referat oains

22
FARMAKODINAMIK OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID (OAINS/NSAID) Nur Triastuti*, Donni Indra Kusuma** ABSTRACK : Currently anti inflammatory drugs non-steroid or NSAID are widely used, can be as analgesic, anti-inflamatory, and as an anti-pyretic. T his drugs can decrease pain simptomaticly, the most widely prescribed drugs worldwide and being the drugs of first choice other inflammatory pain. There is many kind NSAID that we knaw, like aspirin, parasetamol, ibuprofen, mefenamic acid, endometasin, diklofenak, piroksikan and nemosulide. Every kind of NSAID has its advantage and dis advantage for that beneficial actions and side effects. That beneficial actions and harmful side effects of NSAID can be associated with its mechanism of action. Keywords : NSAIDs, COX-1, COX-2 inhibitors, Anti-inflammatory, Analgesic, antipyretic ABSTRAK : Saat ini obat-obat anti inflamasi non-steroid atau AINS banyak sekali digunakan, dapat sebagai anti- nyeri, anti-inflamasi, dan sebagai anti-piretik. Obat dari golongan ini sangat ampuh untuk mengurangi nyeri secara simtomatis, paling luas peresepannya dan menjadi pilihan pertama dalam pengobatan nyeri inflamasi. Terdapat beragam jenis AINS yang dikenal, seperti aspirin, parasetamol, ibufrofen, asam mefenamat, indometasin, diklofenak, piroksikam dan nimesulide. 1

Upload: nur-triastuti

Post on 18-Jan-2016

35 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat oains

TRANSCRIPT

Page 1: referat OAINS

FARMAKODINAMIK OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID

(OAINS/NSAID)

Nur Triastuti*, Donni Indra Kusuma**

ABSTRACK : Currently anti inflammatory drugs non-steroid or NSAID are

widely used, can be as analgesic, anti-inflamatory, and as an anti-pyretic. This

drugs can decrease pain simptomaticly, the most widely prescribed drugs

worldwide and being the drugs of first choice other inflammatory pain. There is

many kind NSAID that we knaw, like aspirin, parasetamol, ibuprofen, mefenamic

acid, endometasin, diklofenak, piroksikan and nemosulide. Every kind of NSAID

has its advantage and dis advantage for that beneficial actions and side effects.

That beneficial actions and harmful side effects of NSAID can be associated with

its mechanism of action.

Keywords : NSAIDs, COX-1, COX-2 inhibitors, Anti-inflammatory, Analgesic,

antipyretic

ABSTRAK : Saat ini obat-obat anti inflamasi non-steroid atau AINS banyak

sekali digunakan, dapat sebagai anti-nyeri, anti-inflamasi, dan sebagai anti-piretik.

Obat dari golongan ini sangat ampuh untuk mengurangi nyeri secara simtomatis,

paling luas peresepannya dan menjadi pilihan pertama dalam pengobatan nyeri

inflamasi. Terdapat beragam jenis AINS yang dikenal, seperti aspirin,

parasetamol, ibufrofen, asam mefenamat, indometasin, diklofenak, piroksikam

dan nimesulide. Dari berbagai macam obat AINS, masing-masing memiliki

kelebihan dan kekurangan yang terlihat pada efek terapi dan efek samping yang

ditimbulkan. Efek terapi dan efek samping AINS berhubungan dengan mekanisme

kerja sediaan ini.

Kata kunci : OAINS, COX-1, COX-2 selektif, Anti-inflamasi, Anti-nyeri, Anti-

piretik.

1

Page 2: referat OAINS

PENDAHULUAN

Obat analgesik antipiretik serta obat anti-inflamasi non steroid (AINS)

merupakan salah satu kelompok obat yang banyak diresepkakn dan juga

digunakan tanpa resep dokter. Obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan

dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini sering disebut

juga sebagai obat mirip aspirin. (aspirin like drugs).(1)

Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat kliniknya, karena ada

AINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada

obat AINS yang berbeda subgolonga tetapi memiliki sifat serupa. Klasifikasi yang

lebih bermanfaat untuk diterapkan di klinik ialah berdasarkan selektivitas

terhadap siklooksigenase (COX). Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir

ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki

kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan

efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin.(1)

Pada makalah ini penulis akan menguraikan tentang obat anti inflamasi

non steroid mulai dari cara kerja farmakodinamik, farmakokinetik, sampai efek

samping yang mungkin ditimbulkan dari obat tersebut.

ISOFORM COX

Pada awal tahun 90-an ditemukan bahwa enzim siklooksigenase terdapat dalam

dua bentuk (isoform) yaitu siklooksigenasi-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2

(COX-2). Kedua isoform berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki

fungsi regulasi yang berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang

mengkatalisis pembentukakn prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan,

terutama pada selaput lendir traktus gastrointestinal, gunjal, platelet, dan epitel

pembuluh darah. Bertolak belakang dengan COX-1, COX-2 tidak konstitutif

tetapi dapat diinduksi, antara lain apabila ada stimuli radang, mitogenesis atau

onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu terbentuk prostanoid yang merupakan

mediator nyeri dan radang. Penemuan ini mengarah kepada hipotesis bahwa

2

Page 3: referat OAINS

COX-1 mengkatalisis pembentukan prostaglandin ”baik” yang bertanggungjawab

menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis, sedangkan COX-2 mengkatalisis

prostaglandin ”jahat” yang menyebabkan radang. Sehubungan dengan hipotesis

tersebut maka toksisitas obat antiradang bukan steroid klasik pada saluran

gastrointestinal disebabkan oleh hambatan tidak selektif obat tersebut terhadap

aktivitas COX-1 dan COX-2.(2-4)

Namun demikian, pada penelitian lanjutan ditemukan bahwa COX-2 ternyata

tidak hanya indusibel melainkan juga konstitutif dan terdapat pada berbagai

jaringan. Pada kondisi fisiologis ekspresi konstitutif COX-2 ditemukan pada

ginjal, pembuluh darah, paru-paru, tulang, pankreas, sumsum tulang belakang,

dan selaput lendir lambung. Tampaknya COX-2 bukan hanya pada kondisi

patofisiologis tetapi juga pada kondisi fisiologis normal memiliki peranan penting.

Akhirnya COX-1 diformulasikan sebagi enzim konstitutif yang mempertahankan

fungsi-fungsi homeostasis, sedangan COX-2 sebagai enzim regulator fisiologis

maupun patofisiologis.(5,6)

Tabel 1. Perbedaan Ekspresi COX-1 dan COX-2

COX-1 COX-2

- Terus distimulasi oleh tubuh

- Konstitutif (konsentrasinya dalam

tubuh tetap stabil)

- Membuat prostaglandin digunakan

sebagai dasar “house keeping” seluruh

tubuh

- Prostaglandin menstimulasi fungsi

tubuh normal seperti produksi mukus

lambung, peraturan asam lambung

dan ekskresi air oleh ginjal

- Terinduksi (biasanya tidak dibentuk

dalam sel normal)

- Dibentuk hanya dalam sel khusus (EX

a549 sel paru-paru)

- Digunakan untuk sinyal rasa sakit dan

peradangan

- Menghasilkan prostaglandin untuk respon

inflamasi

- Dirangsang hanya sebagai bagian dari

respons imun

- Produksinya dirangsang oleh sitokin

inflamasi dan faktor pertumbuhan

3

Page 4: referat OAINS

Endoperoksid PGG2/PGH

Hidroperoksid

Trauma/luka pada sel

Gangguan pada membrane sel

Fosfolipid

Asam arakidonat

Dihambat kotikorosteroiddEnzim fosfolipase

Enzim siklooksigenaseEnzim lipooksigenase

Hidroperoksid

Dihambat OAINS

PGE2, PGF2, PGD2

Tromboksan A2

Prostasiklin

Tabel 2 Karakteristik Genetik COX-1 dan COX-2

SIFAT DASAR OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID.

A. MEKANISME KERJA

4

Page 5: referat OAINS

Sebagian besar efek terapi dan efek samping NSAID berdasarkan atas

penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Pada saat sel mengalami kerusakan,

maka akan dilepaskan beberapa mediator kimia. Di antara mediator inflamasi,

prostaglandin adalah mediator dengan peran terpenting. Enzim yang dilepaskan

saat ada rangsang mekanik maupun kimia adalah prostaglandin endoperoksida

sintase (PGHS) atau siklooksigenase (COX) yang memiliki dua sisi katalitik. Sisi

yang pertama adalah sisi aktif siklooksigenase, yang akan mengubah asam

arakhidonat menjadi endoperoksid PGG2. Sisi yang lainnya adalah sisi aktif

peroksidase, yang akan mengubah PGG2 menjadi endoperoksid lain yaitu PGH2.

PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk PGs, prostasiklin dan tromboksan

A2, yang ketiganya merupakan mediator utama proses inflamasi. COX terdiri atas

dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2. Tromboksan A2, yang disintesis trombosit

COX-1 menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot

polos. Sebaliknya prostasiklin (PGI2) yang disitesis oleh COX-2 di endotel

makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi

trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif. (1)

Golongan obat ini menghambat enzim siklo oksigenase (COX) sehingga

konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat

dengan cara berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin

hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus.

Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh

leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak

ada. Parasetamol menghambat isozim COX-3 suatu varia dari COX-1. COX-3

hanya diotak dan obat-obat yang menghambat COX-3 dapat digunakan sebagai

anti-piretik.

Inhibisi biosintesis prostaglandin oleh aspirin menyebabkan asetilasi yang

irreversibel di sisi aktif siklo okigenase, sedangkan sisi aktif peroksidase tidak

terpengaruh. Berlawanan dengan aksi aspirin yang irreversibel, NSAID lainya

seperti ibuproven atau indometasin menyebabkan penghambatan terhadap COX

baik reversibel maupun irreversibel melalui kompetisi dengan substrat, yaitu asam

arakhidonat.

5

Page 6: referat OAINS

INFLAMASI

Sekarang fenomena inflamasi pada tingkat biomolekuler semakin jelas. Respons

inflamasi terjadi dalam 3 fase dan diperantarai mekanisme yang berbeda: (1) fase

akut, dengan ciri vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler, (2)

reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit; dan (3)

fase proliferatif kronik, pada mana degenerasi dan fibrosis terjadi.(1)

Kalau pada masa lalu menekankan promosi migrasi sel, pada peneitian akkhir-

akhir ini fokus tertuju pada interaksi mediator-mediator yang adhesif antara

leukosit dan trombosit, termasuk selektin-L, -E, -P, ICAM- (intercelluler adhesive

molecule-1), VCAM- 1 (vascular cell adhesion molecule), leukosit, integrin. Sel

endotel teraktivasi merupakan kunci tertariknya sel dari sirkulasi ke tempat

inflamasi. Adhesi sel terjadi karena peningkatan ekspresi sel yang telah teraktivasi

oleh molekul adhesi, mengenali glikoprotein dan karbohidrat permukaan sel di

sirkulasi.(1)

Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya

permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses

inflamasi yang sudah dikenal ialah kalor, rubor, tumor, dolor, dan fungsio laesa.

Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang

dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor

kemotaktik, bradikinin, leukotrien, dan PG. Penelitian terakhir menujukkan

autakoid lipid PAF (pletelet-activating-factor) juga merupakan mediator

inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini terjadi lisis membran lisozim

dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip-aspirin dapat dikatakan tidak berefek

terhadap mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali PG.(1)

Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2-(PGE2) dan prostasiklin (PGI2)

dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritema, vasodilatasi dan peningkatan

aliran darah lokal. Histamnin dan brdikinin dapat meningkatkan permeabilitas

vaskuler, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG,

efek eksudasi histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi

6

Page 7: referat OAINS

leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG

sendiri tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni

leukotrien B4 merupakan zat kemotaktik yang sangat poten. OBat mirip aspirin

tidak menghambat sistem lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien sehingga

golongan obat ini tidak menekan migrasi sel. Walaupun demikian pada dosis

tinggi terlihat juga penghambatan migrasi sel tanpa memepengaruhi enzim

lipoksigenase. Obat yang menghambat biosintesis PG maupun leukotrien

diharapkan akan lebih poten menekan proses inflamasi. (1)

NYERI

PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau

inflamasi. Penelitian telah mebuktikan bahwa PG menyebabkan sensitisasi

reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG menimbuklan

keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin

merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata. (1)

Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan

oleh efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis PG dihambat oleh

golongan obat ini, dan bukannya blokade langsung pada reseptor PG. (1)

DEMAM

Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat

pengatur suhu btubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan

ini terganggu tetapi dapat ditembangkan ke normal oleh obat mirip aspirin. Ada

bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali pelepasan

suatu zat pirogen endogen atau sitokin misalnya leukotrien-1 (IL-1) yang memacu

pelepasan PG yang berlebihan didaerah preoptik hipotalamus. Selain itu PGE2

terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel serebral atau

disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip-aspirin menekan efek zat pirogen

endogen dengan menghambat sintesis PG. Demam yang timbul akibat pemberian

7

Page 8: referat OAINS

PG tidak dipengearuhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain misalnya

latihan fisik. (1)

B. FARMAKODINAMIK

Asam arakidonat merupakan konstituen diet pada manusia, sebagai salah

satu senyawa yang kehadirannya bersama diet asam linoleat. Asam arakidonat

sendiri oleh membrane sel akan diesterifikasikan menjadi bentuk fosfolipid dan

lainnya berupa kompleks lipid. Dalam keadaan bebas tetapi dengan konsentrasi

yang sangat kecil asam ini berada di dalam sel. Pada biosintesis eikosanoid, asam

arakidonat akan dibebaskan dari sel penyimpanan lipid oleh asil hidrolase besar

kecilnya pembebasan tergantung dari kebutuhan enzim pensintesis eikosanoid.

Kebutuhan ini ditentukan dari seberapa besar respons yang diberikan terhadap

stimuli penyebab radang.(5)

Asam asetilsalisilat (aspirin) sebagai prototip nonsteroidal anti-

inflammatory drugs (NSAID) merupakan analgetika nonsteroid, non narkotik.

Kerja utama asam asetilsalisilat dan kebanyakan obat anti radang non steroid

lainnya sebagai penghambat enzim siklooksigenase yang mengakibatkan

penghambatan sintesis senyawa endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua

senyawa ini merupakan prasat semua senyawa prostaglandin, dengan demikian

sintesis prostaglandin akan terhenti.(6)

Asam asetilsalisilat (salisilat) tidak menghambat metabolism asam

arakidonat melalui jalur lipoksigenase. Penghambatan enzim siklooksigenase

kemungkinan akan menambah pembentukan leukotrien pada jalur lipoksigenase.

Kemungkinan ini dapat terjadi disebabkan bertambahnya sejumlah asam

arakidonat dari yang seharusnya dibutuhjan enzim lipoksigenase. Selain sebagai

penghambat sintesis prostaglandin dari berbagai model eksperimen yang dicoba

pada manusia untuk tujuan terapeutik, NSAID ternyata menunjukkan berbagai

kerja lain sebagai antiradang.(5) Obat antiradang nonsteroid menurut struktur kimia

dengan beberapa pengecualian dapat dibagi dalam delapan golongan. (1) Turunan

asam salisilat : asam asetilsalisilat, diflunisal. (2) Turunan pirazolon :

8

Page 9: referat OAINS

fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin, arninopirin. (3) Turunan para-

aminofenol : fenasetin. (4) Indometasin dan senyawa yang masih berhubungan :

indometasin dan sulindak. (5) Turunan asam propionate : ibuprofen, naprokse,

fenoprofen, ketiprofen, flurbiprofen. (6) Turunan asam antranilat : asam

flufenamat, asam mefenamat. (7) Obat anturadang yang tidak mempunyai

penggolongan tertentu : tolmetin, piroksikam, diklofenak, etodolak, nebumeton,

senyawa emas. (8) Obat pirro (gout), kolkisin, alopurinol.(1,5)

Semua obat mirip-aspirin bersifat antipiretik, analgesic, dan anti-inflamasi.

Ada perbedaan aktivitas diantara obat-obat tersebut,

EFEK ANALGESIK. Sebagai analgesic obat mirip-aspirin hanya efektif

terhaddap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala,

mialgia, athralgia, dan nyeri lain yang berasal dari integument, juga efektif

terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek anlagesiknya jauh lebih

lemah daripada efek anlagesik opiat. Tetapi berbeda dengan opiat, obat mirip-

aspirin tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping

sentral yang merugikan. Obat mirip-aspirin hanya merubah persepsi meodalitas

sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya saraf

aferen, tidak teratasi dengan obat mirip-aspirin. Sebaliknya nyeri kronis

pascapembedahan dapat diatasi oelh obat ini. (1)

EFEK ANTIPIRETIK. Sebagai antipiretik, obat mirip-aspirin akan menurunkan

suhu badan hanya pada keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini

memperlihatkan efek antipiretik in vitro tidak semuanya berguna sebagai

antipiretik kerena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama.

Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai

antipiretik atas alasan tersebut. (1)

EFEK ANTI-INFLAMASI. Kebanyakan obat mirip-aspirin, terutama yang baru,

lebih dimanfaatkan sebagai anti-inflamasi pada pengobatan kelainan

musculoskeletal, seperti arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan spondilitis

ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat mirip-aspirin ini hanya meringankan

9

Page 10: referat OAINS

gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik,

tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada

kelainan musculoskeletal ini. (1)

C. FARMAKOKINETIK

OAINS adalah kelompok obat yang memiliki kelas kimia yang berbeda-

beda. Perbedaan kimiawi tersebut menimbulkan karakteristik farmakokinetik obat

yang berbeda pula. Walaupun terdapat berbagai perbedaan dalam kinetik OAINS,

namun secara umum memiliki komponen utama yang sama.(7)

Sebagian besar obat diabsobsi baik dan tidak dipengaruhi oleh makanan.

Obat-obat OAINS diabsorpsi secara cepat jika diberikan peroral, distribusi ke

jaringan sangat terbatas (oleh karena berikatan kuat dengan protein), Sebagian

besar obat OAINS juga dimetabolisme cepat, beberapa melalui fase I diikuti fase

II dan yang lainnya melalui glukoronidase direk (fase II) saja. Proses metabolisme

OAINS, pada sebagian besar obat, melalui jalur CYP3A atau CYP2C dari enzim

P450 di hati. Ekskresi melalui ginjal merupakan rute paling penting dalam

eliminasi obat (sirkulasi enterohepatik) dan memiliki kliren yang lambat. Pada

kenyataannya, derajat iritasi traktus gastrointestinal berhubungan dengan kuantitas

sirkulasi enterohepatik obat. Sebagian besar OAINS berikatan kuat dengan protein

(~ 98%), khususnya albumin.(7)

Walaupun diantara sebagian besar obat OAINS memiliki farmakokinetik

yang sama, terdapat satu subklas obat yang unik yaitu salisilat yang lebih dikenal

sebagai asetosal atau aspirin yang memiliki waktu paruh lama dengan

meningkatkan dosis obat. Salisilat membutuhkan waktu 2 hari untuk mencapai

steady state konsentrasinya dalam darah ketika 1,5 g/hari aspirin diberikan pada

orang dewasa. Apabila menginginkan konsentrasi steady state dalam darah lebih

dari 1 minggu maka dosis yang diperlukan adalah 3 g/hari. Salisilat juga dapat

digeser oleh OAINS lain seperti naproksen dan phenylbutazone dari tempat

ikatannya dengan plasma, meningkatkan konsentrasi bebasnya sehingga

meningkatkan toksisitas obat ini.(7)

10

Page 11: referat OAINS

Observasi terhadap efek toksik dari OAINS dihubungkan dengan waktu

paruh obat pada plasma-semakin panjang waktu paruh yang digunakan dalam

eliminasi obat maka resiko toksisitas terhadap obat ini juga semakin besar.

Informasi tentang hubungan antara waktu paruh obat dan toksisitas OAINS

didasari atas data epidemiologi retrospektif sehingga meningkatkan pemakaian

OAINS sebagai obat dengan dosis satu kali sehari daripada penggunaan secara

kontinyu yang dapat meningkatkan efek toksik terhadap tubuh.(7)

Ikatan kuat OAINS dengan protein relevan khususnya jika dihubungkan

dengan populasi lansia dimana pada lansia konsentrasi albumin serumnya sudah

menurun sehingga mengakibatkan tingginya fraksi bebas OAINS dalam darah.

Ketika fraksi bebas OAINS meningkat dalam darah maka efikasi obat tersebut

akan meningkat yang juga meningkatkan toksisitas. Perlu diperhatikan pula

dalam pemberian OAINS adalah interaksi obat tersebut dengan warfarin dimana

ketika dikombinasi dengan nonselektif OAINS yang menghambat platelet,

mengakibatkan peningkatan terhadap resiko perdarahan. (7)

Farmakokinetik OAINS di cairan serebrospinal memberikan arti klinik

tersendiri dalam hal efek terapi dan efek sampingnya. Untuk OAINS yang larut

dalam lemak (oxyphenbutazone, indometasin, ketoprofen), pada kadar bentuk

bebas OAINS berhubungan dengan kadarnya di cairan serebrospinal, tidak

demikian halnya dengan yang larut dalam air (acetosal) (Bannwarth dkk, 1989).

Selain itu OAINS yang telah terbukti mampu melewati sawar darah otak adalah

diklofenak (Zecca dkk, 1991) dan nimesulide (Ferrario & Bianchi, 2003) Dari

hasil penelitian Sanchez dkk (2002) diketahui bahwa kebanyakan OAINS bekerja

multifaktorial dan tidak terbatas pada penghambatan aktivitas siklooksigenase.

Modulasi nyeri inflamasi dapat juga berawal dari bebasnya berbagai mediator

(multifaktor origin), seperti histamin, bradikinin dan sebagainya, bukan hanya

diakibatkan oleh produk siklooksigenase prostaglandin. Oleh karena itu OAINS

yang ideal hendaklah mampu menghambat aktivitas siklooksigenase dalam

pembentukan prostaglandin dan menghambat efek mediator-mediator inflamasi

lainnya. (7)

11

Page 12: referat OAINS

D. EFEK SAMPING

Efek samping yag paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau

tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan

saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat. Dua

mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah: (1) iritasi yang bersifat lokal yang

menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan

kerusakan jaringan; (2) iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik

melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua prostaglandin ini banyak

ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung

dan merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme

kedua ini terjadi pada pemberian parenteral.(1)

Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan

biosintesis tromboksan A2 dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan. Efek

ini dimanfaatkan untuk terapi profilaksis trombo-emboli. Obat yang

digunakan sebagai terapi profilaksis trombo-emboli dari golongan ini adalah

aspirin. (1)

Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2,

berperan dalam gangguan homeostasis ginjal. Pada orang normal tidak banyak

mempengaruhi fungsi ginjal. (1)

Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas. Mekanisme ini

bukan suatu reaksi imunologik tetapi akibat tergesernya metabolisme asam

arakhidonat ke arah jalur lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien. Kelebihan

leukotrien inilah yang mendasari terjadinya gejala tersebut. (1)

F. PEMBAGIAN SUBGOLONGAN AINS

Pembagian untuk OAINS bermacam-macam, klasifikasi dapat dibedakan dari

substansi zat ataupun cara kerja OAINS tersebut, dalam hal ini obat anti infkamasi

non-steroid diklasifikasikan :

12

Page 13: referat OAINS

KESIMPULAN

OAINS biasanya digunakan pada stadium nyeri yang lebih lanjut dari nyeri akut

dan untuk pengobatan pada sindrom nyeri kronis dengan menghambat seluruh

aktivitas jalur siklooksigenase sehingga tidak mensintesis prostaglandin yang

berperan menimbulkan nyeri melalui mekanisme baik perifer maupun sentral.

Terdapat 2 jenis enzim siklooksigenase, yaitu siklo oksigenase-1 (COX-1) dan

siklo oksigenase-2 (COX-2). COX-1 merupakan house keeping enzyme yang

mempunyai fungsi fisiologik atau homeostasis. Aktivasi COX-1 akan

menghasilkan prostaglandin yang mengatur fungsi fisiologis penting seperti

sitoprotektif pada mukosa lambung, memelihara fungsi tubular ginjal dan

platelet. Sementara COX-2 kebanyakan tidak dapat dideteksi pada sebagian besar

jaringan dalam kondisi fisiologis normal namun selama inflamasi.

Penghambatan kerja COX-1 dan COX-2 didasarkan pada mekanisme inflamasi

yang dicetuskan oleh enzim tersebut dimana efek antiinflamasi dari OAINS

terutama dihubungkan dengan penghambatan COX-2. OAINS tradisional akan

menghambat kerja kEdua isoenzim sehingga terjadi penghambatan COX-1 yang

malah menimbulkan efek samping OAINS sehingga OAINS yang banyak

digunakan sekarang ini adalah OAINS yang selektif terhadap COX-2 saja.

Apabila diberikan penghambat selective COX-2 inhibitor maka tidak akan

menekan produksi PGE2 di lambung dan juga tidak mempengaruhi fungsi

13

Acetosal

ketorolac

Piroxicam Indomethacin

Ibuprofen Etodolac

Ketesse

Diclofenac

Meloxicam

Nimesuldee

COXIB

COX-1

selective

inhibitor

Preferentially COX-1

selective

inhibitor

Dual COX

inhibitor

Preferentially COX-2

selective

inhibitor

COX-2

selective

inhibitor

Analgesic >>>>

Anti-Inflammatory >>>>

Page 14: referat OAINS

trombosit (yang spesifik untuk COX-1) sehingga tidak terjadi efek samping pada

saluran makan maupun perdarahan.

OAINS yang bekerja pada COX-1 dan COX-2 sebagai berikut: Indometasin dan

sulindak sedikit selektif terhadap COX-1, meklofenamate dan ibuprofen

mempunyai efek yang ekuipoten terhadap COX-1 dan COX-2. Celecoxib,

diclofenak, rofecoxib, lumiracoxib dan etoricoxib menghambat COX-2 secara

selektif, Aspirin mengasetilasi dan menghambat kedua isoenzim baik COX-1

maupun COX-2.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi

Nonsteroid dan Obat Gangguan sendi lainnya. Farmakologi dan Terapi.

Jakarta: FKUI; 2009: 230-46

2. Dutmer EAJK, Baternbug EMK, Koerts J, Laar M AFJ. Rheumatology.

Jakarta: Sagung Seto; 2002: 458-61

3. Dannhartd G, Laufer S. Structural Approach to explain the selectivity of

COX-2 Inhibitors: Curr. Med. Chem; 2002: 1101-12

4. Redfern JS, Lee E, Feldman. Effect of Immunization with prostaglandins

metabolies on gastrointestinal ulceration, Am. J. Physiol:1998:255:733-30

5. Campbell WB. Lipid-derived autacoids : eicosanoids and platelet-

activating factor. Dalam: Goodman and Gilman’s The Pharmacological

Basis of Therapeutics. Ed.8. Editor: Gilman AG et al. New York:

Pegamon Press. Vol.I;1991:600-2,605-6,611.

6. Reynolds JEF. Martindale the extra pharmacopoeia. Ed.28. London: The

Pharmaceutical Press;1982:234,257

7. Indriani R, Wahyu R. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Edisi 1.

Jakarta : Sagung Seto ; 2008 hal 55-58

14