sejarah doktrin gereja

64
“GAUDET MATER ECCLESIA!” Konsili Vatikan II: Iman Gereja demi Dunia! For one who believes in God, for a Christian, above all for a Catholic, it seems hard to resist the conviction that a Council so convoked, so constituted, so observed, and so concerned, must have been willed and actuated by God himself for high ends of human interest. We believe in divine providence. Was not the Council itself one of those 'signs of the times' about which the Bible and the Council speak? Religion dwells and lives primarily in the hearts of individual persons: it is 'what a man does with his solitariness.' But it also finds expression in great historical phenomena and great historical institutions. If God's 'angel,' His spirit, His Christ is 'amongst them' when two or three are gathered together 'in Christ's name,' is there not some presumption that the same heavenly presence was active to guide the immensely earnest efforts of those prelates gathered together in the four years of the Council to deliberate and decide on the future of the greatest religious fellowship the world has ever known? (Bishop B.C. Butler, In the Light of the Council) Konsili Vatikan II adalah Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Antara tanggal 11 Oktober 1962 dan tanggal 8 Desember 1965 diadakan empat periode sidang. Jumlah Uskup yang hadir lebih banyak dan berasal dari lebih banyak negara daripada yang menghadiri Konsili- konsili sebelumnya. Tercatat ada 2549 Bapa Konsili yang hadir dalam Pembukaan serta 29 pengamat dari 17 Gereja lain, dan 8 undangan yang bukan Katolik. Jumlah tersebut belum lagi ditambah para pendengar secara langsung pria dan wanita dari pelbagai kalangan, perhatian besar media 1

Upload: yakip14

Post on 10-Jul-2016

69 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Sejarah Doktrin Gereja

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Doktrin Gereja

“GAUDET MATER ECCLESIA!”Konsili Vatikan II: Iman Gereja demi Dunia!

For one who believes in God, for a Christian, above all for a Catholic,

it seems hard to resist the conviction that a Council so convoked, so constituted, so observed, and so concerned,

must have been willed and actuated by God himself for high ends of human interest. We believe in divine providence.

Was not the Council itself one of those 'signs of the times' about which the Bible and the Council speak?

Religion dwells and lives primarily in the hearts of individual persons: it is 'what a man does with his solitariness.'

But it also finds expression in great historical phenomena and great historical institutions. If God's 'angel,' His spirit, His Christ is 'amongst them'

when two or three are gathered together 'in Christ's name,'is there not some presumption

that the same heavenly presence was active to guide the immensely earnest efforts of those prelates gathered together

in the four years of the Council to deliberate and decide on the future of the greatest religious fellowship the world has ever known?

(Bishop B.C. Butler, In the Light of the Council)

Konsili Vatikan II adalah Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Antara

tanggal 11 Oktober 1962 dan tanggal 8 Desember 1965 diadakan empat periode

sidang. Jumlah Uskup yang hadir lebih banyak dan berasal dari lebih banyak negara

daripada yang menghadiri Konsili-konsili sebelumnya. Tercatat ada 2549 Bapa

Konsili yang hadir dalam Pembukaan serta 29 pengamat dari 17 Gereja lain, dan 8

undangan yang bukan Katolik. Jumlah tersebut belum lagi ditambah para pendengar

secara langsung pria dan wanita dari pelbagai kalangan, perhatian besar media cetak

dan radio, serta beragam informasi seputar Konsili bagi umat seluas dunia.

Baik Paus Pius XI (1922-1939) maupuan Paus Pius XII (1939-1958) pernah berpikir

tentang membuka kembali Konsili Vatikan I (1869-1870) yang terpaksa berhenti

karena perang antara Perancis dan Prusia. Tetapi Paus Yohanes XXIII-lah yang

mengejutkan gereja semesta dengan maklumat penuh optimisme pada 25 Januari

1959, bahwa beliau bermaksud mengundang suatu konsili baru – dan sungguh

senyatanya yang baru karena tidak dimaksudkan sekadar melanjutkan Konsili Vatikan

I.

Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah sebuah peristiwa religius, intelektual, dan

politis yang mnenetukan dalam sejarah kontemporer Gereja Katolik. Konsili ini

membawa perubahan besar atas diri Gereja dalam memandang dirinya sendiri dan

1

Page 2: Sejarah Doktrin Gereja

dunia semesta. Inovasi-inovasi pemikiran akademis dan refleksi iman dalam konsili

ini dilontarkan dengan cemerlang tanpa berusaha meninggalkan tradisi dan ajaran

iman yang telah lampau.1 Konsili Vatikan II tampak hendak meneguhkan kembali

doktrin iman yang telah dipegang kukuh selama berabad-abad seraya pada saat yang

sama juga membadankan cita-cita dan arah yang baru.

Sampai hari ini, hasil-hasil Konsili Vatikan II masih terus menentukan arah dan

pijakan Gereja Katolik. Sebagai ‘peristiwa’, tentu saja hasil Konsili Vatikan II ini

lebih dari sekumpulan dokumen ajaran yang lalu dikodifikasi dan menjadi bahan ajar.

Maka dari itu, paper ini akan berusaha menjawab pertanyaan utama: “Apa sumbangan

Konsili Vatikan II bagi perkembangan doktrin Gereja dan bagaimana sumbangan itu

dihasilkan?” Untuk itu, kami akan melihat Konsili Vatikan II dalam beberapa bagian

pokok, antara lain: latar belakang, isi dan relevansi serta kemungkinan refleksi lebih

lanjut dari hasil Konsili Vatikan II.

1. LATAR BELAKANG KONSILI VATIKAN II

KATA KUNCI: KELANJUTAN KONSILI VATIKAN I, KETOKOHAN YOHANES XXIII, AKIBAT KEKAKCAUAN REVOLUSI SOSIAL, PEMBARUAN AKAR RUMPUT (LITURGI DAN TEOLOGI), TANTANGAN PERKEMBANGAN IPTEK, AGGIORNAMENTO.

Konsili Vatikan II pada zamannya adalah sebuah gerakan besar yang menjadi

semacam anti-tesis dari situasi internal Gereja yang makin tersingkir dari ‘dunia’

karena kekakuannya dan sikap kerasnya menanggapi tantangan zaman modern.

Perkembangan dunia yang ‘terlalu cepat’ disikapi dengan sangat hati-hati. Pelajaran

bahwa modernitas akan menghasilkan liberalisme sebagaimana terjadi dalam masa

reformasi dan revolusi Perancis membuat Gereja sangat berhati-hati menentukan

sikap dan mencurigai semua gerakan pembaruan. Gereja telah membayar terlalu

mahal dengan hilangnya banyak previlese atas negara dan dengan jatuhnya darah

korban pada masa revolusioner dan perlawanan rakyat di zaman pencerahan yang

baru saja berlalu.

Dalam kekhawatiran yang mencekam inilah, Gereja mengambil posisi

‘berseberangan’ dengan dunia yang sangat tidak pasti. Sebagai lawan pencarian

1 Bdk. James C. Livingston (et al.), “Vatican II and the Aggiornamento of Roman Catholic Theology” dalam Modern Christian Thought: The Twentieth Century, Minneapolis, Fortress Press 2006, 237.

2

Page 3: Sejarah Doktrin Gereja

kebenaran yang terus berkembang bersama ilmu pengetahuan dan teknologi, Gereja

menyuarakan ‘semper idem’ bagi kebenaran iman Kitab Suci yang literer dan

uniformitas ajaran dalam segala bidang. Sebagai lawan kondisi masyarakat yang

begitu dinamis jatuh bangun setelah aneka revolusi dan dua perang dunia, Gereja

memegang teguh gambaran ‘kota surgawi’ yang rapi tersusun dan terpimpin secara

mutlak dalam menghayati dirinya sebagai institusi. Gereja tidak mau mengulangi lagi

kesalahan dalam menghadapi banyak tantangan dunia yang berkembang terlalu cepat

itu. Dan ini sebabnya, Gereja sebelum masa Konsili Vatikan II dikenal sangat reaktif

dalam menghadapi dinamika zaman. Dengan mengambil putusan tegas dan jelas dari

sistem komando papisme, Gereja seolah hendak menunjukkan suara profetisnya

sebagai suara yang melawan dunia dan mati-matian menentang kutub kebenaran yang

lain.

Ternyata sikap ini tidak dapat bertahan selamanya. Doktrin haruslah menjadi bagian

hidup jemaat dan menyentuh pergulatan orang banyak yang sedang berarak di zaman

baru. Pembaruan di akar rumput meluas di mana-mana. Suara tuntutan bagi sebuah

pembaruan mulai nyaring terdengar, walau banyak yang meramalkan bahwa pimpinan

Gereja masih akan tetap kaku menimbang dunia masih dalam kondisi yang tidak baik

karena efek perang dingin. Suara tuntutan akar rumput ini akhirnya ditanggapi dengan

undangan Konsili yang mengejutkan dari Paus Yohanes XXIII. Orang-orang pada

zaman itu masih belum dapat membayangkan seberapa besar pengaruh Konsili ini

bagi Gereja Semesta dan dunia di tahun-tahun berikutnya. Tetapi kita, generasi yang

mengalami buah-buah Konsili ini, dapat melihat bahwa Konsili Vatikan II adalah

sebuah Konsili Gereja yang khusus berbicara tentang dirinya sendiri; sebuah Konsili

Gereja dari dan bagi Gereja. Pandangan baru akan dirinya membuat Gereja kita

memandang secara baru pula dunia dengan seluruh dinamikanya.

Konteks besar Konsili Vatikan II adalah seluas kisah perjalanan iman Kristen itu

sendiri. Kami berusaha menempatkan pertama-tama Konsili Vatikan II secara ringkas

dalam dua periode millenium ziarah Kristianitas. Ringkasan sejarah penting dua

millenium itu diharapkan akan memberi gambaran yang lebih utuh tentang perjalanan

Gereja Katolik hingga sampai pada Konsili Vatikan II. Konteks dekat Konsili Vatikan

II akan dibahas dalam empat bagian: kelanjutan Konsili Vatikan I, ketokohan Paus

Yohanes XXIII, situasi sosial politik dan gerakan pembaruan yang makin marak di

dalam Gereja.

3

Page 4: Sejarah Doktrin Gereja

1.1 Konsili Vatikan II dan Dua Millenia Ziarah Kristianitas

Kami mencoba membagi masa perkembangan Kristiani dalam dua millenia: milenia

pertama (Zaman Gereja Perdana hingga era sekitar Konsili Konstantinopel IV (869-

970)), dan Milenium kedua (Abad Pertengahan – Saat ini).

a. Milenium Pertama

Gereja Purba

Kurun waktu yang mencakup periode Gereja Purba disebut juga

dengan istilah ‘periode fomatif’. Maksudnya, inilah kurun waktu di

mana nasa dasar seluruh Gereja ditata, bahkan sampai dengan saat ini

hidup Gereja berada di bawah pengaruh keputusan-keputusan yang

telah diambil pada kurun waktu gereja purba.2 Komunitas awal, begitu

mereka disebut, adalah komunitas Kristiani yang dihasilkan dan

digambarkan dalam kitab-kitab PB, yang disebut ‘Gereja Rasuli’.

Gereja Rasuli atau Gereja Apostolik adalah Gereja para rasul atau

generasi pertama Kristiani. Itu mencakup kurun waktu antara 30-100

tahun, antara peristiwa Pentekosta dan penulisan terakhir dari Alkitab3.

Periode Kekaisaran – Periode menjelang Skisma Timur-Barat

Kurun waktu ‘kekaisaran Kristen’ berlangsung sejak ditetapkannya

maklumat Milan (edik Milano) tahun 313, sampai jatuhnya kaisar

Roma (Barat) yang terakhir, yakni Romulus Agustus, tahun 476.4

Periode ini juga ditandai dengan kontroversi Kristologis yang

kemudian menjadi bahan perdebatan dan diskusi dalam 4 konsili Awal

(Nicea I, tahun 325 – Kalsedon, tahun 451). Gereja mengakhiri periode

ini dengan skisma antara Gereja konstantinopel dengan Roma, yang

sering disebut ‘Skisma Timur-Barat’. Meski sempat berdamai, skisma

ini sungguh-sungguh terjadi pada awal milenium II (tahun 1045).

b. Milenium Kedua

Abad pertengahan

Periode ini diawali dengan skisma Timur - Barat (1045). Pada masa ini

terjadi Perang salib yang dimulai pada tahun 1095 dan berlangsung

2 Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif-sebuah Pengantar, Jogjakarta, Kanisius, 2003, 19.3 Thomas michel, SJ, Pokok-Pokok Iman Kristiani, Jogjakarta, Universitas Sanata Dharma, 2001, 85.4 Eddy Kristiyanto, 20.

4

Page 5: Sejarah Doktrin Gereja

selama beberapa abad. Munculnya tarekat-tarekat religius baru juga

turut memberi warna era ini, seperti fransiskan dan Dominikan.

Tarekat-tarekat ini cukup memberikan semangat misioner. Namun,

periode akhir abad pertengahan meliputi juga saat-saat kemerosotan

kekuasaan paus, yang berpuncak pada pemindahan Tahta Kepausan ke

Avignon (1309-1377). Ada dua bahkan tiga Paus yang mengklaim

sebagai pewaris sah Tahta Petrus (1378-1418).5

‘Reconquista’ dan Reformasi Protestantisme

Dari saat jatuhnya Konstantinopel, tahun 1453, hingga akhir abad XVI

terjadi dua peristiwa yang menentukan perkembangan sejarah Gereja,

yaitu ‘reconquista’ atau penaklukan yang dilakukan oleh Spanyol dan

Portugal atas sejumlah wilayah di luar benua eropah dan reformasi

protestantisme (1517). Gerakan Luther ini diikuti oleh gerakan yang

serupa di Swiss, yang dipelopori Ulrich Zwingli, dan kemudian Jean

Calvin, yang kemudian melahirkan Gereja-Gereja Reformed dan

Presbyterian.6

Abad XVII – Konsili Vatikan II

Pada periode ini muncul banyak perang yagn meliobatkan Katholik

dan Protestan, yang dibakar oleh fanatisme sempit pelbagai ortodoksi-

Katholik Roma, Lutheran,dan Reformed, yang kemudian juga menjadi

asal-usul lahirnya daerah-daerah koloni, seperti koloni Inggris di

Amerika.

Pada abad XIX, yang disebut juga abad modernitas, mulai muncul

sejumlah pergolakan politik yang membuka jalan bagi cita-cita

demokrasi dan usaha mewujudkan kemerdekaan Amerika serikat,

Revolusi Prancis, dan kemudian kemerdekaan bangsa-bangsa amerika

latin. Gerakan-gerakan ini, seperti demokratis, liberalisme, berdirtinya

sekolah umum, dikecam dan dianggap bidaah oleh Paus Pius IX.

Selanjutnya, salah satu unsur penting di era ini adalah ekspansi

misioner Gereja, khususnya ekspansi misioner Protestan ke Asia,

5 Eddy Kristiyanto, 24.6 Eddy Kristiyanto, 25.

5

Page 6: Sejarah Doktrin Gereja

Afrika dan Amerika Latin. Abad ini ‘berakhir’ dengan meletusnya

Perang Dunia I, 1914. Abad-abad ini kemudian bisa dikatakan sebagai

periode besar yang melatari lahirnya Konsili Vatikan II, baik langsung

maupun tidak langsung.

1.2 Konteks Dekat Konsili Vatikan II

Adapun beberapa konteks dekat ini, antara lain:

a. Konsili Vatikan I yang terkesan ‘belum selesai’

Konsili Vatikan I yang dipersiapkan sejak tahun 1864 dilatarbelakangi oleh

banyak peristiwa, antara lain revolusi Perancis tahun 1789 yang

mengakibatkan perombakan besar bagi Gereja, maupun revolusi industri yang

yang berawal pada akhir abad 18, menimbulkan perubahan-perubahan besar

pada suasana politik, sosial dan ekonomi di dunia Barat. Pencerahan pada abad

ke-18, memicu tombulnya banyak tantangan intelektual pada agama kristiani,

dan ini diperumit pada abad berikutnya oleh kemajuan-kemajuan dalam

bidang keipaan, yang menimbulkan masalah-masalah yang lebih lanjut, seperti

misalnya penyelidikan Darwin.7 Situasi ini menepatkan Gereja (lembaga

hirarkis) dan orang beriman kristiani dalam situasi yang serba baru: gereja dan

orang kristiani mau tidak mau harus mencari orientasi dalam perkembangan

sejarah dan menentukan arah. Iman kristiani mesti memperkenalkan diri dalam

‘dunia’ yang makin melepaskan diri dari pengaruh Gereja. Untuk menemukan

jati diri dalam dunia sekular, Gereja perlu membenahi diri. Usaha pembenahan

diri berlangsung selama abad ke-19 dan mendapat ungkapan paling tegas

dalam Konsili Vatikan I.8

Pada umumnya orang melihat Konsili Vatikan I hampir melulu dari segi

kemenangan bagi orang-orang konservatif, tetapi sikap ini adalah sikap yang

terlalu menyederhanakan. Paus Pius IX yang mengadakan Konsili Vatikan I

menginginkan agar konsili itu berbicara dengan jelas mengenai kekuasaan

Gereja, teristimewa peran kepausan dan infallibilitasnya. Sri Paus yang dipilih

pada tahun 1847 itu pada awalnya dikenal orang sebagai orang liberal, tetapi

7 Norman P. Tanner, Sebuah Sejarah Singkat Konsili-Konsili Gereja, Kanisius, Yogyakarta 2002, 87. 8 Bernhard Kieser, Kisah Iman Menelusuri Sejarah Ajaran Iman dalam Yesus Kristus, pro-manuscripto, Yogyakarta 2005, 118.

6

Page 7: Sejarah Doktrin Gereja

setelah beliau kehilangan negara kepausan ketika menghadapi angkatan

penyatuan kembali Italia, ia secara tegas mengambil langkah ke arah

konservatif.9

Dalam Konsili Vatikan I dibicarakan banyak hal namun yang disahkan dan

diumumkan hanya dua dekrit: konstitusi dogmatik Dei Filius mengenai iman

Katolik (24 April 1870) dan konstitusi dogmatik Pastor Aeternus mengenai

Gereja Kristus (18 Juli 1870). Mengingat mentalitas Katolik-Roma yang

berkembang dalam Gereja sejak revolusi Perancis maka primat Paus dan

infallibilitasnya sangat ditekankan sebagai jaminan kedaulatan Gereja. Karena

sangat didominasi oleh primat Paus dan infallibilitasnya, maka Konsili

Vatikan I merupakan konsili kontraversial di dalam Gereja Katolik dan dalam

hubungannya dengan lain-lain Gereja serta dunia luas. Konsili itu menyatakan

hal-hal yang tidak dapat diterima oleh banyak orang dan peristiwa ini

tampaknya memperlihatkan Gereja Katolik ada pada puncak keagresifan dan

keautoritariannya.10

Di samping itu, banyak hal yang dibicarakan dalam Konsili Vatikan I namun

tidak tercapai kesepakatan. Salah satunya adalah pembicaraan mengenai iman

dan rasio; bagaimana orang menghayati iman dalam dunia modern? Walaupun

perdebatan itu telah ditanggapi oleh Paus Pius X melalui Dekrit Lamentabili

dan Ensiklik Pascendi, namun persolah tidak selesai. Persoalan ini baru akan

terselesaikan dalam Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Dogmatik Dei

Verbum: wahyu sebagai peristiwa sejarah dan iman sebagai pengalaman

manusia.

b. Ketokohan Paus Yohanes XXIII

Selanjutnya setelah Paus Pius XII meninggal, Kardinal Roncalli terpilih

sebagai penggantinya pada tanggal 28 Oktober 1958, dengan nama Paus

Yohanes XXIII. Yohanes XXIII adalah orang sederhana dari seorang petani

miskin, namun ia-lah yang mengeluarkan signal pertama bagi konsili. Ia

memaklumkan bahwa akan ‘dirayakan’ suatu sinode untuk keuskupan Roma

9 Norman P. Tanner, Sebuah Sejarah Singkat Konsili-Konsili Gereja, 88.10 Norman P. Tanner, Sebuah Sejarah Singkat Konsili-Konsili Gereja, 96.

7

Page 8: Sejarah Doktrin Gereja

dan suatu konsili ekumenik untuk seluruh Gereja. Ia memicu apa yang terbukti

menjadi episode yang paling berkesan dalam sejarah Gereja Katolik-Roma.

Dialah yang memulai pembaruan Gereja dari satu lembaga yang statis dan

otoriter, yang berbicara secara monolog, menjadi Gereja yang dinamis dan

bersaudara, yang menggalakkan dialog. Ia menekankan pentingnya dialog baik

dengan dunia maupun di dalam Gereja sendiri.

Sesungguhnya Paus Yohanes XXIII mengundang Konsili Vatikan II bukan

untuk membuat banyak pernyataan melainkan supaya konsili menjadi

peristiwa pembaharuan dalam Gereja-bagi Gereja11. Konsili yang diumumkan

Paus Yohanes XXIII memiliki dua sasaran yang saling berkaitan erat, yakni

pembaruan internal Gereja Katolik serta tujuan akhir persatuan Gereja12. Ia

merindukan sebuah pembaruan rohani dalam terang Injil, penyesuaian dengan

masa sekarang (aggiornamento) untuk menanggapi tantangan-tantangan

zaman modern dan – sekali lagi – pemulihan persekutuan penuh antara

segenap umat Kristen.

c. Situasi Sosial-Politik

Satu hal yang mungkin patut dicatat adalah diterbitkannya ajaran Sosial Gereja

yang pertama, yaitu Ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII pada tahun

1891. Ensiklik ini tentu saja dilatari oleh ketidakadilan yang dialami oleh

kaum buruh sebagai korban kapitalisme. Situasi yang menjadi efek Revolusi

Industri di Inggris (1716) ini memang mengubah banyak hal baik di bidang

sosial-ekonomi maupun politik waktu itu. Situasi ini bisa dikatakan ‘luput’

dari perhatian Konsili Vatikan I yang dibuka kurang lebih satu setengah abd

setelah revolusi Industri ini (tahun revolusi Industri secara umum dihitung

sejak penemuan mesin uap oleh James Watt).

Selain itu muncul kenyataan makin meningkatnya kesadaran untuk

menghargai hak-hak asasi manusia. Pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia

ini mencapai puncaknya (meski pelanggaran HAM masih banyak terjadi

hingga kini) pada tahun 1948 (10 Desember) ketika diumumkannya Deklarasi

11 Bernhard Kieser, Kisah Iman Menelusuri Sejarah Ajaran Iman dalam Yesus Kristus, 162.12Georg Kirchberger-John M. Prior (ed), Konsili Yohanes XXIII Berpancawindu 1962-2002, Ende, Ledalero, 2003, 35.

8

Page 9: Sejarah Doktrin Gereja

universal Tenang Hak-Hak Asasi manusia (Declaration of Human Rights) oleh

PBB. Deklarasi ini tentu saja berkaitan juga dengan perang dunia kedua yang

baru saja berakhir (1942-1945) yang meninggalkan luka dalam bagi banyak

negara di dunia yang menjadi korbannya.

d. Gerakan-gerakan Pembaruan dalam Gereja

Gerakan Nouvelle Theologie

Nouvelle Theologie (Prancis: teologi baru) adalah nama yang sering

digunakan untuk merujuk pada suatu aliran pemikiran dalam teologi

katholik yang muncul pada pertengahan abad ke-20, terutama di

kalangan teolog Prancis dan Jerman. Tujuan para teolog ini adalah

reformasi mendasar tentang bagaimana pendekatan teologi Gereja

Katholik.13 Teologi ini sebenarnya adalah sebuah gerakan kembali ke

sumber (ressourgement). Sebutan ini sesuai dengan orientasi gerakan

ini yaitu: mengembalikan teologi katholik kepada keasliannya. Hal ini,

tentu saja, setelah mereka melihat bahwa ada begitu banyak (gerakan)

teologi yang menyimpang dari tradisi lama teologis Gereja katholik.

Untuk mencapai hal ini (kembali ke sumber) mereka menganjurkan

untuk kembali ke sumber iman Kristiani yaitu Kitab Suci. Gerakan ini

juga mengisyaratkan kembali ke patristik, teologi mistis dan

keterbukaan terhadap modernitas.14 Maka, gerakan ini

mengembangkan minat baru dalam penafsiran Alkitab, topologi, seni,

sastra dan mistik, serta keterbukaan untuk berdialog dengan dunia

kontemporer tentang isu-isu teologi.

Tokoh-tokoh dari Nouvelle Theologie ini antara lain: Henri de Lubac,

Pierre Teilhard de Chardin, Hans Urs von Balthasar, Yves Congar,

Karl Rahner, Hans Küng, Edward Schillebeeckx, Dominique Chenu,

Jean Danielou, Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI), dll.

Para teolog gerakan ini atau aliran pemikiran ini mempunyai pengaruh

yang besar pada perubahan-perubahan yang dibawa Gereja Katholik

melalui konsili Vatikan II (1962-1965). Namun, setelah konsili tokoh-

tokoh gerakan ini terbagi menjadi dua kubu, karena perbedaan

13 http://en.wikipedia.org/wiki/Nouvelle-Th, diunduh pada tanggal 21 April 2010.14 http://www.amazon-com/Reading-Nouvelle-Th, diunduh pada tanggal 21 April 2010.

9

Page 10: Sejarah Doktrin Gereja

interpretasi dan implementasi atas konsili. Rahner, Congar,

Schillebeegkx, Küng, Chenu, mendirikan jurnal teologis yang lebih

progresif, Concilium pada tahun 1965, dan de Lubac, Balthasar,

Ratzinger, dll. mendirikan jurnal teologis Communio pada tahun

1972.

Pembaharuan Liturgi15

Paus Pius X mengetahui benar suasana Gereja dan suasana umat pada

zamannya. Maka dengan motu proprio “Tra le sollecitudini” tentang

musik Gereja pada tanggal 22 November 1903, ia mendesak perlunya

‘suatu peran serta aktif (participatio actuosa) dari umat beriman dalam

misteri-misteri dan doa resmi liturgi Gereja’. Istilah participatio

actuosa ditanggapi dengan amat baik oleh Lambert Beauduin (1873-

1960). Beauduin memakai kata participatio actuosa sebagai program

utama dari gerakan pembaharuan yang ia motori. Tujuan karya

pastoralnya adalah menyadarkan umat bahwa liturgi bukan hanya

urusan klerus saja, melainkan juga urusan seluruh umat dan warga

Gereja. Beauduin memperoleh kesempatan untuk memperkenalkan

konsep pembaharuan liturginya di Keuskupan Agung Mechelen, Belgia

pada tahun 1909. Sidang itu menyetujui suatu usaha penerjemahan teks

misa dan ibadat sore ke dalam bahasa pribumi. Peristiwa sidang di

Mechelen ini dipandang sebagai hari lahir gerakan pembaruan liturgi.

Seiring dengan gerakan pembaruan liturgi, di Eropa juga muncul aneka

gerakan lain seperti gerakan kembali ke sumber. Gerakan kembali ke

sumber merupakan gerakan dalam hidup Gereja yang ingin mencari

sumber hidupnya langsung dari sumber asli Gereja yakni Kitab Suci

dan tulisan Bapa-Bapa Gereja. Maka, studi terhadap naskah-naskah

kuno kembali digalakkan termasuk di dalamnya usaha menemukan

kembali warisan liturgi yang telah lama dilupakan.

Sasaran utama gerakan pembaruan liturgi abad XX adalah agar umat

memahami liturgi yang mereka rayakan dan agar umat dapat

15 E. Martasudjita,Pr, Pengantar Liturgi Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Yogyakarta, Kanisius, 1999, 71-73.

10

Page 11: Sejarah Doktrin Gereja

mengambil bagian dalam liturgi secara aktif. Wujud konkrit gerakan

pembaruan liturgi adalah studi terhadap sejarah dan makna liturgi dari

berbagai usaha penerjemahan dan penyusunan teks liturgi. Contoh

hasil gerakan ini ialah dibuatnya misa dialogata, dimana umat ikut

menjawab secara lebih aktif dalam Perayaan Ekaristi.

Akibat pembaruan liturgi ini maka ada kelompok yang menentang

termasuk pihak Roma. Maka Paus Pius XII mengeluarkan Ensiklik

Mediator Dei pada tahun 1947 yang merupakan tanggapan resmi

pertama dari Roma mengenai gerakan pembaruan liturgi ini. Pada

prinsipnya Mediator Dei mengakui dan menyetujui usaha gerakan

pembaruan liturgi itu. Mediator Dei menyebut pembaruan liturgi

sebagai suatu penyelenggaraan Ilahi bagi zaman ini. Namun, Pius XII

juga memperingatkan akan segala usaha pembaruan yang berlebihan.

Aksi katolik

Joseph Cardijn (seorang Kardina di Belgia) adalah salah satu tokoh

penting kalau berbicara mengenai Aksi Katolik di seluruh dunia.

Perhatian J. Cardijn pada masalah-masalah social sendiri sebenarnya

juga diinspirasi oleh sebuah organisasi di Prancis bernama Le Sillon.

Organisasi ini adalah sebuah gerakan yang menekankan peran kaum

muda awam Katolik dalam mewujudkan pembaharuan sosial dan

demokrasi.

Aksi ini muncul pertama kali di Belgia pada tahun 1917 , pada

lingkungan pekerja muda Katolik. Saat itu kondisi pekerja muda di

Belgia memang cukup memprihatinkan. Banyak terjadi pelecehan

seksual terhadap pekerja perempuan remaja, upah yang kurang layak,

perlakuan kasar dari pekerja lebih tua, serta pekerjaan yang terlampau

berat bagi anak-anak /remaja, dsb. Akibatnya meluas pada

kemerosotan moral dan rohani. Kaum muda banyak yang terseret arus

sekularisasi (dan industrialisasi) yang cendrung menjauhkan mereka

dari Gereja.

11

Page 12: Sejarah Doktrin Gereja

Pada situasi inilah Cardijn muncul membangkitkan kembali kaum

muda Belgia untuk membentuk Aksi Katolik, yang awalnya berbentuk

Credit Union, dan kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya

seperti Prancis, Italia, dll. Aksi Katolik ini sejak awal menekankan

pada kaum muda untuk mandiri; bisa memimpin dan bertanggung

jawab untuk dirinya sendiri. Tujuannya lalu berkembang tetapi tetap

ada kesamaan di berbagai negara yaitu, melawan gerakan sekularisme.

Dinamikanyapun sama, bergerak dari keprihatinan sosial menuju

keprihatinan moral dan spiritual.

Gerakan Kritik Sejarah

Gerakan Kritik Sejarah adalah adalah cabang analisis sastra yang

meneliti asal-usul teks kritik historis adalah seni membedakan yang

fakta-fakta benar dari yang palsu tentang masa lalu. Hal ini bertujuan

untuk menemukan objektifitas baik dokumen yang telah diturunkan

kepada kita dan fakta-fakta itu sendiri. Kita dapat membedakan tiga

jenis sumber-sumber sejarah: dokumen tertulis, bukti tertulis dan

tradisi. Sebagai sarana untuk mencapai tujuan objektifitas pengetahuan

tentang fakta-fakta ada tiga proses penelitian tidak langsung, yaitu:

argumen negatif, dugaan, dan argumen apriori.

Metode ini diterapkan juga dalam studi-studi Alkitab dengan

menyelidiki atau membedah satu teks alkitab lalu membandingkannya

dengan teks-teks lain yang ditulis pada saat yang sama, sebelum, atau

bersamaan dengan teks tersebut. 16

2. KONSILI VATIKAN II: TERANG BAGI GEREJA DAN DUNIA MODERN

KATA KUNCI: GEREJA SEBAGAI COMMUNIO DAN UMAT ALLAH, WIBAWA KOLEGIALITAS, LITURGI PARTISIPATIF, GEREJA DALAM DUNIA, ANTROPOSENTRISME TEOLOGI, PERUTUSAN DI TENGAH DUNIA, IMAN YANG RELASIONAL, PERAN AWAM: PEMERSATU.

Hasil-hasil Konsili ini tertuang dalam 16 dokumen: 4 Konstitusi Dogmatis (tentang

Liturgi, tentang Gereja, tentang Wahyu Ilahi, dan tentang Gereja dalam Dunia

Modern), sembilan Dekrit (tentang Ekumenisme, Tugas Pastoral para Uskup dalam

Gereja, Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, Pembinaan Imam, Kerasulan

16 http://www.rtforum.org/lt/lt78.html, diunduh pada tanggal 21 April 2010.

12

Page 13: Sejarah Doktrin Gereja

Awam, Kegiatan Misioner Gereja dan tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam),

dan tiga Pernyataan (tentang Pendidikan Kristen, Hubungan Gereja dengan Agama-

agama Bukan Kristen, dan tentang Kebebasan Beragama). Judul-judul itu

menampakkan luasnya jangkauan Konsili ini. Kami berusaha memaparkan secara

tematis apa yang menjadi magisterium Konsili Vatikan II dan setelahnya kita akan

melihat apa yang menjadi ciri utama ajaran Konsili Vatikan II ini serta relevansinya

untuk menjawab ‘bagaimana’ Konsili ini memberi sumbangannya bagi perkembangan

doktrin Kristiani.

2.1 Gereja yang Memandang Dirinya Sendiri

Perubahan pokok dalam paham Gereja baik pada konsili maupun dalam

perkembangan sesudahnya adalah pergeseran titik berat dari atas ke bawah. Gereja

tidak lagi bersifat piramidal, melainkan dibangun dari bawah, dari dalam umat-umat

yang kecil. Kolegialitas yang mengikutsertakan secara aktif semua uskup dalam

pimpinan Gereja, mempunyai pengaruh pada seluruh kehidupan Gereja. Dengan

prinsip kolegialitas, ditinggalkan sentralisme Gereja. Sumber inspirasi tidak lagi

terletak dalam pusat tertinggi, melainkan dalam umat-umat setempat. Kolegialitas

berakar dalam communio.17 Menurut Rahner, Gereja sebagai peristiwa haruslah

bersifat lokal dan merupakan jemaat lokal. Gereja adalah 'himpunan manusia yang

beriman kepada Allah dalam Yesus Kristus'. Sebagai himpunan, Gereja itu inderawi

dan senantiasa perlu diaktualisasikan terus menerus oleh umat yang bersangkutan

dalam lingkungan yang kongkrit. Hanya dengan demikian Gereja menjadi aktualisasi

iman bersama, bahwa Sabda Allah benar-benar masih selalu hadir di dunia: Menurut

Rahner, Gereja menjadi penampakan historis Kehendak penyelamatan Allah yang

telah 'terjadi dalam Kristus'. Atau dengan kata-kata Lumen Gentium: “Gereja menjadi

sakramen persatuan antara Allah dengan manusia dan antara manusia satu dengan

yang lain” (LG 1). Persatuan ini hanya real dalam ruang dan waktu yang kongkrit dan

terbatas, khususnya dalam Ekaristi. Maka, Gereja sebagai peziarah, konkret hadir

dalam Gereja lokal dan dalam kesatuannya sebagai Tubuh Kristus.

Terjadi perubahan dalam ekklesiologi. Perubahan dalam hidup Gereja berarti

perubahan dalam pandangan terhadap Gereja. Ekklesiologi Konsili berbeda dengan

ekklesiologi Pius XII. Perubahan pokok dalam pandangan terhadap Gereja ini terjadi

17 Tom Jacobs, Di mana letak perubahan dalam Gereja?, Seri Pastoral No. 11, Yogyakarta, Pusat Pastoral, 1979, hlm. 14.

13

Page 14: Sejarah Doktrin Gereja

pada Konsili, dengan penggeseran dari ekklesiologi yang bercorak “Tubuh Mistik

Kristus”18 ke arah Gereja sebagai “Umat Allah”. Perubahan ini berarti perubahan dari

ekklesiologi yang statis-essentialistis ke arah ekklesiologi yang dinamis-historis. Yang

baru bukan paham Umat Allah, yang sudah terdapat dalam Kitab Suci, melainkan

ekklesiologi yang berpola pada Gereja sebagai Umat Allah.

Mengapa Konsili menyodorkan kembali paham Umat Allah? Gagasan baru yang

diberikan Konsili ingin memperlihatkan sifat historis Gereja, yang hidup “inter

tempora”; menempatkan hirarki dalam keseluruhan Gereja sebagai suatu fungsi,

sehingga sifat pengabdian hirarki lebih kelihatan. Dengan demikian, lebih nampak

pluriformitas Gereja bukan hanya dalam pelayanannya tetapi juga dalam aneka ragam

Gereja setempat, tradisi dan kebudayaan. Maka juga dihindari soal tentang

keanggotaan Gereja dan semua orang mendapat tempatnya dalam rencana

keselamatan Allah. Gereja dilihat dalam sejarah keselamatannya senantiasa

berkembang di bawah naungan Roh Kudus. Gereja sebagai misteri dalam

perkembangannya dimulai “dari bawah”, dari kalangan umat sendiri. Hirarki jelas

hanya mempunyai fungsi pelayanan. Namun tetap dipertahankan aspek sosial dan

manusiawi Gereja, tapi tidak lagi ditekankan segi organisatorisnya, malah sebaliknya:

lebih diutamakan aspek kharismatisnya. Gereja adalah “komunikasi iman”, di mana

orang saling membantu dan saling menyokong dalam kehidupan iman.

Apa yang baru dalam paham Umat Allah pada Konsili? Dalam ekklesiologi baru ini

tekanan ada pada umat. Perubahan bukan soal kuasa atau pemerintahan di dalam

Gereja. Yang pokok ialah bahwa keselamatan dilihat menurut aspek historisnya, dan

bukan hanya secara individualistis saja. Subyek keselamatan itu adalah Gereja

seluruhnya, yang menghayati dan melaksanakan imannya sebagai komunikasi. Maka,

aspek sosio historis iman dan keselamatan tidak ditambahkan, melainkan masuk

dalam hakikat Gereja itu sendiri. Gereja sebagai communio adalah subyek iman.

Pribadi-pribadi “di dalam Gereja” itu berarti mengambil bagian dalam iman bersama.

Namun tidak secara kolektif dan anonim. Partisipasi ini adalah keterlibatan secara

pribadi. Ekklesiologi baru mau meletakkan pusat iman bukan dalam ‘aku’ yang

individualistis, melainkan dalam ‘kita’ sebagai subyek panggilan Tuhan.

18 Tubuh Mistik Kritus dilihat dalam hubungannya dengan Kristus yang mendirikan dan tetap memimpin Gereja melalui hirarki dan dengan kehadiran Roh Kudus. Gereja dilihat sebagai realitas sosio-korporatif yang tersusun secara organis dan yang diidentifikasi dengan Gereja Roma-Katolik. Maka yang ditonjolkan lebih pada aspek yuridis Gereja, dan terutama fungsi hirarki.

14

Page 15: Sejarah Doktrin Gereja

Dengan kata lain, melalui Konsili Vatikan II, Gereja menyadari diri sebagai Umat

Allah (LG bab 2). Dan yang dimaksud dengan Gereja, itu bukan hanya awam atau

hanya hirarki, melainkan seluruhnya. Sedangkan Hirarki (yang dalam kurun waktu

sebelumnya kerap disamakan dengan Gereja) itu baru dibicarakan dalam LG Bab 3.

Artinya: Hirarki memang diperlukan sebagai pelayan Umat Allah. Sedangkan awam

juga dilihat dalam pengutusannya yang lebih luas bukannya menjadi 'pelengkap

penyerta' (atau malah sering 'pelengkap penderita') bagi hirarki melainkan sebagai

rekan Hirarki untuk mewujudkan segi sekuler Pengutusan Gereja. Bahkan juga

ditegaskan bahwa dalam beberapa segi hidup, hanya awamlah yang mampu

menjalankan pengutusan Gereja (LG a.33).

Selain itu Konsili Vatikan II juga ingin mengungkapkan dan menjelaskan ajaran

tentang para Uskup, pengganti para Rasul, yang dengan Pengganti Petrus, wakil

Kristus dan Kepala lahiriah seluruh Gereja bersama-sama memimpin seluruh Gereja

(LG a.18). Maksudnya, Konsili Vatikan II mau melengkapi keputusan Konsili

Vatikan I perihal Primat dan Ketidak-dapat-sesatan Paus. Dalam hal itu Vatikan II

menggarap kembali teologi Episkopal yang dalam perjalanan sejarah Gereja

(khususnya dalam abad pertengahan) agak tersisihkan. Ditegaskan lagi kedudukan

kolegialitas para Uskup, yang memang hanya mempunyai wewenang dalam kesatuan

dengan Uskup Roma sebagai kepalanya serta tanpa menodai kekuasaan primat Paus di

atas semua gembala dan umat beriman (LG a.22-23). Dengan prinsip kolegialitas ini

Uskup mengambil bagian dalam pemeliharaan rohani Gereja-Gereja partikuler yang

lain dan seluruh Gereja Semesta.19

2.2 Liturgi yang ‘Tidak Mengasingkan Umat’

Dalam Gereja sesudah Vatikan II, yang ditinggalkan bukan hanya teologi skolastik,

tapi ada pula kecenderungan untuk memutuskan segala hubungan dengan tradisi.

Inspirasi dari bawah lebih dipentingkan ketimbang ajaran yang diwariskan. Liturgi

dalam Gereja pun mendapat wajah yang “serba baru”. Sebab Paus Paulus VI tidak

hanya menghendaki supaya seruan konsili untuk membarui diri dilaksanakan

sepenuhnya, tetapi bahkan supaya pembaharuan itu lebih jauh lagi dari apa yang

diharapkan konsili.20

19 B.S. Mardiaatmadja, Diktat Ekklesiologi, Jakarta, STF Driyarkara, hlm. 104.20 B. S. Mardiaatmadja, Diktat Ekklesiologi, hlm. 103.

15

Page 16: Sejarah Doktrin Gereja

Sesudah pengantar teologis tentang peranan liturgi dan khususnya Ekaristi suci yang

bagi Gereja penting sekali, Konstitusi Sacrosanctum Concilium menggariskan

prinsip-prinsip pembaharuan hidup liturgis Gereja secara mendalam. Upacara-upacara

perlu diperbarui sedemikian rupa, sehingga lebih jelas melambangkan misteri

penyelamatan dan memungkinkan partisipasi aktif yang lebih penuh oleh semua

warga Gereja.

Hal baru yang ditekankan dalam Konsili Vatikan perihal liturgi ialah liturgi tidak lagi

dipandang sebagai ‘tindakan’ kaum klerus saja, melainkan semua umat Allah. Maka,

partisipasi dan sentuhan personal dalam liturgi pun mulai diperbarui. Salah satu

contoh, perubahan penggunaan bahasa. Sebelum konsili, bahasa liturgi yang

digunakan adalah Latin, yang hanya diketahui oleh kaum klerus.

Konsili juga menekankan kaitan atau hubungan antara liturgi dan Gereja. Dalam

Konsili dijelaskan bahwa liturgi merupakan perayaan Gereja semesta. Hal ini tentunya

berkaitan pula dengan konsep Gereja sebagai komunio, kesatuan Tubuh Kristus.

Konsili Vatikan II menekankan bahwa subyek dari liturgi ialah umat Allah itu sendiri.

Maka, perayaan ekaristi juga dilihat sebagai perayaan umat Allah.

Perayaan liturgi dalam bahasa nasional memungkinkan partisipasi dari seluruh umat.

Dan umat tidak hanya ikut serta, mereka harus menyumbangkan pikiran dan

penghayatan dalam membentuk perayaan litugi dan kehidupan Gereja seluruhnya.

Kaum beriman berpartisipasi dalam kehidupan dan persoalan Gereja dan dunia.

2.3 Gereja dalam Dunia

Dalam Konsili Vatikan II Gereja mulai membuka diri dengan dunia secara luas dan

berupaya tampil dengan wajah pembaharuan yang melibatkan diri pada

masalah-masalah dunia, soal-soal sosial, kemiskinan, perang dan damai. Hal ini

berangkat dari keinginan para Bapa Konsili untuk memandang Gereja dalam kaitan

dengan dunia saat ini. Bersamaan dengan itu ada keinginan memandang dunia

mutakhir dengan kaca mata iman. Dunia modern adalah kancah iman mutakhir.

Dengan bertolak pada Gaudium et Spes, Gereja menampilkan dirinya dengan cara

baru: mau melayani dunia. Teologi juga berusaha untuk semakin mengolah iman dan

semakin membumi terhadap kehidupan dunia yang nyata. Tentu saja hal itu terjadi

16

Page 17: Sejarah Doktrin Gereja

tidak tanpa ketegangan. Prosesnya tetap dibebani oleh ketegangan antara ekstrim

progresif atau konservatif. Bagi beberapa pihak, Gereja terlalu lambat melaksanakan

keputusan Konsili. Namun, bagi kelompok lain Gereja terlalu radikal dan kurang

memperhatikan ortodoksi.

Gaudium et Spes dilihat sebagai ringkasan karya konsili maupun penerapan

kehidupan di dalam Gereja dan di luar Gereja. Ini merupakan dekret pertama dalam

sejarah konsili-konsili ekumenis dan umum yang ditujukan langsung ke dunia yang

luas. Gaudium et Spes mempunyai judul resmi: ”Gereja di dalam dunia dewasa ini”

dan ingin memperlihatkan ”bagaimana Gereja memahami kehadiran dan usahanya di

dalam dunia dewasa ini” (GS 2). Secara khusus ”konsili ingin berbicara kepada semua

orang untuk menjelaskan misteri manusia dan untuk turut berusaha memecahkan

masalah-masalah utama zaman kita ini (GS 10). Justru di situlah letak pokok

konstitusi pastoral ini. Sebab ”Gereja…. Mempunyai tujuan keselamatan dan

eskatologik, yang hanya dapat tercapai sepenuhnya di dunia yang akan datang” (GS

40, 2).21 Poros seluruh uraian dari Gaudium et Spes ini adalah manusia, dalam

kesatuan dan dalam keseluruhannya, dalam tubuh dan jiwa, dengan suara hati, budi,

dan kehendak” (GS 3). Manusia dengan segala integritas yang dimiliki tersebut serupa

dengan Gambar dan Rupa Allah.22 Dan lebih tegas lagi diuraikan dalam GS 40, 1:

“Semua yang telah kami katakan tentang martabat pribadi manusia, tentang

masyarakat manusia, dan tentang arti mendalam kegiatan manusia, semua itu

merupakan dasar untuk hubungan antara Gereja dan dunia.23

Dunia dalam konteks ini adalah dunia manusia, di mana seluruh keluarga manusia

dengan alam semesta yang di tengahnya manusia hidup. Apa yang disebut ”hubungan

antara Gereja dan dunia” adalah pertama-tama hubungan antara dua pola dalam

kehidupan orang beriman sendiri, sesuai dengan paham Gereja yang sakramental.

Manusia disebut ”dunia” sejauh ia sebagai subjek otonom berhadapan dengan Allah.

Ia disebut ”Gereja” sejauh hubungannya dengan Allah terungkap dalam bentuk yang

khusus, yang lazim disebut ”agama” (sakramen). Yang dipanggil oleh Allah, dan yang

dirahmati dalam Kristus, bukan Gereja melainkan dunia. Gereja mengartikulasikan

iman dunia.24 Maka, apa yang disebut dialog antara Gereja dan dunia, sebenarnya

21 Dr. Tom Jacobs, SJ, Gereja menurut Vatikan II, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 3322 Anthony O. Erhuech, Vatican II: Image of God in men, Roma: Urbaniana University Press, 1986, hlm. 1-223 Ibid. hlm 3424 Ibid.

17

Page 18: Sejarah Doktrin Gereja

tidak lain daripada dialog antara manusia sendiri sebagai subjek otonom (GS 36) dan

sebagai anggota Gereja. Titik pangkalnya bukan Gereja melainkan dunia sebagai

perwujudan otonomi manusia.Berangkat dari pemahaman itu, Gereja tidak lagi

menempatkan diri di samping dunia (seperti terjadi dalam eklesiologi mengenai

”Gereja dan Negara”). Gereja dan dunia adalah satu, yaitu manusia menurut dua

aspek relasinya dengan Allah. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian yaitu:

Bagaimana di dalam Gereja, manusia dapat hidup sebagai subjek otonom yang

bertanggung jawab secara pribadi atas hidupnya sendiri, dan atas hidup sesama

manusia? Dan lebih khusus lagi: sejauh mana Gereja membantu orang menghayati

iman sebagai realitas hidup.

2.4 Dunia sebagai Kancah Iman

Iman merupakan jawab manusia konkrit terhadap sapaan nyata Tuhan di tengah

kancah sebagaimana adanya. Luk 24:48 dan Yoh 21:24 memperlihatkan betapa para

Rasul meyakini bahwa pengutusan utama mereka adalah "menjadi saksi" mengenai

"seluruh peristiwa Yesus Kristus". Kis 1:8 menjadi lukisan awal dari hal-hal yang

dianggap sebagai titik pangkal hidup Gereja: kesaksian merupakan intisarinya juga.

Kesaksian itu akan diwujudkan dalam aneka tindakan seperti ditampilkan oleh

(misalnya Kis 2: 41-47) persekutuan, pelayanan sosial, pengudusan dan pewartaan.

Kesaksian itu menjadi wujud dari jawab mereka atas pewartaan yang disampaikan

oleh Petrus pada Kis 2: 1-40, yang pada gilirannya menjadi wujud dari tanggapan

Petrus atas pesan Yesus Kristus sebagaimana misalnya terungkap dalam Mat 28:

18-20 untuk mewartakan Kabar Gembira, menguduskan umat Allah dan

menggembalakan mereka.

Tak terhitung jumlah awam dam rohaniwan, biarawan dan biarawati telah mencoba

untuk hidup sebagaimana dituntut oleh Kabar Gembira Yesus Kristus guna menjadi

saksiNya. Berkat mereka itu Yesus Kristus terasa hadir di segala lapisan masyarakat,

terutama di antara rakyat terpencil dan tersisih. Di situ mereka mewartakan kabar

Gembira, mendarahdagingkan cintakasih yang dituangkan oleh Roh demi peningkatan

komprehensif perwujudan harkat manusia: ringkasnya menjadi saksi bahwa Injil

Yesus Kristus memiliki kemampuan untuk meningkatkan dan mempermulia

kemanusiaan. Meskipun begitu dengan rendah hati harus kita akui pula, bahwa ada

sejumlah umat kristiani yang beragama secara egoistik, atau secara individualistik

atau secara schizophrenik, dengan kurang sekali memperhatikan pesan misioner

18

Page 19: Sejarah Doktrin Gereja

imannya bahkan tidak jarang dengan berbuat tidak adil.

2.5 Kriteria Iman

Menurut Kitab Wahyu 1:5 Kristus adalah pewarta perdana dari Kabar Gembira dan

saksi setia dari keinginan Bapa untuk menyelamatkan umat manusia. Ia mewartakan

Kabar Gembira dengan memberi kesaksian yang taat azas mengenai apa yang telah

Dia dapat dari Bapa. Ia melakukan apa yang diketahuiNya dilakukan Bapa (Yoh

5:19). Kata-kata, tindakan, wafat dan kebangkitanNya menjadi tindak kesaksian

bahwa Ia telah datang dari Bapa.

Umat kristiani yang sejati bersatu dengan Yesus Kristus. Mereka dipanggil untuk

memberikan kesaksian yang sama pada giliran mereka. Melalui aneka perbuatan

mereka memberi kesaksian mengenai cintakasih Bapa bagi umat manusia, mengenai

daya kekuatan ilahi yang memungkinkan Yesus menyelamatkan seluruh umat

manusia dari dosa maupun akibat-akibatnya, mengenai daya cinta yang dicurahkan

oleh Roh Kudus yang berdiam dalam umat manusia. Cintakasih ini mampu

menciptakan persatuan baru antara manusia dengan Tuhan dan antara manusia satu

sama lain (bdk. LG art.1).

Karya umat kristiani dibimbing oleh Roh Kudus. Bentuknya diungkapkan oleh

Yakobus berupa cintakasih, prsekutuan, partisipasi, solidaritas, penguasaan diri,

kegembiraan, harapan, keadilan yang dicapai melalui perdamaian (bdk. Yak 3:18).

Kecuali itu kesaksian itu juga kelihatan dalam kemurnian, pemberian diri tanpa

menantikan imbalan dan segala yang mendekatkan kita dengan sumber kekudusan.

Semuanya itu dalam tradisi disertai dengan perayaan sakramen-sakramen, doa dan

penghormatan yang sehat kepada Santa Perawan Maria.

Jadi, kesaksian sejati umat kristiani adalah pernyataan karya Allah yang sedang

dilaksanakan di tengah umat manusia. Kesaksian itu dilakukan oleh umat manusia

tidak berlandaskan pertama-tama pada kemampuan-kemampuan manusiawinya,

melainkan pada kepercayaannya pada Daya Ilahi dari Bapa, Putera dan Roh Kudus,

yang mengubah mereka serta pada pengutusan yang diberikan Allah kepada seluruh

umat.

Kesaksian adalah unsur penting dalam pewartaan Injil. Kesaksian juga merupakan

19

Page 20: Sejarah Doktrin Gereja

kondisi hakiki yang diperlukan agar pewartaan dapat berdayaguna dan berhasilguna

dalam situasi nyata (bdk. Evangelii Nuntiandi/EN 21, 49, 76). Oleh sebab itu dalam

hidup Gereja dan kegiatan pewartaannya, Gereja Indonesia harus menampilkan segi

kesaksian. Hanya apabila sungguh meresapi segala kegiatan gerejawi, maka kesaksian

iman menjadi efektif dalam konteks masyarakat setempat dan menjadi suatu tanda

yang membawa rakyat untuk ingin (lebih) mengetahui Kabar Gembira dan mengakui,

bahwa Allah sekarang inipun hadir di antara manusia untuk menyelamatkan.

Bila mengingat situasi hidup rakyat kita, maka buah hadirNya Roh yang menjadi inti

kesaksian kita memuat implikasi-implikasi tertentu bagi kita. Seluruh jemaah

(rohaniwan, awam, biarawan/biarawati) haruslah hidup dalam proses terus menerus

untuk kritis kepada diri sendiri, dalam terang Injil, baik pada taraf perorangan,

keluarga/komunitas, kelompok atau lingkungan atau wilayah atau paroki serta

keuskupan dan nasional. Dengan upaya itu sedikit demi sedikit kita semua dapat

memancarkan wajah Kristus.

Pilihan pertama sikap pastoral kita adalah: bahwa jemaah kristiani sendiri (baik imam

maupun awamnya, baik biarawan maupun biarawatinya) harus semakin bertobat

kepada Injil agar dapat mewartakan Injil kepada orang lain. Lebih dari itu, kita,

sebagai jemaah, perlulah memeriksa persekutuan kita dan keterlibatan kita kepada

rakyat jelata yang miskin dan hina-dina. Artinya kita harus membuka mata dan telinga

untuk menangkap keluh kesah mereka, menghargai mereka dan menawarkan upaya

menemukan kejelasan makna hidup, usaha membesarkan hati mereka serta jalan

memperbaiki situasi mereka. Kita harus mempersilahkan Tuhan untuk membimbing

kita sedemikian sehingga kita dapat betul-betul menciptakan persatuan lahir-batin

dengan mereka dalam satu tubuh dan satu Roh.

Hal itu menuntut dari kita suatu hidup dalam doa yang lebih bersungguh-sungguh;

suatu kesediaan untuk merenungkan sabda Kitab Suci dan suatu kesiagaan untuk

menanggalkan hak-hak istimewa, cara berpikir, ideologi, relasi-relasi khusus dan

milik-milik materiil kita (EN 76); suatu hidup yang lebih sederhana; suatu keterlibatan

yang nyata terhadap tugas besar memeratakan milik; kerjasama tulus dalam

masyarakat demi kepentingan umum; dan segala karya karitatif juga. Begitulah

seharusnya umat beriman menjadi saksi Kristus, menjalankan 'martyria'.

20

Page 21: Sejarah Doktrin Gereja

GS 1 memperlihatkan, bahwa Gereja menyadari bahwa dirinya ada di tengah

masyarakat. Tetapi selanjutnya GS memperdalam refleksinya bahwa masalah pokok

di situ bukan 'Gereja dan Masyarakat' melainkan Gereja dan Dunia. Dan Gereja di situ

berarti "Paguyuban Umat manusia ini sejauh beriman kepada Allah dalam Yesus

Kristus berkat Roh Kudus" (dan itu sejauh mengakui ketergantungannya kepada

Allah), sedangkan 'Dunia' dipahami sebagai "Paguyuban Umat manusia ini sejauh

otonom di hadapan Allah".

2.6 Peran Awam

Dalam Gereja ada ”kesamaan antara semua hal martabat dan kegiatan umum sekitar

pembangunan Tubuh Kristus” (LG art. 32). Di sini disinggung soal imam dan awam.

Memang peranan hirarki dalam membangun Tubuh Kristus dalam dunia adalah

penting, namun ada hal yang khas dari Konsili Vatikan II dan sangat ditekankan

peranannya, yaitu awam. Awam adalah bukan-imam dan bukan-biarawan; dengan

satu kekhususan ini bahwa ”ciri khas dan istimewa kaum awam adalah sifat

sekularnya”. Pernyataan konstitusi bahwa awam ”secara khusus dipanggil untuk

menghadirkan, mengaktifkan dan mempersatukan Gereja di tempat-tempat dan dalam

keadaan, di mana Gereja tidak bisa menjadi garam dunia selain melalui mereka” (LG

art.33), masih searah dengan pikiran Pius XII yang dikutip di sini: Awam sebagai

pelengkap dan penyambung kerasulan hierarki.25 Untuk tetap menghadirkan,

mengaktifkan dan mempersatukan Gereja dalam dunia, ada dua macam pemersatu

dalam Gereja yaitu Pemersatu Batiniah dan Pemersatu Lahiriah.

2.6.1 Pemersatu Batiniah26

Kita tahu, bahwa dalam setiap pengelompokan sosial selalu ada satu ide, satu

pemersatu batin, yang membuat anggota-anggotan dapat berkata "kami" atau "kita"

Gereja juga mempunyai pemersatu batiniah. Tetapi pemersatu batiniah Gereja tidak

sekedar ide atau cita-cita, melainkan seorang Pribadi yaitu Roh Kudus sendiri. Dialah

prinsip persatuan antara Bapa dan Putera; Dia pula yang menjadi pembentuk

'kami/kita', penghubung pribadi, yang sendiri juga pribadi. Dialah yang menjiwai

Yesus Kristus, dan memadukan keilahian dan keinsanianNya. Perpaduan itu pula

yang diwariskanNya kepada Gereja. Berkat Roh Kudus maka pribadi-pribadi banyak

25 Dr Tom Jakobs, hlm. 55-5626 Berdasarkan Diktat Eklesiologi Rm Mardiatmadja, SJ untuk STF Driyarkara, Jakarta: STF Driyarkara, 2006.

21

Page 22: Sejarah Doktrin Gereja

dalam Gereja mempunyai satu jiwa-pemersatu: menjadi 'kami/kita'. Dia berada dalam

setiap pribadi warga Gereja.

Di dalam pemikiran di atas ada pemahaman mengenai "Corporate Personality", yang

merupakan gagasan sentral baik dalam PL maupun dalam PB. Berlandaskan hal itu

lebih mudahlah kita dapat memahami ucapan "Paguyuban Umat Beriman sebagai

Tubuh Kristus" seperti dalam Kis 9:4 dst; jemaat itu satu dalam Kristus (Gal 3:28)

atau malah Jemaah-Kristus (1 Kor 1:13; 8:12; 12:12) dan Kristus beserta Gereja

menjadi satu Manusia Baru (Ef 2:15) serta malah Manusia Sempurna (Ef 4:13). Dan

pengikat semuanya itu adalah Roh.

Secara ringkas: Paguyuban Umat Beriman dapat disebut sebagai Kesatuan atas

satunya Jiwa (Roh Kudus) dalam aneka pribadi yang beriman pada Kristus. Roh

Kudus yang menghidup Sabda Yang Berinkarnasi, sekarang menghidupkan

paguyuban umatNya sebagai kesatuan dalam ruang dan waktu pula. Jadi kehadiran

terus menerus Yesus Kristus dalam sejarah, sebagaimana berkat Roh Kudus Kristus

merupakan Sakramen Bapa, demikian pula berkat Roh Gereja merupakan Sakramen

Kristus, Sang Terang Bangsa-bangsa.

2.6.2 Pemersatu Lahiriah 27

Dalam bahasa gerejani awam diistilahkan 'laicus' yang berasal dari bahasa Yunani

'laikos' (yang termasuk/dari rakyat). Dalam rangkaian pengertian teologik, awam

berarti mereka yang tidak termasuk kelompok orang yang mempunyai kekuasaan

dalam Gereja. Dalam Kitab Suci pemisahan ini kena dalam pembedaan antara

kawanan ternak dan gembala (Kis 20:28.31; 1 Ptr 5:3), antara bangunan dan

pembangun (1 Kor 3:5-9; 2 Kor 3:4 dst), yang dalam jaman para Bapa Gereja jelas

dipakai oleh Klemens Alexandria, Tertullianus, Origenes dan Cyprianus. Dengan

begitu tidak mau dikatakan, seakan-akan awam hanya menjadi obyek belaka atau

menjadi pendukung lingkungan yang berdosa. Sebab semua warga Gereja (juga

klerus) itu menerima kekuasaan, bukan pembuat atau pemiliknya. Apa lagi dalam

Kitab Suci juga jelas, bahwa semua saudara dalam Kristus dipanggil untuk mendapat

warisan sebutan Putera, membangun Rumah Allah yang kudus dan bangsa milik

Allah yang kudus (1 Ptr 2:5.9 dst; 1 Kor 3:16 dst; Ef 2:19-22; Ibr 10:21 dst).

27 Ibid.

22

Page 23: Sejarah Doktrin Gereja

Maka dari itu 'awam' diartikan positif: orang yang dibaptis, warga (bukan obyek)

Gereja, sehingga memiliki peran aktif dan tanggung jawab dalam Gereja serta

termasuk dalam Umat Suci Allah (1 Ptr 2:10), harus menjadi saksi dari rahmat Allah

yang dalam Kristus merupakan penebusan. Kesaksian itu terjadi dengan seluruh

hidupnya (juga dengan kata-katanya). Dengan begitu awam ikut ambil bagian dalam

penugasan Gereja untuk mengangkat keterarahan intrinsik manusia dalam segala

seginya (kebudayaan dan sejarah) dengan menantikan dan menyambut Kerajaan

Allah; untuk ikut merayakan persembahan Gereja sebagai bagian penuh Gereja; untuk

menjalankan tugas misionaris ke luar. Awam pun juga dapat menerima

kharisma-kharisma khusus yang sering dipergunakan oleh Allah untuk memimpin

GerejaNya, walaupun dalam hal itu awam tersebut membawahkan kharismanya

dengan penuh ketaatan kepada Gereja seluruhnya melalui pemimpin resmi Gereja.

Apabila awam membantuk klerus dalam tugasnya, disebut 'Actio Catholica'. Apabila

bantuan awam itu menjadi tugas 'fulltime' hendaknya dia dimasukkan saja dalam

kalangan klerus. Sebab tugas utama awam adalah terlibat dalam dunia, tempat dia

menyampaikan baktinya kepada Allah dan memberikan kesaksiannya atas Kerajaan

Allah. Awam juga harus hidup sedemikian sehingga pelaksanaan tatadunia dan

strukturnya terjadi secara serasi dan kristiani dan berarti bagi keselamatan dunia.

Sebab dengan begitu perwujudan setiap manusia dan dunia terlaksana, yang akhirnya

harus sampai kepada Allah. Begitulah seluruh jemaah mewujudkan iman bahwa Allah

sungguh telah menjadi manusia.

3. BAGAIMANA KONSILI VATIKAN II MEMBARUI GEREJA?

KATA KUNCI: MISTERI GEREJA YANG PNEUMATIS, KONSILI DEMI HIDUP GEREJA, EKUMENIS SELUAS UMAT MANUSIA, KUTUB SETIA DAN KREATIF, PASTORAL: PENGHAYATAN IMAN DALAM KONTEKS HIDUP, KUTUB ‘MANUSIA’ DAN ‘ALLAH’.

Setelah melihat isi besar Konsili Vatikan II secara tematik dan umum, baiklah kita

melihat bagaimana Konsili ini sungguh membarui Gereja. Konsili Vatikan II sungguh

membarui Gereja justru karena ia senyatanya menjiwai makna sesungguhnya Konsili

Ekumenis yang memiliki keprihatinan luar biasa dalam sisi pastoral.

3.1 Keistimewaan Konsili Vatikan II (?)

Berbicara mengenai keistimewaan Konsili Vatikan II tidak bisa lepas dari Konsili

Vatikan I. menurut Kieser, Konsili Vatikan I merumuskan tempat dan tugas paus

23

Page 24: Sejarah Doktrin Gereja

dalam gereja dan khususnya infallibilitas paus dalam pengajarannya yang resmi

mengenai hal iman dan moral, supaya tersedia bagi gereja suatu sarana untuk

memberikan jawaban tegas dan tangkas terhadap masalah pastoral. Menurut Tom

Jacob, fungsi infallibilitas Paus serupa dengan inspirasi, dicari dasar yang kokoh kuat

untuk iman akan sabda Allah.28

Pada konsili vatikan II ini sedikit berbeda tekanannya jika dibandingkan dengan

Konsili Vatikan I. sejak Konsili Vatikan I, selalu ada usaha untuk lebih menekankan

segi misteri dan segi pneumatis Gereja. Gereja dilihat bukan pertama-tama secara

horisontal menurut konstitusi historisnya, tetapi secara vertikal sebagai kehadiran

Tuhan yang mulia. Gereja, sebagai misteri rahmat, dilihat dari sudut umat beriman.

Dengan keterlibatan seluruh umat mau dihapus faham gereja yang piramidal. Namun

kebanyakan bapa konsili tidak suka akan ide “Tubuh Mistik”, karena dianggap terlalu

kabur. Maka istilah ini tidak ada dalam konsili vatikan I. dengan Perang Dunia I

tergoncangkan kepercayaan akan organisasi dan otoritas. Maka sesudah Perang Dunia

I timbul lagi banyak perhatian untuk Tubuh Mistik khususnya sebagaimana diuraikan

dalam KS dan patristik. Karangan ini menekankan karya rahmat dan sering

mengembangkan tema tubuh mistik sebagai dasar untuk moral dan spiritualitas. Di

dalamnya pandangan spiritualistis dikawinkan dengan pandangan yuridis-

institusional, sedemikian rupa sehingga kekhasan pandangan spritualitas hilang.

Tubuh diartikan sebagai organisasi, badan institusional. Hanya anggota Gereja

Katolik adalah anggota tubuh Kristus. Hal ini ditegaskan dalam ensklik Humani

generis dari Paus Pius XII. Di dalamnya dikatakan bahwa Tubuh Mistik Kristus

seluruhnya sama dengan Gereja Roma Katolik.29

Konsili Vatikan II memiliki kekhasan dalam pembaruan-pembaruan. Konsili vatikan

II tidak lagi menerima pandangan konsili vatikan I mengenai “Mystici corporis”. Oleh

karena itu, konsili vatikan II mengemukakan gagasan baru mengenai misteri dan

umat Allah. faktor utama pembaruan adalah perkembangan hidup Gereja sendiri.

Orang tidak hanya mulai sadar akan arti sakramen, khususnya ekaristi, tetapi terutama

mulai sadar mengenai fungsi umat sebagai keseluruhan. Kesadaran ini mendapat

rumusan resmi dalam “Mediator Dei” (1947). Dalam proses kesadaran diri sebagai

Gereja Kristus dimainkan peranan yang amat penting oleh Gerakan ekumen, yang

28 Tom Jacobs, “Latarbelakang Dekat Konsili Vatikan II”, Spektrum 14, 1986, 63.29 Tom Jacobs, “Latarbelakang Dekat Konsili Vatikan II”, 65.

24

Page 25: Sejarah Doktrin Gereja

mulai di kalangan protestan tetapi lama kelamaan mempunyai pengaruh dalam Gereja

Katolik. Titik awal resminya adlah “Edinburgh Missionary Conference” (1910).

Namun akar-akarnya terletak dalam gerakkan misi yang mempertemukan Gereja-

gereja dalam karya pewartaan.30

3.2 Jiwa sebuah ‘Konsili’

Untuk menjelaskan kata konsili, Norman P. Tanner mengkaitkan dengan sinode. Baru

pada akhir-akhir ini saja mulai dibedakan antara konsili dan sinode. Perbedaannya

antara konsili dan sinode demikian. Sinode mempunyai peran memberi nasehat atau

konsultasi. Sedangkan konsili mempunyai kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Pembedaan ini tertera dalam kanon 342-248 KHK 1983.31 Oleh sebab itu, pembedaan

itu merupakan sebuah pembaruan yang belum lama diadakan dan hanya berlaku untuk

Gereja Katolik Roma.

Hingga tahun 1960an dan oleh karenanya hampir selama masa yang akan diamati

dalam buku iuni, istilah sinode dan konsili praktis merupakan sinonim. Menurut

Norman, dua kata ini dapat diharapkan demikian karena dalam bahasa Inggris (dan

pasangan kata serupa dalam kebanyakan bahasa eropa: synode, concile dalam bahasa

Prancis, sinodo, concilio, yang berarti rapat tanpa ada muatan ciri penasihatan atau

ketatalaksanaannya. Baginya, mulai dari saat ini, demi lancarnya, konsili adalah kata

yang biasa digunakan karena kata itu lebih merupakan istilah yang biasa dalam bahasa

Inggris.32

Menurut Kieser, konsili berasal dari kata concilium (= bahasa latin). Dengan kata

concilium dimaksudkan suatu pertemuan yang sudah sekian kali sepanjang sejarah

telah diadakan dalam Gereja Katolik. Di antara gereja-gereja protestan, kata concilium

dipakai untuk usaha kesatuan yang berlangsung antara gereja-gereja kristen sedunia

bersama dengan organisasinya, yakni World Council of Churches. Di tahun

delapanpuluhan (abad 20), kata konsili bahkan dipakai untuk peristiwa-peristiwa

perjumpaan antar agama. Maksud pertemuan untuk membangkitkan dan

mengungkapkan keprihatinan bersama akan justice, peace and integrity creation.

Dengan demikian, kata konsili mempunyai arti ekumenis, artinya menyangkut

kepentingan seluruh dunia yang dihuni manusia. Maka, diharapkan setiap konsili

30 Tom Jacobs, “Latarbelakang Dekat Konsili Vatikan II”, 65.31 Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja, Kanisius, Yogyakarta 2003, 16.32 Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja, 17.

25

Page 26: Sejarah Doktrin Gereja

selalu bersifat ekumenis.33 Menurut Kieser, pada tanggal 25 Januari 1959, Paus

Yohanes XXIII resmi mengumumkan akan ada Konsili Vatikan II. Bagi Paus

Yohanes XXIII, konsili diadakan bukan untuk kemajuan rohani umat kristiani saja.

dalam konsili, Paus mengundang semua kelompok dan golongan umat yang kini

berpisah untuk mencari kesatuan yang didambakan oleh begitu banyak di bumi.

Menurut Kieser, mengakui dan menerima konsili berarti mengusahakan hidup gereja

dan memang konsili diadakan untuk mengusahakan hidup gereja, bukan untuk

menghasilkan rumusan.34

3.3 Mengapa disebut ‘Ekumenis’?

Dalam menjelaskan Konsili Vatikan II sebagai salah satu konsili ekumenis, ada

masalah yang harus dihadapai sehingga konsili harus ekumenis. Adapun masalah

pokok dari konsili ekumenis adalah supaya khasanah suci dari ajaran kristiani

dipelihara dan dijaga serta diajarkan lebih berdampak. Ajaran itu menyangkut seluruh

manusia, tubuh, dan jiwanya; dan mendorong dia yang adalah musafir dan peziarah

untuk terus menerus mengarahkan pada surga. Konsili disebut ekumenis karena pada

umumnya mempunyai kekuatan mengikat untuk semua orang kristiani sebagaimana

dibedakan dari konsili-konsili setempat yang hanya memiliki kekuatan mengikat pada

satu tempat atau untuk satu masa saja.35

Berdasarkan sejarah gereja, konsili ekumenis pernah terjadi sebelum zaman modern.

Menurut Norman, ada tujuh konsili yang diakui sebagai konsili ekumenis baik oleh

Gereja Timur maupun Gereja Barat karena konsili itu diadakan sebelum terjadi

skisma dua Gereja pada abad 11, yakini Konsili Nicea I, Konsili Konstantinopel I,

Konsili Efesus, Konsili Kalsedon, Konsili Konstantinopel II, Konsili Konstantinopel

III, Konsili Nicea II.36 Lalu pada zaman modern, ada tiga konsili yang bisa dikatakan

ekumenis, antara lain: Konsili Trente, Konsili Vatikan I, dan Konsili Vatikan II.37

Dari situ menjadi jelas, bagaimana hidup kita memenuhi kewajiban dan tugas kita

sebagai warga bumi dan warga surga. Dengan demikian, manusia mencapai tujuan

33 Benhard Kieser, Diktat Kuliah Sejarah Dogtrin Gereja, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2005, 162.34 Benhard Kieser, Diktat Kuliah Sejarah Dogtrin Gereja, 163.35 Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja, 18.36 Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja, 27.37 Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja, 18. Namun menurut Norman, ketiga konsili di zaman modern ini dipertanyakan mengenai keekumenisannya. Atas pertanyaan itu, Norman tidak menjawab secara langsung.

26

Page 27: Sejarah Doktrin Gereja

hidup yang ditetapkan Allah. maka, semua orang dipersatukan dalam masyarakat,

kini wajib terus-menerus selama hidup di dunia mengarahkan diri untuk mencapai hal

surgawi. Oleh karena itu perlu suatu ajaran yang berdampak di aneka bidang aktivitas

manusia, pribadi, keluarga, dan masyarakat. Gereja tidak boleh meninggalkan

kebenaran yakni warisan suci yang diterima bapa-bapa Gereja. Kewajiban kita bukan

hanya memelihara warisan suci itu, melainkan sungguh-sungguh tanpa takut

melibatkan diri pada karya dan usaha yang kini dituntut dari kita.

Berdasarkan realita itu, konsili vatikan II tidak hanya memelihara warisan berharga

itu. Dengan cara baru dan semangat apostolis yang kristiani katolik, Konsili Vatikan

II mengharapkan suatu langkah maju, supaya kita memperdalam ajaran dan

membentuk suatu kesadaran, setia dan seluruhnya sesuai dengan ajaran otentik. Lain

halnya inti pokok dari suatu ajaran lama yang termasuk dalam khasanah iman adalah

cara ajaran yang dikemukan. Justru yang terakhir ini membutuhkan perhatian besar.

Dengan kesabaran yang tepat, kita mesti menilai dan mengukur segala sesuatu,

mewujudkan, dan membentangkan suatu magisterium yang bersifat pastoral.

Tujuannya baik sebagai penggembalaan iman umat atas ajaran-ajaran yang

menyesatkan.

Lalu bagaimana konsili ekumenik dalam Konsili Vatikan II dijalankan? Konsili

vatikan II menolak skema komisi persiapan mengenai dua sumber wahyu (kitab suci

dan tradisi); kemudian pokok itu diolah kembali dan dirumuskan kembali menjadi

konstitusi dogmatik dei verbum tentang wahyu ilahi. Konsili tidak mau meninggalkan

agenda kontra-reformasi dan mulai bicara dengan gereja-gereja reformasi mengenai

iman-wahyu, mengenai kitab suci dan tradisi iman kristiani sebagai inti hidup gereja.

Konsili tidak mau membicarakan pokok yang memisahkan gereja katolik dan gereja-

gereja reformasi melainkan mau membicarakan pokok yang mempersatukan gereja-

gereja.

Yang penting dari pernyataan ekumenik adalah kutipan dari bapa gereja yang bukan

hanya hiasan melainkan menandakan kesatuan tradisi yang hidup dalam semua gereja;

lebih penting dari sekedar pertemuan ekumenik adalah cara konsili berpikir mengenai

liturgi, yakni wujud dasar gereja kita temukan dalam paguyuban yang berkumpul

dalam ekaristi. Perayaan ekaristi dan semua sakramen bersifat anametik dan epikletik.

27

Page 28: Sejarah Doktrin Gereja

Lebih penting pneumatologi mendapat tekanan baru dalam teologi trinitas dan bahwa

kristologi menjadi dasar kembali akan dimensi kosmik dan eskatologik.

Dalam arti “katolik-teknik”, Konsili Vatikan II bersifat ekumenik karena dihadiri oleh

uskup-uskup Gereja Katolik seluas dunia. dalam arti “eklesiologis-teologis”, konsili

vatikan II bersifat ekumenik, karena konsili mempertahankan keaslian gereja Roma-

Katolik sebagai gereja Kristus yang apostolik (Bdk LG.8) dan sekaligus mengakui

serta menghormati makna gerejani dari gereja-gereja yang bukan katolik roma. Maka

kesatuan gereja tidak lagi dapat diartikan “kembali ke dalam organisasi gereja Roma-

Katolik. Kesatuan berarti usaha untuk tinggal dalam komunikasi. Untuk membangun

komunikasi, orang lain sebagai sesama justru karna dia lain. dan waktu membicarakan

hubungan gereja dengan agama-agama bukan kristiani dan terutama dalam konstitusi

pastoral Gaudium et Spes kelihatan, bahwa komunikasi ekumenik tidak boleh dibatasi

pada keakraban antar gereja kristiani. Ekumenik hanya berarti kalau memajukan

kesatuan antar semua manusia.38

3.4 Sebuah Konsili yang Pastoral

Dalam dokumen Konsili Vatikan II yang disebut dengan dekret pastoral adalah

Gaudium et Spes (GS). Gaudium et Spes berisi tentang Gereja di dunia dewasa ini.

Dekret yang panjang ini dapat dilihat baik sebagai ringkasan konsili maupun

penerapan kehidupan di dalam Gereja dan di luar Gereja. Ini adalah dekret pertama

dalam sejarah konsili ekumenis dan umum yang ditujukan langsung ke dunia yang

lebih luas. Konsili Vatikan II tidak hanya berhadapan dengan putra-putri Gereja yang

menyerukan nama Kristus tetapi kepada semua orang. Dokumen ini berbicara

langsung dengan masuk ke rincian hidup ini beserta kesulitan-kesulitannya maupun

dambaan kita akan kehidupan abadi. Tentu titik tolaknya positif terhadap seluruh

usaha manusia.39 Kieser menjelaskan bahwa Konsili Vatikan II bersifat pastoral.

Dalam perdebatan mengenai skema tentang dua sumber wahyu, sudah muncul

pemikiran mengenai arti dan maksud pastoral. Alasan dari pembela skema yang

menyatakan bahwa teks memang bersifat pastoral adalah demi kegembalaan, ajaran

katolik harus tegas dan tidak boleh dicairkan menjadi basa-basi ekumenik.

Magisterium mewujudkan sikap pastoral terutama dengan suatu pengajaran yang

38 Benhard Kieser, Diktat Kuliah Sejarah Dogtrin Gereja, 169.39 Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja, 132.

28

Page 29: Sejarah Doktrin Gereja

tegas. Yang dimaksud Konsili Vatikan II bersifat pastoral untuk membina iman, dapat

dibedakan dari ajaran doktrinal, yakni usaha untuk mengatur bahasa yang dipakai

dalam lingkungan gerejani. Dalam arti ini, dokumen konsili vatikan II memuat juga

sejumlah pokok doktrinal, seperti umpamanya ajaran mengenai sacramentalitas

tahbisan uskup, ajaran mengenai colegialitas. Dari pernyataan doctrinal dibedakan

dengan pernyataan pastoral. Pernyataan pastoral bersifat praktis, tetapi tidak boleh

merupakan penyelesaian kasus-kasus semata. Pastoral bermaksud mewujudkan iman

asli dalam konteks hidup yang unik dan pribadi yang sosial dan pastoral. Jika mau

berbicara pastoral harus mengetahui kenyataan hidup lebih dahulu, manusia harus

dibicarakan secara jujur, kita menafsirkan dengan tepat. Hal itu diusahakan dalam

konsili. Disebut pastoral kalau yang dibicarakan iman dengan perhatian khusus

penghayatan iman dalam konteks hidup.40

3.5 Kutub ‘Manusia’ dan ‘Allah’

Semua pembaruan Konsili Vatikan II yang dijabarkan ini mengasumsikan adanya

pandangan tertentu yang menjiwainya. Anthony O. Erhuech dalam Vatican II: Image

of God in Men, menangkap bahwa Konsili ini berjalan dengan semangat dan

keprihatinan baru bagaimana doktrin harus menyentuh manusia (Kristen) dalam hidup

kesehariannya dan dunianya. Anthony O. Erhuech dengan sangat baik menyebutkan

13 tesis penting yang mewarnai seluruh ajaran Konsili Vatikan II. Tesis-tesis inilah

yang menjadi ciri khas Konsili ini bila dibandingkan dengan Konsili-konsili

sebelumnya karena ia menjadi contoh nyata bagaimana kutub ‘Allah’ dan ‘manusia’

dihadapi secara seimbang dan selanjutnya memberi sebuah ciri ‘antisipatif’ dalam

perkembangan doktrin Konsili Vatikan II di masa yang akan datang. Anthony O.

Erhuech menulis dalam dua bagian besar, yaitu:

a. Manusia yang otonom41

1. Manusia adalah makhluk yang bebas dan bertanggung jawab. Manusia berhak

dan bebas untuk mengambil sikap dan keputusan terhadap ikatan dan

relasi-relasi yang ada. Karena dosa, hak dan kesadaran manusia

disalahgunakan menjadi kecenderungan-kecenderungan egosentrisme.

2. Pembangunan hidup bersama memberi tempat kepada manusia untuk

mempraktekkan kebebasan dan tanggung jawab tersebut.

40 Benhard Kieser, Diktat Kuliah Sejarah Dogtrin Gereja, 171.41 Istilah ini diambil dari Anthony O. Erhuech, Vatican II: Image of God in men, hlm. 228, point-point yang dijabarkan bertolak dari Anthony O. Erhuech, Vatican II: Image of God in men, Roma: Urbaniana University Press, 1986, hlm 198-230.

29

Page 30: Sejarah Doktrin Gereja

3. Manusia memang bebas. Namun sungguh tidak pernah lepas dari keterikatan.

Yang menjadi soal adalah: apakah keterikatan itu menghilangkan hak dan

tanggung jawabnya sebagai manusia atau tidak. Pembangunan adalah

pembebasan manusia dari ikatan yang menghalanginya untuk menjadi

manusia penuh. Pembangunan adalah pembaharuan bentuk-bentuk ikatan

struktur kemasyarakatan dan kebudayaan.

4. Ikatan komunal selalu melingkupi manusia yang bermasyarakat. Namun ia

tetap merupakan makhluk berpribadi dengan segala hak dan kewajibannya.

Hidup kemasyarakatan dan hidup orang per orang harus seimbang dan saling

melengkapi. Pembangunan adalah pembebasan manusia dari ikatan yang

menghalanginya untuk hidup dan berkembang sebagai manusia yang bebas

dan bertanggung jawab, termasuk hak dan tanggung jawabnya terhadap dan

dalam ikatan-ikatan komunal di mana dia hidup.

5. Manusia juga diikat oleh alam. Sebab manusia merupakan bagian dari alam

dan sekaligus harus mengatur, menguasai dan memanfaatkannya. Hal ini harus

dilaksanakan dalam kebebasan dan tanggung jawabnya terhadap Allah dan

sesama. Pembangunan adalah usaha meningkatkan nilai-nilai dan martabat

manusia. Berhasil tidaknya usaha itu tergantung pada kemampuan manusia

untuk mengatur dan memanfaatkan alam itu secara bertanggung jawab dan

tidak diperbudak oleh alam dan pandangan hidupnya mengenai alam. Justru

manusia memang tidak dapat melepaskan diri dari hukum alam; untuk

mengatur dan memanfaatkannya diperlukan keberanian dan kebebasan

mempergunakan seluruh kemampuannya. Di sini tampak peranan ilmu dan

teknologi sebagai alat di tangan manusia.

6. Historisitas manusia memainkan peranan dalam memahami pembangunan

dunia.Sebab pembangunan dapat dilihat sebagai suatu proses terus menerus

sampai akhir jaman. Di dalam proses itu manusia memperkembangkan diri

terus menerus pula. Dengan begitu manusia harus lalu senantiasa

memperbaharui diri dan rela diperbaharui serta mengambil keputusan dalam

setiap situasi di mana dia terlibat. Menyerah kepada nasib tidak terdapat dalam

kamus ini. Manusia harus selalu berusaha mengubah situasi tempat dia berada

untuk semakin menyejahterakan hidupnya. Ini merupakan cita-cita manusia

seluruhnya tanpa kecuali. Bagi orang kristiani ini merupakan panggilan iman

yang berjalan bersama dengan tugas pengutusan Kristus. Maka

pelaksanaannya dalam naungan Roh.

30

Page 31: Sejarah Doktrin Gereja

7. Kerja perlu dilihat dengan mata iman pula. Setiap usaha pembangunan adalah

usaha yang penuh arti dalam terang pewartaan Kerajaan Allah. Juga setiap

usaha yang kecil dan sederhan sekalipun. Asal itu dikerjakan dengan tanggung

jawab sebagai pekabar Injil. Dalam pembangunan manusia dipanggil untuk

memperkembangkan dan mengubah situasi untuk kesejahteraan bersama dan

bukan untuk mengeksploitasikan sesama. Maka pembangunan tergantung pada

kegiatan manusia sebagai pribadi dalam kesatuan dengan sesama dan

lingkungannya.

8. Keluarga yang bertanggung jawab merupakan tempat orang dibina sejak dini

untuk mempersiapkan peransertanya dalam penyejahteraan bersama. Setiap

keluarga, demi kesejahteraan bersama, harus merencanakan pola hidupnya

secara bertanggung jawab. Itu dikerjakan dalam rangka menjawab Rencana

Penyelamatan Allah dalam situasi dan kondisi konkret.42

b. Manusia dalam korelasinya dengan Allah43

9. Allah menyatakan diri melalui peristiwa-peristiwa dalam sejarah umat

manusia. Maka dari itu dalam setiap situasi ruang dan waktu yang tertentu kita

harus mencari kehendak Allah dan rencanaNya.

10. Kehendak Allah dalam setiap situasi konkret tidak selalu nampak secara

langsung. Untuk dapat menangkapnya kita dalam tanggung jawab di hadapan

Allah dan sesama harus menggumuli dan mengambil sikap terhadap situasi

konkret, dengan sepenuh keyakinan, kebebasan dan tanggung jawab.

11. Maka dari pembangunan yang sejati adalah usaha manusia menuju kepada

manusia dengan tatarelasi baru dengan Allah, sesama dan alam di mana dia

hidup.

12. Kritus datang supaya syalom dapat dinikmati oleh manusia sekarang dan

kepenuhannya pada akhir jaman. Maka syalom juga berati penciptaan manusia

baru dalam Kristus dan pengutusan Kristus mencakup humanisasi.

13. Setiap peningkatan nilai dan martabat manusia secara penuh (humanisasi)

yang dilakukan oleh siapa pun, disadari atau tidak, adalah hasil karya

Penyelamatan Kristus dalam Roh.

4. KRITIK ATAS KONSILI VATIKAN II

42 RT. Rev. Conrad De Vito, The Second Vatican Council at the Glance, Roma: ST. Paul Publication, 1966, hlm. 15643 Bdk. Anthony O. Erhuech, hlm. 189-198

31

Page 32: Sejarah Doktrin Gereja

KATA KUNCI: KONSERVATIF, KONSILI MELAWAN HISTORITAS KRISTIANITAS, DOKTRIN MURNI, PIJAKAN BARU GEREJA.

Konsili Vatikan II telah memberi angin segar dengan menjujung ide dasar yakni

“agiornamento” (pembaharuan). Konsili Vatikan II telah memberikan banyak

perubahan bagi gereja. Namun demikian tidak dapat dipungkiri adanya beberapa

pandangan yang muncul sebagai “kritik” terhadap terlaksananya Konsili Vatikan II.

Pandangan-pandangan tersebut umumnya muncul dari para kaum konservatif yang

menjunjung tinggi inti tradisi dan nilai gereja Katolik. Mereka berpendapat bahwa

konsili Vatikan II telah menjauhkan Gereja Katolik dari prinsip-prinsip penting dari

iman Katolik historis; termasuk44:

1. Kepercayaan bahwa Gereja Katolik adalah satu-satunya gereja Kristiani

yang dibangun oleh Yesus sendiri, dengan demikian tidak ada yang lain di

luar gereja Katolik.

2. Kepercayaan bahwa gagasan modern akan kebebasan beragama adalah

kesalahan.

3. Tekanan yang pantas untuk "Empat Hal Terakhir" (Kematian, Pengadilan,

Surga, dan Neraka).

4. Kepercayaan bahwa setiap kitab dari Kitab Suci adalah sempurna.

Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa konsili Vatikan II adalah penyebab utama

berkurangnya iman kepercayaan Katolik dan hilangnya pengaruh Gereja di dunia

barat. Mereka berpendapat lebih lanjut bahwa Vatikan II mengubah fokus gereja dari

menyebarkan kabar keselamatan jiwa menjadi memperbaiki situasi keduniawian umat

manusia. Gereja sudah mulai masuk dalam tataran duniawi dan melupakan hal inti

yang palingpenting yakni menyelamatkan jiwa-jiwa.

Ada juga tanggapan lain bahwa Konsili Vatikan II pada akhirnya hanya memunculkan

dokumen-dokumen yang "tidak berkelanjutan dan rapuh". Dari interpretasi ini, Paus

Benediktus XVI menegaskan di depan Kuria Roma tanggal 22 Desember 2005 bahwa

semua dokumen Konsili dimaksudkan untuk "menyebarkan doktrin-doktrin secara

murni dan menyeluruh, tanpa pengurangan maupun penyimpangan". Dokumen-

dokumen itu tidak akan rapuh dan terus berlanjut. Dengan demikian semua asas

44 Sumber internet www. Konsili Vatiakn II. com

32

Page 33: Sejarah Doktrin Gereja

kebenaran tetap berlaku sepanjang zaman. “Kebenaran Tuhan tetap berlangsung

selama-lamanya,” dan inilah keyakinan awal ketika konsili hendak dimulai.45

Gereja setelah konsili ataupun sebelum konsili adalah gereja Katolik yang sama,

yakni gereja yang satu kudus, katolik dan apostolik. Inti gereja tidak berubah. Yang

berubah adalah bagaimana Gereja memposisikan dirinya dalam dunia (bdk LG. 8).46

Konsili telah memberi bagi gereja yang terbaik bagaimana Gereja harus berpijak.

5. KONSILI VATIKAN II: MEMANDANG MASA DEPAN

KATA KUNCI: HERMENEUTIC OF DISCONTINUITY VS. HERMENEUTIC OF REFORM, INTERPRETASI MENGATASI TEKS, IMPETUS, DIALEKTIKA PENGARANG-TEKS-PENERIMA, TEGANGAN, FAITH IN PROGRESS, KONSILI YANG BERSIFAT ‘ANTISIPATIF’, LOKALITAS (TEOLOGI ASIA).

5.1 Hermeneutika: Kebenaran yang Berani Menantang Diri Sendiri

Paus Benedictus XVI melihat bahwa saat ini ada trend teologi modern baru yakni

hermeneutic of discontinuity yaitu keterputusan hermeneutika atas sejarah Gereja dari

Gereja Pra Konsili Vatikan II dengan Gereja Pasca Konsili Vatikan II. Hermeneutic of

discontinuity ini berhadapan dengan hermeneutic of reform yaitu semangat

pembaharuan, perkembangan di dalam kelanjutan dari satu Gereja yang sama, Gereja

sebagai subyek yaitu umat Allah yang sedang berziarah.47 Konsili harus dipahami

dalam kelanjutan tradisi Gereja dan pada saat yang sama kita harus membuka diri

untuk diterangi oleh doktrin yang ada dalam konsili.48

Konsili Vatikan II dituduh merupakan konsili yang sarat dengan kompromi-kompromi

yang berujung pada kebulatan suara, tetapi Paus Benedictus XVI berpendapat bahwa

semangat dari Konsili Vatikan II justru menjadi impetus bagi temuan-temuan baru di

dalam teks hasil Konsili Vatikan II tersebut. Selanjutnya para pembaca dokumen

Konsili Vatikan II diajak untuk berani melampaui apa yang tertulis dalam teks

(beyond the text), mengikuti spirit dari Konsili Vatikan II dan tidak melulu

memfokuskan diri pada teks Konsili Vatikan II serta menyediakan ruang bagi

kebaharuan dan kedalaman.

45 Diktat Kisah Iman Rm Kiseeser, SJ, hal 61.46 Matthew L. Lamb, Matthew , Vatican II, Oxford, New York, 2008, xiv.47 Pope Benedict XVI, “A Proper Hermeneutic for the Second Vatikan Council”, dalam Matthew L. Lamb and Matthew Levering, Vatikan II: Renewel Within Tradition, Oxford University, New York, 2oo8, x-xi.48 Ormond Rush, Still Interpreting Vatikan II: Some Hermeneutical Principles, Paulist Press, New York 2004, 2-3.

33

Page 34: Sejarah Doktrin Gereja

Hermeneutic reform digagas oleh Paus Yohanes XXIII untuk menanggapi

hermeneutika diskontinuitas, ia berpendapat bahwa hermeneutic reform bertolak dari

deposit iman yang kemudian diteruskan, dibawa, ditularkan dan dikirimkan.

Integralitas dan otentisitas dari doktrin tentang ajaran hendaknya tetap dipertahankan,

tanpa pengurangan atau penyimpangan, dan dari sinilah sintesa antara iman dan

tuntutan zaman yang dinamis akan membuahkan hidup baru dan ispirasi. Selanjutnya

Paus Paulus VI melihat kemunculan hermeneutika diskontinuitas sebagai akibat dari

tema-tema antropologis yang menekankan dimensi kemanusiaan dan dunia

kontemporer saat ini. Sedangkan Pius mengingatkan Gereja Katolik akan maraknya

liberalisme liberal dan pengembangan serta pengagung-agungan ilmu pengetahuan,

oleh karenanya hubungan antara iman dan ilmu pengetahuan harus didefinisikan

ulang.

Gereja Katolik selalu diajak untuk berdialektika dengan tema-tema yang terkait

dengan : metode historis kritis terhadap Kitab Suci, resourcement dan aggiornamento,

perkembangan ilmu pengetahuan, isu toleransi dan kebebasan yang berhubungan

dengan pembentukan negara modern. Hermeneutika meliputi tiga unsur yakni

pengarang (author), teks (text) dan penerima (receiver, the addresse), dialektika antara

unsur-unsur tersebut akan menghasilkan tegangan hermeneutika antara kontinuitas

dan diskontinuitas di berbagai level ajaran Gereja dan “reception of event”.49

Sumbangan Konsili Vatikan II adalah melanjutkan apa yang sudah diusahakan dengan

baik oleh Thomas Aquinas yakni menjembatani antara iman dan ilmu pengetahuan,

dialog antara iman dan ilmu pengetahuan ini dikembangkan melalui dialektika yang

terungkap dalam ketegangan yang kreatif antara open mindedness dan clear

discerment terhadap berbagai aspek dari peristiwa-peristiwa hidup yang kita alami.

Dengan demikian ciri yang paling menonjol dari Konsili Vatikan II adalah sifat

antisipiatifnya terhadap perkembangan iman dan hidup manusia itu sendiri. Konsili ini

tidak bersikap reaktif terhadap tegangan yang dialami dunia dan Gereja – seperti yang

terjadi dengan Konsili Trente dengan rumus ‘anathema sit’-nya. Konsili ini juga tidak

bersikap ‘over-dogmatik’ seperti Konsili Vatikan I yang terkenal dengan solusi (atau 49 “Event” adalah sejarah terjadinya KV II yang meliputi: undangan untuk mengadakan konsili oleh Paus Yohanes XXIII tahun 1959 dan masa-masa persiapan KV II, debat dan voting dari tahun 1962-1965, interaksi internal antara para uskup dan para teolog, kerja dari komisi-komisi khusus hingga publikasi hasil kerja komisi pada tanggal 7 Desember 1965. Reception of event berarti usaha hermeneutika yang dilakukan oleh sekelompok penafsir untuk memaknai arti umat Allah, peristiwa-peristiwa, tradisi dan teks. Bdk. Ormond Rush, Still Interpretingg Vatikan II: Some Hermeneutical Principles, 2004, 2-3

34

Page 35: Sejarah Doktrin Gereja

masalah baru?) ‘infallibilitas Paus’-nya. Konsili ini mulai dengan merefleksi manusia

dalam hubungannya dengan sang Pencipta dan memiliki keprihatinan luas untuk

menjawab masalah-masalah kontemporer. Konsili Vatikan II memberi dasar luas-

kokoh dengan setia pada tradisi dan pada saat yang sama membarui pula tradisi itu

berdasar masukan dari banyak pihak. Karenanya, Konsili ini berhasil menetapkan

model refleksi yang dapat diterapkan untuk masa-masa yang akan datang; sebuah

model refleksi yang memampukan Gereja meng-antisipasi perkembangan dunia.

5.2 Perkembangan Teologi (Berjiwa Sungguh) Asia: Hormat pada Lokalitas50

Antisipasi Gereja terhadap perkembangan dunia paling jelas ditemui dalam hormat

Konsili terhadap kebenaran-kebenaran periferi ketika mengembangkan teologi. Dalam

konteks ini, Konsili Vatikan II memberi warna baru dalam usaha berteologi yang

sungguh berangkat dari dan bagi lokalitas. David M. Thompson dalam tulisannya,

Introduction: mapping Asian Chrsitianity in the context of world Christianity,

memaparkan adanya dua poin besar yang mewarnai perkembangan teologi. Pertama,

adanya jarak yang signifikan antara teologi dalam konteks keilmuan dengan konteks

(pemimpin) Gereja. Kedua, teologi bukanlah sesuatu yang ‘umum’ dan ‘sama’ saja,

karena ia tumbuh dan berkembang dalam lokalitas dan temporalitas yang tertentu

pula.

Teologi sebagai disiplin ilmu seringkali harus mengalami tegangan dengan agenda

(pemimpin) Gereja. Gereja sebagai institusi tampak lebih mendukung perkembangan

teologi yang memberi dasar langsung pada perangkat tugas-tugas pelayanan Gereja,

seperti: sakramen dan doktrin-doktrin justifikasi serta keselamatan. Sementara, teolog

akademis memilih untuk mendalami bagaimana seharusnya Injil dimengerti dan

bagaimana pergulatan iman itu dapat menemukan hubungan dengan cabang ilmu lain

– seperti: filsafat dan ilmu pengetahuan lain – serta berbuah dalam praksis hidup

sehari-hari. Eropa dan Amerika Utara memberi tempat sangat besar dalam pencarian

para teolog akademis ini. Teologi diterima sebagai suatu ‘mata ajaran’ yang penting

dalam universitas dan sekloah tinggi mereka dan ini sebabnya mengapa

perkembangan teologi sangat berbau Eropa dan Amerika Utara. Corak Eropa dan

Amerika Utara tetap saja begitu kuat mewarnai agenda teologi global.Ini sebabnya

mengapa agenda Asia, Afrika atau Amerika Latin tidak begitu terdengar. Dengan

50 Disarikan dari David M. Thompson, “Introduction: Mapping Asian Christianity in the Context of World Christianity” dalam Sebastian C.H. Kim, Christian Theology in Asia, Cambridge University Press, Cambridge, 2008, 3-21.

35

Page 36: Sejarah Doktrin Gereja

keistimewaan yang dimiliki dua benua besar itu, para teolog Barat menerima

semacam ‘hak’ untuk menentukan arah refleksi orang-orang beriman atas Gereja;

padahal Gereja sendiri memiliki banyak wajah.51

Tentu saja kita harus mengingat pula bahwa para pemimpin Gereja Katolik pada dua

benua itu juga memegang peran penting untuk mengukuhkan otoritas refleksi teologis

mereka, hingga refleksi teologis barat seolah diterima sebagai kebenaran umum –

apalagi dalam Abad Tengah – yang berlaku untuk semua orang Kristen. Gerakan

reformasi menolak otoritas Gerejawi dalam menentukan refleksi teologis dan

sepanjang berjalannya waktu, para teolog Katolik di luar dua benua itu juga mendapat

inspirasi dari gerakan reformasi ini.

Pada abad ke-20, pasca Konsili Vatikan II yang memberi tempat pada kekayaan lokal,

para teolog Amerika Latin mulai berani mengembangkan teologi pembebasan yang

berangkat dari keprihatinan setempat. Teologi pembebasan segera menjadi ‘tren’

dalam teologi global dan menjadi contoh bahwa kiblat teologi global juga dapat

ditemukan di luar benua Barat.

Bagaimana sumbangan terbesar Konsili Vatikan II ini ditanggapi di Asia dalam

konteks perkembangan teologi lokal? Di Asia sendiri, perkembangan teologi

mendapat inspirasi sekali lagi dari gerakan reformasi. Jemaat Protestan Asia pada

awal abad ke-20 telah merasakan kebutuhan untuk menjadi mandiri dan tidak lagi

tergantung pada misionaris asing yang berasal dari Barat. Inilah sebabnya, mengapa

teologi dalam gereja protestan di Asia dapat berjalan lebih dahulu dibanding teologi

dalam gereja Katolik Roma di Asia. Perkembangan teologi di Asia ‘berhutang’ besar

pada para misionaris Barat dan hal ini sedikit banyak menjadikan Kristianitas ‘asing’

bagi penduduk Asia.

Gerakan teologi Asia sendiri, menurut Thompson, berawal dari India. Banyaknya

teolog India yang pulang setelah belajar di Eropa dan Amerika Utara, seperti: Stanley

Samartha (yang berusaha membangun Kristologi baru dalam terang perjumpaan

dengan agama-agama lain), memberi atmosfer dan dorongan untuk menciptakan

51 Bdk. David M. Thompson, “Introduction: Mapping Asian Christianity in the Context of World Christianity,” 3-7.

36

Page 37: Sejarah Doktrin Gereja

teologi yang khas India. Korea, dengan tradisi yang kuat dan panjang, juga memberi

sumbangan berharga bagi perkembangan teologi Asia.

Situasi politis yang ada selama Perang Korea, selama penjajahan Jepang, dan selama

menjadi sekutu Amerika Serikat mengantar para teolog Korea untuk membentuk

teologi Minjung, yang dimulai dengan sangat sederhana: dengan mengisahkan

penderitaan rakyat yang ada di bawah rezim totaliter Korea Utara. Teologi ini

membawa dampak politis yang revolusioner pada saat itu. Hal-hal senada juga

dialami oleh jemaat beriman di Cina, di Jepang, Vietnam, Bangladesh, Indonesia dan

Filipina.

Perkembangan teologi Asia dimulai dengan latar belakang pergulatan politik dan

perang dengan segala penderitaannya. Awal abad ke-20 dimulai dengan dua perang

besar dunia di wilayah Barat dan Timur. Kemiskinan memperparah situasi Asia yang

sudah hancur oleh perang. Asia menjadi korban yang jauh lebih menderita bila

dibandingkan warga di Barat. Kemiskinan inilah yang menjadi titik tolak refleksi

teologis kedua, setelah penderitaan perang. Inilah mengapa teologi ‘dalit’ sangat

menjadi terkenal di India dan Korea. ‘Dalit’ adalah kasta terendah dalam sistem

masyarakat India dan diterjemahkan harafiah sebagai ‘mereka yang tak (dapat)

tersentuh’. Titik refleksi ketiga – dan sekaligus yang dapat membuat para teolog

Eropa dan Amerika Utara berpikir ulang tentang bangunan teologi mereka – adalah

hadirnya bermacam-macam tradisi religius dan agama yang begitu kaya. Walau

Kristianitas berasal asli dari wilayah Asia, ia hanya menjadi bagian kecil saja dari

penduduk negara-negara Asia, kecuali: Filipina dan Korea. Orang-orang Kristen Asia

telah lama memikirkan kenyataan banyaknya tradisi religius di sekitarnya sebagai

sarana pewahyuan diri Allah sendiri. Tentu saja banyak pertanyaan yang akan mucul

di seputar soal soteriologi dan kristologi, namun semua itu harus dibaca sebagai

kesempatan untuk dengan sungguh hati mempertanggungjawabkan klaim-klaim iman

Kristiani dalam semangat dialog dan pewartaan. Titik tolak refleksi teologi Asia

selanjutnya adalah isu perempuan. Usaha para teolog feminis Asia layak mendapat

pujian karena sungguh memberi inspirasi pada gerakan teologi global.

David M. Thompson dalam tulisannya ini juga tidak lupa menggarisbawahi

pentingnya peran gerakan pentakosta yang lebih ‘luwes’ dan bebas dalam liturgi,

sehingga menjadi sangat populer di kalangan rakyat Asia – terutama di wilayah

37

Page 38: Sejarah Doktrin Gereja

Korea. Hal ini seringkali membawa salah kaprah di kalangan teolog Barat yang sangat

memperhatikan soal-soal hukum dan aturan.

Akhirnya, dalam seluruh perkembangan teologi Asia inilah para teolog Barat terutama

harus melihat bagaimana teologi berangkat sungguh dari kenyataan hidup sehari-hari

dan dapat menjadi pedoman hidup masyarakatnya yang sangat beragam. Konsili

Vatikan II berperan sangat besar terhadap pengakuan sumber lokal kebenaran iman

Krsitiani yang direfleksikan dalam teologi. Sisi pragmatisme teologi juga dapat lebih

berbicara dan menggigit kenyataan lokal Asia yang masih sarat kemiskinan,

kekerasan dan ketidakadilan struktural. World Christianity dilihat oleh Konsili

Vatikan II dalam bentuk penghargaan yang lebih besar bagi perkembangan teologi

lokal – terutama yang lebih menyentuh bagi kita: teologi yang sungguh berjiwa Asia.

5.3 Konsili Vatikan III: Kemungkinan dari Iman yang Selalu Berkembang (?)

Pada titik ini, perlulah kita menyadari pula bahwa Konsili Vatikan II adalah sebuah

peristiwa yang telah 45 tahun berlalu. Dinamika pergerakan dunia terus berubah

selama nyaris lima dekade terakhir dan memunculkan soal-soal baru. Soal-soal baru

itulah yang banyak diangkat oleh Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya yang

terbaru, Spe Salvi. Dalam terang soal-soal zaman baru inilah hasil Konsili Vatikan II

masih harus menemukan penyesuaiannya. Kami kutipkan sebagian artikel 16 dan

artikel 17 dari Spe Salvi ini:

(16) What is the basis of this new era (of modernity)? It is the new correlation of experiment and method that enables man to arrive at an interpretation of nature in conformity with its laws and thus finally to achieve ‘the triumph of art over nature’ (victoria cursus artis super naturam)... (it) lies in a new correlation between science and praxis. This is also given a theological application: the new correlation between science and praxis would mean that the dominion over creation – given to man by God and lost through the original sin – would be re-established... (Up) to that time, the recovery of what man had lost through the explusion from Paradise was expected from faith in Jesus Christ. Here in lay ‘redemption’. Now this ‘redemption’; the restoration of the lost ‘Paradise’, is no longer expected from faith, but from the newly discovered link between science and praxis. It is not that faith is simply denied; rather it is displaced onto another level – that of purely private and other worldly affairs – and at the same time it becomes somehow irrelevant for the world. (17) ... Joy at visible advances in human potential remained a continuity confirmation of faith in progress as such!

38

Page 39: Sejarah Doktrin Gereja

Usaha besar manusia dalam menguasai alam selama lima dekade terakhir berkembang

sangat pesat dan menjadi sumber utama bergesernya ranah iman ke dalam level privat

bagi orang zaman ini. Bagaimana Konsili Vatikan II masih dapat berbicara tentang

dan bagi dunia dalam situasi semacam ini bila titik tolak utama Konsili adalah titik

tolak kristologis – yang tidak lagi dapat menjadi dasar kuat bagi orang-orang sekular.

Setelah banyak pembaruan di banyak bidang dilaksanakan dalam Gereja, apakah ia

sanggup menghadapi serbuan alam post-modernitas yang justru bertendensi

dekonstuktif yang mencoba meruntuhkan pusat-pusat keyakinan religius dengan

penjelasan ilmiah dan saintifik. Dalam satu segi, Gereja sangat berhati-hati

menanggapi aneka kemajuan yang terjadi selama ini. Dari segi lain, Gereja sendiri

seolah sulit menemukan pendasaran yang berdaya guna untuk menemukan jawab atas

masalah itu bila kultur masyarakat cenderung indifferent terhadap suara agamis.

Menghadapi tantangan yang makin besar ini (dan yang akan lebih besar dalam tahun-

tahun mendatang), masihkah Konsili Vatikan II mampu berbicara bagi hidup banyak

orang? Bagaimana persisnya ‘sukacita atas kemajuan-kemajuan nyata potensi

manusia itu pada waktu yang sama dapat mengukuhkan iman sebagai tanggapan yang

selalu ada dalam perkembangan?’ Mungkinkah kita membutuhkan sebuah Konsili

Vatikan III untuk dapat menjawabnya?

6. PENUTUP: KEBENARAN YANG BERANI MENANTANG DIRI Sebagai peristiwa, Konsili Vatikan II mempunyai pengaruh yang besar sekali. Dalam

kenangan Gereja, Konsili ini merupakan pengalaman pertama pelaksanaan kolegial

Kewibawaan tertinggi Gerejawi. Gereja, yang samapai saat itu sering membanggakan

sifatnya yang tetap dan tak ter-ubah-kan menjalani evaluasi diri yang mendalam dan

bersifat kritis terhadap dirinya. Banyak sikap dan strateginya ditinjau kembali dan

ditantang dalam terang Injil dan dalam konfrontasi dengan kebutuhan-kebutuhan

zaman sekarang.52 Sampai saat ini, Konsili Vatikan II masih menggaungkan gemanya

dan menunjukkan pada dunia bahwa Gereja sebagai Peziarah di tengah dunia juga

ingin selalu menghadirkan Kristus yang diimaninya. Tentu saja perdebatan dan aneka

usaha meng-aktual-kan seruan Konsili ini masih terus hangat sampai saat ini. Dalam

semuanya ini, kita sungguh layak bersyukur bahwa Konsili Vatikan II pernah ada.

Konsili ini adalah salah satu bentuk nyata Gereja yang secara dinamis terus berproses

‘menantang dirinya sendiri’ dalam usaha mewujudkan diri secara nyata; usaha yang

52 Bdk. Robert Hardawiryana, “Konsili Vatikan II: 1962-1965 – Sebuah Pengantar” dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardiwiryana, Dokpen KWI 1993, xxii-xxiii.

39

Page 40: Sejarah Doktrin Gereja

sekaligus menampilkan kesungguhan dan kekuatan imannya akan Yesus Kristus yang

meraja dahulu, sekarang dan sepanjang masa.

40