37,9 2002 13,3 25,1 38,4 2003 12,2 25,1 37,3 2004 11,4 24,8 36,1 2005 12,4 22,7 35,1 2006 14,3 24,8 39,1
Berdasarkan Tabel 1, nampak bahwa secara
garis besar jumlah penduduk miskin di
pedesaan lebih besar (hampir dua kali lebih
banyak) daripada jumlah penduduk miskin di
perkotaan. Salah satu implikasi dari jumlah
penduduk miskin yang besar di pedesaan ini
adalah urbanisasi dengan segala
permasalahannya di perkotaan, seperti
pedagang kaki lima, pemukiman liar di pinggir
rel kereta api dan bantaran kali, pengemis, anak
jalanan, dan kriminalitas. Dengan perkataan
lain, kemiskinan di pedesaan dengan jumlah
besar mengakibatkan arus urbanisasi dan
urbanisasi menghasilkan masalah sosial (social
problems) di perkotaan.
Secara lebih rinci, uraian mengenai akibat
kemiskinan terhadap aspek kehidupan lain ini
menggunakan rujukan pendapat Farley (1987)
dalam bukunya American Social Problems: An
Institutional Analysis. Digunakannya rujukan
masalah sosial di Amerika Serikat, khususnya
yang berkenaan dengan kemiskinan (poverty)
karena, menurut pendapat penulis, masalah
sosial di Amerika Serikat yang dianalisis Farley
pada saat itu mempunyai banyak kesamaan atau
kemiripan dengan kondisi kemiskinan
Indonesia tahun 2000-an.
Bagaimana dan Apa Akibat Kemiskinan?
Kemiskinan berakibat pada partisipasi dan
kualitas orang miskin. Artinya, akses anak-anak
miskin terhadap lembaga pendidikan yang
bermutu sangat terbatas, di samping
kemungkinan putus-sekolah (drop-out) juga
besar. Hasil penelitian Farley (1987) di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa prestasi
sekolah anak-anak miskin (disadvantage
children) umumnya lebih rendah daripada anak-
anak Amerika yang tergolong beruntung
(advantage children). Kondisi ini akan
berdampak di kemudian hari setelah anak-anak
miskin dengan pendidikan rendah ini memasuki
dunia kerja. Mereka akan menduduki posisi
yang juga rendah atau menjadi tenaga tidak
terampil (unskilled labour), bahkan menjadi
penganggur (jobless). Selanjutnya, bila mereka
berkeluarga, pendidikan anak-anaknya juga
akan relatif sama dengan taraf dan kualitas
pendidikan yang dialami orangtuanya.
Demikianlah siklus pendidikan seperti ini
berlangsung dari generasi ke generasi dengan
akibat pewarisan kemiskinan antar generasi.
Dinamika kemiskinan yang pengaruhnya
timbal-balik dengan pendidikan ini berlangsung
juga di Indonesia.
Hal kedua, kemiskinan juga berakibat pada
perumahan. Menurut Farley, dibandingkan
dengan warga-negara Amerika Serikat
umumnya, orang-orang miskin di perkotaan
menempati rumah yang kurang layak huni
dalam ukuran Amerika Serikat. Baik pada
PENGENTASAN KEMISKINAN 5
musim panas maupun musim dingin, mereka
tidak menggunakan pemanas ruangan (heater)
dan penyejuk ruangan (air-conditioner) karena
mereka tidak mampu membayar tagihan
rekening listrik. Akibatnya, kondisi rumah yang
tidak mendukung kesehatan fisik ini adalah
rendahnya tingkat kesehatan orang-orang
miskin. Masalah ini berkenaan dengan
perumahan penduduk miskin adalah banyaknya
penghuni dalam satu rumah (overcrowded)
yang disebabkan oleh dua atau tiga keluarga
tinggal dalam satu rumah, sehingga pembayaran
sewa rumah bisa ditanggung bersama.
Di beberapa kota besar di Indonesia, kondisi
perumahan orang-orang miskin seperti di
Amerika pada waktu itu juga terjadi. Meskipun
orang-orang miskin yang datang ke kota besar
ini tidak tinggal dalam satu rumah, namun
rumah petak yang mereka kontrak terletak di
gang atau lorong sempit yang gelap dikelilingi
oleh tembok-tembok pertokoan bertingkat,
sehingga sebenarnya tergolong pemukiman
sangat padat.
Ketiga, masalah lain yang berkenaan juga
dengan perumahan adalah orang miskin yang
tidak memiliki tempat tinggal (homeless).
Orang miskin yang tidak memiliki rumah ini
tinggal di taman kota, pinggir jalan, tenda atau
tempat-tempat yang disediakan oleh lembaga
sosial dan gereja. Penyebab gejala homeless ini
adalah pengangguran, tidak memiliki keluarga
yang bisa atau mau menampung dan merawat
mereka, dan dikeluarkannya pasien penyakit
jiwa dari rumah-sakit jiwa. Yang ironis,
menurut Farley, beberapa pemerintah kota
justru mengeluarkan aturan yang melarang
orang tidur di taman kota dan tempat-tempat
umum.
Di Indonesia kita dapati orang miskin atau
gelandangan yang digusur oleh petugas
keamanan dan ketertiban―karena dianggap
penghuni liar―tinggal di lahan pemerintah atau
swasta, di kolong jalan layang, dan di bantaran
kali.
Keempat, kemiskinan juga berakibat
terhadap kriminalitas. Di satu pihak, penduduk
miskin dapat menjadi korban kejahatan, seperti
dirampok atau diperas, karena mereka tidak
cukup memiliki akses terhadap perlindungan
wilayah yang mereka huni. Dalam hubungan ini
Farley mengemukakan statistik nasional
kejahatan di Amerika saat itu yang
menunjukkan bahwa korban kejahatan dua kali
lebih banyak dialami oleh orang miskin
daripada warga Amerika yang beruntung
(advantage people). Di pihak lain, orang miskin
juga dapat menjadi pelaku kejahatan yang
secara umum disebabkan oleh terbatasnya
pendapatan mereka. Berbeda dengan kejahatan
yang dilakukan oleh orang yang beruntung,
kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin ini
lebih mudah terungkap dan tertangkap
pelakunya. Hal ini disebabkan karena baik
jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya
berlangsung di tempat-tempat umum
(perampokan di toko, peredaran narkoba di
jalan umum, dan pekerja seks yang
menawarkan diri di jalan umum). Sedangkan
pola kejahatan yang dilakukan oleh mereka
yang tergolong kerah-putih (white collar
crimes) sangat berbeda dengan pola kejahatan
yang dilakukan oleh orang miskin, sehingga
secara relatif lebih sulit terungkap.
Demikianlah, menurut Farley (1987); intinya
adalah “poverty breeds crime”. Di Indonesia
perbedaan pola kejahatan antara mereka yang
berkerah putih dan orang miskin juga diduga
sama dengan pola kejahatan Amerika di atas.
Proses peradilan tindak kejahatan seperti
perampokan, penjambretan, dan pencurian
6 MARKUM
berlangsung lebih cepat (karena pembuktiannya
mudah) dibandingkan dengan proses peradilan
terhadap pelaku tindak kejahatan kerah-putih,
seperti para koruptor.
Kelima, Farley juga mengemukakan akibat
kemiskinan terhadap kondisi mental. Dengan
merujuk pada beberapa hasil penelitian, terbukti
bahwa orang-orang yang berpenghasilan rendah
atau orang miskin merasa kurang bahagia (less
happiness) dan bahkan mengalami gangguan
mental yang serius, seperti depresi, skizofrenia,
dan gangguan kepribadian (Dohrenwend, 1971;
Warheit, Holzer, & Schwab, 1973, dalam
Farley, 1987). Penelitian lain juga menunjukkan
rendahnya derajat kebahagiaan orang miskin di
Amerika (Campbell, Converse, & Rogers, 1976,
dalam Farley, 1987). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa terdapat kaitan yang erat
antara kemiskinan dengan gangguan mental.
Bagaimana hubungan antara kemiskinan
dan kesehatan jiwa di Indonesia? Penulis tidak
mempunyai pengetahuan untuk menjawab
pertanyaan ini. Namun, beberapa kasus
individual, seperti seorang siswa SMP yang
bunuh-diri disebabkan oleh orangtuanya yang
tidak mampu bayar SPP dan seorang ibu yang
membunuh anak kandungnya sendiri, kuli
bangunan yang membunuh pembantu rumah-
tangga, serta anggota Satpam yang membunuh
penghuni rumah yang justru harus dijaganya,
barangkali dapat dijadikan petunjuk mengenai
adanya hubungan antara kemiskinan dengan
stres yang dialami mereka sebagai akibat
tekanan ekonomi atau menanggung beban hidup
yang berat.
Cara Pandang Terhadap Kemiskinan
Uraian mengenai kemiskinan atau orang
miskin terdahulu pada intinya menggambarkan
sisi negatif orang miskin, seperti mempersempit
dan mencemari sungai, pedagang kaki lima
yang membuat tidak nyaman pejalan kaki dan
kemacetan lalu lintas, merusak fasilitas kota,
penjambretan, pengemis, dan lain-lain. Maka
beralasan apabila masyarakat memandang
orang miskin atau kemiskinan identik dengan
kotor, kumuh, malas, sulit diatur, tidak disiplin,
sumber penyakit, kekacauan, bahkan kejahatan.
Dengan perkataan lain, kaum miskin dan papa
ini adalah “sampah masyarakat”, sehingga
mereka tidak perlu dibantu peningkatan
kesejahteraannya karena pada diri kaum miskin
ini sudah terinternalisasikan (internalized)
“budaya-kemiskinan” yang sulit atau bahkan
tidak mungkin diubah (malas, suka jalan pintas,
sulit diajak berubah, tidak menghargai waktu,
boros, dan berorientasi ke masa kini).
Pandangan yang menyalahkan orang miskin
(blaming the poor) seperti dikemukakan di atas
ini diperkuat oleh pendapat seorang psikolog,
Richard Hernstein, yang menulis buku The Bell
Curve: Intelligence and Class Structure in
American Life (1994), yang intinya
mengemukakan taraf inteligensi (IQ) orang
miskin (Levin, Iknis, Carroll, & Bourne, 2000).
Menurut Hernstein, taraf inteligensi individu
akan meningkat sejalan dengan meningkatnya
taraf sosial-ekonomi individu yang
bersangkutan. Itulah sebabnya, menurut
Hernstein yang kemudian didukung oleh
seorang pengamat kebijakan publik bernama
Charles Murray, mengapa berbagai posisi tinggi
di dunia kerja diduduki oleh individu dengan
kecerdasan tinggi. Maka menurut mereka
berdua memang terdapat perbedaan taraf
kecerdasan antara orang miskin dan orang kaya
yang dasarnya bawaan atau genetis (Hernstein
& Murray, 1994, dalam Levin et al., 2000).
Para pakar ilmuwan sosial banyak yang
tidak menerima pendapat Hernstein dan Murray
PENGENTASAN KEMISKINAN 7
ini. Argumentasi bahwa ada hubungan yang
kuat antara taraf inteligensi dan keberhasilan
inidvidu di bidang ekonomi dianggap lemah
(Fraser, 1995; Fisher et al., 1996; Jacoby &
Glaubermaan, 1995, dalam Farley, 1987).
Bahkan oleh Michel & Nunley, buku the Bell
Curve dianggap sebagai fraud atau penipuan
(1997, dalam Levin et al., 2000). Hal ini karena
buku tersebut merupakan upaya politik dari
mereka (baca: orang kulit putih) yang
menduduki jabatan tinggi untuk menghentikan
atau mengakhiri affirmative action kaum
miskin.
Dari uraian mengenai pandangan terhadap
kemiskinan di atas dapat disimpulkan dua hal:
(a) terdapat pandangan yang menekankan
penyebab kemiskinan pada faktor individu
(budaya-kemiskinan dan inteligensi), padahal
individu tidak dapat dipisahkan baik dari
struktur maupun kultur masyarakat, seperti
kesempatan yang tidak sama antara orang
miskin dan orang kaya dalam hal memperoleh
akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi,
serta (b) terdapat pandangan yang menekankan
sisi negatif dalam memahami orang miskin
(malas, suka jalan-pintas, bodoh, dan lain-lain).
Padahal, menurut Herbert Gans (1972, dalam
Levin et al., 2000), terdapat fungsi positif dari
orang miskin atau kemiskinan, sebagai berikut:
(a) orang miskin melakukan pekerjaan kotor
(dirty works) dengan upah rendah, selain
pekerjaan yang mengandung bahaya, tidak
bermartabat, dan tidak diminati oleh kelompok
masyarakat yang beruntung, misalnya, tukang
sampah, tukang gali jalan, kuli bangunan tinggi,
dan tukang sapu jalan, (b) orang miskin
membeli atau menampung barang-barang bekas
yang tidak digunakan oleh orang kaya (koran
bekas, alat elektronik bekas, kipas angin, jam
tangan, dan lain-lain/tukang loak), (c) orang
miskin dijadikan acuan oleh masyarakat untuk
mengetahui posisi atau status sosial-ekonomi
anggota masyarakat yang bersangkutan: sosial
ekonomi tinggi, menengah, atau rendah, (d)
orang miskin “menyediakan” pekerjaan bagi
sejumlah posisi atau profesi yang ada; oleh
karena ada orang miskin, maka “terciptalah”
pekerjaan bagi lembaga swadaya masyarakat
(LSM), institusi pemerintah, psikolog, sosiolog,
kriminolog, dan lain-lain.
Diajukannya pendapat bahwa kemiskinan
bukan semata-mata disebabkan oleh faktor
individu―melainkan juga terdapat kontribusi
peran faktor struktur dan kultur masyarakat,
serta adanya fungsi positif kaum miskin,
dimaksudkan agar cara pandang terhadap
kemiskinan menjadi utuh. Demikian pula,
kemiskinan harus dipandang bukan semata-
mata masalah ekonomi atau keterbatasan modal
dan rendahnya keterampilan orang miskin,
melainkan juga berkenaan dengan masalah
mentalitas orang miskin. Dengan memandang
kemiskinan sebagai gejala yang utuh dan
komprehensif, maka diharapkan program
pengentasan kemiskinan akan lebih tepat
sasaran.
Pendekatan Psikologi Sosial
Sebelum mengemukakan pendekatan
psikologi sosial dalam pengentasan kemiskinan,
terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian
kemiskinan dan pengertian psikologi sosial.
Kebanyakan orang umumnya akan
mengasosiasikan kemiskinan dengan
keterbatasan uang untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari atau kebutuhan dasar.
Pengertian kemiskinan yang sifatnya pragmatis
ini memang lazim digunakan. Oleh karenanya,
konsekuensi selanjutnya adalah dibedakan
antara orang miskin yang benar-benar tidak
8 MARKUM
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya untuk
bisa bertahan hidup (kemiskinan absolut), dan
orang miskin yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya karena tuntutan standar
hidup (yang tinggi) dari masyarakat yang
bersangkutan (kemiskinan relatif). Sebagai
contoh, orang miskin yang tinggal di Jakarta
tergolong kemiskinan relatif karena meskipun
penghasilan orang miskin di Jakarta tergolong
“lumayan”, namun mereka sangat sulit bertahan
hidup di Jakarta karena tuntutan biaya hidupnya
yang tinggi. Seandainya ada orang miskin di
Jakarta yang penghasilannya “pas-pasan”,
sehingga tidak mungkin bertahan hidup di
Jakarta, maka mereka tergolong pada
kemiskinan absolut.
Barangkali, bila dibandingkan antara
penduduk miskin perkotaan dengan penduduk
miskin pedesaan, umumnya penduduk miskin
perkotaan tergolong kemiskinan relatif karena,
meskipun di satu pihak biaya hidup yang tinggi,
di perkotaan relatif tersedia lapangan kerja di
sektor informal (tukang parkir, pedagang
asongan, pedagang kaki-lima, dan buruh
bangunan). Sedangkan kemiskinan di pedesaan
tergolong kemiskinan absolut karena, meskipun
biaya hidup di pedesaan relatif rendah, namun
tidak tersedia lapangan kerja sebagai sumber
penghasilan. Meskipun kemiskinan dapat dibagi
menjadi kemiskinan absolut dan relatif, namun
dalam pembahasan pengentasan kemiskinan
selanjutnya tidak secara spesifik dilakukan
pemisahan atas dasar kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif.
Selanjutnya, berikut ini dikemukakan
mengenai pendekatan psikologi sosial,
khususnya dalam kaitannya dengan upaya
pengentasan kemiskinan. Sebelum
mengemukakan pendekatan psikologi sosial,
terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian
psikologi sosial secara singkat.
Manusia adalah mahluk sosial yang
kehidupannya tidak bisa lepas dari pengaruh
orang lain atau masyarakat. Kemampuan
berbicara dan berbahasa serta sopan-santun,
misalnya, diperoleh dalam keluarga. Demikian
pula perilaku lainnya, apakah seseorang akan
menjadi individu yang tumbuh dan berkembang
ke arah yang baik atau sebaliknya, ditentukan
atau “dibentuk” oleh lingkungan sosialnya.
Tentu saja manusia bukanlah mahluk pasif atau
semata-mata dikendalikan oleh dorongan
instingtif dan mengikuti kehendak lingkungan,
melainkan manusia bisa secara aktif merancang,
bahkan merubah dunianya.
Atas dasar ini ruang lingkup psikologi sosial
meliputi interaksi antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok, intra-
kelompok, dan antar-kelompok. Dalam
psikologi sosial, individu diletakkan dalam
konteks sosial. Atau, tingkahlaku individu
bukan semata-mata ditentukan oleh individu,
melainkan merupakan hasil interaksi antara
individu dan lingkungannya. Secara rinci
psikologi sosial dirumuskan sebagai “the
scientific field that seeks to understand the
nature and causes of individual behavior and
thought in social situations” (Baron,
Branscombe, & Byrne, 2008: 6). Yang perlu
digarisbawahi dari definisi di atas adalah upaya
memahami tingkah laku dan pikiran individu
dalam situasi sosial. Artinya, individu akan
berperilaku berbeda pada saat di ruang kuliah,
di jalanan umum, di lingkungan keluarga, dan
di suatu resepsi pernikahan.
Dihubungkan dengan upaya pengentasan
kemiskinan, pendekatan psikologi sosial
diartikan sebagai bukan hanya melakukan
intervensi atau perubahan mind-set individu
orang miskin, melainkan melakukan juga
PENGENTASAN KEMISKINAN 9
Gambar 1. Lingkaran kemiskinan
Deprivation
Frustration
Dependency
Uncontrollability
Passivity
Helplessness
Depression
intervensi lingkungan yang meliputi faktor
kultural dan struktural (Levin et al., 2000).
Dengan demikian, upaya pengentasan
kemiskinan melalui pendekatan psikologi sosial
meliputi tiga tingkatan: individual, kultural, dan
struktural.
Intervensi individual
Untuk melakukan intervensi tingkat
individual dari orang miskin terlebih dahulu
perlu dipahami psikologi orang miskin
(psychology of the poor). Sebagai acuan untuk
memahami psikologi orang miskin digunakan
gagasan lingkaran kemiskinan (poverty cycle)
dari Seligman (1975, dalam Ortigas, 2000)
(lihat Gambar 1).
Dilihat dari perspektif psikologi, orang
miskin adalah orang yang mengalami kondisi
deprivasi (deprivation). Artinya, akses orang
miskin terhadap berbagai fasilitas layanan
umum (kesehatan, air bersih, sanitasi,
pendidikan, lembaga keuangan, dan lain-lain)
sangat terbatas, bahkan tertutup. Orang miskin
juga tidak bisa mengendalikan nasibnya atau
hari depannya (uncontrollability) karena, selain
merupakan kelompok minoritas, juga posisi
tawarnya (bargaining power) lemah. Sebagai
contoh, petani di pedesaan tidak bisa
menentukan harga beras sesuai dengan
kemauannya, sedangkan penjual pupuk atau
sepeda motor dapat mendikte harga komoditi
mereka kepada petani sesuai dengan yang
mereka kehendaki.
Akibat dari kondisi orang miskin yang tidak
bisa menguasai atau mengendalikan kondisi
lingkungannya (tidak memiliki posisi tawar
yang kuat, peraturan yang merugikan orang
miskin, dan harga kebutuhan pokok yang tidak
terjangkau), orang miskin menjadi tidak tahu
lagi apa yang harus dilakukan dan merasa tidak
berdaya (helpless). Selanjutnya, kondisi ini
10 MARKUM
Gambar 2. Titik-titik intervensi dalam lingkaran kemiskinan
diikuti oleh sikap mereka yang pasif (passivity),
tidak acuh atau tidak peduli terhadap
lingkungan sekitarnya (apathy), dan akhirnya
orang miskin akan tetap berada dalam kondisi
deprivasi.
Atas dasar pemahaman mengenai lingkaran
kemiskinan di atas, tentulah terdapat hal-hal
yang harus dilakukan untuk merubah mind-set
orang miskin. Menurut Ortigas (2000), pada
prinsipnya, lingkaran kemiskinan ini harus
dihentikan atau tidak boleh terus berputar, yakni
dengan cara memutus lingkaran sedini mungkin
sebelum terjadi perpindahan ke kondisi lebih
lanjut. Pemutusan lingkaran kemiskinan ini
dimaksudkan agar orang miskin tidak
terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan
untuk itu mereka diyakinkan mempunyai
kemampuan atau keterampilan tertentu (self-
efficacy) yang selanjutnya akan tumbuh harga-
dirinya (self-esteem). Dengan dimilikinya
keyakinan mampu melakukan sesuatu dan harga
diri, diharapkan orang miskin akan menjadi
tahan banting dan dapat bangkit kembali (self-
reliance) tatkala orang miskin menghadapi
situasi yang sulit dan berat (lihat Gambar 2).
Intervensi Kultural
Di samping melakukan intervensi pada
tingkat individual, dalam pendekatan psikologi
sosial, perlu juga ada upaya intervensi kultural.
Hal ini karena pada orang atau kelompok yang
telah lama berada dalam kemiskinan atau
mengalami deprivasi akan terbentuk budaya-
kemiskinan yang sering diturunkan dari
generasi ke generasi. Budaya kemiskinan
digambarkan sebagai tidak adanya perencanaan
hidup dan tidak dapat menunda kesenangan,
sehingga mereka tidak memiliki tabungan atau
membuat anak mereka yang sekolah tidak bisa
menyelesaikan sekolahnya (drop-out). Maka
wajar apabila mereka miskin, karena mereka
sendiri lah yang menciptakan kemiskinan untuk
dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, orang
miskin sendiri lah yang telah menggali lubang
kubur kemiskinan untuk diri mereka sendiri.
PENGENTASAN KEMISKINAN 11
Persoalannya sekarang adalah bagaimana
merubah kultur kemiskinan. Mengingat pemilik
kultur kemiskinan adalah kaum miskin dengan
status sosial-ekonomi rendah, maka kultur
mereka harus diubah dengan kultur kelompok
sosial-ekonomi menengah yang lebih
bermartabat, agar mereka keluar dari kultur
kemiskinan. Dalam hubungan ini, program
penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) tidak
dapat dijadikan program jangka panjang karena
justru akan berakibat memantapkan kultur
kemiskinan. Program BLT hendaknya
dipandang sebagai “obat sakit kepala” yang
hanya sesaat menghilangkan sindrom sakit
(Muluk, 2009). Sebaliknya, upaya
menumbuhkan self-efficacy, self reliance, dan
kemandirian melalui program empowerment,
harus dijadikan prioritas dalam upaya
pengentasan kemiskinan.
Intervensi Struktural
Intervensi struktural perlu dilakukan dengan
asumsi bahwa kemiskinan bukan disebabkan
oleh karakteristik orang miskin sebagaimana
dikemukakan terdahulu (malas, suka jalan
pintas, gaya hidup boros, dan lain-lain),
melainkan disebabkan oleh struktur masyarakat
yang menghasilkan kondisi bahwa yang kaya
makin kaya dan yang miskin makin terpuruk.
Yang paling terpukul oleh kenaikan harga BBM
adalah kelompok lapisan ekonomi rendah,
sementara para pemilik pompa bensin dan
kelompok lapisan atas tertentu mengeruk
keuntungan atau setidak-tidaknya tidak
merasakan dampaknya.
Dilihat dari segi sejarah, akar kemiskinan
menurut Karl Marx, disebabkan oleh
penguasaan alat produksi oleh pemilik modal
atau kapitalis. Para kapitalis ini memaksimalkan
keuntungan dengan mengeksploitasi buruh.
Akibatnya, menurut Karl Marx, para kapitalis
secara ekonomis surplus besar, namun di lain
pihak jurang ketidakadilan (inequality) semakin
lebar.
Yang penting adalah mencari intervensi
struktural yang dapat dilakukan. Bila kita
cermati kondisi Indonesia, maka secara
struktural ekonomi Indonesia memang makin
berorientasi kapitalistik. Hal ini terlihat dari
berdirinya berbagai super-market yang
mematikan pasar tradisional, perumahan dan
apartemen mewah, serta sarana hiburan dengan
harga tiket yang sulit dijangkau, dan lain-lain.
Meskipun pemerintah telah membangun
apartemen bersubsidi, namun biayanya tetap
tidak terjangkau oleh kelompok sosial-ekonomi
menengah. Dengan demikian, intervensi
pengentasan kemiskinan harus secara struktural
(baca: political will), yakni dengan
memprioritaskan dibukanya akses orang miskin
terhadap pendidikan, kesehatan, listrik,
perumahan, air bersih, dan program welfare
lainnya. Contoh intervensi struktural yang patut
dibanggakan karena tidak menimbulkan konflik
antara Pemda Solo dan para PKL adalah upaya
walikota Solo dalam merelokasi PKL ke pasar
yang dibangun oleh Pemda Solo.
Kesimpulan dan Saran
Masalah kemiskinan merupakan masalah
besar bagi Indonesia yang jumlah penduduk
miskinnya mencapai lebih kurang 35 juta atau
kira-kira 15% dari jumlah seluruh penduduk
Indonesia. Melihat hasil pengentasan
kemiskinan selama ini yang tidak bermakna,
timbul pertanyaan: Dapatkah Indonesia
mengurangi angka kemiskinan dalam kurun
waktu enam tahun ke depan sesuai dengan
sasaran MDGs?
12 MARKUM
Untuk menjawab pertanyaan tersebut
tidaklah mudah. Namun bagaimanapun, perlu
ada langkah awal yang nyata yang tidak
berpretensi menyelesaikannya secara tuntas dan
segera, melainkan berprinsip “piece-meal
problem solving” (Somantri, 2007).
Tulisan ini mengajak para pemangku
kepentingan untuk memandang kemiskinan
sebagai fenomen yang utuh yang memerlukan
pendekatan pada tingkat individual, kultural,
dan struktural. Pendekatan psikologi sosial
dalam hal ini dapat melakukan intervensi baik
individu, kultur, maupun struktur yang menjadi
penyebab kemiskinan.
Bibliografi
Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D.
(2008), Social psychology. Boston: Pearson
Education Inc.
Brodjonegoro, B. P. S. (2007). Pencapaian
MDGs dan prioritas pembangunan ekonomi
Indonesia. Depok: Panitia Lokakarya
Dewan Guru Besar Universitas Indonesia.
Farley, J.E. (1987). American social problems:
An institutional analysis. New Jersey:
Prentice Hall.
Kemiskinan bertambah. (2009, 13 Februari).
Kompas, 1 & 15.
Kusumaatmadja, S. (Ed.). (2007). Politik dan
kemiskinan. Depok: Koekoesan.
Levin, J., Iknis, K. M., Carroll, W. F., &
Bourne, R. (2000). Social problems.
Causes, consequences, interventions. Los
Angeles, California: Roxbury Publishing
Company.
Muluk, H. (2009). Mosaik psikologi politik
Indonesia. Depok: Insos Books
Ortigas, C. D. (2000). Poverty revisited. A
social psychological approach to
community empowerment. Manila: Ateneo
de Manila University Press.
Somantri, G. R. (2007). Beyond “delusion of
grandeur”: Menuju Indonesia baru
“bebas” kemiskinan. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Sosiologi
Perkotaan. Depok: Lembaga Penerbitan FE
UI.
Understanding poverty. (2009). Ditemukembali
pada 6 April 2009, dari
http://go.worldbank.org/RQBDCTUXW0
PENGENTASAN KEMISKINAN 13
Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 13–28
Mempertanyakan Pemrofilan Kriminal sebagai Sebuah Ilmu Psikologis
J u n e m a n
Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah D.K.I. Jakarta
Psychology contributes to criminal profiling process. Unfortunately, after
intensive review on latest research findings, it is detected that most
criminal profiling process is not based on strong scientific assumptions.
This article explains the reasons why criminal profiling is quite a problem
for psychology as a science. The author proposes several ideas to
overcome this problem. The first idea is about the accurate understanding
of criminal profiling scientific status. The science-pseudoscience-non
science dichotomy and protoscience-science spectrum will support this
understanding. The second idea is that there are some things to be
considered for criminal profiling in order to be a prestigious discipline and
be used scientifically appropriate by scientists and practitioners of forensic
psychology and criminology.
Keywords: criminal profiling, crime action profiling, offender profiling,
crime scene, forensic psychology, signature behavior, pseudoscience,
protoscience, noumena, organized/disorganized behavior, computerized
criminal profiling
Sejak awal Maret 2009, media massa di
Indonesia ramai memberitakan kasus kematian
David Hartanto Widjaja beserta perkembangan
penanganannya oleh Kepolisian dan Peradilan
Singapura, antara lain Kompas.com (”Penyebab
tewasnya,” 2009), sebagai berikut:
.... David Hartanto Widjaja, mahasiswa asal
Jakarta, Senin (2/3), ditemukan tewas dalam
posisi tertelungkup di antara rumput dan beton
tempat jalan kaki pada selasar NTU (Nanyang
Technological University). Kematian mantan
duta Indonesia untuk olimpiade matematika
menimbulkan kontroversi, menyusul
pernyataan segera dari NTU bahwa dia bunuh
diri dengan meloncat dari lantai IV di
kampusnya. NTU. Seperti dipublikasikan
media Singapura dan banyak dikutip media di
dalam negeri pula, menyebut, sebelum
melompat, David yang sedang tertekan
kejiwaaan akibat beasiswanya dihentikan,
menyayat pergelangan tangan sendiri, setelah
menikam dosen pembimbing tugas akhirnya
di Jurusan Teknik Elektro NTU, Prof Chan, di
satu ruangan lantai V. Namun, beberapa rekan
David secara terbuka di beberapa milis
menyatakan, pernyataan NTU itu adalah
janggal antara lain karena David mereka kenal
periang, bukan tipe orang yang mudah dilanda
stres. Mereka mengharapkan aparat penegak
hukum di Singapura benar-benar menyelidik
kasus tersebut sebab bukan tidak mungkin
David adalah korban, bukan pelaku kriminal
13
14 JUNEMAN
apalagi kemudian bunuh diri ....
Di samping itu, pada sebuah forum online
yang memperbincangkan kasus ini pada The
Strait Times Discussion Board, seorang peserta
diskusi dengan nickname shunhua09, menulis
(”Student stabs,” 2009), sebagai berikut:
.... Well, if I were to have my way and
conclude what I believe happened. I would
say: During the routine discussion, the Prof
told David that he isn't making good progress
with his FYP. Coupled with the fact that he
got his scholarship revoked before that, in a
fit of anger and displeasure, David could have
threatened Prof. I believe this action, IS NOT
PRE-MEDIATED and NOT PRE-PLANNED.
In that case, David did so in a moment of
anxiety. Hence, justifying the fact that he
could have been calmed the day before and
was his usual self, until the Prof talked to him,
of which, the contents of the conversation
might have triggered such a response. In the
ensuing struggle that followed, both parties
were injure. (Note: I believe its a struggle that
cause the injuries of both parties, and NOT a
planned offensive by David.) Seeing the
damage done, I believe David hurriedly left
the scene entirely due to fear, and not a
planned escape. He stumbled and climbed
over the ledge onto the bridge and sat down,
probably because he thought it was safe there.
However, due to loss of blood and his panic
state, he fell off the bridge. That is what I
believe....
Dari seluruh cuplikan di atas, diketahui
adanya sejumlah pertanyaan yang hendak
dijawab, seperti: (a) apakah David bunuh diri?
(Bila ya/tidak, mengapakah? Bagaimanakah?),
(b) apakah David membunuh profesornya?, (c)
apakah David dibunuh oleh profesornya?, (d)
apakah David mengalami kecelakaan?, dan
mungkin masih banyak pertanyaan lainnya.
Sampai dengan waktu artikel ini ditulis,
sejumlah pertanyaan tersebut belum juga
terjawab dan kasusnya masih diproses oleh
aparat hukum di Singapura. Namun, hal yang
dilakukan oleh shunhua09 merupakan
representasi dari upaya intuitif manusia untuk
mengkonstruksi ”teori-teori” kausal mengenai
perilaku manusia. Upaya tersebut dinamai oleh
Fritz Heider (1958) sebagai naïve psychology.
Menurut Heider, setiap orang adalah ”psikolog
yang naif”.
Tulisan ini tidak hendak menganalisis kasus
David Hartanto dengan teori psikologi naif
maupun dengan teori-teori atribusi kausal dari
psikologi sosial, melainkan akan mengkaji
secara kritis keilmiahan sebuah disiplin dalam
psikologi forensik yang paling mungkin
mendiskusikan dan menemukan jawab atas
sejumlah pertanyaan di atas―yakni: pemrofilan
kriminal. Hal ini menjadi semakin penting
karena banyak kasus―utamanya kasus-kasus
kriminal―yang menampakkan urgensi untuk
menggunakan disiplin ini, khususnya di
Kepolisian, dalam rangka menyelesaikan kasus-
kasus tersebut.
Apakah Pemrofilan Kriminal Itu?
Pemrofilan kriminal (criminal profiling)
merupakan pekerjaan menyimpulkan rincian
ciri-ciri fisik (tinggi dan berat badan, cacat rupa,
dan sebagainya), demografis (usia, jenis
kelamin, latar belakang etnis, dan sebagainya),
dan keperilakuan (kepribadian, termasuk
motivasi, gaya hidup, fantasi, proses seleksi
korban, serta perilaku sebelum dan prediksi
perilaku sesudah tindak kejahatan) dari
kemungkinan pelaku kejahatan berdasarkan
aksi-aksinya pada scene kejahatan (O'Toole,
1999; Snook, Gendreau, Bennell, & Taylor,
PEMROFILAN KRIMINAL 15
2008). Scene kejahatan meliputi tempat-tempat
potensial sejauh bukti dari sebuah tindak
kriminal–misalnya, penculikan–dapat
ditemukan, yang terdiri dari scene kejahatan
primer dan sekunder (Horswell, 2004). Scene
kejahatan primer adalah wilayah, tempat, atau
sesuatu di mana insiden terjadi atau di mana
sebagian besar atau konsentrasi yang tinggi dari
bukti-bukti kejahatan ditemukan (misalnya,
tempat terjadinya penculikan). Scene kejahatan
sekunder adalah tempat-tempat atau benda-
benda di mana bukti-bukti yang berkaitan
dengan insiden dapat ditemukan (misalnya, alat
transportasi dan rute akses yang digunakan
pelaku kejahatan untuk membawa korban
penculikan ke lokasi lain). Data scene kejahatan
dapat juga diambil dari foto-foto, laporan-
laporan penyelidik, hasil otopsi, dan
sebagainya, yang akan menyusun suatu profil
kriminal (criminal profile)―termasuk karier
kriminal (criminal career)―dari pelaku
kejahatan.
Keseluruhan proses pemrofilan kriminal
mirip dengan proses pengumpulan data dalam
penelitian kualitatif yang dikemukakan
Koentjoro (2008). Menurutnya, ada empat jenis
sumber data penelitian kualitatif, yakni subjek,
informan, written documents dan unwritten
documents. Dalam prosesnya, penggalian
data/informasi dalam penelitian kualitatif
diibaratkan sebagai sebuah simfoni (Koentjoro,
2008). Dalam hal ini, potongan atau penggalan
data yang diperoleh peneliti kualitatif ibarat
bunyi biola atau bus atau drum yang ketika
dibunyikan mungkin tidak memiliki makna
apapun; namun apabila “bunyi-bunyian”
tersebut dirangkaikan dengan data yang lain,
barulah mereka mempunyai makna. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pelaku pemrofilan kriminal
atau pemrofil (criminal profiler) pada
hakikatnya adalah seorang yang bekerja sebagai
“peneliti kualitatif”.
Turvey (2008) membedakan antara
pemrofilan kriminal induktif dan deduktif.
Pemrofilan kriminal induktif mencakup
generalisasi berdasarkan sejumlah kecil
individu atau peristiwa dan/atau penalaran
statistik (pererataan, ekstrapolasi, korelasi, dan
sebagainya). Metode ini memiliki kelemahan
karena—berlawanan dengan asumsi statistik—
tidak ada dua kasus yang persis sama; pelaku
kriminal berpikir secara berbeda dari
kebanyakan orang, pun perilaku memiliki
makna-makna yang berbeda antar-kultur dan
wilayah. Dalam metode deduktif, pemrofil
menghasilkan sebuah profil berdasarkan
eksaminasi forensik serta rekonstruksi
keperilakuan yang hati-hati terhadap scene
kejahatan. Dalam hal ini, penekanannya antara
lain pada pengetahuan-diri pemrofil
(pengatasan bias transferensi) dan kemampuan
berpikir kritis pemrofil, beserta kemampuan
pemrofil untuk memahami kebutuhan-
kebutuhan yang sedang dipuaskan oleh setiap
perilaku dari pelaku kejahatan serta pola-pola
pelaku kejahatan. Kategorisasi Turvey di atas
memiliki kesepadanan dengan orientasi statistik
dan orientasi klinis yang dirangkum oleh
Snook, Cullen, Bennell, Taylor, dan Gendreau
(2008) berdasarkan sejumlah kajian
kepustakaan. Dalam pemrofilan kriminal yang
berorientasi statistik, pemrofil melakukan
penilaian berdasarkan analisisnya terhadap para
pelaku kejahatan yang sebelumnya telah lebih
dahulu melakukan tindakan kriminal; dalam hal
ini mereka dibandingkan keserupaannya dengan
pelaku kejahatan yang sedang diinvestigasi saat
ini. Dalam orientasi klinis, pemrofil mengambil
inspirasi/gagasan pemrofilan dari pelatihan,
pengetahuan, dan pengalaman yang
16 JUNEMAN
dimilikinya.
Proses-proses dan istilah-istilah spesifik
yang berkaitan dengan pemrofilan kriminal
sangat bergantung pada latar belakang profesi
dan pelatihan dari pemrofil (Snook, Gendreau,
et al., 2008). Dalam lingkup psikologi forensik,
misalnya, digunakan istilah-istilah antara lain,
sebagai berikut: psychological profiling,
offender profiling, criminal personality
profiling (Webb, 2006). Istilah-istilah tersebut
secara umum menggambarkan bahwa pemrofil
(criminal profiler) meneliti kandungan
”psikopatologi” yang terkandung pada scene
kejahatan—yang terdiri atas indikator-indikator
keperilakuan dan psikologis sebagai hasil dari
interaksi fisik, seksual, dan verbal antara pelaku
dan korbannya, dalam hal mana indikator-
indikator ini menyusun sebuah ”cerita” yang
“ditulis” oleh pelaku, korban dan interaksi
uniknya (O'Toole, 1999).
Kontribusi Psikologi
Pemrofilan kriminal dalam lingkup kerja
FBI (Federal Bureau of Investigation) di
Amerika Serikat termasuk dalam unit kerja
Behavioral Analysis Unit (BAU), dalam mana
agen-agen yang terseleksi mengikuti kuliah-
kuliah yang dimulai dari kuliah mengenai
psikologi dan selanjutnya kuliah-kuliah spesifik
(Hits dalam Ramsland, 2008), dengan urutan
sebagai berikut: Basic Psychology, Criminal
Psychology, Forensic Science, Body Recovery,
Criminal Investigative Analysis, Death
Investigation, Threat Assessment,
Statement/document Analysis, Crimes Against
Children, Child Abduction and Homicide,
Sexual Victimization of Children / Internet
Issues, Interview and Interrogation Procedures,
Serial Murder. Sejak setahun yang lalu, dalam
sebuah petisi yang diajukan kepada American
Psychological Association dalam rangka
pengakuan profesi Psikologi Kepolisian,
pemrofilan kriminal telah diusulkan dalam
domain ”operational support” dari kompetensi
utama psikologi kepolisian (”Petition for,”
2008).
Dimulainya rangkaian kuliah BAU FBI
dengan subjek psikologi dan diusulkannya
pemrofilan kriminal sebagai salah satu
kompetensi khas psikologi kepolisian di atas
tidak mengherankan, karena, seperti dinyatakan
Turvey (2008: 125), bahwa aspek signifikan
dari pemrofilan kriminal adalah pengetahuan
mengenai perilaku manusia dan keahlian untuk
menginterpretasikan makna-makna dari
perilaku tersebut; sementara itu, ahli-ahli
psikologi dan psikiatri forensik memiliki
pemahaman dan pelatihan yang khas dalam
proses-proses mental, fisiologi, perilaku
manusia, dan psikopatologi. Psikologi
lingkungan juga berperan, sebagaimana
ditunjukkan David Canter (2003)—seorang
teoris psikologi tempat (psychology of place),
dalam bukunya, ”Mapping Murder: The Secrets
of Geographical Profiling”. Canter
menunjukkan relasi antara psikologi lingkungan
dengan kejahatan, antara lain dengan
memperlihatkan secara rinci bagaimana ruang
dan waktu berkaitan dengan aktivitas kriminal.
Selain alasan-alasan di atas, kompetensi
psikologis juga diperlukan untuk
menyimpulkan signature behavior yang
dibedakan dari modus operandi pelaku
kejahatan. Modus operandi mengindikasikan
pendidikan dan pelatihan teknis yang dimiliki
pelaku kejahatan serta tingkat pengalaman
pelaku kejahatan dalam melakukan tindak
kriminal dan dalam menghadapi sistem
peradilan; namun signature behaviors
merupakan setiap tindakan yang dilakukan
PEMROFILAN KRIMINAL 17
pelaku kejahatan yang tidak harus menjadi
syarat perlu bagi sebuah tindak kriminal, namun
menyatakan kebutuhan psikologis atau
emosional pelakunya (seperti: rasa tamak, balas
dendam, rasa marah, mencari untung, ingin
berbuat sadis atau perilaku tak wajar lainnya,
hasrat berkuasa, dan sebagainya) (Rogers, 2003;
Turvey, 2008). Dalam ilmu forensik komputer,
contoh modus operandi adalah menjalankan
skrip milik orang lain atau memprogram skrip
sendiri yang digunakan untuk menyerang atau
merusak sebuah komputer; sedangkan signature
behavior lebih terpersonalisasi, seperti
menandai files atau kode program dengan nama
julukan (nickname)-nya sendiri (Rogers, 2003).
Oleh karena hal-hal tersebut, profesi
kesehatan mental seperti ahli psikologi dapat
bekerja dengan baik dalam proses-proses
pemrofilan kriminal sejauh mereka telah
memperoleh pula pendidikan yang terkait
dengan investigasi dan ilmu-ilmu forensik
(Turvey, 2008), demikian pula ahli forensik
atau pun kriminolog yang telah memperoleh
pendidikan psikologi. Terdapat dua sumbangan
besar psikologi dalam penelitian pemrofilan
kriminal, sebagai berikut (Winerman, 2004):
Pertama, offender profiling, merupakan
salah satu bentuk dari psikologi investigatif
yang berasal dari karya-karya seorang ahli
psikologi terapan David Canter, pendiri
psikologi investigatif pada awal 1990-an.
Seluruh penyimpulan dalam pemrofilan ini
berbasiskan penelitian empiris (atau ”psikologi
akademis”) dan ditimbang oleh rekan sejawat
(peer-reviewed). Sebagai contoh, Canter et al.
(dalam Winerman, 2004) pernah menganalisis
data scene kejahatan dari 100 pembunuhan
beruntun yang mengindikasikan bahwa seluruh
pembunuhan menunjukkan derajat organisasi
perilaku tertentu, atau dengan perkataan lain:
tidak bersifat dikotomis (organized atau
disorganized). Perilaku terorganisasi/terencana
—seperti pemosisian atau penyembunyian
tubuh korban—merupakan ”variabel-variabel
inti” (core variables) yang cenderung muncul
dalam kebanyakan kasus dan berada bersama
dengan variabel-variabel lainnya. Namun, yang
membedakan antara pembunuh yang satu
dengan yang lainnya bukanlah jenis-jenis
perilaku disorganisasi/tak terencana-nya,
melainkan cara pelaku berinteraksi dengan
korbannya yang terbagi menjadi kategori-
kategori: melalui kontrol seksual, melalui
mutilasi, eksekusi, atau perampasan. Dalam
studi yang lain, Canter et al. (dalam Winerman,
2004), mengumpulkan data scene kejahatan dari
112 kasus perkosaan. Mereka menemukan
bahwa hal yang membedakan satu pemerkosa
dengan pemerkosa lain bukanlah jenis-jenis
pencabulan seksual dan penyerangan fisik
(dengan demikian, hal-hal ini tergolong
variabel-variabel inti), melainkan interaksi-
interaksi yang bersifat nonfisik (misalnya,
apakah pelaku mencuri dari korban, meminta
maaf kepada korban, dan sebagainya). Canter
memberikan porsi peran yang tidak signifikan
kepada ”pengalaman investigatif”, yakni
pengalaman yang dikembangkan oleh agen-
agen penegak hukum dalam melakukan
offender profiling. Menurutnya, para psikolog
seyogianya mengumpulkan data dari dasar
(grounded theory).
Kedua, crime action profiling, yang
berbasiskan pengetahuan yang dikembangkan
oleh para psikolog forensik, psikiater, dan
kriminolog berdasarkan sejumlah besar studi
terhadap pelaku pembunuhan serial, pemerkosa,
dan pelaku pembakaran. Model-model yang
digunakan sebagai panduan bagi pemrofilan
terhadap aksi kriminal, menurut Kocsis
18 JUNEMAN
(Winerman, 2004) serupa dengan wawancara
terstruktur yang digunakan oleh para psikolog
klinis untuk membuat diagnosis klinis. Dalam
hal ini, pertanyaan-pertanyaan yang perlu
dikembangkan dalam rangka eksaminasi
sistematis sebelum membangun prinsip-prinsip
pemrofilan, antara lain, sebagai berikut (Kocsis
dalam Winerman, 2004): ”Jenis informasi
seperti apa yang dikandung, atau seyogianya
dikandung, oleh sebuah profil? Jenis material
kasus apa yang Anda perlukan untuk
mengonstruksi sebuah profil? Bagaimana
keberadaan atau ketidakberadaan material
mempengaruhi akurasi sebuah profil?”
Selanjutnya, menurut Kocsis (2006), profil
kriminal yang dihasilkan oleh pemrofilan
kriminal dapat dibedakan dengan profil
kepribadian (personality profile) atau profil
psikologis (psychological profile). Kocsis
menegaskan bahwa—berkebalikan dengan
pemrofilan kepribadian atau pemrofilan
psikologis yang seringkali melibatkan evaluasi
dan diagnosis terhadap pasien kriminal
(criminal patient)—pemrofilan kriminal tidak
melakukan eksaminasi atau pemeriksaan
terhadap pasien kriminal melainkan terhadap
aksi kriminal itu sendiri, yang kemudian
dianalisis dan diinterpretasikan bukti
keperilakuannya guna menghasilkan gambaran
individu yang diduga melakukan perilaku
tersebut. Dalam kaitan dengan ini, Cook dan
Hinman (1999) menjelaskan bahwa, ”Specific
suspects, who have already been identified, are
not profiled .... The focus of the analysis or
profile is the behavior of the perpetrator or
perpetrators within the crime scene.”
Pseudo- atau Protoscience?
Sekalipun di dunia cukup populer
aplikasinya, Snook, Cullen, et al. (2008)
mengingatkan bahwa pemrofilan kriminal telah
terjebak dalam praktek pseudoscientific, dalam
hal mana, meskipun penggunaannya didukung
oleh petugas kepolisian dan profesi kesehatan
mental, proses yang dijalani dan hasil yang
diperoleh merupakan ”ilusi” belaka. Bila hal ini
benar, maka status ilmiah pemrofilan kriminal
dapat disejajarkan dengan pseudosciece dan
praktek pseudoscientific lainnya, seperti
palmistri dan astrologi (Sarwono, 2000), senam
otak/brain gym (Goldacre, 2006), The Doman-
Delacato Patterning Treatment for Brain
Damage (National Council Against Health
Fraud, 2001), terapi EMDR/Eye Movement
Desensitization and Reprocessing (Carrol,
2009; Cuvelier, 2001), Craniosacral Therapy
(Hartman, & Norton, 2002), Thought Field
Therapy (TFT)/Emotional Freedom Technique
(EFT) (Barrett, 2003), analisis sidik jari
(fingerprint analysis) (Sherrer, 2004), dan
sebagainya.
Batasan ilmu semu (pseudoscience)
menurut Sarwono (2000) sebagai berikut:
... ada pula sarjana-sarjana yang mengajukan
teori-teori mengenai psikologi yang
sesungguhnya tidak didasarkan pada metode-
metode yang benar-benar ilmiah. Yang
mereka lakukan adalah menyusun
pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada dan
bisa dikumpulkan mengenai gejala-gejala
kejiwaan dan mensistematiskan pengetahuan-
pengetahuan itu. Karena pengetahuan-
pengetahuan itu sudah tersusun secara
sistematis, maka tampaknya seperti sudah
ilmiah, padahal tidak ada yang bisa dibuktikan
secara empiris metodologis. Karena itu
mereka digolongkan sebagai orang-orang
yang menggunakan ilmu semu untuk
menerangkan gejala kejiwaan.
PEMROFILAN KRIMINAL 19
Gambar 1. Analisis lingkup terkecil dari 39 kriteria perilaku terorganisasi/tak terorganisasi
(Kontur-kontur menunjukkan frekuensi keseluruhan).
Lilenfeld (dalam Cuvelier, 2001)
menjelaskan, ”You can usually tell [what
pseudoscience is] because there's a lot of
marketing around these treatments, but there's
no controlled evidence. Support consists of
almost all anecdotes and personal testimony”.
Sejumlah argumen yang dikemukakan oleh
pihak-pihak yang melihat pemrofilan kriminal
sebagai pseudoscience bersesuaian dengan
batasan Sarwono dan Lilenfeld di atas, sebagai
berikut:
Pertama dan utamanya, terdapat kelemahan
empiris metodologis dalam tipologi perilaku
kriminal organized/disorganized yang sampai
dengan saat ini digunakan secara luas dalam
pemrofilan kriminal (Alison, Bennell, Mokros,
& Ormerod, 2002; Canter, Alison, Alison, &
Wentink, 2004; Gladwell, 2007; Snook, Cullen,
et al., 2008).
Gladwell (2007) menggambarkan tipologi
perilaku kriminal dikotomis
organized/disorganized yang dihubungkan
dengan kepribadian pelakunya, sebagai berikut:
Dalam sebuah tindak kriminal yang
‘terorganisasi’ (organized), kejahatan
dilakukan secara logis dan terencana. Korban
telah diburu (hunted) dan dipilih, guna
memenuhi fantasi spesifik tertentu... Pelaku
mengontrol seluruh proses kejahatan ....
hampir tidak pernah meninggalkan
senjatanya. Ia dengan sangat teliti
20 JUNEMAN
Gambar 2. Analisis lingkup terkecil dari 39 kriteria perilaku terorganisasi/tak terorganisasi yang
menunjukkan empat gaya interaksi pelaku kejahatan dengan korban (Kontur-kontur menunjukkan
frekuensi keseluruhan).
menyembunyikan tubuh korban. Dalam tindak
kriminal yang ‘tidak terorganisasi’
(disorganized), korban tidak dipilih secara
logis. Korban nampaknya dipilih secara acak
dan ‘diserang secara kilat’ (blitz-attacked),
dan bukan diburu secara diam-diam dan
diserang (stalked and coerced)…. Tindakan
kriminal dilaksanakan dengan sangat tidak
rapi. Korban seringkali memiliki kesempatan
melawan balik…. Lebih dari itu, pelaku
kejahatan tidak mengetahui atau berminat
akan kepribadian dari korban mereka….
Masing-masing gaya ini
[organized/disorganized] berkorespondensi
dengan sebuah tipe kepribadian. Perilaku
kejahatan yang terorganisasi dilakukan oleh
seorang yang inteligen dan fasih, memiliki
perasaan superior terhadap orang-orang di
sekelilingnya. Sedangkan, perilaku kejahatan
yang tak terorganisasi dilakukan oleh seorang
yang tidak menarik (unattractive) dan
memiliki citra diri yang buruk.
Melengkapi gagasan di atas, Douglas,
Burgess, Burgess, dan Ressler (1992)
menjelaskan:
Secara umum pelaku kejahatan terorganisasi
diduga melakukan tindak kejahatan setelah
mengalami beberapa peristiwa urgen yang
penuh stres, seperti masalah finansial,
PEMROFILAN KRIMINAL 21
masalah relasi antarmanusia, atau masalah
pekerjaan.... Scene kejahatannya
mencerminkan sebuah pendekatan yang
metodis dan teratur. Hal ini dipandang sebagai
konsekuensi dari pelaku kejahatan yang
memiliki keterampilan sosial dan dalam
menangnai situasi-situasi interpersonal.
Pelaku kejahatan yang terorganisasi, dengan
demikian, lebih mungkin menggunakan
pendekatan verbal terhadap korban sebelum
melakukan kekerasan .... Sebaliknya, pelaku
kejahatan yang tak terorganisasi melakukan
kejahatannya secara oportunistik. Ia tinggal
dalam jarak yang dekat dengan scene
kejahatan. Gaya penyerangannya spontan dan
scene kejahatannya berada dalam situasi
kaotik. Hal ini mencerminkan
ketidakmampuan sosial dan ketidakterampilan
interpersonal pelakunya.
Pendekatan tipologis dikotomis seperti di
atas telah dikritik sebagai psikologi yang
menyederhanakan (simplistic psychology) oleh
Gladwell (2007). Alison et al. (2002) menyebut
pendekatan tersebut sebagai naïve trait
approach yang telah mengabaikan prinsip
Person x Situasi sebagai faktor-faktor interaktif
dalam mempengaruhi suatu tindak kejahatan.
Lagipula, Canter et al. (2004) telah
menunjukkan melalui riset mereka terhadap
arsip 100 kasus pembunuhan seksual
serial―yakni pembunuhan yang melibatkan
aktivitas seksual sebagai basis dari rangkaian
aksi yang membawa pada kematian korban―di
Pusat Psikologi Investigatif, Amerika Serikat,
bahwa tidak terdapat suatu pola yang bersifat
distingtif antara perilaku terorganisasi dan
perilaku tak terorganisasi. Yang banyak terjadi
(Canter et al., 2004) adalah koeksistensi kedua
jenis perilaku tersebut (lihat Gambar 1), dan
bahwa perilaku terorganisasi dan tak
terorganisasi dapat terjadi dalam banyak varian
gaya transaksional pelaku kejahatan dengan
korban (lihat Gambar 2)—yang nampak
”inkonsisten” satu dengan yang lain; misalnya,
perilaku yang tak disorgnasasi di satu pihak
dapat merupakan perilaku yang melibatkan
mutilasi dan pengotoran (defilement) tubuh
korban, namun, di lain pihak dapat pula
merupakan perilaku yang menekankan
perampokan (ransacking) dan perampasan
(plundering) barang-barang kepunyaan korban.
Selanjutnya, dalam banyak hasil penelitian,
prediktor-prediktor perilaku kriminal yang
sudah diakui secara luas dan kuat (misalnya,
sikap dan kognisi antisosial) ternyata tidak
berkaitan samasekali dengan jenis-jenis variabel
yang selama ini difokuskan oleh pemrofil,
seperti perilaku pada scene kejahatan–apakah
terorganisasi, tak teroganisasi, atau campuran–
dan demografi pelaku kejahatan (Snook, Cullen,
et al., 2008).
Hal kedua yang menyebabkan orang
mencurigai pemrofilan kriminal sebagai
pseudoscience adalah karena keberhasilan
pemrofil kriminal dalam membuat prediksi
yang akurat mengenai pelaku kejahatan boleh
jadi tidak berbasiskan pengetahuan spesialistik
mengenai kekhasan dan keunikan
(idiosyncrasies) yang terdapat pada scene
kejahatan yang tengah dihadapi pemrofil
(Snook, Cullen, et al., 2008). Dengan perkataan
lain, dalam penelitian terkendali (controlled
research), tidak dijumpai perbedaan yang
signifikan antara kemampuan memprediksi
antara pemrofil profesional dan yang bukan
pemrofil. Polisi yang memiliki pengetahuan
yang baik dalam hal kriminologi dapat pula
mencapai tingkat keberhasilan pemrofilan
kriminal semata-mata dengan mengandalkan
informasi minimum standar (base rate).
Berdasarkan analisis kritisnya, Snook,
22 JUNEMAN
Cullen, et al. (2008) menyimpulkan adanya dua
faktor utama yang saling berinteraksi yang
menyebabkan orang-orang meyakini
keberhasilan pemrofilan kriminal, kendatipun
tidak terdapat dasar-dasar teoritis dan dukungan
empiris yang kokoh (pseudoscience). Faktor
pertama adalah penyajian informasi tentang
pemrofilan kriminal kepada masyarakat (aspek
pesan/the message); faktor kedua adalah
pemrosesan informasi tersebut oleh masyarakat
(aspek pikiran/the mind). Yang termasuk faktor
pertama, antara lain: (a) penekanan yang
berlebihan terhadap kisah-kisah sukses
sejumlah pemrofil yang telah memberikan
profil akurat–yang secara prediktif telah
membantu menyelesaikan investigasi kriminal
yang sulit (hal ini diperkuat dengan anekdot-
anekdot pada media massa), sementara
kebanyakan kisah-kisah lain yang tidak sukses
tidak diungkapkan, (b) pemaparan informasi
secara repetitif bahwa pemrofilan kriminal
merupakan alat investigatif yang efektif; hal ini
diperkuat dengan sejumlah testimoni mengenai
keberhasilan pemrofilan kriminal tertentu yang
tidak divalidasi lebih lanjut secara empiris
melalui riset, dan (c) adanya gejala heuristik
keahlian (expertise heuristic). Pernyataan
seorang pemrofil dipercaya karena ia
menampakkan dirinya sebagai seorang ahli
yang memiliki kemampuan dan pengetahuan
istimewa (terlebih apabila ia pernah menjadi
saksi ahli di pengadilan), memiliki pendidikan
ilmiah formal serta pelatihan-pelatihan panjang
dan akumulatif, sehingga mampu meramalkan
karakteristik pelaku kejahatan secara akurat,
dalam hal mana keahliannya diatribusikan lebih
tinggi daripada keahlian rata-rata petugas
kepolisian biasa atau orang-orang lain yang
non-ahli.
Yang termasuk faktor kedua melibatkan
proses-proses kognitif, antara lain: (a) ilusi
korelasi dan bias konfirmasi. Dalam ilusi
korelasi, orang mempersepsikan adanya
hubungan antara prediksi pemrofil dengan
terselesaikannya kasus kriminal, semata-mata
karena sebuah profil kriminal telah diperoleh
sebelum kasus terselesaikan (after-the-fact
reasoning), padahal hubungan tersebut apabila
diteliti sesungguhnya tidak ada. Dalam bias
konfirmasi, orang mencari atau mengingat
bukti-bukti konfirmatif (prediksi yang benar
atau anekdot dalam literatur atau media
populer) yang mendukung keyakinannya akan
keberhasilan pemrofilan dan mengabaikan
dan/atau melupakan bukti-bukti kontradiktif;
(b) Efek Barnum (Barnum effect). Efek Barnum
merupakan fenomena di mana orang cenderung
menerima pernyataan-pernyataan ambigu,
samar-samar dan umum sebagai deskripsi
akurat atas kepribadiannya sendiri (Dickson &
Kelly, 1985). Dalam pemrofilan kriminal,
ditemukan efek ini, bahwa keyakinan orang
terhadap metode-metode pemrofilan kriminal
dan keahlian pemrofil menjadi semakin positif
setelah mereka dipapar dengan materi profil
yang bersifat ambigu, meskipun secara aktual
metode pemrofilan yang digunakan tidak valid
dan pemrofilnya tidak benar-benar ahli; (c)
penularan sosial (social contagion), dalam hal
mana penggunaan pemrofilan kriminal yang
diyakini efektif ”ditularkan”, misalnya, oleh
FBI di Amerika Serikat, melalui program-
program pelatihan, publikasi yang luas,
tontonan televisi, dan sebagainya; dan (d)
penyimpulan fakta berdasarkan fiksi, misalnya,
fantasi pemrofilan (profiling fantasy), seperti
tergambar dalam detektif-detektif fantastis,
seperti Augueste Dupin, Sherlock Holmes,
Hercule Poirot.
Kedua faktor tersebut saling berinteraksi
PEMROFILAN KRIMINAL 23
membentuk suatu siklus, seperti yang
digambarkan Kocsis (2006):
Popular culture representations and
anecdotal testimonials may artificially elevate
people’s belief in the capabilities of profiling.
These elevated beliefs may in turn lead to
misconceptions concerning the accuracy and
merit of criminal profiles. Such
misconceptions may then in turn sponsor the
continued use of profiling and perhaps lead to
even more favorable media coverage and
testimonials: thus the cycle continues.
Jadi, keyakinan orang akan keberhasilan
pemrofilan kriminal (keyakinan ini tidak harus
berarti evidence-based) dipengaruhi oleh
representasi mengenai “sukses” tersebut oleh
media massa, dan selanjutnya, keyakinan
tersebut berpengaruh terhadap frekuensi dan
intensitas penggunaan pemrofilan kriminal, dan
seterusnya.
Yang patut dicermati dalam kaitan dengan
seluruh uraian di atas adalah bahwa terdapat
satu istilah yang tidak muncul dalam tulisan
Snook, Cullen, et al. (2008) yang mengkritik
pemrofilan kriminal sebagai pseudoscience,
yakni ”protoscience”. Padahal, menurut penulis,
pengertian mengenai protoscience sangat
krusial dalam pertimbangan klasifikasi apakah
sesuatu itu science ataukah pseudoscience,
utamanya dalam perspektif prospektif. Secara
ringkas, Gay (2008) mendefinisikan
protoscience sebagai “emerging science
establishing its legitimacy”. Sudah sejak 1959,
Karl Popper menggunakan istilah protoscience
secara konseptual sebagai:
A hypothesis that has not yet been adequately
tested by the scientific method, but which is
otherwise consistent with existing science or
which, where inconsistent, offers reasonable
account of the inconsistency. It may also
describe the transition from a body of
practical knowledge into a scientific field.
Hal ini bukan berarti bahwa suatu teori yang
bertentangan dengan satu atau dua teori
sebelumnya otomatis tergolong dalam
pseudoscience. Namun, sebuah protoscience
atau science, walaupun bertentangan dengan
teori-teori tertentu, ia masih cocok dengan
sejumlah teori lainnya. Hal ini sesuai dengan
norma koherensi (norms of coherence) yang
merupakan determinan baik-tidaknya suatu
teori (Shaw & Costanzo, 2002). EMDR (Eye
Movement Desensitization and Reprocessing)
adalah sebuah contoh yang baik dari
penyelewengan fundamental yang serius
terhadap norma koherensi itu: “The theory of
EMDR clashes with scientific knowledge of the
role of eye movements” (Barret, 2003).
Berkebalikan dengan protoscience,
pseudoscience dikonsepkan sebagai “…theories
which are either untestable in practice or in
principle, or which are maintained even when
tests appear to have refuted them”
(“Pseudoscience,” 2009).
Apabila penjelasan di atas dikaitkan dengan
pemrofilan kriminal, maka nampaknya masih
tersisa ruang bagi pemrofilan kriminal untuk
menyandang status sebagai sebuah sains di
masa mendatang. Terdapat sedikitnya dua
alasan yang dapat menerangkannya:
Pertama, pembedaan yang dilakukan oleh
Canter et al. (2004)―sebagaimana juga
terungkap sebelumnya di atas―antara core
variables dan bukan core variables yang sama-
sama penting dan berguna dalam proses
pemrofilan kriminal sebenarnya lebih
merupakan upaya penyempurnaan teori
tipologis organized/disorganized yang
24 JUNEMAN
dipandang usang dan memiliki kelemahan. Di
samping itu, pemrofilan kriminal juga konsisten
dengan body of knowledge yang pernah ada
sebelumnya yang relevan, yakni Prinsip
Pertukaran dari Locard (Chisum & Turvey,
2000; Turvey, 1995). Prinsip pertukaran ini
menyatakan bahwa siapa pun yang memasuki
scene kejahatan, maka ia mengalami dua hal
sekaligus, yakni mengambil sesuatu dari scene
tersebut dan meninggalkan sesuatu pada scene
yang membekas/menjejak dari dirinya.
“Sesuatu” yang dimaksud adalah benda fisik.
Telah ditunjukkan melalui sejumlah penelitian
(dalam Turvey, 1995), bahwa percabangan
psikologis (baca: pengembangan) dari prinsip
Locard, dalam rupa aplikasi prinsip-prinsip
psikologis (fantasi, disasoisasi, pengendalian,
reenactment, empati, intimasi, analisis perilaku,
dan lain-lain) terhadap bukti-bukti fisik, telah
menunjukkan hasil yang mumpuni, meskipun
harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang
ketat.
Secara operasional, Gay (2008) pernah
memberikan dua puluh empat pertanyaan—
sebagai modifikasi dari dua belas pertanyaan
Moller (1989)—guna membantu membedakan
pseudoscience dari protoscience. Moller (1989)
sendiri menempatkan pertanyaan, “Apakah
subjek/disiplin yang dibahas menunjukkan
adanya kemajuan?” (Has the subject shown
progress?) pada urutan pertama, kalau bukan
yang terpenting. Ia menjelaskan:
Banyak ilmu-ilmu semu telah ada lama sekali
namun menunjukkan kemajuan yang sedikit,
kalau bukan tidak ada kemajuan sama sekali.
Contoh yang baik dalam hal ini adalah
grafologi (analisis tulisan tangan). Ada
sejumlah teori grafologi sepanjang abad
belakangan ini, dan semua teori tersebut
sama-sama lemahnya....
Bahkan, grafologi telah masuk dalam daftar
subjek yang terdapat pada The Encyclopedia of
the Paranormal (Beyerstein, 2002). Namun
demikian, apabila indikator Moller (1989)
dikenakan pada pemrofilan kriminal, maka,
dengan memperhatikan kemajuan-kemajuan
yang dicapai oleh pemrofilan kriminal di atas,
jawaban “ya” dapat diberikan pada pertanyaan
Moller. Terlebih lagi, jawaban positif ini dapat
diperkuat dengan pengakuan Snook, Cullen, et
al. (2008) sendiri, bahwa:
…. there are signs that progress is being
made. Several individuals are attempting to
develop criminal profiling classification
systems and are going through the steps
required to validate those systems (e.g.,
Häkkänen, Lindof, & Santilla, 2004; Kocsis,
2006; Salfati, 2000). Others are taking a
bottom-up approach to profiling by
identifying individual behavior–offender
associations and the condition in which these
will arise (e.g., Goodwill & Alison, 2007).
However, this research is in its infancy and
the typologies emerging are still not used
widely in criminal profiling circles.
Unfortunately, that role is currently taken up
by classification systems that are not largely
supported by psychological science.
Hal kedua, dalam kaitannya dengan realitas
pemrofilan yang sudah dikemukakan di atas,
pendapat Koentjoro (2008) yang mengambil
inspirasi epistemologis Kantian mengenai jenis-
jenis realitas sosial dapat dirujuk. Menurutnya,
ada dua jenis realitas sosial, yaitu phenomena
dan noumena. Phenomena adalah realitas sosial
yang dapat kita observasi, realitasnya eksis, dan
dapat dijelaskan secara rasional. Sedangkan,
noumena adalah realitas sosial yang dapat kita
observasi, realitasnya ada, namun belum
mampu dijelaskan secara rasional (misalnya,
PEMROFILAN KRIMINAL 25
kesurupan masal). Hal ini bukan berarti bahwa
noumena tersebut tidak rasional, namun otak
manusia belum mampu menjelaskan secara
rasional (contoh: di tahun 1950-an, televisi
tanpa kabel, mesin cetak jarak jauh, dan
sebagainya, mungkin dianggap banyak orang
sebagai tidak rasional); dan mungkin saja suatu
saat noumena akan menjadi rasional. Dalam hal
bahasan tulisan ini, dapat dikatakan bahwa
pemrofilan kriminal sesungguhnya berada
dalam ketegangan antara noumena dan
phenomena. Dengan berkembang pesatnya
studi-studi ilmiah mengenenainya, pemrofilan
kriminal semakin progresif menuju pada sifat
phenomenal yang dapat diterangkan secara
ilmiah.
Demikianlah sesungguhnya terdapat
harapan bahwa pemrofilan kriminal merupakan
protoscience yang suatu waktu dapat
dikembangkan sebagai science. Harapan ini
dapat semakin diperkuat apabila kita mencoba
menjawab pertanyaan lain yang diajukan Gay
(2008), “Can you find relevant papers authored
by the proponents in the relevant refereed
scientific literature (e.g., such as on Medline
Pubmed for medical subjects)?” Penelusuran
penulis terhadap sejumlah pangkalan data jurnal
ilmiah setidaknya menunjukkan hasil-hasil yang
jauh lebih positif dalam rangka memberikan
jawaban yang optimistis terhadap pertanyaan
tersebut dengan kata kunci “criminal profiling”
daripada, misalnya, “graphology”,
“handwriting analysis”, “brain gym”, dan
sejenisnya. Selanjutnya, lebih banyak
ditemukan hasil-hasil temukembali yang
mutakhir sekaligus apresiatif-ilmiah terhadap
pemrofilan kriminal daripada terhadap contoh-
contoh ilmu dan praktek yang telah
diidentifikasikan sebagai pseudoscience
sepanjang tulisan ini.
Kesimpulan dan Saran
Pemrofilan kriminal merupakan sebuah alat
forensik yang dapat dipelajari dan digunakan
oleh siapa saja, termasuk oleh psikolog
forensik. Kompetensi dalam psikologi ternyata
turut memegang peran penting dalam sukses
atau tidaknya pemrofilan kriminal. Sejauh ini,
banyak profesi telah mengambil manfaat—
menurut persepsinya masing-masing—dari
pemrofilan kriminal, termasuk profesi
kesehatan mental, seperti psikolog dan
psikiater. Kendati demikian, popularitas
aplikasi pemrofilan kriminal tidak serta-merta
menunjukkan bahwa disiplin ini sudah jelas dan
kuat kedudukan keilmuannya. Berdasarkan
seluruh uraian di atas nampak bahwa status
ilmiah pemrofilan kriminal sampai dengan saat
ini masih “kontroversial”. Menurut penulis,
kontroversi tersebut lebih disebabkan karena
tarik-menarik perspektif untuk mengambil
posisi apakah pemrofilan kriminal saat ini
sesungguhnya merupakan protoscience ataukah
pseudoscience, dan bukan dalam hal
penggolongan kedalam ranah dikotomis “atau
pseudoscience atau science”.
Pemrofilan kriminal, dan disiplin psikologi
forensik lainnya―seperti yurisprudensi
terapeutik (Juneman, 2008)―khususnya di
Indonesia, belum memperoleh penghargaan
yang layak. Namun demikian, penulis telah
menunjukkan bahwa pemrofilan kriminal
memiliki peluang dan masa depan untuk
tumbuh dan berkembang sebagai sebuah ilmu
psikologis, dan bahwa hal ini perlu dikawal
dengan sikap dan penggunaan kritis terhadap
pemrofilan kriminal secara berkelanjutan. Di
samping itu, apabila pemrofilan kriminal
hendak berjaya, hal-hal berikut perlu
dipertimbangkan: (a) melakukan penelitian-
penelitian lebih lanjut (search and re-search)
26 JUNEMAN
yang berkenaan dengan validitas dan reliabilitas
dari pemrofilan kriminal, (b) di era teknologis
global sekarang ini, sudah saatnya pemrofil
turut menggunakan program komputer dengan
sistem fuzzy logic yang mampu menangani
beragam dimensi [non-linear] dari pemrofilan
kriminal (lihat, misalnya, “Match'em: Using,”
2002); dalam hal ini, penelitian validitas
pemrofilan dapat juga diteliti secara masif, serta
(c) pemrofilan kriminal sebagai bagian dari
penegakan hukum hendaknya dipahami dalam
perspektif yang jauh lebih visioner. Maksudnya,
pemrofilan kriminal tidak hanya bertujuan
mendeteksi, memahami suatu peristiwa
kejahatan, tetapi juga menurunkan tingkat
kejadian kejahatan atau berfungsi preventif
(Cook & Hinman, 1999; Harcourt, 2007). Hal
ini mengingat bahwa kedua tujuan tersebut
dapat berkonflik atau bersifat paradoksal,
sebagaimana ditunjukkan oleh Harcourt (2007:
124). Oleh karena itu, di samping pemrofilan
kriminal itu sendiri perlu direvisi secara kontinu
guna memenuhi secara memuaskan tujuan
pertama, maka perlu adanya semacam jembatan
proses atau aktivitas pengiring agar tujuan
kedua juga tercapai.
Bibliografi
Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., &
Ormerod, D. (2002). The personality
paradox in offender profiling: A theoretical
review of the processes involved in deriving
background characteristics from crime
scene actions. Psychology, Public Policy,
and Law, 8(1), 115-135.
Barrett, S. (2003). Mental help: Procedures to
avoid. Ditemukembali pada 18 Februari
2009, dari
http://www.quackwatch.org/01QuackeryRel
atedTopics/mentserv.html
Beyerstein, B. L. (2002). How graphology fools
people. Ditemukembali pada 18 Februari
2009, dari
http://www.quackwatch.org/01QuackeryRel
atedTopics/Tests/grapho.html
Canter, C. (2003). Mapping murder: The
secrets of geographical profiling. UK:
Virgin Books.
Canter, D. V., Alison, L. J., Alison, E., &
Wentink, N. (2004). The
organized/disorganized typology of serial
murder: Myth or model? Psychology, Public
Policy, and Law, 10(3), 293–320.
Carrol, R. T. (2009). From abracadabra to
zombies: Eye movement desensitization and
reprocessing (EMDR). The Skeptic’s
Dictionary. Ditemukembali pada 18
Februari 2009, dari
http://skepdic.com/emdr.html
Chisum, W. J., & Turvey, B. E. (2000).
Evidence dynamics: Locard's exchange
principle & crime reconstruction. Journal of
Behavioral Profiling, 1(1).
Cook, P. E., & Hinman, D. L. (1999). Criminal
profiling: science and art. Journal of
Contemporary Criminal Justice, 15, 230-
241.
Cuvelier, M. (2001). The pursuit of
pseudoscience. Psychology Today, Jul/Aug
2001, Article ID: 2141. Ditemukembali
pada 18 Februari 2009, dari
http://www.psychologytoday.com/articles/pt
o-20010701-000014.html
Dickson, D. H., & Kelly, I. W. (1985). The
Barnum Effect in personality Assessment: A
review of the literature. Psychological
Reports, 57, 367-382.
Douglas, J. E., Burgess, A. W., Burgess, A. G.,
& Ressler, R. K. (1992). Crime
classification manual: A standard system
PEMROFILAN KRIMINAL 27
for investigating and classifying violent
crime. New York: Simon and Schuster.
Gay, J. (2008). Veterinary medicine and the
philosophy of science. Ditemukembali pada
18 Februari 2009, dari
http://www.vetmed.wsu.edu/courses-
jmgay/EpiPhil.htm
Gladwell, M. (2007). Dangerous minds. The
New Yorker; Dept. of Criminology, 83(35),
36.
Goldacre, B. (2006). Brain gym: Name &
shame. Ditemukembali pada 18 Februari
2009, dari
http://www.badscience.net/2006/03/the-
brain-drain/
Harcourt, B. E. (2007). Against prediction:
Profiling, policing, and punishing in an
actuarial age. USA: University of Chicago
Press.
Hartman, S. E., & Norton, J. M. (2002,
November). Craniosacral therapy is not
medicine. Phys Ther, 82(11), 1146-1147.
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
http://www.ptjournal.org/cgi/content/full/82
/11/1146
Heider, F. (1958). The psychology of
interpersonal relations. New York: Wiley.
Horswell, J. (Ed.). (2004). The practice of crime
scene investigation. London: CRC Press.
Juneman. (2008). Yurisprudensi terapeutik:
Peran integratif psikologi dalam proses
hukum untuk melayani kesejahteraan
pribadi klien hukum. Jurnal Kajian Ilmiah
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya,
9(3), 908-922.
Kocsis, R. N. (2006). Criminal profiling:
Principles and practice. New Jersey:
Humana Press.
Koentjoro. (2008). Materi kuliah metode
penelitian kualitatif. Tidak diterbitkan.
Match'em: Using fuzzy logic to profile
criminals. (2002). Ditemukembali pada 18
Februari 2009, dari
http://ieeexplore.ieee.org/xpl/freeabs_all.jsp
?arnumber=616386
Moller, L. (1989). Pseudoscience or
Protoscience? The Newsletter of The North
Texas Skeptics, 3(3). Ditemukembali pada
18 Februari 2009, dari
http://www.ntskeptics.org/1989/1989mayju
ne/mayjune1989.htm
National Council Against Health Fraud. (2001).
Pseudoscientific psychological therapies
scrutinized. NCAHF news, 24(4).
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html
O'Toole, M. E. (1999). Criminal profiling: The
FBI uses criminal investigative analysis to
solve crimes. Corrections Today, 61(1), 44-
46.
Penyebab tewasnya David ditentukan Coroner
Court. (2009). Kompas.com. Ditemukembali
pada 22 Maret 2009, dari
http://internasional.kompas.com/read/xml/2
009/03/19/1420565/Penyebab.Tewasnya.Da
vid.Ditentukan.Coroner.Court
Petition for the recognition of police
psychology as a proficiency in professional
psychology. (2008). Ditemukembali pada 18
Februari 2009, dari
http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police
%20Psychology%20Proficiency%20Petitio
n-Final.pdf
Popper, K. R. (1959). The logic of scientific
discovery. Tenth Impression (Revised)
1980. London: Hutchinson.
Pseudoscience. (2009). Wikipedia.
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Pseudoscience
Ramsland, K. (2008). Criminal profiling: Part 1
28 JUNEMAN
history and method. Ditemukembali pada 18
Februari 2009, dari
http://www.trutv.com/library/crime/criminal
_mind/profiling/history_method/new_22.ht
ml
Rogers, M. (2003). The role of criminal
profiling in the computer forensics process.
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
http://www2.tech.purdue.edu/cit/Courses/CI
T556/readings/Profile-Rogers.pdf
Sarwono, S. W. (2000). Berkenalan dengan
aliran-aliran dan tokoh-tokoh psikologi.
Jakarta: Bulan Bintang.
Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-
teori psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono,
Penerj. & Peny.). Jakarta: RajaGrafindo
Persada. (Karya asli diterbitkan tahun 1970)
Sherrer, H. (2004). That’s not my fingerprint,
your honor. Justice: Denied, 25, 11.
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
http://www.justicedenied.org/issue/issue_25
/brandon_mayfield.html
Snook, B., Gendreau, P., Bennell, C., Taylor,
P. J. (2008). Criminal profiling. Skeptic,
14(2), 42-47,80.
Snook, B., Cullen, R. M., Bennell C., Taylor, P.
J., & Gendreau, P. (2008). The criminal
profiling illusion: What's behind the smoke
and mirrors? Criminal Justice and
Behavior, 35, 1257-1276.
Student stabs prof, jumps. (2009). The Strait
Times Discussion Board. Ditemukembali
pada 6 Maret 2009, dari
http://comment.straitstimes.com/showthread
.php?t=17387&page=15
Turvey, B. E. (1995). The Impressions of a
man: An objective forensic guideline to
profiling violent serial sex offenders.
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
http://www.criminalprofiling.ch/article1.ht
ml
Turvey, B. E. (2008). Criminal profiling: An
introduction to behavioral evidence analysis
(3th ed.). London: Academic Press.
Webb, D. (2006). What is forensic psychology?
All about forensic newsletter 2.
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
http://www.all-about-forensic-
psychology.com/what-is-forensic-
psychology.html
Winerman, L. (2004). Criminal profiling: the
reality behind the myth. Monitor on
Psychology, 35(7), 66–69.
PEMROFILAN KRIMINAL 29
Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 29–38
Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar di Jakarta
Eunike Sri Tyas Suci
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta
The purpose of this research was to describe the snacking behavior among
school children in Jakarta. It was already known that the pupils are
prominent consumers of unhealthy snack widely sold near schools. The
research method used was quantitative cross-sectional and the population
of this study was the pupils of eight elementary schools in Jakarta. Using
the purposive random sampling, 400 research respondents were recruited
and it was found that their parents give them some pocket money about
1.000 rupiah to 5.000 rupiah per day. The research results showed that
siomay (a type of dim sum) and batagor (fried tofu and meat balls) are
two favorite snacks for the pupils and they usually buy them in their
school's canteen. This finding was quite relieving, but we should worry
that there are still many pupils who prefer buying snacks and food from
the vendors who sell snacks out of the school yard to those who sell inside
the school yard. Further, the research found that 36% of the respondents
like food with tomato or chilly sauce.
Keywords: snacking behavior, school children, elementary school pupil,
healthy behavior
Makanan dan jajanan sekolah merupakan
masalah yang perlu menjadi perhatian
masyarakat, khususnya orangtua, pendidik, dan
pengelola sekolah, karena makanan dan jajanan
sekolah sangat berisiko terhadap cemaran
biologis atau kimiawi yang banyak
mengganggu kesehatan, baik jangka pendek
maupun panjang anak sekolah. Penelitian
Badan Pengawas Obat dan Makanan di Jakarta
menemukan kenyataan bahwa dari 800
pedagang yang berjualan di 12 sekolah, 340
menjual jajanan yang mengandung zat kimia
berbahaya (“Intaian maut,” 2005). Survei lain
yang dilakukan oleh POM pada tahun 2004
melibatkan ratusan sekolah dasar di seluruh
Indonesia dan menampung sekitar 550 jenis
makanan yang diambil dari sampel pengujian.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 60%
jajanan anak sekolah tidak memenuhi standar
mutu dan keamanan. Disebutkan bahwa 56%
sampel mengandung rhodamin dan 33%
mengandung boraks (”Jajanan pembawa,”
2004). Pada tahun 2007, POM melakukan
survei kembali dengan melibatkan 4.500
sekolah di Indonesia dan membuktikan bahwa
45% jajanan anak berbahaya (“Jajanan anak,”
2008). Mariani dari Pusat Pengembangan
Kualitas Jasmani Departemen Pendidikan
29
30 SUCI
Nasional mengakui bahwa selama ini masih
banyak jajanan sekolah yang kurang terjamin
kesehatannya dan berpotensi menyebabkan
keracunan ("Jajanan sekolah," 2009).
Berkaitan dengan jenis dan efek zat kimia
berbahaya yang sering ditemukan dalam bahan
makanan, Badan POM mengungkapkan bahwa
berbagai bahan kimia yang umum digunakan
pada bahan makanan antara lain formalin,
rodhamin, methanil yellow, dan boraks.
Disebutkan bahwa formalin yang merupakan
bahan pengawet mayat ternyata digunakan
untuk mengawetkan bahan makanan, antara lain
mi, tahu, ikan asin, dan ikan basah. Bahan
kimia ini sangat berbahaya karena bisa
menimbulkan kematian akibat rusaknya otak,
hati, jantung, dan iritasi pada saluran
pernapasan ("Intaian maut," 2005).
Dengan banyaknya makanan yang
mengandung bahan kimia berbahaya di pasaran,
kantin-kantin sekolah, dan penjaja makanan di
sekitar sekolah merupakan agen penting yang
bisa membuat siswa mengonsumsi makanan
tidak sehat. Sebuah survei di 220 kabupaten dan
kota di Indonesia menemukan hanya 16%
sekolah yang memenuhi syarat pengelolaan
kantin sehat ("Jajanan sekolah," 2009).
Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah
kenyataan bahwa makanan jajanan ini
menyumbang energi bagi anak sekolah
sebanyak 36%, protein 29%, dan zat besi 52%
(Guhardja, dkk., dalam Februhartanty &
Iswarawanti, 2004). Dengan demikian, terkait
dengan masalah jajan anak sekolah, merupakan
tantangan besar bagi pemerintah dan pengelola
sekolah untuk memperhatikan bagaimana
asupan gizi siswa sekolah tercukupi tanpa harus
mengonsumsi jajanan di lingkungan sekolah,
apabila memungkinkan.
Melihat kenyataan bahwa sebagian besar
anak sekolah jajan di kantin sekolah atau di
penjual makanan sekitar sekolah, peneliti ingin
melihat gambaran perilaku jajan anak sekolah.
Hal ini penting sekali karena “hanya” dengan
kebiasaan jajan makanan yang tidak sehat,
banyak anak sekolah yang akan mengalami
hambatan dalam perkembangannya. Anak usia
sekolah adalah investasi bangsa yang harus
dijaga dan dipelihara untuk menjadi penerus
bangsa. Kualitas bangsa di masa depan sangat
tergantung pada kualitas anak-anak saat ini.
Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia
sejak dini. Untuk memelihara perkembangan
anak secara optimal, pemberian nutrisi dan
asupan makanan yang adekuat pada anak perlu
mendapat perhatian secara serius.
Berkaitan dengan perilaku jajan anak
sekolah, beberapa hal yang perlu diteliti antara
lain adalah seberapa besar anak sekolah dasar
sering menerima uang saku dari orangtua,
jumlah nominal yang diterima secara rutin, serta
bagaimana ia membelanjakannya (untuk jajan,
ditabung, beli keperluan sekolah, beli barang-
barang yang sedang tren). Jumlah nominal
yang diterima anak sekolah juga perlu diketahui
untuk dibelanjakan apa saja. Apabila mereka
membelanjakannya untuk jajan, maka apa saja
jenis makanan favorit yang mereka beli, serta
mengapa mereka memfavoritkan makanan
tersebut. Hal ini penting untuk diketahui karena
masalah kesehatan sangat erat kaitannya dengan
perilaku sehat individu itu sendiri.
Dengan mengetahui pola perilaku jajan anak
sekolah dasar, para pengelola sekolah bisa lebih
memusatkan perhatiannya untuk meningkatkan
kualitas makanan pada jenis makanan tertentu
yang beredar di kantin sekolah. Apabila
ditemukan bahwa jajanan favorit anak sekolah
ternyata justru dijual di luar kantin sekolah,
PERILAKU JAJAN 31
para pengelola sekolah diharapkan untuk
membuat kebijakan tertentu terhadap penjual
makanan yang bertebaran di luar lingkungan
sekolah. Juga apabila ternyata sebagian besar
uang saku anak sekolah dibelanjakan untuk
makanan, pihak sekolah perlu mengantisipasi
untuk meningkatkan mutu jajanan yang beredar
di kantin maupun di lingkungan sekolahnya.
Lebih jauh, perlu adanya pendidikan khusus
tentang bagaimana mengelola uang saku yang
diberi oleh orangtua, serta memanfaatkannya
secara lebih optimal. Salah satu contoh yang
penulis ketahui adalah melalui siaran
wawancara terhadap anak-anak sekolah oleh
Metro TV ketika terjadi tsunami di Aceh pada
2005, dalam hal mana beberapa anak sekolah
yang biasa mengumpulkan uang sakunya dalam
‘celengan’ (tabung, umumnya dari keramik
berbentuk tertentu yang biasa dipakai untuk
memasukkan koin)―untuk membeli barang
yang mereka ingin/butuhkan saat sudah
terkumpul―ketika terjadi tsunami,
menyerahkan ‘celengan’ tersebut seutuhnya ke
posko yang menerima bantuan untuk korban
tsunami.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk
memperoleh gambaran perilaku jajan murid
sekolah dasar, karena tanpa ada demand dari
murid sekolah dasar, tentu kantin atau penjaja
makanan di sekitar sekolah tidak akan
berlomba-lomba untuk menjual makanan yang
menarik minat anak sekolah.
Secara khusus peneliti ingin mengetahui
beberapa hal, antara lain: (a) pola perilaku
keluarga murid sekolah dasar: kebiasaan
orangtua memberi uang jajan secara rutin,
jumlah rupiah yang diterima setiap hari, alasan
orangtua memberi uang jajan, mengapa tidak
memberi bekal makan, (b) pola perilaku murid
sekolah dasar membelanjakan uang saku yang
diterima orangtuanya: berapa yang ditabung,
mengapa tidak menabung, apa saja yang dibeli
dengan uang saku tersebut, serta (c) pola
perilaku jajan murid sekolah dasar (ditanyakan
hanya apabila murid sekolah dasar menyatakan
bahwa uang saku biasa dibelanjakan untuk beli
makan jajanan di sekolah): apa yang paling
sering dibeli, mengapa, dimana didapatkan,
bagaimana kemasannya, bagaimana
mengonsumsinya (cuci tangan dulu, diambil
dengan tangan dari pembungkus, dan lain-lain).
Gambaran perilaku jajan murid sekolah
dasar ini merupakan informasi yang sangat
penting guna meningkatkan kualitas makanan
yang ditawarkan di lingkungan sekolah dan
mencegah terjadinya infeksi dan/atau
keracunan. Gambaran ketiga pola perilaku
yang akan diteliti tersebut merupakan informasi
dasar bagi para pimpinan Sekolah Dasar untuk
mengembangkan kebijakan sekolah yang lebih
komprehensif berkaitan dengan perilaku jajan
murid sekolah dasar di sekolahnya.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah
seluruh siswa sekolah dasar di sekolah-sekolah
dasar di Jakarta sesuai dengan sekolah yang
akan digunakan oleh Tim Jakarta in Focus
Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya. Ada
delapan sekolah dasar yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu: (a) Sekolah Dasar Don
Bosco, (b) Sekolah Dasar Negeri Cipulir 011
Pagi, (c) Sekolah Dasar St. Fransiskus Asisi, (d)
Sekolah Dasar Santo Lukas Penginjil, (e)
Sekolah Dasar Negeri 01 Pagi Kelapa Gading
Timur, (f) Sekolah Dasar Negeri Gandaria
Selatan 01 Pagi, (g) Sekolah Dasar Negeri
Mampang Prapatan 02 Pagi, dan (h) Sekolah
32 SUCI
Dasar Negeri Pecenongan Pulo 07 Pagi.
Sampel penelitian ini adalah siswa sekolah
dasar kelas V dari sekolah yang sudah dipilih.
Teknik pengambilan sampel menggunakan
purposive random sampling, di mana pada
setiap sekolah diambil tiga kelas (dari semua
kelas V) secara acak. Dengan jumlah sekitar 40
murid per kelas, diharapkan diperoleh sampel
sekitar 950 siswa. Alasan utama memilih
sampel dengan siswa kelas V adalah karena
mereka telah mengenal lingkungan sekolahnya
cukup lama. Peneliti tidak mengambil siswa
kelas VI karena mereka dalam persiapan ujian.
Peneliti juga tidak mengambil siswa kelas IV
atau di bawahnya, karena metode kuesioner
kurang tepat untuk mereka sehingga
membutuhkan waktu lebih lama. Analisis
penelitian ini menggunakan analisis deskriptif
dan tabulasi-silang dengan menggunakan
program komputer SPSS.
Berkaitan dengan ethical clearance, peneliti
menyadari bahwa subyek penelitian adalah
anak-anak dibawah usia 18 tahun, sehingga
peneliti perlu mendapat ijin dari orangtua murid
untuk mengisi formulir yang akan diberikan.
Untuk itu, seminggu sebelum menyebarkan
kuesioner, terlebih dahulu peneliti membagikan
lembar informasi tentang penelitian yang akan
dilakukan dan pernyataan orangtua yang
mengijinkan anaknya untuk mengisi kuesioner
tersebut. Peneliti hanya meminta murid untuk
mengisi kuesioner penelitian pada mereka yang
telah mengembalikan lembar tanggapan yang
telah ditandatangani orangtuanya.
Hasil dan Pembahasan
Dari sekitar 600 kuesioner yang disebarkan,
peneliti berhasil mengumpulkan 432 kuesioner
yang kembali. Dari jumlah itu, lebih dari
separuhnya adalah laki-laki (n = 227; 53%).
Tabel 1 memaparkan distribusi frekuensi
variabel-variabel latar belakang sampel
penelitian, yaitu jenis kelamin, usia, dan nama
sekolah. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Latar Belakang Responden (N = 432)
Karakteristik Jumlah % Jenis kelamin
Laki-laki 227 52,5 Perempuan 202 46,8 Missing 3 0,7
Usia
6 - 9 tahun 34 7,9 10 tahun 339 78,5 11 tahun ke atas 55 12,7 Missing 4 0,9
Nama sekolah
SD Don Bosco 92 21,3 SDN Cipulir 011 Pagi 34 7,9 SD St. Frans. Asisi I 90 20,8 SD Santo Lukas
Penginjil 30 6,9
SDN 01 Pagi Kelapa Gading Timur
63 14,6
SDN Gandaria Selatan 01 Pagi
58 13,4
SDN Mampang Prapatan 02 Pagi
39 9,0
SDN Pecenongan Pulo 07 Pagi
26 6,0
Berkaitan dengan usia, nampak sekali
bahwa mereka mengelompok pada satu usia,
yaitu usia 10 tahun (n = 339; 78,5%). Sisanya,
ada 55 anak yang berusia 11 tahun ke atas
(12,7%) dan 34 anak berusia 6–9 tahun (7,9%).
Pengelompokan pada usia 10 tahun disebabkan
karena peneliti menyebarkan kuesioner pada
anak-anak yang berada di kelas V. Mereka yang
umurnya 11 tahun ke atas tentu ada
kecenderungan bahwa mereka pernah
PERILAKU JAJAN 33
mengulang kelas sebelumnya.
Tabel 1 juga menunjukkan distribusi
frekuensi siswa SD pada setiap sekolah dasar
yang terpilih untuk diteliti. Penelitian ini
dilakukan pada 3 sekolah dasar swasta dan 5
sekolah dasar negeri. Untuk sekolah dasar
swasta, yaitu Don Bosco, St. Fransiskus Asisi 1,
dan Santo Lukas Penginjil, total jumlah
responden penelitian adalah 212 murid, atau
49% dari total sampel penelitian. Hal ini
merupakan salah satu mengapa hanya dipilih
tiga sekolah dasar swasta. Sebaliknya, untuk
lima sekolah dasar negeri yang berpartisipasi
dalam penelitian ini, total sampel yang didapat
adalah 220, atau sekitar 51%. Dengan demikian
diharapkan bahwa ada jumlah yang
proporsional antara sekolah dasar swasta dan
negeri, supaya tidak terjadi bias.
Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui
apakah responden menerima uang saku setiap
berangkat ke sekolah. Hal ini penting untuk
diketahui karena ada kemungkinan bahwa
kebanyakan anak sekolah menerima uang saku
(uang jajan). Tabel 2 menunjukkan bahwa
sebagian besar responden (93%) mengakui
bahwa mereka menerima uang saku. Tabel
tersebut memperlihatkan bahwa 73% orangtua
memberikan uang saku pada anaknya setiap
hari (5–6 hari seminggu). Di samping itu,
sekitar 11% orang tua memberikan uang saku
satu atau dua kali seminggu, dan satu responden
mengakui mendapatkannya sebulan sekali.
Dalam hal ini, sangat mungkin orangtua
memberi uang saku dalam jumlah yang cukup
besar untuk dibelanjakan selama periode
tertentu. Di samping tidak merepotkan, sistem
ini mendidik anak untuk belajar bagaimana
mengelola uang sakunya.
Tabel 2 Frekuensi Menerima Uang Saku (N = 432)
Setiap berangkat sekolah mendapat uang saku
Jumlah %
1–2 kali seminggu 48 11,13–4 kali seminggu 37 8,65–6 kali seminggu 314 72,7Sebulan sekali 1 0,2Tidak pernah 29 6,7Missing 3 0,7
Lebih jauh, Tabel 2 juga menunjukkan
bahwa ada 29 responden (6,7%) yang
menyatakan tidak pernah menerima uang saku.
Hal yang menarik adalah kenyataan bahwa
alasan sebagian besar responden yang tidak
pernah menerima uang saku adalah karena
mereka membawa bekal dari rumah. Hanya
beberapa responden yang menyatakan bahwa
orangtua/wali tidak memberi, orangtua khawatir
sakit perut, atau alasan lainnya.
Oleh karena analisis selanjutnya berkait
dengan perilaku jajan anak sekolah, maka
peneliti hanya menggunakan sampel pada siswa
sekolah dasar yang mendapat uang saku, yaitu
berjumlah 400 orang. Salah satu alasan utama
anak membeli makanan di sekolah adalah
karena mereka tidak membawa bekal dari
rumah. Ternyata, 156 siswa atau 39% dari
responden menyatakan bahwa mereka
membawa bekal makan siang dari rumah. Oleh
karena membawa bekal makan merupakan
pilihan terbaik dalam mengonsumsi makan,
peneliti tertarik mengapa sebagian besar siswa
tidak membawa bekal makan siang. Tabel 3
menunjukkan ada dua alasan utama, yaitu: (a)
responden selalu terburu-buru, dan (b)
orangtua/wali juga sangat sibuk, kemungkinan
besar untuk mempersiapkan diri berangkat ke
kantor. Di samping itu, alasan lain responden
tidak membawa bekal adalah karena teman-
temannya tidak ada yang bawa, malu (karena
34 SUCI
merasa tidak lazim), dan karena sudah punya
uang saku.
Untuk responden yang menerima uang saku,
jumlahnya sangat bervariasi, dengan rentang
dari yang paling rendah, yaitu Rp 1.000,00,
sampai dengan yang paling tinggi, yaitu Rp
100.000,00. Tabel 4 menampilkan besaran
nominal uang saku yang diterima oleh
responden. Dalam tabel ini, nampak sekali
bahwa 326 siswa (82%) melaporkan bahwa
mereka menerima uang saku dengan kisaran Rp
1.000,00 sampai dengan Rp 5.000,00. Tabel 3 Alasan Responden Tidak Membawa Bekal dari Rumah (N = 400)
Alasan tidak bawa bekal Jumlah % Saya selalu terburu-buru 88 22,0Orangtua/wali sangat sibuk 88 22,0Malu 15 3,8Teman-teman tidak ada yang
membawa 17 4,3
Bawa uang jajan/saku 2 0,5Missing 190 47,5
Tabel 4 Besaran Nominal Uang Saku yang Diterima Responden (N = 400)
Jumlah uang saku Jumlah % Rp 1.000,00–5.000,00 326 81,5Rp 5.500,00–10.000,00 53 13,3Rp 11.000,00–20.000,00 8 2,0Rp 21.000,00 ke atas 7 1,8Missing 6 1,5
Jumlah nominal sekitar Rp 1.000,00 sampai
Rp 5.000,00 ini sangat berhubungan dengan
pola orangtua/wali memberikan uang saku pada
anaknya secara harian dan diharapkan jumlah
tersebut cukup untuk membeli makanan atau
jajanan di sekolah atau sekitar sekolah. Tabel
5 menjelaskan lebih jauh tentang pendapat
responden berkaitan dengan alasan
orangtua/wali memberi uang saku/jajan. Tabel
tersebut menunjukkan secara jelas bahwa
sebagian besar, yaitu 361 siswa atau 90%
responden, menyatakan bahwa orangtua mereka
memberi uang saku/jajan agar mereka bisa
makan ketika lapar. Tabel 5 Alasan Orangtua/wali Memberi Uang Saku/jajan (N = 400)
Alasan orangtua/wali Jumlah % Agar bisa makan ketika lapar 361 90,3Agar bisa seperti teman lain 12 3,0Agar bisa traktir teman 5 1,3Agar tidak malu dan minder 3 0,8Lainnya 12 3,0Missing 7 1,8
Beberapa alasan berikutnya yang umum
dilaporkan oleh responden adalah anggapan
orangtua supaya mereka bisa seperti teman
yang lainnya (3%), supaya bisa traktir teman-
teman (1,3%), dan supaya tidak merasa
malu/minder (,8%). Selain itu, ada alasan-
alasan individual lain, misalnya agar responden
bebas memilih makanan sendiri, agar mereka
bisa menabung atau membelanjakan keperluan-
keperluan mendadak, alat tulis, dan lain-lain.
Ada satu responden yang mengaku agar bisa
ditabung untuk beli telepon seluler. Untuk
responden yang suka membelanjakan uang
sakunya untuk jajan, peneliti ingin mengetahui
kemana saja mereka membeli makanan atau
jajanan. Tabel 6 menunjukkan gambaran
kemana saja mereka sering jajan.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa 370
(92,5%) responden menyatakan bahwa mereka
jajan di kantin sekolah. Selain kantin sekolah,
ternyata 33% membeli makanan jajan pada
penjaja makanan di luar pagar sekolah, dan
21% membeli makanan jajan pada penjaja
PERILAKU JAJAN 35
makanan di dalam pagar sekolah. Temuan ini
menarik untuk diketahui dan untuk menjadi
perhatian lebih lanjut karena ternyata jajanan
non-kantin yang dijual di dalam pagar
sekolah—artinya diasumsikan bahwa
penjualannya lebih terawasi—tidak semenarik
jajanan yang dijual di luar pagar sekolah.
Tabel 6 Tempat Jajan dan Jajanan Favorit Responden
Pertanyaan dan jawaban Jumlah % Tempat biasa jajan
Kantin Sekolah 370 92,50Penjaja makanan lain di
dalam pagar sekolah 84 21,00
Penjaja makanan di luar pagar sekolah
132 33,00
Tempat lain 19 4,80Makanan/jajanan yang
paling sering dibeli
Siomay 186 46,50Batagor 165 41,30Es krim 123 30,75Cakwe 105 26,30Nasi uduk 101 25,25Es sirop 100 25,00Mi ayam 74 18,50Mi bakso 61 15,30Bakso goreng 53 13,25
Tempat jajan lain yang dilaporkan oleh
responden, selain ketiga lokasi tersebut di atas,
adalah tempat jajan dekat tempat jemputan,
mal, restoran, minimarket, supermarket, toko,
tempat les, dan warung. Dengan banyaknya
alternatif tempat jajan yang bisa dikunjungi
siswa, maka siswa perlu mendapat informasi
yang jelas tentang bagaimana memilih jajanan.
Hanya dengan membekali siswa pemahaman
untuk memilih tempat jajan yang sehat, mereka
bisa terhindar dari kebiasaan mengonsumsi
makanan yang tidak bergizi, tidak higienis,
serta terhindar dari keracunan makanan.
Selanjutnya, peneliti tertarik untuk
mengetahui jenis makanan yang paling sering
dikonsumsi oleh responden siswa sekolah dasar.
Tabel 6 menampilkan berbagai jenis makanan
jajan yang umumnya dijual di kantin sekolah
maupun oleh penjual di sekitar sekolah. Dari
tabel tersebut dapat diketahui bahwa siomay
menempati urutan pertama yang paling disukai
responden (46,5%), disusul oleh batagor
(41,30%). Kalau mengaitkan temuan ini dengan
Tabel 7 tentang alasan membeli makanan yang
disukainya, 84% menyatakan bahwa responden
membeli karena enak rasanya. Hal ini perlu
mendapat perhatian lebih lanjut karena rasa
enak untuk anak sekolah dapat dijadikan alasan
penjaja makanan untuk memberi bumbu
penyedap makanan, meicin, dan lainnya, agar
makanan yang dijajakan laku di pasar tanpa
memperhatikan faktor kesehatan. Beberapa
makanan favorit yang sering dibeli responden,
antara lain es krim (31%), es sirop (25%),
cakwe (26%), dan nasi uduk (25%).
Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui
mengenai konsumsi saus merah secara
berlebihan. Tabel 7 menampilkan bentuk
jajanan yang sering dikonsumsi responden
termasuk kemasannya. Berkaitan dengan saus
merah, ternyata 146 (37%) responden
menyatakan bahwa makanan yang dibeli di
kantin sekolah maupun penjaja sekitar sekolah
disertai dengan saus merah. Seperti diketahui
sebelumnya, kesukaan responden pada saus
merah perlu mendapat perhatian lebih serius
karena bisa saja warna merah dari saus
disebabkan karena dicampur dengan bahan
pewarna kimia yang bukan untuk makanan
sebagaimana yang sering diberitakan di media
massa.
36 SUCI
Tabel 7 Makanan/jajanan Favorit
Pertanyaan dan jawaban Jumlah % Alasan beli
makanan/jajanan
Teman-teman menyukainya
12 3,0
Enak rasanya 336 84,0 Murah harganya 33 8,3 Menarik tampilannya 2 0,5 Lainnya 16 4,0 Missing 1 0,25
Jajanan yang biasa dibeli
Disertai saus merah 146 36,5 Dikemas plastik 314 78,5 Dikemas daun 13 3,3 Dikemas bahan lain 83 20,8 Pakai piring 234 58,5 Tidak dikemas 31 7,75
Berkaitan dengan masalah kemasan
makanan yang dikonsumsi responden, ternyata
sebagian besar responden menyatakan bahwa
makanan yang dibeli dikemas dengan plastik
(78,5%). Di samping itu, ternyata responden
juga membeli makanan dengan menggunakan
piring (58,5%). Dalam hal ini, dapat
diasumsikan bahwa makanan yang diletakkan
dalam piring biasanya disediakan oleh kantin
sekolah dan bukan penjaja disekitar sekolah.
Cara makan merupakan hal penting untuk
diperhatikan oleh anak usia sekolah, karena
apabila tidak diajarkan sejak awal tentang cara
makan yang benar, maka ada kemungkinan
nantinya mereka makan secara sembarangan.
Tabel 8 menggambarkan apa saja perangkat
yang digunakan untuk makan di sekolah.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar responden (66%) menggunakan
sendok/garpu ketika makan makanan di
sekolah. Cara makan yang seperti ini
menunjukkan bahwa kemungkinan besar
mereka makan di kantin sekolah karena jarang
sekali ada penjaja makanan yang menyediakan
sendok/garpu untuk pembelinya. Namun perlu
diperhatikan juga, Tabel 8 menunjukkan ada 87
responden (22%) yang mengambil makanan
langsung dengan tangan yang sangat mungkin
tidak bersih karena habis bermain. Selain
memakai tisu dan sapu tangan, ada juga yang
menggunakan sumpit dan tusuk gigi untuk
makan di tempat tersebut. Hal-hal yang
disebutkan terakhir sangat mungkin terjadi saat
responden beli makanan jajan di penjaja
makanan yang tidak terkontrol.
Tabel 8 Cara Makan Responden Anak Sekolah (N = 400)
Pertanyaan dan jawaban Jumlah %
Cara Makan Diambil langsung
dengan tangan 87 21,8
Pakai sendok/garpu 265 6,3 6 5,8 Pakai tisu/ sapu tangan 23
Lainnya 23 5,75Missing 2 0,5
Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
Selalu dilakukan 210 52,5 Sering dilakukan 88 22,0 Jarang dilakukan 83 20,8 Tidak pernah dilakukan 17 4,25Missing 2 0,5
Berkaitan dengan kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan, Tabel 8 menunjukkan bahwa
separuh dari responden (53%) mengaku selalu
mencuci tangan sebelum makan. Persentase ini
cukup besar mengingat seringkali tempat jajan
atau kantin tidak dilengkapi dengan tempat cuci
tangan yang memadai. Selanjutnya, 22%
responden mengaku mereka sering mencuci
tangan, dan 21% lain mengaku jarang
melakukannya. Selanjutnya, peneliti ingin
PERILAKU JAJAN 37
Tabel 9. Tempat Jajan di Sekolah yang Dikunjungi Responden serta Frekuensinya (N = 400)
Kantin Sekolah Penjaja di dalam
pagar sekolah Penjaja di luar pagar sekolah
Pertanyaan dan jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Pernah beli makanan/jajan
di tempat ini Ya, pernah 393 98,3 193 48,3 273 68,3 Tidak pernah 3 0,8 110 27,5 45 11,3 Missing 4 1,0 97 24,3 82 20,5
Frekuensi makan di tempat ini 5–6 kali seminggu 130 32,5 22 5,5 63 15,8 3–4 kali seminggu 56 14,0 29 7,3 44 11,0 1–2 kali seminggu 57 14,3 32 8,0 47 11,8 Tidak tentu 149 37,25 104 26,0 129 32,3 Missing 8 2,0 213 53,3 117 29,3
mengetahui apakah responden pernah datang
dan membeli makanan ke tempat-tempat jajan,
seperti di kantin sekolah, penjaja di dalam pagar
sekolah, dan penjaja makanan di luar pagar
sekolah. Tabel 9 menampilkan tempat jajan
yang dikunjungi responden dan seberapa sering
mereka berkunjung ke tempat itu.
Tabel 9 menunjukkan bahwa hampir seluruh
responden pernah berkunjung ke kantin sekolah
(98%). Hal selanjutnya yang menarik untuk
disampaikan adalah kenyataan bahwa sekitar
68% mengaku pernah mengunjungi penjaja
makanan di luar pagar sekolah, sementara 48%
mengaku pernah mengunjungi penjaja makanan
di dalam pagar sekolah. Berkaitan dengan
penjaja di luar pagar sekolah yang nampak lebih
dikunjungi oleh siswa dibanding penjaja di
dalam sekolah, ada kemungkinan bahwa jenis
makanan yang enak dan murah lebih mudah
didapatkan di penjaja di di luar pagar sekolah
daripada yang ada di dalam pagar sekolah.
Namun, dapat juga terjadi mereka sering
membeli di penjaja makanan di luar pagar
sekolah sambil menunggu jemputan atau
kendaraan setelah sekolah usai. Sementara itu,
di dalam pagar sekolah sudah tersedia kantin
dan siswa mempunyai waktu terbatas untuk
jajan di dalam sekolah.
Kesimpulan dan Saran
Perilaku jajan anak sekolah perlu mendapat
perhatian khusus karena anak sekolah
merupakan kelompok yang rentan terhadap
penularan bakteri dan virus yang disebarkan
melalui makanan, atau biasa disebut food borne
diseases. Dengan maraknya isu berkaitan
dengan campuran kimiawi makanan jajanan
yang sangat mempengaruhi kesehatan
seseorang, peneliti ingin mengetahui gambaran
pola perilaku jajan anak sekolah di delapan
sekolah dasar di Jakarta.
Dalam penelitian ini didapatkan informasi
bahwa orangtua merupakan salah satu faktor
penentu perilaku jajan anak sekolah dasar
karena dari orangtua lah mereka mendapat uang
saku. Di samping itu, jumlah nominal dan cara
orangtua memberikan uang saku merupakan hal
yang penting. Diketahui bahwa orangtua biasa
memberi uang saku/uang jajan setiap hari dan
dalam jumlah dengan kisaran Rp 1.000,00–Rp
38 SUCI
5.000,00. Jumlah ini menurut peneliti cukup
wajar untuk membeli makan siang anak
sekolah.
Berkaitan dengan jajanan favorit, penelitian
ini menemukan bahwa siomay dan batagor
merupakan makanan favorit anak sekolah. Satu
temuan yang cukup melegakan adalah bahwa
umumnya mereka biasa membeli makanan di
kantin sekolah. Meskipun mungkin lebih mahal,
kualitas makanan di kantin sekolah lebih
terjamin dibanding di tempat-tempat lain di
sekitar sekolah. Hal yang perlu diperhatikan
adalah temuan penelitian bahwa responden
cenderung memilih jajanan yang dijual di luar
pagar sekolah daripada di dalam pagar sekolah.
Lebih jauh, sekitar 36% responden menyukai
makanan yang disertai dengan saus merah. Hal
ini perlu mendapat perhatian serius dari
Pemerintah untuk mengupayakan penyuluhan
pada penjaja makanan tentang bagaimana
menyiapkan makanan yang dijajakan secara
higienis. Pihak sekolah juga perlu memberi
penyuluhan kepada siswanya untuk memilih
jajanan yang higienis. Jajanan favorit yang
ditemukan dalam penelitian ini bisa menjadi
masukan pada pihak sekolah untuk
menyediakannya di kantin sekolah.
Bibliografi
Februhartanty, J., & Iswarawanti, D. N. (2004).
Amankah makanan jajanan anak sekolah di
Indonesia? Ditemukembali pada 30 Maret
2006, dari http://www.gizi.net/cgi-
bin/berita/fullnews.cgi?newsid1097726693,
98302,
Intaian maut formalin. (2005, 29 Desember).
Media Indonesia Online. Ditemukembali
pada 29 Desember 2005, dari
http://mobile.media-
indonesia.com/mobile_editorial.asp?id=200
5122823554101
Jajanan anak mengandung zat pewarna tekstil.
(2008, 19 Agustus). Tempo Interaktif.
Ditemukembali pada 6 April 2009, dari
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional
/2008/08/19/brk,20080819-131475,id.html
Jajanan pembawa maut. (2004, 7 Juni). Tempo
15/XXXIII.
Jajanan sekolah potensi sebabkan keracunan.
(2009, 20 Maret). Kapanlagi.com.
Ditemukembali pada 6 April 2009, dari
http://www.kapanlagi.com/h/jajanan-
sekolah-potensi-sebabkan-keracunan.html
PERILAKU JAJAN 39
Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 39–48
Koefisien Reliabilitas Pada Pengukuran Kepribadian yang Bersifat Multidimensi
Wahyu Widhiarso
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Psychological instruments which usually measure the underlying latent
abilities or personality traits are called multidimensional measurements.
The assumption of these measurements is that there are two or more
common factors that create interrelationship among the measured
variables. Factor analysis is the method which proves the interrelationship
of two or more factors. Researchers usually ignore the interrelationship
found in these multidimensional measurements as they apply reliability
formula, which is one-dimensional (i.e., Alpha Coefficient), to find out the
reliability coefficient for multidimensional instruments used to measure
personality traits. This article is aimed to answer the question if Alpha
Coefficient is the right coefficient for one-dimensional measurement and
if the Alpha Coefficient will underestimate or overestimate the reliability
coefficient of the measurement. Some other reliability coefficients for
multidimensional measurements are outlined.
Keywords: multidimensional measurement, factor loading, reliability
formula
Pengembangan instrumen pengukuran
dalam bidang psikologi banyak mengasumsikan
penggunaan pengukuran yang bersifat
unidimensi―yang secara konseptual
dirumuskan bahwa ada satu jenis faktor abilitas,
kepribadian, sifat, maupun sikap yang diukur
oleh satu instrumen pengukuran. Namun,
banyak penelitian menunjukkan bahwa asumsi
unidimensi tersebut sulit dipenuhi dengan
ditemukannya beberapa faktor baru yang turut
diukur dalam satu instrumen. Dengan perkataan
lain, instrumen psikologis yang sering dipakai
oleh peneliti cenderung bersifat multidimensi.
Tingginya kecenderungan instrumen
pengukuran bersifat multidimensi disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain, sebagai berikut:
1. Karakteristik konstruk psikologi. Hasil
perbandingan pengujian ketepatan model pada
Skala Harga Diri dari Coopersmith, misalnya,
cenderung memiliki sifat yang multidimensi
dibanding dengan unidimensi. Hasil penelitian
ini sesuai dengan yang dikatakan oleh beberapa
ahli pengukuran psikologi, bahwa skala
psikologi cenderung mengarah pada model
multidimensi (Drolet & Morisson, 2001;
Spector, Brannick, & Chen, 1997)
2. Adanya pelibatan aspek-aspek dalam
penyusunan alat ukur. Penyusunan instrumen
psikologis seringkali diawali dari penurunan
butir-butir dari beberapa aspek teoritis,
39
40 WIDHIARSO
misalnya penyusunan skala efikasi diri yang
diturunkan dari aspek atletik, akademik, dan
kehidupan sosial (Kamata, Turhan, &
Darandari, 2003). Aspek-aspek ini berpotensi
akan membangun dimensi ukur yang berbeda
sehingga pengukuran menjadi bersifat
multidimensi.
3. Jumlah butir di dalam instrumen. Drolet
dan Morisson (2001) menunjukkan bahwa
multidimensionalitas skala psikologi
dipengaruhi antara lain oleh jumlah butir.
Jumlah butir yang terlalu banyak dapat
menambah potensi penambahan varian sesatan
dalam butir sehingga memunculkan dimensi
baru dari dimensi yang ditetapkan semula.
Jumlah butir dan bentuk skala mempengaruhi
sikap responden terhadap butir yang kemudian
mempengaruhi tanggapan mereka terhadap alat
ukur.
4. Teknik penulisan butir. Spector et al.
(1997) menemukan bahwa teknik penulisan
butir yang memiliki arah yang terbalik antara
arah positif (favorable) dan negatif
(unfavorable) dapat membentuk dimensi ukur
baru, padahal, dalam pengambilan data, banyak
skala psikologi menggunakan teknik penulisan
butir yang berbeda arah.
5. Satuan pengukuran yang berbeda.
Pengukuran dalam bidang psikologi cenderung
memiliki satuan ukur yang berbeda antara butir
satu dengan butir lainnya dalam sebuah
instrumen ukur. Hal ini didukung dengan antara
butir satu dengan butir lainnya memiliki
kapabilitas yang berbeda sebagai indikator
konstruk ukur. Kondisi ini akan menyebabkan
hasil pengukuran cenderung akan bersifat
multidimensi.
Dapat disimpulkan bahwa pengukuran
dalam bidang psikologi, baik mengukur
konstruk abilitas maupun non-abilitas
(kepribadian) sangat rentan terhadap
kemajemukan atribut yang diukur
(multidimensi). Penelitian-penelitian telah
menujukkan bahwa hasil analisis faktor
terhadap pengukuran psikologi menghasilkan
faktor yang majemuk, misalnya: (a) Hwang,
Chun, Kurasaki, Mak, dan Takeuchi (2000)
menemukan enam dimensi dalam pengukuran
dukungan sosial, (b) Albo, Núñez, Navarro, dan
Grijalvo (2007) membandingkan model dimensi
harga diri dan menemukan bahwa model empat
dimensi lebih tepat menggambarkan harga diri
dibanding dengan satu dimensi, serta (c) dengan
membandingkan indeks ketepatan model antara
model efikasi diri satu faktor dan tiga faktor,
Brouwers dan Tomic (2001) menemukan bahwa
model tiga dimensi memiliki indeks ketepatan
model yang lebih tinggi dibanding dengan satu
dimensi; artinya, efikasi diri merupakan
konstruk psikologi yang bersifat multidimensi.
Dengan memahami kecenderungan
pengukuran psikologi lebih pada model
pengukuran multidimensi dibanding model
unidimensi, maka diharapkan proses identifikasi
properti psikometris pengukuran psikologi
sudah melibatkan teknik analisis yang
menggunakan model multidimensi.
Koefisien Alpha dan Dimensionalitas
Pengukuran
Banyak ditemukan bahwa peneliti secara
sepihak (arbitrary) menggunakan koefisien
alpha dalam mengestimasi reliabilitas hasil
pengukuran yang dilakukannya, padahal
koefisien alpha menghendaki adanya beberapa
asumsi, misalnya bahwa antara satu butir
dengan butir lainnya dalam satu instrumen
diharapkan memiliki unit pengukuran dan
kecermatan yang sama dalam menjelaskan skor
murni. Hal ini berimplikasi pada fungsinya
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 41
sebagai estimator reliabilitas lebih tepat
dikenakan pada pengukuran unidimensi
dibanding dengan multidimensi.
Oleh karena menekankan pada homogenitas
varian butir, koefisien alpha kurang peka
terhadap dimensionalitas data sehingga
meskipun dikenakan pada pengukuran yang
multidimensi, koefisien alpha dapat
menghasilkan nilai reliabilitas yang tinggi.
Sebagai bukti keterbatasan koefisien alpha
dalam mengenali dimensionalitas, penulis
menyusun data simulasi yang dibedakan
berdasarkan jumlah butir dan dimensi yang ada
di dalamnya. Hasil estimasi koefisien alpha
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Hasil estimasi koefisien alpha pada data
menunjukkan bahwa pada data yang memiliki
dimensi tunggal (unidimensi), koefisien alpha
menghasilkan koefisien reliabilitas yang tinggi
pada semua jumlah butir. Estimasi koefisien
alpha pada kasus ini bergerak antara = 0,836
dan = 0,961. Pada kasus data berdimensi
majemuk dengan jumlah butir yang sedikit (k <
15), koefisien alpha menghasilkan koefisien
reliabilitas yang rendah. Sebaliknya, pada data
dengan jumlah butir yang banyak (k > 15),
koefisien alpha menghasilkan koefisien
reliabilitas yang tinggi. Kesimpulan yang dapat
diambil dari simulasi di atas menunjukkan
bahwa koefisien alpha kurang peka terhadap
dimensionalitas data ketika jumlah butir lebih
dari 15 butir. Hal ini terlihat dari nilai
reliabilitas yang cukup tinggi (> 0,7) pada
berbagai jumlah dimensi.
Rekomendasi yang dapat diberikan dari
hasil simulasi tersebut adalah agar para peneliti
lebih dahulu mengidentifikasi dimensionalitas
data sebelum menggunakan koefisien alpha,
misalnya, dengan melakukan analisis faktor.
Apabila dari hasil analisis faktor ditemukan
struktur data adalah unidimensi, maka koefisien
alpha dapat diaplikasikan. Namun, apabila data
memiliki struktur multidimensi, maka peneliti
dapat mengaplikasikan koefisien alpha pada
1 dimensi 2 dimensi 3 dimensi 4 dimensi 5 dimensi
5 butir 10 butir 15 butir 20 butir 25 butir0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
Gambar 1. Perbandingan estimasi koefisien alpha pada jumlah butir dan jumlah dimensi berbeda.
42 WIDHIARSO
masing-masing dimensi, atau menggunakan
koefisien reliabilitas untuk pengukuran
multidimensi yang akan dibahas pada sub di
bawah ini.
Koefisien Reliabilitas Pengukuran
Multidimensi
Dalam mengestimasi reliabilitas, peneliti
dalam bidang psikologi banyak menggunakan
koefisien alpha yang sudah sangat populer.
Banyak diantara peneliti tersebut tidak
memahami bahwa koefisien alpha memiliki
beberapa kriteria tertentu agar hasil estimasinya
memiliki ketepatan yang akurat, misalnya
terpenuhinya asumsi kesetaraan skor murni
yang diungkap (tau-equivalent) dan
unidimensionalitas data. Jika koefisien alpha
diaplikasikan pada pengukuran yang
multidimensi, maka akan didapatkan hasil yang
underestimate. Oleh karena itu, bagi peneliti
yang hendak mengidentifikasi reliabilitas
pengukuran yang bersifat multidimensi,
dianjurkan untuk menggunakan koefisien
reliabilitas yang dapat mengakomodasi model
multidimensi tersebut.
Artikel ini akan memaparkan beberapa
koefisien reliabilitas yang dapat diaplikasikan
pada model pengukuran multidimensi serta
membandingkan ketepatan estimasi masing-
masing koefisien tersebut.
Koefisien Reliabilitas Alpha Berstrata
Koefisien alpha terstratifikasi (alpha
stratified) ini diperkenalkan oleh Cronbach,
Schoneman, dan McKie (1965) yang berguna
untuk mengestimasi reliabilitas instrumen yang
terdiri dari beberapa subtes. Sama seperti
koefisien alpha, koefisien alpha berstrata adalah
pengukuran internal konsistensi dengan
melibatkan komponen-komponen tes. Koefisien
alpha terstratifikasi ini tepat dikenakan pada
kasus skor komposit multidimensi, misalnya tes
baterai yang bersifat multidimensi. Formula
untuk mendapatkan besarnya reliabilitas alpha
berstrata (αs) adalah sebagai berikut:
21
2 )(
x
k
iii
s
11
Keterangan
2i = varian butir pada komponen ke-i
i = reliabilitas komponen ke-i 2x = adalah varian skor total tes
Berikut adalah contoh penghitungan
koefisien alpha berstrata. Misalnya, seorang
peneliti sedang mengukur konsep diri yang
terdiri dari tiga dimensi, misalnya dimensi
ketahanan, kompetensi dan akademik. Setelah
melalui pengambilan data, didapatkan statistik
deskriptif yang dipaparkan pada Tabel 1. Tabel 1 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Konsep Diri
Dimensi Varian Reliabilitas Tiap
Dimensi Ketahanan 3 0,80 Kompetensi 3 0,80 Akademik 2 0,70 Skor Total 6
Berdasarkan informasi pada Tabel 1, jika
kita menggunakan koefisien alpha untuk
mengestimasi reliabilitas pengukuran di atas
maka kita akan mendapatkan hasil estimasi
yang terlalu rendah (underestimate), sebagai
berikut:
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 43
50,06
)233(*
3
2
1
Koefisien reliabilitas akan menghasilkan
hasil estimasi yang lebih memuaskan jika
menggunakan koefisien alpha berstrata, sebagai
berikut:
70,06
)7.01(2)8,01(3)8.01(3
1s
Koefisien Reliabilitas Komposit Mosier
Pada 1943, Mosier mengembangkan sebuah
koefisien reliabilitas yang dapat dikenakan pada
pengukuran yang struktur multidimensi
(Mosier, 1943). Pengukuran yang memiliki
struktur multidimensi didapatkan dari instrumen
yang memiliki komponen tes yang independen
dengan komponen lainnya. Misalnya, tes bakat
atau tes potensi akademik yang terdiri dari
beberapa sub tes. Koefisien ini dinamai
reliabilitas skor komposit (reliability of
composite score) yang mampu mengakomodasi
perbedaan pembobotan pada tiap sub tes.
Formula untuk mendapatkan besarnya
reliabilitas skor komposit (rxx’) ini sebagai
berikut:
)(2)(
)()(1
22
'2222
'jkkjkjjj
jjjjjjxx rsswwsw
rswswr
Keterangan
2jw = bobot dimensi ke-j
'jjr = reliabilitas dimensi ke-j
jkr = korelasi antar dimensi ke-i dan ke-j 2js = varian dimensi ke-j
Untuk menghitung reliabilitas skor
komposit dari Mosier diperlukan informasi
mengenai reliabilitas masing-masing dimensi,
pembobotan masing-masing dimensi, varian
tiap dimensi dan korelasi antar skor dimensi.
Sebagai contoh, sebuah Skala Atribusi Masalah
terdiri dari dua dimensi, yaitu atribusi penyebab
masalah dan atribusi pemecahan masalah.
Informasi mengenai reliabilitas tiap dimensi dan
korelasi antar dimensi dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Atribusi terhadap Masalah
Dimensi Relia-bilitas Varian Bobot
Korelasi Antar
DimensiPenyebab
masalah 0,85 25 2
Pemecahan masalah
0,75 36 3 0,4
Berdasarkan informasi tersebut maka
besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui,
sebagai berikut:
2 2 2 2
' 2 2
'
[(2 .25) (3 .36)] [(2 .5.0,85) (3 .6.0,75)
[(2 .25) (3 .36)] [2.(2.3.5.6.0, 4)]
0,8310
xx
xx
r
r
Karakteristik dari koefisien ini, antara lain:
(a) reliabilitas ini dapat bernilai 1,00 apabila
semua reliabilitas komponen juga bernilai 1,00,
(b) semakin besar korelasi antar dimensi, maka
nilai reliabilitas yang dihasilkan semakin besar,
dan (c) nilai reliabilitas ini cenderung lebih
besar daripada rerata reliabilitas tiap komponen,
kecuali pada kondisi komponen memiliki
reliabilitas, varian dan bobot yang sama, serta
korelasi antar komponennya adalah nol.
Kondisi yang terakhir ini akan menghasilkan
44 WIDHIARSO
reliabilitas yang merupakan rerata dari
reliabilitas tiap komponen.
Koefisien Reliabilitas Komposit Wang
Wang (1998) menyusun sebuah koefisien
reliabilitas yang dapat dipakai untuk
pengukuran yang bersifat multidimensi serta
mampu mengakomodasi pembobotan masing-
masing dimensi tersebut. Dengan menggunakan
teori skor murni klasik―yang menyatakan
bahwa reliabilitas adalah proporsi varian skor
murni dengan varian skor tampak, maka
didapatkan formula reliabilitas berikut ini:
n
i
n
i
n
jijjii
n
i
n
i
n
jijjiiii
xx
rwww
rwwrw
r
1 1 1
2
1 1 1'
2
'
Keterangan
jw = bobot dimensi ke-j
'iir = reliabilitas dimensi ke-j
ijr = korelasi antar dimensi ke-i dan ke-j
Untuk menghitung reliabilitas komposit dari
Wang (1998) ini diperlukan informasi mengenai
reliabilitas masing-masing dimensi,
pembobotan masing-masing dimensi, dan
korelasi antar skor dimensi. Sebagai contoh,
sebuah Skala Nilai Kerja terdiri dari dua
dimensi, yaitu pengembangan diri (self-
enhancement) dan transendensi diri (self-
transcendence). Informasi mengenai reliabilitas
tiap dimensi dan korelasi antar dimensi dapat
dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan informasi dari Tabel 3 maka
besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui,
sebagai berikut:
2 2
' 2 2
'
(1 .0,85) (1 .0,75) (2.1.1.0,90)
1 1 (2.1.1.0,90)
1,6 1,8 3, 40,895
2 1,8 3,8
xx
xx
r
r
Tabel 3 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Nilai Kerja
Dimensi Reliabilitas Bobot
Korelasi Antar
DimensiPengembangan
diri 0,85 1
Transendensi diri
0,75 1 0,90
Formula koefisien reliabilitas komposit ini
memiliki beberapa karakteristik, antara lain: (a)
nilai reliabilitas terendah yang dapat dicapai
oleh dari koefisien reliabilitas komposit adalah
nilai reliabilitas dimensi yang terendah, (b) jika
antara satu dimensi dengan dimensi lainnya
memiliki korelasi yang tinggi, maka nilai
reliabilitas komposit dapat lebih tinggi daripada
reliabilitas masing-masing dimensi, serta (c)
jika reliabilitas masing-masing dimensi adalah
sama, maka reliabilitas komposit dapat
mencapai nilai maksimal apabila pembobotan
tiap dimensi adalah setara. Koefisien Reliabilitas Komposit Raykov
Raykov dan Shrout (2002) yang menyusun
koefisien reliabilitas komposit ini mengatakan
bahwa reliabilitas komposit adalah varian skor
murni dalam kaitannya dengan varian tes.
Formula untuk mendapatkan besarnya
reliabilitas skor komposit (rxx’) ini adalah
sebagai berikut:
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 45
)(var
)(var
1 11
1
11'
k
j
p
iiij
p
i
k
jiij
p
ixx
E
r
Keterangan
ij = factor loading tidak terstandarisasi
indikator pada faktor iY i
i = konstruk laten ke-i.
iE = eror pengukuran pada indikator iY
Koefisien reliabilitas komposit pada
dasarnya adalah pembagian antara varian
konstruk ukur yang terdiri dari j-faktor dengan
varian konstruk laten fungsi linier dari tiap
indikator. Hal ini merupakan penjabaran dari
teori skor murni klasik, yaitu reliabilitas yang
didefinisikan dari pembagian antara varian skor
murni dan varian skor tampak .
Oleh karena beroperasi pada tataran konstruk
yang bersifat laten, maka diperlukan analisis
faktor untuk mendapatkan besarnya reliabilitas.
22 / XTxx
Sampai saat ini belum ada program
komputer yang dapat secara langsung
mengeluarkan hasil komputasi reliabilitas
komposit (Caroline, 2004). Untuk
menghitungnya, diperlukan pengoperasian
sintaks yang cukup rumit pada program
berbasis Persamaan Model Struktural (SEM)
antara lain EQS dan LISREL (lihat Raykov &
Shrout, 2002). Model pengukuran yang dipakai
untuk mengkomputasi koefisien reliabilitas
komposit dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar tersebut menunjukkan sebuah
instrumen pengukuran yang bersifat
multidimensi yang terdiri dari dua faktor yang
masing-masing terdiri dari tiga butir. Kedua
faktor tersebut memprediksi besarnya skor
murni komposit, dan di sisi lain, masing-masing
prediktor memprediksi besarnya skor komposit.
Reliabilitas komposit didapatkan dari
pembagian varian konstruk ukur dan varian
konstruk komposit.
X1
X2
X3
FAKTOR1
X1
X2
X3
FAKTOR2
KONSTRAK
UKUR
KOMPOSIT
Gambar 2. Model penghitungan koefisien reliabilitas komposit.
Koefisien Reliabilitas Komposit McDonald
McDonald (1981) mengembangkan sebuah
koefisien reliabilitas yang kemudian diberi
nama koefisien reliabilitas konstruk yang juga
dinamakan dengan koefisien omega ( ).
Koefisien reliabilitas ini berbasis pada analisis
faktor konfirmatori yang merupakan bagian dari
menu pemodelan SEM. Reliabilitas konstruk ini
menjelaskan besarnya proporsi indikator dalam
menjelaskan konstruk ukur. Formula untuk
mendapatkan besarnya koefisien reliabilitas
konstruk tersebut adalah sebagai berikut:
i
ii
i
ii
i
ii
1
2
2
1
2
1
1
Keterangan
i = factor loading terstandarisasi
indikator ke-i
Formula tersebut mengingatkan kita pada
estimasi reliabilitas skor murni klasik, yang
merupakan pembagian antara varian skor murni
oleh jumlah antara varian skor murni dan eror
46 WIDHIARSO
[ ) ]. Diperlukan informasi
mengenai factor loading terstandarisasi melalui
analisis faktor konfirmatori untuk mendapatkan
besarnya koefisien ini. Sebagai contoh, sebuah
skala yang mengukur Pengalaman Orang Tua
Tunggal terdiri dari dua dimensi, yaitu
pengalaman dengan keluarga dan pengalaman
kerja yang masing-masing terdiri dari tiga buah
butir. Setelah dianalisis dengan menggunakan
analisis faktor konfirmatori melalui LISREL
atau AMOS, didapatkan informasi factor
loading tiap indikator yang dapat dilihat pada
Tabel 4.
/( 222' exxxx
Tabel 4 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Pengalaman Orang Tua Tunggal
Dimensi Butir i 21 i
1 0,5 0,75 2 0,5 0,64 Dimensi A 3 0,6 0,64
1 0,8 0,36 2 0,8 0,36 Dimensi B 3 0,7 0,51
Total 4,00 3,26
Berdasarkan informasi tersebut maka
besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui,
sebagai berikut:
8307,026,34
42
2
Koefisien ini banyak dipakai oleh peneliti
yang menggunakan analisis berbasis SEM, baik
yang menggunakan model pengukuran
unidimensi, atau pun multidimensi (Segars,
1997). Penerapan pada model pengukuran
paralel maupun tau equivalent―yang
mengasumsikan bahwa tiap indikator memiliki
ketepatan ukur yang setara, akan didapatkan
nilai reliabilitas konstruk yang setara dengan
koefisien alpha. Di sisi lain, jika diterapkan
pada model pengukuran congeneric, yang
mengasumsikan bahwa tiap indikator memiliki
ketepatan ukur yang bervariasi, maka akan
didapatkan nilai reliabilitas konstruk yang lebih
tinggi dibanding dengan koefisien alfa
(Yurdugül, 2006).
Koefisien Reliabilitas Konstruk Berbobot
Koefisien reliabilitas konstruk ini
diperkenalkan oleh Hancock dan Mueller
(2000), yang menunjukkan seberapa jauh
indikator instrumen mampu merefleksikan
konstruk yang hendak diukur. Koefisien ini
merupakan modifikasi dari koefisien reliabilitas
konstruk McDonald yang tidak mampu
mengakomodasi bobot yang berbeda antar
dimensi. Hasil modifikasi tersebut adalah
formula baru yang dinamakan dengan koefisien
reliabilitas konstruk berbobot, sebagai berikut:
p
i i
i
p
i i
i
w
l
l
l
l
12
2
12
2
)1(1
)1(
Keterangan
il = koefisien dimensi ke-i terstandar
Untuk mendapatkan besarnya koefisien
reliabilitas ini peneliti cukup mencari besarnya
factor loading kuadrat tiap komponen yang
mudah didapatkan dari analisis faktor
konfirmatori. Analisis ini dapat dilakukan
dengan menggunakan program komputasi SEM,
misalnya LISREL atau AMOS. Misalnya,
sebuah instrumen pengukuran terdiri dari dua
dimensi, yang masing-masing terdiri dari tiga
butir (Tabel 5). Setelah dianalisis melalui
RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 47
)
program analisis faktor konfirmatori didapatkan
besarnya korelasi kuadrat. Tabel 5 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran
Dimensi Butir 2il 1/( 22
ii ll
1 0,38 0,612903 2 0,53 1,12766 Dimensi A 3 0,59 1,439024
1 0,47 0,886792 2 0,39 0,639344 Dimensi B 3 0,66 1,941176
Total 6,6469
Berdasarkan informasi tersebut maka
besarnya reliabilitas konstruk berbobot dapat
diketahui, sebagai berikut:
8692,06469,61
6469,6
w
Koefisien reliabilitas konstruk berbobot ini
dapat diartikan sebagai korelasi kuadrat antara
dimensi dengan skor komposit linier optimal
(optimum linear composite), sehingga beberapa
ahli menamakannya dengan reliabilitas
maksimal (maximal reliability).
Kesimpulan dan Saran
Sebelum melakukan analisis untuk
mengestimasi reliabilitas pengukuran yang
dilakukan, peneliti diharapkan melakukan
analisis faktor untuk mengidentifikasi berapa
jumlah dimensi yang dihasilkan. Jika hasil
identifikasi menunjukkan pengukuran lebih
bersifat multidimensi, maka koefisien
reliabilitas multidimensi dapat dikenakan.
Namun, jika menghasilkan pengukuran yang
bersifat unidimensi, koefisien reliabilitas yang
telah dikenal, seperti Alpha Cronbach,
Spearman-Brown, atau KR-20, dapat
dikenakan.
Koefisien reliabilitas untuk pengukuran
multidimensi yang dipaparkan pada artikel ini
dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan
informasi yang dibutuhkan untuk menghitung
reliabilitas tersebut. Jenis pertama adalah
reliabilitas yang diawali dengan analisis faktor
konfirmatori dengan menggunakan pendekatan
Model Persamaan Struktural (SEM), seperti
Koefisien Reliabilitas Konstruk McDonald dan
Koefisien Reliabilitas Komposit Raykov. Jenis
kedua adalah koefisien yang tidak memerlukan
prosedur analisis faktor, seperti Koefisien
Reliabilitas Alpha Cronbach Berstrata atau
Koefisien Reliabilitas Skor Komposit Mosier.
Jenis reliabilitas yang akan dipakai bergantung
pada pendekatan yang dipakai oleh peneliti.
Peneliti yang menggunakan pendekatan SEM
dapat memilih koefisien berbasis SEM,
sedangkan peneliti yang menggunakan
pendekatan konvensional dapat memilih
koefisien reliabilitas yang tidak berbasis SEM.
Bibliografi
Albo, J. M., Núñez, J. L., Navarro, J. G., &
Grijalvo, F. (2007) The Rosenberg self-
esteem scale: Translation and validation in
university students. The Spanish Journal of
Psychology, 10(2), 458-467.
Brouwers, A., & Tomic, W. (2001). The
factorial validity of scores on the teacher
interpersonal self-efficacy scale.
Educational and Psychological
Measurement, 61, 433.
Cronbach, L. J., Schoneman, P., & McKie, D.
(1965). Alpha coefficient for stratified-
parallel tests. Educational & Psychological
Measurement, 25, 291-312.
Drolet, A. L., & Morrison, D. G. (2001). Do we
really need multiple-item measures in
48 WIDHIARSO
service research? Journal of Service
Research, 3, 196–204.
Hancock, G. R., & Mueller, R. O. (2000).
Rethinking construct reliability within latent
variable systems. Dalam Cudek, R., duToit,
S.H.C., & Sörbom, D. (Eds.). Structural
equation modeling: Present and future.
Chicago: Scientific Software International.
Hwang, W. C., Chun, C., Kurasaki, K., Mak,
W., & Takeuchi, D.T. (2000). Factor
validity of scores on a social support and
conflict measure among Chinese
Americans. Educational and Psychological
Measurement, 60(5).
Kamata, A., Turhan, A., & Darandari, E. (2003,
April). Estimating Reliability for
Multidimensional Composite Scale Scores.
Paper yang dipresentasikan pada the annual
meeting of American Educational Research
Association, Chicago.
McDonald, R. P. (1981). The dimensionality of
tests and items. British Journal of
Mathematical and Statistical Psychology,
34, 100–117.
Mosier, C. I. (1943). On the reliability of a
weighted composite. Psychometrika, 8, 161-
168.
Raykov, T., & Shrout, P. E. (2002). Reliability
of scales with general structure: Point and
interval estimation using a structural
equation modeling approach. Structural
Equation Modeling, 9(2), 195–212.
Segars, A. H. (1997). Assessing the
unidimensionality of measurement: A
paradigm and illustration within the context
of information systems research. Omega,
25(1), 107-121.
Spector, P., Brannick, P., & Chen, P. (1997).
When two factors don't reflect two
constructs: How item characteristics can
produce artifactual factors. Journal of
Management, 23(5), 659-668.
Wang, T. (1998). Weights that maximize
reliability under a congeneric model.
Applied Psychological Measurement, 22(2),
179-187.
Yurdugül, H. (2006). The comparison of
reliability coefficients in parallel, tau-
equivalent, and congeneric measurements.
Journal of Faculty of Educational Sciences,
Ankara University, 39(1), 15-37.
Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 49–59
Menafsir Fenomena Latah sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu
(Suatu Kajian Psikoantropologi)
Hatib Abdul Kadir Mahasiswa Program MA pada Center for Religious and Cross-cultural Studies,
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Latah is a social behavior phenomenon which has been examined
theoretically by some anthropologists, historians, and psychologists.
They tried to explain latah and its relation to gender, ethnicity,
colonialism discourse, and mental health. Latah is considered as part of
the Malay's cultural emotions. The orientalists in the middle of
nineteenth century depicted their amazement on finding this
phenomenon. They tried to place latah into several cultural and
psychological terms, such as cultural bound syndrome, regional
peculiarities, psychodrama shamanic, hysterical psychosis, arctic
hysteria, reactive psychosis, startled reaction, and fright neurosis. Latah
has become part of the power discourse in defining the identity of the
Malays, which is in between of personal and public place, profane and
sacred realm, and consciousness and unconsciousness. This article tries
to analyze the articles on latah which is considered as social and cultural
phenomenon in Southeast Asian countries, particularly in Indonesia.
Keywords: latah, psychocultural phenomenon, cultural emotion, Malays,
Malaysia, Indonesia, collective unconsciousness, psychoanthropology
Fenomena latah mengingatkan saya ketika
kecil. Pada waktu itu, saya tinggal di sebuah
daerah bernama Kuala Simpang. Daerah ini
terletak di perbatasan antara Aceh dengan
Sumatera Utara. Di daerah yang indah ini,
setiap saat kita dapat melihat negara Malaysia
yang hanya dibatasi oleh selat yang tak
sedemikian lebar. Di Kuala Simpang ini,
hiduplah seorang laki-laki paruh baya yang
rumahnya tak jauh bersebelahan dengan
rumah orang tua saya. Laki-laki bernama Atu’
ini mempunyai kebiasaan yang sangat disukai
oleh tetangga-tetangga mereka, yakni latah.
Pada suatu waktu, ia tengah mencari air di
Sungai Simpang Kanan. Sepulang dari sana
sembari membawa seember air, ia bertemu
dengan para tetangga yang memang suka
menggoda si Atu’ ini. Para tetangga itu
dengan tiba-tiba berkata “siram tu’-siram
tu’!”. Maka, dengan spontanitas, Atu’
menyiramkan air yang dibawanya kepada
orang-orang tak dikenal yang tengah lewat...
Dan basahlah mereka…. (Irwan Abdullah,
dalam Kuliah Tafsir Kebudayaan di Program
Antropologi Budaya, Universitas Gadjah
Mada, 2 April 2006)
49
50 KADIR
Tabel 1. Latah dan contoh-contoh ”latah” yang lain
Malayan latah
Ainu imu
Siberian mieryachit
Afro-Arab ”latah”
Lapp panic
French Canadian jumping
Gender mainly women
mainly women
mainly women
mainly men mainly women
mainly men
Coprolalia yes yes yes usually not noted
not noted not noted
Echolalia yes yes yes ? not noted yes Echokinesis yes yes yes yes yes ? Automatic obedience
yes yes yes not noted not noted yes
Local term yes yes yes in some cases not noted yes
Latah merupakan sebuah fenomena budaya
yang pada umumnya terjadi pada masyarakat
Melayu―sebagaimana ditunjukkan dalam
narasi perkuliahan Irwan Abdullah (2006) di
atas, meskipun, berdasarkan hasil penyelidikan
Winzeler (1995), latah tidak hanya ditemukan
dalam budaya Melayu (lihat Tabel 1).
Latah didefinisikan secara komprehensif
oleh Wilkinson (1902, dalam Winzeler, 1995),
sebagai berikut:
...Maka permainsuri pun latah-lah saperti
orang gila tiyada khabarkan diri-nya: the
queen fell into a fit of latah and became as
one mad, not knowing what she was doing;
Ht. Koris. Karena bonda Morah di-dalam
latah-nya barang kata orang semuwa di-
turut-nya: Mother Morah is suffering from
one of her fits of latah; all that people say she
mimichs; Ht. Koris. Pura-pura latah:
pretending to be a latah subject; Sh. Bur.
Nuri, 23. Bukan-nya patah, ruwat; Bukan-nya
latah, di-buwut: it is not broken but bent; it is
not hysteria, it is only pretence; ― a
proverbial expression, the first of which is
often given to suggest the second. L. Mulut: a
slight form of latah in which a shock causes
the victim to fly into a paroxysm of coarse
language but nothing more ....
Sejumlah analisis menunjukkan bahwa latah
dapat merupakan fenomena psikologis yang
muncul karena masyarakat Asia
Tenggara―sebagai negara terjajah (colonized)
dan terisolasi (isolated) dari dunia
luar―mengalami berbagai bentuk keterkejutan
tatkala bertemu dengan dunia Barat yang baru,
asing, mengagumkan, dan penuh kekuatan
(Kenny, 1978; Tseng, 2006; Winzeler, 1984).
Tulisan ini di samping hendak mengkaji
lebih jauh analisis di atas, utamanya sekaligus
ingin mengaitkan fenomena latah dengan emosi
sebuah kebudayaan, dalam hal ini latah di
semenanjung Malaya dan Indonesia.
Genealogi Fenomena Latah
Latah merupakan suatu emosi kebudayaan
yang khas dari masyarakat Melayu (Gimlette,
1912; Kenny, 1978; Winzeler, 1995).
Penafsiran terhadap latar belakang fenomena ini
dapat dilakukan melalui pendekatan
psikoantropologis, psikoanalisis, dan psikiatris.
Dalam perspektif peneliti Barat, latah
merupakan suatu kondisi kebudayaan
masyarakat yang sulit dimengerti sebab-
akibatnya (Geertz, 1968). Munculnya latah
telah diteliti sejak abad pertengahan oleh
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 51
kalangan petualang hingga pegawai pemerintah
kolonial. Dalam pandangan Barat, latah
dipandang unik dan eksotis. Perspektif
psikokultural dalam pandangan Barat
menjelaskan keberadaan latah, misalnya,
sebagai berikut:
The upbringing, general cultural environment,
and biological predisposition of the latah
victim combine in such a way that his/her
susceptible to the kinds of shocks which
precipitate latah episodes. When such shocks
occur barely repressed material of a largely
sexual nature spontaneously rises to the
surface in the form of obscenities or
threatening erotic dreams. With the
controlling powers of the ego temporary in
abeyance, the latah may be induced to
involuntarily imitate or repeat the words and
deeds of onlookers. (Kenny, 1990: 128)
Bagi orang Barat, di samping bersifat
eksotis, fenomena latah juga menjadi suatu
bahan anekdot tersendiri. Orang Barat
menyebutnya sebagai “strange tales of native
people” atau cerita aneh dari masyarakat
pribumi (Kenny, 1990: 125-126). Dalam hal ini,
fenomena latah diserupakan dengan bentuk
mimikri terhadap fenomena hysteria, dalam hal
mana istilah ini berhubungan erat dengan rahim.
Seorang perempuan Barat akan berteriak
histeris tatkala mengalami persalinan yang
dilakukan secara tradisional yang sangat
menyakitkan. Namun, dalam perspektif laki-
laki Barat, hysteria tidak dianggap sebagai
sebuah kesakitan, melainkan keanehan
(peculiarities) yang dilakukan kaum perempuan
(Aberle, 1952; Yap, 1952). Istilah yang bernada
perbandingan antara bidang psikiatris dan
antropologis ini merupakan dominasi persepsi
yang sangat “bias Barat”.
Bias persepsi latah nampak pada definisi
Horne (dalam Kenny, 1990: 332), sebagai
berikut:
Latah: a mental disorder present in certain
lower class women past middle age
characterized by involuntary compulsive
utterance of obscenities, parodying of other’s
actions or other socially or morally offensive
behaviour.
Dari perspektif psikiatris telah banyak
sebutan yang ditujukan kepada penyandang
latah, seperti psychosis, hysterical psychosis
arctic hysteria, reactive psychosis, startle
reaction, fright neurosis, dan hypnoid state
(Ellis, 1897; van Brero, 1895). Berbagai istilah
tersebut menggambarkan bahwa latah
merupakan perbuatan dalam hal dimana
individu mengalami kehilangan kontrol atas
dirinya sendiri. Latah diketahui bukan
merupakan pembawaan dari lahir, melainkan
bersifat temporer, bergantung pada karakter
lingkungan pergaulan, dan dapat menular
kepada rekan lainnya. Mudahnya penularan ini
karena latah muncul secara spontanitas namun
terus terjadi secara berulang, dalam bentuk
perkataan dan ekspresi tubuh. Hal ini
menyebabkan orang-orang disekitarnya mudah
sekali melakukan proses mimikri (peniruan)
terhadap pelaku latah yang berekspresi secara
berulang tersebut (Winzeler, 1984).
Fenomena latah muncul semarak pada
masyarakat Islam di semenanjung Malaysia,
seperti Kelantan dan Trengganu, orang-orang
pedalaman Semai di dataran tinggi
semenanjung Malaya, hingga membentang di
wilayah Jawa. Beberapa laporan menyebutkan
bahwa fenomena latah juga muncul di wilayah
Serawak; Singapura; Kalimantan, khususnya
Dayak Iban; kaum migran Malaysia;
52 KADIR
masyarakat Jawa Timur, khususnya di Surabaya
(dalam wujud ritual drama masyarakat kelas
bawah); dan orang-orang Bali. Secara masif,
kasus ini tidak muncul di kalangan Jawa
aristokrat (priyayi) dan di perkampungan China.
Oleh karena itu, keadaan latah bersifat regional
culture atau indigenous milieu yang hanya ada
pada masyarakat tertentu, yakni khususnya pada
masyarakat Melayu (Winzeler, 1991; Winzeler,
1995). Pada masyarakat Barat, fenomena latah
juga disebut sebagai cultural bound syndrome
yang terjadi pada lingkungan pergaulan tertentu
(Winzeler, 1995: 5-6).
Diskusi mengenai apakah latah merupakan
suatu bentuk kebiasaan abnormal, ataukah latah
identik dengan identitas kebudayaan tertentu
yang dianggap hal yang wajar, merupakan hal
yang menarik untuk diikuti. Salah satu pendapat
menganggap latah sebagai cultural bound
syndrome atau juga disebut regional
peculiarities, karena latah merupakan salah satu
bentuk dari tingkat ke-stress-an seseorang yang
hanya ada pada wilayah tertentu. Beberapa
perspektif melihat bahwa fenomena latah
sebagai bentuk epidemi kebudayaan pra-Eropa
di Melayu (Winzeler, 1995: 74-78). Masyarakat
dianggap terkejut tatkala menyaksikan
kedatangan kolonial dengan tubuh mereka yang
tinggi, putih, berbadan besar, serta nyata-nyata
berbeda dari bentuk fisik warga setempat.
Sebagai respon psikologis, keterkejutan melihat
masyarakat baru tersebut diekspresikan melalui
kata-kata yang diucapkan secara cepat, riuh
rendah, dan berulang-ulang, sehingga mewabah
pada beberapa komunitas. Dengan demikian,
latah dianggap sebagai bentuk keterpanaan
(startling), bentuk peniruan, dan sekaligus
pengejekan (mimicry) terhadap kaum kolonial
yang secara fisik berbeda dengan masyarakat
pribumi―namun yang sebagai pendatang
mempunyai kekuasaan yang bersifat superior.
Di Jawa, latah disinyalir muncul pertama
kali pada kaum perempuan yang bekerja
sebagai pembantu di kalangan keluarga Belanda
(Geertz, 1968: 96). Seorang pembantu dianggap
mempunyai kontak terdekat dengan keluarga
penguasa yang ada di dalam rumah. Dengan
demikian, latah merupakan gaya bahasa yang
telah terdistorsi maknanya, kemudian ia
terdistribusikan keluar, sehingga menjadi arena
perbincangan yang cukup menyenangkan dan
seru di kalangan kelas bawah. Dalam konteks
ini, latah diinterpretasikan sebagai bentuk
imitasi bahasa yang tersebar pada wilayah rural
society. Penafsiran mengenai dampak
kedatangan kolonial ini diperteguh dengan
pengamatan H.B.M. Murphy (1976: 3-9).
Murphy menyatakan bahwa ia tidak
menemukan referensi latah pada masyarakat
Melayu sebelum tahun 1850 atau pertengahan
abad 19. Namun, Kenny mengemukakan
bahwa, pengamatan Murphy ini sedikit lengah,
mengingat wilayah pedalaman merupakan area
yang lepas dari pengamatan, diperkuat dengan
temuan lain yang mengungkapkan bahwa latah
merupakan fenomena kaum pedalaman yang
telah ada, bahkan jauh sebelum kedatangan
kolonial (Kenny, 1990: 127-130).
Di wilayah semenanjung Malaya,
munculnya latah diinterpretasikan berasal dari
dunia perdukunan yang penuh dengan dunia
misteri (Kenny, 1990: 131). Perspektif ini
diistilahkan sebagai psychodramatic shamanic,
dalam hal mana individu pada tingkat
keterkejutan tertentu akan mengalami momen-
momen yang bersifat trance/nirsadar secara
sesaat. Konsep latah pertama kali ditemukan
pada berbagai individu yang sering menyendiri
di sebuah hutan. Keterkejutan secara alami
dengan menyebut nama-nama binatang, seperti
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 53
harimau, macan, buaya, hingga ular, dipercaya
akan membawa spirit asosiatif dengan binatang
tersebut. Dalam hal ini, binatang, hutan, dan
kesepian, diinterpretasikan sebagai suatu media
transformasi individu menuju ke dunia misteri.
Individu mempunyai konsep diri yang mendua.
Ketidaksadaran diri (loss of control)
diidentifikasikan ketika ia masuk hutan,
sedangkan kesadaran diri (self-control)
diidentifikasikan ketika ia berada di kampung,
di tengah-tengah masyarakat. Kampung
dianggap sebagai dunia yang penuh dengan
nilai humanitas, penuh interaksi sosial yang
hidup, sedangkan sungai dimaknai sebagai
sebuah batas antara kampung dan hutan. Ketika
seseorang telah memasuki hutan, maka ia akan
menemui sebuah kehidupan yang misterius dan
tak terduga. Tidak mengherankan apabila
gerakan penyandang latah sering diidentikkan
layaknya seekor macan yang tengah terkejut.
Hal ini diperkuat dengan perilaku si latah dalam
mengurangi keterkejutannya, yakni dengan
berespons yang seolah-olah bertemu dengan
macan pula. Demikianlah, gerakan latah
manusia juga dipadankan dengan konsep shock,
atau keterkejutan yang menduplikasi gerak
hewan di hutan.
Beberapa kasus di semenanjung Malaya
juga menyebutkan bahwa gerak-gerik latah
menjadi alat bantu perhubungan antara arwah
dengan kehidupan pada saat terjadi kelahiran
seorang bayi. Gerak-gerik latah juga menjadi
alat bantu yang bersifat transenden, yang
nampak pada momen-momen seperti
keterkejutan di saat tengah melakukan meditasi.
Kasus keterkejutan juga terjadi pada ibu-ibu
yang telah lama mempunyai keinginan untuk
mendapatkan momongan, dan ketika tahu
bahwa ia mengandung. Latah dengan tiba-tiba
dapat disandang oleh ibu tersebut, karena ia
terkejut bahwa ternyata ia mampu mengandung.
Untuk mencegah dari perilaku latah yang
berkelanjutan, maka diperlukan seorang dukun
yang mendampingi sang ibu ini. Kasus-kasus
mengenai dukun atau bidan tradisional yang
menghadapi latah banyak ditemukan di dataran
tinggi Semai, semenanjung Malaya (Ellis, 1897:
33; Yap: 1952: 8-12). Dalam penyelidikan
terhadap hal ini, diketahui bahwa latah muncul
karena sang ibu mengalami depresi hebat ketika
anak yang sangat dikasihinya meninggal dunia.
Kasus-kasus latah ini mempunyai hubungan
erat dengan aspek medikal, yang kemudian
ditangani oleh dukun perempuan yang dianggap
mempunyai interaksi dengan makhluk di luar
manusia (Kenny, 1990: 132-134).
Interpretasi lain terhadap fenomena latah
mengungkap bahwa kemunculannya dianggap
sebagai respon terhadap kecemasan seksual,
khususnya kaum perempuan yang mengalami
masa menopause karena menyadari bahwa
ketuaan benar-benar telah mendatanginya
(Geertz: 1968: 103; Yap, 1952: 12; Winzeler:
1984: 96). Interpretasi ini cukup meragukan,
karena budaya pos-menstruasi atau menopause
pada masyarakat Melayu―yang oleh
perempuan Barat dianggap sebagai sesuatu
yang menakutkan―sesungguhnya merupakan
hal yang biasa-biasa saja bagi perempuan
Melayu. Terdapat ada lima alasan, mengapa
menopause bukan hal yang menakutkan bagi
perempuan Melayu (Omar, 1994: 34-82).
Pertama, menopause menandai masuknya
perempuan ke fase kedua manusia. Perempuan
justru memasuki sebuah dunia baru yang
dianggapnya lebih matang. Kedua, kejadian
menopause seiring usia dianggap dialami oleh
perempuan yang lebih dewasa dan dihormati.
Beberapa etika adat mengharuskan orang yang
lebih muda (biasa disebut anak) mengharuskan
54 KADIR
hormat padanya (seperti ungkapan, “Anak yang
soleh mesti hormat orang tua, mesti ingat jasa
orang tua”). Meskipun tidak dapat
bereproduksi dan berhenti masa suburnya,
perempuan Melayu cukup bahagia, karena telah
melewati masa tersebut. Ketiga, pendapat
perempuan Melayu yang sudah mengalami
menopause selalu didengarkan oleh orang yang
berada usianya berada bawahnya, karena
mereka dianggap lebih pandai dan bijak.
Keempat, perempuan menopause mempunyai
akses yang lebih bebas dalam berperan di
masyarakat.
Latah juga menghinggapi perempuan yang
terkena ilmu sihir, perempuan yang berprofesi
sebagai dukun beranak, kaum transvestit,
hingga dialamatkan pada penganut agama kuno
(Kenny, 1990: 132). Demikianlah, bersama
dengan uraian lain di atas, fenomena latah di
masyarakat nampak identik dengan gejala
perilaku yang dialami kaum perempuan,
khususnya perempuan kelas bawah yang
termarjinalisasi. Nampak bahwa peneliti Barat
yang bertemu dengan fenomena latah telah
menciptakan batasan-batasan budaya
berdasarkan kelas, politik aliran, gender, ras dan
kebangsaan, yang kemudian diteorisasikan
secara general, melalui bahasa-bahasa ilmiah.
Teorisasi terhadap latah selama ini lahir dari
ilmuwan di masa kolonial dan bersifat Euro-
American-sentris. Beberapa pandangan melihat
bahwa latah tidak lepas dari adanya
dikotomisasi budaya antara kelas bawah dengan
kelas atas serta perempuan dan laki-laki.
Fenomena ini muncul pada dua wilayah
subordinan, yakni pada perempuan dan
masyarakat kelas bawah.
Latah dalam Berbagai Konteks
Psikoantropologi Emosi
Latah merupakan fenomena yang menjadi
arena multitafsir yang dapat dipandang dari
berbagai konteks kejadian. Misalnya, latah
diidentikkan dengan keeksentrikan yang
berkaitan erat dengan karakter perempuan
(effeminate), dihubungkan pada ranah mistis
dan ketidaknormalan mental (mental disorder),
diakibatkan oleh keganjilan sebuah mimpi,
hingga kegilaan (insanity) (Ellis, 1897; Geertz,
1968; Murphy, 1976; Winzeler, 1984). Clifford
Geertz menyebut fenomena latah sebagai “stage
fright” (Geertz, 1960: 241-260), yakni sebuah
keadaan dimana individu mengalami
kehilangan kontrol dalam mode tindakan. Yang
dilakukan individu tersebut adalah
pengungkapan berbagai simpul emosi yang
terbaur menjadi satu, yakni antara keterkejutan,
ketakutan, hingga keberanian. Beragamnya
penafsiran terhadap fenomena latah karena
perbuatan ini menjadi sebuah gerak-gerik
bawah sadar, dalam hal mana
penyikapan/respons terhadap suatu simbol dan
kode-kode tertentu bersifat spontan tanpa
berafirmasi dengan masyarakat sekitar.
Dalam kebudayaan Jawa, Geertz (1960;
1979) mengoposisikan kasus latah ke dalam
ruang budaya yang dikotomis antara mode
pembicaraan (mode of speech) yang “halus” dan
“kasar”. Latah dianggap sangat tabu jika ia
dilakukan dalam wilayah aristokrat (dalam hal
ini: keraton). Sebaliknya, latah menjadi
fenomena emosional yang menyenangkan,
bahkan menghibur, ketika berada di wilayah
masyarakat akar rumput. Wilayah aristokrat
dipandang selalu dipenuhi dengan atmosfir
perbuatan penuh kesopanan dan pengendalian
diri, sebaliknya wilayah akar rumput
dikontekskan sebagai masyarakat ekspresif,
kasar, riuh rendah dan tak memberi ruang ketat
pada nilai hierarkis (Geertz, 1979: 333-348;
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 55
Kenny, 1990: 126).
Lingkungan pergaulan pada kasus latah
menjadi kode tersendiri bagi masyarakat
sekitarnya. Dalam budaya Jawa, kedudukan
atau status seseorang ditentukan oleh banyak
hal di samping kekayaan, keturunan, pekerjaan,
dan usia. Mode berbahasa dan gaya berbicara
merupakan kode yang sangat jelas
menunjukkan sebuah status. Latah identik
dengan kelas bawah karena perilaku ini nyaris
tidak memberi ruang kerendahatian si
pembicara, di samping menghadirkan ekspresi
emosi yang tidak mencerminkan bahwa si
pelaku latah tengah berbicara dengan kelas
yang lebih atas, atau berhadapan dengan kelas
yang lebih bawah.
Di Jawa, latah dianggap sebagai suatu
bentuk bahasa yang lepas dari organisasi sosial
yang kaku dan dianggap sebagai budaya kasar
karena sejumlah hal (Geertz, 1960; Geertz,
1968). Pertama, perbuatan latah lepas dari
serangkaian konjugasi bahasa yang seharusnya
penuh dengan hierarki dan kerapian. Untuk
mengeluarkannya, tak perlu ada pemilihan kata
denotatif yang penuh kesopanan, karena latah
keluar nyaris tanpa kesengajaan dan rekayasa.
Kedua, latah identik dengan keterusterangan
terhadap suatu maksud dan kehendak.
Sedangkan dalam aristokrasi Jawa, konsep
kehendak merupakan sesuatu yang sebaiknya
tidak diungkapkan secara langsung, tiba-tiba,
serta transparan. Menjadi lebih bijaksana
apabila suatu kehendak ditunda atau
disembunyikan terlebih dahulu. Dalam perilaku
Jawa, langkah bijak terhadap suatu kekecewaan
dan keterkejutan bukan respon secara ekspresif,
melainkan diungkapkan di belakang atau
dengan cara solilokui (Bahasa Jawa:
nggembremeng atau menggerundel). Analisis
pertama dan kedua tersebut agak berbeda
dengan sejumlah uraian sebelumnya. Konsep
latah yang tumbuh di semenanjung Malaysia
tidak lepas dari adanya colonial encounter
(antara colonializer dengan colonialized),
sehingga latah tumbuh ketika terjadi kontak
antara pembantu yang keluarga tuan kolonial
yang ada dalam rumah, kemudian membentuk
sebuah distribusi mimikri. Dengan perkataan
lain, konsep latah terbangun melalui konstruk
servant-mastery antara masyarakat setempat
dengan kaum koloni.
Ketiga, latah mempunyai hubungan erat
dengan istilah semangat atau tindakan yang
cukup berapi-api dari individu. Karakter emosi
kesemangatan dari individu ini bersifat defensif
(Kenny, 1990: 130-131). Kesemangatan
perucapan latah terjadi ketika ada pemicu yang
menggerakkan keterkejutannya, dan pelaku
akan mengeluarkan respon balik yang juga bisa
diartikan sebagai bentuk pertahanan. Bentuk
semangat yang defensif dianggap sebagai
strategi untuk mereduksi kekhawatiran dan
ketakutan penyandang latah. Dalam perspektif
Jawa, perilaku berapi-api, terlalu bersemangat
dan mudah terkejut, mudah heran (“Ojo
kagetan, ojo nggumunan”) merupakan tindakan
yang tidak dianjurkan oleh kalangan aristokrat
Jawa. Tindakan ini hanya pantas dilakukan oleh
orang-orang yang tidak berpendidikan dan
berperadaban halus. Merupakan karakter orang
Jawa untuk selalu tenang, sabar, dan bijak,
ketika menanggapi sesuatu.
Keempat, kata-kata spontan yang
dikeluarkan dalam latah sering bersifat cabul
(dirty jokes) dan merujuk kepada anggota-
anggota tubuh yang sensitif, seperti menyebut
salah satu bagian alat kelamin dengan
menggunakan bahasa daerah. Padahal
mengeluarkan kata-kata tubuh tertentu sangat
dianggap tidak sopan dalam pandangan kelas
56 KADIR
terdidik dan aristokrat. Pada tataran perilaku
kecabulan, penyandang latah justru menjadi
suatu hiburan tersendiri, tatkala dengan
responsif ia memelorotkan celana atau pakaian
penutup aurat tertentu akibat dikejutkan oleh
suatu perintah secara tiba-tiba. Dalam sebuah
studi kasus, pada fenomena latah di Serawak
yang merujuk pada sejumlah nama hewan,
dunia mistis dan organ seksualitas tubuh juga
terjadi, seperti laporan berikut (Kenny, 1990:
136):
A survey study of latah among Malay women
included as content: male genitalia hanging
on a tree; detached male and female genitalia
on their own; basketfuls of steamed male
genitalia; giving birth; ghosts and worms;
snaky; monkey and crocodiles; similar
dreams are reported from peninsular
Malaysia as well.
Pada konteks wilayah Trengganu, Malaysia,
latah pada kaum laki-laki diidentikkan dengan
kepemilikan potensi menyanyi yang baik.
Sedangkan, perempuan latah dianggap sebagai
perempuan yang elegan dan penuh kehormatan
(jika meminjam istilah Jawa: “perempuan yang
tanpa tedeng aling-aling”) (Geertz, 1968: 100).
Di Jawa, sang pelaku latah dianggap sebagai
orang yang lucu. Semakin ia mudah terkejut
dan semakin cabul kata-kata yang dikeluarkan,
semakin lucu orang menganggapnya. Kelucuan
akan semakin bertambah karena sang pelaku
terkadang berani mengeluarkan kata-kata yang
tak beraturan (chaotic) dengan merusak tatanan
bahasa baku yang telah ada. Akibat kelucuan
yang berulang-ulang, maka seringkali rekan-
rekan si latah tak bosan menggodanya. Inilah
mengapa fenomena penyandang latah di Jawa
justru mendapatkan empati tersendiri dalam
lingkungan pergaulan.
Tertawa akibat melihat kelatahan seseorang
menghadirkan suasana interpretasi emosi yang
ambigu pula. Pada satu sisi, respons
penyandang latah dianggap menyenangkan
sekaligus menghibur, namun di sisi lain respons
penyandang latah dianggap tidak pantas atau
bahkan subversif. Latah dapat dikategorikan
sebagai tindakan subversif karena didalamnya
terdapat lelucon yang menjadi sebuah bahan
tertawaan, dalam hal mana lelucon ini
mempunyai sifat menyindir yang sangat keras
terhadap nilai-nilai normatif yang berlaku
dalam struktur suatu masyarakat. Dalam kaitan
dengan hal ini, Danadjaja (2002) memasukkan
lelucon ke dalam bagian folkore lisan, yakni
cerita rakyat yang masuk ke dalam sub bagian
dongeng. Dandjaja mengatakan bahwa joke
atau anekdot berfungsi sebagai protes sosial
atau sindiran, dapat juga digolongkan sebagai
joke politik. Latah dapat menjadi bagian
sindiran tersebut. Ruang humor pada kasus
latah menunjukkan simbol ekspresi emosi yang
hierarkis―egaliter dalam sebuah relasi sosial.
Selain dipercaya sebagai sebuah gejala yang
bersifat sementara (transitory), terdapat dua
karakter lainnya bagi penyandang latah.
Pertama, yang bersifat natural, misalnya, pada
kasus beberapa anggota keluarga di Jawa yang
rentan menyandang kebiasaan latah ini,
sehingga tidak jarang orang Jawa
menganggapnya sebagai suatu “keturunan
sosial”. Di sisi lain, latah menjadi bagian dari
ekshibisionisme, atau sekedar pameran yang
dibuat-buat, akibat meniru tren dari rekan-
rekannya (Elliz, 1897: 32-40).
Dalam konstruk jender, latah berkaitan erat
dengan karakter keperempuanan (effeminate),
karena latah sering dialami oleh kaum
perempuan. Namun demikian, konstruk jender
ini mengalami ambiguitas. Hal ini karena
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 57
perempuan yang menyandangnya dianggap
memiliki tingkat femininitas yang rendah
apabila dikaitkan dengan konsep semangat dan
ekspresivitas emosi meledak-ledak―yang
seharusnya disandang oleh kaum laki-laki
(Kenny, 1990:34-5). Di sisi lain, bagi laki-laki,
latah yang dialami perempuan justru dianggap
sebagai suatu perilaku yang tidak maskulin dan
penuh kecabulan, karena yang menjadi
parameter maskulinitas bagi laki-laki adalah
amok/ngamuk (Jawa; Aceh: Aceh Pungoh;
Maluku: Kapitang) (Reid, 1992), dalam hal
mana laki-laki yang pernah mengamuk
dianggap sebagai laki-laki yang kuat, bahkan
disegani. Selanjutnya, lagi-lagi, perempuan
penyandang latah didudukkan pada posisi yang
ambigu, karena keterkejutan perempuan di satu
sisi menunjukkan suatu hubungan emosional
yang penuh semangat dan demonstratif, namun
di sisi lain dipandang bahwa perempuan
tersebut berada di posisi kesadaran yang tidak
seimbang. Pada kode kultural yang lain, latah
juga identik dengan laki-laki yang berorientasi
seksual sejenis (homoseksual) dan transvestit.
Beberapa laporan, seperti Peacock (1968),
menggambarkan model kelatahan yang
diaplikasikan dalam berbagai pertunjukkan
lawak.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa, pertama, pada fenomena
latah terkandung batas-batas psikologis budaya
dimana karakternya menjadi sebuah peran
tersendiri bagi seseorang yang menyandangnya.
Latah berada pada ruang-ruang batas pertemuan
yang bersifat ambigu, antara lain: (a) ruang
sakral dan profane, (b) ruang personal dan
ruang publik, (c) ruang liar dan ruang normatif,
dan (d) diri yang sadar dan diri yang tidak
sadar. Oleh karena latah diidentikkan dengan
situasi liminal tubuh, maka latah juga muncul
dari batas pertemuan yang sifatnya dikotomis.
Interpretasi awal mengira bahwa kondisi latah
muncul dari adanya colonial encounter, namun,
selanjutnya, interpretasi mistis menganggap
bahwa latah juga muncul dari adanya
pertemuan masyarakat kampung dengan
makhluk asing di hutan (encounter in forest).
Dalam hal ini, kampung didudukkan sebagai
wilayah berkebudayaan, sedangkan hutan
ditempatkan sebagai wilayah misterius dan
tidak untuk dihuni. Bagi para penduduk
kampung, memasuki hutan akan menimbulkan
berbagai keterkejutan dari suara-suara aneh
yang kemudian diikuti oleh penduduk.
Pengikutan inilah yang kemudian dianggap
dengan asal munculnya latah.
Kedua, latah dapat disimpulkan sebagai
fenomena emosi kebudayaan Melayu yang
sifatnya partikular dan khas, sebagaimana telah
ditunjukkan oleh seluruh tulisan di atas. Sifat
khusus dan khas ini semakin diperkuat dengan
dialaminya kesulitan oleh para teoris Barat
untuk menentukan seperti apakah representasi
konsep latah pada masyarakat Melayu. Sejauh
ini, latah sempat didefinisikan dalam beberapa
konsep, seperti psychosis, hysterical psychosis
arctic hysteria, reactive psychosis, startle
reaction, fright neurosis, hypnoid state, hingga
psychodramatic shamanic. Munculnya konsep
psikologis ini berasal dari pertemuan antara
masyarakat pribumi dengan masyarakat
kolonial―yang mendefinisikan perilaku lokal
masyarakat Melayu. Kajian Barat melihat
bahwa latah sebagai bentuk emosi budaya
dianggap sebagai bagian dari bentuk
ketidaksadaran kolektif (collective
unconsciousness) dari masyarakat Timur.
Nampak bahwa terdapat sebuah rasionalitas
58 KADIR
tersendiri dari budaya Timur yang gagal
ditangkap oleh bangunan narasi besar dari
ilmuwan Barat. Memang, selama ini teori besar
dalam ilmu pengetahuan modern mempunyai
bias problematis, karena menghasilkan otoritas
dalam melegitimasi dan mengonsepsikan
fenomena sosial kebudayaan dan makna
kebenaran, menciptakan nilai-nilai dengan
mengklaim siapa yang normal siapa yang
bukan, serta siapa yang tinggi dan siapa yang
rendah.
Latah harus dipahami sebagai sebuah istilah
yang memuat fenomena dan fakta emosi yang
kompleks. Untuk meneliti lebih lanjut, sangat
diperlukan data lapangan secara mendetail dan
interpretasi psikohistoris-budaya yang
meyakinkan serta representatif.
Bibliografi
Aberle, D. F. (1952). Arctic hysterial and latah
in Mongolia. Transactions of the New York
Academy of Sciences, 2nd series, 14, 291-
297.
Danandjaja, J. (2002). Folklore Indonesia.
Jakarta: Grafitti.
Ellis, W. G. (1897). Latah: A mental malady of
the Malays. Journal of Mental Science, 43,
32-40.
Gimlette, J. D. (1912, Agustus). Remarks on the
etiology, symptoms, and treatment of latah,
with a report of two cases. British Medical
Journal, 2, 455-457.
Geertz, C. (1960). The religion of Java. Free
Press, Glencoe, Ill.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. New York: Basic Books.
Geertz, C. (1979). Abangan, santri, priyayi,
Jakarta: Pustaka Jaya.
Geertz, H. (1968, April). Latah in Java: A
theoretical paradox. Indonesia, 5, 93-104.
Kenny, M.G. (1978, September). Latah: The
symbolism of a putative mental disorder.
Culture, Medicine and Psychiatry, 2(3),
209-231.
Kenny, M.G. (1990). Latah: The logic of fear.
Dalam Karim, W.J. (Ed.), Emotions of
culture. Singapore: Oxford University
Press.
Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of
latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-
bound syndromes, ethnopsychiatry, and
alternative therapies. Honolulu: The
University Press of Hawaii.
Peacock, J. L. (1968). Rites of modernization:
Symbolic and social aspects of Indonesian
proletarian drama. Chicago: University of
Chicago Press.
Omar, R. (1994). Malay woman in the body:
Between biology and culture. Kuala
Lumpur: Fadjar Bakti.
Reid, A. (1992). Asia Tenggara dalam kurun
niaga 1450-1680: Tanah di bawah angin
(Mochtar Pabotinggi, Penerj.). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Tseng, W.-S. (2006). From peculiar psychiatric
disorders through culture-bound syndromes
to culture-related specific syndromes.
Transcultural Psychiatry, 43(4), 554-576.
Yap, P. M. (1952). The latah reaction: Its
pathodynamics and nosological position.
Journal of Mental Science, 98, 515-564.
van Brero, P. C. (1895). Latah. Journal of
Mental Science, 41, 537.
Winzeler, R. L. (1984, April). The study of
Malayan latah. Indonesia, 37, 77-104.
Winzeler, R. L. (1991). Latah in Sarawak, with
the special reference to the Iban. Dalam
Sutlive, V. H. (Ed.), Female and male in
Borneo: Contribution and challenges to
gender studies. Williamsburg, VA: College
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 59
of William & Mary.
Winzeler, R. L. (1995). Latah in Southeast
Asia: the history and ethnography of a
culture-bound syndrome. UK: Cambridge
University Press.
60 KADIR
Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 60–63
Menyimak Kritik Bandler
Limas Sutanto Asia Pacific Association of Psychotherapists
The purposes of this article are to describe Bandler's criticism toward
behaviorism and its further influence to the works of helping professions
(psychologists, psychiatrists, counselors, psychotherapists, etc). The
author described the facts that the therapeutic effect of the works
delivered by the helping professions in this country was not as efficient
and effective as it had expected. This was due to the theoretical
interpretation which received more attention from the professionals, than
observation and attendance to the physiological process in the brain (as
the concrete object of soul and self) of troubled persons. The author
suggested that the curriculum and training of helping profession
education need to be developed and invited the educators and trainers to
have deeper concern toward observing and listening skill ability of those
who are students of helping field of study.
Keywords: brain, soul, self, helping professions, therapeutic effect,
theoretical interpretations, observing and listening abilities
Apa yang dikemukakan Richard Bandler
(salah satu pelopor dan pengembang
neurolinguistic programming) dalam bukunya,
Richard Bandler’s Guide to Trance-formation
(2008), cukup penting untuk disimak oleh para
psikolog, psikiater, konselor, psikoterapis, dan
insan-insan lain yang terangkum dalam helping
professions. Bandler (2008) mengatakan dengan
ungkapan yang agak keras, bahwa para terapis
perilaku (behaviorists) mengejawantahkan
inspirasi B.F. Skinner dengan mencoba
memecahkan masalah jiwani dengan
mengeliminasi (mengabaikan) otak. Mereka
melewatkan, atau mem-by pass otak serta
menerangkan betapa semua perilaku adalah
buah dari suatu rangsangan (stimulus) yang
masuk ke dalam “kotak hitam” (black box)
(yang sesungguhnya adalah otak–organ paling
canggih di tengah alam semesta), dan kemudian
dari kotak hitam itu keluarlah sebuah respons.
Mereka memastikan, apa yang terjadi hanyalah
antara S dan R (stimulus dan response).
Menyikapi itu semua, Bandler menegaskan
dengan ungkapan lugas, “They were wrong”.
Yang keliru adalah bahwa apa yang terjadi
antara S dan R itu sedemikian diabaikan,
padahal justru sesungguhnya apa yang terjadi di
sana–yang terjadi dalam otak–sangat penting
untuk diketahui. Pengetahuan mengenai apa
yang terjadi dalam otak itu akan sedemikian
memungkinkan para psikolog, psikiater,
konselor, dan psikoterapis untuk membantu
klien atau pasien membuat perubahan secara
cepat dan efektif pada dirinya; atau, dengan
perkataan lain, membantu klien atau pasien
memecahkan masalah-masalahnya dan
60
KRITIK BANDLER 61
mencapai penyembuhan secara cepat dan
efektif. Pada titik ini, terapi (psikoterapi dan
konseling) perlu mendapatkan pemaknaan baru,
sebagai sebuah proses relasional yang menguak
fakta-fakta tentang apa yang terjadi dalam otak.
Ungkapan “apa yang terjadi dalam jiwa” kini
perlu dimaknai lebih konkret sebagai “apa yang
terjadi dalam otak”. Oleh karena apa yang
terjadi dalam otak itu pada dasarnya merupakan
perubahan-perubahan neurologis dan
perubahan-perubahan bahasa, maka psikolog,
psikiater, konselor, dan psikoterapis perlu
memahami perubahan-perubahan neurologis
apa dan perubahan-perubahan bahasa apa yang
terjadi dalam otak pasien atau klien.
Mengamati dan Mendengarkan Porus
Perubahan-perubahan neurologis pada
seseorang selalu menampakkan gejala-gejala
dan tanda-tanda yang dapat dilihat (diamati)
dan didengarkan oleh orang lain. Perubahan-
perubahan bahasa pada seseorang pun dapat
dilihat (diamati) dan didengarkan oleh orang
lain. Pada titik ini Bandler menegaskan betapa
manusia selalu saja membocorkan isyarat-
isyarat melalui setiap porus (“lubang terkecil di
permukaan tubuhnya”) tentang apa yang terjadi
dalam otaknya, tentang bagaimana dirinya
memproses informasi. Kata Bandler, “People
leak clues from every pore about how they’re
processing information.” Bandler memandang
bahwa setiap manusia selalu saja membocorkan
isyarat-isyarat itu tanpa henti. Oleh karenanya,
ia menegaskan bahwa manusia tidak pernah
tidak berkomunikasi, atau tidak pernah bisa
berhenti mengomunikasikan dirinya kepada
orang-orang lain, bahkan ketika ia memutuskan
untuk tidak mengatakan apa pun kepada siapa
pun.
Apabila demikian, maka terdapat hal-hal
yang sangat diperlukan oleh setiap psikolog,
psikiater, konselor, dan psikoterapis, sebagai
orang-orang yang dianggap mampu dan perlu
melaksanakan tugas serta keahlian mereka
sebagai helper dan terapis bagi klien-klien atau
pasien-pasien mereka. Yang sangat diperlukan
adalah kesediaan dan kemampuan untuk
melihat (mengamati) dan mendengarkan setiap
klien atau pasien dengan tepat. Melihat
(mengamati) serta mendengarkan dengan tepat
berarti mengetahui apa yang terjadi dalam otak
(jiwa; diri) pasien dan klien, sebagaimana
adanya; sekali lagi, sebagaimana adanya,
bukan “apa yang terjadi dalam diri klien atau
pasien berdasarkan penafsiran (interpretasi)
psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis”,
bukan pula “apa yang terjadi dalam diri klien
atau pasien menurut teori atau kerangka teoretis
ini atau itu”.
Sibuk Melekat Pada Teori
Yang patut disesalkan adalah bahwa apa
yang tergelar di tengah kenyataan kinerja
profesional dan pelaksanaan tugas para
psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis,
di sana-sini, justru masih mencerminkan betapa
mereka sibuk sekali menekankan dan membela
teori-teori mereka, dan mereka selalu saja repot
mencoba menafsirkan (menginterpretasikan)
pengalaman klien-klien atau pasien-pasien
mereka, bukan melihat (mengamati) dan
mendengarkan apa yang sedang terjadi dalam
otak (jiwa; diri) pribadi yang sedang berada di
hadapan mereka.
Pada perspektif ini, psikolog, psikiater, dan
psikoterapis psikoanalitis (mungkin termasuk
penulis sendiri!) mengatakan bahwa mereka
dapat meraih kebenaran tentang klien atau
pasien melalui tindakan menganalisis dan
menginterpretasikan mimpi-mimpi klien atau
62 SUTANTO
pasien, melalui tindakan menganalisis dan
menginterpretasikan resistensi serta transferensi
yang terjadi dalam relasi mereka dengan klien
atau pasien. Sebagian terapis–seiring dengan
teori-teori yang mereka kuasai–meyakini, dan
selalu saja meyakini bahwa seorang pasien atau
klien gangguan stres pascatraumatis
(posttraumatic stress disorder) akan mengalami
penyembuhan seiring dengan makin seringnya
dia “mengalami kembali dan mengolah”
(working through) pengalaman traumatisnya.
Padahal, apa yang terjadi dalam otak (jiwa; diri)
klien atau pasien gangguan stres pascatraumatis
adalah pengulangan-pengulangan nirsadar
pengalaman traumatis. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa sesungguhnya problem pasien
atau klien gangguan stres pascatraumatis
berintikan obsesi dan kompulsi untuk kembali
ke pengalaman traumatis yang telah berlalu.
Dengan memahami “apa yang terjadi dalam
otak (jiwa; diri) pasien atau klien”, dan bukan
memahami “semata berdasarkan teori tertentu”,
dapat dipertanyakan, apakah pendekatan yang
menekankan tindakan “mengalami kembali dan
mengolah pengalaman traumatis” merupakan
pendekatan yang terbaik untuk menyembuhkan
pasien atau klien gangguan stres
pascatraumatis.
Semakin sibuk dan lekat seorang psikolog,
psikiater, konselor, dan psikoterapis terhadap
teori-teori terapinya, semakin banyak pula lah ia
melakukan interpretasi terhadap klien atau
pasiennya. Selanjutnya, seiring dengan kian
seringnya mereka melakukan interpretasi,
mereka pun menjadi kian kehabisan waktu
untuk melakukan dua aktivitas profesionalnya
yang terpenting: melihat (mengamati) dan
mendengarkan. Hasilnya adalah, psikolog,
psikiater, konselor, dan psikoterapis makin
memahami klien atau pasien menurut teori yang
mereka yakini, dan mereka tidak makin
memahami apa yang sesungguhnya terjadi
dalam otak (jiwa; diri) klien atau pasien.
Mereka memahami apa yang benar menurut
peta mereka sendiri, bukan memahami peta
sang klien atau pasien sebagaimana adanya.
Yang dipahami oleh psikolog, psikiater,
konselor, dan psikoterapis adalah the truth
according to my own theory, atau the reality as
I subjectively perceived, bukan what was
happening inside the patient’s psyche, bukan
pula what is really happening in the patient’s
brain.
Kesimpulan dan Saran
Sungguhkah memahami klien atau pasien
menurut pengertian terapis sendiri (berdasarkan
teori yang dikuasai oleh terapis; berdasarkan
interpretasi yang dibuat oleh terapis) adalah
lebih bermanfaat bagi klien atau pasien
daripada memahami apa yang sedang terjadi
dalam otak (jiwa; diri) klien atau pasien?
Kendati jawaban kita bisa dan boleh sedemikian
beragam, namun tidak ada salahnya psikolog,
psikiater, konselor, dan psikoterapis menyimak
kritik Bandler untuk menumbuhkembangkan
kemampuan terapeutis profesionalnya. Dapat
dirasakan, kurikulum pendidikan dan pelatihan
berbagai helping profession (psikolog, psikiater,
konselor, dan psikoterapis), dan praksis
pendidikan dan pelatihan berbagai helping
profession itu, di negeri ini, masih kurang,
bahkan mungkin sangat kurang, memberikan
perhatian pada upaya menumbuhkembangkan
kemampuan melihat (mengamati) dan
mendengarkan dengan tepat, bagi setiap peserta
didik.
Kritik Bandler mungkin dapat menggugah
kita untuk menumbuhkembangkan kurikulum
pendidikan dan pelatihan serta praksis
KRITIK BANDLER 63
pendidikan dan pelatihan bagi psikolog,
psikiater, konselor, dan psikoterapis yang
memberikan perhatian besar bagi upaya
menumbuhkembangkan kemampuan yang
efektif untuk melihat (mengamati) dan
mendengarkan dengan tepat.
Bibliografi
Bandler, R. (2008). Richard Bandler's guide to
trance-formation: How to harness the
power of hypnosis to ignite effortless and
lasting change. Florida, US: Health
Communications, Inc.
64 SUTANTO
Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 64–70
Radikalisme Islam dan Perilaku Orang Kalah Dalam Perspektif Psikologi Sosial
Koentjoro Beben Rubianto Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada Forum Komunikasi Tafsir Hadis Indonesia
The purpose of this article is to describe the dynamics of radicalism
among the Indonesian Moslems. In Indonesia, radicalism is mostly
induced by the Moslems’ depressed and threatened feeling due to their
being marginalized in political life and individually brainwashed by the
religion teachers through dogmatic teaching. From group processes point
of view, Islamic radicalism groups tried to enlist people to their groups as
they believe that this recruiting effort will unify Islam and the country.
The author proposes his opinion that the radical groups in order to be exist
and as they were unable to find alternatives for their struggle, they
provoked terrorism. Reasoned action theory (Ajzen & Fishbein, 1980) and
frustration–aggression theory (Dollard, Doob, Miller, Mowerer, & Sears,
1939) in the field of social psychology are relevant to analyze the
Moslems’ radical behavior. The author suggested that Islamic radicalism
needs appropriate channels for their concerns (for example, through mass
media); however, it also needs to be sharply distinguished from terrorism
and violence for Islam means "natural law", "safe", and "peace".
Keywords: radicalism, terrorism, militant, Islam, losers, ingroup-
outgroup feeling, reasoned-action, frustrations, psychology of
teaching/dakwah, religious peace
Bom yang meledak di Sharm el-Sheik,
Mesir, pada 2005, yang menewaskan sedikitnya
88 orang, konon merupakan perbuatan salah
satu jaringan Al-Qaeda (“Al-Qaeda Mesir,”
2005), meskipun indikasi ini perlu dikaji
kebenarannya. Yang pasti, pelaku peledakan
bom di area wisata laut merah―maupun dalam
peristiwa ledakan-ledakan bom lainnya―akan
mendapat tanggapan dan sebutan yang
bermacam-macam dari masyarakat, antara lain:
radikal, militan, dan teroris. Yang menarik,
bukan saja Obama sekarang mulai menarik
pasukannya dari Irak dan akan berkonsentrasi di
Afganistan, tetapi juga sebutan-sebutan
tadi―apalagi dikaitkan dengan peledakan
bom―cenderung ditujukan kepada kelompok-
kelompok bernuansa Islam. Artinya, sebutan
radikal, militan, dan teroris dianggap memiliki
daya tarik bila dikaitkan dengan sentimen
keagamaan daripada dengan ideologi, politik,
budaya, hankam, dan lain-lain, serta cenderung
berkonotasi negatif. Benarkah demikian?
Menurut penulis, invasi atau campur tangan
Amerika ke Afganistan, Libia, Palestina,
Bosnia, dan kemudian dilanjutkan invasi
Amerika ke Irak, semakin membenarkan
64
RADIKALISME ISLAM 65
hipotesis Huntington (1998), bahwa dengan
redanya perang dingin Amerika versus Soviet,
maka yang dianggap musuh Amerika adalah
Islam.
Tulisan ini hendak menelaah bagaimana
radikalisme Islam terjadi di Indonesia dan
mengapa hal tersebut harus terjadi di Indonesia.
Indonesia sebagai Melting Pot
Negara yang berpenduduk dan memeluk
agama Islam terbesar di dunia adalah Indonesia.
Oleh karenanya, ada saja yang menganggap
bahwa Indonesia adalah ancaman apabila ia
merupakan negara yang kuat. Hal ini dapat
dibuktikan dari fenomena “Indonesia Phobia”
yang ditunjukkan oleh sebagian politisi dan/atau
masyarakat Australia (“Australians see,” 2005).
Dalam konteks ini, apabila teori Huntington
diterapkan di Indonesia, dan melihat fenomena
terorisme di Indonesia, maka teori itu kemudian
mendekati kebenaran. Indonesia sebagai negara
berpenduduk mayoritas Islam yang kaya
sumberdaya jelas merupakan ancaman.
Di mata penulis, aksi teror bukanlah hanya
aksi bom dan penembakan misterius. Namun,
lebih dari itu, kasus narkoba juga bagian dari
terorisme. Kekalahan Cina atas Inggris hingga
lepasnya Macau dan Hongkong terjadi akibat
candu. Afganistan menjadi bulan-bulanan
Amerika; banyak orang tidak menyangka
bahwa Afganistan adalah produsen opium
terbaik di dunia. Belajar dari sejarah Cina
dengan perang candunya, maka dapat
dipertanyakan apakah narkoba yang beredar di
Indonesia terkait dengan terorisme ini. Amerika
dan beberapa Negara sekutunya menghendaki
agar Indonesia, negara dengan jumlah
penduduk yang beragama Islam terbesar di
dunia ini, menjadi kerdil alias tidak pernah
menjadi besar.
Pada tahun 1996, Sarwono Kusumaatmadja
menyadarkan penulis bahwa kita bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar.
Dikatakannya, bahwa ada sekitar 15-20 persen
penduduk Indonesia yang memiliki taraf
kehidupan sebagaimana orang Swiss
(Kusumaatmadja, komunikasi personal di
Gedung Konsulat RI di Melbourne, 1996).
Apabila di tahun itu jumlah penduduk Indonesia
adalah 195 juta (Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia, 2006), maka orang Indonesia yang
memiliki taraf kehidupan sebagaimana orang
Swiss berjumlah kira-kira 30-40 juta. Marilah
kita bandingkan dengan Australia yang total
jumlah penduduknya hanya sekitar 20,4 juta
(“Australia,” 2009) dengan luas wilayah yang
sedikit lebih besar daratannya dibandingkan
dengan Indonesia. Dengan tingkat keterdidikan
masyarakat Indonesia yang makin meningkat
dan apabila kemudian jumlah kelas menengah
bertambah, ini dianggap oleh mereka sebagai
sebuah ancaman. Oleh karena itulah, penyebab
teror kemudian diciptakan, dan Indonesia
merupakan melting pot-nya. Kelompok pesimis
akan mengatakan bahwa Indonesia tidak akan
pernah aman.
Sebuah tesis hasil penelitian mahasiswa
program Magister Psikologi di Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta meneliti hubungan antara ayat yang
mengandung jihad dengan tingkat agresivitas.
Ditemukan bahwa mahasiswa yang
mendapatkan bacaan ayat yang mengandung
jihad, agresivitasnya meningkat secara
signifikan. Temuan ini mengindikasikan bahwa
radikalisme tidak selalu disebabkan karena
tindakan represif suatu rezim pada umat Islam,
tetapi juga dapat terjadi karena proses
brainwashing. Ketaatan yang terkait dengan
agama seringkali dapat terjadi karena sifat
66 KOENTJORO DAN RUBIANTO
dogmatis dari ajarannya. Banyak kisah
menunjukkan keterkaitan tersebut, baik pada
sekte keagamaan di Amerika, Afrika, maupun
Asia. Misalnya, seorang santriwati dibujuk oleh
kyainya agar mau dinikahi dengan alasan
menjadi istri kyai jaminan surga; hal ini jauh
lebih baik, menurut sang kyai, dari pada
santriwati tersebut di dunia tidak mendapat
surga. Oleh karenanya, tidaklah aneh apabila
militanisme dalam kegiatan radikalisme dalam
agama ini dapat dengan mudah dibentuk. Orang
dengan mudah dan sukarela dipengaruhi untuk
mati syahid atas nama sebuah perjuangan,
“Lebih baik dapat surga di akhirat daripada
tidak mendapat surga di dunia maupun di
akhirat.” Barangkali hal ini diilhami dari sebuah
kredo “isy kariman au mut syahidan” (“Hidup
mulia atau mati syahid”). Menurut penulis,
dalam konteks bahasan ini, lebih tepat apabila
kredo itu berbunyi “isy kariman wa mut
syahidan” (“Hidup mulia dan mati pun
syahid”).
Radikalisme dalam Perspektif
Group Processes
Ketika Indonesia belum merdeka, terdapat
kesadaran yang amat kuat pada masyarakat
negeri ini untuk bersatu, bahu membahu
mengusir penjajah. Sejarah mencatat
munculnya organisasi Islam, seperti Sarikat
Dagang Islam, Muhammadiyah, Nahdatul
Ulama, yang dengan gaya dan caranya masing-
masing berjuang, bersatu dengan kelompok
nasionalis dan kelompok lain, untuk
memerdekakan negeri ini. Pada zaman sebelum
kemerdekaan ini, ada sebagian mereka yang
ketika berperang mengelompokkan diri dalam
ikatan agama, serta ada pula yang
mengatasnamakan ikatan tertentu yang lain.
Meskipun demikian, karena tujuan
kemerdekaan demikian kuat, maka perbedaan
yang ada di antara mereka tidak mereka
hiraukan. Bagi mereka, yang penting adalah
merdeka. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila
kemudian bergulir semboyan, “Merdeka atau
Mati!”. Dalam bahasan psikologi, kelompok
dengan kondisi di atas merupakan gambaran
bahwa mereka telah mengacuhkan perasaan
ingroup-outgroup. Bahwa tujuan yang lebih
besar mengalahkan sentimen dan loyalitas pada
kelompoknya.
Dampak dari perasaan ingroup-outgroup lah
yang kemudian dapat memunculkan
superioritas. Bahwa kelompokku lebih hebat
apabila dibanding dengan kelompok lain. Dalam
pendekatan statistika, posisi kelompok radikal
ini terletak pada dua ujung sebuah kurva
normal, yang menurut penulis terjadi secara
alamiah.
Ada orang atau kelompok yang menyatakan
bahwa ketidakpuasan orang-orang Islam radikal
tertentu terhadap kebijakan penguasa pada
waktu perjuangan merebut kemerdekaan
Indonesia menyebabkan mereka berhimpun
dalam satu wadah, yaitu Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII) dan Negara Islam
Indonesia (NII). Menurut mereka, barangkali
salah satu sumber masalahnya adalah
perdebatan tentang pasal 29 UUD 1945.
Pendapat orang atau kelompok ini benar, namun
tidaklah seluruhnya benar. Ketika kemerdekaan
tercapai, kemudian “kue kekuasaan” dibagi dan
aturan main kemudian dibuat. Muncullah
ketidakpuasan pihak-pihak yang terlibat. Di
sinilah bentrok dan radikalisme di awal
kemerdekaan terjadi. Ketiga negosiasi-negosiasi
politik jalan buntu, ketika golongan Islam
berhadapan dengan golongan nasionalisme,
masing-masing kelompok berusaha masuk
wilayah kekuasaan, namun pada sisi lain, ada
RADIKALISME ISLAM 67
juga kelompok yang teraleniasi dan itu adalah
golongan Islam. Kondisi ini dapat dilihat
bahwa, hingga tahun 1955, terjadi beberapa kali
pergantian kepemimpinan di Indonesia.
Islam adalah sebuah ideologi agama syamil
(global), kamil (sempurna), wamutakamil (dan
disempurnakan). Jutaan umat Islam setiap hari
melihat fenomena yang beraneka ragam di
masyarakat. Banyak orang kemudian merasa
tidak puas terhadap tatanan dan kondisi
masyarakat yang amburadul tidak sesuai ajaran
Islam. Bukanlah hal yang mustahil apabila
kemudian banyak yang ingin melakukan
purifikasi agama. Mereka tidak puas dengan
kondisi lingkungannya yang jauh berbeda
dengan ajaran dan syariat Islam, atau, paling
tidak, dengan idealisme mereka tentang Islam,
syariat, dan Negara Islam. Orang yang sealiran
dengan pemahaman ini, melalui interaksi
mereka yang sengaja mereka selenggarakan
atau kebetulan, kemudian berhimpun diri.
Dengan alasan pemurnian ajaran agama, maka
mereka menciptakan simbol-simbol dan cara
berpakaian yang berbeda dengan khalayak
ramai. Akibatnya sangatlah jelas, bahwa
simbolisme merupakan proses pemilahan “siapa
yang termasuk kelompok saya” dan “siapa yang
bukan termasuk kelompok saya”. Kondisi ini
diperparah dengan tindakan represif rezim
Soeharto yang pada satu sisi
menumbuhsuburkan Islam―yang seperti
dimaui penguasa saat itu, namun pada sisi yang
lain memberangus kegiatan Islam yang
berseberangan dengan keinginan rezim.
Tindakan represif itu tidak membunuh akar
gerakan Islam radikal, namun justru
memberikan dampak pada militanisme dan
radikalisme. Kondisi ini pernah penulis
buktikan ketika berkunjung ke Manly (sebuah
suburb di utara Sydney). Di sana, ada masjid
tempat orang-orang Islam teralienasi pada
jaman rezim Soeharto dan bahkan Soekarno.
Zada (2003), mengutip pendapat Hunter,
mengemukakan enam ideologi gerakan yang
dapat mempersatukan kelompok radikal, yaitu:
(a) konsep din wa daulah. Islam merupakan
sistem kehidupan total, yang secara universal
dapat diterapkan pada semua keadaan, waktu,
dan tempat. Pemisahan antara din (agama)
dan daulah (negara) adalah hal yang mustahil
dapat diterima oleh kelompok radikal. Bagi
kelompok radikal, agama dan negara adalah
dua hal yang tak terpisahkan dan hendaknya
dipahami secara integral; (b) kembali ke
Qur’an dan Hadist. Dalam hal ini, umat Islam
diperintahkan untuk kembali pada praktek
ajaran Nabi yang puritan dalam mencari
keaslian ajaran dan pembaruan; (c)
puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai
dan adat-istiadat Barat ditolak sebagai sesuatu
yang sekuler dan asing bagi Islam. Oleh
karena itu, mereka menuntut agar media
massa mampu memberikan dakwah secara
puritan yang berkeadilan sosial. Namun,
tuntutan yang demikian itu mungkin akan
mengalami masalah besar, sebab pada sisi
yang lain, kesadaran jender menuntut adanya
pemaknaan ulang terhadap Al Qur’an; (d)
kedaulatan syariat Islam; (e) jihad sebagai
instrumen gerakan; dan (f) perlawanan
terhadap Barat yang hegemonik dan
intervensinya di Negara-negara Islam, seperti
Libia, Bosnia, Palestina, Afganistan, dan Irak
(Ahmed & Donnan, 1994).
Dalam konteks tersebut, penulis
berpendapat bahwa, bagi penganut radikalisme
modern di Indonesia, kenyataan adanya sejarah
DI/TII dan NII menjadi semacam reinforcement
atau penguat perilaku, atau pertanda bahwa
dahulu pun pernah ada gerakan radikal seperti
yang mereka lakukan saat ini.
68 KOENTJORO DAN RUBIANTO
Radikalisme dan Perilaku Orang Kalah
Radikalisme dalam Islam pernah tercoreng
dengan kasus yang dimuat dalam novel Tuhan,
Ijinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka
Seorang Muslimah, karya Muhidin M. Dachlan
(2004), yang secara tidak sengaja membedah
kehidupan kelompok radikal. Novel itu
membuka kedok bahwa kelompok yang
menggunakan simbol atau asesoris Islam
radikal tertentu ternyata tidak melaksanakan
syariat dan ajaran Islam secara kaffah
(menyeluruh). Radikalisme yang clandestine
lah, menurut hemat penulis, yang justru
merupakan gerakan yang paling mungkin dan
paling efektif dilakukan oleh kelompok radikal
Islam di balik lingkungan sistematis budaya
Barat yang amat dominan dan membelenggu.
Kegiatan teror yang dilakukan oleh kelompok
ini merupakan metafora tentang eksistensinya.
Meskipun diakui bahwa terorisme
merupakan bagian dari psy-war, namun
terorisme adalah tindakan orang kalah.
Terorisme berbeda dengan radikalisme dan
militanisme. Teror memiliki dua sifat: (a) terror
for production of fear, yang bersifat murni dan
dirancang untuk menimbulkan rasa takut, dan
(b) terror by siege, yang bersifat kontra-teror,
dengan sengaja menciptakan suasana
mencekam untuk menimbulkan situasi berjaga-
jaga (Koentjoro, 2002). Meski perilakunya
adalah sama, namun dalam hal makna ia
berbeda, karena radikalisme dan militanisme
tidak selalu ditempuh melalui terorisme.
Terorisme, menurut penulis, adalah bahasa
orang kalah. Teror adalah alternatif terakhir
dari sebuah perjuangan. Perjuangan radikalisme
dan militanisme di abad mendatang sebenarnya
dapat dilakukan melalui media. Reputasi Islam
telah hancur, karena efek media. Oleh karena
itulah, sudah saatnya perjuangan umat Islam
dilakukan melalui media.
Kelompok radikal yang satu terhadap yang
lain secara santun juga menginginkan adanya
superioritas, meskipun pada dasarnya mereka
adalah minoritas. Dengan demikian, konflik
antar-kelompok radikal pun amat sangat
mungkin terjadi. Sebuah pertanyaan yang
pantas diajukan adalah, “Mungkinkah kelompok
minoritas mempengaruhi mayoritasnya?"
Jawabnya adalah mungkin. Menurut teori
psikologi, kelompok minoritas dapat
mempengaruhi mayoritas apabila terpenuhi
beberapa syarat, antara lain: (a) apabila jika
terdapat masalah yang menyangkut kepentingan
umum, mereka berdiri dan menjadi garda
terdepan, dan (b) apabila mereka konsisten
dengan perjuangannya dan ideologinya
(Koentjoro, 2002).
Radikalisme dalam Perspektif Psikologi
Dalam konteks Psikologi Dakwah,
fenomena radikalisme dalam Islam sungguh
tidak menguntungkan. Islam dalam hal ini jauh
dari kesan sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin. Dengan metafora pedang dan huruf
Arab dalam bendera Islam, serta teriakan
“Allahu Akbar!“ dan tidak takut mati, tentulah
membuat miris orang yang melihatnya.
Terdapat beberapa stigma tentang Islam yang
muncul secara kental, antara lain: (a) Islam
adalah kekerasan atau teror, (b) Islam adalah
merusak dan tidak memberi solusi, dan (c)
Agama yang berhak eksis di muka bumi
hanyalah Islam. Gerakan Islam radikal lebih
cenderung berorientasi memerangi orang atau
kelompok masyarakat atau agama yang
berusaha mempengaruhi orang masuk ke agama
selain Islam. Di samping itu, perasaan ingroup-
outgroup juga menyebabkan munculnya
pandangan bahwa orang-orang yang Islamnya
RADIKALISME ISLAM 69
tidak seperti mereka merupakan orang kafir.
Belajar dari kasus G-30-S/PKI, maka kita
dapat saja tidak setuju atau memberantas
komunisme. Namun, manusia pengikut ajaran
komunisme itulah yang harus kita sadarkan dan
kita ajak masuk Islam, bukan malah dimusuhi
atau dijauhi seperti selama ini.
Ketika penulis (Koentjoro) belajar di
Melbourne Australia pada tahun 1996, penulis
dan kawan-kawan kedatangan satu kelompok
radikal. Sebagai saudara setanah air, mereka
kami anggap sebagai tamu terhormat yang
sedang melakukan syiar agama. Namun
demikian, mereka tidak menyadari bahwa
perilaku mereka menusuk perasaan istri ketua
kelompok pengajian kami. Pada saat
rombongan itu bertamu ke rumah ketua
kelompok pengajian kami, pintu dibuka dan
yang membukakan pintu adalah istri ketua
kelompok pengajian kami. Namun, mereka
kemudian dengan segera menutup matanya
dengan telapak tangannya sembari
membelakangi nyonya rumah.
Kondisi seperti di atas jelas amat tidak
menguntungkan bagi perkembangan Islam.
Oleh karenanya, persepsi terhadap Islam yang
telah mengarah menjadi stigma harus diubah
kedalam mekanisme dakwah yang sejuk,
menerima, dan bukan menghukum. Dalam
perspektif keperilakuan, agama atau keyakinan
berada di atas sikap dan amat sangat sulit
diubah. Kondisi ini barangkali menjelaskan
kepada kita tentang militanismenya mereka.
Berdasarkan pendekatan teori reasoned action
dari Ajzen dan Fishbein (1980), keyakinan akan
radikalisme dapat dianalisis terletak pada
wilayah objective norms dan subjective norms,
yang amat dekat dengan niat dan perilaku.
Perilaku kelompok radikal dengan segala
cirinya, sebagai sebuah fenomena sosial,
menarik untuk diamati. Namun eksklusivisme
mereka menjadikan peneliti amat susah masuk
kedalam kelompok ini. Penelitian tentang
komando jihad pernah juga dilakukan oleh
mahasiswa Magister Psikologi UGM, namun
mereka mendapatkan kendala untuk masuk
lebih dalam. Anehnya, banyak Islam radikal
selalu mengatasnamakan dirinya sebagai Ahlul
Sunnah Wal Jamaah.
Menurut perspektif frustrasi-agresi yang
dikembangkan oleh Dollard, Doob, Miller,
Mowerer, dan Sears (1939), agresivitas suatu
perilaku individu atau kelompok sebanding
dengan tingkat frustrasi yang dialami oleh
kelompok atau individu tersebut. Radikalisme
memang berbeda dengan agresivitas, namun
dalam banyak hal, kita melihat adanya korelasi
antar keduanya. Iklim demokratis dan
kemerdekaan berserikat telah dibuka sejak
pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga kini.
Ini mengindikasikan bahwa, dalam konteks
gerakan, terdapat perbedaan ideologi
radikalisme antara zaman Soeharto dengan
pasca Abdurrahman Wahid. Frustrasi akibat
tindakan represif barangkali sudah tidak ada
lagi, demikian pula gerakan clandestine.
Radikalisme yang terjadi saat ini lebih kepada
pemurnian ajaran agama Islam, dan sebagian
lagi adalah tuntutan konsep din wa daulah
(Islam sebagai sistem kehidupan total).
Kesimpulan dan Saran
Radikalisme dan militanisme memang
dalam hal tertentu dibutuhkan untuk purifikasi
agama. Namun demikian, Islam sebagai agama
rahmatan lil ‘alamin tetap harus diciptakan,
karena Islam itu sendiri artinya “selamat” atau
“kedamaian”. Bukankah Tuhan
mengultimatum, “watawaa shou bilhaq
watawaa shou bisshabr” (Menegakkan
70 KOENTJORO DAN RUBIANTO
kebenaran haruslah disertai dengan
kesabaran/santun)? Penempatan bilhaq dan
bissharb dalam satu ayat yang sejajar,
mengindikasikan bahwa secara teologis, Tuhan
menghendaki adanya fatsoen (kode etik) dalam
menegakkan ajaran-Nya. Oleh karena itu, perlu
diciptakan mekanisme yang memberi
kesempatan untuk menjadi militan dan radikal.
Namun, kedamaian agama lewat silaturahmi
juga wajib ditegakkan.
Satu hal yang perlu dievaluasi adalah bahwa
hendaknya militanisme dan radikalisme
dibedakan dari kekerasan. Militan dan radikal
tidak selalu berbuat kekerasan yang melanggar
aturan.
Untuk menciptakan pencitraan radikalisme
yang baik, perjuangan melalui media sangat
penting dilakukan umat Islam saat ini.
Hancurnya FEER, Asiaweek, dan media lain
yang menjadi kepanjangan tangan Amerika,
mengindikasikan adanya kesadaran terhadap
local wisdom. Bahwa telah terdapat kesadaran
kritis bangsa untuk tidak dicekoki informasi
dari satu arah saja.
Bibliografi
Ajzen, I., & Fishbein, M. 1980. Understanding
attitudes and predicting social behavior.
NJ: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
Al-Qaeda Mesir bertangung jawab atas bom
Sharm El-Sheikh. (2005, 24 Juli).
Kapanlagi.com. Ditemukembali pada 6
April 2009, dari
http://www.kapanlagi.com/h/0000074077.ht
ml
Australia. (2009). Wikipedia. Ditemukembali
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Australia
Australians see Susilo as open-minded, honest.
(2005, 21 April). The Jakarta Post.
Ditemukembali pada 6 April 2009, dari
http://www.thejakartapost.com/news/2005/0
4/21/australians-see-susilo-openminded-
honest.html
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
(2006). Tingkat kemiskinan di Indonesia
tahun 2005-2006. Ditemukembali pada 6
April 2009, dari
http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskin
an-01sep06.pdf
Dachlan, M. M. (2004). Tuhan, izinkan aku
menjadi pelacur! Memoar luka seorang
muslimah. ScriPta Manent.
Dollard, J., Doob, L., Miller, N. E., Mowerer,
O. H., & Sears, R. R. (1939). Frustration
and aggression. New Haven, CT: York
University Press.
Huntington, S. P. (1998). The clash of
civilizations and the remaking of world
order. UK: Simon & Schuster.
Koentjoro. (2002). Psikologi politik: Materi
kuliah mahasiswa program S1 psikologi
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Tidak diterbitkan.
Zada, K. (2003, 15 Agustus). Ideologi Gerakan
Islam Radikal. Media Indonesia.
RADIKALISME ISLAM 71
Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 71–72
Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana (Judul, 22 point Centered)
Nama penulis, lengkap, tanpa gelar, tanpa posisi
Nama dan alamat lembaga (12 point centered)
Abstract is written in English and Indonesian, limited to 200 words, and
written in single paragraph. Abstract should contain goal, research
method, and short description of result. (11 point, use block format, no
indentation).
Keywords: written inline, three to ten words (10 point).
Dokumen ini ditulis sebagai pedoman format
final artikel Jurnal PsikoBuana. Bagian pendahuluan
ini tanpa menggunakan heading "Pendahuluan" atau
"Latar Belakang".
Panduan Bagi Penulis
Revisi artikel hanya akan diterima dalam bentuk
softcopy, dengan mengikuti format cetak (dokumen
ini), selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah
surat pemberitahuan revisi.
Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan
artikel yang tidak dimuat. Kepastian
pemuatan/penolakan /revisi dilakukan secara
tertulis.
Manuskrip orisinal beserta tiga eksemplar
salinannya dikirimkan dalam format soft copy
(Microsoft Word atau OpenOffice Writer) melalui
media cakram kompak ke alamat surat Sidang
Penyunting, atau melalui surat elektronik dengan
alamat [email protected]
Format, Sistematika, Tabel, dan Gambar
Artikel ditulis pada kertas A4, huruf Times New
Roman ukuran 12, spasi 1,25, rata kiri-kanan, tidak
melebihi 15 halaman. Penulisan naskah pada
umumnya mengikuti kaidah-kaidah yang tertuang
dalam Publication Manual of the American
Psychological Association (APA) 5th ed. (2001).
Heading tanpa penomoran dengan maksimal dua
peringkat sub-heading:
Ini Heading
Ini Sub-Heading Peringkat 1 (Italicize, Flush
Left, Capitalize Keywords)
Teks dalam paragraf ini diberi indentasi first
line dengan spasi atas ganda. Apabila sub-heading
peringkat satunya adalah "Prosedur Pengumpulan
dan Analisis Data", maka teks dalam paragraf ini
menerangkan hal tersebut.
Badan utama artikel hasil penelitian berisi: (a)
pendahuluan (memuat latar belakang & pernyataan
masalah, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, tujuan
dan manfaat penelitian, hipotesis yang hendak
diuji), (b) metode (memuat rancangan penelitian,
gambaran partisipan, serta prosedur pengumpulan
dan analisis data), (c) hasil (memuat hasil uji
hipotesis, yang dapat menyertakan tabel, grafik, dan
sebagainya), (d) pembahasan (memuat interpretasi
dan evaluasi terhadap hasil penelitian, serta ulasan
problem-problem terkait yang dipandang dapat
memengaruhi hasil penelitian), dan (e) kesimpulan,
PANDUAN BAGI PENULIS
implikasi, dan rekomendasi. Artikel hasil pemikiran
meliputi: (a) pendahuluan (latar belakang, tujuan,
ruang lingkup), (b) bahasan utama (terbagi dalam
beberapa bagian), dan (c) penutup atau kesimpulan
dan rekomendasi.
Tabel dan gambar harus diberi caption
(judul/keterangan) menggunakan huruf besar di
awal kata (Title Case untuk tabel dan Sentence case
untuk gambar), serta dengan penomoran yang
berurutan. Caption tabel diletakkan di atas,
sedangkan gambar di bawah. Tabel dan gambar
simetris di tengah (centered), dan dibuat ukurannya
tidak terlalu kecil.
Usahakan penggunaan gambar dua warna
(hitam-putih), dan hilangkan garis tepi gambar.
Gambar disertakan dalam bentuk soft-copy dalam
format JPEG. Sumber gambar disebutkan di bagian
bawah gambar apabila bukan karya sendiri. Izin
penggunaan atau bukti kepemilikan gambar harus
disertakan apabila gambar tersebut dimiliki hak
ciptanya oleh orang lain. Penulisan hasil olah
statistik seperti contoh berikut: F(2, 116) = 2,80, p <
0,05 untuk ANOVA; atau t(60) = 1,99, p < 0,05
untuk uji-t; 2 (4, N = 90) = 10,51, p < 0,05 untuk
kai kuadrat, dan sejenisnya.
Cara Mengacu dan Bibliografi
Penulisan acuan mengikuti format APA (2001).
Contoh cara mengacu:
Kotter (1995, h. 152) mengingatkan, "Setiap
fase dari tahapan itu hendaknya dilalui," namun ....
Subagyo ("Kesalehan Lingual," 2008)
berargumen bahwa kekerasan verbal ....
Sejumlah penulis (Harter, 1990, 1993; Harter,
Whitesell, & Waters, 1997; McIntosh, 1996a;
McIntosh, 1996b) menyampaikan kesimpulan yang
serupa mengenai ....
Bibliografi, terbatas pada sumber yang dirujuk,
disusun urut berdasarkan abjad. Utamakan pustaka
termuktahir (terbit sepuluh tahun terakhir), dan yang
berasal dari sumber primer (laporan penelitian,
artikel jurnal / majalah ilmiah). Contoh penulisan
bibliografi:
Bibliografi
Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., & Ormerod, D.
(2002). The personality paradox in offender
profiling: A theoretical review of the processes
involved in deriving background characteristics
from crime scene actions. Psychology, Public
Policy, and Law, 8(1), 115-135.
Canter, C. (2003). Mapping murder: The secrets of
geographical profiling. UK: Virgin Books.
Harter, S., Waters, P. L., & Whitesell, N. R. (1997,
April). Level of voice among adolescent males
and females. Paper presented at the bi-annual
meeting of the Society for Research in Child
Development, Washington, DC.
Johnson, E. (1995). The role of social support and
gender orientation in adolescent female
development. Disertasi, tidak diterbitkan,
University of Denver, Denver, CO.
Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of
latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-bound
syndromes, ethnopsychiatry, and alternative
therapies. Honolulu: The University Press of
Hawaii.
National Council Against Health Fraud. (2001).
Pseudoscientific psychological therapies
scrutinized. NCAHF news, 24(4).
Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html
Petition for the recognition of police psychology as
a proficiency in professional psychology.
(2008). Ditemukembali pada 18 Februari 2009,
dari http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police
%20Psychology%20Proficiency%20Petition-
Final.pdf
Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-teori
psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono, Penerj. &
Peny.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. (Karya
asli diterbitkan tahun 1970)
Taylor, C., & Clara, S. (2005, April). A New Brain
for Intel. Time Magazine, 9-10.