subdural hematoma
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera otak yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah cedera akibat rudapaksa
kepala (trauma kapitis). Di negara maju, kecelakan lalu lintas merupakan penyebab kematian
utama pada umur antara 2 – 44 tahun, dimana 70% diantaranya mengalami rudapaksa kepala
1-3 Di Surabaya, frekuensi trauma kapitismeningkat dengan 18% setiap tahunnya.
Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada
komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio
serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan
otak disertai robekan duramater. Pembagian lain menyebutkan bahwa pada komosio serebri,
penurunan kesadaran kurang dari 15 menit dan post traumatic amnesia kurang dari 1 jam.
Bila penurunan kesadaran melebihi 1 jam dan post traumatic amnesia melebihi 24 jam berarti
telah terjadi kontusio serebri. Perlu ditambahkan juga ada atau tidaknya gejala cedera otak
fokal yang dini, dan hasil rekaman EEG. Pembagian seperti di atas ternyata tidak memuaskan
karena batas antara kontusio dan komosio serebri sering kali sulit dipastikan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Seperti yang disinggung di latar belakang, kita dapat rumuskan:
1. Apa itu subdural hematom
2. Penyebab dari subdural hematom
3. Penanganan subdural hematom
4. Pencengahan subdural hematom
Page 1
1.3 TUJUAN PENULIS
1. Menjelaskan defenisi, penyebab, patofiologi subdural hematom
2. Berbagi pengetahuan tentang subdural hematom
1.4 MANFAAT PENULIS
Manfaat yang akan diperoleh dari makalah ini:
1. Menambah wawasan tentang subdural hematom
2. Lebih mengenal lagi tentang subdural hematom
Page 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meningens. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau durameter dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea
dan piameter.
a. Perkembangan Otak
Otak manusia mencapai 2% dari keseluruhan berat tubuh, mengkonsumsi 25%
oksigen dan menerima 1,5% curah jantung. Bagian cranial pada tabung saraf membentuk tiga
pembesaran (vesikel) yang berdiferensiasi untuk membentuk otak : otak depan, otak tengah
dan otak belakang.
Otak depan (proensefalon) terbagi menjadi dua subdivisi : telensefalon dan
diensefalon. Telensefalon merupakan awal hemisfer serebral atau serebrum dan basal ganglia
serta korpus striatum (substansi abu-abu) pada serebrum. Diensefalon menjadi thalamus,
hipotalamus dan epitalamus.
Otak tengah (mesensefalon) terus tumbuh dan pada orang dewasa disebut otak tengah.
Otak belakang (rombensefalon) terbagi menjadi dua subdivisi : metensefalon dan
mielensefalon. Metensefalon berubah menjadi batang otak (pons) dan serebelum.
Mielensefalon menjadi medulla oblongata. Rongga pada tabung saraf tidak berubah dan
berkembang menjadi ventrikel otak dan kanal sentral medulla spinalis.
b. Lapisan Pelindung
Otak terdiri dari rangka tulang bagian luar dan tiga lapisan jaringan ikat yang disebut
meninges. Lapisan meningeal terdiri dari pia meter, lapisan araknoid dan durameter.
Page 3
a) Pia meter adalah lapisan terdalam yang halus dan tipis, serta melekat erat pada otak.
b) Lapisan araknoid terletak di bagian eksternal pia meter dan mengandung sedikit pembuluh
darah. Runga araknoid memisahkan lapisan araknoid dari piameter dan mengandung
cairan cerebrospinalis, pembuluh darah serta jaringan penghubung serta selaput yang
mempertahankan posisi araknoid terhadap piameter di bawahnya.
c) Durameter, lapisan terluar adalah lapisan yang tebal dan terdiri dari dua lapisan.
Lapisan ini biasanya terus bersambungan tetapi terputus pada beberapa sisi spesifik.
Lapisan periosteal luar pada durameter melekat di permukaan dalam kranium dan berperan
sebagai periosteum dalam pada tulang tengkorak. Lapisan meningeal dalam pada
durameter tertanam sampai ke dalam fisura otak dan terlipat kembali di arahnya untuk
membentuk falks serebrum, falks serebelum, tentorium serebelum dan sela diafragma.
Ruang subdural memisahkan durameter dari araknoid pada regia cranial dan medulla
spinalis. Ruang epidural adalah ruang potensial antara perioteal luar dan lapisan meningeal
dalam pada durameter di regia medulla spinalis.
2.2 Subdural Hematoma
2.2.1 Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam
bentuk akut yang hebat, baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut
sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan
subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang
subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala
tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah
cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah.
Page 4
2.2.2 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional
yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
1. Trauma kapitis
2. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan
subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.
4. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.
5. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang
spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
6. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
2.2.3 Patofisologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan
sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang
bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan
terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena
halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan
menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik
cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena
tekanan intracranial yang berangsur meningkat
Page 5
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga
walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada
perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang
besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma
subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini
memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari
cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan
tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang
cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan
melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya
perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika
seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan
supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke
Page 6
thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang
lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori
dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga
akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural
hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran
dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu
ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan
bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik..
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala-
gejala klinis yaitu :
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada
pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan
karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
Page 7
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati
hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi
hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah
permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama
pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat
pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya
hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan
dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti
pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien
yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi
hipodens.
Pembagian Subdural kronik:
Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan
subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
1. Tipe homogen ( homogenous)
2. Tipe laminar
3. Tipe terpisah ( seperated)
4. Tipe trabekular (trabecular)
Page 8
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang
trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya
dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar.
Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan
hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan.
Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan
subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
1. Tipe konveksiti ( convexity).
2. Tipe basis cranial ( cranial base ).
3. Tipe interhemisferik
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi,
sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan
subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna
untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.
2.2.4 Gejala
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini
juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari
penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
Page 9
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan
intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar
dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan
menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.
Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane
fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan
merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma.Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan
CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-
gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya
pengaliran perdarahan ini adalah:
1. sakit kepala yang menetap
2. rasa mengantuk yang hilang-timbul
3. linglung
4. perubahan ingatan
5. kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Page 10
Kerusakan pada bagian otak tertentu
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada
korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan
beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga
mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis
bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi
kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak,
Page 11
biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan
kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan
apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian
depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan
akibat yang terjadi akibat perilakunya.
Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan
berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa
berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di
sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi
tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan
untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk
menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali
bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan
bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding).
Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun
melakukan pekerjaan sehari-hari.
Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan
gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur
emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya
ingatan akan suara dan bentuk.
Page 12
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman
bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam
mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-
dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
2.2.5 Penatalaksanaan
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan
konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang
rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuranBaik pada
kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka
jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum
diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah
airway, breathing dan circulation (ABCs).
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural
kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang
minimal.
Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai
komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah
menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk
dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan
prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik
ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan
mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma, adanya trias klinis
yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral
hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana
sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
Page 13
Indikasi Operasi :
1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
2. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala
tidak bisa dilakukan.
Perawatan Pascabedah :
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan
dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Setelah operasi pun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat
terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah yang baru terbentuk,
subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension
pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya
reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan
sumber perdarahan harus ditiadakan.
Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknyajuga dilakukan Markam Follow-
up, CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
Penjelasan Kesehatan untuk Keluarga
Keluarga diberikan penkes tentang perawatan pasien dengan masalah cedera kepala,
diantara yaitu :
1. Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi cidera kepala
termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena itu perlu control dan berobat
secara teratur dan lanjut.
2. Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama dirawat dan dirumah
nantinya
Page 14
3. Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-
hari pasien
4. Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana agar tidak terjadi
cidera pada neuromuskuler
5. Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila saatnya pulang, kapan
harus istirahat, aktifitas dan kontrol selama kondisi masih belum optimal terhadap dampak
dari cidera kepala pasien dan sering pasien akan mengalami gangguan memori maka
mengajarkan pada keluarga bagaimana mengorientasikan kembali pada realita pasien.
Rehabilitasi
1. Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti kontraktur,
osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi saluran kencing.
Goal jangka pendek
a.Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan posture
untuk mobilitas dan keamanan.
b.Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi musculoskletal,
defisit neurologi
2. Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi seperti kontraktur
dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM (pergerakan sendi) dan
mobilisasi dini.Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang
melibatkan lingkungan dirumah
3. Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management dan program
sensory stimulation
4. Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis :dokter ,terapis, ahli gizi,
perawat, pasien dan keluarga.
5. Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang adekuat,
edukasi keluarga.
Page 15
2.2.6 Diagnosa banding
Dementia, stroke, TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs reactions, gangguan
kejiwaan, Tumor otak, perdarahan subarachnoid, Parkinson, hydrocephalusdengan tekanan
normal.
2.2.7 Prognosis
Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik,
karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang
disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat
dapat mencapai sekitar 50 %.
Page 16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam
bentuk akut yang hebat, baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut
sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan
subdural pada jejas langsung di otak.
Indikasi Operasi :
a. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
b. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
c. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan
Kepala tidak bisa dilakukan.
3.2 Saran
Makalah ini mungkin tidaklah mencukupi untuk memenuhi keingintahuan kita semua
untuk mendapatkan jawaban yang sangat memuaskan, karena itu kami harapkan, apabila ada
masukan atau permasalahan kami siap menerima setiap aspirasi baik itu berdiskusi maupun
tanya jawab, karena bagi kami ilmu pengetahuan tidaklah terbatas, ilmu pengetahuan
merupakan harta yang tegantikan.
Page 17
DAFTAR PUSTAKA
Sloane Ethel, “Anatomi dan Fisiologi”,2004.EGC ; Jakarta
Gst.Ng.Gd Ngoerah, Prof , “Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf”,1991. Airlangga
University Press ; Surabaya
Ginsberg Lionel , “Neurologi”, edisi VIII, 2007. Airlangga. Jakarta
Zi, “Hematoma Subdural”, http://yazid88.blogspot.com/2009/04/kasus-2-nn.html
(diakses tanggal 4 april 2013)
Page 18