optimalisasi dbh jurnal (final)

32
ABSTRACT Although implementation of decentralization has run for several years, but there are some problems which are not solved. The major problem is management of the natural resources. The delivery of revenue sharing of the natural resources is still late in three months period. It will disturb the development planning system in each region. The wealthy regions, which region budget (APBD) is dominated by revenue sharing, could not optimally the advantage of revenue sharing.

Upload: istimahfud

Post on 11-Jun-2015

1.118 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Dengan mekanisme tepat tranparasi good governance akan terjadi, begitu juga ketepatan dan kecepatan atas penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) pun terjadi sehingga daerah dapat menghitung dengan tepat berapa dana yang dimiliki untuk melakukan pembangunan di daerahnya. Selanjutnya DBH bisa termanfaatkan secara optimal dalam pembangunan daerah.

TRANSCRIPT

Page 1: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

ABSTRACT

Although implementation of decentralization has run for several years, but there

are some problems which are not solved. The major problem is management of the

natural resources. The delivery of revenue sharing of the natural resources is still late in

three months period. It will disturb the development planning system in each region. The

wealthy regions, which region budget (APBD) is dominated by revenue sharing, could

not optimally the advantage of revenue sharing.

Page 2: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

Essay Ilmiah

OPTIMALISASI PERAN DANA BAGI HASIL DALAM

PEMBANGUNAN DAERAH

Oleh: Isti’anah

Pegawai pada:

Direktorat Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan

Departemen Keuangan RI

Page 3: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang.

Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara,

khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan

proses pengambilan keputusan public yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat

diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya.

Kebijakan desentralisasi fiskal yang digulirkan pada awal tahun 2001 telah memberikan

berbagai implikasi baik nasional maupun regional. Pada tingkat regional, kebijakan ini

merupakan upaya kemandirian daerah untuk memberdayakan sumber daya yang tersedia.

Bagi daerah yang surplus, desentralisasi fiskal merupakan sumber kesejahteraan

masyarakat untuk lebih meningkatkan taraf hidupnya. Sebaliknya bagi pemerintah daerah

yang minus dan masih mengharapkan kucuran dana dari pemerintah pusat, kebijakan ini

sangat memberatkan

Implementasi kebijakan perimbangan keuangan dilakukan melalui alokasi

anggaran belanja untuk daerah termasuk didalamnya dana perimbangan.. Sejalan dengan

itu, selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam membiayai berbagai urusan dan

kewenangan pemerintahan yang telah dilimpahkan, diserahkan dan atau ditugaskan

kepada daerah, pengalokasian dana perimbangan juga bertujuan untuk mengurangi

ketimpangan sumber pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah, serta mengurangi

kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Dana Perimbangan merupakan

transfer dana yang bersumber dari APBN ke daerah, berupa dana bagi hasil (DBH), dana

alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).

Dana Bagi Hasil (revenue sharing) atau DBH adalah dana yang bersumber

dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase

untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DBH

dilaksanakan dengan prinsip menurut sumbernya, dalam arti bahwa bagian daerah atas

penerimaan yang dibagihasilkan didasarkan atas daerah penghasil. Prinsip tersebut

berlaku untuk semua komponen DBH, kecuali DBH perikanan yang dibagi sama rata ke

seluruh kabupaten/kota. Selain itu, penyaluran DBH baik pajak maupun SDA dilakukan

Page 4: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan. Berdasarkan sumbernya DBH

dibedakan dalam DBH Perpajakan dan DBH Sumber Daya Alam (DBH SDA). DBH

yang bersumber dari pajak terdiri atas Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25

dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21

DBH yang bersumber dari Penerimaan PBB dibagikan dengan imbangan

90% untuk Daerah dan 10% untuk Pusat. DBH PBB sebesar 10% yang merupakan

bagian pusat dialokasikan kembali pada kabupaten/kota dengan rincian 6,5%

dibagiratakan kepada seluruh /kota dan 3,5 % dibagikan kepada kabupaten/kota yang

realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaaan dan Perkotaan pada tahun anggaran

sebelumya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. Pengalokasian

atas DBH bagian pusat yang dibagikan lagi ke daerah dilakukan dengan penerbitan

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA,

Sedangkan 80 % yang merupakan bagian Daerah dibagi lebih jauh dengan

rincian 64,8 % untuk kabupaten/kota yang bersangkutan, 16,2% untuk provinsi yang

bersangkutan dan 9% digunakan untuk upah pungut. Bagian daerah ini dibagikan setiap

hari Rabu dan Jumat melalui Kantor Pelayananan Perbendaharaan Negara (KPPN) yang

merupakan salah satu instansi vertikal dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Ditjen

Perbendaharaan) Departemen Keuangan. Atas pengeluaran tersebut akan diterbitkan

DIPA pengesahan berdasarkan data hasil rekonsiliasi Kuasa Pengguna Anggaran dan

Bendahara Umum Negara (BUN) pada awal tahun anggaran berikutnya.

Penerimaan Negara dari BPHTB diberikan kepada daerah dalam bentuk

DBH BPHTB dengan porsi 20% untuk pusat dan 80% untuk daerah. DBH BPHTB untuk

daerah sebesar 80% selanjutnya dibagi dengan imbangan 16% untuk provinsi yang

bersangkuan dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil. Seperti halnya PBB bagian

daerah ini juga langsung dibagikan hari Rabu dan Jumat melalui KPPN. Sementara

bagian pemerintah pusat sebesar 20% dialokasikan kembali kepada seluruh

kabupaten/kota dengan porsi sama besar dengan mekanisme penerbitan DIPA.

DBH yang bersumber dari penerimaan PPh WPOPDN (Wajib Pajak

Orang Pribadi Dalam Negeri) dan PPh Pasal 21 yang dibagikan kepada Daerah sebesar

Page 5: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

20% dan 80% merupakan bagian pemerintah pusat. DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal

21 sebesar 20% tersebut dibagi dengan rincian 8% untuk provinsi yang bersangkutan, 2%

untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, 8,4 % untuk kabupaten/kota

tempat wajib pajak terdaftar dan 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang

bersangkutan dengan bagian sama besar.

Alokasi DBH Perpajakan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Setiap awal tahun anggaran Menteri Keuangan menetapkan alokasi sementara DBH

Perpajakan yang menjadi dasar penerbitan DIPA untuk penyaluran Triwulan I, II dan III

atau Tahap I/II atas bagian pemerintah pusat yang disalurkan kembali ke daerah dan atas

bagian daerah. Pada akhir tahun anggaran Menteri Keuangan menetapkan Alokasi

Definitif DBH Perpajakan yang merupakan dasar penerbitan DIPA untuk penyaluran

pada Triwulan/Tahap akhir.

Sedangkan DBH yang bersumber dari Sumber Daya Alam (SDA) meliputi :

a. DBH SDA Kehutanan terdiri dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Iuran Izin

Usaha Pemanfaatan (IIUPH) dan Dana Reboisasi (DR).

b. DBH SDA Pertambangan Umum yang terdiri dari Land Rent (Iuran tetap), Iuran

Eksplorasi dan iuran Eksploitasi (Royalty) dan Kontrak Karya Perjanjian Karya

Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

c. DBH SDA Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan

Hasil Perikanan

d. DBH SDA Pertambangan Minyak Bumi;

e. DBH SDA Pertambangan Gas Bumi; dan

f. DBH SDA Pertambangan Panas Bumi .

Tabel

Porsi pembagian Dana Bagi Hasil

No

Nama DBH SDA

Pusat Provinsi

Kab/Kota

Lainnya

Page 6: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

Ybs Penghasil dalam Propinsi

Ybs

Lainnya

1. Kehutanana. PSDH 20% 16% 32% 32% -b. IIUPH 20% 16% 64% - -c.DR 60% - 40% - -

2. Pertambangan Kab/Kotaa. Land Rent 20% 16% 64% - -b. Royalty 20% 16% 32% 32% -Pertambangan Prova. Lend Rent 20% 80% - - -b. Royalty 20% 26% 54% - -

3. Perikanan 20% - - - 80%4. Minyak Bumi

Kab/Kota84,5% 3% 6% 6% -

Tambahan 5% daerah

0,1% 0,2% 0,2% -

Minyak Bumi Provinsi

84,5% 5% 10% - -

Tambahan 5% daerah

0,17% - 0,33% -

5. Gas Bumi Kab/Kota

69,5% 6% 12% 12% -

Tambahan 5% daerah

- 0,1% 0,2% 0,2% -

Gas Bumi Provinsi

69,5% 10% 20% - -

- 0,17% 0,33% - -

6. Panas Bumi 20% 16% 32% 32% -

Alokasi DBH SDA ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Setiap

awal tahun anggaran Menteri Keuangan menetapkan alokasi sementara DBH SDA yang

menjadi dasar penerbitan DIPA untuk satu tahun anggaran. Penyaluran DBH SDA

berdasarkan realisasi penerimaan yang datanya bersumber dari hasil rekonsiliasi antara

departemen teknis, daerah penghasil dan Departemen Keuangan. Hasil rekonsiliasi

tersebut ditetapkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan dan

dijadikan dasar bagi Ditjen Perbendaharaan untuk menerbitkan DIPA

Permasalahan yang sering muncul dalam mekanisme

penyaluran/pencairan DBH adalah praktek pembagian triwulanan yang tidak tepat waktu

merupakan keluhan bagi daerah penerima DBH PPh. Ketika sudah dibayarkanpun masih

Page 7: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

muncul persoalan yaitu kelebihan ataupun kekurangan pembayaran untuk suatu daerah.

Ini terjadi karena penetapan alokasi sementara yang berdasarkan prognosa penerimaan

PPh lebih tinggi atau lebih rendah dari alokasi definitif yang berdasarkan realisasi

penerimaan PPh sesungguhnya.

Demikian juga proses penyaluran DBH SDA, adanya keterlambatan atas

penyaluran dalam setiap triwulannya sehingga mengganggu sistem perencanaan

pembangunan di daerah. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut di atas

Pemerintah pusat dalam menetapkan Kebijakan dana bagi hasil dalam tahun 2007 lebih

menitikberatkan pada penyempurnaan dan percepatan dalam proses perhitungan,

pengalokasian, dan penetapan dana bagi hasil ke daerah. Hal ini dilakukan agar

penyaluran DBH ke daerah dapat dilakukan tepat waktu. Untuk mendukung kebijakan

tersebut, pemerintah akan melakukan langkah-langkah aktif dalam penyempurnaan

proses dan mekanisme penyaluran DBH ke daerah, antara lain melalui peningkatan

koordinasi antardepartemen/instansi terkait serta peningkatan akurasi data oleh

departemen/instansi terkait.

1.2. Perumusan Masalah.

Meskipun UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat

dan Daerah telah diterapkan beberapa tahun, namun berbagai permasalahan masih tetap

muncul, terutama soal desentralisasi fiskal dan kewenangan pengelolaan sumber daya

alam(SDA). Daerah-daerah yang APBDnya masih didominasi besarnya jumlah alokasi

dari DBH merasa belum bisa merasakan manfaat DBH. Bahkan mereka mengklaim

pembangunan di daerahnya menjadi tertinggal dibanding dengan daerah lainnya. Terkait

dengan masalah tersebut maka masalah dirumuskan dengan “ Bagaimana meningkatkan

optimalisasi peranan DBH dalam pelaksanaan pembangunan daerah, khususnya DBH

SDA bagi daerah kaya?”

1.3. Tujuan Riset.

Page 8: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka secara umum tujuan

roset ini adalah untuk melihat seberapa efektif mekanisme penyaluran DBH. Sedangkan

tujuan khusus adalah :

1. Menilai kontribusi DBH bagi pembangunan daerah.

2. Mengindentifikasikan faktor-faktor pendorong dan penghambat efektifnya peran

DBH bagi pembangunan daerah.

3. Menyusun mekanisme DBH yang tepat, cepat dan transparatif yang mengarah

pada transparasi good governance.

BAB II

Page 9: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

KERANGKA TEORITIS

Riset optimalisasi peran DBH dalam pembangunan daerah ini berbasis

pada konsep negara kesejahteraan. Beberapa ahli menyatakan bahwa peran negara juga

dimungkinkan untuk ikut serta dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Tujuan negara

dalam konsep negara kesejahteraan adalah mewujudkan kesejahteraan setiap warganya.

Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan meningkatkan

pelayan umum. Tjosvold sebagaimana dikutip Wasistiono (2003 : 42) menyatakan

melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun sebagai kehormatan merupakan

dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi.

Hal itu sejalan dengan pemberian otonomi daerah yang diarahkan untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan, dan peran serta masyarakat (Darise 2006 : 14). Pemberian otonomi

kepada daerah dituangkan dalam Undang-Undang No.22 tahun 1999 dan disempurnakan

dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pelimpahan

wewenang ini dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat kepada

daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan disempurnakan

dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah

ada otonomi bagi pemerintah daerah. Jadi kedua Undang-undang ini saling melengkapi

(Ismail, 2002).

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana suatu

masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator

ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud adalah sumber

daya perencanaan yang meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Bakley, 1989).

Konteks perencanaan pembangunan ekonomi daerah bukanlah perencanaan dari suatu

daerah akan tetapi perencanaan untuk suatu daerah yang bisa dianggap sebagai

perencanaan untuk memperbaiki berbagai sumber daya publik yang tersedia di daerah

tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan sumber-

sumber daya swasta yang bertanggung jawab (Kuncoro, 2004).

Page 10: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

Pada era otonomi, terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab

dalam pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Pergeseran baru dalam hal pertanggungjawaban masih belum sepenuhnya komplit

(World Bank, 2003). Desentralisasi “bing bang” mungkin telah meninggalkan perangkat

checks and balances yang belum memadai; sesuatu yang tidak mempertimbangkan

kapasitas dalam berbagai hal (Kaiser and Hofman, 2002). Dalam banyak hal, masih

belum jelas apakah konstituensi local benar-benar telah merefleksikan keinginan public

yang sesungguhnya (Usman, 2001).

Penyelenggaraan otonomi daerah yang digulirkan pada awal tahun 2001

telah memberikan berbagai implikasi baik nasional maupun regional. Pada tingkat

regional, kebijakan ini merupakan upaya kemandirian daerah untuk memberdayakan

sumber daya yang tersedia. Bagi daerah yang surplus, otonomi daerah atau dikenal juga

desentralisasi fiscal merupakan sumber kesejahteraan masyarakat untuk lebih

meningkatkan taraf hidupnya. Sebaliknya bagi pemerintah daerah yang minus dan masih

mengharapkan kucuran dana dari pemerintah pusat, kebijakan ini sangat memberatkan.

(Siregar 2001 : 298) mengemukakan bahwa bagi banyak daerah, pengeluaran untuk

pembangunan tahun 2001 (setelah otonomi daerah/desentralisasi) lebih rendah dari pos

pengeluaran yang sama tahun anggaran 2000 (sebelum desentralisasi).

Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana Perimbangan, Pinjaman daerah dan

lain-lain pendapatan yang sah (hibah dan dana darurat) merupakan sumber-sumber

keuangan untuk pembiyaaan pembangunan ekonomi daerah. (Kuncoro, 2004). Setelah

tujuh tahun (2001-2008) pelaksanaan otonomi daerah, komponen dana perimbangan

masih mendominasi pendanaan pembangunan di daerah. Hal ini menunjukkan tingginya

ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap uluran tangan pemerintah pusat.

Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah mempunyai dampak langsung terhadap

keberhasilan otonomi daerah dan sumbangan yang besar dalam upaya mewujudkan good

governance.

Sejalan dengan upaya perwujudan otonomi daerah dan good governance,

maka tepatlah untuk memerhatikan masalah akuntabilitas. Dalam konteks birokrasi

pemerintah, akuntanbilitas adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk

Page 11: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

mempertanggungjawabkan keberhailan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi yang

bersangkutan (LAN dan BPKP, 2000). Hakikat otonomi daerah harus tercermin dalam

pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan,

penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.

Page 12: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

BAB III

METODE RISET

A. Lokasi Riset ini berada di dalam lingkup Ditjen Perbendaharaan baik yang dipusat

maupun instansi daerahnya khususnya yang berkenaan dengan mekamisme

penyaluran Dana Bagi Hasil baik dana bagi hasil Pajak maupun Dana Bagi Hasil

Sumber Daya Alam.

B. Teknis Pengumpulan Data.

Teknis pengumpulan data yang digunakan dalam riste ini adalah menggunakan

wawancara tidak terstruktur berupa pertanyaan pada responden. Selain itu, juga

menggunakan pengematan bebas terstruktur dengan pihak terkait guna memperdalam

hasil yang didapatkan dalam sebaran wawancara dari responden, sehingga

mempertajam dan memperjelas hasil dari wawancara.

C. Teknik Analisis Data

Untuk menjawab Permasalahan, analisis riset ini menggunakan analisis data

kualitatif, untuk menghasilkan data deskriptif- analitis. (Soemitro, 1993 : 93).

Analisis ini dipilih karena sangat fleksibel dan tidak terstruktur sehingga

memudahkan pencarian ide serta petunjuk mengenai situasi permasalahan.

Page 13: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

BAB IV

PEMBAHASAN

Dari riset ini ditemukan bahwa Dana bagi hasil dalam pembangunan

daerah memiliki peranan yang sangat strategis, terutama daerah-daerah yang kaya akan

sumber daya alam. Dana bagi hasil yang merupakan bagian dari otonomi daerah memang

memberikan pengaruh yang signifikan atas daerah-daerah kaya sumber daya alam.

Daerah-daerah kaya sumber daya alam ini langsung melejit pembangunannya, dengan

uang yang berlimpah mereka langsung bisa membangun beragam fasilitas yang

diinginkannya. Namun sangat disayangkan hal itu hanya terjadi sesaat, karena dana

perimbangan dari pemerintah pusat sering terlambat turun.

Keterlambatan atas penyaluran dana perimbangan ini sangat mengganggu

sistem perencanaan pembangunan di daerah. Baik mekanisme penyaluran/pencairan

DBH PPh maupun mekanisme pencairan SDA adalah praktek pembagian triwulanan

yang tidak tepat waktu merupakan keluhan utama bagi daerah-daerah. Pemerintah telah

berupaya untuk menyempurnakan berbagai peraturan atas mekanisme penyaluran Dana

Bagi Hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, namun hingga tahun 2007

berakhir masih banyak kita temui keterlambatan-keterlambatan ini, bahkan kalau boleh

dibilang belum banyak kemajuan yang didapat dibanding dengan tahun-tahun

sebelumnya.

Berikut adalah daftar DIPA Dana Bagi Hasil (DBH) yang telah diterbitkan oleh

Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan selama tahun 2007.

DAFTAR DIPA DANA BAGI HASIL

NO JENIS DIPA JUMLAH Tanggal       

1 DBH PBB TAHAP I & II 1,036,767,117,785 9 Maret 2007

2 DBH BPHTB TAHAP I & II 808,484,998,847 9 Maret 2007

3 DBH PPh TRW I 4,483,224,000,000 9 Maret 2007

Page 14: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

4 DBH PSDH TRW I (KEHUTANAN) 30,318,098,264 13 Juni 2007

5 DBH IIUPH TRW I (KEHUTANAN) 7,398,361,520 13 Juni 2007

6 DBH MINYAK BUMI TRW I (MIGAS) 2,750,292,766,859 13 Juni 2007

7 DBH GAS TRW I (MIGAS) 2,074,439,061,931 13 Juni 2007

8 DBH PERIKANAN TRW I 26,006,572,684 25 Juni 2007

9 DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW I 170,587,254,579 25 Juni 2007

10 DBH PKP2B TRW I 426,285,841,953 25 Juni 2007

11KURANG BAYAR KEHUTANAN PSDH 179,015,882,498 26 Juni 2007

12KURANG BAYAR KEHUTANAN IIUPH 12,035,219,193 26 Juni 2007

13KURANG BAYAR KP 35,320,817,841 28 Juni 2007

14KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM TRW I

509,639,233,224 27 Agustus 2007

15DBH MINYAK BUMI TRW II (MIGAS) 2,589,945,697,793 31 Juli 2007

16DBH GAS TRW II (MIGAS) 2,141,804,618,266 31 Juli 2007

17DBH PERIKANAN TRW II 11,610,764,000 16 Agustus 2007

18DBH PSDH TRW II (KEHUTANAN) 126,793,224,250 15 Agustus 2007

19DBH IIUPH TRW II (KEHUTANAN) 17,381,897,880 15 Agustus 2007

20DBH SDA-DR (KEHUTANAN) TR II 182,182,737,933 11 September 2007

21DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW II 176,401,586,148 28 Agustus 2007

22DBH PKP2B TRW II 530,713,914,947 28 Agustus 2007

23DBH PERIKANAN TRW III 28,338,208,800 5 Nopember 2007

24DBH MINYAK BUMI TRW III (MIGAS) 3,167,671,708,885 5 Nopember 2007

25DBH GAS TRW III (MIGAS) 2,110,170,316,845 5 Nopember 2007

26KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM TRW II

374,322,842,667 5 Nopember 2007

27DBH PKP2B TRW III 445,263,314,038 5 Nopember 2007

28DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW III 171,549,526,358 5 Nopember 2007

Page 15: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

29DBH PSDH TRW III (KEHUTANAN) 118,558,094,459 1 Nopember 2007

30DBH SDA-DR (KEHUTANAN) TR III 106,775,956,491 1 Nopember 2007

31KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM TRW III

490,848,252,890 6 Desember 2007

32DBH PERIKANAN TRW IV 16,516,792,160 10 Desember 2007

33DBH MINYAK BUMI TRW IV (MIGAS) 3,679,345,654,699 10 Desember 2007

34DBH GAS TRW IV (MIGAS) 2,573,272,516,218 10 Desember 2007

35DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW IV 165,278,588,170 13 Desember 2007

36DBH PSDH TRW IV (KEHUTANAN) 85,011,634,112 13 Desember 2007

37DBH SDA-DR (KEHUTANAN) TR IV 89,119,915,673 13 Desember 2007

38DBH IIUPH TRW IV (KEHUTANAN) 21,300,395,000 13 Desember 2007

39KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM TRW IV

285,854,710,969 18 Desember 2007

40DBH PKP2B TRW IV 424,786,581,062 18 Desember 2007

41 DBH PPh TRW IV 3,458,187,182,946 18 Desember 2007

42DBH KURANG BAYAR PERPAJAKAN TA 2005 DAN 2006

43,247,880,423 18 Desember 2007

43 DBH PBB TAHAP III 1,243,002,482,215 19 Desember 2007

44 DBH BPHTB TAHAP III 2,627,201,153 19 Desember 2007

45 ESCROW Perikanan 77,527,662,356 28 Desember 2007

46 ESCROW Migas 3,370,055,298,506 28 Desember 2007

47 ESCROW Kehutanan 734,359,691,458 28 Desember 2007

Sumber : Direktorat Pelaksanaan Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan 2008.

Sampai dengan tahun 2007 hanya DBH PBB dan BPHTB yang dapat

disalurkan tepat waktu oleh pemerintah pusat, sedangkan DBH yang lainnya masih

mengalami keterlambatan. Untuk DBH Perpajakan bidang PPh masih ditemukan adanya

kurang bayar tahun 2005 dan 2006 sebesar Rp. 43.247.880.423, sehingga Direktorat

Jenderal Perbendaharaan menerbitkan DIPA untuk menutupi kekurangan tersebut pada

tanggal 18 Desember 2007. Problem lainnya juga terjadi atas DBH SDA bidang

Perikanan, migas dan kehutanan yang belum bisa disalurkan hingga tahun anggaran

Page 16: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

hampir berakhir. Hal itu disebabkan belum adanya rekonsiliasi antara departemen teknis,

daerah penghasil dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan.

Karena sistem anggaran kita tidak membolehkan dana tahun lalu dicairkan tahun

berikutnya maka untuk menghindari hangusnya dana tersebut di ambil kebijakan untuk

menerbitkan DIPA ESCROW atas dana-dana tersebut, dengan rincian untuk bidang

perikanan sebesar Rp. 77.527.662.356, untuk bidang migas sebesar Rp.

3.370.055.298.506 dan bidang kehutanan sebesar Rp. 734.359.691.458.

Keterlambatan DBH dinilai membuat pembangunan di daerah tidak

berjalan lancar. Dana yang harusnya bisa dialokasikan untuk triwulan I, misalnya, baru

dibayarkan pada triwulan II dan begitu juga bila dana itu digunakan untuk triwulan II,

baru diberikan di triwulan III. Pembayaran yang seharusnya dilakukan per

triwulan atau per 1 April, selalu meleset. Bahkan keterlambatan bisa

mencapai enam bulan. Hal itu berdampak terhadap aliran dana atau

cash flow daerah, khususnya daerah dengan APBD yang mengandalkan

dari sektor dana bagi hasil yaitu daerah daerah yang kaya migas seperti (NAD, Papua,

Riau, dan Kaltim). Keterlambatan ini juga merupakan penyebab utama banyaknya dana

daerah yang tidak termanfaatkan secara optimal dan akhirnya ditemukan banyaknya dana

pemerintah daerah yang tersimpan di bank dalam berbagai bentuk. Bahkan seandainya

dilakukan survey mendalam mungkin akan ditemukan bahwa semua pemda mempunyai

SBI karena untuk menyimpan DBH mereka yang turun di akhir tahun dan tidak ada

waktu untuk memanfaatkannya karena tahun anggaran hampir atau segera berakhir.

Berikut ini perhitungan APBD 2 (dua) di antara daerah yang kaya tersebut yaitu

ringkasan dari APBD sepropinsi Riau tahun 2007 dan APBD sepropinsi Kalimantan

Timur tahun 2007.

APBD Tahun 2007Total Se-Provinsi Riau

(dalam juta rupiah)

KODE DESKRIPSI NILAI1 PENDAPATAN DAERAH 14.915.545,701.1 Pendapatan asli daerah 1.691.632,741.1.1 Pajak daerah 930.763,141.1.2 Retribusi daerah  174.102,65

Page 17: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

1.1.3 Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 246.573,191.1.4 Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah 340.193,771.2 Dana perimbangan 12.884.828,171.2.1 Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak 9.974.351,861.2.2 Dana alokasi umum 2.629.743,401.2.3 Dana alokasi khusus 280.732,911.2.4 Lain-lain 0,001.3 Lain-lain pendapatan daerah yang sah 339.084,791.3.1 Hibah 2.000,001.3.2 Dana darurat  2.000,001.3.3 Dana bagi hasil pajak dari Propinsi dan Pemda lainnya 251.634,621.3.4 Dana penyesuaian dan otonomi khusus 61.862,171.3.5 Bantuan keuangan dari Propinsi atau Pemda lainnya 21.500,001.3.6 Lain-lain pendapatan daerah yang sah 88,002 BELANJA DAERAH 20.075.815,402.1 Belanja tidak langsung 5.465.594,172.1.1 Belanja pegawai 3.467.351,202.1.2 Belanja bunga 1.753,512.1.3 Belanja subsidi 17.547,022.1.4 Belanja hibah 14.958,052.1.5 Belanja bantuan sosial 1.186.230,612.1.6 Belanja bagi hasil kpd Prop/Kab/Kota dan Desa 329.803,192.1.7 Belanja bantuan keuangan kpd Prop/Kab/Kota dan Desa 390.717,102.1.8 Belanja tidak terduga 57.233,502.1.9 Lain-lain 0,002.2 Belanja langsung 14.610.221,232.2.1 Belanja pegawai 1.972.274,042.2.2 Belanja barang dan jasa 3.357.096,132.2.3 Belanja modal 9.280.851,06

Surplus/(Defisit) -5.160.269,703 PEMBIAYAAN DAERAH 6.945.406,383.1 Penerimaan pembiayaan 7.935.811,013.2 Pengeluaran pembiayaan 990.404,63

Sumber: Ringkasan Buku APBD

APBD Tahun 2007Total Se-Provinsi Kalimantan Timur

(dalam juta rupiah)

KODE DESKRIPSI NILAI1 PENDAPATAN DAERAH 16.889.409,93

Page 18: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

1.1 Pendapatan asli daerah 1.520.267,501.1.1 Pajak daerah 856.718,421.1.2 Retribusi daerah  247.612,421.1.3 Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 90.759,261.1.4 Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah 325.177,401.2 Dana perimbangan 14.225.429,331.2.1 Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak 10.853.824,211.2.2 Dana alokasi umum 3.017.915,001.2.3 Dana alokasi khusus 353.690,121.2.4 Lain-lain 0,001.3 Lain-lain pendapatan daerah yang sah 1.143.713,091.3.1 Hibah 6.100,811.3.2 Dana darurat  3.500,001.3.3 Dana bagi hasil pajak dari Propinsi dan Pemda lainnya 286.668,141.3.4 Dana penyesuaian dan otonomi khusus 24.500,001.3.5 Bantuan keuangan dari Propinsi atau Pemda lainnya 820.599,821.3.6 Lain-lain pendapatan daerah yang sah 2.344,322 BELANJA DAERAH 22.260.455,012.1 Belanja tidak langsung 5.585.198,692.1.1 Belanja pegawai 2.930.098,242.1.2 Belanja bunga 24.481,642.1.3 Belanja subsidi 9.375,002.1.4 Belanja hibah 129.825,742.1.5 Belanja bantuan sosial 947.651,732.1.6 Belanja bagi hasil kpd Prop/Kab/Kota dan Desa 423.598,052.1.7 Belanja bantuan keuangan kpd Prop/Kab/Kota dan Desa 1.030.514,042.1.8 Belanja tidak terduga 89.654,252.1.9 Lain-lain 0,002.2 Belanja langsung 16.675.256,322.2.1 Belanja pegawai 1.598.185,992.2.2 Belanja barang dan jasa 4.093.128,112.2.3 Belanja modal 10.983.942,22

Surplus/(Defisit) -5.371.045,083 PEMBIAYAAN DAERAH 5.775.231,163.1 Penerimaan pembiayaan 6.531.946,823.2 Pengeluaran pembiayaan 756.715,66

Sumber: Ringkasan Buku APBD

Dari tabel diatas terlihat bahwa untuk wilayah se propinsi Riau sumber

APBDnya 66,88% adalah dana bagi hasil .Demikian halnya dengan Propinsi Kalimantan

Timur sumber APBD nya 64,27 % berasal dari dana bagi hasil. Karena begitu besarnya

Page 19: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

presentase DBH terhadap APBD maka kelambatan atas penerimaan bagian DBH

dimaksud sangat mempengaruhi kelancaran pembangunan di daerah-daerah yang kaya

SDA. Bahkan banyak pengamat ekonomi mengatakan bahwa daerah-daerah yang surplus

bagi hasilnya justru mengalami kelambanan dalam pembangunan daerahnya yang

disebabkan kelambatan dari pemerintah dalam menyalurkan DBH bagian daerah.

Penyaluran ke daerah yang tidak on time mengakibatkan seringnya keluhan daerah yang

menganggap model serta mekanisme bagi hasil SDA tidak transparan. Daerah tidak dapat

mengetahui bagaimana mekanisme produksi, biaya produksi dan penjualan dari hasil

sumber daya alam..

Model Baru Penyaluran DBH.

Kalau di lihat dari hal-hal tersebut di atas, sampai saat ini PBB dan

BPHTB merupakan mekanisme yang dianggap paling bagus dan efektif sehingga sampai

saat ini memang tidak menimbulkan problem ataupun sudah dianggap sebagai

mekanisme yang paling bagus, namun jika dicermati lebih mendalam dan kajian khusus

maka bisa ditemukan belum tepatnya system tersebut. Perlu diketahui PBB sendiri

mempunyai beberapa sektor yi : Sektor pertambangan 70 % bag Direktorat Jenderal

Pajak, 30% bagian daerah, sektor kehutanan 65% Direktorat Jenderal Pajak dan 35%

bagian daerah, sektor perkotaan 20% Direktorat Jenderal Pajak, 80% bagian daerah,

sektor perdesaan 10% Direktorat Jenderal Pajak, 90% daerah, sector perkebunan 40%

bagian Direktorat Jenderal Pajak dan 60 % untuk bagian daerah. Tiga sektor terakhir dan

BPHTB layak di daerahkan karena sifat dan naturenya tetap. Pemerintah pusat hanya

mengadministrasikannya melalui KPPN selaku institusi Perbendaharaan di daerah, jadi

pemerintah pusat tahu seberapa besar kekuatan daerah.

Agar pembagian dan penyaluran DBH PPh pasal 21 dan PPh pasal 25/29

WPOPDN bagian pemerintah daerah tidak mengalami keterlambatan, hendaknya diikuti

model penyaluran DBH PBB dan BPHTB dengan sedikit modifikasi terutama untuk

DBH PPh pasal 25/29 karena adanya kemungkinan adanya restitusi kepada wajib pajak.

Dengan mengacu pada mekanisme PBB dan BPHTB maka akan dapat memperpendek

jalur penyaluran juga mempercepat proses penyaluran ke masing-masing rekening kas

Page 20: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

daerah bersangkutan sehingga daerah dapat menerima DBH PPh tepat waktu serta

menghindari adanya kelebihan bayar sebagaimana saat ini lazim terjadi bagi daerah-

daerah yang alokasi definitifnya lebih rendah dari alokasi sementaranya.

Seperti halnya DBH yang lain, mekanisme SDA juga selayaknya

mengadopsi system PBB dan BPHTB dengan didahului pendalaman dan pengkajian yang

mendalam. Hendaknya peraturan tentang tatacara penghitungan dan pembagian diatur

secara terbuka dan transparan untuk dilaksanakan di KPPN dan diketahui oleh semua

pihak. Mekanismenya sebagai berikut :

1. Daerah penghasil/ rekanan menyetor hasil SDA ke rekening Kas Negara dan

melaporkan kepada KPPN selaku institusi perbendaharaan didaerah atas penyetoran

yang dilakukan.

2. KPPN melakukan verifikasi atas penyetoran tersebut, dan melakukan rekonsiliasi

dengan dinas terkait dengan waktu yang ditentukan, misalnya seperti yang dilakukan

saat ini. Rekonsiliasi dilakukan dengan instansi terkait dengan KPPN tiap bulan.

Setelah rekonsiliasi dilakukan dibuat berita acara dan ditanda-tangani oleh masing-

masing pihak.

3. Hendaknya dengan berita acara tersebut KPPN diberi wewenang untuk melakukan

transfer atas bagian-bagian pihak yang terkait : pemerintah daerah penghasil, non

penghasil dan pemerintah pusat sesuai dengan porsi pembagian dana bagi hasil.

4. KPPN dan instansi terkait melaporkan berita acara dimaksud ke menteri keuangan

dan menteri Energi Sumber Daya Mineral dan Pemerintah daerah terkait.

5. Di akhir tahun pemerintah pusat (Departemen Keuangan dan Departemen Energi

Sumber Daya Mineral) melakukan penetapan atas pagu difinitif dan melakukan

rekonsiliasi data berapa sebenarnya hak atas DBH SDA, jika ditemukan adanya

kekurangan penyaluran maka pemerintah pusat akan melalukan klarifikasi atas

kekurangan tersebut. Kalau hal ini disebabkan kelebihan target maka atas pemerintah

daerah dimaksud berhak atas insentif dan melakukan transfer atas kekurangan

dimaksud. Sebaliknya jika ada kelebihan penyaluran maka bisa diperhitungkan tahun

berikutnya.

Dengan system tersebut diharapkan tranparasi good governance terjadi, begitu juga

ketepatan dan kecepatan atas penyaluran DBH pun terjadi sehingga daerah dapat

Page 21: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

menghitung dengan tepat berapa dana yang dimiliki untuk melakukan pembangunan di

daerahnya. Selanjutnya DBH bisa termanfaatkan secara optimal dalam pembangunan

daerah. Wallahu alam.

Referensi:

1. Blakley, E, (1989), Planning Local Economic Development : Theory and

Practices “ California : Sage Oublication, Inc

2. Darise N (2006), Pengelolaan Keuangan Daerah, PT Indeks 2006.

3. Depkeu, Nota Keuangan dan UU RI No. 19 tahun 2001 tentang APBN Ta.2002.

4. Depkeu, Nota Keuangan dan UU nomor 18 tahun 2006 tentang APBN 2007

5. Hofman, B and Kaiser, K, (2004) “ The Making of Big Bang and its Aftermath :

A Political Economy Perpective” Georgia : Andrew Young School of Policy

Studies. Georgia State University

6. Ismail, M, (2002). “ Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah”. Malang :

FE Unibraw

7. Kuncoro, M., (2004) “ Otonomi Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi dan

Peluang”. Jakarta : Penerbit Erlangga

8. Lembaga Administrasi Negara dan BPKP (2000), Akuntabilitas dan good

governance.

9. Sadu Wasistiono (2003), Kapita Selekta Manajemen Pemerintah Daerah,

Fokusmedia, Bandung

10. Siregar, R.Y., (2001) “ Survey of Recent Developmenta” Bulletin of Indonesia

Economic Studies, Vol 37, No.3 (Desember 2001)

11. Soemitro RH, (1994), Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,

Jakarta.

12. Usman, S., (2001) “ Indonesia’s Decentralizing Policy : Initial Experiences and

Emerging Problems” Semetu Working Paper.

13. World Bank., (2003 A). “ Decentralizing Indonesia : A Regional Public

Expenditure Review Overview Report” Report No.26191

Page 22: Optimalisasi DBH Jurnal (Final)

Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Informasi Perpajakan Akuntansi dan

Keuangan Publik, Universitas Trisakti, Vol 3 No.1, Januari, 2008