bonorowo wetlands | vol. 4 | no. 1 | june 2014 | issn

74
| Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN: 2088-110X | E-ISSN: 2088-2475| Nusantara Institute of Biodiversity Sebelas Maret University

Upload: others

Post on 18-Feb-2022

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

| Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN: 2088-110X | E-ISSN: 2088-2475|

Nusantara Institute of BiodiversitySebelas Maret University

Page 2: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

| Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN 2088-110X | E-ISSN 2088-2475|

The Bonorowo Wetlands publishes original papers and reviews on all aspect of the wetlandssciences, including: physical aspects, biogeochemistry, biodiversity, conservation andmanagements, as well as related fields such as horticulture and ethnobiology, with emphasis ofthe Islands of Southeast Asian or Nusantara region.

Ahmad D. SetyawanDepartment of Biology,Faculty of Mathematics and Natural SciencesSebelas Maret UniversitySurakarta, Central Java(Editor)

Udhi E. HernawanResearch Center for OceanographyIndonesian Institute of Sciences,Tual, Southeast Maluku(Associate Editor)

Alfin WidiastutiDevelopment Agency for Seed QualityTesting of Food and Horticulture CropsCimanggis, Depok, West Java(Business Manager)

Editorial Advisory Board

Professor Cecep KusmanaFaculty of ForestryBogor Agricultural UniversityBogor, West Java([email protected])

Professor Mohammed S.A. AmmarMarine Invertebrates/Coral ReefsNational Institute of OceanographySuez, Egypt([email protected])

Professor SudarmadjiDepartment of Biology,Faculty of Mathematics and Natural SciencesState University of Jember,Jember, East Java([email protected])

Dr. Achmad RizalFaculty of FisheriesTadulako UniversityPalu, Central Sulawesi([email protected])

Dr. Muhammad A. Rifa’iFaculty of FisheriesLambung Mangkurat UniversityBanjarbaru, South Kalimantan([email protected])

Dr. SunartoDepartment of Biology,Faculty of Mathematics and Natural SciencesSebelas Maret UniversitySurakarta, Central Java([email protected])

Dr. Gadis S. HandayaniResearch Center for LimnologyIndonesian Institute of SciencesCibinong-Bogor, West Java([email protected])

Dr. DarmawanDepartment of AgrotechnologyFaculty of AgricultureAndalas UniversityPadang (West Sumatra)([email protected])

Dr. Am A. TaurusmanFaculty of Fisheries and Marine ScienceBogor Agricultural UniversityBogor, West Java([email protected])

The Bonorowo Wetlands is a peer-reviewed journal published twice yearly, in June and December, by the the tandem publisher namelyNusantara Institute of Biodiversity (Society for Indonesian Biodiversity) and Sebelas Maret University Surakarta.

Authors currently opt for two samples journal off prints and/or a pdf reproduction of their contribution (gratis).

ADDRESS:Nusantara Institute of Biodiversity

Jl. Raya Dieng Km 01, Kp. Tanggung, Kel. Kejiwan, Wonosobo 56311, Jawa Tengah, IndonesiaTel. +62-286-5821222, Email: [email protected], [email protected], Online:biosains.mipa.uns.ac.id/W/index.htm

Page 3: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 1-11, June 2014 ISSN: 2088-110X, E-ISSN: 2088-2475DOI: 10.13057/bonorowo/w040101

1

Keanekaragaman makrozoobenthos di ekosistem mangrove silvofisherydan mangrove alami di Kawasan Ekowisata Pantai Boe, Kabupaten

Takalar, Sulawesi Selatan

The diversity of macrozoobenthos in the ecosystem of silvofishery mangrove and naturalmangrove in the Boe Coast Ecotourism Area, Takalar District, South Sulawesi

ANGGI AZMITA FIQRIYAH MARPAUNG, INAYAH YASIR, MARZUKI UKKASProgram Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makassar, Sulawesi Selatan

Manuskrip diterima: 14 Desember 2013. Revisi disetujui: 11 Maret 2014.

Abstract. Marpaung AAF, Yasir I, Ukkas M. 2014. The diversity of macrozoobenthos in the ecosystem of silvofishery mangrove andnatural mangrove in the Boe Coast Ecotourism Area, Takalar District, South Sulawesi. Bonorowo Wetlands 4: 1-11. This study wasconducted to determine the diversity of macrozoobenthos in mangrove ecosystems of silvofishery and natural mangroves and tocompare the abundance of macrozoobenthos in the two different ecosystems. The study was conducted between December 2012 andFebruary 2013, located in the Mappakalompo Village pond and the estuary area of the Boe Beach Ecotourism Area, GalesongSubdistrict, Takalar District, South Sulawesi. Observations were made on two stations, namely mangrove silvofishery and naturalmangroves. Research method is survey method and sampling method, then analyzed in laboratory. The results show that the diversity ofmacrozoobenthos in both ecosystems is 16 species, in mangrove silvofishery found 5 species divided into 3 species of Gastropoda, 1species of Bivalvia and 1 species of Maxillopoda; whereas in natural mangroves found 15 species consisting of 6 species of Gastropoda,7 species of Bivalvia, 1 species of Maxillopoda and 1 species of crustacea. Cerithidea cingulata is the most dominant macrozoobenthos.For macrozoobenthos, silvofishery mangrove ecosystems have high macrozoobenthos abundance (1219/m²), but species diversity islow. Meanwhile, natural mangrove ecosystems have small macrozoobenthos abundance (730/m²) but the number of species is morediverse. For mangroves, natural mangrove ecosystem is more diverse with four species, namely Avicennia sp., Bruguiera sp.,Rhizophora mucronata, and Rhizophora stylosa. While, mangrove silvofishery only overgrew two species of mangroves, namely R.mucronata and R. stylosa, both planted by pond farmers.

Kata kunci: Estuaria, makrozoobenthos, ekosistem mangrove, silvofishery

PENDAHULUAN

Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegangperanan penting, dimana kawasan ini memiliki nilaistrategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasa-jasalingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Sumberdayaalam diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomidi Indonesia, sehingga selayaknya bila sumberdaya alamtersebut dikelola dengan baik untuk menghindari terjadinyakrisis lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagaisumber kehidupan. Namun, jarang sekali yangmemperhatikan tumbuh-tumbuhan yang ada di kawasanpesisir pantai, yang sekilas hanya merupakan semakbelukar yang tidak terawat dan tidak berfungsi. Kawasanpantai yang ditumbuhi jenis tumbuhan tersebut dikenalsebagai hutan mangrove (Romimohtarto dan Juwana 1999).

Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitastanaman yang hidup di antara laut dan daratan yangdipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkaliditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai danair laut yang kemudian menjadi pelindung daratan darigelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawaruntuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrovedikelilingi oleh air garam atau air payau (Arief 2003).

Silvofishery (mangrove dalam tambak) merupakan polapendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatanterpadu antara kegiatan budidaya ikan/ udang dengankegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upayapelestarian hutan mangrove. Kawasan estuaria khususnyapada ekosistem mangrove sangat kompleks dengankehidupan biota-biota yang hidup pada bagian dasarsedimen, di antaranya makrozoobenthos sebagai gruphewan bentik yang mempunyai sifat khas yang dikenalsebagai komunitas dasar dengan kondisi lingkungan hidupyang lebih spesifik (Hutabarat dan Evans 1985). Contohnyapada substrat berpasir, lingkungan ini lebih didominasi olehhewan seperti molluska, bivalvia dan lain-lain.

Makrozoobenthos merupakan organisme yang hidupmelata, menempel, memendam dan meliang baik di dasarperairan maupun di permukaan dasar perairan.Makrozoobenthos yang menetap di kawasan mangrovekebanyakan hidup pada substrat keras sampai lumpur(Arief 2003).

Keberadaan hutan mangrove di daerah estuariaKawasan Ekowisata Pantai Pantai Boe, DesaMappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar,Sulawesi Selatan dan fungsi ekologis yang penting untuktambak dan ekosistem alaminya. Kawasan ekosistem

Page 4: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 1-11, June 20142

s, sabak

mangrove harus terus dijaga dan dilestarikan keberadaanuntuk kehidupan makrozoobenthos dalam kawasanekosistem mangrove, mengingat kegiatan eksploitasi hutanmangrove semakin tidak terkontrol yang merupakan habitatmakrozobenthos, maka Faktor lain yang menarik untukditeliti adalah keberadaan jenis makrozoobenthos pada duatempat yang berbeda antara wilayah mangrove silvofishery(dalam tambak) dan mangrove yang tumbuh alami didaerah pinggir sungai kawasan ekowisata pantai (estuaria)Pantai Boe, Sulawesi Selatan.

Tujuan penelitian ini adalah (i) untuk mengetahuikeanekaragaman makrozoobenthos dan mangrove padaekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami, (ii)membandingkan kelimpahan makrozoobenthos padaekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempatPenelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012,

sampling benthos dilaksanakan di dalam tambak DesaMappakalompo dan di daerah estuaria Kawasan EkowisataPantai Boe, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar,Sulawesi Selatan (Gambar 2). Identifikasi sampel dananalisa sedimen serta pengukuran DO dilakukan diLaboratorium Biologi Laut, Geomorfologi dan Manajemen

Pantai (GMP) serta Laboratorium Oseanografi Kimia,Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan danPerikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Alat dan bahanAlat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui titikposisi stasiun pengamatan, plot kuadran untuk batas daerahpengambilan sampel, rol meter untuk mengukur luasanekosistem dan jarak stasiun, ayakan benthos 1 mm untukmemisahkan sedimen dengan bentho dan pensil untukmencatat hasil pengamatan, Botol terang untuk menyimpanair untuk dititrasi, pH meter untuk mengukur pH perairan,salinometer untuk mengukur salinitas perairan, termometeruntuk mengukur suhu perairan, lup (kaca pembesar) untukmempermudah mengidentifikasi benthos, coolbox untukmenyimpan sampel, sekop untuk sampling sampel sedimendan makrozoobenthos serta Kamera sebagai alatdokumentasi kegiatan.

Alat-alat yang digunakan di laboratorium meliputi ovenuntuk mengeringkan sampel sedimen, sieve net untukmenentukan besar butiran sedimen, desikator untukmendinginkan sampel sedimen setelah hasil proses BOT,cawan porselen dan cawan petri sebagai wadah sampelsedimen, buret asam, gelas ukurur, enlemeyer untukmentitrasi air menjadi nilai DO.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian di Kawasan Ekowisata Pantai Boe, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan

1.11.2

1.3

2.12.22.3

Page 5: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MARPAUNG et al. – Makrozoobenthos kawasan ekowisata mangrove 3

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalahkantong sampel untuk menyimpan sampel makro-zoobenthos dan sedimen, kertas label (spidol permanen)untuk menandai sampel pada kantong sampel, alkohol 70%untuk mengawetkan sampel makrozoobenthos, dan bukuidentifikasi untuk mengidentifikasi dari Dharma (1988).

Prosedur penelitianTahapan persiapan

Pengambilan data lengkap di lapangan dilakukan padahari minggu tanggal 13 Januari 2013. Perlokasi titik stasiunditentukan dengan Global Positioning System (GPS)mengacu pada Peta RBI skala 1:50.000 lembar 2010-52(Bakosurtanal 1991).

Berdasarkan kondisi lingkungan ditetapkan dua stasiundan tiap stasiun terdiri atas tiga sub stasiun. Stasiun I:Tambak (mangrove silvofishery) terdiri atas tiga substasiun dengan lima ulangan. Pada Stasiun I daerahsilvofishery dipilih dua petakan (plot) tambak. Plot satudan plot dua berada di dalam satu petakan tambak dan plotke tiga pada petakan tambak lainnya. (i) Sub stasiun (plot)I: mewakili vegetasi mangrove bagian pinggir mangrovesilvofishery (dalam tambak) dekat mangrove alami. (ii) Substasiun (plot) II: mewakili vegetasi mangrove lajur tambakbagian dalam. (iii) Sub stasiun (plot) III: mewakili vegetasimangrove petakan tambak lainnya. Stasiun II: MuaraSungai (mangrove alami) terdiri atas tiga sub stasiundengan lima ulangan. (i) Sub stasiun I: mewakili vegetasimangrove bagian dalam muara (ke arah hulu) Sungai Saro’.(ii) Sub stasiun II: mewakili vegetasi mangrove bagiantengah muara sungai Saro’. (iii) Sub stasiun III: mewakilivegetasi mangrove yang berbatasan dengan laut.

Tahap pengambilan dataSampling mangrove. Pengambilan data mangrove

dilakukan dengan menghitung jumlah tegakan yang beradadalam masing-masing plot dan menghitung lingkar batangpohon mangrove pada ketinggian dada orang dewasa (±1,3m) dengan menggunakan meteran.

Sampling makrozoobenthos. Untuk masing-masingsub stasiun (plot) dilakukan lima ulangan kuadran 1m x 1mdengan kedalaman 20 cm untuk menghitung keragamandan dominansi benthos. Sampel yang telah diambilkemudian disaring dengan menggunakan ayakan benthosdengan lubang berdiameter 1 mm. Makrozoobenthos yangtersaring diambil dan dimasukkan ke dalam kantongsampel atau botol dan diberi fixative atau pengawet(alkohol 70 %). Sampel kemudian diidentifikasi denganbantuan lup dan buku identifikasi makrozoobenthos diLaboratorium Biologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan,Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UniversitasHasanuddin. Identifikasi jenis-jenis makrozoobenthosberdasarkan petunjuk Dharma (1988).

Pengukuran parameter lingkungan. Pengukuranparameter lingkungan sebagai data penunjang adalah suhuperairan yang langsung diukur di setiap stasiun denganmenggunakan thermometer, salinitas diukur denganmenggunakan salinometer pengukuran salinitas dilakukanlangsung di lapangan, pengukuran DO dititrasi langsung di

lapangan dan pH air (universal indicator pH). Pengukuranparameter lingkungan ini dilakukan bersamaan denganpengambilan sampel makrozoobenthos. Sampel sedimendiambil dengan menggunakan sekop selanjutnyadimasukkan ke dalam kantong sampel untuk dilakukanpemilahan partikel sedimen dan pengukuran kandunganBOT sedimen di labolatorium. Untuk pengukuran pHsedimen menggunakan pH meter dilakukan langsung dilapangan dengan menancapkan pH meter kedalam kantongsampel yang berisi sedimen.

Tahap analisis laboratoriumKandungan bahan organik sedimenAdapun prosedur kerja dari kandungan bahan organik

dari sedimen sebagai berikut: Menimbang berat cawanpetri. Menimbang berat sampel sedimen yeng telahdikeringkan untuk menghilangkan air sebanyak kuranglebih 5 g dan mencatatnya (cawan petri + sampel kuranglebih 5 g) sebagai berat awal. Membakar dengan tanur padasuhu 600oC selama kurang lebih 3 jam. Setelah 3 jamdikeluarkan dari tanur dan didinginkan denganmenggunakan desikator. Menimbang kembali sampel(cawan petri + sampel terbakar) yang sudah dipanaskansebagai berat akhir.

Berat BOT = (BCK + BS)-BSP)

Dimana:BCK = Berat Cawan Kosong (g)BS = Berat Sampel (g)BSP = Berat Setelah Pijar (g)

Ukuran butir sedimenAnalisis sampel sedimen dilakukan dengan metode

Wentworth. Metode ini dipakai untuk menunjukkandistribusi ukuran butir sedimen untuk mengetahuidominansi jenis sedimen pada daerah penelitian.

Tabel 2. Ukuran partikel sedimen menurut standar Wenworth

Keterangan Ukuran (mm)Kerikil besar (boulder) >256Kerikil kecil (gravel) 2-256Pasir sangat kasar (very coarse sand) 1-2Pasir kasar (coarse sand) 0,5-1Pasir sedang (medium sand) 0,25-0,5Pasir halus (fine sand) 0,125-0,25Pasir sangat halus (very fine sand) 0,0625-0,125Lanau/debu (silt) 0,002- 0,0625Lempung (clay) 0,0005-0,002Material terlarut <0,0005Sumber: Hutabarat dan Evans (1985)

Page 6: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 1-11, June 20144

Oksigen terlarut (DO)Oksigen Terlarut (DO) merupakan jumlah mg/L gas

oksigen yang terlarut dalam air. Penentuan oksigen secaratitrimetri dilakukan menurut metode standar Winklersebagai berikut: Pindahkan air sampel kedalam botol terangsampai meluap (jangan sampai terdapat gelembung udaradalam botol), tutup kembali. Tambahkan 2 mL ManganSulfat (MnSO4) dan 2 mL NaOH-KI. Penambahan reagen-reagen ini juga dengan memasukkan pipet kedalampermukaan air dalam botol. Tutup dengan hati-hati danaduk dengan membolak-balik botol sampai 8 kali. Biarkanbeberapa saat hingga endapan yang ada terbentuk dengansempurna. Tambahkan 2 mL H2SO4 pekat dengan hati-hati(gunakan ruang asam), aduk dengan cara yang sama hinggasemua endapan larut. Lalu, ambil 100 mL air dari botolterang dengan menggunakan gelas ukur, masukkan dalamErlenmeyer, usahakan jangan sampai terjuadi aerosi. Titrasidengan Na-Thiosulfat 0,025 N hingga terjadi perubahanwarna dari kuning tua menjadi kuning muda. Tambahkan5-8 tetes indikator amylum hingga berbentuk warna biru.Lanjutkan titrasi dengan Na-Thiosulfat hingga tidakberwarna (bening). Penentuan nilai DO denganmenggunakan

Oksigen Terlarut dalam mg/L =

Dimana:A = mL larutan baku natrium tiosulfat yang digunakanVc = mL larutan yang dititrasiN = Kenormalan larutan natrium tiosulfatVb = Volume botol

Analisis dataMakrozoobenthos

Kelimpahan jenis makrozoobenthosKelimpahan makrozoobenthos dihitung berdasarkan

jumlah individu persatuan luas (ind/m2), denganmenggunakan rumus Shannon-Wiener (Wibisono 2005):

Y = a/b x 10000

Dimana:Y = Indeks kelimpahan jenis (jumlah individu) (ind/m2)a = Jumlah makrozoobenthos yang tersaring (ind)b = Luasan plot x jumlah ulangan

10.000 = Nilai Konversi dari cm² ke m²

Kelimpahan relatifKelimpahan relatif dihitung dengan rumus Shannon-

Wiener (Odum 1993)

R = ni/Nx100

Dimana:R = Kelimpahan relatifni = Jumlah individu setiap jenis (ekor)

N = Jumlah seluruh individu

Indeks keanekaragamanIndeks keanekaragaman dihitung dengan rumus

Shannon-Wiener (Odum 1993)

Dimana:H’ = Indeks keanekaragaman jenis ni = Jumlah individu

jenisN = Jumlah total individu

Indeks keseragaman

Indeks keseragaman dihitung dengan menggunakanrumus Evennes-Indeks (Odum 1993).

Dimana:E = Indeks keseragaman jenisH’= Indeks keanekaragaman jenisS = Jumlah jenis organisme

Indeks dominansi (C)Indeks domonansi dihitung dengan rumus Dominance

of Simpson (Odum 1993).

Dimana:C = Indeks dominansini = Jumlah individu setiap jenisN = Jumlah total individu

Analisis data mangroveKerapatan jenis (Di)Kerapatan jenis i (Di) adalah Jumlah tegakan jenis i

dalam suatu unit area, yang perhitungannya menurut olehBengen (2000).

Dimana:Di = Kerapatan Jenisni = Jumlah total tegakan jenis iA = Luas total areal pengambilan data

Kerapatan relatif jenis (RDi)Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan

antara jumlah tegakan jenis i (ni) dan jumlah total tegakanseluruh jenis (Ʃn), dengan rumus (Bengen 2000).

Page 7: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MARPAUNG et al. – Makrozoobenthos kawasan ekowisata mangrove 5

Dimana:Di = Kerapatan Relatifni = Jumlah total tegakan jenis i∑ = Jumlah total tegakan seluruh jenis

Frekuensi jenis (Fi)Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis

i dalam plot yang diamati (Bengen 2000).

Dimana:Fi = Frekuensi jenis iPi = Jumlah plot yang ditemukan jenis i∑ = Jumlah plot yang diamati

Frekuensi relatif jenis (RFi)Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan

antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi untukseluruh jenis (ƩF) dengan rumus (Bengen 2000).

Dimana:RFi = Frekuensi relatif jenis iFi = Frekuensi jenis i∑ = Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis

Penutupan Jenis (Ci)

Dimana:Ci = Penutupan jenisDBH = Diameter pohon jenis i = 3,14A = Luas total area pengambilan contohCBH = Lingkaran pohon setinggi dada (130 cm)

Keliling = 2 rBA = Basal Area

Penutupan Relatif Jenis (RCi)

Dimana:RCi = Penutupan relatif JenisCi = Luas area penutupan jenis i∑ = Luas total area untuk seluruh jenis i

Hubungan antara struktur komunitas dankarakteristik habitat

Dalam mengkaji hubungan makrozoobenthos di keduaekosistem dengan mewakili jenis kelimpahanmakrozobenthos di ekosistem mangrove silvofishery danmangrove alami dengan menggunakan uji statistik One-way ANOVA.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi umum lokasi penelitianKawasan Ekowisata Pantai Boe merupakan wilayah

Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, KabupatenTakalar, Sulawesi Selatan. Kabupaten Takalar adalah salahsatu kabupaten dalam wilayah propinsi Sulawesi Selaptanyang memiliki luas 566,51 km2 dan berada pada posisi5,300-5,380 LS dan 119,220-199,390BT. Kabupaten Takalarberbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Gowapada sebelah Utara, Kabupaten Jeneponto dan KabupatenGowa sebelah Timur, Laut Flores pada sebelah Selatan danSelat Makassar pada sebelah Barat. Di Kabupaten Takalarterdapat banyak wilayah pantai yang dimanfaatkan sebagaiobjek ekowisata pantai, baik pada lahan di belakang garispantai maupun pada perairan pantai depan garis pantai.

Pantai Boe di Desa Mappakalompo, KecamatanGalesong, Kabupaten Takalar merupakan salah satu bagiandari wilayah pesisir Kabupaten Takalar yang memilikipotensi yang besar untuk dikembangkan sebagai objekwisata pantai. Lahan di belakang pantai berupa empang dankebun campuran. Dari hasil pengukuran diketahui bahwaluas empang yaitu ±2 ha dan luas kebun campuran yaitu ±1ha.

Mangrove yang berada di dalam empang terdiri atasdua jenis yaitu Rhizophora mucronata dan R. stylosa yangditanam petani tambak, sedangkan di ekosistem mangrovealami terdapat empat jenis mangrove yaitu Avicennia sp.,Bruguiera sp., R. stylosa dan R. mucronata. Mangrovetersebut ditanam di sekitar pematang dan di tengah-tengahtambak. Tujuan penanaman mangrove di sekitar pinggirtambak dengan tujuan untuk memperkuat strukturpematang dari tambak itu sendiri. Sedangkan mangroveyang ditanam dengan rapi di tengah tambak bertujuanuntuk mengembalikan kesuburan tanah pada tambak dansebagai daerah tempat ikan berlindung, mencari makan(feeding ground), mengasuh dan membesarkan (nurseryground) dan sebagai tempat untuk bertelur (spawningground).

Empang tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untukbudidaya ikan bandeng (Chanos chanos). Empang tersebutmasih mendapat pengaruh air tawar dari sungai Saro’ yangbermuara di sebelah selatan Pantai Boe. Namun tidaksemua empang dapat dimanfaatkan oleh karena padamusim kemarau sistem drainase kurang baik karena suplaiair laut tidak begitu banyak yang masuk ke lahan tambak

Page 8: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 1-11, June 20146

sehingga hanya beberapa lahan tambak saja yang cukuptergenang oleh air dan dapat dimanfaatkan. Empanglainnya yang berada di depan kebun campuran ukurannyajuga cukup luas. Empang tersebut dimanfaatkan olehmasyarakat setempat untuk kegiatan perikanan tambakseperti budidaya ikan dan udang.

Kondisi lingkunganEkosistem mangrove di silvofishery merupakan

mangrove yang terkontrol karena mangrove di ekosistemsilvofishery ditanam dengan sengaja oleh petanitambak.Sedangkan pada ekosistem mangrove alami,mangrove tumbuh secara alami tanpa ada campur tanganpetani tambak. Mangrove alami terjadi pergantian (siklus)air.

Kondisi lingkungan sangat mempengaruhiperkembangan keanekaragaman jenis makrozoobenthosdan pertumbuhan ekosistem mangrove. Dalam suatuekosistem tentunya terdapat berbagai parameter lingkunganyang menentukan karakteristik dari ekosistem tersebut.Hasil pengukuran parameter lingkungan yang dijadikansebagai faktor pendukung setiap stasiun penelitian padamangrove silvofishery dan mangrove alami adalah antaralain.

SuhuSuhu dapat membatasi sebaran hewan-hewan bentik

secara geografis. Pertumbuhan dan perkembangan suatuorganisme dipengaruhi oleh suhu, sehingga kehidupanorganisme dasar perairan secara langsung maupun tidaklangsung. Kisaran suhu yang didapatkan di semua stasiunpenelitian (29-310 C) umumnya masih bisa ditolerir olehtumbuhan mangrove dan makrozoobenthos di ke duastasiun penelitian yaitu mangrove silvofishery danmangrove alami. Pada mangrove silvofishery suhuperairannya lebih tinggi karena, mangrove silvofishery(dalam tambak) statis dan tidak dipengaruhi oleh suplai airdari luar sedangkan suhu mangrove alami lebih rendahkarena adanya pergantian perairan dari aliran sungai saro’.Sukarno (1988), menyatakan bahwa suhu 25-36o C adalahnilai kisaran yang dapat ditolerir oleh makrozoobenthos,khususnya di ekosistem mangrove.

SalinitasKisaran salinitas yang terukur ini masih sesuai untuk

pertumbuhan mangrove. Secara umum kisaran salinitas

yang didapatkan di lokasi penelitian untuk setiap stasiunpenelitian cukup bervariasi dengan kisaran nilai antara 18-27 ‰ (Tabel 3). Hal ini dipengaruhi oleh posisi samplingyang terletak di muara Sungai Saro’ Salinitas perairan iniberubah-ubah sesuai dengan pola pasang surut yang terjadidan mewakili vegetasi mangrove yang berbatasan denganpintu air dari tambak.Kisaran salinitas ini masih dianggaplayak untuk kehidupan makrozoobenthos yang berkisar 15-45‰ (Mudjiman 1981).

pH airHasil pengukuran pH air di semua stasiun penelitian

menunjukkan kisaran nilai 7-8. Pada mangrove silvofisherypH lebih rendah karena, mangrove silvofishery termasukperairan payau, sedangkan pH mangrove alami lebih tinggikarena mendapat suplai air laut. pH air pada hibahpenelitian Ukkas (2009), antara 7,5-8. Berdasarkan nilai pHini, maka perairan di Kawasan Ekowisata Pantai Boe yaitumangrove silvofishery (mangrove dalam tambak) danmangrove alami di tepi Sungai Saro’ dapat dikatakanperairan yang produktif. Kisaran nilai pH di setiap titikpenelitian cukup baik untuk kehidupan makrozoobenthos,sesuai pernyataan Effendi (2003), bahwa sebagian besarbiotik aquatik sensitif terhadap perubahan pH danmenyukai nilai pH berkisar 7,0-8,5.

pH tanahpH tanah yang terukur memiliki kisaran antara 5,6-6,1.

Kisaran pH tanah tertinggi terukur pada stasiun I plot III(6,1). Menurut Hardjowigeno (2003), tanah dengan pH 6,0-7,0 sering dikatakan cukup netral meskipun sebenarnyamasih agak asam tetapi masih dapat ditoleril atau masihcukup baik untuk perkembangan makrozoobenthos. pHtanah pada setiap stasiun termasuk dalam kategori asamkarena besaran nilai pHnya ± 6,0. Menurut Arief (2003),pH tanah di kawasan mangrove juga merupakan salah satufaktor yang ikut berpengaruh terhadap keberadaanmakrozoobenthos berbagai jenis makrozoobenthos padaumumnya sangat peka terhadap keasaman tinggi.

Substrat/sedimenHasil pemilahan partikel sedimen menunjukkan bahwa

daerah silvofishery dan daerah mangrove alami didominasipartikel sedimen pasir sedang (Tabel 4).

Tabel 3. Data hasil pengukuran parameter lingkungan pada setiap stasiun pengamatan

Stasiun Plot Suhu (oC) Salinitas (‰) pH air pH Sedimen DO(mg/L) BOT (%)

Mangrove silvofishery I-1 31 20 7 5,9 5,28 68,89I-2 30 20 7 5,9 5,12 43,02I-3 31 18 7 6,1 4,8 56,06

Mangrove alami II-1 29 26 8 5,6 6,24 47,23II-2 29 27 8 5.8 5,28 22,04II-3 30 27 7 5,8 6,4 35,62

Page 9: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MARPAUNG et al. – Makrozoobenthos kawasan ekowisata mangrove 7

Tabel 4. Persentase hasil pemilahan ukuran butir sedimen pada setiap stasiun penelitian

Ekositem Stasiun % Komponen Q2 Jenis2-1 0,5-0,25 0,125-0,063 < 0,063 (mm) Sedimen

Mangrove silvofishery Plot I 9,021 34,026 55,238 0,945 0,23 Pasir halusPlot II 11,792 26,666 58,034 0,727 0,22 Pasir halusPlot III 6,614 32,966 59,342 1,042 0,22 Pasir halus

Mangrove alami Plot I 15,389 31,629 52,373 0,624 0,21 Pasir halusPlot II 20,015 29,612 48,199 0,796 0,25 Pasir sedangPlot III 31,301 31,886 33,056 2,071 0,4 Pasir sedang

Jenis sedimen pada mangrove silvofishery termasukdalam kategori pasir halus, hal ini disebabkan oleh tidakadanya pengaruh gelombang, pasang surut dan arus yangdapat mempengaruhi proses terjadinya sedimentasi, dengankata lain ekosistem mangrove silvofishery sebagai siklusair tertutup. Sedangkan pada mangrove alami termasukpasir sedang karena terjadi pengaruh langsung dari arus dangelombang air laut.

Makrozoobenthos hidup dengan membenamkan diridalam lumpur di bawah mangrove. Fraksi pasirmengakibatkan terjadinya penekanan kepadatanmakrozoobenthos di hutan mangrove. Pasir dibutuhkandalam kehidupan makrozoobenthos, yakni untukmemperbaiki aerasi (menyatu dengan debu) ketika benthosmenyusup ke dalam substrat ataupun tempat beristirahat(Arief 2003). Menurut Bengen (2004), bakau (Rhizophora)dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang berlumpur dandapat mentolerir tanah lumpur berpasir.

Kandungan Bahan Organik Total (BOT) sedimenEkosistem mangrove selain ditinjau oleh adanya

endapan lumpur, dan kehidupan dari tegakan-tegakanmangrove juga ditinjau oleh proses dekomposisi sisa-sisabagian pohon (daun, bunga, ranting, akar dan kulit batang)jadi bahan organik. Hasil analisis kandungan bahan organikyang berasal dari sedimen di kawasan mangrovesilvofishery berkisar antara 43,02-68,89% dan padaekosistem mangrove alami 22,04-47,23% (Tabel 3).

Pada mangrove silvofishery BOT sedimen lebih tinggikarena, pada mangrove silvofishery kerapatan mangrovelebih tinggi dan ekosistem mangrove silvofishery(mangrove dalam tambak) merupakan siklus air tertutupsedangkan pada mangrove alami kerapatan mangrovenyalebih rendah tetapi jenisnya lebih beragam. Sehubungdengan penelitian Nur (2002), produksi serasah hutanmangrove tergolong rendah hal ini dipengaruhi oleh luasempang, fenomena ini disebabkan oleh iklim dan kondisivegetasi mangrove yang ada.

Kandungan bahan organik dipengaruhi oleh jenissedimen pada masing- masing stasiun. Kemampuan pasirhalus dalam penyerapan unsur hara tergolongtinggi.Semakin kecil ukuran butiran sedimen semakin besarkemampuan menyimpan bahan organik (Soepardi 1986).Menurut Arief (2003), partikel-partikel ini banyakmengandung bahan organik hasil dekomposisi serasahmangrove.

Oksigen terlarut (DO)DO yang terukur pada setiap stasiun pengamatan berada

pada kisaran 4,80-5,28 mg/L pada daerah mangrovesilvofishery dan pada daerah mangrove alami nilai DOberkisar antara 5,28-6,40 mg/L. Nilai DO tersebut masihdalam kondisi normal untuk menunjang kehidupanmakrozoobenthos. Dowing (1984) dalam Sudarja (1987),mengatakan bahwa kadar DO yang dibutuhkan olehmakrozoobenthos berkisar 1,00-3,00 mg/L. Semakin besarkadar DO dalam suatu ekosistem, maka semakin baik pulakehidupan makrozoobenthos yang mendiaminya. KadarDO untuk tiap stasiun relatif sama karena tidak terdapatperbedaan yang signifikan di tiap stasiun pengamatan(Tabel 3).

Kondisi ekosistem mangroveMangrove siilvofishery yang ditanam di dalam tambak

telah membentuk vegetasi mangrove sebagai satuhabitat.Hasil pengamatan menunjukkan bahwa mangroveyang tumbuh di Kawasan Ekowisata Pantai Boe terdiri atasdua jenis yaitu R. mucronata dan R. stylosa yangmerupakan hasil penanaman oleh petani tambak. Diekosistem mangrove alami terdapat beberapa jenismangrove yaitu Avicennia sp., Bruguiera sp., R. stylosadan R. mucronata (Tabel 5).

Kerapatan jenis mangrove silvofishery dan mangrovealami

Kerapatan jenis pada ekosistem mangrove silvofisherydan mangrove alami dipengaruhi oleh kondisi lingkungandan ketersediaan unsur hara yang terbatas disebabkan olehkerapatan tegakan pohon mangrove. Kerapatan jenismasing- masing stasiun pengamatan dapat dilihat padagambar 5.

Tabel 5. Jenis mangrove yang ditemukan di setiap stasiunpenelitian

SpeciesMangrove

silvofishery Mangrove alami

Plot I Plot II Plot III Plot I Plot II Plot IIIAvicennia sp. √ √ √Bruguiera sp. √Rhizophora mucronata √ √ √ √Rhizophora stylosa √ √ √

Page 10: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 1-11, June 20148

Antara pohon satu dengan pohon mangrovelainnyauntuk mangrove silvofishery tidak memiliki jarak(Gambar 5). Kerapatan jenis mangrove silvofishery danmangrove alami sangat jauh berbeda, pada ekosistemmangrove silvofishery sangat padat karena ditanam dengansengaja. Rendahnya kerapatan jenis mangrove padaekosistem mangrove alami dapat dipengaruhi oleh pasangsurut karena mangrove alami berbatasan dengan laut dankurangnya pemeliharaan terhadap pohon mangrove.

Frekuensi jenis mangrove silvofishery dan mangrove alamiFrekuensi jenis mangrove dapat menentukan peluang

ditemukannya jenis mangrove dalam plot yang diamati.Frekuensi jenis pada ekosistem mangrove silvofishery danmangrove alami memiliki nilai yang hampir sama (Gambar6). Jenis mangrove yang paling sering ditemukan dikeduaekosistem adalah jenis mangrove R. mucronata dan R.stylosa.

Struktur komunitas dan indeks ekologimakrozoobenthos

Struktur komunitas makrozoobenthosStruktur komunitas makrozobenthos terdiri dari

komposisi jenis, kelimpahan jenis dan kelimpahan relatifjenis.

Komposisi jenis makrozoobenthos. Ditemukan 16jenis makrozoobenthos di dua ekosistem hasil penelitian,tujuh jenis diantaranya dari class Gastropoda, tujuh jenisdari class Bivalvia, satu jenis dari class Maxillopoda, dansatu jenis dari class Crustacea dengan total jumlah individusebanyak 1949 individu (Gambar 7).

Komposisi jenis yang ditemukan berdasarkan jumlahjenis pada masing- masing ekosistem mangrovesilvofishery dan mangrove alami menunjukkan, bahwaekosistem yang memiliki jumlah jenis yang tertinggiterdapat pada mangrove alami dengan 15 jenis terdiri darienam dari class Gastropoda, tujuh dari class Bivalvia, satujenis dari class Maxillopoda dan satu jenis dari classCrustacea. Pada mangrove silvofishery denganlimajenisterdiri dari tiga jenis class gastropoda, satu jenis dariclass Bivalvia dan satu jenis dari class Maxillopoda.

Gambar 4. Kerapatan jenis ekosistem mangrove silvofishery danmangrove alami (ind/m²)

Gambar 5. Frekuensi jenis ekosistem mangrove silvofishery danmangrove alami

Gambar 6. Komposisi jenis makrozoobenthos berdasarkanjumlah jenis yang ditemukan pada ekosistem mangrovesilvofishery dan mangrove alami

Gambar 7. Komposisi jenis makrozoobenthos berdasarkan jumlah jenis

Page 11: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MARPAUNG et al. – Makrozoobenthos kawasan ekowisata mangrove 9

Tabel 6. Komposisi jenis makrozoobenthos pada tiap stasiun berdasarkan jumlah individu

ClassMangrove silvofishery Mangrove alami

Plot I Plot II Plot III Plot I Plot II Plot IIIJL % JL % JL % JL % JL % JL %

Gastropoda 355 98,89 408 100,00 443 98,01 200 97,56 136 88,89 363 97,58Bivalvia 0 0,00 0 0,00 6 1,33 4 1,95 14 9,15 6 1,61Maxillopoda 4 1,11 0 0,00 3 0,66 1 0,49 2 1,31 3 0,81Crustacea 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1 0,65 0 0,00Total 359 100 408 100 452 100 205 100 153 100 372 100

Gambar 8. Kelimpahan rata-rata individu makrozoobenthos padaekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami

Ekosistem mangrove silvofishery umumnya didominasioleh class gastropoda sedangkan untuk ekosistemmangrove alami didominasi dari class Bivalvia (Gambar 8).

Komposisi jenis makrooobenthos pada ekosistemmangrove silvofishery dan mangrove alami didominasiolehclass gastropoda (Tabel 6). Gastropoda mempunyaicangkang kedap air yang berfungsi sebagai pembatas,sehingga saat surut gastropoda menutup rapat cangkangdengan operkulum. Selain itu, class gastropoda jugamemakan mikroorganisme atau bahan organik tanah, sertanaik keatas pohon mangrove untuk mendapatkan makananseperti jenis Uca sp., Clithon oualaniensis dan Terebraliasulcata. Menurut Arief (2003), Pada bivalvia Jika diamati,cangkangnya terbagi dalam dua belahan yang diikat olehligamen sebagai pengikat yang kuat dan elastis. Ligamenini biasanya selalu terbuka, apabila diganggu maka akanmenutup.

Kelimpahan rata-rata makrozoobenthos. Kelimpahanmakrozoobenthos pada ekosistem mangrove silvofisherydan mangrove alami kawasan Ekowisata Pantai Boeberkisar antara 107-1020 ind/m2 (Gambar 9). Nilaikelimpahan cukup bervariasi, kelimpahan rata-rata individuyang diperoleh pada mangrove silvofishery lebih tinggidibandingkan kelimpahan di ekosistem mangrove alami.

Kelimpahan tertinggi terdapat pada ekosistemmangrove silvofishery yaitu plot II 1020 ind/m² tingginyakelimpahan makrozoobenthos stasiun I plot II (mangrovesilvofishery) didukung oleh tingginya BOT sedimen yangberasal dari serasah pohon mangrove dalam tambak.Sedangkan kelimpahan rata-rata terendah terdapat padaekosistem mangrove alami stasiun II plot II 107 ind/m²

rendahnya kelimpahan makrozoobenthos pada daerahmangrove alami kemungkinan dikarenakan pencemaranperairan di pinggir sungai saro’ yang disebabkan olehaktifitas pekerja kapal. Nelayan menggunakannya sebagaitempat persinggahan kapal untuk melakukan aktifitasseperti mengecat dan memperbaiki kapal.

Penyebab lainnya, rendahnya jumlah kelimpahanmakrozoobenthos pada mangrove alami dikarenakan fatormanusia, yaitu seringnya masyarakatan sekitar mengambilmakrozoobenthos khususnya pada jenis kerang-keranganuntuk dikonsumsi.

Dari hasil analisis uji Anova diperoleh nilai f hitungnyasebesar 9,202 dengan nilai signifikan sebesar 0,039(p<0,05), berarti terdapat perbedaan yang signifikan antarmangrove silvofishery dan mangrove alami dalam haljumlah jenis makrozoobenthos. Hal ini disebabkan olehjumlah jenis mangrove pada ekosistem mangrovesilvofishery sangat rendah, karena ekosistem ini kurangmenarik untuk habitat makrozooebnthos.

Kelimpahan relatif makrozoobenthos. Kelimpahanrelatif setiap species pada ekosistem mangrove silvofisherydan mangrove alami dengan nilai tertinggi terdapat padamangrove silvofishery (dalam tambak) yaitu classgastropoda dengan jenis Cerithidea cingulata 95,0779%dan makrozoobenthos yang kelimpahan relatifnya rendahditemukan pada mangrove alami dengan jenis-jenisLittoraria articulata 0,1370%, Semipallium luculentum0,1370%, dan Uca sp. 0,1370% (Tabel 7).

Indeks ekologi makrozoobenthosPersentase analisis data terhadap indeks ekologi

makrozoobenthos yang ditemukan di Kawasan EkowisataPantai Boe berdasarkan jumlah individu.

Indeks keanekaragaman makrozobenthos (H).Indeks Keanekaragaman makrozoobenthos yang tertinggiterdapat di ekosistem mangrove alami dengan total nilai0,62820650. Kedua ekosistem ini tidak masuk dalamkategori keanekaragaman karena Nilai indekskeanekaragaman ini dipengaruhi oleh banyaknya jumlahjenis yang diperoleh di beberapa sampling. H' ≥ 3,0 Tinggi.Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiapspesies/genera tinggi, kestabilan komunitas tinggi danperairannya masih belum tercemar berat. Menurut Odum(1993), keanekaragaman jenis bukan hanya sinonimdengan banyaknya jenis, melainkan sifat komunitas yangditentukan oleh banyaknya jenis serta kemerataankelimpahan individu tiap jenis.

Page 12: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 1-11, June 201410

Tabel 7. Kelimpahan relatif makrozoobenthos

Stasiun Class Nama species Jumlah individu (ni) ni/N %Mangrove silvofishery Gastropoda Clithon oulaniensis 20 0,016407 1,6407

Cerithidea cingulata 1159 0,950779 95,0779Terebralia sulcata 27 0,022149 2,2149

Bivalvia Saccostrea cucullata 6 0,004922 0,4922Maxillopoda Balanus sp. 7 0,005742 0,5742Total 1219

Mangrove alami Gastropoda Clithon oulaniensis 8 0,010959 1,0959Cerithidea cingulata 632 0,865753 86,5753Terebralia palustris 2 0,002740 0,2740Melanoides torulosa 3 0,004110 0,4110Littoraria articulata 1 0,001370 0,1370Faunus ater 53 0,072603 7,2603

Bivalvia Saccostrea cucullata 1 0,001370 0,1370Placuna ephippium 5 0,006849 0,6849Semipallium luculentum 1 0,001370 0,1370Anadara granosa 2 0,002740 0,2740Corbicula javanica 2 0,002740 0,2740Scapharca pilula 9 0,012329 1,2329Vepricardium sinense 4 0,005479 0,5479

Maxillopoda Balanus sp. 6 0,008219 0,8219Crustacea Uca sp. 1 0,001370 0,1370Total 730

Tabel 8. Nilai indeks ekologi makrozoobenthos pada ekosistem mangrove silvofishery

Stasiun Class Nama species Jumlahindividu (ni) H' E C

Mangrovesilvofishery

Gastropoda Clithon oualaniensis 20

0,25559601 0,15881073 0,90479831

Cerithidea cingulata 1159Terebralia sulcata 27

Bivalvia Saccostrea cucullata 6Maxillopoda Balanus sp. 7Total 5 Jenis 1219

Mangrove alamiGastropoda Clithon oualaniensis 8

0,62820650 0,23197742 0,75526365

Cerithidea cingulata 632Terebralia palustris 2Melanoides torulosa 3Litoraria articulata 1Faunus ater 53

Bivalvia Saccostrea cucullata 1Placuna ephippium 5Semipallium luculentum 1Anadara granosa 2Corbicula javanica 2Scapharca pilula 9Vepricardium sinense 4

Maxillopoda Balanus sp. 6Crustacea Uca sp. 1

Total 15 Jenis 730

Indeks keseragaman makrozoobenthos (E). Nilaiindeks keseragaman makrozobenthos, mangrove alamimemiliki nilai yang paling tinggi yaitu 0,23197742.Mangrove alami memiliki indeks keseragaman yang lebihbaik dibandingkan dengan ekosistem mangrovesilvofishery karena jumlah individu dari tiap jenismakrozoobentos yang ditemukan lebih merata. Secaraumum, nilai indeks keseragamana makrozoobenthos pada

Kawasan Ekowisata Pantai Boe termasuk dalam kategorirendah 0,00< E < 0,50 komunitas Tertekan, karena padabenthos jenis Cerithidea cingulata sangat melimpah. Halini dapat menyebabkan terhambatnya perkembanganorganisme lain yang berada dalam satu ekosistem. MenurutOdum (1993), keseragaman menunjukkan komposisiindividu dari setiap species dalam suatu komunitas.

Page 13: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MARPAUNG et al. – Makrozoobenthos kawasan ekowisata mangrove 11

Indeks dominansi makrozobenthos (C). Indeksdominansi makrozoobenthos digunakakn untukmenghitung adanya species tertentu yang mendominasisuatu komunitas makrozoobenthos. Untuk nilai indeksdominasi makrozoobenthos, mangrove silvofisherymemiliki nilai indeks dominansi yaitu 0,90479831. Nilaiindeks dominansi termasuk dalam kategori hampirmendekati adanya dominansi 0,75< C < 1,00.

Cerithidea cingulata mendominansi species terhadapspecies lain di semua stasiun penelitian. Hal ini disebabkanoleh, C. cingulata merupakan salah satu benthos yanghabitatnya di substrat berlumpur seperti substrat dalamtambak. Adanya dominansi karena kondisi lingkunganyang sangat menguntungkan dalam mendukungpertumbuhan spesies tertentu. Selain itu dominansi jugadapat terjadi karena adanya perbedaan daya adaptasi tiapjenis species terhadap lingkungan. Menurut Odum (1993),Nilai indeks dominani berkisar antara 1-0. Semakinmendekati satu, maka semakin tinggi tingkat dominansispesies tertentu, sebaliknya bila nilai mendekati nol berartitidak ada jenis yang mendominansi.

KESIMPULAN

Pada mangrove silvofishery terdapat lima jenismakrozoobenthos terdiri dari tiga jenis class gastropoda,satu jenis dari class Bivalvia dan satu jenis dari classMaxillopoda yang didominansi oleh class Gastropoda.Mangrove alami menunjukkan memiliki jumlah jenis yanglebih tinggi yaitu 15 jenis terdiri dari enam dari classGastropoda, tujuh dari class Bivalvia, satu jenis dari classMaxillopoda dan satu jenis dari class Crustacea yangdidominansi oleh class Bivalvia. Untuk keanekaragamanmangrove, pada ekosistem mangrove silvofishery terdapatdua jenis yaitu mangrove R. mucronata dan R. stylosasedangkan pada ekosistem mangrove alami terdiri dariAvicennia sp., Bruguiera sp., R. stylosa dan R. mucronata.Kelimpahan makrozoobenthos di ekosistem mangrovesilvofishery merupakan kawasan yang memilikimakrozoobenthos yang sangat melimpah tetapi jenisspecies yang sedikit dengan total jumlah individu 1219.Sedangkan, pada ekosistem mangrove alami merupakankawasan yang makrozoobenthos sedikit tetapi jenis

speciesnya cukup beragam dengan total jumlah individu730. Untuk kelimpahan mangrove, pada mangrove alamilebih beragam sedangkan mangrove silvofishery hanyaterdapar dua jenis mangrove karena mangrove disilvofishery merupakan mangrove yang ditanam olehpetani tambak.

DAFTAR PUSTAKA

Arief AMP. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. PenerbitKanisius. Yogyakarta.

Bakosurtanal. 1991. Rupabumi Indonesia seri peta 1:50.000. Edisi I.Bakosurtanal, Cibinong, Bogor.

Bengen DG. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan PengelolaanEkosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan(PKSPL) IPB. Bogor.

Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir danLaut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisirdan Laut (PKSPL) IPB, Bogor.

Dharma B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia jilid I dan jilid II (IndonesiaShell). PT. Sarana, Jakarta.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya danLingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.Hutabarat S, Evans M. 1985. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta.Mudjiman A. 1981. Budidaya Udang Windu. PT. Penebar Swadaya,

Jakarta.Nur HS. 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Lestari

Untuk Tambak Tumpangsari Di Kabupaten Indramayu Jawa Barat.Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia.

Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Diterjemahkan oleh T.Samingan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Romimohtarto. K, Juwana. S. 1999. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuantentang Biota Laut. P3O-LIPI. Jakarta.

Soepardi. 1986. Sifat dan Ciri Tanah. Modul Pembelajaran. InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Sudarja Y. 1987. Komposisi Kelimpahan dan Penyebaran mangrove dariHulu ke Hilir Berdasarkan Gradien Kedalaman di Situ Lentik,Dermaga. Kab Bogor. Fakultas Perikanan. IPB, Bogor.

Sukarno. 1988. Terumbu Karang Buatan Sebagai Sarana UntukMeningkatkan Produktivitas Perikanan di Perairan Jepara, PerairanIndonesia. LON-LIPI. Jakarta.

Ukkas M. 2009. Kajian Aspek Bioekologi Vegetasi Mangrove Alami danHasil Rehabilitasi di Kecamatan Keera Kab Wajo Sulawesi Selatan.Hibah Penelitian. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. UniversitasHasanuddin. Makassar.

Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT GramediaWidiasarana Indonesia.Jakarta.

Page 14: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 2014 ISSN: 2088-110X, E-ISSN: 2088-2475DOI: 10.13057/bonorowo/w040102

Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove melalui analisis tingkatkerusakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta

Strategy for mangrove ecosystem rehabilitation throughout damaged level analysis at MuaraAngke Wildlife Sanctuary, Jakarta

YOFI MAYALANDA, FREDINAN YULIANDA, ISDRADJAD SETYOBUDIANDIProgram Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor 16680, Jawa Barat

Manuskrip diterima: 29 Desember 2013. Revisi disetujui: 17 Maret 2014.

Abstract. Mayalanda Y, Yulianda F, Setyobudiandi I. 2014. Strategy for mangrove ecosystem rehabilitation throughout damaged levelanalysis at Muara Angke Wildlife Sanctuary, Jakarta. Bonorowo Wetlands 4: 12-36. The phenomenon of mangrove degradation thatoccurred in the last decade at Muara Angke Sanctuary is caused by various factors, such as land conversion to ponds for aquaculture,pollution, sedimentation, and variety of human activities around. Most of rehabilitation conducted in this area to recover mangroveecosystem. Unfortunately, it had not yet significantly give positive impacts as wishes. The aim of this study was to analyze mangrovedamaged level dan damaged rate, evaluate previous rehabilitation, and formulate strategy for mangrove rehabilitation. This study uses amangrove vegetation analysis method, aquatic environment analysis, questionnaire analysis and interviews, and Landsat Image analysis.The results of this study classified mangrove vegetation in this area to very high density (2.82 ha or 37% of mangrove area), rare ordamaged (1.23 ha or 16% of mangrove area) and damaged heavily (3.62 ha or 47% of mangrove area). Damaged rate of mangrovevegetation is 0.569 ha/year. Rehabilitation in this area has not yet significantly influence to mangrove ecosystem. Recommendedstrategy of rehabilitation according to this research is strategy for ecology, policy, social, and economy.

Keywords: Damaged analysis, degradation, mangrove, rehabilitation, strategy

PENDAHULUAN

Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis,antara lain: sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerahtempat pemijahan (spawning ground), dan mencarimakanan bagi berbagai jenis biota laut yang hidup didalamnya (feeding ground) (Bengen 2000). Ekosistemmangrove juga memiliki fungsi fisik, yaitu sebagai daerahperedam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi,penahan lumpur dan penangkap sedimen.

Berjalannya fungsi ekologis hutan mangrove secaraoptimal dapat menjamin keberlangsungan dan ketersediaanpopulasi ikan, yang terdapat di perairan sekitar ekosistemtersebut. Secara ekonomis, hal ini dapat memberikanmanfaat khususnya bagi masyarakat pesisir yang sebagianbesar hidup dari memanfaatkan sumberdaya pesisir,terutama perikanan.

Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia,menyebabkan kebutuhan terhadap sumberdaya alam danlahan baik untuk pemukiman maupun mata pencaharianjuga meningkat, termasuk di wilayah pesisir. Hal inimenyebabkan tingkat eksploitasi sumberdaya alam dankonversi lahan juga meningkat. Ekosistem mangrove yangdari segi ekonomi sangat potensial, telah banyak dikonversimenjadi lahan pemukiman, tambak dan industri lainnya,sehingga menyebabkan laju degradasi mangrove semakinmeningkat. Luas hutan mangrove yang berstatus kawasanhutan di Indonesia pada tahun 1993 diperkirakan seluas3.765.250 ha. Dalam kurun waktu 6 tahun (tahun 1993-

1999), luas areal hutan mangrove berkurang sekitar 1,3%.Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Kusmana(1995), diketahui bahwa dalam kurun waktu 11 tahun(antara tahun 1982-1993), luas hutan mangrove turunsebesar 11,3% (4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,7juta ha pada tahun 1993) atau 1% per tahun. Hingga padatahun 2009, berdasarkan pemetaan oleh Bakosurtanal,menunjukkan bahwa tutupan existing mangrove Indonesiamendekati 3,3 juta hektar (Bakosurtanal 2009).

Kondisi mangrove yang ada ini juga tidak semua dapatdikatakan dalam kondisi baik. Kerusakan mangrove yangterjadi di berbagai daerah tidak hanya karena adanyakonversi lahan, tetapi juga disebabkan oleh tingkatpencemaran yang tinggi di sekitar kawasan, sedimentasi,tertutupnya aliran air laut ke dalam ekosistem mangrove,serta faktor penyebab lainnya yang mengakibatkanekosistem mangrove terdegradasi. Kerusakan ekosistemmangrove ini menyebabkan fungsi ekologisnya sebagaisuatu ekosistem tidak berjalan secara optimal. Ditjen RLPS(Rehabilitasi Lahan dan Pengelolaan Sumberdaya),Departemen Kehutanan pada tahun 1999/2000 (Anonim2008) menginformasikan bahwa potensi mangrove diIndonesia adalah 9,2 juta ha, dan 5,3 juta ha di antaranyaatau sekitar 57,6% dari luas hutan mangrove di Indonesiadalam kondisi rusak, dimana sebagian besar, yakni sekitar69,8% atau 3,7 juta ha terdapat di luar kawasan hutan dansisanya sekitar 30,2% atau 1,6 juta ha terdapat di dalamkawasan hutan.

Page 15: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 13

Suaka Margasatwa Muara Angke, Provinsi DKIJakarta, ditetapkan sebagai kawasan konservasi (SuakaMargasatwa) melalui SK Menteri Kehutanan Nomor097/Kpts-II/98 pada tanggal 29 Februari 1998. Luaskawasan ini yaitu 25,02 Ha dengan mangrove sebagaiekosistem utama. Suaka Margasatwa Muara Angke terletakpada 6o 8' LS dan 106o47' BT. Di kawasan ini padamulanya sering terjadi penebangan dan pencurian kayumangrove, dan terjadinya pencemaran di perairan.Pemutusan sirkulasi air laut menuju kawasan yangdiakibatkan oleh kegiatan pertambakan menyebabkanpenurunan salinitas perairannya. Hal ini mengakibatkaninvasi enceng gondok di kawasan ini, sehingga keberadaanmangrove sebagai vegetasi utama di dalam kawasan inimenjadi semakin berkurang.

Rehabilitasi merupakan salah satu solusi dalam rangkamemulihkan kondisi ekosistem yang telah rusak.Rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem mangrove yangdilakukan selama ini belum memberikan hasil yangmaksimal. Rehabilitasi ekosistem mangrove Muara Angkeselama ini tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah,tetapi juga akademisi maupun organisasi kemasyarakatan.

Rehabilitasi ekosistem mangrove di kawasan konservasiini pernah dilakukan oleh Dinas Pertanian dan KehutananProvinsi DKI Jakarta. Sejak Desember 1999, LembagaPengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (LPPMangrove) telah melakukan upaya rehabilitasi. Pada akhirtahun 2002, lembaga ini bersama dengan StandardChatered Bank melakukan penanaman 3000 bibit tanamanmangrove (Sonneratia sp.) dalam upaya memulihkanekosistem di kawasan Muara Angke. Namun, bibit tersebuttidak dapat tumbuh dengan baik. Hal ini dikarenakan akarnapas tanaman mangrove tersebut tertutup oleh sampahplastik yang terbawa ke sekitar ekosistem mangrove padasaat musim hujan dan air pasang. Berbagai upayarehabilitasi tersebut hingga saat ini belum memberikanhasil yang maksimal. Oleh karena itu, diperlukan strategirehabilitasi yang efektif untuk memulihkan fungsi ekologisdan ekonomi kawasan ini. Salah satu langkah yang dapatdilakukan dalam upaya tersebut yaitu dengan melakukananalisis tingkat kerusakan dan mengevaluasi upaya-upayarehabilitasi yang selama ini telah dilakukan, sehinggadiharapkan dapat memberikan rekomendasi yang lebih baikdalam rangka pemulihan ekosistem mangrove di SuakaMargasatwa Muara Angke.

Tujuan dari penelitian ini adalah: menganalisis tingkatkerusakan dan laju kerusakan beserta faktor-faktorpenyebabnya, melakukan evaluasi kegiatan rehabilitasiyang telah dilakukan, dan membuat rekomendasi strategirehabilitasi.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan waktu penelitianLokasi penelitian ini yaitu Suaka Margasatwa Muara

Angke, yang terletak di pesisir Pantai Utara Jakarta, danberdampingan dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk,Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan padabulan Mei-Juli 2011.

Jenis dataJenis data dan teknik pengumpulan data ditunjukkan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan teknik pengumpulan data

Jenis data Teknik pengumpulandata

Ekologi dan fisika-kimia perairan Observasi lapang dan studipustaka

Sosial ekonomi masyarakat sekitardan stakeholder lain

Wawancara, studi pustaka

Histori upaya rehabilitasi di dalam dansekitar kawasan

Wawancara, studi pustaka

Data citra SEAMEO BIOTROP

Citra satelitData citra yang digunakan pada penelitian ini meliputi

informasi mengenai penutupan mangrove di kawasanMuara Angke pada dua waktu yang berbeda, untukmengidentifikasi perubahan luasan penutupan mangrove dikawasan tersebut. Data citra yang digunakan yaitu CitraSatelit Landsat 7 ETM+ dalam format digital, denganpenutupan awan kurang dari 20%, Quick Bird, dan PetaRupa Bumi (dengan standar pemetaan dari Bakosurtanaldan format data ArcInfo atau ArcView). Data citra yangdigunakan yaitu citra tahun 2000 dan 2010.

Fisika-kimia perairan dan ekologiData yang diambil dalam penelitian meliputi data

fisika-kimia perairan, biologi dan ekologi, dan oseanografidi sekitar kawasan mangrove. Data biologi dan ekologi dikawasan mangrove, meliputi: luas lahan mangrove,komposisi jenis mangrove, kerapatan mangrove, dan satwaliar yang terdapat di kawasan tersebut. Data fisika-kimiaperairan terdiri dari data kekeruhan, oksigen terlarut (DO),pH, suhu, salinitas, substrat (nitrat dan phosphat). Dataoseanografi meliputi pasang surut, arus, dan gelombang.

Sosial ekonomi masyarakatData yang berhubungan dengan sosial ekonomi

masyarakat di sekitar kawasan mangrove terdiri darijumlah penduduk, struktur umur dan jenis kelamin, matapencaharian, persepsi terhadap kawasan, mangrove dankegiatan rehabilitasi mangrove, dan aktivitas yangdilakukan di sekitar kawasan.

Proses rehabilitasi ekosistem mangroveDalam penelitian ini juga diambil data mengenai upaya-

upaya rehabilitasi ekosistem mangrove yang pernahdilakukan di lokasi penelitian meliputi: pihak- pihak yangpernah melakukan rehabilitasi, waktu pelaksanaan, poladan jenis kegiatan rehabilitasi yang diterapkan, jenisvegetasi, jumlah bibit, serta hasil kegiatan rehabilitasitersebut.

Teknik pengumpulan dataCitra satelit

Data citra diperoleh dari SEAMEO BIOTROP. Datacitra yang dimaksud merupakan citra Landsat dengan

Page 16: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201414

tutupan awan minimal 20%, yang menampilkan bentangalam Suaka Margasatwa Muara Angke pada tahun 2000,serta citra Quick Bird tahun 2010. Data citra ini diolahuntuk melihat perubahan bentang alam di lokasi penelitian.

Data vegetasi dan fisika kimia perairanData vegetasi mangrove. Metode pengumpulan data

vegetasi di lokasi penelitian dilakukan denganmenggunakan metode Transect Line Plots. Tahapan dalampengumpulan data vegetasi mangrove, yaitu sebagaiberikut: Pengumpulan data vegetasi mangrove inidilakukan pada tingkat pertumbuhan semai (anakan),pancang, dan pohon, yang meliputi: jumlah individu, jenis,dan diameter yang terdapat dalam petak contoh. Petakcontoh untuk tingkat pohon berukuran 10 x 10 m2, petakcontoh untuk tingkat pancang berukuran 5 x 5 m2 yangdiletakkan pada petak contoh pohon, dan untuk tingkatsemai berukuran 2 x 2 m2 yang diletakkan pada petakcontoh pancang (Gambar 1).

Penempatan transek dilakukan searah garis pantai dilokasi penelitian (Gambar 2). Jumlah stasiun sampling,transek pada tiap stasiun dan petak contoh dalam tiaptransek, disesuaikan dengan kondisi mangrove yang adadengan mempertimbangkan aspek keterwakilan ekosistemmangrove di lokasi penelitian.

Data vegetasi mangrove di SMMA diperoleh melaluipengukuranlangsung di lapangan dengan menggunakanmetode Transect Line Plots (English et al. 1994), terdiridari 6 transek dengan 12 petak contoh. Sampling vegetasiini ditentukan pada tegakan Sonneratia caseolaris (pidada)yang merupakan tegakan dominan saat ini di dalamkawasan. Penentuan dan peletakan petak contohberdasarkan pada asumsi keterwakilan kondisi kerapatanvegetasi mangrove di kawasan. Selain itu juga melihatkondisi lingkungan di dalam kawasan yang masihmemungkinkan untuk dilakukan pengambilan contoh,seperti keterjangkauan lokasi maupun kondisi tegakanmangrove.

Data fisika kimia perairan. Sampling kualitas airdilakukan pada satu waktu, tanpa ulangan, terdiri dari 3transek dengan masing-masing 3 titik pengambilan contoh.Lokasi transek dilakukan di bagian tepi, tengah dan ujungkawasan. Penentuan transek ini dilakukan denganmempertimbangkan kondisi tutupan vegetasi di sekitarnyayang diasumsikan dapat mewakili, yaitu transek 1 di sekitartutupan vegetasi nipah, transek 2 di sekitar enceng gondok,sedangkan transek 3 di sekitar vegetasi mangrove sejati.Selain itu, juga dengan mempertimbangkan keterjangkauanlokasi sampling di dalam kawasan. Data yang diukurmeliputi: kekeruhan, oksigen terlarut (DO), pH, suhu,salinitas, dan substrat (nitrat dan phosphat).

Tahapan dalam pengumpulan data fisika kimia perairandi lokasi penelitian menurut Hariyadi et al. (1992), yaitusebagai berikut: (i) Suhu diukur dengan menggunakantermometer air raksa. (ii) Kekeruhan diukur denganmenggunakan Turbidity meter, dan pengukuran inidilakukan di Laboratorium Lingkungan (Analisis)Departemen Budidaya Perairan FPIK IPB. (iii) Prosedur dilapangan yang dilakukan berupa pengambilan sampel danpreservasi untuk mencegah gangguan yang dapat terjadi

selama penyimpanan dan pengangkutan sampel. (iv)Sampel air disimpan dalam botol/jerigen, disimpan dalambotol gelap untuk pengawetan, selama 1-2 hari sebelumdiamati di laboratorium. (v) DO langsung diukur di lokasipenelitian, dengan menggunakan alat DO meter. (vi) pHdiukur dengan menggunakan pH meter. (vii) Salinitasdiukur dengan menggunakan refraktometer. Pengoperasianrefraktometer memerlukan contoh air laut antara beberapatetes sehingga 15 ml, tergantung pada jenis alatnya.Pembacaan dilakukan dengan cara melihat skala pada alatteropong yang telah dilengkapi dengan kaca pembesar.Ketelitian refraktometer berkisar antara 0,5‰ hingga0,05‰. (viii) Pengukuran nitrat dan phosphate dilakukan dilaboratorium. Sampel air untuk pengukuran data nitrat danphosphate akan disimpan dalam botol/jerigen. Sampelnitrat akan disimpan pada suhu 4°C ditambah denganH2SO4 sampai pH < 2, selama 48 jam hingga maksimal 28hari. Sedangkan sampel air untuk pengukuran phosphate,disimpan pada suhu 4°C, selama 48 jam atau maksimalhingga 28 hari sebelum dianalisis.

Data sosial ekonomi masyarakat dan stakeholderPengumpulan data sosial masyarakat dan stakeholder

dilakukan dengan metode survei. Pengumpulan data inimenggunakan alat pengumpul data pokok kuisioner, yaitumelalui teknik wawancara kepada masyarakat, wawancarakepada stakeholder lainnya dan studi pustaka. Respondenpada penelitian ini terdiri dari mahasiswa, karyawan,kelompok peduli mangrove (karang taruna), nelayan,pedagang, dan ibu rumah tangga.

Gambar 1. Skema metode garis berpetak pada pengambilan datamangrove. A: Petak pengukuran untuk semai dan tumbuhanbawah (2 x 2m2) B: Petak pengukuran untuk pancang (5 x 5m2),C: Petak pengukuran untuk pohon (10 x 10m2)

Gambar 2. Contoh peletakan garis transek pada setiap zonamangrove (English et al. 1994)

Page 17: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 15

Data rehabilitasi ekosistem mangrove yang pernah dilakukanData mengenai kegiatan rehabilitasi ekosistem

mangrove ini diperoleh melalui berbagai instansi terkait,seperti pihak pengelola (BKSDA DKI Jakarta), PemerintahDaerah, dan LSM. Proses pengumpulan data rehabilitasi inimeliputi tahapan pengumpulan data, reduksi data yangdianggap kurang atau tidak relevan dengan penelitian,analisis data dan kemudian menampilkan data.

Analisis dataAnalisis kualitas perairan dan substrat

Parameter fisika kimia perairan yang dianalisamengikuti baku mutu air laut untuk peruntukan kawasanhutan mangrove dan habitat biota air sesuai denganKepmen LH No. 51/2004 tentang Baku Mutu Air untukBiota Laut dan Ekosistem Mangrove. Data kualitasperairan dan substrat ini dianalisis secara deskriptif.

Data dan informasi tentang kondisi oseanografi perairansekitar lokasi penelitian diperoleh melalui data sekunderdari berbagai referensi ilmiah yang berkaitan dengankondisi oseanografis di sekitar lokasi, antara lain dataangin, data perkiraan pasang surut, arus, dan gelombangpermukaan. Data sekunder tersebut juga diperoleh darihasil kajian-kajian terkait sebelumnya.

Analisis struktur komunitas mangroveAnalisis data mangrove ini meliputi luasan mangrove,

kerapatan, persen penutupan, vegetasi yang ada, dankondisi ekosistem secara umum. Persen penutupan dankerapatan relatif menurut English et al. (1994) termasukparameter yang menunjukkan kontribusi masing-masingkomponen spesies dalam tegakan mangrove. Persenpenutupan dan kerapatan relatif ini dihitung denganmenggunakan rumus sebagai berikut:

Persen Penutupan

RCi = (Ci/ΣC) x 100 Ci = ΣBA/A

dimana, BA = πDBH2/4 (dalam cm2), π (3,1416) adalahsuatu konstanta dan DBH adalah diameter batang pohondari jenis i, A adalah luas total area pengambilan contoh(luas total petak contoh/plot). DBH=CBH/π (dalam cm),CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.

Kerapatan Relatif

RDi= (ni/Σn) x 100

dimana, ni adalah jumlah tegakan jenis ke i, sedangkanΣn adalah jumlah tegakan seluruh jenis.

Frekuensi Relatif

RFi= (Fi/ΣF) x 100

dimana, Fi adalah frekuensi jenis ke I, sedangkan ΣFadalah jumlah frekuensi seluruh jenis.

Menentukan INP (Indeks Nilai Penting)

INP= RDi + RFi + RCi

Analisis data citraData citra landsat tahun 2000 diolah dan dianalisis

dengan menggunakan software Er Mapper 7.0 dan ArcView 3.3 untuk mengetahui kondisi bentang lahan dikawasan pada waktu tersebut. Data citra quick bird tahun2010 dianalisis dengan menggunakan software Arc View3.3 untuk mengetahui kondisi bentang lahan di kawasanpada waktu tersebut.

Data citra Quick Bird digunakan untuk melihat kondisitutupan lahan baik kerapatan vegetasi mangrove, semakmaupun badan air (danau) di kawasan. Berdasarkan kondisiyang ditampilkan oleh data citra tersebut, diketahui kondisikerapatan vegetasi mangrove di kawasan. Hal ini dijadikansalah satu panduan untuk menentukan lokasi samplingvegetasi.

Evaluasi tingkat keberhasilan rehabilitasiEvaluasi rehabilitasi mangrove di lokasi penelitian

dilakukan dengan melakukan studi pustaka danberdasarkan data hasil penyebaran kuesioner danwawancara. Tingkat keberhasilan rehabilitasi ditentukanberdasarkan : persen penutupan, kesesuaian jenis tanaman,persiapan dan teknik menanam, aspek pemeliharaan danorganisasi pemeliharaan, partisipasi stakeholder.

Tingkat kerusakan ekosistem mangroveAnalisis tingkat kerusakan ekosistem mangrove

Penentuan tingkat kerusakan vegetasi mangrovedilakukan berdasarkan tingkat kerapatan individu yangditemukan pada tiap transek. Tingkat kerusakan ekosistemmangrove ditentukan berdasarkan: (i) hasil analisis strukturkomunitas mangrove, (ii) hasil analisis kualitas perairandan substrat.

Kriteria penentuan tingkat kerusakan ekosistem mangrovePenentuan tingkat kerusakan ekosistem mangrove ini

dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktorinternal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhikerusakan ekosistem mangrove, diantaranya: Kerapatanvegetasi mangrove; Penutupan mangrove; Zonasi; Polapermudaan atau tingkat peremajaan, meliputi proporsijumlah anakan (semai), pancang, dan pohon.

Faktor eksternal yang mempengaruhi kerusakanekosistem mangrove, yaitu: salinitas; arus pasang surut;tingkat atau periode penggenangan/perendaman; komposisisubstrat; nutrien, meliputi nitrat dan fosfat; pertukaranmassa air laut dan tawar.

Kriteria baku kerusakan mangrove dapat diterapkanberdasarkan persentase luas tutupan kerapatan mangroveyang hidup (KLH 2004). Status kondisi mangrove tersebutdiklasifikasikan ke dalam beberapa kriteria yaitu: (i) Baik(sangat padat), yaitu dengan penutupan mangrove≥75%,dan kerapatan ≥ 1500 pohon/ha. (ii) Baik (sedang), yaitudengan penutupan mang r o ve ≥50% -<75%, dankerapatan ≥1000-<1500 pohon/ha, (iii) Rusak (jarang),yaitu dengan penutupan mangrove <50%, dan kerapatan<1000 pohon/ha.

Kriteria kerusakan yang diterapkan di lokasi penelitiandisesuaikan dengan kondisi lokasi dan modifikasi darikriteria baku kerusakan mangrove yang telah ditetapkan

Page 18: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201416

oleh KLH (2004). Kondisi mangrove di lokasi penelitianditentukan dengan kelas kerapatan, yang diperolehberdasarkan batas bawah dan batas atas kelas jumlah pohonyang ditemukan di tiap transek. Setelah dihitung batas atasdan batas bawah jumlah pohon, diperoleh intervalberdasarkan beda nilai maksimum dan minimum denganjumlah kelas yang ditentukan. Dalam penelitian iniditentukan 5 kelas kondisi kerapatan mangrove, yaitu: (i)Sangat baik, (ii) Baik, (iii) Cukup, (iv) Rusak, (v) SangatRusak.

Hasil perolehan kondisi mangrove berdasarkan selangkerapatan individu di tiap transek kemudian dioverlay kedalam peta kerusakan mangrove. Setelah itu akan diperolehkondisi vegetasi mangrove secara spasial.

Perubahan luasan ekosistem mangrovePerubahan luasan ekosistem mangrove di Suaka

Margasatwa Muara Angke baik penambahan maupunpengurangan luasan, dianalisis dengan menggunakansoftware ArcView. Data citra yang diperoleh, merupakandata citra dari dua waktu yang berbeda yaitu data tahun2000 dan tahun 2010.

Strategi rehabilitasi ekosistem mangroveStrategi rehabilitasi mangrove di kawasan dirumuskan

berdasarkan hasil identifikasi permasalahan meliputi akarmasalah, dampak ekologi, jenis kerusakan yangditimbulkan; analisis vegetasi; kualitas perairan; upayarehabilitasi sebelumnya; dan tingkat kerusakan ekosistem.Kemudian dibuat skala prioritas strategi yang perludilakukan di kawasan dengan mengidentifikasi komponen-komponen yang perlu dibenahi dan stakeholder yangsebaiknya dilibatkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil umum Suaka Margasatwa Muara AngkeSejarah penetapan status kawasan

Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) secaraadministrasi terletak dalam Kelurahan Kapuk Muara,Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Suaka MargasatwaMuara Angke bersebelahan dengan perumahan PantaiIndah Kapuk di sebelah barat dan selatan, perkampungannelayan Muara Angke di sebelah timur, serta HutanLindung Muara Angke dan Laut Jawa di sebelah utara(Gambar 3).

Gambar 3. Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta

Page 19: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 17

Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke padamulanya berstatus sebagai cagar alam. Kawasan iniditetapkan sebagai Cagar Alam Muara Angke melaluiKeputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 24tanggal 18 Juni 1939, dengan luas awal 15,04 ha. Kawasanini memiliki sejarah pengelolaan yang cukup panjanghingga statusnya ditetapkan menjadi suaka margasatwa(Tabel 2).

Meningkatnya tekanan dan degradasi lingkungan akibattingginya aktivitas manusia terutama di sekitar kawasanmenyebabkan terjadinya kerusakan dan menurunnyakualitas lingkungan di dalam kawasan. Status cagar alamberdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 mengenaiKonservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,menyebabkan terbatasnya kegiatan pengelolaan yang dapatdilakukan untuk memperbaiki kondisi kawasan. Olehkarena itu, pemerintah mengubah status kawasan inimenjadi suaka margasatwa, sehingga dapat dilakukanrehabilitasi kawasan.

Kondisi fisik lingkungan dan perairan kawasanIklim. Kawasan SMMA termasuk ke dalam tipe iklim

A menurut klasifikasi schmidt dan fergusson. Curah hujantertinggi yaitu pada bulan Januari sebesar 294 mm,sedangkan curah hujan terendah pada bulan Juli sebesar 58mm. Suhu harian terendah adalah 21-24ºC dan suhu hariantertinggi 29-33,5ºC dengan rata- rata 26-28ºC. Kelembabannisbi udara 76-86%.

Arus dan pasang surut. Arus Laut di Laut Jawasebagian besar dipengaruhi oleh gerakan angin. Arus akanmengalir dari arah timur selama musim muson Barat(Desember-Februari) dan dari arah Barat selama musimmuson Timur (Juni-Agustus). Arus ini bisa mencapaikecepatan 0,25-0,50 m/det. Kecepatan arus rata-rata harianadalah 0,10-0,13 m/det, dari arah Barat selama musimmuson timur.

Sifat pasang surut di perairan Kapuk adalah HarianTunggal, yaitu dalam 24 jam terjadi satu kali pasang surut.Berdasarkan hasil pengukuran Dinas Hidrologi AngkatanLaut RI (1978) dalam Santoso (2012) dapat diketahuitenggang pada saat pasang surut terendah 0,25 m.Berdasarkan pengamatan pasang surut yang dilakukan olehPerum Pelabuhan Tanjung Priok adalah: (i) Air pasangtertinggi (HHWS) 1.80 m + P, (ii) Air pasang rata-rata(MHW) 1.40 m + PP, (iii) Air rata-rata (MSL) 0.95 m +PP, (iv) Air surut rata-rata (MLW) 0.56 m + PP, (v) Airsurut terendah (LLWS) 0.23 m + PP.

Kualitas perairan. Perairan di kawasan SMMAdipengaruhi oleh pasang surut air laut dan sistem aliranSungai Angke yang langsung bermuara ke perairan TelukJakarta. Sungai Angke yang mengalir di sepanjang bagiantimur kawasan memiliki sistem aliran sungai, dimanasungai ini menjadi muara bagi 7 sungai diantaranya: KaliSepak, Pesanggerahan, Mookevart, Sekretaris, Jelambar,Cengkareng Drain, dan Kali Grogol. Pasokan air tawar kedalam kawasan SMMA sangat dipengaruhi oleh SungaiAngke. Debit Sungai Angke ini yaitu 37-38,5 m3/detik(Santoso 2012).

Tabel 2. Histori pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta dan sekitarnya

Tahun Pengelolaan

1910-an Dataran Kapuk berupa rawa mangrove, sebagian kecil dibuka tambak1939 Penetapan kawasan Cagar Alam Muara Angke (CAMA), luas 15,04ha1960-an Kawasan diperluas menjadi 1.344,62 ha1963 Pembukaan besar-besaran untuk pertambakan1977 Pengaturan fungsi hutan Angke Kapuk dan CAMA, sebagai hutan lindung, CAMA, hutan wisata, Lapangan Dengan Tujuan

Istimewa (LDTI)1980 Pembangunan break water di tepi barat Muara Angke1981 Sebagian mangrove di utara delta angke ditebang, di bagian timurnya dibangun pelabuhan ikan Muara Angke. Pembuatan

Kanal, pengembangan Bandara Soekarno-Hatta dan Tol Prof. Sediatmo1982 Pengurugan sebagian tambak di timur Muara Angke untuk perumahan nelayan dan perumahan teratur sebagai perluasan

kegiatan Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BPPPL) Pluit.Pembuatan Cengkareng Drain

1983 Pembentukan Tim Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Hutan Angke Kapuk dalam pengelolaan kawasan hutantersebut. Alokasi peruntukan pengembangan kawasan: a) kawasan Hutan Angke Kapuk yang tetap dikuasai pemerintahseluas 322,6 Ha (Hutan Lindung, CAMa, Hutan Wisata, Kebun Pembibitan Kehutanan, Jalur Hijau dan Jalan Tol, JalurTransmisi); b) kawasan yang diserahkan ke pihak swasta seluas 830,39 Ha untuk pembangunan perumahan, lapangan golf,hotel dan lainnya

1984 Pengukuran ulang kawasan Angke Kapuk, menetapkan luas kawasan hutan adalah 1.154,49 Ha, termasuk di dalamnyaCAMA seluas 21,45 Ha

1987 Sebagian besar rawa mangrove berubah menjadi area pertambakan, yangtersisa CAMA dengan luas 15 Ha dan di sekitar tepi utara berbatasan dengan laut

1988 Kawasan Hutan Angke Kapuk yang dipertahankan seluas 333,50 Ha: Hutan Lindung, CAMA (luas 25,00 Ha), Hutan Wisata,Kebun Pembibitan, Jalur Hijau dan Jalan Tol, Cengkareng Drain, Jalur Transmisi PLN

1994 Pengukuran ulang batas kawasan, total kawasan yang diukur seluas 1.155, 60 Ha. Area yang dipertahankan seluas 327,88Ha, areal yang dilepas untuk swasta seluas 827,18 Ha

1998 Status kawasan CAMA diubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) dengan luas 25,02 HaSumber: LPP Mangrove (2000a), Santoso (2012)

Page 20: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201418

Kualitas air Sungai Angke juga berpengaruh terhadapkualitas perairan di kawasan SMMA. Sungai Angkemerupakan ujung dari banjir kanal barat yang mengalirkanair dan berbagai jenis limbah baik padat maupun cair yangberasal dari Sungai Ciliwung. Secara fisik, air SungaiAngke berwarna coklat (keruh), dan berbau tidak sedap.Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya limbah hampir disepanjang badan sungai. Limbah tersebut tidak hanyaberasal dari berbagai aktivitas manusia yang dialirkan olehbanjir kanal barat, tetapi juga dari berbagai aktivitasmasyarakat di sekitar Sungai Angke. Di pinggiran sungaiini, terutama daerah yang dekat dengan muara, terdapatcukup banyak aktivitas nelayan diantaranya penambatankapal, kegiatan MCK, dan pembersihan kulit kerang hijau(Perna viridis), dimana limbahnya dibuang ke sungai ataumuara. Pada saat pasang surut, limbah yang mengalir disepanjang Sungai Angke tersebut akan masuk dantertinggal di dalam kawasan, terutama sampah berupaplastik, styrofoam dan kaca.

Kondisi vegetasi dan satwa liar di kawasanMangrove merupakan vegetasi utama pembentuk

ekosistem di kawasan SMMA. Namun, persentasepenutupan mangrove tidak merata di seluruh kawasan.Bahkan, didominasi oleh penutupan semak dan tumbuhanair yaitu enceng gondok Eichornia crassipes. PenutupanEnceng gondok ini terutama di bagian tengah kawasanyang merupakan areal badan air, yang menjadi tempatpersediaan air tawar di dalam kawasan. Kelas tutupanvegetasi di kawasan SMMA diklasifikasi menjadi kelastutupan jarang seluas 1,56 ha, kelas tutupan sedang seluas6,72 ha, dan kelas tutupan lebat seluas 19,78 ha (Santoso2012).

Kawasan mangrove SMMA memiliki 68 jenistumbuhan yang sebagian besar bukan jenis mangrovesejati. Vegetasi mangrove yang terdapat di kawasan inidiantaranya Avicennia marina, Rhizophora mucronata, R.apiculata, Excoecaria agallocha, Sonneratia caseolaris,Bruguiera gymnorrhiza, dan Nypa fruticans (Santoso2012). Pada tahun 1996 di kawasan ini terdapat 30 jenistumbuhan dari 23 famili. Tingkat pohon terdapat 3 jenisyaitu Sonneratia alba (pidada), Excoecaria agallocha(buta-buta) dan Ficus spp. (beringin). Secara khusus, dari30 jenis tumbuhan tersebut, yang merupakan jenismangrove sejati adalah Avicennia marina (api-api),Excoecaria agallocha (buta-buta), Sonneratia caseolaris(pidada) dan Rhizophora mucronata (bakau putih). Hampirseluruh kawasan (100%) tertutup oleh vegetasi. Sekitar90% tertutup herba (rumput, gelagah dan enceng gondok),dan hanya 10% tertutup oleh vegetasi pohon, terutama disepanjang tepi barat sampai utara kawasan (LPP Mangrove2000a).

Keberadaan vegetasi mangrove di SMMA sebagai salahsatu kawasan bermangrove di pesisir DKI Jakarta, menjadisalah satu alasan perlunya kawasan ini dipertahankan.Potensi satwa liar juga menjadi hal yang penting untukdiperhatikan. Kawasan SMMA memiliki keanekaragamanjenis satwa liar yang relatif tinggi. Menurut data hasilpengamatan LSM Jakarta Green Monster (JGM) sejaktahun 2008-2010, di dalam kawasan ini terdapat 106 jenis

burung yang diantaranya terdapat 22 jenis dilindungi yangtergolong dalam kategori vulnerable, near threatened, dancritical endangered; 11 jenis burung migran; dan 3 jenisburung introduksi. Selain itu, kawasan ini juga memilikiherpetofauna sebanyak 22 jenis.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasanKawasam SMMA secara administratif terletak di

Kelurahan Kapuk Muara. Namun, masyarakat yangberinteraksi secara langsung maupun tidak langsungdengan kawasan tidak hanya berasal dari Kelurahan KapukMuara, melainkan juga dari Kelurahan Pluit. PendudukKelurahan Pluit yang erat kaitannya dengan kawasan iniadalah yang tinggal di RW 01 dan RW 11.

Kelurahan Kapuk MuaraKelurahan Kapuk Muara sebagai daerah administratif

tempat kawasan SMMA berada, memiliki luas wilayah1005,5 Ha dengan peruntukan lahan terdiri dari arealindustri, hutan lindung, suaka margasatwa dan pemukimanpenduduk. Jumlah penduduk kelurahan ini yaitu 23.364orang, terdiri dari 23.350 orang Warga Negara Indonesia(WNI) dan 14 orang Warga Negara Asing (WNA), dengan12.001 orang laki-laki dan 11.363 orang perempuan.Penduduk di kelurahan ini dibagi dalam 9 Rukun Warga(RW) dan 89 Rukun Tetangga (RT).

Penduduk di Kelurahan Kapuk Muara memilikiinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengankawasan SMMA. Cukup banyak penduduk yangbermatapencaharian sebagai nelayan, yang kegiatan danpenghasilannya erat kaitannya dengan keberadaanmangrove di kawasan. Selain sebagai nelayan dan petani,mata pencaharian penduduk di kelurahan ini cukupberagam (Tabel 3).

Tabel 3. Jumlah penduduk Kelurahan Kapuk Muara, Jakartamenurut mata pencaharian

Mata pencaharian Jenis kelamin Jumlah(jiwa)Laki-laki Perempuan

Jumlah Penduduk 12.001 11.363 23.364Jumlah KepalaKeluarga

10.598

Mata pencaharianTani 9Pedagang/Pengusaha 1.245Buruh serabutan 4.952PNS 2.151TNI 44Pensiunan 202Nelayan 56Pertukangan 195Buruh tani 11Karyawan swasta 4.014Lain-lain 727

Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Kapuk Muara (2011)

Page 21: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 19

Kelurahan PluitKelurahan Pluit memiliki luas wilayah sekitar 771,19

Ha, dengan peruntukan lahan untuk perumahan, fasilitasumum, fasilitas sosial dan lainnya. Masyarakat yangtinggal bersebelahan dengan kawasan SMMA merupakannelayan yang tinggal di dekat Sungai Angke hingga muara.Jumlah penduduk di kelurahan ini yaitu 46.709 jiwa, terdiridari 46.619 orang WNI dan 90 orang WNA, dengan 24.312orang laki-laki dan 22.397 orang perempuan. Penduduk diKelurahan Pluit dibagi dalam 20 RW dan 243 RT.

Penduduk di Kelurahan Pluit memiliki interaksi baiklangsung maupun tidak langsung dengan kawasan SMMA,khususnya yang tinggal di RW 01 dan RW 11. DiKelurahan Pluit terdapat penduduk yang bekerja sebagainelayan dan tani. Bahkan jumlah nelayan di kelurahan inijauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal diKelurahan Kapuk Muara. Mata pencaharian penduduk diKelurahan Pluit juga cukup beragam (Tabel 4).

Kondisi existing kawasanKondisi vegetasi mangrove

Sampling vegetasi mangrove dilakukan pada tegakanSonneratia caseolaris, yang merupakan jenis dominan didalam kawasan (Gambar 4). Jenis ini merupakan hasilkegiatan penanaman yang dilakukan pada bulan Desember1999 dan tahun 2000. Kawasan SMMA sebagian besarditutupi oleh vegetasi. Namun dari klasifikasi tutupan lahandi kawasan (Gambar 5) terlihat bahwa tutupan semakbelukar lebih mendominasi (37,47%), begitu juga denganlahan terbuka dan badan air/danau (32,56%) dibandingkanvegetasi mangrove Sonneratia caseolaris (22,62%) danNypa fruticans (7,35%). Menurut Noor (2002), tutupanlahan di SMMA sebesar 22,38% merupakan arealberpenutupan pohon, sedangkan 77,62% merupakan arealterbuka yang terdiri areal dengan tutupan tumbuhan bawah(71,12%) dan areal perairan terbuka (6,49%). Berdasarkananalisis data citra diperoleh luasan pada masing-masingtutupan lahan di SMMA (Tabel 5).

Pada tahun 2011, perairan di kawasan SMMA ditutupioleh enceng gondok Eichornia crassipes yang menginvasiperairan di kawasan. Jenis enceng gondok ini memilikisiklus hidup yang singkat. Biasanya pada musim hujan,jenis ini akan tumbuh dengan subur, dan akan mengeringpada saat musim panas. Namun, jenis ini termasuk sulituntuk diberantas, terutama pada perairan tawar dan sudahtercemar seperti di SMMA. Enceng gondok mulaimenginvasi kawasan sejak tahun 1994 (Santoso 2012).

Vegetasi mangrove di SMMA didominasi oleh jenisSonneratia caseolaris dengan Indeks Nilai Penting (INP)289,21% (Tabel 6). Di dalam petak contoh juga ditemukanjenis lain seperti Avicennia marina dan Nypa fruticans.Selain itu, di luar petak contoh ditemukan jenis Bruguieragymnorrhiza di dekat pos polisi hutan, sedangkan jenisRhizophora mucronata, dan R. apiculata ditemukan dibagian utara kawasan.

Dalam petak contoh tersebut hanya terdapat 2 tingkatpertumbuhan mangrove untuk jenis S. caseolaris (Pidada),yang terdiri dari 73%pohon dan 27% pancang. Tingkatpertumbuhan ini menunjukkan pola permudaan yang tidakmerata di kawasan SMMA, dimana tidak ditemukan tingkatpertumbuhan semai alami (Gambar 6).

Tabel 4. Jumlah penduduk di Kelurahan Pluit, Jakarta menurutpendidikan dan mata pencaharian

Jenis Pendidikan/

Mata Pencaharian

Jenis Kelamin Jumlah(jiwa)Laki-laki Perempuan

Jumlah penduduk 24.312 22.397 46.709Jumlah kepala keluarga 16.248Pendidikan

Tidak sekolah 973Tidak tamat SD 1.756SD 9.183SLTP 14.489SLTA 15.231Akademi/perguruan tinggi 5.418

Mata pencaharianKaryawanswasta/negeri/TNI

15.469

Pedagang/wiraswasta 12.924Nelayan 2.852Pensiun 1.222Pertukangan 129Pengangguran 1.198Fakir miskin 862Lain-lain 5.771

Sumber: Laporan Hasil Pembinaan dan Kegiatan PemerintahKelurahan Pluit (2011)

Tabel 5. Luas Tutupan Lahan di SMMA.

Komponen ekosistem mangrove Luas (Ha) Persentase(%)

Sonneratia caseolaris 7,68 22,62Nypa fruticans 2,50 7,35Semak belukar 12,72 37,47Lahan terbuka dan badan air (danau) 11,06 32,56Total 33,96 100

Tabel 6. Struktur vegetasi mangrove di Suaka Margasatwa MuaraAngke, Jakarta

∑Transek&Plot

Jenis ∑Pohon

%Penutupan

(RCi)

%Kerapatan

Relatif(RDi)

%Frekuensi

Relatif(RFi)

INP(%)

3transek,12 plot

Sonneratiacaseolaris

58 99,23 98,31 91,67 289,21

Avicenniamarina

1 0,77 1,69 8,33 10,79

Jumlah 59 300

Gambar 6. Pola permudaan vegetasi mangrove di SuakaMargasatwa Muara Angke, Jakarta Jakarta

Page 22: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201420

Gambar 4. Peta lokasi sampling vegetasi mangrove di SuakaMargasatwa Muara Angke, Jakarta

Gambar 5. Peta klasifikasi tutupan lahan di di Suaka MargasatwaMuara Angke, Jakarta

Gambar 7. Peta lokasi sampling kualitas air di SuakaMargasatwa Muara Angke, Jakarta

Pola permudaan pada ekosistem yang baik biasanyaditandai adanya 3 macam tingkat pertumbuhan yaitu semai,pancang dan pohon. Pola permudaan yang tidak seimbangmenunjukkan menurunnya kemampuan regenerasi yang dapatdisebabkan oleh kurangnya ketersediaan nutrien akibatgangguan, sehingga vegetasi hanya dapat tumbuh untukmemenuhi metabolismenya sendiri.

Kondisi kualitas airParameter kualitas air yang diteliti meliputi fisik dan

kimia, diantaranya suhu air, kekeruhan, nilai pH, salinitas,oksigen terlarut (DO), substrat (nitrat dan fosfat), tekstursedimen (pasir, debu dan liat) (Tabel 7). Nilai parameterkualitas air diperoleh secara in situ dan eks situ. Parametersuhu, salinitas, kekeruhan, pH dan DO diperoleh secara insitu di lokasi penelitian, sedangkan yang lainnya diteliti dilaboratorium. Sampling kualitas air dilakukan di sepanjangjalur di dalam kawasan SMMA. Transek sampling kualitasair ini diletakkan di sekitar tutupan vegetasi nipah, pidadadan enceng gondok (Gambar 7).

Nilai pH dan suhu air di setiap titik sampling masihberada dalam kisaran baku mutu air laut untuk biota dikawasan mangrove. Sedangkan tingkat kekeruhan, salinitas,DO, kadar nitrat dan fosfat berada di atas baku mutu. Nilaikualitas air yang melebihi baku mutu menunjukkan bahwakualitas perairan di kawasan telah mengalami perubahan.Perubahan ini dapat disebabkan oleh adanya bahanpencemar yang masuk ke perairan. Kondisi perairan yangtercemar juga ditunjukkan oleh warna dan bau air yangtidak sedap di sekitar dan dalam kawasan.

Page 23: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 21

Tabel 7. Hasil sampling kualitas air di di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta

Parameter Fisik Kimia Tekstur (%)Satuan C NTU 0/00 mg/L mg/L mg/L

Baku mutu untuk biota 28-32 < 5 7-8,5 <34 >5 0,008 0,015

Plot Suhu Air Kekeruhan pH Salinitas DO NO3-P PO4-P Pasir Debu Liat1.1 28 7,1 7,14 0,0 0,5 0,871 0,633 90,36 9,13 0,521.2 27,8 6,6 6,9 0,0 0,77 0,206 0,511 61,33 34,84 3,821.3 27,9 4,8 6,97 0,2 2 0,053 0,400 85,54 5,70 8,76Rata- rata 27,9 6,167 7,00 0,1 1,09 0,377 0,515 79,08 16,56 4,37

2.1 27,9 16,1 6,95 0,0 1,8 0,444 0,268 54,05 33,42 12,532.2 28 10,3 7,05 0,0 1,73 0,138 0,433 92,22 4,27 3,512.3 27,7 12 7,03 0,0 1,8 0,131 0,216 87,19 1,75 11,06Rata- rata 27,9 12,8 7,0 0,0 1,8 0,238 0,306 77,82 13,15 9,03

3.1 28,2 3,1 7,13 0,0 3 0,158 0,357 95,69 0,01 4,303.2 28,2 5,5 7,01 0,0 3,2 0,095 0,660 34,80 57,10 8,103.3 28,2 4,9 7,11 0,0 2,7 0,478 0,560 62,28 23,47 14,25Rata- rata 28,2 4,5 7,08 0,0 2,97 0,244 0,526 64,26 26,86 8,88

Salinitas di semua titik sampling tergolong sangatrendah, yaitu berkisar antara 0-0,2 ‰. Kadar salinitastersebut menunjukkan perairan di sekitar titik samplingdalam kawasan SMMA sudah tawar. Kondisi perairan yangtawar tidak dapat mendukung pertumbuhan mangrovedengan baik, karena vegetasi mangrove dapat tumbuhdengan baik pada habitat perairan yang mendapat pasokanair laut yang cukup dengan salinitas berkisar antara 10-30‰ (Kusmana et al. 2003).

Perubahan salinitas ini disebabkan oleh banyak hal.Pengaruh air tawar dari Kali Angke yang mengalir disepanjang kawasan cukup dominan terhadap ekosistemmangrove. Sedangkan pasokan air laut yang masuk kedalam kawasan terhambat alirannya karena adanya tanggultambak yang dibangun di perbatasan antara hutan lindungdan SMMA. Selain itu, juga terjadi pendangkalan di dalamdan sekitar kawasan terutama di pintu masuk air (in let danout let).

Pendangkalan yang terjadi di dalam kawasan inidisebabkan oleh pencemaran dari sampah, baik organikmaupun anorganik khususnya sampah plastik yangmenumpuk di sekitar pintu masuk air. Sampah plastik inijuga masuk melalui aliran Kali Angke di sepanjangkawasan pada saat terjadi banjir ataucurah hujan yangtinggi. Bahkan tumpukan sampah di sekitar kawasan inimenyebabkan terjadinya sedimentasi sehingga ada yangmembentuk daratan dan ditumbuhi oleh semak dan rumput.Kondisi perairan yang tawar menyebabkan terjadinyainvasi enceng gondok. Keberadaan enceng gondok yangmenyebar di tengah kawasan SMMA juga menyebabkanterjadinya pendangkalan, karena spesies ini dapatmemerangkap sedimen.

Kondisi perairan yang tawar di dalam kawasankhususnya di sekitar titik sampling kualitas air, dapatdipengaruhi oleh laju Sungai Angke yang dominan,sehingga pada saat curah hujan tinggi menyebabkan banjirdi dalam dan sekitar SMMA. Selain itu, pasokan air tawarke dalam kawasan dapat berasal dari aktivitas di sekitarnya,seperti perumahan yang berbatasan dengan kawasan.

Adanya tumpukan sampah padat menyebabkanpendangkalan di dalam kawasan. Kondisi seperti inimenyebabkan air tawar terperangkap di dalam kawasan,sedangkan air laut tidak dapat masuk ke dalam kawasankarena alirannya terhambat. Hal ini menyebabkan encenggondok dapat tumbuh dengan subur dan menginvasikawasan. Di sisi lain, vegetasi mangrove tidak dapatberegenerasi dengan baik. Berat jenis air tawar yang lebihrendah (1,000 g/cm3) dibandingkan dengan air laut (1,025g/cm3), menyebabkan air tawar berada di atas permukaanair laut, sehingga pada saat propagul mangrove jatuh keperairan, langsung bertemu dengan air tawar dalam waktuyang cukup lama yang mengakibatkan propagul tersebuttidak dapat tumbuh dan berkembang.

Tingkat dan laju kerusakan ekosistem mangrove dikawasanTingkat kerusakan ekosistem mangrove SMMA

Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan SMMAsejak tahun 1972 hingga 2011 terdapat 68 jenis yangsebagian besar bukan jenis mangrove sejati. Pada tahun2011 terdapat sebanyak 29 jenis (Santoso 2012). Hal inimenunjukkan kondisi lingkungan SMMA yang telahmengalami perubahan, terutama salinitas air di dalamkawasan yang rendah. Kondisi kawasan yang padamulanya merupakan ekosistem mangrove, namun saat inijenis mangrove tersebut sudah tidak dapat tumbuh denganbaik, menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi ataukerusakan pada ekosistem.

Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dapatditentukan berdasarkan kerapatan dan penutupan vegetasimangrove di kawasan. Kerapatan vegetasi mangrove dikawasan SMMA berdasarkan hasil analisis vegetasi yaitu492 pohon/ha. Menurut KLH (2004), vegetasi di kawasanSMMA tersebut tergolong dalam tingkat kerapatan jarang,yaitu < 1000 pohon/ha.

Kondisi vegetasi mangrove di SMMA secara spesifikditentukan dengan menggunakan selang kerapatanindividu, yang diperoleh berdasarkan jumlah pohon yang

Page 24: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201422

ditemukan di tiap petak contoh dalam transek analisisvegetasi. Batas bawah pada selang kerapatan individuditentukan berdasarkan jumlah pohon terkecil yangditemukan pada transek analisis vegetasi (2 pohon/transek),sedangkan batas atas ditentukan berdasarkan jumlah pohonterbanyak pada transek tersebut (30 pohon/transek).Berdasarkan hasil penentuan batas bawah dan batas atas,serta jumlah selang/kelas yang diasumsikan dapatmenggambarkan kondisi mangrove, ditentukan kriteriakondisi vegetasi mangrove di kawasan SMMA. Vegetasimangrove diklasifikasikan dalam 5 kriteria kondisi yaitusangat rusak, rusak, cukup, baik dan sangat baik. Melaluiselang tersebut, diperoleh kriteria kondisi kerapatanmangrove di SMMA (Tabel 8).

Kondisi vegetasi mangrove di SMMA berdasarkanpenentuan selang kerapatan pohon di dalam kawasantergolong dalam kriteria sangat rusak, rusak dan sangatbaik. Kriteria kondisi vegetasi mangrove ini spesifikditentukan untuk kawasan SMMA (Tabel 9).

Jumlah individu yang ditemukan di tiap transekberagam, dengan jumlah terkecil yaitu 2 pohon padatransek 5 dan yang terbesar yaitu 30 pohon pada transek 6.Transek 2, 3, 4 dan 6 terletak di satu blok tegakan di sekitarpos polisi hutan, yang masing-masing dipisahkan oleh trekatau jalur papan di dalam kawasan. Vegetasi mangrovepada transek tersebut merupakan hasil kegiatan rehabilitasi(penanaman). Vegetasi pada transek 6 merupakan hasilrehabilitasi yang dilakukan pada bulan Desember tahun1999 hingga tahun 2000, memiliki kisaran diameter pohon10,83 cm hingga 33,44 cm.

Transek untuk sampling vegetasi mangrove ditentukandengan asumsi mewakili kondisi kerapatan yang berbeda-beda di dalam kawasan SMMA. Secara spasial, tingkatkerusakan vegetasi mangrove berdasarkan kriteriakerapatan tegakan ditunjukkan dengan perbedaan warnapoligon mangrove tiap kelas (Gambar 8).

Tingkat kerusakan mangrove di dalam kawasandidominasi oleh kelas sangat rusak, yaitu sebesar 47%(3,62 ha). Persentase kerapatan vegetasi mangrove yangtergolong kelas sangat baik di dalam kawasan SMMA yaitusebesar 37% (2,82 ha), dan rusak sebesar 16% (1,23 ha).Menurut KLH (2004), kondisi mangrove di SMMA dengantingkat kerapatan 492 pohon/ha termasuk dalam kriteriarusak (< 1000 pohon/ha dan penutupan vegetasi mangrove< 50%).

Penentuan kondisi kawasan SMMA dilakukan denganmelihat kawasan sebagai satu ekosistem, yaitu ekosistemmangrove. Kondisi tingkat kerusakan vegetasi mangrovedilihat dari kerapatan individu pada tiap transek dantutupan vegetasinya. Kondisi tingkat kerusakan di dalamkawasan dilihat dari jenis tutupan lahannya. Secara umum,sebaran ekosistem di dalam kawasan terdapat semakbelukar, dan mangrove yang didominasi jenis Sonneratiacaseolaris dan Nypa fruticans (Gambar 9).

Penutupan vegetasi mangrove di SMMA sejak tahun2000 hingga 2010 telah mengalami perubahan. Hal inidilihat dari hasil analisis citra satelit pada tahun 2000 dan2010 (Gambar 10).

Data citra tahun 2000 dan 2010 di-overlay untukmengetahui perubahan tutupan vegetasi mangrove di

kawasan. Hasil analisis data citra menunjukkan bahwa luastutupan mangrove pada tahun 2000 yaitu 13,371 ha,sedangkan pada tahun 2010 seluas 7,680 ha. Luas tutupanmangrove di SMMA mengalami penurunan sebesar 5,69ha. Namun, dilihat dari peta perubahan tutupan vegetasimangrove, terjadi pengurangan dan penambahan tutupan dibeberapa lokasi. Pengurangan ini dapat disebabkan olehperubahan atau penurunan kualitas lingkungan habitatmangrove tersebut, diantaranya perubahan salinitasperairan di dalam kawasan, maupun pencemaran sampahorganik dan anorganik. Sedangkan penambahan tutupanmerupakan hasil dari kegiatan rehabilitasi yang telahdilakukan di kawasan.

Perubahan tutupan vegetasi mangrove di kawasan dapatdisebabkan oleh perubahan kualitas lingkungan tempattumbuhnya. Salah satu faktor penting yang mempengaruhipertumbuhan mangrove yaitu pasang surut air laut.Frekuensi dan jangkauan pasang surut air laut di TelukJakarta saat ini terhambat untuk masuk ke dalam kawasan.Terhambatnya air laut untuk masuk ke dalam kawasan, danpengaruh Sungai Angke yang lebih dominan, menyebabkansalinitas di dalam kawasan rendah. Salinitas di dalamkawasan yaitu 0-0,2 ‰. Hasil pengukuran kualitas air yangdilakukan oleh LSM Jakarta Green Monster (JGM) (2011)dan Santoso (2012) menunjukkan bahwa salinitas dikawasan dan muara Sungai Angke berada di bawah bakumutu untuk ekosistem mangrove.

Pasang surut air laut yang tidak dapat masuk ke dalamkawasan ini disebabkan oleh pendangkalan yang terjadi didalam kawasan dan Sungai Angke. Hal ini dipengaruhioleh pencemaran yang terjadi disekitarnya baik berupalimbah organik maupun anorganik.

Laju Kerusakan Ekosistem Mangrove SMMALaju kerusakan ekosistem mangrove diperoleh melalui

analisis data citra, yaitu data tahun 2000 di-overlay padadata tahun 2010. Laju kerusakan tersebut ditentukanberdasarkan selisih luasan tutupan mangrove antara tahun2000 dan 2010. Hasil analisis data citra menunjukkan luastutupan mangrove yang mengalami perubahan sejak tahun2000 hingga 2010 (Tabel 10).

Tabel 8. Selang kerapatan dan kriteria kondisi vegetasi mangrovedi Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta

Kerapatan (ind/100 m2) Kriteria kondisi vegetasi mangrove2-8 Sangat rusak9-15 Rusak16-22 Cukup23-29 Baik30-36 Sangat baik

Tabel 9. Kondisi vegetasi mangrove di Suaka Margasatwa MuaraAngke, Jakarta

No.Transek

Jumlah(pohon/100m2)

Kerapatan(ind/100m2)

Kriteria kondisivegetasi mangrove

1 7 2-8 Sangat rusak2 3 2-8 Sangat rusak3 11 9-15 Rusak4 6 2-8 Sangat rusak5 2 2-8 Sangat rusak6 30 30-36 Sangat baik

Page 25: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 23

Gambar 8. Peta Tingkat Kerusakan Vegetasi Mangrove diSMMA.

Gambar 9. Peta sebaran ekosistem mangrove di SuakaMargasatwa Muara Angke, Jakarta

Gambar 10. Peta perubahan tutupan vegetasi mangrove di diSuaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta

Tabel 10. Perubahan luas tutupan dan laju kerusakanmangrove di di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta

Luas Tutupan Mangrove(tahun) (Ha)

LajuKerusakan(ha/tahun)

PersentaseKerusakan(%)

2000 2010

13,371 7,680 0,569 56,9

Laju kerusakan mangrove yang terjadi di kawasanSMMA berdasarkan analisis data citra yaitu sebesar 0,569ha per tahun. Sejak tahun 2000 telah terjadi kerusakan56,9% dari luas tutupan mangrove tersebut.

Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove di kawasanSMMAKebijakan pengelolaan kawasan SMMA menurut peraturanyang berlaku

Menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KonservasiSumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, suakamargasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyaiciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenissatwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukanpembinaan terhadap habitatnya. Kegiatan yang dilakukandi dalam kawasan ini adalah untuk kepentingan penelitiandan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisataterbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.

Page 26: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201424

Wisata terbatas yang dimaksud tersebut yaitu kegiatanmengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam dankeanekaragaman tumbuhan dan satwa di dalamnya. Suakamargasatwa sebagai kawasan suaka alam, mempunyaifungsi pokok sebagai kawasan pengawetankeanekaragaman tumbuhan dan satwa besertaekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah penyanggakehidupan. Pengelolaan seperti ini juga berlaku padakawasan SMMA yang semula berstatus cagar alam namunkemudian dialihstatuskan sebagai suaka margasatwa. Alihstatus ini berpengaruh pada perubahan model pengelolaandi dalam kawasan. Hal ini mempermudah pengelola danstakeholder terkait untuk dapat melakukan upayapembinaan habitat terhadap SMMA.

Kebijakan pengelolaan di SMMA untuk menunjangberjalannya fungsi kawasan sebagai suaka margasatwa

Penetapan kawasan SMMA sebagai kawasan suakamargasatwa yang pada mulanya berstatus sebagai cagaralam adalah dalam rangka melindungi keanekaragamanjenis, populasi, dan habitat burung air yang terdapat dikawasan ini, baik jenis yang langka, dilindungi, terancampunah, dan migran, sehingga keberadaan jenis-jenistersebut dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Perubahanstatus kawasan ini menjadi suaka margasatwa adalah agardapat dilakukan upaya pembinaan habitat (rehabilitasi)untuk menjaga dan mendukung keberadaan satwadiantaranya monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)dan komunitas burung di dalamnya. Upaya pembinaanhabitat tersebut merupakan konsekuensi dari keberadaanjenis-jenis satwa penting yang perlu dipertahankankeberadaannya di dalam kawasan ini.

Menurut Noor (2002), jenis satwa penting yangdimaksud, sehingga perlu dilakukan pembinaan habitat dikawasan SMMA, adalah jenis-jenis burung yang statusnyadilindungi dan langka. Burung adalah kelompok jenisterbesar yang dapat dijumpai di SMMA. Di kawasan initerdapat 67 jenis burung yang terdiri dari 29 famili. Sekitar31 jenis (46%) diantaranya dikategorikan burung air (Noor2002). Penelitian LSM JGM tahun 2008 hingga 2010menyatakan terdapat sekitar 106 jenis burung yang terdiridari 38 suku/famili, 22 jenis diantaranya dilindungi.Banyaknya jenis burung air di kawasan ini berdasarkanNoor (2002), disebabkan kondisi biofisik kawasan yangmendukung keberadaan jenis-jenis tersebut. Kondisibiofisik yang dimaksud yaitu ekosistem mangrove, dengantipe mangrove belakang (rawa mangrove). Oleh karenahabitat di SMMA ini adalah rawa dengan tipe vegetasimangrove, maka upaya konservasi dalam rangka pembinaanhabitatnya perlu diarahkan dengan mempertimbangkankarakteristik khasnya yaitu rawa mangrove, dimanaterdapat tutupan vegetasi mangrove sejati dan asosiasinya,serta komunitas burung air di dalamnya.

Kawasan SMMA memiliki 15 jenis burung yangdilindungi oleh Undang- undang dan terdapat 1 jenis yangmasuk dalam daftar Red Data Book IUCN dengan statusrentan secara global, yaitu jenis Bubut jawa. Burung inijuga merupakan jenis endemik yang hanya berada di PulauJawa (Noor 2002) dan merupakan jenis asli rawa mangroveyang terancam punah akibat habitatnya yang berkurang

secara drastis (Birdlife International 2001 in Noor 2002).Namun dari keenam belas jenis burung tersebut, Noor(2002) menyatakan bahwa terdapat 10 jenis burung pentingdi SMMA (Tabel 11). Sepuluh jenis burung pentingtersebut diantaranya kelompok burung kuntul (bangau),Pecuk ular, Raja udang dan jenis Bubut jawa.

Jenis Pecuk ular dan Kuntul kerbau menjadikankawasan SMMA sebagai tempat untuk mencari makan danberistirahat, meskipun kegiatanberistirahat lebih dominandilakukan di kawasan tersebut. Jenis burung kuntul lainnyahanya menjadikan kawasan sebagai tempat beristirahat.Burung Pecuk ular melakukan aktivitas istirahatnya ditegakan pohon pidada yang paling besar di dalam kawasan,karena pohon tersebut diasumsikan aman dari gangguanaktivitas manusia di sekitarnya. Kelompok burung Kuntulberistirahat di kelompok tumbuhan nipah dan pidada. JenisKuntul kerbau juga mencari makan di dalam SMMA, yaitudi lokasi yang terdapat tumbuhan air. Jenis Bubut jawa danRaja udang merupakan jenis penetap, sehingga semuaaktivitasnya dilakukan di dalam kawasan. Kawasan SMMAmemiliki arti penting bagi pelestarian semua jenis satwapenting tersebut (Noor 2002).

Kebutuhan satwa penting tersebut terhadap habitat diSMMA menjadikan kawasan ini sangat bernilai untukdipertahankan keberadaanya dan dikelola sesuai dengankebutuhan komunitas satwa tersebut. Menurut Noor (2002),dari keseluruhan jenis satwa penting yang terdapat diSMMA, jenis Bubut jawa merupakan jenis yang beradapada tingkat kepunahan paling tinggi. Keberadaan jenis inimenjadikan SMMA memiliki nilai yang tinggi dari sudutpandang konservasi keanekaragaman hayati. Populasi jenisini pada tahun 2002 hanya berkisar 3-5 ekor di dalamkawasan, sehingga sangat mengkhawatirkan mengenaikemampuannya bertahan mengingat tingginya tekananyang terjadi terhadap SMMA sebagai habitatnya. Hinggatahun 2010, jenis Bubut jawa masih dapat ditemukan didalam kawasan (JGM 2010), meskipun tidak terdapatcatatan mengenai jumlah individunya. Perjumpaan denganjenis ini menunjukkan bahwa Bubut jawa masih terdapat didalam kawasan. Hal ini berarti habitat di SMMA masihdapat mendukung kebutuhan hidup jenis tersebut. MenurutBirdlife International (2001) in Noor (2002), habitat Bubutjawa adalah rawa mangrove dengan tipe vegetasi utamayaitu jenis piyai ((Acrostichum), rumput gelagah(Saccharum), alang-alang (Imperata), dan nipah (Nypafrutican). Habitat tersebut tersedia di dalam kawasan,bahkan areal tutupan rumput gelagah dan nipah relatifbesar, sedangkan areal tutupan piyai relatif lebih kecil.Oleh karena itu, habitat seperti ini perlu ada di dalamkawasan untuk mempertahankan kelestarian jenis tersebut.

Pengelolaan kawasan SMMA perlu direncanakandengan memperhatikan kebutuhan satwa terhadap habitatdi dalamnya, terutama satwa penting seperti 10 jenisburung tersebut (Tabel 11). Oleh karena itu, beberapa tipehabitat seperti areal terbuka yang bertutupan vegetasitumbuhan bawah tetap perlu dipertahankan. Upayarehabilitasi dalam hal ini kegiatan penanaman pohonsemestinya tidak dilakukan di semua lokasi di dalamkawasan. Namun, mempertimbangkan sebagian habitatyang menunjang kebutuhan satwa penting tersebut.

Page 27: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 25

Tabel 11. Jenis-jenis burung penting di kawasan di SuakaMargasatwa Muara Angke, Jakarta (Noor 2002)

NamaDaerah/Indonesia

Nama ilmiah Keteranganstatus

Pecuk ular Anhinga melanogaster Dilindungi UUKuntul kerbau Bubulcus ibis Dilindungi UUKuntul besar Egretta alba Dilindungi UUKuntul perak Egretta intermedia Dilindungi UUKuntul kecil Egretta garzeta Dilindungi UUBubut jawa Centropus nigrorufus Rentan (Red Data

Book)Raja udang meninting Alcedo meninting Dilindungi UURaja udang biru Alcedo coerulescens Dilindungi UURaja udang/ Cekakaksungai

Todirhampus chloris Dilindungi UU

Raja udang/ Cekakaksuci

Todirhampus sanctus Dilindungi UU

Kegiatan rehabilitasi ekosistem mangroveKegiatan rehabilitasi yang pernah dilakukan

Rehabilitasi hutan dan lahan secara umum, menurutPermenhut Nomor 70 Tahun 2008 tentang Pedoman TeknisRehabilitasi Hutan dan Lahan, adalah upaya untukmemulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsihutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas danperanannya dalam mendukung sistem penyanggakehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi mangrove dalam halini, merupakan upaya mengembalikan fungsi ekosistemmangrove yang mengalami degradasi, kepada kondisi yangdianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis danekonomisnya. Kegiatan rehabilitasi ini dilakukan baik didalam maupun di luar kawasan hutan. Suaka Margasatwadalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KonservasiSumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, merupakankawasan suaka alam yang memiliki ciri khas berupakeanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untukkelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaanterhadap habitatnya. Pembinaan habitat untukmeningkatkan fungsi dan memulihkan ekosistem di suakamargasatwa ini dapat dilakukan salah satunya melaluiupaya rehabilitasi.

Kawasan SMMA dengan vegetasi utama berupamangrove, telah mengalami degradasi fungsi ekologi danekonominya akibat tekanan antropogenik yang tinggi disekitarnya. Kawasan ini terletak di sekitar areal industri,pemukiman nelayan, dan perumahan, serta dipengaruhioleh aliran Sungai Angke yang merupakan ujung daribanjir kanal barat yang mengalirkan banyak limbah baikorganik maupun anorganik. Oleh karena itu, diperlukanupaya rehabilitasi untuk memulihkan habitat di dalamnya.Pihak pengelola dan stakeholder hingga saat ini telahberupaya melakukan berbagai kegiatan rehabilitasi untukmemulihkan kondisi kawasan (Tabel 12).

Kegiatan rehabilitasi pada tahun 1999 dan 2000merupakan hasil kerjasama beberapa stakeholderdiantaranya BKSDA DKI Jakarta, Bappedalda DKIJakarta, Kanwil Kehutanan dan Perkebunan DKI Jakarta,Dinas Kehutanan DKI Jakarta, Kementerian NegaraLingkungan Hidup, Lembaga Pengkajian dan

Pengembangan (LPP) Mangrove, dan YayasanKeanekaragaman Hayati (Kehati). Kegiatan penanaman inidilakukan melalui beberapa tahapan mulai dari persiapanhingga pelaksanaan. Kegiatan persiapan meliputipembersihan lahan, pengadaan bibit dan ajir, sertasosialisasi dan koordinasi kegiatan. Pembersihan lahan dilokasi yaitu SMMA, melibatkan 20 orang selama 22 hari.Lamanya pembersihan lahan disebabkan oleh jenistanaman yang mendominasi lokasi adalah tanaman berduriserta curah hujan yang cukup tinggi dan air pasang. Bibityang ditanam sebagian besar jenis Sonneratia caseolaris(pidada) dan Bruguiera gymnorrhiza (tancang). Jenistersebut dipilih dengan pertimbangan habitat yang sesuaibagi persyaratan tumbuhnya serta buahnya dapat dimakanoleh satwaliar yang terdapat di kawasan. Bibit yangdisediakan sebanyak 4000 bibit pidada dan 3500 bibittancang. Lahan yang akan ditanam dipasang ajir terlebihdahulu sesuai jumlah bibit yang akan ditanam. Ajir tersebutdibuat dari bambu. Pemasangan ajir dilakukan untukkeseragaman jarak tanam dan memudahkan penanaman.Sosialisasi kegiatan dilakukan dengan beberapa kegiatanyaitu penguatan jaringan dan pengenalan program kepadaberbagai pihak terkait. Selain itu juga dilakukan pembuatanstiker, leaflet dan poster mengenai fungsi dan manfaathutan mangrove serta makanan yang berbahan bakumangrove. Koordinasi kegiatan dilakukan kepadastakeholder terkait untuk memudahkan pelaksanaankegiatan penanaman, diantaranya pemerintah (Pemda,Kanwil Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Kehutanan DKIJakarta), BKSDA DKI Jakarta, Kementerian LingkunganHidup/BAPEDAL, swasta (PT. Pantai Indah Kapuk danBadan Reklamasi Pantai Utara Jakarta), Bapedalda DKIJakarta, LPP Mangrove, Yayasan Kehati, Penconta Alam,Kelompok Pramuka dan Karang Taruna, serta LembagaKemahasiswaan (BEM Fakultas Kehutanan dan FakultasPerikanan dan Ilmu Kelautan IPB).

Tahapan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi ini meliputipengerahan peserta, pencanangan kegiatan, penanaman,pembagian stiker, leaflet dan poster, serta pameran fungsidan manfaat hutan mangrove dan makanan berbahan bakumangrove. Peserta yang dilibatkan dalam penanamanmangrove ini sekitar 750 orang yang terdiri dari pelajarSMU, kelompok pramuka, mahasiswa IPB dan mahasiswapencinta alam se-DKI Jakarta. Pencanangan kegiatandilakukan melalui penanaman pohon oleh pejabatpemerintah di wilayah DKI Jakarta, KementerianLingkungan Hidup, dan perwakilan dari LPP Mangrovedan Yayadan Kehati. Kegiatan penanaman mangrovedilakukan pada areal seluas 2,5 ha dengan jarak tanam 1x1m, sebanyak sekitar 6000 bibit pidada dan tancang. Sisabibit sebanyak 1500 dipersiapkan untuk kegiatanpenyulaman terhadap tanaman yang mati.pembagian stiker,leaflet dan poster dilakukan untuk meningkatkan kesadaranmasyarakat tentang manfaat dan fungsi hutan mangrove.Pameran fungsi dan manfaat hutan mangrove sertamakanan berbahan baku mangrove dilakukan denganmelibatkan anggota PKK dari Muara Gembong Bekasidengan menyajikan beberapa jenis makanan yang berbahanbaku mangrove.

Page 28: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201426

Tabel 12. Kegiatan rehabilitasi ekosistem yang pernah dilakukan di kawasan.

Waktu Kegiatan Rehabilitasi Stakeholder Keterangan

1999-2000 Rehabilitasi hutan mangrove berbasis masyarakatPenanaman mangrove tahap 1 (5 Desember 1999), meliputi:persiapan (pembersihan lahan, pengadaan bibit dan ajir,sosialisasi kegiatan, dan koordinasi dengan berbagaistakeholder); pelaksanaan penanaman (pengerahan peserta,pencanangan kegiatan, penanaman, pembagian stiker, leaflet danposter, pameran fungsi dan manfaat hutan mangrove sertamakanan berbahan baku mangrove)

LPP Mangrove, YayasanKehati, Pemerintah DKIJakarta, Pemerintah KotaJakarta Utara, Kepmen LH,Bapedalda DKI Jakarta, KanwilKehutanan dan Perkebunan,Dinas Kehutanan DKI Jakarta,Pelajar dan PramukaSakawanabakti, Mahasiswa(IPB, pencinta alam se- DKIJakarta), anggota PKK MuaraGembongdan masyarakat sekitar

Tertanam ± 6000 bibitSonneratia caseolarisdan Bruguieragymnorrhiza,dengan luas areal tanam2,5 ha dan jarak tanam1x1 m.

Penanaman mangrove tahap 2 (6 Februari 2000) MahasiswaPenanaman mangrove, kampanye peduli mangrove, pembuatanbuku “Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove”

Pencinta Alam se- Jabotabek,Jaringan Interpreter, PelajarSMU di sekitar SMMA

19 Maret 2000

Penanaman mangrove, iklan layanan masyarakat di media cetakdan elektronik, pembuatan buku “Hutan Mangrove sebagai suatuEkosistem”,inventarisasi potensi flora dan fauna di SMMA

PT. Nike, Pelajar SMU,Pramuka Sakawanabakti danSaka Bahari,dan Jaringan Interpreter

23 April 2000

Seminar Pendidikan Konservasi Lingkungan, pelatihaninstruktur, pendidikan konservasi lingkungan di hutan mangrove,pembuatan buku “Pendidikan konservasi Lingkungan diHutan Mangrove”

Pencinta Alam se- Jabotabek,LSM, Karang Taruna danLKMD

11 Juni 2000

f. Penanaman mangrove, pembuatan buku “Flora dan Fauna diHutan Mangrove”

Jaringan interpreter 19 November 2000

2010 Upaya patroli kawasan:Penyuluhan kepada pemilik kapal yang melakukan penambatankapal di sekitar kawasan

Petugas BKSDA

Membersihkan sampah secara rutin di dalam kawasan Petugas BKSDAMenemukan dan mengamankan jebakan biawak, alat pancingdan perahu milik pihak yang melakukan pencurian hasil hutan

Petugas BKSDA

Upaya rehabilitasi kawasanPenanaman mangrove BKSDA dan 25

media cetak dan radio50 bibit tertanam

Penanaman mangrove Jakarta Green Monster (JGM) 50 bibit tertanamPenanaman mangrove Kelurahan Kapuk Muara 40 bibit tertanamAksi bersih sampah di sekitar kawasan JGM melibatkan 200 orangAksi bersih sampah BKSDA melibatkan 50 orangAksi bersih sampah dan pemasangan papan informasi JGM dan Coca Cola melibatkan 150 orang

2011 Upaya Patroli kawasan:Penyuluhan kepada pemilik kapal yang melakukan penambatankapal di sekitar kawasan

Petugas BKSDA

Membersihkan sampah secara rutin di dalam kawasan Petugas BKSDAMenemukan dan mengamankan jebakan biawak, alat pancingdan perahu milik pihak yang melakukan pencurian hasil hutan

Petugas BKSDA

Upaya rehabilitasi kawasanPembersihan enceng gondok BKSDA melibatkan 100

orangPembersihan enceng gondok Mahasiswa IPB dan Daejaeyan

KoreaTerbukanya badan airdi tengah kawasanSMMA sekitar 200m2

Upaya sosialisasiSeminar Lingkungan "Peran Pemuda dalam RehabilitasiMangrove"

BKSDA, Kemenhut Peserta 100 orangmahasiswa di DKIJakarta

Page 29: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 27

Workshop Pengelolaan Kawasan Konservasi di Provinsi DKIJakarta

Kementerian Kehutanan danPemprov DKI Jakarta

Peserta 30 orang;pembentukan badanpengelolaan SMMA

2012 Upaya patroli kawasan:Penyuluhan kepada pemilik kapal yang melakukan penambatankapal di sekitar kawasan

Petugas BKSDA

Membersihkan sampah secara rutin di dalam kawasan Petugas BKSDAMenemukan dan mengamankan jebakan biawak, alat pancingdan perahu milik pihak yang melakukan pencurian hasil hutan

Petugas BKSDA

Sumber: Laporan Kegiatan LPP Mangrove tahun 2000b, Laporan Bulanan Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA DKI Jakarta tahun2010, 2011, 2012

Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan pada tahun 2010hingga 2012 oleh pihak pengelola yaitu berupa kegiatanpengamanan kawasan yang dilakukan oleh petugas dikawasan. Kegiatan pengamanan atau patroli kawasan inisecara rutin dilakukan apabila terdapat aktivitas tertentukhususnya dari pihak luar yang dapat mengganggukawasan baik habitat maupun biota yang hidup didalamnya.

Kegiatan lain seperti penanaman bibit mangrove, aksibersih sampah, dan pembersihan enceng gondok dilakukanoleh BKSDA dan stakeholder diantaranya mahasiswaperguruan tinggi, LSM Jakarta Green Monster (JGM) danKelurahan Kapuk Muara, serta pihak swasta lainnya.Umumnya kegiatan berupa penanaman bibit mangrove danaksi bersih sampah maupun enceng gondok inidiselenggarakan dalam rangka kegiatan pendidikan danpeduli lingkungan yang dilakukan oleh pihakpenyelenggara bekerjasama dengan BKSDA.

Evaluasi kegiatan rehabiltasi yang pernah dilakukanMenurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Rehabilitasi Hutandan Lahan, pemeliharaan tanaman dilakukan pada tahunberjalan (T+0), tahun pertama (T+1) dan tahun kedua(T+2). Penyulaman tanaman dilakukan 15-30 hari setelahpenanaman, dan dilakukan penyulaman untuk kegiatanrehabilitasi di dalam kawasan hutan apabila persentasetumbuh pada tahun berjalan setelah sulaman adalah > 70%,dan penyulaman pada tahun kedua dilakukan apabilapersen tumbuh pada tahun pertama > 90%. Pelaksanaanpenyulaman pada tahun berjalan dilakukan 15-30 harisetelah penanaman.

Kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove pada tahun1999 dan 2000 telah dilakukan dengan menanam bibitpidada dan tancang sebanyak sekitar 6000 bibit.Keberhasilan tumbuh bibit yang ditanam ini setelah 1 bulanpelaksanaan kegiatan yaitu sebesar 95%. Persen tumbuhtanaman pada kegiatan rehabilitasi tahun 1999 sudah >90%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil kegiatanpenanaman tersebut cukup baik. Analisis vegetasi yangdilakukan pada tahun 2011 (transek 6), pada tegakan hasilpenanaman tahun 1999/2000 tersebut, menunjukkan hasilkerapatan individunya yaitu 1000 pohon/ha. Menurut KLH(2004), tegakan tersebut termasuk dalam kelas baik(sedang) dengan kriteria ≥1000-<1500 pohon/ha.

Persiapan kegiatan penanaman pada kegiatan tahun1999-2000 dilakukan mulai dari penyiapan stakeholderyang akan terlibat mulai dari institusi pemerintah,akademisi, LSM, mahasiswa, dan masyarakat sekitar

kawasan. Kegiatan persiapan ini juga meliputi penyiapanlahan seperti pembersihan lahan dari sampah dan gulma,penyiapan sarana dan prasarana, pemilihan jenis tanaman,penyiapan benih, dan pemasangan ajir.

Teknik menanam yang digunakan pada kegiatanpenanaman tahun 2000 yaitu penanaman murni dan denganmenggunakan ajir. Jenis bibit yaitu pidada dan tancang,dipilih karena buahnya dapat dimakan oleh satwa liar yangberada di kawasan yaitu monyet ekor panjang (Macacafascicularis), dan sesuai dengan persyaratan tumbuhnya.Hal ini dapat dilihat dari persen tumbuh yang tinggi setelah1 bulan penanaman, khususnya jenis pidada yang saat inimerupakan tegakan mangrove yang dominan di kawasan.

Pemeliharaan pasca penanaman dilakukan oleh pihakyang telah ditunjuk dengan diberi gaji setiap bulannya.Petugas tersebut memiliki kewajiban untuk melakukanpenyulaman, membersihkan lahan dari gulma danmelaporkan hasil pemeliharaan secara periodik. Sedangkankegiatan pemantauan terhadap hasil penanaman dilakukansecara periodik sekali dalam seminggu oleh perwakilandari pihak LPP Mangrove. Kegiatan penanaman iniditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan penanamanmangrove dan pendidikan lingkungan selama tahun 2000dengan melibatkan banyak stakeholder (Tabel 12).

Kegiatan penanaman ini dilihat dari aspek persentumbuh, kesesuaian jenis tanaman, teknik menanam, danaspek pemeliharaan dan organisasi pemeliharaan, telahsesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan NomorP.70/Menhut-II/2008. Kegiatan ini dapat dikatakan cukupbaik, terutama apabila dilihat dari hasil penanaman tersebuthingga saat ini.

Persepsi masyarakat terhadap SMMA dan rehabilitasimangrove

Santoso (2012) mengklasifikasikan masyarakat disekitar SMMA menurut kedudukan dan aktivitasnya, terdiridari: (i) masyarakat bantaran sungai, (ii) masyarakat dikampung nelayan, (iii) masyarakat umum, dan (iv)masyarakat perumahan. Masyarakat di bantaran SungaiAngke berasal dari berbagai daerah diantaranya Indramayu,Brebes, Tangerang, Demak, Surabaya dan Kulon. Kawasanini merupakan pemukiman liar karena terletak di bantaransungai. Di dekat muara Sungai Angke terdapat tempatpengolahan kerang hijau, yang merupakan sumberpenghasilan bagi masyarakat di sekitar bantaran sungai.

Kegiatan pengolahan kerang hijau ini di sisi lainberdampak kurang baik bagi lingkungan karena limbahcangkang kerang yang dibuang di pinggiran badan sungai.Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyempitan badan

Page 30: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201428

sungai dan pendangkalan akibat limbah yang terusbertambah tanpa adanya penanganan yang serius.

Masyarakat di kampung nelayan bermatapencaharianutama sebagai nelayan. Mereka merupakan penduduk yangtinggal di Kelurahan Pluit. Sedangkan masyarakat umumdan perumahan yang dimaksud merupakan masyarakatyang tinggal di sekitar kawasan SMMA baik di perumahanPantai Indah Kapuk (PIK) maupun non-PIK.

Persepsi masyarakat terhadap SMMA dan rehabilitasimangrove diperoleh melalui wawancara dan penyebarankuesioner ke responden di sekitar kawasan. Responden initerdiri dari masyarakat umum yang tinggal di sekitarSMMA, pengunjung, pihak pengelola, dan LSM terkait.Masyarakat umum yang diwawancarai berusia 20-58 tahun,dengan latar belakang pendidikan yang beragam, yaitu 3%merupakan lulusan D3, 74% lulusan SMA, 13% lulusanSMP, dan 10% lulusan SD. Mata pencaharian merekadiantaranya sebagai nelayan, pedagang, karyawan swasta,pegawai pemerintah, hingga mahasiswa.

Persepsi terhadap SMMAUmumnya responden mengetahui tentang keberadaan

SMMA sebagai kawasan yang dilindungi yaitu sebesar76,67% dari mereka, sedangkan 23,33% belum mengetahuitentang SMMA. Responden juga cukup banyak yangmengetahui sumberdaya alam yang ada di dalamnya yaitusekitar 60%, sedangkan 40% tidak mengetahui. Meskipundari hasil wawancara dan kuesioner banyak yang cukupmengenal SMMA, ternyata 73,33% responden belumpernah masuk ke kawasan tersebut, sedangkan 26,67%sudah pernah. Hal ini sangat mungkin dikarenakankawasan SMMA yang terletak di pinggir jalan dengan lalulintas yang padat, dan dekat dengan pusat kota. Selain itu,hampir tiap bulan kawasan ini mendapatkan kunjunganmassal dari berbagai pihak, umumnya murid sekolah baikSD, SMP maupun SMA, dan juga mahasiswa dari berbagaiperguruan tinggi. Hal ini cukup menarik perhatianmasyarakat, sehingga meskipun mereka belum pernahberkunjung ke SMMA, sebagian besar mengetahui tentangSMMA secara umum.

Responden yang pernah masuk ke kawasan SMMAbiasanyadalam rangka berwisata maupun kegiatan pedulilingkungan yang diadakan oleh LSM tertentu ataukomunitas peduli lingkungan lainnya yang melibatkanmasyarakat. Kunjungan ke SMMA yang umumnyaditerima oleh pihak pengelola sebagian besar merupakankegiatan observasi seperti pendidikan lingkungan yangdiadakan sekolah maupun perguruan tinggi tertentu diProvinsi DKI Jakarta dan sekitarnya. Pendidikanlingkungan saat ini sudah masuk dalam kurikulum di

sebagian sekolah, sehingga banyak kegiatan seperti aksibersih lingkungan, pengenalan mangrove, dan caramenanam mangrove mulai dikenalkan kepada siswasekolah. Kawasan ini juga banyak menerima kunjunganyang dilakukan oleh para peneliti yang mengadakanpenelitian terhadap sumberdaya alam dan ekosistem didalam dan sekitar kawasan. Selain itu, kawasan ini jugamenjadi objek untuk kegiatan fotografi konservasi,pengamatan satwa (burung, primata dan herpetofauna) danfotografi pre wedding.

Banyaknya responden yang mengetahui tentang SMMAternyata belum sebanding dengan pengetahuan merekamengenai pihak yang mengelola kawasan. Sebagian besarresponden mengetahui bahwa kawasan SMMA dikelolaoleh pemerintah, namun pengetahuan mereka masih belumtepat mengenai pengelola kawasan (Gambar 11).

Responden sebagian besar beranggapan bahwa pihakpengelola SMMA merupakan Dinas Kehutanan ProvinsiDKI Jakarta. Hal ini terjadi dapat disebabkan oleh masihkurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pihak pengelolakepada masyarakat sekitar. Masyarakat masih menganggapbahwa Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutananmerupakan satu instansi yang sama, dan setiap kawasanhutan berada dibawah pengelolaan pihak Dinas Kehutanan.Sosialisasi pengelolaan kawasan hingga ke levelmasyarakat perlu untuk dilakukan. Hal ini dapat menjadisalah satu sarana pembelajaran bagi masyarakat sekitar.

Persepsi terhadap rehabilitasi mangroveSebagian besar responden sudah mengetahui mangrove

dan dapat merasakan manfaat mangrove secara umum,meskipun masih ada yang belum mengetahui (Gambar 12).Responden tersebut mengetahui bahwa mangrovemerupakan tanaman yang tumbuh di daerah pesisir, dapatmencegah dan mengurangi banjir, mencegah abrasi, sertamenahan gelombang air laut. Pengetahuan dasar yangdimiliki masyarakat seperti ini sangat penting untukmelibatkan mereka dalam berbagai kegiatan rehabilitasimangrove selanjutnya.

Gambar 12. Persepsi responden mengenai mangrove dan SuakaMargasatwa Muara Angke, Jakarta

Gambar 11. Pengetahuan responden tentang di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta (kiri) dan pihak pengelola (kanan)

Page 31: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 29

Gambar 13. Persepsi dan partisipasi masyarakat terkait kegiatan rehabilitasi mangrove

Hampir 50% responden dapat merasakan manfaat darikeberadaan mangrove dan kawasan SMMA. Mereka dapatmerasakan udara sejuk dan nyaman di sekitar SMMAdipengaruhi oleh adanya tutupan vegetasi mangrove didalam kawasan tersebut. Keberadaan vegetasi mangrovedan sumberdaya lainnya di kawasan menjadi objek wisatayang cukup menarik bagi masyarakat. Selain itu, sebagianresponden juga mengetahui bahwa buah mangrove dapatdiolah menjadi bahan makanan, terutama buah dari jenispedada (Sonneratia sp.).

Sebagian dari responden yang diwawancaraibermatapencaharian sebagai nelayan, yaitu sebanyak 9orang. Semua responden ini mengetahui manfaat darikeberadaan mangrove secara umum dalam duniaperikanan. Keberadaan mangrove berpengaruh terhadapketersediaan jumlah ikan di perairan laut. Merekamerasakan bahwa hasil tangkapan ikan di sekitar perairanTeluk Jakarta dan Kepulauan Seribu mengalamipenurunan. Dalam kurun waktu setahun ini, ikan yangmereka peroleh dari hasil melaut semakin sedikit, bahkanjarang ditemui.

Sebagian besar responden belum pernah berpartisipasidalam kegiatan rehabilitasi mangrove, sehingga banyakdari mereka yang belum mengetahui tentang kegiatantersebut. Namun, banyak dari mereka yang memilikiketertarikan untuk terlibat apabila diadakan kegiatanrehabilitasi mangrove (Gambar 13).

Responden memiliki ketertarikan untuk terlibat dalamkegiatan rehabilitasi mangrove dipengaruhi olehpengetahuan mereka mengenai manfaat dan fungsi darimangrove bagi lingkungan maupun bagi kehidupanmereka. Mereka cukup menyadari bahwa keberadaanmangrove di pesisir Jakarta khususnya telah semakinberkurang. Begitu juga dengan kondisi mangrove di dalamkawasan SMMA. Tingkat partisipasi yang rendah dapatdisebabkan oleh masih kurangnya informasi yang sampaikepada masyarakat mengenai kegiatan rehabilitasimangrove. Selain itu, juga dapat disebabkan kegiatanrehabilitasi mangrove, khususnya di dalam kawasan belumsepenuhnya melibatkan masyarakat.

Kegiatan rehabilitasi, seperti penanaman mangrove diSMMA, lebih bersifat simbolik untuk kegiatan pendidikanlingkungan. Sehingga jumlah bibit yang ditanam dalamskala kecil. Di sisi lain, kondisi habitat di SMMA saat initidak memungkinkan untuk dilakukan penanaman dalamskala besar. Kualitas perairan di SMMA yang sudah tawardengan kadar salinitas 0‰ belum memungkinkan untuk

menopang kelanjutan hidup anakan mangrove. Kegiatanrehabilitasi yang perlu dilakukan di kawasan ini dalambeberapa waktu kedepan adalah perbaikan lingkungan atauhabitat mangrove, baik berupa pembersihan kawasansecara berkelanjutan dari sampah dan enceng gondok, sertaperbaikan irigasi Sungai Angke untuk mengurangipendangkalan di dalam kawasan dan pencemaran akibatlimbah yang mengalir di sepanjang sungai. Berkurangnyapendangkalan di dalam kawasan, khususnya di pintu masukair, dapat membantu air laut masuk ke dalam kawasan,sehingga pergantian air tawar dan air laut dapat kembaliberjalan normal.

Saran untuk perbaikan SMMASebagian besar responden, yaitu 70% berpendapat

bahwa pemeliharaan ekosistem mangrove perlu melibatkanmasyarakat. Kegiatan masyarakat di sekitar kawasan dapatberpengaruh secara langsung maupun tidak langsungterhadap kawasan dan vegetasi mangrove di dalamnya.Keberadaan mangrove tersebut juga berpengaruh baiksecara langsung maupun tidak langsung terhadapkehidupan masyarakat, khususnya bagi mereka yangpenghasilannya tergantung dari hasil laut.

Analisis permasalahan dan kegiatan rehabilitasimangrove di kawasan

Kegiatan rehabilitasi mangrove di SMMA hingga saatini belum memberikan hasil seperti yang diharapkan.Kawasan SMMA sebagian besar masih didominasi olehpenutupan semak dan enceng gondok. Meskipun kawasanini merupakan ekosistem mangrove, namun vegetasimangrove saat ini tidak dapat tumbuh dengan baik, karenabanyaknya faktor pembatas yang menyebabkanmenurunnya kualitas lingkungan. Terdapat berbagaipermasalahan lingkungan khususnya yang menyebabkanpertumbuhan mangrove menjadi tidak sehat (Gambar 14).

Dampak ekologi yang terjadi menyebabkan terjadinyakerusakan terhadap ekosistem mangrove. Dampak ekologitersebut yaitu: pendangkalan dan penyempitan badanSungai Angke akibat aktivitas masyarakat di sekitarbantaran sungai seperti kegiatan MCK, pembuanganlimbah kulit kerang hijau, dan penambatan kapal nelayan.Adanya pencemaran sampah organik dan anorganik yangmasuk ke kawasan pada saat air pasang, baik dari muaramaupun yang mengalir di sepanjang aliran sungai, sertamenumpuk dan tertinggal di dalam kawasan saat air surut.

Page 32: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201430

Hal ini menyebabkan permukaan perairan di dalam dansekitar kawasan menjadi berminyak, berwarna dan berbautidak sedap, menyebabkan terjadinya sedimentasi di dalamkawasan. Terhambatnya pasang surut air laut ke dalamkawasan juga menyebabkan pertumbuhan dan polapermudaan mangrove terganggu. Kondisi perairan di dalamkawasan yang tawar, menyebabkan enceng gondok tumbuhdengan subur sehingga menginvasi kawasan.

Strategi rehabilitasiSebagai kawasan yang pengelolaannya diarahkan untuk

tempat pendidikan lahan basah, sudah selayaknya kualitaslingkungan SMMA diperhatikan, agar dapat menjadicontoh dan memberi pengetahuan lebih banyak bagimasyarakat. Kegiatan rehabilitasi bagi SMMA sangatpenting dilaksanakan segera dan berkesinambungan,dengan perencanaan, pengaturan, implementasi, danpengawasan yang baik.

Rehabilitasi di SMMA perlu direncanakan berdasarkanhasil evaluasi rehabilitasi yang pernah dilakukan, kebijakanpengelolaan di dalam kawasan (rencana pengelolaan),kondisi lingkungan dan tingkat kerusakan saat ini,partisipasi stakeholder dan kelembagaan pengelolaannya.Selain itu juga perlu dilakukan identifikasi terlebih dahuluakar masalah yang terjadi, dampak ekologi dan jeniskerusakan mangrove yang ditimbulkan, serta komponenyang perlu dibenahi. Melalui berbagai hal tersebut dapatdirumuskan strategi rehabilitasi di SMMA.

Beragam masalah menyebabkan terjadinya beberapajenis kerusakan terhadap ekosistem mangrove dankawasan. Kerusakan yang terjadi di kawasan SMMAdiantaranya pertumbuhan mangrove terganggu, polapermudaan tidak seimbang, terjadinya invasi encenggondok, permukaan air berminyak dan berbau tidak sedap,terjadinya sedimentasi di kawasan, serta banjir pada saatcurah hujan tinggi.

Pertumbuhan mangrove di SMMA menjadi terganggudisebabkan oleh kondisi perairan di dalam kawasan yangsudah menjadi tawar. Salinitas merupakan salah satu faktorpembatas yang mempengaruhi kehidupan mangrove,dimana umumnya vegetasi ini dapat hidup dengan baikpada salinitas 10-30‰. Kondisi salinitas perairan SMMAyang berkisar antara 0-0,2‰ ini, disebabkan pasokan airlaut yang seharusnya masuk ke dalam kawasan, alirannyaterhambat akibat adanya pendangkalan yang terjadi disekitar pintu masuk air, baik di sepanjang Sungai Angkemaupun di perbatasan antara kawasan dengan hutanlindung. Selain itu, tingkat pencemaran yang cukup tinggidi sepanjang Sungai Angke juga menyebabkanpertumbuhan mangrove terganggu. Sungai Angke sebagaiujung dari banjir kanal barat, dan merupakan muara bagi 7sungai lainnya yang mengalir di sekitar kawasan, berperanbesar dalam mengalirkan berbagai jenis limbah, baikorganik maupun anorganik. Limbah organik dan anorganikini pada saat air pasang, akan terbawa ke dalam kawasandan tertinggal pada saat surut.

Gambar 14. Identifikasi Permasalahan dan Kegiatan Rehabilitasi di di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta

Page 33: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 31

Pola permudaan mangrove di SMMA saat ini tidakseimbang, dimana tidak ditemukannya tingkatpertumbuhan semai alami. Pola permudaan yang tidakseimbang ini menunjukkan vegetasi mangrove saat initidak dapat tumbuh dengan baik. Vegetasi pada tingkatpancang dan pohon yang terdapat di kawasan merupakanhasil penanaman yang dilakukan pada kegiatan rehabilitasidi SMMA. Begitu juga semai yang ada di kawasanmerupakan persemaian yang dibuat oleh pihak petugas dikawasan, sebagai contoh bagi pengunjung. Bahkan adajuga yang sudah sekitar 3 tahun ditanam, namun tidakdapat berkembang dengan baik. Vegetasi mangrove diSMMA dikatakan tetap dapat bermetabolisme, namun tidakmampu untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengantahap pertumbuhannnya. Hal ini mungkin disebabkan olehketersediaan nutrien yang sudah semakin terbatas atauberkurang, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhanmangrove untuk bermetabolisme secara sempurna.

Enceng gondok menginvasi perairan terutama di bagiantengah kawasan. Enceng gondok sudah ditemukan terdapatdi kawasan pada tahun 1994 (Santoso 2012). Invasi encenggondok ini biasa terjadi pada perairan tawar dan subur.Penggenangan air di SMMA lebih banyak dipengaruhi olehluapan air Sungai Angke. Sehingga kondisi air di dalamkawasan lebih tawar, yang mendukung pertumbuhan cepatenceng gondok, kangkung dan gelagah. Dominasi air tawaryang masuk ke kawasan juga disebabkan oleh terhalangnyaaliran air laut dari arah muara karena adanya tanggul-tanggul tambak. Air laut yang masuk melalui hutan lindungterletak di areal pertambakan, sehingga tidak dapatmengalir ke kawasan SMMA. Sementara itu, pintu airkeluar dari tambak hanya mengalirkan air tambak saatpasang tertinggi, kemudian mengalirkannya melalui kanal-kanal yang mengalir kembali ke muara SMMA. Dengandemikian, wilayah tengah kawasan hampir tidakterpengaruh oleh aliran air laut (Pradini 2002).

Permukaan air yang berminyak dan berbau tidak sedapmenjadi pemandangan yang umum dijumpai di sekitar dandalam kawasan SMMA. Perairan payau dengan tutupanvegetasi mangrove memang tidak sejernih perairan tawar.Namun adanya indikasi pencemaran di perairan tersebutdapat dilihat secara fisik dari warna, lapisan minyak,maupun bau yang menyebar di sekitarnya, seperti yangterjadi di SMMA. Tidak hanya di dalam kawasan, kondisiserupa juga terjadi di sepanjang aliran Sungai Angke yangberbatasan langsung dengan kawasan. Hal ini terjadidisebabkan oleh pencemaran yang terjadi baik oleh limbahcair maupun sampah padat, baik organik maupunanorganik. Limbah anorganik yang banyak dijumpai didalam kawasan dan Sungai Angke adalah sampah plastik,styrofoam, dan beling (kaca). Pencemaran yang terjadi inimerupakan dampak ekologi dari kondisi Sungai Angkeyang merupakan ujung dari banjir kanal barat, sekaligussebagai tempat bermuaranya 7 sungai lain di sekitar JakartaUtara. Sehingga Sungai Angke juga mengalirkan berbagaijenis limbah baik cair maupun padat. Pada saat air sungaipasang, limbah di sungai tersebut akan masuk dantertinggal di dalam kawasan. Selain itu, kegiatanmasyarakat di sekitar bantaran sungai juga menjadi salah

satu penyebab terjadinya pencemaran di kawasan ini,seperti adanya pembuangan limbah kulit kerang hijau dibantaran sungai, serta kegiatan penambatan kapal nelayandengan berbagai aktivitas di dalam dan sekitarnya.

Di SMMA saat ini juga terjadi pendangkalan, terutamadi sekitar pintu masuk kawasan yang berbatasan denganSungai Angke dan Hutan Lindung, yaitu di sebelah utarakawasan. Sedimentasi yang terjadi di dalam kawasan inimerupakan akibat dari dampak ekologi penumpukansampah organik dan anorganik. Bahkan, sedimentasi iniada yang telah membentuk daratan sendiri, yangdiistilahkan sebagai “Pulau Sampah” oleh petugas lapangandi kawasan. Pulau Sampah ini telah ditumbuhi oleh semakbelukar, yang terletak di sebelah utara kawasan, berbatasandengan Sungai Angke.

Selain berbagai kerusakan tersebut, di dalam kawasanjuga biasa terjadi banjir pada saat curah hujan tinggi. Banjiryang terjadi di kawasan ini hingga membuat jalur di dalamkawasan terendam air, dan tidak dapat dilalui. Sehinggapetugas lapangan biasanya akan menutup kawasan padasaat terjadi banjir seperti ini. Banjir yang terjadi ini tidakhanya pengaruh dari curah hujan yang tinggi. Namun,akibat dari adanya pendangkalan dan penyempitan badanSungai Angke.

Penyempitan dan pendangkalan badan sungai inidiantaranya disebabkan oleh kegiatan MCK di bantaransungai, serta pembuangan dan penumpukan sampah. Selainitu pada saat pasang surut air laut, sampah yang menumpukdi muara dan pinggiran pantai juga akan terbawa masukkembali ke aliran sungai. Diperkirakan, produksi sampahyang berasal dari Provinsi DKI Jakarta secara umum padatahun 2011 mencapai 5.597,87 ton per hari. Jumlah sampahyang terangkut sebanyak 4.986,31 ton per hari, sisanyasebanyak 611,56 ton per hari dibakar atau dibuang kesungai. Sedangkan khusus untuk sampah dari sekitarJakarta Utara, yang terangkut sebanyak 994,75 ton per haridari total produksi sampah 996,65 ton per hari. Hal iniberarti jumlah sampah yang tidak terangkut dan akandibuang langsung ke sungai sebanyak 1,90 ton per hari(BPS 2012).

Upaya rehabilitasi di kawasan ini khususnya dalambentuk kegiatan penanaman, telah dilakukan oleh pihakpengelola yang bekerjasama dengan stakeholder baik dariinstansi lain, LSM maupun akademisi. Rangkaian kegiatanrehabilitasi mangrove yang hasilnya dapat dilihat denganbaik adalah kegiatan penanaman yang dilakukan padatahun 1999-2000. Pada kegiatan tersebut dilakukanpenanaman mangrove sebanyak 6000 bibit pidada dantancang dengan persen tumbuh yang tinggi untuk jenispidada. Kegiatan tersebut melibatkan banyak stakeholderbaik dari pemerintah dan instansi terkait, LSM, pelajar,mahasiswa, kelompok pramuka, anggota PKK, danmasyarakat sekitar. Kegiatan ini ditindaklanjuti dengankegiatan penanaman dan pendidikan lingkungan selamatahun 2000 dengan melibatkan berbagai stakeholder baikpemerintah, swasta, LSM, mahasiswa dan masyarakat.

Dalam 3 tahun terakhir (2010 hingga 2012), upayarehabilitasi yang dilakukan pihak pengelola danstakeholder diantaranya kegiatan penanaman mangrove

Page 34: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201432

oleh pengelola dan stakeholder (LSM, swasta, masyarakat),aksi bersih sampah oleh LSM yang bekerjasama denganpihak pengelola; pembersihan enceng gondok olehpengelola dan mahasiswa; pembuatan saluran air sementaradi salah satu bagian ujung kawasan, serta adanyapemberlakuan penutupan kawasan. Dilihat dari skala danintensitasnya, kegiatan yang dilakukan tersebut lebihdiperuntukkan sebagai pendidikan lingkungan, sesuaidengan arahan pengelolaan kawasan yaitu sebagai kawasanpendidikan lahan basah. Kegiatan penanaman mangroveyang melibatkan berbagai stakeholder dalam 3 tahunterakhir, dilakukan sebanyak 3 kali dengan jumlah bibittertanam sekitar 40 hingga 50 bibit tiap kegiatan. Begitujuga dengan kegiatan aksi bersih sampah yang dilakukandalam 3 kegiatan, diantaranya melibatkan sekitar 50 hingga200 orang. Kegiatan ini masih belum menjadi solusiterbebasnya kawasan dari pencemaran sampah plastik danlapisan minyak di perairannya. Selain itu, kegiatanpembersihan enceng gondok, juga belum menjawabpermasalahan yang terjadi di kawasan, dimana kegiatan inidilakukan sebanyak 2 kali dalam 3 tahun, yang melibatkanpihak pengelola dan stakeholder lainnya. Hal inidikarenakan enceng gondok tidak dapat dibersihkan hanyadengan mengangkatnya dari perairan. Jenis ini memilikisiklus hidup yang pendek, pada saat musim panas akankering dengan sendirinya, namun ketika curah hujan tinggi,akan kembali tumbuh dengan subur.

Upaya rehabilitasi yang dilakukan selama ini masihbelum memberikan hasil yang diharapkan, yaitumeningkatnya kondisi ekosistem mangrove sehingga dapatmeningkatkan fungsi kawasan SMMA sebagai suakamargasatwa, yang pada akhirnya dapat mendukungberjalannya fungsi ekologi dan ekonomi kawasan denganbaik. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai kendaladiantaranya belum terjawabnya akar masalah di kawasan,dan belum berjalannya perencanaandengan baik danberkelanjutan serta melibatkan semua stakeholder. Rencanapengelolaan kawasan dan rencana pengelolaan tapak (siteplan) masih dalam proses penyempurnaan oleh pihakpengelola. Secara umum, SMMA diarahkan untuk kawasanpendidikan lahan basah di DKI Jakarta. Selain itu, kawasanSMMA telah ditunjuk sebagai salah satu daerah tujuanwisata alam di pesisir DKI Jakarta oleh pemerintah.Penunjukan kawasan ini perlu ditindaklanjuti dengankejelasan peran dalam rangka meningkatkan fungsikawasan. Kegiatan rehabilitasi di SMMA pada 3 tahunterakhir (2010-2012) masih bersifat simbolik, tentatif danbelum menyeluruh. Adanya rencana pembuatan 3 pulauatau pantai baru melalui pengembangan reklamasi yangterpisah secara fisik dari pantai lama dengan kegiatanutama jasa dan perdagangan berskala internasional,perumahan, pelabuhan serta pariwisata. Kegiatan reklamasiini baik langsung maupun tidak langsung dapat mengubahkondisi perairan di sekitarnya. Kegiatan reklamasi pantaidapat berdampak kepada banjir, perusakan ekosistem,berpengaruh pada hasil tangkapan sehingga pekerjaannelayan akan semakin sulit dan lainnya. Selain itu, kendalaupaya rehabilitasi ini juga berasal dari kondisi perilakumasyarakat sekitar yang belum banyak mengerti danberpartisipasi dalam menjaga kualitas lingkungannya.

Upaya rehabilitasi SMMA perlu dilakukan denganmempertimbangkan kawasan sebagai suaka margasatwa.Hal ini berarti pengelolaan kawasan dilakukan tetap denganmemperhatikan kelestarian satwa di dalamnya, terutamasatwa penting.

Berdasarkan identifikasi permasalahan yang terjadi diSMMA dan sekitarnya, dapat diketahui beberapakomponen permasalahan yang perlu dibenahi untukmemulihkan kondisi ekosistem mangrove di kawasan.Komponen tersebut diantaranya: (i) komponen ekologisebagai prioritas pertama, yang meliputi habitat danlingkungan, termasuk di dalamnya sumberdaya mangrovedan biota perairan; (ii) komponen kebijakan sebagaiprioritas kedua, yang meliputi rencana pengelolaankawasan (BKSDA) dan kebijakan yang terintegrasi baikskala regional (Provinsi DKI Jakarta) dan skala nasional(Kementerian Kehutanan); (iii) komponen sosial sebagaiprioritas ketiga, yang meliputi penyadartahuan danketerlibatan masyarakat dalam menjaga kualitaslingkungan tempat tinggalnya terutama di sekitar kawasandan partisipasi stakeholder lainnya; serta (iv) komponenekonomi, yaitu SMMA sebagai kawasan konservasi(kawasan suaka alam) yang dapat dimanfaatkan untukkegiatan wisata alam terbatas (ekowisata). Adapunpermasalahan pada tiap komponen tersebut yaitu:

Komponen ekologiKomponen ekologi yang dimaksud ini yaitu habitat dan

lingkungan SMMA. Habitat bagi vegetasi mangrove dikawasan saat ini telah mengalami perubahan, yangdiindikasikan dengan rendahnya salinitas. Salinitasmerupakan faktor penting yang diperlukan bagipertumbuhan mangrove. Laju aliran Sungai Angke yanglebih dominan dibandingkan pasang surut air laut yangterhambat masuk ke kawasan, menyebabkan penggenanganair tawar lebih dominan, sehingga mengakibatkanrendahnya kadar salinitas. Hal ini ditambah dengan kondisibadan sungai yang mengalami penyempitan danpendangkalan. Kondisi tersebut pada saat curah hujantinggi, dengan debit air yang besar menyebabkan limpasanair tawar ke dalam kawasan pun tinggi, sehingga dapatmenyebabkan banjir di dalam kawasan SMMA. Adanyapencemaran berupa sampah plastik yang dapat menutupisistem perakaran vegetasi mangrove juga menjadi faktorpenting yang perlu diperbaiki. Permasalahan yang munculpada sumberdaya mangrove sebagai bagian dari komponenekologi diantaranya pertumbuhan vegetasi mangrove yangterganggu, pola permudaan yang tidak seimbang, sertaadanya invasi enceng gondok di dalam kawasan.

Komponen kebijakanPermasalahan yang menjadi kendala dalam komponen

kebijakan diantaranya: rencana pengelolaan kawasan danjuga rencana pengelolaan tapak (site plan) yang masihdalam proses penyempurnaan, sehingga belum dapatdiimplementasikan secara menyeluruh. Arahan umumpengelolaan SMMA sebagai kawasan dengan peruntukanpendidikan lahan basah, dapat dikatakan belum memadai,terutama dalam pengelolaan kawasan dan sumberdaya didalamnya. Arahan umum tersebut tidak dapat berjalan

Page 35: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 33

dengan baik apabila tidak ditunjang dengan rencanapengelolaan, implementasi dan pengawasan yang baik pula.Selain itu, perlu adanya kejelasan aturan dalam pengelolaankawasan SMMA sebagai daerah tujuan wisata alam pesisirJakarta, terutama mengenai wewenang dan kewajibanpemerintah daerah. Pembentukan Forum KolaborasiPengelolaan Kawasan Konservasi di Provinsi DKI Jakartamelalui SK Gubernur Nomor 1945 pada bulan Desembertahun 2011, perlu ditindaklanjuti dengan perencanaan yangbaik pula.

Komponen sosialKendala pada komponen sosial ini diantaranya perilaku

masyarakat sekitar khususnya yang tinggal di sekitarbantaran Sungai Angke, seperti adanya kegiatan MCK disekitar sungai, pembuangan kulit kerang hijau di bantaransungai, dan penambatan kapal nelayan. Selain itu,pencemaran limbah cair dan sampah padat (organik dananorganik) yang mengalir di sepanjang sungai, tidak hanyadisebabkan oleh aktivitas yang terjadi di sekitar muara,melainkan akumulasi dari berbagai pembuangan sampah disekitar daerah aliran sungai khususnya Sub DAS SungaiAngke. Partisipasi stakeholder lainnya juga perluditingkatkan melalui pelaksanaan kegiatan secaraberkelanjutan dengan melibatkan stakeholder terkait.

Komponen ekonomiMenurut PP Nomor 28 Tahun 2010 tentang Pengelolaan

Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam,suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk kegiatanwisata alam terbatas. Selain itu, menurut PP Nomor 36Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam diSuaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Rayadan Taman Wisata Alam, usaha pariwisata alam di SMMAdapat dilakukan berdasarkan Rencana Pengelolaan.Kegiatan wisata alam terbatas ini berupa kegiatanmengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam dankeanekaragaman tumbuhan dan satwa di dalamnya. Selainitu, terdapat izin pengusahaan yang dikeluarkan olehMenteri Kehutanan. Kawasan SMMA dapat dipergunakansecara keseluruhan untuk kegiatan wisata alam tersebut,dengan ketentuan hanya dalam bentuk usaha penyediaanjasa wisata alam, sedangkan usaha penyediaan saranawisata alam seperti wisata tirta, akomodasi dan saranapetualangan, tidak diperbolehkan. Pengusahaan wisataalam ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemanfaatanterhadap kawasan SMMA.

Skala prioritas komponen yang perlu dibenahi iniditentukan berdasarkan objek dari upaya rehabilitasi iniyaitu ekosistem mangrove SMMA. Ekosistem mangrovememiliki faktor pembatas yang mendukungkeberlangsungan hidupnya, yaitu pada komponen ekologi.Perbaikan komponen ekologi ini tidak dapat berjalandengan baik jika tidak didukung oleh kebijakan yangmemihak pada perbaikan ekosistem secara menyeluruh.Sehingga komponen kebijakan merupakan prioritas keduayang perlu dibenahi. Komponen sosial dalam hal inimasyarakat yang berinteraksi dengan kawasan baiklangsung maupun tidak langsung, merupakan pihak yang

mempunyai tingkat kepentingan tinggi terhadap ekosistemmangrove tersebut. Aktivitas masyarakat yang tidakmenjaga kualitas lingkungannya dengan baik akanberdampak buruk bagi ekosistem mangrove dan kawasan.Sebaliknya menurunnya kualitas ekosistem mangrove dikawasan akan berdampak negatif pula bagi masyarakattersebut. Selain itu, upaya rehabilitasi di SMMA dapatberjalan dengan baik apabila ada keterlibatan stakeholderBerdasarkan berbagai permasalahan tersebut, dapatdirumuskan upaya strategi rehabilitasi ekosistem mangrovedi SMMA (Tabel 13).

Zona rehabilitasiZona rehabilitasi di dalam kawasan SMMA ini

merupakan bagian dari komponen ekologi. Pembagianzona rehabilitasi ini dimaksudkan untuk lebihmempermudah pelaksanaan kegiatan rehabilitasi. Melaluipenentuan zona ini, dapat diketahui kondisi tiap zonasesuai dengan kualitas vegetasi dan lingkunganperairannya. Penentuan zona rehabilitasi di dalam kawasanSMMA ini berdasarkan pada pertimbangan kondisiekosistem. Zona rehabilitasi ini menunjukkan skalaprioritas zona yang dapat diambil dalam melaksanakanupaya rehabilitasi di kawasan (Gambar 15).

Gambar 15. Peta zona rehabilitasi ekosistem mangrove di SuakaMargasatwa Muara Angke, Jakarta

Page 36: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201434

Tabel 13. Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove di kawasan SMMA

Strategi rehabilitasi Komponen yang perlu dibenahi Stakeholder yang terlibat

Strategi pada komponen ekologi,yaitu: Perbaikan habitat danlingkungan di SMMA dansekitarnya yang berpengaruhterhadap kondisi ekosistemmangrove di dalam kawasan

Perbaikan/pengaturan Sungai Angke, melalui pengurugan untukmengurangi pendangkalan dan penyempitan badan sungaiPengangkutan sampah padat dan enceng gondokPengelolaan limbah secara terpadu baik limbah cair maupunsampah padat, terutama plastik, sehingga dapat mengurangitingkat pencemaran di sekitar Muara Angke dan Teluk Jakarta.Pemilihan jenis yang sesuai dengan habitat di SMMA untukkegiatan penanaman mangrove, misalnya Sonneratia caseolarisPenertiban kapal nelayan yang ditambatkan di bantaran SungaiAngke dan dekat kawasanPenertiban aktivitas MCK dan pembuangan kulit kerang hijau dibantaran Sungai Angke untuk mengurangi pendangkalan danpencemaran di sekitarnya

Pemerintah Daerah, BPDAS, DinasPertanian dan Kelautan Provinsi DKIJakarta, BKSDA DKI Jakarta, LSMterkait

Strategi pada komponenkebijakan, yaitu penerapankebijakan pengelolaan ekosistemmangrove di SMMA secaramenyeluruh dan adaptasikebijakan pada level regionaldan nasional (pusat)

Penerapan rencana pengelolaan kawasan dan rencanapengelolaan tapak secara konsistenKoordinasi yang baik dan berkesinambungan denganstakeholder lainnya mengenai pengelolaan kawasan SMMA.Hal ini dapat dilakukan melalui aktivasi dan mengoptimalkanfungsi dari Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Konservasidi Provinsi DKI Jakarta

BKSDA DKI Jakarta, Dinas Pertaniandan Kelautan bidang KehutananProvinsi DKI Jakarta, serta anggotaforum lainnya

Strategi pada komponen sosial,yaitu: penyadartahuan danpeningkatan partisipasimasyarakat sekitar terhadappengelolaan ekosistem mangrovedan kawasan serta partisipasistakeholder lainnya

Peningkatan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan secara rutindan berkesinambungan mengenai kawasan SMMA, ekosistemmangrove dan rehabilitasinyaPeningkatan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan secara rutindan berkesinambungan mengenai lingkungan bersih dan sehatPelatihan dan penyuluhan mengenai pengolahan limbahdomestikPelibatan stakeholder terkait dalam berbagai upaya rehabilitasi

BKSDA DKI Jakarta, Dinas Pertaniandan Kelautan bidang KehutananProvinsi DKI Jakarta, anggota ForumKolaborasi Pengelolaan KawasanKonservasi di Provinsi DKI Jakarta,LSM (misalnya, LPP Mangrove,Yayasan Kehati, JGM), lembaga ditingkat masyarakat dan lembagaterkait

Strategi pada komponenekonomi, yaitu: pemanfaatankawasan untuk wisata alamterbatas

Penyusunan dan penerapan rencana tapak (site plan)Perencanaan bentuk usaha penyediaan jasa wisata alam sesuaiaturan yang berlakuPenawaran izin usaha wisata alam kepada pihak ketiga.

BKSDA bekerjasama denganstakeholder terkait (Pemerintahdaerah, LSM, akademisi, praktisimangrove, swasta dan masyarakat)

Rehabilitasi yan perlu dilakukan di kawasan SMMAmerupakan kegiatan untuk rehabilitasi pada fungsi kawasansebagai habitat bagi satwa penting. Di kawasan ini terdapat10 jenis satwa penting (burung) yang beraktivitas di dalamkawasan, diantaranya burung Pecuk ular (Anhingamelanogaster), Kuntul kerbau (Bubulcus ibis), Kuntulbesar (Egretta alba), Kuntul perak (Egretta intermedia),Kuntul kecil (Egretta garzeta), Bubut jawa (Centropusnigrorufus), Raja udang meninting (Alcedo meninting),Raja udang biru (Alcedo coerulescens), Cekakak sungai(Todirhampus chloris) dan Cekakak suci (Todirhampussanctus) (Noor 2002).

Zona 1Zona 1 merupakan site yang memiliki tutupan vegetasi

berupa semak belukar, enceng gondok dan perairan terbukatanpa tutupan vegetasi, dengan kondisi kualitas air yangpaling rendah dibanding kedua zona lainnya. Kegiatanrehabilitasi yang perlu segera dilakukan pada zona 1 adalahperbaikan habitat melalui pembukaan saluran air,

pengurugan atau pengangkutan sampah padat yangmenyebabkan pendangkalan, pengangkutan enceng gondokuntuk membuka badan air yang tertutup vegetasi tersebut,sehingga air laut dapat masuk ke dalam kawasan.Kemudian dilakukan penanaman vegetasi mangrove padasite yang telah siap untuk ditanam.

Kegiatan rehabilitasi dalam bentuk penanaman tidakperlu dilakukan pada semua kawasan. Hal ini dimaksudkanuntuk mempertahankan beberapa bagian semak belukaryang menjadi habitat bagi satwa burung penting. Diantarajenis satwa penting tersebut yaitu Bubut jawa yangmerupakan burung endemik dan langka di kawasan. Jenisini memerlukan habitat berupa rawa mangrove denganjenis tutupan tumbuhan bawah seperti piyai, rumputgelagah, alang-alang dan nipah. Tutupan lahan seperti iniperlu dipertahankan keberadaannya di dalam kawasan.Oleh karena itu, diperlukan sebuah kajian mengenaikebutuhan habitat masing-masing jenis satwa penting didalam kawasan.

Page 37: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALANDA et al. – Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove 35

Zona 2Zona 2 merupakan site yang memiliki tutupan vegetasi

mangrove dengan distribusi terpencar atau areal bekastambak di bagian ujung kawasan, serta tutupan vegetasinipah, dengan kondisi kualitas air rata-rata. Kegiatanrehabilitasi yang perlu segera dilakukan pada zona 2 adalahperbaikan habitat melalui pengurugan atau pengangkutansampah padat. Kemudian dilakukan penanaman vegetasimangrove pada site yang telah siap untuk ditanam.

Zona 3Zona 3 merupakan site yang memiliki tutupan vegetasi

mangrove sejati dengan tingkat pertumbuhan pohon danpancang, dengan kondisi kualitas air relatif lebih baikdibanding kedua zona lainnya. Upaya rehabilitasi yangdilakukan minimal dengan mempertahankan kondisivegetasi seperti semula, pembersihan lokasi dari adanyasampah terutama plastik yang dapat menutupi akar nafasmangrove. Membuat persemaian yang diperlukan untukkebutuhan penanaman skala kecil di dalam kawasan. Selainitu persemaian ini juga dapat digunakan apabila adakunjungan, sesuai dengan arah pengelolaan kawasansebagai tempat pendidikan lahan basah di Provinsi DKIJakarta.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian iniadalah: (i) Tingkat kerusakan mangrove di kawasanSMMA tergolong rusak dengan kerapatan 492 pohon/ha (<1000 pohon/ha) atau penutupan vegetasi mangrove 34% (<50%). Secara spesifik di kawasan SMMA, terdapat 3tingkat kerusakan berdasarkan kriteria kerapatan, yaitusangat baik (2,82 ha atau 37%), rusak (1,23 ha atau 16%)dan sangat rusak (3,62 ha atau 47%). Laju kerusakan dikawasan SMMA sebesar 0,569 ha/tahun atau 56,9%.Adapun faktor-faktor penyebab kerusakan diantaranya:pasang surut air laut yang terhambat masuk ke dalamkawasan; laju aliran Sungai Angke yang lebih dominan;pendangkalan dan penyempitan badan Sungai Angke; sertapencemaran sampah organik dan anorganik di dalam dansekitar kawasan khususnya sampah plastik. (ii) Kegiatanrehabilitasi mangrove di kawasan saat ini belum maksimal,masih bersifat simbolik, tentatif dan belum menyeluruh,dengan berbagai kendala diantaranya: rencana pengelolaankawasan yang masih dalam proses penyempurnaan olehpihak pengelola; dan Masyarakat sekitar kawasan belumbanyak yang mengerti dan berpartisipasi dalam menjagakualitas lingkungan di sekitarnya. (iii) Strategi rehabilitasimangrove yang direkomendasikan untuk kawasan SMMAdiantaranya: strategi pada komponen ekologi sebagaiprioritas pertama, strategi pada komponen kebijakansebagai prioritas kedua, strategi pada komponen sosialsebagai prioritas ketiga dan strategi pada komponenekonomi sebagai prioritas keempat.

DAFTAR PUSTAKA

Alongi DM, de Carvalho NA. 2008. The effect of small-scale logging onstand characteristics and soil biogeochemistry in mangrove forests ofTimor Leste. For Ecol Manag 255: 1359-1366.

Alongi DM. 2008. Mangrove forests: resilience, protection from tsunamis,and responses to global climate change. Estuar Coast Shelf Sci 76: 1-13.

Anonim. 2008. Ekosistem Mangrove di Indonesia. www. Imred.org.Diakses pada tanggal 22 Juni 2009.

Bakosurtanal [Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional]. 2009.Peta Mangroves Indonesia. Bogor: Pusat Survey Sumber Daya AlamLaut, Bakosurtanal, Bogor.

Bengen DG. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan PengelolaanEkosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir danLautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

BPS. 2012. Jakarta Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi DKIJakarta, Jakarta.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: AsetPembangunanBerkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.

Dephut [Departemen Kehutanan]. 2004. Peraturan Menteri KehutananNomor P.03/Menhut-V/2004 Tentang Pedoman Pembuatan TanamanRehabilitasi Hutan Mangrove Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.Jakarta.

English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for TropicalMarine Resources. Australian Institute of Marine Science.Townsville.

Grasso M. 1998. Ecological-Economis Model for Optimal MangroveTrade off Between Forestry and Fishery Production: Comparing aDynamic Optimization and a Simulation Model. Ecol Model 112:131-150.

Gunawan I. 1998. Typical Geographic Information System (GIS)Applications For Coastal Resources Management In Indonesia. JurnalPengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan 1: 7-21.

Hariyadi S, Suryadiputra INN, Widigdo B. 1992. Limnologi, MetodaAnalisa Kualitas Air. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut PertanianBogor. Bogor.

Hashim R, Kamali B, Tamin NM, Zakaria R. 2009. An integratedapproach to coastal rehabilitation: mangrove restoration in SungaiHaji Dorani, Malaysia. Estuar Coast Shelf Sci 86: 118-124.

Kelurahan Kapuk Muara. 2011. Laporan Bulanan Kelurahan KapukMuara. Pemerintah Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta

Kelurahan Pluit. 2011. Laporan Hasil Pembinaan dan KegiatanPemerintah Kelurahan Pluit 2011. Kelurahan Pluit, Jakarta.

KKP [Kementerian Kelautan dan Perikanan]. 2007. Pedoman PengelolaanEkosistem Mangrove. Direktorat Bina Pesisir, Direktorat JenderalKelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan danPerikanan. Jakarta.

KLH [Kementerian Lingkungan Hidup]. 2004. Keputusan Menteri NegaraLingkungan Hidup Nomor. 201 Tahun 2004 Tentang Kriteria Bakudan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Jakarta

Kusmana C, Wilarso S, Hilwan I, Pamoengkas P, Wibowo C, Tiryana T,Triswanto A, Yunasfi, Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove.Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kusmana C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia.Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

LPP Mangrove [Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove].2000a. Sekilas Informasi Potensi Suaka Margasatwa Muara AngkeDKI Jakarta. . Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove.Bogor.

LPP Mangrove [Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove].2000b. Rehabilitasi Hutan Mangrove yang Berbasis Masyarakat diSuaka Margasatwa Muara Angke, DKI Jakarta. Lembaga Pengkajiandan Pengembangan Mangrove. Bogor.

Macintosh DJ, Ashton EC, Havanon S. 2002. Mangrove Rehabilitationand Intertidal Biodiversity: A Study in The Ranong MangroveEcosystem, Thailand. Estuar Coast Shelf Sci 55: 331-345.

Noor IY. 2002. Suaka Margasatwa Muara Angke: Evaluasi terhadapStatusnya. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut PertanianBogor.

Nybakken JW. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT.Gramedia. Jakarta.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70 Tahun 2008 Tentang PedomanRehabilitasi Hutan dan Lahan.

Page 38: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 12-36, June 201436

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2010 Tentang PengelolaanKawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 Tentang PengusahaanPariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, TamanHutan Raya dan Taman Wisata Alam.

Perry CT, Berkeley A. 2009. Intertidal substrate modification as a result ofmangrove planting: impacts of introduced mangrove species onsediment microfacies characteristics. Estuar Coast Shelf Sci 81: 225-237.

Pradini S. 2002. Perencanaan Interpretasi Biota Air di Suaka MargasatwaMuara Angke. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Raffaelli D, Hawkins S. 1996. Intertidal Ecology. Chapman & Hall.London.

Santoso N. 2012. Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan KawasanMangrove Berkelanjutan di Muara Angke Daerah Khusus Ibukota

Jakarta. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi SumberdayaAlam Hayati dan Ekosistemnya.

Walton ME, Le Vay L, Lebata JH, Binas J, Primavera JH. 2007.Assessment of The Effectiveness of Mangrove Rehabilitation UsingExploited and Non-Exploited Indicator Species. BiologicalConservation 138: 180-188.

Waryono T. 2006. Konsepsi Manajemen Pemulihan Kerusakan Mangrovedi DKI Jakarta. Di Dalam: Kumpulan Makalah Seminar PerencanaanPemulihan Mangrove, Jakarta, 12 Desember 2006. YayasanMangrove Indonesia. Bogor.

Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani. 2009.Ekologi Ekosistem Perairan Laut Tropis. Pusdiklat Kehutanan,Departemen Kehutanan RI, Bogor - Korea International CooperationAgency, Seoul.

Page 39: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 37-48, June 2014 ISSN: 2088-110X, E-ISSN: 2088-2475DOI: 10.13057/bonorowo/w040103

Keterkaitan struktur komunitas makrozoobentos antara habitatmangrove, lamun, dan reef crest di Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Seribu, Jakarta

Connectivity of macrozoobenthos community structure along gradient of mangroves, seagrass,and reef crest habitats in Kelapa Dua Island, Seribu Islands, Jakarta

ATIM AGUS WIYANININGTIYAH, ISDRADJAD SETYOBUDIANDI, AM AZBAS TAURUSMANDepartemen Manajemen Sumber daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Darmaga, Bogor 16680, Jawa Barat

Manuskrip diterima: 24 September 2013. Revisi disetujui: 3 Maret 2014.

Abstract. Wiyaniningtiyah AA, Setyobudiandi I, Taurusman AA. 2014. Connectivity of macrozoobenthos community structure alonggradient of mangroves, seagrass, and reef crest habitats in Kelapa Dua Island, Seribu Islands, Jakarta. Bonorowo Wetlands 4: 37-48.Macrozoobenthos is fauna invertebrate benthic organism by sieving with size 0,5 mm. The aim of this research is to connectivity themacrozoobenthos community structure along gradient of mangroves, seagrass, and reef crest habitat in Kelapa Dua Island. Habitatconditions were taken into account for sampling strategy. Benthic fauna samples were taken using a corer. The community structure ofmacrozoobenthos is indicated by parameter of number of species, abundance, and biomass (SAB). Analysis of similarity of the SABparameter was mainly used to evaluate the connectivity of the three main coastal habitats. The highest number of species and biomass ofmacrozoobenthos was found in the seagrass habitat, while the most abundance was in the reef crest habitat. The most abundance andbiomass species which mainly contributes to the habitat connectivity were Syllis sp. and Paraonis sp. The analyzes showed that seagrasshabitat was closely connected with reef crest than.

Keywords: connectivity, macrozoobenthos, mangrove, seagrass, reef crest

PENDAHULUAN

Pulau Kelapa Dua termasuk Kawasan Taman NasionalLaut Kepulauan Seribu. Pulau Kelapa Dua merupakanpulau pemukiman terkecil di wilayah Kepulauan Seribu.Luasnya hanya 1,9 hektar dengan jumlah penduduk 337jiwa. Letaknya juga tidak berjauhan dengan Pulau Kelapadan Pulau Harapan (Dinkominmas 2010).

Menurut Gray dan Elliott (2009), organisme hewanbentik invertebrate yang besar atau disebut denganmakrozoobentos, dapat terpisah dari pasir dan sedimenmelalui saringan ukuran mesh 0,5 mm. Makrozoobentosadalah sebagian dari fauna sedimen, ada beberapa kelasorganisme bentik laut berdasarkan taxa seperti Polikaeta,Ampipoda, dan Bivalvia.

Menurut Odum (1993) adanya pertemuan 2 ekosistemyaitu darat dan laut memberikan peluang bagi berbagaijenis organisme untuk berpindah dari komunitas yang satuke komunitas yang lain. Akibatnya, masing-masing jenisorganisme memiliki sebaran yang saling tumpang tindih.Habitat mangrove, lamun, dan terumbu karang termasukekosistem utama pesisir tropis. Rangkaian ekosistem darisekumpulan habitat tersebut menciptakan suatu keterkaitanekosistem yang utuh dan saling berhubungan.

Adanya hubungan timbal balik antara habitat mangrove,lamun, dan reef crest kemungkinan terdapat keterkaitanantar jenis organisme dengan ketiga habitat tersebut. Padapenelitian sebelumnya oleh Wulansari (2012) disimpulkan

bahwa terdapat keterkaitan struktur komunitasmakrozoobentos antar habitat mangrove, lamun danterumbu karang di Pulau Pramuka. Melihat dari penelitiansebelumnya, keterkaitan makrozoobentos dengan habitatmangrove, lamun, dan terumbu karang belum pernahdilakukan di Pulau Kelapa Dua, maka perlu adanya kajianuntuk melihat hal tersebut. Perubahan struktur komunitasmakrozoobentos terkait kondisi lingkungan dapatdigunakan sebagai indikator kualitas ekosistem(Taurusman 2012). Melalui kajian dari indikator kualitaslingkungan atau habitat dan fungsi ekologis ekosistem akandigunakan untuk perencanaan pengelolaan lingkungan diwilayah Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keterkaitanstruktur komunitas makrozoobentos antar habitatmangrove, lamun, dan reef crest, di Pulau Kelapa Dua,Kepulauan Seribu, Jakarta.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempatPengambilan data dilakukan di Pulau Kelapa Dua,

Kepulauan Seribu, Jakarta pada bulan September 2012.Tahapan ketiga yaitu penanganan dan identifikasi sampelpada bulan September 2012-Februari 2013. Tahapankeempat adalah pengolahan data dan penulisan. Berikutadalah peta lokasi pengambilan sampel (Gambar 1).

Page 40: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 37-48, June 201438

Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta

A B C

Gambar 3. Kondisi habitat pesisir di lokasi studi Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta. A. Habitat mangrove, B. Habitat lamun,C. Habitat reef crest

Penentuan titik pengamatan untuk pengambilan sampelmakrozoobentos ditentukan berdasarkan keterwakilansetiap wilayah habitatnya. Pengambilan sampelmakrozoobentos pada habitat mangrove dan lamun masing-masing sebanyak 9 titik, sedangkan reef crest sebanyak 6titik. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan

sebanyak 3 ulangan pada setiap titik pengamatan. Panjangdari pantai sampai laut 80 meter. Panjang pantai beradapada awal titik mangrove sampai reef crest titik akhir(Gambar 2). Kondisi habitat mangrove, lamun dan reefcrest ditunjukkan pada Gambar 3.

Page 41: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

WIYANININGTIYAH et al. – Makrozoobentos pada habitat mangrove, lamun, dan reef crest 39

Gambar 2. Rancangan penelitian dari daratan pantai ke arah laut

Pengumpulan dataParameter yang diamati dalam penelitian adalah

makrozoobentos, kondisi habitat, kualitas perairan, dansubstrat dasar. Pada saat melakukan sampling di lokasi,beberapa parameter fisika dan kimia perairan diamatisecara in situ, yaitu suhu (termometer), kedalaman (rollmeter), kecerahan (secchi disk), salinitas (refraktometer),pH (pH stik) dan oksigen terlarut (titrasi winkler).Sedangkan untuk parameter NO3-N (nitrat) dan PO4-P(fosfat) sampel dianalisis di laboratorium. Di sampingparameter fisika dan kimia perairan, diamati pula parametersubstrat dasar perairan, kerapatan mangrove, penutupanjenis lamun, dan persen penutupan karang yang terdapatpada lokasi pengataman.

Sampel makrozoobentos diambil dengan menggunakancorer (A= 0,0081 m2) yang dibenamkan pada dasarperairan hingga kedalaman ± 20 cm. Sampel substrat yangtelah diambil segera disaring dan dipisahkan antara serasahkasar, dan lumpur yang terambil menggunakan saringanhalus (mesh size ± 0,5 mm). Kemudian sampel dimasukanke dalam plastik yang sebelumnya telah diberi keterangantitik sampling dan ulangannya. Sampel makrozoobentossegera diawetkan dengan formalin 10% dan diberikan rosebengal secukupnya sebagai pewarna.

Penanganan sampel makrozoobentos dilakukan dalambeberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lainpenyaringan, penyortiran, pengawetan dan identifikasi.Tahap penyaringan dan penyortiran dilakukan denganmenggunakan baki, saringan halus dan pinset hinggasampel makrozoobentos terpisah dari serasah.Makrozoobentos yang telah selesai disortir dimasukan kedalam botol sampel yang telah diberi keterangan, kemudiansampel diawetkan dengan menggunakan etanol 70%.Setelah itu, makrozoobentos diidentifikasi menggunakanmikroskop, dan buku identifikasi. Buku identifikasi yangdigunakan adalah Kozloff (1977) dan Gosner (1971).

Pengukuran biomassa makrozoobentos menggunakanbobot basah dari masing-masing organisme tersebut

(ketelitian ± 0,0001 g). Sampel sedimen yang telahdiambil, segera dilakukan analisis di Laboratorium IlmuTanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor untukdiamati tekstur substrat (metode penyaringan) dankandungan C-organik (metode Walkley dan Black 1934).

Analisis data kerapatan mangroveKerapatan mangrove adalah jumlah tegakan jenis i

dalam suatu unit area menggunakan rumus sebagai berikut(Brower et al. 1990):

Keterangan:Di = Kerapatan jenis ke-i (individu/m2)ni = Jumlah total tegakan ke-i pada stasiun pengamatan

(individu)A = Luas area total pengambilan contoh (m2)

Kepadatan makrozoobentosKepadatan makrozoobentos didefinisikan sebagai

jumlah individu makrozoobentos per satuan luas (m2)(Brower et al. 1990). Sampel makrozoobentos yang telahdiidentifikasi kemudian dihitung kepadatannya denganmenggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:Ki = Kepadatan makrozoobentos jenis i (ind /m2)Ni = Jumlah makrozoobentos jenis i yang ditemukan

pada setiap ulangan (ind)A = Luas bukaan mulut corer (0,0081 m2)b = Ulangan pengambilan sampel makrozoobentos

Indeks similaritasAnalisis similaritas dari kepadatan dan biomassa

makrozoobentos yang ditemukan antar titik dan antarhabitat dilakukan dengan bantuan perangkat lunakPRIMER versi 5.2 (Plymouth Routines In MultivariateEcological Research) dan disajikan dalam bentukdendogram (Clarke dan Gorley 2001).

Persen kesamaan (Similarity Percentage)Analisis persen kesamaan atau Similarity Percentage

(SIMPER) dengan bantuan perangkat lunak (software)PRIMER versi 5.2 digunakan untuk mentukan karakteristikkelompok secara spasial, menggambarkan jenis (taxa) yangpaling dominan pada setiap stasiun atau habitat, sertamengidentifikasi spesies (taxa) yang paling berkontribusiuntuk masing-masing stasiun dan habitat (Taurusman2012).

Analisis similaritas (ANOSIM)Analisis similaritas digunakan untuk menguji makna

dari pengaruh faktor pengelompokan. Pada studi faktorpengelompokan ini terutama spasial (seperti titikpengamatan dan habitat). ANOSIM adalah prosedur non-

Page 42: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 37-48, June 201440

parametik dengan analisis varians, yang didasarkan padaperingkat nilai dalam matriks similaritas. Taurusman(2012) merekomendasikan menggunakan ANOSIM untukmenguji hipotesis perbedaan dalam sebuah kelompokdalam konteks multivarian. Hubungan persamaan dihitungdengan perubahan dalam nilai R Clarke’s menurutpersamaan berikut:

Keterangan:aver.rb = rata-rata dalam rank similaritas antar

kelompokaver.rw = rata-rata dalam rank similaritas dalam

kelompok (titik pengamatan atau habitat)n = jumlah data yang dianalisis.Nilai R Clarke’s memberikan pengukuran mutlak

bagaimana kelompok dipisahkan, pada skala 0 (tidak dapatdibedakan) ke 1 (semua kesamaan dalam kelompok kurangdaripada similaritas antar kelompok).

Indeks keanekaragaman dan keseragamanIndeks Keanekargaman ditunjukkan oleh parameter

jumlah jenis dan jumlah individu. Indeks keanekaragamanShannon-Wiener (H’) dan indeks keseragaman Pielou (E)digunakan untuk mendeskripsikan kualitas dan hubunganantar habitat. Indeks keseragaman sebagai nilai penyebaranindividu antar spesies yang berbeda dan diperoleh darihubungan antara nilai keanekaragaman (H’) dengankeanekaragaman maksimalnya (Krebs 1989). Nilai E samadengan 1 artinya jumlah individu tiap jenis adalah samapada setiap titik pengamatan. Semakin merata penyebaranindividu antarspesies maka keseimbangan ekosistem akansemakin meningkat. Berikut ini adalah rumus indekskeanekaragaman dan keseragaman dengan menggunakanlogaritma basis dua (Krebs 1989):

Keterangan:H’ = Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)pi = Jumlah individu spesies ke-i per jumlah individu

total (ni/N)E = Indeks keseragaman PielouS = Jumlah taksa atau spesies

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter fisika dan kimia perairanSalah satu faktor yang dapat menjelaskan kualitas

perairan pada saat penelitian dilakukan adalah melaluipengukuran beberapa parameter fisika dan kimia perairan.Berikut hasil parameter fisika dan kimia perairan di lokasipenelitian Pulau Kelapa Dua (Tabel 1).

Pada Tabel 1 dilihat bahwa kisaran suhu perairan antarahabitat tidak terlalu berbeda. Kisaran suhu adalah 28o-30oC.Suhu terendah berada di habitat mangrove dan lamun,sedangkan reef crest memiliki suhu 30oC. Nilai tersebutdapat dikatakan tidak melebihi baku mutu air laut untukbiota yang ditetapkan Keputusan Menteri LingkunganHidup No. 51 Tahun 2004.

Besarnya nilai kecerahan diperoleh dari nilai kedalamansecchi disk yang terukur di lokasi pengamatan. Nilaikecerahan secchi disk yang diperoleh adalah sama dengannilai kedalaman perairan di setiap lokasi pengamatan,sehingga dapat dikatakan bahwa kecerahan perairanmencapai 100%. Kisaran kedalaman pada habitatmangrove berkisar 0,73-0,82 meter, Lamun berkisar 1,07-1,17 meter dan reef crest berkisar 1,30-1,42 meter. Hal inidapat menjelaskan bahwa cahaya matahari yang masukmampu menembus hingga dasar perairan.

Tabel 1 Parameter fisika dan kimia perairan di lokasi penelitian diPulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta

Habitat Parameter Satuan Bakumutu*

PulauKelapa Dua

Mangrove FisikaSuhu ºC 28-32 28-29Kecerahan % - 100Kedalaman meter - 0,73-0,82KimiaSalinitas o/oo

s/d 34 32-33

pH - 7,0-8,5 7-7,5DO mg/L >5 5,53-5,92Nitrat (NO3-N) mg/L 0,008 < 0,001Ortofosfat (PO4-P) mg/L 0,015 0,001-0,002

Lamun FisikSuhu ºC 28-30 28-29Kecerahan % - 100Kedalaman meter - 1,07-1,17KimiaSalinitas o/oo

33-34 34-35

pH - 7,0-8,5 7-7,5DO mg/L >5 5,13-6,32Nitrat (NO3-N) mg/L 0,008 0,028Ortofosfat(PO4-P)

mg/L 0,015 < 0,002

Reef Crest FisikaSuhu ºC 28-30 29-30Kecerahan % - 100Kedalaman meter - 1,30-1,42KimiaSalinitas o

/oo33-34 34-35

pH - 7,0-8,5 7-7,5DO mg/L >5 5,53-6,32Nitrat (NO3-N) mg/L 0,008 < 0,001Ortofosfat (PO4-P) mg/L 0,015 0,002

Keterangan: * Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 (untuk Biota Laut)

Page 43: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

WIYANININGTIYAH et al. – Makrozoobentos pada habitat mangrove, lamun, dan reef crest 41

Pada Tabel 1 dilihat bahwa kisaran salinitas adalah 32-35o/oo. Salinitas yang terendah pada habitat mangrove yaitu32o/oo. Sedangkan lamun dan reef crest memiliki salinitasyang tinggi yaitu 35o/oo. Sebaran salinitas di lautdipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkusi air,penguapan, curah hujan, dan aliran sungai (Nontji 1993).

Nilai derajat keasaman (pH) di lokasi pengamatanberkisar 7-7,5 (Tabel 1). Nilai tersebut masih masuk dalambaku mutu untuk biota laut. Nilai pH pada lokasipengamatan ini relatif stabil. Menurut Nybakken (1988) pHair laut sedikit basa, biasanya bervariasi antara pH 7,5-8,4yang berfungsi sebagai buffer (penyangga).

Nilai kisaran kandungan oksigen terlarut pada lokasipengamatan berkisar 5,13-6,32 mg/L (Tabel 1). Nilai DOyang tertinggi yaitu pada habitat lamun dan reef crest.Sedangkan DO terendah di habitat mangrove. MenurutKeputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004,nilai DO di atas 5 mg/L sangat baik dan dapat mendukungkehidupan biota yang ada di habitatnya.

Besarnya kandungan nitrat di lokasi pengamatan (Tabel1) beberapa melebihi baku mutu yang ditetapkanKeputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51Tahun 2004. Nilai nitrat yang paling tinggi terdapat dihabitat lamun. Sedangkan kandungan pada ortofosfat tidakmelebihi baku mutu.

SedimenFaktor lain yang dapat menjelaskan keadaan perairan

pada saat penelitian dilakukan melalui pengamatanparameter fisika dan kimia substrat dasar perairan(sedimen). Parameter fisika adalah tekstur sedimen,sedangkan parameter kimia adalah kandungan C-organikseperti dapat dilihat pada Tabel 2.

Menurut Wood (1987) terdapat hubungan antarakandungan bahan organik dengan ukuran partikel sedimen,dimana pada sedimen halus memiliki kandungan bahanorganik yang lebih tinggi bila dibandingkan dengansedimen kasar. Kandungan C-Organik yang tinggimendukung kehidupan organisme bentik yang umumnyadidominasi oleh deposit feeders.

Tabel 2 menampilkan bahwa pada habitat mangrove,lamun, dan reef crest di Pulau Kelapa Dua tipe sedimendidominansi oleh pasir. Namun besarnya persen pasir antarketiga habitat tersebut berbeda. Persen kandungan pasir dihabitat mangrove sebesar 90,95-92,46 %, habitat lamunsebesar 90,43-95,02 %, dan reef crest sebesar 94,45-95,90%. Nilai kandungan C-organik sedimen di habitatmangrove sebesar 17,49-17,68%, habitat lamun sebesar17,45-17,78% dan habitat reef crest sebesar 14,44-14,80%.

Kerapatan mangroveKomunitas mangrove bersifat unik, karena berkembang

hanya pada perairan yang dangkal dan daerah intertidalserta dipengaruhi oleh pasang surut. Tingginya kerapatanjenis mangrove pada suatu daerah dapat menggambarkankondisi dari ekosistem mangrove itu sendiri (Huda 2008).Gambar 4 adalah grafik kerapatan jenis mangrove yangberada di Pulau Kelapa dua. Jenis anakan mangrove yangditemukan di Pulau Kelapa Dua yaitu Rhizophora.

Tabel 2. Parameter fisika dan kimia substrat dasar perairan (%) diPulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta

Habitat C-organik (%)Tekstur (%)

Pasir Debu LiatMangrove 1 17,68 17,59 ± 0,10 91,42 1,75 6,83Mangrove 2 17,49 92,46 3,06 4,48Mangrove 3 17,61 90,95 2,29 6,76Lamun 1 17,78 17,65 ± 0,18 90,43 3,22 6,35Lamun 2 17,72 93,66 2,49 3,85Lamun 3 17,45 95,02 1,05 3,93Reef Crest 1 14,79 14,68 ± 0,21 94,45 2,46 3,09Reef Crest 2 14,80 94,55 1,16 4,29Reef Crest 3 14,44 95,90 1,84 2,26

Gambar 4. Kerapatan jenis mangrove (Di) di Pulau Kelapa Dua,Kepulauan Seribu, Jakarta

Gambar 5. Rata-rata komposisi penutupan jenis lamun di PulauKelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta

Penutupan jenis lamunPada habitat di Pulau kelapa dua terdapat enam jenis

lamun yaitu Thalassia hemprichii (Th), Halodule pinifolia(Hp), Cymodocea rotundata (Cr), Halophila ovalis (Ho),Halophila minor (Hm), dan Halodule uninervis (Hu).Gambar 5 adalah rata-rata komposisi penutupan jenislamun yang terdapat di Pulau Kelapa 2.

Pada Gambar 5 menggambarkan komposisi jenis lamundi setiap transek. Pada transek 1 memiliki persentase lamunsebesar 9,59%; transek 2 sebesar 31,36%; sedangkantransek 3 sebesar 35,05% dari berbagai komposisi jenislamun. Kondisi penutupan lamun dapat dikatakan memilikikondisi rusak atau tergolong miskin pada transek 1.Sedangkan pada transek 2 dan 3 memiliki kondisi kurangatau tergolong kurang kaya/kurang sehat. Hal ini sesuai

Page 44: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 37-48, June 201442

dengan kriteria status padang lamun dalam KeputusanMenteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004 tentangkriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan statuspadang lamun.

Persen penutupan karangPengamatan persen penutupan karang dilakukan secara

visual. Hasil pengamatan persen penutupan karang padahabitat reef crest 5-30 % (Gambar 6), nilai persen tersebutdapat dikatakan tergolong rusak (sedang) menurut KriteriaKepmen LH No.4 tahun 2001.

MakrozoobentosKepadatan makrozoobentos

Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat 7 filum, 8kelas, 40 famili serta 52 spesies makrozoobentos. PadaGambar 7, persentase jumlah spesies berdasarkan filum.Filum yang terbesar adalah annelida. Filum Annelida iniditemukan kelas yang paling banyak adalah Polikaeta danOligokaeta hanya beberapa yang ditemukan. Beberapajenis makrozoobentos yang ditemukan ditunjukkan padaGambar 8.

Gambar 7. Komposisi filum makrozoobentos yang ditemukanpada lokasi studi di Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta

A B C

Gambar 6. Penutupan karang di Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta. A. Transek 1, B. Transek 2, C. Transek 3

A B C D

E F G H

Gambar 8. Beberapa makrozoobentos dominan yang di temukan di lokasi studi Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta. A.Lumbrinereis sp , B. Syllis sp., C. Pontogeneia sp., D. Atyllus sp., E. Ophiodromus sp., F. Nereis sp., G. Pareurythoe sp, H. Megalonasp. (Sumber: Dokumentasi 2012)

Page 45: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

WIYANININGTIYAH et al. – Makrozoobentos pada habitat mangrove, lamun, dan reef crest 43

Gambar 9 menunjukkan nilai jumlah spesiesmakrozoobentos pada setiap titik pengamatan dan habitat.Titik pengamatan yang memiliki jumlah spesies yangtertinggi pada R.1.2 (reef crest transek 1, titik 2) sebesar 16spesies, sedangkan yang terendah pada M.11, M.1.2, danM.2.2 (mangrove) sebesar 2 jenis. Namun di titikpengamatan tidak ditemukan makrozoobentos yaitu M.1.3,M.2.1 dan M.2.3 (mangrove). Berdasarkan habitat, jumlahspesies yang tertinggi ditemukan pada habitat lamunsebesar 38 spesies, sedangkan yang terendah yaitu habitatmangrove sebesar 21 spesies.

Secara umum kepadatan makrozoobentos di habitatmangrove, lamun, dan reef crest memiliki nilai berbeda.Karena habitat tersebut memiliki karakteristik yangberbeda untuk makrozoobentos itu sendiri. Pada Gambar 9adalah kepadatan spesies makrozoobentos di titik

pengamatan dan habitat. Pada titik pengamatan yangmemiliki kepadatan yang tertinggi adalah M.3.3 (mangrovetransek 3 titik 3) sebesar 1.440 individu/m2, sedangkanyang terendah adalah M.1.3, M.2.1 dan M.2.3 (mangrove)sebesar 0 individu/m2. Habitat yang memiliki kepadatanmakrozoobentos yang tertinggi adalah reef crest sebesar864 individu/m2, sedangkan yang terendah adalah lamunsebesar 417 individu/m2.

Kelompok-kelompok yang berdekatan cenderungmemiliki struktur komunitas yang hampir sama.Berdasarkan dendrogram similaritas kepadatan pada titikpengamatan dan habitat (Gambar 10) terdapat beberapakelompok. Pada titik pengamatan terdapat lima kelompokdan pada habitat menunjukkan bahwa kepadatanmakrozoobentos habitat lamun cenderung mendekatihabitat reef crest (Gambar 11).

A BGambar 9. Jumlah spesies makrozoobentos berdasarkan: A. Titik pengamatan, B. Habitat

A BGambar 10. Kepadatan makrozoobentos: A. Titik pengamatan, B. Habitat

A BGambar 11. Dendrogram kepadatan makrozoobentos berdasarkan: A. Titik pengamatan, B. Habitat. M= Mangrove; L = Lamun; R=Reef crest

Page 46: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 37-48, June 201444

Berdasarkan habitat, hasil analisis SIMPERmenunjukkan persen kontribusi pada karakteristik spesies(taxa) di setiap habitat. Gambar 12 merupakan hasilanalisis SIMPER untuk kepadatan dari masing-masingspesies makrozoobentos. Spesies makrozoobentos yangmemiliki kontribusi kepadatan di ketiga habitat yaitu Syllissp, dan Drilonereis sp. Syllis sp (kelompok Polikaeta)memiliki kontribusi yang tinggi atau lebih menyukaihabitat mangrove dibandingkan kedua habitat lainnya.Sedangkan Atylus sp (kelompok Krustasea) memilikikontribusi yang tinggi atau lebih menyukai habitat reefcrest bila dibandingkan habitat lamun.

Secara umum spesies yang mendominasi pada lokasipengamatan adalah kelompok Annelida dan Krustasea.Pada habitat lamun didominansi oleh makrozoobentosspesies Syllis sp. Sedangkan habitat reef crest didominansioleh spesies Atylus sp. (Gambar 13).

Biomassa makrozoobentosSalah satu karakter suatu struktur komunitas tercermin

dari biomassa makrozoobentos yang ada di dalamnya. Nilaibiomassa makrozoobentos tertinggi berada pada titikpengamatan L.2.2 yang merupakan habitat lamun yaitusebesar 132,16 gr/m2. Sedangkan biomassa terendah padatitik pengamatan M.1.1 sebesar 0,11 gr/m2. Berdasarkanhabitat, nilai biomassa makrozoobentos yang tertinggiditemukan pada habitat lamun sebesar 18,59 gr/m2

(Gambar 14).Berdasarkan dendrogram similaritas biomassa pada titik

pengamatan membentuk 10 kelompok. Berdasarkandendrogram similaritas biomassa habitat lamun cenderungmendekati habitat reef crest (Gambar 15). Kelompokdendrogram similaritas pada biomassa hal sama dengankelompok dendrogram similaritas pada kepadatan.

Berdasarkan habitat, hasil analisis SIMPERmenunjukkan persen kontribusi dari masing-masing spesies(genus) makrozoobentos. Kontribusi tertinggimenunjukkan karakteristik spesies (taxa) dan kontribusiindividu setiap spesies untuk keseluruhan kesamaan dalamhabitat. Pada Gambar 16 merupakan hasil SIMPER untukbiomassa dari masing-masing spesies makrozoobentos.Spesies makrozoobentos yang memiliki kontribusibiomassa di ketiga habitat yaitu Drilonereis sp, danParaonis sp. Paraonis sp memiliki kontribusi yang tinggiatau menyukai di habitat mangrove bila dibandingkandengan ketiga habitat lainnya sedangkan Lumbrinereis splebih menyukai habitat reef crest saja.

Indeks Keanekaragaman (H’) makrozoobentos dapatmenggambarkan keragaman jenis dalam suatu komunitasmakrozoobentos. Berdasarkan lokasi pengamatan per titikpengamatan nilai keanekaragaman tertinggi terdapat padatitik pengamatan M.3.2 sebesar 3,61. Sedangkan indekskeanekaragaman terendah terdapat pada titik pengamatanM.2.2 sebesar 0,91. Berdasarkan habitat pengamatanbesarnya nilai indeks keanekaragaman tertinggi pada lokasihabitat Lamun sebesar 4,43 (Gambar 17).

Gambar 12. Analisis SIMPER (Similarity Percentage) kepadatanmasing-masing spesies makrozoobentos di habitatnya

Gambar 13. Kepadatan masing-masing spesies makrozoobentosdi Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta

Page 47: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

WIYANININGTIYAH et al. – Makrozoobentos pada habitat mangrove, lamun, dan reef crest 45

A BGambar 14. Biomassa makrozoobentos: A. Titik pengamatan, B. Habitat

A BGambar 15. Dendrogram biomassa makrozoobentos: A. Titik pengamatan dan B. Habitat. M= Mangrove; L = Lamun; R= Reef crest

A BGambar 17. Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Nilai keseragaman Pielou (E) makrozoobentos: A. Titikpengamatan, B. Habitat

Gambar 16. Analisis SIMPER (Similarity Percentage) biomassamasing-masing spesies makrozoobentos di habitatnya

Nilai indeks keseragaman dapat membandingkandistribusi jumlah individu dalam suatu spesies yangterdapat pada suatu komunitas, yang berkisar antara 0-1.Berdasarkan hasil dari titik pengamatan, nilai keseragamanyang didapat termasuk tinggi yaitu berkisar 0,76-1.Berdasarkan hasil dari habitat pengamatan nilaikeseragaman juga termasuk tinggi yaitu berkisar 0,84-0,89(Gambar 17).

PembahasanKondisi lingkungan

Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi strukturkomunitas makrozoobentos. Berdasarkan hasil kualitasperairan (Tabel 1) bahwa ada parameter yang tidakmemenuhi syarat baku mutu menurut Keputusan MenteriLingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu nitrat. Hal ini

Page 48: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 37-48, June 201446

sesuai dengan rasio perbandingan N: P bahwa nitrogenlebih besar atau lebih dibutuhkan daripada posfat. Namundilihat dari baku mutu bahwa nilai nitrat lebih kecildaripada nilai posfat.

Menurut Kannan dan Thangaradjou (2002) fosfor dannitrogen sangat penting bagi produsen utama dari semuaekosistem. Ekosistem mangrove,lamun dan terumbu karangmenggunakan nitrogen terlarut dan mengurangi konsentrasidalam air. Diperkirakan bahwa mangrove > lamun >terumbu karang peringkat dalam urutan hal kebutuhannutrien. Mangrove memiliki nutrien yang tinggi dalam air.Lamun dapat mentolerir eutrofikasi daripada terumbukarang yang dapat menahan kondisi oligotropik.

Kondisi substrat dasar perairan di ketiga habitatdidominasi pasir. Namun, tekstur pasir yang paling tinggiberada di habitat reef crest. Menurut Nybakken (1988),sedimen pasir pada umumnya miskin akan organisme.Organisme tersebut harus bisa beradaptasi dengan caramenggali substrat sampai kedalaman yang tidak dapatterpengaruhi oleh gelombang. Makrozoobentos yang hidupdi pantai berpasir yaitu Polikaeta, Moluska, dan Krustase.

C-organik yang tertinggi didapatkan pada habitatmangrove dan lamun (Tabel 2) sedangkan yang terendahpada habitat reef crest. Hal ini disebabkan tekstur pasirdalam habitat mangrove dan lamun relatif kecil dari padahabitat reef crest. Menurut Kennish (1990), bahwakandungan C-organik pada substrat memiliki korelasipositif terhadap kepadatan dan biomassa spesies.

Struktur komunitas makrozoobentos berdasarkan titikpengamatan

Mangrove memiliki peran ekologis yang penting sepertidasar rantai makanan sebagai bahan organik. Bahanorganik dalam mangrove berupa serasah. Besar kecilproduksi serasah mangrove dipengaruhi oleh kerapatan danjenis mangrove (Zamroni dan Suci 2008). Kepadatandipengaruhi oleh kerapatan mangrove. Hal ini sesuaiberdasarkan Gambar 4, kerapatan jenis mangrove tertinggiterdapat pada transek garis ketiga sebesar 62 individu/m2,serta dilihat dari Gambar 10.A kepadatan makrozoobentospada mangrove transek garis tiga lebih tinggi dibandingkantransek lain.

Berdasarkan (Gambar 14.A) biomassa tertinggimakrozoobentos pada titik pengamatan terdapat pada L.2.2sebesar 132,15 g/m2 sedangkan yang terendah pada titikM.1.3, M.2.1 dan M.2.3 sebesar 0 g/m2 (tidak ditemukan).Hal ini disebabkan biomassa yang menyumbang palingbesar pada titik L.2.2 adalah kelompok Polikaeta. MenurutBagatini et al. (2007) Nilai biomassa yang lebih tinggiberada di zona litoral daripada zona profundal. Perairandangkal berkaitan dengan oksigenasi yang lebih tinggi danjenis sedimen. Biomassa dipengaruhi oleh ketersediaanrantai makanan yang memadai.

Menurut Whitlow (2012), habitat lamun memilikikelimpahan yang tinggi pada krustacea dan polikaeta.Habitat lamun adalah habitat perlindungan biogenik yangsangat penting untuk predator dan spesies pemangsa.Sebagai habitat yang penting bagi invertebrata dan sebagaisumber mangsa dan perlindungan bagi predator sepertijuvenil ikan, kepiting dan lobsters.

Pada lokasi pengamatan yang memiliki kondisipenutupan lamun tertinggi berada pada transek 3 sebesar35,05%. Jenis yang mendominansi di transek 3 adalahHalodule pinifolia, dan Halodule uninervis. MenurutNienhuis et al. (1989) dalam Mckenzie dan Yoshida (2009)bahwa jenis Halodule uninervis pada umumnya dianggapsebagai salah satu spesies perintis yang khas mampudengan cepat menjajah substrat yang baru tersedia danspesies ini disukai oleh makanan dugong. Haloduleuninervis dan Halodule pinifolia sama-sama berlimpah,namun Halodule pinifolia sangat berlimpah pada pantaiberlumpur dan pasir halus.

Persen penutupan karang yang tertinggi di lokasipengamatan pada transek 2 yaitu sebesar 30%. Namun,kepadatan makrozoobentos pada titik pengamatan yangtertinggi terdapat di R.1.2 (reef crest transek satu, titikkedua) sebesar 1.399 individu/m2. Hal ini bertolakpendapat dengan Nontji (1993) bahwa banyak jenis biotayang hidupnya mempunyai kaitan erat dengan karang.

Berdasarkan titik pengamatan, nilai indekskeanekaragaman makrozobentos berkisar antara 0,91-3,61.Nilai indeks keanekaragaman tertinggi pada titik M.3.2(mangrove transek 3 titik 2) dan terendah pada titik M.2.2(mangrove transek 2 titik 2). Berdasarkan penelitian olehWulansari (2012) bahwa indeks keanekaragaman di habitatmangrove lebih rendah. Semakin menjauh dari daratan,kisaran nilai indeks keanekargaman makrozoobentossemakin tinggi. Nilai indeks keseragaman pada titikpengamatan berkisar 0,76-1, (Gambar 17.A), nilai tersebutberarti setiap jenis organisme memiliki jumlah individuyang sama besar.

Struktur komunitas makrozoobentos berdasarkan habitatMenurut Rosenberg (2001) karakteristik struktur

komunitas makrozoobentos di indikasikan denganparameter jumlah spesies, kepadatan, dan biomassa (SAB).Berdasarkan habitat, jumlah spesies tertinggi adalah dihabitat lamun sebanyak 38 spesies sedangkan yangterendah di habitat mangrove sebesar 21 spesies. Hal inidisebabkan, kadar kandungan oksigen terlarut yangmemiliki nilai yang besar yaitu di habitat lamun dan reefcrest, sedangkan mangrove lebih rendah diantara keduahabitat tersebut (Tabel1).

Berdasarkan habitat, kepadatan makrozoobentos yangpaling tinggi berada di habitat reef crest (Gambar 10.B)sebesar 864 individu/m2. Hal ini disebabkan, tekstur pasir(Tabel 2) di habitat reef crest lebih tinggi dan tekstur debudan liat lebih kecil dibandingkan habitat mangrove, danlamun. Menurut Taurusman (2012), makrozoobentosmembutuhkan pasir untuk melakukan proses bioturbasi.Proses bioturbasi adalah hasil egesi, gangguan, peningkatankadar oksigen pada kedalamanyang lebih dalam danpembentukan habitat yang cocok untuk kolonisasi lebihlanjut (Gray dan Elliot 2009).

Kepadatan makrozoobentos pada habitat lamun yangdidominansi oleh makrozoobentos spesies Syllis sp.Menurut Mikac dan Luigi musco (2010) bahwa familiSyllidae adalah salah satu spesies yang paling beragam dikelompok Polikaeta, dan semua habitat umumnya ada tapiyang khas pada tipe keras. Distribusi Syllidae menjadi

Page 49: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

WIYANININGTIYAH et al. – Makrozoobentos pada habitat mangrove, lamun, dan reef crest 47

sebuah indikator yang baik untuk kondisi lingkungansetempat dan bisa menjadi efektif dalam perubahan ekologiskala besar, bahkan lebih dari jangka pendek.

Kepadatan makrozoobentos pada habitat mangrove danreef crest didominansi oleh spesies Atylus sp. Spesiestersebut merupakan kelompok Krustase. Krustase bersifatmobile, mereka cenderung dapat mudah bergerak untukmenghindari habitat yang kurang sesuai menuju habitatyang lebih sesuai untuk ditempati. Sedangkan polikaetabersifat sessile, cenderung sulit untuk berpindah secarabebas sehingga untuk bertahan pada habitat tertentu denganberbagai pola adaptasi mereka (Nybakken 1988). Habitatlamun juga memiliki kepadatan makrozoobentos kelompokkrustacea, tapi tidak sebanyak kedua habitat tersebut.

Selain spesies yang ditemukan, di luar titik pengamatanterdapat biota yang berhubungan di habitat yaitu padahabitat lamun seperti bantal raja (Culcita novaguineae),udang anemone (Periclimenes sp). Pada habitat reef crestseperti bulu babi (Diadema setosum), bivalvia (Pinctadamaxima), dan lili laut (Comanthus sp).

Berdasarkan habitat, nilai biomassa makrozoobentostertinggi pada habitat lamun sebesar 18,60 g/m2, danterendah habitat reef crest sebesar 4,43 g/m2. Hal inidisebabkan penyumbang biomassa yang terbesar di habitatlamun jenis polikaeta dan oligokhaeta. Berdasarkan habitatpengamatan, besarnya nilai indeks keanekaragamantertinggi pada habitat lamun yaitu sebesar 4,43. Sedangkanindeks keanekaragaman terendah pada habitat mangrove3,82. Berdasarkan penelitian dari Ramadhan (2010), bahwanilai indeks keanekaragaman di Pulau Kelapa Dua lebihtinggi dibandingkan Pulau Harapan dikarenakan memilikikeanekaragaman genus yang lebih tinggi dan proporsiindividu tiap genus lebih merata daripada Pulau Harapan.

Berdasarkan habitat, nilai indeks keseragaman tertinggidi habitat reef crest dan terendah di habitat lamun.Berdasarkan penelitian Wulansari (2012), tingginya nilaiindeks keseragaman pada habitat reef crest menunjukkanrendahnya jenis makrozoobentos yang mendominansikomunitas tersebut, sedangkan rendahnya nilai indekskeseragaman pada mangrove dan lamun menunjukkan adabeberapa jenis makrozoobentos yang mendominansikomunitas tersebut.

Keterkaitan struktur komunitas makrozoobentos antarahabitat

Menurut Kannan dan Thangaradjou (2002) mangrovedan lamun bergantung pada terumbu karang. Terumbukarang sebagai menghilangkan gelombang energi danmeningkatkan komunitas mangrove dan lamun. Di sisi lain,habitat lamun bisa mempengaruhi habitat mangrove danterumbu karang dengan sebagai perangkap (sedimen trap),menstabilkan sedimen dan memproduksi sedimen.Perangkap dan memobilisasi sedimen mendukungpertumbuhan karang dan mencegah penguburan karang.Sedangkan mangrove sebagai pengurangan beban sedimenke perairan pesisir dan juga mengatur aliran air tawar agarmencairkan garam yang terkumpul di mangrove selamakekeringan.

Keterkaitan struktur komunitas makrozoobentos antarhabitat, berdasarkan analisis SIMPER (Gambar 12) pada

kepadatan terlihat spesies yang paling berkontribusi antarhabitat yaitu Syllis sp, dan Drilonereis sp. Syllis sp.memiliki kontribusi paling tinggi di habitat mangrove >lamun > reef crest, dan Drilonereis sp memiliki kontribusipaling tinggi di habitat reef crest > lamun > mangrove.Pada biomassa (Gambar 16), bahwa spesies yang memilikikontribusi yang paling tinggi antar habitat yaitu Paraonissp, dan Drilonereis sp. Paraonis sp memiliki kontribusiyang tinggi di habitat mangrove > lamun > reef crest, danDrilonereis sp memiliki kontribusi paling tinggi di habitatmangrove > lamun > reef crest.

Selain melihat keterkaitan antar habitat dengan spesiesyang paling berkontribusi, dengan analisis ANOSIM bisamelihat melihat keterkaitan antar habitat. Berdasarkan hasilANOSIM tidak ada perbedaan kepadatan makrozoobentosantar habitat (Global R = 0,019; p = 0,274), dan biomassamakrozoobentos antar habitat (Global R = 0,004; p =0,467). Maka dapat dikatakan bahwa ada keterkaitanmakrozoobentos antar habitat.

Setelah melihat keterkaitan antar habitat, dari indekssimilaritas dalam dendrogram terdapat kelompok yangsaling erat antar habitat. Berdasakan hasil indeks similaritas(Gambar 11.B dan Gambar 15.B), bahwa pada kepadatandan biomassa habitat lamun cederung erat atau mendekatidengan habitat reef crest.

KESIMPULAN

Struktur komunitas makrozoobentos diindikasikan olehjumlah jenis, kepadatan, dan biomassa makrozoobentos.Pada penelitian yang dilakukan di Pulau Kelapa Dua,makrozoobentos yang ditemukan terdiri 7 filum, 8 kelas, 40famili, dan 52 genus. Presentase jumlah spesies terbesaradalah berasal dari kelas Polikaeta, dengan spesies yangmendominansi di habitat mangrove, lamun dan reef crestadalah Syllis sp, Paraonis sp, dan Drilonereis sp. Secaraumum kondisi lingkungan perairan masih mendukunguntuk kehidupan makrozoobentos. Habitat lamun memilikijumlah spesies dan biomassa makrozoobentos tertinggisedangkan habitat reef crest memiliki kepadatanmakrozoobentos yang tertinggi. Selain itu, indekskeanekaragaman makrozoobentos yang tertinggi terdapatpada habitat lamun dan indeks keseragamanmakrozoobentos pada habitat reef crest. Keterkaitanstruktur komunitas makrozoobentos antara habitatmangrove, lamun, dan reef crest menurut kepadatan danbiomassa makrozoobentos ada spesies yang berkontribusidominansi dalam habitat tersebut yaitu Syllis sp,Drilonereis sp, dan Paraonis sp. Berdasarkan indekssimilaritas habitat lamun cenderung relatif dekat atau eratdengan habitat reef crest.

DAFTAR PUSTAKA

Bagatini YM, Miguti J, Benedito E. 2007. Temporal and LongitudinalVariation of Corbicula fluminea (Molluska, Bivalvia) Biomassa in theRosana Reservoir, Brazil. Acta Limnol. Bras 19 (3): 357-366.

Brower JE, Zar JH, Von Ende CN. 1990. Field and Laboratory MethodFor General Ecology. 3rd ed. Brown Publishers, Dubuque.

Page 50: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 37-48, June 201448

Clarke KR, Gorley RN. 2001. Plymouth routines in multivariateecological research (PRIMER) V 5.2: User manual/tutorial. Primer-ELtd.

Dinkominmas [Dinas Komunikasi Informasi dan Kehumasan]. 2010.Pulau Kelapa Dua. http: //www.jakarta.go.id. [24 Juli 2013].

Gosner KL. 1971. Guide to Identification of Marine and EstuarineInvertebrates: Cape Hatteras to The Bay of Fundy. John Wiley &Sons, New York.

Gray JS, Elliott M. 2009. Ecology of Marine Sediments: from Science toManagement. Ed ke-2. Oxford University Pr., Oxford.

Holme NA, Mc Intyre. 1984. Methods for the Study of Marine Benthos.Ed ke-2. Blackwell Scientific Publication, Oxford.

Huda N. 2008. Strategi kebijakan pengelolaan mangrove berkelanjutan diwilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. [Tesis].Universitas Diponegoro, Semarang.

Kannan L, Thangaradjou T. 2002. Seagrasses. Biol. Edun. 6 (4): 223-238.Kemen LH [Kementerian Negara Lingkungan Hidup]. 2001. Keputusan

Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2001 tentang KriteriaBaku Kerusakan Terumbu Karang.

Kemen LH [Kementerian Negara Lingkungan Hidup]. 2004. KeputusanMenteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang BakuMutu Air Laut untuk Biota Laut.

Kemen LH [Kementerian Negara Lingkungan Hidup]. 2004. KeputusanMenteri Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004 tentang KriteriaBaku Kerusakan dan Pedoman Status Padang Lamun.

Kennish MJ. 1990. Ecology of Estuaries. CRC Press, FloridaKrebs CJ. 1989. Ecological Methodology. Harper & Row Publisher, New

York.McKenzie LJ, Yoshida RL. 2009. Seagrass-watch. Proceding of a

Workshop for Monitoring Seagrass Habitat in Indonesia. The NatureConcervancy, Coral Triangle Center; Bali, Indonesia.

Mikac B, Luigi M. 2010. Faunal and biogeographic analysis of Syllidae(Polikaeta) from Rovinj (Croatia, Nortern Adriatic Sea). Sci Mar 74(2): 353-370.

Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.Nybakken JW. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman

HM, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, Sukarjo S, penerjemah.PT Gramedia, Jakarta.

Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

Quinn GP, Keough M J. 2002. Experimental Design and Data Analysisfor Biologists. Cambridge University Press. Cambridge, UK.

Ramadhan G. 2010. Asosiasi makrozoobentos dengan ekosistem lamun diPulau Harapan dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu [Skripsi].Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rosenberg R. 2001. Marine benthic faunal successional stages and relatedsedimentary activity. Sci Mar 65: 107-119.

Taurusman AA. 2012. Tropical Benthic Ecology Assemblages, Clearancerate, and Carrying Capacity on Eutrophication. LAP LambertAcademic Publishing, Germany.

Walkley A, Black IA. 1934. An examination of Degtjareff method fordetermining soil organic matter and a proposed modification of thechromic acid titration method. Soil Sci 37: 29-37.

Whitlow WL, Grabowski JH. 2012. Examining how landscapes influencebenthic community assemblages in seagrass and mudflat habitats insouthern maine. J Exp Mar Biol Ecol 411: 1-6.

Wood E. 1987. Subtidal Ecology. Edward Arnold Publishers, London.Wulansari N. 2012. Konektivitas komunitas makrozoobentos antara

habitat mangrove, lamun, dan terumbu karang di Pulau Pramuka,Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.[Skripsi]. Institut PertanianBogor, Bogor.

Zamroni Y, Suci I. 2008. Produksi serasah hutan mangrove di PerairanPantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas 9 (4): 284-287.

Page 51: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 49-57, June 2014 ISSN: 2088-110X, E-ISSN: 2088-2475DOI: 10.13057/bonorowo/w040104

Analisis bioekonomi untuk pengelolaan sumber daya ikan selar kuning(Selaroides leptolepis, Cuvier & Valenciennes) yang didaratkan di PPN

Karangantu, Banten

Bioeconomic analysis for management of yellowstripe scad (Selaroides leptolepis, Cuvier andValenciennes) landed in Karangantu, Banten

DEVI NILA KARISMAWATI MAYALIBIT, RAHMAT KURNIA, YONVITNERDepartemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor 16680, Jawa Barat

Manuskrip diterima: 4 Februari 2014. Revisi disetujui: 10 April 2014.

Abstract. Mayalibit DNK, Kurnia R, Yonvitner. 2014. Bioeconomic analysis for management of yellowstripe scad (Selaroides leptolepis,Cuvier and Valenciennes) landed in Karangantu, Banten. Bonorowo Wetlands 4: 49-57. Yellowstripe scad (Selaroides leptolepis) is asmall pelagic fish which has economically important. The purpose of this study is to find out the economic aspects condition of theYellowstripe scad (Selaroides leptolepis, Cuvier and Valenciennes) population from the Bay of Banten. The models used in this studywere Schaefer, Fox, Walter Hilborn, CYP, and Schnute surplus production models. Fox models had the highest coefficient ofdetermination (R2) value than the others surplus production models. This coefficient of determination (R2) value model was 78%, withmaximum sustainability yield (MSY) was 89.289 kg/year and its effort (Fmsy) was 2.462 trip/year. Bioeconomic analysis of MEY was87.517 kg/year and Fmey was 2.001 trip/year. Bioeconomic analysis showed that Factual value greater than Fmsy and Fmey. It indicates thatYellowstripe scad has been in overfishing condition economically. The better management regime is a regime management of MEYbecause it gets a catch effort and TC that was smaller and larger profit than management of MSY and open access. As plan for fishstock management for Yellowstripe scad in PPN Karangantu are controlling the catches effort and gears selectivity.

Keywords: bioeconomic analysis, surplus production models, Yellowstripe scad, overfishing, PPN Karangantu, Bay of Banten

PENDAHULUAN

Ikan selar kuning (Selaroides leptolepis, Cuvier &Valenciennes) merupakan salah satu ikan yang dominantertangkap di PPN Karangantu, Kabupaten Serang, Banten,sehingga ikan selar kuning banyak dimanfaatkan olehmasyarakat. Ikan ini banyak dimanfaatkan dalam bentuksegar maupun olahan seperti ikan asin, kerupuk ikan ataubakso ikan. Ikan selar kuning memiliki harga jual berkisardari Rp 5000 hingga Rp 18000 per kg. Ikan selarkuning juga memiliki kandungan protein yang tergolongtinggi yaitu 18,8% (Depkes RI 1989 dalam Saputra 2008),sehingga dapat dijadikan sumber ketahanan pangan. Ikanselar kuning termasuk ikan pelagis kecil yang memilikinilai ekonomis penting. Ekonomis penting yang dimaksudadalah mempunyai nilai pasaran yang tinggi, volumeproduksi macro yang tinggi dan luas, serta mempunyaidaya produksi yang tinggi (Genisa 1999).

Kondisi stok ikan selar kuning saat ini belum diketahui,karena belum banyak penelitian mengenai ikan selarkuning. Data produksi sumberdaya ikan selar kuning dariperairan Teluk Banten mengalami fluktuasi dari tahun2005 hingga tahun 2012 (data statistik perikanan tangkapPPN Karangantu, Ditjen Tangkap-DKP 2012). Kegiatanpenangkapan ikan yang tinggi dengan volume produksiyang terus meningkat setiap tahunnya dan lama-kelamaan mangalami penurun dari tahun 2010 hingga

tahun 2012 diduga menggambarkan adanya upaya tangkaplebih (overfishing). Penurunan hasil produksi ikan selarkuning dikarenakan hasil tangkapan sudah mengalamiOverfishing (Putri 2013). Hal ini menunjukkan perlunyakajian sumberdaya ikan selar kuning yang berasal dariperairan Teluk Banten, sehingga dapat dibuat teknikpengelolaan yang tepat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisipopulasi ditinjau dari aspek ekonomi ikan selar kuning(Selaroides leptolepis) Cuvier dan Valenciennes dariperairan Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu,Kabupaten Serang, Propinsi Banten.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan waktu penelitianPenelitian ini dilakukan di PPN Karangantu, Kabupaten

Serang, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperolehmerupakan hasil tangkapan nelayan di sekitar perairanTeluk Banten. Pengambilan data selama dua minggu. Datayang dikumpulan yaitu data primer dan data sekunder.Pengambilan data primer dan sekunder dilaksanakan padatanggal 18 Februari 2013 hingga 4 maret 2013 di PPNKarangantu, Serang, Banten. Lokasi penelitian dan daerahpenangkapan ikan selar kuning yang didaratkan di PPNKarangantu, Serang, Banten tertera pada Gambar 1.

Page 52: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 49-57, June 201450

Gambar 1. Lokasi penelitian di PPN Karangantu, Banten

Bahan dan alatBahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan

selar kuning (Selaroides leptolepis). Alat yang digunakandalam penelitian ini meliputi alat tulis, daftar pertanyaan(kuisioner), peta wilayah Karangantu, dan alat dokumentasi(kamera digital).

Jenis sumber dataJenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer

dan data sekunder. Data primer yang diamati meliputi datadaerah penangkapan, jumlah trip per hari, lama haripenangkapan, data harga ikan selar kuning, data biayaoperasional penangkapan ikan selar kuning. Data primerdiperoleh dari hasil wawancara dengan pemilik kapal danpengisian kuisioner oleh nelayan. Data sekunder diperolehdari kantor DKP Karangantu, Kabupaten Serang, ProvinsiBanten. Data sekunder merupakan data berkala (timeseries) serta data upaya penangkapan (effort), data hasiltangkapan ikan per tahun, dan data harga ikan.

Teknik pengumpulan dataPenelitian ini menggunakan metode survei. Metode

penarikan contohnya adalah metode penarikan contoh acakberlapis (Stratified Random Sampling) dengan lapisannyaberupa jenis alat tangkap. Alat tangkap yang digunakan diPPN Karangantu yaitu jenis alat tangkap dogol, payang,pancing, jaring insang, bagan tancap dan bagan apung.Jumlah alat tangkap dogol sebanyak 42 unit, payang 13unit, pancing 22 unit, insang 122 unit, bagan apung 63 unit

dan bagan tancap sebanyak 4 unit, masing-masing alattangkap diambil contoh secara acak sebanyak 20 % darijumlah alat tangkap. Alat tangkap dogol 42 unit diambil 8unit, payang 13 unit diambil 3 unit, pancing 22 unit diambil4 unit, jaring insang 122 unit diambil 24 unit, bagan apung63 unit diambil 13 unit dan bagan tancap 4 unit diambil 1unit. Responden yang dipilih saat wawancara adalahnelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untukmelakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, dannelayan yang menggunakan alat tangkap dogol, payang,pancing, jaring insang, bagan apung dan bagan tancap diPPN Karangantu, Kabupaten Serang, Propinsi Banten.

Analisis dataStandarisasi alat tangkap

Standarisasi terhadap alat tangkap bertujuanmenyeragamkan satuan-satuan upaya yang berbedasehingga dapat dianggap upaya penangkapan suatu jenisalat tangkap diasumsikan menghasilkan tangkapan yangsama dengan alat tangkap standar. Umumnya pemilihansuatu alat tangkap standar didasarkan pada dominantidaknya alat tangkap tersebut digunakan di suatu daerahserta besarnya upaya penangkapan yang dilakukan. Alattangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standarmempunyai faktor daya tangkap atau fishing power indeks(FPI) = 1 (Tampubolon dan Sutedjo 1983 dalam Tinungki2005). Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkapstandar yaitu dogol. Tabel 2 merupakan data alat tangkapyang distandarisasi.

Page 53: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALIBIT et al. – Pengelolaan ikan selar kuning di Karangantu, Banten 51

Tabel 2. Hasil Standarisasi Alat Tangkap

Alat tangkap FPI

Jaring insang 0.0377Jaring dogol 1Bagan apung 0.196Bagan tancap 0.173Jaring payang 0.8196Pancing 0.1902

Adapun nilai FPI jenis alat tangkap lainnya dapatdihitung dengan membagi nilai catch per unit effort (CPUEalat tangkap lain) dengan CPUE alat tangkap standar. NilaiFPI ini kemudian digunakan untuk mencari upayapenangkapan standar alat tersebut.

Upaya standar = FPI * Fi

Keterangan:CPUEs = Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat

tangkap standarCPUEi = Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat

tangkap iCs = jumlah tangkapan jenis alat tangkap standarCi = jumlah tangkapan jenis alat tangkap iFs = jumlah upaya jenis alat tangkap standarFi = jumlah upaya jenis alat tangkap iFPIs = indeks daya tangkap jenis alat tangkap standar

FPIi = indeks daya tangkap jenis alat tangkap i

Model surplus produksiModel produksi surplus yang digunakan pada penelitian

ini yaitu model Schaefer, Fox, Walter Hilborn, CYP,Schnute. Model produksi surplus untuk menduga produksimaksimum lestari perikanan atau Maximum SustainbleYield (MSY) yang digunakan adalah metode produksisurplus dari Fox. Model surplus produksi yang telahdikenalkan oleh para ahli akan diterapkan ke dalam datarunut waktu tahunan tangkapan dan upaya tangkapan selarkuning (Selaroides leptolepis) didaratkan di PelabuhanPerikanan Nusantara Karangantu, Kabupaten Serang,Provinsi Banten. Boer dan Aziz (1995) menyatakan bahwapersamaan matematika untuk model Schaefer adalah:

Hubungan linier ini yang digunakan secara luas untukmenghitung dugaan MSY melalui penentuan turunanpertama dari:

sehingga diperoleh dugaaan fmcy.

sedangkan untuk mencari MSY adalah:

Model Fox (1970)Model ini memiliki beberapa karakteristik yang berbeda

dibandingkan model Graham-Schaefer, yaitu bahwapertumbuhan biomassa mengikuti model pertumbuhanGompertz, dan penurunan CPUE terhadap upayapenangkapan mengikuti pola eksponensial negatif. Adapunasumsi-asumsi model eksponensial Fox (FAO/Danida,1984 dalam Tinungki 2005): (i) Populasi dianggap tidakakan punah, (ii) Populasi sebagai jumlah dari individu ikan

Adapun persamaan model Fox menurut Tanh (2011)sebagai berikut:

Untuk perhitungan MEY model Fox digunakan metodegrafis-simulasi karena sulit mencari nilai w.

Keterangan:

Untuk menghitung persamaan maka diperlukan data-data berikut: a = Intercept

b = Slopep = Harga (Rp)c = Biaya (Rp)TR = Total pendapatan (Rp)TC = Total biaya penangkapan (Rp)F = Tingkat upaya penangkapan (trip)

Page 54: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 49-57, June 201452

Analisis bioekonomiAnalisis model bioekonomi biasanya dikenal dengan

GS (Gardon- Schaefer). Model Gordon Schaefer digunakanuntuk menganalisis model bioekonomi. Model bioekonomiyang digunakan adalah model bioekonomi statik denganharga tetap.Model ini disusun dari model parameterbiologi, biaya operasi penangkapan dan harga ikan. Asumsiyang dipergunakan dalam model statik Gordon Schaefer iniadalah harga ikan per kg (p) dan biaya penangkapan perunit upaya tangkap adalah konstan. Model ini digunakanuntuk model surplus produksi Schaefer, sedangkan untukmodel surplus produksi Fox dikenal dengan modelbioekonomi Gomperts-Fox (Thanh 2011).

Total penerimaan nelayan dari usaha penangkapan(TR) adalah:

TR = p. Y

Keterangan :TR = total revenue (penerimaan total) (Rp)p = harga rata-rata ikan hasil survey per kg (Rp)Y = jumlah produksi ikan (kg)

Total biaya penangkapan (TC) dihitung denganpersamaan:

TC = c. F

Keterangan :TC = total cost (biaya penangkapan total) (Rp)C = total pengeluaran rata-rata unit penangkapan

ikan (Rp)F = jumlah upaya penangkapan untuk menangkap

sumber daya ikan (unit)Sehingga keuntungan bersih usaha penangkapan ikan

(N) adalah:

n = TR — TCn = p. Y — c. F

Keterangan:n = Keuntungan (Rp)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi hasil tangkapan di PPN KarangantuPenduduk sekitar pulau Banten kebanyakan memiliki

profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyakdigunakan oleh para nelayan adalah jaring dogol, baganapung, bagan tancap, jaring insang, payang, pancing danlain-lain. Hasil Tangkapan di Teluk Banten berupa cumi-cumi, ikan teri, kembung, tembang, selar kuning, danlainnya. Gambar 2 merupakan hasil tangkapan per jenisikan dominan tahun 2012 di PPN Karangantu.

Gambar 2 menunjukkan bahwa ikan selar kuning diPerairan Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantusebanyak 3% dari jumlah keseluruhan. Ikan ini sebagianbesar ditangkap menggunakan alat tangkap jaring dogoldengan ukuran mata jaring 1,5 inchi hingga 8 inchi. Daerah

penangkapannya di utara Pulau Panjang, Pulau Tunda,Pulau Pamujan Besar dan Pulau Pamujan Kecil. Ikan selarkuning didistribusikan ke daerah Serang, Cilegon,Tangerang dan Jakarta dalam bentuk segar maupun olahan(ikan asin, kerupuk ikan, baso ikan).

Hasil tangkapan ikan selar kuning di perairan TelukBanten

Penangkapan ikan selar kuning di perairan TelukBanten. Hasil tangkapan yang didaratkan di PPNKarangantu mengalami fluktuasi. Fluktuasi dari tahun 2005hingga tahun 2012 terlihat dari grafik dibawah ini (Gambar3).

Pada Gambar 3 terlihat hasil tangkapan tertinggi padatahun 2009 sebanyak 116.138 kg sedangkan hasiltangkapan terendah terjadi pada tahun 2011 sebanyak62.343 kg. Namun secara keseluruhan hasil tangkapanmengalami fluktuasi. Hasil tangkapan yang mengalamifluktuasi dikarenakan faktor lingkungan dan upayapenangkapan. Hal ini sesuai dengan pernyataanSulistiyawati (2011) bahwa fluktuasi hasil tangkapanterjadi dikarenakan faktor lingkungan.

Gambar 2. Hasil tangkapan per jenis ikantahun 2012 di PPNKarangantu (Ditjen Tangkap-DKP 2012)

Gambar 3. Hasil tangkapan ikan selar kuning di Teluk Banten(Ditjen Tangkap-DKP 2012)

Page 55: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALIBIT et al. – Pengelolaan ikan selar kuning di Karangantu, Banten 53

Penangkapan ikan selar kuning di Perairan TelukBanten

Upaya penangkapan didapatkan dari standarisasi alattangkap dogol, bagan, payang, pancing dan lain-lain daritahun 2005 hingga 2012. Alat tangkap yang dominanadalah dogol, sehingga dogol yang menjadi upaya standar.Gambar 4 dan lampiran 3 menunjukan upaya penangkapanikan selar kuning dari perairan Teluk Banten.

Upaya penangkapan tertinggi pada tahun 2012 sebesar5.452 trip sedangkan upaya penangkapan terendah terjadipada tahun 2006 sebesar 895 trip. Jika terjadi peningkataneffort, cenderung akan terjadi penurunan hasil tangkapan.Menurut Sulistiyawati (2011) fluktuasi upaya tangkapanterjadi dikarenakan faktor lingkungan dan ekonomi.

Tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan selar kuningTangkapan per satuan upaya atau Catch per unit effort

(CPUE) diperoleh dengan cara membagi hasil tangkapanikan selar kuning dengan upaya penangkapannya. Hasiltangkapan dalam jumlah kg sedangkan upaya penangkapandalam jumlah trip. Gambar 5 dan lampiran 3 merupakangrafik CPUE ikan selar kuning dari perairan Teluk Banten.

Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai CPUE mengalamifluktuasi dan cenderung menurun. Hal ini mengindikasikanbahwa nilai CPUE yang semakin rendah mencerminkantingkat efisiensi penggunaan effort yang kurang baik(Utami et al. 2012). Selain itu penurunan nilai CPUEmengindikasikan bahwa sumber daya ikan selar kuningtelah mengalami overfishing.

Gambar 4. Upaya penangkapan ikan selar kuning di TelukBanten (Ditjen Tangkap-DKP 2012)

Gambar 5. CPUE tahunan dari perairan Teluk Banten (DitjenTangkap-DKP 2012)

Model Produksi Surplus Fox (1970)Penelitian ini menggunakan model Fox karena model

ini memliki nilai R2 yang lebih besar dibandingkan modelsurplus produksi lainnya yang dicobakan. Tabel 3 danlampiran 4 merupakan data produksi ikan selar kuning diPPN Karangantu dari tahun 2005 hingga tahun 2012.

Tabel 3 menunjukan bahwa data hasil tangkapan, upayadan juga Ln CPUE mengalami fluktuasi. Hasil tangkapantertinggi pada tahun 2009 sebesar 116.138 kg/tahun.Sedangkan, yang terendah pada tahun 2011 sebesar 62.343kg/tahun. Upaya penangkapan tertinggi pada tahun 2012sebesar 5.454 trip/tahun sedangkan upaya terendah padatahun 2006 sebesar 895 trip/tahun.

Hasil analisis surplus produksi ikan selar kuning denganmenggunakan model Fox 1970 disajikan dalam (Gambar6). Gambar 6, menunjukan bahwa model produksi surplusFox memiliki persamaan Ln CPUE = 4.59108 - 0,0004F.Persamaan ini menunjukan bahwa semakin bertambahnyaupaya penangkapan maka akan mengurangi ln CPUE.

Analisis bioekonomiAnalisis bioekonomi merupakan analisis yang

memanfaatkan sumber daya alam khususnya sumber dayaikan dengan tetap menjaga kelestarian dilihat dari aspekbiologi dan juga kelestarian dilihat dari aspek ekonomi.Analisis bioekonomi didapatkan nilai Fmsy, Fmey, Foa. Tabel4 dan lampiran 5 merupakan hasil perhitungan dari ketigakondisi tersebut.

Tabel 3. Data catch, effortdan Ln CPUE ikan selar kuning diTeluk Banten

Tahun C (kg) F CPUE Ln CPUE(Trip) (kg/trip) (kg/trip)

2005 62.766 2.188 28.68 3.362006 82.717 895 92.39 4.532007 107.390 1.650 65.10 4.182008 70.859 2.433 29.12 3.372009 116.138 2.852 40.72 3.712010 65.972 3.923 16.82 2.822011 62.343 2.758 22.60 3.122012 77.371 5.452 14.19 2.65

Gambar 6. Regresi non linear antara effort dan Ln CPUE

Page 56: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 49-57, June 201454

Tabel 4. Hasil analisis bioekonomi sumber daya ikan selar kuning

Aktivitas F(Trip)

Y (kg) TR (Rp.) TC (Rp.) Untung(Rp.)

OAE 6.129 50.107 5.035.658.009 5.035.658.009 0MSY 2.462 89.289 1.097.643.219 247.381.998 850.261.221MEY 2.001 87.517 1.075.855.723 201.094.882 874.760.841Aktual 5.452 77.371 951.132.614 547.910.693 403.221.921

Tabel 4 menunjukkan nilai kondisi yang berbeda.Kondisi aktual merupakan kondisi yang terjadi pada tahun2012. Hasil model bioekonomi dengan kondisi MEYdiperoleh produksi optimal sebesar 87.517 kg/tahun daneffort sebesar 2.001 trip/tahun, dengan rente ekonomisebesar Rp 874.760.841. MSY diperoleh sebesar kg/tahundan effort sebesar 2.462 trip/tahun, dengan rente ekonomisebesar Rp 850.261.221. Sedangkan, pada kondisi openaccess diperoleh jumlah produksi sebesar 50.107 kg/tahundan effort sebesar 6.129 trip/tahun dengan rente ekonomisebesar Rp 0. Kondisi yang lebih baik secara ekonomi yaitukondisi MEY karena memiliki nilai TC, dan effort yanglebih kecil tetapi mendapatkan nilai rente ekonomi yanglebih besar. Kondisi MSY memiliki nilai TC yang lebihbesar dan mendapatkan rente ekonomi yang lebih kecildibandingkan MEY. Kondisi open access (OA) memilikihasil tangkapan yang lebih kecil dan nilai TC yang lebihbesar dibandingkan MSY dan MEY.

Kondisi MEYMenurut Widodo dan Suadi (2006) kondisi MEY

memiliki beberapa keuntungan yang tinggi sebagai tujuanpengelolaan perikanan. Keuntungannya dapat memberikanberbagai peluang yang lebih baik, misalnya pendapatanyang lebih baik bagi nelayan dan harga ikan yang lebihmurah. Tabel 3 menunjukan kondisi MEY mendapatkaneffort sebesar 2.001 trip/tahun. Kondisi MEY merupakanpengelolaan yang lebih baik dan menguntungkandikarenakan pada kondisi MEY nilai TR dan TC yangdikeluarkan untuk sumber daya ikan selar kuning(Selaroides leptolepis) lebih kecil. Effort MEY lebih besardibandingkan dengan effort aktual (5.452 trip/tahun)sehingga dapat dikatakan bahwa sumber daya ikan selarkuning di perairan Teluk Banten telah mengalamioverfishing secara ekonomi.

Kondisi MSYWidodo dan Suadi (2006) MSY menyatakan (Maximum

Sustainable Yield) adalah hasil tangkapan terbesar yangdapat dihasilkan dari tahun ke tahun oleh suatu perikanan.Konsep MSY dikembangkan dari kurva biologi yangmenggambarkan yield sebagai fungsi dari effort. Tabel 3menunjukan kondisi secara MSY mendapatkan effortsebesar 2.462 trip/tahun. Pada kondisi MSY rente ekonomiyang diperoleh lebih kecil dari MEY sementara nilai TClebih besar dibandingkan kondisi MEY. Susilo (2010)menyatakan bahwa selisih rente ekonomi disebabkan olehmenurunnya jumlah produksi hasil tangkapan dan tingkateffort yang semakin tinggi, sehingga biaya yang dikeluarkanuntuk melakukan aktivitas penangkapan sumber-daya ikantidak sebanding dengan hasil yang diperoleh.

Gambar 7. Kurva model bioekonomi

Kondisi Open AccessOpen access adalah kondisi ketika pelaku perikanan

atau seseorang yang mengeksploitasi sumber daya secaratidak terkontrol (Clark 1985). Selain itu menurut Widododan Suadi (2006) kondisi open access merupakan kondisiperikanan yang berkaitan dengan banyak hal, mencakupsemua kepentingan bagi orang banyak. Tabel 3menunjukan kondisi open access mendapatkan renteekonomi yang lebih kecil dan effort yang lebih besardibandingkan MSY dan MEY. Gambar 7 dan lampiran 5merupakan gambar model bioekonomi.

Gambar 7 menunjukkan nilai FMEY mendapatkan effortyang kecil dan biaya yang dikeluarkan juga lebih keciltetapi mendapatkan rente ekonomi yang lebih besar. NilaiFaktual lebih besar dibandingkan nilai FMSY dan FMEY. Hal inimenggambarkan bahwa sumber daya ikan selar kuning diperairan Teluk Banten telah mengalami overfishing secarabiologi maupun secara ekonomi. Menurut Gordon (1954)tangkap lebih secara ekonomi akan terjadi padapengelolaan yang tidak terkontrol.

PembahasanIkan selar kuning (Selaroides leptolepis) merupakan

ikan pelagis kecil yang memiliki nilai ekonomis penting.Ikan ini hidupnya bergerombol dan ikan dapat mencapaipanjang 20 cm, umumnya 15 cm (Genisa 1999). Ikan selarkuning mengalami musim pemijahan pada bulan Junihingga September (Thangaraja 1985). Penelitian yangdilakukan Putri (2013) bahwa ukuran pertama kali matanggonad ikan selar kuning yaitu 146 mm sedangkan padapenelitian Reuben et al. (1992) menunjukkan ukuranpertama kali matang gonad pada spesies Selaroidesleptolepis adalah pada ukuran 88-101 mm. Menurut Blaydan Egeson (1980) dalam Makmur dan Prasetyo (2006)perbedaan ukuran pertama kali ikan matang gonad terjadiakibat perbedaan kondisi ekologis perairan.

Menurut Purwanto (1988) hasil tangkapan tergantungpada tingkat upaya penangkapan dan besarnya stok ikanpada daerah penangkapan. Hasil tangkapan ikan selarkuning dari tahun 2005 hingga tahun 2012 mengalamifluktuasi. Hasil tangkapan tertinggi pada tahun 2009 danterendah pada tahun 2011. Hasil tangkapan ikan selarkuning mengalami fluktuasi dikarenakan faktor upayapenangkapan dan ekonomi. Hasil tangkapan dari tahun

Page 57: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALIBIT et al. – Pengelolaan ikan selar kuning di Karangantu, Banten 55

2005 hingga tahun 2007 mengalami kenaikan, hal inididuga stok ikan pada daerah penangkapan cukupmelimpah sehingga hasil tangkapannya meningkat.Sedangkan, pada tahun 2008 mengalami penurunan dantahun 2009 mengalami kenaikan, kemudian pada tahun2010 hingga 2011 mengalami penurunan dan tahun 2012mengalami kenaikan. Pada tahun 2008 mengalamipenurunan, hal ini diduga akibat dampak dari tahun 2007bahwa hasil tangkapan pada tahun 2007 sebesar 107.390 kgtelah melebihi hasil tangkapan lestari (MSY) sehingga stokikan pada daerah penangkapan berkurang. Sedangkan, padatahun 2009 mengalami kenaikan. Hal ini dikarenakan padatahun 2008 hasil tangkapan yang didapat nelayan masihdibawah hasil tangkapan lestari (MSY) sehingga didugastok ikan didaerah penangkapan sudah mulai pulihkembali. Oleh karena itu, pada tahun 2009 hasil tangkapanmeningkat.

Produksi tahun 2010 dan 2011 mengalami penurunan,hal ini diduga dampak dari tahun 2009 hasil tangkapansudah melebihi hasil tangkapan lestari (MSY). Selain itu,nelayan berpikir bahwa pada tahun 2008 denganmenambah upaya penangkapan dari 2.433 trip menjadi2.852 trip hasil tangkapan akan meningkat sehingga padatahun 2010 nelayan menambah upaya penangkapan sebesar3.923 trip. Hasil ini justru mengakibatkan hasil tangkapanyang diperoleh berkurang. Hal ini dikarenakan upayapenangkapan sudah melebihi upaya penangkapan lestari.Sedangkan pada tahun 2011 nelayan menurunkan upayapenangkapan tetapi masih melebihi upaya penangkapanlestari sehingga hasil tangkapan yang didapat sedikit danpada tahun 2012 dikarenakan faktor ekonomi misalnyabiaya operasional yang dikeluarkan pada tahun 2011 tidaksebanding dengan hasil tangkapan yang didapat sehinggapada tahun 2012 nelayan meningkatkan upayapenangkapan agar hasil tangkapan yang didapat meningkat.Menurut Sulistiyawati (2011) fluktuasi hasil tangkapanterjadi dikarenakan faktor lingkungan, ekonomi dannelayan. Selain itu, menurut Laevastu dan Favorite (1988)menyatakan bahwa fluktuasi hasil tangkapan dipengaruhioleh keberadaan ikan, jumlah upaya penangkapan dantingkat keberhasilan operasi penangkapan.

Hasil tangkapan tidak hanya dipengaruhi olehkelimpahan ikan pada jumlah unit dan efisiensi unit alattangkap, lamanya operasi penangkapan dan ketersediaanikan yang akan ditangkap. Tahun 2009 upaya penangkapansebesar 2852 trip/tahun sedikit diatas upaya penangkapanlestari sehingga hasil tangkapannya tinggi sedangkan padatahun 2011 hasil tangkapan rendah hal ini disebabkankarena upaya penangkapan pada tahun 2010 jauh melebihiupaya penangkapan lestari sehingga pada tahun 2010hingga 2011 hasil tangkapannya menurun. Penurunan hasiltangkapan disebabkan karena faktor cuaca dan upayapenangkapan yang melebihi upaya penangkapan lestari.Faktor cuaca misalnya musim banyak ikan didaerahpenangkapan tetapi cuaca buruk atau gelombang laut yangtinggi sehingga nelayan tidak dapat melaut danmenyebabkan jumlah hasil tangkapan berkurang. Selain itu,penurunan hasil tangkapan juga akibat upaya penangkapanyang melebihi upaya penangkapan lestari.Kenaikan hasiltangkapan dikarenakan upaya penangkapan dan hasil

tangkapan yang didapat nelayan tidak melebihi MSY danupaya penangkapan lestari, sehingga dapat memberikankesempatan pada ikan untuk tumbuh dan berkembang biak.Menurut Widodo dan Suadi (2006) laju produksi sangatbervariasi karena faktor fluktuasi lingkungan, pemangsaandan berbagai interaksi dengan populasi yang lain.

Upaya penangkapan di PPN Karangantu dilakukandengan alat tangkap dogol, bagan tancap, bagan apung,jaring insang, payang, pancing dan lain-lain. Alat tangkapdominan yang digunakan untuk menangkap ikan selarkuning adalah dogol. Hal ini sesuai dengan hasilstandarisasi effort. Upaya penangkapan yang mengalamifluktuasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan jugaekonomi (Sulistiyawati 2011). Upaya penangkapantertinggi pada tahun 2012 dan terendah pada tahun 2006.Tahun 2006 upaya penangkapan rendah diduga pada tahun2006 harga BBM mengalami kenaikan. Tahun 2006 hargasolar yang tinggi menyebabkan nelayan mengurangi upayapenangkapan. Selain itu, gelombang laut tinggi sehinggabanyak nelayan yang tidak melaut. Kenaikan upayapenangkapan pada tahun 2012 diduga karena nelayanberpikir bahwa dengan menambah upaya penangkapanakan mendapatkan hasil tangkapan yang tinggi tetapikenyataannya tidak. Awalnya upaya penangkapan tinggiakan mendapatkan hasil tangkapan yang tinggi pula, lama-kelamaan upaya penangkapan tinggi hasil tangkapan yangdidapat akan menurun. Hal ini dikarenakan nelayan yangmenangkap ikan secara terus-menerus tidak memberikankesempatan pada ikan- ikan untuk tumbuh dan berkembangbiak sehingga stok ikan pada daerah penangkapanberkurang. Upaya penangkapan yang mengalami fluktuasidikarenakan faktor cuaca dan juga ekonomi.

CPUE (catch per unit effort) merupakan hasiltangkapan ikan, dalam jumlah atau berat yang diambil olehsuatu upaya penangkapan tertentu yang biasanya digunakansebagai indeks dari kelimpahan relatif (Tinungki 2005).Menurut Noordiningroom et al. (2012) hasil tangkapan perunit upaya penangkapan (CPUE) mencerminkanperbandingan antara hasil tangkapan dengan upayapenangkapan.Nilai CPUE yang lebih tinggi mencerminkantingkat efisiensi penggunaan effort yang lebih baik.NilaiCPUE dapat dilihat pada (Gambar 5). Nilai CPUE daritahun 2005 hingga tahun 2012 mengalami fluktuasi. Hal initerjadi karena selama periode tahun tersebut terjadipenambahan dan pengurangan jumlah upaya penangkapan(effort). Nilai CPUE berbanding terbalik dengan upayapenangkapan semakin tinggi upaya penangkapan makanilai CPUE semakin rendah. Hal ini mengindikasikanbahwa sumber daya ikan selar kuning telah mengalamioverfishing. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sholeh(2012) bahwa penurunan CPUE juga mengindikasikanbahwa sumber daya ikan telah mengalami overfishing.Terjadinya tangkap lebih dikarenakan adanya upayapenangkapan yang kurang baik, misalnya denganpenggunaan alat tangkap yang merusak lingkungansehingga merusak habitat ikan, alat tangkap dengan ukuranmata jaring yang terlalu kecil sehingga banyak ikan-ikankecil yang tertangkap, adanya upaya penangkapan yangterus-menerus sehingga tidak memberi kesempatan pada

Page 58: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 49-57, June 201456

ikan untuk tumbuh dan berkembang biak menagkibatkanstok ikan berkurang.

Hasil model surplus produksi dapat dilihat padaGambar 6. Gambar tersebut menunjukan model produksisurplus Fox memiliki persamaan Ln CPUE = 4.59108 -0,0004F. Persamaan ini menunjukan bahwa semakinbertambahnya upaya penangkapan maka akan mengurangihasil tangkapan. Hal ini disebabkan meningkatnyakompetisi antar alat tangkap yang beroperasi dimanakapasitas sumber daya yang terbatas dan cenderungmengalami penurunan akibat usaha penangkapan yangterus meningkat. Nilai CPUE yang cenderung mengalamipenurunan tiap tahunnya maka hal ini mengindikasikanbahwa sumber daya ikan selar kuning di perairan TelukBanten telah mengalami tangkap lebih (overfishing).Menurut Suseno (2007) bahwa salah satu ciri overfishingadalah grafik penangkapan dalam satuan waktuberfluktuasi atau tidak menentu dan penurunan produksisecara nyata, mengatakan bahwa kejadian tangkap lebihsering dapat dideteksi dengan penurunan hasil Catch perUnit Effort (CPUE).

Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa adakelebihan dan kekurangan dari MSY dan MEY. Kelebihanpengelolaan MSY adalah konsep ini didasarkan padagambaran yang sederhana dan mudah dimengerti,kekurangannya bersifat tidak stabil, tidakmemperhitungkan nilai ekonomis. Kelebihan pengelolaanMEY adalah lebih ramah lingkungan, dan dapat dilihatdengan kasat mata melalui pengaturan upaya penangkapan,jumlah hari melaut, jumlah tenaga kerja. Kekurangannyasangat berpengaruh terhadap harga dan biaya penangkapansehingga tidak memberikan nilai yang pasti.

Tingkat pemanfaatan yang diperbolehkan (TAC) ataujumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) tersebutadalah 80% dari potensi maksimum lestari (FAO 1995).Tingkat pemanfaatan ikan selar kuning yang diperbolehkanyaitu sebesar 64.288 kg/tahun. Kondisi pemanfaatan ikanselar kuning di perairan Teluk Banten sebesar 77.371kg/tahun sudah melebihi TAC.

Kondisi MEY memiliki beberapa keuntungan yangtinggi. Konsep ini memberikan berbagai peluang yanglebih baik seperti pendapatan yang lebih baik bagi nelayandan mendapatkan ikan yang lebih murah (Widodo danSuadi, 2006). Analisis bioekonomi diperoleh bahwakondisi yang lebih baik yaitu kondisi MEY dikarenakanpada pengelolaan ini mendapatkan nilai TC dan effort yanglebih rendah tetapi mendapatkan rente ekonomi yang lebihtinggi dibandingkan MSY. Hal ini sesuai denganpernyataan Fauji (2010) bahwa pengelolaan yang optimaldan efisien secara sosial ada pada kondisi MEY. KondisiMEY ini dapat diperoleh jika perikanan dikendalikandengan kepemilikan yang jelas atau “Sole Owner”.Menurut Zulbainarni (2012) rente ekonomi yang tinggimenunjukan bahwa pada tingkat produksi ini tingkat upayapenangkapan sudah dilakukan dengan efisien sehinggadiperoleh hasil tangkapan yang lebih baik yang kemudiandiikuti oleh perolehan keuntungan yang maksimum.Penelitian ini diperoleh nilai effort aktual lebih besar jikadibandingkan dengan effort MEY dan juga effort MSY. Halini mengindikasikan bahwa sumber daya ikan selar kuning

di perairan Teluk Banten telah mengalami overfishingsecara biologi maupun secara ekonomi. Widodo dan Suadi(2006) menyatakan bahwa overfishing merupakan sejumlahupaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stokikan. Overfishing secara biologi terjadi apabila tingkatupaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentumelebihi tingkat yang diperlukan untuk menghasilkanMSY sedangkan menurut Fauji (2005) bahwa overfishingsecara ekonomi terjadi jika rasio biaya atau harga terlalubesar atau jumlah input yang dibutuhkan lebih besardaripada jumlah input yang dibutuhkan untuk berproduksipada tingkat rente ekonomi yang (Maximized economicrent).

Ikan selar kuning sebenarnya belum bisa dikatakanoverfishing secara biologi jika hanya dilihat dari Faktual

lebih besar dari Fmsy. Overfishing secara biologi dapatdilihat dari growth overfishing dan recruitment overfishing.Hal ini sesuai dengan pernyataan Gulland (1991) bahwaada dua pengertian tentang kondisi tangkap lebih yaitutangkap lebih pertumbuhan (growth overfishing) dantangkap lebih peremajaan (recruitment overfishing).Menurut Putri (2013) bahwa ikan selar kuning di perairanTeluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu telahmengalami growth overfishing. Kondisi tangkap lebihpertumbuhan terjadi manakala kegiatan perikanan banyakmenangkap individu-individu ikan yang terlalu muda,sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka untukmencapai ukuran dewasa. Sedangkan terjadinya tangkaplebih peremajaan manakala kegiatan perikanan tangkapbanyak tertangkap individu-individu yang siap memijah(spawning stock), sehingga peluang untuk memproduksiindividu-individu ikan muda mengecil (terancam). Hasilpenelitian ini menunjukkan bahwa ikan selar kuning telahmengalami overfishing secara ekonomi dan ikan ini belumbisa dikatakan telah mengalami overfishing secara biologi,karena tidak mengkaji tentang petumbuhan dan rekruitmenikan selar kuning.

Analisis bioekonomi menunjukan bahwa nelayan-nelayan yang menangkap ikan selar kuning di perairanTeluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu secaraaktual mendapatkan rente ekonomi atau keuntungansebesar Rp 403.221.921. Seharusnya nelayan bisamendapatkan keuntungan sebesar Rp 874.760.841 jikanelayan menurunkan upaya penangkapan kurang dari effortMEY yaitu sebesar 2.001 trip/tahun. Sumber daya ikanselar kuning telah mengalami overfishing sehinggadiperlukan rencana pengelolaan agar ikan ini tetap lestari.Adapun rencana pengelolaan stok ikan selar kuning di PPNKarangantu diantaranya dengan pengaturan upayapenangkapan dengan cara mengurangi upaya penangkapandari 5.452 trip/tahun menjadi 2.001 trip/tahun, agar sumberdaya ikan dapat pulih.

Sobari et al. (2008) menyatakan bahwa penguranganeffort akan mengurangi penghasilan nelayan. Namun,pengurangan effort tidak terlalu merugikan nelayan karenaakan mengurangi biaya operasional yang akan dikeluarkanuntuk melaut. Selain pengurangan effort dapat dibuatpengaturan hari melaut. Bagi nelayan yang tidak melautdibuat alternatif pekerjaan misalnya dengan cara usahabudidaya rumput laut, usaha tambak. Hal ini sesuai dengan

Page 59: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

MAYALIBIT et al. – Pengelolaan ikan selar kuning di Karangantu, Banten 57

pernyataan Salmah et al. (2012) bahwa salah satu caramengurangi adanya overfishing yaitu dengan carapembuatan jadwal hari melaut.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa stok sumberdaya ikan selar kuning (Selaroides leptolepis) telahmengalami tangkap lebih secara ekonomi (MEY).Keuntungan masih dapat ditingkatkan dengan caramenurunkan upaya penangkapan dari 5452 trip/tahunmenjadi 2001 trip/tahun, sehingga nelayan mendapatkankeuntungan sebesar Rp 874.760.841.

DAFTAR PUSTAKA

Boer M, Aziz KA. 1995. Prinsip-prinsip dasar pengelolaan sumberdayaperikanan melalui pendekatan bio-ekonomi. Jurnal Ilmu-ilmuPerairan dan Perikanan Indonesia. 3 (2): 109-119.

Clark B. 1985 (ed.) The School and the University. An InternationalPerspective. University of California Press, San Francisco.

Ditjen Tangkap-DKP [Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,Departemen Kelautan dan Perikanan]. 2012. Statistik PerikananPelabuhan Perikanan Nusantara Karangantun 2012. DirektoratJenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan,Jakarta

FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO FisheriesDepartment, Rome.

Fauji A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan Isu, Sintesis, danGagasan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Fauji A. 2010. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan.Teori danAplikasi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Fox, W.W. (1970) An Exponential Yield Model for Optimizing ExploitedFish Populations. Trans Amer Fish Soc 99: 80-88.

Genisa AS. 1999. Pengenalan jenis-jenis ikan laut ekonomi penting diIndonesia. Oseana 24 (1): 17-38

Gordon HS. 1954. The economic theory of a common-property resource:The Fishery. J Pol Econ 62: 124

Gulland JA. 1991. Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods.John Wiley & Son, Chichester.

Laevastu T, Favorite F. 1988. Fishing and Stock Fluctuation. FishingNew Books, England.

Makmur S, Prasetyo D. 2006. Kebiasaan makan, tingkat kematangangonad dan fekunditas ikan haruan (Channa striata Bloch) di SuakaPerikanan Sungai Sambujur DAS Barito Kalimantan Selatan. JurnalIlmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 13 (1): 27-31.

Noordiningroom R, Anna Z, Suryana AAH. 2012. Analisis bioekonomiModel Gordon-Schaefer: Studi kasus pemanfaatan ikan nila

(Oreochromis niloticus) di perairan umum Waduk Cirata KabupatenCianjur Jawa Barat. Jurnal Perikanan dan Kelautan 3 (3): 263-274.

Purwanto. 1988. Bio-Ekonomi Penangkapan Ikan: Model Statik. Oseana13 (2): 63-72.

Putri AK. 2013. Kajian Stok Sumber Daya Ikan Selar Kuning (Selaroidesleptolepis) Cuvier dan Valenciennes yang Didaratkan di PPNKarangantu, Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Reuben S, Kasim HM, Sivakami S, Nair PNR, Kurup KN, Sivadas M,Noble A, Nair KVS, Raje SG. 1992. Fishery, biology and stockassessment of carangid resources from the Indian seas. Indian J Fish39 (3,4): 195-234.

Salmah T, Nanaban BO, Sehabuddin U. 2012. Opsi Pengelolaan IkanTembang (Sardinella fimbriata) di Perairan Kabupaten Subang, JawaBarat. Jurnal Sosek KP 7 (1): 19-32.

Saputra D. 2008. Pembuatan Pepton Ikan Selar Kuning (Caranxleptolepis)Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) pada Kondisi PostRigor dan Busuk. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sholeh FR. 2012. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layur (Lepturacanthussavala, Cuvier 1982) di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan,Kabupaten Padeglang, Provinsi Banten. [Skripsi]. Institut PertanianBogor, Bogor.

Sobari MP, Diniah, Widiarso DI. 2008. Analisis “Maximum SustainableYield” dan “Maximum Economic Yield” menggunakan bio-ekonomiModel Statis Gordon – Schaefer dari Penangkapan Spiny Lobster diWonogiri. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 15 (1):35-40

Sriati. 2011. Kajian bio-ekonomi sumberdaya ikan kakap merah yangdidaratkan di Pantai Selatan Tasikmalay, Jawa Barat. Jurnal Akuatika2 (2): 79-90

Sulistiyawati ET. 2011. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterusfurcosus) Berdasarkan Model Produksi Surplus di Teluk Banten,Kabupaten Serang, Provinsi Banten. [Skripsi]. Institut PertanianBogor, Bogor.

Suseno. 2007. Presentasi Kebijakan Pengelolaan dan PemanfaatanSumberdaya Ikan, di Semarang. Departemen Kelautan dan Perikanan,Direktur Jendral Perikanan Tangkap, Direktur Sumberdaya ikan,Jakarta.

Susilo H. 2010. Analisis bioekonomipada pemanfaatan sumberdaya ikanpelagis besar di Perairan Bontang. Jurnal EPP 7 (1): 25-30

Thangaraja M. 1985. On the laboratory reared fish eggs and larvae of fivespecies of carangids from the Vellar Estuary, Porto Novo. Mahasagar-Bulletin of the National Institute of Oceanography 18 (4): 477-488.

Thanh NV. 2011. Sustainable management of shrimp trawl in TonkinGulf, Vietnam. App Econ J 18 (2): 65-81.

Tinungki GM. 2005. Evaluasi Model Produksi dalam Menduga HasilTangkapan Maksimum Lestari untuk Menunjang KebijakanPengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali [Disertasi]. InstitutPertanian Bogor, Bogor.

Utami DP, Gumilar I, Sriati. 2012. Analisis Bioekonomi PenangkapanIkan Layur (Trichirus sp) di Perairan Parigi Kabupaten Ciamis. JurnalPerikanan dan Kelautan 3 (3): 137-144.

Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. GadjahMada University Press, Yogyakarta.

Zulbainarni N. 2012. Teori dan Praktik Pemodelan Bioekonomi dalamPengelolaan Perikanan Tangkap. IPB Press, Bogor.

Page 60: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 58-69, June 2014 ISSN: 2088-110X, E-ISSN: 2088-2475DOI: 10.13057/bonorowo/w040105

Valuasi ekonomi dampak alih fungsi lahan mangrove untuk budidayaikan tambak di Desa Tambaksumur, Karawang, Jawa Barat

Economic valuation of conversion impact of mangrove area for fish farming in TambaksumurVillage, Karawang, West Java

CHARISTA LOVAPINKA, AKHMAD FAUZI, RIZAL BAHTIARDepartemen Ekonomi Sumberdaya Dan Lingkungan Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor 16680. Jawa Barat

Manuskrip diterima: 22 Februari 2014. Revisi disetujui: 15 April 2014.

Abstract. Lovapinka C, Fauzi A, Bahtiar R. 2014. Economic valuation of conversion impact of mangrove area for fish farming inTambaksumur Village, Karawang, West Java. Bonorowo Wetlands 4: 58-69. Profitable business of brackishwater black tiger shrimp andmilkfish pond culture in Karawang Regency have triggered the excessive conversion of mangrove forest areas into brackishwater pondareas. This conversion result in negative impacts on the household incomes and the environment since mangrove forest has a strategicrole for life such as a source of human needs, shelter, spawning and food source for marine life, as well as protection from coastalerosion. A study to identify the benefits of direct use values of mangroves and economic losses, analyze the benefits financially,sustainability pond analyzes, and identify policy implications of the impact of tiger shrimp and milkfish with conversion of mangroveland was conducted in Karawang Regency. Tambak Sumur was selected as a study site since this village has mangrove forest areasconverted into brackishwater black tiger shrimp and milkfish as a study site since this village ponds. Parameter observed was thefeasibility of mangrove forest conversion into brackishwater black tiger shrimp and milkfish ponds such as replacement cost andeconomic valuation. Data were analyzed descriptively. The result of this study revealed that mangrove forest had important role incommunities income and the environment. Conversion of mangrove forests into brackishwater black tiger shrimp and milkfish pondsfinancially was still feasible indicated by R/C of 1.12.

Keywords: Black tiger and milkfish pond culture, economic valuation, mangrove forest convertion, replacement cost

PENDAHULUAN

Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 2008,Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia,dengan luas laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari lautteritorial dengan luas 0,8 juta km2, laut nusantara 2,3 jutakm2 dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta km2. Di sampingitu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dangaris pantai sepanjang 95.181 km2 (Dewan KelautanIndonesia 2008).

Perikanan didefinisikan sebagai aktivitas menangkapikan (termasuk hewan inverterbrata lainnnya seperti finfishatau ikan bersirip) namun juga termasuk kegiatanmengumpulkan kerang-kerangan, rumput laut dan sumberdaya hayati lainnya dalam suatu wilayah geografis tertentu.Oleh karena itu definisi perikanan laut dibatasi yangsemula memang dari kegiatan hunting (berburu) dengankegiatan farming seperti budidaya (Fauzi 2010).

Perikanan budidaya merupakan salah satu sektorunggulan pembangunan nasional yang dapat meningkatkanproduktivitas, nilai tambah dan daya saing, serta skalaproduksi sumber daya kelautan dan perikanan. Berdasarkandata di Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012),potensi perikanan budidaya di Indonesia masih yangterbesar di Asia Tenggara dengan luas lahan mencapailebih dari 15,59 juta ha, terdiri dari potensi budidaya air

tawar seluas 2,23 juta ha, budidaya air payau 1,22 juta hadan potensi budidaya laut mencapai 12,14 juta ha.

Pemanfaatan lahan budidaya masih belum optimal,pemanfaatan lahan budidaya air tawar baru sebesar10,01%, budidaya air payau 40% dan pemanfaatanbudidaya laut baru mencapai 0,01%. Walaupunpemanfaatan potensi perikanan budidaya belum optimal,produksi perikanan budidaya menunjukkan kenaikan yangcukup signifikan dari 4,78 juta ton pada tahun 2009menjadi sekitar 6,97 juta ton pada tahun 2011 dan mampuberkontribusi sebesar 56,33% dari total produksi perikanannasional, dengan laju pertumbuhan yang jauh lebih tinggidibandingkan dengan perikanan tangkap, yakni sebesar21,83% (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012).

Sumber daya perikanan laut di Indonesia merupakanpotensi yang besar baik penangkapan, maupun budidaya.Budidaya perairan atau akuakultur menjadi tulangpunggung produksi perikanan nasional di masa depan, baikuntuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri,maupun untuk ekspor. Hal ini terjadi karena kegiatanperikanan tangkap yang dieksploitasi secara terus menerusmengakibatkan jumlah stok pada ikan di laut menurun.Untuk itu perikanan budidaya menjadi kegiatan yangpotensial dikembangkan ditambah dengan jumlahpenduduk di Indonesia yang besar merupakan potensi pasarbagi produksi budidaya perairan.

Page 61: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

LOVAPINKA et al. – Dampak konversi lahan mangrove untuk tambak ikan 59

Salah satu ikan yang memiliki potensi untuk dipeliharadalam budidaya tambak adalah ikan bandeng (Chanoschanos). Ikan bandeng sangat potensial dan cepatpertumbuhannya dan lebih baik lagi bila dipeliharabersama udang karena kelincahannya dapat berfungsisebagai aerator. Dalam pembudidayaannya, ikan bandengdapat hidup di air dengan kadar keasinan tinggi maupunrendah, bahkan dapat hidup di kolam air tawar (Murtidjo1989). Bandeng merupakan salah satu jenis ikan lautkonsumsi yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsidi Indonesia. Berkembangnya teknologi budidaya bandengdi masyarakat, tidak terlepas dari keunggulan komparatifdan strategisnya karena dapat dibudidayakan di air payau,laut, air tawar, toleran terhadap perubahan mutulingkungan, teknologi pembesaran dan pembenihannyatelah dikuasai masyarakat, serta tahan terhadap seranganpenyakit. Selain itu, bandeng digunakan sebagai umpanhidup dalam penangkapan tuna dan cakalang, dan telahpula menjadi komoditas ekspor (Kordi 2011).

Di Indonesia, prospek untuk budidaya udang di tambakbersalinitas rendah maupun sawah tambak sangatmenjanjikan. Hal tersebut dapat dilihat di beberapa daerahyang tambaknya berjarak 2-3 km dari pantai danbersalinitas rendah, bahkan salinitas 0 ppt (tawar) sangatbanyak. Usaha budidaya tambak udang dapat dilakukanpada lahan yang menyediakan stok air dan lahan yangmemiliki salinitas rendah seperti, areal persawahan yangkurang produktif untuk menanam padi akibat adanyaintrusi air laut yang masuk, lahan yang terletak pada posisiyang rendah dari permukaan laut, lahan tadah hujan ataulahan yang hanya menggantungkan dari sistem pengairanalam (non teknis), dan lahan yang dilengkapi denganpengairan sistem irigasi teknis (Wedjatmiko 2010).

Tujuan dari penelitian ini adalah: (i) Mengidentifikasimanfaat nilai guna langsung mangrove dan menganalisiskerugian ekonomi dari dampak budidaya ikan di tambakdengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur,Kecamatan Tirtajaya, Karawang. (ii) Menganalisis secarafinansial manfaat dari dampak budidaya ikan di tambakdengan alih fungsi lahan mangrove. (iii) Mengidentifikasikeberlanjutan tambak dari dampak budidaya ikan ditambak dengan alih fungsi lahan mangrove. (iv)Mengidentifikasi alternatif kebijakan dari dampakbudidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahanmangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya,Karawang, Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan waktu penelitianPenelitian ini dilakukan di Desa Tambaksumur,

Kecamatan Tirtajaya, Kabupaten Karawang, Provinsi JawaBarat. Penentuan lokasi ini dilakukan secara sengaja karenapada lokasi tersebut terdapat tambak budidaya udangwindu dan ikan bandeng, bersama dengan tim penelitiBalai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan danPerikanan, Jakarta. Pengambilan data primer dilaksanakanselama bulan Maret hingga April 2013.

Jenis dan sumber dataData yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian inidiperoleh langsung dari informan kunci (key informant)dengan menggunakan panduan wawancara dengan daftarpertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dan hasilpengamatan langsung dilapangan (observasi). Datasekunder, yang dikumpulkan dari buku referensi, internet,instansi pemerintah dan lembaga berupa laporan-laporan,arsip dan dokumentasi yang terkait dengan permasalahanpenelitian.

Metode penentuan jumlah respondenMetode pengambilan atau penentuan jumlah responden

dilakukan dengan cara non probability sampling yaitu jenispurposive sampling, dimana pengambilan sampel tidakdilakukan secara acak melainkan dengan pertimbangantertentu dan secara sengaja yang disesuaikan dengan tujuanpenelitian (area sampling). Pengambian sampel padametode purposive sampling harus mengandung ciri-ciri,sifat, dan karakteristik tertentu yang dapat menjadi pokokdari subjek penelitian.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara wawancaramasing-masing responden untuk memperkirakan nilaiekonomi, yaitu: manfaat langsung, manfaat tidak langsung,dan manfaat pilihan dari hutan mangrove tersebut, dimanapengambilan sampel dilakukan secara acak dari jumlahpenduduk di desa tersebut, jumlah petambak budidayaudang windu dan ikan bandeng. Jumlah sampel yangditentukan dengan rumus Slovin:

Keterangan:n = ukuran sampel,N = ukuran populasi,e = batas maksimum kesalahan yang masih diterima,

asumsi: 10%Berikut perhitungan penentuan jumlah sampel yang

ditentukan dari 100 orang petambak yang telah melakukanbudidaya udang windu dan ikan bandeng.

Metode pengolahan dan analisis dataPengolahan dan analisis data dilakukan secara manual

dan menggunakan komputer dengan program MicrosoftOffice Excel 2007. Tabel 1 diuraikan matriks keterkaitanantara sumber data dan metode analisis data yangdigunakan untuk menjawab tujuan penelitian ini.

Identifikasi manfaat nilai guna langsung dan kerugianekonomi

Menurut Nazir (1999), analisis deskriptif merupakansuatu metode dalam meneliti status kelompok manusia,suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikirainataupun sesuatu jelas peristiwa pada masa sekarang.Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran,atau lukisan secara sistematis, aktual, dan akurat, mengenai

Page 62: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 58-69, June 201460

fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yangdiselidiki. Untuk mengidentifikasi manfaat dan kerugianekonomi dari dampak budidaya udang windu dengan alihfungsi lahan mangrove di wilayah Karawang tersebut makadigunakan metode valuasi ekonomi. Menurut KementerianNegara Lingkungan Hidup (2007), valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan adalah upaya pengenaan nilaimoneter terhadap sebagian atau seluruh potensi sumberdaya alam dan lingkungan, sesuai dengan tujuanpemanfaatannya. Valuasi ekonomi sumber daya alam danlingkungan ini digunakan untuk melakukan perhitungannilai ekonomi total dari sumber daya dan lingkungan.Beberapa valuasi ekonomi ekosistem mangroveditunjukkan pada Tabel 2.

Nilai ekonomi totalNilai ekonomi total didefinisikan sebagai nilai ekonomi

sumberdaya alam dan lingkungan dalam suatu ekosistemtertentu yang merupakan penjumlahan dari nilai guna (usevalue) dan nilai guna tidak langsung (non use value). Nilaiguna langsung (use value) adalah nilai ekonomi dari suatusumberdaya alam dan lingkungan yang secara langsungdimanfaatkan. Nilai guna tidak langsung (non use value)yaitu nilai ekonomi dari suatu sumberdaya alam danlingkungan yang dapat diterima oleh masyarakat tanpamemanfaatkan sumber daya alam tersebut secara langsung.

Berdasarkan Gambar 1, maka persamaan perhitungansebagai berikut:

TEV = UV + NUVUV = DUV + IUV + OV NUV= XV + BVSehingga:TEV = (DUV + IUV+ OV) + (XV+BV)

Dimana:UV = Use ValueNUV= Non Use ValueDUV= Direct Use ValueIUV = Indirect Use ValueOV = Option ValueXV = Existence ValueBV = Bequest Value

Manfaat langsung ekosistem mangroveManfaat langsung atau Direct Use Value (DUV) adalah

manfaat yang dapat diperoleh dari ekosistem mangrove

seperti menangkap ikan, kepiting, kerang, kayu, penelitiandan wisata, dengan rumus (Fauzi 2002):

TML = ML1 +ML2 +ML3 +…+MLn (dimasukkan kedalam Rupiah)

Dimana :TML= Total Manfaat LangsungML1 = Manfaat Langsung ikanML2 = Manfaat Langsung kepitingML3 = Manfaat Langsung kayuMLn = Manfaat Langsung ke-n

Gambar 1. Nilai ekonomi ekosistem mangrove

Tabel 2. Nilai manfaat ekosistem mangrove

ManfaatMangrove

Harga Nilai ManfaatEkonomi (1 US$Rp 9.000)

Sumber

Pelindungpantai

US$ 726,26/ha/year

Rp 6.536.340/ha/tahun

Dahuri(1995)

Biodiversitas US$ 15,00/ha/year

Rp 135.000/ha/tahun

Ruitenbeek(1991)

Nursery groundUS$ 1142/ha/year

Rp 10.278.000/ha/tahun

Fahruddin,(1996)

Habitat floradan fauna

US$ 767,20/ha/year

Rp 6.904.800/ha/tahun

Fahruddin(1996)

Pembibitanbakau

US$ 0,70/ha/year

Rp 6.300 /ha/tahun Kusumastanto (1998)

Total Rp 23.860.440/ha/tahun

Tabel 1. Metode analisis dan sumber data

Tujuan penelitian Sumber data Metode analisis

Mengidentifikasi manfaat nilai guna langsung mengrove dan kerugianekonomi dari dampak Ekonomi budidaya ikan di tambak dengan alih fungsilahan mangrove

Data primer Analisis Deskriptif danValuasi

Menganalisis secara finansial manfaat dari dampak budidaya ikan di tambakdengan alih fungsi lahan mangrove

Data primer dan datasekunder

Analisis Biaya ManfaatEkonomi

Mengidentifikasi keberlanjutan tambak dari dampak budidaya ikan ditambak dengan alih fungsi lahan mangrove

Data primer Analisis Deskriptif

Mengidentifikasi alternatif kebijakan dari dampak budidaya ikan di tambakdengan alih fungsi lahan mangrove

Data sekunder Analisis Deskriptif

Page 63: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

LOVAPINKA et al. – Dampak konversi lahan mangrove untuk tambak ikan 61

Manfaat tidak langsung ekosistem mangroveManfaat tidak langsung adalah nilai yang dirasakan

secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yangdihasilkan sumberdaya dan lingkungan (Fauzi 2002).

MTL = MTL1 + MTL2 +…+ MTLn (dimasukan kedalam nilai Rupiah)

Dimana :MTL= Manfaat Tidak LangsungMTL1 = Manfaat Tidak Langsung sebagai pelindung

gelombangMTL2 = Manfaat Tidak Langsung sebagai penyedia

bahan pakan alami untuk biota yang hidup di dalam hutanmangrove

Perhitungan manfaat tidak langsung ini menggunakanpendekatan benefit transfer dengan cara meminjam hasilstudi penelitian sebelumnya untuk menduga nilai manfaatekonomi tidak langsung.

Manfaat pilihan ekosistem mangroveManfaat pilihan adalah suatu nilai yang menunjukan

kesediaan seseorang untuk membayar guna melestarikanekosistem mangrove bagi pemanfaatan di masa depan(Fahrudin 1996). Metode benefit transfer digunakandengan cara menghitung besarnya nilai keanekaragamanhayati yang ada di dalam ekosistem hutan mangrovetersebut. Metode ini menggunakan sistem penilaian benefitdari tempat lain dimana sumberdaya tersedia kemudianbenefit tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraankasar mengenai manfaat lingkungan (Tuwo 2011). MenurutRuitenbeek (1991), hutan mangrove di Indonesia memilikinilai biodiversitas sebesar US$ 1500 per km2 atau US$ 15per ha. Metode Benefit Transfer termasuk di dalam nilaipilihan (option value) yang dirumuskan sebagai berikut:

OV = US$ 15 per ha x Luas hutan mangrove

Dimana:OV = Option ValuePerhitungan nilai manfaat pilihan dengan menggunakan

benefit transfer menurut Fauzi (2013), yaitu:

Dimana:0,035 = elastisitas pendapatan

Analisis biaya dan manfaat ekonomiHasil perhitungan kriteria investasi merupakan salah

satu peralatan dalam mengambil keputusan, apakah usahaproyek yang dinilai dapat diterima atau ditolak. Diterimayang dimaksud adalah layak untuk dijalankan karena dapatmenghasilkan manfaat (Ibrahim 2009). R/C adalahsingkatan dari Return Cost Ratio atau disebut juga denganperbandingan antara penerimaan dan biaya. Secaramatematis menggunakan rumus persamaan sebagai berikut:

a=R/C ..... R=PY.Y C=FC+VCa= {(PY.Y)/(FC+VC)}Kriteria:

R/C > 1, usaha layak dan diterima, sertamenguntungkan R/C = 1, usaha tidak untung dan tidak rugi

R/C < 1, usaha tidak layak dan ditolak, serta merugikanDimana:

R = PenerimaanC = Biaya yang dikeluarkan tiap tahunPY = Harga outputY = OutputFC = Biaya tetap VC = Biaya variabel

HASIL DAN PEMBAHASAN

Budidaya perikanan tambakDi Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya rata-rata

petani melakukan aktivitas tambak ini masih secaratradisional. Pola tambak yang dilakukan yaitu dengan polapolikultur atau dengan melakukan dua jenis dalam satubudidaya tambak, yaitu ikan bandeng dan udang windu.Hal ini dilakukan karena kedua komoditi tersebutmempunyai nilai ekonomis yanga tinggi sehingga sistembudidaya tambak dengan polikultur ini dapat meningkatkanproduksi per unit areal tambak dan dapat meningkatkanpendapatan petani tambak tersebut. Petani tambak memilikilahan tambak yang luasnya dari 1 ha sampai 15 ha. Petakantambak pada budidaya ini biasanya antara 1-3 ha perpetaknya dan setiap petakan memiliki saluran keliling(caren) yang lebarnya 5-10 cm di sepanjang kelilingpetakan sebelah dalam. Pada bagian tengah dibuat 30-50cm lebih dalam daripada bagian lain dari dasar petakan.Pada bagian pelataran hanya dapat diisi air sedalam 30-40cm dan pada tempat akan ditumbuhi kelekap sebagai pakanalami bagi ikan bandeng dan udang windu.

Berdasarkan hasil penelitian di lapang, untukmelakukan pembudidayaan ikan terlebih dahulu harusmempersiapkan tambak. Pengolahan tanah secara totalpada umumnya hanya dilakukan satu kali dalam setahun,yaitu pada musim kemarau. Setelah panen udang, pertamakali yang harus dilakukan adalah pengeringan. Pengeringanadalah proses seluruh air yang berada di area tambakkering sampai tanah mengerut atau sampai tanah retak-retak. Persiapan tanah dasar tambak ini dilakukan denganpengeringan total dan penjemuran tanah dasar secara alami(sinar matahari) dan biasanya penjemuran ini memakanwaktu 1-2 minggu, tergantung dengan kondisi cuaca.Selanjutnya, tahap pengangkatan lumpur denganmenggunakan cangkul karena pada lumpur tersebut bisamenjadi media pertumbuhan penyakit pada ikan berikutnya.

Kemudian untuk menciptakan pertukaran udara,melepas gas-gas beracun, dan untuk mematikan spora makadilakukan pembalikan tanah, dilanjutkan denganmelakukan pengapuran tanah dengan dosis 1-2 ton per ha.Proses pengapuran dilakukan dengan menyebar kapursecara merata ke seluruh tanah dasar dan dinding tanggul.Setelah itu dilakukan terapi lahan atau pemupukan tanahyang berguna untuk menyuburkan pertumbuhan plankton.Para petani tambak biasanya menggunakan pupuk urea 150kg per ha dan pupuk TSP 75 kg per ha denganperbandingan 2:1.

Page 64: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 58-69, June 201462

Selang dari 1-3 hari, tahap selanjutnya adalahmemasukan air ke dalam tambak setinggi 10-20 cm dandidiamkan selama 3-5 hari untuk pembibitan plankton.Setelah itu tinggikan air tambak minimal 80 cm danmaksimal 120 cm. Peninggian air tambak dilakukan janganterlalu dangkal dan terlalu dalam. Dianjurkan agarmengambil air dari dalam tanah bukan dari luar karenauntuk mengurangi adanya virus yang masuk dari dalam air.

Benih udang windu dan ikan bandeng yang ditebartergantung dengan metode budidaya yang diterapkan,kondisi tambak (daya dukung), kualitas air, dan saranapenunjang yang tersedia (kincir air) dan pompa air. Padattebar benih udang yang dilakukan oleh petani tambak diDesa Tambaksumur rata-rata sekitar

15.000 ekor per ha dan ikan bandeng rata-rata sekitar5000 ekor per ha. Biasanya penebaran dilakukan padakondisi yang teduh seperti pagi hari atau sore hari karenapenebaran benih pada saat hujan atau terik matahari dapatmenyebabkan udang menjadi stress dan timbul bintik putihyang memicu kematian pada udang windu tersebut.

Karakteristik petani tambakUmur petani tambak

Dalam usaha tambak, kebanyakan dari petani memilikiumur antara 37-45 tahun yaitu sebanyak 15 orang atau30%, dilanjutkan dengan petani yang memiliki umur antara28-36 tahun sebanyak 14 orang atau 28%. Petani tambak diKecamatan Tirtajaya banyak yang berumur antara 28-45tahun dan rata-ratanya adalah 36,5 tahun. Umur tersebutmerupakan umur yang sangat produktif, dimana tingkatkemauan bekerja serta pengembangan inovasinya masihsangat tinggi. Jumlah petani yang berumur 19-27 tahunsebanyak 7 orang atau 14% dan petani yang berumur antara55-63 tahun sebanyak 3 orang atau 6%, serta petani yangberumur 73-81 tahun hanya 1 orang atau 2%. Sedikitnyapetani tambak yang berumur di bawah 28 tahun disebabkanoleh kurangnya minat menjadi petani tambak ataukedudukannya hanya sebagai pekerja dalam usaha tambakorang tuanya jika menjadi petani tambak (Gambar 2).

Tingkat pendidikan petani tambakPenduduk di Kecamatan Tirtajaya rata-rata menempuh

pendidikan sampai tingkat SD. Dari 50 responden, 76%atau sebanya 38 orang hanya berpendidikan SD, 10% atausebanyak 5 orang berpendidikan SLTP, 12% atau 6 orangberpendidikan SLTA, dan 2% atau 1 orang yangmenempuh pendidikan sampai tingkat sarjana. Banyaknyapenduduk yang berpendidikan pada tingkat SD tersebutrata-rata disebabkan harus membantu pekerjaan orang tuadi tambak dan juga faktor ekonomi dan jumlah sekolahyang sesuai jenis pendidikan kurang memadai menjadisalah satu penyebab mereka hanya berpendidikan SD(Gambar 3).

Pengalaman usaha petani tambakPara petani tambak di Tirtajaya umumnya memiliki

pengalaman usaha tambak yang beragam. Jumlah petanitambak yang paling banyak memiliki pengalaman usahaselama 6-10 tahun, yaitu sebanyak 11 orang atau 22%.Sebanyak masing-masing 10 orang petani memiliki

pengalaman usaha dalam budidaya tambak, yaitu selama 1-5 tahun, 11-15 tahun, dan 16-20 tahun. Hal ini disebabkanbanyaknya petani tambak yang memulai usahanya darisekitar umur 20 tahun dan sesuai dengan banyaknyapetambak yang berumur produktif antara 28-45 tahun(Gambar 4).

Status kepemilikan lahan tambakBerdasarkan data responden penelitian (Gambar 5),

status kepemilikan lahan tambak sebanyak 18 orang atau36% adalah milik sendiri, sebanyak 17 orang atau 34%status kepemilikannya adalah sewa, sebanyak 13 orang atau26% berstatus gadai, dan sebanyak masing-masing 1 oranglahannya berstatus milik sendiri dan sewa, serta sewa dan gadai.

Usaha tambak yang dilakukan para petani tambaksecara umum dilakukan turun temurun dengan meneruskandan mengelola warisan tambak dari orang tuanya yangkepemilikannya menjadi milik sendiri, sebagian petambakyang berada dari desa luar menyewa dari penduduksetempat, beberapa petambak yang membantu meminjam-kan dana untuk petambak lain biasanya diberikan tambaksebagai penggadaian dari dana yang dipinjamkan.

Luas lahan tambakRata-rata petani tambak di Kecamatan Tirtajaya

memiliki lahan tambak dengan status milik sendiri dan luastambak sekitar 1-4 ha per orangnya. Hal ini dapat dilihatdari Gambar 6 yang menjelaskan persentase jumlah petambakberdasarkan luas tambaknya. Sebanyak 82% petambak atausekitar 41 orang memiliki lahan tambak seluas 1-4 ha dansebanyak 12% petambak memiliki lahan seluas 4,1-8 ha,serta masing-masing 2% petambak memiliki lahan tambak12,1-16 ha, 16,1-20 ha, dan lebih besar dari 20 ha.

Identifikasi manfaat nilai guna langsung dan kerugianekonomiNilai manfaat langsung

Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara respondendi lapang, mangrove dapat dimanfaatkan oleh warga secaralangsung. Beberapa di antaranya adalah manfaat langsungdari hasil kayu yaitu sebagai kayu bakar. Penduduk diKecamatan Tirtajaya rata-rata mengambil kayu mangroveuntuk digunakan sebagai kayu bakar. Kayu bakar sendirirata-rata dijual untuk menambah pendapatan. Prosespengambilan kayu bakar dilakukan dua kali dalam sebulansehingga kira-kira 24 kali dalam setahun. Pengambilankayu bakar dilakukan dengan menggunakan kapak. Rata-rata volume kayu bakar yang diambil sebanyak 960 kg pertahun, serta biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 2.736.000per tahun. Harga kayu bakar dijual per ikat sebesar Rp10.000. Nilai manfaat yang diterima dalam waktu setahunadalah sebesar Rp 6.864.000 dan nilai manfaat per tahunsebesar Rp 343.200 per ha (Tabel 3).

Selain dimanfaatkan secara langsung sebagai kayubakar, tanaman mangrove juga dapat dimanfaatkan untukpengambilan kepiting secara langsung. Hanya sebagiansaja dari penduduk di Kecamatan Tirtajaya yangmengambil kepiting untuk dijual ataupun untuk dikonsumsisendiri. Pengambilan kepiting sendiri dilakukan duaminggu sekali dan memperoleh kepiting sebanyak 549,12

Page 65: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

LOVAPINKA et al. – Dampak konversi lahan mangrove untuk tambak ikan 63

kg per tahun dengan harga jual Rp 20.000. Prosespengambilan kepiting tersebut menggunakan jala denganbiaya investasi setahun sebesar Rp 620.000. Nilai manfaatpengambilan kepiting yang diterima dalam waktu setahunadalah sebesar Rp 10.362.400 dan nilai manfaat per tahunyaitu sebesar Rp 471.018 per ha (Tabel 4).

Manfaat langsung dari mangrove yang didapatkan olehpenduduk Tirtajaya adalah pengambilan udang yang cukupbesar. Pengambilan udang dilakukan selama 180 haridalam setahun dengan menggunakan alat tangkap seroyang dipasang menetap pada tempat yang menghadap araharus air laut dan jaring, serta dilakukan dengan cara bubuoleh tenaga kerja.

Biaya investasi yang dikeluarkan untuk pengambilanudang sebesar Rp 288.053.000 per tahun. Dalam setahunrata-rata volume udang yang diambil sebanyak 22.050 kgdan 1,75 kg per orang per hari. Nilai manfaat daripengambilan udang yang diterima dalam waktu setahunadalah sebesar Rp 42.697.000 dan nilai manfaat pertahunnya sebesar Rp 609.957 per ha (Tabel 5).

Penduduk di Kecamatan Tirtajaya juga memanfaatkanmangrove untuk pengambilan ikan. Jenis ikan yang biasadiambil adalah ikan kembung, ikan cucut, ikan belanak,dan ikan kerapu. Pengambilan ikan menggunakan alattangkap sero, jaring, dan ember, serta membutuhkan tenagakerja. Persentase pengambilan ikan dari pemanfaatanmangrove sebesar 43,32% sehingga dapat dinyatakanbahwa nilai manfaatnya paling besar di antara ketigamanfaat langsung sebelumnya. Biaya yang dikeluarkanuntuk pengambilan ikan sebesar Rp 418.013.000 per tahun.Dari pengambilan ikan menghasilkan volume rata-ratasetahun sebesar 85.680 kg dan 3,5 kg per orang per hari,serta nilai manfaat yang didapatkan setiap tahun adalah Rp96.067.000 dan nilai manfaat per tahun dari pengambilanikan adalah Rp 941.833 per ha (Tabel 6).

Dari hasil perhitungan nilai manfaat langsung hutanmangrove, kerugian yang ditimbulkan dari hasil konversimangrove menjadi tambak yaitu total penjumlahan darinilai manfaat kayu bakar, kepiting, udang, dan ikan. Nilaikerugian yang diterima adalah Rp 533.175.462 per tahun.Berdasarkan jenis usaha pemanfaatannya, usahapengambilan udang dan ikan di kawasan hutan mangrovememberikan nilai manfaat per tahun paling besar, yaitusebesar 28,06% dan 43,32%. Hal tersebut disebabkankegiatan pengambilan udang dan ikan merupakanpekerjaaan utama masyarakat di Desa Tambaksumur. Tabel7 adalah nilai manfaat langsung ekosistem mangrove.

Berdasarkan data tersebut di atas, jumlah nilai manfaatlangsung hutan mangrove kecuali tambak sebesar Rp2.174.008 per ha per tahun kemudian dikalikan denganluasan hutan yang tidak dikonversi seluas 49,05 hasehingga didapatkan nilai sebesar Rp 116.052.725 pertahun. Nilai manfaat tambak sebesar Rp 8.707.738dikalikan dengan luas hutan yang dikonversi yaitu 196,2 hasehingga didapatkan nilai sebesar Rp 1.708.458.195 pertahun. Nilai manfaat langsung secara keseluruhandidapatkan sebesar Rp 1.824.510.920.

Gambar 2. Persentase jumlah petambak berdasarkan umur

Gambar 3. Persentase jumlah petambak berdasarkan tingkatpendidikan

Gambar 4. Persentase jumlah petambak berdasarkan lama usaha

Gambar 5. Persentase jumlah petambak berdasarkan statuskepemilikan lahan

Page 66: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 58-69, June 201464

Gambar 6. Persentase jumlah petambak berdasarkan luas lahantambak

Nilai manfaat tidak langsungManfaat tidak langsung pada ekosistem mangrove di

Kecamatan Tirtajaya adalah sebagai pelindung pantai darigelombang air laut, tempat pemijahan ikan, dan sebagaihabitat flora serta fauna. Pada wilayah ini pembuatanbreakwater masih belum dilaksanakan karena minimnyadana sehingga penilaian manfaat tidak langsung mangrovesebagai pelindung pantai dapat dilakukan denganmenggunakan biaya pengganti.

Manfaat tidak langsung dari mangrove bagi lingkunganpesisir adalah sebagai penahan dan pemecah gelombanglaut, sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi pantai.Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenagagelombang laut dan arus laut yang sifatnya merusak(Setiyono dalam BPLHD Karawang 2008). Abrasi yangterjadi pada pesisir pantai disebabkan oleh aktivitasmanusia secara tidak langsung dengan mengubah suatukondisi dimana faktor alam dapat berperan secara langsungterhadap terjadinya abrasi. Hal ini dapat dicegah denganmembuat kawasan yang berfungsi sebagai daerahpenyangga (buffer zone).

Buffer zone merupakan ekosistem mangrove yang baikuntuk mencegah dan mengurangi dampak abrasi.Hilangnya ekosistem mangrove yang diubah menjadi lahantambak juga menghilangkan fungsi dari mangrove tersebutsehingga berdampak pada peningkatan laju abrasi dikawasan pesisir pantai. Perhitungan manfaat tidak langsungdari hutan mangrove sebagai penahan abrasi dapatdiestimasi dengan menggunakan replacement cost, yaituhasil perhitungan dari pembuatan bangunan pemecahgelombang (breakwater) oleh Dinas Pekerjaan Umum.Menurut Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta (2013),manfaat tidak langsung untuk perhitungan pembangunanpemecah gelombang (break water) dengan menggunakanbatu gunung (batu alam) memerlukan biaya sebesar Rp40.686.350 per meter dan umur ekonomi diperkirakan 30tahun. Berdasarkan informasi tersebut, panjang pantai yangdilindungi hutan mangrove 4,5 km atau 4500 m sehinggamanfaat tidak langsung dari fungsi pelindung pantai daripemecah gelombang air laut sebesar Rp 6.102.952.500 pertahun. Tabel 8 adalah nilai manfaat tidak langsung dariekosistem mangrove.

Tabel 3. Analisis nilai manfaat pengambilan kayu bakar di DesaTambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barattahun 2013

Pengambilan kayu bakar Satuan Rumus Jumlah

Jumlah pengambil kayu bakar orang a 20Jumlah hari hari b 24

Jumlah hasil kayu bakar perhari

ikat/hari/orang c 2

Jumlah hasil kayu bakar pertahun

ikat/tahun d = (a*b*c)960

Harga Rp e 10.000Nilai penjualan per tahun Rp/tahun f = (d*e) 9.600.000Biaya per tahun Rp/tahun g 2.736.000Nilai manfaat per tahun Rp/tahun h = (f-g) 6.864.000Nilai manfaat per hektar pertahun

Rp/tahun i = (h/a) 343.200

Tabel 4 Analisis nilai manfaat pengambilan kepiting di DesaTambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barattahun 2013

Pengambilan kepiting Satuan Rumus Jumlah

Jumlah pengambil kepiting orang a 22Jumlah hari hari b 24Jumlah hasil kepiting per hari kg/hari c 1,04Jumlah hasil kepiting pertahun

kg/tahun d = (a*b*c) 549,12

Harga Rp e 20.000Nilai penjualan per tahun Rp/tahun f = (d*e) 10.982.400Biaya per tahun Rp/tahun g 620.000Nilai manfaat per tahun Rp/tahun h = (f-g) 10.362.400Nilai manfaat per hektar pertahun

Rp/tahun i = (h/a) 471.018

Tabel 5 Analisis nilai manfaat penangkapan udang di DesaTambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barattahun 2013

Penangkapan udang Satuan Rumus Jumlah

Jumlah penangkap udang orang a 70Jumlah hari hari b 180Jumlah hasil tangkapan perhari

kg/hari c 1,75

Jumlah hasil tangkapan pertahun

kg/tahun d = (a*b*c) 22.050

Harga di tingkat nelayan Rp e 15.000Nilai penjualan per tahun Rp/tahun f = (d*e) 330.750.000Biaya per tahun Rp/tahun g 288.053.000Nilai manfaat per tahun Rp/tahun h = (f-g) 42.697.000Nilai manfaat per hektar pertahun

Rp/tahun i = (h/a) 609.957

Page 67: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

LOVAPINKA et al. – Dampak konversi lahan mangrove untuk tambak ikan 65

Tabel 6 Analisis nilai manfaat penangkapan ikan di DesaTambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barattahun 2013

Penangkapan Ikan Satuan Rumus Jumlah

Jumlah penangkap ikan orang a 102Jumlah hari hari b 240Jumlah hasil tangkapan perhari

kg/hari c 3.5

Jumlah hasil tangkapan pertahun

kg/tahun d = (a*b*c) 85.680

Harga di tingkat nelayan Rp e 6.000Nilai penjualan per tahun Rp/tahun f = (d*e) 514.080.000Biaya per tahun Rp/tahun g 418.013.000Nilai manfaat per tahun Rp/tahun h = (f-g) 96.067.000Nilai manfaat per hektar pertahun

Rp/tahun i = (h/a) 941.833

Tabel 7. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di DesaTambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barattahun 2013

Jenis manfaat Nilai manfaat pertahun

Persentase (%)

Manfaat LangsungPengambilan kayu bakar 37.081.800 6,95Pengambilan kepiting 115.517.165 21,66Pengambilan udang 149.591.954 28,06Pengambilan ikan 230.984.543 43,32Total 533.175.462 100

Tabel 8. Nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove diDesa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barattahun 2013

Jenis manfaat Nilai manfaat pertahun

Persentase (%)

Manfaat tidak langsungPelindung Pantai 6.102.949.500 56,63Tempat pemijahan ikan 2.795.433.566 25,94Habitat 1.877.982.991 17,43Total 10.776.366.057 100

Adanya kawasan hutan mangrove dapat memberikanbanyak manfaat. Selain dapat melindungi pantai darigelombang air laut, manfaat tidak langsung dari ekosistemmangrove juga digunakan sebagai tempat pemijahan ikandan habitat flora dan fauna. Berkembangnya ikan padaekosistem mangrove dapat meningkatkan produksi ikanpada kawasan tersebut. Menurut Fahruddin (1996), tempatpemijahan ikan hutan mangrove di Subang adalah US$1.142 dan habitat flora dan fauna adalah US$ 767,2,dimana nilai tukar dollar saat ini ( 24 Juni 2013) sebesar Rp9.981 sehingga didapatkan nilai tempat pemijahan ikanhutan mangrove sebesar Rp 11.398.302 per ha, serta nilaihabitat flora dan fauna sebesar Rp 7.657.423 per ha.

Hasil penilaian manfaat tidak langsung sebagaipelindung pantai memiliki persentasi paling besar, yaitu56,63%. Manfaat tidak langsung berikutnya sebagai tempat

pemijahan ikan sebesar 25,94% dan sebagai habitat floradan fauna sebesar 17,43%. Total dari manfaat tidaklangsung hutan mangrove per tahun, yaitu sebesar Rp10.776.366.057. Nilai manfaat tidak langsung per tahun diatas dibagi dengan luasan hutan mangrove sebesar 245,25sehingga diperoleh nilai manfaat tidak langsung hutanmangrove sebesar Rp 43.940.330 per ha per tahun. Darihasil penilaian tersebut, manfaat tidak langsung ekosistemmangrove sebagai tempat pemijahan ikan merupakanmanfaat yang sangat berpengaruh terhadap perkembangandan peningkatan jumlah produksi ikan.

Nilai manfaat pilihanManfaat pilihan atau option value dinilai dengan

menggunakan nilai biodiversitas hutan mangrove tersebut.Berdasarkan penelitian Ruitenbeek (1991), nilaikeanekaragaman hayati hutan mangrove di Indonesiaadalah US$ 15/ha/tahun. Manfaat pilihan yaitu nilai darimanfaat keanekagaraman hayati ekosistem mangrovetersebut yang dihitung dengan menggunakan faktorpenyesuaian GDP (Gross Domestic Product) United Statesdengan Indonesia.

Perhitungan nilai manfaat pilihan dengan menggunakanbenefit transfer menurut Fauzi (2013) yaitu sebagaiberikut:

dimana:0,035 = elastisitas pendapatan.

Berdasarkan perhitungan di atas diperoleh hasil 13,814dan perubahan nilai tukar dollar terhadap rupiah saat ini(18 September 2013) adalah Rp 11.549, yaitu sebesar Rp159.537 per ha per tahun. Nilai manfaat pilihan hutanmangrove sebesar Rp 159.537 per ha per tahun dikalikandengan luasan hutan mangrove seluas 245,25 ha sehingganilai manfaat pilihan, yaitu sebesar Rp 39.126.666,54 pertahun (Tabel 10).

Berdasarkan hasil identifikasi seluruh nilai manfaatekosistem mangrove, maka diperoleh perhitungan nilaiekonomi total dari hutan mangrove di Kecamatan Tirtajaya.Hasil tersebut diperoleh dari identifikasi manfaat langsung,manfaat tidak langsung, dan manfaat pilihan hutanmangrove. Manfaat langsung ekosistem mangrove terdiridari nilai manfaat pengambilan kayu bakar, nilai manfaatpengambilan kepiting, nilai manfaat pengambilan udang,dan nilai manfaat pengambilan ikan di kawasan hutanmangrove. Jenis manfaat tidak langsung dari ekosistemmangrove diperoleh dari nilai manfaat ekologis sebagaipemecah ombak (breakwater). Manfaat pilihan yaitu nilaidari manfaat keanekagaraman hayati ekosistem mangrovetersebut yang dihitung dengan menggunakan faktorpenyesuaian GDP (Gross Domestic Product) United Statesdengan Indonesia.

Berdasarkan Tabel 11 mengenai jumlah seluruh nilaimanfaat kawasan hutan mangrove di Kecamatan Tirtajayatahun 2013, manfaat tidak langsung memiliki nilai danpersentase paling besar, yaitu sebesar Rp 2.155.273.236 pertahun atau 85,26%. Nilai manfaat tidak langsung diperoleh

Page 68: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 58-69, June 201466

dari besarnya nilai manfaat hutan mangrove sebagaipelindung pantai. Hal itu berarti kontribusi hutan mangrovedalam manfaat tidak langsung sebagai pelindung pantai(pemecah ombak) sangat berpengaruh, khususnya untukmasyarakat yang tinggal di pesisir pantai tersebut.

Nilai manfaat langsung diperoleh sebesar Rp364.902.184 per tahun atau 14,43% dan nilai manfaatpilihan memiliki nilai paling kecil, yaitu sebesar Rp7.825.289 per tahun atau 0,31%. Oleh karena itu, nilaimanfaat total hutan mangrove di Desa Tambaksumur,Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 dengan luas yang diteliti49,05 ha, yaitu sebesar Rp 2.528.000.709 per tahun atauRp 51.539.260 per ha per tahun.

Berdasarkan data Tabel 12, dapat dilihat jumlah seluruhnilai manfaat hutan mangrove yang hilang akibat konversimenjadi tambak menghasilkan penerimaan tambak, yaitusebesar Rp 15.417.396.000 per tahun. Besarnya nilaikehilangan disebabkan konversi yang terjadi seluas 196,2ha atau sebesar 80% dari luas awal hutan mangrove, yaitu245,25 ha. Penerimaan tambak udang memiliki nilaiterbesar, yaitu sebesar Rp 9.923.796.000 per tahun.Selanjutnya, nilai penerimaan tambak pada bandeng, yaitusebesar Rp 5.493.600.000 per tahun.

Tabel 9. Nilai GDP USA dan GDP Indonesia tahun 2012 (dalamUS$)

Nama negaraGDP Populasi

GDP perkapita

Indonesia 878.043.028.442,37 246.864.191 4.810

AmerikaSerikat

15.684.800.000.000 313.914.040 50.610

Sumber: World Bank (2013)

Tabel 10. Nilai manfaat pilihan ekosistem mangrove di DesaTambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barattahun 2013

Jenis manfaat Nilai manfaat pertahun

Persentase (%)

Manfaat PilihanBiodiversitas 39.126.666,54 100Total 39.126.666,54 100

Tabel 11. Jumlah seluruh nilai manfaat hutan mangrove di DesaTambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barattahun 2013 dengan luas 49,05 ha

Jenis manfaat Nilai manfaat perhektar per tahun

Nilai manfaatper tahun

Persentase(%)

ManfaatLangsung

7.439.392 364.902.184 14,43

Manfaat TidakLangsung

43.940.331 2.155.273.236 85,26

Manfaat Pilihan 159.537 7.825.289 0,31Total 51.539.260 2.528.000.709 100

Tabel 12. Jumlah seluruh nilai penerimaan tambak di DesaTambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barattahun 2013 dengan luas 196,2 ha

Jenis Tambak Penerimaanper hektar per

tahun

Penerimaan pertahun

Persentase(%)

Tambak Udang 50.580.000 9.923.796.000 64,37Tambak Bandeng28.000.000 5.493.600.000 35,63Total 78.580.000 15.417.396.000 100

Dari data perhitungan, bila dibandingkan antara hasiltotal jenis manfaat dengan hasil total jenis penerimaantambak dapat diketahui bahwa total jenis penerimaantambak menghasilkan nilai yang lebih besar. Hal tersebutdisebabkan data jenis manfaat mangrove yang digunakanmelalui wawancara berasal dari tahun 2001 sehingga totaljenis manfaat tersebut harus dihitung dengan menggunakanrumus compounding.

Hasil total jenis manfaat yang menjadi nilai kerugiansetelah dicompounding secara kumulatif dari tahun 2001sampai tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 13.Berdasarkan hasil data pada Tabel 13 dapat dilihat keduahasil perbandingan antara suku bunga yang diasumsikan3% dengan 5% memiliki hasil sebesar Rp 39.481.785.327dan Rp 44.778.433.195. Hasil ini didapat dari rumus = f (1+i )t, yaitu total jenis manfaat mangrove dikalikan dengansuku bunga yang dipangkatkan dengan tahun sebelumterjadinya perubahan lahan mangrove tersebut dari tahun2001 ke tahun 2013. Dapat dilihat hasil setelahdicompounding, nilai jenis manfat mangrove menjadisangat besar. Nilai tersebut merupakan nilai kerugian darihutan mangrove yang tersisa pada luas 49,05 ha yang telahdialihfungsikan menjadi lahan tambak.

Analisis pendapatan ikan tambakPenggunaan lahan perikanan tambak udang tanpa

mengalihfungsikan lahan mangrove di KecamatanTirtajaya, Kabupaten Karawang dihitung denganmenggunakan pendekatan analisis secara finansial. Dalamhal ini, hutan mangrove masih memiliki fungsi normal danmembuat penduduk merasakan fungsi dari keberadaanmangrove tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan dengan 50 responden, produksi udang rata-rataper sekali panen dengan padat tebar 5000 benih udangadalah sebesar 281 kg dengan harga jual udang windusebesar Rp 60.000, sehingga pendapatan yang diterimapetani tambak untuk sekali panen adalah Rp 16.860.000.Umumnya dalam setahun dilakukan 3 kali panen udangsehingga dalam setahun produksi udang yang dihasilkansebesar 843 kg, dengan pendapatan Rp 50.580.000 pertahun. Selain itu, produksi ikan bandeng per sekali panendengan padat tebar 15.000 benih bandeng sebesar 1.000 kgdengan harga jual Rp 14.000. Dalam waktu 5-6 bulan ikanbandeng sudah dapat dipanen sehingga pendapatan yangditerima per siklus adalah Rp 14.000.000. dan dalamsetahun pendapatan para petambak sebesar Rp 28.000.000.

Biaya investasi yang dikeluarkan dalam produksitambak udang dan bandeng dengan jangka waktu kuranglebih 10 tahun, yaitu meliputi rata-rata biaya pembuatanrumah jaga sekitar Rp 4.198.864, pembelian mesin pompa

Page 69: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

LOVAPINKA et al. – Dampak konversi lahan mangrove untuk tambak ikan 67

air sebesar Rp 2.322.500, pembuatan pintu air sebesar Rp729.000 sehingga biaya tersebut hanya dikeluarkan olehpetani tambak setiap kurang lebih 10 tahun sekali. Biayainvestasi lainnya yang memiliki umur ekonomis 1-2 tahunadalah biaya pembelian lampu pada tambak Rp 16.407,pembelian tempat untuk menyimpan udang Rp 193.000,pembelian timbangan Rp 130.150, pembelian serokan Rp31.974, stereofoam Rp 30.000, pembelian ember untukmenampung udang yang telah dipanen Rp 10.564, senterRp 69.651, jala Rp 243.478, dan jaring Rp 6.125, sertatenaga kerja sebesar Rp 6.049.830.

Selain biaya investasi, biaya yang dikeluarkan dalamproduksi tambak udang adalah biaya operasional. Rata-ratabiaya operasional tersebut dikeluarkan 5 kali dalam setahununtuk udang windu dan ikan bandeng, meliputi biayapembelian pakan untuk setahun Rp 11.672.250, pupuk ureaRp 4.056.375, pupuk TSP Rp 1.899.210, kapur Rp1.353.690, probiotik Rp 1.126.400, vitamin Rp 883.320,obat-obatan Rp 1.186.380, pembelian benih udang Rp1.350.000, benih bandeng Rp 2.500.000, bensin Rp1.250.000, listrik Rp 767.310, tenaga kerja persiapan Rp6.871.800, dan tenaga kerja panen Rp 26.813.250. Totaldari keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam tambakudang, yaitu sebesar Rp 8.142.277 biaya investasi dan Rp61.729.985 untuk biaya operasional. Rincian biayainvestasi dan operasional, serta total biaya dapat dilihatpada Tabel 14.

Analisis pendapatan dilihat dari penerimaan produksitambak dan total penyusutan biaya investasi, serta totalbiaya operasional. Jumlah total penyusutan biaya investasiadalah sebesar Rp 2.092.477. Rumus pendapatan atas biayatunai didapat dari pengurangan jumlah penerimaan denganjumlah biaya tunai (operasional) sehingga pendapatan atasbiaya tunainya sebesar Rp 16.850.015. Rumus pendapatanatas biaya total didapat dari pengurangan jumlahpenerimaan produksi dengan total biaya sehingga hasilnyasebesar Rp 8.707.738. Berdasarkan hasil perhitungan olahdata, R/C atas biaya tunai memiliki nilai sebesar 1,27 danR/C atas biaya total sebesar 1,12. Hasil perhitungan di atasdapat dinyatakan bahwa penggunaan lahan tambak tanpadengan mengkonversi lahan mangrove menghasilkan R/Cdi atas 1 atau dinyatakan layak secara finansial.

Tabel 13 Nilai compounding dengan perbandingan suku bunga3% dan 5% dari tahun 2001 sampai tahun 2013

Tahun( 1 + i )

1,03 1,052001 2.528.000.709 2.528.000.7092002 2.603.840.730 2.654.400.7442003 2.681.955.952 2.787.120.7822004 2.762.414.631 2.926.476.8212005 2.845.287.070 3.072.800.6622006 2.930.645.682 3.226.440.6952007 3.018.565.052 3.387.762.7302008 3.109.122.004 3.557.150.8662009 3.202.395.664 3.735.008.4092010 3.298.467.534 3.921.758.8302011 3.397.421.560 4.117.846.7712012 3.499.344.207 4.323.739.1102013 3.604.324.533 4.539.926.065Total 39.481.785.327 44.778.433.195

Tabel 14. Analisis pendapatan ikan tambak budidaya udangwindu dan ikan bandeng per hektar per tahun

Penerimaan Pendapatan per tahun

Tambak udang 50.580.000Tambak bandeng 28.000.000Total penerimaan per tahun 78.580.000Biaya tunai Biaya per tahunBiaya operasional 61.729.985Total biaya tunai 61.729.985Biaya non tunai Biaya per tahunTenaga kerja 6.049.830Penyusutan investasi 2.092.447Total biaya non tunai 8.142.277Total biaya 69.872.262Pendapatan atas biaya tunai 16.850.015Pendapatan atas biaya total 8.707.738R/c atas biaya tunai 1,27R/c atas biaya total 1,12

Analisis keberlanjutan tambakBerdasarkan hasil perhitungan manfaat finansial,

penggunaan lahan tambak tanpa mengalihfungsikan lahanmangrove di Desa Tambaksumur menguntungkan baikpetambak maupun lingkungan. Hal tersebut dapat dilihatpada Tabel 13, nilai R/C atas biaya tunai dan biaya totallebih dari satu sehingga dinyatakan layak. Perhitungananalisis keberlanjutan tambak udang dan bandeng dilihatdari keuntungan yang dihasilkan dari tambak dengankerugian dari perubahan alih fungsi lahan mangrove.Perubahan alih fungsi lahan mangrove di DesaTambaksumur dilakukan oleh penduduk sekitar.Berdasarkan informasi melalui wawancara, penduduksekitar melakukan penebangan mangrove kurangmengetahui fungsi mangrove yang sesungguhnya danmenurut mereka mangrove memberikan dampak burukpada produksinya karena banyak hama datang jika adanyamangrove.

Penerimaan dari hasil tambak udang windu danbandeng yang diterima oleh petambak, yaitu sebesar Rp15.417.396.000 per tahun. Keuntungan yang diterima parapetambak udang dan bandeng secara non tunai yaitusebesar Rp 16.850.015 per tahun dan keuntungan secaratotalnya yaitu Rp 8.707.738 per hektar per tahun.Kemudian, kerugian yang ditimbulkan dari hasil perubahanalih fungsi lahan mangrove menjadi tambak yaitu total nilaikehilangan dari manfaat langsung hutan mangrove. Dengandemikian, nilai kehilangan dari manfaat langsung tersebutberupa nilai pengambilan kayu bakar, kepiting, udang, danikan sebesar Rp 364.902.184 per tahun, nilai kehilangandari manfaat tidak langsung yang berupa nilai pelindungpantai, nilai pemijahan ikan, serta nilai habitat sebesar Rp2.155.273.236 per tahun, dan nilai kehilangan dari manfaatpilihan sebesar Rp 7.825.289 per tahun sehingga nilai totalmanfaat dari mangrove yang hilang, yaitu Rp2.528.000.709 per tahun. Nilai ini begitu kecil dibandingdengan penerimaan yang diterima petambak setiaptahunnya karena data yang diambil dari hasil wawancarayaitu data tahun 2001 sehingga hasil data tersebut diolahdengan mengcompoundingkan nilai total manfaat ke tahunsekarang. Oleh karena itu, nilai kerugian yang diterima

Page 70: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

Bonorowo Wetlands 4 (1): 58-69, June 201468

para petambak adalah Rp 39.481.785.327 dan Rp44.778.433.195 dengan asumsi suku bunga 3% dan 5%.

Nilai kehilangan dari manfaat langsung mangrovemengakibatkan kerugian yang sangat tinggi dan jauh darikeuntungan yang diterima para petambak. Oleh karena itu,analisis keberlanjutan tambak digunakan untukmempertahankan kondisi lingkungan tetap baik (khususnyahutan mangrove) dan juga menghasilkan keuntunganekonomi. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkansistem penanaman kembali pohon mangrove yang telahditebang dan dijadikan lahan tambak sehingga diperolehkeuntungan ekologis dan ekonomis.

Alternatif kebijakanKegiatan budidaya tambak perikanan dengan

melakukan perubahan fungsi lahan mangrove telahmenimbulkan kerugian bagi masyarakat dan lingkunganyang cukup besar sehingga diperlukan langkah yang tepatdalam penyusunan dan penerapan kebijakan yangdikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal pengelolaan danpemanfaatan hutan mangrove diterbitkan beberapaperaturan antara lain:

Peraturan Presiden No 73 Tahun 2012 (Pasal 1)Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove

yang selanjutnya disingkat SNPEM adalah upaya dalambentuk kebijakan dan program untuk mewujudkanpengelolaan ekosistem mangrove lestari dan masyarakatsejahtera berkelanjutan berdasarkan sumber daya yangtersedia sebagai bagian integral dari sistem perencanaanpembangunan nasional.

Ekosistem Mangrove adalah kesatuan antara komunitasvegetasi mangrove berasosiasi dengan fauna dan mikroorganisme sehingga dapat tumbuh dan berkembang padadaerah sepanjang pantai terutama di daerah pasang surut,laguna, muara sungai yang terlindung dengan substratlumpur atau lumpur berpasir dalam membentukkeseimbangan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan adalahsemua upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatanlestari melalu proses terintegrasi untuk mencapaikeberlanjutan fungsi-fungsi ekosistem mangrove bagikesejahteraan masyarakat.

Peraturan Presiden No 121 Tahun 2012Mangrove adalah vegetasi pantai yang memiliki

morfologi khas dengan sistem perakaran yang mampuberadaptasi pada daerah pasang surut dengan substratlumpur atau lumpur berpasir (Pasal 1 ayat 4).

Rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah, pemerintahdaerah, dan orang yang memanfaatkan secara langsungatau tidak langsung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil(Pasal 2 ayat 1).

Rehabilitasi wajib dilakukan apabila pemanfaatanwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengakibatkankerusakan ekosistem atau populasi yang melampaui kriteriakerusakan ekosistem atau populasi (Pasal 2 ayat 2).

Rehabilitasi yang dimaksud pada ayat (1) dilakukanterhadap: terumbu karang, mangrove, lamun, estuari,

laguna, teluk, delta, gumuk pasiar, pantai dan/atau populasiikan (Pasal 2 ayat 3).

Kriteria kerusakan ekosistem atau populasi ditentukanberdasarkan: kerusakan fisik, kerusakan kimiawi dan/ataukerusakan hayati (Pasal 3 ayat 2)

Kerusakan fisik dalam Pasal 3 ayat 2 meliputi:penurunan manfaat dan fungsi fisik ekosistem ataupopulasi, penurunan luasan ekosistem atau populasidan/atau pencemaran habitat (Pasal 4 ayat 1).

Kerusakan hayati yang dimaksud meliputi: kerapatanrendah, tutupan rendah, dominasi jenis tinggi ataukeanekaragaman rendah, penurunan populasi melebihikemampuan alam untuk pulih dan/atau penurunan dan/atauhilangnya daerah pemijahan (spawning ground), daerahpembesaran (nursery ground), serta daereah pencarianmakan (feeding ground) (Pasal 4 ayat 3).

Berdasarkan peraturan pengelolaan dan pemanfaatanhutan mangrove di atas, dapat disimpulkan alternatifkebijakannya, yaitu: (i) Peraturan pemanfaatan di atasdapat diperbaiki dengan mempertegas kebijakan peraturanzonasi penetapan hutan mangrove sebagai kawasan lindungsuaka alam dengan pemanfaatan yang terbatas dan kawasanlindung pantai berhutan bakau. (ii) Memperketat prosesperizinan untuk memanfaatkan lahan di sekitar kawasanlindung tersebut. (iii) Memberikan sanksi yang jelas dantegas kepada masyarakat yang melanggar peraturan berupasanksi administratif dan sanksi pidana. (iv) Peraturan diatas akan menjadi lebih baik bila pemerintah daerahwilayah Karawang bekerja sama dengan masyarakatdalam meningkatkan kualitas lingkungan pesisir melaluirehabilitasi ekosistem mangrove untuk mengembalikanfungsinya semula yaitu sebagai tempat pemijahan danmencari makan dari berbagai jenis ikan dan udang,pengendalian pencemaran, abrasi, serta intrusi air laut. (v)Mengadakan kegiatan sosialisasi masyarakat mengenaiperaturan pemanfaatan tata ruang yang berlaku danpentingnya keberadaan ekosistem hutan mangrove. (vii)Menetapkan kebijakan dengan tidak memberikan insentifkepada pemilik tambak yang menambah luas tambak danmengganggu keberadaan hutan mangrove di sekitar.

KESIMPULAN

Terdapat beberapa kesimpulan yang diperoleh dari hasilpenelitian valuasi ekonomi dampak budidaya udang windudengan alih fungsi lahan mangrove di wilayah Karawang,yaitu: (i) Kegiatan pemanfaatan hasil hutan mangrove yangdilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tirtajaya adalahpengambilan kayu untuk bahan bakar rumah tangga,pengambilan kepiting, pengambilan udang, danpengambilan ikan. Kerugian ekonomi dari dampak iniberupa manfaat hasil hutan mangrove tersebut yang hilangakibat perubahan alih fungsi lahan menjadi tambak. (ii)Hasil analisis secara finansial menunjukan bahwa denganmempertahankan hutan mangrove di wilayah ini lebihmenguntungkan, baik untuk pemanfaatan langsung maupuntidak langsung. Hal ini dapat dilihat pada nilai R/C atasbiaya tunai dan R/C atas biaya total yang lebih dari satudan dinyatakan layak untuk usaha budidaya tambak tanpa

Page 71: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

LOVAPINKA et al. – Dampak konversi lahan mangrove untuk tambak ikan 69

mengalihfungsikan lahan mangrove. (iii) Hasil analisiskeberlanjutan tambak udang windu dan ikan bandengdiperoleh nilai kehilangan dari manfaat mangrove yangmengakibatkan kerugian yang sangat tinggi dan jauh darikeuntungan yang diterima para petambak, yaitu nilaikerugian yang diterima para petambak adalah Rp39.481.785.327. dan Rp 44.778.433.195. dengan asumsisuku bunga 3% dan 5% dan penerimaan yang diterima olehpetambak Rp 15.417.396.000. Oleh karena itu, sistempenanaman kembali pohon mangrove yang telah ditebangdan dijadikan lahan tambak dapat dilakukan untukmempertahankan kondisi lingkungan tetap baik (khususnyahutan mangrove) dan juga menghasilkan keuntunganekonomi. (iv) Alternatif kebijakan pengelolaan danpemanfaatan hutan mangrove yang terdiri dari PeraturanPresiden No. 73 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden No121 Tahun 2012, yaitu melakukan strategi pengelolaanekosistem mangrove, rehabilitasi ekosistem mangrovedalam mengembalikan fungsi semula dan sosialisasimengenai peraturan tata ruang yang jelas kepadamasyarakat, serta dengan mempertegas kebijakan peraturanzonasi penetapan hutan mangrove sebagai kawasan lindungsuaka alam dan memberikan sanksi yang jelas dan tegaskepada masyarakat yang melanggar peraturan.

DAFTAR PUSTAKA

Darmono. 1993. Budidaya Udang Penaeus. Yogyakarta (ID): Kanisius.Dewan Kelautan Indonesia. 2008. Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka

Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982)di Indonesia. Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta

Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi KabupatenKarawang. 2008. Laporan Kegiatan Invertarisasi Lahan Kritis AkibatAbrasi di Wilayah Pesisir Kabupaten Karawang. Dinas LingkunganHidup, Pertambangan, dan Energi Kabupaten Karawang

Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta. 2013. DPA Belanja LangsungSDPU Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu Tahun 2013. Jakarta.

Fachruddin A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Pesisir KabupatenSubang, Jawa Barat [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut PertanianBogor. Bogor.

Fauzi A. 2002. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Lautan.Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.Universitas Diponegoro. Semarang

Fauzi A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan.PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Fauzi A. 2013. Valuasi Ekonomi dan Penilaian Kerusakan SumberdayaAlam dan Lingkungan.

Ibrahim H.M Yacob. 2009. Studi Kelayakan Bisnis Edisi Revisi. RinekaCipta. Jakarta

Kementerian Perikanan dan Kelautan. 2012. SDM dan IPTEK, KunciSukses Industrialisasi Berbasis Perikanan Budidaya. KementerianPerikanan dan Kelautan. Jakarta.

Kementerian Perikanan dan Kelautan. 2012. Aplikasi Sistem InformasiDiseminasi, Data Statistik Kelautan dan Perikanan. KementerianPerikanan dan Kelautan, Jakarta.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Panduan Valuasi EkonomiSumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta

Kordi K, M Ghufran. 2011. Budidaya 22 Komoditas Laut UntukKonsumsi Lokal dan Ekspor. Lily Publisher. Yogyakarta

Murtidjo, B A. 1989. Tambak Air Payau Budidaya Udang dan Bandeng.Kanisius. Yogyakarta

Nazir M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. JakartaPemerintah Kabupaten. Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang. 2012.

Karawang dalam Angka. Karawang, Pemkab KarawangPurnomo, A. H. 2007. Basic Analysis in Fisheries Planning. Ekonomi

Pembangunan Perikanan. Universitas Terbuka. JakartaRuitenbeek H.J. 1991. Mangrove Management: An Economic Analysis Of

Management Options With A Focus Of Bintuni Bay, Irian Jaya.EMDI Report No 8. Environmental Management in Indonesia Project.Jakarta.

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. BrilianInternasional. Surabaya

Utojo et al.. 2007. Identifikasi Kelayakan Lahan Untuk PengembanganUsaha Budidaya Laut di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. JurnalPenelitian Perikanan Indonesia, 10 (5): 1-18.

Wedjatmiko A. 2010.Budidaya Udang di Sawah dan Tambak. PenebarSwadaya. Jakarta

The World Bank. 2013.http://search.worldbank.org/data?qterm=gdp+united+states+and+indonesia+2012&language=EN&format= Diakses tanggal 19 September2013

Page 72: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK

Page 73: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

GUIDANCE FOR AUTHORS

The Bonorowo Wetlands is a peer reviewed journal publishing originalpapers and review in all wetlands sciences, including: physical aspects,biogeochemistry, biodiversity, conservation and management. The journal isissued twice yearly, in July and December, by the The Nusantara Institute ofBiodiversity (an organ of The Society for Indonesian Biodiversity).

The only articles written in English (U.S. English) and Bahasa Indonesia areaccepted for publication. Prior to submission, authors whose first language isnot English or Bahasa Indonesia are advised to have their manuscriptschecked by someone fluent or proficient in that language. The acceptedmanuscript in Bahasa Indonesia will be translated into English by themanagement. Final manuscript is published in English. Contributions mustnot have been published or be under consideration elsewhere.

Cover letter, submission and copyright. Ensure your cover letter statesclearly that you are submitting your manuscript (state title) for publication inThe Bonorowo Wetlands. By submitting the manuscript(s), the authors agreethat upon acceptance, copyright of the entire work becomes the property ofThe Nusantara Institute of Biodiversity/The Society for IndonesianBiodiversity. Authors must ensure all required permission has been obtainedin writing to publish any material presented in their work, and the Editor mayrequire proof of such permission.

Manuscripts may be submitted in electronic form (.odt or .doc/docx ispreferred for text and .jpeg for figures), and typed at paper size of A4(210x297 mm2), in a single column, double line spacing, 12-point TimesNew Roman font, with 2 cm distance step aside in all side. Number all pagesserially including the title and abstract on the first. Smaller letter size andspace can be applied in presenting table. Additional word processingsoftware can be used; however, it must be PC compatible. Manuscript oforiginal research should be written in no more than 25 pages (includingtables and figures), each page contain 700-800 word, or proportional witharticle in this publication issue. Invited review articles will be accommodated.

Title and authorship: The title should give a concise description of thecontents of the article. If a scientific name is used in the title, it is normallyincluded without authority, but the family name would be provided. Authors’names and affiliations must be stated below the title. If more than one author,indicate Corresponding author (email address) below the relevant author’sinstitutional address. Avoid footnotes. Title of article should be written incompact, clear, and informative sentence preferably not more than 20 words(generally 135 characters including spaces). Name of author(s) should becompletely written. Name and institution address should be also completelywritten with street name and number (location), zip code, telephone number,facsimile number, and e-mail address.

Short running title: Suggest up to five words should also be provided,reflecting the idea of the manuscript.

Abstract: An abstract of 100-300 words at most should be provided. Itshould concisely indicate the contents of the article without summarizing it,but mentioning if novelties and name changes are included.

Keywords: Suggest at most five keywords, covering scientific and localname (if any), research theme, and special methods, in alphabetical order.

Introduction is about 400-600 words, covering background and aims of theresearch. Materials and Methods should emphasize on the procedures anddata analysis. Results and Discussion should be written as a series ofconnecting sentences, however, for manuscript with long discussion shouldbe divided into sub titles. Thorough discussion represents the causal effectmainly explains for why and how the results of the research were takenplace, and do not only re-express the mentioned results in the form ofsentences. Conclusion should preferably be given at the end of thediscussion. Acknowledgments list and funding sources are expressed in abrief. Dedications are rarely allowed.

Scientific names: Genus and species names of organisms must be italicizedand followed by the authority (with family name indicated in parentheses)when first mentioned in the main text. Standard abbreviations and acronymsmay be used in the text, but the full term should be given on first mention.Dates should be cited as: 1 Jan 2010. SI (metric) units of measurementshould be used and spelled out except when preceded by a numeral, whenthey should be abbreviated in standard form: g, mL, km, etc. and notfollowed by full stops (periods). Equation of mathematics can be writtenseparately. Number one to ten are expressed with words, except if it relatesto measurement, while values above them written in number, except in earlysentence. Fraction should be expressed in decimal. In text, it should be used“%” rather than “gratuity”. Biochemical and chemical nomenclature shouldfollow the order of IUPAC-IUB, while its translation to Indonesian-Englishrefers to Glossarium Istilah Asing-Indonesia (2006). For DNA sequence, it isbetter used Courier New font.

Tables: All tables should be numbered in arabic numerals in the order theyare first mentioned in the text and carry an indicative legend at the head.

Figures: All drawings, maps, graphs and photographic images are to benumbered in arabic numerals in the order they are first mentioned in the text,as Figure 1, Figure 2, etc. Where relevant, scale bars should be used toindicate magnification. Color reproductions will only be considered whenthey add significantly to information content. High resolution digital imagesmay also be submitted as separate files (line drawings in black and white at600 dpi, photographs at 300 dpi) sent electronically with the manuscript.Author could consign any picture or photo for front cover, although it doesnot print in the manuscript.

There is no appendix, all data or data analysis are incorporated into Resultsand Discussions. For broad data, it can be displayed in website asSupplement.

References in the text: Citation in the text should take the form: Saharjo andNurhayati (2006) or (Boonkerd 2003a, b, c; Sugiyarto 2004; El-Bana andNijs 2005; Balagadde et al. 2008; Webb et al. 2008). Extent citation asshown with word “cit” should be avoided, and suggested to refer an originalreference.

References listed at the end: Under References, works mentioned in the textare listed alphabetically. APA style in double space is used in the reference.Only published or in-press papers and books may be cited in the referencelist. Unpublished abstracts of papers presented at meetings or references to"data not shown" are not permitted. All authors should be named in thecitation (unless there are more than five). If there are more than five, list thefirst fifth author's name followed by et al. Include the full title for each citedarticle. Authors must translate foreign language titles into English, with anotation of the original language (except for Spanish, France, and Germany).For manuscript in Bahasa Indonesia, translation of Indonesian title in toEnglish is not necessary. For correct abbreviations of journal titles, referto Chemical Abstracts Service Source Index (CASSI). Provide inclusivevolume and page ranges for journal articles, but not for book or bookchapters.

Journal:Saharjo BH, Nurhayati AD. 2006. Domination and compositionstructure change at hemic peat natural regeneration following burning; acase study in Pelalawan, Riau Province. Biodiversitas 7: 154-158.

Book:Rai MK, Carpinella C. 2006. Naturally occurring bioactive compounds.Elsevier, Amsterdam.

Chapter in book:Webb CO, Cannon CH, Davies SJ. 2008. Ecological organization,biogeography, and the phylogenetic structure of rainforest treecommunities. In: Carson W, Schnitzer S (eds) Tropical forestcommunity ecology. Wiley-Blackwell, New York.

Abstract:Assaeed AM. 2007. Seed production and dispersal of Rhazya stricta.50th annual symposium of the International Association for VegetationScience, Swansea, UK, 23-27 July 2007.

Proceeding:Alikodra HS. 2000. Biodiversity for development of local autonomousgovernment. In: Setyawan AD, Sutarno (eds) Toward mount Lawunational park; proceeding of national seminary and workshop onbiodiversity conservation to protect and save germplasm in Java island.Sebelas Maret University, Surakarta, 17-20 July 2000. [Indonesia]

Thesis, Dissertation:Sugiyarto. 2004. Soil macro-invertebrates diversity and inter-croppingplants productivity in agroforestry system based on sengon.[Dissertation]. Brawijaya University, Malang. [Indonesia]

Information from internet:Balagadde FK, Song H, Ozaki J, Collins CH, Barnet M, Arnold FH,Quake SR, You L. 2008. A synthetic Escherichia coli predator-preyecosystem. Mol Syst Biol 4: 187. www.molecularsystemsbiology.com

Progress of manuscript. Notification of manuscript whether it is accepted orrefused will be notified in about two to three months since the manuscriptreceived. Manuscript is refused if the content does not in line with thejournal mission, low quality, inappropriate format, complicated languagestyle, dishonesty of authenticity, or no answer of correspondence in a certainperiod. Author or first authors at a group manuscript will get one originalcopy of journal containing manuscript submitted not more than a month afterpublication. Offprint or reprint is only available with special request.

Address for sending manuscript is The Editor <[email protected]>.

NOTIFICATION: All communications are strongly recommended to be undertaken through email.

Page 74: Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | June 2014 | ISSN

| Bonorowo Wetlands | vol. 4 | no. 1 | pp. 1-69 | June 2014 | ISSN 2088-110X | E-ISSN 2088-2475 |

Keanekaragaman makrozoobenthos di ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alamidi Kawasan Ekowisata Pantai Boe, Kabupaten Takalar, Sulawesi SelatanAnggi Azmita Fiqriyah Marpaung, Inayah Yasir, Marzuki Ukkas

1-11

Strategi rehabilitasi ekosistem mangrove melalui analisis tingkat kerusakan di SuakaMargasatwa Muara Angke, JakartaYofi Mayalanda, Fredinan Yulianda, Isdradjad Setyobudiandi

12-36

Keterkaitan struktur komunitas makrozoobentos antara habitat mangrove, lamun, dan reefcrest di Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, JakartaAtim Agus Wiyaniningtiyah, Isdradjad Setyobudiandi, Am Azbas Taurusman

37-48

bioekonomi untuk pengelolaan sumber daya ikan selar kuning (Selaroides leptolepis, Cuvier& Valenciennes) yang didaratkan di PPN Karangantu, BantenDevi Nila Karismawati Mayalibit, Rahmat Kurnia, Yonvitner

49-57

Valuasi ekonomi dampak alih fungsi lahan mangrove untuk budidaya ikan tambak di DesaTambaksumur, Karawang, Jawa BaratCharista Lovapinka, Akhmad Fauzi, Rizal Bahtiar

58-69

Front cover: Selaroides leptolepis, by Andrey Ryanskiy

PRINTED IN INDONESIAPublished semiannually on June and December