disabilitas dalam teologi katolik: dari liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi...

24
INKLUSI: Journal of Disability Studies Vol. 6, No. 2, July-December 2019, pp. 235-258 DOI: 10.14421/ijds.060203 Submitted: 23-04-2018 | Accepted: 20-10-2019 DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ke Politik Kasih YOHANES WELE HAYON Universitas Gadjah Mada [email protected] Abstract This article aims to re-question the relevance of Catholic political theology on the level of acceptance of people with disabilities. The author pointed out that the dominant ideology of liberalism, which separates the religious domain from politics, makes the discussion of disability limited to issues of equality. It missed the most sublime dimensions in the subject, namely recognition. So, how the political theology based on collective movement makes this lacking out? Referring to Jesus’ political action, the author argues that political involvement should presuppose a dimension of love that embraces all particulars. It should be based on agency strategy, without being trapped in claims of morality and binary opposition logic. Furthermore, the concept of disability is understood as a universal constitutive dimension that creates limitations as well as calls to be involved. This awareness is the basis for managing collective vulnerability as fellow sinful, unfixed, lacking, and not autonomous subjects. Keywords: Catholic liberal theology; disability in catholic theology; disability recognition. CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk Provided by UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga, Yogyakarta: E-Journal Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat

Upload: others

Post on 28-Dec-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

INKLUSI: Journal of Disability Studies

Vol. 6, No. 2, July-December 2019, pp. 235-258

DOI: 10.14421/ijds.060203

Submitted: 23-04-2018 | Accepted: 20-10-2019

DISABILITAS DALAM TEOLOGI

KATOLIK:

Dar i Liberal isme ke Pol i t ik Kasih

YOHANES WELE HAYON

Universitas Gadjah Mada

[email protected]

Abstract

This article aims to re-question the relevance of Catholic political theology on the level

of acceptance of people with disabilities. The author pointed out that the dominant

ideology of liberalism, which separates the religious domain from politics, makes the

discussion of disability limited to issues of equality. It missed the most sublime

dimensions in the subject, namely recognition. So, how the political theology based on

collective movement makes this lacking out? Referring to Jesus’ political action, the

author argues that political involvement should presuppose a dimension of love that

embraces all particulars. It should be based on agency strategy, without being trapped

in claims of morality and binary opposition logic. Furthermore, the concept of

disability is understood as a universal constitutive dimension that creates limitations

as well as calls to be involved. This awareness is the basis for managing collective

vulnerability as fellow sinful, unfixed, lacking, and not autonomous subjects.

Keywords: Catholic liberal theology; disability in catholic theology; disability

recognition.

CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk

Provided by UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga, Yogyakarta: E-Journal Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat

Page 2: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

236 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

Abstrak

Artikel ini bertujuan mempertanyakan kembali relevansi teologi politik

agama Katolik dalam hal penerimaan terhadap kaum difabel. Di dalam artikel

ini, penulis menunjukkan bahwa dominannya ideologi liberalisme yang

memisahkan domain agama dari politik menyebabkan diskusi mengenai

disabilitas dari perspektif teologi politik terkunci pada kesetaraan dan tidak

memerhatikan dimensi paling sublim dalam diri subjek yakni pengakuan.

Mengacu pada gerakan politik Yesus, penulis berargumen bahwa keterlibatan

politik hendaknya mengandaikan dimensi kasih yang merangkul semua

partikular tanpa terjebak pada klaim moralitas dan logika oposisi biner.

Dengan menggunakan beberapa terma kunci dari para pemikir post-

marxisme, post-strukturalisme dan psikoanalisis, konsep disabilitas dipahami

sebagai dimensi konstitutif universal yang menciptakan keterbatasan

sekaligus panggilan untuk terlibat. Kesadaran inilah yang menjadi landasan

untuk mengelola kerentanan secara kolektif sebagai sesama subjek yang

‘berdosa’, ‘unfixed’, ‘lack’, dan tidak otonom.

Kata kunci: teologi liberalisme Katolik; disabilitas dalam Katolik;

pengakuan atas disabilitas.

A. Pendahuluan

Membincang disabilitas dari perspektif teologi politik agama Katolik

dapat dilihat sebagai upaya merefleksikan kembali konsep disabilitas dari

perspektif sosiologis. Alih-alih menekankan kesetaraan, pendekatan sosial

humaniora terhadap disabilitas justru terjebak pada klaim tentang

pemenuhan hak dan mengabaikan dimensi penting lain yakni rekognisi

(pengakuan). Demikian juga pendekatan teologis dan pastoral dalam gereja

Katolik yang, meskipun melihat disabilitas sebagai ‘Citra Allah’, namun

atas cara tertentu justru mereproduksi disabilitas melalui frasa ‘belas

kasihan’ dan ‘cinta kasih’. Terdapat proyek hegemonisasi yang mendekam

di balik dua frasa tersebut yang pada akhirnya menempatkan kaum difabel

sebagai mereka yang patut dikasihani. Konsekuensinya jelas, ketika

berhadapan dengan kemiskinan, diskriminasi sosial, dan ketidakadilan,

Page 3: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Disabilitas dalam Teologi Katolik

► 237

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2

Jul-Dec 2019

orang cenderung memilih berdoa daripada membangun gerakan politik

untuk mengubah sistem yang buruk. Mengatasi hal tersebut, teologi politik

yang digunakan sebagai kerangka operasional sekaligus strategi analisis

dalam tulisan ini bukan merupakan formulasi dogmatis dari teologi

ortodoksi melainkan teologi politik yang menekankan dimensi praksis

kasih (ortopraksis), dari Liberalisme kepada rekognisi, dari sabda menjadi

daging. Bertitik tolak pada semangat inkarnasi sebagai peralihan kualitatif

itulah, terjadi reorientasi radikal dari teologi sebagai upaya

mempertanggungjawabkan iman secara rasional (fides quaerens intellectum)

kepada teologi politik sebagai pertanggungjawaban politis keterlibatan

seorang beriman dalam kehidupan sosial.

Sambil mempertimbangkan bahwa keterlibatan selalu mengandaikan

adanya perjumpaan, tulisan ini berupaya menjadikan teologi politik sebagai

perspektif dalam mengubah pemaknaan dari “how to live with disability”

kepada “how to live in disability.” Pada kategori terakhir, terdapat dimensi etis

yang cenderung luput dari jamaknya program pemberdayaan kaum difabel

yang dilakukan baik oleh institusi negara (state) maupun sipil (non-state),

termasuk gereja. Melalui perspektif ini, keterlibatan dilihat bukan lagi

bersifat vertikal, baik itu top-down maupun buttom-up, melainkan horizontal

dengan mengambil bentuk dalam tindakan berbagi kerentanan. Kerangka

berpikir melampaui ‘normalitas’ dan oposisi biner inilah yang kemudian

mengkritik paradigma medis yang menekankan bahwa normalitas dan

ideal fixed tentang kesempurnaan tubuh pada semua orang, termasuk kaum

difabel, dapat diukur (Bennett & Volpe, 2018, hlm. 121 - 122).

Konsekuensi logisnya, orang dengan disabilitas dilihat sebagai

penyimpangan, dan otomatis bukan bagian dari masyarakat. Hal ini

dikarenakan model medis terlalu fokus pada normalitas sebagai kriteria

bagi cara berpikir tentang disabilitas. Model medis ini bersifat reduksionis

karena melihat kaum difabel sebagai abnormal dan tidak berfungsi

sehingga perlu ada manajemen untuk mengembalikan pada fungsinya yang

sejati. Dengan kata lain, cara pandang ini melihat kaum difabel sebagai

objek yang rusak dan harus diperbaiki, dibuat sempurna (Hinojosa, 2018,

p. 200). Hal tersebut tampak misalnya dalam klasifikasi penyandang

Page 4: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

238 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

disabilitas dalam regulasi di Indonesia yang terlampau menekankan

kesetaraan sebagai titik tolak kebijakan dan luput memerhatikan aspek

rekognisi. Implikasi lanjutan dari cara pandang seperti ini adalah

penyandang disabilitas dilihat sebagai objek santunan atau amal tanpa

terlebih dahulu mempertimbangkan dimensi etis tentang bagaimana kaum

difabel melihat (mendefinisikan) diri mereka sendiri.

Merespon cara pandang di atas, muncul pemahaman disabilitas dari

sudut pandang sosial. Perspektif ini menekankan bahwa masyarakatlah

yang justru melanggengkan disabilitas; seorang individu dengan kecacatan

dikategorikan sebagai difabel selama ia dihalangi dari partisipasi atau

rekognisi dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena struktur sosial

bekerja menggunakan logika perbedaan sebagai kerangka kerja politik

representasi baik itu pada level ras, gender, jenis kelamin, dan seterusnya.

Artinya, disabilitas dilihat bukan sebagai kecacatan fisik melainkan karena

gagalnya struktur sosial dalam mengelola perbedaan yang ada dan alih-alih

berupaya menciptakan ruang khusus bagi kaum difabel, struktur sosial

justru mencegah kaum difabel mengakses masyarakat (Hinojosa, 2018,

hlm. 200; Raffety, 2018, hlm. 381 - 382).

Salah satu pencapaian dari model sosial ini adalah dicetuskannya

American with Disabilities Act (ADA) pada tahun 1990. Daripada berupaya

memperbaiki tubuh mereka yang dianggap difabel, ADA berupaya

memperbaiki masyarakat yang dalam kenyataan menjadikan individu

difabel. Wujud konkret dari ADA secara teknis adalah membuat

akomodasi yang rasional bagi kaum difabel dan memberikan mandat

bahwa ruang bisnis dan publik hendaknya menyediakan akses fisik bagi

kaum difabel seperti mengubah bentuk gedung yang menggunakan lift

kursi roda dan teknologi yang dikembangkan untuk memperlancar

komunikasi verbal bagi mereka yang mengalami gangguan pendengaran

dan penglihatan (Hinojosa, 2018, p. 201). Meskipun demikian, teknikalisasi

dalam bentuk generalisasi tentang disabilitas tidak tepat sasaran karena

kaum difabel memiliki faktor personal yang bervariasi seperti perbedaan

gender, usia, sosio-ekonomi, status, seksualitas, etnisitas, dan warisan

kebudayaan. Perempuan dengan disabilitas yang hidup dalam budaya

Page 5: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Disabilitas dalam Teologi Katolik

► 239

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2

Jul-Dec 2019

patriarki tentu kecil peluangnya untuk menikah daripada perempuan non-

disabilitas. Atau, individu dengan gangguan mental tampak tidak berguna

dalam banyak situasi daripada mereka yang cacat fisik atau kerusakan

sensorik (World Health Organization & World Bank, 2011, p. 8).

Upaya menggeneralisasi disabilitas merupakan konsekuensi lanjutan

dari proses liberasi kebijakan politik kewargaan yang terlampau

menekankan kesetaraan. Tendensi tersebut tampak misalnya dalam

konkretisasi dari demokrasi inklusif yang diterapkan di Indonesia.

Demokrasi inklusif mendasarkan argumentasinya pada nilai-nilai profetik

dengan menempatkan kaum difabel bukan sebagai objek melainkan

sebagai subjek warga negara (Fikri, 2016, p. 44). Meskipun demikian,

penelitian tersebut terlalu cepat membuat kesimpulan bahwa demokrasi

inklusif dikonstruksikan atas empat pilar yakni humanisasi, liberasi, dan

transendensi. Itu berarti ada hal yang absen dalam demokrasi inklusif yakni

politik pengakuan (politic of recognition) sebagai kerangka kerja kolektif.

Selain itu, terlampau menekankan proses humanisasi dan liberasi (Huda,

2018, hlm. 249 - 250), kaum difabel diperlakukan bukan sebagai unit

analisis melainkan sekadar individu yang berdiri sendiri, terpisah, bahkan

asing terhadap yang lain. Akibatnya, pemenuhan aksesibilitas bagi

penyandang disabilitas dilakukan dengan terlebih dahulu membuat

kategori jenis disabilitas dan bagaimana pemenuhan itu dapat dilakukan

seperti aksesibilitas fisik dan non-fisik (Syafi’ie, 2014, hlm. 273 - 275). Cara

pandang seperti ini merupakan hasil dari ketergantungan berlebihan pada

diskursus Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengandalkan peran

negara dan bukannya menekankan politik pengakuan sebagai kerja

masyarakat sipil. Absennya kekuatan sipil itulah yang menyebabkan kaum

difabel diperlakukan sekadar sebagai objek program negara di satu sisi dan

masih langgengnya tindakan diskriminatif terhadap kaum difabel dalam

masyarakat di lain sisi. Hal ini semakin diperparah oleh peran media massa

khususnya televisi nasional yang menjadikan disabilitas sekadar objek

hiburan, sumber inspirasi, dan seterusnya (Remotivi, 2015).

Dalam rangka memperkaya perspektif dalam memahami kaum difabel,

strategi dan dimensi pendekatan mengambil relevansi dari teologi politik

Page 6: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

240 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

tak terkecuali teologi politik agama Katolik. Meskipun demikian, menurut

Abraham, patut diingat bahwa tantangan bagi teologi untuk bersuara bagi

kaum difabel merupakan teologi yang dikembangkan oleh orang able bodied

bagi sesama able bodied, sehingga disabilitas dianggap tidak termasuk dalam

dua kategori teologis dan sangat sedikit pula ketersediaan materi yang

dapat digunakan untuk merefleksikan disabilitas secara teologis (Longchar

& Rajkumar, 2010, hlm. 79 - 85). Beberapa teoretisi berupaya mengambil

relevansi teologis mendasarkan pandangannya pada Kitab Suci (Setyawan,

2013, hlm. 4 - 9; Stephanie, 2018, hlm. 7 - 9) ensiklik Paus (Windley-

Daoust, 2016, hlm. 169 - 171), kehidupan para orang kudus (de Oliveira,

2017, hlm. 5 - 6), tradisi gereja (Maliszewska, 2019, hlm. 1 - 6), dan

pernyataan Yesus (Romero, 2015).

Stephanie dan Setyawan misalnya, berupaya memaparkan pandangan

Alkitab tentang kesetaraan bagi penyandang disabilitas. Meskipun

demikian, dua penelitian ini masih terbatas pada upaya menafsir makna

ayat Kitab Suci yang kemudian dikonfrontasikan dengan kenyataan sosial.

Penggunaan metode Hermeneutika dalam penelitian tersebut tidak

membawa implikasi konkret. Demikian pula penelitian Maliszewska yang

meskipun membahas disabilitas dalam tradisi gereja Katolik namun masih

eksklusif karena terjebak pada klaim elitis di mana gereja dipahami hanya

sekadar institusi dan upacara seremonial namun luput mengelaborasi

dimensi universal yang mencakup semua manusia. Tendensi itu seakan

menegaskan apa yang pernah diproklamasikan Santo Cyprian: extra

ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). Selanjutnya,

penelitian Daoust berupaya menunjukkan relevansi teologi tubuh Yohanes

Paulus II dengan disabilitas. Meskipun Daoust berhasil menunjukkan

aspek keterbatasan sebagai hal normal melalui perspektif antropologis,

namun kajian tersebut tidak membahas lebih lanjut bagaimana hendaknya

mengelola keterbatasan secara politis yang melibatkan kerja kolektif. Hal

yang sama juga terdapat dalam penelitian Oliveira yang mengeksplorasi

peran orang kudus terhadap disabilitas di dalam konteks masyarakat India

seperti Mahatma Gandhi (1869-1948), Ibu Theresa dari Calcutta (1910-

Page 7: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Disabilitas dalam Teologi Katolik

► 241

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2

Jul-Dec 2019

1997), dan Santa Alphonsa dari Arpookara (1910-1946) dan Santo

Kuriakose Chavara (1085-1871).

Sementara itu, dengan bertitik tolak dari kesaksian hidup Yesus Kristus,

penelitian ini berupaya menunjukkan apa saja alternatif pendekatan dan

bagaimana bersikap terhadap disabilitas. Jika pendasaran pada kitab suci,

ensiklik paus, dan kehidupan orang kudus merefleksikan kembali dimensi

epistemologis pendekatan, penelitian ini menonjolkan dimensi ontologis

yang berorientasi pada acting out, wacana preskriptif, di antara anggota

gereja. Dengan kata lain, alih-alih menempatkan gereja sebagai satu-

satunya institusi keagamaan yang paling bertanggungjawab dalam

memformulasikan pendekatan, penelitian ini menawarkan perspektif lain

bahwa perubahan sejatinya muncul dari kerja kolektif sesama anggota

gereja sebagaimana gerakan kolektif para murid Yesus yang lahir dari

mobilisasi pelbagai partikularitas kontingen seperti kelas, profesi, kultur,

dan agama. Pelibatan berbagai entitas partikular inilah yang

memungkinkan proyek politik berlandaskan kasih mampu bekerja

menggunakan formasi ‘garam dan terang’ di mana garam memberikan rasa

dengan cara melarut tanpa terlihat dan terang yang menghalau kegelapan

tanpa memproklamasikan sumber cahayanya.

Untuk memperjelas topik bahasan, strategi penelitian ini menggunakan

metode penelitian kualitatif dengan pendekatan post-srukturalisme yang

berupaya menemukan relevansi teologi politik dengan cara membaca

kembali gerakan Yesus Kristus sebelum Ia ditangkap, diadili, dan dihukum

mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja

Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia. Dari

pendekatan pos-strukturalisme, tulisan ini mengambil beberapa konsep

kunci dari para pemikir post-srukturalis dan post-foundalisme seperti

Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, Slavoj Žižek, dan psikoanalisis Jacques

Lacan sebagai kerangka analisis. Sementara itu, metode kualitatif

digunakan untuk menemukan informasi tertulis dan lisan tentang

disabilitas melalui dokumen, jurnal, berita, dan artikulasi diskursif dalam

kehidupan sosial.

Page 8: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

242 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

Dari penalaran seperti itu, tulisan ini menawarkan beberapa argumen

antara lain: Pertama, disabilitas merupakan dimensi konstitutif serentak

menciptakan limitasi eksistensial dalam diri semua manusia. Itu berarti

disabilitas dipahami bukan melalui logika perbedaan versi neoliberal

melainkan logika perbedaan yang ada pada konsep Trinitas. Kedua, bertitik

tolak dari keterbatasan itulah, teologi politik gerakan Yesus menemukan

relevansinya sebab tidak ada perubahan tanpa adanya pengakuan dan tidak

ada pengakuan yang lahir dari sikap individualistis dan ideologi liberal.

Ketiga, politik pengakuan hendaknya menjadikan kasih sebagai landasan

pergerakan sekaligus simpul bagi jamaknya partikularitas.

B. Dari Liberalisme kepada Politik Kasih: Disabilitas

sebagai Kerentanan Universal

Sebagai aliran pemikiran sekaligus gerakan politik, liberalisme yang

muncul dari persilangan kompleks antara absolutisme akal budi (rasio) dan

progresivitas teknologi, mendasarkan pandangannya pada subjek yang

rasional dan otonom. Menurut Lefort, terdapat proyek politik

Esensialisme yang berupaya memberi landasan fixed bagi subjek melalui

penalaran metafisika Barat (Marchart, 2007, pp. 85–108). Subjek

didefinisikan melalui logika transendensi yang mengandaikan nilai

universal dan tetap. Akibatnya, terjadi pendepakan secara masif terhadap

subjek yang berada di luar kerangka epistemologi tersebut. Proses

pendepakan terhadap ‘yang lain’ mengakibatkan terjadinya diskriminasi

berlebihan baik melalui aparatus represif negara maupun aparatus

ideologis sipil (Althusser, 2015, hlm. 24 - 29; Gramsci, 1971, hlm. 506).

Unsur-unsur yang mitis-magis, irasional, emosional, dan tradisi lokal

kemudian dianggap tidak rasional bahkan tidak beradab. Dengan kata lain,

from antiquity through modernity, the bodies of disabled people considered to be freaks

and monsters (Rosemarie, 2002).

Implikasi dari kecenderungan rasio instrumental (Habermas, 1984)

pada akhirnya menciptakan apa yang oleh Marcuse dalam bukunya One

Dimensional Man, disebut sebagai manusia satu dimensi yang telah

kehilangan dimensi ketak-terdugaan dan imajinasi (Marcuse, 2002) karena

Page 9: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Disabilitas dalam Teologi Katolik

► 243

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2

Jul-Dec 2019

segala sesuatu dianggap bisa dikuantifikasi, diprediksi, dan dikalkulasi

secara matematis. Efek lanjutan dari logika berpikir seperti ini mewabah

pada hampir semua lini kehidupan tak terkecuali politik khususnya

liberalisme. Sebagai sebuah kerangka pemikiran sekaligus ideologi,

liberalisme menekankan adanya rasionalitas di mana relasi sosial bekerja

melalui logika demarkasi ‘Aku’ - ‘Engkau’ yang cenderung eksploitatif.

Kecenderungan ini berlaku sejak adanya pemisahan tegas antara subjek

dan objek dalam setiap kultur hidup manusia.

Cara pandang seperti ini akhirnya mewujud dalam tindakan

mengeksploitasi alam demi mencapai kemajuan (progresivitas) dan

kemakmuran. Alam dilihat sebagai objek yang patut dikeruk habis-habisan.

Mitos “penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” (Kejadian 1:28) direkayasa

sedemikian rupa sehingga tampak sebagai dalil lain dari segi agama untuk

mendukung proses modernisasi semacam ini. Tepat pada momentum

seperti inilah, relasi antar-manusia disejajarkan dengan relasi benda-beda

yang saling menguasai, karena dalam dunia industri labour produces not only

commodities; it produces itself and the worker as a commodity (Lemert, 2004, p. 31).

Di situ, berlangsung relasi saling mengeksklusi terhadap “yang lain”

(Schmitt, 2007, p. 26). Proses eksklusi dianggap rasional karena hanya

dengan cara itulah, seorang individu dapat mendefinisikan dirinya sebagai

bagian dari kelompok tertentu. Logika binari inilah yang terus merasuki

cara pandang liberal yang menekankan kesetaraan dan keadilan dewasa ini

di mana identitas diri seseorang hanya bisa terbentuk jika ada demarkasi

dan pengambilan jarak terhadap entitas “yang lain”.

Merespon hal tersebut, terdapat upaya untuk menghidupkan kembali

hal yang purba dalam diri manusia sambil mengakui bahwa sesuatu yang

sebelumnya dianggap sebagai ‘liyan’ (other) juga memiliki keunikan

tersendiri sebagai subjek. Respon yang paling banter datang dari para

pemikir mazhab Frankfurt School melalui Habermas dan selanjutnya

dielaborasi oleh para pemikir aliran post-strukturalisme dan psikoanalisis

Jacques Lacan dan Sigmund Freud. Alih-alih menekankan otonomi dan

subyek berkesadaran, postrukturalisme menekankan subjek yang gagal dan

senantiasa membawa kekurangan (lack) konstitutif dalam dirinya. Dari

Page 10: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

244 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

perspektif tersebut, disabilitas membawa relevansi universal bahwa semua

manusia, oleh karena kekurangan konstitutif di dalam dirinya, adalah kaum

difabel. Pergeseran konsep tersebut memperkaya cara pandang mengenai

apa dan bagaimana konsep disabilitas dikonstruksikan. Dengan kata lain,

disabilitas bukan hanya kumpulan orang yang didefinisikan berdasarkan

data statistik, kesehatan biologis dan psikologis, melainkan semua manusia

yang belum mampu mengelola kekurangan konstitutif di dalam dirinya.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh kelompok advokasi Disabled People

International (DPI) yang menulis: Disability is the loss or limitation of

opportunities to take part in the normal life of the community on an equal level with

others due to physical and social barriers. (Crisp, 2013, p. 119).

Mengacu kepada kekurangan konstitutif universal itulah, politik

pengakuan memperoleh basis epistemologisnya. Maksudnya, hanya dari

kegagalan dan pengalaman kejatuhan, seorang individu menjadi

memahami ‘yang lain’ sebagai manusia. Hal yang sama juga diterapkan

dalam dimensi komunikasi. Menurut Lacan, bagaimana pun juga

komunikasi sebagai sebuah upaya mencapai kesepahaman, harus gagal.

Jika komunikasi berhasil, kita saling memahami (Verhaeghe, 1995; Zizek,

Santner, & Reinhard, 2006, p. 161). Cukup beruntung bahwa kita tidak

saling memahami, sehingga kita senantiasa berbicara. Dengan kata lain,

subjek dibentuk dari proses kegagalan, kekurangan, dan ketakcukupan

perangkat signifikasi. Bertitik tolak dari perspektif inilah, Mouffe membuat

pembalikan total dari relasi interpersonal karena ketimpangan struktur

kekuasaan dalam bentuk antagonisme kepada relasi agonistik (Mouffe,

2005, p. 16) sebagai upaya mengelola dimensi ‘disabilitas’ di dalam

masyarakat. Pengakuan yang lahir dari pengetahuan akan keterbatasan diri

itulah yang memungkinkan sikap terhadap kaum difabel menemukan

dimensi humanis.

Hal tersebut mengingatkan penulis pada pembacaan Žižek terhadap

novel Kafka bertajuk “Metamorfosis” yang menunjukkan proses menjadi

manusia secara negatif, dengan mengemukakan dimensi ‘yang bukan

manusia’: Gregor Samsa becomes human only when he no longer resembles a human

being―by metamorphosing himself into an insect, or a spool, or whatever (Zizek et al.,

Page 11: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Disabilitas dalam Teologi Katolik

► 245

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2

Jul-Dec 2019

2006, p. 166). Dimensi inilah yang kemudian menjadi elemen penjelas

bahwa disabilitas dipahami sebagai unsur konstitutif dan inheren dalam

diri semua manusia. Di situ, konsep disabilitas sebagai fenomena

individual disematkan dalam konteks komunal. Hal yang sama juga

diterapkan dalam konteks bangsa Yahudi yang mendefinisikan diri mereka

dengan orang yang tidak memiliki tanah karena adanya imajinasi ideal

mengenai Tanah Terjanji. Artinya, definisi ini dibuat bertolak dari

kekurangan atas sesuatu (yakni tanah). Kekurangan konstitutif inilah yang

memberikan semacam tanggung jawab untuk terlibat pada beberapa

persoalan sosial politik (Zizek dkk., 2006, hlm. 154 - 155).

Keterlibatan karena dimensi kekurangan dan pengalaman kegagalan

inilah yang menjadi dasar bagi keterlibatan sosial politik berkaitan dengan

disabilitas. Dengan kata lain, kesadaran akan keterbatasan dan kekurangan

diri sendiri merupakan conditio sine qua non yang memungkinkan orang

untuk terlibat dalam keterbatasan dan kekurangan orang lain. Hanya

dengan cara itulah, subjek memahami dirinya melalui relasinya dengan

‘yang lain’ berdasarkan posisinya (subject position) dalam diskursus tertentu

di masyarakat.

C. Pentingnya Dimensi Pengakuan

Bertitik tolak dari dimensi kekurangan, keterbatasan, dan kegagalan

itulah, teologi politik kasih menemukan relevansinya, sebab tidak ada

pengakuan tanpa adanya pengalaman mengenai keterbatasan dan

kegagalan sebagai subjek yang senantiasa split, decentred, dan unfixed.

Dikatakan demikian karena subjek selalu berkembang dari keterpecahan

dan keterbelahan subjektivitas, yang dilambangkan dengan $ (Johnson,

2015, hlm. 168 - 169). Argumentasi ini simetris dengan ontologi teologi

politik kasih yang berusaha melampaui paradigma liberal yang absen

memerhatikan dimensi pengakuan (recognition). Dengan kata lain,

pengakuan mengandaikan adanya aspek etis. Alih-alih mengutamakan

kesetaraan dan distribusi yang seimbang, liberalisme politik justru

mengabaikan konteks dan kondisi lain di luar kesetaraan yakni pengakuan.

Demikian pula term seperti humanisme universal yang dianggap mampu

Page 12: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

246 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

mengatasi permasalahan seputar disabilitas dengan adagium ‘manusia

sebagai manusia’ namun tidak mampu mengungkapkan perbedaan,

kekhasan, dan identitas setiap pengalaman tentang dunia.

Ketidakcukupan perangkat pendekatan yang dapat mengakomodasi

pengakuan juga tampak dalam paradigma keadilan distributif John Raws.

Bahwa meskipun sudah setara dan adil dalam hal ekonomi misalnya, orang

tidak otomatis merasa dipenuhi hak-haknya. Mengomentari hal tersebut,

Iris Marion Young menegaskan bahwa teori keadilan distributif Rawls

tidak mencukupi karena tidak mampu menjawab tentang status “yang lain”,

sebab menurut Rawls, selama distribusi tersebut dilakukan secara adil

dengan kedudukan moral original position atau posisi asali, yaitu mampu

membuat keputusan-keputusan rasional maka keadilan bisa tercapai

(Madung, 2010). Pemikiran yang masih berlandaskan pada metafisika

Barat ini dikritik oleh feminis Susan Moller Okin karena agen Rawls adalah

agen yang tidak memiliki kepentingan, tidak bertubuh, dan bersembunyi,

seakan-akan semua orang memiliki kepentingan dan kondisi yang sama.

Padahal menurut Okin, bagaimana bisa menganggap seorang ibu berkulit

hitam yang membesarkan anaknya sendiri dapat memiliki kepentingan

yang sama dengan seorang laki-laki berkulit putih yang mapan? (Okin,

1991). Sebagaimana liberalisme, keadilan versi Rawls sama sekali tidak

pernah mencoba memahami titik pijak ibu kulit hitam tadi. Tepat pada

level inilah, kaum difabel justru berada dalam ketegangan orientasi

kebijakan sosial: antara mengutamakan keadilan dan/atau kesetaraan dan

rekognisi sosial.

Dalam upaya menempatkan disabilitas sebagai kerentanan universal

dari perspektif teologi politik, penting untuk membaca kembali konsep

Trinitas sebagai logika perbedaan. Dengan cara ini, doktrin Trinitas dapat

dilihat sebagai sebuah konsep inklusif bagi pribadi dengan disabilitas

karena paradigma Trinitas menekankan vitalnya kebutuhan universal akan

hubungan manusia. Dengan kata lain, doktrin ini menerangi dan

mendasari kesaling-tergantungan dan memberi tempat bagi kondisi

ketidak-lengkapan manusia dan kapasitas keterhubungan. Perspektif ini

menempatkan semua entitas dalam relasi yang sama dan setara karena

Page 13: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Disabilitas dalam Teologi Katolik

► 247

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2

Jul-Dec 2019

eksistensinya legitimate di dalam dirinya sendiri. Relasi seperti itu hanya akan

terwujud jika terdapat kesadaran mengenai kerentanan sebagai sesuatu

yang konstitutif sebab hanya dengan melalui kesadaran yang mendalam ke

budaya yang berbeda, kita mengakui bukan hanya asumsi kita, tetapi juga

apa yang kita pikir kita tahu tentang diri kita sendiri dan orang lain.

Kita menjadi sadar akan batas-batas pemahaman kita dan berkomitmen

membuka ruang bagi hal-hal lain di luar kendali kita (Raffety, 2018, p. 281).

Sadar akan batas itulah yang hendaknya menjadi basis ontologis bagi

gerakan teologi politik dewasa ini. Orang mesti terlebih dahulu memiliki

pemahaman mengenai betapa hidup ini terbatas sebelum bersolider

dengan orang lain. Ia mesti terlebih dahulu menyadari betapa pentingnya

kontribusi alam bagi kehidupan manusia sebelum menanam pohon. Ia

mesti terlebih dahulu menyadari bahwa manusia makan untuk hidup dan

bukan hidup untuk makan sebelum memberi makan kepada orang yang

lapar. Ia mesti terlebih dahulu menyadari betapa pentingnya kehadiran

orang lain sebelum menghabiskan waktu berjam-jam dengan menangis

karena patah hati. Ia mesti terlebih dahulu memahami apa itu kebersamaan

sebelum menangisi kematian sahabatnya. Tanpa adanya kesadaran akan

batas-batas diri seperti ini, mustahil sebuah tindakan politik berlandaskan

kasih terwujud. Sebab, mengutip Charles Taylor, politik dewasa ini selalu

berkaitan dengan kebutuhan akan pengakuan yang lahir dari pengenalan

akan batas-batas (Madung, 2017, p. 81) diri sendiri.

D. Tipologi Politik Kasih sebagai Gerakan Kolektif

Berbagi Kerentanan

Menyadari keterbatasan dan kerentanan diri sendiri mengingatkan

penulis pada apa yang tertulis di Gua Delphi Yunani, Gnoti Se Auton yang

sekurang-kurangnya berarti “Kenalilah dirimu”. Dengan terlebih dahulu

mengenal kerentanan diri, aksi solidaritas dimungkinkan. Perspektif inilah

yang menjelaskan sekaligus menjadi alasan lahirnya tanggung jawab sosial

terhadap kaum difabel yang ‘dianggap’ menderita. Panggilan untuk terlibat

dengan kehidupan kaum difabel merupakan ekspresi lanjutan dari seruan

profetik Yesus dan selanjutnya Gereja Katolik untuk memerhatikan orang-

Page 14: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

248 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

orang ‘miskin’ yang oleh karena perkembangan dunia memasukkan

mereka dalam kategori ‘orang yang tidak dibutuhkan’. Mengutip Susan

George dalam The Lugand Report, Kieser menulis: Di zaman ini, kita

dipaksa belajar untuk mampu menghadapi suatu dunia yang tidak lagi

monolit, hierarkis, dan birokratis, tetapi suatu dunia yang

perkembangannya bergerak dengan cepat, yang transparan, dan yang

fleksibel. Dunia telah memasuki fase baru: tatanan baru di mana masing-

masing orang harus memikul tanggung jawab atas kehidupannya sendiri.

Ia harus menaklukkan dan menguasai tubuhnya sendiri supaya dapat

bertahan dan berhasil dalam dunia yang berkompetisi. Sementara itu,

banyak orang yang secara fisik, biologis, dan intelektual tidak mampu, dan

secara rohani tidak sanggup menyesuaikan diri, akan segera mendapati

bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak dibutuhkan (Giddens, 2005,

p. 165; Kieser, 2004, p. 40).

Berhadapan dengan kondisi seperti ini, menghidupkan kembali politik

kasih sebagai bentuk berbagai kerentanan secara kolektif mendesak untuk

dijalankan. Contoh paling relevan datang dari kisah Injil mengenai

“Persembahan Janda yang Miskin” (Markus 12:41-44; Lukas 21:1-4). Dari

perspektif teologi politik kasih, meminjam term Lacanian, kemiskinan

dimengerti sebagai ketidakmampuan subjek mengelola keterbatasan,

kerentanan, dan kegagalan. Itu berarti, orang miskin adalah orang yang

tidak berani berbagi kerentanan dengan orang lain dan ini mencakup baik

itu mereka yang kaya maupun mereka yang miskin secara finansial.

Tokoh utama yang menjadi prototipe berbagi kerentanan adalah Yesus

Kristus. Bahkan sejak lahir dalam suasana masyarakat Yahudi yang sedang

dijajah, Yesus sudah diancam oleh kejahatan dan kekerasan dalam diri

Herodes (Matius 2:16). Dia harus mengungsi ke Mesir bersama Maria dan

Yusuf. Dalam masa penampilannya di muka publik, dia mengalami banyak

pertarungan dengan kaum Saduki, Farisi, imam-imam kepala, bahkan

rakyatnya sendiri (Lukas 4:22.24). Yesus dikorbankan oleh muridnya

sendiri, Yudas Iskariot, dengan ciumannya (Matius 26:48-49; Markus

14:44-45). Yesus menguraikan visi masyarakat yang baru dengan

meninggalkan kekerasan (Matius 5:39-42), tidak balas dendam bahkan

Page 15: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Disabilitas dalam Teologi Katolik

► 249

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2

Jul-Dec 2019

mengasihi musuh (Matius 5:43-48). Kerentanan Yesus ini berupaya ia

teruskan kepada para murid-Nya ketika Ia mengutus mereka dengan

amanat terperinci untuk tidak membawa bekal apa-apa dalam perjalanan,

“Jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju”

(Lukas 9:3; Matius 10:10 yang menambahkan “kasut). Kita tahu bahwa

dalam konteks Palestina zaman itu, tongkat bukan hanya berarti

penyangga badan tetapi juga alat bela diri terhadap musuh dan binatang

buas. Berjalan tanpa kasut memustahilkan orang menghindari bahaya

secara cepat. Karena itu tanpa tongkat dan kasut, seseorang tidak akan

dapat membela diri serentak berada dalam kondisi penuh risiko.

Mengenai hal yang sama, penulis sepakat dengan Johanes Calvin, yang

dikutip oleh Placher, yang mengatakan bahwa dalam ketaatan yang

dijalankan dalam kebebasan, Yesus menjadi semakin diidentifikasi sebagai

Allah yang memiliki kebebasan dan dalam kebebasan-Nya mengambil

risiko untuk menjadi ringkih (Placher, 1994, p. 15). Tindakan memilih

menjadi ‘menderita’, ‘miskin’, dan ‘terbatas’ dalam suasana kebebasan

hendaknya menjadi prioritas setiap anggota gereja karena,

The God who loves in freedom is not afraid and therefore can risk vulnerability, absorbs the horror of another’s pain without fear; human beings now as in the time of Jesus tend to think of power as refusal to risk compassion. But god’s power looks not like imperious Caesar but

like Jesus on the cross (Placher, 1994, p. 18).

Dengan kata lain, ketika Yesus mati (dalam bahasanya Jüren Moltman)

terjadi kematian di dalam Allah; dan oleh karena itu, Allah belajar menjadi

manusia. Di situ, terjadi pembalikan total dari dari konsep Allah yang

berkuasa dan bertindak sebagai hakim dalam Perjanjian Lama kepada

Allah yang menderita, berbelas kasihan, dan pengasih dalam diri Yesus

(Perjanjian Baru).

Panggilan untuk berbagi kerentanan seperti Yesus di atas merupakan

conditio sine qua non bagi keterlibatan setiap anggota gereja Katolik.

Dikatakan demikian karena hanya melalui kerentanan itulah, mengutip

Varnier dalam bukunya The Gospel of John, The Gospel of Relationship, “Our

humanity grows and develops in relationships through which we are transformed and

grow in freedom” (Vanier, 2015, p. 82). Sebaliknya, menolak untuk terlibat

Page 16: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

250 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

sejatinya merupakan tindakan menolak eksistensi Allah yang konkret

dalam kehidupan. Dengan alasan yang sama Vanier menulis, “What is it

separates our hearts from God? It is our refusal to welcome others, the poor, and those

in need” (Varnier, 2015: 203).

Konsep relasional ini juga ditekankan oleh Mayra Rivera dalam The

Touch of Transendence: A Postcolonial Theology of God. Ia menawarkan suatu visi

transendensi di dalam ciptaan dan di antara ciptaan yaitu transendensi yang

relasional. Rivera mengatakan bahwa dalam pertemuan dengan (wajah)

pribadi lain kita dapat menemukan transendensi Yang Ilahi (Rivera, 2007,

p. 56). Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh filsuf

eksistensialisme dari Prancis, Gabriel Marcel, “Anda tidak diadili atas dasar

cinta Anda kepada Allah melainkan atas dasar cinta Anda kepada Allah

dalam diri sesama”. Pada Perjanjian Lama, relasi yang dibayangkan selalu

antara Allah dan manusia di mana berdosa didefinisikan sebagai tindakan

melawan perintah Allah. Di situ, pengampunan hanya terjadi semata-mata

karena belas kasihan Allah. Sementara itu, pada Perjanjian Baru, melalui

inkarnasi, relasi selalu mengandaikan perjumpaan dengan orang lain

(Tuhan yang hadir di tengah manusia).

Konsekuensi logisnya, berdosa bukan lagi didefinisikan sebagai

tindakan melawan perintah Allah melainkan kegagalan manusia mengelola

kerentanan dalam kehidupan sosial. Dibahasakan secara lain, berdosa

berarti ketidakmampuan merawat sekaligus menjaga eksistensi pluralitas

yang konstitutif dalam masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan gerakan

kolektif yang mampu menjadi simpul bagi tersebarnya pelbagai pluralitas

yang inheren dalam tubuh masyarakat. Di situ, ‘yang lain’ dilihat sebagai

definitif di dalam dirinya dan bukan melalui proses signifikasi berdasarkan

otoritas tertentu seperti agama, kesehatan (medis), pemerintahan, dan

rezim yang berkuasa pada periode tertentu.

Meskipun demikian, gerakan hanya akan lahir jika ada perjumpaan

dengan―mengutip term “wajah” dari Levinnas―’yang lain’. Di situ,

Levinnas menunjukkan sekaligus mengatasi gap yang memisahkan dua

dimensi: Etika melibatkan sebuah relasi asimetris di mana Saya selalu dan

telah bertanggung jawab terhadap ‘yang lain’ (the Other), sementara politik

Page 17: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Disabilitas dalam Teologi Katolik

► 251

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2

Jul-Dec 2019

merupakan domain kesetaraan simetris dan keadilan distributif. Dengan

kata lain, etika mendobrak sekaligus melampaui relasi simteris dan setara

sekaligus mengubahnya sebab bagi Levinnas, ethics is not about life, but about

something more than life (Zizek dkk., 2006, hlm. 149 - 250). Dimensi imperatif

kategoris cinta yang ditegaskan oleh Yesus dengan menempatkan tindakan

mencintai Tuhan dan sesama pada level yang sama (Matius 22:37-40)

mengambil relevansi dari kategori terakhir.

Hal tersebut selaras dengan apa yang ditegaskan oleh Bonhoeffer,

Gereja harus berpartisipasi di dalam kehidupan komunitas masyarakat

dengan cara membantu dan melayani mereka. Dengan merefleksikan

kembali pernyataan Santo Yakobus yang mengatakan bahwa iman tanpa

perbuatan adalah mati, tindakan keterlibatan mesti dilakukan dengan visi

emansipatoris. Jika keterlibatan versi neoliberal menekankan tindakan

memberikan ikan atau kail, keterlibatan versi teologi politik radikal adalah

memberikan diri sendiri, terlibat secara langsung dalam kehidupan orang

yang ingin “diberdayakan”.

Tindakan pemberdayaan terhadap kaum difabel hendaknya tentang

membantu semua orang untuk belajar bagaimana memberi sebagaimana

menerima. Sebab setiap relasi sosial dibentuk dari tindakan saling memberi

(Crisp, 2013, p. 282). Sebagaimana yang ditulis oleh Jon Sobrino, dasar

dari solidaritas dalam kehidupan gereja, “ditegakkan sebagai sebuah proses

memberi dan menerima” sebagai dasar yang mana gereja dimungkinkan

terhubung pada ‘yang lain’, pada masyarakat umumnya, melampaui batas-

batasnya (Sobrino & Hernandez-Pico, 1985, hlm. 4 - 5). Oleh karena itu,

gereja perlu memahami dirinya sendiri sebagai sebuah hadiah, sebuah relasi

saling memberi dan menerima lebih dari sekadar relasi transaksional atau

ekonomi. Pemahaman inilah yang memungkinkan acting out dan aktus

passing over menjadi mungkin. Di situ, mutual understanding in relationship is

more important than solution. Dengan kata lain, disabilitas bukanlah masalah

jika dan hanya jika ada tindakan saling memahami dengan aksi

memberikan diri sebagaimana tidak ada hadiah paling besar yang Allah

berikan kepada manusia selain diri-Nya sendiri. Oleh karena itu, kehadiran

Page 18: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

252 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

kita bersama kaum difabel merupakan visi radikal dari inklusivitas dan

komunio (Hinojosa, 2018, p. 205).

E. Tindakan Kasih sebagai Strategi Advokasi

Meskipun pendekatan yang digunakan dalam artikel ini bertitik tolak

dari tradisi post-strukturalisme yang cenderung menolak memberikan

kesimpulan, apalagi strategi solusi sebagai langkah pemecahan atas sebuah

persoalan tertentu, saya berupaya mengemukakan beberapa strategi

advokasi sebagai gambaran umum. Bagaimana nantinya strategi itu

digunakan, tergantung dari konteks sosial politik dan ekonomi di mana

advokasi itu dijalankan. Oleh karena itu, mempertimbangkan bahwa gereja

selalu berlokasi dalam komunitas heterogenitas berdasarkan entitas

partikular kontingen, masing-masing pihak diberikan kemungkinan untuk

memformulasikan strategi advokasi berdasarkan prioritasnya masing-

masing.

Sebagai bahan pembanding, strategi ini berusaha menerjemahkan

pendekatan yang digunakan oleh Laclau yang merefleksikan pengalaman

Rosa Luxemburg ketika memobilisasi pelbagai entitas partikular untuk

melawan dominasi rezim Tsar (Laclau, 2007, hlm. 130 - 132).

Gambar 1 Bagan Laclau

Rezim opresif Tsar (Ts) dipisahkan oleh batas politik (political frontier)

dari tuntutan sebagian besar sektor dalam masyarakat (D1, D2, D3, D4)

Page 19: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Disabilitas dalam Teologi Katolik

► 253

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2

Jul-Dec 2019

sehingga masing-masing tuntutan itu berbeda dengan yang lainnya.

Meskipun begitu, semuanya bersifat ekuivalen karena sama-sama berupaya

melawan rezim opresif. Melalui pembangunan rantai ekuivalensi (chain of

equivalence) itu, tampil dan menjadi penanda dari seluruh rantai tuntutan

yang beragam. Akhirnya, D1 di atas lingkaran ekuivalensi tersebut mewakili

semua tuntutan yang anti-sistem.

Penjabaran lebih lanjut dari strategi di atas dapat dirincikan secara

sederhana sebagai berikut:

Pertama, menyamakan persepsi (Ø). Pada level ini, semua institusi yang

perlu memikirkan bagaimana menyamakan persepsi tentang disabilitas

antara lain agama, kesehatan (medis), kebudayaan dan birokrasi.

Selanjutnya, persepsi universal ini dijadikan rujukan sekaligus menjadi

bahan refleksi yang diterapkan berdasarkan konteks masing-masing.

Meskipun demikian, patut diingat bahwa persepsi yang sama bukanlah

sebuah konsep yang absolut dan rigid melainkan sebuah konsep yang

relasional, dinamis dan kontingen. Hal ini penting agar menghindarkan

maksud awal dari penjabaran tulisan ini yang menolak tendensi

absolutisme.

Kedua, masing-masing pihak juga mempertimbangkan konteks seperti

tempat, sistem, dan norma yang dengannya kaum difabel hidup dan

bergaul (D1―D4). Di situ, setiap institusi berupaya semaksimal mungkin

menerapkan supported living service dari pada a care scheme. Maksudnya, hal

paling utama yang dilakukan adalah terlebih dahulu mendengar apa yang

kaum difabel ingin kita lakukan, dengan cara apa, dan apa yang mereka

anggap paling penting dan dibutuhkan. Hal yang sama juga dilakukan oleh

Yesus ketika membangun imajinasi politik dalam diri para pengikut-Nya.

Ia tidak menjejali para murid dengan pengetahuan tentang moralitas atau

transfer pengetahuan mengenai apa itu keadilan. Sebaliknya, strategi yang

digunakan adalah learning by doing dengan cara menemani mereka melaut,

ke ladang anggur, ke padang gembalaan, dan seterusnya. Dengan kata lain,

pemahaman tentang disabilitas tidak mungkin tercapai hanya dengan

mengajarkan orang definisi apa itu disabilitas melainkan mengajak mereka

untuk berjumpa dengan kaum difabel.

Page 20: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

254 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

Ketiga, merumuskan gerakan (D1). Tentu saja gerakan yang dipahami di

sini bukan semata-mata hasil konfrontasi melainkan negosiasi. Jika

konfrontasi mengedepankan perangkat hukum dan dimensi konflik,

negosiasi mengandalkan kerja-kerja akomodatif dan sosiologis. Kunci

utama keberhasilan gerakan jenis ini yakni simbol D1 di atas merupakan

hasil akumulasi dari pelbagai tuntutan partikular dari masing-masing

institusi mengenai disabilitas. Oleh karena itu, gerakan teologi politik yang

dibayangkan di sini bukan semata-mata gerakan yang lahir dari gereja

melainkan tersebar dalam semua elemen masyarakat. Hal yang sama juga

dipraktikkan oleh Yesus Kristus ketika Ia tampil tanpa secara jelas

mewakili suatu institusi agama dan pemerintahan mana pun melainkan

membawa dimensi baru yang merupakan akumulasi dari tuntutan semua

institusi yang ada di dalam bangsa Israel.

Strategi di atas merupakan respon terhadap mewabahnya ideologi

neoliberalisme dalam struktur kesadaran masyarakat dan pelbagai

kebijakan ekonomi politik dewasa ini, tak terkecuali Gereja Katolik.

Dengan menekankan privatisasi dan kebebasan mutlak, neoliberalisme

berupaya menggusur dimensi kolektif kolegial yang merupakan spirit

utama dari teologi politik berlandaskan kasih. Cara kerja neoliberalisme ini

membuat solidaritas lalu dipandang sebagai hasil inisiatif pribadi dan

bukan sebagai akumulasi gerakan bersama berlandaskan kasih. Di bidang

politik praktis misalnya, pemerintah dilihat sebagai persona dan bukan

tenunan sistematis birokrasi. Akibatnya, kesuksesan program terkait

disabilitas cenderung dilihat sebagai hasil kerja kementerian sosial atau

dinas sosial dan bukannya hasil kerja banyak pihak.

Jika neoliberalisme terlampau menekankan kesetaraan dan privatisasi

kebebasan sebagai kondisi asali manusia, gerakan politik kasih justru

memprioritaskan dimensi hegemonik sebagai simpul yang

mengakomodasi pelbagai tuntutan partikular yang tersebar dalam tubuh

masyarakat. Jika kerja politik hanya mengandalkan tuntutan individu yang

terfragmentasi, mustahil sebuah gerakan mampu bertahan; di samping

munculnya tendensi pemujaan berlebih terhadap penokohan. Sebaliknya,

bertolak dari gerakan politik Yesus, mengubah situasi ketidakadilan dan

Page 21: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Disabilitas dalam Teologi Katolik

► 255

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2

Jul-Dec 2019

diskriminatif hanya mungkin jika ada kesediaan berbagi kerentanan di

antara sesama anggota gereja sekaligus sesama warga negara. Tindakan

berbagi kerentanan dalam suasana kasih itulah yang cenderung absen

dalam gerakan politik di Indonesia dan Gereja Katolik akhir-akhir ini.

F. Kesimpulan

Dengan menggunakan disabilitas sebagai unit analisis, teologi politik

berusaha memahami disabilitas dari perspektif subjek yang gagal, unfixed,

lack, dan split. Implikasi dari model pendekatan tersebut yakni bukan lagi

bertitik tolak pada kesetaraan versi liberalisme dan rasionalitas versi

Habermasian melainkan pada apa yang disebut sebagai politik pengakuan

(politic of recognition). Meskipun demikian, pengakuan hanya bisa lahir jika

ada kesadaran dan pengenalan terhadap keterbatasan dan kerentanan diri

sendiri. Maksudnya, dengan mengenal kerentanan diri, orang terpanggil

untuk terlibat dengan kerentanan orang lain khususnya kaum difabel.

Keterlibatan seperti ini melampaui model keterlibatan vertikal baik top down

maupun bottom up, dan menekankan dimensi etis keterlibatan horizontal

sebagai tindakan berbagi kerentanan secara kolektif. Absennya perspektif

ini mengakibatkan terjadinya ketergantungan berlebihan pada institusi

negara dan luput membangun kekuatan sipil entah itu Gereja, masyarakat

adat, LSM, dan lembaga non-state lainnya.

Page 22: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

256 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

REFERENSI

Althusser, L. (2015). Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara: Catatan-Catatan Investigasi. IndoPROGRESS.

Bennett, J. M., & Volpe, M. A. (2018). Models of Disability from Religious Tradition: Introductory Editorial. Journal of Disability & Religion, 22(2), 121–129. https://doi.org/10.1080/23312521.2018.1482134

Crisp, A. G. (2013). People with a Learning Disability in Society and in the Church: Theological Reflections on the Consequences of Contemporary Social Welfare Policies as Seen Through the Lens of Social Capital Theory (D_ph, University of Birmingham). Retrieved from https://etheses.bham.ac.uk/id/eprint/4058/

de Oliveira, J. G. (2017). On Disability, Society and Technology: An Informal Conversation from South India. International Journal OFEngineeringSciences & Management Research, 4, 1–9.

Fikri, A. (2016). Konseptualisasi dan Internalisasi Nilai Profetik: Upaya Membangun Demokrasi Inklusif bagi Kaum Difabel di Indonesia. INKLUSI, 3(1), 41–64. https://doi.org/10.14421/ijds.030107

Giddens, A. N. (2005). Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Retrieved from //library.fis.uny.ac.id/opac/index.php?p=show_detail&id=3025

Gramsci, A. (1971). Selection from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. Lawrence and Wishart.

Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action. Boston: Beacon Press.

Hinojosa, V. J. (2018). From Access to Communion: Beyond the Social Model. Journal of Disability & Religion, 22(2), 199–210. https://doi.org/10.1080/23312521.2018.1449708

Huda, N. A. (2018). Studi Disabilitas dan Masyarakat Inklusif: Dari Teori ke Praktik (Studi Kasus Progresivitas Kebijakan dan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 3(2), 245-266.

Johnson, T. R. (2015). The Other Side of Pedagogy: Lacan’s Four Discourses and the Development of the Student Writer. State University of New York Press.

Kieser, B. (2004, June). Marginalisasi Memacu Kesadaran Umum. BASIS, 53(5–6).

Laclau, E. (2007). On Populist Reason (Reprint edition). London New York: Verso.

Lemert, C. (2004). Social Theory: The Multicultural and Classic Readings (3 edition). Boulder, Colo: Westview Press.

Page 23: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Disabilitas dalam Teologi Katolik

► 257

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2

Jul-Dec 2019

Longchar, A. W., & Rajkumar, R. C. (Eds.). (2010). Embracing the Inclusive Community: A Disability Perspective. Bangalore: BTESSC/SATHRI, NCCI & SCEPTRE.

Madung, O. G. (2010, December). Politik Diferensiasi Iris Marion Young, Keadilan Gender dan Hak-Hak Asasi Manusia. Makalah presented at the Seminar Hukum dan Penghukuman, Universitas Indonesia, Kampus Depok.

Madung, O. G. (2017). Postsekularisme, Toleransi dan Demokrasi. Jurnal Ledalero.

Maliszewska, A. (2019). The Invisible Church: People with Profound Intellectual Disabilities and the Eucharist – A Catholic Perspective. Journal of Disability & Religion, 23(2), 197–210. https://doi.org/10.1080/23312521.2018.1483789

Marchart, O. (2007). Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy, Lefort, Badiou and Laclau (1 edition). Edinburgh: Edinburgh University Press.

Marcuse, H. (2002). One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (1 edition). London: Routledge.

Mouffe, C. (2005). On the Political (1st edition). London; New York: Routledge.

Okin, S. M. (1991). Justice, Gender, and the Family (50843rd edition). New York: Basic Books.

Placher, W. C. (1994). Narratives of a Vulnerable God: Christ, Theology, and Scripture (1st edition). Louisville, KY: Westminster John Knox Press.

Raffety, E. (2018). The God of Difference: Disability, Youth Ministry, and the Difference Anthropology Makes. Journal of Disability & Religion, 22(4), 371–389. https://doi.org/10.1080/23312521.2018.1521766

Rivera, M. (2007). The Touch of Transcendence: A Postcolonial Theology of God. Louisville: Westminster John Knox Press.

Romero, M. J. (2015). Profound Cognitive Impairment, Moral Virtue, and Our Life in Christ. Retrieved from https://www.academia.edu/17661184/Profound_Cognitive_Impairment_Moral_Virtue_and_Our_Life_in_Christ

Schmitt, C. (2007). The Concept of the Political. Retrieved from https://www.press.uchicago.edu/ucp/books/book/chicago/C/bo5458073.html

Setyawan, Y. B. (2013, July). Membaca Alkitab dalam Perspektif Disabilitas: Menuju Hermeneutik Disabilitas. Makalah presented at the Lokakarya Diskursus Disabilitas dalam Pendidikan Teologi di Indonesia, PERSETIA, Salatiga.

Page 24: DISABILITAS DALAM TEOLOGI KATOLIK: Dari Liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia

Yohanes Wele Hayon

258 ◄

INKLUSI:

Journal of

Disability Studies,

Vol. 6, No. 2,

Jul-Dec 2019

Sobrino, J., & Hernandez-Pico, J. (1985). Theology of Christian Solidarity (New Ed edition). Maryknoll, N.Y: Orbis Books.

Stephanie, J. (2018). Pandangan Alkitab Tentang Kesetaraan Bagi Penyandang Disabilitas (Universitas Padjajaran). Retrieved from https://www.academia.edu/36191511/Pandangan_Alkitab_Tentang_Kesetaraan_Bagi_Penyandang_Disabilitas

Syafi’ie, M. (2014). Pemenuhan Aksesibilitas Bagi Penyandang Disabilitas. INKLUSI, 1(2), 269–308. https://doi.org/10.14421/ijds.010208

Vanier, J. (2015). The Gospel of John, the Gospel of Relationship. Cincinnati, Ohio: Franciscan Media.

Verhaeghe, P. (1995). From impossibility to inability: Lacan’s theory of the four discourses. The Letter (Dublin), (3), 76–100.

Windley-Daoust, S. (2016). Is There a “Theology of the Disabled Body”? John Paul II’s Theology of the Body on Limit and Sign. Journal of Disability & Religion, 20(3), 163–177. https://doi.org/10.1080/23312521.2016.1210947

World Health Organization, & World Bank. (2011). World report on disability 2011. Retrieved from https://apps.who.int/iris/handle/10665/44575

Zizek, S., Santner, E. L., & Reinhard, K. (2006). The Neighbor: Three Inquiries in Political Theology. University of Chicago Press.