stilistika realisme magis sebagai representasi india

20
Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India Poskolonial dalam Novel Salman Rushdie; Midnight’s Children Cindy Melody 0806393901 Program Studi Inggris Universitas Indonesia ABSTRACT This study examines magical realism stylistics in Midnight’s Children novel by Salman Rushdie. The novel is observed by magical realism and post-colonialism approach. Actually, it will be keyed to some real issues which Rushdie wants to deliver.The results prove that magical realism in Midnight’s Children can represents some issues which are happened in post-colonial India. These issues show that the condition in post-colonial India is between spiritual and modernity. It can be seen from the character and setting. KEYWORDS: Magic realism, postcolonialism, Salman Rushdie, Midnight’s Children, spiritual, modernity Pendahuluan Pada masa modernisasi, Inggris menjadi suatu negara yang multikultural karena banyak penulis imigran berdatangan. Suara-suara para penulis yang berasal dari negara lain mulai padat. Karakteristik tulisan mereka juga bervariasi serta membicarakan masalah politik dan budaya (Christopher, 1999). Kesusastraan Inggris sebelum tahun 1960-an tentu saja membawa isu berbeda dengan masa sekarang, termasuk kemunculan penulis imigran. Para penulis imigran mulai menambahkan isu-isu kritis ke dalam karya mereka, misalnya saja seperti isu poskolonial, multikultural, dan kependudukan. Kebudayaan yang beragam melahirkan perspektif dan proses kreatif baru dalam menghasilkan karya sastra. Terutama ketika krisis budaya terjadi di negara asal para penulis imigran yang turut melatarbelakangi penulisan sastra dengan membawa konteks poskolonial. Mereka menggabungkan budaya imperial dan kolonial dari berbagai zaman, sebagai sejarah yang terdokumentasikan dalam sastra (Ramamurti, 1987). Kemampuan tersebut, Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Upload: others

Post on 02-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India Poskolonial

dalam Novel Salman Rushdie; Midnight’s Children

Cindy Melody

0806393901

Program Studi Inggris

Universitas Indonesia

ABSTRACT This study examines magical realism stylistics in Midnight’s Children novel

by Salman Rushdie. The novel is observed by magical realism and post-colonialism

approach. Actually, it will be keyed to some real issues which Rushdie wants to

deliver.The results prove that magical realism in Midnight’s Children can represents

some issues which are happened in post-colonial India. These issues show that the

condition in post-colonial India is between spiritual and modernity. It can be seen from

the character and setting.

KEYWORDS: Magic realism, postcolonialism, Salman Rushdie, Midnight’s Children,

spiritual, modernity

Pendahuluan

Pada masa modernisasi, Inggris menjadi suatu negara yang multikultural karena banyak

penulis imigran berdatangan. Suara-suara para penulis yang berasal dari negara lain mulai padat.

Karakteristik tulisan mereka juga bervariasi serta membicarakan masalah politik dan budaya

(Christopher, 1999). Kesusastraan Inggris sebelum tahun 1960-an tentu saja membawa isu

berbeda dengan masa sekarang, termasuk kemunculan penulis imigran. Para penulis imigran

mulai menambahkan isu-isu kritis ke dalam karya mereka, misalnya saja seperti isu poskolonial,

multikultural, dan kependudukan. Kebudayaan yang beragam melahirkan perspektif dan proses

kreatif baru dalam menghasilkan karya sastra. Terutama ketika krisis budaya terjadi di negara

asal para penulis imigran yang turut melatarbelakangi penulisan sastra dengan membawa konteks

poskolonial. Mereka menggabungkan budaya imperial dan kolonial dari berbagai zaman, sebagai

sejarah yang terdokumentasikan dalam sastra (Ramamurti, 1987). Kemampuan tersebut,

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 2: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

digunakan para penulis imigran sebagai stilistika baru dalam menulis. Ada banyak penulis

imigran dalam kesusastraan Inggris yang berasal dari negara dunia ketiga. India adalah negara

yang menghasilkan banyak penulis berbahasa Inggris, di antaranya adalah Anita Desai, Bharati

Mukherjee, Shashi Tharoor, Amitav Ghosh, Vikram Seth, Sunetra Gupta, Rohinton Mistry,

Jhumpa Lahiri, and Hari Kunzru. Dua orang yang paling berkontribusi besar adalah V.S. Naipaul

dan Salman Rushdie. Diantara keduanya, penulis yang cukup vokal dan kontroversial adalah

Salman Rushdie.

Ahmed Salman Rushdie dilahirkan dari keluarga muslim di Bombay, India, pada 1947

dan kemudian berimigrasi ke Inggris pada 1964. Setelah kepindahannya ke Inggris, ia mulai

produktif menghasilkan beberapa karya dan meramaikan gaya penulisan baru dalam kesusastraan

Inggris. Selama tiga puluh enam tahun karir penerbitannya, Rushdie menjadi pembicaraan dan

perdebatan, ia banyak menerima pujian serta kritikan pedas. Saat ini, Rushdie telah dilihat

sebagai selebriti, karena ia sering muncul di berbagai tabloid dan televisi di seluruh penjuru

dunia. Novel pertamanya berjudul Grimus (1975), berupa fiksi ilmiah yang menceritakan

konferensi burung-burung. Novel kedua Rushdie, Midnight’s Children (1981), mendapat respons

yang sangat besar dari masyarakat dan membawanya menjadi terkenal dalam kesusastraan

internasional, serta memberikan pengaruh besar kepada beberapa penulis India dan imigran.

Setelah karirnya meningkat karena menulis Midnight’s Children, ia kembali menulis kritik

sejarah tentang Pakistan dalam Shame (1983). Kemudian, Rushdie diberi fatwa mati oleh

Ayatollah Khomeini akibat mengkritik agama Islam dalam karyanya yang keempat, The Satanic

Verses (1988). Setelah itu, ia masih meneruskan sumbangannya kepada kesusastraan Inggris

dengan menuliskan beberapa karya di antaranya, The Jaguar Smile (1987), Haroun and the Sea

of Stories (1988), In Good Faith (1990), Imaginary Homelands: Essays and Criticism (1981-

1991), The Wizard of Oz (1991), East, West (1992), The Moor's Last Sigh (1994), The Ground

Beneath Her Feet (1997), Fury (1999), Step Across This Line: Collected Non-fiction (1992-

2002), Shalimar The Clown (2002), The Enchantress of Florence (2008). Walaupun beberapa

karyanya berhasil mendapatkan anugerah dari Booker Prize,misalnya saja Midnight’s Children

yang mendapat tiga anugerah, novelnya juga sempat ditarik dari publikasi oleh beberapa toko

buku. Rushdie sendiri memiliki gaya penulisan yang khas dalam karya-karyanya, dan yang

paling dominan yaitu gaya penarasian realisme magis.

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 3: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

Penelitian terhadap realisme magis dalam karya sastra adalah penting karena pada

dasarnya realisme magis adalah refleksi kenyataan sosial masyarakat. Hal tersebut telah

diungkapkan secara lugas oleh Lois Parkinson Zamora dalam artikelnya berjudul “The

Visualizing Capacity of Magical Realism: Objects and Expression in the Work of Jorge Luis

Borges”, bahwa apa yang berusaha diungkapkan dalam teks-teks realisme magis adalah hal-hal

yang tidak bisa diungkapkan oleh teks realis, karena latar dan objek dalam teks realis berusaha

mengungkapkan diri mereka sendiri, sementara di sisi lain kemagisan dalam teks-teks realis

magis menempatkan dirinya dalam objek-objek, tempat-tempat, dan orang-orang sebagai hal

yang realistis dalam sosial masyarakat (Zamora, 1995). Sebagai salah satu contoh, novel

Midnight’s Children karya Salman Rushdie adalah cerminan sosial masyarakat di negara

poskolonial. Novel Midnight’s Children ditulis sebagai cerita yang memaparkan tentang

kegagalan dan harapan negara poskolonial, yaitu India. Novel ini mendeskripsikan kepada dunia

mengenai kehidupan sosial di negara poskolonial. Dalam kesusastraan Inggris, Salman Rushdie,

memiliki reputasi sebagai pengarang yang paling konsisten menggunakan gaya penulisan

realisme magis. Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk merefleksikan keadaan sosial dengan

mencampurkan unsur realis dan magis. Karya-karyanya terkenal sebagai karya fantasi untuk

mengkritik keadaan India, terutama dalam novel Midnight’s Children. Ia menggambarkan alur

cerita di dalam Midnight’s Children di antara aspek-aspek rasional dan irasional, juga

mengandung aspek supranatural. Rushdie menciptakan dunia anak-anak dengan narasi fantasi,

namun pembaca dapat merasakan karyanya sebagai narasi tentang realitas. Dalam narasi

realisme magis, sebuah kenyataan ditransformasikan dalam alur yang tidak nyata dan melampaui

hal-hal yang masuk akal. Hal yang dilakukan Rushdie tersebut juga merupakan strategi yang

dilakukan oleh penulis realisme magis lainnya, seperti Gabriel Garcia Marquez dan Mikhail

Bulgakov. Christopher Warnes juga mengatakan bahwa Gabriel Garcia Marquez dengan

menggunakan teks-teks realisme magisnya yang supranatural dan tidak masuk akal itu justru

lebih realistis dibandingkan teks-teks yang nyata itu sendiri, dan dalam teksnya, ia bertujuan agar

pembaca memberikan perhatian kepada teksnya (Warnes, 2005). Sementara, Mikhail Bulgakov

dalam karyanya, The Master dan Margarita, menggunakan realisme magis sebagai

ketidakpercayaan terhadap hal supranatural untuk mengungkapkan suatu kemarahan terhadap

keadaan sosial di Rusia (Warnes, 2005). Rushdie melihat paling tidak apa yang telah dilakukan

Marquez dan Bulgakov sebagai hal di luar surrealisme untuk mengungkapkan kegelisahan

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 4: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

negara dunia ketiga. Walaupun narasi dalam Midnight’s Children terlihat seperti cerita anak-

anak sebelum tidur, Rushdie menyisipkan isu-isu besar dan mimpi-mimpi utopis India pada masa

poskolonial. Rushdie seringkali menggunakan celah-celah dari pandangan budaya negara

poskolonial alih-alih sudut pandang hegemonik dunia barat (Warnes, 2005). Mengenai hal ini

penulis berpendapat bahwa Rushdie sengaja menggunakan strategi itu agar karyanya menjadi

dekat dengan pembaca, sementara ia sekaligus ingin menyampaikan pesan dan kritik dalam

karya-karyanya.

Midnight’s Children dianggap sebagai kisah masa kecil Rushdie di India. Saleem Sinai,

sebagai tokoh utama dari novel ini ditugaskan untuk mendeskripsikan kenyataan yang terjadi di

India. Ia adalah seorang anak laki-laki yang lahir pada hari kemerdekaan India, pada 15 Agustus

1947, dan bersamanya juga lahir Shiva pada tengah malam hari tersebut. Saleem terlahir dari

hubungan gelap antara istri seorang pemain akordion dan pemilik perumahan Methwold Estate,

William Methwold. Sementara itu, Shiva adalah anak Ahmed Sinai, seorang pengusaha kaya

yang tinggal di perumahan Methwold setelah Inggris meninggalkan India. Kedua bayi tersebut

ditukar oleh perawat rumah sakit yang berpikir bahwa aksi heroiknya dapat mengubah masa

depan India yang pada saat itu sedang tertimpa kerusuhan etnis dan agama. Akibatnya, Saleem

Sinai menjadi anak Hindu yang hidup di lingkungan keluarga muslim, sedangkan Shiva adalah

anak muslim yang tumbuh dalam keluarga Hindu dan tinggal di daerah kumuh. Dalam novel ini,

Saleem Sinai menjadi seseorang yang menceritakan dan menggambarkan ulang keseluruhan

otobiografi mengenai kisah anak-anak tengah malam. Waktu ketika Saleem dilahirkan adalah

waktu yang sakral, sehingga hal itu menyebabkan dirinya diberkahi dengan kekuatan magis dan

ajaib. Ia dapat melihat ke dalam pikiran dan hati manusia, dan ia juga dapat berkomunikasi

dengan anak-anak lain di seluruh India yang lahir pada waktu yang sama dengan telepati, seperti

yang diceritakan di dalam novel, yang jumlahnya ada seribu satu anak. Alur cerita dalam novel

ini diperlihatkan Rushdie dengan memakai pertentangan: gelap-terang, baik-buruk, yang diwakili

oleh karakter Saleem dan Shiva. Narasi oleh tokoh utamanya, yaitu Saleem, sebagai narator

dalam novel, yang menyiratkan adanya cerita dalam cerita atau cerita berbingkai. Kenangan

Saleem yang ia tuliskan ke dalam kisahnya bertujuan membawa kembali India dari amnesia yang

panjang ke dalam kenyataan sesungguhnya.

Salman Rushdie juga merupakan salah satu pengarang yang menggunakan realisme

magis sebagai gaya penceritaan yang dianggap paling mampu menggambarkan kenyataan sosial

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 5: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

masyarakat. Mengutip sebuah kalimat dalam skripsi yang ditulis oleh Gemilang Sinathriya,

Program Studi Rusia 2006, mengenai kritik sosial Mikhail Bulgakov melalui realisme magis, apa

yang magis adalah realitas dan fakta adalah hal yang digunakan penulis realisme magis sebagai

kritik sosial. Oleh karena itulah topik ini dipilih oleh penulis. Karena itu penulis tertarik meneliti

karya realisme magis sebagai cerminan sosial masyarakat, maka penulis berpendapat bahwa

karya realisme magis adalah karya yang berusaha merangkum keadaan masyarakat yang cukup

dekat dengan kondisi masyarakat sebenarnya. Seringkali, tema yang berusaha direfleksikan

melalui gaya penulisan realisme magis membahas isu kolonial yang muncul dalam periode

tertentu. Penulisan sastra dengan gaya ini bertujuan untuk menunjukkan hubungan antara apa

yang ingin diungkapkan narator dengan latar sejarah pada masa itu. Setiap membaca karya

sastra, tentu saja pembaca memiliki respons terhadap karya tersebut. Pembaca seringkali

mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh utama atau menaruh simpati pada tokoh utama.

Dalam realisme magis, terutama dalam novel Midnight’s Children, tokoh utama sengaja

diposisikan sebagai narator sehingga dapat menyampaikan ideologi yang ingin di bawa dari masa

poskolonial. Hal ini akan terlihat, ketika kita memosisikan diri kita sebagai pembaca, maka akan

ada nada dan sikap yang diperlihatkan oleh narator sebagai tokoh utama yang menjadi fokus

utama dalam novel. Dalam Midnight’s Children, tokoh utama, yaitu Saleem Sinai selalu

memberikan respons terhadap situasi sosial, budaya, dan politik dalam latar poskolonial. Tokoh

utama disini menjadi ambivalen, yang berarti di satu sisi mengkritik, namun di sisi lain

mengunggulkan. Tokoh utama dalam Midnight’s Children mengunggulkan warna lokal,

etnisitas, dan India sebagai bangsa yang baru merdeka dengan segala nilai keeksotisan budaya,

sementara di sisi lain tokoh tersebut mengawasi dan mengkritik keadaan sosial dan politik India,

penyimpangan serta permasalahan yang terjadi di negara itu. Hal ini demi mewakili keresahan

dan kegelisahan suatu masyarakat pada periode poskolonial. Kepengarangan Rushdie dengan

realisme magisnya sangatlah menarik, mengingat bahwa jarang ada pengarang yang menulis

karya di luar lingkungan yang pernah ia alami. Maksudnya, kebanyakan pengarang dibentuk,

dibesarkan, dan menyuarakan pendapat berdasarkan pengalaman dan lingkungan tempat ia

berada.

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 6: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

Realisme Magis dalam Sastra

Teori realisme magis pertama kali diperkenalkan oleh Franz Roh, seorang kritikus seni

berkebangsaan Jerman, pada 1925, yang menyadari realisme magis sebagai sebuah kategori seni.

Realisme magis pada mulanya hadir sebagai suatu istilah kritik seni, yang baru di kemudian hari

diperluas juga pada sastra. Franz Roh pertama kali menggunakan istilah ini untuk melakukan

karakterisasi sebuah kelompok seni lukis yang dikenal sebagai “Post Ekspresionis”. Hal tersebut

dipaparkan dalam buku Magical Realism: Theory, History, Community (1995):

Post-Expressionism offers us the miracle of existence in its imperturbable

duration: the unending miracle of eternally mobile and vibrating molecules.

Out of that flux, the constant appearance and disappearance of material,

permanent objects somehow appear: in short, the marvel by which a variable

commotion crystallizes into a clear set of constants. This miracle of an

apparent persistence and duration in the midst of a demoniacal flux; this

enigma of total quietude in the midst of general becoming, of universal

dissolution: this is what Post-Expressionism admires and highlights ( dalam

Zamora, 1995: 22)

Post-ekspresionisme menyajikan kepada kita sebuah eksistensi dari kekuatan

gaib dalam masa yang sangat tenang: kekuatan gaib yang aktif selamanya dan

getaran molekul-molekul yang tidak ada hentinya. Di luar dari perubahan

yang terus menerus itu, kemunculan yang tetap dan ketidakmunculan yang

material, objek-objek kekal bagaimana pun juga muncul: secara singkat,

keajaiban atas kegemparan yang berbeda-beda mengaburkan pada kumpulan

kejelasan yang konstan. Kekuatan gaib atas kenyataan yang terus menerus dan

masa di tengah-tengah kesurupan yang terus menerus; teka-teki dari kesunyian

yang penuh di tengah-tengah kepantasan yang umum, atas pembubaran yang

universal: inilah apa yang Post-expresionisme kagumi dan soroti ( dalam

Zamora, 1995: 22)

Sehingga bukanlah hal yang mengherankan apabila oleh kritik seni, realisme magis pada

mulanya digunakan untuk mendeskrepsikan pencampuran akan hal-hal yang biasa dengan yang

fantastik. Salah satu gaya penulisan yang digunakan dalam karya sastra untuk mengangkat isu

poskolonial adalah gaya realisme magis. Gaya realisme magis dipilih oleh beberapa penulis

poskolonial sebagai cara pandang mereka terhadap kondisi sosial di negara dunia ketiga.

Penulisan cerita dengan realisme magis menghadirkan nilai-nilai supranatural dan fantasi seperti

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 7: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

kejadian yang biasa terjadi dalam keseharian manusia, sehingga karakter-karakter yang ada

dalam cerita tidak memiliki keanehan.

Realisme magis tidak tampil sebagai realisme semata, tetapi terdapat elemen magis di

dalamnya dan elemen magis ini bersifat intuitif dan tak terjelaskan (Roh, 1925). Realisme magis

dalam karya sastra memiliki motif tersendiri dan bersifat multi-interpretatif. Negara-negara

poskolonial sangat dekat kaitannya dengan nilai-nilai magis. Dalam peradaban di masa lalu

sampai masa modern ini, orang-orang di negara poskolonial percaya terhadap nilai magis dan

spiritual dalam kehidupan mereka. Hal tersebut dibuktikan dengan perkembangan karya sastra

realisme magis sampai sekarang. Dalam buku Magic Realism; Theory, History, Community

(1995) karya Lois Parkinson Zamora dan Wendy B. Faris, diinformasikan bahwa realisme magis

telah menjadi pergerakan internasional dengan sejarah masing-masing dan pengaruh yang

signifikan dalam karya-karya sastra dunia. Berbagai essai yang dibuat oleh Toni Morrison,

Gunter Grass, Salman Rushdie, Derek Walcott, Abe Kobo, Gabriel Garcia Marquez,

menjelaskan bahwa realisme magis telah menjadi fenomena dalam dunia sastra. Christopher

Warnes dalam Naturalizing the Supernatural: Faith, Irreverence and Magical Realism,

memaparkan perkembangan realisme magis dan berpendapat bahwa kepopuleran gaya realisme

magis tidak lepas dari definisi berbagai tokoh, misalnya saja sebagai berikut: Franz Roh (1925)

mendefinisikan realisme magis sebagai proses penyatuan antara kenyataan dan magis, sementara

pada masa yang sama Oswald Spengler menyatakan bahwa apa yang dianggap nyata dan tidak

nyata sebagai mitos dan sejarah serta pandangan terhadap identitas politik. Di Italia, Massimo

Bontempelli menghubungkan sejarah dengan terminologi realisme magis, ia mengungkapkan

bahwa menulis sejarah dengan realisme magis bisa jadi tidak relevan, karena menurutnya

terminologi realisme magis sebaiknya disimpan dalam pikiran saja sebagai asumsi. Kemudian

realisme magis juga menjadi perbincangan besar dalam masyarakat Amerika Latin, pada 1948,

Uslar Pietri mengkritik realisme magis dalam naratologi, namun Angel Flores menilai realisme

magis merupakan fantasi sederhana sebagai modernisme. Pendapat Angel Flores tersebut

dibantah oleh Luis Leal (1967), yang berpendapat bahwa realisme magis bukanlah tentang

menciptakan dunia imajiner, tetapi lebih menunjukkan tentang sikap penulis dalam menghadapi

realitas dan berusaha mendalami apa yang misterius dalam kehidupan manusia. Setelah Leal,

Jorge Luis Borges, yang mengaku dirinya bukanlah penulis beraliran realisme magis mengatakan

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 8: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

bahwa permainan narasi realisme magis dengan kunci asumsi-asumsi di bawah berbagai hal yang

rasional adalah strategi penulisan realisme magis yang dominan di barat.

Dalam sastra, penulisan realisme magis mengandung aspek supranatural, namun

merupakan hal-hal yang diakui, diterima, dan terintegrasi dalam rasionalitas dan materialitas.

Seringkali gaya penulisan realisme magis diidentikkan dengan surealisme, namun realisme

magis berbasis pada ketidaknyataan sebagai kenyataan yang dipercaya. Sementara itu,

surealisme tidak mengeksplor dengan kenyataan yang material, maka ketidaknyataan dalam

surrealisme sulit untuk dipercaya. Gaya penulisan surealisme lebih menggunakan imajinasi dan

pikiran, sehingga gaya penulisan surealisme yang unik berusaha mengekspresikan kehidupan

secara psikologis. Realisme atau aspek kenyataan yang terkandung dalam realisme magis dinilai

masuk akal dan dapat diterima. Hal ini bukan dikarenakan realisme merefleksikan dunia namun

karena realisme mengkonstruksi realitas yang familiar dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Angel Flores berpendapat bahwa realisme magis melibatkan peleburan hal-hal real

dengan hal-hal fantastik, atau dalam kata-katanya, ”suatu penggabungan atau peleburan antara

realisme dan fantasi”(dalam Warnes, 2005 : 3). Dalam realisme magis kehadiran hal-hal

supranatural kerapkali terhubung dengan hal-hal magis negara poskolonial yang hidup dalam

semesta gabungan dengan rasionalitas Eropa (dalam Warnes, 2005 : 4). Kemudian, pada 1955,

Angel Flores, menerapkan istilah realisme magis ke dalam karya sastra Spanyol-Amerika. Flores

menetapkan bahwa Borges adalah orang yang ahli dalam bidang ini dan berpendapat bahwa

Kafka adalah pengarang Eropa yang setara dengan Borges. Dalam kasus ini, realisme magis

telah memperlihatkan perbedaannya dari kenyataan dan para praktisi memperlakukan fantasi

sebagai hal yang normal, tanpa adanya rasa keterkejutan atau ketakjuban. Versi Flores mengenai

realisme magis adalah Dickens dengan keanehennya, bahwa realisme abad ke-19 dibumbui

dengan momen-momen fantastik. (dalam Mullan, 1999). Ahyar Anwar berpendapat bahwa

ketidakjelasan posisi realitas yang nyata dan realitas yang tidak nyata, membuat realitas fiksi

menjadi wacana non-fiksi, demikian juga sebaliknya (Anwar: 2010). Terhubungnya yang nyata

dan tidak nyata, yang natural dan supranatural, yang normal dan paranormal menjadi tersimulasi.

Tersimulasinya dua dunia yang bertentangan adalah faktor mendasar timbulnya hiperrealitas.

Maksudnya, disini karya sastra sebagai reaksi kemunculan simulasi dua dunia: fiksi dan faktual,

rasional dan irasional. Simulasi ini tidak membuat karya sastra menjadi berisi realitas yang tidak

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 9: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

nyata, melainkan membuat sebuah kondisi realitas baru yang dapat sungguh-sungguh dialami

sebagai kenyataan.

Sepanjang menyangkut ragam tema dalam realisme magis, ide penggambaran barat dan

timur berusaha dikemukakan Rushdie sebagai paradoks keadaan sosial politik di India. Contoh

novel yang cukup mewakili penulisan realisme magis Salman Rushdie adalah Midnight’s

Children. Dalam novelnya tersebut, Rushdie memanipulasi batasan antara yang nyata dan tidak

nyata menjadi keadaan yang biasa diterima dalam masyarakat India. Hal ini merupakan

penulisan realisme magisnya yang menarik. Salman Rushdie, melalui novelnya tersebut sukses

merepresentasikan kondisi India dengan menggunakan deskripsi-deskripsi aneh dan karakter-

karakter unik yang diciptakannya. Bukanlah hal yang mengherankan lagi kalau Rushdie

menggunakan realisme magis secara dominan dalam menggambarkan konflik-konflik dalam

novelnya. Dalam novelnya, Midnight’s Children, Rushdie bercerita dengan narasi sejarah,

membuat segalanya begitu mudah untuk dipercayai pembaca, bahkan sekalipun pada bagian

cerita yang kental dengan nilai supranatural. Peristiwa non-realitas dalam novel Midnight’s

Children dijadikan Rushdie seperti peristiwa nyata yang tak dapat disangkal. Selain itu, motif

supranatural juga dituliskan Rushdie, yang terlihat pada peristiwa-peristiwa yang dialami oleh

karakter-karakter tokoh di dalam novelnya itu. Sebab, selain menampilkan watak-watak tokoh

yang begitu ramai dan banyak dengan pengalaman pengembaraannya masing-masing, novel

Midnight’s Children ini juga mengangkat berbagai persoalan India sebelum, saat, dan setelah

masa kemerdekaannya. Rushdie juga menyampaikan pemikiran-pemikiran yang dihasilkannya,

sehingga hal ini dapat menimbulkan pengaruh pada pembacaan atas novel tersebut.

Sastra dan Poskolonialisme

Teori poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik khusus.

Tetapi pendekatan poskolonial segaligus juga merupakan respons dan cermin kekecewaan

kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori potstruktural, terutama yang diformulasikan oleh

Derrida dan Barthes (Budianta, 2004: 49). Teori poskolonial mengakui bahwa wacana kolonial

merasionalkan dirinya melalui oposisi yang kaku seperti kedewasaan atau ketidakdewasaan,

beradab atau biadab, maju atau berkembang, progresif atau primitif (Gandhi, 2001: 44). Dalam

konteks kesusasteraan poskolonial, karya-karya yang dihasilkan semasa atau selepas penjajahan

diterima sebagai karya kesusasteraan poskolonial apabila karya itu merekam, mengandung, dan

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 10: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

berbicara tentang wacana poskolonial. Dengan kata lain, kesusasteraan poskolonial tidak terikat

dengan periodisasi saja, tetapi juga terikat dengan wacana poskolonial. Dalam hal ini, isu-isu

poskolonial memiliki hubungan dengan cerita novel.

Dikarenakan novel Midnight’s Children berlatar kolonial dan poskolonial, maka

merupakan suatu hal yang menarik dalam mengaitkan nasionalisme India dan kolonialismenya.

Dalam membahas nasionalisme dan kolonialisme di India, Partha Chatterjee mengungkapkan

beberapa pendapatnya dalam buku Nationalist Thought and The Colonial World (1986). Ia

beranggapan bahwa terdapat suatu hubungan kekuasaan yang berpengaruh dalam konsep

otonomi budaya. Pada kenyataannya, pemikiran nasionalis hanya sebatas perwujudan tertentu

dari banyaknya masalah yang jauh lebih umum. Jika nasionalisme menunjukkan dirinya sebagai

rentetan keinginan yang tidak masuk akal, maka hal tersebut terjadi karena tujuannya untuk

mewakili dirinya sendiri dalam gambaran pencerahan namun selalu gagal untuk melakukan hal

itu (Chatterjee: 17). Hal tersebut mendukung cerita berlatar sejarah yang digambarkan Rushdie

dalam Midnight’s Children. Pada kenyataannya, keinginan India setelah kemerdekaan adalah

keinginan yang utopis, karena keinginan tersebut tidak didukung dengan rasa nasionalisme yang

kuat. Saleem Sinai, sebagai tokoh utama dalam cerita, sering mengaitkan sejarah hidupnya

dengan sejarah yang dialami India. Ia mengungkapkan bahwa keinginan-keinginan tersebut

menjadi gagal untuk terpenuhi dan malahan menimbulkan permasalahan baru. Chatterjee

menambahkan, bahwa pada masa kolonialisasi, Inggris telah menyebabkan perubahan sosial

dalam masyarakat Hindustan (Chatterjee: 20). Hal itu jelas diceritakan Rushdie melalui narasi-

narasi yang mengkritik mengenai perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat India. Kritikan

Rushdie melalui novelnya ditujukan pada India, bukan negara barat yang menjajah.

Realisme Magis dalam Midnight’s Children Sebagai Representasi India Poskolonial

Dalam novel Midnight’s Children, Rushdie memfokuskan kritik-kritiknya pada keadaan

India poskolonial secara eksplisit. Ia juga mengubah konsep penarasian sejarah dengan

menggunakan elemen-elemen magis dalam menuliskan sejarah India poskolonial. Artinya,

elemen-elemen magis yang terdapat dalam novel digunakan Rushdie untuk mencapai gambaran

realitas India poskolonial. Mengenai hal tersebut, Rushdie ingin menjelaskan bahwa ada hal-hal

yang tak terjelaskan dalam catatan sejarah dan ingin ia ungkapkan. Maka berarti, kritik Rushdie

melalui realisme magis dalam Midnight’s Children adalah gagasannya dalam memandang India

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 11: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

poskolonial. Termasuk melalui tokoh utamanya, Saleem Sinai, yang di dalam novel diposisikan

sebagai narator, maka tokoh tersebut adalah pemegang kuasa atas jalannya alur cerita. Dalam

menceritakan kehidupan autobiografinya, Saleem memaparkan banyak kritikan, baik melalui

metafor atau secara eksplisit dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel. Selain

menunjukkan kritiknya melalui tokoh utama dalam novel, Rushdie juga menghadirkan beberapa

tokoh magis untuk mendukung kritiknya tersebut. Misalnya saja tokoh-tokoh yang sudah penulis

jabarkan pada subbab sebelumnya, yaitu tokoh Saleem, Shiva, Parvati, Sundari, Hantu Joseph

D‟Costa, Ramram Seth, dan Anak-anak Tengah Malam. Rushdie telah memaknai tokoh-tokoh

magis tersebut dalam konteksnya yang baru. Berkaitan dengan kondisi India poskolonial, tokoh-

tokoh magis yang Rushdie ciptakan memiliki motif tersendiri untuk mengkritik kondisi

modernitas yang terjadi. Setelah masa kemerdekaan, masyarakat India dianggap sebagai

masyarakat yang lebih modern daripada sebelumnya. Namun, dengan keberadaan tokoh-tokoh

magis di atas, Rushdie memberi gambaran kepada pembacanya bahwa nilai-nilai magis dan

spiritual dalam masyarakat modern masih tetap diyakini.

Tokoh-tokoh magis yang diciptakan Rushdie melalui tokohnya dalam novel telah

digambarkan sebagai sesuatu yang menjadi kepercayaan masyarakat India sejak lama. Sehingga

pada saat-saat tertentu kemagisan tersebut sudah lama diterima dan mengakar. Walaupun

masyarakat India sudah beralih menjadi masyarakat yang lebih modern, tidak dapat dipungkiri

bahwa dalam periode poskolonial, masyarakat masih mempercayai hal-hal magis tersebut.

Dengan begitu membuktikan apa yang telah penulis katakan sebelumnya bahwa kenyataan yang

ditampilkan Rushdie adalah versi lain dari realitas yang mainstream. Dalam novel, Rushdie

melalui tokoh-tokohnya menggambarkan modernitas mulai memasuki berbagai sendi kehidupan

masyarakat India poskolonial. Karena hal tersebut diterima dengan terbuka, maka muncul

pemahaman baru mengenai pandangan hidup. Rushdie menggambarkan terjadinya perubahan

besar-besaran terhadap sistem politik, ekonomi, dan sosial. Serta terdapat beberapa penghapusan

nilai tradisi dan spiritual yang di rasa ketinggalan zaman. Hal tersebut ia gambarkan melalui

pembangunan di bidang industri. Walaupun begitu, banyak pula nilai, kepercayaan dan tradisi

lama yang masih bertahan di dalam kehidupan masyarakat India poskolonial. Dengan kuas

penceritaan realisme magisnya, Rushdie menilai hal-hal spiritual masih ada dan dipertahankan

dalam situasi India yang beranjak memasuki periode yang modern. Realisme magis yang

Rushdie gunakan, berusaha merekam tradisionalitas dan modernitas yang masing-masing berada

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 12: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

dalam periode poskolonial di India. Dalam hal ini, penulis menilai bahwa Rushdie ingin

menunjukkan bahwa masyarakat India poskolonial berada dalam kondisi modernitas yang belum

sepenuhnya tercapai dan tradisionalitas yang belum sepenuhnya punah. Kemagisan-kemagisan

yang digambarkan dalam novel Midnight’s Children berada satu ranah dengan realitas yang

merepresentasikan kondisi tersebut.

Berdasarkan ketegangan-ketegangan yang terjadi di antara beberapa tokoh, penulis

melihat bahwa dengan kuas penceritaan realisme magisnya, Rushdie ingin menyoroti beberapa

permasalahan yang terjadi dalam modernitas masyarakat India pokolonial. Lewat tokoh Saleem

dan Shiva, Rushdie merepresentasikan konflik agama. Kemudian, dari beberapa Anak-anak

Tengah Malam, Rushdie ingin menunjukkan proses perubahan ke arah modernitas yang

menimbulkan masalah-masalah baru, di antaranya individualisme dan kapitalisme. Masalah baru

tersebut justru membuat beberapa kesenjangan dalam masyarakat India. Sementara itu, tokoh

hantu dan peramal juga difungsikan Rushdie untuk mengangkat kondisi masyarakat dengan

keyakinan spiritualnya dalam menghadapi India yang menuju modernitas.Begitu pula yang

terlihat dari tempat-tempat yang Rushdie gambarkan dalam novel.Bombay dan Perumahan

Methwold, menjadi tempat-tempat transisi antara hal-hal spiritual dan modern. Sementara

melalui Muhalla, ditunjukkan bahwa masih adanya tempat dimana hal-hal spiritual melekat kuat

di antara tempat-tempat lain di India yang mulai beranjak menjadi tempat modern.

Hal-hal dalam penokohan dan latar yang muncul itulah yang menggambarkan kondisi

masyarakat yang masih hidup dengan kepercayaan spiritual. Sebagai masyarakat yang beragama,

masyarakat India masih memiliki kepercayaan bahwa agama membawa kedamaian dan dalam

agama masing-masing diajarkan bahwa rangkaian peristiwa dalam hidup adalah kuasa seorang

Tuhan. Sementara, dalam kehidupannya mereka juga mempercayai ramalan dan makhluk gaib

yang mempengaruhi kehidupan mereka, atau bahkan kepercayaan mereka akan makhluk gaib

hampir sama dengan kepercayaan mereka akan Tuhan. Melihat permasalahan yang telah

tergambarkan dalam novel, terlihat bahwa masyarakat India poskoloial sedang berada dalam

masa transisi dan memiliki keinginan untuk mengubah taraf hidupnya menjadi lebih modern.

Pandangan-pandangan Rushdie terhadap India poskolonial hampir sama seperti apa yang

dilihat oleh sejarawan India, Partha Chatterjee. Dalam hal ini, pandangan Chatterjee akan penulis

gunakan untuk melihat bagaimana sejarawan merespon konstruksi India poskolonial. Hal

tersebut bertujuan untuk melihat dekat Rushdie dalam melihat India poskolonial melalui

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 13: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

Midnight’s Children. Partha Chatterjee adalah seorang profesor bidang antropologi dan juga

sejarawan India. Dalam buku-buku dan esai-esainya, Chatterjee mengkaji mengenai

permasalahan nasionalisme, kolonialisme, poskolonialisme, dan modernitas. Ia memfokuskan

kajiannya pada India. Seringkali kajiannya terhadap permasalahan tersebut Ia sampaikan melalui

kritik terhadap India dalam buku-buku dan esai-esai yang ia buat.Dalam mengkritisi

permasalahan ekonomi India poskolonial, Chatterjee dalam artikelnya „Democracy and

Economic Transformation in India‟ berpendapat seperti berikut:

I think that the advance of capitalist industrial growth is inevitably breaking

down peasant communities and turning peasants into proletarian workers, as

has been predicted innumerable times in the last century and a half. On the

contrary, I will argue that the forms of capitalist industrial growth now under

way in India will make room for the preservation of the peasantry, but under

completely altered conditions (Chatterjee, 2008).

Dalam artikelnya tersebut, Chatterjee berasumsi bahwa kemajuan industri kapitalis di

India merugikan orang-orang kelas menengah ke bawah di India. Ia mengambil salah satu contoh

yaitu komunitas petani di India. Dalam kutipan di atas, Chatterjee menyebutkan bahwa

komunitas petani dapat menjadi pekerja proletar dan hal tersebut dapat mengubah kondisi

mereka. Artinya, posisi mereka berada di bawah kaum kapitalis. Kemunculan kapitalisme di

masa poskolonial ini banyak menimbulkan dampak, terutama mulai terbentuknya kesenjangan

sosial antara pemilik modal dan pekerja.

Menanggapi masalah modernitas dalam masyarakat India poskolonial, dalam buku The

Nation and Its Fragments: Colonial and Postcolonial Histories, Ia berpendapat bahwa:

modernity was a conception that denoted a spiritual and culturalessence as the foundation for

non-Western nationalism (Chatterjee, 1993). Maksudnya, modernitas seharusnya menyatukan

aspek budaya dan spiritual sebagai fondasi nasionalisme di India. Hal tersebut penting untuk

meningkatkan identitas nasional, karena selama ini masyarakat India hanya melihat modernitas

sebagai suatu hal yang bersumber dari Barat. Maka, masyarakat yang modern tetap harus

mengikutsertakan kebudayaan dan kespiritualan mereka sebagai identitas.

Dari paparan mengenai kritik konstruksi India poskolonial, terdapat beberapa kesamaan

antara kritik Rushdie dan Chatterjee. Keduanya sama-sama membahas mengenai kesenjangan

sosial yang terjadi di India. Rushdie menjelaskan melalui kisah Sundari yang merupakan bagian

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 14: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

dari anak tengah malam, sementara Chatterjee mengambil contoh melalui kaum menengah ke

bawah India yang terkena dampak dari kapitalisme: komunitas petani. Kemudian, kritik

mengenai masalah modernitas India poskolonial. Rushdie menilai bahwa terdapat berbagai

perubahan dalam masyarakat India yang modern. Perubahan tersebut mengantarkan masyarakat

India kepada masalah individualisme dan kapitalisme. Kemudian Rushdie juga membahas

mengenai hal-hal magis dan kepercayaan terhadap takhayul yang berbenturan dan mulai

dihilangkan oleh masyarakat India moderen. Chatterjee justru menilai bahwa hal-hal spiritual

sebaiknya termasuk dalam konsep modernitas agar masyarakat India tetap memiliki identitas

budayanya. Dalam hal ini berarti karya sastra realisme magis Rushdie tidak dapat terlepas dari

kenyataan sosial masyarakat, karena ditemukannya kesinambungan antara cara Rushdie dan

sejarawan India dalam melihat India poskolonial.

Melihat pandangan Rushdie dan Chatterjee mengenai permasalahan modernitas di India

poskolonial, maka penulis melihat adanya suatu bentuk modernitas yang berbeda dengan konsep

modernitas Barat. Modernitas ini lahir sebagai bentuk benturan antara hal-hal spiritual dan

faktual. Dalam modernitas ini, masyarakat India poskolonial sedikit demi sedikit merespon nilai-

nilai modern, namun tidak meninggalkan nilai spiritual yang mengakar dalam budaya mereka.

Hal-hal spiritual pada dasarnya dekat dengan masyarakat India, sebab mereka membutuhkan hal

tersebut sebagai sarana yang tak terpisahkan dalam gaya hidup mereka secara turun temurun.

Realisme magis yang Rushdie gunakan berfungsi melihat kekokohan nilai spiritual dalam

kondisi India yang memasuki era modern. Maka berarti, modernitas di India poskolonial belum

mengakar dan tumbuh secara sukses. Adanya kelemahan dalam praktek modernitas. Hal ini

terbukti dalam proses transformasi ke arah modern, masyarakat India masih sulit melepaskan

nilai-nilai spiritual. Akibatnya, kondisi masyarakat India poskolonial menjadi kurang dinamis

dan melahirkan sejumlah permasalahan baru bagi kehidupan bernegara.

Dengan kata lain, melalui realisme magis, Rushdie menangkap adanya karakteristik yang

berbeda antara kondisi modernitas yang terjadi di India poskolonial dengan modernitas Barat.

Hal tersebut dikarenakan kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya siap menerima nilai

modern dan juga tidak dapat melepaskan hal-hal spiritual dalam kehidupan mereka. Maka dapat

disimpulkan bahwa kondisi India poskolonial merupakan peleburan aspek-aspek spiritual dan

modernitas.

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 15: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

Kesimpulan

Setelah menelaah aspek-aspek realisme magis yang merupakan fondasi utama dalam

membentuk novel ini, dapat dinyatakan bahwa novel ini adalah sebuah karya bergaya realisme

magis. Sementara itu, dalam penelaahan unsur-unsur pembangun karya ini, penulis

menyimpulkan bahwa karya ini merupakan karya sastra yang mengangkat permasalahan

poskolonial. Beberapa penggunaan latar waktu, seperti tanggal dan waktu, dan isi cerita berfokus

pada kondisi India poskolonial. Banyaknya keganjilan dan ketidakrasionalan dalam novel ini

merupakan cara tersendiri bagi pengarang dalam menunjukkan cara pandangnya terhadap

realitas. Kuatnya aspek-aspek magis yang berada di dalam realitas adalah sebuah penafsiran

khusus novel ini terhadap dunia India poskolonial. Salman Rushdie menggunakan stilistika

realisme magis yang bertujuan untuk mendobrak tatacara realisme mainstream. Dengan stilistika

tersebut, sebagai pengarang, Rushdie menciptakan dunia yang aneh, asing, tidak biasa, namun

keanehan tersebut tetap menjadi bagian dari realitas. Aspek-aspek realisme magis terlihat dari

penggambaran, sikap, dan perilaku tokoh-tokoh. Selain itu, realisme magis terlacak melalui

peristiwa-peristiwa yang terjadi di India pada periode poskolonial. Gambaran yang dinarasikan

dengan realisme magis tidaklah dapat diidentifikasi dengan sederhana dan mudah.Di dalam

novel Rushdie ini, terdapat tokoh-tokoh, yang ditunjukkan memiliki kemampuan-kemampuan

magis. Melalui tokoh-tokoh tersebut terlihat usaha Rushdie untuk menarasikan India poskolonial.

Walaupun alur dalam novel ini terlihat sangat kompleks, Rushdie melalui realisme magisnya

dapat menggambarkan secara jelas kepada pembaca mengenai tokoh, latar, dan peristiwa, yang

juga mewakili gambaran India poskolonial. Pengarang mampu mengangkat hal-hal yang menjadi

permasalahan penting yang terjadi pada periode poskolonial, khususnya di India, misalnya saja,

melalui pertentangan tokoh Saleem dan Shiva, Rushdie berusaha merefleksikan permasalahan

agama di India.

Di India poskolonial, pertentangan agama Islam dan Hindu kerap terjadi dan dapat

menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat. Era modernisasi India terlihat semakin pekat

menampakan kesenjangan sosial dan diskriminasi. Melalui stilistika realisme magisnya, maka

Rushdie menuliskan sejarah yang bersumber dari realitas sejarah India aslinya. Dengan kritik-

kritik yang Ia ungkapkan, bukan tidak mungkin bahwa Rushdie sebagai pengarang novel telah

membentuk persepsi bagi pembaca Midnight’s Children mengenai sejarah India poskolonial.Hal

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 16: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

tersebut menjadi hal yang patut disoroti dalam pola yang tergambar dalam novel Midnight’s

Childrenini. Itu juga yang menjadi sebab mengapa Rushdie lebih sering mengkritik serta

mengeluarkan apa yang menjadi pikirannya dalam menghadapi kondisi India poskolonial.

Terlebih mengenai permasalahan modernitas yang ia representasikan melalui tokoh-tokoh dan

latar dalam novel. Melalui representasi-representasi tersebut, penulis menemukan adanya

permasalahan dalam India poskolonial. Permasalahan tersebut yang merefleksikan hal-hal

spiitual masyarakat India: terdapat kepercayaan-kepercayaan dalam masyarakat sehingga

memperlihatkan bagaimana kondisi modernitas sesngguhnya dalam periode poskolonial.

Rushdie dapat menanamkan nilai-nilai nyata pada kehidupan tokoh-tokoh ciptaannya.

Kemudian, isu-isu tersebut oleh Rushdie dituangkan ke dalam bentuk kritik terhadap modernitas.

Kritik-kritik yang disampaikan dalam periode poskolonial menyoroti masalah modernitas yang

menyatukan nilai-nilai spiritual dan modern.

Kemudian, terdapat beberapa kesamaan kritik yang dipaparkan Rushdie dan sejarawan

India, Pharta Chatterjee, membuktikan kesamaan sudut pandang antara novelis dan sejarawan

dalam melihat India poskolonial. Di samping itu, karya sastra memiliki kemampuan untuk

menyejajarkan dirinya dengan tulisan sejarah, serta menyuguhkan versi sejarah alternatif.

Adanya kesamaan sudut pandang tersebut berarti membantah pernyataan Massimo Bontempelli

bahwa menulis sejarah dengan realisme magis bisa jadi tidak relevan (dalam Warnes, 2005 ).

Dapat dikatakan jika penulisan realisme magis Salman Rushdie tidak sesuai dan tidak mewakili

realitas India poskolonial, maka pernyataan Bontempelli bahwa menulis sejarah dengan realisme

magis adalah hal yang mungkin tidak relevan menjadi benar adanya. Namun, yang terjadi justru

sebaliknya, Rushdie dengan realisme magisnya tampak berhasil melukiskan kondisi India

poskolonial, yang terbukti dari kesejajaran cara Rushdie dan sejarawan India dalam memahami

India poskolonial. Apa yang ditampilkan oleh penulisan realisme magis Rushdie adalah

semacam paralelisme antara India poskolonial dalam Midnight’s Children dan konteks India

poskolonial. Intensitas Rushdie dalam menggunakan metafora adalah wujud pemahaman

kritisnya mengenai sejarah India poskolonial, sehingga dengan cara memunculkan keganjilan

mengenai realitas yang dibangun dalam karya sastranya, Rushdie dapat menghasilkan katarsis

untuk pembaca karyanya.

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 17: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

Secara umum, penulis menemukan bahwa terdapat keterkaitan antara kandungan realisme

magis dan isuposkolonial dalam Midnight’s Children. Dengan kata lain, teks realisme magis

berfungsi untuk menyajikan gambaran poskolonial yang cukup akurat, terutamadalam

Midnight’s Children. Namun, penelitian ini masih belum mengeksplorasi lebih jauh

kepengarangan Rushdie dalam kajian poskolonial. Masih banyak karya-karya Rushdie yang

belum dikaji dari segi poskolonial. Penelitian realisme magis dari sudut pandang poskolonialis di

Universitas Indonesia memang baru dilakukan. Sebaiknya, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan

terkait keberadaan karya-karya realisme magis yang membahas isu poskolonial selain teks ini.

Referensi

Anwar, A. (2010). Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Budianta, M. (2004). Oposisi Biner dalam Wacana Pascakolonial, Teori

Poskolonial dan Aplikasinya Pada Karya Sastra. Bandung: Crest dan CCF

Chatterjee, P. (1986). Nationalist Thought and The Colonial World. London:

United Nations University.

Chatterjee, P. (1994). The Nation and Its Fragments; Colonial and Postcolonial

Histories. Princeton: Princeton University Press.

Christoper, D. (1999). British Culture, An Introduction. London dan New York:

Routledge

Gandhi, L. (1998). Postcolonial Theory: A Critical Introduction. Columbia University Press

Mullan, D. (1999). Magic Realism: A Problem. School of English at the Queen's University of

Belfast

Ramamurti, K. S. (1987). Rise of the Indian Novel in English. Delhi: OUP.

Roh, F. (1995). Magic Realism: Post-Expressionism. Ed. L. P. Zamora and W. B.

Faris. Durham: Duke UP

Rushdie, S. (1981). Midnight’s Children. London: Picador.

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 18: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

Zamora, Lois dan Wendy B. Faris. (1995). Magical Realism: Theory, History,

Community. Durham, NC dan London: Duke University Press

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 19: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASITUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

NamaNPMProgram Studi : \3 f J $DepartemenFakultasJenis Karya (SkTips^Tesis/Disertasi/Karya Ilmiah*:

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-Free Right)atas karya ilmiah saya yang berjudul:

oniCii < ' 'Children

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif iniUniversitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengclola dalambentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selamatetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat diPada tanggal :...M...F«br.V>.Qr»

Yang menyatakan

* Contoh Karya Ilmiah: makalah non seminar, laporan kerja praktek, laporan magang, dll

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013

Page 20: Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India

FORMULIR PERSETUJUAN PUBLIKASI NASKAH RINGKAS

Yang bertanda tangan di bawa1-1 ini:NamaNIP/NUP

Pembimbing dari mahasiswa^l/S2/S3*:Nama : OfX^ \̂OaNPM : OBOG393901Fakultas : \\oProgram Studi : \n9gr\judui Naskah Ringkas: 5t)Vlc^KQ fteaY.sme W\c»9>S

PoSrtotoK.ql <ta\air> Newel So^rnan Uv)Sdie i Mic/n/oArc riMenyatakan bahwa naskah nngkas ini telah dipenksa, diperbaiki, ^•r>'dipertimbangkan dan dinyatakan dapat diunggah di Ul-ana(lib.ui.ac.id/unggah) dan (pilih salah satu dengan memberi) tanda silang :

X Dapat diakses dan dipublikasikan di Ul-ana (lib.ui.ac.id)

\n diproses diterbitkan pada Jurnal Prodi/Jurusan/Fakultas di UI.

Akan diterbitkan pada presiding seminar nasional pada Seminar

yang diprediksi akan dipublikasikan pada (bulan/tahun terbit)

Akan diterbitkan pada Jurnal Nasional yaitu(nama Jurnal),

yang diprediksi akan dipublikasikan pada (bulan/tahun terbit)

Akan ditulis dalam bahasa Inggris dan diterbitkan pada presiding KonferensiInternasional pada

yang diprediksi akan dipublikasikan pada (bulan/tahun terbit)

Naskah ringkas ini baik, dan akan diubah/digabung dengan hasil penelitianlain dan ditulis dalam bahasa Inggris untuk dipersiapkan ke jurnalinternasional, yaitu:dan akan akan dipublikasikan pada (bulan/tahun)

Ditunda publikasi onlinenya karena akan/sedang dalam proses paten/HKI

Depok,

*

C VPembimbingfikripsj/Tesis/Disertasi*

pilih salah satu

Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013