teori taman
TRANSCRIPT
-
8/17/2019 Teori Taman
1/34
179Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
BAB VI
PENYELENGGARAAN RTH UNTUK
MEWUJUDKAN KOTA TAMAN
-
8/17/2019 Teori Taman
2/34
180 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
VI PENYELENGGARAAN RTH UNTUK
MEWUJUDKAN KOTA TAMAN
6.1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI
PENYELENGGARAAN RTH
Selaras dengan pelaksanaan Undang-Undang (UU)
No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah, komit-
men untuk mewujudkan pembangunan kota secara
berkelanjutan, antara lain telah mensyaratkan pemba-
ngunan dan pengelolaan RTH secara konsisten dan
profesional. Otonomi Daerah harus bermuara pada pe-
ningkatan kesejahteraan masyarakat dan upaya menerus
untuk mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat.
Sistem, mekanisme, prosedur penyelenggaraan otonomi
daerah (baik UU maupun Peraturan Pemerintah/PP-nya)
harus jelas dan aplikatif untuk menghindarkan distorsi
kontra produktif. Otonomi Daerah dalam jangka panjang
harus mampu mewujudkan kemandirian daerah, dilak-
sanakan dalam wadah NKRI dan harus mampu meman-
tapkan demokrasi dalam semangat persatuan dan kes-
atuan.
Demikian pula Undang-Undang N0. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang di dalam revisinya telah men-
syaratkan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan
RTH, antara lain bahwa rencana pengelolaan RTH ha-rus merupakan bagian integral dari rencana tata ruang
wilayah sesuai dengan tingkatan dan skala perencanaan
(RTRWN, RTRWP, RTRWK, RDTR, RTR).
Penyesuaian perkembangan paradigma reformasi
pembangunan kota berkelanjutan, mensyaratkan pelak-
sanaan transparansi semua kegiatan, baik oleh pemerin-
tah maupun swasta (pengusaha dan lembaga masyara-
kat umum). Kesadaran akan hak dan tanggung jawab
pembangunan dan pengelolaan RTH tidak hanya meru-
pakan dominasi pemerintah, tetapi juga masyarakat,
dan penyesuaian program-program pembangunan yang
inovatif, kreatif, dan mutakhir. Sampai saat ini kebijakan
dan strategi penyelenggaraan RTH masih berdasarkan
pendekatan sektoral dan partial, yang selanjutnya di-
jabarkan ke dalam program-program sektoral secara
sendiri-sendiri. Di lingkungan Kementrian Lingkungan
Hidup misalnya, Program Bangun Praja, Super Prokasih,
Langit Biru, sampai kini masih dianggap sebagai gerakan
parsial lingkungan perkotaan saja.
Pembangunan lingkungan berkelanjutan sangat mem-
butuhkan peran sentral para arsitek lansekap yang sangat
berpengaruh dalam menggubah wajah alam, menjadi
suatu lingkungan kota yang layak huni, aman, nyaman,
sehat dan indah bagi manusia. Apalagi di era otonomi
daerah, dimana ternyata pembangunan daerah memer-
lukan bantuan, yaitu dalam mengarahkan pembangunan
kota berkelanjutan.
Perlunya pengelolaan RTH secara khusus diindikasi
oleh Departemen Dalam Negeri sejak tahun 1980-an ter-
indikasi dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam
Negeri (Inmendagri) No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah Perkotaan, yang
kemudian dijabarkan ke dalam konsep kebijakan dan
strategi pembangunan serta pengelolaan RTH secara
-
8/17/2019 Teori Taman
3/34
181Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
umum. Inmendagri No. 14 Tahun 1988 hingga kini belum
didukung oleh perangkat Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)
maupun Petunjuk Teknis (Juknis), menyangkut pengelo-
laan RTH yang sesuai kebutuhan masing-masing daerah,
utamanya Pemerintahan Kota dan Kabupaten.
Keterpurukan keadaan ekonomi, sosial dan politik,
telah menyita perhatian semua pihak agar bisa bertahan
hidup dan berusaha bangun untuk mengatasinya. Ironis-
nya pembangunan kota berkelanjutan, menjadi terabai-
kan dan krisis lingkungan semakin bertambah parah.
Untuk itu, perlu desakan segera mengkonsolidasikan diri
dengan masing-masing pihak terkait, agar lebih memper-
hatikan pembangunan lingkungan kota melalui pengelo-
laan RTH yang juga berkelanjutan.
Di era reformasi, hampir di semua sektor pemerin-
tah melakukan pembenahan struktur manajemen kerja
kembali sesuai tuntutan perkembangan kebijakan poli-
tik kepemerintahan. Sebagai contoh, Kementerian Ling-
kungan Hidup (KLH), mengalami perubahan struktural,
dengan demikian bahwa pengelolaan lingkungan hidup,termasuk di wilayah perkotaan, dapat lebih mempertim-
bangkan keselarasan dan kesimbangan dengan alam
sekitar dan keseimbangan antar sektor.
Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan pe-
rundangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup, dari
’pucuk’ gunung sampai ke ‘ujung’ laut. Tak hanya Kantor
KLH saja yang memang langsung diberi wewenang men-
gatur pengelolaan lingkungan hidup ini, berdasar pada
kemampuan dan tanggung jawab. Dalam pengelolaan
lingkungan hidup, yang penting adalah adanya kesadar-
an dan keterpaduan kerja untuk bersama-sama meles-
tarikan fungsi lingkungan dengan berbagai pihak, seperti
kerjasama antar sektor terkait, antara lain Departemen
Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Ke-
mentrian Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Per-
tanian dan Kehutanan, akademisi, praktisi profesional,
dan masyarakat umum.
Kantor KLH telah mencanangkan beberapa program
dan proyek, yang sebagian besar mencoba kembali mere-
habilitasi atau menata kembali lingkungan, khususnya
lingkungan perkotaan, dan membantu mempertahankan
lingkungan yang masih baik. Salah satunya adalah Pro-
gram Tata Praja Lingkungan ( Good Environmental Govern- ance /GEG), yang terdiri dari dua sub program, yaitu Pro-
gram Bangun Praja dan Program Masyarakat Madani.
6.1.1 Issue dan Tantangan dalam
Penyelenggaraan RTH
Isu yang berkaitan dengan ruang terbuka publik an-
Gambar 6.1 RPH (Rumah Pemotongan Hewan/ Abatoir )
Pertanian Kotat memanfaatkan halaman ‘abatoir’ di Jakarta.
-
8/17/2019 Teori Taman
4/34
182 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
tara lain RTH secara umum, terkait dengan beberapa
tantangan tipikal perkotaan, seperti menurunnya kualitas
lingkungan hidup perkotaan, bencana banjir, longsor dan
perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung
kontra-produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan
vandalisme.
Dari aspek kondisi lingkungan hidup (LH), rendahnya
kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan
di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung
maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH
secara ekologis. Tingginya frekuensi bencana banjir dan
tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan
karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya
daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan
(run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat
menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan
tingkat kesehatan dan tingkat harapan hidup masyara-
kat. Di sisi lain, exposure terhadap polusi udara yang ber-
lebihan dan terus-menerus dapat menyebabkan kelainan
genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anakdi masa mendatang.
Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konik
horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan se-
cara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurang-
nya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuh-
an interaksi sosial untuk pelepas ketegangan (stress)
yang relatif banyak dialami oleh masyarakat perkotaan.
Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penye-
diaan ruang terbuka publik, secara psikologis telah me-
nyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat
yang semakin memburuk dan menekan.
Secara teknis, isu yang berkaitan dengan keperi-
adaan RTH di perkotaan antara lain menyangkut terjadi-
nya sub-optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuanti-
tatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM,
kurangnya keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan
RTH, serta ’selalu’ terbatasnya ruang/lahan di perkotaan
yang dapat digunakan sebagai RTH.
Pada kenyataannya, sub-optimalisasi ketersediaan
RTH terkait dengan kenyataan pada masih dari kurang
memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk
ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang ter-
buka per kapita yang tersedia. Mengakibatkan semakin
rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat
kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung
menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak
alami dan nilai sejarah) akibat tergusur oleh kepentingan
ekonomi yang pragmatis.
Secara kelembagaan, masalah RTH terkait juga oleh
Gambar 6.2
Taman Umum (Public Park) di antara Gedung Permukiman Bertingkat
(apartment) di Singapura.
-
8/17/2019 Teori Taman
5/34
183Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
belum adanya peraturan perundang-undangan yang
memadai tentang RTH, serta pedoman teknis pelaksa-
naan dalam pengelolaan RTH sehingga keberadaan RTHmasih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM
yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat se-
cara optimal dan lebih profesional mampu memelihara
dan mengelola RTH. Di sisi lain, keterlibatan swasta dan
masyarakat umumnya masih sangat rendah. Potensi pi-
hak swasta dalam penyelenggaraan RTH masih belum
banyak dimanfaatkan, sehingga pemerintah sering dan
bahkan selalu terbentur pada masalah keterbatasan bia-
ya dan anggaran.
Walaupun secara teoritis dikatakan, bahwa ruang
perkotaan yang tersedia makin terbatas, namun dalam
kenyataannya banyak lahan-lahan tidur di perkotaan
yang cenderung ditelantarkan dan kurang dimanfaatkan.
Sementara ruang-ruang terbuka yang memang secara
legal diperuntukkan sebagai RTH, kondisinya kurang te-
rawat dan tidak dikelola secara optimal.
Untuk meningkatkan keberadaan ruang publik, khu-
susnya RTH di perkotaan, perlu dilakukan beberapa hal
terutama yang terkait dengan penyediaan perangkat hu-
kum, NSPM, pembinaan masyarakat dan keterlibatan
para pemangku kepentingan dalam pengembangan ru-
ang kota.
Beberapa upaya yang akan dilakukan oleh Pemerin-
tah ke depan antara lain adalah:
• Melakukan revisi UU 24/1992 tentang Penataan Ruang
untuk dapat lebih mengakomodasikan kebutuhan
pengembangan RTH;
• Menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM)
untuk peyelenggaraan dan pengelolaan RTH;
• Menetapkan kebutuhan luas minimum RTH sesuai de-
ngan karakteristik kota, dan indikator keberhasilan
pengembangan RTH suatu kota;• Meningkatkan kampanye dan sosialisasi tentang pen-
pentingnya RTH melalui gerakan kota hijau (green
cities);
• Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif
yang dapat lebih meningkatkan peran swasta dan ma-
syarakat melalui bentuk-bentuk kerjasama yang saling
menguntungkan;
• Mengembangkan proyek-proyek percontohan RTH un-
tuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di beberapa
wilayah kota.
RTH merupakan kebutuhan pokok kota, demi man-
faat masa kini dan harapan untuk masa depan lingkungan
kota yang manusiawi untuk kesehatan dan kesejahteraan
penghuninya. Perencanaan pertamanan perkotaan (ur-
ban landscape planning) adalah bagian perencanaan la-
han yang dinamis dalam tata ruang kota. Merencana kota
pada hakekatnya ialah mengatur tempat untuk semuanya
dan semua pada tempatnya.
Guna menampung keinginan-keinginan semacam
itu, secara garis besar telah tertuang dalam rencana tata
ruang dari yang bersifat umum (RTRWN, RTRW Pulau,
RTRW Propinsi, Kabupaten dan RTRW Kota) hingga ren-
cana tata ruang yang bersifat detail dan rinci (RDTR Ka-
wasan dan RTR Kawasan). Besaran dan jenis RTH-nya
sendiri berdasarkan skala perencanaan dan tingkat ke-
pentingan/kebutuhannya.
Selanjutnya, peran, fungsi dan manfaat RTH tersebut
di atas diuraikan secara rinci, sebagai berikut:
-
8/17/2019 Teori Taman
6/34
184 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
• Terjaminnya ketersediaan oksigen dalam jumlah
yang cukup dan menerus;
• Terciptanya iklim yang sehat, udara bersih bebaspolusi;
• Terciptanya suasana teduh, nyaman, bersih dan
indah;
• Terkendalinya sistem tata-air (hidrologi) secara opti-
mal dan memungkinkan adanya hasil sampingan
berasal dari tanaman produktif yang sengaja dita-
nam di lokasi yang aman dari polusi pada media
tanah, air dan udara;
• Tersedianya sarana rekreasi dan wisata kota, yang
sekaligus berfungsi sebagai habitat satwa;
• Sebagai lokasi cadangan untuk keperluan sanitasi
kota dan pemekaran kota;
• Sebagai sarana penunjang pendidikan dan pene-
litian, serta jalur pengaman dalam penataan ruang
kota.
6.1.1.1 Permasalahan Pengelolaan RTH Kota
Menurut Dahlan (1992) dan Purnomohadi (1995), de-
gradasi lingkungan di sebagian wilayah perkotaan Indo-
nesia semakin parah. Hal ini ditandai oleh makin mening-
katnya suhu udara di atas kawasan perkotaan, penurunan
muka air tanah, pencemaran air tanah, udara, dan suara
(bising), amblasan permukaan tanah, intrusi air laut, abra-
si pantai, suasana gersang, monoton, membosankan dan
terjadinya tekanan psikologis penghuninya.
Kurangnya apresiasi akan pentingnya RTH, inkon-
sistensi kebijakan dan strategi Tata Ruang Kota yang
sudah ditetapkan dalam Rencana Induk Kota, serta le-
mahnya fungsi pengawasan (kontrol) dalam pelaksanaan
pembangunan kota, menyebabkan kuantitas dan kuali-
tas RTH semakin menurun. Hal ini lebih diperberat lagi
dengan adanya: pertentangan kepentingan antara nilaiekonomi dengan nilai ekologis; keterbatasan luas lahan
akibat benturan kepentingan dalam fenomena pemba-
ngunan perkotaan, lebih ditekankan pada pentingnya
pembangunan sektor perindustrian dan perdagangan
yang dianggap mampu menyerap banyak tenaga kerja
(atau demi kepentingan ekonomi jangka pendek).
Masalah klasik pengelolaan RTH, dianggap sebagai
akibat keterbatasan dana dan SDM profesional, peme-
liharaan RTH yang tidak konsisten, dan pemilihan jenis
tanaman yang tidak sesuai persyaratan ekologis bagi
masing-masing lokasi, termasuk langkanya lahan pem-
bibitan tanaman penghijauan. Keterbatasan dana pem-
bangunan dan pengelolaan RTH memerlukan terobosan
pengembangan pola kemitraan hijau.
RTH sering dianggap sebagai lahan tidak berguna,
tempat sampah, atau sumber dan atau sarang vektor ber-
bagai penyakit. Pemahaman serta kesadaran masyarakat
akan arti dan fungsi hakiki RTH, umumnya masih sangat
kurang. Minimnya fasilitas RTH khususnya bagi kelompok
usia tertentu, seperti lapangan olahraga, taman bermain
anak, maupun taman lansia, apalagi taman khusus bagi
penyandang cacat. Penyediaan lahan untuk pemakaman
umum belum sesuai dengan harapan masyarakat umum
(Haryoso, 2003). Dalam penataan lansekap kota, etika,
dan estetika, khusus penempatan iklan/papan reklame
belum ditata menurut kaidah penataan ruang yang lebih
sesuai.
Bentuk kelembagaan yang sesuai dan efektif un-
tuk pengelolaan, penyelenggaraan dan pengembangan
-
8/17/2019 Teori Taman
7/34
185Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
Dua gambar 6.3
Pemandangan teduh di Pulau Lombok, terletak pelabuhan transit
menuju Tiga Gili yang terkenal dengan wisata baharinya.
-
8/17/2019 Teori Taman
8/34
186 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
(dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian) RTH masih sangat kurang, karena terbagi
ke sekitar paling tidak sembilan sektor yang bekerja tum-pang tindih dan kurang terkoordinasi. Hal ini disebabkan
karena tugas pokok dan fungsi yang hampir sama, seperti
Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan; Di-
nas Kebersihan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidik-
an dan Keolahragaan, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwi-
sata, Dinas Kebudayaan, dan Dinas Kebersihan. Rencana
penggabungan berbagai dinas terkait menjadi Dinas Tata
Hijau atau Dinas Lansekap Kota, atau nama lain dalam
satu atap agar mampu meningkatkan pelayanan pemban-
gunan dan pengelolaan RTH, mungkin tetap perlu dikaji
ulang. Perlu ada semacam Pedoman Pembangunan dan
Pengelolaan RTH di Kawasan Perkotaan yang transparan
dan akuntabel, sesuai dengan paradigma tata pemerin-
tahan yang baik (good governance).
6.1.1.2 Dilema Nilai Ekonomi, Sosial dan
Budaya RTH-Kota
RTH merupakan komponen utama lingkungan hidup
kota sehat, yaitu terhadap keberlanjutan hidup kota dan
warga kotanya, yang sampai saat ini tak tergantikan
fungsi dan manfaatnya, sekali pun dengan pendekatan
teknologi canggih. Ironisnya, Jakarta sebagai ibukota
Negara, justru banyak memberikan contoh buruk dalam
pengelolaan lingkungan hidup, terutama RTH kota, se-
bagai akibat penataan ruang yang selalu terlalu mudah
berubah sesuai kepentingan pengambil kebijakan, serta
penerapan rencana sektor tanpa berkonsultasi dengan
pihak lain, terutama warga kota.
Di Jakarta dan sekitarnya telah banyak berdiri pabrik-
pabrik yang dibangun di sepanjang aliran sungai, se-
hingga terjadi deteriorasi lingkungan. Para nelayan dan
pembudi-daya kerang hijau, maupun rumput laut di TelukJakarta melaporkan kepada Menteri Penerangan dalam
pencanangan Kelompencapir Bahari (8/6/1996) bahwa
budidaya kedua komoditi pertanian tersebut sudah ter-
ancam tutup. Dugaan keras adalah akibat konsentrasi
pencemaran air di muara-muara sungai dari hulunya (land
based pollution). Kejadian ini mengingatkan kita pada pe-
nyakit ‘Itai-itai’ dan kasus ‘Minamata’ di Jepang akibat
akumulasi air raksa (merkuri) pada tubuh manusia yang
merusak sistem susunan syaraf.
Belum lagi, bila diperhitungkan nilai ameliorasi iklim,
angin dan suara dari RTH kota, yaitu kenyamanan iklim
mikro yang sejuk dan bersih, yang sekaligus dapat
mencegah penyakit sik dan psikis. Implikasi ekonomis
untuk mengetahui besar biaya yang sebenarnya, akibat
dari peningkatan jumlah orang sakit, misalnya penyakit
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan semacamnya,
perlu memperhitungkan biaya eksternalitas lingkungan,
sehingga pernyataan tentang perlu adanya RTH sebagai
penyeimbang lingkungan binaan tak hanya dinilai meng-
ada-ada, namun berdasar pada perhitungan budaya-
sosial-ekonomi yang nyata, seperti besaran kualitatif nilai
tukar uang bila seseorang jatuh sakit, dan bila produk-
tivitas SDM menjadi hilang atau berkurang, khususnya
semakin rentannya tubuh anak di wilayah perkotaan aki-
bat pencemaran lingkungan yang mempengaruhi tingkat
kecerdasan anak.
Sebagai negara yang ’dulu’ berbasis sektor agraris,
akan sulit bagi penduduk kota yang sebagian besar me-
mang para pendatang dari perdesaan atau kota-kota
-
8/17/2019 Teori Taman
9/34
187Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
kecil. Kebijakan pemerintah dalam mendukung konsep
pembangunan industri berbasis pertanian, di mana bu-
daya agraris dengan lahan ekstensif ini bisa diintensifkan,namun tetap produktif. Teknologi yang menunjang sudah
banyak kita kenal, di samping teknologi kultur jaringan
dan hidroponik, ada pula yang disebut vertikultur, dan
permikultur. Pemanfaatan ruang-ruang sisa, seperti teras
dan atap rumah pun sudah lama dikenal dengan taman
gantung (roof top garden).
Teknologi penghitungan ‘indeks luas daun’ ( Leaf Area
Indeks=LAI), sudah biasa dipakai untuk menghitung
besaran cemaran air dan udara (gas dan partikel) yang
bisa diserap dan dijerap oleh permukaan daun. Berbagai
penelitian tentang bagaimana tanda-tanda biologis tana-
man, apabila terjadi ketidak-seimbangan siologis, aki-
bat pekatnya gradasi pencemaran juga telah dilakukan.
(Lampiran 2: Penentuan luas RTH-Kota)
Masyarakat sekitar lokasi pembangunan seringkali
tidak pernah diberi informasi tentang rencana pemba-
ngunan sik bangunan. Padahal masyarakat tersebut
akan merasakan langsung dampak konstruksi pemba-
ngunan, terlebih dampak negatif berupa debu, lumpur,
kekeringan sumber air tanah, keamanan dan kenyaman
hunian. Jadi, masih adakah yang memandang RTH kota
tidak bernilai ekonomis, dibandingkan bangunan hotel,
mal atau hipermarket?
6.1.2 Kebijakan Penyelenggaraan RTH dalam
Perencanaan Tata Ruang Kota
Kebijakan pembangunan harus diterapkan melalui
peraturan pengelolaan yang konsisten mengacu pada
tata ruang aplikatif dan operasional dengan pengendalian
peruntukan sesuai dengan daya dukung lingkungan me-
lalui tertib administrasi pertanahan, mengurangi kesen-
jangan kesejahteraan (poverty alleviation), konik sosial,dan kriminalitas. Adanya sarana transportasi multi-moda
yang terpadu, termasuk ruang untuk para pejalan kaki
dan sepeda, dan peningkatan jenis dan kualitas angkutan
publik secara massal.
RTH kota merupakan sub-ordinat ruang terbuka yang
ada dalam konstelasi perencanaan ruang kota secara
keseluruhan. Ditinjau dari sudut manusia, maka kon-
sepsi pengelolaan LH menjadi kompleks. Di satu pihak,
dengan berbagai pandangan dan latar belakang, manu-
sia itu berbudaya (cultural contemplation), berperilaku so-
sial (social behaviour), pertimbangan ekonomi (economic
considerations), dan bersikap politik (political attitudes),
semua terpadu sebagai salah satu komponen pendu-
kung pengembangan lingkungan hidup (Haeruman, et.al.
1980).
Manusia akan selalu memandang, bahwa sumber
daya itu akan menghasilkan barang dan jasa berupa
materi, informasi dan energi, dalam siklusnya masing-
masing, termasuk perhitungan antara daya dukung atau
kemampuan asimilasi serta dampak negatif lingkungan.
Sekarang, tergantung pada diri kita masing-masing,
bagaimana menyadari eksistensi sumberdaya itu dan
pemanfaatannya, terutama di lingkungan perkotaan, se-
hingga dapat bermanfaat bagi kehidupan warga kota se-
cara berkelanjutan. Dilihat dari sebuah unit sosial terkecil
yaitu keluarga, maka ruang luar yang ada sebenarnya
dapat dimanfaatkan secara optimal, dengan tanaman pot
bunga, buah, sayuran, apotik hidup minimal untuk kebu-
tuhan keluarga.
-
8/17/2019 Teori Taman
10/34
188 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
Gambar 6.4
Sungai sebagai alternatif moda transportasi di samping untuk rekreasi.
Sepeda umum digunakan, sangat bermanfaat guna mengurangi
pencemaran udara kota.
Kota akan selalu menghadapi perobahan akibat akse-
lerasi pembangunan secara menyeluruh, sehingga terjadi
degradasi kualitas fungsi alami lingkungan. Kemacetan
lalu-lintas yang semakin parah di seluruh bagian kota,
pencemaran udara, air, tanah dan suara, banjir, keba-
karan, dan krisis air bersih, berakibat penurunan kualitas
kesehatan, produktivitas, dan kinerja warga kota.
Perencanaan tata ruang kota selalu tertinggal dengan
laju kebutuhan sik dan psikis penduduk yang semakin
meningkat, baik dalam jumlah maupun kualitas. Ekspansi
ruang kota ke segala penjuru tanpa terkendali. Penangan-
an masalah lingkungan hidup kota, termasuk eksistensi
RTH, masih bersifat parsial dan temporal.
Berdasarkan beberapa fenomena sebagaimana
diutarakan di atas, maka seyogyanya dalam merumus-
kan kebijakan penyelenggaraan RTH dalam perencanaan
tata ruang kota perlu dipahami betul latar belakang ar-
gumentatif mengenai kebutuhan RTH dalam konteks
pengembangan wilayah/kawasan dalam kaitannya de-ngan pemanfaatan/penggunaan (utility) ruang dan sum-
ber daya alam, produtitas (productivity), dan kelestarian
(conservation) lingkungan dan sumber daya alam, sehing-
ga rumusan-rumusan kebijakan tersebut tidak terdeviasi
(bias) dari visi, misi dan tujuan semula dari pengemban-
gan wilayah/kawasan yang telah ditetapkan.
6.1.3 Strategi Penyelenggaraan RTH
Akibat negatif pembangunan struktur bertingkat dan
meningkatnya intensitas transportasi tak beraturan tanpa
pertimbangan pengelolaan lingkungan yang bijaksana
akan berpengaruh pada pengurangan kapasitas kemam-
puan RTH.
Dari beberapa penelitian kota-kota di luar negeri dike-
tahui, bahwa setiap satu hektar RTH efektif mampu me-
netralisir 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355
penduduk, dan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen
guna dikonsumsi 1.500 penduduk/hari. RTH mampu me-
nyimpan 900 m3 air tanah/tahun, mentransfer air 4.000
liter/hari, setara dengan pengurangan suhu 5-8° Celcius,
setara dengan kemampuan lima unit alat pendingin uda-
ra berkapasitas 2,500 Kcal/20 jam, meredam kebisingan
25-80 persen dan mengurangi kekuatan angin sebanyak
75-80 persen, tergantung pada jenis tanaman, iklim dan
jenis tanah. Sebatang pohon dapat mendinginkan udara
setara dengan kapasitas lima buah mesin pendingin uda-
ra yang dioperasikan selama 20 jam/hari terus-menerus.
Pada kawasan industri, jalur hijau pengaman selebar
50 meter yang dibangun di sekelilingnya, akan mampu
-
8/17/2019 Teori Taman
11/34
189Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
menurunkan pencemaran akibat meningkatnya konsen-
trasi SO2 sebesar 70 persen, dan NO
2 sebesar 67 persen
(Konstruksi, 1995). Bila angka-angka tersebut ditransferke dalam hitungan biaya lingkungan tanpa RTH, jumlah-
nya pasti akan melebihi biaya ekonomi jangka pendek,
sebagaimana selalu dilansir para pengembang kota, se-
perti hotel, plaza, mal, hipermarket dan semacamnya.
Hasil penelitian dari luar negeri tersebut hanya bisa
menjadi referensi saja, di mana sebaiknya dilakukan
penelitian, senada sesuai dengan keadaan ekosistem
kota tropis di Indonesia.
Pencemaran udara di Jakarta sudah melampaui am-
bang batas. Penelitian hubungan antara RTH terhadap
pengelolaan kualitas udara di Jakarta membuktikan,
bahwa dalam jangka waktu 10 tahun (1981-1991) terjadi
peningkatan tujuh zat pencemar utama CO, CO2, NO
X,
SOX, TSP/zarah, HC, dan Pb secara signikan. Meski ter-
dapat angka peningkatan yang berbeda di antara ketu-
juhnya, ternyata beberapa zat tersebut secara variatif
sudah melampai standar baku mutu. Sedang sumber
pencemar diteliti dari empat kegiatan utama, yaitu dari
kegiatan industri, transportasi, rumah tangga, dan pe-
musnahan sampah (Purnomohadi, 1994).
Keberadaan air tanah yang semakin dalam dan terce-
mar pun menyebabkan intrusi air laut, amblasan tanah dan
krisis air bersih. Sementara biaya penjernihan sumberdaya
air melalui intake langsung dari alam sumur atau sungai
meningkat tajam, akibatnya selain menjadi semakin lang-
ka, harga air PAM pun semakin meningkat mahal dengan
kualitas air yang belum tentu terjamin bersih dan sehat.
Upaya untuk mengatasi masalah kelangkaan keterse-
diaan RTH kota dapat dilakukan melalui pemanfaatan
sisa-sisa lahan yang ada secara optimal. Penanaman
ruang luar halaman pekarangan rumah atau di atas ba-
ngunan bertingkat secara efektif memanfaatkan terasatau puncak gedung (rooftop garden), dengan tanaman
aerofonik atau hidrofonik, dan semacamnya.
Akibat keterbatasan lahan, pengembangan RTH di-
mungkinkan mengarah ke atas. Lansekap vertikal (verti-
cal landscape) tengah dikembangkan di kota Singapura,
New York, Chicago, dan kota-kota berpenduduk padat
di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Pengem-
bangan lansekap vertikal berupa taman atap (roof deck
gardens), taman gantung (sky terraces greenery), taman
balkoni (landscape balconies), lapangan golf mini, atau
taman kafe, ibarat oase di atas langit. Kehadirannya akan
meningkatkan keindahan gedung dan melindungi bangun-
an dari sengatan matahari yang berlebihan. Untuk mem-
buktikan keseriusan komitmen tersebut, pemerintah dae-
rah harus memelopori pembangunan lansekap vertikal di
gedung-gedung pemerintah dan rumah susun.
Konsep kembali ke alam merupakan upaya menuju
ke hidupan alam asli ke dalam lingkungan kehidupan
kota dan menyatukan dengan sumber-sumber kehidup-
an alaminya. Pemahaman akan pentingnya upaya men-
jaga fungsi lingkungan melalui keseimbangan antara
RTH dengan ruang kota lain, akan sangat menentukan
keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan. Penge-
lolaan lingkungan perkotaan, khususnya RTH tak lepas
dari kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan hidup
terpadu seperti program Tata Praja Lingkungan, yang
difokuskan pada empat aspek pengelolaan, yaitu per-
masalahan sampah, RTH, kualitas air, dan fasilitas umum
lain yang terkait erat.
-
8/17/2019 Teori Taman
12/34
190 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
Pengembangan perancangan keempat aspek terse-
but seyogyanya dirancang agar masing-masing bagian
infrastruktur dapat berfungsi optimal, tanpa menimbulkanmasalah dan bisa saling mendukung bagi masing-masing
kota maupun dalam hubungan kemitraan antar berbagai
pihak secara menyeluruh. Teknik-teknik pemecahan di-
pelajari, direncanakan dan disesuaikan secara terbuka
melalui pembangunan berbasis masyarakat, sehingga
dapat menghindari kesalahan serupa dan hasilnya sema-
kin sempurna.
Niat baik mewujudkan kepemerintahan yang baik
dalam pengelolaan lingkungan hidup, seperti program
Bangun Praja ( good environmental governance, GEG) se-
benarnya bukan barang baru, dulu dikenal dengan pro-
gram Adipura yang dilaksanakan secara terpusat. Selaras
dengan semangat otonomi daerah untuk mendorong dan
meningkatkan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup
pemerintahan di daerah, perlu disadari bersama akan
perlunya peninjauan berbagai kebijakan dan strategi pe-
ngelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan tuntutan
zaman.
Sesuai dengan laju pembangunannya, maka kota-
kota selalu menghadapi masalah. Terutama pada ta-
hun terakhir ini telah terjadi suksesi permasalahan yang
segera membutuhkan penyelesaian, sedangkan perma-
salahan yang baru sudah mulai, dan timbul lagi. Masalah
yang terjadi dimana-mana adalah akibat berlebihannya
konsentrasi penduduk dan aktivitas di kota-kota besar.
Permasalahan ini diperbesar oleh karakteristik sosial,
akibat internasionalisasi, pentingnya pertumbuhan infor-
masi dan teknologi tinggi yang harus dipertimbangkan.
Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk siap
menghadapi perkembangan masalah masyarakat yang
semakin menua ini. Meningkatnya kondisi lingkungandan keindahan, serta memastikan bahwa pengukuran-
pengukuran perlu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan
akan rekreasi di ruang terbuka. Jadi perlu disadari, bahwa
kota selalu menghadapi masalah-masalah penting baru.
Untuk mengatasi hal seperti ini, pemerintahan kota
harus melihat bahwa permasalahan tidak hanya dari segi
perangkat keras (sik) saja, tetapi juga pada masalah
perangkat lunak, seperti ekonomi, sosial dan budaya.
Dengan demikian, strategi pembangunan menyeluruh ini
akan meningkat.
Di Jepang, perencanaan kota harus mampu meme-
rankan diri sebagai suatu alat yang dapat menyelesaikan
masalah secara menyeluruh, melalui pedoman untuk
kota yang bersangkutan, seiring dan melalui konsultasi
dengan Perencanaan Nasional Pembangunan Menye-
luruh, dan Rencana Induk Pembangunan Wilayah, serta
Strategi Rehabilitasi Lahan.
Selanjutnya, perencanaan Kota Menyeluruh di Je-
pang, tidak langsung diterapkan melalui hukum, karena
kedisiplinan dan kesadaran hukum penduduk yang su-
dah relatif tinggi. Perencanaan kota tetap dikombinasikan
dengan peraturan hukum sebagai petunjuk yang kuat dan
dapat dipertimbangkan, serta menyadari akan keterba-
tasan aspek-aspek lain, seperti penata-gunaan tanah dan
pembangunan prasarana perkotaan, serta proyek-proyek
pembangunan kota. Jadi, tetap ada semacam kekuatan
hukum sebagai penunjangnya.
-
8/17/2019 Teori Taman
13/34
191Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
6.2 PROGRAM DAN PENTAHAPAN
PENGADAAN RTH
Pengadaan RTH bagi kota yang sudah terbanguntentu membutuhkan pemikiran-pemikiran yang dapat di-
pertanggung-jawabkan di kemudian hari. Relatif masih
rendahnya kepedulian dan kesadaran perlunya eksistensi
RTH, bahwa RTH Kota tak hanya berfungsi sebagai peng-
isi ruang-ruang di antara bangunan saja, namun adalah
lebih luas dari itu. Dalam pembangunan kota berkelan-
jutan mutlak dipertimbangkan ada pembangunan RTH
secara khusus, berdasar pada serangkaian fungsi pen-
ting RTH dalam Rencana Induk Kota baik dalam jangka
pendek maupun panjang.
6.2.1 Pengembangan RTH Kota Jangka Pendek
Kegiatan pengembangan Kota Jangka Pendek, an-
tara lain:
• Refungsionalisasi dan pengamanan jalur-jalur hijau
alami, seperti di sepanjang tepian jalan raya, jalan tol,
bawah jalan layang (y-over), bantaran kali, saluran
teknis irigasi, tepian pantai, bantaran rel kereta api,
jalur SUTET, tempat pemakaman umum (TPU), dan
lapangan olahraga, dari okupasi permukiman liar.
• Mengisi dan memelihara taman-taman kota yang sudah
ada, sebaik-baiknya dan berdasar pada prinsip fungsi
pokok RTH (identikasi dan keindahan) masing-masing
lokasi.
• Memberikan ciri-ciri khusus pada tempat-tempat stra-
tegis, seperti batas-batas kota dan alun-alun kota.
• Memotivasi dan memberikan insentif secara material
(subsidi) dan moral terhadap peran serta masyarakat
dalam pengembangan dan pemeliharaan RTH secara
optimal, baik melalui proses perencanaan kota, mau-
pun gerakan-gerakan penghijauan.
• Prasarana penunjang dalam pengembangan RTH yangdibutuhkan, adalah tenaga-tenaga teknisi yang bisa me-
nyampaikan konsep, ide serta pengalamannya dalam
mengelola RTH, misal pada acara penyelenggaraan
pelatihan dan pendidikan pada Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Pusdiklat). Dibutuhkan sosialisasi dan pe-
nyuluhan secara berkala kepada pihak-pihak yang
berkepentingan, maupun masyarakat umum secara
luas.
6.2.2 Pengembangan RTH Kota Jangka Panjang
Penyuluhan pengembangan RTH dapat dilakukan
melalui instansi pemerintah daerah yang secara resmi
ditunjuk dan erat kaitannya dengan penghijauan kota,
mulai dari tingkat kota/kabupaten, camat, lurah/kepala
desa, hingga lingkungan RT/RW, dewan legislasi, or-
ganisasi-organisasi kemasyarakatan, sekolah, pramuka,
rumah sakit, perkantoran, dan berbagai bentuk media
massa cetak (surat kabar, majalah, buletin) serta media
elektronik (radio, televisi, internet). Program pengemba-
ngan RTH, seperti umumnya pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan, bukan hanya merupakan tanggung
jawab pemerintah saja, tetapi seluruh unsur kemasyara-
katan bersama dengan pemerintah hendaknya dapat
mengelola RTH dalam sistem kepemerintahan yang baik
(good governance) demi kepentingan bersama pula.
Pendapat beberapa pakar, antara lain Pope (2003)1,
mengatakan bahwa, bila ingin mengetahui beraneka-
ragam budaya dapat ‘mengerti’ dunia alami, pergilah ke
kota-kota mereka, amati konstruksi terbaru dengan baik,
-
8/17/2019 Teori Taman
14/34
192 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
lakukan observasi transformasi stratejik yang ada, maka
tanpa pertimbangan proses urbanisasinya, kenyataan
yang terjadi adalah bahwa pergerakan dari alam ke ling-kungan kota ini tak bisa diprediksi, sebab horizon perkota-
an yang bagaimana pun adalah dimana keberadaan alam
dan kotanya selalu berhubungan, artinya eksistensi kota
tak akan ada tanpa unsur alam. Dengan melihat kota,
maka dapat dikirkan bagaimana dunia alaminya.
Sistem transformasi yang terjadi dari tahun 1950-an,
dimana masih banyak dianut sistem kota berbentuk ‘grid-
iron’ sampai abad ke 19, menuju kepada sistem ‘cul de sac’ abad ke 20, dan seterusnya, merupakan gambaran
kejadian fragmentasi kerja yang radikal pada baik kota
maupun lingkungan alami, menjabarkan keberlanjutan
tunggal, atau dunia dalam perobahan kota-kota yang
terus meluas, menduduki (ekspansi) suatu kota.
Dalam perkembangan kota-kota di Indonesia, apa
yang kita saksikan saat ini (tahun 2005-2006) merupakan
dampak dari terjadinya krisis multi dimensional sejak ta-
hun 1997-1998 yang sampai kini ternyata belum dapat
diselesaikan secaa tuntas. Penyebab utamanya adalah
tidak konsistennya pengelolaan kota pada umumnya un-
tuk secara hati-hati mengikuti Rencana Induk kota (RTH
di dalamnya) agar fungsi RTH betul-betul dapat dirasakan
manfaatnya secara menerus (continuity).
Moda Ekspansi: untuk dapat mengerti ‘batas’ antar
kawasan kota dan alam, perlu diketahui sesuatu tentang
mekanisme ekspansi kota. Pola kota yang berbentuk ko-
tak (grid), maupun pola ‘radial’, berkembang sampai akhir
abad ke 19, yang menerus dan kemudian tumbuh pola
‘cul de sac’ yang terputus-putus, ketiganya terus tum-
buh berkembang pada jalan yang berbeda. Tiap moda
ekspansi merupakan kepastian yang juga telah memper-
timbangkan bagaimana lingkungan kota dan lingkungan
alam itu saling eksis dan bagaimana keduanya berhasilatau tidak membentuk suatu batas luar suatu kota (urban
frontiers). Dapat dilihat dari melebarnya kota-kota secara
horisontal dan ke semua arah dari waktu ke waktu.
Karena itu diperlukan suatu rencana pengembangan
kota jangka panjang, termasuk perteletakan dan penge-
lolaan RTH-nya, yang kemudian implementasinya pun ha-
rus diikuti secara konsisten. Walau ada perubahan dalam
letak atau luas kawasan karena tuntutan waktu (jaman),namun sedapat mungkin RTRK yang telah direncana dan
ditetapkan untuk paling tidak 25 tahun mendatang bisa
tetap dijadikan pedoman, karena hal tersebut merupakan
hasil pemikiran komprehensif, holistik secara koordinatif
dari unsur-unsur perencanaan pembangunan kota yang
tentu sudah mempertimbangkan segala aspek pertum-
buhan berbagai bidang (kependudukan, IPTEK, kese-
imbangan fungsi lingkungan, dan seterusnya).
Ide pola pengembangan kota berbentuk kotak ini
abad ke 19 ini, karena keinginan untuk ‘membuka ru-
ang kota’ dengan meletakkan jalur lalu-lintas semacam
urat nadi dalam tubuh. Contoh-contoh kota berpola grid
tersebut: The Cerda Plan of Barcelona, The By-law Street
of London, The Massive Kreuzberg District of Berlin, The
Comissioner’s Plan Manhattan. Semua berkembang
menjadi kota-kota besar tetap berdasar pola kotak-kotak
tersebut. Bentuk RTH nya pun lalu mengikuti jalur, um-
umnya berbentuk persegi empat, termasuk lahan yang
khusus diperuntukkan bagi ‘agricultural allotments’ atau
mengikuti bentuk topogra yang ada.
Mengingat pertumbuhan RTH di kota-kota Indonesia
-
8/17/2019 Teori Taman
15/34
193Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
dapat dikatakan ‘baru’ disadari sekitar tahun 1965-an di
Jakarta, dimulai oleh perlu adanya pendidikan SDM bi-
dang profesi arsitektur lansekap tahun 1963 oleh PemdaDCI Djakarta, maka pola pengembangan RTH-nya pun
sudah berkembang meski pun relatif lambat. Kota-kota
terutama di pulau Jawa, sebagian besar direncanakan
kembali oleh pemerintah kolonial Belanda berdasar pada
pola tata ruang kerajaan di mana di pusat kota disediakan
ruang terbuka yang disebut alun-alun, atau di negara
barat biasa disebut square. Di ke empat sisi terletak kan-
tor-kantor pusat pemerintahan. Mulai dari istana (Balai-kota), kemudian rumahsakit, lembaga pemasyarakatan,
pengadilan, kejaksaan dan lembaga pelayanan masyara-
kat lain. Pola semacam ini diaplikasikan juga pada be-
berapa kota lain di luar pulau Jawa.
Yang patut dipertimbangkan dalam pengelolaan RTH
jangka panjang, adalah agar kawasan pinggiran kota (hin-
terland) tidak sampai semakin terlalu melebar sehingga
‘memakan’ daerah luar kota, sehingga jarak pelayanan
menjadi terlalu panjang, sehingga sulit pelaksanaannya.
Selain itu tanah-tanah yang biasanya relatif lebih subur di
luar kawasan kota, berubah fungsi menjadi kawasan ter-
bangun yang tak beraturan (urban sprawl), seolah tanpa
perencanaan matang. Dapat dikatakan bahwa kejadian
semacam ini disebut kegagalan perencanaan ruang se-
cara total.
6.2.3 Perencanaan dan Pengendalian RTH Kota
Inventarisasi potensi alam merupakan dasar kela-
yakan pembangunan RTH, khususnya sebagai dasar un-
tuk menentukan letak dan jenis tanaman. Inventarisasi ini
sangat diperlukan berdasar pada keterkaitan kondisi sik,
sosial dan ekonomi, meliputi pendataan keadaan iklim
(curah hujan, arah angin, suhu dan kelembaban udara);
data topogra dan kongurasi kondisi alam adalah untuk
menentukan tipe RTH kota; kemudian geologi, jenis ta-
nah dan erodibilitas untuk penentuan jenis RTH; jaringan
sungai, potensi dan pelestarian jenis, jumlah, dan kondisi
fauna dan ora lokal. Umumnya keberadaan dan jenis
fauna sangat berkaitan erat pula dengan jenis ora yang
ada (existing, biota endemic).
Penggunaan lahan (land use) dan keadaan yang mem-
pengaruhinya perlu dikompilasi melalui pengumpulan data
mengenai kedua hal tersebut, yaitu: meliputi penggunaan
tanah serta penyebaran bangunan, daerah permukiman,
perdagangan, industri, pusat pemerintahan, pusat per-
belanjaan, tempat rekreasi, dan jaringan transportasi.
Keadaan yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah
demogra jumlah dan persebaran penduduk, prosentase
Gambar 6.5
Rumah menghadap kali dan lansekapnya ditata secara sederhana.
-
8/17/2019 Teori Taman
16/34
194 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
pertambahan jumlah, komposisi penduduk, dan keadaan
sosial ekonomi. Kedua data ini dipergunakan untuk me-
nentukan tipe, lokasi, dan jumlah RTH.Inventarisasi aktivitas dan permasalahannya meliputi
data aktivitas yang dikumpulkan, terutama kegiatan-
kegiatan yang bisa menimbulkan dampak negatif ter-
hadap lingkungan. Tingkat atau besaran aktivitas akan
menentukan luas RTH yang dibutuhkan dalam upaya
menetralisir pengaruh negatif yang ditimbulkannya terse-
but. Pengumpulan data sik (utama), meliputi:
• Jumlah dan laju pertambahan kebutuhan air danoksigen;
• Jumlah dan tingkat pertambahan penggunaan bahan
bakar;
• Jumlah dan laju pertambahan kendaraan bermotor;
• Jumlah dan laju pembuangan limbah industri/rumah
tangga;
• Nilai kualitatif dan kuantitatif dari permasalahan lain
yang sering timbul, seperti banjir, intrusi air laut, abrasi,
erosi amblasan tanah, dan tingkat pencemaran lain.
Kemudian, perlu disusun Rencana Kerja Berkala, me-
liputi Rencana Jangka Pendek, (Menegah), dan Panjang.
Kebijakan umum pengembangan RTH, yang dilengkapi
langkah-langkah pelaksanaan menurut waktu dan skala
prioritas.
Monitoring dan Evaluasi secara berkala dan terus
menerus, guna mendapat data akurat yang dapat diper-
gunakan sebagai dasar perbaikan dan pengembangan di
masa datang.
6.2.4 Pola Penyelenggaraan RTH
Pelaksanaan pembangunan RTH sebaiknya dapat di-
lakukan sendiri oleh unit instansi pemerintah daerah yangditunjuk sebagai pengelola RTH, berdasar tugas pokok
dan fungsi serta bentuk dan kriteria unit tersebut, atau,
mungkin karena ada berbagai keterbatasan, mungkin
pula untuk dikontrakkan sebagian atau seluruh peker-
jaannya kepada pihak lain yang tentu harus bisa menge-
lola secara bertanggung jawab sampai dengan monitor-
ing dan evaluasinya.
Selaras dengan semangat otonomi daerah yang ber-dasar azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas per-
bantuan, maka organisasi pengelolaan dan pengembang-
an RTH kota dapat disusun sebagai berikut:
Penanggungjawab: Kepala Wilayah (Bupati/Walikota).
Perencana & Pengendali: Bappeda/Bapedalda/ BLH/
Unit PLH.
Pelaksana: Dinas-dinas Tata Kota, Pertamanan, Pe-
makaman, Pertanian, Kehutanan, dan pemilik lahan
(individu/swasta).
6.2.5 Perkembangan dan Pembangunan RTH
Akibat pembangunan tidak berwawasan lingkungan,
luas RTH kota di berbagai kota semakin berkurang, jauh
dari luas optimal 30 persen dari total luas kota. Secara
umum, permasalahan ketidaktersediaan RTH kota secara
ideal disebabkan oleh (Purnomohadi, 1994 dan KLH,
2001):
(1) Inkonsistensi kebijakan dan strategi penataan ruang
kota, kurangnya pengertian dan perhatian akan ur-
gensi eksistensi RTH dalam kesatuan wilayah/kawasan
perkotaan. Perencanaan strategis pembangunan RTH
-
8/17/2019 Teori Taman
17/34
195Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
di daerah belum memadai, karena dianggap sebagai
ruang publik (common property) yang secara ekonomis
tidak menguntungkan sehingga saling melepas tang-gungjawab;
(2) Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin.
RTH sering dianggap sebagai tempat sampah, gubug
liar dan sarang vektor pembawa penyakit, sehingga cen-
derung lebih menjadi ‘masalah’ dibanding ‘manfaat’;
(3) Kurangnya pemahaman (butir 1), berakibat tidak ter-
sedianya RTH yang memadai, semakin mengurangi
peluang bagi warga kota, terutama anak-anak, remaja,wanita, manusia usia lanjut dan penyandang cacat,
untuk mendapat pendidikan dan pelajaran tentang ke-
hidupan langsung dari alam sekitar, serta fasilitas olah
raga, berekreasi dan bermain;
(4) Pencemaran ekosistem perkotaan terhadap media
tanah, air dan udara semakin meningkat dan menim-
bulkan penyakit sik dan psikis yang serius.
Pernyataan ‘hidup sehat itu mahal’ telah dibuktikan
oleh para pakar kesehatan maupun para penderita pe-
nyakit. Hubungan antara pencemaran pada media ling-
kungan udara, air dan tanah dengan kesehatan sangat
terkait erat, sebab warga kota akan menghirup udara ter-
cemar yang sama, makan dari hasil produksi bahan men-
tah dari sumberdaya buatan maupun alami yang relatif
sama, di mana siklus rantai makanan (nutrient), terpaksa
atau tumbuh melalui media tanam yang sudah tercemar.
Sebagaimana kehidupan tubuh manusia yang sehat
jasmani dan rohani, maka tubuh kota pun dapat selalu
dijaga kesehatannya. RTH kota sebagai paru-paru kota,
mampu menghasilkan udara bersih dan iklim mikro. Alur
sungai yang ada dalam tubuh kota diumpamakan se-
bagai aliran darah yang harus selalu bersih dan lancar.
Ketersediaan RTH digunakan sebagai salah satu krite-ria pengembangan Kota Sehat, di mana warga kotanya
dapat hidup sehat pula.
Perencanaan RTH kota harus dapat memenuhi kebu-
tuhan warga kota dengan berbagai aktivitasnya. Kepmen
PU No. 387 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH
kota yang dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2 /jiwa,
sedang untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau)
15 m2 /jiwa.Dengan demikian, secara menyeluruh kebutuhan akan
RTH kota adalah sekitar 17,3 m2 /jiwa. RTH tersebut harus
dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konser-
vasi ekosistem dan pencipta iklim mikro (ekologis), sa-
rana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (ekonomis),
pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap
kota (estetis).
Semua jenis RTH harus diusahakan dapat berfungsi
estetis, karena secara alami manusia membutuhkan
hidup dekat dengan alam yang asri, nyaman dan sehat,
sehingga terjadi siklus kehidupan penunjang fungsi eko-
sistem alam.
Kota identik dengan deretan beranekaragam bangun-
an-bangunan yang dibuat oleh manusia. Bangunan pe-
rumahan, perkantoran, sarana umum seperti pasar atau
pusat perbelanjaan, rumah sakit, terminal, jalan raya,
tempat hiburan, dan lain-lain dibangun demi kepentingan
manusia (Nazarudin, 1996).
Sebagian besar wilayah/kawasan perkotaan di In-
donesia mengalami kemunduran secara ekologis yang
diakibatkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia
-
8/17/2019 Teori Taman
18/34
196 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
Tabel 6.1: Standar RTH Kota, Kriteria Unit-unit Lingkungan
Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU (1987)
UNIT LINGKUNGAN
PERENCANAAN
Lingkungan I
Lingkungan II
Lingkungan III
Lingkungan IV
Lingkungan V
UNIT LINGKUNGAN
ADMINISTRASI
Rukun Tetangga
Rukun Warga
Kelurahan
Kecamatan
Wilayah Kota
JUMLAH PENDUDUK
YANG MENDUKUNG
250 jiwa
3.000 jiwa
30.000 jiwa
200.000 jiwa
1 juta jiwa
Tabel 6.2: Kebutuhan akan RTH
Sumber: Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota, Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU (1987)
Unit Lingkungan
L-I
(250 jiwa)
L-II(3000 jiwa)
L-III
(30.000 jiwa)
L-IV
(200.000 jiwa)
L-V
(1 juta jiwa)
Penyempurnaan
Jenis Ruang Terbuka
yang Dibutuhkan
Tempat bermain
anak-anak
Taman +Lapangan Olahraga
Taman +
Lapangan Olahraga
Taman +
Stadion Kecil
Taman Kota +
Kompleks Stadion
Pemakaman
Hutan Kota
Jalur Hijau
Jumlah
Luas/Unit
(m2 )
250
1.500
10.000
40.000
150.000
Standar/
Kapita
(m2 /kapita)
1,0
0,5
0,33
0,2
1,5
0,58
6,0
15,0
Lokasi
Di tengah kelompok pemukiman
Di pusat kegiatan RW
Dikelompokkan dengan sekolah
Dikelompokkan dengan sekolah
Di puast wilayah/tersendiri
Di luar pusat wilayah (pinggir kota)
Di gabung dalam kesatuan yang kompak
Tersebar
-
8/17/2019 Teori Taman
19/34
197Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
dengan lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan mening-
katnya suhu udara di perkotaan, penurunan air tanah,
banjir/genangan, penurunan permukaan tanah, intrusi airlaut, abrasi pantai, pencemaran air oleh bakteri dan unsur
logam, pencemaran udara seperti peningkatan debu, ka-
dar karbon monoksida (CO), ozon (O3 ), karbon-dioksida
(CO2 ), oksida nitrogen (NO) dan belerang (SO), serta sua-
sana yang gersang, monoton, bising, dan kotor (Dahlan,
1992).
Menimbang hal tersebut, maka pembangunan RTH
berupa hutan kota sebagai salah satu alternatif pemecah-an permasalah lingkungan perkotaan yang kompleks,
sangat diperlukan. Hutan kota yang dibangun dan dikem-
bangkan dapat mengurangi monotonitas, meningkatkan
keindahan, membersihkan lingkungan dari pencemaran
dan perusakan, meredam kebisingan, dan beberapa
keuntungan lain.
Pada dasarnya hutan kota merupakan bagian Ruang
Terbuka Hijau (RTH) kota. Pembangunan hutan kota me-
miliki makna mengamankan ekosistem alam yang besar
pengaruhnya terhadap eksistensi dan kelangsungan
hidup kota itu sendiri. Hal ini perlu disadari oleh warga
kota itu sendiri, sebab sudah menjadi kenyataan, bahwa
potensi masyarakat merupakan hal utama dalam mem-
bentuk wajah kota yang hijau dan indah. Oleh karena itu,
peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam pembangun-
an dan pengembangan hutan kota.
Hutan Kota adalah lahan yang bertumbuhan po-
hon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah
perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak,
yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang
berwenang (PP No. 63 Tahun 2002).
Pengertian Kota yang nyaman dan menyehatkan
adalah kota dengan lingkungan yang kondusif bagi ter-
wujudnya lingkungan yang bebas polusi, tersedianya airbersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan
dan permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang
berwawasan lingkungan, serta terwujudnya kehidupan
dalam suasana kemasyarakatan yang akrab dan saling
tolong menolong, dan dengan upaya untuk tetap meme-
lihara nilai-nilai budaya bangsa.
Salah satu metode paling efektif dalam mengenda-
likan pencemaran udara adalah pengendalian pada sum-bernya, tetapi metode ini belum menjamin 100 persen
efektif dan esien, karena keterbatasan teknologi serta
dukungan nansial. Salah satu alternatifnya adalah peng-
gunaan metode pengendalian pencemaran udara bukan
pada sumber pencemar, salah satunya yaitu dengan
mempertimbangkan peran RTH.
6.3 STANDAR DAN KEBUTUHAN RTH KOTA Secara selintas standar dan kebutuhan kota telah se-
dikit diuraikan pada Bab II, namun standar itu mengacu
pada pembangunan kembali (renovasi) kota Rotterdam
di negeri Belanda, yang hampir rata tanah akibat Perang
Dunia ke II. Standar semacam itu memang sangat ideal
apalagi bila jumlah pendudukya relatif tetap.
Bagaimana untuk kota-kota di Indonesia? Banyak
pertimbangan perlu didiskusikan sebab Negara Kepulau-
an terbesar di dunia ini, mempunyai ciri-ciri khusus, baik
dari lingkungan terestrial apalagi lingkungan kelautannya.
Dari segi kondisi iklim (tropis) saja, sebarannya pun sa-
ngat luas dan beragam, dari iklim tropis basah, sedang
sampai kering. Iklim tropis pegunungan dataran tinggi,
-
8/17/2019 Teori Taman
20/34
198 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
sampai ke kawasan perairan dari hulu samai hil ir (sungai,
danau, lahan basah) sampai ke kawasan pesisir dengan
sumberdaya hayati yang juga beranekaragam, berupakawasan mangrove, terumbu karang dan padang lamun
yang tersebar di seluruh kawasan NKRI.
Menyadari akan keanekaragaman di berbagai lokasi
di seluruh penjuru tanah air ini, maka menjadi tugas kita,
terutama arsitek lansekap untuk sedapat mungkin beru-
saha menjaga keanekaragaman tipe ekosistem yang ada,
sebab sesuai prinsip ‘hetereogenitas dalam stabilitas’
fungsi kingkungan pendukung kehidupan manusia danmakhluk hidup lain.
Standar RTH Kota telah diterbitkan oleh Departe-
men Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya,
disesuaikan dengan hierarkhi unit lingkungan adminsitra-
tif sesuai dengan jumlah penduduknya (tabel). Sedangkan
tabel selanjutnya, adalah tentang kebutuhan akan jenis
RTH kota, dari masing-masing unit lingkungan dari sum-
ber yang sama, memperlihatkan perkiraan luasan RTH
yang dibutuhkan mencakup jenis pelayanan RTH dan
luasan per unit lingkungan. Kedua tabel tersebut, tentu
dapat berubah secara dinamis karena kondisi lingkungan
pun tak pernah tetap. Jadi bukan merupakan pedoman
yang mati, namun disesuaikan dengan tuntutan pemenu-
han kebutuhan masyarakat sesuai kondisi geograsnya.
6.3.1 Standar RTH Kota
Sebagaimana telah disebutkan, beberapa pakar meng-
acu pada para peneliti negara lain yang telah dituangkan
dalam berbagai literatur, yang mengemukakan bahwa
luas RTH Kota yang akan dibangun ditetapkan menurut
persentase dari luas kota. Ada yang menyatakan 10, 20,
25, 30, 40, 50, hingga 60 persen dari total luas kota.
Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri)
No. 14 Tahun 1988 Tentang Penataan RTH di WilayahPerkotaan, setiap kota dianjurkan untuk menyediakan
area sebagai kawasan RTH; sebesar 40-60 persen dari
total luas wilayah kota, hal ini didasarkan pada pertim-
bangan keamanan khusus yang ditinjau dari segi kese-
imbangan alami lingkungan hidup perkotaan.
Penentuan luas lahan RTH kota umumnya dihitung
berdasar pada jumlah penduduk. Luasan RTH kota di
Malaysia ditetapkan sebesar 1,9 m2
/penduduk, sedang-kan di Jepang 5,0 m2 /penduduk (Tong Yiew, 1991). De-
wan kota Lancashire, Inggris menentukan 11,5 m2 /pen-
duduk, dan Amerika 60 m2 /penduduk, sedangkan di DKI
Jakarta taman untuk bermain dan berolahraga diusulkan
1,5 m2 /penduduk (Rifai, 1991).
Standar penentuan RTH berdasarkan jumlah pen-
duduk juga telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Cip-
ta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (DPU, 1987) ber-
dasar pada kriteria unit-unit lingkungan sebagai berikut:
Di dalam total peredaman cemaran udara oleh ling-
kungan terdapat komponen peredaman cemaran udara
vegetasi hijau, termasuk hutan kota. Kemampuan hu-
tan kota dalam memberikan sumbangan kepada proses
peredaman cemaran didekati dengan menggunakan
peubah-peubah yang menyangkut keragaan dan kinerja
kelompok tumbuhan pembentuk hutan kota, mencakup
sifat-sifat sik dan sifat-sifat siologis serta metabolistik
tumbuhan yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai
berikut:
• Luas hutan kota (dalam satuan hektar), yang menca-
kup luas liputan lahan hutan kota dan prakiraan luas
-
8/17/2019 Teori Taman
21/34
199Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
Gambar 6.6: Central Park New York 1858.
Michael Laurie, An Introduction to Landscape Architecture
efektif penutupan tajuk hutan kota, untuk setiap jenis
hutan kota.
• Indeks Luas Daun ( Leaf Area Index /LAI)-(dalam satuanha/ha), berdasar prapendugaan untuk semua kelom-
pok tumbuhan di dalam setiap jenis hutan kota. Peubah
penciri hutan kota ini dinyatakan dalam satuan rata-
rata tertimbang terhadap sebaran luas masing-masing
kelompok tumbuhan setiap jenis hutan kota.
• Biomassa (B satuan ton), untuk semua kelompok tum-
buhan di dalam setiap jenis hutan kota, diduga berdasar-
kan peredaman CO2 oleh hutan kota, yang pada hakekat-nya merupakan penggunaan konsumtif CO
2 oleh veg-
etasi pembentuk hutan kota dalam proses fotosintesis.
• Indeks kesempurnaan Arsitektur Lansekap (dimension-
less), yang merupakan gabungan (komposit) dari In-
deks Kesempurnaan Disain Pertamanan dan IndeksKesempurnaan Komposisi Jenis Tanaman.
6.3.2 Penentuan Luas RTH
Wilayah Kota (kawasan perkotaan) adalah kawasan
yang sengaja dibangun sebagai pusat-pusat permukim-
an, beserta segala sarana umumnya (perkantoran, pasar,
sekolah, rumah sakit, industri terbatas, tempat-tempat
rekreasi), yang berkembang secara dinamis dan meru-pakan simpul-simpul jasa pelayanan, serta mempunyai
ciri khusus kehidupan perkotaan. Kegiatan utamanya
-
8/17/2019 Teori Taman
22/34
200 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
sesuai dengan susunan fungsi kawasan perkotaan terse-
but, adalah sebagai pemusatan dan distribusi berbagai
pelayanan, seperti jasa kepemerintahan, pelayanan sosial(sarana pendidikan, rumah sakit), dan kegiatan ekonomi
(perdagangan, pasar, industri terbatas).
Nazaruddin (1996), mengatakan bahwa kota identik
dengan bangunan-bangunan yang dibangun oleh manu-
sia untuk memenuhi kebutuhannya, seperti perumahan,
perkantoran, sarana umum (pasar, rumah sakit, terminal,
jalan raya, tempat hiburan, termasuk juga sarana RTH
kota. Akibat krisis moneter berkepanjangan, yang diikutioleh krisis manajemen kepemerintahan, maka sebagian
besar wilayah perkotaan Indonesia, semakin mengalami
degradasi lingkungan (kemunduran secara ekologis) di-
tandai oleh ketidakharmonisan hubungan antara manu-
sia dengan lingkungan hidupnya, seperti meningkatnya
suhu udara, terbentuk pulau panas (heat island) di atas
media udara kawasan perkotaan; peningkatan pencema-
ran udara, seperti karbon monoksida (CO), ozon (O3 ), kar-
bon-dioksida (CO2 ), oksida nitrogen (NO), belerang (SO)
dan debu; penurunan muka air tanah, pencemaran air ta-
nah dan air permukaan, sehingga air baku air minum pun
menjadi kotor, berbau, mengandung logam berat; terjadi
pula amblasan tanah, intrusi air laut, dan abrasi pantai.
Akhirnya, terbentuklah suasana yang gersang, monoton,
bising dan kotor, sebagaimana dirasakan saat ini (Purno-
mohadi, 1995, Dahlan,1992).
Berdasarkan kondisi tersebut, maka pengelolaan
RTH kota secara menyeluruh (rehabilitasi, rekonstruksi,
dan peningkatan upaya pemeliharaannya), merupakan
hal mutlak yang harus segera dilakukan, sebagai alter-
natif penting dalam pemecahan permasalah lingkungan
perkotaan yang sudah amat kompleks dan tidak seim-
bang ini.
Melalui pembangunan sistem RTH kota (Urban ParkSystem) sebagai penyeimbang kondisi lingkungan, akan
mengurangi monotonitas, meningkatkan keindahan,
membersihkan lingkungan, meredam kebisingan, peng-
hasil produksi tetumbuhan, intangible maupun tangible,
bagi kemaslahatan hidup warga kota.
Saat ini, di kota-kota besar terutama yang sudah
bersifat ‘metropolis’, akibat kurangnya apresiasi akan
pentingnya eksistensi RTH ini telah menyebabkan lua-san RTH semakin berkurang. RTH adalah salah satu milik
umum (common property) yang mungkin keberadaannya
tak terlalu dipentingkan, sehingga pemerintahan kota
mengikuti kebutuhan dasar para ‘urbanis’ yang terus me-
ningkat, serta tak sebanding dengan ruang yang ada. Hal
itu menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
• Inkonsistensi kebijakan dan strategi penataan RTH
dalam tata ruang kota yang sudah ditetapkan, dan
yang sudah diakomodasi secara menyeluruh dalam
Rencana Induk Kota atau Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR).
• Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin,
menyangkut pula pemilihan jenis tanaman yang tidak
sesuai secara ekologis kondisi bio-geograsnya pada
masing-masing lokasi.
• RTH sering dianggap sebagai tempat sampah dan
sarang vector berbagai penyakit.
• Pemahaman masyarakat pada umumnya sangat
kurang, khususnya amat terbatasnya pendidikan prak-
tis yang langsung berhubungan dengan alam sekitar.
• Minimnya fasilitas RTH, berupa lapangan olahraga
-
8/17/2019 Teori Taman
23/34
201Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
dan tempat bermain anak, maupun taman rekreasi
untuk para lansia, padahal telah diketahui amat pen-
ting dalam mendukung perkembangan (proses) moto-
rik pada anak-anak serta keseimbangan mental bagi
orang dewasa.
• Pencemaran media lingkungan (tanah, air, dan uda-
ra) secara sik pasti menimbulkan masalah kesehatan
yang serius, khususnya bagi manusia yang rentan ter-
hadap penyakit, para lansia dan balita (Purnomohadi,
2003).
6.4 PEMBANGUNAN RTH KOTA
Manusia, dalam ‘membangun’ kota telah mengubah
tapak alami secara drastis. Awal teknik pembangunan
memang mengajarkan ‘land clearing’ terutama bersih
dari berbagai macam vegetasi, apalagi pepohonan, pa-
dahal dengan hilangnya vegetasi, maka hilang pula biota
lain yang hidup tergantung padanya. Vegetasi, kecuali
‘yang produknya bisa dimakan’ dianggap sebagai suatu
“barang” tak penting. Air hujan yang mampu mengalir
dengan perlahan melalui daun dan batang menguatkan
akar dan tetumbuhan lain menjadi akuifer, lalu terpaksa
mengalir langsung menuju tempat/lokasi yang lebih ren-
dah (dengan membawa sedimen) menuju selokan atau
pipa sewerage, lebih cepat menuju perairan akhirnya ke
laut. Tanah menjadi keras (kompak) dan miskin hara (aki-
bat erosi).
Pembangunan RTH sebagai unsur alam di kota mam-
pu menjadi pusat, dan mengalirkan energi bagi kehidup-
an penghuni kotanya, serta menimbulkan rasa tenang,
nyaman dan sejuk. Bentuknya pun bermacam-macam
dari skala besar, seperti taman-taman rekreasi berskala
nasional, provinsi maupun taman formal di depan gedung
resmi atau perkantoran, taman dan kolam yang diren-
canakan mengikuti karakter geogras, sampai ke taman-
taman lingkungan yang berukuran relatif kecil, termasuk
halaman rumah, ‘taman atap, balkon dan teras bangu-
nan’, taman dalam rumah (indoor), sampai sekedar tana-
man rumput di sekitar kita, semuanya merupakan unsur
alam.
Central Park di Kota New York, berukuran sekitar 341
ha terbukti mampu mengencerkan konsentrasi gas-gas
polutan. Dengan ukuran yang sama, maka satu garis jaja-ran dedaunan, kemampuan penjerapan/penyerapan debu
bisa menjadi tiga sampai empat kali dibanding alat beru-
pa bahan berpermukaan halus dengan ukuran sama dan
dipasang di lokasi yang sama. Studi di Hyde Park (295 ha)
di London membuktikan 25% reduksi konsentrasi asap
yang kebetulan dihembuskan angin melalui Taman terse-
but. Banyak lagi hasil-hasil penelitian kota-kota dunia
yang kira-kira membuktikan pentingnya eksistensi RTH
dalam Kota. Karena itu RTH-kota mutlak ada sebagai
komponen penting syarat pembangunan lingkungan kota
yang nyaman (Hal 150, Modul pelatihan UNESCO-UNEP
seri ke-4, 1987).
6.4.1 Perancangan, Bentuk dan Konfgurasi RTH
(Arsitektur Lansekap)
Pembangunan bidang pertamanan (landscape archi-
tecture) di kota metropolitan, atau biasa disebut “Metro-
politan Park System” sebaiknya berorientasi pula kepada
sumber yang telah ditetapkan pemerintah sebagai dasar
kebijakan pembangunan atau RTRK.
Umumnya pembangunan ’lingkungan’ perkotaan se-
-
8/17/2019 Teori Taman
24/34
202 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
bagian besar ’hanya’ merupakan perbaikan atau penam-
bahan sarana dan prasarana kota yang semula ’sudah’
ada ( urban renewal , revitalisasi), namun tetap harus di-
lakukan secara berencana, dengan lebih memperhatikan
keserasian hubungan antara kota terbangun dengan ling-
kungan alaminya, dan antara kota dengan daerah perde-
saan sekitar atau kota pendukung (hinterland), serta ke-
serasian dalam pertumbuhan kota itu sendiri.
Kota sebagai konsentrasi permukiman dan kegiatan
manusia, telah berkembang sangat pesat berikut dam-
paknya pada banyak kota di Indonesia. Kota dalam keter-batasan kemampuan, tetap menuntut adanya suatu kon-
disi sik dan l ingkungan yang sehat bagi warga kotanya.
Pertambahan penduduk yang pesat senantiasa di-
iringi tuntutan ketersediaan prasarana, sarana, fasilitas
pelayanan bagi kehidupan dan kegiatannya. Keterba-
tasan dana dan teknologi, penanganan dan pengelolaan
kota yang kurang tepat, serta pertambahan penduduk
kota yang pesat sebagai akibat kelahiran maupun ur-banisasi, telah menimbulkan banyak masalah perkotaan
yang seringkali menjadi berlarut-larut.
Pengembangan dan pembangunan kota sangat ber-
gantung pada faktor kuantitas dan kualitas penduduk,
keluasan dan daya dukung lahan, serta keterbatasan ke-
mampuan itu sendiri. Gejala pembangunan, perkembang-
an dan pemekaran kota untuk memenuhi tuntutan dan
pelayanan terhadap penduduk kota yang jumlahnya terus
membengkak tersebut, seringkali menimbulkan kecende-
rungan menuju pembangunan maksimal struktur kota,
ruang terbuka kota, dengan mudah menghilangkan atau
mengorbankan eksistensi dan wajah alam.
Lahan kota semakin tertutup oleh struktur (perkerasan/
hard materials ), dan permukaan air (sungai, rawa, pantai,
dan lain-lain) yang berubah fungsi dan kualitasnya. Anda-
lan kemampuan teknologi modern, telah mengembang-
kan pemikiran membangun kota yang seringkali meng-
abaikan sistem ekologi kota, bahkan berusaha merobah
seluas mungkin eskosistem alam menjadi ekosistem buat-
an (artifcial ecosystem). Maka, muncul dampak negatif
pembangunan akibat perlakuan kurang wajar terhadap
norma-norma dan kaidah-kaidah alam tersebut, seperti
perubahan suhu kota, krisis air bersih, penurunan air ta-
nah, amblasan tanah, banjir, intrusi air laut, abrasi pantai,kualitas udara memburuk, sungai mengering, dan ber-
bagai polusi terhadap media lingkungan.
Perencanaan RTH kota yang matang, dapat menjaga
keseimbangan dan keharmonisan antara ruang terba-
ngun dan ruang terbuka. Keselarasan antara struktur kota
dengan wajah-wajah alami, mampu mengurangi berbagai
dampak negatif akibat degradasi lingkungan kota dan
menjaga keseimbangan, kelestarian, kesehatan, kenya-manan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup kota.
6.4.2 Pemilihan Jenis Tanaman
Sebenarnya tidak ada apa yang dinamakan dalil khu-
sus dalam pemilihan jenis tanaman yang sesuai pada
suatu lokasi. Namun demikian, kondisi bio-geogra ling-
kungan secara alami telah menunjukkan habitat berbagai
jenis-jenis tanaman (keaneka-ragaman hayati endemic/
existing ) yang paling tepat sebagai acuan pemilihan tana-
man untuk RTH sesuai tapak masing-masing. Kemudian
barulah pertimbangan berdasar pada pengalaman akan
kesesuaian bentuk dan fungsi (form follows function) wu-
jud arsitektural tanaman-tanaman tersebut, hendaknya
-
8/17/2019 Teori Taman
25/34
203Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
dijadikan dasar pemilihan selanjutnya.
Tanaman sebagai salah satu elemen alam yang diper-
gunakan dalam penataan lansekap kota tidak henti-henti-
nya mengalami perubahan. Di samping itu tanaman juga
membutuhkan iklim tertentu, teknik penanaman dan pe-
rawatan, mempunyai bentuk arsitektural dan kesan visual
yang berbeda.
Tanaman juga membantu mengendalikan radiasi ca-
haya matahari, kekuatan angin dan mengurangi pantulan
cahaya, membersihkan udara melalui proses fotosintesa,
menyaring debu, meredam kebisingan suara, menahandan menyimpan air tanah, mengurangi erosi, dan mem-
perbaiki kesuburan tanah.
Dalam konsepsi arsitektural dan penggunaan kein-
dahan visual, tanaman dapat memberikan rasa akrab,
keteduhan, mengendalikan pandangan, dan keleluasaan
bagi setiap individu untuk melaksanakan kegiatannya.
Pohon dan perdu memberikan kesan lansekap dalam
berbagai bentuk, struktur, tekstur, warna, dan pola. Ke-san ini akan selalu berubah sesuai dengan iklim atau
musim. Hal ini sangat nyata terlihat pada negara-negara
yang mempunyai empat musim.
Berbagai jenis tumbuhan dapat hidup di hutan kota,
dari stratikasi atas (pepohonan), tengah (perdu) dan ren-
dah (penutup tanah), sehingga membentuk satu komuni-
tas yang berfungsi menahan erosi. Sebagaimana fung-
sinya pada hutan alam, maka pemilihan jenis tanaman
diarahkan pada upaya:
• Meningkatkan fungsi tanaman untuk penyelamatan
tanah dan air, mencegah terjadinya banjir dan erosi;
• Memperbaiki dan memelihara agar kondisi hidrologis
daerah aliran sungai tetap terjaga, sehingga menjamin
sistem tata air yang mantap sepanjang masa;
• Memperbaiki dan mempertahankan kelangsungan pro-
duktivitas lahan, serta;
• Meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masya-
rakat, berarti prospek ekonomis dari tanaman terpilih
sudah dapat dijamin cepat berproduksi dan disukai
oleh masyarakat setempat.
Beberapa jenis tanaman yang memenuhi persyaratan
tersebut di atas, antara lain: Sengon (Albizzia falcataria),
Kemin (Aleurites moluccana), Rasamala (Altingia excelsa),Keluwih (Artocarpus altilis), Benda (Artocarpus elasticus),
Nangka (Artocarpus heterophyllus), Kemang (Mangifera
caesia), Limus (Mangifera foetida), Kweni (Mangifera odo-
rata), Rambutan (Nephelium lappaceum), Petai (Parkia
speciosa), Alpokat (Persea amaricana), Pinus (Pinus
merkusii), dan Kesambi (Schleicera oleosa) (Sulistami,
1995).
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan,bahwa pengelolaan RTH kota, terutama hutan kota ha-
rus terintegrasi dan berdasar pada pemikiran serta per-
timbangan keseimbangan antara daerah terbangun dan
tidak terbangun, sehingga nyaman ditinjau dari segi kese-
hatan, aman, dan dapat dipakai sebagai tempat rekreasi
untuk meningkatkan produktivitas manusia warga kota,
dan dapat mensejahterakan kehidupan manusia secara
adil dan merata.
Dari berbagai penelitian (Dahlan, 1992 dalam Purno-
mohadi 1995, 2002) yang sebagian besar didasarkan
pada penerapan pelaksanaan RTH Kota yang disesuaikan
dengan fungsinya tersebut, maka pemilihan jenis tanaman
yang sesuai pada umumnya dapat diuraikan sebagai:
-
8/17/2019 Teori Taman
26/34
204 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
• Pengidentitas (mascot/landmark) Kota
Berbagai jenis ora dan fauna dapat dijadikan maskot
kota, antara lain: Pohon Pinang (Arenga pinnata) yang
menjadi mascot Kota ’Pagar Ruyung’, Kayu Manis (Cin-
namomum burmanii) sebagai maskot Provinsi NTT, dan
seterusnya.
• Upaya untuk Melestarikan Plasma Nutfah
Secara ex-situ dari berbagai tanaman langka bernilai
tinggi, seperti Nam-nam (Cynometra cauliora), Kepel
(Stelechocarpus burahol), Majegau (Dysoxylum den- siorum), Jati (Tecona grandis), dan seterusnya masih
banyak lagi.
• Penahan dan Penyaring Partikel Padat di Udara
Tanaman dengan daun berbulu atau permukaan yang
kasar, secara mekanistis-fungsional sangat baik dalam
menyerap polutan debu. Demikian pula jumlah stomata
daun yang relatif banyak akan mudah menyerap danmenjerap partikel padat yang melayang-layang di uda-
ra bebas.
• Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal
(Dahlan et.al., 1990)
a. Tanaman yang mempunyai kemampuan sedang-
tinggi dalam menurunkan kandungan timbal di udara,
seperti Damar (Agathis alba), Mahoni (Swietenia mi-
crophylla dan S. macrophylla), Jamuju (Podocarpus
imbricatus), Pala (Myristica fragrans), Asam Landi
(Pithecelebium dulce), dan Johar (Cassia siamea).
b. Yang berkemampuan sedang dan rendah adalah Glo-
dogan (Polyalthea longifolia), Keben (Baringtonia asia-
tica), dan Tanjung (Mimusops elengi).
c. Tanaman yang berkemampuan rendah dan tak tahan
terhadap zat pencemar dari kendaraan bermotor,
antara lain adalah Bunga Kupu-kupu (Bauhinia pur-
purea), dan Kesumba (Bixa orellana).
• Penyerap (absorbsi) dan Penjerap (adsorbsi) Debu
Semen (Irawati, 1990 dalam Dahlan, 1992)
Tanaman yang tahan dan mampu mengendalikan seka-
ligus sebagai penjerap (adsorbsi) dan penyerap (ab-
sorbsi) zat pencemar (debu semen), antara lain adalahMahoni (Swietenia macrophylla), Bisbul (Diospyros dis-
color), Tanjung (Mimusops elengi), Kenari (Canarium
commune), Meranti Merah (Shorea leprosula), Kirai Pa-
yung (Filicium decipiens), Kayu Hitam (Diospyros cele-
bica), Duwet/Jamblang (Eugenia cuminii), Medang Lilin
(Litsea roxburghii), dan Sempur (Dillenia ovata).
• Peredam KebisinganTanaman dapat meredam suara dengan cara mengab-
sorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan ran-
ting dari berbagai strata tanaman. Pohon yang paling
efektif meredam suara ialah yang bertajuk tebal, karena
dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sam-
pai 95 persen (Grey dan Deneke, 1978).
• Mengurangi Bahaya atau Dampak Hujan Asam
Melalui proses siologis tanaman yang disebut ‘pro-
ses gutasi’, akan menghasilkan beberapa unsur Ca,
Na dan Mg, serta bahan organik seperti glutamine dan
gula (Smith, 1985 dalam Dahlan 1992). Bahan in-or-
ganik yang diturunkan ke lantai hutan dan tajuk melalui
-
8/17/2019 Teori Taman
27/34
205Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
proses throughfall dengan urutan K>Ca>Mg>Na, baik
untuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun
jarum (Henderson et.al, 1977 dalam Dahlan, 1992). Hu-
jan yang mengandung H2SO
4 atau HNO
3, bila sampai
di permukaan daun akan mengalami reaksi, antara lain
H2SO
4 dengan Ca, membentuk garam Ca
2SO
4 yang
bersifat netral, dibanding kadar asam dari air hujan itu
sendiri. Karena itu dengan adanya proses intersepsi
dan gutasi oleh permukaan daun, akan sangat mem-
bantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi
tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. PenelitianHoffman et.al, (1980) menunjukkan bahwa pH air hu-
jan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika
dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati
tajuk pohon.
• Penyerap Karbon monoksida (CO)
Kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap
gas karbon monoksida (CO) sebesar 12-120 kg/km2 / hari. Mikro-organisme dalam tanah berperan baik,
dalam menyerap gas ini dari udara dari yang semula
konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8X104 ug/m3 )
menjadi hampir mendekati nol, hanya dalam waktu tiga
jam saja (Smith, 1981, Bidwell & Fraser dalam Smith,
1981 dalam Dahlan, 1992).
• Penyerap Karbon dioksida (CO2 ) dan Penghasil Ok-
sigen (O2 )
Tanaman pada ekosistem daratan, termasuk hutan alam,
tanaman pertanian, termasuk mangrove dan tanaman
pada ekosistem lahan basah lain, selain toplankton,
ganggang dan rumput laut, dan tumbuhan lain dalam
perairan laut, seperti padang lamun, mampu menyerap
karbondioksida dan penghasil oksigen dalam proses
fotosintesis, menggunakan cahaya matahari. Dalam
ekosistem daratan jumlah luasan hutan sudah sangat
jauh berkurang, maka pembangunan dan penataan
hutan kota sebagai bagian RTH kota, sudah sangat
mendesak. Salah satu dampak negatif bertambahnya
gas karbon monoksida (CO) ini adalah meningkatkan
efek gas rumah kaca, sedang di lain pihak proses asim-
ilasi tersebut akan menghasilkan oksigen yang penting
bagi kehidupan biota di dunia, terutama bagi manusia.Tanaman yang baik dalam menyerap gas karbon diok-
sida (CO2 ) dan menghasilkan oksigen (O
2 ), antara lain:
Damar (Agathis alba), Kupu-kupu (Bauhinia purpurea),
Lamtoro Gung (Leucena leucocephala), Akasia (Acacia
auriculiformis), dan Beringin (Ficus benyamina).
• Penahan Angin
Panlov dalam Robinette (1983), mengemukakan,bahwa angin kencang dapat dikurangi sampai 75-80
desibel oleh suatu penahan angin yang berupa RTH
(hutan) Kota. Faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam merancang suatu hutan kota, khususnya untuk
menahan angin, (Grey & Deneke, 1978) dengan mem-
perhatikan jenis tanaman yang ditanam harus memiliki
dahan yang kuat, daun tak mudah gugur oleh terpaan
angin yang berkecepatan sedang, akar pohon yang
dapat menghujam ke dalam tanah sehingga lebih tahan
terhadap hembusan angin yang cukup kuat ketimbang
tanaman berakar menyebar di sekitar atau dekat de-
ngan permukaan tanah, memiliki kerapatan cukup (50-
60 persen), serta tinggi dan lebar jalur hutan kota yang
-
8/17/2019 Teori Taman
28/34
206 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
cukup luas, sehingga dengan baik dapat melindungi
wilayah sesuai dengan yang diinginkan.
• Penyerap dan Penapis Bau
Tanaman dapat menyerap bau secara langsung atau
menahan gerak angin dari sumber bau (Grey & Deneke,
1978) seperti dari tempat pembuangan sampah yang
terbuka (open dumping), apakah itu TPS atau pun TPA.
Akan lebih efektif bila tanaman tersebut berbunga atau
berdaun harum, seperti Cempaka (Michelia champaka),
Pandan (Pandanus sp.), kemuning (Murraya paniculata) atau Tanjung (Mimusops elengi).
• Mengatasi Penggenangan
Daerah yang topogranya relatif rendah sering menjadi
genangan air, karena itu perlu ditanami dengan jenis
tanaman dengan kemampuan evapotranspirasi tinggi.
Kriteria tanaman ini biasanya berdaun lebat, sehingga
jumlah permukaan daunnya relatif luas dan jumlah sto-matanya pun banyak. Jenis tanaman dengan penguap-
an relatif besar ini, antara lain Nangka (Artocarpus in-
tegra), Albazia (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa,
Indigofera galegoides, Dalbergia sp., Mahoni (Swiete-
nia mahagoni), Jati (Tectona grandis), Ki Hujan/Trem-
besi (Samanea saman), dan Lamtoro Gung (Leucena
glauca).
• Mengatasi Intrusi Air Laut
Kasus ini terjadi terutama pada kota-kota yang terletak
di jalur pantai, sehingga rawan terhadap intrusi air laut.
Pemilihan tanaman harus benar-benar diperhatikan,
sebab penanaman tanaman yang kurang tahan terha-
dap kandungan garam yang sedang agak tinggi, akan
mengakibatkan tanaman tak dapat tumbuh baik, bah-
kan mungkin sampai mati. Penanaman tanaman yang
mempunyai daya evapotranspirasi tinggi akan mengu-
ras air dalam tanah, sehingga konsentrasi garam dalam
tanah akan meningkat. Dengan demikian penghijauan
semacam ini justru akan mendatangkan masalah bukan
mengatasi intrusi air asin, karena itu diperlukan peng-
hijauan kota di kawasan semacam ini, namun dengan
memakai jenis tanaman dengan daya evapotranspirasi
rendah. Berbagai jenis tanaman bakau (mangrove), ter-masuk tegakan Nipah (Nypha fruticaus), dan asosiasi
dalam ekosistem mangrove lain akan sangat sesuai un-
tuk daerah pesisir pantai ini. Jenis-jenis tanaman Keta-
pang (Terminalia catappa), Nyamplung (Callophyllum
innophyllum), dan Keben (Barringtonia asiatica) sangat
sesuai terutama sebagai pohon peneduh dan pelin-
dung di sepanjang pantai yang umumnya mendapat
sengatan sinar matahari paling tinggi.
• Produksi Terbatas
Sudah dapat dibuktikan, secara ekonomis bahwa fungsi
produksi hutan kota sangat signikan. Hasil pokok kayu
maupun hasil sampingan lain bisa dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, tentu saja tidak sebanyak jumlah
dari hutan alam maupun hutan produksi. Dahlan (1992)
menyebutkan bahwa 740 pohon mahoni di kota Suka-
bumi, dilelang seharga Rp. 74.000.000,00 juta saja. Pa-
dahal tanaman tersebut secara nominal harusnya lebih
berharga dari nilai tangible tersebut, apabila ditinjau dari
nilai intangible-nya, misalnya dari bentukan iklim mi-
kro yang nyaman dengan adanya pohon-pohon terse-
-
8/17/2019 Teori Taman
29/34
207Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
but. Manfaat lain, masih banyak lagi, dari bunga dan
buah yang melengkapi susunan gizi warga masyarakatsekitar, buah dan biji kenari yang bisa digunakan un-
tuk makanan dan kerajinan tangan, dan tanaman lain,
seperti Pala, Kawista, Sawo, Kelengkeng, Menteng,
Kersen, Duku (Lancium domesticum), Asem (Tamarin-
dus indica), Melinjo (Gnetum gnemon), Buni (Antidenua
bunius), atau Mangga (Mangifera indica). Buah mangga
madu yang ditanam di sepanjang jalur hijau jalan, pada
musimnya warga dapat memetik buah cuma-cuma, un-
tuk dimakan di tempat atau diolah menjadi sari buah
(juice) atau buah kalengan yang berorientasi ekspor,
contoh di Kota Chandigarh, India tersebut.
• Ameliorasi Iklim
Meningkatnya suhu dan debu di wilayah perkotaan dankemacetan lalu-lintas yang semakin parah, terutama di
musim kemarau, sangat berpengaruh terhadap kes-
ehatan warga kota. Kondisi ini sangat memprihatinkan
dan mengancam kesehatan anak kecil dan balita yang
sangat rentan terhadap penyakit sesak nafas, batuk,
dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Kota Singa-
pura dan Kuala Lumpur dengan iklim relatif sama, telah
berhasil membangun hutan kota dengan memelihara
pepohonan besar yang dapat menahan sinar matahari
dan pada malam hari sebaliknya dapat menahan radiasi
cahaya matahari yang diserap permukaan bumi pada
siang hari, sehingga udara tetap nyaman dan hangat.
Penelitian Wenda (Dahlan, 1992) tentang pengukuran
Gambar 6.7
Jalur sepeda khusus
dibangun pada dua
jalur ROW (right of way),
disamping jalur pedestrian
bagi pejalan kaki.
-
8/17/2019 Teori Taman
30/34
208 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman
suhu dan kelembaban udara wilayah yang bervegetasi
dengan berbagai kerapatan, lebih tinggi dibandingan
dengan wilayah yang lebih didominasi perkerasan jalan
(aspal), dan bangunan (tembok), yang menghasilkan be-
berapa angka perbandingan wilayah bervegetasi suhu:
25,5–31,0° celcius, kelembaban 66-92 persen; yang
kurang bervegetasi: suhu 27,7–33,1, kelembaban 62-
78 persen, dan areal padang rumput, mencapai suhu:
27,3–32,1, kelembaban 62-78 persen. Demikian pula
penelitian Koto (Dahlan, 1992), di dalam komplek Mang-
gala Wana Bhakti, Jakarta, ditemukan pula, bahwa suhudi dalam ‘hutan buatan’ lebih nyaman (terendah) diban-
dingkan dengan areal parkir maupun padang rumput
dan di sekitar bangunan di perkantoran yang sama.
• Pengelolaan Sampah
RTH sudah seringkali dinyatakan mampu sebagai pere-
dam kebisingan, bau, silau, dan pelindung struktur ta-
nah. Di Provinsi Wurtenberg di Jerman Selatan, di manapada setiap kota hanya dihuni maksimal dua juta jiwa,
mewajibkan adanya hutan kota pada lokasi tempat
pembuangan sampah, sebagai peredam buangan sam-
pah warga kota, baik berupa sampah padat maupun
limbah cair. Kedua jenis sampah itu ditampung dalam
kontainer khusus yang secara berkala di semprotkan
atau diletakkan ke dalam hutan kota tersebut di mana
telah ‘ditanam’ sejenis mikroba tertentu yang kembali
mengasimilasi sampah dan limbah tersebut, sehingga
bisa keluar sebagai material padat (humus) dan cair
yang bersi