disabilitas dalam teologi katolik: dari liberalisme ...mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi...
TRANSCRIPT
INKLUSI: Journal of Disability Studies
Vol. 6, No. 2, July-December 2019, pp. 235-258
DOI: 10.14421/ijds.060203
Submitted: 23-04-2018 | Accepted: 20-10-2019
DISABILITAS DALAM TEOLOGI
KATOLIK:
Dar i Liberal isme ke Pol i t ik Kasih
YOHANES WELE HAYON
Universitas Gadjah Mada
Abstract
This article aims to re-question the relevance of Catholic political theology on the level
of acceptance of people with disabilities. The author pointed out that the dominant
ideology of liberalism, which separates the religious domain from politics, makes the
discussion of disability limited to issues of equality. It missed the most sublime
dimensions in the subject, namely recognition. So, how the political theology based on
collective movement makes this lacking out? Referring to Jesus’ political action, the
author argues that political involvement should presuppose a dimension of love that
embraces all particulars. It should be based on agency strategy, without being trapped
in claims of morality and binary opposition logic. Furthermore, the concept of
disability is understood as a universal constitutive dimension that creates limitations
as well as calls to be involved. This awareness is the basis for managing collective
vulnerability as fellow sinful, unfixed, lacking, and not autonomous subjects.
Keywords: Catholic liberal theology; disability in catholic theology; disability
recognition.
CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
Provided by UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga, Yogyakarta: E-Journal Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat
Yohanes Wele Hayon
236 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
Abstrak
Artikel ini bertujuan mempertanyakan kembali relevansi teologi politik
agama Katolik dalam hal penerimaan terhadap kaum difabel. Di dalam artikel
ini, penulis menunjukkan bahwa dominannya ideologi liberalisme yang
memisahkan domain agama dari politik menyebabkan diskusi mengenai
disabilitas dari perspektif teologi politik terkunci pada kesetaraan dan tidak
memerhatikan dimensi paling sublim dalam diri subjek yakni pengakuan.
Mengacu pada gerakan politik Yesus, penulis berargumen bahwa keterlibatan
politik hendaknya mengandaikan dimensi kasih yang merangkul semua
partikular tanpa terjebak pada klaim moralitas dan logika oposisi biner.
Dengan menggunakan beberapa terma kunci dari para pemikir post-
marxisme, post-strukturalisme dan psikoanalisis, konsep disabilitas dipahami
sebagai dimensi konstitutif universal yang menciptakan keterbatasan
sekaligus panggilan untuk terlibat. Kesadaran inilah yang menjadi landasan
untuk mengelola kerentanan secara kolektif sebagai sesama subjek yang
‘berdosa’, ‘unfixed’, ‘lack’, dan tidak otonom.
Kata kunci: teologi liberalisme Katolik; disabilitas dalam Katolik;
pengakuan atas disabilitas.
A. Pendahuluan
Membincang disabilitas dari perspektif teologi politik agama Katolik
dapat dilihat sebagai upaya merefleksikan kembali konsep disabilitas dari
perspektif sosiologis. Alih-alih menekankan kesetaraan, pendekatan sosial
humaniora terhadap disabilitas justru terjebak pada klaim tentang
pemenuhan hak dan mengabaikan dimensi penting lain yakni rekognisi
(pengakuan). Demikian juga pendekatan teologis dan pastoral dalam gereja
Katolik yang, meskipun melihat disabilitas sebagai ‘Citra Allah’, namun
atas cara tertentu justru mereproduksi disabilitas melalui frasa ‘belas
kasihan’ dan ‘cinta kasih’. Terdapat proyek hegemonisasi yang mendekam
di balik dua frasa tersebut yang pada akhirnya menempatkan kaum difabel
sebagai mereka yang patut dikasihani. Konsekuensinya jelas, ketika
berhadapan dengan kemiskinan, diskriminasi sosial, dan ketidakadilan,
Disabilitas dalam Teologi Katolik
► 237
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2
Jul-Dec 2019
orang cenderung memilih berdoa daripada membangun gerakan politik
untuk mengubah sistem yang buruk. Mengatasi hal tersebut, teologi politik
yang digunakan sebagai kerangka operasional sekaligus strategi analisis
dalam tulisan ini bukan merupakan formulasi dogmatis dari teologi
ortodoksi melainkan teologi politik yang menekankan dimensi praksis
kasih (ortopraksis), dari Liberalisme kepada rekognisi, dari sabda menjadi
daging. Bertitik tolak pada semangat inkarnasi sebagai peralihan kualitatif
itulah, terjadi reorientasi radikal dari teologi sebagai upaya
mempertanggungjawabkan iman secara rasional (fides quaerens intellectum)
kepada teologi politik sebagai pertanggungjawaban politis keterlibatan
seorang beriman dalam kehidupan sosial.
Sambil mempertimbangkan bahwa keterlibatan selalu mengandaikan
adanya perjumpaan, tulisan ini berupaya menjadikan teologi politik sebagai
perspektif dalam mengubah pemaknaan dari “how to live with disability”
kepada “how to live in disability.” Pada kategori terakhir, terdapat dimensi etis
yang cenderung luput dari jamaknya program pemberdayaan kaum difabel
yang dilakukan baik oleh institusi negara (state) maupun sipil (non-state),
termasuk gereja. Melalui perspektif ini, keterlibatan dilihat bukan lagi
bersifat vertikal, baik itu top-down maupun buttom-up, melainkan horizontal
dengan mengambil bentuk dalam tindakan berbagi kerentanan. Kerangka
berpikir melampaui ‘normalitas’ dan oposisi biner inilah yang kemudian
mengkritik paradigma medis yang menekankan bahwa normalitas dan
ideal fixed tentang kesempurnaan tubuh pada semua orang, termasuk kaum
difabel, dapat diukur (Bennett & Volpe, 2018, hlm. 121 - 122).
Konsekuensi logisnya, orang dengan disabilitas dilihat sebagai
penyimpangan, dan otomatis bukan bagian dari masyarakat. Hal ini
dikarenakan model medis terlalu fokus pada normalitas sebagai kriteria
bagi cara berpikir tentang disabilitas. Model medis ini bersifat reduksionis
karena melihat kaum difabel sebagai abnormal dan tidak berfungsi
sehingga perlu ada manajemen untuk mengembalikan pada fungsinya yang
sejati. Dengan kata lain, cara pandang ini melihat kaum difabel sebagai
objek yang rusak dan harus diperbaiki, dibuat sempurna (Hinojosa, 2018,
p. 200). Hal tersebut tampak misalnya dalam klasifikasi penyandang
Yohanes Wele Hayon
238 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
disabilitas dalam regulasi di Indonesia yang terlampau menekankan
kesetaraan sebagai titik tolak kebijakan dan luput memerhatikan aspek
rekognisi. Implikasi lanjutan dari cara pandang seperti ini adalah
penyandang disabilitas dilihat sebagai objek santunan atau amal tanpa
terlebih dahulu mempertimbangkan dimensi etis tentang bagaimana kaum
difabel melihat (mendefinisikan) diri mereka sendiri.
Merespon cara pandang di atas, muncul pemahaman disabilitas dari
sudut pandang sosial. Perspektif ini menekankan bahwa masyarakatlah
yang justru melanggengkan disabilitas; seorang individu dengan kecacatan
dikategorikan sebagai difabel selama ia dihalangi dari partisipasi atau
rekognisi dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena struktur sosial
bekerja menggunakan logika perbedaan sebagai kerangka kerja politik
representasi baik itu pada level ras, gender, jenis kelamin, dan seterusnya.
Artinya, disabilitas dilihat bukan sebagai kecacatan fisik melainkan karena
gagalnya struktur sosial dalam mengelola perbedaan yang ada dan alih-alih
berupaya menciptakan ruang khusus bagi kaum difabel, struktur sosial
justru mencegah kaum difabel mengakses masyarakat (Hinojosa, 2018,
hlm. 200; Raffety, 2018, hlm. 381 - 382).
Salah satu pencapaian dari model sosial ini adalah dicetuskannya
American with Disabilities Act (ADA) pada tahun 1990. Daripada berupaya
memperbaiki tubuh mereka yang dianggap difabel, ADA berupaya
memperbaiki masyarakat yang dalam kenyataan menjadikan individu
difabel. Wujud konkret dari ADA secara teknis adalah membuat
akomodasi yang rasional bagi kaum difabel dan memberikan mandat
bahwa ruang bisnis dan publik hendaknya menyediakan akses fisik bagi
kaum difabel seperti mengubah bentuk gedung yang menggunakan lift
kursi roda dan teknologi yang dikembangkan untuk memperlancar
komunikasi verbal bagi mereka yang mengalami gangguan pendengaran
dan penglihatan (Hinojosa, 2018, p. 201). Meskipun demikian, teknikalisasi
dalam bentuk generalisasi tentang disabilitas tidak tepat sasaran karena
kaum difabel memiliki faktor personal yang bervariasi seperti perbedaan
gender, usia, sosio-ekonomi, status, seksualitas, etnisitas, dan warisan
kebudayaan. Perempuan dengan disabilitas yang hidup dalam budaya
Disabilitas dalam Teologi Katolik
► 239
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2
Jul-Dec 2019
patriarki tentu kecil peluangnya untuk menikah daripada perempuan non-
disabilitas. Atau, individu dengan gangguan mental tampak tidak berguna
dalam banyak situasi daripada mereka yang cacat fisik atau kerusakan
sensorik (World Health Organization & World Bank, 2011, p. 8).
Upaya menggeneralisasi disabilitas merupakan konsekuensi lanjutan
dari proses liberasi kebijakan politik kewargaan yang terlampau
menekankan kesetaraan. Tendensi tersebut tampak misalnya dalam
konkretisasi dari demokrasi inklusif yang diterapkan di Indonesia.
Demokrasi inklusif mendasarkan argumentasinya pada nilai-nilai profetik
dengan menempatkan kaum difabel bukan sebagai objek melainkan
sebagai subjek warga negara (Fikri, 2016, p. 44). Meskipun demikian,
penelitian tersebut terlalu cepat membuat kesimpulan bahwa demokrasi
inklusif dikonstruksikan atas empat pilar yakni humanisasi, liberasi, dan
transendensi. Itu berarti ada hal yang absen dalam demokrasi inklusif yakni
politik pengakuan (politic of recognition) sebagai kerangka kerja kolektif.
Selain itu, terlampau menekankan proses humanisasi dan liberasi (Huda,
2018, hlm. 249 - 250), kaum difabel diperlakukan bukan sebagai unit
analisis melainkan sekadar individu yang berdiri sendiri, terpisah, bahkan
asing terhadap yang lain. Akibatnya, pemenuhan aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas dilakukan dengan terlebih dahulu membuat
kategori jenis disabilitas dan bagaimana pemenuhan itu dapat dilakukan
seperti aksesibilitas fisik dan non-fisik (Syafi’ie, 2014, hlm. 273 - 275). Cara
pandang seperti ini merupakan hasil dari ketergantungan berlebihan pada
diskursus Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengandalkan peran
negara dan bukannya menekankan politik pengakuan sebagai kerja
masyarakat sipil. Absennya kekuatan sipil itulah yang menyebabkan kaum
difabel diperlakukan sekadar sebagai objek program negara di satu sisi dan
masih langgengnya tindakan diskriminatif terhadap kaum difabel dalam
masyarakat di lain sisi. Hal ini semakin diperparah oleh peran media massa
khususnya televisi nasional yang menjadikan disabilitas sekadar objek
hiburan, sumber inspirasi, dan seterusnya (Remotivi, 2015).
Dalam rangka memperkaya perspektif dalam memahami kaum difabel,
strategi dan dimensi pendekatan mengambil relevansi dari teologi politik
Yohanes Wele Hayon
240 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
tak terkecuali teologi politik agama Katolik. Meskipun demikian, menurut
Abraham, patut diingat bahwa tantangan bagi teologi untuk bersuara bagi
kaum difabel merupakan teologi yang dikembangkan oleh orang able bodied
bagi sesama able bodied, sehingga disabilitas dianggap tidak termasuk dalam
dua kategori teologis dan sangat sedikit pula ketersediaan materi yang
dapat digunakan untuk merefleksikan disabilitas secara teologis (Longchar
& Rajkumar, 2010, hlm. 79 - 85). Beberapa teoretisi berupaya mengambil
relevansi teologis mendasarkan pandangannya pada Kitab Suci (Setyawan,
2013, hlm. 4 - 9; Stephanie, 2018, hlm. 7 - 9) ensiklik Paus (Windley-
Daoust, 2016, hlm. 169 - 171), kehidupan para orang kudus (de Oliveira,
2017, hlm. 5 - 6), tradisi gereja (Maliszewska, 2019, hlm. 1 - 6), dan
pernyataan Yesus (Romero, 2015).
Stephanie dan Setyawan misalnya, berupaya memaparkan pandangan
Alkitab tentang kesetaraan bagi penyandang disabilitas. Meskipun
demikian, dua penelitian ini masih terbatas pada upaya menafsir makna
ayat Kitab Suci yang kemudian dikonfrontasikan dengan kenyataan sosial.
Penggunaan metode Hermeneutika dalam penelitian tersebut tidak
membawa implikasi konkret. Demikian pula penelitian Maliszewska yang
meskipun membahas disabilitas dalam tradisi gereja Katolik namun masih
eksklusif karena terjebak pada klaim elitis di mana gereja dipahami hanya
sekadar institusi dan upacara seremonial namun luput mengelaborasi
dimensi universal yang mencakup semua manusia. Tendensi itu seakan
menegaskan apa yang pernah diproklamasikan Santo Cyprian: extra
ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). Selanjutnya,
penelitian Daoust berupaya menunjukkan relevansi teologi tubuh Yohanes
Paulus II dengan disabilitas. Meskipun Daoust berhasil menunjukkan
aspek keterbatasan sebagai hal normal melalui perspektif antropologis,
namun kajian tersebut tidak membahas lebih lanjut bagaimana hendaknya
mengelola keterbatasan secara politis yang melibatkan kerja kolektif. Hal
yang sama juga terdapat dalam penelitian Oliveira yang mengeksplorasi
peran orang kudus terhadap disabilitas di dalam konteks masyarakat India
seperti Mahatma Gandhi (1869-1948), Ibu Theresa dari Calcutta (1910-
Disabilitas dalam Teologi Katolik
► 241
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2
Jul-Dec 2019
1997), dan Santa Alphonsa dari Arpookara (1910-1946) dan Santo
Kuriakose Chavara (1085-1871).
Sementara itu, dengan bertitik tolak dari kesaksian hidup Yesus Kristus,
penelitian ini berupaya menunjukkan apa saja alternatif pendekatan dan
bagaimana bersikap terhadap disabilitas. Jika pendasaran pada kitab suci,
ensiklik paus, dan kehidupan orang kudus merefleksikan kembali dimensi
epistemologis pendekatan, penelitian ini menonjolkan dimensi ontologis
yang berorientasi pada acting out, wacana preskriptif, di antara anggota
gereja. Dengan kata lain, alih-alih menempatkan gereja sebagai satu-
satunya institusi keagamaan yang paling bertanggungjawab dalam
memformulasikan pendekatan, penelitian ini menawarkan perspektif lain
bahwa perubahan sejatinya muncul dari kerja kolektif sesama anggota
gereja sebagaimana gerakan kolektif para murid Yesus yang lahir dari
mobilisasi pelbagai partikularitas kontingen seperti kelas, profesi, kultur,
dan agama. Pelibatan berbagai entitas partikular inilah yang
memungkinkan proyek politik berlandaskan kasih mampu bekerja
menggunakan formasi ‘garam dan terang’ di mana garam memberikan rasa
dengan cara melarut tanpa terlihat dan terang yang menghalau kegelapan
tanpa memproklamasikan sumber cahayanya.
Untuk memperjelas topik bahasan, strategi penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan pendekatan post-srukturalisme yang
berupaya menemukan relevansi teologi politik dengan cara membaca
kembali gerakan Yesus Kristus sebelum Ia ditangkap, diadili, dan dihukum
mati dan selanjutnya menjadi dasar bagi formulasi teologi politik gereja
Katolik yang selaras dengan kondisi disabilitas di Indonesia. Dari
pendekatan pos-strukturalisme, tulisan ini mengambil beberapa konsep
kunci dari para pemikir post-srukturalis dan post-foundalisme seperti
Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, Slavoj Žižek, dan psikoanalisis Jacques
Lacan sebagai kerangka analisis. Sementara itu, metode kualitatif
digunakan untuk menemukan informasi tertulis dan lisan tentang
disabilitas melalui dokumen, jurnal, berita, dan artikulasi diskursif dalam
kehidupan sosial.
Yohanes Wele Hayon
242 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
Dari penalaran seperti itu, tulisan ini menawarkan beberapa argumen
antara lain: Pertama, disabilitas merupakan dimensi konstitutif serentak
menciptakan limitasi eksistensial dalam diri semua manusia. Itu berarti
disabilitas dipahami bukan melalui logika perbedaan versi neoliberal
melainkan logika perbedaan yang ada pada konsep Trinitas. Kedua, bertitik
tolak dari keterbatasan itulah, teologi politik gerakan Yesus menemukan
relevansinya sebab tidak ada perubahan tanpa adanya pengakuan dan tidak
ada pengakuan yang lahir dari sikap individualistis dan ideologi liberal.
Ketiga, politik pengakuan hendaknya menjadikan kasih sebagai landasan
pergerakan sekaligus simpul bagi jamaknya partikularitas.
B. Dari Liberalisme kepada Politik Kasih: Disabilitas
sebagai Kerentanan Universal
Sebagai aliran pemikiran sekaligus gerakan politik, liberalisme yang
muncul dari persilangan kompleks antara absolutisme akal budi (rasio) dan
progresivitas teknologi, mendasarkan pandangannya pada subjek yang
rasional dan otonom. Menurut Lefort, terdapat proyek politik
Esensialisme yang berupaya memberi landasan fixed bagi subjek melalui
penalaran metafisika Barat (Marchart, 2007, pp. 85–108). Subjek
didefinisikan melalui logika transendensi yang mengandaikan nilai
universal dan tetap. Akibatnya, terjadi pendepakan secara masif terhadap
subjek yang berada di luar kerangka epistemologi tersebut. Proses
pendepakan terhadap ‘yang lain’ mengakibatkan terjadinya diskriminasi
berlebihan baik melalui aparatus represif negara maupun aparatus
ideologis sipil (Althusser, 2015, hlm. 24 - 29; Gramsci, 1971, hlm. 506).
Unsur-unsur yang mitis-magis, irasional, emosional, dan tradisi lokal
kemudian dianggap tidak rasional bahkan tidak beradab. Dengan kata lain,
from antiquity through modernity, the bodies of disabled people considered to be freaks
and monsters (Rosemarie, 2002).
Implikasi dari kecenderungan rasio instrumental (Habermas, 1984)
pada akhirnya menciptakan apa yang oleh Marcuse dalam bukunya One
Dimensional Man, disebut sebagai manusia satu dimensi yang telah
kehilangan dimensi ketak-terdugaan dan imajinasi (Marcuse, 2002) karena
Disabilitas dalam Teologi Katolik
► 243
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2
Jul-Dec 2019
segala sesuatu dianggap bisa dikuantifikasi, diprediksi, dan dikalkulasi
secara matematis. Efek lanjutan dari logika berpikir seperti ini mewabah
pada hampir semua lini kehidupan tak terkecuali politik khususnya
liberalisme. Sebagai sebuah kerangka pemikiran sekaligus ideologi,
liberalisme menekankan adanya rasionalitas di mana relasi sosial bekerja
melalui logika demarkasi ‘Aku’ - ‘Engkau’ yang cenderung eksploitatif.
Kecenderungan ini berlaku sejak adanya pemisahan tegas antara subjek
dan objek dalam setiap kultur hidup manusia.
Cara pandang seperti ini akhirnya mewujud dalam tindakan
mengeksploitasi alam demi mencapai kemajuan (progresivitas) dan
kemakmuran. Alam dilihat sebagai objek yang patut dikeruk habis-habisan.
Mitos “penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” (Kejadian 1:28) direkayasa
sedemikian rupa sehingga tampak sebagai dalil lain dari segi agama untuk
mendukung proses modernisasi semacam ini. Tepat pada momentum
seperti inilah, relasi antar-manusia disejajarkan dengan relasi benda-beda
yang saling menguasai, karena dalam dunia industri labour produces not only
commodities; it produces itself and the worker as a commodity (Lemert, 2004, p. 31).
Di situ, berlangsung relasi saling mengeksklusi terhadap “yang lain”
(Schmitt, 2007, p. 26). Proses eksklusi dianggap rasional karena hanya
dengan cara itulah, seorang individu dapat mendefinisikan dirinya sebagai
bagian dari kelompok tertentu. Logika binari inilah yang terus merasuki
cara pandang liberal yang menekankan kesetaraan dan keadilan dewasa ini
di mana identitas diri seseorang hanya bisa terbentuk jika ada demarkasi
dan pengambilan jarak terhadap entitas “yang lain”.
Merespon hal tersebut, terdapat upaya untuk menghidupkan kembali
hal yang purba dalam diri manusia sambil mengakui bahwa sesuatu yang
sebelumnya dianggap sebagai ‘liyan’ (other) juga memiliki keunikan
tersendiri sebagai subjek. Respon yang paling banter datang dari para
pemikir mazhab Frankfurt School melalui Habermas dan selanjutnya
dielaborasi oleh para pemikir aliran post-strukturalisme dan psikoanalisis
Jacques Lacan dan Sigmund Freud. Alih-alih menekankan otonomi dan
subyek berkesadaran, postrukturalisme menekankan subjek yang gagal dan
senantiasa membawa kekurangan (lack) konstitutif dalam dirinya. Dari
Yohanes Wele Hayon
244 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
perspektif tersebut, disabilitas membawa relevansi universal bahwa semua
manusia, oleh karena kekurangan konstitutif di dalam dirinya, adalah kaum
difabel. Pergeseran konsep tersebut memperkaya cara pandang mengenai
apa dan bagaimana konsep disabilitas dikonstruksikan. Dengan kata lain,
disabilitas bukan hanya kumpulan orang yang didefinisikan berdasarkan
data statistik, kesehatan biologis dan psikologis, melainkan semua manusia
yang belum mampu mengelola kekurangan konstitutif di dalam dirinya.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh kelompok advokasi Disabled People
International (DPI) yang menulis: Disability is the loss or limitation of
opportunities to take part in the normal life of the community on an equal level with
others due to physical and social barriers. (Crisp, 2013, p. 119).
Mengacu kepada kekurangan konstitutif universal itulah, politik
pengakuan memperoleh basis epistemologisnya. Maksudnya, hanya dari
kegagalan dan pengalaman kejatuhan, seorang individu menjadi
memahami ‘yang lain’ sebagai manusia. Hal yang sama juga diterapkan
dalam dimensi komunikasi. Menurut Lacan, bagaimana pun juga
komunikasi sebagai sebuah upaya mencapai kesepahaman, harus gagal.
Jika komunikasi berhasil, kita saling memahami (Verhaeghe, 1995; Zizek,
Santner, & Reinhard, 2006, p. 161). Cukup beruntung bahwa kita tidak
saling memahami, sehingga kita senantiasa berbicara. Dengan kata lain,
subjek dibentuk dari proses kegagalan, kekurangan, dan ketakcukupan
perangkat signifikasi. Bertitik tolak dari perspektif inilah, Mouffe membuat
pembalikan total dari relasi interpersonal karena ketimpangan struktur
kekuasaan dalam bentuk antagonisme kepada relasi agonistik (Mouffe,
2005, p. 16) sebagai upaya mengelola dimensi ‘disabilitas’ di dalam
masyarakat. Pengakuan yang lahir dari pengetahuan akan keterbatasan diri
itulah yang memungkinkan sikap terhadap kaum difabel menemukan
dimensi humanis.
Hal tersebut mengingatkan penulis pada pembacaan Žižek terhadap
novel Kafka bertajuk “Metamorfosis” yang menunjukkan proses menjadi
manusia secara negatif, dengan mengemukakan dimensi ‘yang bukan
manusia’: Gregor Samsa becomes human only when he no longer resembles a human
being―by metamorphosing himself into an insect, or a spool, or whatever (Zizek et al.,
Disabilitas dalam Teologi Katolik
► 245
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2
Jul-Dec 2019
2006, p. 166). Dimensi inilah yang kemudian menjadi elemen penjelas
bahwa disabilitas dipahami sebagai unsur konstitutif dan inheren dalam
diri semua manusia. Di situ, konsep disabilitas sebagai fenomena
individual disematkan dalam konteks komunal. Hal yang sama juga
diterapkan dalam konteks bangsa Yahudi yang mendefinisikan diri mereka
dengan orang yang tidak memiliki tanah karena adanya imajinasi ideal
mengenai Tanah Terjanji. Artinya, definisi ini dibuat bertolak dari
kekurangan atas sesuatu (yakni tanah). Kekurangan konstitutif inilah yang
memberikan semacam tanggung jawab untuk terlibat pada beberapa
persoalan sosial politik (Zizek dkk., 2006, hlm. 154 - 155).
Keterlibatan karena dimensi kekurangan dan pengalaman kegagalan
inilah yang menjadi dasar bagi keterlibatan sosial politik berkaitan dengan
disabilitas. Dengan kata lain, kesadaran akan keterbatasan dan kekurangan
diri sendiri merupakan conditio sine qua non yang memungkinkan orang
untuk terlibat dalam keterbatasan dan kekurangan orang lain. Hanya
dengan cara itulah, subjek memahami dirinya melalui relasinya dengan
‘yang lain’ berdasarkan posisinya (subject position) dalam diskursus tertentu
di masyarakat.
C. Pentingnya Dimensi Pengakuan
Bertitik tolak dari dimensi kekurangan, keterbatasan, dan kegagalan
itulah, teologi politik kasih menemukan relevansinya, sebab tidak ada
pengakuan tanpa adanya pengalaman mengenai keterbatasan dan
kegagalan sebagai subjek yang senantiasa split, decentred, dan unfixed.
Dikatakan demikian karena subjek selalu berkembang dari keterpecahan
dan keterbelahan subjektivitas, yang dilambangkan dengan $ (Johnson,
2015, hlm. 168 - 169). Argumentasi ini simetris dengan ontologi teologi
politik kasih yang berusaha melampaui paradigma liberal yang absen
memerhatikan dimensi pengakuan (recognition). Dengan kata lain,
pengakuan mengandaikan adanya aspek etis. Alih-alih mengutamakan
kesetaraan dan distribusi yang seimbang, liberalisme politik justru
mengabaikan konteks dan kondisi lain di luar kesetaraan yakni pengakuan.
Demikian pula term seperti humanisme universal yang dianggap mampu
Yohanes Wele Hayon
246 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
mengatasi permasalahan seputar disabilitas dengan adagium ‘manusia
sebagai manusia’ namun tidak mampu mengungkapkan perbedaan,
kekhasan, dan identitas setiap pengalaman tentang dunia.
Ketidakcukupan perangkat pendekatan yang dapat mengakomodasi
pengakuan juga tampak dalam paradigma keadilan distributif John Raws.
Bahwa meskipun sudah setara dan adil dalam hal ekonomi misalnya, orang
tidak otomatis merasa dipenuhi hak-haknya. Mengomentari hal tersebut,
Iris Marion Young menegaskan bahwa teori keadilan distributif Rawls
tidak mencukupi karena tidak mampu menjawab tentang status “yang lain”,
sebab menurut Rawls, selama distribusi tersebut dilakukan secara adil
dengan kedudukan moral original position atau posisi asali, yaitu mampu
membuat keputusan-keputusan rasional maka keadilan bisa tercapai
(Madung, 2010). Pemikiran yang masih berlandaskan pada metafisika
Barat ini dikritik oleh feminis Susan Moller Okin karena agen Rawls adalah
agen yang tidak memiliki kepentingan, tidak bertubuh, dan bersembunyi,
seakan-akan semua orang memiliki kepentingan dan kondisi yang sama.
Padahal menurut Okin, bagaimana bisa menganggap seorang ibu berkulit
hitam yang membesarkan anaknya sendiri dapat memiliki kepentingan
yang sama dengan seorang laki-laki berkulit putih yang mapan? (Okin,
1991). Sebagaimana liberalisme, keadilan versi Rawls sama sekali tidak
pernah mencoba memahami titik pijak ibu kulit hitam tadi. Tepat pada
level inilah, kaum difabel justru berada dalam ketegangan orientasi
kebijakan sosial: antara mengutamakan keadilan dan/atau kesetaraan dan
rekognisi sosial.
Dalam upaya menempatkan disabilitas sebagai kerentanan universal
dari perspektif teologi politik, penting untuk membaca kembali konsep
Trinitas sebagai logika perbedaan. Dengan cara ini, doktrin Trinitas dapat
dilihat sebagai sebuah konsep inklusif bagi pribadi dengan disabilitas
karena paradigma Trinitas menekankan vitalnya kebutuhan universal akan
hubungan manusia. Dengan kata lain, doktrin ini menerangi dan
mendasari kesaling-tergantungan dan memberi tempat bagi kondisi
ketidak-lengkapan manusia dan kapasitas keterhubungan. Perspektif ini
menempatkan semua entitas dalam relasi yang sama dan setara karena
Disabilitas dalam Teologi Katolik
► 247
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2
Jul-Dec 2019
eksistensinya legitimate di dalam dirinya sendiri. Relasi seperti itu hanya akan
terwujud jika terdapat kesadaran mengenai kerentanan sebagai sesuatu
yang konstitutif sebab hanya dengan melalui kesadaran yang mendalam ke
budaya yang berbeda, kita mengakui bukan hanya asumsi kita, tetapi juga
apa yang kita pikir kita tahu tentang diri kita sendiri dan orang lain.
Kita menjadi sadar akan batas-batas pemahaman kita dan berkomitmen
membuka ruang bagi hal-hal lain di luar kendali kita (Raffety, 2018, p. 281).
Sadar akan batas itulah yang hendaknya menjadi basis ontologis bagi
gerakan teologi politik dewasa ini. Orang mesti terlebih dahulu memiliki
pemahaman mengenai betapa hidup ini terbatas sebelum bersolider
dengan orang lain. Ia mesti terlebih dahulu menyadari betapa pentingnya
kontribusi alam bagi kehidupan manusia sebelum menanam pohon. Ia
mesti terlebih dahulu menyadari bahwa manusia makan untuk hidup dan
bukan hidup untuk makan sebelum memberi makan kepada orang yang
lapar. Ia mesti terlebih dahulu menyadari betapa pentingnya kehadiran
orang lain sebelum menghabiskan waktu berjam-jam dengan menangis
karena patah hati. Ia mesti terlebih dahulu memahami apa itu kebersamaan
sebelum menangisi kematian sahabatnya. Tanpa adanya kesadaran akan
batas-batas diri seperti ini, mustahil sebuah tindakan politik berlandaskan
kasih terwujud. Sebab, mengutip Charles Taylor, politik dewasa ini selalu
berkaitan dengan kebutuhan akan pengakuan yang lahir dari pengenalan
akan batas-batas (Madung, 2017, p. 81) diri sendiri.
D. Tipologi Politik Kasih sebagai Gerakan Kolektif
Berbagi Kerentanan
Menyadari keterbatasan dan kerentanan diri sendiri mengingatkan
penulis pada apa yang tertulis di Gua Delphi Yunani, Gnoti Se Auton yang
sekurang-kurangnya berarti “Kenalilah dirimu”. Dengan terlebih dahulu
mengenal kerentanan diri, aksi solidaritas dimungkinkan. Perspektif inilah
yang menjelaskan sekaligus menjadi alasan lahirnya tanggung jawab sosial
terhadap kaum difabel yang ‘dianggap’ menderita. Panggilan untuk terlibat
dengan kehidupan kaum difabel merupakan ekspresi lanjutan dari seruan
profetik Yesus dan selanjutnya Gereja Katolik untuk memerhatikan orang-
Yohanes Wele Hayon
248 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
orang ‘miskin’ yang oleh karena perkembangan dunia memasukkan
mereka dalam kategori ‘orang yang tidak dibutuhkan’. Mengutip Susan
George dalam The Lugand Report, Kieser menulis: Di zaman ini, kita
dipaksa belajar untuk mampu menghadapi suatu dunia yang tidak lagi
monolit, hierarkis, dan birokratis, tetapi suatu dunia yang
perkembangannya bergerak dengan cepat, yang transparan, dan yang
fleksibel. Dunia telah memasuki fase baru: tatanan baru di mana masing-
masing orang harus memikul tanggung jawab atas kehidupannya sendiri.
Ia harus menaklukkan dan menguasai tubuhnya sendiri supaya dapat
bertahan dan berhasil dalam dunia yang berkompetisi. Sementara itu,
banyak orang yang secara fisik, biologis, dan intelektual tidak mampu, dan
secara rohani tidak sanggup menyesuaikan diri, akan segera mendapati
bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak dibutuhkan (Giddens, 2005,
p. 165; Kieser, 2004, p. 40).
Berhadapan dengan kondisi seperti ini, menghidupkan kembali politik
kasih sebagai bentuk berbagai kerentanan secara kolektif mendesak untuk
dijalankan. Contoh paling relevan datang dari kisah Injil mengenai
“Persembahan Janda yang Miskin” (Markus 12:41-44; Lukas 21:1-4). Dari
perspektif teologi politik kasih, meminjam term Lacanian, kemiskinan
dimengerti sebagai ketidakmampuan subjek mengelola keterbatasan,
kerentanan, dan kegagalan. Itu berarti, orang miskin adalah orang yang
tidak berani berbagi kerentanan dengan orang lain dan ini mencakup baik
itu mereka yang kaya maupun mereka yang miskin secara finansial.
Tokoh utama yang menjadi prototipe berbagi kerentanan adalah Yesus
Kristus. Bahkan sejak lahir dalam suasana masyarakat Yahudi yang sedang
dijajah, Yesus sudah diancam oleh kejahatan dan kekerasan dalam diri
Herodes (Matius 2:16). Dia harus mengungsi ke Mesir bersama Maria dan
Yusuf. Dalam masa penampilannya di muka publik, dia mengalami banyak
pertarungan dengan kaum Saduki, Farisi, imam-imam kepala, bahkan
rakyatnya sendiri (Lukas 4:22.24). Yesus dikorbankan oleh muridnya
sendiri, Yudas Iskariot, dengan ciumannya (Matius 26:48-49; Markus
14:44-45). Yesus menguraikan visi masyarakat yang baru dengan
meninggalkan kekerasan (Matius 5:39-42), tidak balas dendam bahkan
Disabilitas dalam Teologi Katolik
► 249
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2
Jul-Dec 2019
mengasihi musuh (Matius 5:43-48). Kerentanan Yesus ini berupaya ia
teruskan kepada para murid-Nya ketika Ia mengutus mereka dengan
amanat terperinci untuk tidak membawa bekal apa-apa dalam perjalanan,
“Jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju”
(Lukas 9:3; Matius 10:10 yang menambahkan “kasut). Kita tahu bahwa
dalam konteks Palestina zaman itu, tongkat bukan hanya berarti
penyangga badan tetapi juga alat bela diri terhadap musuh dan binatang
buas. Berjalan tanpa kasut memustahilkan orang menghindari bahaya
secara cepat. Karena itu tanpa tongkat dan kasut, seseorang tidak akan
dapat membela diri serentak berada dalam kondisi penuh risiko.
Mengenai hal yang sama, penulis sepakat dengan Johanes Calvin, yang
dikutip oleh Placher, yang mengatakan bahwa dalam ketaatan yang
dijalankan dalam kebebasan, Yesus menjadi semakin diidentifikasi sebagai
Allah yang memiliki kebebasan dan dalam kebebasan-Nya mengambil
risiko untuk menjadi ringkih (Placher, 1994, p. 15). Tindakan memilih
menjadi ‘menderita’, ‘miskin’, dan ‘terbatas’ dalam suasana kebebasan
hendaknya menjadi prioritas setiap anggota gereja karena,
The God who loves in freedom is not afraid and therefore can risk vulnerability, absorbs the horror of another’s pain without fear; human beings now as in the time of Jesus tend to think of power as refusal to risk compassion. But god’s power looks not like imperious Caesar but
like Jesus on the cross (Placher, 1994, p. 18).
Dengan kata lain, ketika Yesus mati (dalam bahasanya Jüren Moltman)
terjadi kematian di dalam Allah; dan oleh karena itu, Allah belajar menjadi
manusia. Di situ, terjadi pembalikan total dari dari konsep Allah yang
berkuasa dan bertindak sebagai hakim dalam Perjanjian Lama kepada
Allah yang menderita, berbelas kasihan, dan pengasih dalam diri Yesus
(Perjanjian Baru).
Panggilan untuk berbagi kerentanan seperti Yesus di atas merupakan
conditio sine qua non bagi keterlibatan setiap anggota gereja Katolik.
Dikatakan demikian karena hanya melalui kerentanan itulah, mengutip
Varnier dalam bukunya The Gospel of John, The Gospel of Relationship, “Our
humanity grows and develops in relationships through which we are transformed and
grow in freedom” (Vanier, 2015, p. 82). Sebaliknya, menolak untuk terlibat
Yohanes Wele Hayon
250 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
sejatinya merupakan tindakan menolak eksistensi Allah yang konkret
dalam kehidupan. Dengan alasan yang sama Vanier menulis, “What is it
separates our hearts from God? It is our refusal to welcome others, the poor, and those
in need” (Varnier, 2015: 203).
Konsep relasional ini juga ditekankan oleh Mayra Rivera dalam The
Touch of Transendence: A Postcolonial Theology of God. Ia menawarkan suatu visi
transendensi di dalam ciptaan dan di antara ciptaan yaitu transendensi yang
relasional. Rivera mengatakan bahwa dalam pertemuan dengan (wajah)
pribadi lain kita dapat menemukan transendensi Yang Ilahi (Rivera, 2007,
p. 56). Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh filsuf
eksistensialisme dari Prancis, Gabriel Marcel, “Anda tidak diadili atas dasar
cinta Anda kepada Allah melainkan atas dasar cinta Anda kepada Allah
dalam diri sesama”. Pada Perjanjian Lama, relasi yang dibayangkan selalu
antara Allah dan manusia di mana berdosa didefinisikan sebagai tindakan
melawan perintah Allah. Di situ, pengampunan hanya terjadi semata-mata
karena belas kasihan Allah. Sementara itu, pada Perjanjian Baru, melalui
inkarnasi, relasi selalu mengandaikan perjumpaan dengan orang lain
(Tuhan yang hadir di tengah manusia).
Konsekuensi logisnya, berdosa bukan lagi didefinisikan sebagai
tindakan melawan perintah Allah melainkan kegagalan manusia mengelola
kerentanan dalam kehidupan sosial. Dibahasakan secara lain, berdosa
berarti ketidakmampuan merawat sekaligus menjaga eksistensi pluralitas
yang konstitutif dalam masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan gerakan
kolektif yang mampu menjadi simpul bagi tersebarnya pelbagai pluralitas
yang inheren dalam tubuh masyarakat. Di situ, ‘yang lain’ dilihat sebagai
definitif di dalam dirinya dan bukan melalui proses signifikasi berdasarkan
otoritas tertentu seperti agama, kesehatan (medis), pemerintahan, dan
rezim yang berkuasa pada periode tertentu.
Meskipun demikian, gerakan hanya akan lahir jika ada perjumpaan
dengan―mengutip term “wajah” dari Levinnas―’yang lain’. Di situ,
Levinnas menunjukkan sekaligus mengatasi gap yang memisahkan dua
dimensi: Etika melibatkan sebuah relasi asimetris di mana Saya selalu dan
telah bertanggung jawab terhadap ‘yang lain’ (the Other), sementara politik
Disabilitas dalam Teologi Katolik
► 251
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2
Jul-Dec 2019
merupakan domain kesetaraan simetris dan keadilan distributif. Dengan
kata lain, etika mendobrak sekaligus melampaui relasi simteris dan setara
sekaligus mengubahnya sebab bagi Levinnas, ethics is not about life, but about
something more than life (Zizek dkk., 2006, hlm. 149 - 250). Dimensi imperatif
kategoris cinta yang ditegaskan oleh Yesus dengan menempatkan tindakan
mencintai Tuhan dan sesama pada level yang sama (Matius 22:37-40)
mengambil relevansi dari kategori terakhir.
Hal tersebut selaras dengan apa yang ditegaskan oleh Bonhoeffer,
Gereja harus berpartisipasi di dalam kehidupan komunitas masyarakat
dengan cara membantu dan melayani mereka. Dengan merefleksikan
kembali pernyataan Santo Yakobus yang mengatakan bahwa iman tanpa
perbuatan adalah mati, tindakan keterlibatan mesti dilakukan dengan visi
emansipatoris. Jika keterlibatan versi neoliberal menekankan tindakan
memberikan ikan atau kail, keterlibatan versi teologi politik radikal adalah
memberikan diri sendiri, terlibat secara langsung dalam kehidupan orang
yang ingin “diberdayakan”.
Tindakan pemberdayaan terhadap kaum difabel hendaknya tentang
membantu semua orang untuk belajar bagaimana memberi sebagaimana
menerima. Sebab setiap relasi sosial dibentuk dari tindakan saling memberi
(Crisp, 2013, p. 282). Sebagaimana yang ditulis oleh Jon Sobrino, dasar
dari solidaritas dalam kehidupan gereja, “ditegakkan sebagai sebuah proses
memberi dan menerima” sebagai dasar yang mana gereja dimungkinkan
terhubung pada ‘yang lain’, pada masyarakat umumnya, melampaui batas-
batasnya (Sobrino & Hernandez-Pico, 1985, hlm. 4 - 5). Oleh karena itu,
gereja perlu memahami dirinya sendiri sebagai sebuah hadiah, sebuah relasi
saling memberi dan menerima lebih dari sekadar relasi transaksional atau
ekonomi. Pemahaman inilah yang memungkinkan acting out dan aktus
passing over menjadi mungkin. Di situ, mutual understanding in relationship is
more important than solution. Dengan kata lain, disabilitas bukanlah masalah
jika dan hanya jika ada tindakan saling memahami dengan aksi
memberikan diri sebagaimana tidak ada hadiah paling besar yang Allah
berikan kepada manusia selain diri-Nya sendiri. Oleh karena itu, kehadiran
Yohanes Wele Hayon
252 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
kita bersama kaum difabel merupakan visi radikal dari inklusivitas dan
komunio (Hinojosa, 2018, p. 205).
E. Tindakan Kasih sebagai Strategi Advokasi
Meskipun pendekatan yang digunakan dalam artikel ini bertitik tolak
dari tradisi post-strukturalisme yang cenderung menolak memberikan
kesimpulan, apalagi strategi solusi sebagai langkah pemecahan atas sebuah
persoalan tertentu, saya berupaya mengemukakan beberapa strategi
advokasi sebagai gambaran umum. Bagaimana nantinya strategi itu
digunakan, tergantung dari konteks sosial politik dan ekonomi di mana
advokasi itu dijalankan. Oleh karena itu, mempertimbangkan bahwa gereja
selalu berlokasi dalam komunitas heterogenitas berdasarkan entitas
partikular kontingen, masing-masing pihak diberikan kemungkinan untuk
memformulasikan strategi advokasi berdasarkan prioritasnya masing-
masing.
Sebagai bahan pembanding, strategi ini berusaha menerjemahkan
pendekatan yang digunakan oleh Laclau yang merefleksikan pengalaman
Rosa Luxemburg ketika memobilisasi pelbagai entitas partikular untuk
melawan dominasi rezim Tsar (Laclau, 2007, hlm. 130 - 132).
Gambar 1 Bagan Laclau
Rezim opresif Tsar (Ts) dipisahkan oleh batas politik (political frontier)
dari tuntutan sebagian besar sektor dalam masyarakat (D1, D2, D3, D4)
Disabilitas dalam Teologi Katolik
► 253
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2
Jul-Dec 2019
sehingga masing-masing tuntutan itu berbeda dengan yang lainnya.
Meskipun begitu, semuanya bersifat ekuivalen karena sama-sama berupaya
melawan rezim opresif. Melalui pembangunan rantai ekuivalensi (chain of
equivalence) itu, tampil dan menjadi penanda dari seluruh rantai tuntutan
yang beragam. Akhirnya, D1 di atas lingkaran ekuivalensi tersebut mewakili
semua tuntutan yang anti-sistem.
Penjabaran lebih lanjut dari strategi di atas dapat dirincikan secara
sederhana sebagai berikut:
Pertama, menyamakan persepsi (Ø). Pada level ini, semua institusi yang
perlu memikirkan bagaimana menyamakan persepsi tentang disabilitas
antara lain agama, kesehatan (medis), kebudayaan dan birokrasi.
Selanjutnya, persepsi universal ini dijadikan rujukan sekaligus menjadi
bahan refleksi yang diterapkan berdasarkan konteks masing-masing.
Meskipun demikian, patut diingat bahwa persepsi yang sama bukanlah
sebuah konsep yang absolut dan rigid melainkan sebuah konsep yang
relasional, dinamis dan kontingen. Hal ini penting agar menghindarkan
maksud awal dari penjabaran tulisan ini yang menolak tendensi
absolutisme.
Kedua, masing-masing pihak juga mempertimbangkan konteks seperti
tempat, sistem, dan norma yang dengannya kaum difabel hidup dan
bergaul (D1―D4). Di situ, setiap institusi berupaya semaksimal mungkin
menerapkan supported living service dari pada a care scheme. Maksudnya, hal
paling utama yang dilakukan adalah terlebih dahulu mendengar apa yang
kaum difabel ingin kita lakukan, dengan cara apa, dan apa yang mereka
anggap paling penting dan dibutuhkan. Hal yang sama juga dilakukan oleh
Yesus ketika membangun imajinasi politik dalam diri para pengikut-Nya.
Ia tidak menjejali para murid dengan pengetahuan tentang moralitas atau
transfer pengetahuan mengenai apa itu keadilan. Sebaliknya, strategi yang
digunakan adalah learning by doing dengan cara menemani mereka melaut,
ke ladang anggur, ke padang gembalaan, dan seterusnya. Dengan kata lain,
pemahaman tentang disabilitas tidak mungkin tercapai hanya dengan
mengajarkan orang definisi apa itu disabilitas melainkan mengajak mereka
untuk berjumpa dengan kaum difabel.
Yohanes Wele Hayon
254 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
Ketiga, merumuskan gerakan (D1). Tentu saja gerakan yang dipahami di
sini bukan semata-mata hasil konfrontasi melainkan negosiasi. Jika
konfrontasi mengedepankan perangkat hukum dan dimensi konflik,
negosiasi mengandalkan kerja-kerja akomodatif dan sosiologis. Kunci
utama keberhasilan gerakan jenis ini yakni simbol D1 di atas merupakan
hasil akumulasi dari pelbagai tuntutan partikular dari masing-masing
institusi mengenai disabilitas. Oleh karena itu, gerakan teologi politik yang
dibayangkan di sini bukan semata-mata gerakan yang lahir dari gereja
melainkan tersebar dalam semua elemen masyarakat. Hal yang sama juga
dipraktikkan oleh Yesus Kristus ketika Ia tampil tanpa secara jelas
mewakili suatu institusi agama dan pemerintahan mana pun melainkan
membawa dimensi baru yang merupakan akumulasi dari tuntutan semua
institusi yang ada di dalam bangsa Israel.
Strategi di atas merupakan respon terhadap mewabahnya ideologi
neoliberalisme dalam struktur kesadaran masyarakat dan pelbagai
kebijakan ekonomi politik dewasa ini, tak terkecuali Gereja Katolik.
Dengan menekankan privatisasi dan kebebasan mutlak, neoliberalisme
berupaya menggusur dimensi kolektif kolegial yang merupakan spirit
utama dari teologi politik berlandaskan kasih. Cara kerja neoliberalisme ini
membuat solidaritas lalu dipandang sebagai hasil inisiatif pribadi dan
bukan sebagai akumulasi gerakan bersama berlandaskan kasih. Di bidang
politik praktis misalnya, pemerintah dilihat sebagai persona dan bukan
tenunan sistematis birokrasi. Akibatnya, kesuksesan program terkait
disabilitas cenderung dilihat sebagai hasil kerja kementerian sosial atau
dinas sosial dan bukannya hasil kerja banyak pihak.
Jika neoliberalisme terlampau menekankan kesetaraan dan privatisasi
kebebasan sebagai kondisi asali manusia, gerakan politik kasih justru
memprioritaskan dimensi hegemonik sebagai simpul yang
mengakomodasi pelbagai tuntutan partikular yang tersebar dalam tubuh
masyarakat. Jika kerja politik hanya mengandalkan tuntutan individu yang
terfragmentasi, mustahil sebuah gerakan mampu bertahan; di samping
munculnya tendensi pemujaan berlebih terhadap penokohan. Sebaliknya,
bertolak dari gerakan politik Yesus, mengubah situasi ketidakadilan dan
Disabilitas dalam Teologi Katolik
► 255
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2
Jul-Dec 2019
diskriminatif hanya mungkin jika ada kesediaan berbagi kerentanan di
antara sesama anggota gereja sekaligus sesama warga negara. Tindakan
berbagi kerentanan dalam suasana kasih itulah yang cenderung absen
dalam gerakan politik di Indonesia dan Gereja Katolik akhir-akhir ini.
F. Kesimpulan
Dengan menggunakan disabilitas sebagai unit analisis, teologi politik
berusaha memahami disabilitas dari perspektif subjek yang gagal, unfixed,
lack, dan split. Implikasi dari model pendekatan tersebut yakni bukan lagi
bertitik tolak pada kesetaraan versi liberalisme dan rasionalitas versi
Habermasian melainkan pada apa yang disebut sebagai politik pengakuan
(politic of recognition). Meskipun demikian, pengakuan hanya bisa lahir jika
ada kesadaran dan pengenalan terhadap keterbatasan dan kerentanan diri
sendiri. Maksudnya, dengan mengenal kerentanan diri, orang terpanggil
untuk terlibat dengan kerentanan orang lain khususnya kaum difabel.
Keterlibatan seperti ini melampaui model keterlibatan vertikal baik top down
maupun bottom up, dan menekankan dimensi etis keterlibatan horizontal
sebagai tindakan berbagi kerentanan secara kolektif. Absennya perspektif
ini mengakibatkan terjadinya ketergantungan berlebihan pada institusi
negara dan luput membangun kekuatan sipil entah itu Gereja, masyarakat
adat, LSM, dan lembaga non-state lainnya.
Yohanes Wele Hayon
256 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
REFERENSI
Althusser, L. (2015). Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara: Catatan-Catatan Investigasi. IndoPROGRESS.
Bennett, J. M., & Volpe, M. A. (2018). Models of Disability from Religious Tradition: Introductory Editorial. Journal of Disability & Religion, 22(2), 121–129. https://doi.org/10.1080/23312521.2018.1482134
Crisp, A. G. (2013). People with a Learning Disability in Society and in the Church: Theological Reflections on the Consequences of Contemporary Social Welfare Policies as Seen Through the Lens of Social Capital Theory (D_ph, University of Birmingham). Retrieved from https://etheses.bham.ac.uk/id/eprint/4058/
de Oliveira, J. G. (2017). On Disability, Society and Technology: An Informal Conversation from South India. International Journal OFEngineeringSciences & Management Research, 4, 1–9.
Fikri, A. (2016). Konseptualisasi dan Internalisasi Nilai Profetik: Upaya Membangun Demokrasi Inklusif bagi Kaum Difabel di Indonesia. INKLUSI, 3(1), 41–64. https://doi.org/10.14421/ijds.030107
Giddens, A. N. (2005). Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Retrieved from //library.fis.uny.ac.id/opac/index.php?p=show_detail&id=3025
Gramsci, A. (1971). Selection from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. Lawrence and Wishart.
Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action. Boston: Beacon Press.
Hinojosa, V. J. (2018). From Access to Communion: Beyond the Social Model. Journal of Disability & Religion, 22(2), 199–210. https://doi.org/10.1080/23312521.2018.1449708
Huda, N. A. (2018). Studi Disabilitas dan Masyarakat Inklusif: Dari Teori ke Praktik (Studi Kasus Progresivitas Kebijakan dan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 3(2), 245-266.
Johnson, T. R. (2015). The Other Side of Pedagogy: Lacan’s Four Discourses and the Development of the Student Writer. State University of New York Press.
Kieser, B. (2004, June). Marginalisasi Memacu Kesadaran Umum. BASIS, 53(5–6).
Laclau, E. (2007). On Populist Reason (Reprint edition). London New York: Verso.
Lemert, C. (2004). Social Theory: The Multicultural and Classic Readings (3 edition). Boulder, Colo: Westview Press.
Disabilitas dalam Teologi Katolik
► 257
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2
Jul-Dec 2019
Longchar, A. W., & Rajkumar, R. C. (Eds.). (2010). Embracing the Inclusive Community: A Disability Perspective. Bangalore: BTESSC/SATHRI, NCCI & SCEPTRE.
Madung, O. G. (2010, December). Politik Diferensiasi Iris Marion Young, Keadilan Gender dan Hak-Hak Asasi Manusia. Makalah presented at the Seminar Hukum dan Penghukuman, Universitas Indonesia, Kampus Depok.
Madung, O. G. (2017). Postsekularisme, Toleransi dan Demokrasi. Jurnal Ledalero.
Maliszewska, A. (2019). The Invisible Church: People with Profound Intellectual Disabilities and the Eucharist – A Catholic Perspective. Journal of Disability & Religion, 23(2), 197–210. https://doi.org/10.1080/23312521.2018.1483789
Marchart, O. (2007). Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy, Lefort, Badiou and Laclau (1 edition). Edinburgh: Edinburgh University Press.
Marcuse, H. (2002). One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (1 edition). London: Routledge.
Mouffe, C. (2005). On the Political (1st edition). London; New York: Routledge.
Okin, S. M. (1991). Justice, Gender, and the Family (50843rd edition). New York: Basic Books.
Placher, W. C. (1994). Narratives of a Vulnerable God: Christ, Theology, and Scripture (1st edition). Louisville, KY: Westminster John Knox Press.
Raffety, E. (2018). The God of Difference: Disability, Youth Ministry, and the Difference Anthropology Makes. Journal of Disability & Religion, 22(4), 371–389. https://doi.org/10.1080/23312521.2018.1521766
Rivera, M. (2007). The Touch of Transcendence: A Postcolonial Theology of God. Louisville: Westminster John Knox Press.
Romero, M. J. (2015). Profound Cognitive Impairment, Moral Virtue, and Our Life in Christ. Retrieved from https://www.academia.edu/17661184/Profound_Cognitive_Impairment_Moral_Virtue_and_Our_Life_in_Christ
Schmitt, C. (2007). The Concept of the Political. Retrieved from https://www.press.uchicago.edu/ucp/books/book/chicago/C/bo5458073.html
Setyawan, Y. B. (2013, July). Membaca Alkitab dalam Perspektif Disabilitas: Menuju Hermeneutik Disabilitas. Makalah presented at the Lokakarya Diskursus Disabilitas dalam Pendidikan Teologi di Indonesia, PERSETIA, Salatiga.
Yohanes Wele Hayon
258 ◄
INKLUSI:
Journal of
Disability Studies,
Vol. 6, No. 2,
Jul-Dec 2019
Sobrino, J., & Hernandez-Pico, J. (1985). Theology of Christian Solidarity (New Ed edition). Maryknoll, N.Y: Orbis Books.
Stephanie, J. (2018). Pandangan Alkitab Tentang Kesetaraan Bagi Penyandang Disabilitas (Universitas Padjajaran). Retrieved from https://www.academia.edu/36191511/Pandangan_Alkitab_Tentang_Kesetaraan_Bagi_Penyandang_Disabilitas
Syafi’ie, M. (2014). Pemenuhan Aksesibilitas Bagi Penyandang Disabilitas. INKLUSI, 1(2), 269–308. https://doi.org/10.14421/ijds.010208
Vanier, J. (2015). The Gospel of John, the Gospel of Relationship. Cincinnati, Ohio: Franciscan Media.
Verhaeghe, P. (1995). From impossibility to inability: Lacan’s theory of the four discourses. The Letter (Dublin), (3), 76–100.
Windley-Daoust, S. (2016). Is There a “Theology of the Disabled Body”? John Paul II’s Theology of the Body on Limit and Sign. Journal of Disability & Religion, 20(3), 163–177. https://doi.org/10.1080/23312521.2016.1210947
World Health Organization, & World Bank. (2011). World report on disability 2011. Retrieved from https://apps.who.int/iris/handle/10665/44575
Zizek, S., Santner, E. L., & Reinhard, K. (2006). The Neighbor: Three Inquiries in Political Theology. University of Chicago Press.