pemerintahan darurat (emergency government) …

127
PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DARURAT (STUDI KASUS PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA DI SUMATERA BARAT) SKRIPSI Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: Christian Rahmat Hutahaean 170200118 Departemen Hukum Tata Negara FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2021 Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) DALAM

PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DARURAT

(STUDI KASUS PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA DI

SUMATERA BARAT)

SKRIPSI

Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Christian Rahmat Hutahaean

170200118

Departemen Hukum Tata Negara

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021

Universitas Sumatera Utara

Page 2: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

LEIVIBAR PENGE$AHAN

PEMERINTAHAN DARURAT {EMERGENCY GOWRNMENT)D"ALAM PERSPgKTIg' IiUKU}X TATA NSCARA BABURAT

{sruDr KASUS **ffiffi fl#_ffi puBLrK rNDor{ESrA

SKRIPSI

Disnsue d*n I}i*iuk*a untskMereagkapi Persler*hn Menaperole& celarSarj*na I{ukum Pada Fakultas llukum Universitas Sumatera Utara

Ot€h:

Chrisfian Rahmat HutahaeanNIM; 17020{118

Dr. Faisa! Akbar Nasution. S.H.. M.HumNIP: 19590921 1987031002

Dosen Pembimbing I: Dosen Pembimbing II:

-Y\

DEPARTSMEN HUKUM TATA I\IEGARA

Ehref*i*i01ek:

Ketua Departemcn'Hukum Tata l\fegam

^lt/A*vf-

Dr. Faissl Akbar Nasution- S.H-, i\{.Hr+mNIP: 195909211987031002

D+ Afpi.h. S.II.. S["Hu*NIP : 1 9 7 5 1 23AZO02L22AA?

'{1.4

SAKULTAS HUKUM

UNTYERSITAS SUMATERA UTARA

MEI}AN

2V2t

w

Universitas Sumatera Utara

Page 3: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

LE MBAR PERNYATAA,N BEBAS PT-AGI^{T

Saya y'angbertandatangan di bawdt ini:

Christian Rahmat Hutahaean

t -iA.)t^rA1 1 Q

Hukum Tata Negara

Pemerintahan Darurat ( Emer gency G ov ernme nt ) dalamPerspektif Hrukuiir

.I'ata Negara Daruat isiudi Kasus

Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera

Barat)

Dengan ini menyatakan:

l. tsahrru skr-ipsi iang st.ia huet ini adalah betu!-berul hasit kary.a sal'a

sendiri, tidak meniiplak karya orang lain maupun dibuat oleh orang lain.

2. Apabi!a tli kemudien hari terbukti bahi''a sl,ripsi tcrsebui udalah hasil

jiplakan, malia segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab

sa),'a.

Denrikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan

atau tekanan dari pihak manapun.

Meda-n, Juli 2021

?:ll

Chrlstla* Rek*et Het*k*#EI{IM:170200118

Ni\,{

Departemen

Judui Skripsi

Universitas Sumatera Utara

Page 4: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

iii

Kata Pengantar

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan penyertaanNya, sehingga skripsi berjudul “Pemerintahan Darurat

(Emergency Government) Dalam Perspektif Hukum Tata Negara Darurat (Studi

Kasus Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat)” ini dapat

diselesaikan oleh penulis. Penulisan skripsi tersebut merupakan pemenuhan salah

satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Jatuh-bangun tentu dialami oleh penulis selama proses pengerjaan skripsi ini.

Namun, merupakan suatu anugerah bahwa dalam proses itu bantuan dan

dukungan selalu mengalir kepada penulis. Rasanya akan butuh lebih banyak

kertas dan tinta untuk menuliskan nama-nama mereka yang senantiasa

mengalirkan dukungannya. Permintaan maaf yang tulus dari penulis jika terdapat

nama-nama yang luput dalam pengantar ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. Mahmul, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen

Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing penulis

selama penulisan skripsi ini;

Universitas Sumatera Utara

Page 5: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

iv

7. Dr. Afnila, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Tata

Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai

Dosen Pembimbing II yang telah membimbing penulis selama penulisan

skripsi ini;

8. Armansyah, S.H., M.Hum selaku Dosen yang telah mengajar dan

mendidik penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

terlebih lagi di Departemen Hukum Tata Negara;

9. Yusrin Nazief, S.H., M.Hum selaku Dosen yang telah mengajar dan

mendidik penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

terlebih lagi di Departemen Hukum Tata Negara;

10. Drs. Nazaruddin, S.H., MA selaku Dosen yang telah mengajar dan

mendidik penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

terlebih lagi di Departemen Hukum Tata Negara;

11. Dr. Mirza, S.H., M.Hum selaku Dosen yang telah mengajar dan mendidik,

sekaligus menjadi Penasihat Akademik penulis selama di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, terlebih lagi di Departemen Hukum Tata

Negara;

12. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

mengajar dan mendidik penulis dengan penuh ketulusan;

13. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas

pengabdiannya;

14. Kedua orang tua penulis atas kasih dan pengorbanan yang tiada henti.

Terkhusus kepada Ibu di tempat paling indah. Ibu adalah segalanya, untuk

selamanya;

15. Saudara dan saudari penulis, Christofel dan Christina atas kasih dan

pengorbanan yang tiada henti;

16. Sahabat-sahabat seperjuangan di Persatuan Mahasiswa Hukum Tata

Negara (PERMATA) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

17. Kawan-kawan berkembang dan bertumbuh di Gerakan Mahasiswa

Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

18. Sahabat-sahabat “komika” di Komunitas Filsafat KOMIK (Komunitas

Mikir);

Universitas Sumatera Utara

Page 6: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

v

19. Harian Analisa yang telah menjadi wadah bagi penulis dalam

mengembangkan serta menyampaikan ide dan gagasan selama kuliah;

20. Literacy Coffee dan Spirit Books and Coffee atas ruang dan inspirasi;

21. Teman-teman angkatan 2017 serta semua senior dan junior di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

Dalam dunia ilmu pengetahuan yang dinamis, penulis menyadari bahwa

skripsi ini belum sempurna, dan memang tidak akan pernah sempurna, sehingga

setiap kritik dan saran akan menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi penulis.

Medan, Juli 2021

Penulis

Christian Rahmat Hutahaean

NIM: 170200118

Universitas Sumatera Utara

Page 7: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………. i

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………… ii

KATA PENGANTAR…………………………………………………. iii

DAFTAR ISI…………………………………………………………… vi

DAFTAR TABEL……………………………………………………… viii

DAFTAR SKEMA…………………………………………………….. ix

ABSTRAK……………………………………………………………... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang…………………………………….. 1

B. Rumusan masalah………………………………….. 10

C. Tujuan penulisan……………………………….….. 11

D. Manfaat penulisan…………………………………. 12

E. Keaslian penulisan…………………………………. 13

F. Tinjauan kepustakaan……………………………… 15

G. Metode penelitian……………………………… ….. 21

H. Sistematika penulisan………………………………. 23

BAB II NEGARA HUKUM, HUKUM TATA NEGARA DARURAT,

DAN PEMERINTAHAN DARURAT

A. Negara Hukum……………………………………… 25

B. Hukum Tata Negara Darurat……………………….. 36

C. Pemerintahan Darurat…………………..…………… 48

D. Pengaturan Mengenai Kedaruratan dalam

Konstitusi Indonesia……………………………….... 53

E. Pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai Dasar

Konstitusional Pemberlakuan Hukum Tata Negara

Darurat di Indonesia………………..…….................. 66

Universitas Sumatera Utara

Page 8: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

vii

BAB III TUJUAN DAN SYARAT PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN

DARURAT

A. Tujuan Pembentukan Pemerintahan Darurat……….... 71

B. Syarat-Syarat Pembentukan Pemerintahan Darurat….. 74

C. Pemegang Kekuasaan Darurat……………………….. 79

BAB IV PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA

A. Sekilas Latar Belakang Pembentukan Pemerintah

Darurat Republik Indonesia (PDRI)…………………. 84

B. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)

di Sumatera Barat Tahun 1948-1949 sebagai

Suatu Pemerintahan Darurat……..…………………… 95

C. Keabsahan Pemerintah Darurat Republik Indonesia

(PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949 dalam

Perspektif Hukum Tata Negara Darurat……………… 99

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan…………………….................................... 108

B. Saran………………………………………………….. 109

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 111

Universitas Sumatera Utara

Page 9: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ringkasan Peristiwa yang Pernah Menyebabkan

Keadaan Darurat di Indonesia……………………….. 5

Universitas Sumatera Utara

Page 10: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

ix

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Perkembangan Negara Hukum Rechtsstaat……………... 32

Universitas Sumatera Utara

Page 11: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

x

PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) DALAM

PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DARURAT

(STUDI KASUS PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA DI

SUMATERA BARAT)

Christian Rahmat Hutahaean*

Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum**

Dr. Afnila, S.H., M.Hum***

ABSTRAK

Pemerintahan darurat (emergency government) adalah segala urusan yang dilakukan oleh

negara dalam keadaan darurat yang membutuhkan tindakan penanggulangan segera, dalam

rangka menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri selama

keadaan darurat tersebut berlangsung. Dengan kata lain, pemerintahan darurat adalah

pemerintahan yang dijalankan dalam keadaan bahaya atau darurat. Pemerintahan darurat itu

sendiri merupakan respons atas keadaan bahaya yang sedang dihadapi, dan bertujuan untuk

mempertahankan eksistensi pemerintahan negara yang bersangkutan. Konsep pemerintahan

darurat dapat dianalisis dari perspektif hukum tata negara darurat.

Dalam sejarah ketatanegaraannya, Indonesia pernah menerapkan pemerintahan darurat

yang dikenal sebagai Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pemerintahan darurat

ini merupakan respons atas tindakan agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda pada tahun

1948. Pembentukan PDRI merupakan strategi untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia

tetap bertahan sebagai suatu negara berdaulat kendati dalam tekanan pihak Belanda.

Adapun rumusan masalah yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana

pengaturan mengenai hukum tata negara darurat dan pemerintahan darurat dalam konstitusi

Indonesia, bagaimana hukum tata negara darurat memandang konsep pemerintahan darurat,

dan bagaimana keabsahan PDRI dalam tinjauan hukum tata negara darurat.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum tata negara darurat

dan pemerintahan darurat dalam konstitusi Indonesia, konsep pemerintahan darurat dalam

perspektif hukum tata negara darurat, dan keabsahan PDRI dalam tinjauan hukum tata negara

darurat. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis-normatif, dengan 3

(tiga) macam pendekatan, meliputi: pendekatan konseptual (conceptual approach),

pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan kasus (case approach).

Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak awal, Indonesia telah mengadakan pengaturan

tentang hukum tata negara darurat dalam konstitusinya, yaitu pada pasal 12 dan pasal 22

UUD NRI 1945. Sementara pengaturan secara lebih spesifik mengenai pemerintahan darurat

tidak ditemukan dalam konstitusi Indonesia. Metode yang dapat digunakan untuk memahami

konsep pemerintahan darurat adalah dengan melihatnya dari sudut pandang hukum tata

negara darurat. Adapun hukum tata negara darurat memandang pemerintahan darurat sebagai

konsep yang berangkat dari prinsip-prinsip dasar hukum tata negara darurat, serta memiliki

tujuan sebagaimana tujuan hukum tata negara darurat. Hasil penelitian juga menunjukkan

bahwa keabsahan PDRI sebagai sebuah pemerintahan darurat dapat dipertanggungjawabkan

dalam tinjauan hukum tata negara darurat.

Kata Kunci: Hukum Tata Negara Darurat, Pemerintahan Darurat, PDRI.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Departemen Hukum Tata Negara

**Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing I Skripsi Penulis

***Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing II Skripsi Penulis

Universitas Sumatera Utara

Page 12: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam diskursus hukum ketatanegaraan, terkhusus dalam hukum tata negara

darurat (state of emergency), dikenal istilah pemerintahan darurat (emergency

government).1 Pemerintahan darurat ini berkaitan erat dengan teori-teori dalam

hukum tata negara darurat. Hukum tata negara darurat adalah hukum yang

diberlakukan oleh sebuah negara dalam keadaan darurat. Keadaan darurat itu

sendiri diartikan sebagai keadaan bahaya yang tiba-tiba mengancam tertib umum,

yang menuntut negara untuk segera bertindak dengan cara-cara yang tidak lazim

menurut aturan hukum yang biasa berlaku dalam keadaan normal.2

Mengacu pada pengertian tersebut, dalam perkembangannya dikenal beragam

istilah untuk mengidentifikasi keadaan darurat. Dalam penulisan skripsi ini akan

digunakan istilah yang lebih umum dan sering digunakan serta yang memiliki

keterkaitan dengan sejarah ketatanegaraan Indonesia.

Pertama, states of emergency. Istilah ini merupakan istilah yang sering

dipergunakan dalam pergaulan internasional. Istilah ini digunakan oleh salah satu

institusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dikenal sebagai Special

Rapporteur on the Question of Human Rights and States of Emergency atau lebih

sering disebut sebagai Special Rapporteur on States of Emergency saja.3

1 S. M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). (Jakarta:

Penerbit N. V. Bulan Bintang, 1982), hal. 11. 2 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal. 7. 3 Special Rapporteur on States of Emergency berkaitan dengan mekanisme pelaporan

pemberlakuan keadaan darurat di setiap negara guna menjamin hak-hak asasi manusia tetap

terlindungi selama keadaan darurat berlangsung. Ibid., hal. 99

Universitas Sumatera Utara

Page 13: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

2

Selain itu, istilah ini juga dapat ditemui dalam 3 (tiga) instrumen utama yang

mengatur tentang pemberlakuan keadaan darurat dalam lingkup internasional,

yaitu:4

a. Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia atau European Convention on

Human Rights (ECHR) tahun 1950.5 Pada pasal 15 ayat (1) ECHR

disebutkan;

In time of war or other public emergency threatening the life of the nation

any High Contracting Party may take measures derogating from its

obligations under this Convention to the extent strictly required by the

exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent

with its other obligations under international law.

(Dalam masa perang atau keadaan darurat publik lainnya yang mengancam

kehidupan bangsa, setiap Pihak Tinggi dapat mengambil tindakan

mengurangi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini sejauh sangat

dibutuhkan oleh keadaan darurat, asalkan tindakan tersebut tidak

bertentangan dengan kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional).6

b. Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia atau American Convention

on Human Rights (ACHR) tahun 1969;7 Pada pasal 27 ayat (1) ACHR

disebutkan;

In time of war, public danger, or other emergency that threatens the

independence or security of a State Party, it may take measures derogating

from its obligations under the present Convention to the extent and for the

period of time strictly required by the exigencies of the situation, provided

that such measures are not inconsistent with its other obligations under

international law and do not involve discrimination on the ground of race,

color, sex, language, religion, or social origin.

(Di waktu perang, malapetaka, atau keadaan darurat lain yang mengancam

kemerdekaan atau keamanan, suatu Negara Pihak, boleh mengambil

tindakan-tindakan yang melanggar kewajiban-kewajibannya menurut

Konvensi ini sampai sejauh untuk jangka waktu yang sepenuhnya

4 Ibid., hal. 157-158. 5 Pengaturan selengkapnya dalam Article 15 European Convention on Human Rights

tentang Derogation in time of emergency. 6 Terjemahan bebas oleh penulis. 7 Pengaturan selengkapnya dalam Article 27 American Convention on Human Rights

tentang Suspension of Guarantees.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

3

diperlukan asalkan tindakan-tindakan tersebut tidak bertentangan dengan

kewajiban-kewajiban yang lain menurut hukum internasional, dan tidak

melibatkan diskriminasi atas alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,

agama atau asal usul sosial).8

c. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International

Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Perserikatan Bangsa-

Bangsa tahun 1966;9 Pada pasal 4 ayat (1) ICCPR disebutkan;

In time of public emergency which threatens the life of the nation and the

existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present

Covenant may take measures derogating from their obligations under the

present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the

situation, provided that such measures are not inconsistent with their other

obligations under international law and do not involve discrimination solely

on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin.

(Dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan

keadaan itu diumumkan secara resmi, negara pihak dapat mengambil

tindakan yang menyimpang dari kewajibannya menurut Kovenan ini sejauh

hal itu mutlak diperlukan oleh kebutuhan situasi darurat tersebut, dengan

ketentuan bahwa tindakan itu tidak mengakibatkan diskriminasi yang

semata-mata didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,

atau asal usul sosial).10

Kedua, noodtoestand, noodzakelijke, dan staatsnoodrecht. Istilah-istilah ini

berasal dari bahasa Belanda. Sebagai negara yang dulunya pernah berada dalam

tatanan kolonialisme Belanda, Indonesia banyak menggunakan istilah-istilah

hukum berbahasa Belanda, baik dalam tataran teori atau akademis, maupun dalam

praktik sehari-hari. Untuk keadaan darurat sendiri, dikenal istilah semisal;

noodtoestand dan noodzakelijke yang dapat dijumpai dalam pasal 48 dan 49 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan di bidang hukum tata

negara, dikenal istilah staatsnoodrecht yang dapat diartikan sebagai hukum tata

8 Terjemahan Pusat Dokumentasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 9 Pengaturan selengkapnya dalam Article 4 International Covenant on Civil and Political

Rights. 10 Terjemahan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak

Sipil dan Politik).

Universitas Sumatera Utara

Page 15: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

4

negara darurat atau hukum dalam keadaan bahaya. Kata kunci dalam beberapa

istilah tersebut adalah nood, sebuah kata dalam bahasa Belanda yang artinya

“keadaan darurat”, “keadaan sulit”, keadaan berbahaya”, “keadaan

menyedihkan”.11

Ketiga, “keadaan bahaya” dan “keadaan kegentingan yang memaksa”, yaitu

istilah yang digunakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sampai saat ini.

Keadaan darurat disebutkan terutama dalam UUD NRI 1945 dengan istilah

“keadaan bahaya”12 dan “keadaan kegentingan yang memaksa”.13 Kedua

pengaturan ini menjadi sumber pengaturan lebih lanjut mengenai kedaruratan

yang diatur dalam berbagai regulasi di Indonesia.

Di samping istilah-istilah yang telah disebutkan di atas, istilah emergency

government juga digunakan sebagai padanan untuk pemerintahan darurat.

Penggunaan istilah ini dilatarbelakangi oleh kajian-kajian terdahulu yang juga

menggunakan istilah serupa.14 Hal ini merupakan upaya agar rangkaian

pengembangan ilmu pengetahuan tidak terputus lantaran disparitas istilah.

Setelah dicapai kesepahaman dalam hal penggunaan istilah, selanjutnya akan

dipresentasikan secara ringkas beberapa peristiwa yang menyebabkan keadaan

darurat yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang dimaksud

antara lain:15

11 S. Wajowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 2001), hal. 427. 12 Pasal 12 UUD NRI 1945. 13 Pasal 22 UUD NRI 1945. 14 S. M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), op. cit., hal.

11., dan Mestika Zed, Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah

Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hal. 191. 15 Agus Adhari, “Ambiguitas Pengaturan Keadaan Bahaya Dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia”, Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Volume 11 No. 1, November

2019, hal. 44.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

5

Tabel 1.

Ringkasan Peristiwa yang Pernah Menyebabkan Keadaan Darurat di

Indonesia.

Tahun Tempat Keadaan Tingkatan Bahaya

1950’an Jawa Timur Keadaan perang Keadaan perang

1999 Timor Timur Pemberontakan Darurat militer

2000 Maluku Konflik Darurat sipil

2001 Sampit Konflik Tidak ada

2002 Aceh Konflik Darurat sipil

2003 Aceh Pemberontakan Darurat militer

2004 Aceh-Nias Bencana alam Tidak ada

2018 Lombok Bencana alam Tidak ada

2018 Palu-Donggala Bencana alam Tidak ada

2019 Wamena Konflik Tidak ada

Selain peristiwa-peristiwa di atas, peristiwa paling terbaru yang bisa disebut

tentu saja adalah pandemi covid-19 yang menyebabkan situasi darurat kesehatan

di Indonesia.16 Barangkali beberapa peristiwa yang telah disebutkan ini hanya

sebagian saja dari banyak peristiwa yang pernah menimbulkan keadaan darurat

atau keadaan bahaya di Indonesia. Hal ini bisa saja terjadi mengingat keadaan

bahaya atau darurat tidak selalu dinyatakan secara de jure. Adapun peraturan

perundang-undangan yang menjadi ataupun pernah menjadi dasar pemberlakuan

keadaan darurat di Indonesia adalah sebagai berikut:17

16 Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan

Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). 17 Dirangkum dari beberapa sumber.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

6

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 12

dan pasal 22);

b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Pasal 139)

c. Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (Pasal 96 dan pasal 129)

d. UU No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya

e. UU No. 74 Tahun 1957 tentang tentang Pencabutan "Regeling of de Staat

Van Oorlog En van Beleg" Dan Penetapan "Keadaan Bahaya"

f. PERPPU No. 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957

(Lembaran Negara No. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya;

g. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;

h. UU No. 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi;

i. UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk

Pertahanan Negara (mencabut UU Mobilisasi dan Demobilisasi);

j. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Selain pemerintahan darurat, istilah lain yang juga berkaitan adalah

pemerintahan di pelarian (government in exile). Boleh dikatakan, kedua diskursus

ini memiliki objek kajian yang sama, yaitu pemerintahan suatu negara yang

sedang menghadapi situasi genting atau darurat. Jika menelisik catatan sejarah,

kedaruratan yang dimaksud dalam hal ini lebih mengacu pada darurat perang.

Contohnya, ketika sebuah negara diserang dan diinvasi oleh negara lain. Istilah

pemerintahan di pelarian ini digunakan dalam literatur yang membahas

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat.18

Untuk lebih memudahkan pembacaan terhadap karya ilmiah ini, maka dalam

18 S. M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), op. cit., hal.

14.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

7

skripsi ini akan digunakan istilah yang sama. Adapun pemerintahan darurat yang

disebutkan belakangan ini akan menjadi studi kasus dalam penulisan skripsi ini.

Pada tahun 1948, saat di mana PDRI akan dibentuk, terdapat 2 (dua) opsi

pembentukan pemerintahan dalam situasi darurat yang sedang dihadapi oleh

Indonesia. 2 (dua) opsi tersebut adalah pemerintahan darurat, dan pemerintahan di

pelarian. Opsi ini muncul melalui dua buah kawat atau radiogram yang dikirimkan

pasca Sidang Kabinet terakhir pada tanggal 19 Desember 1948.

Radiogram yang pertama ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil

Presiden Hatta yang juga merangkap sebagai Perdana Menteri. Isinya adalah

penyerahan kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia kepada Mr. Sjafruddin

Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran yang pada saat itu tengah berada di

Bukittinggi. Sedangkan radiogram kedua ditandatangani oleh Wakil

Presiden/Perdana Menteri Hatta bersama dengan Menteri Luar Negeri Haji Agus

Salim. Radiogram ini ditujukan kepada Mr. Maramis, Dr. Sudarsono, dan L. N.

Palar di New Delhi. Berisi perintah untuk segera membentuk pemerintahan di

pelarian apabila Sjafruddin Prawiranegara tidak berhasil membentuk

pemerintahan darurat di Bukittinggi.19

Berangkat dari fakta sejarah adanya pengiriman radiogram pada Sjafruddin

Prawiranegara serta Maramis, dkk., dapat ditarik sebuah pemahaman sederhana

bahwa PDRI di Sumatera Barat pada tahun 1948-1949 adalah sebuah

pemerintahan darurat, bukan pemerintahan di pelarian. Pada saat bersamaan, fakta

sejarah tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintahan darurat dan pemerintahan

di pelarian adalah dua diskursus yang berbeda dalam bidang hukum tata negara,

19 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

8

khususnya hukum tata negara darurat. Dengan demikian, dapatlah diketahui

bahwa PDRI merupakan sebuah pemerintah darurat, sehingga pertanyaan apakah

PDRI itu digolongkan sebagai pemerintahan darurat ataukah pemerintahan di

pelarian, dapat dikesampingkan dalam penulisan skripsi ini.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah terkait pengaturan keadaan darurat

di masa PDRI. Sejauh mana norma-norma hukum tata negara darurat diakomodir

dalam konstitusi untuk kemudian dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan

pembentukan suatu pemerintahan darurat. Jika pengaturan normatif tersebut telah

ada saat PDRI dibentuk, pertanyaan lanjutannya adalah mengenai kesesuaian

tindakan-tindakan yang diambil oleh PDRI dengan ketentuan-ketentuan

konstitusional yang mengaturnya. Bagaimana pula pengaturan mengenai badan-

badan yang ditunjuk sebagai pemegang kekuasaan pada masa-masa darurat, serta

kekuasaan seperti apa yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan darurat. Dalam

kasus PDRI, apakah kekuasaan yang dimiliki oleh PDRI pada saat itu telah sesuai

dengan tingkatan bahaya yang sedang dihadapi, karena pada dasarnya, kekuasaan-

kekuasaan yang diberikan kepada penguasa-penguasa dalam keadaan bahaya

disesuaikan dengan derajat gentingnya keadaan bahaya yang dihadapi.20

PDRI merupakan simbol nasional dan pemersatu, khususnya bagi pasukan

gerilya yang terpencar di seluruh Jawa dan Sumatera, karena pemerintahan

Sjaffruddin Prawiranegara diakui oleh pasukan republik (di bawah Panglima

Besar Sudirman) sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan Soekarno dan

20 Ritwan Junianto, “Implementasi Undang-Undang Status Keadaan Darurat dan Bahaya

Perang di Jawa Timur Tahun 1946-1962”, Avatara: e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 5 No. 1,

Maret 2017, hal. 1368.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

9

Hatta.21 Adanya pengakuan ini menjadi faktor penting dalam suatu pemerintahan

darurat, karena dengan begitu, pemerintahan darurat tersebut mendapatkan

legitimasinya. Namun, faktor pengakuan ini juga berjalan beriringan dengan

aturan-aturan tertulis mengenai mekanisme pembentukan pemerintah darurat.

Niccolo Machiavelli22 mengatakan bahwa negara modern seharusnya tidak lagi

mengedepankan penggunaan hukum secara berlebihan untuk menghadapi keadaan

darurat, melainkan harus bisa menemukan solusi pemulihan bagi setiap keadaan

darurat dan menetapkan aturan serta peraturan yang bisa dilaksanakan untuk

menyelesaikan keadaan darurat tersebut. Sebagai contoh, beberapa negara,

semisal Jerman dan Perancis membuat ketentuan secara eksplisit mengenai

penugasan dan pemberian kekuasaan luar biasa (extraordinary power) kepada

eksekutif dalam situasi krisis.23

Perlindungan hak-hak asasi manusia pada masa PDRI juga harus mendapat

perhatian. Sejauh mana upaya pemerintah pada saat itu dalam melindungi hak-hak

asasi manusia, khususnya hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun (certain human rights are non-derogable under any circumstances),24

yang meliputi:

21 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia

1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 213. 22 Niccolo Machiavelli, The Prince and the Discourses, 1513 Translation, (Random

House, 1950), hal. 203, dalam Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara Darurat, loc.cit., hal. 84. 23 Gordon Silverstein, Emergency Powers, Britannica Online Encyclopedia, 2020, hal. 1,

diakses pada tanggal 23 November 2020 dari https://www.britannica.com/topic/emergency-powers 24 Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), States of

Emergency, 2005, hal. 2, diakses pada tanggal 23 November 2020 dari https://www.dcaf.ch

Universitas Sumatera Utara

Page 21: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

10

a. the right to life (hak untuk hidup);

b. prohibition of torture (larangan penyiksaan);

c. freedom from slavery (kebebasan dari perbudakan);

d. freedom from post facto legislation and other judicial guarantees (hak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut serta jaminan

yudisial lainnya);

e. the right to recognition before the law (hak untuk diakui di muka hukum);

f. freedom of thought, conscience and religion (kebebasan atas pikiran,

keyakinan dan agama).

Pembahasan skripsi ini diawali dengan tinjauan umum mengenai negara

hukum, hukum tata negara darurat, pemerintahan darurat dan pengaturan keadaan

darurat dalam konstitusi Indonesia. Selanjutnya akan dijabarkan tujuan serta

syarat-syarat pembentukan suatu pemerintahan darurat. Pada bagian pembahasan

nantinya akan diuraikan secara ringkas dan padat latar belakang sejarah

pembentukan PDRI. Uraian tersebut guna memberikan pemahaman yang

komprehensif atas tema penulisan skripsi ini. Dari uraian kronologis pembentukan

PDRI, pembahasan kemudian akan dilanjutkan dengan analisis fakta-fakta seputar

pembentukan PDRI dengan bersandar pada teori-teori umum hukum tata negara

darurat yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk kemudian mengambil

kesimpulan terkait keabsahan PDRI sebagai suatu pemerintahan darurat.

B. Rumusan masalah

Berangkat dari judul karya ilmiah maupun dari masalah-masalahnya yang

bersifat umum, diperlukan penjabaran lebih lanjut untuk membatasi masalah

penelitian.25 Dengan kata lain, dalam menulis karya ilmiah, dibutuhkan

perumusan masalah guna menentukan batas-batas sejauh mana tema karya ilmiah

tersebut akan dieksplorasi. Berdasarkan judul dan latar belakang masalah

25 Amiruddin, Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Parama Ilmu, 2016), hal. 65.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

11

sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dalam skripsi ini akan diajukan

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan mengenai hukum tata negara darurat dan pemerintahan

darurat dalam konstitusi Indonesia?

2. Bagaimana hukum tata negara darurat memandang konsep pemerintahan

darurat?

3. Bagaimana keabsahan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di

Sumatera Barat pada tahun 1948-1949 dalam tinjauan hukum tata negara

darurat?

C. Tujuan penulisan

Tujuan penelitian hukum pada umumnya adalah sebagai sarana untuk

memperoleh data normatif dan empiris tentang suatu gejala atau peristiwa hukum

yang terjadi dalam masyarakat.26 Adapun tujuan penelitian ini dapat dirinci

sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui konsep serta sejauh mana konstitusi Indonesia mengadakan

pengaturan mengenai hukum tata negara darurat pada umumnya dan

khususnya pemerintahan darurat.

b. Untuk mengetahui konsep pemerintahan darurat dalam perspektif hukum tata

negara darurat.

c. Untuk mengetahui keabsahan PDRI di Sumatera Barat pada tahun 1948-1949

dalam tinjauan hukum tata negara darurat.

26 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),

hal. 30.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

12

D. Manfaat penulisan

Ilmu Hukum memiliki 2 (aspek), yaitu aspek teoritis (theoretical), dan aspek

praktis (practical). Dalam istilah lain, disebutkan pula bahwa Ilmu Hukum adalah

ilmu yang mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan

terapan.27 Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, Ilmu Hukum mempelajari dan

mendalami hukum dalam tataran konseptual, semisal; tujuan hukum dan norma-

norma hukum. Sementara sebagai ilmu terapan, Ilmu Hukum mempelajari dan

mendalami hukum dalam tataran praktis, semisal; pembuatan suatu peraturan

perundang-undangan dan pelaksanaan undang-undang. Kendati demikian,

karakteristik Ilmu Hukum ini tidak boleh dipahami secara terlalu dikotomis, sebab

pada kenyataannya, 2 (dua) karakteristik tersebut saling memengaruhi dan saling

melengkapi. Ilmu hukum terapan merupakan konsekuensi dari sifat preskriptif

ilmu hukum itu sendiri.28

Skripsi ini nantinya diharapkan dapat memperkaya diskursus hukum pada

umumnya, khususnya hukum tata negara, dan hukum tata negara darurat secara

lebih spesifik lagi, serta memicu munculnya gagasan-gagasan baru mengenai

topik yang menjadi ide utama penulisan skripsi ini.

Sementara untuk manfaat yang lebih praktis dan aplikatif, pemahaman dalam

skripsi ini diharapkan dapat menjadi rujukan dalam hal penyelenggaraan hukum

tata negara darurat di Indonesia, serta pemakaian istilah “Pemerintahan Darurat”

secara lebih efektif, khususnya di bidang keilmuan hukum tata negara darurat.

27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 22. 28 Ibid., hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

13

E. Keaslian penulisan

Pemilihan judul skripsi ini didorong oleh fakta belum banyaknya pembahasan

mengenai Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia. Masih minimnya literatur

serta karya ilmiah yang membahas topik tersebut sedikit-banyak menjadi bukti

bahwa diskursus mengenai Hukum Tata Negara Darurat belum mendapat tempat

di tengah-tengah diskursus hukum pada umumnya.

Sejauh ini, baru ada 2 (dua) buah literatur arus utama yang dipakai sebagai

rujukan dalam membicarakan hukum tata negara darurat. Buku tersebut adalah

buku Hukum Tata Negara Darurat yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie29 dan

Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia karya Herman Sihombing.30 Belum

banyak karya ilmiah yang berusaha mengembangkan wacana mengenai

pemerintahan darurat. Hal ini mengakibatkan diskursus tentang pemerintahan

darurat tidak banyak berkembang, termasuk di Indonesia. Padahal, Indonesia

sendiri dalam sejarah kenegaraannya, telah beberapa kali mempraktikkan hukum

tata negara darurat, baik secara de jure maupun secara de facto.

Fakta-fakta tersebut di atas menjadi alasan pertama dan utama penulis

mengangkat “Pemerintahan Darurat (Emergency Government) dalam Perspektif

Hukum Tata Negara Darurat (Studi Kasus Pemerintah Darurat Republik Indonesia

di Sumatera Barat)” sebagai judul skripsi.

Terdapat beberapa karya ilmiah yang membahas pokok persoalan yang hampir

sama. Namun, pokok pembahasan skripsi ini dapat dipastikan, memiliki nilai

diferensial dibandingkan karya-karya ilmiah terdahulu. Sebagai contoh, terdapat

29 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 30 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas. Mengenang Profesor Herman

Sihombing, Orang Batak di Ranah Minang, diakses pada tanggal 17 November 2020 dari

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56600a7bb697a/mengenang-profesor-herman-

sihombing--orang-batak-di-ranah-minang/

Universitas Sumatera Utara

Page 25: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

14

skripsi berjudul Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera

Barat: Suatu Tinjauan Historiografi.31 Ada pula skripsi berjudul Abdul Samad:

Kiprah Pejuang Pada Masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia,

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Tokoh Pendiri YPPPDRI

(1948-2012).32

Masing-masing memiliki kesamaan dengan skripsi ini, yaitu sama-sama

bersinggungan dengan PDRI. Namun, pembahasan kedua skripsi tersebut

berfokus pada studi sejarah komparatif, dan penelusuran kiprah salah seorang

tokoh PDRI. Sedangkan pokok bahasan skripsi ini, kendati menggunakan

pendekatan sejarah, berfokus pada aspek hukum yang melingkupi PDRI.

Selain dalam bentuk skripsi, ada juga karya ilmiah dalam bentuk jurnal yang

membahas topik yang mirip dengan topik skripsi ini. Jurnal tersebut berjudul

Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Tahun 1948-1949

Dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan Hukum Tata Negara33 dan Studi Pemikiran

Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik Indonesia.34 Kedua karya ini

sama-sama memuat PDRI sebagai variabel penting. Namun jika dicermati, masih

ditemukan nilai diferensial dalam skripsi ini, yakni aspek hukum tata negaranya.

Sedangkan kedua karya jurnal yang disebutkan di atas menitikberatkan

pembahasannya pada aspek hukum Islam serta pendedahan metode berpikir

seorang tokoh akademisi.

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa keaslian penulisan skripsi ini

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pertanggungjawaban itu pun telah

31 Skripsi oleh Rulyani Ayu di STKIP PGRI Sumatera Barat. 32 Skripsi oleh Putra Satria Rio di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. 33 Jurnal oleh Moch. H. Kharismulloh Hilmatiar di Jurnal Al-Mazahib Volume 3, Nomer

1, Juni 2015. 34 Jurnal oleh Erasiah di Buletin Al-Turas Volume XXV No. 1 Bulan Januari Tahun 2019.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

15

dilaksanakan oleh penulis dengan cara mematuhi prosedur-prosedur formal yang

telah ditetapkan oleh Fakultas sebelum mengerjakan skripsi ini sampai selesai.

Skripsi ini diharapkan bisa menjadi setitik kecil harapan dalam pengembangan

diskursus hukum tata negara darurat di Indonesia, khususnya mengenai konsep

pemerintahan darurat, sehingga dapat memicu lebih banyak lagi orang untuk

menulis tentang tema-tema yang sama dan/atau saling berkaitan.

F. Tinjauan kepustakaan

Terdapat 3 (tiga) variabel penting dalam penulisan skripsi ini, yaitu hukum

tata negara darurat, pemerintahan darurat, dan Pemerintah Darurat Republik

Indonesia (PDRI). Masing-masing variabel akan dibahas sebagai pengantar untuk

memahami substansi utama skripsi ini, yaitu pemerintahan darurat dalam

perspektif hukum tata negara darurat.

Pengembangan wacana yang minim di bidang hukum tata negara darurat

membuat wacana di sekitarnya, termasuk pemerintahan darurat, juga tidak

mengalami perkembangan yang signifikan. Pada akhirnya, minimnya

pengembangan wacana ini menjadi sebab sekaligus akibat dari mandegnya

diskursus tentang hukum tata negara darurat dan pemerintahan darurat.

Kemandegan ini salah satunya dapat dilihat dari belum optimalnya upaya dalam

merumuskan pengertian-pengertian umum secara efektif di bidang hukum tata

negara darurat maupun pemerintahan darurat.

Dalam penulisan suatu karya ilmiah, studi kepustakaan adalah tahap yang

tidak kalah penting dari tahapan-tahapan lainnya. Bahkan, boleh jadi studi

kepustakaan memegang peranan yang jauh lebih besar dibanding tahapan yang

lain. Hingga ada ungkapan yang menyatakan bahwa studi kepustakaan merupakan

Universitas Sumatera Utara

Page 27: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

16

separuh dari keseluruhan aktivitas penelitian itu sendiri, six hours in library save

six months in field or laboratory.35 Dari sini dapat dilihat betapa signifikan

kegiatan studi kepustakaan dalam menunjang sebuah penulisan karya ilmiah.

Studi kepustakaan adalah tahap di mana penulis atau peneliti mencari landasan

teori dari permasalahan penelitiannya, sehingga penelitian yang dilakukan

bukanlah aktivitas yang bersifat “trial and error”.36

Berdasarkan fungsinya, kepustakaan dibedakan menjadi 2 (dua) macam,

yaitu:37

1. Acuan umum, yang berisi konsep-konsep, teori-teori, dan informasi-informasi

lain yang bersifat umum, seperti; buku-buku, indeks, ensiklopedia, farmakope,

dan sebagainya.

2. Acuan khusus, yang berisi hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan

dengan permasalahan penelitian yang diteliti, seperti; jurnal, laporan

penelitian, buletin, tesis, disertasi, brosur, dan sebagainya.

Adapun skripsi ini berharap banyak pada jurnal-jurnal terdahulu yang

membahas baik tentang hukum tata negara darurat, pemerintahan darurat, ataupun

seputar peristiwa yang berkaitan dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia.

Studi kepustakaan, jika dilakukan dengan baik, akan memberikan manfaat

berupa:38

35 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1997), hal. 114. 36 Ibid. 37 Ibid., hal. 115. 38 Ibid., hal. 117.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

17

a. Diperoleh konsep-konsep dan teori-teori yang bersifat umum yang berkaitan

dengan permasalahan penelitian.

b. Melalui prosedur logika deduktif, akan dapat ditarik kesimpulan spesifik yang

mengarah pada penyusunan jawaban sementara terhadap permasalahan

penelitiannya.

c. Akan diperoleh informasi empirik yang spesifik yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian.

d. Melalui prosedur logika induktif, akan diperoleh kesimpulan umum yang

diarahkan pada penyusunan jawaban teoritis terhadap permasalahannya.

Melalui studi kepustakaan inilah akan dicoba pengelaborasian teori dasar,

fakta serta hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan guna menjawab

permasalahan yang telah diajukan sebelumnya.

Hukum tata negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan

yang diperlukan beserta kewenangannya masing-masing, hubungannya satu sama

lain, serta hubungannya dengan individu warga negara dalam kegiatannya.39

Defenisi ini diutarakan oleh Van der Pot. Tentu masih ada banyak definisi lainnya

yang lebih beragam yang ditawarkan oleh beberapa akademisi hukum semisal

Van Vollenhoven, Paul Scholten, dan J. H. A. Logemann. Sebagaimana ilmu

hukum, hukum tata negara juga memiliki definisi yang beragam. Kendati

demikian, jika diteliti lebih lanjut, setiap definisi pasti memiliki kesamaan dengan

definisi yang lain. Maka, ketika skripsi ini menggunakan salah satu definisi,

bukan berarti definisi lainnya tidak memadai untuk menggambarkan apa yang

dimaksud dengan hukum tata negara.

39 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers,

2016), hal.19.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

18

Hukum tata negara darurat selaku hukum tata negara darurat dalam keadaan

bahaya atau darurat adalah rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar

biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat

menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa

menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.40

Dari defenisi di atas, dapat dipahami bahwa hukum tata negara darurat terjadi

dalam situasi bahaya yang menyebabkan peraturan perundang-undangan serta

hukum yang biasanya berlaku dalam tatanan kehidupan sehari-hari tidak akan

sanggup berjalan dengan efektif. Demi mengatasi tidak efektifnya hukum biasa

ini, maka diadakanlah pengaturan-pengaturan yang bersifat luar biasa

(extraordinary) dan istimewa dalam suatu sistem hukum tata negara darurat.

Dapat pula dipahami bahwa rumusan defenisi tersebut juga menyiratkan

tentang sifat kesementaraan dari hukum tata negara darurat (mengenai ini akan

dijelaskan kemudian pada bagian pembahasan, yaitu tentang asas-asas hukum tata

negara darurat), di mana dalam defenisi tersebut, hukum tata negara darurat

diberlakukan dengan tujuan menghapuskan keadaan bahaya sesegera mungkin,

sehingga bisa kembali ke kehidupan biasa yang diselenggarakan berdasarkan

perundang-undangan serta hukum yang umum dan biasa.

Pemerintahan dapat diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memerintah, atau

dapat juga diartikan sebagai segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam

menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara.41

Sementara darurat mempunyai arti dalam keadaan terpaksa; disebabkan karena

40 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, (Jakarta: Penerbit

Djambatan, 1996), hal. 1. 41 Ilham Gunawan dan M. Martinus Sahrani, Kamus Hukum, (Jakarta: Restu Agung,

2002), hal. 387.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

19

keadaan memaksa.42 Dapat pula diartikan sebagai keadaan sukar (sulit) yang tidak

tersangka-sangka (dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan

penanggulangan segera; keadaan terpaksa; keadaan sementara.43 Dengan

formulasi pengertian pemerintahan dan darurat ini, dapat dibangun sebuah

pemahaman bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan darurat adalah segala

urusan yang dilakukan oleh negara dalam keadaan darurat yang membutuhkan

tindakan penanggulangan segera, dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan

rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri selama keadaan darurat tersebut

berlangsung. Dengan kata lain, pemerintahan darurat adalah pemerintahan yang

dijalankan dalam keadaan bahaya atau darurat. Pemerintahan darurat itu sendiri

merupakan respons atas keadaan bahaya tersebut yang tujuannya adalah untuk

mempertahankan eksistensi pemerintahan dari negara yang bersangkutan.

Bertolak dari Konvensi Montevideo44 yang menjadi acuan umum dalam

mengidentifikasi unsur-unsur suatu negara sebagai subjek hukum internasional,

dapat dikatakan sebagai negara jika memenuhi kualifikasi sebagai berikut:

a. populasi permanen;

b. wilayah yang sudah ditentukan;

c. pemerintahan;

d. kapasitas untuk menjalin hubungan dengan negara lain.

Maka pemerintahan adalah salah satu unsur pembentuk suatu negara yang di

dalamnya terdapat subjek (pemerintah) yang memerintah dan mengadakan

serangkaian pengaturan guna mengakomodir kepentingan serta memenuhi hak-

hak penduduk atau populasi permanen yang berada dalam suatu wilayah.

42 Ibid., hal. 70. 43 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,

2008), hal. 319. 44 Article 1 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

20

Bicara soal pemerintahan darurat tidak jauh beda dengan bicara soal hukum

tata negara darurat. Oleh sebab itulah, terkadang tidak ada dikotomi yang jelas

dalam menyebutkan hukum tata negara darurat dengan pemerintahan darurat.

Perbedaan paling mendasar antara negara dengan pemerintahan adalah bahwa

negara dapat dipahami sebagai sesuatu yang diam (statis), sedangkan

pemerintahan dipahami sebagai sesuatu yang senantiasa bergerak (dinamis).

Hukum tata negara darurat lebih mengacu kepada sistem, aturan-aturan, otoritas

yang membuat aturan tersebut, serta bagaimana aturan-aturan tersebut seharusnya

dilaksanakan dalam keadaan darurat. Sedangkan pemerintahan darurat mengacu

pada otoritas yang melaksanakan aturan-aturan, serta bagaimana aturan-aturan

tersebut dilaksanakan pada kenyataannya. Dengan kata lain, hukum tata negara

darurat berada pada tataran teori, sementara pemerintahan darurat berada pada

tataran praktik.

PDRI adalah sebuah pemerintahan darurat Republik Indonesia yang didirikan

di Bukittinggi, Sumatera Barat pasca serangan agresi militer kedua yang

dilancarkan oleh Belanda pada tahun 1948. Pemerintahan darurat ini diketuai oleh

Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan menjadi bukti pada masa itu bahwa Republik

Indonesia masih eksis kendati Belanda berusaha untuk menduduki kembali

Indonesia.

Setelah variabel-variabel di atas dikaji secara terpisah, hasil kajian tersebut

kemudian akan dielaborasikan secara utuh dan menyeluruh guna menjawab

permasalahan yang sudah dirumuskan sebelumnya. Dengan cara ini, maka

permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini bisa terjawab dengan baik.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

21

G. Metode penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian hukum yang digunakan adalah

sebagai berikut:

1. Spesifikasi penelitian

Penulisan skripsi ini menerapkan metode penelitian normatif. Dengan studi

kepustakaan, akan dilakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang

berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu pemerintahan darurat dalam perspektif

hukum tata negara darurat.

2. Metode pendekatan

Penulisan skripsi melalui penelitian normatif ini dilakukan dengan menggunakan

3 (tiga) macam pendekatan, yaitu pendekatan konsep (conceptual approach),

pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan konsep dilakukan mengingat skripsi ini fokus pada konsep

pemerintahan darurat dalam perspektif hukum tata negara darurat. Pendekatan

sejarah dilakukan karena dalam penulisannya, skripsi ini tidak bisa tidak, harus

bersentuhan denga aspek sejarah. Penelitian normatif yang menggunakan

pendekatan sejarah memungkinkan seorang peneliti memahami hukum seccara

lebih mendalam tentang suatu sistem atau lembaga atau suatu pengaturan hukum

tertentu, sehingga dapat meminimalisir kekeliruan-kekeliruan, baik dalam

pemahaman maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan hukum tertentu.45

Adapun pendekatan kasus (case approach) bertujuan untuk mempelajari

bagaimana penerapan norma-norma atau kaidah hukum dilakukan dalam praktik

45 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Aksara

Baru, 1976), cet. ke-III, hal. 64, dalam Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian

Hukum Normatif dan Empiris, (Depok: Penerbit Prenadamedia Group, 2018), Cet. ke-II, hal. 144.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

22

hukum.46 Dalam hal ini yaitu kaidah-kaidah hukum tata negara darurat dalam

kasus terbentuknya PDRI pada tahun 1948-1949 di Sumatera Barat. Kendati

menggunakan banyak pendekatan, fokus penelitian skripsi ini tetap berada pada

aspek hukum, dalam hal ini hukum tata negara. Dengan demikian, hukum tata

negara tetap menjadi yang utama, sedangkan aspek sejarah, politik, serta aspek

lainnya di luar hukum, hanya akan menjadi aspek pendukung dalam penulisan

skripsi ini.

3. Sumber hukum

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jenis penelitian skripsi ini adalah

penelitian normatif. Oleh karenanya, skripsi ini mempergunakan bahan hukum

primer, sekunder, dan bahan nonhukum dalam penulisannya. Bahan hukum

primer terdiri dari peraturan perundangan-undangan. Bahan hukum sekunder

meliputi buku-buku hukum, jurnal hukum, serta pendapat para pakar yang relevan

dengan pokok permasalahan skripsi. Adapun bahan-bahan nonhukum yang

dipergunakan terdiri atas buku-buku serta jurnal di bidang ilmu sejarah,

khususnya yang membahas tentang PDRI sebagai studi kasus dalam penulisan

skripsi ini.

4. Pengumpulan bahan hukum

Pengumpulan data-data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini dilakukan

dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian

kepustakaan, dilakukan penelusuran literatur-literatur yang berkaitan erat dengan

tema skripsi, yang tentunya bisa menjadi landasan dalam penulisan skripsi ini.

Data-data yang telah terhimpun kemudian akan diklasifikasikan ke dalam bab dan

46 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

(Depok: Penerbit Prenadamedia Group, 2018), Cet. ke-II, hal. 146.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

23

subbab yang telah disusun secara berurutan sesuai dengan pokok permasalahan

untuk kemudian dianalisis.

5. Pengolahan dan analisis bahan hukum

Data-data yang telah terkumpul kemudian akan dianalisis secara deskriptif dengan

menggunakan metode analisis induktif dan deduktif. Dalam metode induktif,

contoh-contoh konkret dan fakta-fakta penelitian yang telah diuraikan sebelumnya

akan digeneralisasi, kemudian dirumuskan menjadi suatu kesimpulan. Sedangkan

dalam metode deduktif, kesimpulan-kesimpulan umum berdasarkan generalisasi

sebelumnya akan diurai menjadi contoh-contoh konkret dan fakta-fakta yang

mampu menjelaskan kesimpulan umum tersebut.

H. Sistematika penulisan

Karya ilmiah yang baik adalah karya ilmiah yang diuraikan secara sistematis.

Ini akan memudahkan proses penulisan dan penyusunan karya ilmiah, dan juga

membantu pembaca dalam memahami substansi karya ilmiah tersebut. Adapun

sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I

PENDAHULUAN

Yaitu sebagai pengantar dan pendahuluan skripsi. Bab ini terdiri dari latar

belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan

kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan, serta sistematika penulisan.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

24

BAB II

TINJAUAN UMUM NEGARA HUKUM, HUKUM TATA NEGARA

DARURAT, DAN PEMERINTAHAN DARURAT

Bab ini berisi tentang pengertian dan istilah-istilah umum dalam negara hukum,

hukum tata negara darurat, serta pemerintahan darurat. Selain itu, bab ini juga

berisi tentang pengaturan mengenai hukum tata negara darurat dan pemerintahan

darurat dalam konstitusi Indonesia.

BAB III

TUJUAN DAN SYARAT PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN DARURAT

Bab ini berisi pembahasan tentang apa saja yang menjadi tujuan dibentuknya

suatu pemerintahan darurat, apa saja syarat-syarat pembentukannya serta

pengaturan mengenai badan-badan yang memiliki kewenangan sebagai pemegang

kekuasaan darurat.

BAB IV

PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA

Bab ini berisi pembahasan mengenai PDRI yang dibentuk di Sumatera Barat dan

berlangsung selama tahun 1948 sampai 1949. Mulai dari latar belakang

pembentukannya, hingga eksistensi dan keabsahan PDRI sebagai salah satu

bentuk pemerintahan darurat.

BAB V

PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi yang berisikan kesimpulan dan saran

yang diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum serta

memberikan manfaat bagi banyak orang.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

25

BAB II

NEGARA HUKUM, HUKUM TATA NEGARA DARURAT DAN

PEMERINTAHAN DARURAT

A. Negara Hukum

Negara hukum barangkali telah menjadi sebuah ungkapan yang teramat sering

disebutkan dalam keseharian manusia. Tidak hanya disebut-sebut dalam praktik

kenegaraan, negara hukum bahkan dibicarakan pula dalam setiap aspek kehidupan

masyarakat hingga pada tingkatan remeh-temeh sekalipun. Sebagai contoh, tatkala

seseorang yang tidak terbukti melakukan tindak pidana tetap dijatuhi hukuman

oleh hakim, maka eksistensi negara sebagai negara hukum pasti dipertanyakan.

Contoh lain, jika seorang pencuri dikeroyok massa sampai meninggal dunia,

eksistensi negara hukum pula yang akan dipertanyakan. Begitu pula ketika dana

bantuan sosial untuk korban bencana tidak sampai ke tangan masyarakat

penerimanya, pasti eksistensi negara hukum yang dipertanyakan. Lantas, apakah

negara hukum itu?

Negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin

keadilan kepada warga negaranya.47 Dalam rangka menjamin keadilan tersebut,

maka penyelenggaraan negara harus dilakukan berdasarkan hukum. Menurut

Lawrence M. Friedman48, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari 3 (tiga)

subsistem, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal

structure), dan budaya hukum (legal culture). Substansi hukum meliputi materi

47 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar

Bakti, 2016), hal. 153. 48 Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, Terjemahan dari

American Law: An Introduction, 2nd Edition, Alih Bahasa: Wisnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa,

2001), hal. 6-8.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

26

hukum yang di antaranya dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-

undangan. Struktur hukum menyangkut kelembagaan (institusi) pelaksana hukum,

kewenangan lembaga serta aparat penegak hukum. Sedangkan budaya hukum

menyangkut perilaku hukum masyarakat atau pemahaman dan penerimaan

masyarakat terhadap hukum. Adapun keadilan sebagai tujuan dari sistem hukum

akan tercapai hanya jika ketiga subsistem sebagaimana disebutkan oleh Lawrence

M. Friedman bersinergi dengan baik.49 Pemikiran tentang konsep negara hukum

telah muncul sejak berabad-abad lalu. Pemikir atau filsuf yang mula-mula

mengabstraksikan dan memperkenalkan konsep ini adalah Plato dan Aristoteles.50

Konsep negara hukum bahkan disebut telah lahir lebih dulu dibanding konsep

ilmu kenegaraan. Perkiraan ini setidaknya mendorong asumsi bahwa sejak

pertama kali diperkenalkan, konsep negara dan hukum telah dipahami sebagai

satu kesatuan tak terpisahkan. Dengan kata lain, pemikir seperti Plato dan

Aristoteles sangat mungkin telah sampai pada kesimpulan bahwa negara bisa

dijalankan hanya jika ada hukum yang mengaturnya. Barulah di kemudian hari,

konsep-konsep tentang ilmu kenegaraan lahir sebagai variabel-variabel dari

negara hukum.

Ketidakterpisahan tidak hanya terjadi antara negara dengan hukum.

Pembahasan mengenai negara hukum masih diikuti pula dengan pembahasan

variabel lain, seperti demokrasi. Demokrasi dengan ciri khasnya yang

menonjolkan partisipasi publik dianggap sebagai sistem yang ideal untuk

menopang negara yang mengusung konsep negara hukum. Demokrasi dan hukum

49 Lutfil Ansori, “Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif”, Jurnal

Yuridis, Vol. 4 No. 2, Desember 2017, hal. 150. 50 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta: UII

Press, 2005), cet. ke-I, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

27

dinilai sebagai dua hal yang saling berkaitan, melengkapi, dan saling

mempengaruhi. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan makna,

sedangkan hukum yang baik dengan sendirinya adalah hukum yang demokratis.

Dengan kata lain, demokrasi adalah cara paling aman dan ideal untuk

mempertahankan kontrol atas negara hukum.51

Praktik negara hukum kemudian berkembang pada abad 17 dan semakin

populer pada abad 19. Pemikiran-pemikiran tentang negara hukum yang ideal

terus berkembang. Pemikiran tentang konsep negara hukum kemudian

berkembang dan mengerucut menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

a. Negara hukum rechtsstaat yang berkembang di Eropa, tepatnya Eropa Barat.

Konsep negara hukum ini selanjutnya dikenal sebagai sistem hukum Eropa

Kontinental.

b. Negara hukum rule of law yang berkembang di Inggris. Konsep negara hukum

ini selanjutnya dikenal sebagai sistem hukum Anglo Saxon.

Negara hukum rechtsstaat berakar pada paham liberalisme yang menentang

kekuasaan absolut raja. Jika sebelumnya raja memiliki kewenangan yang tak

terbatas pada rakyatnya, maka paham liberalisme mengkehendaki agar negara

melepaskan dirinya dari campur tangan urusan kesejahteraan rakyatnya.52

Semboyan Laisser Faire, Laisser Paisser menjadi sangat terkenal pada masa ini.

Paham liberalisme secara radikal menyuarakan bahwa negara seharusnya bersikap

pasif, tidak mengintervensi penyelenggaraan kepentingan rakyat. Konsekuensi

dari semakin berkembangnya paham liberalisme hukum ini adalah semakin

banyak raja yang mengadakan perjanjian dengan rakyatnya untuk kemudian

51 Ibid., hal. 2. 52 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

op.cit., hal. 154.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

28

memiliki kedudukan yang sama. Artinya, kewenangan raja sudah dipangkas

sedemikian rupa, sehingga tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

kelangsungan hidup rakyatnya. Negara-negara yang tadinya berbentuk monarki

absolut, secara perlahan mengalami transisi menjadi negara monarki

konstitusional. Dalam negara hukum liberal semacam ini, dikenal 2 (dua) unsur

penting, yaitu:

a. perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

b. pemisahan kekuasaan.

Dalam perkembangannya, kedua hal yang dijamin dalam negara hukum liberal

ini dinilai tidak memadai dalam memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Konsep

negara hukum liberal ini lantas berkembang lagi ke arah pemahaman bahwa

negara harus tetap turut serta dalam urusan kepentingan rakyat.53 Dengan catatan,

keikutsertaan atau campur tangan negara tersebut tetap dibatasi oleh hukum yang

berlaku, atau harus sesuai dengan apa yang sudah ditentukan dalam hukum dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui perkembangan ini, lahirlah

negara hukum formil. Jika dalam negara hukum liberal hanya terdapat 2 (dua)

unsur penting, maka dalam negara hukum formil, unsur tersebut bertambah

menjadi 4 (empat) unsur penting, yaitu:54

a. perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

b. pemisahan kekuasaan;

c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-

undangan;

d. adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.

53 Ibid., hal. 156. 54 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

29

Perkembangan-perkembangan pada fase negara hukum formil ini juga tidak

terlepas dari gejolak revolusi yang terjadi di negara-negara di dunia. Sebut saja

Perancis. Di Perancis, rakyat terbagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:

1. golongan pertama yang terdiri dari raja-raja;

2. golongan kedua yang terdiri dari para alim ulama;

3. golongan ketiga yang terdiri dari para hartawan dan cendekiawan;

4. golongan keempat yang terdiri dari rakyat biasa.

Rakyat golongan ketiga kemudian mengadakan pemberontakan terhadap

rakyat golongan pertama dan kedua. Dalam pemberontakan yang bertujuan untuk

mencapai kemerdekaan (liberte), persamaan (egalite) dan persaudaraan

(fraternite) ini, rakyat golongan ketiga juga menghimpun kekuatan dari rakyat

golongan keempat, yakni rakyat biasa seperti petani dan buruh. Capaian revolusi

ini antara lain:55

a. hak-hak yuridis seperti hak-hak dasar, hak-hak yang terletak dalam hukum

perdata dan hukum pidana;

b. hak-hak politik, yaitu hak untuk memilih dan dipilih.

Revolusi ini disebut juga sebagai revolusi politik. Istilah tersebut lahir

mengingat revolusi ini digagas oleh rakyat golongan ketiga yang pada dasarnya

merupakan kaum borjuis liberal, yang menginginkan penguatan hak-hak politik di

kalangan mereka. Sementara di kalangan rakyat biasa atau golongan keempat,

tercapainya hak-hak dasar di bidang hukum perdata dan pidana cukup menjadi

semacam imbalan untuk keikutsertaan mereka dalam revolusi ini.

55 Ibid., hal. 157.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

30

Setelah revolusi politik di Perancis, meletus pula revolusi industri di Inggris

sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi yang telah memasuki ranah

industri. Revolusi industri di Inggris kemudian melahirkan hak-hak (yang

melengkapi capaian revolusi politik Perancis) sebagai berikut:56

a. hak yuridis, merupakan hak asasi yang berhubungan dengan relasi antara

individu maupun kelompok dengan hukum, seperti hak untuk mendapatkan

pembelaan hukum di pengadilan, hak untuk diperlakukan setara di muka

hukum, hak memperoleh kepastian hukum, dan hak untuk mendapatkan

perlakuan yang adil tanpa diskriminasi, baik diskriminasi berbasis gender,

suku, agama, dan ras maupun golongan.

b. hak politik, merupakan hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan politik,

seperti hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan, hak ikut serta

dalam pemerintahan, hak mendirikan partai politik, dan hak untuk mengajukan

petisi;

c. hak ekonomi, merupakan hak asasi yang berhubungan dengan kegiatan

perekonomian, seperti hak kebebasan mengadakan kontrak, hak kebebasan

mengadakan transaksi jual beli, hak kebebasan mengadakan perjanjian sewa

menyewa, hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk menikmati sumber daya

alam, hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta

hak untuk meningkatkan taraf hidup;

56 Ibid., hal. 160.

Universitas Sumatera Utara

Page 42: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

31

d. hak sosial, merupakan hak asasi yang berhubungan dengan aktivitas individu

dalam kehidupan sosial, seperti hak untuk melakukan mobilitas, hak untuk

menyatakan pendapat di muka umum, hak untuk memeluk dan menjalankan

agama dan kepercayaan, dan hak untuk tidak dipaksa dan disiksa;

e. hak kultural, yaitu hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan berbudaya,

seperti hak untuk mempraktikkan serta mengembangkan budaya masyarakat,

hak untuk mengembangkan minat dan bakat, hak untuk berkreasi, dan hak

untuk memperoleh jaminan sosial.

Demikianlah serangkaian peristiwa sejarah pada abad 19 dan 20 memberikan

kontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan konsep negara hukum

rechtsstaat. Mulai dari negara hukum liberal, hingga tiba pada fase negara

kesejahteraan (welfare state, wohlfart staat, social service state). Rangkaian

perkembangan negara hukum rechtsstaat ini dapat digambarkan dalam skema

sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 43: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

32

Skema 1.

Perkembangan Negara Hukum Rechtsstaat.

Negara Hukum Liberal

Bersamaan dengan lahirnya paham

liberalisme yang menentang kekuasaan

absolut raja (Monarki absolut menjadi

monarki konstitusional)

Negara Hukum Formil

Negara dirasa perlu untuk tetap campur

tangan dalam urusan kepentingan rakyat,

namun harus sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang telah ditentukan

Negara Hukum Rechtsstaat

Di samping sikap aktif negara dalam

urusan kepentingan rakyat, rakyat juga

semakin giat menuntut hak-hak dasarnya.

Perkembangan hak-hak dasar ini juga

dipengaruhi oleh berbagai revolusi di

beberapa negara.

Negara Kesejahteraan

(welfare state, wohlfart staat,

social service state)

Negara hukum yang sudah lebih

substantif, dan mengedepankan

kesejahteraan rakyat.

Universitas Sumatera Utara

Page 44: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

33

Berbeda dengan di Eropa Barat, di Inggris dan negara-negara dengan tradisi

hukum Anglo Saxon, konsep negara hukum dikenal dengan istilah rule of law.

The rule of law, sebagaimana diutarakan oleh A. V. Dicey, terdiri dari 3 (tiga)

unsur, yaitu:57

a. supremasi hukum. Artinya, yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam

negara adalah hukum (kedaulatan hukum);

b. persamaan kedudukan dalam hukum bagi setiap orang;

c. konstitusi tidak merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-

hak asasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi, itu hanya sebagai

penegasan bahwa hak asasi itu harus dilindungi.

Pada dasarnya, baik rechtsstaat maupun rule of law merupakan sama-sama

pengertian dari negara hukum, yakni negara yang mendasarkan segala

tindakannya pada hukum demi menjamin keadilan bagi segenap rakyatnya.

Namun, sebagai dua buah konsep yang berkembang di wilayah yang berbeda,

kedua konsep negara hukum ini memiliki hal-hal mendasar yang menjadi

persamaan maupun pembedanya. Perbedaan antara rechtsstaat dengan rule of law

terletak pada tidak adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri pada sistem

rule of law, karena setiap perkara yang terjadi, apakah yang tersangkut di

dalamnya seorang sipil atau seorang pejabat negara, atau seorang swasta atau

seorang militer, akan diadili oleh suatu pengadilan yang sama.58 Sedangkan

persamaan antara rechtsstaat dengan rule of law adalah bahwa baik pada rule of

law maupun rechtsstaat diakui adanya kedaulatan hukum atau supremasi hukum,

maka dicegahlah adanya kekuasaan-kekuasaan yang bersifat pribadi, baik ia

57 Ibid., hal. 161. 58 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 45: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

34

berasal dari satu orang, maupun sekelompok atau segolongan manusia.59 Dalam

hal ini nampak jelas bahwa konsep negara hukum rechtsstaat maupun rule of law

memiliki tujuan yang sama, yaitu melindungi individu dan/atau kelompok dari

kesewenang-wenangan negara.

Walaupun memiliki perbedaan dan persamaan, dalam praktiknya, istilah

rechtsstaat dan rule of law kerap dipertukarkan untuk menyebutkan negara

hukum. Tidak jarang perbedaan dan persamaan tersebut dikesampingkan. Kedua

istilah tersebut pun dipahami sebagai sekadar istilah asing bagi negara hukum.

Secara umum, suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila

memiliki ciri-ciri berikut:60

a. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung

persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan;

b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu

kekuasaan atau kekuatan apapun juga;

c. legalitas dalam arti segala bentuknya.

Indonesia sendiri dalam konstitusinya secara tegas menyatakan diri sebagai

negara hukum. Hal ini dapat dijumpai dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), mulai dari bagian pembukaan, batang

tubuh, hingga penjelasan. Pertama, pada pembukaan UUD NRI 1945, disebutkan

kata-kata “peri keadilan”, “adil”, “keadilan sosial”, dan “kemanusiaan yang adil”.

Disebutkannya kata-kata ini mengindikasikan eksistensi negara hukum, karena

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tujuan negara hukum itu adalah untuk

59 Ibid., hal. 162. 60 A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civi Education): Pancasila, Demokrasi,

dan Pencegahan Korupsi, (Jakarta: Kencana, 2015), hal. 92-93.

Universitas Sumatera Utara

Page 46: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

35

mencapai keadilan.61 Lebih jauh disebutkan pula pada alinea keempat UUD NRI

1945 bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-

Undang Dasar Negara Indonesia. Penegasan ini menyiratkan semangat

konstitusionalisme yang tidak lain merupakan prinsip dari negara hukum itu

sendiri.62 Kedua, pada batang tubuh UUD NRI 1945 secara tegas dinyatakan

bahwa Indonesia adalah negara hukum.63 Presiden dinyatakan sebagai pemegang

serta menjalankan kekuasaan menurut undang-undang dasar.64 Presiden dan Wakil

Presiden juga harus mengangkat sumpah untuk menjalankan tugas dan

kewajibannya sesuai dengan undang-undang dasar serta tidak boleh bertentangan

dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar.65 Di samping itu,

substansi UUD NRI 1945 yang juga menegaskan posisi Indonesia sebagai negara

hukum adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia.66

Pengaturan tentang hak-hak asasi manusia ini menjadi sangat krusial, mengingat

ciri khas negara hukum adalah dijaminnya penghormatan (to respect),

perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fullfil) hak-hak asasi manusia.

Ketiga, dalam penjelasan UUD NRI 1945, disebutkan bahwa negara Indonesia

berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar kekuasaan belaka (machtstaat).

Penjelasan ini lagi-lagi menegaskan apa yang telah dinyatakan baik secara

eksplisit maupun implisit pada pembukaan dan batang tubuh UUD NRI 1945.

Maka siapapun yang membaca konstitusi Indonesia secara utuh, pastilah sampai

pada kesimpulan bahwa Indonesia merupakan negara hukum.

61 Ibid. 62 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

op.cit., hal. 163. 63 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 64 Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 65 Pasal 9 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 66 Pasal 27, 28, 28A s/d 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

36

B. Hukum Tata Negara Darurat

Hukum tata negara darurat dapat dikatakan merupakan pengembangan dari

ilmu hukum tata negara yang menjadikan negara sebagai objek kajiannya.

Pengembangan tersebut tentunya tidak terjadi begitu saja, melainkan sebagai

akibat dari dinamika dalam realitas yang menjadi lapangan penelitian bagi bidang

keilmuan yang bersangkutan. Adapun yang menjadi objek kajian hukum tata

negara darurat adalah negara yang tengah berada dalam keadaan darurat (state of

emergency).67 Keadaan darurat ini mengakibatkan negara beserta

pemerintahannya tidak bisa berlangsung dengan efektif, karena hukum dan segala

peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat negara dalam keadaan

normal (ordinary condition), tidak dapat berlaku efektif lagi dalam keadaan

darurat karena tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang timbul selama

keadaan darurat berlangsung yang pada dasarnya memang tidak atau sangat sulit

diprediksi.

Dalam situasi darurat yang tidak dapat diprediksi (unpredictable) inilah

hukum tata negara darurat diberlakukan. Guna mengatasi masalah-masalah yang

timbul akibat keadaan darurat, pemerintah akan mengambil tindakan-tindakan

yang bisa saja menyimpangi konstitusi. Peluang terjadinya penyimpangan ini

sangat besar, karena jika hanya mengandalkan ketentuan konstitusi beserta

peraturan perundang-undangan dalam situasi normal, maka masalah-masalah yang

timbul akan sangat sulit diatasi. Kata “penyimpangan” dalam konteks ini agaknya

perlu dipahami dengan baik agar tidak menimbulkan ambiguitas. Penyimpangan

yang dimaksud dalam hal ini kerap diartikan sebagai pertentangan. Pemaknaan

67 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers,

2016), hal. 7.

Universitas Sumatera Utara

Page 48: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

37

semacam ini tentunya sangat keliru. Penyimpangan dengan pertentangan

merupakan dua hal berbeda. Disebut pertentangan, jika terdapat dua atau lebih

ketentuan tentang suatu hal yang sama, yang kemudian saling bertentangan antara

ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain. Sedangkan yang dimaksud

dengan penyimpangan adalah manakala sebuah ketentuan dikesampingkan dan

digantikan dengan ketentuan lain yang bersifat progresif yang belum ada

pengaturannya secara tegas. Maka tindakan-tindakan dalam pemberlakuan hukum

tata negara darurat pada dasarnya adalah tindakan yang “menyimpangi”, bukan

“menentang”. Tindakan menyimpangi konstitusi itu dilakukan dalam rangka

mempertahankan eksistensi negara. Sedangkan tindakan menentang memiliki arti

bahwa terdapat ketidaksesuaian dalam ketentuan konstitusi, bahkan menyiratkan

ketentuan dalam konstitusi tersebutlah yang mengakibatkan terjadinya keadaan

darurat.

Kendati demikian, penyimpangan ini tidak terjadi begitu saja. A. W. Bradley

dan K. D. Ewing68 memiliki pandangan ideal tentang penyimpangan ini. Mereka

berpendapat, bahwa ketika terjadi keadaan darurat yang serius, prinsip-prinsip

konstitusional yang normal harus memberikan perlindungan bagi penyimpangan-

penyimpangan yang diperlukan untuk mengatasi keadaan darurat tersebut (In

times of grave national emergency, normal constitutional priciples may have to

give way to the overriding need to deal with the emergency). Dengan kata lain,

tindakan penyimpangan yang terjadi dalam keadaan darurat ini seharusnya

sedikit-banyak telah diprediksi dan diantisipasi dalam konstitusi.

68 A.W. Bradley dan K.D. Ewing, Constitutional and Administrative Law, 13th Edition,

(Longman, 2003), hal.602, dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat,

(Jakarta:Rajawali Pers, 2008), hal. 157.

Universitas Sumatera Utara

Page 49: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

38

Dalam perkembangannya di negara-negara di dunia, terdapat beberapa istilah

untuk mengidentifikasi keadaan darurat. Disparitas dalam peristilahan itu pada

dasarnya tidak menambah ataupun mengurangi secara signifikan pemaknaan

terhadap hukum tata negara darurat. Berbagai istilah tersebut antara lain sebagai

berikut:69

1. State of Emergency

2. State of Civil Emergency

3. State of Siege (etat d’siege)

4. State of War

5. State of Internal War

6. State of Exception (Etat d’exception, Regime d’exception)

7. Estado De Alerta

8. Estado De Excepcion (Exceptional Circumstance)

9. Estado De Sitio (Siege)

10. State of Public Danger

11. State of Public Emergency

12. State of Catastrophe

13. State of Defence

14. State of Tension

15. State of Alarm

16. State of Urgency (Etat d’urgence)

17. State of National Defence

18. State of National Necessity

69 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Ibid., hal. 7-8.

Universitas Sumatera Utara

Page 50: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

39

19. State of Special Powers

20. State of Suspension of Guarantee (Suspension of Individual Security)

21. General or Partial Mobilisation

22. Military Regime

23. Martial Law

24. Keadaan darurat

25. Keadaan bahaya (Pasal 12 UUD NRI 1945)

26. Keadaan luar biasa

27. Keadaan kegentingan yang memaksa (Pasal 22 UUD NRI 1945)

Hukum tata negara darurat selaku hukum tata negara darurat dalam keadaan

bahaya atau darurat adalah rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar

biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat

menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa

menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.70 Definisi

tersebut merupakan rumusan paling sederhana untuk mengantarkan ke

pemahaman yang lebih kompleks mengenai hakekat dari hukum tata negara

darurat. Adapun unsur-unsur yang terutama harus terdapat dalam hukum tata

negara darurat adalah sebagai berikut:71

a. adanya bahaya negara yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa;

b. upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan

menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada;

70 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, (Jakarta: Penerbit

Djambatan, 1996), hal. 1. 71 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 51: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

40

c. kewenangan luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah

negara untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke

dalam kehidupan normal;

d. wewenang luar biasa itu dan hukum tata negara darurat itu adalah untuk

sementara waktu saja, sampai keadaan darurat itu dipandang tidak

membahayakan lagi.

Dalam perkembangannya, unsur-unsur tersebut menjadi bahan pembahasan

serius dalam wacana hukum tata negara darurat. Unsur-unsur tersebut kemudian

diuraikan kembali menjadi asas-asas dasar dalam pemberlakuan keadaan darurat.

Asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut:72

a. Asas proklamasi. Artinya, keadaan darurat harus diumumkan atau

diproklamasikan secara terbuka sehingga semua orang mengetahuinya.

Pengumuman ini berkaitan dengan tindakan-tindakan di luar norma hukum

biasa yang diambil selama keadaan darurat berlangsung. Proklamasi ini juga

menjadi semacam legitimasi terhadap tindakan-tindakan luar biasa yang

dimaksud. Di samping itu, proklamasi ini juga mengindikasikan bahwa

kebijakan pemberlakuan keadaan darurat dilakukan secara transparan dan

akuntabel, sekaligus menjadi momentum hukum yang menentukan transisi

status keadaan hukum sebelumnya. Dengan adanya proklamasi keadaan

darurat, hukum yang tadinya tidak sah bisa menjadi sah, dan yang tadinya sah

bisa menjadi tidak sah.

72 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, op.cit., hal. 98.

Universitas Sumatera Utara

Page 52: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

41

b. Asas legalitas. Asas ini berkenaan dengan kesesuaian yang harus ada antara

deklarasi keadaan darurat dan tindakan-tindakan darurat yang diambil di satu

pihak, dan antara deklarasi keadaan darurat dan perundangan internal negara

di pihak lain. Asas ini juga sebagai upaya sinkronisasi antara hukum nasional

dengan prinsip-prinsip hukum internasional, dengan asumsi bahwa setiap

negara, berdasarkan doktrin self-preservation, memiliki kewenangan untuk

bertindak apa saja dengan cara apa saja guna mengatasi ancaman yang

membahayakan eksistensinya sebagai negara berdaulat serta mengancam

keselamatan warga negara.

c. Asas komunikasi. Asas ini berkenaan dengan kewajiban negara untuk

memberitahukan tindakan pemberlakuan keadaan darurat itu kepada segenap

warga negara dan juga kepada negara-negara lain yang menjadi peserta

perjanjian yang relevan dan negara-negara sahabat lainnya. Pemberitahuan ini

berkaitan dengan perkembangan situasi perlindungan hak-hak asasi manusia

dalam suatu negara yang tengah memberlakukan keadaan darurat.

d. Asas kesementaraan. Berdasarkan asas ini, deklarasi keadaan darurat perlu

dibatasi waktu pemberlakuannya untuk menghindarkan terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan yang mengancam kebebasan dan jaminan-jaminan

konstitusional hak asasi manusia. Asas ini mengharuskan, atau setidak-

tidaknya mengharapkan adanya kepastian mengenai kapan keadaan darurat

mulai diberlakukan, dan kapan keadaan darurat akan diakhiri. Dengan begitu,

segala tindakan yang diambil selama keadaan darurat dapat diukur dan

dikontrol sebaik-baiknya.

Universitas Sumatera Utara

Page 53: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

42

e. Asas keistimewaan ancaman. Asas ini mengacu kepada yang berkeyakinan

bahwa krisis yang terjadi itu sendiri memang merupakan bahaya yang nyata

dan memang sedang terjadi (actual threats), atau sekurang-kurangnya bahaya

yang secara potensial sungguh-sungguh mengancam komunitas kehidupan

bersama (potential threats). Kedua jenis ancaman ini haruslah bersifat khusus,

yakni dapat membahayakan nyawa, fisik, harta benda, ataupun tatanan

kehidupan bersama dalam suatu masyarakat dan negara yang demokratis.

Kekhususan atau keistimewaan ancaman ini juga bisa menyangkut integritas

wilayah dan kedaulatan negara.

f. Asas proporsionalitas. Asas ini menegaskan perlunya pengambilan tindakan

yang segera karena adanya kegentingan yang memaksa (compelling need) dan

yang secara proporsional atau berimbang memang benar-benar memerlukan

tindakan-tindakan yang diperlukan itu untuk menghadapi atau mengatasinya.

Tujuan diberlakukannya keadaan darurat adalah untuk mengatasi ancaman

beserta segala dampak yang ditimbulkannya, dan mengembalikan situasi

negara ke situasi semula. Maka, segala tindakan yang diambil semata-mata

untuk mencapai tujuan ini. Jika tujuan ini sudah tercapai, maka

proporsionalitas tindakan dianggap sudah terpenuhi, sehingga tidak perlu

diteruskan lagi. Sebaliknya, jika tindakan-tindakan itu masih diteruskan, maka

tindakan tersebut tidak lagi termasuk tindakan yang proporsional. Dalam

ungkapan yang lebih sederhana, asas ini adalah asas yang menekankan

kesesuaian tindakan dengan ancaman yang dihadapi selama pemberlakuan

keadaan darurat.

Universitas Sumatera Utara

Page 54: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

43

g. Asas intangibility. Asas ini menyangkut hak-hak asasi manusia yang bersifat

khusus yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable

rights). Hak-hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi tersebut,

sebagaimana diatur pada pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945 meliputi:

1. hak untuk hidup (right to life);

2. hak untuk tidak disiksa (freedom from torture);

3. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;

4. hak beragama (freedom of religion);

5. hak untuk tidak diperbudak;

6. hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;

7. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

h. Asas pengawasan. Asas ini berkaitan dengan peran sentral parlemen dalam

melakukan pengawasan. Pemberlakuan keadaan darurat harus tetap tunduk

pada kontrol. Oleh karena itu, selama keadaan darurat, parlemen atau lembaga

perwakilan rakyat sejauh mungkin tetap harus menjalankan fungsinya sebagai

lembaga pengawas. Asas pengawasan ini juga erat kaitannya dengan hak-hak

asasi yang mungkin dibatasi, ditangguhkan atau bahkan dikurangi selama

keadaan darurat diberlakukan. Asas ini bertujuan untuk memastikan kalau

keadaan darurat tidak serta-merta dijadikan sebagai alasan menghalangi

kewenangan parlemen dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja

eksekutif yang sewaktu-waktu bisa menyalahgunakan kekuasaan (abuse of

power), terutama yang bersinggungan dengan hak-hak asasi manusia yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, adalah fakta bahwa studi

mengenai hukum tata negara darurat di Indonesia berkembang lebih lambat

dibanding bidang hukum lainnya semisal hukum pidana dan hukum perdata.

Namun dalam perkembangannya beberapa sarjana terus berusaha merumuskan

Universitas Sumatera Utara

Page 55: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

44

serta merapikan konsep-konsep hukum tata negara darurat, dan dengan demikian,

menjadikan hukum tata negara darurat sebagai sebuah disiplin ilmu yang lebih

sistematis. Hukum tata negara dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan corak

dan bentuknya. Adapun pembagian tersebut meliputi:73

a. Hukum Tata Negara Darurat Objektif (Objectieve Staatsnoodrecht)

b. Hukum Tata Negara Darurat Subjektif (Subjectieve Staatsnoodrecht)

c. Hukum Tata Negara Darurat Tertulis (Geschreven Staatsnoodrecht)

d. Hukum Tata Negara Darurat Tidak Tertulis (Ongeschreven

Staatsnoodrecht)

Hukum tata negara dalam arti objektif adalah hukum yang berlaku ketika

negara berada dalam masa keadaan darurat.74 Pengertian objektif dalam hal ini

mengacu kepada sifat legal-formal dari hukum tata negara tersebut. Hal ini seiring

dengan perkembangan aliran positivisme serta ajaran tentang negara hukum

formil yang menghendaki pengaturan tegas secara tertulis dalam suatu negara

hukum.

Hukum tata negara darurat dalam arti subjektif adalah hak, yaitu hak negara

untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari

ketentuan undang-undang, dan bahkan apabila memang diperlukan, menyimpang

dari undang-undang dasar.75 Hukum tata negara darurat dalam arti subjektif

bersumber dari hukum tidak tertulis yang bersandar pada hak-hak asasi manusia,

sehingga penekanan hukum tata negara darurat dalam arti subjektif ada pada hak

negara untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka memastikan

hak-hak asasi warga negaranya tidak tercederai selama keadaan darurat

73 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, op.cit., hal. 25. 74 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, op.cit., hal. 23. 75 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 56: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

45

diberlakukan. Penekanan ini menjadi hal fundamental yang membedakan hukum

tata negara darurat dalam arti subjektif dengan hukum tata negara darurat dalam

arti objektif.

Perbedaan ini diuraikan lebih lanjut oleh para sarjana, seperti M. I. Prins, W.

F. Prins, dan van der Pot.76 Meski menggunakan istilah yang sedikit berbeda,

penjelasan mereka pada dasarnya tidak memiliki perbedaan substansial yang

signifikan. Hukum tata negara darurat dalam arti subjektif, dalam istilah asing

disebut sebagai staatsnoodrecht. Sedangkan dalam arti objektif, ia lebih dikenal

sebagai noodstaatsrecht. Staatsnoodrecht menitikberatkan pada staatsnood atau

keadaan darurat negara yang lantas memberikan hak kepada negara untuk

mengambil tindakan-tindakan dalam rangka mengatasi keadaan darurat tersebut.

Berbeda dari staatsnoodrecht, noodstaatsrecht lebih menitikberatkan pada

staatsrecht atau aspek hukum tata negaranya.

Dari perbedaan fokus ini, dapat ditarik suatu kesimpulan sederhana bahwa

ruang lingkup hukum tata negara darurat dalam arti subjektif (staatsnoodrecht)

jauh lebih luas dibanding ruang lingkup hukum tata negara darurat dalam arti

objektif (noodstaatsrecht). Noodstaatsrecht terbatas pada aspek hukum tata

negara saja, yakni hukum tata negara yang berlaku dalam keadaan darurat.

Sementara staatsnoodrecht tidak hanya menyangkut hukum tata negara semata,

tapi juga dapat bersinggungan dengan hukum pidana, hukum administrasi negara,

hukum perdata, maupun aspek-aspek hukum lainnya.

76 Ibid. hal. 24-25.

Universitas Sumatera Utara

Page 57: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

46

Dalam dikotomi antara hukum tata negara darurat subjektif dengan hukum tata

negara darurat objektif, pada saat bersamaan telah disinggung pula perbedaan

antara hukum tata negara darurat tertulis dengan hukum tata negara darurat tidak

tertulis. Perbedaan itu dengan sendirinya telah menjadi pembahasan yang melekat

dalam pembahasan mengenai pembedaan antara hukum tata negara darurat

subjektif dengan hukum tata negara darurat objektif. Dengan demikian, perbedaan

hukum tata negara darurat tertulis dengan hukum tata negara darurat tidak tertulis

dapat ditarik dari pengertian hukum tata negara darurat subjektif dan objektif.

Hukum tata negara darurat tertulis (geschreven staatsnoodrecht) mengacu

pada pengertian hukum tata negara darurat dalam arti objektif, yaitu yang sangat

mengedepankan sifat legal-formal dari hukum tersebut. Maka hukum tata negara

darurat tersebut diupayakan agar bersifat tertulis. Hukum tata negara darurat

sebisa mungkin diadakan secara tertulis guna menjamin kepastian dan supaya

setiap orang mengetahui batas-batas hak dan kewajiban warga dan negara.77

Lantas apa yang membedakannya dengan hukum tata negara darurat objektif?

Sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, hukum tata negara darurat dalam arti

objektif terbatas hanya pada aspek hukum tata negara yang berlaku apabila negara

sedang berada dalam keadaan darurat, yang mana hukum tata negara yang

dimaksudkan di sini adalah serangkaian aturan tertulis. Sedangkan hukum tata

negara darurat tertulis adalah semua hukum tertulis yang diberlakukan selama

negara berada dalam situasi darurat. Artinya, hukum itu tidak hanya menyangkut

aspek tata negara saja, melainkan bisa bersentuhan dengan aspek hukum perdata,

pidana, administrasi negara dan aspek-aspek hukum lainnya.

77 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, op.cit., hal. 47.

Universitas Sumatera Utara

Page 58: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

47

Jika hukum tata negara darurat tertulis (geschreven staatsnoodrecht) mengacu

pada hukum tata negara darurat objektif, maka hukum tata negara darurat tidak

tertulis (ongeschreven staatsnoodrecht) mengacu pada pengertian hukum tata

negara darurat subjektif. Dalam hal ini, bukan sifat legal-formal hukum tata

negara darurat yang diutamakan, melainkan hak negara dalam mengambil segala

tindakan yang diperlukan (all necessary actions) guna mempertahankan eksistensi

negara dalam situasi darurat. Tindakan-tindakan ini seringkali tidak termuat dalam

aturan-aturan tertulis. Kalaupun ada, tidak mengatur secara komprehensif. Boleh

dikatakan, hukum tata negara darurat tidak tertulis merupakan kewenangan

penguasa negara untuk menyatakan adanya bahaya serta mengambil tindakan

untuk mengatasi keadaan bahaya tersebut, meskipun belum ada aturan tertulis

yang mengatur hal tersebut terlebih dahulu. Dengan catatan, pernyataan keadaan

bahaya ini, maupun tindakan-tindakan yang diambil untuk mengatasinya nantinya

akan dipertanggungjawabkan kepada alat-alat perlengkapan negara yang

bersangkutan sesuai dengan ketentuan konstitusi negara tersebut.78

Selain pembedaan-pembedaan yang telah dijelaskan di atas, masih ada pula

pembagian lain terhadap hukum tata negara darurat, yaitu:

a. Hukum tata negara darurat materil

b. Hukum tata negara darurat formal

Hukum tata negara darurat dalam arti materil yaitu adanya bahaya atau darurat

secara nyata meskipun tidak dinyatakan dalam keputusan formal sebagaimana

disebutkan dalam pasal 12 UUD NRI 1945, di mana Presiden diberikan

wewenang untuk menyatakan keadaan bahaya.79 Sekalipun pernyataan tersebut

78 Ibid. hal. 46. 79 Ibid., hal. 49.

Universitas Sumatera Utara

Page 59: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

48

tidak ada, akan tetapi keadaan bahaya dianggap masih ada, yakni bahaya-bahaya

laten yang tidak atau belum kelihatan di permukaan, namun dianggap memiliki

potensi untuk muncul di kemudian hari. Jika ditelaah, pengertian ini memiliki

relevansi dengan hukum tata negara darurat subjektif, yakni kewenangan subjektif

negara untuk menyatakan keadaan darurat serta mengambil tindakan sewaktu-

waktu ancaman bahaya laten itu menjadi nyata.

Berkebalikan dengan hukum tata negara darurat materil, dalam hukum tata

negara darurat formal keadaan bahaya yang dimaksud dinyatakan secara resmi

oleh Presiden berdasarkan kewenangan yang melekat padanya. Pengertian ini

bersinggungan dengan hukum tata negara darurat dalam arti objektif, yaitu yang

mengupayakan agar segala ketentuan hukum tata negara darurat dinyatakan secara

tertulis guna memberikan kepastian mengenai batasan hak dan kewajiban negara,

sehingga menghindarkan warga negara dari tindakan sewenang-wenang.

C. Pemerintahan Darurat

Pemerintahan darurat merupakan wacana yang lebih spesifik dari wacana

mengenai hukum tata negara darurat. Telah dijabarkan sebelumnya, bahwa hukum

tata negara darurat bisa dibagi-bagi berdasarkan ruang lingkup maupun bentuk

dan coraknya. Sementara pemerintahan darurat memiliki ruang lingkup yang lebih

sempit dan spesifik lagi dibanding hukum tata negara darurat. Pembahasan

mengenai pemerintahan dalam hal ini adalah pembahasan mengenai pemerintahan

sebagai sebuah sistem. Oleh karena itu, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian

sistem dan pengertian pemerintahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 60: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

49

Sistem, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)80, diartikan sebagai

perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu

totalitas. Pengertian lainnya yaitu susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas,

dan sebagainya. Menurut Carl J. Friedrich seperti dikutip Moh. Kusnardi dan

Hermaily Ibrahim81, sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian

yang mempunyai hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga

hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang

akibatnya, jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik, akan mempengaruhi

keseluruhannya itu.

Pemerintahan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memerintah, atau dapat

juga diartikan sebagai segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam

menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara.82 Dari

pengertian ini, tampak jelas bahwa segala urusan pemerintahan semata-mata

hanyalah untuk membuat masyarakat sejahtera. Dalam pengertian yang lebih luas,

pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam

menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri,

sehingga tidak boleh diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas

eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya, termasuk legislatif

dan yudikatif.83 Dengan kata lain, pemerintahan yang mengacu hanya pada tugas-

tugas eksekutif saja adalah pemerintahan dalam arti sempit. Sebaliknya,

pemerintahan yang mengacu pada tugas-tugas eksekutif, legislatif, yudikatif

80 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,

2008), hal. 1362. 81 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

loc.cit., hal. 171. 82 Ilham Gunawan dan M. Martinus Sahrani, Kamus Hukum, (Jakarta: Restu Agung,

2002), hal. 387. 83 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

op.cit., hal. 171.

Universitas Sumatera Utara

Page 61: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

50

maupun pembagian-pembagian tugas lainnya yang bekerja secara bersama-sama

dalam suatu sistem, adalah pemerintahan dalam arti luas.

Dari penjabaran di atas, maka pemerintah dapat dipahami sebagai badan yang

melaksanakan urusan-urusan pemerintahan dalam rangka mensejahterakan

masyarakat. Menurut C. F. Strong, seperti dikutip oleh Guido Goncalves

Moniz,84pemerintah adalah suatu organisasi yang diberi hak untuk melaksanakan

kekuasaan kedaulatan. Kekuasaan kedaulatan tersebut dijalankan dengan

serangkaian mekanisme yang telah diatur sebelumnya di dalam konstitusi, semisal

mekanisme separation of powers dan mekanisme checks and balances.

Pengertian mengenai pemerintah dan pemerintahan tidak terlepas dari ajaran-

ajaran terdahulu tentang bentuk ideal negara dan pemerintahan. Menurut Sri

Soemantri,85 pengertian pemerintah serta pemerintahan pada umumnya sangat

dipengaruhi oleh ajaran trias politika (tripraja) Montesquieu. Pengertian ini tentu

akan berbeda jika dilihat dari perspektif caturpraja dan pancapraja. Sebagai

contoh, konsep caturpraja yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven86 membagi

kekuasaan menjadi 4 (empat), yaitu:

a. pemerintahan (bestuur);

b. kepolisian;

c. peradilan;

d. perundang-undangan.

84 Guido Goncalves Moniz, Kewenangan Presiden menyatakan negara dalam keadaan

darurat berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor Leste, 2016, Disertasi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Udayana, hal. 19. 85 Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-Dasarnya, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1983), hal. 176. 86 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 62: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

51

Berbeda dengan Montesquieu, Van Vollenhoven membedakan tugas-tugas

kepolisian dari tugas-tugas pemerintahan lainnya. Jika berangkat dari konsep

caturpraja ini, maka pengertian pemerintahan yang hanya mencakup cabang

kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak lagi memadai. Oleh karena itu,

Sri Soemantri87 menegaskan bahwa pengertian pemerintah dan pemerintahan, baik

dalam arti sempit maupun dalam arti luas, pada akhirnya akan bergantung pada

sistem atau ajaran yang dianut oleh suatu negara.

Jika hendak memberikan definisi pemerintahan, konsep pemisahan kekuasaan

yang dianut oleh pemerintahan itu perlu diketahui terlebih dahulu agar definisinya

dapat dirumuskan dengan jelas dan memadai. Misalnya, di negara-negara yang

menganut ajaran trias politika Montesquieu, maka pemerintahan dapat

didefinisikan sebagai perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ

legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang bekerja bersama-sama guna mencapai

suatu maksud atau tujuan tertentu. Sementara di negara-negara yang menganut

ajaran di luar dari trias politika, seperti caturpraja ataupun pancapraja, maka

definisi pemerintahannya akan disesuaikan dengan konsep pemisahan kekuasaan

yang dianutnya, dan organ-organ yang berwenang untuk memerintah disebutkan

secara tegas dalam definisi tersebut. Untuk selanjutnya, definisi pemerintahan

berdasarkan ajaran trias politika akan menjadi definisi yang digunakan dalam

pembahasan-pembahasan berikutnya.

87 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 63: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

52

Secara umum, tugas-tugas pemerintahan terbagi menjadi:88

a. perundang-undangan, yaitu membentuk undang-undang dalam arti materil,

yakni menentukan peraturan-peraturan yang umum dan mengikat;

b. peradilan, yaitu menetapkan hukum dalam hal-hal yang nyata;

c. polisi,89 yaitu pengawasan dari pemerintahan atas paksaan yang

dilakukannya, supaya orang-orang menjalankan hukum yang telah

ditetapkan;

d. pemerintahan, yaitu tiap-tiap tindakan pemerintah yang mengenai

pelaksanaan undang-undang, yang tidak termasuk perundang-undangan,

peradilan atau polisi.

Pembagian tugas-tugas pemerintahan ini tidak terlepas dari perkembangan

ajaran-ajaran tentang pemerintahan yang ideal. Baik konsep trias politika atau

tripraja yang diperkenalkan oleh Montesquieu, maupun konsep caturpraja yang

diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Pembagian tugas-tugas pemerintahan setiap

negara dengan sendirinya akan disesuaikan dengan konsep pemisahan kekuasaan

yang dianut oleh masing-masing negara.

Kendati demikian, pembagian tugas-tugas pemerintahan itu pada dasarnya

tidak pernah bisa berjalan secara murni di setiap negara. Pasti terdapat

penyesuaian terhadap keadaan masing-masing negara. Indonesia, meskipun

menganut konsep trias politika, pada praktiknya tidak betul-betul

mengimplementasikan ajaran itu secara murni. Misalnya, Presiden sebagai

pemegang kekuasaan eksekutif, masih memiliki kewenangan di bidang

88 L. J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum: Inleiding Tot De Studie Van Het

Nederlandse Recht, (Jakarta: Noordhoff-Kolff N. V., 1957), cet. ke-II, hal. 263. 89 C. van Vollenhoven, Omtrek en inhoud van het internationale recht, (diss. Leiden

1898), hal. 29, dalam Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 64: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

53

perundang-undangan (legislasi)90 serta di bidang kehakiman (yudikatif).91

Kewenangan ini bahkan dicantumkan secara eksplisit di dalam konstitusi.

Kenyataan ini menjadi penegasan bahwa trias politika Montesquieu tidak bisa

diterapkan secara utuh. Ajaran ini memang sangat memengaruhi konstitusi banyak

negara pada abad 18 dan 19, namun di mana-mana, hampir dapat dipastikan, tidak

ada yang diterapkan secara konsekuen. Pemisahan kekuasaan yang tajam

sebagaimana diingini Montesquieu, praktis tidak dapat dijalankan.92

Darurat diartikan sebagai keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka

(dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan

segera; keadaan terpaksa; keadaan sementara.93 Dengan formulasi pengertian

darurat ini, ditambah dengan pengertian pemerintahan yang sudah dijelaskan

sebelumnya, dapat dibangun sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan

pemerintahan darurat adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam

keadaan darurat yang membutuhkan tindakan penanggulangan segera, dalam

rangka menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu

sendiri selama keadaan darurat tersebut berlangsung.

D. Pengaturan Mengenai Kedaruratan dalam Konstitusi Indonesia

Konstitusi (Inggris = constitution; Belanda = grondwet; Perancis = constituer)

dapat diartikan secara sempit dan secara luas.94 Dalam arti sempit, konstitusi

mengacu kepada undang-undang dasar, yaitu konstitusi tertulis (written

constitution). Pengertian ini pula yang lebih berkembang di Indonesia sebagai

90 Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945. 91 Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945. 92 L. J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, op.cit., hal. 264. 93 Ilham Gunawan dan M. Martinus Sahrani, Kamus Hukum, op. cit., hal. 70. 94 Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Perubahan Konstitusi, (Bandung:

Alumni, 1987), hal. 21.

Universitas Sumatera Utara

Page 65: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

54

negara yang secara historis menganut sistem hukum civil law yang

mengedepankan aturan-aturan hukum tertulis. Hal ini terbukti dengan penyebutan

istilah “konstitusi” bagi undang-undang dasar Republik Indonesia Serikat.95

Sementara dalam arti luas, konstitusi tidak hanya mengacu pada undang-undang

dasar sebagai aturan tertulis. Konstitusi dalam arti luas bisa juga mengacu pada

aturan-aturan tidak tertulis. Aturan-aturan tidak tertulis ini bisa berupa adat

istiadat, kebiasaan-kebiasaan keluarga kerajaan dan kesepakatan yang dibangun

dalam masyarakat. Kendati demikian, konstitusi dalam arti luas dapat pula

mengacu pada aturan-aturan tertulis seperti yang ada dalam undang-undang dasar,

namun aturan tersebut tersebar di beberapa dokumen. Tidak komprehensif

sebagaimana undang-undang dasar. Konstitusi semacam ini disebut sebagai

konstitusi tidak tertulis (unwritten constitution). Dari pengertian tersebut, dapat

dipahami bahwa undang-undang dasar adalah bagian dari konstitusi, sedangkan

konstitusi bisa berupa undang-undang dasar, dan bisa berupa aturan-aturan dasar

yang tidak tertulis.

Konstitusi pada hakikatnya adalah aturan-aturan dasar, baik tertulis maupun

tidak tertulis, yang dijadikan sebagai landasan bagi pemberlakuan segala bentuk

peraturan perundang-undangan serta penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu

negara. Apabila istilah yang digunakan adalah undang-undang dasar, maka

pembahasannya terbatas pada aturan-aturan tertulis.

Menurut Miriam Budiardjo,96 undang-undang dasar menentukan cara-cara

bagaimana pusat-pusat kekuasaan bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama

lain, serta merekam hubungan antara kekuasaan-kekuasaan tersebut. E. C. S.

95 Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2000), hal. 99. 96 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1981), hal. 95-96.

Universitas Sumatera Utara

Page 66: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

55

Wade, sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo,97 menyatakan bahwa undang-

undang dasar, menurut sifat dan fungsinya merupakan suatu naskah yang

memaparkan kerangka serta tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintah suatu

negara, dan menentukan pokok-pokok tentang bagaimana badan-badan

pemerintah itu bekerja.

Keberadaan konstitusi sangat krusial bagi sebuah negara, mengingat

pengaturan-pengaturan paling mendasar mengenai negara ada dalam konstitusi. Di

sanalah diatur tentang sistem pemerintahan, bentuk pemerintahan, pembagian

tugas-tugas lembaga negara, hak-hak asasi manusia dan hal-hal mendasar lainnya.

Secara konseptual, konstitusi memuat unsur-unsur sebagai berikut:98

a. prinsip-prinsip mengenai kekuasaan pemerintahan;

b. prinsip-prinsip mengenai hak-hak warga negara;

c. prinsip-prinsip mengenai hubungan antara warga negara dengan

pemerintah.

Dinamika ketatanegaraan suatu negara sangat dipengaruhi oleh konstelasi

politiknya. Demikian halnya dengan konstitusi yang notabene merupakan produk

hukum yang melalui serangkaian proses politik. Fakta ini pula yang kerap

disimplifikasi dengan ungkapan bahwa hukum adalah produk politik. Politik,

dengan ragam kepentingan yang meliputinya, menjadi faktor pendorong

perubahan-perubahan produk hukum, termasuk konstitusi Indonesia yang selalu

berubah mengikuti perkembangan politik.99 Kendati demikian, setiap negara pasti

mengambil langkah-langkah agar konstitusinya tidak mudah diombang-

97 E. C. S. Wade, Constitutional Law, dalam Ibid., hal. 96. 98 Jazim Hamidi, Hukum Perbandingan Konstitusi, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publiser,

2009), hal. 88. 99 M. Agus Santoso, “Kajian Hubungan Timbal Balik Antara Politik dan Hukum”, Jurnal

Ilmiah Hukum Yuriska, Volume I No. I, Agustus 2009, hal. 9.

Universitas Sumatera Utara

Page 67: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

56

ambingkan oleh kepentingan politik. Padmo Wahjono100 mengemukakan hal-hal

berikut sebagai cara mempersulit perubahan konstitusi dalam rangka menjamin

kepastian hukum:

a. adanya suatu badan tertentu yang khusus untuk mengubah konstitusi,

sebagaimana pernah diterapkan di Indonesia dengan keberadaan

konstituante;

b. dengan referendum umum, yakni meminta persetujuan kepada seluruh

rakyat;

c. dalam negara serikat, dengan meminta jumlah suara terbanyak dari negara-

negara bagian yang tergabung di dalamnya;

d. mengadakan suatu panitia khusus (special convention ad hoc), bukan

badan khusus.

Ketentuan-ketentuan mengenai perubahan konstitusi juga diatur dalam

konstitusi itu sendiri. Dalam UUD NRI 1945, ketentuan-ketentuan tersebut adalah

sebagai berikut:101

(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan

dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh

sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan

Rakyat.

(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara

tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah

beserta alasannya.

100 Padmo Wahjono, Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1982), diakses dari

repository.lppm.unila.ac.id pada tanggal 10 Maret 2021. 101 Pasal 37 ayat (1) sampai (4) UUD NRI 1945.

Universitas Sumatera Utara

Page 68: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

57

(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis

Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan

dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu

anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dengan demikian, perubahan konstitusi bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.

Dengan catatan, telah ditentukan tata cara perubahannya, dan cara-cara tersebut

merupakan upaya untuk menjaga konstitusi agar tidak diubah semata-mata karena

kepentingan politik. Di samping itu, UUD NRI 1945 juga telah menetapkan

secara khusus apa yang sama sekali tidak bisa diubah dalam perubahan undang-

undang dasar, yaitu mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.102

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dikenal

sekarang ini lahir dari serangkaian tahapan yang tidak dapat dikatakan sederhana.

Dalam tahapan-tahapan perubahan konstitusinya, Indonesia harus melalui banyak

hal, dan hal-hal itu pula yang mendorong terjadinya perubahan tersebut. Mulai

dari pergolakan politik dalam negeri, konfrontasi dengan negara lain, hingga

usaha Belanda untuk kembali menduduki dan mempertahankan Indonesia sebagai

wilayah koloninya. Tahapan-tahapan perubahan atau yang kemudian lebih dikenal

sebagai periodisasi konstitusi Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua) fase besar,

yaitu konstitusi Indonesia sebelum amandemen dan konstitusi Indonesia setelah

amandemen.

102 Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945.

Universitas Sumatera Utara

Page 69: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

58

Dalam setiap fase, terdapat pula beberapa kali perubahan yang dilakukan terhadap

konstitusi Indonesia. Perubahan-perubahan dalam masing-masing fase dapat

dijabarkan sebagai berikut:

A. Konstitusi Republik Indonesia sebelum amandemen, terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (18 Agustus 1945

sampai dengan 27 Desember 1949)

Undang-undang dasar pada periode ini sering juga disebut sebagai UUD NRI

1945 naskah asli atau UUD NRI 1945 naskah awal. Konstitusi ini dirumuskan

oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) dan kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan

Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta. Bagi sebuah negara yang

baru merdeka, tentu konstitusi ini masih sangat sederhana. Hal ini terutama

diakibatkan oleh ketergesa-gesaan dalam proses penyusunannya.103 Alhasil,

masih banyak hal-hal yang belum sempat diadakan pengaturannya secara

komprehensif dalam UUD NRI 1945. Salah satu yang paling menonjol ialah

peran lembaga legislatif yang belum kelihatan. Di kemudian hari, fakta ini

banyak digunakan sebagai landasan argumen untuk mengatakan bahwa UUD

NRI 1945 yang semula dipakai sebagai hukum dasar pada saat merdeka adalah

konstitusi yang memusatkan kekuasaan di tangan presiden (executive

heavy).104 Namun prasangka-prasangka semacam ini secara perlahan terjawab

dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober

103 M. Agus Santoso, “Perkembangan Konstitusi di Indonesia”, Jurnal Yustisia Volume 2

No. 3, September-Desember 2013, hal. 125. 104 Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2010), hal. viii.

Universitas Sumatera Utara

Page 70: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

59

1945 oleh Wakil Presiden Hatta yang berisi penyerahan tugas-tugas legislatif

kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum terbentuknya MPR

dan DPR. Maklumat ini menjadi momentum perbaikan substansi konstitusi,

namun pada saat bersamaan mengindikasikan bahwa konstitusi di masa ini

belum bisa dilaksanakan secara efektif karena sistem ketatanegaraan masih

cenderung berubah-ubah.105

b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 sampai dengan 17

Agustus 1950)

Konstitusi Republik Indonesia Serikat lahir bersamaan dengan lahirnya Negara

Republik Indonesia Serikat sebagai salah satu hasil kesepakatan Konferensi

Meja Bundar (ronde tafel conferentie) yang diadakan di Den Haag, Belanda

sejak tanggal 23 Agustus sampai tanggal 2 November 1949.106 Konferensi

Meja Bundar merupakan puncak dari beberapa pertemuan yang sebelumnya

telah digelar antara Indonesia dan Belanda, seperti Konferensi Inter-Indonesia

di Yogyakarta, Perjanjian Roem-Royen, hingga konferensi pendahuluan yang

dilaksanakan di Jakarta. Konferensi Meja Bundar yang ditutup pada tanggal 2

November 1949 menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:107

1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.

2. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.

3. Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan

Belanda.

105 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka

Publiser, 2006), hal. 2, dalam M. Agus Santoso, op.cit., hal. 121. 106 P. J. Suwarno, Tata Negara Indonesia: Dari Sriwijaya Sampai Indonesia Modern,

(Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2003), hal. 148. 107 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, op. cit., hal. 69.

Universitas Sumatera Utara

Page 71: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

60

Dengan berdirinya Republik Indonesia Serikat, maka konstitusi pun berubah,

dari UUD NRI 1945 menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat

(Konstitusi RIS). Begitu pula dengan bentuk negara yang semula kesatuan,

berubah menjadi federal, serta sistem pemerintahan yang tadinya presidensial,

berubah menjadi parlementer. Kendati demikian, konstitusi ini juga belum

bisa dilaksanakan secara efektif, karena lembaga-lembaga negara sebagaimana

diamanatkan dalam Konstitusi RIS belum terbentuk.108

c. Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (17 Agustus 1950 sampai

dengan 5 Juli 1959)

Belum genap setahun, konstitusi Indonesia sudah harus berubah lagi. Hal ini

seiring dengan ketidaksetujuan sebagian besar masyarakat terhadap Republik

Indonesia Serikat, dan dengan sendirinya, pada konstitusinya juga. Isi

Konstitusi RIS dinilai tidak berakar pada kehendak politik rakyat Indonesia,

melainkan rekayasa pihak Belanda dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa.109

Secara perlahan, negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat mulai

menggabungkan diri kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Upaya untuk mengubah konstitusi ini akhirnya dapat direalisasikan. Dengan

Undang-Undang Federal No. 7 Tahun 1950 (Lembaran Negara RIS tahun

1950 No. 56), ditetapkanlah perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat

menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) berdasarkan pasal 190,

127a, dan pasal 191 ayat (2) Konstitusi RIS.110 Dalam UUDS 1950 disebutkan

bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk

108 M. Agus Santoso, “Perkembangan Konstitusi di Indonesia”, op.cit., hal. 122. 109 Ibid. 110 P. J. Suwarno, Tata Negara Indonesia: Dari Sriwijaya Sampai Indonesia Modern,

op.cit., hal. 159.

Universitas Sumatera Utara

Page 72: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

61

kesatuan.111 Alat-alat perlengkapan negara meliputi Presiden dan Wakil

Presiden, menteri-menteri, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan

Dewas Pengawas Keuangan.112 Sama halnya dengan Konstitusi RIS, UUDS

1950 juga bersifat sementara sebagaimana disebutkan pada pasal 134 UUDS

1950, yang mengamanatkan Konstituante bersama pemerintah sesegera

mungkin menyusun undang-undang dasar yang akan menggantikan UUDS

1950.113 Perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD 1950 merupakan perubahan

yang sangat mendasar. Perubahan tersebut tidak hanya mengubah ketentuan-

ketentuan semata, melainkan mengubah pembukaan sekaligus dengan batang

tubuh Konstitusi RIS, bahkan mengubah bentuk negara. Oleh karena itu,

transisi Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950 pada hakikatnya adalah

penggantian, hanya prosedurnya saja yang ditempuh melalui prosedur

perubahan, yakni sebagaimana diatur dalam pasal 190, 127a dan pasal 191

Konstitusi RIS.114

d. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (5 Juli 1959 sampai

dengan 19 Oktober 1999)

Konstitusi berikutnya yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang diberlakukan kembali

berdasarkan dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959. Adapun dasar dari dekrit ini

adalah staatsnoodrecht.115 Pemberlakuan kembali UUD NRI 1945 ini juga

dilatarbelakangi oleh Konstituante yang dinilai telah gagal dalam merumuskan

111 Pasal 1 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 112 Pasal 44 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 113 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

op.cit., hal. 95. 114 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),

hal. 74. 115 Van der Pot dalam Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata

Negara Indonesia, op.cit., hal. 96.

Universitas Sumatera Utara

Page 73: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

62

undang-undang dasar yang baru sebagai pengganti UUDS 1950, meskipun

pendapat lain mengatakan, bukan kegagalan Konstituante yang mendorong

pembubaran Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD NRI 1945,

melainkan karena adanya kepentingan politik dari kalangan militer dan

pendukung Soekarno.116 Namun begitulah jalannya sejarah. Sejak saat itu,

UUD NRI 1945 kembali diberlakukan sebagai pengganti UUD 1950.

B. Konstitusi Republik Indonesia setelah amandemen, terdiri dari:

a. Masa-masa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 (19 Oktober 1999 sampai dengan 10 Agustus 2002)

Konstitusi yang berlaku di masa ini adalah UUD NRI 1945 yang selama 4

(empat) tahun berturut-turut mengalami perubahan sebagai realisasi tuntutan

reformasi. Perubahan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

berdasarkan kewenangannya sebagaimana diatur pada pasal 3 UUD NRI 1945.

Adapun dasar hukum perubahan adalah pasal 37 UUD NRI 1945. Dalam

melakukan perubahan UUD NRI 1945, MPR kemudian menetapkan 5 (lima)

kesepakatan, yaitu:117

1. tidak mengubah pembukaan UUD NRI 1945;

2. tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. mempertegas sistem pemerintahan presidensial;

4. penjelasan UUD NRI 1945 yang memuat hal-hal normatif akan

dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh);

5. melakukan perubahan dengan cara adendum.

116 Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional, op.cit., hal. 149. 117 M. Agus Santoso, “Perkembangan Konstitusi di Indonesia”, op.cit, hal. 123.

Universitas Sumatera Utara

Page 74: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

63

Seiring dengan perubahan UUD NRI 1945 yang berlangsung sejak tahun

1999 sampai dengan 2002, maka naskah resmi UUD NRI 1945 terdiri atas

5 (lima) bagian, yaitu naskah awal UUD NRI 1945 ditambah naskah

perubahan pertama, kedua, ketiga dan naskah perubahan keempat.118

b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasca amandemen

(10 Agustus 2002 sampai sekarang)

UUD NRI 1945 yang berlaku hingga sekarang merupakan konstitusi yang

telah jauh lebih baik dari konstitusi-konstitusi sebelumnya. Demokrasi bisa

lebih terjamin, posisi serta peranan lembaga-lembaga negara bisa diatur secara

lebih tegas, masa jabatan presiden dibatasi hanya 2 (dua) periode serta dipilih

langsung oleh rakyat, dan pelaksanaan otonomi diuraikan secara lebih rinci

sehingga pembangunan dapat berjalan dengan baik.119 Mitos tentang kesaktian

dan kesakralan konstitusi pun menjadi runtuh sejak perubahan pertama pada

tahun 1999 berhasil dilaksanakan, mengingat sebelumnya gagasan amandemen

UUD NRI 1945 selalu dianggap salah dan bertendensi subversif terhadap

negara dan pemerintah.120

Dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, telah terdapat

pengaturan mengenai keadaan darurat, sekalipun konsepsi mengenai keadaan

darurat itu masih berupa wacana yang belum mapan. Hal ini menyebabkan

ketentuan-ketentuan tersebut pada praktiknya selalu memicu kontroversi saat

diimplementasikan oleh pemerintah. Dalam UUD NRI 1945 naskah awal, keadaan

darurat diatur pada pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI 1945. Dalam konstitusi

118 Ibid., hal. 124. 119 Ibid. 120 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi

Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 176.

Universitas Sumatera Utara

Page 75: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

64

berikutnya, yaitu Konstitusi RIS, keadaan darurat diatur pada pasal 139 Konstitusi

RIS. Istilah keadaan darurat tidak disebutkan secara eksplisit, melainkan “undang-

undang darurat” sebagai langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah federal

dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan dalam situasi yang mendesak dan

perlu diatur segera.121 Pengaturan keadaan darurat dalam UUDS 1950 tidak jauh

berbeda dengan pengaturan dalam Konstitusi RIS. Pengaturan dalam UUDS 1950

hanya menghilangkan kata “federal”122 mengingat dengan beralihnya Konstitusi

RIS ke UUDS 1950, bentuk negara Indonesia memang telah dikembalikan

menjadi negara kesatuan. Pengaturan keadaan darurat dalam UUDS 1950 juga

terdapat pada pasal 129 UUDS 1950. Konstitusi yang berlaku selanjutnya adalah

UUD NRI 1945 yang diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dengan demikian, pengaturan normatif mengenai keadaan darurat kembali seperti

semula, yaitu diatur pada pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI 1945. Namun, transisi

dari UUDS 1950 kembali ke UUD NRI 1945 seyogianya terjadi dalam nuansa

darurat. M.Yamin123 menyatakan bahwa dikeluarannya Dekrit Presiden 5 Juli

1959 oleh Presiden Soekarno merupakan akibat dari kegagalan Konstituante

dalam merumuskan undang-undang dasar yang baru, sehingga Presiden Soekarno

terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi.

Penggunaan kata “terpaksa” inilah yang kemudian menjadi landasan argumen M.

Yamin mengatakan bahwa yang menjadi dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah

hukum darurat.124 Argumen ini semakin dikuatkan oleh pendapat Dewan

121 Pasal 139 ayat (1) Konstitusi Republik Indonesia Serikat. 122 Pasal 96 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 123 M. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, hal. 135., dalam

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, op. cit., hal. 105. 124 Istilah hukum darurat yang dimaksudkan M. Yamin merupakan istilah hukum tata

negara darurat yang dikenal dewasa ini. Hal ini terbukti dengan padanan bahasa Belanda yang

Universitas Sumatera Utara

Page 76: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

65

Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dalam memorandum mengenai

sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundang-

undangan Republik Indonesia,125 yang antara lain menyatakan bahwa Dekrit

Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi sumber hukum bagi berlakunya kembali UUD

NRI 1945 dikeluarkan atas dasar hukum darurat negara (staatsnoodrecht),

mengingat keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan

keselamatan negara. Selengkapnya, dalam memorandum DPR-GR tersebut

disebutkan sebagai berikut:

Dekrit tersebut yang merupakan sumber hukum bagi berlakunya kembali

Undang-Undang Dasar 1945, sejak 5 Juli 1959, dikeluarkan atas dasar

hukum darurat negara (staatsnoodrecht), mengingat keadaan ketata-negaraan

yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa,

serta merintangi pembangunan semesta, untuk mencapai masyarakat yang

adil dan makmur, disebabkan kegagalan Konstituante untuk melaksanakan

tugasnya menetapkan Undang-Undang Dasar bagi Bangsa dan Negara

Republik Indonesia.

Meskipun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan suatu tindakan darurat, namun

kekuatan hukumnya juga sangat dipengaruhi oleh dukungan rakyat Indonesia.126

Hal ini juga ditegaskan dalam memorandum DPR-GR yang menyebutkan sebagai

berikut:

Meskipun Dekrit 5 Juli 1959 itu merupakan suatu tindakan darurat, namun

kekuatan hukumnya bersumber pada dukungan seluruh rakyat Indonesia,

terbukti dari persetujuan DPR hasil pemilihan umum (1955) secara aklamasi

pada 22 Juli 1959.

digunakan oleh M. Yamin, yaitu staatsnoodrecht. Selain hukum darurat, M. Yamin juga

menggunakan istilah hukum darurat ketatanegaraan. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik

Indonesia, ibid. 125 Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan

Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia dan Skema Susunan Kekuasaan di dalam Republik

Indonesia. Memorandum ini terlampir dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum

Republik Indonesia dan Tata Uratan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. 126 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, op. cit., hal. 107.

Universitas Sumatera Utara

Page 77: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

66

Adapun pengaturan mengenai keadaan darurat dalam UUD NRI 1945 yang

diberlakukan kembali sejak 5 Juli 1959, terus bertahan sampai amandemen UUD

NRI 1945 tahun 1999 hingga 2002. Dengan demikian, pengaturan serupa juga

terdapat dalam UUD NRI 1945 yang berlaku sampai sekarang.

E. Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai Dasar Konstitusional

Pemberlakuan Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia

Dalam hukum tata negara, terdapat doktrin yang disebut doktrin konstitusional

dualis. Doktrin ini menyatakan bahwa dalam setiap negara, selalu terdapat

pengaturan mengenai hukum tata negara dalam keadaan normal dan hukum tata

negara dalam keadaan darurat. Indonesia, sejak awal kemerdekaan telah

mengadakan pengaturan tentang hukum tata negara darurat dalam konstitusinya.

Naskah awal UUD NRI 1945 telah memuat ketentuan mengenai hukum tata

negara darurat dalam 2 (dua) pasal, yaitu pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI 1945.

Kedua pasal inilah yang menjadi dasar konstitusional pemberlakuan hukum tata

negara darurat di Indonesia sampai hari ini. Dalam perkembangan konstitusi

Indonesia, pengaturan ini sendiri mengalami beberapa kali perubahan

sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Perubahan paling

signifikan terjadi saat konstitusi Indonesia beralih dari UUD NRI 1945 naskah

awal menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat seiring dengan terbentuknya

Republik Indonesia Serikat sebagai salah satu kesepakatan Konferensi Meja

Bundar.

Universitas Sumatera Utara

Page 78: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

67

Ketentuan pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI terus mengalami perkembangan

dalam penafsirannya. Adapun bunyi pasal 12 UUD NRI 1945 adalah sebagai

berikut:

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan

bahaya ditetapkan dengan undang-undang.

Sementara pasal 22 UUD NRI 1945 berbunyi sebagai berikut:

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat dalam persidangan yang berikut.

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus

dicabut.

Alur pemikiran arus-utama membedakan antara pasal 12 dengan pasal 22.

Pasal 22 tentang peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang

(PERPPU) tidak selalu dikaitkan dengan pasal 12 tentang keadaan bahaya.

Keadaan bahaya yang disebutkan pada pasal 12 dimaknai secara pasti sebagai

keadaan darurat. Sedangkan kegentingan yang memaksa sebagaimana disebutkan

pada pasal 22 bisa dimaknai sebagai keadaan darurat, bisa juga tidak. Dengan kata

lain, kegentingan yang memaksa dalam pasal 22 bisa dimaknai dalam kerangka

hukum tata negara darurat, bisa tidak.

Sejak Indonesia merdeka, pengimplementasian pasal 22 UUD NRI 1945 tidak

pernah dimasukkan dalam kerangka hukum tata negara darurat dan tidak

ditempatkan sebagai bagian dari hukum tata negara darurat. Fakta ini turut

mendukung pemahaman yang membedakan pasal 12 dengan pasal 22. Pasal 22

lebih dipahami sebagai ketentuan tentang pembentukan PERPPU yang bisa berada

dalam kerangka hukum tata negara normal maupun kerangka hukum tata negara

Universitas Sumatera Utara

Page 79: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

68

darurat. Daniel P. Yusmic Foekh127 mengemukakan bahwa pemberlakuan

PERPPU di Indonesia menunjukkan bahwa memang ukuran “hal ihwal

kegentingan yang memaksa” adalah situasi yang abnormal di segala bidang, baik

di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, bencana alam dan sebagainya, di mana

pada saat keadaan abnormal tersebut, perlengkapan hukum yang ada tidak lagi

mampu mengatasi situasi abnormal yang sedang terjadi. Sementara pasal 12 lebih

khusus mengatur tentang hukum tata negara darurat, yang ditandai dengan adanya

keadaan bahaya yang mengancam keselamatan bangsa dan negara. Adapun

kriteria keadaan bahaya atau keadaan darurat tersebut diatur lebih lanjut dalam

undang-undang. Pada masa pemerintahan PDRI, undang-undang yang mengatur

tentang kriteria keadaan darurat tersebut adalah Undang-Undang No. 6 Tahun

1946 tentang Keadaan Bahaya.

Regulasi yang mengatur tentang keadaan darurat terus berkembang. Beberapa

undang-undang yang lahir kemudian mengatur tentang keadaan darurat. Sebagai

contoh, terdapat Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana yang mengatur tentang darurat bencana. Ada pula Undang-Undang No. 6

Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang mengatur tentang darurat

kesehatan. Jika dilihat sepintas, kedua undang-undang ini dapat dibaca sebagai

regulasi dalam keadaan darurat. Namun jika ditelisik lebih jauh, undang-undang

ini justru tidak merujuk pada pasal 12 UUD NRI 1945 sebagai dasar

konstitusional pengaturan tentang keadaan darurat. Hal inilah yang menjadi

pemicu persoalan selama ini, di mana regulasi mengenai penanganan keadaan

127 Daniel P. Yusmic Foekh, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(PERPPU): Suatu Kajian Dari Perspektif Hukum Tata Negara Normal dan Hukum Tata Negara

Darurat”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, dalam Sonya Claudia

Siwu, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Dalam Sistem Hukum

Indonesia”, Jurnal Majelis Edisi 02, Februari 2019, hal. 49.

Universitas Sumatera Utara

Page 80: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

69

darurat tidak merujuk ke konstitusi maupun UU Keadaan Bahaya, sehingga

kedudukannya sebagai regulasi dalam keadaan darurat masih dipertanyakan.

Dalam penerapan hukum tata negara darurat, upaya penanganan harus

seimbang dengan keadaan darurat yang sedang dihadapi. Keseimbangan ini

merupakan prinsip utama dalam hukum tata negara darurat yang sifatnya mutlak

dan sebagai dasar legitimasi diterapkannya hukum tata negara darurat.128 Hukum

yang berlaku saat keadaan darurat, bobotnya harus seimbang dengan bobot situasi

yang ada.129 Namun pada praktiknya, penerapan prinsip keseimbangan ini masih

menemui hambatan, yaitu masih banyaknya tafsir atas terminologi darurat.

Pemahaman terhadap kata darurat masih ambigu dan memiliki makna ganda.130

Menurut Mathias Klatt,131 kekaburan dan ambiguitas norma merupakan

problematika yuridis.

Mahkamah Konstitusi (MK), dalam Putusan MK No. 138/PUU-VIII/2009

memaknai “kegentingan yang memaksa” dalam pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai

sesuatu yang berbeda dari “keadaan bahaya” yang disebutkan pada pasal 12 UUD

NRI 1945. Dalam putusan MK tersebut, ditetapkan 3 (syarat) agar suatu keadaan

dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa. Syarat-syarat tersebut

adalah sebagai berikut:

128 Sonya Claudia Siwu, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)

Dalam Sistem Hukum Indonesia”, ibid., hal. 46. 129 Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, op. cit., hal. 5. 130 Sonya Claudia Siwu, op. cit., hal. 47. 131 Mathias Klatt, Making The Law Explicit: The Normativity of Legal Argumentation,

dalam ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 81: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

70

1. adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah

hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;

2. undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi

kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;

3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat

undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu

yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu

kepastian untuk diselesaikan.

Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa pengertian kegentingan yang

memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana

disebutkan dalam pasal 12 UUD NRI 1945. Memang benar bahwa keadaan

bahaya dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang tidak dapat

dilaksanakan dengan prosedur normal atau biasa, namun keadaan bahaya

bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan yang

memaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 UUD NRI 1945. Sebaliknya,

keadaan kegentingan yang memaksa juga bisa timbul akibat hal-hal yang tidak

sampai pada tingkat membahayakan keselamatan bangsa dan negara sebagaimana

dapat dimaknai dalam pasal 12 UUD NRI 1945.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pasal 12 dan pasal 22 UUD NRI

1945 sama-sama merupakan dasar konstitusional pemberlakuan hukum tata

negara darurat. Kedua pasal tersebut juga menjadi dasar rujukan bagi undang-

undang yang mengatur tentang keadaan darurat. Begitu pula dengan peraturan

pemerintah pengganti undang-undang (PERPPU) yang dapat dibentuk dalam

kerangka hukum tata negara normal maupun dalam kerangka hukum tata negara

darurat.

Universitas Sumatera Utara

Page 82: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

71

BAB III

TUJUAN DAN SYARAT PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN DARURAT

A. Tujuan Pembentukan Pemerintahan Darurat

Tujuan pembentukan pemerintahan darurat seyogianya tidak dapat dipisahkan

dari tujuan hukum tata negara darurat. Hal ini, sebagaimana telah dijelaskan pada

bagian-bagian sebelumnya, berangkat dari pemahaman bahwa pemerintahan

darurat merupakan satu wacana tersendiri dalam naungan diskursus hukum tata

negara darurat. Dengan demikian, pemerintahan darurat adalah wacana yang lebih

spesifik lagi dibanding hukum tata negara darurat. Jika dalam hukum tata negara

darurat, terdapat kemungkinan untuk membentuk suatu undang-undang darurat132

atau yang di era sekarang lebih dikenal dengan sebutan peraturan pemerintah

pengganti undang-undang (PERPPU) yang lantas dijalankan oleh pemerintahan

yang ada, maka dalam wacana pemerintahan darurat, pemerintah yang sah tidak

lagi dapat menjalankan tugas-tugasnya seperti biasa.

Pembentukan pemerintahan darurat bertujuan untuk mempertahankan

eksistensi negara. Sebab, negara tanpa pemerintahan tidak akan diakui sebagai

negara oleh dunia internasional (Konvensi Montevideo). Pembentukan

pemerintahan darurat mutlak diperlukan jika pemerintahan sah yang ada

terkendala atau terhalang melaksanakan tugas-tugasnya. Terhalangnya pemerintah

yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam hal ini disebabkan

oleh adanya keadaan bahaya atau darurat. Dalam kasus Pemerintah Darurat

132 Terminologi ini digunakan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Pasal 139

Konstitusi RIS), dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (Pasal 96). Kini, terminologi yang

digunakan dan diakomodir serta dicantumkan secara eksplisit dalam konstitusi adalah peraturan

pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22 UUD NRI 1945). Letezia Tobing, Arti

dan Kedudukan Undang-Undang Darurat, diakses pada tanggal 1 April 2021 dari

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51ae7d86ef8fb/arti-dan-kedudukan-undang-

undang-darurat/

Universitas Sumatera Utara

Page 83: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

72

Republik Indonesia (PDRI), keadaan bahaya yang terjadi adalah Agresi Militer

Belanda II, di mana Belanda berhasil menguasai Yogyakarta sebagai ibukota

Republik Indonesia pada masa itu, serta menahan presiden, wakil presiden,

perdana menteri dan beberapa orang menteri yang notabene adalah lembaga yang

melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

Terkendalanya suatu pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya dapat

diantisipasi dengan hukum tata negara objektif. Contohnya, dengan menentukan

lembaga mana yang berwenang untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan

jika pemerintahan yang ada tidak dapat melaksanakan tugasnya secara objektif.

Contoh pengaturan spesifik seperti ini misalnya dapat ditemukan pada ketentuan

pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menunjuk Menteri Luar Negeri, Menteri

Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama sebagai pelaksana

tugas-tugas kepresidenan apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,

diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya

secara bersamaan. Ketentuan ini masih berupa pengaturan pokok. Keadaan darurat

tidak disebutkan sebagai keadaan yang menyebabkan Presiden dan Wakil

Presiden tidak dapat menjalankan kewajibannya. Pada masa PDRI, pengaturan

secara spesifik terdapat pada pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1946

tentang Keadaan Bahaya (UU Keadaan Bahaya). Pasal tersebut menyebutkan;

Setelah pernyataan keadaan bahaya dilakukan untuk sebagian maupun untuk

seluruh Daerah Negara, maka kekuasaan yang menjalankan peraturan-peraturan

dalam Undang-undang ini, ialah suatu Dewan Pertahanan Negara yang terdiri

dari :

a. Perdana-Menteri, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri

Keuangan, Menteri Kemakmuran dan Menteri Perhubungan.

b. Panglima Besar.

c. 3 Wakil-wakil organisasi rakyat.

Universitas Sumatera Utara

Page 84: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

73

Pengaturan-pengaturan dalam kerangka hukum tata negara darurat objektif

sebagaimana disebutkan di atas boleh dikatakan sebagai pengaturan yang ideal.

Niccolo Machiavelli133 menyebutkan bahwa pengadaan pengaturan secara tertulis

dan komprehensif dalam menghadapi keadaan darurat adalah salah satu ciri

negara hukum modern. Sifat objektif atau tertulis dari pengaturan tersebut dapat

menjadi dasar hukum yang kuat untuk melegalkan tindakan-tindakan yang

diambil oleh pemerintah dalam keadaan darurat. Jika ternyata pengaturan

demikian tidak ada, maka opsi selanjutnya adalah dengan bersandar pada hukum

tata negara darurat subjektif yang berangkat dari doktrin self defense134 dan self

preservation.135

Dalam rangka menyelamatkan negara dari bahaya sehingga eksistensinya

sebagai negara berdaulat dapat dipertahankan, maka pemerintah dapat mengambil

tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma hukum dalam keadaan biasa,

ataupun mengambil tindakan yang belum ada pengaturannya secara tertulis dalam

konstitusi maupun dalam peraturan perundangan-undangan lainnya. Tindakan

semacam ini sering disebut sebagai tindakan yang ekstra konstitusional.136 Dalam

kasus PDRI, tindakan-tindakan yang diambil tidak sepenuhnya ekstra

konstitusional, namun tidak sepenuhnya juga ada pengaturannya secara eksplisit

133 Niccolo Machiavelli, The Prince and the Discourses, 1513 Translation, (Random

House, 1950), hal. 203, dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2008), hal. 84. 134 Muhammad Syarif Nuh, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of Emergency)

sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”, Jurnal Hukum

Vol. 18 No. 2 April 2011, hal. 236. 135 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal.

98. 136 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),

hal. 107.

Universitas Sumatera Utara

Page 85: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

74

dalam konstitusi maupun undang-undang. Dalam proses berdirinya PDRI,

terdapat titik temu antara legalitas pusat dengan inisiatif lokal.137

B. Syarat-Syarat Pembentukan Pemerintahan Darurat

Syarat-syarat pembentukan yang dimaksud dalam hal ini adalah parameter

dalam memberlakukan keadaan darurat. Kesesuaian antara keadaan bahaya yang

sedang dihadapi dengan parameter tersebut akan menjadi faktor yang menguatkan

maupun melemahkan dasar pembentukan pemerintahan darurat. Parameter yang

dimaksud dalam hal ini berkaitan erat dengan hukum tata negara darurat objektif,

karena penerapan parameter tersebut akan jauh lebih efektif jika ditentukan dan

diatur secara tertulis, baik dalam konstitusi maupun dalam undang-undang.

Di samping hukum tata negara darurat subjektif, pengaturan secara tertulis

(hukum tata negara darurat objektif) memang sangat diperlukan guna menentukan

keadaan-keadaan seperti apa saja yang dapat diklasifikasikan sebagai keadaan

darurat yang dapat membahayakan eksistensi negara, sehingga pemerintah bisa

menyatakan dan memberlakukan keadaan darurat. Klasifikasi keadaan-keadaan

ini tentu masih menjadi topik yang diperdebatkan di ranah hukum tata negara

darurat. Meskipun demikian, keadaan-keadaan yang dijadikan sebagai parameter

pemberlakuan keadaan darurat dapat dirangkum berdasarkan perundang-undangan

yang berlaku dan pernah berlaku di Indonesia. Parameter tersebut antara lain

sebagai berikut:

137 Moch. H. Kharismulloh Hilmatiar, “Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik

Indonesia Tahun 1949-1949 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan Hukum Tata Negara”, Al-

Mazahib, Volume 3 No. I, Juni 2015, hal. 167.

Universitas Sumatera Utara

Page 86: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

75

A. Berdasarkan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang

Keadaan Bahaya:

1. serangan;

2. bahaya serangan;

3. pemberontakan atau perusuhan, hingga dikhawatirkan pemerintah sipil

tidak sanggup menjalankan pekerjaannya;

4. bencana alam.

B. Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya:

1. keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian

wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan,

kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan

tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah

Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;

3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan

khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat

membahayakan hidup Negara.

Klasifikasi keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan di atas mengalami

perkembangan, sehingga keadaan-keadaan tersebut di kemudian hari diatur secara

lebih spesifik. Misalnya keadaan darurat bencana yang diatur dalam Undang-

Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pada BAB VII

Paragraf Kedua mengenai Tanggap Darurat, dan keadaan darurat kesehatan yang

diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan

Universitas Sumatera Utara

Page 87: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

76

Kesehatan, pada BAB IV mengenai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Selain

dapat dirangkum dari perundang-undangan, parameter pemberlakuan keadaan

darurat dapat pula dirinci dari segi konseptual, sebagai berikut:138

a. adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat);

b. adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity);

c. adanya keterbatasan waktu yang tersedia (limited time).

Parameter pemberlakuan keadaan darurat juga dapat ditemukan dalam

General Comment No. 29 on Article 4 of ICCPR yang berkaitan dengan upaya

perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam general comment tersebut,

Komite PBB tentang HAM mensyaratkan 2 (dua) kondisi mendasar yang harus

dipenuhi sebelum membatasi HAM dalam keadaan darurat, yaitu:

a. the situation must amount to a public emergency which threatens the life

of the nation, (situasi tersebut harus menjadi keadaan darurat publik yang

mengancam kehidupan bangsa);139

b. the State Party must have officially proclaimed a state of emergency

(Negara Pihak harus menyatakan keadaan darurat secara resmi).140

Hans Ernst Folz dalam bukunya berjudul A State of Emergency and

Emergency Legislation,141 mengusulkan daftar alasan pemberlakuan keadaan

darurat, meliputi:

a. adanya bahaya eksternal yang mengancam negara, tindakan bahaya dari

militer atau invasi militer, atau adanya koordinasi kegiatan subversif

dalam negeri dari wilayah suatu negara asing;

138 Muhammad Syarif Nuh, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of Emergency)

sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”, op. cit., hal. 245. 139 Terjemahan bebas oleh penulis. 140 Terjemahan bebas oleh penulis. 141 Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif

Keadaan Darurat”, Jurnal Media Hukum, Volume 21 Nomor 1, Juni 2014, hal. 62.

Universitas Sumatera Utara

Page 88: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

77

b. adanya kerusuhan domestik yang berbeda jenis, pemberontakan,

kerusuhan yang disebabkan oleh terganggunya fungsi normal dari organ

konstitusional atau konflik (di negara federal) antara pusat dan subjek

federasi;

c. gangguan fungsi normal dari otoritas pemerintah yang disebabkan oleh

pemogokan dalam pelayanan sipil;

d. penolakan untuk membayar pajak;

e. kesulitan di bidang ekonomi dan keuangan;

f. kerusuhan buruh dan bencana nasional.

Selain klasifikasi keadaan darurat, syarat pembentukan pemerintahan darurat

juga bisa terkait dengan mekanisme hukum internasional dan hukum nasional.

Dalam hukum internasional, terdapat konvensi PBB yang sepatutnya dirujuk oleh

setiap negara yang hendak membentuk pemerintahan darurat. Begitu pula dengan

hukum nasional. Terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi jika hendak

membentuk suatu pemerintahan darurat, walaupun pada praktiknya pemenuhan

kewajiban-kewajiban tersebut dapat dilakukan belakangan, yaitu setelah keadaan

darurat sudah berakhir dan kembali ke keadaan normal seperti semula. Contoh

dari kewajiban-kewajiban ini antara lain:

a. Mekanisme pelaporan kebijakan pemberlakuan keadaan darurat.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, PBB menetapkan suatu

mekanisme pelaporan kebijakan pemberlakuan keadaan darurat yang harus

ditempuh oleh setiap negara anggota yang memberlakukan keadaan darurat

di negaranya. Tujuan utama mekanisme pelaporan ini adalah untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 89: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

78

menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia di negara

yang sedang memberlakukan keadaan darurat.

b. Koordinasi antar lembaga negara

Dalam pemberlakuan keadaan darurat, setiap lembaga negara diharuskan

mengadakan koordinasi. Koordinasi ini dilaksanakan dalam rangka

pengawasan antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara

lainnya. Sebagai contoh, tatkala presiden menyatakan keaadan darurat,

maka presiden harus berkoordinasi dengan dewan perwakilan rakyat.

Dewan perwakilan rakyat kemudian bisa melakukan tugas-tugasnya untuk

menjamin bahwa pernyataan keadaan darurat itu memang telah sesuai

dengan keadaan bahaya yang sedang dihadapi, lantas melakukan

pengawasan terhadap kinerja presiden dan lembaga eksekutif dalam arti

yang lebih luas, yang didasarkan pada kekuasaan darurat yang ada

padanya.

Syarat-syarat pembentukan pemerintahan darurat di satu sisi merupakan upaya

untuk memastikan bahwa tindakan membentuk pemerintahan darurat adalah

tindakan yang paling tepat, dan memang paling diperlukan untuk menghadapi

keadaan darurat. Di sisi lain, syarat-syarat tersebut sekaligus menjadi bentuk

antisipasi terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan

darurat sebagaimana pernah terjadi pada Republik Weimar, di mana Hitler,

pemimpin fasisme Nazi mengubah Konstitusi Weimar untuk kepentingannya

sendiri dengan dalih keadaan bahaya dan sebagai pemegang kekuasaan darurat.142

142 Panikos Panayi (ed), Weimar and Nazi Germany: Continuities and Discontinuities,

(New York: Routledge, 2014), hal. 258 dalam Agus Adhari, “Ambiguitas Pengaturan Keadaan

Bahaya Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Dialogia Iuridica, Jurnal Hukum Bisnis dan

Universitas Sumatera Utara

Page 90: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

79

Syarat-syarat pembentukan pemerintahan darurat ini diperlukan dalam rangka

menjamin penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan

(to fulfill) hak-hak asasi manusia, yakni dengan menafsirkan pembatasan dengan

jelas serta ditujukan untuk mendukung hak-hak serta tidak diberlakukan

sewenang-wenang.143 Penerapan syarat-syarat dalam rangka melindungi hak-hak

asasi manusia ini mutlak diperlukan, mengingat kekuasaan yang dimiliki oleh

penguasa darurat sangat besar, bahkan hampir tidak terbatas.

C. Pemegang Kekuasaan Darurat

Pemegang kekuasaan darurat adalah badan atau lembaga negara yang

berwenang menjalankan kekuasaan atau tugas-tugas pemerintahan ketika negara

sedang memberlakukan keadaan darurat, atau lebih spesifik, membentuk

pemerintahan darurat. Perlu untuk mengetahui badan atau lembaga negara mana

yang memiliki kewenangan sebagai pemegang kekuasaan darurat ketika negara

memberlakukan keadaan darurat. Pada saaat pembentukan PDRI, belum ada

pengaturan konstitusional mengenai pemegang kekuasaan darurat. Bahkan

terminologi tersebut masih sangat jarang digunakan. Ketentuan yang berlaku pada

saat itu sekadar menyebutkan Wakil Presiden sebagai pengemban kewajiban

Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan

kewajibannya dalam masa jabatannya.144 Pasca amandemen, ketentuan ini

berkembang dengan menyebutkan menteri-menteri yang bertanggungjawab

melaksanakan tugas-tugas kepresidenan apabila Presiden dan Wakil Presiden

Investasi, Volume 11 No. 1, November 2019, Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha, hal.

54. 143 Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif

Keadaan Darurat”, op. cit., hal. 63. 144 Pasal 8 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum

amandemen.

Universitas Sumatera Utara

Page 91: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

80

mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat menjalankan kewajibannya

dalam masa jabatannya.145 Walaupun tidak menyebutkan kualifikasi keadaan

darurat secara eksplisit, pada dasarnya ketentuan konstitusional tersebut memiliki

kesamaan dengan konsep pemerintahan darurat, di mana presiden yang tidak lagi

dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara efektif, harus digantikan sementara

oleh badan atau lembaga yang ditunjuk untuk itu. Tidak disebutkannya kualifikasi

keadaan darurat dalam hal ini harus dipahami sebagai akibat dari kurang

berkembangnya wacana mengenai hukum tata negara darurat. Hal ini tidak terlalu

mengherankan mengingat usia Republik Indonesia yang masih sangat muda pada

saat itu. Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, namun konsep pengaturan

semacam itu sesungguhnya berakar pada wacana hukum tata negara darurat.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dilihat sebagai perbandingan dari pemahaman

ini. Walaupun tergolong sebagai tindakan yang kontroversial, namun

dikeluarkannya dekrit ini menjadi salah satu momen paling bersejarah dalam

dinamika politik dan ketatanegaraan Indonesia. Meskipun dekrit itu sendiri tidak

konstitusional, tidak berarti tidak memiliki legitimasi.146 Legitimasi ini bersumber

dari dukungan masyarakat luas serta sokongan angkatan bersenjata, meliputi

Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Tentara Negara Indonesia (TNI).

Secara empirik, ada-tidaknya dukungan TNI dan POLRI menjadi penentu

keampuhan dekrit.147 Adapun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pada kenyataannya

mendapat sokongan kekuataan militer dan politik serta diterima baik oleh

sebagian besar masyarakat, sehingga dapat dilaksanakan secara efektif. Tindakan

145 Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 146 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara,

(Bandung: Alumni, 1997), hal. 2. 147 Neysa Changnata, “Konstitusionalitas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Maklumat

Presiden 23 Juli 2001”, JOM Fakultas Hukum Volume II Nomor 2, Oktober 2015, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 92: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

81

mengeluarkan dekrit yang pada dasarnya inkonstitusional, menjadi konstitusional

ketika dekrit tersebut berlaku efektif.148

Perdebatan yang mengemuka pasca dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli

1959 didominasi oleh pertanyaan mengenai dasar hukum dari dekrit itu sendiri.

Pertanyaan ini tidak mengherankan, mengingat tidak adanya pengaturan

konstitusional mengenai dekrit. Sebagai respons atas perdebatan ini, M. Yamin149

berpendapat bahwa tindakan presiden mengeluarkan dekrit pada saat itu

didasarkan pada hukum tata negara darurat, dalam hal ini hukum tata negara

darurat subjektif. Di samping itu, M. Yamin juga menggunakan istilah hukum

darurat ketatanegaraan.150 Adapun yang menjadi landasan argumen M. Yamin

yaitu adanya keadaan darurat yang berpotensi membahayakan keselamatan

negara, yang juga disebutkan pada bagian konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli,

alinea ketiga dan keempat yang berbunyi;151

“Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang

membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa serta

merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan

makmur, dan bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan

didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya

jalan untuk menyelamatkan negara Proklamasi”.

Dalam rangka mengantisipasi potensi bahaya ini, dalam batas-batas tertentu

presiden dibenarkan mengambil tindakan yang menyimpang dari konstitusi

(ekstra konstitusional).

148 Ibid., hal. 12. 149 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, op. cit., hal. 105. 150 Ibid., hal. 106. 151 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi,

(Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hal. 90.

Universitas Sumatera Utara

Page 93: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

82

Pada masa PDRI, pengaturan konstitusional terkait lembaga yang menjadi

pelaksana tugas-tugas presiden jika presiden tidak dapat melaksanakan tugasnya

terbatas pada pasal 8 UUD NRI 1945 sebelum amandemen. Di luar itu, terdapat

ketentuan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan

Bahaya yang menyebutkan menteri-menteri pemegang kekuasaan darurat. Adapun

kekuasaan darurat yang dimaksud adalah kekuasaan yang diberikan oleh undang-

undang terkait dan digunakan dalam upaya mengakhiri keadaan darurat tersebut

sesegera mungkin. Dalam pengertian yang lebih umum, kekuasaan darurat adalah

kekuasaan yang diberikan kepada atau digunakan atau diambil oleh otoritas publik

untuk memenuhi kemendesakan keadaan darurat tertentu (seperti perang atau

bencana) baik di dalam atau di luar kerangka acuan konstitusional.

(Power granted to or used or taken by a public authority to meet the

exigencies of a particular emergency (as of war or disaster) whether within or

outside a constitutional frame of reference).152

Dalam perkembangan hukum ketatanegaraan Indonesia, pemegang kekuasaan

darurat pada umumnya merujuk pada cabang kekuasaan eksekutif. Pemahaman ini

berangkat dari fakta keadaan darurat, di mana kekuasaan eksekutif tidak dapat

menjalankan tugas-tugasnya seperti biasa dalam keadaan normal, sehingga perlu

digantikan oleh lembaga lain. Dalam hal ini, lembaga yang ideal untuk

mengemban tugas-tugas eksekutif itu adalah lembaga yang juga berada dalam

cabang eksekutif. Jika diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat, semisal DPR

maupun DPD yang pada dasarnya menjalankan fungsi pengawasan, maka fungsi

pengawasan tersebut bisa berhenti akibat menyatunya eksekutif dengan

152 Merriam-Webster, Definition of Emergency Power, diakses pada tanggal 17 April

2021 dari https://www.merriam-webster.com/dictionary/emergency%20power

Universitas Sumatera Utara

Page 94: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

83

legislatif.153 Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya,

kekuasaan darurat tersebut juga harus sesuai dengan tingkatan darurat atau bahaya

yang sedang dihadapi.154 Oleh karena itu, terhadap implementasi kekuasaan

darurat, diperlukan sistem pengawasan yang mumpuni untuk mengantisipasi

ketidaksesuaian antara tingkatan bahaya dengan kekuasaan darurat, sehingga

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) maupun pelanggaran hak-hak asasi

manusia selama keadaan darurat berlaku dapat dihindari.

153 Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,

(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hal. 577. 154 Ritwan Junianto, “Implementasi Undang-Undang Status Keadaan Darurat dan Bahaya

Perang di Jawa Timur Tahun 1946-1962”, Avatara: e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 5 No. 1,

Maret 2017, hal. 1368.

Universitas Sumatera Utara

Page 95: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

84

BAB IV

PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA

A. Sekilas Latar Belakang Pembentukan Pemerintah Darurat Republik

Indonesia (PDRI)

Pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia masih

harus berjuang untuk mencapai stabilitas dan mematangkan aspek-aspek

kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat tahun pertama dari kehidupan

Republik Indonesia didominasi oleh peperangan melawan musuh-musuh yang

kuat, peperangan yang hasilnya dianggap oleh para pemimpin sebagai penentu

hidup atau matinya Republik.155 Hal ini menjadi bukti bahwa negara Indonesia

yang diproklamasikan kemerdekaannya itu bukanlah merupakan tujuan semata-

mata, melainkan hanya alat untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara,

yakni membentuk masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.156

Perjuangan Indonesia dalam mencapai stabilitas serta mematangkan aspek-

aspek kehidupan berbangsa dan bernegaranya bukan tanpa hambatan. Indonesia

masih harus menghadapi ancaman dari pihak Belanda yang masih ingin

mempertahankan Indonesia sebagai wilayah koloninya. Ancaman pihak Belanda

ini berlangsung dalam bentuk aksi polisionil yang kemudian menjadi kejahatan

agresi yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda

II.

155 George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (Depok: Komunitas

Bambu, 2013), hal. 211. 156 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1986), hal. 182.

Universitas Sumatera Utara

Page 96: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

85

Agresi Militer Belanda I merupakan bentuk pengkhianatan Belanda terhadap

kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai sebelumnya pada Perjanjian

Linggarjati.157 Perjanjian Linggarjati didorong oleh pihak Inggris yang ingin

keluar dari Indonesia tanpa meninggalkan masalah, ditambah orang-orang

Belanda progresif yang ingin mengadakan kompromi dengan Republik Indonesia.

Pada tanggal 15 November 1946, Komisi Jenderal Belanda di Indonesia yang

diketuai oleh Willem Schermerhorn merintis Perjanjian Linggarjati dengan

Indonesia.158

Kesepakatan-kesepakatan yang berhasil dicapai dalam Perjanjian Linggarjati

ternyata diingkari oleh Belanda yang masih saja memaksakan kehendaknya pada

Indonesia. Belanda terus menuntut kekuasaan bersama dan pembentukan pasukan

bersama yang akan beroperasi dalam wilayah Republik, namun semua pemimpin

Republik tetap tidak mau menyerah.159 Karena Indonesia terus menolak untuk

mengabulkan tuntutan Belanda, pada tanggal 20 Juli 1947, Perdana Menteri

Belanda, Beel, memerintahkan pasukan Belanda untuk melancarkan serangan

besar-besaran yang dirancang untuk menghancurkan republik.160 Belanda

beralasan, keputusan untuk menggunakan kekuatan militer diambil karena

pemerintah Indonesia tidak cukup mengawasi unsur-unsur ekstremis yang tersebar

di wilayah Indonesia, sehingga menghalangi implementasi kesepakatan-

kesepakatan Perjanjian Linggarjati.161

157 Deden Usmaya, Wakidi dan Syaiful M, “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

(PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949”, FKIP UNILA Bandar Lampung, hal. 2. 158 George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, op. cit., hal.274. 159 Ibid., hal. 296. 160 Charles Wolf Jr., The Indonesian Story, (New York, 1948), hal. 43-44, dalam Ibid. 161 George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 97: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

86

Jika Agresi Militer Belanda merupakan pengkhianatan terhadap kesepakatan

Perjanjian Linggarjati, maka Agresi Militer Belanda II adalah pengkhianatan

terhadap kesepakatan Perjanjian Renville.162 Pernjanjian Renville dapat dianggap

sebagai titik balik yang menentukan yang menuntun Belanda dan Indonesia

menuju penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia

pada 27 Desember 1949.163 Pembicaraan-pembicaraan dalam Perjanjian Renville

dilangsungkan di atas kapal USS Renville milik Angkatan Laut Amerika Serikat

yang disediakan oleh Amerika Serikat atas permintaan pihak Belanda dan

Indonesia.164 Demikianlah, pada tanggal 17 Januari 1948, pemerintah Republik

Indonesia bersama Belanda menandatangani Perjanjian Renville yang meliputi

gencatan senjata secara militer berdasarkan garis van Mook, 12 (dua belas) prinsip

dari Belanda, dan 6 (enam) prinsip tambahan yang diusulkan oleh Komisi Tiga

Negara (KTN).165

Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan sejak 19 Desember tahun 1948

menyebabkan ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.

Tidak hanya menduduki ibu kota negara, pihak Belanda juga menahan dan

mengasingkan para pemimpin Republik Indonesia yang ada di Yogyakarta, seperti

Soekarno, Hatta hingga Haji Agus Salim.166 Pasca pendudukan ibu kota dan

penahanan para pimpinan republik ini, pemerintahan tentu tidak lagi dapat

berjalan dengan efektif. Presiden, perdana menteri dan menteri ditahan di

pengasingan serta ibu kota negara dikuasai oleh Belanda. Padahal, keberadaan ibu

162 Deden Usmaya, Wakidi dan Syaiful M, “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

(PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949”, loc. cit. 163 Ide Anak Agung Gde Agung, Renville, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hal. 50. 164 Ibid., hal. 57. 165 George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, op. cit., hal. 326. 166 Anthony Reid, Revolusi Nasional Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996),

hal. 263.

Universitas Sumatera Utara

Page 98: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

87

kota negara sangat penting sebagai pusat menjalankan pemerintahan. Ibu kota

adalah kota tempat di mana pemerintahan suatu wilayah berada. Di sinilah

gedung-gedung pemerintah berada dan tempat para pemimpin pemerintahan

bekerja. Suatu wilayah dapat didefinisikan sebagai bangsa, negara, provinsi, atau

unit politik lainnya. Di tingkat daerah, ibu kota biasanya disebut "kursi daerah".

(A capital is a city where a region's government is located. This is where

government buildings are and where government leaders work. A region can

be defined as a nation, state, province, or other political unit. At the county

level, capitals are usually called "county seats").167

Di samping itu, keberadaan ibu kota dalam suatu negara juga berarti sebagai

sarana kontrol dan simbol persatuan (a means of control and a symbol of unity).168

Hal ini membuat Indonesia berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan

dalam pergaulan dunia internasional, karena lumpuhnya pemerintahan Indonesia

dapat dianggap sebagai ketidakmampuan dan ketidaksiapan Indonesia menjadi

suatu negara merdeka, sehingga pada saat bersamaan bisa membahayakan

eksistensi Indonesia sebagai negara yang berdaulat.

Sebelum Agresi Militer Belanda II, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah

mempertimbangkan kemungkinan pembentukan pemerintahan darurat sebagai

langkah yang akan ditempuh jika Soekarno, Hatta dan para pemimpin republik

lainnya ditawan oleh Belanda.169 Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan

pengiriman 2 (dua) buah radiogram pada tanggal 19 Desember 1948. Radiogram

tersebut ditujukan masing-masing kepada Sjafruddin Prawiranegara yang tengah

berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, dan kepada Mr. Maramis, Dr. Sudarsono,

167 National Geographic, “Capital”, diakses pada tanggal 23 April 2021 dari

https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/capital/ 168 BBC News, “Capital cities: How are they chosen and what do they represent?”, 2017,

diakses pada tanggal 23 April 2021 dari https://www.bbc.com/news/world-42258989 169 Deden Usmaya, Wakidi dan Syaiful M, “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

(PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949”, loc. cit.

Universitas Sumatera Utara

Page 99: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

88

dan L. N. Palar yang tengah berada di New Delhi, India. Adapun Sjafruddin

Prawiranegara merupakan Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Hatta.

Radiogram yang ditujukan kepada Sjafruddin Prawiranegara ditandatangani

oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta yang juga merangkap sebagai

Perdana Menteri. Isinya berupa mandat untuk membentuk suatu pemerintahan

darurat apabila pemimpin-pemimpin republik yang ada di Yogyakarta ditawan

oleh Belanda. Adapun isi lengkap dari radiogram tersebut adalah sebagai

berikut:170

“Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu

tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya

atas ibukota Yogyakarta.

Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi,

kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri

Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Republik

Indonesia Darurat di Sumatera.”

Radiogram berikutnya yang ditujukan kepada Mr. Maramis, Dr. Sudarsono

dan L. N. Palar ditandatangani oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Hatta dan

Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Radiogram tersebut berisi perintah untuk

segera membentuk government in exile apabila Sjafruddin Prawiranegara tidak

berhasil membentuk pemerintahan darurat di Sumatera Barat. Isi lengkap

radiogram tersebut adalah sebagai berikut:171

“Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu

tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas

ibukota Yogyakarta.

Jika ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah

Darurat di Sumatera tidak berhasil kepada Saudara-saudara dikuasakan

untuk membentuk excile government Republik Indonesia di India.

Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafruddin di Sumatera. Jika

hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.”

170 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2012), hal. 267. 171 Ibid., hal. 268.

Universitas Sumatera Utara

Page 100: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

89

Hinga PDRI dibentuk, radiogram yang ditujukan kepada Sjafruddin

Prawiranegara belum sampai kepadanya beserta pemimpin lainnya yang ada di

Sumatera Barat172. Fakta ini menjadi dasar bagi argumen yang menyatakan bahwa

pembentukan PDRI merupakan inisiatif Sjafruddin Prawiranegara. Jika ditelaah

secara lebih mendalam, argumen ini tidak keliru namum tidak sepenuhnya benar,

karena sebelum Agresi Militer Belanda II berlangsung, para pemimpin republik

telah mempertimbangkan opsi pembentukan pemerintahan darurat sebagai

langkah penyelamatan bangsa dan negara Indonesia.173

Setelah kabar pendudukan ibu kota dan penahanan pemimpin republik di

Yogyakarta diketahui, Sjafruddin Prawiranegara melakukan koordinasi dengan

para pemimpin sipil dan militer yang ada di Sumatera Barat. Selama beberapa hari

para pemimpin yang ada di Sumatera Barat berdiskusi terkait strategi dan

langkah-langkah untuk menyelamatkan negara. Hingga pada akhirnya, pemimpin-

pemimpin sipil dan militer meyakinkan Sjafruddin Prawiranegara untuk

membentuk suatu pemerintahan darurat. Pemerintahan darurat tersebut pun

dibentuk dan diumumkan oleh Sjafruddin Prawiranegara pada tanggal 22

Desember 1948 di Halaban.174 Pemerintahan darurat itu disebut sebagai

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan diketuai oleh Sjafruddin

Prawiranegara yang sejak rapat-rapat awal, telah ditunjuk sebagai kepala

pemerintahan darurat yang akan dibentuk, mengingat Sjafruddin Prawiranegara

selaku Menteri Kemakmuran pada saat itu merupakan tokoh dengan jabatan

172 Sjafruddin Prawiranegara, Sejarah sebagai Pedoman untuk Membangun Masa

Depan”, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1976), hal. 43. 173 Erasiah, “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik

Indonesia”, Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama, Vol. XXV No. 1,

Januari 2019, hal. 98. 174 Mestika Zed, Somewhere in the Jungle:Pemerintah Darurat Republik Indonesia:

Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hal. 104.

Universitas Sumatera Utara

Page 101: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

90

paling tinggi di antara pemimpin lainnya yang ada di Sumatera Barat175. Adapun

PDRI memiliki kabinet dengan susunan sebagai berikut:176

1. Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua, merangkap Menteri

Pertahanan, Penerangan dan Luar Negeri ad interim.

2. Mr. T. Mohammad Hasan sebagai Wakil Ketua, merangkap Menteri

Dalam Negeri, Pendidikan dan Kebudayan dan Agama.

3. Mr. S. M. Rasjid sebagai Menteri Keamanan, merangkap Menteri Sosial,

Pembangunan dan Perburuhan.

4. Mr. Loekman Hakim sebagai Menteri Keuangan, merangkap Menteri

Kehakiman.

5. Ir. Mananti Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum, merangkap

Menteri Kesehatan.

6. Ir. Indratjahja sebagai Menteri Perhubungan, merangkap Menteri

Kemakmuran.

7. Mardjono Danoebroto sebagai Sekretaris PDRI.

Susunan kabinet tersebut merupakan susunan kabinet yang dibentuk

bersamaan dengan pembentukan PDRI pada tanggal 22 Desember. Pada tanggal

14 Maret 1949, Ketua PDRI mengirimkan telegram kepada para pemimpin di

Jawa yang berisi usul-usul tentang penyempurnaan susunan Kabinet PDRI dengan

memasukkan sejumlah nama menteri yang masih aktif di Jawa.177 Pemimpin-

pemimpin yang ada di Jawa kemudian merespons dengan mengusulkan beberapa

175 Ibid. 176 P. N. H. Simanjuntak, Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan

Sampai Reformasi, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 75. 177 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 102: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

91

perubahan pada susunan kabinet. Pada tanggal 31 Maret 1949, susunan Kabinet

PDRI diperbaharui dengan susunan sebagai berikut:178

1. Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua, merangkap Menteri

Pertahanan dan Menteri Penerangan.

2. Mr. Susanto Tirtoprodjo sebagai Wakil Ketua, merangkap Menteri

Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda.

3. Mr. A. A. Maramis sebagai Menteri Luar Negeri.

4. dr. Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri, merangkap Menteri

Kesehatan.

5. Mr. Loekman Hakim sebagai Menteri Keuangan.

6. I. J. Kasimo sebagai Menteri Kemakmuran, termasuk Persediaan Makanan

Rakyat.

7. K. H. Masjkur sebagai Menteri Agama.

8. Mr. T. Mohammad Hasan sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan

Kebudayaan.

9. Ir. Indratjahja sebagai Menteri Perhubungan.

10. Ir. Mananti Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum.

11. Mr. S. M. Rasjid sebagai Menteri Perburuhan dan Sosial.

Dalam menjalankan pemerintahan, PDRI tidak menetap di satu tempat,

melainkan bergerak dengan mobilitas yang tinggi, berpindah dari satu tempat ke

tempat lain.179 Sejak PDRI terbentuk dan diumumkan, berbagai daerah di

Sumatera Barat pernah menjadi pusat pemerintahan PDRI, seperti Bangkinang,

178 S. M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), (Jakarta:

Penerbit N. V. Bulan Bintang, 1982), hal. 33-34. 179 Moch. H. Kharismulloh Hilmatiar, “Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik

Indonesia Tahun 1948-1949 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan Hukum Tata Negara”, Al-

Mazahib, Volume 3 No. I, Juni 2015, hal. 176.

Universitas Sumatera Utara

Page 103: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

92

Simpang Tiga, Taratak Buluh, Logas, Sungai Durian, Taluk Kuantan, Kiliran Jao,

Muara Labuh, Abai Siat, Bidar Alam, Sumpur Kudus, dan Padang Japang.180 Hal

ini dilakukan guna menghindari pasukan Belanda yang sewaktu-waktu bisa

menyerang PDRI dan menangkap para pemimpinnya. Berpindah-pindahnya PDRI

dijadikan bahan olok-olok oleh Belanda dengan mengatakan bahwa PDRI

bukanlah pemerintah sungguhan, sebab tidak ada pemerintah yang menjalankan

pemerintahan dari dalam hutan. Belanda mengejek PDRI dengan menyebutnya

sebagai “Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.181 Semangat PDRI tidak kendur

mendengar olok-olok ini. Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara justru membalas

serangan yang tidak relevan itu dengan menyindir pemerintah Belanda yang

pernah membentuk government in exile di Inggris ketika negaranya diinvasi oleh

pasukan NAZI. Sjafruddin Prawiranegara mengatakan sebagai berikut;

“Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah Republik Indonesia,

karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi Belanda pada waktu negerinya

diduduki Jerman pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal Undang-

Undang Dasarnya sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah

di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris jadi wilayah kekuasaan Belanda?

Yang jelas pemerintah Belanda menjadi tidak sah!”182

Konsep pemerintahan darurat sebagaimana diterapkan oleh PDRI dapat

dikatakan tidak mendapat sorotan yang masif sebagai suatu objek kajian ilmiah.

Dapat dilihat dari sedikitnya publikasi ilmiah mengenai tema ini. Hal ini tentu

menjadi faktor yang menyebabkan perkembangan kajian ilmiah mengenai konsep

pemerintahan darurat cenderung mengalami stagnasi. Jika ditelisik lebih jauh,

pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda II dan pembentukan PDRI, Indonesia

sebenarnya sudah memiliki regulasi mengenai keadaan darurat, yang penjabaran

180 Audrey Kahin dalam Ibid., hal. 169. 181 Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah SWT, (Bandung:

Pustaka Jaya, 2011), hal. 195-196. 182 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 104: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

93

lebih lanjutnya tentu bisa bermuara pada pembentukan suatu pemerintahan

darurat. Regulasi tersebut adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang

Keadaan Bahaya (UU Keadaan Bahaya). Sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya, yang menjadi dasar konstitusional pembentukan undang-undang ini

adalah pasal 12 UUD NRI 1945. Dasar konstitusional ini disebutkan secara jelas

pada bagian ‘mengingat’ UU Keadaan Bahaya. Substansi undang-undang ini

terbilang progresif pada masanya. Sebagai contoh, undang-undang ini telah

mengatur tentang lembaga yang berwenang selama keadaan darurat,183

pembatasan hak-hak asasi manusia selama keadaan darurat,184 hingga mekanisme

pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan darurat.185 UU Keadaan Bahaya

cukup menjadi bukti bahwa pemerintah Indonesia di masa itu adalah pemerintah

yang visioner.

Perjuangan PDRI juga ditopang dengan perlawanan yang dilakukan oleh

pejuang-pejuang republik yang ada di Sumatera Barat. Sebelumnya, Sjafruddin

Prawiranegara juga telah berkoordinasi dengan Jenderal Soedirman dan

memerintahkan agar para pejuang yang ada di seluruh penjuru Indonesia tetap

menjalankan perang gerilya melawan pasukan Belanda. Jenderal Soedirman

sebagai komando pimpinan tertinggi TNI kala itu yang mengetahui akan mandat

Presiden dan Wakil Presiden kepada Sjafruddin Prawiranegara menyatakan turut

berjuang bersama Sjafruddin Prawiranegara dalam menyelamatkan Republik.186

Seluruh pejuang republik memahami situasi yang sedang dihadapi oleh Indonesia

dan patuh pada komando Jenderal Soedirman, sehingga perlawanan terhadap

183 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya. 184 Pasal 8 sampai pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya. 185 Pasal 22 dan 23 Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya. 186 Erasiah, “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik

Indonesia”, op. cit., hal. 104.

Universitas Sumatera Utara

Page 105: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

94

pasukan Belanda terus dilanjutkan oleh pejuang-pejuang Republik. Hal ini

menjadi bukti penerimaan yang baik atas keberadaan PDRI sebagai pemerintahan

darurat yang menggantikan pemerintahan Soekarno. PDRI menjadi simbol

nasional dan faktor pemersatu, khususnya pasukan gerilya yang terpencar di

seluruh wilayah Jawa dan Sumatera, karena pemerintahan Sjafruddin

Prawiranegara diakui oleh pasukan Republik (di bawah Panglima Besar

Soedirman) sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan Soekarno/Hatta.187

Dalam menjalankan pemerintahan, PDRI juga mengadakan kontak dengan

luar negeri. Dengan perantaraan Maramis, Sudarsono, dan L. N. Palar yang berada

di New Delhi, PDRI menjalin komunikasi dengan pemerintah India. Menurut

Mestika Zed,188 India menjadi negara pertama dan barangkali paling total

dukungannya terhadap Indonesia, yang lantas menjadi daya tarik bagi perjuangan

diplomatik Indonesia di luar negeri. Komunikasi dengan India menjadi medium

strategis dalam memberitahukan ihwal keberadaan PDRI sebagai pemerintah sah

yang menggantikan pemerintahan Soekarno untuk sementara waktu. Dengan

terjalinnya hubungan ke luar negeri ini, dunia internasional bisa mengetahui

bahwa negara Republik Indonesia masih eksis.189 Pada saat bersamaan, posisi

Belanda kian terpojok dalam pandangan dunia internasional, karena dianggap

sebagai penjahat agresi. Hubungan yang dibangun oleh PDRI dengan luar negeri

lebih jauh menegaskan posisi PDRI sebagai suatu pemerintahan negara yang sah,

sebab PDRI memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara

187 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Indonesia: Sumatra Barat dan Politik

Indonesia 1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 213. 188 Erasiah, “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik

Indonesia”, op. cit., hal. 105. 189 Abdul Haris Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, (Bandung: Disjarah

AD dan Angkasa, 1979), hal. 63 dalam Moch. H. Kharismulloh Hilmatiar, Pembentukan

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Tahun 1948-1949 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan

Hukum Tata Negara, op. cit., hal. 170.

Universitas Sumatera Utara

Page 106: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

95

lain, di mana hal tersebut merupakan salah satu unsur pembentuk negara di

samping unsur penduduk yang tetap, wilayah tertentu, dan pemerintah yang

berdaulat.190 Keberhasilan PDRI mengadakan hubungan dengan luar negeri juga

menjadi momentum lahirnya dukungan dan simpati dari negara-negara lain. Kalau

saja hubungan dengan luar negeri itu tidak berhasil, bisa jadi dunia internasional

menganggap Indonesia telah kembali menjadi wilayah koloni Belanda.

B. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat

Tahun 1948-1949 sebagai Suatu Pemerintahan Darurat

Sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, pemerintahan

darurat merupakan respons terhadap keadaan darurat yang mengancam dan

membahayakan eksistensi negara. Dalam perkembangannya, telah ditetapkan

syarat-syarat pembentukan pemerintahan darurat. Syarat-syarat ini mengacu pada

hukum tata negara darurat objektif, yakni aturan-aturan tertulis mengenai hukum

tata negara darurat beserta variabel-variabel di dalamnya, termasuk pemerintahan

darurat. Di samping hukum tata negara darurat objektif, ada pula hukum tata

negara subjektif, di mana negara sewaktu-waktu bisa menerapkan norma-norma

hukum tata negara darurat meskipun belum terdapat aturan tertulisnya. Hal ini

berangkat dari prinsip self-defense atau self-preservation yang merupakan salah

satu dari hak-hak dasar (basic rights) negara yang terdiri dari:191

1. kedaulatan dan persamaan negara (independence and equality of states);

2. yurisdiksi territorial (territorial jurisdiction);

3. mempertahankan diri (self-defense) dan mengembangkan diri (self-

preservation).

190 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2013), hal. 65. 191 M. Iman Santoso, “Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara Dalam Sudut Pandang

Keimigrasian”, Binamulia Hukum, Volume 7 No. 1, Juli 2018, hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

Page 107: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

96

Pada masa-masa perjuangan PDRI, sangat nyatalah ancaman bahaya yang

dihadapi oleh Indonesia, di mana pasukan Belanda berhasil menguasai ibu kota

negara dan melakukan penahanan terhadap presiden beserta jajarannya yang ada

di Yogyakarta. Dengan penahanan ini, pemerintah Indonesia boleh dikatakan telah

lumpuh untuk sesaat. Jika dibiarkan, akan terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum

of power)192 yang bisa dimanfaatkan oleh Belanda untuk kembali memerintah

Indonesia. Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes193, pengertian

kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung 2 (dua) pembatasan penting

dalam dirinya, yaitu:

1. kekuasaan terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan

itu;

2. kekuasaan itu berakhir ketika kekuasaan suatu negara lain dimulai.

Dalam kaitannya dengan upaya Belanda menduduki kembali wilayah

kekuasaan Indonesia, posisi Indonesia menjadi sangat terancam di mata dunia

internasional. Apabila Belanda benar-benar telah kembali menduduki wilayah

Indonesia tanpa mengalami perlawanan, hal tersebut bisa mengindikasikan bahwa

kekuasaan Indonesia atas wilayahnya telah berakhir. Keadaan ini menjadi alasan

kuat bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan darurat dalam rangka

menyelamatkan negara. Dengan kata lain, keadaan pada saat itu memang

menuntut pemerintah untuk mengambil tindakan dalam kerangka hukum tata

negara darurat, terlepas dari pemahaman pemerintah terhadap penerapan norma-

norma hukum tata negara darurat tersebut. Hal terpenting adalah, sudah menjadi

192 Moch. H. Kharismulloh Hilmatiar, “Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik

Indonesia Tahun 1948-1949 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan Hukum Tata Negara, op. cit., hal.

162. 193 M. Iman Santoso, ”Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara Dalam Sudut Pandang

Keimigrasian”, op. cit., hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 108: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

97

kewajiban sekaligus hak negara untuk mempertahankan eksistensinya dan juga

melindungi rakyatnya dari ancaman bahaya yang timbul dalam keadaan darurat.

Selama pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh PDRI, tidak

ditemukan adanya indikasi pelanggaran hak-hak asasi manusia. PDRI yang harus

berpindah-pindah agar jangan sampai ditangkap oleh pasukan Belanda nyatanya

tidak punya banyak waktu untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait hak-

hak asasi manusia. Fakta sederhana ini cukup menjelaskan mengapa tidak ada

indikasi pelanggaran hak-hak asasi manusia sepanjang pemerintahan PDRI.

Kekuasaan darurat untuk membatasi hak asasi manusia sebagaimana disebutkan

dalam UU No. 6 Tahun 1946 bisa dikatakan tidak begitu tampak digunakan oleh

PDRI. Pemenuhan hak-hak asasi manusia memang dikesampingkan untuk

sementara waktu, akibat keadaan darurat yang membuat pemerintah tidak mampu

melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak asasi warga negara seperti dalam

keadaan normal. Dengan kata lain, tidak ada tindakan aktif atau tindakan langsung

(by commission) yang diambil oleh PDRI untuk membatasi ataupun melanggar

hak-hak asasi manusia selama keadaan darurat. Sebaliknya, PDRI bersikap pasif

dalam hal pemenuhan hak-hak asasi manusia semata-mata sebagai akibat dari

keadaan darurat. Di masa-masa pemerintahan PDRI, keterbatasan warga negara

untuk mengakses hak-hak asasinya terjadi dengan sendirinya sebagai akibat dari

keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh negara. Rakyat kebanyakan juga

berangkat dari kesadaran tentang situasi genting yang sedang terjadi. Masyarakat

melihat tindakan PDRI sebagai tindakan yang memang perlu dilakukan demi

keselamatan bangsa dan negara. Lebih dari itu, masyarakat yang sadar akan

kegentingan yang sedang dihadapi oleh pemerintah bahkan mengambil inisiatif

Universitas Sumatera Utara

Page 109: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

98

untuk membantu perjuangan dengan cara menyediakan dan menyalurkan logistik

berupa makanan yang ditinggalkan di rumah-rumah kosong untuk kemudian

diambil oleh pejuang-pejuang republik yang melintas.194

Kesadaran serta dukungan masyarakat terhadap PDRI merupakan faktor

penting yang semakin mengukuhkan keberadaan PDRI itu sendiri. Masa

pemerintahan PDRI merupakan periode perjuangan yang melibatkan partisipasi

masyarakat hingga ke pelosok paling terpencil yang belum tersentuh spektrum

konflik peperangan antara Indonesia dengan Belanda.195 Dukungan masyarakat

menjadi legitimasi atas tindakan-tindakan yang diambil oleh PDRI. Tanpa

kesadaran dan dukungan masyarakat, PDRI tentu akan mengalami kesulitan

dalam menjalankan pemerintahan. Kesadaran, penerimaan dan dukungan

masyarakat memang menjadi faktor penentu sukses-tidaknya suatu tindakan yang

didasarkan pada keadaan darurat. Penerimaan serta dukungan masyarakat ini

membuat tindakan-tindakan yang menyimpangi konstitusi terlihat sebagai

tindakan yang benar. Menurut Mahfud MD196, tindakan yang tadinya

inkonstitusional, karena diterima dan didukung oleh masyarakat serta disokong

oleh kekuatan politik dan militer yang memadai, akan menjadi tindakan yang

konstitusional.

PDRI sebagai suatu pemerintahan darurat berangkat dari prinsip-prinsip

hukum tata negara darurat dalam rangka mempertahankan eksistensi bangsa dan

negara. Ketentuan dalam regulasi nasional juga turut menjadi titik tolak berdirinya

194 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Peranan Desa Dalam Perjuangan Sumatera

Barat 1945 Sampai 1949, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hal. 110. 195 Mestika Zed, Somewhere in the Jungle:Pemerintah Darurat Republik Indonesia:

Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, op. cit., hal. 300. 196 Virdika Rizky Utama, Menjerat Gus Dur, (Jakarta: NUmedia Digital Indonesia, 2020),

hal. 209.

Universitas Sumatera Utara

Page 110: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

99

PDRI. Apabila dalam praktiknya ditemukan sedikit ketidaksesuaian dengan

aturan-aturan normatif, hal tersebut dapat dimaklumi sebagai bagian dari upaya

untuk memperjuangkan kemerdekaan. Zaman gerilya di bawah PDRI adalah saat

terkaburnya segala batas, militer memegang jabatan sipil dan sipil menjadi

penguasa militer, menteri-menteri saling mengisi jabatan, dan kekaburan ini

bukanlah anarki, melainkan bentuk tanggung jawab bersama demi cita-cita

bersama.197

Pembentukan PDRI dilatarbelakangi oleh adanya keadaan darurat akibat

Agresi Militer Belanda II. Pemerintah yang ada tidak dapat menjalankan

pemerintahan secara efektif karena ditawan oleh pasukan Belanda. Berdasarkan

mandat yang diberikan langsung oleh Presiden Soekarno melalui radiogram,

Sjafruddin Prawiranegara kemudian membentuk PDRI untuk sementara waktu

menjalankan tugas-tugas pemerintahan menggantikan pemerintahan Soekarno.

Dari latar belakang serta tujuan pembentukannya, nyatalah keberadaan PDRI

sebagai suatu pemerintahan darurat.

C. Keabsahan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera

Barat Tahun 1948-1949 dalam Perspektif Hukum Tata Negara Darurat

Hukum tata negara darurat merupakan landasan teori yang menaungi wacana

pemerintahan darurat. Hukum tata negara darurat telah menetapkan indikator di

mana suatu keadaan dapat dikatakan sebagai keadaan darurat. Keadaan darurat

tersebut dapat diumumkan dan ditetapkan secara resmi, dapat pula tidak

ditetapkan karena keadaan darurat tidak memungkinkan terjadinya penetapan

tersebut. Hal inilah yang kemudian menciptakan dikotomi antara hukum tata

197 Audrey Kahin dalam Deden Usmaya, Wakidi dan Syaiful M, “Pemerintahan Darurat

Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949”, op. cit., hal. 7.

Universitas Sumatera Utara

Page 111: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

100

negara darurat de jure dan hukum tata negara darurat de facto. Jika keadaan

darurat ditetapkan secara resmi, maka hukum tata negara darurat yang berlaku

bersifat de jure, sedangkan jika tidak ditetapkan secara resmi, maka hukum tata

negara darurat yang berlaku bersifat de facto.198 Adapun pembentukan

pemerintahan darurat adalah langkah yang dapat ditempuh, terlepas dari ada-

tidaknya penetapan keadaan darurat secara resmi oleh pemerintah, untuk

menghadapi keadaan darurat serta sesegera mungkin memulihkan keadaan

menjadi normal seperti semula. Dalam peristiwa pembentukan PDRI, tidak ada

penetapan keadaan darurat secara legal-formal oleh pemerintah, namun keadaan

darurat itu memang nyata-nyata dirasakan oleh semua pihak, baik pemerintah

maupun masyarakat199. Sehingga tindakan untuk merespons keadaan darurat

tersebut mutlak diperlukan.

Opsi pembentukan pemerintahan darurat ditempuh manakala pemerintah yang

ada pada saat keadaan darurat tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya untuk

menjalankan pemerintahan secara efektif. Sehingga negara berpotensi mengalami

kekosongan kekuasaan yang bisa berdampak pada terancamnya kedaulatan.

Potensi terjadinya kekosongan kekuasaan inilah yang terjadi pada hari-hari

sebelum pembentukan PDRI.200 Dalam rangka mengantisipasi terjadinya

kekosongan kekuasaan itulah pemerintah kemudian mengirimkan radiogram

kepada Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat. Maka

dibentuklah PDRI sebagai respons terhadap keadaan darurat akibat serangan

Agresi Militer Belanda II. Keberadaan PDRI telah menghindarkan terjadinya

198 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal.

30-31. 199 Deden Usmaya, Wakidi dan Syaiful M, “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

(PDRI) di Sumatera Barat Tahun 1948-1949”, op. cit., hal. 7. 200 Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1979), hal. 542.

Universitas Sumatera Utara

Page 112: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

101

kekosongan kekuasaan.201 Pemerintahan Republik Indonesia sebagai negara yang

berdaulat tetap berlanjut dengan adanya PDRI. Tidak hanya menyatakan diri

sebagai pemerintahan darurat, PDRI juga mengadakan kontak dengan luar negeri

untuk memberitahukan ihwal keberadaan PDRI sebagai pengganti pemerintah

Soekarno yang sedang ditawan oleh Belanda. Melalui kontak luar negeri ini kabar

PDRI lantas tersiar ke dunia internasional yang pada gilirannya mengundang

simpati perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.202 Tidak hanya bersimpati,

negara-negara seperti India dan Australia203 bahkan berperan aktif dengan

memperjuangkan nasib kemerdekaan Republik Indonesia ke Dewan Keamanan

PBB.

Pada masa PDRI, undang-undang tentang keadaan bahaya yang menjadi

rujukan adalah UU No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya (UU Keadaan

Bahaya). UU Keadaan Bahaya menetapkan kriteria keadaan yang dapat

digolongkan sebagai keadaan bahaya atau keadaan darurat, dan dengan demikian

pemerintah dapat menyatakan keadaan darurat. Serangan agresi militer Belanda

kedua yang dilancarkan pada tahun 1948 telah memenuhi kriteria yang disebutkan

dalam UU Keadaan Bahaya. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1 ayat (2) UU

Keadaan Bahaya yang menyebutkan:

Keadaan bahaya dinyatakan, jika terjadi:

a. serangan;

b. bahaya serangan;

c. pemberontakan atau perusuhan, hingga dikhawatirkan pemerintah sipil

tidak sanggup menjalankan pekerjaannya;

d. bencana alam.

201 Erasiah, “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik

Indonesia”, op. cit., hal. 100. 202 Ibid., hal. 106. 203 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik

Indonesia 1926-1998, op. cit., hal. 195.

Universitas Sumatera Utara

Page 113: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

102

Sementara itu, konvensi internasional yang turut menyokong keberadaan

PDRI adalah Konvensi Montevideo, yakni dalam kaitannya dengan kualifikasi

yang harus dipenuhi oleh sebuah negara agar dapat disebut sebagai subjek hukum

internasional. Kualifikasi yang dimaksud meliputi:

a. penduduk yang tetap (a permanent population);

b. wilayah yang tertentu (a defined territory);

c. pemerintahan (a government);

d. kemampuan melakukan hubungan dengan negara lain (a capacity to enter

into relation with other states).

Adapun serangan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda terhadap

Indonesia telah mengancam terpenuhinya kualifikasi tersebut. Apabila Indonesia

tidak lagi memenuhi kualifikasi tersebut, maka Indonesia tidak dapat lagi disebut

sebagai negara, sekaligus tidak dapat lagi digolongkan sebagai subjek hukum

internasional. Konsekuensinya, Indonesia akan semakin kesulitan dalam

memperjuangkan kemerdekaannya. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa

segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu, termasuk

pembentukan PDRI, adalah guna mempertahankan eksistensinya sebagai negara

berdaulat yang diakui oleh dunia internasional, di mana pengakuan itu dapat

didapatkan jika Indonesia telah memenuhi serta dapat mempertahankan

kualifikasi sebagaimana ditentukan dalam Konvensi Montevideo.

Keadaan darurat di masa PDRI tidak ditetapkan secara de jure, namun benar-

benar terjadi secara de facto. Hal ini juga diatur dalam hukum tata negara darurat,

di mana suatu keadaan darurat bisa saja tidak ditetapkan secara de jure karena

memang tidak dimungkinkan oleh keadaan darurat yang sedang dihadapi. Namun,

tidak ditetapkannya keadaan darurat tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 114: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

103

tidak mengambil tindakan dalam mengatasi keadaan darurat tersebut.204

Mengingat kegentingan yang dihadapi pada masa-masa sebelum pembentukan

PDRI, memang hampir tidak mungkin penetapan keadaan darurat dilakukan

melalui prosedur-prosedur formal sebagaimana diatur dalam UU Keadaan

Bahaya. Atas dasar kegentingan pada saat itulah, ditambah dengan dukungan

pemimpin-pemimpin sipil dan militer yang ada di Sumatera Barat, Sjafruddin

Prawiranegara kemudian memutuskan untuk membentuk PDRI.205 Sjafruddin

Prawiranegara pada kenyataannya telah diserahi mandat oleh Presiden Soekarno

untuk mengambil alih pemerintahan dengan cara membentuk pemerintahan

darurat jika pemerintah yang ada di Yogyakarta ditahan Belanda. Adapun mandat

merupakan salah satu sumber wewenang pemerintahan atau dapat juga disebut

sebagai salah satu cara memperoleh wewenang pemerintahan. Mandat terjadi

ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ

lain atas namanya.206 Mandat diartikan sebagai pemberian wewenang oleh organ

pemerintahan kepada organ lainnya untuk mengambil keputusan atas namanya.

Pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas

nama pemberi mandat (mandans), sementara tanggung jawab akhir keputusan

yang diambil oleh mandataris tetap berada pada mandans.207 Karakteristik mandat

dapat dirinci sebagai berikut:208

204 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, loc. cit. 205 Rosihan Anwar, Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia, Jilid 3, (Jakarta: Penerbit

Buku Kompas, 2009), hal. 126. 206 H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal. 102. 207 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, ibid., hal. 106. 208 R. J. H. M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, hal. 8, dalam ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 115: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

104

a. merupakan perintah untuk melaksanakan;

b. kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh mandans;

c. tidak terjadi peralihan tanggung jawab;

d. tidak harus berdasarkan undang-undang;

e. dapat secara tertulis, dapat pula secara lisan.

Mandat yang diberikan oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Hatta

tentu menjadi legitimasi atas tindakan yang diambil oleh Sjafruddin

Prawiranegara. Dengan mandat tersebut, Sjafruddin Prawiranegara melaksanakan

kekuasaan presiden untuk menyatakan keadaan darurat, dan dengan demikian

mengambil tindakan-tindakan untuk mengatasinya.209

Dari perspektif hukum tata negara darurat, tindakan Sjafruddin Prawiranegara

membentuk PDRI dapat dibenarkan, karena telah memenuhi syarat-syarat yang

ditetapkan dalam kerangka hukum tata negara darurat. Proses pembentukannya

pun menunjukkan terpenuhinya prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan dalam

hukum tata negara darurat yang meliputi:

a. Asas proklamasi

Terpenuhinya asas proklamasi dapat dilihat dari tindakan Sjafruddin

Prawiranegara yang mengumumkan secara resmi pembentukan PDRI pada

tanggal 22 Desember 1948 sebagai pemerintahan yang sah menggantikan

pemerintah Soekarno yang ditawan oleh Belanda.

b. Asas legalitas

Terpenuhinya asas ini terlihat dari tindakan yang diambil oleh PDRI, di mana

tindakan-tindakan tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam

regulasi nasional maupun prinsip-prinsip hukum internasional.

209 Erasiah, “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat Republik

Indonesia”, op. cit., hal. 94.

Universitas Sumatera Utara

Page 116: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

105

c. Asas komunikasi

Terpenuhinya asas ini terlihat dari komunikasi yang dijalin oleh Sjafruddin

Prawiranegara dengan pemimpin-pemimpin sipil maupun militer yang ada di

Sumatera Barat serta yang ada di pulau Jawa. Melalui komunikasi ini pula

Sjafruddin Prawiranegara kemudian membentuk kabinet PDRI. Selain itu,

komunikasi ini juga terlihat dalam upaya-upaya PDRI mengadakan kontak

dengan luar negeri.

d. Asas kesementaraan

Terpenuhinya asas ini dapat dilihat dari eksistensi PDRI yang hanya

sementara, yaitu terhitung sejak Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan

berdirinya PDRI pada tanggal 22 Desember 1948 di Halaban, Sumatera Barat

sampai pengembalian mandat kepada pemerintah Soekarno pada tanggal 13

Juli 1949 di Yogyakarta.

e. Asas keistimewaan ancaman

Asas ini telah terpenuhi dengan adanya ancaman nyata (actual threats)

maupun situasi yang berpotensi berubah menjadi ancaman (potential threats)

akibat serangan agresi yang dilakukan oleh Belanda. Serangan agresi Belanda

tersebut nyata-nyata telah mengancam keselamatan bangsa Indonesia, serta

berpotensi melumpuhkan pemerintahan Indonesia secara keseluruhan, yang

pada gilirannya bisa mengakibatkan jatuhnya Indonesia kembali ke dalam

cengkeraman kolonialisme Belanda.

Universitas Sumatera Utara

Page 117: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

106

f. Asas proporsionalitas

Terpenuhinya asas ini dapat dilihat dari kesesuaian tindakan yang diambil oleh

PDRI dengan ancaman bahaya yang sedang dihadapi, yaitu tindakan yang

semata-mata bertujuan untuk mengakhiri keadaan darurat dan memulihkan

situasi seperti semula, bukan untuk mengambil alih kekuasaan, mengubah

konstitusi, melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia, ataupun

menggunakan kekuasaan darurat untuk mencapai kepentingan individu

maupun kelompok tertentu.

g. Asas intangibility

Selama menjalankan pemerintahan darurat, tidak ditemukan fakta bahwa

PDRI mengambil tindakan yang melanggar hak-hak asasi manusia, terutama

hak-hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non-

derogable rights). Jika pada kenyataannya terdapat hak-hak asasi yang

terhalang atau tertunda pemenuhannya, hal tersebut dapat dipahami sebagai

konsekuensi dari keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh pemerintah

Indonesia. Tertundanya pemenuhan hak-hak asasi tersebut juga bukan

diakibatkan oleh tindakan aktif pemerintah Indonesia, melainkan karena

situasi darurat yang membuat pemerintah Indonesia untuk sementara waktu

menjadi pasif dalam melakukan pemenuhan hak-hak asasi manusia.

h. Asas pengawasan

Pada kenyataannya, PDRI tidak menjadikan keadaan darurat sebagai alasan

untuk menghalang-halangi kewenangan parlemen dalam melakukan

pengawasan terhadap eksekutif. PDRI juga tidak menjadikan keadaan darurat

sebagai kesempatan untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan secara

Universitas Sumatera Utara

Page 118: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

107

permanen. Dalam menjalankan pemerintahan darurat, PDRI juga melakukan

komunikasi dan koordinasi dengan pemimpin-pemimpin republik yang ada di

pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa, yang dapat dipahami sebagai upaya

membangun sistem pengawasan dalam tubuh pemerintahan darurat. Kenyataan

ini menunjukkan bahwa pembentukan PDRI telah memenuhi asas

pengawasan.

Pembentukan PDRI merupakan upaya untuk tetap mempertahankan eksistensi

pemerintahan Republik Indonesia yang terancam dengan kembalinya Belanda ke

Indonesia yang disertai dengan serangkaian serangan agresi militer. Adapun

tindakan-tindakan yang diambil sebelum, selama dan sesudah pembentukan PDRI

telah sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum tata negara darurat, serta prinsip

hukum internasional terkait hak negara untuk melakukan apa saja dengan cara apa

saja dalam rangka mempertahankan eksistensi sebagai negara berdaulat.210

Tindakan-tindakan tersebut juga telah memiliki dasar konstitusional, yaitu

pengaturan tentang keadaan darurat yang diatur pada pasal 12 UUD NRI 1945.

Lebih lanjut, pada masa pemerintahan PDRI, ketentuan konstitusional ini juga

telah diturunkan menjadi Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan

Bahaya. Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif hukum tata negara darurat,

keabsahan PDRI sebagai pemerintahan darurat dapat dipertanggungjawabkan.

210 Binsar Gultom, Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia:

Mengapa Pengadilan HAM ‘Ad Hoc’ Indonesia Kurang Efekif?, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2010), hal. 17.

Universitas Sumatera Utara

Page 119: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

108

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan analisis pada bagian pembahasan skripsi ini, dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pengaturan paling mendasar mengenai hukum tata negara darurat di Indonesia

dapat dijumpai pada pasal 12 serta pasal 22 UUD NRI 1945 yang menjadi

dasar konstitusional pemberlakuan hukum tata negara darurat di Indonesia.

Pada setiap transisi dari konstitusi awal ke konstitusi setelahnya, pengaturan

tentang hukum tata negara darurat juga tetap disertakan. Hal ini dapat dilihat

pada pasal 139 Konstitusi Republik Indonesia Serikat serta pasal 96 dan 129

Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Adapun mengenai pemerintahan

darurat, tidak terdapat pengaturan secara eksplisit dalam konstitusi Indonesia,

tapi dapat dipahami sebagai bagian dari hukum tata negara darurat, yang dapat

ditempuh untuk menghadapi keadaan darurat.

2. Konsep pemerintahan darurat pada dasarnya mengacu pada prinsip-prinsip

dasar yang ada dalam hukum tata negara darurat. Dengan demikian, segala

tindakan dalam pemerintahan darurat dibatasi oleh ketentuan-ketentuan

hukum tata negara darurat. Sebagaimana hukum tata negara darurat secara

umum didefinisikan sebagai upaya untuk menghadapi keadaan darurat, maka

dalam pandangan hukum tata negara darurat, pemerintahan darurat juga

adalah upaya untuk menghadapi keadaan darurat untuk kemudian memulihkan

keadaan seperti semula.

Universitas Sumatera Utara

Page 120: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

109

3. Dalam perspektif hukum tata negara darurat, PDRI adalah pemerintahan yang

sah dan efektif. Dengan penekanan, keabsahan PDRI tersebut adalah

keabsahan sebagai pemerintahan darurat, yang dengan demikian, dibatasi oleh

prinsip-prinsip pemerintahan darurat yang mengacu pada prinsip-prinsip

hukum tata negara darurat. Proses pembentukan serta tindakan-tindakan yang

diambil oleh PDRI selama menjalankan pemerintahan darurat telah sesuai

dengan prinsip-prinsip pemerintahan darurat, sehingga keabsahan PDRI

sebagai pemerintahan darurat dapat dipertanggungjawabkan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan dalam skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Indonesia sebagai negara yang tergolong progresif dalam pengaturan

mengenai hukum tata negara darurat dalam konstitusinya perlu melakukan

penyempurnaan lagi, baik dalam tataran konseptual, normatif-yuridis maupun

pada tataran praktis, terkait dengan hukum tata negara darurat. Hal ini guna

memudahkan pemerintah dalam mengidentifikasi keadaan yang dapat

digolongkan sebagai keadaan darurat, menentukan kebijakan dalam mengatasi

keadaan darurat tersebut, serta menghindari ketidaksesuaian antara penerapan

hukum dengan keadaan darurat yang sedang dihadapi.

2. Kajian mengenai pemerintahan darurat sebagai suatu konsep turunan dari

hukum tata negara darurat harus lebih dikembangkan lagi. Pemerintahan

darurat sebagai pokok bahasan yang lebih spesifik perlu dibahas dengan

metode dan sistematika yang lebih spesifik pula. Dalam perkembangannya,

wacana kedaruratan terus bermunculan sebagai wacana yang bersifat khusus

Universitas Sumatera Utara

Page 121: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

110

di bawah kerangka hukum tata negara darurat. Prinsip-prinsip hukum tata

negara darurat dikhawatirkan tidak memadai lagi sebagai titik tolak untuk

menganilisis wacana-wacana yang bersifat khusus tersebut. Oleh karena itu,

perlu disusun prinsip-prinsip tersendiri yang relevan dengan wacana-wacana

tersebut.

3. Keberadaan serta peran PDRI dalam salah satu periode sejarah Republik

Indonesia perlu disosialisasikan secara masif kepada seluruh lapisan

masyarakat. Sosialisasi yang dimaksud harus disertai dengan penekanan-

penekanan secara proporsional pada aspek sosial, politik, sejarah, dan

terutama pada aspek hukum ketatanegaraannya. Dengan demikian, PDRI tidak

dipahami sekadar sebagai langkah remeh temeh tanpa dasar, melainkan

sebuah langkah strategis yang berbasis ilmu pengetahuan.

Universitas Sumatera Utara

Page 122: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

111

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Agung, Ide Anak Agung Gde. (1983). Renville. Jakarta: Sinar Harapan.

Amiruddin. (2016). Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Parama Ilmu.

Anwar, Rosihan. (2009). Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia Jilid 3. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas.

Apeldoorn, L. J. van. (1957). Pengantar Ilmu Hukum: Inleiding Tot De Studie

Van Het Nederlandse Recht. Jakarta: Noordhoff-Kolff N. V.

Asshiddiqie, Jimly. (2008). Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: Rajawali Pers.

Asshiddiqie, Jimly. (2016). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta:

Rajawali Pers.

Budiardjo, Miriam. (1981). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1998). Peranan Desa Dalam

Perjuangan Sumatera Barat 1945 Sampai 1949. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim. (2018). Metode Penelitian Hukum Normatif

dan Empiris. Depok: Penerbit Prenadamedia Group.

Friedman, Lawrence M. (2001). Hukum Amerika: Sebuah Pengantar. Jakarta:

Tatanusa.

Gultom, Binsar. (2010). Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat di

Indonesia: Mengapa Pengadilan HAM ‘Ad Hoc’ Indonesia Kurang

Efekif?. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gunawan, Ilham dan M. Martinus Sahrani. (2002). Kamus Hukum. Jakarta: Restu

Agung.

Hamidi, Jazim. (2009). Hukum Perbandingan Konstitusi. Jakarta: Prestasi Pustaka

Publiser.

Hatta, Mohammad. (1979). Memoir. Jakarta: Tintamas.

HR, Ridwan. (2016). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.

Universitas Sumatera Utara

Page 123: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

112

Huda, Ni’matul. (2005). Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review.

Yogyakarta: UII Press.

Joeniarto. (1996). Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Bumi

Aksara.

Kaelan. (2000). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kahin, Audrey. (2008). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan

Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kahin, George McTurnan. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok:

Komunitas Bambu.

Kansil, C. S. T. (1986). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka.

Kusnardi, Moh dan Hermaily Ibrahim. (2016). Pengantar Hukum Tata Negara

Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti.

Manan, Bagir dan Kuntana Magnar. (1997). Beberapa Masalah Hukum Tata

Negara. Bandung: Alumni.

Martosoewignjo, Sri Soemantri. (1987). Prosedur dan Perubahan Konstitusi.

Bandung: Alumni.

Marzuki, Peter Mahmud. (2010). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Mauna, Boer. (2013). Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi

dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni.

MD, Moh. Mahfud. (2003). Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi

Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan.

Jakarta: Rineka Cipta.

Nasution, Adnan Buyung. (2010). Demokrasi Konstitusional. Jakarta: Penerbit

Buku Kompas.

Prawiranegara, Sjafruddin. (1976). Sejarah sebagai Pedoman untuk Membangun

Masa Depan. Jakarta: Yayasan Idayu.

Ranawijaya, Usep. (1983). Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-Dasarnya.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Page 124: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

113

Rasjid, S. M. (1982). Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).

Jakarta: Penerbit N. V. Bulan Bintang.

Reid, Anthony. (1996). Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

Rosidi, Ajip. (2011). Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah SWT.

Bandung: Pustaka Jaya.

Sihombing, Herman. (1996). Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia. Jakarta:

Penerbit Djambatan.

Simanjuntak, P. N. H. (2003). Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal

Kemerdekaan Sampai Reformasi. Jakarta: Djambatan.

Sunggono, Bambang. (1997). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Suryanegara, Ahmad Mansur. (2012). Api Sejarah. Bandung: Salamadani.

Suwarno, P. J. (2003). Tata Negara Indonesia: Dari Sriwijaya Sampai Indonesia

Modern. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda. (2006). Teori dan Hukum

Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:

Pusat Bahasa.

Tim Penyusun. (2010). Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan

Hasil Pembahasan 1999-2002. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Tutik, Titik Triwulan. (2006). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara. Jakarta: Prestasi

Pustaka Publiser.

Ubaedillah. (2015). Pendidikan Kewarganegaraan (Civi Education): Pancasila,

Demokrasi, dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: Kencana.

Utama, Virdika Rizky. (2020). Menjerat Gus Dur. Jakarta: NUmedia Digital

Indonesia.

Wahjono, Padmo. (1982). Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali.

Universitas Sumatera Utara

Page 125: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

114

Wajowasito, S. (2001). Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar

Baru Van Hoeve.

Waluyo, Bambang. (1996). Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar

Grafika.

Zed, Mestika. (1997). Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik

Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan. Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti.

B. Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum

amandemen.

Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.

Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XX/MPRS/1966.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant

on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan

Politik).

Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.

Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

C. Konvensi internasional

European Convention on Human Rights (Konvensi Eropa tentang Hak Asasi

Manusia).

American Convention on Human Rights (Konvensi Amerika tentang Hak Asasi

Manusia).

International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional

tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

Montevideo Convention on the Rights and Duties of States (Konvensi Montevideo

tentang Hak dan Kewajiban Negara).

Universitas Sumatera Utara

Page 126: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

115

D. Disertasi

Goncalves Moniz, G. (2016). Kewenangan Presiden menyatakan negara dalam

keadaan darurat berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor Leste.

(Disertasi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016).

E. Jurnal

Adhari, A. (2019). “Ambiguitas Pengaturan Keadaan Bahaya Dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia”. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis

dan Investasi, (11) 1.

Agus Santoso, M. (2009). “Kajian Hubungan Timbal Balik Antara Politik dan

Hukum”. Jurnal Ilmiah Hukum Yuriska, (I) I.

Agus Santoso, M. (2013). “Perkembangan Konstitusi di Indonesia”. Jurnal

Yustisia, (2) 3.

Ansori, L. (2017). “Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif”.

Jurnal Yuridis, (4) 2.

Changnata, N. (2015). “Konstitusionalitas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan

Maklumat Presiden 23 Juli 2001”, JOM Fakultas Hukum, (II) 2.

Claudia Siwu, S. (2019). “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(PERPPU) Dalam Sistem Hukum Indonesia”. Jurnal Majelis (02).

Erasiah. (2019). “Studi Pemikiran Mestika Zed Tentang Pemerintah Darurat

Republik Indonesia”. Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah, Sastra,

Budaya, dan Agama, (XXV) 1.

H. Kharismulloh Hilmatiar, M. (2015). “Pembentukan Pemerintahan Darurat

Republik Indonesia Tahun 1949-1949 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah

dan Hukum Tata Negara”. Al-Mazahib, (3) I.

Iman Santoso, M. (2018). “Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara Dalam Sudut

Pandang Keimigrasian”. Binamulia Hukum, (7) 1.

Junianto, R. (2017). “Implementasi Undang-Undang Status Keadaan Darurat dan

Bahaya Perang di Jawa Timur Tahun 1946-1962”. Avatara: e-Journal

Pendidikan Sejarah, (5) 1.

S. Matompo, O. (2014). “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam

Perspektif Keadaan Darurat”. Jurnal Media Hukum, (21) 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 127: PEMERINTAHAN DARURAT (EMERGENCY GOVERNMENT) …

116

Syarif Nuh, M. (2011). “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of Emergency)

sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang”. Jurnal Hukum, (18) 2.

Usmaya, dkk. “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera

Barat Tahun 1948-1949”. FKIP UNILA Bandar Lampung.

F. Dokumen internet

BBC News. (2017). Capital cities: How are they chosen and what do they

represent?”. Diakses pada tanggal 23 April 2021 dari

https://www.bbc.com/news/world-42258989

Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF). (2005).

States of Emergency. Diakses pada tanggal 23 November 2020 dari

https://www.dcaf.ch

Hukum Online. Mengenang Profesor Herman Sihombing, Orang Batak di Ranah

Minang. Diakses pada tanggal 17 November 2020 dari

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56600a7bb697a/mengenang-

profesor-herman-sihombing--orang-batak-di-ranah-minang/

Merriam-Webster. Definition of Emergency Power. Diakses pada tanggal 17 April

2021 dari

https://www.merriam-webster.com/dictionary/emergency%20power

National Geographic. Capital. Diakses pada tanggal 23 April 2021 dari

https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/capital/

Silverstein, G. (2020). Britannica Online Encyclopedia: Emergency Powers.

Diakses pada tanggal 23 November 2020 dari

https://www.britannica.com/topic/emergency-powers

Tobing, L. Arti dan Kedudukan Undang-Undang Darurat. Diakses pada tanggal 1

April 2021 dari

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51ae7d86ef8fb/arti-

dan-kedudukan-undang-undang-darurat/

Universitas Sumatera Utara