nurse home visit and family independency in hallucination
TRANSCRIPT
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
37
Home Visit Perawat dan Kemandirian Keluarga dalam Perawatan Halusinasi pada Pasien Schizophrenia
Nurse Home Visit and Family Independency in Hallucination Care of Schizophrenic Patients Ersida¹, Hermansyah2, Endang Mutiawati3 ¹Magister Keperawatan, Program Pascasarjana, Universitas Syiah Kuala 2Bagian Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan, Kemenkes Aceh 3Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala Abstrak Diperkirakan 70% dari pasien Schizophrenia mengalami halusinasi sebagai salah satu gejala positifnya. Diantara upaya pencegahan yang dilakukan oleh tim kesehatan di Puskesmas Dewantara dan Nisam adalah kegiatan home visit bagi penderita gangguan jiwa di komunitas. Kegiatan home visit yang dilakukan terdiri dari client engagement, client assessment dan client teaching. Namun kegiatan ini tidak dilakukan pada semua pasien gangguan jiwa dan secara khusus belum pernah dilakukan evaluasi efektifitasnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan home visit dengan perawatan halusinasi pada pasien Schizophrenia di Puskesmas Dewantara dan Nisam Kabupaten Aceh Utara. Penelitian kuantitatif survey analitik dengan menggunakan desain cross-sectional ini dilakukan sejak tanggal 20 Agustus sampai dengan 20 November 2015 pada 108 orang anggota keluarga pasien sebagai sampel yang dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. Hasil penelitian didapatkan 66.7% kegiatan home visit perawat aktif dan 66.7% perawatan halusinasi dilakukan secara mandiri. Terdapat hubungan antara home visit perawat yang aktif dengan kemandirian keluarga dalam perawatan halusinasi pada pasien Schizophrenia (p=0.000). Terdapat hubungan antara kegiatan client engagement yang aktif dengan kemandirian keluarga dalam perawatan halusinasi pada pasien Schizophrenia (p=0.000). Disarankan kepada keluarga agar dapat memanfaatkan kegiatan home visit sebagai sarana belajar dan memperoleh informasi, serta konsultasi terkait perawatan halusinasi pada pasien Schizophrenia. Kata kunci: . Home visit, Kemandirian Keluarga, Perawatan halusinasi Abstract It was estimated that 70% of Schizophrenic patients under go hallucination as one of its symptoms. Among the prevention strategies that proposed by the health team in Dewantara and Nisam Public Health Centers to deliver health care services was home visit to the patients with mental disorders who remained in community. Some activities which employed during home visit were client engagement, client assessment, and client teaching. However, these activities were not particularly evaluated for the effectiveness. This research aimed to identify the association between home visit with hallucination care of Schizophrenic patients at Dewantara and Nisam Public Health Center in North Aceh Regency. The research was an analytic survey quantitative research using a cross-sectional design conducted from August 20th to November 20th, 2015 on 108 family member as samples through interviews and observations questionnaire. The result of study found that 66.7% home visit activity was active and 66.7% hallucination care was independent. There was an association between active nurse home visit with family independency in hallucination care of Schizophrenic patients (p=0.000). It was recommended for family to utilize home visit activity as a facility to learn, gain information, and consultation about hallucination care on Schizophrenic patients. Key words:, Family independency, Hallucination care, Home visit Korespondensi: * Ersida, Magister Keperawatan, Program Pascasarjana, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, Email: [email protected]
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
38
Latar Belakang
Schizophrenia merupakan suatu gangguan
jiwa yang serius yang sering berkembang
sejak masa remaja atau dewasa awal dan
mengenai sekitar 24 juta orang di dunia.
Orang-orang dengan Schizophrenia
mengalami berbagai gejala yang menyulitkan
mereka untuk menentukan realitas (World
Federation for Mental Health, 2008). Hasil
Riskesdas 2013 dinyatakan bahwa rata-rata
nasional penderita gangguan mental berat,
seperti Schizophrenia di Indonesia adalah
1,7% dengan angka tertinggi adalah Aceh
dan DI Yogyakarta sebesar 2,7% (Kemenkes
RI, 2013).
Diantara upaya pencegahan yang dilakukan
oleh tim kesehatan untuk memberikan
pelayanan kesehatan adalah pelayanan home
visit atau kunjungan rumah bagi penderita
gangguan jiwa di komunitas (Hussain HAA,
Tarada M, Redha M, & Segueira RP., 2009).
Clark dalam Mahamba (2009)
menggambarkan home visit sebagai suatu
pendekatan keperawatan kesehatan yang
tradisional untuk merawat individu dan
keluarga. Paulsell, b, Boller, Hallgren, &
Esposito (2010) menjelaskan bahwa home
visit merupakan suatu strategi pemberian
pelayanan, tetapi konten dan fokus home visit
sebagaimana karakteristik home visitors dan
target hasilnya, berbeda-beda sesuai dengan
model yang digunakan. Basavanthappa
(2011) juga menegaskan bahwa home visit
pada pasien gangguan jiwa berbeda dalam
fokus, waktu yang dibutuhkan, dan intensitas
dan hasilnya jika dibandingkan dengan
kunjungan rumah yang biasa dilakukan pada
pasien dengan penyakit lainnya. Adapun
kegiatan yang dilakukan dalam home visit
terdiri dari client engagement, client
assessment dan client teaching.
Berdasarkan laporan Profil Kesehatan Provinsi
Aceh tahun 2012 sebanyak 24.942 jiwa
masyarakat Aceh terindikasi mengalami
gangguan jiwa dengan rincian penderita
mandiri/sudah pulih 6.953 jiwa, dengan
bantuan pasien parsial 4.472 orang dan
1.956 orang penderita yang masih tergantung
(Dinkes Aceh 2012). Hasil pengambilan data
awal di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh
Utara didapatkan data bahwa tahun 2013
angka penderita gangguan jiwa mulai ringan
sampai berat sebanyak 2.535 orang. Awal
tahun 2015 angka tersebut menurun menjadi
2.128 orang dengan tingkat keluhan mulai
dari ringan sampai berat. Di Puskesmas
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
37
Dewantara dari 46.091 orang penduduk (BPS
Kabupaten Aceh Utara, 2014) tercatat 150
orang penderita Schizophrenia dimana 64
orang (42,6%) diantaranya mengalami gejala
halusinasi. Di Kecamatan Nisam dari 17.702
orang penduduk (BPS Kabupaten Aceh Utara,
2014) terdapat 104 penderita Schizophrenia
dengan 40 orang (38,4%) menunjukkan gejala
halusinasi.
Sementara itu, program CMHN telah
diterapkan pada seluruh Puskesmas di Aceh
Utara. Namun Puskesmas yang aktif
melakukan home visit hanya ada 6 Puskesmas
yaitu Muara Batu, Dewantara, Samudera,
Syamtalira Bayu, Lhoksukon, dan Nisam.
Tetapi kegiatan inipun secara khusus tidak
dilakukan pada semua pasien gangguan jiwa
dan belum pernah dilakukan evaluasi
efektifitasnya. Oleh karena itu penelitian ini
ingin mengidentifikasi hubungan home visit
dengan kemandirian keluarga dalam
perawatan halusinasi pada pasien
Schizophrenia di Puskesmas Dewantara dan
Nisam Kabupaten Aceh Utara.
Metode
Penelitian ini dilakukan menggunakan
penelitian kuantitatif survey analitik dengan
menggunakan desain cross-sectional.
Pengukuran dengan menggunakan alat ukur
berupa kuesioner.
Pengumpulan data dilakukan pada 20
Agustus sampai dengan 20 November 2015
terhadap 108 orang yang diambil secara
total sampling. Pengolahan data
menggunakan komputerisasi.
Hasil
Karakteristik responden dapat dilihat pada
table beikut ini:
Tabel 1. Distribusi karakteristik responden (n=108) Karakteristik f %
Umur : 1. 17-25 2. 26-35 3. 36-45 4. 46-55 5. 56-65
6. 65-lebih
9
20 31 32 15 1
8.3
18.5 28.7 29.6 13.9
.9
Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
53 55
49 51
Suku : 1. Aceh 2. Padang
107
1
99.1
.9 Pendidikan : 1. Tdk sekolah 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. PT
8
23 23 34 20
7.4
21.3 21.3 31.5 18.5
Pekerjaan : 1. Bekerja 2. Tidak Bekerja Hubungan keluarga dengan pasien :
67 41
62.0 38.0
1. Orang tua 2. Anak 3. Saudara 4. Pasangan 5. Kerabat
Jumlah kunjungan rumah : 1. 1 kali 2. 2 kali 3. 3 kali 4. > 3 kali
40 20 29 16
3
13 17 20 58
37.0 18.5 26.9 14.8
2.8 12.0 15.7 18.5 53.7
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
38
64.8%
35.2%
aktif
kurang aktif
54.6%
45.4% Aktif
Kurang Aktif
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa
karakteristik responden paling banyak
berumur antara 46-65 tahun berjumlah 32
orang (29.6%), 55 orang (51%) berjenis
kelamin perempuan, suku Aceh berjumlah
107 orang (99.1%). latar belakang pendidikan
SMA berjumlah 34 (31.5%). Responden yang
bekerja sejumlah 67 orang (62.0%), 40 orang
(37.0%) responden memiliki hubungan
keluarga dengan pasien sebagai orang tua
pasien. Sejumlah 58 orang (53.7)
mendapatkan kunjungan home visit lebih dari
3 kali.
Diagram 1. Persentase kemandirian keluarga dalam perawatan halusinasi pada pasien Schizophrenia (n=108)
Berdasarkan Diagram 1 dapat dilihat bahwa
perawatan halusinasi pada pasien
Schizophrenia secara umum berada pada
kategori mandiri yaitu sebanyak 72 orang
(66.7%).
Diagram 2. Persentase kegiatan client engagement (n=108)
Berdasarkan Diagram 2 dapat dilihat bahwa
sebagian besar kegiatan client engagement
berada pada kategori aktif yang dinyatakan
oleh sebanyak 70 responden (64.8%).
Tabel 2. Hubungan client engagement dengan kemandirian keluarga dalam perawatan halusinasi pada pasien Schizophrenia (n=108)
Client
engagement
Perawatan halusinasi Total
OR
(95%CI)
p
value Mandiri Ketergantunga
n
n % n % n %
Aktif 57 81.4 13 18.6 70 100 6.723 2.770-16.316
0.000 Kurang Aktif 15 39.5 23 60.5 38 100
Jumlah 72 66.7 36 33.3 108 100
Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil
uji chi-square diperoleh p value = 0.000 <
α=0.05. Dengan demikian maka Ho ditolak
yang berarti bahwa ada hubungan antara
client engagement dengan perawatan
halusinasi pada pasien Schizophrenia. OR
=6,723 menunjukkan bahwa perawatan
halusinasi pada pasien Schizophrenia dengan
kegiatan client engagement aktif memiliki
kesempatan hampir 7 kali lebih mandiri
dibandingkan dengan perawatan halusinasi
pada pasien Schizophrenia dengan kegiatan
client engagement kurang aktif.
Diagram 3.Persentase kegiatan client assessment (n=108)
66.7%
33.3%
Mandiri
Ketergantungan
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
39
79.6%
20.4%
Aktif
Kurang Aktif66.7%
33.3% Aktif
Kurang Aktif
Berdasarkan Diagram 3 dapat dilihat bahwa
sebagian besar kegiatan client assessment
berada pada kategori aktif yang dinyatakan
oleh sebanyak 59 responden (54.6%).
Tabel 3. Hubungan client assessment dengan kemandirian keluarga dalam perawatan halusinasi pada
pasien Schizophrenia (n=108)
Client assessment
Perawatan halusinasi Total
OR
(95%CI)
p
value Mandiri Ketergantunga
n
n % n % n %
Aktif 47 79.7 12 20.3 59 100 3.760 1.614-8.761
0.003 Kurang
Aktif 25 51.0 24 49.0 49 100
Jumlah 72 66.7 36 33.3 108 100
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa hasil
uji chi-square diperoleh p value = 0.003 <
α=0.05. Dengan demikian maka Ho ditolak
yang berarti bahwa ada hubungan antara
client assessment dengan perawatan
halusinasi pada pasien Schizophrenia.
OR=3,760 menunjukkan bahwa perawatan
halusinasi pada pasien Schizophrenia dengan
kegiatan client assessment aktif memiliki
kesempatan hampir 4 kali lebih mandiri
dibandingkan dengan perawatan halusinasi
pada pasien Schizophrenia dengan kegiatan
client assessment kurang aktif.
Diagram 4.Persentase kegiatan client teaching (n=108)
Berdasarkan Diagram 4 dapat dilihat bahwa
sebagian besar kegiatan client teaching
berada pada kategori aktif yang dinyatakan
oleh sebanyak 86 responden (79.6%).
Tabel 4.Hubungan client teaching dengan kemandirian keluarga dalam perawatan halusinasi pada pasien Schizophrenia (n=108)
Client teaching
Perawatan halusinasi Total
OR
(95%CI)
p
value Mandiri Ketergantunga
n
n % n % n %
Aktif 68 79.1 18 20.9 86 100 17.000 5.112-56.529
0.000 Kurang Aktif 4 18.2 18 81.8 22 100
Jumlah 72 66.7 36 33.3 108 100
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa hasil
uji chi-square diperoleh p value = 0.000 <
α=0.05. Dengan demikian maka Ho ditolak
yang berarti bahwa ada hubungan antara
client teaching dengan perawatan halusinasi
pada pasien Schizophrenia. OR=17,000
menunjukkan bahwa perawatan halusinasi
pada pasien Schizophrenia dengan kegiatan
client teaching aktif memiliki kesempatan 17
kali lebih mandiri dibandingkan dengan
kemampuan keluarga dengan kegiatan client
teaching kurang aktif.
Diagram 5. Persentase kegiatan home visit (n=108)
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
40
Berdasarkan Diagram 5 dapat dilihat bahwa
sebagian besar kegiatan home visit berada
pada kategori aktif yang dinyatakan oleh
sebanyak 86 responden (66.7%).
Tabel 5. Hubungan Home visit dengan kemandirian keluarga dalam perawatan halusinasi pada pasien Schizophrenia (n=108)
Home visit
Perawatan halusinasi Total
OR
(95%CI)
p
value Mandiri Ketergantunga
n
n % N % n %
Aktif 60 83.3 12 16.7 72 100 10.000 3.947-25.337
0.000 Kurang Aktif 12 33.3 24 66.7 36 100
Jumlah 72 66.7 36 33.3 108 100
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa hasil
uji chi-square diperoleh p value = 0.000 <
α=0.05. Dengan demikian maka Ho ditolak
yang berarti bahwa ada hubungan antara
home visit dengan perawatan halusinasi pada
pasien Schizophrenia. OR=10,000
menunjukkan bahwa perawatan halusinasi
pada pasien Schizophrenia dengan kegiatan
home visit aktif memiliki kesempatan 10 kali
lebih mandiri dibandingkan dengan
perawatan halusinasi pada pasien
Schizophrenia dengan kegiatan home visit
kurang aktif.
Pembahasan
Kemandirian Keluarga Dalam Perawatan
Halusinasi Pada Pasien Schizophrenia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
keluarga dalam perawatan halusinasi pada
pasien Schizophrenia secara umum berada
pada kelompok ‘cukup baik’ dan ‘baik’.
Namun demikian, masih ada 24.1% responden
yang masih memiliki kemampuan yang sangat
tidak baik terkait keterlibatannya dalam
pengaturan jadwal kegiatan pasien.
Pengaturan jadwal kegiatan pasien
merupakan unsur yang penting dalam
mencapai keberhasilan perawatan pasien.
Pasien gangguan jiwa termasuk halusinasi
mengalami pengaturan dalam pengaturan
kegiatan sehari-hari (activities of daily living)
dan pengaturan jadwal pengobatan, sehingga
membutuhkan bantuan orang lain untuk
memperbaikinya. Bantuan tersebut utamanya
harus didapat dari keluarga sebagai orang
terdekat pasien. Bila keluarga kurang
memperhatikan hal tersebut, maka ada
kemungkinan pasien tidak akan mampu
memenuhi kebutuhan aktifitas kehidupan
sehari-hari, termasuk penjadwalan
pengobatannya.
Penelitian Avasthi (2010) menemukan bahwa
keluarga merupakan sumber daya kunci
dalam perawatan pasien dengan penyakit
jiwa. Keluarga menjalankan peran sebagai
pemberi pelayanan primer bagi pasien karena
dua alasan. Pertama, adanya rasa saling
ketergantungan dan kepedulian satu sama
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
41
lain sebagai sesama anggota keluarga. Kedua,
karena kurang tenaga profesional kesehatan
jiwa terlatih yang dibutuhkan untuk melayani
populasi yang sangat banyak; oleh karenanya,
tenaga klinis sangat bergantung pada
keluarga. Sehingga, memiliki keluarga dengan
kemampuan dan dukungan yang adekuat
merupakan kebutuhan pasien, klinisi, dan
administrator lainnya. Keluarga merupakan
perpanjangan tangan perawat dalam merawat
pasien.
Hubungan Client Engagement dengan
Kemandirian Keluarga dalam Perawatan
Halusinasi Pada Pasien Schizophrenia.
Kegiatan client engagement dalam home visit
menurut responden kegiatan yang dilakukan
oleh petugas pada saat client engagement
sebagian besar berada pada kelompok pernah
dan sering dilakukan. Akan tetapi, masih ada
kegiatan yang paling tidak pernah dilakukan
oleh petugas yaitu membuat kontrak dengan
keluarga yang dinyatakan oleh sejumlah 31
responden (28.7%).
Kontrak antara petugas/perawat dengan
keluarga pasien yang dilakukan dalam setiap
kali kunjungan terdiri dari kontrak waktu,
tempat dan topik intervensi (tindakan
keperawatan) yang hendak dilakukan perawat
pada sesi kunjungan yang akan berlangsung.
Dalam strategi pelaksanaan komunikasi
keperawatan, salah satu kegiatan yang
penting dilakukan pada fase orientasi yaitu
membuat kontrak dengan pasien dan/atau
keluarga. Melalui kontrak, perawat dan
keluarga membuat kesepakatan tentang
lamanya interaksi berlangsung, tempat
interaksi, dan hasil akhir apa yang diharapkan
dalam setiap sesi interaksi. Tanpa kontrak
yang jelas, maka tujuan kunjungan menjadi
tidak jelas, dan mungkin tidak akan
memberikan hasil intervensi yang bermakna
bagi kedua belah pihak.
Penelitian Ingoldsby (2010) yang menyatakan
bahwa dengan melibatkan dan
mempertahankan keluarga dalam upaya
pencegahan dan program-program intervensi
kesehatan jiwa merupakan satu hal yang
sangat penting untuk memastikan dampak
komunitas yang maksimum. Pelibatan dan
retensi keluarga yang rendah merupakan
masalah yang berarti dalam program promosi
dan intervensi kesehatan jiwa.
Mempertahankan agar keluarga terlibat
secara aktif dalam pelayanan menjadi suatu
tantangan. Walaupun jika keluarga
termotivasi untuk sejak awal untuk mencari
pelayanan kesehatan jiwa, pengalaman yang
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
42
banyak dapat mempengaruhi keterlibatan
keluarga dalam perawatan.
Penelitian Larsen-rife & Brooks (2009) yang
menyatakan bahwa perawat perlu melibatkan
keluarga terutama orang tua dalam
perawatan kesehatan jiwa terutama pada
anak, untuk membangun keterampilan
advokasi dan pengasuhan (parenting skill)
baru untuk mendukung perkembangan sosial
emosional anak yang sehat. Pelibatan orang
tua dalam perawatan rumah juga dapat
memperpendek masa pengobatan redensial
bagi pasien.
Hubungan Client Assessment dengan
Kemandirian Keluarga dalam Perawatan
Halusinasi Pada Pasien Schizophrenia. Secara
umum kegiatan yang dilakukan oleh petugas
pada saat client assessment berada dalam
kelompok pernah dan sering dilakukan. Hanya
saja, masih ada kegiatan yang paling tidak
pernah dilakukan oleh petugas pada saat
client assessment yaitu menanyakan tentang
sikap tetangga terhadap penyakit pasien yang
dinyatakan oleh sejumlah 39 responden
(36.1%).
Moran (2013) menjelaskan bahwa suatu
pengkajian yang komprehensif, dan holistik,
mengkaji aspek fisik, psikososial, intelektual,
sosial, dan spiritual individu. Pengkajian fisik
meliputi pemeriksaan fisik, pengkajian tahap
kehidupan biologis klien dan faktor
predisposisinya, dan pemeriksaan penunjang.
Pada aspek psikologis dilakukan pengkajian
tentang pengalaman masa kanak-kanak,
kepribadian serta tanda dan gejala gangguan
jiwa yang terjadi saat ini. Informasi ini
dikumpulkan melalui wawancara dengan
pasien dan keluarga, dengan melakukan tes
status mental, tes psikologis tertentu, dan tes
fungsi kognitif. Pengkajian sosial terdiri dari
eksplorasi budaya, lingkungan, dan pengaruh
keluarga dalam ekspresi dan pengalaman
penyakit. Pengkajian spiritual mengeksplorasi
dimensi religious dan spiritual pasien.
Kemampuan untuk mengkaji klien merupakan
keterampilan yang paling penting yang harus
dimiliki oleh perawat jiwa.
Penelitian Coonbs, Curtis, & Crookes (2011)
menemukan hasil bahwa pengkajian
merupakan hal esensial untuk praktik
keperawatan kesehatan jiwa. Pengkajian
merupakan pondasi, landasan dimana
kebutuhan klien diidentifikasi dan rencana
intervensi keprawatan disusun. Pemahaman
tentang pengkajian keperawatan kesehatan
jiwa dan praktik keperawatan jiwa lainnya
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
43
merupakan pondasi praktik yang adekuat
dalam mengidentifikasi klien melalui cara
klien. Pengkajian keperawatan memberikan
jaminan bagi konsistensi dan kompleksitas
data.
Hubungan Client Teaching dengan
Kemandirian Keluarga dalam Perawatan
Halusinasi Pada Pasien Schizophrenia.
Kegiatan yang dilakukan oleh petugas pada
saat client teaching sebagian besar berada
pada kelompok pernah dan sering dilakukan.
Namun demikian, terdapat kegiatan yang
paling tidak pernah dilakukan oleh petugas
pada saat client teaching yaitu menjelaskan
kepada keluarga tentang pentingnya menjaga
keberlangsungan pengobatan yang
dinyatakan oleh sejumlah 17 responden
(15.7%).
Fenomena di lapangan, pasien dan/atau
keluarga seringkali menghentikan kontinuitas
pengobatannya tanpa melalui proses
konsultasi dengan tim medis. Alasan yang
paling sering mendasari perilaku tersebut
antara lain, yaitu pasien sudah tidak lagi
merasakan gejala sehingga dipersepsikan
sebagai telah sembuh, tidak tahan dengan
efek samping obat, dan tidak mampu
mencapai fasilitas pengobatan.
Terputusnya kontinuitas pengobatan akibat
persepsi yang salah tentang kesembuhan
pasien dapat menjadi pemicu terjadinya
kekambuhan pada pasien. Penelitian
Mahamba (2009) menyatakan bahwa
kekambuhan berarti terjadinya kembali atau
meningkatkanya keparahan kumpulan gejala
penyakit, terutama yang mengikuti suatu
periode dimana telah terjadi perbaikan atau
stabilitas. Penderita yang tidak teratur dalam
meminum obat dapat menyebabkan
kekambuhan gangguan jiwa. Penderita kronis,
khususnya skizofrenia yang sertai dengan
adanya halusinasi sukar mengikuti aturan
minum obat karena adanya gangguan realitas
dan ketidak mampuan mengambil keputusan.
Oleh karena itu, perawat perlu untuk selalu
mengingatkan pasien dan keluarga tentang
pentingnya menjaga keberlangsungan
pengobatan pasien.
Penelitian Basavanthappa, (2011) yang
menyatakan bahwa home visit merupakan
suatu pendekatan yang efektif untuk
mengajarkan kemandirian keterampilan hidup
dasar kepada klien yang mengalami defisit
pengetahuan. Selama pembelajaran di rumah,
klien memiliki kesempatan untuk
menggunakan peralatan mereka sendiri pada
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
44
tatanan mereka sendiri, yang meningkatkan
potensi tekat untuk mengerjakan tugas yang
dianjurkan. Proses pembelajaran perlu diulang
jika klien berpindah tempat tinggal.
Hubungan Home visit dengan Perawatan
Halusinasi Pada Pasien Schizophrenia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kegiatan yang
paling dominan dilakukan oleh perawat
selama home visit adalah mengajarkan
keluarga (client teaching) tentang cara
merawat pasien. Temuan ini sesuai dengan
hasil penelitian Mahamba (2009) yang
menyatakan bahwa anggota keluarga dalam
kesehariannya membagi tugas, tujuan, rasa
memiliki, dan kasih sayang dalam keluarga.
Kesehatan setiap anggota keluarga
mempengaruhi kesehatan angota keluarga
yang lainnya dan berkontribusi pada derajat
kesehatan keluarga secara keseluruhan.
Kemampuan anggota keluarga untuk
mendukung anggota keluarga yang sakit
berbvariasi sesuai dengan tahap
perkembangannya. Untuk meningkatkan
kemampuan dalam merawat anggota
keluarga yang sakit, keluarga perlu mendapat
bantuan pelayanan seperti bantuan sosial,
rehabilitasi dan pendidikan kesehatan agar
keluarga mampu merawat pasien pada saat
ketiadaan perawat atau petugas kesehatan
lainnya.
Penelitian Eassom, Giacco, Dirik, & Priebe
(2014) yang menemukan bahwa pelibatan
keluarga dalam pelayanan kesehatan jiwa
dapat dilakukan dalam bentuk yang berbeda-
beda sesuai dengan tingkat kebutuhan dan
ketersediaan pelayanan. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa pelibatan keluarga berkisar
dari fungsi yang paling dasar sampai ke
intervensi yang lebih khusus. Pada tingkat
yang paling meliputi penyediaan informasi
tentang layanan kesehatan jiwa dan
pengkajian-pengkajian. Pada tingkat yang
lebih khusus dapat dilakukan dengan
psikoedukasi, konseling, intervensi dan terapi
keluarga.
Basavanthappa (2011) menjelaskan bahwa
home visit dalam perawatan pasien penyakit
jiwa sangat dibutuhkan dikarenakan banyak
pasien dengan penyakit jiwa terbiasakan
dengan gejala primer seperti menarik diri atau
isolasi sosial, di komunitas. Home visit
memberikan kesempatan kepada perawat
untuk memahami klien secara lebih terbuka.
Melihat klien di tempat hidupnya sendiri
memberikan perawat pengetahuan yang luas
tentang bagaimana pasien mengelola
hidupnya sehari-hari. Rumah seorang pasien
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
45
memberikan perawat rasa yang lebih
mendalam tentang bagaimana pasien
berfungsi pada tigkat yang lebih mendasar
(misalnya dengan aktifitas kehidupan sehari-
hari dan kemandirian dalam keterampilan
hidup sehari-hari).
Penelitian Hussain HAA, Tarada M, Redha M,
& Segueira RP. (2009) yang menyatakan
bahwa home visit efektif dan merupakan
standar yang tinggi bagi pengobatan rawat
jalan pada pasien Schizophrenia dalam hal
mengurangi jumlah dan durasi rawat inap. Di
samping itu, saat home visit, perawat juga
berkesempatan untuk mengenal tanda-tanda
awal terjadinya kekambuhan, termasuk pada
pasien halusinasi.
Kesimpulan
Studi ini menemukan ada hubungan antara
home visit yang aktif dengan kemandirian
keluarga dalam perawatan halusinasi yang
mandiri pada pasien Schizophrenia di
Puskesmas Dewantara dan Nisam Kabupaten
Aceh Utara sebesar 10 kali lebih mandiri
dibandingkan dengan perawatan halusinasi
pada pasien Schizophrenia dengan kegiatan
home visit kurang aktif (p=0.000).
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan
bagi keluarga agar dapat memanfaatkan
kegiatan home visit sebagai sarana belajar dan
memperoleh informasi, serta konsultasi
terkait perawatan halusinasi pada pasien
Schizophrenia agar menjadi lebih mandiri
dalam merawat anggota keluarganya.
Referensi
Avasthi, A. (2010). Preserve and strengthen
family to promote mental health.
Indian J Psychiatry, 113-126.
Basavanthappa, B. (2011). Essential of Mental
Health Nursing (1st ed.). India: Jaypee
Brother Medical Publisher.
Coonbs, T., Curtis, J., & Crookes, P. (2011).
What is comprehensive mental health
nursing assessment? a review of
literature. International journal mental
health nurses, 364-370.
Eassom, E., Giacco, D., Dirik, A., & Priebe, S. (2014). Implementing Family Involvement in the Treatment of Patients with Psychosis: A Systematic Review of Facilitating and Hindering Factors. BJM Open, 4.
Hussain HAA, Tarada M, Redha M, & Segueira
RP. (2009). Evaluation of Community
Psychiatric-Home Visit Treatment
versus Outpatient Treatment of
Chronic Schizophrenic Patients in
Bahrain. The Arab Journal Of
Psychiatry, 34-41.
Jurnal Ilmu Keperawatan (2016) 4:1 ISSN: 2338-6371 Ersida, Hermansyah, Mutiawati
46
Ingoldsby, E. M. (2010). Review of
interventions to improve family
engagement and retention in parent
and child mental health programs. NIH
Public Access, 629-645.
Katakura, N., Yamamoto-Mitami, N., &
Kakuzo, I. (2010). Home-Visit
Nurses'attitude for Providing Effective
Assistance to Client with
Schizophrenia. International Journal Of
Mental Health Nursing, 19(2), 102-109.
Kemendagri RI., (2014). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2014 Tentang Kesehatan Jiwa. Diakses
5 April 2015 dari
http://www.kemendagri.go.id/media/
documents/2014/10/29/u/u/uu_no.18
-2014.pdf
Kemenkes RI.,(2013). Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar Tahun 2013. Diakses
2 September 2014 dari
www.depkes.go.id.
Larsen-rife, D., & Brooks, S. (2009). The
importance of family engagement in
child welfare services. northern
california training academy, 1-8.
Mahamba, N. D. (2009). Factors Influencing
Relaps of Psychiatric Patients in Rural
Communities of the Eastern Cape
Province. Eastern Cape Province:
University of South Africa.
Moran, c. c. (2013). The psychiatric mental
heallth nursing. philladelphia: Jones
and Bartlett Publishers.
SERASI,CCH,USAID (2010). Modul Pelatihan Basic Course CMHN. Jakarta: FIK UI.
Tamaki, A. (2007). Effectiveness of Home
Visits by Mental Health Nurses for
Japanesse Women with Post-Partum
Depression. International journal of
Mental Health Nurses, 419-427.