pemberlakuan syari'atislam di nanggroe aceh darussalam (nad)

16
Pemberlakuan Syari'at Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) M. Abdul Kholiq Abstrak The application of Islamic Syahah to Nangroe Aceh Darussalam which has aiready obtained speciai autonomy, based on its historicaiiy background which hasa specific nature and it has already become the ideology and political agenda of the society. In addition, there is a justification based on the reiigious doctrine in theory of Islamic Law Reception Authority, and it aiso is supported by the historicai facts. Even, the application of Islamic Syariah especiaily to the adherent of religion, it becomes Constitutional Right to the Moslems in Indonesia. It should become the obligation ofa State to facilitate and guarantee the realization. Pendahuluan disahkan dan menjadi bagian dari hukum Salah satu fenomena yang terlihat sejak positif yang mengatur kehidupan mereka. reformasi bergulir dalam kehidupan bangsa f^'s^lnya Perda No.1/2000 di daerah Indonesia iaiah muncuinya aspirasi masyarakat Taslkmalaya^ dan Perda No. 2/2000 di daerah muslim di berbagai daerah yang menghendaki Cianjur.^ Sedangkan beberapa daerah lain lagi agar syari'at Islam dapat diberlakukan di negeri Provinsi Banten, Sulawesi Selatan dan ini, minimal di wilayah mereka. Kabupaten Garut tampaknya juga sudah lama Beberapa waktu yang lalu di Sumatra ^srlihat adanya berbagai persiapan oieh Barat misalnya, aspirasi tersebut antara lain keiompok-keiompok masyarakat muslim terlihat dari kuatnya keinginan masyarakat SQtsmpat untuk menuju ke arah yang sama setempat untuk memiliki sebuah Peraturan peniberlakuan bahkan pemformaiisasian Daerah (Perda) bernuansakan Islam yang bisa syari'at Islam.'' Saat proses Pertiilihan Kepala menjadi dasar yuridis untuk memberantas daerah (Pllkada) berlangsung pada perte- sejumlah kemaksiatan di wilayahnya.' Di f^O^han 2005 ini, di sejumlah daerah tertentu daerah lain, Perda serupa bahkan sudah seperti Medan Sumatra Utara, aspirasi rakyat ' Majalah Sabili, Edisi No. 2Tahun IX, 18 Mel 2001. 2 Majalah Forum Keadiian. Edisi No. 7, tanggal 20 Mei 2001. 3 Ibid. ^M. Imaduddin Rahmat, JalanAlternatifSyari'atls!am,anM6a\am Majalah TashwirulAfkar, Lakpesdam -TAP, Jakarta, Edisi No.12Tahun 2002. 60 JURNAL HUKUM. NO. 29 VOL. 12 MEI 2005; 60 - 75

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Pemberlakuan Syari'at IslamDi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

M. Abdul Kholiq

AbstrakThe application of Islamic Syahah to Nangroe Aceh Darussalam which has aiready obtainedspeciai autonomy, based on its historicaiiy background which hasa specific nature and ithas already become the ideology and political agenda of the society. In addition, there isajustification based on the reiigious doctrine in theory of Islamic Law Reception Authority,and it aiso is supported by the historicai facts. Even, the application of Islamic Syariahespeciaily to the adherent ofreligion, itbecomes Constitutional Right to the Moslems inIndonesia. It should become the obligation ofa State to facilitate andguarantee therealization.

Pendahuluan disahkan dan menjadi bagian dari hukumSalah satu fenomena yang terlihat sejak positif yang mengatur kehidupan mereka.

reformasi bergulir dalam kehidupan bangsa f '̂s^lnya Perda No.1/2000 di daerahIndonesia iaiah muncuinya aspirasi masyarakat Taslkmalaya^ dan Perda No. 2/2000 di daerahmuslim di berbagai daerah yang menghendaki Cianjur.^ Sedangkan beberapa daerah lain lagiagar syari'at Islam dapat diberlakukan di negeri Provinsi Banten, Sulawesi Selatan danini, minimal di wilayah mereka. Kabupaten Garut tampaknya juga sudah lama

Beberapa waktu yang lalu di Sumatra ^srlihat adanya berbagai persiapan oiehBarat misalnya, aspirasi tersebut antara lain keiompok-keiompok masyarakat muslimterlihat dari kuatnya keinginan masyarakat SQtsmpat untuk menuju ke arah yang samasetempat untuk memiliki sebuah Peraturan peniberlakuan bahkan pemformaiisasianDaerah (Perda) bernuansakan Islam yang bisa syari'at Islam.'' Saat proses Pertiilihan Kepalamenjadi dasar yuridis untuk memberantas daerah (Pllkada) berlangsung pada perte-sejumlah kemaksiatan di wilayahnya.' Di f^O^han 2005 ini, di sejumlah daerah tertentudaerah lain, Perda serupa bahkan sudah seperti Medan Sumatra Utara, aspirasi rakyat

' Majalah Sabili, Edisi No. 2Tahun IX, 18Mel 2001.2Majalah Forum Keadiian. Edisi No. 7, tanggal 20 Mei 2001.3 Ibid.

^M. Imaduddin Rahmat, JalanAlternatifSyari'atls!am,anM6a\am Majalah TashwirulAfkar, Lakpesdam-TAP, Jakarta, Edisi No.12Tahun 2002.

60 JURNAL HUKUM. NO. 29 VOL. 12 MEI 2005; 60 - 75

Page 2: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Kholiq. Pemberlakuan Syari'at Islam Di Naggroe Aceh Darussalam (NAD)

mengenai hal tersebut pun masih terus bahkan terlihat lebih menonjol dan progresif.®bermunculan. Indikasinya antara lain tampak Hal demikian ini karena Aceh memangdari adanya tuntutan publik agar calon-calon memlliki hak historis yang bersifat khusus/ Dikepala daerah yang terpilih nanti bersedia samping hal itu juga memang sudah lama"teken kontrak politik" lebih dulu sebagai menjadi agenda perjuangan politik danbentuk komitmen untuk memberantas ideclogi masyarakatnya. Bahkan separatlsmekemakslatan yang dikenal dengan istilah yang dllakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka"pekat" (penyakit masyarakat). Karena hal itu (GAM) yang telah berlangsung puiuhan tahundiyakini merupakan tuntunan sekaligus dislnyalirjugaberkait dengan salahsatutuntutantuntutan syari'at Islam kepada ummatnya agar absolutnya yang menghendaki agar di daerahselalu melakukan amar ma'ruf nahi munkar.^ Aceh dapat diberlakukan syari'at Islam. Oleh

Bicara masalah aspirasi pemberlakuan karena itu, kebijakan pemerintah pusat Negarasyari'at Islam di suatu daerah di Indonesia Kesatuan Republik Indonesia (NKRl) dalamtentu tidak dapat lepas pula kaitannya dengan mengesahkan UU No.44/1999 tentang Penye-eksistensl Daerah Istimewa Aceh. Di daerah lenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerahyang kemudlan memperoleh otonomi khusus Istimewa Aceh dan UU No. 18/2001 tentangsebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah(NAD) ini, aspirasi mengenai masalah tersebut Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

®Dalam pemberitaan di berbagai media antara lain dlpubiikasikan bahwa proses Pemillhan Kepala DaerahLangsung untuk pasangan Wallkota dan Wakil Walikota Medan Sumatra Utara belakangan Ini sering dlwamaldengan unjuk rasa damai oleh sejumlah masyarakat muslim di kota tersebut untuk menyampaikan aspirasi agarwallkota terpilih benar-benar concern dan komit terhadap penegakan syari'at Islam.

®Berdasarkan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus BagI Provinsi Daerah Istimewa Aceh SebagaiProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pemerintah dan masyarakat muslim dl daerah ini memlliki legitimasi untukmemberlakukan syari'at Islam berdasarkan undang-undang (tidak sekedar Perda seperti daerah lain) sebagaisalah satu wujud/manifestasi kelstimewaannya.

^Dalam Harian Kompas edisi 13 Desember 2004 pada rubrik Teropong, diangkat tulisan tentang JejakIslam dlNAD. Dalam tulisan tersebut antara lain disebutkan bahwa kebesaran Kerajaan Samudra Pasai di Acehwaktu dulu sebagaimana termaktub dalam catatan musafir Ibnu Batutah adalah sangat nyata. Perannyasungguhsignifikan sebagai pintu gerbang penyebaran agama Islam ke hampir seluruh wilayah Nusantara bahkansebagian Asia Tenggara. Saat itu hampir semua muballig yang menyebarkan Islam dl Jawa dan daerah lainadalah berasal dari Pasai. Atas dasar ini, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tanpa keberadaanKerajaan Samudra Pasai di Aceh, Islam di Jawa dan tempat lain di Nusantara mungkin tidak akan pemah ada.Daiam konteks demikian maka kebanggaan orang Aceh terhadap Islam dan kebesaran masa laiu yang terrefleksiantara lain melalul tuntutan pemberlakuan syari'at Islam dewasa ini, memang patut dan harus dimengerti denganbijaksana. Pengakuan hak historis khusus ini juga terlihat dari salah satu bunyi konsideran (huruf b) UU No.18/2001 yang menyatakan "bahwa salah satu karakter khas yang alami didalam sejarah perjuanganrakyatAceh adalah adanya ketahanan dan dayajuang yang tinggiyang bersumberpada pandanganhidup, karakter sosial dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat sehingga daerah Acehmenjadidaerah modalbagiperjuangan dalam merebut dan memperiahankankemerdekaan Negara KesatuanRepublik Indonesia".

Page 3: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Damssalam disinyalirjuga merupakan kebijakan didukung oleh pandangan H.A.R Gibb dalampolitis yang dimaksudkan sebagai alat peredam teorinya "Penerimaan Autoritas Hukum ls!ani\^°konflik terutama dengan GAM tersebut. berkembangnya aspirasi tersebut secara umumWalaupun hal ini tidak sepenuhnya benar.^ juga memang dilatar belakangi oleh realitas

Dalam perspektif teori, munculnya sejarah. '̂ Bahkan menurut Hartono Mardjono,keinglnan kuat masyarakat muslim di berbagai masalah pemberiakuan syari'at Islam terutamadaerah tersebut di atas, tidaklah semata-mata kepada pemeluknya sesungguhnya merupakandidasari karena mayoritas penduduk Indonesia hak konstitusional .ummat muslim Indonesiaadalah beragama Isiam. Di samping ada (berdasarkanPasal29 UUD1945)yangmestinyajustifikasi berdasarkan doktrin agama^ yang menjadi kewajiban negara untuk menjamin dan

®Jawahir Thontowl, Self Detemination untuk Aceh: Sebuah Dilema Hukum, salah satuartlkei dalamkumpulan tulisan pada buku berjudu! Islam, Neo Imperiallsme dan Terrorisme: PerspektifHukum Intemasionaldan Nasional, Ull Press, 2004, him. 106.

®Doktrin agamayang dimaksud adalah ketentuan Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 208 yang berbunyi:Taaayyufialladziena aamanuu udkhuluufissilmikaaffah Esensi makna ayat ini memerintahkan agarsetlap mukmin hendaknya berislam (meyakini dan menjalankan ajaran Islam) secara kaaffah (total danmenyeluruh) balk dalam berakidah, bersyari'ah/berhukum maupun berakhlaq.

Berdasarkan doktrin agama yang bersumber pada Q;S Al-Baqarah:208 di ats, H.A.R Gibb dalamteorinya "Penerimaan Autoritas Hukum Islanf menegaskan bahwa ketundukan seorang muslim kepada hukumagamanya bukanlah didasarkan pada kesadaran/kerelaannya. Tetapi karena hal itu memang menjadi tuntutandan perlntah agama Islam kepada pemeluknya. Sehlngga wajar dan sudah seharusnya jika dalam kenyataanbanyakditemukan ummat Islam menjalankan kehidupan hukumnya berdasarkan hukum Islam tersebut. Uraianlebih rinci mengenai hal ini antara lain dapat dibaca tulisan lchtljanto,S.Atentang Pengembangan TeoriBeri^unyaHukum Islam Di Indonesia, salah satu kumpulan artikel dalam buku Hukum Islam di Indonesia: Perkembangandan Pembentukan, Tjun Surjaman (Ed.), Penerbit PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1991, him. 114-117.LIhat juga Bustanul Arlfin, Pelembagaan Hukum islam dUndonesia, Gema InsanI Press, Jakarta, 1996, hlm.35.

"Dalam riset yang kemudian melahlrkan teori yang dikenal dengan istilah Receptie in Complexu, L W.Christian Van Den Berg menjelaskan bahwa pemberiakuan syari'at Islam se^agal dasar penyelesaian yurldlsatas problema yang dihadapi masyarakat muslim Indonesia adalah memang sudah semestinya. Sebab kenyataansejarah terutama di beberapadaerah berbasis Islam (seperti Aceh, Makassar, Madura dan Iain-Iain) menunjukkanbahwa hukum Islam telah menjadi baglan dari InstitusI soslal yang digunakan dalam menyelesaikan berbagaipersoalan. Oleh karenanya sejarah juga menunjukkan bahwa pada masa pefnerintahan VOC maupun HindiaBelanda, berlakunya Syari'at Islam sebagai hukurn posltif bagi masyarakat muslim Indonesia tersebut pernahdilegitlmasl dalam aturan sefngkat konstltusi saat Itu yaknl "Compendium FreijeT dan Pasal 75 ayat (3) "RegeeringsReglemenf. RIset dan keslmpulan pandangan Van Den.Berg di atas iebih lanjut dapat dibaca dalam tulisanSayutI Thalib, Receptioa Contrario: Hubungan HukumAdatdengan Hukum Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1985,him. 7. LIhat juga M. Idrls Ramulya, Asas-Asas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya KedudukanHukum Islam dalam Slstem Hukum di Indonesia, SInar Graflka, Jakarta, 1995, him. 54. Sedangkan mengenaimasalah eksistensi Compendium Freijer dan Regeerings Reglement dapat dibaca K.N Sofyan Hasan danWarkum Sumitro dalam bukunya Dasar-Dasart\/lemahamiHukum Islam di Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya,1994, him. 140.

62 JURNAL HUKUM. NO. 29 VOL 12 MEI2005; 60 - 75

Page 4: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Kholiq. Pemberlakuan Syari'at Islam Di Naggroe Aceh Darussalam (NAD)

merhfasilitasi perwujudannya.^^Terlepas dari sinyalemen politik

sebagaimana dipaparkan terdahulu, ada satuhal yang patut digaris bawahi berkait dengantema pokok tulisan ini yaitu masalahpemberlakuan syari'at Islam di Nanggroe AcehDarussalam. Bahwa respon mengenai haltersebut seharusnya tidak boleh dlpandangcukup hanya dengan telah diakomodasi dandilegitimasinya melalui perundang-undanganyang ada.'̂ Karena di luar ilu, masih banyakagenda lain yang mesti harus dikerjakan ataudisempurnakan agar wacana pemberlakuansyari'at Islam di NAD benar-benar memilikifundamen kuat (prospektif) dan bersifatoperasional alias tidak problematik serta tidakterus menerus hanya menjadi diskursus.Berbagai agenda tersebut misalnya berkaitdengan penyempurnaan dasar hukum,kualitas dan kuantitas sumber daya manusia(SDM) aparat, sarana prasarana dan Iain-Iainyang memang sangat penting untuk mendu-kung efektifitas implementasi syari'at Islamdalam praktik peradilan.

Harus dipahami bahwa efektifitas tersebuttentu membutuhkan kejelasan konsep/batasan tentang hukum (syari'at) Islam yanghendak diberlakukan balk itu berupa hukummateriel, formil maupun eksekutorielnya.Begitupun dengan aparat pelaksananya. Jikasyari'at islam yang hendak ditegakkan adalahbidang pidana publik yang disebut jinayat

Hartono Mardjono, Menegakkan Syari'at Islam dalam Konteks Ke-lndor^eslaan, Mlzan, Bandung,1997, him.28.

'̂ Selain UU No.44/1999 dan UU No.18/2001, masalah pemberlakuan syari'at Islam di Nanggroe AcehDarussalam juga telah diatur lebih lanjut dalam perundang-undangan lain baik berupa payung hukum nasionalmaupun regional (semacam Perdayang dl Aceh disebut dengan istilah Qanun). Misalnya Keputusan Preslden(Keppres) No.11/2003 tentang Mahkamah Syar'iyyah, Qanun Provlnsi NAD No.10/2002 tentang PeradilanSyari'at islam dan Qanun Provinsi NAD No.11/2002 tentang Pelaksanaan Syar'ah Islam Bidang Aqidah. JbadahdanSyi'ar islam.

misalnya, maka konsekuensinya-'̂ ^tentumembutuhkan personil-personil handai'dalamjajaran kepolisian, kejaksaan maupunkehakiman yang sungguh-sungguh menguasaiketentuan hukum pidana Islam {jinayat} tersebut.

Bertolak dari peta permasalahan di atas,maka maksud kehadiran tulisan ini iaiahmencoba untuk memberikan sedikit kontribusiakademik dalam rangka merealisasikanberbagai agenda tersebut.

Dasar Yuridis dan Prospektifitas

Dalam Pasal 18 B ayat (1) DUD 1945hasil Amandemen Kedua, dinyatakan bahwa;"Negara mengakul dan menghormati satuan-satuan pemerlntahan daerah yang bersifatkhusus atau bersifat istimewa yang diaturdengan undang-undang". Selanjutnya dalamayat (2)-nya ada penegasan pula bahwa: "Negaramengakul dan menghormati kesatuan-kesatuanmasyarakat hukum adat beserta hak-haktradlsionalnya sepanjang masih hidup dan sesuaidengan peikembangan masyarakat dan prinsipNegara Kesatuan Republik Indonesia yang diaturdalam undang-undang".

Bagi daerah Aceh, jaminan konstitusionaltentang pengakuan dan penghormatanterhadap keistimewaan yang dimilikinyatersebut, sesungguhnya merupakan responsekaligus penegasan tentang keistimewaandaerah ini yang sebelumnya telah dinyatakan

63

Page 5: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

dalam Ketetapan MPR No.lV/MPFI/1999 dankemudian dijabarkan dalam UU No.44/1999tentang Penyelenggaraan KeistimewaanProvinsi Daerah Istimewa Aceh.

SubstansI UU No.44/1999 sendirl, secarakeseluruhan sebenarnya menegaskan 4(empat) keistimewaan yang dimlliki Aceh.Pertama, ialah keistimewaan untuk dapatmenerapkan syari'at Islam dl seluruh aspekkehidupan masyarakat. Kedua, menggunakankurikulum pendidikan berdasarkan syari'at Islamtanpa mengabalkan kurikulum umum. Ketiga,memasukkan unsur adat dalam strukturpemerintahan desa {keuchik). Keempat,mengakui peran ulama dalam penetapankebijakan daerah.'-*

Khusus untuk mewujudkan keistimewaanpertama yakni penerapan syari'at Islam dalamkehidupan bermasyarakat, pada tanggal 9Agustus 2001 telah disahkan UU No.18/2001tentang Otonoml Khusus BagI Provinsi DaerahIstimewa Aceh Sebagai Provinsi NanggroeAceh Darussalam (NAD).

Regulasi UU No.18/2001 in! sebagianbesar lebih merupakan pengaturan terhadapmasalah struktur kelembagaan daerah Acehsebagai Provinsi NAD. Seperti susunan,kedudukan, kewenangan dan keuangan

pemerintah daerah Provinsi NAD, badan-badan eksekutif, legislatif maupun yudikatifdaerah dan lain sebagainya.

Sepanjang berkait dengan masalahImplementasi syari'at Islam dan penegakanhukum terhadap peianggaran syari'at tersebut,undang-undang ini hanya mengatur keberadaanbeberapa lembaga spesifik. Seperti MahkamahSyar'iyyah Provinsi dan Mahkamah SyaKiyyahtingkat kabupaten serta keberadaan lembagakepolisian dan kejaksaan di daerah Aceh sebagaiprovinsi NAD. Sekali lagi hal inipun hanya bersifatpengaturan eksistensial kelembagaan.

Jadi hal-hal yang bersifat substansi hukum,misalnya apa yang dimaksud dengan syari'atIslam yang hendak diberlakukan dan ditegakkan,mencakup bidang apa saja, bagaimanamekanlsme/prosedur penanganannya (a/-ahkaam al-murofa'ah) jika terjadi peianggarandan Iain-Iain, tampaknya tidak dijangkaupengaturannya oleh undang-undang ini.Undang-undang ini juga tidak menegaskanaturan mengenai apa saja yang merupakanfungsi, tugas dan kewenangan dasar MahkamahSyar'iyyah dan lembaga-lembaga lain terkaitseperti kepolisian dan kejaksaan daerahsebagai institusi resmi penyelenggaraperadilan di Aceh berdasarkan hukum Islam

"Topo Santoso, AspirasiSyari'at Islam Di Era OtorjomI, salah satu artikel dalam kumpulan tulisan padabuku berjudul Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari'at dalam Wacana dan Agenda, GemaInsani Press, Jakarta, 2003, him. 109. Periksa juga keseluruhan substansi darl UU No.44/1999. MenurutAzahari, empat keistimewaan Aceh yang ditegaskan dalam UU No.44/1999 tersebut, pada era 1959-ansebenarnya pernah dirumuskan sebagai konsap pemerintah pusat di bawah Tim yang diketua! oleh Mr. Hardidalam upaya menyelesaikan dan menclptakan kerukunan nasional di daerah Serambi Mekah ini. Namun dalamperjalanan waktu dan karena situasi politik represif saat itu yang terus berlangsung hingga akhir rejim OrdeBaru, cita-clta dan perjuangan untuk hidup dalam suasana Syari'at Islam di Aceh cenderung terhentl. MeskIbukan berarti "mati". Sebab saat angin reformasi berhembus, kelnglnan masyarakat Aceh tersebut kemballbangkitdan berproses hingga lahirdua undang-undang responsif yakni UU No.44/1999 dan UU No.18/2001.Selengkapnya mengenai hal ini dapat baca Azhari, Mengembalikan KejayaanAceh LewatMahkamah Syar'iyyah.Artikel dalam rubrlkSketsa, Warta Perundang-undangan, Edisi No.2403, tanggal 21 Oktober2004.

64 JUHNAL HUKUM, NO. 29 VOL 12 MEI2005; 60 - 75

Page 6: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Kholiq. Pemberlakuan Syari'at Islam Di Naggroe Aceh Darussalam (NAD)

tadi. Begitu pula tentang masalah hubungankelembagaan antara Mahkamah Syar'iyyahdengan lembaga-lembaga serupa di daerahlain ataupun dengan Mahkamah Agungsebagai puncak kehakiman di Indonesia.

Namun demikian, jika dicermati ketentuanPasal 31 undang-undang tersebut makaterlihat bahwa regulasi lebih rinci dan teknismengenai hal-hal di atasternyata diamanatkanakan diatur lebih lanjut dalam berbagaiperaturan perundang-undangan lain yanglebih rendah tingkatannya (seperti PeraturanPemerintah, Keppres, Qanun/Perda dansebagainya).'̂ Tentu dengan substansi yangrelevan. Jadi dapat dikatakan bahwa hakekatkeberadaan UU No.18/2001 in! sesungguhnyamerupakan undang-undang organik {UmbrellaAct) yang menjadi payung hukum bersifat dasarbag! pemberlakuan syari'at Islam di ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam.

Bertolak dari amanat UU No.18/2001 diatas maka pada tanggal 14 Oktober 2002pemerintah daerah Provinsi NAD telahmengesahkan berlakunya dua Qanun atau Perdasekaligus. Pertama iaiah Qanun Provinsi NADNo.10/2002 tentang Peradilan Syari'at Islam dankedua, Qanun Provinsi NAD No.11/2002 tentangPelaksanaan Syari'at Islam Bidang Aqidah,Ibadah dan Syi'ar Islam.Bahkan untuk

melengkapi aturan tentang ekslstensi leitibagaMahkamah Syar'iyyah sebagai institusipenyelenggara peradilan dalam rangkaimplementasi syari'at Islam dl Aceh, padatanggal 3 Maret 2003 pemerintah juga telahmengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres)No.11/2003.

Berdasarkan semua peraturan perundang-undangan yang telah dikemukakan di atas, makadapat disimpulkan bahwa dasar hukummengenai masalah pemberlakuan syari'at Islamdi NAD sesungguhnya sudah sangat kuat dankomprehensif. Karena semua bentuk landasanyuridis yang dibutuhkan mulai dari konstitusi,undang-undang, Keppres hingga peraturan-peraturan di bawahnya yang, terrendah sepertiQanun/Perda, telah dibuat dan disahkan untukmem-back up pemberlakuan syari'at Islamtersebut. Oleh karena ilu tidak ada keraguansedikitpun untuk menegaskan bahwapemberlakuan syari'at islam di Nanggroe AcehDamssalam sesungguhnya amat prospektif.

Hal demikian ini berbedadengan daerah-daerah lain yang pada umumnya hanyamemiliki dasar yuridis berupa Perda. Itupundengan cakupan atau ruang lingkup maknasyari'at Islam yang sangat terbatas. Yaknihanya berkait dengan penegakan hukumterhadap hal-hal yang merupakan larangan

'5 Secara lengkap buriyi Pasal 31 UU No.18/2001 yang terdlri atas dua ayat adalah sebagai berlkut: Ayat(1) "Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan pemerimntah ditetapkan denganPeraturan Pemerintah (PP}". Ayat (2) "Ketentuan pelaksanaan undang-undang Ini yang menyangkutkewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun (baoa. Perda -pen.)Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Sebelum kedua Qanun/Perda di atas lahir, pada tahun 2000 Pemerintah Daerah Istimewa Acehsebenamya telah pula mengesahkan 4(empat) perdasekaligus yang merupakan paket aturan dalam rangkamenlndak lanjuti lahimya UU No.44/1999. Empat Perda tersebut iaIah (1) Perda No.3/2000 tentang Tata KerjaMajelis Permusyawaratan Ulama (MPU); (2) Perda No.5/2000 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam di Aceh; (3)Perda No.6/2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan berbasis islam dan (4) Perda No.7/2000 tentangPenyelenggaraan Kehidupan Adat.

65

Page 7: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

syari'at yang disebut "ma'shiyyat atau secarasosiologis popular dengan sebutan "pekat"{panyakit masyarakat) berupa judi, porncgrafi,pornoaksi, narkoba, dan lain sebagainya."

Untuk menggambarkan luasnya cakupanmakna Syari'at Islam yang dimaksud danhendak diimplementasikan di Provinsi NADdibanding daerah lain, mungkin dapatdisebutkan ketentuan Pasal 1angka 1Qanun/Perda No.10/2002. Di sini dijelaskan bahwamakna Syari'at Islam itu meliputi tuntunanajaran islam dalam semua aspek kehidupanyang pada pokoknya terdiri atastiga substansiajaran yaitu aqidah, syari'ah (baik dalam art!aturan hukum mengenai ibadah maupunmu'amalah) dan akhlaqui kariemah. Ketigaajaran Islam tersebut, menurut bahasa hukumQanun/Perda No.11/2002 disebut denganistilah aqidah, ibadah dan syi'ar Islam.

Selanjutnya dalam Pasal 49Qanun No.10/2002 ditegaskan pula bahwa MahkamahSyar'iyyah sebagai iembaga resmi dalamkonteks implementasi Syari'at Islam di NAD,memiliki tugas dan wewenang memeriksa,memutus dan menyelesaikan perkara-perkarayang timbui di masyarakat dalam bidang ahwalas-syakhshiyyah. mu'amalah dan jinayah.Sedangkan yang dimaksud dengan substansitiga bidang perkara tersebut, menurutpenjelasan Pasal 49 Qanun itu sendiri adalahmencakup "ruang lingkup makna sebagaiberikut:

a. Bidang Ahwal As-Syakhshiyyah adalahmeliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal49 UU No.7/1989 tentang Peradilan Agamabeserta penjelasan dari pasal tersebut yaitumencakup masalah perkawinan, waris.

dan wasiat kecuall wakaf, hibah dansedekah;

b. Bidang Mu'amalah adalah meliputi hukumkebendaan dan perikatan seperti jual beli,hutang piutahg, qiradi (pemodalan),musaqah, muzara'ah, mukharabah (bagihasil pertanian), wakilah (kuasa), syirkah(perkongsian), 'aiiyah (pinjam meminjam),/7a/)u(penyitaan harta), syi;fe/i{haklanggeh),rahnun (gadai), ihyaa'ulmawat{pembukaanlahan), ma'din (tambang), luqathah (barangtemuan), perbankan, ijarah (sewamenyewa), takaful (asuransi), perburuhan,harta rampasan, waqaf, hisbah, shadaqahdan hadiah.

c. Sedangkan bidang Jinayah (perkara pidanamenurut ajaran Islam) adalah berupa kasusjarimah (tindak pidana) Hudt/cfyang meliputi:Zina (hubungan seksual antara lelaki danperempuan di luar ikatan pernikahan yangsah), Qadzaf (menuduh zina tanpa bukti),Saraqah (pencurian), Khirobah(perampokan), Syurbah (minuman kerasdan napza/narkoba), Riddah (keluar dariIslam/penghinaan terhadap ajaran Islam)dan Bughat (pemberontakan). Masihtermasuk yang dimaksud bidang jinayah iniadalah perkara dalam kasus jarimahQishash baik berupa tindak pidanapembunuhan ataupun penganiayaan dankasus jarimah ta'zier (tindak pidana di luarhudud dan qishash) seperti judi, khalwat,meninggalkan shalat fardlu serta puasaRamadhan dan lain sebagalnya.Kemudian dalam Qanun/Perda No.11/

2002 tentang Pelaksanaan Syari'at IslamBidang Aqidah, Ibadah dan Syi'ar Islam ada

''Perhatlkan misalnya beberapa isi peraturan daerah (Perda) yang sudah sah berlaku di suatu daerah.Seperti Perda No. 1/2000 untuk Daerah Tasikmalaya dan Perda No.2/20Q0 untuk Daerah Cianjur.

JURNAL HUKUM. NO. 29 VOL. 12MEI2005; 60-75

Page 8: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Kholiq. Pemberlakuan Syari'at Islam Di Naggroe Aceh Darussalam (NAD)

pula suatu ketentuan yang bersifat iebihmemperjelas bahkan memperluas cakupan-cakupan masalah yang harus ditaati o!ehmasyarakat muslim di Aceh yang jika dilanggarakan berkonsekuensi padapenuntutan pidana.Karena hal-hal itu telah ditetapkan sebagaijarlmah (tindak pidana/kriminal) yangpenanganannya juga menjadi kewenanganMahkamah Syar'iyyah. Misalnya ketentuanpada Bab Vlll Pasal 20-23 yang mengancampidana ('uqubah) tertentu padasiapapun yangmenyebarkan faham/aliran sesat dalamberaqidah Islam, tidak melaksanakan shclatfardlu (termasuk ibadah sholat jum'at), tidakmemberi kesempatan pada orang yang inginmendirikan sholat fardlu, tidak melaksanakanpuasa Ramadlan atau menyediakan fasilitas/peluang kepada muslim untuk tidakmelaksanakan puasa Ramadlan, dan tidakberbusana Islami.

Kriminalisasi terhadap hal-hal di atasadalah didasari oleh semangat agar setiapmuslim dapat tetap menjaga aqidah Islamnyasecara benar ('aqiedah shahiehah), dapatmeningkatkan pelaksanaan kewajibanibadahnya dan mampu memelihara hidupistiqomah dengan meiakukan syi'ar Islamsebagai agamanya.'®

Sekali lag!, bertolak dari paparanperundang-undangan di atas maka masalahpemberlakuan syari'at Islam di Nanggroe AcehDarussalam sesungguhnya merupakansesuatu yang sangat nyata prospek danpeluang implementasinya serta tidak lag)sekedar sebuah wacana. Hal ini karena dasarhukum, substansi hukum, kelembagaanhukum maupun kultur hukum masyarakat

Aceh yang dikenal Islami, semuanya telahtersedia sebagai fundamen pokok iintukkeperluan implementasi tersebut. Tentu harusdisadari pula dl sini bahwa ketersediaanberbagai fundamen tersebut tetap masihmembutuhkan penyempurnaan karenaadanya berbagai kelemahan yang terdapat didalamnya. Misalnya substansi hukum yangmasih belum dilengkapi dengan keberadaanhukum formil dan hukum eksekutorlel, belumterbentuknya beberapa lembaga tertentusebagai komplemen dan penunjang sistemperadilan Islam dan Iain-Iain.

Persoalannya sekarang adalah bagaimanamasyarakat Aceh dan pemerlntah daerahsetempat dapat menunjukkan kemauansekaligus kemampuan untuk menjawabberbagai kelemahan di atas agar implementasisyari'at Islam di daerah Aceh benar-benar bisaberjalan efektif dan optimal.

Dalam konteks demlkian, kiranya mutlakada langkah IdentifikasI sekaligus solusiterhadap berbagai hal yang menjadi problemaatau potensial dapat menghambat efektifitastersebut. Ini berarti diperlukan pencermatanspesifik tentang berbagai faktor yangberpengaruh terhadap berlakunya hukum/syari'at Islam dalam masyarakat NanggroeAceh Darussalam.

Faktor Pendukung Efektifitas

Dalam perspektif teori mengenai efektifitasberlakunya hukum di masyarakat, SoerjonoSoekanto pernah menjelaskan bahwa hal itusetidaknya dipengaruhl oleh 4 (empat) faktor.Pertama lalah kaidah hukum atau peraturan

Baca Penjelasan Umum Aleniake-7 dan 8Qanun Provlnsi Nanggroe Aceh Darussalam No.11/2002tentang Pelaksanaan Syari'at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi'ar Islam.

67

Page 9: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

yang diberlakukan itu sendiri. Kedua petugas/aparat yang menerapkan atau menegakkanhukum. Ketiga fasilitas/sarana prasarana yangdiharapkan dapat mendukung pelaksanaanhukum dan keempat warga masyarakat yangterkena ruang lingkup berlakunya hukumtersebut.'® Dalam bahasa lain yang lebihsederhana, Lawrance Friedmann sebagalmanadikutip oleh Satjipto Rahardjo juga pernahmenyatakan bahwa sesungguhnya minimal adatiga komponen sistem hukum sebagal subslstem yang berpengaruh terhadap bekerjanyahukum dalam masyarakat, yaltu: substansihukum (perundang-undangan), struktur hukum(kelembagaan termasuk professionalitas danintegritas aparat pelaksana hukum) dan kultur/budaya hukum sebagai nilai-nilai dan sikapmasyarakat yang mengikat sistem hukum itu-^"

Berdasar kerangka pikir di atas, makamasalah prospek dan efektifitas pemberlakuanSyari'at Islam di Nanggroe Aceh Darussalamsesungguhnya juga berkalt dengan setldaknya3 (tiga) faktor tersebut, yaitu:1. Faktor Substansi Hukum (dalam hal ini

adalah berupa Hukum/syari'at Islam balkaspek hukum materielnya, formllnyamaupun eksekutorlelnya)

2. FaktorStruktur/Kelembagaan Hukum sepertikepolisian, kejaksaan dan pengadilan yangspeslfik sebagai lembaga pelaksanaSyari'at Islam serta WilayatuI Hisbahsebagai lembaga pengawas pelaksanaan

Syari'at Islam. Termasuk dalam konteksStruktur/Kelembagaan Hukum ini iaiahprofesionalitas dan integritas moral aparatpelaksana hukum.

3. Faktor Kultur/Budaya Hukum MasayarakatAceh berkait dengan eksistensi syari'at Islamyang hendak diberlakukan dalamkehidupan mereka.Mengenai faktor pertama yakni substansi

hukum, meski dalam uraian terdahulu telahditegaskan bahwa semua pemndang-undangandari berbagai tingkatan dewasa ini telah dilahirkanuntuk memberikan landasan hukum dalamrangka mendukung upaya Implemenlasi syari'atIslam di NAD, namun bukan berarti bahwa segiperundang-undangan tersebut tidak lagi adapermasalahan.

Sebab sebagaimana diketahui bicaramengenai suatu aturan hukum yang hendakdilaksanakan, pada umumnya berkait dengankesiapan tiga aspek, yaitu (1) kesiapan hukummateriel yang ingin diberlakukan, (2) kesiapanhukum formilyang merupakan tatacara/proseduruntuk menegakkan hukum materiel saat teijadipelanggaran terhadapnya dan (3) kesiapanhukum eksekutoriel sebagai aturan tentangtatacara untuk melaksanakan hukum yang telahdiputuskan oleh lembaga pengadilan. Dalamkonteks demikian, maka masalah substansihukum sebagai faktor pokok pertama bag]efektifitas pemberlakuan syari'at Islam di NAD,harus dipahami bahwa hal itu memang masih

SperjonoSoekanto,Penega/fanHi/ta.BinaClpta,Jakarta,1983hlm.30. Keempat faktor di atas, olehBaharuddln Lopa diringkas dalam tiga point tentang syarat tegaknya hukum dan keadilan di masyarakat. Yaitu(a) adanya peraturann hukum yang sesual dengan aspirasi masyarakat; (b) adanya aparat penegak hukumyang profesional dan bermental tangguh atau memiliki integritas moral terpuji; dan (c) adanya kesadaran hukummasyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum. Selengkapnya mengenai hal ini dapatdibaca Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Bulan BintanaJakarta,1987, him. 3-4.

^Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1988, him. 106.

68 JURNAL HUKUM. NO. 29 VOL 12 ME! 2005; 60 - 75

Page 10: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Kholiq. Pemberlakuan Syari'at Islam Di Naggroe Aceh Darussalam (NAD)

ada sejumlah keiemahan/problema. Karenaselain regulasi dari aspek hukum materielnyabelum lengkap dan jelas, dari aspek hukumformil daneksekutorielnya pun j'uga belum adaperaturan perundang-undangannya.

Kelemahan atau problema mengenaimasalah di atas antara lain "diakui" sendiri olehQanun Provinsi NAD No. 10/2002 sebagaimanatercermin dari ketentuan Rasa! 53, 54 dan 58ayat (1). Dalam ketiga pasal ini intinya dinyatakanbahwahukum materiel, hukum formil dan hukumeksekutoriel yang akan digunakan dalampenyelesaian perkarai3erkaramenyangkut ahwalas-syakhshiyyah, mu'amalah dan payah adalahbersumber atau harus bersesuaian dengansyarTat Islam yang ketentuannya akan diatur leblhlanjut dalam Qanun/Perda tersendlrl. SelamaQanun yang dimaksud belum ada, maka dasarpenyelesaiannya tetap menggunakan peraturanpeiundang-undangan nasionai yang beriaku.

Sebagal catatan, dalam perkembanganmutakhir hingga pertengahan tahun 2005 ini,penegakan syari'at Islam bidang jinayah{hukum pidana) misalnya temyata baru Mackup melalui sebuah Perda berupa QanunProvinsi NAD No.13/2003 tentang PeiaksanaanHukuman Cambuk yang hanya bisa

diberlakukan terhadap pelaku tiga-jenisjarimah (tindak pidana) yaitu Ma/s/f (judi),/(homr (narkoba) dan Zina (hubungan seksualdi luar nikah antara lelaki dan perempuan).Hal ini berarti penegakan hukum terhadapberbagai macam tindak pidana lain di iuar tigajenis di atas(seperti saraqah, khirobah, riddah,qishash dan Iain-Iain) masih memerlukanlahimya sejumlah Qanun tersendlrl. Di sampingitu, regulasi Qanun No.13/2003 pun ternyatakurang sempurna. Akibatnya saat Qanuntersebut diimplementasikan dalam dataran lawenforcement sebagaimana terlihat padapeiaksanaan hukuman cambuk terhadap 15penjudi di Kabupaten Bireuen, justrumenimbuikan polemik panjang.^^

Jadi dengan demikian syari'at Islam yangtelah dilegitimasi oleh berbagai perundang-undangan untuk bisaberiaku di Aceh tersebutsecara praktis sesunguhnya belum aplicable.Karena Qanun atau perda sebagai wadahtunggal yuridis tentang wujud ketentuanhukum materiel, formil dan eksekutoriel yangbersumber dan bersesuaian dengan syari'atIslam tersebut, hingga sekarang ini belumdibuat secara sempurna. Tentu hal ini menjaditantangan sekaligus kesempatan bagi

Pada hari Jum'at tanggal 24 Juni 2005, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam khususnya KabupatenBireuen telah mencatat sejarah baru berupa pemberlakuan Syari'at Islam di daerahnya dalam era abadmiiienium ini. Karena pada hari itu, 15 dari 26 pelaku tindak pidana maisir Oudi) yang telah terbukti bersaiahmelalui putusan Mahkamah Syar'iyyah dilaksanakan hukuman cambuknya di depan publik. Di berbagai mediamassa, eksekusi hukuman ini telah menimbuikan polemik antara lain karena tata cara peiaksanaan (hukumeksekutorielnya) tidak diatur secara lebih jelas. Terutama dalam hubungannya dengan jenis pidana lain yangtelah lebih dulu diderita oleh para terpidana. Sebelum dicambuk temyata mereka telah dipenjara selama kuranglebih dua bulan. Teknis hukum cambuknya pun tidak di atur tegas misalnya menyangkut standaralat cambuk,kadar kekuatan pencambukan dan sebagalnya. Belum lagi dikartkan dengan dasar justifikasi dan falsafah tujuanjenis pidana cambuk ini terutama jika dliihat dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Polemik mengenai hal iniantara lain dapatdibacatulisanTeuku Kemal Fasya, Hukum Cambukdan Keadilan,adikel Marian Kompas edisitanggal 25 Juni 2005 dan tulisan Abdul Munlr Mulkhan, Mempeduas Qanun Cambuk, artikel Marian Jawa Posedisi tanggal 27Juni2005.

69

Page 11: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

masyarakat dan pemerintah daerah Acehuntuk menunjukkan komitmennya dengancara membuat berbagai perangkat hukumyang memang masih diperiukan tadi, sesegeramungkin.

Untuk merespon masalah di atas, secarasederhana mungkin dapat dikemukakanbahwa dalam aspek hukum materiel darisyari'at Islam misalnya, wujud ketentuan-ketentuannya adalah sebagalmana terdapatdalam nash al-Qur'andan al-Haditsserta hasil-hasil ijtihad/interpretasi para ahli hukum Islam{mujtahicf} mengenai ketentuan nash berkaitdengan suatu persoalan hukum. Namunkonsep berpikir demikian in! sesungguhnyabelum menyelesalkan masalah. Sebab dalamperspektif flqh, Interpretasi nash oleh paramujtahid sebagalmana diketahui ternyata telahmelahlrkan pandangan-pandangan hukumyang sangat varlatif.^^

Oleh karena itu memang sudah seharusnyadiperiukan kehadiran sebuah Qanun tersendiriuntuk memperjelas sekallgus mempertegastentang ketentuan nash dan hasll interpretasinash versi ahli hukum Islam mana yang menjadilandasan hukum materiel untuk menyelesalkanberbagai kasus dalam llngkup tiga bidangperkara yang timbul di masyarakat muslimAceh tersebut.

Seianjutnya dari aspek hukum formil daneksekutoriel, urgensi pengaturan keberadaannyadalam sebuah Qanun tersendiri pun juga mutlakdiperiukan. Sebab mustahil aspek hukummateriel dapat diterapkan (sekalipun telahdisempurnakan dan disahkan beriakunya), jikatidak didukung oleh adanya ketentuan mengenaidua aspek hukum tersebut. Melaiul keberadaanhukum formil dan eksekutoriel yangmenggambarkan "potret" sebuah sistemperadilan, maka ketentuan-ketentuan dalamhukum materiel baru akan dapat digerakkanuntuk berproses dan berlaku lewat putusan-putusan pengadilan guna mewujudkan tujuan-tujuan hukum yang hakiki yaitu penegakankebenaran dan keadilan.

Penyusunan dan penyelenggaraan sistemperadilan (melalui pembuatan dan pelaksanaansistem hukum formil dan eksekutoriel), dalamperspektif Islam bahkan dipandang sebagaisebuah tugas dan kewajiban paling muiia. Sebabpenyelenggaraan peradilan merupakaninstrumen penting untuk bisa menerapkan danmenegakkan hukum-hukum Allah SWT. bagisetiap warga dan penguasa negara.^^

Adapun mengenai faktor kedua yakni strukturkelembagaan hukum, hams dikemukakan puladi sini bahwa hal tersebut pun masihmembutuhkan penyempumaan. Walau dewasa

^Secara klasik, dunia flkih Islam mengenai 4(empat) madzhab atau pemikiran besarsebagai bentuk danhasll interpretasi nash Qur'an dan Hadits tentang hukum dari suatu persoalan. Yaitu Madzhab Hanafi, Maliky,Syafi'ie dan Hambali. Dalam perkembangan mutakhir malah ada fenomena yang menunjukkan bahwa hampirdi setiap negara Islam dewasa ini juga berkembang berbagai "madzhab baru" sebagai bentuk pemahamanIslam di dalam nash berkait dengan konteks nasional suatu negara. Di Indonesia misalnya, penelitlan thesisMahsun Fu'ad yang membatasi risetnya pada aspek berupa bacAgroundsosio-historis dan politis pada muncuinyaberbagai Ijtihad oleh para ahli hukum Islam Indonesia, telah menggambarkan adanya tidak kurang 5(lima)madzhab/pemiklran terkemuka. Yaitu madzhab flqih HasblAs-Shiddiqie, Hazairin, MunawlrSyadzali, MasdarF.Ma udie dan madzhab fiqih M.ASahai Mahfudh serta AiiYafie. Sejengkapnya uraian mengenai hal ini dapatdibaca Mahsun Fu'ad' Hukum Islam Indonesia: DariNalarPartisipatoris Hingga Emansipatoris, LKIS Yoqvakarta2005,hlm.61-121. . yy ux,

70 JURNAL HUKUM. NO. 29 VOL 12 MEI2005; 60 - 75

Page 12: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Kholiq. Pemberlakuan Syari'at Islam Di Naggroe Aceh Darussalam (NAD)

ini telah tersedia/terbentuk institusi-institusiformal peradilan seperti kepolisian daerah,kejaksaan daerah dan pengadilan daerah yangdisebut Mahkamah Syai'iyyah.

Hal tersebut di atas dikarenakan oleh

adanya suatu kenyataan bahwa personil atauaparat hukum yang menduduki jabatan padaberbagai Institusi itu sebagian besar maslh belumdislapkan untuk menguasai secara professionaltentang syari'at Islam yang menjadi tugasmereka untuk menegakkannya. MenurutAbdullah Puteh selaku Gubemur Provinsi NAD,sampai dengan akhir tahun 2004 lalu, meskisudah diadakan pelatihan dan pembekalantingkat pertama mengenai hukum/syari'at Islambagi 120 hakim Mahkamah Syar'iyyah, 60panitera, 20 juru sita, 60 polisi dan 60 jaksa,kiranya maslh tetap diperlukan pelatihan-pelatihan tingkat berikutnya. Bahkan masihdibutuhkan pula rekruitmen personil baru untukmenambah kuantitas guna memperkuatjajaran aparat peradilan Islam di daerahAceh.2^

Kekurangan struktur kelembagaanhukum sebagaimana dikemukakan di atasadaiah belum termasuk kaitannya denganmasalah pembentukan lembaga pengawaspelaksanaan Syari'at Islam secara umum yangbiasa disebut WilayatuI Hisbah. Daiamperspektif Qanun Provinsi Nanggroe AcehDamssalam No.11/2002, eksistensi lembaga inidikonsepkan sebagai partner untuk mendukungoptimalisasi kinerja lembaga-lembaga utamadan resmi dalamperadilan Islam. Namun hingga

sekarang lembaga tersebut belum terbentuk,sekalipun hal itu telah diamanatkan oleh-QanunNo.11/2002 itu sendiri.^

Bahkan jika Provinsi Nanggroe AcehDarussalam sungguh-sungguh hendakmengikuti tradisi peradilan dalam sejarah Islam,maka di samping WilayatuI Hisbah mestinyaperlu juga dibentuk suatu lembaga lain yangdiken^ dengan istilah Nadhierul Madhalim atausering pula disebut WilayatuI Madhalim, yaitusemacam Dewan Pengawasan Pengaduanorang-orang yang terdhalimi oleh praktek abuseof power pejabat/penguasa negara dankeluarganya. Ada jugayang menyebutkan bahwasesungguhnya orientasi pokok keberadaanlembaga ini adaiah menangani kasus-kasuskonfrontasi antara rakyat dengan negara, baik ituberupa pejabat pemerintahan secara umummaupun pemimpin puncaknya yakni khalifah/preslden.^®

Jadi kesimpulannya, dalam hubungannyadengan faktor struktur hukum ini, persoalannyaiaiah selain kelengkapan kelembagaan yangharus segera dibentuk, juga berkait dengankualitas dan kuantitas personil aparat hukumyang masih perlu terus ditlngkatkan jumlahnyadan ditempa professionalitasnya gunamendukung optimalisasi pemberlakuansyari'at Islam dl Aceh.

Soal kaitannya dengan masalah saranaprasarana untuk memperiancar penyelenggaraanperadilan Islam, kiranya gedung dan fasilitas lainyang selama ini telah dimiliki lembaga-lembagaperadilan umum (seperti Kepolisian Resort/

23 Lihat pendapat Ahmad 'Ithyat sebagaimana dikutip oleh A.A Humam Abdurrahman dalam bukunyaberjudul Peradilan Islam: Keadilan SesuaiFitrah Manusia, WADl Press, Jakarta, 2004, him. 3.

2* Warta Perundang-undangan edisi No. 2403, OpC/f.23 Lihat ketentuan Pasal langkall jo.Pasal 14-15 Qanun Provinsi NAD No.11/2002.23 T.M Hasbi Ash-Shiddlqie, Peradilan dan HukumAcara Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997,

him. 92-95. Lihat juga A.A. Humam Abdurrahman, Peradilan Islam.... Op. Cit, him. 35-38. -j"

71

Page 13: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Daerah", Kejaksaan Negeri/Tinggi danPengadilan Negeri/Tinggi) maupun PeradilanAgama, seharusnya dapat terus difungsikan,dengan catatan operasionalisasinya harusdiarahkan pada koridor sistem peradilan Islam.

Selanjutnya mengenai faktor ketiga yangdapat mempengaruhi efektifitas pemberiakuanserta bekerjanya hukum/syari'at Islam di Acehyakni berupa kultur/budaya hukum masyarakatAceh, pada prinsipnya dapat dikatakan tidakterlalu bermasalah. Sebab sejarah telahmenunjukkan bahwa Islam dengan kulturkehidupan masyarakat Aceh ibaratnya adalahbagaikan dua sisi dari satu keping mata uang.Artinya dapat dibedakan tetapi tidak bisadipisahkan.

Sebagai contoh untuk mendeskripsikankesimpulan di atas, antara lain dapatdikemukakan pernyataan Van Vollen Hovendalam bukunya berjudul "Orientasi DalamHukum Adat Indonesia"." Dia menegaskanbahwa ada beberapa kasus di Aceh, dimanahukum potong tangan untuk para pencuri pemahditerapkan di daerah itu jauh sebelum bangsaEropa (Belanda) memperkenalkan sistem hukumBarat kepada masyarakat Indonesia. Sehinggadahulu, seperti juga ditegaskan oleh SnouckHourgronje yang pemah melakukan riset khususdi Sana, di tengah kehidupan masyarakat Acehterdapat banyak orang yang tanpa tangankarena mencuri. Banyak pula diantara parapencuri tersebut atau karena tindak pidana

lainnya mengalami hukuman at-taghrieb(pembuangan/pengasingan) ke Pulau We.^®Fakta lain juga ditunjukkan oleh Hazairinyangmenuliskan bahwadibeberapawilayahIndonesia yang dikenal cukup kuat Islamnyatermasuk seperti di Aceh, pelaksanaanbeberapa jenis hukuman yang dikenal dalamstelsel pidana Islam adalah kenyataan yangdapat dijumpai dalam praktik kehidupanmasyarakat sehari-hari. Realitas tersebutsecara bertahap baru terhapus sejakpemerintahan Hindia Belanda mulaimengukuhkan kekuasaannya di Indonesiadengan salah satu basis politik kolonialnyaberupa de-ls!amisasi. Hukuman cambukdengan rotan yang diancamkan bagi pelakuzina, qodzafdan pemabuk yang pemah berlakudalam daerah Gubernemen Hindia Belandamisalnya, baru dihapuskan semenjakberlakunya Stb. 1866/15. Kemudian hukumanmutilasi (potong tangan dan potong kaki untukkejahatan pencurian/saroqo/j dan perampokan/khirobah) di daerah Aceh, juga bam dihapuskantahun 1916 melalui pemberiakuan Pasal14Stb.1916/432.29

Kristalisasi mengenai hubungan eratantara nilai ajaran Islam dengan kehidupan rielmasyarakat Aceh dalam fakta sejarah di atas,setidaknya terlihat juga pada semboyan hidupmasyarakat Aceh yang telah menjadi peganganumum hingga sekarang. Semboyan hiduptersebut bahkan ditegaskan eksistensinya oleh

27van Vollen Hoven sebagaimana dikutip oleh JimiyAs-ShiddiqIe dalam bukunya Pembahatijan HukumPidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-BentukPidana dalam Tradisi Hukum Rqih dan Relevansinya BagiUsahaPembaharuanKUHPNasional, PenerbitAngkasa, Bandung, 195, him. 208.

2® Hukuman potong tangan dan hukuman pembuangan (pengasingan) adalah merupakan dua jenissanksi pidana yang ada dalam stelsel pidana Islam. Di samping ke duajenissantei pidana tersebut, hukum Islamjuga mengenai jenls-jenis pidana lainnya seperti: qishash, cambuk, rajam, ta'zllrdan sebagalnya.

29 Hazairin, Sekelumit Persangkut-pautan HukumAdat, salah satu artikel dalam kumpulam tullsan padabuku berjudul Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1985, him. 53-54.

72 JURNAL HUKUM. NO. 29 VOL 12 ME! 2005; 60-75

Page 14: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Kholiq. Pembeiiakuan Syari'at Islam Di Naggroe Aceh Darussalam (NAD)

Penjelasan Umum Alenia ke-empat UU No.18/2001 yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:"Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bakSyiah Kuala, QanunbakPutroPhang, Reusambak Laksamand'. Artinya Adat (bersumber)dari Sultan, Hukum dari 'Ulama, Qanun dariPutri Pahang, Reusam dari Laksamana.

Berdasar semboyan hidup di atasterutama yang berbunyi Hukom bak SyiahKuala (aturan hukum yang mengaturkehidupan masyarakat Aceh adalah yangbersumber dari 'ulama), mengandung artipula bahwa sesungguhnya kehidupan hukummasyarakat Aceh diatur oleh hukum/syarl'atIslam. Sebab aturan hukum yang ditetapkan'ulama dan menjadi referensi masyarakat tidaklain adalah hukum/syari'at Islam yangbersumber pokok pada al-Qur'an dan ai-Hadits.

Bertolak dari paparan di atas, kiranyadapat ditegaskan sekali lagi bahwa taktorkultur/budaya hukum masyarakat Aceh padadasarnya tidak menjadi masalah/hambatandalam kcnteks implementasi syari'at Islam didaerah tersebut. Bahkan kultur Islami yang sudahmengakar dalam kehidupan masyarakat sanaselama Ini, justru akan menjadi nilai plustersendiri yang dapat mendukung efektifitasberlakunya syari'at Islam tersebut. Karenaaturan hukum yang hendak diberlakukan telahbersenyawa dengan nilai dan pandanganhidup masyarakatnya.

Tentu saja kesimpulan di atas perludisertai dengan suatu catatan/syarat bahwakultur Islami masyarakat Aceh tersebut hinggasekarang harus dapat dipertahankan bahkanmampu ditumbuhkan. Bukan sekedar ceritasejarah masa silam yang realitasnya sudahhilang akibat tergerus perkembangan zaman.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapatdisimpulkan bahwa, aspirasi masyarakatProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam yangmenghendaki agar di daerahnya diberlakuansyari'at Islam untuk mengatur kehidupan merekaadalah sangat legitimate (absah). Karena ha! itumemang dibenarkan {justified} atas dasar haksejarah sekaligus hak konstitusional.

Untuk memberikan dasar justifikasi danlegitimasi hukum bagi pemberlakuan syari'atIslam diAceh tersebut,dewasa ini telahdibuatdan disahkan berbagai peraturan perundang-undangan yang sangat kuat dan komprehensif.Karena mencakup berbagai jenis dantingkatan perundang-undangan yaitu mulaidari konstitusi (c.q Pasal 29jo. Pasal 18Bayat(1) dan (2) UUD 1945 Amandemen Kedua),undang-undang (c.q UU No.44/1999 jo. UUNo.18/2001), Keppres (c.q Keppres No.11/2003) hingga sejumlah Qanun/Perda yangtelah disahkan.

Namun demikian agar pemberlakuansyari'at Islam di Aceh dapat berjalan efektif,kiranya masih diperlukan berbagai kebijakansebagai langkah penyempurnaan. Yaitu antaralain dengan membuat hal-hal sebagai berikut:(a) Qanun khusus tentang substansi syari'atislam yang hendak diberlakukan yangmencakup tiga aspek hukum, yakni materiel,formil dan eksekutoriel; (b) Qanun /KeputusanGubernur tentang keberadaan, fungsi, tugasdan wewenang beberapa lembaga hukumkhusus seperti WilayatuI Hisbah dan WiiayatuIMadhalim untuk mendukung dan mengontrolkinerja Institusi-institusi resmi peradilan Islam;dan (c) peningkatan kuantitas terutamakualitas aparat peiaksana hukum (polisi, jaksa,hakim, panitera, juru sita serta qadii wilayatuI

73

Page 15: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

hisbab dan wUayaiul madbalim) dalampenguasaan hukurn/syari'at Islam agar dapatbenar-benar professional dalam menjalankantugas dan kewajibannya atas dasar integritasmoral yang tinggi.

Daftar Pustaka

A.A Humam Abdurrahman, Peradilan Islam:Keadilan SesuaiFitrab Manusia, WADIPress, Jakarta, 2004.

A. Munir Mulkhan, Memperluas QanunCambuk, Artikel dalamharianJawa Posedisi tanggal 27 Juni 2005.

Baharuddin Lopa, Permasalaban Pembinaandan Penegakan Hukum di Indonesia,Bulan Bintang, Jakarta, 1987.

Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam diIndonesia, Gema InsanI Press, Jakarta,1996.

Hartono Mardjono, Menegakkan Syari'at Islamdalam Konteks Ke-lndonesia-an,MIzan. Bandung, 1997.

Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum,Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Jawahir Thontowi, Islam, Neo Imperialismedan Terrorisme: Perspektif HukumInternasional dan Nasional, Ull Press,Yogyakarta, 2004.

Jimly Ash-Shiddiqie, Pembabaruan HukumPidana Indonesia: Studi tentangBentuk'Bentuk Pidana dalam TradisiFiqih dan Relevansinya Bagi UsahaPembabaruan KUHP Nasioal,Angkasa, Bandung, 1995.

K.N Sofyan Hasan dan Warkum Sumltro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, Usaha Nasional; Surabaya.1994.

M. Idris Ramulya, Asas-Asas Hukum Islam:

Sejarab, Vmbul dan BerkembangnyaKedudukan Hukum Islam dalam SistemHukum di Indonesia, Sinar Grafika,Jakarta,1995.

M. Imaduddin Rahmat, JalanAltematifSyari'atIslam, Artikel dalam Majalah TashwirulAfkar, Lakspedam - TAP, Jakarta, EdIsiNo. 12 Tahun 2000.

Mahsun Fu'ad, Hukum Islam Indonesia: DariNalar Partisipatoris Hingga Eman-sipatoris, LKIS, Yogyakarta, 2005.

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat,Angkasa, Bandung, 1988.

Sayuti Thalib, Receptio a Contrario: HubunganHukum Adat dengan Hukum Islam, BinaAksara, Jakarta, 1995.

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, BinaGipta, Jakarta, 1983.

Teuku Kemal Fasya, Hukum Cambuk danKeadilan, Artikel dalam harian Kompasedisi tanggal 25 Juni 2005.

T.M Hasbi Ash-Shiddiqie, Peradilan danHukumAcara Islam, Pustaka rizki Putra,Semarang, 1997.

Tjun Surjaman (Ed.), Hukun^ Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pemben-tukan, Remaja Rosda Karya, Bandung,1991.

Topo Santoso, Membumikan Hukum PidanaIslam: Penegakan Syari'at dalamWacana dan Agenda, Gema insaniPress, Jakarta, 2003.

UUD 1945 Amandemen KeduaTap MPR No. IV/MPR/1999UU No.44/1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi DaerahIstimewa Aceh

UU No.18/2001 tentang Otonomi Khusus BagiProvinsi Daerah Istimewa AcehSebagai Provinsi Nanggroe Aceh

74 JURNAL HUKUM. NO. 29 VOL 12 MEI2005; 60 - 75

Page 16: Pemberlakuan Syari'atIslam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Kholiq. Pemberlakuan Syari'at Islam Di Naggroe Aceh Darussalam (NAD)

Darussalam

Perda Provinsi D.I Aceh No. 3/2000 tentangOrganlsasi dan Tata Kerja MajelisPermusyawaratan Ulama

Perda Provinsi D.I Aceh Na.5/2000 tentangPelaksanaan Syari'at Islam di Aceh

Perda Provinsi D.I Aceh No. 6/2000 tentangPenyelenggaraan Pendidlkan

Perda Provinsi D.I Aceh No.7/2000 tentangPenyelenggaraan Kehidupan Adat

Qanun Provinsi NAD No. 10/2002 tentangPeradilan Syari'at Islam

Qanun Provinsi NAD No.11/2002 tentangPelaksanaan Syari'at Islam BIciang

- Aqidah, Ibadah dan Syi'ar islamQanun Provinsi NAD No.13/2003 tentang

Pelaksanaan Hukuman Cambuk

dalamJarimah Maisir, ZIna dan Khomr.Majalah Sabili, Edisi No.2 Tahun IX, tanggal

18 Mei 2001

Majalah Forum Keadilan, Edisi No. 7, tanggal20 Mel 2001

Harlan Kompas edisi tanggal 13 Desember2004.

75