penelitian dr lilik- joi

23
LAPORAN PENELITIAN PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TERAPI KOMPRES HANGAT DAN PIJATAN DENGAN DAN TANPA TETES MATA AZITHROMISIN 1,5% PADA DISFUNGSI KELENJAR MEIBOM STAGE I Lilik Sujarwati, Eddyanto Departemen Ilmu kesehatan Mata Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Soetomo Surabaya @liliksujarwati.yahoo.co.id ABSTRACT Objectives : to compare the effectiveness of therapeutic M eibomian Gland Dysfunction (MGD) stage I between warm compresses and massage combination with and without azithromycin 1,5% eye drops. Methods : 116 eyes from 58 patients were participated in this study. 58 eyes (29 patients) gets warm compresses and massage therapy as the control group and 58 eyes (29 patients) gets warm compresses, massage therapy and azithromycin 1,5% eye drops as treatment group. All of participants answered the Symptom Score (SS) and had done examination Lid Margin Abnormality Score (LMAS) and Meibo Score (MS). Results : This subject of the study comprised of 8 men and 50 women, with ages in the range of 26-82 years (56.54 ± 14.05). In this study found differences in Total Symptom Score (TSS) (p= 0.035) on day 1 and there are also differences in TSS on day 4 (p=0.010) and day 25 (p = 0.005). In addition there is a difference LMAS on day 4 (p=0.014) and day 25 (p = 0.001). There is no difference in MS on day 4 (p=0.154) and 25 (p = 0.052), but MS has improved clinically with p values tend to decrease. Conclusion : The combination of warm compresses and massage with azithromycin 1.5% eye drops are effective in the treatment Meibomian Gland Dysfunction stage I. Keywords : Meibomian Gland Dysfunction stage I, azithromycin 1.5% eye drops, warm compresses and massage the eyelid. PENDAHULUAN Menurut The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction, DKM didefinisikan suatu kelainan kelenjar meibom 1

Upload: fajar-rudy-qimindra

Post on 17-Dec-2015

232 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

neuro

TRANSCRIPT

JOI

LAPORAN PENELITIAN PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TERAPI KOMPRES HANGAT DAN PIJATAN DENGAN DAN TANPA TETES MATA AZITHROMISIN 1,5% PADA DISFUNGSI KELENJAR MEIBOM STAGE ILilik Sujarwati, Eddyanto

Departemen Ilmu kesehatan MataFakultas kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. [email protected]

ABSTRACT

Objectives : to compare the effectiveness of therapeutic Meibomian Gland Dysfunction (MGD) stage I between warm compresses and massage combination with and without azithromycin 1,5% eye drops.

Methods : 116 eyes from 58 patients were participated in this study. 58 eyes (29 patients) gets warm compresses and massage therapy as the control group and 58 eyes (29 patients) gets warm compresses, massage therapy and azithromycin 1,5% eye drops as treatment group. All of participants answered the Symptom Score (SS) and had done examination Lid Margin Abnormality Score (LMAS) and Meibo Score (MS).

Results : This subject of the study comprised of 8 men and 50 women, with ages in the range of 26-82 years (56.54 14.05). In this study found differences in Total Symptom Score (TSS) (p= 0.035) on day 1 and there are also differences in TSS on day 4 (p=0.010) and day 25 (p = 0.005). In addition there is a difference LMAS on day 4 (p=0.014) and day 25 (p = 0.001). There is no difference in MS on day 4 (p=0.154) and 25 (p = 0.052), but MS has improved clinically with p values tend to decrease.

Conclusion : The combination of warm compresses and massage with azithromycin 1.5% eye drops are effective in the treatment Meibomian Gland Dysfunction stage I.

Keywords : Meibomian Gland Dysfunction stage I, azithromycin 1.5% eye drops, warm compresses and massage the eyelid.PENDAHULUAN

Menurut The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction, DKM didefinisikan suatu kelainan kelenjar meibom yang diffuse dan kronik, biasanya mempunyai karakteristik penyumbatan pada muara kelenjar meibom dan atau mengalami perubahan kualitatif/ kuantitatif pada sekresi kelenjar meibom. Hal ini mengakibatkan perubahan lapisan air mata, gejala-gejala iritasi mata, secara klinis menggambarkan inflamasi dan ocular surface disease.19

Ada beberapa evidence-based yang menerangkan untuk penggunaan istilah pada definisi DKM. Istilah disfungsi digunakan karena fungsi kelenjar meibom terganggu. Istilah diffuse digunakan karena penyakit ini melibatkan hampir semua kelenjar meibom. Obstruksi pada muara kelenjar meibom dan perubahan kualitatif dan atau kuantitatif pada sekresi kelenjar meibom merupakan aspek yang paling nyata dari DKM. Sebagai tambahan, keluhan suyektif penderita berupa gejala iritasi mata harus diperhatikan benar-benar karena perbaikan keluhan pasien merupakan tujuan utama dari terapi DKM. Peran inflamasi pada penyebab DKM masih kontroversial dan meragukan.19

Klasifikasi DKM dibagi menjadi dua kategori utama berdasarkan sekresi kelenjar meibom, dimana dibagi menjadi dua yaitu low delivery dan high delivery.19Low delivery dibagi lagi menjadi hiposkretori dan obstruksi, sedangkan obstruksi dibagi lagi menjadi dua subkategori yaitu sikatrik dan non sikatrik. DKM hiposekretori menggambarkan kondisi penurunan pengiriman meibom karena kelainan kelenjar meibom tanpa obstruksi. Sedangkan DKM obstruksi terjadi karena obstruksi muara kelenjar meibom. Pada DKM tipe obstruksi sikatrik, muara kelenjar meibom tertarik dari posterior ke mukosa, dimana muara kelenjar meibom yang tersisa pada posisi normal terdapat dapa DKM tipe obstruksi non sikatrik. High delivery, DKM hipersekretori mempunyai karakteristik pengeluaran volume lipid yang banyak pada lid margin sehingga nampak pada saat menekan tarsus selama pemeriksaan. Setiap kategori DKM mempunyai penyebab primer yang mengacu pada kondisi yang nampak yang mendasari atau menyebabkannya. Secara keseluruhan, DKM dapat menimbulkan perubahan lapisan air mata, keluhan-keluhan iritasi mata, inflamasi dan mata kering.19

Prevalensi DKM telah dilaporkan pada berbagai studi dimana mempunyai variasi yang begitu luas, dari 3,5% sampai hampir 70%. Prevalensi DKM tampaknya cenderung lebih tinggi dilaporkan pada populasi Asia. Studi di Bangkok disebutkan prevalensi DKM di sana sekitar 46,2 %. Di Jepang dikatakan pada the Shihpai Eye Study bahwa prevalensi DKM mencapai 60,8% dan di the Beijing Eye Study mencapai 69,3%. Hal ini sangat kontras dengan laporan prevalensi DKM pada ras Kaukasian dimana prevalensinya berkisar antara 3,5% pada the Salisbury Eye Evaluation Study sampai 19,9% pada the Melbourne Visual Impairment Project.25

Di Poli Mata RSUD Dr. Soetomo sendiri antara bulan Juni 2011- April 2012 terdapat 46 penderita DKM yang terdiagnosis. Rata-rata 4-5 penderita/ bulan atau sekitar 4,8 - 6 %/ tahun dari jumlah pasien yang datang di Poli Mata Divisi Eksterna.

Faktor yang berhubungan dengan DKM antara lain faktor resiko oftalmik meliputi : aniridia, blefaritis kronik (anterior atau posterior), pemakaian lensa kontak, demodex folliculorum, tato kelopak mata, floppy eyelid syndrome, Giant Papillary Conjunctivitis (GPC), iktiosis, degenerasi kornea nodular Salzmanns dan trakhoma.25 Selain faktor resiko oftalmik, DKM juga dapat disebabkan oleh faktor resiko penuaan yang dapat mempengaruhi struktur dan atau fungsi kelenjar meibom. Faktor-fakotr lingkungan, termasuk faktor geografi, temperatur, kelembaban dan kerja visual.25 Obat-obatan yang kemungkinan berhubungan dengan DKM antara lain: terapi isotretionin, antiandrogen, antidepresan, antihistamin, obat-obatan yang digunakan untuk Benign Prostate Hyperplasia (BPH), terapi hormon paska menopause. 25

Patofisiologi penyakit ini belum sepenuhnya dapat dipahami namun konsensus yang terbaru menyebutkan bahwa bakteri dan keradangan adalah dua penyumbang utama terjadinya proses ini.8,13,24

Pada DKM terjadi ketidakseimbangan komposisi lipid sehingga mengakibatkan perubahan lipid yang akan disekresi. Perubahan ini menyebabkan lapisan lipid meleleh pada titik cair yang lebih tinggi sehingga adanya kondensasi lipid membuat sumbatan pada muara kelenjar Meibom. Akibatnya sekresi lipid dihambat dan memicu peradangan di sekitarnya. Gangguan komposisi lipid ini mengakibatkan peningkatan evaporasi dan osmolaritas lapisan air mata (LAM).10

Modalitas terapi Disfungsi Kelenjar Meibom (DKM) terbaru meliputi lid hygiene, kompres hangat, lid massage, antibiotik (tetrasiklin oral, doksisiklin atau minosiklin, eritromisin topikal atau salep basitrasin), immunomodulator (kortikosteroid topikal atau siklosporin A) atau beberapa kombinasi terapi di atas13 Eyelid hygiene merupakan initial treatment dari DKM meliputi kompres hangat selama beberapa menit pada tepi palpebra untuk mencairkan sekret yang mengental di kelenjar meibom dan mengurangi krusta yang tampak di tepi palpebra. Selain itu juga perlu dilakukan masase secara gentle pada tepi palpebra untuk memudahkan pengeluaran sekret yang tersumbat pada kelenjar meibom. Masase tepi palpebra dapat diikuti dengan membersihkan tepi palpebra dalam kondisi mata tertutup dengan lap badan yang bersih atau cotton buds maupun kertas tissu yang bersih menggunakan shampo yang tidak mengirasi mata dicampur dengan air hangat.28

Apabila dengan cara eyelid hygiene tersebut, DKM belum sembuh maka pemberian tetrasiklin 4x 250 mg selama 3-4 minggu kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap sangat efektif untuk diberikan. Alternatif lain terapi MGD dapat diberikan doksisiklin 2x 100mg atau minocyclin selama 3-4 minggu. Untuk penderita yang hipersensitif terhadap tetrasiklin atau pada anak-anak dapat diberikan eritromisin sebagai antibiotika sistemiknya. 28 Azithromisin 1,5% merupakan antibiotika golongan makrolid yang baru-baru ini disebutkan dalam penelitian Luchs pada tahun 2008 berhasil digunakan sebagai terapi konjungtivitis bakterial dan blefaritis.16 Azithromisin sensitif terhadap kuman haemophilus influenzae, streptococcus aureous, streptococcus mitis dan streptococcus pneumoniae. Azithromisin menunjukkan poten sebagai anti radang yang mana dapat menurunkan produksi proinflamatory sitokin oleh makrofag dan sel-sel epitelial, selain itu juga menghambat aktifasi dan migrasi neutrofil secara invitro dan invivo. Penelitian terbaru menduga bahwa azithromisin mempengaruhi neutrofil secara invivo melalui cara biphasic. Pada awalnya neutrofil diaktifasi kemudian memfasilitasi pembunuhan kuman lalu sekali kuman dibasmi, neutrofil mengalami apoptosis, melemahkan respon peradangan. Pengaruh azithromisin pada fungsi neutrofil ini menghasilkan kemampuannya yang unik pada konsentrasi intraseluler yaitu sebagai antibacterial sekaligus anti inflammatory.5

Menurut terapi yang direkomendasikam The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction (IWMGD) dijelaskan bahwa terapi DKM stage 1 berupa eyelid hygiene (kompres hangat/ pijatan), sedangkan terapi DKM stage 2 berupa kompres hangat eyelid hygiene (kompres hangat/ pijatan) dan lubrikan, azithromisin topikal atau derivat tetrasiklin. Adapun terapi DKM stage 3 berupa terapi DKM stage 2 ditambah oral tetrasiklin dan/ atau siklosporin/ steroid, sedangkan untuk terapi DKM stage 4 berupa terapi DKM stage 3 ditambah terapi anti inflamasi serta bila terdapat plus- disease dapat ditambahkan steroid, lensa kontak maupun pembedahan.20

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian experimental design, dengan parameter kuisioner keluhan subyektif Symptom Score (SS), hasil pemeriksaan Lid Margin Abnormality Score (LMAS) dan hasil pemeriksaan Meibo Score (MS). Tujuan penelitian ini adalah membandingkan efektifitas terapi DKM stage I antara kombinasi kompres hangat dan pijatan dengan dan tanpa tetes mata azithromisin 1,5% sebagai bahan pertimbangan protap terapi DKM di Poli Mata RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Penelitian dilakukan dengan membandingkan antara kelompok kontrol dan perlakuan tentang perbedaan Symptom Score (SS), hasil Lid Margin Abnormality Score (LMAS) dan hasil Meibo Score (MS) pada penderita DKM stage I antara kombinasi kompres hangat dan pijatan dengan dan tanpa tetes mata azithromisin 1,5% pada hari ke-4 dan ke-25. Kemudian semua variabel yang berperan dilakukan penghitungan dan dianalisis secara statistik menggunakan Uji T sampel bebas bila data berdistribusi normal dan Uji Mann-Whitney bila data tidak berdistribusi normal dengan tingkat kemaknaan p < 0,005. Normalitas distribusi data dites dengan Uji Kolmogorov-Smirnov.

Symptom score adalah total penghitungan jumlah skor dari 14 pertanyaan keluhan subyektif DKM yang memenuhi kriteria The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction, yang terdiri dari skala memberatnya symptom score mulai skala 0 (normal) sampai 4 (very severe).

Lid margin abnormality score adalah total penghitungan jumlah skor kelainan tepi kelopak mata yang memenuhi kriteria The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction, meliputi irregular lid margin, vascular engorgement, pembuntuan lubang kelenjar meibom (plugged meibomian gland orifices), dan penggantian score mucocutaneus junction anterior atau posterior dari 0 sampai 4 menurut jumlah kelainan yang ada pada tiap mata.

Meibo-score adalah hasil meibografi non kontak yang berbentuk skor semiquantitatif yang memenuhi kriteria The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction. Meibo-score meliputi grade 0 sampai 3.Adapun aspek etik penelitian diselesaikan sesuai dengan kaidah yang berlaku melalui ethical clearance dari Panitia Etik Penelitian Kesehatan RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

HASIL

Penelitian ini dilakukan pada 116 mata dari 58 orang penderita. Sebanyak 29 penderita (58 mata) sebagai kontrol yaitu penderita yang mendapat terapi kompres hangat dan pijatan kelopak mata. Sedangkan penderita yang mendapat perlakuan berupa terapi kompres hangat dan pijatan kelopak mata serta tetes mata azithromisin 1,5% sebanyak 29 penderita (58 mata).

Tabel 1 Distribusi subyek penelitian berdasarkan usia dan jenis kelamin

Kelompok

KontrolKelompok

PerlakuanTotal

Jumlah penderita

Umur, tahun

Mean (SD)

Median

Minimum,maksimum

Jenis kelamin, n (%)**

Laki-laki

Perempuan29

56,48 (13,87)

60,00

26, 77

7 (24,1%)

22 (75,9%)29

56,59 (14,22)

56,00

29, 82

1 (3,4%)

28 (96,6%)58

56,54 (14,05)

71

26, 82

8 (13,79%)

50 (86,21%)

menggunakan Mann Whitney ** menggunakan Chi-Square

Tabel 1 menunjukkan secara umum rerata usia kelompok kontrol 56.48 tahun (13,87), dengan usia termuda 26 tahun dan usia tertua 77 tahun. Sedangkan pada kelompok perlakuan, rerata usia adalah 56,59 tahun (14,22), dengan usia termuda 29 tahun dan usia tertua 82 tahun.Total subyek penelitian sebanyak 8 subyek (13.79%) adalah pria dan 50 subyek (86.21%) adalah wanita.

Pada penelitian ini dibandingkan 14 keluhan subyektif menggunakan Symptom Score antara kelompok kontrol berupa kompres hangat dan pijatan dengan kelompok perlakuan berupa kompres hangat, pijatan dan tetes mata azithromisin 1,5% pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25 (tabel 2). Tabel 2 Hasil Symptom Score antara kelompok kontrol dan perlakuan

pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25

Keluhan Subyektif

Kelompok

Severity score (mean(SD))

Hari ke-1

Med (maks-min)

P

Hari ke-4

Med (maks-min)

PHari ke-25

Med (maks-min)

P

Terasa lelah

Kontrol

Perlakuan

2,0(3,0-0,0)

3,0(3,0-0,0)

0,024*

1,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,044* #1,0(3,0-0,0)

1,0(2,0-0,0)

0,000* #

Terasa keluar kotoran/ belekan

Kontrol

Perlakuan

1,0(3,0-0,0)

2,0(3,0-0,0)

0,020*

1,0(2,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,002* #1,0(2,0-0,0)

0,0(2,0-0,0)

0,000* #

Terasa ada sensasi benda asing

Kontrol

Perlakuan

2,0(3,0-0,0)

2,0(3,0-0,0)

0,309

1,0(3,0-0,0)

1,0(2,0-0,0)

0,055

1,0(3,0-0,0)

1,0(2,0-0,0)

0,000*

Terasa kering

Kontrol

Perlakuan

2,0(3,0-0,0)

2,0(4,0-0,0)

0,412

2,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,038

1,0(3,0-0,0)

0,0(2,0-0,0)

0,000*

Terasa tidak nyaman

Kontrol

Perlakuan

3,0(3,0-1,0)

3,0(4,0-1,0)

0,692

3,0(3,0-1,0)

2,0(3,0-0,0)

0,001*

2,0(3,0-0,0)

1,0(2,0-0,0)

0,000*

Terasa lengket

Kontrol

Perlakuan

1,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,445

1,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,127

1,0(3,0-0,0)

0,0(2,0-0,0)

0,008*

Terasa nyeri atau kemeng

Kontrol

Perlakuan

1,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,360

1,0(3,0-0,0)

0,0(3,0-0,0)

0,022*

1,0(3,0-0,0)

0,0(2,0-0,0)

0,002*

Terasa berair/ nrocoh

Kontrol

Perlakuan

2,0(3,0-0,0)

2,0(3,0-0,0)

0,369

1,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,605

1,0(3,0-0,0)

1,0(1,0-0,0)

0,010*

Terasa gatal

Kontrol

Perlakuan

2,0(4,0-0,0)

2,0(4,0-0,0)

0,783

1,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,327

1,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,004*

Tampak merah

Kontrol

Perlakuan

1,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,658

1,0(3,0-0,0)

0,0(2,0-0,0)

0,001*

1,0(2,0-0,0)

0,0(1,0-0,0)

0,002*

Terasa berat/ mengganjal

Kontrol

Perlakuan

2,0(3,0-0,0)

2,0(3,0-0,0)

0,277

2,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,247

1,0(2,0-0,0)

0,0(2,0-0,0)

0,000*

Sensitif terhadap cahaya

Kontrol

Perlakuan

2,0(3,0-0,0)

2,0(3,0-0,0)

0,728

1,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,117

1,0(3,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,031*

Terasa sering berkedip

Kontrol

Perlakuan

0,0(2,0-0,0)

1,0(3,0-0,0)

0,008*

0,0(2,0-0,0)

0,0(3,0-0,0)

0,032* #0,0(2,0-0,0)

0,0(2,0-0,0)

0,011* #

Ada riwayat kalazion atau hordeolum menahun

Kontrol

Perlakuan

0,0(0,0-0,0)

0,0(0,0-0,0)

1,00

0,0(0,0-0,0)

0,0(0,0-0,0)

1,00

0,0(0,0-0,0)

0,0(0,0-0,0)

1,00

*: p < 0,05 (signifikan) # menggunakan Regresi Ordinal Ganda Tabel 2 menunjukkan pada hari pertama terdapat hampir tidak ada perbedaan dari 14 keluhan subyektif, dimana hanya terdapat 3 keluhan subyektif yang mengalami perbedaan antara kelompok kontrol dan perlakuan berupa mata terasa lelah (p = 0,024), terasa keluar kotoran/ belekan (p = 0,020) dan sering berkedip (p = 0,008).

Pada hari ke-4 setelah kelompok perlakuan mendapat terapi tetes mata azithromisin 1,5% selama 3 hari berturut-turut maka didapatkan perbedaan untuk 6 keluhan subyektif antara lain: mata terasa lelah (p = 0,044), terasa keluar kotoran/ belekan (p < 0,002), terasa tidak nyaman (p = 0,001), terasa nyeri/ kemeng (p = 0,022), tampak merah (p = 0,001) dan terasa sering berkedip (p = 0,032). Adapun keluhan subyektif lainnya sama-sama mengalami perbaikan secara klinis namun tidak ada perbedaan antara kedua kelompok.

Pada hari ke-25 dimana setelah hari ke-4 sampai hari ke-25, baik kelompok kontrol maupun perlakuan sama-sama mendapat terapi kompres hangat dan pijatan pada kedua kelopak mata maka didapatkan perbedaan untuk 13 keluhan subyektif berupa mata terasa lelah (p = 0,000), terasa keluar kotoran/ belekan (p = 0,000), terasa ada sensasi benda asing (p = 0,000), terasa kering (p = 0,000), terasa tidak nyaman (p = 0,000), terasa lengket (p = 0,008), terasa nyeri/ kemeng (p = 0,002), terasa berair/ nrocoh (p = 0,010), terasa gatal (p = 0,004), tampak merah (p = 0,002), terasa berat/ mengganjal (p = 0,000), sensitif terhadap cahaya (p = 0,031) dan terasa sering berkedip (p = 0,032).

Adapun untuk keluhan subyektif berupa riwayat kalazion atau hordeolum menahun, baik kelompok kontrol maupun perlakuan tidak didapatkan riwayat tersebut sehingga didapatkan distribusi yang homogen.

Pada penelitian ini dilakukan perbandingan Total Symptom Score (TSS) dengan cara melakukan penjumlahan skor dari 14 keluhan subyektif yang terdapat pada kuisioner symptom score pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25 pada kelompok kontrol dan perlakuan.

Respon penderita terhadap keluhan subyektif baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan dapat dilihat dari nilai rerata TSS,dimana nilai rerata 0-11,2 menunjukkan respon baik sekali, 11,201-22,4 menunjukkan respon baik, 22,401-33,6 menunjukkan respon cukup, 33,601-44,8 menunjukkan respon jelek dan 44,801-56 menunjukkan respon deteriorisasi.

Tabel 3 Hasil Total Symptom Score (TSS) antara kelompok kontrol dan perlakuan pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25

Total Symptom Score (TSS)Kelompok KontrolKelompok PerlakuanP

Hari ke-1**

Mean (SD)

Median

Minimum, maksimum20,44 (5,71)

19,00

12,00, 36,0023,00 (4,68)

25,00

14,00, 31,000,035*

Hari ke-4

Mean (SD)

Median

Minimum, maksimum13,27 (5,42)

13,00

3,00, 26,0018,06 (5,55)

17,00

6,00, 28,000,010*

Hari ke-25

Mean (SD)

Median

Minimum, maksimum8,86 (5,99)

9,00

0,00, 24,0014,44 (6,63)

14,00

3,00, 28,000,005*

*: p < 0,05 (signifikan)

** menggunakan Mann Whitney

menggunakan Analisis KovariansiTabel 3 menunjukkan pada hari ke-1 TSS didapatkan perbedaan (p = 0,035) dengan menggunakan Uji Mann Whitney dan ada perbedaan TSS pula pada hari ke-4 (p = 0,010) dan hari ke-25 (p = 0,005) dengan menggunakan Uji Analisis Kovariansi.

Respon penderita baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan terhadap seluruh keluhan subyektif menunjukkan respon yang baik sampai baik sekali selama 25 hari observasi. Hal ini tampak dari nilai rerata baik dari kelompok kontrol maupun perlakuan mengalami penurunan pada hari ke-4 dan ke-25 yaitu di bawah 22,4.

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan Lid Margin Abnormality Score (LMAS) meliputi irregular lid margin, vascular engorgement, sumbatan pada muara kelenjar Meibom, anterior or posterior replacement of the mucocutaneus junction, dimana jumlah kelainan yang ada pada tiap mata dijumlahkan dan diberi score dari 0-4 berdasarkan jumlah kelainan yang ada kemudian dibandingkan hasil pemeriksaannya pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25.

Tabel 4 Hasil Lid Margin Abnormality Score (LMAS) antara kelompok kontrol dan perlakuan pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25

Lid Margin Abnormality Score (LMAS)Kelompok KontrolKelompok PerlakuanP

Hari ke-1

Mean (SD)

Median

Minimum - maksimum3,00 (1,00)

3,00

2,00 - 4,002,96 (1,01)

2,00

2,00 - 4,000,894

Hari ke-4

Mean (SD)

Median

Minimum - maksimum2,58 (1,23)

2,00

0,00 - 4,001,86 (0,87)

2,00

0,00 - 4,000,014*

Hari ke-25

Mean (SD)

Median

Minimum - maksimum1,96 (0,94)

2,00

0,00 - 4,001,00 (1,00)

1,00

0,00 - 2,000,001*

*: p < 0,05 (signifikan)

** menggunakan Mann WhitneyTabel 4 menunjukkan pada hari ke-4 pemeriksaan LMAS didapatkan perbedaan (p = 0,014) dan hari ke-25 juga terdapat perbedaan (p = 0,001). Selain itu nilai terendah dan tertinggi LMAS pada kelompok kontrol maupun perlakuan mempunyai persamaan skor pada hari ke-1 (2,00, 4,00) dan hari ke-4 (0,00, 4,00), sedangkan untuk hari ke-25 mempunyai perbedaan skor terendah dan tertinggi LMAS pada kelompok kontrol (0,00, 4,00) dibandingkan kelompok perlakuan (0,00, 2,00).

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan Meibo Score (MS) meliputi grade 0 sampai 3 berdasarkan besarnya jumlah area kelenjar Meibom yang hilang pada kelopak atas maupun bawah kemudian skor dihitung dengan menjumlahkan grade MS untuk kelopak mata atas (0-3) dan bawah (0-3) untuk memperoleh skor 0-6 untuk tiap mata kemudian dibandingkan hasil pemeriksaannya pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25.

Tabel 5 Hasil Meibo Score (MS) antara kelompok kontrol dan perlakuan pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25

Meibo Score (MS)Kelompok KontrolKelompok PerlakuanP

Hari ke-1

Mean (SD)

Median

Minimum, maksimum2,00 (0,00)

2,00

2,00, 2,002,06 (0,37)

2,00

2,00, 4,000,317

Hari ke-4

Mean (SD)

Median

Minimum, maksimum2,00 (0,00)

2,00

2,00, 2,001,89 (0,40)

2,00

0,00, 2,000,154

Hari ke-25

Mean (SD)

Median

Minimum, maksimum1.20 (0.97)

2.00

0.00, 2.001,65 (0,76)

2,00

0,00, 2,000,052

*: p < 0,05 (signifikan)

** menggunakan Mann WhitneyTabel 5 menunjukkan tidak terdapat perbedaan secara statistik pada pemeriksaan MS hari ke-1 (p = 0,317), hari ke-4 (p = 0,154) maupun hari ke-25 (p = 0,052). Namun ada kecenderungan penurunan nilai rerata pemeriksaan MS dari hari ke-1, ke-4 dan ke-25. Hal ini menunjukkan perbaikan secara klinis meski secara statistik tidak didapatkan perbedaan.DISKUSI

Pada penelitian ini dibandingkan keluhan subyektif menggunakan hasil penghitungan skor kuisioner Symptom Score (SS) antara kelompok yang mendapat terapi kompres hangat dan pijatan kelopak mata serta tetes mata azithromisin (perlakuan) dan yang tidak mendapat tetes mata azithromisin (kontrol).

Pada hari ke-1 baik kelompok kontrol maupun perlakuan, rerata SS nya hampir sama antara kedua kelompok. Ada 3 keluhan subyektif yang menunjukkan perbedaan antara keduanya, antara lain: mata terasa lelah (p = 0,024), terasa keluar kotoran/ belekan (p = 0,020) dan sering berkedip (p = 0,008). Pada hari ke-4 terdapat 6 keluhan subyektif yang menunjukkan perbedaan antara kelompok kontrol dibandingkan perlakuan. Keluhan subyektif yang mengalami perbedaan antara lain: mata terasa lelah (p = 0,044), terasa keluar kotoran/ belekan (p = 0,002), terasa tidak nyaman (p = 0,001), terasa nyeri/ kemeng (p = 0,022), tampak merah (p = 0,001) dan terasa sering berkedip (p = 0,032). Sedangkan keluhan subyektif lainnya sama-sama mengalami perbaikan secara klinis namun tidak ada perbedaan antara kedua kelompok. Pada hari ke-25 terdapat perbedaan yang signifikan untuk 13 keluhan subyektif. Hal ini menunjukkan respon yang baik terhadap keluhan subyektif yang semakin menurun nilai reratanya setelah hari ke-25. Pada penelitian ini didapatkan penurunan keluhan subyektif sebagaimana yang ditemukan pada penelitian Jody Luchs (2008).

Respon penderita terhadap keluhan subyektif baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan dapat dilihat dari nilai rerata TSS, dimana nilai rerata 0-11,2 menunjukkan respon baik sekali, 11,201-22,4 menunjukkan respon baik, 22,401-33,6 menunjukkan respon cukup, 33,601-44,8 menunjukkan respon jelek dan 44,801-56 menunjukkan respon deteriorisasi.

Dari hasil Total Symptom Score (TSS) hari ke-1 didapatkan perbedaan (p = 0,035) dengan menggunakan Uji Mann Whitney dimana nilai rerata TSS kelompok kontrol 20,44 (5,71) menunjukkan keluhan subyektif awal kunjungan sudah baik (keluhan subyektifnya ringan). Sedangkan pada kelompok perlakuan nilai rerata TSS 23,00 (4,68) sedikit lebih tinggi dari kelompok kontrol menunjukkan keluhan subyektif awal kunjungan cukup (keluhan subyektifnya lebih berat dibandingkan kelompok kontrol). Pada hari ke-4 hasil Total Symptom Score (TSS) didapatkan perbedaan (p = 0,035) dan nilai rerata kelompok kontrol 13,27 (5,42) menunjukkan respon yang baik (tidak jauh berbeda dengan keluhan subyektif awalnya yang ringan). Sedangkan pada kelompok perlakuan nilai rerata TSS 18,06 (5,55) menunjukkan perbaikan terhadap keluhan subyektif hari ke-1, dimana respon penderita yang cukup berubah menjadi baik setelah mendapat terapi perlakuan dengan menggunakan Uji Analisis Kovariansi. Pada hari ke-25 nilai rerata kelompok kontrol 8,86 (5,99) menunjukkan respon yang baik sekali (keluhan subyektif jauh berkurang). Sedangkan pada kelompok perlakuan nilai rerata TSS 14,44 (6,63) menunjukkan respon yang baik (keluhan subyektif berkurang), dimana respon penderita semakin baik setelah mendapat terapi perlakuan dengan menggunakan Uji Analisis Kovariansi.

Pada penelitian ini didapatkan perbedaan (p = 0,035) pada hari ke-1 dengan menggunakan Uji Mann Whitney dan ada perbedaan TSS pula pada hari ke-4 (p = 0,010) dan hari ke-25 (p = 0,005) dengan menggunakan Uji Analisis Kovariansi. Hal ini menunjukkan respon yang semakin baik setelah mendapat terapi baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan, dimana tampak dari nilai rerata baik dari kelompok kontrol maupun perlakuan mengalami penurunan pada hari ke-4 dan ke-25 yaitu di bawah 22,4. Pada penelitian ini juga didapatkan respon penderita yang baik terhadap terapi perlakuan sebagaimana yang ditemukan pada penelitian Jody Luchs (2008).

Pada penelitian ini disebutkan nilai rerata LMAS hari ke-1 pada kelompok kontrol 3,00 (1,00) menunjukkan pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan total 3 kelainan LMAS, sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rerata LMAS 2,96 (1,01) yang menunjukkan total 2,96 kelainan LMAS. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan LMAS pada hari ke-1 (p = 0,894) dengan menggunakan Uji Mann- Whitney. Pada hari ke-4 nilai rerata LMAS kelompok kontrol 2,58 (1,23) menunjukkan pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan total 2,58 kelainan LMAS, sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rerata LMAS 1,86 (0,87) yang menunjukkan total 1,86 kelainan LMAS. Hal ini menunjukkan ada perbedaan LMAS pada hari ke-4 (p = 0,014) dengan menggunakan Uji Mann- Whitney. Pada hari ke-25 nilai rerata LMAS kelompok kontrol 1,96 (0,94) menunjukkan pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan total 1,96 kelainan LMAS, sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rerata LMAS 1,00 (1,00) yang menunjukkan total 1 kelainan LMAS. Hal ini menunjukkan ada perbedaan LMAS pada hari ke-25 (p = 0,001) dengan menggunakan Uji Mann- Whitney.

Selain itu nilai terendah dan tertinggi LMAS pada kelompok kontrol maupun perlakuan mempunyai persamaan skor pada hari ke-1 (2,00, 4,00) dan hari ke-4 (0,00, 4,00), sedangkan untuk hari ke-25 mempunyai perbedaan skor terendah dan tertinggi LMAS pada kelompok kontrol (0,00, 4,00) dibandingkan kelompok perlakuan (0,00, 2,00). Pada penelitian ini juga didapatkan perbedaan seperti yang ditemukan pada penelitian Reiko Arita et al (2010).

Pada penelitian ini disebutkan nilai rerata MS hari ke-1 pada kelompok kontrol 2,00 (0,00) menunjukkan pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan total 2 kelainan MS, sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rerata MS 2,06 (0,37) yang menunjukkan total 2,06 kelainan MS. Hal ini menunjukkan nilai rerata MS yang tidak signifikan pada hari ke-1 (p = 0,317) dengan menggunakan Uji Mann- Whitney. Pada hari ke-4 nilai rerata MS pada kelompok kontrol 2,00 (0,00) menunjukkan pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan total 2 kelainan MS, sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rerata MS 1,89 (0,40) yang menunjukkan total 1,89 kelainan MS. Hal ini menunjukkan nilai rerata MS yang tidak signifikan pada hari ke-4 (p = 0,154) dengan menggunakan Uji Mann- Whitney. Pada hari ke-25 nilai rerata MS pada kelompok kontrol 1,20 (0,97) menunjukkan pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan total 1,2 kelainan MS, sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rerata MS 1,65 (0,76) yang menunjukkan total 1,65 kelainan MS. Hal ini menunjukkan nilai rerata MS yang tidak signifikan pada hari ke-25 (p = 0,052) dengan menggunakan Uji Mann- Whitney.

Dengan demikian, dipandang dari rerata MS, pada penelitian ini meski tidak didapatkan perbedaan secara statistik seperti yang ditemukan pada penelitian Reiko Arita et al (2010) namun nilai rerata MS dari hari ke-1, ke-4 dan ke-25 menunjukkan kecenderungan mengalami penurunan. Hal ini menggambarkan secara klinis hasil MS mengalami perbaikan meskipun tidak ada perbedaan secara statistik dengan menggunakan Uji Mann-Whitney.KESIMPULAN

Terdapat perbedaan Symptom Score (SS), hasil Lid Margin Abnormality Score (LMAS) dan tidak ada perbedaan secara statistik pada hasil Meibo Score(MS) namun menunjukkan kecenderungan perbaikan secara klinis. UCAPAN TERIMA KASIH

1. Eddyanto, dr., Sp.M(K) sebagai pembimbing sekaligus koordinator penelitian2. PT Kalbe Farma yang mensponsori produk untuk digunakan sebagai sarana penelitian

3. Semua pihak yang membantu terselesaikannya penelitian ini yang tidak bisa kami sebutkan satu per satuDAFTAR PUSTAKA1. Antonio, Matthias,Z. and Jeannette,G., 2010. Topical blepharitis therapy using the anti-inflamatory macrolide antibiotic azithromycin 1,5%. WOC, Berlin.2. Bajorf,A.M., 1994. Lid Inflamations. In: Albert,D.M., Jacobiee,F.A., 1994. eds. Principles and practice of ophthalmology. Philadelphia : WB Saunders: 101-16.3. Bowman,R.W., Dougherty,J.M. and Mc Culley,J.P., 1987. Chronic blepharitis and dry eye. Int Ophthalmol Clin 27(1) :27-35.4. Cicendo, 2006. Pedoman Terapi RS Mata Cicendo : Blefaritis/ Meibomianitis. Bandung, 45-6.5. Culic,O., Erakovic,V. and Cepelak,I. et al, 2002. Azithromycin modulates neutrophil function and circulating inflammatory mediators in healthy human subjects. Eur J Pharmacol. 450: 277-289.6. Dougherty,J.M. and McCulley,J.P., 1984. Comparative bacteriology of chronic blepharitis. Br J Ophyhalmol. 68: 524-528.7. Ehlers Justis,P. and Shah Chirag,P., 2002. The Wills Eye Manual. Fifth edition, Lippincot William & Wilkins.8. Foulks,G.N. and Bron,A.J., 2003. Meibomian gland dysfunction: a clinical scheme for description, diagnosis, classification and grading. Ocular Surface. 1: 107-126.9. Girsang,W. and Gondhowiardjo,T.D., 1999. Efek sinergi golongan tetrasiklin pada disfungsi kelenjar meibom. Penelitian Akhir Bagian Ilmu Penyakit Mata FKUI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo. Jakarta.10. Gondhowiardjo,T.D., 1999. Qualities deterioration of lipid and mucous fraction of the tear film. Understanding ocular infectionand inflamation. Recent concepts in basic science, clinical aspect and didactic course. Jakarta, Department of Ophthalmology. Faculty of Medicine University of Indonesia: 59-64.11. Holly,F.J. and Lemp,M.A., 1997. Tear physiology and dry eye. Survey of Ophthalmol 22 (2) : 69-87.12. Ivetic Tkalcevic,V. et al., 2006. Anti-inflamatory activity of azithromycin at enuates the effects of lipopolysaccharide administration in mice. Eur J Pharmacol 539: 131-138.13. Jackson,W.B., 2008. Blepharitis: current strategies for diagnosis and management. Can J Ophthalmol. 43: 170-179.14. Kabat,A.G. and O.D., FAAO, 2011. MGD, NOMGD & EDE: MGD. International Dry Eye Workshop. Ocul Surf (2007). 5(2): 75-92.15. Knop,E. et al., 2011. The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction : Report of the Subcomittee on anatomy, physiology, and pathophysiology of the meibomian gland. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 52(4): 1938-1978.16. Luchs,J., 2008. Efficacy of topical azithromycin ophthalmic solution 1% in the treatment of posterior blepharitis. Adv Ther. Springer Healthcare Communications. 25(9): 858-870.17. Maus,M., 1994. Basic Eyelid Anatomy. In: Albert,D.M., Jacobiee,F.A. and Robinson NL eds.1994. Clinical Practice. Principles and practice of ophthalmology. Vol. 3. Philadelphia: WB Saunders : 1690-1.18. McCulley,J.P. and Dougherty,J.M., 1986. Bacterial aspects of chronic blepharitis. Trans Ophthalmol Soc UK. 105: 314-318.19. Nelson,J.D., Shimazaki,J. and Benitez-Dell-Castillo,J.M. et al. The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction : Introduction. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 52(4): 1930-1937.20. Nichols,K.K., Foulks,G.N. and Bron,A.J. et al, 2011. The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction: Executive Summary. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 52(4): 1922-1929.21. Opitz,D. and Tyler,K., 2011. Clinical and Experimental Optometry : Efficacy of azithromycin 1% ophthalmic solution for treatment of ocular surface disease from posterior blepharitis. Australia : 94 : 2 : 200-20622. Raviola,E., 1994. The Eye. In: Bloom and Faweett, eds. 914. A textbook of histiology, 12th ed.23. Shimazaki,J., Goto,E. and Ono,M. et al, 1998. Meibomian gland dysfunction in patient with Sjorgen syndrome. Ophthalmology. 105 : 1485-1488.24. Smith,R.E., 1995. Flowers CW Jr. Chronic blepharitis: a review. CLAO J. 21: 200-207.25. Schaumberg,D.A. et al, 2011. The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction : Report of the Subcomittee on the Epidemiology of, and Associated Risk Factors for MGD. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 52(4): 1994-2005.26. Vaughan, 2008. General Ophthalmology. San Fransisco. California : 82-83.27. Weingeist,T.A., 2011. The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 52(4): 1994-2005.28. Zorab,R.A. et al., 2011. External Eye Disease and Cornea. Basic and Clinical Science Course Section 9. San Fransisco, American Academy of Ophthalmology: 65-69.

1