monica sari.docx · web viewwacana gender dalam novel (analisis wacana konsep gender relation se p...
TRANSCRIPT
WACANA GENDER DALAM NOVEL
(Analisis Wacana Konsep Gender Relation Separate but Equal
Perempuan Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto )
Monica Sari
Prahastiwi Utari
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
AbstractWoman in Javanese culture has a narrow moving space in undertaking
her life within the society. The role of Javanese woman is emphasized more on her domestic role in household, while her public role has not been recognized within the society because she is considered as an elegant, soft, and tidy creature with no high thinking power and less spiritual ability and power so that she cannot occupy strategic position within the society. The role of woman in household is wife or garwa in Javanese, standing for sigaraning nyowo (soul mate) of husband, who should be subjected and obedient to husband. In novel Canting, Arswendo has opposite story, the woman concept raising is separate but equal, in which woman has position equal to the man’s with different role. This research employed novel Canting by Arswendo Atmowiloto. This study was conducted to find out the gender relation separate but equal concept of Javanese women represented in novel Canting. This study employed discourse analysis with gender concept. Gender concept used was Sullivan’s (1991) concerning separate but equal. The type of study used was descriptive research with qualitative approach. The data was collected using purposive sampling technique. The data was obtained by selecting the content of novel Canting. Techniques of analyzing data used were data collection, data display, data reduction, and conclusion drawing. The conclusion of research was that the progress the Javanese women got in economic sector led them to getting position equal to the men’s in other sectors such as education, social family, and social society.Keywords: canting, separate but equal, Javanese women
1
Pendahuluan
Peran perempuan Jawa lebih ditekankan pada peran domestiknya di dalam
rumah tangga, sedangkan peran publiknya belum diakui di masyarakat.
Pengotakan perempuan di ranah domestik diperkuat dengan munculnya
terminologi Jawa yang mengenal istilah konco wingking (teman di belakang)
sebagai label perempuan (Muhadjir, 2005: 8).
Sastra dalam konteks ini novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat
cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-
orang (tokoh cerita) (Suroto, 1990: 19). Peneliti menggunakan salah satu novel
karya Arswendo Atmowiloto yang berjudul Canting. Novel ini menarik karena
berisikan mengenai gender relation perempuan Jawa yang berlatar belakang pada
masa setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1949.
Novel Canting ini pertama diterbitkan pada tahun 1986, periode inilah
sedang digalakkan kampanye mengenai kesetaraan gender oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB). PBB mencanangkan sebuah dekade perempuan yaitu pada
tahun 1975 hingga 1985 yang mengambil tema persamaan, integrasi wanita dalam
pembangunan dan perdamaian (Haryono, 2000: 1). Cerita dalam novel ini
berkisah mengenai cerminan perempuan Jawa di daerah Solo, Jawa Tengah.
Tokoh dalam novel ini adalah Bu Bei dan anaknya Subandini Dewaputri sering
disapa Ni. Mereka mencoba untuk berbeda, mereka memiliki banyak pilihan dan
kebebasan tidak seperti perempuan-perempuan Jawa pada umumnya.
Terkait dengan pesan dalam novel ini, peneliti ingin mengetahui gender
relations separate but equal pada perempuan Jawa. Konsep gender relations
separate but equal dijabarkan oleh Sullivan (1991), seperti dikutip dalam disertasi
Prahastiwi Utari, The Gap between Indonesian Media Training and the
Profession: Factors Affecting Young Women in Communication Studies and
Media Careers (2006) yaitu:
“Traditionally society allocates different positions to each sex and furnishes those two groups with equal status. Society is organized rationally according to the natural order of things in the process of human reproduction. So gender relations between male and female are defined by the different roles and tasks ascribed to each other. Women are focused on household management, nurturance and socialization, and men are
2
identified as providers, protectors, and representatives beyond familial realms.” (Utari, 2006: 18).Penelitian ini menggunakan 2 (dua) analisis, yaitu analisis wacana dan
analisis gender, dengan tujuan, analisis wacana digunakan untuk menganalisis
mengenai pesan yang ingin disampaikan oleh penulis Arswendo Atmowiloto
melalui novel Canting dan Gender Framework Analysis (GFA) digunakan untuk
mengidentifikasi mengenai kegiatan perempuan yang dimunculkan penulis
melalui tokoh Bu Bei dan Ni dalam novel Canting.
Dalam penelitian ini lebih ditekankan pada konteks situasi dalam wacana.
Menurut Halliday (1985a; 1994; Halliday & Hasan, 1985; Martin, 1992) konteks
situasi terdiri dari tiga aspek field (medan), tenor (pelibat), dan mode (sarana atau
modus) (Sentosa, 2010: 2). Analisis yang kedua dengan menggunakan teknik
analisis gender. Teknik analisis yang digunakan untuk penelitian ini adalah teknik
analisis Harvard atau sering disebut Gender Framework Analysis (GFA). Menurut
Overholt (1986) GFA adalah suatu analisis yang digunakan untuk melihat suatu
profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek
pembangunan, yang mengutarakan perlunya tiga komponen dan interelasi satu
sama lain, yaitu: profil aktivitas, profil akses, dan profil kontrol (Handayani,
2002: 170).
Rumusan Masalah
Bagaimana wacana gender relations separate but equal perempuan Jawa
direpresentasikan dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan sosial keluarga dan
masyarakat di novel Canting karya Arswendo Atmowiloto?
Tinjauan Pustaka
1. Relasi Gender pada Perempuan Jawa
Eichler (1981) mengatakan bahwa mempelajari hubungan antara laki-
laki dan perempuan atau relasi kekuasaan suami-istri dan menganggap
relasi kekuasaan akan terbentuk karena saling ketergantungan akan
kebutuhan kelangsungan hidup (Haryono, 2000: 27). Julia Suryakusuma
yang mengeluarkan tulisannya mengenai gender equality bill. Menurut
3
Julia Suryakusuma (2012) dalam tulisannya “Why we need a ‘gender
equality’ bill” menjelaskan bahwa:
”The aim of gender equality is equal access to education, ownership
of assets, economic opportunities and income to improve well-being.
The report stated that closing the gaps of gender inequality has
enhanced development within the fields of human rights, education,
health and access to jobs and livelihoods”. (Diakses dalam
http://www.thejakartapost.com tanggal 15 Januari 2013).
Julia menuliskan bahwa tujuan kesetaraan gender adalah akses yang
sama terhadap pendidikan, kepemilikan aset, peluang ekonomi dan
pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan, telah meningkatkan
pembangunan dalam bidang hak asasi manusia, pendidikan, kesehatan dan
akses terhadap pekerjaan dan penghidupan.
2. Wacana Teks
Pesan dipandang bukan sebagai mirror of reality yang menampilkan
fakta suatu peristiwa apa adanya. Dalam menyampaikan pesan, elite
menyusun suatu citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam
memberikan gambaran tentang realitas publik, memberikan pemaknaan
tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks pengalaman,
pengetahuannya sendiri (Eriyanto, 2000: 167-168).
Metode Penelitian
Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif bertujuan untuk
menggali atau membangun suatu proposisi atau menjelaskan makna di balik
realita. (Sutopo, 2002: 111). Peneliti menggunakan Purposive Sampling dalam
pengambilan data. Purposive Sampling adalah pengambilan sampling yang
bersifat acak berupa cuplikan. Cuplikan ini bukan mewakili populasinya tetapi
mewakili informasinya, sehingga bila generalisasi harus dilakukan maka arahnya
cenderung sebagai generalisasi teori (Sutopo, 2002: 36-37).
Sumber data berasal dari Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto
cetakan ketiga pada Oktober 2007 yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka
4
Utama Jakarta. Peneliti memilih isi cerita dalam novel Canting yang sesuai
dengan tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana
gender relation separate but equal pada perempuan Jawa.
Awalnya peneliti mengambil isi cerita yang sesuai dengan tujuan
penelitian. Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan tiga bab dalam
Novel Canting diambil sebanyak 42 penggalan cerita, berupa kalimat ataupun
potongan cerita. Kategori ekonomi berisikan 13 penggalan cerita. Kategori
pendidikan berisikan 13 penggalan cerita. Dan kategori sosial keluarga dan sosial
masyarakat berisikan 24 penggalan cerita. Penelitian ini menggunakan dua
analisis yaitu analisis gender dan analisis wacana. Diawali, akses dengan
didalamnya berisikan pelibat dan setting. Kemudian kontrol, manfaat dan terakhir
modus. Untuk menampilkan keterkaitan ketiga kategori tersebut dengan fenomena
gender relation separate but equal perempuan Jawa maka ditampilkan peneliti
melalui benang merah. Dari hasil reduksi data yang sudah sesuai dengan rumusan
masalah maka dilanjutkan tahap penarikan kesimpulan.
Sajian dan Analisis Data
1. Peran Perempuan Jawa yang Muncul dalam Bidang Ekonomi
1.1. Perempuan sebagai Pengusaha Batik
1.1.1. Akses Perempuan Terhadap Penguasaan Permasalahan Batik
1) Pelibat: Bu Bei
Setting: Bu Bei bekerja sebagai pengusaha batik di Kota Solo,
melanjutkan bisnis mertua yaitu Batik Canting. Di sini Bu Bei memiliki
peran sebagai direktur, manajer, dan marketing. Dia memimpin seluruh
kegiatan mulai dari proses pembatikan hingga dikemas dan dijual di
kiosnya di Pasar Klewer. Akses yang muncul perempuan terhadap
penguasaan permasalahan batik adalah sebagai perempuan, sebagai istri
priyayi, dan alami (tanpa bantuan teknologi atau pendidikan).
2) Pelibat: Subandini Dewaputri Sestrokusuman atau Ni
Setting: Subandini Dewaputri Sestrokusuman atau Ni adalah anak
terakhir dari Bu Bei, dia menyelesaikan kuliahnya di Semarang sebagai
Sarjana Farmasi. Hal yang membuatnya berbeda adalah ketika Ni
5
mengutarakan keinginannya untuk menggantikan ibunya, meneruskan
usaha Batik Canting, karena ketika itu, bisnis batik mulai lesu. Akses yang
didapatkan Ni untuk meneruskan usaha batik ini adalah meneruskan usaha
dari seorang juragan batik dan perkembangan teknologi dan pendidikan.
1.1.2. Kontrol Perempuan Terhadap Penguasaan Permasalahan
Batik
1. Bu Bei menimbulkan 3 kontrol penguasaan, yaitu sebagai pemimpin,
pengakuan terhadap perempuan, dan sebagai pengambil keputusan.
2. Timbul pula 3 kontrol penguasaan dalam tokoh Ni yaitu sebaga
pemimpin, kemandirian seorang perempuan, dan sebagai pengambil
keputusan.
1.1.3. Manfaat yang Didapat Perempuan dari Akses dan Kontrol
Penguasaan Permasalahan Batik
1) Tokoh Bu Bei memunculkan 3 manfaat, yaitu pengakuan sebagai
perempuan, memberdayakan masyarakat di sekitar lingkungan rumah,
dan kemandirian finansial
2) Tokoh Ni muncul 3 (tiga) manfaat yaitu, mengembangkan model
usaha baru, pembuktian sebagai perempuan, dan kemandirian
finansial.
1.1.4. Modus Perempuan Pengusaha Batik
Dalam novel Canting ini memunculkan peran domestik dan peran
publik yang terdapat pada tokoh Bu Bei dan Ni. Peran domestik
ditunjukkan dari peran Bu Bei sebagai istri dan sebagai seorang ibu di
rumah. Dan, peran publiknya diperlihatkan ketika keduanya melanjutkan
usaha batik Canting. Keduanya menekankan bahwa perempuan memiliki
akses untuk kegiatan publik, disini adalah sarana aktualisasi diri dengan
bekerja diluar rumah. Akses ini disebut sebagai gerakan transformasi
gender yang memiliki tujuan tidak sekedar untuk memperbaiki status
perempuan, melainkan usaha untuk meningkatkan martabat dan kekuatan
perempuan (Nugroho, 2011: 155).
6
1.2. Pelaksana Keuangan Keluarga
1.2.1. Akses Perempuan Dalam Pengelolaan Keuangan
1) Pelibat: Bu Bei
Setting: Bu Bei adalah seorang istri dari Raden Ngabehi
Sestrokusuman dan seorang ibu dari 6 orang anak. Bu Bei bekerja sebagai
pengusaha batik dan mengelola keuangan keluarga, Dalam mengelola
keuangan keluarga, Bu Bei lah yang memutuskan segala pengeluaran
kebutuhan atas ijin dari Pak Bei. Akses Bu Bei dalam pengelolaan
keuangan adalah bekerja, Bu Bei bekerja sebagai pengusaha batik cap
Canting. Istri dari anak sulung, tidak dipungkiri oleh Bu Bei sebagai istri
dari anak sulung keluarga. Bu Bei juga memikirkan kehidupan adik-adik
Pak Bei. Dan, istri dari seorang priyayi Keraton Surakarta.
2) Pelibat: Subandini Dewaputri Sestrokusuman atau Ni
Setting: Ni adalah anak bungsu Pak Bei , dia mengurus keuangan
keluarga setelah ditinggalkan oleh Bu Bei, hanya saja Ni mengelola
keuangan dari peninggalan Bu Bei, mengurus batik dan para pekerja yang
masih tinggal di kebon. Akses Ni dalam pengelolaan keluarga adalah dia
bekerja melanjutkan usaha batik dari Bu Bei.
1.2.2. Kontrol Perempuan dalam Pengelolaan Keuangan
1) Bu Bei memiliki peran dalam pengelolaan keuangan dalam rumah
tangga dan di luar rumah tangga Bu Bei. Di luar rumah yang di maksud
adalah keuangan perusahaan dan membantu keuangan keluarga besar.
2) Ni memiliki peran dalam pengelolaan keuangan diri sendiri dan di luar
kebutuhan diri sendiri. kebutuhan di luar kebutuhan diri sendiri yang
dimaksudkan adalah pengelolaan keuang pabrik.
1.2.3. Manfaat yang Didapatkan Perempuan dengan Mengelola
Keuangan
1) Bu Bei mendapatkan 2 (dua) manfaat yaitu pengakuan terhadap
perempuan dan memiliki pekerja yang mempunyai loyalitas tinggi pada
Batik Canting.
7
2) Ni mendapatkan 3 (tiga) manfaat yaitu, pengambil keputusan,
pengakuan sebagai anak perempuan dan kemandirian finansial.
1.2.4. Modus Perempuan dengan Mengelola Keuangan
Bu Bei dan Ni memiliki peran lebih sebagai seorang perempuan
yaitu terkait dalam pengelolaan keuangan dalam keluarga. Peran ini jarang
dimiliki oleh banyak perempuan di Jawa ketika itu, karena kebanyakan
perempuan tidak bekerja dan hanya menerima uang dari suami. Rosaldo
(1974) melihat kekuasaan dan nilai yang dapat diperoleh perempuan dalam
peran domestik dan peran publik. Kesempatan perempuan memperoleh
wewenang atau kekuasaan dapat dilakukan dengan memasuki dunia laki-
laki, menerima legitimasi fungsi domestik atau menciptakan suatu dunia
mereka sendiri, melalui alokasi penghasilan perempuan terhadap ekonomi
rumah tangga, mengumpulkan kekayaan, melalui kontrol terhadap
makanan, dan membuat kelompok atau perkumpulan tertentu dalam
keluarga dan masyarakat. (Ruspita, 2012: 26).
2. Peran Perempuan Jawa yang Muncul dalam Bidang Pendidikan
2.1. Kebebasan Dalam Memperoleh Pendidikan
2.1.1. Akses Perempuan Dalam Memperoleh Pendidikan
Pelibat: Wening, Lintang, dan Ni
Setting: Dalam Novel ini terdapat tiga tokoh yang mendapatkan
pendidikan secara formal, yaitu Wening, Lintang, dan Ni. Ketiganya
memiliki kesamaan dalam mendapatkan pendidikan. Mereka memilih
untuk sekolah ketika perempuan lain ketika itu memilih untuk dirumah dan
menjadi istri orang diusia muda. Mereka memiliki pilihan untuk sekolah. 2
(dua) akses yang didapatkan dari ketiga tokoh ini adalah memiliki orang
tua yang mampu secara finansial untuk menyekolahkan dan mereka adalah
anak seorang priyayi Keraton Surakarta.
8
2.1.1. Kontrol yang Didapatkan Perempuan Setelah Mendapatkan
Pendidikan
Akses yang didapatkan Lintang, Wening, dan Ni di bidang
pendidikan menimbulkan 2 (dua) kontrol yaitu memiliki kesempatan untuk
sekolah dan memiliki kebebasan memilih sekolah yang diinginkan.
2.1.2. Manfaat yang Didapatkan Perempuan Setelah Mendapatkan
Pendidikan
Kesempatan mendapatkan pendidikan yang didapatkan oleh
Lintang, Wening, dan Ni membuat mereka mendapatkan manfaat dari
akses dan kontrol dibidang pendidikan, yaitu menyelesaikan pendidikan di
tingkat universitas dan memiliki kesempatan yang sama dengan saudara
laki-laki.
2.1.3. Modus Mengenai Perempuan yang Mendapatkan Pendidikan
Dalam novel ini dijelaskan ketiga tokoh perempuan bisa
mendapatkan pendidikan hingga ditingkat universitas dan lulus menjadi
sarjana. Pendidikan menjadi sangat penting dengan berkembangnya dunia
informasi dan teknologi. Perempuan juga bisa mengambil banyak peran
publik untuk menwujudkan kesetaraan dalam masyarakat. Menurut
Nugroho (2011) upaya untuk mewujudkan kesetaraan dalam masyarakat
dalam relasi antara perempuan dan laki-laki menjadi langkah awal yang
sangat penting untuk melaksanakan program pemberdayaan perempuan.
Keberhasilan program ini akan berdampak pada semakin berhasilnya
program pembangunan yang adil, merata, dan menyeluruh (Nugroho,
2011: 162).
2.2. Peluang Pekerjaan yang Sama Antara Laki-Laki dan Perempuan
2.2.1. Akses Peluang Pekerjaan yang Sama
Pelibat: Ni dan Wening
Setting: Anak perempuan dan laki-laki keluarga Sestrokusuman
memiliki jenjang pendidikan yang sama yaitu sarjana. Sehingga mereka
juga memiliki kesempatan untuk memiliki pekerjaan dengan jenjang
9
setara. Akses yang muncul adalah Ni dan Wening memiliki kesempatan
yang sama dalam mendapatkan pendidikan.
2.2.2. Kontrol Setelah Mendapatkan Peluang Pekerjaan Yang Sama
Kontrol yang muncul dengan persamaan pendidikan antara anak
laki-laki dan perempuan adalah Ni dan Wening memiliki kebebasan untuk
memilih pekerjaan.
2.2.3. Manfaat Pekerjaan yang Sama Antara Laki-Laki dan
Perempuan
Manfaat yang didapatkan dari pekerjaan yang sama antara laki-laki
dan perempuan ada 2 (dua) yaitu mendapatkan pekerjaan yang diinginkan
dan bisa membuka lapangan pekerjaan baru.
2.2.4. Modus Pekerjaan yang Sama Antara Laki-Laki dan
Perempuan
Dalam novel ini dimunculkan bahwa pekerjaan perempuan tidak
hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga, tetapi
kedua tokoh dalam novel ini yaitu Wening dan Ni bekerja keras untuk
mendapatkan kesetaraan pendidikan dengan saudara laki-lakinya dengan
menyelesaikan jenjang pendidikan tertinggi dan juga memiliki keputusan
untuk mendapatkan pekerjaan yang sama dengan laki-laki yaitu memilih
pekerjaan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Hasil analisis diatas
juga didukung dengan pernyataan dari UNESCO dalam children and
armed conflict yang dijelaskan pada pasal 23 bahwa
Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih
pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil serta baik, dan
berhak atas perlindungan dari pengangguran.Setiap orang, tanpa
diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang
sama. (http://childrenandarmedconflict.un.org diakses pada 5 Januari
2014).
2.3. Perempuan Memiliki Hak Bicara
2.3.1. Akses Perempuan Memiliki Hak Bicara
Pelibat : Ni
10
Setting: Pada masa kuliah, Ni terlibat aktif dalam suatu organisasi
kampus, dimana dia menjabat sebagai pemimpin dalam organisasi
tersebut. Di dalam keluargapun Ni termasuk aktif yang menyuarakan
pendapatnya ketika terjadi pertemuan keluarga. Akses yang didapatkan Ni
ketika memiliki hak bicara adalah mendapatkan pendidikan.
2.3.2. Kontrol Perempuan Memiliki Hak Bicara
Kontrol yang didapatkan Ni ketika mendapatkan hak bicara ada 2
(dua) yaitu mempunyai hak bicara di forum keluarga dan mempunyai hak
bicara di forum organisasi.
2.3.3. Manfaat Perempuan Memiliki Hak Bicara
Manfaat yang didapatkan Ni ketika memiliki hak bicara ada 2 (dua)
yaitu bicaranya dipercaya oleh orang lain dan hak bicaranya diakui.
2.3.4. Modus Perempuan Memiliki Hak Bicara
Dalam Novel Canting tokoh Ni dijelaskan mendapatkan
kesempatannya dalam mengeluarkan pendapat, di mana saat itu masih
banyak perempuan yang belum mendapatkan hak berpendapatnya. Ni
mampu memanfaatkan kesempatan yang dimiliki untuk menyalurkan
aspirasi dalam dirinya dan sekaligus dapat mengembangkan potensi
kepemimpinan yang ada dalam diri Ni. Padahal dalam Undang-Undang
sendiri sudah tegas dinyatakan bahwa,
“Pasal 19 menjelaskan tentang: Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah)” (diambil dari http://childrenandarmedconflict.un.org diakses pada 5 Januari 2014).Bahkan dalam Undang-Undang tersebut jelas dituliskan bahwa
kebebasan mengeluarkan pendapat tidak memandang batas-batas wilayah.
Ini memiliki arti bahwa semua perempuan Indonesia memiliki kesempatan
untuk berpendapat menjalani apa yang menjadi tujuan hidupnya.
3. Peran Perempuan dalam Bidang Sosial Keluarga
3.1. Memiliki Posisi Tawar (Bargaining Position) Sebagai Istri Priyayi
11
3.1.1. Akses bagi Perempuan Mendapatkan Posisi Tawar
(Bargaining Position)
Pelibat: Bu Bei
Setting: Bu Bei sebagai istri sah dari Pak Bei. Terdapat satu
kejadian, Pak Bei menikah lagi dengan perempuan lain tanpa
sepengetahuan Bu Bei namun, Bu Bei mencari tahu apa yang dilakukan
oleh suaminya. Ada 2 (dua) akses yang didapatkan Bu Bei untuk
mendapatkan posisi tawar sebagai istri priyayi yang sah yaitu memiliki
sumber daya dan status sebagai istri pertama yang sah.
3.1.2. Kontrol bagi Perempuan Mendapatkan Posisi Tawar
(Bargaining Position)
Muncul 2 (dua) kontrol dapat yang dilakukan Bu Bei adalah untuk
menjaga keharmonisan keluarga dan memiliki tenggang rasa dengan
perempuan lain.
3.1.3. Manfaat bagi Perempuan Mendapatkan Posisi Tawar
(Bargaining Position)
Ada 2 (dua) manfaat yang didapatkan dengan tindakan yang diambil
oleh Bu Bei yaitu, masih diakui sebagai istri priyayi dan keharmonisan
keluarga terjaga.
3.1.4. Modus bagi Perempuan Mendapatkan Posisi Tawar
(Bargaining Position)
Pada kasus Bu Bei ketika mengetahui Pak Bei memiliki selir adalah
memilih untuk diam dan tetap menjalankan perannya sebagai seorang
perempuan dan seorang ibu. Bu Bei memilih untuk tidak berhubungan
secara fisik dengan Pak Bei, disisi lain Pak Bei tidak berkomentar apapun
dengan keputusan Bu Bei ini. Konsep kekuasaan dalam alokasi
penghasilan dan pembagian peran rumah tangga, dipergunakan untuk
melihat situasi perempuan. yang dimaksud dengan situasi disini ketika
kekuasaan laki-laki atau perempuan meningkatkan atau mengurangi posisi
tawarnya (bargaining position) dalam membuat keputusan-keputusan yang
yang menyangkut pengelolaan uang dalam keluarga, untuk melihat
12
bagaimana perempuan mengalokasikan penghasilannnya dan situasi
hubungan suami-istri ketika mengalokasikan penghasilan keduanya
(Ruspita, 2012: 27).
3.2. Kebebasan Mengambil Keputusan Dalam Keluarga
3.2.1. Akses Perempuan dalam Mengambil Keputusan
1) Pelibat : Bu Bei
Setting: Bu Bei adalah seorang perempuan yang bekerja sebagai
juragan batik tulis di Kota Solo. Memiliki banyak keinginan untuk
keluarga terutama anak-anak. Seperti ingin menyekolahkan anak-anak
sampai di tingkat paling tinggi, karena dia dulu tidak memiliki kesempatan
untuk sekolah. Akses yang muncul pada Bu Bei mengenai perempuan
yang dapat mengambil keputusan ada 2 (dua) hal yaitu bekerja dan diakui
keberadaannya.
2) Pelibat: Subandini Dewaputri Sestrokusuman atau Ni
Setting: Seorang perempuan aeng atau berusaha berbeda dengan
menjadi diri sendiri menjalani hidupnya. Tidak banyak orang Jawa
terutama perempuan yang bisa seperti Ni, tapi dengan pengalaman dan
kebebasan orang tua yang diberikan, Ni menjadi memiliki pemikiran yang
berbeda dengan orang Jawa pada umumnya. Akses yang diperoleh Ni
dalam kesempatannya mengambil keputusan ada 3 (tiga), yaitu memiliki
latar belakang keluarga yang demokratis, mandiri, dan sebagai pemimpin
dalam organisasi.
3.2.2. Kontrol Perempuan dalam Mengambil Keputusan
1) Bu Bei
Dari akses yang dimiliki Bu Bei menimbulkan 1 (satu) kontrol
yaitu Bu Bei dapat menyusun keinginan-keinginannya untuk keluarga.
2) Subandini Dewaputri Sestrokusuman atau Ni
Dari akses yang dimiliki Ni baik dalam pengaruh keluarga maupun
organisasi membuat Ni mendapatkan l (satu) kontrol berupa, Ni memiliki
banyak pilihan-pilihan dalam hidup.
13
3.2.3. Manfaat Perempuan dalam Mengambil Keputusan
1) Bu Bei
Manfaat yang didapatkan Bu Bei ketika memiliki kesempatan
dalam mengambil keputusan adalah dapat mewujudkan keinginan-
keinginan pribadinya.
2) Subandini Dewaputri Sestrokusuman atau Ni
Manfaat yang didapatkan Ni ketika memiliki kesempatan dalam
mengambil keputusan adalah dapat menentukan keputusan dalam hidup.
3.2.4. Modus Perempuan dalam Mengambil Keputusan
Stereotype di masyarakat Jawa masih menganggap bahwa
perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke
dapur juga. Berbeda dengan Bu Bei dan Ni, dimana mereka memiliki
kekuasaan untuk memutuskan berbagai hal dalam hidup mereka.
Kekuasaan perempuan Jawa adalah kemampuan perempuan Jawa
untuk mempengaruhi, menentukan, bahkan mungkin mendominasi suatu
keputusan. Kemampuan perempuan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan tersebut bukan semata-mata pada saat keputusan itu diambil,
melainkan merupakan sebuah proses yang panjang dari proses adaptasi,
pemaknaan kembali, hingga strategi diplomasi (Handayani, 2004: 25).
3.3. Hak Kesehatan
3.3.1. Akses Perempuan dalam Mendapatkan Hak Kesehatan
Pelibat: Bu Bei dan Subandini Dewaputri Sestrokusuman atau Ni
Setting: Kedua perempuan ini adalah ibu dan anak yang berjuang
keras dalam menjalani hidupnya, untuk bisa mencapai apa yang
diinginkan. Mereka ini termasuk perempuan modern di jamannya, mereka
mandiri dan bekerja selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan
kebutuhan keluarga lainnya. 2 (dua) akses yang dimiliki dari kedua tokoh
ini di bidang pemenuhan hak kesehatan adalah terdapat anggota keluarga
yang berprofesi sebagai dokter dan memiliki pendapatan diatas rata-rata.
14
3.3.2. Kontrol Perempuan dalam Mendapatkan Hak Kesehatan
Dari akses yang dimiliki menimbulkan 1 (satu) kontrol yaitu dapat
meminta fasilitas kesehatan.
3.3.3. Manfaat Perempuan dalam Mendapatkan Hak Kesehatan
Manfaat yang didapatkan oleh perempuan adalah hak kesehatannya
terpenuhi.
3.3.4. Modus Perempuan dalam Mendapatkan Hak Kesehatan
Dalam novel ini, dengan adanya anggota keluarga yang menjadi
dokter dan pendidikan yang tinggi disetiap anggota keluarga, membuat
setiap orang sudah sadar akan kebutuhan kesehatan akan dirinya sendiri.
Belum sepenuhnya berhasil dari hak-hak tersebut yang sudah dirasakan
oleh perempuan Indonesia pada khususnya, namun sudah mengalami
perkembangan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 harapan hidup
perempuan lebih tinggi (68tahun) dibandingkan dengan laki-laki (64
tahun). Namun, dengan angka mortalitas ibu melahirkan (AKI) masih pada
tingkat yang memprihatinkan karena saat ini, ada sekitar 20.000
perempuan mati setiap tahunnya karena melahirkan (BPS, BAPPENAS,
UNDP, 2004) (Darwin, 2005: 34).
3.4. Membantu Extended Family
3.4.1. Akses Perempuan dalam Membantu Extended Family
Pelibat: Bu Bei
Setting: Bu Bei memiliki tanggung Jawab moral untuk membantu
kehidupan keluarganya setelah kedua orang tua Pak Bei meninggal,
dengan meneruskan usaha batik tulis. Sebagai istri dari anak sulung, Bu
Bei juga memikirkan kehidupan adik-adik Pak Bei, karena merasa bahwa
Pak Bei adalah pengganti orang tua mereka. 2 (dua) akses yang dimiliki
oleh Bu Bei agar dapat membantu keluarga lainnya adalah istri dari anak
sulung dan memiliki penghasilan sendiri.
3.4.2. Kontrol Perempuan dalam Membantu Extended Family
Terdapat kontrol yang didapatkan oleh Bu Bei dengan akses yang
dimilikinya yaitu mampu menentukan jenis bantuan yang akan diberikan.
15
3.4.3. Manfaat Perempuan yang Membantu Extended Family
Manfaat yang didapatkan Bu Bei adalah diakuinya Bu Bei sebagai
perempuan yang pantas di keluarga.
3.4.4. Modus Perempuan dalam Membantu Extended Family
Dalam novel ini dijelaskan bahwa Bu Bei dengan dia bekerja dan
memiliki penghasilan senditi dapat mengangkat status sosialnya sendiri di
lingkungan keluarga besarnya.
“4. jika perempuan diberi kesempatan untuk mandiri secara ekonomi, maka ia tidak hanya membantu dirinya untuk keluar dari kemiskinan, tetapi juga keluarganya, karena pendapatan yang diperoleh oleh perempuan berkeluarga yang bekerja, peruntukannya sebagian besar adalah untuk kebutuhan hidup keluarganya.” (Ruspita, 2012: 76).
Bukan karena dia istri dari seorang priyayi lantas dia dihormati.
Namun, dengan perjuangannya bekerja dan dengan ikhlas membantu
keluarga lainnya memberikan dampak positif bagi Bu Bei yaitu yang
dulunya anak buruh batik kini, diakui status sosialnya.
4. Peran Perempuan dalam Bidang Sosial Masyarakat
4.1. Mengembangkan Wirausaha Lokal
4.1.1. Akses Perempuan dalam Pengembangan Wirausaha Lokal
Pelibat: Bu Bei dan Subandini Dewaputri Sestrokusuman atau Ni
Setting: Bu Bei dan Ni adalah sosok wanita yang menggantungkan
hidupnya di tangan mereka sendiri. Mereka bekerja sebagai juragan batik
tulis cap Batik Canting. Mereka sama-sama meneruskan usaha dari orang
tua mereka, dengan tidak mengubah jenis produksi yaitu batik tulis. 3
(tiga) akses Bu Bei dan Ni mengembangkan wirausaha lokal adalah
kepemilikan pabrik adalah milik sendiri, sebagai pimpinan pabrik, dan
tenaga kerja.
4.1.2. Kontrol Perempuan dalam Pengembangan Wirausaha Lokal
Menimbulkan 1 (satu) kontrol dalam mengembangkan wirausaha
lokal, yaitu memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan pabrik.
16
4.1.3. Manfaat bagi Perempuan dalam Pengembangan Wirausaha
Lokal
3 (tiga) Manfaat yang mereka dapatkan dengan mengelola sebuah
pabrik batik adalah ikut serta dalam melestarikan budaya daerah, ikut serta
membangun perekonomian daaerah, dan menjadi perempuan yang punya
penghasilan sendiri.
4.1.4. Modus Perempuan dalam Pengembangan Wirausaha Lokal
Batik tidak dapat dipisahkan dari budaya Jawa, sehingga dengan
meneruskan usaha dibidang batik tulis ini, Bu Bei dan Ni sudah membantu
dalam melestarikan budaya Indonesia. Batik tulis ini akan dijual di Pasar
Klewer, dimana di pasar ini banyak perempuan yang berperan. Fenomena
ini merupakan simbol keberhasilan perempuan mendobrak otoritas laki-
laki yang biasanya sangat kuat di masyarakat umum. Melalui dunia inilah
wanita pedagang mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan
kekuatan/kekuasaannya terhadap laki-laki (Koentjaraningrat, 1979: 206).
4.2. Berperan Aktif di Masyarakat
4.2.1. Akses Perempuan yang Aktif dalam Masyarakat
Pelibat: Bu Bei
Setting: Bu Bei, dilingkungan masyarakatnya selain dihormati karena
suaminya adalah priyayi juga sebagai juragan batik yang rela membantu
sekitar jika terjadi musibah, misalnya banjir besar di Solo kala itu. Akses
Bu Bei dalam berperan aktif dalam masyarakat ada 2 (dua) akses yaitu
sebagai pimpinan pabrik dan istri dari priyayi.
4.2.2. Kontrol Perempuan yang Aktif dalam Masyarakat
1 (satu) kontrol yang didapatkan Bu Bei yaitu memiliki kontrol
diruang publik dan memiliki pengaruh di masyarakat.
4.2.3. Manfaat Perempuan yang Aktif dalam Masyarakat
3 (tiga) manfaat yang didapatkan oleh Bu Bei dari kontrol diatas
adalah dihormati sebagai perempuan, keluarganya dipandang baik di
masyarakat, dan memiliki kemampuan untuk membantu masyarakat
sekitar.
17
4.2.4. Modus Perempuan yang Aktif dalam Masyarakat
Bu Bei memiliki kuasa sendiri karena bekerja, selain itu dia juga
merupakan istri dari priyayi, secata tidak langsung dalam masyarakat Bu
Bei lebih dikenal sebagai istri priyayi dibandingkan Tuginem sebagai anak
buruh batik. Kelebihan kelebihan yang dimiliki Bu Bei dimanfaatkan
untuk membantu masyarakat sekitar. Sekarang banyak perempuan yang
terlibat aktif dimasyarakat dengan membentuk atau ikut serta dalam suatu
organisasi.
Kewajiban perempuan sebagai ibu rumah tangga bukan berarti
menghalangi perempuan untuk mengadakan sosialisasi dengan dunia luar.
Pada zaman dulu perempuan tidak boleh keluar rumah apabila tidak
bersama dengan suami. Nampaknya hal ini sudah tidak berlaku lagi. Ini
terbukti dengan semakin banyaknya organisasi perempuan yang didirikan
dengan tujuan untuk menjadikan perempuan sebagai pribadi yang utuh dan
mandiri (Budiati, 2010: 134).
Kesimpulan
Kemajuan kemajuan yang perempuan Jawa dapatkan dari bidang ekonomi ini
mengantarkan mereka mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan laki-laki di
bidang lainnya yaitu bidang pendidikan, sosial keluarga, dan sosial masyarakat.
Menjadi penting bagi perempuan perempuan masa kini untuk memiliki posisi
tawar dalam berbagai bidang, sehingga mereka tidak lagi dianggap sebagai
makhluk kelas dua dibawah laki-laki.
Saran
Berdasarkan analisis di bidang pendidikan, penulis menyarankan sebagai
perempuan sangat penting untuk menperoleh pendidikan agar bisa bersaing
dengan laki-laki di dunia kerja. Dari analisa dalam bidang sosial keluarga, penulis
menemukan bahwa perempuan Jawa harus memiliki posisi tawar agar dapat
bermanfaat untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan. Berdasarkan
analisis penulis dibidang sosial masyarakat, perempuan diharapkan aktif di
masyarakat, dengan tujuan semakin banyak perempuan yang bekerja sehingga
18
dapat membuka lapangan pekerjaan dan bisa membantu perempuan lainnya untuk
memiliki daya saing kerja yang sama dengan tenaga kerja lak- laki.
Daftar PustakaAtmowiloto, Arswendo. (2007). Canting. Jakarta: Gramedia.Budiati, Atik Catur. (April 2010). Aktualisasi Diri Perempuan Dalam Sistem
Budaya Jawa. Pamator, Volume 3, Nomor 1.Darwin, Muhajir. (2005). Negara dan Perempuan : Reorientasi Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Grha Guru.Eriyanto. (2012). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
Tiara Wacana.Handayani, Christina S , dan Ardhian Novianto. (2004). Kuasa Wanita Jawa.
Yogyakarta: PT.LKIS Pelangi Aksara.Handayani, Trisakti dan Sugiarti. (2002). Konsep dan Teknik Penelitian Gender.
Malang: UMM Press.Haryono, Bagus. (2000). Kekuasaan Istri Tergantung Suami. Surakarta: Pustaka
Cakra.http://childrenandarmedconflict.un.org diakses pada 5 Januari 2014.Koentjaraningrat. (1989). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta Pusat:
Penerbit Djembatan.Nugroho, Riant. (2008). Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Ruspita, Leli. September (2012). Keterasingan Perempuan dari Pekerjaannya:
Kemitraan Suami-Istri dalam Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga. Jurnal Perempuan, Siapakah Agen Ekonomi?. Vol. 17 No. 3. ISSN 1410-153X.
Sentosa, Riyadi. (2010). Logika Wacana: Analisis Hubungan Konjungtif dengan Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Suroto. (1990). Teori dan Bimbingan: Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Suryakusuma, Julia “Why we need a ‘gender equality’ bill”. (2012). diakses dari http://www.thejakartapost.com diakses pada 7 Februari 2013.
Sutopo, HB. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Utari, Prahastiwi. (2006). The Gap between Indonesian Media Training and the Profession: Factors Affecting Young Women in Communication Studies and Media Careers.
19