rekonstruksi teologi hassan hanafi

31
REKONSTRUKSI TEOLOGI, OKSIDENTALISME DAN KIRI ISLAM; Telaah Pemikiran Hassan Hanafi Posted on 11 January 2011 by admin Oleh: Tasmuji, M.Ag Dosen Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya  Abstract Besides his activities as lecture and social activist, Hassan Hanafi is also known as a Moslem thinker who wrote many books of Islamic thoughts. Hanafi’s ideas is basically constructed within socio-political movements, both in Egypt and French. He criticized injustuce conditions that occures both in Islam (East) and West. He assumes that there is big distance between the ideal Islam as khairu ummah and the real Islam. Hanafi supposses that contemporary Moslem must structurally reform their ideas and thoughts to make a change. Contemporary Moslem have to reconstruct, unite and integrate Islamic knowledge into modern ideology, spirit, culture and civilization. Hanafi builds his ideas based on what he called as at-turats wa at- tajdid (tradition and reformation) project. At leats there are three steps, according to Hanafi, to reform Islamic thoughts: (1) how to build our “response to old traditionâ€, (2) how to express our “response to the Westâ€, and (3) how to create our “response to the realityâ€. This paper will explain the main idea of Hassan Hanafi and his contribution to the contemporary Islamic thoughts.  Keywords: Hassan Hanafi, tradition, Kiri Islam, and reformation. Pendahuluan Hassan Hanafi adalah seorang tokoh pemikir dalam dunia Islam kontemporer. Ia dikenal sebagai seorang filosof dan Teolog yang berasala dari Mesir. Sebagai seorang pemikir, Hassan Hanafi aktif menulis buku serta aktif di dunia akademik dan organisasi kemasyarakatan. Pemikiran Hanafi secara sosiologis terbentuk (socially constructed) melalui suatu proses yang dipengaruhi oleh kondisi dan situasi sosial-politik serta situasi gerakan intelektual di Mesir dan Perancis.

Upload: fathurrahman-muiz

Post on 26-Oct-2015

73 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

REKONSTRUKSI TEOLOGI, OKSIDENTALISME DAN KIRI ISLAM; Telaah Pemikiran Hassan HanafiPosted on 11 January 2011 by admin

Oleh: Tasmuji, M.Ag

Dosen Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya

 

Abstract

Besides his activities as lecture and social activist, Hassan Hanafi is also

known as a Moslem thinker who wrote many books of Islamic thoughts.

Hanafi’s ideas is basically constructed within socio-political movements,

both in Egypt and French. He criticized injustuce conditions that occures

both in Islam (East) and West. He assumes that there is big distance

between the ideal Islam as khairu ummah and the real Islam. Hanafi

supposses that contemporary Moslem must structurally reform their ideas

and thoughts to make a change. Contemporary Moslem have to reconstruct,

unite and integrate Islamic knowledge into modern ideology, spirit, culture

and civilization. Hanafi builds his ideas based on what he called as at-turats

wa at-tajdid (tradition and reformation) project. At leats there are three

steps, according to Hanafi, to reform Islamic thoughts: (1) how to build our

“response to old tradition†�, (2) how to express our “response to the

West†�, and (3) how to create our “response to the reality†�. This paper

will explain the main idea of Hassan Hanafi and his contribution to the

contemporary Islamic thoughts.

 

Keywords: Hassan Hanafi, tradition, Kiri Islam, and reformation.

Pendahuluan

Hassan Hanafi adalah seorang tokoh pemikir dalam dunia Islam

kontemporer. Ia dikenal sebagai seorang filosof dan Teolog yang berasala

dari Mesir. Sebagai seorang pemikir, Hassan Hanafi aktif menulis buku

serta aktif di dunia akademik dan organisasi kemasyarakatan. Pemikiran

Hanafi secara sosiologis terbentuk (socially constructed) melalui suatu

Page 2: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

proses yang dipengaruhi oleh kondisi dan situasi sosial-politik serta situasi

gerakan intelektual di Mesir dan Perancis.

Sebagai seorang pemikir, Hanafi merasakan kegelisahan melihat realitas

yang terbentang di hadapannya terkait dengan dominasi dunia Barat

terhadap dunia Timur (khususnya Islam). Sebuah realitas yang

mencerminkan superioritas dan inferioritas. Hal tersebut berdampak pada

sikap dan mental; Barat sebagai penindas dan Timur sebagai yang

tertindas. Melihat ketimpangan itu, Hanafi mengambil langkah-langkah

strategis untuk menyelesaikannya.

Basis pemikiran sosial Hassan Hanafi berdasar pada kondisi obyektif dunia

Islam yang pada umumnya masih merepresentasikan simbol-simbol negatif

umat Islam, seperti keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan.

Sementara kapitalisme global muncul dengan sejumlah tawaran estetisnya,

berupa proyek rasioanalisasi dan sistem pengorganisasian sosial yang

bersifat absolut sebagai penggolongan kebebasan manusia yang bersifat

tunggal dan hegemonik. Realitas ini menghadapkan dunia Timur pada

situasi yang dilematis. Di satu sisi dihadapkan pada situasi untuk menerima

kapitalisme global dengan segala implikasinya sebagai keniscayaan sejarah,

sementara di sisi lain kondisi obyektif dunia Timur (Islam) masih diselimuti

oleh problem internal berupa “ketidaksiapan†� sosiologis maupun

epistemologis sebagai basis dari kebudayaannya. Kondisi obyektif  dunia

Timur yang serba terbelah dan terbelakang ini oleh Hanafi dikontraskan

dengan diktum idealis yang menyebutkan masyarakat Islam sebagai

“sebaik-baik umat†�. Kontras antara ideal dan fakta, nilai dan praksis

tersebut sangat menggelisahkan komitmen moral intelektual Hanafi.

[1] Komitmen sebagai pemikir dan keterlibatannya dalam pergumulan

perubahan sosial membawa Hanafi pada refleksi pemikiran progresif-

transformatif.

Hanafi meyodorkan sebuah premis bahwa umat Islam kontemporer berada

pada simpang jalan sejarah yang memerlukan kerja keras untuk

mengupayakan jalan keluar. Masyarakat Islam, menurut penilaiannya,

terbentur pada spektrum yang ironis ketika kejumudan pemikiran bertemu

dengan keterbelakangan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Kenyataan

yang tidak menyenangkan ini menyumbang pada marginalisasi masyarakat

Islam di tengah percaturan masyarakat global. Kerja keras yang mendesak

untuk dilakukan adalah reformasi intelektual Islam berupa gagasan

Page 3: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

perubahan struktur dalam sistem kognisi. Upaya ini perlu dilakukan dengan

cara merekonstruksi, menyatukan dan mengintegrasikan semua tradisi

keilmuan Islam dalam peradaban Islam ke dalam semangat modern dan

menjadikannya sebagai ideologi manusia modern.

Hanafi akhirnya menggulirkan ide-ide besarnya dengan membangun tiga

langkah proyek besar yang dinamakan “Tradisi dan Pembaruan†�. Langkah-langkah yang ditempuhnya sebagai berikut. Pertama, membangun

“sikap kita terhadap tradisi lama†�. Ia merekonstruksi bangunan

teologis dalam tradisi klasik sebagai alat untuk transformasi sosial. Kedua,

menyatakan “sikap kita terhadap Barat†�. Ia berusahaa melakukan

kajian kritis terhadap peradaban Barat, terutama melihat pemunculan

kesadaran Eropa melalui studi oksidentalisme. Ketiga, meretas “sikap

kita terhadap realitas†� melalui pengembangan teori dan pengembangan

paradigma interpretasi.[2]

Ketiga alur gagasan besar Hanafi tersebut merupakan rangkaian

metodologi yang secara bertahap harus dikuasai lebih dahulu. Dalam hal

ini, tampaknya Hanafi berusaha mengangkat tema pembacaan kritis atas

dunia Barat dengan tetap berpijak pada realitasego yang dimiliki tradisi

lama. Artinya, ia menangkap ada problem epistemologis yang bersembunyi,

baik dalam tradisi Timur maupun tradisi Barat, yang kemudian menjadikan

Timur inferior (sebagai kesalahan membaca tradisi) dan munculnya Barat

sebagai superiorego atas the other.

 

Sekilas Biografi Hassan Hanafi

Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935,[3] dari keluarga musisi.

Pendidikannya diawali di pendidikan dasar dan tamat pada tahun 1948.

Dilanjutkan di Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha†�, Kairo dan lulus

pada 1952. Selama di Madrasah Tsanawaiyah Hanafi sudah aktif mengikuti

diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, hingga ia tahu tentang

pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan

mereka. Selain itu, Hanafi juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthb

tentang keadilan sosial dan keislaman.

Pada tahun 1952, setelah lulus dari Madrasah Tsanawiyah, Hanafi

melanjutkan studi di Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Hanafi lulus dan

Page 4: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

menyandang gelar sarjana muda pada tahun 1956. Setelah itu ia

melanjutkan studi ke Universitas Sorbone, Prancis.[4] Pada tahun 1966,

Hanafi berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus

dengan tesis berjudul Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science

des Fondaments de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh dan

desertasi L’Exegeses de la Phenomenologie, L’etat actuel de la

Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religieux. Karir

akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian

Lektor Kepala (1973), dan Profesor Filsafat (1980) pada Jurusan Filsafat

Universitas Kairo. Ia pun diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat

pada Universitas yang sama. Selain itu, Hanafi juga aktif memberi kuliah di

beberapa negara, seperti Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University

Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979) dan Universitas Fez

Maroko (1982-1984). Selanjutnya Hanafi diangkat sebagai guru besar tamu

di Universitas Tokyo (1984-1985), Persatuan Emirat Arab (1985), dan

penasehat program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987).

Selama di Perancis ini, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia belajar

logika, pembaharuan dan sejarah filsafat dari Jean Gitton, mendalami

fenomenologi dari Husserl, mempelajari analisa kesadaran pada Paul

Ricouer dan logika pembaharuan pada Massignon yang sekaligus bertindak

sebagai pembimbing penulisan desertasinya.

Di samping dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan

kemasyarakatan. Ia aktif sebagai sekretaris umum Persatuan Masyarakat

Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan

Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat

Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Pada tahun

1981 ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan

jurnal ilmiah al-Yasar al-Islami (Kiri Islam). Pemikirannya yang terkenal

dalam jurnal ini pernah mendapat reaksi keras dari penguasa Mesir saat

itu, Anwar Sadat, yang menyeretnya ke penjara. Keberangkatannya ke

Amerika sebagai dosen tamu sebenarnya tidak lepas dari perselisihannya

dengan Anwar Sadat yang memaksanya meninggalkan Mesir.

Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang penuh

pergolakan dan pertentangan. Dari sisi sosial politik, saat itu terdapat dua

kelompok ekstrem yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri ada partai

Page 5: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

komunis yang semakin kuat atas pengaruh Uni Soviet di seluruh dunia.

Kemenangan Soviet dan dikukuhkannya perwakilan Soviet di Kairo (1942)

merangsang minat kalangan mahasiswa dan kaum muda untuk belajar

komunisme. Sementara di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin yang

didirikan Hasan al-Banna pada tahun 1929 di Ismailia yang pro-Islam dan

anti Barat.[5] Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk

Hanafi sendiri pada awalnya. Pengaruhnya yang kuat tidak hanya di Mesir

tetapi sampai juga di luar Mesir, termasuk di Indonesia.

Pemerintah Mesir menyikapi pergolakan tersebut dengan melakukan

pembersihan terhadap kaum komunis tahun 1946 dan kemudian melakukan

pembunuhan terhadap al-Banna pada tahun 1949, setelah setahun

sebelumnya melarang aktivitas kelompok ini. Pergolakan itu terus berlanjut

hingga meletusnya revolusi pada tahun 1952 yang dimotori oleh Ahmad

Husain, salah seorang tokoh partai sosialis. Beberapa bulan kemudian, pada

tahun yang sama, sekelompok perwira muda yang dikenal

dengan free officers[6] di bawah komando Muhammad Najib mengambil

kesempatan.

 

Rekonstruksi Teologi

Teologi Islam secara teoritis, menurut Hassan Hanafi, tidak bisa dibuktikan

secara “ilmiah†� maupun filosofis.[7] Teologi yang bersifat dialektik

lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara

kemurniannya, bukan dialektika konsep tentang watak sosial dan sejarah.

Selain itu, diyakini juga ilmu kalam disusun sebagai persembahan kepada

para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Hal ini

membuat pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang

manusia dan cenderung dijadikan sebagai legitimasi bagi status quo,

daripada sebagai pembebas dan penggerak manusia ke arah kemandirian

dan kesadaran.[8]

Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi pandangan yang benar-

benar hidup yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit

manusia. Sebabnya, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran

murni dan nilai-nilai perbuatan manusia sehingga muncul keterpecahan

antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat. Pada akhirnya,

keterpecahan itu melahirkan sikap-sikap moral ganda atau sinkretisme

Page 6: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

kepribadian. Fenomena sinkretik ini tampak jelas, menurut Hanafi,

[9] dengan adanya faham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan),

tradisionalisme dan modernisme (dalam peradaban), Timur dan Barat

(dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan

kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).

Karena menganggap bahwa teologi Islam tidak ilmiah dan tidak membumi,

Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk

menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong,

melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan

keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi

tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan

dengan teologi berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional

yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia

(bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan

dari takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini, minimal, di dasarkan

atas dua alasan. Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi)

yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua,

pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus

praktis dan bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.[10] Untuk

mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan

realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori.

Pertama, analisa bahasa. Kita tahu, bahasa dan istilah-istilah dalam teologi

klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang

seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut

Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada

yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap sifat-sifat dan metode

keilmuan yang empirik-rasional (seperti iman, amal dan imamah), yang

historis (seperti nubuwwah) dan yang metafisik (seperti Tuhan dan akhirat).

Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk

mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa

lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para

penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk

menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer.

Untuk melandingkan dua gagasannya tersebut, Hanafi paling tidak

menggunakan tiga metode berfikir: dialektika, fenomenologi dan

hermeunetik.[11]

Page 7: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa

perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis, dimana

tesis melahirkan antitesis dan kemudian memunculkan sintesis. Hanafi

menggunakan metode ini ketika menjelaskan sejarah perkembangan

pemikiran Islam dan ketika ia berusaha membumikan ilmu kalam yang

dianggapnya melangit. Apa yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini

sama sebagaimana yang dilakukan Karl Marx terhadap pemikiran Hegel.

Menurut Marx, agar pemikiran Hegel yang berjalan di kepalanya bisa

berjalan normal, ia harus dijalankan di atas kakinya.[12] Artinya, kalam

klasik yang teosentris harus dipindah menjadi persoalan material agar bisa

berjalan normal. Namun demikian, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau

mengikuti metode dialektika Hegel maupun Marx. Hanafi juga menyangkal

jika dikatakan bahwa ia terpengaruh dialektika Hegel atau Marx.

Menurutnya, apa yang dilakukan semata didasarkan dan diambil dari

khazanah keilmuan dan realitas sosial muslim sendiri; persoalan kaya-

miskin, atasan-bawahan dan semacamnya, yang kebetulan sama dengan

konsep Hegel maupun Marx. Hanafi justru mengkritik tajam metode

dialektika Marx yang dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan,

karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme.[13] Di sini, mungkin, ia

terilhami oleh inspirator revolusi sosial Iran, Ali Syariati, ketika dengan

metode dialektikanya Syariati menyatakan bahwa manusia adalah sintesis

antara ruh Tuhan (tesis) dan setan (anti-tesis).

Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari

hakikat sebuah fenomena atau realitas. Untuk sampai pada tingkat

tersebut, menurut Husserl (1859-1938), sang penggagas metode ini,

peneliti harus melalui minimal dua tahap penyaringan (reduksi); reduksi

fenomenologis dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut

pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung

fenomena yang ia hadapi lalu berusaha menyingkirkan persoalan yang

dianggap bukan hakikat dari objek yang dikaji. Pada tahap kedua,

reduksi eidetis, peneliti masuk lebih dalam lagi. Ia tidak hanya menyaring

sesuatu yang fenonemal, tetapi juga menyaring intisarinya.[14] Hanafi

menggunakan metode ini untuk mengalisa, memahami dan memetakan

realitas-realitas sosial, politik ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas

tantangan Barat. Dari sana kemudian ia membangun sebuah revolusi.[15]

Page 8: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, Hassan Hanafi mengatakan,

“Saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode

fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir.†�[16] Dengan metode ini

Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri. Islam adalah

Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari Barat. Jika

Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga dilihat dari kacamata

Barat juga, yang akan terjadi adalah kondisi sungsang, tidak tepat.

Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau simbol. Metode ini

mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang

tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang. Aktivitas penafsiran ini

merupakan proses triadik yang mempunyai tiga segi saling berhubungan,

yaitu teks, penafsir atau perantara dan penyampaian kepada audien. Orang

yang melakukan penafsiran harus mengenal pesan atau kecondongan

sebuah teks dan meresapi isinya. Dari yang pada mulanya yang lain (the

other) menjadi “aku†� sang penafsir.[17]

Hanafi menggunakan metode hermaunetik untuk me-landing-kan

gagasannya berupa antroposentrisme-teologis, dari wahyu kepada

kenyataan, dari logos ke praktis, dari pikiran Tuhan ke manusia.[18] Sebab

apa yang dimaksud dengan hermeneutik, bagi Hanafi, bukan sekedar ilmu

interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan

kepada tingkat dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial.[19]

Dari dua tawaran konsep di atas, ditambah metode pemikiran yang

digunakan, Hanafi mencoba merekonstruksi teologi dengan cara menafsir

ulang tema-tema teologi klasik secara metaforis-analogis. Menurut Hanafi,

konsep atau nash tentang dzat dan sifat-sifat Tuhan tidak menunjuk pada

ke-Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan oleh para

teolog. Tuhan tidak butuh pensucian manusia, karena tanpa yang lain pun

Tuhan tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan-Nya.

Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam al-

Qur’an maupun as-Sunnah, sebenarnya lebih mengarah pada

pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, dan insan kamil.

[20] Deskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri memberi pelajaran kepada

manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara

rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self feeling). Penyebutan

Tuhan akan dzatnya sendiri sama persis dengan kesadaran akan

keberadaan-Nya, sama sebagaimana cogitoyang ada dalam manusia berarti

Page 9: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya, menurut Hanafi,

mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan adalah wujud (keberadaan).

Adapun deskripsi Tuhan tentang sifat-sifat-Nya berarti ajaran tentang

kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih

menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan

ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada cogito, maka

sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah pelajaran dan

“harapan†� Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya

sendiri dan sadar akan lingkungannya.[21]

Di sini Hanafi terlihat berusaha mengubah term-term keagamaan dari yang

spiritual dan sakral menjadi lebih mengarah pada pembentukan manusia

ideal, bukan tentang transendensi Tuhan. Pola pikir seperti ini jelas

dipengaruhi pemikiran Muktazilah. Menurut kaum Muktazailah, sifat-sifat

Tuhan sebagaimana yang dideskripsikan dalamasma’ al-

husna sebenarnya adalah palajaran bagaimana manusia harus bertindak

dan bersikap. Artinya, sifat-sifat itu adalah sifat yang harus dipunyai dan

dilakukan oleh seorang muslim. Jadi, bukan semata penjelasan tentang

eksistensi Tuhan, apalagi tentang ke-Mahakuasa-an Tuhan.

Menurut Hanafi, Tuhan dalam Islam tidak sekedar Tuhan langit tetapi juga

Tuhan bumi (rabb as-samawat wa al-ardh), sehingga berjuang membela dan

mempertahankan tanah kaum muslimin sama persis dengan membela dan

mempertahankan kekuasaan Tuhan. Hal ini tidak berbeda jauh dengan apa

yang dikatakan Iqbal tentang makna hidup, yakni “adanya kemauan

untuk terus berusaha dan menunjukkan dirinya ada, sedang kematian

adalah ketidakmauan untuk maju dan berusaha.†�[22]

Hanafi melakukan ini semua dalam rangka untuk mengalihkan perhatian

dan pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang

lebih berorentasi pada realitas empirik. Untuk lebih jelasnya tentang

penafsiran Hanafi mengenani sifat-sifat Tuhan yang enam, wujud, qidam,

baqa’, mukhalafah li al-hawadits, qiyam binafsih dan

wahdaniyah, berikut ini penjelasannya.

Pertama, wujud. Menurut Hanafi, wujud tidak menjelaskan eksistensi

Tuhan, karena Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan

tetap wujud. Wujud di sini berarti tajribah wujudiyah pada manusia,

tuntutan pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya.

Inilah yang dimaksud dalam sebuah syair, kematian bukanlah ketiadaan

Page 10: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

nyawa, kematian adalah ketidakmampun untuk menunjukkan eksistensi diri.

[23]

Kedua, qidam (dahulu) yang berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu

pada akar-akar keberadaan manusia di dalam sejarah. Qidam adalah modal

pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk digunakan dalam melihat

realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan,

taqlid dan kesalahan.

Ketiga, baqa’ (kekal). Pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan

sifat fana’ ini berarti tuntutan pada manusia untuk membuat dirinya

tidak cepat rusak ataufana’. Hal itu bisa dilakukan dengan cara

memperbanyak melakukan hal-hal yang konstruktif dalam perbuatan

maupun pemikiran dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa mempercepat

kerusakan di bumi.[24] Jelasnya, baqa’ adalah ajaran pada manusia

untuk senantiasa menjaga kelestarian lingkungan dan alam, juga agar

manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat

monumental.

Keempat, mukhalafah li al-hawadits (berbeda dengan yang lain) dan qiyam

binafsih(berdiri sendiri). Keduanya adalah tuntunan agar umat manusia

mampu menunjukkan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda,

tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyam

binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan

secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah

kekuasaan yang dimiliki manusia, mempunyai otoritas penuh tanpa ada

tekanan ataupun paksaan dari pihak lain.

Kelima, wahdaniyah (keesaan). Sifat ini bukan merujuk pada keesaan

Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang diarahkan pada faham

trinitas maupun politeisme, tetapi lebih mengarah eksperimentasi

kemanusiaan. Wahdaniyah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang

kesatuan; kesatauan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah

air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.[25]

Dengan penafsiran-penafsiran term kalam yang serba materi dan mendunia

ini, maka apa yang dimaksud dengan istilah tauhid dalam pandangan Hanafi

bukan konsep yang menegaskan keesaan Tuhan, yang diarahkan pada

faham trinitas maupun politeisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi

manusia yang jauh dari perilaku dualistik, seperti hipokrit, kemunafikan

atau perilaku oportunistik.

Page 11: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

Menurut Hanafi, apa yang dimaksud tauhid bukanlah sifat dari sebuah dzat

(Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam

angan-angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan

kongkrit, baik dari sisi penafian maupun menetapan (itsbat).[26] Sebabnya,

apa yang dikehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa

dimengerti dan tidak bisa dipahami kecuali dengan cara

“ditampakkan†�. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa

direalisakan dalam kehidupan kongkrit.

[27] Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan

tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu

pengetahuan yang membuat manusia serba tergantung dan menjadi

terkotak-kotak sesuai dengan ideologi dan ilmu pengetahuan yang

dipujanya. Realisasi dari itsbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu

ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu tuhan-

tuhan modern tersebut.

Pemikiran Hanafi ini sangat mungkin dipengaruhi oleh slogan-slogan

revolusi Iran yang menyatakan, la syarqiyah wala gharbiyah (tidak ke Barat

dan tidak ke Timur). Seperti disinggung di muka, pemikiran revolosioner

Hanafi salah satunya diilhami dari keberhasilan revolusi Iran pimpinan

Imam Khumaini.

Dalam konteks kemanusiaan yang lebih konkrit, tauhid adalah upaya pada

kesatuan sosial masyarakat tanpa kelas. Distingsi kelas bertentangan

dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti

kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi,

tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang, Barat dan bukan

Barat, dan sebagainya.[28]

 

Landasan Epistemologi Gagasan Oksidentalisme

Terminologi oksidentalisme berasal dari kata dasar occident, yang berarti

“barat†�. Oksidentalisme merupakan istilah (ilmu) baru yang digulirkan

oleh Hanafi berhadapan dengan orientalisme. Istilah ini awalnya lebih

diarahkan sebagai reaksi atas eurosentrismedan perlunya melakukan

perubahan dari transferensi ke inovasi.[29] Oksidentalisme terlahir dari

realitas historis berupa tampilnya superioritas tradisi Barat melalui alat

pandangnya atas dunia Timur yang lazim disebut orientalisme.

Page 12: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

“Proyek†� oksidentalisme merupakan kajian obyektif-teoritis atas tradisi

Barat. Selama ini ruang epistemologi masyarakat dunia seolah hanya

menghadirkan satu realitas kajian yang dominan, yaitu studi orientalisme

(kajian tentang tradisi Timur oleh Barat). Orientalisme sebenarnya lahir

seiring dengan proses kolonialisme dan imperialisme yang dijalankan oleh

masyarakat Barat (Eropa). Sejak awal ia menyajikan sebuah bacaan tentang

dunia Timur yang sangat mempengaruhi misi kolonialisme. Mulai tahun

1815 hingga 1914 sejarah menjadi bukti betapa kekuasaan Eropa sudah

merentang hampir ke seluruh daratan bumi.

Menurut Edward Said, gerakan orientalisme bukanlah suatu kebetulan,

tetapi merupakan gerakan ilmiah yang analoginya dalam dunia politik

empiris adalah akumulasi kolonial di Timur dan akuisisi Barat. Bahkan

orientalisme telah difungsikan sebagai suatu “sistem hegemoni penuh†� yang mendistribusikan persoalan-persoalan geopolitik Barat ke dalam

segenap realitas estetis, etis, ekonomi, sosiologis, budaya, filologis dan

bahkan ranah ideologis.[30] Dominasi ini pada akhirnya memicu lahirnya

ketidakseimbangan perhatian antara Barat di satu sisi dengan Timur di sisi

yang lain.

Said mengakui bahwa Barat memiliki kebudayaan yang maju dan superior,

sementara Timur terbelakang dan bodoh. Tetapi superioritas tersebut

bukan hasil dari proses yang sehat, melainkan proses politik yang penuh

dengan kepentingan kolonial. Kajian Said tersebut diakui telah

memperlihatkan dan “menguliti†� orientalisme sebagai gerakan ilmiah

yang didorong oleh motif-motif kekuasaan kolonialisme. Dengan melalui

orientalisme, Barat mempunyai “jendela†� untuk melihat dan

melokalisasi Timur dengan tujuan bagaimana Timur dapat dikuasai dan

sekaligus didikte.

Melalui studi orientalismenya Edward Said telah memberikan angin segar

bagi pemikir dunia Timur, termasuk Hanafi untuk secara kritis melihat

tradisi Barat yang spirit dasarnya adalah kolonialisasi. Berdasar pada

konteks ini pula, mitos Barat sebagai tradisi yang hebat dan superior dapat

diminimalisasi. Caranya adalah dengan menjadikan Barat sebagai obyek

kajian. Suatu kajian kritis atas Barat untuk menarik tradisi Barat dari

kesadaran ego masyarakat Islam. Perspektif yang digunakan diawali dari

Page 13: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

rekonstruksi kritis terhadap tradisi klasik sebagai identifikasi awal ego/al-

ana yang akan menjadi tegas apabila pengetahuan tentang tradisi Barat

sebagai the other/al-akhar bisa digali dan direlokasi dalam habitatnya

sendiri.

Ketidakseimbangan kajian intelektual-akademis tersebut juga memunculkan

stereotipe-stereotipe yang lahir dari ketidaktahuan dan sikap yang penuh

prasangka, baik tentang dunia Timur (Islam) maupun juga tentang Barat.

Polarisasi dan pengkutuban Barat dan Timur sampai sekarang terus

berlangsung dengan punuh kecurigaan. Pengkutuban tersebut lahir sebagai

produk sejarah panjang perbenturan ideologis antara Islam sebagai dunia

Timur dan Kristen sebagai representasi Barat. Muatan konseptual ideilogis

inilah yang membuat setiap pertemuan antara dua tradisi tersebut selalu

disertai dengan letupan-letupan kecurigaan dan kewaspadaan satu

terhadap yang lain.

Pada dasarnya, kecurigaan dunia Timur atas Barat bukanlah hal yang latah,

karena orientalisme sebagai alat pandang terhadap dunia Timur dinilai

tidak obyektif dan cenderung menyudutkan Islam. Apalagi bila diruntut

secara historis kajian orientalisme yang mengiringi kolonialisasi telah

terlebih dahulu memunculkan kecurigaan. Bagaimanapun orientalisme pada

awalnya merupakan alat imperialisme, yang berusaha untuk mencari sisi-

sisi keterbelakangan dunia Timur dan berusaha untuk melakukan gerakan

pemberantasan. Meskipun dalam perkembangan terakhir orientalisme

mencoba mengubah paradigmanya sebagai sebuah studi atau kajian

terhadap Timur yang obyektif, namun kesan superioritas kultural Barat

tetap tertanam dalam benak orang-orang Timur.[31]

Dalam Terminologi inilah, gagasan oksidentalisme yang digulirkan oleh

Hassan Hanafi, bukannya sekedar keharusan

epistemologis vis a vis orientalisme, tetapi lebih dalam lagi, berusaha

menawarkan oksidentalisme sebagai kerangka epistemologis untuk

membebaskan diri dari pengaruh pihak lain sehingga lahir kesetaraan

antara dunia Timur dengan Barat. Keinginan tersebut sebenarnya

sederhana. Bukan untuk saling dibenturkan, melainkan hubungan dialektis

yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang satu dengan yang

lain, sehingga terhindar dari relasi yang hegemonik dan dominatif dari

dunia Barat atas dunia Timur.

Page 14: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

Dalam termonologi ini, oksidentalisme berusaha membalikkan posisi agar

terjalin hubungan relasional yang seimbang antara Barat dan Timur.

Ketika ego Eropa menampilkan diri sebagai subyek yang mengkaji the

other (dunia non-Eropa), maka sudah saatnya tradisi Barat menjadi the

other yang diselidiki dari ego Timur. Akan tetapi yang dikedepankan adalah

bagaimana oksidentalisme mampu mengurai inferioritas sejarah

hubungan ego dengan the other sekaligus menumbangkan superioritas the

other (Barat) dengan menjadikannya sebagai obyek kajian. Pembacaan

ulang atas tradisi klasik sekaligus tradisi Barat dimaksudkan untuk

memberikan penjelasan betapa oksidentalisme berbeda secara signifikan

dengan orientalisme. Oksidentalisme tidak diarahkan menjadi kekuatan

imperialisme sebuah tradisi yang dibenamkan  ke dalam kesadaran tradisi

lain, sebagaimana yang telah digunakan secara manipulatif oleh kaum

orientalis melalui kolonialismenya.

Dengan demikian, studi oksidentalisme memperlihatkan kerangka teoritik

yang sistematik dengan tetap melihat pembacaan atas tradisi klasik yang

dielaborasikan dengan pembacaan atas tradisi Barat sebagai the other.

Prinsip metodologis yang sistemik ini dimaksudkan agar arah transformasi

sosial masyarakat menemukan landasan pijaknya yang berakar dan

melembaga dalam tradisi, tetapi tetap diorientasikan pada progresivitas

melaui pembacaan secara kritis sumber-sumber kemajuan peradaban Barat.

Hanafi berupaya mengembangkan kajian oksidentalisme ini sebagai wacana

keilmuan yang netral, terutama dari kepentingan dominasi epistemologi.

Sekali lagi, oksidentalisme tidaklah digunakan sebagai alat imperialisme

dan juga tidak diarahkan kepada dominasi koersif dan hak kontrol atas

(model) tradisi lain, melainkan dijadikan sebagai basis epistemologi

relasional untuk  pembebasan diri dari berbagai bentuk dominasi sehingga

terjalin hubungan dialektis antara dunia Timur sebagai al-ana dengan dunia

Barat sebagaial-akhar. Tampaknya apa yang hendak dibangun oleh Hanafi

melalui gagasan ini adalah bagaimana superioritas dan dominasi

epistemologi Barat yang selalu menampilkan dirinya sebagai rasional-

modern dapat diurai sekaligus melenyapkan inferioritas ego dunia

Timurvis a vis dunia Barat.

Epismologi relasional ini berupaya melenyapkan reproduksi kebenaran

melalui kekuasaan dan dominasi. Kebenaran yang dihasilkan oleh

kekuasaan dan dominasi cenderung bersifat manipulatif dan ideologis. Oleh

Page 15: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

karenanya harus dibongkar. Artinya, kebenaran sebuah pengetahuan yang

dihasilkan melalui “pemaksaan†� dan dominasi epistemologi harus

dicurigai menyimpan pesan-pesan ideologis. Barangkali benar apa yang

diintrodusir oleh Michael Foucault bahwa kekuasaan di mana pun selalu

menindas, karena kekuasaan telah memproduksi kebenaran menurut

ukurannya. Kebenaran selalu berada dalam relasi-relasi sirkular dengan

sistem kekuasaan yang telah memproduksi dan menjaga kebenaran itu.

Kebenaran tidak ada dengan sendirinya. Dalam hal ini, jelas kebenaran

tidak berada di luar kekuasaan. Ia lahir dari dalam kekuasaan itu sendiri.

Foucault menilai bahwa kebenaran yang direproduksi oleh kekuasaan dan

dominasi sesungguhnya memberangus kebebasan manusia untuk menjalin

relasi antar sesama, melalui relasi yang seimbang dan egaliter, bukan

didasarkan atas pengaruh dan dominasi.[32]

Berangkat dari bangunan epistemologi relasional ini, Hanafi menolak segala

macam dominasi yang menyebut bahwa Barat adalah “mitos†�, atau

“pusat dunia†� sekaligus “pusat pengetahuan†�. Dalam setiap

peradaban selalu ada ego dan the other.Tidak ada kekuatan tunggal yang

bersifat monolitik sebagai klaim kebenaran rasional universal. Untuk

meruntuhkan superioritas tersebut harus dijalankan ide demitologisasi

Barat. Selama beberapa dekade, Barat—melalui westernisasinya—telah

memberangus hilangnya ego dunia Timur. Westernisasi selalu menciptakan

citra Barat sebagai tipe modernisasi dan pembebasan. Menurut Hanafi,

terbelenggunya pembaru Islam yang berpijak pada tradisi Barat sebagai

tipe modernisasi adalah sebuah pembebasan semu, karena masih

menempatkan inferioritas ego di hadapan the other.

Pijakan epistemologi yang demikian semakin mengukuhkan oksidentalisme

dalam tataran kajian ilmiah yang bersifat obyektif, karena ia berusaha

menurunkan problem historis pembentukan superioritas Barat ke dalam

wilayah epistemologi yang menyusun struktur dasar pengetahuannya.

Secara implisit dapat dijelaskan bahwa bangunan epistemologi-lah yang

mendasari oksidentalisme sebagai sebuah kajian ilmiah tentang

epistemologi relasional pengetahuan yang tidak diiringi oleh dominasi,

lebih-lebih oleh penindasan. Alasannya sederhana: bagaimana mungkin

oksidentalisme dapat dijadikan alat untuk membebaskan dunia Timur

tatkala ia sendiri berkembang menjadi alat dominasi dan alat penindas

baru? Sistem relasional tersebut digunakan untuk menjelaskan betapa

Page 16: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

tradisi Barat sesungguhnya mengalami problem eksistensial, terbukti

dengan runtuhnya berbagai ideologi modern yang selama ini didengung-

dengungkan sebagai simbol kemajuan peradaban umat manusia.

 

Gagasan Kiri Islam

Gagasan kiri Islam dirancang sedemikian rupa untuk menggerakkan

gerakan sosial revolusioner yang membawa gagasan pembebasan melalui

penghancuran konstruksi lama yang serba reaksioner, dari feodalisme dan

kapitalisme yang mencengkramkan hegemoninnya ke dalam kesadaran

kognitif masyarakat dunia berkembang, termasuk dunia Timur (Islam).

Gerakan ini tidak hanya diarahkan secara internal—berupa reposisi dan

pembacaan kembali tradisi sendiri, tetapi juga eksternal—berupa

pembacaan atas tradisi lain. Dalam konteks ini, Hassan Hanafi mulai

menabuh “genderang perang†� terhadap produk-produk kebudayaan

Barat yang penuh residu serta mulai memantapkan basis kemapanan

epistemologi dari tradisi lama.

Menurut Hanafi, tugas kiri Islam adalah melokalisasi Barat. Dengan kata

lain, mengembalikan Barat kepada batas-batas wilayahnya dan menepis

mitos “mendunia†� yang ia bangun lewat usaha menjadikan dirinya

sebagai “pusat peradaban dunia†� sekaligus “peradaban ideal†� bagi

bangsa-bangsa lain. Secara epistemologis gagasan ini lebih merupakan

upaya pembacaan kembali tradisi Barat yang sebenarnya memiliki problem

eksistensial.  Perlu ada demitologisasi atas tradisi Barat untuk

mengungkapkan kelemahan-kelemahan epistemologis dalam upaya

memaksakan diri menjadi sebuah “paradigma yang mendunia†�.

Bukti atas realitas tersebut adalah gagalnya ideologi-ideologi modern

kontemporer dalam wilayah praktis, utamanya yang terjadi dalam konteks

sosial politik Mesir. Begitu juga gagalnya liberalisme Barat yang tidak

sanggup memajukan kondisi perekonomian masyarakat. Rontoknya

sosialisme negara—dimana revolusi awal terjadi di Mesir pada Juli

1952—ternyata hanya mengubah sistem pemilikan dan cara-cara produksi,

tetapi tidak mengubah kebudayaan massa yang masih dalam wajah

Page 17: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

tradisional.[33] Sosialisme Islam yang pernah ada di Mesir, menurut Hanafi,

tidak lain hanya merupakan manupilasi teks untuk memberikan legitimasi

aturan-aturan yang diundangkan pemerintah. Agama dijadikan alat untuk

mendiskreditkan semua oposisi dan politik sekaligus dijadikan alat tafsir

spiritual atas kegagalan negara. Hasilnya adalah terbentuknya kelas baru

dengan elit penguasa di puncak dan tumbuhnya feodalisme baru di

pedesaan dan kapitalisme baru di sektor swasta.

Kegagalan ideologi-ideologi modern di atas disebabkan tidak adanya akar

kerakyatan yang kuat dan ketercerabutannya dari basis sosial. Istilah-istilah

yang digunakan dalam gerakan tersebut sama sekali tidak melembaga

dalam hati rakyat. Sebut saja, misalnya, materialisme dialektis, kontradiksi,

produksi, kebebasan, dan hak-hak politik. Semua ini merupakan kategori-

kategori sosial yang tidak dapat dipahami dan dicerna oleh masyarakat.

Akibatnya, ia mengalami kegagalan dalam menggerakkan dan memberi

perspektif baru bagi rakyat. Barangkali juga, terminologi ini menjadi

inspirasi bagi ilmu-ilmu sosial di dunia Timur yang pada tahun 1970-an

masih disibukkan dengan perdebatan perlu tidaknya indegenisasi

(pribumisasi).

Sifat keilmiahan sebuah ideologi jelas berbeda dengan sifat kerakyatan

sebuah agama. Sehingga diskursus ideologi kaum intelektual boleh saja

tetap berlangsung, dan elit intelektual revolusioner boleh juga membentuk

kepemimpinan berbasis massa. Namun harus diingat bahwa dalam

masyarakat mistis, ideologi ilmiah merupakan sesuatu yang hampir pasti

mustahil. Sedangkan ritualisme kesukuan, atau yang oleh Hanafi disebut

sebagai fundamentalisme, telah terperosok dalam ritualisme tanpa makna,

tanpa aspek ekonomi, politik dan sosial. Keduanya memiliki kelemahan yang

sangat mendasar, yaitu keluar dari mainstream historisitas kemanusiaan.

[34] Dengan demikian, bangunan epistemologi yang hendak dirumuskan

oleh Hanafi untuk merumuskan paradigma bagi gerakan pembebasan

adalah penguatan pemahaman atau pengetahuan masyarakat atas kekayaan

tradisi-tradisi Islam serta memberikan analisis sosial berperspektif Marxian.

Pilihan paradigmatik untuk mengedepankan Kiri Islam jelas mengacu

kepada analisis kelas yang mendominasi sosialisme dan bukan semata

Marxisme-Leninisme. Hanafi mencoba memodifikasi Marxisme-Leninisme

sebagai tumpuan ide sosialismenya, seperti Sosialisme Arab. Paradigma itu

Page 18: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

perlu dimodifikasi karena hakikat materialisme deterministik historis yang

meniscayakan kehancuran ideologi-ideologi modern—seperti kapitalisme,

feodalisme dan kemenangan proletar—ditolaknya secara tegas.

Determinisme historis yang meniscayakan kebebasan manusia itu diberi ruh

non-materialistik, seperti pemunculan unsur-unsur progresif dalam agama

dan pranata lain yang bersifat keruhanian atau kesejarahan.[35] Munculnya

unsur-unsur progresif-transformatif dalam dunia Islam membuat Hassan

Hanafi mulai berbicara tentang keharusan dunia Islam mengembangkan

wawasan kehidupan progresif, dengan dimensi pembebasan

(taharrur/liberation) di dalamnya.[36]Watak pembebasan dari wawasan

progresif bertumpu pada beberapa unsur penopang. Di satu sisi gagasan

akan keadilan sosial harus ditegakkan, jika manusia ingin berperan sebagai

pelaksana ketuhanan (khalifatullah) di muka bumi. Seorang khalifah harus

memiliki otonomi penuh atas dirinya, dan itu dapat dicapai melalui

tegaknya keadilan sosial. Prinsip keadilan sosial bisa menembus segala

bentuk dan corak pemerintahan. Di sisi lain keadilan sosial hanya dapat

terwujud jika ada pejuang pembebasan umat manusia yang terorganisir.

Meski Islam menyuarakan pembebasan, tetapi ia tidak dapat dijadikan

ideologi yang semata-mata berfungsi memperjuangkan pembebasan.

Keseluruhan warisan kesejarahan Islam menunjuk kepada keharusan

pencegahan hubungan langsung antara Islam dan kekuasaan. Bagi Hanafi,

Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populis yang ada, dan

pada waktu itu Mesir diwarnai oleh sosialisme. Demikian kuatnya keyakinan

Hanafi akan pentingnya tumbuhnya orientasi keislaman sebagai ideologi

populis, akhirnya ia mencetuskan gagasan yang dikenal dengan Kiri Islam

(al-yasar al-islami atau Islamic Left).

Terminologi “kiri†� dalam banyak hal mengandung kesan stigmatik,

terutama tatkala dihadapkan kepada konstruksi dasar pengetahuan

konservatif dalam memahami agama (Islam). Bila dikaitkan dengan situasi

global, istilah “kiri†� seolah terinspirasi oleh gerakan kaum sosialis

atau spirit Herbert Marcuse (1898-1979), filosof Madzhab Frankfurt yang

disebut sebagai pemberi ruh bagi New Left dan pemikirannya menjadi

inspirator lahirnya revolusi mahasiswa tahun 1968. Semua ini menunjukkan

bahwa terminologi “kiri†� selalu bersentuhan dengan gerakan-gerakan

massa revolusioner. Secara substansial istilah ini merupakan gagasan

berbasiskan sistem epistemologi rasional-kritis yang bertujuan untuk

Page 19: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

bersikap kritis terhadap bangunan pengetahuan dominan yang

membelenggu dan manipulatif. Dalam pengetahuan yang dominan

seringkali bersembunyi berbagai kepentingan ideologis. Pada aras inilah,

gagasan Kiri Islam yang diperkenalkan Hanafi memberi ruh gerakan yang

bertujuan untuk selalu melihat realitas obyektif sekaligus melakukan

pemeriksaan terhadap akar kegagalan dari berbagai idelogi modern.

Kiri Islam merupakan sintesis dari eksplorasi atau tafsir ulang yang cerdas

terhadap khazanah keilmuan Islam dan analisis konsep Marxian atas

kondisi obyektif (tradisi) yang mengakar dalam sebuah masyarakat. Tradisi

yang dimaksudkan adalah tradisi keagamaan yang membentuk medan

kebudayaan massa. Bahkan dalam banyak hal Kiri Islam bertumpu pada tiga

dataran metodologi: tradisi atau sejarah Islam, fenomenologi dan analisis

sosial Marxian. Hanafi berkeyakinan bahwa Kiri Islam bisa berhasil jika

realitas masyarakat, politik, ekonomi, khazanah Islam dan tantangan

Barat  dapat dianalisis[37]dan konstruksi dasar bangunan

epistemologisnya ditemukan.

Untuk menganalisis hal di atas, Hanafi menggunakan metode fenomenologi

dengan mengungkapkan dua hal pokok: Islam telah dimanfaatkan untuk

kepentingan politik dan melembaga dalam kehidupan bangsa Arab.

[38] Analisis sosial perpektif Marxian menampilkan dua realitas kontras

secara diametral: kaya-miskin, penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, tuan

tanah-buruh, terbelakang-maju, dan sebagainya. Analisis ini mirip dengan

oposisi biner (binnary-oppositition) yang diperkenalkan filosof

strukturalisme, Fredinand de Sausure.

Menurut Hanafi, Kiri Islam lahir setelah melihat berbagai kegagalan dalam

metode pembaruan masyarakat Timur (Islam) yang dilakukan oleh beberapa

generasi dalam mengentaskan keterbelakangan dan kemiskinan. Hal ini

disebabkan karena beberapa hal. Pertama, berbagai tendensi keagamaan

yang terkooptasi kekuasaan menjadikan agama (Islam) sekedar ritus dan

kepercayaan yang bersifat ukhrawi. Padahal “realitas Islam†� bukan

merupakan representasi dari “sistem Islam†�, sehingga gebyar ritus dan

perayaan tersebut justru menjadi topeng yang menyembunyikan wajah

dominasi tradisi Barat dan kapitalisme. Sementara itu, kecenderungan

keagamaan yang tidak terkooptasi terjebak dalam fanatisme primordial,

kejumudan dan berorientasi pada kekuasaan.

Page 20: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

Kedua, liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi

berakhir terlihat didikte oleh kebudayaan Barat, berperilaku seperti

penguasa kolonial dan hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset

negara.

Ketiga, Marxisme yang berpretensi mewujudkan keadilan sosial dan

menentang kolonialisme, ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat

dan pengembangan khazanah mereka sebagai energi untuk mewujudkan

tujuan-tujuan kemerdekaan nasional.

Keempat, nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-

perubahan radikal dalam sistem politik-ekonomi ternyata tidak berumur

lama, banyak mengandung kontradiksi dan tidak mempengaruhi kesadaran

mayoritas rakyat.

Itulah sebabnya Kiri Islam dimunculkan dalam rangka merealisasikan

tujuan-tujuan pergerakan nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis,

dengan cara mengembangkan khazanah intelektual klasik yang berdimensi

revolusioner dan berpijak pada kesadaran rakyat.

Tugas Kiri Islam dengan demikian adalah menguak unsur-unsur

revolusioner dalam agama dan menjelaskan pokok-pokok pertautan antara

agama dan revolusi. Agama dalam perspektif historis menjadi landasan dan

revolusi menjadi tuntutan zaman. Agama, menurut Hanafi,[39] adalah

revolusi itu sendiri dan para nabi merupakan revolusioner pembaru sejati.

Ibrahim adalah cerminan revolusi akal yang menundukkan tradisi-tradisi

buta, yaitu revolusi tauhid melawan berhala-berhala. Musa merefleksikan

revolusi pembebasan melawan otoritarianisme. Isa adalah contoh revolusi

ruh atas dominasi materialisme, sedangkan Muhammad merupakan teladan

kaum miskin dan komunitas tertindas dalam menghadapi para konglomerat

elit Quraisy dalam perjuangan mereka untuk menegakkan masyarakat yang

bebas, penuh persaudaraan dan egaliter.

Kiri Islam jelas merupakan konstruksi ideologi yang digali dari aspek-aspek

revolusioner agama. Sebagai sebuah ideologi, Kiri Islam memuat landasan

filsafat, perangkat analisis sosial, dan tahapan-tahapan gerakan. Kiri Islam

juga telah memuat seperangkat gagasan, cita-cita, konsep dan keyakinan

Page 21: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

pemihakan yang tegas, dan dorongan untuk berjuang mewujudkan cita-cita

ideologi tersebut. Bahkan ia sanggup memberikan cara membaca yang

kritis dalam melihat dan menangkap realitas, eksistensi, dan manusia.

 

Elaborasi Pemikiran Hanafi

Hassan Hanafi adalah seorang pemikir sosial yang sangat mendalam,

terbukti dengan pemikiran-pemikirannya yang dipaparkan di atas. Secara

implisit pemikiran filsafat sosialnya memang tidak disebutkan dengan tegas,

tetapi kalau disimak lebih dalam akan tampak bahwa pemikiran sosialnya

sangat bernilai dan signifikan. Dimulai dari rekonstruksi teologi, Hanafi

membongkar teologi klasik yang bernuansa metafisik menjadi nuansa

antropologis. Jadi, yang diutamakan adalah persoalan kemanusiaan dan

pemberdayaan diri agar memiliki keyakinan yang mantap dan tangguh,

sehingga dapat menjadi wakil Tuhan di muka bumi yang memakmurkan,

bukan merusak.

Dengan gagasan oksidentalisme, Hanafi menginginkan adanya kesetaraan

antar sesama manusia, baik secara individu maupun antar sesama bangsa.

Agar tidak ada dominasi antara yang satu dengan lainnya. Untuk mencapai

hubungan-hubungan tersebut perlu dibangun epistemologi relasinal.

Epistemologi relasional akan memunculkan hubungan harmonis yang saling

membutuhkan. Oksidentalisme sebagai gerakan (sosial) pemikiran diakui

“berhasil†� menawarkan opini. Oksidentalisme telah mengagetkan dunia

intelektual (Barat) yang sejak beberapa abad terninabobokan oleh

modernisme  yang “membius†� melalui ciptaan sains dan teknologinya.

Terlepas dari problem itu, tampaknya realitas munculnya oksidentalisme

merupakan suatu “sinyal†� munculnya gagasan untuk melakukan

“dekonstruksi†� terhadap basis-basis pengetahuan modern.

Kerangka pemikiran Kiri Islam juga memberikan tawaran keharusan

melakukan perobahan sosial, yakni perubahan yang bersifat progresif-

transformatif. Semua bangunan pemikiran Hanafi didasarkan pada

kerangka metodologis yang bertumpu pada empat hal, yakni metode

Page 22: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

dialektika, metode hermeneutika, metode fenomenologi dan metode

eklektik.

 

Penutup: Sebuah Analisis

Berdasar uraian di atas, kita dapat menganalisis beberapa hal. Pertama,

dari sisi metodologis, Hassan Hanafi dipengaruhi oleh (ada kesamaan

dengan) cara berfikir Barat, terutama pemikiran Marxis dan Husserl.

Pengaruh metode Husserl ini terlihat ketika Hanafi meletakkan persoalan

Arab (Islam) dalam konteksnya sendiri, lepas dari pengaruh Barat.

Statemennya bahwa kemajuan Islam tidak bisa dilakukan dengan cara

mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas khazanah

pemikiran Islam sendiri jelas merupakan model pemikiran fenomenologi

Husserl. Adapun kesamaannya dengan Marxisme terlihat ketika Hanafi

menempatkan persoalan sosial praktis sebagai dasar bagi pemikiran

teologinya. Teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas.

Slogan-slogan yang dipergunakan, pembebasan rakyat tertindas dari

penindasan penguasa, persamaan derajat muslimin di hadapan Barat dan

sejenisnya adalah jargon-jargon Marxisme. Sedangkan kesamaannya

dengan metode dialektika Marxis terlihat pada saat Hanafi menjelaskan

perkembangan pemikiran Islam dan usaha ia lakukan ketika merekonstruksi

pemikiran teologisnya dengan menghadapkan teologi dan filsafat Barat,

untuk kemudian mensintetiskannya. Bedanya, jika dalam pemikiran Marxis

dikatakan bahwa pergerakan dan pembebasan manusia tertindas semata-

mata didorong oleh kekuatan materi dan duniawi, Hanafi memberi ruh yang

tidak sekedar materialistik. Ada pranata-pranata yang bersifat religius atau

kerohanian yang menggerakkan perjuangan umat Muslim. Jika perjuangan

Marxis bisa dilakukan dengan menghalalkan segala cara, rekonstruksi

kalam Hanafi memakai prinsip kesejahteraan: perjuangan mesti

memperhatikan kebaikan umum. Oleh karena itu, pemikiran Hanafi bisa

disebut “marxis tetapi tidak marxisme†�, “Barat tetapi tidak

sekuler†�. Dari sini terlihat bahwa ada metode-metode yang orisinal yang

dikembangkan oleh Hanafi sendiri.

Page 23: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

Kedua, dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari kritik-kritik dan gagasan para

tokoh sebelumnya, terus terang, apa yang disampaikan Hanafi dari proyek

rekonstruksi kalamnya sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam

makna sebenarnya. Apa yang Hanafi katakan bahwa zat dan sifat Tuhan

adalah deskripsi atas manusia ideal sudah disampaikan Muktazilah dan

kaum sufi. Begitu pula konsep tentang tauhid yang mendunia telah

disampaikan oleh tokoh dari Syiah, Murtadha Muthahhari. Kelebihan Hanafi

adalah: ia mampu mengemas konsep-konsep tersebut secara lebih utuh,

jelas dan up to date, sehingga terasa baru. Di sinilah orisinalitas pemikiran

Hanafi dalam proyek rekonstruksi teologisnya.

Selanjutnya, mengikuti apa yang digagas Hanafi, ada beberapa cacatan

yang perlu disampaikan.

Pertama, pemikiran Hanafi masih diwarnai aroma romantisme, meski dalam

kadar yang relatif kecil, semisal gagasan rekonstruksi yang berbasis pada

rasionalitas Muktazilah. Keberpihakan Hanafi pada rasionalitas Muktazilah

ini menyebabkan ia mengabaikan cacat yang ada pada muktazilah, bahwa

mereka pernah melakukan mihnah.

Kedua, kritik Hanafi bahwa kalam Asy’ari adalah penyebab kemunduran

Islam terasa terlalu menyederhanakan masalah disamping tidak didasarkan

investigasi historis yang memadai dan konkrit. Kenyataannya, Asya‘riyah

telah berjasa menemukan keharmonisan mistis antara ukhrawi dan duniawi.

Ketiga, terlepas apakah pemikiran besar Hanafi akan bisa direalisasikan

atau tidak, jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam

upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar

ketertinggalannya di hadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi yang

dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat spiritual-

religius menjadi sekedar material-duniawi bisa menggiring pemahaman

agama menjadi sekedar agenda sosial, praktis dan fungsional, yang lepas

dari muatan-muatan spiritual transenden.

Sebenarnya, Hanafi menolak dikatakan bahwa dirinya dipengaruhi

pemikiran Barat, terutama Maxsisme. Menurutnya, apa yang ia lakukan

semata-mata berdasar dan diambil dari khazanah keilmuan Islam,

berlandaskan realitas sosial kaum muslimin.

Page 24: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

 

Daftar Pustaka:

1.      Kazuo Shimogaki, Kiri Islam; Antara Modernisme dan

Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, terj. Imam Azis,

(Yokyakarta: Lkis, 1993)

2.      A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogyakarta: Ittaqa

Press, 1998)

3.      Muhidin M. Dahlan (ed), Postkolonialisme, Sikap Kita Terhadap

Imperialisme, (Yokyakarta: Jendela, 2001)

4.      Anton Bekker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia, 1984)

5.      Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, (Jakarta, Gramedia, 1996)

6.      Islamika, edisi I, (Juni-September, 1993)

7.      Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman,

(Bandung: Alumni, 1980)

8.      Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: Pembangunan, 1984)

9.      Edward Said, Orientalisme, (New York: Vintage Books, 1978)

10.  George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj.

Asgar Bixby, (Bandung: Sinar Baru, 1992)

11.  Al-Ghazali, Al-Munqid Min adh-Dhalal, (Beirut: Darul Fikr, tt)

12.  Hanafi, Hassan, Ad-Din wa ats-Tsaurah fi Mishra 1952-1981, VII,

(Mesir; Maktabah Madbuli)

13.  ——————,  Origin of Modern Conservation and Islamic

Fundamentalism, (Amsterdam: University of Amsterdam, 1979)

14.  ——————, Muqadimah fi â€˜ilm al-Istighrab, (Kairo: Dar al-Faniyah,

1981)

15.  ——————, Dirasah al-Islamiyah, (Kairo: al-Maktabah al-Mishriyah,

1981)

16.  ——————, The Genesis of A Secular Ideology, (Mesir: Cukor, 1985)

17.  ——————, From Faith to Revolution, (Spanyol: Cordova Press,

1985)

18.  ——————, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta: P3M, 1991)

19.  ——————, Min al-Aqidah ila ata-Tsaurah, I&II, (Kairo: Maktabah

Matbuli, 1991)

Page 25: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

20.  ——————, Dialog Agama dan Revolosi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1991)

21.  ——————, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi

Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000)

22.  ——————, Tafsir Fenomenologi, Terj. Yudian W. Asmin,

(Yokyakarta: Bismillah Press, 2001)

23.  Ibrahim Al-Jilli, Al-Insan al-Kamil, II, (Bairut: Darul Fikr, tt)

24.  Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin,(Jakarta: Panjimas, 1987)

25.  John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic

World (New York: Oxford University Press, 1995)

26.  Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al-Islam, (Istambul: Hakekat Kitabevi,

1985)

27.  Listiono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri, (Yokyakarta: Ar-Ruzz Media,

2009)

28.  Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other

Writings 1972-1977, (Sussex: The Haervester Press, 1980)

29.  Muhidin M. Dahlan, Sosialisme Religius: Suatu Jalan

Keempat, (Yokyakarta: Kreasi Wacana, 2000)

30.  Muthahhari, Allah Dalam Kehidupan Manusia, (Bandung: Yayasan

Mutahhari, 1992)

31.  Osman Bakar, Hierarkhi Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997)

32.  Sumaryono, Hermaunetik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:

Kanisius, 1993)

 

[1]Muhammad Mustafied, “Merancang Ideologi Gerakan Islam Progresif-

Transformatif: Mempertimbangkan Kiri Islam†�, dalam Muhidin M.

Dahlan, Sosialisme Religius: Suatu Jalan Keempat, (Yokyakarta: Kreaasi

Wacana, 2000),  hlm. 174.

[2] Komarudin Hidayat, “Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap

Barat†�, pengantar dalam, Hassan Hanafi, Oksidentalisme, (Jakarta:

Paramadina, 2000), hlm. xviii.

Page 26: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

[3] John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic

World (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 98.

[4] Hassan Hanafi, Ad-Din wa ats-Tsaurah fi Mishra 1952-1981, VII, (Mesir;

Maktabah Madbuli), hlm.332.

[5] George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar

Bixby, (Bandung: Sinar Baru, 1992) hlm. 298.

[6] The Free Officers adalah kelompok rahasia yang dibentuk tahun 1947,

yang terdiri atas sebelas perwira dipimpin Mayor Jenderal Muhammad

Najib, yang saat itu menjadi kepala staf. Dengan melakukan kudeta

terhadap raja Faruq, saat situasi tidak dapat dikendalikan. Saat

pengambilalihan kekuasaan ini, Najib sebenarnya menggandeng Ikhwan al-

Muslimun yang mempunyai basis kuat di kalangan masyarakat bawah. Akan

tetapi, setelah ia menjadi presiden dengan Gamal Abdul Naser sebagai

Perdana Menteri, Najib menendang Ikhwanul Muslimin karena

menganggap bahwa kelompok ini sangat berbahaya terhadap kelangsungan

kekuasaannya.

[7]Apa yang dimaksud ilmiah dalam pandangan Hanafi disini adalah jika

teologi tidak asing dari dirinya sendiri. Artinya, teologi tidak hanya berupa

ide-ide kosong tapi merupakan ide kongkrit yang mampu membangkitkan

dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata. Lihat

Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991), hlm. 408-

9.

Adapun statementnya bahwa teologi tidak bisa dibuktikan secara filosofis,

sama sebagaimana yang pernah disampaikan al-Farabi, adalah bahwa

metodologi teologi tidak bisa mengantarkan kepada keyakinan atau

pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan tetapi baru pada tahap

mendekati keyakinan dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud

spiritual lainnya. Sedemikian, sehingga teologi hanya cocok untuk

komunitas non-filosofis, bukan kaum filosofis. Lihat Osman Bakar, Herarkhi

Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 149. Statement ini juga pernah

disampaikan oleh al-Ghazali, dalam Al-Munqid Min al-Dlalal, (Beirut: dar al-

Fikr, tt), hlm. 36.

[8] Atas dasar inilah kemudian Hanafi menuduh teologi Asyari sebagai salah

satu penyebab kemunduran Islam, disamping sufisme. A.H.

Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998),

hlm.44

Page 27: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

[9] Hanafi, Min al-Aqidah ila at-tsaurah, I, (Kairo; Maktabah Matbuli, 1991),

hlm. 59.

[10] A.H. Ridwan, Reformasi…, 50.

[11] Menurut Boullata, pemikiran Hanafi didasarkan tiga metodologi;

analisan sejarah, analisa fenomenologi, dan analisa sosial Maxsian. Gagasan

Hassan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan. Dalam Islamika, edisi,

I, (Juni-Sept, 1993), hlm. 21.

[12] Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, (Jakarta, Gramedia, 1996), hlm. 235.

[13]Hanafi, Origin of Modern Conservation and Islamic Fundamentalism,

(Amsterdam: University of Amsterdam, 1979), 1-2, sebagaimana dikutip

oleh A.H. Ridwan dalam Reformasi Intelektual…, 70.

[14] Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: Pembangunan, 1984), hlm.121-

124; Brouwer,Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, (Bandung:

Alumni, 1980), hlm. 52. Lihat juga Anton Bekker, Metode-Metode Filsafat,

(Jakarta: Ghalia, 1984), hlm. 113-7.

[15] Hanafi, Muqadimah fi ilm al-Istighr’b, (Kairo: Dar al-Faniyah, 1981),

hlm. 84-6.

[16] Hanafi, Dirasah al-Islamiyah, (Kairo: al-Maktabah al-Misriyah, 1981),

hlm. 415.

[17] Sumaryono, Hermaunetik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:

Kanisius, 1993),hlm. 31.

[18] Hanafi, Dialog Agama dan Revolosi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991),

hlm.1.

[19] Menurut A.H. Ridwan, Hermeneutik Hanafi dipengaruhi metode

hermeneutik Bultmann. Akan tetapi, penulis tidak melihat signifikansi yang

jelas antara Bultmann dengan hermeneutik Hanafi. Kelihatannya Hanafi

menggunakan aturan hermeneutik secara umum yang bersifat triadic

kemudian mengisinya dengan nuansa Islam sehingga menjadi khas

Hanafian. Ridwan, Reformasi Intelektual.., 170.

[20] Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al-Islam, (Istambul: Hakekat Kitabevi,

1985),hlm. 21-26.

Konsep ini juga tidak berbeda dengan apa yang dimaksud oleh kaum sufi

dengan istilah insan kamil. Menurut Al-Jilli, insan kamil adalah orang yang

mampu merefleksikan sifat-sifat keagungan Tuhan, sehingga ia menjadi

manifestasi Tuhan di bumi. Lihat, Ibrahim Al-Jilli, Al-Insan Al-Kamil, II,

(Bairut: Dar Al-Fikr, tt), hlm. 71-77.

Page 28: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi

[21] Hanafi, Min al-Aqidah ila at-tsaurah, II, p. 600 dan seterusnya.

[22] Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin,(Jakarta: Panjimas, 1987), hlm. 8

[23] Hanafi, Min al-Aqidah ila at-tsaurah, II , 112-114.

[24] Ibid, 137-142.

[25] Hanafi, Ibid, 112-114.

[26] Hanafi menyatakan bahwa tauhid mengandung dua dimensi; penafian

dan penetapan (itsbat). Kata “Lailaha†� berarti penafian terhadap

segala bentuk ketuhanan, sedang “Illallah†� adalah penetapan tentang

adanya Tuhan yang Esa.

[27] Statemen ini sama sebagaimana dikatakan Muthahhari, meski dalam

pengertian yang berbeda. Menurut Muthahari, konsep-konsep tauhid tidak

akan punya makna tanpa direalisasikan dalam perbuatan, yang dalam

faham Mutahari difokuskan dalam bentuk ibadah. Lihat Muthahhari, Allah

Dalam Kehidupan Manusia, (Bandung: Yayasan Mutahhari, 1992), 7-23.

[28] Hanafi, Min al-Aqidah…, 330.

[29] Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Terj.

(Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 13

[30] Edward Said, Orientalisme, (New York: Vintage Books, 1978), hlm. 17

[31] Alim Roswantoro, “Studi Oksidentalisme: Mempertimbangkan

Hassan Hanafi†�, dalam Muhidin M. Dahlan (ed), Postkolonialisme, Sikap

Kita Terhadap Imperialisme,(Yokyakarta: Jendela, 2001), hlm. 19 -20.

[32] Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other

Writings 1972-1977, (Sussex: The Haervester Press, 1980), hlm. 133.

[33] Hanafi, The Genesis of A Secular Ideology, ( Mesir: Cukor, 1985), hlm.

132.

[34] Ibid., hlm. 137.

[35] Abdurrahman Wahid, “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya†�, Pengantar dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam; Antara Modernisme dan

Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Terj. Imam Azis,

(Yokyakarta: Lkis., 1993), hlm. xiv.

[36] Hanafi, From Faith to Revolution, (Spanyol: Cordova Press, 1985), hlm.

231.

[37] Boullata, dalam Islamika, edisi, I, (Juni-Sept, 1993), hlm. 23.

[38] Hanafi, Tafsir Fenomenologi, Terj. Yudian W. Asmin, (Yokyakarta:

Bismillah Press, 2001), hlm.68.

[39] Hanafi, From Faith to Revolution… hlm. 142.

Page 29: Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi