pemerintahan darurat (emergency government) …
TRANSCRIPT
PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) DALAM
PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DARURAT
(STUDI KASUS PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA DI
SUMATERA BARAT)
SKRIPSI
Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
Christian Rahmat Hutahaean
170200118
Departemen Hukum Tata Negara
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
Universitas Sumatera Utara
LEIVIBAR PENGE$AHAN
PEMERINTAHAN DARURAT {EMERGENCY GOWRNMENT)D"ALAM PERSPgKTIg' IiUKU}X TATA NSCARA BABURAT
{sruDr KASUS **ffiffi fl#_ffi puBLrK rNDor{ESrA
SKRIPSI
Disnsue d*n I}i*iuk*a untskMereagkapi Persler*hn Menaperole& celarSarj*na I{ukum Pada Fakultas llukum Universitas Sumatera Utara
Ot€h:
Chrisfian Rahmat HutahaeanNIM; 17020{118
Dr. Faisa! Akbar Nasution. S.H.. M.HumNIP: 19590921 1987031002
Dosen Pembimbing I: Dosen Pembimbing II:
-Y\
DEPARTSMEN HUKUM TATA I\IEGARA
Ehref*i*i01ek:
Ketua Departemcn'Hukum Tata l\fegam
^lt/A*vf-
Dr. Faissl Akbar Nasution- S.H-, i\{.Hr+mNIP: 195909211987031002
D+ Afpi.h. S.II.. S["Hu*NIP : 1 9 7 5 1 23AZO02L22AA?
'{1.4
SAKULTAS HUKUM
UNTYERSITAS SUMATERA UTARA
MEI}AN
2V2t
w
Universitas Sumatera Utara
LE MBAR PERNYATAA,N BEBAS PT-AGI^{T
Saya y'angbertandatangan di bawdt ini:
Christian Rahmat Hutahaean
t -iA.)t^rA1 1 Q
Hukum Tata Negara
Pemerintahan Darurat ( Emer gency G ov ernme nt ) dalamPerspektif Hrukuiir
.I'ata Negara Daruat isiudi Kasus
Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera
Barat)
Dengan ini menyatakan:
l. tsahrru skr-ipsi iang st.ia huet ini adalah betu!-berul hasit kary.a sal'a
sendiri, tidak meniiplak karya orang lain maupun dibuat oleh orang lain.
2. Apabi!a tli kemudien hari terbukti bahi''a sl,ripsi tcrsebui udalah hasil
jiplakan, malia segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab
sa),'a.
Denrikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan
atau tekanan dari pihak manapun.
Meda-n, Juli 2021
?:ll
Chrlstla* Rek*et Het*k*#EI{IM:170200118
Ni\,{
Departemen
Judui Skripsi
Universitas Sumatera Utara
iii
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan penyertaanNya, sehingga skripsi berjudul “Pemerintahan Darurat
(Emergency Government) Dalam Perspektif Hukum Tata Negara Darurat (Studi
Kasus Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat)” ini dapat
diselesaikan oleh penulis. Penulisan skripsi tersebut merupakan pemenuhan salah
satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Jatuh-bangun tentu dialami oleh penulis selama proses pengerjaan skripsi ini.
Namun, merupakan suatu anugerah bahwa dalam proses itu bantuan dan
dukungan selalu mengalir kepada penulis. Rasanya akan butuh lebih banyak
kertas dan tinta untuk menuliskan nama-nama mereka yang senantiasa
mengalirkan dukungannya. Permintaan maaf yang tulus dari penulis jika terdapat
nama-nama yang luput dalam pengantar ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara;
2. Bapak Dr. Mahmul, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
3. Ibu Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing penulis
selama penulisan skripsi ini;
Universitas Sumatera Utara
iv
7. Dr. Afnila, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai
Dosen Pembimbing II yang telah membimbing penulis selama penulisan
skripsi ini;
8. Armansyah, S.H., M.Hum selaku Dosen yang telah mengajar dan
mendidik penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
terlebih lagi di Departemen Hukum Tata Negara;
9. Yusrin Nazief, S.H., M.Hum selaku Dosen yang telah mengajar dan
mendidik penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
terlebih lagi di Departemen Hukum Tata Negara;
10. Drs. Nazaruddin, S.H., MA selaku Dosen yang telah mengajar dan
mendidik penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
terlebih lagi di Departemen Hukum Tata Negara;
11. Dr. Mirza, S.H., M.Hum selaku Dosen yang telah mengajar dan mendidik,
sekaligus menjadi Penasihat Akademik penulis selama di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, terlebih lagi di Departemen Hukum Tata
Negara;
12. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
mengajar dan mendidik penulis dengan penuh ketulusan;
13. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas
pengabdiannya;
14. Kedua orang tua penulis atas kasih dan pengorbanan yang tiada henti.
Terkhusus kepada Ibu di tempat paling indah. Ibu adalah segalanya, untuk
selamanya;
15. Saudara dan saudari penulis, Christofel dan Christina atas kasih dan
pengorbanan yang tiada henti;
16. Sahabat-sahabat seperjuangan di Persatuan Mahasiswa Hukum Tata
Negara (PERMATA) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
17. Kawan-kawan berkembang dan bertumbuh di Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
18. Sahabat-sahabat “komika” di Komunitas Filsafat KOMIK (Komunitas
Mikir);
Universitas Sumatera Utara
v
19. Harian Analisa yang telah menjadi wadah bagi penulis dalam
mengembangkan serta menyampaikan ide dan gagasan selama kuliah;
20. Literacy Coffee dan Spirit Books and Coffee atas ruang dan inspirasi;
21. Teman-teman angkatan 2017 serta semua senior dan junior di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
Dalam dunia ilmu pengetahuan yang dinamis, penulis menyadari bahwa
skripsi ini belum sempurna, dan memang tidak akan pernah sempurna, sehingga
setiap kritik dan saran akan menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi penulis.
Medan, Juli 2021
Penulis
Christian Rahmat Hutahaean
NIM: 170200118
Universitas Sumatera Utara
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………. i
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………… ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………. iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………… vi
DAFTAR TABEL……………………………………………………… viii
DAFTAR SKEMA…………………………………………………….. ix
ABSTRAK……………………………………………………………... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang…………………………………….. 1
B. Rumusan masalah………………………………….. 10
C. Tujuan penulisan……………………………….….. 11
D. Manfaat penulisan…………………………………. 12
E. Keaslian penulisan…………………………………. 13
F. Tinjauan kepustakaan……………………………… 15
G. Metode penelitian……………………………… ….. 21
H. Sistematika penulisan………………………………. 23
BAB II NEGARA HUKUM, HUKUM TATA NEGARA DARURAT,
DAN PEMERINTAHAN DARURAT
A. Negara Hukum……………………………………… 25
B. Hukum Tata Negara Darurat……………………….. 36
C. Pemerintahan Darurat…………………..…………… 48
D. Pengaturan Mengenai Kedaruratan dalam
Konstitusi Indonesia……………………………….... 53
E. Pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai Dasar
Konstitusional Pemberlakuan Hukum Tata Negara
Darurat di Indonesia………………..…….................. 66
Universitas Sumatera Utara
vii
BAB III TUJUAN DAN SYARAT PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN
DARURAT
A. Tujuan Pembentukan Pemerintahan Darurat……….... 71
B. Syarat-Syarat Pembentukan Pemerintahan Darurat….. 74
C. Pemegang Kekuasaan Darurat……………………….. 79
BAB IV PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA
A. Sekilas Latar Belakang Pembentukan Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI)…………………. 84
B. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
di Sumatera Barat Tahun 1948-1949 sebagai
Suatu Pemerintahan Darurat……..…………………… 95
C. Keabsahan Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949 dalam
Perspektif Hukum Tata Negara Darurat……………… 99
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………….................................... 108
B. Saran………………………………………………….. 109
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 111
Universitas Sumatera Utara
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ringkasan Peristiwa yang Pernah Menyebabkan
Keadaan Darurat di Indonesia……………………….. 5
Universitas Sumatera Utara
ix
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Perkembangan Negara Hukum Rechtsstaat……………... 32
Universitas Sumatera Utara
x
PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) DALAM
PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DARURAT
(STUDI KASUS PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA DI
SUMATERA BARAT)
Christian Rahmat Hutahaean*
Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum**
Dr. Afnila, S.H., M.Hum***
ABSTRAK
Pemerintahan darurat (emergency government) adalah segala urusan yang dilakukan oleh
negara dalam keadaan darurat yang membutuhkan tindakan penanggulangan segera, dalam
rangka menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri selama
keadaan darurat tersebut berlangsung. Dengan kata lain, pemerintahan darurat adalah
pemerintahan yang dijalankan dalam keadaan bahaya atau darurat. Pemerintahan darurat itu
sendiri merupakan respons atas keadaan bahaya yang sedang dihadapi, dan bertujuan untuk
mempertahankan eksistensi pemerintahan negara yang bersangkutan. Konsep pemerintahan
darurat dapat dianalisis dari perspektif hukum tata negara darurat.
Dalam sejarah ketatanegaraannya, Indonesia pernah menerapkan pemerintahan darurat
yang dikenal sebagai Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pemerintahan darurat
ini merupakan respons atas tindakan agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda pada tahun
1948. Pembentukan PDRI merupakan strategi untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia
tetap bertahan sebagai suatu negara berdaulat kendati dalam tekanan pihak Belanda.
Adapun rumusan masalah yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana
pengaturan mengenai hukum tata negara darurat dan pemerintahan darurat dalam konstitusi
Indonesia, bagaimana hukum tata negara darurat memandang konsep pemerintahan darurat,
dan bagaimana keabsahan PDRI dalam tinjauan hukum tata negara darurat.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum tata negara darurat
dan pemerintahan darurat dalam konstitusi Indonesia, konsep pemerintahan darurat dalam
perspektif hukum tata negara darurat, dan keabsahan PDRI dalam tinjauan hukum tata negara
darurat. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis-normatif, dengan 3
(tiga) macam pendekatan, meliputi: pendekatan konseptual (conceptual approach),
pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan kasus (case approach).
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak awal, Indonesia telah mengadakan pengaturan
tentang hukum tata negara darurat dalam konstitusinya, yaitu pada pasal 12 dan pasal 22
UUD NRI 1945. Sementara pengaturan secara lebih spesifik mengenai pemerintahan darurat
tidak ditemukan dalam konstitusi Indonesia. Metode yang dapat digunakan untuk memahami
konsep pemerintahan darurat adalah dengan melihatnya dari sudut pandang hukum tata
negara darurat. Adapun hukum tata negara darurat memandang pemerintahan darurat sebagai
konsep yang berangkat dari prinsip-prinsip dasar hukum tata negara darurat, serta memiliki
tujuan sebagaimana tujuan hukum tata negara darurat. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa keabsahan PDRI sebagai sebuah pemerintahan darurat dapat dipertanggungjawabkan
dalam tinjauan hukum tata negara darurat.
Kata Kunci: Hukum Tata Negara Darurat, Pemerintahan Darurat, PDRI.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Departemen Hukum Tata Negara
**Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing I Skripsi Penulis
***Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing II Skripsi Penulis
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam diskursus hukum ketatanegaraan, terkhusus dalam hukum tata negara
darurat (state of emergency), dikenal istilah pemerintahan darurat (emergency
government).1 Pemerintahan darurat ini berkaitan erat dengan teori-teori dalam
hukum tata negara darurat. Hukum tata negara darurat adalah hukum yang
diberlakukan oleh sebuah negara dalam keadaan darurat. Keadaan darurat itu
sendiri diartikan sebagai keadaan bahaya yang tiba-tiba mengancam tertib umum,
yang menuntut negara untuk segera bertindak dengan cara-cara yang tidak lazim
menurut aturan hukum yang biasa berlaku dalam keadaan normal.2
Mengacu pada pengertian tersebut, dalam perkembangannya dikenal beragam
istilah untuk mengidentifikasi keadaan darurat. Dalam penulisan skripsi ini akan
digunakan istilah yang lebih umum dan sering digunakan serta yang memiliki
keterkaitan dengan sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Pertama, states of emergency. Istilah ini merupakan istilah yang sering
dipergunakan dalam pergaulan internasional. Istilah ini digunakan oleh salah satu
institusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dikenal sebagai Special
Rapporteur on the Question of Human Rights and States of Emergency atau lebih
sering disebut sebagai Special Rapporteur on States of Emergency saja.3
1 S. M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). (Jakarta:
Penerbit N. V. Bulan Bintang, 1982), hal. 11. 2 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal. 7. 3 Special Rapporteur on States of Emergency berkaitan dengan mekanisme pelaporan
pemberlakuan keadaan darurat di setiap negara guna menjamin hak-hak asasi manusia tetap
terlindungi selama keadaan darurat berlangsung. Ibid., hal. 99
Universitas Sumatera Utara
2
Selain itu, istilah ini juga dapat ditemui dalam 3 (tiga) instrumen utama yang
mengatur tentang pemberlakuan keadaan darurat dalam lingkup internasional,
yaitu:4
a. Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia atau European Convention on
Human Rights (ECHR) tahun 1950.5 Pada pasal 15 ayat (1) ECHR
disebutkan;
In time of war or other public emergency threatening the life of the nation
any High Contracting Party may take measures derogating from its
obligations under this Convention to the extent strictly required by the
exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent
with its other obligations under international law.
(Dalam masa perang atau keadaan darurat publik lainnya yang mengancam
kehidupan bangsa, setiap Pihak Tinggi dapat mengambil tindakan
mengurangi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini sejauh sangat
dibutuhkan oleh keadaan darurat, asalkan tindakan tersebut tidak
bertentangan dengan kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional).6
b. Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia atau American Convention
on Human Rights (ACHR) tahun 1969;7 Pada pasal 27 ayat (1) ACHR
disebutkan;
In time of war, public danger, or other emergency that threatens the
independence or security of a State Party, it may take measures derogating
from its obligations under the present Convention to the extent and for the
period of time strictly required by the exigencies of the situation, provided
that such measures are not inconsistent with its other obligations under
international law and do not involve discrimination on the ground of race,
color, sex, language, religion, or social origin.
(Di waktu perang, malapetaka, atau keadaan darurat lain yang mengancam
kemerdekaan atau keamanan, suatu Negara Pihak, boleh mengambil
tindakan-tindakan yang melanggar kewajiban-kewajibannya menurut
Konvensi ini sampai sejauh untuk jangka waktu yang sepenuhnya
4 Ibid., hal. 157-158. 5 Pengaturan selengkapnya dalam Article 15 European Convention on Human Rights
tentang Derogation in time of emergency. 6 Terjemahan bebas oleh penulis. 7 Pengaturan selengkapnya dalam Article 27 American Convention on Human Rights
tentang Suspension of Guarantees.
Universitas Sumatera Utara
3
diperlukan asalkan tindakan-tindakan tersebut tidak bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban yang lain menurut hukum internasional, dan tidak
melibatkan diskriminasi atas alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama atau asal usul sosial).8
c. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Perserikatan Bangsa-
Bangsa tahun 1966;9 Pada pasal 4 ayat (1) ICCPR disebutkan;
In time of public emergency which threatens the life of the nation and the
existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present
Covenant may take measures derogating from their obligations under the
present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the
situation, provided that such measures are not inconsistent with their other
obligations under international law and do not involve discrimination solely
on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin.
(Dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan
keadaan itu diumumkan secara resmi, negara pihak dapat mengambil
tindakan yang menyimpang dari kewajibannya menurut Kovenan ini sejauh
hal itu mutlak diperlukan oleh kebutuhan situasi darurat tersebut, dengan
ketentuan bahwa tindakan itu tidak mengakibatkan diskriminasi yang
semata-mata didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
atau asal usul sosial).10
Kedua, noodtoestand, noodzakelijke, dan staatsnoodrecht. Istilah-istilah ini
berasal dari bahasa Belanda. Sebagai negara yang dulunya pernah berada dalam
tatanan kolonialisme Belanda, Indonesia banyak menggunakan istilah-istilah
hukum berbahasa Belanda, baik dalam tataran teori atau akademis, maupun dalam
praktik sehari-hari. Untuk keadaan darurat sendiri, dikenal istilah semisal;
noodtoestand dan noodzakelijke yang dapat dijumpai dalam pasal 48 dan 49 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan di bidang hukum tata
negara, dikenal istilah staatsnoodrecht yang dapat diartikan sebagai hukum tata
8 Terjemahan Pusat Dokumentasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 9 Pengaturan selengkapnya dalam Article 4 International Covenant on Civil and Political
Rights. 10 Terjemahan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik).
Universitas Sumatera Utara
4
negara darurat atau hukum dalam keadaan bahaya. Kata kunci dalam beberapa
istilah tersebut adalah nood, sebuah kata dalam bahasa Belanda yang artinya
“keadaan darurat”, “keadaan sulit”, keadaan berbahaya”, “keadaan
menyedihkan”.11
Ketiga, “keadaan bahaya” dan “keadaan kegentingan yang memaksa”, yaitu
istilah yang digunakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sampai saat ini.
Keadaan darurat disebutkan terutama dalam UUD NRI 1945 dengan istilah
“keadaan bahaya”12 dan “keadaan kegentingan yang memaksa”.13 Kedua
pengaturan ini menjadi sumber pengaturan lebih lanjut mengenai kedaruratan
yang diatur dalam berbagai regulasi di Indonesia.
Di samping istilah-istilah yang telah disebutkan di atas, istilah emergency
government juga digunakan sebagai padanan untuk pemerintahan darurat.
Penggunaan istilah ini dilatarbelakangi oleh kajian-kajian terdahulu yang juga
menggunakan istilah serupa.14 Hal ini merupakan upaya agar rangkaian
pengembangan ilmu pengetahuan tidak terputus lantaran disparitas istilah.
Setelah dicapai kesepahaman dalam hal penggunaan istilah, selanjutnya akan
dipresentasikan secara ringkas beberapa peristiwa yang menyebabkan keadaan
darurat yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang dimaksud
antara lain:15
11 S. Wajowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001), hal. 427. 12 Pasal 12 UUD NRI 1945. 13 Pasal 22 UUD NRI 1945. 14 S. M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), op. cit., hal.
11., dan Mestika Zed, Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah
Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hal. 191. 15 Agus Adhari, “Ambiguitas Pengaturan Keadaan Bahaya Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia”, Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Volume 11 No. 1, November
2019, hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
5
Tabel 1.
Ringkasan Peristiwa yang Pernah Menyebabkan Keadaan Darurat di
Indonesia.
Tahun Tempat Keadaan Tingkatan Bahaya
1950’an Jawa Timur Keadaan perang Keadaan perang
1999 Timor Timur Pemberontakan Darurat militer
2000 Maluku Konflik Darurat sipil
2001 Sampit Konflik Tidak ada
2002 Aceh Konflik Darurat sipil
2003 Aceh Pemberontakan Darurat militer
2004 Aceh-Nias Bencana alam Tidak ada
2018 Lombok Bencana alam Tidak ada
2018 Palu-Donggala Bencana alam Tidak ada
2019 Wamena Konflik Tidak ada
Selain peristiwa-peristiwa di atas, peristiwa paling terbaru yang bisa disebut
tentu saja adalah pandemi covid-19 yang menyebabkan situasi darurat kesehatan
di Indonesia.16 Barangkali beberapa peristiwa yang telah disebutkan ini hanya
sebagian saja dari banyak peristiwa yang pernah menimbulkan keadaan darurat
atau keadaan bahaya di Indonesia. Hal ini bisa saja terjadi mengingat keadaan
bahaya atau darurat tidak selalu dinyatakan secara de jure. Adapun peraturan
perundang-undangan yang menjadi ataupun pernah menjadi dasar pemberlakuan
keadaan darurat di Indonesia adalah sebagai berikut:17
16 Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). 17 Dirangkum dari beberapa sumber.
Universitas Sumatera Utara
6
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 12
dan pasal 22);
b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Pasal 139)
c. Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (Pasal 96 dan pasal 129)
d. UU No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya
e. UU No. 74 Tahun 1957 tentang tentang Pencabutan "Regeling of de Staat
Van Oorlog En van Beleg" Dan Penetapan "Keadaan Bahaya"
f. PERPPU No. 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957
(Lembaran Negara No. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya;
g. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
h. UU No. 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi;
i. UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk
Pertahanan Negara (mencabut UU Mobilisasi dan Demobilisasi);
j. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Selain pemerintahan darurat, istilah lain yang juga berkaitan adalah
pemerintahan di pelarian (government in exile). Boleh dikatakan, kedua diskursus
ini memiliki objek kajian yang sama, yaitu pemerintahan suatu negara yang
sedang menghadapi situasi genting atau darurat. Jika menelisik catatan sejarah,
kedaruratan yang dimaksud dalam hal ini lebih mengacu pada darurat perang.
Contohnya, ketika sebuah negara diserang dan diinvasi oleh negara lain. Istilah
pemerintahan di pelarian ini digunakan dalam literatur yang membahas
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat.18
Untuk lebih memudahkan pembacaan terhadap karya ilmiah ini, maka dalam
18 S. M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), op. cit., hal.
14.
Universitas Sumatera Utara
7
skripsi ini akan digunakan istilah yang sama. Adapun pemerintahan darurat yang
disebutkan belakangan ini akan menjadi studi kasus dalam penulisan skripsi ini.
Pada tahun 1948, saat di mana PDRI akan dibentuk, terdapat 2 (dua) opsi
pembentukan pemerintahan dalam situasi darurat yang sedang dihadapi oleh
Indonesia. 2 (dua) opsi tersebut adalah pemerintahan darurat, dan pemerintahan di
pelarian. Opsi ini muncul melalui dua buah kawat atau radiogram yang dikirimkan
pasca Sidang Kabinet terakhir pada tanggal 19 Desember 1948.
Radiogram yang pertama ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Hatta yang juga merangkap sebagai Perdana Menteri. Isinya adalah
penyerahan kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia kepada Mr. Sjafruddin
Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran yang pada saat itu tengah berada di
Bukittinggi. Sedangkan radiogram kedua ditandatangani oleh Wakil
Presiden/Perdana Menteri Hatta bersama dengan Menteri Luar Negeri Haji Agus
Salim. Radiogram ini ditujukan kepada Mr. Maramis, Dr. Sudarsono, dan L. N.
Palar di New Delhi. Berisi perintah untuk segera membentuk pemerintahan di
pelarian apabila Sjafruddin Prawiranegara tidak berhasil membentuk
pemerintahan darurat di Bukittinggi.19
Berangkat dari fakta sejarah adanya pengiriman radiogram pada Sjafruddin
Prawiranegara serta Maramis, dkk., dapat ditarik sebuah pemahaman sederhana
bahwa PDRI di Sumatera Barat pada tahun 1948-1949 adalah sebuah
pemerintahan darurat, bukan pemerintahan di pelarian. Pada saat bersamaan, fakta
sejarah tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintahan darurat dan pemerintahan
di pelarian adalah dua diskursus yang berbeda dalam bidang hukum tata negara,
19 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
8
khususnya hukum tata negara darurat. Dengan demikian, dapatlah diketahui
bahwa PDRI merupakan sebuah pemerintah darurat, sehingga pertanyaan apakah
PDRI itu digolongkan sebagai pemerintahan darurat ataukah pemerintahan di
pelarian, dapat dikesampingkan dalam penulisan skripsi ini.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah terkait pengaturan keadaan darurat
di masa PDRI. Sejauh mana norma-norma hukum tata negara darurat diakomodir
dalam konstitusi untuk kemudian dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan
pembentukan suatu pemerintahan darurat. Jika pengaturan normatif tersebut telah
ada saat PDRI dibentuk, pertanyaan lanjutannya adalah mengenai kesesuaian
tindakan-tindakan yang diambil oleh PDRI dengan ketentuan-ketentuan
konstitusional yang mengaturnya. Bagaimana pula pengaturan mengenai badan-
badan yang ditunjuk sebagai pemegang kekuasaan pada masa-masa darurat, serta
kekuasaan seperti apa yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan darurat. Dalam
kasus PDRI, apakah kekuasaan yang dimiliki oleh PDRI pada saat itu telah sesuai
dengan tingkatan bahaya yang sedang dihadapi, karena pada dasarnya, kekuasaan-
kekuasaan yang diberikan kepada penguasa-penguasa dalam keadaan bahaya
disesuaikan dengan derajat gentingnya keadaan bahaya yang dihadapi.20
PDRI merupakan simbol nasional dan pemersatu, khususnya bagi pasukan
gerilya yang terpencar di seluruh Jawa dan Sumatera, karena pemerintahan
Sjaffruddin Prawiranegara diakui oleh pasukan republik (di bawah Panglima
Besar Sudirman) sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan Soekarno dan
20 Ritwan Junianto, “Implementasi Undang-Undang Status Keadaan Darurat dan Bahaya
Perang di Jawa Timur Tahun 1946-1962”, Avatara: e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 5 No. 1,
Maret 2017, hal. 1368.
Universitas Sumatera Utara
9
Hatta.21 Adanya pengakuan ini menjadi faktor penting dalam suatu pemerintahan
darurat, karena dengan begitu, pemerintahan darurat tersebut mendapatkan
legitimasinya. Namun, faktor pengakuan ini juga berjalan beriringan dengan
aturan-aturan tertulis mengenai mekanisme pembentukan pemerintah darurat.
Niccolo Machiavelli22 mengatakan bahwa negara modern seharusnya tidak lagi
mengedepankan penggunaan hukum secara berlebihan untuk menghadapi keadaan
darurat, melainkan harus bisa menemukan solusi pemulihan bagi setiap keadaan
darurat dan menetapkan aturan serta peraturan yang bisa dilaksanakan untuk
menyelesaikan keadaan darurat tersebut. Sebagai contoh, beberapa negara,
semisal Jerman dan Perancis membuat ketentuan secara eksplisit mengenai
penugasan dan pemberian kekuasaan luar biasa (extraordinary power) kepada
eksekutif dalam situasi krisis.23
Perlindungan hak-hak asasi manusia pada masa PDRI juga harus mendapat
perhatian. Sejauh mana upaya pemerintah pada saat itu dalam melindungi hak-hak
asasi manusia, khususnya hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun (certain human rights are non-derogable under any circumstances),24
yang meliputi:
21 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia
1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 213. 22 Niccolo Machiavelli, The Prince and the Discourses, 1513 Translation, (Random
House, 1950), hal. 203, dalam Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara Darurat, loc.cit., hal. 84. 23 Gordon Silverstein, Emergency Powers, Britannica Online Encyclopedia, 2020, hal. 1,
diakses pada tanggal 23 November 2020 dari https://www.britannica.com/topic/emergency-powers 24 Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), States of
Emergency, 2005, hal. 2, diakses pada tanggal 23 November 2020 dari https://www.dcaf.ch
Universitas Sumatera Utara
10
a. the right to life (hak untuk hidup);
b. prohibition of torture (larangan penyiksaan);
c. freedom from slavery (kebebasan dari perbudakan);
d. freedom from post facto legislation and other judicial guarantees (hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut serta jaminan
yudisial lainnya);
e. the right to recognition before the law (hak untuk diakui di muka hukum);
f. freedom of thought, conscience and religion (kebebasan atas pikiran,
keyakinan dan agama).
Pembahasan skripsi ini diawali dengan tinjauan umum mengenai negara
hukum, hukum tata negara darurat, pemerintahan darurat dan pengaturan keadaan
darurat dalam konstitusi Indonesia. Selanjutnya akan dijabarkan tujuan serta
syarat-syarat pembentukan suatu pemerintahan darurat. Pada bagian pembahasan
nantinya akan diuraikan secara ringkas dan padat latar belakang sejarah
pembentukan PDRI. Uraian tersebut guna memberikan pemahaman yang
komprehensif atas tema penulisan skripsi ini. Dari uraian kronologis pembentukan
PDRI, pembahasan kemudian akan dilanjutkan dengan analisis fakta-fakta seputar
pembentukan PDRI dengan bersandar pada teori-teori umum hukum tata negara
darurat yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk kemudian mengambil
kesimpulan terkait keabsahan PDRI sebagai suatu pemerintahan darurat.
B. Rumusan masalah
Berangkat dari judul karya ilmiah maupun dari masalah-masalahnya yang
bersifat umum, diperlukan penjabaran lebih lanjut untuk membatasi masalah
penelitian.25 Dengan kata lain, dalam menulis karya ilmiah, dibutuhkan
perumusan masalah guna menentukan batas-batas sejauh mana tema karya ilmiah
tersebut akan dieksplorasi. Berdasarkan judul dan latar belakang masalah
25 Amiruddin, Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Parama Ilmu, 2016), hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
11
sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dalam skripsi ini akan diajukan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan mengenai hukum tata negara darurat dan pemerintahan
darurat dalam konstitusi Indonesia?
2. Bagaimana hukum tata negara darurat memandang konsep pemerintahan
darurat?
3. Bagaimana keabsahan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Sumatera Barat pada tahun 1948-1949 dalam tinjauan hukum tata negara
darurat?
C. Tujuan penulisan
Tujuan penelitian hukum pada umumnya adalah sebagai sarana untuk
memperoleh data normatif dan empiris tentang suatu gejala atau peristiwa hukum
yang terjadi dalam masyarakat.26 Adapun tujuan penelitian ini dapat dirinci
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui konsep serta sejauh mana konstitusi Indonesia mengadakan
pengaturan mengenai hukum tata negara darurat pada umumnya dan
khususnya pemerintahan darurat.
b. Untuk mengetahui konsep pemerintahan darurat dalam perspektif hukum tata
negara darurat.
c. Untuk mengetahui keabsahan PDRI di Sumatera Barat pada tahun 1948-1949
dalam tinjauan hukum tata negara darurat.
26 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),
hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
12
D. Manfaat penulisan
Ilmu Hukum memiliki 2 (aspek), yaitu aspek teoritis (theoretical), dan aspek
praktis (practical). Dalam istilah lain, disebutkan pula bahwa Ilmu Hukum adalah
ilmu yang mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan
terapan.27 Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, Ilmu Hukum mempelajari dan
mendalami hukum dalam tataran konseptual, semisal; tujuan hukum dan norma-
norma hukum. Sementara sebagai ilmu terapan, Ilmu Hukum mempelajari dan
mendalami hukum dalam tataran praktis, semisal; pembuatan suatu peraturan
perundang-undangan dan pelaksanaan undang-undang. Kendati demikian,
karakteristik Ilmu Hukum ini tidak boleh dipahami secara terlalu dikotomis, sebab
pada kenyataannya, 2 (dua) karakteristik tersebut saling memengaruhi dan saling
melengkapi. Ilmu hukum terapan merupakan konsekuensi dari sifat preskriptif
ilmu hukum itu sendiri.28
Skripsi ini nantinya diharapkan dapat memperkaya diskursus hukum pada
umumnya, khususnya hukum tata negara, dan hukum tata negara darurat secara
lebih spesifik lagi, serta memicu munculnya gagasan-gagasan baru mengenai
topik yang menjadi ide utama penulisan skripsi ini.
Sementara untuk manfaat yang lebih praktis dan aplikatif, pemahaman dalam
skripsi ini diharapkan dapat menjadi rujukan dalam hal penyelenggaraan hukum
tata negara darurat di Indonesia, serta pemakaian istilah “Pemerintahan Darurat”
secara lebih efektif, khususnya di bidang keilmuan hukum tata negara darurat.
27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 22. 28 Ibid., hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
13
E. Keaslian penulisan
Pemilihan judul skripsi ini didorong oleh fakta belum banyaknya pembahasan
mengenai Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia. Masih minimnya literatur
serta karya ilmiah yang membahas topik tersebut sedikit-banyak menjadi bukti
bahwa diskursus mengenai Hukum Tata Negara Darurat belum mendapat tempat
di tengah-tengah diskursus hukum pada umumnya.
Sejauh ini, baru ada 2 (dua) buah literatur arus utama yang dipakai sebagai
rujukan dalam membicarakan hukum tata negara darurat. Buku tersebut adalah
buku Hukum Tata Negara Darurat yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie29 dan
Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia karya Herman Sihombing.30 Belum
banyak karya ilmiah yang berusaha mengembangkan wacana mengenai
pemerintahan darurat. Hal ini mengakibatkan diskursus tentang pemerintahan
darurat tidak banyak berkembang, termasuk di Indonesia. Padahal, Indonesia
sendiri dalam sejarah kenegaraannya, telah beberapa kali mempraktikkan hukum
tata negara darurat, baik secara de jure maupun secara de facto.
Fakta-fakta tersebut di atas menjadi alasan pertama dan utama penulis
mengangkat “Pemerintahan Darurat (Emergency Government) dalam Perspektif
Hukum Tata Negara Darurat (Studi Kasus Pemerintah Darurat Republik Indonesia
di Sumatera Barat)” sebagai judul skripsi.
Terdapat beberapa karya ilmiah yang membahas pokok persoalan yang hampir
sama. Namun, pokok pembahasan skripsi ini dapat dipastikan, memiliki nilai
diferensial dibandingkan karya-karya ilmiah terdahulu. Sebagai contoh, terdapat
29 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 30 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas. Mengenang Profesor Herman
Sihombing, Orang Batak di Ranah Minang, diakses pada tanggal 17 November 2020 dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56600a7bb697a/mengenang-profesor-herman-
sihombing--orang-batak-di-ranah-minang/
Universitas Sumatera Utara
14
skripsi berjudul Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera
Barat: Suatu Tinjauan Historiografi.31 Ada pula skripsi berjudul Abdul Samad:
Kiprah Pejuang Pada Masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia,
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Tokoh Pendiri YPPPDRI
(1948-2012).32
Masing-masing memiliki kesamaan dengan skripsi ini, yaitu sama-sama
bersinggungan dengan PDRI. Namun, pembahasan kedua skripsi tersebut
berfokus pada studi sejarah komparatif, dan penelusuran kiprah salah seorang
tokoh PDRI. Sedangkan pokok bahasan skripsi ini, kendati menggunakan
pendekatan sejarah, berfokus pada aspek hukum yang melingkupi PDRI.
Selain dalam bentuk skripsi, ada juga karya ilmiah dalam bentuk jurnal yang
membahas topik yang mirip dengan topik skripsi ini. Jurnal tersebut berjudul
Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Tahun 1948-1949
Dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan Hukum Tata Negara33 dan Studi Pemikiran
Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik Indonesia.34 Kedua karya ini
sama-sama memuat PDRI sebagai variabel penting. Namun jika dicermati, masih
ditemukan nilai diferensial dalam skripsi ini, yakni aspek hukum tata negaranya.
Sedangkan kedua karya jurnal yang disebutkan di atas menitikberatkan
pembahasannya pada aspek hukum Islam serta pendedahan metode berpikir
seorang tokoh akademisi.
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa keaslian penulisan skripsi ini
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pertanggungjawaban itu pun telah
31 Skripsi oleh Rulyani Ayu di STKIP PGRI Sumatera Barat. 32 Skripsi oleh Putra Satria Rio di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. 33 Jurnal oleh Moch. H. Kharismulloh Hilmatiar di Jurnal Al-Mazahib Volume 3, Nomer
1, Juni 2015. 34 Jurnal oleh Erasiah di Buletin Al-Turas Volume XXV No. 1 Bulan Januari Tahun 2019.
Universitas Sumatera Utara
15
dilaksanakan oleh penulis dengan cara mematuhi prosedur-prosedur formal yang
telah ditetapkan oleh Fakultas sebelum mengerjakan skripsi ini sampai selesai.
Skripsi ini diharapkan bisa menjadi setitik kecil harapan dalam pengembangan
diskursus hukum tata negara darurat di Indonesia, khususnya mengenai konsep
pemerintahan darurat, sehingga dapat memicu lebih banyak lagi orang untuk
menulis tentang tema-tema yang sama dan/atau saling berkaitan.
F. Tinjauan kepustakaan
Terdapat 3 (tiga) variabel penting dalam penulisan skripsi ini, yaitu hukum
tata negara darurat, pemerintahan darurat, dan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Masing-masing variabel akan dibahas sebagai pengantar untuk
memahami substansi utama skripsi ini, yaitu pemerintahan darurat dalam
perspektif hukum tata negara darurat.
Pengembangan wacana yang minim di bidang hukum tata negara darurat
membuat wacana di sekitarnya, termasuk pemerintahan darurat, juga tidak
mengalami perkembangan yang signifikan. Pada akhirnya, minimnya
pengembangan wacana ini menjadi sebab sekaligus akibat dari mandegnya
diskursus tentang hukum tata negara darurat dan pemerintahan darurat.
Kemandegan ini salah satunya dapat dilihat dari belum optimalnya upaya dalam
merumuskan pengertian-pengertian umum secara efektif di bidang hukum tata
negara darurat maupun pemerintahan darurat.
Dalam penulisan suatu karya ilmiah, studi kepustakaan adalah tahap yang
tidak kalah penting dari tahapan-tahapan lainnya. Bahkan, boleh jadi studi
kepustakaan memegang peranan yang jauh lebih besar dibanding tahapan yang
lain. Hingga ada ungkapan yang menyatakan bahwa studi kepustakaan merupakan
Universitas Sumatera Utara
16
separuh dari keseluruhan aktivitas penelitian itu sendiri, six hours in library save
six months in field or laboratory.35 Dari sini dapat dilihat betapa signifikan
kegiatan studi kepustakaan dalam menunjang sebuah penulisan karya ilmiah.
Studi kepustakaan adalah tahap di mana penulis atau peneliti mencari landasan
teori dari permasalahan penelitiannya, sehingga penelitian yang dilakukan
bukanlah aktivitas yang bersifat “trial and error”.36
Berdasarkan fungsinya, kepustakaan dibedakan menjadi 2 (dua) macam,
yaitu:37
1. Acuan umum, yang berisi konsep-konsep, teori-teori, dan informasi-informasi
lain yang bersifat umum, seperti; buku-buku, indeks, ensiklopedia, farmakope,
dan sebagainya.
2. Acuan khusus, yang berisi hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian yang diteliti, seperti; jurnal, laporan
penelitian, buletin, tesis, disertasi, brosur, dan sebagainya.
Adapun skripsi ini berharap banyak pada jurnal-jurnal terdahulu yang
membahas baik tentang hukum tata negara darurat, pemerintahan darurat, ataupun
seputar peristiwa yang berkaitan dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Studi kepustakaan, jika dilakukan dengan baik, akan memberikan manfaat
berupa:38
35 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1997), hal. 114. 36 Ibid. 37 Ibid., hal. 115. 38 Ibid., hal. 117.
Universitas Sumatera Utara
17
a. Diperoleh konsep-konsep dan teori-teori yang bersifat umum yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian.
b. Melalui prosedur logika deduktif, akan dapat ditarik kesimpulan spesifik yang
mengarah pada penyusunan jawaban sementara terhadap permasalahan
penelitiannya.
c. Akan diperoleh informasi empirik yang spesifik yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian.
d. Melalui prosedur logika induktif, akan diperoleh kesimpulan umum yang
diarahkan pada penyusunan jawaban teoritis terhadap permasalahannya.
Melalui studi kepustakaan inilah akan dicoba pengelaborasian teori dasar,
fakta serta hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan guna menjawab
permasalahan yang telah diajukan sebelumnya.
Hukum tata negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan
yang diperlukan beserta kewenangannya masing-masing, hubungannya satu sama
lain, serta hubungannya dengan individu warga negara dalam kegiatannya.39
Defenisi ini diutarakan oleh Van der Pot. Tentu masih ada banyak definisi lainnya
yang lebih beragam yang ditawarkan oleh beberapa akademisi hukum semisal
Van Vollenhoven, Paul Scholten, dan J. H. A. Logemann. Sebagaimana ilmu
hukum, hukum tata negara juga memiliki definisi yang beragam. Kendati
demikian, jika diteliti lebih lanjut, setiap definisi pasti memiliki kesamaan dengan
definisi yang lain. Maka, ketika skripsi ini menggunakan salah satu definisi,
bukan berarti definisi lainnya tidak memadai untuk menggambarkan apa yang
dimaksud dengan hukum tata negara.
39 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), hal.19.
Universitas Sumatera Utara
18
Hukum tata negara darurat selaku hukum tata negara darurat dalam keadaan
bahaya atau darurat adalah rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar
biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat
menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa
menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.40
Dari defenisi di atas, dapat dipahami bahwa hukum tata negara darurat terjadi
dalam situasi bahaya yang menyebabkan peraturan perundang-undangan serta
hukum yang biasanya berlaku dalam tatanan kehidupan sehari-hari tidak akan
sanggup berjalan dengan efektif. Demi mengatasi tidak efektifnya hukum biasa
ini, maka diadakanlah pengaturan-pengaturan yang bersifat luar biasa
(extraordinary) dan istimewa dalam suatu sistem hukum tata negara darurat.
Dapat pula dipahami bahwa rumusan defenisi tersebut juga menyiratkan
tentang sifat kesementaraan dari hukum tata negara darurat (mengenai ini akan
dijelaskan kemudian pada bagian pembahasan, yaitu tentang asas-asas hukum tata
negara darurat), di mana dalam defenisi tersebut, hukum tata negara darurat
diberlakukan dengan tujuan menghapuskan keadaan bahaya sesegera mungkin,
sehingga bisa kembali ke kehidupan biasa yang diselenggarakan berdasarkan
perundang-undangan serta hukum yang umum dan biasa.
Pemerintahan dapat diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memerintah, atau
dapat juga diartikan sebagai segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara.41
Sementara darurat mempunyai arti dalam keadaan terpaksa; disebabkan karena
40 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1996), hal. 1. 41 Ilham Gunawan dan M. Martinus Sahrani, Kamus Hukum, (Jakarta: Restu Agung,
2002), hal. 387.
Universitas Sumatera Utara
19
keadaan memaksa.42 Dapat pula diartikan sebagai keadaan sukar (sulit) yang tidak
tersangka-sangka (dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan
penanggulangan segera; keadaan terpaksa; keadaan sementara.43 Dengan
formulasi pengertian pemerintahan dan darurat ini, dapat dibangun sebuah
pemahaman bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan darurat adalah segala
urusan yang dilakukan oleh negara dalam keadaan darurat yang membutuhkan
tindakan penanggulangan segera, dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan
rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri selama keadaan darurat tersebut
berlangsung. Dengan kata lain, pemerintahan darurat adalah pemerintahan yang
dijalankan dalam keadaan bahaya atau darurat. Pemerintahan darurat itu sendiri
merupakan respons atas keadaan bahaya tersebut yang tujuannya adalah untuk
mempertahankan eksistensi pemerintahan dari negara yang bersangkutan.
Bertolak dari Konvensi Montevideo44 yang menjadi acuan umum dalam
mengidentifikasi unsur-unsur suatu negara sebagai subjek hukum internasional,
dapat dikatakan sebagai negara jika memenuhi kualifikasi sebagai berikut:
a. populasi permanen;
b. wilayah yang sudah ditentukan;
c. pemerintahan;
d. kapasitas untuk menjalin hubungan dengan negara lain.
Maka pemerintahan adalah salah satu unsur pembentuk suatu negara yang di
dalamnya terdapat subjek (pemerintah) yang memerintah dan mengadakan
serangkaian pengaturan guna mengakomodir kepentingan serta memenuhi hak-
hak penduduk atau populasi permanen yang berada dalam suatu wilayah.
42 Ibid., hal. 70. 43 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), hal. 319. 44 Article 1 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States.
Universitas Sumatera Utara
20
Bicara soal pemerintahan darurat tidak jauh beda dengan bicara soal hukum
tata negara darurat. Oleh sebab itulah, terkadang tidak ada dikotomi yang jelas
dalam menyebutkan hukum tata negara darurat dengan pemerintahan darurat.
Perbedaan paling mendasar antara negara dengan pemerintahan adalah bahwa
negara dapat dipahami sebagai sesuatu yang diam (statis), sedangkan
pemerintahan dipahami sebagai sesuatu yang senantiasa bergerak (dinamis).
Hukum tata negara darurat lebih mengacu kepada sistem, aturan-aturan, otoritas
yang membuat aturan tersebut, serta bagaimana aturan-aturan tersebut seharusnya
dilaksanakan dalam keadaan darurat. Sedangkan pemerintahan darurat mengacu
pada otoritas yang melaksanakan aturan-aturan, serta bagaimana aturan-aturan
tersebut dilaksanakan pada kenyataannya. Dengan kata lain, hukum tata negara
darurat berada pada tataran teori, sementara pemerintahan darurat berada pada
tataran praktik.
PDRI adalah sebuah pemerintahan darurat Republik Indonesia yang didirikan
di Bukittinggi, Sumatera Barat pasca serangan agresi militer kedua yang
dilancarkan oleh Belanda pada tahun 1948. Pemerintahan darurat ini diketuai oleh
Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan menjadi bukti pada masa itu bahwa Republik
Indonesia masih eksis kendati Belanda berusaha untuk menduduki kembali
Indonesia.
Setelah variabel-variabel di atas dikaji secara terpisah, hasil kajian tersebut
kemudian akan dielaborasikan secara utuh dan menyeluruh guna menjawab
permasalahan yang sudah dirumuskan sebelumnya. Dengan cara ini, maka
permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini bisa terjawab dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
21
G. Metode penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian hukum yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Spesifikasi penelitian
Penulisan skripsi ini menerapkan metode penelitian normatif. Dengan studi
kepustakaan, akan dilakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang
berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu pemerintahan darurat dalam perspektif
hukum tata negara darurat.
2. Metode pendekatan
Penulisan skripsi melalui penelitian normatif ini dilakukan dengan menggunakan
3 (tiga) macam pendekatan, yaitu pendekatan konsep (conceptual approach),
pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan konsep dilakukan mengingat skripsi ini fokus pada konsep
pemerintahan darurat dalam perspektif hukum tata negara darurat. Pendekatan
sejarah dilakukan karena dalam penulisannya, skripsi ini tidak bisa tidak, harus
bersentuhan denga aspek sejarah. Penelitian normatif yang menggunakan
pendekatan sejarah memungkinkan seorang peneliti memahami hukum seccara
lebih mendalam tentang suatu sistem atau lembaga atau suatu pengaturan hukum
tertentu, sehingga dapat meminimalisir kekeliruan-kekeliruan, baik dalam
pemahaman maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan hukum tertentu.45
Adapun pendekatan kasus (case approach) bertujuan untuk mempelajari
bagaimana penerapan norma-norma atau kaidah hukum dilakukan dalam praktik
45 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Aksara
Baru, 1976), cet. ke-III, hal. 64, dalam Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian
Hukum Normatif dan Empiris, (Depok: Penerbit Prenadamedia Group, 2018), Cet. ke-II, hal. 144.
Universitas Sumatera Utara
22
hukum.46 Dalam hal ini yaitu kaidah-kaidah hukum tata negara darurat dalam
kasus terbentuknya PDRI pada tahun 1948-1949 di Sumatera Barat. Kendati
menggunakan banyak pendekatan, fokus penelitian skripsi ini tetap berada pada
aspek hukum, dalam hal ini hukum tata negara. Dengan demikian, hukum tata
negara tetap menjadi yang utama, sedangkan aspek sejarah, politik, serta aspek
lainnya di luar hukum, hanya akan menjadi aspek pendukung dalam penulisan
skripsi ini.
3. Sumber hukum
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jenis penelitian skripsi ini adalah
penelitian normatif. Oleh karenanya, skripsi ini mempergunakan bahan hukum
primer, sekunder, dan bahan nonhukum dalam penulisannya. Bahan hukum
primer terdiri dari peraturan perundangan-undangan. Bahan hukum sekunder
meliputi buku-buku hukum, jurnal hukum, serta pendapat para pakar yang relevan
dengan pokok permasalahan skripsi. Adapun bahan-bahan nonhukum yang
dipergunakan terdiri atas buku-buku serta jurnal di bidang ilmu sejarah,
khususnya yang membahas tentang PDRI sebagai studi kasus dalam penulisan
skripsi ini.
4. Pengumpulan bahan hukum
Pengumpulan data-data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini dilakukan
dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian
kepustakaan, dilakukan penelusuran literatur-literatur yang berkaitan erat dengan
tema skripsi, yang tentunya bisa menjadi landasan dalam penulisan skripsi ini.
Data-data yang telah terhimpun kemudian akan diklasifikasikan ke dalam bab dan
46 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Depok: Penerbit Prenadamedia Group, 2018), Cet. ke-II, hal. 146.
Universitas Sumatera Utara
23
subbab yang telah disusun secara berurutan sesuai dengan pokok permasalahan
untuk kemudian dianalisis.
5. Pengolahan dan analisis bahan hukum
Data-data yang telah terkumpul kemudian akan dianalisis secara deskriptif dengan
menggunakan metode analisis induktif dan deduktif. Dalam metode induktif,
contoh-contoh konkret dan fakta-fakta penelitian yang telah diuraikan sebelumnya
akan digeneralisasi, kemudian dirumuskan menjadi suatu kesimpulan. Sedangkan
dalam metode deduktif, kesimpulan-kesimpulan umum berdasarkan generalisasi
sebelumnya akan diurai menjadi contoh-contoh konkret dan fakta-fakta yang
mampu menjelaskan kesimpulan umum tersebut.
H. Sistematika penulisan
Karya ilmiah yang baik adalah karya ilmiah yang diuraikan secara sistematis.
Ini akan memudahkan proses penulisan dan penyusunan karya ilmiah, dan juga
membantu pembaca dalam memahami substansi karya ilmiah tersebut. Adapun
sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Yaitu sebagai pengantar dan pendahuluan skripsi. Bab ini terdiri dari latar
belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan, serta sistematika penulisan.
Universitas Sumatera Utara
24
BAB II
TINJAUAN UMUM NEGARA HUKUM, HUKUM TATA NEGARA
DARURAT, DAN PEMERINTAHAN DARURAT
Bab ini berisi tentang pengertian dan istilah-istilah umum dalam negara hukum,
hukum tata negara darurat, serta pemerintahan darurat. Selain itu, bab ini juga
berisi tentang pengaturan mengenai hukum tata negara darurat dan pemerintahan
darurat dalam konstitusi Indonesia.
BAB III
TUJUAN DAN SYARAT PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN DARURAT
Bab ini berisi pembahasan tentang apa saja yang menjadi tujuan dibentuknya
suatu pemerintahan darurat, apa saja syarat-syarat pembentukannya serta
pengaturan mengenai badan-badan yang memiliki kewenangan sebagai pemegang
kekuasaan darurat.
BAB IV
PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA
Bab ini berisi pembahasan mengenai PDRI yang dibentuk di Sumatera Barat dan
berlangsung selama tahun 1948 sampai 1949. Mulai dari latar belakang
pembentukannya, hingga eksistensi dan keabsahan PDRI sebagai salah satu
bentuk pemerintahan darurat.
BAB V
PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi yang berisikan kesimpulan dan saran
yang diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum serta
memberikan manfaat bagi banyak orang.
Universitas Sumatera Utara
25
BAB II
NEGARA HUKUM, HUKUM TATA NEGARA DARURAT DAN
PEMERINTAHAN DARURAT
A. Negara Hukum
Negara hukum barangkali telah menjadi sebuah ungkapan yang teramat sering
disebutkan dalam keseharian manusia. Tidak hanya disebut-sebut dalam praktik
kenegaraan, negara hukum bahkan dibicarakan pula dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat hingga pada tingkatan remeh-temeh sekalipun. Sebagai contoh, tatkala
seseorang yang tidak terbukti melakukan tindak pidana tetap dijatuhi hukuman
oleh hakim, maka eksistensi negara sebagai negara hukum pasti dipertanyakan.
Contoh lain, jika seorang pencuri dikeroyok massa sampai meninggal dunia,
eksistensi negara hukum pula yang akan dipertanyakan. Begitu pula ketika dana
bantuan sosial untuk korban bencana tidak sampai ke tangan masyarakat
penerimanya, pasti eksistensi negara hukum yang dipertanyakan. Lantas, apakah
negara hukum itu?
Negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin
keadilan kepada warga negaranya.47 Dalam rangka menjamin keadilan tersebut,
maka penyelenggaraan negara harus dilakukan berdasarkan hukum. Menurut
Lawrence M. Friedman48, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari 3 (tiga)
subsistem, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal
structure), dan budaya hukum (legal culture). Substansi hukum meliputi materi
47 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar
Bakti, 2016), hal. 153. 48 Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, Terjemahan dari
American Law: An Introduction, 2nd Edition, Alih Bahasa: Wisnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa,
2001), hal. 6-8.
Universitas Sumatera Utara
26
hukum yang di antaranya dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Struktur hukum menyangkut kelembagaan (institusi) pelaksana hukum,
kewenangan lembaga serta aparat penegak hukum. Sedangkan budaya hukum
menyangkut perilaku hukum masyarakat atau pemahaman dan penerimaan
masyarakat terhadap hukum. Adapun keadilan sebagai tujuan dari sistem hukum
akan tercapai hanya jika ketiga subsistem sebagaimana disebutkan oleh Lawrence
M. Friedman bersinergi dengan baik.49 Pemikiran tentang konsep negara hukum
telah muncul sejak berabad-abad lalu. Pemikir atau filsuf yang mula-mula
mengabstraksikan dan memperkenalkan konsep ini adalah Plato dan Aristoteles.50
Konsep negara hukum bahkan disebut telah lahir lebih dulu dibanding konsep
ilmu kenegaraan. Perkiraan ini setidaknya mendorong asumsi bahwa sejak
pertama kali diperkenalkan, konsep negara dan hukum telah dipahami sebagai
satu kesatuan tak terpisahkan. Dengan kata lain, pemikir seperti Plato dan
Aristoteles sangat mungkin telah sampai pada kesimpulan bahwa negara bisa
dijalankan hanya jika ada hukum yang mengaturnya. Barulah di kemudian hari,
konsep-konsep tentang ilmu kenegaraan lahir sebagai variabel-variabel dari
negara hukum.
Ketidakterpisahan tidak hanya terjadi antara negara dengan hukum.
Pembahasan mengenai negara hukum masih diikuti pula dengan pembahasan
variabel lain, seperti demokrasi. Demokrasi dengan ciri khasnya yang
menonjolkan partisipasi publik dianggap sebagai sistem yang ideal untuk
menopang negara yang mengusung konsep negara hukum. Demokrasi dan hukum
49 Lutfil Ansori, “Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif”, Jurnal
Yuridis, Vol. 4 No. 2, Desember 2017, hal. 150. 50 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta: UII
Press, 2005), cet. ke-I, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
27
dinilai sebagai dua hal yang saling berkaitan, melengkapi, dan saling
mempengaruhi. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan makna,
sedangkan hukum yang baik dengan sendirinya adalah hukum yang demokratis.
Dengan kata lain, demokrasi adalah cara paling aman dan ideal untuk
mempertahankan kontrol atas negara hukum.51
Praktik negara hukum kemudian berkembang pada abad 17 dan semakin
populer pada abad 19. Pemikiran-pemikiran tentang negara hukum yang ideal
terus berkembang. Pemikiran tentang konsep negara hukum kemudian
berkembang dan mengerucut menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Negara hukum rechtsstaat yang berkembang di Eropa, tepatnya Eropa Barat.
Konsep negara hukum ini selanjutnya dikenal sebagai sistem hukum Eropa
Kontinental.
b. Negara hukum rule of law yang berkembang di Inggris. Konsep negara hukum
ini selanjutnya dikenal sebagai sistem hukum Anglo Saxon.
Negara hukum rechtsstaat berakar pada paham liberalisme yang menentang
kekuasaan absolut raja. Jika sebelumnya raja memiliki kewenangan yang tak
terbatas pada rakyatnya, maka paham liberalisme mengkehendaki agar negara
melepaskan dirinya dari campur tangan urusan kesejahteraan rakyatnya.52
Semboyan Laisser Faire, Laisser Paisser menjadi sangat terkenal pada masa ini.
Paham liberalisme secara radikal menyuarakan bahwa negara seharusnya bersikap
pasif, tidak mengintervensi penyelenggaraan kepentingan rakyat. Konsekuensi
dari semakin berkembangnya paham liberalisme hukum ini adalah semakin
banyak raja yang mengadakan perjanjian dengan rakyatnya untuk kemudian
51 Ibid., hal. 2. 52 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
op.cit., hal. 154.
Universitas Sumatera Utara
28
memiliki kedudukan yang sama. Artinya, kewenangan raja sudah dipangkas
sedemikian rupa, sehingga tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
kelangsungan hidup rakyatnya. Negara-negara yang tadinya berbentuk monarki
absolut, secara perlahan mengalami transisi menjadi negara monarki
konstitusional. Dalam negara hukum liberal semacam ini, dikenal 2 (dua) unsur
penting, yaitu:
a. perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. pemisahan kekuasaan.
Dalam perkembangannya, kedua hal yang dijamin dalam negara hukum liberal
ini dinilai tidak memadai dalam memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Konsep
negara hukum liberal ini lantas berkembang lagi ke arah pemahaman bahwa
negara harus tetap turut serta dalam urusan kepentingan rakyat.53 Dengan catatan,
keikutsertaan atau campur tangan negara tersebut tetap dibatasi oleh hukum yang
berlaku, atau harus sesuai dengan apa yang sudah ditentukan dalam hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui perkembangan ini, lahirlah
negara hukum formil. Jika dalam negara hukum liberal hanya terdapat 2 (dua)
unsur penting, maka dalam negara hukum formil, unsur tersebut bertambah
menjadi 4 (empat) unsur penting, yaitu:54
a. perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. pemisahan kekuasaan;
c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-
undangan;
d. adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
53 Ibid., hal. 156. 54 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
29
Perkembangan-perkembangan pada fase negara hukum formil ini juga tidak
terlepas dari gejolak revolusi yang terjadi di negara-negara di dunia. Sebut saja
Perancis. Di Perancis, rakyat terbagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:
1. golongan pertama yang terdiri dari raja-raja;
2. golongan kedua yang terdiri dari para alim ulama;
3. golongan ketiga yang terdiri dari para hartawan dan cendekiawan;
4. golongan keempat yang terdiri dari rakyat biasa.
Rakyat golongan ketiga kemudian mengadakan pemberontakan terhadap
rakyat golongan pertama dan kedua. Dalam pemberontakan yang bertujuan untuk
mencapai kemerdekaan (liberte), persamaan (egalite) dan persaudaraan
(fraternite) ini, rakyat golongan ketiga juga menghimpun kekuatan dari rakyat
golongan keempat, yakni rakyat biasa seperti petani dan buruh. Capaian revolusi
ini antara lain:55
a. hak-hak yuridis seperti hak-hak dasar, hak-hak yang terletak dalam hukum
perdata dan hukum pidana;
b. hak-hak politik, yaitu hak untuk memilih dan dipilih.
Revolusi ini disebut juga sebagai revolusi politik. Istilah tersebut lahir
mengingat revolusi ini digagas oleh rakyat golongan ketiga yang pada dasarnya
merupakan kaum borjuis liberal, yang menginginkan penguatan hak-hak politik di
kalangan mereka. Sementara di kalangan rakyat biasa atau golongan keempat,
tercapainya hak-hak dasar di bidang hukum perdata dan pidana cukup menjadi
semacam imbalan untuk keikutsertaan mereka dalam revolusi ini.
55 Ibid., hal. 157.
Universitas Sumatera Utara
30
Setelah revolusi politik di Perancis, meletus pula revolusi industri di Inggris
sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi yang telah memasuki ranah
industri. Revolusi industri di Inggris kemudian melahirkan hak-hak (yang
melengkapi capaian revolusi politik Perancis) sebagai berikut:56
a. hak yuridis, merupakan hak asasi yang berhubungan dengan relasi antara
individu maupun kelompok dengan hukum, seperti hak untuk mendapatkan
pembelaan hukum di pengadilan, hak untuk diperlakukan setara di muka
hukum, hak memperoleh kepastian hukum, dan hak untuk mendapatkan
perlakuan yang adil tanpa diskriminasi, baik diskriminasi berbasis gender,
suku, agama, dan ras maupun golongan.
b. hak politik, merupakan hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan politik,
seperti hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan, hak ikut serta
dalam pemerintahan, hak mendirikan partai politik, dan hak untuk mengajukan
petisi;
c. hak ekonomi, merupakan hak asasi yang berhubungan dengan kegiatan
perekonomian, seperti hak kebebasan mengadakan kontrak, hak kebebasan
mengadakan transaksi jual beli, hak kebebasan mengadakan perjanjian sewa
menyewa, hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk menikmati sumber daya
alam, hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta
hak untuk meningkatkan taraf hidup;
56 Ibid., hal. 160.
Universitas Sumatera Utara
31
d. hak sosial, merupakan hak asasi yang berhubungan dengan aktivitas individu
dalam kehidupan sosial, seperti hak untuk melakukan mobilitas, hak untuk
menyatakan pendapat di muka umum, hak untuk memeluk dan menjalankan
agama dan kepercayaan, dan hak untuk tidak dipaksa dan disiksa;
e. hak kultural, yaitu hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan berbudaya,
seperti hak untuk mempraktikkan serta mengembangkan budaya masyarakat,
hak untuk mengembangkan minat dan bakat, hak untuk berkreasi, dan hak
untuk memperoleh jaminan sosial.
Demikianlah serangkaian peristiwa sejarah pada abad 19 dan 20 memberikan
kontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan konsep negara hukum
rechtsstaat. Mulai dari negara hukum liberal, hingga tiba pada fase negara
kesejahteraan (welfare state, wohlfart staat, social service state). Rangkaian
perkembangan negara hukum rechtsstaat ini dapat digambarkan dalam skema
sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
32
Skema 1.
Perkembangan Negara Hukum Rechtsstaat.
Negara Hukum Liberal
Bersamaan dengan lahirnya paham
liberalisme yang menentang kekuasaan
absolut raja (Monarki absolut menjadi
monarki konstitusional)
Negara Hukum Formil
Negara dirasa perlu untuk tetap campur
tangan dalam urusan kepentingan rakyat,
namun harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ditentukan
Negara Hukum Rechtsstaat
Di samping sikap aktif negara dalam
urusan kepentingan rakyat, rakyat juga
semakin giat menuntut hak-hak dasarnya.
Perkembangan hak-hak dasar ini juga
dipengaruhi oleh berbagai revolusi di
beberapa negara.
Negara Kesejahteraan
(welfare state, wohlfart staat,
social service state)
Negara hukum yang sudah lebih
substantif, dan mengedepankan
kesejahteraan rakyat.
Universitas Sumatera Utara
33
Berbeda dengan di Eropa Barat, di Inggris dan negara-negara dengan tradisi
hukum Anglo Saxon, konsep negara hukum dikenal dengan istilah rule of law.
The rule of law, sebagaimana diutarakan oleh A. V. Dicey, terdiri dari 3 (tiga)
unsur, yaitu:57
a. supremasi hukum. Artinya, yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam
negara adalah hukum (kedaulatan hukum);
b. persamaan kedudukan dalam hukum bagi setiap orang;
c. konstitusi tidak merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-
hak asasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi, itu hanya sebagai
penegasan bahwa hak asasi itu harus dilindungi.
Pada dasarnya, baik rechtsstaat maupun rule of law merupakan sama-sama
pengertian dari negara hukum, yakni negara yang mendasarkan segala
tindakannya pada hukum demi menjamin keadilan bagi segenap rakyatnya.
Namun, sebagai dua buah konsep yang berkembang di wilayah yang berbeda,
kedua konsep negara hukum ini memiliki hal-hal mendasar yang menjadi
persamaan maupun pembedanya. Perbedaan antara rechtsstaat dengan rule of law
terletak pada tidak adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri pada sistem
rule of law, karena setiap perkara yang terjadi, apakah yang tersangkut di
dalamnya seorang sipil atau seorang pejabat negara, atau seorang swasta atau
seorang militer, akan diadili oleh suatu pengadilan yang sama.58 Sedangkan
persamaan antara rechtsstaat dengan rule of law adalah bahwa baik pada rule of
law maupun rechtsstaat diakui adanya kedaulatan hukum atau supremasi hukum,
maka dicegahlah adanya kekuasaan-kekuasaan yang bersifat pribadi, baik ia
57 Ibid., hal. 161. 58 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
34
berasal dari satu orang, maupun sekelompok atau segolongan manusia.59 Dalam
hal ini nampak jelas bahwa konsep negara hukum rechtsstaat maupun rule of law
memiliki tujuan yang sama, yaitu melindungi individu dan/atau kelompok dari
kesewenang-wenangan negara.
Walaupun memiliki perbedaan dan persamaan, dalam praktiknya, istilah
rechtsstaat dan rule of law kerap dipertukarkan untuk menyebutkan negara
hukum. Tidak jarang perbedaan dan persamaan tersebut dikesampingkan. Kedua
istilah tersebut pun dipahami sebagai sekadar istilah asing bagi negara hukum.
Secara umum, suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila
memiliki ciri-ciri berikut:60
a. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan;
b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu
kekuasaan atau kekuatan apapun juga;
c. legalitas dalam arti segala bentuknya.
Indonesia sendiri dalam konstitusinya secara tegas menyatakan diri sebagai
negara hukum. Hal ini dapat dijumpai dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), mulai dari bagian pembukaan, batang
tubuh, hingga penjelasan. Pertama, pada pembukaan UUD NRI 1945, disebutkan
kata-kata “peri keadilan”, “adil”, “keadilan sosial”, dan “kemanusiaan yang adil”.
Disebutkannya kata-kata ini mengindikasikan eksistensi negara hukum, karena
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tujuan negara hukum itu adalah untuk
59 Ibid., hal. 162. 60 A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civi Education): Pancasila, Demokrasi,
dan Pencegahan Korupsi, (Jakarta: Kencana, 2015), hal. 92-93.
Universitas Sumatera Utara
35
mencapai keadilan.61 Lebih jauh disebutkan pula pada alinea keempat UUD NRI
1945 bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia. Penegasan ini menyiratkan semangat
konstitusionalisme yang tidak lain merupakan prinsip dari negara hukum itu
sendiri.62 Kedua, pada batang tubuh UUD NRI 1945 secara tegas dinyatakan
bahwa Indonesia adalah negara hukum.63 Presiden dinyatakan sebagai pemegang
serta menjalankan kekuasaan menurut undang-undang dasar.64 Presiden dan Wakil
Presiden juga harus mengangkat sumpah untuk menjalankan tugas dan
kewajibannya sesuai dengan undang-undang dasar serta tidak boleh bertentangan
dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar.65 Di samping itu,
substansi UUD NRI 1945 yang juga menegaskan posisi Indonesia sebagai negara
hukum adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia.66
Pengaturan tentang hak-hak asasi manusia ini menjadi sangat krusial, mengingat
ciri khas negara hukum adalah dijaminnya penghormatan (to respect),
perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fullfil) hak-hak asasi manusia.
Ketiga, dalam penjelasan UUD NRI 1945, disebutkan bahwa negara Indonesia
berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar kekuasaan belaka (machtstaat).
Penjelasan ini lagi-lagi menegaskan apa yang telah dinyatakan baik secara
eksplisit maupun implisit pada pembukaan dan batang tubuh UUD NRI 1945.
Maka siapapun yang membaca konstitusi Indonesia secara utuh, pastilah sampai
pada kesimpulan bahwa Indonesia merupakan negara hukum.
61 Ibid. 62 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
op.cit., hal. 163. 63 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 64 Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 65 Pasal 9 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 66 Pasal 27, 28, 28A s/d 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Universitas Sumatera Utara
36
B. Hukum Tata Negara Darurat
Hukum tata negara darurat dapat dikatakan merupakan pengembangan dari
ilmu hukum tata negara yang menjadikan negara sebagai objek kajiannya.
Pengembangan tersebut tentunya tidak terjadi begitu saja, melainkan sebagai
akibat dari dinamika dalam realitas yang menjadi lapangan penelitian bagi bidang
keilmuan yang bersangkutan. Adapun yang menjadi objek kajian hukum tata
negara darurat adalah negara yang tengah berada dalam keadaan darurat (state of
emergency).67 Keadaan darurat ini mengakibatkan negara beserta
pemerintahannya tidak bisa berlangsung dengan efektif, karena hukum dan segala
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat negara dalam keadaan
normal (ordinary condition), tidak dapat berlaku efektif lagi dalam keadaan
darurat karena tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang timbul selama
keadaan darurat berlangsung yang pada dasarnya memang tidak atau sangat sulit
diprediksi.
Dalam situasi darurat yang tidak dapat diprediksi (unpredictable) inilah
hukum tata negara darurat diberlakukan. Guna mengatasi masalah-masalah yang
timbul akibat keadaan darurat, pemerintah akan mengambil tindakan-tindakan
yang bisa saja menyimpangi konstitusi. Peluang terjadinya penyimpangan ini
sangat besar, karena jika hanya mengandalkan ketentuan konstitusi beserta
peraturan perundang-undangan dalam situasi normal, maka masalah-masalah yang
timbul akan sangat sulit diatasi. Kata “penyimpangan” dalam konteks ini agaknya
perlu dipahami dengan baik agar tidak menimbulkan ambiguitas. Penyimpangan
yang dimaksud dalam hal ini kerap diartikan sebagai pertentangan. Pemaknaan
67 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
37
semacam ini tentunya sangat keliru. Penyimpangan dengan pertentangan
merupakan dua hal berbeda. Disebut pertentangan, jika terdapat dua atau lebih
ketentuan tentang suatu hal yang sama, yang kemudian saling bertentangan antara
ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain. Sedangkan yang dimaksud
dengan penyimpangan adalah manakala sebuah ketentuan dikesampingkan dan
digantikan dengan ketentuan lain yang bersifat progresif yang belum ada
pengaturannya secara tegas. Maka tindakan-tindakan dalam pemberlakuan hukum
tata negara darurat pada dasarnya adalah tindakan yang “menyimpangi”, bukan
“menentang”. Tindakan menyimpangi konstitusi itu dilakukan dalam rangka
mempertahankan eksistensi negara. Sedangkan tindakan menentang memiliki arti
bahwa terdapat ketidaksesuaian dalam ketentuan konstitusi, bahkan menyiratkan
ketentuan dalam konstitusi tersebutlah yang mengakibatkan terjadinya keadaan
darurat.
Kendati demikian, penyimpangan ini tidak terjadi begitu saja. A. W. Bradley
dan K. D. Ewing68 memiliki pandangan ideal tentang penyimpangan ini. Mereka
berpendapat, bahwa ketika terjadi keadaan darurat yang serius, prinsip-prinsip
konstitusional yang normal harus memberikan perlindungan bagi penyimpangan-
penyimpangan yang diperlukan untuk mengatasi keadaan darurat tersebut (In
times of grave national emergency, normal constitutional priciples may have to
give way to the overriding need to deal with the emergency). Dengan kata lain,
tindakan penyimpangan yang terjadi dalam keadaan darurat ini seharusnya
sedikit-banyak telah diprediksi dan diantisipasi dalam konstitusi.
68 A.W. Bradley dan K.D. Ewing, Constitutional and Administrative Law, 13th Edition,
(Longman, 2003), hal.602, dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat,
(Jakarta:Rajawali Pers, 2008), hal. 157.
Universitas Sumatera Utara
38
Dalam perkembangannya di negara-negara di dunia, terdapat beberapa istilah
untuk mengidentifikasi keadaan darurat. Disparitas dalam peristilahan itu pada
dasarnya tidak menambah ataupun mengurangi secara signifikan pemaknaan
terhadap hukum tata negara darurat. Berbagai istilah tersebut antara lain sebagai
berikut:69
1. State of Emergency
2. State of Civil Emergency
3. State of Siege (etat d’siege)
4. State of War
5. State of Internal War
6. State of Exception (Etat d’exception, Regime d’exception)
7. Estado De Alerta
8. Estado De Excepcion (Exceptional Circumstance)
9. Estado De Sitio (Siege)
10. State of Public Danger
11. State of Public Emergency
12. State of Catastrophe
13. State of Defence
14. State of Tension
15. State of Alarm
16. State of Urgency (Etat d’urgence)
17. State of National Defence
18. State of National Necessity
69 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Ibid., hal. 7-8.
Universitas Sumatera Utara
39
19. State of Special Powers
20. State of Suspension of Guarantee (Suspension of Individual Security)
21. General or Partial Mobilisation
22. Military Regime
23. Martial Law
24. Keadaan darurat
25. Keadaan bahaya (Pasal 12 UUD NRI 1945)
26. Keadaan luar biasa
27. Keadaan kegentingan yang memaksa (Pasal 22 UUD NRI 1945)
Hukum tata negara darurat selaku hukum tata negara darurat dalam keadaan
bahaya atau darurat adalah rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar
biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat
menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa
menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.70 Definisi
tersebut merupakan rumusan paling sederhana untuk mengantarkan ke
pemahaman yang lebih kompleks mengenai hakekat dari hukum tata negara
darurat. Adapun unsur-unsur yang terutama harus terdapat dalam hukum tata
negara darurat adalah sebagai berikut:71
a. adanya bahaya negara yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa;
b. upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan
menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada;
70 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1996), hal. 1. 71 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
40
c. kewenangan luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah
negara untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke
dalam kehidupan normal;
d. wewenang luar biasa itu dan hukum tata negara darurat itu adalah untuk
sementara waktu saja, sampai keadaan darurat itu dipandang tidak
membahayakan lagi.
Dalam perkembangannya, unsur-unsur tersebut menjadi bahan pembahasan
serius dalam wacana hukum tata negara darurat. Unsur-unsur tersebut kemudian
diuraikan kembali menjadi asas-asas dasar dalam pemberlakuan keadaan darurat.
Asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut:72
a. Asas proklamasi. Artinya, keadaan darurat harus diumumkan atau
diproklamasikan secara terbuka sehingga semua orang mengetahuinya.
Pengumuman ini berkaitan dengan tindakan-tindakan di luar norma hukum
biasa yang diambil selama keadaan darurat berlangsung. Proklamasi ini juga
menjadi semacam legitimasi terhadap tindakan-tindakan luar biasa yang
dimaksud. Di samping itu, proklamasi ini juga mengindikasikan bahwa
kebijakan pemberlakuan keadaan darurat dilakukan secara transparan dan
akuntabel, sekaligus menjadi momentum hukum yang menentukan transisi
status keadaan hukum sebelumnya. Dengan adanya proklamasi keadaan
darurat, hukum yang tadinya tidak sah bisa menjadi sah, dan yang tadinya sah
bisa menjadi tidak sah.
72 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, op.cit., hal. 98.
Universitas Sumatera Utara
41
b. Asas legalitas. Asas ini berkenaan dengan kesesuaian yang harus ada antara
deklarasi keadaan darurat dan tindakan-tindakan darurat yang diambil di satu
pihak, dan antara deklarasi keadaan darurat dan perundangan internal negara
di pihak lain. Asas ini juga sebagai upaya sinkronisasi antara hukum nasional
dengan prinsip-prinsip hukum internasional, dengan asumsi bahwa setiap
negara, berdasarkan doktrin self-preservation, memiliki kewenangan untuk
bertindak apa saja dengan cara apa saja guna mengatasi ancaman yang
membahayakan eksistensinya sebagai negara berdaulat serta mengancam
keselamatan warga negara.
c. Asas komunikasi. Asas ini berkenaan dengan kewajiban negara untuk
memberitahukan tindakan pemberlakuan keadaan darurat itu kepada segenap
warga negara dan juga kepada negara-negara lain yang menjadi peserta
perjanjian yang relevan dan negara-negara sahabat lainnya. Pemberitahuan ini
berkaitan dengan perkembangan situasi perlindungan hak-hak asasi manusia
dalam suatu negara yang tengah memberlakukan keadaan darurat.
d. Asas kesementaraan. Berdasarkan asas ini, deklarasi keadaan darurat perlu
dibatasi waktu pemberlakuannya untuk menghindarkan terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan yang mengancam kebebasan dan jaminan-jaminan
konstitusional hak asasi manusia. Asas ini mengharuskan, atau setidak-
tidaknya mengharapkan adanya kepastian mengenai kapan keadaan darurat
mulai diberlakukan, dan kapan keadaan darurat akan diakhiri. Dengan begitu,
segala tindakan yang diambil selama keadaan darurat dapat diukur dan
dikontrol sebaik-baiknya.
Universitas Sumatera Utara
42
e. Asas keistimewaan ancaman. Asas ini mengacu kepada yang berkeyakinan
bahwa krisis yang terjadi itu sendiri memang merupakan bahaya yang nyata
dan memang sedang terjadi (actual threats), atau sekurang-kurangnya bahaya
yang secara potensial sungguh-sungguh mengancam komunitas kehidupan
bersama (potential threats). Kedua jenis ancaman ini haruslah bersifat khusus,
yakni dapat membahayakan nyawa, fisik, harta benda, ataupun tatanan
kehidupan bersama dalam suatu masyarakat dan negara yang demokratis.
Kekhususan atau keistimewaan ancaman ini juga bisa menyangkut integritas
wilayah dan kedaulatan negara.
f. Asas proporsionalitas. Asas ini menegaskan perlunya pengambilan tindakan
yang segera karena adanya kegentingan yang memaksa (compelling need) dan
yang secara proporsional atau berimbang memang benar-benar memerlukan
tindakan-tindakan yang diperlukan itu untuk menghadapi atau mengatasinya.
Tujuan diberlakukannya keadaan darurat adalah untuk mengatasi ancaman
beserta segala dampak yang ditimbulkannya, dan mengembalikan situasi
negara ke situasi semula. Maka, segala tindakan yang diambil semata-mata
untuk mencapai tujuan ini. Jika tujuan ini sudah tercapai, maka
proporsionalitas tindakan dianggap sudah terpenuhi, sehingga tidak perlu
diteruskan lagi. Sebaliknya, jika tindakan-tindakan itu masih diteruskan, maka
tindakan tersebut tidak lagi termasuk tindakan yang proporsional. Dalam
ungkapan yang lebih sederhana, asas ini adalah asas yang menekankan
kesesuaian tindakan dengan ancaman yang dihadapi selama pemberlakuan
keadaan darurat.
Universitas Sumatera Utara
43
g. Asas intangibility. Asas ini menyangkut hak-hak asasi manusia yang bersifat
khusus yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable
rights). Hak-hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi tersebut,
sebagaimana diatur pada pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945 meliputi:
1. hak untuk hidup (right to life);
2. hak untuk tidak disiksa (freedom from torture);
3. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4. hak beragama (freedom of religion);
5. hak untuk tidak diperbudak;
6. hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
7. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
h. Asas pengawasan. Asas ini berkaitan dengan peran sentral parlemen dalam
melakukan pengawasan. Pemberlakuan keadaan darurat harus tetap tunduk
pada kontrol. Oleh karena itu, selama keadaan darurat, parlemen atau lembaga
perwakilan rakyat sejauh mungkin tetap harus menjalankan fungsinya sebagai
lembaga pengawas. Asas pengawasan ini juga erat kaitannya dengan hak-hak
asasi yang mungkin dibatasi, ditangguhkan atau bahkan dikurangi selama
keadaan darurat diberlakukan. Asas ini bertujuan untuk memastikan kalau
keadaan darurat tidak serta-merta dijadikan sebagai alasan menghalangi
kewenangan parlemen dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja
eksekutif yang sewaktu-waktu bisa menyalahgunakan kekuasaan (abuse of
power), terutama yang bersinggungan dengan hak-hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, adalah fakta bahwa studi
mengenai hukum tata negara darurat di Indonesia berkembang lebih lambat
dibanding bidang hukum lainnya semisal hukum pidana dan hukum perdata.
Namun dalam perkembangannya beberapa sarjana terus berusaha merumuskan
Universitas Sumatera Utara
44
serta merapikan konsep-konsep hukum tata negara darurat, dan dengan demikian,
menjadikan hukum tata negara darurat sebagai sebuah disiplin ilmu yang lebih
sistematis. Hukum tata negara dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan corak
dan bentuknya. Adapun pembagian tersebut meliputi:73
a. Hukum Tata Negara Darurat Objektif (Objectieve Staatsnoodrecht)
b. Hukum Tata Negara Darurat Subjektif (Subjectieve Staatsnoodrecht)
c. Hukum Tata Negara Darurat Tertulis (Geschreven Staatsnoodrecht)
d. Hukum Tata Negara Darurat Tidak Tertulis (Ongeschreven
Staatsnoodrecht)
Hukum tata negara dalam arti objektif adalah hukum yang berlaku ketika
negara berada dalam masa keadaan darurat.74 Pengertian objektif dalam hal ini
mengacu kepada sifat legal-formal dari hukum tata negara tersebut. Hal ini seiring
dengan perkembangan aliran positivisme serta ajaran tentang negara hukum
formil yang menghendaki pengaturan tegas secara tertulis dalam suatu negara
hukum.
Hukum tata negara darurat dalam arti subjektif adalah hak, yaitu hak negara
untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari
ketentuan undang-undang, dan bahkan apabila memang diperlukan, menyimpang
dari undang-undang dasar.75 Hukum tata negara darurat dalam arti subjektif
bersumber dari hukum tidak tertulis yang bersandar pada hak-hak asasi manusia,
sehingga penekanan hukum tata negara darurat dalam arti subjektif ada pada hak
negara untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka memastikan
hak-hak asasi warga negaranya tidak tercederai selama keadaan darurat
73 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, op.cit., hal. 25. 74 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, op.cit., hal. 23. 75 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
45
diberlakukan. Penekanan ini menjadi hal fundamental yang membedakan hukum
tata negara darurat dalam arti subjektif dengan hukum tata negara darurat dalam
arti objektif.
Perbedaan ini diuraikan lebih lanjut oleh para sarjana, seperti M. I. Prins, W.
F. Prins, dan van der Pot.76 Meski menggunakan istilah yang sedikit berbeda,
penjelasan mereka pada dasarnya tidak memiliki perbedaan substansial yang
signifikan. Hukum tata negara darurat dalam arti subjektif, dalam istilah asing
disebut sebagai staatsnoodrecht. Sedangkan dalam arti objektif, ia lebih dikenal
sebagai noodstaatsrecht. Staatsnoodrecht menitikberatkan pada staatsnood atau
keadaan darurat negara yang lantas memberikan hak kepada negara untuk
mengambil tindakan-tindakan dalam rangka mengatasi keadaan darurat tersebut.
Berbeda dari staatsnoodrecht, noodstaatsrecht lebih menitikberatkan pada
staatsrecht atau aspek hukum tata negaranya.
Dari perbedaan fokus ini, dapat ditarik suatu kesimpulan sederhana bahwa
ruang lingkup hukum tata negara darurat dalam arti subjektif (staatsnoodrecht)
jauh lebih luas dibanding ruang lingkup hukum tata negara darurat dalam arti
objektif (noodstaatsrecht). Noodstaatsrecht terbatas pada aspek hukum tata
negara saja, yakni hukum tata negara yang berlaku dalam keadaan darurat.
Sementara staatsnoodrecht tidak hanya menyangkut hukum tata negara semata,
tapi juga dapat bersinggungan dengan hukum pidana, hukum administrasi negara,
hukum perdata, maupun aspek-aspek hukum lainnya.
76 Ibid. hal. 24-25.
Universitas Sumatera Utara
46
Dalam dikotomi antara hukum tata negara darurat subjektif dengan hukum tata
negara darurat objektif, pada saat bersamaan telah disinggung pula perbedaan
antara hukum tata negara darurat tertulis dengan hukum tata negara darurat tidak
tertulis. Perbedaan itu dengan sendirinya telah menjadi pembahasan yang melekat
dalam pembahasan mengenai pembedaan antara hukum tata negara darurat
subjektif dengan hukum tata negara darurat objektif. Dengan demikian, perbedaan
hukum tata negara darurat tertulis dengan hukum tata negara darurat tidak tertulis
dapat ditarik dari pengertian hukum tata negara darurat subjektif dan objektif.
Hukum tata negara darurat tertulis (geschreven staatsnoodrecht) mengacu
pada pengertian hukum tata negara darurat dalam arti objektif, yaitu yang sangat
mengedepankan sifat legal-formal dari hukum tersebut. Maka hukum tata negara
darurat tersebut diupayakan agar bersifat tertulis. Hukum tata negara darurat
sebisa mungkin diadakan secara tertulis guna menjamin kepastian dan supaya
setiap orang mengetahui batas-batas hak dan kewajiban warga dan negara.77
Lantas apa yang membedakannya dengan hukum tata negara darurat objektif?
Sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, hukum tata negara darurat dalam arti
objektif terbatas hanya pada aspek hukum tata negara yang berlaku apabila negara
sedang berada dalam keadaan darurat, yang mana hukum tata negara yang
dimaksudkan di sini adalah serangkaian aturan tertulis. Sedangkan hukum tata
negara darurat tertulis adalah semua hukum tertulis yang diberlakukan selama
negara berada dalam situasi darurat. Artinya, hukum itu tidak hanya menyangkut
aspek tata negara saja, melainkan bisa bersentuhan dengan aspek hukum perdata,
pidana, administrasi negara dan aspek-aspek hukum lainnya.
77 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, op.cit., hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
47
Jika hukum tata negara darurat tertulis (geschreven staatsnoodrecht) mengacu
pada hukum tata negara darurat objektif, maka hukum tata negara darurat tidak
tertulis (ongeschreven staatsnoodrecht) mengacu pada pengertian hukum tata
negara darurat subjektif. Dalam hal ini, bukan sifat legal-formal hukum tata
negara darurat yang diutamakan, melainkan hak negara dalam mengambil segala
tindakan yang diperlukan (all necessary actions) guna mempertahankan eksistensi
negara dalam situasi darurat. Tindakan-tindakan ini seringkali tidak termuat dalam
aturan-aturan tertulis. Kalaupun ada, tidak mengatur secara komprehensif. Boleh
dikatakan, hukum tata negara darurat tidak tertulis merupakan kewenangan
penguasa negara untuk menyatakan adanya bahaya serta mengambil tindakan
untuk mengatasi keadaan bahaya tersebut, meskipun belum ada aturan tertulis
yang mengatur hal tersebut terlebih dahulu. Dengan catatan, pernyataan keadaan
bahaya ini, maupun tindakan-tindakan yang diambil untuk mengatasinya nantinya
akan dipertanggungjawabkan kepada alat-alat perlengkapan negara yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan konstitusi negara tersebut.78
Selain pembedaan-pembedaan yang telah dijelaskan di atas, masih ada pula
pembagian lain terhadap hukum tata negara darurat, yaitu:
a. Hukum tata negara darurat materil
b. Hukum tata negara darurat formal
Hukum tata negara darurat dalam arti materil yaitu adanya bahaya atau darurat
secara nyata meskipun tidak dinyatakan dalam keputusan formal sebagaimana
disebutkan dalam pasal 12 UUD NRI 1945, di mana Presiden diberikan
wewenang untuk menyatakan keadaan bahaya.79 Sekalipun pernyataan tersebut
78 Ibid. hal. 46. 79 Ibid., hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
48
tidak ada, akan tetapi keadaan bahaya dianggap masih ada, yakni bahaya-bahaya
laten yang tidak atau belum kelihatan di permukaan, namun dianggap memiliki
potensi untuk muncul di kemudian hari. Jika ditelaah, pengertian ini memiliki
relevansi dengan hukum tata negara darurat subjektif, yakni kewenangan subjektif
negara untuk menyatakan keadaan darurat serta mengambil tindakan sewaktu-
waktu ancaman bahaya laten itu menjadi nyata.
Berkebalikan dengan hukum tata negara darurat materil, dalam hukum tata
negara darurat formal keadaan bahaya yang dimaksud dinyatakan secara resmi
oleh Presiden berdasarkan kewenangan yang melekat padanya. Pengertian ini
bersinggungan dengan hukum tata negara darurat dalam arti objektif, yaitu yang
mengupayakan agar segala ketentuan hukum tata negara darurat dinyatakan secara
tertulis guna memberikan kepastian mengenai batasan hak dan kewajiban negara,
sehingga menghindarkan warga negara dari tindakan sewenang-wenang.
C. Pemerintahan Darurat
Pemerintahan darurat merupakan wacana yang lebih spesifik dari wacana
mengenai hukum tata negara darurat. Telah dijabarkan sebelumnya, bahwa hukum
tata negara darurat bisa dibagi-bagi berdasarkan ruang lingkup maupun bentuk
dan coraknya. Sementara pemerintahan darurat memiliki ruang lingkup yang lebih
sempit dan spesifik lagi dibanding hukum tata negara darurat. Pembahasan
mengenai pemerintahan dalam hal ini adalah pembahasan mengenai pemerintahan
sebagai sebuah sistem. Oleh karena itu, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian
sistem dan pengertian pemerintahan.
Universitas Sumatera Utara
49
Sistem, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)80, diartikan sebagai
perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas. Pengertian lainnya yaitu susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas,
dan sebagainya. Menurut Carl J. Friedrich seperti dikutip Moh. Kusnardi dan
Hermaily Ibrahim81, sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian
yang mempunyai hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga
hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang
akibatnya, jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik, akan mempengaruhi
keseluruhannya itu.
Pemerintahan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memerintah, atau dapat
juga diartikan sebagai segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara.82 Dari
pengertian ini, tampak jelas bahwa segala urusan pemerintahan semata-mata
hanyalah untuk membuat masyarakat sejahtera. Dalam pengertian yang lebih luas,
pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri,
sehingga tidak boleh diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas
eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya, termasuk legislatif
dan yudikatif.83 Dengan kata lain, pemerintahan yang mengacu hanya pada tugas-
tugas eksekutif saja adalah pemerintahan dalam arti sempit. Sebaliknya,
pemerintahan yang mengacu pada tugas-tugas eksekutif, legislatif, yudikatif
80 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), hal. 1362. 81 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
loc.cit., hal. 171. 82 Ilham Gunawan dan M. Martinus Sahrani, Kamus Hukum, (Jakarta: Restu Agung,
2002), hal. 387. 83 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
op.cit., hal. 171.
Universitas Sumatera Utara
50
maupun pembagian-pembagian tugas lainnya yang bekerja secara bersama-sama
dalam suatu sistem, adalah pemerintahan dalam arti luas.
Dari penjabaran di atas, maka pemerintah dapat dipahami sebagai badan yang
melaksanakan urusan-urusan pemerintahan dalam rangka mensejahterakan
masyarakat. Menurut C. F. Strong, seperti dikutip oleh Guido Goncalves
Moniz,84pemerintah adalah suatu organisasi yang diberi hak untuk melaksanakan
kekuasaan kedaulatan. Kekuasaan kedaulatan tersebut dijalankan dengan
serangkaian mekanisme yang telah diatur sebelumnya di dalam konstitusi, semisal
mekanisme separation of powers dan mekanisme checks and balances.
Pengertian mengenai pemerintah dan pemerintahan tidak terlepas dari ajaran-
ajaran terdahulu tentang bentuk ideal negara dan pemerintahan. Menurut Sri
Soemantri,85 pengertian pemerintah serta pemerintahan pada umumnya sangat
dipengaruhi oleh ajaran trias politika (tripraja) Montesquieu. Pengertian ini tentu
akan berbeda jika dilihat dari perspektif caturpraja dan pancapraja. Sebagai
contoh, konsep caturpraja yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven86 membagi
kekuasaan menjadi 4 (empat), yaitu:
a. pemerintahan (bestuur);
b. kepolisian;
c. peradilan;
d. perundang-undangan.
84 Guido Goncalves Moniz, Kewenangan Presiden menyatakan negara dalam keadaan
darurat berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor Leste, 2016, Disertasi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana, hal. 19. 85 Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-Dasarnya, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), hal. 176. 86 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
51
Berbeda dengan Montesquieu, Van Vollenhoven membedakan tugas-tugas
kepolisian dari tugas-tugas pemerintahan lainnya. Jika berangkat dari konsep
caturpraja ini, maka pengertian pemerintahan yang hanya mencakup cabang
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak lagi memadai. Oleh karena itu,
Sri Soemantri87 menegaskan bahwa pengertian pemerintah dan pemerintahan, baik
dalam arti sempit maupun dalam arti luas, pada akhirnya akan bergantung pada
sistem atau ajaran yang dianut oleh suatu negara.
Jika hendak memberikan definisi pemerintahan, konsep pemisahan kekuasaan
yang dianut oleh pemerintahan itu perlu diketahui terlebih dahulu agar definisinya
dapat dirumuskan dengan jelas dan memadai. Misalnya, di negara-negara yang
menganut ajaran trias politika Montesquieu, maka pemerintahan dapat
didefinisikan sebagai perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ
legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang bekerja bersama-sama guna mencapai
suatu maksud atau tujuan tertentu. Sementara di negara-negara yang menganut
ajaran di luar dari trias politika, seperti caturpraja ataupun pancapraja, maka
definisi pemerintahannya akan disesuaikan dengan konsep pemisahan kekuasaan
yang dianutnya, dan organ-organ yang berwenang untuk memerintah disebutkan
secara tegas dalam definisi tersebut. Untuk selanjutnya, definisi pemerintahan
berdasarkan ajaran trias politika akan menjadi definisi yang digunakan dalam
pembahasan-pembahasan berikutnya.
87 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
52
Secara umum, tugas-tugas pemerintahan terbagi menjadi:88
a. perundang-undangan, yaitu membentuk undang-undang dalam arti materil,
yakni menentukan peraturan-peraturan yang umum dan mengikat;
b. peradilan, yaitu menetapkan hukum dalam hal-hal yang nyata;
c. polisi,89 yaitu pengawasan dari pemerintahan atas paksaan yang
dilakukannya, supaya orang-orang menjalankan hukum yang telah
ditetapkan;
d. pemerintahan, yaitu tiap-tiap tindakan pemerintah yang mengenai
pelaksanaan undang-undang, yang tidak termasuk perundang-undangan,
peradilan atau polisi.
Pembagian tugas-tugas pemerintahan ini tidak terlepas dari perkembangan
ajaran-ajaran tentang pemerintahan yang ideal. Baik konsep trias politika atau
tripraja yang diperkenalkan oleh Montesquieu, maupun konsep caturpraja yang
diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Pembagian tugas-tugas pemerintahan setiap
negara dengan sendirinya akan disesuaikan dengan konsep pemisahan kekuasaan
yang dianut oleh masing-masing negara.
Kendati demikian, pembagian tugas-tugas pemerintahan itu pada dasarnya
tidak pernah bisa berjalan secara murni di setiap negara. Pasti terdapat
penyesuaian terhadap keadaan masing-masing negara. Indonesia, meskipun
menganut konsep trias politika, pada praktiknya tidak betul-betul
mengimplementasikan ajaran itu secara murni. Misalnya, Presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif, masih memiliki kewenangan di bidang
88 L. J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum: Inleiding Tot De Studie Van Het
Nederlandse Recht, (Jakarta: Noordhoff-Kolff N. V., 1957), cet. ke-II, hal. 263. 89 C. van Vollenhoven, Omtrek en inhoud van het internationale recht, (diss. Leiden
1898), hal. 29, dalam Ibid.
Universitas Sumatera Utara
53
perundang-undangan (legislasi)90 serta di bidang kehakiman (yudikatif).91
Kewenangan ini bahkan dicantumkan secara eksplisit di dalam konstitusi.
Kenyataan ini menjadi penegasan bahwa trias politika Montesquieu tidak bisa
diterapkan secara utuh. Ajaran ini memang sangat memengaruhi konstitusi banyak
negara pada abad 18 dan 19, namun di mana-mana, hampir dapat dipastikan, tidak
ada yang diterapkan secara konsekuen. Pemisahan kekuasaan yang tajam
sebagaimana diingini Montesquieu, praktis tidak dapat dijalankan.92
Darurat diartikan sebagai keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka
(dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan
segera; keadaan terpaksa; keadaan sementara.93 Dengan formulasi pengertian
darurat ini, ditambah dengan pengertian pemerintahan yang sudah dijelaskan
sebelumnya, dapat dibangun sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan
pemerintahan darurat adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
keadaan darurat yang membutuhkan tindakan penanggulangan segera, dalam
rangka menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu
sendiri selama keadaan darurat tersebut berlangsung.
D. Pengaturan Mengenai Kedaruratan dalam Konstitusi Indonesia
Konstitusi (Inggris = constitution; Belanda = grondwet; Perancis = constituer)
dapat diartikan secara sempit dan secara luas.94 Dalam arti sempit, konstitusi
mengacu kepada undang-undang dasar, yaitu konstitusi tertulis (written
constitution). Pengertian ini pula yang lebih berkembang di Indonesia sebagai
90 Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945. 91 Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945. 92 L. J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, op.cit., hal. 264. 93 Ilham Gunawan dan M. Martinus Sahrani, Kamus Hukum, op. cit., hal. 70. 94 Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Perubahan Konstitusi, (Bandung:
Alumni, 1987), hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
54
negara yang secara historis menganut sistem hukum civil law yang
mengedepankan aturan-aturan hukum tertulis. Hal ini terbukti dengan penyebutan
istilah “konstitusi” bagi undang-undang dasar Republik Indonesia Serikat.95
Sementara dalam arti luas, konstitusi tidak hanya mengacu pada undang-undang
dasar sebagai aturan tertulis. Konstitusi dalam arti luas bisa juga mengacu pada
aturan-aturan tidak tertulis. Aturan-aturan tidak tertulis ini bisa berupa adat
istiadat, kebiasaan-kebiasaan keluarga kerajaan dan kesepakatan yang dibangun
dalam masyarakat. Kendati demikian, konstitusi dalam arti luas dapat pula
mengacu pada aturan-aturan tertulis seperti yang ada dalam undang-undang dasar,
namun aturan tersebut tersebar di beberapa dokumen. Tidak komprehensif
sebagaimana undang-undang dasar. Konstitusi semacam ini disebut sebagai
konstitusi tidak tertulis (unwritten constitution). Dari pengertian tersebut, dapat
dipahami bahwa undang-undang dasar adalah bagian dari konstitusi, sedangkan
konstitusi bisa berupa undang-undang dasar, dan bisa berupa aturan-aturan dasar
yang tidak tertulis.
Konstitusi pada hakikatnya adalah aturan-aturan dasar, baik tertulis maupun
tidak tertulis, yang dijadikan sebagai landasan bagi pemberlakuan segala bentuk
peraturan perundang-undangan serta penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu
negara. Apabila istilah yang digunakan adalah undang-undang dasar, maka
pembahasannya terbatas pada aturan-aturan tertulis.
Menurut Miriam Budiardjo,96 undang-undang dasar menentukan cara-cara
bagaimana pusat-pusat kekuasaan bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama
lain, serta merekam hubungan antara kekuasaan-kekuasaan tersebut. E. C. S.
95 Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2000), hal. 99. 96 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1981), hal. 95-96.
Universitas Sumatera Utara
55
Wade, sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo,97 menyatakan bahwa undang-
undang dasar, menurut sifat dan fungsinya merupakan suatu naskah yang
memaparkan kerangka serta tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintah suatu
negara, dan menentukan pokok-pokok tentang bagaimana badan-badan
pemerintah itu bekerja.
Keberadaan konstitusi sangat krusial bagi sebuah negara, mengingat
pengaturan-pengaturan paling mendasar mengenai negara ada dalam konstitusi. Di
sanalah diatur tentang sistem pemerintahan, bentuk pemerintahan, pembagian
tugas-tugas lembaga negara, hak-hak asasi manusia dan hal-hal mendasar lainnya.
Secara konseptual, konstitusi memuat unsur-unsur sebagai berikut:98
a. prinsip-prinsip mengenai kekuasaan pemerintahan;
b. prinsip-prinsip mengenai hak-hak warga negara;
c. prinsip-prinsip mengenai hubungan antara warga negara dengan
pemerintah.
Dinamika ketatanegaraan suatu negara sangat dipengaruhi oleh konstelasi
politiknya. Demikian halnya dengan konstitusi yang notabene merupakan produk
hukum yang melalui serangkaian proses politik. Fakta ini pula yang kerap
disimplifikasi dengan ungkapan bahwa hukum adalah produk politik. Politik,
dengan ragam kepentingan yang meliputinya, menjadi faktor pendorong
perubahan-perubahan produk hukum, termasuk konstitusi Indonesia yang selalu
berubah mengikuti perkembangan politik.99 Kendati demikian, setiap negara pasti
mengambil langkah-langkah agar konstitusinya tidak mudah diombang-
97 E. C. S. Wade, Constitutional Law, dalam Ibid., hal. 96. 98 Jazim Hamidi, Hukum Perbandingan Konstitusi, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publiser,
2009), hal. 88. 99 M. Agus Santoso, “Kajian Hubungan Timbal Balik Antara Politik dan Hukum”, Jurnal
Ilmiah Hukum Yuriska, Volume I No. I, Agustus 2009, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
56
ambingkan oleh kepentingan politik. Padmo Wahjono100 mengemukakan hal-hal
berikut sebagai cara mempersulit perubahan konstitusi dalam rangka menjamin
kepastian hukum:
a. adanya suatu badan tertentu yang khusus untuk mengubah konstitusi,
sebagaimana pernah diterapkan di Indonesia dengan keberadaan
konstituante;
b. dengan referendum umum, yakni meminta persetujuan kepada seluruh
rakyat;
c. dalam negara serikat, dengan meminta jumlah suara terbanyak dari negara-
negara bagian yang tergabung di dalamnya;
d. mengadakan suatu panitia khusus (special convention ad hoc), bukan
badan khusus.
Ketentuan-ketentuan mengenai perubahan konstitusi juga diatur dalam
konstitusi itu sendiri. Dalam UUD NRI 1945, ketentuan-ketentuan tersebut adalah
sebagai berikut:101
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan
dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh
sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara
tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah
beserta alasannya.
100 Padmo Wahjono, Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1982), diakses dari
repository.lppm.unila.ac.id pada tanggal 10 Maret 2021. 101 Pasal 37 ayat (1) sampai (4) UUD NRI 1945.
Universitas Sumatera Utara
57
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan
dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu
anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dengan demikian, perubahan konstitusi bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.
Dengan catatan, telah ditentukan tata cara perubahannya, dan cara-cara tersebut
merupakan upaya untuk menjaga konstitusi agar tidak diubah semata-mata karena
kepentingan politik. Di samping itu, UUD NRI 1945 juga telah menetapkan
secara khusus apa yang sama sekali tidak bisa diubah dalam perubahan undang-
undang dasar, yaitu mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.102
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dikenal
sekarang ini lahir dari serangkaian tahapan yang tidak dapat dikatakan sederhana.
Dalam tahapan-tahapan perubahan konstitusinya, Indonesia harus melalui banyak
hal, dan hal-hal itu pula yang mendorong terjadinya perubahan tersebut. Mulai
dari pergolakan politik dalam negeri, konfrontasi dengan negara lain, hingga
usaha Belanda untuk kembali menduduki dan mempertahankan Indonesia sebagai
wilayah koloninya. Tahapan-tahapan perubahan atau yang kemudian lebih dikenal
sebagai periodisasi konstitusi Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua) fase besar,
yaitu konstitusi Indonesia sebelum amandemen dan konstitusi Indonesia setelah
amandemen.
102 Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945.
Universitas Sumatera Utara
58
Dalam setiap fase, terdapat pula beberapa kali perubahan yang dilakukan terhadap
konstitusi Indonesia. Perubahan-perubahan dalam masing-masing fase dapat
dijabarkan sebagai berikut:
A. Konstitusi Republik Indonesia sebelum amandemen, terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (18 Agustus 1945
sampai dengan 27 Desember 1949)
Undang-undang dasar pada periode ini sering juga disebut sebagai UUD NRI
1945 naskah asli atau UUD NRI 1945 naskah awal. Konstitusi ini dirumuskan
oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta. Bagi sebuah negara yang
baru merdeka, tentu konstitusi ini masih sangat sederhana. Hal ini terutama
diakibatkan oleh ketergesa-gesaan dalam proses penyusunannya.103 Alhasil,
masih banyak hal-hal yang belum sempat diadakan pengaturannya secara
komprehensif dalam UUD NRI 1945. Salah satu yang paling menonjol ialah
peran lembaga legislatif yang belum kelihatan. Di kemudian hari, fakta ini
banyak digunakan sebagai landasan argumen untuk mengatakan bahwa UUD
NRI 1945 yang semula dipakai sebagai hukum dasar pada saat merdeka adalah
konstitusi yang memusatkan kekuasaan di tangan presiden (executive
heavy).104 Namun prasangka-prasangka semacam ini secara perlahan terjawab
dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober
103 M. Agus Santoso, “Perkembangan Konstitusi di Indonesia”, Jurnal Yustisia Volume 2
No. 3, September-Desember 2013, hal. 125. 104 Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2010), hal. viii.
Universitas Sumatera Utara
59
1945 oleh Wakil Presiden Hatta yang berisi penyerahan tugas-tugas legislatif
kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum terbentuknya MPR
dan DPR. Maklumat ini menjadi momentum perbaikan substansi konstitusi,
namun pada saat bersamaan mengindikasikan bahwa konstitusi di masa ini
belum bisa dilaksanakan secara efektif karena sistem ketatanegaraan masih
cenderung berubah-ubah.105
b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 sampai dengan 17
Agustus 1950)
Konstitusi Republik Indonesia Serikat lahir bersamaan dengan lahirnya Negara
Republik Indonesia Serikat sebagai salah satu hasil kesepakatan Konferensi
Meja Bundar (ronde tafel conferentie) yang diadakan di Den Haag, Belanda
sejak tanggal 23 Agustus sampai tanggal 2 November 1949.106 Konferensi
Meja Bundar merupakan puncak dari beberapa pertemuan yang sebelumnya
telah digelar antara Indonesia dan Belanda, seperti Konferensi Inter-Indonesia
di Yogyakarta, Perjanjian Roem-Royen, hingga konferensi pendahuluan yang
dilaksanakan di Jakarta. Konferensi Meja Bundar yang ditutup pada tanggal 2
November 1949 menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:107
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.
2. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
3. Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan
Belanda.
105 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publiser, 2006), hal. 2, dalam M. Agus Santoso, op.cit., hal. 121. 106 P. J. Suwarno, Tata Negara Indonesia: Dari Sriwijaya Sampai Indonesia Modern,
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2003), hal. 148. 107 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, op. cit., hal. 69.
Universitas Sumatera Utara
60
Dengan berdirinya Republik Indonesia Serikat, maka konstitusi pun berubah,
dari UUD NRI 1945 menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(Konstitusi RIS). Begitu pula dengan bentuk negara yang semula kesatuan,
berubah menjadi federal, serta sistem pemerintahan yang tadinya presidensial,
berubah menjadi parlementer. Kendati demikian, konstitusi ini juga belum
bisa dilaksanakan secara efektif, karena lembaga-lembaga negara sebagaimana
diamanatkan dalam Konstitusi RIS belum terbentuk.108
c. Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (17 Agustus 1950 sampai
dengan 5 Juli 1959)
Belum genap setahun, konstitusi Indonesia sudah harus berubah lagi. Hal ini
seiring dengan ketidaksetujuan sebagian besar masyarakat terhadap Republik
Indonesia Serikat, dan dengan sendirinya, pada konstitusinya juga. Isi
Konstitusi RIS dinilai tidak berakar pada kehendak politik rakyat Indonesia,
melainkan rekayasa pihak Belanda dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa.109
Secara perlahan, negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat mulai
menggabungkan diri kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Upaya untuk mengubah konstitusi ini akhirnya dapat direalisasikan. Dengan
Undang-Undang Federal No. 7 Tahun 1950 (Lembaran Negara RIS tahun
1950 No. 56), ditetapkanlah perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) berdasarkan pasal 190,
127a, dan pasal 191 ayat (2) Konstitusi RIS.110 Dalam UUDS 1950 disebutkan
bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk
108 M. Agus Santoso, “Perkembangan Konstitusi di Indonesia”, op.cit., hal. 122. 109 Ibid. 110 P. J. Suwarno, Tata Negara Indonesia: Dari Sriwijaya Sampai Indonesia Modern,
op.cit., hal. 159.
Universitas Sumatera Utara
61
kesatuan.111 Alat-alat perlengkapan negara meliputi Presiden dan Wakil
Presiden, menteri-menteri, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan
Dewas Pengawas Keuangan.112 Sama halnya dengan Konstitusi RIS, UUDS
1950 juga bersifat sementara sebagaimana disebutkan pada pasal 134 UUDS
1950, yang mengamanatkan Konstituante bersama pemerintah sesegera
mungkin menyusun undang-undang dasar yang akan menggantikan UUDS
1950.113 Perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD 1950 merupakan perubahan
yang sangat mendasar. Perubahan tersebut tidak hanya mengubah ketentuan-
ketentuan semata, melainkan mengubah pembukaan sekaligus dengan batang
tubuh Konstitusi RIS, bahkan mengubah bentuk negara. Oleh karena itu,
transisi Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950 pada hakikatnya adalah
penggantian, hanya prosedurnya saja yang ditempuh melalui prosedur
perubahan, yakni sebagaimana diatur dalam pasal 190, 127a dan pasal 191
Konstitusi RIS.114
d. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (5 Juli 1959 sampai
dengan 19 Oktober 1999)
Konstitusi berikutnya yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang diberlakukan kembali
berdasarkan dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959. Adapun dasar dari dekrit ini
adalah staatsnoodrecht.115 Pemberlakuan kembali UUD NRI 1945 ini juga
dilatarbelakangi oleh Konstituante yang dinilai telah gagal dalam merumuskan
111 Pasal 1 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 112 Pasal 44 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 113 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
op.cit., hal. 95. 114 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),
hal. 74. 115 Van der Pot dalam Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, op.cit., hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
62
undang-undang dasar yang baru sebagai pengganti UUDS 1950, meskipun
pendapat lain mengatakan, bukan kegagalan Konstituante yang mendorong
pembubaran Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD NRI 1945,
melainkan karena adanya kepentingan politik dari kalangan militer dan
pendukung Soekarno.116 Namun begitulah jalannya sejarah. Sejak saat itu,
UUD NRI 1945 kembali diberlakukan sebagai pengganti UUD 1950.
B. Konstitusi Republik Indonesia setelah amandemen, terdiri dari:
a. Masa-masa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (19 Oktober 1999 sampai dengan 10 Agustus 2002)
Konstitusi yang berlaku di masa ini adalah UUD NRI 1945 yang selama 4
(empat) tahun berturut-turut mengalami perubahan sebagai realisasi tuntutan
reformasi. Perubahan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
berdasarkan kewenangannya sebagaimana diatur pada pasal 3 UUD NRI 1945.
Adapun dasar hukum perubahan adalah pasal 37 UUD NRI 1945. Dalam
melakukan perubahan UUD NRI 1945, MPR kemudian menetapkan 5 (lima)
kesepakatan, yaitu:117
1. tidak mengubah pembukaan UUD NRI 1945;
2. tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
4. penjelasan UUD NRI 1945 yang memuat hal-hal normatif akan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh);
5. melakukan perubahan dengan cara adendum.
116 Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional, op.cit., hal. 149. 117 M. Agus Santoso, “Perkembangan Konstitusi di Indonesia”, op.cit, hal. 123.
Universitas Sumatera Utara
63
Seiring dengan perubahan UUD NRI 1945 yang berlangsung sejak tahun
1999 sampai dengan 2002, maka naskah resmi UUD NRI 1945 terdiri atas
5 (lima) bagian, yaitu naskah awal UUD NRI 1945 ditambah naskah
perubahan pertama, kedua, ketiga dan naskah perubahan keempat.118
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasca amandemen
(10 Agustus 2002 sampai sekarang)
UUD NRI 1945 yang berlaku hingga sekarang merupakan konstitusi yang
telah jauh lebih baik dari konstitusi-konstitusi sebelumnya. Demokrasi bisa
lebih terjamin, posisi serta peranan lembaga-lembaga negara bisa diatur secara
lebih tegas, masa jabatan presiden dibatasi hanya 2 (dua) periode serta dipilih
langsung oleh rakyat, dan pelaksanaan otonomi diuraikan secara lebih rinci
sehingga pembangunan dapat berjalan dengan baik.119 Mitos tentang kesaktian
dan kesakralan konstitusi pun menjadi runtuh sejak perubahan pertama pada
tahun 1999 berhasil dilaksanakan, mengingat sebelumnya gagasan amandemen
UUD NRI 1945 selalu dianggap salah dan bertendensi subversif terhadap
negara dan pemerintah.120
Dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, telah terdapat
pengaturan mengenai keadaan darurat, sekalipun konsepsi mengenai keadaan
darurat itu masih berupa wacana yang belum mapan. Hal ini menyebabkan
ketentuan-ketentuan tersebut pada praktiknya selalu memicu kontroversi saat
diimplementasikan oleh pemerintah. Dalam UUD NRI 1945 naskah awal, keadaan
darurat diatur pada pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI 1945. Dalam konstitusi
118 Ibid., hal. 124. 119 Ibid. 120 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi
Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 176.
Universitas Sumatera Utara
64
berikutnya, yaitu Konstitusi RIS, keadaan darurat diatur pada pasal 139 Konstitusi
RIS. Istilah keadaan darurat tidak disebutkan secara eksplisit, melainkan “undang-
undang darurat” sebagai langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah federal
dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan dalam situasi yang mendesak dan
perlu diatur segera.121 Pengaturan keadaan darurat dalam UUDS 1950 tidak jauh
berbeda dengan pengaturan dalam Konstitusi RIS. Pengaturan dalam UUDS 1950
hanya menghilangkan kata “federal”122 mengingat dengan beralihnya Konstitusi
RIS ke UUDS 1950, bentuk negara Indonesia memang telah dikembalikan
menjadi negara kesatuan. Pengaturan keadaan darurat dalam UUDS 1950 juga
terdapat pada pasal 129 UUDS 1950. Konstitusi yang berlaku selanjutnya adalah
UUD NRI 1945 yang diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dengan demikian, pengaturan normatif mengenai keadaan darurat kembali seperti
semula, yaitu diatur pada pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI 1945. Namun, transisi
dari UUDS 1950 kembali ke UUD NRI 1945 seyogianya terjadi dalam nuansa
darurat. M.Yamin123 menyatakan bahwa dikeluarannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 oleh Presiden Soekarno merupakan akibat dari kegagalan Konstituante
dalam merumuskan undang-undang dasar yang baru, sehingga Presiden Soekarno
terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi.
Penggunaan kata “terpaksa” inilah yang kemudian menjadi landasan argumen M.
Yamin mengatakan bahwa yang menjadi dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah
hukum darurat.124 Argumen ini semakin dikuatkan oleh pendapat Dewan
121 Pasal 139 ayat (1) Konstitusi Republik Indonesia Serikat. 122 Pasal 96 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 123 M. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, hal. 135., dalam
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, op. cit., hal. 105. 124 Istilah hukum darurat yang dimaksudkan M. Yamin merupakan istilah hukum tata
negara darurat yang dikenal dewasa ini. Hal ini terbukti dengan padanan bahasa Belanda yang
Universitas Sumatera Utara
65
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dalam memorandum mengenai
sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundang-
undangan Republik Indonesia,125 yang antara lain menyatakan bahwa Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi sumber hukum bagi berlakunya kembali UUD
NRI 1945 dikeluarkan atas dasar hukum darurat negara (staatsnoodrecht),
mengingat keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan
keselamatan negara. Selengkapnya, dalam memorandum DPR-GR tersebut
disebutkan sebagai berikut:
Dekrit tersebut yang merupakan sumber hukum bagi berlakunya kembali
Undang-Undang Dasar 1945, sejak 5 Juli 1959, dikeluarkan atas dasar
hukum darurat negara (staatsnoodrecht), mengingat keadaan ketata-negaraan
yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa,
serta merintangi pembangunan semesta, untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur, disebabkan kegagalan Konstituante untuk melaksanakan
tugasnya menetapkan Undang-Undang Dasar bagi Bangsa dan Negara
Republik Indonesia.
Meskipun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan suatu tindakan darurat, namun
kekuatan hukumnya juga sangat dipengaruhi oleh dukungan rakyat Indonesia.126
Hal ini juga ditegaskan dalam memorandum DPR-GR yang menyebutkan sebagai
berikut:
Meskipun Dekrit 5 Juli 1959 itu merupakan suatu tindakan darurat, namun
kekuatan hukumnya bersumber pada dukungan seluruh rakyat Indonesia,
terbukti dari persetujuan DPR hasil pemilihan umum (1955) secara aklamasi
pada 22 Juli 1959.
digunakan oleh M. Yamin, yaitu staatsnoodrecht. Selain hukum darurat, M. Yamin juga
menggunakan istilah hukum darurat ketatanegaraan. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik
Indonesia, ibid. 125 Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan
Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia dan Skema Susunan Kekuasaan di dalam Republik
Indonesia. Memorandum ini terlampir dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Uratan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. 126 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, op. cit., hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
66
Adapun pengaturan mengenai keadaan darurat dalam UUD NRI 1945 yang
diberlakukan kembali sejak 5 Juli 1959, terus bertahan sampai amandemen UUD
NRI 1945 tahun 1999 hingga 2002. Dengan demikian, pengaturan serupa juga
terdapat dalam UUD NRI 1945 yang berlaku sampai sekarang.
E. Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai Dasar Konstitusional
Pemberlakuan Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia
Dalam hukum tata negara, terdapat doktrin yang disebut doktrin konstitusional
dualis. Doktrin ini menyatakan bahwa dalam setiap negara, selalu terdapat
pengaturan mengenai hukum tata negara dalam keadaan normal dan hukum tata
negara dalam keadaan darurat. Indonesia, sejak awal kemerdekaan telah
mengadakan pengaturan tentang hukum tata negara darurat dalam konstitusinya.
Naskah awal UUD NRI 1945 telah memuat ketentuan mengenai hukum tata
negara darurat dalam 2 (dua) pasal, yaitu pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI 1945.
Kedua pasal inilah yang menjadi dasar konstitusional pemberlakuan hukum tata
negara darurat di Indonesia sampai hari ini. Dalam perkembangan konstitusi
Indonesia, pengaturan ini sendiri mengalami beberapa kali perubahan
sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Perubahan paling
signifikan terjadi saat konstitusi Indonesia beralih dari UUD NRI 1945 naskah
awal menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat seiring dengan terbentuknya
Republik Indonesia Serikat sebagai salah satu kesepakatan Konferensi Meja
Bundar.
Universitas Sumatera Utara
67
Ketentuan pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI terus mengalami perkembangan
dalam penafsirannya. Adapun bunyi pasal 12 UUD NRI 1945 adalah sebagai
berikut:
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Sementara pasal 22 UUD NRI 1945 berbunyi sebagai berikut:
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut.
Alur pemikiran arus-utama membedakan antara pasal 12 dengan pasal 22.
Pasal 22 tentang peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
(PERPPU) tidak selalu dikaitkan dengan pasal 12 tentang keadaan bahaya.
Keadaan bahaya yang disebutkan pada pasal 12 dimaknai secara pasti sebagai
keadaan darurat. Sedangkan kegentingan yang memaksa sebagaimana disebutkan
pada pasal 22 bisa dimaknai sebagai keadaan darurat, bisa juga tidak. Dengan kata
lain, kegentingan yang memaksa dalam pasal 22 bisa dimaknai dalam kerangka
hukum tata negara darurat, bisa tidak.
Sejak Indonesia merdeka, pengimplementasian pasal 22 UUD NRI 1945 tidak
pernah dimasukkan dalam kerangka hukum tata negara darurat dan tidak
ditempatkan sebagai bagian dari hukum tata negara darurat. Fakta ini turut
mendukung pemahaman yang membedakan pasal 12 dengan pasal 22. Pasal 22
lebih dipahami sebagai ketentuan tentang pembentukan PERPPU yang bisa berada
dalam kerangka hukum tata negara normal maupun kerangka hukum tata negara
Universitas Sumatera Utara
68
darurat. Daniel P. Yusmic Foekh127 mengemukakan bahwa pemberlakuan
PERPPU di Indonesia menunjukkan bahwa memang ukuran “hal ihwal
kegentingan yang memaksa” adalah situasi yang abnormal di segala bidang, baik
di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, bencana alam dan sebagainya, di mana
pada saat keadaan abnormal tersebut, perlengkapan hukum yang ada tidak lagi
mampu mengatasi situasi abnormal yang sedang terjadi. Sementara pasal 12 lebih
khusus mengatur tentang hukum tata negara darurat, yang ditandai dengan adanya
keadaan bahaya yang mengancam keselamatan bangsa dan negara. Adapun
kriteria keadaan bahaya atau keadaan darurat tersebut diatur lebih lanjut dalam
undang-undang. Pada masa pemerintahan PDRI, undang-undang yang mengatur
tentang kriteria keadaan darurat tersebut adalah Undang-Undang No. 6 Tahun
1946 tentang Keadaan Bahaya.
Regulasi yang mengatur tentang keadaan darurat terus berkembang. Beberapa
undang-undang yang lahir kemudian mengatur tentang keadaan darurat. Sebagai
contoh, terdapat Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana yang mengatur tentang darurat bencana. Ada pula Undang-Undang No. 6
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang mengatur tentang darurat
kesehatan. Jika dilihat sepintas, kedua undang-undang ini dapat dibaca sebagai
regulasi dalam keadaan darurat. Namun jika ditelisik lebih jauh, undang-undang
ini justru tidak merujuk pada pasal 12 UUD NRI 1945 sebagai dasar
konstitusional pengaturan tentang keadaan darurat. Hal inilah yang menjadi
pemicu persoalan selama ini, di mana regulasi mengenai penanganan keadaan
127 Daniel P. Yusmic Foekh, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPPU): Suatu Kajian Dari Perspektif Hukum Tata Negara Normal dan Hukum Tata Negara
Darurat”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, dalam Sonya Claudia
Siwu, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Dalam Sistem Hukum
Indonesia”, Jurnal Majelis Edisi 02, Februari 2019, hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
69
darurat tidak merujuk ke konstitusi maupun UU Keadaan Bahaya, sehingga
kedudukannya sebagai regulasi dalam keadaan darurat masih dipertanyakan.
Dalam penerapan hukum tata negara darurat, upaya penanganan harus
seimbang dengan keadaan darurat yang sedang dihadapi. Keseimbangan ini
merupakan prinsip utama dalam hukum tata negara darurat yang sifatnya mutlak
dan sebagai dasar legitimasi diterapkannya hukum tata negara darurat.128 Hukum
yang berlaku saat keadaan darurat, bobotnya harus seimbang dengan bobot situasi
yang ada.129 Namun pada praktiknya, penerapan prinsip keseimbangan ini masih
menemui hambatan, yaitu masih banyaknya tafsir atas terminologi darurat.
Pemahaman terhadap kata darurat masih ambigu dan memiliki makna ganda.130
Menurut Mathias Klatt,131 kekaburan dan ambiguitas norma merupakan
problematika yuridis.
Mahkamah Konstitusi (MK), dalam Putusan MK No. 138/PUU-VIII/2009
memaknai “kegentingan yang memaksa” dalam pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai
sesuatu yang berbeda dari “keadaan bahaya” yang disebutkan pada pasal 12 UUD
NRI 1945. Dalam putusan MK tersebut, ditetapkan 3 (syarat) agar suatu keadaan
dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa. Syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut:
128 Sonya Claudia Siwu, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)
Dalam Sistem Hukum Indonesia”, ibid., hal. 46. 129 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, op. cit., hal. 5. 130 Sonya Claudia Siwu, op. cit., hal. 47. 131 Mathias Klatt, Making The Law Explicit: The Normativity of Legal Argumentation,
dalam ibid.
Universitas Sumatera Utara
70
1. adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.
Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa pengertian kegentingan yang
memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana
disebutkan dalam pasal 12 UUD NRI 1945. Memang benar bahwa keadaan
bahaya dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang tidak dapat
dilaksanakan dengan prosedur normal atau biasa, namun keadaan bahaya
bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan yang
memaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 UUD NRI 1945. Sebaliknya,
keadaan kegentingan yang memaksa juga bisa timbul akibat hal-hal yang tidak
sampai pada tingkat membahayakan keselamatan bangsa dan negara sebagaimana
dapat dimaknai dalam pasal 12 UUD NRI 1945.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI
1945 sama-sama merupakan dasar konstitusional pemberlakuan hukum tata
negara darurat. Kedua pasal tersebut juga menjadi dasar rujukan bagi undang-
undang yang mengatur tentang keadaan darurat. Begitu pula dengan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (PERPPU) yang dapat dibentuk dalam
kerangka hukum tata negara normal maupun dalam kerangka hukum tata negara
darurat.
Universitas Sumatera Utara
71
BAB III
TUJUAN DAN SYARAT PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN DARURAT
A. Tujuan Pembentukan Pemerintahan Darurat
Tujuan pembentukan pemerintahan darurat seyogianya tidak dapat dipisahkan
dari tujuan hukum tata negara darurat. Hal ini, sebagaimana telah dijelaskan pada
bagian-bagian sebelumnya, berangkat dari pemahaman bahwa pemerintahan
darurat merupakan satu wacana tersendiri dalam naungan diskursus hukum tata
negara darurat. Dengan demikian, pemerintahan darurat adalah wacana yang lebih
spesifik lagi dibanding hukum tata negara darurat. Jika dalam hukum tata negara
darurat, terdapat kemungkinan untuk membentuk suatu undang-undang darurat132
atau yang di era sekarang lebih dikenal dengan sebutan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (PERPPU) yang lantas dijalankan oleh pemerintahan
yang ada, maka dalam wacana pemerintahan darurat, pemerintah yang sah tidak
lagi dapat menjalankan tugas-tugasnya seperti biasa.
Pembentukan pemerintahan darurat bertujuan untuk mempertahankan
eksistensi negara. Sebab, negara tanpa pemerintahan tidak akan diakui sebagai
negara oleh dunia internasional (Konvensi Montevideo). Pembentukan
pemerintahan darurat mutlak diperlukan jika pemerintahan sah yang ada
terkendala atau terhalang melaksanakan tugas-tugasnya. Terhalangnya pemerintah
yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam hal ini disebabkan
oleh adanya keadaan bahaya atau darurat. Dalam kasus Pemerintah Darurat
132 Terminologi ini digunakan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Pasal 139
Konstitusi RIS), dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (Pasal 96). Kini, terminologi yang
digunakan dan diakomodir serta dicantumkan secara eksplisit dalam konstitusi adalah peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22 UUD NRI 1945). Letezia Tobing, Arti
dan Kedudukan Undang-Undang Darurat, diakses pada tanggal 1 April 2021 dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51ae7d86ef8fb/arti-dan-kedudukan-undang-
undang-darurat/
Universitas Sumatera Utara
72
Republik Indonesia (PDRI), keadaan bahaya yang terjadi adalah Agresi Militer
Belanda II, di mana Belanda berhasil menguasai Yogyakarta sebagai ibukota
Republik Indonesia pada masa itu, serta menahan presiden, wakil presiden,
perdana menteri dan beberapa orang menteri yang notabene adalah lembaga yang
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Terkendalanya suatu pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya dapat
diantisipasi dengan hukum tata negara objektif. Contohnya, dengan menentukan
lembaga mana yang berwenang untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
jika pemerintahan yang ada tidak dapat melaksanakan tugasnya secara objektif.
Contoh pengaturan spesifik seperti ini misalnya dapat ditemukan pada ketentuan
pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menunjuk Menteri Luar Negeri, Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama sebagai pelaksana
tugas-tugas kepresidenan apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan. Ketentuan ini masih berupa pengaturan pokok. Keadaan darurat
tidak disebutkan sebagai keadaan yang menyebabkan Presiden dan Wakil
Presiden tidak dapat menjalankan kewajibannya. Pada masa PDRI, pengaturan
secara spesifik terdapat pada pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1946
tentang Keadaan Bahaya (UU Keadaan Bahaya). Pasal tersebut menyebutkan;
Setelah pernyataan keadaan bahaya dilakukan untuk sebagian maupun untuk
seluruh Daerah Negara, maka kekuasaan yang menjalankan peraturan-peraturan
dalam Undang-undang ini, ialah suatu Dewan Pertahanan Negara yang terdiri
dari :
a. Perdana-Menteri, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Keuangan, Menteri Kemakmuran dan Menteri Perhubungan.
b. Panglima Besar.
c. 3 Wakil-wakil organisasi rakyat.
Universitas Sumatera Utara
73
Pengaturan-pengaturan dalam kerangka hukum tata negara darurat objektif
sebagaimana disebutkan di atas boleh dikatakan sebagai pengaturan yang ideal.
Niccolo Machiavelli133 menyebutkan bahwa pengadaan pengaturan secara tertulis
dan komprehensif dalam menghadapi keadaan darurat adalah salah satu ciri
negara hukum modern. Sifat objektif atau tertulis dari pengaturan tersebut dapat
menjadi dasar hukum yang kuat untuk melegalkan tindakan-tindakan yang
diambil oleh pemerintah dalam keadaan darurat. Jika ternyata pengaturan
demikian tidak ada, maka opsi selanjutnya adalah dengan bersandar pada hukum
tata negara darurat subjektif yang berangkat dari doktrin self defense134 dan self
preservation.135
Dalam rangka menyelamatkan negara dari bahaya sehingga eksistensinya
sebagai negara berdaulat dapat dipertahankan, maka pemerintah dapat mengambil
tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma hukum dalam keadaan biasa,
ataupun mengambil tindakan yang belum ada pengaturannya secara tertulis dalam
konstitusi maupun dalam peraturan perundangan-undangan lainnya. Tindakan
semacam ini sering disebut sebagai tindakan yang ekstra konstitusional.136 Dalam
kasus PDRI, tindakan-tindakan yang diambil tidak sepenuhnya ekstra
konstitusional, namun tidak sepenuhnya juga ada pengaturannya secara eksplisit
133 Niccolo Machiavelli, The Prince and the Discourses, 1513 Translation, (Random
House, 1950), hal. 203, dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2008), hal. 84. 134 Muhammad Syarif Nuh, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of Emergency)
sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”, Jurnal Hukum
Vol. 18 No. 2 April 2011, hal. 236. 135 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal.
98. 136 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),
hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
74
dalam konstitusi maupun undang-undang. Dalam proses berdirinya PDRI,
terdapat titik temu antara legalitas pusat dengan inisiatif lokal.137
B. Syarat-Syarat Pembentukan Pemerintahan Darurat
Syarat-syarat pembentukan yang dimaksud dalam hal ini adalah parameter
dalam memberlakukan keadaan darurat. Kesesuaian antara keadaan bahaya yang
sedang dihadapi dengan parameter tersebut akan menjadi faktor yang menguatkan
maupun melemahkan dasar pembentukan pemerintahan darurat. Parameter yang
dimaksud dalam hal ini berkaitan erat dengan hukum tata negara darurat objektif,
karena penerapan parameter tersebut akan jauh lebih efektif jika ditentukan dan
diatur secara tertulis, baik dalam konstitusi maupun dalam undang-undang.
Di samping hukum tata negara darurat subjektif, pengaturan secara tertulis
(hukum tata negara darurat objektif) memang sangat diperlukan guna menentukan
keadaan-keadaan seperti apa saja yang dapat diklasifikasikan sebagai keadaan
darurat yang dapat membahayakan eksistensi negara, sehingga pemerintah bisa
menyatakan dan memberlakukan keadaan darurat. Klasifikasi keadaan-keadaan
ini tentu masih menjadi topik yang diperdebatkan di ranah hukum tata negara
darurat. Meskipun demikian, keadaan-keadaan yang dijadikan sebagai parameter
pemberlakuan keadaan darurat dapat dirangkum berdasarkan perundang-undangan
yang berlaku dan pernah berlaku di Indonesia. Parameter tersebut antara lain
sebagai berikut:
137 Moch. H. Kharismulloh Hilmatiar, “Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia Tahun 1949-1949 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan Hukum Tata Negara”, Al-
Mazahib, Volume 3 No. I, Juni 2015, hal. 167.
Universitas Sumatera Utara
75
A. Berdasarkan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang
Keadaan Bahaya:
1. serangan;
2. bahaya serangan;
3. pemberontakan atau perusuhan, hingga dikhawatirkan pemerintah sipil
tidak sanggup menjalankan pekerjaannya;
4. bencana alam.
B. Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya:
1. keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian
wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan,
kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan
tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah
Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan
khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat
membahayakan hidup Negara.
Klasifikasi keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan di atas mengalami
perkembangan, sehingga keadaan-keadaan tersebut di kemudian hari diatur secara
lebih spesifik. Misalnya keadaan darurat bencana yang diatur dalam Undang-
Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pada BAB VII
Paragraf Kedua mengenai Tanggap Darurat, dan keadaan darurat kesehatan yang
diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Universitas Sumatera Utara
76
Kesehatan, pada BAB IV mengenai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Selain
dapat dirangkum dari perundang-undangan, parameter pemberlakuan keadaan
darurat dapat pula dirinci dari segi konseptual, sebagai berikut:138
a. adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat);
b. adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity);
c. adanya keterbatasan waktu yang tersedia (limited time).
Parameter pemberlakuan keadaan darurat juga dapat ditemukan dalam
General Comment No. 29 on Article 4 of ICCPR yang berkaitan dengan upaya
perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam general comment tersebut,
Komite PBB tentang HAM mensyaratkan 2 (dua) kondisi mendasar yang harus
dipenuhi sebelum membatasi HAM dalam keadaan darurat, yaitu:
a. the situation must amount to a public emergency which threatens the life
of the nation, (situasi tersebut harus menjadi keadaan darurat publik yang
mengancam kehidupan bangsa);139
b. the State Party must have officially proclaimed a state of emergency
(Negara Pihak harus menyatakan keadaan darurat secara resmi).140
Hans Ernst Folz dalam bukunya berjudul A State of Emergency and
Emergency Legislation,141 mengusulkan daftar alasan pemberlakuan keadaan
darurat, meliputi:
a. adanya bahaya eksternal yang mengancam negara, tindakan bahaya dari
militer atau invasi militer, atau adanya koordinasi kegiatan subversif
dalam negeri dari wilayah suatu negara asing;
138 Muhammad Syarif Nuh, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of Emergency)
sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”, op. cit., hal. 245. 139 Terjemahan bebas oleh penulis. 140 Terjemahan bebas oleh penulis. 141 Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif
Keadaan Darurat”, Jurnal Media Hukum, Volume 21 Nomor 1, Juni 2014, hal. 62.
Universitas Sumatera Utara
77
b. adanya kerusuhan domestik yang berbeda jenis, pemberontakan,
kerusuhan yang disebabkan oleh terganggunya fungsi normal dari organ
konstitusional atau konflik (di negara federal) antara pusat dan subjek
federasi;
c. gangguan fungsi normal dari otoritas pemerintah yang disebabkan oleh
pemogokan dalam pelayanan sipil;
d. penolakan untuk membayar pajak;
e. kesulitan di bidang ekonomi dan keuangan;
f. kerusuhan buruh dan bencana nasional.
Selain klasifikasi keadaan darurat, syarat pembentukan pemerintahan darurat
juga bisa terkait dengan mekanisme hukum internasional dan hukum nasional.
Dalam hukum internasional, terdapat konvensi PBB yang sepatutnya dirujuk oleh
setiap negara yang hendak membentuk pemerintahan darurat. Begitu pula dengan
hukum nasional. Terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi jika hendak
membentuk suatu pemerintahan darurat, walaupun pada praktiknya pemenuhan
kewajiban-kewajiban tersebut dapat dilakukan belakangan, yaitu setelah keadaan
darurat sudah berakhir dan kembali ke keadaan normal seperti semula. Contoh
dari kewajiban-kewajiban ini antara lain:
a. Mekanisme pelaporan kebijakan pemberlakuan keadaan darurat.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, PBB menetapkan suatu
mekanisme pelaporan kebijakan pemberlakuan keadaan darurat yang harus
ditempuh oleh setiap negara anggota yang memberlakukan keadaan darurat
di negaranya. Tujuan utama mekanisme pelaporan ini adalah untuk
Universitas Sumatera Utara
78
menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia di negara
yang sedang memberlakukan keadaan darurat.
b. Koordinasi antar lembaga negara
Dalam pemberlakuan keadaan darurat, setiap lembaga negara diharuskan
mengadakan koordinasi. Koordinasi ini dilaksanakan dalam rangka
pengawasan antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara
lainnya. Sebagai contoh, tatkala presiden menyatakan keaadan darurat,
maka presiden harus berkoordinasi dengan dewan perwakilan rakyat.
Dewan perwakilan rakyat kemudian bisa melakukan tugas-tugasnya untuk
menjamin bahwa pernyataan keadaan darurat itu memang telah sesuai
dengan keadaan bahaya yang sedang dihadapi, lantas melakukan
pengawasan terhadap kinerja presiden dan lembaga eksekutif dalam arti
yang lebih luas, yang didasarkan pada kekuasaan darurat yang ada
padanya.
Syarat-syarat pembentukan pemerintahan darurat di satu sisi merupakan upaya
untuk memastikan bahwa tindakan membentuk pemerintahan darurat adalah
tindakan yang paling tepat, dan memang paling diperlukan untuk menghadapi
keadaan darurat. Di sisi lain, syarat-syarat tersebut sekaligus menjadi bentuk
antisipasi terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan
darurat sebagaimana pernah terjadi pada Republik Weimar, di mana Hitler,
pemimpin fasisme Nazi mengubah Konstitusi Weimar untuk kepentingannya
sendiri dengan dalih keadaan bahaya dan sebagai pemegang kekuasaan darurat.142
142 Panikos Panayi (ed), Weimar and Nazi Germany: Continuities and Discontinuities,
(New York: Routledge, 2014), hal. 258 dalam Agus Adhari, “Ambiguitas Pengaturan Keadaan
Bahaya Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Dialogia Iuridica, Jurnal Hukum Bisnis dan
Universitas Sumatera Utara
79
Syarat-syarat pembentukan pemerintahan darurat ini diperlukan dalam rangka
menjamin penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan
(to fulfill) hak-hak asasi manusia, yakni dengan menafsirkan pembatasan dengan
jelas serta ditujukan untuk mendukung hak-hak serta tidak diberlakukan
sewenang-wenang.143 Penerapan syarat-syarat dalam rangka melindungi hak-hak
asasi manusia ini mutlak diperlukan, mengingat kekuasaan yang dimiliki oleh
penguasa darurat sangat besar, bahkan hampir tidak terbatas.
C. Pemegang Kekuasaan Darurat
Pemegang kekuasaan darurat adalah badan atau lembaga negara yang
berwenang menjalankan kekuasaan atau tugas-tugas pemerintahan ketika negara
sedang memberlakukan keadaan darurat, atau lebih spesifik, membentuk
pemerintahan darurat. Perlu untuk mengetahui badan atau lembaga negara mana
yang memiliki kewenangan sebagai pemegang kekuasaan darurat ketika negara
memberlakukan keadaan darurat. Pada saaat pembentukan PDRI, belum ada
pengaturan konstitusional mengenai pemegang kekuasaan darurat. Bahkan
terminologi tersebut masih sangat jarang digunakan. Ketentuan yang berlaku pada
saat itu sekadar menyebutkan Wakil Presiden sebagai pengemban kewajiban
Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya.144 Pasca amandemen, ketentuan ini
berkembang dengan menyebutkan menteri-menteri yang bertanggungjawab
melaksanakan tugas-tugas kepresidenan apabila Presiden dan Wakil Presiden
Investasi, Volume 11 No. 1, November 2019, Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha, hal.
54. 143 Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif
Keadaan Darurat”, op. cit., hal. 63. 144 Pasal 8 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum
amandemen.
Universitas Sumatera Utara
80
mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat menjalankan kewajibannya
dalam masa jabatannya.145 Walaupun tidak menyebutkan kualifikasi keadaan
darurat secara eksplisit, pada dasarnya ketentuan konstitusional tersebut memiliki
kesamaan dengan konsep pemerintahan darurat, di mana presiden yang tidak lagi
dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara efektif, harus digantikan sementara
oleh badan atau lembaga yang ditunjuk untuk itu. Tidak disebutkannya kualifikasi
keadaan darurat dalam hal ini harus dipahami sebagai akibat dari kurang
berkembangnya wacana mengenai hukum tata negara darurat. Hal ini tidak terlalu
mengherankan mengingat usia Republik Indonesia yang masih sangat muda pada
saat itu. Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, namun konsep pengaturan
semacam itu sesungguhnya berakar pada wacana hukum tata negara darurat.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dilihat sebagai perbandingan dari pemahaman
ini. Walaupun tergolong sebagai tindakan yang kontroversial, namun
dikeluarkannya dekrit ini menjadi salah satu momen paling bersejarah dalam
dinamika politik dan ketatanegaraan Indonesia. Meskipun dekrit itu sendiri tidak
konstitusional, tidak berarti tidak memiliki legitimasi.146 Legitimasi ini bersumber
dari dukungan masyarakat luas serta sokongan angkatan bersenjata, meliputi
Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Tentara Negara Indonesia (TNI).
Secara empirik, ada-tidaknya dukungan TNI dan POLRI menjadi penentu
keampuhan dekrit.147 Adapun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pada kenyataannya
mendapat sokongan kekuataan militer dan politik serta diterima baik oleh
sebagian besar masyarakat, sehingga dapat dilaksanakan secara efektif. Tindakan
145 Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 146 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara,
(Bandung: Alumni, 1997), hal. 2. 147 Neysa Changnata, “Konstitusionalitas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Maklumat
Presiden 23 Juli 2001”, JOM Fakultas Hukum Volume II Nomor 2, Oktober 2015, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
81
mengeluarkan dekrit yang pada dasarnya inkonstitusional, menjadi konstitusional
ketika dekrit tersebut berlaku efektif.148
Perdebatan yang mengemuka pasca dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 didominasi oleh pertanyaan mengenai dasar hukum dari dekrit itu sendiri.
Pertanyaan ini tidak mengherankan, mengingat tidak adanya pengaturan
konstitusional mengenai dekrit. Sebagai respons atas perdebatan ini, M. Yamin149
berpendapat bahwa tindakan presiden mengeluarkan dekrit pada saat itu
didasarkan pada hukum tata negara darurat, dalam hal ini hukum tata negara
darurat subjektif. Di samping itu, M. Yamin juga menggunakan istilah hukum
darurat ketatanegaraan.150 Adapun yang menjadi landasan argumen M. Yamin
yaitu adanya keadaan darurat yang berpotensi membahayakan keselamatan
negara, yang juga disebutkan pada bagian konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli,
alinea ketiga dan keempat yang berbunyi;151
“Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang
membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa serta
merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan
makmur, dan bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan
didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan negara Proklamasi”.
Dalam rangka mengantisipasi potensi bahaya ini, dalam batas-batas tertentu
presiden dibenarkan mengambil tindakan yang menyimpang dari konstitusi
(ekstra konstitusional).
148 Ibid., hal. 12. 149 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, op. cit., hal. 105. 150 Ibid., hal. 106. 151 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi,
(Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
82
Pada masa PDRI, pengaturan konstitusional terkait lembaga yang menjadi
pelaksana tugas-tugas presiden jika presiden tidak dapat melaksanakan tugasnya
terbatas pada pasal 8 UUD NRI 1945 sebelum amandemen. Di luar itu, terdapat
ketentuan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan
Bahaya yang menyebutkan menteri-menteri pemegang kekuasaan darurat. Adapun
kekuasaan darurat yang dimaksud adalah kekuasaan yang diberikan oleh undang-
undang terkait dan digunakan dalam upaya mengakhiri keadaan darurat tersebut
sesegera mungkin. Dalam pengertian yang lebih umum, kekuasaan darurat adalah
kekuasaan yang diberikan kepada atau digunakan atau diambil oleh otoritas publik
untuk memenuhi kemendesakan keadaan darurat tertentu (seperti perang atau
bencana) baik di dalam atau di luar kerangka acuan konstitusional.
(Power granted to or used or taken by a public authority to meet the
exigencies of a particular emergency (as of war or disaster) whether within or
outside a constitutional frame of reference).152
Dalam perkembangan hukum ketatanegaraan Indonesia, pemegang kekuasaan
darurat pada umumnya merujuk pada cabang kekuasaan eksekutif. Pemahaman ini
berangkat dari fakta keadaan darurat, di mana kekuasaan eksekutif tidak dapat
menjalankan tugas-tugasnya seperti biasa dalam keadaan normal, sehingga perlu
digantikan oleh lembaga lain. Dalam hal ini, lembaga yang ideal untuk
mengemban tugas-tugas eksekutif itu adalah lembaga yang juga berada dalam
cabang eksekutif. Jika diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat, semisal DPR
maupun DPD yang pada dasarnya menjalankan fungsi pengawasan, maka fungsi
pengawasan tersebut bisa berhenti akibat menyatunya eksekutif dengan
152 Merriam-Webster, Definition of Emergency Power, diakses pada tanggal 17 April
2021 dari https://www.merriam-webster.com/dictionary/emergency%20power
Universitas Sumatera Utara
83
legislatif.153 Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya,
kekuasaan darurat tersebut juga harus sesuai dengan tingkatan darurat atau bahaya
yang sedang dihadapi.154 Oleh karena itu, terhadap implementasi kekuasaan
darurat, diperlukan sistem pengawasan yang mumpuni untuk mengantisipasi
ketidaksesuaian antara tingkatan bahaya dengan kekuasaan darurat, sehingga
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) maupun pelanggaran hak-hak asasi
manusia selama keadaan darurat berlaku dapat dihindari.
153 Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hal. 577. 154 Ritwan Junianto, “Implementasi Undang-Undang Status Keadaan Darurat dan Bahaya
Perang di Jawa Timur Tahun 1946-1962”, Avatara: e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 5 No. 1,
Maret 2017, hal. 1368.
Universitas Sumatera Utara
84
BAB IV
PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA
A. Sekilas Latar Belakang Pembentukan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI)
Pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia masih
harus berjuang untuk mencapai stabilitas dan mematangkan aspek-aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat tahun pertama dari kehidupan
Republik Indonesia didominasi oleh peperangan melawan musuh-musuh yang
kuat, peperangan yang hasilnya dianggap oleh para pemimpin sebagai penentu
hidup atau matinya Republik.155 Hal ini menjadi bukti bahwa negara Indonesia
yang diproklamasikan kemerdekaannya itu bukanlah merupakan tujuan semata-
mata, melainkan hanya alat untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara,
yakni membentuk masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.156
Perjuangan Indonesia dalam mencapai stabilitas serta mematangkan aspek-
aspek kehidupan berbangsa dan bernegaranya bukan tanpa hambatan. Indonesia
masih harus menghadapi ancaman dari pihak Belanda yang masih ingin
mempertahankan Indonesia sebagai wilayah koloninya. Ancaman pihak Belanda
ini berlangsung dalam bentuk aksi polisionil yang kemudian menjadi kejahatan
agresi yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda
II.
155 George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 211. 156 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hal. 182.
Universitas Sumatera Utara
85
Agresi Militer Belanda I merupakan bentuk pengkhianatan Belanda terhadap
kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai sebelumnya pada Perjanjian
Linggarjati.157 Perjanjian Linggarjati didorong oleh pihak Inggris yang ingin
keluar dari Indonesia tanpa meninggalkan masalah, ditambah orang-orang
Belanda progresif yang ingin mengadakan kompromi dengan Republik Indonesia.
Pada tanggal 15 November 1946, Komisi Jenderal Belanda di Indonesia yang
diketuai oleh Willem Schermerhorn merintis Perjanjian Linggarjati dengan
Indonesia.158
Kesepakatan-kesepakatan yang berhasil dicapai dalam Perjanjian Linggarjati
ternyata diingkari oleh Belanda yang masih saja memaksakan kehendaknya pada
Indonesia. Belanda terus menuntut kekuasaan bersama dan pembentukan pasukan
bersama yang akan beroperasi dalam wilayah Republik, namun semua pemimpin
Republik tetap tidak mau menyerah.159 Karena Indonesia terus menolak untuk
mengabulkan tuntutan Belanda, pada tanggal 20 Juli 1947, Perdana Menteri
Belanda, Beel, memerintahkan pasukan Belanda untuk melancarkan serangan
besar-besaran yang dirancang untuk menghancurkan republik.160 Belanda
beralasan, keputusan untuk menggunakan kekuatan militer diambil karena
pemerintah Indonesia tidak cukup mengawasi unsur-unsur ekstremis yang tersebar
di wilayah Indonesia, sehingga menghalangi implementasi kesepakatan-
kesepakatan Perjanjian Linggarjati.161
157 Deden Usmaya, Wakidi dan Syaiful M, “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949”, FKIP UNILA Bandar Lampung, hal. 2. 158 George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, op. cit., hal.274. 159 Ibid., hal. 296. 160 Charles Wolf Jr., The Indonesian Story, (New York, 1948), hal. 43-44, dalam Ibid. 161 George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
86
Jika Agresi Militer Belanda merupakan pengkhianatan terhadap kesepakatan
Perjanjian Linggarjati, maka Agresi Militer Belanda II adalah pengkhianatan
terhadap kesepakatan Perjanjian Renville.162 Pernjanjian Renville dapat dianggap
sebagai titik balik yang menentukan yang menuntun Belanda dan Indonesia
menuju penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia
pada 27 Desember 1949.163 Pembicaraan-pembicaraan dalam Perjanjian Renville
dilangsungkan di atas kapal USS Renville milik Angkatan Laut Amerika Serikat
yang disediakan oleh Amerika Serikat atas permintaan pihak Belanda dan
Indonesia.164 Demikianlah, pada tanggal 17 Januari 1948, pemerintah Republik
Indonesia bersama Belanda menandatangani Perjanjian Renville yang meliputi
gencatan senjata secara militer berdasarkan garis van Mook, 12 (dua belas) prinsip
dari Belanda, dan 6 (enam) prinsip tambahan yang diusulkan oleh Komisi Tiga
Negara (KTN).165
Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan sejak 19 Desember tahun 1948
menyebabkan ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Tidak hanya menduduki ibu kota negara, pihak Belanda juga menahan dan
mengasingkan para pemimpin Republik Indonesia yang ada di Yogyakarta, seperti
Soekarno, Hatta hingga Haji Agus Salim.166 Pasca pendudukan ibu kota dan
penahanan para pimpinan republik ini, pemerintahan tentu tidak lagi dapat
berjalan dengan efektif. Presiden, perdana menteri dan menteri ditahan di
pengasingan serta ibu kota negara dikuasai oleh Belanda. Padahal, keberadaan ibu
162 Deden Usmaya, Wakidi dan Syaiful M, “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949”, loc. cit. 163 Ide Anak Agung Gde Agung, Renville, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hal. 50. 164 Ibid., hal. 57. 165 George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, op. cit., hal. 326. 166 Anthony Reid, Revolusi Nasional Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996),
hal. 263.
Universitas Sumatera Utara
87
kota negara sangat penting sebagai pusat menjalankan pemerintahan. Ibu kota
adalah kota tempat di mana pemerintahan suatu wilayah berada. Di sinilah
gedung-gedung pemerintah berada dan tempat para pemimpin pemerintahan
bekerja. Suatu wilayah dapat didefinisikan sebagai bangsa, negara, provinsi, atau
unit politik lainnya. Di tingkat daerah, ibu kota biasanya disebut "kursi daerah".
(A capital is a city where a region's government is located. This is where
government buildings are and where government leaders work. A region can
be defined as a nation, state, province, or other political unit. At the county
level, capitals are usually called "county seats").167
Di samping itu, keberadaan ibu kota dalam suatu negara juga berarti sebagai
sarana kontrol dan simbol persatuan (a means of control and a symbol of unity).168
Hal ini membuat Indonesia berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan
dalam pergaulan dunia internasional, karena lumpuhnya pemerintahan Indonesia
dapat dianggap sebagai ketidakmampuan dan ketidaksiapan Indonesia menjadi
suatu negara merdeka, sehingga pada saat bersamaan bisa membahayakan
eksistensi Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Sebelum Agresi Militer Belanda II, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah
mempertimbangkan kemungkinan pembentukan pemerintahan darurat sebagai
langkah yang akan ditempuh jika Soekarno, Hatta dan para pemimpin republik
lainnya ditawan oleh Belanda.169 Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan
pengiriman 2 (dua) buah radiogram pada tanggal 19 Desember 1948. Radiogram
tersebut ditujukan masing-masing kepada Sjafruddin Prawiranegara yang tengah
berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, dan kepada Mr. Maramis, Dr. Sudarsono,
167 National Geographic, “Capital”, diakses pada tanggal 23 April 2021 dari
https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/capital/ 168 BBC News, “Capital cities: How are they chosen and what do they represent?”, 2017,
diakses pada tanggal 23 April 2021 dari https://www.bbc.com/news/world-42258989 169 Deden Usmaya, Wakidi dan Syaiful M, “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949”, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
88
dan L. N. Palar yang tengah berada di New Delhi, India. Adapun Sjafruddin
Prawiranegara merupakan Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Hatta.
Radiogram yang ditujukan kepada Sjafruddin Prawiranegara ditandatangani
oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta yang juga merangkap sebagai
Perdana Menteri. Isinya berupa mandat untuk membentuk suatu pemerintahan
darurat apabila pemimpin-pemimpin republik yang ada di Yogyakarta ditawan
oleh Belanda. Adapun isi lengkap dari radiogram tersebut adalah sebagai
berikut:170
“Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu
tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya
atas ibukota Yogyakarta.
Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi,
kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri
Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Republik
Indonesia Darurat di Sumatera.”
Radiogram berikutnya yang ditujukan kepada Mr. Maramis, Dr. Sudarsono
dan L. N. Palar ditandatangani oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Hatta dan
Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Radiogram tersebut berisi perintah untuk
segera membentuk government in exile apabila Sjafruddin Prawiranegara tidak
berhasil membentuk pemerintahan darurat di Sumatera Barat. Isi lengkap
radiogram tersebut adalah sebagai berikut:171
“Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu
tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas
ibukota Yogyakarta.
Jika ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah
Darurat di Sumatera tidak berhasil kepada Saudara-saudara dikuasakan
untuk membentuk excile government Republik Indonesia di India.
Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafruddin di Sumatera. Jika
hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.”
170 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2012), hal. 267. 171 Ibid., hal. 268.
Universitas Sumatera Utara
89
Hinga PDRI dibentuk, radiogram yang ditujukan kepada Sjafruddin
Prawiranegara belum sampai kepadanya beserta pemimpin lainnya yang ada di
Sumatera Barat172. Fakta ini menjadi dasar bagi argumen yang menyatakan bahwa
pembentukan PDRI merupakan inisiatif Sjafruddin Prawiranegara. Jika ditelaah
secara lebih mendalam, argumen ini tidak keliru namum tidak sepenuhnya benar,
karena sebelum Agresi Militer Belanda II berlangsung, para pemimpin republik
telah mempertimbangkan opsi pembentukan pemerintahan darurat sebagai
langkah penyelamatan bangsa dan negara Indonesia.173
Setelah kabar pendudukan ibu kota dan penahanan pemimpin republik di
Yogyakarta diketahui, Sjafruddin Prawiranegara melakukan koordinasi dengan
para pemimpin sipil dan militer yang ada di Sumatera Barat. Selama beberapa hari
para pemimpin yang ada di Sumatera Barat berdiskusi terkait strategi dan
langkah-langkah untuk menyelamatkan negara. Hingga pada akhirnya, pemimpin-
pemimpin sipil dan militer meyakinkan Sjafruddin Prawiranegara untuk
membentuk suatu pemerintahan darurat. Pemerintahan darurat tersebut pun
dibentuk dan diumumkan oleh Sjafruddin Prawiranegara pada tanggal 22
Desember 1948 di Halaban.174 Pemerintahan darurat itu disebut sebagai
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan diketuai oleh Sjafruddin
Prawiranegara yang sejak rapat-rapat awal, telah ditunjuk sebagai kepala
pemerintahan darurat yang akan dibentuk, mengingat Sjafruddin Prawiranegara
selaku Menteri Kemakmuran pada saat itu merupakan tokoh dengan jabatan
172 Sjafruddin Prawiranegara, Sejarah sebagai Pedoman untuk Membangun Masa
Depan”, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1976), hal. 43. 173 Erasiah, “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik
Indonesia”, Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama, Vol. XXV No. 1,
Januari 2019, hal. 98. 174 Mestika Zed, Somewhere in the Jungle:Pemerintah Darurat Republik Indonesia:
Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hal. 104.
Universitas Sumatera Utara
90
paling tinggi di antara pemimpin lainnya yang ada di Sumatera Barat175. Adapun
PDRI memiliki kabinet dengan susunan sebagai berikut:176
1. Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua, merangkap Menteri
Pertahanan, Penerangan dan Luar Negeri ad interim.
2. Mr. T. Mohammad Hasan sebagai Wakil Ketua, merangkap Menteri
Dalam Negeri, Pendidikan dan Kebudayan dan Agama.
3. Mr. S. M. Rasjid sebagai Menteri Keamanan, merangkap Menteri Sosial,
Pembangunan dan Perburuhan.
4. Mr. Loekman Hakim sebagai Menteri Keuangan, merangkap Menteri
Kehakiman.
5. Ir. Mananti Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum, merangkap
Menteri Kesehatan.
6. Ir. Indratjahja sebagai Menteri Perhubungan, merangkap Menteri
Kemakmuran.
7. Mardjono Danoebroto sebagai Sekretaris PDRI.
Susunan kabinet tersebut merupakan susunan kabinet yang dibentuk
bersamaan dengan pembentukan PDRI pada tanggal 22 Desember. Pada tanggal
14 Maret 1949, Ketua PDRI mengirimkan telegram kepada para pemimpin di
Jawa yang berisi usul-usul tentang penyempurnaan susunan Kabinet PDRI dengan
memasukkan sejumlah nama menteri yang masih aktif di Jawa.177 Pemimpin-
pemimpin yang ada di Jawa kemudian merespons dengan mengusulkan beberapa
175 Ibid. 176 P. N. H. Simanjuntak, Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan
Sampai Reformasi, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 75. 177 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
91
perubahan pada susunan kabinet. Pada tanggal 31 Maret 1949, susunan Kabinet
PDRI diperbaharui dengan susunan sebagai berikut:178
1. Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua, merangkap Menteri
Pertahanan dan Menteri Penerangan.
2. Mr. Susanto Tirtoprodjo sebagai Wakil Ketua, merangkap Menteri
Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda.
3. Mr. A. A. Maramis sebagai Menteri Luar Negeri.
4. dr. Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri, merangkap Menteri
Kesehatan.
5. Mr. Loekman Hakim sebagai Menteri Keuangan.
6. I. J. Kasimo sebagai Menteri Kemakmuran, termasuk Persediaan Makanan
Rakyat.
7. K. H. Masjkur sebagai Menteri Agama.
8. Mr. T. Mohammad Hasan sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan.
9. Ir. Indratjahja sebagai Menteri Perhubungan.
10. Ir. Mananti Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum.
11. Mr. S. M. Rasjid sebagai Menteri Perburuhan dan Sosial.
Dalam menjalankan pemerintahan, PDRI tidak menetap di satu tempat,
melainkan bergerak dengan mobilitas yang tinggi, berpindah dari satu tempat ke
tempat lain.179 Sejak PDRI terbentuk dan diumumkan, berbagai daerah di
Sumatera Barat pernah menjadi pusat pemerintahan PDRI, seperti Bangkinang,
178 S. M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), (Jakarta:
Penerbit N. V. Bulan Bintang, 1982), hal. 33-34. 179 Moch. H. Kharismulloh Hilmatiar, “Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia Tahun 1948-1949 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan Hukum Tata Negara”, Al-
Mazahib, Volume 3 No. I, Juni 2015, hal. 176.
Universitas Sumatera Utara
92
Simpang Tiga, Taratak Buluh, Logas, Sungai Durian, Taluk Kuantan, Kiliran Jao,
Muara Labuh, Abai Siat, Bidar Alam, Sumpur Kudus, dan Padang Japang.180 Hal
ini dilakukan guna menghindari pasukan Belanda yang sewaktu-waktu bisa
menyerang PDRI dan menangkap para pemimpinnya. Berpindah-pindahnya PDRI
dijadikan bahan olok-olok oleh Belanda dengan mengatakan bahwa PDRI
bukanlah pemerintah sungguhan, sebab tidak ada pemerintah yang menjalankan
pemerintahan dari dalam hutan. Belanda mengejek PDRI dengan menyebutnya
sebagai “Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.181 Semangat PDRI tidak kendur
mendengar olok-olok ini. Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara justru membalas
serangan yang tidak relevan itu dengan menyindir pemerintah Belanda yang
pernah membentuk government in exile di Inggris ketika negaranya diinvasi oleh
pasukan NAZI. Sjafruddin Prawiranegara mengatakan sebagai berikut;
“Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah Republik Indonesia,
karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi Belanda pada waktu negerinya
diduduki Jerman pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal Undang-
Undang Dasarnya sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah
di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris jadi wilayah kekuasaan Belanda?
Yang jelas pemerintah Belanda menjadi tidak sah!”182
Konsep pemerintahan darurat sebagaimana diterapkan oleh PDRI dapat
dikatakan tidak mendapat sorotan yang masif sebagai suatu objek kajian ilmiah.
Dapat dilihat dari sedikitnya publikasi ilmiah mengenai tema ini. Hal ini tentu
menjadi faktor yang menyebabkan perkembangan kajian ilmiah mengenai konsep
pemerintahan darurat cenderung mengalami stagnasi. Jika ditelisik lebih jauh,
pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda II dan pembentukan PDRI, Indonesia
sebenarnya sudah memiliki regulasi mengenai keadaan darurat, yang penjabaran
180 Audrey Kahin dalam Ibid., hal. 169. 181 Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah SWT, (Bandung:
Pustaka Jaya, 2011), hal. 195-196. 182 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
93
lebih lanjutnya tentu bisa bermuara pada pembentukan suatu pemerintahan
darurat. Regulasi tersebut adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang
Keadaan Bahaya (UU Keadaan Bahaya). Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, yang menjadi dasar konstitusional pembentukan undang-undang ini
adalah pasal 12 UUD NRI 1945. Dasar konstitusional ini disebutkan secara jelas
pada bagian ‘mengingat’ UU Keadaan Bahaya. Substansi undang-undang ini
terbilang progresif pada masanya. Sebagai contoh, undang-undang ini telah
mengatur tentang lembaga yang berwenang selama keadaan darurat,183
pembatasan hak-hak asasi manusia selama keadaan darurat,184 hingga mekanisme
pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan darurat.185 UU Keadaan Bahaya
cukup menjadi bukti bahwa pemerintah Indonesia di masa itu adalah pemerintah
yang visioner.
Perjuangan PDRI juga ditopang dengan perlawanan yang dilakukan oleh
pejuang-pejuang republik yang ada di Sumatera Barat. Sebelumnya, Sjafruddin
Prawiranegara juga telah berkoordinasi dengan Jenderal Soedirman dan
memerintahkan agar para pejuang yang ada di seluruh penjuru Indonesia tetap
menjalankan perang gerilya melawan pasukan Belanda. Jenderal Soedirman
sebagai komando pimpinan tertinggi TNI kala itu yang mengetahui akan mandat
Presiden dan Wakil Presiden kepada Sjafruddin Prawiranegara menyatakan turut
berjuang bersama Sjafruddin Prawiranegara dalam menyelamatkan Republik.186
Seluruh pejuang republik memahami situasi yang sedang dihadapi oleh Indonesia
dan patuh pada komando Jenderal Soedirman, sehingga perlawanan terhadap
183 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya. 184 Pasal 8 sampai pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya. 185 Pasal 22 dan 23 Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya. 186 Erasiah, “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik
Indonesia”, op. cit., hal. 104.
Universitas Sumatera Utara
94
pasukan Belanda terus dilanjutkan oleh pejuang-pejuang Republik. Hal ini
menjadi bukti penerimaan yang baik atas keberadaan PDRI sebagai pemerintahan
darurat yang menggantikan pemerintahan Soekarno. PDRI menjadi simbol
nasional dan faktor pemersatu, khususnya pasukan gerilya yang terpencar di
seluruh wilayah Jawa dan Sumatera, karena pemerintahan Sjafruddin
Prawiranegara diakui oleh pasukan Republik (di bawah Panglima Besar
Soedirman) sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan Soekarno/Hatta.187
Dalam menjalankan pemerintahan, PDRI juga mengadakan kontak dengan
luar negeri. Dengan perantaraan Maramis, Sudarsono, dan L. N. Palar yang berada
di New Delhi, PDRI menjalin komunikasi dengan pemerintah India. Menurut
Mestika Zed,188 India menjadi negara pertama dan barangkali paling total
dukungannya terhadap Indonesia, yang lantas menjadi daya tarik bagi perjuangan
diplomatik Indonesia di luar negeri. Komunikasi dengan India menjadi medium
strategis dalam memberitahukan ihwal keberadaan PDRI sebagai pemerintah sah
yang menggantikan pemerintahan Soekarno untuk sementara waktu. Dengan
terjalinnya hubungan ke luar negeri ini, dunia internasional bisa mengetahui
bahwa negara Republik Indonesia masih eksis.189 Pada saat bersamaan, posisi
Belanda kian terpojok dalam pandangan dunia internasional, karena dianggap
sebagai penjahat agresi. Hubungan yang dibangun oleh PDRI dengan luar negeri
lebih jauh menegaskan posisi PDRI sebagai suatu pemerintahan negara yang sah,
sebab PDRI memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara
187 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Indonesia: Sumatra Barat dan Politik
Indonesia 1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 213. 188 Erasiah, “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik
Indonesia”, op. cit., hal. 105. 189 Abdul Haris Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, (Bandung: Disjarah
AD dan Angkasa, 1979), hal. 63 dalam Moch. H. Kharismulloh Hilmatiar, Pembentukan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Tahun 1948-1949 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan
Hukum Tata Negara, op. cit., hal. 170.
Universitas Sumatera Utara
95
lain, di mana hal tersebut merupakan salah satu unsur pembentuk negara di
samping unsur penduduk yang tetap, wilayah tertentu, dan pemerintah yang
berdaulat.190 Keberhasilan PDRI mengadakan hubungan dengan luar negeri juga
menjadi momentum lahirnya dukungan dan simpati dari negara-negara lain. Kalau
saja hubungan dengan luar negeri itu tidak berhasil, bisa jadi dunia internasional
menganggap Indonesia telah kembali menjadi wilayah koloni Belanda.
B. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat
Tahun 1948-1949 sebagai Suatu Pemerintahan Darurat
Sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, pemerintahan
darurat merupakan respons terhadap keadaan darurat yang mengancam dan
membahayakan eksistensi negara. Dalam perkembangannya, telah ditetapkan
syarat-syarat pembentukan pemerintahan darurat. Syarat-syarat ini mengacu pada
hukum tata negara darurat objektif, yakni aturan-aturan tertulis mengenai hukum
tata negara darurat beserta variabel-variabel di dalamnya, termasuk pemerintahan
darurat. Di samping hukum tata negara darurat objektif, ada pula hukum tata
negara subjektif, di mana negara sewaktu-waktu bisa menerapkan norma-norma
hukum tata negara darurat meskipun belum terdapat aturan tertulisnya. Hal ini
berangkat dari prinsip self-defense atau self-preservation yang merupakan salah
satu dari hak-hak dasar (basic rights) negara yang terdiri dari:191
1. kedaulatan dan persamaan negara (independence and equality of states);
2. yurisdiksi territorial (territorial jurisdiction);
3. mempertahankan diri (self-defense) dan mengembangkan diri (self-
preservation).
190 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2013), hal. 65. 191 M. Iman Santoso, “Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara Dalam Sudut Pandang
Keimigrasian”, Binamulia Hukum, Volume 7 No. 1, Juli 2018, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
96
Pada masa-masa perjuangan PDRI, sangat nyatalah ancaman bahaya yang
dihadapi oleh Indonesia, di mana pasukan Belanda berhasil menguasai ibu kota
negara dan melakukan penahanan terhadap presiden beserta jajarannya yang ada
di Yogyakarta. Dengan penahanan ini, pemerintah Indonesia boleh dikatakan telah
lumpuh untuk sesaat. Jika dibiarkan, akan terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum
of power)192 yang bisa dimanfaatkan oleh Belanda untuk kembali memerintah
Indonesia. Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes193, pengertian
kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung 2 (dua) pembatasan penting
dalam dirinya, yaitu:
1. kekuasaan terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan
itu;
2. kekuasaan itu berakhir ketika kekuasaan suatu negara lain dimulai.
Dalam kaitannya dengan upaya Belanda menduduki kembali wilayah
kekuasaan Indonesia, posisi Indonesia menjadi sangat terancam di mata dunia
internasional. Apabila Belanda benar-benar telah kembali menduduki wilayah
Indonesia tanpa mengalami perlawanan, hal tersebut bisa mengindikasikan bahwa
kekuasaan Indonesia atas wilayahnya telah berakhir. Keadaan ini menjadi alasan
kuat bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan darurat dalam rangka
menyelamatkan negara. Dengan kata lain, keadaan pada saat itu memang
menuntut pemerintah untuk mengambil tindakan dalam kerangka hukum tata
negara darurat, terlepas dari pemahaman pemerintah terhadap penerapan norma-
norma hukum tata negara darurat tersebut. Hal terpenting adalah, sudah menjadi
192 Moch. H. Kharismulloh Hilmatiar, “Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia Tahun 1948-1949 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan Hukum Tata Negara, op. cit., hal.
162. 193 M. Iman Santoso, ”Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara Dalam Sudut Pandang
Keimigrasian”, op. cit., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
97
kewajiban sekaligus hak negara untuk mempertahankan eksistensinya dan juga
melindungi rakyatnya dari ancaman bahaya yang timbul dalam keadaan darurat.
Selama pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh PDRI, tidak
ditemukan adanya indikasi pelanggaran hak-hak asasi manusia. PDRI yang harus
berpindah-pindah agar jangan sampai ditangkap oleh pasukan Belanda nyatanya
tidak punya banyak waktu untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait hak-
hak asasi manusia. Fakta sederhana ini cukup menjelaskan mengapa tidak ada
indikasi pelanggaran hak-hak asasi manusia sepanjang pemerintahan PDRI.
Kekuasaan darurat untuk membatasi hak asasi manusia sebagaimana disebutkan
dalam UU No. 6 Tahun 1946 bisa dikatakan tidak begitu tampak digunakan oleh
PDRI. Pemenuhan hak-hak asasi manusia memang dikesampingkan untuk
sementara waktu, akibat keadaan darurat yang membuat pemerintah tidak mampu
melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak asasi warga negara seperti dalam
keadaan normal. Dengan kata lain, tidak ada tindakan aktif atau tindakan langsung
(by commission) yang diambil oleh PDRI untuk membatasi ataupun melanggar
hak-hak asasi manusia selama keadaan darurat. Sebaliknya, PDRI bersikap pasif
dalam hal pemenuhan hak-hak asasi manusia semata-mata sebagai akibat dari
keadaan darurat. Di masa-masa pemerintahan PDRI, keterbatasan warga negara
untuk mengakses hak-hak asasinya terjadi dengan sendirinya sebagai akibat dari
keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh negara. Rakyat kebanyakan juga
berangkat dari kesadaran tentang situasi genting yang sedang terjadi. Masyarakat
melihat tindakan PDRI sebagai tindakan yang memang perlu dilakukan demi
keselamatan bangsa dan negara. Lebih dari itu, masyarakat yang sadar akan
kegentingan yang sedang dihadapi oleh pemerintah bahkan mengambil inisiatif
Universitas Sumatera Utara
98
untuk membantu perjuangan dengan cara menyediakan dan menyalurkan logistik
berupa makanan yang ditinggalkan di rumah-rumah kosong untuk kemudian
diambil oleh pejuang-pejuang republik yang melintas.194
Kesadaran serta dukungan masyarakat terhadap PDRI merupakan faktor
penting yang semakin mengukuhkan keberadaan PDRI itu sendiri. Masa
pemerintahan PDRI merupakan periode perjuangan yang melibatkan partisipasi
masyarakat hingga ke pelosok paling terpencil yang belum tersentuh spektrum
konflik peperangan antara Indonesia dengan Belanda.195 Dukungan masyarakat
menjadi legitimasi atas tindakan-tindakan yang diambil oleh PDRI. Tanpa
kesadaran dan dukungan masyarakat, PDRI tentu akan mengalami kesulitan
dalam menjalankan pemerintahan. Kesadaran, penerimaan dan dukungan
masyarakat memang menjadi faktor penentu sukses-tidaknya suatu tindakan yang
didasarkan pada keadaan darurat. Penerimaan serta dukungan masyarakat ini
membuat tindakan-tindakan yang menyimpangi konstitusi terlihat sebagai
tindakan yang benar. Menurut Mahfud MD196, tindakan yang tadinya
inkonstitusional, karena diterima dan didukung oleh masyarakat serta disokong
oleh kekuatan politik dan militer yang memadai, akan menjadi tindakan yang
konstitusional.
PDRI sebagai suatu pemerintahan darurat berangkat dari prinsip-prinsip
hukum tata negara darurat dalam rangka mempertahankan eksistensi bangsa dan
negara. Ketentuan dalam regulasi nasional juga turut menjadi titik tolak berdirinya
194 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Peranan Desa Dalam Perjuangan Sumatera
Barat 1945 Sampai 1949, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hal. 110. 195 Mestika Zed, Somewhere in the Jungle:Pemerintah Darurat Republik Indonesia:
Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, op. cit., hal. 300. 196 Virdika Rizky Utama, Menjerat Gus Dur, (Jakarta: NUmedia Digital Indonesia, 2020),
hal. 209.
Universitas Sumatera Utara
99
PDRI. Apabila dalam praktiknya ditemukan sedikit ketidaksesuaian dengan
aturan-aturan normatif, hal tersebut dapat dimaklumi sebagai bagian dari upaya
untuk memperjuangkan kemerdekaan. Zaman gerilya di bawah PDRI adalah saat
terkaburnya segala batas, militer memegang jabatan sipil dan sipil menjadi
penguasa militer, menteri-menteri saling mengisi jabatan, dan kekaburan ini
bukanlah anarki, melainkan bentuk tanggung jawab bersama demi cita-cita
bersama.197
Pembentukan PDRI dilatarbelakangi oleh adanya keadaan darurat akibat
Agresi Militer Belanda II. Pemerintah yang ada tidak dapat menjalankan
pemerintahan secara efektif karena ditawan oleh pasukan Belanda. Berdasarkan
mandat yang diberikan langsung oleh Presiden Soekarno melalui radiogram,
Sjafruddin Prawiranegara kemudian membentuk PDRI untuk sementara waktu
menjalankan tugas-tugas pemerintahan menggantikan pemerintahan Soekarno.
Dari latar belakang serta tujuan pembentukannya, nyatalah keberadaan PDRI
sebagai suatu pemerintahan darurat.
C. Keabsahan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera
Barat Tahun 1948-1949 dalam Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
Hukum tata negara darurat merupakan landasan teori yang menaungi wacana
pemerintahan darurat. Hukum tata negara darurat telah menetapkan indikator di
mana suatu keadaan dapat dikatakan sebagai keadaan darurat. Keadaan darurat
tersebut dapat diumumkan dan ditetapkan secara resmi, dapat pula tidak
ditetapkan karena keadaan darurat tidak memungkinkan terjadinya penetapan
tersebut. Hal inilah yang kemudian menciptakan dikotomi antara hukum tata
197 Audrey Kahin dalam Deden Usmaya, Wakidi dan Syaiful M, “Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949”, op. cit., hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
100
negara darurat de jure dan hukum tata negara darurat de facto. Jika keadaan
darurat ditetapkan secara resmi, maka hukum tata negara darurat yang berlaku
bersifat de jure, sedangkan jika tidak ditetapkan secara resmi, maka hukum tata
negara darurat yang berlaku bersifat de facto.198 Adapun pembentukan
pemerintahan darurat adalah langkah yang dapat ditempuh, terlepas dari ada-
tidaknya penetapan keadaan darurat secara resmi oleh pemerintah, untuk
menghadapi keadaan darurat serta sesegera mungkin memulihkan keadaan
menjadi normal seperti semula. Dalam peristiwa pembentukan PDRI, tidak ada
penetapan keadaan darurat secara legal-formal oleh pemerintah, namun keadaan
darurat itu memang nyata-nyata dirasakan oleh semua pihak, baik pemerintah
maupun masyarakat199. Sehingga tindakan untuk merespons keadaan darurat
tersebut mutlak diperlukan.
Opsi pembentukan pemerintahan darurat ditempuh manakala pemerintah yang
ada pada saat keadaan darurat tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya untuk
menjalankan pemerintahan secara efektif. Sehingga negara berpotensi mengalami
kekosongan kekuasaan yang bisa berdampak pada terancamnya kedaulatan.
Potensi terjadinya kekosongan kekuasaan inilah yang terjadi pada hari-hari
sebelum pembentukan PDRI.200 Dalam rangka mengantisipasi terjadinya
kekosongan kekuasaan itulah pemerintah kemudian mengirimkan radiogram
kepada Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat. Maka
dibentuklah PDRI sebagai respons terhadap keadaan darurat akibat serangan
Agresi Militer Belanda II. Keberadaan PDRI telah menghindarkan terjadinya
198 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal.
30-31. 199 Deden Usmaya, Wakidi dan Syaiful M, “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949”, op. cit., hal. 7. 200 Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1979), hal. 542.
Universitas Sumatera Utara
101
kekosongan kekuasaan.201 Pemerintahan Republik Indonesia sebagai negara yang
berdaulat tetap berlanjut dengan adanya PDRI. Tidak hanya menyatakan diri
sebagai pemerintahan darurat, PDRI juga mengadakan kontak dengan luar negeri
untuk memberitahukan ihwal keberadaan PDRI sebagai pengganti pemerintah
Soekarno yang sedang ditawan oleh Belanda. Melalui kontak luar negeri ini kabar
PDRI lantas tersiar ke dunia internasional yang pada gilirannya mengundang
simpati perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.202 Tidak hanya bersimpati,
negara-negara seperti India dan Australia203 bahkan berperan aktif dengan
memperjuangkan nasib kemerdekaan Republik Indonesia ke Dewan Keamanan
PBB.
Pada masa PDRI, undang-undang tentang keadaan bahaya yang menjadi
rujukan adalah UU No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya (UU Keadaan
Bahaya). UU Keadaan Bahaya menetapkan kriteria keadaan yang dapat
digolongkan sebagai keadaan bahaya atau keadaan darurat, dan dengan demikian
pemerintah dapat menyatakan keadaan darurat. Serangan agresi militer Belanda
kedua yang dilancarkan pada tahun 1948 telah memenuhi kriteria yang disebutkan
dalam UU Keadaan Bahaya. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1 ayat (2) UU
Keadaan Bahaya yang menyebutkan:
Keadaan bahaya dinyatakan, jika terjadi:
a. serangan;
b. bahaya serangan;
c. pemberontakan atau perusuhan, hingga dikhawatirkan pemerintah sipil
tidak sanggup menjalankan pekerjaannya;
d. bencana alam.
201 Erasiah, “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik
Indonesia”, op. cit., hal. 100. 202 Ibid., hal. 106. 203 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik
Indonesia 1926-1998, op. cit., hal. 195.
Universitas Sumatera Utara
102
Sementara itu, konvensi internasional yang turut menyokong keberadaan
PDRI adalah Konvensi Montevideo, yakni dalam kaitannya dengan kualifikasi
yang harus dipenuhi oleh sebuah negara agar dapat disebut sebagai subjek hukum
internasional. Kualifikasi yang dimaksud meliputi:
a. penduduk yang tetap (a permanent population);
b. wilayah yang tertentu (a defined territory);
c. pemerintahan (a government);
d. kemampuan melakukan hubungan dengan negara lain (a capacity to enter
into relation with other states).
Adapun serangan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda terhadap
Indonesia telah mengancam terpenuhinya kualifikasi tersebut. Apabila Indonesia
tidak lagi memenuhi kualifikasi tersebut, maka Indonesia tidak dapat lagi disebut
sebagai negara, sekaligus tidak dapat lagi digolongkan sebagai subjek hukum
internasional. Konsekuensinya, Indonesia akan semakin kesulitan dalam
memperjuangkan kemerdekaannya. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa
segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu, termasuk
pembentukan PDRI, adalah guna mempertahankan eksistensinya sebagai negara
berdaulat yang diakui oleh dunia internasional, di mana pengakuan itu dapat
didapatkan jika Indonesia telah memenuhi serta dapat mempertahankan
kualifikasi sebagaimana ditentukan dalam Konvensi Montevideo.
Keadaan darurat di masa PDRI tidak ditetapkan secara de jure, namun benar-
benar terjadi secara de facto. Hal ini juga diatur dalam hukum tata negara darurat,
di mana suatu keadaan darurat bisa saja tidak ditetapkan secara de jure karena
memang tidak dimungkinkan oleh keadaan darurat yang sedang dihadapi. Namun,
tidak ditetapkannya keadaan darurat tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk
Universitas Sumatera Utara
103
tidak mengambil tindakan dalam mengatasi keadaan darurat tersebut.204
Mengingat kegentingan yang dihadapi pada masa-masa sebelum pembentukan
PDRI, memang hampir tidak mungkin penetapan keadaan darurat dilakukan
melalui prosedur-prosedur formal sebagaimana diatur dalam UU Keadaan
Bahaya. Atas dasar kegentingan pada saat itulah, ditambah dengan dukungan
pemimpin-pemimpin sipil dan militer yang ada di Sumatera Barat, Sjafruddin
Prawiranegara kemudian memutuskan untuk membentuk PDRI.205 Sjafruddin
Prawiranegara pada kenyataannya telah diserahi mandat oleh Presiden Soekarno
untuk mengambil alih pemerintahan dengan cara membentuk pemerintahan
darurat jika pemerintah yang ada di Yogyakarta ditahan Belanda. Adapun mandat
merupakan salah satu sumber wewenang pemerintahan atau dapat juga disebut
sebagai salah satu cara memperoleh wewenang pemerintahan. Mandat terjadi
ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ
lain atas namanya.206 Mandat diartikan sebagai pemberian wewenang oleh organ
pemerintahan kepada organ lainnya untuk mengambil keputusan atas namanya.
Pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas
nama pemberi mandat (mandans), sementara tanggung jawab akhir keputusan
yang diambil oleh mandataris tetap berada pada mandans.207 Karakteristik mandat
dapat dirinci sebagai berikut:208
204 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, loc. cit. 205 Rosihan Anwar, Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia, Jilid 3, (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2009), hal. 126. 206 H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal. 102. 207 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, ibid., hal. 106. 208 R. J. H. M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, hal. 8, dalam ibid.
Universitas Sumatera Utara
104
a. merupakan perintah untuk melaksanakan;
b. kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh mandans;
c. tidak terjadi peralihan tanggung jawab;
d. tidak harus berdasarkan undang-undang;
e. dapat secara tertulis, dapat pula secara lisan.
Mandat yang diberikan oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Hatta
tentu menjadi legitimasi atas tindakan yang diambil oleh Sjafruddin
Prawiranegara. Dengan mandat tersebut, Sjafruddin Prawiranegara melaksanakan
kekuasaan presiden untuk menyatakan keadaan darurat, dan dengan demikian
mengambil tindakan-tindakan untuk mengatasinya.209
Dari perspektif hukum tata negara darurat, tindakan Sjafruddin Prawiranegara
membentuk PDRI dapat dibenarkan, karena telah memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan dalam kerangka hukum tata negara darurat. Proses pembentukannya
pun menunjukkan terpenuhinya prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan dalam
hukum tata negara darurat yang meliputi:
a. Asas proklamasi
Terpenuhinya asas proklamasi dapat dilihat dari tindakan Sjafruddin
Prawiranegara yang mengumumkan secara resmi pembentukan PDRI pada
tanggal 22 Desember 1948 sebagai pemerintahan yang sah menggantikan
pemerintah Soekarno yang ditawan oleh Belanda.
b. Asas legalitas
Terpenuhinya asas ini terlihat dari tindakan yang diambil oleh PDRI, di mana
tindakan-tindakan tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
regulasi nasional maupun prinsip-prinsip hukum internasional.
209 Erasiah, “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik
Indonesia”, op. cit., hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
105
c. Asas komunikasi
Terpenuhinya asas ini terlihat dari komunikasi yang dijalin oleh Sjafruddin
Prawiranegara dengan pemimpin-pemimpin sipil maupun militer yang ada di
Sumatera Barat serta yang ada di pulau Jawa. Melalui komunikasi ini pula
Sjafruddin Prawiranegara kemudian membentuk kabinet PDRI. Selain itu,
komunikasi ini juga terlihat dalam upaya-upaya PDRI mengadakan kontak
dengan luar negeri.
d. Asas kesementaraan
Terpenuhinya asas ini dapat dilihat dari eksistensi PDRI yang hanya
sementara, yaitu terhitung sejak Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan
berdirinya PDRI pada tanggal 22 Desember 1948 di Halaban, Sumatera Barat
sampai pengembalian mandat kepada pemerintah Soekarno pada tanggal 13
Juli 1949 di Yogyakarta.
e. Asas keistimewaan ancaman
Asas ini telah terpenuhi dengan adanya ancaman nyata (actual threats)
maupun situasi yang berpotensi berubah menjadi ancaman (potential threats)
akibat serangan agresi yang dilakukan oleh Belanda. Serangan agresi Belanda
tersebut nyata-nyata telah mengancam keselamatan bangsa Indonesia, serta
berpotensi melumpuhkan pemerintahan Indonesia secara keseluruhan, yang
pada gilirannya bisa mengakibatkan jatuhnya Indonesia kembali ke dalam
cengkeraman kolonialisme Belanda.
Universitas Sumatera Utara
106
f. Asas proporsionalitas
Terpenuhinya asas ini dapat dilihat dari kesesuaian tindakan yang diambil oleh
PDRI dengan ancaman bahaya yang sedang dihadapi, yaitu tindakan yang
semata-mata bertujuan untuk mengakhiri keadaan darurat dan memulihkan
situasi seperti semula, bukan untuk mengambil alih kekuasaan, mengubah
konstitusi, melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia, ataupun
menggunakan kekuasaan darurat untuk mencapai kepentingan individu
maupun kelompok tertentu.
g. Asas intangibility
Selama menjalankan pemerintahan darurat, tidak ditemukan fakta bahwa
PDRI mengambil tindakan yang melanggar hak-hak asasi manusia, terutama
hak-hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non-
derogable rights). Jika pada kenyataannya terdapat hak-hak asasi yang
terhalang atau tertunda pemenuhannya, hal tersebut dapat dipahami sebagai
konsekuensi dari keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh pemerintah
Indonesia. Tertundanya pemenuhan hak-hak asasi tersebut juga bukan
diakibatkan oleh tindakan aktif pemerintah Indonesia, melainkan karena
situasi darurat yang membuat pemerintah Indonesia untuk sementara waktu
menjadi pasif dalam melakukan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
h. Asas pengawasan
Pada kenyataannya, PDRI tidak menjadikan keadaan darurat sebagai alasan
untuk menghalang-halangi kewenangan parlemen dalam melakukan
pengawasan terhadap eksekutif. PDRI juga tidak menjadikan keadaan darurat
sebagai kesempatan untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan secara
Universitas Sumatera Utara
107
permanen. Dalam menjalankan pemerintahan darurat, PDRI juga melakukan
komunikasi dan koordinasi dengan pemimpin-pemimpin republik yang ada di
pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa, yang dapat dipahami sebagai upaya
membangun sistem pengawasan dalam tubuh pemerintahan darurat. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa pembentukan PDRI telah memenuhi asas
pengawasan.
Pembentukan PDRI merupakan upaya untuk tetap mempertahankan eksistensi
pemerintahan Republik Indonesia yang terancam dengan kembalinya Belanda ke
Indonesia yang disertai dengan serangkaian serangan agresi militer. Adapun
tindakan-tindakan yang diambil sebelum, selama dan sesudah pembentukan PDRI
telah sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum tata negara darurat, serta prinsip
hukum internasional terkait hak negara untuk melakukan apa saja dengan cara apa
saja dalam rangka mempertahankan eksistensi sebagai negara berdaulat.210
Tindakan-tindakan tersebut juga telah memiliki dasar konstitusional, yaitu
pengaturan tentang keadaan darurat yang diatur pada pasal 12 UUD NRI 1945.
Lebih lanjut, pada masa pemerintahan PDRI, ketentuan konstitusional ini juga
telah diturunkan menjadi Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan
Bahaya. Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif hukum tata negara darurat,
keabsahan PDRI sebagai pemerintahan darurat dapat dipertanggungjawabkan.
210 Binsar Gultom, Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia:
Mengapa Pengadilan HAM ‘Ad Hoc’ Indonesia Kurang Efekif?, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2010), hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
108
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis pada bagian pembahasan skripsi ini, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengaturan paling mendasar mengenai hukum tata negara darurat di Indonesia
dapat dijumpai pada pasal 12 serta pasal 22 UUD NRI 1945 yang menjadi
dasar konstitusional pemberlakuan hukum tata negara darurat di Indonesia.
Pada setiap transisi dari konstitusi awal ke konstitusi setelahnya, pengaturan
tentang hukum tata negara darurat juga tetap disertakan. Hal ini dapat dilihat
pada pasal 139 Konstitusi Republik Indonesia Serikat serta pasal 96 dan 129
Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Adapun mengenai pemerintahan
darurat, tidak terdapat pengaturan secara eksplisit dalam konstitusi Indonesia,
tapi dapat dipahami sebagai bagian dari hukum tata negara darurat, yang dapat
ditempuh untuk menghadapi keadaan darurat.
2. Konsep pemerintahan darurat pada dasarnya mengacu pada prinsip-prinsip
dasar yang ada dalam hukum tata negara darurat. Dengan demikian, segala
tindakan dalam pemerintahan darurat dibatasi oleh ketentuan-ketentuan
hukum tata negara darurat. Sebagaimana hukum tata negara darurat secara
umum didefinisikan sebagai upaya untuk menghadapi keadaan darurat, maka
dalam pandangan hukum tata negara darurat, pemerintahan darurat juga
adalah upaya untuk menghadapi keadaan darurat untuk kemudian memulihkan
keadaan seperti semula.
Universitas Sumatera Utara
109
3. Dalam perspektif hukum tata negara darurat, PDRI adalah pemerintahan yang
sah dan efektif. Dengan penekanan, keabsahan PDRI tersebut adalah
keabsahan sebagai pemerintahan darurat, yang dengan demikian, dibatasi oleh
prinsip-prinsip pemerintahan darurat yang mengacu pada prinsip-prinsip
hukum tata negara darurat. Proses pembentukan serta tindakan-tindakan yang
diambil oleh PDRI selama menjalankan pemerintahan darurat telah sesuai
dengan prinsip-prinsip pemerintahan darurat, sehingga keabsahan PDRI
sebagai pemerintahan darurat dapat dipertanggungjawabkan.
B. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Indonesia sebagai negara yang tergolong progresif dalam pengaturan
mengenai hukum tata negara darurat dalam konstitusinya perlu melakukan
penyempurnaan lagi, baik dalam tataran konseptual, normatif-yuridis maupun
pada tataran praktis, terkait dengan hukum tata negara darurat. Hal ini guna
memudahkan pemerintah dalam mengidentifikasi keadaan yang dapat
digolongkan sebagai keadaan darurat, menentukan kebijakan dalam mengatasi
keadaan darurat tersebut, serta menghindari ketidaksesuaian antara penerapan
hukum dengan keadaan darurat yang sedang dihadapi.
2. Kajian mengenai pemerintahan darurat sebagai suatu konsep turunan dari
hukum tata negara darurat harus lebih dikembangkan lagi. Pemerintahan
darurat sebagai pokok bahasan yang lebih spesifik perlu dibahas dengan
metode dan sistematika yang lebih spesifik pula. Dalam perkembangannya,
wacana kedaruratan terus bermunculan sebagai wacana yang bersifat khusus
Universitas Sumatera Utara
110
di bawah kerangka hukum tata negara darurat. Prinsip-prinsip hukum tata
negara darurat dikhawatirkan tidak memadai lagi sebagai titik tolak untuk
menganilisis wacana-wacana yang bersifat khusus tersebut. Oleh karena itu,
perlu disusun prinsip-prinsip tersendiri yang relevan dengan wacana-wacana
tersebut.
3. Keberadaan serta peran PDRI dalam salah satu periode sejarah Republik
Indonesia perlu disosialisasikan secara masif kepada seluruh lapisan
masyarakat. Sosialisasi yang dimaksud harus disertai dengan penekanan-
penekanan secara proporsional pada aspek sosial, politik, sejarah, dan
terutama pada aspek hukum ketatanegaraannya. Dengan demikian, PDRI tidak
dipahami sekadar sebagai langkah remeh temeh tanpa dasar, melainkan
sebuah langkah strategis yang berbasis ilmu pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara
111
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Agung, Ide Anak Agung Gde. (1983). Renville. Jakarta: Sinar Harapan.
Amiruddin. (2016). Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Parama Ilmu.
Anwar, Rosihan. (2009). Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia Jilid 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Apeldoorn, L. J. van. (1957). Pengantar Ilmu Hukum: Inleiding Tot De Studie
Van Het Nederlandse Recht. Jakarta: Noordhoff-Kolff N. V.
Asshiddiqie, Jimly. (2008). Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: Rajawali Pers.
Asshiddiqie, Jimly. (2016). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta:
Rajawali Pers.
Budiardjo, Miriam. (1981). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1998). Peranan Desa Dalam
Perjuangan Sumatera Barat 1945 Sampai 1949. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim. (2018). Metode Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris. Depok: Penerbit Prenadamedia Group.
Friedman, Lawrence M. (2001). Hukum Amerika: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Tatanusa.
Gultom, Binsar. (2010). Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat di
Indonesia: Mengapa Pengadilan HAM ‘Ad Hoc’ Indonesia Kurang
Efekif?. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunawan, Ilham dan M. Martinus Sahrani. (2002). Kamus Hukum. Jakarta: Restu
Agung.
Hamidi, Jazim. (2009). Hukum Perbandingan Konstitusi. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publiser.
Hatta, Mohammad. (1979). Memoir. Jakarta: Tintamas.
HR, Ridwan. (2016). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Universitas Sumatera Utara
112
Huda, Ni’matul. (2005). Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review.
Yogyakarta: UII Press.
Joeniarto. (1996). Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Kaelan. (2000). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kahin, Audrey. (2008). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan
Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kahin, George McTurnan. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok:
Komunitas Bambu.
Kansil, C. S. T. (1986). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Kusnardi, Moh dan Hermaily Ibrahim. (2016). Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti.
Manan, Bagir dan Kuntana Magnar. (1997). Beberapa Masalah Hukum Tata
Negara. Bandung: Alumni.
Martosoewignjo, Sri Soemantri. (1987). Prosedur dan Perubahan Konstitusi.
Bandung: Alumni.
Marzuki, Peter Mahmud. (2010). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Mauna, Boer. (2013). Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni.
MD, Moh. Mahfud. (2003). Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi
Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nasution, Adnan Buyung. (2010). Demokrasi Konstitusional. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Prawiranegara, Sjafruddin. (1976). Sejarah sebagai Pedoman untuk Membangun
Masa Depan. Jakarta: Yayasan Idayu.
Ranawijaya, Usep. (1983). Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-Dasarnya.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
113
Rasjid, S. M. (1982). Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).
Jakarta: Penerbit N. V. Bulan Bintang.
Reid, Anthony. (1996). Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Rosidi, Ajip. (2011). Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah SWT.
Bandung: Pustaka Jaya.
Sihombing, Herman. (1996). Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Simanjuntak, P. N. H. (2003). Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal
Kemerdekaan Sampai Reformasi. Jakarta: Djambatan.
Sunggono, Bambang. (1997). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Suryanegara, Ahmad Mansur. (2012). Api Sejarah. Bandung: Salamadani.
Suwarno, P. J. (2003). Tata Negara Indonesia: Dari Sriwijaya Sampai Indonesia
Modern. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda. (2006). Teori dan Hukum
Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Tim Penyusun. (2010). Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan
Hasil Pembahasan 1999-2002. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Tutik, Titik Triwulan. (2006). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publiser.
Ubaedillah. (2015). Pendidikan Kewarganegaraan (Civi Education): Pancasila,
Demokrasi, dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: Kencana.
Utama, Virdika Rizky. (2020). Menjerat Gus Dur. Jakarta: NUmedia Digital
Indonesia.
Wahjono, Padmo. (1982). Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Universitas Sumatera Utara
114
Wajowasito, S. (2001). Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve.
Waluyo, Bambang. (1996). Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar
Grafika.
Zed, Mestika. (1997). Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik
Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
B. Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum
amandemen.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XX/MPRS/1966.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik).
Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
C. Konvensi internasional
European Convention on Human Rights (Konvensi Eropa tentang Hak Asasi
Manusia).
American Convention on Human Rights (Konvensi Amerika tentang Hak Asasi
Manusia).
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Montevideo Convention on the Rights and Duties of States (Konvensi Montevideo
tentang Hak dan Kewajiban Negara).
Universitas Sumatera Utara
115
D. Disertasi
Goncalves Moniz, G. (2016). Kewenangan Presiden menyatakan negara dalam
keadaan darurat berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor Leste.
(Disertasi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016).
E. Jurnal
Adhari, A. (2019). “Ambiguitas Pengaturan Keadaan Bahaya Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia”. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis
dan Investasi, (11) 1.
Agus Santoso, M. (2009). “Kajian Hubungan Timbal Balik Antara Politik dan
Hukum”. Jurnal Ilmiah Hukum Yuriska, (I) I.
Agus Santoso, M. (2013). “Perkembangan Konstitusi di Indonesia”. Jurnal
Yustisia, (2) 3.
Ansori, L. (2017). “Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif”.
Jurnal Yuridis, (4) 2.
Changnata, N. (2015). “Konstitusionalitas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
Maklumat Presiden 23 Juli 2001”, JOM Fakultas Hukum, (II) 2.
Claudia Siwu, S. (2019). “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPPU) Dalam Sistem Hukum Indonesia”. Jurnal Majelis (02).
Erasiah. (2019). “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat
Republik Indonesia”. Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah, Sastra,
Budaya, dan Agama, (XXV) 1.
H. Kharismulloh Hilmatiar, M. (2015). “Pembentukan Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia Tahun 1949-1949 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah
dan Hukum Tata Negara”. Al-Mazahib, (3) I.
Iman Santoso, M. (2018). “Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara Dalam Sudut
Pandang Keimigrasian”. Binamulia Hukum, (7) 1.
Junianto, R. (2017). “Implementasi Undang-Undang Status Keadaan Darurat dan
Bahaya Perang di Jawa Timur Tahun 1946-1962”. Avatara: e-Journal
Pendidikan Sejarah, (5) 1.
S. Matompo, O. (2014). “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam
Perspektif Keadaan Darurat”. Jurnal Media Hukum, (21) 1.
Universitas Sumatera Utara
116
Syarif Nuh, M. (2011). “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of Emergency)
sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang”. Jurnal Hukum, (18) 2.
Usmaya, dkk. “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera
Barat Tahun 1948-1949”. FKIP UNILA Bandar Lampung.
F. Dokumen internet
BBC News. (2017). Capital cities: How are they chosen and what do they
represent?”. Diakses pada tanggal 23 April 2021 dari
https://www.bbc.com/news/world-42258989
Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF). (2005).
States of Emergency. Diakses pada tanggal 23 November 2020 dari
https://www.dcaf.ch
Hukum Online. Mengenang Profesor Herman Sihombing, Orang Batak di Ranah
Minang. Diakses pada tanggal 17 November 2020 dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56600a7bb697a/mengenang-
profesor-herman-sihombing--orang-batak-di-ranah-minang/
Merriam-Webster. Definition of Emergency Power. Diakses pada tanggal 17 April
2021 dari
https://www.merriam-webster.com/dictionary/emergency%20power
National Geographic. Capital. Diakses pada tanggal 23 April 2021 dari
https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/capital/
Silverstein, G. (2020). Britannica Online Encyclopedia: Emergency Powers.
Diakses pada tanggal 23 November 2020 dari
https://www.britannica.com/topic/emergency-powers
Tobing, L. Arti dan Kedudukan Undang-Undang Darurat. Diakses pada tanggal 1
April 2021 dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51ae7d86ef8fb/arti-
dan-kedudukan-undang-undang-darurat/
Universitas Sumatera Utara