jurnal psikologi psikobuana - 13-28 - pemrofilan

86

Upload: juneman-abraham

Post on 11-Jun-2015

5.159 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Jurnal Ilmiah Psikologi PSIKOBUANA menggelorakan riset, pertukaran akademis serta praktik profesional yang berkenaan dengan persoalan-persoalan psikologis yang terjadi di tanah air pada umumnya dalam rangka pengembangan psikologi buana Indonesia pada khususnya. Jurnal Psikobuana diterbitkan pada bulan Februari, Juni, dan Oktober, oleh Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta.SIDANG PENYUNTING: Mitra Bestari:Prof. Koentjoro, Ph.D., Dr. A.A. Anwar Prabu M., Prof. Dr. Enoch Markum, Dr. Limas Sutanto; Penyunting Penyelia: Prof. Dr. Agus Djoko; Penyunting Eksekutif: Juneman, S.Psi.Web site: http://www.psikobuana.com===========Psychology contributes to criminal profiling process. Unfortunately, after intensive review on latest research findings, it is detected that most criminal profiling process is not based on strong scientific assumptions. This article explains the reasons why criminal profiling is quite a problem for psychology as a science. The author proposes several ideas to overcome this problem. The first idea is about the accurate understanding of criminal profiling scientific status. The science-pseudoscience-non science dichotomy and protoscience-science spectrum will support this understanding. The second idea is that there are some things to be considered for criminal profiling in order to be a prestigious discipline and be used scientifically appropriate by scientists and practitioners of forensic psychology and criminology. [ Jurnal Ilmiah Psikologi Psikobuana, Vol.1 No.1, page 13-28 ] http://www.psikobuana.com

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan
Page 2: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan
Page 3: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

Editorial

Kolokium Psikologi Indonesia ke-19 telah diselenggarakan di Padang, Sumatera Barat, pada 30

April sampai dengan 2 Mei 2009. Kolokium Psikologi Indonesia, yang merupakan wadah

berkumpulnya institusi penyelenggara pendidikan psikologi di Indonesia, telah menyepakati

sejumlah hal, antara lain metamorfosis diri menuju sebuah organisasi yang berbadan hukum serta

pengubahan nama "Magister Profesi Psikologi" atau pun “Program Pendidikan Profesi Psikologi

Jenjang Magister (P4JM)” menjadi "Magister Psikolog". Mengenai hal yang terakhir ini, naskah

kajian akademik masih dipersiapkan dalam rangka pengajuannya ke Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI untuk kodifikasi, meskipun pendidikan akademik yang

menghasilkan psikolog profesional telah ada sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Bersama antar

Dekan Fakultas Psikologi se-Indonesia dan Himpunan Psikologi Indonesia/Himpsi No.

02/KOL.PSI/02, 25 Oktober 2002. Nampaknya, justru kajian epistemologis yang mendalam

terhadap nama dan substansi “Magister Psikolog” masih perlu terus dilakukan, dan memang tidak

cukup dengan sekadar perbandingan analogis dengan “persenyawaan magister-profesi” dalam

Magister Advokat atau Magister Manajemen. Dalam periode panjang yang kita lalui sejak 2002 ini,

kita menjadi semakin menyadari arti penting epistemologi dalam (pendidikan) psikologi. Dalam

kolokium juga didiskusikan mengenai harapan yang besar agar penyelenggara pendidikan psikologi

semakin mempersempit peluang menganggur alumnus Sarjana Psikologi dari sisi penyusunan

scientific vision berupa profil dan kompetensi lulusan serta penyusunan struktur kurikulum dan

rancangan pembelajaran. Terkait dengan hal ini, kesepakatan Kolokium ke-19 berupa pemerluasan

dan pemerjelasan cakupan kompetensi Sarjana Psikologi menjadi, antara lain, tidak hanya mampu

merancang, akan tetapi juga mampu mempraktikkan intervensi psikologis, seperti konseling

terhadap problem-problem non-patologis (parameter “patologis”: kitab Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorder yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association dan Pedoman

penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) serta pengetesan psikologis untuk tes-

tes psikologis level A dan level B, menjadi salah satu hal yang relevan. Lagi, dengan kesepakatan

ini, nampaknya perlu diadakan redefinisi yang lebih presisif dan akurat terhadap terminologi

“Praktik Psikologi” dalam Kode Etik Psikologi Indonesia maupun Anggaran Dasar/Anggaran

Rumah Tangga Himpsi yang menurut rencana akan disahkan perubahannya pada Kongres XI

Himpsi di Surakarta pada Maret 2010.

Pada edisi perdana Jurnal Psikobuana ini, M. Enoch Markum mengkaji sumbangsih psikologi

sosial dalam pengentasan kemiskinan, yang meliputi intervensi individual, kultural dan struktural.

Apabila dikaitkan dengan harapan kolokium di atas, maka sesungguhnya kajian-kajian semacam ini

sangat perlu digalakkan. Sarjana Psikologi sesungguhnya tidak perlu terus menjadi “tukang tes”

melainkan juga dapat berkarya dalam lapangan-lapangan yang lebih luas, seperti dalam psikologi

kemiskinan (psychology of poverty). Selanjutnya, Juneman dalam artikelnya mengenai pemrofilan

kriminal―bagian dari psikologi forensik―menunjukkan bahwa pelibatan penggunaan perspektif

protoscience dan pseudoscience ternyata berguna dalam melihat secara lebih tepat status

Page 4: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

epistemologis pemrofilan kriminal sebagai sebuah ilmu psikologis dan berimplikasi pada

pengembangan aplikasinya. Dalam kaitan dengan ini, sudah sejak 1985, Alvin I. Goldman dalam

jurnal Synthese mengingatkan kita bahwa pertanyaan-pertanyaan epistemologis pernah dilihat

secara “terpisah dengan tajam (sharply separated) dari psikologi”, padahal tidak perlu seperti itu.

APA (American Psychological Association) yang menjadi referensi internasional pun memiliki

Divisi ke-24, yakni Society for Theoretical and Philosophical Psychology, yang tugasnya “…

encourages and facilitates informed exploration and discussion of psychological theories and

issues in both their scientific and philosophical dimensions and interrelationships” (APA, 2009).

Dalam kaitan dengan kerja-kerja kolokium di atas, jelas bahwa kolokium psikologi bersama Himpsi

saat ini memiliki urgensi justru untuk memperkuat fondasi epistemologis “Magister Psikolog”.

Dalam artikel berikutnya, Eunike Sri Tyas Suci memberikan gambaran empiris perilaku jajan

murid sekolah dasar di Jakarta, yang temuannya memiliki arti penting untuk menstimulasi

penerapan psikologi kesehatan (psychology of health). Selanjutnya, sementara alat ukur dalam

bidang psikologis banyak mengasumsikan pengukuran unidimensi, Wahyu Widhiarso melakukan

kajian mengenai koefisien reliabilitas pada pengukuran kepribadian yang bersifat multidimensi.

Pada akhirnya, Hatib Abdul Kadir, Limas Sutanto, serta Koentjoro dan Beben Rubianto

berturut-turut menelaah fenomena latah dari sudut psikoantropologis, kritik Bandler terhadap

kinerja psikolog dan profesi kesehatan mental lain, serta perilaku radikal umat Islam dengan pisau

analisis psikologi sosial.

Penyunting

Page 5: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1

Daftar Isi Editorial Penyunting Daftar Isi Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial M. Enoch Markum Mempertanyakan Pemrofilan Kriminal Sebagai Sebuah Ilmu Psikologis Juneman Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar di Jakarta Eunike Sri Tyas Suci Koefisien Reliabilitas Pada Pengukuran Kepribadian yang Bersifat Multidimensi Wahyu Widhiarso Menafsir Fenomena Latah sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu (Suatu Kajian Psikoantropologi) Hatib Abdul Kadir Menyimak Kritik Bandler Limas Sutanto Radikalisme Islam dan Perilaku Orang Kalah Dalam Perspektif Psikologi Sosial Koentjoro dan Beben Rubianto Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana

i–ii

iii

1–12

13–28

29–38

39–48

49–59

60–63

64–70

71-72

Page 6: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 1–12

Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial

M. Enoch Markum

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

This article describes poverty which is a big problem on this planet,

particularly in Indonesia. The estimation is that there are 1.4 billion poor

people in the world and there are about 35 million poor people in

Indonesia. Poverty affects several aspects of life such as: education,

housing, crimes, and mental health. All of the presidents of Indonesia,

many non-governmental organizations and the society, have been trying to

prevent the increasing rate of poverty. Unfortunately, there is no

significant result so far. Incomplete understanding about poverty might

explain the non-significant result of poverty prevention. Poverty is usually

stated as the poor people's lacking of entrepreneurship, of skill, and that

the poor has negative personality sides. Based on this incomplete

understanding, this article proposes some alternatives for comprehensive

poverty elimination through individual, cultural and structural

intervention. The social psychology approach for poverty eradication

means that the intervention is for the individual and his/her social

environment in which social structural and cultural are included.

Individual intervention means that we need to cut out the poverty circle.

Cultural intervention means that we need to change this deprivation

culture. Structural intervention means that we need to change the

paradigm about the poor held by those who deal with policies related to

poverty.

Keywords: poverty culture, poverty cycle, deprivation, frustration,

uncontrollability, helplessness, depression, passivity, dependency,

empowerment

Salah satu masalah kemanusiaan yang

dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. Dengan

tolok ukur pendapatan per kapita 1,25 dolar AS,

diperkirakan jumlah penduduk miskin di dunia

1,4 milyar orang (“Understanding poverty,”

2009). Menghadapi kenyataan ini, komunitas

internasional telah membuat kesepakatan dan

menyatakan komitmennya pada kesempatan

United Nations Millennium Summit tahun 2000

di New York. Hasil dari pertemuan tersebut

dituangkan dalam Deklarasi Milenium yang

ditandatangani oleh sejumlah negara (termasuk

Indonesia) yang mempunyai sejumlah sasaran

atau dikenal dengan Millennium Development

Goals (MDGs) yang harus dicapai pada tahun

2015. Di antara delapan sasaran dimaksud,

1

Page 7: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

2 MARKUM

salah satunya adalah “menanggulangi

kemiskinan dan kelaparan”.

Bila Indonesia berniat mematuhi Deklarasi

Milenium, maka waktu yang tersisa untuk

mengatasi masalah kemiskinan ini sangat

pendek atau tinggal enam tahun lagi. Melihat

data BPS 2008 mengenai penduduk miskin di

Indonesia yang berjumlah 34,90 juta orang dan

data Susenas BPS 2006 mengenai penurunan

angka kemiskinan dari tahun ke tahun yang

tidak cukup signifikan, misalnya penduduk

miskin tahun 2004: 36,10 juta; tahun 2005:

35,10 juta; dan tahun 2006: 39,10 juta

(Brodjonegoro, 2007), maka wajar kiranya bila

kita meragukan keberhasilan Indonesia

mencapai MDSs tahun 2015; apalagi bila kita

mencermati dampak krisis ekonomi global 2008

yang mulai dirasakan oleh Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi yang semula

diperkirakan 6,0%, dengan terjadinya krisis

ekonomi global 2008, menurut perhitungan

Pemerintah hanya akan mencapai 4,5%

(“Kemiskinan bertambah,” 2009). Demikian

pula, jumlah orang miskin tahun 2009 yang

semula diperhitungkan oleh Pemerintah 32,38

juta orang akan meningkat menjadi 33,71 juta

orang atau setara dengan 14,87% jumlah

penduduk Indonesia. Dalam hubungan dengan

kemiskinan ini, pendapat Fadhil Hasan berikut

ini akan menguatkan pesimisme kita terhadap

pencapaian MDGs oleh Pemerintah tahun 2015.

Menurut Hasan (“Kemiskinan bertambah,”

2009), melambatnya pertumbuhan ekonomi

akan mengakibatkan pengangguran karena

setiap 1,0% pelambatan pertumbuhan ekonomi

akan mengakibatkan 300.000 orang kehilangan

kesempatan kerja. Jika angka ini dikalikan

dengan empat orang anggota keluarga, maka

akan ada 1,2 juta orang yang tidak ternafkahi

atau jatuh miskin. Sementara itu, terdapat

sekitar 600.000 tenaga kerja Indonesia (TKI)

yang akan dipulangkan dari luar negeri.

Bila kita mencermati sejarah kemiskinan

dan penanggulangannya di Indonesia, maka

sebenarnya masalah kemiskinan ini tidak

pernah luput dari perhatian Pemerintah, siapa

pun yang menjadi presiden (Kusumaatmadja,

2007). Hal ini dapat kita saksikan dengan

diawali oleh Presiden Soekarno yang

menuangkan program kemiskinan dalam

Pembangunan Nasional Berencana Delapan

Tahun; Presiden Soeharto dengan program

Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program

Kesejahteraan Sosial (Prokesos), dan lain-lain;

Presiden Habibie dengan Jaringan Pengaman

Sosial, Penanggulangan kemiskinan di

Perkotaan (P2KP), dan lain-lain; Presiden

Abdurrahman Wahid dengan Jaring Pengaman

Sosial (JPS), Kredit Ketahanan Pangan (KKP),

dan lain-lain; Presiden Megawati Soekarnoputri

dengan Komite Penanggulangan Kemiskinan

(KPK) dan Penanggulangan Kemiskinan di

Perkotaan (P2KP); sampai dengan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono dengan

Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan

Kemiskinan (TKPK), Bantuan Langsung Tunai

(BLT), dan lain-lain.

Di samping upaya Pemerintah, masyarakat

pun ikut berperan dalam mengatasi kemiskinan,

seperti yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik UI dengan memberikan

penghargaan kepada para wirausahawan sosial

(2006). Demikian pula Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) telah berpartisipasi dalam

mengentaskan kemiskinan, antara lain LSM

Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil,

Bina Desa, Bina Masyarakat Sejahtera, dan

Bina Sumber Daya Mitra.

Dalam hubungan dengan peran masyarakat

dalam mengentaskan kemiskinan ini, perlu

Page 8: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PENGENTASAN KEMISKINAN 3

dikemukakan upaya seorang profesor ekonomi

dari Bangladesh yang memperoleh hadiah

Nobel Perdamaian 2006, yaitu Muhammad

Yunus. Hal ini perlu dikemukakan karena ia

telah berhasil dengan Grameen Bank-nya

memberikan pinjaman kepada masyarakat

miskin tanpa agunan (94% perempuan) untuk

digunakan sebagai modal usaha.

Perlu juga diketengahkan pelibatan partai

politik dalam pengentasan kemiskinan yang

disayangkan perhatian dan intensitas

kegiatannya baru meningkat pada saat

menjelang kampanye pemilihan kepala daerah

dan pemilihan umum.

Upaya penanggulangan kemiskinan yang

telah berlangsung sejak lama dan telah

melibatkan pihak pemerintah, swasta, LSM, dan

partai politik sebagaimana diuraikan terdahulu

tampaknya belum berhasil menurunkan angka

kemiskinan secara bermakna (Brodjonegoro,

2007). Hal ini disebabkan antara lain oleh: (a)

luasnya masalah kemiskinan, ±15% penduduk

miskin dari seluruh penduduk Indonesia, (b)

penanganan kemiskinan yang tidak terintegrasi

karena ego sektoral yang sangat kuat, (c) tidak

melibatkan dan memberdayakan (empowering)

orang miskin dalam mengatasi kemiskinan, (d)

peraturan perundangan yang tidak memihak

kaum miskin, dan (e) kemiskinan dilihat

sebagai masalah ekonomi dan keterampilan

teknis semata-mata.

Cara pandang kemiskinan yang terakhir ini

(menekankan faktor ekonomi atau keterbatasan

modal usaha dan keterampilan teknis) terlihat

dari dikucurkannya dana yang besar oleh

pemerintah dan didirikannya sejumlah balai

latihan kerja (BLK), serta diselenggarakannya

berbagai kursus keterampilan singkat. Sebagai

ilustrasi anggaran pemerintah untuk mengatasi

kemiskinan dari tahun ke tahun tampak terus

meningkat: 18 triliun (tahun 2004), 23 triliun

(2005), 42 triliun (2006), dan 51 triliun (2007)

(Kusumaatmadja, 2007). Dalam kenyataan

terbukti bahwa alokasi anggaran pengentasan

kemiskinan yang naik dari tahun ke tahun ini

tidak berhasil menurunkan angka kemiskinan

secara bermakna karena selain posisi tawar

(bargaining position) orang miskin yang lemah,

juga mereka tidak mampu melihat peluang

bisnis (business opportunity) sehubungan

dengan kenaikan anggaran pengentasan

kemiskinan.

It is important to stress that alleviating

poverty is not only a matter of giving financial

aid, but more significantly, giving the poor a

sense of individual mastery over their lives

which preserves their dignity and self respect.

(Ortigas, 2000, h. 44)

Berdasarkan kutipan Ortigas di atas, jelas

bahwa pengentasan kemiskinan bukan semata-

mata masalah permodalan dan keterampilan

teknis, melainkan masalah bagaimana

membangkitkan perasaan mampu mengatasi

hidup di kalangan orang miskin dengan cara

yang bermartabat dan menjaga harga-diri.

Dalam hubungan inilah, disiplin

psikologi―khususnya melalui pendekatan

psikologi sosial―dapat memberikan

sumbangan terhadap upaya pengentasan

kemiskinan.

Akibat Kemiskinan

Pembahasan mengenai akibat kemiskinan

dalam tulisan ini dibatasi pada akibat

kemiskinan terhadap berbagai fenomena

kehidupan yang dialami oleh masyarakat miskin

perkotaan sebagai akibat urbanisasi. Untuk itu

marilah kita cermati perbandingan jumlah

Page 9: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

4 MARKUM

penduduk miskin pedesaan dan perkotaan di

Indonesia dari tahun 2000 sampai 2006

(Susenas BPS, 2006, dalam Brodjonegoro,

2007) sebagaimana tampak dalam Tabel 1. Tabel 1 Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan dan Pedesaan Tahun 2000 – 2006

Jumlah Penduduk Miskin (dalam juta orang)

Tahun Perkotaan Pedesaan Total

2000 12,3 26,4 38,7 2001 8,6 29,3 37,9 2002 13,3 25,1 38,4 2003 12,2 25,1 37,3 2004 11,4 24,8 36,1 2005 12,4 22,7 35,1 2006 14,3 24,8 39,1

Berdasarkan Tabel 1, nampak bahwa secara

garis besar jumlah penduduk miskin di

pedesaan lebih besar (hampir dua kali lebih

banyak) daripada jumlah penduduk miskin di

perkotaan. Salah satu implikasi dari jumlah

penduduk miskin yang besar di pedesaan ini

adalah urbanisasi dengan segala

permasalahannya di perkotaan, seperti

pedagang kaki lima, pemukiman liar di pinggir

rel kereta api dan bantaran kali, pengemis, anak

jalanan, dan kriminalitas. Dengan perkataan

lain, kemiskinan di pedesaan dengan jumlah

besar mengakibatkan arus urbanisasi dan

urbanisasi menghasilkan masalah sosial (social

problems) di perkotaan.

Secara lebih rinci, uraian mengenai akibat

kemiskinan terhadap aspek kehidupan lain ini

menggunakan rujukan pendapat Farley (1987)

dalam bukunya American Social Problems: An

Institutional Analysis. Digunakannya rujukan

masalah sosial di Amerika Serikat, khususnya

yang berkenaan dengan kemiskinan (poverty)

karena, menurut pendapat penulis, masalah

sosial di Amerika Serikat yang dianalisis Farley

pada saat itu mempunyai banyak kesamaan atau

kemiripan dengan kondisi kemiskinan

Indonesia tahun 2000-an.

Bagaimana dan Apa Akibat Kemiskinan?

Kemiskinan berakibat pada partisipasi dan

kualitas orang miskin. Artinya, akses anak-anak

miskin terhadap lembaga pendidikan yang

bermutu sangat terbatas, di samping

kemungkinan putus-sekolah (drop-out) juga

besar. Hasil penelitian Farley (1987) di

Amerika Serikat menunjukkan bahwa prestasi

sekolah anak-anak miskin (disadvantage

children) umumnya lebih rendah daripada anak-

anak Amerika yang tergolong beruntung

(advantage children). Kondisi ini akan

berdampak di kemudian hari setelah anak-anak

miskin dengan pendidikan rendah ini memasuki

dunia kerja. Mereka akan menduduki posisi

yang juga rendah atau menjadi tenaga tidak

terampil (unskilled labour), bahkan menjadi

penganggur (jobless). Selanjutnya, bila mereka

berkeluarga, pendidikan anak-anaknya juga

akan relatif sama dengan taraf dan kualitas

pendidikan yang dialami orangtuanya.

Demikianlah siklus pendidikan seperti ini

berlangsung dari generasi ke generasi dengan

akibat pewarisan kemiskinan antar generasi.

Dinamika kemiskinan yang pengaruhnya

timbal-balik dengan pendidikan ini berlangsung

juga di Indonesia.

Hal kedua, kemiskinan juga berakibat pada

perumahan. Menurut Farley, dibandingkan

dengan warga-negara Amerika Serikat

umumnya, orang-orang miskin di perkotaan

menempati rumah yang kurang layak huni

dalam ukuran Amerika Serikat. Baik pada

Page 10: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PENGENTASAN KEMISKINAN 5

musim panas maupun musim dingin, mereka

tidak menggunakan pemanas ruangan (heater)

dan penyejuk ruangan (air-conditioner) karena

mereka tidak mampu membayar tagihan

rekening listrik. Akibatnya, kondisi rumah yang

tidak mendukung kesehatan fisik ini adalah

rendahnya tingkat kesehatan orang-orang

miskin. Masalah ini berkenaan dengan

perumahan penduduk miskin adalah banyaknya

penghuni dalam satu rumah (overcrowded)

yang disebabkan oleh dua atau tiga keluarga

tinggal dalam satu rumah, sehingga pembayaran

sewa rumah bisa ditanggung bersama.

Di beberapa kota besar di Indonesia, kondisi

perumahan orang-orang miskin seperti di

Amerika pada waktu itu juga terjadi. Meskipun

orang-orang miskin yang datang ke kota besar

ini tidak tinggal dalam satu rumah, namun

rumah petak yang mereka kontrak terletak di

gang atau lorong sempit yang gelap dikelilingi

oleh tembok-tembok pertokoan bertingkat,

sehingga sebenarnya tergolong pemukiman

sangat padat.

Ketiga, masalah lain yang berkenaan juga

dengan perumahan adalah orang miskin yang

tidak memiliki tempat tinggal (homeless).

Orang miskin yang tidak memiliki rumah ini

tinggal di taman kota, pinggir jalan, tenda atau

tempat-tempat yang disediakan oleh lembaga

sosial dan gereja. Penyebab gejala homeless ini

adalah pengangguran, tidak memiliki keluarga

yang bisa atau mau menampung dan merawat

mereka, dan dikeluarkannya pasien penyakit

jiwa dari rumah-sakit jiwa. Yang ironis,

menurut Farley, beberapa pemerintah kota

justru mengeluarkan aturan yang melarang

orang tidur di taman kota dan tempat-tempat

umum.

Di Indonesia kita dapati orang miskin atau

gelandangan yang digusur oleh petugas

keamanan dan ketertiban―karena dianggap

penghuni liar―tinggal di lahan pemerintah atau

swasta, di kolong jalan layang, dan di bantaran

kali.

Keempat, kemiskinan juga berakibat

terhadap kriminalitas. Di satu pihak, penduduk

miskin dapat menjadi korban kejahatan, seperti

dirampok atau diperas, karena mereka tidak

cukup memiliki akses terhadap perlindungan

wilayah yang mereka huni. Dalam hubungan ini

Farley mengemukakan statistik nasional

kejahatan di Amerika saat itu yang

menunjukkan bahwa korban kejahatan dua kali

lebih banyak dialami oleh orang miskin

daripada warga Amerika yang beruntung

(advantage people). Di pihak lain, orang miskin

juga dapat menjadi pelaku kejahatan yang

secara umum disebabkan oleh terbatasnya

pendapatan mereka. Berbeda dengan kejahatan

yang dilakukan oleh orang yang beruntung,

kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin ini

lebih mudah terungkap dan tertangkap

pelakunya. Hal ini disebabkan karena baik

jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya

berlangsung di tempat-tempat umum

(perampokan di toko, peredaran narkoba di

jalan umum, dan pekerja seks yang

menawarkan diri di jalan umum). Sedangkan

pola kejahatan yang dilakukan oleh mereka

yang tergolong kerah-putih (white collar

crimes) sangat berbeda dengan pola kejahatan

yang dilakukan oleh orang miskin, sehingga

secara relatif lebih sulit terungkap.

Demikianlah, menurut Farley (1987); intinya

adalah “poverty breeds crime”. Di Indonesia

perbedaan pola kejahatan antara mereka yang

berkerah putih dan orang miskin juga diduga

sama dengan pola kejahatan Amerika di atas.

Proses peradilan tindak kejahatan seperti

perampokan, penjambretan, dan pencurian

Page 11: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

6 MARKUM

berlangsung lebih cepat (karena pembuktiannya

mudah) dibandingkan dengan proses peradilan

terhadap pelaku tindak kejahatan kerah-putih,

seperti para koruptor.

Kelima, Farley juga mengemukakan akibat

kemiskinan terhadap kondisi mental. Dengan

merujuk pada beberapa hasil penelitian, terbukti

bahwa orang-orang yang berpenghasilan rendah

atau orang miskin merasa kurang bahagia (less

happiness) dan bahkan mengalami gangguan

mental yang serius, seperti depresi, skizofrenia,

dan gangguan kepribadian (Dohrenwend, 1971;

Warheit, Holzer, & Schwab, 1973, dalam

Farley, 1987). Penelitian lain juga menunjukkan

rendahnya derajat kebahagiaan orang miskin di

Amerika (Campbell, Converse, & Rogers, 1976,

dalam Farley, 1987). Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa terdapat kaitan yang erat

antara kemiskinan dengan gangguan mental.

Bagaimana hubungan antara kemiskinan

dan kesehatan jiwa di Indonesia? Penulis tidak

mempunyai pengetahuan untuk menjawab

pertanyaan ini. Namun, beberapa kasus

individual, seperti seorang siswa SMP yang

bunuh-diri disebabkan oleh orangtuanya yang

tidak mampu bayar SPP dan seorang ibu yang

membunuh anak kandungnya sendiri, kuli

bangunan yang membunuh pembantu rumah-

tangga, serta anggota Satpam yang membunuh

penghuni rumah yang justru harus dijaganya,

barangkali dapat dijadikan petunjuk mengenai

adanya hubungan antara kemiskinan dengan

stres yang dialami mereka sebagai akibat

tekanan ekonomi atau menanggung beban hidup

yang berat.

Cara Pandang Terhadap Kemiskinan

Uraian mengenai kemiskinan atau orang

miskin terdahulu pada intinya menggambarkan

sisi negatif orang miskin, seperti mempersempit

dan mencemari sungai, pedagang kaki lima

yang membuat tidak nyaman pejalan kaki dan

kemacetan lalu lintas, merusak fasilitas kota,

penjambretan, pengemis, dan lain-lain. Maka

beralasan apabila masyarakat memandang

orang miskin atau kemiskinan identik dengan

kotor, kumuh, malas, sulit diatur, tidak disiplin,

sumber penyakit, kekacauan, bahkan kejahatan.

Dengan perkataan lain, kaum miskin dan papa

ini adalah “sampah masyarakat”, sehingga

mereka tidak perlu dibantu peningkatan

kesejahteraannya karena pada diri kaum miskin

ini sudah terinternalisasikan (internalized)

“budaya-kemiskinan” yang sulit atau bahkan

tidak mungkin diubah (malas, suka jalan pintas,

sulit diajak berubah, tidak menghargai waktu,

boros, dan berorientasi ke masa kini).

Pandangan yang menyalahkan orang miskin

(blaming the poor) seperti dikemukakan di atas

ini diperkuat oleh pendapat seorang psikolog,

Richard Hernstein, yang menulis buku The Bell

Curve: Intelligence and Class Structure in

American Life (1994), yang intinya

mengemukakan taraf inteligensi (IQ) orang

miskin (Levin, Iknis, Carroll, & Bourne, 2000).

Menurut Hernstein, taraf inteligensi individu

akan meningkat sejalan dengan meningkatnya

taraf sosial-ekonomi individu yang

bersangkutan. Itulah sebabnya, menurut

Hernstein yang kemudian didukung oleh

seorang pengamat kebijakan publik bernama

Charles Murray, mengapa berbagai posisi tinggi

di dunia kerja diduduki oleh individu dengan

kecerdasan tinggi. Maka menurut mereka

berdua memang terdapat perbedaan taraf

kecerdasan antara orang miskin dan orang kaya

yang dasarnya bawaan atau genetis (Hernstein

& Murray, 1994, dalam Levin et al., 2000).

Para pakar ilmuwan sosial banyak yang

tidak menerima pendapat Hernstein dan Murray

Page 12: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PENGENTASAN KEMISKINAN 7

ini. Argumentasi bahwa ada hubungan yang

kuat antara taraf inteligensi dan keberhasilan

inidvidu di bidang ekonomi dianggap lemah

(Fraser, 1995; Fisher et al., 1996; Jacoby &

Glaubermaan, 1995, dalam Farley, 1987).

Bahkan oleh Michel & Nunley, buku the Bell

Curve dianggap sebagai fraud atau penipuan

(1997, dalam Levin et al., 2000). Hal ini karena

buku tersebut merupakan upaya politik dari

mereka (baca: orang kulit putih) yang

menduduki jabatan tinggi untuk menghentikan

atau mengakhiri affirmative action kaum

miskin.

Dari uraian mengenai pandangan terhadap

kemiskinan di atas dapat disimpulkan dua hal:

(a) terdapat pandangan yang menekankan

penyebab kemiskinan pada faktor individu

(budaya-kemiskinan dan inteligensi), padahal

individu tidak dapat dipisahkan baik dari

struktur maupun kultur masyarakat, seperti

kesempatan yang tidak sama antara orang

miskin dan orang kaya dalam hal memperoleh

akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi,

serta (b) terdapat pandangan yang menekankan

sisi negatif dalam memahami orang miskin

(malas, suka jalan-pintas, bodoh, dan lain-lain).

Padahal, menurut Herbert Gans (1972, dalam

Levin et al., 2000), terdapat fungsi positif dari

orang miskin atau kemiskinan, sebagai berikut:

(a) orang miskin melakukan pekerjaan kotor

(dirty works) dengan upah rendah, selain

pekerjaan yang mengandung bahaya, tidak

bermartabat, dan tidak diminati oleh kelompok

masyarakat yang beruntung, misalnya, tukang

sampah, tukang gali jalan, kuli bangunan tinggi,

dan tukang sapu jalan, (b) orang miskin

membeli atau menampung barang-barang bekas

yang tidak digunakan oleh orang kaya (koran

bekas, alat elektronik bekas, kipas angin, jam

tangan, dan lain-lain/tukang loak), (c) orang

miskin dijadikan acuan oleh masyarakat untuk

mengetahui posisi atau status sosial-ekonomi

anggota masyarakat yang bersangkutan: sosial

ekonomi tinggi, menengah, atau rendah, (d)

orang miskin “menyediakan” pekerjaan bagi

sejumlah posisi atau profesi yang ada; oleh

karena ada orang miskin, maka “terciptalah”

pekerjaan bagi lembaga swadaya masyarakat

(LSM), institusi pemerintah, psikolog, sosiolog,

kriminolog, dan lain-lain.

Diajukannya pendapat bahwa kemiskinan

bukan semata-mata disebabkan oleh faktor

individu―melainkan juga terdapat kontribusi

peran faktor struktur dan kultur masyarakat,

serta adanya fungsi positif kaum miskin,

dimaksudkan agar cara pandang terhadap

kemiskinan menjadi utuh. Demikian pula,

kemiskinan harus dipandang bukan semata-

mata masalah ekonomi atau keterbatasan modal

dan rendahnya keterampilan orang miskin,

melainkan juga berkenaan dengan masalah

mentalitas orang miskin. Dengan memandang

kemiskinan sebagai gejala yang utuh dan

komprehensif, maka diharapkan program

pengentasan kemiskinan akan lebih tepat

sasaran.

Pendekatan Psikologi Sosial

Sebelum mengemukakan pendekatan

psikologi sosial dalam pengentasan kemiskinan,

terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian

kemiskinan dan pengertian psikologi sosial.

Kebanyakan orang umumnya akan

mengasosiasikan kemiskinan dengan

keterbatasan uang untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari atau kebutuhan dasar.

Pengertian kemiskinan yang sifatnya pragmatis

ini memang lazim digunakan. Oleh karenanya,

konsekuensi selanjutnya adalah dibedakan

antara orang miskin yang benar-benar tidak

Page 13: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

8 MARKUM

mampu memenuhi kebutuhan dasarnya untuk

bisa bertahan hidup (kemiskinan absolut), dan

orang miskin yang tidak mampu memenuhi

kebutuhan hidupnya karena tuntutan standar

hidup (yang tinggi) dari masyarakat yang

bersangkutan (kemiskinan relatif). Sebagai

contoh, orang miskin yang tinggal di Jakarta

tergolong kemiskinan relatif karena meskipun

penghasilan orang miskin di Jakarta tergolong

“lumayan”, namun mereka sangat sulit bertahan

hidup di Jakarta karena tuntutan biaya hidupnya

yang tinggi. Seandainya ada orang miskin di

Jakarta yang penghasilannya “pas-pasan”,

sehingga tidak mungkin bertahan hidup di

Jakarta, maka mereka tergolong pada

kemiskinan absolut.

Barangkali, bila dibandingkan antara

penduduk miskin perkotaan dengan penduduk

miskin pedesaan, umumnya penduduk miskin

perkotaan tergolong kemiskinan relatif karena,

meskipun di satu pihak biaya hidup yang tinggi,

di perkotaan relatif tersedia lapangan kerja di

sektor informal (tukang parkir, pedagang

asongan, pedagang kaki-lima, dan buruh

bangunan). Sedangkan kemiskinan di pedesaan

tergolong kemiskinan absolut karena, meskipun

biaya hidup di pedesaan relatif rendah, namun

tidak tersedia lapangan kerja sebagai sumber

penghasilan. Meskipun kemiskinan dapat dibagi

menjadi kemiskinan absolut dan relatif, namun

dalam pembahasan pengentasan kemiskinan

selanjutnya tidak secara spesifik dilakukan

pemisahan atas dasar kemiskinan absolut dan

kemiskinan relatif.

Selanjutnya, berikut ini dikemukakan

mengenai pendekatan psikologi sosial,

khususnya dalam kaitannya dengan upaya

pengentasan kemiskinan. Sebelum

mengemukakan pendekatan psikologi sosial,

terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian

psikologi sosial secara singkat.

Manusia adalah mahluk sosial yang

kehidupannya tidak bisa lepas dari pengaruh

orang lain atau masyarakat. Kemampuan

berbicara dan berbahasa serta sopan-santun,

misalnya, diperoleh dalam keluarga. Demikian

pula perilaku lainnya, apakah seseorang akan

menjadi individu yang tumbuh dan berkembang

ke arah yang baik atau sebaliknya, ditentukan

atau “dibentuk” oleh lingkungan sosialnya.

Tentu saja manusia bukanlah mahluk pasif atau

semata-mata dikendalikan oleh dorongan

instingtif dan mengikuti kehendak lingkungan,

melainkan manusia bisa secara aktif merancang,

bahkan merubah dunianya.

Atas dasar ini ruang lingkup psikologi sosial

meliputi interaksi antara individu dengan

individu, individu dengan kelompok, intra-

kelompok, dan antar-kelompok. Dalam

psikologi sosial, individu diletakkan dalam

konteks sosial. Atau, tingkahlaku individu

bukan semata-mata ditentukan oleh individu,

melainkan merupakan hasil interaksi antara

individu dan lingkungannya. Secara rinci

psikologi sosial dirumuskan sebagai “the

scientific field that seeks to understand the

nature and causes of individual behavior and

thought in social situations” (Baron,

Branscombe, & Byrne, 2008: 6). Yang perlu

digarisbawahi dari definisi di atas adalah upaya

memahami tingkah laku dan pikiran individu

dalam situasi sosial. Artinya, individu akan

berperilaku berbeda pada saat di ruang kuliah,

di jalanan umum, di lingkungan keluarga, dan

di suatu resepsi pernikahan.

Dihubungkan dengan upaya pengentasan

kemiskinan, pendekatan psikologi sosial

diartikan sebagai bukan hanya melakukan

intervensi atau perubahan mind-set individu

orang miskin, melainkan melakukan juga

Page 14: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PENGENTASAN KEMISKINAN 9

Gambar 1. Lingkaran kemiskinan

Deprivation

Frustration

Dependency

Uncontrollability

Passivity

Helplessness

Depression

intervensi lingkungan yang meliputi faktor

kultural dan struktural (Levin et al., 2000).

Dengan demikian, upaya pengentasan

kemiskinan melalui pendekatan psikologi sosial

meliputi tiga tingkatan: individual, kultural, dan

struktural.

Intervensi individual

Untuk melakukan intervensi tingkat

individual dari orang miskin terlebih dahulu

perlu dipahami psikologi orang miskin

(psychology of the poor). Sebagai acuan untuk

memahami psikologi orang miskin digunakan

gagasan lingkaran kemiskinan (poverty cycle)

dari Seligman (1975, dalam Ortigas, 2000)

(lihat Gambar 1).

Dilihat dari perspektif psikologi, orang

miskin adalah orang yang mengalami kondisi

deprivasi (deprivation). Artinya, akses orang

miskin terhadap berbagai fasilitas layanan

umum (kesehatan, air bersih, sanitasi,

pendidikan, lembaga keuangan, dan lain-lain)

sangat terbatas, bahkan tertutup. Orang miskin

juga tidak bisa mengendalikan nasibnya atau

hari depannya (uncontrollability) karena, selain

merupakan kelompok minoritas, juga posisi

tawarnya (bargaining power) lemah. Sebagai

contoh, petani di pedesaan tidak bisa

menentukan harga beras sesuai dengan

kemauannya, sedangkan penjual pupuk atau

sepeda motor dapat mendikte harga komoditi

mereka kepada petani sesuai dengan yang

mereka kehendaki.

Akibat dari kondisi orang miskin yang tidak

bisa menguasai atau mengendalikan kondisi

lingkungannya (tidak memiliki posisi tawar

yang kuat, peraturan yang merugikan orang

miskin, dan harga kebutuhan pokok yang tidak

terjangkau), orang miskin menjadi tidak tahu

lagi apa yang harus dilakukan dan merasa tidak

berdaya (helpless). Selanjutnya, kondisi ini

Page 15: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

10 MARKUM

Gambar 2. Titik-titik intervensi dalam lingkaran kemiskinan

diikuti oleh sikap mereka yang pasif (passivity),

tidak acuh atau tidak peduli terhadap

lingkungan sekitarnya (apathy), dan akhirnya

orang miskin akan tetap berada dalam kondisi

deprivasi.

Atas dasar pemahaman mengenai lingkaran

kemiskinan di atas, tentulah terdapat hal-hal

yang harus dilakukan untuk merubah mind-set

orang miskin. Menurut Ortigas (2000), pada

prinsipnya, lingkaran kemiskinan ini harus

dihentikan atau tidak boleh terus berputar, yakni

dengan cara memutus lingkaran sedini mungkin

sebelum terjadi perpindahan ke kondisi lebih

lanjut. Pemutusan lingkaran kemiskinan ini

dimaksudkan agar orang miskin tidak

terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan

untuk itu mereka diyakinkan mempunyai

kemampuan atau keterampilan tertentu (self-

efficacy) yang selanjutnya akan tumbuh harga-

dirinya (self-esteem). Dengan dimilikinya

keyakinan mampu melakukan sesuatu dan harga

diri, diharapkan orang miskin akan menjadi

tahan banting dan dapat bangkit kembali (self-

reliance) tatkala orang miskin menghadapi

situasi yang sulit dan berat (lihat Gambar 2).

Intervensi Kultural

Di samping melakukan intervensi pada

tingkat individual, dalam pendekatan psikologi

sosial, perlu juga ada upaya intervensi kultural.

Hal ini karena pada orang atau kelompok yang

telah lama berada dalam kemiskinan atau

mengalami deprivasi akan terbentuk budaya-

kemiskinan yang sering diturunkan dari

generasi ke generasi. Budaya kemiskinan

digambarkan sebagai tidak adanya perencanaan

hidup dan tidak dapat menunda kesenangan,

sehingga mereka tidak memiliki tabungan atau

membuat anak mereka yang sekolah tidak bisa

menyelesaikan sekolahnya (drop-out). Maka

wajar apabila mereka miskin, karena mereka

sendiri lah yang menciptakan kemiskinan untuk

dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, orang

miskin sendiri lah yang telah menggali lubang

kubur kemiskinan untuk diri mereka sendiri.

Page 16: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PENGENTASAN KEMISKINAN 11

Persoalannya sekarang adalah bagaimana

merubah kultur kemiskinan. Mengingat pemilik

kultur kemiskinan adalah kaum miskin dengan

status sosial-ekonomi rendah, maka kultur

mereka harus diubah dengan kultur kelompok

sosial-ekonomi menengah yang lebih

bermartabat, agar mereka keluar dari kultur

kemiskinan. Dalam hubungan ini, program

penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) tidak

dapat dijadikan program jangka panjang karena

justru akan berakibat memantapkan kultur

kemiskinan. Program BLT hendaknya

dipandang sebagai “obat sakit kepala” yang

hanya sesaat menghilangkan sindrom sakit

(Muluk, 2009). Sebaliknya, upaya

menumbuhkan self-efficacy, self reliance, dan

kemandirian melalui program empowerment,

harus dijadikan prioritas dalam upaya

pengentasan kemiskinan.

Intervensi Struktural

Intervensi struktural perlu dilakukan dengan

asumsi bahwa kemiskinan bukan disebabkan

oleh karakteristik orang miskin sebagaimana

dikemukakan terdahulu (malas, suka jalan

pintas, gaya hidup boros, dan lain-lain),

melainkan disebabkan oleh struktur masyarakat

yang menghasilkan kondisi bahwa yang kaya

makin kaya dan yang miskin makin terpuruk.

Yang paling terpukul oleh kenaikan harga BBM

adalah kelompok lapisan ekonomi rendah,

sementara para pemilik pompa bensin dan

kelompok lapisan atas tertentu mengeruk

keuntungan atau setidak-tidaknya tidak

merasakan dampaknya.

Dilihat dari segi sejarah, akar kemiskinan

menurut Karl Marx, disebabkan oleh

penguasaan alat produksi oleh pemilik modal

atau kapitalis. Para kapitalis ini memaksimalkan

keuntungan dengan mengeksploitasi buruh.

Akibatnya, menurut Karl Marx, para kapitalis

secara ekonomis surplus besar, namun di lain

pihak jurang ketidakadilan (inequality) semakin

lebar.

Yang penting adalah mencari intervensi

struktural yang dapat dilakukan. Bila kita

cermati kondisi Indonesia, maka secara

struktural ekonomi Indonesia memang makin

berorientasi kapitalistik. Hal ini terlihat dari

berdirinya berbagai super-market yang

mematikan pasar tradisional, perumahan dan

apartemen mewah, serta sarana hiburan dengan

harga tiket yang sulit dijangkau, dan lain-lain.

Meskipun pemerintah telah membangun

apartemen bersubsidi, namun biayanya tetap

tidak terjangkau oleh kelompok sosial-ekonomi

menengah. Dengan demikian, intervensi

pengentasan kemiskinan harus secara struktural

(baca: political will), yakni dengan

memprioritaskan dibukanya akses orang miskin

terhadap pendidikan, kesehatan, listrik,

perumahan, air bersih, dan program welfare

lainnya. Contoh intervensi struktural yang patut

dibanggakan karena tidak menimbulkan konflik

antara Pemda Solo dan para PKL adalah upaya

walikota Solo dalam merelokasi PKL ke pasar

yang dibangun oleh Pemda Solo.

Kesimpulan dan Saran

Masalah kemiskinan merupakan masalah

besar bagi Indonesia yang jumlah penduduk

miskinnya mencapai lebih kurang 35 juta atau

kira-kira 15% dari jumlah seluruh penduduk

Indonesia. Melihat hasil pengentasan

kemiskinan selama ini yang tidak bermakna,

timbul pertanyaan: Dapatkah Indonesia

mengurangi angka kemiskinan dalam kurun

waktu enam tahun ke depan sesuai dengan

sasaran MDGs?

Page 17: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

12 MARKUM

Untuk menjawab pertanyaan tersebut

tidaklah mudah. Namun bagaimanapun, perlu

ada langkah awal yang nyata yang tidak

berpretensi menyelesaikannya secara tuntas dan

segera, melainkan berprinsip “piece-meal

problem solving” (Somantri, 2007).

Tulisan ini mengajak para pemangku

kepentingan untuk memandang kemiskinan

sebagai fenomen yang utuh yang memerlukan

pendekatan pada tingkat individual, kultural,

dan struktural. Pendekatan psikologi sosial

dalam hal ini dapat melakukan intervensi baik

individu, kultur, maupun struktur yang menjadi

penyebab kemiskinan.

Bibliografi

Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D.

(2008), Social psychology. Boston: Pearson

Education Inc.

Brodjonegoro, B. P. S. (2007). Pencapaian

MDGs dan prioritas pembangunan ekonomi

Indonesia. Depok: Panitia Lokakarya

Dewan Guru Besar Universitas Indonesia.

Farley, J.E. (1987). American social problems:

An institutional analysis. New Jersey:

Prentice Hall.

Kemiskinan bertambah. (2009, 13 Februari).

Kompas, 1 & 15.

Kusumaatmadja, S. (Ed.). (2007). Politik dan

kemiskinan. Depok: Koekoesan.

Levin, J., Iknis, K. M., Carroll, W. F., &

Bourne, R. (2000). Social problems.

Causes, consequences, interventions. Los

Angeles, California: Roxbury Publishing

Company.

Muluk, H. (2009). Mosaik psikologi politik

Indonesia. Depok: Insos Books

Ortigas, C. D. (2000). Poverty revisited. A

social psychological approach to

community empowerment. Manila: Ateneo

de Manila University Press.

Somantri, G. R. (2007). Beyond “delusion of

grandeur”: Menuju Indonesia baru

“bebas” kemiskinan. Pidato Pengukuhan

Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Sosiologi

Perkotaan. Depok: Lembaga Penerbitan FE

UI.

Understanding poverty. (2009). Ditemukembali

pada 6 April 2009, dari

http://go.worldbank.org/RQBDCTUXW0

Page 18: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PENGENTASAN KEMISKINAN 13

Page 19: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 13–28

Mempertanyakan Pemrofilan Kriminal sebagai Sebuah Ilmu Psikologis

J u n e m a n

Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah D.K.I. Jakarta

Psychology contributes to criminal profiling process. Unfortunately, after

intensive review on latest research findings, it is detected that most

criminal profiling process is not based on strong scientific assumptions.

This article explains the reasons why criminal profiling is quite a problem

for psychology as a science. The author proposes several ideas to

overcome this problem. The first idea is about the accurate understanding

of criminal profiling scientific status. The science-pseudoscience-non

science dichotomy and protoscience-science spectrum will support this

understanding. The second idea is that there are some things to be

considered for criminal profiling in order to be a prestigious discipline and

be used scientifically appropriate by scientists and practitioners of forensic

psychology and criminology.

Keywords: criminal profiling, crime action profiling, offender profiling,

crime scene, forensic psychology, signature behavior, pseudoscience,

protoscience, noumena, organized/disorganized behavior, computerized

criminal profiling

Sejak awal Maret 2009, media massa di

Indonesia ramai memberitakan kasus kematian

David Hartanto Widjaja beserta perkembangan

penanganannya oleh Kepolisian dan Peradilan

Singapura, antara lain Kompas.com (”Penyebab

tewasnya,” 2009), sebagai berikut:

.... David Hartanto Widjaja, mahasiswa asal

Jakarta, Senin (2/3), ditemukan tewas dalam

posisi tertelungkup di antara rumput dan beton

tempat jalan kaki pada selasar NTU (Nanyang

Technological University). Kematian mantan

duta Indonesia untuk olimpiade matematika

menimbulkan kontroversi, menyusul

pernyataan segera dari NTU bahwa dia bunuh

diri dengan meloncat dari lantai IV di

kampusnya. NTU. Seperti dipublikasikan

media Singapura dan banyak dikutip media di

dalam negeri pula, menyebut, sebelum

melompat, David yang sedang tertekan

kejiwaaan akibat beasiswanya dihentikan,

menyayat pergelangan tangan sendiri, setelah

menikam dosen pembimbing tugas akhirnya

di Jurusan Teknik Elektro NTU, Prof Chan, di

satu ruangan lantai V. Namun, beberapa rekan

David secara terbuka di beberapa milis

menyatakan, pernyataan NTU itu adalah

janggal antara lain karena David mereka kenal

periang, bukan tipe orang yang mudah dilanda

stres. Mereka mengharapkan aparat penegak

hukum di Singapura benar-benar menyelidik

kasus tersebut sebab bukan tidak mungkin

David adalah korban, bukan pelaku kriminal

13

Page 20: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

14 JUNEMAN

apalagi kemudian bunuh diri ....

Di samping itu, pada sebuah forum online

yang memperbincangkan kasus ini pada The

Strait Times Discussion Board, seorang peserta

diskusi dengan nickname shunhua09, menulis

(”Student stabs,” 2009), sebagai berikut:

.... Well, if I were to have my way and

conclude what I believe happened. I would

say: During the routine discussion, the Prof

told David that he isn't making good progress

with his FYP. Coupled with the fact that he

got his scholarship revoked before that, in a

fit of anger and displeasure, David could have

threatened Prof. I believe this action, IS NOT

PRE-MEDIATED and NOT PRE-PLANNED.

In that case, David did so in a moment of

anxiety. Hence, justifying the fact that he

could have been calmed the day before and

was his usual self, until the Prof talked to him,

of which, the contents of the conversation

might have triggered such a response. In the

ensuing struggle that followed, both parties

were injure. (Note: I believe its a struggle that

cause the injuries of both parties, and NOT a

planned offensive by David.) Seeing the

damage done, I believe David hurriedly left

the scene entirely due to fear, and not a

planned escape. He stumbled and climbed

over the ledge onto the bridge and sat down,

probably because he thought it was safe there.

However, due to loss of blood and his panic

state, he fell off the bridge. That is what I

believe....

Dari seluruh cuplikan di atas, diketahui

adanya sejumlah pertanyaan yang hendak

dijawab, seperti: (a) apakah David bunuh diri?

(Bila ya/tidak, mengapakah? Bagaimanakah?),

(b) apakah David membunuh profesornya?, (c)

apakah David dibunuh oleh profesornya?, (d)

apakah David mengalami kecelakaan?, dan

mungkin masih banyak pertanyaan lainnya.

Sampai dengan waktu artikel ini ditulis,

sejumlah pertanyaan tersebut belum juga

terjawab dan kasusnya masih diproses oleh

aparat hukum di Singapura. Namun, hal yang

dilakukan oleh shunhua09 merupakan

representasi dari upaya intuitif manusia untuk

mengkonstruksi ”teori-teori” kausal mengenai

perilaku manusia. Upaya tersebut dinamai oleh

Fritz Heider (1958) sebagai naïve psychology.

Menurut Heider, setiap orang adalah ”psikolog

yang naif”.

Tulisan ini tidak hendak menganalisis kasus

David Hartanto dengan teori psikologi naif

maupun dengan teori-teori atribusi kausal dari

psikologi sosial, melainkan akan mengkaji

secara kritis keilmiahan sebuah disiplin dalam

psikologi forensik yang paling mungkin

mendiskusikan dan menemukan jawab atas

sejumlah pertanyaan di atas―yakni: pemrofilan

kriminal. Hal ini menjadi semakin penting

karena banyak kasus―utamanya kasus-kasus

kriminal―yang menampakkan urgensi untuk

menggunakan disiplin ini, khususnya di

Kepolisian, dalam rangka menyelesaikan kasus-

kasus tersebut.

Apakah Pemrofilan Kriminal Itu?

Pemrofilan kriminal (criminal profiling)

merupakan pekerjaan menyimpulkan rincian

ciri-ciri fisik (tinggi dan berat badan, cacat rupa,

dan sebagainya), demografis (usia, jenis

kelamin, latar belakang etnis, dan sebagainya),

dan keperilakuan (kepribadian, termasuk

motivasi, gaya hidup, fantasi, proses seleksi

korban, serta perilaku sebelum dan prediksi

perilaku sesudah tindak kejahatan) dari

kemungkinan pelaku kejahatan berdasarkan

aksi-aksinya pada scene kejahatan (O'Toole,

1999; Snook, Gendreau, Bennell, & Taylor,

Page 21: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PEMROFILAN KRIMINAL 15

2008). Scene kejahatan meliputi tempat-tempat

potensial sejauh bukti dari sebuah tindak

kriminal–misalnya, penculikan–dapat

ditemukan, yang terdiri dari scene kejahatan

primer dan sekunder (Horswell, 2004). Scene

kejahatan primer adalah wilayah, tempat, atau

sesuatu di mana insiden terjadi atau di mana

sebagian besar atau konsentrasi yang tinggi dari

bukti-bukti kejahatan ditemukan (misalnya,

tempat terjadinya penculikan). Scene kejahatan

sekunder adalah tempat-tempat atau benda-

benda di mana bukti-bukti yang berkaitan

dengan insiden dapat ditemukan (misalnya, alat

transportasi dan rute akses yang digunakan

pelaku kejahatan untuk membawa korban

penculikan ke lokasi lain). Data scene kejahatan

dapat juga diambil dari foto-foto, laporan-

laporan penyelidik, hasil otopsi, dan

sebagainya, yang akan menyusun suatu profil

kriminal (criminal profile)―termasuk karier

kriminal (criminal career)―dari pelaku

kejahatan.

Keseluruhan proses pemrofilan kriminal

mirip dengan proses pengumpulan data dalam

penelitian kualitatif yang dikemukakan

Koentjoro (2008). Menurutnya, ada empat jenis

sumber data penelitian kualitatif, yakni subjek,

informan, written documents dan unwritten

documents. Dalam prosesnya, penggalian

data/informasi dalam penelitian kualitatif

diibaratkan sebagai sebuah simfoni (Koentjoro,

2008). Dalam hal ini, potongan atau penggalan

data yang diperoleh peneliti kualitatif ibarat

bunyi biola atau bus atau drum yang ketika

dibunyikan mungkin tidak memiliki makna

apapun; namun apabila “bunyi-bunyian”

tersebut dirangkaikan dengan data yang lain,

barulah mereka mempunyai makna. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa pelaku pemrofilan kriminal

atau pemrofil (criminal profiler) pada

hakikatnya adalah seorang yang bekerja sebagai

“peneliti kualitatif”.

Turvey (2008) membedakan antara

pemrofilan kriminal induktif dan deduktif.

Pemrofilan kriminal induktif mencakup

generalisasi berdasarkan sejumlah kecil

individu atau peristiwa dan/atau penalaran

statistik (pererataan, ekstrapolasi, korelasi, dan

sebagainya). Metode ini memiliki kelemahan

karena—berlawanan dengan asumsi statistik—

tidak ada dua kasus yang persis sama; pelaku

kriminal berpikir secara berbeda dari

kebanyakan orang, pun perilaku memiliki

makna-makna yang berbeda antar-kultur dan

wilayah. Dalam metode deduktif, pemrofil

menghasilkan sebuah profil berdasarkan

eksaminasi forensik serta rekonstruksi

keperilakuan yang hati-hati terhadap scene

kejahatan. Dalam hal ini, penekanannya antara

lain pada pengetahuan-diri pemrofil

(pengatasan bias transferensi) dan kemampuan

berpikir kritis pemrofil, beserta kemampuan

pemrofil untuk memahami kebutuhan-

kebutuhan yang sedang dipuaskan oleh setiap

perilaku dari pelaku kejahatan serta pola-pola

pelaku kejahatan. Kategorisasi Turvey di atas

memiliki kesepadanan dengan orientasi statistik

dan orientasi klinis yang dirangkum oleh

Snook, Cullen, Bennell, Taylor, dan Gendreau

(2008) berdasarkan sejumlah kajian

kepustakaan. Dalam pemrofilan kriminal yang

berorientasi statistik, pemrofil melakukan

penilaian berdasarkan analisisnya terhadap para

pelaku kejahatan yang sebelumnya telah lebih

dahulu melakukan tindakan kriminal; dalam hal

ini mereka dibandingkan keserupaannya dengan

pelaku kejahatan yang sedang diinvestigasi saat

ini. Dalam orientasi klinis, pemrofil mengambil

inspirasi/gagasan pemrofilan dari pelatihan,

pengetahuan, dan pengalaman yang

Page 22: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

16 JUNEMAN

dimilikinya.

Proses-proses dan istilah-istilah spesifik

yang berkaitan dengan pemrofilan kriminal

sangat bergantung pada latar belakang profesi

dan pelatihan dari pemrofil (Snook, Gendreau,

et al., 2008). Dalam lingkup psikologi forensik,

misalnya, digunakan istilah-istilah antara lain,

sebagai berikut: psychological profiling,

offender profiling, criminal personality

profiling (Webb, 2006). Istilah-istilah tersebut

secara umum menggambarkan bahwa pemrofil

(criminal profiler) meneliti kandungan

”psikopatologi” yang terkandung pada scene

kejahatan—yang terdiri atas indikator-indikator

keperilakuan dan psikologis sebagai hasil dari

interaksi fisik, seksual, dan verbal antara pelaku

dan korbannya, dalam hal mana indikator-

indikator ini menyusun sebuah ”cerita” yang

“ditulis” oleh pelaku, korban dan interaksi

uniknya (O'Toole, 1999).

Kontribusi Psikologi

Pemrofilan kriminal dalam lingkup kerja

FBI (Federal Bureau of Investigation) di

Amerika Serikat termasuk dalam unit kerja

Behavioral Analysis Unit (BAU), dalam mana

agen-agen yang terseleksi mengikuti kuliah-

kuliah yang dimulai dari kuliah mengenai

psikologi dan selanjutnya kuliah-kuliah spesifik

(Hits dalam Ramsland, 2008), dengan urutan

sebagai berikut: Basic Psychology, Criminal

Psychology, Forensic Science, Body Recovery,

Criminal Investigative Analysis, Death

Investigation, Threat Assessment,

Statement/document Analysis, Crimes Against

Children, Child Abduction and Homicide,

Sexual Victimization of Children / Internet

Issues, Interview and Interrogation Procedures,

Serial Murder. Sejak setahun yang lalu, dalam

sebuah petisi yang diajukan kepada American

Psychological Association dalam rangka

pengakuan profesi Psikologi Kepolisian,

pemrofilan kriminal telah diusulkan dalam

domain ”operational support” dari kompetensi

utama psikologi kepolisian (”Petition for,”

2008).

Dimulainya rangkaian kuliah BAU FBI

dengan subjek psikologi dan diusulkannya

pemrofilan kriminal sebagai salah satu

kompetensi khas psikologi kepolisian di atas

tidak mengherankan, karena, seperti dinyatakan

Turvey (2008: 125), bahwa aspek signifikan

dari pemrofilan kriminal adalah pengetahuan

mengenai perilaku manusia dan keahlian untuk

menginterpretasikan makna-makna dari

perilaku tersebut; sementara itu, ahli-ahli

psikologi dan psikiatri forensik memiliki

pemahaman dan pelatihan yang khas dalam

proses-proses mental, fisiologi, perilaku

manusia, dan psikopatologi. Psikologi

lingkungan juga berperan, sebagaimana

ditunjukkan David Canter (2003)—seorang

teoris psikologi tempat (psychology of place),

dalam bukunya, ”Mapping Murder: The Secrets

of Geographical Profiling”. Canter

menunjukkan relasi antara psikologi lingkungan

dengan kejahatan, antara lain dengan

memperlihatkan secara rinci bagaimana ruang

dan waktu berkaitan dengan aktivitas kriminal.

Selain alasan-alasan di atas, kompetensi

psikologis juga diperlukan untuk

menyimpulkan signature behavior yang

dibedakan dari modus operandi pelaku

kejahatan. Modus operandi mengindikasikan

pendidikan dan pelatihan teknis yang dimiliki

pelaku kejahatan serta tingkat pengalaman

pelaku kejahatan dalam melakukan tindak

kriminal dan dalam menghadapi sistem

peradilan; namun signature behaviors

merupakan setiap tindakan yang dilakukan

Page 23: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PEMROFILAN KRIMINAL 17

pelaku kejahatan yang tidak harus menjadi

syarat perlu bagi sebuah tindak kriminal, namun

menyatakan kebutuhan psikologis atau

emosional pelakunya (seperti: rasa tamak, balas

dendam, rasa marah, mencari untung, ingin

berbuat sadis atau perilaku tak wajar lainnya,

hasrat berkuasa, dan sebagainya) (Rogers, 2003;

Turvey, 2008). Dalam ilmu forensik komputer,

contoh modus operandi adalah menjalankan

skrip milik orang lain atau memprogram skrip

sendiri yang digunakan untuk menyerang atau

merusak sebuah komputer; sedangkan signature

behavior lebih terpersonalisasi, seperti

menandai files atau kode program dengan nama

julukan (nickname)-nya sendiri (Rogers, 2003).

Oleh karena hal-hal tersebut, profesi

kesehatan mental seperti ahli psikologi dapat

bekerja dengan baik dalam proses-proses

pemrofilan kriminal sejauh mereka telah

memperoleh pula pendidikan yang terkait

dengan investigasi dan ilmu-ilmu forensik

(Turvey, 2008), demikian pula ahli forensik

atau pun kriminolog yang telah memperoleh

pendidikan psikologi. Terdapat dua sumbangan

besar psikologi dalam penelitian pemrofilan

kriminal, sebagai berikut (Winerman, 2004):

Pertama, offender profiling, merupakan

salah satu bentuk dari psikologi investigatif

yang berasal dari karya-karya seorang ahli

psikologi terapan David Canter, pendiri

psikologi investigatif pada awal 1990-an.

Seluruh penyimpulan dalam pemrofilan ini

berbasiskan penelitian empiris (atau ”psikologi

akademis”) dan ditimbang oleh rekan sejawat

(peer-reviewed). Sebagai contoh, Canter et al.

(dalam Winerman, 2004) pernah menganalisis

data scene kejahatan dari 100 pembunuhan

beruntun yang mengindikasikan bahwa seluruh

pembunuhan menunjukkan derajat organisasi

perilaku tertentu, atau dengan perkataan lain:

tidak bersifat dikotomis (organized atau

disorganized). Perilaku terorganisasi/terencana

—seperti pemosisian atau penyembunyian

tubuh korban—merupakan ”variabel-variabel

inti” (core variables) yang cenderung muncul

dalam kebanyakan kasus dan berada bersama

dengan variabel-variabel lainnya. Namun, yang

membedakan antara pembunuh yang satu

dengan yang lainnya bukanlah jenis-jenis

perilaku disorganisasi/tak terencana-nya,

melainkan cara pelaku berinteraksi dengan

korbannya yang terbagi menjadi kategori-

kategori: melalui kontrol seksual, melalui

mutilasi, eksekusi, atau perampasan. Dalam

studi yang lain, Canter et al. (dalam Winerman,

2004), mengumpulkan data scene kejahatan dari

112 kasus perkosaan. Mereka menemukan

bahwa hal yang membedakan satu pemerkosa

dengan pemerkosa lain bukanlah jenis-jenis

pencabulan seksual dan penyerangan fisik

(dengan demikian, hal-hal ini tergolong

variabel-variabel inti), melainkan interaksi-

interaksi yang bersifat nonfisik (misalnya,

apakah pelaku mencuri dari korban, meminta

maaf kepada korban, dan sebagainya). Canter

memberikan porsi peran yang tidak signifikan

kepada ”pengalaman investigatif”, yakni

pengalaman yang dikembangkan oleh agen-

agen penegak hukum dalam melakukan

offender profiling. Menurutnya, para psikolog

seyogianya mengumpulkan data dari dasar

(grounded theory).

Kedua, crime action profiling, yang

berbasiskan pengetahuan yang dikembangkan

oleh para psikolog forensik, psikiater, dan

kriminolog berdasarkan sejumlah besar studi

terhadap pelaku pembunuhan serial, pemerkosa,

dan pelaku pembakaran. Model-model yang

digunakan sebagai panduan bagi pemrofilan

terhadap aksi kriminal, menurut Kocsis

Page 24: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

18 JUNEMAN

(Winerman, 2004) serupa dengan wawancara

terstruktur yang digunakan oleh para psikolog

klinis untuk membuat diagnosis klinis. Dalam

hal ini, pertanyaan-pertanyaan yang perlu

dikembangkan dalam rangka eksaminasi

sistematis sebelum membangun prinsip-prinsip

pemrofilan, antara lain, sebagai berikut (Kocsis

dalam Winerman, 2004): ”Jenis informasi

seperti apa yang dikandung, atau seyogianya

dikandung, oleh sebuah profil? Jenis material

kasus apa yang Anda perlukan untuk

mengonstruksi sebuah profil? Bagaimana

keberadaan atau ketidakberadaan material

mempengaruhi akurasi sebuah profil?”

Selanjutnya, menurut Kocsis (2006), profil

kriminal yang dihasilkan oleh pemrofilan

kriminal dapat dibedakan dengan profil

kepribadian (personality profile) atau profil

psikologis (psychological profile). Kocsis

menegaskan bahwa—berkebalikan dengan

pemrofilan kepribadian atau pemrofilan

psikologis yang seringkali melibatkan evaluasi

dan diagnosis terhadap pasien kriminal

(criminal patient)—pemrofilan kriminal tidak

melakukan eksaminasi atau pemeriksaan

terhadap pasien kriminal melainkan terhadap

aksi kriminal itu sendiri, yang kemudian

dianalisis dan diinterpretasikan bukti

keperilakuannya guna menghasilkan gambaran

individu yang diduga melakukan perilaku

tersebut. Dalam kaitan dengan ini, Cook dan

Hinman (1999) menjelaskan bahwa, ”Specific

suspects, who have already been identified, are

not profiled .... The focus of the analysis or

profile is the behavior of the perpetrator or

perpetrators within the crime scene.”

Pseudo- atau Protoscience?

Sekalipun di dunia cukup populer

aplikasinya, Snook, Cullen, et al. (2008)

mengingatkan bahwa pemrofilan kriminal telah

terjebak dalam praktek pseudoscientific, dalam

hal mana, meskipun penggunaannya didukung

oleh petugas kepolisian dan profesi kesehatan

mental, proses yang dijalani dan hasil yang

diperoleh merupakan ”ilusi” belaka. Bila hal ini

benar, maka status ilmiah pemrofilan kriminal

dapat disejajarkan dengan pseudosciece dan

praktek pseudoscientific lainnya, seperti

palmistri dan astrologi (Sarwono, 2000), senam

otak/brain gym (Goldacre, 2006), The Doman-

Delacato Patterning Treatment for Brain

Damage (National Council Against Health

Fraud, 2001), terapi EMDR/Eye Movement

Desensitization and Reprocessing (Carrol,

2009; Cuvelier, 2001), Craniosacral Therapy

(Hartman, & Norton, 2002), Thought Field

Therapy (TFT)/Emotional Freedom Technique

(EFT) (Barrett, 2003), analisis sidik jari

(fingerprint analysis) (Sherrer, 2004), dan

sebagainya.

Batasan ilmu semu (pseudoscience)

menurut Sarwono (2000) sebagai berikut:

... ada pula sarjana-sarjana yang mengajukan

teori-teori mengenai psikologi yang

sesungguhnya tidak didasarkan pada metode-

metode yang benar-benar ilmiah. Yang

mereka lakukan adalah menyusun

pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada dan

bisa dikumpulkan mengenai gejala-gejala

kejiwaan dan mensistematiskan pengetahuan-

pengetahuan itu. Karena pengetahuan-

pengetahuan itu sudah tersusun secara

sistematis, maka tampaknya seperti sudah

ilmiah, padahal tidak ada yang bisa dibuktikan

secara empiris metodologis. Karena itu

mereka digolongkan sebagai orang-orang

yang menggunakan ilmu semu untuk

menerangkan gejala kejiwaan.

Page 25: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PEMROFILAN KRIMINAL 19

Gambar 1. Analisis lingkup terkecil dari 39 kriteria perilaku terorganisasi/tak terorganisasi

(Kontur-kontur menunjukkan frekuensi keseluruhan).

Lilenfeld (dalam Cuvelier, 2001)

menjelaskan, ”You can usually tell [what

pseudoscience is] because there's a lot of

marketing around these treatments, but there's

no controlled evidence. Support consists of

almost all anecdotes and personal testimony”.

Sejumlah argumen yang dikemukakan oleh

pihak-pihak yang melihat pemrofilan kriminal

sebagai pseudoscience bersesuaian dengan

batasan Sarwono dan Lilenfeld di atas, sebagai

berikut:

Pertama dan utamanya, terdapat kelemahan

empiris metodologis dalam tipologi perilaku

kriminal organized/disorganized yang sampai

dengan saat ini digunakan secara luas dalam

pemrofilan kriminal (Alison, Bennell, Mokros,

& Ormerod, 2002; Canter, Alison, Alison, &

Wentink, 2004; Gladwell, 2007; Snook, Cullen,

et al., 2008).

Gladwell (2007) menggambarkan tipologi

perilaku kriminal dikotomis

organized/disorganized yang dihubungkan

dengan kepribadian pelakunya, sebagai berikut:

Dalam sebuah tindak kriminal yang

‘terorganisasi’ (organized), kejahatan

dilakukan secara logis dan terencana. Korban

telah diburu (hunted) dan dipilih, guna

memenuhi fantasi spesifik tertentu... Pelaku

mengontrol seluruh proses kejahatan ....

hampir tidak pernah meninggalkan

senjatanya. Ia dengan sangat teliti

Page 26: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

20 JUNEMAN

Gambar 2. Analisis lingkup terkecil dari 39 kriteria perilaku terorganisasi/tak terorganisasi yang

menunjukkan empat gaya interaksi pelaku kejahatan dengan korban (Kontur-kontur menunjukkan

frekuensi keseluruhan).

menyembunyikan tubuh korban. Dalam tindak

kriminal yang ‘tidak terorganisasi’

(disorganized), korban tidak dipilih secara

logis. Korban nampaknya dipilih secara acak

dan ‘diserang secara kilat’ (blitz-attacked),

dan bukan diburu secara diam-diam dan

diserang (stalked and coerced)…. Tindakan

kriminal dilaksanakan dengan sangat tidak

rapi. Korban seringkali memiliki kesempatan

melawan balik…. Lebih dari itu, pelaku

kejahatan tidak mengetahui atau berminat

akan kepribadian dari korban mereka….

Masing-masing gaya ini

[organized/disorganized] berkorespondensi

dengan sebuah tipe kepribadian. Perilaku

kejahatan yang terorganisasi dilakukan oleh

seorang yang inteligen dan fasih, memiliki

perasaan superior terhadap orang-orang di

sekelilingnya. Sedangkan, perilaku kejahatan

yang tak terorganisasi dilakukan oleh seorang

yang tidak menarik (unattractive) dan

memiliki citra diri yang buruk.

Melengkapi gagasan di atas, Douglas,

Burgess, Burgess, dan Ressler (1992)

menjelaskan:

Secara umum pelaku kejahatan terorganisasi

diduga melakukan tindak kejahatan setelah

mengalami beberapa peristiwa urgen yang

penuh stres, seperti masalah finansial,

Page 27: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PEMROFILAN KRIMINAL 21

masalah relasi antarmanusia, atau masalah

pekerjaan.... Scene kejahatannya

mencerminkan sebuah pendekatan yang

metodis dan teratur. Hal ini dipandang sebagai

konsekuensi dari pelaku kejahatan yang

memiliki keterampilan sosial dan dalam

menangnai situasi-situasi interpersonal.

Pelaku kejahatan yang terorganisasi, dengan

demikian, lebih mungkin menggunakan

pendekatan verbal terhadap korban sebelum

melakukan kekerasan .... Sebaliknya, pelaku

kejahatan yang tak terorganisasi melakukan

kejahatannya secara oportunistik. Ia tinggal

dalam jarak yang dekat dengan scene

kejahatan. Gaya penyerangannya spontan dan

scene kejahatannya berada dalam situasi

kaotik. Hal ini mencerminkan

ketidakmampuan sosial dan ketidakterampilan

interpersonal pelakunya.

Pendekatan tipologis dikotomis seperti di

atas telah dikritik sebagai psikologi yang

menyederhanakan (simplistic psychology) oleh

Gladwell (2007). Alison et al. (2002) menyebut

pendekatan tersebut sebagai naïve trait

approach yang telah mengabaikan prinsip

Person x Situasi sebagai faktor-faktor interaktif

dalam mempengaruhi suatu tindak kejahatan.

Lagipula, Canter et al. (2004) telah

menunjukkan melalui riset mereka terhadap

arsip 100 kasus pembunuhan seksual

serial―yakni pembunuhan yang melibatkan

aktivitas seksual sebagai basis dari rangkaian

aksi yang membawa pada kematian korban―di

Pusat Psikologi Investigatif, Amerika Serikat,

bahwa tidak terdapat suatu pola yang bersifat

distingtif antara perilaku terorganisasi dan

perilaku tak terorganisasi. Yang banyak terjadi

(Canter et al., 2004) adalah koeksistensi kedua

jenis perilaku tersebut (lihat Gambar 1), dan

bahwa perilaku terorganisasi dan tak

terorganisasi dapat terjadi dalam banyak varian

gaya transaksional pelaku kejahatan dengan

korban (lihat Gambar 2)—yang nampak

”inkonsisten” satu dengan yang lain; misalnya,

perilaku yang tak disorgnasasi di satu pihak

dapat merupakan perilaku yang melibatkan

mutilasi dan pengotoran (defilement) tubuh

korban, namun, di lain pihak dapat pula

merupakan perilaku yang menekankan

perampokan (ransacking) dan perampasan

(plundering) barang-barang kepunyaan korban.

Selanjutnya, dalam banyak hasil penelitian,

prediktor-prediktor perilaku kriminal yang

sudah diakui secara luas dan kuat (misalnya,

sikap dan kognisi antisosial) ternyata tidak

berkaitan samasekali dengan jenis-jenis variabel

yang selama ini difokuskan oleh pemrofil,

seperti perilaku pada scene kejahatan–apakah

terorganisasi, tak teroganisasi, atau campuran–

dan demografi pelaku kejahatan (Snook, Cullen,

et al., 2008).

Hal kedua yang menyebabkan orang

mencurigai pemrofilan kriminal sebagai

pseudoscience adalah karena keberhasilan

pemrofil kriminal dalam membuat prediksi

yang akurat mengenai pelaku kejahatan boleh

jadi tidak berbasiskan pengetahuan spesialistik

mengenai kekhasan dan keunikan

(idiosyncrasies) yang terdapat pada scene

kejahatan yang tengah dihadapi pemrofil

(Snook, Cullen, et al., 2008). Dengan perkataan

lain, dalam penelitian terkendali (controlled

research), tidak dijumpai perbedaan yang

signifikan antara kemampuan memprediksi

antara pemrofil profesional dan yang bukan

pemrofil. Polisi yang memiliki pengetahuan

yang baik dalam hal kriminologi dapat pula

mencapai tingkat keberhasilan pemrofilan

kriminal semata-mata dengan mengandalkan

informasi minimum standar (base rate).

Berdasarkan analisis kritisnya, Snook,

Page 28: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

22 JUNEMAN

Cullen, et al. (2008) menyimpulkan adanya dua

faktor utama yang saling berinteraksi yang

menyebabkan orang-orang meyakini

keberhasilan pemrofilan kriminal, kendatipun

tidak terdapat dasar-dasar teoritis dan dukungan

empiris yang kokoh (pseudoscience). Faktor

pertama adalah penyajian informasi tentang

pemrofilan kriminal kepada masyarakat (aspek

pesan/the message); faktor kedua adalah

pemrosesan informasi tersebut oleh masyarakat

(aspek pikiran/the mind). Yang termasuk faktor

pertama, antara lain: (a) penekanan yang

berlebihan terhadap kisah-kisah sukses

sejumlah pemrofil yang telah memberikan

profil akurat–yang secara prediktif telah

membantu menyelesaikan investigasi kriminal

yang sulit (hal ini diperkuat dengan anekdot-

anekdot pada media massa), sementara

kebanyakan kisah-kisah lain yang tidak sukses

tidak diungkapkan, (b) pemaparan informasi

secara repetitif bahwa pemrofilan kriminal

merupakan alat investigatif yang efektif; hal ini

diperkuat dengan sejumlah testimoni mengenai

keberhasilan pemrofilan kriminal tertentu yang

tidak divalidasi lebih lanjut secara empiris

melalui riset, dan (c) adanya gejala heuristik

keahlian (expertise heuristic). Pernyataan

seorang pemrofil dipercaya karena ia

menampakkan dirinya sebagai seorang ahli

yang memiliki kemampuan dan pengetahuan

istimewa (terlebih apabila ia pernah menjadi

saksi ahli di pengadilan), memiliki pendidikan

ilmiah formal serta pelatihan-pelatihan panjang

dan akumulatif, sehingga mampu meramalkan

karakteristik pelaku kejahatan secara akurat,

dalam hal mana keahliannya diatribusikan lebih

tinggi daripada keahlian rata-rata petugas

kepolisian biasa atau orang-orang lain yang

non-ahli.

Yang termasuk faktor kedua melibatkan

proses-proses kognitif, antara lain: (a) ilusi

korelasi dan bias konfirmasi. Dalam ilusi

korelasi, orang mempersepsikan adanya

hubungan antara prediksi pemrofil dengan

terselesaikannya kasus kriminal, semata-mata

karena sebuah profil kriminal telah diperoleh

sebelum kasus terselesaikan (after-the-fact

reasoning), padahal hubungan tersebut apabila

diteliti sesungguhnya tidak ada. Dalam bias

konfirmasi, orang mencari atau mengingat

bukti-bukti konfirmatif (prediksi yang benar

atau anekdot dalam literatur atau media

populer) yang mendukung keyakinannya akan

keberhasilan pemrofilan dan mengabaikan

dan/atau melupakan bukti-bukti kontradiktif;

(b) Efek Barnum (Barnum effect). Efek Barnum

merupakan fenomena di mana orang cenderung

menerima pernyataan-pernyataan ambigu,

samar-samar dan umum sebagai deskripsi

akurat atas kepribadiannya sendiri (Dickson &

Kelly, 1985). Dalam pemrofilan kriminal,

ditemukan efek ini, bahwa keyakinan orang

terhadap metode-metode pemrofilan kriminal

dan keahlian pemrofil menjadi semakin positif

setelah mereka dipapar dengan materi profil

yang bersifat ambigu, meskipun secara aktual

metode pemrofilan yang digunakan tidak valid

dan pemrofilnya tidak benar-benar ahli; (c)

penularan sosial (social contagion), dalam hal

mana penggunaan pemrofilan kriminal yang

diyakini efektif ”ditularkan”, misalnya, oleh

FBI di Amerika Serikat, melalui program-

program pelatihan, publikasi yang luas,

tontonan televisi, dan sebagainya; dan (d)

penyimpulan fakta berdasarkan fiksi, misalnya,

fantasi pemrofilan (profiling fantasy), seperti

tergambar dalam detektif-detektif fantastis,

seperti Augueste Dupin, Sherlock Holmes,

Hercule Poirot.

Kedua faktor tersebut saling berinteraksi

Page 29: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PEMROFILAN KRIMINAL 23

membentuk suatu siklus, seperti yang

digambarkan Kocsis (2006):

Popular culture representations and

anecdotal testimonials may artificially elevate

people’s belief in the capabilities of profiling.

These elevated beliefs may in turn lead to

misconceptions concerning the accuracy and

merit of criminal profiles. Such

misconceptions may then in turn sponsor the

continued use of profiling and perhaps lead to

even more favorable media coverage and

testimonials: thus the cycle continues.

Jadi, keyakinan orang akan keberhasilan

pemrofilan kriminal (keyakinan ini tidak harus

berarti evidence-based) dipengaruhi oleh

representasi mengenai “sukses” tersebut oleh

media massa, dan selanjutnya, keyakinan

tersebut berpengaruh terhadap frekuensi dan

intensitas penggunaan pemrofilan kriminal, dan

seterusnya.

Yang patut dicermati dalam kaitan dengan

seluruh uraian di atas adalah bahwa terdapat

satu istilah yang tidak muncul dalam tulisan

Snook, Cullen, et al. (2008) yang mengkritik

pemrofilan kriminal sebagai pseudoscience,

yakni ”protoscience”. Padahal, menurut penulis,

pengertian mengenai protoscience sangat

krusial dalam pertimbangan klasifikasi apakah

sesuatu itu science ataukah pseudoscience,

utamanya dalam perspektif prospektif. Secara

ringkas, Gay (2008) mendefinisikan

protoscience sebagai “emerging science

establishing its legitimacy”. Sudah sejak 1959,

Karl Popper menggunakan istilah protoscience

secara konseptual sebagai:

A hypothesis that has not yet been adequately

tested by the scientific method, but which is

otherwise consistent with existing science or

which, where inconsistent, offers reasonable

account of the inconsistency. It may also

describe the transition from a body of

practical knowledge into a scientific field.

Hal ini bukan berarti bahwa suatu teori yang

bertentangan dengan satu atau dua teori

sebelumnya otomatis tergolong dalam

pseudoscience. Namun, sebuah protoscience

atau science, walaupun bertentangan dengan

teori-teori tertentu, ia masih cocok dengan

sejumlah teori lainnya. Hal ini sesuai dengan

norma koherensi (norms of coherence) yang

merupakan determinan baik-tidaknya suatu

teori (Shaw & Costanzo, 2002). EMDR (Eye

Movement Desensitization and Reprocessing)

adalah sebuah contoh yang baik dari

penyelewengan fundamental yang serius

terhadap norma koherensi itu: “The theory of

EMDR clashes with scientific knowledge of the

role of eye movements” (Barret, 2003).

Berkebalikan dengan protoscience,

pseudoscience dikonsepkan sebagai “…theories

which are either untestable in practice or in

principle, or which are maintained even when

tests appear to have refuted them”

(“Pseudoscience,” 2009).

Apabila penjelasan di atas dikaitkan dengan

pemrofilan kriminal, maka nampaknya masih

tersisa ruang bagi pemrofilan kriminal untuk

menyandang status sebagai sebuah sains di

masa mendatang. Terdapat sedikitnya dua

alasan yang dapat menerangkannya:

Pertama, pembedaan yang dilakukan oleh

Canter et al. (2004)―sebagaimana juga

terungkap sebelumnya di atas―antara core

variables dan bukan core variables yang sama-

sama penting dan berguna dalam proses

pemrofilan kriminal sebenarnya lebih

merupakan upaya penyempurnaan teori

tipologis organized/disorganized yang

Page 30: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

24 JUNEMAN

dipandang usang dan memiliki kelemahan. Di

samping itu, pemrofilan kriminal juga konsisten

dengan body of knowledge yang pernah ada

sebelumnya yang relevan, yakni Prinsip

Pertukaran dari Locard (Chisum & Turvey,

2000; Turvey, 1995). Prinsip pertukaran ini

menyatakan bahwa siapa pun yang memasuki

scene kejahatan, maka ia mengalami dua hal

sekaligus, yakni mengambil sesuatu dari scene

tersebut dan meninggalkan sesuatu pada scene

yang membekas/menjejak dari dirinya.

“Sesuatu” yang dimaksud adalah benda fisik.

Telah ditunjukkan melalui sejumlah penelitian

(dalam Turvey, 1995), bahwa percabangan

psikologis (baca: pengembangan) dari prinsip

Locard, dalam rupa aplikasi prinsip-prinsip

psikologis (fantasi, disasoisasi, pengendalian,

reenactment, empati, intimasi, analisis perilaku,

dan lain-lain) terhadap bukti-bukti fisik, telah

menunjukkan hasil yang mumpuni, meskipun

harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang

ketat.

Secara operasional, Gay (2008) pernah

memberikan dua puluh empat pertanyaan—

sebagai modifikasi dari dua belas pertanyaan

Moller (1989)—guna membantu membedakan

pseudoscience dari protoscience. Moller (1989)

sendiri menempatkan pertanyaan, “Apakah

subjek/disiplin yang dibahas menunjukkan

adanya kemajuan?” (Has the subject shown

progress?) pada urutan pertama, kalau bukan

yang terpenting. Ia menjelaskan:

Banyak ilmu-ilmu semu telah ada lama sekali

namun menunjukkan kemajuan yang sedikit,

kalau bukan tidak ada kemajuan sama sekali.

Contoh yang baik dalam hal ini adalah

grafologi (analisis tulisan tangan). Ada

sejumlah teori grafologi sepanjang abad

belakangan ini, dan semua teori tersebut

sama-sama lemahnya....

Bahkan, grafologi telah masuk dalam daftar

subjek yang terdapat pada The Encyclopedia of

the Paranormal (Beyerstein, 2002). Namun

demikian, apabila indikator Moller (1989)

dikenakan pada pemrofilan kriminal, maka,

dengan memperhatikan kemajuan-kemajuan

yang dicapai oleh pemrofilan kriminal di atas,

jawaban “ya” dapat diberikan pada pertanyaan

Moller. Terlebih lagi, jawaban positif ini dapat

diperkuat dengan pengakuan Snook, Cullen, et

al. (2008) sendiri, bahwa:

…. there are signs that progress is being

made. Several individuals are attempting to

develop criminal profiling classification

systems and are going through the steps

required to validate those systems (e.g.,

Häkkänen, Lindof, & Santilla, 2004; Kocsis,

2006; Salfati, 2000). Others are taking a

bottom-up approach to profiling by

identifying individual behavior–offender

associations and the condition in which these

will arise (e.g., Goodwill & Alison, 2007).

However, this research is in its infancy and

the typologies emerging are still not used

widely in criminal profiling circles.

Unfortunately, that role is currently taken up

by classification systems that are not largely

supported by psychological science.

Hal kedua, dalam kaitannya dengan realitas

pemrofilan yang sudah dikemukakan di atas,

pendapat Koentjoro (2008) yang mengambil

inspirasi epistemologis Kantian mengenai jenis-

jenis realitas sosial dapat dirujuk. Menurutnya,

ada dua jenis realitas sosial, yaitu phenomena

dan noumena. Phenomena adalah realitas sosial

yang dapat kita observasi, realitasnya eksis, dan

dapat dijelaskan secara rasional. Sedangkan,

noumena adalah realitas sosial yang dapat kita

observasi, realitasnya ada, namun belum

mampu dijelaskan secara rasional (misalnya,

Page 31: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PEMROFILAN KRIMINAL 25

kesurupan masal). Hal ini bukan berarti bahwa

noumena tersebut tidak rasional, namun otak

manusia belum mampu menjelaskan secara

rasional (contoh: di tahun 1950-an, televisi

tanpa kabel, mesin cetak jarak jauh, dan

sebagainya, mungkin dianggap banyak orang

sebagai tidak rasional); dan mungkin saja suatu

saat noumena akan menjadi rasional. Dalam hal

bahasan tulisan ini, dapat dikatakan bahwa

pemrofilan kriminal sesungguhnya berada

dalam ketegangan antara noumena dan

phenomena. Dengan berkembang pesatnya

studi-studi ilmiah mengenenainya, pemrofilan

kriminal semakin progresif menuju pada sifat

phenomenal yang dapat diterangkan secara

ilmiah.

Demikianlah sesungguhnya terdapat

harapan bahwa pemrofilan kriminal merupakan

protoscience yang suatu waktu dapat

dikembangkan sebagai science. Harapan ini

dapat semakin diperkuat apabila kita mencoba

menjawab pertanyaan lain yang diajukan Gay

(2008), “Can you find relevant papers authored

by the proponents in the relevant refereed

scientific literature (e.g., such as on Medline

Pubmed for medical subjects)?” Penelusuran

penulis terhadap sejumlah pangkalan data jurnal

ilmiah setidaknya menunjukkan hasil-hasil yang

jauh lebih positif dalam rangka memberikan

jawaban yang optimistis terhadap pertanyaan

tersebut dengan kata kunci “criminal profiling”

daripada, misalnya, “graphology”,

“handwriting analysis”, “brain gym”, dan

sejenisnya. Selanjutnya, lebih banyak

ditemukan hasil-hasil temukembali yang

mutakhir sekaligus apresiatif-ilmiah terhadap

pemrofilan kriminal daripada terhadap contoh-

contoh ilmu dan praktek yang telah

diidentifikasikan sebagai pseudoscience

sepanjang tulisan ini.

Kesimpulan dan Saran

Pemrofilan kriminal merupakan sebuah alat

forensik yang dapat dipelajari dan digunakan

oleh siapa saja, termasuk oleh psikolog

forensik. Kompetensi dalam psikologi ternyata

turut memegang peran penting dalam sukses

atau tidaknya pemrofilan kriminal. Sejauh ini,

banyak profesi telah mengambil manfaat—

menurut persepsinya masing-masing—dari

pemrofilan kriminal, termasuk profesi

kesehatan mental, seperti psikolog dan

psikiater. Kendati demikian, popularitas

aplikasi pemrofilan kriminal tidak serta-merta

menunjukkan bahwa disiplin ini sudah jelas dan

kuat kedudukan keilmuannya. Berdasarkan

seluruh uraian di atas nampak bahwa status

ilmiah pemrofilan kriminal sampai dengan saat

ini masih “kontroversial”. Menurut penulis,

kontroversi tersebut lebih disebabkan karena

tarik-menarik perspektif untuk mengambil

posisi apakah pemrofilan kriminal saat ini

sesungguhnya merupakan protoscience ataukah

pseudoscience, dan bukan dalam hal

penggolongan kedalam ranah dikotomis “atau

pseudoscience atau science”.

Pemrofilan kriminal, dan disiplin psikologi

forensik lainnya―seperti yurisprudensi

terapeutik (Juneman, 2008)―khususnya di

Indonesia, belum memperoleh penghargaan

yang layak. Namun demikian, penulis telah

menunjukkan bahwa pemrofilan kriminal

memiliki peluang dan masa depan untuk

tumbuh dan berkembang sebagai sebuah ilmu

psikologis, dan bahwa hal ini perlu dikawal

dengan sikap dan penggunaan kritis terhadap

pemrofilan kriminal secara berkelanjutan. Di

samping itu, apabila pemrofilan kriminal

hendak berjaya, hal-hal berikut perlu

dipertimbangkan: (a) melakukan penelitian-

penelitian lebih lanjut (search and re-search)

Page 32: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

26 JUNEMAN

yang berkenaan dengan validitas dan reliabilitas

dari pemrofilan kriminal, (b) di era teknologis

global sekarang ini, sudah saatnya pemrofil

turut menggunakan program komputer dengan

sistem fuzzy logic yang mampu menangani

beragam dimensi [non-linear] dari pemrofilan

kriminal (lihat, misalnya, “Match'em: Using,”

2002); dalam hal ini, penelitian validitas

pemrofilan dapat juga diteliti secara masif, serta

(c) pemrofilan kriminal sebagai bagian dari

penegakan hukum hendaknya dipahami dalam

perspektif yang jauh lebih visioner. Maksudnya,

pemrofilan kriminal tidak hanya bertujuan

mendeteksi, memahami suatu peristiwa

kejahatan, tetapi juga menurunkan tingkat

kejadian kejahatan atau berfungsi preventif

(Cook & Hinman, 1999; Harcourt, 2007). Hal

ini mengingat bahwa kedua tujuan tersebut

dapat berkonflik atau bersifat paradoksal,

sebagaimana ditunjukkan oleh Harcourt (2007:

124). Oleh karena itu, di samping pemrofilan

kriminal itu sendiri perlu direvisi secara kontinu

guna memenuhi secara memuaskan tujuan

pertama, maka perlu adanya semacam jembatan

proses atau aktivitas pengiring agar tujuan

kedua juga tercapai.

Bibliografi

Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., &

Ormerod, D. (2002). The personality

paradox in offender profiling: A theoretical

review of the processes involved in deriving

background characteristics from crime

scene actions. Psychology, Public Policy,

and Law, 8(1), 115-135.

Barrett, S. (2003). Mental help: Procedures to

avoid. Ditemukembali pada 18 Februari

2009, dari

http://www.quackwatch.org/01QuackeryRel

atedTopics/mentserv.html

Beyerstein, B. L. (2002). How graphology fools

people. Ditemukembali pada 18 Februari

2009, dari

http://www.quackwatch.org/01QuackeryRel

atedTopics/Tests/grapho.html

Canter, C. (2003). Mapping murder: The

secrets of geographical profiling. UK:

Virgin Books.

Canter, D. V., Alison, L. J., Alison, E., &

Wentink, N. (2004). The

organized/disorganized typology of serial

murder: Myth or model? Psychology, Public

Policy, and Law, 10(3), 293–320.

Carrol, R. T. (2009). From abracadabra to

zombies: Eye movement desensitization and

reprocessing (EMDR). The Skeptic’s

Dictionary. Ditemukembali pada 18

Februari 2009, dari

http://skepdic.com/emdr.html

Chisum, W. J., & Turvey, B. E. (2000).

Evidence dynamics: Locard's exchange

principle & crime reconstruction. Journal of

Behavioral Profiling, 1(1).

Cook, P. E., & Hinman, D. L. (1999). Criminal

profiling: science and art. Journal of

Contemporary Criminal Justice, 15, 230-

241.

Cuvelier, M. (2001). The pursuit of

pseudoscience. Psychology Today, Jul/Aug

2001, Article ID: 2141. Ditemukembali

pada 18 Februari 2009, dari

http://www.psychologytoday.com/articles/pt

o-20010701-000014.html

Dickson, D. H., & Kelly, I. W. (1985). The

Barnum Effect in personality Assessment: A

review of the literature. Psychological

Reports, 57, 367-382.

Douglas, J. E., Burgess, A. W., Burgess, A. G.,

& Ressler, R. K. (1992). Crime

classification manual: A standard system

Page 33: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PEMROFILAN KRIMINAL 27

for investigating and classifying violent

crime. New York: Simon and Schuster.

Gay, J. (2008). Veterinary medicine and the

philosophy of science. Ditemukembali pada

18 Februari 2009, dari

http://www.vetmed.wsu.edu/courses-

jmgay/EpiPhil.htm

Gladwell, M. (2007). Dangerous minds. The

New Yorker; Dept. of Criminology, 83(35),

36.

Goldacre, B. (2006). Brain gym: Name &

shame. Ditemukembali pada 18 Februari

2009, dari

http://www.badscience.net/2006/03/the-

brain-drain/

Harcourt, B. E. (2007). Against prediction:

Profiling, policing, and punishing in an

actuarial age. USA: University of Chicago

Press.

Hartman, S. E., & Norton, J. M. (2002,

November). Craniosacral therapy is not

medicine. Phys Ther, 82(11), 1146-1147.

Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari

http://www.ptjournal.org/cgi/content/full/82

/11/1146

Heider, F. (1958). The psychology of

interpersonal relations. New York: Wiley.

Horswell, J. (Ed.). (2004). The practice of crime

scene investigation. London: CRC Press.

Juneman. (2008). Yurisprudensi terapeutik:

Peran integratif psikologi dalam proses

hukum untuk melayani kesejahteraan

pribadi klien hukum. Jurnal Kajian Ilmiah

Universitas Bhayangkara Jakarta Raya,

9(3), 908-922.

Kocsis, R. N. (2006). Criminal profiling:

Principles and practice. New Jersey:

Humana Press.

Koentjoro. (2008). Materi kuliah metode

penelitian kualitatif. Tidak diterbitkan.

Match'em: Using fuzzy logic to profile

criminals. (2002). Ditemukembali pada 18

Februari 2009, dari

http://ieeexplore.ieee.org/xpl/freeabs_all.jsp

?arnumber=616386

Moller, L. (1989). Pseudoscience or

Protoscience? The Newsletter of The North

Texas Skeptics, 3(3). Ditemukembali pada

18 Februari 2009, dari

http://www.ntskeptics.org/1989/1989mayju

ne/mayjune1989.htm

National Council Against Health Fraud. (2001).

Pseudoscientific psychological therapies

scrutinized. NCAHF news, 24(4).

Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari

http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html

O'Toole, M. E. (1999). Criminal profiling: The

FBI uses criminal investigative analysis to

solve crimes. Corrections Today, 61(1), 44-

46.

Penyebab tewasnya David ditentukan Coroner

Court. (2009). Kompas.com. Ditemukembali

pada 22 Maret 2009, dari

http://internasional.kompas.com/read/xml/2

009/03/19/1420565/Penyebab.Tewasnya.Da

vid.Ditentukan.Coroner.Court

Petition for the recognition of police

psychology as a proficiency in professional

psychology. (2008). Ditemukembali pada 18

Februari 2009, dari

http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police

%20Psychology%20Proficiency%20Petitio

n-Final.pdf

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific

discovery. Tenth Impression (Revised)

1980. London: Hutchinson.

Pseudoscience. (2009). Wikipedia.

Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Pseudoscience

Ramsland, K. (2008). Criminal profiling: Part 1

Page 34: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

28 JUNEMAN

history and method. Ditemukembali pada 18

Februari 2009, dari

http://www.trutv.com/library/crime/criminal

_mind/profiling/history_method/new_22.ht

ml

Rogers, M. (2003). The role of criminal

profiling in the computer forensics process.

Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari

http://www2.tech.purdue.edu/cit/Courses/CI

T556/readings/Profile-Rogers.pdf

Sarwono, S. W. (2000). Berkenalan dengan

aliran-aliran dan tokoh-tokoh psikologi.

Jakarta: Bulan Bintang.

Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-

teori psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono,

Penerj. & Peny.). Jakarta: RajaGrafindo

Persada. (Karya asli diterbitkan tahun 1970)

Sherrer, H. (2004). That’s not my fingerprint,

your honor. Justice: Denied, 25, 11.

Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari

http://www.justicedenied.org/issue/issue_25

/brandon_mayfield.html

Snook, B., Gendreau, P., Bennell, C., Taylor,

P. J. (2008). Criminal profiling. Skeptic,

14(2), 42-47,80.

Snook, B., Cullen, R. M., Bennell C., Taylor, P.

J., & Gendreau, P. (2008). The criminal

profiling illusion: What's behind the smoke

and mirrors? Criminal Justice and

Behavior, 35, 1257-1276.

Student stabs prof, jumps. (2009). The Strait

Times Discussion Board. Ditemukembali

pada 6 Maret 2009, dari

http://comment.straitstimes.com/showthread

.php?t=17387&page=15

Turvey, B. E. (1995). The Impressions of a

man: An objective forensic guideline to

profiling violent serial sex offenders.

Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari

http://www.criminalprofiling.ch/article1.ht

ml

Turvey, B. E. (2008). Criminal profiling: An

introduction to behavioral evidence analysis

(3th ed.). London: Academic Press.

Webb, D. (2006). What is forensic psychology?

All about forensic newsletter 2.

Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari

http://www.all-about-forensic-

psychology.com/what-is-forensic-

psychology.html

Winerman, L. (2004). Criminal profiling: the

reality behind the myth. Monitor on

Psychology, 35(7), 66–69.

Page 35: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PEMROFILAN KRIMINAL 29

Page 36: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 29–38

Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar di Jakarta

Eunike Sri Tyas Suci

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta

The purpose of this research was to describe the snacking behavior among

school children in Jakarta. It was already known that the pupils are

prominent consumers of unhealthy snack widely sold near schools. The

research method used was quantitative cross-sectional and the population

of this study was the pupils of eight elementary schools in Jakarta. Using

the purposive random sampling, 400 research respondents were recruited

and it was found that their parents give them some pocket money about

1.000 rupiah to 5.000 rupiah per day. The research results showed that

siomay (a type of dim sum) and batagor (fried tofu and meat balls) are

two favorite snacks for the pupils and they usually buy them in their

school's canteen. This finding was quite relieving, but we should worry

that there are still many pupils who prefer buying snacks and food from

the vendors who sell snacks out of the school yard to those who sell inside

the school yard. Further, the research found that 36% of the respondents

like food with tomato or chilly sauce.

Keywords: snacking behavior, school children, elementary school pupil,

healthy behavior

Makanan dan jajanan sekolah merupakan

masalah yang perlu menjadi perhatian

masyarakat, khususnya orangtua, pendidik, dan

pengelola sekolah, karena makanan dan jajanan

sekolah sangat berisiko terhadap cemaran

biologis atau kimiawi yang banyak

mengganggu kesehatan, baik jangka pendek

maupun panjang anak sekolah. Penelitian

Badan Pengawas Obat dan Makanan di Jakarta

menemukan kenyataan bahwa dari 800

pedagang yang berjualan di 12 sekolah, 340

menjual jajanan yang mengandung zat kimia

berbahaya (“Intaian maut,” 2005). Survei lain

yang dilakukan oleh POM pada tahun 2004

melibatkan ratusan sekolah dasar di seluruh

Indonesia dan menampung sekitar 550 jenis

makanan yang diambil dari sampel pengujian.

Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 60%

jajanan anak sekolah tidak memenuhi standar

mutu dan keamanan. Disebutkan bahwa 56%

sampel mengandung rhodamin dan 33%

mengandung boraks (”Jajanan pembawa,”

2004). Pada tahun 2007, POM melakukan

survei kembali dengan melibatkan 4.500

sekolah di Indonesia dan membuktikan bahwa

45% jajanan anak berbahaya (“Jajanan anak,”

2008). Mariani dari Pusat Pengembangan

Kualitas Jasmani Departemen Pendidikan

29

Page 37: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

30 SUCI

Nasional mengakui bahwa selama ini masih

banyak jajanan sekolah yang kurang terjamin

kesehatannya dan berpotensi menyebabkan

keracunan ("Jajanan sekolah," 2009).

Berkaitan dengan jenis dan efek zat kimia

berbahaya yang sering ditemukan dalam bahan

makanan, Badan POM mengungkapkan bahwa

berbagai bahan kimia yang umum digunakan

pada bahan makanan antara lain formalin,

rodhamin, methanil yellow, dan boraks.

Disebutkan bahwa formalin yang merupakan

bahan pengawet mayat ternyata digunakan

untuk mengawetkan bahan makanan, antara lain

mi, tahu, ikan asin, dan ikan basah. Bahan

kimia ini sangat berbahaya karena bisa

menimbulkan kematian akibat rusaknya otak,

hati, jantung, dan iritasi pada saluran

pernapasan ("Intaian maut," 2005).

Dengan banyaknya makanan yang

mengandung bahan kimia berbahaya di pasaran,

kantin-kantin sekolah, dan penjaja makanan di

sekitar sekolah merupakan agen penting yang

bisa membuat siswa mengonsumsi makanan

tidak sehat. Sebuah survei di 220 kabupaten dan

kota di Indonesia menemukan hanya 16%

sekolah yang memenuhi syarat pengelolaan

kantin sehat ("Jajanan sekolah," 2009).

Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah

kenyataan bahwa makanan jajanan ini

menyumbang energi bagi anak sekolah

sebanyak 36%, protein 29%, dan zat besi 52%

(Guhardja, dkk., dalam Februhartanty &

Iswarawanti, 2004). Dengan demikian, terkait

dengan masalah jajan anak sekolah, merupakan

tantangan besar bagi pemerintah dan pengelola

sekolah untuk memperhatikan bagaimana

asupan gizi siswa sekolah tercukupi tanpa harus

mengonsumsi jajanan di lingkungan sekolah,

apabila memungkinkan.

Melihat kenyataan bahwa sebagian besar

anak sekolah jajan di kantin sekolah atau di

penjual makanan sekitar sekolah, peneliti ingin

melihat gambaran perilaku jajan anak sekolah.

Hal ini penting sekali karena “hanya” dengan

kebiasaan jajan makanan yang tidak sehat,

banyak anak sekolah yang akan mengalami

hambatan dalam perkembangannya. Anak usia

sekolah adalah investasi bangsa yang harus

dijaga dan dipelihara untuk menjadi penerus

bangsa. Kualitas bangsa di masa depan sangat

tergantung pada kualitas anak-anak saat ini.

Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia

sejak dini. Untuk memelihara perkembangan

anak secara optimal, pemberian nutrisi dan

asupan makanan yang adekuat pada anak perlu

mendapat perhatian secara serius.

Berkaitan dengan perilaku jajan anak

sekolah, beberapa hal yang perlu diteliti antara

lain adalah seberapa besar anak sekolah dasar

sering menerima uang saku dari orangtua,

jumlah nominal yang diterima secara rutin, serta

bagaimana ia membelanjakannya (untuk jajan,

ditabung, beli keperluan sekolah, beli barang-

barang yang sedang tren). Jumlah nominal

yang diterima anak sekolah juga perlu diketahui

untuk dibelanjakan apa saja. Apabila mereka

membelanjakannya untuk jajan, maka apa saja

jenis makanan favorit yang mereka beli, serta

mengapa mereka memfavoritkan makanan

tersebut. Hal ini penting untuk diketahui karena

masalah kesehatan sangat erat kaitannya dengan

perilaku sehat individu itu sendiri.

Dengan mengetahui pola perilaku jajan anak

sekolah dasar, para pengelola sekolah bisa lebih

memusatkan perhatiannya untuk meningkatkan

kualitas makanan pada jenis makanan tertentu

yang beredar di kantin sekolah. Apabila

ditemukan bahwa jajanan favorit anak sekolah

ternyata justru dijual di luar kantin sekolah,

Page 38: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PERILAKU JAJAN 31

para pengelola sekolah diharapkan untuk

membuat kebijakan tertentu terhadap penjual

makanan yang bertebaran di luar lingkungan

sekolah. Juga apabila ternyata sebagian besar

uang saku anak sekolah dibelanjakan untuk

makanan, pihak sekolah perlu mengantisipasi

untuk meningkatkan mutu jajanan yang beredar

di kantin maupun di lingkungan sekolahnya.

Lebih jauh, perlu adanya pendidikan khusus

tentang bagaimana mengelola uang saku yang

diberi oleh orangtua, serta memanfaatkannya

secara lebih optimal. Salah satu contoh yang

penulis ketahui adalah melalui siaran

wawancara terhadap anak-anak sekolah oleh

Metro TV ketika terjadi tsunami di Aceh pada

2005, dalam hal mana beberapa anak sekolah

yang biasa mengumpulkan uang sakunya dalam

‘celengan’ (tabung, umumnya dari keramik

berbentuk tertentu yang biasa dipakai untuk

memasukkan koin)―untuk membeli barang

yang mereka ingin/butuhkan saat sudah

terkumpul―ketika terjadi tsunami,

menyerahkan ‘celengan’ tersebut seutuhnya ke

posko yang menerima bantuan untuk korban

tsunami.

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk

memperoleh gambaran perilaku jajan murid

sekolah dasar, karena tanpa ada demand dari

murid sekolah dasar, tentu kantin atau penjaja

makanan di sekitar sekolah tidak akan

berlomba-lomba untuk menjual makanan yang

menarik minat anak sekolah.

Secara khusus peneliti ingin mengetahui

beberapa hal, antara lain: (a) pola perilaku

keluarga murid sekolah dasar: kebiasaan

orangtua memberi uang jajan secara rutin,

jumlah rupiah yang diterima setiap hari, alasan

orangtua memberi uang jajan, mengapa tidak

memberi bekal makan, (b) pola perilaku murid

sekolah dasar membelanjakan uang saku yang

diterima orangtuanya: berapa yang ditabung,

mengapa tidak menabung, apa saja yang dibeli

dengan uang saku tersebut, serta (c) pola

perilaku jajan murid sekolah dasar (ditanyakan

hanya apabila murid sekolah dasar menyatakan

bahwa uang saku biasa dibelanjakan untuk beli

makan jajanan di sekolah): apa yang paling

sering dibeli, mengapa, dimana didapatkan,

bagaimana kemasannya, bagaimana

mengonsumsinya (cuci tangan dulu, diambil

dengan tangan dari pembungkus, dan lain-lain).

Gambaran perilaku jajan murid sekolah

dasar ini merupakan informasi yang sangat

penting guna meningkatkan kualitas makanan

yang ditawarkan di lingkungan sekolah dan

mencegah terjadinya infeksi dan/atau

keracunan. Gambaran ketiga pola perilaku

yang akan diteliti tersebut merupakan informasi

dasar bagi para pimpinan Sekolah Dasar untuk

mengembangkan kebijakan sekolah yang lebih

komprehensif berkaitan dengan perilaku jajan

murid sekolah dasar di sekolahnya.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah

seluruh siswa sekolah dasar di sekolah-sekolah

dasar di Jakarta sesuai dengan sekolah yang

akan digunakan oleh Tim Jakarta in Focus

Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya. Ada

delapan sekolah dasar yang digunakan dalam

penelitian ini, yaitu: (a) Sekolah Dasar Don

Bosco, (b) Sekolah Dasar Negeri Cipulir 011

Pagi, (c) Sekolah Dasar St. Fransiskus Asisi, (d)

Sekolah Dasar Santo Lukas Penginjil, (e)

Sekolah Dasar Negeri 01 Pagi Kelapa Gading

Timur, (f) Sekolah Dasar Negeri Gandaria

Selatan 01 Pagi, (g) Sekolah Dasar Negeri

Mampang Prapatan 02 Pagi, dan (h) Sekolah

Page 39: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

32 SUCI

Dasar Negeri Pecenongan Pulo 07 Pagi.

Sampel penelitian ini adalah siswa sekolah

dasar kelas V dari sekolah yang sudah dipilih.

Teknik pengambilan sampel menggunakan

purposive random sampling, di mana pada

setiap sekolah diambil tiga kelas (dari semua

kelas V) secara acak. Dengan jumlah sekitar 40

murid per kelas, diharapkan diperoleh sampel

sekitar 950 siswa. Alasan utama memilih

sampel dengan siswa kelas V adalah karena

mereka telah mengenal lingkungan sekolahnya

cukup lama. Peneliti tidak mengambil siswa

kelas VI karena mereka dalam persiapan ujian.

Peneliti juga tidak mengambil siswa kelas IV

atau di bawahnya, karena metode kuesioner

kurang tepat untuk mereka sehingga

membutuhkan waktu lebih lama. Analisis

penelitian ini menggunakan analisis deskriptif

dan tabulasi-silang dengan menggunakan

program komputer SPSS.

Berkaitan dengan ethical clearance, peneliti

menyadari bahwa subyek penelitian adalah

anak-anak dibawah usia 18 tahun, sehingga

peneliti perlu mendapat ijin dari orangtua murid

untuk mengisi formulir yang akan diberikan.

Untuk itu, seminggu sebelum menyebarkan

kuesioner, terlebih dahulu peneliti membagikan

lembar informasi tentang penelitian yang akan

dilakukan dan pernyataan orangtua yang

mengijinkan anaknya untuk mengisi kuesioner

tersebut. Peneliti hanya meminta murid untuk

mengisi kuesioner penelitian pada mereka yang

telah mengembalikan lembar tanggapan yang

telah ditandatangani orangtuanya.

Hasil dan Pembahasan

Dari sekitar 600 kuesioner yang disebarkan,

peneliti berhasil mengumpulkan 432 kuesioner

yang kembali. Dari jumlah itu, lebih dari

separuhnya adalah laki-laki (n = 227; 53%).

Tabel 1 memaparkan distribusi frekuensi

variabel-variabel latar belakang sampel

penelitian, yaitu jenis kelamin, usia, dan nama

sekolah. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Latar Belakang Responden (N = 432)

Karakteristik Jumlah % Jenis kelamin

Laki-laki 227 52,5 Perempuan 202 46,8 Missing 3 0,7

Usia

6 - 9 tahun 34 7,9 10 tahun 339 78,5 11 tahun ke atas 55 12,7 Missing 4 0,9

Nama sekolah

SD Don Bosco 92 21,3 SDN Cipulir 011 Pagi 34 7,9 SD St. Frans. Asisi I 90 20,8 SD Santo Lukas

Penginjil 30 6,9

SDN 01 Pagi Kelapa Gading Timur

63 14,6

SDN Gandaria Selatan 01 Pagi

58 13,4

SDN Mampang Prapatan 02 Pagi

39 9,0

SDN Pecenongan Pulo 07 Pagi

26 6,0

Berkaitan dengan usia, nampak sekali

bahwa mereka mengelompok pada satu usia,

yaitu usia 10 tahun (n = 339; 78,5%). Sisanya,

ada 55 anak yang berusia 11 tahun ke atas

(12,7%) dan 34 anak berusia 6–9 tahun (7,9%).

Pengelompokan pada usia 10 tahun disebabkan

karena peneliti menyebarkan kuesioner pada

anak-anak yang berada di kelas V. Mereka yang

umurnya 11 tahun ke atas tentu ada

kecenderungan bahwa mereka pernah

Page 40: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PERILAKU JAJAN 33

mengulang kelas sebelumnya.

Tabel 1 juga menunjukkan distribusi

frekuensi siswa SD pada setiap sekolah dasar

yang terpilih untuk diteliti. Penelitian ini

dilakukan pada 3 sekolah dasar swasta dan 5

sekolah dasar negeri. Untuk sekolah dasar

swasta, yaitu Don Bosco, St. Fransiskus Asisi 1,

dan Santo Lukas Penginjil, total jumlah

responden penelitian adalah 212 murid, atau

49% dari total sampel penelitian. Hal ini

merupakan salah satu mengapa hanya dipilih

tiga sekolah dasar swasta. Sebaliknya, untuk

lima sekolah dasar negeri yang berpartisipasi

dalam penelitian ini, total sampel yang didapat

adalah 220, atau sekitar 51%. Dengan demikian

diharapkan bahwa ada jumlah yang

proporsional antara sekolah dasar swasta dan

negeri, supaya tidak terjadi bias.

Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui

apakah responden menerima uang saku setiap

berangkat ke sekolah. Hal ini penting untuk

diketahui karena ada kemungkinan bahwa

kebanyakan anak sekolah menerima uang saku

(uang jajan). Tabel 2 menunjukkan bahwa

sebagian besar responden (93%) mengakui

bahwa mereka menerima uang saku. Tabel

tersebut memperlihatkan bahwa 73% orangtua

memberikan uang saku pada anaknya setiap

hari (5–6 hari seminggu). Di samping itu,

sekitar 11% orang tua memberikan uang saku

satu atau dua kali seminggu, dan satu responden

mengakui mendapatkannya sebulan sekali.

Dalam hal ini, sangat mungkin orangtua

memberi uang saku dalam jumlah yang cukup

besar untuk dibelanjakan selama periode

tertentu. Di samping tidak merepotkan, sistem

ini mendidik anak untuk belajar bagaimana

mengelola uang sakunya.

Tabel 2 Frekuensi Menerima Uang Saku (N = 432)

Setiap berangkat sekolah mendapat uang saku

Jumlah %

1–2 kali seminggu 48 11,13–4 kali seminggu 37 8,65–6 kali seminggu 314 72,7Sebulan sekali 1 0,2Tidak pernah 29 6,7Missing 3 0,7

Lebih jauh, Tabel 2 juga menunjukkan

bahwa ada 29 responden (6,7%) yang

menyatakan tidak pernah menerima uang saku.

Hal yang menarik adalah kenyataan bahwa

alasan sebagian besar responden yang tidak

pernah menerima uang saku adalah karena

mereka membawa bekal dari rumah. Hanya

beberapa responden yang menyatakan bahwa

orangtua/wali tidak memberi, orangtua khawatir

sakit perut, atau alasan lainnya.

Oleh karena analisis selanjutnya berkait

dengan perilaku jajan anak sekolah, maka

peneliti hanya menggunakan sampel pada siswa

sekolah dasar yang mendapat uang saku, yaitu

berjumlah 400 orang. Salah satu alasan utama

anak membeli makanan di sekolah adalah

karena mereka tidak membawa bekal dari

rumah. Ternyata, 156 siswa atau 39% dari

responden menyatakan bahwa mereka

membawa bekal makan siang dari rumah. Oleh

karena membawa bekal makan merupakan

pilihan terbaik dalam mengonsumsi makan,

peneliti tertarik mengapa sebagian besar siswa

tidak membawa bekal makan siang. Tabel 3

menunjukkan ada dua alasan utama, yaitu: (a)

responden selalu terburu-buru, dan (b)

orangtua/wali juga sangat sibuk, kemungkinan

besar untuk mempersiapkan diri berangkat ke

kantor. Di samping itu, alasan lain responden

tidak membawa bekal adalah karena teman-

temannya tidak ada yang bawa, malu (karena

Page 41: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

34 SUCI

merasa tidak lazim), dan karena sudah punya

uang saku.

Untuk responden yang menerima uang saku,

jumlahnya sangat bervariasi, dengan rentang

dari yang paling rendah, yaitu Rp 1.000,00,

sampai dengan yang paling tinggi, yaitu Rp

100.000,00. Tabel 4 menampilkan besaran

nominal uang saku yang diterima oleh

responden. Dalam tabel ini, nampak sekali

bahwa 326 siswa (82%) melaporkan bahwa

mereka menerima uang saku dengan kisaran Rp

1.000,00 sampai dengan Rp 5.000,00. Tabel 3 Alasan Responden Tidak Membawa Bekal dari Rumah (N = 400)

Alasan tidak bawa bekal Jumlah % Saya selalu terburu-buru 88 22,0Orangtua/wali sangat sibuk 88 22,0Malu 15 3,8Teman-teman tidak ada yang

membawa 17 4,3

Bawa uang jajan/saku 2 0,5Missing 190 47,5

Tabel 4 Besaran Nominal Uang Saku yang Diterima Responden (N = 400)

Jumlah uang saku Jumlah % Rp 1.000,00–5.000,00 326 81,5Rp 5.500,00–10.000,00 53 13,3Rp 11.000,00–20.000,00 8 2,0Rp 21.000,00 ke atas 7 1,8Missing 6 1,5

Jumlah nominal sekitar Rp 1.000,00 sampai

Rp 5.000,00 ini sangat berhubungan dengan

pola orangtua/wali memberikan uang saku pada

anaknya secara harian dan diharapkan jumlah

tersebut cukup untuk membeli makanan atau

jajanan di sekolah atau sekitar sekolah. Tabel

5 menjelaskan lebih jauh tentang pendapat

responden berkaitan dengan alasan

orangtua/wali memberi uang saku/jajan. Tabel

tersebut menunjukkan secara jelas bahwa

sebagian besar, yaitu 361 siswa atau 90%

responden, menyatakan bahwa orangtua mereka

memberi uang saku/jajan agar mereka bisa

makan ketika lapar. Tabel 5 Alasan Orangtua/wali Memberi Uang Saku/jajan (N = 400)

Alasan orangtua/wali Jumlah % Agar bisa makan ketika lapar 361 90,3Agar bisa seperti teman lain 12 3,0Agar bisa traktir teman 5 1,3Agar tidak malu dan minder 3 0,8Lainnya 12 3,0Missing 7 1,8

Beberapa alasan berikutnya yang umum

dilaporkan oleh responden adalah anggapan

orangtua supaya mereka bisa seperti teman

yang lainnya (3%), supaya bisa traktir teman-

teman (1,3%), dan supaya tidak merasa

malu/minder (,8%). Selain itu, ada alasan-

alasan individual lain, misalnya agar responden

bebas memilih makanan sendiri, agar mereka

bisa menabung atau membelanjakan keperluan-

keperluan mendadak, alat tulis, dan lain-lain.

Ada satu responden yang mengaku agar bisa

ditabung untuk beli telepon seluler. Untuk

responden yang suka membelanjakan uang

sakunya untuk jajan, peneliti ingin mengetahui

kemana saja mereka membeli makanan atau

jajanan. Tabel 6 menunjukkan gambaran

kemana saja mereka sering jajan.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa 370

(92,5%) responden menyatakan bahwa mereka

jajan di kantin sekolah. Selain kantin sekolah,

ternyata 33% membeli makanan jajan pada

penjaja makanan di luar pagar sekolah, dan

21% membeli makanan jajan pada penjaja

Page 42: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PERILAKU JAJAN 35

makanan di dalam pagar sekolah. Temuan ini

menarik untuk diketahui dan untuk menjadi

perhatian lebih lanjut karena ternyata jajanan

non-kantin yang dijual di dalam pagar

sekolah—artinya diasumsikan bahwa

penjualannya lebih terawasi—tidak semenarik

jajanan yang dijual di luar pagar sekolah.

Tabel 6 Tempat Jajan dan Jajanan Favorit Responden

Pertanyaan dan jawaban Jumlah % Tempat biasa jajan

Kantin Sekolah 370 92,50Penjaja makanan lain di

dalam pagar sekolah 84 21,00

Penjaja makanan di luar pagar sekolah

132 33,00

Tempat lain 19 4,80Makanan/jajanan yang

paling sering dibeli

Siomay 186 46,50Batagor 165 41,30Es krim 123 30,75Cakwe 105 26,30Nasi uduk 101 25,25Es sirop 100 25,00Mi ayam 74 18,50Mi bakso 61 15,30Bakso goreng 53 13,25

Tempat jajan lain yang dilaporkan oleh

responden, selain ketiga lokasi tersebut di atas,

adalah tempat jajan dekat tempat jemputan,

mal, restoran, minimarket, supermarket, toko,

tempat les, dan warung. Dengan banyaknya

alternatif tempat jajan yang bisa dikunjungi

siswa, maka siswa perlu mendapat informasi

yang jelas tentang bagaimana memilih jajanan.

Hanya dengan membekali siswa pemahaman

untuk memilih tempat jajan yang sehat, mereka

bisa terhindar dari kebiasaan mengonsumsi

makanan yang tidak bergizi, tidak higienis,

serta terhindar dari keracunan makanan.

Selanjutnya, peneliti tertarik untuk

mengetahui jenis makanan yang paling sering

dikonsumsi oleh responden siswa sekolah dasar.

Tabel 6 menampilkan berbagai jenis makanan

jajan yang umumnya dijual di kantin sekolah

maupun oleh penjual di sekitar sekolah. Dari

tabel tersebut dapat diketahui bahwa siomay

menempati urutan pertama yang paling disukai

responden (46,5%), disusul oleh batagor

(41,30%). Kalau mengaitkan temuan ini dengan

Tabel 7 tentang alasan membeli makanan yang

disukainya, 84% menyatakan bahwa responden

membeli karena enak rasanya. Hal ini perlu

mendapat perhatian lebih lanjut karena rasa

enak untuk anak sekolah dapat dijadikan alasan

penjaja makanan untuk memberi bumbu

penyedap makanan, meicin, dan lainnya, agar

makanan yang dijajakan laku di pasar tanpa

memperhatikan faktor kesehatan. Beberapa

makanan favorit yang sering dibeli responden,

antara lain es krim (31%), es sirop (25%),

cakwe (26%), dan nasi uduk (25%).

Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui

mengenai konsumsi saus merah secara

berlebihan. Tabel 7 menampilkan bentuk

jajanan yang sering dikonsumsi responden

termasuk kemasannya. Berkaitan dengan saus

merah, ternyata 146 (37%) responden

menyatakan bahwa makanan yang dibeli di

kantin sekolah maupun penjaja sekitar sekolah

disertai dengan saus merah. Seperti diketahui

sebelumnya, kesukaan responden pada saus

merah perlu mendapat perhatian lebih serius

karena bisa saja warna merah dari saus

disebabkan karena dicampur dengan bahan

pewarna kimia yang bukan untuk makanan

sebagaimana yang sering diberitakan di media

massa.

Page 43: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

36 SUCI

Tabel 7 Makanan/jajanan Favorit

Pertanyaan dan jawaban Jumlah % Alasan beli

makanan/jajanan

Teman-teman menyukainya

12 3,0

Enak rasanya 336 84,0 Murah harganya 33 8,3 Menarik tampilannya 2 0,5 Lainnya 16 4,0 Missing 1 0,25

Jajanan yang biasa dibeli

Disertai saus merah 146 36,5 Dikemas plastik 314 78,5 Dikemas daun 13 3,3 Dikemas bahan lain 83 20,8 Pakai piring 234 58,5 Tidak dikemas 31 7,75

Berkaitan dengan masalah kemasan

makanan yang dikonsumsi responden, ternyata

sebagian besar responden menyatakan bahwa

makanan yang dibeli dikemas dengan plastik

(78,5%). Di samping itu, ternyata responden

juga membeli makanan dengan menggunakan

piring (58,5%). Dalam hal ini, dapat

diasumsikan bahwa makanan yang diletakkan

dalam piring biasanya disediakan oleh kantin

sekolah dan bukan penjaja disekitar sekolah.

Cara makan merupakan hal penting untuk

diperhatikan oleh anak usia sekolah, karena

apabila tidak diajarkan sejak awal tentang cara

makan yang benar, maka ada kemungkinan

nantinya mereka makan secara sembarangan.

Tabel 8 menggambarkan apa saja perangkat

yang digunakan untuk makan di sekolah.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa

sebagian besar responden (66%) menggunakan

sendok/garpu ketika makan makanan di

sekolah. Cara makan yang seperti ini

menunjukkan bahwa kemungkinan besar

mereka makan di kantin sekolah karena jarang

sekali ada penjaja makanan yang menyediakan

sendok/garpu untuk pembelinya. Namun perlu

diperhatikan juga, Tabel 8 menunjukkan ada 87

responden (22%) yang mengambil makanan

langsung dengan tangan yang sangat mungkin

tidak bersih karena habis bermain. Selain

memakai tisu dan sapu tangan, ada juga yang

menggunakan sumpit dan tusuk gigi untuk

makan di tempat tersebut. Hal-hal yang

disebutkan terakhir sangat mungkin terjadi saat

responden beli makanan jajan di penjaja

makanan yang tidak terkontrol.

Tabel 8 Cara Makan Responden Anak Sekolah (N = 400)

Pertanyaan dan jawaban Jumlah %

Cara Makan Diambil langsung

dengan tangan 87 21,8

Pakai sendok/garpu 265 6,3 6 5,8 Pakai tisu/ sapu tangan 23

Lainnya 23 5,75Missing 2 0,5

Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan

Selalu dilakukan 210 52,5 Sering dilakukan 88 22,0 Jarang dilakukan 83 20,8 Tidak pernah dilakukan 17 4,25Missing 2 0,5

Berkaitan dengan kebiasaan mencuci tangan

sebelum makan, Tabel 8 menunjukkan bahwa

separuh dari responden (53%) mengaku selalu

mencuci tangan sebelum makan. Persentase ini

cukup besar mengingat seringkali tempat jajan

atau kantin tidak dilengkapi dengan tempat cuci

tangan yang memadai. Selanjutnya, 22%

responden mengaku mereka sering mencuci

tangan, dan 21% lain mengaku jarang

melakukannya. Selanjutnya, peneliti ingin

Page 44: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PERILAKU JAJAN 37

Tabel 9. Tempat Jajan di Sekolah yang Dikunjungi Responden serta Frekuensinya (N = 400)

Kantin Sekolah Penjaja di dalam

pagar sekolah Penjaja di luar pagar sekolah

Pertanyaan dan jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Pernah beli makanan/jajan

di tempat ini Ya, pernah 393 98,3 193 48,3 273 68,3 Tidak pernah 3 0,8 110 27,5 45 11,3 Missing 4 1,0 97 24,3 82 20,5

Frekuensi makan di tempat ini 5–6 kali seminggu 130 32,5 22 5,5 63 15,8 3–4 kali seminggu 56 14,0 29 7,3 44 11,0 1–2 kali seminggu 57 14,3 32 8,0 47 11,8 Tidak tentu 149 37,25 104 26,0 129 32,3 Missing 8 2,0 213 53,3 117 29,3

mengetahui apakah responden pernah datang

dan membeli makanan ke tempat-tempat jajan,

seperti di kantin sekolah, penjaja di dalam pagar

sekolah, dan penjaja makanan di luar pagar

sekolah. Tabel 9 menampilkan tempat jajan

yang dikunjungi responden dan seberapa sering

mereka berkunjung ke tempat itu.

Tabel 9 menunjukkan bahwa hampir seluruh

responden pernah berkunjung ke kantin sekolah

(98%). Hal selanjutnya yang menarik untuk

disampaikan adalah kenyataan bahwa sekitar

68% mengaku pernah mengunjungi penjaja

makanan di luar pagar sekolah, sementara 48%

mengaku pernah mengunjungi penjaja makanan

di dalam pagar sekolah. Berkaitan dengan

penjaja di luar pagar sekolah yang nampak lebih

dikunjungi oleh siswa dibanding penjaja di

dalam sekolah, ada kemungkinan bahwa jenis

makanan yang enak dan murah lebih mudah

didapatkan di penjaja di di luar pagar sekolah

daripada yang ada di dalam pagar sekolah.

Namun, dapat juga terjadi mereka sering

membeli di penjaja makanan di luar pagar

sekolah sambil menunggu jemputan atau

kendaraan setelah sekolah usai. Sementara itu,

di dalam pagar sekolah sudah tersedia kantin

dan siswa mempunyai waktu terbatas untuk

jajan di dalam sekolah.

Kesimpulan dan Saran

Perilaku jajan anak sekolah perlu mendapat

perhatian khusus karena anak sekolah

merupakan kelompok yang rentan terhadap

penularan bakteri dan virus yang disebarkan

melalui makanan, atau biasa disebut food borne

diseases. Dengan maraknya isu berkaitan

dengan campuran kimiawi makanan jajanan

yang sangat mempengaruhi kesehatan

seseorang, peneliti ingin mengetahui gambaran

pola perilaku jajan anak sekolah di delapan

sekolah dasar di Jakarta.

Dalam penelitian ini didapatkan informasi

bahwa orangtua merupakan salah satu faktor

penentu perilaku jajan anak sekolah dasar

karena dari orangtua lah mereka mendapat uang

saku. Di samping itu, jumlah nominal dan cara

orangtua memberikan uang saku merupakan hal

yang penting. Diketahui bahwa orangtua biasa

memberi uang saku/uang jajan setiap hari dan

dalam jumlah dengan kisaran Rp 1.000,00–Rp

Page 45: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

38 SUCI

5.000,00. Jumlah ini menurut peneliti cukup

wajar untuk membeli makan siang anak

sekolah.

Berkaitan dengan jajanan favorit, penelitian

ini menemukan bahwa siomay dan batagor

merupakan makanan favorit anak sekolah. Satu

temuan yang cukup melegakan adalah bahwa

umumnya mereka biasa membeli makanan di

kantin sekolah. Meskipun mungkin lebih mahal,

kualitas makanan di kantin sekolah lebih

terjamin dibanding di tempat-tempat lain di

sekitar sekolah. Hal yang perlu diperhatikan

adalah temuan penelitian bahwa responden

cenderung memilih jajanan yang dijual di luar

pagar sekolah daripada di dalam pagar sekolah.

Lebih jauh, sekitar 36% responden menyukai

makanan yang disertai dengan saus merah. Hal

ini perlu mendapat perhatian serius dari

Pemerintah untuk mengupayakan penyuluhan

pada penjaja makanan tentang bagaimana

menyiapkan makanan yang dijajakan secara

higienis. Pihak sekolah juga perlu memberi

penyuluhan kepada siswanya untuk memilih

jajanan yang higienis. Jajanan favorit yang

ditemukan dalam penelitian ini bisa menjadi

masukan pada pihak sekolah untuk

menyediakannya di kantin sekolah.

Bibliografi

Februhartanty, J., & Iswarawanti, D. N. (2004).

Amankah makanan jajanan anak sekolah di

Indonesia? Ditemukembali pada 30 Maret

2006, dari http://www.gizi.net/cgi-

bin/berita/fullnews.cgi?newsid1097726693,

98302,

Intaian maut formalin. (2005, 29 Desember).

Media Indonesia Online. Ditemukembali

pada 29 Desember 2005, dari

http://mobile.media-

indonesia.com/mobile_editorial.asp?id=200

5122823554101

Jajanan anak mengandung zat pewarna tekstil.

(2008, 19 Agustus). Tempo Interaktif.

Ditemukembali pada 6 April 2009, dari

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional

/2008/08/19/brk,20080819-131475,id.html

Jajanan pembawa maut. (2004, 7 Juni). Tempo

15/XXXIII.

Jajanan sekolah potensi sebabkan keracunan.

(2009, 20 Maret). Kapanlagi.com.

Ditemukembali pada 6 April 2009, dari

http://www.kapanlagi.com/h/jajanan-

sekolah-potensi-sebabkan-keracunan.html

Page 46: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PERILAKU JAJAN 39

Page 47: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 39–48

Koefisien Reliabilitas Pada Pengukuran Kepribadian yang Bersifat Multidimensi

Wahyu Widhiarso

Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada

Psychological instruments which usually measure the underlying latent

abilities or personality traits are called multidimensional measurements.

The assumption of these measurements is that there are two or more

common factors that create interrelationship among the measured

variables. Factor analysis is the method which proves the interrelationship

of two or more factors. Researchers usually ignore the interrelationship

found in these multidimensional measurements as they apply reliability

formula, which is one-dimensional (i.e., Alpha Coefficient), to find out the

reliability coefficient for multidimensional instruments used to measure

personality traits. This article is aimed to answer the question if Alpha

Coefficient is the right coefficient for one-dimensional measurement and

if the Alpha Coefficient will underestimate or overestimate the reliability

coefficient of the measurement. Some other reliability coefficients for

multidimensional measurements are outlined.

Keywords: multidimensional measurement, factor loading, reliability

formula

Pengembangan instrumen pengukuran

dalam bidang psikologi banyak mengasumsikan

penggunaan pengukuran yang bersifat

unidimensi―yang secara konseptual

dirumuskan bahwa ada satu jenis faktor abilitas,

kepribadian, sifat, maupun sikap yang diukur

oleh satu instrumen pengukuran. Namun,

banyak penelitian menunjukkan bahwa asumsi

unidimensi tersebut sulit dipenuhi dengan

ditemukannya beberapa faktor baru yang turut

diukur dalam satu instrumen. Dengan perkataan

lain, instrumen psikologis yang sering dipakai

oleh peneliti cenderung bersifat multidimensi.

Tingginya kecenderungan instrumen

pengukuran bersifat multidimensi disebabkan

oleh beberapa hal, antara lain, sebagai berikut:

1. Karakteristik konstruk psikologi. Hasil

perbandingan pengujian ketepatan model pada

Skala Harga Diri dari Coopersmith, misalnya,

cenderung memiliki sifat yang multidimensi

dibanding dengan unidimensi. Hasil penelitian

ini sesuai dengan yang dikatakan oleh beberapa

ahli pengukuran psikologi, bahwa skala

psikologi cenderung mengarah pada model

multidimensi (Drolet & Morisson, 2001;

Spector, Brannick, & Chen, 1997)

2. Adanya pelibatan aspek-aspek dalam

penyusunan alat ukur. Penyusunan instrumen

psikologis seringkali diawali dari penurunan

butir-butir dari beberapa aspek teoritis,

39

Page 48: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

40 WIDHIARSO

misalnya penyusunan skala efikasi diri yang

diturunkan dari aspek atletik, akademik, dan

kehidupan sosial (Kamata, Turhan, &

Darandari, 2003). Aspek-aspek ini berpotensi

akan membangun dimensi ukur yang berbeda

sehingga pengukuran menjadi bersifat

multidimensi.

3. Jumlah butir di dalam instrumen. Drolet

dan Morisson (2001) menunjukkan bahwa

multidimensionalitas skala psikologi

dipengaruhi antara lain oleh jumlah butir.

Jumlah butir yang terlalu banyak dapat

menambah potensi penambahan varian sesatan

dalam butir sehingga memunculkan dimensi

baru dari dimensi yang ditetapkan semula.

Jumlah butir dan bentuk skala mempengaruhi

sikap responden terhadap butir yang kemudian

mempengaruhi tanggapan mereka terhadap alat

ukur.

4. Teknik penulisan butir. Spector et al.

(1997) menemukan bahwa teknik penulisan

butir yang memiliki arah yang terbalik antara

arah positif (favorable) dan negatif

(unfavorable) dapat membentuk dimensi ukur

baru, padahal, dalam pengambilan data, banyak

skala psikologi menggunakan teknik penulisan

butir yang berbeda arah.

5. Satuan pengukuran yang berbeda.

Pengukuran dalam bidang psikologi cenderung

memiliki satuan ukur yang berbeda antara butir

satu dengan butir lainnya dalam sebuah

instrumen ukur. Hal ini didukung dengan antara

butir satu dengan butir lainnya memiliki

kapabilitas yang berbeda sebagai indikator

konstruk ukur. Kondisi ini akan menyebabkan

hasil pengukuran cenderung akan bersifat

multidimensi.

Dapat disimpulkan bahwa pengukuran

dalam bidang psikologi, baik mengukur

konstruk abilitas maupun non-abilitas

(kepribadian) sangat rentan terhadap

kemajemukan atribut yang diukur

(multidimensi). Penelitian-penelitian telah

menujukkan bahwa hasil analisis faktor

terhadap pengukuran psikologi menghasilkan

faktor yang majemuk, misalnya: (a) Hwang,

Chun, Kurasaki, Mak, dan Takeuchi (2000)

menemukan enam dimensi dalam pengukuran

dukungan sosial, (b) Albo, Núñez, Navarro, dan

Grijalvo (2007) membandingkan model dimensi

harga diri dan menemukan bahwa model empat

dimensi lebih tepat menggambarkan harga diri

dibanding dengan satu dimensi, serta (c) dengan

membandingkan indeks ketepatan model antara

model efikasi diri satu faktor dan tiga faktor,

Brouwers dan Tomic (2001) menemukan bahwa

model tiga dimensi memiliki indeks ketepatan

model yang lebih tinggi dibanding dengan satu

dimensi; artinya, efikasi diri merupakan

konstruk psikologi yang bersifat multidimensi.

Dengan memahami kecenderungan

pengukuran psikologi lebih pada model

pengukuran multidimensi dibanding model

unidimensi, maka diharapkan proses identifikasi

properti psikometris pengukuran psikologi

sudah melibatkan teknik analisis yang

menggunakan model multidimensi.

Koefisien Alpha dan Dimensionalitas

Pengukuran

Banyak ditemukan bahwa peneliti secara

sepihak (arbitrary) menggunakan koefisien

alpha dalam mengestimasi reliabilitas hasil

pengukuran yang dilakukannya, padahal

koefisien alpha menghendaki adanya beberapa

asumsi, misalnya bahwa antara satu butir

dengan butir lainnya dalam satu instrumen

diharapkan memiliki unit pengukuran dan

kecermatan yang sama dalam menjelaskan skor

murni. Hal ini berimplikasi pada fungsinya

Page 49: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 41

sebagai estimator reliabilitas lebih tepat

dikenakan pada pengukuran unidimensi

dibanding dengan multidimensi.

Oleh karena menekankan pada homogenitas

varian butir, koefisien alpha kurang peka

terhadap dimensionalitas data sehingga

meskipun dikenakan pada pengukuran yang

multidimensi, koefisien alpha dapat

menghasilkan nilai reliabilitas yang tinggi.

Sebagai bukti keterbatasan koefisien alpha

dalam mengenali dimensionalitas, penulis

menyusun data simulasi yang dibedakan

berdasarkan jumlah butir dan dimensi yang ada

di dalamnya. Hasil estimasi koefisien alpha

tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Hasil estimasi koefisien alpha pada data

menunjukkan bahwa pada data yang memiliki

dimensi tunggal (unidimensi), koefisien alpha

menghasilkan koefisien reliabilitas yang tinggi

pada semua jumlah butir. Estimasi koefisien

alpha pada kasus ini bergerak antara = 0,836

dan = 0,961. Pada kasus data berdimensi

majemuk dengan jumlah butir yang sedikit (k <

15), koefisien alpha menghasilkan koefisien

reliabilitas yang rendah. Sebaliknya, pada data

dengan jumlah butir yang banyak (k > 15),

koefisien alpha menghasilkan koefisien

reliabilitas yang tinggi. Kesimpulan yang dapat

diambil dari simulasi di atas menunjukkan

bahwa koefisien alpha kurang peka terhadap

dimensionalitas data ketika jumlah butir lebih

dari 15 butir. Hal ini terlihat dari nilai

reliabilitas yang cukup tinggi (> 0,7) pada

berbagai jumlah dimensi.

Rekomendasi yang dapat diberikan dari

hasil simulasi tersebut adalah agar para peneliti

lebih dahulu mengidentifikasi dimensionalitas

data sebelum menggunakan koefisien alpha,

misalnya, dengan melakukan analisis faktor.

Apabila dari hasil analisis faktor ditemukan

struktur data adalah unidimensi, maka koefisien

alpha dapat diaplikasikan. Namun, apabila data

memiliki struktur multidimensi, maka peneliti

dapat mengaplikasikan koefisien alpha pada

1 dimensi 2 dimensi 3 dimensi 4 dimensi 5 dimensi

5 butir 10 butir 15 butir 20 butir 25 butir0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1.0

Gambar 1. Perbandingan estimasi koefisien alpha pada jumlah butir dan jumlah dimensi berbeda.

Page 50: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

42 WIDHIARSO

masing-masing dimensi, atau menggunakan

koefisien reliabilitas untuk pengukuran

multidimensi yang akan dibahas pada sub di

bawah ini.

Koefisien Reliabilitas Pengukuran

Multidimensi

Dalam mengestimasi reliabilitas, peneliti

dalam bidang psikologi banyak menggunakan

koefisien alpha yang sudah sangat populer.

Banyak diantara peneliti tersebut tidak

memahami bahwa koefisien alpha memiliki

beberapa kriteria tertentu agar hasil estimasinya

memiliki ketepatan yang akurat, misalnya

terpenuhinya asumsi kesetaraan skor murni

yang diungkap (tau-equivalent) dan

unidimensionalitas data. Jika koefisien alpha

diaplikasikan pada pengukuran yang

multidimensi, maka akan didapatkan hasil yang

underestimate. Oleh karena itu, bagi peneliti

yang hendak mengidentifikasi reliabilitas

pengukuran yang bersifat multidimensi,

dianjurkan untuk menggunakan koefisien

reliabilitas yang dapat mengakomodasi model

multidimensi tersebut.

Artikel ini akan memaparkan beberapa

koefisien reliabilitas yang dapat diaplikasikan

pada model pengukuran multidimensi serta

membandingkan ketepatan estimasi masing-

masing koefisien tersebut.

Koefisien Reliabilitas Alpha Berstrata

Koefisien alpha terstratifikasi (alpha

stratified) ini diperkenalkan oleh Cronbach,

Schoneman, dan McKie (1965) yang berguna

untuk mengestimasi reliabilitas instrumen yang

terdiri dari beberapa subtes. Sama seperti

koefisien alpha, koefisien alpha berstrata adalah

pengukuran internal konsistensi dengan

melibatkan komponen-komponen tes. Koefisien

alpha terstratifikasi ini tepat dikenakan pada

kasus skor komposit multidimensi, misalnya tes

baterai yang bersifat multidimensi. Formula

untuk mendapatkan besarnya reliabilitas alpha

berstrata (αs) adalah sebagai berikut:

21

2 )(

x

k

iii

s

11

Keterangan

2i = varian butir pada komponen ke-i

i = reliabilitas komponen ke-i 2x = adalah varian skor total tes

Berikut adalah contoh penghitungan

koefisien alpha berstrata. Misalnya, seorang

peneliti sedang mengukur konsep diri yang

terdiri dari tiga dimensi, misalnya dimensi

ketahanan, kompetensi dan akademik. Setelah

melalui pengambilan data, didapatkan statistik

deskriptif yang dipaparkan pada Tabel 1. Tabel 1 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Konsep Diri

Dimensi Varian Reliabilitas Tiap

Dimensi Ketahanan 3 0,80 Kompetensi 3 0,80 Akademik 2 0,70 Skor Total 6

Berdasarkan informasi pada Tabel 1, jika

kita menggunakan koefisien alpha untuk

mengestimasi reliabilitas pengukuran di atas

maka kita akan mendapatkan hasil estimasi

yang terlalu rendah (underestimate), sebagai

berikut:

Page 51: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 43

50,06

)233(*

3

2

1

Koefisien reliabilitas akan menghasilkan

hasil estimasi yang lebih memuaskan jika

menggunakan koefisien alpha berstrata, sebagai

berikut:

70,06

)7.01(2)8,01(3)8.01(3

1s

Koefisien Reliabilitas Komposit Mosier

Pada 1943, Mosier mengembangkan sebuah

koefisien reliabilitas yang dapat dikenakan pada

pengukuran yang struktur multidimensi

(Mosier, 1943). Pengukuran yang memiliki

struktur multidimensi didapatkan dari instrumen

yang memiliki komponen tes yang independen

dengan komponen lainnya. Misalnya, tes bakat

atau tes potensi akademik yang terdiri dari

beberapa sub tes. Koefisien ini dinamai

reliabilitas skor komposit (reliability of

composite score) yang mampu mengakomodasi

perbedaan pembobotan pada tiap sub tes.

Formula untuk mendapatkan besarnya

reliabilitas skor komposit (rxx’) ini sebagai

berikut:

)(2)(

)()(1

22

'2222

'jkkjkjjj

jjjjjjxx rsswwsw

rswswr

Keterangan

2jw = bobot dimensi ke-j

'jjr = reliabilitas dimensi ke-j

jkr = korelasi antar dimensi ke-i dan ke-j 2js = varian dimensi ke-j

Untuk menghitung reliabilitas skor

komposit dari Mosier diperlukan informasi

mengenai reliabilitas masing-masing dimensi,

pembobotan masing-masing dimensi, varian

tiap dimensi dan korelasi antar skor dimensi.

Sebagai contoh, sebuah Skala Atribusi Masalah

terdiri dari dua dimensi, yaitu atribusi penyebab

masalah dan atribusi pemecahan masalah.

Informasi mengenai reliabilitas tiap dimensi dan

korelasi antar dimensi dapat dilihat pada Tabel

2.

Tabel 2 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Atribusi terhadap Masalah

Dimensi Relia-bilitas Varian Bobot

Korelasi Antar

DimensiPenyebab

masalah 0,85 25 2

Pemecahan masalah

0,75 36 3 0,4

Berdasarkan informasi tersebut maka

besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui,

sebagai berikut:

2 2 2 2

' 2 2

'

[(2 .25) (3 .36)] [(2 .5.0,85) (3 .6.0,75)

[(2 .25) (3 .36)] [2.(2.3.5.6.0, 4)]

0,8310

xx

xx

r

r

Karakteristik dari koefisien ini, antara lain:

(a) reliabilitas ini dapat bernilai 1,00 apabila

semua reliabilitas komponen juga bernilai 1,00,

(b) semakin besar korelasi antar dimensi, maka

nilai reliabilitas yang dihasilkan semakin besar,

dan (c) nilai reliabilitas ini cenderung lebih

besar daripada rerata reliabilitas tiap komponen,

kecuali pada kondisi komponen memiliki

reliabilitas, varian dan bobot yang sama, serta

korelasi antar komponennya adalah nol.

Kondisi yang terakhir ini akan menghasilkan

Page 52: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

44 WIDHIARSO

reliabilitas yang merupakan rerata dari

reliabilitas tiap komponen.

Koefisien Reliabilitas Komposit Wang

Wang (1998) menyusun sebuah koefisien

reliabilitas yang dapat dipakai untuk

pengukuran yang bersifat multidimensi serta

mampu mengakomodasi pembobotan masing-

masing dimensi tersebut. Dengan menggunakan

teori skor murni klasik―yang menyatakan

bahwa reliabilitas adalah proporsi varian skor

murni dengan varian skor tampak, maka

didapatkan formula reliabilitas berikut ini:

n

i

n

i

n

jijjii

n

i

n

i

n

jijjiiii

xx

rwww

rwwrw

r

1 1 1

2

1 1 1'

2

'

Keterangan

jw = bobot dimensi ke-j

'iir = reliabilitas dimensi ke-j

ijr = korelasi antar dimensi ke-i dan ke-j

Untuk menghitung reliabilitas komposit dari

Wang (1998) ini diperlukan informasi mengenai

reliabilitas masing-masing dimensi,

pembobotan masing-masing dimensi, dan

korelasi antar skor dimensi. Sebagai contoh,

sebuah Skala Nilai Kerja terdiri dari dua

dimensi, yaitu pengembangan diri (self-

enhancement) dan transendensi diri (self-

transcendence). Informasi mengenai reliabilitas

tiap dimensi dan korelasi antar dimensi dapat

dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan informasi dari Tabel 3 maka

besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui,

sebagai berikut:

2 2

' 2 2

'

(1 .0,85) (1 .0,75) (2.1.1.0,90)

1 1 (2.1.1.0,90)

1,6 1,8 3, 40,895

2 1,8 3,8

xx

xx

r

r

Tabel 3 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Nilai Kerja

Dimensi Reliabilitas Bobot

Korelasi Antar

DimensiPengembangan

diri 0,85 1

Transendensi diri

0,75 1 0,90

Formula koefisien reliabilitas komposit ini

memiliki beberapa karakteristik, antara lain: (a)

nilai reliabilitas terendah yang dapat dicapai

oleh dari koefisien reliabilitas komposit adalah

nilai reliabilitas dimensi yang terendah, (b) jika

antara satu dimensi dengan dimensi lainnya

memiliki korelasi yang tinggi, maka nilai

reliabilitas komposit dapat lebih tinggi daripada

reliabilitas masing-masing dimensi, serta (c)

jika reliabilitas masing-masing dimensi adalah

sama, maka reliabilitas komposit dapat

mencapai nilai maksimal apabila pembobotan

tiap dimensi adalah setara. Koefisien Reliabilitas Komposit Raykov

Raykov dan Shrout (2002) yang menyusun

koefisien reliabilitas komposit ini mengatakan

bahwa reliabilitas komposit adalah varian skor

murni dalam kaitannya dengan varian tes.

Formula untuk mendapatkan besarnya

reliabilitas skor komposit (rxx’) ini adalah

sebagai berikut:

Page 53: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 45

)(var

)(var

1 11

1

11'

k

j

p

iiij

p

i

k

jiij

p

ixx

E

r

Keterangan

ij = factor loading tidak terstandarisasi

indikator pada faktor iY i

i = konstruk laten ke-i.

iE = eror pengukuran pada indikator iY

Koefisien reliabilitas komposit pada

dasarnya adalah pembagian antara varian

konstruk ukur yang terdiri dari j-faktor dengan

varian konstruk laten fungsi linier dari tiap

indikator. Hal ini merupakan penjabaran dari

teori skor murni klasik, yaitu reliabilitas yang

didefinisikan dari pembagian antara varian skor

murni dan varian skor tampak .

Oleh karena beroperasi pada tataran konstruk

yang bersifat laten, maka diperlukan analisis

faktor untuk mendapatkan besarnya reliabilitas.

22 / XTxx

Sampai saat ini belum ada program

komputer yang dapat secara langsung

mengeluarkan hasil komputasi reliabilitas

komposit (Caroline, 2004). Untuk

menghitungnya, diperlukan pengoperasian

sintaks yang cukup rumit pada program

berbasis Persamaan Model Struktural (SEM)

antara lain EQS dan LISREL (lihat Raykov &

Shrout, 2002). Model pengukuran yang dipakai

untuk mengkomputasi koefisien reliabilitas

komposit dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar tersebut menunjukkan sebuah

instrumen pengukuran yang bersifat

multidimensi yang terdiri dari dua faktor yang

masing-masing terdiri dari tiga butir. Kedua

faktor tersebut memprediksi besarnya skor

murni komposit, dan di sisi lain, masing-masing

prediktor memprediksi besarnya skor komposit.

Reliabilitas komposit didapatkan dari

pembagian varian konstruk ukur dan varian

konstruk komposit.

X1

X2

X3

FAKTOR1

X1

X2

X3

FAKTOR2

KONSTRAK

UKUR

KOMPOSIT

Gambar 2. Model penghitungan koefisien reliabilitas komposit.

Koefisien Reliabilitas Komposit McDonald

McDonald (1981) mengembangkan sebuah

koefisien reliabilitas yang kemudian diberi

nama koefisien reliabilitas konstruk yang juga

dinamakan dengan koefisien omega ( ).

Koefisien reliabilitas ini berbasis pada analisis

faktor konfirmatori yang merupakan bagian dari

menu pemodelan SEM. Reliabilitas konstruk ini

menjelaskan besarnya proporsi indikator dalam

menjelaskan konstruk ukur. Formula untuk

mendapatkan besarnya koefisien reliabilitas

konstruk tersebut adalah sebagai berikut:

i

ii

i

ii

i

ii

1

2

2

1

2

1

1

Keterangan

i = factor loading terstandarisasi

indikator ke-i

Formula tersebut mengingatkan kita pada

estimasi reliabilitas skor murni klasik, yang

merupakan pembagian antara varian skor murni

oleh jumlah antara varian skor murni dan eror

Page 54: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

46 WIDHIARSO

[ ) ]. Diperlukan informasi

mengenai factor loading terstandarisasi melalui

analisis faktor konfirmatori untuk mendapatkan

besarnya koefisien ini. Sebagai contoh, sebuah

skala yang mengukur Pengalaman Orang Tua

Tunggal terdiri dari dua dimensi, yaitu

pengalaman dengan keluarga dan pengalaman

kerja yang masing-masing terdiri dari tiga buah

butir. Setelah dianalisis dengan menggunakan

analisis faktor konfirmatori melalui LISREL

atau AMOS, didapatkan informasi factor

loading tiap indikator yang dapat dilihat pada

Tabel 4.

/( 222' exxxx

Tabel 4 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Pengalaman Orang Tua Tunggal

Dimensi Butir i 21 i

1 0,5 0,75 2 0,5 0,64 Dimensi A 3 0,6 0,64

1 0,8 0,36 2 0,8 0,36 Dimensi B 3 0,7 0,51

Total 4,00 3,26

Berdasarkan informasi tersebut maka

besarnya reliabilitas komposit dapat diketahui,

sebagai berikut:

8307,026,34

42

2

Koefisien ini banyak dipakai oleh peneliti

yang menggunakan analisis berbasis SEM, baik

yang menggunakan model pengukuran

unidimensi, atau pun multidimensi (Segars,

1997). Penerapan pada model pengukuran

paralel maupun tau equivalent―yang

mengasumsikan bahwa tiap indikator memiliki

ketepatan ukur yang setara, akan didapatkan

nilai reliabilitas konstruk yang setara dengan

koefisien alpha. Di sisi lain, jika diterapkan

pada model pengukuran congeneric, yang

mengasumsikan bahwa tiap indikator memiliki

ketepatan ukur yang bervariasi, maka akan

didapatkan nilai reliabilitas konstruk yang lebih

tinggi dibanding dengan koefisien alfa

(Yurdugül, 2006).

Koefisien Reliabilitas Konstruk Berbobot

Koefisien reliabilitas konstruk ini

diperkenalkan oleh Hancock dan Mueller

(2000), yang menunjukkan seberapa jauh

indikator instrumen mampu merefleksikan

konstruk yang hendak diukur. Koefisien ini

merupakan modifikasi dari koefisien reliabilitas

konstruk McDonald yang tidak mampu

mengakomodasi bobot yang berbeda antar

dimensi. Hasil modifikasi tersebut adalah

formula baru yang dinamakan dengan koefisien

reliabilitas konstruk berbobot, sebagai berikut:

p

i i

i

p

i i

i

w

l

l

l

l

12

2

12

2

)1(1

)1(

Keterangan

il = koefisien dimensi ke-i terstandar

Untuk mendapatkan besarnya koefisien

reliabilitas ini peneliti cukup mencari besarnya

factor loading kuadrat tiap komponen yang

mudah didapatkan dari analisis faktor

konfirmatori. Analisis ini dapat dilakukan

dengan menggunakan program komputasi SEM,

misalnya LISREL atau AMOS. Misalnya,

sebuah instrumen pengukuran terdiri dari dua

dimensi, yang masing-masing terdiri dari tiga

butir (Tabel 5). Setelah dianalisis melalui

Page 55: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

RELIABILITAS PENGUKURAN MULTIDIMENSI 47

)

program analisis faktor konfirmatori didapatkan

besarnya korelasi kuadrat. Tabel 5 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran

Dimensi Butir 2il 1/( 22

ii ll

1 0,38 0,612903 2 0,53 1,12766 Dimensi A 3 0,59 1,439024

1 0,47 0,886792 2 0,39 0,639344 Dimensi B 3 0,66 1,941176

Total 6,6469

Berdasarkan informasi tersebut maka

besarnya reliabilitas konstruk berbobot dapat

diketahui, sebagai berikut:

8692,06469,61

6469,6

w

Koefisien reliabilitas konstruk berbobot ini

dapat diartikan sebagai korelasi kuadrat antara

dimensi dengan skor komposit linier optimal

(optimum linear composite), sehingga beberapa

ahli menamakannya dengan reliabilitas

maksimal (maximal reliability).

Kesimpulan dan Saran

Sebelum melakukan analisis untuk

mengestimasi reliabilitas pengukuran yang

dilakukan, peneliti diharapkan melakukan

analisis faktor untuk mengidentifikasi berapa

jumlah dimensi yang dihasilkan. Jika hasil

identifikasi menunjukkan pengukuran lebih

bersifat multidimensi, maka koefisien

reliabilitas multidimensi dapat dikenakan.

Namun, jika menghasilkan pengukuran yang

bersifat unidimensi, koefisien reliabilitas yang

telah dikenal, seperti Alpha Cronbach,

Spearman-Brown, atau KR-20, dapat

dikenakan.

Koefisien reliabilitas untuk pengukuran

multidimensi yang dipaparkan pada artikel ini

dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan

informasi yang dibutuhkan untuk menghitung

reliabilitas tersebut. Jenis pertama adalah

reliabilitas yang diawali dengan analisis faktor

konfirmatori dengan menggunakan pendekatan

Model Persamaan Struktural (SEM), seperti

Koefisien Reliabilitas Konstruk McDonald dan

Koefisien Reliabilitas Komposit Raykov. Jenis

kedua adalah koefisien yang tidak memerlukan

prosedur analisis faktor, seperti Koefisien

Reliabilitas Alpha Cronbach Berstrata atau

Koefisien Reliabilitas Skor Komposit Mosier.

Jenis reliabilitas yang akan dipakai bergantung

pada pendekatan yang dipakai oleh peneliti.

Peneliti yang menggunakan pendekatan SEM

dapat memilih koefisien berbasis SEM,

sedangkan peneliti yang menggunakan

pendekatan konvensional dapat memilih

koefisien reliabilitas yang tidak berbasis SEM.

Bibliografi

Albo, J. M., Núñez, J. L., Navarro, J. G., &

Grijalvo, F. (2007) The Rosenberg self-

esteem scale: Translation and validation in

university students. The Spanish Journal of

Psychology, 10(2), 458-467.

Brouwers, A., & Tomic, W. (2001). The

factorial validity of scores on the teacher

interpersonal self-efficacy scale.

Educational and Psychological

Measurement, 61, 433.

Cronbach, L. J., Schoneman, P., & McKie, D.

(1965). Alpha coefficient for stratified-

parallel tests. Educational & Psychological

Measurement, 25, 291-312.

Drolet, A. L., & Morrison, D. G. (2001). Do we

really need multiple-item measures in

Page 56: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

48 WIDHIARSO

service research? Journal of Service

Research, 3, 196–204.

Hancock, G. R., & Mueller, R. O. (2000).

Rethinking construct reliability within latent

variable systems. Dalam Cudek, R., duToit,

S.H.C., & Sörbom, D. (Eds.). Structural

equation modeling: Present and future.

Chicago: Scientific Software International.

Hwang, W. C., Chun, C., Kurasaki, K., Mak,

W., & Takeuchi, D.T. (2000). Factor

validity of scores on a social support and

conflict measure among Chinese

Americans. Educational and Psychological

Measurement, 60(5).

Kamata, A., Turhan, A., & Darandari, E. (2003,

April). Estimating Reliability for

Multidimensional Composite Scale Scores.

Paper yang dipresentasikan pada the annual

meeting of American Educational Research

Association, Chicago.

McDonald, R. P. (1981). The dimensionality of

tests and items. British Journal of

Mathematical and Statistical Psychology,

34, 100–117.

Mosier, C. I. (1943). On the reliability of a

weighted composite. Psychometrika, 8, 161-

168.

Raykov, T., & Shrout, P. E. (2002). Reliability

of scales with general structure: Point and

interval estimation using a structural

equation modeling approach. Structural

Equation Modeling, 9(2), 195–212.

Segars, A. H. (1997). Assessing the

unidimensionality of measurement: A

paradigm and illustration within the context

of information systems research. Omega,

25(1), 107-121.

Spector, P., Brannick, P., & Chen, P. (1997).

When two factors don't reflect two

constructs: How item characteristics can

produce artifactual factors. Journal of

Management, 23(5), 659-668.

Wang, T. (1998). Weights that maximize

reliability under a congeneric model.

Applied Psychological Measurement, 22(2),

179-187.

Yurdugül, H. (2006). The comparison of

reliability coefficients in parallel, tau-

equivalent, and congeneric measurements.

Journal of Faculty of Educational Sciences,

Ankara University, 39(1), 15-37.

Page 57: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan
Page 58: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 49–59

Menafsir Fenomena Latah sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu

(Suatu Kajian Psikoantropologi)

Hatib Abdul Kadir Mahasiswa Program MA pada Center for Religious and Cross-cultural Studies,

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Latah is a social behavior phenomenon which has been examined

theoretically by some anthropologists, historians, and psychologists.

They tried to explain latah and its relation to gender, ethnicity,

colonialism discourse, and mental health. Latah is considered as part of

the Malay's cultural emotions. The orientalists in the middle of

nineteenth century depicted their amazement on finding this

phenomenon. They tried to place latah into several cultural and

psychological terms, such as cultural bound syndrome, regional

peculiarities, psychodrama shamanic, hysterical psychosis, arctic

hysteria, reactive psychosis, startled reaction, and fright neurosis. Latah

has become part of the power discourse in defining the identity of the

Malays, which is in between of personal and public place, profane and

sacred realm, and consciousness and unconsciousness. This article tries

to analyze the articles on latah which is considered as social and cultural

phenomenon in Southeast Asian countries, particularly in Indonesia.

Keywords: latah, psychocultural phenomenon, cultural emotion, Malays,

Malaysia, Indonesia, collective unconsciousness, psychoanthropology

Fenomena latah mengingatkan saya ketika

kecil. Pada waktu itu, saya tinggal di sebuah

daerah bernama Kuala Simpang. Daerah ini

terletak di perbatasan antara Aceh dengan

Sumatera Utara. Di daerah yang indah ini,

setiap saat kita dapat melihat negara Malaysia

yang hanya dibatasi oleh selat yang tak

sedemikian lebar. Di Kuala Simpang ini,

hiduplah seorang laki-laki paruh baya yang

rumahnya tak jauh bersebelahan dengan

rumah orang tua saya. Laki-laki bernama Atu’

ini mempunyai kebiasaan yang sangat disukai

oleh tetangga-tetangga mereka, yakni latah.

Pada suatu waktu, ia tengah mencari air di

Sungai Simpang Kanan. Sepulang dari sana

sembari membawa seember air, ia bertemu

dengan para tetangga yang memang suka

menggoda si Atu’ ini. Para tetangga itu

dengan tiba-tiba berkata “siram tu’-siram

tu’!”. Maka, dengan spontanitas, Atu’

menyiramkan air yang dibawanya kepada

orang-orang tak dikenal yang tengah lewat...

Dan basahlah mereka…. (Irwan Abdullah,

dalam Kuliah Tafsir Kebudayaan di Program

Antropologi Budaya, Universitas Gadjah

Mada, 2 April 2006)

49

Page 59: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

50 KADIR

Tabel 1. Latah dan contoh-contoh ”latah” yang lain

Malayan latah

Ainu imu

Siberian mieryachit

Afro-Arab ”latah”

Lapp panic

French Canadian jumping

Gender mainly women

mainly women

mainly women

mainly men mainly women

mainly men

Coprolalia yes yes yes usually not noted

not noted not noted

Echolalia yes yes yes ? not noted yes Echokinesis yes yes yes yes yes ? Automatic obedience

yes yes yes not noted not noted yes

Local term yes yes yes in some cases not noted yes

Latah merupakan sebuah fenomena budaya

yang pada umumnya terjadi pada masyarakat

Melayu―sebagaimana ditunjukkan dalam

narasi perkuliahan Irwan Abdullah (2006) di

atas, meskipun, berdasarkan hasil penyelidikan

Winzeler (1995), latah tidak hanya ditemukan

dalam budaya Melayu (lihat Tabel 1).

Latah didefinisikan secara komprehensif

oleh Wilkinson (1902, dalam Winzeler, 1995),

sebagai berikut:

...Maka permainsuri pun latah-lah saperti

orang gila tiyada khabarkan diri-nya: the

queen fell into a fit of latah and became as

one mad, not knowing what she was doing;

Ht. Koris. Karena bonda Morah di-dalam

latah-nya barang kata orang semuwa di-

turut-nya: Mother Morah is suffering from

one of her fits of latah; all that people say she

mimichs; Ht. Koris. Pura-pura latah:

pretending to be a latah subject; Sh. Bur.

Nuri, 23. Bukan-nya patah, ruwat; Bukan-nya

latah, di-buwut: it is not broken but bent; it is

not hysteria, it is only pretence; ― a

proverbial expression, the first of which is

often given to suggest the second. L. Mulut: a

slight form of latah in which a shock causes

the victim to fly into a paroxysm of coarse

language but nothing more ....

Sejumlah analisis menunjukkan bahwa latah

dapat merupakan fenomena psikologis yang

muncul karena masyarakat Asia

Tenggara―sebagai negara terjajah (colonized)

dan terisolasi (isolated) dari dunia

luar―mengalami berbagai bentuk keterkejutan

tatkala bertemu dengan dunia Barat yang baru,

asing, mengagumkan, dan penuh kekuatan

(Kenny, 1978; Tseng, 2006; Winzeler, 1984).

Tulisan ini di samping hendak mengkaji

lebih jauh analisis di atas, utamanya sekaligus

ingin mengaitkan fenomena latah dengan emosi

sebuah kebudayaan, dalam hal ini latah di

semenanjung Malaya dan Indonesia.

Genealogi Fenomena Latah

Latah merupakan suatu emosi kebudayaan

yang khas dari masyarakat Melayu (Gimlette,

1912; Kenny, 1978; Winzeler, 1995).

Penafsiran terhadap latar belakang fenomena ini

dapat dilakukan melalui pendekatan

psikoantropologis, psikoanalisis, dan psikiatris.

Dalam perspektif peneliti Barat, latah

merupakan suatu kondisi kebudayaan

masyarakat yang sulit dimengerti sebab-

akibatnya (Geertz, 1968). Munculnya latah

telah diteliti sejak abad pertengahan oleh

Page 60: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 51

kalangan petualang hingga pegawai pemerintah

kolonial. Dalam pandangan Barat, latah

dipandang unik dan eksotis. Perspektif

psikokultural dalam pandangan Barat

menjelaskan keberadaan latah, misalnya,

sebagai berikut:

The upbringing, general cultural environment,

and biological predisposition of the latah

victim combine in such a way that his/her

susceptible to the kinds of shocks which

precipitate latah episodes. When such shocks

occur barely repressed material of a largely

sexual nature spontaneously rises to the

surface in the form of obscenities or

threatening erotic dreams. With the

controlling powers of the ego temporary in

abeyance, the latah may be induced to

involuntarily imitate or repeat the words and

deeds of onlookers. (Kenny, 1990: 128)

Bagi orang Barat, di samping bersifat

eksotis, fenomena latah juga menjadi suatu

bahan anekdot tersendiri. Orang Barat

menyebutnya sebagai “strange tales of native

people” atau cerita aneh dari masyarakat

pribumi (Kenny, 1990: 125-126). Dalam hal ini,

fenomena latah diserupakan dengan bentuk

mimikri terhadap fenomena hysteria, dalam hal

mana istilah ini berhubungan erat dengan rahim.

Seorang perempuan Barat akan berteriak

histeris tatkala mengalami persalinan yang

dilakukan secara tradisional yang sangat

menyakitkan. Namun, dalam perspektif laki-

laki Barat, hysteria tidak dianggap sebagai

sebuah kesakitan, melainkan keanehan

(peculiarities) yang dilakukan kaum perempuan

(Aberle, 1952; Yap, 1952). Istilah yang bernada

perbandingan antara bidang psikiatris dan

antropologis ini merupakan dominasi persepsi

yang sangat “bias Barat”.

Bias persepsi latah nampak pada definisi

Horne (dalam Kenny, 1990: 332), sebagai

berikut:

Latah: a mental disorder present in certain

lower class women past middle age

characterized by involuntary compulsive

utterance of obscenities, parodying of other’s

actions or other socially or morally offensive

behaviour.

Dari perspektif psikiatris telah banyak

sebutan yang ditujukan kepada penyandang

latah, seperti psychosis, hysterical psychosis

arctic hysteria, reactive psychosis, startle

reaction, fright neurosis, dan hypnoid state

(Ellis, 1897; van Brero, 1895). Berbagai istilah

tersebut menggambarkan bahwa latah

merupakan perbuatan dalam hal dimana

individu mengalami kehilangan kontrol atas

dirinya sendiri. Latah diketahui bukan

merupakan pembawaan dari lahir, melainkan

bersifat temporer, bergantung pada karakter

lingkungan pergaulan, dan dapat menular

kepada rekan lainnya. Mudahnya penularan ini

karena latah muncul secara spontanitas namun

terus terjadi secara berulang, dalam bentuk

perkataan dan ekspresi tubuh. Hal ini

menyebabkan orang-orang disekitarnya mudah

sekali melakukan proses mimikri (peniruan)

terhadap pelaku latah yang berekspresi secara

berulang tersebut (Winzeler, 1984).

Fenomena latah muncul semarak pada

masyarakat Islam di semenanjung Malaysia,

seperti Kelantan dan Trengganu, orang-orang

pedalaman Semai di dataran tinggi

semenanjung Malaya, hingga membentang di

wilayah Jawa. Beberapa laporan menyebutkan

bahwa fenomena latah juga muncul di wilayah

Serawak; Singapura; Kalimantan, khususnya

Dayak Iban; kaum migran Malaysia;

Page 61: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

52 KADIR

masyarakat Jawa Timur, khususnya di Surabaya

(dalam wujud ritual drama masyarakat kelas

bawah); dan orang-orang Bali. Secara masif,

kasus ini tidak muncul di kalangan Jawa

aristokrat (priyayi) dan di perkampungan China.

Oleh karena itu, keadaan latah bersifat regional

culture atau indigenous milieu yang hanya ada

pada masyarakat tertentu, yakni khususnya pada

masyarakat Melayu (Winzeler, 1991; Winzeler,

1995). Pada masyarakat Barat, fenomena latah

juga disebut sebagai cultural bound syndrome

yang terjadi pada lingkungan pergaulan tertentu

(Winzeler, 1995: 5-6).

Diskusi mengenai apakah latah merupakan

suatu bentuk kebiasaan abnormal, ataukah latah

identik dengan identitas kebudayaan tertentu

yang dianggap hal yang wajar, merupakan hal

yang menarik untuk diikuti. Salah satu pendapat

menganggap latah sebagai cultural bound

syndrome atau juga disebut regional

peculiarities, karena latah merupakan salah satu

bentuk dari tingkat ke-stress-an seseorang yang

hanya ada pada wilayah tertentu. Beberapa

perspektif melihat bahwa fenomena latah

sebagai bentuk epidemi kebudayaan pra-Eropa

di Melayu (Winzeler, 1995: 74-78). Masyarakat

dianggap terkejut tatkala menyaksikan

kedatangan kolonial dengan tubuh mereka yang

tinggi, putih, berbadan besar, serta nyata-nyata

berbeda dari bentuk fisik warga setempat.

Sebagai respon psikologis, keterkejutan melihat

masyarakat baru tersebut diekspresikan melalui

kata-kata yang diucapkan secara cepat, riuh

rendah, dan berulang-ulang, sehingga mewabah

pada beberapa komunitas. Dengan demikian,

latah dianggap sebagai bentuk keterpanaan

(startling), bentuk peniruan, dan sekaligus

pengejekan (mimicry) terhadap kaum kolonial

yang secara fisik berbeda dengan masyarakat

pribumi―namun yang sebagai pendatang

mempunyai kekuasaan yang bersifat superior.

Di Jawa, latah disinyalir muncul pertama

kali pada kaum perempuan yang bekerja

sebagai pembantu di kalangan keluarga Belanda

(Geertz, 1968: 96). Seorang pembantu dianggap

mempunyai kontak terdekat dengan keluarga

penguasa yang ada di dalam rumah. Dengan

demikian, latah merupakan gaya bahasa yang

telah terdistorsi maknanya, kemudian ia

terdistribusikan keluar, sehingga menjadi arena

perbincangan yang cukup menyenangkan dan

seru di kalangan kelas bawah. Dalam konteks

ini, latah diinterpretasikan sebagai bentuk

imitasi bahasa yang tersebar pada wilayah rural

society. Penafsiran mengenai dampak

kedatangan kolonial ini diperteguh dengan

pengamatan H.B.M. Murphy (1976: 3-9).

Murphy menyatakan bahwa ia tidak

menemukan referensi latah pada masyarakat

Melayu sebelum tahun 1850 atau pertengahan

abad 19. Namun, Kenny mengemukakan

bahwa, pengamatan Murphy ini sedikit lengah,

mengingat wilayah pedalaman merupakan area

yang lepas dari pengamatan, diperkuat dengan

temuan lain yang mengungkapkan bahwa latah

merupakan fenomena kaum pedalaman yang

telah ada, bahkan jauh sebelum kedatangan

kolonial (Kenny, 1990: 127-130).

Di wilayah semenanjung Malaya,

munculnya latah diinterpretasikan berasal dari

dunia perdukunan yang penuh dengan dunia

misteri (Kenny, 1990: 131). Perspektif ini

diistilahkan sebagai psychodramatic shamanic,

dalam hal mana individu pada tingkat

keterkejutan tertentu akan mengalami momen-

momen yang bersifat trance/nirsadar secara

sesaat. Konsep latah pertama kali ditemukan

pada berbagai individu yang sering menyendiri

di sebuah hutan. Keterkejutan secara alami

dengan menyebut nama-nama binatang, seperti

Page 62: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 53

harimau, macan, buaya, hingga ular, dipercaya

akan membawa spirit asosiatif dengan binatang

tersebut. Dalam hal ini, binatang, hutan, dan

kesepian, diinterpretasikan sebagai suatu media

transformasi individu menuju ke dunia misteri.

Individu mempunyai konsep diri yang mendua.

Ketidaksadaran diri (loss of control)

diidentifikasikan ketika ia masuk hutan,

sedangkan kesadaran diri (self-control)

diidentifikasikan ketika ia berada di kampung,

di tengah-tengah masyarakat. Kampung

dianggap sebagai dunia yang penuh dengan

nilai humanitas, penuh interaksi sosial yang

hidup, sedangkan sungai dimaknai sebagai

sebuah batas antara kampung dan hutan. Ketika

seseorang telah memasuki hutan, maka ia akan

menemui sebuah kehidupan yang misterius dan

tak terduga. Tidak mengherankan apabila

gerakan penyandang latah sering diidentikkan

layaknya seekor macan yang tengah terkejut.

Hal ini diperkuat dengan perilaku si latah dalam

mengurangi keterkejutannya, yakni dengan

berespons yang seolah-olah bertemu dengan

macan pula. Demikianlah, gerakan latah

manusia juga dipadankan dengan konsep shock,

atau keterkejutan yang menduplikasi gerak

hewan di hutan.

Beberapa kasus di semenanjung Malaya

juga menyebutkan bahwa gerak-gerik latah

menjadi alat bantu perhubungan antara arwah

dengan kehidupan pada saat terjadi kelahiran

seorang bayi. Gerak-gerik latah juga menjadi

alat bantu yang bersifat transenden, yang

nampak pada momen-momen seperti

keterkejutan di saat tengah melakukan meditasi.

Kasus keterkejutan juga terjadi pada ibu-ibu

yang telah lama mempunyai keinginan untuk

mendapatkan momongan, dan ketika tahu

bahwa ia mengandung. Latah dengan tiba-tiba

dapat disandang oleh ibu tersebut, karena ia

terkejut bahwa ternyata ia mampu mengandung.

Untuk mencegah dari perilaku latah yang

berkelanjutan, maka diperlukan seorang dukun

yang mendampingi sang ibu ini. Kasus-kasus

mengenai dukun atau bidan tradisional yang

menghadapi latah banyak ditemukan di dataran

tinggi Semai, semenanjung Malaya (Ellis, 1897:

33; Yap: 1952: 8-12). Dalam penyelidikan

terhadap hal ini, diketahui bahwa latah muncul

karena sang ibu mengalami depresi hebat ketika

anak yang sangat dikasihinya meninggal dunia.

Kasus-kasus latah ini mempunyai hubungan

erat dengan aspek medikal, yang kemudian

ditangani oleh dukun perempuan yang dianggap

mempunyai interaksi dengan makhluk di luar

manusia (Kenny, 1990: 132-134).

Interpretasi lain terhadap fenomena latah

mengungkap bahwa kemunculannya dianggap

sebagai respon terhadap kecemasan seksual,

khususnya kaum perempuan yang mengalami

masa menopause karena menyadari bahwa

ketuaan benar-benar telah mendatanginya

(Geertz: 1968: 103; Yap, 1952: 12; Winzeler:

1984: 96). Interpretasi ini cukup meragukan,

karena budaya pos-menstruasi atau menopause

pada masyarakat Melayu―yang oleh

perempuan Barat dianggap sebagai sesuatu

yang menakutkan―sesungguhnya merupakan

hal yang biasa-biasa saja bagi perempuan

Melayu. Terdapat ada lima alasan, mengapa

menopause bukan hal yang menakutkan bagi

perempuan Melayu (Omar, 1994: 34-82).

Pertama, menopause menandai masuknya

perempuan ke fase kedua manusia. Perempuan

justru memasuki sebuah dunia baru yang

dianggapnya lebih matang. Kedua, kejadian

menopause seiring usia dianggap dialami oleh

perempuan yang lebih dewasa dan dihormati.

Beberapa etika adat mengharuskan orang yang

lebih muda (biasa disebut anak) mengharuskan

Page 63: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

54 KADIR

hormat padanya (seperti ungkapan, “Anak yang

soleh mesti hormat orang tua, mesti ingat jasa

orang tua”). Meskipun tidak dapat

bereproduksi dan berhenti masa suburnya,

perempuan Melayu cukup bahagia, karena telah

melewati masa tersebut. Ketiga, pendapat

perempuan Melayu yang sudah mengalami

menopause selalu didengarkan oleh orang yang

berada usianya berada bawahnya, karena

mereka dianggap lebih pandai dan bijak.

Keempat, perempuan menopause mempunyai

akses yang lebih bebas dalam berperan di

masyarakat.

Latah juga menghinggapi perempuan yang

terkena ilmu sihir, perempuan yang berprofesi

sebagai dukun beranak, kaum transvestit,

hingga dialamatkan pada penganut agama kuno

(Kenny, 1990: 132). Demikianlah, bersama

dengan uraian lain di atas, fenomena latah di

masyarakat nampak identik dengan gejala

perilaku yang dialami kaum perempuan,

khususnya perempuan kelas bawah yang

termarjinalisasi. Nampak bahwa peneliti Barat

yang bertemu dengan fenomena latah telah

menciptakan batasan-batasan budaya

berdasarkan kelas, politik aliran, gender, ras dan

kebangsaan, yang kemudian diteorisasikan

secara general, melalui bahasa-bahasa ilmiah.

Teorisasi terhadap latah selama ini lahir dari

ilmuwan di masa kolonial dan bersifat Euro-

American-sentris. Beberapa pandangan melihat

bahwa latah tidak lepas dari adanya

dikotomisasi budaya antara kelas bawah dengan

kelas atas serta perempuan dan laki-laki.

Fenomena ini muncul pada dua wilayah

subordinan, yakni pada perempuan dan

masyarakat kelas bawah.

Latah dalam Berbagai Konteks

Psikoantropologi Emosi

Latah merupakan fenomena yang menjadi

arena multitafsir yang dapat dipandang dari

berbagai konteks kejadian. Misalnya, latah

diidentikkan dengan keeksentrikan yang

berkaitan erat dengan karakter perempuan

(effeminate), dihubungkan pada ranah mistis

dan ketidaknormalan mental (mental disorder),

diakibatkan oleh keganjilan sebuah mimpi,

hingga kegilaan (insanity) (Ellis, 1897; Geertz,

1968; Murphy, 1976; Winzeler, 1984). Clifford

Geertz menyebut fenomena latah sebagai “stage

fright” (Geertz, 1960: 241-260), yakni sebuah

keadaan dimana individu mengalami

kehilangan kontrol dalam mode tindakan. Yang

dilakukan individu tersebut adalah

pengungkapan berbagai simpul emosi yang

terbaur menjadi satu, yakni antara keterkejutan,

ketakutan, hingga keberanian. Beragamnya

penafsiran terhadap fenomena latah karena

perbuatan ini menjadi sebuah gerak-gerik

bawah sadar, dalam hal mana

penyikapan/respons terhadap suatu simbol dan

kode-kode tertentu bersifat spontan tanpa

berafirmasi dengan masyarakat sekitar.

Dalam kebudayaan Jawa, Geertz (1960;

1979) mengoposisikan kasus latah ke dalam

ruang budaya yang dikotomis antara mode

pembicaraan (mode of speech) yang “halus” dan

“kasar”. Latah dianggap sangat tabu jika ia

dilakukan dalam wilayah aristokrat (dalam hal

ini: keraton). Sebaliknya, latah menjadi

fenomena emosional yang menyenangkan,

bahkan menghibur, ketika berada di wilayah

masyarakat akar rumput. Wilayah aristokrat

dipandang selalu dipenuhi dengan atmosfir

perbuatan penuh kesopanan dan pengendalian

diri, sebaliknya wilayah akar rumput

dikontekskan sebagai masyarakat ekspresif,

kasar, riuh rendah dan tak memberi ruang ketat

pada nilai hierarkis (Geertz, 1979: 333-348;

Page 64: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 55

Kenny, 1990: 126).

Lingkungan pergaulan pada kasus latah

menjadi kode tersendiri bagi masyarakat

sekitarnya. Dalam budaya Jawa, kedudukan

atau status seseorang ditentukan oleh banyak

hal di samping kekayaan, keturunan, pekerjaan,

dan usia. Mode berbahasa dan gaya berbicara

merupakan kode yang sangat jelas

menunjukkan sebuah status. Latah identik

dengan kelas bawah karena perilaku ini nyaris

tidak memberi ruang kerendahatian si

pembicara, di samping menghadirkan ekspresi

emosi yang tidak mencerminkan bahwa si

pelaku latah tengah berbicara dengan kelas

yang lebih atas, atau berhadapan dengan kelas

yang lebih bawah.

Di Jawa, latah dianggap sebagai suatu

bentuk bahasa yang lepas dari organisasi sosial

yang kaku dan dianggap sebagai budaya kasar

karena sejumlah hal (Geertz, 1960; Geertz,

1968). Pertama, perbuatan latah lepas dari

serangkaian konjugasi bahasa yang seharusnya

penuh dengan hierarki dan kerapian. Untuk

mengeluarkannya, tak perlu ada pemilihan kata

denotatif yang penuh kesopanan, karena latah

keluar nyaris tanpa kesengajaan dan rekayasa.

Kedua, latah identik dengan keterusterangan

terhadap suatu maksud dan kehendak.

Sedangkan dalam aristokrasi Jawa, konsep

kehendak merupakan sesuatu yang sebaiknya

tidak diungkapkan secara langsung, tiba-tiba,

serta transparan. Menjadi lebih bijaksana

apabila suatu kehendak ditunda atau

disembunyikan terlebih dahulu. Dalam perilaku

Jawa, langkah bijak terhadap suatu kekecewaan

dan keterkejutan bukan respon secara ekspresif,

melainkan diungkapkan di belakang atau

dengan cara solilokui (Bahasa Jawa:

nggembremeng atau menggerundel). Analisis

pertama dan kedua tersebut agak berbeda

dengan sejumlah uraian sebelumnya. Konsep

latah yang tumbuh di semenanjung Malaysia

tidak lepas dari adanya colonial encounter

(antara colonializer dengan colonialized),

sehingga latah tumbuh ketika terjadi kontak

antara pembantu yang keluarga tuan kolonial

yang ada dalam rumah, kemudian membentuk

sebuah distribusi mimikri. Dengan perkataan

lain, konsep latah terbangun melalui konstruk

servant-mastery antara masyarakat setempat

dengan kaum koloni.

Ketiga, latah mempunyai hubungan erat

dengan istilah semangat atau tindakan yang

cukup berapi-api dari individu. Karakter emosi

kesemangatan dari individu ini bersifat defensif

(Kenny, 1990: 130-131). Kesemangatan

perucapan latah terjadi ketika ada pemicu yang

menggerakkan keterkejutannya, dan pelaku

akan mengeluarkan respon balik yang juga bisa

diartikan sebagai bentuk pertahanan. Bentuk

semangat yang defensif dianggap sebagai

strategi untuk mereduksi kekhawatiran dan

ketakutan penyandang latah. Dalam perspektif

Jawa, perilaku berapi-api, terlalu bersemangat

dan mudah terkejut, mudah heran (“Ojo

kagetan, ojo nggumunan”) merupakan tindakan

yang tidak dianjurkan oleh kalangan aristokrat

Jawa. Tindakan ini hanya pantas dilakukan oleh

orang-orang yang tidak berpendidikan dan

berperadaban halus. Merupakan karakter orang

Jawa untuk selalu tenang, sabar, dan bijak,

ketika menanggapi sesuatu.

Keempat, kata-kata spontan yang

dikeluarkan dalam latah sering bersifat cabul

(dirty jokes) dan merujuk kepada anggota-

anggota tubuh yang sensitif, seperti menyebut

salah satu bagian alat kelamin dengan

menggunakan bahasa daerah. Padahal

mengeluarkan kata-kata tubuh tertentu sangat

dianggap tidak sopan dalam pandangan kelas

Page 65: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

56 KADIR

terdidik dan aristokrat. Pada tataran perilaku

kecabulan, penyandang latah justru menjadi

suatu hiburan tersendiri, tatkala dengan

responsif ia memelorotkan celana atau pakaian

penutup aurat tertentu akibat dikejutkan oleh

suatu perintah secara tiba-tiba. Dalam sebuah

studi kasus, pada fenomena latah di Serawak

yang merujuk pada sejumlah nama hewan,

dunia mistis dan organ seksualitas tubuh juga

terjadi, seperti laporan berikut (Kenny, 1990:

136):

A survey study of latah among Malay women

included as content: male genitalia hanging

on a tree; detached male and female genitalia

on their own; basketfuls of steamed male

genitalia; giving birth; ghosts and worms;

snaky; monkey and crocodiles; similar

dreams are reported from peninsular

Malaysia as well.

Pada konteks wilayah Trengganu, Malaysia,

latah pada kaum laki-laki diidentikkan dengan

kepemilikan potensi menyanyi yang baik.

Sedangkan, perempuan latah dianggap sebagai

perempuan yang elegan dan penuh kehormatan

(jika meminjam istilah Jawa: “perempuan yang

tanpa tedeng aling-aling”) (Geertz, 1968: 100).

Di Jawa, sang pelaku latah dianggap sebagai

orang yang lucu. Semakin ia mudah terkejut

dan semakin cabul kata-kata yang dikeluarkan,

semakin lucu orang menganggapnya. Kelucuan

akan semakin bertambah karena sang pelaku

terkadang berani mengeluarkan kata-kata yang

tak beraturan (chaotic) dengan merusak tatanan

bahasa baku yang telah ada. Akibat kelucuan

yang berulang-ulang, maka seringkali rekan-

rekan si latah tak bosan menggodanya. Inilah

mengapa fenomena penyandang latah di Jawa

justru mendapatkan empati tersendiri dalam

lingkungan pergaulan.

Tertawa akibat melihat kelatahan seseorang

menghadirkan suasana interpretasi emosi yang

ambigu pula. Pada satu sisi, respons

penyandang latah dianggap menyenangkan

sekaligus menghibur, namun di sisi lain respons

penyandang latah dianggap tidak pantas atau

bahkan subversif. Latah dapat dikategorikan

sebagai tindakan subversif karena didalamnya

terdapat lelucon yang menjadi sebuah bahan

tertawaan, dalam hal mana lelucon ini

mempunyai sifat menyindir yang sangat keras

terhadap nilai-nilai normatif yang berlaku

dalam struktur suatu masyarakat. Dalam kaitan

dengan hal ini, Danadjaja (2002) memasukkan

lelucon ke dalam bagian folkore lisan, yakni

cerita rakyat yang masuk ke dalam sub bagian

dongeng. Dandjaja mengatakan bahwa joke

atau anekdot berfungsi sebagai protes sosial

atau sindiran, dapat juga digolongkan sebagai

joke politik. Latah dapat menjadi bagian

sindiran tersebut. Ruang humor pada kasus

latah menunjukkan simbol ekspresi emosi yang

hierarkis―egaliter dalam sebuah relasi sosial.

Selain dipercaya sebagai sebuah gejala yang

bersifat sementara (transitory), terdapat dua

karakter lainnya bagi penyandang latah.

Pertama, yang bersifat natural, misalnya, pada

kasus beberapa anggota keluarga di Jawa yang

rentan menyandang kebiasaan latah ini,

sehingga tidak jarang orang Jawa

menganggapnya sebagai suatu “keturunan

sosial”. Di sisi lain, latah menjadi bagian dari

ekshibisionisme, atau sekedar pameran yang

dibuat-buat, akibat meniru tren dari rekan-

rekannya (Elliz, 1897: 32-40).

Dalam konstruk jender, latah berkaitan erat

dengan karakter keperempuanan (effeminate),

karena latah sering dialami oleh kaum

perempuan. Namun demikian, konstruk jender

ini mengalami ambiguitas. Hal ini karena

Page 66: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 57

perempuan yang menyandangnya dianggap

memiliki tingkat femininitas yang rendah

apabila dikaitkan dengan konsep semangat dan

ekspresivitas emosi meledak-ledak―yang

seharusnya disandang oleh kaum laki-laki

(Kenny, 1990:34-5). Di sisi lain, bagi laki-laki,

latah yang dialami perempuan justru dianggap

sebagai suatu perilaku yang tidak maskulin dan

penuh kecabulan, karena yang menjadi

parameter maskulinitas bagi laki-laki adalah

amok/ngamuk (Jawa; Aceh: Aceh Pungoh;

Maluku: Kapitang) (Reid, 1992), dalam hal

mana laki-laki yang pernah mengamuk

dianggap sebagai laki-laki yang kuat, bahkan

disegani. Selanjutnya, lagi-lagi, perempuan

penyandang latah didudukkan pada posisi yang

ambigu, karena keterkejutan perempuan di satu

sisi menunjukkan suatu hubungan emosional

yang penuh semangat dan demonstratif, namun

di sisi lain dipandang bahwa perempuan

tersebut berada di posisi kesadaran yang tidak

seimbang. Pada kode kultural yang lain, latah

juga identik dengan laki-laki yang berorientasi

seksual sejenis (homoseksual) dan transvestit.

Beberapa laporan, seperti Peacock (1968),

menggambarkan model kelatahan yang

diaplikasikan dalam berbagai pertunjukkan

lawak.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat

disimpulkan bahwa, pertama, pada fenomena

latah terkandung batas-batas psikologis budaya

dimana karakternya menjadi sebuah peran

tersendiri bagi seseorang yang menyandangnya.

Latah berada pada ruang-ruang batas pertemuan

yang bersifat ambigu, antara lain: (a) ruang

sakral dan profane, (b) ruang personal dan

ruang publik, (c) ruang liar dan ruang normatif,

dan (d) diri yang sadar dan diri yang tidak

sadar. Oleh karena latah diidentikkan dengan

situasi liminal tubuh, maka latah juga muncul

dari batas pertemuan yang sifatnya dikotomis.

Interpretasi awal mengira bahwa kondisi latah

muncul dari adanya colonial encounter, namun,

selanjutnya, interpretasi mistis menganggap

bahwa latah juga muncul dari adanya

pertemuan masyarakat kampung dengan

makhluk asing di hutan (encounter in forest).

Dalam hal ini, kampung didudukkan sebagai

wilayah berkebudayaan, sedangkan hutan

ditempatkan sebagai wilayah misterius dan

tidak untuk dihuni. Bagi para penduduk

kampung, memasuki hutan akan menimbulkan

berbagai keterkejutan dari suara-suara aneh

yang kemudian diikuti oleh penduduk.

Pengikutan inilah yang kemudian dianggap

dengan asal munculnya latah.

Kedua, latah dapat disimpulkan sebagai

fenomena emosi kebudayaan Melayu yang

sifatnya partikular dan khas, sebagaimana telah

ditunjukkan oleh seluruh tulisan di atas. Sifat

khusus dan khas ini semakin diperkuat dengan

dialaminya kesulitan oleh para teoris Barat

untuk menentukan seperti apakah representasi

konsep latah pada masyarakat Melayu. Sejauh

ini, latah sempat didefinisikan dalam beberapa

konsep, seperti psychosis, hysterical psychosis

arctic hysteria, reactive psychosis, startle

reaction, fright neurosis, hypnoid state, hingga

psychodramatic shamanic. Munculnya konsep

psikologis ini berasal dari pertemuan antara

masyarakat pribumi dengan masyarakat

kolonial―yang mendefinisikan perilaku lokal

masyarakat Melayu. Kajian Barat melihat

bahwa latah sebagai bentuk emosi budaya

dianggap sebagai bagian dari bentuk

ketidaksadaran kolektif (collective

unconsciousness) dari masyarakat Timur.

Nampak bahwa terdapat sebuah rasionalitas

Page 67: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

58 KADIR

tersendiri dari budaya Timur yang gagal

ditangkap oleh bangunan narasi besar dari

ilmuwan Barat. Memang, selama ini teori besar

dalam ilmu pengetahuan modern mempunyai

bias problematis, karena menghasilkan otoritas

dalam melegitimasi dan mengonsepsikan

fenomena sosial kebudayaan dan makna

kebenaran, menciptakan nilai-nilai dengan

mengklaim siapa yang normal siapa yang

bukan, serta siapa yang tinggi dan siapa yang

rendah.

Latah harus dipahami sebagai sebuah istilah

yang memuat fenomena dan fakta emosi yang

kompleks. Untuk meneliti lebih lanjut, sangat

diperlukan data lapangan secara mendetail dan

interpretasi psikohistoris-budaya yang

meyakinkan serta representatif.

Bibliografi

Aberle, D. F. (1952). Arctic hysterial and latah

in Mongolia. Transactions of the New York

Academy of Sciences, 2nd series, 14, 291-

297.

Danandjaja, J. (2002). Folklore Indonesia.

Jakarta: Grafitti.

Ellis, W. G. (1897). Latah: A mental malady of

the Malays. Journal of Mental Science, 43,

32-40.

Gimlette, J. D. (1912, Agustus). Remarks on the

etiology, symptoms, and treatment of latah,

with a report of two cases. British Medical

Journal, 2, 455-457.

Geertz, C. (1960). The religion of Java. Free

Press, Glencoe, Ill.

Geertz, C. (1973). The interpretation of

cultures. New York: Basic Books.

Geertz, C. (1979). Abangan, santri, priyayi,

Jakarta: Pustaka Jaya.

Geertz, H. (1968, April). Latah in Java: A

theoretical paradox. Indonesia, 5, 93-104.

Kenny, M.G. (1978, September). Latah: The

symbolism of a putative mental disorder.

Culture, Medicine and Psychiatry, 2(3),

209-231.

Kenny, M.G. (1990). Latah: The logic of fear.

Dalam Karim, W.J. (Ed.), Emotions of

culture. Singapore: Oxford University

Press.

Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of

latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-

bound syndromes, ethnopsychiatry, and

alternative therapies. Honolulu: The

University Press of Hawaii.

Peacock, J. L. (1968). Rites of modernization:

Symbolic and social aspects of Indonesian

proletarian drama. Chicago: University of

Chicago Press.

Omar, R. (1994). Malay woman in the body:

Between biology and culture. Kuala

Lumpur: Fadjar Bakti.

Reid, A. (1992). Asia Tenggara dalam kurun

niaga 1450-1680: Tanah di bawah angin

(Mochtar Pabotinggi, Penerj.). Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Tseng, W.-S. (2006). From peculiar psychiatric

disorders through culture-bound syndromes

to culture-related specific syndromes.

Transcultural Psychiatry, 43(4), 554-576.

Yap, P. M. (1952). The latah reaction: Its

pathodynamics and nosological position.

Journal of Mental Science, 98, 515-564.

van Brero, P. C. (1895). Latah. Journal of

Mental Science, 41, 537.

Winzeler, R. L. (1984, April). The study of

Malayan latah. Indonesia, 37, 77-104.

Winzeler, R. L. (1991). Latah in Sarawak, with

the special reference to the Iban. Dalam

Sutlive, V. H. (Ed.), Female and male in

Borneo: Contribution and challenges to

gender studies. Williamsburg, VA: College

Page 68: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 59

of William & Mary.

Winzeler, R. L. (1995). Latah in Southeast

Asia: the history and ethnography of a

culture-bound syndrome. UK: Cambridge

University Press.

Page 69: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

60 KADIR

Page 70: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 60–63

Menyimak Kritik Bandler

Limas Sutanto Asia Pacific Association of Psychotherapists

The purposes of this article are to describe Bandler's criticism toward

behaviorism and its further influence to the works of helping professions

(psychologists, psychiatrists, counselors, psychotherapists, etc). The

author described the facts that the therapeutic effect of the works

delivered by the helping professions in this country was not as efficient

and effective as it had expected. This was due to the theoretical

interpretation which received more attention from the professionals, than

observation and attendance to the physiological process in the brain (as

the concrete object of soul and self) of troubled persons. The author

suggested that the curriculum and training of helping profession

education need to be developed and invited the educators and trainers to

have deeper concern toward observing and listening skill ability of those

who are students of helping field of study.

Keywords: brain, soul, self, helping professions, therapeutic effect,

theoretical interpretations, observing and listening abilities

Apa yang dikemukakan Richard Bandler

(salah satu pelopor dan pengembang

neurolinguistic programming) dalam bukunya,

Richard Bandler’s Guide to Trance-formation

(2008), cukup penting untuk disimak oleh para

psikolog, psikiater, konselor, psikoterapis, dan

insan-insan lain yang terangkum dalam helping

professions. Bandler (2008) mengatakan dengan

ungkapan yang agak keras, bahwa para terapis

perilaku (behaviorists) mengejawantahkan

inspirasi B.F. Skinner dengan mencoba

memecahkan masalah jiwani dengan

mengeliminasi (mengabaikan) otak. Mereka

melewatkan, atau mem-by pass otak serta

menerangkan betapa semua perilaku adalah

buah dari suatu rangsangan (stimulus) yang

masuk ke dalam “kotak hitam” (black box)

(yang sesungguhnya adalah otak–organ paling

canggih di tengah alam semesta), dan kemudian

dari kotak hitam itu keluarlah sebuah respons.

Mereka memastikan, apa yang terjadi hanyalah

antara S dan R (stimulus dan response).

Menyikapi itu semua, Bandler menegaskan

dengan ungkapan lugas, “They were wrong”.

Yang keliru adalah bahwa apa yang terjadi

antara S dan R itu sedemikian diabaikan,

padahal justru sesungguhnya apa yang terjadi di

sana–yang terjadi dalam otak–sangat penting

untuk diketahui. Pengetahuan mengenai apa

yang terjadi dalam otak itu akan sedemikian

memungkinkan para psikolog, psikiater,

konselor, dan psikoterapis untuk membantu

klien atau pasien membuat perubahan secara

cepat dan efektif pada dirinya; atau, dengan

perkataan lain, membantu klien atau pasien

memecahkan masalah-masalahnya dan

60

Page 71: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

KRITIK BANDLER 61

mencapai penyembuhan secara cepat dan

efektif. Pada titik ini, terapi (psikoterapi dan

konseling) perlu mendapatkan pemaknaan baru,

sebagai sebuah proses relasional yang menguak

fakta-fakta tentang apa yang terjadi dalam otak.

Ungkapan “apa yang terjadi dalam jiwa” kini

perlu dimaknai lebih konkret sebagai “apa yang

terjadi dalam otak”. Oleh karena apa yang

terjadi dalam otak itu pada dasarnya merupakan

perubahan-perubahan neurologis dan

perubahan-perubahan bahasa, maka psikolog,

psikiater, konselor, dan psikoterapis perlu

memahami perubahan-perubahan neurologis

apa dan perubahan-perubahan bahasa apa yang

terjadi dalam otak pasien atau klien.

Mengamati dan Mendengarkan Porus

Perubahan-perubahan neurologis pada

seseorang selalu menampakkan gejala-gejala

dan tanda-tanda yang dapat dilihat (diamati)

dan didengarkan oleh orang lain. Perubahan-

perubahan bahasa pada seseorang pun dapat

dilihat (diamati) dan didengarkan oleh orang

lain. Pada titik ini Bandler menegaskan betapa

manusia selalu saja membocorkan isyarat-

isyarat melalui setiap porus (“lubang terkecil di

permukaan tubuhnya”) tentang apa yang terjadi

dalam otaknya, tentang bagaimana dirinya

memproses informasi. Kata Bandler, “People

leak clues from every pore about how they’re

processing information.” Bandler memandang

bahwa setiap manusia selalu saja membocorkan

isyarat-isyarat itu tanpa henti. Oleh karenanya,

ia menegaskan bahwa manusia tidak pernah

tidak berkomunikasi, atau tidak pernah bisa

berhenti mengomunikasikan dirinya kepada

orang-orang lain, bahkan ketika ia memutuskan

untuk tidak mengatakan apa pun kepada siapa

pun.

Apabila demikian, maka terdapat hal-hal

yang sangat diperlukan oleh setiap psikolog,

psikiater, konselor, dan psikoterapis, sebagai

orang-orang yang dianggap mampu dan perlu

melaksanakan tugas serta keahlian mereka

sebagai helper dan terapis bagi klien-klien atau

pasien-pasien mereka. Yang sangat diperlukan

adalah kesediaan dan kemampuan untuk

melihat (mengamati) dan mendengarkan setiap

klien atau pasien dengan tepat. Melihat

(mengamati) serta mendengarkan dengan tepat

berarti mengetahui apa yang terjadi dalam otak

(jiwa; diri) pasien dan klien, sebagaimana

adanya; sekali lagi, sebagaimana adanya,

bukan “apa yang terjadi dalam diri klien atau

pasien berdasarkan penafsiran (interpretasi)

psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis”,

bukan pula “apa yang terjadi dalam diri klien

atau pasien menurut teori atau kerangka teoretis

ini atau itu”.

Sibuk Melekat Pada Teori

Yang patut disesalkan adalah bahwa apa

yang tergelar di tengah kenyataan kinerja

profesional dan pelaksanaan tugas para

psikolog, psikiater, konselor, dan psikoterapis,

di sana-sini, justru masih mencerminkan betapa

mereka sibuk sekali menekankan dan membela

teori-teori mereka, dan mereka selalu saja repot

mencoba menafsirkan (menginterpretasikan)

pengalaman klien-klien atau pasien-pasien

mereka, bukan melihat (mengamati) dan

mendengarkan apa yang sedang terjadi dalam

otak (jiwa; diri) pribadi yang sedang berada di

hadapan mereka.

Pada perspektif ini, psikolog, psikiater, dan

psikoterapis psikoanalitis (mungkin termasuk

penulis sendiri!) mengatakan bahwa mereka

dapat meraih kebenaran tentang klien atau

pasien melalui tindakan menganalisis dan

menginterpretasikan mimpi-mimpi klien atau

Page 72: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

62 SUTANTO

pasien, melalui tindakan menganalisis dan

menginterpretasikan resistensi serta transferensi

yang terjadi dalam relasi mereka dengan klien

atau pasien. Sebagian terapis–seiring dengan

teori-teori yang mereka kuasai–meyakini, dan

selalu saja meyakini bahwa seorang pasien atau

klien gangguan stres pascatraumatis

(posttraumatic stress disorder) akan mengalami

penyembuhan seiring dengan makin seringnya

dia “mengalami kembali dan mengolah”

(working through) pengalaman traumatisnya.

Padahal, apa yang terjadi dalam otak (jiwa; diri)

klien atau pasien gangguan stres pascatraumatis

adalah pengulangan-pengulangan nirsadar

pengalaman traumatis. Oleh karena itu, dapat

dikatakan bahwa sesungguhnya problem pasien

atau klien gangguan stres pascatraumatis

berintikan obsesi dan kompulsi untuk kembali

ke pengalaman traumatis yang telah berlalu.

Dengan memahami “apa yang terjadi dalam

otak (jiwa; diri) pasien atau klien”, dan bukan

memahami “semata berdasarkan teori tertentu”,

dapat dipertanyakan, apakah pendekatan yang

menekankan tindakan “mengalami kembali dan

mengolah pengalaman traumatis” merupakan

pendekatan yang terbaik untuk menyembuhkan

pasien atau klien gangguan stres

pascatraumatis.

Semakin sibuk dan lekat seorang psikolog,

psikiater, konselor, dan psikoterapis terhadap

teori-teori terapinya, semakin banyak pula lah ia

melakukan interpretasi terhadap klien atau

pasiennya. Selanjutnya, seiring dengan kian

seringnya mereka melakukan interpretasi,

mereka pun menjadi kian kehabisan waktu

untuk melakukan dua aktivitas profesionalnya

yang terpenting: melihat (mengamati) dan

mendengarkan. Hasilnya adalah, psikolog,

psikiater, konselor, dan psikoterapis makin

memahami klien atau pasien menurut teori yang

mereka yakini, dan mereka tidak makin

memahami apa yang sesungguhnya terjadi

dalam otak (jiwa; diri) klien atau pasien.

Mereka memahami apa yang benar menurut

peta mereka sendiri, bukan memahami peta

sang klien atau pasien sebagaimana adanya.

Yang dipahami oleh psikolog, psikiater,

konselor, dan psikoterapis adalah the truth

according to my own theory, atau the reality as

I subjectively perceived, bukan what was

happening inside the patient’s psyche, bukan

pula what is really happening in the patient’s

brain.

Kesimpulan dan Saran

Sungguhkah memahami klien atau pasien

menurut pengertian terapis sendiri (berdasarkan

teori yang dikuasai oleh terapis; berdasarkan

interpretasi yang dibuat oleh terapis) adalah

lebih bermanfaat bagi klien atau pasien

daripada memahami apa yang sedang terjadi

dalam otak (jiwa; diri) klien atau pasien?

Kendati jawaban kita bisa dan boleh sedemikian

beragam, namun tidak ada salahnya psikolog,

psikiater, konselor, dan psikoterapis menyimak

kritik Bandler untuk menumbuhkembangkan

kemampuan terapeutis profesionalnya. Dapat

dirasakan, kurikulum pendidikan dan pelatihan

berbagai helping profession (psikolog, psikiater,

konselor, dan psikoterapis), dan praksis

pendidikan dan pelatihan berbagai helping

profession itu, di negeri ini, masih kurang,

bahkan mungkin sangat kurang, memberikan

perhatian pada upaya menumbuhkembangkan

kemampuan melihat (mengamati) dan

mendengarkan dengan tepat, bagi setiap peserta

didik.

Kritik Bandler mungkin dapat menggugah

kita untuk menumbuhkembangkan kurikulum

pendidikan dan pelatihan serta praksis

Page 73: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

KRITIK BANDLER 63

pendidikan dan pelatihan bagi psikolog,

psikiater, konselor, dan psikoterapis yang

memberikan perhatian besar bagi upaya

menumbuhkembangkan kemampuan yang

efektif untuk melihat (mengamati) dan

mendengarkan dengan tepat.

Bibliografi

Bandler, R. (2008). Richard Bandler's guide to

trance-formation: How to harness the

power of hypnosis to ignite effortless and

lasting change. Florida, US: Health

Communications, Inc.

Page 74: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

64 SUTANTO

Page 75: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 64–70

Radikalisme Islam dan Perilaku Orang Kalah Dalam Perspektif Psikologi Sosial

Koentjoro Beben Rubianto Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada Forum Komunikasi Tafsir Hadis Indonesia

The purpose of this article is to describe the dynamics of radicalism

among the Indonesian Moslems. In Indonesia, radicalism is mostly

induced by the Moslems’ depressed and threatened feeling due to their

being marginalized in political life and individually brainwashed by the

religion teachers through dogmatic teaching. From group processes point

of view, Islamic radicalism groups tried to enlist people to their groups as

they believe that this recruiting effort will unify Islam and the country.

The author proposes his opinion that the radical groups in order to be exist

and as they were unable to find alternatives for their struggle, they

provoked terrorism. Reasoned action theory (Ajzen & Fishbein, 1980) and

frustration–aggression theory (Dollard, Doob, Miller, Mowerer, & Sears,

1939) in the field of social psychology are relevant to analyze the

Moslems’ radical behavior. The author suggested that Islamic radicalism

needs appropriate channels for their concerns (for example, through mass

media); however, it also needs to be sharply distinguished from terrorism

and violence for Islam means "natural law", "safe", and "peace".

Keywords: radicalism, terrorism, militant, Islam, losers, ingroup-

outgroup feeling, reasoned-action, frustrations, psychology of

teaching/dakwah, religious peace

Bom yang meledak di Sharm el-Sheik,

Mesir, pada 2005, yang menewaskan sedikitnya

88 orang, konon merupakan perbuatan salah

satu jaringan Al-Qaeda (“Al-Qaeda Mesir,”

2005), meskipun indikasi ini perlu dikaji

kebenarannya. Yang pasti, pelaku peledakan

bom di area wisata laut merah―maupun dalam

peristiwa ledakan-ledakan bom lainnya―akan

mendapat tanggapan dan sebutan yang

bermacam-macam dari masyarakat, antara lain:

radikal, militan, dan teroris. Yang menarik,

bukan saja Obama sekarang mulai menarik

pasukannya dari Irak dan akan berkonsentrasi di

Afganistan, tetapi juga sebutan-sebutan

tadi―apalagi dikaitkan dengan peledakan

bom―cenderung ditujukan kepada kelompok-

kelompok bernuansa Islam. Artinya, sebutan

radikal, militan, dan teroris dianggap memiliki

daya tarik bila dikaitkan dengan sentimen

keagamaan daripada dengan ideologi, politik,

budaya, hankam, dan lain-lain, serta cenderung

berkonotasi negatif. Benarkah demikian?

Menurut penulis, invasi atau campur tangan

Amerika ke Afganistan, Libia, Palestina,

Bosnia, dan kemudian dilanjutkan invasi

Amerika ke Irak, semakin membenarkan

64

Page 76: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

RADIKALISME ISLAM 65

hipotesis Huntington (1998), bahwa dengan

redanya perang dingin Amerika versus Soviet,

maka yang dianggap musuh Amerika adalah

Islam.

Tulisan ini hendak menelaah bagaimana

radikalisme Islam terjadi di Indonesia dan

mengapa hal tersebut harus terjadi di Indonesia.

Indonesia sebagai Melting Pot

Negara yang berpenduduk dan memeluk

agama Islam terbesar di dunia adalah Indonesia.

Oleh karenanya, ada saja yang menganggap

bahwa Indonesia adalah ancaman apabila ia

merupakan negara yang kuat. Hal ini dapat

dibuktikan dari fenomena “Indonesia Phobia”

yang ditunjukkan oleh sebagian politisi dan/atau

masyarakat Australia (“Australians see,” 2005).

Dalam konteks ini, apabila teori Huntington

diterapkan di Indonesia, dan melihat fenomena

terorisme di Indonesia, maka teori itu kemudian

mendekati kebenaran. Indonesia sebagai negara

berpenduduk mayoritas Islam yang kaya

sumberdaya jelas merupakan ancaman.

Di mata penulis, aksi teror bukanlah hanya

aksi bom dan penembakan misterius. Namun,

lebih dari itu, kasus narkoba juga bagian dari

terorisme. Kekalahan Cina atas Inggris hingga

lepasnya Macau dan Hongkong terjadi akibat

candu. Afganistan menjadi bulan-bulanan

Amerika; banyak orang tidak menyangka

bahwa Afganistan adalah produsen opium

terbaik di dunia. Belajar dari sejarah Cina

dengan perang candunya, maka dapat

dipertanyakan apakah narkoba yang beredar di

Indonesia terkait dengan terorisme ini. Amerika

dan beberapa Negara sekutunya menghendaki

agar Indonesia, negara dengan jumlah

penduduk yang beragama Islam terbesar di

dunia ini, menjadi kerdil alias tidak pernah

menjadi besar.

Pada tahun 1996, Sarwono Kusumaatmadja

menyadarkan penulis bahwa kita bangsa

Indonesia adalah bangsa yang besar.

Dikatakannya, bahwa ada sekitar 15-20 persen

penduduk Indonesia yang memiliki taraf

kehidupan sebagaimana orang Swiss

(Kusumaatmadja, komunikasi personal di

Gedung Konsulat RI di Melbourne, 1996).

Apabila di tahun itu jumlah penduduk Indonesia

adalah 195 juta (Badan Pusat Statistik Republik

Indonesia, 2006), maka orang Indonesia yang

memiliki taraf kehidupan sebagaimana orang

Swiss berjumlah kira-kira 30-40 juta. Marilah

kita bandingkan dengan Australia yang total

jumlah penduduknya hanya sekitar 20,4 juta

(“Australia,” 2009) dengan luas wilayah yang

sedikit lebih besar daratannya dibandingkan

dengan Indonesia. Dengan tingkat keterdidikan

masyarakat Indonesia yang makin meningkat

dan apabila kemudian jumlah kelas menengah

bertambah, ini dianggap oleh mereka sebagai

sebuah ancaman. Oleh karena itulah, penyebab

teror kemudian diciptakan, dan Indonesia

merupakan melting pot-nya. Kelompok pesimis

akan mengatakan bahwa Indonesia tidak akan

pernah aman.

Sebuah tesis hasil penelitian mahasiswa

program Magister Psikologi di Sekolah

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta meneliti hubungan antara ayat yang

mengandung jihad dengan tingkat agresivitas.

Ditemukan bahwa mahasiswa yang

mendapatkan bacaan ayat yang mengandung

jihad, agresivitasnya meningkat secara

signifikan. Temuan ini mengindikasikan bahwa

radikalisme tidak selalu disebabkan karena

tindakan represif suatu rezim pada umat Islam,

tetapi juga dapat terjadi karena proses

brainwashing. Ketaatan yang terkait dengan

agama seringkali dapat terjadi karena sifat

Page 77: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

66 KOENTJORO DAN RUBIANTO

dogmatis dari ajarannya. Banyak kisah

menunjukkan keterkaitan tersebut, baik pada

sekte keagamaan di Amerika, Afrika, maupun

Asia. Misalnya, seorang santriwati dibujuk oleh

kyainya agar mau dinikahi dengan alasan

menjadi istri kyai jaminan surga; hal ini jauh

lebih baik, menurut sang kyai, dari pada

santriwati tersebut di dunia tidak mendapat

surga. Oleh karenanya, tidaklah aneh apabila

militanisme dalam kegiatan radikalisme dalam

agama ini dapat dengan mudah dibentuk. Orang

dengan mudah dan sukarela dipengaruhi untuk

mati syahid atas nama sebuah perjuangan,

“Lebih baik dapat surga di akhirat daripada

tidak mendapat surga di dunia maupun di

akhirat.” Barangkali hal ini diilhami dari sebuah

kredo “isy kariman au mut syahidan” (“Hidup

mulia atau mati syahid”). Menurut penulis,

dalam konteks bahasan ini, lebih tepat apabila

kredo itu berbunyi “isy kariman wa mut

syahidan” (“Hidup mulia dan mati pun

syahid”).

Radikalisme dalam Perspektif

Group Processes

Ketika Indonesia belum merdeka, terdapat

kesadaran yang amat kuat pada masyarakat

negeri ini untuk bersatu, bahu membahu

mengusir penjajah. Sejarah mencatat

munculnya organisasi Islam, seperti Sarikat

Dagang Islam, Muhammadiyah, Nahdatul

Ulama, yang dengan gaya dan caranya masing-

masing berjuang, bersatu dengan kelompok

nasionalis dan kelompok lain, untuk

memerdekakan negeri ini. Pada zaman sebelum

kemerdekaan ini, ada sebagian mereka yang

ketika berperang mengelompokkan diri dalam

ikatan agama, serta ada pula yang

mengatasnamakan ikatan tertentu yang lain.

Meskipun demikian, karena tujuan

kemerdekaan demikian kuat, maka perbedaan

yang ada di antara mereka tidak mereka

hiraukan. Bagi mereka, yang penting adalah

merdeka. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila

kemudian bergulir semboyan, “Merdeka atau

Mati!”. Dalam bahasan psikologi, kelompok

dengan kondisi di atas merupakan gambaran

bahwa mereka telah mengacuhkan perasaan

ingroup-outgroup. Bahwa tujuan yang lebih

besar mengalahkan sentimen dan loyalitas pada

kelompoknya.

Dampak dari perasaan ingroup-outgroup lah

yang kemudian dapat memunculkan

superioritas. Bahwa kelompokku lebih hebat

apabila dibanding dengan kelompok lain. Dalam

pendekatan statistika, posisi kelompok radikal

ini terletak pada dua ujung sebuah kurva

normal, yang menurut penulis terjadi secara

alamiah.

Ada orang atau kelompok yang menyatakan

bahwa ketidakpuasan orang-orang Islam radikal

tertentu terhadap kebijakan penguasa pada

waktu perjuangan merebut kemerdekaan

Indonesia menyebabkan mereka berhimpun

dalam satu wadah, yaitu Darul Islam/Tentara

Islam Indonesia (DI/TII) dan Negara Islam

Indonesia (NII). Menurut mereka, barangkali

salah satu sumber masalahnya adalah

perdebatan tentang pasal 29 UUD 1945.

Pendapat orang atau kelompok ini benar, namun

tidaklah seluruhnya benar. Ketika kemerdekaan

tercapai, kemudian “kue kekuasaan” dibagi dan

aturan main kemudian dibuat. Muncullah

ketidakpuasan pihak-pihak yang terlibat. Di

sinilah bentrok dan radikalisme di awal

kemerdekaan terjadi. Ketiga negosiasi-negosiasi

politik jalan buntu, ketika golongan Islam

berhadapan dengan golongan nasionalisme,

masing-masing kelompok berusaha masuk

wilayah kekuasaan, namun pada sisi lain, ada

Page 78: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

RADIKALISME ISLAM 67

juga kelompok yang teraleniasi dan itu adalah

golongan Islam. Kondisi ini dapat dilihat

bahwa, hingga tahun 1955, terjadi beberapa kali

pergantian kepemimpinan di Indonesia.

Islam adalah sebuah ideologi agama syamil

(global), kamil (sempurna), wamutakamil (dan

disempurnakan). Jutaan umat Islam setiap hari

melihat fenomena yang beraneka ragam di

masyarakat. Banyak orang kemudian merasa

tidak puas terhadap tatanan dan kondisi

masyarakat yang amburadul tidak sesuai ajaran

Islam. Bukanlah hal yang mustahil apabila

kemudian banyak yang ingin melakukan

purifikasi agama. Mereka tidak puas dengan

kondisi lingkungannya yang jauh berbeda

dengan ajaran dan syariat Islam, atau, paling

tidak, dengan idealisme mereka tentang Islam,

syariat, dan Negara Islam. Orang yang sealiran

dengan pemahaman ini, melalui interaksi

mereka yang sengaja mereka selenggarakan

atau kebetulan, kemudian berhimpun diri.

Dengan alasan pemurnian ajaran agama, maka

mereka menciptakan simbol-simbol dan cara

berpakaian yang berbeda dengan khalayak

ramai. Akibatnya sangatlah jelas, bahwa

simbolisme merupakan proses pemilahan “siapa

yang termasuk kelompok saya” dan “siapa yang

bukan termasuk kelompok saya”. Kondisi ini

diperparah dengan tindakan represif rezim

Soeharto yang pada satu sisi

menumbuhsuburkan Islam―yang seperti

dimaui penguasa saat itu, namun pada sisi yang

lain memberangus kegiatan Islam yang

berseberangan dengan keinginan rezim.

Tindakan represif itu tidak membunuh akar

gerakan Islam radikal, namun justru

memberikan dampak pada militanisme dan

radikalisme. Kondisi ini pernah penulis

buktikan ketika berkunjung ke Manly (sebuah

suburb di utara Sydney). Di sana, ada masjid

tempat orang-orang Islam teralienasi pada

jaman rezim Soeharto dan bahkan Soekarno.

Zada (2003), mengutip pendapat Hunter,

mengemukakan enam ideologi gerakan yang

dapat mempersatukan kelompok radikal, yaitu:

(a) konsep din wa daulah. Islam merupakan

sistem kehidupan total, yang secara universal

dapat diterapkan pada semua keadaan, waktu,

dan tempat. Pemisahan antara din (agama)

dan daulah (negara) adalah hal yang mustahil

dapat diterima oleh kelompok radikal. Bagi

kelompok radikal, agama dan negara adalah

dua hal yang tak terpisahkan dan hendaknya

dipahami secara integral; (b) kembali ke

Qur’an dan Hadist. Dalam hal ini, umat Islam

diperintahkan untuk kembali pada praktek

ajaran Nabi yang puritan dalam mencari

keaslian ajaran dan pembaruan; (c)

puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai

dan adat-istiadat Barat ditolak sebagai sesuatu

yang sekuler dan asing bagi Islam. Oleh

karena itu, mereka menuntut agar media

massa mampu memberikan dakwah secara

puritan yang berkeadilan sosial. Namun,

tuntutan yang demikian itu mungkin akan

mengalami masalah besar, sebab pada sisi

yang lain, kesadaran jender menuntut adanya

pemaknaan ulang terhadap Al Qur’an; (d)

kedaulatan syariat Islam; (e) jihad sebagai

instrumen gerakan; dan (f) perlawanan

terhadap Barat yang hegemonik dan

intervensinya di Negara-negara Islam, seperti

Libia, Bosnia, Palestina, Afganistan, dan Irak

(Ahmed & Donnan, 1994).

Dalam konteks tersebut, penulis

berpendapat bahwa, bagi penganut radikalisme

modern di Indonesia, kenyataan adanya sejarah

DI/TII dan NII menjadi semacam reinforcement

atau penguat perilaku, atau pertanda bahwa

dahulu pun pernah ada gerakan radikal seperti

yang mereka lakukan saat ini.

Page 79: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

68 KOENTJORO DAN RUBIANTO

Radikalisme dan Perilaku Orang Kalah

Radikalisme dalam Islam pernah tercoreng

dengan kasus yang dimuat dalam novel Tuhan,

Ijinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka

Seorang Muslimah, karya Muhidin M. Dachlan

(2004), yang secara tidak sengaja membedah

kehidupan kelompok radikal. Novel itu

membuka kedok bahwa kelompok yang

menggunakan simbol atau asesoris Islam

radikal tertentu ternyata tidak melaksanakan

syariat dan ajaran Islam secara kaffah

(menyeluruh). Radikalisme yang clandestine

lah, menurut hemat penulis, yang justru

merupakan gerakan yang paling mungkin dan

paling efektif dilakukan oleh kelompok radikal

Islam di balik lingkungan sistematis budaya

Barat yang amat dominan dan membelenggu.

Kegiatan teror yang dilakukan oleh kelompok

ini merupakan metafora tentang eksistensinya.

Meskipun diakui bahwa terorisme

merupakan bagian dari psy-war, namun

terorisme adalah tindakan orang kalah.

Terorisme berbeda dengan radikalisme dan

militanisme. Teror memiliki dua sifat: (a) terror

for production of fear, yang bersifat murni dan

dirancang untuk menimbulkan rasa takut, dan

(b) terror by siege, yang bersifat kontra-teror,

dengan sengaja menciptakan suasana

mencekam untuk menimbulkan situasi berjaga-

jaga (Koentjoro, 2002). Meski perilakunya

adalah sama, namun dalam hal makna ia

berbeda, karena radikalisme dan militanisme

tidak selalu ditempuh melalui terorisme.

Terorisme, menurut penulis, adalah bahasa

orang kalah. Teror adalah alternatif terakhir

dari sebuah perjuangan. Perjuangan radikalisme

dan militanisme di abad mendatang sebenarnya

dapat dilakukan melalui media. Reputasi Islam

telah hancur, karena efek media. Oleh karena

itulah, sudah saatnya perjuangan umat Islam

dilakukan melalui media.

Kelompok radikal yang satu terhadap yang

lain secara santun juga menginginkan adanya

superioritas, meskipun pada dasarnya mereka

adalah minoritas. Dengan demikian, konflik

antar-kelompok radikal pun amat sangat

mungkin terjadi. Sebuah pertanyaan yang

pantas diajukan adalah, “Mungkinkah kelompok

minoritas mempengaruhi mayoritasnya?"

Jawabnya adalah mungkin. Menurut teori

psikologi, kelompok minoritas dapat

mempengaruhi mayoritas apabila terpenuhi

beberapa syarat, antara lain: (a) apabila jika

terdapat masalah yang menyangkut kepentingan

umum, mereka berdiri dan menjadi garda

terdepan, dan (b) apabila mereka konsisten

dengan perjuangannya dan ideologinya

(Koentjoro, 2002).

Radikalisme dalam Perspektif Psikologi

Dalam konteks Psikologi Dakwah,

fenomena radikalisme dalam Islam sungguh

tidak menguntungkan. Islam dalam hal ini jauh

dari kesan sebagai agama yang rahmatan lil

‘alamin. Dengan metafora pedang dan huruf

Arab dalam bendera Islam, serta teriakan

“Allahu Akbar!“ dan tidak takut mati, tentulah

membuat miris orang yang melihatnya.

Terdapat beberapa stigma tentang Islam yang

muncul secara kental, antara lain: (a) Islam

adalah kekerasan atau teror, (b) Islam adalah

merusak dan tidak memberi solusi, dan (c)

Agama yang berhak eksis di muka bumi

hanyalah Islam. Gerakan Islam radikal lebih

cenderung berorientasi memerangi orang atau

kelompok masyarakat atau agama yang

berusaha mempengaruhi orang masuk ke agama

selain Islam. Di samping itu, perasaan ingroup-

outgroup juga menyebabkan munculnya

pandangan bahwa orang-orang yang Islamnya

Page 80: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

RADIKALISME ISLAM 69

tidak seperti mereka merupakan orang kafir.

Belajar dari kasus G-30-S/PKI, maka kita

dapat saja tidak setuju atau memberantas

komunisme. Namun, manusia pengikut ajaran

komunisme itulah yang harus kita sadarkan dan

kita ajak masuk Islam, bukan malah dimusuhi

atau dijauhi seperti selama ini.

Ketika penulis (Koentjoro) belajar di

Melbourne Australia pada tahun 1996, penulis

dan kawan-kawan kedatangan satu kelompok

radikal. Sebagai saudara setanah air, mereka

kami anggap sebagai tamu terhormat yang

sedang melakukan syiar agama. Namun

demikian, mereka tidak menyadari bahwa

perilaku mereka menusuk perasaan istri ketua

kelompok pengajian kami. Pada saat

rombongan itu bertamu ke rumah ketua

kelompok pengajian kami, pintu dibuka dan

yang membukakan pintu adalah istri ketua

kelompok pengajian kami. Namun, mereka

kemudian dengan segera menutup matanya

dengan telapak tangannya sembari

membelakangi nyonya rumah.

Kondisi seperti di atas jelas amat tidak

menguntungkan bagi perkembangan Islam.

Oleh karenanya, persepsi terhadap Islam yang

telah mengarah menjadi stigma harus diubah

kedalam mekanisme dakwah yang sejuk,

menerima, dan bukan menghukum. Dalam

perspektif keperilakuan, agama atau keyakinan

berada di atas sikap dan amat sangat sulit

diubah. Kondisi ini barangkali menjelaskan

kepada kita tentang militanismenya mereka.

Berdasarkan pendekatan teori reasoned action

dari Ajzen dan Fishbein (1980), keyakinan akan

radikalisme dapat dianalisis terletak pada

wilayah objective norms dan subjective norms,

yang amat dekat dengan niat dan perilaku.

Perilaku kelompok radikal dengan segala

cirinya, sebagai sebuah fenomena sosial,

menarik untuk diamati. Namun eksklusivisme

mereka menjadikan peneliti amat susah masuk

kedalam kelompok ini. Penelitian tentang

komando jihad pernah juga dilakukan oleh

mahasiswa Magister Psikologi UGM, namun

mereka mendapatkan kendala untuk masuk

lebih dalam. Anehnya, banyak Islam radikal

selalu mengatasnamakan dirinya sebagai Ahlul

Sunnah Wal Jamaah.

Menurut perspektif frustrasi-agresi yang

dikembangkan oleh Dollard, Doob, Miller,

Mowerer, dan Sears (1939), agresivitas suatu

perilaku individu atau kelompok sebanding

dengan tingkat frustrasi yang dialami oleh

kelompok atau individu tersebut. Radikalisme

memang berbeda dengan agresivitas, namun

dalam banyak hal, kita melihat adanya korelasi

antar keduanya. Iklim demokratis dan

kemerdekaan berserikat telah dibuka sejak

pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga kini.

Ini mengindikasikan bahwa, dalam konteks

gerakan, terdapat perbedaan ideologi

radikalisme antara zaman Soeharto dengan

pasca Abdurrahman Wahid. Frustrasi akibat

tindakan represif barangkali sudah tidak ada

lagi, demikian pula gerakan clandestine.

Radikalisme yang terjadi saat ini lebih kepada

pemurnian ajaran agama Islam, dan sebagian

lagi adalah tuntutan konsep din wa daulah

(Islam sebagai sistem kehidupan total).

Kesimpulan dan Saran

Radikalisme dan militanisme memang

dalam hal tertentu dibutuhkan untuk purifikasi

agama. Namun demikian, Islam sebagai agama

rahmatan lil ‘alamin tetap harus diciptakan,

karena Islam itu sendiri artinya “selamat” atau

“kedamaian”. Bukankah Tuhan

mengultimatum, “watawaa shou bilhaq

watawaa shou bisshabr” (Menegakkan

Page 81: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

70 KOENTJORO DAN RUBIANTO

kebenaran haruslah disertai dengan

kesabaran/santun)? Penempatan bilhaq dan

bissharb dalam satu ayat yang sejajar,

mengindikasikan bahwa secara teologis, Tuhan

menghendaki adanya fatsoen (kode etik) dalam

menegakkan ajaran-Nya. Oleh karena itu, perlu

diciptakan mekanisme yang memberi

kesempatan untuk menjadi militan dan radikal.

Namun, kedamaian agama lewat silaturahmi

juga wajib ditegakkan.

Satu hal yang perlu dievaluasi adalah bahwa

hendaknya militanisme dan radikalisme

dibedakan dari kekerasan. Militan dan radikal

tidak selalu berbuat kekerasan yang melanggar

aturan.

Untuk menciptakan pencitraan radikalisme

yang baik, perjuangan melalui media sangat

penting dilakukan umat Islam saat ini.

Hancurnya FEER, Asiaweek, dan media lain

yang menjadi kepanjangan tangan Amerika,

mengindikasikan adanya kesadaran terhadap

local wisdom. Bahwa telah terdapat kesadaran

kritis bangsa untuk tidak dicekoki informasi

dari satu arah saja.

Bibliografi

Ajzen, I., & Fishbein, M. 1980. Understanding

attitudes and predicting social behavior.

NJ: Prentice Hall, Englewood Cliffs.

Al-Qaeda Mesir bertangung jawab atas bom

Sharm El-Sheikh. (2005, 24 Juli).

Kapanlagi.com. Ditemukembali pada 6

April 2009, dari

http://www.kapanlagi.com/h/0000074077.ht

ml

Australia. (2009). Wikipedia. Ditemukembali

dari http://id.wikipedia.org/wiki/Australia

Australians see Susilo as open-minded, honest.

(2005, 21 April). The Jakarta Post.

Ditemukembali pada 6 April 2009, dari

http://www.thejakartapost.com/news/2005/0

4/21/australians-see-susilo-openminded-

honest.html

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.

(2006). Tingkat kemiskinan di Indonesia

tahun 2005-2006. Ditemukembali pada 6

April 2009, dari

http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskin

an-01sep06.pdf

Dachlan, M. M. (2004). Tuhan, izinkan aku

menjadi pelacur! Memoar luka seorang

muslimah. ScriPta Manent.

Dollard, J., Doob, L., Miller, N. E., Mowerer,

O. H., & Sears, R. R. (1939). Frustration

and aggression. New Haven, CT: York

University Press.

Huntington, S. P. (1998). The clash of

civilizations and the remaking of world

order. UK: Simon & Schuster.

Koentjoro. (2002). Psikologi politik: Materi

kuliah mahasiswa program S1 psikologi

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Tidak diterbitkan.

Zada, K. (2003, 15 Agustus). Ideologi Gerakan

Islam Radikal. Media Indonesia.

Page 82: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

RADIKALISME ISLAM 71

Page 83: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

Psikobuana ISSN 2085-4242 2009, Vol. 1, No. 1, 71–72

Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana (Judul, 22 point Centered)

Nama penulis, lengkap, tanpa gelar, tanpa posisi

Nama dan alamat lembaga (12 point centered)

Abstract is written in English and Indonesian, limited to 200 words, and

written in single paragraph. Abstract should contain goal, research

method, and short description of result. (11 point, use block format, no

indentation).

Keywords: written inline, three to ten words (10 point).

Dokumen ini ditulis sebagai pedoman format

final artikel Jurnal PsikoBuana. Bagian pendahuluan

ini tanpa menggunakan heading "Pendahuluan" atau

"Latar Belakang".

Panduan Bagi Penulis

Revisi artikel hanya akan diterima dalam bentuk

softcopy, dengan mengikuti format cetak (dokumen

ini), selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah

surat pemberitahuan revisi.

Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan

artikel yang tidak dimuat. Kepastian

pemuatan/penolakan /revisi dilakukan secara

tertulis.

Manuskrip orisinal beserta tiga eksemplar

salinannya dikirimkan dalam format soft copy

(Microsoft Word atau OpenOffice Writer) melalui

media cakram kompak ke alamat surat Sidang

Penyunting, atau melalui surat elektronik dengan

alamat [email protected]

Format, Sistematika, Tabel, dan Gambar

Artikel ditulis pada kertas A4, huruf Times New

Roman ukuran 12, spasi 1,25, rata kiri-kanan, tidak

melebihi 15 halaman. Penulisan naskah pada

umumnya mengikuti kaidah-kaidah yang tertuang

dalam Publication Manual of the American

Psychological Association (APA) 5th ed. (2001).

Heading tanpa penomoran dengan maksimal dua

peringkat sub-heading:

Ini Heading

Ini Sub-Heading Peringkat 1 (Italicize, Flush

Left, Capitalize Keywords)

Teks dalam paragraf ini diberi indentasi first

line dengan spasi atas ganda. Apabila sub-heading

peringkat satunya adalah "Prosedur Pengumpulan

dan Analisis Data", maka teks dalam paragraf ini

menerangkan hal tersebut.

Badan utama artikel hasil penelitian berisi: (a)

pendahuluan (memuat latar belakang & pernyataan

masalah, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, tujuan

dan manfaat penelitian, hipotesis yang hendak

diuji), (b) metode (memuat rancangan penelitian,

gambaran partisipan, serta prosedur pengumpulan

dan analisis data), (c) hasil (memuat hasil uji

hipotesis, yang dapat menyertakan tabel, grafik, dan

sebagainya), (d) pembahasan (memuat interpretasi

dan evaluasi terhadap hasil penelitian, serta ulasan

problem-problem terkait yang dipandang dapat

memengaruhi hasil penelitian), dan (e) kesimpulan,

Page 84: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan

PANDUAN BAGI PENULIS

implikasi, dan rekomendasi. Artikel hasil pemikiran

meliputi: (a) pendahuluan (latar belakang, tujuan,

ruang lingkup), (b) bahasan utama (terbagi dalam

beberapa bagian), dan (c) penutup atau kesimpulan

dan rekomendasi.

Tabel dan gambar harus diberi caption

(judul/keterangan) menggunakan huruf besar di

awal kata (Title Case untuk tabel dan Sentence case

untuk gambar), serta dengan penomoran yang

berurutan. Caption tabel diletakkan di atas,

sedangkan gambar di bawah. Tabel dan gambar

simetris di tengah (centered), dan dibuat ukurannya

tidak terlalu kecil.

Usahakan penggunaan gambar dua warna

(hitam-putih), dan hilangkan garis tepi gambar.

Gambar disertakan dalam bentuk soft-copy dalam

format JPEG. Sumber gambar disebutkan di bagian

bawah gambar apabila bukan karya sendiri. Izin

penggunaan atau bukti kepemilikan gambar harus

disertakan apabila gambar tersebut dimiliki hak

ciptanya oleh orang lain. Penulisan hasil olah

statistik seperti contoh berikut: F(2, 116) = 2,80, p <

0,05 untuk ANOVA; atau t(60) = 1,99, p < 0,05

untuk uji-t; 2 (4, N = 90) = 10,51, p < 0,05 untuk

kai kuadrat, dan sejenisnya.

Cara Mengacu dan Bibliografi

Penulisan acuan mengikuti format APA (2001).

Contoh cara mengacu:

Kotter (1995, h. 152) mengingatkan, "Setiap

fase dari tahapan itu hendaknya dilalui," namun ....

Subagyo ("Kesalehan Lingual," 2008)

berargumen bahwa kekerasan verbal ....

Sejumlah penulis (Harter, 1990, 1993; Harter,

Whitesell, & Waters, 1997; McIntosh, 1996a;

McIntosh, 1996b) menyampaikan kesimpulan yang

serupa mengenai ....

Bibliografi, terbatas pada sumber yang dirujuk,

disusun urut berdasarkan abjad. Utamakan pustaka

termuktahir (terbit sepuluh tahun terakhir), dan yang

berasal dari sumber primer (laporan penelitian,

artikel jurnal / majalah ilmiah). Contoh penulisan

bibliografi:

Bibliografi

Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., & Ormerod, D.

(2002). The personality paradox in offender

profiling: A theoretical review of the processes

involved in deriving background characteristics

from crime scene actions. Psychology, Public

Policy, and Law, 8(1), 115-135.

Canter, C. (2003). Mapping murder: The secrets of

geographical profiling. UK: Virgin Books.

Harter, S., Waters, P. L., & Whitesell, N. R. (1997,

April). Level of voice among adolescent males

and females. Paper presented at the bi-annual

meeting of the Society for Research in Child

Development, Washington, DC.

Johnson, E. (1995). The role of social support and

gender orientation in adolescent female

development. Disertasi, tidak diterbitkan,

University of Denver, Denver, CO.

Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of

latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-bound

syndromes, ethnopsychiatry, and alternative

therapies. Honolulu: The University Press of

Hawaii.

National Council Against Health Fraud. (2001).

Pseudoscientific psychological therapies

scrutinized. NCAHF news, 24(4).

Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari

http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html

Petition for the recognition of police psychology as

a proficiency in professional psychology.

(2008). Ditemukembali pada 18 Februari 2009,

dari http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police

%20Psychology%20Proficiency%20Petition-

Final.pdf

Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-teori

psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono, Penerj. &

Peny.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. (Karya

asli diterbitkan tahun 1970)

Taylor, C., & Clara, S. (2005, April). A New Brain

for Intel. Time Magazine, 9-10.

Page 85: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan
Page 86: Jurnal Psikologi Psikobuana - 13-28 - Pemrofilan