edisi 103 th. xliii, 2013

80
Edisi 103 TH. XLIII, 2013

Upload: ngokhanh

Post on 31-Dec-2016

233 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

Edisi 103 TH. XLIII, 2013

Page 2: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

2 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

PENGAWAS UMUM:Pimpinan DPR-RI

PENANGGUNG JAWAB/KETUA PENGARAH:Dr. Winantuningtyastiti, M. Si(Sekretaris Jenderal DPR-RI)

WAKIL KETUA PENGARAH: Achmad Djuned SH, M.Hum(Wakil Sekretaris Jenderal DPR-RI)

PIMPINAN PELAKSANA: Drs. Djaka Dwi Winarko, M. Si.

PIMPINAN REDAKSI: Dadang Prayitna, S.IP. M.H.(Kabag Pemberitaan)

WK. PIMPINAN REDAKSI: Dra. Tri Hastuti (Kasubag Penerbitan), Mediantoro, SE (Kasubag Pemberitaan)

REDAKTUR: Sugeng Irianto, S.SosM. Ibnur KhalidIwan Armanias

SEKRETARIS REDAKSI: Suciati, S.Sos

ANGGOTA REDAKSI: Nita Juwita, S.Sos Supriyanto Agung Sulistiono, SH

PENANGGUNGJAWAB FOTO:Eka Hindra

FOTOGRAFER: Rizka Arinindya

SEKRETARIAT REDAKSI: I Ketut Sumerta, S. IP Jainuri A. Imam S, S. A. P.

SIRKULASI: Abdul Kodir, SH

ALAMAT REDAKSI/TATA USAHA: BAGIAN PEMBERITAAN DPR-RI, Lt.II Gedung Nusantara III DPR RI, Jl. Jend. Gatot Soebroto-Senayan, Jakarta Telp. (021) 5715348,5715586, 5715350 Fax. (021) 5715341, e-mail: [email protected]; www.dpr.go.id/berita

Page 3: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

3EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia diwarnai beberapa periode penting yang patut direnungkan kembali. Diawali era kemerdekaan di bawah Presiden RI pertama Soekarno berhasil meletakkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, dilanjutkan Presiden Soeharto yang lebih dikenal era orde barunya sebagai bapak pembangunan dan dilanjut-kan ke era reformasi sejak Mei 1998. Era reformasi hingga Mei 2013 ternyata telah berlangsung selama 15 tahun.

Parlementaria edisi 103 ini menurunkan laporan soal re-formasi sebagai evaluasi benarkah tuntutan reformasi yang muaranya adalah menciptakan masyarakat adil makmur sudah pada posisi yang benar. Secara umum mesti diakui, ada beberapa hal yang berhasil terutama keterbukaan dan demokratisasi, namun pemberantasan KKN termasuk pen-egakan hukum dan HAM masih dipertanyakan.

Sebagai contoh, pemilukada langsung masih diwarnai bentrokan antar pendukung, maraknya korupsi di semua lini termasuk terlibatnya 293 kepala daerah dan harga ke-butuhan pokok makin melambung. Intinya reformasi perlu reaktualisasi, sehingga kemiskinan, pengangguran, pelang-garan hukum dan HAM sebagai penghambat tercapainya masyarakat yang adil, makmur, aman dan sejahtera bisa segera dicari jalan keluarnya.

Dalam rubrik pengawasan, disajikan mengenai Pokok-pokok Pikiran DPR terhadap RAPBN 2014, di bidang penga-wasan diturunkan laporan soal moratorium ijin pengelolaan hutan dan Reviltalisasi KRL Ekonomi, sedangkan di bidang legislasi dilaporkan soal Prospek pembahasan RUU MD 3 pasca keluarnya keputusan MK dan perkembanganpemba-hasan RUU Pertanahan.

Laporan kunjungan spesifik diturunkan laporan Kunjungan Komisi VI ke stasiun KA Jabodetabek dan hasil kunjungan Tim Pansus RUU Ormas ke Propinsi Kali mantan Tengah. Sementara liputan khusus disajikan mengenai kunjungan Pimpin an BKSAP ke Vietnam.

Tidak ketinggalan, Parlementaria senantiasa menurunkan Kiat Sehat dalam rubrik khusus dengan menurunkan lapo-ran Manfaat Air Kelapa. Dengan Kiat Sehat diharapkan para anggota Dewan yang kegiatan sehari-hari sibuk dengan rapat yang menguras tenaga dan pikiran bisa terus terjaga kesehatannya. ( mp)

Pengantar redaksi

Page 4: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

4 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Dapatkan di:

Loby Gedung Nusantara 1 DPR RILoby Gedung Nusantara 2 DPR RILoby Gedung Nusantara 3 DPR RILoby Gedung Setjen DPR RIRuang Loby KetuaRuang Loby Wakil KetuaRuang Yankes

Terminal 1 dan 2Bandara Soekarno Hatta

Semua Majalah dan Buletin Parlementaria dibagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun. Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi Bagian Sirkulasi Majalah dan Buletin Parlementaria di Bagian Pemberitaan DPR RI, Lt.II Gedung Nusantara III DPR RI, Jl. Jend. Gatot Soebroto-Senayan, Jakarta, Telp. (021) 5715348,5715586, 5715350 Fax. (021) 5715341, e-mail: [email protected].

Page 5: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

8

11

17

34

36

39

41

45

49

52

54

56

61

67

70

72

75

78

Pesan PiMPinan

PrOLOg

LaPOran UtaMa

sUMBang saran

PengaWasan

anggaran

LegisLasi

FOtO Berita

kiat seHat

PrOFiL

kUnJUngan kerJa dPr

sOrOtan

LiPUtan kHUsUs

seLeBritis

Pernik

POJOk ParLe

Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Daerah

Reformasi yang Penuh Kompromi

Proses Konsolidasi dan Pendewasaan Partai Belum Berjalan Baik

Paradoks Reformasi

Moratorium Hutan Langkah Awal Lindungi Hutan Indonesia

Perubahan Pelayanan PT KAI Suatu Keniscayaan

APBN 2014 Diharapkan Semakin Perkokoh Stabilitas Ekonomi Nasional

DPD Dinilai Berlebihan Terjemahkan Keputusan MK

DPR Minta Presiden Segera Terbitkan Ampres RUU Pertanahan

Rahasia Dibalik Buah dan Air Kelapa

Agus HermantoMelenggang Ke Senayan Berkat Rasa Pede

Optimalisasi Dukungan Keahlian Legislasi Bagi Dewan

Delegasi DPR Hadiri Sidang ke-5 AIPA Caucus

NIDJI Bangga Bisa Show di ‘Rumah Rakyat’

Meriahnya Satu Nusa Satu Suara

Ancam Pindah Markas

LaPOran UtaMa

PrOFiL

PengaWasan

PrOses kOnsOLidasi dan PendeWasaan Partai BeLUM BerJaLan Baik

agUs HerMantO

MOratOriUM HUtan LangkaH aWaL LindUngi HUtan indOnesia

Tidak terasa reformasi seba gai titik balik da ri era orde baru ke or de kebebasan te lah ber­langsung 15 tahun. Se ba gian berpendapat re for masi gagal, lantar­an peng hapusan KKN salah satu tuntutannya kini malah semakin meluas. Namun ada juga yang berpandangan, meski belum sepenuhnya berhasil reformasi telah meletakkan tonggak bersejarah bagi kebebasan dan demokratisasi.

Pemerintah Indonesia akhirnya memperpanjang kebijakan moratorium hutan hingga dua tahun

ke depan seiring diterbitkannya Instruksi Presiden No.6 tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola

Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

| 17

| 56

| 36

Bidang politiklah yang bisa menjadi perahu bagi Agus dalam mengantarkannya menuju posisi puncak pengambil keputusan sebuah negara. Ketika masa reformasi terjadi, seiring dengan itu organisasi massa dan partai politik pun banyak bermunculan. Hal tersebut ikut menjadi angin

surga bagi Agus. Pasalnya ia dapat leluasa memilih partai politik yang diyakini sesuai dengan visi dan misinya

selama ini. Lebih lanjut melalui partai itu ia akan

berlayar di kehidupan berbangsa.

Page 6: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

6 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

ASPIRASI

Permohonan Diberikan Lahan APL

Permohonan lahan APL di Gampang Salah Sirong dapat kami gunakan untuk lahan perkebunan PIR dan tidak dijadikan hutan produksi.

Surat dari perwakilan masyarakat G a m p o n g y a n g m e n g a j u k a n permohonan agar masyarakat Gampong Salah Sirong Jaya, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen diberikan lahan APL yang terletak diantara kaki Glee Goh dan Sungai Peusangan membujur dari utara ke selatan berbatas dengan kaki bukit Glee Goh dan Sungai Peusangan dimana masing­masing kepala keluarga mendapat bagian seluas 2 Ha dengan Program Inti Rakyat dari PT. Perkebunan Nusantara I (Persero).

Dibuka Kembali Restrukturisasi Kredit

Permohonan dibukanya kembali Restrukturisasi kredit yang dibuat pada tgl.16 Agustus 2010 antara Machfud (Debitur) dan Bapak Pimpinan Cabang BRI Lumajang

Surat permohonan pembukaan kembali restrukturisasi kredit macet pada Bank BRI Cabang Lumajang karena telah dilakukan negosiasi/kesepakatan antara Pimpinan Cabang BRI Lumajang dengan Sdr. Machfud sebagai Debitur pada tgl. 16 Agustus 2010.

Identifikasi Pajak CV Harum Manis

Mohon untuk di indent if ikasi pajaknya Perusahaan CV. Harum Manis & tindakan tegas demi penegakan hukum

Permohonan untuk memeriksa CV. Harum Manis (Jl. Ikan Kakap, Teluk Betung Selatan, Lampung) yang belum terdaftar di Disnaker karena diduga menghindari pajak progesif dan pajak­pajak usaha lainnya.

Berbagai Pengaduan Singkat

Surat dari Asmoeni,SH atas nama Forum Warga Peduli Taman Perumahan Sutorejo Indah, yang ditujukan kepada Komisi III DPR RI, perihal permohonan perlindungan hukum atas kriminalisasi yang dilakukan oleh Developer PT Wisma Karya Bhakti ( PT WKB ) Surabaya kepada warga Sutorejo.

Masalah berawal dari kedatangan sekelompok orang yang dipimpin oleh Sdr Totok Dwi Hartono,SH, ke pemukiman pelapor dkk pada tanggal 5 Oktober 2012 dengan membawa material bangunan yang akan digunakan untuk membangun rumah terkait kepentingan developer PT WKB pada lahan jalur hijau di komplek perumahan tersebut.

Menurut pelapor, lahan tsb sejak semula oleh developer PT WKB akan

dijadikan sebagai bagian dari lahan fasilitas umum berupa jalur hijau sehingga warga tidak menyetujui adanya rencana peralihan fungsi menjadi bangunan rumah. Pelapor menduga telah terjadi rekayasa dalam perubahan site plan tersebut.

Masalah ini telah dilaporkan ke Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, dan diarahkan melapor kepada Kepolisian Sektor Mulyorejo Surabaya. Namun laporan ini justru ditelantarkan, sedangkan laporan rekayasa yang disampaikan pihak developer PT WKB yang ditindaklanjuti dengan penetapan beberapa warga sebagai tersangka.

Pelapor merasa adanya ketidakadilan atas intimidasi yang dilakukan oleh penegak hukum Kepolisian terhadap warga dimana Kepolisian lebih memihak

kepada PT WKB. Atas permasalahan tersebut, pelapor mohon perlindungan agar penyidik Polrestabes Surabaya menghentikan proses penyidikan maupun pemanggilan kepada warga hingga sengketa hak atas tanah taman/jalur hijau tersebut dapat diselesaikan terlebih dahulu antara warga dengan Pemkot Surabaya dan PT WKB.

Pihak Kepolisian harus melakukan tindakan tegas kepada para penyidik yang tidak obyektif menangani perkara ini dan mengharapkan Komnas HAM dan Kepolisian sesuai kewenangannya perlu mengambil langkah­langkah yang tepat dan cepat untuk melindungi hak warga dari ancaman pihak Kepolisian maupun PT WKB.

Permohonan Perlindungan Hukum Atas Kriminalisasi Kepada Warga Sutorejo

Page 7: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

7EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Surat dar i Sidik selaku Ketua Gabungan Ikatan Pengemudi Seluruh Indonesia (GIPSI) yang ditujukan kepada Pimpinan Komisi III DPR RI, perihal laporan GIPSI mengenai per tanggungjawaban Pool Taksi Express di Jalan Raya Hankam, Kranggan, Bekasi terkait laporan kepada pihak Kepolisian berdasarkan laporan No. LP/1536­G/K/2012/Resta Bks Kota tanggal 31 Oktober 2012.

GIPSI sebagai Organisasi Profesi yang terdiri dari para pengemudi yang bertujuan untuk melindungi dan memperjuangkan hak­hak mereka, mengajukan keberatan dan meminta per tanggungjawaban PT Express Trasindo Utama (PT ETU) atas kejadian yang menimpa para pengemudi Pool Taksi Express Kranggan dalam pemilihan Kepala Bagian Laka (laporan kecelakaan) yang telah disetujui oleh Kepala Pool Kranggan pada tanggal 31 Oktober 2012.

Bahwa dalam pemilihan tersebut pihak yang kalah merasa tidak puas atas perhitungan suara yang dimenangkan oleh Calon Laka tertentu, sehingga berakhir dengan bentrokan antar pengemudi yang mengakibatkan beberapa korban terluka dan dirawat di rumah sakit. Pengemudi yang terluka melaporkan kejadian tersebut kepada Polsek Pondok Gede­Bekasi dan sebagian diselesaikan secara damai oleh Kepala Pool.

Kemudian laporan GIPSI kepada PT ETU dan pihak Kepolisian tidak ditindaklanjuti dengan baik oleh perusahaan sehingga para korban merasa tidak puas dan melanjutkan laporan tersebut kepada GIPSI untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka menuntut hak­haknya sebagai pengemudi di perusahaan tersebut.

Poo l t ak s i E xpress K r anggan mempunyai + 500 pengemudi dan

setiap pengemudi dipungut dana laka sebesar Rp. 9.000 per hari yang dipergunakan apabila terjadi kecelakaan pada pengemudi, sehingga terkumpul dana sebesar Rp. 1,6 miliar lebih selama setahun. Namun dalam kejadian tersebut para pengemudi yang menjadi korban tidak memperoleh kompensasi dari dana laka tersebut sesuai dengan hak­haknya.

Pelapor memohon kepada Pejabat Penegak Hukum agar memberikan sank si kepada perusahaan dan membantu menyelesaikan per ma­salahan tersebut, serta mem berikan uang komp ensas i kepada par a pengemudi sebagai solusi penyelesaian agar dapat meringankan keluarga korban.

Permohonan GIPSI mengenai Pertanggungjawaban Pool Taksi Express, Kranggan Bekasi

Penyelesaian dan mediasi tripartit antara masyarakat yang tergabung dalam Koperasi Citra Usaha Mandiri, perusahaan dan pemerintah terkait alokasi minimal 20% (dua puluh persen) dalam bentuk kemitraan sehubungan dengan status areal Eks HGU Perkebunan PT.TPP yang kondisi saat ini tidak diperpanjang lagi oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN­RI).

Pelapor atas nama perwakilan masyarakat Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Sungai Lala, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, memohon penyelesaian dan mediasi tripartit

antara masyarakat yang tergabung dalam Koperasi Citra Usaha Mandiri, Perusahaan dan Pemerintah mengenai status kebun plasma seluas 20% yang merupakan bentuk kemitraan sehubungan dengan status areal eks HGU perkebunan PT Tunggal Perkasa Plantation (PT TPP) seluas 10.244,40 hektar yang sudah tidak diperpanjang lagi oleh BPN RI.

Bahwa atas permasalahan tersebut, Wakil Bupati Indragiri Hulu telah mengirimkan surat kepada Kepala BPN RI memohon penjelasan atas proses perpanjangan HGU No. 20 PT Tunggal Perkasa Plantations yang telah

berakhir pada tanggal 31 Desember 2012, berdasarkan surat No. 89/ADM.PUM/100/IV/2013 tanggal 8 April 2013.

Sampai saat ini P T TPP tetap melaksanakan aktivitasnya meskipun H GU te l ah b e r ak h i r, s e h in g ga m e n i m b u l k a n k o n f l i k d e n g a n masyarakat setempat. Pe lapor m e m o h o n a g a r p e r m a s a l a h a n tersebut segera ditangani supaya tidak berdampak negatif dan menimbulkan korban jiwa seperti yang terjadi di tempat lain.

Permohonan Penyelesaian Dan Mediasi Tripartit Mengenai Status Kebun Plasma di Pasir Penyu Inhil Riau

Page 8: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

8 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

DESENTRALISASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI DAERAH

Desentralisasi

Konsep desentralisasi di Indonesia, awalnya semata­mata merupakan “reaksi” atas praktik pembangunan nasional Orde Baru yang sentralistik dan sekedar sebagai tuntutan yang harus diterapkan dengan diimplementasikannya konsep otonomi daerah secara luas. Namun demikian, paradigma ini mestinya sudah saatnya diubah, bukan hanya sekedar reaksi atas praktik pembangunan di era Orde baru, namun lebih kuat dari itu, yaitu untuk kesejahteraan rakyat di daerah.

Paradigma yang berkembang selama ini tentang desentralisasi adalah: pertama, desentralisasi itu selaras dengan prinsip pemerintahan yang demokratis, dengan adanya pengaturan kewenangan yang seimbang ant ar a p em er int ah p us at d a n p e m e r i n t a h d a e r a h , kedua, mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan serta mendorong demokratisasi di tingkat lokal, ketiga, menciptakan efisiensi pemerintahan, keempat, kepentingan rakyat di daerah­daerah yang memiliki kekhususan­ke k h u s u s a n t e r t e n t u d a p a t tertangani dengan lebih baik, dan kelima, pembangunan berjalan lebih baik dan terarah, karena dilakukan langsung oleh satuan­satuan pemerintahan di tingkat daerah.

Menguatkan paradigma tersebut, filosofi desentralisasi yang juga menjiwai setiap UU tentang daerah, mulai dari UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah (yang berlaku di jaman Orba), kemudian

UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah, terakhir melalui lahirnya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 20 0 4 tent ang Pemer int ahan Daerah, dan beberapa RUU lain adalah, pertama, akan muncul kemandirian yang digerakkan oleh

kreativitas dan inovasi daerah d a l a m m e n g o pt i m a l i s as i k a n berbagai potensi sumberdaya yang ada, baik sumberdaya manusia m a u p u n s u m b e r d a y a a l a m , untuk kepentingan kemajuan dan

kesejahteraan daerah. Kedua, tata hubungan antara pusat­daerah diharapkan akan menjadi lebih proporsional, harmonis dan produktif dalam rangka penguatan integrasi (persatuan dan kesatuan) bangsa dan pembangunan nasional.

Menggali makna desentralisasi ini juga dapat kita lihat lebih detail, jika kita membandingkan pokok­pokok pikiran antara UU No. 5 tahun 1974 dengan UU No. 22 tahun 1999, dan UU No. 32 tahun 2004. Perbedaan itu intinya adalah tarik menarik pada sisi terlalu desentralistis atau masih sentralistis. Kalau UU tahun 1974 dianggap lebih sentralistis, UU tahun 1999 sangat desentralistis (karena euforia desentralisasi di era reformasi), UU tahun 2004 kembali dibawa ke arah

lebih sentralistis. Hal ini terjadi antara lain, akibat pelaksanaan UU 1999 yang antara lain karena kesiapan / kekurangsiapan daerah. Bahkan, ketika UU No. 32 tahun 2004 yang direvisi melalui lahirnya UU No. 12 Tahun 2008, juga dipandang masih belum cukup memadai untuk merealisasikan paradigma desentralisasi tersebut. Perbandingan pokok­pokok pikiran

Berbagai masalah seputar desentralisasi dan pengelolaan sumberdaya, khususnya sumberdaya alam, di daerah, masih cukup mendominasi berbagai tema diskusi yang sering saya hadiri. Namun demikian, tema-tema seperti ini memang sangat penting untuk terus-menerus dielaborasi demi perbaikan sistem otonomi daerah. Sebagaimana tema opini saya di majalah Parlementaria Edisi 100 TH.XLIII 2013, saya kembali mengetengahkan tema tentang daerah.

OLeH dr. MarzUki aLie

PESAN PIMPINAN

Page 9: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

9EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

pada setiap UU ini bisa dilihat di tabel.

M e r e a l i s a s i p a r a d i g m a desentralisasi ini terus dilakukan seiring dengan berbagai masalah di daerah. Sebab, desentraslisasi yang dilakukan terhitung sejak d ib er lakukanny a U U N o. 22 tahun 1999, masyarakat masih merasa “tidak ada peningkatan kese jahter aan ”. Penge lo laan sumberdaya alam daerah juga banyak terkendala. Namun demikian, revisi UU ini tetap dilakukan oleh DPR bersama Pemerintah, agar mendapat solusi yang tepat , yang mampu menjawab berbagai permasalahan daerah. Bahkan saat ini pun, DPR bersama Pemerintah sedang melakukan revisi terhadap UU tentang Pemerintahan Daerah yang dipecah menjadi 3 (tiga) RUU yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Pilkada dan RUU tentang Desa.

Mengenai RUU Pemerintahan Derah in i , secara substansi , seb enarny a terdapat 22 i su strategis yang teridentifikasi dan memerlukan pemikiran mendalam untuk didiskusikan. Isu­isu ini antara lain menyangkut pembentukan daerah otonom, pembagian

urusan pemerintahan, daerah berciri kepulauan, pemilihan kepala daerah, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, perangkat daerah, pembangunan daerah, keuangan daerah, pembinaan dan pengawasan daerah, dan tindakan hukum terhadap aparatur daerah. RUU Pemda hanya memuat pengaturan­pengaturan secara umum, sedangkan pengaturan lebih lanjut secara rinci akan diatur masing­masing dalam UU tentang Pilkada dan UU tentang Desa.

Pengelolaan Sumberdaya Daerah

M e m b a h a s p e r m a s a l a h a n daerah, paling tidak ada 4 hal pokok yang sampai saat ini masih menjadi masalah. Pertama, apakah di era otonomi daerah saat ini, Peraturan Daerah (Perda) di bidang pengelolaan sumberdaya alam sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan? Kedua, bagaimanakah upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumberdaya alam di daerah? Ketiga, bagimanakah penerapan dokumen pengelolaan sumberdaya alam dalam proses perijinan? Keempat, bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi

terkait dan stakeholders di daerah?

Pertama, tentang regulasi. Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi, yang dijabarkan sesuai PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Namun, pengalaman belakangan ini menunjukkan bahwa kontrol, baik dari rakyat maupun organisasi non pemerintah di daerah terhadap peraturan perundang­undangan daerah yang muncul sebagai penjabaran UU diatasnya, sangat lemah. Sehingga sangat mungkin, peraturan­peraturan daerah ini justru malah bertolak belakang dari jiwa UU di atasnya tersebut.

D e n g a n d e m i k i a n , u n t u k penyusunan berbagai regulasi di daerah, harus ada beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti political will Pemerintah Daerah; kapasitas ke l emb agaan dan keb i jak an (Good Environment Governance); adanya persepsi, sikap dan perilaku egosentrisme/sektoral; keterlibatan elemen masyarakat; eksploitasi SDA

UU No. 5 tahun 1974 UU No. 22 tahun 1999 UU No. 32 tahun 2004Filosofi pemerintahan daerah

keseragaman atau uniformitas.

keanekaragaman dalam kesatuan. keanekaragaman dalam kesatuan, (sama dengan UU No. 22 tahun 1999).

Fungsi utama pemerintahan daerah

sebagai promotor pembangunan

pemberi pelayanan masyarakat. pemberi pelayanan masyarakat (sama dengan UU No. 22 tahun 1999).

pembagian satuan pemerintahan

menggunakan pendekatan tingkatan (level approach), ada Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.

menggunakan pendekatan besaran dan isi otonomi (size and content approach), ada daerah yang besar dan ada daerah yang kecil berdasar kemandirian masing-masing, ada daerah dengan isi otonomi terbatas dan ada daerah yang otonominya luas.

menggunakan pendekatan besaran dan isi otonomi (size and content approach), dengan menekankan pada urusan yang berkeseimbangan dengan azas eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.

azas penyelenggaraan pemerintah daerah

seimbang antara desentralisasi, dekonsetrasi dan tugas pembantuan pada semua tingkatan.

desentralisasi terbatas pada daerah provinsi dan pada luas daerah kabupaten/kota, dekonsentrasi terbatas pada kebupaten/kota dan luas pada provinsi, tugas pembantuan yang seimbang pada semua tingkatan pemerintahan sampai ke desa.

desentralisasi diatur berkesimbangan antara daerah provinsi, kabupaten/kota, desentralisasi terbatas pada kabupaten/kota dan luas pada provinsi, tugas pembantuan berimbang pada semua tingkatan pemerintahan.

Tabel Perbandingan pokok-pokok pikiran pada setiap UU.

Page 10: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

10 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

tanpa diimbangi upaya konservasi; dan lain­lain, sampai masalah le­mah nya penegakan hukum.

Kedua, penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan pengelo­laan sumberdaya alam di daerah masih cukup banyak kendala. seperti: fragmentasi masyarakat akibat menguatnya ego­sektoral, inkonsistensi dalam pelaksanaan ke b i j a k a n d a e r a h s e h i n g g a memunculkan disharmoni, political will lemah dan sumberdaya manusia lemah.

Namun demikian, penguatan k e l e m b a g a a n p e n g e l o l a a n sumberdaya alam, seharusnya di­la kukan secara komprehensif dan terintegrasi serta mengarah kep ada b erb agai p erb a ikan. Paling tidak, ada 6 perbaikan dan kemampuan yang harus dilakukan dan dimiliki oleh daerah: pertama, lembaga perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif (effective representative system); kedua, peradilan yang b e b a s d a r i c a m p u r t a n g a n eksekutif, bersih (tidak korup), dan profesional; ketiga, Aparatur pemer int ah (b i rokras i ) yang professional dan memiliki integritas yang kokoh; keempat, masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi public control (public watchdog) dan penekanan (pressure); kelima, desentralisasi dan lembaga perwakilan daerah yang kuat serta didukung oleh local civil society yang juga kuat (democratic decentralization); dan keenam, adanya mekanisme resolusi konflik. Pada intinya, penguatan k e l e m b a g a a n p e n g e l o l a a n sumberdaya alam ini, minimal harus melibatkan tiga sisi, yaitu kapasitas kelembagaan dan kebijakan (good environment governance), etika dalam eksploitasi SDA (eco­bisnis), dan kontrol masyarakat.

Ketiga, penerapan dokumen dan proses perijinan. Proses perijinan merupakan suatu tahapan yang harus dilalui untuk keluarnya ijin. Dalam proses perijinan ini diperlukan beberapa dokumen yang

terkait: feasibility study; Peraturan Perundangan y ang b erp ihak pada lingkungan hidup; jaminan keadilan dan kepastian hukum bagi penyelenggara kebijakan; ruang aspirasi dan partisipasi semua pemangku kepentingan; dan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pelaku lingkungan dari risiko yang mungkin terjadi akibat kerusakan lingkungan.

Tahap ini sangat berkaitan dengan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Agar pelaksanaan Amdal berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang Amdal secara jelas menegaskan bahwa Amdal adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi Amdal sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.

Keempat, peningkatan koor-dinasi kelembagaan. Koordinasi yang harus dilakukan mencakup koordinasi kelembagaan dalam penyusunan peraturan perundang­undangan; koordinas i dalam p e n g e l o laan SDA , te r masuk kebijakan operasional dan koordinasi dalam penegakan hukum; dan koordinasi kewenangan mengatur dan mengurus pengelolaan SDA oleh daerah.

Dalam mengelola SDA, koordinasi antar departemen/sektor tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam suatu kerja bersama yang operasional sifatnya, tetapi juga koordinasi dalam pembuatan peraturan. Dua hal ini memang tidak serta merta menjamin terjadinya sinkronisasi antar berbagai lembaga yang memproduksi peraturan dan kebijakan mengenai pengelolaan SDA, tetapi secara normatif koor­dinasi dalam penyusunan peraturan perundangan diharapkan akan menghasilkan peraturan perundang­undangan yang sistematis dan tidak tumpang tindih satu sama lain.

Dalam kaitannya dengan oto­

nomi daerah, UU No. 32 Tahun 20 0 4 b e lum m e n gatur s o a l koordinasi antar depar temen/sektor dalam rangka pengelolaan SDA. Karenanya, diperlukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders di daerah.

Penutup

A k h i r ny a , s ay a i n g i n m e ­nyampaikan kesimpulan penutup, bahwa: dinamika desentralisasi sejak era­reformasi sampai seka­rang menunjukkan bahwa filosofi d e s e n t r a l i s a s i t i d a k m u d a h diterapkan, utamanya melalui peraturan perundang­undangan sampai dengan implementasi dan pengawasannya. Hal ini terlihat dari berbagai kebijakan tentang daerah yang terus mengalami evaluasi, bahkan revisi UU. Dengan demikian, proses desentralisasi ini sesungguhnya belum selesai dan masih perlu perbaikan.

Terkait dengan pengelolaan SDA di daerah, masyarakat dan pihak­pihak yang berkepentingan, harus berprinsip pada pembangunan berkelanjutan berwawasan ling­kungan. Karena, pembangunan pa­da dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan p r o g r a m ­ p r o g r a m k e g i a t a n p e m b a n g u n a n b e t u l ­ b e t u l yang menyentuh kepentingan masyarakat.

Salah satu kesepakatan yang telah ditetapkan oleh DPR dan Pemerintah adalah memecah UU Pemerintahan Daerah kedalam 3 UU, yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Desa dan UU tentang Pilkada. Diharapkan melalui pemecahan UU Pemerintahan Daerah kedalam tiga undang­undang tersebut akan memberikan ruang pengaturan yang lebih rinci dan komprehensif dari masing­masing isu tersebut sehingga memberikan kontribusi pada kelancaran jalannya roda pemerintahan daerah secara keseluruhan.*

PESAN PIMPINAN

Page 11: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

11EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

PROLOG

Gedung Nusantara yang mulai dibangun tahun 1965 itu masih berdiri kukuh walaupun beragam badai demokrasi dari berbagai era pernah berkecamuk disana. Parle menyaksikan kemegahannya dari sudut yang paling pas, dari ruang kerja Ketua DPR RI Marzuki Alie di Nusantara III lantai 3. Mata menyapu ke dua atap bundar dari beton, ada yang menyebut itu seperti cangkang kukuh

kura-kura yang melindungi apapun yang ada didalamnya. Di atap beton yang dicat hijau itu seakan-akan masih terlihat bekas telapak kaki ribuan mahasiswa yang berhasil menduduki gedung simbol pergerakan demokrasi bangsa ini. Mereka pada bulan Mei 1998 meneriakkan reformasi, dengan titik keringat, air mata bahkan darah. Pemerintah Soeharto yang mendominasi selama 32 tahun akhirnya tumbang.

Reformasi yang Penuh Kompromi

Page 12: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

12 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

PROLOG

Ketika akhirnya bertemu dengan y an g p uny a r u an g an unt uk kesempatan wawancara. Pertanyaan pertama yang mengemuka adalah apakah Marzuki Alie, Ketua DPR RI merasakan aura yang sama ketika menyaksikan atap gedung bundar yang hanya selemparan batu dari meja ruang kerjanya. “Ya tentu, saya kadang merasakannya juga,” ungkapnya saat memulai wawancara tentang evaluasi reformasi yang tahun ini telah berjalan 15 tahun. Ia kemudian mengungkapkan kegelisahannya pada perjalanan reformasi yang menurutnya belum

padu padan antara konstitusi dengan landasan dasarnya Pancasila. Banyak suara yang kemudian menyebut reformasi ini sudah kebablasan, terlalu maju meninggalkan anak bangsa yang menjadi asing dengan negara tumpah darahnya.

“Ada masalah mendasar pada reformasi demokrasi bangsa ini khususnya sistem one man one vote. Kalau kita merujuk kembali pada Pancasila disitu ada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Ada unsur musyawarah,

ada unsur perwakilan ini yang harusnya

kita dudukkan apalagi terkait

d e n g a n o t o n o m i y a n g

mempersepsikan seolah ­ olah kita ini seperti negara federal dimana daerah­daerah itu seperti kerajaan­kerajaan yang lepas dari pemerintahan pusat,” tandasnya.

Ia kemudian menampik anggapan reformasi yang telah digerakkan par a ak t iv is dan mahas is wa berjalan lamban. Untuk sebuah bangsa, baginya 15 tahun adalah waktu yang belum terlalu lama, seraya membadingkan perjalanan demokrasi bangsa Amerika yang berusia ratusan tahun. Ia juga mengungkap catatan sejumlah pihak yang menyebut warna demokrasi Indonesia saat ini sudah ke Amerika­Amerikaan. Untuk itu diperlukan kearifan segenap komponen bangsa terus menggali format demokrasi yang paling tepat bagi bangsa ini.

“Jadi 15 tahun belum cukup m a s i h p e r l u w a k t u u n t u k menkonsolidasikan demokrasi menurut nilai­nilai yang kita miliki. Nggak mungkin kita mengikuti demokrasi ala Amerika, kita perlu sesuaikan dengan nilai­nilai yang kita miliki. Masyarakat kita itu guyub lebih suka musyarawarah, ini perlu kita perhatikan dan seharusnya kita perlu pahami itu,” lanjutnya.

Hal Senada juga disampaikan tokoh, pelaku dan korban reformasi 1998 Desmond J. Mahesa yang terpilih menjadi anggota DPR periode 2009­2014. Bangsa ini perlu melihat kemungkinan adanya sistem politik yang lebih baik selain demokrasi untuk agenda meningkatkan pertumbuhan ekonomi di satu sisi dan di sisi lain, pada saat yang sama menyejahterakan rakyat dan menegakkan hak­hak warga negara. “Varian sistem politik Jepang, Korea Selatan dan Cina menunjukkan potensi untuk itu,” katanya dalam kesepatan wawancara di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Membaca reformasi yang telah berjalan

1 5 t a h u n , setidak bisa dilihat dari 4

Page 13: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

13EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

permasalahan mendasar yang diteriakkan para pejuang reformasi yaitu masalah pemerataan ekonomi, kebebasan pers, penegakan hukum dan ham serta pemberantasan korupsi. Desmond yang pernah diculik oleh ‘Tim Mawar’ Kopassus melihat ada ironi yang kembali melilit anak bangsa. Persoalan keadilan dan kesejahteraan yang menjadi tuntutan utama saat menggulingkan pemerintahan Soeharto, hari ini mulai kembali mengemuka.

“Reformasi ini maunya siapa, maunya aktifis dulu kan enggak. Reformasi ini adalah bentuk kom­promi yang digulirkan orang­orang yang mengaku pakar, kayak Amin Rais dan lain­lain, dia yang menamakan reformasi. Tidak seperti kami yang ada di lapangan, bangsa ini perlu revolusi dan bagi kami revolusi ini tidak di jalan yang benar. Sekarang reformasi yang menurut mereka benar, benarnya mana? Dari awal semuanya sudah penuh kompromi,” jelasnya lantang.

Ia memaparkan sejak reformasi Mei 1998 hingga tahun 2013 ini , Indonesia dapat disebut masih berada di masa transisi politik, dari

otoritarian menuju demokrasi. Masih banyak permasalahan­permasalahan masa transisi yang belum selesai hingga kini, seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu, belum munculnya kelas oligark (pengusaha besar) baru yang menggantikan para oligark Orde Baru, belum tergususrnya para neoliberal binaan Orde Baru dan birokrasi pemerintah, seperti Kementerian Keuangan dan Bappenas, dan lain­lain. Masalah­masalah ini bukan saja menyebabkan distribusi keadilan dalam bidang hukum HAM terhambat tetapi juga keadilan ekonomi tetap sulit diwujudkan, bahkan Indonesia kerap berada dalam ancaman krisis ekonomi yang berbahaya.

Dilihat dari dua kaki demokrasi yang disebut R. William Liddle yaitu civil rights atau civil liberties dan parlementarisme, maka demokrasi Indonesia sudah berjalan pada track yang benar. Namun dilihat dari civic culture yang kerap disebut Nurcholis Madjid dan J. Kristiadi dengan soul, jiwanya demokrasi maka demokrasi yang berkembang masih bersifat prosedural, belum terlembagakan

sisi substansinya. Lebih dari itu arah kehidupan kenegaraan kita kerap kali terasa dan terlihat tidak disadari oleh para pejabat tingi negara yang tampak lebih condong pada kepentingan pribadi, kelompok dan partainya. Jadi, sinyalemen bahwa Indonesia negara gagal jelas mempunyai rujukan filosofisnya di dalam demokrasi dan kepemimpinan nasional.

Politik kompromi yang sudah muncul sejak awal, pada akhirnya semakin membuat bangsa menjauh dari tujuan. Sebagai pelaku yang terlibat dalam proses reformasi yang kemudian mendapat ke­sem patan terjun langsung ke da lam sistem negara ia telah men coba menyuarakan sesuai kewenangannya sebagai wakil rakyat. Ia merasakan terlalu banyak orang pintar yang terus mencoba berkompromi yang semuanya direkamnya dengan baik. Timbunan kegelisahannya itu dituangkan dalam 2 serial buku yang sudah

Page 14: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

14 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

beredar di tengah publik.

“Saya telah banyak mencoba di DPR mengikuti gaya mereka, ternyata tidak memuaskan juga bagi saya pribadi dan kegelisahan itu akhirnya saya tuangkan dalam buku tentang DPR offside, Presiden offside. Kenapa? karena Presiden banyak melanggar hukum, melanggar janji­janji, tukang bohong. Kenapa saya menulis DPR offside karena lembaga ini tidak melakukan hal­hal yang telah digariskan UU, misalkan dalam melakukan fungsi anggaran, pengawasan, legislasi. Jelas ini adalah statement politik, dimana Desmond berada saat ini, pasti tidak puas dengan Presiden, dengan DPR,” papar anggota parlemen yang terpilih mewakili dapil Kalimantan Selatan ini .

Anak kandung reformasi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang mendapat tugas mul ia

memberangus korupsi dinegeri ini belum bekerja dengan agenda (baca:blueprint) yang jelas. Komisi anti rasuah ini belum menyentuh sumber utama kebocoran uang negara. “KPK ini menurut saya sedang lucu­lucuan saja sebenarnya. Hari ini menangkap hakim besok ada lagi, tangkap tangan petugas pajak nanti ada lagi, hari ini bupati besok ada lagi, tidak ada efek jera. Ini ada apa sebenarnya apa mereka cari popularitas saja, terus 5 tahun selesai. Seharusnya KPK mengejar sumber pendapatan negara yang penting seperti pertambangan, Bea cukai. Kita jadi bertanya blue print KPK­nya mana?” tandasnya

Bagaimana dengan kebebasan pers? Perkembangan media baik cetak maupun elektronik di tanah air memang sangat pesat. Kungkungan kekuasaan yang berhasil diterabas telah melahirkan ragam media, bagaikan cendawan di musim hujan.

Namun kompromi yang terjadi dari segi regulasi dan kebijakan pemerintah malah menggiring pers ke dalam cengkeraman penguasa yang lain, para pengusaha dengan jaringan bisnis mereka. “Saya selalu bilang ke teman­teman wartawan, kalian itu pejuang atau bukan? Media kalian sekarang dikuasai industri, bagaimana bisa leluasa berjuang untuk kepentingan yang lebih besar kalau urusan gaji kalian saja diperlakukan tidak adil,” ungkap mantan aktivis yang termasuk rajin menulis ini.

R e k o m e n d a s i D P R y a n g Diabaikan

DPR RI periode 2004­2009 telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Penghilangan Orang Secara Paksa 1997 dan 1998. Sejarah mencatat di era itu ada pergerakan 11 orang prajurit Kopassus yang kemudian dikenal sebagai Tim Mawar yang

PROLOG

Page 15: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

15EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

menculik 23 mahasiswa dan aktivis. Mereka mengaku malakukan aksinya demi hati nurani, negara dan bangsa. Sepuluh aktivis yang diculik telah dibebaskan, tetapi 13 lainnya sampai sekarang tidak jelas rimbanya. Pada tahun 1999 majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta menjatuhkan vonis kepada para pelaku dan menyatakan mereka telah merampas kemerdekaan orang lain tanpa hak.

P an s u s O r an g H i l an g D P R kemudian berhasil mengambil keputusan penting menyikapi belum kembalinya 13 aktivis itu. Ada 4 rekomendasi yang seharusnya dapat dilaksanakan pemerintah (lihat kotak). Namun nyatanya sampai hari ini rekomendasi tersebut masih diabaikan. “Persoalan hari ini adalah respon DPR sudah cukup dalam politik HAM kasus reformasi itu. Masalahnya diperhatikan presiden tidak? Ada empat rekomendasi salah satunya segera mencari korban yang hilang dalam era reformasi itu. Nah kita lihat pemerintah melakukan pencarian t idak, memberikan kompensasi dan rehabilitasi tidak,” papar Desmond.

S e h a r u s n y a p e m e r i n t a h menunjukkan perannya dalam melindungi warga negaranya. Langkah lain yang bisa menunjukkan itikad baik adalah segera meratifikasi deklarasi PBB tahun 1992 tentang Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa. “Kalau negara ini sehat Presiden SBY­nya sehat cari dulu dimana Yan Apri, Sonny, Suyat, Widji Tukul, dan lain­lain. Mereka itu dimana, dibunuh siapa, kuburannya dimana, inikan harapan keluarga korban dan masyarakat, baru bisa dikatakan ada fungsi dan peran negara telah maksimal,” lanjutnya.

Dalam satu kesempatan Anggota Dewan Penasehat Presiden SBY, Bidang Hukum dan HAM, Albert Hasibuan pernah mengatakan pemerintah sedang mempersiapkan Pengadilan HAM yang diperkirakan a k a n t e r l a k s a n a s e b e l u m pemerintahan berakhir 2014 nanti.

Menko Polhukam Djoko Suyanto didapuk untuk menyiapkan segala persiapan bersama menteri terkait lainnya. “Aturan lengkapnya nanti akan keluar dalam bentuk Keputusan Presiden,” imbuhnya.

Sementara i tu Ombusdman RI menyikapi pengaduan publik dengan menetapkan Presiden telah melakukan maladministrasi atas kasus penghilangan orang secara paksa. Presiden dinilai belum memberikan klarifikasi atas belum terlaksananya empat rekomendasi dari Panitia Khusus Penghilangan Orang Secara Paksa DPR.

Anggota Komisi III dari FPDIP Eva Kusuma Sundari meragukan keseriusan pemerintah menuntaskan permasalan ini apalagi seperti yang diungkap Albert, pembentukan pengadilan HAM ad hoc itu pada akhir masa jabatan Presiden SBY. “Apalagi kalau dia menentukan timing di ujung masa kerja, itu seperti lepas tangan, orang Jawa bilang colong playu, udah kelamaan baru dikerjakan seperti cari aman, karena dibuat pada saat akhir pemerintahan,” paparnya.

Rekomendasi DPR itu menurutnya sudah sejak periode lalu dan sejauh ini pemerintah tidak melakukan apa­apa. Kalau pada akhir masa jabatan ada resiko dan dia tidak mau bertanggung jawab karena sudah pemilu. Presiden yang terpilih nantinya harus berfikir kalau dia mewarisi sesuatu sebagai limpahan tanggung jawab dari pendahulunya. Walaupun kecewa Eva menyatakan akan tetap mendukung apabila pengadi lan HAM ad hoc i tu terbentuk.

“Saya kecewa tapi mendukung kalau itu dilaksanakan pemerintah. Seharusnya pemer intah juga meratifikasi Statuta Roma sebagai b entuk kesungguhan bahwa kejahatan HAM seperti masa lalu tidak boleh terjadi lagi di republik ini. Tidak perlu risau karena penerapan Statuta Roma berlaku ke depan tidak berlaku surut pada kasus­kasus masa lalu,” demikian Eva.

Mungkinkah Reformasi Jilid 2

Sejumlah seminar dan diskusi yang digelar seiring peringatan 15 tahun reformasi. Banyak pihak menyuarakan perlunya reformasi gelombang kedua. Salah satu yang mengemuka adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional yang juga Menko Perekonomian, Hatta Rajasa. Dalam perjalanan 15 tahun itu menurutnya telah banyak perubahan yang dicapai, mulai dari perubahan sistem politik hingga perubahan pembangunan. Namun, patut diakui pula masih banyak kelemahan­kelemahan yang perlu diperbaiki, salah satunya pemerataan pembangunan dan kesejahteraan.

Reformasi gelombang kedua, lanjut pemimpin partai yang lahir di era reformasi ini harus mampu memperbaiki etika politik, yakni oligarki politik oleh para pemilik mo dal . I a mengk hawat i rkan reformasi telah dicaplok tirani pemilik modal yang mengakibatkan terinvasinya demokrasi. Salah satu faktanya adalah mewabahnya politik uang dan modal politik yang begitu besar dalam setiap kali penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Etika politik yang sempit inilah yang terus melanggengkan praktek KKN dalam dunia politik di tanah air.

“Demokrasi kita bukan hanya sekedar cara untuk mencapai kekuasaan, tapi juga tata cara untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan. Kita harus lancarkan reformasi jilid kedua, yaitu politik untuk kesejahteraaan, budaya untuk kesejahteraan, semuanya kita arahkan untuk wujudkan kesejahteraan seluruh elemen bangsa. Kita tidak boleh beralih pada tirani pemilik modal yang m en gak ib at k an te r inv as iny a demokrasi oleh para pemilik modal,” ujar Hatta.

Bagi Desmond, berkaca pada situasi 1998 sulit bagi bangsa ini untuk dapat melahirkan kembali reformasi jilid II. Pada era itu

Page 16: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

16 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

menurutnya terlalu banyak pihak yang memimpikan era Soeharto harus segera berakhir bahkan termasuk kalangan tentara. “Atmosfir untuk terwujudnya revolusi jilid kedua itu sekarang tidak ada. Tidak banyak yang mencatat dulu kita fikir reformasi ini kehebatan mahasiswa, saya fikir tidak. Karena pada saat itu banyak yang bermimpi Soeharto sudah tua, siapa yang menggantikan. Akhirnya kejadianlah, bagi saya

demo sebesar apapun, mahasiswa sebanyak apapun di DPR kalau tentara, pimpinannya tidak mimpi untuk terlibat dalam kekuasaan baru tidak akan terjadi penggulingan Soeharto, ini kita juga harus jujur,” tandasnya.

Apalagi mencermati kondisi d e m o k r a s i b a n g s a s e m a k i n mengedepankan kompromi, sulit untuk mengharapkan reformasi

apalagi revolusi selanjutnya. Satu­satunya yang bisa diharapkan untuk perubahan Indonesia kedepan adalah pelaksanaan Pemilu 2014. Rakyat harus diajak untuk belajar membaca kondisi bangsa saat ini dan kemudian berdasarkan permasalahan itu rakyat memutuskan partai terbaik, dan presiden paling sesuai untuk memimpin perjalanan bangsa 5 tahun ke depan.

“Pemilu 2014, kita serahkan kepada rakyat pilihlah partai yang memang berpihak kepada rakyat, kalau tidak jangan dipilih. Kemudian tokoh yang memang layak dipilih, dalam rangka membawa perubahan itu,” kata wakil rakyat yang pada pemilu nanti bertarung di daerah pemilihan Banten.

Eva Kusuma Sundari menguatkan hal itu. Rakyat diminta cerdas dan jangan terjebak kepentingan sesaat, menerima sogokan beberapa rupiah untuk satu suara yang bisa jadi menentukan. Rakyat kemudian terlibat dalam melahirkan koruptor baru, wakil­wakil mereka yang menjelma menjadi drakula anggaran yang menghisap habis APBN yang seharusnya untuk kepentingan rakyat banyak. “Rakyat harus cerdas menghadapi pemilu, masyarakat perlu mendorong calon pemimpin yang memiliki sikap yang tegas dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, penegakan hukum dan ham,” tegasnya. (iky)

Rekomendasi DPR RI Terkait Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998 Merekomendasikan presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc; Merekomendasikan presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang;

Merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang;

Merekomendasikan pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Page 17: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

17EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Tidak terasa reformasi sebagai titik balik dari era orde baru ke orde kebebasan telah berlangsung 15 tahun. Sebagian berpendapat reformasi gagal, lantaran penghapusan KKN salah satu tuntutannya kini malah semakin meluas. Namun ada juga yang berpandangan, meski belum sepenuhnya berhasil reformasi telah meletakkan tonggak bersejarah bagi kebebasan dan demokratisasi. Berikut petikan pandangan Wakil Ketua DPR Pramono Anung yang juga salah seorang pelaku reformasi.

Pandangan anda setelah 15 tahun reformasi?

Reformasi yang dicetuskan mahasiswa 15 tahun lalu mencakup beberapa tuntutan, diantaranya Adili Soeharto dan kroni­kroninya,

Laksanakan amandemen UUD 45, Penghapusan Dwi Fungsi ABRI, Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas­luasnya, dan Ciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagian sudah dilakukan.

K husus p enghapusan K K N, kelihatanya sekarang lebih banyak, lebih terbuka sebab semua kalangan yang melakukan penyelewengan keuangan negara tersebut bisa terungkap secara luas melalui media masa maupun media sosial.

LAPORAN UTAMA

Proses Konsolidasi dan Pendewasaan Partai Belum Berjalan Baik

WakiL ketUa dPr PraMOnO anUng:

Page 18: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

18 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Di era orde baru bukannya tidak ada korupsi. Korupsi juga terjadi, hanya saja tidak bisa diungkap secara luas seperti sekarang sebab yang lalu sistemnya sangat tertutup. Secara umum demokrasi sudah berjalan dengan sangat baik dan yang paling dirasakan adalah kebebasan pers.

Mestinya parpol di era reformasi m e n j a d i a g e n p e r u b a h a n , komentar anda?

Sistem yang ada sekarang ini masih sangat mahal, bahkan saya mempredisksi pada pemilu 2014 ini biaya politik akan lebih mahal dibanding pemilu 2009 karena rentang waktu yang panjang dimana proses sosialisasi itu hampir setahun. Kemudian juga sistemnya proporsional terbuka dan ini akan mengakibatkan banyak orang berduit masuk kembali ke DPR , tidak lagi bicara semata­mata kualitas, tetapi apapun termasuk masyarakat paham pemilu itu tidak murah karena harus membayar ongkos politik yang semakin tinggi.

Partisipasi masyarakat pemilih ka i t a n nya d e n g a n t i n g ka t pendidikan?

Saya memang menyadari bahwa heterogenitas tingkat pendidikan kita masih beranekaragam. Kalau di Amerika Serikat pemilihnya relatif homogen. Di masyarakat kita ini masih ada orang yang kehidupannya susah sekali dimana kalau ada tawaran uang Rp 50­Rp 100 ribu bisa mengubah pikiran untuk memilih. Tapi ada juga yang kelas menengah yang memilih itu berdasarkan nurani dan pikiran yang jernih. Itu sebagai salah satu faktor.

Untuk mengurangi itu seperti saya katakan di awal tadi, bahwa harus ada perubahan harus ada perbaikan harus ada punishment kepada siapapun yang melakukan pelanggaran terhadap UU Pemilu. Kalau sekarang ini nggak, terjadi politik uang di pilkada, itu nggak s ank s iny a s amp ai kemudian dibatalkan pencalonannya. Paling banter dilakukan pengulangan

pemungutan suara di beberapa TPS yang secara signifikan tidak mempengaruhi suara. Dan tidak menimbulkan efek jera kepada siapapun.

Kalau memang ini terus dibiarkan, maka ke depan semakin banyak tokoh yang terpilih lu lagi lu lagi, karena banyak duit, orang publik figure. Kasihan orang-orang muda yang dari kecil ingin jadi aktivis, ingin jadi politisi tapi tidak kesampaian.

Masuknya aktivis seharusnya menjadi agen perubahan, setelah di DPR atau pemerintahan malah tersangkut korupsi?

Memang ujung tombak dari demokrasi itu partai politik. Saya harus mengatakan secara jujur bahwa proses konsolidasi dan proses pendewasaan dalam partai itu belum semuanya berjalan dengan baik. Hal ini ditandai ketika proses rekrutmen untuk calon anggota legislatif maupun pimpinan di lembaga eksekutif baik walikota, bupati atau gubenur, dimana beberapa partai masih membuka ruang bagi orang luar untuk masuk, walaupun beberapa partai sudah berani mengajukan calon sendiri, termasuk PDI Perjuangan. Bahkan dalam pemilu legislatif ada partai yang secara terbuka mengumumkan kepada publik merekrut masyarakat menjadi caleg, ini menunjukkan bahwa proses kaderisasinya belum berjalan dengan baik.

Kalau proses kader isas inya berjalan dengan baik maka dengan sendirinya kader­kader terbaiklah yang dimilki partai itu sudah cukup banyak. Kenyataannya nggak, ada

partai merekrut dari luar malah mungkin belum membaca AD/ART partai, belum tahu mars partai dan sebagainya.

Kembali pada pertanyaan tadi, apa yang harus dilakukan oleh parpol ke depan dalam system yang seperti ini, maka tuntutan masyarakat ke depan harus bisa dielaborasi oleh partai politik. Diakui masyarakat mengalami euforia , namun hanya sebentar, setelah itu pasti masyarakat akan memilih yang betul­betul berdasarkan keyakinan mereka. Kalau sekarang ini saya melihat masih ada euforia, mungkin memilih wajah yang ganteng, cantik, artis atau orang yang memberi uang.

Tetapi ketika ketidakpuasan itu muncul, lantaran tokoh yang dipilih ternyata tidak bisa memperjuangkan harapan dan keinginan mereka maka masyarakat akan memilih orang berdasarkan apa yang menjadi keinginannya masyarakat sendiri. Jakarta dengan Gubernur Jokowi sebagai contoh kasus, kemudian beberapa daerah lain yang kebetulan dimenangkan oleh kader PDI Perjuangan seperti Jawa Tengah dengan kemenangan Ganjar Pranowo. Masyarakat itu ternyata punya pilihan, nggak selalu memilih yang uangnya banyak, tidak selalu memilih calon yang didukung banyak partai, tetapi masyarakat memilih orang yang diharapkan bisa memenuhi harapannya.

Mau tidak mau kunci keberhasilan partai ke depan kalau mereka sudah mempunyai kaderisasi yang cukup baik, sebab bagi partai yang tidak melakukan kaderisasi maka akan ditinggalkan pemilihnya. Apalagi kalau merekrut hanya menjelang pemilu, yang direkrut publik figure, instan atau sesaat­ ya begitulah, mereka tidak mau kerja politik sebelumnya, maka semakin lama masyarakat juga tidak bisa lagi disodorkan tokoh instan seperti itu.

Saya melihat kuncinya adalah, kalau par tai b isa melakukan

Kalau proses kaderisasinya berjalan dengan baik maka dengan sendirinya kader-

kader terbaiklah yang dimilki partai itu sudah cukup

banyak.

Page 19: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

19EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

kaderisasi maka ini menjadi baik bagi masyarakat untuk menentukan p i l i h a n n y a s e b a b s e k a l i g u s partai tersebut menjalani proses pendewasaan.

Benarkah reformasi bidang hukum gagal karena tajam kebawah tumpul ke atas?

Saya termasuk yang tidak setuju, karena kenyataannya sekarang hampir t idak ada yang t idak tersentuh hukum, apakah menteri, ketua umum partai, anggota DPR, dirjen, gubernur, walikota, bupati semuanya, sehingga sudah tidak ada lagi perdebatan mengenai diskriminasi. Dan orang mengatakan bahwa orang yang terkena persoalan hukum itu harus ada ekskusnya, harus ada justifikasinya.

Tapi kalau saya melihat, sejak keberadaan KPK tahun 2002­2003, perkembangan dari waktu ke waktu menuju ke hal yang lebih baik.

Walaupun belum mengurangi secara kualitas terhadap proses penurunan korupsi, tetapi dengan makin banyak kasus­kasus diungkap, ditangkap dan d is ampaikan ke pub l ik , menurut saya ini adalah positif bagi perkembangan demokrasi, perkembangan pemberantasan korupsi dan law enforcement serta penegakan hukum di negeri ini. Saya melihat sekarang ini jauh lebih baik.

Aktivis yang menggelorakan reformasi bisakah memberi warna baru DPR?

Paling tidak begini, orang yang berlatar belakang aktivis pasti ada self control, ada self defence yang dimiliki masing­masing orang karena mereka apapun punya ikatan dengan masa lalunya ketika menjadi aktivis. Kalau melihat sekarang ini, yang menonjol dari anak­anak muda ini rata­rata dari aktivis, termasuk beberapa publik figur

yang kemudian menonjol seperti Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka, Dedi Gumelar (Miing) dan Tantowi Yahya­ mereka latar belakangnya juga aktivis.

Sehingga kalau saya katakan banyaknya aktivis yang masuk ke lembaga ini, lebih baik. Harusnya lembaga ini diisi lebih banyak orang yang berlatar belakang atau track record aktivis, bisa aktivis kemahasiswaan, keagamaan, bisa organisasi lain, yang jelas makin banyak aktivis yang masuk, akan makin baik.

Capaian bidang ekonomi di era reformasi?

Sejak reformasi dan demokratisasi ada hal prinsip yang terjadi. Kalau dulu ada gonjang­ganjing politik se la lu berdampak ke b idang ekonomi, indeks harga saham jatuh, orang takut berusaha dan macam­macam. Kalau sekarang ini

Page 20: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

20 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

ada struggle politik, ekonominya berjalan biasa saja. Bahkan sekarang ini indeks kita menembus angka 5200, itu merupakan rekor yang cukup luar biasa. Secara makro ekonomi kita harus akui sudah mengalami banyak perbaikan.

M as a lahny a ada d i mik ro, dimana orang­orang yang karena ada kebijakan ekonomi harusnya yang dibawah ini terangkat. Yang dibawah ini disparitasnya makin tinggi, sekarang ini orang yang kaya makin kaya banget dengan sistem di republik ini, sementara orang yang tidak mampu itu belum tertolong sistem yang ada.

Mereka hanya akan ditolong k a l a u ke m u d i a n k a l a u m a u pemilu ada BLSM, BLT ada raskin. Bukan menolak itu, namun yang dipertanyakan kenapa mengadakan program itu tidak setiap waktu, tidak mepet karena mau pemilu ,mau naik BBM. Jadi sistemnya itu belum bisa memperkecil disparitas antara orang kaya dengan orang miskin.

Terus terang kelas menengah makin besar dengan pertumbuhan rata­rata 6,3% ini membuat kelas menengah besar tapi yang dibawah yang sekian persen dan masuk kelompok miskin ini dari situ hanya stagnan, tidak terangkat ke atas. Sementara yang disini mungkin yang menengah sudah keatas, tapi yang dibawah tetap saja disitu. Nah ini yang menjadi persoalan pembangunan ekonomi kita.

Tentang wacana Reformasi Jilid II?

Saya tidak melihat hal itu sebagai hal yang urgen untuk mencuatkan reformasi jilid II karena spirit gerakan reformasi menurut saya sudah tertuangkan dalam banyak aspek. Bahwa masih ada kekurangannya, saya termasuk bersuara keras terhadap kekurangan itu, terutama dalam penegakan hukum termasuk masih adanya nepotisme.

Kemudian orang belum melihat,

jenjang karir itu berdasarkan kapasitas kapabilitas seseorang, tetapi teru­tama di tubuh pemerintahan ini masih ada unsur like and dislike yang terjadi. Menurut saya itu yang harus dihilangkan. Kalau kemudian ada gelombang reformasi jilid II, untuk apa. Menurut saya hanya akan menambah kegaduhan yang tidak akan menimbulkan hal yang

produktif dan efektif bagi bangsa ini.

Kita sudah era bebas, mau ngapain saja kita kan dijamin oleh konstitusi. Bahkan orang perorang mau krirtik Presiden dari kelas apapun sekarang boleh­boleh saja, lalu buat apa kalau ada gelombang reformasi kedua kalau demokrasinya sudah ada, orang boleh berbeda pendapat, boleh berbeda sikap selama masih dalam koridor hukum. Yang saya gembira kalau kita lihat sekarang ini orang itu lebih menyelesaikan semua persoalan dengan hukum.

Misalnya ada dispute terhadap keputusan KPU soal penetapan partai­partai. Sekarang kan nggak ada lagi aksi kekerasan yang menolak dengan anarkis dengan turun ke jalan, tetapi menyelesaikannya d e n g an m e k an i s m e h u k u m , melakukan gugatan ke PTUN dan upaya hukum lainnya. Ini saya kira bagus bagi kehidupan demokrasi.

Banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus hukum?

Mereka tersangkut kasus hukum karena proses pemilukadanya yang mahal, sehingga mereka harus mengembalikan uang yang dipinjam dari pihak ketiga atau dia harus nabung untuk maju lagi periode kedua. Ini menimbulkan biaya yang

makin mahal. Maka dalam konteks ini harus ada perumusan kembali demokrasi kita di bidang pilkada ini.

Sesuai data, jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus hukum bertambah 62 orang pada akhir tahun 2012 menjadi 235 orang, dan bertambah lagi menjadi 293 hingga akhir Mei 2013.

Harus ada perumusan kembali dalam pemilu kada ini yang lebih murah. Dulu, saya termasuk orang yang menolak atau keberatan dengan wacana agar Gubenur dikembalikan pemilihannya oleh DPRD. Namun salah satu upaya agar pemilihan Gubernur lebih murah kembali dipilih oleh DPRD.

Sedangkan untuk pemilihan bupati/walikota, karena otonominya ada di kabupaten/ kotamadya, maka untuk pemilihan Bupati/Walikota tetap dipilih oleh rakyat melalui pemilukada langsung. (mh, iky,mp)

Page 21: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

21EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Usia reformasi sudah 15 tahun. Tidak tampak perubahan yang radikal. Yang terjadi hanya perubahan figur tanpa disertai perubahan nilai. Transisi politik gagal. Reformasi pun gagal. Yang mengerikan lagi, panggung politik nasional dikuasai kartel oligarki. Ada

sekelompok pemodal yang bergerak di belakang layar, menjadi mafia politik, ekonomi, dan hukum. Inilah sedikit cuplikan perbincangan bersama tokoh muda yang juga

pengamat politik Boni Hargens.Parlementaria berhasil menemui­

nya di suatu acara di Jakarta akhir Mei lalu. Kepada Muhammad Husen,

Mastur Prantono, dan fotografer Nae­furoji, ia mengungkapkan ba nyak hal tentang perjalanan reformasi di Tanah Air. Berikut penuturannya:

L ima b e l a s t a hun r e f o r m a s i s u d a h

berjalan. Banyak kalangan kecewa

d e n g a n c a p a i a n

yang ada.

Bagaimana Anda menilainya?

Reformasi ini gagal. Dari aspek waktu, transisi politik yang kita sebut sebagai reformasi itu selalu mengandaikan waktunya singkat. Kita sudah 15 tahun, apa yang kita dapat. Terserah apapun jawaban kita, toh sentimen publik menyebut gagal dan faktanya memang gagal. Hal mana kita gagal, dalam hal substansi demokrasi. Kalau pada aspek prosedur kita sudah berhasil

dengan institusionalisasi yang memadai.

M u n c u l b e g i t u banyak lembaga independen yang m e n d o r o n g t e r c i p t a n y a

DEMOKRASI KITA TANPA RUH

Page 22: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

22 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

pemerintahan yang bersih dan tata pemerintahan yang baik. Kita punya KPK, BPK, Ombudsman, punya pers yang merdeka, masyarakat juga sudah bebas berserikat. Tetapi, kalau bicara substansinya, persoalan ke m i s k i n a n , p e n g a n g g u r a n , ketidakadilan, ini memang masih sangat tinggi. Dan ini mencerminkan pada aspek substansi, kita gagal. Demokrasi pada 15 tahun reformasi politik, tidak berjalan dengan baik.

Perubahan pada 1998 itu, tidak disertai dengan perubahan nilai. Perubahan yang terjadi adalah perubahan figur. Pada pemilu 1999 dan 2004 sama. Mereka yang maju dalam pemilu adalah orang­orang yang besar di era Orde Baru. Maka perubahan politik itu hanya terjadi di permukaan, di level substansinya tidak ada perubahan nilai. Padahal, kalau bicara reformasi maka bicara soal pergeseran nilai dari nilai lama ke nilai baru.

Karena nilai­nilai baru dibentuk dalam format baru, maka disebut reformasi atau pembentukan kembali. Nah, di kita enggak. Pelakunya sama dengan karakter sama. Dibentuk di kultur yang lama, kemudian kita bicara nilai baru atau sebuah sistem yang baru. Jadi, memang bisa dikatakan demokrasi 1998 demokrasi tanpa ruh, karena ruh yang mati 1998 itu, sekarang mati juga karena pelakunya orang lama. Kalau mau bicara yang serius tentang masa depan, maka bicara kepemimpinan. Bukan hanya kepemimpinan, tetapi juga karakter kepemimpinan, kualitas kepemimpinan, dan nilai ­nilai kepemimpinan.

Law enforcement menjadi ti­tik lemah yang disorot publik. Pandangan Anda?

Saya bilang tadi bahwa hanya p emb an gunan ins t i tus i s a ja yang berhasil, tapi tidak disertai pembangunan nilai. Maka, dalam segala aspek termasuk aspek hukum pasti gagal. Yang terjadi dalam penegakan hukum, sebetulnya ada begitu banyak tangan besar dan kuat

di belakang layar, yang tidak pernah tersentuh. Contoh kalau bicara soal kasus Hartarti Murdaya, sebetulnya tidak bicara hanya satu perempuan yang bernama Hartati, itu bicara satu kelompok kepentingan, di mana banyak tangan terlibat dan ada jaringan yang sudah dibangun sekian tahun.

Nah, kemudian kita bicara Hartarti di ranah DPR­nya siapa, orang Hartati yang di kepolisian siapa, di kejaksaan siapa, dan di partai siapa. Begitu Hartati disentuh, seluruh jaringan ini juga tersentuh. Pembelaan terhadap Hartati, pembelaan yang sistemik. Artinya, di situ terjadi pembusukan hukum. P roses p emb usuk an terhadap hukum itu berjalan.

Kenapa misalnya ada tersangka yang sampai sekarang tidak bisa dipenjara. Sebetulnya, ini pekerjaan orang­orang kuat yang berada di belakang layar yang selalu mengatur proses hukum kita. Inilah para mafia hukum. Negara ini, memang, sudah diatur oleh sejumlah tangan orang­orang kuat yang menguasai ranah hukum, politik, dan ekonomi.

Kalau mau dibawa ke paradigma lain, inilah yang sebetulnya kita namai sebagai kartel oligarkis. Oligarki masa lalu yang kemudian berubah bentuk tidak lagi menjadi oligarki, dia menjadi kartel. Kalau oligarki hanya sekelompok orang kaya yang memiliki kapital kuat dan bisa juga mengatur politik. Nah, orang­orang ini mempertahankan kekayaan mereka. Setelah 1998, orang­orang kaya ini kemudian masuk ke kartel politik. Sebagian

menjadi ketua umum par tai, s e b a g i a n m e n j a d i p e n e n t u keputusan partai, dan seterusnya. Lalu, mereka membuat kesepakatan di belakang layar untuk menguasai politik.

Di situ nanti kita bicara koalisi­koalisi yang tidak berbentuk, tidak berdasarkan ideologi. Ada koalisi yang dibangun dengan mengejutkan, tidak ada pondasi ideologisnya. Nah, itu sebetulnya kerja dari kartel. Mereka berupaya untuk mengelompokkan seluruh kekuatan politiknya supaya bisa dikontrol. Kelompok ini kemudian yang mengatur proses hukum, mengatur proses ekonomi, dan politik. Sehingga begitu ada proses hukum yang terkait dengan si A dari grup kartel ini, maka ada orang­orang di berbagai institusi yang membela, di parlemen, partai, pemerintahan, di ranah hukum juga ada.

Lalu bagaimana menyikapi hal ini?

Kita tidak punya mekanisme mengontrol, tidak punya mekanisme menghakimi pelaku politik itu secara langsung. Satu­satunya momen adalah pemilu. Pada saat pemilu kita bisa menentukan memilih si A, partai A, B, dan seterusnya. Dalam situasi seperti ini muncul satu persoalan yang menghambat kebebasan kita, yaitu ketika bicara kandidat, kandidatnya diajukan partai. Kalau partai mengajukan para bandit kita tidak bisa menolak.

Meski pemilu adalah kesempatan m e m i l i h b a g i r a k y at u n t u k menentukan proses politik, tetap saja kebebasan itu terbelenggu oleh otoritas partai, oleh oligarki partai politik. Maka menurut saya, solusi untuk mengatasi hal ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, perlu proses yang panjang. Di situ bicara soal kekuatan civil society. Kita harus melakukan konsolidasi, membangun sebuah iklim demokrasi baru.

Misalnya, kita mengharapkan pers

Saya bilang tadi bahwa hanya pembangunan institusi saja yang berhasil, tapi tidak

disertai pembangunan nilai. Maka, dalam segala

aspek termasuk aspek hukum pasti gagal.

Page 23: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

23EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

yang kritis juga kelas menengah yang kritis, yang bisa melakukan pencerdasan terhadap masyarakat dengan informasi yang akurat. Mencerdasakan melalui analisa­analisa. Dengan begitu, masyarakat jadi cerdas sehingga menjadi subyek yang betul­betul sadar, bisa menentukan siapa yang jadi presiden. Bisa menilai, oh Prabowo begini, oh Megawati begini, SBY begini, sehingga kita punya ruang untuk berubah.

Faktanya selama 15 tahun reformasi, kita seperti tidak punya waktu untuk mendidik masyarakat. Padahal, 15 tahun bukan waktu yang singkat?

Persoalannya masyarakat, kan, subyektif. Sekarang kesalahan siapa? Menurut saya kesalahan kelas menengah. Kelas menengah tidak pernah punya kesadaran ideologis untuk membangun masyarakat. Yang terjadi kelas menengah hanya ingin mengejar kepentinganannya, meningkatkan kelas sosialnya. Jadi, tidak ada oreientasi ke bawah. Looking down tidak ada.

Sekarang siapa kelas menengah dalam konteks ini. Kalau bicara parpol, elit­elit parpol rata­rata isunya tidak ke bawah, isunya ke atas dan rakyat dipakai sebagai simbol untuk melegitimasi isu mereka. Kemudian media masa, sebagian besar mengarah ke industrialisasi sehingga kecerdasan publik tidak jalan. Tapi, fungsi pasarnya jalan. Orang cari iklan, kejar oplah dan segala macam, tidak lagi orientasinya pada pencerdasan politik. Memang ini dilema.

Media massa harus menjadi industri ketika punya kebutuhan modal, butuh untung. Di sisi lain memang ada tanggungjawab sosial kepada masyarakat. Sekarang siapa yang harus mendamaikan dua kepentingan ini. Ini pertanyaannya. Di sini sebetulnya dibutuhkan media ideologis, media yang kritis, media yang secara ideologi konstan, sehingga apapun situasi pasar akan tetap memegang nilai

pencerdasan politik parpol pun tidak punya orientasi untuk membangun masyarakat, tapi untuk membangun kekuasaan.

Ini dua ranah yang sangat berbeda. Merebut kekuasaan orientasinya ve r t i k a l . K a l au m e mb an gun masyarakat orietasinya horizontal dan ke bawah. Bagaimana kita mendesak agen­agen politik seperti ini untuk membangun masyarakat. Ini menjadi pertanyaan retoris karena tidak pernah punya mekanisme untuk memaksa mereka melakukan itu. Sekali lagi yang menghakimi mereka adalah opini publik.

Ada wacana menggelorakan reformasi jilid II. Bagaimana menurut Anda?

Sebetulnya saya enggak setuju dengan istilah reformasi jilid II. Sekali lagi secara teoritis namanya transisi politik selalu bersifat jangka pendek. Maka, tidak boleh lama. Ini 15 tahun sudah kelamaan. Kalau sekarang jilid II makin rumit. Tapi, okelah kita terima terminologi ini sebagai upaya untuk mendefinisikan sebuah keadaan bahwa setelah 15 tahun gagal, kita harus ke keadaan

baru yang lebih baik.

Sekarang apa yang harus kita bangun di sana. Bagaimana mengisi ruang demokrasi ini dengan ruh demokrasi, nilai­nilai yang benar, nilai keadilan, kesejahteraan, kesetaraan. Coba sekarang kita lihat, presiden kita mendapat penghargaan soal kebebasan beragama. Ini kan sebuah paradoks yang luar biasa menggelikan, karena di sini punya persoalan kebebasan agama yang sangat serius. Sebagian orang tidak bisa beribadah dengan baik.

Ada orang yang dibunuh karena lain keyakinan. Ini kita bicara hak asasi, Di mana keberadaan pemerintah, di mana posisi polisi pada saat ini. Lalu, dalam keadaaan seperti ini presiden diberi penghargaan. Ironi yang sangat menggelikan dan sangat menjijikkan. Sekarang proses seperti ini yang harus kita nilai. Orang di luar sana mengatakan demokrasi Anda berhasil. Kita sebetulnya sudah dimanipulasi secara sistemik oleh kekuatan luar.

Coba kita lihat penilaian Freedom House Institute di Washington yang

Page 24: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

24 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

menilai kemajuan demokrasi di seluruh dunia. Indonesia sejak 2006 nilainya bagus, rata­rata selalu 2,5. Itu artinya, kita demokratis penuh. Buat saya, ini agak aneh karena faktanya ada persoalan kemiskinan, p e n g a n g g u r a n , p e n i s t a a n agama, dan kita punya persoalan kr iminalitas, dan sebagainya. Bagaimana bisa dikatakan sebagai negara demokrasi, korupsi politiknya luar biasa.

Menurut saya ada skenario global juga yang mencoba mengangkat dan mengelus­elus kita. karena Indonesia memang pasar yang sangat potensial. Tapi faktanya, demokrasi gagal dan transisi politik juga gagal. Kalau bicara reformasi j i l id I I , k i ta b icara per tama, mengganti figur­figur elit politik lama. Potong generasi. Kedua, kita bicara soal mengisi ruang demokrasi dengan nilai­nilai baru.

Ketika kita bicara KPK, benar­benar sebagai institusi independen yang tugasnya menciptakan the clean government. Independen terhadap parpol, independen terhadap elit

tertentu, independen terhadap presiden, dan independen terhadap DPR. Tidak ada istilah politisasi terhadap KPK. Karena itu kasus apapun harus diungkap tuntas.

Sekarang KPK ini seperti membuat drama Century. Diangkat booming lalu hilang tidak ada orang yang ditangkap. Pemberantasan korupsi kemudian menjadi drama untuk berita politik, sensasi, dan seterusnya, bukan untuk pembangunan kolektif, pembangunan negara. Ini salah satu bukti kegagalan reformasi.

KPK dan MK lahir berkat refor­masi. Tetapi sejauh ini tetap saja belum ada perubahan berarti?

Saya se lalu mel ihat bahwa satu­satunya sebab dari seluruh sistem ini adalah kartel oligarki. Jadi sekelompok orang kaya yang mengambil peran jadi mafia di balik layar, mafia ekonomi, mafia politik, dan mafia hukum. Harus kita ingat hanya segelintir tangan yang mengatur negara ini dan me­reka adalah orang­orang yang punya kewenangan, otoritas, dan punya kapital untuk mendanai siapa pun yang jadi presiden dalam pemilu.

Dan mereka orang­orang yang bisa mengatur pasal­pasal dalam seluruh proses legislasi di parlemen. Mereka adalah orang­orang kuat, maka menurut saya demokrasi diatur bos yang punya power di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Bagaimana kita bisa memahami dan melihat perilaku figur-figur ini. Memang sumir karena mereka ada di balik layar. Tapi, kelihatan dari pola kegiatan politiknya.

Pemberantasan korupsi kemudian menjadi drama

untuk berita politik, sensasi, dan seterusnya, bukan untuk

pembangunan kolektif, pembangunan negara. Ini salah satu bukti kegagalan

reformasi.

Page 25: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

25EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

M i s a l n y a , d a r i p e n e n t u a n 20% presidential threshold. Itu, kan, sebenarnya kehendak kartel. Sebab semakin tinggi threshold semakin sedikit orang yang jadi kandidat presiden.

Semakin sedikit kandidat, semakin efektif pendanaan polit iknya, sehingga dana bisa dibagi rata. Dan para calon presiden pasti pilihan mereka. Begitu terpilih, mereka mengatur. Presiden mengatur siapa yang jadi dirut Pertamina, menjadi komisaris ini­itu, dan sebagainya.

Kita kemarin bicara Petral. Itu memang tujuannya merampok minyak kita dan di situ berkumpul mafia dari parpol. Bukan cerita bohong, semua orang di Petral itu wakil ­wakil parpol. Ketika bicara bubarin Petral, semua orang menelepon, semua wakil partai menelepon soal jatahnya masing­masing. Ini perampokan sistemik. Yang bisa mengubah adalah rakyat sendiri. Pemilu adalah momentum tertinggi dimana kita bisa menentukan siapa yang jadi presiden.

Namun berharap banyak pada pemilu saat ini nampaknya masih sulit?

Ya, karena mayoritas pemilih kita masih pemilih parokial dengan kadar informasi politik yang rendah. Terus juga gampang dimobilisasi dan digiring, serta diintimidasi. Dan di situlah ruang dimana pemilu dianggap tidak begitu penting. Tapi, sekali lagi pesimisme ini kita pinggirkan. Mari kita pikirkan hal yang ideal bahwa rakyat ini bisa membuat pemilu sukses. Kita abaikan seluruh faktor mobilisasi dan intimidasi. Kita ciptakan masyarakat pemilih yang kuat, mandiri, dan punya keberanian.

Soal potong generasi, konkritnya seperti apa?

Potong generasi itu sebetulnya secara natural, melalui regenerasi p o l i t i k da lam tub uh p ar t a i .

Bagaimana ketua umumnya digeser oleh orang baru. Sebenarnya Demokrat sudah mulai dengan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum yang orang muda. Ini orang muda yang secara usia muda. Tapi, karakter berpikir, cara berpolitik, nilai­nilai politiknya lama, karena dibentuk dengan sistem yang lama dan dididik dalam sebuah kultur lama.

Dia menjadi pimpinan partai, dia mengulang praktik­praktik lama. Tapi, kalau kita bicara soal kepemimpinan muda, kita bicara regenerasi nilai dan figur sekaligus. Yang terjadi regenerasi selama ini hanya figur, nilainya enggak. Di sinilah salah satu sumber kemacetan dalam proses transisi.

Terhadap DPR sendiri setelah 15 tahun reformasi, apa yang Anda lihat?

DPR t idak pernah berubah. Kemarin ribut soal absensi. Soal kehadiran harus dikaji dalam dua aspek. Pertama, kehadiran teknis. Kedua, kehadiran substansif. Ke had i r an te k n is b uat s ay a enggak penting. Kalau kehadiran substansif, pertanyaannya adalah DPR pernahkah hadir buat rakyat? Enggak pernah hadir. Bicara legislasi, tidak ada legislasi yang bermutu untuk kehidupan rakyat.

Semua legislasi yang dihasilkan untuk kepentingan politik. Banyak yang hadir tanda tangan, bengong, dan tidur. DPR enggak hadir untuk rakyat. Maka kalau bicara reformasi jilid II, kita bicara DPR yang kritis, yang hadir untuk rakyat, bukan sekadar fisik dan tanda tangan. DPR yang hadir di setiap persoalan dan menjawab setiap persoalan. Makanya, parpol harus merekrut orang­orang yang benar.

Kontrol media kepada mereka harus kuat. Seluruh gerak anggota DPR harus dikontrol. Kalau perlu di ruang sidang di ­shoot lalu dipublikasikan. Kalau lebih banyak keluar ketemu selingkuhannya juga

kita shoot, lalu dibuka ke publik. Ini proses­proses pembelajaran sosial yang memang berjalan secara natural.

Sekitar 90,5% wajah lama maju lagi sebagai caleg. Pendapat Anda?

Kita pernah buat r i l is yang mencerminkan karakter DPR 2015. Kenapa, karena 90,5% wajah lama. Peluang untuk menang juga 90%, karena sudah menguasai jaringan politik yang ada. Menguasai sumber daya seperti uang. Peluang untuk menang jauh lebih besar ketimbang orang­orang baru. Karena itu, 2015 akan diisi orang­orang lama juga. Kalau diisi orang lama karakternya pasti akan sama juga. Maka tidak akan ada perubahan.

Kini banyak aktivis mencalonkan diri menjadi anggota DPR pada Pemilu 2014. Apakah mereka mampu merubah wajah DPR?

Aktivis yang masuk adalah orang yang mengikuti sistem lama dan mengamini keadaan itu. Kalau enggak mengamini situasi itu, enggak mungkin jadi caleg. Jadi, saya enggak bisa berharap banyak. Saya enggak percaya pada aktivis yang masuk parlemen. Kawan saya Budiman Sujatmiko sudah terbukti. Pius Lustrilanang apa? Ini menjadi dilema kita. Kalau para aktivis masuk ke parlemen terus berubah keadaan? Tidak, ini semua persoalan sistemik.

Menurut saya, hari ini Anda masuk parpol, hari ini masuk ke parlemen, Anda pasti rusak karena sistemnya tidak siap. Makanya saya enggak pernah masuk ke parpol. Masalahnya keadaan sistem itu tidak siap untuk membuat figur-figur yang benar itu tetap benar dalam sistem. Orang benar, masuk ke sistem itu menjadi rusak. Maka saya enggak percaya masuknya aktivis ke parlemen, enggak akan ada perubahan. Dalam bahasa awam, mati saja dulu elit­elit yang sudah tua, baru kita bicara soal perubahan. (mh, mp)

Page 26: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

26 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Politik Masih Diterjemahkan Merebut Kekuasaan

LAPORAN UTAMA

Inilah cuplikan perbincangan eksklusif Parlementaria dengan Ketua Partai Keadilan dan Persatuan

Indonesia (PKPI) Sutiyoso di DPP PKPI, akhir Mei lalu. Kepada Muhammad Husen dari Parlementaria, Sutiyoso memaparkan banyak hal yang harus dilakukan menanggapi 15 tahun jalannya reformasi di Indonesia. Dari mulai politik, hukum, ekonomi, hingga ideologi jadi perbincangan menarik. Visinya bagaimana membangun Indonesia ke depan dan menciptakan kemandirian bangsa mengemuka dengan jelas.

Sebagai mantan gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso merasakan betul buah reformasi. Hanya Provinsi DKI yang menerima desentralisasi alias otonomi daerah (Otda). Di daerah lain, Otda turun ke kabupaten/kota. Saat memimpin Jakarta, Sutiyoso membenahi Ibu Kota dengan semangat reformasi, mengikuti arus perubahan

yang terjadi waktu itu. Namun, faktanya otonomi masih setengah hati.

Banyak kewenangan p emer int ah pusat d i departemen­departemen tidak sepenuhnya diberikan kepada Pemprov DKI. Padahal, reformasi sudah bergulir. Contohnya, kewenangan mengelola pelabuhan masih diambil pemerintah pusat. Harusnya sudah berada di tangan gubernur DKI. “Kenapa enggan menurunkan kewenangan? Macam­macam alasannya. Kalau menurut saya latar belakangnya uang,” ungkap Sutiyoso.

Sebagai pemimpin partai, ia coba mencermati perkembangan mutakhir reformasi di Tanah Air dengan visinya. Partai yang dipimpinya merupakan gabungan partai­partai kecil di luar parlemen. Pada Pemilu 2014, PKPI telah diakui menjadi salah satu peserta

Sentralistik pergi, desentralistik datang. Inilah yang terjadi pada era reformasi di Tanah Air. Kewenangan politik dan kekuasaan banyak diturunkan hingga ke pemerintah tingkat kabupaten/kota. Era otoritarianisme jadi masa lalu dan demokrasi berkibar luas mewarnai panggung politik nasional. Muncullah wajah para politisi baru seiring reformasi yang bergulir.

sUtiyOsO, ketUa PkPi

Page 27: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

27EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Pemilu. Para calegnya pun diminta menandatangani kontrak dengan konstituennya masing­masing, agar menjadi wakil rakyat yang betul­betul terpercaya dan pantas duduk di Senayan.

Politik dan Hukum

Gaya kepemimpinan Orde Baru, memang, otoriter. Memasuki era reformasi, gaya kepemimpinan menjadi egaliter. Kebebasan luar biasa diberikan oleh negara kepada warganya. Pers, ormas, parpol, tumbuh berkembang menemukan kebebasannya. Di tengah kebebasan itu, ada pula yang kebablasan. Bang Yos, begitu ia akrab disapa, pernah menjadi korban kebebasan pers di era reformasi.

Ia pernah digosipkan dekat dengan selebritas dan memberi rumah di Sentul. Padahal, tak ada bukti apa pun untuk itu. “Pers seperti itu kalau ditanggapi akan menjadi­jadi,” tandas Sutiyoso. Inilah pentingnya merenungkan kembali semangat reformasi. Di b idang pol it ik , demokrasi masih diterjemahkan terlalu sederhana: berbuat apa pun boleh. Ini karena tingkat pendidikan mayoritas masyarakat Indonesia masih rendah.

“Demokrasi yang sudah ratusan tahun umurnya hanya di Amerika. Hukum itu ditegakkan luar biasa dan konsisten. Sehingga orang pun takut melawan hukum. Sebaliknya, d i n e g a r a k i t a , d e m o k r a s i diterjemahkan apa pun boleh. Suka kebablasan. Itu karena hukum tidak ditegakkan. Daya pikir masyarakat kita belum seperti di Amerika yang educated,” papar Sutiyoso.

Repotnya, pada masyarakat yang tidak terdidik, kerap menanggapi sesuatu dengan tidak rasional. “Bisa saya katakan, di Indonesia apa pun boleh asal dilakukan secara berjamaah. Ramai­ramai menjarah rumah orang­orang Tionghoa. Mereka, kan, masyarakat kita. Sampai investasi pengolahan sampah yang modern yang kita tiru dari negara­negara maju di Bojong,

Bogor, malah dijarah dan dibakar. Yang mimpin justru LSM lingkungan hidup. Aneh bin ajaib. Aparat juga tidak berdaya.”

Demokrasi yang kebablasan membuat penegakan hukum juga menjadi lemah. Ironisnya lagi, pada usia 15 tahun reformasi ini, korupsi menggeliat. Departemen­departemen dikorup oleh para politisi. Cuma Kementerian PU saja, kata Sutiyoso, yang belum diketahui,

jadi lahan jarahan parpol mana. “Sistem setengah hati menjadikan duit pemerintah jadi jarahan parpol­parpol. Inilah yang dilakukan para politisi Senayan,” tutur Sutiyoso.

Menurut Sut iyoso, di masa r e fo r m as i i n i , b a ny a k l a h i r politisi kagetan. Setelah terpilih

menjadi anggota DPR mereka kaget mendapat fasilitas mewah dari negara. Kemudian mulailah mereka tergoda ingin memenuhi kebutuhannya dengan membeli mobil untuk dirinya, untuk isterinya, dan anak­anaknya. Kebutuhan hidupnya mulai meningkat. Dan gaji yang legal tidak lagi mencukupi kebutuhannya. Akhirnya, mencari yang tidak halal sekaligus untuk mengembalikan modal politiknya selama kampanye Pemilu lalu.

Kasus korupsi yang membelit para politisi Senayan memperlihatkan keterkaitannya dengan fakta di atas. Belum lagi korupsi yang dilakukan para penyelenggara negara di eksekutif maupun yudikatif yang juga marak. “Pemberantasan korupsi persoalannya pada keteladanan. Peluang korupsi harus kita cegah

Page 28: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

28 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

LAPORAN UTAMA

sedini mungkin. Ada tindakan­tindakan preventif, tetapi yang refresif juga tetap dijalankan,” jelas Sutiyoso.

Nah, berbanding lurus dengan reformasi politik, reformasi hukum juga perlu dilakukan secara massif. Kapolri dan Jaksa Agung bila tidak cakap memimpin penegakan hukum segera dicopot. Hukum jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah. “Pemimpin harus tega dalam hal­hal seperti itu. Jangan ada ewuh pakewuh, tidak bagus,” katanya.

Paradigma berpol i t ik se jak reformasi seakan­akan hanya bagaimana merebut kekuasaan di legislatif dan eksekutif. Setelah duduk menjadi penguasa, yang dipik irkan hanya dir inya dan kelompoknya (partai). “Jadi, mindset inilah yang harus dirubah. Berpolitik bukan seperti itu. Berpolitik itu mulia. Kita duduk dipilih oleh masyarakat. Setelah duduk itu, konstituen yang harus dipikirkan,” kilah Sutiyoso.

Pada usia 15 tahun reformasi, lanjut mantan Pangdam Jaya ini, kepercayaan kepada Parpol sudah di titik nadir. “Ini sangat merugikan demokrasi. Pemilu belum bisa dikatakan berhasil. Dikatakan berhasil, bila partisipasi masyarakat sangat besar.” Inilah fakta yang terjadi terakhir di bidang politik.

Ideologi

D i b i dan g i de o l o g i , p ap ar Sutiyoso, bangsa ini juga nyaris kehilangan arah. Di era reformasi ini kita perlu kembali merefleksikan Pancasila sebagai way of life. Lima sila tidak bisa dipisah­pisahkan. Sila pertama, toleransi terhadap agama itu harus dijunjung tinggi. Yang terjadi sekarang malah tidak ada. Sila kedua, pelanggaran HAM masih kerap terjadi. Termasuk pelanggaran HAM terhadap para buruh.

M asuk da l am ko nte k s in i , keb i jak an out sourc ing y an g harusnya sudah tak ada lagi di dunia ketenagakerjaan. Itu tidak manusiawi. Kebijakan perusahaan­

perusahaan nasional merekrut pekerja outsourcing, karena bisa dibayar murah dan menghasilkan keuntungan besar. Padahal, di luar negeri pegawainya dibayar mahal dan tetap menghasilkan keuntungan besar. “Outsourcing sudah tidak zamannya lagi,” kata Sutiyoso.

Sila ketiga, bangsa ini masih enggan bersatu, karena keadilan belum tampak. Bila keadilan belum hadir, biasanya manusia mencari jalan sendiri­sendiri. Akhirnya, terjadilah dominasi hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang berkuasa. “Artinya, selama 15 tahun terakhir ini, belum terlihat Pancasila menjadi way of l i fe. Sekarang sangat individualis. Itu bukan budaya yang mau kita kembangkan,” tegas Sutiyoso.

Sila keempat, pemilihan kepala daerah mestinya bisa dipilih kembali o leh DPRD. I tulah demokrasi Pancasi la. Memilih pemimpin sebaiknya tidak lewat poting. “Poting bukan ditabukan. Poting adalah jalan terakhir, karena musyawarah adalah jalan kita.” Sila kelima, di sini yang kita sorot adalah keadilan ekonomi dan akses kesehatan bagi warga. Yang kaya bisa berobat ke Singapura dan Australia. Yang miskin berobat ke puskesmas saja masih susah.

Menurut Sutiyoso, Pancasila belum dijalankan dengan baik. Pasca­reformasi kita justru meninggalkan Pancasila. Itu semua lantaran kita alergi dengan P4. P4 itu, wahana untuk menyosialisasikan Pancasila. “Kalau tidak setuju dengan P4, mari kita ganti metodenya,” kilahnya. Akibat meninggalkan ideologi itu, kehidupan masyarakat mengarah ke kehidupan yang materialistis. Itu kehidupan di negara liberal. Dan bukan itu yang kita kembangkan.

Ekonomi

Pengelolaan sumber daya alam (SDA) kita harus dikembalikan ke UUD Pasal 33. Bumi dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai negara untuk sebesar­besarnya kesejahteraan rakyat. “Apakah

pelaksanaanya seperti itu? Ternyata dikuasai asing. Kontraknya gila­gilaan 30 tahun atau 50 tahun.” Selama itu kekayaan alam kita disedot habis­habisan lalu dibawa ke luar negeri.”

Kita tidak tahu apa saja kandungan yang ada di dalam perut bumi Indonesia. Kontraknya menggali emas. Lalu, bila ada platinum yang lebih mahal di dalamnya, kita tak pernah tahu. “Apakah sudah wajar pembagian keuntungannya? Jawabnya pasti belum. Minyak dan komponen komunikasi juga dikuasai asing semua. Inilah yang harus kita luruskan kembali.”

Aturan kontrak bisa kita atur kembali, lanjut Sutiyoso menyikapi ketidakadilan di bidang pengelolaan sumber daya alam nasional . Menurut Sutiyoso, dalam kontrak pengelolaan SDA selalu ada klausul yang menyatakan, bi la salah satu pihak dirugikan, maka bisa dinegosiasikan lagi. “Kenapa kita tidak mau negosiasi lagi? Ini kan permainan intelijen.”

Sutiyoso lalu memberi contoh ketika dirinya memimpin Jakarta. Ada 2 perusahaan asing yang mengelola air bersih di Jakarta. MoU­nya sudah ditandatangani sejak zaman Gubernur Suryadi yang digantikannya. Di wilayah barat Jakarta, pengelolaan air bersih diserahkan ke perusahaan milik Inggris. Sedangkan di timur dikelola Prancis. Sutiyoso lalu ingin melihat kontraknya kembali, apakah ada yang merugikan.

“Ternyata ada 10 poin yang tidak fair. Saya datang ke London, ke markas perusahaan air itu. Saya berangkat dari Jakarta dengan tim. Saya katakan, ini Anda mengakali saya. Saya minta rubah. Kenaikan tarif air yang per kwartal itu, tidak saya naikkan. Jadi, saya meyakini kontrak Freeport itu juga tetap bisa dikoreksi. Persoalanya karena t idak ada polit ical will saja,” ungkap Sutiyoso, tegas. Intinya, kebijakan pokok ekonomi itu harus menguntungkan masyarakat. (mh)

Page 29: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

29EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

LAPORAN UTAMA

Membicarakan kembali gerakan reformasi tidak bisa lepas ingatan kita pada peristiwa yang sangat bersejarah dimana ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR-RI Senayan, Jakarta pada 19 Mei 1998. Peristiwa ini bisa disebut sebagai puncak gerakan reformasi yang didengungkan untuk menggulingkan Presiden Soeharto.

Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 memilih Soeharto dan B.J. Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998­2003, dilanjutkan pembentukan dan pelantikan Kabinet Pembangunan VII.

Mei 1998. Para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut penurunan harga barang­barang kebutuhan pokok (sembako), penghapusan KKN, dan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan.

Terjadi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga tewas dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka­luka. Kematian empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan kampus untuk menggelar demonstrasi secara besar­besaran.

Di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan sehingga kegiat an mas y ar akat mengalami kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan isinya dijarah, bahkan ratusan orang mati terbakar.

12 Mei 1998

13-14Mei 1998

19Mei 1998

20Mei 1998

21Mei 1998

Kronologi gerakan reformasi 1998:

Terbukti, begitu Presiden Soeharto menyatakan berhenti pada tanggal 21 Mei 1998, ribuan mahasiswa yang tengah menggelar demo di DPR langsung menceburkan diri ke dalam kolam air mancur yang terletak di halaman Gedung DPR sebagai tanda syukur bahwa salah satu tuntutannya berhasil. Untuk mengenang

kembali gerakan reformasi tersebut berikut kronologis kejadian pada Mei 1998.

Para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung MPR/DPR.

Pada saat yang bersamaan, ti dak kurang dari satu juta manusia ber kum pul di alun­alun utara Kera ton Yogyakarta untuk meng hadiri pisowanan agung, guna mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VII.

Tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai p impinan MPR /DPR mengeluarkan pernyataan berisi ‘anjuran’ agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Presiden Soeharto mengundang tokoh­tokoh agama dan tokoh­tokoh masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto.

Pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden S o ehar to meny at akan b erhent i / meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Soeharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.

Page 30: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

30 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Mohammad Najib Bangun, Ketua BEM UNDIP Semarang

Reformasi Ini GagalSaya kira bukan

hanya mahasiswa, s e l u r u h r a k y a t Indonesia berharap agar dari masa ke masa kita melakukan sebuah perubahan. Dan perubahan itu ke arah yang lebih baik lagi. Semangat r e f o r m a s i y a n g dulu ada, saya kira semangat perubahan ke arah kebaikan. Tapi, toh, kita lihat hari ini, ternyata

perbaikan i tu tak kunjung datang di negeri ini. Artinya, semangat yang ada dulu itu menjadi sia­sia. Apakah ada kemajuan signifikan pada perbaikan bangsa? Tidak.

Inilah kenapa kita mengatakan bahwa reformasi ini gagal. Kalau saya mau mengaitkan ke KPK, kita lihat KPK ini dibuat untuk memberantas korupsi. Tapi, sekarang ngurusin Century saja enggak kelar­kelar. Dipanggil juga tidak kooperatif. Kan, jadi ragu kita. Apakah benar ini niatnya mau memberantas korupsi. Kadang yang kita lihat hanya kemasan manis saja atau perubahah nama, tapi tidak ada perubahan signifikan. (mh)

Ibnu Rusd, Ketua BEM STEI SEBI Jakarta

Ada Politik “Skizofrenia”Melihat demokrasi ke

depan, saya menyorot dari 2 hal: pertama, kita bisa spesifikkan masalah KPK. KPK yang diharapkan progresif memberantas korupsi di era reformasi ini, ternyata justru jadi pengkhianat reformasi. Dengan kinerjanya, jargon­jargonnya yang independen, pro rakyat dalam memberantas

korupsi, sampai sekarang justru masyarakat melihatnya dengan sebelah mata. KPK dianggap remeh.

Kedua, untuk dunia politik, saya rasa ada politik “skizofrenia” yang semakin mengakar, bahkan menjadi­jadi. Politik hanya untuk mengedepankan kepentingan golongan. Hingga akhirnya tidak ada musyawarah kebersamaan yang benar­benar pro rakyat. Dan mereka tahu ini salah.(mh)

Mushlab, Ketua BEM PNJ Jakarta

Tuntaskan Kasus CenturyR e f o r m a s i b e l u m

menghasilkan perubahan yang signifikan untuk b a n g s a i n i . S e t e l a h r e f o r m a s i , m u n c u l lembaga­lembaga baru seperti KPK. Dari kinerja d a n f u n g s i ny a , K P K sangat tidak maksimal dan tidak sesuai dengan yang kita harapkan dalam memberantas korupsi. Yang kami inginkan dari 15 tahun reformasi ini, segera tuntaskan kasus Century dan kita kembalikan semangat kebersamaan. (mh))

Whan, BEM IPB Bogor

Jalankan 6 Visi Reformasi

Yan g har us d i l ihat dari reformasi ini adalah semangatnya terlebih dulu. Semangat yang d ibawa abang ­abang kami di tahun 1998. En am v i s i re fo r m as i ternyata tidak merubah negara ini dengan cukup signifikan. Enam visi ini semua keluar jalur. Salah satunya pemberantasan korupsi. Sampai saat ini

kita melihat hanya membuahkan lembaga superbody bernama KPK dengan fungsi yang diharapkan begitu besar, nyatanya kecil.

Page 31: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

31EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Lembaga hasil reformasi tersebut sampai saat ini nangani kasus Century enggak beres­beres. kasus lainnya seperti BLBI juga belum terungkap. Supremasi hukum saat ini tetap tumpul bagi penguasa dan tajam bagi masyarakat kecil. Bagaimana mungkin anak kecil mencuri sandal dihukum, korupsi dihukum ringan. Kami juga sangat menyayangkan nyawa abang­abang kami dalam tragedi Semanggi dan trisakti. Kalau mau merubah bangsa ini, jalankan 6 visi reformasi. (mh)

Sarbini, Pelaku Gerakan Reformasi/Mantan Ketua Senat UNTAG Jakarta

Reformasi Bukan Gagal, Tapi Salah Urus

Saya salah satu bagian dari mahasiswa penggerak reformasi, tidak mengira akan secepat itu gerakan ini mewabah hampir ke seluruh pelosok negeri. Isu KKN dan turunkan Suharto terdengar membahana pada setiap aksi demontrasi. Tidak terbersit di pikiran kawan­kawan mahasiswa waktu itu akan mendapat pujian setelah berhasil menumbangkan rezim Suharto. Pascareformasi, kami juga tak mengira akan mendapat cemoohan, karena reformasi dianggap gagal akibat mahasiswa. Bahkan ada yang mengatakan, kondisi saat ini lebih buruk daripada era rezim Suharto.

Saat bergerak mahasiswa tidak pernah membawa tema reformasi. Yang santer terdengar justru revolusi. Kami juga tidak tahu, dari mana dan siapa yang “menyusupkan” kata reformasi ke gerakan mahasiswa waktu itu. Terlepas dari mana munculnya, mahasiswa hanya merasakan adanya represifitas kekuasaan masuk ke kampus­kampus. Kampus yang memiliki kebebasan mimbar dan berpendapat sesuai kapasitas keilmuannya, justru dibungkam oleh birokrat kampus sendiri dengan alasan “menjaga stabilitas”.

Mahasiswa tentu tidak diam. Dihambat di kampus, mereka melakukan gerakan kritis dengan berdiskusi lintas kampus dan saling bertukar informasi tentang kondisi mutakhir negeri ini. Kelompok diskusi kritis menjamur dan konsolidasi mahasiswa terbangun di kota­kota besar. Benih­benih perlawanan mulai tumbuh, kelompok­kelompok kritis bermunculan, dan bahkan ada gerakan oposisi terhadap pemerintah.

Tahun 1997, krisis ekonomi global tiba pula di Indonesia

dan menghempas semua pondasi ekonomi kita. Harga dollar melangit dan sembilan bahan pokok melejit. Hampir semua keluarga mahasiswa yang sebagian besar kelas menengah ke bawah, kena dampaknya dari krisis ekonomi itu. Kami sampai pada titik kesimpulan bahwa rapuhnya bangunan ekonomi disebabkan menjamurnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Penguasa hanya membangun fisik dengan fondasi otoritarian dan KKN. Ujung sumber masalahnya teridentifikasi, yaitu kekuasaan yang terlalu lama dan tersentralistis. Maka gerakan anti­KKN dan melawan kekuasaan yang otoriter semakin masif. Isu KKN dan jatuhkan rezim Orba adalah isu yang paling populis bagi rakyat. KKN harus dibasmi, Suharto sebagai presiden harus turun, kekuasaan harus dibatasi, dan sentralitas kekuasaan juga harus dikurangi.

Ketika Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, bermunculan media massa dan partai politik baru. Para elit mulai berebut kekuasaan dan bagi­bagi kue reformasi. Di mana mahasiswa? Mereka pulang ke kampus masing­masing untuk melanjutkan kuliah. Hanya sebagian kecil saja yang tetap protes di jalan, karena penguasa baru tetap menjadi bagian dari Suharto dan kaki tangannya. Gerakan mahasiswa perlahan tapi pasti menurun intensitasnya dan digantikan oleh para elit yang mengaku reformis yang sebagian besar mendirikan partai politik.

Gerakan mahasiswa akhirnya diambil oleh kekuatan partai politik dan mahasiswa tetap di luar. Kekuasaan terus berganti, namun kondisi tidak semakin baik, bahkan mungkin memburuk. Ketika kondisi negara memburuk, mengapa para mahasiswa pelaku gerakan reformasi ‘98 yang disalahkan? Bukankah mereka kembali ke kampus dan tidak masuk bagian dari kekuasaan? Kalau kita melihat perspektif reformasi dalam konteks kekuasaan, mungkin ada benarnya dinilai gagal. Karena penguasa yang lahir di ere reformasi tidak menghasilkan sesuatu yang membuat Indonesia semakin baik.

Para elit politik tidak mampu menyusun formasi baru dalam kekuasaan yang membawa Indonesia pada cita­cita yang diharapkan oleh rakyat dan gerakan mahasiswa. Yang terlihat malah perebutan kekuasaan mengatasnamakan reformasi. Korupsi bukan saja di bawah meja tapi sudah di atas meja, bahkan di tempat dan di kantor penegak hukum. Kolusi sudah menjadi tontonan yang kasat mata. Bahkan, mereka masih bisa tersenyum dan tertawa ketika menggunakan baju kebesaran “Tahanan KPK”.

Nepotisme sudah merambah dari hulu sampai hilir. Dua pertiga pejabat publik, baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif terjerat kasus KKN yang akhirnya menjadi urusan KPK. Sebaliknya, kalau kita melihat reformasi dalam konteks gerakan, justru berhasil. Itu dibuktikan dengan jatuhnya rezim otoritarian ORBA, menjamurnya

Page 32: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

media massa baru yang ketika ORBA dihantui pembredelan, bermunculan partai­partai politik yang ketika ORBA diharamkan, kebebasan berpendapat menemukan tempatnya yang di masa ORBA dibungkam, dan masih banyak contoh lain yang di masa ORBA tabu dan haram saat ini bebas dilakukan.

Jadi, kalau reformasi dianggap gagal di tangan elit masa kini, ada benarnya. Namun, bila reformasi gagal karena mahasiswa, itu menjadi pertanyaan besar. Ingat, mayoritas penggerak reformasi masih di luar dan belum mengambil alih peran kekuasaan. Zaman Suharto buruk, lalu saat ini dianggap lebih buruk, bukan berarti kita harus kembali ke era Suharto. Kami tidak mau era Suharto kembali terulang. Namun, kami juga tidak mau hari ini lebih buruk. Reformasi bukan gagal, tapi masih salah urus dan salah orang. (mh)

Ubedilah BadrunPelaku Gerakan Reformasi/Mantan Ketua Senat IKIP (UNJ) Jakarta

Aktivis ’98 Tidak Diapresiasi

Mimpi besar gerakan ‘98 sesungguhnya adalah mengembalikan jalannya n e g a r a p a d a t r a c k yang sebenarnya, agar Indonesia menjadi negara yang tidak korup, tidak diktator, tidak militeristik. Tetapi menjadi negara yang berdaulat secara politik melalui demokrasi khas Indonesia. Berdaulat secara ekonomi melalui implement as i s i s tem e k o n o m i b e r d a s a r pasal 33 UUD 1945. Berdaulat di bidang kebudayaan melalui desain kebudayaan nasional dengan instrumen lembaga pendidikan yang mencerdaskan dan mampu membangun peradaban bangsa.

Tuntutan pemberhentian Presiden Soeharto, pemberantasan KKN, mengadili pelanggaran HAM, pencabutan dwi fungsi ABRI, dan demokratisasi adalah agenda populer gerakan ‘98 saat itu sebagai agenda jangka pendek. Ketika rezim Soeharto jatuh, para aktivis 98 kembali ke kampus dan setelah lulus kuliah mereka menjalani profesinya masing masing, ada yang berprofesi sebagai peneliti, bekerja di perbankan, menjadi pebisnis, akademisi, advokat, jurnalis, bergerak di LSM dan ada sedikit yang mencoba masuk arena

politik.

Hampir dipastikan selama 15 tahun pasca­jatuhnya Soeharto sampai hari ini tidak ada satupun aktivis 98 yang menduduki posisi strategis negara. Aktivis 98 tidak diapresiasi oleh elit politik baru. Oleh karenanya pasca­jatuhnya Soeharto tidak ada pengawalan langsung oleh aktivis yang masuk dalam struktur kekuasaan. Sepanjang 15 tahun terakhir ini, jalannya negara dikuasai elit politik baru yang cenderung mengkhianati agenda gerakan ‘98. Elit politik baru lebih asyik bermesraan dengan “gedung putih” dibanding rakyatnya sendiri.

Tidak ada kegagalan dari gerakan ’98, karena gerakan ‘98 sesungguhnya telah berhasil meletakkan fondasi perubahan memasuki episode ke­5 setelah 1908, 1928, 1945, dan 1966. Gerakan ‘98 telah berhasil menghentikan rezim korup dan diktator. Tetapi yang membuat jalannya negara keliru setelah ‘98 adalah elit politik baru yang tidak berpegang teguh pada agenda substansi gerakan ‘98. Gerakan 98 dikhianati elit politik baru selama 15 tahun.

Fakta keterkaitan masyarakat dengan kekuasaan sepanjang 15 tahun juga diwarnai perilaku korup, baik dari sisi masyarakat maupun dari sisi elit politiknya. Misalnya, mencermati sejumlah kasus Pemilukada sejak 2007, hampir seluruhnya melakukan politik transaksional dengan masyarakat. Yang terjadi bukan politik relasional yang menumbuhkan relasi yang sehat dalam membangun demokrasi.

Manifestasi yang paling mencolok dari korupsi politik pada saat pemilu adalah menyuap pemilih secara langsung. Praktik korupsi bisa terjadi pada dua sisi. Sisi pertama, antara partai politik dan kandidat dengan penyumbang, sedangkan sisi kedua, partai politik dan kandidat dengan penyelenggara pemilihan dan pemilih. Praktik politik yang berbiaya mahal dan korup tersebut juga menghasilkan pemimpin yang justru seringkali keberadaanya seperti ketua sebuah gerombolan, bukan seorang pemimpin tetapi seperti ketua kelompok atau gank.

Sementara secara ekonomi­politik sepanjang rezim baru pasca­1998 sampai saat ini Indonesia terus mengalami peningkatan jumlah utang yang memprihatinkan. Sampai saat ini Indonesia dililit utang hingga Rp 2.200 triliun atau 251,200 juta dollar Amerika Serikat. Tren peningkatan utang swasta memiliki risiko pembalikan yang dapat memicu instabilitas ekonomi Indonesia. Bunga utang dan cicilan utang pokok yang harus ditanggung oleh pemerintah dan swasta men­capai 169,118 juta dollar AS atau sekitar Rp 1.620 trilun lebih.

Secara ekonomi­politik Republik ini juga dikuasai asing. Pihak asing menguasai sektor ekonomi kita antara 50,6% sampai 75%, seperti perbankan hingga

32 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

LAPORAN UTAMA

Page 33: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

pertambangan dan gas. Dalam situasi politik ekonomi yang sangat bergantung pada pihak asing itu, kondisi perilaku birokrasi kita juga korup. Pada 4 oktober 2011 lalu dalam laporan ikhtisar hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan pada sidang paripurna DPR, ditemukan bahwa sejak tahun 2003 hingga semester I 2011 terjadi 305 dugaan kasus tindak pidana korupsi.

Total kerugian negara dalam 305 kasus tersebut mencapai lebih dari Rp 33 triliun. Survey Transparency International yang disebarkan kembali Transparency Indonesia, Kamis (1/12/2011) mengukur tingkat korupsi dari 183 negara dengan rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, di mana 0 berarti sangat korup, dan 10 sangat bersih dari korupsi. Tahun 2011 skor Indonesia dalam CPI adalah 3.0. Skor yang menggambarkan tingginya tingkat korupsi di Indonesia.

Baru­baru ini BPK juga menemukan penyelewengan anggaran perjalanan dinas sebesar 30­40 persen dari biaya perjalanan dinas Rp 18 triliun selama setahun. Ini merupakan indikasi perampokan uang rakyat. BPK juga menemukan kerugian negara Rp 13,25 Triliun di sektor pertambangan (Managementdaily.co.id, 3 April 2012). Temuan Badan Pemeriksa Keuangan mengindikasikan bahwa perampokan uang rakyat terjadi merata di semua instansi pemerintah.

Dari segi penegakan hukum dalam kasus­kasus besar korupsi juga tak kunjung usai. Skandal besar mega korupsi BLBI yang rugikan negara. Negara sampai saat ini masih membayar bunga subsidi BLBI sekitar Rp 60 triliun per tahun, bahkan akan berlangsung sampai 20

tahun mendatang. Kasusnya tak kunjung usai. Skandal besar lainya bailout Bank Century juga tak kunjung jelas juntrungannya yang menggarong uang negara hingga Rp 6,7 triliyun sampai saat ini tidak jelas siapa aktor di balik kejahatan kerah putih ini.

Dengan data­data di atas secara umum rezim sepanjang 15 tahun terakhir ini tidak memihak pada kepentingan nasional. Sebenarnya solusinya sederhana, yakni secara ekonomi harus melakukan penghematan nasional, penegakan pemungutan pajak, penghentian illegal loging dan ilegal transaksi minyak di laut lepas. Dari segi hukum penegakan hukum dan pemberantasan korupsi harus dilakukan tidak tebang pilih seperti saat ini.

Bahkan perlu juga diusulkan untuk hukuman mati bagi para koruptor kelas kakap. Secara poitik perlu kembali pada model demokrasi khas Indonesia yang tidak berbiaya mahal tetapi berkualitas, memadukan perspektif politik modern dan politik asli Indonesia. Sektor sektor yang dikuasai asing harus segera diperbaharui dengan renegosiasi yang menguntungkan kepentingan nasional dan dengan demikian menjalankan pasal 33 UUD 1945 secara konsisten.

Sejumlah solusi di atas tidak mungkin terwujud jika Republik ini pemimpinnya tidak memiliki integritas, tidak berpihak pada kepentingan nasional dan dikendalikan oleh kepentingan asing. Republik ini merindukan pemimpin yang berpihak pada kepentingan nasional. (mh)

33EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Para aktifis mahasiswa di tahun 1998 saat memberi keterangan pers di gedung DPR RI.

Page 34: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

34 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

SUMBANG SARAN

Apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran dari 15 tahun reformasi? Apakah tuntutan-tuntutan politik reformasi terwujud?

R efor mas i 1998 memb awa negara Indonesia memiliki sistem multi partai, bahkan kini 13 partai­politik berkompetisi bagi Pemilu 2014. Presiden dipilih langsung. Sejak 2005, kepala daerah dipilih langsung. Hampir seluruh pejabat publik dipilih. Terjadi sirkulasi elite­elite. Kelembagaan pelengkap negara juga ada, dar i mulai Mahkamah Konstitusi, komisi ­komisi independen pemberantasan korupsi, penegakan HAM, sampai pengawasan pemerintah dan peradilan.

Ini adalah kemajuan. Saat Orde Baru, tak ada kontestasi, sirkulasi dalam kompetisi yang sehat. Partai hanya dua­­berbasis nasionalis dan islam­­lalu golongan karya­­berbasis birokrasi dan militer yang selalu dimenangkan penguasa. Anggota DPR bisa direcall. Presiden

bisa berkuasa seumur hidup, kontrol yudikatif dan keseimbangan legislatif hanya stempel dan alat. Tak ada kebebasan akademik, kebebasan berekspresi. Kebebasan berserikat dan berorganisasi dikendalikan satu wadah. Ekonomi berpusat ke tangan Suharto, keluarga dan kroni­kroni bisnis. Memasuki akhir dasawarsa ketiga politik kekuasaannya, rupiah anjlok, rakyat antri sembako, menteri­menteri mundur. Ketidak­adilan sosial meletus dalam letupan­letupan kerusuhan 13­14 Mei 1998. Sepekan setelahnya, Suharto jatuh.

Nah, memasuki satu setengah dasawarsa paska momen bersejarah reformasi, ukuran­ukuran di atas tak lagi cukup dijadikan dasar analisis. Itu semua memang syarat demokrasi, tapi bertahun lalu, sejak era Gus Dur, telah ada. Sekarang, apakah setelah ada syarat itu lalu tujuan demokrasi tercapai? Atau apakah berarti lalu tuntutan­tuntutan pro­reformasi 1998 telah terwujud?

Jadi, begitu syarat­syarat terpe­nuhi, seharusnya kita beran jak ke analisis empirik lebih lanjut. Ini diperlukan untuk menilai sejauh­mana tiga tujuan utama demokrasi

ideal dicapai: 1) kebebasan sipil dan politik; 2) kedaulatan popular, kontrol atas kebijakan publik dan pejabat yang berwenang; 3) kesetaraan politik­­demikian juga pemerintahan yang baik seperti transparansi, legalitas dan aturan yang bertanggung jawab.

Demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang menyediakan bagi warga negaranya suatu derajat kebebasan, kesetaraan politik dan kontrol popular yang tinggi atas kebijakan publik, dan para pembentuk kebijakan melalui institusi­institusi yang sah dan berfungsi menjalankan hukum.

Mari kita telaah sekilas. Berbagai upaya merehabil itasi mantan tahanan politik Partai Komunis Indonesia (PKI), atau mantan Menteri Kabinet Dwikora menjelang jatuhnya Soekarno, atau siapa pun termasuk eks TNI AU yang dipenjara karena tuduhan terlibat peristiwa 1 Oktober 1965, telah gagal. Di titik ini, tak ada upaya berarti dari parlemen. Langkah awal pernah dilakukan ketika pimpinan DPR RI pada 2003 mengirimkan surat ke Mahkamah Agung dan dilanjutkan

UsMan HaMid

Page 35: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

35EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

ke Presiden untuk merehabilitasi eks tahanan politik 1965/1966. Dasar untuk rehabilitasi jelas, Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Hasilnya? Nihil. Kebebasan politik itu belum dipulihkan. Masih ada perlakuan yang menempatkan mereka tidak setara sebagai warga.

Di sisi lain, ada sejumlah warga –pemuda­­ mendirikan partai politik dengan ideologi politik kiri berkali­kali mendapat halangan berat, dari mulai pemenjaraan oleh penguasa, sampai persyaratan administrasi d a n p e l a r a n g a n ­ p e l a r a n g a n mereka untuk berkegiatan politik. Kenyataan ini bisa terjadi karena reformasi tidak berhasil dalam hal, salah satunya, menghapuskan Ketetapan MPR mengenai larangan m e n y e b a r k a n a j a r a n ­ a j a r a n marxisme­leninisme terkait masa lalu sejarah kekerasan polit ik kolosal: Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan dan anggotanya diburu tanpa perikemanusiaan. Jadi, kebebasan politik ada, tapi diberikan kekecualian tertentu. Begitu pula dengan kebebasan untuk beragama dan memilih agama dan kepercayaan sesuai keyakinan masing­masing.

Hampir sepuluh tahun terakhir pemerintahan SBY, tiap tahun kita membaca laporan Setara Institute dan The Wahid Institute yang menunjukkan kebijakan diskriminatif berbasis aliran­agama, pernyataan maupun pejabat yang tidak netral dalam memperlakukan dan melayani warganya, sampai kekerasan massa yang berakibat kematian, luka­luka, dan kehilangan harta benda. SBY menyerahkan masalah ini ke pemerintah daerah. Benarkah? Bukankah urusan memeluk agama dan keyakinan itu urusan hak konstitusional dan kewajiban pemerintah pusat? Nyaris tidak ada pembelaan terbuka dari pemimpin nasional. Ada pemimpin formal, tapi bukan negarawan. Warga Syiah dan Ahmadiyah ialah warga Indonesia. Mereka dituduh menganut ajaran di luar ajaran yang diakui oleh pejabat pemerintah sektarian dan organisasi keagamaan ortodoks, lalu seakan boleh dibunuh. Inilah yang pernah

terjadi di wilayah Jawa Barat, dari Parung, Cikeuting, dan Cikeusik hingga Sampang, Jawa Timur dan Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Di Papua, nyaris tidak berlaku demokrasi. Reformasi membawa angin harapan, kebebasan dan perubahan kepada Papua hanya pada era pemerintahan KH. Abdur­rah man Wahid. Tetapi setelah itu, benar­benar mengalami sikap­sikap yang tidak adil dari pemerintah yang konservatif dan nasionalis­chauvinistik; integritas politik teritorial diletakkan di atas nilai kemanusiaan; berpikir tentang identitas tunggal dirinya, dan di luar “identitas kebangsaan” versi mereka, dianggap “musuh,” harus ditiadakan dengan jalan paksa dan kekerasan.

Kini ada puluhan tahanan politik (prisoners of conscience) Papua, termasuk seorang PNS Filep Karma. Demokrasi mana pun, melarang pemenjaraan politik atas warga yang menyampaikan aspirasi yang damai. Pada 1959 dan 1961, Soekarno memberi amnesti politik dan abolisi kepada pemberontak di wilayah­wilayah; Aceh pimpinan Daud Beureuh, Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakar, bahkan dan juga pemberontak PRRI dan Permesta di Sumatera, hingga pemberontak di Maluku, Irian Barat, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan dan Kartosuwirjo di Jawa Barat.

Jadi, tidak ada alasan bagi Presiden untuk menolak amnesti dan abolisi. DPR juga dapat ambil untuk memberi pertimbangan seperti ditegaskan Pasal 14 Undang­Undang Dasar 1945 (Amandemen Pertama). Dari seluruh anggota DPR/MPR sekarang, tak ada yang memperjuangkan gagasan politik rehabilitasi. Jika pun ada, bisa dihitung jari. Kenapa ini bisa terjadi? Apakah lebih dari lima ratus orang wakil rakyat ini tak tahu masalah ini?

Saya percaya, mereka tahu. Masa­lahnya, pengambilan keputusan parlemen kita hari ini hanya di­tentukan oleh segelintir elite. Ibarat telur ayam, hanya kuningnya yang

menentukan. Inilah problem besar satu setengah dasawarsa reformasi: oligarki dan melahirkan paradoks.

Kedaulatan suara rakyat, dire­presentasi oleh kekuatan partai politik. Dari kekuatan partai yang banyak, dibatasi pada electoral treshold, dari kekuatan sepuluh partai direduksi ke dalam sekretariat gabungan. Lebih sempit lagi; keputusan akhir di tangan elite tertentu. Belum lagi “deal-deal ” di balik layar. Sektor kehidupan politik kita didominasi segelintir elite politisi pebisnis dan pebinis politisi yang sibuk membesarkan pundi partai, jaringan bisnis dan mempertahankan kursi­kursi.

Apa dulu tidak ada oligarki? Oligarki dulu jinak di bawah kepenguasaan terpusat Cendana. Kini jadi liar di bawah sistem demokrasi elektoral.

Di negara­negara yang pernah mengalami transisi, demokrasi yang dikendalikan oligarki bukan tidak pernah terjadi. Umumnya kekuatan oligarki terus mengalami pelunakan karena kuatnya tekanan publik, gerakan sosial, dan aktivisme asosiasi­asosiasi warga­negara yang aktif dan partisipatoris. Ini yang seharusnya menjadi arah baru demokrasi. Harapan masih besar. Rakyat Indonesia telah semakin kritis dan ambil bagian dalam mengintervensi kebijakan publik. Lihat saja berbagai feno­mena resisten sosial petani mem­pertahankan tanah, buruh semakin besar mengerahkan massa untuk upah lebih baik, dan anak­anak muda kini bersuara lewat sarana media sosial digital. Di titik ini, kita hanya perlu menjahitnya, tak terkecuali anggota­anggota parlemen yang masih mendengar suara hati.*

Usman Hamid, Ketua Badan Pengurus KontraS, pendiri Public Virtue Institute (PVI) dan Change.org

Page 36: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

36 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Pemerintah Indonesia akhirnya memperpanjang kebijakan moratorium hutan hingga dua tahun ke depan seiring diterbitkannya Instruksi Presiden No.6 tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

MORATORIUM HUTAN LANGKAH AWAL LINDUNGI

HUTAN INDONESIA

Pe r p anjan gan ke b i jak an m o r a t o r i u m h u t a n , m e r u p a k a n s a l a h s a t u

bentuk langkah pemerintah untuk mencegah kerusakan hutan di berbagai daerah. Kita akui bahwa kerusakan hutan di Indonesia bukan hanya terjadi karena deforestasi tetapi juga oleh praktik pencurian kayu.

Saat ini diperkirakan lebih dari 51 juta m3 kayu bulat per tahun dihasilkan dari kegiatan pencurian kayu. Pencurian kayu di Indonesia terjadi di berbagai lokasi hutan, terutama di lokasi bekas areal tebangan (logged­over area) Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sudah tersedia jaringan jalan angkutan kayu (logging road network).

Potensi kayu komersial di lokasi bekas tebangan HPH (diameter 30 cm up) diperkirakan rata­rata kurang dari 40 m3 per hektar. Total kerugian ekonomi akibat praktik pencurian kayu di Indonesia diperkirakan oleh

Kementerian Kehutanan mencapai Rp. 30 triliun per tahun. Perkiraan lainnya bahkan menyebutkan nilai kerugiannya mencapai setara 4 milyar USD per tahun.

Selain itu, lahirnya moratorium hutan melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 juga merupakan jawaban pemerintah atas tuntutan berbagai pihak untuk menurunkan emisi karbon hingga 26% pada tahun 2020 mendatang sebagai upaya penyelamatan dunia dari pemanasan global.

Inpres No.10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang dilampiri dengan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) telah mengidentifikasikan luas Lahan Hutan Primer dan Lahan Gambut seluas 45,51 Juta hektar yang terdiri dari 41,02 Juta hektar Hutan Primer dan 4,49 juta hektar Lahan Gambut.

Moratorium hutan yang ditetapkan pada 20 Mei 2011 telah berakhir sejak 20 Mei 2013. Kemudian pada tanggal 13 Mei 2013, Pemerintah akhirnya memperpanjang kebijakan moratorium hutan hingga dua tahun ke depan seiring diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

“Moratorium ini merupakan bentuk komitmen politik Indonesia terhadap dunia bahwa kita harus menjaga ekosistem dan lingkungan dalam melestarikan hutan,”ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo kepada Parlementaria, di DPR RI.

Menurutnya, kerusakan hutan juga banyak terjadi karena banyaknya tumpang tindih beberapa peraturan perundang­undangan dan akibat penerapan otonomi daerah yang serampangan.

PENGAWASAN

Page 37: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

37EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Terdapat beberapa UU yang saling overlapping (tumpang tindih) diantaranya UU Lingkungan Hidup yang mengatur masalah hutan, UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU Agraria.

“Konsekuensi penerapan otonomi daerah bahwa masing–masing daerah mempunyai kebijakan dan kewenangan untuk menetapkan, menentukan, mengelola yang namanya sumber daya a lam termasuk kawasan hutan,” tam­bahnya.

Dia menambahkan, UU tersebut merupakan hasil produk awal reformasi dimana sebagian diketok secara terburu­buru sehingga banyak muatan yang tidak diharapkan. “Ini jelas sekali bahwa didalam konstitusi negara kita itu, bahwa sumber

daya alam itu dikuasai negara dan dikelola sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat,” ujarnya.

Terkait Hak Pengusahaan Hutan (HPH),ujar Firman, harus memiliki dampak positif bagi negara dan memiliki dampak bagi ekosistem sekitarnya. “Semua harus ter­integrasi, jadi kalau adanya HPH h any a m e n guntun gk an d ar i aspek ekonominya saja, untuk kepentingan pengusaha itu sendiri sementara t idak memberikan kontribusi anggaran untuk apa kita pertahankan,”tambahnya. Sementara bila memiliki manfaat b a g i m a s y a r a k at a d at a t a u masyarakat desa sekitar hutan tentunya kita dukung.

Dia mengatakan, DPR prinsipnya sepakat dengan kebijakan mora­torium hutan selama masih ada nilai positifnya terhadap pelestarian ekosistem dan kawasan hutan

Indonesia. “Kita juga minta jangan s a m p a i m e n g g a n g g u a s p e k dalam masalah pembangunan perekonomian karena didalam UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan bahwa kehutanan dapat dikelola secara multi fungsi yaitu fungsi ekonomi, sosial dan ekologi,” terangnya.

Dia mengingatkan, jangan sampai moratorium dilakukan karena adanya desakan dari pihak asing atau karena disepakatinya LOI Indonesia­Norwegia. “Indonesia merupakan NKRI yang berdaulat, tidak bisa diintervensi oleh kebijakan dari negara lain,” jelasnya.

Firman menegaskan, dirinya menolak kesepakatan LOI Indonesia­Nor wegia. P asa lnya, banyak embel­embel dengan pemberian uang sebesar 1 Miliar dollar bila melakukan kesepakatan tersebut.

Page 38: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

38 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

“Bagi saya tidak ada manfaatnya, karena itu LOI harus disikapi sebagai kerjasama biasa. Kalau memang tidak bisa membawa azas manfaat bagi masyarakat Indonesia buat apa, apalagi bila mengintervensi kebijakan negara lain,” ujarnya.

Dia menilai, pelaksanaan mora­torium sudah berjalan selama dua tahun, namun selama ini pelaksanaannya belum mencapai target yang diharapkan. “Perbaikan manajemen dan t at a ke lo la kehutanan, hingga tersusunnya satu peta bersama yang memuat semua izin peruntukan dan pengelolaan atas kawasan hutan, hingga penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai bentuk perencanaan pembangunan dari tingkat nasional hingga lokal sampai saat ini masih belum terwujud,” tambahnya.

DPR, lanjutnya, terus mengejar komitmen pemer intah untuk segera membuat peta nasional terkait tata ruang wilayah hutan. “Peta nasionalkan sampai sekarang

belum ada, karena kita t idak mempunyai peta dasar nasional kita untuk menentukan kebijakan yang dikaitan pemanfaatan kawasan hutan,” ujarnya.

Firman menduga terkait peta nasional kawasan hutan ini sengaja dibikin grey area (wilayah abu­abu) oleh pemerintah. “Karena itu DPR telah mengundang empat konsultan, namun ternyata jika ditanya terkait detail peta kehutanan secara etika mereka tidak boleh menjelaskannya,” katanya.

Patut diketahui, pada tanggal 26 Mei 2010, Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Norwegia menandatangani letter of intent (LOI) atau kesepakatan untuk melakukan sesuatu terkait Pengurangan Emisi Gas Carbon Rumah Kaca dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan. Penandatanganan dilakukan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan Menteri Lingkungan Hidup Norwegia Erik Solhein.

Penandatanganan perjanjian itu disaksikan dua kepala

pemerintahan, yaitu P r e s i d e n S u s i l o Bambang Yudhoyono dan Perdana Men­t e r i N o r w e g i a J e ns Sto l te nb e rg . P e n a n d a t a n g a n a n dilakukan di Gedung Government Gues t

H o u s e d i O s l o , Norwegia

Dengan LOI tersebut, Indonesia akan mendapatkan hibah 1 miliar dollar Amerika Ser ikat untuk melakukan pengurangan emisi dari deforestrasi dan degradasi hutan (Reduction of Emmisions from Deforestration and Degradation/REDD+) di Indonesia.

Tata Ruang amburadul

Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) di Indonesia saat ini masih tidak jelas, bahkan kerap bertentangan dengan UU yang ada. Selama berada di DPR, Firman mengaku baru dua daerah yaitu Gorontalo dan Sumbar yang sudah disetujui RTRW Provinsi tersebut.

“Seringkali ketika kita sampaikan p emer int ah agar melakukan harmonisasi terhadap UU yang o v e r l a p p i n g n a m u n s a m p a i sejauh ini belum ada respon dari pemerintah,” ujarnya.

Menurutnya, banyak persoalan di Indonesia seperti misalnya saja Kalimantan Tengah, memiliki kantor Polda yang berada di kawasan hutan, begitu juga di Kalimantan Selatan, dimana Airportnya berada dikawasan hutan.

Oleh karena itu, lanjut Firman, selama rencana tata ruang itu belum clear maka sulit memetakan kawasan hutan. “Karena kalau semua itu masuk kawasan hutan artinya tidak boleh di apa–apakan kecuali diajukan melalui pemerintah, ketika itu bersinggungan dengan konservasi hutan, maka hutan l indung i tu harus mendapat persetujuan DPR,” ujarnya.

Dia menilai rencana tata ruang prinsipnya memiliki tujuan yang bagus namun harus dibarengi dengan pemetaan wilayah. “Kita harus tahu bahwa wilayah mana saja yang boleh dipakai dan harus dilestarikan hutannya dan mana yang di pakai untuk area lain,” terangnya. (as/si)

Page 39: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

39EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

DPR menyambut baik adanya perubahan pelayanan kereta Ekonomi menjadi AC Ekonomi, namun diharapkan perbaikan pelayanan itu tidak membebani masyarakat tetapi semata-mata untuk perbaikan dunia perkeretaapian di Indonesia.

PENGAWASAN

Seperti kita ketahui, PT K AI menargetkan seluruh kereta api ekonomi yang tidak berpendingin udara (AC), baik kereta api listrik mau pun kereta api jarak jauh akan segera diganti menjadi kereta api AC. Bahkan, kebijakan tersebut sudah dilaksanakan perlahan­lahan sejak tahun lalu dan ditargetkan selesai pada Juli 2013.

Tentunya dengan perbaikan pelayanan itu, akan menaikkan

harga tiket kereta api yang berlaku

saat ini. Hal i t u l a h ,

y a n g t idak

diinginkan oleh para wakil rakyat, Komisi V DPR int inya sangat mendukung rencana tersebut namun tanpa membebani rakyat kecil.

“Terobosan itu akan membantu meningkatkan pelayanan PT KAI kepada masyarakat namun harus memikirkan para penumpang kereta ekonomi yang tidak mampu,”ujar Ketua Komisi V DPR Laurens Bahang Dama.

Menurut Laurens, kebijakan tersebut berpotensi menyingkirkan para pengguna kereta api tidak mampu. Oleh sebab itu, harus dicari rumusan paling tepat agar penumpang tidak mampu tersebut tetap dapat berkendara dengan menggunakan kereta api.

Dia menambahkan, DPR ingin adanya peningkatan layanan bagi PT KAI, tetapi kalau ada kosekuensinya perlu disubsidi untuk peralihan ekonomi menjadi ekonomi non AC.

Sementara Anggota Komisi V DPR Fary Djemi Francis dari Gerindra mengatakan, PT KAI sudah semakin membaik kinerjanya. Karena itu, lanjutnya, kita semua mengharapkan seluruh pelayanan semakin meningkat.

“Kereta api sekarang lebih baik kinerjanya, kita tidak hanya bicara gerbong tetapi bicara keseluruhan pelayanan di Perkeretaapian, yang penting adanya PSO bagi Perkeretaapian,” ujarnya.

M e n u r u t n y a , D P R s e p a k at perubahan ekonomi menjadi ac ekonomi jangan sampai membebani masyarakat kecil karena itu perlu adanya subsidi terkait perubahan harga tersebut. “Memang ada selisih margin yang dihitung itu nanti yang akan kita berikan Public Service Obligation (PSO) bagi PT KAI,”jelasnya.

Dia menambahkan, pemerintah harus memberikan perhat ian khusus bagi kereta api, karena itu kita sedang membenahi sistem penganggaran bagi Kereta api. “Memang kondisinya jomplang

Anggota Komisi V DPR Fary Djemi Francis.

Page 40: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

40 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

dibandingkan Direktorat lainnya, seperti itu kondisinya,” jelas anggota Banggar dari Komisi V DPR ini

Terkait pemotongan alokasi anggaran, Lanjut Fary, Pemotongan diharapkan tidak mengganggu outcome dari Kementerian yang ada. “Jangan sampai pemotongan anggaran itu beresiko khususnya anggaran yang sudah berjalan,” tambahnya.

D i r iny a m en gakui s aat in i perhatian pemerintah bagi PT KAI masih minim padahal, DPR terus mendorong peningkatan anggaran bagi Kereta Api. “Kita sudah terus mendorong­dorong anggaran ini bahkan sekarang sudah sampai Rp. 9.3 Triliun,” jelasnya.

Hal senada disampaikan oleh Anggota DPR Yoseph Umar Hadi (PDIP), dia mengatakan, kinerja PT KAI semakin meningkat di berbagai sektor. Karena itu untuk mendorong ini perlu adanya perbaikan dari sisi pelayanan. “PT KAI juga harus

memperbaiki rel yang ada menjadi double track, dimana seharusnya dibangun sejak dulu,” katanya.

Selain itu, dirinya mendukung pembenahan di berbagai stasiun. Karena melalui cara ini diharapkan konsumen kereta api semakin nyaman dalam menggunakan angkutan jasa kereta api. “Selain itu adanya penataan pedagang juga harus dilakukan dan jangan sampai merugikan kedua belah pihak, karena itu harus dicarikan jalan keluar yang menguntungkan,” paparnya.

Menurut Yoseph, kereta api ekonomi AC sangat tergantung dari listrik dan BBM, pasalnya, saat ini PT KAI selalu membeli listrik dengan tarif industri. “Karena itu, hitung­hitungan kalau ekonomi perlu disubsidi,” tambahnya.

Sarana dan prasarana, lanjutnya, harus dirombak seperti misaknya saja Gerbong kereta yang tidak layak jalan wajib dikandangkan.

“Memang dahulu kondisinya sangat memprihatinkan bahkan anggaran untuk transportasi darat dulu hanya Rp. 300 Miliar namun sekarang mencapai Triliunan,” jelasnya.

Berdasarkan t ren angkutan KRL terdapat tren peningkatan perubahan penumpang. Data mereka menunjukkan, penumpang KRL non AC semakin menurun tiap tahunnya. Pada 2009, jumlah penumpang KRL non AC berjumlah 86,6 juta. Pada 2010 angka turun menjadi 69,3 juta. Pada 2011 kembali turun menjadi 56 juta dan pada 2012 menjadi 46,5 juta. Sebaliknya, jumlah penumpang KRL AC malah semakin meningkat. Pada 2009, jumlah penumpang KRL AC berjumlah 43,9 juta, pada 2010 meningkat menjadi 54,5 juta, pada 2011 kembali naik jadi 65 juta, dan pada 2012 kembali meningkat menjadi 87,5 juta penumpang. Tren penumpang KRL tersebut menunjukkan bahwa masyarakat semakin menyenangi penggunaan moda transportasi KRL AC dari pada KRL non AC. (si)

Banyak penumpang KA. Ekonomi yang mengabaikan keselamatannya.

Page 41: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

41EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

APBN 2014 Diharapkan Semakin Perkokoh Stabilitas Ekonomi Nasional

ANGGARAN

Kebijakan APBN 2014 diharapkan bisa memberi ruang gerak kebijakan pagu pemerintahan baru yang akan terpilih pada tahun depan. Hal ini untuk mengimplementasikan visi, misi dan strategi dalam membangun bangsa. Sehingga, APBN tahun 2014 nanti, dapat semakin memperkokoh stabilitas perekonomian nasional yang kondusif bagi pertumbuhan dan pemerataan keadilan, penciptaan lapangan kerja, dan menopang pembangunan berkesinambungan.

Page 42: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

42 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

“Sebagai instrumen kebijakan ekonomi nasional, APBN 2014 nanti harus lebih berkualitas, dan memberikan manfaat secara nyata dan langsung terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat,” pesan Ketua DPR Marzuki Alie sehubungan pembicaraan pendahuluan RAPBN 2014.

Dalam Rapat Paripurna Kamis, 20 Mei 2013, Wakil Ketua DPR Sohibul Iman menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi telah mengajukan pokok­pokok pembicaraan RAPBN 2014. Selanjutnya pada Jumat, 17 Mei DPR menyetujui secara aklamasi untuk meneruskan surat tersebut untuk diproses oleh Badan Musyawarah DPR.

Ketika menyampaikan pokok­pokok pembicaraan RAPBN 2014, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana menjelaskan diantaranya terkait dengan kerangka ekonomi makro dan pokok­pokok kebijakan fiskal tahun 2014.

“Sektor industri akan bergerak untuk memenuhi permintaan dunia. Disamping itu, permintaan domestik juga diperkirakan meningkat, didukung oleh meningkatnya da­ya beli masyarakat dan adanya pe nyelenggaraan pemilu,” kata Armida.

Armida memperkirakan, perekono­mi an nasional 2014 mampu tum­buh lebih baik dibanding 2013. Per eko no mian global diperkirakan akan kembali membaik dan volume perdagangan dunia juga meningkat. Meningkatkanya permintaan dunia juga akan mempengaruhi aktifitas perekonomian nasional, terutama dari sisi ekspor­impor.

Namun, Armida menyatakan salah satu permasalahan yang dihadapi pemerintah saat ini adalah beban subsidi energi yang semakin tinggi, seiring peningkatan konsumsi BBM oleh masyarakat. Peningkatan subsidi BBM menjadi sumber tekanan bagi ruang gerak fiskal, dan

membatasi daya dukung APBN untuk mendanai kegiatan infrastruktur yang sangat dibutuhkan dalam mendorong kapasitas produksi dan pertumbuhan ekonomi ke depan.

“Dengan memperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya inflasi dan kebijakan fiskal, moneter dan sektor riil dalam pengendalian inflasi, maka tahun 2014 inflasi diperkirakan bergerak di sekitar rentang sasaran 4,5 plus minus 1 persen,” jelas Armida.

Terkait dengan ni lai tukar rupiah terhadap dolar AS di tahun 2014, Armida menilai masih akan dipengaruhi oleh bauran beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar negeri. Peningkatan impor, khususnya impor bahan baku, barang modal serta komoditas energi dalam rangka mendukung aktifitas ekonomi dan investasi nasional merupakan salah satu faktor pendorong depresiasi nilai tukar.

Di samping itu, risiko pelemahan juga akan dipengaruhi skenario pi l ihan kebi jakan harga BBM

dalam negeri yang juga akan mempengaruhi besaran BBM untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Sehingga, berdasarkan perkembangan beberapa faktor tersebut, pergerakan rata­rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tahun 2014 diperkirakan akan

bergerak relatif stabil pada kisaran Rp 9.600­9.800 per dolar AS.

Pada tahun 2014, Pemerintah m e m p e r k i r a k a n a k a n a d a peningkatan lifting, baik dari minyak maupun gas bumi, sehingga lifting minyak dan gas bumi diperkirakan mencapai sekitar 2.140­2.255 ribu barel atau setara minyak per hari di tahun 2014, yang terdiri dari lifting minyak bumi sekitar 900­930 ribu barel perhari dan gas bumi sekitar 1.240­1.325 ribu barel setara minyak perhari.

Realistis akan Lifting Minyak

Pada rapat paripurna Kamis 23 Mei 2013, fraksi­fraksi menyampaikan p an dan gan at as kete r an gan pemerintah.

Dalam pandangannya, F­PKB yakin target pertumbuhan ekonomi yang berada pada angka 6,4­6,9% sangat mungkin dicapai. Hal ini dengan didukung oleh tingginya laju konsumsi rumah tangga dan investasi, serta membaiknya per­ekonomian global.

“Berikutnya terkait dengan kebi­jakan belanja negara di tahun 2014 yang diperkirakan sebesar 16­19 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) harus diarahkan pada prioritas pembangunan yang mendorong kepada peningkatan kesejahteraan rakyat,” papar Chusnunia.

Sementara itu, F­PG meminta pemerintah untuk lebih realistis terkait dengan target lifting minyak di tahun 2014 untuk menjaga kredibilitas APBN 2014. APBN tahun depan menargetkan lifting minyak sebesar 900 ribu barrel per hari, tapi realitasnya hanya sampai 840 ribu barrel per hari. Melesatnya target lifting dan meningkatnya harga minyak dunia, sehingga memberi tekanan pada APBN 2013.

Peningkatkan belanja modal dan investasi, terutama pada sek tor per tanian dan industri pengolahan nasional menjadi fokus F­PKS. Dalam paparannya,

Page 43: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

43EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Ecky Awal Muharram mewakili F­PKS meminta pemerintah untuk lebih serius dalam memperbaiki kinerja konsumsi pemerintah, meningkatkan daya saing dan investasi, membangun industri nasional, memperbaiki kinerja sektor tradable, dan memperbaiki kualitas pertumbuhan.

F­PDIP menyoroti ketimpangan ekonomi yang terjadi di masyarakat, sehingga memunculkan rasa ketidakadilan. Sementara itu, F­PD berharap mengenai kebijakan belanja pemerintah pada tahun 2014 harus mampu menstimulasi perekonomian dengan tet ap mengendalikan defisit yang aman dan kesinambungan fiskal.

Sedangkan, F­Gerindra menekan­kan pada pemberian subsidi, baik energi maupun non energi kepada masyarakat merupakan tugas negara, sehingga kurang tepat jika dijadikan alat komoditas politik. F­Gerindra juga menyarankan agar pemerintah membangun infrastruktur distribusi gas karena ketersediaan gas yang cukup melimpah, sehingga bisa segera dilaksanakan konversi dari penggunaan premium ke gas.

Dalam paparannya, F­Hanura meng ingatkan pemerintah agar selalu waspada terhadap tekanan yang timbul dari belanja APBN yang

cukup tinggi, serta subsidi yang kurang tepat, yang dikhawatirkan berkurangnya kemampuan fiskal untuk memberikan dampak stimulus yang lebih kuat pada perekonomian nasional.

Terkait dengan ekspor bahan men­tah, menjadi sorotan F­PAN. F­PAN meminta agar sebisa mungkin bahan mentah diolah dahulu di dalam negeri, termasuk pengolahan bahan tambang, dan sebesar­besarnya menggunakan sumber daya lokal.

Sebagai pemberi pandangan yang terakhir, F­PPP mengingatkan struktur anggaran yang minim akan sumber pendapatan negara, dan makin beratnya hutang, sehingga menyebabkan Indonesia terjebak semakin ke dalam anggaran defisit. F­PPP menyarankan agar pemerintah berbenah dan menyusun anggaran untuk masa mendatang.

Optimis Terpenuhi

Salah satu hal yang mengemuka terkait dengan lifting minyak, fraksi­fraksi DPR meminta pemerintah untuk lebih realistis terkait dengan target lif ting minyak di tahun 2014 untuk menjaga kredibilitas APBN 2014. APBN tahun depan menargetkan lifting minyak sebesar 900 ribu barel/ hari, tapi realitasnya hanya sampai 840 ribu barel/ hari. Melesatnya target l if t ing dan meningkatnya harga minyak dunia, sehingga memberi tekanan pada APBN 2013.

Menanggapi hal itu, Chatib menyatakan bahwa target asumsi lifting migas yang diajukan oleh pemerintah merupakan kebijakan integral untuk menjaga ketahanan energi nasional dan pengelolaan sumber daya alam, dalam rangka

ANGGARAN

Page 44: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

44 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

mendukung pertumbuhan pereko­no mian nasional. Penentuan asumsi tersebut telah memperhitungkan tingkat produksi saat ini, rencana pengembangan lapangan dan potensi produksi lapangan baru untuk memacu kinerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

“Realisasi lifting minyak sampai dengan akhir April 2013 memang baru mencapai 832 ribu barel/ hari. Sebagai sumber daya alam yang tidak terbarukan, produksi minyak Indonesia telah memasuki periode penurunan masa produksi. Laju penurunan produksi minyak diharapkan dapat tergantikan oleh produksi lapangan baru, dan diperkirakan bisa mencapai produksi satu juta barel/ hari di tahun 2015. Sehingga, pemerintah optimis produksi minyak mentah siap jual Indonesia dapat mencapai 900­930 ribu barel/ hari di tahun 2014,” papar Chatib.

Selain itu, pemerintah berjanji

akan terus melakukan langkah­langkah menyediakan stimulus fiskal secara terukur dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal selama tahun 2014 mendatang.

“Kebijakan yang akan diambil pemerintah, antara lain melakukan penguatan daya tahan dan flek­sibilitas APBN, agar responsif dan antisipatif dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian global. Penguatan perekonomian domestik, dan peningkatan efisiensi serta kehati­hatian dalam pengelolaan APBN,” papar Chatib.

Tema RKP tahun 2014, tambah C hat ib, ada lah m emp er k uat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas, serta berkelanjutan melalui pelaksanaan kebijakan fiskal yang sehat dan efektif.

“Substansi dari tema RKP tersebut adalah memberikan penekanan perlunya mendorong pengeloaan fiskal yang sehat dan efektif dalam rangka mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkualitas dan berkelanjutan,” yakin mantan Kepala BKPM ini. (sf)

Page 45: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

45EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

LEGISLASI

Lima kewenangan yang digu­gat DPD, yaitu : DPD diberi­kan kewenang an dalam

mengajukan suatu RUU, DPD ikut dalam pembahasan suatu RUU, RUU Usul DPD tetap menjadi RUU Usul DPD walaupun telah dibahas di Ba­dan Legislasi DPR RI, dan DPD ikut memberikan keputus an, serta ket­erlibatan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Proleg­nas).

Dalam amar putusannya, MK meng ang gap UU MD3 dan UU P3 mere duksi atau mengurangi kewenangan DPD soal kewenangan mengajukan RUU sebagaimana yang ditentukan UUD 1945. Dengan demikian, dua undang­undang itu harus dinyatakan inkonstitusional. ’ ’Mengabulkan per mohonan untuk sebagian,’’ kata Ketua MK, Mahfud M.D. saat membacakan putusan di gedung MK.

Dalil kewenangan konstitusional DPD tentang pengajuan RUU, menurut MK, kata ”dapat” dalam pasal 22D ayat (1) UUD 1945 merupakan pilihan subjektif DPD ”untuk mengajukan” atau ”tidak mengajukan” RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah dan hubungan pusat­daerah. Selain itu,

soal pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD.

Hakim MK M. Akil Mochtar meng­ata kan bahwa kata ”dapat” bisa dimaknai juga sebagai hak dan kewenangan sehingga sama dengan hak dan kewenangan konstitusional presiden dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan presiden dalam hal mengajukan RUU.

”Mahkamah menilai menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam pasal 22D ayat (1) UUD 1945,” terang Akil.

Atas putusan MK itu, kewenangan DPD untuk membahas RUU telah diatur dengan tegas dalam pasal 22D ayat (2) UUD 1945. Penggunaan frasa ”ikut membahas” dalam pasal 22D ayat (2) UUD 1945 disebabkan pasal 20 ayat (2) UUD 1945 telah menentukan secara tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Menurut Ak i l , pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak dimulai di tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR. Yaitu, sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas daf t ar invent ar is masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di tingkat I. Selanjutnya, DPD menyampaikan p endapat pada p embahas an tingkat II dalam rapat paripurna

Pada 27 Maret 2013 lalu, dalam sidang uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terhadap UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Khususnya, pasal-pasal soal lembaga yang berwenang mengajukan sekaligus membahas suatu Rancangan Undang-Undang (RUU).

DPD Dinilai Berlebihan Terjemahkan Keputusan MK

Page 46: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

46 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. ’ ’DPD juga ikut serta dalam penyusunan prolegnas,’’ jelas Akil.

Secara terpisah, Ketua DPD Irman Gusman menyambut gembira putusan MK yang menambah taji DPD. Menurut dia, putusan MK itu telah menorehkan sejarah baru dalam sistem keparlemenan Indonesia. Saat ini, hanya ketok palu terhadap UU yang belum dimiliki DPD.

Dia menjelaskan, jika sebelumnya RUU yang diajukan DPD kepada DPR masuk ke badan legislasi dan berganti baju menjadi milik DPR, kini karena DPD ikut pembahasan hingga tahap akhir, RUU yang diajukan DPD tersebut tetap menjadi RUU milik DPD.

Anggota Badan Legislasi DPR RI (Baleg), Azhar Romli, menilai bahwa DPD sudah berlebihan menterjemahkan Keputusan MK.

“Kami mendapat surat dari DPD yang is inya menter jemahkan tentang posisinya setelah Keputusan MK. Boleh kita katakan disini bahwa DPD sudah terlalu berlebihan, sudah jauh melangkah,” kata Azhar Romli saat Rapat Pleno Baleg yang membahas Tindak Lanjut Keputusan MK, di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (11/6)

Azhar mengingatkan bahwa yang menjadi landasan kita adalah UUD 1945, dimana disebutkan bahwa UU itu dibentuk oleh DPR dan dibahas bersama pemerintah, serta mendapat persetujuan bersama, itu kalimat hierarkinya.

Sementara kita melihat Keputus­an MK tentang masalah ini, bahwa intinya adalah DPD itu boleh ikut membahas tapi tidak menyetujui.

Dijelaskan Azhar Romli, bahwa pada saat pembahasan UU MD3 dulu, permintaan DPD sudah direspon DPR, yaitu DPD boleh ikut mengajukan suatu RUU.

Dan prakteknya sendiri sudah berjalan, seperti di Komisi II DPR ketika membahas UU Otonomi Daerah dan terutama UU yang lain­lain di Komisi V yaitu UU Perkapalan dan Pelabuhan, DPD kita undang dan memberikan masukan dan sudah ikut membahas. Apalagi apabila dalam satu UU itu sudah ada pendapat mini akhir, DPD sudah menyampaikan pendapat bahkan sudah masuk seolah­seolah mengambil keputusan.

“Kalau paripurna itu sebenarnya mengambil keputusan secara komprehensif, jadi apalagi yang mau dituntut, DPD hadir memberikan keputusan didalam paripurna ini sudah jauh menyimpang dari semangat UUD 1945,” jelas politisi Partai Golkar ini.

Azhar mengingatkan kehadiran lembaga DPD historinya adalah dalam rangka mewakili kelompok dan golongan yang dulu ada pada MPR, dimana diambil dari tiap daerah sama. Tidak bisa DPD disamakan dengan DPR.

Seharusnya DPD lebih kepada persoalan daerah yang diwakilinya, tapi ini sudah lebih jauh kalau kita mau berdebat hal ini.

Isi surat DPD, antara lain pem­bahasan suatu R UU d ibahas secara Triparti dimana seolah­olah keterwakilan DPR itu harus mewak i l i lembaganya bukan melalui kepanjangan tangan alat kelengkapan dewan.

Kemudian, DPD ikuti dalam pengambilan keputusan di Rapat Par ipurna DPR R I , ser ta DPD dapat menganulir UU yang sudah diputuskan DPR menyangkut wewenang DPD jika DPD tidak dilibatkan dalam pembahasannya.

MK Melanggar Konstitusi

S e m e nt ar a A n g g ot a B a l e g dari F­PKS, Bukhori menyatakan MK dalam perspektif sedikit keblabasan. Bukhori menjelaskan, meskipun MK itu diamanati oleh

UUD untuk mengawal terhadap UU, yang menjadi persoalannya adalah bagaimana menjaga tingkat subyektivitas daripada para hakim MK itu sendiri.

Dijelaskan Bukhori, dulu pada saat merumuskan satu perubahan terhadap UU MK, pada waktu itu ada beberapa fraksi mengusulkan perlu adanya satu kewenangan yang jelas dari MK. Pada saat itu, DPR ingin memposisikannya, karena hakim konstitusi yang berjumlah sembilan orang itu baik secara kelembagaan maupun secara kuantifikasi tentunya tidak akan sama.

“Ternyata tingkat subyektivitas para hakim itu tidak mampu dirumuskan. Waktu itu kita coba rumuskan dalam bentuk putusan­putusan yang terbatas, artinya hakim tidak boleh melampaui terhadap permintaan apa yang dilakukan pemohon dalam konteks yudicial review tetapi itupun akhirnya kemudian dibatalkan oleh MK itu sendiri”, jelas Bukhori.

Sehingga, kata Bukhori, yang terjadi saat ini adalah salah satu akibatnya. Bukhori ingat betul bagaimana Hakim MK, Hamdan Zoelva memberikan penjelasan pada saat rapat konsultasi dengan MK beberapa hari lalu. Dimana Hamdan membuka sedikit tabir, dimana menurut Bukhori MK menggunakan logika yang dipakainya adalah meng­equalkan atau menyamakan antara DPR dengan DPD.

Padahal kita semua tahu bahwa lembaga MK mestinya adalah

LEGISLASI

Page 47: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

47EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

negatif legislator, sedangkan di DPR adalah positif legislator. Artinya DPR yang membentuk UU, dan MK yang mencoret UU yang bertentangan, papar Bukhori. “Mestinya seperti itu. Tidak kemudian mencoret l a l u m e m b u at . I n i k a d a n g ­kadang melakukan dua hal yang bermasalah,” ujarnya.

Jadi sekali dan dirinya ingat betul bahwa memang frame yang dipakai MK dalam memutuskan uji materi UU MD3 itu adalah meng­equalkan atau menyamakan, karena suasana menstarakan antara DPD dengan DPR jika harus melalui mekanisme amandmen UU itu tidak memungkinkan. Satu­satunya melalui MK itulah.

“Oleh karena itu, saya sepakat dengan Ketua Baleg, bahwa meskipun itu putusannya putusan MK maka tentunya kita semua harus tunduk pada UUD 1945. Jadi kalau putusan­putusan yang berakibat bertentangan dengan UUD, tidak boleh diimplementasikan,” tegas Bukhori.

Oleh karena itu, dirinya ingin bertanya, apa konsekuensi ketika putusan­putusan MK itu tidak segera DPR lakukan revisi terhadap UU terkait?.

Jawabannya adalah ket ika keputusan MK itu tidak segera dilakukan satu perubahan terhadap UU terkait itu, maka keputusan itu belum bisa dijalankan, tegas Bukhori.

Ditegaskan Bukhori, Keputusan MK tidak bisa bersifat eksekusiable, tidak bisa dieksekusi. “Dia merupakan suatu barang yang sebenarnya masih ada di langit, untuk bisa sampai bumi ya harus kemudian dituangkan diformulasikan ke dalam RUU ini menurut aliran pembentukan UU kita,” terangnya.

Oleh karena itu, dirinya meman­dang, DPR tidak serta merta dengan adanya keputusan itu seperti orang yang kehilangan arah, semua RUU kemudian DPR ubah. Menurutnya

DPR tidak perlu tergesa­gesa, tetap saja harus dimasukan kedalam mekanisme yang ada selama ini yaitu melalui mekanisme program legislasi nasional.

“Apakah nanti di awal 2014 nanti kita akan melakukan perubahan prolegnas atau kemudian sesegera mungkin lalu kita harus melakukan perubahan terhadap prolegnas? Saya berpandangan itu belum menjadi suatu hajat yang sangat mendesak apalagi masih ada hajat­hajat yang lain misalnya yang harus diselesaikan dan lebih mendesak”, imbuhnya.

Oleh karena itu yang perlu disele­saikan, menurutny adalah RUU yang ada didalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) saja, seperti RUU MD3 yang memang sedang dibahas Baleg. Adapun RUU yang lain atau UU yang lain, menurutnya tidak kemudiakan digesa­gesakan karena situasinya sendiri tidak kondusif, apalagi misalnya putusan MK itu didalam kesimpulan tidak tertulis antara konsultasi DPR dengan MK.

“Pada akhirnya pun ketua MK menyatakan “silakan diatur di DPR”. Artinya sebenarnya serangan­serangan yang dilakukan dari pimpinan fraksi cukup membuat MK agak lumayan pula, putusan yang dianggap melanggar konstitusi,” tandasnya.

Baleg Diminta Tegas Terhadap Usulan Yang Bukan Bidang DPD

Sedangkan Irmadi Lubis, meminta Baleg ersikap tegas terhadap usulan­usulan yang memang bukan bidang Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Artinya dalam hal ini Pimpinan Baleg harus tegas menyikapinya, tidak boleh ada toleransi.

“Karena pada masa lalu pernah sedikit, karena rasa toleransi DPD mengajukan RUU Protokol dan Keuangan Pejabat Negara. Kita harus tegas, yang mana bidang yang telah ditentukan oleh konstitusi,” kata politisi F­PDIP DPR RI ini.

Konstitusi sendiri hanya mem­berikan tiga wewenang saja untuk DPD, yaitu ikut memberikan pertimbangan APBN, ikut membahas UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, perimbangan keuangan daerah, dan sumber daya alam. Dan ketiga, adalah hal yang sama sekali tidak dilakukan DPD, yaitu mengawasi pelaksanaan APBN di daerah, papar Irmadi.

“Waktu kita melakukan aman­demen dulu, itulah fungsi itulah yang paling penting. Mereka ada di daerah bukan di Jakarta, itu yang tidak mereka lakukan. Karena saya ikut pada saat amandemen itu,” jelasnya.

Irmadi memaklumi bahwa Keputus­an MK sudah final. Ikut membahas dalam pembahasan tingkat pertama dalam pembentukan UU, ok DPD ikut. Tapi pada saat pengambilan keputusan, DPD tidak ikut.

Pembahasan tingkat dua, me nu ­r ut nya, DPD boleh ikut dan dalam sidang paripurna DPR pun demikian, tapi untuk mengambil keputusan DPD tidak berhak.

“ Selama ini UU hasil Inisiatif DPD tidak diakui sebagai UU Usul DPD, usulan DPD menjadi lebur menjadi usul DPR. Setelah keputusan MK, UU Usulan DPD menjadi tetap RUU Usul Inisiatif DPD,” terang Irmadi.

Tidak Untuk Basa Basi.

Page 48: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

48 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Berbeda dengan Anggota Baleg lainnya, Hendrawan Supratikno, m e n y a t a k a n ke p u t u s a n M K sebetulnya, sp ir i tnya searah dan sejalan dengan apa yang berkembang dalam pembahasan Amandemen UU MD3 di Baleg.

“Jadi dalam rapat­rapat Baleg itu, kami juga menyampaikan pan­dangan agar peran DPD tidak hanya peran yang sifatnya ornamental, marjinalis, atau peran pinggiran yang menimbulkan kesan dan juga konsekuensi seakan­akan DPD sekedar hanya pajangan. Pelibatan DPD hanya bentuk basa­basi, kepura­puraan hubungan antar lembaga. Tidak seperti itu”, kata Hendrawan kepada Parlementaria.

Menurutnya, pada saat menyam­paikan pandangan di Baleg, Fraksi PDI Perjuangan dan Baleg secara umum bersedia untuk memberi porsi peran yang lebih proporsional untuk DPD. Sehingga, kata dia, keputusan MK sejalan dengan spirit pembahasan di Baleg.

Tapi, kata Hendrawan, ketika spirit diterjemahkan menjadi norma­norma yang mengikat harus betul­betul dicermati agar peran DPD betul­betul proporsional sesuai dengan struktur dan pembagian peran kelembagaan antar lembaga negara.

“Saya kira DPD juga tidak me­nun tut melebihi dari apa yang

digariskan oleh konstitusi, saya kira DPD juga tidak mau melakukan itu. Artinya perjuangan DPD juga bukan perjuangan yang membabi buta,” tukasnya.

Dirinya merasa senang, jika ada teman­teman dari DPD yang ingin membahas lebih serius suatu Undang­Undang, apalagi DPR nantinya dibantu dengan s u n t i k a n p e m i k i r a n ­pemikiran yang bagus dari DPD. Merupakan suatu komplestasi tersendir i , kerajinan orang DPD dan

kerajinan orang DPR bisa diukur, mana yang lebih rajin.

“Jadi keputusan MK terhadap gugatan DPD , sejalan, karena kami ingin jangan ada kesan dan konsekuensi DPD hanya dilibatkan untuk basa­basi kelembagaan saja”, ujarnya.

Ia menyatakan dalam pembahasan suatu Undang­Undang di DPR, menampung masukan­masukan dari berbagai pihak, teknis keterlibatan DPD sendiri akan dibicarakan secara proporsional dan lebih spesifik oleh Baleg.

Tapi masukan DPD dalam pem­bahasan suatu Undang­Undang, kata Hendrawan, tidak sama seperti masukan dari elemen masyarakat. DPD tidak bisa disamakan dengan masyarakat. DPD mewakili arus besar kepentingan yang harus ditampung juga.

“Tapi saya kira nanti kita akan mem buat suatu langkah atau kesepakatan, dan konsekuensi keputusan MK akan dijabarkan dalam peraturan bersama,” terangnya.

Hendrawan mengakui, memang muncul wacana di Baleg, bahwa nanti dalam tingkat Panitia Kerja ada satu kelompok teman­teman dari anggota DPD. Tapi sekali lagi, pembicaraan yang lebih spesifik akan dit indak lanjuti. Karena menurutnya juga jangan sampai

pemberian peran itu menabrak peran DPR, bahwa kewenangan membentuk Undang­Undang itu ada di DPR.

D a l a m U U D 19 45 s e n d i r i , menurutnya dinyatakan DPD berwenang membahas. “Tetapi memutuskan dengan membahas itukan ada bedanya. Membahas itu artinya pada level perdebatan, argumentasi, pada level untuk mengusulkan pasal dan seterusnya, tetapi keputusan disitu sudah jelas sekali adalah DPR,” tegasnya.

H e n dr aw an s etu ju , b ahw a dalam pembahasan posisi DPD setara dengan DPR dan Presiden, seperti keputusan MK, bahwa DPD memiliki kesetaraan dengan pemerintah dan DPR dalam hal pembahasan UU. Tetapi konstitusi juga menyatakan dengan tegas bahwa hak membentuk UU hanya pada DPR dan Presiden.

Kalau MK membuat rancu antara membahas dengan memutuskan, itu inkonstitusional, tapi dirinya y ak in M K su dah m e lak uk an deleberasi, membuat pertimbangan­per timbangan yang seksama. Sembilan hakim di MK menjadi pengawal konstitusi. Dia tidak yakin hakim di MK merancukan anatar hak membahas dan hak memutuskan.

“Mengajukan dan Membahas, it ’s ok, nanti akan dibicarakan. Pembahasan kan penting sekali, hasil akhir adalah produk pembahasan, keputusan produk dari pembahasan, k a l au s u d ah te r l i b at d a l am pembahasan kan sebenarnya sudah sangat mempengaruhi produk akhir seperti apa yang diinginkan”, papar Anggota Komisi VI DPR RI ini.

“ Tet api konst i tus i memang menegaskan, bahwa kewenangan untuk memutuskan di DPR. Seluruh fraksi saya rasa setuju, mereka tidak akan ada yang menentang hasil keputusan MK. Tidak perlu ada kekhawatiran DPR sedang dikebiri atau dilucuti kewenangannya tidak seperti itu,” tambahnya lagi. (sc)

LEGISLASI

Page 49: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

49EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

LEGISLASI

“RUU Pertanahan sudah dikirim ke Presiden. DPR berharap Presiden segera kirim surat ke

DPR menunjuk menterinya untuk segera membahas RUU ini,” kata anggota Komisi II DPR Gamari Sutrisno kepada Parlementaria, baru­baru ini di Gedung DPR, Jakarta.

Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai jika nantinya ampres

sudah keluar, menurut dia RUU Pertanahan cukup dibahas di tingkat komisi dalam bentuk Panitia Kerja (Panja). “Saya dengar ini (RUU Pertanahan­red) mau dipansuskan. Saya pikir cukup di bahas di Komisi II saja, tidak perlu dipansuskan. Artinya kalau bisa diselesaikan di tingkat Panja, buat apa dipansuskan,” ujarnya.

Dari pengalaman­pengalaman yang

DPR meminta agar pemerintah segera menerbitkan Amanat Presiden (Ampres) yang menugaskan menteri sebagai wakil pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan di DPR. Sebab, DPR mentargetkan RUU Pertanahan bisa diselesaikan pada masa sidang tahun ini.

Anggota Komisi II DPR Gamari

Sutrisno.

DPR Minta Presiden Segera Terbitkan AmpresRUU Pertanahan

Page 50: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

50 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

ada dalam membahas RUU, Ga­mari mengatakan pembahasan RUU di tingkat Panja lebih cepat ketimbang di tingkat Pansus (Panitia Khusus). “Toh Panja juga terdiri dari fraksi­fraksi di DPR. Bahkan setiap pengambilan keputusan di Panja juga harus berkonsultasi dengan fraksinya,” kata Gamari menjelaskan.

Ia beranggapan kehadiran UU

Pertanahan nantinya bisa menjadi solusi bagi berbagai masalah pertanahan di Indonesia. Di samping itu, UU Pertanahan ini juga akan menjadi pelengkap Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UU PA). “UU Pertanahan itu tidak akan menyimpang dari UU PA, justru kehadirannya untuk melengkapi dan menyempurnakan. Artinya UU Pertanahan itu lex specialis yang mengatur soal pertanahan,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa juga optimis RUU Pertanahan mampu mendorong reformasi agraria. Apalagi semangat reformasi agraria sudah menjadi amanat dalam UUD 1945 yang mengamanahkan untuk mengelola Sumber Dalam Alam (SDA) untuk kemakmuran rakyat yang kemudian diperkuat dengan diterbitkannya UU Pokok Agraria 1960 dan Tap MPR/XI/2001.

“RUU Pertanahan ini diharapkan bisa menyelesaikan konflik agraria, sengketa pertanahan, diseluruh Indonesia yang sampai hari ini banyak tidak terselesaikan,” kata Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa di Gedung DPR, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Politisi dari Partai Golkar itu memastikan bahwa Komisi I I DPR bertekad untuk secepatnya menyelesaikan RUU ini dengan

harapan konf l ik agrar ia b isa terselesaikan secara komprehensif termasuk sengketa pertanahan yang masih banyak terjadi dari Sabang sampai Merauke yang sampai hari ini belum kunjung usai.

“Ternyata ketidakselesaian itu akibat arogansi dari UU yang bersifat sektoral, sehingga kadang­kadang Gubernur dan Bupati tidak bisa berbuat apa­apa, ditambah Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga sudah lepas tidak lagi dalam jangkauan kepala­kepala daerah,” ujarnya.

Sebagai bukti keseriusan Komisi II DPR dalam merampungkan RUU ini pihaknya mengaku bahwa Komisi II DPR bekerja tanpa mengenal waktu dengan harapan agar RUU ini segera rampung. “Komisi di DPR yang paling luar biasa adalah Komisi II DPR, tiada hari tanpa aktifitas, hari Jumat dan Sabtu pun kami tetap bekerja tanpa lelah, kami mengapresiasi untuk seluruh anggota Komisi II DPR atas kinerjanya dalam pembahasan RUU ini,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan, Abdul Hakam Naja mengatakan RUU tentang pertanahan ini me­ru pakan RUU inisiatif DPR yang sudah dirumuskan sejak tahun 2012. “RUU ini bila sudah menjadi u n d a n g ­ u n d a n g b e r t u j u a n

“RUU Pertanahan ini diharapkan bisa menyelesaikan konflik agraria, sengketa pertanahan, diseluruh Indonesia yang sampai hari ini banyak tidak terselesaikan,” kata Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa.

Page 51: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

51EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

untuk menggantikan sekaligus memperbarui UU Pokok Agraria No 50 tahun 1960 yang sudah tidak relevan lagi untuk mengatasi masalah pertanahan di zaman sekarang,” kata Hakam Naja.

Hakam Naja mengatakan, RUU Pertanahan merupakan sebuah peraturan teknis. Namun, tidak banyak kepentingan politik di situ. “Maka, pembahasan RUU Pertanahan tersebut juga bisa lebih cepat dibandingkan yang lain,” ujarnya.

Menurut dia, dalam RUU Per­tanahan akan dibahas dan diatur cara penanganan terhadap seng­keta tanah yang terjadi antara masyarakat, badan usaha, instansi pemerintahan, dan negara. “Dengan maraknya konflik dan persengketaan tanah di beberapa daerah, baik a n t a r a m a s y a r a k a t d e n g a n perkebunan, pertambangan, atau lembaga tertentu maka diperlukan undang­undang pertanahan sebagai solusi untuk hal­hal seperti itu,” katanya.

Selanjutnya, dia mengatakan UU Pertanahan itu nantinya dapat menjadi penghubung antara undang­undang sektoral yang terkait dengan pertanahan, seperti undang­undang tentang pertanian, kehutanan, pertambangan, dan tanah untuk pembangunan jalan.

“Dalam hal ini UU Pertanahan berfungsi menjembatani antara undang­undang sektoral yang satu dengan yang lain, tentunya yang berhubungan dengan soal pertanahan,” katanya.

Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) menambahkan, dalam RUU Pertanahan yang sedang dirumuskan itu, Komisi II DPR juga akan mengatur mengenai jumlah luas tanah yang akan diberikan dalam Hak Guna Usaha suatu perusahaan dan posisi masyarakat dalam hal itu.

“Ini sedang kami coba rumuskan dalam pembahasan RUU Pertanahan sehingga nanti ada kejelasan regulasi

tentang HGU, dan pengaturan nanti tidak cukup hanya dengan SK menteri,” jelasnya.

“Karena bila hanya dengan SK menteri, peraturan bisa menjadi sangat fleksibel. Kalau seorang menter i bisa mengubah HGU hingga sebuah perusahaan dapat menguasai ratusan ribu hektar tanah, ini kan melanggar prinsip keadilan,” lanjutnya.

Selain itu, dia menyampaikan U U Per t anahan juga te r ka i t dengan pemanfaatan tanah bagi kesejahteraan rakyat, dimana tanah­tanah yang terlantar dan tidak dimanfaatkan akan dapat diambil alih oleh negara untuk diredistribusikan kepada masyarakat, khususnya bagi para petani dan orang­orang yang tidak mempunyai tanah untuk mendirikan tempat tinggal.

Namun, dia mengatakan tanah yang d ib er ikan o leh negar a kepada masyarakat tersebut tidak dapat dipindah tangan ataupun diperjualbelikan kembali. “Dalam UU Pertanahan akan kami upayakan petani dan masyarakat dapat mengoptimalkan penggunaan tanah. Jadi, masyarakat tidak lagi memiliki tanah pemberian negara itu hanya untuk diperjualbelikan lagi

atau disewakan,” kata Hakam Naja.

Sampai saat ini, Komisi II DPR kata Hakam Naja masih menunggu siapa yang akan menjadi wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Pertanahan. “RUU Pertanahan sudah disahkan sebagai RUU usul inisiatif DPR pada penutupan masa sidang lalu. Secara adminstratif langsung dikirim kepada Presiden, dan Presiden akan membalas surat untuk mengutus wakil­wakil dari pemerintah, biasanya kementerian terkait,” kata Hakam Naja.

Hakam mengatakan, RUU Per­tanahan sudah digodok oleh Komisi II DPR sejak setahun lalu. Dalam masa penggodokan itu, Komisi I I DPR mengundang sejumlah pakar antara lain Kurnia Warman (Universitas Andalas) dan Arie Sukanti Hutagalung (Universitas Indonesia). Komisi II juga sudah meminta masukan dari LSM dan aktivis. “Draf itu sudah dibongkar sampai lima kali,” ujarnya.

RUU ini terdiri dari 15 Bab dan 100 Pasal. Isi Bab RUU ini, di antaranya soal hubungan negara dengan masyarakat menyangkut tanah, hukum adat, pendaftaran tanah, dan perolehan tanah. (nt)

Page 52: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

52 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

FOTO BERITA

Reporter Baru.Anggota Komisi III Bambang Soesatyo saat

membantu memegang mikropon peliput dari salah satu TV swasta nasional, yang mewawancarai Antasari Azhar. Foto:Rizka/Parle.

Anggota Tim Kunker Panja RUU Ormas Muslim dan Sumarjati Arjoso menyapa mahasiswa Untan sebelum pertemuan dimulai.

Page 53: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

53EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Panas di dalam Panas di luar.Tidak hanya di dalam ruang rapat Paripurna DPR

yang dihujani interupsi, di luar gedung ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat mulai aksi bakar­bakar Tolak Kenaikan BBM ! Foto: Eka Hindra/Parle.

FOTO BERITA

Page 54: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

54 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Pohon Kelapa memiliki banyak manfaat, mulai dari akar, batang kayu, bunga, buah, pelepah daun muda (janur), dan daun­daunnya semua berguna. Di pedesaan buah Kelapa seringkali dibuat kopra sebagai bahan baku minyak Kelapa. Tahukan Anda, buah dan air Kelapa memiliki manfaat dan khasiat untuk kesehatan tubuh.

Dari beberapa literature diperoleh data analisa nilai nutrisi daging

buah kelapa yang berumur 8 bulan mempunyai kandungan, sebagai berikut : kadar air 90,59 %, kalori 437 kkal/100 g, protein 10,67 %, minyak 26,67 %, total karbohidrat 38,45 %, gula sebagai glukosa 24,92 %, pati 13,53 %, dan serat kasar 3,98 % .

Data lain menunjukkan, air kelapa muda (7 – 8 bulan) mengandung protein 0,13 g, minyak 0,12 g, karbohidrat 4,11g, mineral Ca

20 mg, Fe 0,5 mg, vitamin asam askorbat 2,2 – 3,7 mg dan air 95,01/ 100 g. Protein kelapa, dibandingkan dengan kacang­kacangan, lebih baik dalam hal asam amino isoleusin, leusin, lisin, threonin dan valin.

Sedang kandungan mineral utama yang terdapat dalam daging buah kelapa, antara lain Cu (3,2), Fe (17 ppm), P (2.4 ppm), S (4,4 ppm), serta kandungan vitamin pada buah meliputi Vitamin C (10 ppm),

KIAT SEHAT

Rahasia Dibalik Buah dan Air Kelapa Indonesia sering dijuluki sebagai “Negeri Nyiur Melambai” bukan omong kosong. Hampir di semua tempat baik pantai maupun daratan negara beriklim tropis ini banyak ditemukan pohon-pohon Kelapa atau yang memiliki nama botani Cocos nucifera, L. Pohon-pohon Kelapa yang tinggi itu ketika dihembus angin daun-daunnya bergerak seolah-olah melambai-lambai. Bahkan, sebagai simbol dan kebanggaan bangsa ini pohon Kelapa ditanam di depan Gedung”Caping” Parlemen Senayan, Jakarta.

Page 55: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

55EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Vitamin B(15 IU), dan Vitamin E (2 ppm).

Meskipun waktu itu belum ada data research nenek moyang bangsa Indonesia telah memanfaatkan buah dan air kelapa terlebih dahulu untuk keperluan kesehatan. Sampai saat ini, sebagian masyarakat masih memanfaatkan khasiatnya untuk berbagai penyembuhan penyakit seperti demam, cacar, campak, usus, diare, kolera, muntah­muntah, dsb.

Melimpah hasil buah kelapa dan banyaknya kandungan zat gizi yang kaya khasiat tersebut menjadikan air kelapa juga menjadi berkah bagi sebagian masyarakat untuk berdagang minuman segar alami. Kelapa muda telah menjadi minuman favorit banyak orang, terutama untuk dinikmati pada saat cuaca terik karena dapat menghilangkan rasa dahaga. Kandungan nutrisi air kelapa muda yang kaya akan kalori terutama dari karbohidrat merupakan elektrolit alami yang berfungsi untuk menggantikan ion atau cairan tubuh yang hilang secara cepat.

Bagi mereka yang mengutamakan sifat hygenis maka minuman kelapa muda yang dijual di pinggir jalan raya memang cukup sulit untuk dijamin kebersihannya. Namun di sejumlah pasar swalayan sekarang dapat ditemukan produk minuman

air kelapa yang telah dikemas menjadi sebuah minuman isotonik. Pemanfaatan potensi dan khasiat air Kelapa yang memiliki kandungan unsur mineral dan glukosa cukup baik tersebut karena pertimbangan ilmiah memiliki keseimbangan elektrolit sehingga berguna untuk kesehatan tubuh.

Menurut para ahli, air kelapa muda yang banyak mengandung elektrolit sangat baik untuk keperluan ginjal manusia. Dengan minum segelas air kelapa muda yang sifatnya alami, kerja ginjal untuk menyaring berbagai zat berbahaya (racun) yang masuk ke dalam tubuh menjadi dipermudah. Ini dapat dibandingkan d e n gan, mis a lk an minuman kemasan pabrik lainnya, maka ginjal harus bekerja ekstra keras.

Bagi seseorang yang sedang m e n g a l am i ke r a c u n an a k an sangat bijaksana untuk diberikan pertolongan pertama dengan memberi minum air kelapa muda, terutama Klopo Ijo atau Kelapa Hijau akan sangat membantu menetralisir racun­racun yang sudah masuk ke dalam tubuh.

Buah kelapa hijau adalah salah satu jenis buah tanaman kelapa yang tidak mesti berwarna kulitnya hijau tetapi ciri khasnya serat permukaan dalam kulitnya jika di potong berwarna kemerahan dan

sering disebut sebagai kelapa obat. Dibanding kelapa muda biasa Kelapa Hijau berbeda lebih mahal sedikit dan pada umumnya kelapahijau dagingnya tipis sehingga hanya diambil airnya. Kelapa hijau telah turun­temurun dipercaya berkhasiat untuk mengatasi berbagai macam penyakit dan sebagai antipiretik, diuretik, hemostatik, dan laksatif.

Manfaat lain dari air buah Cocos nucifera, L. yang mengandung banyak serat ini adalah sebagai pelancar sistem pencernaan, dan untuk membantu membersihkan saluran kemih yang kotor sehingga air seni menjadi lebih lancar. Sudah banyak bukti air kelapa muda, khususnya Kelapa Hijau mampu menyembuhkan dehidrasi dan mengembalikan cairan tubuh secara alami dengan proses cepat.

Untuk kebaikan tubuh, cobalah minum air kelapa hijau minimal seminggu sekali dan rasakan perubahan dalam hidup dan kesehatan Anda selanjutnya. Dengan minum air Kelapa Hijau ataupun air kelapa muda reaksi tubuh akan menjadi lebih tenang dan mampu membuat tubuh merasa lebih segar.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan salam sehat selalu. (t t /dari berbagai sumber).

Page 56: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

56 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

agUs HerMantO

Adalah sepasang suami istri, Sujud Pujoutomo dan Hj Musinah yang hidup di sebuah desa kecil, Klepu namanya. Desa Klepu berada di Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Meski merupakan kehamilannya yang ke sepuluh, namun hal itu tak mengurangi rasa syukur Musinah atas kepercayaan Sang Khalik yang kembali menitipkan buah hati kepadanya. Tak ayal setiap hari bibir Musinah tak henti-hentinya menggumamkan shalawat untuk keselamatan dan keberkahan si jabang bayi yang tengah dikandungnya.

Melenggang Ke Senayan Berkat Rasa Pede

Page 57: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

57EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Setelah menunggu selama sembilan bulan sepuluh hari, akhirnya bertepatan

dengan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1956 sang jabang bayi yang dikandung Musinah pun lahir ke dunia. Dibarengi dengan teriak tangis sang jabang bayi, lantunan Adzan dan Takbir pun dikumandangkan Sujud ke telinga kanan dan kiri putra mungilnya.

Kebahagiaan yang tak terkira tampak di raut wajah Sujud dan Musinah, mengingat harapannya atas jenis kelamin dan kondisi sang jabang bayi terwujud. Maklum dari kesembilan anak­anaknya sebelumnya, komposisi anak laki­laki lebih sedikit dibanding anak perempuan yang jumlahnya 6 orang. Agus Hermanto, begitulah nama yang kemudian disandangkan kepada sang buah hati.

Musinah sempat berharap bahwa itu kali terakhirnya melahirkan sang jabang bayi, namun Allah SWT berkehendak lain. Selang beberapa tahun kelahiran Agus, Musinah kembali melahirkan anaknya yang kesebelas.

Masa Kecil

Dikisahkan Agus kepada Parle di ruang Pimpinan Komisi X DPR RI, Gedung Nusantara I Senayan Jakarta, ia mungkin agak sulit menggambarkan apakah masa kecilnya bisa dikatakan sangat bahagia atau menderita,karena yang ia ingat kehidupannya kala itu tak berbeda jauh dari teman­temannya. Jika kebahagiaan yang dimaksud di l ihat dar i ukuran ekonomi, sudah pasti ia bukan berasal dari keluarga bahagia, ayahnya hanya seorang guru yang menjelang masa pensiunnya menjabat sebagai kepala sekolah. Bisa dipastikan gaji pegawai negeri dengan sebelas anak saat itu dirasa belum bisa mencukupi seluruh kebutuhan mereka. Singkat cerita, Agus merasa masa kecilnya cukup prihatin.

Kendati demikian, batin Agus tidak pernah merasa kekurangan. Ia merasa bahagia karena memiliki ayah dan ibu yang sangat perhatian pada keluarga dan anak­anak. Setiap pagi ia dibangunkan, di suruh mandi, diingatkan sholat subuh, sarapan hingga diantar ke sekolah. Dan ketika malam tiba Agus dan sepuluh saudara kandungnya diingatkan supaya tak lupa pergi mengaji di surau yang berjarak hanya

selemparan batu dari rumahnya.

Rutinitas seperti itulah y a n g m e m b u a t A g u s bahagia,hanya keluarga yang harmonislah yang bisa melakukan semua itu. Sebaliknya keluarga yang tidak harmonis akan lebih m e m i l i h m e m b i a r k a n

anak­anaknya mencari jalan masing­masing.

Jika dilihat dari hal itu, Agus merasa

s a a t i t u i a adalah anak

yang paling bahagia.

Penghayatan keagamaan menjadi Pendidikan dasar yang diberikan orangtua pada Agus dan kesepuluh saudaranya. Karena bagi ayah Agus, agama menjadi dasar dari segala ilmu dunia dan akhirat. Oleh karena itulah hingga kini Agus selalu menerapkan hal tersebut pada keempat anak­anaknya.

Berkulit gelap, rambut lurus dengan tubuh tak seberapa tinggi membuat penampilan Agus biasa­biasa saja. Namun yang membuat Agus berbeda dari teman­temannya adalah keramahan agus yang sangat tampak dari raut wajahnya. Ditambah dengan penampilannya selalu bersih setiap kali ia berangkat ke sekolah membuat Agus tampak berbeda di mata teman dan guru­gurunya. Hal itulah yang membuat Agus tampil pede di tengah teman­temannya, meski usianya tergolong paling muda saat itu.

Dari berpuluh­puluh teman SD nya hanya beberapa orang yang melanjutkan sekolah ke SMP. Faktor ekonomi menjadi kambing hitam alasan mereka. Namun hal itu tak berlaku bagi keluarga Agus. Bahkan sang ayah bertekad bahwa kesebelas anak­anaknya tidak boleh berpendidikan dibawah dirinya yang ketika itu hanya lulusan SMA. Melihat perekonomian keluarga yang tidak terlalu berkecukupan, Agus dan ketiga saudara laki­lakinya sempat berjanji bahwa jika mereka ingin kuliah maka itu bukan menjadi kewajiban kedua orang tua mereka.

“Dengan kata lain, kewajiban orangtua kami hanya membiayai kami hingga SMA saja, jika kami ingin kuliah, maka itu harus dengan biaya kami sendir i,”ujar Agus menceritakan pengalamannya.

Meski sempat membuat kecil hatinya, namun kenyataan itu tak menyurutkan keinginan Agus untuk menjadi seorang tukang insinyur jika mengambil istilah yang sempat dilontarkan almarhum Benyamin

Sueb dalam sinetron Betawi yang cukup fenomenal, Si Doel Anak sekolahan.

PROFIL

Page 58: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

58 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Memasuk i masa SMP Agus harus menempuh perjalanan 2,5 KM menuju sekolahnya, karena memang konon desa tempat tinggal Agus yang tergolong terpencil. Dan ketika SMA Agus harus menempuh perjalanan lebih jauh lagi, 9,5 km, sebuah sekolah di ibukota Kabupaten, tepatnya di Ungaran. Dikisahkannya, Lulus SMA usia Agus masih 17 tahun, usia yang tergolong muda saat itu dibanding teman­temanya, namun diakuinya hal itu bukan karena dirinya pandai atau pintar, melainkan usianya yang masih dini ketika masuk Sekolah Dasar, 4,5 tahun.

Karir dan Politik

Lulus SMA, Agus memutar otak untuk tetap bisa mewujudkan cita­citanya itu. Antara pede dan nekad, tahun 1974 ia memutuskan untuk hijrah ke ibukota mengikuti je jak sang kakak. Untungnya didikan orangtua membuat Agus dan saudara­saudaranya kompak, sehingga setibanya di Jakarta, sang kakak langsung menawarkan pilihan ke Agus untuk memilih kampus yang sesuai dengan keinginanya. Dipilihlah STTN (sekolah tinggi teknologi nasional) yang sekarang ISTN sebagai tempat Agus menimba ilmunya.

“Tapi ketika itu, kakak saya berpe­san hanya mampu membiayai kuli ah saya di tahun pertama saja. Selebih­nya kamu harus cari sendiri Gus, kata kakak saya,”kisah adik kandung Hadi Utomo, Ketua Umum Partai Demokrat Periode 2005­2010 ini.

Ucapan sang kakak tak membuat khawatir Agus. Lagi­lagi dengan kepedean dalam dirinya Agus yakin bahwa ia akan segera mendapat pekerjaan sebelum memasuki tahun ke dua perkuliahannya. Dengan diiringi doa, Agus tak per lu menunggu waktu lama untuk bekerja. Ia diterima menjadi pelaksana di salah satu perusahaan kontraktor, PT Hindya Taruna Jaya.

Tak mengurangi rasa syukurnya bisa membiayai kebutuhan hidupnya

sendiri, dua tahun sebagai pelaksana di perusahaan tersebut, Agus pindah ke perusahaan lainnya, PT Astra Graphia yang dikenal dengan produk mesin fotocopy nya. Disini Agus tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya saja, namun lebih dari itu pundi­pundi rupiah pun dapat dikumpulkan Agus. Hingga kemudian Agus memberanikan diri untuk hidup mandiri dengan meninggalkan rumah sang kakak, dan pindah di rumah kontrakan yang tak berapa luasnya.

Lima tahun bekerja sebagai teknisi lapangan di perusahaan yang lumayan besar itu tak membuat Agus merasa puas dir i , Agus kemudian “loncat” ke perusahaan lainnya sebagai Asisten Menejer. Ternyata di perusahaan ini pun Agus tak bertahan berapa lama, hingga kemudian ia kembali pindah ke perusahaan swasta lainnya. Sambil berpindah­pindah kantor, tak lupa Agus terus mengumpulkan pundi­pundi rupiah, hingga akhirnya ia memiliki ide untuk membuka usaha foto copy dan menjadi direktur ut amany a (h ingga sekar ang perusahaan itu masih ada).Tak hanya memiliki usaha sendiri, ketika itu Agus pun membeli rumah sendiri di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur.

Puas malang mel int ang d i perusahaan swasta, Agus merasa bahwa sudah saatnya ia mengabdi kepada Negara secara langsung alias menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Saat itu menurut Agus kesejahteraan untuk PNS sudah jauh lebih baik dibanding ketika jaman ayahnya bekerja. Agus bersyukur bahwa Allah SWT selalu membuka jalan baginya. Berbekal pengalamannya bekerja di perusahaan swasta hingga akhirnya membuka perusahaan sendiri, tahun 1989 Agus didapuk jabatan sebagai Kepala Sub Bidang Prasarana Perlindungan Konsumemn pada Puslitbang PDN­BPPIP Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

“Lima belas tahun sebagai PNS membuat saya berpikir bahwa jika menjadi PNS itu berarti saya berjalan di jalur lambat, karena kalau kencang ­ kencang b isa nabrak,”ungkap Agus berfilosof.

Kurang lebih kalimat Agus itu bermakna jika mengikuti perjalanan karirnya sebagai PNS, Agus tidak akan pernah bisa sampai ke posisi puncak seperti Menteri. Padahal sebagai seorang pemuda, Agus memiliki cita­cita setinggi langit. Dengan begitu, tak ada jalan lain bagi Agus untuk meraih cita­citanya selain lewat jalur politik.

Bidang polit ik lah yang bisa men jadi perahu bagi Agus dalam mengantarkannya menuju posisi puncak pengambil keputusan sebuah negara. Ketika masa reformasi terjadi, seiring dengan itu organisasi massa dan partai politik pun banyak bermunculan. Hal tersebut ikut menjadi angin surga bagi Agus. Pasalnya ia dapat leluasa memilih

Page 59: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

59EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

partai politik yang diyakini sesuai dengan visi dan misinya selama ini. Lebih lanjut melalui partai itu ia akan berlayar di kehidupan berbangsa. Ketika itu Partai Demokrat menjadi partai anyar yang memungkinkan “pemain baru” seperti Agus untuk bisa ikut mendayung didalamnya.

Ketika memilih berkiprah di dunia Politik, secara otomatis Agus harus keluar dari karirnya sebagai PNS. Sebuah keputusan sulit untuk Agus, dimana ketika itu Agus pun masih menduduki jajaran pengurus KORPRI. Namun setelah menjalani sholat Istikharah berulang kali, keyakinan Agus untuk masuk ke dalam jajaran pengurus Partai Demokrat semakin bulat.

“Terlebih lagi ketika itu saya lihat tokoh Partai tersebut dinakhodai SBY yang saya nilai memiliki jiwa

negarawan, sehingga saya merasa yakin bahwa partai ini akan menjadi partai besar,” ingat Agus.

Di Partai Demokrat Agus langsung m e n d u d u k i j a j a r a n D e w a n Pengurus Pusat, ia mengetuai Bidang Hubungan Luar Negeri dan Antar Lembaga. Sejalan dengan itu, nama Agus pun masuk dalam daftar Caleg di tahun 2004. Namun sebagai pendatang baru, Agus tidak bisa memilih Daerah pemilihan (Dapil) yang sesuai dengan dirinya.

Agus menjadi Caleg untuk Dapil Karawang. Untung saja ketika itu ia masuk di nomor urut pertama sehingga dapat diduga Agus pun dapat dengan mudah melenggang ke Senayan menjadi anggota dewan.

Menjadi Anggota dewan di tahun 2004 merupakan pengalaman yang baru bagi Agus. Meski demikian, Agus mendapat kepercayaan sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat sekaligus sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI periode 2004­2009.

“Saat itu saya meminta kepada Dewan Pengurus lainnya, jika saya berhasil melenggang ke Senayan, saya minta diposisikan di Komisi VI yang bermitra dengan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. Mengingat pengalaman saya di be berapa perusahaan swasta

dan menjadi PNS di lingkungan Deperindag,”aku Agus.

Dalam pemilu selanjutnya Agus kembali “bertarung” dalam kancah politik untuk tetap menduduki kursi Parlemen. Kali ini Agus diberikan kesempatan memilih Dapil yang diinginkannya. Tak ada pilihan terbaik bagi Agus selain menjadikan Kota Kelahirannya Semarang untuk menjadi Dapilnya. Lagi­lagi dewi fortuna menghampiri Agus, ia kembali melenggang ke Senayan

untuk kedua kalinya.

Kali ini Agus menduduki Komisi X dan ia didapuk sebagai Ketua Komisi. Bertepatan dengan itu di tahun 2010 hingga saat ini Agus juga mengetuai sebagai Ketua Komisi Pemenangan Pemilu Partai Demokrat sekaligus menduduki Wakil Ketua Umum Partai Demokrat. Meski selalu merasa pede dalam meniti karir namun Agus menampik jika ia menargetkan untuk menjadi RI 1 alias Presiden untuk kedepannya.

“Untuk kali ini saya tidak pede, saya juga mengukur diri saya, kalau orang Jawa bilang kalau mau memakai baju jangan yang kegedean, begitupun dengan target karir saya, jabatan atau predikat Presiden menurut saya terlalu besar atau terlalu tinggi untuk diri saya,”ujar Agus.

Menikah dan Mendidik Anak

Pergaulan remaja masa i tu b e r b e d a d e n g a n s e k a r a n g . Apalagi bagi Agus. Ia tidak ingin mengecewakan wanita, karena ibu dan saudara­saudaranya lebih banyak wanita. Karena itulah Agus sempat bertekad bahwa ia akan menikah jika sudah mapan dalam kehidupan perekonomian. Dan ketika jabatan asisten menejer sudah diraihnya, sang ayah mengingatkan Agus untuk segera melangsungkan pernikahan.

Ketika itu tak banyak wanita yang ‘dilirik ’ Agus. Orangtuanya pun membebaskan kesebelas anak­anaknya, tentu saja termasuk Agus untuk memilih pasangan hidupnya masing­masing. Masih diingat Agus, sang ibu sempat berpesan, bahwa dari sang ibu membebaskan anak­anaknya memilih pasangan hidupnya yang seiman dan seakidah.

“Tapi ada kata terakhir ibu saya, kalau bisa yang mengerti bahasa Jawa,” kata Agus sambil tersenyum simpul.

Nah, kalimat terakhir itulah yang sepertinya menjadi pesan singkat namun penuh arti. Dengan kata

Page 60: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

60 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

lain, Sang Ibu berharap agar Agus mendapat istri seorang gadis jawa.

J o doh dat ang d is aat y ang tak terduga. Suatu saat, ketika Agus mengunjungi temannya di Semarang, disaat bersamaan adik teman Agus itu membawa temannya juga bernama Ishta Saraswati. Entah kenapa saat meli­hat Ishta yang seorang gadis Solo, Agus merasa ada getaran­getaran yang belum pernah ia rasa sebelumnya. “ A p a m u n g k i n i n i y a n g d i n a m a k a n c int a , ”gumam A gus dalam hati ketika itu.

Gayung bersambut, Ishta pun merasakan hal yang tak berbeda jauh dengan apa yang dirasakan Agus. Singkat cerita, kedua insan ini pun mendeklarasikan diri sebagai sepasang kekasih. Diakui Agus, saat itu sebenarnya ia ingin segera meminang Ishta. Namun pertimbangan usia Ishta yang saat itu masih berusia 20 tahun, yang dirasa Agus masih cukup muda untuk membina rumahtangga. Terlebih lagi Ishta juga belum lulus kuliah. Dan ketika usia pendekatan mereka satu tahun, dimana usia Ishta juga memasuki usia 21 tahun, perbedaan usia keduanya yang terpaut tujuh tahun tak menghalangi niat mereka untuk membangun rumah tangga sakinah mawaddah warrahmah.

“Kebetulan saat itu orangtua Ishta sudah pindak ke Jakarta, jadi kami tak berapa lama menjalani hubungan jarak jauh,”kata Agus.

Tepat tanggal 8 Januari 1984 keduanya mengikrarkan diri menjadi sepasang suami istri. Setahun kemudian Ishta melahirkan anak pertama mereka, 9 April 1985 yang kemudian diberi nama Lintang Pramesti. Disusul dua tahun berikutnya, anak kedua mereka Laser Narindro lahir. Dan pada 8 Januari 1992 anak ketiga mereka

Rekha Mahendraswari lahir, disusul pada 18 April 1997 anak dipercaya untuk memiliki anak keempatnya Rheinanda Kaniaswari.

Dalam hal pendidikan kepada anak­anaknya, sudah pasti Agus mengadopsi ajaran sang orangtua yaitu dengan pendidikan agama sebagai pendidikan dasar. Namun

karena mereka hidup di jaman yang berbeda dengan dir inya ketika kecil, maka pendidikan agama yang diajarkan kepada anak­anaknya pun berbeda, Agus tak meminta sang anak untuk mengaji di surau. Melainkan cukup dengan menekankan untuk tidak meninggalkan sholat lima waktu dan mengaji di dalam rumah sendiri. Dengan memberikan contoh nyata seperti itu menurut Agus akan lebih bisa diterima oleh anak­anaknya.

Selain itu Agus juga mengajarkan kepada anak­anaknya untuk hidup sederhana dan tidak boros. Ia bahkan ikut melibatkan anak­anaknya ke dalam usaha foto copy dan percetakan yang telah dirintisnya sejak lama. Hal itu dimaksudkan agar keempat anak­anak mereka bisa merasakan sulitnya mencari uang, hingga mereka kemudian dapat menghargai rejeki yang diberikan Sang Khalik pada dirinya.

“Saya juga mengajarkan anak­

anak untuk hidup mandiri. Jika mereka ingin keluar atau hidup jauh dari orangtuanya, maka kami persilahkan, kebetulan setelah masuk sebagai PNS saya membeli rumah di bilangan Condet, Jakarta Timur. Sementara rumah yang di Rawamangun saya peruntukan bagi anak­anak kami yang ingin mencoba hidup mandiri jauh dari

orangtuanya,” paparnya.

Tak berbeda dengan orangtua lainnya agus berharap agar keempat a n a k n y a m e n g i k u t i jejaknya berkiprah di dunia politik. Namun keinginan tersebut tidak lantas diamini sang buah hati. Anak pertama Agus, Lintang Pramesti memilih m e n g a m b i l k u l i a h fakultas kedokteran gigi di Universitas Moestopo (B er agama). Namun setelah gelar dokter gigi diraihnya muncul keinginan dalam diri Lintang untuk mengikuti

jejak sang ayah.

“Anak pertama saya awalnya dia belum berani masuk dunia politik, namun lama kelamaan sambil mempelajari dari ayahnya dan juga dari lingkungan akhirnya Lintang membulatkan tekadnya untuk masuk dalam dunia politik. Untuk 2014 mendatang anak saya masuk dalam DCS di Dapil Jabar VI,”papar Agus.

Kini bersama­sama dengan sang anak, Agus bergotong royong untuk kembali mengibarkan bendera parpol yang telah membesarkan namanya hingga saat ini. Bahkan ketika ia sudah menggapai Kursi Wakil Ketua Umum Partainya sekaligus sebagai Ketua Komisi X DPR RI namun iitu tak berarti Agus dapat duduk tenang di menara gading. Lebih dari itu, lewat panggung politik lah Agus dapat berbuat,berkarya, membangun dan membesarkan bangsa ini. (Ayu)

Page 61: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

61EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

KUNJUNGAN KERJA

Satu lagi persoalan yang tak kalah pentingnya adalah menertibkan para pedagang dan usaha ritel di stasiun­

stasiun Jabodetabek. Penataan para peda­gang ini juga menjadi PR besar PT KAI yang diberi wewenang untuk membenahi wajah stasiun. Ketika para pedagang kecil ditertib­kan oleh PT. KAI, mereka mengadu ke Komisi VI DPR RI untuk minta penyelesaian pada 13 Mei lalu.

Karena ada pengaduan dari para pedagang itu, Komisi VI DPR RI langsung bergerak cepat merespon apa yang terjadi dengan para pedagang kecil si stasiun­stasiun

Jabodetabek. Rabu, 15 Mei lalu, Komisi VI melakukan kunjungan lapangan ke beberapa stasiun di wilayah Jabodetabek. Kunjungan ini untuk melihat dari dekat revitalisasi stasiun­stasiun di sepanjang jalur Jabodetabek.

Siang itu, rombongan Komisi VI yang dipimpin Ketua Komis VI Airlangga Hartarto berangkat dari Stasiun Gambir dengan gerbong khusus untuk menyisir setiap stasiun sepanjang jalur Jabodetabek. Di dalam gerbong khusus itu, rombongan Komisi VI mendapat penjelasan detail sepanjang perjalanan. Setelah mendapat

Kumuh dan tak tertib jadi pemandangan keseharian di stasiun-stasiun Jabodetabek. Yang beli tiket dan yang tidak memiliki tiket tumpah ruah masuk gerbong kereta. Panas, sumpek, dan berdesakan menjadi perjuangan tersendiri menggunakan moda transportasi kereta ekonomi sepanjang jalur Jabodetabek. Belum lagi kriminalitas dan pelecehan seksual yang sering terjadi di atas gerbong, jadi keluhan lain para penumpang.

Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto saat menemui pedagang kaki lima di stasiun Cawang.

Melihat dari Dekat Revitalisasi Stasiun

Page 62: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

62 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

penjelasan, rombongan turun ke beberapa stasiun. Dan stasiun yang pertama dikunjungi adalah Stasiun Cawang.

Program revital isasi stasiun sedang digalakkan PT. KAI. Terlihat saat berada di Stasiun Cawang, pembangunan infrastruktur sedang berlangsung. Pedagang sedikit lebih tertib. Para anggota Komisi VI langsung menghampiri para calon penumpang dan pedagang. Bagi para calon penumpang mungkin lebih nyaman dengan kondisi yang ada sekarang. Stasiun jadi terlihat lebih bersih dan nyaman.

Hanya para pedagang keci l yang tak puas dengan kondisi ini, karena mereka harus menyingkir ke luar s t as iun. Mereka t ak bisa lagi menjajakan dagangan dengan leluasa. Keluhan para pedagang disampaikan langsung kepada anggota Komisi VI yang menghampiri. Para pedagang kecil itu melihat ada diskriminasi yang terjadi. Betapa tidak, para pengusaha ritel seperti Indomart, Alfamart, dan rumah makan siap saji tak tersentuh oleh penggusuran, karena punya modal besar.

Afandi, pedagang gorengan di Stasiun Cawang menjelaskan kepada para anggota Komisi VI yang menghampiri. Ia selalu membayar sewa tempat Rp 10 ribu per minggu kepada pemilik lahan. Tempat berdagangnya persis di pinggir luar stasiun dan dibatasi pagar besi. Sebagai warga asli di Cawang, ia sudah berdagang sejak rel keretanya masih tunggal, belum seramai seperti sekarang.

Di Stasiun Cawang sedikit ada temuan dari Wakil Ketua Komisi VI Erik Satrya Wardhana yang sudah berada di Cawang lebih dulu. Ia mengamati bangunan­bangunan di sekitar Stasiun Cawang. Ternyata, ungkapnya, ada apartemen yang dibangun di atas lahan PT. KAI. Padahal, lahan di sekitar stasiun milik PT. KAI harus bersih. Mengapa ada apartemen di sana? Ini menjadi temuan yang perlu diklarifikasi.

S e te l ah m e n g o r e k b any ak keterangan di Stasiun Cawang, rombongan kembali menyisir ke stasiun lainya. Sepanjang jalan, mata para anggota Komisi VI terus mengamati ke luar gerbong. Akhirnya, gerbong diarahkan ke Stasiun Cilebut Bogor. Satu per satu para anggota Komisi VI itu turun diikuti petugas PT. KAI dan para wartawan. Para pedagang, calon penumpang, dan infrastruktur yang sedang dibangun, didekati untuk dicermati sejauh mana perubahan yang terjadi.

Para calon penumpang yang sedang menunggu kedatangan kereta sontak memperhatikan para anggota Komisi VI tersebut. Stasiun Cilebut juga tampak bersih dan agak sepi waktu itu. Usai singgah

di Cilebut, rombong meluncur kembali menuju ujung stasiun Jabodetabek, yaitu di Stasiun Bogor. Rombongan kembali turun dan langsung meninjau pembangunan infrastruktur stasiun.

PT. KAI tampak sedang sibuk merevitalisasi stasiun. Infrastruktur sedang giat dibangun, seperti gerbang masuk pembelian tiket. Pada Juni 2013 ini, PT. KAI sudah memb er lakukan E -T icket ing . Dengan sistem ini, pembelian tiket hanya untuk satu perjalanan. Dan penumpang yang tidak memiliki tiket tidak bisa masuk stasiun, karena ada gerbang masuk yang dijaga ketat.

Page 63: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

63EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Apresiasi Terhadap Revitalisasi

Setelah meninjau dan menyisir jalur kereta Jabodetabek, apresiasi mengalir dari para anggota Komisi VI atas kerja keras PT. KAI merevitalisasi stasiun. Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto (F­PG) yang dimintai komentarnya di Stasiun Bogor, 15 Mei lalu, mengatakan bahwa Komisi VI mendukung revitasliasi yang dilakukan PT. KAI.

“Komisi VI mendukung revitalisasi stasiun KA. Tetapi, di lain pihak kita juga menginginkan agar para UKM (usaha kecil menengah) dan IKM (industri kecil menengah) diberi kesempatan usaha yang layak. Dalam kunjungan ada beberapa lokasi Indomaret. Ada perbedaan treatment terhadap UKM kecil dan

UKM modern seperti usaha ritel,” ungkap Airlangga.

Para pedagang kecil tampak tidak mendapat tempat berdagang. Akibat dari revitalisasi ini, belum jelas benar ke mana para pedagang tersebut akan ditempatkan. Para pedagang kecil itu, memang, sempat mengeluhkan kepada para anggota Komisi VI. Mereka semakin terdesak ke pinggiran areal stasiun.

“Tadi kita berhenti di beberapa stasiun. Kelihatan tidak ada lokasi yang tersedia untuk mereka. Kami akan panggil pemilik lokasi sekitar, apakah dimiliki pemerintah daerah atau perhubungan, untuk memberi kesempatan kepada para pedagang memperoleh tempat relokasi usaha,” ucap Airlangga.

Mel ihat fak ta di lapangan, Komisi VI, lanjut Airlangga, segera mencarikan solusi untuk para pedagang kecil. Lokasinya mungkin bisa menempati lahan milik PT. KAI, Dephub, Pemprov DKI Jakarata, atau milik Kabupaten/Kota Bogor. Lahan PT. KAI tidak boleh diklaim oleh siapa pun.

Semuanya harus s ter i l dar i berbagai kepentingan termasuk para preman yang kerap mengutip retribusi ilegal atas tempat usaha dan lahan. “Oknum­oknum preman mesti dibersihkan. Kita dukung IKM­nya bukan premannya. Kita tidak dukung preman yang menjual konsesi di dalam wilayah PJKA,” tandas Airlangga.

Apresiasi yang sama disampaikan pula oleh Anggota Komisi VI dari Fraksi Demokrat Ida Ria Simamora. Menurutnya, revitaslisasi yang dilakukan PT. KAI atas sejumlah stasiun di Jabodetabek telah berdampak positif bagi masyarakat. “Ini usaha yang kita apresiasi pada PT. KAI. Kereta api benar­benar transportasi yang diminati,” puji Ida saat dimintai komentarnya di Stasiun Bogor pada pertengahan Mei lalu (15/5).

Indonesia harus membenahi moda transportasi ini dan bersaing dengan negara­nagara lain. Seperti di Jepang, lanjut Ida, transportasi massalnya diberi perhatian khusus oleh pemerintah. Dan kita pun harus memberi perhatian yang cukup. Namun, ketika revitalisasi stasiun dilakukan ada masalah klasik yang selalu menghampiri, yaitu penataan para pedagang kecil di areal stasiun.

Masyarakat pengguna jasa kereta api tentu ingin nyaman ketika masuk stasiun dan naik kereta. Di sisi lain, pedagang kecil juga ingin diperhatikan. Jadi, harus ada win-win solution untuk semua pihak. “Kita sangat mendukung. Ini langkah yang baik. PT KAI sudah maju sekali. Nanti juga ada monorel,” tutur Ida. (mh)

Page 64: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

64 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Begitulah suasana pertemuan yang merupakan bagian dari Kunjungan Kerja Panja RUU Ormas ke Provinsi

Kalimantan Barat, Rabu (5/6). Kegiatan yang dipimpin Ketua Panja Rahadi Zakaria sejatinya bertujuan mendapat masukan dan gambaran tentang evaluasi terhadap pelaksanaan UU no. 8/1985 tentang

Ormas yang telah berjalan selama ini, baik kelemahan, hambatan dan tantangan yang terdapat di Provinsi Kalbar. Tim Kunker juga ingin melakukan sosialisasi dan uji publik terhadap RUU Ormas, mendapatkan masukan terkait pokok­pokok substansi yang perlu diperbaiki dan disempurnakan dari RUU tentang Ormas yang telah diselesaikan DPR

Pertemuan Tim Panja RUU Ormas dengan mahasiswa dan akademisi yang berlangsung di Gedung Rektorat Universitas Tanjung Pura itu mendadak hening, semua terfokus mendengarkan pertanyaan keras dari salah seorang peserta Ahmad Maulana, mahasiswa FISIP. “Kenapa bahan RUU Ormas datang terlambat, bahkan 15 menit sebelum acara pada saat kita menandatangani absensi kehadiran. Bagaimana menyampaikan pendapat kalau kita belum baca naskah, jadi lucu kalau diminta pendapat,” katanya bersemangat. Hening beberapa saat. Dari pojok sebelah sana, ada yang nyeletuk. “Wah, kok seperti protes anggota dewan ya.”

Tidak Ada Arogansi Negara Dalam RUU Ormas

KUNJUNGAN KERJA

Civitas Akademika Universitas

Tanjung Pura memberikan

masukan kepada Tim Kunker Panja

RUU Ormas.

Page 65: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

65EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

bersama pemerintah.

“Pertemuan berlangsung dinamis dan kritis. Kalau sekarang diekspos seolah­olah kelompok cendekiawan dan mahasiswa menolak RUU Ormas sebetulnya tidak. Kelompok intelektual ini memang kritis ter­masuk mengkaji dugaan arogansi

negara dalam pasal­pasalnya,” kata Muslim, anggota Tim Kunjungan Ker ja Panja RUU Ormas usai pertemuan di Gedung Rektorat Untan, Pontianak, Kalbar, belum lama ini.

Ketua Panja RUU Ormas Rahadi Zakaria mengatakan tujuan kunjung­an untuk melakukan uji publik sejumlah isu yang telah disepakati pemerintah dan DPR. Di provinsi yang terkenal dengan sebutan Bumi Khatulistiwa ini tim melangsungkan pertemuan dengan jajaran Muspida, p e n g u r u s o r m a s s e t e m p a t , mahasiswa dan akademisi. Politisi FPDIP ini menyebut langkah ini sebagai upaya untuk menghasilkan UU yang implement at i f dan berkualitas.

“Seluruh hasil pertemuan baik di Kantor Gubernur maupun di kampus

Untan akan menjadi perhatian Panja, kita akan melakukan penyesuaian sebelum kembali menyampaikan perkembangan terakhir ke paripurna pada akhir masa sidang ini,” tambah­nya.

Dalam diskusi yang melibatkan Fakultas Hukum dan FISIP dan

dipandu Pembantu Rektor IV Untan, mengemuka sejumlah pandangan. Zufri Bestari dosen Fakultas Hukum yang mengaku mencermati proses pembahasan RUU Ormas lewat media. Setelah mempelajari naskah terakhir yang d i te r i m any a d ar i Setjen DPR, ia menilai RUU tidak seper ti yang dikhawarirkan sejumlah pihak.

“ RUU Ormas ini sudah sering diba­has di televisi, saya sudah baca nas kah­nya dan mencar i ada tidak arogansi negara didalamnya seperti yang dipersoalkan Muhammadiyah, ternyata saya tidak menemukan itu,” paparnya.

Sementara itu Cyntia, maha­sis wa Fakultas Hukum Untan mempertanyakan kemungkinan tumpang tindihnya pengaturan dalam RUU Ormas dengan RUU Yayasan. Menurutnya Yayasan sama saja dengan ormas yang didirikan oleh masyarakat hanya saja memiliki badan hukum yang jelas.

“Bagaimana menjaga harmonisasi antara RUU Ormas dan Yayasan. Saya melihat beberapa pasal multi tafsir, apabila terjadi sengketa hukum kita harus tunduk kepada UU yang mana? Ini perlu diperjelas oleh Panja DPR,” papar mahasiswi yang mengaku mempelajari naskah RUU dengan mendownloadnya dari jaringan internet.

Kontan, pengakuan Cintya men­

dapat apresiasi dari sejumlah Tim Kunker. “Ternyata kalau punya inisiatif bisa ya mendapatkan naskahnya,” papar Paula Sinjal

Pansus RUU Ormas DPR terus berupaya memperoleh

masukan terkait pokok-pokok substansi yang perlu diperbaiki dan

disempurnakan dari hasil pembahasan bersama

pemerintah.

Page 66: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

66 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

anggota Panja dari FPD. Khusus soal naskah RUU Ormas, pihak sekretariat pansus menyampaikan konfirmasi telah dikirim via paket pos dan dinyatakan telah sampai tujuan sejak seminggu lalu. Kalau ternyata terlambat didistribusi ke peserta itu masalah lain, jelas Nurani Bodroini, Kepala Sekretariat Pansus.

Siap Bertemu Tokoh

Pansus RUU Ormas DPR terus berupaya memperoleh masukan terkait pokok­pokok substansi yang perlu diperbaiki dan disempurnakan dari hasil pembahasan bersama pemerintah. Untuk menghasilkan pro duk legislasi yang berkualitas Pansus proaktif mendatangi sejum­lah pihak seperti pemerintahan dan ormas di daerah, akademisi di kam­pus termasuk para tokoh yang se­lama ini menyuarakan penolak an.

“Kita tadi rapat dengan Muspida Provinsi Kalbar, Ormas setempat, akademisi Untan dan pada saatnya kita perlu sowan kepada sejumlah tokoh, termasuk Pak Dien di Muhammadiyah. Menjelaskan

perkembangan, mudah­mudahan beliau dapat memahami telah ter­jadi perubahan signifikan dalam pembahasan bersama pemerintah,” kata Deding Ishak, Wakil Ketua Panja Ormas DPR.

Ia menambahkan sejumlah aspirasi ormas keagamaan telah diakomodir oleh Pansus diantaranya tentang asas, yang memberi peluang untuk tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Soal pengaturan penerimaan sumber keuangan ormas, disepakati tidak diatur di RUU Ormas. Putusan ini memperhatikan masukan ormas keagamaan yang mengkhawatirkan sumbangan atas nama ‘hamba Allah’ dapat dikriminalisasi.

“Kemajuan lain ormas yang ter­daftar pada stablat atau peraturan era penjajah Belanda dinyatakan te tap berlaku, ormas seperti Mu­hammadiyah tidak perlu mendaftar lagi. Jadi apalagi, semua masukan sudah kita akomodir,” papar Deding yang juga putra ulama kharismatis Jawa Barat alm. KH Totoh Abdul Fatah. Ia berharap pada akhir masa

sidang kali ini, Juli yang akan datang, RUU Ormas sudah dapat disahkan dalam rapat paripurna.

Sementara itu dalam diskusi de­ngan akademisi Untan, Mar tono Pembantu Dekan I, FKIP meng­khawatirkan fenomena munculnya ormas instant. “Banyak ormas kaget­an di daerah muncul menjelang pilkada, pileg, dan sebagainya bah­kan ada yang dibentuk anggota DPR. Ini ormas instant setelah acara selesai bubar tak jelas. Bagaimana memonitor ormas seperti ini, kalau terjadi kekacauan, anarkis, gimana penyelesaiannya? Kita memang perlu peraturan untuk kasus seperti ini,” pungkas dia.

Wakil Gubernur Christiandy Sanja­ya menyampaikan penghargaan atas dipilihnya Provinsi Kalbar sebagai tempat sosialisasi. “Terima kasih telah memilih Kalbar, disini memang terdapat banyak ormas terutama yang bercirikan budaya dan agama. Mereka sangat tepat mengkritisi RUU yang menjadi perhatian banyak pihak di tanah air,” paparnya. (iky)

Anggota Tim Kunker Panja RUU Ormas Muslim dan Sumarjati Arjoso menyapa mahasiswa Untan sebelum pertemuan dimulai.

Page 67: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

67EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Semenjak amandeman UUD 1945, fungsi DPR RI dibidang anggaran, legislasi maupun pengawasan semakin besar dibandingkan era Orde Baru (Orba) yang dianggap

h a n y a s t e m p e l pemerintah saja.

Bahkan secara j e l a s

dikukuhkan pada Pasal 20 ayat 1 bahwa DPR RI itu memegang kekuasaan membentuk Undang­undang.

Menurut Deputi Bidang Perundang­undangan Johnson Rajagukguk, Deputi perundang­perundangan memiliki tugas dalam memberikan dukungan dibidang legislasi baik administrat if, teknis maupun keahlian. “Dari sistem pendukungan tentu DPR perlu didukung khususnya dibidang legislasi, karena itulah dibentuk satu kedeputian yaitu deputi perundang–undangan yang

Optimalisasi Dukungan Keahlian Legislasi Bagi Dewan

Sekretariat Jenderal DPR RI sebagai salah satu unsur penunjang Dewan, memiliki tugas yang tidak kalah beratnya dengan DPR RI. Sebut saja, Deputi Perundang-undangan yang memberikan dukungan bagi kinerja DPR RI.

SOROTAN

dePUti Bidang PerUndang-Undangan

Page 68: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

68 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

memberikan dukungan dibidang legislasi, dimulai dari perencanaan dan penyusunan RUU, perencanaan itu adalah program legislasi dan kemudian juga penyusunan RUU, terdapat beberapa hal. Yang pertama penyusunan naskah akademis, yang kedua penyusunan draft awal RUU, yang ketiga juga berkaitan dengan pembahasan RUU,” jelasnya kepada Parlementaria.

Johnson mengatakan, Setjen DPR RI akan terus mendorong dan memprioritaskan tugas dibidang ke a h l i a n , a r t i n y a b e r u s a h a mendukung legislasi mulai dari perencanaan penyusunan dan penetapan Prolegnas yang dilakukan oleh badan legislasi.

“Jadi kita menyusun konsep­kon sep program legis lasi i tu dan kemudian penyusunan RUU

termasuk kelengkapannya ya itu naskah akademis dan yang ketiga pembahasan RUU jadi disitulah tugas pokoknya,” tambahnya.

Terdapat dua biro khusus yaitu Biro PUU bidang Polhukamkesra dan Biro bidang Perancangan

Ekonomi Keuangan Industri d a n P e r d a g a n g a n

(Ekuindag). “Tetapi ada satu biro yang

juga sebenarnya m e m i l i k i

d u k u n g a n yang t idak k a l a h d a r i b i r o

perancangan yaitu biro hukum dan pemantauan pelaksanaan UU, tugas Biro hukum dan Panlak UU yaitu memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi manakala ada gugatan di MK terkait dengan yudisial UU,” terangnya.

Tenaga Perancang UU Minim

Vo l u m e p e ke r j a a n t e n a g a perancang UU yang padat dan kebutuhan dalam mendukung kinerja DPR yang besar membuat D e p u t i B i d a n g P e r u n d a n g ­Perundangan mulai keteteran, bahkan dengan dukungan 26 orang Perancang UU dari berbagai disiplin ilmu dirasa masih kurang dalam mengoptimalisasi fungsi legislasi.

“Kita berharap ada penambahan tenaga perancang UU, minimal kita memiliki 75 orang perancang UU guna menunjang kegiatan dewan dari sisi legislasi,” ujarnya.

Menurutnya, RUU inisiatif DPR sudah cukup banyak

karena itu kita semua mengharapkan

p a r a

Terdapat dua biro khusus yaitu Biro PUU bidang Polhukamkesra dan Biro bidang Perancangan Ekonomi Keuangan Industri dan Perdagangan (Ekuindag). “Tetapi ada satu biro yang juga sebenarnya memiliki dukungan yang tidak kalah dari biro perancangan yaitu biro hukum dan pemantauan pelaksanaan UU, tugas Biro hukum dan Panlak UU yaitu memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi manakala ada gugatan di MK terkait dengan yudisial UU,” terangnya.

Page 69: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

69EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

SOROTAN

Perancang UU dapat beker ja mak simal dan opt imal. “ K ita mengharapkan tahun mendatang sudah dapat memilik i tenaga perancang UU yang memadai,” harapnya.

Kedepan, lanjutnya, Deputi Bidang Perundang­undangan akan terus mengoptimalkan kerjasama dengan para peneliti dalam fungsi legislasi. “Kita juga telah melibatkan para peneliti, tenaga ahli yang ada di komisi, yang ada badan legislasi kita libatkan semua dalam mendorong produk legislasi,” tambahnya.

Guna meningkatkan keahlian para perancang UU, Deputi Perundang­undangan, terangnya, juga akan terus memberikan pelatihan dan pendidikan bagi para perancang Undang­Undang. “ Setjen DPR mengharapkan munculnya suatu rancangan UU yang memiliki kualitas yang bagus dan dapat dijadikan rujukan dan kita terus melakukan peningkatan wawasan seperti pendidikan teknis perancangan UU, dengan mengundang para pakar, maupun pejabat yang terlibat guna mendapatkan point pemikiran – pemikiran atau yusdisial yang tekait UU tersebut,” jelasnya.

Ide Law Center

Dia menilai, gagasan pembentukan law center sangat bagus dan layak diperjuangkan. Dirinya mengakui, ide seperti itu memang sudah tercetus lama namun sampai sekarang masih belum terwujud karena belum adanya kesepahaman terkait gagasan itu.

“Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksudkan ide ini berada d i luar ke dewanan, j i ka k i t a analogikan di AS, kalau disana memang ada pakar – pakar yang khusus merancang UU, dan mereka pada umumnya adalah praktisi, dari para pengacara sebelumnya lalu mereka terjun ke dunia parlemen menjadi perancang undang – undang,” tambahnya.

Menurutnya, ide tersebut telah

digulirkan dalam UU No. 27 tahun 2009 dengan pembentukan Badan Fungsional Keahllian (BFK). “Ide itu memang dapat direalisasikan, yang agak sulit mendatangkan para ahli profesor tersebut,” terangnya.

Yang utama, lanjut Johnson, tidak hanya gelar akademik semata tetapi para ahli tersebut juga harus memiliki pengalaman dalam merancang suatu UU. “Karena memang tidak semua sarjana hukum bisa merancang UU, tetapi orang yang merancang itu orang yang memiliki penguasaan hukum dan juga memiliki penguasaan tentang teknik perundang­undangannya,” katanya.

Dia menambahkan, lembaga semacam law center tersebut bentuknya seperti apa jika memang sebagai lembaga sistem pendukung tentunya sama seperti sekarang yaitu berada di Deputi Perundang­undangan.

“ Tinggal terakhir bagaimana mempolakan kerja deputi itu dengan dukungan tenaga­tenaga ahli tadi. Tetapi kalau itu berada di Dewan sekarang ada badan legislasi, apakah itu yang kita maksud sebagai pusat rancangan undang­undang, padahal dewan itu tidak merancang, dia hanya memutuskan,” tandasnya.

Dorongan Reformasi Birokrasi

Guna menghadapi Reformasi Birokrasi, Deputi Bidang Per­u n d a n g ­ u n d a n g a n b e r j a n j i akan menata seluruh peraturan perundang­undangan di Setjen DPR RI. Artinya terus melakukan penataan sistem legislasi serta melakukan pembenahan personil secara bertahap. “Seluruh personil di Deputi PUU harus betul­betul dipastikan mendorong Reformasi Birokrasi di lingkungan Setjen DPR RI,” terangnya.

Yang kedua, lanjutnya, selain sistem penataan legislasi, dirinya juga mendorong peningkatan kualitas SDM di lingkungan Deputi Perundang­undangan. “Kedepan k i t a menghar apkan semak in terspesialisasi para Perancang UU tersebut, dengan jumlah 50 orang paling tidak bisa membagi spesialisasi berdasarkan pola komisi atau berdasarkan kementerian itu nanti,” ujarnya.

Yang kita dorong, tambah Johnson, yaitu peningkatan penguasaan atau kapabiltas para perancang sehingga dapat meningkatkan pola pembinaan. “Jadi reformasinya ke arah spesialisasi, birokrasinya ke arah kapabilitas. Sehingga kita nanti bisa mendukung kegiatan bidang legislasi, termasuk bekerjasama dengan pemerintah,” ujarnya. (si/as)

Page 70: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

70 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Delegasi DPR Hadiri Sidang ke-5 AIPA Caucus

AIPA Caucus merupakan forum untuk memonitor implementasi rekomendasi­rekomendasi yang telah dihasilkan Sidang Umum AIPA. AIPA Caucus juga dimandatkan untuk mendorong harmonisasi legislasi terkait isu­isu yang menjadi perhatian bersama di kawasan, yang dapat mendukung pembangunan Komunitas ASEAN 2015.

Pertemuan yang dihadiri seluruh anggota AIPA, kecuali Filipina, dan juga dihadiri Sekretaris Jenderal ASEAN, sebagai Guest of the Host, dan perwakilan Sekretariat AIPA ini, membahas the Status of Implementation of the 33rd AIPA General Assembly (GA) Resolutions, Green Growth dan Poverty Reduction for Sustainable Development.

Delegasi DPR RI yang turut hadir pada pertemuan tersebut, yaitu Ida Ria Simamora (F­PD) dan Alexander Edwin Kawilarang (F­PG).

Menurut Sidarto Danusubroto, tujuan pengiriman Delegasi DPR RI ke Sidang ke­5 AIPA Caucus, yaitu untuk memberikan dukungan terhadap upaya­upaya harmonisasi legislasi di Negara­negara ASEAN,

mendukung visi negara­negara anggota AIPA dalam menerapkan pertumbuhan hijau untuk pembangunan berkelanjutan, dan berpartipasi dalam forum AIPA untuk bertukar pandangan dan pengalaman dalam menghadapi masalah pengentasan kemiskinan.

Adapun misi Delegasi DPR RI mengikuti sidang tersebut, kata Sudarto Danusubroto, untuk ikut mengidentifikasi legislasi yang akan diharmonisasi serta mekanisme untuk memastikan implementasi efektif dari resolusi­resolusi Sidang Umum AIPA dan sebagai wujud komitmen DPR RI untuk ikut berpartisipasi mendorong percepatan pencapaian MDG di tahun­tahun yang tersisa terutama kaitannya dengan pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan hijau.

Pada per temuan tersebut, Delegasi DPR R I menyampaikan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Parlemen dan Pemerintah Indonesia dalam menindaklanjuti keduabelas resolusi yang dihasilkan Sidang Umum ke­33 AIPA, baik di bidang politik, ekonomi, sosial maupun pengarusutamaan gender.

Delegasi DPR RI menekankan bahwa sinergi yang

LIPUTAN KHUSUS

Delegasi DPR RI dipimpin Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Sidarto Danusubroto menghadiri Sidang ke-5 ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) Caucus yang berlangsung pada 11 sampai dengan 14 Mei 2013, di Da Lat, Vietnam.

Page 71: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

71EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

baik diantara badan legislatif dan eksekutif memiliki peran penting dalam mendorong implementasi resolusi­resolusi tersebut sekaligus mendukung proses pembentukan Komunitas ASEAN 2015 yang terintegrasi, maju dan damai.

Selain itu, Delegasi DPR RI juga menyampaikan komitmen Indonesia dalam mendorong Sustainable Development, baik dalam bentuk legislasi maupun kebijakan, antara lain telah melakukan reformasi kebijakan, menyusun strategi pembangunan jangka panjang (2005­2025), mengurangi tingkat emisi gas

dan menyusun Climate Change Sectoral Roadmap. Dan Indonesia telah berpartisipasi pula secara aktif dalam berbagai mekanisme kerja sama bilateral, regional dan multilateral.

Dalam pertemuan yang dihadiri Sekretaris Jenderal ASEAN, sebagai Guest of the Host, dan perwakilan Sekretariat AIPA, Delegasi DPR RI juga menyampaikan berbagai peraturan perundang­undangan dan kebijakan Indonesia dalam mendorong pengentasan kemiskinan dan pembangunan yang berkelanjutan, antara lain memfokuskan upaya pada penanganan akar masalah kemiskinan, seperti pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan. Indonesia juga menekankan tentang pentingnya mendorong perkembangan Small and Medium Enterprises (SMEs) yang telah menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi di ASEAN.

Isu yang sempat menjadi perdebatan diantara para ne gara peserta 5th AIPA Caucus adalah mengenai usulan Vietnam untuk membentuk ASEAN Green Growth Centre.

Sebagian peserta mempertanyakan apakah Centre tersebut akan berada di bawah mekanisme AIPA atau ASEAN, bagaimana mekanisme pembentukan dan operasionalisasinya ke depan, apakah inisiatif serupa juga ada dalam mekanisme kerja sama ASEAN, serta apakah pembentukan Centre tersebut berada di bawah penanganan parlemen.

Atas usulan Indonesia, perwakilan ASEAN Secretariat menjelaskan bahwa sejauh ini belum ada mekanisme khusus dalam kerangka ASEAN mengenai isu Green Growth. Menurut perwakilan ASEAN Secretariat,

pembentukan Centre semacam itu harus jelas Term of Reference­nya khususnya mengenai pendanaan dan memerlukan proses.

Pertemuan menyepakati untuk meminta informasi lebih detail dari Vietnam serta membahasnya lebih lanjut pada Sidang Umum AIPA berikutnya. Keputusan ini cukup baik, karena inisiatif ini kiranya memang perlu dicermati secara seksama untuk menghindari pembentukan mekanisme baru yang belum bisa dipastikan urgensi dan manfaatnya. Kiranya perlu dihindari bahwa inisiatif tersebut hanya akan berujung pada pembentukan suatu institusi (Centre) yang belum tentu efektif dalam operasionalisasinya.

Pertemuan diakhiri dengan mengadopsi Report of the 5th AIPA Caucus yang ditandatangani oleh seluruh ketua delegasi. Brunei Darussalam akan menjadi Chair pertemuan ke­6 AIPA Caucus. (sc)

Page 72: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

72 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

nidJi

Muda, energik, ramah dan piawai bermusik, itulah yang tergambar dari sosok para personil grup band NIDJI. Ditemui sesaat sebelum berlang­

sungnya pagelaran Satu Nusa Satu Suara, Giring sang voka­lis mengung kapkan perasaannya da pat bernyanyi secara langsung di gedung DPR RI, Senayan Jakarta pada 20 Mei lalu.

“Ini merupakan pengalaman per tama kami masuk dan menyanyi tepat di gedung bundar, gedung DPR RI yang merupakan ‘rumah rakyat’. Exiceted dan bangga rasanya,”aku pria berambut kribo ini.

Ya, perasaan Giring yang tidak berbeda jauh dengan perasaan Ariel, Rama, Andro, Adrie, dan Randy ini memang tidak berlebihan, mengingat dalam sejarah gedung rakyat itu pula kali pertamanya sebuah grup band tampil dan perform secara langsung di depan anak tangga gedung bundar, diiringi gemericik air mancur yang berada tepat di depan panggung.

Meski pengalaman pertama, namun diakui Giring dan teman­temannya, tidak ada persiapan atau ritual khusus yang mereka lakukan sebelum tampil di gedung yang sangat bersejarah untuk bangsa kita ini. “Yang kami persiapkan hanya lagu­lagu yang diantaranya kami akan menyanyikan lagu perjuangan selain tentunya lagu­lagu kami. Mengingat kali ini bertepatan dengan hari kebangkitan nasional,” ujar Giring.

Kekaguman Nidji terhadap gedung rakyat ini bukan hanya karena keunikan gedung bersejarah ini saja, melainkan juga kepada perancang atau arsiteknya, dan lebih dari itu sang proklamator Bung Karno lah yang diketahui sebagai penggagas atau pencetus ide tak kalah membuat kagum NIDJI.

Berbicara tentang gedung yang menjadi rumah rakyat ini, Nidji menganggap bahwa di era sekaranglah gedung ini

Aksi panggung NIDJI di acara Satu Nusa Satu Suara, gedung DPR RI.

Page 73: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

73EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

benar­benar menjadi rumah rakyat. Sementara sebelum era reformasi, gedung DPR RI hanya menjadi sebuah simbol.

“Namanya rumah rakyat, sudah selayaknyalah rakyat mengadukan nasibnya ke para pemimpin di gedung ini,” jelas Giring.

Meski demikian, ditambahkan sang keyboardist, Randy, banyaknya rakyat yang berdemo menyalurkan aspirasi dan nasibnya ke gedung ini menjadi sebuah pertanda bahwa masih banyak ketidakadilan dan ketidaklurusan yang dirasakan masyarakat, tugas anggota dewan­lah sebagai wakil rakyat yang harus memperbaiki semua itu.

“Dengan kata lain, kalau masih banyak yang demo di gedung DPR ini berarti masih banyak “PR” yang harus diperbaiki oleh para anggota dewan. Baik itu kinerja dari pemerintah, maupun kinerja dari anggota dewan itu sendiri yang juga harus terus diperbaiki atau ditingkatkan,” papar Randy.

Sementara itu, menanggapi banyaknya selebriti yang berasal dari kalangan artis yang masuk menjadi anggota dewan, Ariel sang gitaris mengatakan hal itu bukan sesuatu yang istimewa atau luar biasa. Dikatakannya, profesi ataupun jabatan sebelumnya ketika orang itu masuk menjadi anggota dewan maka, ia harus melepaskan profesi, jabatan atau warna bendera lamanya.

“Yang sekarang menjadi perta­nyaan bukan kepada latar be la kang orang tersebut sebelum nya, namun setelah itu apa yang bisa ia lakukan. Maksudnya yang dilihat masyarakat adalah ketika orang tersebut sudah duduk di kursi dewan, bisakah ia menyuarakan aspirasi masyarakat. Jika ia sebelum nya seorang artis, bisakah ia membuat kebijakan yang berpihak pada artis,” ujar Ariel.

Ditambahkan Rama, sang gitar­is, salah satu kebijakan yang sangat diperlukan bagi artis atau

para pekerja seni adalah ketika hasil kar ya mereka mendapat penghargaan. Penghargaan yang standar dilakukan adalah dengan perlindungan hak cipta bagi karya mereka. Konkretnya, para pekerja seni saat ini sudah hampir putus asa dengan adanya pembajakan atas

karya­karya seni mereka, seperti lagu dan musik yang paling banyak mengalami pembajakan.

Menurut Rama hal tersebut jelas­jelas merugikan mereka se­ba gai pekerja seni. Belum lagi ketidak tersediaan museum untuk mengenang hasil karya para pekerja seni yang sudah mengabdikan dirinya di bidang seni, yang notabene juga telah mengharumkan nama bangsa lewat karya­karyanya.

“Kalau seharusnya dengan karya kami tersebut, kami mendapat royalty lebih, namun karena adanya pembajakan lagu kami mendapat royalty yang tidak semestinya,” jelas Rama sambil berharap ke depannya para wakil rakyat bisa membenahi semua itu.

Saat ditanya ketertarikan para personil Nidji dengan dunia politik, Giring mengaku bahwa hingga saat ini tidak kurang tiga partai yang ingin meminangnya menjadi caleg (calon legislatif). Namun Giring mengaku belum tertarik untuk terjun ke dunia politik. Giring berkilah bahwa saat

ini dirinya merasa belum mampu untuk menjadi wakil rakyat yang dinilainya memiliki tugas yang tidak mudah.

“Semua sudah ada porsinya masing­masing, mungkin untuk saat ini saya dan teman­teman masih

harus dengan porsi kami menjadi pemusik,” aku pria kelahiran Jakarta 14 Juli 1983 ini kepada parle.

Syuting Bareng Pemain Man-chester United

B e r b i c a r a t e n t a n g k i p r a h Nidji di blantika musik tanah air tidak terlepas dari pertemanan sekelompok anak muda Jakarta, Giring, Ariel, Rama, Andro dan Adrie yang memiliki kesamaan minat di bidang musik. Di tahun 2002 mereka sepakat membentuk sebuah band. Tiga tahun kemudian, Giring memperkenalkan salah seorang sahabatnya yang dikenalkan handal dalam memaikan tuts­tuts keyboard, Randy. Dengan diamini oleh personil lainnya, masuklah Randy untuk menempati posisi keyboardis.

Setelah lengkap menempati posisi masing­masing, Gir ing Ganesha sebagai vokalis, Andi Ariel Harsya sebagai gitaris, Muhammad Ramadista Akbar memegang gitar ritme,Muhammad Andro Regantoro sebagai basis,Muhammad Adri Prakasa dan Randy Danista masing­

Page 74: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

74 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

masing memegang posisi sebagai drummer dan keyboardis, mereka lantas sepakat menamakan grup bandnya dengan nama NIDJI.

N I DJ I b e r as a l dar i b ahas a jepang Niji yang berarti pelangi. Keberagaman warna dan corak para personil nya lah yang digambarkan seperti warna pelangi. Debut Nidji sebagai grup band profesional diawali pada tahun 2006 dengan keluarnya album perdana mereka yang bertitel “Breakthru” dengan lagu andalannya “Sudah” dan “Hapus Aku”. Tak dinyana album perdana mereka yang terjual hingga 540 ribu copy itu mengantar NIDJI menjadi salah satu band papan atas Indonesia.

Tidak dipungkiri, kombinasi musik yang easy listening, style para personil yang up to date plus Gaya panggung sang vokalis yang unik dengan cirri khas bak tangan sedang “memasang bohlam”membuat nama NIDJI semakin melambung. Tak ayal, dua penghargaan sebagai Artis Pendatang Terbaik dan Grup/duo Terbaik di ajang MTV Indonesia Award 2006 pun dikantonginya.

Seiring dengan kepopulerannya, para penggemar fanatik NIDJI yang dinamai Nidjiholic pun semakin

bertambah. Tahun berikutnya, Nidji merilis ulang album “Breakthru” kali ini dengan versi bahasa Inggris. Bahkan konon, lagu “Heaven” dan “Shadow” yang ada di album tersebut sempat dijadikan sebagai background musik serial “Heroes” yang kala itu tengah digandrungi di kawasan Asia Tenggara.

Tak ingin menyia­nyiakan wak­tu, satu tahun kemudian NIDJI merilis album kedua bertajuk “Top Up” dengan lagu hits berjudul “Biarlah”,”Arti Sahabat” ,”Akhir Cerita Abadi” dan lagu Jangan Lupakan yang kemudian dijadikan original soundtrack sinetron “Namaku Mentari” yang dibintangi oleh artis Rachel Amanda.

Tahun 2008 NIDJI dipercaya men­cip takan sekaligus membawakan original soundtrack film adaptasi Novel karangan Andrea Hirata yang saat itu tengah digandrungi, Laskar Pelangi. Seolah tak ingin berhenti berkarya, Tahun berikutnya NIDJI meril is single berjudul “Sang Mantan” yang disusul album ketiga bertitle “Lets Play”.

Memasuki satu dekade kiprah mereka di blantika music, 2012 lalu NIDJI menorehkan sejarah baru bagi perjalanan karir mereka. NIDJI

dipercaya menyanyikan Lagu Liberty Victory yang menjadi theme song untuk penggila Manchester United di seluruh Asia sekaligus sebagai soundtrack produk makanan yang jadi sponsor resmi klub bola asal Inggris ini.

Agustus 2012 lalu NIDJI berke­sem patan mengunjungi kota Manchester, Inggris untuk syuting video klip plus pembuatan iklan produk makanan bareng enam pemain The Red Devil ’s seperti Wayne Rooney, Antonio Valencia, David De Gea, Federico Macheda, Javier ‘Chicharito’ Hernandez dan Shinji Kagawa.

Mengingat saat­saat menjalani syuting bareng Rooney, Kagawa dan Valencia dengan latar green screen menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan bagi NIDJI. Belum lagi, ketika pengambilan gambar dilakukan di terowongan stadion MU, Old Trafford, Inggris dengan format full band yang kesemuanya berkaos MU.

“Selama syuting, keenam pemain MU sangat open. Bahkan Rooney katanya belum pernah syuting video klip. Jadi bisa dibilang kami band pertama yang berkolaborasi bareng bintang MU. Selain itu, Kami juga merupakan band pertama yang syuting di terowongan stadion MU, Old Trafford, Inggris,” kisah Giring.

Perjalanan Nidji ke Inggris ini tak dapat dipungkiri menjadi loncatan besar bagi karir mereka. Membawa misi kampanye Liberty Victory pada bulan November, NIDJI kembali menggelar tur konser di Australia.

“Yang jelas perjalanan beberapa waktu lalu itu semakin melebarkan kesempatan kita untuk networking ke internasional dan semoga ke depannya bisa go international,”jelas Rama yang berharap single terbaru NIDJI yang bertitle Di atas Awan yang merupakan soundtrack Film 5 cm itu dapat diterima oleh Nidjiholic sekaligus oleh pencinta musik tanah air. (Ayu)

Page 75: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

75EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

PERNIK

Itulah salah satu penggalan lirik lagu Indahnya Cinta yang dib­awakan oleh Nidji ketika mem­

buka acara Satu Nusa Satu Suara di Tangga Halaman Depan Gedung Nusantara, DPR. Acara hasil kerjasa­ma antara DPR dengan Metro TV ini disiarkan live pada Senin (20/5) malam lalu. Lagu pembuka dari Nidji berhasil membakar suasana. Vokalis Nidji, Giring, membawakan lagu dengan penuh semangat, sehingga penonton pun turut bernyanyi.

Acara dipandu secara apik oleh host Aviana Malik dan Rory Asyari, dengan pengisi acara band Nidji, Denny Darko (Pelukis Pasir), Mo Siddiq (Stand Up Comedy Indonesia), dan Queen Percusion. Ratusan penonton pun hadir memenuhi

pelataran panggung.

Acara ini diselenggarakan da lam rangka memperingati hari Kebang­kitan Nasional dan peringatan 15 tahun Reformasi. Tampak hadir di acara ini, Pimpinan DPR dan perwakilan partai politik. Pimpinan DPR yang hadir diantaranya Ketua DPR Marzuki Alie, Wakil Ketua Pri yo Budi Santoso, Wakil Ketua Taufik Kurniawan, dan Wakil Ketua Sohibul Iman. Sedangkan, Wakil Ketua Pramono Anung tidak dapat menghadiri acara dikarenakan ada tugas lain.

Walaupun langit tampak sedikit mendung, tak menyurutkan niat penonton untuk mendatangi aca­ra. Usai Nidji membawakan lagu

pertama, penonton bertepuk tang­an dengan meriah. Penampilan band yang digawangi Giring, Ariel, Rama, Adrie, Andro dan Randy ini berhasil menarik penonton untuk merapat mendekati panggung. Host membuka acara dan dilanjutkan dengan pemutaran video yang berisi tentang rekam jejak peran pemuda Indonesia sejak jaman penjajahan hingga saat ini.

Ber lanjut ke segmen acara berikutnya. Penonton dibawa oleh Rory untuk melihat spot atau tembok demokrasi. Dalam penjelasannya, Rory menyatakan bahwa di spot ini, masyarakat dapat menuliskan aspirasi, kritik, saran maupun ha­rap an untuk pemimpin bangsa di masa mendatang. Termasuk yang

Meriahnya Satu Nusa Satu SuaraMemperingati Hari Kebangkitan Nasional dan 15 Tahun Reformasi Indonesia

Indahnya bercinta saat muda… Indahnya bercinta di dunia… Indahnya bercinta sampai tua... Cinta masa muda… Cinta paling indah… Oh… jiwa muda…

Jangan sampai mudah menyerah… Semua demi cinta…Hai jiwa muda pertahankan cinta…

Ketua DPR Marzuki Alie menuliskan aspirasi di tembok demokrasi tentang Hari Kebangkitan Nasional.

Page 76: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

76 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

berkaitan dengan hari Kebangkitan Nasional.

Didepan tembok demokrasi, sudah berdiri Ketua DPR Marzuki Alie dan tokoh intelektual muda Anies Baswedan. Di spot itu, Marzuki menuliskan:

Negara membutuhkan pemuda-pemudi yang mampu, mau dan siap menjaga mar tabat dan kejayaan bangsa. Wahai pemuda-pemudi Indonesia, bangun dan bangkitlah. Anda mampu untuk melakukannya sekarang, saat ini juga.

“Dalam pandangan saya, ada 2 kriteria pemuda. Yang pertama adalah pemuda yang terus mela­kukan kegiatan positif, sesuai dengan kapasitas dan umur mereka. Melakukan kegiatan positif terus menerus. Tapi di sisi lain, ada juga pemuda yang berpikiran pragmatis atau instan. Ingin mendapatkan dengan cara yang cepat, dan ini yang sangat memprihatinkan kita. Kita mendorong pemuda yang bisa menginspirasi pemuda lainnya, untuk bangun dan bangkit,” tegas Marzuki ketika diwawancara Rory.

Dalam kesempatan yang sama, Anis juga menuliskan: “Republik ini memerlukan orang­ orang yang masuk wilayah politik untuk melunasi seluruh janji kemerdekaan, semoga pemilu 2014 akan membuka jalan bagi mereka untuk hadir dan

melunasinya”.

Ketika disinggung mengenai presiden yang ideal untuk masa depan, Marzuki menegaskan kriteria presiden yang akan datang adalah orang yang betul­betul mempunyai komitmen untuk rakyat. Komitmen sebagaimana apa yang telah dikata­kannya kepada rakyat.

Sedangkan Anies berpendapat bahwa saat ini Indonesia memer­lukan presiden yang bisa mengge­rakkan semua orang bisa terlibat dan semua orang mau turun tangan dalam memajukan bangsa dan negara. Selain itu, tambah Anies, tegas dalam memberantas korupsi juga menjadi kriteria presiden yang ideal.

Meningkat ke segmen beri ­kut nya, perwakilan partai po li­tik dipersilahkan untuk mempre­sentasikan pesan partai mereka kepada masyarakat melalui sebuah benda. Ada berbagai benda yang dibawa, mulai dari bambu run­c ing, ka leng kerupuk , padi , hand phone, bola, hingga hati. Walapun perwakilan parpol bisa menyampaikan pesannya, namun dibatasi untuk tidak berkampanye.

Malam semakin larut, namun suasana masih terlihat ramai. Nidji kembali menghentak panggung de­ngan lagu Tanah Air, dengan medley Diatas Awan. Giring mengajak penonton berdiri dan menyanyikan

lagu Tanah Air bersama­sama. Dibawakan secara akustik, Nidji dan penonton menyanyikan lagu ciptaan Ibu Sud ini secara khidmat.

Dalam acara ini juga ada aspirasi dari mahasiswa Sekolah Tinggi Komunikasi Pembangunan, Medan, Sumatera Utara yang menegaskan bahwa pemuda­pemudi jangan sampai golput dalam pemilu. Di Medan, dilaksanakan nonton bersama acara ini.

“Masyarakat dan kalangan maha­siswa pasti menginginkan yang terbaik untuk masa depan bangsa ini. Semoga Indonesia kedepannya memiliki pemimpin yang berkualitas. Pemimpin sekarang banyak janji­janji, tapi itu tidak kami butuhkan. Kami hanya butuh pembuktiannya,” tegas salah satu perwakilan maha­siswa dari Medan.

Selain itu, tambah perwakilan, akhir­akhir ini banyak masyarakat yang memilih golput dikarenakan ulah pemimpin itu sendiri yang berkuasa saat ini. Alasan masya­rakat memilih golput, karena me­re ka tidak mempunyai kriteria pemim pin yang sesuai. Sehingga diharapkan pemimpin bangsa kedepannya semakin berkualitas dan lebih menunjukkan bagaimana sebenarnya pemerintah, dan ber­tanggung jawab kepada janji ­janjinya.

Kembali ke pelataran DPR, sudah

Page 77: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

77EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

berdiri di panggung, Ketua DPR Marzuki Alie didampingi Wakil Ketua Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua Taufik Kurniawan, dan Wakil Ketua Sohibul Iman. Rory dan Aviana mewancarai terkait dengan dinamika yang terjadi di DPR dan 15 tahun reformasi di lingkungan DPR.

Rory mempertanyakan Rancangan Undang­undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres) yang belum selesai. Menanggapi hal itu, Marzuki menya­takan bahwa UU yang sudah dibuat itu harus memiliki jangka masa yang panjang.

“Seharusnya membuat UU itu bukan untuk satu periode DPR. UU itu seharusnya bernuansa jangka panjang. Tapi inilah reformasi Indo­ne sia yang belum menemukan ben­tuknya, sehingga tiap pemilu yang diadakan lima tahun sekali, terpaksa kita harus revisi UU,” jelas Marzuki.

Politisi Demokrat ini menilai, RUU yang sedang disusun ini lebih banyak memiliki kepentingan kelompok daripada kepentingan bangsa dan negara. Untuk itu, terkait dengan RUU Pilpres ini masih terjadi dinamika di dalamnya, ada yang menginginkan perubahan, ada pula yang tetap ingin mempertahankannya.

Pertanyaan serupa juga diajukan kepada Priyo. Ia melihat bahwa RUU Pilpres hanya sebagian kecil dari sekian reformasi yang ingin dilakukan di Indonesia. DPR memiliki kepentingan untuk memberikan langkah progresif dari berbagai segi.

“Dari segi politik kita perlu reborn. Dari segi hukum perlu kita ubah, dari segi ekonomi dan demikian segi sosial dan lainnya. Khusus untuk politik, kita telah bentuk sebuah tim khusus untuk merancang itu, termasuk masalah RUU Pilpres, pemilu legislatif dan tata aturan reformasi akan kita terjemahkan dari sini,” jelas Priyo.

Namun, Priyo menyayangkan langkah yang sudah dijalankan oleh DPR kadangkala terganjal oleh sikap

pemerintah. Ia menilai pemerintah lamban satu langkah di belakang DPR, termasuk dalam penyusunan RUU Pilpres ini. Namun ia yakin, DPR berani mengambil keputusan untuk merombak satu hal yang baru terkait dengan RUU Pilpres ini, termasuk perombakan dari politik dan hukum.

Per t anyaan terkai t dengan berbagai demonstrasi yang ditujukan kepada DPR, Taufik menyatakan ini sebagai aspirasi masyarakat dan bagian dari reformasi. Sehingga DPR harus merespon semuanya demi kepentingan masyarakat.

“Segala sesuatu yang berkaitan dengan aspirasi masyarakat, atau apapun keinginan masyarakat, semuanya harus k i ta respon dalam rangka untuk kepentingan

masyarakat. Terkait dengan pemi lu 2014 yang akan datang, ini merupa­kan hal penting, karena kita sudah merasakan 15 tahun reformasi ini kita rasakan. Sehingga tonggak momentum 2014 adalah bagaimana reformasi itu bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Taufik.

Sebagai Wakil Ketua yang me­nangani bidang ekonomi dan keuangan, Sohibul menyatakan ter ima kasih terhadap reaksi masya rakat terkait dengan Badan Anggaran. Untuk menindak mafia anggaran, ia berjanji akan member­lakukan kode etik yang berlaku di DPR.

“Kami, pimpinan DPR beserta

seluruh anggota DPR, sangat berterima kasih terhadap seluruh reaksi yang diberikan masyarakat terkait masalah ini. Pertama, kami akan mensikapi itu secara positif. Itu sebagai trigger buat kami. Yang kedua, sebagai upaya kami dari dalam, pimpinan sepakat, kita harus menegakkan kode etik yang berlaku di DPR, yang sebagaimana kita tahu sudah semakin membaik,” jelas Sohibul.

Selain itu, ia tidak terusik dengan anggapan yang meminta badan anggaran untuk dibubarkan. Ia menyatakan bahwa ini persoalan bangsa yang akan menjadi diskusi pimpinan DPR. Ia bertekad untuk membuat banggar kedepannya jauh lebih baik, bukan sekedar budget allocation, namun juga kepada budget policy.

Acara berlangsung dengan meriah. Penampilan Stand Up Comedy dari Mo Siddiq berhasil membuat penonton ter tawa terpingkal ­pingkal. Lukisan pasir dari Denny Darko juga telah memukau penonton untuk tak berkedip melihat tarian tangan Denny di atas pasir.

Acara ditutup dengan penampilan Nidji membawakan lagu Biarlah dari album Top Up. Kembali Giring berinteraksi dengan penonton dan meneriakkan: Siapapun yang menang di Pemilu, bisa membawa perubahan untuk Indonesia. Penon­ton semakin merapat ke panggung, dan bernyanyi bersama dengan band asal Jakarta ini. (sf)

Page 78: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

78 EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Delegasi Aliansi Waria Anti Korupsi

(AWAK) diterima Timwas

Century DPR.

POJOK PARLE

Semangat bangsa ini untuk memberantas korupsi ternyata tidak pernah surut. Namun di sisi lain, perbuatan melawan hukum dengan merampok uang negara juga terus meningkat. Bahkan untuk memerangi rasuah ini dibentuk lembaga khusus yang bersifat ad hoc yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

ANCAM PINDAH MARKAS

Dukungan kepada lembaga ini juga terus bertambah sebab inilah institusi yang paling bisa diharapkan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Saking tingginya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini, maka masyarakatpun menggantungkan harapannya kepada KPK sehingga janji yang ditebar oleh Pimpinannya akan segera ditagih masyarakat.

Kalangan mahasiswa, aktivis dan penggiat anti korupsi akan senantiasa mengamati

sepak terjang KPK. Namun dalam rapat Timwas Century baru­baru ini di DPR, selain kalangan mahasiswa ada kelompok lain yang amat peduli dengan pemberantasan korupsi yang ditangani KPK.

Dalam rapat Timwas yang dipimpin Wakil Ketua DPR Sohibul Iman baru­baru ini yang sebenarnya agendanya dengan KPK namun mangkir kedua kalinya, akhirnya rapat Timwas menerima aspirasi dua kelompok BEM Seluruh Indonesia dan Aliansi Waria .

Page 79: Edisi 103 TH. XLIII, 2013

79EDISI 103 TH. XLIII, 2013PARLEMENTARIA

Kesempatan pertama kepada Delegasi BEM Seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasinya. Intinya penuntasan kasus Century yang hampir tiga tahun belum ada tanda­tanda penyelesaiannya, padahal janji Abraham Samad kalau setahun tak bisa selesaikan maka akan pulang kampung ke Makassar.

“Rapat di DPR mangkir, maka kalau perlu DPR tegas bisa memaksa hadir. Kalau tak bisa mari kita kumpulkan dana beliin tiket supaya Abraham Samad kembali ke Makassar,” teriaknya berapi­api penuh semangat.

Giliran Aliansi Waria Anti Korupsi (AWAK) melalui jubirnya Davina, selain membacakan pernyataan sikap menolak kleptokrasi Indonesia dan kembalikan demokrasi Indonesia, juga mendesak KPK segera tuntaskan Skandal Bank Century sebelum SBY lengser pada tahun 2014 mendatang.

Davina mempertanyakan, kenapa KPK tidak datang memenuhi panggilan Timwas Century DPR, sembari mengancam “Jika KPK tidak datang maka kami siap

menduduki Gedung KPK sebagai markas baru waria pindah dari Taman Lawang,” ujarnya yang disambut tawa dan sorak panjang anggota Timwas dan wartawan serta hadirin dalam ruang Rapat Gedung Nusantara tersebut.

“Ini luar biasa, ternyata aspirasi yang disampaikan kaum waria ini sama dengan yang disampaikan teman­teman BEM,” tutup Sohibul Iman sembari tersenyum.(mp)

“Jika KPK tidak datang maka kami siap menduduki Gedung KPK sebagai markas baru waria pindah dari Taman Lawang.”

Page 80: Edisi 103 TH. XLIII, 2013