kasyf el fikr volume 1, nomor 1, juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem...
TRANSCRIPT
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
113
ANTARA POLITIK NEGARA DAN AGAMA
(Sebuah Kajian Bibliograpi)
Anisa Listiani1
Abstract
Ideology is ideal hope claiming as a truth. Every the claim will declare that program
achievement that brought will produce best social rule; a rule truth and the legitimization
proved for everyone. Ideology aim often described with stipulating repeats something that
ever there but in this time lose the triumph time, but he also can be in the form of a dreams
realization and anspirasi only haunt in past.
Ideology almost always integration with a few vast interpretation about cosmology
nature, that is they related with thinking system according to various confirm that
penomena that seen produced by material pure strength; by a dualism aim between good
principle and bad, with intervention from individual mobile, or by tongue rule but has
impersonal that appointed by lord. Hence, several ideology claims inclined be absolute.
Keywords: ideology, truth, legitimization, power, intervention.
A. Pendahuluan
Legitimasi adalah suatu yang fundamental dalam sebuah sistem social-politik. Ia
adalah stempel ideology. Ideologi sendiri merupakan sebuah system yang hidup dimana
distribusi kekuasaan, kekayaan, materi, dan status dirasa benar bagi kelompok tersebut.
Dalam sebuah masyarakat yang stabil, yaitu sebuah masyarakat yang damai dan tidak
dikacaukan oleh kekuatan luar, konsep yang digunakan untuk melegitimasi aturan yang ada
biasanya tidak diekspresikan dalam bentuk proposisi yang abstrak. Namun, ia diwujudkan
dalam bentuk seremonial, simbol-simbol visual dan mitos. Tetapi saat „aturan‟ yang ada
dirasa kacau, baik oleh ketidaksepakatan internal maupun kekuatan eksternal maka para
pemangku aturan berusaha menjelaskan kenyataan yang sebenarnya terjadi.
Usaha-usaha tersebut sebagai bentuk definisi diri dengan menggunakan pernyataan
umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi
apakah yang seharusnya ditetapkan. Cara yang dengannya ideologi yang disampaikan
(seremonial umum, arsitektur, ukuran, pamplet, khotbah, dan sebagainya) dapat disebut
propaganda. Dan lebih formal,kita dapat mendefenisikan ideologi sebagai sebuah kritik
terhadap sistem sosial–politik yang ada baik untuk menggambarkan sistem tersebut
maupun mengajak anggota-anggotanya untuk memegang teguh, memilih ataupun
mengesampingkannya. Ideologi, pendeknya, adalah sebuah analisis dan sebuah panggilan
untuk berbuat.
1 Penulis adalah Dosen tetap STAIN Kudus
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
114
B. Ideologi dan Propaganda dalam Pustaka
Ideologi mempunyai sebuah retorika yang jelas, sesuatu yang secara simultan
rasional dan mengharukan. Karena ideologi mencoba manghasut orang-orang untuk
berbuat, ia jarang ditampilkan secara sederhana sebagai sebuah rangkaian proposisi abstrak
yang logis, tetapi mereka hampir selalu dikerangkakan dalam kekuatan, nilai bahasa yang
berisi. Dan secara khusus, ideologi berakar pada simbol-simbol budaya untuk membawa
pesannya. Simbol-simbol ini, pada gilirannya, menjadi semacam tangan pendek bagi
ideologi memang mungkin untuk mengucapkannya secara rinci ide yang terdapat dibalik
mereka, tetapi biasanya simbol-simbol ditangkap secara intuitif oleh pembicara dan
pendengar. Karenanya tendensi ideologi tereduksi dalam nyanyian slogan-slogan. Dalam
diskursus Islam, misalnya, seseorang biasanya menyerukkan untuk menjalankan syariah,
mengikuti jalan yang digariskan para pendahulu (kaum salaf), dan aturan yang sesuai
dengan al- Qur‟an dan Sunah. Jika dipahami secara mendalam, seruan tersebut sungguh
merupakan ungkapan-ungkapan yang belum jelas. Penafsiran tentang Syari‟ah mana yang
dimaksud dari seruan itu, para pendahulu (kaum salaf) yang mana yang dimaksud, dan
pada bagian Al-Qur‟an mana yang dituju? Tetapi dalam suatu mileu sosial dan politik yang
sesuai, slogan-slogan tersebut akan hadir sebagai sebuah progam yang spesifik, dan nyata.
Tak banyak kajian bibliografi yang memadahi tentang masalah ideology,, namun
tulisan yang agak bombastik membahasnya adalah analisis dari Karl Mannheim, Ideology
and Utopia ( terjemahan Louis Wirth dan Edward Shils, 1936), dan sejumlah studi Clifford
Geerts. Lihat secara khusus pada “ Ideology as a Cultural System” dalam The
Interpretation of Cultures (1973), halaman 193-233. Begitu juga tulisan Edward Shils dan
Harry M. Johnson, “Ideology,” dalam International Encyclopaedia of the Social Sciences,
viii (1968), 66-85.
Ideologi adalah sebuah tampilan penting dari kebenaran sejarah Islam dari luarnya.
Al-Qur‟an sendiri menegaskan adanya sebuah ideologi, suatu program tingkah laku sosial
dan politik yang bertujuan menciptakan sebuah masyarakat yang berketuhanan. Bahkan
dalam sejarahnya, karier Nabi Muhammad SAW sebagian besarnya dicurahkan untuk
mewujudkan program tingkah laku yang diyakini sebagai artikulasi berketuhanan ini. Baru
setelah Nabi Muhammad SAW, kebanyakan krisis internal ummat disimpulkan sebagi
kumpulan besar dari ideologi-ideologi yang saling bertentangan.
Banyak catatan sejarah tentang ideology ini, mulai dari Revolusi Abbasiyah,
penggulingtan kekuasaan Karmatian dan Fatimiyah pada akhir abad 3 H/9 M-10 M,
gerakan Almoravid dan Almohad di Maghrib, kemunculan Bani Safawi dan masih banyak
lagi yang lain. Bahkan pemerintahan seperti pemerintahan Bani Ayyub, yang aslinya
didirikan tak lebih dengan kekuatan yang kejam, dengan cukup cepat mencoba
membangun sejumlah ideologi yang menjadikan mereka diterima secara politis.
Di sisi lain, propaganda pada masa pertengahan Islam, pada awalnya
mencerminkan sebuah kompleksitas dari ideologi. Karena waktu itu tak ada mass media
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
115
seperti yang ada masa ini, namun baik pemerintah maupun para oposisi mereka memiliki
cara yang efektif. Seluruh kelompok bagaimanapun batasannya, mampu memberikan
harapan dan sejumlah partisipasi langsung dalam membentuk dan memutuskan kebijakan
negara, atau bagi yang mampu mengorganisir cukup kekuatan mampu menjadikan diri
mereka diperhitungkan. Kelompok-kelompok sosial yang termasuk dalam kriteria ini
adalah banyak sekali tipenya; misalnya pemerintahan Mamluk, suku-suku nomad,
persaudaraan sufi, orang-orang kota yang terhormat dan para ulama, dan lain sebagainya).
Tak satu pun alat komunikasi dapat efektif diantara seluruh kelompok, dan sehingga tak
ada propaganda harus ditargetkan..
Apakah instrumen propaganda itu verbal ataukah visual? Di antara instrumen
verbal, perbedaan antara tulisan dan ucapan tidaklah seluruhnya terpisah dengan jelas,
sebab mayoritas teks-teks yang ada dijadikan ungkapan ulang.
Untuk memahami dengan baik teks-teks propaganda tersebut setidaknya perhatian
yang diberikan tidak hanya pada kosa kata saja namun lebih pada seting dimana mereka
harus dibaca. Karena itu Khutbah (khotbah resmi saat sholat Jum‟at) disampaikan sebelum
sekelompok orang melaksanakan sembahyang – pada prinsipnya yang hadir adalah seluruh
laki-laki yang dewasa dari seluruh kota atau orang-orang yang bertempat tinggal di sana.
Puisi akan dibacakan di antara sekumpulan teman (majlis) dalam rumah yang khusus atau
di tempat yang lain. Teks-teks hadits ataupun teks-teks hukum maupun teologi juga dapat
dipelajari dalam sebuah majlis tertentu, namun hal yang sama juga sepertinya disampaikan
pada lingkaran murid dalam sebuah masjid ataupun madrasah. Beberapa aliran sejarah
paling tidak dibawa dalam bentuk yang sama. Khotbah-khotbah informal juga disampaikan
dalam masjid atau di berbagai tempat yang lain di mana kumpulan besar orang dapat
dikumpulkan. Esei dan karya-karya selalu disusun untuk diucapkan ulang bagi para
pendengar yang khusus, yang anggotanya dapat dikenal oleh penulis saat ia bekerja. Saling
mempengaruhinya antara ucapan dan tulisan dalam sebuah masyarakat tradisional,
masyarakat berbudaya semi tulis menulis seperti pada masa pertengahan Islam, butuh lebih
banyak studi dari pada yang telah diterimanya; beberapa pemikiran yang berguna tentang
persoaln tersebut, bersama-sama dengan rujukannya yang jauh, di sampaikan secara
bersama dalam Michael Zwettler, The Oral Tradition of Classical Arabic poetry (1978).
Pahatan-pahatan yang monumental, yang dipahat pada pintu gerbang atau
sepanjang muka gedung-gedung umum, tentunya berbeda-beda; mereka tidak dimaksudkan
sebagai jeritan bacaan juga tidak ditujukan untuk para pendengar pilihan. Sebaliknya,
mereka dapat dibaca oleh bayak orang-orang marginal yang lewat yang tahu tulis menulis.
Audensi tulisan-tulisan ini tentunya jauh lebih besar dibanding yang dapat kita bayangkan.
Hampir seluruh anak laki-laki muslim dalam kota, bahkan meskipun yang tidak mampu
tulis menulis kata menurut pemahaman kita, telah belajar mengucapkan al-Qur‟an dan
mampu menulisnya ulang; dalam cara ini mereka telah terbiasa dengan alpabet dan banyak
kata-kata kunci. Semenjak seluruh tulisan mempunyai tata bahasa dan kamus dasar mereka
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
116
– sebagian besarnya berisi nama-nama, nama tambahan dan slogan-slogan - mereka dengan
serta merta dapat dipahami oleh setiap orang yang dapat menulis. Sebuah tulisan pahat
dasar (misalnya, sebuah tulisan pahatan yang mengidentifikasi karakter monumen yang
ditempatinya, tanggal pembangunannya, dan nama orang yang menyebabkan dibangunnya
monumen tersebut) karena itu ia dapat menjadi alat yang sangat jitu bagi propaganda
(Untuk pembahasan umum tentang tulisan pahat dalam Islam lihat di atas).
Hanya sedikit aliran-aliran tulis Islam pada masa pertengahan (puisi, pidato, cermin
ratu dan polemik-polemik politik) yang terbuka menyatakn dirinya sebagai propaganda –
yaitu sebagai medium untuk membawa dan memperkuat lagi sebuah ideologi. Dimensi
ideologi dalam sebuah teks , agenda tersembunyi yang membentuk pilihan pengarang
dalam menjamu pokok persoalannya, harus selalu dilihat diantara baris perbaris. Lebih
jauh, sebuah teks ideologi yang benar dapat berbeda dari atau bahkan bertentangan dengan
isi dan maksudnya yang nampak. Adalah mudah mengambil aturan ini begitu jauh, kita
dapat mulai dengan melihat polong dimanapun kita lihat, mengurangi kebenran intensitas
dan signifikansi budaya dari sebuah karya dalam sebuah kesurupan pencarian terhadap
penyolong ideologinya. Begitu juga, dua buah resiko sederhana dan terlalu kritis hanya
akan menaikkan kewaspadan dan sensitifas.
Propaganda visual telah memunculkan persoalan tersendiri. Pada masa sebelum
modern sangat sedikit masyarakat secara bersama melafalkan dalam istilah yang abstrak
“makna” ritual mereka, upacara-upacara ,arsitek-arsitek, seni lukis dan plastik, dan lain
sebagainya – mereka juga tidak dapat melakukan hal itu jika ditekan. Hingga kini secara
ringkas segala hal ini adalah simbol yang sangat cepat dan begitu efektif, bagi identitas,
solidaritas, legitimasi dalam masyarakat tradisional. Pada masa kita, tentunya tak seorang
pun mampu menggambar sebuah gambar dengan tanpa menulis makna yang terkadung
yang menjelaskan signifikansi sosial dari seninya. Pada masyarakat Islam masa
pertengahan, kita menghadapi situasi yang begitu cepat. Ideologi, sebagaiman kita catat,
adalah elemen penting dalam kehidupan politik dan karenanya memperoleh tampilan
verbal yang hati-hati. Begitu juga seni dan arsitektur Islam selalu terasa „menyesuaikan‟
ideologi era yang menghasilkannya, namun para pengarang muslim hampir-hampir tidak
pernah mendiskusikan dimensi ideologis seni dan arsitektur ini. Itu hanya melalui
penggunaan secara aktual dari segala hal ini. Kita dapat mendekati peranan mereka sebagai
propaganda (sebagaimana adanya hal ini, banyak persoalan yang sama yang muncul pada
akhir masa Romawi dan seni Eropa awal pertengahan; lihat E.B Smith, Architectural
Symbolism of Imperial Rome and the Middle Ages [1956], h. 3, 10-12, di sana sini. Untuk
pertimbangan yang jauh lebih umum, lihat Geertz, “Ethos, World View, and the Analysis
of Sacred Symbols,” dalam The Interpretation of Cultures, 126-141).
Seperti ritual dan seremonial dalam Islam, kita tahu banyak tentang ibadah formal,
namun hal itu pada dasarnya tidaklah berubah, paling tidak setelah dekade pertama, dan
karena itu ia dapat membawa makna ideologi ketika hal itu secara eksplisit dihubungkan
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
117
dengan seringnya perubahan konteks dari isu-isu dan konflik politik yang terjadi. Tentang
seremonial pemerintahan, kita memiliki sejumlah pengetahuan, dan itu tentunya adalah
sifat dari ideologi sendiri, namun ia menampilkan ide-ide dan nilai-nilai politik hanya bagi
elit-elit politik. Sayangnya kita hanya tahu sangat sedikit tentang ritual dan upacara dari
organisasi dan, yang dipandang menampilkan lebih dari sekedar orientasi yang populer.
Para sarjana modern secara berlahan meneliti elemen-elemen ideologis dalam seni
dan arsitektur Islam masa pertengahan, namun ada sejumlah esei yang bermanfaat dalam
hal ini. Tentang penanggalan, Oleg Grabar telah mengembangkan sebuah pemikiran yang
paling luas dan profokatif; semua itu terangkum secara bersama dalamThe Formation of
Islamic Art (1973; edisi revisi, 1987). Dalam sebuah lapangan penelitian yang lebih sempit,
simbolisme politik dari masjid-masjid pada masa Umayah dieksplorasi dalam tulisan Jean
Sauvaget, La Mosquee Omeyude de Medine (1947), sebuah studi yang kesimpulannya
kadang meragukan namun argumennya tidak kalah brilian dan terpadu. Usaha yang sama
telah dilakukan oleh pengarang saat ini, dalam “The Expressive Intent of the Mamluk
Architecture of Cairo: a Preliminary Essay,” SI, xxxv, (1972), 69-119. Di sisi lain,
perangkap semacam analisis ini ditampilkan oleh kritik Jonathan Blomm terhadap
penafsiran saya atas sebuah monumen dalam “The Mosque of baybar‟s al-bunduq dari in
Cairo,” AI, xviii (1982), 45-78 (Lihat khususnya halaman 51-52).
Dalam budaya Barat, melukis adalah salah satu cara yang paling dipergunakan dan
efektif dalam mengkomunikasikan nilai-nilai sosial-politik. Hal yang sama adalah kurang
tepat untuk dunia Islam tentunya, bukan karena Islam tidak mempunyai lukisan namun
karena melukis adalah (khususnya pada abad belakangan) utamanya sebuah seni buku, dan
karena itu karakternya adalah bersifat privat dari pada publik. Buku-buku yang berilustrasi
tidak dapat dihasilkan dalam jumlah yang sangat besar tentunya, dan itu hapir dengan pasti
bahwa mereka dihasilkan bukan untuk dijual secara umum namun atas permintaan
pelanggan yang khusus. Kecuali jika kita tahu pelanggannya atau paling tidak kelompok
besar yang kita tuju (Raja-raja, para saudagar, dan lain sebagainya), kita bukan tidak pantas
menafsirkan makna ideologis dari gambar. Hingga abad 5 H/ 11 M, gambar di gedung dan
hiasan seni pahat sepertinya menjadi elemen yang sangat biasa dalam dekorasi keraton,
namun hal ini dibuat untuk kesenangan para pegawai pemerintah dan para pegawai
terdekatnya. Begitu juga, mereka menampilkan semi privat. Media hiasan lain –keramik,
karya-karya dari logam, dan kaca-kaca bergambar – begitu beredar, tetapi ikonografi
kebanyakan dari lembaran-lembaran ini adalah begitu sederhana dan dibentuk untuk
membawa lebih dari sekedar konsep ideologi yang paling umum. Pengecualian terhadap
aturan ini adalah juga lembaran-lembaran mutiara yang dikerjakan khusus untuk para Raja
dan pegawai tinggi. Dalam isu ini, sejumlah pemikiran yang berguna beserta dengan
sebuah bibliografi penting (meskipun sekarang ini kuno) dapat diketemukan dalam Oleg
Grabar, “The Visual Art,” dalam Cambridge History of Iran, v (1986), 641-657.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
118
Upacara kerajaan dalam Islam akhir-akhir ini baru mulai memperoleh perhatian
yang serius, meskipun lapangan tersebut tetap menyolok, Begitu juga, kebanyakan
penilaian adalah bersifat deskriptif dari pada pendekatan yang interpretatif. Sebuah tinjauan
istimewa diberikan oleh D. dan J. Sourdel dalam Bab 7, “Le Palais et l‟entourage
souverain,” pada La Civilisation de l‟Islam classique,” –nya (1968). Poin-poin khusus
tercakup dalam beragam artikel dalam EI²: “Anaza,” “‟Asa”, “Balat”, “Burda”, “Kadib”,
“khil‟a”. Banyak kutipan-kutipan yang penting, khususnya berfokus pada abad 4 H/10 M
terangkum dalam bab IX dari Adam Mez, Die Renaissance des Islam (1922).
Sumber-sumber dan studi-studi yang berhubungan dengan dinasti-dinasti tertentu
sangat terpencar-pencar. Dinasti Umayah adalah yang paling baik dikerjakan dalam Oleg
Grabar, “Notes sur les ceremonies umayyades,” dalam Miriam Rosen-ayalon (editor),
Studies in Memory of Gaston Wiet (1977), 51-60. Tentang Abbasiyyah, lihat Dominique
Sourdel, “Questions de ceremonial „abaside,” REI, xxviii (1960), 121-148. Dua buah teks
dasar tentang Abbasiyah yang sesuai dalam terjemahan adalah sebagai berikut:
1. Hilal al-Sabi‟, Rusum dar el-khilafa, editor Mikha‟il „Awad (1964); penerjemah Elic
Salem dengan The Rules and Regulations of the Abbasid Court (1977).
2. Jahiz (gadungan), Kitab al-Taj, editor Ahmad Zaki (1914); diterjemahkan oleh Charles
Pellat dengan Livre de la Couronne (1954); tentang pengarang dari karya ini, lihat G.
Schoeler, “Versasser und Titel der dem Gahiz zugeschrie benen sog, Kitab al-Taj,”
ZDMG, cxxx (1980), 217-225.
Bani Fatimiyah telah dibahas oleh Marius Canard, “Le ceremonial fatimide et le
ceremonial byzantin: essai de comparaison,” Byzantion, xxi (1951), 355-420; dan karya-
karya yang berkelanjutan oleh Paula Sanders. Seraya menantikan publikasi dari
disertasinya (1984); lihat “From Court Ceremony to Urban Language: Ceremonial in
Fatimid Cairo and Fustat, dalam Essay in Honor of Bernard Lewis (1989),311-321.
Upacara-upacara Buwaihi belum secara umum disampaikan, namun kejadian khusus yang
penting telah di analisis dalam Heribert Busse, “The Revival of Persian Kingship under the
Buyids,” dalam D.S. Richard (editor), Islamic Civilization, 950-1130 (1973), hlm. 47-69.
Rival mereka yang paling sengit di Timur Iran, yang mempunyai peran penting yang
khusus dalam mengembangkan sebuah konsepsi pemerintahan Islam –Persia yang nyata,
telah dijamu dalam C.E. Bosworth, The Ghaznavids: Their Empire inAfghanistan and
Eastern Iran (1963) –lihat khususnya hlm. 129-141. Yang cukup aneh adalah Bani Seljuk
yang telah diabaikan dari sudut pandang ini, selain dari pengaruhnya yang besar sebagai
contoh dinasti dari masa pertengahan. Kaum Mamluk di Mesir dan Syria telah menarik
sejumlah perhatian, meskipun banyak sisa yang harus dikerjakan; sebuah deskripsi umum
tentang upacara mereka (analisis yang terlalu berfikir panjang) dapat diketemukan dalam
M. Gaudefray-Demombynes, La Syrie a l‟Epoque des Mamelouks, d‟apres les Autereurs
Arabes (1923); ada juga poin-poin penting dalam P.M Holt, “The Position and Power of
the Mamluk Sultan,” BSOAS, xxxviii (1975), 237-249.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
119
Berkaitan dengan upacara-upacara dan seni-seni visual, begitu juga dengan teks,
adalah keliru untuk berpandangann bahwa saat kita mengidentifikasi sejumlah aspek
ideologi dalam suatu objek, kita dengan demikian telah mengeluarkan maknanya yang
benar. Kebanyakan gambar-gambar, objek dan ritual-ritual secara serentak membawa
signifikansi masing-masing pada berbagai level mereka. Untuk mempelajari dimendi-
dimensi ideologisnya adalah bukan membuka sifat dan maksud-maksud riil mereka, namun
cukup agak menempatkan mereka dalam sebuah konteks politik yang khusus.
Ideologi dan propaganda tak diragukan lagi menyerap elemen-elemen dalam
kehidupan politik Islam masa pertengahan., tetapi untuk kebenaran alasan ini mereka juga
sukar untuk dimengerti. Pada poin ini, akan sangat berguna untuk memperhatikan waktu
dan tempat yang khusus, dan menanyakan bagaimana sebuah ideologi difungsikan di sana
baik sebagai ide pemikiran maupun juga sebagai refleksi atas milieu sosial politik yang
khusus. Dari sudut pandang ini, awal-awal periode Seljuk sepertinya menawarkan
serangkaian persoalan khusus yang menantang.
Selama enam dekade sejak penyerbuan pertama mereka ke Khurasan pada tahun
1030 M hingga meninggalnya Malikshah pada tahun 485 H/1092 M, orang Seljuk
menguasai usaha-usaha ideologis utama untuk menegakkan prinsip-prinsip kerajaan Iran
dalam terma Islam. Ideologi yang dihasilkan, yang barangkali dapat kita sebut “Autokrasi
Persia-Islam” pun pada masanya tidak memperoleh tempat yang mandiri. Sebaliknya, abad
5 H/ 11 M adalah masa yang menghasilkan definisi-definisi klasik otoritas khalifah, dan itu
tampaknya bahwa definisi-definisi ini (yang dalam beberapa hal tetap normatif hingga
masa sekarang ini) adalah paling tidak dibentuk sebagai bagian untuk menghambat dan
memotong pertumbuhan sitesa Persia-Islam. Bahkan lebih dari itu, konsep politik Seljuk
tetap sangat berpengaruh di sepanjang daerah dari Nil hingga Oxus sampai akhir abad 9 H/
15 M.
Sementara ideologi bukanlah sebuah jasad pemikiran yang mandiri, tetapi agak
merupakan respon terhadap sebuah situasi sosial politik yang khusus. Kita ingin memulai
dengan mendefinisikan situasi tersebut di Iran dan Irak selama abad 5 H/ 11 M.
Pertanyaan-pertnyaan berikut, yang merefleksikan proses dimana dalam meraih kekuasaan
menghasilkan ideologi, menunjukkan sebuah pendekatan terhadap pekerjaan tersebut:
1. Bentuk-bentuk politik apa (misalnya; negara, dinasti, konfedersi suku, dewan militer)
yang terlibat dalam memperjuangkan otonomi ataupun kekuasaan tertinggi ?
2. Kelompok-kelompok apakah yang sesuai secara politik dengan bentuk ini?
3. Bagaimanakah kelompok-kelompok ini mendefinisikan identitas politik mereka,
peranan sosial mereka dan kepentingan-kepentingan konkret mereka ?
4. Konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan yang spesifik apakah yang mengharuskan
kelompok-kelompok ini mengartikulasikan sebuah respon ideologis ?
Tak ada yang lengkap dan panjang bagi studi komperhensif tentang politik Iran
dan Irak pada abad 5 H/ 11 M, dan ternyata tak seorang pun dengan begitu jelas
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
120
menggunakan serangkaian pertanyaan ini. Bagaimanapun, dalam Continuity and change in
Medieval Persia (1988). AKS Lambton memberikan sebuah sebuah survei yang rinci
tentang tentang institusi administrasi dan keuangan Iran pada abad 5 H/ 11 M. Meskipun
institusi-intitusi ini selalu mengalami evolusi dan inovasi, mereka tentunya jauh lebih stabil
dibanding pemerintahan-pemerintahan yang memanfaatkannya. Mereka menentukan,
begitu katanya, aturan-aturan permainan kerangka kerja abadi yang didalamnya perjuangan
meraih kekuasaan dan kekuasaan tertinggi dijalankan (dimainkan). Tentang sejarah dinasti
yang kompleks dan memusingkan pada periode tersebut, Lambton adalah pembimbing
yang tak dapat ditinggalkan.
Sejarah dinasti memperoleh reputasi yang tak dapat dicemburui diantara para
sejarawan modern, namun bagaimanapun gersang dan antiknya hal itu terlihat, ia tak dapat
ditinggalkan. Tak ada analisis serius tentang ideologi yang mungkin tanpa sebuah
pengetahuan yang solid tentang 4 bentuk politik utama dari periode ini: khalifah, orang
Buwaihi Irak dan Iran Barat, orang Ghaznawi Khurasan dan Afghanistan, dan orang-orang
seljuk sendiri. Selain artikel dalam IE² (diantaranya tulisan Claude Cahen tentang orang
Buwaihi adalah secara khusus penting) dan bab-bab yang sesuai dalam Cambridge History
of Iran, vol.iv dan v, lihat studi-studi berikut :
a) Tentang konfederasi diantara orang-orang Buwaihi, lihat Heribert Busse, Chalif und
Grosskonig : die Buyiden in Iraq (945-1055) (1969), yang sekarang ini menjadi
standar penilaian, dan Mafizullah Kabir, The Buwayhid Dinasty of Baghdad (1964).
Kedua karya ini berfokus pada cabang keluarga Irak, meskipun pada waktu yang
berbeda Shiraz dan Rayy adalah pusat politik yang lebih penting dalam konfederensi.
R.P Mottahedeh, Leadership and Loyalty in an Early Islamic Society, (lihat diatas),
adalah sangat mendasar, bagi pemahaman tentang aturan-aturan dengan nilai-nilai
yang membentuk tingkah laku politik dalam lingkungan Buwaihi.
b) Mengenai Ghaznawi, ada sebuah penilaian bersifat naratif yang terpercaya tentang
yang paling terkenal diantara mereka, dengan menekankan kampanye spektakulernya
di India. Muhammad Nazim, The Life – and Time of Sultan Mahmud of Ghazna
(1931). Jauh lebih analitis dalam karakternya adalah studi dari C.E. Bosworth, The
Ghaznavids : their Empire in Afghanistan and Eastern Iran (1931). Bosworth
memiliki sebuah bab penting tentang kota-kota dan hubungan ambivalen mereka
dengan pusat pemerintahan, juga sebuah pengujian yang hati-hati dalam Turkestan
down to the Mongol Invasion (edisi asli, 1900 ; edisi ke-3, 1968, lihat khususnya h.
254-333) tentang orang-orang Ghaznawi dan Seljuknya harus dikonsultasikan –
sebagaimana tentunya bagi setiap dinasti di timur Iran dan Transoxiana – sebab ia
mengantisipasi banyak dari baris-baris penelitian yang paling produktif yang
dikembangkan oleh Cahen dan kawan-kawan lebih kurang beberapa dekade
belakangan. Ini adalah bacaan yang majemuk namun dibayar penuh dengan waktu
yang dihabiskan.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
121
c) Tentang masa awal Seljuk. Literatur-literatur tersebut adalah sangat berserakan. Tak
ada naratif panjang yang sempurna dalam bahasa Barat bahkan mengenai perang dan
politiknya. Kebutuhan ini sebagaiannya telah dipenuhi oleh terjemahan dari Gary
Leiser pada artikel panjang tentang dinasti dalam IA: A History of the Seljuks : Ibrahin
Kafesouglu‟s Interpretation and the Resulting Controversy (1988). A.K.S. Lambton
telah menganalisis politik dan administrasi Seljuk dalam sebuah serial buku dan artikel
yang panjang; ia menyampaikannya dengan ringkas namun hal itu bukan selalu sintesa
yang terfokus dengan bagus dari padangannya dalam “The Internal Structure of the
Seljuq Empire,” dalam Cambridge History of Iran, v (1968), 203-282. Calude Cahen
juga telah menyumbang banyak kontribusi studi yang penting: pikiran-pikirannya yang
paling bagus terangkum dalam “Turkish Invasion: The selchukids,” dalam K.M. Setton
(editor), A History of the Crusader (1955: dicetak ulang pada tahun 1969), 135-176.
Kebanyakan karya-karya yang terbaik tentang Seljuk adalah terdapat dalam bahasa
Turki. Dan berikut ini adalah tulisan-tulisan yang bagus untuk mulai:
1) Ibrahim Kafesoglu, Sultan Maliksah derrinde buyk Selcuklu Imparatorlugu (1953).
2) M.A. Koymen, Bayuk Selcuku Imperatorlugu Tariki:Kurulus Derri (1979).
3) Osman Turan, Selcuklutar Tarihi ve Turk-Islam Medeniyeti (1965)
d) Pada abad 5 H/11 M, khalifah tradisional dipandang sepele yang digambarkan sebagai
sebuah institusi hantu yang tidak mempunyai manfaat praktis. Bagaimanapun,
penafsiran ini dengan tajam dan efektif ditentang oleh George Makdisi, Ibn „Aqil et la
resurgence de l‟Islam tradisionaliste au xi siecle (1963), khususnya pada halaman 69-
164. Makdisi menegaskan bahwa khalifah mampu mengukir dirinya paling tidak pada
peranan lokalnya di Baghdad dengan mengadu para amir yang bersaing dan ingin
menjadi sultan, dan juga dengan memobilisasi segmen tertentu dari populasi Baghdad
(khususnya para pengikut Hanbali) dalam dukungan mereka.
Beberapa dari studi ini, khususnya Bosworth dan Makdisi, tidak hanya
menggariskan perjuangan hegemoni inter-dinasti, namun juga menguji kompetisi kekuatan
dan pengaruh diantara masing-masing sistem politik. Bagaimanapun, aturan yang menjadi
acuan kompetisi ini tidak mudah dicampuri baik oleh data faktual maupun kalimat
penafsiran yang terdapat dalam karya-karya ini. Konflik politik selalu datang melintang
dalam wujud sebagai perjuangan diantara ambisi dan individu yang berprinsip. Pada poin
yang lain, pemain permainan benar-benar telah membenamkan dirinya dalam kelompok,
tetapi kelompok ini didefinisikan dalam beragam bentuk mengikuti kriteria perubahan yang
cepat – dari sisi etnis (misalnya Turki vs Tajk), keyakinan (misalnya- Hanafi vs Syafi‟I
atau Hanbali vs Syiah), afiliadi kesukuan, tempat tinggal (misalnya kota dan bukan kota),
atau bahkan asosiasi volentir (misalnya, kelompok futuwwa ataupun gang anak muda).
Dalam menghadapi kebingungan tertentu, para sejarawan modern digoda untuk
menyerukan bahwa seluruh kelompok ini harus benar-benar merefleksikan beberapa faktor
tersembunyi, seperti bentuk penentangan ekonomi. Hal itu agaknya seperti melulu tipuan
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
122
untuk menegaskan bahwa orang Hanbali menyerang orang Mu‟tailah di Baghdad karena
perbedaan doktri tentang hubungan kalam Tuhan dengan Dzat Tuhan. Begitu juga, konflik
etnis dapat dilihat sebagai sebuah pergantian yang tidak rasional tentang kompetisi karena
kekurangan sumber makanan. Tetapi untuk mengesampingkan nama-nama yang diberikan
kelompok untuk dirinya sendiri atau motif-motif yang mereka klaim sebagai tindakan
mereka adalah sebuah kesalahan yang serius. Dalam kondisi yang seperti itu, kita akan
meninjau bentuk-bentuk identitas solidaritas dan nilai sosial dalam bentuk dimana tindakan
politis benar-benar dilakukan dan dikerjakan. Kemudian setelah itu, semuanya itu secara
ringkas merupakan sebuah pemahaman pribadi tentang posisinya dalam sistem sosial dan
politik yang mendasari usahanya untuk menciptakan sebuah ideologi. Pendeknya, supaya
kita dapat memahami apa arti sebuiah ideologi bagi para pengikutnya, kita harus
memahami istilah yang mereka gunakan untuk menganalisis masyarakat mereka sendiri;
menentukan tujuan tindakan politis, dan mencoba membentuk diri mereka dalam sebuah
kelopok yang efektif secara politik
Usaha yang serius untuk menyajikan sejarah sosial periode awal Bani seljuk, dan
untuk mengetahui kelompok apa yang diperhitungkan secara politik pada masa itu, adalah
masih jarang dan analisisnya bersifat sementara. Kebanyakan judulnya, sebagaimana yang
akan kita lihat, berkaitan dengan masyarakat perkotaan dan politik dan ada beberapa alasan
dalam hal ini. Kaum pedesaan, yang merupakan mayoritas terbesar di sebagian besar
wilayah, adalah hampir-hampir tidak pernah melakukan tindakan yang dipandang bersifay
politik (dalam definisi yang kita berikan) meskipun pada tingkat yang paling lokal. Bahkan
person mereka yang memiliki kekuatan politik adalah karena kepemilikan lahannya di
kota. Para pendeta suku pada dasarnya adalah persoalan yang lain, namun mereka sering
dikaitkan dengan para perampok ataupun pejuang, tidak sebagai kelompok sosial
sebenarnya.
Sebuah tinjauan terhadap persoalan ini disajikan oleh Claude cahen, “Tribes, Cities,
and Social Organization,” dalam Cambridge History of Iran, iv (1975), hlm. 305-328. D.S.
Richard (editor), Islamic Civilization, 950-1150 (1973), adalah sebuah tulisan yang berisi
lembaran-lmbaran yang sesuai. Tentang kependetaan suku dan pengaruh mereka dalam
struktur sosial daerah dan kehidupan ekonomi, misalnya, dapat dilihat pada sajian yang
hati-hati dan menawan dari Cahen , “Nomades et sedentaires dans le monde musulman du
milieu du Moyen Age,” dan Lambton, “Aspects of saljuq Ghuzz settlement in Persia,”
keduanya terdapat dalam tulisan Richard, 93-102, 105-125. (Yang pertama dicetak ulang
dalam Cahen, Peuples musulmans dans l‟histoire [1977],423-437). Kelompok etnis
terbesar Bani Seljuk telah disurvei dalam sintesa dari Faruk Sumer, Oguzlar (Turkmenler);
tarihieri, boy teskilan, destanlari (1972). Tentang kelompok-kelompok yang membentuk
masyarakat kota, studi perintis (sekarang masih sangat dibutuhkan) adalah tulisan Cahen,
“Mouvements popularies et autonomisme urbain dans l‟asie musulmane du Moyen Age,”
Arabica, v (1958), 225-250; vi (1959), 25-56, 233-263. Ketetapan tentang perserikatan
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
123
kota disampaikan oleh Cahen, “Ya-t-il eu des corporations professionelles dans le monde
musulman classique,” dan oleh S.M. Stern, “The constitution of the Islamic City,”
keduanya dalam A.H. Hourani dan S.M. Stern (editor), Middle Eastern Cities (1969), hlm.
47-79.
Berdasar literatur ini, kita dapat membangun sebuah gambaran tentang perjuangan
membangun hegemoni di Irak dan Iran. Empat prinsip kekuasaan dilibatkan, masing-
masing menampilkan tipe yang sangat berbeda tentang bentuk politik khalifah. Karena
prestisnya yang besar maka ia benar-benar kebal dari pemusnahan para orang yang
berkompetensi. Di sisi lain, kekuatan riil miliknya begitu ramping dan tingkat pengaruhnya
di wilayah Baghdad dan Sawadi dapat diatur dengan sangat baik dengan mempermainkan
para pesaingnya dalam dan diantara para pemerintah Buwaihi dan seljuk. Satu-satunya
dukungan panjang yang terpercaya yang sesuai dengan khalifah adalah segmen suni dari
penduduk Baghdad.
Seperti pada pemerintahan Buwaihi, pemerintahan mereka telah mulai menjadi
sebuah pemerintahan diktator yang benar-benar bersifat militer, dan itu agaknya berdasar
pada para tentara bayaran yang dengannya mereka dapat mencapai kekuasaan. Yaitu
mereka berasal dari penduduk Daylami dan penduduk inilah yang merupakan tentara elit
mereka, dan menjadi kafeleri Mamluk Turki mereka. Sebagai tambahan, sebagai Syiah dua
belas mereka dapat mengumpulkan sejumlah dukungan populer dari mereka yang sealiran
agama di Baghdad dan kota-kota lain tertentu semisal Qumm.
Seperti Buwaihi, kelompok Ghaznawi adalah sebuah dinasti militer yang
otoritasnya bertumpu terutama pada tentara profesional mereka yang luar biasa. Tetapi ada
perbedaan yang sangat krusial. Pertama, pusat kekuatan mereka terletak di sebelah Timur
Iran dan Afghanistan. Karena itu khalifah bukanlah saingan bagi mereka, tetapi cukup
sebagai sebuah potensi sumber legitimasi. Kedua, para pendukung khalifah semuanya
memperoleh kemudahan semenjak orang-orang Ghaznawi adalah orang-orang Suni yang
militan. Fakta ini juga memberi kesempatan kepada mereka untuk menarik dukungan dari
kelompok keagamaan suni yang berpengaruh dan terhormat dari Khurasan. Ketiga, orang-
orang Ghaznawi adalah orang Turki –sultan pertama mereka pada faktanya adalah
mamluk- dan karenanya mereka menjadi kelompok militer utama pada saat itu. Orang-
orang Turki mereka tidak harus menjadikan mereka lebih dari sekedar „sekutu‟ bagi
daerah-daerah yang mereka perintah di banding orang buwaihi tentunya, sebab pendiri
pemerintahan Ghaznawi adalah para pembantu dinasti Saman, sebuah dinasti asli Iran dan
mereka menganggap diri mereka sebagai pewaris sah kerajaan dan tradisinya.
Sejak abad pertengahan ke depan, orang Seljuk menjadi kekuatan politik yang
dominan di daerah tersebut. Para sultan bani Seljuk aslinya para panglima perang dari
koalisi kelompok orang-orang Turki yang berasal dari suku Oguz yang hidup di sebelah
timur laut Aral, dan mereka selalu kokoh, memaksakan diri, untuk mendapatkan status
sebagai pemimpin dan patron bagi orang-orang Turki pengikut mereka. Sebagai tambahan
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
124
tentunya, bani Seljuk harus memerintah masyarakat kota dan masyarakat agraris, dan
tanggung jawab ini memerlukan dukungan elemen tertentu dari para penduduk asli. Rezim
tersebut secara khusus terbagi ke dalam tiga kelompok yang secara fungsional sangat jelas
namun yang mempunyai keanggotaan yang sebagiannya saling tumpang tindih; birokrasi
yang bersifat Irak dan Iran, orang-orang kota yang terhormat, dan elit keagamaan suni.
Sebagai pemerintah masyarakat kota dan masyarakat agraris, bani Seljukmembutuhkan
sebuah dukungan kekuatan militer yang terpercaya dan bukan berwatak penyamun dari
orang-orang Turki, dan benar-benar mampu mengatasi orang-orang terakhir ini bila
dibutuhkan. Kekuatan ini mereka peroleh dengan ukuran sewajarnya dari masa itu – yaitu
dalam penjagaan Mamluk Turki, dan kelompok inilah yang dengan cepat menyediakan
banyak pegawai militer senior (termasuk para gubernur provinsi) dalam negara. Mengenai
khalifah, raja-raja seljuk menggambarkannya sebagi pembantu dan pelindungnya yang
loyal, tetapi pada kenyataannya mereka harus bergelut dengannya sebagai rival yang gigih
dan suka mengganggu, khususnya di Irak.
Sketsa dahulu tersebut dengan jelas mengimplikasikan kelompok mana yang
memiliki kepentingan politik dalam konflik-konflik di masa seljuk. Pertama, ada dua
kelompok di tingkat pemerintahan ; birokrat sipil murni (Arab dan orang Iran), dan tentara
profesional yang kokoh. Kedua, suku-suku Turki, yang menampilkan elemen sosial
ekonomi yang berbeda di daerah maupun sebuah otonomi, dan kadang-kadang perselisihan
militer. Ketiga, para elit asli kota; para pedagang, para pemilik lahan tanah, dan ulama
yang rangking tinggi. Keempat, populasi urban di beberapa puat terbesar seperti Baghdad
dan Nishapur, semua ini kadang diorganisasikan melalui madhahib (sekte teologis-hukum),
kadang dalam bentuk geng-geng muda atau milisi yang bertetangga. Kadang kelompok
yang besar ini berbuat sebagai kelas-kelas yang solid, masing-masingdengan tujuan dan
kepentingan yang tentunya jelas. yang lebih sering lagi, masing-masing kelompok tersebut
secara internal terbagi ke dalam kelompok-kelompok pesaing yang besar, dan kelompok-
kelompok ini akan berpihak dan menyesuaikan diri mereka satu sama lain dalam
serangkaian gerakan koalisi yang memusingkan. Karena itu kita menyaksikan seorang amir
dari kalangan tentara merekrut para pengikut dari suku-suku Turki dan Kurdi. Juga, Ulama
suni di Baghdad yang merupakan para pengikut teologi al-„Asy‟ari akan mencari dukungan
dari pemerintah Seljuk dalam menentang kolega kelompok tradisionalis mereka, sementara
itu semua ini pada gilirannya ternyata adalah mencari dukungan khalifah.
Setelah mengembangkan beberapa pengertian tentang lingkup politik yang
kompleks dan encer pada masa ini, kita sekarang ini dapat berpaling pada ideologi yang
muncul di dalamnya. Tidaklah mengejutkan bahwa ada banyak sekali tentang hal ini, tetapi
kita tidak mengetahui seluruhnya secara sama. Bentuk sumber-sumber kita meyakinkan
bahwa kita paling baik diberi tahu tentang ideologi-ideologi resmi, yang mengartikulasikan
klaim-klaim yang berselisih bagi legitimasi beragam dinasti. Seperti ideologi protes, kita
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
125
menemukan banyak jejak tentang hal ini dalam sumber kita, tetapi sedikit yang sampai
dalam bentuknya yang lengkap.
Tak ada survei umum tentang ideologi saja dalam periode Seljuk; yaitu, kita tidak
memiliki studi yang luas yang tercurah tidak hanya untuk pemikiran politik pada masa itu,
namun juga tentang retorika, simbolisme, dan propaganda. Sungguh, kita hanya memiliki
satu studi serius semacam ini bagi banyak porsi dari periode pertengahan, yaitu monografi
terkenal dari Emmanuel Sivan, L‟islam et la Croisade: Ideologie et propagande dans les
reactions musulmanes aux croisades (1968). Buku Sivan jatuh di luar batas kronologi bab
ini, tetapi fokusnya tentang negara penerus bani Seljuk menjadikannya sangat sesuai.
Persoalan yang menghadang negara-negara ini (pendudukan orang kristen atas daerah-
daerah orang muslim) adalah unik, tetapi respon ideologis mereka terhadapnya
dikerangkakan dalam makna yang dikembangkan pada masa Seljuk. Lebih dari itu,
ringkasan Sivan, -dokumentasinya yang luas, dan kewaspadaannya terhadap cara dimana
perubahan verbal yang ramping mampu menerangi gerakan-gerakan utama dalam
kebijakan, seluruhnya terkombinasikan untuk membuat studinya sebagai model bagi karya
dalam lapangan ini.
Begitulah adanya, kita harus puas memulai dengan analisis tentang pemikiran
politik, yang benar-benar telah dikaji dengan baik, barangkali dari sana aspek-aspek lain
dari ideologi sejauh yang diijinkan literatur akan dituju. Survei menyeluruh yang paling
baik saat ini barangkali adalah A.K.S.. Lambton, State and Government in Medieval Islam
(1981), yang secara bijak memfokuskan diri pada tradisi Syariah, yang akrab dengan
hukum konstitusi kita. Penilaiannya dapat dikomparasikan dengan studi klasik dari Louis
Gardet, la cite musulmane: vie sociale et politique (edisi asli, 1954; edisi revisi, 1961; lihat
khususnya hlm. 147-188), yang menyajikan analisis yang luas tentang nilai-nilai dan
konsep-konsep suni dalam sudut pandang atomis yang jelas. Studi-studi tersebut dapat
ditambah dengan E.I.J. Rosenthal, Political thought in Medieval Islam (1958), yang
gemuk dan banyak mengutip dari para ahli hukum syariah, tetapi mempunyai suatu yang
berguna untuk disampaikan mengenai pembicaraan asli para filosof, sepeti al-farabi dan
Ibn Sina.
Tradisi Syariah aslinya terpusat pada institusi khalifah. Ungkapan klasik tentang
keharusan religiusitas dalam kemuliaan politiknya tidak diragukan adalah karya dari Abu
al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah (diedit oleh R. Enger, 1853, dengan
Constituones politicae, Kairo, 1929). Al-Mawardi adalah Kadi Baghdad yang bermadzhab
Syafi‟I dan kepercayaan khalifah al-Qadir (381 H-422 H/991 M-1031 M), yang padanya ia
menyusun karya tersebut, barangkali kurang lebih tahun 420 H/1030 M. Tulisan itu
memperoleh terjemahan yang bagus dari Emile Fagnan, Les Status gouvernementaux, ou
regles de droit public et administratif (1915). Bagaimanapun, tulisan al-Mawardi bukanlah
satu-satunya karya aliran ini pada masanya; kadi Baghdad bermadzhab Hanbali, Abu Ya‟la
b. al-Fara‟ (w. 458 H/1066 M) menyusun sebuah buku dengan judul yang identik (edisi
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
126
Kairo, 1357 H/1938 M), juga tampaknya atas permintaan khalifah. Jelasnya tulisan-tulisan
ini menyajikan bukan teori-teori yang tidak berkepentingan, tetapi sebuah konser
kampanye oleh Abbasiyah untuk memperkuat otoritas politik mereka.
Karya Abu Ya‟la, meskipun dipublikasikan setengah abad yang lalu, belum lama
mendapat kajian yang serius. Al-Mawardi, sebaliknya, telah menarik perhatian yang
meyakinkan. Studi-studi perintis lainnya adalah oleh H.A.R. Gibb: (a) „Al-Mawardi‟s
Theory of the Khilafa,” IC xi (1937), 291-302; (b) “Some Consideration on the Sunni
Theory of The chaliphate,” Archives d‟histoire du droit oriental, iii (1939) 401-410; (c)
“Constitutional Law,” dalam M. Khadduri dan H. Liebesny (editor), Law in the Middle
East (1947), 1-29. (Dua item pertama dicetak ulang dalam Gibb, Studies on the Civilization
of Islam, 141-165). Analisis yang paling menyeluruh adalah dari Henri Laoust, “La pense
et l‟action politiques d‟ al-Mawardi (364-450/974-1058), REI, xxxvi (1968),11-92, yang
menguji teori pemerintahannya maupun konteks politik saat tulisan itu ditulis.
Tulisan George Makdisi, Ibn‟Aqil memperluas konteks dimana karya-karya formal
seperti tulisan al-Mawardi mengenai makna ideologis yang seksama bagi kepercayaan
agama harus ditafsirkan melalui analisisnya, yang seolah-olah bersifat teologis ketimbang
berbentuk pernyataan politik. Bahasannya (hlm. 299-310) dapat dikomparasikan dengan
penasehatnya tersebut, Laoust yang tidak dapat ditinggalkan, di akhir pendahuluan pada
La profession de foi d‟Ibn batta (1958) – sebuah karya oleh seorang ahli hukum Irak pada
abad 4 H/ 10 M yang telah menulis ketika kejayaan tirani Buwaihi.
Pada akhir abad ke 5 H/ 11 M, Abu Hamid al- Ghazali (400-505/1058-1111)
menyampaikan ulang teori supremasi politik Khalifah, meskipun dengan beberapa konsesi
yang agak jelas terhadap realitas yang ada dari dominasi militer Seljuk. Ia menyajikan
bahasan persoalan ini dengan sangat lengkap dalam Kitab Fada‟ih al-Batiniyya wa
wafada‟il al-Mustazhiriyya, diterbitkan dan dikaji oleh Iqnaz Goldziher dalam Die
Streitscrift des Gazali gegen di‟e Batiniy ya- sekte (1916). Sebuah pernyataan yang lebih
ringkas diberikan dalam al-Iqtisad fi al- I‟tiqad ( edisi Kairo, 1327/1909), dianalisis oleh
Leonardo Binder dalam, “Al- Ghazali‟s Theory of Islamic Government, “ Muslim World,
xiv (1955), 229-241. Sebuah studi luas tentang pemikiran politiknya (yang didalamnya
Kalifah dipandang hanya satu elemen) dapat diperoleh dalam Henri Laoust, La Politique de
Ghazali (1970). Pada dekade paling belakangan, Carole Hillenbrand telah menerbitkan
dengan hati-hatidan agak bersudut pandang revisiones tentang korpus politik al-Ghazali,
“Islamic Orthodoxy or Realpolitik ? Al-Ghazali‟s Views on Government, “ Iran , xxvi
(1988), 81-94.
Realitas politik fundamental yang menghadang khalifah tentunya adalah sebuah
tindakan yang harus disertai dengan paksaann oleh sejumlah anggota diktator militer, -
beberapa keuntungan dari hal tersebut adalah sangat jauh, namun yang lainnya begitu dekat
dengan Mamluk. Studi-studi yang dinukil di atas tentunya adalah mengenai persoalan
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
127
tersebut, tetapi sebagai tambahan ada banyak yang lain yang seacara khusus dicurahkan
terhadapnya.
a. W. Barthold , “Kalif; Sultan,” Mis Islama, I (1912), 202-226, 345-400; dianalisis dalam
C.H. Becker, “Barthold‟s studien uber Kalif und sultan,” Islam, vi (1916), 350-412;
terjemahan parsialnya dilakukan oleh N.S. Doniach dalam Islamic Querterly, vii (1963),
117-135.
b. A.H. Saddiqi, “caliphate and Kingship in Medieval Persia,” IC, ix (1935), 560-579; x
(1936), 97-126, 260-279, 290-408; xi (1937), 37-59. (Secara esensi merupakan sebuah
survei tentang kejadian-kejadian politik sejak masa Tahiri hingga akhir masa Seljuk).
c. Emile Tyan, Institutions du droit publi musulman, II: sultanat et califat (1957). (Sebuah
studi berguna, bahkan mencatat review yang sangat kritis dari Claude Cahen dalam
arabica, v [1958], 70-76)
Diantara para pemimpin diktator ini, Bani Buwaihi pastinya menampilkan
persoalan yang paling akut, sejak mereka mengkontrol Baghdad dan daerah-daerah rendah
Irak, dan lebih-lebih Syiah yang tidak menerima Abbasiyah sebagai pemimpin masyarakat
yang benar. Di sisi lain, Bani Buwaihi mengeksploitasi Syiah mereka hanya pada level
lokal, sebagaimana baru saja kita catat. Tidak hanya mereka menolak klaim Fatimiyah
sebagai Imamah, mereka tidak pernah mencoba berbuat sebagai wakil bagi imam yang
tersembunyi, spiritual tersebut ada jika kepala dari sekte dua belas mereka tidak hadir.
Ketika Bani Buwaihi merasa butuh akan sejumlah sumber legitimasi di luar peperangan,
mereka berharap mendapatkannya dari kekaisaran tradisi Iran kuno. Usaha ini sebagai
revivalisasi budaya terkait secara khusus dengan „Abdud al-Dawla Fana-Khuraw yang luar
biasa (338-372/949-983). Sebagai tambahan bagi tulisan Busse, “The Revival of Persian
kinship under the Buyids,” (lihat di atas), lihat dua buah artikel berikut ini:
1. W. Madelung, “The Assumtion of the Tittle Shahanshah by the Buyid and the Reign of
Daylam (Dawla al-Daylam),” JNES, xxviii (1969), 84-108, 168-183.
2. Lutz Richter-Bernburg, “amir Malik-Shahanshah: Adud al-dawla‟s Titulature Re-
examined,” Iran , xviii (1986), 83-102.
Pengetahuan kita tentang ideologi kerajaan Buwaihi sebagian besarnya adalah
berdasar pada judul-judul yang mereka klaim. Pastinya kita tidak mempunyai karya formal
dari seorang yang sekaliber al-Jahiz, al-Ghazali, al-Mawardi, Nizam al-Mulk, dan lain-lain,
yang menceritakan pemahaman Buwaihi tentang Iran. Sumber kita yang paling berguna
barangkali adalah mata uang Buwaihi. Sebagai tambahan kita dapat memperoleh sejumlah
data babad dan korespondensi negara (yang terakhir tidak terjaga dalam bentuk aslinya,
tetapi hanya dalam koleksi insha‟). Semua refernsi yang penting terdapat dalam J.C.
Burgel, Die Hofkorrespondenz „Adud al-Dawla und ihr verhaltnis zu anderen historischen
Quellen des fruhen Buyiden (1965).
Revivalisasi Buwaihi atas kekaisaran Iran merupakan sesuatu yang tentatif,
terutama karena terbatas pada upacara dan gelar kerajaan. Dalam generasi berikutnya,
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
128
idealisme dan kriteria aturan pemerintahan dari model ini akan mendapat pernyataan yang
lebih jelas dalam Shah-nameh yang luar biasa dari Firdawsi, disusun di keraton Saman di
Bukhara tetapi pada ujungnya disampaikan untuk sultan Mahmud dari Ghazna. Berikutnya
nilai-nilai dan sikap-sikap neo-sasanid akan melebur dalam setiap lembaran tulisan politik
di Iran, pada setiap prasati dan mata uang, setiap upacara, hingga seluruh masa
pertengahan. Untuk alasan ini, adalah berguna menyadari literatur pada masa sebelum
kekaisaran Islam di Iran. Survei standar adalah tulisan Athur Christensen, L‟iran sous les
Sassanides (1936; revisi kedua, 1944), lihat khususnya bab 8, mengenai monarkhi yang
paling lengkap yang dapat dijadikan contoh bagi pemikiran Iran, Khusraw Nushirwan.
Ada kekayaan materi di sini, tetapi itu harus digunakan dengan sangat hati-hati, sebab
banyak data kita tentang sasanid berasal dari sumber-sumber yang ditulis pada masa Islam,
dan pemahaman kritis Christensen kadang menggagalkannya. Persoalan tersebut juga telah
dikaji oleh Geo. Widengren, “The sacral Kinship of Iran,” dalam The Sacral kinship
(1959), 2420258. Sebuah artikel oleh R.N. Frye, “The Charisma of kingship in Anciebt
Iran,” Iranica Antiqua, vi (1964), 36-54, mempunyai banyak poin yang menarik, tetapi ia
tidak sesuai dengan judulnya. Seni Sasanid mengembangkan sebuah ikonografi kekaisaran
yang kokoh. Bejana-bejana perak yang menyolok yang dibuat untuk kerajaan sekarang ini
dikatalogkan dengan baik sekali dan dikaji dalam Prudence Harper, Silves Vessels of the
sassanid Periode . Volume one : Royal Imagery (1981), yang mempunyai gambar-gambar
yang istimewa dan sebuah bibliografi yang menyeluruh mengenai seluruh aspek seni
sasanid. Relief karang yang mengagumkan untuk memperingati penobatan dari raja-raja
pertama telah disurvei (sayangnya, tidak dapat dengan sangat mudah dipahami) dalam
Roman Ghirshman, Iran : Parthes et Sassanides (1962), diterjemahkan oleh S. Gilbert dan
J. Emmons dengan Iran Parthians and sassanians (1962). Yang monumental dalam skala
tentunya dari semua ini adalah lembaran-lembaran yang benar-benar mengagumkan
tentang propaganda dinasti.
Transmisi tradisi Raja Sassanid kepada Islam adalah persoalan utama dalam
dirinya, dan kita hanya dapat memberi sedikit referensi disini. C.E. Bosworth telah
memberikan kontribusi sebuah esei yang ringkas, “ The Heritage of Rulerhip in Early
Islamic Iran and the Search for Dynastic Connections with the Past, “Iran, xi (1973), 51-
62. Mengenai arsitektur dan daya khayal, ada banyak sugesti yang bermanfaat dalam Oleg
Grabar, The Formation of Islamic Art, lihat khususnya halaman 141-178. Dari sisi literatur,
banyak tema yang beredar melalui kontroversi Syu‟ubiyah yang terkenal di akhir abad 2 H/
8 M, melibatkan para pendukung budaya Iran disatu sisi dan penjaga kemuliaan Arab
sebelumnya disisi lain. Ignaz Goldzeher membawa seluruh fakta utama dalam tulisannya
Muhammedanische Studies, I, hlm. 147-216 ( Muslim Studies, I, 137-198). H.A.R Gibb
menyiapkan penafsiran yang bersifat sosial politik ketimbang bersifat budaya bagi konflik
ini dalam sebuah artikel terkenal, “ The sosial significance of the Shu‟ubiyya, “ dalam
Studi‟a Orientalia Loanni Pedersen Dicta (1953), 105-114; dicetak ulang dalam Studies on
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
129
the Civilization of Islam, 62-73; lihat juga R.P. Mottahedeh, “The Shu‟ubiyah Controversi
and the social History of Early Islamic Iran, “IJMES, vii (1976), 161-182. Teks-teks yang
relevan adalah tak terhitung jumlahnya; bab pertama dan antologi terkenal Ibn Qautayba
(w.276/889) akan menunjukkan bagaimana konsep politik Sassanid dapat diterima menjadi
bahkan dalam lingkup Islam yang konservatif : “Kitab al-Sultan,” dalam Uyun al-Akhbar
(4 Volume, 1343-49/1924-30), I, 1-106, diterjemahkan oleh Josef Horovitz dengan “ The
book of Government, “ IC, iv (1930), 171-198, 331-362, 487-530; v (1931), 1-27.
Meskipun bangsa Turki dengan ras orang-orang Ghaznaw mencoba sekeras orang-
orang Buwaiki, ternyata mereka lebih berhasil dalam menghubungkan diri mereka dengan
tradisi kekaisaran Iran. Kebalikan dari saingan mereka, tentunya, mereka berusaha juga
menciptakan suatu sintesa antara bangsa Iran dan secara khusus Islam yang berasal dari
pemerintahan mereka; Ghaznawi kenyataannya adalah pendiri sebenarnya model
pemerintahan yang kita sebut dalam buku ini dengan autokrasi Persia – Islam.
Menggunakan model ini, mereka menggambarkan diri mereka dengan prajurit pejuang
yang mengembangkan dunia Islam, sebagai penjaga Suni dan penindas bid‟ah, dan sebagai
aliansi dan agen yang loyal dari Khalifah Abbasiyah. Dalam cara ini mereka secara
simultan memproklamasikan nilai absolut dan konsep keadilan bangsa Iran. Sama dengan
orang Buwaihi, judul yang digunakan oleh sultan-sultan Ghaznawi adalah sangat terbuka:
lihat C.E . Bosworth, “ The Titulature of the Early Ghaznavids, “ Oriens, xv (1962), 210-
233. Mengenai seni arsitektur mereka, ada sebuah survei ringkas yang bagus (barusaja
agak kuno) Oleh J. Sourdel. Thomine dalam EI2,ii, 1053-55. Ungkapan-ungkapan ideologi
mereka yang terbaik barangkali adalah tulisan Bayhaqi Tarikh –I Mas‟udi, tentangnya lihat
analisis dalam Bab yang telah mendahului sebagai tambahan, siyasat-naweh dari nizam al-
Mulk yang terkenal, meskipun ditulis untuk Sultan Seljuk Malikshah dari Nizam al-Mulk
yang terkenal,meskipun ditulis untuk Sultan Seljuk Malikshah (465-485/1072-1092) secara
dekat mencerminkan nilai-nilai dan pemikiran monarki dinasti Ghaznawi, dalam dinasnya
Nizam al-Mulk mulai kariernya. Edisi dan terjemahan paling bagus terhadap hal itu adalah
oleh Hubert Darke,The book of Government or Rules for kings (teks persia, 1960; edisi
revisi tahun 1978).
Beragam untaian ideologi yang dihasilkan oleh Khalifah bani Buwaihi dan
Ghaznawi seluruhnya diwarisi oleh Bani Seljuk, yang menjadi, sebagaimana yang dicatat
dahulu dalam bab ini , contoh negara Islam pada akhir masa pertengahan. Di sisi lain
pengaruh dan prestis besar mereka, bagaimanapun, kita masih belum memiliki pennelitian
umum tentang ideologi bani seljuk. Pendekatan yang paling dekat mengenai hal ini dapat
diketemukan dalam sejumlah studi oleh A.K.S. Lambton tentang konsep-konsep
kekaisaran Iran masa pertengahan, yang semuanya terdapat dalam Theory and Practice in
Medieval Persian Government (1980). Diantara semua ini, dua buah artikel secara khusus
telah banyak dikutip : (a) “Quis Custodiet custodes: Some Reflection on the Persian Theory
of Government,” SI, v (1956),125-146; (b) “Justice in the Medieval Persian Theory of
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
130
Kingship,” SI, xvii (1962), 91-119. Artikel-artikel ini penuh dengan pemikiran-pemikiran
yang menarik. Di sisi lain mereka hanya mengenai aspek khusus dari keseluruhan pokok
persoalan, dan sebagai tambahan mereka menco ba meliput seluruh dinasti utama Islam
Iran, tidak hanya dinasti Seljuk saja.
Karya Lambton berdasar pada teks-teks yang ditulis dengan jelas untuk
menunjukkan kriteria pemerintahan yang benar. Diantara sejumlah karya yang penting
dalam tipe ini yang dihasilkan pada masa dinasti seljuk, kita telah menunjukkannya dengan
siyasat nameh dari Nizam al-mulk. Dalam karya ini (baik itu al-Ghazali ataupun yang
lainnya) tidak memberi perhatian pada khalifah dan klaim-klaimnya; ia menulis secara
khusus tentang pemerintahan seljuk di timur Iran. Hillenbrand (“Islamic Ortodoxy or
Realpolitik ?” yang telah dinukil di atas hlm 161) menganggap lembaran-lembaran itu
sebagai palsu. Dalam beberapa hal, nasihat mempunyai sebuah sejarah tekstual yang
kompleks dan ia paling mudah dikonsultasikan dalam terjemahan oleh F.R.C. Bogley,
Ghazali‟s Book of Connsel for Kings (1964). Terakhir ada Qabur-nameh yang elok dari
ratu kay ka‟us b. Iskandar (475/1082), editor dan penerjemah Reuben Levy denganA
Mirror for Princes (1951).
Tiga karya ini berbagi konsep yang biasa tentang status dan peranan pemerintahan
monarkhi, yang mereka sajikan baik dalam kerangka sasanid dan Islam, tetapi dalam nada
dan etosnya mereka masing-masing sangat berbeda. Nizam al-Mulk menerima tanggung
jawab sultan dengan realisme yang keras, baginya, sultan mampu meraih keadilan dan
sentosa hanya dengan memaksakan keinginannya pada bawahannya, dan ini dapat
dikerjakan hanya melalui kewaspadaan yang terus menerus dan ancaman yang konstan dan
menghilangkan hubungan diantara kelas-kelas yang stabil. Karena aturan sosial yang adil
ini adalah ditetapkan oleh Tuhan, berikutnya sultan harus berbuat dengan seluruh
tenaganya untuk berpegang teguh pada agama yang benar dan menghilangkan bid‟ah. Di
sisi lain, Nizam al-Mulksepertinya menerima keadilan sebagai sesuatu yang secara rasional
dapat diketahui dan diserukan oleh seluruh agama yang sesuai, tidak hanya Islam. Dari
sudut pandang ini, hubungan antara pemerintah dan agama adalah hubungan fungsional.
Penguasa mengemban agama yang telah ditetapkan karena agama tersebut melegitimasi
dan memperkuat susunan sosial yang ada, bukan karena kebenaran nilai-nilai yang abstrak
dari agama tersebut.
Dalam nasihat al-Mulk, pengarang pertama kali ditarik perhatiannya dengan
karakter dan motivasi dari penguasa. Ia secara implisit berargumen bahwa jika pemikiran
dan tindakan diri penguasa adalah benar-benar telah dibentuk, maka kebijakannya akan di
dengar dan pemerintahannya akan berkembang dengan baik. Baginya, bagaimanapun,
kebenaran nilai agama adalah utama. Setiap aspek tingkah laku penguasa harus berhembus
dari komitmen personal mengenai kebenaran ini. (Bandingkan dengan analisis Lambton
dalam “The Theory of Kingship in the Nasihat al-Muluk of Ghazali,” Islamic Quartely, I
[1954], 47-55)
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
131
Qabus-nameh pastinya yang paling menarik dan paling harmonis dari teks ini,
meskipun dari sudut pandang teoritis ia kurang begitu penting. Ia berisi nasehat tentang
persoalan dunia dari sebuah dinasti yang saleh bagi putranya tentang bagaimana jalannya
di dunia yang berbahaya, dan bagaimana bertingkah laku pada setiap saat sebagai seorang
raja.
Tiga karya ini seluruhnya ditujukan bagimpara penguasa, dan semua karya tersebut
adalah memorandum dan sekaligus juga dokumen umum. Dalam rangka merangkul
kelompok-kelompok lain, ideologi bani Seljuk harus diekspresikan melalui karya-karya
asli yang beragam. Kebanyakan historiografi bani seljuk yang bagus (sebuah tulisan yang
paling langsung berhubungan dengan birokrasi) adalah terlalu berkarakter ideologis.
Literatur ini belum pernah dipelajari secara memadai, namun Claude Cahen telah memberi
dua kontribusi penting berkaitan dengan hal ini; (a) “Le Malik –Nameh et l‟histoire des
origines seljukides,” Oriens, ii (1949), 31-65; (b) “Historiography of the Seljukid Period,”
dalam Lewis dan Holt, ditor, Historians of the Middle East, 59-78.
Di kalangan Ulama dan para pengikutnya, peranan dinasti sebagai‟ penjaga
keyakinan‟ dapat disimbolkan dengan perlindungannya terhadap institusi-institusi agama.
Masjid-masjid dan madrasah pada masa bani Seljuk celakanya hidup hnaya dalam
kepingan-kepingan, dan apa yang kita miliki benar-benar diabaikan oleh para sarjana
modern. Mengenai tinjauan ringkas atas apa yang telah diketahui, liha Oleg Grabar , “The
Visual Art,” dalam Cambridge Historyn of Iran, v,626-641. begitu juga, epigrafi bani
seljukbelum pernah menjadi objek dari sebuah studi sintesa, meskipun nilainya bagi
perkembangan ideologi tersebut adalah sudak terbukti. Sebuah indikasi atas apa yang dapat
dipelajari dapat diketemukan dalam dua buah studi oleh Mikita Elliseeff tentang para raja
penerus bani Seljuk di Syria abad 6 H/ 12 M, Nur al-Din Mahmud b. Zanji: (a) “La
Titulature de nur ad-Din d‟apresses inscription,” BEO, xiv (1952-1954), 155-196; (b) “Les
Monumens de Nur ad-din,” BEO, xiii (1949-1951), 5-43. Penafsiran Elliseff begitu dekat
dengan kerangka kerja yang dilakukan oleh Max van Berchem dalam CIA . Dan pernyatan
dari yang terakhir tersebut mengenaio bani Seljuk adalah mudah dimengerti
meskipunsangat berserakan.
Sejauh ini kita telah berbicar seolah-olah bani Seljuk memandang dirinya sebagai
autokrasi Persi-islam, dan sebagai penjaga dari Islam suni dan khalifah. Tetapi mereka juga
para pemimpin orang-orang Turki, paling tidak pada permulaannya, dan sangat perlu
menanyakan apa yang dimiliki dari fakta ini pada pmikiran politik mereka. Bahkan Nizam
al-Mulk yangrealistik menyinggung segi identitas mereka ini hanya dengan cara sepintas
lalu, ketika ia menasehati Malik shah untuk tidak mengabaikan ataupun melukai hati
orang-orang Turki yang telah ikut membawa dinasti mencapai kekuasaan. Mengenai
konsep politik dan nilai-nilai orang Turki, tentu ia katakan tidak dengan sebuah kata.
Meskpun demikian jelas bahwa penduduk Turki Asia tengah mempunyai tradisi yang
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
132
berurat akardengan tradisi aaslnya, beberapa diantaranya paling tidak telah mereka bawa
saat emasuki wilayah di luar Oxus pada awal-awal abad 5 H/11 M.
Contoh khusus yang penting tentang hal ini adalah ungkapan bahwa wilayah
kedaulatan adalah hak milik bagi seorang individu namun untuk keseluruhan keluarga.
Yaitu, anggota-anggota utama dari famili yang paling besar dalam sebuah kebijakan adalah
diharuskan berbagi kekuasaan dengan mengakui porsi wilayahnya sebagai bagian yang
otonom bagi anggota keluarganya yang lain Struktur politik semacam ini dapat dibri
beragam nama; diantara nama – nama tersebbut dalam penggunaannya yang pantas adalah
kedaulatan kolektif, “konfederasi Kekeluargaan,” dan negara bagian. Institusi tersebut
pertama kali diidentifikasi oleh Barhold (Turkestan down to the Mongol Invasion, 268),
tetapi pandangannya tidak diorbitkan hingga Claude Cahen mengadakan penelitian tentang
bentuk tingkah laku ini dalam artikelnya tentang Bani Ayyub dan bani Buwaihi dalam EI2
Institusi tersebut paling sistematis diteliti dalm dua monografi belakangan: (a) R.S.
Humphreys, From saladin to the Mongols: The Ayyubids of Damascus, 1193-1260 (1970);
dan (b) John E. woods, The Aqquyunlu clan, confederation, Empire (1976). Tak ada
pertanyaan tentang kode kedaulatan kolekstif yang sangat kuat membentuk tingkah laku
politik Bani seljuk, tetapi tampatknya hla itu merupakan persoalan yang tidak dibicarakan –
bentuk pemikiran dan nilai yang mempengaruhi hubungan merka satu sama lain dan
dengan para pengikut orang-orang Turki mereka, tetapi yang tidak prnah menjadi bagian
dari klain publik mereka untuk menguasai daerah dan penduduk muslim.
Bani seljuk menetapkan kebanggaan besar mereka dengan bahasa Turki. Dan
sebuah bukti kuat terdapat dalamawal-awal abad 5 H/11 M, Tafdil al-Atrak dan Ibn Hasul
(teks Arab dan terjemahan Turkinya dikerjakan oleh S. Yaltkaya, studi oleh „abbas al-
„azawi, Belleteni, iv [1940],235-266. Di sisi lain banii Seljuk tidak pernah mensponsori
literatur dalam bahasa Turki, meskipun model hal ini telah dipersiapkan oleh Qara-Khanid
dari Transoxiana pada pertengahan abad 5 H/11 M. Di bawah pattron mereka cermin
bahasa Turki bagi para Raja kenyataannya disusun dengan penanggalan yang ramping
tentang banyak teks Persi semcam ini yang ada, Kutadgu Biliq dari Yusuf Khass Hajib,
diterjemahkannoleh Robert Dunkoff dengan The Wisdom of Royal Glory (1983) Bahkan
yang lebih menarik lagi adalah Diwan al-Lughat al-turk yang sangat besar dari Mahmud
al-Kashghari. Tetapi secara umum kita mulai melihat literatur Turki yang disponsori secara
rresmi hanya pada paruh kedua abad 9 H/15 M.
Telah disampaikan bahwa sejak masa awal bani Seljuk menganggap diri mereka
sebagai penduduk yang memiliki mandat wahyu untuk mengatur dunia, meskipun saya
menemukan tesis tersebut meragukan. Tema ini paling lengkap (meskipun cinta tanah
airnya agak berlebihan) di gali oleh Osman Turan, Turk cihan Hakimiyeti Mefkuresi Tarihi
(2 volume, 1969); pengarang yang sama jug memberikan pernyataan yang ringkas
tentangnya dalam “The Ide of world Domination among Medieval Turks,”SI, iv (1955),
77-90. Satu aspek dari tradisi kepemimpinan Turki digali dalam J.P. Roux, “L‟origine
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
133
celeste de la souverainete dans les inscriptions paleo-turques de mongolie et de Siberie,”
dalam The Social Kingship, 231-241. Tentang penggunaan bani Seljuk ata simbol kekuatan
raja bahasa Turki tua, tundukan dan anak panah, lihat Claude Cahen, “la tughra seljukide,‟
JA, ccxxxiv (1943-45), 167-172.
Kita seharusnya tidak usah melebih-lebihkan bisunya konsep dan simbol bahasa
Turki dalam imaginasi umum yang dicoba direncanakan oleh Bani Seljuk. Tak diragukan
semua ini penting bagi cara mereka dalam memahami diri mereka sendiri, tetapi mereka
benar-benar telah mampu berbuat banyak dalam melegitimasi aturan pemerintahanSeljuk
di kalangan orang-orang Iran, Arab dan penduduk Kurdi. Tentunya ide-ide tersebut dengan
jelas sangat penting bagi Khans-II dan para penerus Turki Mongol mereka seperti
kelompok Jalayirin, Qara-Qayunlu dan Timur Lank. Namun orang-orang Mongol memulai
dominasi mereka di Irn dan Mesopotamia sebagai penduduk pagan, orang yang terpatri
dengan tradisi Asia Tengah, dan sangat pelupa dengan ide-ide Persia-islam. Bagi bani
Seljuk, sebaliknya, kriteria Islamsecara khusus dan neo-sasanid sepertinya telah
mengontrol ungkapan politik umum mereka, dan bahkan pandangan tentang kekaisaran dan
aturan sosial yang mereka anspirasikan.
C. Penutup
Jika kita kembali kebelakang pada kerangka perbandingan umum ideologi dan
propaganda yang telah kita kembangkan pada awal bab ini, kita sekarang dapat mencoba
melokasikan bani Seljuk di dalamnya pertama, mereka memauki dunia Islam pada saat
kekacauan politik dan budaya yang mendalam disana. Dalam lingkungan tertentu mereka
(atau lebih punya, para ahli kampanye asli mereka) tidak dapat menghindarkan diri dalam
menjelaskan peranan dan maksud mereka.- Yaitu membangun sebuah ideologi yang
memperkuat dominannya atau populasi muslim yang ada mereka adalah orang-orang
Barbarian, barbarian yang berkeinginan melanggengkan, sejauh mungkin, susunan sosial
masyarakat kota- agraris yang telah ada di Iran dan daerah bulan sabit yang subur. Sikap
inimengharuskan mereka berpihak pada kelas-kelas asli mereka yang memegang teguh
aturan tersebut. - Birokarasi kepemiliki lahan dan masyarakat kota yang terhormat (Ulama
dan para pedagang). Karena alasan itu, ideologi bani Seljuk akan seacara pasti menjadi
satu-satunya yang mencoba memastikan dan menjaga sesuatu sebagaimana adanya mereka.
Pandangan konservatif ini diperkuat oleh keputusan para pedagang tak resmi untuk
menjalin hubungan diri mereka dengan Khalifah Abbasiyah. Ketegangan dan konflik
dibangun dlam aturan bani Seljuk tentang segala hal, dan para apologi mereka berharap
dapat menyelesaikan hal ini dengan mengterangkan sepasang konseptual yang akan
mempertegas harmoni dalam diantara elemen-elemen yang kelihatan bertentangan –
bahkan penekanan mereka pada peranan kunci kelompok etnis tambahan (Turkidan
Tajik)dan institusi politik (khalifah dan ksultanan). Dalam cara yang sama, mereka
menampilkan pemerintahan bani Seljuk sebagai satu-satunya yang dapat menyesuaikan
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
134
seluruh kriteria penguasa ideal yangmuncul pada masa-masa aawal Islam, Sassanid Iran
dan Turki asia Tengah, bagaimanapun kontrdiksinya hal ini terlihat dari luarnya.
Karena aturan yang ada dibawah tekanan dari berbagai jurusan, yang opaling
terlihat adalah Syiah Ismailiyah, bani Seljuk yang konservatif adalah tak dapat tidak
militan dan bahkan menyayat dalam nada. Propaganda mereka adalah propaganda pada
orang yang bebas berbicara dikalayak umum dn yang mengontrl sumber-sumber yang
sangat luas. Para pendukung merka dapat mengajar di masjid dan madrasah, mengedarkan
karyua-karya tertulis utama, dan membangun institusi agama yang indah. Apakah seluruh
hal ini efektif ? Tentunya itu saja tidak dapat menyelamatkan pemerintahan bani Seljuk
dari melemahnya strukturalnya. Tetapi ideologi lambat laun bekerja menuju secara jelas
kebutuhan politik dinasti militer yang mencoba mengatur dalam kerangka nilai dan
perilkaku Islam yuang telah ada. Lebih jauh, itu dapat memberikan kemampuan bagui
generasi-generasi belakangan melihat ke belakang pada awal-awal bani Seljuk sebagai
kesempatan memperbaiki keagunagn Islam, sebuah kesemnpatanmyang seharusnya mereka
perj8angkan untuk merebut kembali bagi diri mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Clifford Geertz, “Ethos, World View, and the Analysis of Sacred Symbols,” dalam The
Interpretation of Cultures, New York: Basic Book, 1973, {126-141).
Dominique Sourdel, “Questions de ceremonial „abaside,” REI, xxviii (1960), 121-148.
Edward Shils dan Harry M. Johnson, “Ideology,” dalam International Encyclopaedia of the
Social Sciences, viii (1968).
E.B Smith, Architectural Symbolism of Imperial Rome and the Middle Ages, Princeton:
Princeton University Press,[1956]
E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam , Cambridge: Cambridge University
Press,1958.
H.A.R. Gibb: (a) „Al-Mawardi‟s Theory of the Khilafa,” IC xi (1937), 291-302.
Ignaz Goldzeher, Muhammedanische Studies, I, hlm. 147-216 ( Muslim Studies, I, 137-
198)
Ibn Qautayba (w.276/889) “Kitab al-Sultan,” dalam Uyun al-Akhbar (4 Volume, 1343-
49/1924-30), I, 1-106, diterjemahkan oleh Josef Horovitz dengan “ The book of
Government, “ IC, iv (1930), 171-198, 331-362, 487-530; v (1931), 1-27.
Karl Mannheim, Ideology and Utopia (terjemahan Louis Wirth dan Edward Shils), New
York: Harcourt, Brace & Co., 1936.
Lambton, “The Theory of Kingship in the Nasihat al-Muluk of Ghazali,” Islamic Quartely,
I [1954], 47-55).
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
135
Leonardo Binder, “Al- Ghazali‟s Theory of Islamic Government, “ Muslim World, xiv
(1955), 229-241.
P.M Holt, “The Position and Power of the Mamluk Sultan,” BSOAS, xxxviii (1975), 237-
249
Osman Turan, “The Ide of world Domination among Medieval Turks,”Studia Islamica, iv
(1955), 77-90.
Oleg Grabar, “The Visual Art,” dalam Cambridge History of Iran, v (1986), 641-657
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
136
MEMPERTAHANKAN PILKADA LANGSUNG
Hasyim Asy’ari2
Abstract
Local elections in Indonesia has a number of models. In there centera, the election
models used are direct local elections through the election. Now the discussion is being
carried legislation local elections offer the idea that the Governor was elected by
Parliament and the Regent/Mayorelected by popular vote. This paper examines and
recommends that local elections remain to be implemented directly through elections.
Keywords: (1) Local Election, (2)Democracy, (3) Indonesia.
A. Pengantar
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mulai
dibahas Pemerintah dengan DPR. Salah satu perdebatan yang menonjol adalah pilkada
akan diubah yang semula Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih secara langsung lewat
pemilu, menjadi Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi dan Bupati/Walikota tetap dipilih
lewat pemilu.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah Pilkada dilaksanakan secara langsung atau
tidak langsung? Pilkada langsung di sini dimaksudkan bahwa pengisian jabatan kepala
daerah dilakukan melalui suatu pemilihan umum (pemilu) atau dipilih secara langsung oleh
rakyat-pemilih. Pilkada tidak langsung nampaknya dimaknai bahwa kepala daerah dipilih
tidak secara langsung oleh rakyat-pemilih, namun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), atau ditunjuk (diangkat) oleh pejabat di atasnya.
Tulisan ini hendak mengkaji beberapa model pengisian jabatan kepala daerah, dan
diikuti dengan rekomendasi model pengisian jabatan kepala daerah ke depan. Tulisan
mengarah kepada gagasan untuk mempertahankan pilkada langsung atau pemilihan kepala
daerah melalui pemilu (pemilukada).
B. Model Pilkada
Pengalaman di Indonesia selama ini menunjukkan setidaknya terdapat lima model
pengisian jabatan kepala daerah. Model pertama, kepala daerah dipilih secara tidak
langsung, melainkan hanya ditunjuk/diangkat oleh pejabat di atasnya. Pengalaman ini
2 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Jln. Prof. Sudarto, Kampus Undip
Tembalang, Semarang Email: [email protected]
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
137
terdapat pada daerah-daerah administratif bukan daerah otonom. Walikota di Jakarta
menduduki jabatannya karena diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta (vide Pasal 19 UU No.
29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta).
Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat (vide Pasal 15
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini DPRD memilih
beberapa calon kepala daerah, selanjutnya diajukan kepada pejabat pemerintah di atasnya
untuk dipilih salah satunya sebagai kepala daerah (Mendagri untuk memilih
Bupati/Walikota, dan Presiden untuk memilih Gubernur).
Model ketiga, kepala daerah dipilih secara tidak langsung (vide Pasal 34 UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini kepala daerah dipilih oleh
DPRD.
Model keempat, kepala daerah ditetapkan oleh DPRD. Dalam model ini adalah
pilkada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu dengan cara “penetapan” oleh
DPRD dan “pengesahan” oleh Presiden (vide Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 24 ayat (3,
4, 5) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta).
Model kelima, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui
pemilu (vide Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004 jo Pasal 1
angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu). Pada model ini pasangan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik yang memenuhi persyaratan, dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya
pasangan calon yang memenuhi persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilu untuk
dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih.
Argumentasi Mempertahankan Pilkada Langsung3
Berdasarkan beberapa model tersebut, pengisian kepala daerah ke depan sebaiknya
tetap mempertahankan model kelima, yaitu kepala daerah dipilih secara langsung oleh
rakyat-pemilih melalui pemilu. Pilihan model ini didasarkan pada argumentasi sejarah
pembentukan konstitusi (amandemen UUD 1945), argumentasi konstitusional, dan
argumentasi politik. Argumentasi ini didasarkan kepada metode penafsiran dalam Hukum
Tata Negara (HTN).4
3Gagasan ini semula bersumber pada: Hasyim Asy‟ari, “Mempertahankan Pilkada Langsung”, artikel
yang pernah diterbitkan Harian Kompas, 24 Maret 2011. Edisi revisi artikel tersebut disampaikan pada
Seminar “Pilkada Langsung: Problematika dan Solusi”, diselenggarakan oleh Program Magister Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum UKSW Salatiga Kerja Sama dengan Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Selasa, 14
Juni 2011. 4Tentang penafsiran dalam hukum tata Negara, baca: Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara, Jilid 1, terutama “Bab V Penafsiran Dalam Hukum Tata Negara”, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), hlm. 273-313.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
138
Argumentasi Historis Pembentukan Konstitusi
UUD setelah dilakukan amandemen di dalamnya telah dilembagakan Pemilu bagi
anggota lembaga perwakilan maupun pemimpin pemerintahan, penyelesaian sengketa hasil
Pemilu, dan lembaga penyelenggara Pemilu. Namun pengaturannya meninggalkan
persoalan baru di bidang ketatanegaraan, yaitu berkenaan dengan pengaturan untuk
memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD yang dipilih
melalui Pemilu (Pasal 22E ayat 2), sedangkan untuk Gubernur, Bupati, dan Walikota
(Kepala Daerah) dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4).
Mengapa ada dua istilah “dipilih melalui Pemilu” dan “dipilih secara demokratis”.
Apakah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara demokratis merupakan bagian Pemilu?.
Dalam UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara materiil Pilkada adalah
kegiatan Pemilu karena mekanisme dan tata cara mengadopsi Pemilu seperti yang diatur
dalam undang-undang pemilu (waktu itu UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU
No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres). Tetapi secara formil Pilkada berdasarkan UU No. 32
Tahun 2004 bukan Pemilu sebagaimana dimaksud pelembagaan Pemilu dalam UUD 1945
karena menempatkan Pilkada bagian dari kegiatan pemerintah dengan menugaskan
pelaksanaannya kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tanpa keterlibatan atau
peranserta KPU. Padahal KPUD adalah jajaran vertikal KPU. Dengan pengaturan seperti
ini Pilkada bukan termasuk kategori Pemilu karena tidak diselenggarakan oleh KPU yang
memiliki sifat nasional seperti dimaksud UUD 1945, namun tatacara dan mekanismenya
mengadopsi Pemilu legislatif dan Pilpres. Akibat dari tumpang tindihnya pengaturan
seperti ini, pengaturan Pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan Indonesia tidak
memiliki standar pemilu yang bersifat nasional dan selanjutnya gagal melembagakan
sistem Pemilu sebagaimana dimaksud UUD 1945. Kerumitan ini diselesaikan dengan
keputusan MK yang tidak lagi menempatkan KPUD bertanggung jawab kepada DPRD,
dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (kini diubah menjadi UU No.
15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu) yang menempatkan pilkada sebagai bagian
dari Pemilu.
Problematik yang dihadapi sekarang dengan Pemilukada adalah berbagai macam
mengenai ketidakefisienan, pemborosan anggaran, dan konflik. Wacana diskusi
berkembang mulai dari dikembalikan lagi dipilih DPRD untuk gubernur sedangkan
bupati/walikota tetap melalui pemilu. Penggunaan istilah “dipilih secara demokratis”
menimbulkan multi tafsir. Di dalam ilmu perundang-undangan dan ilmu HTN ada yang
dinamakan tafsir hukum apabila teks sebuah peraturan menimbulkan multi tafsir, maka
dapat dilakukan penafsiran hukum, antara lain gramatikal, sistemik, dan historis.
Kalau dilihat dari sisi gramatikal, istilah demokratis membingungkan mekanisme apa
yang diterapkan. Demokratis hanya sebuah proses, tetapi siapa yang memilih ini menjadi
persoalan. Sistemik adalah menafsir dengan logika konstruksi, misalnya asas-asasnya dan
konsistensi dengan pengaturan yang lain. Dari sisi sistemik ini, dalam pasal yang sama dan
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
139
amandemen tahun yang sama mengapa dirumuskan DPRD dipilih melalui Pemilu
sedangkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Sedangkan pada amandemen
berikutnya Presiden dipilih secara langsung. Dalam sistem pelembagaan pemilu seharusnya
ada konsistensi pemilihan. Oleh sebab itu dari sisi sistemik kepala daerah mestinya ditafsir
dipilih melalui pemilu langsung. Saat itu tidak langsung dirumuskan dipilih melalui pemilu
langsung karena belum tahu apakah nantinya presiden akan dipilih langsung, dan juga
memberi keluwesan karena ada kepala daerah yang tidak dipilih berdasarkan undang-
undang keistimewaan, yaitu Yogyakarta.
Dari segi historis, yaitu melihat dari sejarah perumusan atau pembentukan ketentuan
itu. Dari risalah sidang dapat diketahui maksud perumusan demokratis.5
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Pertama kali istilah Kepala
Daerah dipilih secara demokratis disampaikan oleh FPDIP pada sidang PAH I BP MPR
yang membahas rumusan Bab VI pada tangal 29 Mei 2000. Pada initinya FPDIP
mengemukakan bahwa selama ini pemerintah belum melaksanakan Pasal 18 UUD 1945
sebagaimana mestinya. Pemerintahan dijalankan secara sentralistik dengan tekanan dan
paksaan. Pemilihan Kepala Daerah pada semua tingkatan dilakukan dengan penuh rekayasa
dan hanya mengedepankan tokoh-tokoh formal dan mengabaikan tokoh informal. Untuk
mencegah agar tidak terulang praktek-praktek tekanan dan paksaan, FPDIP mengusulkan
agar dicantumkan secara eksplisit dengan rumusan: “Daerah Otonomi mempunyai Kepala
Pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis yang pelaksanaannya diatur dengan
undang-undang”. Jelas sekali yang dimaksud dipilih secara demokratis menurut FPDIP
pada sidang PAH I BP MPR di atas adalah untuk mengakhiri praktek pemilihan kepala
daerah yang selama itu banyak dilakukan dengan cara rekayasa dan praktek tekanan serta
paksaan pemerintah terhadap mekanisme demokrasi untuk memilih kepala daerah yang
sedang berjalan. Rumusan dipilih secara demokratis usulan PDIP bukan substansi yang
mengarah kepada kepala daerah dipilih secara langsung atau tetap dipilih oleh DPRD.
Namun ditekankan pada perbaikan praktek yang harus dilaksanakan dengan cara
demokratis.
Fraksi Partai Golkar (FPG). Otonomi sebagai ruang bagi kedaulatan rakyat daerah
dalam pengertian komunitas politik memiliki makna mendalam, yaitu bahwa demokrasi
lokal dibutuhkan dalam rangka membangun otonomi daerah yang kokoh. FPG
mengemukakan bahwa konsep otonomi daerah yang memberikan kekuatan kepada
desentralisasi, tidak akan memenuhi sasarannya tanpa didukung pelibatan rakyat dalam
5Perdebatan seputar mekanisme pemilihan kepala daerah dalam perumusan naskah Perubahan UUD
1945, baca: Tim Penyusun Naskah KomprehensifProses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2010, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, (Edisi
Revisi), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), terutama “Bab V
Pembahasan Perubahan UUD 1945 Mengenai Pemerintahan Daerah”, hlm. 1107-1431 passim.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
140
pengambilan keputusan, di antaranya adalah melalui pemilihan kepada daerah secara
langsung.
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP). Pengalaman praktek yang semuanya
diatur oleh pemerintah pusat sehingga terdapat ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan
oleh daerah. Berdasarkan pokok pikiran itu, FPPP mengusulkan tujuh item perubahan Pasal
18, yang salah satunya pada item ketujuh yaitu mengusulkan agar “Gubernur, Bupati, dan
Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, yang secara langsung oleh rakyat yang
selanjutnya diatur dalam undang-undang, hal ini sejalan dengan keinginan kita untuk
Presiden juga dipilih secara langsung”. Kemudian dalam tanggapan akhir antar fraksi
sebelum memasuki tahap lobi-lobi, FPPP kembali mengemukakan dengan tegas pada item
keempatnya bahwa “karena Presiden itu dipilih secara langsung maka pada pemerintahan
daerahpun gubernur, bupati, dan walikota itu dipilih langsung oleh rakyat. Undang-
undang dan tata caranya nanti diatur dalam undang-undang yang terkait dengan otonomi
daerah”. Dengan demikian menurut pikiran FPPP yang dimaksud “dipilih secara
demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dipilih secara langsung
sebagaimana tata cara yang dilakukan untuk memilih Presiden.
Fraksi Persatuan Daulat Ummah (FPDU yaitu gabungan dari Partai Nahdlatul
Ummah, Partai Kebangkitan Umat, Partai Politik Islam Masyumi, Partai Daulat Rakyat,
dan Partai Syarikat Islam Indonesia). Di sisi lain pengaturan pemerintahan daerah
cenderung melakukan penyeragaman, padahal dalam penjelasan Pasal 18 founding fathers
menyatakan dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan volkgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di
Minangkabau, dan sebagainya. Karena itu FPDU berpendapat bahwa Pasal 18 tidak dapat
lagi mengatur secara keseluruhan pemerintahan daerah apalagi menata hubungan daerah
dan pusat. Selanjutnya FPDU mengusulkan perubahan Pasal 18 yang berisi delapan item,
antara lain pada item kedua “Setiap daerah otonom memiliki DPRD yang dipilih oleh
rakyat dalam suatu pemilu” dan item keempat “Setiap daerah memiliki kepala
pemerintahan daerah atau kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat”. Kepala
Daerah dipilih langsung oleh rakyat yang diusulkan FPDU harusnya dipahami
sebagaimana FPDU merumuskan anggota DPRD yang juga dipilih oleh rakyat melalui
pemilu, dengan demikian kepala daerah dipilih oleh rakyat adalah dipilih melalui pemilu.
Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesa (FKKI yaitu gabungan dari PKP, PDI, PNI
Massa Marhaen, Partai Bhinneka Tunggal Ika, dan PNI Front Marhaenis). Pembagian
kewenangan pusat dan daerah harus dilakukan dengan kesepakatan bersama. Selama ini
kita terjebak pada paradigma pusat dan daerah yang mempertentangkan pusat dan daerah.
Selanjutnya untuk menjamin hak-hak rakyat di daerah, FKKI mengusulkan perubahan
Pasal 18 yang antara lain berisi “berkenaan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden yang langsung, maka kami mengusulkan pula Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota juga dipilih secara langsung”. Dengan demikian redaksi dipilih secara
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
141
demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) menurut FKKI harus diartikan bahwa Kepala Daerah
dipilih secara langsung sebagaimana dimaksud pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dipilih secara langsung.
Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB dari Partai Kebangkitan Bangsa), pada intinya
menyampaikan pokok pikiran bahwa berdasar aspirasi yang berkembang di bawah
nampaknya kecenderungan untuk bisa memiliki Gubernur dan Walikota atau Bupati yang
dipilih langsung oleh masyarakat sangat tinggi. Selanjutnya dalam paparannya secara tegas
dinyatakan, “oleh karena itu kami mengusulkan apabila kata-kata demokratis ini diganti
dengan kata-kata dipilih langsung”.
Fraksi Utusan Golongan (FUG) menyoroti hampir keseluruhan isi perubahan Pasal
18 hasil PAH I BP MPR. Mengenai pemilihan kepala daerah, inti paparannya secara tegas
menyatakan: “saya usulkan agar dipilih secara demokratis itu diganti dengan langsung
atau bisa kompromi juga dipilih secara demokratis dan langsung”. Kepala Daerah dipilih
secara langsung ini menurut FUG juga agar koheren dengan seluruh sistem pemilihan yang
juga diusulkan beberapa fraksi, misalnya pemilihan Presiden secara langsung, itu juga
diterapkan sampai di tingkat bawah.
Fraksi Reformasi (terdiri dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan).
Pembicara lain dari Fraksi Reformasi menggarisbawahi keberatan dengan pencantuman
pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Secara tegas ia mengusulkan agar
“Pasal 18 Gubernur dan seterusnya dipilih secara langsung”. Selanjutnya juga
disampaikan: “karena itu kata demokratis memang seharusnya dihapus karena kita sudah
muak dengan penuangan seperti itu. Karena itu pemilihan langsung lebih jelas, karena
demokratis itu seringkali tidak jelas”.
Dari penafsiran historis pilkada secara demokratis tidak lain adalah dipilih secara
langsung. Dalam amandemen ketiga yang merumuskan Pasal 22E ternyata secara eksplisit
pemilu adalah untuk memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Ketentuan Pasal 18 (4)
yang merumuskan dipilih secara demokratis kenyataannya dibiarkan sampai berakhirnya
amandemen keempat.
Dengan demikian maka menurut UUD hasil amandemen dipilih secara demokratis
yang tepat adalah ditafsir dipilih secara langsung. Namun berdasarkan pertimbangan
sosiologis yaitu bersandar kepada kondisi masyarakat, perkembangan politik,
pertimbangan kepentingan yang lebioh besar sosiologis juga bisa dijadikan tafsir hukum.
Tetapi penggunaan ini sudah terlepas dari sistemik dan historis perumusan ketentuan
(pasal) yang bersangkutan, karena hanya melihat perkembangan sosiologis masyarakat.
Karena itu ide-ide kepala daerah dikembalikan dipilih DPRD merupakan tafsir sosiologis,
bukan logika konsistensi hukum dan bukan berdasar sejarah maksud dirumuskannya
ketentuan itu. Bila memang mau taat konstitusi, kepala daerah dipilih langsung seharusnya
menjadi pilihan. Sistem ini adalah konstitusional dalam arti memiliki landasan dan
argumen konstitusi yang kuat.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
142
Argumentasi Konstitusional
Pertama, konstitusi Indonesia UUD 1945 menentukan bahwa bentuk Negara yang
dianut Indonesia adalah Republik [vide Pasal 1 ayat (1)]. Sebagai konsekuensi sebuah
Negara yang berbentuk Republik, maka kedaulatan berada di tangan rakyat [vide Pasal 1
ayat (2)]. Implikasinya adalah pengisian jabatan politik-kenegaraan dilakukan secara
langsung oleh rakyat melalui pemilu [vide Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A, Pasal 18 ayat (3),
Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E]. Kendatipun dalam Pasal 18 ayat (4)
ditentukan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis, maka kata
“demokratis” di sini harus dimaknai bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh
rakyat-pemilih. Dalam hal ini, sekali lagi, sebagai konsekuensi bentuk Negara Republik,
kedaulatan di tangan rakyat, maka rakyatlah yang berhak menentukan kepala daerahnya.
Kedua, konstitusi Indonesia UUD 1945 menganut sistem pemerintahan Presidensil
[vide Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7]. Salah satu ciri sistem pemerintahan Presidensil adalah
Presiden (pejabat eksekutif) dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih, yang
membedakan dengan sistem parlementer di mana pimpinan eksekutif dipilih oleh parlemen
berdasarkan perolehan kursi mayoritas di parlemen. Dalam sistem parlemen sekali pemilu
mendapatkan dua hasil yaitu perolehan kursi parlemen, dan sekaligus pemenang dalam
parlemen berhak menempati jabatan pada pimpinan eksekutif. Untuk menegaskan dan
menjaga konsistensi sistem pemerintahan Presidensil, maka dalam pengisian jabatan kepala
daerah sebagai pemimpin pemerintah daerah sudah seharusnya dilakukan melalui pemilu
secara langsung, bukan oleh parlemen (DPRD).
Argumentasi Politik
Pertama, pemilu untuk memilih kepala daerah secara langsung merupakan sarana
membangun basis legitimasi bagi kepala daerah. Mengingat bahwa anggota DPRD dipilih
secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (apalagi formula pemilihan anggota
DPRD kini ditentukan dengan perolehan suara terbanyak), untuk mengimbangi basis
legitimasi DPRD maka sudah seharusnya basis legitimasi kepala daerah juga dibangun
lewat pemilu.
Kedua, berjalannya pemerintahan daerah diperlukan stabilitas politik. Untuk menjaga
stabilitas politik ini diperlukan kesimbangan kekuatan politik antara kepala daerah dan
DPRD. Dalam hal kepala daerah dipilih oleh DPRD, sebagai konsekuensinya adalah
DPRD akan diberikan wewenang untuk meminta pertanggungjawaban dan
memberhentikan kepala daerah sebelum habis masa jabatannya. Padahal sebagai salah satu
ciri sistem pemerintahan Presidensil adalah adanya masa jabatan tertentu (lima tahun) [fix
term vide Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) dan (2)], dan bila kepala daerah dipilih dan
diberhentikan oleh DPRD dikhawatirkan akan terjerumus kepada ketidakstabilan politik
dan mengarah kepada sistem parlementer. Pengalaman sepanjang berlakunya UU No. 22
Tahun 1999 membuktikan hal ini. Untuk menghindari konflik politik antara kepala daerah
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
143
dan DPRD yang berkepanjangan, dan untuk menjaga kestabilan politik pemerintahan
daerah, maka sudah seharusnya kepala daerah dipilih secara langsung.
Ketiga, dalam hal pengisian jabatan Gubernur sebagai kepala daerah provinsi
dilakukan oleh DPRD Provinsi, selain akan potensial menimbulkan konflik sebagaimana
pada argumen kedua, juga akan menimbulkan problem basis legitimasi Gubernur di
hadapan Bupati/Walikota jika Bupati/Walikota dipilih secara langsung lewat pemilu.
Dalam rangka menjalankan tugas untuk mengkoordinir Bupati/Walikota, maka Gubernur
harus memiliki legitimasi politik yang kuat.
Keempat, dalam hal Gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat-pemilih lewat
pemilu, dan tidak juga dipilih oleh DPRD, melainkan ditunjuk/diangkat oleh Presiden,
maka terdapat problem konstitusional. Problem tersebut adalah daerah provinsi merupakan
daerah otonom, bukan daerah administratif, di mana daerah otonom memiliki wewenang
mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam memilih kepala daerah, bukan ditunjuk/diangkat.
Bila pengisian jabatan Gubernur melalui ditunjuk/diangkat, problem konstitusional harus
diatasi terlebih dahulu yaitu mengubah status provinsi bukan lagi sebagai daerah otonom.
Terhadap gagasan mempertahankan pilkada langsung melalui pemilu tidak lepas dari
kritik. Terdapat tiga kritik yang sering diajukan, yaitu berkaitan dengan mahalnya biaya
pemilukada, masih maraknya politik uang dan konflik kekerasan yang mewarnai
pemilukada.
Terhadap kritik sejumlah kritik tersebut, Ramlan Surbakti memberikan jawaban.6
Pertama, berkaitan dengan pemilukada mahal. Efisiensi dalam pembiayaan
penyelenggaraan pemilukada dapat diwujudkan melalui pemilu lokal serentak. Pemilu
anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan pada hari/tanggal,
jam, dan TPS yang sama dengan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi
dan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Penghematan ini tidak saja
terjadi dalam honorarium petugas KPPS, PPS, dan PPK, tetapi juga dalam sektor
pengeluaran lainnya dari tiga kali menjadi satu kali pemilu lokal.
Pemilu lokal serentak justru akan mengurangi biaya kampanye karena kampanye
akan diselenggarakan oleh koalisi dua atau tiga partai politik untuk pemilu anggota DPRD
dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Pengeluaran kampanye yang paling besar selama ini bukan untuk pembiayaan berbagai
bentuk kampanye yang sah berdasarkan UU, melainkan untuk ”sewa perahu” agar
dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan membeli suara pemilih
secara langsung ataupun melalui perantara.
Kedua, berkaitan dengan petahana cenderung menggunakan jabatan untuk kampanye
pribadi. Dalam pemberitaan media, telah terungkap setidaknya ada dua modus yang
digunakan petahana untuk kepentingan kampanye pribadinya, yaitu dana bantuan sosial
6Ramlan Surbakti, 2013, “Kepala Daerah Harus Lewat Pemilu”, Harian Kompas, 24 Juni 2013.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
144
dan bantuan pembangunan desa. Pengaturan mengenai hal ini tidak sepenuhnya terletak
pada UU Pilkada, tetapi juga pada peraturan perundang-undangan lainnya.
Asumsi yang hendaknya dipegang bukan ”manusia pada dasarnya baik” sehingga
tidak perlu diatur, melainkan ”apa pun latar belakangnya, manusia itu dapat berbuat baik
tetapi dapat pula berbuat buruk”. Karena itu diperlukan pengaturan untuk mendorong
kecenderungan baik dan mencegah kecenderungan buruk. Pelaksanaan demokrasi harus
berpedoman pada hukum. Pengaturan mengenai tata cara penggunaan bantuan sosial dan
alokasi anggaran pembangunan harus dirumuskan secara lebih rinci sehingga mampu
mendorong perilaku baik petahana dan mencegah perilaku buruk petahana.
Ketiga, kekerasan di beberapa daerah tidaklah seluruhnya berkaitan dengan
pemilukada. Setidaknya ada dua hal dapat dikemukakan mengenai fenomena kekerasan di
beberapa daerah. Pertama, berbagai ketegangan akibat adanya kesenjangan
antarmasyarakat senyatanya karena masyarakat kurang mendapat saluran yang memadai
dari berbagai lembaga yang seharusnya berperan. Partai politik yang memiliki kursi di
DPR dan DPRD sebagai representasi politik formal (mereka terpilih melalui pemilu untuk
mewakili warga masyarakat) itulah yang seharusnya menampung dan memperjuangkan
aspirasi masyarakat tersebut. Hal yang merisaukan adalah partai politik merasa tidak
bersalah setiap kali terjadi kekerasan politik di daerah. Kedua, pemilu merupakan konflik
yang dilembagakan. Artinya, prosedur dan aturan main persaingan antara pihak yang
berupaya keras mendapatkan dan pihak lain yang berupaya keras mempertahankan
kursi/jabatan diatur secara lengkap, jelas, dan konsisten berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel.
Pemilu yang diatur dengan UU seperti inilah yang disebut pelembagaan konflik.
Pelembagaan konflik seperti ini dimaksudkan tidak saja untuk mendapatkan calon terpilih,
tetapi juga agar persaingan itu berlangsung damai tanpa kekerasan. Satu atau lebih aspek
pelembagaan ini yang mungkin belum efektif mencegah kekerasan. Pengajuan gugatan
terhadap hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi hendaklah dilihat sebagai kesediaan
masyarakat menyelesaikan perselisihan hasil pemilu secara beradab (hukum), bukan
dengan kekerasan. Oleh karena itu, jumlah gugatan terhadap hasil pilkada tidak dapat
diartikan sebagai kelemahan, tetapi suatu fenomena positif.
Posisi Wakil Kepala Daerah7
Kedudukan wakil kepala daerah mendapat sorotan karena beberapa hal. Pertama,
posisi wakil kepala daerah dinilai tidak efektif dalam menjalankan tugas dan wewenang,
sehingga terkesan tumpang tindih dengan tugas dan wewenang kepala daerah. Penilaian ini
biasanya didasarkan kepada praktek yang terjadi di mana wakil kepala daerah menjalankan
7Gagasan ini bersumber pada: Hasyim, Asy‟ari, “Posisi Wakil Kepala Daerah”, makalah disampaikan
pada Focus Group Discussion (FGD), “Evaluasi Format Pilkada”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian
Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Kamis, 4 April 2013.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
145
“tugas sisa” yang tidak dilakukan oleh kepala daerah dan biasanya tugas itu adalah tugas
yang “remeh-temeh”. Hal ini yang kemudian mendasari dilakukannya revisi UU No. 32
Tahun 2004 menjadi UU No. 12 Tahun 2008 terutama berkaitan dengan penegasan tugas
dan wewenang wakil kepala daerah.
Kedua, dalam praktek dipertanyakan soal mekanisme pengisian jabatan wakil kepala
daerah, yaitu apakah masih perlu dipertahankan mekanisme pengisian jabatan wakil kepala
daerah satu paket pasangan dengan kepala daerah yang kemudian dipilih langsung lewat
pemilu, atau wakil kepala daerah cukup diisi dengan cara penunjukkan yang berasal dari
PNS senior setelah kepala daerah terpilih lewat pemilu?
Berkaitan dengan masalah pertama, kedudukan wakil kepala daerah masih
diperlukan. Hal ini mengingat bahwa urusan pemerintah daerah cukup banyak dan cukup
berat. Harap diingat dalam konteks daerah otonom, hampir semua urusan pemerintahan
didesentralisasikan ke daerah kecuali urusan-urusan tertentu (pertahanan, keamanan, luar
negeri, agama, dan keuangan fiskal dan moneter). Dengan demikian nampaknya masih
diperlukan jabatan wakil kepala daerah dalam rangka membantu tugas kepala daerah dalam
menjalankan urusan pemerintah daerah.
Dengan demikian, apabila jabatan wakil kepala daerah masih dipertahankan, maka
yang diperlukan adalah penegasan kembali soal pembagian tugas dan wewenang antara
kepala dan wakil kepala daerah. Kendatipun wakil kepala daerah hanya “membantu” dan
keputusan tetap berada di tangan kepala daerah, namun untuk menghindari tumpang tindih
pembagian tugas dan wewenang, tetap diperlukan pengaturan tugas dan wewenang di
antara mereka dan pengaturan itu berada di tingkat undang-undang.
Berkaitan dengan masalah kedua, tentang mekanisme pengisian jabatan wakil kepala
daerah masih tetap melalui pemilu dalam satu paket pasangan kepala daerah dan wakil
kepala daerah. Hanya saja mekanisme pencalonannya saja yang diubah, yaitu yang dipilih
dalam mekanisme internal partai politik hanya calon kepala daerah saja, dan calon wakil
kepala daerah dipilih sendiri oleh calon kepala daerah.
Selama ini pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah dipilih melalui
mekanisme internal partai politik, dengan pola yang hampir sama di semua daerah, yaitu
calon kepala daerah bisa jadi berasal dari kalangan eksternal partai politik (dengan asumsi
memiliki sumber daya ekonomi yang kuat), dan calon wakil kepala daerah berasal dari
internal partai politik (dengan asumsi memiliki sumber daya politik yang kuat). Kemudian
dalam waktu yang tidak terlalu lama, bila komunikasi politik di antara mereka tidak
berjalan baik (retak), maka kemudian di antara mereka jalan sendiri-sendiri, di sinilah letak
persoalannya.
Dengan asumsi untuk membangun pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang
stabil, maka ke depan calon kepala daerah yang terpilih lewat mekanisme internal partai
politik kemudian dipersilahkan memilih calon wakilnya sendiri alias tidak dipilihkan partai
politik, sehingga loyalitas wakil kepala daerah hanya kepada kepala daerah dan bukan
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
146
kepada partai politik. Selanjutnya pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah itu
diajukan dalam pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih.
Formula pasangan calon seperti ini selain dengan tujuan untuk membangun stabilitas
pasangan selama menjabat, juga yang tidak kalah pentingnya adalah pada saat terjadi
kondisi darurat di mana kepala daerah tidak dapat melanjutkan tugas sebagai kepala
daerah, akan digantikan oleh wakil kepala daerah yang sama-sama memiliki basis
legitimasi kuat yaitu sama-sama dipilih dalam pemilu.
Apabila wakil kepala daerah akan ditunjuk dan berasal dari kalangan PNS senior,
akan menimbulkan sejumlah masalah. Tentu saja masalah pertama berkaitan dengan basis
legitimasi politik yang berbeda dengan kepala daerah yang dipilih langsung dalam pemilu.
Demikian juga bila terjadi kondisi darurat, wakil kepala daerah model ini akan
mengahadapi masalah basis legitimasi.
Selain itu, bila wakil kepala daerah berasal dari jajaran PNS akan menghadapi
masalah dengan kedudukan Sekretaris Daerah (Sekda) yang juga seorang PNS senior.
Model ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru dalam kaitannya dengan
tumpang tindih pelaksanaan birokrasi sehari-hari. Demikian juga pada akhirnya kepala
daerah yang merupakan jabatan politik akan serasa “dikepung” oleh kalangan PNS senior
di jajaran birokrasi pemerintahan daerah.
Oleh karena beberapa hal tersebut, diusulkan agar pasangan kepala dan wakil kepala
daerah masih tetap dipilih melalui pemilu dalam satu paket pasangan. Bahkan untuk
merealisasikan visi, misi dan program kerjanya, pasangan kepala dan wakil kepala daerah
diperbolehkan membawa/merekrut sejumlah orang yang sejak awal terlibat membantu
menyusun visi, misi dan program kerja untuk memastikan bahwa program kerjanya dapat
dijalankan (political appointee).
Bandingkan dengan pasangan presiden dan wakil presiden yang dapat merekrut para
pembantunya (menteri dan staf khusus) dalam jumlah yang besar untuk mensukseskan visi,
misi dan program kerjanya. Harap diingat bahwa program pembangunan jangka pendek
lima tahunan adalah perwujudan dari visi, misi dan program kerja yang telah
dikampanyekan dalam pemilu. Hal ini berbeda dengan kepala dan wakil kepala daerah
pada saat menduduki jabatannya hanya mereka berdua, dan selainnya adalah aparat
birokrasi pemerintahan daerah yang secara politik biasanya memiliki “visi, misi dan
program kerja” sendiri yang tidak jarang berbeda dengan kepala dan wakil kepala
daerahnya.
C. Penutup: Pelembagaan Politik
Berdasarkan argumentasi historis pembentukan konstitusi, konstitusional dan politik
tersebut, dalam rangka revisi UU Pilkada diajukan 3 rekomendasi berikut.
Pertama, pengisian jabatan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota)
berdasarkan argumentasi konstitusional dan politik sebagaimana diuraikan di atas, harus
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
147
tetap dipertahankan dengan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat-pemilih
melalui pemilu.
Kedua, diperlukan penataan pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu.8
Pelembagaan waktu pemilu ini adalah menata pemilu menjadi dua jenis pemilu, yaitu
pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD, dan Presiden
dan Wakil Presiden dilaksanakan pada waktu yang bersamaan (dalam satu pemungutan
suara ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden).
Pemilu secara bersamaan waktu ini dimaksudkan untuk memperkuat stabilitas politik,
terutama relasi politik antara DPR dan Presiden, karena bangunan koalisi politik akan
dibangun sejak dini, bukan koalisi sesaat setelah pemilu legislatif. Pada waktu berikutnya
(2 atau 2,5 tahun berikutnya) diselenggarakan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD
(provinsi dan kabupaten/kota) dan sekaligus memilih Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu yang demikian ini, selain untuk membangun
stabilitas politik, dan untuk meredam masyarakat agar tidak terfragmentasi secara terus-
menerus, juga dalam rangka efisiensi biaya pemilu.
Ketiga, karena partai politik sebagai aktor utama dalam pengisian jabatan politik-
kenegaraan, maka sudah saatnya partai politik didorong untuk segera merevitalisasi diri
dan mengoptimalkan perannya, terutama dalam pendidikan politik, rekrutmen politik dan
artikulasi kepentingan politik rakyat. Salah satu agenda utama demokratisasi Indonesia
adalah mendemokratiskan partai politik.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim Asy‟ari, “Mempertahankan Pilkada Langsung”, Harian Kompas, 24 Maret 2011.
_____________, “Posisi Wakil Kepala Daerah”, makalah disampaikan pada Focus Group
Discussion (FGD), “Evaluasi Format Pilkada”, diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta,
Kamis, 4 April 2013.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi).
Ramlan Surbakti, 2013, “Kepala Daerah Harus Lewat Pemilu”, Harian Kompas, 24 Juni
2013.
8Penjelasan lengkap seputar gagasan “pemilu serentak”, dapat dibaca: Ramlan Surbakti, Didik
Supriyanto dan Hasyim Asy‟ari, 2011, Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional
dan Pemilu Daerah, Seri Demokrasi Elektoral Buku 2, (Jakarta: Partnerships-Kemitraan bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan Indonesia). Buku Serial Demokrasi Elektoral dapat diunduh di
http://www.kemitraan.or.id.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
148
Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto dan Hasyim Asy‟ari, 2011, Menyederhanakan Waktu
Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Seri Demokrasi
Elektoral Buku 2, (Jakarta: Partnership-Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan Indonesia).
Tim Penyusun Naskah KomprehensifProses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2010,
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-
2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, (Edisi Revisi), (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi).
Hasyim Asy‟ari adalah Dosen Bagian Hukum Tata Negara (HTN), Fakultas Hukum,
Universitas Diponegoro, Semarang. Menempuh pendidikan doktoral (Ph.D.)
Sociology of Politics, University of Malaya, Kualalumpur, Malaysia, lulus 2012,
menulis disertasi “Konsolidasi Menuju Demokrasi: Kajian tentang Perubahan
Konstitusi dan Pemilu 2004 di Indonesia”. Magister Ilmu Politik (M.Si.) ditempuh
pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lulus 1998,
menulis tesis “Demokratisasi Melalui Civil Society: Studi tentang YLBHI dan
Pemberdayaan Civil Society di Indonesia 1971-1996”, dan pendidikan hukum
(S.H.) ditempuh pada Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto, Jurusan Hukum Tata Negara dalam spesialisasi kajian Hukum dan
Politik, lulus 1995, menulis skripsi “Pembreidelan Pers: Kajian tentang Politik
Hukum Pembreidelan Majalah TEMPO Tahun 1994”. Dapat dihubungi melalui
Email: [email protected]