terakreditasi no. 687/au3/p2mi-lipi/07/2015 …

103
Volume 14 Nomor 3, Desember Tahun 2017 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Research, Development and Inovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change BOGOR - INDONESIA p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 TERAKREDITASI No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015 JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN Forestry Socio and Economic Research Journal

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Volume 14 Nomor 3, Desember Tahun 2017

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Inovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

p-ISSN 1979-6013e-ISSN 2502-4221TERAKREDITASI

No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

JURNALPENELITIANSOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANANForestry Socio and Economic Research Journal

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi K

ehutanan Vol.14, No.3, D

esember 2017: 157-236

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Inovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) No. 818/E/2015 Jurnal Penelitian Sosial . dan Ekonomi Kehutanan memuat karya tulis ilmiah dari hasil-hasil penelitian bidang sosial, ekonomi dan lingkungan kehutanan yang meliputi aspek: sosial ekonomi kemasyarakatan, sosiologi kehutanan, politik dan ekonomi kehutanan, studi kemasyarakatan, kebijakan lingkungan, ekonomi kehutanan/sumber daya hutan, ekonomi sumber daya alam, ekonomi pertanian, ekonomi ekoturisme, furniture value chain, kehutanan masyarakat, kebijakan kehutanan, kebijakan publik, perubahan iklim, ekologi dan manajemen lanskap, konservasi sumber daya alam, kebakaran hutan dan lahan, global climate change, konservasi tanah dan air, agroklimatologi dan lingkungan, mitigasi REDD+, adaptasi perubahan iklim. Terbit pertama kali tahun 2001, terakreditasi tahun 2006 dengan nomor 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan terbit dengan frekuensi tiga kali setahun (April, Agustus, Desember).

Forestry Journal Socio and Economic Research is an accredited journal, based on the decree of Director of Indonesian Science Institute (LIPI) No. 818/E/2015. This journal publishes result research in forest socio-economics and environment which cover: socio economics on community, sociology forestry, political dan economic on forestry, social studies, environmental policy, forest resource economics, natural reources economics, agricultural economy, ecotourism ekonomy, furniture value chain, community forestry, forestry policy, public policy, climate change, ecology and landscpae management, conservation of natural resources, land and forest fire, global climate change, soil and water conservation, agroclimatology and environment, mitigation REDD+, adaptation to climate change. First published in 2001, accredited by LIPI in 2006 with number 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006. The Journal published three times annually (April, August, and December).

PENANGGUNG JAWAB/PELINDUNG

: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

DEWAN REDAKSI (EDITORIAL BOARD) :

Ketua (Editor in Chief) : Dr. Ir. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, Kelompok Kerja Kebijakan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi)

Editor Bagian (Section Editors) : 1. M. Zahrul Muttaqin,S.Hut,M.For.Sc (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)2. R. Deden Djaenudin,S.Si,M.Si (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)3. Dr. Ir. Sulistya Ekawati,M.Si (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)4. Ratna Widyaningsih,S.Kom

Mitra Bestari (Peer Reviewers) : 1. Prof. Ir. Yonariza,M.Sc,Ph.D (Manajemen Sumber Daya Hutan, Universitas Andalas)2. Prof. Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. (Kebijakan Kehutanan, Mitigasi, REDD+, Adaptasi Perubahan

Iklim dan Furniture Value Chain, CIFOR)3. Prof. Dr.Ir. Dudung Darusman, M.Sc. (Kebijakan Kehutanan, IPB)4. Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc. (Ekonomi dan Sumber Daya Hutan, IPDN)5. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.Sc. (Ekonomi dan Manajemen Lanskap, IPB)6. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. (Kebakaran Hutan dan Lahan, Perusakan Lingkungan

Hidup dan Global Climate Change, IPB)7. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc. (Biro Perencanaan, KLHK)8. Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc. (Politik dan Ekonomi Kehutanan, IPB)9. Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS. (Konservasi Tanah dan Air, MKTI)10. Dr. I Wayan Susi Dharmawan, S.Hut., M.Si. (Hidrologi dan Kesuburan Tanah, Pusat Litbang Hutan)11. Dr. Nurul Laksmi Winarni (Climate Change Adaptation, Universitas Indonesia)12. Dr. Ir. Frida Sidik,M.Sc (Mangrove, Konservasi Sumber Daya Pesisir, Perubahan Iklim, Kementerian

Kelautan dan Perikanan)

Anggota Dewan Redaksi (Reviewers) : 1. Dr. Fitri Nurfatriani, S.Hut, M.Si. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)2. Dr. Ir. Retno Maryani, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)3. Dr. Mety Ekayani, S.Hut., M.Sc. (Resources Economics, Ecotourism Economics, Environmental

Policy, IPB)4. Prof. Dr. Ir. Irsal. Las, MS. (Agroklimatologi dan Lingkungan, Balai Besar Litbang Sumber Daya

Pertanian)5. Drs. Lukas R. Wibowo, M.Sc., Ph.D. (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)6. Prof. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. (Sosiologi Kehutanan dan Kehutanan Masyarakat, IPB)7. Dr. Ir. Satria Astana, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)8. Prof. Herman Hidayat (Studi dan Kemasyarakatan, LIPI)9. Dr. Ir. Erwidodo, MS. (Ekonomi Pertanian, Puslitsosek Pertanian)10. Dr. Edi Basuno (Ekonomi Pertanian, CIVAS)11. Dr. Ir. Triyono Puspitojati, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)12. Dra. Setiasih Irawanti, M.Si. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)13. Ir. Subarudi, M. Wood.Sc. (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)

REDAKSI PELAKSANA (EDITORIAL TEAM) :

Penyunying Bahasa (Copy Editors) : 1. Dra. Wahyuning Hanurawati2. Mohamad Iqbal, S.Hut., M.Si.3. Drh. Faustina Ida Harjanti, M.Sc.

Penyunting Format (Layout Editor) : Suhardi Mardiansyah

Proof Reader : Gatot Ristanto, S.H., MM.

Sekretariat (Secretariat) : 1. Fulki Hendrawan, S.Hut.2. Parulian Pangaribuan, S.Sos

Diterbitkan oleh (Published by):Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim(Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change)Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (Research, Development and Innovation Agency)Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ministry of Environment and Forestry)Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 272 Bogor 16118, IndonesiaTelepon (Phone) : 62-251-8633944Fax. (Fax.) : 62-251-8634924E-mail : [email protected]; [email protected] (Web) : www.puspijak.org

p-ISSN 1979-6013e-ISSN 2502-4221

No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015JURNAL PENELITIANSOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANANForestry Socio and Economic Research JournalVolume 14 Nomor 3, Desember Tahun 2017

p-ISSN 1979-6013e-ISSN 2502-4221

No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015JURNAL PENELITIANSOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANANForestry Socio and Economic Research Journal

Volume 14 Nomor 3, Desember Tahun 2017

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Inovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

Ucapan Terima Kasih

Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah-naskah yang dimuat pada edisi Vol. 14 No. 3, Desember Tahun 2017. Mitra Bestari dimaksud adalah:

1. Prof. Ir. Yonariza,M.Sc,Ph.D 2. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr.3. Prof. Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc.4. Dr. Ir. Frida Sidik,M.Sc

p-ISSN 1979-6013e-ISSN 2502-4221

No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015JURNAL PENELITIANSOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANANForestry Socio and Economic Research Journal

Volume 14 Nomor 3, Desember Tahun 2017

DAFTAR ISI

PERILAKU KONSUMSI AIR PADA MUSIM KEMARAU DI DUSUN PAMOR, KABUPATEN GROBOGAN(Water Consumption Behavior during Dry Season at Pamor Hamlet, Grobogan District)Purwanto & Agung Budi Supangat....................................................................... 157-169

DAMPAK PENGEMBANGAN SEKTOR EKONOMI TERHADAP POTENSI KONFLIK DI KPHP DELTA MAHAKAM DAN KPHL SUNGAI BERAM HITAM(Impact on Economic Sector Development to Potential Conflict in Delta Mahakam FPMU (Production) and Sungai Beram Hitam FPMU( Protection))Sylviani & Elvida Y. Suryandari ........................................................................... 171-190

ROTAN JERNANG SEBAGAI PENOPANG KEHIDUPAN MASYARAKAT: KASUS KABUPATEN MUARA ENIM, PROVINSI SUMATERA SELATAN(Dragon’s Blood as the Community Life Support: Case of Muara Enim Regency, South Sumatra Province)Sri Lestari, Bambang Tejo Premono & Edwin Martin ........................................ 191-203

PENGETAHUAN DAN HARAPAN MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN PERUNTUKAN KAWASAN HUTAN: KASUS DI KABUPATEN INDRAGIRI HILIR(Knowledge and Expectations of the Communities on Change in Forest Area Designation: Case in Indragiri Hilir Regency)Kuncoro Ariawan & Surati ................................................................................. 205-217

TOTAL NILAI EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN GORONTALO UTARA, PROVINSI GORONTALO(Total Value of Mangrove Ecosystem in North Gorontalo Regency, Gorontalo Province)Riesti Triyanti, Maulana Firdaus & Radityo Pramoda......................................... 219-236

INDEKS PENULIS ............................................................................................... 237

INDEKS KATA KUNCI ........................................................................................ 238

JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN

p-ISSN: 1979-6013e-ISSN: 2502-4221 Terbit : Desember 2017

Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya

UDC(OSDCF) 630*116Purwanto & Agung Budi SupangatPerilaku Konsumsi Air pada Musim Kemarau di Dusun Pamor, Kabupaten Grobogan

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No. 3, hal. 157-169

Penelitian ini bertujuan mempelajari perilaku masyarakat mengkonsumsi air di musim kemarau. Data yang dikumpulkan: curah hujan, peta tanah, peta tutupan lahan, sejarah, persepsi masyarakat, perilaku rumah tangga mengatasi kekeringan, dan konsumsi air. Kekeringan terjadi karena adanya defisit air dan sudah berlangsung lama. Persepsi masyarakat tentang usaha mencari air merupakan kewajiban terhadap keluarga. Jika sumur kering, mereka mencari air dari sumber air, berjarak 1-3 km dari rumah. Kebutuhan air pada musim kemarau 0,453 m3/orang/hari, 0,283 m3/sapi/hari, dan 0,044 m3/kambing/hari. Angka ini dapat digunakan sebagai input rencana pembangunan infrastruktur untuk mengatasi kekeringan dan memasok kebutuhan air apabila bencana kekeringan mengancam.

Kata kunci: Musim kering; kemarau; neraca air; konsumsi air rumah tangga.

UDC(OSDCF) 630*892.83Sri Lestari, Bambang Tejo Premono & Edwin MartinRotan Jernang sebagai Penopang Kehidupan Masyarakat: Kasus Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No. 3, hal. 191-203

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pemungutan, kontribusi, serta faktor yang mempengaruhi pemungutan rotan jernang bagi masyarakat sekitar hutan. Data primer dan sekunder dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan rotan jernang yang semakin terbatas mengharuskan masyarakat penjernang untuk menginap dan masuk jauh ke dalam hutan. Para pengumpul jernang akan mengumpulkan buah bertangkai atau dengan membawa hasil olahan (resin). Pendapatan yang diterima masyarakat dari pemungutan rotan jernang sebesar Rp551.087 (20,20% dari total pendapatan). Pekerjaan, pendapatan, pasar dan lama waktu pemungutan menjadi faktor yang berhubungan signifikan terhadap minat masyarakat untuk melakukan pemungutan rotan jernang.

Kata kunci: Masyarakat sekitar hutan; rotan jernang; penopang kehidupan.

UDC(OSDCF) 65.012.4Sylviani & Elvida Y. SuryandariDampak Pengembangan Sektor Ekonomi terhadap Potensi Konflik di KPHP Delta Mahakam dan KPHL Sungai Beram Hitam

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No. 3, hal. 171-190

Pertumbuhan ekonomi daerah ditentukan oleh potensi sumber daya alam akan tetapi membuka peluang konflik antar sektor. Penelitian untuk bertujuan untuk mengetahui peran sektor dan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap potensi konflik. Penelitian dilakukan KPHP Delta Mahakam dan KPHL Sungai Beram Hitam. Metode analisis Location Quotient (LQ) menggunakan variabel PDRB. Hasil penelitian menunjukkan pertambangan menjadi sektor unggulan di Delta Mahakam, sedangkan di Sungai Beram Hitam perikanan merupakan sektor unggulan. Resolusi konflik terjadi antara pertambangan dan perikanan, masyarakat dilakukan melalui kompensasi dan ganti rugi.

Kata kunci: Sektor ekonomi; Kesatuan Pengelolaan Hutan; dampak; Location Quotient; potensi konflik.

UDC(OSDCF) 630*922.2Kuncoro Ariawan & SuratiPengetahuan dan Harapan Masyarakat terhadap Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan: Kasus di Kabupaten Indragiri HilirJurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No. 3, hal. 205-217

Penelitian bertujuan mengetahui pengetahuan dan harapan masyarakat terhadap perubahan peruntukan kawasan. Lokasi penelitian di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap hutan, manfaat dan akibat kerusakan hutan negatif, sementara terhadap keberadaan perusahaan kelapa sawit positif. Masyarakat setuju apabila kawasan hutan yang akan menjadi perkebunan dilepaskandari kawasan. Tingginya harapan tersebut disebabkan lahan yang diolah untuk kebun kelapa dalam sudah tidak produktif akibat intrusi air laut. Kerja sama masyarakat dengan perusahaan membantu pembangunan tanggul di lahan yang terkena intrusi air laut, sehingga bisa dimanfaatkan kembali.

Kata kunci: Pengetahuan; harapan; perubahan kawasan hutan; peruntukan kawasan hutan.

UDC(OSDCF) 630*176.1Riesti Triyanti, Maulana Firdaus & Radityo PramodaTotal Nilai Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No. 3, hal. 221-236

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir dan lautan. Fungsi dan manfaat ekosistem mangrove seringkali belum dikuantifikasi. Kajian ini bertujuan untuk menghitung total nilai ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara. Data dianalisis menggunakan teknik valuasi ekonomi sumber daya. Hasil kajian menunjukkan bahwa nilai ekonomi total ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara diperoleh sebesar Rp18.266.058.212/hektar/tahun yang terdiri dari nilai ekologi, nilai ekonomi, dan nilai sosial budaya. Total nilai ekosistem mangrove tersebut sebaiknya diinformasikan kepada para pengambil kebijakan tentang pentingnya ekosistem mangrove untuk pengelolaan secara berkelanjutan, serta mendistribusikan keuntungan dan biaya konservasinya secara adil.

Kata kunci: Total nilai; ekosistem mangrove; valuasi ekonomi.

FORESTRY SOCIO AND ECONOMIC RESEARCH JOURNAL

p-ISSN: 1979-6013e-ISSN: 2502-4221 Date of issue: December 2017

The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without permission or charge

UDC(OSDCF) 630*116Purwanto & Agung Budi SupangatWater Consumption Behavior during Dry Season at Pamor Hamlet, Grobogan District

Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 14 No. 3, p. 157-169

The research aims to study the household water consumption behavior during dry season. Precipitation data, soil map, land cover, history, people perception, household behavior to cope drought, and water consumption were collected. Drought occured because of water deficit. The history of drought has been going on for a long time. Water collecting was an obligation to the family. They collected water from water springs, within 1-3 kilometers distance. Water consumption was 0.453 m3/people/day; 0.283 m3/cow/day, and 0.044 m3/goat/day. This figure can be used as an input of infrastructure development plans to address drought and supply water needs in case of drought.

Keywords: Dry season ; drought ; water balance ; household water consumption.

UDC(OSDCF) 630*892.83Sri Lestari, Bambang Tejo Premono & Edwin MartinDragon’s Blood as the Community Life Support: Case of Muara Enim Regency, South Sumatra Province

Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 14 No. 3, p. 191-203

This research aims to determine the management, contribution,and factors affecting natural dragon’s blood collection. Primary and secondary data were analyzed qualitatively and quantitatively. The results showed that due to decreasing the number of dragon’s blood significantly, so that the collectors should stay and entering deeper forest. They collected stemmed fruit or brought processed dragon’s blood. The income received from dragon’s blood collection was Rp551,087 (20.20% of the total income). Working, income, market and duration of dragon’s blood collection became significant factor related to the interest of community to collect dragon’s blood

Keywords: Pine; intercropping; waste; replacement cost of investment; loss opportunity of interest.

UDC(OSDCF) 65.012.4Sylviani & Elvida Y. SuryandariImpact on Economic Sector Development to Potential Conflict in Delta Mahakam FPMU (Production) and Sungai Beram Hitam FPMU( Protection)

Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 14 No. 3, p. 171-190

Regional economic growth is determined by potential of natural resources, but will also opens up potential for conflict between sectors. The purpose of the study is to determine the role of the sectors and impact of economic growth on potential conflict. Research was conducted at Delta Mahakam and Sungai Beram Hitam Forest Management Unit. Location Quotient (LQ) analysis method was done by using GDP variable. The results showed that mining was the leading sector at Delta Mahakam, while fisheries was the leading sector in Sungai Beram Hitam. Conflicts resolution between mining and fisheries with the community was done through compensation.

Keywords: Economic sector; Forest Management Unit; impact; Location Quotient; potential conflicts.

UDC(OSDCF) 630*922.2Kuncoro Ariawan & SuratiKnowledge and Expectations of the Communities on Change in Forest Area Designation: Case in Indragiri Hilir Regency

Forestry Socio and Economic Research JournalVol. 14 No. 2, p.205-217

The study aims to determine knowledge and expectations of forest communities as a result of changing in forest areas. Study was conducted in Indragiri Hilir Regency, Riau Province.Results showed that community's knowledge, benefits and consequences of forest destruction is negative, while to the existence of oil palm companies is positive. Community agree if forest area that become plantations be released from area. This is motivated by the fact that their coconut plantations are no longer productive, due to sea water intrusion. Company is expected to build embankments on land that affected by intrusion so land can be reused.

Keywords: Knowledge; expectations; changes in forest area; designation of forest area.

DC(OSDCF) 630*176.1Riesti Triyanti, Maulana Firdaus & Radityo PramodaTotal Nilai Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo

Forestry Socio and Economic Research Journal, Vol. 14 No. 3, p. 221-236

Mangrove forest is the main life-supporting ecosystem in coastal and marine areas. Little information is available on quantify of mangrove function as well as its benefit. Research was conducted to acquire quantify of the total value of mangrove ecosystem in North Gorontalo Regency. Data were analyzed by using economic valuation techniques. The results showed that the total value of mangrove ecosystem amounts to Rp18,266,058,212/hectare/year, consist of ecological, economic, and socio-cultural value. The total value of mangrove ecosystem should be informed to the decision-makers in regard the importance of mangrove ecosystem for sustainability, and distribute its benefits and conservation costs fairly..

Keywords: Total value; mangrove ecosystem; economic valuation.

157

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 157-169p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221Terakreditasi No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

PERILAKU KONSUMSI AIR PADA MUSIM KEMARAU DI DUSUN PAMOR, KABUPATEN GROBOGAN

(Water Consumption Behavior during Dry Season at Pamor Hamlet, Grobogan District)

Purwanto & Agung Budi Supangat

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran SungaiJl. A.Yani, Pabelan, Kartasura, Sukoharja, Jawa Tengah, Kode Pos 57102, Indonesia

E-mail: [email protected]

Diterima 24 Maret 2017, direvisi 25 Agustus 2017, disetujui 29 Agustus 2017.

ABSTRACT

Drought disaster in Grobogan District takes place almost every year. This research aims to study the household water consumption behavior during dry season. Precipitation data, soil map, and land cover map were collected. Historical information was also collected with snowball sampling and depth interview. Public perceptions were collected through Focus Group Discussion. Interview and direct observation were conducted to discover people behaviour in collecting water. Survey was also done to collect data on water consumption. Historical information, people perception and people behaviour were done by qualitative analysis. Regresion analysis was applied for water consumption with amount of household member and cattles ownership. The result were: 1) The drought occured due to water deficit from May to October, although annual water balance was surplus, 2) the history of drought has been going on for long time. 3) Searching and collecting water from river or other places were an obligation, 4) When their wells dry up, they search for water from water springs within 1-3 kilometers distance, 5) The amount of water consumption each day was 0.453 m3/people/day; 0.283 m3/cow/day, and 0.044 m3/goat/day. This numbers can be applied as an input of the development plan of infrastructure to address drought and supply water needs in case of drought.

Keywords: Dry season ; drought ; water balance ; household water consumption.

ABSTRAK

Bencana kekeringan di Kabupaten Grobokan terjadi hampir setiap tahun. Penelitian bertujuan mempelajari perilaku masyarakat mengkonsumsi air di musim kemarau. Data curah hujan, peta tanah dan peta tutupan lahan dikumpulkan. Informasi sejarah dikumpulkan melalui snowball sampling dan wawancara mendalam. Persepsi masyarakat tentang kekeringan dikumpulkan melalui Focus Group Discussion (FGD). Wawancara dan pengamatan langsung dilakukan untuk mengetahui perilaku rumah tangga mencari air di musim kemarau. Data konsumsi air dikumpulkan melalui survei. Data curah hujan dan peta-peta dilakukan desk analysis, data sejarah, persepsi, dan perilaku menghadapi kekeringan dilakukan analisis kualitatif, sedangkan data konsumsi air dilakukan analisis regresi antara kebutuhan air dengan jumlah anggota rumah tangga dan kepemilikan ternak. Hasil kajian menunjukkan: 1) Kekeringan terjadi karena adanya defisit air pada Mei-Oktober walaupun neraca air tahunan surplus, 2) Kekeringan di Dusun Pamor sudah berlangsung lama, 3) Persepsi masyarakat tentang usaha mencari air dari sungai atau tempat lain merupakan kewajiban terhadap keluarga yang harus dihadapi. 4) Jika sumur kering, mereka mencari air dari sumber air, berjarak 1-3 km dari rumah, dan 5) Kebutuhan air pada musim kemarau untuk: 0,453 m3/orang/hari, sapi 0,283 m3/ekor/hari, dan kambing 0,044 m3/ekor/hari. Angka ini dapat digunakan sebagai input rencana pembangunan infrastruktur untuk mengatasi kekeringan dan memasok kebutuhan air apabila bencana kekeringan mengancam.

Kata kunci: Musim kering; kekeringan; neraca air; konsumsi air rumah tangga.

©2017 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpsek.2017.14.3.157-169

I. PENDAHULUANKekeringan merupakan salah satu

bentuk bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi yaitu bencana yang diakibatkan oleh kondisi meteorologi dan kondisi hidrologi seperti angin puting beliung, badai, banjir, kekeringan dan hujan ekstrim, atau hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu yang pendek (Adi, 2013; Jayawardena, 2015; Wu, Huang, Tang, Kirschbaum, & Ward, 2016).

Bencana hidrometeorologi di Jawa Tengah paling tinggi dibanding provinsi lainnya di Indonesia (Septima, 2013). Salah satu bencana yang terjadi hampir tiap tahun yakni kekeringan di Kabupaten Grobogan (Rahmawati, 2016). Kekeringan merupakan fenomena yang merayap pelan (creeping phenomenon) (Mazhar, Nawaz, & Mirza, 2015; Wang, Yuan, Xie, Wu, & Li, 2016), sulit diduga karena adanya perbedaan variabel hidrometeorologi dan faktor sosial-ekonomi disertai permintaan air yang secara alami random (stochastic nature) di berbagai belahan dunia (Wu et al., 2016).

Dari aspek sosial-ekonomi, bencana kekeringan berkaitan dengan kondisi dimana permintaan air melebihi kemampuan memasoknya yang menyebabkan secara sosial, ekonomi dan lingkungan terkena dampak buruknya (Mehran, Mazdiyasni, & AghaKouchak, 2015). Berbagai upaya dan teknik mitigasi dan adaptasi dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi kekeringan. Beberapa hasil kajian adaptasi terhadap kondisi kekeringan antara lain dilakukan dengan cara: 1). Dalam usaha tani dilakukan pemilihan jenis tanaman yang relatif mampu beradaptasi terhadap kondisi kekeringan (Araus, Serret, & Edmeades, 2012; Daryanto, Wang, & Jacinthe, 2016), dan menerapkan pola tanam tumpang gilir (sequential intercropping) (Purwanto & Lastiantoro, 2011), 2). Untuk wilayah yang curah hujannya cukup tinggi menurut Schmidt & Ferguson tahun 1951 atau dikategorikan sebagai iklim C dapat dilakukan dengan memanen air hujan

pada musim penghujan dan memanfaatkannya secara mudah dan efisien pada musim kemarau (Cahyono & Anwar, 2013; Rahman et al., 2014; Hastuti, Sarwono, & Muryani, 2017), dan 3). Migrasi ke kota untuk mencari pekerjaan lain (Murali & Afifi, 2014; Udmale, Ichikawa, & Manandhar, 2014).

Menurut Opiyo, Wasonga, Nyangito, Schilling, & Munang (2015) untuk mengatasi kekeringan akibat anomali iklim, setiap rumah tangga memiliki berbagai strategi, antara lain: diversifikasi sumber pendapatan, memindahkan ternak ke wilayah yang memiliki sumber pakan dan air, diversifikasi komposisi ternak yang relatif tahan terhadap kekeringan dan penyakit dan lain-lain.

Tujuan penelitian ini yakni menyajikan informasi: penyebab utama kekeringan, sejarah kekeringan, persepsi masyarakat, perilaku konsumsi, dan kebutuhan air pada musim kemarau; berdasarkan kajian terhadap perilaku masyarakat Dusun Pamor, Desa Banjardowo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan. Manfaat dari hasil kajian ini yakni: 1). Diharapkan dapat digunakan sebagai dasar kebijakan untuk mengatasi bencana kekeringan di lokasi tersebut sesuai dengan kondisi fisik lokasi, keinginan dan kearifan masyarakat serta dapat diperluas di daerah lain yang memiliki kondisi fisik dan sosial yang hampir sama, 2). Sebagai dasar menghitung kebutuhan air masyarakat di lokasi kajian dan sekitarnya dan 3). Sebagai input rencana pembangunan infrastruktur untuk mengatasi kekeringan dan sebagai bahan informasi apabila diperlukan suplai air pada saat terjadi bencana kekeringan.

II. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian dilakukan di Dusun Pamor,

Desa Banjardowo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan dusun yang mengalami kekeringan setiap tahun sehingga cocok untuk pengamatan

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 157-169

158

perilaku konsumsi air pada waktu musim kemarau. Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2015.

B. Metode Pengumpulan Data1. Penyebab kekeringan di lokasi kajian

Untuk mengetahui penyebab kekeringan di lokasi kajian dilakukan analisis neraca air berdasarkan metodeThornthwaite & Mather (Thornthwaite & Mather, 1957). Data yang diperlukan dalam perhitungan neraca air dengan model ini adalah data hujan bulanan, suhu bulanan, posisi geografis khususnya lintang, Water Holding Capacity (WHC) dan koefisien aliran permukaan. Nilai WHC disesuaikan dengan kondisi tanah dan tutupan vegetasi setempat di lokasi kajian dan nilainya dapat dilihat pada Lampiran 1 (Thornthwaite & Mather, 1957).

Data curah hujan diperoleh dari Balai Penyuluhan Pertanian, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan. Data suhu udara diperoleh dari Stasiun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Semarang yang memiliki stasiun meteorologi di Kabupaten Grobogan. Data jenis tanah diperoleh dari peta tanah (Pusat Penelitian Tanah, 2000). Data tutupan lahan dianalisis dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) digital tahun 2001 dan dilakukan verifikasi lapangan (ground check). Penghitungan neraca air tersebut dilakukan untuk menyediakan informasi kondisi ketersediaan air dan sekaligus sebagai bahan verifikasi untuk menjelaskan fenomena kekeringan hidrologis yang terjadi di wilayah tersebut.Kekeringan hidrologis yaitu kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah (Indarto, Wahyuningsih, Pudjojono, Ahmad, & Yusron, 2014). Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau, dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis selain dipengaruhi pasokan air hujan juga dipengaruhi oleh karakteristik geomorfologi yang menyebabkan terjadinya fenomena kekurangan pasokan baik air permukaan maupun air tanah dalam rentang waktu tertentu.

2. Sejarah dan persepsi masyarakat terhadap kekeringan Penelitian historis bertujuan untuk

mengetahui fakta dan menyimpulkan hal-hal yang telah lalu terkait dengan kejadian kekeringan dan persepsi masyarakat. Hasil yang diharapkan adalah meningkatnya pemahaman tentang kejadian kekeringan masa lalu sehingga diperoleh dasar yang lebih rasional untuk melakukan pilihan-pilihan untuk mengatasi masalah kekeringan pada masa kini (Sjamsudin, 2012) dan untuk merencanakan harapan masa datang.

Penelitian sejarah dan persepsi masyarakat terhadap kekeringan dilakukan dengan pendekatan kualitatif riset. Data sejarah tentang kekeringan di Dusun Pamor dikumpulkan dengan cara wawancara dengan pemilihan informan kunci dengan teknik snowball sampling. Snowball sampling adalah suatu metode untuk mengidentifikasi, memilih dan mengambil sampel dalam suatu jaringan atau rantai hubungan yang menerus (Nurdiani, 2014). Informan kunci terdiri atas anggota masyarakat yang berusia di atas 30 tahun dan mengetahui proses usaha untuk mengatasi kekeringan di dusun tersebut. Pengumpulan data sejarah dilakukan dengan wawancara dan focus group discussion (FGD), sedangkan data persepsi masyarakat tentang kekeringan dilakukan dengan metode FGD.

Penelitian persepsi masyarakat tentang kekeringan dilakukan dengan pendekatan kualitatif riset. Untuk kategori penelitian kualitatif (qualitative field research), keputusan untuk melakukan analisis data dimulai pada saat melakukan observasi.

3. Perilaku masyarakat untuk mengatasi kekurangan air Informasi tentang perilaku masyarakat

untuk mengatasi kekurangan air dikumpulkan dengan FGD, wawancara, dan pengamatan langsung perilaku masyarakat untuk mengatasi kekurangan air. FGD diikuti oleh 15 orang yang mewakili lima rukun tetangga (RT) dan masing-masing RT diwakili oleh tiga orang,

Perilaku Konsumsi Air pada Musim Kemarau di Dusun Pamor, Kabupaten Grobogan..........................(Purwanto & Agung Budi Supangat)

159

selanjutnya ke-15 orang tersebut diamati perilakuknya dalam mengatasi kekurangan air untuk kebutuhan rumah tangganya.

4. Konsumsi air untuk rumah tangga di musim kemarau

Metode penelitian yang diterapkan yakni survei. Intensitas sampling ditetapkan 10% dari populasi 304 kepala keluarga (KK) sehingga jumlah sampelnya 31 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner. Pertanyaan dalam kuesioner yakni berapa kebutuhan air per hari (liter/hari) yang kemudian dikonversi menjadi (m3/hari) dan dihubungkan dengan peubah berapa jumlah anggota keluarga, jumlah ternak sapi dan kambing yang dimilikinya. Peubah tersebut yang diduga berpengaruh terhadap konsumsi air.

C. Pengolahan Data

1. Penyebab kekeringan di lokasi kajianPenghitungan neraca air wilayah kajian

dilakukan dengan pendekatan model neraca air bulanan (Thornthwaite & Mather, 1957).

2. Sejarah dan persepsi masyarakat tentang kekeringan Teknik analisisnya yakni data dan

informasi diinterpretasikan berdasarkan pandangan responden (Hilal & Alabri, 2013). Namun untuk sampai pada tahap ini, data-data yang diperoleh perlu diuji kembali keabsahan/validitasnya (Yeasmin & Rahman, 2012). Untuk menguji validitas data dalam kajian ini digunakan teknik trianggulasi (Bowen, 2009; O’Cathain, Murphy, & Nicholl, 2010) dengan cara yaitu pertama, membandingkan hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; kedua, membandingkan keadaan dan perspektif seorang informan kunci yang satu dengan lainnya; ketiga, membandingkan hasil wawancara dengan data hasil perekaman data, seperti dokumen, hasil-hasil penelitian, kisah-kisah sejarah yang memiliki keterkaitan dengan objek penelitian (Jonsen & Jehn, 2009;

Bachri, 2010). Prosedur analisisnya meliputi: menemukan, menyeleksi, memaknai, dan mensintesis data yang ada di dalam dokumen (Bowen, 2009). Dokumen yang dimaksud yakni Rencana Pembangunan Lima Tahun Kabupaten Grobogan (Bappeda Kabupaten Grobogan, 2014) dan beberapa informasi dari koran.

3. Perilaku masyarakat dalam mengatasi kekurangan air

Hasil pengamatan perilaku ke-15 orang anggota masyarakat yang mengumpulkan air di musim kemarau dicatat: siapa, dimana, kapan, bagaimana cara mendapatkan air di musim kemarau dan berapa kemampuan mengangkut air per orang sekali mengambil air? Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif.

4. Konsumsi air di musim kemarauBesarnya rata-rata konsumsi air rumah

tangga di Dusun Pamor dihitung berdasarkan nilai rata-ratanya kemudian nilai konsumsi untuk masing-masing kebutuhan untuk manusia, ternak sapi, dan ternak kambing dihitung berdasarkan fungsi Cobb-Douglas (Husain & Islam, 2016;Omonona, Egbetokun, & Akanbi, 2010) dengan asumsi setiap rumah tangga akan mencukupi air sesuai dengan kebutuhannya (Imoke, 2015). Rumus matematika sederhana sebagai berikut:

dimana, C = konsumsi air rumah tangga/hari dipengaruhi oleh fungsi x1 = variabel jumlah anggota rumah tangga (orang), x2 = variabel jumlah ternak sapi (ekor) dan x3 = variabel jumlah ternak kambing (ekor).

Fungsi tersebut dimodifikasi sesuai fungsi Cobb-Douglas sebagai berikut:

dimana,a, b, c, dan d merupakan konstanta, e = logaritma natural (e = 2,718) dan u = kesalahan (disturbance term).

Pada proses pendugaan parameter

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 157-169

160

....................................(2)

....................................(1)C=f(x1,x2,x3)

fungsi Cobb-Douglas tersebut, kemudian ditransformasi menjadi persamaan linier dengan menggunakan transformasi logaritma natural. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan besaran elastisitas, dengan demikian persamaan tersebut berubah menjadi:

Persamaan tersebut dapat ditulis:

Dengan menggunakan teori Euler (Husain & Islam, 2016): (a) suatu fungsi dikatakan homogen pada tingkat λ bila hasil penggandaan setiap masukkan produksi sebesar k akan meningkatkan nilai produksi sebesar kλ. Pernyataan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:I. kλ.Yλ = kλ f(X1, X2, X3); bila λ = 1 maka

= f (k X1, k X2, k X3)Teori Euler (Husain & Islam, 2016)

berikutnya yakni akibat dari teori (a) maka penggandaan faktor produksi dengan produksi marjinalnya akan menghasilkan sejumlah produksi yang digandakan dengan besarnya homogenitas, λ. Pernyataan di atas dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi, 2014):

II.

X1.PFMx1 + X2.PFMx2 + X3.PFMx3 + . . . + Xn.PFMxn = λY

dimana, PFM = Produk Fisik Marjinal atau Marginal Physical Product (MPP).

Bila fungsi produksi tersebut mempunyai homogenitas derajat satu, yaitu λ = 1, maka persamaan (II) dapat ditulis sebagai berikut:(I) X1.PFMx1 = X2.PFMx2 = X3.PFMx3 = . . .

= Xn.PFMxn = Y (Soekartawi, 2014)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sebab-Sebab KekeringanBerdasarkan hasil analisis neraca air

diketahui bahwa secara kuantitas curah hujan tahunan yang turun di lokasi penelitian cukup besar yaitu 1.833 mm pada tahun 2015. Menurut Purwanto (2016) berdasarkan data tahun 2006-2014, curah hujan rata-rata tahunan di lokasi kajian 2.025 mm dengan rata-rata hari hujan 111 hari. Besarnya curah hujan tahunan tersebut tidak memberi gambaran suatu wilayah aman atau tidak dari bahaya potensi kekeringan hidrologis.

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar curah hujan yang jatuh di lokasi penelitian akan hilang melalui proses evapotranspirasi yaitu sebesar 57,26% (1.049,6 mm), sedangkan potensi terjadinya aliran permukaan tahunan hanya sebesar 42,74% (783,44 mm) (Gambar 1).

Jika dilihat grafik perbandingan antara curah hujan dan evapotranspirasi potensial bulanan (Gambar 2), maka terdapat beberapa bulan yang rawan terjadi kekeringan. Hal tersebut terjadi pada saat nilai evapotranspirasi potensial (EP) melebihi curah hujan (P) yaitu pada Mei sampai dengan Oktober.

Namun demikian, defisit air yang terjadi selama kurun waktu enam bulan cukup membahayakan. Pada bulan Mei sampai dengan Oktober, defisit air sebesar 676,82 mm dan hanya mampu ditanggulangi oleh sisa aliran permukaan (RO) sebesar 133,54 mm, sehingga pada bulan-bulan tersebut masih terjadi defisit air sebesar 543,28 mm. Menurut Rahmawati (2016) wilayah Kabupaten Grobogan yang termasuk ke dalam nilai indeks kekeringan rendah pada bulan Juli seluas 919,90 km2 dengan persentase 46,57%. Nilai indeks kekeringan sedang seluas 581,53 km2 dengan persentase 29,43%, sedangkan nilai indeks kekeringan tinggi seluas 474,43 km2 dengan persentase 24,01%.

Pemahaman tentang kondisi fisik tersebut di atas diperlukan untuk memilih teknologi yang tepat sesuai dengan permasalahan.

Perilaku Konsumsi Air pada Musim Kemarau di Dusun Pamor, Kabupaten Grobogan..........................(Purwanto & Agung Budi Supangat)

161

..(6)

..................................(7)

..............................(5)

....(8)

................(4)

..(3)

Untuk mengatasi bencana kekeringan pada kondisi ini teknik pemanenan air hujan merupakan teknik yang tepat dan murah (Daulay, 2015). Disamping itu, sistem sosial untuk menghadapi bencana kekeringan perlu dikembangkan (Wang, Ma, Chen, Deng, & Jiang, 2016).

Potensi kekeringan juga diperlihatkan oleh grafik kondisi surplus dan defisit air yang terjadi di lokasi kajian (Gambar 3). Berdasarkan hasil perhitungan, secara tahunan nilai surplus sumber daya air memang lebih besar dibandingkan nilai defisit yang terjadi yaitu 722,19 mm dibandingkan 676,82 mm. Artinya, secara angka tahunan masih tersisa adanya surplus air sebesar 45,37 mm.

B. Sejarah Kekeringan dan Persepsi Masyarakat

1. Sejarah kekeringan di Dusun PamorSejarah kekeringan hanya dikaji di Dusun

Pamor, Desa Banjar Dowo, Kecamatan Kradenan. Kekeringan di dusun tersebut sudah terjadi sejak lama. Berdasarkan diskusi kelompok, biasanya pada pertengahan bulan Juni sumur-sumur masyarakat Dusun Pamor, sudah mengering. Akibatnya masyarakat mencari air di lokasi terdekat yang masih terdapat air.

Sebelum tahun 1994, bila terjadi kekeringan, mayarakat mengambil air di sungai. Sejak tahun 1994, di bagian hulu sungai banyak orang memasang pompa penyedot air untuk mengairi sawah sehingga pada musim kemarau sungai di sekitar Dusun Pamor

Sumber (Source): Data primer, diolah (Primary data, processed)

Gambar 1. Neraca air bulanan tahun 2015 di lokasi penelitian.Figure 1. Monthly water balance of 2015 at the research location.

Sumber (Source): Data primer, diolah (Primary data, processed)

Gambar 2. Kekeringan hidrologis tahun 2015 di lokasi penelitian.Figure 2. Hidrological drought of 2015 at the research location.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 157-169

162

mengering. Masyarakat mulai membuat belik-belik di sungai untuk memanfaatkan air tanah dangkal yang masih merembes dari tanah di dasar sungai.

Eksploitasi air yang berlebihan di bagian hulu sungai tersebut menyebabkan distribusi air yang tidak merata/adil secara spasial dan sektoral. Hal ini menyebabkan kelangkaan air di bagian hilir daerah aliran sungai (DAS). Menurut Fulazzaky (2014), di Indonesia pengaruh perilaku manusia memanfaatkan air yang berlebihan di bagian hulu DAS menyebabkan perubahan kualitas dan kuantitas air baik temporal maupun spasial di bagian hilir DAS,dan menurut Madani, AghaKouchak, & Mirchi (2016), di Iran 92% sumber daya air digunakan untuk sektor pertanian sehingga sektor yang lain kekurangan air.

Pada tahun 1997, berkembang ide untuk mencari sumber-sumber air yang dapat dijadikan sumur. Ide tersebut muncul pada rapat bulanan RT 2 pada bulan Agustus 1997. Usaha ini dilakukan dengan mencari tanah-tanah yang masih lembab pada puncak musim kering di tahun tersebut dan ditemukanlah lahan-lahan di sungai mati sebelah selatan Dusun Pamor. Langkah berikutnya yakni menabur garam di beberapa lokasi yang dianggap berpotensi sebagai lokasi sumber

air. Pada lokasi yang garamnya paling cepat mencair diduga memiliki sumber air yang besar. Hal ini merupakan kearifan lokal dalam mencari sumber-sumber air untuk dijadikan sumur. Di lokasi tersebut dilakukan penggalian dan ternyata dugaan tersebut benar bahwa lokasi tersebut merupakan sumber air yang relatif besar. Kedalaman sumur tersebut 8 m yang dipasang delapan buis beton, tujuh buis beton berada di dalam tanah dan satu buis beton tampak di permukaan tanah.

Tidak ada konflik antar warga masyarakat dalam proses pengambilan air walaupun sumber air terbatas. Hal ini karena adanya harmoni dalam hubungan antar warga. Menurut Jocom, Kameo, Utami, & Kristijanto (2016), harmoni dalam pemanfaatan air juga dialami masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, dikarenakan nilai-nilai budaya masih dipercaya dan dijaga oleh masyarakat.

Usaha pemerintah Kabupaten Grobogan, melalui badan penanggulangan bencana daerah yakni membangun sumur komunal di setiap RT, pada tahun 2010 dan membangun embung oleh Dinas Pengairan pada tahun 2011. Kondisi sumur-sumur tersebut tetap kering apabila terjadi musim kemarau, sedangkan kondisi embung mengalami kekeringan karena bangunan pecah-pecah

Sumber (Source): Data primer, diolah (Primary data, processed)

Gambar 3. Surplus dan defisit sumber daya air tahun 2015 di lokasi penelitian.Figure 3. Water resources surplus and deficit of 2015 at the research location.

Perilaku Konsumsi Air pada Musim Kemarau di Dusun Pamor, Kabupaten Grobogan..........................(Purwanto &Agung Budi Supangat)

163

akibat sifat tanah vertisol yang mengalami kembang susut.

2. Persepsi masyarakatBerdasarkan hasil diskusi dan pengamatan,

masyarakat mengambil air di lokasi sumur sebelah selatan Dusun Pamor.Masyarakat sudah terbiasa menghadapi masalah kekeringan sehingga mereka tidak mengeluh.Kira-kira sejak pertengahan Juni setiap tahunnya, sumur-sumur sudah mengering dan mereka harus mencari air di luar Dusun tersebut.

Adaptasi dengan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan tetapi sudah berlangsung dan berulang setiap tahunnya tersebut menyebabkan masyarakat mengganggap mengumpulkan air dari lokasi yang jauh dari rumahnya sudah merupakan kewajiban untuk rumah tangganya. Menurut Maarif, Pramono, Kinseng, & Sunarti (2012), kemampuan menghadapi bencana terbentuk dan lahir dari pengalaman, pengetahuan, pemahaman, dan pemaknaan terhadap setiap kejadian, fenomena, harapan dan masalah yang terjadi di sekitarnya. Mekanisme tersebut diteruskan lewat proses sosialisasi dari generasi ke generasi dan pelaksanaannya tergantung pada kadar pemahaman dan implikasinya dalam kehidupan.

3. Perilaku masyarakat untuk mengatasi kekurangan airApabila sumur keluarga sudah tidak

menghasilkan air di musim kemarau maka kepala keluarga cepat mengambil keputusan apakah mencari air dari sumber yang paling dekat atau membeli air dari pedagang yang menjual air dengan tanki. Apabila keputusannya yakni mencari air maka salah satu anggota keluarga mencari air ke sumber air terdekat (di Kalimati, sumur dekat sekolah dasar, sumur sebelah selatan Dusun Pamor, atau ke sungai di dekat kuwu/kota kecamatan) yang berjarak 1-3 km. Pencari air tidak membedakan gender sehingga bisa kepala keluarga, ibu rumah tangga, atau anak

yang sudah dewasa. Alat yang digunakan yakni jerigen yang berkapasitas 20-25 liter dan kerombong yang diangkut dengan menggunakan sepeda motor. Satu orang dapat mengangkut 2-6 jerigen. Pencarian air dimulai dari jam 03.00-21.00 WIB tergantung dari panjang antrian di tempat sumber air. Alternatif kedua yakni membeli air dari pedagang yang menjual ke dusun tersebut dengan menggunakan tanki, apabila keluarga memiliki uang untuk biaya tersebut. Pada tahun 2015, satu tanki yang berkapasitas +5.000 liter dapat memasok tiga sumur atau tiga keluarga dengan harga Rp180.000 yang digunakan selama +1 minggu.

4. Konsumsi air rumah tangga di musim kemarauBerdasarkan hasil perhitungan rata-

rata (31 responden) jumlah anggota rumah tangga pencari air yakni 4-5 orang per kepala keluarga (KK) dan setiap keluarga memiliki rata-rata sapi 1,3 ekor sapi/KK atau 13 ekor sapi/10 KK serta memiliki 0,2 ekor kambing/KK atau setiap 5 KK hanya memiliki satu ekor kambing. Berdasarkan FGD dengan anggota keluarga yang mengambil air di luar Dusun Pamor: jumlah anggota keluarga, ternak sapi dan kambing yang sangat memengaruhi konsumsi air pada saat musim kemarau.

Hasil perhitungan regresi menujukkan hubungan antara konsumsi air (C) dengan jumlah anggota keluarga (X1), jumlah sapi (X2) dan jumlah kambing (X3) yang dimiliki; C = 4,823 X1

0,453X20,283X3

0,044 dengan R2 = 0,344. Dari persamaan tersebut berarti kebutuhan air untuk: satu orang 0,453 m3/hari, satu ekor sapi 0,283 m3/hari, dan satu ekor kambing 0,044 m3/hari. Angka-angka tersebut di atas dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan volume kebutuhan air untuk masyarakat yang didasarkan pada jumlah penduduk dan jumlah ternak yang dimiliki. Selanjutnya dapat dipakai sebagai dasar merancang pembangunan sarana-prasarana untuk mengatasi kekeringan dan sebagai dasar perhitungan apabila harus dilakukan

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 157-169

164

pasok air bersih pada saat musim kemarau yang mengancam kehidupan.

Berdasarkan persamaan tersebut maka kebutuhan air rumah tangga/hari diprediksi dengan rumus tersebut. Persamaan ini memiliki korelasi, R2 = 0,344, yang relatif kecil artinya terdapat faktor lain sebesar 0,656 yang memengaruhi jumlah air yang diambil dari sumur di luar Dusun Pamor. Faktor tersebut diduga karena sebelum dikonsumsi, air yang dikumpulkan dari sumber air di luar dusun tersebut dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sumur rumah tangga. Sumur tersebut berada di tanah yang bersifat porus sehingga sebagian besar air terinfiltrasikan. Hal ini merupakan temuan dari kajian ini dimana untuk menghemat air, sebaiknya sumur di daerah tersebut dibikin kedap bagian bawahnya dan bagian tengahnya dibuat porus agar tetap mengalirkan air di musim penghujan dan sebagai tandon air di musim kemarau.

Berdasarkan Singh & Turkiya (2013), masyarakat di wilayah semi-arid Dhani Mohabbatpur, Distrik Hisar, Negara Bagian Haryana, India mengkonsumsi 117,01 liter per orang per hari selama musim kemarau, dan Fan, Liu, Wang, Geissen, & Ritsema (2013) melaporkan bahwa konsumsi air per kapita di Sub DAS Wei, Cina hanya 71,l liter per hari. Volume konsumsi air tersebut lebih kecil dibanding temuan dalam penelitian ini, sedangkan untuk kebutuhan minum ternak sapi, Anonimous (2013) menyatakan kebutuhan air sapi lokal per hari yakni 3-6 liter atau rata-rata 4,5 liter/berat badan. Apabila rata-rata berat sapi 275 kg maka kebutuhan air minum yakni 4,5x275 liter atau 1.235 liter/hari. Karena petani di lokasi kajian ini hanya memberikan air minum 0,238 m3/hari/ekor sapi, maka kebutuhan normalnya tidak terpenuhi. Hal ini hanya sekedar untuk bertahan hidup ternak sapi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Curah hujan di lokasi kajian cukup tinggi

tetapi pada bulan Mei-Oktober terjadi defisit air sebesar 676,82 mm sehingga menyebabkan kekeringan. Kekeringan di Dusun Pamor, Desa Banjardowo sudah berlangsung lama. Persepsi masyarakat tentang kekurangan air merupakan takdir yang harus dihadapi dan kebiasaan mencari air selama musim kemarau merupakan kewajiban terhadap rumah tangganya. Pada musim kemarau, anggota rumah tangga mencari air di sumber terdekat yakni 1-3 km dari Dusun Pamor, Desa Banjardowo. Kebutuhan air rumah tangga di musim kemarau yakni untuk satuorang 0,453 m3/hari, satu ekor sapi 0,283 m3/hari, dan satu ekor kambing 0,044 m3/hari. Angka tersebut dapat digunakan sebagai dasar perhitungan rancangan pembangunan sarana-prasarana untuk mengatasi kekeringan dan menghitung kebutuhan air di musim kemarau apabila harus dilakukan droping air bersih.

B. SaranKarena curah hujan di lokasi kajian

cukup tinggi dan bencana kekeringan terjadi umumnya terjadi pada bulan Mei-Oktober, maka usaha yang sebaiknya dilakukan yakni pengembangan teknik pemanenan air hujan (seperti: embung; sumur, bak, dan kolam tampung air hujan; serta sumur resapan di sekitar sumur masyarakat yang bagian bawahnya kedap air). Bangunan tersebut dapat digunakan untuk menyimpan air di musim penghujan dan dimanfaatkan di musim kemarau.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Nur Sumedi, Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Solo yang telah memberi kesempatan, mengarahkan,

Perilaku Konsumsi Air pada Musim Kemarau di Dusun Pamor, Kabupaten Grobogan..........................(Purwanto & Agung Budi Supangat)

165

dan mengalokasikan dana untuk kegiatan penelitian teknik pemanenan air dan pengembangan kelembagaan di wilayah kering. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada: Bupati Grobogan, Camat Kradenan, Kepala Desa Banjardowo, dan Kepala Dusun Pamor yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di wilayah kerja mereka. Khusus kepada masyarakat Dusun Pamor, ucapan terima kasih disampaikan karena telah membantu penelitian ini dengan memberikan jawaban pada saat wawancara dan peran aktifnya dalam kegiatan focus group disucussion.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, S. (2013). Karakteristik bencana banjir bandang di Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 15 (1A) , 32–45.

Anonimous. (2012, November). Fungsi air pada ternak sapi potong. Retrieved 7 February 2017 from http://peternakan.umm.ac.id/id/berita/fungsi-airpada-ternak-sapi-potong.html.

Araus, J. L., Serret, M. D., & Edmeades, G. O. (2012). Phenotyping maize for adaptation to drought. Frontiers in Physiology, 3, 1–20. http://doi.org/10.3389/fphys.2012.00305.

Bachri, B. S. (2010). Meyakinkan validitas data melalui trianggulasi pada penelitian kualitatif. Jurnal Teknologi Pendidikan, 10(1), 46–62. Retrieved 12 December 2016 from http://yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/meyakinkan-validitas-data-melalui-triangulasi-pada-penelitian-kualitatif.pdf.

Bappeda Kabupaten Grobogan. (2014). Rencana pembangunan jangka menengah (2014-2019). Purwodadi: Bappeda Kabupaten Grobogan.

Bowen, G. A. (2009). Document analysis as a qualitative research method.Qualitative Research Journal, 9(2), 27–40. http://doi.org/10.3316/QRJ0902027.

Cahyono, Y., & Anwar, N. (2013). Teknologi pemanenan air hujan untuk mengatasi kekeringan dan penyediaan air bersih di Desa Sawitan. Jurnal Teknik Pomits, 1(1), 1–6. Retrieved 7 December 2016 from www.digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-27014-3110106007-Paper.pdf.

Daryanto, S., Wang, L., & Jacinthe, P. A. (2016). Global synthesis of drought effects on maize and wheat production. PLoS ONE, 11(5), 1–15. http://doi.org/10.1371/journal.pone.0156362.

Daulay, N. (2015). Pemanenan air hujan (rain water harvesting) sebagai alternatif pengelolaan sumber daya air di rumah tangga. Jurnal Teknik Sipil USU, 4(1), 1–8. Retrieved 12 November 2016 from http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jts/article/view/11990.

Fan, L., Liu, G., Wang, F., Geissen, V., & Ritsema, C. J. (2013). factors affecting domestic water consumption in rural households upon access to improvedwater supply: Insights from the Wei River Basin, China. Plos One, 8(8), 971–977. http://doi.org/10.1371/journal.pone.0071977

Fulazzaky, M. (2014). Challenges of integrated water resources management in Indonesia. Water, 6(7), 2000–2020. http://doi.org/10.3390/w6072000.

Hastuti, D., Sarwono, & Muryani, C. (2017). Mitigasi kesiapsiagaan dan adaptasi masyarakat terhadap bahaya kekeringan Kabupaten Grobogan. Jurnal GeoEco, 3(1), 47–57. Retrieved 7 April 2017 from https://jurnal.uns.ac.id/GeoEco/article/download/11044/9882.

Hilal, A. H., & Alabri, S. S. (2013). Using nvivo for data analysis in qualitative. International Interdisciplinary Journal of Education, 2(2), 181–186. Retrieved 12 December 2016 from www.iijoe.org/v2/IIJOE_06_02_02_2013.pdf

Husain, S., & Islam, M. S. (2016). A test for the cobb douglas production function in manufacturing sector: The case of Bangladesh. International Journal of Business and Economics Research, 5(5), 149–154. http://doi.org/10.11648/j.ijber.20160505.13.

Imoke, D. (2015). Spatio-temporal variability in domestic water demand and supply in Calabar Metropolis. International Journal of Research in Environmental Science (IJRES), 1(1), 20–29. Retrieved 17 January 2017 from www.arcjournals.org.

Indarto, Wahyuningsih, S., Pudjojono, M., Ahmad, H., & Yusron, A. (2014). Studi pendahuluan tentang penerapan metode ambang bertingkat. Jurnal Agroteknologi, 8(2), 112–121. Retrieved 8 November 2016 from jurnal.unej.ac.id/index.php/JAGT/article/view/3040/2446

Jayawardena, A. W. (2015). Hydro-meteorological disasters: Causes, effects and mitigation measures with special reference to early warning with data driven approaches of forecasting. Procedia IUTAM, 17(2013), 3–12. http://doi.org/10.1016/j.piutam.2015.06.003

Jocom, H., Kameo, D. D., Utami, I., & Kristijanto, A. I. (2016). Air dan konflik: Studi kasus Kabupaten Timor Tengah Selatan. Jurnal Ilmu Lingkungan, 14(1), 51–61. http://doi.org/10.14710/jil.14.1.51-61.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 157-169

166

Jonsen, K., & Jehn, K. A. (2009). Using triangulation to validate themes in qualitative studies. Qualitative Research in Organizations and Management: An International Journal, 4(2), 123–150. http://doi.org/10.1108/17465640910978391.

Maarif, S., Pramono, R., Kinseng, R. A., & Sunarti, E. (2012). Kontestasi pengetahuan dan pemaknaan tentang ancaman bencana alam (Studi kasus ancaman bencana Gunung Merapi). Jurnal Penanggulangan Bencana, 3(November), 1–13. Retrieved 13/02/2017 from http://inarisk.bnpb.go.id/pdf/Buku RBI_Final_low.pdf.

Madani, K., AghaKouchak, A., & Mirchi, A. (2016). Iran’s Socio-economic drought: challenges of a water-bankrupt nation. Iranian Studies, 49(6), 997–1016. http://doi.org/10.1080/00210862.2016.1259286.

Mazhar, N., Nawaz, M., & Mirza, A. I. (2015). Socio-political impacts of meteorological droughts and their spatial patterns in Pakistan, South Asian Studies. A Research Journal of South Asian Studies, 30(1), 149–157. Retrieved 24 December 2016 from http://tqr.nova.edu/wp-content/uploads/2015/09/fusch1.pdf.

Mehran, A., Mazdiyasni, O., & AghaKouchak, A. (2015). A hybrid framework for assessing socioeconomic drought:Linking climate variability, local resilience, and demand. J. Geophys.Res. Atmos, 120, 7520–7533. http://doi.org/doi:10.1002/2015JD023147.

Murali, J., & Afifi, T. (2014). Rainfall variability, food security and human mobility in the Janjgir-Champa district of Chhattisgarh state, India. Climate and Development, 6(1), 28–37. http://doi.org/10.1080/17565529.2013.867248.

Nurdiani, N. (2014). Teknik sampling snowball dalam penelitian lapangan. Comtech, 5(2), 1110–1118.

O’Cathain, A., Murphy, E., & Nicholl, J. (2010). Research methods & reporting: Three techniques for integrating data in mixed methods studies. BMJ, 341(17 September 2010), 1–12. http://doi.org/doi: https://doi.org/10.1136/bmj.c4587.

Omonona, B. T., Egbetokun, O. A., & Akanbi, A. T. (2010). Farmers resource - use and technical efficiency in cowpea production in Nigeria. Economic Analysis and Policy, 40(1), 87–95. http://doi.org/10.1016/S0313-5926(10)50006-7

Opiyo, F., Wasonga, O., Nyangito, M., Schilling, J., & Munang, R. (2015). Drought adaptation and coping strategies among the turkana pastoralists of Northern Kenya. International Journal of Disaster Risk Science, 6(3), 295–309. http://doi.org/10.1007/s13753-015-0063-4.

Purwanto. (2016). Perilaku usaha tani dalam rangka adaptasi terhadap kekeringan di Kabupaten Grobogan. In N. Puji Nugroho, S. A. Cahyono,

I. K. Rahmi, M. Suprapto, K. D. Priyono, S. Anantanyu, … E. Irawan (Eds.), Prodising Seminar Nasional Peran Pengelolaan DAS untuk Mendukung Ketananan Air (pp. 345–358). Surakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup.

Purwanto & Lastiantoro, C. Y. (2011). Studi awal dampak perubahan iklim dan adaptasi petani pada pengelolaan tanaman semusim. In P. D. Pratiwi, Ms. Dr. Ir. Murniati, Ma. S. Ir. Atok Subiakto, & Ms. Ir. Hendra Gunawan (Eds.), Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan (pp. 166–179). Bogor: Pusat Peneltian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi.

Rahman, S., Khan, M. T. R., Akib, S., Che, N., Biswas, S. K., & Shirazi, S. M. (2014). Sustainability of rain water harvesting system in terms of water quality : A case study. The Scientific World, 2(2014), 10–17. http://doi.org/10.1155/2014/721357.

Rahmawati, A. (2016). Analisis indeks kekeringan thornthwaite-mather dan arahan jadwal tanam padi untuk adaptasi bencana kekeringan di Kabupaten Grobogan. (Tesis). Solo: Universitas Negeri Sebelas Maret. Retrieved 25 March 2017 from https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/262813/MjYyODEz.

Septima, E. (2013). Analisa tingkat risiko bencana hidrometeorologi di Jawa Tengah. (Tesis). Semarang:Universitas Diponegoro Retrieved 25 March 2017 from http://eprints.undip.ac.id/39271/.

Singh, O., & Turkiya, S. (2013). A survey of household domestic water consumption patterns in rural semi-arid village, India. GeoJournal, 78(5), 777–790. http://doi.org/10.1007/s10708-012-9465-7.

Sjamsudin, H. (2012). Metodologi sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soekartawi. (2014). Teori ekonomi produksi dengan pokok bahasan analisis fungsi coubb-douglas. Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT. Raja Grafindo Persada.

Tanah, P. P. (2000). Peta jenis tanah Kabupaten Grobogan. Bogor: Pusat Peneltian Tanah.

Thornthwaite, C. W., & Mather, J. R. (1957). Instructions and tables for computing potensial evapotranspiration and water balance. Publ.Climatol, 10 (3), 185–311.

Udmale, P., Ichikawa, Y., & Manandhar, S. (2014). Farmers’ perception of drought impacts, local adaptation and administrative mitigation

Perilaku Konsumsi Air pada Musim Kemarau di Dusun Pamor, Kabupaten Grobogan..........................(Purwanto & Agung Budi Supangat)

167

measures in Maharashtra. International Journal of Disaster Risk Reduction, 10, 250–269. http://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2014.09.011.

Wang, L., Yuan, X., Xie, Z., Wu, P., & Li, Y. (2016). Increasing flash droughts over China during the recent global warming hiatus. Sci Rep., 6(Aug 11), 1–12. http://doi.org/doi: 10.1038/srep30571.

Wang, Z., Ma, Q., Chen, S., Deng, L., & Jiang, J. (2016). Empirical study on drought adaptation of regional rainfed agriculture in China. Nat. Hazards Earth Syst. Sci, 3(May), 1–29. http://doi.org/10.5194/nhess-2016-94.

Wu, H., Huang, M., Tang, Q., Kirschbaum, D. B., & Ward, P. (2016). Hydrometeorological hazards: Monitoring, forecasting, risk assessment, and socioeconomic responses.Advances in Meteorology, 2016, 11–14. http://doi.org/10.1155/2016/2367939.

Yeasmin, S., & Rahman, K.F. (2012). Triangulation research method as the tool of social science research. Bup Journal, 1(1), 154–163. Retrieved 25 March 2017 from http://www.bup.edu.bd/journal/154-163.

168

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 157-169

169

Lampiran 1. Kapasitas Kejenuhan Air dan Koefisien Aliran Permukaan

Appendix 1. Water Holding Capacity and Coefficient of Run off

Tekstur Tanah (Soil Texture)

Air Tersedia (Water Availability)

mm/m

Kedalaman Perakaran (Root Depth)

m

Kemampuan Tanah Menahan Air (Water Holding Capacity)

mmTanaman Perakaran Dangkal (Bayam, Kacang, Wortel)

Pasir HalusLempung Berpasir HalusLempung BerdebuLempung BerliatLempung

100150200250300

0,500,500,620,400,25

507512510075

Tanaman Perakaran Sedang (jagung, tembakau, dll)Pasir HalusLempung Berpasir HalusLempung BerdebuLempung BerliatLempung

100150200250300

0,751,001,000,800,50

75150200200150

Tanaman Perakaran Dalam (legume, padang rumput, semak belukar)Pasir HalusLempung Berpasir HalusLempung BerdebuLempung BerliatLempung

100150200250300

1,001,001,251,000,67

100150250260200

Tanaman PerkebunanPasir HalusLempung Berpasir HalusLempung BerdebuLempung BerliatLempung

100150200250300

1,501,671,501,000,70

150250300250200

HutanPasir HalusLempung Berpasir HalusLempung BerdebuLempung BerliatLempung

100150200250300

2,502,002,001,601,17

250300400400350

Sumber (Source): Diterjemahkan dari Thornthwaite & Mather, 1957 (Translated from Thornthwaite & Mather, 1957).

Perilaku Konsumsi Air pada Musim Kemarau di Dusun Pamor, Kabupaten Grobogan..........................(Purwanto & Agung Budi Supangat)

170

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 171- 190p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221Terakreditasi No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

DAMPAK PENGEMBANGAN SEKTOR EKONOMI TERHADAP POTENSI KONFLIK DI KPHP DELTA MAHAKAM

DAN KPHL SUNGAI BERAM HITAM (Impact on Economic Sector Development to Potential Conflict

in Delta Mahakam FPMU (Production) and Sungai Beram Hitam FPMU( Protection))

Sylviani & Elvida Y. Suryandari

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jalan Gunung Batu No.5, Bogor 16118, Indonesia

E-mail: [email protected]; [email protected]

Diterima 9 Februari 2017, direvisi 31 Agustus 2017, disetujui 18 September 2017.

ABSTRACT

Regional economic growth is determined by the potential of existing natural resources, including for fisheries and mining. The development of the two sectors also opens up potential for conflict with other sectors. The aim of the study is to determine the role of the sectors and the impact of economic growth to potential conflict in the research area. This research was conducted at Delta Mahakam Forest Production Management Unit (FPMU) and Sungai Beram Hitam Forest Protection Management Unit (FPMU) . Base sector approach was conducted to determine the superior sector by Location Quotient (LQ) using GDP variable. The results showed that at Delta Mahakam, mining sector was the dominant, and the second largest was fisheries with LQ ≥1. While at the Sungai Beram Hitam fisheries sector was the dominant sector, and the mining sector was non base since its value ≤1. Process of forest area utilization for mining in Jambi was done through leasing of forest lands, but not in East Kalimantan. Conflict resolution between mining and fisheries sector with community was done through compensation. FMU status and position can be enhanced by granting authority on the leasing of forest area for strategic sector development and national interests.

Keywords: Economic sector; Forest Management Unit; impact; Location Quotient; potential conflicts.

ABSTRAK

Pertumbuhan ekonomi daerah ditentukan oleh potensi sumber daya alam yang ada termasuk untuk pengembangan sektor perikanan dan pertambangan. Pengembangan kedua sektor ini juga membuka peluang konflik dengan sektor lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kedua sektor tersebut dan mengetahui dampak pertumbuhan ekonomi terhadap potensi konflik di lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Delta Mahakam dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sungai Beram Hitam (SBH). Pendekatan sektor basis dilakukan untuk mengetahui sektor unggulan daerah dengan analisis Location Quotient (LQ) menggunakan variabel PDRB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Delta Mahakam, sektor pertambangan merupakan sektor unggulan dan terbesar kedua adalah perikanan dengan nilai LQ ≥1. Pada Sungai Beram Hitam sektor perikanan merupakan sektor unggulan dan sektor pertambangan merupakan non basis karena nilai ≤1. Proses pemanfaatan kawasan hutan untuk pertambangan di Jambi dilakukan melalui pinjam pakai kawasan hutan, sementara di Kalimantan Timur tidak melalui izin pinjam pakai. Resolusi konflik tinggi terjadi antara pertambangan dengan sektor perikanan dan masyarakat dilakukan dengan memberikan kompensasi dan ganti rugi. Status dan posisi KPH dapat ditingkatkan dengan memberikan kewenangan terhadap izin pinjam pakai kawasan untuk pengembangan sektor yang bersifat strategis dan kepentingan nasional.

Kata kunci: Sektor ekonomi; Kesatuan Pengelolaan Hutan; dampak; Location Quotient; potensi konflik.

©2017 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpsek.2017.14.3.171-190 171

I. PENDAHULUANPertumbuhan ekonomi merupakan suatu

ukuran kuantitatif adanya pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, pemerataan distribusi pendapatan masyarakat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional dan mengupayakan pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Salah satu tolok ukur untuk melihat perkembangan perekonomian adalah dengan melihat perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (Amin, 2015). Tetapi pertumbuhan ekonomi seperti sektor pertambangan dan perikanan dapat berdampak terhadap kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan.

Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Jambi merupakan wilayah yang mempunyai banyak potensi sumber daya alam, khususnya tambang minyak dan gas bumi. Sumber daya alam ini mayoritas dikuasai oleh pihak asing. Di Indonesia sebanyak 329 blok minyak dan gas (migas) (65%) dikuasai oleh pihak asing. Hal ini disebabkan oleh besarnya modal yang dibutuhkan dan minimnya sumber daya manusia (SDM) yang menguasai teknologi terkait proses eksploitasi migas (Gandhi, 2014). Menurut Walhi dalam (Gandhi, (2014) perusahaan migas asing menguasai 95,45 juta hektar (49,65 persen) luas lahan konsesi migas Indonesia termasuk perairan.

Pemanfaatan sumber daya alam lainnya yang cukup potensial adalah sektor perikanan yang memiliki peranan strategis dalam pembangunan nasional. Ditinjau dari potensi sumber daya alam, Indonesia dikenal sebagai negara maritim terbesar di dunia karena memiliki potensi kekayaan sumber daya perikanan yang relatif besar. Sektor perikanan juga menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari kegiatan penangkapan, budidaya, pengolahan,

distribusi dan perdagangan. Oleh karena itu, pembangunan sektor perikanan tidak dapat diabaikan oleh pemerintah Indonesia (Triarso, 2012).

Pemanfaatan kedua sektor tersebut di dalam kawasan hutan sudah cukup lama dilakukan namun adanya pembiaran dan tidak ada koordinasi dengan pengelola kawasan hutan. Luas pemanfaatan kawasan hutan di Delta Mahakam untuk migas adalah ±8.574,96 ha. Sementara luas pemanfaatan kawasan hutan Sungai Beram Hitam untuk pertanian termasuk perikanan adalah 6.220 ha (Sylviani & Suryandari, 2016). Hal ini akan berpotensi konflik baik antara pengelola kedua sektor maupun antara kedua sektor dengan masyarakat. Hasil penelitian Surati & Sylviany (2016) menunjukkan bahwa potensi konflik dapat terjadi secara bilateral dan/atau aliansi antara pemilik kawasan (pemerintah pusat, pemerintah daerah) dengan masyarakat atau antara pemanfaat kawasan (perusahaan minyak dan gas) dengan nelayan. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dampak pengembangan sektor ekonomi khususnya pertambangan minyak dan gas (migas) dan perikanan di dalam kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan mengetahui potensi konflik yang terjadi antara para pemanfaat kawasan. Diharapkan dari hasil kajian ini menunjukkan bagaimana peran pengelola KPH dalam pengelolaan migas dan perikanan di wilayah kawasan hutannya.

II. METODE PENELITIANA. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Delta Mahakam (KPHP-DM), Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Beram Hitam (KPHL-SBH), Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Lokasi ditentukan dengan pertimbangan di dalam kedua KPH tersebut terdapat sumur-sumur

172

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 171-190

migas dan petani-petani tambak dan nelayan. Penelitian dilakukan pada Maret tahun 2015 sampai dengan November tahun 2016.

B. Pengumpulan DataPengumpulan data primer dilakukan

secara purposive sampling, dimana sampel dianggap memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui:1. Studi literatur mempelajari dokumen

sistem pemilikan dan penguasaan lahan.2. Wawancara secara mendalam dengan

instansi pemerintah, tokoh adat/masyarakat untuk mengetahui sistem pengelolaan lahan

3. Pengamatan lapangan untuk melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat.

4. Focus group discussion (FGD) yang diikuti oleh instansi terkait

Data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen berupa laporan hasil-hasil penelitian, paper, prosiding, hasil pendataan/inventarisasi dan studi literatur.

C. Analisis DataMetode analisis yang digunakan untuk

mengetahui sektor unggulan suatu daerah melalui pendekatan sektor basis dengan teknik Location Quotient (LQ). Teori ekonomi basis adalah permintaan jumlah produk yang

dihasilkan dan pendapatan di suatu daerah yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut (Nesse, 2014). Teknik analisis LQ dalam metode ini menggunakan variabel PDRB sebagai indikator pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Tingkat pembangunan sektor suatu daerah akan berdampak terhadap PDRB daerah tersebut. Semakin besar peranan sektor ekonomi dalam suatu daerah maka akan semakin tinggi nilai tambah terhadap laju pertumbuhan PDRB (Fachrurazy, 2009). PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Pengertian nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara (intermediate cost). Secara umum metode analisis LQ dapat diformulasikan sebagai berikut (Mangilaleng, Rotinsulu, & Rompas, 2015).LQ = (Vik/Vk) / (Vip/Vp)Keterangan: Vik : PDRB sektor i daerah studi k (kabupaten/kota), Vk : PDRB total semua sektor di daerah studi k, Vip : PDRB sektor i daerah referensi p (provinsi), Vp : PDRB total semua sektor di daerah referensi p.

Indikator, 1. LQ > 1, berarti sektor di daerah tersebut adalah basis karena mampu memenuhi kebutuhan di daerah sendiri dan mengekspor ke daerah lain; 2. LQ < 1, berarti

173

Dampak Pengembangan Sektor Ekonomi terhadap Potensi Konflik di KPHP Delta Mahakam ...................(Sylviani & Elvida Y. Suryandari)

Tabel 1. Metode pengumpulan data.Table 1. Methods of data collection

No Metode(Method)

Sumber data/ responden (Data sources) Jenis data (Type of data)

1. Pencatatan (Recording)

Dinas Kehutanan, KPH, Dinas Pertambangan, Dinas Perikanan, SKK Migas

Dokumen tentang peraturan pengelolaan lahan dan potensi kawasan

2. Wawancara (Interview)

Instansi pemerintah, sebanyak 11 responden perwakilan masyarakat sebanyak 5 responden

Sistem dan proses pengelolaan lahan, luas lahan garapan, hak dan kewajiban yang dilakukan terhadap lahan.

3. Pengamatan lapangan (Field observation)

Perwakilan masyarakat Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat (tanaman dan pemanfaatannya)

4. Diskusi kelompok (Focus Group Discussion)

Para pihak terkait Data dan informasi tentang pengelolaan kawasan KPH, potensi, status kawasan, serta program-program para pihak terkait

Sumber (Source): Data primer (Primary data).

sektor di daerah tersebut adalah non basis karena tidak mampu memenuhi kebutuhan di daerah sendiri; 3. LQ = 1, berarti ada kecenderungan sektor tersebut bersifat tertutup karena tidak melakukan transaksi ke dan dari luar daerah.

Analisis potensi konflik antar sektor menggunakan matrik potensi konflik berdasarkan rencana detail tata ruang kawasan yang dijabarkan menjadi tiga zona yaitu zona darat, zona transisi dan zona pesisir (Bappeda Kabupaten Kukar, 2003).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Potensi Sektor Pertambangan di KPH1. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi

Delta Mahakam (KPHP-DM) di Kutai Kartanegara Provinsi KaltimIndonesia merupakan negara yang pada

dasarnya memiliki sumber daya alam yang melimpah, sehingga memungkinkannya untuk menjadi sebuah negara yang berkembang dan mandiri, bahkan dapat bersaing dengan negara-negara maju secara ekonomi. Melimpahnya sumber daya alam seperti emas, nikel, batu bara, minyak, gas bumi, perikanan dan lain-lain menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat berpotensi untuk berkembang, hal ini terlihat di berbagai wilayah Indonesia misalnya, Kalimantan, Sumatera dan Papua yang memiliki potensi di bidang pertambangan. Potensi sumber daya alam yang dimiliki dalam suatu wilayah menjadi hal strategis ketika mampu dikelola dan dikembangkan secara maksimal dalam menunjang roda pemerintahan dan pembangunan wilayah tersebut (Jauchar, 2012). Tingginya potensi lahan pasang surut yang menyimpan cadangan minyak dan gas alam telah memberikan dampak yang besar terhadap sumber pendapatan asli daerah dan sumber devisa negara. Namun demikian tingkat eksploitasinya harus mempertimbangkan dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan sekitarnya, terutama dalam melindungi dan menjaga ekosistem

dan vegetasi kawasan pesisir baik gambut maupun mangrove (Bappeda, 2003; Kustanti, 2013).

Kawasan Delta Mahakam (DM) yang saat ini berada di bawah kelola KPH berdasarkan Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 821.2/III.1-627/BKD/2014 tanggal 10 Juni 2014 Tentang Penetapan Pengelola KPHP Kawasan Delta Mahakam. Kawasan DM merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak bumi dan gas alam (migas). Kawasan ini memiliki potensi ekonomi yang tinggi dimana terdapat perusahaan Kontrak Produksi Sharing (KPS) Pertamina yang dieksploitasi perusahaan migas multinasional asal Perancis, Total E&P Indonesie (TEPI), Chevron Indonesia, Unicol dan Vico Indonesia Co. (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara, 2015). Perusahaan yang paling mendominasi DM dalam hal keberadaan ladang minyak dan gas adalah PT. TEPI dengan produksi 70.000 barrel minyak/hari dan 200.000 barrel gas/hari. Sektor pertambangan migas merupakan salah satu kegiatan ekonomi utama yang dapat menopang perekonomian Kalimantan Timur (Kaltim). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur tahun 2013 menunjukan bahwa kontribusi tambang migas sebesar 50% dari PDRB Kaltim dan merupakan daerah eksportir migas terbesar di Indonesia, dimana tahun 2008 Kaltim berkontribusi sebesar 37,56%, tahun 2013 sebesar 45,08% dan tahun 2015 sebesar 16,53% dari total produksi migas nasional (Priambodo, 2016). Selama kurun waktu 2007-2012 produksi minyak di Kabupaten Kutai Kartanegara mencapai 134.626 barrel, dengan perincian 60.331 barrel minyak mentah dan 74.295 barrel kondensat (Akbar, 2014). Produksi/lifting minyak bumi Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2012 adalah 22.158.480 barrel (46,71%) dan gas alam sebesar 430.087.760 Million British Thermal Unit (MMBTU) (52,31%) dari jumlah lifting Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah Kerja (WK) migas di Kabupaten Kutai Kartanegara

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 171-190

174

meliputi Kecamatan Muara Badak, Sanga-Sanga, Samboja dan Anggada. Lifting minyak bumi adalah produksi minyak bumi yang siap dijual ke konsumen di Kabupaten Kutai Kartanegara secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2 (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2016).

Pada Tabel 2 terlihat bahwa ada lima Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang berada dalam KPHP Delta Mahakam antara lain PT. Pertamina (sebagian), Total E&P Indonesie, Indonesia Petroleum Ltd. (INPEX), Virginia Indonesia Company (VICO). PT. Chevron Indonesia. PT. TOTAL dan INPEX merupakan dua perusahaan yang berkolaborasi sehingga produksi keduanya merupakan jumlah rata-rata.

Tabel 2 menunjukkan jumlah lifting minyak bumi secara keseluruhan dari lima perusahaan

cenderung menurun terus dengan rata-rata penurunan sebesar 9,8% per tahun. Penurunan ini disebabkan produksi sumber minyak bumi di daerah ini semakin berkurang karena sumber energi ini semakin langka dan tidak dapat diperbaharui. Hal ini sejalan dengan penurunan lifting minyak bumi di Kalimantan Timur selama lima tahun, dimana tahun 2009 sebesar 53,88 juta barrel menjadi 35,21 juta barrel pada tahun 2014 (Dinas Pertambangan dan Energi, 2015). Lima perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Kukar berkontribusi sebesar 53,90% dari jumlah lifting Provinsi Kalimantan Timur.

Gambar 1 menunjukkan secara grafik penurunan lifting minyak bumi di Kutai Kartanegara dari masing-masing KKKS mulai tahun 2010 hingga 2015. Sementara itu terlihat pada Gambar 2 rata-rata lifting

Tabel 2. Lifting minyak bumi di Kutai Kartanegara tahun 2010-2015Table 2. Oil lifting in Kutai Kertanegara District 2010-2015

KKKS (SCC) 2010 2011 2012 2013 2014 2015Chevron Indonesia company 43.000 61.769 74.240 337.137 206.262 33.337Indonesia Petroleum Ltd 10.283.208 9.375.821 6.998.262 6.484.141 5.706.622 5.470.394PT. Pertamina EP 1.703.595 2.434.230 2.632.605 2.538.521 2.813.487 739.773,8Total E&P 10.283.208 9.357.821 6.787.146 6.484.141 5.706.622 5.470.394VICO 6.544.811 5.454.384 5.397.093 4.501.493 4.556.821 5.313.764Jumlah (Total) 28.857.822 26.684.025 21.889.346 20.345.433 18.989.814 17.027.663

Sumber (Source): Direktorat Jenderal Migas setelah diolah, 2016 (Oil and Gas Directorate Jenderal after processed, 2016).

Sumber (Source): Direktorat Jenderal Migas setelah diolah, 2016 (Oil and Gas Directorate Jenderal after processed, 2016)Gambar 1. Grafik lifting minyak bumi 2010-2015.Figure 1. Oil lifting chart 2010-2015.

Dampak Pengembangan Sektor Ekonomi terhadap Potensi Konflik di KPHP Delta Mahakam ...................(Sylviani & Elvida Y. Suryandari)

175

minyak bumi menunjukkan persentase yang berbeda dimana PT. TOTAL dan PT. INPEX menunjukkan persentase tertinggi sebesar 33%, PT. VICO sebesar 24% dan Pertamina EP 10%, sedangkan Chevron di bawah 1%.

Sektor pertambangan yang dihasilkan di Kabupaten Kutai Kartanegara selain minyak bumi juga produksi gas bumi. Lifting gas bumi juga dihasilkan oleh lima perusahaan yang sama, dimana secara total lifting gas menurun selama enam tahun terakhir. Lifting gas bumi selama enam tahun (2009-2014) di Kalimantan Timur terus menurun dimana tahun 2009 lifting sebesar 1.048,17 MMBTU menurun pada tahun 2014 menjadi 605,50 MMBTU. Kabupaten Kukar berkontribusi

lifting gas bumi sebesar 62,12% dari lifting gas bumi Provinsi Kalimantan Timur (Dinas Pertambangan dan Energi, 2015).

Penurunan lifting migas disebabkan karena potensi migas yang terkandung di dalam sudah menurun sehingga akan berdampak terhadap penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik provinsi maupun kabupaten, sementara pendapatan terhadap masyarakat tidak berpengaruh besar karena karyawan bekerja berdasarkan kontrak, berapapun produksi migas tidak berpengaruh terhadap penghasilan masyarakat. Penyelenggaraan kegiatan ekonomi, baik eksploitasi migas maupun kegiatan ekonomi masyarakat setempat hendaknya selalu mengacu pada prinsip-

Sumber (Source): Direktorat Jenderal Migas setelah diolah 2016 (Oil and Gas Directorate Jenderal after processed, 2016)Gambar 2. Diagram persentase rata-rata lifting minyak Kutai Kartanegara.Figure 2. Percentage of oil lifting average diagram in Kutai Kartanegara.

Tabel 3. Lifting gas di Kabupaten Kutai Kartanegara (MMBTU)Table 3. Gas lifting in Kutai Kartanegara District (MMBTU)

Perusahaan KKKS (Company of KKKS) 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Chevron Indonesia company 1.744,08 4.767,46 12.310,59 17.509,54 7.118,07 5.553,15

Indonesia Petroleum Ltd 280.711,27 204.078,68 163.555,60 15.602,43 141.405,99 123.240,23

PT. Pertamina EP 211,4 - - - - -

Total E & P 280.711,27 204.078,68 163.555,60 150.602,43 141.405,99 123.240,23

VICO 104.634,85 89.502,31 90.665,95 108.853,82 81.062,47 82.816,63

Jumlah 66.782,26 50.242,71 430.087,75 427.568,24 370.992,54 334.850,26

Sumber (Sources): Dinas Pertambangan dan Energi setelah diolah (Data of Mining and Energy Office after processed.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 171-190

176

prinsip ekologis yang bertujuan menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan, karena eksploitasi terhadap sumber daya alam yang dilakukan secara berlebihan dan intensif akan merusak lingkungan. Dengan kata lain, penataan ruang bertujuan menciptakan tata ruang yang mampu mengakomodasi seluruh kegiatan secara seimbang dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

2. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Beram Hitam (KPHL-SBH) di Tanjung Jabung Barat, Provinsi JambiPenetapan kawasan KPHL-SBH

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 77/Menhut-II/2010 tanggal 10 Februari 2010, dengan luas 15.965 ha. Dari luasan tersebut diperkirakan 4.894 ha (30,65%) kawasan pengelolaan hutan lindung gambut (KPHLG) telah dirambah oleh masyarakat untuk dijadikan lahan pertanian. Pemanfaatan lain di kawasan ini adalah minyak dan gas bumi.

Minyak di blok Jabung pertama kali diproduksi pada bulan Agustus 1997, kemudian dilanjutkan dengan lapangan makmur pada Januari 1998. Kedua lapangan ini berada di daerah selatan dari blok Jabung. Selanjutnya pada akhir tahun 2000, mulai diproduksi minyak dari lapangan-lapangan di

daerah utara blok Jabung yang dimulai dengan lapangan Gemah pada bulan November tahun 2000 dan lapangan Ripah pada tahun 2004. Selain itu, juga terdapat fasilitas pengolahan minyak mentah di Geragai (Central Processing Station/CPS), Gemah Station, North East Betara Station, North Betara Station, Ripah Station dan West Betara Station. Perkembangan pemanfaatan pada kawasan HL gambut ini berupa izin pinjam pakai oleh perusahaan migas kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru dilakukan pada awal tahun 2009 oleh PT Petrochina dan PT MontD'Or Oil Ltd. sebagai lokasi sumur pengeboran (Anonim, 2016b). Permohonan izin pinjam pakai dibuat oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Hingga tahun 2014 terdapat 19 titik lokasi sumur bor yang telah mendapat izin pemanfaatan dari KLHK (Tabel 4).

Pada Tabel 4 terlihat seluas 310,59 ha kawasan hutan lindung SBH dimohon untuk pemanfaatan pemboran sumur migas di blok Jabung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Permohonan penggunaan kawasan di luar kehutanan menggunakan skema perizinan berupa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan di luar kehutanan. Permohonan melalui Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

Sumber (Sources): Dinas Pertambangan dan Energi setelah diolah (Data of Mining and Energy Office after processed )

Gambar 3. Grafik lifting gas di Kabupaten Kukar.Figure 3. Gas lifting in Kukar District chart.

Dampak Pengembangan Sektor Ekonomi terhadap Potensi Konflik di KPHP Delta Mahakam ...................(Sylviani & Elvida Y. Suryandari)

177

(BPKM) Nomor 26/1/IPPKH/PMA/2016 November tahun 2016 sudah diterbitkan atas nama PT. Hexindo Gemilang Jaya seluas 45,67 ha untuk kegiatan eksploitasi Migas Bumi Akatara di kawasan HLSBH Tanjung Jabung Barat.

Petrochina Jabung Ltd memproduksi gas dan crude oil dari beberapa plant besar yaitu BGP (Betara Gas Plant) yang terletak di Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Keberadaannya sudah cukup lama sejak tahun 1993 melalui kontrak kerja bagi hasil dengan Pertamina. Petrochina Company Limited adalah penghasil minyak terbesar dan produsen dan distributor gas, memainkan peran yang dominan dalam industri minyak dan gas di Cina. Sementara itu Petrochina di Indonesia memasok gas dan minyak ke Singapura (Setiadi, 2013).

Produk yang dihasilkan Petrochina Jabung Ltd adalah minyak mentah (crude oil) dan gas alam/gas bumi, propane, butane, condensate. Perkembangan produksi migas Kabupaten Tanjung Jabung Barat telah menunjukkan kemajuan yang berarti. Saat ini lifting minyak bumi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat

mencapai 10.980 barrel per hari atau 53,55% dari seluruh lifting minyak bumi di provinsi Jambi dan lifting gas bumi mencapai 180.762 MMBTU per hari atau 78,85% dari seluruh lifting gas bumi di provinsi Jambi (Anonim, 2016a).

Berdasarkan Tabel 5 terlihat lifting minyak dan gas bumi yang dihasilkan oleh PT. Petrochina menurun rata-rata 8% pada tahun 2013 kemudian naik 6,5% tahun 2014. Namun demikian perusahaan Petrochina merupakan penyumbang terbesar lifting minyak Provinsi Jambi yaitu sebesar 69,9%. Menurut Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jambi realisasi lifting minyak di Provinsi Jambi pada 2010 mencapai 6.588.052 barrel, namun di Kuartal II tahun 2015 hanya 1.754.533 barrel, sementara itu realisasi lifting gas bumi pada 2010 sebesar 17.410.599 MMBTU dan realisasi pada tahun 2016 (kuartal II) sebesar 9.367.824 MMBTU.

Perusahaan minyak dan gas bumi terdiri atas perusahaan-perusahaan swasta di bawah pengawasan SKK Migas baik di Jambi maupun di Kalimantan Timur bertujuan untuk kepentingan ekonomi negara dengan

Tabel 4. Daftar IPPKH blok Jabung Petrochina LTD di Kabupaten Tanjung Jabung BaratTable 4. List of IPPKH Petrochina LTD block in Tanjung Jabung Barat District

No IPPKH berdasarkan SK Menteri LHK (FLUP according to decree of ELM)

Luas (Area) (ha)

Lokasi (Location)

1 No 511, 513, 515, 516, 517, 571 tanggal 8 September 2009 101 Tanjung Jabung Barat2 No 632 tgl 7 Oktober 2009 6,78 Tanjung Jabung Barat3 No 313 tgl 17 Mei 2010 21,56 Tanjung Jabung Barat4 No 9 tgl 19 Januari 2011 14,98 Tanjung Jabung Barat5 No 70,72 tgl 2 Maret 2011 50,68 Tanjung Jabung Barat6 No 499 tgl 25 Agustus 2011 3,87 Tanjung Jabung Barat7 No 535 tgl 20 September 2011 41,02 Tanjung Jabung Barat8 No 655 tgl 15 November 2011 9,45 Tanjung Jabung Barat9 No 45 tgl 2 Januari 2012 5,43 Tanjung Jabung Barat10 No 80 tgl 5 Februari 2013 2,29 Tanjung Jabung Barat11 No 725, 726 tgl 29 Agustus 2014 49,75 Tanjung Jabung Barat12 No 746 tgl 15 September 2014 3,78 Tanjung Jabung Barat

Jumlah 310,59

Sumber (Sources): SKK Migas.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 171-190

178

bagi hasil 85% untuk negara dan 15% untuk perusahaan. Mereka terlibat langsung dalam produksi dan perdagangan minyak dan gas. Keberadaan pemangku kepentingan perusahaan migas multinasional yang padat modal diharapkan dapat berkontribusi dalam pengelolaan kawasan hutan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang lebih besar.

Sektor pertambangan di kedua lokasi pengeboran sumurnya berada di dalam kawasan hutan namun sejauh ini peran sektor kehutanan tidak terlibat secara langsung dan hanya berperan dalam proses administrasi maupun teknis pelaksanaannya. Pemanfaatan kawasan hutan untuk pertambangan migas di Delta Mahakam tidak ada izin pinjam

pakai dari pengelola kawasan sehingga tidak ada kontribusi berupa PNBP untuk sektor kehutanan, sementara kontribusi untuk pemerintah provinsi dan kabupaten berupa PAD. Izin pemanfaatan kawasan hutan untuk perusahaan migas baru diberlakukan untuk perusahaan migas di Provinsi Jambi yang dikeluarkan melalui Surat Keputusan BKPM. Pemberian izin pinjam pakai kawasan ini didasarkan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis

Tabel 5. Lifting minyak dan gas bumi Kabupaten Tanjung Jabung Barat (barrel/tahun) Table 5. Oil and gas lifting in Tanjung Jabung Barat District (barrel/year)

Tahun (Year)Petrochina Ltd

Minyak (Oil) (barrel/tahun) Gas (Gas). (MMGTU/tahun) 2010 4.605.976,87 60.889.496,862011 4.679.498,31 60.071.948,002012 4.481.210,08 58.538.499,892013 3.984.621,43 53.554.809,652014 4.245.476,76 62.524.593,902015 4.164.853,56 64.181.489,68Jumlah 2.661.637,01 359.760.837,98

Sumber (Sources): SKK Migas.

Sumber (Sources): SKK Migas

Gambar 4. Lifting minyak dan gas di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.Figure 4. Oil and gas lifting in Tanjung Jabung Barat District.

Dampak Pengembangan Sektor Ekonomi terhadap Potensi Konflik di KPHP Delta Mahakam ...................(Sylviani & Elvida Y. Suryandari)

179

atau untuk kepentingan nasional termasuk di dalamnya untuk kegiatan pertambangan mineral, batubara, minyak dan gas bumi. Kewajiban perusahaan adalah membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) apabila terjadi penebangan pohon. Namun izin pinjam pakai ini tidak dilakukan oleh perusahaan migas yang berlokasi di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Namun dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, disebutkan bahwa apabila dalam kawasan tersebut sudah terbentuk pengelola kawasan, dalam hal ini KPH, maka izin pinjam pakai hanya diberikan paling banyak hanya 10% dari luas kawasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa izin pinjam pakai ini tidak mengikuti aturan yang berlaku. Dampak dari tidak adanya izin pinjam pakai atas pemanfaatan kawasan hutan produksi di kawasan Delta Mahakam untuk migas, dapat dihitung perkiraan kerugian yang seharusnya merupakan PNBP (Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan) dimana PNBP untuk hutan produksi Rp1.600.000/ha/tahun, sehingga dengan luas pemanfaatan kawasan hutan migas 8.574 ha, maka PNBP yang seharusnya diterima adalah sebesar Rp13.718.400.000 (Tiga belas milyar tujuh ratus delapan belas juta empat ratus ribu rupiah).

B. Potensi di Sektor PerikananHutan mangrove yang dapat dikembangkan

dengan baik oleh masyarakat pesisir dapat meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat (Sutrisno, 2015). Pembangunan perikanan

tangkap pada hakikatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, menjaga kelestarian sumber daya ikan serta lingkungannya, untuk meningkatkan kontribusi sub sektor perikanan tangkap terhadap pembangunan perekonomian nasional (pro growth) dan penerimaan devisa melalui ekspor (Triarso, 2012).

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki banyak potensi sumber daya alam. Salah satu sumber daya alamnya yang melimpah adalah sektor kelautan dan perikanan

Dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), tidak hanya sarana dan prasarana saja yang diperlukan tetapi juga teknik budidaya yang dikembangkan. Budidaya yang dilakukan meliputi perikanan air tawar, budidaya perikanan air payau, budidaya perikanan air laut. Dengan adanya budidaya yang dilakukan masyarakat dapat berpartisipasi secara langsung untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan (Agustine, Noor, & Said, 2014).

1. KPHP Delta Mahakam, Provinsi Kalimantan TimurWilayah pesisir adalah suatu wilayah

peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut (Effendi, 2009). Sejak tahun 1970, tambak untuk budidaya udang secara bertahap menggantikan 75% hutan mangrove. Setelah tahun 2004, rehabilitasi hutan mangrove dihentikan sehingga produksi udang menurun. Tahun 2008, budidaya udang kembali meningkat, hampir 54% di kawasan DM. Saat ini, mata pencaharian masyarakat lokal 80% tergantung dari hutan mangrove (Bosma, Sidik, van Zwieten, Aditya, & Visser, 2012). Berdasarkan data sekunder, di Kabupaten Kutai Kartanegara pada KPHP-DM luas hutan mangrove ±25.000 ha (Dinas Perkebunan dan Kehutanan, 2015).

Berdasarkan informasi dari Dinas

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 171-190

180

Kelautan dan Perikanan sektor perikanan merupakan sumber mata pencaharian utama di Kabupaten Kutai Kartanegara baik melalui penangkapan di laut dan di perairan umum maupun budidaya tambak, kolam, keramba dan sawah. Di kawasan DM sebanyak 35,4% rumah tangga dan perusahaan penangkapan ikan di perairan laut, sedangkan yang bermata pencaharian dari budidaya sebanyak 68,2% RT/P berupa tambak dengan luas kawasan budidaya yang dikelola seluas 74.507 ha (97% dari luas budidaya Kabupaten).

Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa sektor perikanan dan kelautan di kawasan DM menunjukkan kontribusi yang cukup tinggi pada aspek perekonomian khususnya Kabupaten Kutai Kartanegara. Produksi perikanan penangkapan laut pada tahun 2014 untuk empat kecamatan sebesar 21.165 ton atau 65% dari produksi perikanan Kabupaten Kukar dengan nilai Rp400 milyar atau setara dengan 68% dari pendapatan kabupaten di sektor perikanan. Jumlah ikan yang diproduksi sebanyak ±50 jenis ikan. Produksi budidaya tambak (ikan dan udang) tahun 2014 sebesar 18.982 ton atau 65% dari produksi se-kabupaten Kukar dengan nilai Rp873 milyar atau 68% dari keseluruhan pendapatan kabupaten. Jenis udang yang diproduksi ada empat jenis.

Pemasaran hasil perikanan laut di kawasan DM melalui ekspor dan perdagangan antar pulau. Ekspor udang beku pada tahun 2014 antara lain ke negara Jepang, Taiwan, Kanada, Inggris dan Vietnam dengan volume 1.067 ton dan nilai Rp215 milyar, sedangkan ekspor kepiting ke Singapura, Malaysia dan Hongkong dengan volume 718 ton dan nilai Rp127 milyar. Sementara perdagangan perikanan laut dalam negeri hampir ke semua pulau dengan volume 5.270 ton dan nilai Rp310 milyar. Dengan demikian perekonomian masyarakat di kawasan DM sangat tergantung pada sektor perikanan laut.

Di samping itu ada para pihak lain yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan DM yaitu Pusat Informasi Mangrove (PIM) yang merupakan bagian dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Samarinda berfungsi sebagai pendamping dalam membuat tambak untuk kegiatan pendidikan dan penelitian, selama ini yang memanfaatkan kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) baru dari Universitas Mulawarman dan Unit Pelaksana teknis Daerah (UPTD) Perikanan Kabupaten Kutai.

Keberadaan KPHP dapat membantu dalam pengembangan sektor perikanan di wilayah DM melalui tambak percontohan yang bertujuan untuk merubah sistem tambak

Tabel 6. Produksi dan nilai sektor perikanan di kawasan Delta MahakamTable 6. Production and value of fishing sector in Delta Mahakam areas

No Kecamatan (District)

Penangkapan laut (Catching marine)

Budidaya tambak (Aquaculture)

Produksi(Production)

(ton)

Nilai (value)(x 1.000 Rp)

Produksi (Production)

(ton)

Nilai (Value) (x 1000 Rp)

1 Muara Jawa 7.326,4 131.147.593 4.336,1 199.081.3962 Muara Badak 7.000,7 129.620.537 5.282,0 236.711.1643 Anggana 6.512,3 126.959.940 9.364,2 437.778.0094 Sangasanga 325,6 12.217.891 - -

Total 21.165,0 399.945.961 18. 982,3 873.570.569% dari Kab 65,5 68,3

Sumber (Sources): Laporan tahunan statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kukar (2014) (The annual statistic report of Marine and Fisheris Department, 2014).

Dampak Pengembangan Sektor Ekonomi terhadap Potensi Konflik di KPHP Delta Mahakam ...................(Sylviani & Elvida Y. Suryandari)

181

tradisional menjadi tambak wanamina karena menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dan juga dapat menghasilkan manfaat dari hutan mangrove berupa ikan alami yang lebih banyak di samping manfaat ekologi lainnya (Setiawan, Bengen, Kusmana, & Setyo, 2015).

2. KPHL Sungai Beram Hitam, Provinsi JambiPemanfaatan komoditas lainnya oleh

masyarakat di dalam KPHL ini adalah ikan air tawar dimana pengembangan budidaya ikan air tawar pada lahan gambut tersebut akan terus diupayakan bekerja sama dengan pihak dinas perikanan dan kelautan, atau bekerja sama dengan tenaga teknis yang berkaitan dengan budidaya ikan tersebut. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan Provinsi Jambi terkandung dalam wilayah perairan laut seluas 44.496 km2 dengan panjang garis pantai ±210 km dan wilayah daratan seluas 53.435,72 km2 yang meliputi zona pesisir dan dataran rendah serta zona dataran tinggi. Perairan laut mengandung potensi sumber daya perikanan tangkap sebesar 114.036 ton/tahun dengan potensi lestari sebesar 71.820 ton/tahun yang berupa antara lain jenis ikan ekonomis penting serta jenis udang-udangan. Tingkat pemanfaatan

potensi perikanan tangkap di laut pada tahun 2015 mencapai 49.192,4 ton atau sebesar 68,49% dari potensi lestari (Tasyah, 2016). Provinsi Jambi memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar. Oleh karena itu, sumber daya tersebut harus dikelola dengan baik agar kelestariannya dapat terjaga dengan tetap memanfaatkannya secara optimal, sehingga pada masa yang akan datang dapat memberikan manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan manfaat ekologis bagi pengembangan pesisir di Provinsi Jambi. Penggunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam proses pembangunan dan pengembangan pesisir harus memerhatikan daya dukung dan kemampuan sumber daya alam yang ada. Jenis sumber daya ikan yang terdapat di Perairan Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Barat terdiri atas beberapa kelompok antara lain kelompok ikan pelagis (tongkol, tenggiri, dan lain-lain), kelompok pelagis non ikan (cumi, udang) dan kelompok ikan komersil (kakap, manyung, pari, kerapu) dengan total produksi dari tahun 2003-2006 berkisar antara 19.983,1-20.943,0 ton. Perikanan tangkap merupakan sektor yang sangat dominan dan potensial untuk dikembangkan karena sebagian besar produksi perikanan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat berasal dari perikanan tangkap (Ridho, 2008).

Sumber (Sources): KPHP Delta Mahakam 2015

Gambar 5. Tambak dan kawasan mangrove.Figure 5. Ponds and mangrove areas.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 171-190

182

Berdasarkan data statistik Jambi tahun 2015, produksi perikanan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat seperti pada Tabel 7.

Kenaikan rata-rata produksi perikanan laut kurang lebih 2% per tahun relatif kecil dibanding perikanan darat sebesar 15% per tahun.

Pertumbuhan suatu sektor ekonomi ditandai dengan meningkatnya produksi barang/jasa di sektor tersebut. Secara nasional sektor kelautan dan perikanan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena adanya daya dukung berupa kapasitas permintaan yang meningkat, Potensi industri hulu dan hilir cukup tinggi. Total volume ekspor sektor perikanan secara nasional terhadap volume ekspor non migas lainnya tahun 2015 sebesar 0,23%, sementara nilai ekspornya sebesar 2,98% dengan negara tujuan Cina, Malaysia, Hongkong, Italia, Singapura dan Amerika

(Kementerian Kelautan dan Perikanan Pusat Data dan Informasi, 2016).

C. Perbandingan Nilai Sektor Pertambangan dan Sektor Perikanan terhadap Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB)PDRB merupakan ukuran keberhasilan

pembangunan suatu wilayah, khususnya di bidang ekonomi yang merupakan salah satu alat yang dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah (Amin, 2015). Besaran PDRB dapat digunakan untuk mengetahui potensi ekonomi suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Secara struktur ekonomi, PDRB dapat digunakan sebagai dasar analisis untuk mengetahui sektor-sektor ekonomi yang dominan di suatu daerah (Rosita, Rusgiono, & Wilandari, 2013). Perkembangan

Tabel 7. Produksi perikanan laut dan darat di Kabupaten Tanjung Jabung BaratTable 7. Marine fisheries and land production in Tanjung Jabung Barat District

Produksi/tahun (Production/year)

(ton)2010 2013 2014 2015

Perikanan laut 21.162 22.358 22.748 23.220Perikanan darat 2.835 3.249 3.888 4.330

Sumber (Sources): BPS Jambi dalam angka (Jambi in figures).

Sumber (source) Dinas Perikanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fishery Service in Distric of Tanjung Jabung Barat)

Gambar 6. Produksi perikanan darat dan laut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.Figure 6. Production of land and sea fisheries in Tanjung Jabung Barat District.

Dampak Pengembangan Sektor Ekonomi terhadap Potensi Konflik di KPHP Delta Mahakam ...................(Sylviani & Elvida Y. Suryandari)

183

ekonomi di Kabupaten Kukar terdiri dari beberapa sektor besar antara lain pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan), pertambangan (migas dan batu bara), industri (penggalian, pengolahan), perikanan dan kehutanan. Selama lima tahun (2010-2015) perkembangan PDRB Kabupaten Kukar dibandingkan dengan PDRB Provinsi Kalimantan Timur dapat dilihat pada Tabel 8. Untuk mengetahui sektor unggulan dalam suatu daerah dalam pertumbuhan ekonomi daerah tersebut dengan mengukur nilai LQ dari masing-masing sektor. Penentuan sektor unggulan penting dilakukan untuk mengetahui sektor apa yang mampu mendatangkan pendapatan bagi daerah dengan cara ekspor atau menjual ke daerah lain (Pinem, 2016).

Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa sektor yang memiliki nilai LQ lebih dari 1 berturut-turut dari yang tertinggi adalah pertambangan migas, perikanan, pertanian dan kehutanan. Nilai LQ lebih dari 1 artinya sektor tersebut adalah sektor basis karena mampu memenuhi kebutuhan sektor tersebut di daerah sendiri dan mengekspor ke daerah lain. Sektor yang memiliki nilai LQ >1 merupakan sektor unggulan dan memiliki keunggulan komparatif, sehingga pemerintah dan swasta perlu mengembangkan sektor tersebut sebagai sektor unggulan dalam perekonomian daerah (Basuki & Gayatri, 2009). Laju pertumbuhan sektor ekonomi migas cenderung menurun, di lain pihak sektor pertanian dan perikanan cenderung meningkat, sehingga sektor basis selain migas juga sektor pertanian dan perikanan perlu lebih ditingkatkan pertumbuhannya mengingat besarnya potensi sumber daya alam di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Sementara itu di Kabupaten Tanjung Jabung Barat perbandingan antara nilai PDRB kabupaten dan provinsi ditunjukkan dengan nilai LQ sebagaimana terlihat pada Tabel 9. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 9 terlihat bahwa sektor basis atau unggulan Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah tanaman pangan, peternakan,

industri pengolahan, listrik dan perdagangan. Sektor-sektor tersebut menunjukkan nilai LQ >1 ini berarti bahwa peranan sektor basis tersebut cukup menonjol dan sebagai petunjuk bahwa daerah tersebut surplus akan produk-produk yang dihasilkan oleh masing-masing sektor tersebut. Daerah itu mampu mengekspor produk ke daerah lain karena mampu menghasilkan produk tersebut secara lebih murah dan efisien. Sementara itu sektor migas menunjukkan nilai LQ <1, hal ini berarti bahwa sektor migas bukan merupakan sektor unggulan untuk daerah tersebut. Peranan sektor di daerah tersebut juga kecil dalam pertumbuhan ekonomi regional daerah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rendahnya nilai LQ sektor migas karena potensi sumber daya mineral kawasan tersebut kecil.

Hasil perhitungan dari kedua kabupaten tersebut menunjukkan adanya perbedaan nilai LQ terhadap sektor unggulan. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertambangan terutama migas di Kabupaten Kukar lebih unggul dibandingkan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Sementara itu di Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang lebih unggul adalah sektor perikanan. Dengan kata lain, bahwa potensi sektor pertambangan di Kabupaten Kukar cukup tinggi dibanding sektor perikanan dan didukung oleh sumber daya alam yang tersedia, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat potensi perikanan lebih besar dibandingkan sektor pertambangan dan dapat ditingkatkan. Pertumbuhan ekonomi wilayah dapat ditingkatkan melalui sektor ekonomi unggulan yang memiliki potensi daya saing komparatif karena memiliki efek pengganda yang besar (Amalia, 2012).

Dalam rangka meningkatkan ketahanan energi nasional dan meningkatkan penerimaan migas, maka salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan investasi dalam operasi hulu migas (Iskandar, Juanda, & Johan, 2016).

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 171-190

184

Tabe

l 8. P

DR

B d

an L

Q d

i Kab

upat

en K

ukar

(mily

ar R

p)Ta

ble

8 G

RDP

and

LQ in

Kuk

ar D

istr

ict (

billi

on R

p)

Tahu

n (Y

ear)

2011

2012

2013

2014

2015

Sekt

or (S

ecto

r)K

ab

(Dis

tric

t)Pr

ovin

si

(Pro

vinc

e)LQ

Kab

(D

istr

ict)

Prov

insi

(P

rovi

nce)

LQK

ab

(Dis

tric

t)Pr

ovin

si

(Pro

vinc

e)LQ

Kab

(D

istr

ict)

Prov

insi

(P

rovi

nce)

LQK

ab

(Dis

tric

t)Pr

ovin

si

(Pro

vinc

e)LQ

Perta

nian

(Far

min

g)

3.90

6,6

12.4

23,2

1,

1

4.70

5,0

1

3.85

2,8

1,1

5.

380,

4

15.

285,

4

1,2

5.

696,

5

16.

750,

8

1,2

5.

951,

3

17.

711,

1

1,2

Keh

utan

an

(For

estr

y)

1.64

1,1

5.

205,

1 1,

1

1.55

4,1

5.1

84,4

1,

0

1.47

1,9

4.8

98,3

1,0

1.

447,

0

4

.817

,9

1,

0

1.46

3,4

4.8

42,3

1,1

Perik

anan

(Fis

hery

)

2.24

8,3

4.

664,

3 1,

6

2.48

3,7

4.9

54,7

1,

7

2.71

4,1

5.3

52,0

1,7

2.

855,

9

5

.683

,2

1,

7

2.89

4,7

5.9

48,0

1,8

Mig

as (O

il an

d ga

s)

67

.679

,1

62.2

03,5

3,

7

53

.613

,1

5

6.43

1,1

3,1

50.0

07,9

52.

366,

5

3,2

45.4

46,1

47.

319,

3

3,3

44.5

20,1

46.

341,

6

3,6

Bat

ubar

a &

bi

jih lo

gam

(Coa

l, m

etal

ore

s

29

.338

,8

13

8.61

8,3

0,7

48.8

10,1

1

60.6

64,4

1,

0

50

.604

,5

168

.567

,0

1,

0

51

.495

,4

171

.636

,3

1,

0

41

.694

,3

160

.836

,8

1,0

Peng

galia

n (E

xcav

atio

n)

2.33

1,1

10.6

85,5

0,

7

2.50

1,2

1

1.34

8,8

0,7

2.

558,

6

11.

727,

5

0,7

2.

610,

6

12.

393,

7

0,7

2.

666,

2

13.

003,

5

0,8

Indu

stri

peng

olah

an

(Pro

cess

ing

indu

stry

)

2.71

2,3

90.9

60,2

0,

1

2.94

2,6

8

7.78

8,9

0,1

3.

125,

9

86.

201,

4

0,1

3.

296,

2

86.

391,

1

0,1

3.

447,

1

88.

346,

4

0,1

List

rik g

as a

ir (E

lect

ric,

gas

, w

ater

)

47,3

27

3,0

0,6

56

,3

2

92,0

0,

6

59,2

306

,9

0,

6

62,5

339

,4

0,

6

65,8

383

,5

0,6

Kon

stru

ksi

(Con

stru

ctio

n)

4.99

0,7

26.1

54,8

0,

6

5.64

7,8

2

7.77

8,9

0,7

5.

913,

6

29.

142,

5

0,7

6.

428,

8

30.

884,

1

0,7

6.

387,

1

30.

525,

0

0,8

Perd

agan

gan

(Tra

ding

)

2.67

5,0

20.9

58,3

0,

4

3.19

7,1

2

2.23

2,8

0,5

3.

357,

4

22.

960,

1

0,5

3.

439,

7

23.

998,

6

0,5

3.

571,

4

24.

213,

3

0,5

Peng

angk

utan

(T

rans

port

ion)

1.

076,

1

13

.770

,2

0,3

1.

304,

9

14.

973,

0 0,

3

1.42

3,1

1

6.07

1,1

0,

3

1.54

8,8

1

7.35

7,6

0,

3

1.66

3,8

1

8.11

0,5

0,3

Keu

anga

n (M

onet

ary)

637,

3

8.49

8,1

0,3

714,

1

9

.344

,0

0,3

779,

0

10.

509,

2

0,2

825,

7

11.

017,

5

0,3

858,

0

11.

250,

1

0,3

Jasa

-jasa

(Ser

vice

s)

2.06

5,3

13.0

21,0

0,

5

2.42

8,4

1

3.97

2,1

0,6

2.

614,

7

7

.991

,5

1,

1

2.86

2,1

1

6.82

9,0

0,

6

3.05

6,8

1

8.20

4,0

0,6

Sum

ber (

Sour

ces)

: Sta

tistik

Kut

ai K

arta

nega

ra (

Stat

istic

of K

utai

Kar

tane

gara

).

Dampak Pengembangan Sektor Ekonomi terhadap Potensi Konflik di KPHP Delta Mahakam ...................(Sylviani & Elvida Y. Suryandari)

185

Tabe

l 9. P

DR

B d

an L

Q d

i Kab

upat

en T

anju

ng Ja

bung

Bar

at (m

ilyar

Rp)

Tabl

e 9.

GRD

P an

d LQ

in T

anju

ng J

abun

g Ba

rat D

istr

ict (

billi

on R

p)

Tahu

n (Y

ear)

2009

2010

2011

2012

2013

Sekt

or (S

ecto

r)K

ab

(Dis

tric

t)Pr

ovin

si

(Pro

vinc

e)LQ

Kab

(D

istr

ict)

Prov

insi

(P

rovi

nce)

LQK

ab

(Dis

tric

t)Pr

ovin

si

(Pro

vinc

e)LQ

Kab

(D

istr

ict)

Prov

insi

(P

rovi

nce)

LQK

ab

(Dis

tric

t)Pr

ovin

si

(Pro

vinc

e)LQ

Perta

nian

(F

arm

ing)

411

,7

4

.538

,2

0,7

47

1,1

20.

331,

8

0,9

53

3,3

21.

389,

5

1,0

58

4,6

22.

903,

1

1,0

62

9,2

24.

310,

5

1,0

Keh

utan

an

(For

estr

y)

33,

5

2

64,4

1,

0

35

,6

1

.500

,9

0,9

36,5

1.4

79,2

1,0

38,4

1.5

72,2

1,0

42,4

1.6

86,2

1,0

Perik

anan

(F

ishe

ry)

6

1,1

200

,9

2,3

65,9

1.7

94,5

1,5

67,4

1.8

76,1

1,4

70,1

1.9

53,7

1,4

72,6

2.0

74,2

1,4

Mig

as (O

il an

d ga

s)

2

41,5

1.4

86,6

1,

2

265,

7 2

0.52

2,7

0,5

31

2,9

22.

156,

6

0,6

31

2,3

22.

530,

7

0,5

33

5,4

23.

162,

7

0,6

Non

mig

as (N

on

oilg

as)

1,6

196

,4

0,1

2,6

2

.650

,9

0,0

13,7

3.9

43,0

0,1

37,2

4.8

00,5

0,3

17,9

5.1

63,7

0,1

Peng

galia

n (E

xcav

atio

n)

20,

2

1

92,3

0,

8

21

,4

1

.081

,7

0,8

22,1

1.1

65,7

0,8

23,1

1.2

64,6

0,7

24,5

1.3

66,0

0,7

Indu

stri

peng

olah

an

(Pro

cess

ing

indu

stry

)

6

55,0

2.1

37,4

2,

3

672,

5 1

0.35

7,6

2,6

68

7,0

11.

217,

1

2,4

73

8,4

12.

023,

5

2,4

80

9,8

13.

005,

7

2,5

List

rik g

as a

ir (E

lect

ric,

gas

, w

ater

)

10,

5

1

28,6

0,

6

11

,2

183

,4

2,4

12,4

1

96,0

2,5

13,6

2

01,5

2,7

16,1

2

08,5

3,0

Kon

stru

ksi

(Con

stru

ctio

n)

28,

5

7

82,5

0,

3

31

,5

5

.325

,5

0,2

34,4

5.6

19,3

0,2

40,5

6.5

75,8

0,2

48,5

7.8

57,5

0,2

Perd

agan

gan

(Tra

ding

)

3

60,9

2.7

64,8

1,

0

384,

5

8.5

26,0

1,8

40

7,2

9

.219

,2

1,8

43

9,9

10.

025,

7

1,7

48

2,2

10.

832,

3

1,8

Peng

angk

utan

(T

rans

port

ion)

7

8,2

1

.268

,2

0,5

81,0

5.6

92,1

0,6

83,6

6.0

67,3

0,5

87,5

6.5

44,7

0,5

90,7

7.0

14,3

0,5

Keu

anga

n (M

onet

ary)

3

9,6

889

,5

0,3

41,2

4.3

15,7

0,4

43,6

4.7

90,9

0,4

46,7

5.1

39,4

0,4

50,0

5.5

23,1

0,4

Jasa

-jasa

(S

ervi

ces)

183

,5

1

.425

,1

1,0

18

7,8

8

.335

,7

0,9

19

6,1

8

.620

,8

0,9

20

6,2

9

.079

,6

0,

9

218,

2

9.5

61,5

0,9

Sum

ber (

Sour

ces)

: Sta

tistik

Tan

jung

Jabu

ng B

arat

(Sta

tistic

of T

anju

ng J

abun

g Ba

rat).

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 171-190

186

D. PotensiKonflikKetidakterpaduan dalam pemanfaatan

ruang akan memicu konflik antar kepentingan instansi sektoral, swasta, dan masyarakat. Hal ini disebabkan karena belum adanya aturan hukum yang jelas tentang substansi penataan ruang wilayah pesisir dan lautan. Kegiatan yang tidak terpadu juga akan mengganggu dan merugikan berbagai kepentingan, seperti kegiatan industri migas yang berpotensi mencemari dengan kegiatan budidaya perikanan yang lokasinya berdampingan. Dalam pengembangan wilayah suatu kawasan hutan yang pemanfaatannya digunakan oleh berbagai sektor dilakukan melalui pola pemanfaatan ruang. Guna mengurangi potensi konflik dalam pemanfaatan kawasan atau lahan, maka perlu dilakukan pembagian zonasi atau blok-blok pemanfaatan. Pada kedua lokasi penelitian ini dimana pemanfaatan kawasan hutan digunakan untuk berbagai sektor antara lain pertambangan migas, perikanan darat dan laut, pertanian dan pemukiman, sehingga perlu dilakukan zonasi dalam pemanfaatan ruang. Dalam perumusan konsep penataan ruang kawasan dilakukan berdasarkan karakteristik jenis tata guna lahan, dimana untuk kedua kawasan hutan tersebut dibagi ke dalam tiga zonasi yaitu zonasi darat, zonasi transisi dan zonasi pesisir (BAPPEDA, 2003).• Zona darat merupakan kawasan yang

memiliki potensi tambang minyak dan gas bumi. Potensi perikanan darat walaupun tingkat kesesuaiannya rendah. Potensi wilayah pertanian dan potensi permukiman penduduk.

• Zona transisi merupakan kawasan yang tidak memiliki potensi tambang, namun untuk perikanan baik darat maupun laut mempunyai potensi cukup tinggi karena sebagian wilayah merupakan areal pasang surut dengan tingkat salinitas yang memungkinkan untuk pengembangan perikanan. Untuk permukiman dan pertanian merupakan zona yang

mempunyai kendala karena transisi wilayah darat dan pantai.

• Zona pesisir merupakan kawasan yang memiliki kesesuaian paling baik untuk pengembangan tambak karena syarat salinitasnya terpenuhi. Zona ini juga memiliki potensi untuk pengeboran tambang gas bumi. Kawasan ini tidak sesuai untuk permukiman dan pertanian karena keterbatasan daya dukung, namun zona ini banyak mengalami degradasi lingkungan akibat konversi lahan hutan mangrove atau gambut menjadi tambak.

Berdasarkan daya dukung tiap zona bagi pengembangan beberapa kegiatan tersebut yang penggunaannya dalam satu unit ruang akan terjadi potensi konflik seperti terlihat pada Gambar 7.

Pada Gambar 7 terlihat bahwa pemanfaatan lahan pada satu unit ruang penggunaan oleh berbagai kegiatan akan menimbulkan potensi konflik, seperti pada zona I/darat potensi konflik akan terjadi antara pertanian (perkebunan, sawah) dan perikanan (tambak dan budidaya), antara pertanian dan permukiman. Potensi konflik yang tinggi akan terjadi apabila ada beberapa sektor yang secara bersamaan berada pada satu zona dan mempunyai kepentingan bersama dalam satu unit ruang tertentu, seperti antara sektor pertambangan dan perikanan yang beroperasi di zona yang sama pada waktu yang bersamaan dimana sumur-sumur migas berada dalam kawasan tambak-tambak masyarakat. Di zona transisi potensi konflik akan terjadi antara perikanan dengan pertanian dan permukiman. Potensi konflik juga akan terjadi antara pertanian dan permukiman. Terhadap potensi konflik yang tinggi terjadi di Delta Mahakam sudah dilakukan resolusinya oleh perusahaan migas dengan pembebasan lahan oleh perusahaan dan ditanami mangrove, masyarakat diberikan ganti lahan/kompensasi sebesar Rp500.000.000 sampai dengan Rp900.000.000 per hektar. Sementara ini tidak ada konflik yang muncul kepermukaan antar bisnis maupun antar sektor. Lahan yang

Dampak Pengembangan Sektor Ekonomi terhadap Potensi Konflik di KPHP Delta Mahakam ...................(Sylviani & Elvida Y. Suryandari)

187

sudah ada tambaknya, pencemaran berupa kebocoran pipa gas yang menyebabkan kematian udang para petambak, masyarakat meminta ganti rugi sebesar Rp500.000/KK (kepala Keluarga) (Sylviani, Hakim, Suryandari, Sakuntaladewi, & Surati, 2015).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanSektor pertambangan dan perikanan

merupakan sektor unggulan pertama dan kedua di Provinsi Kalimantan Timur. Kedua sektor tersebut juga merupakan sektor basis dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara itu di Provinsi Jambi sektor perikanan dan pertanian merupakan sektor unggulan dan merupakan basis dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Sektor pertambangan di Provinsi Jambi bukan merupakan sektor unggulan karena perusahaan migas relatif baru dan hanya didominasi oleh satu perusahaan. Sektor kehutanan yang saat ini dikelola oleh KPH tidak berperan penting dalam pengelolaan kedua sektor tersebut, sehingga tata kelola kehutanan di kedua KPH tersebut kurang efektif. Namun demikian kedua sektor tersebut menunjukkan potensi

sumber daya alam yang cukup besar. Dampak potensi konflik tinggi yang terjadi terhadap pengembangan kedua sektor tersebut adalah antara pertambangan dengan perikanan dan antara perikanan dan pertanian untuk kedua provinsi. Resolusi konflik yang dapat dilakukan antara sektor pertambangan dan perikanan (karena pipa-pipa migas berada di dalam tambak masyarakat) adalah dengan memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada pemilik tambak. Hal ini sudah dilakukan oleh perusahaan migas di Delta Mahakam. Konflik dengan sektor kehutanan adalah dengan adanya tumpang tindih kebijakan dan perencanaan kawasan.

B. SaranProses penggunaan dan pinjam pakai

kawasan hutan terutama di dalam areal KPHP/KPHL hendaknya mengikuti ketentuan yang berlaku sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, baik untuk penggunaan yang bersifat strategis untuk kepentingan nasional maupun untuk kepentingan lainnya. Kewenangan, posisi dan status KPH dapat ditingkatkan

Sumber (Sources): BAPPEDA, 2003 dimodifikasi (modified)

Gambar 7. Potensi konflik berdasarkan daya dukung zona kegiatan.Figure 7. Potential conflicts based on the carrying capacity of the activity zones.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 171-190

188

dengan merevisi peraturan menteri tersebut. Diharapkan di masa yang akan datang izin-izin yang bersifat strategis hendaknya dituangkan dalam perencanaan KPH. Penguatan koordinasi antara pemegang izin dengan pengelola kawasan lebih ditingkatkan.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGMENT)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada para instansi di daerah baik di Provinsi Kalimantan Timur maupun di Provinsi Jambi antara lain KPHP Delta Mahakan, KPHL Sungai Beram Hitam, UPT Pusat, Dinas Kehutanan, BAPPEDA, Kepala SKK MIGAS wilayah Kalimantan dan Sulawesi dan wilayah Sumatera Bagian Selatan, serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim dan dewan redaksi dan mitra bestari yang telah membantu dalam kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agustine, A.D., Noor, I., & Said, A. (2014). Pengembangan sektor kelautan dan perikanan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (Studi kasus di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi ). Jurnal Administrasi Publik (JAP), 2(2), 276–280.

Akbar, I. (2014). Perusahaan Total E&P Indonesia dan pengembangan masyarakat Kecamatan Muara Jawa Kabupaten Kutai Kartanegara. Journal Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman Kalimantan Timur, 2(2), 2345–2358.

Amalia, F. (2012). Penentuan sektor unggulan perekonomian wilayah Kabupaten Bone Bolango dengan pendekatan sektor pembentuk PDRB. Jurnal Etikonomi, 11(2), 196–207.

Amin, A. A. (2015). Peranan industri pengolahan terhadap perekonomian dan penyerapan tenaga kerja di Sulawesi Utara. Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Samratulangi, 6(8).

Anonim. (2016a). Bupati resmikan penyaluran minyak pertama PT Hexindo Gemilang Jaya. Diunduh 17 Februari 2017 dari http://tanjabbarkab.go.id/site/bupati-resmikan-penyaluran-minyak-pertama-pt-hexindo-gemilang-jaya/

Anonim. (2016b). Rencana pengelolaan hutan jangka panjang Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Beram Hitam Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Jambi: KPHL Sungai Beram Hitam

BAPPEDA. (2003). Rencana detail tata ruang Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda: Bappeda.

Basuki, A.T., & Gayatri, U. (2009). Penentu sektor unggulan dalam pembangunan daerah. Studi kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 10(1), 34–50.

Bosma, R., Sidik, A. S., van Zwieten, P., Aditya, A., & Visser, L. (2012). Challenges of a transition to a sustainably managed shrimp culture agro-ecosystem in the Mahakam delta, East kalimantan, Indonesia. Wetland Ecology and Management, 20(2), 89–99. https://doi.org/10.1007/s11273-011-9244-0

Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara. (2015). Pengelolaan kawasan hutan di Delta Mahakam Kutai Kertanegara Samarinda, Kalimantan Timur. (Laporan KPH Delta Mahakam). Samarinda: Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara. (2015). Pengelolaan kawasan hutan di Delta Mahakam. Samarinda: Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Dinas Pertambangan dan Energi. (2015, Oktober). Kegiatan pertambangan di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur. Makalah disampaikan dalam Workshop tentang Potensi dan Resolusi Konflik Di Kawasan Hutan Delta Mahakam. Samarinda: Dinas Pertambangan dan Energi.

Effendi, M. (2009). Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu: Solusi pemanfaatan ruang, pemanfaatan sumber daya dan pemanfaatan kapasitas asimilasi wilayah pesisir yang optimal dan berkelanjutan. Jurnal Kelautan, 2(1), 81–86.

Fachrurazy. (2009). Analisis penentuan sektor unggulan perekonomian wilayah Kabupaten Aceh Utara dengan pendekatan sektor pembentuk PDRB. (Thesis Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Gandhi, P. (2014). Analisis kualitatif nilai ekspor migas Indonesia dan kepemilikan blok migas oleh perusahaan asing di Indonesia. Jurnal

Dampak Pengembangan Sektor Ekonomi terhadap Potensi Konflik di KPHP Delta Mahakam ...................(Sylviani & Elvida Y. Suryandari)

189

Ekonomi Pertanian, Sumber Daya dan Lingkungan, 1, 87–101.

Iskandar, Y., Juanda, B., & Johan, S. (2016). Determinan FDI industri hulu migas di Indonesia serta dampaknya periode tahun 2003-3013. Jurnal Aplikasi Bisnis dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 2(1).

Jauchar. (2012). Otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam di Propinsi Kalimantan Timur. Jurnal Borneo Administrator Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Mulawarman, 8(1).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2016). Lifting minyak dan gas bumi Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2016). Informasi kelautan dan perikanan. Jakarta: Pusat Data dan Informasi.

Mangilaleng, E.J., Rotinsulu, D., & Rompas, W. (2015). Analisis sektor unggulan Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, 15(4), 193–205.

Nesse, K. (2014). Expanding the economic base model to include nonwage income. Journal Regional Analysis and Policy Kansas State University USA, 44(2), 93–108.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan.

Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan.

Pinem, D.E. (2016). Menemukan strategi pengembangan kawasan industri melalui analisis sektor unggulan Kota Binjai. Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 4 (1), 45–64.

Priambodo, N. (2016). Studi perubahan mode produksi dan relasi intelektual dalam pengaturan prilaku buruh migas di Kecamatan Muara Badak. Journal Sosiatri - Sosiologi, 4(2), 266.

Ridho, M. R. (2008). Potensi sumber daya ikan dan arah pengembangan wilayah pesisir Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Jurnal Pengelolaan Lingkungan & SDA Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya, 7(3), I48-157.

Rosita, W., Rusgiono, A., & Wilandari, Y. (2013). Analisis sektor unggulan menggunakan PDRB (Studi kasus BPS Kabupaten Kendal Tahun 2006-2010). JURNAL GAUSSIAN, 2, 219–228.

Setiadi, A. (2013). Laporan kerja praktek: Tinjauan umum proses produksi minyak & gas. Palembang: Universitas Sriwijaya..

Setiawan, Y., Bengen, D.G., Kusmana, C., & Setyo, P. (2015). Estimasi nilai eksternalitas konversi hutan mangrove menjadi pertambakan di Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 12(3), 201–210.

Surati & Sylviani. (2016). Peran para pihak dalam penanganan konflik di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 13(3), 221-235.

Sutrisno. (2015). Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat pesisir dalam pengembangan tanaman mangrove di Kabupaten Pati. Jurnal Bina Praja, 7(1), 63–72.

Sylviani, Hakim, I., Suryandari, E.Y., Sakuntaladewi, D., & Surati. (2015). Potensi dan resolusi konflik kawasan hutan. (Laporan Hasil Penelitian). Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim.

Sylviani & Suryandari, E.Y. (2016). Potensi dan resolusi konflik kawasan hutan. (Laporan Hasil Penelitian). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Tasyah, N.N. (2016). Perikanan di Provinsi Jambi. (Makalah Teknologi Akuakultura Semester Genap Tahun Ajaran 2015/2016). Karawang: Sekolah Tinggi Perikanan Karawang.

Triarso, I. (2012). Potensi dan peluang pengembangan usaha perikanan tangkap di pantura Jawa Tengah. Jurnal Saintek Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 8.(1).

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 171-190

190

191

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 191-203p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221Terakreditasi No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

ROTAN JERNANG SEBAGAI PENOPANG KEHIDUPAN MASYARAKAT: KASUS KABUPATEN MUARA ENIM, PROVINSI SUMATERA SELATAN

(Dragon’s Blood as the Community Life Support: Case of Muara Enim Regency, South Sumatra Province)

Sri Lestari, Bambang Tejo Premono & Edwin MartinBalai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang

Jl. Kol. H. Burlian Km 6.5 Puntikayu Palembang, Indonesia E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]

Diterima 22 Februari 2017, direvisi 9 Oktober 2017, disetujui 12 Oktober 2017.

ABSTRACT

Natural dragon’s blood in Muara Enim Regency, South Sumatra Province is decreasing due to forest and land degradation, as well as harvesting activities without considering sustainability aspect. This research aims to determine management, contribution and factors affecting natural dragon’s blood collection. Primary and secondary data collection was conducted by using household surveys, focus group discussions and field observations. Obtained data were analyzed descriptively, both in qualitative and quantitative methods. The results showed that the community collected dragon’s blood to meet their needs when there was no other source of income, since the dragon’s blood was decreasing significantly, so that the collectors should entering deeper forest and stay there. Therefore, the collectors will be grouped as many as 4-6 people. There were two ways to collect dragon’s blood: by bringing the stemmed fruit or by bringing the processed dragon’s blood (resin), depending on the distance of the collection location. Income received by the community from dragon’s blood collection amounted to Rp551,087, which was 20.20% of the total income. Working, income, market and the duration of dragon’s blood collection became a significant factor related to the interest of community to collect dragon’s blood.

Keywords: Forest communities; jernang rattan; life support.

ABSTRAK

Rotan jernang alam di Kabupaten Muara Enim semakin menurun akibat degradasi hutan dan lahan, serta aktivitas pemungutan yang dilakukan tanpa memperhatikan aspek kelestarian. Padahal jernang dapat berperan sebagai penopang kehidupan masyarakat di sekitar hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemungutan rotan jernang alam, kontribusinya sebagai sumber penghidupan dan faktor yang memengaruhi pemungutannya. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan dengan metode survei rumah tangga menggunakan bantuan kuesioner, diskusi kelompok fokus, serta observasi lapangan. Data ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat melakukan kegiatan pemungutan rotan jernang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga pada saat tidak ada sumber pendapatan lain, yaitu ketika panen kopi dan padi sudah berakhir. Keberadaan rotan jernang yang semakin terbatas mengharuskan mereka untuk masuk jauh dan menginap di dalam hutan. Oleh sebab itu, para penjernang akan berkelompok sebanyak 4-6 orang. Cara pengumpulan hasil rotan jernang alam ada dua macam, yaitu dengan cara membawa buah bertangkainya atau dengan membawa hasil olahan (resinnya), tergantung pada jarak lokasi pemungutannya. Pendapatan yang diterima masyarakat dari pemungutan rotan jernang sebesar Rp551.087, yaitu 20,20% dari total pendapatan. Pekerjaan, pendapatan, pasar dan lama waktu pemungutan menjadi faktor yang berhubungan signifikan terhadap minat masyarakat untuk melakukan pemungutan rotan jernang.

Kata kunci: Masyarakat sekitar hutan; rotan jernang; penopang kehidupan.

©2017 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpsek.2017.14.3.191-203

I. PENDAHULUANBeragam Hasil Hutan Bukan Kayu

(HHBK) memegang peran penting dalam perdagangan internasional karena nilai gunanya. Salah satu HHBK tersebut adalah rotan jernang yang dikenal dengan nama perdagangan dragon's blood. Jernang merupakan resin dengan warna merah tua yang telah lama digunakan pada berbagai budaya dan bernilai karena kelangkaan, kedalaman warna dan asosiasi alkimia (Edward, De Oliveira, & Quye, 2001). Dragon's blood dihasilkan dari jenis rotan jernang Daemonorops (Palmaceae), Dracaena

(Dracaenaceae), Croton (Euphorbiaceae), Pterocarpus (Fabaceae) (Gupta, Bleakley, & Gupta, 2007; Pearson & Prendergast, 2001).

Selain bermanfaat untuk berbagai pengobatan tradisional, bagi masyarakat sekitar hutan rotan jernang juga sebagai sumber bahan pangan. Umbut (batang muda) jernang sudah lama dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dimasak sehingga dapat menjadi sumber ketahanan pangan dan nutrisi bagi rumah tangga (Sunderland et al., 2013). Selama ini rotan jernang umumnya dipungut (diekstraksi) dari hutan tropis Asia Tenggara (Pearson & Prendergast, 2001) termasuk sepanjang Pegunungan Bukit Barisan Selatan. Kegiatan pemanenan dan pengolahan hasil hutan dapat memberikan pekerjaan dan pendapatan musiman bagi masyarakat (John, 2005), dapat mengurangi 30% ketidaksetaraan pendapatan namun tidak mengurangi kemiskinan (Margoluis, 1994 dalam Neumann & Hirsch, 2000) terutama untuk masyarakat dengan pendapatan rendah dan luas lahan yang sempit (Piya, Maharjan, Joshi, & Dangol, 2011) HHBK memiliki peran yang sangat penting bagi penopang perekonomian rumah tangga di masa-masa paceklik (Mutenje, Ortmann, & Ferrer, 2011) karena sebagian besar masyarakat kurang mampu akan terus berusaha untuk mendapatkan tambahan pendapatan, bahan makanan dan obat-obatan, dengan mengumpulkan dan menjual HHBK

(Uprety et al., 2010) (Gupta et al., 2007). Kondisi tersebut merupakan salah satu upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebagai sumber daya milik bersama, maka rotan jernang alam akan cenderung mengalami kerusakan apabila pengambilannya dilakukan secara berlebihan tanpa adanya pembatasan dan pengaturan. Akses pasar semakin mudah dan permintaan semakin banyak menyebabkan harga pun semakin tinggi. Dampaknya, jernang alam akan diambil semakin intensif oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan ketersediaannya di alam akan terus menurun (Mutenje et al., 2011a) ). Di sisi lain, komersialisasi komoditi dapat juga mengancam keanekaragaman hayati dan degradasi (Lenzen et al., 2012). Kerusakan hutan dan alih fungsi hutan untuk perkebunan mengakibatkan rusaknya habitat alami rotan jernang, sehingga semakin lama populasi rotan jernang alam akan berkurang. Akhirnya hal ini akan berdampak pada menurunnya produksi dan untuk mendapatkan rotan jernang akan semakin sulit.

Pada banyak kasus, masyarakat tidak dapat melindungi sumber daya milik bersama dari degradasi yang disebabkan perubahan sosial ekonomi, kelembagaan dan kebijakan nasional yang berpengaruh pada pengelolaan sumber daya alam (Ostrom, Burger, Field, Norgaard, & Policansky, 1999). Kebijakan baru yang tujuan awalnya adalah untuk melindungi sumber daya alam dari kerusakan, seringkali justru semakin meningkatkan laju kerusakan. Sebagai contoh adanya kebijakan pemberian izin pengelolaan hasil hutan, di beberapa lokasi di Indonesia hal ini mengakibatkan tingkat kerusakan sumber daya alam menjadi semakin tinggi.

Pada saat sekarang ini yang menjadi tantangan dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan adalah mendorong alternatif sumber penghidupan yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Hal ini diharapkan dapat

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 191-203

192

mengurangi eksploitasi berlebihan dari hasil hutan seperti rotan jernang. Oleh karena itu, perlu adanya upaya konservasi rotan jernang alam untuk meningkatkan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemungutan rotan jernang alam yang dilakukan masyarakat, kontribusi rotan jernang bagi sumber penghidupan masyarakat dan faktor yang memengaruhi pemungutan rotan jernang alam oleh masyarakat. Hal ini sebagai dasar dalam upaya peningkatan produktivitas rotan jernang, baik dengan cara silvikultur intensif maupun dengan menjaga kelestarian jernang di hutan alam.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Muara

Enim di tiga desa di Kecamatan Semende Darat Ulu dan satu Desa di Kecamatan

Semende Darat Laut. Keempat desa tersebut yaitu Desa Danau Gerak, Desa Tanjung Tiga, Desa Tanjung Agung dan Desa Muara Danau. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Pelaksanaan penelitan dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2015. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan purposive sampling dengan pertimbangan bahwa masyarakat pada desa-desa tersebut mengetahui rotan jernang, melakukan pemungutan rotan jernang alam, serta melakukan kegiatan pengolahan rotan jernang alam. Secara umum Kecamatan Semende Darat Ulu (SDU) terletak di Pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 600-1.017 mdpl (meter di atas permukaan laut) terdiri dari 10 desa dengan jumlah penduduk pada tahun 2015 sebanyak 16.540 jiwa dengan kepadatan 39 jiwa/km2, sedangkan Semende Darat Laut (SDL) terdiri atas 10 desa dengan jumlah penduduk pada tahun 2015 sebanyak 13.325 jiwa dengan kepadatan 48 jiwa/km2.

Rotan Jernang sebagai Penopang Kehidupan Masyarakat..............(Sri Lestari, Bambang Tejo Premono & Edwin Martin)

193

Sumber (Source): Google map

Gambar 1. Peta lokasi penelitian.Figure 1. Map of study area.

B. Pengumpulan DataPenelitian ini dilakukan dengan

mengumpulkan data primer dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan pada saat musim kering (Agustus-Oktober) dan musim hujan (November-Desember) tahun 2015. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei rumah tangga dengan bantuan kuesioner, diskusi kelompok fokus kepada pengumpul dan pengolah rotan jernang untuk menggali informasi lebih mendalam, serta observasi lapang untuk melihat bagaimana pemungutan jernang di alam dan pengolahannya oleh masyarakat penjernang. Responden dipilih dengan cara purposive sampling, yaitu berdasarkan tujuan penelitian (Sukandarrumidi, 2012). Responden yang dipilih yaitu masyarakat yang mengetahui rotan jernang dan atau mencari jernang serta mengolah jernang untuk kemudian dipasarkan. Jumlah responden yang berhasil diperoleh sebanyak 117 orang. Data primer yang dikumpulkan meliputi data karakterisitik sosial ekonomi responden, yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anggota keluarga, luas lahan; kegiatan pemungutan jernang oleh masyarakat di hutan alam yang merupakan public goods; jarak pengambilan; dan jumlah yang dihasilkan; serta data pendukung lainnya, yaitu monografi desa serta data kecamatan dalam angka.

C. Metode Pengolahan dan Analisis DataData primer yang diperoleh dari

wawancara dengan responden ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil yang diperoleh melalui diskusi kelompok fokus digunakan untuk memperdalam hasil analisis. Analisis kualitatif digunakan untuk menggambarkan: (1) karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat penjernang; dan (2) kegiatan pemungutan dan pengolahan rotan jernang alam yang dilakukan masyarakat.

Analisis kuantitatif dilakukan untuk (1) mengetahui seberapa penting rotan jernang bagi kehidupan masyarakat dengan

membandingkan pendapatan masyarakat dari memungut rotan jernang dengan pendapatan usaha tani, serta (2) mengukur derajat hubungan antara karakteristik rumah tangga dengan alasan pemungutan rotan jernang. Faktor yang memengaruhi pemungutan rotan jernang alam oleh masyarakat tersebut diketahui melalui analisis korelasi. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui derajat hubungan antara variabel yang diamati. Salah satu metodenya menggunakan analisis korelasi pearson. Matriks analisis data yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang tersaji pada Tabel 1.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemungutan Rotan Jernang Masyarakat yang bertempat tinggal di

daerah Semende (Semende Darat Ulu dan Semende Darat Laut) adalah masyarakat suku Semende yang mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani kopi. Mereka mempunyai budaya “tunggu tubang”, yaitu budaya dalam satu keluarga yang memberi warisan harta pusaka (rumah dan sawah) hanya kepada anak perempuan tertua. Budaya ini mendorong anak laki-laki atau anak perempuan selain tertua berusaha mencari lahan sendiri untuk ditanami kopi. Oleh karena itu, sebagian dari mereka merantau ke daerah lain untuk membuka lahan, seperti ke Provinsi Lampung, Provinsi Bengkulu dan Provinsi Jambi.

Daerah Semende dikelilingi oleh kawasan hutan lindung yang termasuk kelompok hutan Bukit Jambul Gunung Patah - Bukit Jambul Asahan - Bukit Nanti - Mekakau - Air Tebangka, dimana masih banyak terdapat rotan jernang. Rotan yang oleh masyarakat lokal dikenal dengan sebutan rotan lengkukup ini memiliki buah berbentuk lonjong (Daemonorops hystrix (Griff)), atau berbeda dengan buah rotan jernang dari Aceh, Jambi dan Bengkulu yang berbentuk bulat. Lebih lanjut, kadar resin rotan jernang dari Muara Enim lebih rendah dibanding kadar

194

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 191-203

resin rotan jernang dari Aceh (Daemonorops dydimophilla) dan Jambi (Daemonorops dydimophilla) dan Daemonorops draco (Willd.) Blume (Toriq, 2013).

Dahulu hanya umbut (batang muda) rotan jernang yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan, yaitu sebagai pangan untuk dikonsumsi sendiri atau dijual ke pasar lokal. Sejak tahun 2010, buah rotan jernang juga dipungut untuk diambil resinnya. Jadi telah terjadi pergeseran dalam pemanfaatan rotan jernang dari untuk memenuhi kebutuhan subsisten menjadi untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Selama ini pemungutan rotan jernang alam oleh masyarakat penjernang dilakukan tanpa memperhatikan aspek kelestarian hasil. Mereka mengambil semua buah rotan, baik yang sudah tua maupun yang masih muda. Menurut Puspitasari (2011), jika dibandingkan dengan buah rotan yang masih muda, kadar resin yang paling banyak terdapat pada buah

jernang yang sudah tua namun belum terlalu masak. Produksi rotan jernang dapat dilihat dari parameter morfometrik dimana produksi resin jernang dipengaruhi oleh panjang tandan (Sari, Hikmat, & Santoso, 2015). Namun berdasarkan pengalaman pengolah jernang, buah rotan yang masih muda memiliki kadar resin yang paling tinggi. Ediyansah sebagai pengolah dan pengumpul rotan jernang di Semende menyampaikan: “buah yang masih kecil dan diolah dengan cara ditumbuk akan menghasilkan resin yang lebih banyak”.

Karakteristik rotan jernang di alam merupakan tanaman yang merambat dan membutuhkan cukup cahaya dan air agar dapat berbuah. Tanaman jernang ini akan berbuah pada ujung-ujung batang. Oleh karena itu, penjernang biasanya mengambil buah yang letaknya di atas dengan cara menarik atau memotong batang rotan untuk memudahkan pemanenan buah. Selanjutnya, batang rotan jernang yang telah berada di bawah ini akan

195

Tabel 1. Jenis analisis dataTable 1. Types of data analysis

Jenis analisis(Types of analysis)

Analisis data(Data analysis)

Keterangan(Description)

Analisis korelasi Untuk mengetahui derajat hubungan antara karakteristik responden dan alasan memungut jernang

Analisis untuk mengetahui seberapa penting rotan jernang bagi kehidupan masyarakat

Pendapatan dari rotan jernang

Pendapatan dari usaha tani

Nilai penting rotan jernang bagi kehidupan masyarakat.

a. πr = pendapatan memungut rotan jernangpi =harga jernangqi= jumlah jernang yang diperolehci=biaya yang dikeluarkan

b. πut= pendapatan memungut rotan jernangpi=harga jernangqi= jumlah jernang yang diperolehci=biaya yang dikeluarkan

c. πp= nilai penting rotan jernang bagi kehidupan masyarakat

Sumber (Source): Sukandarrumidi, 2012.

Rotan Jernang sebagai Penopang Kehidupan Masyarakat..............(Sri Lestari, Bambang Tejo Premono & Edwin Martin)

membutuhkan waktu lama untuk berbuah kembali. Cara pemanenan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian ini akan merugikan penjernang karena siklus berbuah rotan akan terganggu.

Rotan jernang yang dipanen secara berkelanjutan, yaitu hanya mengambil buah yang sudah tua dengan cara memotong bagian yang berbuah saja tanpa merusak batang pokok, akan berbuah selama dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan September. Winarni, Sumadiwangsa, & Setyawan (2004) & Shackleton, Shackleton, & Cousins (2001) menyatakan bahwa kegiatan pemanenan HHBK, khususnya pada buah, akan menimbulkan kerusakan yang jauh lebih sedikit terhadap kelestarian produksi HHBK. Merusak atau memotong batang rotan akan mengakibatkan berkurangnya jumlah indukan dan terganggunya regenerasi rotan jernang alam. Cara pemungutan yang tidak berkelanjutan pada jangka panjang akan berhubungan dengan tingginya tingkat harga, terutama apabila jumlah pemungut semakin bertambah. Ticktin (2004) mengungkapkan bahwa hal yang menjadi kendala utama dalam mendukung keberhasilan usaha hasil hutan non kayu adalah menjaga agar produksi sumber daya yang ada dapat terus berkelanjutan. Oleh karena itu, penting adanya pengawasan kelembagaan lokal dan nasional yang lebih ketat (Neumann & Hirsch, 2000).

Pada tahun 2010, walaupun jernang sudah mulai dipungut untuk diambil resinnya, masih sedikit masyarakat yang menjadi penjernang, yaitu mencari dan memungut rotan jernang alam. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat belum mengetahui bahwa rotan jernang memiliki nilai ekonomi dan laku untuk dijual. Mulai tahun 2013, pencari dan pemungut rotan jernang alam semakin banyak karena rotan jernang telah memiliki harga yang cukup ekonomis. Hal ini didorong oleh semakin tingginya permintaan resin rotan jernang alam, sehingga pada akhirnya harga jernang di tingkat pasar juga semakin membaik.

Saat ini untuk mendapatkan rotan jernang dibutuhkan waktu tempuh yang lebih lama dan jarak yang semakin jauh dibandingkan pada awal mula rotan jernang dipungut pada tahun 2010. Para pemungut jernang tidak bisa lagi mendapatkan rotan jernang di hutan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Apabila pada awalnya penjernang bisa pergi mencari jernang dan pulang ke desa dalam jangka waktu satu hari, saat ini mereka harus menginap dan membuat pondok di hutan. Habitat rotan jernang yang letaknya semakin jauh dari tempat tinggal, tidak memungkinkan untuk melakukan pemungutan dalam jangka waktu satu hari (pergi dan pulang). Selanjutnya dalam rangka mengantisipasi resiko di dalam hutan, para penjernang akan berkelompok sebanyak 4-6 orang dalam mencari jernang tersebut. Jumlah hasil pungutannya pun semakin lama semakin sedikit. Jarak, waktu dan hasil pungutan ini dapat menjadi salah satu indikator kelangkaan. Semakin jauh dan lama jarak tempuh dalam pengambilan jernang, serta semakin sedikit jumlah jernang yang berhasil dikumpulkan oleh penjernang, artinya keberadaan jernang di hutan alam semakin langka. Para pemungut rotan akan cenderung mencari tempat baru yang belum pernah diambil rotannya, sehingga akan memperoleh hasil lebih banyak dibanding mengulang pada tempat yang sama. Sebagai dampaknya, penjernang akan masuk lebih jauh ke dalam hutan untuk mencari jernang. Ini menjadi bukti tidak langsung bahwa sistem pemungutan rotan jernang yang dilakukan oleh masyarakat selama ini, telah menyebabkan menurunnya kuantitas habitat rotan jernang.

Cara pengumpulan hasil rotan jernang alam yang dilakukan penjernang ada dua macam tergantung dengan jarak lokasi pemungutannya, yaitu dengan cara membawa buah dan membawa hasil olahan (getah). Apabila lokasi pemungutannya masih terjangkau dan tidak sulit, mereka akan membawa dalam bentuk buah rotan tanpa mengolah terlebih dahulu. Setelah sampai

196

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 191-203

ke desa, penjernang dapat langsung menjual buah kepada pedagang pengumpul jernang, sedangkan untuk lokasi yang jauh masuk ke hutan dan akses yang sulit, para penjernang akan mengolah buah jernang langsung di hutan dengan membawa peralatan pengolahan yang sederhana, seperti ayakan yang terbuat dari kawat. Mereka akan membawa hasil olahan dalam bentuk resin jernang dan buah kecil rotan untuk memudahkan pengangkutannya seperti yang tersaji pada Gambar 2.

B. Rotan Jernang sebagai Sumber Penghidupan Masyarakat

Kontribusi aset dalam kerangka keberlanjutan sumber penghidupan akan memengaruhi kapasitas produktif rumah tangga dan membentuk portofolio dalam mata pencaharian masyarakat atau merupakan bentuk strategi sumber penghidupan (Babulo et al., 2008). Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain lokasi, aset, pendapatan, kesempatan dan hubungan sosial (Ellis, 2000). Strategi penghidupan dari perspektif ekonomi akan berkaitan dengan ekonomi rumah tangga serta pengambilan keputusan rumah tangga tersebut. Selanjutnya, sumber penghidupan masyakarat akan dipengaruhi oleh aset (sumber daya), akses, aktivitas, budaya dan kondisi biofisik.

Sumber penghidupan masyarakat Semende sebagian besar berbasis pada lahan yang berasal dari usaha tani perkebunan dan pertanian. Komoditi kopi dan padi menjadi sumber pendapatan utama masyarakat ditambah dengan hasil tanaman tahunan buah-buahan seperti durian, petai, dan sebagainya. Dengan demikian, ketergantungan masyarakat terhadap lahan sangat besar karena merupakan sumber penghidupan utama masyarakat.

Masyarakat Semende dikenal secara luas sebagai suku penghasil kopi di Sumatera Bagian Selatan. Musim panen raya komoditi kopi berlangsung antara bulan Juni sampai dengan Agustus. Produksi kopi daerah Semende yakni Kecamatan Semende Darat Ulu (SDU), Semende Darat Laut (SDL), dan Semende Darat Tengah (SDT) mencapai 16.582 ton pada tahun 2014 atau sebesar 66,19% produksi kopi dari Kabupaten Muara Enim (BPS, 2015). Dengan demikian, komoditi kopi dapat memberikan sumbangan ekonomi kepada Kabupaten Muara Enim pada tahun 2014 sebesar Rp331.640.000.000,00. Produksi kopi dari Kecamatan SDU dan SDL pada tahun 2014 sebesar 2.786 ton, sehingga secara hitungan rata-rata pendapatan setiap rumah tangga dari hasil tani kopi sebesar Rp16.982.627,20. Selain itu, produksi padi sebesar 8.874,4 ton, produksi palawija 91,74

197

Sumber (Source): Foto oleh Sri lestari, 2015. (Photo by Sri Lestari, 2015)

Gambar 2. A; Resin jernang; B. Buah kecil rotan jernang.Figure 2.A. Jernang resin; B. Small fruits of dragon’s blood.

A B

Rotan Jernang sebagai Penopang Kehidupan Masyarakat..............(Sri Lestari, Bambang Tejo Premono & Edwin Martin)

198

ton dan produksi buah-buahan sebesar 2.312,8 ton (BPS, 2015). Usaha tani tanaman padi di wilayah ini cukup dominan dimana luasan sawah mencapai 1.828 ha dengan jumlah produksi sebesar 8.874,4 ton pada tahun 2014.

Sebagian besar wilayah Semende adalah dataran tinggi dengan topografi lebih dari 500m dpl dan merupakan kawasan hutan lindung. Secara biofisik hal ini menjadi faktor pembatas dalam penghidupan masyarakat di sekitarnya. Di samping itu, semakin pesatnya pertambahan penduduk dari tahun ke tahun mengakibatkan luasan lahan yang dapat dimanfaatkan semakin sempit, ditambah lagi jenis tanaman yang dapat dibudidayakan untuk menghasilkan pendapatan juga cukup terbatas. Beberapa faktor pembatas tersebut mendorong masyarakat untuk mencari sumber penghidupan lain untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, memanfaatkan atau memungut hasil hutan bukan kayu, yaitu rotan jernang alam merupakan salah satu alternatif yang dilakukan masyarakat untuk mendapatkan tambahan cash income.

Pemungutan jernang alam menjadi sumber pendapatan tambahan atau alternatif bagi masyarakat di luar hasil usaha tani kopi dan padi, baik masyarakat yang memiliki lahan maupun tidak memiliki lahan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden, sebanyak lima orang (4%) tidak memiliki lahan atau

menjadi buruh tani upahan, yang memiliki kebun kopi sebanyak 77 orang (66%), dan yang memiliki kebun kopi sekaligus sawah berjumlah 35 orang (30%) dengan luasan rata-rata kepemilikan lahan sebesar 2,26 ha yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Pemungutan jernang alam dilakukan oleh masyarakat pada saat musim kopi dan padi berakhir. Aktivitas masyarakat penjernang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Pemungutan rotan jernang dilakukan masyarakat untuk mengisi waktu luang dimana tidak ada pekerjaan memanen kopi dan padi. Oleh karena itu, penjernang masih bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga ketika tidak memiliki pendapatan dari hasil tani atau sumber pendapatan lainnya. Dengan kata lain, pemungutan rotan jernang merupakan salah satu bentuk aktivitas ekonomi masyarakat dalam menopang kehidupan rumah tangga, yaitu untuk sumber nafkah. Sebagaimana disebutkan oleh Zanotti (2009), bahwa kegiatan pemungutan HHBK rotan jernang dapat menjadi salah satu alternatif sumber nafkah dalam bentuk diversifikasi pendapatan. Bentuk kegiatan ini dilakukan oleh rumah tangga yang tidak memiliki kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang disebabkan pendidikan yang rendah dan tidak memiliki keterampilan lainnya (Coulibaly-Lingani, Tigabu, Savadogo, Oden, & Ouadba, 2009).

Gambar 3. Kepemilikan lahan responden.Figure 3. Land ownership of the respondents.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 191-203

Kepemilikan lahan (Land ownership)

199

Lebih lanjut Pattanayak & Sills (2001) dan Takasaki, Barham, & Coomes (2004), menambahkan bahwa pemungutan hasil hutan yang dilakukan rumah tangga akan meningkat ketika terjadi keterbatasan pendapatan rumah tangga. Mereka akan mengalihkan faktor produksi yang tersedia, yaitu kelebihan tenaga kerja yang ada untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan cara yang lain. Salah satunya adalah dengan bekerja di luar sektor pertanian.

Berdasarkan hasil penghitungan secara kuantitatif, pendapatan total yang diterima masyarakat penjernang dari usaha tani dan pemungutan rotan jernang sebesar Rp2.727.528,00 per bulan (Tabel 3). Dari total hasil tersebut, pendapatan yang berasal dari pemungutan rotan jernang adalah Rp551.087,00. Secara keseluruhan nilai ini masih relatif kecil, yaitu 20,20% dari total pendapatan per bulan. Rendahnya pendapatan dari pemungutan rotan jernang pada saat kegiatan berlangsung disebabkan

karena: (1) semakin lama produktivitas rotan jernang semakin menurun akibat tidak adanya pengelolaan terhadap habitat rotan jernang di alam, (2) jumlah penjernang semakin banyak karena rotan jernang merupakan barang publik dan bersifat open acces, (3) lokasi habibat rotan jernang semakin jauh masuk ke dalam kawasan hutan menyebabkan biaya yang dikeluarkan semakin besar.

C. Faktor Pendorong Pemungutan Rotan Jernang Alam

Penghidupan masyarakat sekitar hutan akan rentan dengan resiko dan ketidakpastian yang disebabkan kegagalan panen, pengurangan hasil panen dan waktu panen yang bergeser. Guna menghadapi hal itu, rumah tangga akan melakukan mitigasi resiko dengan strategi adaptasi terhadap kondisi tersebut, baik ex ante (sebelum terjadi) maupun ex post (setelah terjadi) (Wunder, Börner, Shively, & Wyman, 2014). Hal yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat adalah dengan cara perataan

Tabel 2. Kalender musim masyarakat pencari jernangTable 2. Season calendar of dragons’ blood collectors

Kopi(Coffee)

Padi(Paddy)

Jernang

Kalender musim(Season calendar)

Musim basah/penghujan(Rainy season)

Musim kering/kemarau(Dry season)

Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep

Tabel 3. Besaran pendapatan masyarakat penjernangTable 3. Income of dragon’s blood collectors

Uraian (Description)

Pendapatan dari usahatani(Income from farming activity)

Pendapatan dari pemungutan rotan jernang (Income from dragon’s blood)

Nilai total (Income) (Rp/bulan) 2.176.441,00 551.087,00

Persentase (Percentage) (%) 79,80 20,20

Rotan Jernang sebagai Penopang Kehidupan Masyarakat..............(Sri Lestari, Bambang Tejo Premono & Edwin Martin)

pengeluaran dan atau perataan pendapatan (Morduch, 1995). Masyarakat Semende juga melakukan upaya adaptasi terhadap naik turunnya pendapatan dan pengeluaran dalam rumah tangga mereka. Salah satu bentuk adaptasi sumber nafkah rumah tangga bagi masyarakat Semende yaitu dengan melakukan pemungutan HHBK, yaitu pada saat tidak ada pemasukan pendapatan dari kopi dan padi. Pemungutan HHBK yang menjadi penopang kehidupan bagi rumah tangga sekitar hutan tersebut akan dipengaruhi oleh karakteristik individu, seperti usia, etnis, sumber pendapatan dan pekerjaan (Coulibaly-Lingani et al., 2009), lokasi, tingkat kesejahteraan, gender, pendidikan dan tata waktu usaha tani (Timko, Waeber, & Kozak, 2010) .

Berdasarkan hasil analisis (Tabel 4), pada kasus pemungutan HHBK pada kawasan hutan yang memiliki akses terbuka seperti di daerah Semende dan sekitarnya, karakteristik pekerjaan, pendapatan, pasar dan lama waktu pengambilan menjadi faktor yang berhubungan signifikan terhadap minat rumah tangga untuk melakukan kegiatan pemungutan rotan jernang. Pekerjaan masyarakat penjernang sebagian besar adalah sebagai petani yang bergantung pada lahan dan pada waktu tertentu mereka tidak melakukan kegiatan usaha tani. Hal ini mengakibatkan terjadinya kelebihan tenaga kerja. Oleh karena itu, mereka mengalihkan tenaga kerja yang ada untuk melakukan aktivitas ekonomi yang lain, yaitu memungut

dan mengolah jernang. Kegiatan pemungutan HHBK tidak memerlukan kemampuan dan keahlian khusus, dan alat yang dipergunakan juga cukup sederhana baik dalam pemanenan maupun pengolahannya. Hal ini menjadi keuntungan tambahan bagi rumah tangga (Delacote, 2008).

Pendapatan juga menjadi salah satu faktor yang berhubungan signifikan terhadap minat masyarakat Semende untuk melakukan pengumpulan rotan jernang. Pada waktu tertentu (di luar musim tani), masyarakat perlu mengalokasikan tenaga kerja (kelebihan tenaga kerja) yang ada untuk memperoleh pendapatan. Salah satunya adalah dengan mencari rotan jernang di alam. Pendapatan dari pemungutan rotan jernang masih relatif kecil, sehingga hanya bersifat sebagai jaring pengaman (safety net). Namun seringkali HHBK tidak dapat diandalkan karena bersifat musiman dan oportunistik, sehingga tidak mampu menjadi solusi untuk mengurangi kemiskinan yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan. HHBK ini tidak dapat memberikan keadilan yang merata kepada semua orang apabila tidak dilakukan upaya penyadaran kepada masyarakat ditingkat lokal untuk turut serta menjaga kelestarian HHBK tersebut (Gauli & Hauser, 2011).

Pasar menjadi faktor penarik untuk melakukan pemungutan rotan jernang oleh masyarakat. Pertimbangan ketersediaan pasar dan harga yang cukup menarik mendorong masyarakat untuk mencari dan mengumpulkan

Tabel 4. Faktor yang berhubungan signifikan terhadap pemungutan rotan jernangTable 4. Factors significantly related to the collection of dragon’s blood

Uraian(Description)

Umur(Age)

Pendidikan(Education)

Pekerjaan(Job)

Anggota kel kerja(Family member who has

job)

Pendapatan(Income)

Total lahan(Land)

Pasar(Market)

Lama waktu pemungutan

(Time of harvesting)

Nilai -0,007 0,051 -0,292** -0,063 -0,349** 0,018 -0,364** 0,190*

*signifikasikorelasipadataraf5%(level of significance 5%)**signifikasikorelasipadataraf1%(level of significance 1%)

200

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 191-203

jernang. Penjernang dapat dengan mudah dan cepat menjual rotan jernang kepada pembeli (toke) yang ada di desa sekitar dalam bentuk buah atau resin jernang, baik dengan jumlah kecil maupun besar. Oleh karena itu, jernang dapat menjadi sumber pendapatan tunai rumah tangga walaupun hanya bersifat sebagai alternatif untuk pemenuhan kebutuhan pokok ketika tidak ada pendapatan dari sumber yang lain (Taylor, 1996). Pasar jernang ini pada umumnya bersifat informal dan informasi keberadaannya hanya tersebar di antara para penjernang, pengolah, dan pelaku pasar jernang. Pasar HHBK dapat menjadi faktor pembatas dalam usaha komersialisasi (Newton et al., 2006; Lilieholm & Weatherly, 2010). Seperti halnya yang terjadi pada HHBK jernang, ketika pasar yang ada bersifat informal dan tingkat harga sangat ditentukan oleh pembeli, mengakibatkan masih rendahnya upaya budidaya ditingkat petani. Di samping itu, informasi pasar yang tidak berimbang tentang tingkat harga, serta jumlah pembeli yang terbatas menyebabkan ketidakadilan yang diterima oleh produsen/penjernang. Produsen/penjernang hanya berperan sebagai penerima harga dan tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga.

Tekanan terhadap habitat jernang yang semakin lama semakin besar telah menyebabkan jumlah jernang semakin berkurang. Pada akhirnya lokasi pemungutan juga semakin jauh sehingga waktu yang dibutuhkan semakin lama. Seorang penjernang yang bernama Harun, umur 60 tahun, menyampaikan bahwa: “Tempat yang masih ada jernangnya semakin jauh masuk ke dalam hutan, bahkan untuk sampai lokasi dibutuhkan waktu seharian. Oleh karena itu, kami harus menginap untuk bisa mengumpulkan buah rotan jernang. Pada saat ini sekali masuk hutan kami bisa membawa 1 (satu) kilogram bubuk jernang (resin jernang) dan 18 kilogram buah kecil rotan jernang, sedangkan sekitar 3 tahun yang lalu, kami bisa membawa pulang bubuk jernang (resin jernang) sampai 3 kali lipatnya”. Lama

waktu pemungutan akan berhubungan dengan minat masyarakat untuk memungut rotan jernang. Apabila waktu pemungutan semakin cepat, maka minat masyarakat akan semakin besar. Kenyataannya, jumlah pemungut rotan jernang semakin menurun disebabkan lokasi pemungutan yang semakin jauh dan hasil pungutan yang semakin sedikit. Namun menurut Davidar, Arjunan, & Puyravaud (2008) jarak akan berpengaruh apabila pemungutan hasil hutan untuk konsumsi rumah tangga, akan tetapi tidak untuk sumber pendapatan. Artinya, apabila pemungutan yang dilakukan mampu menjadi sumber pendapatan, waktu tidak akan menjadi faktor pembatas bagi upaya masyarakat untuk mengumpulkan jernang.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanRotan jernang menjadi salah satu HHBK

yang menjadi sumber alternatif penghidupan bagi masyarakat Semende. Keberadaan rotan jernang yang semakin terbatas mengharuskan masyarakat penjernang untuk masuk jauh ke dalam hutan. Semakin jauh lokasi rotan jernang maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan dan semakin lama waktu yang dibutuhkan. Oleh karena itu, para pencari dan pengumpul jernang akan berkelompok sebanyak 4-6 orang. Cara pengumpulan hasil rotan jernang alam yang dilakukan penjernang ada 2 (dua) macam, yaitu dengan cara membawa buah bertangkainya atau dengan membawa hasil olahan (resin jernang).

Pemungutan jernang alam dilakukan oleh masyarakat pada saat musim kopi dan padi berakhir. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga ketika tidak memiliki pendapatan dari hasil tani atau tidak ada sumber pendapatan lainnya. Oleh karena itu, pemungutan rotan jernang merupakan aktivitas ekonomi masyarakat untuk menopang kehidupan rumah tangga. Pendapatan total yang diterima masyarakat dari usaha tani dan pemungutan rotan jernang

201

Rotan Jernang sebagai Penopang Kehidupan Masyarakat..............(Sri Lestari, Bambang Tejo Premono & Edwin Martin)

sebesar Rp2.727.528,00 per bulan. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp551.087,00 berasal dari hasil pemungutan jernang atau sebesar 20,20% dari total pendapatan per bulan. Oleh karena itu, kontribusi rotan jernang terhadap nilai total pendapatan masih relatif kecil. Faktor-faktor yang berhubungan signifikan terhadap minat masyarakat untuk melakukan pemungutan rotan jernang alam di hutan adalah pekerjaan, pendapatan, pasar dan lama waktu pengambilan.

B. Saran Kontribusi ekonomi rotan jernang

terhadap pendapatan relatif masih rendah karena keberadaan rotan jernang di alam yang semakin terbatas dan cenderung menurun. Oleh karena itu, perlu adanya upaya konservasi dan pengayaan rotan jernang di hutan alam Semende, serta domestikasi di lahan-lahan masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH(ACKNOWLEDGEMENT)

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, Ir. Choirul Achmad, M.E; Bapak Sukarji selaku Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kehutanan Semende, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan; serta warga masyarakat di daerah Semende atas segala kontribusinya baik berupa dana/anggaran, izin, informasi dan bantuan teknis selama kegiatan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Babulo, B., Muys, B., Nega, F., Tollens, E., Nyssen, J., Deckers, J., & Mathijs, E. (2008). Household livelihood strategies and forest dependence in the highlands of Tigray, Northern Ethiopia. Agricultural Systems, 98(2), 147–155. https://doi.org/10.1016/j.agsy.2008.06.001.

BPS. (2015). Muara Enim dalam angka 2015. Muara Enim: BPS Kabupaten Muara Enim.

Coulibaly-Lingani, P., Tigabu, M., Savadogo, P., Oden, P. C., & Ouadba, J. M. (2009). Determinants of access to forest products in southern Burkina Faso. Forest Policy and Economics, 11(7), 516–524. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2009.06.002.

Davidar, P., Arjunan, M., & Puyravaud, J.P. (2008). Why do local households harvest forest products? A case study from the southern Western Ghats, India. Biological Conservation, 141(7), 1876–1884. https://doi.org/10.1016/j.biocon.2008.05.004.

Delacote, P. (2008). The safety-net use of non timber forest products. SSRN Electronic Journal, (2008–4), 1–22. https://doi.org/10.2139/ssrn.1310108.

Edward, H. G. M., De Oliveira, L. F. C., & Quye, A. (2001). Raman spectroscopy of coloured resins used in antiquity: Dragon’s blood and related substances. Spectrochimica Acta - Part A: Molecular and Biomolecular Spectroscopy, 57(14), 2831–2842. https://doi.org/10.1016/S1386-1425(01)00602-3.

Ellis, F. (2000). The determinants of rural livelihood diversification in developing countries.. Journal of Agricultural Economics, 51(2), 289–302.

Gauli, K., & Hauser, M. (2011). Commercial management of non-timber forest products in Nepal’s community forest users groups: who benefits?. International Forestry Review, 13(1), 35–45. https://doi.org/10.1505/ifor.13.1.35.

Gupta, D., Bleakley, B., & Gupta, R. K. (2007). Dragon’s blood: Botany, chemistry and therapeutic uses. Journal of Ethnopharmacology, 115, 361–380. https://doi.org/10.1016/j.jep.2007.10.018.

John, L. (2005). The potential of non timber forest products to contribute to rural livelihoods in the windward islands of the Caribbean. (CANARI Technical Report No. 334). Laventille, Trinidad: Caribbean Natural Resources Institute.

Lenzen, M., Moran, D., Kanemoto, K., Foran, B., Lobefaro, L., & Geschke, A. (2012). International trade drives biodiversity threats in developing nations. Nature, 486, 109–112. https://doi.org/10.1038/nature11145.

Lilieholm, R. J., & Weatherly, W. P. (2010). Kibale forest wild coffee: Challenges to market-based conservation in Africa. Conservation Biology, 24(4), 924–930. https://doi.org/10.1111/j.1523-1739.2010.01527.x

202

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 191-203

Morduch, J. (1995). Income smoothing and consumption smoothing. The Journal of Economic Perspectives, 9(3), 103–1014.

Mutenje, M. J., Ortmann, G. F., & Ferrer, S. R. D. (2011). Management of non-timber forestry products extraction: Local institutions, ecological knowledge and market structure in south-eastern Zimbabwe. Ecological Economics, 70(3), 454–461. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2010.09.036

Neumann, R. P., & Hirsch, E. (2000). Commercialisation of non-timber forest products: review and analysis of research. Bogor: CIFOR.

Newton, A., Marshall, E., Schreckenberg, K., Golicher, D., Velde, T., Willem, D., … Arancibia, E. (2006). Use of a Bayesian belief network to predict the impacts of commercializing non-timber forest products on livelihoods. Ecology And Society, 11(2), 24. https://doi.org/24

Ostrom, E., Burger, J., Field, C. B., Norgaard, R. B., & Policansky, D. (1999). Revisiting the commons: local lessons, global challenges. Science, 284(5412), 278–282. https://doi.org/10.1126/science.284.5412.278

Pattanayak, S. K., & Sills, E. O. (2001). Do tropical forests providen natural insurance? The microeconomics of non-timber forest product collection in the Brazilian Amazon. Land Economics, 77(4), 595. https://doi.org/10.2307/3146943

Pearson, J., & Prendergast, H. D. V. (2001). Daemonorops, Dracaena and other Dragon's blood. Economic Botany, 55(4), 474–477.

Piya, L., Maharjan, K. , Joshi, N., & Dangol, D. . (2011). Collection and marketing of non-timber forest products by Chepang community in Nepal. The Journal Agriculture and Environment, 12, 10–21.

Puspitasari, L. (2011). Pemanenan dan pengolahan buah rotan jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume) dalam upaya penigkatan produksi serta mutu jernang. (Skripsi), Bogor: IPB.

Sari, R. W., Hikmat, A., & Santoso, Y. (2015). Pendugaan produksi jernang rotan (Daemonorops didymophylla Becc) berdasarkan karakteristik morfometrik. Media Konservasi, 20(2), 140–148.

Shackleton, C. M., Shackleton, S. E., & Cousins, B. (2001). The role of land-based strategies in rural livelihoods : The contribution of arable production , animal husbandry and natural resource harvesting in communal areas in South Africa. Development Southern Africa, 18(5), 581–604. https://doi.org/10.1080/03768350120097441.

Sukandarrumidi. (2012). Metodologi penelitian: Petunjuk praktis untuk peneliti pemula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sunderland, T., Powell, B., Ickowitz, A., F,...... Padoch, C.. (2013). Food security and nutrition The role of forests. Bogor: CIFOR. https://doi.org/10.13140/2.1.4437.7282.

Takasaki, Y., Barham, B. L., & Coomes, O. T. (2004). Risk coping strategies in tropical forests: Flood, health, asset poverty, and natural resource extraction. In 2nd World Congress of Environmental and Resource Economists, 23-27 June 2002, Monterey, California.

Taylor, D. (1996). Income generation from non wood forest product in upland conservation. Roma: FAO Conservation Guide.

Ticktin, T. (2004). The ecological implications of harvesting non-timber forest products. Journal of Applied Ecology, 41(1), 11–21. https://doi.org/10.1111/j.1365-2664.2004.00859.x

Timko, J., Waeber, P., & Kozak, R. (2010). The socio-economic contribution of non-timber forest products to rural livelihoods in Sub-Saharan Africa: Knowledge gaps and new directions. International Forestry Review, 12(3), 284–294. https://doi.org/10.1505/ifor.12.3.284

Toriq, U. (2013). Senyawa kimia penciri jernang untuk pembaruan parameter standar nasional Indonesia. Bogor: IPB.

Uprety, Y., Boon, E. K., Poudel, R. C., Shrestha, K. K., Ahenkan, A., & Tiwari, N. N. (2010). Non-timber forest products in Bardiya District of Nepal: Indigenous use, trade and conservation. Journal of Human Ecology, 30(3), 143–158.

Winarni, I., Sumadiwangsa, E. S., & Setyawan, D. (2004). Pengaruh tempat tumbuh, jenis dan diameter batang terhadap produktifitas pohon penghasil biji tengkawang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 22(1), 23–33.

Wunder, S., Börner, J., Shively, G., & Wyman, M. (2014). Safety nets, gap filling and forests: A global-comparative perspective. World Development, 64(S1), S29–S42. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2014.03.005

Zanotti, L. C. (2009). Economic diversification and sustainable development: The role non-timber forest products play in the monetization of Kayapó livelihoods. Journal of Ecological Anthropology, 13(1), 26–41..

203

Rotan Jernang sebagai Penopang Kehidupan Masyarakat..............(Sri Lestari, Bambang Tejo Premono & Edwin Martin)

204

205

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 205-217p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221Terakreditasi No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

PENGETAHUAN DAN HARAPAN MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN PERUNTUKAN KAWASAN HUTAN

DI KABUPATEN INDRAGIRI HILIR(Knowledge and Expectations of the Communities on Change in Forest Area Designation

in Indragiri Hilir Regency)

Kuncoro Ariawan & SuratiPusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jalan Gunung Batu No.5, Bogor 16118, Indonesiaa

E-mail: [email protected]; [email protected]

Diterima 23 Maret 2017, direvisi 21 Juli 2017, disetujui 23 Agustus 2017.

ABSTRACT

Changes in forest area may include changes in forest designation through exchange process and release of forest areas such as for plantation and industry. The changes will have direct impact on the community, especially those adjacent to the changed forest areas. The study was conducted to find out knowledge and expectations of forest communities as a result of changing in forest areas in Indragiri Hilir Regency, Riau Province.The data were collected by using community interview method. Respondents were selected by purposive random sampling. The results showed that community's knowledge to the forest, benefits and consequences of forest destruction is negative, while community's knowledge to the existence oil palm companies is positive. This is because community awareness on the forest is still low. The community generally agree if forest area that become oil palm plantations be released from forest area designation, and they expect increase in their income. This is motivated by the fact that the land that had been cultivated for coconut plantations is no longer productive, due to frequent sea water intrusion. Cooperation with company is expected to help the communities build embankments on lands affected by seawater intrusion so that the land can be reused.

Keywords: Knowledge; expectations; changes in forest area; designation of forest area.

ABSTRAK

Perubahan kawasan hutan dapat berupa perubahan peruntukan melalui proses tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan untuk berbagai kepentingan seperti perkebunan dan industri. Akibat dari perubahan peruntukan kawasan hutan akan berdampak langsung terhadap masyarakat, terutama yang berbatasan dengan areal yang akan dirubah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengetahuan dan harapan masyarakat sekitar hutan terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dipilih secara purposive random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap hutan, manfaat dan akibat kerusakan hutan adalah negatif, sedangkan pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan perusahaan kelapa sawit adalah positif. Hal ini karena pemahaman masyarakat terhadap hutan masih rendah. Masyarakat umumnya setuju apabila kawasan hutan yang nantinya akan menjadi perkebunan kelapa sawit dikeluarkan atau dilepaskan dari kawasan hutan, dan berharap dapat meningkatkan pendapatannya. Tingginya harapan masyarakat disebabkan lahan yang selama ini diolah untuk kebun kelapa dalam sudah tidak produktif karena sering terkena intrusi air laut. Dengan adanya kerja sama antara masyarakat dengan perusahaan, maka perusahaan membantu masyarakat membangun tanggul di lahan yang terkena intrusi air laut,sehingga lahan bisa dimanfaatkan kembali.

Kata kunci: Pengetahuan; harapan; perubahan kawasan hutan; peruntukan kawasan hutan.

©2017 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpsek.2017.14.3.205-217

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 205-217

I. PENDAHULUAN

Hutan mempunyai fungsi ekologi yang sangat penting di antaranya sebagai fungsi hidroorologi, penyimpan sumber daya genetik, pengatur kesuburan tanah hutan dan cadangan karbon. Hutan juga berfungsi sebagai penyimpan keanekaragaman hayati. Kawasan hutan memiliki fungsi pokok sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Surati, 2014).

Tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat menyebabkan hutan berubah peruntukan dan fungsinya. Aspirasi dan tuntutan pembangunan tersebut perlu diakomodir melalui perubahan peruntukan kawasan hutan dan fungsi kawasan hutan (Syahadat & Subarudi, 2012). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, bahwa tukar-menukar kawasan hutan dilakukan dengan ketentuan tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS), pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional, serta mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola.

Keberadaan masyarakat di sekitar kawasan hutan produksi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan ekosistem hutan produksi tersebut (Wahyuni & Mamonto, 2012), di mana hutan produksi tersebut dikelola oleh perusahaan kelapa sawit. Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan (Indrawati, 2011). Hal ini disebabkan tingginya permintaan atas crude palm oil (CPO) sebagai sumber minyak nabati dan penyediaan untuk biofuel. Mengingat hal tersebut, perusahaan kelapa sawit bermaksud mengusulkan pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Penelitian terkait perubahan peruntukan kawasan hutan telah banyak dilakukan, namun umumnya terkait kebijakan,

diantaranya adalah (1) Pelepasan kawasan hutan melalui tukar menukar antara Perum Perhutani Bandung dengan Pemerintah Kabupaten Majalengka, dengan studi kasus di Desa Mekarmulya, Kecamatan Kertajati (Ramadhani, Sukirno, & Gutami, 2016); (2) Kajian dampak perubahan fungsi kawasan hutan terhadap masyarakat sekitar di beberapa taman nasional (Sylviani, 2008); (3) Perubahan pengaturan peruntukan kawasan dalam hukum penataan ruang (Wahjuono, 2014); (4) Perubahan penggunaan lahan di kawasan sekitar Bukit Semarang Baru (Aryany & Pradoto, 2014); (5) Kajian perubahan penggunaan lahan DAS Bogowonto terhadap rencana tata ruang wilayah dalam rangka pengendalian sedimentasi (Ningrum, 2014); (6) Aktualisasi prinsip hukum pelestarian fungsi lingkungan hidup dalam kebijakan perubahan peruntukan, fungsi, dan penggunaan kawasan hutan (Iskandar, 2011); (7) Permasalahan penataan ruang kawasan hutan dalam rangka revisi rencana tata ruang wilayah provinsi (Syahadat & Subarudi, 2012).

Penelitian terkait pengetahuan dan harapan penting untuk melihat pandangan masyarakat terhadap kondisi dan keberadaan kawasan hutan (Hafizianor, 2009). Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah didasarkan pada hasil penelitian terpadu (Sylviani, 2008). Oleh karena itu, penting untuk mengetahui pengetahuan dan harapan masyarakat yang memiliki akses dan melakukan interaksi langsung terhadap kawasan hutan yang dimohon pelepasannya. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana pengetahuan dan harapan masyarakat sekitar hutan terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan. Dari penelitian diharapkan memberikan masukan kepada pembuat kebijakan dalam memutuskan perubahan peruntukan kawasan hutan.

206

Pengetahuan dan Harapan Masyarakat terhadap Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan ...........................(Kuncoro Ariawan & Surati)

207

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian dilakukan di Kecamatan

Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, karena di daerah tersebut terdapat perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengajukan pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan Desember tahun 2016.

B. Pengumpulan DataResponden penelitian adalah masyarakat

desa sekitar perusahaan perkebunan kelapa sawit. Jumlah responden sebanyak 30 orang yaitu masyarakat dari Desa Sungai Teritip. Pengambilan sampel responden ditentukan secara purposive random sampling yaitu masyarakat yang berbatasan langsung dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, responden dipilih dari berbagai kalangan masyarakat yaitu masyarakat biasa dan tokoh masyarkat, juga masyarakat yang memiliki garapan di kawasan hutan.

Responden yang dijadikan sumber informasi adalah kepala keluarga yang sebagian besar laki-laki. Dengan tidak mengesampingkan perempuan, pemilihan kepala keluarga sebagai responden secara umum didasarkan pada pengambil keputusan dan tulang punggung keluarga yaitu laki-laki.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri atas dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, wawancara mendalam, observasi dan studi literatur.

C. Analisa Data Pengolahan data dilakukan dalam bentuk

tabulasi dan kemudian dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan pengetahuan dan harapan masyarakat. Batasan mengenai pengetahuan dan harapan dalam penelitian ini adalah (1) pemahaman responden terkait hutan, manfaat dan akibat kerusakan hutan; (2) pemahaman responden terhadap keberadaan

perkebunan kelapa sawit. Pengetahuan dan harapan responden terbagi menjadi:a. Apabila pemahaman responden terhadap

hutan, manfaat dan akibat kerusakan hutan tinggi, maka pengetahuan dan harapan masyarakat adalah positif.

b. Apabila pemahaman responden terhadap hutan, manfaat dan akibat kerusakan hutan rendah, maka pengetahuan dan harapan masyarakat adalah negatif.

c. Apabila pemahaman responden terhadap keberadaan perkebunan kelapa sawit tinggi, maka pengetahuan dan harapan masyarakat adalah positif.

d. Apabila pemahaman responden terhadap keberadaan perkebunan kelapa sawit rendah, maka pengetahuan dan harapan masyarakat adalah negatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran umum lokasi penelitianKecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri

Hilir berada di dataran rendah dan lahan gambut yang ditumbuhi hutan mangrove dan perkebunan kelapa. Ketinggian dari permukaan laut berkisar 0-700 m yang mengakibaktkan transportasi air dipengaruhi pasang surut (Badan Pusat Statistik Kabupaten Indragiri Hilir, 2016). Kecamatan Kateman terletak di Indragiri Hilir bagian utara yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Karimun, Provinsi Riau. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pulau Burung, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pelangiran dan Kecamatan Mandah, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karimun, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Belengkong.

Luas wilayah Kecamatan Kateman adalah 684,09 km2 yang terdiri atas 8 (delapan) desa dan 3 (tiga) kelurahan, yaitu Desa Sungai Simbar, Desa Kuala Selat, Desa Penjuru, Desa Sari Mulya, Desa Air Tawar, Desa Tanjung Raja, Desa Sungai Teritip, Desa Makmur Jaya, Kelurahan Tagaraja, Kelurahan Amal Bakti dan Kelurahan Bandar Sri Gemilang.

208

Tiga desa yang berbatasan langsung dengan perusahaan kelapa sawit adalah Desa Sungai Teritip, Desa Penjuru dan Desa Sungai Simbar. Tetapi hanya masyarakat Desa Sungai Teritip yang berinteraksi langsung dengan perusahaan, karena secara administrasi perusahaan kelapa sawit tersebut berada di Desa Sungai Teritip. Lokasi penelitian merupakan kebun kelapa dalam milik masyarakat yang telah dikerjakan turun temurun.

Potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan adalah berupa sumber daya perairan (Sungai Guntung), sumber daya pertanian, perkebunan kelapa dalam yang relatif luas dan hasil panennya melimpah, maka sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi pusat penghasil kelapa dan industri pengolahan kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir. Terdapat sumber daya alam berupa kekayaan laut seperti kerang, kupang, senteng, siput, ikan dan ketam ditemui dalam jumlah yang besar. Kondisi ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Juga terdapat sumber daya alam berupa rawa yang bisa dipergunakan untuk pengembangan pembudidayaan ikan air

tawar, udang dan ketam (Pemerintah Desa Sungai Teritip, 2016).

Kondisi lokasi penelitian terdapat hutan mangrove sekunder, dengan luasan kurang lebih 54 hektar, di lapangan dijumpai vegetasi nipah dan belukar tua pada sempadan sungai yang tegakannya rapat dan terendam. Jenis tumbuhan yang cukup banyak berupa paku sampang (Stenochlaena palustris), resam (Gleichenia linearis), beluntas (Pluchea indica) dan kirinyu (Chromolaena odorata). Vegetasi hutan hanya ada di beberapa blok kawasan, sedangkan blok lainnya umumnya ditumbuhi kebun kelapa dalam milik masyarakat yang tumbuhan bawahnya semak belukar.

B. Perubahan peruntukan kawasan hutanPerubahan kawasan hutan dapat

berupa perubahan peruntukan yaitu dalam bentuk tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan, untuk kepentingan perkebunan, pemukiman transmigrasi, industri, perumahan, dan lain sebagainya (Iskandar, 2011). Akibat dari perubahan peruntukan kawasan hutan akan berdampak langsung terhadap masyarakat, terutama yang

Tabel1.JumlahpendudukdiKecamatanKatemanTable 1. Total population in Kateman District

Desa/kelurahan(Villages)

Jumlah penduduk (Total population) Jumlah

(Amount)

Rasio jenis kelamin

(Sex ratio)Laki-laki(Male)

Perempuan(Female)

Sungai Simbar 1.374 1.307 2.681 105Kuala Selat 1.500 1.422 2.922 105Penjuru 2.110 2.040 4.150 103Sari Mulya 683 553 1.236 124Air Tawar 5.567 4.756 10.323 117Tanjung Raja 1.756 1.673 3.429 105Sungai Teritip 1.067 999 2.066 107Makmur Jaya 1.036 979 2.015 106Tegaraja 6.831 7.072 13.903 97Amal Bakti 807 783 1.590 103Bandar Sri Gemilang 1.263 1.156 2.419 109

Sumber (Sources): Badan Pusat Statistik Kabupaten Indragiri Hilir, 2016.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 205-217

209

berbatasan dengan areal yang akan dirubah.Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104

tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan menyatakan bahwa perubahan peruntukan kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa kelompok hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lain.

Syahadat & Dwiprabowo (2013) menyatakan bahwa permohonan perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan harus berdasarkan kebutuhan optimal lahan untuk pengembangan pembangunan daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Ramadhani et al. (2016) menambahkan bahwa penggunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, dan tidak menutup kemungkinan penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dari peruntukannya dengan syarat tidak boleh menyalahi penataan ruang dan penataan lingkungan hidup agar perubahan fungsi tersebut tidak menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.

Perubahan peruntukan kawasan hutan merupakan tuntutan pembangunan yang tidak bisa dihindarkan, terutama perluasan perkebunan kelapa sawit. Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas lapangan kerja, meningkatkan produktivitas dan daya saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri. Berdasarkan hasil penelitian Syahza (2004) dan Syahza (2013) bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit di pedesaan menciptakan angka multiplier effect sebesar 3,03, terutama dalam lapangan pekerjaan dan peluang berusaha. Kesejahteraan petani kelapa sawit akan selalu meningkat, hal ini dapat dilihat dari indeks kesejahteraan

petani di pedesaan tahun 2003 sebesar 1,72 atau mengalami pertumbuhan kesejahteraan sebesar 172%. Pada periode tahun 2003-2006 indeks kesejahteraan petani 0,18 dan periode tahun 2006-2009 juga mengalami positif sebesar 0,12 atau meningkat sebesar 12%.

Dampak negatif dari adanya perkebunan kelapa sawit adalah jika dilakukan secara sembarangan, yaitu dapat merusak lingkungan, keanekaragaman hayati, dan bahkan merusak budaya masyarakat setempat. Menurut Arief, Mijiarto, & Rahman (2015), pembukaan hutan secara tidak tepat untuk keperluan perkebunan kelapa sawit dapat menurunkan keanekaragaman satwa liar di suatu daerah, dan juga berdampak pada kesejahteraan sosial. Hasil penelitian Darwis (2015) menyatakan bahwa keberadaan perusahaan kelapa sawit secara sosial membawa perubahan negatif berkenaan dengan tingkat gotong royong masyarakat.

Diharapkan dampak negatif yang tidak diinginkan semua pihak dapat dihindari dengan dikeluarkannya PP Nomor 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, mengatur tahapan dalam perubahan peruntukan kawasan hutan yaitu:a. Gubernur mengajukan usul kepada

menteri yang terintegrasi dalam revisi rencana tata ruang provinsi.

b. Menteri melakukan telaah teknis. Berdasarkan hasil telaahan teknis, menteri membentuk tim terpadu.

c. Tim terpadu menyampaikan hasil penelitian dan rekomendasi perubahan peruntukan kawasan hutan kepada menteri.

d. Berdasarkan hasil tim terpadu, menteri menerbitkan keputusan perubahan peruntukan untuk sebagian atau seluruh kawasan hutan yang diusulkan. Jika dalam hasil penelitian tim terpadu menunjukkan usulan perubahan peruntukan kawasan hutan berpotensi menimbulkan dampak atau risiko lingkungan, gubernur wajib menyampaikan Kajian Lingkungan Hidup

Pengetahuan dan Harapan Masyarakat terhadap Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan ...........................(Kuncoro Ariawan & Surati)

210

Strategis (KLHS) kepada menteri melalui tim terpadu. Jika hasil KLHS menunjukkan kelayakan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, menteri menerbitkan keputusan perubahan peruntukan kawasan hutan berdasarkan hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu. Apabila hasil KLHS menunjukkan ketidaklayakan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, menteri menolak usulan.

e. Apabila penelitian tim terpadu menunjukkan perubahan peruntukan kawasan hutan dapat berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis, menteri menyampaikan hasil penelitian tim terpadu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 9 tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau Tahun 2015-2035, lokasi penelitian mempunyai fungsi sebagai kawasan peruntukan hutan produksi. Akan tetapi berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Indragiri Hilir Nomor 29 tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Indragiri Hilir, lokasi penelitian berstatus kawasan budidaya tanaman tahunan. Berdasarkan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, diatur bahwa:(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan

hutan serta penggunaan kawasan hutan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

(2) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diintegrasikan dalam perubahan rencana tata ruang wilayah.

(3) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan sebelum ditetapkan perubahan rencana tata ruang wilayah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2).Dengan demikian dimungkinkan

dilakukannya perubahan peruntukan kawasan hutan produksi konversi (HPK) menjadi area penggunaan lain (APL), yang kemudian hasilnya diintegrasikan dengan rencana tata ruang.

C. Sosial budaya masyarakatPenduduk Desa Sungai Teritip pada

umumnya didiami oleh Suku Bugis, jumlah penduduk 2.066 jiwa dengan presentase 51,47% laki-laki dan 48,53% perempuan. Tingkat pendidikan Desa Sungai Teritip umumnya lulusan Sekolah Dasar (SD). Masyarakat yang bisa diajak kerja sama pada kegiatan-kegiatan perusahaan kelapa sawit dan yang paham akan manfaat hutan sebesar 80,88% yaitu masyarakat dengan tingkat pendidikan lulus dari SD sampai perguruan tinggi.

Mata pencaharian di Desa Sungai Teritip umumnya petani, sedangkan lainnya buruh, pedagang, nelayan, pegawai negeri sipil (PNS) dan pengangguran. Sebagian penduduk memiliki mata pencaharian sampingan selain bertani seperti buruh, pedagang, wiraswasta dan tenaga harian lepas. Tingkat pendapatan per bulan rata-rata di atas Rp2.000.000,00. Umumnya masyarakat yang memiliki mata pencaharian sampingan, pendapatan per bulannya lebih dari Rp5.000.000,00 (6,67%).

D. Karakteristik respondenKarakteristik masyarakat Desa Sungai

Teritip, meliputi jenis kelamin, lama tinggal, asal penduduk, pendidikan, pekerjaan, asal kepemilikan lahan, dan tingkat pendapatan seperti yang tersaji pada Tabel 2.

Umur responden dari usia 26-72 tahun. Lama tinggal di suatu tempat mencirikan bahwa penduduk tersebut termasuk penduduk asli ataupun pendatang. Lama tinggal responden diketahui berkisar antara 11-72 tahun. Responden dari Suku Bugis mendominasi. Tingkat pendidikan

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 205-217

211

masih rendah dan bila dianalisis mayoritas responden tamatan SD yang paling dominan. Mata pencaharian umumnya petani.

Berdasarkan data yang diperoleh bahwa rata-rata responden telah memiliki lahan dengan mata pencaharian sebagai petani. Lahan yang dimiliki merupakan lahan warisan, lahan hasil membuka hutan dan lahan yang diperoleh dengan cara membeli dari orang lain. Berdasarkan pengamatan di lapangan tidak ditemukan masyarakat yang memiliki bukti kepemilikan lahan berbentuk sertifikat.

Umumnya masyarakat menguasai lahannya sendiri di APL, dan pemerintah menguasai kawasan HPK. Namun terdapat masyarakat yang menguasai lahan di dalam kawasan hutan yang diperoleh secara turun temurun, hasil pembelian dan pembukaan lahan hutan.

Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara tradisional berupa budidaya kelapa dalam, sementara hutan mangrove yang ada dimanfaatkan untuk keperluan sendiri dalam skala kecil sebagai kayu bakar dan bahan bangunan.

E. Pengetahuan dan harapan masyarakat terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan

Menurut Umar (2009), persepsi manusia terhadap lingkungan (environmental perception) merupakan persepsi spasial yakni sebagai interpretasi tentang suatu ruang oleh individu yang didasarkan atas latar belakang, budaya, nalar dan pengalaman individu tersebut. Dengan demikian, setiap individu dapat mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda terhadap obyek yang sama karena

Tabel 2. Karakteristik respondenTable 2. Characteristics of respondents

No. Karakteristik (Characteristics) Uraian (Remark) Jumlah (Amount) (%)

1. Jenis kelamin Laki-lakiPerempuan

96,673,33

2. Lama tinggal 0-20 tahun > 20 tahun

6,6793,33

3. Asal penduduk Asli (Melayu)BugisBanjarJawa

36,67 46,673,33

13,334. Pendidikan SD

SMP SMADiploma/Sarjana

43,33 30,0123,333,33

5. Pekerjaan Petani WiraswastaPNS Karyawan

90,013,33 3,333,33

6. Asal kepemilikan lahan Membuka lahan hutan warisan orangtua Membeli dari orang lain

17,6538,2344,12

7. Tingkat pendapatan < 1 juta< 2 juta< 3 jutajuta< 5 juta

26,6713,3340,0013,336,67

Pengetahuan dan Harapan Masyarakat terhadap Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan ...........................(Kuncoro Ariawan & Surati)

212

tergantung dari latar belakang yang dimiliki. Persepsi lingkungan yang menyangkut persepsi spasial sangat berperan dalam pengambilan keputusan dalam rangka migrasi, komunikasi dan transportasi (Fatem, 2011).

Persepsi masyarakat tentang hutan telah berubah. Hutan tidak lagi merupakan sumber kehidupan, namun lebih dari pemenuhan kebutuhan akan lahan. Hasil penelitian Liswanti, Indrawan, Sumardjo, & Sheil (2004) menunjukkan bahwa adanya tekanan dan minat dari orang luar terhadap sumber daya hutan dan lahan di wilayah sekitar hutan mengakibatkan masyarakat lokal melakukan konversi hutan menjadi ladang.

Persepsi masyarakat yang baik tentang hutan dapat dihasilkan melalui pengetahuan masyarakat yang baik juga. Pengetahuan adalah pemahaman seseorang mengenai suatu obyek yang dihadapi (Surati, 2013). Pengetahuan merupakan informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk menindaki yang lantas melekat di benak seseorang

Dari hasil penelitian yang ditunjukan pada Tabel 3. Secara umum pengetahuan masyarakat terhadap hutan, manfaat dan akibat kerusakan hutan adalah negatif. Didapatkan bahwa pada umumnya masyarakat belum mengetahui dan memahami tentang hutan negara beserta fungsinya. Hal ini terlihat dari persentase responden sebesar 86,67% yang tidak mengetahui tentang keberadaan hutan negara. Ketidaktahuan ini menyebabkan masyarakat melakukan budidaya kelapa dalam di kawasan hutan. Adanya ketidaktahuan ini berpengaruh pada pengetahuan masyarakat di lokasi penelitian akan batas lahan milik dengan kawasan hutan sangat minim. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya responden sebesar 96,67% yang tidak mengetahui di mana batas kawasan hutan dengan lahan milik masyarakat, karena salah satu penyebabnya belum dilakukan tata batas di kawasan hutan tersebut.

Menurut informasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XII Tanjung

Pinang, bahwa untuk HPK tidak ditata batas karena akan dicadangkan untuk sektor lain. Hal ini berdampak tidak adanya batas yang jelas antara lahan milik dan kawasan hutan negara. Banyak lahan/kawasan hutan yang diolah masyarakat ditambah lagi dengan sangat minim sosialisasi dari pihak yang berwenang.

Namun di sisi lain, sebagian masyarakat memiliki pemahaman tentang akibat dari kerusakan hutan, seperti terjadinya banjir dan abrasi, intrusi air laut serta kebakaran hutan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya responden sebesar 66,67% yang telah mempunyai kesadaran tinggi bahwa sumber daya alam yang ada di sekelilingnya termasuk hutan harus dijaga dan dilestarikan. Akan tetapi masih banyak responden yaitu sebesar 53,33% yang belum mengetahui aturan larangan melakukan suatu kegiatan dalam kawasan hutan beserta sanksi/hukuman yang dikenakan bagi siapa saja yang melakukan kegiatan pelanggaran dimaksud.

Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar responden (93,33%) belum pernah terlibat dalam kegiatan sosialisasi kehutanan, sehingga adanya ketidaktahuan responden dan minimnya sosialisasi di bidang kehutanan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan responden (56,67%), bahwa semua orang berhak untuk melakukan kegiatan di kawasan hutan. Sosialisasi suatu program sangat berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat. Hasil penelitian Muchlis, Fitri, & Rahman (2011) menyatakan bahwa perubahan pola kemitraan yang dilakukan oleh perusahaan tanpa melalui proses komunikasi dengan masyarakat menyebabkan respon masyarakat terhadap rencana pembangunan kebun kelapa sawit menjadi negatif.

Tabel 4 menunjukkan pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan perusahaan kelapa sawit, sebesar 53,33% dari responden menyatakan bahwa sebagian masyarakat mengetahui kebun masyarakat yang akan dikerjasamakan dengan perusahaan merupakan kawasan hutan. Pengetahuan masyarakat ini

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 205-217

213

Pengetahuan dan Harapan Masyarakat terhadap Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan ...........................(Kuncoro Ariawan & Surati)

Tabel 3. Pengetahuan masyarakat terhadap hutanTable 3. Communities knowledge toward forest

No. Faktor(Factor)

Alternatif jawaban responden

(Respondents respons) (%)Pengetahuan responden

(Knowledge of

respondents)Ya

(Yes)Tidak(No)

Jumlah(Amount)

Ya(Yes)

Tidak(No)

Jumlah(Amount)

1. Apakah saudara tahu mengenai hutan negara beserta fungsinya (Do you know about state forest and its functions)

4 26 30 13,33 86,67 100 Negatif

2. Apakah saudara mengetahui batas-batas dengan kawasan hutan (Do you know the boundaries of the forest area)

1 29 30 3,33 96,67 100 Negatif

3. Apakah saudara memahami akibatnya apabila hutan rusak (Do you understand the consequences of the damaged forest)

20 10 30 66,67 33,33 100 Positif

4. Apakah saudara mengetahui kegiatan yang dilarang untukdilakukan dalam kawasan hutan (Do you know what forbidden activities in forest areas)

14 16 30 46,66 53,33 100 Negatif

5. Apakah saudara mengetahui sanksi/hukuman apabila melaksanakan kegiatan dalam kawasan hutan tanpa izin (Do you know sanctions/penalties when carrying out activities in a forest area without permission)

14 16 30 46,67 53,33 100 Negatif

6. Sepengetahuan saudara apakah pernah dilakukan sosialisasi peraturan kehutanan oleh instansi terkait? bilaya, kapan dan berapa kali (based on your experience, has there been any socialization related to forestry regulations by the relevant agencies? if yes, when and how many times)

2 28 30 6,67 93,33 100 Negatif

7. Menurut saudara, apakah semua orang berhak melakukan kegiatan di hutan, misalnya berladang dan mengambil kayu) (Do you think everyone is allowed to do activities in the forest e.g .farming and logging)

17 13 30 56,67 43,33 100 Positif

214

justru berasal dari hasil sosialisasi perusahaan tentang status kebun masyarakat dalam kawasan HPK dan bukan informasi atau sosialisasi dari pihak pemerintah daerah atau dinas terkait. Ini berarti bahwa pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan perusahaan kelapa sawit adalah positif. Dengan adanya perusahaan kelapa sawit, masyarakat berharap dapat meningkatkan pendapatannya. Hal ini karena kawasan hutan yang dimanfaatkan masyarakat dengan menanam kebun kelapa dalam tidak produktif dan ditumbuhi semak belukar.

Sebagian besar responden (96,67%) sangat setuju apabila kawasan hutan yang nantinya akan menjadi perkebunan kelapa sawit dikerjasamakan dengan perusahaan dikeluarkan atau dilepaskan dari kawasan hutan. Tingginya harapan masyarakat ini disebabkan lahan yang selama ini diolah untuk kebun kelapa dalam tidak dapat dimanfaatkan lagi (tidak produktif) oleh masyarakat karena sering terkena intrusi air laut. Dengan adanya kemitraan, maka pihak perusahaan akan membantu masyarakat dengan membangun tanggul di lahan masyarakat yang terkena

intrusi air laut.Dengan adanya kerja sama antara

masyarakat dengan perusahaan, maka lahan ini bisa dimanfaatkan kembali oleh masyarakat setempat dan bisa bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut. Hasil penelitian Daulay (2013) bahwa pemberdayaan masyarakat terutama peningkatan peran mereka dalam pembangunan merupakan kunci keberhasilan upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kemakmuran mereka.

Selain masyarakat dapat bekerja di perusahaan, ada mekanisme bagi hasil yang telah disepakati antara perusahaan dan masyarakat sebesar 65% untuk pihak perusahaan dan 35% untuk petani pemilik lahan dengan program pola inti dan plasma. Hal ini tentunya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Harapan responden terhadap keberadaan hutan yang akan dilepas dan dikerjasamakan dengan perusahaan kelapa sawit ditunjukkan pada Tabel 5 bahwa sebesar 73,33% berharap dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Tingginya harapan responden ini dikarenakan perusahaan perkebunan kelapa sawit telah

Tabel 4. Pengetahuan responden terhadap perusahaan kelapa sawitTable 4. Knowledge of respondents toward palm oil company

No. Faktor(Factor)

Alternatif jawaban responden

(Answer of respondents)(%)

Persepsi responden

(Perception of

respondents)Ya

(Yes)Tidak(No)

Jumlah(Amount)

Ya(Yes)

Tidak(No)

Jumlah(Amount)

1. Apakah saudara mengetahui lokasi perusahaan merupakan kawasan hutan (Do you know that location of the company is a forest area)

16 14 30 53,33 46,67 100 Positif

2. Apakah saudara setuju kawasan hutan yang menjadi perkebunan perusahaan dikeluarkan dari kawasan hutan (Do you agree if the forest areas that became plantation companies are released from forest areas)

29 1 30 96,67 3,33 100 Positif

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 205-217

215

melakukan kerja sama dengan masyarakat setempat dalam melakukan pengelolaan lahan kebun masyarakat. Sebesar 20% responden berharap perusahaan dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Selama ini masyarakat setempat hanya bekerja sebagai buruh kelapa dalam di mana pekerjaanya tidak rutin setiap harinya, sehingga dengan adanya perusahaan perkebunan kelapa sawit masyarakat dapat bekerja setiap waktu dan dapat meningkatkan pendapatan petani sehingga dapat mengurangi pengangguran. Sebanyak 6,67% responden berharap perusahaan dapat membuat tanggul di sepanjang pantai sehingga intrusi air laut tidak menggenangi lahan/kebun petani setempat.

Desa Sungai Teritip merupakan desa yang terdiri dari berbagai etnis/suku bangsa. Hal ini terlihat dari 30 responden yang dijadikan sumber data berasal dari 5 (lima) etnis yang berbeda. Perbedaan etnis ini, bagi masyarakat Desa Sungai Teritip tidak menjadi kendala dan bukan merupakan sumber konflik. Berbagai etnis di Desa Sungai Teritip dapat berbaur dengan baik dan ikut membangun perekonomian desa.

Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa di Desa Sungai Teritip tidak pernah terjadi konflik lahan antar masyarakat, apabila terjadi permasalahan akan diselesaikan oleh masyarakat dengan cara kekeluargaan dan musyawarah. Begitu juga konflik antara masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit belum pernah terjadi sampai saat ini. Guna mencegah terjadinya konflik dan munculnya

perselisihan di antara pihak masyarakat dan perusahaan maka semua pihak harus menepati kesepakatan yang telah dibuat.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanSebagian besar masyarakat memiliki

lahan kelapa dalam yang tidak produktif dalam kawasan HPK. Umumnya masyarakat berprofesi sebagai petani, dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Pengetahuan masyarakat terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan itu positif. Masyarakat berharap dengan adanya investor yaitu perusahaan kelapa sawit dengan bentuk kemitraan akan dapat meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, diharapkan proses perubahan peruntukan HPK menjadi APL dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga ada kejelasan status dalam upaya budidaya lahan oleh masyarakat.

B. SaranPerubahan peruntukan kawasan hutan

tetap memperhatikan fungsi lindung, di mana areal yang masih bervegetasi alami terutama mangrove di sepanjang pantai harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan tutupannya sebagai pelestarian lingkungan.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah menugaskan

Tabel 5. Harapan respondenTable 5. Respondents expectation

No. HarapanExpectations

Jumlah(Amount)

Persentase (Percentage) (%)

1. Meningkatkan ekonomi (improve the economy) 22 73,332. Menciptakan lapangan kerja (create jobs) 6 20,003. Memperbaiki kondisi lingkungan (improve

environmental conditions)2 6,67

Pengetahuan dan Harapan Masyarakat terhadap Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan ...........................(Kuncoro Ariawan & Surati)

216

penulis dalam Tim Terpadu melalui izin penugasan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim serta Perusahaan kelapa sawit PT Oscar Investama, yang telah dijadikan lokasi penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, H., Mijiarto, J., & Rahman, A. (2015). Keanekaragam dan status perlindungan satwa liar di PT. Riau Sawitindo Abadi. Jurnal Media Konservasi, 20(1), 159-165.

Aryany, P.A., & Pradoto, W. (2014). Perubahan penggunaan lahan di kawasan sekitar Bukit Semarang Baru. Jurnal Teknik PWK, 3(1), 96-105.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Indragiri Hilir. (2016). Statistik daerah Kecamatan Kateman. Indragiri Hilir. Indragiri Hilir: Badan Pusat Statistik Kabupaten Indragiri Hilir.

Darwis, I. (2015). Dampak keberadaan perusahaan kelapa sawit terhadap kesejahteraan sosial masyarakat di Desa Bulu Mario, Kabupaten Mamuju Utara (Skripsi). Makassar: Universitas Hasanudin.

Daulay, A. R. (2013). Dinamika pemanfaatan hutan oleh Suku Anak Dalam Bathin IX di Dusun Senami Kabupaten Batanghari. Jurnal Bina Praja, 5(1), 35-42.

Fatem, Y. (2011). Persepsi masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Kota Sorong (Skripsi). Manokwari: Universitas Negeri Papua,.

Hafizianor. (2009). Interaksi, persepsi dan sikap masyarakat terhadap kawasan suaka margasatwa: Studi kasus di Kawasan Suaka Margasatwa Pelaihari Kabupaten Tanah Laut. Jurnal Hutan Tropis Borneo, (26), 138-151.

Indrawati, H. (2011). Kajian tentang hubungan strategis produsen kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Jurnal Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, 3(2), 498-503.

Iskandar. (2011). Aktualisasi prinsip hukum pelestarian fungsi lingkungan hidup dalam kebijakan perubahan peruntukan, fungsi, dan penggunaan kawasan hutan. Jurnal Dinamika Hukum, 11(3), 532-547.

Liswanti, N., Indrawan, A., Sumardjo, & Sheil, D. (2004). Persepsi masyarakat Dayak Merap dan Punan tentang pentingnya hutan di lansekap hutan tropis, Kabupaten Malinau,

Kalimantan Timur. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 10(2), 1-13.

Muchlis, F., Fitri, Y., & Rahman, A. (2011). Analisis respon petani terhadap sosialisasi rencana pembangunan kebun kelapa sawit pola kemitraan oleh PT. Kirana Sekernan Desa Lubuk Ruso Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, 13(1), 59-68.

Ningrum, M. (2014). Kajian perubahan penggunaan lahan DAS Bogowonto terhadap rencana tata ruang wilayah dalam rangka pengendalian sedimentasi (Tesis Pascasarjana). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Pemerintah Desa Sungai Teritip. (2016). Monografi Desa Sungai Teritip. Kateman: Indrigiri Hilir.

Peraturan Daerah Kabupaten Indragiri Hilir Nomor 29 tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Indragiri Hilir.

Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 9 tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau Tahun 2015-2035.

Peraturan Pemerintah Nomor 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Ramadhani, F., Sukirno, & Gutami, B. (2016). Pelepasan kawasan hutan melalui tukar-menukar antara Perum Perhutani Bandung dengan Pemerintah Kabupaten Majalengka (Studi di Desa Mekarmulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka). Jurnal Diponegoro Law Review, 5(2), 1-11.

Surati. (2013). Pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat sekitar tentang hutan: Kasus di Hutan Penelitian Parung Panjang, Kabupaten Bogor (Tesis Pascasarjana). Bogor: Universitas Nusa Bangsa,.

Surati. (2014). Analisis sikap dan perilaku masyarakat terhadap hutan penelitian Parung Panjang. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(3), 339-347.

Syahadat, E., & Dwiprabowo, H. (2013). Kajian paduserasi tata ruang daerah (TRD) dengan tata guna hutan (TGH). Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 10(2), 89-117.

Syahadat, E., & Subarudi. (2012). Permasalahan penataan ruang kawasan hutan dalam rangka revisi rencana tata ruang wilayah provinsi. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 9(2), 131-143.

Syahza, A. (2004). Kelapa sawit dan kesejahteraan petani di pedesaan daerah Riau. Jurnal Perspektif, 9, 1-10.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 205-217

216

Syahza, A. (2013). Percepatan ekonomi pedesaan melalui pembangunan perkebunan kelapa sawit. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12(2), 297-310.

Sylviani. (2008). Kajian dampak perubahan fungsi kawasan hutan terhadap masyarakat sekitar. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 5(3), 155-178.

Umar. (2009). Persepsi dan perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan sebagai daerah resapan air (Studi kasus Hutan Penggaron Kabupaten Semarang) (Tesis Pascasarjana). Semarang: Universitas Diponegoro,.

Wahjuono, T. (2014). Perubahan pengaturan peruntukan kawasan dalam hukum penataan ruang (Studi politik hukum atas kebijakan penataan ruang Kota Malang ). De Jure: Jurnal Hukum dan Syar’iah, 6(2), 166-175.

Wahyuni, N.I., & Mamonto, R. (2012). Persepsi masyarakat terhadap taman nasional dan sumber daya hutan: Studi kasus blok Aketawaje, Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Info BPK Manado, 2(1), 1-16.

Pengetahuan dan Harapan Masyarakat terhadap Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan ...........................(Kuncoro Ariawan & Surati)

217

218

219

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 219-236p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221Terakreditasi No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

TOTAL NILAI EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN GORONTALO UTARA, PROVINSI GORONTALO

(Total Value of Mangrove Ecosystem in North Gorontalo Regency, Gorontalo Province)

Riesti Triyanti, Maulana Firdaus & Radityo PramodaBalai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan,Gedung Balitbang KP 1 Lt. 4

Jalan Pasir Putih No. 1 Ancol Timur Jakarta Utara 14430, IndonesiaE-mail: [email protected]

Diterima 4 April 2016, direvisi 18 Agustus 2017, disetujui 9 Oktober 2017.

ABSTRACT

Mangrove forest is the main life-supporting ecosystem in coastal and marine areas. Little information is available on quantifying of mangrove function as well as its benefit. The study is conducted to quantify the total value of the mangrove ecosystem in North Gorontalo Regency. Data were collected through interviews with users and non-users of the resources along with secondary data such as the amount of carbon storage and cost of standard construction of break water for mangrove ecosystem. Data were analyzed by using economic valuation techniques for calculating total value of the mangrove ecosystem. The results showed that the ecological value was Rp18,205,000,890/hectare/year, the economic value was Rp40,716,063/hectare/year, while the social and cultural values was Rp20,341,259/hectare/year. Hence, the total value of mangrove ecosystem in North Gorontalo Regency amounts to Rp18,266,058,212/hectare/year. This shows the importance of the mangrove resources in term of its values that needs to be informed to the decision-makers, so that it can be managed in a sustainable way with proper benefits and costs consideration.

Keywords: Total value; mangrove ecosystem; economic valuation.

ABSTRAK

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir dan lautan. Fungsi dan manfaat ekosistem mangrove seringkali belum dikuantifikasi. Kajian ini bertujuan untuk menghitung total nilai ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara. Data dikumpulkan melalui wawancara terhadap pemanfaat dan non pemanfaat sumber daya serta data sekunder berupa jumlah simpanan karbon dan biaya standar pembangunan pemecah gelombang pada ekosistem mangrove. Analisis data menggunakan teknik valuasi ekonomi sumber daya untuk menghitung nilai total ekosistem mangrove. Hasil kajian menunjukkan bahwa nilai ekologi ekosistem mangrove sebesar Rp18.205.000.890/hektar/tahun, nilai ekonomi ekosistem mangrove sebesar Rp40.716.063/hektar/tahun serta nilai sosial budaya ekosistem mangrove sebesar Rp20.341.259/hektar/tahun. Nilai ekonomi total ekosistem mangrove yang tinggi di Kabupaten Gorontalo Utara diperoleh sebesar Rp18.266.058.212/hektar/tahun. Total nilai ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara sebaiknya diinformasikan kepada para pengambil kebijakan tentang pentingnya sumber daya tersebut dan mengelolanya dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya konservasinya secara adil.

Kata kunci: Total nilai; ekosistem mangrove; valuasi ekonomi.

©2017 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpsek.2017.14.3.219-236

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 219-236

I. PENDAHULUANWilayah pesisir dan lautan adalah salah

satu ekosistem yang sangat produktif dan dinamis yang mempunyai peran penting dalam kelangsungan hidup manusia (human survival). The Millenium Ecosystem Assesment (MEA) menyebutkan peranan wilayah pesisir terhadap kelangsungan hidup manusia yaitu dalam penyediaan sumber makanan, air, dan udara, pengaturan iklim dan erosi, nilai-nilai spiritual dan rekreasi, produksi primer dan pembentukan tanah. Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu sumber daya alam wilayah pesisir yang mempunyai peranan penting ditinjau dari sudut sosial-budaya, ekonomi, dan ekologis. Dari tiga fungsi tersebut maka peran ekosistem mangrove sebagai berikut: (1) fungsi fisik untuk menjaga garis pantai agar tetap stabil, mempercepat perluasan lahan, melindungi pantai dan tebing sungai, serta mengolah limbah; (2) fungsi biologis atau ekologis yaitu tempat bersarangnya burung-burung besar, habitat alami bagi banyak jenis biota, nursery, feeding dan spawning ground serta shelter area bagi biota perairan; dan (3) fungsi ekonomi meliputi wilayah tambak, tempat pembuatan garam, kayu dan balok, serta rekreasi. Selain itu ekosistem mangrove memiliki fungsi bagi kehidupan sosial masyarakatdan lingkungan (Wahyuni, Intan, Putri, & Simanjuntak, 2014). Aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam seringkali tanpa memperhatikan prinsip kelestarian. Kerusakan/kepunahan sumber daya memerlukan waktu cukup lama untuk memulihkan kembali. Pengelolaan dan pemanfaatan secara bijaksana dan optimal diperlukan agar sumber daya alam yang ada tetap lestari.

Besarnya manfaat ekosistem hutan mangrove, mendorong terjadinya eksploitasi yang tidak jarang berakhir pada degradasi lingkungan yang cukup parah, hal ini diindikasikan dengan berkurangnya luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun.Menurut

data dari Kementerian Kehutanan tahun 2013, luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 3,7 juta hektar, jumlah ini mewakili 23% dari keseluruhan ekosistem mangrove di dunia (Giri et al., 2011). Menurut NASA (2010) dalam Giri et al. (2011), luas mangrove di Indonesia telah berkurang 35% antara tahun 1980 dan 2000, sedangkan menurut Hence (2010) dalam Giri et al. (2011) luas mangrove pada tahun 1980 mencapai 4,2 juta hektar dan pada tahun 2000 tinggal 2 juta hektar.

Masyarakat hanya menilai hutan mangrove dari segi ekonominya saja, tanpa memperhatikan manfaat-manfaat fisik dan biologi yang lain (Suzana, Timban, Kaunang, & Ahmad, 2011). Menurut Arief (2003) dalam Saprudin & Halidah (2012), secara garis besar fungsi ekonomi mangrove merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat, industri maupun bagi negara, dalam bentuk: (1) Kayu dalam skala komersial, berbagai jenis kayu mangrove dapat digunakan sebagai: (a) chips, terutama jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp., (b) penghara industri papan dan plywood terutama jenis Bruguiera spp. dan Heritiera littoralis, (c) scalfold, terutama jenis Rhizophora apiculata, Bruguiera spp. dan Ceriops spp., dan (d) kayu bakar dan arang yang berkualitas tinggi terutama dari Rhizophora spp.; (2) Hasil hutan bukan kayu, seperti madu, obat-obatan, tanin, ikan/udang/kepiting, dan lain-lain, dan; (3). Rekreasi seperti halnya hutan rekreasi mangrove di Cilacap, Jawa Tengah. Perhitungan nilai ekonomi ekosistem mangrove adalah upaya melihat manfaat dan biaya dari sumber daya dalam bentuk moneter yang mempertimbangkan lingkungan. Nilai ekonomi total merupakan instrumen yang dianggap tepat untuk menghitung keuntungan dan kerugian bagi pemanfaatan suatu sumber daya alam yang berkelanjutan.

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini adalah penentuan besar nilai kuantitatif ekosistem mangrove, sehingga dapat diketahui nilai yang akan hilang, jika hutan mangrove tidak

220

Total Nilai Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara ...........................(Riesti Triyanti, Maulana Firdaus dan Radityo Pramoda)

dikelola secara bijaksana. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melakukan penilaian ekonomi ekosistem mangrove, serta kontribusinya terhadap masyarakat di wilayah lokasi penelitian yang meliputi beberapa kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara. Permasalahan yang dihadapi atas keberadaan hutan mangrove di kawasan Kabupaten Gorontalo Utara yaitu: (1) luasan hutan mangrove semakin berkurang setiap tahunnya; (2) kerusakan hutan mangrove akibat eksploitasi kayu secara berlebihan oleh masyarakat sekitar sehingga terjadi degradasi lingkungan dan penurunan produktivitas; (3) terjadi konversi lahan hutan mangrove menjadi tambak (Baderan, 2013). Selain itu, kerusakan hutan mangrove diakibatkan oleh percepatan pembangunan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya ekosistem mangrove.

II. METODE PENELITIAN

A. Kerangka AnalisisPemanfaatan hutan mangrove yang ada saat

ini dinilai belum optimal dan lestari, karena belum menghitung manfaat dan biaya dari kegiatan usaha, termasuk menghitung nilai ekonomi dari sumber daya hutan mangrove. Pendekatan tersebut akan menawarkan pilihan yang rasional dalam pemanfaatan sumber daya mangrove sesuai dengan apa yang dikembangkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara.

Kecamatan Kwandang yang merupakan bagian dari wilayah pemekaran di Kabupaten Gorontalo Utara dan menjadi ibu kota Kabupaten di bagian utara Provinsi Gorontalo. Kegiatan pembangunan di wilayah pemekaran dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan wilayah, tetapi sebaliknya membawa risiko pada kerusakan lingkungan. Hutan mangrove memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi yang mampu memberikan manfaat bagi kehidupan,

sehingga kerusakan hutan mangrove menyebabkan ketidakmampuan kawasan tersebut dalam mendukung kehidupan sekelilingnya.

Hasil perhitungan nilai ekonomi total hutan mangrove akan menjadi input dalam pemilihan alternatif pola pemanfaatan hutan mangrove selanjutnya. Perhitungan nilai ekonomi hutan mangrove menggunakan pendekatan nilai yang terkandung di dalamnya, seperti yang dilakukan oleh de Groot, Wilson, & Boumans (2002), sebagaimana kerangka pendekatan penelitian (lihat Gambar 1). Usaha pelestarian ekosistem mangrove bukan hanya bergantung pada ada tidaknya partisipasi pemerintah dan masyarakat, tetapi sangat bergantung pada tinggi rendahnya tingkat partisipasi tersebut. Kondisi ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang manfaat dan keuntungan yang dapat diperoleh dari hutan mangrove. Oleh karena itu, dalam usaha pengelolaan hutan mangrove aspek pengetahuan, persepsi terhadap hutan mangrove, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, perlu dikaji sebagai dasar penentuan arah kebijakan pengelolaan hutan mangrove (Ritohardoyo & Ardi, 2011).

Hutan mangrove juga memiliki beberapa fungsi ekologi, ekonomi dan sosial budaya, yaitu (a) sebagai peredam banjir dan gelombang, (b) sebagai tempat penyimpan karbon, (c) menghasilkan produk barang-barang seperti ikan yang dibudidayakan, kepiting, dan produk-produk hutan (kelelawar, burung, lebah/madu, dan (d) nilai kelestarian untuk ekosistem mangrove di masa depan. Mangrove memilki sifat ekologi yang berbeda-beda pada berbagai tingkatan, yaitu sebagai suatu ekosistem dan landscape (Schaeffer, Cintrón, Lignon, & Coelho, 2005)

Berdasarkan klasifikasi citra satelit Landsat 8, ekosistem mangrove di kawasan Gorontalo Utara didominasi oleh mangrove dengan kategori rapat sebesar 90% dari luas total yang mengindikasikan masih terjaganya kelestarian hutan mangrove, sehingga daerah

221

pesisir Gorontalo Utara cukup terlindungi dari gempuran ombak. Klasifikasi citra satelit Landsat 8 ini menggunakan komposit RGB 564 dimana ketiga band tersebut termasuk dalam kisaran spektrum tampak dan inframerah-dekat dan mempunyai panjang gelombang yang sesuai dengan panjang

gelombang band 4, band 5 dan band 3 pada citra satelit landsat 7 ETM+. Nilai kerapatan hutan mangrove dihitung dengan metode rasio band Near Infra Red (NIR) dan band merah (Green et al., 2000 dalam Waas & Nababan, 2010). Untuk menentukan nilai kerapatan tajuk mangrove menggunakan hasil dari

Sumber (Source): modifikasi dari de Groot et al., 2002

Gambar 1. Kerangka analisis penelitian.Figure 1. Analytical framework of the study.

222

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 219-236

perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), kemudian diklasifikasi ulang (reclass) menjadi tiga kelas, yaitu kerapatan jarang, sedang dan lebat.

Hasil perhitungan nilai total ekonomi hutan mangrove ini dijadikan sebagai bahan rekomendasi hasil penelitian. Rekomendasi yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi pada hutan mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara sehingga pemerintah kabupaten dapat lebih memperhatikan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Kwandang.

B. Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilakukan di Kabupaten

Gorontalo Utara yang terdiri dari dua kecamatan yaitu Kecamatan Kwandang dan Kecamatan Tomilito. Lokasi penelitian di Kecamatan Kwandang berada di lima desa yaitu Desa Mootinelo, Desa Bulalo, Desa Dambalo, Desa Putiana, Desa Botung Bungo, dan di Kecamatan Tomilito berada di dua desa yaitu Desa Bubode dan Desa Jembatan Merah. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015.

C. Pengumpulan DataData yang dikumpulkan meliputi data

primer dan data sekunder. Pemilihan contoh penelitian untuk data primer dilakukan dengan metode purposive sampling. Data primer terdiri dari usia, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengalaman usaha, dan rata-rata pendapatan responden per tahun, produksi dan harga ikan bandeng, udang, dan kepiting, serta jumlah tangkapan dan harga kelelawar, burung dan madu. Data sekunder terdiri dari Provinsi Gorontalo Dalam Angka 2014 dan Kabupaten Gorontalo Utara Dalam Angka 2014 (BPS Provinsi Gorontalo, 2015; BPS Kabupaten Gorontalo Utara, 2015), jumlah karbon yang tersimpan pada pohon mangrove (Murdiyarso et al., 2009), dan biaya standar pembangunan break water (Baderan, 2013).

Data primer dikumpulkan melalui

wawancara mendalam dengan pemanfaat dan non pemanfaat jasa ekosistem mangrove dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Jumlah responden yang diwawancara sebanyak 86 orang (22 orang pembudidaya tambak, 14 orang pencari kepiting, 11 orang pencari satwa, dan 39 masyarakat non pemanfaat jasa ekosistem mangrove). Data tersebut diolah untuk mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi terkait pemanfaatan sumber daya dan mengetahui nilai total sumber daya yang terkandung dalam kawasan ekosistem mangrove. Data sekunder dikumpulkan melalui kunjungan langsung ke instansi terkait yakni: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gorontalo Utara, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Gorontalo Utara, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Gorontalo Utara, dan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan materi penelitian. Disamping itu dilakukan studi literatur pada hasil-hasil penelitian terdahulu dan jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan dengan penelitian, serta pengunduhan melalui internet.

D. Analisis DataAnalisis data dilakukan menggunakan

metode valuasi ekonomi untuk menghitung nilai total ekonomi (Total Economic Value/ TEV) dari sumber daya alam. Nilai total ekonomi adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumber daya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat di tentukan secara benar dan mengenai sasaran (Nilwan, Nahib, Suwarno, & Cornelia, 2003). Secara matematis, nilai total ekonomi dapat ditulis sebagai berikut:

Pada masing–masing nilai, teknik valuasi akan dilakukan menggunakan beberapa pendekatan diantaranya yaitu Contingen Valuation Method (CVM), Effect on

Total Value= Ecology Value + Economy Value + Social Value ........(1)

223

Total Nilai Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara ...........................(Riesti Triyanti, Maulana Firdaus & Radityo Pramoda)

Production (EoP) dengan teknik Income Approach, dan Benefit Transfer Method (BTM). Uraian masing-masing teknik valuasi dan tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut (Grigalunas & Congar, 1995) :

1. Contingent Valuation Method (CVM)Data dipilah dan ditabulasi agar

memenuhi keperluan analisis. Analisis CVM menggunakan perhitungan Total Benefit sebagai analisis dasar untuk menghitung willingnes to pay (WTP). Untuk mendapatkan dugaan hubungan antara WTP (nilai kesediaan membayar) dengan karakteristik responden. maka didekati menggunakan persamaan regresi sebagai berikut (Yaping, 1999):

dimana, WTP = Willingness to pay (Nilai kesediaan membayar), Α = Konstanta, X1-n = Variabel independen yang diujicobakan, β1-n = Parameter atau estimator, ê = error terms.

Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang. Proses ini melibatkan konversi dari data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah dengan mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga di dalam populasi (N).

2. Effect on Production (EoP) dengan teknik Income Approach

Metode valuasi ekonomi secara umum terdiri atas dua pendekatan, yaitu pertama pendekatan manfaat (benefit) menyangkut langsung dengan nilai pasar (market value), nilai pasar pengganti (substitute atau surrogate) atau barang-barang komplementer (complementary goods). Pengukuran untuk barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam yang diperdagangkan (traded goods) dengan harga yang terukur dapat dilihat dari perubahan dalam surplus konsumen. Surplus konsumen berlandaskan pada pemikiran ekonomi neo-klasikal (neo-classical economic theory) yang berdasar pada kepuasan konsumen (Fauzi, 2004).

Pendugaan nilai ekonomi sumber daya ekosistem mangrove didekati melalui pengukuran tingkat kepuasan (utility) atau surplus konsumen yang dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut (Adrianto & Wahyudin, 2004):

dan

sehingga

dimana, CS = Consumer surplus, Q = Jumlah permintaan atau jumlah sumber daya yang diminta, X1 = Harga per unit sumber daya yang diminta atau dikonsumsi diturunkan dari fungsi permintaan, X2...Xn = Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, U = Utilitas terhadap sumber daya, a = Batas jumlah sumber daya rata-rata yang diminta atau dikonsumsi, f(Q) = Fungsi permintaan, Pt = Harga yang dibayarkan, L = Luas lahan (ekosistem mangrove), NET = Nilai Ekonomi Total.

3. Benefit Transfer Method (BTM)Metode benefit transfer digunakan untuk

mengukur nilai ekologi ekosistem mangrove dengan cara menilai perkiraan benefit dari studi lain yang pernah dilakukan di lokasi yang berbeda namun memiliki karakteristik dan tipologi ekosistem mangrove yang hampir sama, maupun karakteristik pasar yang hampir sama pula, kemudian benefit tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraan kasar mengenai manfaat ekologi ekosistem mangrove sebagai penyimpan karbon dan penahan gelombang (Fauzi, 2004).

Secara ringkas, hubungan nilai suatu sumber daya dengan teknik valuasi/cara melakukan penilaiannya dapat dilihat pada Tabel 1.

.(2)

20 1 ......X n

nQ X β ββ= .................................(3)

a

0U = f (Q)dQ∫ .................................(4)

224

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 219-236

CS = U - Pt .................................(5)

t 1P = X x Q .................................(6)

NET= a.P.L .................................(7)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Pemanfaatan EkosistemMangrove

Luas Provinsi Gorontalo secara keseluruhan adalah 1.243.500 hektar. Kabupaten Gorontalo Utara terletak di wilayah pantai utara Provinsi Gorontalo dan memiliki luas 177.703 hektar, atau sekitar 14,29% dari total luas Provinsi Gorontalo. Posisi geografis Kabupaten Gorontalo Utara adalah 00°41’23”–1°07’55” Lintang Utara dan antara 121°58’59”-123°16’29” Bujur Timur. Kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Gorontalo Utara yaitu: Tolinggula, Sumalata, Anggrek, Kwandang, Atinggola, dan Gentuma Raya (BPS Provinsi Gorontalo, 2015; BPS Kabupaten Gorontalo Utara, 2015).

Proyeksi penduduk Kabupaten Gorontalo Utara pada tahun 2013 adalah 108.324 jiwa. Rata-rata laju pertumbuhan selama kurun waktu 2000-2010 sebesar 1,84 persen. Persebaran penduduk di 6 (enam) kecamatan masih belum merata, terbesar pada Kecamatan Kwandang sebesar 24,89% sedangkan terendah di Kecamatan Ponelo Kepulauan sebesar 3,23%. Hal ini disebabkan karena Kwandang merupakan pusat kabupaten dan Ponelo Kepulauan merupakan kecamatan yang baru terbentuk. Tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Gorontalo Utara pada tahun 2013 rata-rata 61 jiwa per kilometer persegi. Mata pencaharian penduduk di kawasan ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara didominasi oleh petambak

dan nelayan serta beberapa mata pencaharian lain seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), swasta, dan pedagang (BPS Kabupaten Gorontalo Utara, 2015). Karakteristik responden pada penelitian ini berdasarkan atas tingkat pendidikan (mulai dari tidak tamat SD hingga S3), jenis pekerjaan (mahasiswa, PNS, swasta, wiraswasta, nelayan, petambak, dan pencari satwa), pendapatan mulai dari Rp1.000.000–Rp5.000.000 dan tingkat usia (mulai dari usia 19-70 tahun). Masyarakat Kabupaten Gorontalo Utara merupakan masyarakat yang sebagian besar bergantung pada sektor kelautan dan perikanan, serta pariwisata. Secara umum, 80% masyarakat bermatapencaharian pada sektor kelautan dan perikanan, sedangkan 20% lainnya bekerja di sektor pariwisata (BPS Kabupaten Gorontalo Utara, 2015). Pola adat istiadat atau kebiasaan yang masih sering dilakukan adalah gotong royong, pada setiap ada acara desa maupun pribadi. Budaya kehidupan masyarakat perikanan Gorontalo Utara dikenal dengan sistem demokrasi yang khas yakni “bantayo poboide”. Sistem demokrasi melambangkan konsekuensi dalam melaksanakan demokrasi.

Pengelolaan hutan mangrove harus sangat bijaksana karena diperlukan waktu yang cukup lama untuk memulihkan kembali (Talib, 2008 dalam Wahyuni et al., 2014). Kerusakan dan berkurangnya luasan hutan mangrove mengakibatkan menurunnya fungsi hutan mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara, meliputi: (1) Fungsi pelindung atau penahan dari aberasi, dimana ancaman aberasi dapat mengakibatkan kerusakan dan kehancuran

Tabel 1. Hubungan nilai dengan teknik valuasi yang digunakan dalam penelitian, 2015Table 1. The Relationship between the values with valuation techniques used in the research, 2015

Nilai(Value) Teknik Valuasi(Valuation Techniques)

A. Nilai Ekologi (Ecology Value) Benefit Transfer Method (BTM)

B. Nilai Ekonomi (Economy Value) Effect on production (EoP), Income approach

C. Nilai Sosial (Social Value) Contingent Valuation Method (CVM)

Sumber (Source): de Groot, Wilson, & Boumans, 2002.

225

Total Nilai Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara ...........................(Riesti Triyanti, Maulana Firdaus dan Radityo Pramoda)

rumah yang ditempatinya; (2) Fungsi ekologi sebagai penyerap karbon, kecenderungan terjadi peningkatan suhu udara (pemanasan global); (3) Fungsi sosial sebagai lapangan pekerjaan, berkurangnya jumlah hasil tangkapan para nelayan, serta menurunnya jumlah produksi ikan dari para petambak; dan (4) Fungsi ekologi sebagai tempat tinggal hewan endemik sehingga hewan tersebut terancam kepunahan.

Dilihat dari klasifikasi citra satelit Landsat 8, total luas ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Gorontalo Utara sebesar 2.587,50 hektar. Luas hutan mangrove ini didominasi oleh Kecamatan Anggrek dengan luas 1.089,30 hektar, kemudian Kecamatan Kwandang seluas 487,16 hektar, Kecamatan Monalo seluas 316,78 hektar, Kecamatan Sumalata seluas 136,03 hektar, dan sisanya tersebar di 6 (enam) kecamatan seluas 558,23 hektar. Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara terdiri dari mangrove jarang, mangrove sedang dan mangrove rapat. Mangrove dengan kategori rapat mengindikasikan masih terjaganya kelestarian hutan mangrove di daerah ini. Daerah ini merupakan kawasan yang terdapat banyak pulau-pulau kecil yang

menjadi barrier terhadap kawasan pantai di daratan Gorontalo Utara sehingga kawasan mangrove di daratan cukup terlindungi dari gempuran ombak (Gambar 2).

B. Nilai Ekologi Ekosistem MangroveMangrove menyediakan pertahanan penting

melawan erosi pesisir. Akar mengikat lapisan tanah dan mengubah aliran air, mencegah hilangnya sedimen dari garis pesisir. Hutan mangrove membantu mengurangi dampak terjangan badai, gelombang besar, dan tiupan angin dari siklon tropis. Pepohonan mangrove mengurangi energi gelombang saat melalui hutan mangrove, dan menjadi penghalang antara gelombang dan lahan (UNEP, 2014). Selain itu, ekosistem mangrove memiliki manfaat ekologi yang secara tidak langsung dirasakan oleh masyarakat pesisir yaitu berfungsi sebagai penyimpan karbon (carbon-sink). Permukaan bawah ekosistem mangrove Indonesia menyimpan sejumlah besar karbon: 78% karbon disimpan di dalam tanah, 20% karbon disimpan di pohon hidup, akar atau biomassa, dan 2% disimpan di pohon mati atau tumbang (Murdiyarso et al., 2015).

Sumber (Source): BAPPEDA Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 (Development Planning Agency at Sub-National Level North Gorontalo Regency, 2015)

Gambar 2. Peta sebaran ekosistem mangrove di pesisir Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara.Figure 2. Distribution map of mangrove ecosystem in coastal Anggrek Sub-District, North Gorontalo Regency.

226

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 219-236

Karbon secara masif tersimpan di bawah permukaan tanah di sekitar ekosistem mangrove. Selain itu, karbon juga tersimpan pada batang dan daun pohon, akar, dan kayu mati yang ada disekitarnya. Hasil penelitian Murdiyarso et al. (2009) menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara sebesar 939,3 Mg C per hektar, diasumsikan jenis mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara mempunyai karakterstik yang sama sehingga digunakan dalam penelitian ini. The World Bank (2013) menyatakan bahwa harga karbon sebesar USD 5,2/ton CO2e, kemudian dikonversi ke metrik ton diperoleh USD 1.418. Sementara itu luasan mangrove di sekitar Gorontalo Utara berdasarkan analisis citra landsat 8 diketahui mencapai 2.587,50 hektar. Jika pada bulan November 2015, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp13.465 maka diperoleh nilai sebesar Rp47.025.611.502.638/tahun atau Rp18.174.149.373/tahun/ hektar.

Ekosistem mangrove secara fisik memiliki fungsi sebagai peredam gelombang. Penghitungan nilai manfaat ini dilakukan menggunakan metode biaya pengganti, dengan mengacu pada standar pembangunan break water oleh Kementerian Pekerjaan Umum dimana kisaran harga per meter kubik berkisar antara Rp500.000 sampai dengan Rp600.000. Santoso (2005) mengungkapkan untuk menghitung nilai pengganti ekosistem sebagai peredam gelombang hanya disetarakan dengan sepertiga dari biaya pembangunan break water. Panjang mangrove yang berfungsi sebagai green belt diketahui sebesar 85.206 meter. Dengan demikian dapat dihitung kebutuhan pembangunan penahan gelombang sebagai nilai pengganti dengan cara mengalikan panjang dan dimensi yang dibutuhkan per meter panjang. Berdasarkan pendapat ahli diketahui bahwa dimensi yang dibutuhkan adalah 6 (enam) meter dengan asumsi 3 (tiga) meter sebagai pondasi dan 3 (tiga) meter lainnya sebagai rentang pasang surut perairan. Dengan demikian kebutuhan biaya pembangunan diperkirakan

mencapai Rp281.179.800.000 sehingga nilai manfaat mangrove sebagai fungsi ini adalah Rp93.726.600.000/tahun. Bila nilai tersebut dibagi dengan luasan mangrove yang ada maka diperoleh nilai Rp30.851.517/hektar/tahun.

C. Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove

1. Budidaya air payauUsaha budidaya air payau yang dilakukan

oleh masyarakat di sekitar kawasan mangrove adalah budidaya udang (dan bandeng) dengan teknik budidaya tradisional. Mayoritas luasan lahan berkisar antara 2 sampai dengan 6 hektar. Asal benih udang windu dari Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar. Faktor keunggulan benih berdasarkan hasil wawancara merupakan faktor penentu keberhasilan dari usaha budidaya air payau. Teknik budidaya tradisional lebih mengutamakan ketersediaan pakan alami pada lahan budidaya karena para pembudidaya tidak memberikan pakan tambahan (pakan pabrik).

Lamanya pemeliharaan rata-rata antara 4 sampai dengan 6 bulan dengan rata-rata frekuensi panen antara satu atau dua kali per tahun. Jumlah bibit udang (benur) yang ditebar dalam ukuran lahan 2 hektar sampai dengan 6 hektar berkisar 60.000 ekor. Banyak sedikitnya jumlah benih yang ditebar lebih cenderung dipengaruhi oleh ketersediaan benih dan kemampuan pembudidaya untuk membeli benih tersebut. Luasan lahan yang dimiliki tidak memengaruhi jumlah benih yang akan ditebar. Ada sebagian pembudidaya yang menerapkan budidaya polikultur, yaitu campuran ikan bandeng dan udang windu.

Penilaian kawasan areal budidaya tambak didekati dengan menggunakan teknik residual rent, dengan melihat perbedaan antar biaya produksi dan nilai panen dari sumber daya alam. Residual rent dapat dilihat sebagai kontribusi sistem alam atau faktor pendapatan (factor income) terhadap nilai ekonomi total. Perhitungan dilakukan menggunakan data hasil wawancara terhadap 22 orang pembudidaya udang yang rata-rata

227

Total Nilai Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara ...........................(Riesti Triyanti, Maulana Firdaus & Radityo Pramoda)

berumur 52 tahun, tingkat pendidikan hingga kelas 2 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/SLTA (11 tahun), besaran keluarga 3 orang dan pengalaman melakukan usaha budidaya air payau selama 14 tahun serta rata-rata pendapatannya sebesar Rp28 juta per tahun (produksi budidaya rata-rata sebanyak 300,30 kilogram per tahun dan harga rata-rata sebesar Rp40.000/kg).

Faktor yang berpengaruh dalam perhitungan nilai manfaat kawasan areal budidaya tambak antara lain: manfaat bersih dari sumber daya kawasan, biaya produksi, dan luasan kawasan sumber daya. Berdasarkan Tabel 2 nilai ekonomi total areal budidaya tambak sebagai penyedia udang windu per tahun sebesar Rp32.940.223 per hektar.

2. Menangkap kepitingMasyarakat pencari kepiting di Kabupaten

Gorontalo Utara adalah mereka yang biasanya bekerja di tambak, pemilik tambak atau masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove. Kepiting yang ditangkap biasanya berasal dari perairan kawasan mangrove di luar tambak. Kepiting yang masuk ke tambak secara alami berkembang biak dengan sendirinya, dan ada pula yang sengaja dibudidayakan oleh penjaga tambak (walaupun hasilnya tidak besar). Hasil tangkapan dari pencari kepiting kebanyakan untuk konsumsi sendiri, bukan untuk diperjualbelikan. Peralatan yang digunakan untuk menangkap kepiting adalah sibu-sibu, perangkap dan jaring. Para pencari kepiting rata-rata sudah melakukan usaha ini lebih dari lima tahun. Kepiting yang dijual

biasanya tidak terlalu banyak jumlahnya, diseleksi berdasarkan kualitasnya, dan sudah ada pedagang pengumpulnya.

Rata-rata masyarakat mencari kepiting setiap hari dan ukuran kepiting yang ditangkap rata-rata 1-5 ekor/kg. Jumlah kepiting yang diperoleh antara 2-20 kg per operasi penangkapan. Harga jual kepiting tergantung pada ukurannya. Harga kepiting ukuran kecil sekisar Rp80.000/kg, kepiting ukuran besar antara Rp100.000 sampai dengan Rp120.000/kg. Pendapatan maksimum dari hasil mencari kepiting mencapai Rp12.240.000/tahun. Nilai tersebut berasal dari total tangkapan kepiting rata-rata sebanyak 102 kg/tahun dikalikan dengan harga rata-rata Rp120.000.

Nilai ekonomi ekosistem mangrove berdasarkan manfaat langsung dari aktivitas penangkapan kepiting menggunakan pendekatan surplus konsumen. Perhitungan dilakukan dengan cara wawancara terhadap 14 orang yang mencari kepiting, yang berumur rata-rata 44 tahun dengan tingkat pendidikan setara SD hingga SLTA, dan rata-rata pendapatan sebesar Rp12.240.000/tahun. Produksi rata-rata hasil tangkapan per bulan adalah 8.5 kg dengan harga jual tertinggi sebesar Rp120.000/kg.

Penilaian ekosistem hutan mangrove berdasarkan fungsinya sebagai penyedia kepiting, didekati dengan menggunakan teknik EoP, yaitu dengan menilai besaran produktivitas ekosistem hutan mangrove akan sumber daya kepiting. Berdasarkan hasil analisis terhadap aktivitas pencarian kepiting, maka diperoleh fungsi permintaan terhadap

Tabel 2. Nilai ekonomi kawasan budidaya tambak sebagai penyedia udang windu, 2015Table 2. Economic value of brackish culture area as Tiger Shrimp providers, 2015

Total Keuntungan per Siklus

(Total of provit per cycle)

(Rp)

Jumlah Siklus per Tahun

(The number of cycles per

year)

Total Keuntungan per Tahun

(Total of profit per year) (Rp)

Total Biaya

(Total of Cost) (Rp)

Nilai Manfaat (Use value)

(Rp)

Luas Lahan/ Hektar(Land area/

Hectare)

Nilai Ekonomi Kawasan

Economic Value of Area

(Rp/Hektar/Tahun)

28.000.000 3 73.818.182 7.937.727 65.880.455 2 32.940.223

228

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 219-236

pemanfaatan sumber daya (kepiting) sebagai berikut:LnQ=-3,433–0,759LnP+0,537LnA+0,513LnEdu–0,208LnKK+0,710LnIncKeterangan, Q = Jumlah permintaan kepiting selama setahun (kg/tahun), P = Harga rata-rata kepiting (Rp/kg), A = Umur (tahun), Edu = Tingkat pendidikan (tahun), KK = Jumlah anggota keluarga (orang), Inc = Pendapatan usaha (Rp/tahun).

Hasil analisis regresi terhadap fungsi permintaan diatas memiliki nilai R2 sebesar 0,8059. Hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas yang dimasukkan ke dalam model yaitu harga, umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga dan pendapatan mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu permintaan kepiting dalam satu tahun sebesar 80,59%. Angka tersebut menyatakan masih terdapat beberapa variabel lainnya yang memengaruhi permintaan kepiting sebesar 19,41%. Setiap variabel yang diuji dalam model memiliki tingkat signifikansi yang berbeda-beda. Uji parsial dilakukan dengan membandingkan taraf nyata nilai p-value. Jika dalam penelitian ini menggunakan taraf nyata sebesar 5%, maka variabel dengan p-value sama dengan 5% atau lebih kecil memberikan indikasi dinyatakan sebagai variabel yang secara parsial berpengaruh signifikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel Inc (pendapatan) memiliki tingkat signifikansi tinggi atau lebih berpengaruh tinggi dibandingkan variabel lainnya. Variabel yang memiliki tingkat signifikansi paling kecil atau berpengaruh rendah terhadap model adalah KK (jumlah anggota keluarga).

Permintaan kepiting pada ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara dipengaruhi secara negatif oleh harga (P) dan jumlah anggota keluarga (KK), sedangkan variabel umur (A), tingkat pendidikan (Edu), dan pendapatan (Inc) berpengaruh positif terhadap permintaan kepiting. Berdasarkan model, terlihat bahwa jika harga kepiting naik, maka permintaan terhadap kepiting

akan menurun. Faktor jumlah anggota rumah tangga

(KK) berpengaruh secara negatif terhadap permintaan. Namun, variabel KK ini memiliki tingkat signifikansi atau pengaruh yang rendah terhadap model. Hal ini disebabkan oleh kepiting bakau pada umumnya tidak langsung dijual oleh nelayan, namun ditampung terlebih dahulu, jika jumlah kepiting sudah mencukupi permintaan pasar, maka nelayan akan menjual kepiting.

Dari fungsi permintaan yang diperoleh, dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumber daya kepiting dengan menghitung besarnya nilai surplus konsumen atau Consumer Surplus (CS), yang menggambarkan besarnya nilai atau manfaat yang diterima nelayan dari ekosistem mangrove. Hasil perhitungan menunjukkan utilitas terhadap sumber daya (U) sebesar Rp6.863.438 per tahun, sedangkan untuk nilai yang dibayarkan konsumen (Pt) adalah sebesar Rp62.149 dengan demikian dapat diketahui nilai Consumer Surplus (CS) sebesar Rp6.352.931 per pelaku usaha perikanan. Jika jumlah populasi pencari kepiting adalah 620 orang maka diperoleh total nilai manfaat langsung sumber daya kepiting sebesar Rp1.417.351/hekta/tahun. Nilai ini signifikan dipengaruhi oleh umur, tingkat pendidikan dan pendapatan nelayan sebagai konsumen (pemanfaat ekosistem mangrove).

3. PencarisatwaSebagian besar masyarakat di Kabupaten

Gorontalo Utara memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, pembudidaya, guru, pegawai desa, pedagang pengumpul maupun pembuat kerajinan kerang. Selain itu, masyarakat juga melakukan aktivitas sebagai pencari satwa, meskipun hanya sebagai hobi namun menambah pendapatan keluarga. Jenis satwa yang ditangkap yaitu bia paku, bia bor, burung, madu dari lebah, dan kelelawar. Frekuensi dalam mencari satwa biasanya berbeda-beda, untuk bia paku dan bia bor dilakukan 3-7 hari sekali, burung dilakukan

229

Total Nilai Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara ...........................(Riesti Triyanti, Maulana Firdaus & Radityo Pramoda)

tiap seminggu sampai dengan sebulan sekali, madu dilakukan tiap enam bulan sekali, dan kelelawar dilakukan tiga hari sekali. Hasil buruan kemudian dijual, namun untuk bia beberapa untuk dikonsumsi pribadi. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa harga burung tergantung jenisnya (bila dijual dalam keadaan hidup).

Alat bantu yang digunakan untuk memburu satwa juga berbeda-beda. Untuk kelelawar menggunakan kayu sepanjang 1,5 meter yang ujungnya dibuat runcing seperti tombak, burung menggunakan perangkap, bia menggunakan alat pisau atau martil dan untuk mengambil madu hasil lebah hutan menggunakan baju pengaman untuk menghindari sengatan. Penilaian kawasan areal mangrove sebagai penyedia sumber daya genetik didekati menggunakan teknik income approach, yaitu dengan melihat penerimaan usaha dari pencarian satwa.

Variabel yang digunakan dalam perhitungan antara lain: usia responden (38 tahun), tingkat pendidikan (kelas 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/SLTP (8 tahun)), banyaknya anggota keluarga (4 orang) dan pengalaman berburu satwa (8 tahun). Hasil yang diperoleh untuk satu kali buruan yaitu kelelawar sebanyak 15-

25 ekor (harga Rp7.000/ekor), madu lebah hutan sebanyak 7-8 botol (harga Rp50.000 s.d Rp100.000/botol), burung sebanyak 3-5 ekor (harga Rp50.000/ekor). Faktor yang berpengaruh dalam perhitungan nilai manfaat kawasan mangrove sebagai penyedia genetik antara lain: jumlah produksi, harga, jumlah pencari satwa, dan luasan kawasan sumber daya. Nilai ekonomi total areal mangrove sebagai penyedia sumber daya genetik sebesar Rp6.358.489 (Tabel 4).

D. Nilai Sosial Budaya Ekosistem Mangrove

Nilai sosial budaya dapat disebut sebagai nilai bukan manfaat yang menggambarkan besaran nilai yang diberikan oleh masyarakat untuk mempertahankan kelestarian ekosistem tersebut untuk alasan-alasan yang bersifat religi, budaya, artistik, pewarisan dan sejenisnya. Nilai bukan manfaat dari ekosistem mangrove dihitung berdasarkan fungsi keberadaan ekosistem tersebut (existence value/EV) di mata masyarakat setempat. Metode penilaian keberadaan kawasan ini dilakukan dengan menggunakan teknik contingent valuation methods (CVM).

Nilai warisan merupakan konsep penilaian

Tabel 4. Nilai ekonomi kawasan mangrove sebagai penyedia genetik di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015Table 4. Economic value of mangrove area as genetic provider in North Gorontalo Regency, 2015

Jenis Satwa(Species)

Produksi(Producti-

on)

Harga rata-rata(Price rate)

(Rp)

Frekuensi perburuan rata-rata per tahun (Poaching frequency rate per

year)

Nilai Manfaat per

tahun(Use value per year)

(Rp)

Jumlah pencari satwa / orang(The

number of animal poaching / person))

Luas Lahan (Land area)hektar

Nilai Ekonomi Kawasan

(Economic value of

area)(Rp/hektar/

tahun)

Kelelawar(bat)

17,5 ekor(heads)

7.000 per ekor (per head)

68 8.330.000 615 2.587,5 1.979.884

Burung(birds)

4,7 ekor(heads)

105.000 per ekor

(per head)

30.33 14.861.700 246 2.587,5 1.412.938

Madu(honey)

8,6 botol(bottle)

58.333 per botol (per bottle)

62 31.193.750 246 2.587,5 2.965.667

230

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 219-236

terhadap sesuatu yang berbentuk abstrak dikarenakan tidak ada nilai sesungguhnya yang terbentuk sehingga digolongkan kedalam kelompok nilai bukan manfaat. Penilaian ini ditujukan untuk mengapresiasi upaya-upaya pelestarian yang didekati dengan konsep nilai yang ingin dibayar. Keinginan untuk membayar dalam hal ini diukur dari kesediaan masyarakat untuk membayar atau berkorban tanpa memanfaatkan sesuatu sehingga kelestarian lingkungan dapat tercapai. Kesediaan membayar diilustrasikan dengan membayar iuran yang ditujukan untuk pengawasan kawasan ekosistem mangrove dari aktivitas yang merusak lingkungan. Tidak memanfaatkan sesuatu sebagai contohnya adalah tidak memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar. Berdasarkan data yang terkumpul maka persamaan nilai warisan yang terbentuk adalah sebagai berikut:

WTP=42,94–0,25A+0,28E–2,36KK+6,76I-7,70M+32KM

Keterangan, WTP = Nilai kesediaan membayar (Rp), A = Umur (tahun), E = Tingkat pendidikan (tahun), KK = Jumlah anggota keluarga (orang), I = Pendapatan (Rp/tahun), M = Pengalaman (tahun), KM = Mempertahankan ekosistem (Rp).

Berdasarkan hasil analisis contingent valuation methods (CVM) dapat diketahui bahwa fungsi permintaan terhadap pelestarian ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara diduga dipengaruhi oleh umur, tingkat pendidikan, pendapatan, pengalaman, jumlah keluarga dan pengalaman memanfaatkan sumber daya lingkungan. Umur, jumlah anggota keluarga, dan pengalaman memanfaatkan sumber daya diketahui berbanding terbalik dengan nilai yang ingin dibayar. Hal ini dapat bermakna bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin besar pula kebutuhan dan peluang untuk mengakses atau memanfaatkan sumber daya (ekosistem mangrove) sehingga nilai kesediaan membayar akan menjadi kecil. Nilai kesediaan membayar masyarakat untuk

memproteksi sumber daya hutan mangrove semakin besar, jika diwujudkan dalam bentuk sumbangan lingkungan seperti iuran kebersihan dan iuran rukun tetangga lainnya.

Nilai warisan pada masyarakat di sekitar lokasi penelitian diduga dipengaruhi usia, tingkat pendidikan, pendapatan, pengalaman dan jumlah keluarga. Usia, jumlah anggota keluarga dan pengalaman memanfaatkan sumber daya diketahui berbanding terbalik dengan nilai yang ingin dibayar. Hal ini dapat dipahami sebagai penurunan produktivitas seseorang seiring dengan bertambahnya usia yang mendorong sikap untuk berhemat dalam melakukan pengeluaran. Pekerjaan masyarakat yang sebagian besar adalah sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang syarat dengan pekerjaan fisik yang membutuhkan banyak energi. Faktor jumlah anggota keluarga dan pengalaman memanfaatkan sumber daya juga memiliki pengaruh yang negatif.

Pengalaman seseorang dalam memanfaatkan sumber daya membuat seseorang sulit untuk mengurangi eksploitasi yang dilakukan karena bertentangan dengan motif aktivitas ekonominya selama ini. Faktor jumlah keluarga dapat dimaknai sebagai pilihan yang diambil oleh orang tua tidak berupaya untuk memberi manfaat ekonomi kepada generasi penerusnya.

Hanya faktor pendidikan dan pendapatan yang berkorelasi positif dengan keinginan untuk membayar. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan menjamin kesadaran seseorang terhadap kelestarian lingkungan, sedangkan jumlah pendapatan menunjukkan sebagai sifat alami manusia, dimana semakin tinggi masyarakat akan semakin royal termasuk dalam hal memberi sumbangan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah cenderung hanya ingin mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Bagi mereka masa depan tidak lebih penting dari bertahan hidup saat ini sehingga orientasi perilaku dan pengeluaran masyarakat cenderung hanya untuk keinginan. Nilai keinginan membayar yang terbentuk

231

Total Nilai Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara ...........................(Riesti Triyanti, Maulana Firdaus & Radityo Pramoda)

berdasarkan hasil analisis adalah sebesar Rp489.855/orang/tahun. Faktor dominan yang memengaruhi nilai tersebut adalah faktor pendidikan dan pendapatan, sedangkan usia, jumlah anggota keluargadan pengalaman memanfaatkan sumber daya merupakan faktor yang kurang dominan. Populasi penduduk di Kabupaten Gorontalo Utara adalah sebesar 108.324 orang dan luas mangrove sebesar 2.587,5 hektar sehingga total WTP adalah Rp52.633.006.740/tahun atau Rp20.341.259/hektar/tahun.

E. Nilai Total Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara

Nilai ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara dihitung berdasarkan pendekatan nilai total dari ekosistem mangrove. Pada dasarnya nilai total merupakan penjumlahan dari nilai-nilai yang telah dijelaskan sebelumnya. Secara keseluruhan total nilai ekonomi hutan mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Gorontalo Utara dapat diestimasi sebesar Rp18.226.058.212/hektar/tahun. Pada tahun 2009 Nahib & Sudarmadji (2010) mengestimasi nilai total ekonomi hutan mangrove di Kabupaten Pohuwato sebesar Rp171.337.599,91/hektar/tahun. Nilai tersebut belum seluruhnya memasukkan nilai ekologi hutan mangrove, pada penelitian ini nilai ekologi ekosistem mangrove hanya berdasarkan fungsi mangrove sebagai penahan aberasi saja, belum memasukkan fungsi mangrove sebagai penyimpan karbon (Nahib & Sudarmadji, 2010). Namun, penelitian Baderan (2013) diperoleh nilai yang lebih besar yaitu mengestimasi nilai total kerusakan hutan mangrove di Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara sebesar Rp52.672.513.290/hektar/tahun. Nilai total ekosistem mangrove tersebut menggambarkan fungsi ekologi ekosistem mangrove sebagai penahan intrusi, pelindung gelombang, penahan gelombang, dan pengendalian banjir, serta fungsi mangrove sebagai penyedia pakan. Nilai ekologi ekosistem mangrove sebagai penyimpan

karbon diperoleh dengan cara menghitung langsung nilai karbon di lapangan berdasarkan volume batang pohon dari spesies mangrove dan dipadukan dengan nilai karbon dari citra dengan menggunakan persamaan regresi. Sedangkan pada penelitian ini, perhitungan ekosistem mangrove sebagai penyimpan karbon menggunakan metode benefit transfer berdasarkan harga C dunia. Segenap nilai yang dihitung pada ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara merupakan nilai ekonomi pada tahun berjalan, yaitu tahun 2015, sehingga bilamana memungkinkan dapat diperbarui maksimal lima tahun sekali untuk mendapatkan gambaran nilai ekonomi total sumber daya alam dan lingkungan di masa mendatang.

Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa nilai terbesar berasal dari nilai ekologi yaitu 99,67%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ini merupakan nilai manfaat yang tidak langsung dirasakan oleh masyarakat pesisir yaitu ekosistem mangrove berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan karbon serta peredam gelombang. Potensi penyimpanan karbon pada substrat lumpur mangrove sangatlah besar (Purnomobasuki, 2012). Oleh karena itu estimasi penyimpanan karbon pada substrat lumpur mangrove dapat dijadikan acuan dasar dalam penilaian manfaat ekonomis mangrove dalam bentuk komoditi jasa lingkungan C-Sequestration (Purnomobasuki, 2012). Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan cocok untuk penyerapan dan penyimpanan karbon. Selain melindungi daerah pesisir dari aberasi, tanaman mangrove mampu menyerap emisi yang terlepas dari lautan dan udara. Penyerapan emisi gas buang menjadi maksimal karena mangrove memiliki sistem akar napas dan keunikan struktur tumbuhan pantai.

F. Upaya Penyempurnaan Pengurusan dan Pengelolaan Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara

232

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 219-236

Untuk mengatasi permasalahan hutan mangrove di kawasan Kabupaten Gorontalo Utara, maka diperlukan upaya untuk pengelolaan hutan mangrove yang lestari dan berkelanjutan, yaitu:(1) Perlu perhatian khusus dalam pengelolaan

spesies mangrove yang makin langka di daerah ini, yaitu Rhizopora mucronata dan Ceriops decandra (Baderan, 2013), yang diakibatkan tempat tumbuh (habitat) spesies tersebut berubah peruntukannya menjadi tambak, kebun, sawah, dan pelabuhan. Berdasarkan hasil penelitian Baderan (2013), tekstur tanah di kawasan pesisir Gorontalo Utara tidak cocok untuk areal tambak karena kandungan pasirnya >50% sehingga kurang mampu menahan air dan mudah hancur jika dibangun tanggul.Oleh karena itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gorontalo bekerja sama dengan Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi Kabupaten

Gorontalo Utara harus mengurangi eksploitasi kawasan hutan mangrove agar tidak semakin berkurang luasannya.

(2) Pengelolaan ekosistem mangrove agar tidak terjadi degradasi lingkungan dan penurunan produktivitas mangrove dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dan stakeholders (pengguna) guna memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat dan pengguna secara berkelanjutan (sustainable). Pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat merupakan suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan di suatu daerah berada ditangan organisasi–organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan, dan aspirasinya serta masyarakat itu

Tabel 5. Nilai total ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015Table 5. Total value of mangrove ecosystem in North Gorontalo Regency, 2015

Jenis nilai(The type of value)

Nilai (Rp/tahun)(Value) (Rp per year)

Nilai (Rp/tahun/hektar)

(Value) (Rp per year per hectare)

Proporsi (%)(Proportion)

Nilai ekologi (Ecology value)Penyimpan karbon (Carbon stock)Peredam gelombang (construction of break water)

47.025.611.502.63893.726.600.000

18.174.149.37330.851.517

99,500,17

Nilai ekonomi (Economy value)Budidaya tambak (brackish culture)Pencari kepiting (Crab seekers)Pencari satwa (Animal poahcing)

•Kelelawar (Bats)•Burung (Birds)• Lebah (madu) (Honey)

65.880.445878.757.620

5.122.949.8503.655.977.0757.673.663.362

32.940.2231.417.351

1.979.8841.412.9382.965.667

0,180,01

0,010,010,02

Nilai sosial budaya (Social culture value)Nilai pewarisan (Inheritance value)

52.633.006.740 20.341.259 0,11

Nilai ekonomi total (Economy value total)

47.189.368.337.730 18.226.058.212 100,00

233

Total Nilai Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara ...........................(Riesti Triyanti, Maulana Firdaus & Radityo Pramoda)

pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya (Carter, 1996). Pomeroy & Rivera-Gueib, (2006) mengatakan bahwa konsep pengelolaan sumber daya alam yang mampu menampung kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management (Co-Management), yang dapat diwujudkan dalam bentuk rehabilitasi ekosistem mangrove. Masyarakat melakukan pembibitan dan penanaman mangrove di wilayah pesisir kemudian melakukan pengawasan terhadap eksploitasi mangrove, sedangkan pemerintah memberikan pendanaan pengelolaan dan memonitor pelaksanaannya.

(3). Sosialisasi dan peningkatan pengetahuan, tingkat pendidikan dan kesadaran akan nilai manfaat mangrove bagi kehidupan masyarakat Gorontalo Utara merupakan skala prioritas dalam pengelolaan hutan mangrove, agar nilai ekologi yang terabaikan bisa segera dibenahi. Pandangan bahwa keuntungan ekonomi lebih baik dibandingkan nilai ekologi harus segera diluruskan, karena nilai ekonomi yang bersumber pada fungsi ekologis lebih besar nilainya dibandingkan nilai ekonomi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanNilai total ekosistem mangrove di

Kabupaten Gorontalo diperoleh sebesar Rp18.266.058.212 per hektar per tahun yang terdiri dari nilai ekologi ekosistem mangrove 99,67%, nilai ekonomi ekosistem mangrove 0,22%, serta nilai sosial budaya ekosistem mangrove 0,11%. Dari total nilai, proporsi terbesar berasal dari nilai yang tidak langsung dirasakan oleh masyarakat yaitu fungsi ekosistem mangrove sebagai penyerap karbon dan peredam gelombang yang terkandung dalam nilai ekologi. Rendahnya nilai ekonomi ekosistem mangrove hanya 0,04% dari nilai

total ekosistem mangrove menjadi penyebab utama eksploitasi mangrove yang berlebihan. Faktor-faktor dominan yang memengaruhi manfaat ekonomi hutan mangrove agar tetap lestari pada nilai sosial budaya yaitu tingkat pendidikan dan pendapatan, sedangkan pada nilai ekonomi adalah usia, pendidikan, dan pendapatan.

Untuk meningkatkan nilai ekonomi ekosistem mangrove maka perlu dikembangkan potensi ekonomi lokal. Kegiatan peningkatan nilai ekonomi yang ramah lingkungan yaitu: pengembangan mangrove sebagai edupark (pendidikan, penelitian, dan wisata) dengan pembangunan tracking dan gazebo di areal mangrove yang akan memberikan multiplier effect bagi masyarakat, model pengelolaan mangrove seperti silvofishery/winamina (empang parit) untuk pemeliharaan bandeng dan udang, pengelolaan tanin dari ekstrak kulit kayu mangrove untuk industri persamakan kulit dan tekstil (pewarna batik), serta pengolahan mangrove sebagai bahan baku chip untuk tujuan ekspor. Peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat akan meningkatkan nilai ekonomi ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara.

Pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem seharusnya dapat dilakukan apabila akan memberikan manfaat yang lebih besar dari nilai manfaat ekonomi total. Kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove yang dilakukan sampai saat ini cenderung bersifat ekstraktif, yang lebih mengutamakan manfaat langsung dari sumber daya yang ada. Di satu pihak, dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut, menyebabkan terjadinya degradasi sumber daya alam (termasuk sumber daya hutan mangrove). Meskipun nilai total ekosistem mangrove yang diperoleh baru menggambarkan nilai dugaan secara kasar, setidaknya dapat menggambarkan bahwa analisis ekonomi (valuasi ekonomi) ekosistem mangrove sangat bermanfaat.

234

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 219-236

B. SaranPengelolaan hutan mangrove yang

lestari dan berkelanjutan diwujudkan dalam pengaturan yang ketat terhadap pengelolaan pesisir di Provinsi Gorontalo dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 01 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu di Provinsi Gorontalo. Untuk menghindari pelanggaran maka perlu dilakukan patroli pengawasan ekosistem mangrove oleh masyarakat. Selain itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo Utara juga perlu memberikan perhatian khusus dalam pengelolaan spesies mangrove yang makin langka di daerah ini, Rhizopora mucronata dan Ceriops decandra, membatasi eksploitasi hutan mangrove khususnya untuk kegiatan budidaya tambak, melarang kegiatan reklamasi, dan melakukan sosialisasi untuk peningkatan pengetahuan, tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat akan nilai manfaat ekonomi yang bersumber pada fungsi ekologis mangrove bagi kehidupan masyarakat Gorontalo Utara.

UCAPAN TERIMAKASIH(ACKNOWLEDGEMENT)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSEKP) yang telah memfasilitasi pelaksanaan kegiatan penelitian ini, khususnya ditujukan kepada Prof. Sonny Koeshendrajana selaku penanggung jawab kegiatan, rekan-rekan tim penelitian, responden serta enumerator dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Gorontalo. Terakhir ucapan terimakasih diberikan kepada segenap tim redaksi Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan yang telah memberikan arahan dalam penyempurnaan penulisan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, L., & Wahyudin, Y. (2004). Modul pengenalan konsep dan metodologi valuasi ekonomi sumberdaya pesisir dan laut. Bogor: PKSPL-IPB.

Baderan, D.W.K. (2013). Model valuasi ekonomi sebagai dasar untuk rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

BAPPEDA Kabupaten Gorontalo Utara. (2015). Penyusunan rencana strategis (renstra) wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kabupaten Gorontalo Utara. Gorontalo Utara: Bappeda Kabupaten Gorontalo Utara.

BPS Kabupaten Gorontalo Utara. (2015). Gorontalo Utara dalam angka tahun 2014. Gorontalo Utara. Retrieved 11 September 2015 from https://gorontaloutarakab.bps.go.id/.

BPS Provinsi Gorontalo. (2015). Gorontalo dalam angka 2014. Gorontalo. Retrieved 11 September 2015 from https://gorontalo.bps.go.id/%0A.

Carter, J.(1996). Introductory course on integrated coastal zone management. (Training manual). Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sumatera Utara, Medan, dan Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia & Environmental Studies Centres Development in Indonesia Project, Dalhoushi University.

de Groot, R.S., Wilson, M.A., & Boumans, R.M.J. (2002). A typology for the classification, description and valuation of ecosystem functions, goods and services.Ecological Economics Journal, 41(3), 393–408. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0921-8009(02)00089-7.

Fauzi, A. (2004). Ekonomi sumber daya alam dan lingkungan: Teori dan aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Giri, C., Ochieng, E., Tieszen, L. L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T., … Duke, N. (2011). Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeography, 20, 154–159. https://doi.org/10.1111/j.1466-8238.2010.00584.x

Grigalunas, T. A., & Congar, R. (1995). Environmental economics for integrated coastal area management: Valuation methods and policy instruments. Nairobi. Retrieved 16 June 2016 from wedocs.unep.org.

235

Total Nilai Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara ...........................(Riesti Triyanti, Maulana Firdaus & Radityo Pramoda)

Murdiyarso, D., Donato, D., Kauffman, J. B., Stidham, M., Kurnianto, S., & Kanninen, M. (2009). Carbon storage in mangrove and peatland ecosystems in Indonesia – A preliminary account from plots in Indonesia. Bogor: CIFOR. Retrieved 16 October 2016 from www.cifor.cgiar.org.

Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J. B., Warren, M., Sasmito, S., Donato, D., & Kurnianto, S. (2015). The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. Nature Climate Change, (5),1089-1092. https://doi.org/10.1038/nclimate2734.

Nahib, I., & Sudarmadji, B. W. (2010). Neraca dan valuasi ekonomi hutan mangrove di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. GLOBE, 12(1), 28–36. Retrieved 27 August 2016 from http://jurnal.big.go.id/index.php/GL/article/view/114.

Nilwan, Nahib, I., Suwarno, Y., & Cornelia, M. I. (2003). Spesifikasi teknis penyusunan neraca dan valuasi ekonomi sumber daya alam pesisir dan laut. Bogor: Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Bakosurtanal.

Pomeroy, R. ., & Rivera-Gueib, R. (2006). Fishery co-management: A practical handbook. Cambridge: CABI Publishing-International Development Research Centre.

Purnomobasuki, H. (2012). Pemanfaatan hutan mangrove sebagai penyimpan karbon. Buletin PSL, (28), 3–5. Retrieved 03 July 2017 from https://www.researchgate.net/publication/236846548.

Ritohardoyo, S., & Ardi, G. . (2011). Arahan kebijakan pengelolaan hutan mangrove: Kasus pesisir Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Propinsi Kalimantan Barat. Jurnal Geografi, 8(2), 3–12. Retrieved 02 February 2016 from journal.unnes.ac.id.

Santoso, G. (2005). Metodologi penelitian kuantitatif dan kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Saprudin, & Halidah. (2012). Potensi dan nilai manfaat jasa lingkungan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 9(3), 213–219. Retrieved 03 March 2016 from ejournal.forda-mof.org.

Schaeffer, N.Y., Cintrón-Molero, G., Cunha-Lignon, M., & Coelho-Jr, C. (2005). Conceptual hierarchical framework for marine coastal management and conservation: A Janus-Like Approach. Journal of Coastal Research, (42), 191–197. Retrieved 05 February 2016 from http://www.jstor.org/stable/25736984.

Suzana, B. O.L., Timban, J., Kaunang, R., & Ahmad, F. (2011). Valuasi ekonomi sumber daya hutan mangrove di Desa Palaes Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara. ASE Journal, 7(2), 29–38. Retrieved 01 February 2016 from ejournal.unsrat.ac.id.

The World Bank. (2013). End extreme poverty 2030 promote shared prosperity. (Annual Report 2013). Washington DC.: World Bank. https://doi.org/10.1596/978-0-8213-9937-8.

UNEP. (2014). Importance of mangroves to people: A call to action. In J. van Bochove, E. Sullivan, & T. Nakamura (Eds.). Cambridge: United Nations Environment Programme World Conservation Monitoring Centre.

Waas, H.J.D., & Nababan, B. (2010). Pemetaan dan analisis index vegetasi mangrove di Pulau Saparua, Maluku Tengah. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2(1), 50–58. Retrieved 28 August 2016 from http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53410.

Wahyuni, Y., Intan, E., Putri, K., & Simanjuntak, S. M. (2014). Valuasi total ekonomi hutan mangrove di Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 3, 1–12. Retrieved 28 August 2016 from jurnal.balithutmakassar.org.

Yaping, D. (1999). The use of benefit transfer in the evaluation of water quality improvement: An application in China. Beijing. Retrieved 15 January 2016 from idl-bnc-idrc.dspacedirect.org.

236

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.3, 2017 : 219-236

237

INDEKS PENULIS

Aceng Hidayat, 101Adnan Ardhana, 143Agung Budi Supangat, 157Anita Rianti, 83Arif Irawan, 71Bambang Tejo Premono, 191Deden Djaenudin, 19Dewi Ratna Kurniasari, 119Dian Charity Hidayat, 119Edwin Martin, 191Elvida Y. Suryandari, 19, 171Hadi Susilo Arifin, 39Heru Setiawan, 57Idin Saepudin Ruhimat, 1Iis Alviya, 19Indra Gumay Febryano, 135Iskar Bone, 135Ismatul Hakim, 119Iwanuddin, 71Ja Posman Napitu, 101

Jafred E. Halawane, 71Kuncoro Ariawan, 205Maulana Firdaus, 219Messalina Lovenia Salampessy, 135Muaz Haris, 39Muhammad Abdul Qirom, 143Purwanto, 157R. Garsetiasih, 57, 83Radityo Pramoda, 219Riesti Triyanti, 219Rinekso Soekmadi, 39Rini Purwanti, 57Sambas Basuni, 101Satria Astana, 19Setiasih Irawanti, 119Sofyan Sjaf, 101Sri Lestari, 191Sulistya Ekawati, 71Surati, 205Sylviani, 171

238

INDEKS KATA KUNCI

ADO-ODTWA, 39Agroforestri, 1, 135Akses, 101Analisis LQ dan SSA, 143Analisis struktural, 1Biaya penggantian nilai investasi, 119Dampak kebijakan SVLK, 19Dampak, 171Dusung, 135Ekosistem mangrove, 219Ekowisata, 39Gajah, 83Hak kepemilikan, 101Harapan, 205Hutan rakyat, 19Indonesia, 1Industri mikro, 19Jawa Barat,1Kekeringan, 157Kelompok tani, 1Kesatuan Pengelolaan Hutan, 171Komoditas unggulan, 143Konflik, 83Konservasi mangrove, 57Konservasi, 83Konsumsi air rumah tangga, 157KPHL Hulu Sungai Selatan, 143KPHP Model Poigar, 71Location Quotient, 171Loss opportunity of interest, 119Masyarakat sekitar hutan, 191

Masyarakat, 83Mekanisme hak, 101Mekanisme struktur, 101Musim kering, 157Neraca air, 157Pala, 135Pemberdayaan, 71Pengetahuan ekologi lokal, 135Pengetahuan, 205Penopang kehidupan, 191Perilaku, 71Persepsi masyarakat, 57Persepsi, 71, 83Perubahan kawasan hutan, 205Peruntukan kawasan hutan, 205Pinus, 119Pohon pelindung, 135Potensi konflik, 171Pulau Tanakeke, 57Rotan jernang, 191Sampah, 119Sektor ekonomi, 171Sikap masyarakat, 57Struktur biaya, 19Suaka Margasatwa Bukit Batu, 39Sulawesi Selatan, 57Total nilai, 219Tumpangsari, 119Valuasi ekonomi, 219Wisata, 39

Petunjuk penulisan ini dibuat untuk keseragaman format penulisan dan kemudahan bagi penulis dalam proses penerbitan naskah di Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Penulis dapat menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah dalam bahasa Indonesia harus sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang berlaku, dan bila dalam bahasa Inggris sebaiknya memenuhi standar tata bahasa Inggris baku.

Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3 cm, margin bawah 3 cm, margin kiri dan kanan masing–masing 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 12 halaman, termasuk lampiran. Jarak antara paragraf adalah satu spasi tunggal. Naskah merupakan hasil penelitian dalam bidang sosial dan ekonomi kehutanan, serta lingkungan. Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian.

FORMAT: Naskah diketik di atas kertas putih A4, Times New Roman, font 12, kecuali Abstrak, Kata Kunci dan Daftar Pustaka font 10

SISTEMATIKA PENULISANHasil penelitian:

JUDULIdentitas PenulisABSTRAK & Kata KunciI. PENDAHULUANII. METODE PENELITIANIII. HASIL DAN PEMBAHASANIV. KESIMPULAN DAN SARANUCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT) DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN

Tubuh naskah diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua nomor ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti:I, II, III, dst. untuk BabA, B, C, dst. untuk Sub Bab1, 2, 3, dst. untuk Sub Sub Baba, b, c, dst. untuk Sub Sub Sub Bab1), 2), 3), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Baba), b), c), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Sub Bab

JUDUL: Dibuat dalam 2 bahasa, harus mencerminkan isi tulisan, dan ditulis dengan Times New Roman. Bahasa Indonesia dengan font 14, huruf kapital, tegak dan tidak lebih dari 2 baris atau tidak lebih dari 13 kata. Bahasa Inggris dengan font 12, huruf kecil, italik, dan diapit tanda kurung. Judul naskah harus mencerminkan inti dari isi suatu tulisan. Judul hendaknya akurat, singkat, padat, informatif, mudah diingat dan mudah dipahami. Menggambarkan isi pokok tulisan. Mengandung kata kunci yang menunjukkan isi tulisan. Judul seringkali digunakan dalam sistem pencarian informasi. Hindari pemakaian kata kerja. Hindari pemakaian rumus kimia, rumus matematika, bahasa singkatan dan tidak resmi.

IDENTITAS PENULIS: Nama penulis (tanpa gelar dan jabatan) dicantumkan di bawah judul, di bawahnya diikuti nama dan alamat instansi serta alamat e-mail penulis ditulis dengan font lebih kecil dari font teks (font 10). Bila penulis lebih dari satu, penulisan nama berurutan

PETUNJUK UNTUK PENULIS (GUIDE FOR AUTHORS)

mulai penulis pertama, penulis kedua, penulis ketiga dan seterusnya sesuai dengan peran dan sumbangan yang diberikan serta tanggungjawab yang dibebankan.

ABSTRAK: Dibuat dalam dua bentuk: pertama untuk Lembar Abstrak, maksimal 100 kata, dan kedua (Abstrak) maksimal 200 kata, keduanya berupa intisari dari naskah secara menyeluruh dan informatif. Kedua abstrak tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Abstrak merupakan pernyataan singkat, berupa intisari secara menyeluruh mengenai permasalahan, tujuan, metodologi dan hasil yang dicapai. Ditempatkan sebelum pendahuluan; diketik dengan jarak satu spasi. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, tidak ada gambar, tabel dan pustaka. Tidak mencantumkan istilah yang kurang dimengerti, akronim atau singkatan, nama atau merek dagang atau tanda lain tanpa keterangan. Dapat merangsang pembaca untuk memperoleh informasi lebih lanjut. Naskah dalam bahasa Indonesia: disajikan abstract (bahasa Inggris) yang dicetak miring, disusul abstrak (bahasa Indonesia) yang dicetak tegak. Naskah dalam bahasa Inggris: berlaku sebaliknya.

KATA KUNCI: Dicantumkan di bawah abstrak masing-masing, maksimal 5 entri, dibuat dalam bahasa yang digunakan dalam Lembar Abstrak dan Abstrak.

TEMPLATE JURNAL PENELITIAN SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN

JUDUL(TimesNewRoman,allcaps,14pt,bold,centered)Title (Times New Roman, 12 pt, italic, bold, centered)

(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)

Penulis Pertama1, Penulis Kedua2 dan Penulis Ketiga3

1Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara; e-mail: [email protected]

2Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara;e-mail: [email protected]

3Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara;e-mail: [email protected]

(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)*Apabila semua penulis dalam satu instansi, maka superscript 1,2,dst tidak perlu dicantumkan

Diterima ……, direvisi ……, disetujui …… (diisi oleh Sekretariat)

ABSTRACT (12 pt, bold, italic)(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

Abstract should be written in Indonesian and English using Times New Roman font, size 10 pt, italic, single space.. Abstract is not a merger of several paragraphs, but it is a full and complete summary that describe content of the paper It should contain background, objective, methods, results, and conclusion from the research. It should not contain any references nor display mathematical equations. It consists of one paragraph and should be no more than 200 words in bahasa Indonesia and in English(kosong satu spasi tunggal 10 pt).

Keywords: 3 - 5 keywords (Times New Roman, 10 pt)(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

ABSTRAK (12 pt, bold)(kosong satu spasi 12 pt)

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 10 pt, italic, spasi tunggal. Abstrak bukanlah penggabungan beberapa paragraf, tetapi merupakan ringkasan yang utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan, metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak tidak berisi acuan atau tidak menampilkan persamaan matematika, dan singkatan yang tidak umum. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 200 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

Kata kunci: 3 - 5 kata kunci (Times New Roman, 10 pt)(kosong enam spasi tunggal, 10 pt)

} (Times New Roman, 10

pt, , centered

I. PENDAHULUAN (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Pendahuluan mencakup hal–hal berikut ini: Latar belakang, berisi uraian permasalahan dan alasan pentingnya masalah tersebut diteliti. Permasalahan diumuskan secara jelas, penjelasan ditekankan pada rencana pemecahan masalah dan keterkaitannya dengan pencapaian luaran yang telah ditetapkan. Tujuan, berisi pernyataan secara jelas dan singkat tentang hasil yang ingin dicapai dari serangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Sasaran atau luaran menjelaskan secara spesifik yang merupakan hasil antara dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Hasil yang telah dicapai, dijelaskan kaitannya dengan kegiatan yang dilaksanakan (khusus untuk kegiatan penelitian lanjutan).

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional, empiris dan sistematis. Mengemukakan semua bahan yang digunakan seperti tumbuhan kayu, bahan kimia, alat dan lokasi penelitian. Tanaman dan binatang ditulis lengkap dengan nama ilmiah. Menggunakan tolok ukur internasional, system matrix dan standar nomenklatur. Metode penelitian dijelaskan sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Pelaksanaan penelitian disusun berurutan menurut waktu, ukuran dan kepentingan. Jika metode merupakan kutipan harus dicantumkan dalam referensi. Jika dilakukan perubahan terhadap metode kutipan atau standar harus disebutkan perubahannya. Bila diperlukan dapat disajikan dalam tabel. Metode statistik (bila ada) harus disebutkan dengan singkat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil disajikan dalam bentuk uraian umum. Disusun secara berurutan sesuai dengan tujuan penelitian. Jika tujuan penelitian tidak tercapai perlu dikemukakan alasan dan penyebabnya, agar peneliti lain tidak mengulanginnya. Tabulasi, grafik, analisis statistik dilengkapi dengan tafsiran yang

benar. Judul, keterangan tabel dan gambar dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris dengan huruf miring; atau sebaliknya. Angka yang tercantum dalam tabel tidak perlu diuraikan lagi, tetapi cukup dikemukakan makna atau tafsiran masalah yang diteliti; dalam bagian ini juga dapat disajikan ilustrasi dalam bentuk grafik bagan, pictogram dan sebagainya. Dapat mengemukakan perbandingan hasil yang berlainan dan beberapa perlakuan. Metode statistik yang digunakan dalam pengolahan data harus dikemukakan, sehingga tingkat kebenaran dapat ditelusuri. Prinsip dasar metode harus diterangkan dengan mengacu pada referensi atau keterangan lain mengenai masalah ini. Penulis mengemukakan pendapatnya secara objektif dengan dilengkapi data kuantitatif.

Pembahasan dapat menjawab apa arti hasil yang dicapai dan apa implikasinya. Dapat menafsirkan hasil dan menjabarkannya, sehingga dapat dimengerti pembaca. Mengemukakan hubungan dengan hasil penelitian sebelumnya. Bila berbeda tunjukkan, bahas dan jelaskan penyebab perbedaan tersebut. Hasil penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan hipotesis dan tujuan penelitian. Mengemukakan fakta yang ditemukan dan alasan mengapa hal tersebut terjadi. Menjelaskan kemajuan penelitian dan kemungkinan pengembangan selanjutnya.

Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu dapat ditulis kata singkatnya.

TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 10 pt dan berjarak satu spasi di bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 10 pt, rata kiri, dan ditempatkan di atas tabel. Penomoran tabel menggunakan angka Arab (1, 2, …..). Tabel diletakkan segera setelah disebutkan di dalam naskah. Tabel diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah

dari setiap halaman. Apabila tabel memiliki lajur/kolom cukup banyak, dapat digunakan format satu kolom atau satu halaman penuh. Apabila judul pada lajur tabel terlalu panjang, maka lajur diberi nomor dan keterangannya di bawah tabel. Sumber (Source) ditulis di kiri bawah tabel.

GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras (hitam putih atau berwarna), masing-

masing harus diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Gambar diletakkan segera setelah disebutkan dalam naskah.

Gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari setiap halaman. Gambar diletakkan simetris dalam kolom.

Apabila gambar cukup besar, bisa digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan angka Arab. Penulisan

(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)Tabel 1. Perkembangan luas hutan rakyat di 10 kabupaten terluas dalam pembangunan hutan rakyat di Jawa TengahTable 1. Community forests areas development in 10 largest regencies in community forest establishment in Central Java (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

No. Kabupaten (Regency) Tahun (Year) (ha) 2005 2006 2007

1 Wonogiri 25.100 25.643 36.359 2 Kendal 12.407 12.724 12.737 3 Banjarnegara 13.154 15.610 19.290 4 Purbalingga 13.027 14.117 14.143 5 Purworejo 20.771 23.186 20.567 6 Wonosobo 19.824 20.687 19.619 7 Pati 15.762 16.049 16.049 8 Banyumas 13.204 14.963 17.090 9 Boyolali 9.392 9.758 7.950 10 Sragen 17.064 17.220 18.049

Kabupaten lainnya 15.735 175.866 184.776 Jumlah (Total) 317.440 345.823 366.629

Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a). (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a).(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)Gambar 1. Persentase luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011.Figure 1. Area percentage of community forests in Central Java Province in 2011.(kosong dua spasi tunggal, 10 pt)

keterangan gambar menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 pt, center, dan diletakkan di bagian bawah, seperti pada contoh di atas. Sumber (Source) ditulis di kiri .bawah gambar.

FOTO: Harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Resolusi gambar disarankan paling sedikit 300 dpi, sehingga gambar tetap terbaca jelas meskipun diperbesar.

Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simetris pada kolom. Nomor persamaan diletakkan di ujung kanan dalam tanda kurung, dan penomoran dilakukan secara berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu baris, maka penulisan nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti persamaan (1). Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail, hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanKesimpulan memuat hasil yang telah

dibahas. Hal yang perlu diperhatikan adalah segitiga konsistensi (masalah-tujuan-kesimpulan harus konsisten). Kesimpulan bukan tulisan ulang pembahasan dan juga bukan ringkasan, melainkan perampatan singkat dalam bentuk kalimat utuh (tidak berupa pointer).

Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti persamaan (1). Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail, hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya.

(kosong satu spasi tunggal 11 pt)

B. SaranSaran berisi rekomendasi akademik

atau tindak lanjut nyata atas kesimpulan yang diperoleh, dapat dikemukakan untuk dipertimbangkan pembaca.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Merupakan bagian yang wajib ada dalam sistematika karya tulis ilmiah. Suatu penelitian tidak akan berhasil tanpa melibatkan pihak-pihak yang telah membantu, baik berperan secara finansial, teknis, maupun substantif. Ucapan terima kasih merupakan sebuah kewajiban, bukan pilihan (opsional).

DAFTAR PUSTAKA(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Daftar pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah, diutamakan terbitan paling lama 5 tahun terakhir. Format penulisan Daftar Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style.

Referensi terdiri dari acuan primer dan/atau acuan sekunder. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertasi, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook) dan prosiding termasuk dalam sumber acuan sekunder.

Semua karya yang dikutip dalam penulisan karya tulis harus dimuat dalam daftar pustaka (dan sebaliknya).

Berdasarkan Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah (2014), proporsi terbitan 10 tahun terakhir merupakan tolak ukur mutu terbitan berkala ilmiah, dimana sumber acuan primer berbanding sumber lainnya adalah >80%. Pengacuan pada tulisan sendiri (self citation) yang terlalu banyak dapat mengurangi nilai terbitan berkala ilmiah.

Daftar pustaka dicantumkan setelah uraian penulisan. Ukuran margin seperti pada halaman penulisan. Judul daftar pustaka berada di tengah dan tidak dicetak miring/tanda kutip. Kapitalkan hanya huruf pertama pada kata pertama dan proper noun pada judul.

u vkax y

æ ö¶ ¶ ÷ç=- + ÷ç ÷ç ÷ç¶ ¶è ø

Jarak antar karya (pustaka) dua spasi. Inden pada baris kedua dengan jarak ½ inch. Daftar pustaka harus disusun berdasarkan alphabet.

Penulisan sitasi dan daftar pustaka diharuskan menggunakan aplikasi referensi seperti Mendeley, Endnote.

LAMPIRAN

ContohPenulisanDaftarPustakaBerdasarkanAPAStyle:

Paper dalam jurnalArtikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (1 penulis).

Williams, J.H. (2008). Employee engagement: Improving participation in safety. Professional Safety, 53(12), 40-45.

Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (2-6 penulis). Astana, S., Soenarno, & Karyono, O.K. (2014). Implikasi perubahan tarif dana reboisasi dan provisi sumber

daya hutan terhadap laba pemegang konsesi hutan dan penerimaan negara bukan pajak: Studi kasus hutan alam produksi di Kalimantan Timur, Indonesia. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(3), 251- 264.

Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (lebih dari 6 penulis). Reed, M.S., Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H., Hubaek, K., Morris, J., … Stringer, L.C. (2009). Who’s

in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management, 2009(90), 16.

BukuBuku (1 penulis).

Alexie, S. (1992). The business of fancydancing: Stories and poems. Brooklyn, NY: Hang Loose Press.

Buku (2-6 penulis). Saputro, G.B., Hartini, S., Sukardjo, S., Susanto, A., & Poniman, A. (2009). Peta mangroves Indonesia. Jakarta:

Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.

Buku (lebih dari 6 penulis). Atmosoedardjo, H.K., Kartasubrata, J., Kaomini, M., Saleh, W., … & Moerdoko, W. (2000). Sutera Alam

Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Sarana Wana Jaya.

ProsidingKuntadi, & Adalina, Y. (2010). Potensi Acacia mangium sebagai sumber pakan lebah madu (pp. 915-921).

Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIII: Pengembangan ilmu dan teknologi kayu untuk mendukung implementasi program perubahan iklim, Bali 10-11 Nopember 2010. Bogor: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.

Kumpulan tulisan yang dieditBooth-LaForce, C., & Kerns, K.A. (2009). Child-parent attachment relationships, peer relationships, and peer-

group functioning. In K.H. Rubin, W.M. Bukowski, & B. Laursen (Eds.), Handbook of peerinteractions, relationships, and groups (pp. 490-507). New York, NY: Guilford Press.

Makalah seminar, lokakaryaIbnu, S. (2011, Maret). Isi dan format jurnal ilmiah. Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan

dan Penyuntingan Jurnal Ilmiah, Malang: Universitas Negeri Malang.

Skripsi, disertasi, tesisSuyana, A. (2003). Dampak penjarangan terhadap struktur dan riap tegakan di hutan produksi alami PT. Inhutani

I Berau Kalimantan Timur (Tesis Pascasarjana). Universitas Mulawarman, Samarinda.Laporan Penelitian. Sidiyasa, K., Mukhlisi, & Muslim, T. (2010). Jenis-jenis tumbuhan hutan asli Kalimantan yang berpotensi

sebagai sumber pangan dan aspek konservasinya (Laporan Hasil Penelitian). Samboja: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja (unpublished).

Artikel dari internet.:Ahira, A. (2011). Adaptasi morfologi dari paruh burung kolibri. Diunduh 7 Juni 2012 dari http: //www.anneahira.com/paruh-burung-kolibri-h.tm cache.

Kenney, G.M., Cook, A., & Pelletier, J. (2009). Prospects for reducing uninsured rates among children: How much can premium assistance programs help? Retrieved 7 June 2012 from Urban Institute website: http://www.urban.org/url.cfm?ID=411823.

Surat kabar.Booth, W. (1990, October 29). Monkeying with language: Is chimp using words or merely aping handpers? The

Washington Post. p.A3.

Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan sejenisnya.Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2013 tentang RTRW Kota Medan 2011-2031.

Peraturan Walikota Medan Nomor 10 tahun 2009 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.

Pengutipan pustaka di dalam naskah berdasarkan sistem penulisan referensi APA Style, sebagai berikut:• Karya dengan dua pengarang.

Research by Wegener and Petty (1994) supports... atau (Wegener & Petty, 1994)• Karya tiga sampai lima pengarang.

(Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow, 1993) atau Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow (1993) explain….Dalam kutipan berikutnya, (Kernis et al., 1993) atau Kernis et al. (1993) argued….

• Enam pengarang atau lebih.Harris et al. (2001) argued... atau (Harris et al., 2001)

• Pengarang tidak diketahui, sitasi sumber pada judul dengan huruf miring. Sitasi sumber pada judul buku atau laporan dengan huruf miring, contoh: …berdasarkan Statistik daerah Kabupaten Pesawaran 2013 ……. Sedangkan pada judul artikel, bab, dan halaman web dalam tanda kutip dan dilengkapi tahun, contoh : A similar study was done of students learning to format research papers ("Using APA," 2001).

• Organisasi sebagai pengarang. According to the American Psychological Association (2000),... atau menggunakan singkatan jika telah dikenal dalam tanda bracket pertamakali sumber dikutip dan selanjutnya hanya singkatan yang disitasi. Sitasi pertama: (Mothers Against Drunk Driving [MADD], 2000) Sitasi kedua: (MADD, 2000)

• Dua karya atau lebih dalam tanda kurung yang sama(Berndt, 2002; Harlow, 1983)

• Pengarang dengan nama akhir sama.Gunakan inisial nama pertama dan nama terakhir, (E. Johnson, 2001; L. Johnson, 1998)

• Dua karya atau lebih dengan pengarang sama dalam tahun sama. Research by Berndt (1981a) illustrated that...

• Mensitasi/mengutip sumber tidak langsung. Johnson argued that...(as cited in Smith, 2003, p. 102).

• Tahun tidak diketahui. Another study of students and research decisions discovered that students succeeded with tutoring ("Tutoring and APA," n.d.).

CATATAN: Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka: Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan. Naskah (teks) bahasa Inggris: titik (.) menunjukkan pecahan dan koma (,) menunjukkan kelipatan ribuan.

KONDISI: Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis dari luar instansi Badan Litbang Kehutanan wajib menyertakan curriculum vitae singkat dan alamat yang jelas.

PENGAJUAN NASKAH

1. Redaksi Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan menerima naskah ilmiah berupa hasil penelitian dalam bidang Kebijakan, dan Lingkungan Kehutanan. Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian

2. Penulisan harus singkat dan jelas sesuai dengan format penulisan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Naskah belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain, baik media cetak maupun elektronik. Naskah diharapkan juga mensitasi dari Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan dan/atau Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan.

3. Naskah ilmiah yang masuk akan diseleksi oleh Dewan Redaksi yang memiliki wewenang penuh untuk mengoreksi, mengembalikan untuk diperbaiki, atau menolak tulisan yang masuk meja redaksi bila dirasa perlu. Penilaian secara substantif akan dilakukan oleh Mitra Bestari/Penyunting Ahli. Penilaian akan dilakukan secara obyektif dan tertulis.

4. Naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan tidak berarti mencerminkan pandangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI).

5. Informasi mengenai penerbitan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan dapat diakses di website http:// www.puspijak.org dan http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JAKK.

Volume 14 Nomor 3, Desember Tahun 2017

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Inovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

p-ISSN 1979-6013e-ISSN 2502-4221TERAKREDITASI

No. 687/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

JURNALPENELITIANSOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANANForestry Socio and Economic Research Journal

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi K

ehutanan Vol.14, No.3, D

esember 2017: 157-236

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Inovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA