keragaman lumut epifit di hutan kota dan tepi jalan … · 2019. 10. 26. · putrika dkk.,...
TRANSCRIPT
Bio-site. Vol. 03 No. 1, Mei 2017 : 25 - 38 ISSN: 2502-6178
25
KERAGAMAN LUMUT EPIFIT DI HUTAN KOTA DAN TEPI JALAN UTAMA KAMPUS UNIVERSITAS INDONESIA
DIVERSITY OF EPHIFIT BRYOPHYTES IN THE URBAN FOREST AND
MAIN STREET MARGIN OF INDONESIA UNIVERSITY CAMPUS
Afiatri Putrika1, Nisyawati1, Nunik Sri Ariyanti2 1 Program Studi Biologi Program Pascasarjana FMIPA Universitas Indonesia
2 Departemen Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor [email protected]; [email protected]; [email protected]
ABSTRACT
Research on epiphytic bryophytes has been conducted in two different sites
located in Universitas Indonesia (UI). Those sites were urban forest and vegetation on main street margin of the campus. This study was carried out to compare diversity of the bryophyte at both sites. Twelve plots of 25 x 25 m2 were establish at the forest, while nine of 50 m line transect were made at the street margin. Five trees of each plot or line transect were sampled. Eight sub plots of 15 x 15 cm2 were placed on each trunk base (0--200 cm) of the tree sampels. The results obtained 23 species of epiphytic bryophytes, 21 species occured in the forest and 14 species were found at street margin. The similarity of bryophyte community between the forest and street margin were high (Sorenson similarity index = 0.73). Octoblepharum albidum was the dominant species at the forest, while Calymperes tenerum was dominant at the street margin. The diversity of epiphyte bryophyte at both sites were categorized low based on Shannon Wiener index (H’< 2), however they were not different significantly. Keywords: epiphytic bryophyte; diversity index; life form; microclimate.
PENDAHULUAN
Lumut epifit merupakan
tumbuhan yang sensitif terhadap
perubahan lingkungan, sehingga
persebaran lumut dipengaruhi oleh
kondisi iklim mikro yang berupa suhu
udara, kelembapan udara, dan
intensitas cahaya. Perubahan iklim
mikro dapat menyebabkan perubahan
komposisi dan kelimpahan spesies
lumut epifit yang disebabkan oleh
perbedaan habitat (Ariyanti dkk. 2008;
Sporn dkk. 2009). Menurut Sporn dkk.
(2010) perubahan iklim mikro berupa
kelembapan dan intensitas cahaya
pada ketinggian pohon berbeda
memengaruhi distribusi vertikal lumut
epifit. Hal tersebut menyebabkan
perubahan komposisi spesies di setiap
ketinggian pohon berbeda. Selain itu,
perubahan suhu, kelembapan, dan
intensitas cahaya diiringi dengan
ketinggian tempat juga menyebabkan
perubahan keanekaragaman dan
kelimpahan spesies lumut
(Chantanaorrapint 2010).
Lumut epifit dapat digunakan
sebagai indikator perubahan
lingkungan termasuk polusi udara di
daerah perkotaan. LeBlanc & Rao
(1973) menyatakan bahwa penurunan
jumlah spesies dan kelimpahan lumut
epifit terjadi karena kadar SO2 di
udara meningkat dari kondisi normal.
Penelitian yang dilakukan oleh
Giordano dkk. (2004) melaporkan
bahwa terjadi penurunan jumlah
spesies lumut epifit di daerah pusat
perkotaan dibandingkan dengan
daerah pinggiran kota. Berdasarkan
kelimpahan dan frekuensi kehadiran
lumut epifit, juga diperoleh indeks
kemurnian udara dan indeks
keanekaragaman yang rendah pada
daerah pusat kota. Hal tersebut
karena lumut mempunyai struktur
Bio-Site. Vol.3 (1) Hal: 25-38
26
tubuh yang sederhana sehingga
sensitif terhadap perubahan iklim
mikro. Hal tersebut juga
menyebabkan tubuh lumut dapat
menyerap dan mengakumulasi
polutan dengan cepat. Respons lumut
terhadap polusi udara diketahui
dengan adanya perubahan distribusi
dan kelimpahannya (Jácome dkk.
2001).
Penelitian mengenai lumut
telah banyak dilakukan di hutan
primer ataupun hutan sekunder yang
berada di dataran tinggi atau dataran
rendah, sedangkan penelitian lumut
urban (perkotaan) sangat jarang
dilakukan. Penelitian terbaru
mengenai lumut epifit di perkotaan
Indonesia telah dilakukan oleh
Apriana (2009) dan Junita (2010) di
Kebun Raya Bogor (KRB). Beberapa
penelitian lumut di perkotaan
menunjukkan bahwa lumut perkotaan
memiliki keanekaragaman dan
kelimpahan yang lebih sedikit
dibandingkan dengan hutan primer
ataupun hutan sekunder (Delgadillo &
Cardenas, 2000; Apriana 2009; Junita
2010). Lokasi lain di daerah perkotaan
Indonesia yang mempunyai spesies
lumut epifit adalah Kampus
Universitas Indonesia (UI). Penelitian
lumut di Kampus UI telah dilakukan
oleh Putrika (2009) yang
menginformasikan bahwa terdapat 16
genus lumut yang ditemukan melekat
pada tanah, batu, dan batang pohon.
Kampus UI merupakan salah
satu lokasi di daerah perkotaan yang
mempunyai ruang terbuka hijau
dengan berbagai spesies tumbuhan,
hewan, dan mikroorganisme yang
berada di dalamnya. Keanekaragaman
tumbuhan di Kampus UI terlihat dari
vegetasi yang berada di hutan kota
(hk), taman-taman di sekitar gedung
kampus, dan di tepi jalan utama
kampus (tj). Vegetasi di hutan kota
lebih rapat dibandingkan dengan
vegetasi di tepi jalan utama kampus
sehingga diperkirakan dapat
menyebabkan perbedaan kondisi iklim
mikro di kedua lokasi. Berdasarkan
latar belakang tersebut maka
dilakukan penelitian mengenai
komunitas lumut epifit di hutan kota
dan tepi jalan utama kampus.
Penelitian bertujuan untuk
mengetahui perbedaan keragaman
lumut epifit di hutan kota dan tepi
jalan utama kampus berdasarkan
kekayaan spesies, komposisi spesies,
persentase tutupan, spesies dominan,
dan indeks keanekaragaman. Data
yang diperloleh dapat digunakan
untuk melengkapi data spesies lumut
di daerah perkotaan. Selain itu, data
tersebut juga dapat digunakan untuk
memonitor perubahan kondisi
lingkungan, khususnya di Kampus UI.
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel dilakukan
pada bulan Juni 2011 sampai dengan
Agustus 2011, di Hutan Kota
Universitas Indonesia (hk) dan tepi
jalan utama kampus (tj) Universitas
Indonesia Depok (Gambar I.1). Hutan
kota berada di bagian utara kampus
dengan luas 192 ha yang terdiri dari
hamparan landai dengan kemiringan
lereng 3--8% dan daerah bergelombang
ringan dengan kemiringan lereng 8
sampai 25%. Lokasi kampus UI
terletak pada ketinggian 39 hingga 61
meter dari permukaan laut (Distan DKI
Jakarta 2002). Tumbuhan yang
mendominasi hutan kota ialah Acacia
mangium dan Albizia falcataria.
Wilayah selatan kampus
merupakan tempat yang didominasi
oleh gedung-gedung perkuliahan dan
juga jalan utama tempat lalu lalang
kendaraan bermotor. Jalan utama di
PUTRIKA DKK., Keragaman Lumut Epifit
27
kampus UI mengelilingi hutan kota
dengan panjang kurang lebih 3.900 m.
Pada tepi jalan utama kampus
ditanam berbagai spesies pohon.
Spesies pohon yang sering ditemui di
tepi jalan utama kampus ialah Albizia
falcataria, Delonix regia, Polyalthia
longifolia.
Keterangan:
Plot pengambilan sampel di hutan kota Transek pengambilan sampel di tepi jalan utama kampus
Gambar I.1. Peta sebaran plot dan transek pengambilan sampel lumut di Universitas Indonesia.
Pengambilan sampel lumut
dilakukan dengan cara purposive
sampling yang dilakukan di dua
tempat yang berbeda, yaitu hutan kota
UI dan tepi jalan utama kampus.
Pengambilan sampel di hutan kota UI
dilakukan pada 12 plot berukuran 25
x 25 m2, yang pada masing-masing
plot diambil 5 individu pohon sebagai
pohon sampel. Pengambilan sampel
di tepi jalan utama kampus dilakukan
di sekitar halte bus kampus yang
berada di setiap fakultas
menggunakan transek garis sebanyak
9 titik transek. Setiap titik tersebut
ditarik garis sepanjang 50 m,
kemudian dipilih pohon inang
sebanyak lima individu. Kondisi
lingkungan dicatat di dalam plot dan
transek, yang meliputi suhu udara,
kelembapan udara, dan intensitas
cahaya.
Subplot berukuran 15 x 15 cm2
sebagai unit sampel terkecil
ditempatkan pada setiap pohon inang
yang dipilih sebagai sampel pohon
inang. Subplot tersebut diletakkan
pada empat arah mata angin (utara,
selatan, timur, barat) dan pada
ketinggian berbeda (0--100 cm dan
100--200 cm) dari permukaan tanah.
Spesies lumut dalam subplot
dicatat dan dihitung persentase
penutupan pada subplot, serta diambil
sebagai sampel untuk diidentifikasi di
laboratorium. Sampel lumut tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam
amplop yang diberi keterangan berupa
nomor koleksi, tanggal, lokasi,
kolektor, spesies pohon inang, dan
tipe kulit batang.
Sampel lumut diidentifikasi
berdasarkan karakter fase gametofit
dan sporofit. Identifikaasi dilakukan
menggunakan kunci identifikasi A
U 557m 0 m
Bio-Site. Vol.3 (1) Hal: 25-38
28
generic moss flora of Peninsular
Malaysia and Singapore (Manuel
1981). dan Handbook of Malesian
Mosses Volume 2 (Eddy 1990) untuk
lumut sejati. Lumut hati diidentifikasi
menggunakan Guide to the liverworts
and hornworts of Java (Gradstein
2011).
Kearagaman spesies lumut
epifit di hutan kota (hk) dan tepi jalan
utama kampus (tj) UI dibandingkan
berdasarkan kekayaan spesies,
kesamaan komposisi spesies,
kelimpahan total lumut, Indeks Nilai
Kepentingan (INK), dan indeks
keanekaragaman Shannon Wiener.
Kekayaan spesies diperoleh dari total
spesies di masing-masing lokasi
penelitian. Kekayaan spesies lumut
epifit per plot dan transek di hutan
kota dan tepi jalan dibandingkan
dengan menggunakan analisis Mann-
Whitney dengan α= 0,05. Kesamaan
komposisi spesies dianalisis dengan
indeks Sorenson berdasarkan
keberadaan suatu spesies.
Kelimpahan total lumut dihitung
berdasarkan persentase tutupan
semua spesies lumut pada subplot 15
x 15 cm2. Rata-rata persentase tutupan
lumut epifit per subplot 15 x 15 cm2
dianalisis menggunakan uji Mann-
Whitney dengan α = 0,05. Indeks Nilai
Kepentingan dihitung berdasarkan
kelimpahan relatif dan frekuensi
kehadiran relatif masing-masing
spesies. Indeks Nilai Kepentingan
digunakan untuk mengetahui spesies
dominan dan spesies lumut yang
memiliki peringkat INK 10 teratas.
Indeks keanekaragaman yang
digunakan adalah Indeks Shannon
Wiener yang ditentukan berdasarkan
jumlah kelimpahan relatif lumut
epifit. Perbedaan keanekaragaman di
HK dengan TJ dengan ulangan plot
dan transek dianalisis menggunakan
uji t dengan α = 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kekayaan Spesies Lumut Epifit
Total spesies lumut epifit di
hutan kota (hk) lebih banyak daripada
di tepi jalan utama kampus (tj).
Terdapat 21 spesies lumut epifit yang
ditemukan di hk yang terdiri dari 7
spesies lumut sejati dan 14 spesies
lumut hati. Jumlah spesies yang
ditemukan di tj berjumlah 15 spesies
yang terdiri dari 6 spesies lumut sejati
dan 9 spesies lumut hati (Gambar I.2)
7 6
14
9
0
5
10
15
20
25
hutan kota tepi jalan
tota
l sp
esi
es
Lumut hati
Lumut sejati
Gambar I.2. Total spesies lumut epifit dari kelompok lumut sejati dan lumut hati di Kampus UI.
Vegetasi yang lebih rapat dan
spesies pohon inang yang beragam di
hk diduga sebagai penyebab spesies
lumut epifit di lokasi tersebut lebih
banyak dibandingkan tj. Sampel
pohon inang yang ada di hk meliputi 7
spesies, yaitu Albizia falcataria
(sengon), Syzygium polyanthum
(salam), Adenantera pavonina (saga
pohon), Acacia mangium (akasia),
Sweitenia mahagoni (mahoni), Durio
zibethinus (durian), dan Hevea
brasiliensis (karet), sedangkan di tj
hanya meliputi 4 spesies, yaitu saga
pohon, sengon, Delonix regia
(flamboyan), dan Polyalthia longifolia
(glodokan). Da Costa (1999)
melaporkan bahwa kekayaan spesies
lumut epifit di hutan sekunder dan
hutan bekas tebangan lebih sedikit
PUTRIKA DKK., Keragaman Lumut Epifit
29
dibandingkan hutan alami. Hal
tersebut berhubungan dengan
ketersidiaan pohon serta kelembapan
udara yang menurun di daerah yang
lebih terbuka.
Berdasarkan rata-rata total
lumut epifit per plot dan transek, hk
dan tj mempunyai rata-rata total
spesies lumut yang tidak berbeda
signifikan (Gambar I.3) dengan p =
0,80. Hal tersebut dapat dibandingkan
dengan penelitian Friedel dkk. (2006)
yang melaporkan bahwa total spesies
lumut epifit di hutan yang dikelola
lebih sedikit daripada hutan alami,
tetapi rata-rata jumlah spesies di dua
lokasi tersebut cenderung sama.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
hutan kota tepi jalan
Ra
ta-r
ata
to
tal
spesi
es
Gambar I.3. Rata-rata total spesies lumut epifit per plot 25 x 25 m2 di hutan kota dan transek 50 m di tepi jalan utama Kampus UI.
Total spesies lumut epifit di UI
yang berada di hk dan tj, yaitu
berjumlah 23 spesies (13 genus dan 8
famili) yang terdiri atas 8 spesies
lumut sejati dan 14 spesies lumut hati.
Lumut sejati terdiri dari 6 genus dan 5
famili, sedangkan lumut hati terdiri
dari 7 genus dan 2 famili (Gambarl
I.3). Jumlah tersebut lebih banyak
daripada jumlah genus yang diperoleh
Putrika (2009) yang hanya mencatat 7
genus lumut epifit yang ada di
Kampus UI.
Total spesies lumut epifit yang
tercatat di Kampus UI lebih sedikit
daripada penelitian yang dilakukan
oleh Apriana (2009) dan Junita (2009)
di Kebun Raya Bogor (KRB) yang juga
terdapat di daerah perkotaan. Junita
(2009) melaporkan terdapat 42 spesies
lumut sejati epifit di KRB, sedangkan
Apriana (2009) melaporkan terdapat
92 spesies lumut hati epifit di KRB.
Perbedaan tersebut diduga karena
perbedaan iklim mikro di dua lokasi.
Kisaran rata-rata suhu di KRB sebesar
22,6º C--28,5ºC dan kelembapan
berkisar 71--92% (Asiani 2007),
sedangkan Kampus UI memiliki
kisaran suhu harian 29--30º C dan
intensitas cahaya berkisar 3409,67 --
6814,22 lux (Tabel I.1). Hal tersebut
menunjukkan bahwa kondisi iklim
mikro Kampus UI kurang optimal
untuk pertumbuhan lumut epifit.
Lumut memerlukan kondisi optimum
untuk pertumbuhan pada suhu 20º C
dan intesitas cahaya optimal untuk
fotosintesis sebesar 10.000 lux
(Richards 1984).
5 68
2
7
15
0
5
10
15
20
25
Famili Genus Spesies
tota
l
Lumut hati
Lumut sejati
Gambar I.4. Total famili, genus, dan spesies lumut epifit yang terdiri atas lumut sejati dan lumut hati di Kampus UI.
Spesies lumut epifit terbanyak
yang tercatat di lokasi penelitian
berasal dari famili Lejeuneaceae yang
berjumlah 14 spesies (Lampiran 1).
Famili tersebut merupakan famili yang
mempunyai anggota paling banyak di
daerah tropis, yaitu sebanyak 160
spesies anggota famili Lejeuneaceae
yang tercatat di pulau Jawa (Gradstein
2011). Apriana (2009) melaporkan
bahwa lumut hati epifit dari famili
Lejeuneaceae ditemukan paling
Bio-Site. Vol.3 (1) Hal: 25-38
30
banyak di Kebun Raya Bogor, yaitu 28 spesies.
Tabel I.1. Rata-rata suhu udara, kelembapan udara, dan intensitas cahaya di hutan kota dan tepi jalan utama.
Kesamaan Komposisi Spesies
Kesamaan spesies antara hk
dan tj diketahui dari indeks kesamaan
Sorenson berdasarkan keberadaan
spesies lumut epifit di dua lokasi
tersebut. Berdasarkan indeks
tersebut, maka diketahui kesamaan
spesies lumut epifit di hk dan tj
sebesar 73% yang ditunjukkan dengan
13 spesies lumut epifit yang sama
(Lampiran 2). Wilayah hk dan tj
berada pada lokasi yang berdekatan
(100 m - 2500 m). Jarak terdekat
antara plot sampel di hk dan tj
berjarak kurang lebih 100 m. Hal
tersebut menyebabkan hutan kota dan
tepi jalan memiliki kondisi iklim
mikro yang relatif sama (Tabel I.1).
Hasil uji perbandingan rata-rata
parameter abiotik di hk dan tj
menunjukkan bahwa rata-rata pada
suhu udara dan kelembapan tidak
berbeda signifikan dengan nilai p
berturut-turut (p = 0,32; p = 0,093),
namun intensitas cahaya yang berbeda
signifikan (p = 0,008).
Menurut Barbaur dkk. (1987)
kondisi mikrohabitat yang homogen
akan ditempati spesies tumbuhan
yang relatif sama karena spesies-
spesies tersebut mengembangkan
proses adaptasi untuk bertahan pada
kondisi tersebut. Sebaliknya
perbedaan kelembapan relatif udara
minimum dan suhu udara maksimum
dapat menyebabkan perbedaan
komposisi spesies dalam komunitas
lumut seperti yang dilaporkan oleh
Sporn dkk. (2009) pada penelitian di
perkebunan cokelat dan hutan alam.
Berdasarkan data pada
Lampiran I.1 menunjukkan bahwa
terdapat beberapa spesies lumut epifit
yang hanya ditemukan di hk dan juga
hanya ditemukan di tj. Tepi jalan
merupakan habitat yang terbuka dan
juga lebih sering dilalui kendaraan
dibandingkan hutan kota. Hal
tersebut dapat menyebabkan tidak
ditemukan beberapa spesies yang
tidak tahan terhadap polusi ataupun
intensitas cahaya yang tinggi
contohnya Fissidens gedehensis,
Cololejeunea sp. 1. Cololejeunea sp. 2,
Lejeunea anisophylla, dan
Harpalejeunea di hk (Lampiran I.1).
Spesies-spesies tersebut diduga
termasuk shade epiphyte yang berada
di daerah ternaungi. Menurut
penelitian Giordano dkk. (2004) genus
lumut hati epifit Cololejeunea hanya
ditemukan pada lokasi yang
mempunyai nilai indeks kualitas udara
tinggi, yaitu > 20. Suatu daerah
dengan kisaran indeks kualitas udara
15--35 menunjukkan bahwa udara
pada daerah tersebut terpolusi ringan.
Oleh karena itu, dapat dikatakan
lumut tersebut sebagai salah satu
lumut epifit yang sensitif terhadap
perubahan lingkungan. Beberapa
spesies lumut epifit dilaporkan tidak
ditemukan pada daerah perkotaan
ataupun dekat sumber polusi dengan
konsentrasi asap dan SO2 yang tinggi
(Bignal dkk. 2008).
Spesies lumut epifit di Kampus
UI mempunyai 3 life form, yaitu small
cushion, smooth mats, dan open turft.
Tipe smooth mats ditemui pada 20
No. Lokasi Suhu udara ºC Kelembapan udara (%) Intensitas cahaya (luks)
1. hutan kota 29,75 ±1,75 73,17 ±11,44 3409,67 ± 2507,02 2. tepi jalan 30,33 ± 1,50 65,33 ± 9,00 6814,22 ± 2340,98
PUTRIKA DKK., Keragaman Lumut Epifit
31
spesies lumut epifit di Kampus UI
(Lampiran 2). Studlar (1982 b)
melaporkan bahwa jumlah spesies
lumut dengan tipe smooth mats yang
meningkat dapat menunjukkan bahwa
terjadi penurunan gradien kelembapan
udara di sekitarnya. Hal yang sama
juga dilaporkan oleh Acebey dkk.
(2003) yang menyatakan bahwa
meningkatnya jumlah spesies dengan
tipe smooth mats menggambarkan
bahwa lingkungan tersebut memiliki
iklim mikro yang hangat dan kering.
Spesies-spesies lumut sejati
maupun lumut hati yang ditemukan di
Kampus UI umumnya merupakan tipe
sun epiphyte, yaitu Calymperes
tenerum, Frullania companulata) dan
beberapa spesies lainnya, yaitu
Octoblepharum albidum merupakan
tipe generalis. Dua tipe lumut epifit
tersebut umumnya ditemukan di zona
dekat kanopi pada pohon-pohon
tinggi. Selain itu,tipe tersebut juga
dapat ditemukan pada ketinggian
pohon yang lebih rendah di daerah
terbuka (perkebunan cokelat ataupun
bekas tebangan) (Ariyanti dkk. 2008;
Sporn dkk. 2009). Tipe sun epiphyte
dapat tahan terhadap kekeringan.
Tipe tersebut juga menyukai tempat
yang mempunyai intensitas cahaya
matahari tinggi dan kelembapan
rendah (Vanderpoorten & Goffinet
2009). Lumut tipe generalis dapat
bertindak sebagai sun epiphyte
ataupun shade epiphyte yang
menyukai tempat terbuka maupun
tempat ternaungi (Richards 1984).
Kelimpahan Lumut Epifit
Persentase tutupan lumut
epifit per satuan luas menunjukkan
kelimpahan. Berdasarkan uji Mann-
Whitney menujukkan bahwa rata-rata
kelimpahan lumut epifit per subplot di
hk dan tj tidak berbeda signifikan (p=
0,78). Hal tersebut diduga karena
suhu dan kelembapan udara yang
relatif sama pada kedua lokasi
tersebut (Tabel I.1).
Suatu daerah yang memiliki
persentase tutupan lumut epifit yang
besar menunjukkan karateristik
habitat yang basah (Frahm 2003 b).
Karger dkk. (2012) menyatakan bahwa
kelimpahan lumut epifit dapat
dijadikan indikator kelembapan udara
pada suatu habitat. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa kelimpahan
lumut epifit tidak berbeda signifikan
pada hk dan tj, dan diketahui bahwa
kelembapan udara pada kedua lokasi
tersebut juga cenderung sama.
0
5
10
15
20
25
hutan kota tepi jalan
ra
ta-r
ata
perse
nta
se t
utu
pa
n (%
)
Keterangan: Bar di atas balok menunjukkan standar eror. Gambar I.5. Rata-rata persentase tutupan lumut epifit per subplot 15 x 15 cm2 di hutan kota dan tepi jalan utama kampus.
Meskipun rata-rata kelimpahan
per subplot di hk dan tj tidak berbeda,
tetapi kelimpahan di hk cenderung
lebih rendah (16,25 ± 26,16 %)
dibandingkan dengan di tj (19,44 ±
29,5 %) (Gambar I.5). Kondisi vegetasi
di hk yang lebih rapat menyebabkan
sinar matahari untuk fotosintesis
terhalang sehingga kelimpahan lumut
di hk lebih rendah daripada di tj.
Intensitas cahaya matahari kedua
lokasi berbeda signifikan dengan nilai
rata-rata di tj lebih tinggi
dibandingkan dengan hk (Tabel I.1).
Menurut Peck (1995) kelimpahan
lumut epifit yang tinggi dapat
Bio-Site. Vol.3 (1) Hal: 25-38
32
disebabkan oleh cahaya matahari yang
lebih besar sehingga hasil fotosintesis
berupa volume dan biomasa lumut
juga besar.
Indeks Nilai Kepentingan
Indeks Nilai Kepentingan (INK)
menunjukkan spesies lumut epifit
yang dominan di suatu tempat.
Berdasarkan data yang diperoleh pada
Tabel I.2 Octoblepharum albidum
mendominasi hk yang ditunjukan
dengan nilai INK tertinggi, yaitu 34,82,
sedangkan di tj lumut tersebut
mempunyai INK tertinggi kedua. Nilai
INK tertinggi O. albidum di hk terjadi
karena spesies tersebut mempunyai
frekuensi relatif tertinggi, yaitu
sebesar 33,71%, meskipun tidak
mempunyai persentase tutupan yang
tertinggi. Hal tersebut menunjukkan
bahwa O. albidum bersifat lebih
generalis, yaitu dapat hidup pada
kondisi terpapar cahaya langsung di
tepi jalan dan daerah yang banyak
naungan di hutan kota.
Octoblepharum albidum
mempunyai daerah penyebaran yang
luas dan mampu beradaptasi dengan
berbagai kondisi habitat mulai dari
dataran rendah hingga dataran tinggi.
Octoblepharum albidum ditemukan di
KRB yang juga mempunyai nilai INK
terbesar di lokasi tersebut (Junita
2010). Penelitian Tan dkk. (2006) juga
melaporkan bahwa lumut tersebut
ditemukan di dataran tinggi, yaitu di
perkebunan teh di Gunung Halimun.
Da Costa (1999) juga melaporkan
bahwa O. albidum ditemukan pada
hutan yang terdegradasi di dataran
rendah dan tumbuh di daerah sekitar
kanopi pohon. Berdasarkan hal
tersebut, diketahui bahwa O. albidum
cenderung tumbuh pada daerah
dengan kondisi habitat terbuka dan
terpapar cahaya matahari langsung.
Hal tersebut berkaitan dengan
struktur tubuh O. albidum yang
merupakan lumut yang mempunyai
banyak lapis sel leukosit (sel yang
kosong dan transparan) yang
mengapit selapis sel berklorofil. Sel
leukosit tersebut dapat digunakan
sebagai tempat untuk menyimpan
cadangan air, sehingga lumut tersebut
dapat tahan pada kondisi yang kering
(Eddy 1990).
Lumut epifit yang
mendominasi tj adalah Calymperes
tenerum dengan INK tertinggi sebesar
44,71, frekuensi kehadiran tertinggi,
tetapi tidak mempunyai kelimpahan
relatif yang tertinggi (Tabel I.2).
Kondisi tersebut berbeda dengan hk,
yang menunjukkan bahwa nilai INK C.
tenerum berada pada urutan ke-6
yaitu sebesar 4,00 , frekuensi relatif
rendah 3,68%, tetapi kelimpahan
relatif tertinggi 0,55% (Tabel I.2). Data
tersebut menunjukkan bahwa C.
tenerum dapat beradaptasi di tepi
jalan yang terpapar sinar matahari
langsung, namun mendominasi hutan
kota yang terdapat banyak naungan.
Spesies tersebut memiliki
berbagai struktur adaptasi untuk
daerah kering, diantaranya bentuk
tumbuh small cushion, sel hyaline
(cancelina) pada pangkal daunnya, dan
terdapat papilla pada dinding sel
daun. Keberadaan O. albidum dan C.
tenerum yang dominan di kampus UI
menunjukkan kedua spesies tersebut
diduga berpotensi toleran terhadap
kekeringan ataupun polusi udara.
Spesies lumut yang mendominasi hk
dan tj ialah lumut sejati. Munurut
Sporn dkk. (2009) lumut sejati
merupakan lumut yang kurang sensitif
dan lebih bersifat generalis terhadap
perubahan lingkungan. Spesies lumut
tersebut mempunyai tipe life form
cushion yang merupakan cara adaptasi
PUTRIKA DKK., Keragaman Lumut Epifit
33
lumut terhadap kekeringan karena
tipe tersebut secara efektif dapat
meyimpan air dan memanfaatkannya
saat kondisi kering (Frahm 2003 a).
Umumnya tipe tersebut berada pada
habitat dengan kanopi terbuka dan
memiliki kelembapan udara tinggi dan
intensitas cahaya yang tinggi (Richards
1984; Kürschener, 2004). Menurut
penelitian Da Costa (1999), hutan
hujan dataran rendah yang
terdegradasi dan hutan sekunder juga
didominasi oleh lumut epifit dengan
tipe life form cushion.
Tabel .I.2. Spesies lumut epifit dengan Indeks Nilai Kepentingan (INK) 10 teratas lumut epifit di
hutan kota dan tepi jalan utama
Hutan Kota Tepi Jalan
No Spesies Lumut Epifit
KR %
FR %
INK
No Spesies Lumut Epifit
KR %
FR %
INK
1 Octoblepharum
albidum* 0,44 33,71 34,16 1 Calymperes
tenerum* 0,8 43,91 44,71
2 Lejeunea cocoes*
0,36 13,03 13,38 2 Octoblepharum albidum*
0,99 29,28 30,26
3 Lejeunea papilionaceae
0,47 14,17 14,64 3 Cheilolejeunea sp. 1 1,68 5,17 6,85
4 Cheilolejeunea intertexta*
0,30 10,73 11,03 4 Cheilolejeunea intertexta*
0,68 4,43 5,10
5 Lejeunea anisophylla
0,34 9,58 9,92 5 Meiothecium microcarpum
0,65 1,72 3,26
6 Calymperes tenerum*
0,55 3,45 4,00 6 Acrolejeunea fertilis 0,48 2,58 3,07
7 Isopterygium sp.
0,53 2,68 3,22 7 Lejeunea cocoes* 0,99 1,72 2,71
8 Cololejeunea sp. 2
0,19 2,30 2,49 8 Taxithellium sp. 0,68 2,58 2,37
9 Taxithellium sp.*
0,55 1,53 2,08 9 Isopterygium sp. 0,39 1,72 2,11
10 Lejeunea punctiformis
0,35 1,53 1,88 10 Frullania companulata
0,30 1,72 2,12
Keterangan: * = spesies yang sama yang ditemukan di hutan kota maupun tepi jalan; KR = Kelimpahan Relatif; FR = Frekuensi Relatif; INK = Indeks Nilai Kepentingan
Frullania companulata
merupakan salah satu contoh lumut
epifit yang ditemukan di hk dan tj,
namun keberadaannya di tj memiliki
INK yang lebih besar dibandingkan hk
(Lampiran.1). Hal tersebut
menunjukkan bahwa F. companulata
lebih menyukai daerah yang terbuka
seperti pada tj. Ariyanti dkk. (2008)
melaporkan bahwa genus Frullania
ditemukan lebih banyak pada
perkebunan cokelat yang merupakan
daerah terbuka. Gradstein dkk. (2001)
menyatakan bahwa genus Frullania
termasuk kategori sun epiphyte.
Nilai Indeks Keragaman Lumut Epifit
Berdasarkan hasil perhitungan
indeks keragaman Shannon Wiener
(H’) menunjukkan bahwa keragaman
spesies lumut epifit di Kampus UI
berada pada rata-rata 1,07 di hk,
sedangkan di tj sebesar 0,76 (Gambar
I.6). Menurut Barbaur dkk. (1987)
suatu habitat yang mempunyai kisaran
indeks keanekaragaman H’ 0--2
termasuk dalam kategori rendah.
Indeks keragaman spesies
menunjukkan kematangan suatu
komunitas, sehingga komunitas
tersebut menjadi lebih kompleks dan
stabil (Brower dkk.1989). Komunitas
vegetasi pohon inang di Kampus UI
yang kurang kompleks dan belum
stabil menunjukkan bahwa daerah
tersebut kurang stabil untuk tumbuh
dan berkembangnya lumut epifit. Hal
tersebut diduga berhubungan dengan
Bio-Site. Vol.3 (1) Hal: 25-38
34
keragaman lumut di Kampus UI yang
rendah. Hal tersebut ditunjukkan
dengan adanya spesies dominan yang
ditunjukkan dengan nilai INK
tertinggi, yaitu O. albidum di hk, dan tj
yang didominasi oleh C. tenerum
(Tabel I.2).
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
hutan kota tepi jalan
Ra
ta-r
ata
in
dek
s k
era
ga
ma
n (
H')
Gambar I.6. Rata-rata indeks keragaman (H’) lumut epifit per plot 25 x 25 m2 dan transek 50 m di hutan kota dan tepi jalan utama kampus.
Indeks keragaman yang rendah
dijumpai di Kampus UI yang terletak
di daerah perkotaan di perbatasan
Depok dan Jakarta dengan suhu udara
yang relatif tinggi, yaitu rata-rata di
HK sebesar 29,75 ±1,75º C dan tj
30,33 ± 1,50º C. Daerah tersebut
diduga telah tercemar oleh polusi
kendaraan bermotor yang lalu-lalang
dan juga mempunyai lingkungan yang
relatif kering dengan kelembapan rata-
rata hk (73 ± 11%) dan tj (65 ± 9%)
(Tabel I.1). Giordano dkk. (2004)
menunjukkan bahwa taman kota di
daerah terbuka dan pengaruh manusia
yang tinggi mempunyai nilai indeks
keragaman dan indeks kualitas udara
yang rendah dibandingkan pada
taman yang mempunyai sedikit
gangguan. LeBlanc & Rao (1973)
melaporkan lumut dan liken epifit
tidak ditemukan di tengah kota dan
tumbuh kurang baik pada radius 28
km dari tengah kota karena
meningkatnya kadar SO2 di udara.
Uji t menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan dari indeks
keragaman lumut epifit di hk dan di tj
pada setiap plot dan transek (p =
0,154), meskipun rata-rata setiap plot
di hk cenderung lebih besar
dibandingkan dengan transek di tj
(Gambar I.6). Hal tersebut diduga
karena kedua lokasi mempunyai
kondisi lingkungan berupa suhu dan
kelembapan udara yang relatif sama
(Tabel I.1). Penelitian Ariyanti dkk.
(2008) dan Sporn dkk. (2009) pada tipe
habitat yang berbeda menunjukkan
tidak ada perbedaan keanekaragaman
spesies pada perkebunan cokelat dan
hutan primer.
KESIMPULAN
1. Keragaman dan kelimpahan lumut
epifit per plot dan transek di hk
dan tj tidak berbeda signifikan.
2. Tingkat keragaman lumut epifit di
hutan kota dan tepi jalan termasuk
kategori rendah yang ditandai
dengan 2 spesies dominan, yaitu
Octoblepharum albidum di hutan
kota, sedangkan Calymperes
tenerum di tepi jalan.
3. Komposisi spesies lumut epifit di
hutan kota dan tepi jalan termasuk
kategori tinggi dengan indeks
kesamaan Sorenson 73% yang
ditandai dengan 13 spesies yang
sama di kedua lokasi tersebut.
SARAN
Perlu dilakukan pengambilan
data lumut epifit dan kondisi
lingkungan secara berkala untuk
melihat perbedaan komposisi dan
keragaman lumut epifit pada kondisi
yang berbeda di Kampus UI. Selain
data iklim, komposisi partikel polutan
juga perlu ukur agar dapat diketahui
spesies-spesies lumut yang toleran
pada udara yang tercemar.
PUTRIKA DKK., Keragaman Lumut Epifit
35
DAFTAR PUSTAKA
Acebey, A., A.R. Gradstein, & T.
Krömer. 2003. Species richness
and habitat diversivication of
bryophytes in submontane rain
forest and fallows of Bolivia.
Journal of Tropical Ecology 19:
9 - 18.
Apriana, D. 2010. Keragaman dan
kelimpahan lumut epifit di
Kebun Raya Bogor. Skripsi S-1
Departemen Biologi FMIPA IPB,
Bogor: x + 14 hlm.
Ariyanti, N.S., M.M. Bos, K.
Kartawinata, S.S.
Tjitrosoedirdjo, E.Guhardja &
S.R. Gradstein. 2008.
Bryophytes in tree trunks in
natural forests, selectively
logged forests and cacao
agroforests in Central Sulawesi,
Indonesia. Biological
conservation 141: 2516 - 2527.
Asiani, Y. 2007. Pengaruh kondisi RTH
pada iklim mikro di kota Bogor.
Tesis. Program Studi Ilmu
Lingkungan Program
Pascasarjana. Univesitas
Indonesia, Jakarta: xv + 136
hlm.
Barbaur, M.G., J.K. Burk & W.D.
Pitts.1987. Terrestrial plant
ecology. The Benyamin
Cumming Publishing Inc., New
York: xi + 649 hlm.
Bignal, K.L., M.R. Ashmore & A.D.
Headley. 2008. Effects of air
pollution from road transport
on growths and physiology of
six transplated bryophyte
species. Environmental
Pollution 156: 332 - 340.
Brower, J.E., J.H. Zar & C.N. von Ende.
1990. Field and laboratory
methods for general ecology 3rd
ed. Wm.C Brown Publisher,
Dubouque: xi + 237 hlm.
Chantanaorrapint, S. 2010. Ecological
studies of epiphytic bryophytes
along altitudinal gradients in
Southern Thailand. Desertasi.
Mathematisch-
Naturwissenschaftlichen
Facultät. Der Rheinischen-
Friedrich-Wilhems-Universität
Bonn, Bonn: v + 112 hlm.
Da Costa, D.P. 1999. Epiphytic
bryophyte diversity in primary
and secondary lowland
rainforests in Southestern
Brazil. The Bryologists 102(2):
320 - 326.
Delgadillo, C. & A. Cardenas. 2000.
Urban mosses in Mexico city.
Serie Botanica 71(2): 63 - 72.
Distan DKI Jakarta (= Dinas Pertanian
dan Kehutanan Profinsi DKI
Jakarta). 2011. Hutan Kota
Kampus UI. Jakarta: 2 hlm.
http://www.
Jakarta.go.id./distan/BERITA/k
ampus%20ui.htm. 2 Mei 2012,
pk.10.30 WIB.
Eddy, A. 1990. A handbook of Malesian
mosses volume 2:
Leucobryaceae to
Buxbaumiaceae. Natural
History Museum Publications,
London: 1 - 256 hlm.
Frahm, J-P. 2003 a. Manual of tropical
bryology. Tropical Bryology 23:
1 - 195.
Frahm, J-P. 2003 b. Climatic habitat
difference of epiphytic lichen
and bryophytes. Cryptogamie
Bryologie 24(1): 3 - 14.
Friedel, A., G.V. Oheimb, J. Dengler &
W. Härdtle. 2006. Species
diversity and species
composistion of epiphytic
bryophytes and lichens a
comparison of managed and
unmanaged beech forests In NE
Bio-Site. Vol.3 (1) Hal: 25-38
36
Germany. Feddes Repertorium
117(1 - 2): 172 - 185.
Giordano, S., S. Sorbo, P. Adamo, A.
Basile, V. Spagnuolo & R.C.
Cobianchi. 2004. Biodiversity
and trace element content of
epiphytic bryophytes in urban
and extraurban sites of
southern Italy. Plant Ecology
170: 1 - 14.
Gradstein, S.R. 2011. Guide to the
liverworts and hornworts of
Java. Seameo Biotrop, Bogor: ii
+ 145 hlm.
Gradstein, S.R., S.P. Churchill & N.
Salazar-Allen. 2001. Guide to
the bryophytes of tropical
Americana. The New York
Botanical Garden Press, New
York: vii + 577 hlm.
Jácome, J., S.R. Gradstein & M. Kessler.
2011. Responsses of epiphytic
bryophyte communities to
simulated climate change in
the tropics. Dalam: Tuba, Z.,
N.G. Slack & L.R. Stark. (eds.).
2011. Bryophyte ecology and
climate change. Cambrige
University Press, Cambrige: 192
- 207.
Junita, N. 2010. Lumut sejati epifit
pada pangkal pohon di Kebun
Raya Bogor. Skripsi S-1
Departemen Biologi FMIPA IPB,
Bogor: x + 14 hlm.
Karger, D.N., J. Kluge, S. Abrahamczyk,
L. Salazar, T. Hohmer, M.
Lehnert, V.B. Amoroso & M.
Kessler. 2012. Bryophyte cover
on trees as proxy air humidity
in the tropics. Ecological
Indicators 20: 277 - 281.
Kürschner, H. 2003. Life strategies and
adaptation in bryophytes from
the near and middle east.
Turkish Journal of Botany
28(73 - 78).
LeBlanc, F. & D.N. Rao. 1973.
Evaluation of the pollutuin and
drought hypotheses in relation
to lichens and bryophytes in
urban environments. The
Bryologist 76(1): 1 - 16.
Manuel, M.G. 1981. A generic moss
flora of Peninsular Malaysia
and Singapore. Museum
Departemen Peninsular
Malaysia, Kuala Lumpur: vi +
158 hlm.
Peck, J. E., Won, S. Hong, & B. McCune.
1995. Diversity of epiphytic
bryophytes in three host tree
species, thermal meadow,
hotspring island, Queen
Charlotte Island, Canada. The
Bryologist 98(1): 123 - 128.
Putrika, A. 2009. Keanekaragaman
marga lumut sejati dan lumut
hati di wilayah hutan kota dan
FMIPA Universitas Indonesia
Depok. Skripsi S-1 Departemen
Biologi FMIPA UI, Depok: x + 92
hlm.
Richards, P.W. 1984. The ecology of
tropical forest bryophytes.
Dalam: Schuster, R.M. (ed.).
1984. New manual of
bryophyte. The Hattori
Botanical Laboratory, Nichian:
1233 - 1269.
Sporn, S.G., M.M. Bos, M. Hoffstätter-
Müncheberg, M. Kessler & S.R.
Gradstein. 2009. Microclimate
determines community
composistion but not richness
of epiphytic understory
bryophytes of rainforest and
cacao agroforests inIndonesia.
Functional Plant Biology 36:
171 - 179.
Sporn, S.G., M.M. Bos, M. Kessler & S.R.
Gradstein. 2010. Vertical
distribution of epiphytic
bryophytes in an Indonesian
PUTRIKA DKK., Keragaman Lumut Epifit
37
rainforest. Biodiversity and
Conservation 19: 475 - 760.
Studlar, S.M. 1982. Succession of
epiphytic bryophytes near
Mountain Lake, Virginia. The
Bryologist 85(1): 51 - 63.
Tan, B.C., Ho, B.-C, V. Linis, E.A.P.
Iskandar, I. Nurhasanah, L.
Damayanti, S. Mulyati & I.
Haerida. 2006. Mosses of
Gunung Halimun National
Park, West Java, Indonesia.
Reinwardtia 12(3): 205 - 214.
Vanderpoorten, A. & B. Goffinet. 2009.
Introduction of bryophytes.
Cambridge Universtiy Press,
Cambridge: v + 303 hlm.
Bio-site. Vol. 03 No. 1, Mei 2017 : 25 - 38 ISSN: 2502-6178
38
Lampiran I.1. Keragaman spesies lumut epifit di hutan kota dan tepi jalan utama Kampus Universitas Indonesia
No. Nama Spesies Divisi Famili Bentuk Tumbuh Lokasi Hutan Kota (HK) Tepi Jalan (TJ)
KR % FR % INK % KR % FR % INK % 1 Octoblepharum albidum Lumut sejati Leucobryaceae small cushion 0,44 33,71 34,16 0,99 29,28 30,26
2 Calymperes tenerum Lumut sejati Calymperaceae small cushion 0,55 3,45 4,00 0,80 43,91 44,71
3 Isopterygium sp. Lumut sejati Hypnaceae smooth mats 0,53 2,68 3,22 0,39 1,72 2,11
4 Meiothecium microcarpum Lumut sejati Sematophyllaceae smooth mats 0,17 1,53 1,70 0,65 1,72 3,26
5 Taxithellium sp. Lumut sejati Sematophyllaceae smooth mats 0,55 1,53 2,08 0,68 2,58 2,37
6 sp. 1 Lumut sejati Hypnaceae smooth mats 0,25 0,38 0,64 ? ? ?
7 Fissidens gedehensis Lumut sejati Fissidentaceae open turft 0,11 0,38 0,48 ? ? ?
8 Sp. 2 Lumut sejati Sematophyllaceae smooth mats ? ? ? 0,22 1,72 1,94
9 Lejeunea cocoes Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,36 13,03 0,36 0,99 1,72 2,71
10 Lejeunea papilionaceae Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,47 14,17 13,06 0,29 0,86 1,15
11 Cheilolejeunea intertexta Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,30 10,73 11,03 0,68 4,43 5,1
12 Lejeunea anisophylla Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,34 9,58 9,92 ? ? ?
13 Cololejeunea sp. 2 Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,19 2,30 2,49 ? ? ?
14 Lejeunea punctiformis Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,35 1,53 1,88 0,64 0,86 1,5
15 Frullania companulata Lumut hati Frullaniaceae smooth mats 0,22 1,15 1,37 0,30 1,72 2,02
16 Lejeunea sp. Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,31 0,77 1,08 ? ? ?
17 Cololejeunea sp.1 Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,11 0,77 0,88 ? ? ?
18 Acrolejeunea fertilis Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,10 0,77 0,86 0,48 2,58 3,07
19 Harpalejeunea sp. Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,37 0,38 0,76 ? ? ?
20 Schifnolejeunea pulopenangensis Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,09 0,38 0,48 0,35 0,86 1,22
21 Cheilolejeunea sp. 1 Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,06 0,38 0,44 1,68 5,17 6,85
22 Cheilolejeunea trifaria Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats 0,03 0,38 0,41 ? ? ?
23 Lejeunea tuberculosa Lumut hati Lejeuneaceae smooth mats ? ? ? 0,29 0,86 1,15 Indeks Kesamaan Sorenson HK dan TJ = 73%