membingkai penelitian akuntansi keuangan dalam bingkai

24
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 1 Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif-Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia Yeterina Widi Nugrahanti Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana [email protected] Abstract: Currently, accounting researchs develop not only using a positive paradigm, but also using a non-positive paradigm , which consist of interpretive, critical and postmodern. One approach in the interpretive paradigm is phenomenology. This article aims to describe the interpretive paradigm, especially phenomenology as one of the approaches that can be used in financial accounting research. By using the phenomenology approach, understanding, meaning and awareness of one's experience related to accounting can be deeply explored. The phenomenological approach allows accounting research, especially financial accounting, not only limited to numbers, accounts and business’s financial reporting processes to capital owners. The phenomenological approach also allows accounting research to be carried out in the real environment by accommodating cultural, custom, and value aspects adopted by someone who has direct experience of the accounting process. Keywords: culture, financial accounting, interpretive, local wisdom, phenomenology 1. Pendahuluan Ilmu sosial pada dasarnya mempelajari manusia dan perilaku manusia dalam bermasyarakat, sehingga ilmu sosial akan terus mengalami perkembangan mengikuti perubahan manusia dan masyarakat itu sendiri. Penelitian dalam bidang ilmu sosial akan terus dilakukan untuk mencari kebenaran dan menjelaskan perilaku manusia serta apa yang terjadi dalam masyarakat. Akuntansi sebagai bagian dari ilmu sosial juga terus mengalami perubahan. Perkembangan organisasi dan masyarakat yang semakin kompleks juga membutuhkan akuntansi yang dapat menjawab kebutuhan organisasi dan masyarakat tersebut. Saat ini, penelitian akuntansi dilakukan bukan hanya sebatas untuk mengetahui hubungan sebab akibat yang terkadang tidak dapat menjawab persoalan apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Penelitian akuntansi untuk menggali makna dan kesadaran dalam lingkup yang lebih sempit dan spesifik diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan yang dialami masyarakat secara langsung.

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 1

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif-Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Yeterina Widi Nugrahanti

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

Abstract: Currently, accounting researchs develop not only using a positive paradigm,

but also using a non-positive paradigm , which consist of interpretive, critical and postmodern.

One approach in the interpretive paradigm is phenomenology. This article aims to describe

the interpretive paradigm, especially phenomenology as one of the approaches that can be

used in financial accounting research. By using the phenomenology approach, understanding,

meaning and awareness of one's experience related to accounting can be deeply explored. The

phenomenological approach allows accounting research, especially financial accounting, not

only limited to numbers, accounts and business’s financial reporting processes to capital

owners. The phenomenological approach also allows accounting research to be carried out in

the real environment by accommodating cultural, custom, and value aspects adopted by

someone who has direct experience of the accounting process.

Keywords: culture, financial accounting, interpretive, local wisdom, phenomenology

1. Pendahuluan

Ilmu sosial pada dasarnya mempelajari manusia dan perilaku manusia dalam bermasyarakat,

sehingga ilmu sosial akan terus mengalami perkembangan mengikuti perubahan manusia dan

masyarakat itu sendiri. Penelitian dalam bidang ilmu sosial akan terus dilakukan untuk mencari

kebenaran dan menjelaskan perilaku manusia serta apa yang terjadi dalam masyarakat. Akuntansi

sebagai bagian dari ilmu sosial juga terus mengalami perubahan. Perkembangan organisasi dan

masyarakat yang semakin kompleks juga membutuhkan akuntansi yang dapat menjawab kebutuhan

organisasi dan masyarakat tersebut. Saat ini, penelitian akuntansi dilakukan bukan hanya sebatas untuk

mengetahui hubungan sebab akibat yang terkadang tidak dapat menjawab persoalan apa yang

sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Penelitian akuntansi untuk menggali makna dan kesadaran dalam

lingkup yang lebih sempit dan spesifik diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan yang dialami

masyarakat secara langsung.

Page 2: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 2

Salah satu rumpun dari ilmu akuntansi adalah akuntansi keuangan. Akuntansi keuangan

dipahami sebagai proses pencatatan, peringkasan, analisis informasi keuangan dan penyajian laporan

keuangan perusahaan kepada pihak eksternal perusahaan (pemegang saham, kreditor, pemerintah, dan

masyarakat), laporan tersebut berupa laporan laba rugi, perubahan modal, neraca dan arus kas

(Weygandt, Kimmel and Kieso, 2015). Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada awalnya

akuntansi keuangan menghasilkan produk berupa angka laporan keuangan dan didesain sebagai sarana

akuntabilitas manajemen kepada pemilik modal.

Definisi tersebut juga mempengaruhi perkembangan penelitian akuntasi keuangan, yang pada

awalnya terbatas dilakukan pada perusahaan-perusahaan besar dan pasar modal serta berfokus pada

hubungan antara satu variabel angka akuntansi dengan variabel akuntansi lainnya maupun dengan

variabel non akuntansi. Sebagai contoh, penelitian tentang pengaruh angka-angka dalam laporan

keuangan (laba dan EPS) terhadap pada harga saham, pengaruh manajemen laba terhadap nilai

perusahaan, pengaruh penerapan IFRS terhadap manajemen laba, analisis laporan keuangan dengan

menggunakan rasio-rasio dan sebagainya. Penelitian akuntansi keuangan pada awalnya dilakukan

dengan paradigma positif yang menekankan pada generalisasi, bebas nilai dan obyektifitas tanpa

menggali makna yang lebih dalam mengenai proses akuntansi itu sendiri. Selain itu, dalam paradigma

positif, peneliti juga menjaga jarak dengan obyek yang diteliti sehingga hasil penelitian yang ada hanya

mengupas “kulit”nya saja dan tidak benar-benar menyelami realita yang terjadi. Sehingga pendekatan

positif tersebut banyak dikritik, salah satu kritik diajukan oleh Garfinkel (1996) yang menyatakan

bahwa pendekatan positif merupakan pendekatan yang tidak tepat karena segala sesuatu di dunia ini

memiliki ciri khas tersendiri dan tidak ada sesuatu yang bisa relevan di mana-mana, sehingga

generalisasi tidak selalu diperlukan.

Untuk mengatasi kelemahan paradigma positif, berkembanglah paradigma non positif yaitu

paradigma interpretif, kritis dan pos modern. Paradigma interpretif menekankan pada bahasa,

interpretasi simbol dan pemahaman ilmu sosial serta pemikiran manusia. Salah satu pendekatan dalam

paradigma interpretif adalah fenomenologi. Fenomenologi merupakan sebuah metode untuk

menggambarkan pengalaman hidup dari beberapa orang tentang sebuah konsep atau fenomena.

Penelitian fenomenologi menekankan pada pemberian makna atas suatu pengalaman beberapa orang

Page 3: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 3

dalam fenomena tersebut (Patty dan Irianto, 2013). Dengan menggunakan paradigma interpretif

pendekatan fenomenologi memungkinkan penelitian akuntansi keuangan dapat dilakukan pada lingkup

yang lebih kecil dan tidak terbatas pada angka-angka laporan keuangan saja. Paradigma interpretif-

fenomenologi memungkinkan peneliti menggali makna terdalam dari pihak yang mengalami

pengalaman terkait akuntansi secara langsung. Dengan demikian paradigma interpretif memperkaya

khasanah ilmu akuntansi keuangan yang tidak terbatas pada proses pelaporan keuangan organisasi

bisnis tetapi juga aspek akuntabilitas dan makna akuntansi keuangan bagi organisasi sektor publik,

organisasi kemasyarakatan bahkan individu.

Paradigma interpretif memungkinkan penelitian akuntansi dapat dilakukan dengan analisis

mendalam. Tetapi pada kenyataanya sampai sekarang ini sebagian besar penelitian akuntansi, masih

didominasi oleh paradigma positif. Lukka (2010) menjelaskan bahwa penelitian akuntansi mengalami

penyempitan dalam hal asumsi filosofis, pendekatan metodologi dan dasar teoretis. Penyempitan

tersebut mungkin disebabkan oleh kecenderungan dominasi penelitian akuntansi positif. Penelitian di

Indonesia yang dilakukan oleh Darmayasa dan Aneswari (2015) mengenai seberapa banyak artikel

kualitatif yang dimuat dalam jurnal terakreditasi nasional dan Simposium Nasional Akuntansi (SNA)

menunjukkan hasil yang serupa. Pada tahun 2015, dari 200 artikel yang diterima di SNA, hanya

sejumlah 23 artikel yang menggunakan pendekatan kualitatif, dan 4 diantaranya yang menggunakan

pendekatan interpretif. Jumlah artikel kualitatif tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan

SNA tahun 2014 yaitu sebanyak 10 artikel dari total 176 artikel. Sedangkan untuk Jurnal Keuangan dan

Perbankan, dari 15 artikel yang diterbitkan selama tahun 2015, hanya terdapat satu penelitian dengan

pendekatan kualitatif. Hal ini berbeda dengan Jurnal Akuntansi Multiparadigma (JAMAL) yang

mengakomodasi lebih banyak penelitian dengan paradigma non positif. Pada tahun 2014, dari total 38

artikel yang diterbitkan di JAMAL, sebanyak 18 artikel merupakan penelitian non positif dan 7

diantaranya menggunakan pendekatan interpretif. Demikian pula sampai pertengahan tahun 2015, dari

13 artikel yang diterbitkan oleh JAMAL, sebanyak 8 artikel merupakan artikel non positif dan 6

diantaranya menggunakan pendekatan interpretif. Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa

walaupun secara umum penelitian positif masih mendominasi, tetapi penelitian dengan paradigma non

positif juga mulai gencar, termasuk paradigma interpretif.

Page 4: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 4

Akuntansi merupakan hasil dari realitas sosial yang dipengaruhi oleh manusia, organisasi,

ideologi, agama dan budaya (Tumirin dan Abdurahim, 2015). Berbagai macam kekayaan budaya dan

kearifan lokal yang ada di Indonesia juga mempengaruhi praktik akuntansi dan pemaknaan seseorang

atas akuntansi di suatu daerah. Dengan menggunakan pendekatan interpretif - fenomenologi, kekayaan

budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh Indonesia dapat diangkat dalam penelitian akuntansi

keuangan dengan menggali makna yang tersebunyi dari pengalaman orang yang terlibat langsung dalam

proses akuntansi dan kearifan lokal tersebut. Dengan demikian pemikiran konvensional bahwa

akuntansi hanya terbatas pada angka-angka saja dapat dipatahkan. Penelitian akuntansi dalam konteks

budaya lokal diharapkan dapat mengangkat ciri khas Indonesia di mata internasional dan diharapkan

memberikan manfaat langsung bagi masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, peneliti akuntansi

di Indonesia diharapkan membuka diri dan pikiran untuk menerima dan menerapkan metodologi

penelitian di bidang sosiologi dan antropologi, yang mempelajari budaya-budaya tersebut. Kajian

akuntansi dengan menggunakan analisis sosial (sosiologi) berbasis paradigma interpretif merupakan

satu upaya untuk mendekatkan ilmu akuntansi pada realitas budaya, religi dan spiritualitas

(Mulawarman, 2010).

Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan dan memberikan pemahaman mengenai paradigma

interpretif, khususnya pendekatan fenomenologi dalam penelitian akuntansi keuangan yang dilakukan

dalam konteks budaya dan kearifan lokal. Bagian berikutnya dalam artikel ini akan membahas

paradigma penelitian, ragam pendekatan paradigma interpretif, sejarah fenomenologi, fenomenologi

transendental Husserl, prosedur pelaksanaan riset fenomenologi, fenomenologi dan akuntansi,

penelitian akuntansi keuangan dengan pendekatan fenomenologi dalam konteks budaya dan kearifan

lokal, peluang penelitian akuntansi keuangan dengan pendekatan fenomenologi dalam konteks budaya

dan kearifan lokal dan penutup.

2. Pembahasan

Page 5: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 5

2.1. Paradigma Penelitian

Kuhn (1970) dalam Lukka (2010) menyatakan bahwa paradigma penelitian menentukan

masalah apa yang dituju dan tipe penjelasan apa yang dapat diterimanya. Menurut Denzin dan Lincoln

(1994) paradigma merupakan serangkaian keyakinan dasar (basic believes) yang berhubungan dengan

yang pokok atau prinsip. Kamayanti (2016) berpendapat bahwa paradigma merupakan cara pandang

peneliti terhadap realita, dunia, bahkan Tuhan; yang akan mengarahkan seluruh tujuan penelitiannya

dan mengejawantah pada masalah penelitian yang dirumuskan untuk memenuhi tujuan tersebut.

Pemahaman terhadap sifat dari setiap paradigma akan membimbing peneliti untuk menentukan jenis

dan bentuk penelitian yang paling tepat untuk menjawab persoalan penelitian, hal ini disebabkan setiap

paradigma mempunyai ruang lingkup yang berbeda. Burrel dan Morgan (1979) melalui bukunya yang

berjudul Sociological Paradigms and Organisational Analysis mengklasifikasikan empat macam

paradigma, yaitu (a) fungsionalis/ positif, (b) interpretif, (c) humanis radikal dan (d) strukturalis radikal.

Sedangkan Chua (1986), membagi paradigma penelitian akuntansi menjadi tiga, yaitu (a) akuntansi

mainstream/positif, (b) interpretif, dan (c) kritis.

Paradigma positivistik menganggap bahwa realitas berjalan sesuai dengan hukum alam.

Penelitian pada paradigma positif/mainstream berupaya untuk menjelaskan dan memperkirakan,

bersifat obyektif, bebas nilai, menggunakan penalaran deduktif untuk pembuatan kesimpulan yang

nantinya digeneralisasi. Paradigma interpretif menekankan pada peranan bahasa, penafsiran dan

pemahaman dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada sifat subyektif dari dunia

sosial dan berupaya memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Fungsi teori

dalam paradigma interpretif adalah untuk memaknai. Baik buruknya teori dalam paradigma interpretif

dilihat dari kapasitasnya untuk memaknai dan mengungkapkan temuan yang bersifat lokal (Triyuwono,

2013). Paradigma humanis radikal dan strukturalis radikal menurut Burrel dan Morgan (1979) dapat

digabungkan ke dalam satu paradigma, yaitu paradigma kritis. Menurut Neuman (2003), paradigma

kritis bertujuan untuk memperjuangkan ide peneliti agar membawa perubahan substansial dalam

masyarakat, sehingga paradigma kritis bukan hanya menafsirkan, memahami dan memaknai saja.

Sebuah teori kritis bertujuan untuk membebaskan dan melakukan perubahan. Selain tiga paradigma di

atas, masih terdapat satu paradigma lagi, yaitu paradigma posmodernisme. Paradigma posmodernisme

Page 6: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 6

merupakan paradigma yang serba relatif, tidak memiliki bentuk pendekatan keilmuan yang baku, tidak

terstruktur dan tidak mutlak (Triyuwono, 2013). Jika dikelompokkan ke dalam dua bagian besar, maka

terdapat paradigma positif dan non positif (interpretif, kritis dan posmodern). Penelitian dengan

paradigma positif dilakukan dengan metode kuantitatif, sedangkan penelitian dengan paradigma non

positif dilakukan dengan metode kualitatif.

2.2. Ragam Pendekatan Paradigma Interpretif

Paradigma interpretif meyakini bentuk mendasar dari dunia sosial pada tingkat pengalaman subjektif

seseorang. Dengan demikian paradigma ini mencari penjelasan dalam realisme tentang subjektivitas

dan kesadaran individu. Pendekatan interpretif bersifat nominalis, anti positivistik, voluntaris,

ideografik, menekankan pada makna dan tidak bebas nilai (Burrell dan Morgan, 1979). Keunggulan

dalam paradigma interpretif adalah: 1) deskripsi yang disajikan secara detail serta mendalam (thick

description), 2) pemahaman yang mendalam murni dari sudut pandang informan (natural) akan

diperoleh dengan baik (Jailani, 2012). Burrel dan Morgan (1979) menyebutkan bahwa pendekatan

dalam paradigma interpretif terdiri dari solipsisme, fenomenologi, hermeneutika, etnometodologi dan

interaksionisme simbolik. Solipsisme diperkenalkan oleh Bishop Berkeley (1685-1753), yang meyakini

bahwa pengalaman pribadi seseorang merupakan satu-satunya fakta yang dapat dipercaya. Bagi

pendukung solipsis, dunia merupakan hasil kreasi dari pikirannya. Penekanan pada pandangan

individualis dan subyektif mengenai realitas memungkinkan munculnya wacana yang tidak memiliki

makna. Fenomenologi sebagai aliran filsafat dan sekaligus sebagai metode berpikir diperkenalkan oleh

Edmund Hussel (1859-1838), yang beranjak dari kebenaran fenomena, seperti yang nampak apa

adanya. Suatu fenomena yang nampak sebenarnya merupakan refleksi realitas yang tidak berdiri sendiri

karena apa yang nampak merupakan obyek yang penuh dengan makna transendental. Sehingga untuk

mendapatkan hakekat kebenaran, seseorang harus menerobos melampaui fenomena yang nampak

(Basrowi dan Sukidin, 2002). Dengan demikian, studi fenomenologi berupaya untuk menjelaskan dan

menggambarkan fenomena yang menjadi pengalaman individu yang merupakan hasil pengaruh

lingkungan. Fenomenologi akan berusaha untuk memahami pemahaman informan terhadap fenomena

yang muncul dalam kesadarannya dan fenomena yang dialami oleh informan (Collin, 1997).

Sumaryono (1993) mengatakan bahwa istilah hermenutika berasal dari nama Dewa Yunani, Hermes,

Page 7: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 7

yang bertugas menyampaikan pesan dari para Dewa kepada manusia. Ilmu ini berkembang pada awal

abad ke 19 dalam kajian penafsiran naskah-naskah hukum dan kitab suci. Hermenutik diartikan sebagai

suatu proses penelaahan isi dan maksud yang nampak dari sebuah teks sampai pada makna yang

terdalam dan tersembunyi. Hermeneutika merupakan ilmu yang menginterpretasikan dan memahami

hasil pemikiran manusia yang menandai dunia (Burrel dan Morgan, 1979). Etnometodologi

diperkenalkan oleh Harold Garfinkel pada tahun 1967. Etnometodologi merupakan sebuah studi empiris

mengenai bagaimana seseorang merespon pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Etnometodologi

berupaya menggambarkan dan memahami masyarakat dalam keseharian mereka, misalnya bagaimana

pola pikir, pola interaksi, perasaan dan bagaimana cara mereka berbicara (Burrel dan Morgan, 1979).

Analisis yang dilakukan dengan etnometodologi sangat mengandalkan hasil wawancara yang

mendalam serta ekspresi yang nampak dari informan yang diwawancara. Basrowi dan Sukidin (2002)

menyatakan bahwa interaksionisme simbolik diperkenalkan oleh Herbert Blumer pada tahun 1969.

Dasar pemikiran pendekatan ini adalah adanya hubungan yang terjadi secara alami antara individu

dalam masyarakat dan hubungan antara individu dengan masyarakat. Interaksi tersebut berkembang

melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Interaksionisme simbolik berkaitan dengan gerak tubuh,

antara lain suara, gerakan fisik dan ekspresi tubuh, yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut

dengan “simbol”. Interaksionisme simbolik berfokus pada 'interpretasi' atas makna subjektif yang

berasal dari interaksi orang dengan orang lain dari lingkungannya dan menekankan pada pertukaran

antara simbol dan interaksi.

2.3. Sejarah Fenomenologi

Salah satu pendekatan interpretif yang banyak digunakan dalam penelitian bisnis dan akuntansi adalah

fenomenologi. Menurut Kuswarno (2009), fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang

berarti “menampak”. Fenomena berarti fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia.

Fenomena bukanlah dirinya seperti tampak kasat mata, melainkan ada di depan kesadaran dan disajikan

dengan kesadaran pula. Sehingga fenomenologi merefleksikan pengalaman langsung manusia. Tujuan

utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana subjektivitas fenomena dialami dalam kesadaran,

pikiran dan tindakan. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia

mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting dalam kerangka intersubjektivitas.

Page 8: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 8

Istilah fenomenologi muncul pada abad 18, yang menjadi dasar pengetahuan empiris

(penampakan yang diterima secara inderawi). Sebelum abad ke -18, pemikiran filsafat terbagi menjadi

dua kubu yang bertolak belakang. Aliran yang pertama adalah aliran empiris yang meyakini bahwa

pengetahuan muncul dari penginderaan. Bagi penganut empiris, pengalaman merupakan sumber

pengetahuan yang memadai itu. Akal manusia berfungsi untuk mengatur dan mengolah materi yang

ditangkap oleh panca indera.

Aliran kedua, yaitu rasionalisme meyakini bahwa pengetahuan berasal dari pikiran manusia

(rasio). Sebuah pengetahuan dapat diakui sebagai pengetahuan ilmiah jika didapatkan melalui akal.

Pengalaman diyakini sebagai sebatas pengukuhan kebenaran yang telah didapatkan oleh rasio. Akal

tidak membutuhkan pengalaman untuk mendapatkan pengetahuan yang benar karena akal dapat

menurunkan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri.

Dari dua aliran yang bertentangan tersebut, Immanuel Kant muncul untuk menengahi keduanya

dan berpendapat bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang tampak (fenomena). Sedangkan

fenomena sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang tampak dengan sendirinya dan merupakan hasil

sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran tersebut, fenomena menjadi

titik awal pembahasan para filsafat pada abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah

pengetahuan dibangun.

Franz Brentano (1874) meletakkan dasar fenomenologi lebih tegas lagi dengan mendefinisikan

fenomena sebagai sesuatu yang terjadi dalam pikiran. Sedangkan fenomena mental adalah tindakan

yang dilakukan secara sadar. Ia kemudian membedakan antara fenomena mental dengan fenomena fisik

(objek atau persepsi eksternal yang dimulai dari warna dan bentuk. Jadi bagi Brentano, fenomena fisik

ada karena “kesengajaan ” dalam tindakan sadar (intentional in existence).

Selanjutnya Kuswarno (2009) menjelaskan bahwa Husserl mengembangkan fenomenologi

pertama kali dengan menggabungkan antara psikologi deskriptif dengan logika. Fenomena semestinya

dipertimbangkan sebagai muatan objektif yang disengaja (intentional objects) dari tindakan sadar

subjektif. Fenomena adalah noema, noema dari tindakan sadar disebut sebagai makna ideal.

Fenomenologi menjelaskan dan menganalisis tipe-tipe aktivitas mental subjektif, pengalaman dan

Page 9: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 9

tindakan sadar. Fenomenologi mempelajari kesadaran tanpa mereduksi objektivitas dan makna yang

mengisi pengalaman ke subjektivitas yang disengaja.

Fenomenologi muncul sebagai reaksi terhadap metode positif Auguste Comte yang dinilai

gagal memanfaatkan kesempatan membuat hidup menjadi lebih bermakna, karena tidak

mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Paradigma positif selalu menekankan serangkaian realita

sosial yang obyektif atas gejala yang tampak mengemuka, sehingga cenderung melihat fenomena dari

permukaannya saja, tidak mampu memahami makna di balik fenomena tersebut. Sedangkan

fenomenologi dimulai dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang

tampak, akan tetapi berusaha menggali makna di balik setiap gejala tersebut.

Pada tahun -tahun berikutnya, fenomenologi berkembang tidak hanya pada tataran

“kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran sementara, intersubjektivitas, kesengajaan

praktis, dan konteks sosial dari tindakan manusia. Tulisan -tulisan Husserl berperan penting dalam hal

ini. Menurut Husserl, sebuah pengalaman (tindakan sadar) mengacu pada suatu objek dalam pengertian

noema dan noematic. Dua pengalaman dapat mengacu pada objek yang sama, tetapi memiliki

pengertian noematic yang berbeda.

Sekarang ini fenomenologi diketahui sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena

memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai

pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang mempelajari struktur tipe -tipe kesadaran yang

dinamakan dengan “kesengajaan” oleh Husserl. Struktur kesadaran dalam pengelaman pada akhirnya

membuat makna dan menentukan isi dari penampakannya (Kuswarno, 2009).

2.4. Fenomenologi Transendental Husserl

Dalam perkembangannya, fenomenologi banyak dibahas oleh beberapa tokoh dam filsuf, diantaranya

adalah Edmund Husserl, Alfred Schutz, dan Berger. Beberapa artikel akuntansi dengan pendekatan

fenomenologi yang ditemukan oleh penulis, semuanya menggunakan pendekatan fenomenologi

Husserl yang disebut juga fenomenologi transendental. Sehinggapada bagian ini hanya akan membahas

fenomenologi Husserl. Pemikiran Husserl (1859-1938) diawali dengan ajakan kembali pada

sumber/realitas yang sesungguhnya. Untuk itu, dibutuhkan metode yang disebut dengan “reduksi”.

Melalui reduksi, kita menunda menyimpulkan sesuatu dari setiap prasangka terhadap realitas. Reduksi

Page 10: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 10

yang dimaksud terdiri dari reduksi eidetic, reduksi fenomenologi dan reduksi transendental (Abidin,

2000 dalam Basrowi dan Sukidin, 2002).

Dalam reduksi transendental, Husserl menemukan esensi kesadaran yang disebut dengan

intensionalitas. Setiap aktivitas intensionalitas adalah aktivitas menyadari sesuatu. Pengertian

kesadaran selalu dihubungkan dengan kutub objektifnya, yaitu objek yang disadari. Penyelidikan

Husserl berhasil menemukan adanya dunia yang dihayati oleh subjek atau kesadaran. Dunia yang

dihayati dan struktur-strukturnya hanya dapat diamati dengan cara melepaskan diri dari prasangka-

prasangka teoretis yang berasal dari ilmu yang dimiliki sebelumnya (Collin, 1997).

Menurut Abidin (2000) ,pengamatan Husserl mengenai stuktur intensionalitas kesadaran

merumuskan empat aktivitas yang inheren dalam kesadaran, yaitu objektifikasi, indentifikasi, korelasi

dan konstitusi. Intensionalitas objektifikasi berarti mengarahkan data kepada objek-objek intensional,

fungsi intensionalitas adalah menghubungkan data yang sudah terdapat dalam aliran kesadaran.

Intensionalitas sebagai identifikasi merupakan suatu intensi yang mengarahkan berbagai data dan

peristiwa kemudian pada objek hasil objektifikasi. Identifikasi banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek

dari dalam seperti motivasi, minat, keterlibatan emosional maupun intelektual. Intesionalitas korelasi

menghubung-hubungkan setiap aspek dari objek yang identik menunjuk pada aspek-aspek lain yang

menjadi horisonnya. Bagian depan sebuah objek menunjuk pada bagian samping, muka, bawah, dan

belakang. Aspek yang menjadi horison dari objek memberi pengharapan pada subjek untuk

mengalaminya kembali di kemudian hari. Intensionalitas konstitusi melihat bahwa aktivitas-aktivitas

intensional berfungsi mengkonstitusikan objek-objek intensional. Objek intensional tidak dipandang

sebagai sesuatu yang sudah ada, melainkan diciptakan oleh aktivitas-aktivitas intensional itu sendiri.

Untuk memahami fenomenologi, terdapat beberapa konsep dasar yang harus dipahami, yaitu

fenomena, epoche, konstitusi, kesadaran dan reduksi. Fenomena adalah suatu tampilan

objek/peristiwa/apa saja yang muncul dalam kesadaran/realitas yang tampak tanpa terselubung.

Fenomena merupakan titik permulaan yang tepat bagi suatu investigasi dan menjadi objek yang dikaji

dalam fenomenologi (Moustakas, 1994). Kesadaran merupakan pemberian makna yang aktif, kesadaran

merupakan keterbukaan dan kelangsungan hubungan dengan yang lain, dimana dirinya dengan yang

lainnya tidak memiliki pemisahan yang tegas. Intensionalitas merupakan keyakinan bahwa semua

Page 11: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 11

tindakan kesadaran memiliki kualitas, atau seluruh kesadaran akan objek. Manusia menampakkan

dirinya sebagai sesuatu yang transenden, sintesis dari subjek dan objek. Intensionalitas berkaitan dengan

kesadaran, pengalaman internal mengenai kesadaran akan sesuatu (Hasbiansyah, 2008). Bertens (1981)

menyebutkan bahwa konstitusi merupakan proses tampaknya fenomena/ proses konstruksi ke dalam

kesadaran manusia. Konstitusi merupakan hal yang dilihat dari sudut pandang subjek, memaknakan

dunia dan alam semesta yang dialaminya. Epoche (bracketing) merupakan proses penundaan penilaian

untuk memunculkan pengetahuan. Peneliti mengesampingkan pemahaman dan pengetahuan sehari-hari

mengenai fenomena yang diteliti untuk mendapatkan gambaran murni dari subjek (Creswell, 2007).

Epoche berarti membiarkan fenomena berbicara apa adanya, tanpa intervensi penilaian baik-buruk,

positif-negatif, bermoral-tidak bermoral dan sebagainya. Setelah proses epoche, peneliti akan

melakukan reduksi.

Terdapat tiga tahap reduksi, yaitu reduksi fenomenologis, reduksi eidetic dan reduksi

transendental (Basrowi dan Sukidin, 2002). Reduksi fenomenologi, dalam mengamati objek, yang

nampak adalah gejala dari objek tersebut. Gejala terus-menerus dipandang seolah-olah dengan

kecurigaan. Gejala tersebut tidak dinyatakan, tetapi ditangguhkan untuk mencapai subjektivitas

transenden. Rapar (1996) dalam Irianto et al (2014) menyatakan bahwa reduksi fenomenologis

ditujukan untuk membangun ilmu pengetahuan yang rigorous, yang tidak terdapat keraguaan di

dalamnya. Reduksi eiditis bertujuan ingin menemukan struktur dasar untuk sampai pada hal-hal yang

hakiki. Semua aspek yang aksidensial (ruang, waktu dan sebagainya) ditangguhkan terlebih dahulu.

Reduksi eidetic bertujuan untuk menemukan hakekat atau makna yang tersembunyi dalam fenomena

yang diamati. Pada tahap ini, makna yang dimaksud sudah mulai disusun dan disajikan dalam bentuk

topik yang khusus, dan dilakukan melalui observasi yang seksama. Melalui reduksi eidetic ini, deskripsi

tekstural (pengalaman informan) dan deskripsi struktural (penjelasan konteks penelitian) dapat

dihasilkan (Irianto et al,2014). Reduksi transendental menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan yang

dimiliki, seolah-olah pengetahuan dan empirik ditangguhkan, sampai pada kesadaran murni. Subjek

kembali kepada diri secara sadar, bersih pada diri, kembali pada jiwa yang bersih dan kesadaran murni

(transenden). Menurut Creswell (2007), reduksi transendental bertujuan untuk menemukan hakekat/

makna yang sesungguhnya, murni dan menyeluruh. Hal ini merupakan puncak dari seluruh proses

Page 12: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 12

dalam fenomenologi transendental Hussrel, yang merupakan esensi dari makna pengalaman yang

sesungguhnya. Fenomenologi transendental terdiri dari komponen-komponen konseptual (unit

analisis), yaitu (Kuswarno, 2009):

a. Kesengajaan (Intentionality)

Menurut Husserl, objek boleh berwujud maupun tidak berwujud. Dengan demikian kesengajaan adalah

proses internal dalam diri manusia yang berhubungan dengan objek tertentu. Karena diawali kesadaran,

maka faktor yang berpengnaruh terhadap kesengajaam antara lain minat, penilaian awal, dan harapan

terhadap objek. Dengan konsep kesengajaan ini, Husserl menunjukkan bahwa untuk menciptakan

makna harus ada kerjasama antara “aku” dengan dunia di luar “aku”. Sehingga untuk satu objek “real”

bisa menghasilkan bermacam-macam objek dalam persepsi. Hal ini bergantung pada siapa yang

mempersepsi, kapan waktu dipersepsi, dari sudut pandang bagaimana, latar belakang proses presepsi,

harapan, penilaian dan titik terbaik pengambilan makna.

b. Noema dan Noesis

Noesis merupakan bahan dasar pikiran dan roh (mind and spirit) manusia. Noesis yang

menyadarkan kita akan makna ketika kita mempersepsi, mengingat, menilai, merasa dan berpikir.

Dengan noesis, suatu objek dibawa dalam kesadaran, muncul dalam kesadaran, dan secara rasional

ditentukan. Deskripsi noesis adalah deskripsi subjektif karena sudah ada pemberian makna padanya.

Lawan dari noesis adalah noema, yaitu sesuatu yang diterima oleh panca indera manusia. Deskripsi

noema adalah deskripsi objektif, berdasarkan pada bagaimana objek tersebut nampak dalam panca

indera kita. Ajakan Husserl untuk kembali kepada yang sebenarnya dari fenomena adalah melihat

fenomena tersebut sebagai noesis (berdasarkan makna yang ada padanya), bukan berdasarkan ciri

fisiknya

c. Intuisi

Menurut Husserl, intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan, yang bebas

dari kesan sehari-hari dan perilaku ilmiahnya. Dengan kata lain, intuisi merupakan alat untuk mencapai

esensi dengan memisahkan yang biasa dari objek, untuk menemukan “kemurnian” yang ada padanya.

Intuisi adalah proses kehadiran esensi fenomena dalam kesadaran. Intuisilah yang menghubungkan

noema dan noesis. Dengan kata lain intuisilah yang mengubah noema menjadi noesis. Inilah sebabnya

Page 13: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 13

mengapa fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri

individu secara mental (transenden).

d. Intersubjektivitas

Menurut Husserl, makna yang kita berikan pada objek turut dipengaruhioelh empati yang kita miliki

tehadap orang lain. Karena secara alamiah, kita memiliki kecenderungan untuk membandingkan

pengalaman kita dengan pengalaman milik orang lain. Husserl megnatakan bahwa “orang lain” itu ada

dalam diri “aku”. “Aku” dan “orang lain” memiliki kedudukan yang sama. Keduanya saling

berhubungan dalam kesengajaan. Singkatnya, persepsi yang kita miliki adalah persepsi kita yang utama,

namun dalam persepsi ini termasuk juga persepsi terhadap orang lain sebagai analogi.

Fenomenologi transendental merupakan studi mengenai penampakan dan fenomena, seperti

yang kita lihat dan muncul dalam kesadaran. Fenomenologi transendental memberikan kesempatan

untuk menjelaskan fenomena dalam term pembentuknya dan makna yang mungkin. Fenomenologi

membedakan ciri-ciri utama kesadaran, hingga sampai pada pemahaman yang hakiki dari pengalaman.

Unit-unit analisis dalam fenomenologi transendental digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1: Unit Analisis Fenomenologi Husserl

2.5. Prosedur Pelaksanaan Riset Fenomenologis

Page 14: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 14

Seorang peneliti ketika melakukan penelitian dengan pendekatan fenomenologi membutuhkan

serangkaian prosedur mulai dari perumusan masalah sampai dengan pembuatan kesimpulan. Creswell

(2015) mengidentifikasi beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang fenomenolog, yaitu:

a. Peneliti menentukan apakah problem risetnya paling baik dipelajari dengan menggunakan

pendekatan fenomenologis. Tipe permasalahan yang paling sesuai adalah permasalahan untuk

memahami pengalaman dari individu pada fenomena.

b. Fenomena yang menarik untuk dipelajari diindentifikasi, dalam akuntansi keuangan misalnya

fenomena tentang akuntabilitas laporan keuangan dana desa, fenomena manajemen laba,

fenomena perubahan standar akuntansi, dan sebagainya.

c. Peneliti mengenali dan menentukan asumsi filosofis yang luas dari fenomenologi. Misalnya,

seseorang dapat menulis tentang kombinasi dari realitas objektif dan pengalaman individual.

Untuk dapat menggambarkan secara utuh bagaimana para partisipan melihat fenomena tersebut,

para peneliti harus menyingkirkan pengalaman mereka sejauh mungkin (bracketing/epoche).

d. Data dikumpulkan dari individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Pengumpulan data

dilakukan dengan wawancara mendalam kepada informan.

e. Para informan diberi dua pertanyaan umum yaitu: Apakah yang telah anda alami terkait dengan

fenomena tersebut? dan Konteks atau situasi apakah yang biasanya mempengaruhi pengalaman

anda dengan fenomena tersebut?

f. Analisis data fenomenologis secara umum sama untuk semua fenomenolog. Analisis data

dilakukan dengan memeriksa data tersebut (misalnya transkrip wawancara) dan menyoroti

beberapa “pernyataan penting”, kalimat yang menyediakan pemahaman bagaimana informan

mengalami fenomena. Berikutnya peneliti mengembangkan berbagai kelompok makna dari

pernyataan penting ini menjadi berbagai tema.

g. Pernyataan penting digunakan untuk menulis deskripsi tentang apa yang dialami oleh partisipan

(deskripsi tekstural). Pernyataaan tersebut juga digunakan untuk menulis deskripsi tentang

konteks/latar belakang yang memengaruhi bagaimana partisipan mengalami fenomena tersebut

(deskripsi struktural).

Page 15: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 15

h. Dari deskripsi tekstural dan struktural tersebut, peneliti kemudian menulis deskripsi gabungan

yang mempresentasikan esensi dari fenomena yang disebut struktur invarian esensial. Bagian ini

berfokus pada pengalaman yang sama dari informan.

2.6. Fenomenologi dan Akuntansi

American Accounting Association mendefinisikan akuntansi sebagai proses

pengidentifikasian, mengukur dan melaporkan informasi ekonomi, untuk memungkinkan adanya

penilaian dan keputusan yang jelas dan tegas bagi mereka yang menggunakan informasi tersebut. Dari

definisi tersebut dapat dilihat bahwa akuntansi merupakan aktivitas rutin yang berkaitan dengan

informasi ekonomi/keuangan yang identik dengan angka. Pada awalnya banyak pihak yang meyakini

bahwa penelitian akuntansi, khususnya akuntansi keuangan hanya dapat dilakukan dengan paradigma

mainstream karena paradigma itulah yang dapat mengakomodasi angka-angka keuangan. Dengan

mengggunakan paradigma mainstream, teori yang ada akan diuji menggunakan data-data empiris yang

obyektif. Peneliti akan merumuskan hipotesis, mengolahnya secara statitistik dan kemudian membuat

kesimpulan berdasarkan hasil pengolahan statistik tersebut. Peneliti paradigma positif menjaga jarak

dengan obyek yang diteliti, sehingga analisis yang dibuat dengan menggunakan pendekatan ini tidak

dapat menggali makna yang ada dibalik angka-angka keuangan tersebut. Kejenuhan akan paradigma

ini mendorong munculnya paradigma lain, yaitu paradigma non positif.

Chariri (2009) mengemukakan beberapa alasan yang mendorong mengapa ilmu ekonomi,

manajemen dan akuntansi membutuhkan penelitian dengan pendekatan non positif (kualitatif). Alasan

pertama adalah bidang kajian ekonomi dan bisnis bukan merupakan bidang kajian dan disiplin ilmu

yang “value free”. Dengan demikian aktivitas bisnis nilai-nilai dan akuntansi sangat dipengaruhi oleh

nilai-nilai, budaya, ideologi, norma dan perilaku tertentu yang terjadi di suatu lingkungan bisnis. Hal

ini disebabkan bisnis dan akuntansi merupakan realitas yang terbentuk secara sosial melalui interaksi

individu dan lingkungannya (socially constructed reality); merupakan kegiatan yang diciptakan oleh

manusia (human creation); merupakan wacana simbolik yang dibentuk oleh individunya (symbolic

discourse) dan merupakan hasil dari kreatifitas manusia (human creativity). Alasan kedua adalah tidak

semua perilaku, nilai dan interaksi antara aktor sosial dapat dihitung dengan angka. Pandangan

seseorang atas suatu hal sangat dipengaruhi oleh budaya, nilai dan pengalaman yang dimiliki oleh orang

Page 16: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 16

tersebut. Sebagai contoh, jika orang ditanya berapa hasil dari 4x6, maka orang tersebut akan menjawab

24. Tetapi, jika pertanyaan tersebut diajukan kepada orang yang berprofesi sebagai tukang cetak foto,

maka dia akan menjawab 4x6 adalah Rp 1500 atau Rp 2000 atau angka yang lain terkait dengan harga

cetak foto tersebut. Jawaban atas pertanyaan yang sama bisa jadi berbeda karena seseorang menanggapi

sesuatu berdasarkan pengalaman, budaya dan nilai-nilai yang mereka yakini. Dimana pengalaman dan

nilai –nilai yang diyakini antara satu orang dengan orang lain pasti berbeda-beda dan sangat subyektif.

Hal ini berimplikasi bahwa penggunaan angka tertentu untuk mewakili perilaku, nilai maupun

fenomena sosial yang lain dapat menghasilkan sesuatu yang menyesatkan dan tidak merepresentasikan

kondisi riil yang sebenarnya. Dengan demikian, pemahaman terhadap bisnis dan akuntansi sebagai

realitas yang terbentuk secara sosial hanya dapat dilakukan dalam setting lingkungan tertentu.

Pemahaman atas makna dibalik fenomena-fenomena akuntansi dapat digali dengan menggunakan

paradigma interpretif.

Ludigdo (2007) menjelaskan bahwa paradigma interpretif merupakan paradigma yang penting

dalam akuntansi dalam upaya untuk memahami suatu konteks praktik profesional yang bersifat

kompleks, sehingga bagaimana first-hand knowledge didapatkan secara efektif dari subyek yang

diinvestigasi menjadi sangat penting. Untuk itu penelitian ini perlu memperhatikan karakteristik ilmu

kemanusiaan. Karena sifatnya yang demikian maka metode yang sangat mendasar dalam ilmu

kemanusiaan adalah metode pemahaman (verstehen). Dengan demikian maka paradigma interpretif

lebih tepat digunakan.

Dalam praktiknya, akuntansi dipengaruhi oleh perilaku manusia, lingkungan, budaya dan nilai

yang dianutnya. Penelitian akuntansi yang membahas sebatas aspek teknis dan rutin mengakibatkan

pengetahuan mengenai kontribusi sosial dan organisasional akuntansi menjadi sulit untuk diterapkan

pada lingkungan yang sebenarnya (Wirajaya dan Gde, 2012). Penelitian akuntansi tidak hanya

memerlukan jawaban-jawaban teknis. Setiap organisasi, kelompok masyarakat memiliki sifat masing-

masing. Perbedaan budaya, nilai, agama, dan kebiasaan dapat merubah pemahaman, pemaknaan dan

praktik akuntansi yang dilakukan oleh seseorang. Dengan mendalami pemaknaan seseorang atas

akuntansi dan melihat permasalahan akuntansi dalam lingkungan yang sebenarnya memungkinkan

adanya solusi yang tepat atas permasalahan akuntansi yang ada.

Page 17: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 17

Untuk dapat memahami makna realitas sosial (termasuk akuntansi) dari pengalaman seseorang

dalam lingkungan tertentu dapat dilakukan dengan paradigma interpretif, yaitu pendekatan

fenomenologi. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, pemahaman, pemaknaan dan

kesadaran seseorang atas pengalamannya terkait dengan akuntansi dapat digali pada secara mendalam.

Pendekatan fenomenologi memungkinkan penelitian akuntansi, khususnya akuntansi keuangan tidak

terbatas pada angka-angka, akun dan proses pelaporan keuangan organisasi bisnis untuk pemilik modal

saja. Tetapi pendekatan fenomenologi juga dapat melihat aspek akuntabilitas, proses pelaporan dan

makna akuntansi keuangan bagi organisasi sektor publik, organisasi kemasyarakatan bahkan individu.

Pendekatan fenomenologi juga memungkinkan penelitian akuntansi dilakukan pada lingkungan

sebenarnya dengan mengakomodasi aspek budaya, adat istiadat, nilai yang diadopsi seseorang yang

berpengalaman langsung atas proses akuntansi tersebut.

2.7. Penelitian Akuntansi Keuangan dengan Pendekatan Fenomenologi dalam Konteks Budaya dan

Kearifan Lokal

Secara geografis, Indonesia terdiri dari berbagai pulau dan kepulauan yang disatukan oleh

lautan dan samudera. Kondisi geografis tersebut merupakan salah satu faktor penyebab beragamnya

budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Budaya adalah cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama

oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak

unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,

bangunan, dan karya seni. Sedangkan kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat

yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya diwariskan

secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut (Mulyana dan

Rakhmat, 2006).

Penelitian dengan pendekatan fenomenologi memungkinkan menggali makna terkait dengan

akuntansi keuangan dari pengalaman individu, yang dapat mengakomodasi aspek budaya dan kearifan

lokal yang diyakini individu tersebut. Untuk memberikan pemahaman, berikut ini akan dibahas

beberapa contoh penelitian tersebut yang dimuat dalam jurnal nasional maupun jurnal internasional.

Darmada, Atmadja dan Sinarwati (2016) meneliti mengenai kearifan lokal pade gelahang dalam

mewujudkan integrasi akuntabilitas pengelolaan keuangan organisasi subak. Kearifan lokal pade

Page 18: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 18

gelahang dan organisasi subak merupakan kebudayaan yang berasal dari Bali. Subak merupakan

organisasi tradisional yang bergerak dalam sistem pengelolaan air untuk pertanian, sedangkan pade

gelahang merupakan suatu nilai yang berlandaskan pada Tri Hita Karana, yang berarti memiliki secara

bersama-sama. Penelitian tersebut dilakukan dengan paradigma interpretif-fenomenologi. Peneliti

menggunakan informan kunci yang terdiri dari kepala desa, kelihan (kepala) subak, tokoh adat/agama

serta krama (anggota ) subak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 1) proses pengelolaan keuangan

melibatkan prajuru (bendahara) subak; 2) proses pengelolaan keuangan terbagi internal dan eksternal,

sumber pendanaan internal berasal dari peturunan (iuran) krama subak, sedangkan pendanaan eksternal

berasal dari bantuan Pemda Bali; 3) proses pertanggungjawaban keuangan kepada seluruh anggota

dilakukan secara sederhana, yaitu dilakukan ketika sangkep (rapat) dan 4) praktik akuntabilitas tidak

lepas dari kearifan lokal Pade Gelahang, yaitu pade gelahang telah menumbuhkan rasa saling percaya

diantara sesama krama. Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa budaya dan kearifan lokal

dapat mempengaruhi praktik akuntansi keuangan, dalam hal ini adalah pengelolaan dan pelaporan

keuangan kepada anggota subak.

Penelitian lain dilakukan oleh Tumirin dan Abdurahim (2015) mengenai makna biaya dalam

upacara Rambu Solo. Dalam akuntansi keuangan dikenal konsep matching principle, dimana konsep

tersebut mengharuskan penandingan antara biaya dan pendapatan dalam periode yang sama. Upacara

rambu solo merupakan upacara kematian masyarakat Tana Toraja, yang membutuhkan dana yang

sangat besar. Ada hal yang lebih besar dan bernilai diperoleh dari perayaan tersebut jika dibandingkan

dengan pengeluaran biaya yang dilakukan. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi

transendental dan memperoleh data dari dua orang informan yang berpengalaman langsung melakukan

upacara tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan konsep matching,

terungkap bahwa pengorbanan biaya dalam upacara rambu solo tidak memiliki keterkaitan dengan

upaya untuk memperoleh pendapatan. Masyarakat Toraja memiliki pandangan tersendiri dalam

memaknai pengorbanan biaya upacara rambu solo, yaitu (1) untuk mengumpulkan keluarga, karena

biaya ditanggung bersama-sama oleh keluarga sehingga meningkatkan ikatan keluarga; (2) untuk

menunjukkan strata sosial dalam masyarakat, semakin tinggi strata masyarakat akan membutuhkan

upacara yang semakin mewah, (3) untuk membayar utang, sumbangan yang diterima dari orang lain

Page 19: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 19

akan dicatat dan dikembalikan ketika orang lain tersebut melakukan upacara rambu solo. Dari hasil

penelitian tersebut dapat dilihat bahwa nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Toraja

mempengaruhi pemaknaan mereka atas konsep biaya.

Roekhudin, Triyuwono, Suharsono dan Rosidi (2015) meneliti tentang penolakan pengukuran

nilai wajar (Fair Value Measurement) dan rekonstruksinya dengan menggunakan konsep kearifan lokal

ruwatan sukerto. Penelitian tersebut bertujuan untuk mellihat respon akuntan internal terhadap konsep

pengukuran menggunakan nilai wajar, mengungkap makna fenomena nilai wajar tersebut dan

melakukan rekonstruksi pengukuran nilai wajar dalam laporan keuangan dengan menggunakan ruwatan

sukerto sebagai metode untuk merekonstruksi. Dalam budaya Jawa, ruwatan sukerto merupakan upaya

yang dilakukan untuk membebaskan seseorang dari penderitaan. Untuk melakukan ruwatan,

masyarakat Jawa melakukan pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwa Kala. Ruwatan sukerto

merupakan ritual pemurnian atau pembebasan dari kejahatan tanpa harus menghilangkan sifat jahat itu

sendiri, tetapi sifat jahat tersebut dilemahkan. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan

fenomenologi transendental dan data diperoleh dari 6 orang informan yang merupakan akuntan internal.

Peneliti merekonstruksi laporan keuangan menggunakan nilai wajar, yang terdiri dari 4 okolom

informasi akun, yaitu (1) nama akun, (2) laporan keuangan historis, (3) perbedaan antara historical dan

nilai wajar, (4) laporan keuangan berdasarkan nilai wajar. Dengan menyajikan laporan keungan 4 kolom

tersebut, sama seperti melakukan ruwatan untuk mengurangi gangguan dalam penyajian laporan

keuangan. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep laporan keuangan dapat dikontruksi dengan

menggunakan kearifan lokal.

2.8. Peluang Riset Akuntansi dengan Pendekatan Interpretif-Fenomenologi dengan Konteks Budaya

dan Kearifan Lokal Indonesia

Selain penelitian yang dibahas di atas, masih banyak penelitian yang menggunakan paradigma

interpretif dengan konteks budaya dan kearifan lokal yang dipublikasikan di jurnal nasional

terakreditasi maupun di jurnal internasional bereputasi. Sehingga dapat dikatakan penelitian

menggunakan konsep tersebut masih memiliki banyak peluang.

Page 20: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 20

Adapun peluang yang dapat diindentifikasi oleh penulis antara lain:

1. Semakin terbukanya peluang untuk melakukan publikasi di jurnal ilmiah terakreditasi nasional

dan internasional. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya pengakuan dari dunia

akademis terhadap penggunaan paradigma non positif dalam bidang akuntansi. Sebagai contoh,

dalam lingkup nasional, khususnya Simposium Nasional Akuntansi (SNA) jumlah penelitian

kualitatif yang diterima dibandingkan total artikel yang diterima semakin meningkat dari tahun

ke tahun, yaitu sebesar 5,6 % pada tahun 2013; 5,7% pada tahun 2014 dan meningkat pesat

menjadi 12% pada tahun 2015. Selain itu jurnal nasional terakreditasi yang sangat kental

dengan nuansa positif juga mulai mempertimbangkan artikel dengan paradigma non positif.

Misalnya Jurnal Keuangan dan Perbankan Universitas Merdeka Malang mulai memuat artikel

non positif sebanyak 3 artikel pada tahun 2013 dan 1 artikel pada tahun 2014 dan 2015

(Darmayasa dan Aneswari, 2015). Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia juga mulai memuat artikel non positif, hal ini dibuktikan

dimuatnya artikel Efferin dan Rudiawarni (2014) mengenai perilaku stakeholders Indonesia

dalam adopsi IFRS menggunakan pendekatan interpretif. Dalam lingkup internasional juga

semakin banyak jurnal bereputasi yang mengakomodasi penelitian akutansi dengan paradigma

non positif, diantaranya Jurnal Critical Perspective on Accounting, Accounting Auditing and

Accountability Journal, Accounting Organizations and Society Journal serta Social and

Behavioral Sciences Journal.

2. Penelitian menggunakan paradigma interpretif dengan pendekatan fenomenologi yang berhasil

ditemukan oleh penulis semuanya menggunakan pendekatan fenomenologi transendental

Husserl. Hal ini membuka peluang bagi penggunaan ragam fenomenologi yang lain sepanjang

ragam fenomenologi tersebut sesuai dengan persoalan penelitian yang dibahas. Adapun ragam

fenomenologi lain yang dapat diterapkan bagi penelitian akuntansi antara lain:

a) Fenomenologi Schutz, yang menekankan pada hubungan pengetahuan ilmiah dengan

pengalaman sehari-hari dan dari kegiatan dimana pengalaman dan pengetahuan berakar.

(b) Fenomenologi Berger yang menekankan pada interaksi antar individu. Berger

memperkenalkan dua varian fenomenologi, yaitu fenomenologi hermeneutic (berfokus

Page 21: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 21

pada aspek kolektif dari budaya yang concern dengan bahasa) dan fenomenologi

eksistensial (berorientasi pada level individu dari budaya yang meliputi internalisasi

kesadaran subjektif dari individu) (Basrowi dan Sukidin,2002)

(c) Pos fenomenologi / fenomenologi instrumentasi Ihde-Heidegger, yang melibatkan

menubuhnya (embodied) teknologi dalam budaya. Persepsi yang selama ini dipandang

sebagaimana adanya dan dapat dipisahkan secara mental oleh fenomenologi Husserl,

bagi Ihde merupakan ketertanaman teknologi dalam budaya. Manusia saat ini telah

“menubuh”/embodied dengan alat-alat teknologi, yaitu instrumen. Embodied disini

memiliki arti bahwa alat teknologi merupakan sebagian dari cara persepsi manusia, dan

melalui alat tersebut, manusia menjelani kegiatannya dalam dunia kehidupan.

(d) Hyper fenomenologi, yaitu fenomenologi yang melampaui fenomenologi itu sendiri

yang tidak hanya terpaku pada paradigma interpretif. Pemaknaan values pada hyper

fenomenologi lebih dari memaknai bentuk subyektifitas materi dan mental, budaya

bahkan historis (Mulawarman, 2006).

3. Peluang berikutnya bagi penelitian akuntansi keuangan dalam konteks budaya dan kearifan

lokal adalah kekayaan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki Indonesia. Indonesia terdiri dari

berbagai pulau dan kepulauan yang dihuni oleh berbagai suku bangsa. Suku bangsa yang ada

di Indonesia memiliki budaya dan kearifan lokal masing-masing. Sensus yang dilakukan oleh

BPS pada tahun 2010 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 1.331 suku bangsa yang

memiliki budaya dan kearifan lokal sendiri-sendiri (www.bps.go.id). Hal ini memungkinkan

peneliti untuk mengeksplorasi topik-topik akuntansi keuangan dengan menggunakan konteks

budaya dan kearifan lokal yang sangat beragam. Satu suku bangsa tersebut dapat tersebar di

berbagai wilayah yang dapat membentuk sub-sub suku, dimana setiap sub suku dapat memiliki

lebih dari satu budaya dan kearifan lokal. Dengan demikian dapat dibayangkan betapa kaya

budaya dan kearifan lokal Indonesia yang dapat dieksplor dan diperkenalkan kepada dunia

internasional. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, dapat dipastikan bahwa individu,

masyarakat maupun organisasi mempraktikkan akuntansi keuangan, walaupun mungkin dalam

bentuk yang sederhana dan non formal.

Page 22: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 22

3. Penutup

Penelitian akuntansi keuangan saat ini telah berkembang menjadi penelitian akuntansi yang

multi paradigma. Penelitian dilakukan bukan hanya menggunakan paradigma positif, tetapi juga

menggunakan paradigma interpretif, kritis dan posmodern. Paradigma interpretif menekankan pada

peranan bahasa, penafsiran dan pemahaman dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memusatkan perhatian

pada sifat subyektif dari dunia sosial dan berupaya memahaminya dari kerangka berpikir objek yang

sedang dipelajarinya (Triyuwono, 2009).

Salah satu pendekatan dalam paradigma interpretif adalah fenomenologi Husserl. Champbell

(1994) menyebutkan bahwa metode Husserl ditujukan untuk menganalisis kehidupan batiniah individu,

yakni pengalamannya mengenai fenomena sebagaimana terjadi dalam “arus kesadaran”. Untuk

menggali makna yang murni dari pengalaman, akan dilakukan reduksi yang meliputi reduksi

fenomenologis, reduksi eidetic dan reduksi transendental (Dimyati, 2000 dalam Basrowi dan Sukidin,

2002).

Dalam praktiknya, akuntansi dipengaruhi oleh perilaku manusia, lingkungan, budaya dan nilai

yang dianut oleh pihak yang mempraktikkan akuntansi. Dengan menggunakan pendekatan

fenomenologi, pemahaman, pemaknaan dan kesadaran seseorang atas pengalamannya terkait dengan

akuntansi dapat digali pada secara mendalam. Pendekatan fenomenologi memungkinkan penelitian

akuntansi, khususnya akuntansi keuangan tidak terbatas pada angka-angka, akun dan proses pelaporan

keuangan organisasi bisnis untuk pemilik modal saja. Tetapi pendekatan fenomenologi juga dapat

melihat aspek akuntabilitas, proses pelaporan dan makna akuntansi keuangan bagi organisasi sektor

publik, organisasi kemasyarakatan bahkan individu. Pendekatan fenomenologi juga memungkinkan

penelitian akuntansi dilakukan pada lingkungan sebenarnya dengan mengakomodasi aspek budaya di

Indonesia, adat istiadat, nilai yang diadopsi seseorang yang berpengalaman langsung atas proses

akuntansi keuangan tersebut.

Peluang yang tersedia bagi penelitian akuntansi keuangan dengan menggunakan paradigma

interpretif dan dalam konteks budaya dan kearifan lokal Indonesia antara lain (1) Semakin terbukanya

peluang untuk melakukan publikasi di jurnal ilmiah terakreditasi nasional dan internasional. Hal ini

Page 23: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 23

dibuktikan dengan semakin banyaknya pengakuan dari dunia akademis terhadap penggunaan

paradigma non positif dalam bidang akuntansi. (2) Banyaknya ragam fenomenologi yang dapat digali

sebagai metode penelitian akuntansi keuangan, yang meliputi fenomenologi Schutz, fenomenologi

Berger (fenomenologi hermeneutic dan fenomenologi eksistensial), (c) pos fenomenologi /

fenomenologi instrumentasi Ihde-Heidegger, dan (d) hyper fenomenologi (Mulawarman, 2006). (3)

Banyaknya ragam budaya dan kearifan lokal di Indonesia yang dapat digali sebagai konteks penelitian

akuntansi keuangan, sekaligus memperkenalkan budaya Indonesia pada dunia internasional. Karena

dapat dipastikan bahwa individu, masyarakat maupun organisasi mempraktikkan akuntansi keuangan,

dalam kehidupan sehari-hari, walaupun mungkin dalam bentuk yang sederhana dan non formal.

Referensi

Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Insan Cendekia Surabaya.

Burrell, G dan G. Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Elements of The Sociology

of Corporate Life. Heinemann Educational Books. London.

Chariri, Anis. 2009. Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif. Materi Workshop Metodologi

Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Creswell. J.W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design. Second Edition. Sage Publication, USA.

Creswell. J.W. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih diantara Lima Pendekatan. Yogyakarta:

Pustaka Belajar.

Collin, Finn. 1997. Social Reality, USA and Canada: Roudledge Simultaneously Published.

Chua, W.F. 1986. Radical Development in Accounting Thought. The Accounting Review 61 (4): 601–632.

Darmada, Dewa Kadek., Anantawikrama Atmadja dan Ni Kadek Sinarwati. 2016. Kearifan Lokal Pade Gelahang

dalam Mewujudkan Integrasi Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Organisasi Subak. Jurnal Akuntansi

Multiparadigma 7 (1): 51-60.

Darmayasa, I Nyoman dan Yuyung Aneswari. 2015. “Paradigma Interpretif pada Penelitian Akuntansi Indonesia.”

Jurnal Akuntansi Multiparadigma 6 (3): 350-361.

Denzin, NK dan Lincoln. 1994. Introduction :Entering the Field of Qualitative Research. Thousand Oaks : Sage

Publications.

Garfinkel, H. 1996. Ethnomethodology’s Program. Social Psychology Quarterly 59 (1): 5–21.

Irianto, Gugus. Nurlita Novianti dan Putu Prima Wulandari. 2014. Kamuflase Dalam Praktik Rotasi Auditor.

Jurnal Akuntansi Multi Paradigma 5 (3): 393-408.

Page 24: Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai

Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 24

Hasbiansyah.2008. Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi.

Jurnal Mediator 9 (1): 163-180.

Jailani, M.S. 2012. Interaksi Simbolik, Konstruktivisme, Teori Kritis, Postmodernisme Dan Post-Strukturalisme

(Telaah Basis Teoritis Paradigma Penelitian Kualiatatif ). Edu-Bio 3:1–13.

Kamayanti, Ari. 2016. Metode Penelitian Kualitatif Akuntansi. Yayasan Rumah Peneleh: Malang.

Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi :Metode Penelitian Komunikasi. Widya Padjajaran: Bandung.

Ludigdo, Unti. 2007. Paradoks Etika Akuntan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Lukka, Karl. 2010. The Roles and Effects of Paradigms in Accounting Research.Management and Accounting

Research Vol 21 Issue 2.

Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Research Method. Sage publication.

Mulawarwan, A.D. 2006. From Phenomenology toward Post and Hyper Phenomenology. Materi Accounting

Research Training Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya.

Mulawarman, A.D. 2010. Integrasi Paradigma Akuntansi: Refleksi Atas Pendekatan Sosiologi Dalam Ilmu

Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 1(1): 155-171.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan

Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Neuman, W.L. 2003. Social Research Methods; Qualitative and Quantitative Approach. A Pearson Eduacation

Company, USA.

Patty, Agustina Christina dan Gugus Irianto. 2013. Akuntabilitas Perpuluhan Gereja. Jurnal Akuntansi

Multiparadigma 4 (2): 177-187.

Roekhudin., Iwan Triyuwono., Eko Ganis Sukoharsono dan Rosidi. 2015. Fair Value Measurement Rejection and

Reconstruction: a Phenomenological Study of Internal Accountant Response towards FV Accounting

and Reporting. Procedia-Social and Behavioral Sciences 211: 880-889.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Triyuwono, Iwan . 2013. Makrifat Metode Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif Untuk Pengembangan Disiplin

Akuntansi. Proceding Simposium Nasional Akuntansi ke-16 Manado.

Tumirin dan Ahim Abdurahim. 2015. Makna Biaya dalam Upacara Rambu Solo. Jurnal Akuntansi

Multiparadigma 6 (2): 175-340.

Weygandt, Jerry. Paul D. Kimmel and Donald Kieso. 2015. Financial Accounting: IFRS 3 rd Edition .Wiley.Com.