myastenia gravis complete

Upload: michelle-hutahuruk

Post on 05-Oct-2015

29 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Myastenia medical research

TRANSCRIPT

9

BAB 1

PENDAHULUAN

Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction, bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.1 Myastenia gravis mempunyai prevalensi 85-125 per satu juta jiwa dan insiden per tahun 2-4 per satu juta jiwa.2 Puncak insiden penyakit ini dijumpai pada usia 20 hingga 40 tahun yang didominasi oleh wanita; dan pada usia 60 hingga 80 tahun sama antara wanita dan pria.3 Myastenia gravis merupakan penyakit yang jarang, namun prevelansinya meningkat baru-baru ini dengan estimasi terbaru mencapai 20 per 100000 orang di Amerika.2,3,4 Angka kejadian myastenia gravis dipengaruhi oleh jenis kelamin dan umur. Angka kejadian myastenia gravis pada wanita 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada pria pada usia dewasa muda.3,7,8 Insiden pada pubertas hampir sama dengan populasi di atas 40 tahun.3,6,7,9 Myastenia gravis pada anak-anak di Eropa dan Amerika Utara cukup jarang, kira-kira 10-15% dari keseluruhan kasus,7,8,10 namun lebih sering di negara-negara Asia, dimana 50% pasien mempunyai awitan di bawah umur 15 tahun, kebanyakan dengan manifestasi okular.7,8,10

Berdasarkan laporan RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) 2010, insiden myastenia gravis di Indonesia diperkirakan 1 kasus dari 100.000.11 Data yang didapatkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta terdapat 94 kasus dengan diagnosis myastenia gravis pada periode tahun 2010-2011.12Gejala klinis khas pada myastenia gravis adalah kelemahan yang sering terkait dengan otot yang rentan dan spesifik.1,2,4,7 Pasien sering mengeluhkan kelemahan otot yang berfluktuasi dari hari ke hari atau dari jam ke jam, memburuk dengan aktivitas, dan membaik dengan istirahat.1,2,7 Pasien dapat mempunyai gejala seperti ptosis, diplopia, disartria, disfagia, dispnea, kelemahan otot wajah, atau tungkai atau kelemahan aksial yang berbeda tingkat keparahannya bergantung terhadap kuantitas neuromuskular yang terlibat.14

Kelemahan otot okular menyebabkan ptosis dan merupakan gejala paling sering dan paling awal terjadi pada pasien myastenia gravis. Kelemahan otot okular ini berfluktuasi dan penyakit biasanya berkembang menjadi kelemahan seluruh tubuh dalam waktu 2 tahun setelah awitan penyakit.15 Penyebabnya diduga karena serangan autoimun terhadap reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Antibodi terhadap reseptor asetilkolin atau reseptor decamethonium complex (anti-AchR) ditemukan dalam serum dari tigaperempat penderita miastenia gravis.16,17 Abnormalitas timus juga ditemukan pada sebagian besar penderita myastenia gravis, sekitar 75% dengan hiperplasia folikel kelenjar, dan 10-15% dengan tumor thymic jenis lymphoblastic atau epithelial.18 Tindakan thymectomy menyebabkan remisi dan perbaikan pada masing-masing 35% dan 50% penderita sehingga diduga myastenia gravis berhubungan dengan serangan autoimun terhadap antigen pada timus dan motor end plate atau abnormal clone dari sel-sel imun di thymus.18Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan prosedur konfirmasi diagnostik, dengan pemberian antikolinesterase kerja pendek (endrofonium) 210 mg intravena maka kekuatan otot dapat dipulihkan. Tes lain adalah dengan elektromiografi serabut tunggal dan pemeriksaan rangsangan saraf berulang.18BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi

Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.12.2 EpidemiologiPrevelansi Myastenia gravis adalah 14 per 100000 populasi (kira-kira 17,000 kasus) di Amerika.3,4 Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini terjadi 3 kali lipat lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, namun pada usia yang lebih tua persentasenya sama.7,8

2.3 Manifestasi KlinisMyasthenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka gejala-gejala yang timbul juga dapat dilihat dari terjadinya kelemahan pada beberapa otot.9 Gejala gejala yang timbul bervariasi pada tipe dan berat kasus, termasuk didalamnya adalah lemahnya salah satu atau kedua kelopak mata (ptosis), kabur atau penglihatan ganda (diplopia) oleh karena kelemahan dari otot yang mengontrol pergerakan mata, ketidakseimbangan atau gaya berjalan yang terhuyung-huyung, perubahan pada ekspresi wajah, kesulitan dalam menelan yang dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (dysarthria), dan pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung, nafas pendek, dan kelemahan pada lengan, tangan, jari, tungkai bawah dan leher.9,10 Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.1 awitan dari kelainan ini dapat terjadi secara mendadak dan gejala sering tidak langsung dikenali sebagai myasthenia gravis.10Pada kebanyakan kasus, gejala pertama yang dikenali adalah kelemahan pada otot mata. Selain itu, kesulitan dalam menelan dapat menjadi tanda pertama. Derajat kelemahan otot dalam myasthenia gravis bervariasi tergantung pada individu masing-masing, bentuk lokal yang terbatas pada otot mata (ocular myasthenia), untuk bentuk yang berat atau umum yang melibatkan banyak otot, terkadang melibatkan otot-otot yang mengatur pernafasan.10 Dari sekian banyak pasien Myasthenia Gravis, 14% hanya dengan gejala-gejala mata saja yang mengarah pada ocular myasthenia gravis. Kehebatan maksimum dari Myasthenia Gravis dicapai dalam waktu 1 tahun pada 55 % dari kasus, dan dalam 5 tahun pada 85 % dari kasus. Aspek yang paling berbahaya dari Myasthenia Gravis disebut Myasthenia Crisis, yang memungkinkan diperlukannya ventilator pada beberapa kasus.9Kelemahan otot pada Myasthenia Gravis meningkat pada saat aktivitas yang terus menerus dan membaik setelah periode istirahat. Pasien akan mengalami penurunan tenaga sepanjang hari, dengan kecenderungan kelelahan dalam satu hari, atau menjelang berakhirnya aktivitas. Jika dibiarkan, keluhan umum yang dialami oleh pasien biasanya berkembang menjadi kesulitan pengunyahan selama makan. Gejala dari berbagai kelemahan tersebut cenderung menjadi lebih buruk dengan adanya berbagai macam stress, kepanasan, infeksi serta pada penderita dengan akhir masa kehamilan.9

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi myasthenia gravis menjadi 5 kelas utama dan beberapa subclass, sebagai berikut :

Kelas I : adanya keluhan otot-otot ocular, kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal

Kelas II : terdapat kelemahan otot ocular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot ocular.

Kelas II a : mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

Kelas II b : mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan kelas II a

Kelas III : terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot ocular, sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang

Kelas III a : mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan

Kelas III b : mempengaruhi otot faringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapatnya kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan

Kelas IV : otot-otot selain otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

Kelas IV a : secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan

Kelas IV b : mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V : penderita ter-intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik

Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana myasthenia gravis dibagi menjadi

1. Ocular myasthenia : terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian

2. Generalized myasthenia

a) Mild generalized myasthenia

Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.

b) Moderate generalized myasthenia

Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar, respon terhadap obat tidak memuaskan

3. Severe generalized myasthenia

Acute fulmating myasthenia : permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernapasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortalitas tinggi.

Late severe myasthenia : timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, presentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek.9,102.5 Diagnosis

Ada banyak jenis penyakit yang memiliki gejala yang mirip dengan Myastenia gravis sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap merupakan langkah awal yang penting dalam mendiagnosis Myastenia gravis. anamnesis meliputi riwayat keluarga, riwayat penyakit terdahulu, dan riwayat pengobatan. Belum ada satu tes tunggal yang dapat diandalkan sepenuhnya dalam mendiagnosis MG, namun kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes fungsi saraf, dan pemeriksaan darah sering kali dapat menegakan diagnosis yang valid.12

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang detil serta digabungkan dengan investigasi mendalam sering kali diperlukan untuk menyediakan petunjuk diagnostik. Peninjauan yang sistematik terhadap kemampuan tes untuk mendiagnosis MG menyimpulkan bahwa hanya tes antibodi AChR dan single-fibre electromyography (SFEMG) sudah tervalidasi.14 2.5.1 Tes Antibodi

Semua pasien yang dicurigai menderita MG harus dilakukan tes antibodi anti-AChR. Sensitivitas dari tes ini mencapai 70 95% untuk MG generalisata dan 50 75% untuk MG ocular. Konsentrasi antibodi anti-AChR tidak dapat memprediksi keparahan pada individu penderita MG. Apabila antibodi anti-AChR negatif, antibodi anti-MuSK harus dikerjakan. Pada pasien yang seronegatif, terdapat angka serokonversi sebesar 15% setelah 1 tahun. Supresi terhadap sistem imun dapat mengarahkan pada hilangnya antibodi yang diperlukan untuk menegakan diagnosis MG. Deteksi terhadap antibodi anti-striational dapat memberikan indikasi fenotip dan prognosis dari penyakit ini.152.5.2 Neurofisiologi

Repetitive nerve stimulation (RNS) dan SFEMG merupakan tes neurofisiologi yang paling sering digunakan. Hasil dari tes ini dapat disalahartikan pada pasien yang mengonsumsi inhibitor asetilkolin dosis tinggi secara kronis. Apabila terdapat keraguan, maka apabila memungkinkan hentikan pemakaian obat tersebut selama setidaknya 1 minggu sebelum dilakukan tes tersebut. 15Stimulasi RNS pada frekuensi 3 10 Hz menghasilkan penurunan amplitudo dari potensi susunan otot aksi. Sekitar 80% dari tes mengahsilkan nilai positif pada 80% kasus MG generalisata, namun dapat negatif pada 50% kasus MG ocular, sehingga secara keseluruhan, sensitivitas dari tes ini mencapai 75%. Spesivisitas dari RNS bervariasi dan tergantung secara parsial terhadap saraf mana yang dites. SFEMG merupakan tes diagnostik yang paling sensitif pada MG dan sebaiknya dilakukan apabila RNS normal dan dicurigai terdapat penyait pada neuro muscular junction. Sensitivitas dari SFEMG sebesar 99% pada MG generalisata dan sekitar 80% pada Myastenia gravis ocular. Spesivisitas SFEMG bervariasi dan tes yang abnormal dapat ditemukan pada kondisi lain seperti sitopati mitokondrial, penyakit motor neuron, atau radikolopati.152.5.3 Tes Endrofonium

Tes endrofonium atau tensilon merupakan tes yang memasukan endrofonium klorida yang merupakan asetilkolinesterase kerja singkat (short-acting) yang bertujuan untuk menunjukan reversibelitas kelemahan otot dan hanya dapat dilakukan apabila terdapat kelemahan yang jelas yang dapat diukur secara objektif. Sensitivitas tes ini sebesar 88% untuk MG generalisata dan 92% untuk MG ocular, dengan spesifisitas sebesar 96% untuk kedua jenis MG. Tes ini sebaiknya dihindari untuk dilakukan pada orang tua.152.5.4 Tes Es Kotak

Metode singkat untuk membedakan ptosis akibat MG dengan penyebab lainnya yaitu tes es kotak. Balok es diletakan di atas kelopak mata yang jatuh selama 2 menit, dan apabila ada perbaikan terhadap ptosis hal tersebut menunjukan kelainan pada transmisi neuromuskuler. Hasil yang didapatkan pada 6 studi menunjukan sensitivitas sebesar 89% dan spesifisitas 100%.152.5.5 Pencitraan (Imaging)

Semua penderita MG harus dilakukan CT-Scan dan MRI thoraks untuk screening thymoma atau hyperplasia timus. Pencitraan mediastinum sebaiknya diulang pada MG berulang setelah periode penyakit stabil untuk mengeksklusi thymoma, yang dapat terjadi pada episode penyakit berikutnya.152.6 Diagnosis Banding

Berikut merupakan beberapa diagnosis banding MG:18PenyakitTampilan Klinis Pembeda

BotulismeKeterlibatan fungsi otonomik dan pupil

Congenital myasthenic syndromesOnset pada bayi dan anak-anak, seronegatif, tidak merespon terhadap imunoterapi

Cranial nerves palsiTampilan klinis pada area yang dipersarafi

Guillain-Barre syndromePola asenden pada kelemahan ototketerlibatan fungsi otonom, arefleksia, tanda dan gejala sensoris

Inflamatory myopathiesTanpa kelemahan otot ocular kecuali miositosis orbital, gejala konstitusional umum; demam, anoreksia, penurunan berat badan

2.5 Penatalaksanaan

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, myastenia gravis termasuk mudah untuk diobati dibandingkan kelainan neurologis lainnya. Anti-kolinesterase dan imunomodulator merupakan penatalaksanaan utama pada myastenia gravis. Penatalaksanaan dapat digolongkan menjadi terapi jangka pendek yang dapat memulihkan kelemahan secara cepat dan terapi jangka panjang yang dapat mencegah terjadinya kekambuhan.19,202.5.1 Terapi Jangka Pendek

a. Plasma Exchange (PE)19Dasar terapi ini adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif sehingga titer antibodi menurun. PE paling efektif digunakan jika terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas, seperti pada krisis myastenik. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap harinya. Albumin 5% ditambah larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan sebagai pengganti. Perbaikan gejala akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping dari PE adalah pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung, yang dapat menimbulkan hipotensi dan gangguan pembekuan darah.

b. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)19Mekanisme kerja IVIG belum diketahui pasti, namun diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Terapi ini diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien yang kritis.

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgBB/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgBB/hari selama 2 hari. Perbaikan gejala dapat muncul sekitar 3 hingga 4 hari setelah terapi dimulai. Efek samping dari IVIG antara lain nyeri kepala yang hebat, mual, dan flue-like syndrome.

c. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)19IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam, dan dapat diulangi 5 hari kemudian bila tidak ada respon. Jika respon masih juga tidak ada, pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisis dipertimbangkan apabila terapi lain gagal atau tidak dapat digunakan.2.5.2 Terapi Jangka Panjang

a. Kortikosteroid19,20Kortikosteroid memiliki efek pada aktivasi sel T-helper dan proliferasi sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada myastenia gravis. Terapi ini diindikasikan pada penderita dengan gejala yang sangat menggangu dan tidak dapat dikontrol dengan anti-kolinesterase. Dosis maksimal yaitu 60 mg/hari, kemudian dilakukan tapering-off. Respon obat mulai tampak dalam waktu 2 hingga 3 minggu setelah memulai terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan.c. Azathioprine19,20Azathioprine biasanya digunakan pada pasien yang secara relatif terkontrol dengan kortikosteroid dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek menghambat sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Obat ini diberikan dengan dosis awal 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai, dilanjutkan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgBB/hari. Respon terapi ini sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12 sampai 36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi lainnya.d. Siklosporin19Siklosporin berpengaruh pada produksi dan pelepasan IL-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper ini menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian obat ini 5 mg/kgBB/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap siklosporin lebih cepat dibandingkan dengan azathioprine. Obat ini dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.e. Timektomi19,20Hiperplasia germinal center kalenjar timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin pada myastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada myastenia gravis. Tujuan utama dari operasi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi, serta kesembuhan yang permanen. Secara umum, pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi permanen. Angka remisi setelah pembedahan adalah 20-40%, tergantung dari jenis timektomi yang dilakukan.

2.6 Prognosis

Gejala awal yang dialami sebagian besar pasien adalah kelemahan otot-otot ekstraokuler, yang biasanya terjadi pada tahun pertama. Hampir 85% dari pasien tersebut akan mengalami kelemahan pada otot-otot ekstremitas tiga tahun berikutnya. Kelemahan orofaring dan eksteremitas pada fase awal jarang ditemukan. Tingkat keparahan yang berat ditemukan saat tahun pertama pada hampir dua pertiga pasien, dengan krisis myastenik terjadi pada 20% pasien. Gejala bisa diperberat dengan adanya kondisi sistemik yang menyertai, contohnya ISPA akibat virus, gangguan tiroid, dan kehamilan. Pada fase awal penyakit, gejala bisa berfluktuasi dan membaik, walaupun perbaikan jarang yang bersifat permanen. Relapses and remissions berlangsung sekitar tujuh tahun, diikuti fase inaktif selama sekitar sepuluh tahun. Sebelum penggunaan imunomodulator, mortality rate pada myastenia gravis masih besar, yaitu sebesar 30%. Dengan adanya imunoterapi dan perkembangan alat-alat terapi intensif, resiko kematian ini dapat diturunkan menjadi kurang dari 5%.21RINGKASANMyastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.1

Prevalansi Miastenia gravis adalah 14 per 100000 populasi (kira-kira 17,000 kasus) di Amerika.3,4 Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini terjadi 3 kali lipat lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, namun pada usia yang lebih tua persentasenya sama.7,8 Gejala gejala yang timbul bervariasi pada tipe dan berat kasus, termasuk di dalamnya adalah lemahnya salah satu atau kedua kelopak mata (ptosis), kabur atau penglihatan ganda (diplopia) oleh karena kelemahan dari otot yang mengontrol pergerakan mata, ketidakseimbangan atau gaya berjalan yang terhuyung-huyung, perubahan pada ekspresi wajah, kesulitan dalam menelan yang dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (disartria), dan pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung, nafas pendek oleh karena terkadang melibatkan otot-otot yang mengatur pernafasan, dan kelemahan pada lengan, tangan, jari, tungkai bawah dan leher.

Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi myasthenia gravis menjadi 5 kelas utama dan beberapa subclass sedangkan klasifikasi menurut Osserman dibagi menjadi 4 tipe.

Diagnosis dari myasthenia gravis dapat ditegakan dengan wawancara, pemeriksaan fisim neurologi dan beberapa tes penunjang seperti tes antibodi, neurofisiologi, tes endrofonium, tes es kotak dan pencitraan (imaging).

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, myastenia gravis termasuk mudah untuk diobati dibandingkan kelainan neurologis lainnya. Anti-kolinesterase dan imunomodulator merupakan penatalaksanaan utama pada myastenia gravis. Penatalaksanaan dapat digolongkan menjadi terapi jangka pendek yang dapat memulihkan kelemahan secara cepat dan terapi jangka panjang yang dapat mencegah terjadinya kekambuhan.DAFTAR PUSTAKA

1. Engel A. Myasthenia gravis and myasthenic syndromes. Annals of Neurology. 2004. Volume 16: Page: 519-534.

2. Khadilkar SV, Sahni AO, Patil SG. Myasthenia gravis. JAPI. 2004 November; 52:897-903.

3. Romi F, Gilhus NE, Aarli JA. Myasthenia gravis: clinical, immunological, and therapeutic advances. Acta Neurol Scand. 2005; 111: 134-141.

4. Beekman R, Kuks JBM., Oostherhius HJGH. Myasthenia gravis: diagnosis and follow-up of 100 consecutive patients. J Neurol. 2007; 244: 112-8.

5. Christensen PB, Jensen TS, Tsirropoulus I. Mortality and survival in myasthenia gravis: a Danish population based study. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2003; 64: 78-63.

6. Sanders DB. Generalized myasthenia gravis: clinical presentation and diagnosis. 56th Annual Meeting. San Francisco, CA: American Academy of Neurology, 2004.

7. Brainin M., Barnes M., Baron J.C., et al. Guidance for the preparation of neurological management guidelines by EFNS scientific task forces-revised recommendations 2004. Eur J Neurol. 2004; 11:577-581.

8. Vincent A. Unravelling the pathogenesis of myasthenia gravis. Nat Rev Immunol. 2002; 2: 797-804.9. Goldenberg W. Myasthenia Gravis. 20 Januari 2012. Diunduh dari http:emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 07 Juni 2012

10. Myasthenia Gravis and Related Disorders of the Neuromuscular Junction. In: Ropper A, Brown R, eds. Adam and Victors : Princiles of Neurology 8th ed. McGraw Hill. 2005; 53: 1264 1250.11. Hoch W, McConville J., Helms S., Newsom-Davis J., Melms A., Vincent A., Auto-antibodies to the reseptor tyrosine kinase MuSK in patients with myasthenia gravis without acethylcholine receptor antibodies. Nat Med 2001; 7: 365-368.

12. Vernino S., Lennon V.A., Autoantibody profiles and neurological correlations of thymoma. Clin Cancer Res 2004 May; 18: 678-80.

13. Berrih S., Morel E., Gaud C., Raimond F., LeBrigand H., Bach J.F., Anti-AChR antibodies,thymic histology, and T cell subsets in myasthenia gravis. Neurology 2001 March;34:66-71.

14. Grob D, Brunner N., Namba T., Pagala M., Lifetime course of myasthenia gravis. Muscle Nerve 2008 June;37:141-49.

15. Sanders D.B., Juel V.C., MuSK-antibody positive myasthenia gravis:questions from clinic. J Neuroimmunol 2008 November; 201-202:85-89.

16. Chan J.W., Orrison W.W., Ocular myasthenia: a rare presentation with MuSK antibody and bilateral extraocular muscle atropy. Br J Ophthalmol 2007; 91:842-43.

17. Caress J.B., Hunt C.H., Batish S.D., Anti-MuSK myasthenia gravis presenting with purely ocular findings. Arch Neurol 2005 December; 62:1002-03.

18. Meriggioli M.N., ED., Myasthenia disorder and ALS. Continuum: Lifelong Learning in Neurology 2009 May:15:35-62.19. Lewis RA, Selwa JF, Lisak RP. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 1995;37(1):51-62.

20. Gold CS, Toyka KV. Myasthenia Gravis: Pathogenesis and Immunotherapy. Dtsch Arztebl. 2007;104(7):420-6.21. Juel VC, Massey JM. Myasthenia Gravis. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2007;2(44):1-13.