bab iii electoral systems

46
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang 2014 Nur Hidayat Sardini Pemilu dan Partai Politik Managemen Pemilu Bagian Pemilu SPG-509 SPG-222

Upload: muhammad-salim

Post on 15-Feb-2017

224 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab iii electoral systems

Jurusan Ilmu PemerintahanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Diponegoro Semarang 2014

Nur Hidayat Sardini

Pemilu dan Partai PolitikManagemen PemiluBagian Pemilu

SPG-509

SPG-222

Page 2: Bab iii electoral systems

Bab IIISistem Pemilu: Latar, Pengertian, dan Kategori

Pokok Bahasan

1. Background2. What Electoral System Are?3. Categories of Electoral

System

Page 3: Bab iii electoral systems

I. Background

Page 4: Bab iii electoral systems

■ Lyman Tower Sargent [1984], dalam buku “Contemporary Political Ideologies: A Comparative Analysis.”

Homewood-Illinois: The Dorsey Press.

○ The Principles of Democracy

1.Citizen involvement in political decision making;

2.Some degree of equality among citizens;3.Some degree of liberty or freedom granted to or retained by citizens;

4.A system of representation; and5.An electoral system — majority rule.

Page 5: Bab iii electoral systems

■ Andrew Reynolds, Ben Reilly, and Andrew Ellis [2005], “Electoral System Design”. Stockholm-Sweden:

IDEA.○ Context of Electoral Systems Choice

1. In almost all cases the choice of a particular electoral system has a profound effect on the future political life of the country concerned;

2. Electoral system choice is a fundamentally political process, rather than a question to which independent technical experts can produce a single ‘correct answer’;

1.Dalam hampir semua kasus, pilihan sistem politik tertentu memiliki efek besar terhadap masa depan kehidupan politik suatu negara/wilayah;

2.Pilihan sistem Pemilu sejatinya merupakan proses politik ketimbang sesuatu yang sudah pasti;

Page 6: Bab iii electoral systems

3. The choice of electoral system can have a significant impact on the wider political and institutional framework: it is important not to see electoral systems in isolation.

4. Electoral systems are today viewed as one of the most influential of all political institutions, and of crucial importance to broader issues of governance; and

5. An electoral system can be designed both to provide local geographic representation and to promote proportionality.

3.Pilihan sistem politik memiliki pengaruh signifikan terhadap kerangka politik dan kelembagaan yang lebih luas adalah penting untuk tidak melihat sistem Pemilu secara sempit;

4.Sistem Pemilu masa kini dipandang sebagai sesuatu yang paling berpengaruh diantara seluruh institusi politik;

5.Sistem Pemilu dapat digunakan untuk menyediakan representasi geografis lokal dan mendukung proporsionalitas.

Page 7: Bab iii electoral systems

○ Pentingnya Sistem Pemilu

■ Untuk menjamin penyertaan dan keterwakilan politik.

(to guarantee political inclusiveness and representation).

■ Untuk membantu “merekayasa” hasil-hasil (Pemilu), seperti membangun kerjasama dan mengakomodasi keragaman masyarakat.

(to "engineer" specific outcomes, such as encouraging cooperation and accommodation in a divided society).

Page 8: Bab iii electoral systems

■ Untuk memastikan bahwa pembagian politik masyarakat diperhatikan secara layak melalui kerangka hukum Pemilu sehingga perbedaan dan konflik utama antara dan di antara kelompok-kelompok sosial dapat diakomodasikan oleh sistem perwakilan politik.

(to ensure that the political cleavages of a society are properly addressed by the electoral legal framework in such a way that the main conflicts and differences between and among social groups can be accommodated).

■ Untuk mencapai tujuan-tujuan Pemilu sesuai keadaan sosial, politik, geografis, dan sejarah di suatu negara.

(to achieve electoral system goals in the context of a particular country's social, political, geographic, and historical situation).

Page 9: Bab iii electoral systems

■ Untuk mengatur suara yang telah dipungut dalam suatu pemilihan dikonversi menjadi kursi yang dimenangkan dalam badan legislatif.

(to regulate in an election are converted into seats won in the legislature).

■ Untuk memengaruhi terhadap aspek lain dari sistem politik serta relasi warga negara dan pemimpinnya terkait pertanggungjawaban politik, keterwakilan, dan daya tanggap).

(to influence other aspects of the political system and to the link between citizens and their leaders consist of political accountability, representation and responsiveness).

Page 10: Bab iii electoral systems

○ Konsekuensi Diterapkannya Sistem PemiluThe electoral systems have many long-term consequences for democratic governance.

An electoral system has three main tasks:

• To translate the votes cast into seats won in a legislative chamber;• To act as the conduit through which the people can hold their electedrepresentatives accountable; and• To give incentives to those competing for power to frame their appeals to the electorate in distinct ways.

Dalam jangka panjang Sistem Pemilu memiliki konsekuensi-konsekuensi logis bagi terbangunnya pemerintahan demokratis.

Sebuah sistem Pemilu memiliki tiga tugas utama, yakni:

• Menerjemahkan suara yang dipungut menjadi kursi yang dimenangkan dalam badan legislatif;

• Bertindak sebagai saluran yang memungkinkan rakyat meminta pertanggungjawaban para wakilnya; dan

• Memberi insentif kepada mereka yang memperebutkan kekuasaan dalam menyusun desakan kepada para pemilih dengan cara yang beragam.

Page 11: Bab iii electoral systems

In divided societies, for example, where language, religion, race or other forms of ethnicity represent a fundamental political cleavage, particular electoral systems can reward candidates and parties who act in a cooperative, accommodating mannerto rival groups, or they can punish these candidates and insteadreward those who appeal only to their own group.

Di dalam masyarakat terbelah, sebagai contoh, terdapat bahasa, agama, ras, atau bentuk etnis yang lain mewakili suatu pemisahan politik yang mendasar, sistem Pemilu tertentu dapat mengganjar calon-calon dan partai-partai yang bertindak kooperatif dan akomodatif terhadap kelompok pesaingnya, atau dapat menghukum calon-calon itu dan sebagai gantinya mengganjar hanya mereka yang menyeru kepada kelompoknya sendiri.

Page 12: Bab iii electoral systems

II. What Electoral Systems

Are?

Page 13: Bab iii electoral systems

At the most basic level, electoral systems translate the votes cast in a general election into seats won by parties and candidates.

The three key variables are:

1. the electoral formula used (that is, whether a plurality/majority, proportional, mixed or other system is used, and what mathematical formula is used to calculate the seat allocation);

○ Umum

Pada dasarnya, sistem Pemilu menerjemahkan suara dalam Pemilu menjadi kursi yang diperoleh partai politik dan kandidat.

Ada tiga variabel kunci:

1. Formula Pemilu yang digunakan (yaitu, apakah mayoritas, proporsional, campuran, dan formula yang digunakan untuk menghitung alokasi kursi);

Page 14: Bab iii electoral systems

2. the ballot structure (i.e. whether the voter votes for a candidate or a party and whether the voter makes a single choice or expresses a series of preferences); and

3. the district magnitude (not how many voters live in a district, but how many representatives to the legislature that district elects).

2.Struktur surat suara (misalnya apakah pemilih memberikan suara untuk kandidat ataukah partai dan apakah pemilih hanya memilih satu pilihan ataukah banyak pilihan);

3.Besaran distrik (bukan berapa banyak jumlah pemilih dalam suatu distrik, melainkan berapa banyak wakil rakyat/quota anggota parlemen yang dipilih di distrik tersebut).

Page 15: Bab iii electoral systems

Note:

Although this overview does not focus on the administrative aspects of elections (such as the distribution of polling places, the nomination of candidates, the registration of voters, who runs the elections and so on), these issues are also of critical importance, and the possible advantages of any given electoral system choice may be undermined unless due attention is paid to them.

Catatan:Meskipun tinjauan ini tidak memfokuskan pada aspek administratif Pemilu (seperti distribusi lokasi pemungutan suara, nominasi kandidat, penyelenggara Pemilu dan lain sebagainya), isu/tema bahasan ini juga merupakan sesuatu yang penting, dan peluang keuntungan yang ada pada pilihan sistem Pemilu mungkin terlewatkan kecuali ada perhatian terhadapnya.

Page 16: Bab iii electoral systems

Electoral system design also a ects ffother areas of electoral laws: the choice of electoral system has an influence on the way in which district boundaries are drawn, how voters are registered, the design of ballot papers, how votes are counted, and numerous other aspects of the electoral process.

Desain sistem Pemilu juga mempengaruhi regulasi Pemilu:

pilihan sistem Pemilu berpengaruh terhadap cara menentukan batas distrik, pendaftaran pemilih, desain surat suara, penghitungan suara, dan sejumlah aspek proses Pemilu lainnya.

Page 17: Bab iii electoral systems

Even with each voter casting exactly the same vote and with exactly the same number of votes for each party, the results of elections may be very di erent ffdepending on the system chosen: one system may lead to a coalition government or a minority government while another may allow a single party to assume majority control.

Meskipun setiap pemilih memmberikan nilai suara yang sama dan jumlah suara yang persis sama untuk setiap partai, hasil Pemilu dapat saja berbeda tergantung pada sistem Pemilu yang digunakan:

Satu sistem dapat mengarah pada terbentuknya koalisi pemerintahan atau pemerintahan minoritas sementara sistem yang lain dapat mengarah pada kontrol oleh satu partai mayoritas.

Page 18: Bab iii electoral systems

○ Framework of the Electoral SystemThe electoral system, actually provides the major and sometimes the sole means of political participation for individuals living in a large, complex, modern society— although seemingly only a mechanism for determining the composition of the government over the next few years.

Sistem Pemilu sejatinya memberikan perangkat partisipasi politik utama bagi individu yang hidup dalam suatu masyarakat yang modern,kompleks, dan besar—meskipun terlihat hanya berupa mekanisme untuk menentukan komposisi pemerintahan untuk beberapa tahun setelahnya.

Page 19: Bab iii electoral systems

The electoral system, takes on peculiar importance for democratic theory, since it often provides a significant or the only means of political participation, it is the key to wheter or not the system is democratic.

Individuals, when entering the voting booth, must be sure their vote will be counted: they are voting in an election which provides some choice, and the choice is meaningful in that they are actually free to vote for any of the options.

Sistem Pemilu amat penting bagi teori demokrasi, karena seringkali menjadi sarana utama atau bahkan satu-satunya sarana partisipasi politik, ia menentukan apakah suatu sistem dinilai demokratis atau tidak.

Individu-individu, manakala masuk ke bilik suara, harus yakin bahwa suara mereka akan dihitung; mereka memberikan suara dalam suatu Pemilu yang menyediakan sejumlah pilihan, dan pilihan itu menjadi bermakna karena adanya kebebasan dalam menentukan pilihan.

Page 20: Bab iii electoral systems

It is also important to remember the most obvious point; that is, that an individual is allowed to vote in the first place. Finally, each vote should be equal to any other vote.

These questions of electoral procedure imply other important problems. The electoral system, in addition to providing a means for the peaceful change of political power from one individual or group to another.

Penting pula diingat poin yang paling nyata, yaitu bahwa pertama kali individu harus dapat memberikan suaranya. Akhirnya, setiap suara harus bernilai sama dengan yang lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan prosedur Pemilu menunjukkan sejumlah permasalahan penting. Sistem Pemilu, juga menyediakan sarana pertukaran kekuasaan politik antarindividu atau kelompok.

Page 21: Bab iii electoral systems

■ Norman Schofield and Itai Sened [2006], dalam buku “Multyparty Democracy: Elections and Legislative

Politics.” Cambridge: Cambridge Unisersity Press.

○ The essence of democracy is embedded in legislators representing the preferences of their constituents when making decisions over how to allocate scarce resources.

It distinguish four generic democratic systems based on two defining: the electoral rule used and the culture of party discipline.

Esensi demokrasi melekat pada legislator yang mewakili kehendak konstituen mereka dalam pengambilan keputusan mengenai alokasi sumberdaya yang terbatas.

Ia membedakan empat sistem demokrasi asli berdasarkan dua definisi; peraturan Pemilu yang digunakan dan budaya disiplin partai.

Page 22: Bab iii electoral systems

○ It is characterized by a social choice mechanism intended to aggregate individual preferences into social choices in four consecutive stages:

Ditandai mekanisme pilihan sosial yang dimaksudkan untuk mengagregasi pilihan-pilihan individu menjadi pilihan sosial/publik dalam 4 tahapan:

1.The pre-electoral stage: Parties position themselves in the relevant policy space by choosing a leader and declaring a manifesto;

1.Tahap pra-Pemilu: partai memposisikan dirinya dalam ruang kebijakan yang relevan melalui pemilihan pemimpin dan pernyataan manifesto;

Page 23: Bab iii electoral systems

2. The election game: Voters choose whether and for whom to vote;

3. Coalition formation: Several parties may need to reach a contract as to how to participate in coalition government; and

4. The legislative stage: Policy is implemented as the social choice out-come.

2.Hari-H Pemilu: pemilih menentukan pilihannya;

3.Pembentukan koalisi: sejumlah partai dapat membuat perjanjian mengenai keterlibatan dalam koalisi pemerintah; dan

4.Tahapan legislatif: kebijakan diimplementasikan sebagai hasil pilihan publik.

Page 24: Bab iii electoral systems

○ Political Systems Determined by the Electoral Rule and Party Discipline:

Party Discipline Strong

Weak

Electoral Rule

Proportional Rule Plurality Rule

West Europe Parliamentary Systems

English Westminster

Factional US Presidential

Page 25: Bab iii electoral systems

“Sistem Pemilu merupakan mekanisme yang dipergunakan untuk mengubah suara rakyat menjadi kursi penyelenggara Negara (conversion of votes into governmental seats or positions).”

Untuk mengonversi suara rakyat menjadi kursi, maka dalam setiap Sistem Pemilu terdapat 4 unsur, yakni:

1. Besaran daerah pemilihan (district magnitude);2. Pola pencalonan (nomination);3. Model penyuaraan (balloting); dan4. Formula pemilihan dan/atau penetapan calon

terpilih (electoral formulae).

■ Ramlan Surbakti, at.al. [2008], “Perekayasaan Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis”. Jakarta:

Kemitraan.

Page 26: Bab iii electoral systems

Dalam setiap unsur terdapat berbagai pilihan model, prosedur dan mekanisme, dan gabungan pilihan dari setiap unsur itulah yang kemudian membentuk suatu sistem pemilihan umum.

Sistem pemilihan umum macam apakah yang diadopsi oleh suatu Negara tergantung pada tatanan politik demokrasi yang hendak diwujudkan.

Secara umum dikenal 3 Model Sistem Pemilu, yakni:

1.Sistem Pemilu Mayoritas Pluralitas [Plurality-Majority], disebut juga Sistem Distrik, suatu ungkapan aneh karena setiap sistem Pemilu memiliki Dapil alias distrik;

2.Sistem Pemilu Perwakilan Berimbang [Proportional- Representation), dikenal Sistem Proporsional; dan

3.Sistem Pemilu Campuran [Mix Electoral System], terdiri atas berbagai macam model, dan salah satu di antaranya yang menonjol adalah Sistem Pemilu Semi-Proporsional.

Page 27: Bab iii electoral systems

“The set of rules that structure how votes are cast at elections for a representative assembly and how these votes are the converted into seats in that assembly.

Given a set of votes, an electoral system determine the composition of the parliament (or assembly, council, and so on as the case may be).

■ Michael Gallagher and Paul Mitchell (2005), “The Politics of Electoral Systems”. New York: Oxford

University Press.

Seperangkat aturan yang menentukan cara pemberian suara bagi majelis perwakilan dan cara suara itu dikonversi menjadi kursi.

Terhadap suara yang ada, suatu sistem Pemilu kemudian menentukan komposisi parlemen (atau majelis, dewan, dan bentuk perwakilan lainnya)

Page 28: Bab iii electoral systems

The electoral system is narrower than what we term electoral regulations, by which we mean the wider set of rules concerning elections.

Such rules—concerning, for example, ease of acces to the ballot for would-be candidates, the right to vote—are all very important in determining the significance and legitimacy of an election.

However, they should not be confused with the more narrowly defined concept of the electoral system itself”.

Sistem Pemilu lebih sempit daripada apa yang kita kenal sebagai regulasi Pemilu, yang kita pahami sebagai seperangkat aturan yang lebih luas mengenai Pemilu.

Aturan-aturan tersebut—misalnya, mengenai kemudahan akses ke tempat pemungutan suara, hak memilih—amat penting dalam menentukan signifikansi dan legitimasi Pemilu.

Namun, mereka tak perlu dibuat bingung dengan konsep sistem Pemilu yang lebih sempit tersebut.

Page 29: Bab iii electoral systems

III. Categories of Electoral

System

Page 30: Bab iii electoral systems

Dari sumber-sumber kepustakaan dan dalam dunia praktiknya, sesungguhnya terdapat banyak variasi dalam sistem Pemilu bahkan tak terhitung jumlahnya, namun pada intinya dikelompokkan ke dalam 9 sistem utama dan bila diderivasi menjadi cukup 3 rumpun sistem Pemilu saja.

Pada bagian ini akan disajikan 3 Sistem Pemilu, merangkum dari banyaknya sistem yang ada. Ketiga system ini mewakili seluruh garis besar sistem Pemilu yang diterapkan di banyak negara.

Penyajian disampaikan dalam bentuk diagram dengan penjelasan, sebagai berikut:

Page 31: Bab iii electoral systems

BLOCK VOTES

FIRST PAST THE POST

ALTERNATIVE VOTES

TWO ROUND

PARALLEL

VOTES

SINGLE NON-

TRANSFERABLE VOTES

PR-LIST

MM PROPORTION

AL

SINGLE

TRANSFERAB

LE VOTES

PLURALITY-MAJORITY SEMI-PROPORTIONAL PROPORTIONAL-

REPRESENTATIVE

THE ELECTORAL SYSTEMS

EnglandIndia

Palestine,

Maldives

Australia,

NauruPrancis

MaliJepang, Rusia

Yordania,

Vanuatu

Afsel,Finland

ia

NZ, Germa

nyIrelandMalta

Page 32: Bab iii electoral systems

A. PLURALITY-MAJORITY SYSTEMSPada intinya sistem ini ingin mendapatkan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak bahkan mutlak dalam satu Daerah Pemilihan (Dapil).

Surat suara yang disediakan mengurutkan nama-nama kandidat dan/atau partai sedemikian rupa, sehingga pemilih diminta untuk memilih dengan cara penandaan (dicoblos/contreng) sesuai aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sistem penghitungan suara untuk menentukan siapa peraih suara terbanyak.

Sistem mengharuskan adanya sebuah negara dibagi ke dalam banyak Dapil, rakyat pemilih datang ke TPS untuk memberikan suaranya, dan hasil pemungutan suara dihitung berdasarkan suara terbanyak. Hasilnya adalah “the winner takeall”.

Berikut varian-varian dari Plurality-Majority Systems:

Page 33: Bab iii electoral systems

1. First Past The Post (FPTP) Systems

Sistem ini paling banyak digunakan di dunia, dalam mana Pemilu digelar dalam satu distrik (single member district) dan pemenangnya adalah kandidat peraih jumlah suara terbanyak, meski tak harus suara mayoritas mutlak.

Sistem ini digunakan di Inggris, USA, Kanada, India, dan sebagian besar Commenwealth.

Kelebihan: kesederhanaan dalam sistem, kecenderungan menghasilkan wakil-wakil rakyat berdasarkan geografis dengan terukur, tingginya derajat representasi, setiap pemilih dapat mengenal para wakilnya yang duduk di lembaga-lembaga penyelenggara negara. Penetapan hasil Pemilu pun juga dapat lebih cepat diketahui.

Page 34: Bab iii electoral systems

2. Block Vote (BV) Systems

Varian FPTP dengan prinsip: banyak distrik (multi-member district), dan bukan sekadar pada distrik dengan suara tunggal (single-member district).

Para pemilih memilih suara sebanyak kursi yang akan diisi, dan kandidat yang memeroleh suara terbanyak/tertinggi lolos sebagaimana pemenang sebanyak posisi kursi yang tersedia tanpa perlu memperhatikan persentasi suara yang sebenarnya mereka raih.

Banyaknya kursi yang diperebutkan, asal merupakan alokasi yang tersedia, maka peraih suara terbanyak itulah yang berhak duduk di kursi parlemen.

Sistem ini banyak digunakan di sejumlah negara Asia dan Timur Tengah.

Untuk hal yang sama digunakan di Singapura dan Mauritus dengan variasi Party Block: pemilih memilih bukan kandidat namun partai untuk memeroleh suara terbanyak.

Dengan suara terbanyak, partai mengambil seluruh kursi yang teralokasikan (winner take all).

Page 35: Bab iii electoral systems

3. Alternative Vote (AV) Systems

Dalam varian sistem ini, dimungkinkan pemilih membuat rangking calon secara urut menurut pilihan mereka, dengan memberi tanda “1” untuk calon favorit mereka, “2” untuk pilihan kedua, dan “3” untuk pilihan ketiga yang dikehendaki dan seterusnya.

Dalam sistem ini dimungkinkan pemilih mengungkapkan pilihan mereka di antara calon-calon yang tersedia dalam kertas suara yang disediakan, bukan sekadar menentukan pilihan pertama saja.

Apabila tidak didapat kandidat peraih suara di atas 50% pada pilihan pertama, suara untuk calon urutan berikutnya dialihkan sampai pemenang mayoritas muncul.

Alternative Vote System.

Digunakan di Australia dan sebagian negeri-negeri di Pasifik Selatan.

Kelebihan: kemerdekaan pemilih; kelemahan: performa Pemilu dipertaruhkan oleh derajat partisipasi pemilih, juga sulit diterapkan di negara dengan tingkat kemelekan huruf tinggi.

Page 36: Bab iii electoral systems

Pemilu digelar dengan dua putaran: Putaran pertama dilakukan dengan cara serupa FPTP, yakni jika seorang calon memeroleh suara mayoritas absolut (50% + 1), maka kepadanya dinyatakan sebagai calon terpilih, sehingga tak perlu digelar putaran kedua;

Putaran Kedua, untuk menentukan hingga terdapatnya peraih suara terbanyak hingga dinyatakan sebagai calon terpilih dalam Pemilu. Putaran kedua adalah untuk mencari keterpilihan calon.

Sistem ini digunakan di Prancis, eks negeri jajahan Prancis, dan sebagian eks Uni Soviet.

4. Two-Round (TR) Systems

Kapan waktu digelarnya putaran pertama dan putaran kedua? Jawabnya: tergantung garis ketentuan masing-masing negara. Di sejumlah negara, ditentukan beberapa minggu, juga ada yang berselang sebulan, namun di sejumlah negara yang lainnya, ditentukan satu hari atau bahkan dalam satu malam.

Kelebihan: cenderung memeroleh calon berkualitas, derajat representasi; kekurangan: rumit, berbiaya besar, dan tak cocok untuk negara-negara miskin.

Page 37: Bab iii electoral systems

B. SEMI-PROPORTIONAL SYSTEMS

Satu dan/atau lebih Dapil ditentukan terlebih dulu, untuk kemudian rakyat pemilih memilih calon yang ada di Daftar Calon, sementara penentuan pemenangnya adalah peraih suara terbanyak atau kumulasi suara yang masuk ke partai yang kelak akan dikonversi ke dalam akumulasi dari hasil penjumlahan seluruh suara partai untuk akhirnya diproporsi dari angka yang didapat, dan itulah penentuan pemenang Pemilu.

Prinsip dalam varian sistem ini. Pertama, pada intinya sistem ini mendasarkan pada penentuan konversi jumlah suara yang diperoleh menjadi kursi yang dimenangkan dengan cara-cara yang ada di antara varian sistem proporsional dan mayoritarian sebagaimana dalam sistem pluralitas-mayoritas.

Kedua, sistem pemilihan Semi-Proporsional yang digunakan dalam Pemilu Legislatif adalah suara tunggal yang tidak dapat dialihkan (Single Non-Tansfarable Votes, SNTV), dan system campuran (mixed).

Page 38: Bab iii electoral systems

1. Parallel Vote Systems

Pemilih diminta untuk memilih nama-nama yang tercantum dalam daftar calon—yang ada dalam kertas surat suara—seperti biasa digunakan dalam system campuran atau single member district secara berdampingan—itulah kenapa disebut parallel systems.

Sebagian anggota parlemen dipilih dengan system perwakilan proporsional, dan sebagian lagi dengan system jenis pluralitas atau mayoritas—pengertian berikutnya dari corak parallel systems.

Sistem ini digunakan secara luas di Negara-Negara demokrasi pada dekade 1990-an, mengingat mengambil keuntungan-keuntungan Proportional Representative List (PR-List) dengan perwakilan distrik suara tunggal.

Kekurangan system ini tidak mampu membuahkan hasil yang sama tidak

proporsionalnya dengan system

pluralitas-mayoritas. Selain itu system ini

rumit dijalankan.

Page 39: Bab iii electoral systems

Dalam sistem ini pemilih berhak untuk memilih satu suara, namun karena ada beberapa kursi di distrik yang harus diisi, maka para calon/kandidat dengan perolehan jumlah suara terbanyaklah yang akan disebut sebagai calon terpilih.

Hal ini berarti dalam suatu Dapil yang terdiri atas empat calon, misalnya, seseorang kandidat dengan sedikitnya memeroleh suara di atas 20% untuk disebut sebagai peraih suara dan ditetapkan sebagai calon terpilih.

Kelebihan: cocok diterapkan dengan kemungkinan pasang-surut tingkat partisipasi politik. Kelemahan: akan lama diketahui hasilnya karena menunggu hasil perhitungan suara secara resmi.

Sistem ini hanya digunakan di Yordania dan Vanuatu, namun belakangan sering dikaitkan di negeri Jepang yang juga menggunakan SNTV hingga tahun 1993.

2. Single Non-Transferable Votes (SNTV) Systems

Page 40: Bab iii electoral systems

C. PROPORTIONAL REPRESENTATION SYSTEMS

Berangkat dari dasar pemikiran: semua Proportional Representation System (PRS), untuk mengurangi ketimpangan jarak suara nasional sebuah partai dengan jatah kursi di parlemen. Sebagai contoh, jika satu partai besar memenangkan 40% kursi, sementara partai yang meraih 10% kursi parlemen.

Proporsional terbaik sering tercapai dengan menggunakan daftar partai (party list) dimana parti politik memberikan daftar calonnya kepada para pemilih di tingkat nasional atau daerah, dan bila terdapat banyak anggota yang akan dipilih dari setiap distrik memungkinkan perwakilan bagi partai partai kecil.

Kelebihan: Bagi kebanyakan negara demokrasi baru, khususnya yang masih menghadapi potensi disintegrasi nasional, masuknya semua kelompok secara signifikan ke dalam parlemen, menjadi parasyarat penting bagi upaya terbentuknya konsolidasi demokrasi. Kelemahan: Daftar calon (party list) ditetapkan dengan kuasa penuh dari pimpinan partai.

Page 41: Bab iii electoral systems

Rancang bangun sistem bedasarkan pembentukan consensus dan pembagian kekuasaan biasanya memasukkan perwakilan proporsional sebagai bagian dari resep kelembagaan sistem pemilihan Negara-negara tersebut.

Ada sejumlah hal yang sering sebagai kritik penggunaan sistem ini.

■ Fragmentasi politik dalam koalisi politik.

Bahwa kecenderungan system ini menciptakan pemerintahan koalisi dengan berbagai kekurangan yang muncul seperti fragmentasi sistem kepartaian dan instabilitas pemerintahan;

■ Kegagalan sebagian besar system ini untuk memberi pertautan yang secara geografis kuat antara anggota parlemen dengan pemilihnya (constituency).

Di banyak hal ini mengurangi ketimpangan antara para wakil dengan yang diwakilinya, namun ini yang juga berpotensi terjadi problem integrasi politik; dan

Page 42: Bab iii electoral systems

■ Keinginan Pengakuan Struktur kepartaian menginginkan bantuan system Pemilu.

Terlalu besarnya keinginan dari struktur partai secara nasional dan daerah, dari pemilih untuk memilih kepada partai dan bukan kepada individu atau kelompok individu dalam daftar calon, sehingga mendorong system ini sulit dilaksanakan pada karakter masyarakat dengan struktur kepartaian yang longgar atau belum matang.

Page 43: Bab iii electoral systems

1. Proportional Representation List Systems (PR-List)

Jenis sistem pemilihan perwakilan proporsional yang paling popular di dunia. Sebagian besar bentuk Daftar PR ada di distrik banyak anggota yang besar, memaksimalkan proporsional. Calon yang menang diambil dari daftar berdasarkan nomor urut posisi masing masing.

Varian sistem Pemilu ini mengandalkan pada prinsip proporsional. Pertama-tama rakyat-pemilih memilih partai yang memuat daftar nama calon dan tidak diperkenankan memilih nama calon.

Dari suara partai yang berhasil diperoleh, ditentukan pemenangnya berdasarkan kumulasi untuk berikutnya dibagi ke dalam nama calon sebagaimana tercantum di dalam daftar.

Sistem ini diterapkan secara luas di Benua Eropa, Amerika Latin, dan Afrika Selatan.

Kelebihan: derajat keterwakilan tinggi.

Kelemahan: bos partai berkuasa untuk tetapkan posisi caleg.

Page 44: Bab iii electoral systems

2. Mixed-Member Proportional (MMP)

Digunakan di Jerman, Selandia Baru, Bolivia, Italia, Mexico, Venezuela, dan Hongaria, yang mencoba menggabungkan atribut-atribut positif dari sistem Pluralist-Mayoritarity dan Proportioal-Representative.

Proporsi parlemen, kira-kira separuh untuk Jerman, NZ, Bolivia, dan Venezuela, dipilih dengan metoda pluralitas-mayoritas, biasanya dari distrik-distrik suara tunggal, sementara sisanya ditentukan menggunakan daftar PR, dengan kursi-kursi PR digunakan untuk mengkompensasikan disproporsionalitas yang dihasilkan dari kursi sistem distrik.

Dengan menggunakan distrik-distrik yang bersuara tunggal, maka varian MMP ini dapat memastikan bahwa para pemilih memiliki perwakilan secara geografis. Tidak ada yang tidak-dapat kursi di setiap daerah geografis dari masing-masing Dapil.

Page 45: Bab iii electoral systems

3. Single Transferable Vote (STV).

Menggunakan distrik-distrik bersuara banyak (multi-member district), dengan para pemilih memilih calon berdasarkan rangking nomor urut pilihan di atas kertas suara dengan cara yang sama seperti dalam AV. Setelah jumlah keseluruhan suara berdasarkan pilihan nomor urut dicatat, penghitungan kemudian dimulai dengan menentukan “kuota” suara untuk memilih seorang calon tunggal.

Setiap calon, yang memiliki lebih banyak suara ketimbang jatah yang ada, langsung terpilih. Namun bila tak satu pun calon yang mencapai kuota, calon dengan jumlah suara paling rendah dicoret, lalu jumlah suaranya dibagikan kepada para calon yang masuk dalam persaingan.

Pada saat bersamaan, kelebihan suara calon terpilih (yakni suara di atas kuota), dibagikan kembali sesuai pilihan kedua pada kertas suara sampai semua kursi untuk dapil itu terisi. Sistem ini digunakan di Irlandia dan Malta.

Page 46: Bab iii electoral systems

46