tafsir pancasila: reformulasi moderasi beragama …

16
Proceeding IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization Faculty of Islamic Studies – University of Islam Malang IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 8 TAFSIR PANCASILA: REFORMULASI MODERASI BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF TAFSIR MAQĀṢDĪ 1 Lufaefi, 2 Ahmed Zaranggi Ar Ridho 1 Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, 2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta e-mail: 1 [email protected] , 2 [email protected] Abstract Pancasila and Islam are often contradicted. The moderate view in interpreting the meeting point between the two seems not firmly in stating Islam is in line with the essence of the five principles of Pancasila. Most emphatically, it only states that the ideological values of the nation are relevant and do not conflict with Islamic values. This idea raises criticism from extreme groups by asserting that the essence of Islam is its essence, not just its values. So that the problem of finding the culmination point between religious messages and the nation's ideology does not end and is increasingly problematic. The perspective of maqashidi interpretation provides an alternative in understanding and finding the essential messages of the five principles of Pancasila and Islam. The meaning of Pancasila with the maqashidi interpretation is through a studyof the meaning og ‘urfiyyah that logically the five values of Pancasila are really relevant to the condition of the Indonesian poeple as a diverse society, namely poeple who need divinity (no one of reliogion), humanity, unity, deliberation and social justice. Key words: Tafsir Pancasila, Tafsir Maqashidi, Religious Moderation. INTRODUCTION Moderasi beragama masih menjadi gagasan yang terus didiskusikan baik di lembaga-lembaga formil akademik maupun di ruang publik secara umum. Konsepsi ini dianggap sebagai konsep yang mampu mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan golongan. Digawangi oleh Kementerian Agama, moderasi beragama menjadi kajian yang terus dilakukan. Meski demikian, konsep moderasi beragama masih belum konkrit. Selain karena belum berumur panjang, gagasan moderasi beragama identik hanya untuk agama Islam. Dengan menerbitkan buku “Moderasi Beragama”, KEMENAG memberikan perspektif pemahaman agama yang modera. Buku yang disambut oleh Menteri Agama 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin itu secara umum memberikan makna moderasi beragama, yakni sebagai sikap yang mengutamakan keseimbangan perihal keyakinan, moral dan watak, baik berhadapan dengan individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara (Kemenag, 2019). Kritik terhadap konsepsi moderasi beragama muncul dalam bentuk

Upload: others

Post on 18-Feb-2022

42 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Proceeding IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization

Faculty of Islamic Studies – University of Islam

Malang

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 8

TAFSIR PANCASILA: REFORMULASI MODERASI BERAGAMA DALAM

PERSPEKTIF TAFSIR MAQĀṢDĪ

1 Lufaefi, 2 Ahmed Zaranggi Ar Ridho

1Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, 2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta e-mail: [email protected] , [email protected]

Abstract Pancasila and Islam are often contradicted. The moderate view in interpreting the meeting point between the two seems not firmly in stating Islam is in line with the essence of the five principles of Pancasila. Most emphatically, it only states that the ideological values of the nation are relevant and do not conflict with Islamic values. This idea raises criticism from extreme groups by asserting that the essence of Islam is its essence, not just its values. So that the problem of finding the culmination point between religious messages and the nation's ideology does not end and is increasingly problematic. The perspective of maqashidi interpretation provides an alternative in understanding and finding the essential messages of the five principles of Pancasila and Islam. The meaning of Pancasila with the maqashidi interpretation is through a studyof the meaning og ‘urfiyyah that logically the five values of Pancasila are really relevant to the condition of the Indonesian poeple as a diverse society, namely poeple who need divinity (no one of reliogion), humanity, unity, deliberation and social justice. Key words: Tafsir Pancasila, Tafsir Maqashidi, Religious Moderation.

INTRODUCTION

Moderasi beragama masih menjadi gagasan yang terus didiskusikan baik

di lembaga-lembaga formil akademik maupun di ruang publik secara umum.

Konsepsi ini dianggap sebagai konsep yang mampu mempertahankan kesatuan

dan persatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan golongan.

Digawangi oleh Kementerian Agama, moderasi beragama menjadi kajian yang

terus dilakukan.

Meski demikian, konsep moderasi beragama masih belum konkrit. Selain

karena belum berumur panjang, gagasan moderasi beragama identik hanya

untuk agama Islam. Dengan menerbitkan buku “Moderasi Beragama”, KEMENAG

memberikan perspektif pemahaman agama yang modera. Buku yang disambut

oleh Menteri Agama 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin itu secara umum

memberikan makna moderasi beragama, yakni sebagai sikap yang

mengutamakan keseimbangan perihal keyakinan, moral dan watak, baik

berhadapan dengan individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara

(Kemenag, 2019).

Kritik terhadap konsepsi moderasi beragama muncul dalam bentuk

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 9

sebagai konsep yang datang dari Barat. Kritik ini disampaikan dalam sebuah riset

yang menyatakan bahwa moderasi beragama adalah konsep yang mengacu pada

gagasan Lembaga Kajian Strategik Amerika Serikat, Rand Corporation dalam

“Building Noderate Muslim Networks”, yang menerangkan bahwa karkter

moderasi beragama adalah mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM

termasuk kesetaraan gender, kebebasan beragama, menghormati suku lain, dan

menolak terorisme (Sukma, 2017).

Selain itu mengacu pada gagasan Robert Spencer, analis ternama Amerika

Serikat, menyebut seseorang yang masuk dalam kriteria moderat di dalam

beragama, yaitu menolak memberlakukan syariat Islam kepada non Muslim,

menolak supremasi Islam atas agama lain, menolak konsepsi murtad harus

dibunuh, mendorong agar orang Islam setuju dengan pernikahan beda agama,

dan lain sebagainya (Spancer, 2008). Dari sini dapat disimpulkan bahwa

meskipun moderasi menjadi harap bagi masa depan bangsa, namun masih

banyak yang mengkritik karena merupakan konsep yang sekuler, bukan dari

Islam.

Sebuah artikel di media online keislaman juga menyebut bahayanya

kurikulum moderasi beragama yang hendak diterapkan oleh Kementerian

Agama. Ini karena moderasi beragama menjauhkan generasi muda dari agama

Islam yang mulia. Bahkan dapat memicu kebencian terhadap hukum-hukum

Islam. Di sisi yang lain, moderasi beragama juga sangat toleran kepada ide-ide

kufur seperti HAM, pergaulan bebas, LGBT, dan feminisme (Muslim, 2019).

Gagasan moderasi beragama masih menyisakan konflik, baik dari sisi konsep

mauoun praktiknya.

Problem lain terkait dengan belum belum berhasilnya konsepsi moderasi

beragama di dalam wilayah praktik, masih banyaknya orang-orang yang

berfikiran radikal di dalam beragama. Bahkan, beberapa di antaranya melakukan

bom bunuh diri dengan mengatasnamakan penegakkan syariat Islam. Atas nama

menegakkan agama, sebagian orang menolak moderasi beragama, dan

tetapteguh dengan konsepsi Islam Kaffah dan Khilafah Islamiyyyah (Thayyib,

2016). Oleh sebab demikian amat perlu untuk kembali membuat formulasi baru

moderasi beragama, sebagai alternatif untuk mendudukkan konsepsi keagamaan

dan kebangsaan di dalam konteks bangsa Indonesia yang beragam, termasuk

beragam dalam keyakinan dan keagamaan.

Tentu saja, yang salah bukanlah konsepsi moderasi beragamanya, akan

tetapi – bisa sangat mungkin – adalah dasar-dasar yang dibangun untuk

membangun konsepsi moderasi beragama. Oleh demikian, makalah ini

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 10

mengajukan reformulasi moderasai beragama dalam kacamata tafsir Maqashidi.

Melalui telaah atas sila-sila Pancasila, dan kaitannya teks-teks suci Al-Qur’an,

formulasi moderasi beragama tidak terkesan sekuler. Formulasi moderasi

beragama – dalam pandangan tafsir Maqashidi atas Pancasila – tetap berpegang

pada teks Al-Qur’an dengan tetap dalam koridor cita-cita meneguhkan kesatuan,

persatuan, dan persaudaraan antar semua umat.

METHOD

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, di mana data-data yang

terkumpul merupakan data-data pustaka (library research). Langkahnya,

penelitian ini menggambarkan gambaran moderasi beragama dan

problematikanya, kemudian memberikan perspektif baru tentang moderasi

beragama dengan nilai-nilai Pancasila secara deskripsitf analitik. Cara pandang

yang digunakan dalam penelitian ini adalah tafsi maqāṣidī, yaitu penafsiran yang

arahnya untuk mewujudkan visi Al-Quran, baik universal ataupun partikular,

dengan memerhatikan tujuan kemaslahatan bagi manusia. Cara pandang ini

mempertimbangkan tafsir pada ma’an al-haqīqiyyah (aksiomatik) atau ma’an al-

‘urfiyyah (pengalaman/fakta) yang relevan dengan kebutuhan dan kemaslahatan

manusia.

RESULT AND DISCUSSION

1. Moderasi beragama

Moderasi Beragama adalah istilah yang muncul dan berkembang untuk

mengatasi dan menyikapi ketegangan antar umat beragama yang hidup

berdampingan. Terdiri dari dua kata, moderasi dan agama. Agama yang

dimaksud di sini adalah prinsip kepecayaan kepada Tuhan dengan serangkaian

aturan peribadatan tertentu. Sementara moderasi adalah sikap menengah di

antara dua sisi yang ekstrem. Selanjutnya akan dipaparkan secara bahasa dan

istilah dari ungkapan moderasi beragama.

Kata moderasi mulanya terambil dari bahasa Latin moderâtio, yang

bermakna sedang; tidak kelebihan dan tidak kekurangan. Apabila dalam

tindakan, kata ini merujuk pada sikap pengendalian diri untuk tidak berlebihan

dan berkekurangan (Kemenag, 2019). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) disajikan dua pengertian dari kata moderasi, yakni, (1) selalu

menghindar dari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem; (2)

berkecenderungan kearah dimensi atau jalan tengah (Chulsum & Novia, 2006).

Dengan demikian, jika seseorang dikatakan bersikap moderat, maka

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 11

pernyataan itu bermakna bahwa ia bersikap netral, biasa-biasa saja dan tidak

ekstrem.

Dalam bahasa Inggris, kata moderation merujuk pada pengertian

average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak

berpihak) (Echols & Shadilly, 2003). Sebagaimana kata moderator, yaitu

seorang pemimpin yang bertindak sebagai penengah dalam suatu rapat atau

diskusi di suatu forum pembicaraan. Secara umum, moderat berarti

mengutamakan keseimbangan dalam berkeyakinan, bermoral dan bersikap,

baik kepada diri sendiri, orang lain maupun kepada institusi negara. Sementara

dalam bahasa Arab, kata moderasi dipadankan dengan kata wasaṭ atau

wasaṭiyyah. Kata ini memiliki arti yang lebih luas, namun tetap memiliki

keselarasan dengan makna-makna di atas.

Menurut Manẓūr (2010), wasaṭ adalah sesuatu yang terdapat di antara

kedua ujungnya atau pertengahan dari segala sesuatu. Kata ini di dalam bahasa

Arab memiliki padanan makna dengan kata tawassuṭ (tengah-tengah), i’tidāl

(adil), tawazzun (berimbang). Selain itu, kata wasaṭiyyah dalam bahasa Arab

juga dapat bermakna sebagai “pilihan yang terbaik”. Misalkan ada perkataan,

‘Dia dari wasaṭ kaumnya’, maka itu berarti dia termasuk orang yang terbaik

dari komunitas dan lingkungannya (Shihab, 2019). Sebagaimana menurut ahli

bahasa Arab, kata wasaṭ ini memiliki makna “segala yang baik sesuai dengan

objeknya”. Misalkan kata dermawan, yang bermakna sikap pertengahan antara

pelit dan boros, atau kata pemberani, yang berarti sikap di antara pengecut dan

nekad, dan begitu seterusnya.

Dengan demikian, moderasi beragama bermakna sebuah sikap

berimbang dalam mengimplementasikan ajaran agama, baik dalam internal

pemeluk agama maupun eksternal antar pemeluk agama (Qosim, 2020).

Adapun menurut Kemenag (2019), moderasi serupa gerakan yang cenderung

menuju titik pusat, moderasi beragama dapat dipahami sebagai cara pandang,

sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak

adil, dan tidak berlebihan dalam beragama. Sikap seperti inilah yang dapat

mengatasi gesekan dalam beragama di Indonesia yang memiliki banyak

pemeluk agama dan memberi solusi untuk bersikap, menghargai antar

pemeluk agama tanpa meninggalkan keyakinan yang dipeluk sendiri.

Hal ini juga dikukuhkan oleh Shihab (2019), bahwa beragama harus

didasari oleh sikap moderasi atau wasaṭiyyah. Karena moderasi adalah

keseimbangan dalam segala persoalan hidup duniawi dan ukhrawi, yang selalu

harus disertai upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 12

berdasarkan petunjuk agama dan kondisi objektif yang sedang dialami.

Moderasi yang menjadi ciri ajaran Islam adalah keseimbangan antara ruh dan

jasad, dunia dan akhirat, agama dan negara, individu dan masyarakat, ide dan

realitas, yang lama dan yang baru, akal dan naqal (teks keagamaan), agama dan

ilmu, modernitas dan tradisi.

Adapun menurut Nasaruddin Umar, dalam konteks Indonesia, moderasi

beragama dapat terbentuk dari adanya perpaduan antara budaya lokal yang

telah ada dengan nilai-nilai syariat. Sehingga, proses perpaguan inilah yang

menjadi jalan panjang moderasi beragama di Indonesia (Umar, 2019). Selain

itu, Afifuddin Muhajir merinci lebih lanjut, wasaṭiyyah Islam adalah metode

kontekstualisasi Islam di tengah peradaban global, dengan mengedepankan

keseimbangan antara ketuhanan dengan kemanusiaan, teks dengan nalar, nash

al-Qur’an dan hadis, dengan tujuan syariat, ketegasan dengan kelenturan dan

idealism, realisme (Afifuddin Muhajir, 2017).

Dengan demikian, moderasi beragama menjadi poros lahirnya toleransi

dan kerukunan, baik di level terkecil higga terbesar. Moderasi dengan menolak

ekstrimisme dan radikalisme dalam beragama mendukung terciptanya

keseimbangan dan perdamaian dalam peradaban. Melalui langkah ini, setiap

pemeluk umat beragama dapat saling menghormati, menghargai dan hidup

bersama dalam harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia,

moderasi adalah sebuah keniscayaan yang harus dijalankan.

a. Moderasi; Antara Teori Dan Praktik

Konsep moderasi beragama semakin banyak dikaji dan digagas, baik

oleh para pemuka agama maupun pihak pemerintah yang diwakili oleh

kementrian agama. Hal ini merupakan upaya yang penting dan mendasar

dalam merumuskan etika dan sikap hidup di dalam masyarakat Indonesia yang

majemuk dan beragam budaya. Pengenalan dan penanaman gagasan ini banyak

dilakukan, baik melalui seminar, pelatihan, penyusunan buku tentang moderasi

beragama, hingga undang-undang moderasi beragama dalam sistem

Pendidikan dan peraturan presiden (Perpres). Mengingat, aksi kekerasan dan

radikalisme semakin meresahkan masyarakat. Sehingga, upaya semacam ini

menjadi keniscayaan. Lalu, bagaimana dengan praktiknya? Sudahkah sejalan

sebagaimana konsep dan teorinya?

Secara politik dan sosial, Indonesia dianugerahi modal yang kuat untuk

mewujudkan upaya moderasi beragama. Terdapat tiga prinsip dasar negara

Indonesia. Pertama. Indonesia adalah negara kebangsaan yang berketuhanan

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 13

atau beragama. Bukan negara yang sekuler, dan bukan juga negara yang

menetapkan satu hukum agama sebagai hukum nasional. Kedua, negara

berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan kebebasan beragama

yang lapang dan bertanggung jawab. Dan yang ketiga, negara melindungi

kebinekaan atau keragaman dalam agama, budaya dan ras. Melalui tiga prinsip

inilah masyarakat dengan mudah dan percaya diri dalam mengamalkan

moderasi beragama di Indonesia.

Sebagai contoh, berdasarkan penelitian Sugiyarto dan Adang (2020)

tentang moderasi beragama di Makassar, menyatakan bahwa kendati

masyarakat Makassar memiliki keragaman agama dan budaya dan sering

terjadi gesekan antar mereka, mereka tetap bisa hidup bersama, saling toleran

dan menghargai. Kehidupan yang harmonis ini dapat terjadi karena didukung

oleh kearifan lokal masyarakat Makassar, setidaknya ada lima, mencakup tau’

(memahami ragam manusia), siri’ (harga diri), pacce’ (rasa iba pada orang lain),

pangalik (rasa hormat) dan pangngadakkang (adat istiadat/bersopan santun).

Namun, di sisi yang bersebrangan, faktanya masih terjadi sikap-sikap

intoleransi dan pertikaian yang terjadi di tengah masyarakat. Baik itu dipicu

oleh pemahaman keagamaan yang keras atau pun pertikaian antar suku

budaya. Namun, akhir-akhir ini, pemahaman keagamaan yang radikal lebih

banyak memapar masyarakat. Sebagai contoh, seperti kasus pembakaran

masjid Muhammadiyah di Bireun Aceh (2017); pengusiran pengikut Syi’ah

Sampang (2012); pengusiran jemaat Ahmadiyah (2018) dan aksi bom bunuh

diri di Gereja Katredal Makassar (2021).

Sikap keberagaman yang ekslusif dan radikal adalah akar masalahnya.

Sikap ini membuat mereka merasa yang paling benar. Hal ini dapat

menimbulkan gesekan antar kelompok agama. Secara umum, konflik

keagamaan di Indonesia bermula dari sikap beragama yang eksklusif,

kemudian memperlakukan agama lain tanpa adanya rasa toleransi, karena

setiap agama saling merasa benar dan lainnya salah (Akhmadi, 2019). Hal ini

yang menjadi tantangan besar dalam upaya mewujudkan masyarakat yang

moderat dalam beragama. Masyarakat yang moderat akan bisa menghargai dan

bersikap toleransi terhadap perbedaan keyakinan dan keragaman yang ada.

Artinya, secara praktik, upaya moderasi beragama ini perlu dikuatkan lagi di

tengah-tengah masyarakat. Baik itu dipelopori oleh para tokoh agama,

pemerintah, institusi Pendidikan maupun para aktivis sosial-keagamaan.

Sehingga, kesadaran akan toleransi dapat berperan aktif dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 14

Sebagai buktinya, dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang

diterbitkan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (2019),

dalam terciptanya masyarakat yang rukun, toleransi memiliki peran yang

paling utama. Sehingga, kerukunan umat beragama merupakan sebuah kondisi

kehidupan umat beragama yang berinteraksi secara harmonis, toleran, damai,

saling menghargai, dan menghormati perbedaan agama dan kebebasan

menjalankan ibadat masing-masing.

2. PANCASILA

a. Sejarah berdirinya

Pancasila memiliki sejarah panjang hingga akhirnya menjadi dasar

negara, ideologi serta falsafah hidup bangsa Indonesia. Beragam pendapat

dikemukakan terkait para tokoh yang mencetuskan lima nilai dasar tersebut.

Ada yang menyebut Ir. Soekarno yang mengagas nama Pancasila sekaligus

kandungannya. Ada pula yang berpendapat bahwa sebelum pidato Soekarno

pada tanggal 1 Juni 1945, M. Yamin dan Soepomo telah menyampaikan lima

pokok pikiran ini di depan siding BPUPKI. Sementara itu, yang lain

berpendapat bahwa pidato Ir. Soekarno adalah pidato penutup, artinya pidato

tersebut merupakan kompilasi dari pikiran para tokoh dalam sidang tiga hari

sebelumnya. Alhasil, Ir. Soekarno, M. Yamin dan Soepomo adalah para tokoh

yang merumuskan calon lima dasar negara Indonesia (Brata dan Bagus, 2017).

Menarik untuk dicatat, bahwa terdapat serangkaian revisi dari awal

perumusan Pancasila hingga hasil akhir penetapan lima butir Pancasila.

Sebelum itu, perlu dikemukakan bahwa latar belakang dirumuskannya

Pancasila sebagai dasar negara adalah untuk mengkokohkan Indonesia serta

menjadi dasar pemersatu setiap elemen bangsa Indonesia. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Ir. Soekarno, bahwa Pancasila adalah sebagai dasar falsafah

negara dan pandangan hidup bangsa Indonesai (philosophische grondslag) atau

pandangan dunia (worldview).

Perubahan atau revisi yang penting dicatat adalah perubahan sila

pertama. Sebelumnya, dirumuskan bahwa sila pertama yang memuat asas

ketuhanan berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam

bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun, setelah sidang pengesahan yang

representatif bagi bangsa Indonesia yaitu PPKI, terdapat usulan dari daerah

Maluku, Sulawesi Utara dan Bali (sunda kecil) untuk mengubah sila pertama

menjadi empat kata saja, yaitu berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Revisi ini

berupaya memayungi segala keragaman agama dalam satu keyaninan pada

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 15

Tuhan yang maha esa serta tidak hanya melegalkan satu hukum agama

tertentu.

Dengan demikian, Pancasila menjadi dasar dan pandangan dunia yang

universal, sehingga siap diuji ketahananya di setiap zaman dengan segala

tantangan dan perkembangannya masing-masing. Kemudian, tetap kokoh dan

relevan untuk memayungi segala ragam perbedaan dalam satu harmoni

persatuan dan perdamaian.

b. Pro-Kontra

Usia Pancasila sudah tujuh puluh enam tahun dan Pancasila masih

kokoh menjadi dasar negara republik Indonesia. Usia tersebut bukanlah hal

mudah, mengingat setiap era dan perkembangan zaman Pancasila terus diuji

ketahanannya sebagai simbol persatuan dan kesatuan bangsa. Pasalnya, nilai

dan ruh Pacasila tidak terpatri dengan baik dalam masyarakat. Selain itu, tak

sedikit yang mempersoalkan kesaktian dan relevansi Pancasila di era sekarang.

Kemudian, mereka yang menyangsikan Pancasila membenturkan dengan

ajaran agama, lalu serta merta mengharapkan ideologi lain sebagai solusi

pengganti yang lebih baik dan relevan.

Upaya penanaman nilai-nilai Pancasila adalah tugas pemerintah dan

seluruh elemen masyarakat, sebagai upaya mensyukuri dan menguatkan

persatuan bangsa. Namun, bagi sebagian umat Islam, kesalahan dalam memilih

bentuk dan ideologi negara adalah penyebab utamanya, bukan perihal

kegagalan pemerintah dalam mengelola negara. Sehingga, solusinya adalah

mengganti sistem republik NKRI dengan sistem pemerintahan Khilafah

Islamiyah dengan mengganti Pancasila dengan syariat Islam sebagai ideologi

Negara (Nashir, 2013).

Dalam pandangan Miharja (2018), Faktor utama sebagian umat ingin

sekali “memimpikan” NKRI ini bersyariah ada tiga poin yaitu: Pertama,

persoalan ekonomi, yaitu adanya kesenjangan ekonomi dari waktu ke waktu di

kalangan bawah. Kedua, masifnya paham baru di luar Pancasila, hal ini terbukti

mampu menarik warga muslim untuk mengkajinya lebih dalam. Ketiga, tidak

efektifnya penguatan pemahaman ideologi Pancasila kepada masyarakat.

Uraian tersebut juga menunjukkan bahwa sosialisasi pemahaman

terhadap Pancasila belum berjalan dengan baik. Terlebih, konsep relasi antara

Pancasila dan agama belum banyak dikemukakan dan disosialisasikan ke

tengah masyarakat. Akibatnya, harapan mendirikan Negara Islam di Indonesia

masih diupayakan oleh kelompok-kelompok seperti NII, Hizbut Tahrir

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 16

Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Anshorut Tauhid

(JAT) dan sebagainya (Baidhawy, 2016).

c. Pancasila dan Piagam Madinah

Di antara tema kajian dalam relasi antara Pancasila dan Agama Islam

adalah piagam Madinah. Hal ini menjadi dasar teori dan praktik bagaimana

Nabi Muhammad mengatur sebuah komunitas masyarakat dalam satu kota.

Dengan mencermati konsep dan kandungan dari piagam Madinah, dapat pula

dirumuskan bagaimana relasinya dengan Pancasila sebagai dasar negara

Indonesia. Piagam Madinah sebagai ketetapan Nabi dan Nabi adalah penerima

wahyu Alquran, nantinya dapat pula dilihat bagaimana relasi dan kesesuaian

antara Pancasila dan nilai-nilai Alquran. Apakah bertentangan atau justru

selaras dan sejalan tanpa pertentangan sedikit pun.

Setelah memahami bahwa Pancasila sebagai dasar pemersatu bangsa

Indonesia yang plural dan multikultural, selanjutnya akan dikaji bagaimana

peran piagam Madinah pada situasi masyarakat di saat Nabi hidup. Saat itu,

piagam Madinah dihadirkan oleh Nabi sebagai suatu kontrak sosial yang

mengikat, demi terciptanya masyarakat yang sejahtera dan harmonis (Nafis,

2015). Mengingat, penduduk Madinah majemuk baik dari sisi suku dan agama,

maka piagam Madinah menjadi perjanjian yang dapat melindungi setiap

keragaman budaya dan keyakinan.

Sebagaimana dalam piagam Madinah, bahwa kandungannya memayungi

dan merangkul segala keragaman penduduk Madinah. Di antaranya, merangkul

prinsip umat, persatuan, keadilan, perdamaian, penegakan hukum dan yang

paling penting dalam konstitusi negara Madinah adalah asas kemerdekaan;

seperti kemerdekaan berbudaya dan bertradisi, kemerdekaan dari penindasan,

kemerdekaan dari rasa takut, kemerdekaan berpendapat dan kemerdekaan

dalam memeluk agama.

Terdapat dua prinsip yang termuat dalam piagam Madinah. Pertama,

setiap pemeluk agama adalah satu umat betapapun terdapat perbedaan suku

dan bangsa. Kedua, Relasi antar umat beragama berpaku pada beberapa

prinsip: Berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik, saling membantu dalam

menghadapi musuh yang akan mengancam kota Madinah, membela kaum yang

lemah dan teraniaya, saling menasehati dalam koridor kebersamaan dan

kebenaran, saling menghargai dan menghormati serta memberikan toleransi

dalam menentukan kebebasan beragama (Lukman, 2019).

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa nilai-

nilai dasar Pancasila sejalan dengan kandungan Piagam Madinah. Kedua dasar

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 17

ini menjadi kontrak sosial masyarakat yang mengakuinya sebagai sistem nilai

berkehidupan dan berbangsa. Saling menghormati dan mengedepankan

toleransi atas berbagai perbedaan suku, budaya dan keyakinan. Demi satu

tujuan bersama yaitu menuju masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis.

3. TAFSIR MAQASHIDI

Kata tafsir merupakan bentuk masdhar dari fassara. Kata tersebut

merupakan bentuk tsulāsi mazīd dari fi’il tsulāsinya, yaitu fa-sa-ra. Menurut Abdul

Mustaqim, Tafsir berarti menyingkap yang tersembunyi, menerangkan dan atau

menjelaskan (Mustaqim, 2012). Sementara itu definisi tafsir secara terminologi

adalah menjelaskan kalaumllah untuk menghasilkan apa yang ingin dimaksudkan-

Nya, sesuai kadar kemampuan manusia (Ya’qub, 1425 H).

Kalimat bentukan dari tafsir dan maqāṣidī – yang kemudian menjadi istilah

tersendiri: tafsir maqāṣidī – adalah salah satu corak penafsiran yang arahnya

adalah mewujudkan visi Al-Quran, baik universal ataupun partikular, dengan

memerhatikan tujuan kemaslahatan bagi manusia (Zaid, t.th). Sedangkan definisi

lain, sebagaimana yang diajukan oleh Abd Khalid, tafsir maqāṣidī adalah salah satu

bentuk penafsiran yang dilakukan dengan cara menggali makna yang tersirat pada

ayat-ayat Al-Quran serta memperhatikan tujuan dari ayat yang akan ditafsirkan

(Khalid, 2011).

Meskipun dua definisi di atas tidak lah sama secara literal, namun secara

substantif keduanya memiliki kesamaan, yaitu bahwa tafsir maqasidi adalah satu

bentuk penafsiran Al-Quran yang mengedepankan tujuan-tujuan yang maslahat

bagi manusia secara umum. Secara historis, tafsir maqāṣidī sudah diterapkan sejak

zaman sahabat – tepatnya pada masa sahabat Umar Ibn Khattab, di mana ia

menerapkan praktik-praktik hukum dengan mengedepankan kemaslahatan

bersama, seperti pembagian harta rampasan perang, pencuri yang ditangguhkan

hukumannya, larangan menikah beda agama dan shalat tarawih berjamaah

(Hasan, 2017).

Mufasir yang kemudian melanjutkan visi Al-Quran dengan maqāṣid al-

syarī’ah ialah Ibn ‘Arabi. Hanya saja, ia kurang berani untuk secara terang-terangan

menjadikan maqāṣid al-syarī’ah sebagai basis hukum. Ia hanya menjadikan

maqāṣid al-syarī’ah sebagai hikmah syariah untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.

Seperti ketika Ibn Arabi menafsirkan Qs. An-Nur ayat 4 mengenai qadzf atau

tuduhan melakukan zina. Menurutnya, ayat itu bukan sekadar ayat qadzf, tapi juga

ayat peringatan sagarmanusia tidak melakukan keburukan itu (zina) (‘Arabi,

2003).

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 18

Selanjutnya, tokoh yang tidak kalah masyhur yang menjadikan maqāṣid al-

syarī’ah sebagai basis pendekatan penafsiran Al-Quran adalah Muhammad Abduh

dan Rasyid Ridha. Dengan tafsirnya; Al-Manar, mereka berdua menafsirkan ayat-

ayat Al-Quran dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat bersama. Seperti

misalnya ketika berbicara ayat poligami; Al-Maidah: 3. Menurut Abduh, ayat

tersebut bukan berbicara mengenai kebolehan poligami, akan tetapi tentang

perlindungan kepada anak yatim (Abduh, 1947).

Dan selanjutnya adalah Tahir Ibn ‘Ᾱshur. Ciri khas tafsir maqāṣidī Ibnu

‘Ashur adalah teori tafsirnya yang sudah jelas. Ia memberikan sumbangsih besar

dalam pemikirannya tentang tafsir maqasidi dan menata ulang teori-teorinya

secara jelas serta memosisikan maqasid al-syariah dalam menafsirakn Al-Quran

(Al-Wazzani, 2013).

a. Konseptualisasi Tafsir Maqāṣidī

Konseptualisasi tafsir maqāsidī adalah pengaplikasikan maqāṣid al-

syarī’ah sebagai basis untuk menafsirkan Al-Quran (‘Asyur, t.th). Maqāṣid al-

syarī’ah yang dapat digunakan sebagai pijakan hukum harus bersifat ma’an al-

haqīqiyyah atau ma’an al-‘urfiyyah. Yang pertama maksudnya adalah bersifat

aksiomatik, artinya, eksistensi maqāṣidī ini dapat diterima langsung oleh akal,

tanpa mempertimbangkan hukum/undang-undang terlebih dahulu. Misalnya,

keadilan, yang secara aksioma memberi manfaat manusia, dan tidak

diperdebatkan lagi (Asyur, 2011). Sedangkan maksud ma’an al’-‘urfiyyah

adalah pengalaman empiris setiap orang atau mayoritas dari mereka , seperti

misalnya memberi efek jera kepada pelaku perbuatan kejahatan (Asyur, t.th).

Untuk mencapai pada tingkatan maqāṣid al-haqīqiyyah dan al-‘urfiyyah,

diperlukanlah empat syarat, yaitu mundabit; memiliki batasan yang jelas dan

dapat didefinisikan. Kedua, muttarid; berlaku secara umum dan bersifat

continu. Ketiga, thābit; adanya maksud secara pasti atau mendekati pasti. Dan

keempat, zahir; makna yang diidentifikasi sebagai maqasid jelas dan tidak

ambigu (Ashur, t.th). Keempat tingkatan ini juga dapat menjadi pijakan dalam

memahami ayat-ayat Al-Qur’a yang memiliki esensi sejalan dengan nilai-nilai

Pancasila.

4. TAFSIR PANCASILA

Apa yang dimaksudkan oleh penulis dengan tafsir Pancasila adalah

pemaknaan secara islami atas lima sila Pancasila. Ini berawal dari klaim bahwa

Pancasila bukanlah ideologi yang layak diyakini oleh orang Islam sebab bukan

merupakan ideologi Islam. Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bertentangan

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 19

dengan sumber agama Islam. Padahal hemat penulis, kenyataannya tidaklah

demikian.

Jika kita telaah lebih mendalam, lima sila Pancasila betapapun sangat islami,

bahkan eksistensinya dikonfirmasi dan didukung oleh ayat-ayat Alquran. Berikut

penjelasan tentang itu. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini

merupakan pelindung kokoh bagi mereka yang terburu-buru menerapkan ideologi

syariat Islam di Indonesia. Konsep ke-Tuhan-an Yang Maha Esa merupakan inti

dari setiap kehidupan manusia, mentauhidkan Tuhan. Penggunaan sila pertama ini

pun mampu merangkul semua agama yang ada di dalam Indonesia, mengingat

bahwa kemerdekaan Indonesia adalah anugerah dari Tuhan untuk Indonesia yang

berbeda-beda keyakinan, selain juga agar tidak menimbulkan diskriminasi

pemeluk agama lain. Sila pertama ini erat sekali dengan firman Allah QS. Al-

Baqarah [2]: 163 yang artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak

ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila kedua ini mengajarkan

manusia untuk saling berbuat adil dan sopan santun. Jika sila pertama berkaitan

dengan relasi manusia dengan Tuhannya, maka sila kedua ini berkaitan dengan

relasi antar sesama manusia. Ini selaras dengan al-QS. Al-Mā’idah [5]: 8 yang

artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang

selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan

janganlah sekali-kali kebencianmuterhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk

berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan

bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu

kerjakan.

Sila ketiga ialah Persatuan Indonesia. Sila ketiga ini mengisyaratkan

pentingnya persatuan dalam bingkai perbedaan suku, budaya dan agama di

Indonesia. Dalam Islam konsep persatuan dinamakan dengan Ukhuwah Islamiyah

(persaudaraan sesama orang Islam) dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan

sesama manusia). Sila ketiga ini sejalan dengan QS. Al-Ḥujurāt [49]: 10 yang

artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah

(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,

supaya kamu mendapat rahmat.

Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan dan perwakilan. Sila ini menunjukkan bahwa musyawarah

adalah solusi utama untuk menyelesaikan masalah dalam lingkup negara maupun

individu. Dengan bermuasyawarah, beragam persoalan akan mudah diatasi

bersama. Hal ini sangat tepat dengan al-Quran QS. Al-Mā’idah [3]: 159 yang

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 20

artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut

terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah

mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,

mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam

urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka

bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

bertawakkal kepada-Nya.

Sila terakhir, kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Melalui sila ini, Pancasila menjunjung tinggi nilai keadilan dalam memperlakukan

setiap masyarakat. Siapapun harus diberi keadilan, walau berbeda agama, ras,

suku, dan sebagainya. Hal ini selaras dengan Islam yang selalu mengutamakan

keadilan sebagai asas utama dalam memperlakukan diri sendiri dan orang lain. Al-

Quran melegalkan keadilan dalam QS. An-Naḥl [16]: 90 yang artinya:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi

kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan

permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil

pelajaran.

5. REFORMULASI MODERASI BERAGAMA

Formulasi moderasi beragama dengan menggali esensi nilai-nilai Pancasila

dibangun atas dasar adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan dengan nilai-nilai

dalam lima sila Pancasila. Lima ayat Al-Qur’an, yaitu QS. Al-Ikhlas Ayat 1 tentang

ketuhanan; sila kedua dengan QS. An-Nisa Ayat 35 tentang kemanusiaan; sila

ketiga dengan QS. Al-Hujurat Ayat 13 tentang persatuan; sila keempat dengan QS.

Syura Ayat 38 tentang musyawarah; dan sila kelima dengan QS. An-Nahl Ayat 90

tentang keadilan sosial, kesemuanya relevan untuk nilai-nilai yang ada dalam

moderasi bergama. Pemahaman ini dilandasi atas dasar adanya pemaknaan

Pancasila dengan tafsir maqashdi melalui penelaahan makna ‘urfiyyah, bahwa

secara nalar, lima nilai Pancasila sungguh relevan dengan kondisi ‘urf masyarakat

Indonesia sebagai masyarakat yang beragam.

Kesimpulan ini tentu tidak untuk menolak konsepsi moderasi beragama

yang telah ada, akan tetapi sebagai model baru di dalam membangun konsepsi

beragama. Bahwa, moderasi beragam dalam Pancasila dan kaitannya dengan tafsir

Al-Qur’an, yaitu berpacu pada lima dasar, yakni ketuhanan, kemanusiaann,

persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Kelimanya juga dapat menjadi

karakter moderasi beragama dalam pandangan tafsir Maqashidi atas Pancasila.

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 21

REFERENCES

‘Ᾱshur, Muhammad Ṭāhir Ibn. 2011. Maqāṣid Al-Syarīah Al-Islāmiyyah. Kairo: Dār Al-Kutub Al-Mishri.

‘Ᾱshur, Muhammad Ṭāhir Ibn. T.th. At Tahrīr wa At-Tanwīr. Beirut: Mu’assisah At-

Tārikh. Abduh, Muhammad. 1947. Tafsir Al-Quran Al-Azhim. Kairo: Dar Al-Manar. Akhmadi, Agus. Vol. 13, no. 2, 2019. Moderasi Beragama dalam Keragaman

Indonesia. Jurnal Diklat Keagamaan. Arabi, Abu Bakr Ibn . 2003. Ahkam Al-Quran. Kairo: Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyyah. Baidhawy, Z. Vol. 11, no. 1, 2016. Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan

Berbangsa dan Bernegara. Maarif. Brata, Ida Bagus, Ida Bagus Nyoman Wartha. Vol. 7, No. 1, 2017. Lahirnya Pancasila

Sebagai Pemersatu Bangsa Indonesia. Jurnal Santiaji Pendidikan. Chulsum, Umi dan Windy Novia. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kashiko:

Surabaya. Echols, John M. & Hassan Shadilly. 2003. Kamus Inggris-Indoesia. PT. Gramedia:

Jakarta. Hasan, Mufti. 2017. “Tafsir Maqasidi: Penafsiran Al-Quran berbasis Maqasid Al-

Syariah”, Maghza 2, no. 2 (Juli-Desember). Kementrian Agama RI. 2019. Indeks Kerukunan Umat Beragama. Jakarta:

Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan RI. Kementrian Agama RI. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan

Diklat Kementerian Agama RI. Kholid, Nahswan Abdul. 2011. Al-Jazur At-Tarikhiyyah li At-Tafsir Al-Maqasidi li Al-

Quran Al-Karim. Malasyia: UII. Lukman. Vol. 2, no. 1, 2019. Piagam Madinah Sebagai Konsep Budaya dan

Peradaban. Jurnal Bina Ummat. Manẓūr, Ibn. 2010. Lisān al-‘Arab. Dār Ihyā’ al-Turāth: Beirut.

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 22

Miharja, Sakrim. Vol. 1, no. 1, 2018. Islam, Negara Dan Streotif Anti Pancasila. Kelola: Jurnal Ilmu Sosial.

Muhajir, Afifuddin. 2017. Fiqh Tata Negara. Yogyakarta: IRCiSod. Muslim, Muhammad Nur Icwan. 2016. Kaffah dalam Beragama, dalam

www.muslim.or.id. Mustaqim, Abdu. 2012. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS. Nashir, H. 2013. Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia.

Bandung: Mizan dan Maarif Institute. Qosim, Muhammad. 2020. Membangun Moderasi Beragama Umat melalui Integrasi

Keilmuan. Alauddin University Press: Gowa. Shihab, M. Quraish. 2019. Wasathiyyah: Wawasan Islam tetnag Moderasi Beragama.

Lentera Hati: Tangerang. Spencer. 2008. Stealth Jihad: How Radical Islam Is Subverting America Without Guns

or Bombs. USA: Simon Schuster. Sugiyarto, Wakhid dan Adang Nofandi. 2020. Dinamika Moderasi Beragama di

Indonesia. Jakarta: Litbangdiklat Press. Sukm, Riska Bening. Kita Butuh Islam Kaffah, Bukan Moderasi Islam. Sukma, Riska Bening. Kita Butuh Islam Kaffah, Bukan Moderasi Islam, dalam

www.beritasriwijaya.com. Thayyib, Syaikh Ahma. 2016. Jihad Melawan Teror, Muchlis M. Hanafi (ed.), Ciputat:

Lentera Hati. Umar, Nasaruddin. 2019. Islam Nusantara: Jalan Panjang Moderasi Beragama di

Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Wazzani, At-Tihami. 2019. Tauzif Al-Maqasid fi Fahm Al-Quran wa Tafsirihi,

makalah diunduh dari http://riyadhalelm.com, Ya’qub, Tahir Mahmud Muhammad. 1425. Asbab Al-Khoto Fi At-Tafsir. Saudi: Dar

Ibn Jauzi.

(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)

IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 23

Zaid, Wafi Asur Abu. T.th. AT-Tafsir Maqasidi li Suwar Al-Quran al-Karim. Kairo: Dar Al-Kitab Al-Banani.