kompilasi kasus rumah sakit
TRANSCRIPT
Kompilasi Kasus Rumah Sakit Written by Admin Thursday, 29 January 2009 06:32 Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;}
Kompilasi Kasus Terkait Pelayanan Rumah Sakit:
Sebuah Bahan Renungan Untuk Reformasi Pelayanan Rumah Sakit
Oleh: Brian A. Prastyo
A. Latar Belakang
Kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi setiap manusia. Apabila kesehatan
seseorang terganggu, maka produktifitasnya pun akan terganggu. Ia tidak akan dapat melakukan
pekerjaan atau rutinitasnya secara optimal. Gangguan terhadap kesehatan bahkan dapat
menyebabkan seseorang menjadi cacat, kehilangan kemampuan organ tubuhnya, atau yang paling
ekstrem menyebabkan kematian. Dampak dari gangguan kesehatan tidak hanya dirasakan oleh
individu yang bersangkutan, tetapi juga oleh lingkungan sosial yang bersangkutan. Dampak
tersebut minimal dirasakan oleh keluarganya, rekan sekolahnya, atau rekan kerjanya. Apabila
penyakit yang menyebabkan gangguan kesehatan tersebut termasuk penyakit menular dan
berbahaya, maka dampaknya bisa lebih luas lagi. Mengingat begitu pentingnya arti kesehatan
tersebut bagi manusia, maka pada umumnya setiap orang akan melakukan segala daya upaya
untuk memperoleh kesembuhan jika mereka mengalami gangguan kesehatan.
Rumah Sakit adalah salah satu lembaga yang akan didatangi oleh orang yang mengalami
gangguan kesehatan untuk memperoleh kesembuhan. Terhadap beberapa jenis gangguan
kesehatan tertentu, orang yang bersangkutan bahkan wajib menjalani perawatan di Rumah Sakit.
Hal itu dikarenakan alat yang diperlukan dan prosedur penyembuhan untuk gangguan kesehatan
tersebut hanya terselenggara di Rumah Sakit. Namun, satu hal yang penting untuk dicatat;
hubungan yang terjalin antara Rumah Sakit dengan orang yang mengalami gangguan kesehatan
(selanjutnya disebut Pasien) tersebut adalah suatu hubungan yang tidak murni bersifat
kemanusiaan, melainkan ada aspek bisnisnya.
Rumah Sakit dalam hal ini merupakan pelaku usaha, yang oleh karena itu memiliki misi
mencari keuntungan ekonomis dari kegiatannya. Sedangkan, di sisi lain Pasien adalah konsumen
yang membeli jasa kesehatan dari pihak Rumah Sakit. Dalam perkembangannya kegiatan bisnis
yang dilakukan oleh Rumah Sakit ternyata telah melahirkan berbagai permasalahan penting yang
perlu dicermati secara seksama; di antaranya tindakan Rumah Sakit yang menolak untuk merawat
pasien miskin, Rumah Sakit menahan Pasien yang belum membayar biaya perawatan, Rumah
Sakit tetap menagihkan biaya perawatan kepada Pasien yang miskin, dan berbagai kasus
kesalahan pelayanan medik atau yang umum dikenal dengan istilah malpraktik.
Berbagai permasalahan itu penting untuk dicermati agar dapat dirumuskan solusi yang
tepat untuk mengatasinya. Solusi tersebut dimaksudkan agar Rumah Sakit dapat secara optimal
menjadi lembaga yang melayani masyarakat dan tidak semata-mata menjadi mesin pengeruk
keuntungan yang hanya melayani kepentingan pemegang saham Rumah Sakit tersebut.
B. Kasus Penolakan Pasien Miskin
Dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan Kedua) disebutkan
bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dengan
menggunakan penafsiran acontrario dapatlah dikatakan bahwa siapapun tidak boleh menghalangi
seseorang untuk, dalam konteks ini, memperoleh pelayanan kesehatan. Namun pada
kenyataannya, beberapa Rumah Sakit masih ada yang menolak untuk merawat Pasien miskin.
Kasus tersebut selengkapnya akan dipaparkan di bawah ini.
Muhammad Zulfikri (selanjutnya disebut Zul) merupakan putra sulung pasangan Husein-
Lailasari yang tinggal di Kelurahan Makasar, Jakarta Timur, yang lahir pada hari Rabu, 13 Juli
2005. Bayi itu lahir prematur dengan berat 1,4 kg lewat pertolongan dukun beranak. Pada tanggal
21 Juli 2005, Zul terkena penyakit kuning setelah dibawa mengungsi karena rumah kontrakan
Husein-Lailasari kebanjiran. Pukul 09.00 WIB, Husein-Laila membawa Zul ke puskesmas. Dari
puskesmas, mereka membawa Zul ke RSUD Budhi Asih, RSCM, RSPAD Gatot Subroto, RSAL
Mintoharjo, RSAB Harapan Kita, dan RS UKI. Keenam RS ini menolak. Baru pukul 20.00 (11
Jam kemudian), Zul diterima di RS Harapan Bunda di Pasar Rebo.
RS Budhi Asih, Cawang menolak merawat dengan alasan berat Zulfikri hanya 1,4 kg. Ia
lalu dibawa ke RSCM; yang menolak dengan alasan tidak memiliki peralatan untuk merawat
Zulfikri. Alasan yang sama juga dikemukakan RSAL Mintoharjo dan RS UKI. Sementara
RSPAD Gatot Subroto menolak dengan alasan ruangan/inkubator sudah penuh; namun
sebelumnya pihak RS sempat menanyakan apakah orang tua Zulfikri sanggup membayar biaya
perawatan Rp 700.000 sehari. RSBA Harapan Kita juga menolak dengan alasan tidak jelas.
(Kompas, 28 Juli 2005) Namun setelah dirawat di Rumah Sakit Harapan Bunda, kondisi Zul
berangsur-angsur membaik. (Kompas, 31 Juli 2005)
RS Harapan Bunda sebenarnya meminta uang sebesar Rp 1 juta untuk perawatan Zul
secara khusus. Namun, karena tidak punya uang, petugas meminta orantua Zul untuk
mengusahakan uang Rp 500.000. Husein lantas mengandalkan Sri Mulya, kakak kandungnya,
agar mencarikan pinjaman. Pada Pukul 23.00 WIB, kakaknya Husein datang membawa uang Rp
250.000, yang langsung diserahkan kepada perawat untuk keperluan obat. (Warta Kota, 25
Agustus 2005)
Ironisnya Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menyatakan bahwa sanksi terhadap
Rumah Sakit yang menolak Pasien miskin belum dapat diberikan. Alasannya ialah belum ada
dasar hukumnya. (Media Indonesia, 4 Agustus 2005) Mahlil Ruby, Peneliti pada Pusat Kajian
Ekonomi dan Kebijkan Kesehatan FKM UI, berbeda pendapat dengan Menteri Kesehatan. Ia
memandang bahwa penolakan Zulfikri oleh RS publik telah melanggar Pasal 34 Ayat (1) dan 28-
H Ayat (1) UUD 1945. Ia juga berpendapat bahwa penolakan tersebut dikarenakan RS publik
sangat sudah berorientasi ekonomi; yaitu karena pelayanan pasien miskin tidak banyak
menambah insentif tenaga kesehatan dan pemasukan kas Rumah Sakit, maka Zulfikri ditolak.
(Mahlil Ruby, Rumah Sakit Publik Mulai Miskin Moral, Kompas)
C. Kasus Penahanan Pasien
Pada medio September 2004, Rumah Sakit Siloam Gleneagles Karawaci Tangerang
dilaporkan ke Polisi oleh seorang anggota keluarga Pasiennya dengan tuduhan telah melakukan
penyanderaan Pasien. Berikut ini adalah gambaran dari kasus ini yang dicuplik dari berita yang
dimuat di Tempo Interaktif, 16 September 2004.
Menurut Jessy Quantero, Direktur Utama Healt Care selaku pengelola RS Siloam, pasien
bernama Leonardus, 53 tahun, memang merupakan pasien yang sudah lama dirawat di rumah
sakit itu. "Pasien itu memang pasien nakal dan tidak punya etikat baik," kata Jessy kepada Tempo.
Leonardus, kata Jessy, mulai masuk dan dirawat di RS Siloam sejak 16 Agustus 2004
dengan kondisi cukup parah, karena sudah banyak komplikasi. Pihak rumah sakit pun sudah
meminta komitmen pasien seputar kesanggupan membayar biaya pengobatan, karena pihak
tempat Leonardus bekerja tidak mau menanggung biaya pengobatan Leonardus. "Pasien
menyatakan sanggup untuk membayar sendiri, dan kami menjalankan kewajiban untuk
merawatnya," kata Jessy.
Alhasil, kondisi Leonardus membaik, dan Leonardus berencana pulang. Tapi ketika pihak
rumah sakit menagih biaya pengobatan, Leonardus justru mengaku disandera rumah sakit.
"Mahalnya biaya perawatan selama sebulan dan operasi yang harus dibayar, membuat Leonardus
kalap dan takut. Ia tidak bisa pulang sebelum menyelesaikan semua Administrasi sebesar Rp. 45
Juta," kata Jessy.
Menurut Jessy, pihaknya sudah mendahulukan nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak
menagih secara rutin semua biaya dan mendahulukan pengobatan. Tapi kemudian, nyonya Leni -
isteri Leonardus- melaporkan RS Siloam ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, karena suaminya
disandera rumah sakit itu. "Walau Leonardus sudah membuat kami malu, kami tetap akan
menyelesaikan masalah ini dengan cara baik-baik," kata Jessy.
Sebelum dilaporkan ke kepolisian, kata Jessy, pihaknya sudah mendapatkan kesepakatan
dengan Leonardus: Leonardus akan membayar tagihan dengan mencicil Rp. 3 juta per bulan.
"Tapi ketika ditangani LBH Kesehatan, kesepakatan itu langsung berubah dengan tawaran
mencicil Rp. 100 ribu per bulan," kata Jessy lagi.
D. Kasus Penagihan Biaya Terhadap Pasien Miskin
Sebagai kompensasi atas pengurangan subsidi BBM, pemerintah memperkenalkan
program penggratisan biaya pengobatan untuk Pasien miskin. Namun pada kenyataannya
pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat miskin sepenuhnya belum terlaksana dengan baik,
bahkan cenderung cuma dalam tataran konsep. (Media Indonesia, 30 Juli 2005). Berita yang
dimuat di harian Suara Merdeka pada hari Rabu, 14 September 2005 menjadi bukti mengenai hal
tersebut.
Berita tersebut mempublikasikan pengalaman Subarjo (55), warga Bantul, pemegang
kartu sehat, berobat ke Rumah Sakit Wirosaban, Yogyakarta. Meski sudah menunjukkan kartu
untuk keluarga miskin, dia tetap dikenai biaya Rp 240.000. Karena takut, Subarjo langsung
membayar sesuai dengan biaya yang diminta petugas rumah sakit. Namun Subarjo masih
beruntung, karena dalam waktu bersamaan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari mengetahui
peristiwa tersebut. Saat itu juga Menkes langsung meminta petugas rumah sakit untuk segera
mengembalikan uang pasien itu. Setelah dimarahi Menkes, petugas pun mengembalikan uang
berobat Rp 240.000 kepada Subarjo. Sementara itu, petugas pelayanan rumah sakit
mengungkapkan, Subarjo tetap dipungut biaya, walaupun memegang kartu sehat karena obat
yang ada dalam resep tidak termasuk dalam daftar obat kerja sama pemerintah dengan PT Askes.
''Ada dalam daftar atau tidak, pemegang kartu sehat harus mendapat pelayanan gratis,'' kata
Menkes.
Bukti bahwa program penggratisan biaya tersebut belum berjalan dengan baik juga
terdapat dalam berita yang dimuat di Gatra pada 2 Januari 2006. Dalam berita itu dikatakan
bahwa Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, saat mengunjungi RSUD M. Yunus Bengkulu
mengungkapkan kekecewaannya, karena mengetahui banyak pasien miskin di kelas III masih
dibebani biaya obat-obatan. "Ini sudah tidak benar, protapnya kan sudah jelas bahwa pasien
miskin di kelas III harus gratis. Mana petugas Askes tolong dijelaskan kenapa pasien masih
membayar," kata Menkes kepada dokter-dokter dari RSUD, anggota Komisi IX DPR-RI serta
pejabat Depkes RI.
Dari empat orang pasien miskin di kelas III RS itu, seluruhnya mengaku sudah
mengeluarkan biaya untuk menebus obat-obatan. Ny. Febi, orang tua dari Gozi (2,5) yang
menderita demam typoid, mengaku sudah membayar sampai Rp600 ribu untuk obat-obatan,
begitu juga dengan Ny. Fatimah (65) penderita muntaber sudah membayar Rp500 ribu. Menkes
yang ketika itu didampingi Dirut Askes Dr Ori Sundari, dengan suara keras meminta agar semua
biaya yang dikeluarkan pasien miskin dikembalikan saat itu juga. Kepada Direktur RSUD M.
Yunus Dr Syarifuddin, ia minta agar jangan ada lagi pembayaran seperserpun yang dibebankan
kepada pasien miskin. Syarifuddin menegaskan, kalaupun pasien miskin membayar, nantinya
dibebankan ke APBD. Namun Menkes dengan suara keras menyatakan, tidak dibenarkan pasien
miskin membayar meski akhirnya diganti, karena setiap biaya pengobatan pasien miskin sudah
dibayar negara dan ditagih melalui Askes.
Anak Ny. Fatimah pasien muntaber yang dirawat, Suplin menyatakan dalam membayar
obat-obatan kepada pihak rumah sakit, ia tidak diberi tanda bukti ataupun kwitansi. Menkes
bahkan mengkhawatirkan obat-obatan untuk pasien miskin harus ditebus sendiri tapi oleh pihak
rumah sakit dimintakan ke Askes seolah-olah obat sudah diberikan secara gratis. Menkes
menegaskan, RS harus memberikan perawatan optimal kepada pasien miskin, sama halnya
dengan pasien di kelas maupun VIP. Pasien miskin sudah dibayar oleh negara dan pihak RS
menagih ke Askes, bahkan menurut Menkes, ada satu rumah sakit yang tagihan Askesnya sampai
Rp100 miliar. Pihak rumah sakit jangan memandang pasien mikin sebagai beban, bahkan
seharusnya mereka berlomba-lomba merawat pasien miskin, karena segala perawatan dan obat-
obatan diganti negara, bahkan jasa dokter juga dibayar. "Sangat keterlaluan kalau pihak rumah
sakit masih membeda-bedakan pasien dari keluarga miskin. Pasien miskin harus gratis dan
dirawat dengan baik dan saya tidak bisa terima dengan dalih apapun kalau ada pasien yang
diabaikan," ujarnya. Dalam kunjungan ke RSUD M. Yunus, Menkes menemui sekitar 10 pasien
miskin dan menanyakan perawatan yang diterima serta biaya perawatan. Sebagian penjelasan dari
dokter ditanyakan lagi ke pasien dan ada pernyataan dokter yang faktanya tidak sama dengan
yang dialami pasien.
E. Kasus-Kasus Malpraktek
1. Kasus Agian – Permohonan Euthanasia Pertama di Indonesia
Pemberitaan mengenai kasus ini diawali pada tanggal 29 Agustus 2004. Saat itu,
detik.com dalam judul beritanya menyebutkan, ”Ny. Agian, Korban Malpraktik Masih Tergeletak
Lemas.” Berdasarkan keterangan dari suami Ny. Agian yang bernama Panca Satriya Hasan
Kusumo yang dimuat detik.com pada 3 September 2004, awal mula kasus ini adalah sebagai
berikut.
” Awalnya tak ada tanda-tanda yang mencurigakan dari kehamilan istri saya ini. Setiap bulan istri saya memeriksakan kehamilan ke dokter Gunawan Muhamad, ahli kandungan. Selama sekian bulan rutin diperiksa dokter Gunawan, ia diberikan beberapa macam obat untuk kesehatan ibu dan anak. Tidak pernah ada gejala atau tanda-tanda keracunan. Setelah kehamilan memasuki bulan ke-34, ia (Ny. Again) kembali diperiksa. Hasil USG muncul kecurigaan dan keraguan dalam diagnosa terhadap kondisi janin dengan alasan monitor terlalu kecil. Oleh dokter, istri saya disarankan melakukan pemeriksaan di Jakarta yang lebih lengkap. Terus kami bawa ke RS Harapan Kita, hasilnya tidak ada kelainan pada janin, kecuali tampak acitest pada ibu dan letak bayi sungsang. Rekomendasinya agar segera dilakukan operasi caesar. Kemudian tanggal 20 Juli dilakukan operasi caesar di RSI Bogor. Operasi berjalan selamat, karena kondisi kesehatan bayi kurang, maka oleh pihak RSI bayi dirujuk di RS PMI Bogor untuk perawatan inkubator. Sedangkan istri saya normal, tak ada masalah bahkan komunikasi berjalan dengan baik dan malam itu dibawa ke Rumah Bersalin Yuliana untuk rawat inap. Keesokan harinya, saya diberitahu oleh pihak Rumah Bersalin Yuliana, bahwa istri saya tekanan darah naik, dan langsung dibawa ke RSI Bogor tanpa persetujuan saya. Saya diminta langsung ke RSI. Sampai di sana istri saya sudah ditangani tim dokter, beberapa saat kemudian pihak RS memberikan satu resep untuk ditebus, untuk menurunkan tekanan darah. Dan hasilnya setelah resep saya tebus, beberapa saat dari situ saya tanya perkembangan lagi. Darahnya ternyata terlalu drop, 120/80. Wah terlalu rendah, pihak rumah sakit meminta saya menebus resep lagi. Saya tebus resep di rumah sakit itu. Saya tunggu beberapa saat. Pas ditensi, saya masuk, ternyata jadi 190/140. Dokter bilang pak ini ketinggian, bapak harus beli lagi namanya dupamin cair. Dua ampul plus pengantar untuk membeli darah dua kantong. Malam itu juga jam 12 saya berikan, tanggal 21 Juli itu, saya berikan 2 ampul dupamin dan dua ampul kantong darah. Saya menunggu lagi di luar, karena tak boleh di dalam. Sekitar setengah satu saya dipanggil masuk ruangan dengan buru-buru, Pak-pak cepet-cepet. Pas saya masuk kedapatan istri saya nampak seperti sudah mati. Saya shock, mereka panik. Saya lihat mereka panik, dengan napas bantuan. Saya lihat kantong darah sudah kosong satu dan infus dupamin itu. Setelah itu, saya lihat kira-kira 10 menit tanpa nadi dan napas. Tensi nol. Setelah kantong darah kedua dan dupamin diperas, kira-kira sepuluh menit muncul nadi dan napas. Pas ditensi, tensinya 60/40. Dari situlah dilanjutkan sampai kantong darah dan dupamin habis. Sampai kira-kira tinggal seperempat, ditensi, tensinya tidak terkendali. 60, 90, 150., 180
terus sampai 250/210. Ya setelah selesai, di situlah akhir dari tindakan itu. Kemudian istri saya diamkan dari jam 2 siang, katanya mau dirujuk ke ICU. Baru pada jam 8 malam, baru dapat ruang ICU di rumah sakit PMI Bogor. Setelah masuk PMI, kemudian di ICU 8 hari dan dirawat inap sampai 38 hari. Baru dapat kepastian tanggal 11 Agustus kalau perlu tindakan lanjutan. Kemudian saya membawa istri saya ke RS Pertamina untuk MRI, karena beberapa hari itu kondisinya spatik. Ternyata PMI membiarkan saja. Hanya melakukan pijat-pijat saja. Setelah saya bawa ke RS Pertamina, baru pasti ada kerusakan otak, kanan kiri, otak kecil kanan dan kiri, serta kerusakan pusat saraf otak yang permanen.”
Pada 7 September 2004, diberitakan bahwa Ny. Agian Isnauli tidak hanya melaporkan dr
Gunawan dari RS Islam Budi Agung ke Polda Jawa Barat dengan tuduhan telah melakukan
malpraktik saja. Tetapi, ia rencananya akan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri
(PN) Bogor.
Pada 17 September 2004, Hasan beraudiensi dengan anggota DPRD Kota Bogor. Saat itu
ia menyampaikan bahwa ia sudah mengeluarkan uang Rp. 60 Juta untuk membiayai pengobatan
istrinya dan masih berhutang Rp. 17 Juta lagi ke RS PMI Bogor. Ia mengatakan bahwa tidak
memiliki uang lagi untuk membiayai pengobatan istrinya, karena itu ia memohon agar istrinya
disuntik mati saja (euthanasia). Pada 27 September 2004, Menteri Kesehatan A. Suyudi
mengatakan bahwa euthanasia dilarang di Indonesia. Diwawancarai pada hari yang sama, Hasan
mengatakan bahwa apabila pemerintah melarang euthanasia, maka dia minta pemerintah ikut
menanggung biaya pengobatan istrinya, karena Ia merasa tidak mampu lagi menyediakan dana
untuk pengobatan istrinya. Polemik seputar permohonan euthanasia ini mengundang komentar
dari dr Marius Widjajarta dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia. Menurutnya, apa yang
dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif.
Lebih lanjut Ia mengatakan, " Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan
tidak mau dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam
hingga 12 tahun penjara."
Ternyata, pada 22 Oktober 2004 Hasan secara formal mengajukan permohonan
euthanasia terhadap istrinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada hari itu juga Hasan
meminta penetapan euthanasia kepada Menteri Kesehatan. Namun untuk berjaga-jaga sekiranya
Menteri Kesehatan menolak permohonan tersebut, Hasan juga menyerahkan surat kepada Menteri
Kesehatan yang berisi permohonan keringanan biaya perawatan untuk istrinya.
Pada 26 Oktober 2004, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk Ny. Agian di
RSCM. Ia mengatakan,”untuk selanjutnya, biaya perawatan dan pengobatan Ny Agian akan kita
tanggung. Mudah-mudahan gratis, kita akan bantu seluruh biaya." Namun, pada 10 November
2004 Hasan malah melaporkan Menteri Kesehatan ke polisi. Ia mengatakan "Waktu
kunjungannya, menkes menjanjikan akan mengcover biaya perawatan istri saya. Tapi nyatanya
tagihan baru terus berdatangan. Tagihan yang saya bawa ini saja sudah menghabiskan biaya
sekitar Rp 20 juta. Bahkan ada obat-obatan yang belum saya tebus."
Pada tanggal 6 Januari 2005 terjadi kejadian yang luar biasa. Ny. Agian yang berbulan-
bulan koma telah sadar kembali. Ny Agian telah bisa meninggalkan tempat tidurnya dan melihat
pemandangan dengan naik kursi roda; tentu saja masih dengan bantuan kerabatnya. Dia juga
sudah bisa mengunyah karedok (makanan Sunda, sejenis gado-gado) dan sudah bisa berbicara.
Menurut, Iskandar, kuasa hukumnya dari LBH Kesehatan, kondisi Agian membaik setelah
mendapatkan berbagai pengobatan alternatif dari Manado, Sumut, Jabar hingga NTB. Jenis
pengobatan alternatif itu misalnya pemijitan sistem refleksi dan dengan bau-bauan. Menurut
Iskandar pengobatan tradisional ini merupakan upaya keluarga. "Tapi dokter tidak melarang,"
tandas Iskandar. Keluarga juga memberikan terapi memperdengarkan lagu-lagu nostalgia kepada
Agian. "Ny Agian jadi ingat anaknya dan ingat pergaulannya dulu. Keluarga terus melakukan
aneka terapi," kata Iskandar.
Pada 6 Januari 2005, Ny. Agian dapat melakukan aktifitas yang luar biasa. Ia dapat
membaca surat Al Fatihah hingga selesai dan menyanyi lagu dangdut Goyang Dombret. Yanti,
Perawat yang sehari-hari merawat Ny. Agian menceritakan, "Kira-kira seminggu sebelum lebaran
(November 2004), Ny Agian sudah menunjukkan keadaan yang baik. Secara berangsur-angsur
pulih dari tempat tidur duduk bersandar, duduk berjuntai, dan sekarang sudah kuat menopang
lehernya." Dr M Imam, dokter jaga di Stroke Unit RSCM menambahkan, Ny Agian sudah mulai
progesif. "Sudah sekitar 1 bulan terakhir ini. Dia sudah bisa berkomunikasi dan menerima
rangsang-rangsang dari luar," kata Imam. Sedangkan ahli gizi Stroke Unit RSCM, Utih Arupah
SKM, menyatakan, biaya makan per hari Agian mencapai Rp 100 ribu. Setiap hari Ny. Agian
diberi susu peptamin ensure, 6 buah putih telor, sari buah, dan makan hapermuth 3 kali sehari.
"Untuk kembali sembuh, Ny Agian membutuhkan gizi yang prima. Karena itu ongkos
makanannya pun mencapai Rp 100 ribu per hari," katanya. "Pasien VIP biasanya nggak lebih dari
segitu (Rp 100 ribu). Tapi ini kita beri yang terbaik agar kondisinya semakin membaik,"
demikian menurut Utih. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Dr. Farid
Anfasa Moeloek pada tanggal 7 Januari 2005 berkomentar bahwa apa yang terjadi pada Ny.
Agian yang telah sadar dari koma panjangnya adalah suatu mukjizat.
Pada tanggal 6 Januari 2005 itu pula Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk
Ny. Agian kembali. Pada saat itu Ia mengatakan, "Tolong diberitakan ya! Orang yang sudah
hidup begini masa mau disuntik mati. Ini bagi kaum perempuan sangat menyakitkan. LSM yang
peduli perempuan diam saja.” Hasan saat itu tidak berada di tempat, karena sedang menjadi
relawan penolong korban tsunami di Aceh. Ketiadaan Hasan membuat berbagai isu yang
menjurus fitnah beredar. Salah satunya ialah isu yang mengatakan bahwa kepergian Hasan ke
Aceh ialah untuk menghindari kebencian Ny. Again. Tetapi Ninda, aktivis LBH Kesehatan yang
intens mendampingi Ny. Again, pada 7 Januari 2005 membantah isu tersebut. Pada 9 Januari
2005, Ninda memberitahu bahwa Ny. Agian terus menerus memanggil nama Hasan. Hal mana
membuktikan bahwa Ny. Agian justru rindu pada suaminya, bukannya membencinya.
Setelah pulang dari Aceh, Hasan kembali membuat berita. Pada tanggal 11 Januari 2005
ia mengumumkan pada pers bahwa ia akan melaporkan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari ke
Mabes Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ia merasa difitnah Menkes yang
menuduhnya lari dari tanggung jawab menjaga istrinya yang sedang sakit di RSCM Agian Isna
Nauli. Hasan menuturkan, berdasarkan pengakuan dua orang wanita dari LBH kesehatan yang
menemani Agian saat Menkes datang, Menkes menunjuk kedua wanita itu dan menuduh mereka
hanya mencari keuntungan belaka dari sakitnya Agian.
"Itu fitnah. 'Adik-adik' dari LBH Kesehatan itu justru yang selama ini telah membantu saya. Saya
sangat keberatan dengan itu," demikian kata Hasan.
Pada 5 Februari 2005 diberitakan bahwa kondisi kesehatan Ny. Agian semakin membaik,
bahkan tangan dan kakinya sudah bisa digerakan. Ny. Agian bahkan sudah bisa menebar senyum
dan mengenali siapa saja yang mengajaknya bicara. Mungkin karena dianggap kondisinya sudah
membaik, maka pada tanggal 7 Februari 2005, pihak RSCM memindahkan Ny. Agian ke bangsal
kelas III. Sebelumnya Ny. Agian dirawat di ruang khusus stroke Soepardjo Roestam RSCM.
Menurut keluarga dan LBH Kesehatan yang mendampingi Ny. Agian, pemindahan dilakukan
dengan paksa dikawal aparat kepolisian. Menurut Ninda, dari LBH Kesehatan, pemindahan Ny
Agian ini dilakukan secara mendadak. Pihak keluarga sempat menentang pemindahan ini.
Apalagi, saat itu suhu badan Ny Agian panas dan demam. Ninda menyatakan, alasan para
perawat di ruang Soepardjo Roestam memindahkan Agian, karena Agian dinilai sudah tidak perlu
perawatan secara medis lagi dan hanya butuh terapi saja. "Saat dipindahkan, sejumlah anggota
polisi mengawal dan bahkan mereka berjaga di depan bangsal ini sampai Sabtu kemarin,"
jelasnya.
Dibandingkan saat dirawat di ruang khusus perawatan Soepardjo Roestam, kualitas
perawatan di bangsal kelas III jauh berbeda. Ny Agian kini dikumpulkan bersama dengan 30
pasien lainnya di bangsal itu. Dulu, Ny Agian berada di Ruang Soepardjo Roestam seorang diri.
Di bangsal ini juga tidak tampak ada peralatan medis semewah di ruang Soepardjo Roestam.
Rencananya, kata Ninda, sebagai bentuk tidak terimanya keluarga atas pemindahan Ny
Agian ini, minggu ini pihak keluarga akan memindahkan Ny Agian ke luar negeri. Pihak keluarga
dan LBH Kesehatan juga menilai, RSCM sudah tidak serius lagi merawat Agian. Ini terihat, dari
tindakan para perawat yang kurang respek terhadap Agian.
"Memang, rencananya Bang Hasan (suami Agian) akan membawa Mami ke RS di Luar
Negeri minggu ini. Karena di sini dinilai sudah tidak serius. Tapi, fixed atau tidaknya dipindahkan
ke luar negeri, saya belum tahu," jelasnya. Sebelumnya, memang RSCM meminta kepada
keluarga untuk merawat Ny Agian di rumah, karena kondisi Agian sudah membaik. Namun, saat
itu Hasan mengaku belum siap. Seiring dengan kepindahan Ny Agian ke bangsal kelas III,
wartawan juga tidak diperbolehkan oleh perawat untuk menengok atau mewawancarainya. Bila
ingin melihat kondisi Ny. Agian, wartawan harus mendapat izin tertulis dari RSCM.
Berita terakhir yang terkait dengan kasus ini dimuat di detik.com pada tanggal 20
Februari 2005. Dalam berita tersebut dikatakan bahwa untuk pemulihan kesehatannya Ny Agian
Isna Nauli akan diberangkatkan ke Kuba. Namun, karena masalah biaya yang mencapai sekitar
US$ 5.000, hal tersebut belum bisa dilakukan. Ketua LBH Kesehatan Iskandar Sitorus
mengatakan bahwa awalnya ada tiga negara yang akan dituju untuk pemulihan kesehatan Ny
Agian. Negara-negara tersebut adalah Kuba, Belanda dan Vatikan. "Tapi di antara tiga negara
tersebut yang lebih responsif adalah Kuba," katanya. Menurut Sitorus, Ny Agian segera di
berangkatkan ke Kuba jika uang tersebut terkumpul. "Tapi, sampai saat ini kami masih mencari
donatur untuk biayanya karena sampai saat ini belum ada," ungkapnya.
1. Kasus Adya – Gugatan Ditolak Hakim Karena Tidak Ada Otopsi
Kasus ini berawal ketika Adya Vitry Harisusanti mengalami muntah darah 20 Oktober
2002. Ia kemudian dibawa ke RS Azra Bogor dan sempat diopname. Pasien ini kemudian
diperbolehkan pulang keesokkan harinya. Tak lama kemudian, pasien ini kembali mengeluh sakit
di bagian kandungannya dan dibawa ke RS Sukoyo. Ia divonis menderita kista bagian di kanan
dan kiri kandungannya setelah melalui pemeriksaan USG dan kemudian dirujuk ke RS PMI
Bogor.
Adya lalu masuk RS PMI Bogor pada 10 November 2002 dan mendapat tindakan medis
yang dianggap membingungkan karena tidak adanya informasi yang jelas. Pasien ini diberikan
transfusi darah 300 cc padahal hasil lab menunjukkan kadar hemoglobin (HB)-nya masih normal.
Dokter juga me-rontgen di bagian dada, padahal menurut penggugat, istrinya menderita sakit
dibagian perut.
RS PMI, menurut Indra, juga dinilai telah melakukan kelalaian medis yang merugikan
kondisi pasien. Pasien harus menunggu 1,5 jam dari jadual yang seharusnya dan tanpa alasan
yang jelas operasi kista itu akhirnya batal dilakukan, pada 14 November 2002 karena dokter tak
datang. "Tidak jadinya pelaksanaan operasi ini berakibat fatal pada kondisi fisik dan mental yang
memperparah dan penyakit almarhum," kata Erna Ratnaningsih, penasehat hukum penggugat.
Selama 14 hari tanpa penjelasan yang memadai mengenai kondisi istrinya, Indra
kemudian memindahkannya ke RS Pelni Petamburan. Adya kembali ditransfusi darah 500 cc.
Namun hingga dirawat di rumah sakit tersebut, dokter ternyata belum mampu menghentikan
pendarahan terus menerus yang diderita pasien itu.
Pemeriksaan di bagian kandungan juga menurut penggugat tidak dilakukan secara pantas
dan melanggar etika kedokteran. Menurut Indra, dokter langsung memvonis istrinya terkena
tumor miom (myoma) tanpa pemeriksaan lebih jauh seperti USG. Istrinya yang tanpa ditemani
itu, menurutnya sangat ketakutan dan menderita depresi luar biasa. Setelah pemeriksaan USG
ternyata tidak ditemukannya pendarahan di bagian kandungan dan tumor.
Karena tidak puas, Indra lalu meminta rujukan ke RSCM. Adya kemudian dirawat di
RSCM pada 17 Desember 2002. Ia diminta menceritakan seluruh tindakan medis yang pernah
dilakukan sebelumnya. Dokter RSCM yang menangani Adya cukup terkejut dengan apa yang
dilakukan dokter sebelumnya. Setelah di diagnosa melalui radiologi nuklir ternyata ditemukan
kebocoran sebanyak dua lubang di bagian usus Adya. Dokter pun memutuskan untuk
mengoperasi dengan pemasangan alat CVP (Central Vena Presure).
Ternyata pemasangan alat yang dilakukan dokter sebelumnya, berakibat fatal dan
menyebabkan kematian Adya. Pemasangan alat melalui jarum suntik berukuran besar itu yang
dilakukan melalui pembiusan itu ternyata tidak berhasil. Darah mengalir sesaat jarum suntik itu
ditusuk ke tabung CVP dan membuat Adya semakin kritis. Alat itu ternyata, menurut Indra
dipasang tidak pada tempatnya. "Darah yang muncrat adalah darah segar yang berasl dari arteri
jadi bukan masuk ke vena," katanya. Adya menghembuskan nafas terakhirnya 10 menit
kemudian.
Suami almarhumah Adya Vitry Harisusanti, yaitu Indra Syafri Yacub, kemudian
menggugat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Pelni Petamburan (Pelni)
dan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI), yang dianggapnya telah melakukan malpraktik.
Ketiga Rumah Sakit tersebut juga dilaporkan ke Menteri Kesehatan dengan tuduhan telah
melakukan pelanggaran Peraturan Menteri Kesehatan. RSCM dan RS PMI Bogor diadukan
karena tidak memberikan isi rekaman medis kepada Indra Syafri Yacub. Sedangkan RS Pelni
Petamburan diadukan karena salah satu dokternya tidak melakukan rekaman medis saat
almarhumah Adya Vitry Harisusanti dirawat disana.
Pada 30 September 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan malpraktek
yang dilayangkan terhadap tiga rumah sakit. Majelis hakim yang diketuai Cicut Sutiarso menilai
gugatan malpraktek yang diajukan Indra Syafri Yacub, suami korban yang bernama Adya Vitry
Harisusanti terhadap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Pelni
Petamburan (Pelni) dan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI), terlalu prematur. "Sampai
diajukannya gugatan, belum dilakukan pemeriksaan ataupun otopsi atas diri pasien tersebut
sehingga belum diketahui sebab-sebab kematiannya," kata Sugito, salah satu hakim anggota saat
membacakan putusan tersebut di PN Jakarta Pusat, Kamis (30/9). Menurut hakim, penting untuk
mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas gugatan perbuatan melawan hukum itu. Penasihat
hukum Indra, Erna Ratnaningsih menilai majelis hakim tidak mempertimbangkan bukti-bukti dan
saksi-saksi yang diajukan pihaknya. Selain itu ia menilai dalam gugatan perbuatan hukum, otopsi
bukanlah satu-satunya alat bukti. "Tidak ada seorang ahli pun mengatakan otopsi harus
dilakukan," katanya. (Tempo Interaktif, 30 September 2004)