file meis 4
TRANSCRIPT
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
193
Implementasi Kebijakan Pembayaran Denda Hukuman Mati bagi Tenaga Kerja Indonesia Di Arab Saudi
Dr. Hendra Kurniawan
Kepala Pusat Riset Timur Tengah dan Islam, Pascasarjana Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract
This study discusses the policy of the fine payment by the Indonesian Government for the death penalty case against Indonesia's labor in Saudi Arabia. The results of this research is an analysis of description about public perception among the public case against Indonesia Diyat payment system that charged to the Government of Indonesia. This study uses qualitative methods is descriptive analysis in mapping and analyzing the opinion of stakeholders, the public perception of the actor role-forming, as well as the applicable policies in some countries other related cases Diyat. This research is expected to provide policy recommendations to the Government in making decisions that have a strong justification and can be accounted for on the basis of scientific research. Keywords: Implementation, Policy, Death Penalty, Diyat PENDAHULUAN
Kasus diyat menjadi sebuah
fenomena yang terjadi pada Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) di Timur Tengah,
khususnya Arab Saudi. Maraknya kasus
diyat yang terjadi disebabkan para TKI di
Arab Saudi dianggap melakukan tindak
kejahatan yang berat seperti pembunuhan.
Sistem hukum di Arab Saudi menerapkan
hukuman mati bagi pelaku pembunuhan.
Arab Saudi sendiri merupakan negara
paling banyak terdapat Tenaga Keja
Indonesia (TKI), namun setelah
moratorium tahun 2011 jumlah TKI ke
Arab Saudi menurun (Bachtiar, 2013).
Menurut data Badan Nasional dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) mayoritas TKI adalah
perempuan yang bekerja sebagai pekerja
rumah tangga (BNP2TKI, 2015). Mereka
inilah yang rentan mengalami kasus
kriminal, terutama pembunuhan.
Kebanyakan dalih TKI yang melakukan
pembunuhan adalah upaya untuk membela
diri akibat terjadi penyiksaan fisik atau
kejahatan seksual oleh majikan. Akibatnya
bagi yang tidak mendapat ampunan atau
pemaafan dari keluarga korban, mereka
mendapat vonis hukuman mati. Namun
demikian, ada juga yang mendapat
ampunan atau pemaafan dari keluarga
korban dengan syarat pembayaran diyat.
Dalam upaya perlindungan WNI di
negara yang menerapkan hukum qishas,
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
194
dalam hal ini Arab Saudi, Kementerian
Luar Negeri RI memiliki komitmen yang
tinggi untuk melindungi WNI di luar
negeri. Komitmen tersebut yaitu
memastikan kehadiran negara dalam setiap
kasus hukum dengan cara memberikan
perlindungan kepada semua WNI.
Termasuk yang sedang mengalami kasus
hukum di luar negeri. Kehadiran negara
diwujudkan dalam bentuk pemberian
bantuan pengacara (lawyer) yang telah
disiapkan Kedutaan Besar atau Konsulat
Jenderal Republik Indonesia, pelaksanaan
kunjungan di penjara, menghadirkan
keluarga untuk bertemu dengan WNI,
pelaksanaan upaya diplomatik dan
pelibatan tokoh setempat, seperti Dewan
Pemaafan yang ada di Arab Saudi.
Pemerintah menggunakan jasa 17
pengacara tetap di berbagai negara, guna
melakukan upaya litigasi untuk
memastikan hak-hak hukum WNI yang
menghadapi permasalahan di luar negeri
terpenuhi. Berkenaan dengan hal tersebut,
sepanjang tahun 2015 Kementerian Luar
Negeri melalui Perwakilan RI di beberapa
negara berhasil membebaskan 48 WNI dari
hukuman mati, 12 di antaranya di Arab
Saudi. Salah satu cara pembebasan para
WNI yang terkena hukuman mati yaitu
melalui pembayaran diyat.
Dalam Sembilan Agenda Prioritas
Kebijakan pemerintahan Joko Widodo
yang dikenal dengan “Nawacita”
mencantumkan program perlindungan
warga Indonesia dimanapun, termasuk di
Luar Negeri. Namun demikian, terdapat
satu titik dimana pemerintah sama sekali
tidak dapat melakukan upaya penyelamatan
terhadap Warga Negara Indonesia (WNI).
Hal ini berkenaan dengan qishas yang
menimpa WNI yang telah ditetapkan
sebagai tersangka pada tindak kejahatan di
beberapa negara yang menerapkan hukum
Islam. Kondisi yang terjadi adalah di
saat keluarga korban tidak dapat
memberikan maaf kepada WNI yang
menjadi tersangka, maka vonis mati tidak
dapat dihindari. Bahkan, raja sendiri pun
tidak bisa melakukan intervensi dalam
kondisi tersebut, sehingga pemberian maaf
dari keluarga korban dinilai sangat penting
mengingat sistem hukum yang dianut di
Arab Saudi. Sosiolog Universitas Sumatera
Utara, Prof. Badaruddin menyarankan
pemerintah melakukan pendekatan kepada
keluarga korban pembunuhan. Hal ini
dianggap lebih berhasil bila dibandingkan
pendekatan diplomatik (Republika, 2012).
Menurut data dari Konsulat Jendral
RI untuk Jeddah, Pada tahun 2015 terdapat
14 warga negara Indonesia (WNI) terancam
hukuman mati di Arab Saudi. Dari 14 kasus
tersebut, 13 di antaranya berkaitan dengan
pembunuhan sementara satu sisanya
merupakan kejahatan zina muhsan atau
hubungan zina antara pria dan wanita yang
telah menikah. Sejumlah 14 WNI yang
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
195
terancam hukuman mati tersebut, 2 WNI
telah dieksekusi mati oleh pemerintah Arab
Saudi, yaitu Siti Zaenab yang membunuh
majikannya serta Karni yang membunuh
anak berumur 4 tahun.
Segala upaya telah dilakukan oleh
Kemlu, mulai dari pendampingan hukum,
menyediakan pengacara dan penerjemah
hingga upaya diplomatik. Namun,
keduanya tidak mendapatkan pemaafan
dari keluarga korban. Selain itu, beberapa
kasus WNI yang terbebas dari hukuman
mati dengan pembayaran diyat oleh
pemerintah, yaitu WNI bernama Darsem
yang divonis mati karena membunuh
anggota keluarga majikannya. Namun,
setelah pemerintah membayar diyat sebesar
2 juta riyal atau 4,6 miliar rupiah, Darsem
bebas dari hukum pancung dan bisa
kembali ke tanah air.
Kasus lainnya, yaitu kasus Satinah
binti Jumadi Amad seorang WNI asal
Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah. Pada 2011 Satinah divonis
hukuman mati oleh Pengadilan Buraidah,
Arab Saudi. Ia mengakui telah membunuh
majikannya, Nurah binti Muhammad Al
Gharib, 70 tahun dan mengambil uang
milik korban sejumlah 37,970 riyal Arab
Saudi atau sekitar 119 juta rupiah.
Hukuman mati terhadap Satinah awalnya
dilaksanakan pada Agustus 2011 kemudian
diundur Desember 2011, Desember 2012,
dan Juni 2013. Hukuman mati terhadap
Satinah dihapus setelah pihak ahli waris
keluarga korban memberi maaf dengan
tuntutan uang diyat sebesar 7 juta riyal atau
sekitar 21 miliar rupiah. Hal ini tidak
terlepas dari pendekatan yang dilakukan
oleh kemlu terhadap keluarga korban.
Selain beberapa WNI yang berhasil
bebas dari hukuman mati melalui
pembayaran diyat, terdapat juga beberapa
WNI yang tidak bisa diselamatkan dari
hukuman mati. Data dari Migrant Care,
Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli
terhadap masalah TKI menunjukkan bahwa
selama 10 tahun pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono terdapat tiga
TKI yang sudah dieksekusi mati di Arab
Saudi, yaitu Yanti Iriayanti, Agus Damsiri
dan Ruyati. Meskipun pemerintah sudah
berupaya semaksimal mungkin, namun
pihak keluarga korban tidak memberikan
maaf.
Berkenaan dengan hal tersebut,
pembayaran diyat yang dilakukan
pemerintah dalam upaya perlindungan
WNI menjadi perdebatan serius di tengah
masyarakat. Ada yang beranggapan bahwa
pemerintah wajib membayar diyat
berapapun yang diminta keluarga korban
sebagai wujud dari perlindungan WNI di
luar negeri. Namun ada juga yang
menganggap pembayaran diyat oleh
pemerintah dianggap kurang tepat bila
dijadikan sebagai solusi untuk melindungi
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
196
WNI yang umumnya adalah para pekerja di
sektor domestik di Arab Saudi.
Berdasarkan uraian diatas, kasus
diyat yang menimpa WNI di Timur Tengah
khususnya Arab Saudi terjadi pada WNI
yang dianggap melakukan tindak kejahatan
berat, seperti pembunuhan. Sistem hukum
di Arab Saudi menerapkan hukuman mati
bagi pelaku pembunuhan. Namun apabila
keluarga korban memaafkan sang pelaku,
maka hukuman mati itu tidak terjadi.
Namun demikian, tersangka terkena
kewajiban membayar diyat yang
mengharuskan pelaku kejahatan membayar
sejumlah uang yang telah ditetapkan
keluarga korban sebagai ganti rugi atas
kejahatan oleh pelaku kepada korban
(Vogel, 2000).
Dalam upaya perlindungan WNI,
pemerintah mengalami dilema dalam
menangani WNI yang terkena kewajiban
membayar diyat. Hal ini mengingat
pembayaran diyat pada beberapa kasus
dibebankan sepenuhnya pada pemerintah
sebagai penanggung jawab otoritas negara.
Di sisi lain, pembayaran diyat yang nilainya
mencapai milyaran rupiah tersebut selain
tidak masuk dalam APBN, juga dianggap
sebagai beban negara. Hal ini disebabkan
karena dana yang dikeluarkan pemerintah
untuk pembayaran diyat tersebut lebih
layak digunakan untuk kepentingan yang
memberikan manfaat lebih besar bagi
rakyat Indonesia.
Dengan demikian, laporan
penelitian ini mengurai tentang kebijakan
pemerintah RI dalam menangani kasus
diyat. Selain itu, beberapa kasus diyat yang
sudah terjadi serta alasan mengapa diyat
dibebankan kepada pemerintah juga akan
ditelaah dalam studi ini. Luaran hasil
penelitian ini adalah uraian analisa
mengenai persepsi publik di Indonesia
terhadap kasus ancaman hukuman mati
WNI dan sistem pembayaran diyat yang
dibebankan pada pemerintah.
Penelitian ini memberikan
kontribusi pengetahuan yang bersifat
empirik mengenai persepsi publik dalam
melihat kasus diyat yang menimpa TKI di
luar negeri yang notabene adalah WNI.
Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa
memberikan rekomendasi kebijakan
kepada pemerintah dalam mengambil
keputusan mengenai kasus diyat. Sehingga
kebijakan yang diambil memiliki justifikasi
yang lebih kuat dan dapat
dipertanggungjawabkan karena penelitian
ini dilakukan secara ilmiah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif yang bersifat deskriptif analisis.
Data yang dikumpulkan berasal dari hasil
observasi, wawancara, dokumen serta
rekaman. Selanjutnya, data tersebut diedit
untuk dianalisis berdasarkan teori dan
disusun dalam teks yang diperluas.
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
197
Pendekatan ini akan memetakan dan
menganalisa pendapat para pemangku
kepentingan, peran aktor pembentuk
persepsi publik, serta kebijakan yang
berlaku di beberapa negara lain terkait
kasus diyat. Melalui pendekatan kualitatif
ini, peneliti terjun langsung ke lapangan
untuk melakukan wawancara dengan
informan dari berbagai pemangku
kepentingan yang mengerti dan mengamati
kasus diyat di Arab Saudi.
Kajian di sini tidak menekankan
pada masalah politik dan hukum lebih
dalam, melainkan dari sudut persepsi dan
fenomena. Untuk itu, kedudukan pemangku
kepentingan dan aktor pembentuk persepsi
publik tersebut secara administratif, jenis-
jenis pekerjaan dan keberagaman yang
bersangkutan merupakan objek yang akan
diteliti. Atas dasar asumsi tersebut, objek
penelitian ini akan dibagi menjadi dua
bagian: Pertama, penelitian difokuskan
pada kebijakan pemerintah negara lain
dalam menyikapi kasus diyat yang
menimpa warga negaranya; Kedua,
penelitian akan difokuskan pada pemetaan
pendapat para stakeholder. Dalam hal ini
pemangku kepentingan dan aktor
pembentuk persepsi publik terkait
penyelesaian WNI yang terkena kasus diyat
oleh pemerintah.
Secara metodologis, rencana
penelitian yang akan dilakukan dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Tabel Rencana Penelitian
No Input Proses Output 1. Telaah Pustaka kasus-
kasus diyat WNI di Arab Saudi, kebijakan pembayaran diyat dan Lesson learned negara lain.
Secara teknis melakukan pengamatan terkait kasus diyat dan merumuskan materi wawancara.
- Pengungkapan persepsi masyarakat dan kebijakan pemerintah terkait kasus diyat
- Pemetaan dan Analisa pendapat pemangku kepentingan.
- Pemetaan dan analisa peran aktor pembentuk persepsi publik.
- proyek akhir dari penelitian ini adalah hasil analisis dari persepsi publik yang merupakan pendapat pemangku kepentingan dan aktor pembentuk persepsi publik serta rekomendasi kebijakan bagi pemerintah terkait kasus diyat.
2 Pengamatan pada para pemangku kepentingan terkait kasus diyat.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara.
3 Pengamatan peran aktor pembentuk persepsi publik.
Pengamatan dilakukan dengan wawancara dan mengamati 5-7 aktor pembentuk persepsi publik.
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
198
Berdasarkan tabel di atas, penelitian
ini lebih menekankan pada pendapat para
pemangku kepentingan dan aktor-aktor
pembentuk persepsi publik terkait kasus
diyat bahwa pada dasarnya pembayaran
diyat bukan merupakan kewajiban
pemerintah, terutama Kementerian Luar
Negeri. Asumsi dasarnya adalah bahwa
pemerintah wajib melindungi warga
negaranya dalam mendapat perlakuan
hukum yang adil. Sehingga di luar upaya
pemerintah dalam melindungi warga
negara Indonesia dalam memperoleh
perlakuan hukum yang adil tersebut bukan
merupakan tanggung jawab pemerintah,
dalam hal ini pembayaran diyat untuk
menebus WNI tersebut.
Secara teknis, pembahasan di sini
meliputi: (1) Kasus-kasus diyat yang
melibatkan WNI; (2) lesson learned
kebijakan pemerintah negara lain dalam
menyikapi warga negaranya yang terkena
kasus diyat; (3) pemetaan dan analisa
pendapat para pemangku kepentingan di
Indonesia mengenai diyat; serta (3)
pemetaan dan analisa peran aktor-aktor
pembentuk persepsi publik mengenai diyat.
Pengungkapan lain yang mendukung
penelitian ini turut dicantumkan seperti: (1)
Regulasi mengenai perlindungan WNI; (2)
pemahaman masyarakat terkait diyat; (3)
dampak dari pembayaran diyat yang
dilakukan oleh pemerintah jika terjadi
secara terus menerus; serta (4) studi pustaka
yang menelaah buku-buku, majalah-
majalah, dan artikel-artikel dari surat kabar
yang relevan dengan penelitian ini.
Proses Pengumpulan Data
Strategi pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara, observasi langsung dan
mencatat dokumen (content analysis).
Teknik cuplikan yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah “Purposive
Sampling” atau lebih tepat disebut sebagai
cuplikan dengan criterion-based selection
yang tidak dapat ditemukan lebih dulu
secara acak. Dalam hal ini peneliti memilih
informan yang dianggap mengetahui
permasalahan yang dikaji (dapat dipercaya
informasinya).
Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi: (1) Informan atau
narasumber yang terdiri dari para
pemangku kepentingan dan aktor
pembentuk persepsi public; (2) hasil
observasi mengenai persepsi masyarakat
dan sikap pemerintah terkait kasus diyat;
serta (3) teks-teks berupa arsip dan
dokumen resmi mengenai kasus diyat yang
menimpa WNI dan catatan-catatan lain
yang relevan.
Teknik pengumpulan data lainnya
dalam penelitian ini juga menggunakan
metode studi kepustakaan. Pengumpulan
data melalui metode studi kepustakaan
dilakukan dengan menelaah buku-buku,
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
199
majalah, artikel-artikel, undang-undang,
serta peraturan yang berkaitan dengan
pokok permasalahan. Studi kepustakaan
dimaksudkan untuk memperoleh kerangka
teori yang relevan dalam menetapkan arah
dan tujuan penelitian, sehingga
mendapatkan konsep yang relevan dalam
menganalisis penelitian ini. Dalam
memperoleh data mengenai peraturan dan
kebijakan pemerintah, para peneliti akan
mengunjungi beberapa instansi pemerintah
terkait.
Adapun dalam studi pustaka
(library research), peneliti menggunakan
berbagai sumber data dari hasil penelusuran
ke berbagai perpustakaan. Penelitian ini
mengambil beberapa sumber jurnal ilmiah
yang diunduh dari situs jurnal akademik
online, yaitu JSTOR, ProQuest, dan
Springer. Selain itu, penelitian ini
menggunakan strata sampling yang terdiri
dari responden pemerintah, akademisi,
cendekiawan, aktivis dan lain sebagainya
dengan menyebarkan kuesioner baik secara
langsung maupun melalui form online
dengan delapan pertanyaan tertutup yang
mewakili pemahaman masyarakat terhadap
masalah diyat.
Analisis Data Kualitatif
Teknik analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis
interaktif. Dalam model analisis ini, tiga
komponen analisisnya yaitu reduksi data,
sajian data, dan penarikan kesimpulan atau
verifikasi, aktivitasnya dilakukan dalam
bentuk interaktif dengan proses
pengumpulan data sebagai suatu proses
yang berlanjut, berulang dan terus- menerus
hingga membentuk sebuah siklus (Miles &
Hubermann, 2009).
Data yang diperoleh akan dipetakan
pada dua identitas responden, yaitu para
pemangku kepentingan di Indonesia terkait
kasus diyat, dan para aktor pembentuk
persepsi publik terkait kasus diyat. Untuk
memastikan keabsahan internal sebagai
pembuktian, peneliti melakukan beberapa
prosedur seperti: (1) Klasifikasi prasangka
peneliti yang dikemukakan secara tertulis
dalam proposal usulan penelitian; (2)
dialog yang berkesinambungan
menyangkut interpretasi peneliti tentang
realitas dan anti informan untuk
memastikan kejujuran data di lokasi
penelitian; (3) pelibatan informan dalam
sebagian besar tahapan dan desain
penelitian untuk memeriksa penafsiran dan
kesimpulan (Cresswell, 2003).
Data yang dihasilkan dari temuan di
lapangan dianalisa secara secara kualitatif
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, data dianalisis
berdasarkan perundang-undangan yang
diintrepretasi oleh para ahli hukum untuk
menjadi landasan sejauh mana negara
(Kemenlu RI) melaksanakan kewajibannya
dalam pemenuhan hak-hak warga negara
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
200
pada kasus pembayaran diyat di Arab
Saudi.
Kedua, data dianalisis berdasarkan
teori mengenai diyat dan teori persepsi
publik dengan tujuan memetakan pendapat-
pendapat para pemangku kepentingan
kemudian dianalisa secara holistik,
sehingga menghasilkan konsensus
pendapat yang bertujuan mendapatkan
output atau solusi terbaik untuk masukan
bagi pembuat kebijakan (pemerintah).
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini disajikan dalam
bentuk deskriptif-naratif. Artinya, identitas
informan akan dipetakan berdasarkan
lembaga yang dinaungi dan aspirasi mereka
sebagai pemangku kepentingan maupun
pembentuk persepsi publik. Nama-nama
digunakan dalam penelitian ini untuk
merujuk kepada semua responden yang
diwawancarai dan diamati.
Proyek akhir dari penelitian ini
merupakan kumpulan analisa dari persepsi
publik yang merupakan pendapat
pemangku kepentingan, aktor pembentuk
persepsi publik dan rekomendasi kebijakan
bagi pemerintah terkait kasus diyat.
Kebijakan Pembayaran Denda
Hukuman Mati (Diyat) di Arab Saudi
Arab Saudi merupakan negara
Monarki Islam yang berlaku sejak tahun
1950, dimana pemerintah Saudi
menerapkan Syari’at Islam sebagai
landasan konstitusi negara. Sistem syariah
ini menjadi dasar hukum dalam penerapan
legislasi (UU) dan jurisprudens (hukum)
yang berlaku bagi tindak pidana maupun
perdata di negara tersebut. Dalam
pengambilan kebijakan, pemerintah Saudi
menggunakan Al-Quran dan Hadist sebagai
pijakan utama dan interpretasi yang
digunakan adalah pendapat Mazhab Ibn
Hanbal.
Penerapan hukum dan sistem
peradilan yang digunakan di Arab Saudi
menggunakan syariah dimana kasus
kriminalitas dan kasus-kasus yang
melibatkan warga sipil diselesaikan dengan
hukum tersebut, termasuk pada masalah
diyat dan qishas. Meskipun Dektrit Raja
adalah UU teratas dalam konstitusi Saudi,
sebagai peradilan permohonan dan sumber
pemaafan, namun pada tataran pemaafan
bagi diyat dan qishas, raja tidak memiliki
kekuatan dalam memutuskan.
Sistem peradilan Saudi pada
dasarnya terbagi ke dalam tiga katagori
hierarki yakni: Pengadilan Ekspedisi,
Pengadilan Syariah dan Komisi
Pengawasan Judisial. Peradilan terbesar
dipegang oleh pengadilan syariah yang
menangani kasus-kasus yang banyak
melanggar legal system seperti diyat dan
qishas yang akan diproses melalui
peradilan ini.
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
201
Konstitusi Arab Saudi memiliki
kekhasan konstitusi yakni adanya Haqul
‘Aam (hak raja) dan Haqul Khos (Hak
keluarga korban). Dalam Basic Law
Constitution disebutkan bahwa Raja
memiliki konsiderasi hukum tertinggi yakni
memiliki hak veto dalam resolusi dewan
kementerian yakni otoritas judisial,
eksekutif dan regulasi sesuai dengan
fungsinya. Tetapi pada kasus tertentu
seperti diyat dan qishas, hak mutlak ada
pada Haqul Khos yakni keputusan ada pada
ahlud dam (keluarga korban) dan siapapun
tidak bisa melakukan intervensi atas
keputusan Haqul Khos.
Penjelasan mengenai keputusan
diyat dan qishas dijelaskan oleh
Muhammad Sadri dari Dit. PWNI & BHI
Kementerian Luar Negeri RI yakni kasus
diyat merupakan persoalan yang masuk ke
dalam ranah khos dimana pemerintah
dalam hal ini raja tidak bisa mengintervensi
keputusan keluarga korban. Bahkan
keputusan keluarga dapat berubah sampai
detik terakhir masa eksekusi. Dalam
penyelesaian khusus kasus diyat dan qishas
menurut Ahmad Masbukin, Diplomat RI
untuk Riyadh, bahwa pemerintah Saudi
membentuk badan mediasi yakni Lajnah
Aflah Lil-islahil Bayin yakni badan yang
bertugas untuk memediasi keluarga korban
dan pelaku tindak pidana qishas. Biasanya
dikepalai oleh Amir Mantiqoh, tokoh
setempat yang memiliki wibawa dan
kedudukan yang dihormati di masyarakat.
Proses jatuhnya hukuman diyat
sebelum masuk ke dalam peradilan tinggi
syariah diselesaikan melalui proses
diplomasi di Lajnah Aflah Lil-islahil Bayin.
Pada mekanisme ini pemerintah yang
diwakili oleh Kementerian Luar Negeri
melakukan pendampingan dalam proses
negosiasi dan pendekatan diplomatik
maupun kultural kepada keluarga korban.
Hal ini sebagai pendekatan dalam
pemaafan bagi pelaku qishas dan jika
dimaafkan maka negosiasi berlanjut pada
kisaran pembayaran diyat.
Pada dasarnya tugas dari Lajnah
Aflah lebih kepada memberi masukan
kepada keluarga korban untuk berlaku bijak
dalam pengambilan keputusan. Keputusan
yang diambil tidak lepas dari pengaruh
kepala suku dan masyarakat yang ada di
suku tersebut. Hal ini disampaikan oleh
Ahmad Masbukin selaku diplomat RI
dalam pendampingan TKI yang terkena
kasus diyat. Ia menjelaskan bahwa tradisi
Arab Saudi tidak lepas dari klan, suku-suku
yang ikut mengambil peran dalam
menentukan jumlah diyat yang dibebankan
oleh keluarga korban. Apabila suku
tersebut adalah suku terhormat maka akan
terjadi egoistis di dalam pengambilan
keputusan besaran diyat. Menurutnya,
besaran yang tinggi dan tidak terbatas dari
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
202
denda pembayaran diyat bukanlah diyat
melainkan takwid yakni kompensasi.
Pendekatan diplomasi dalam
penanganan diyat di Arab Saudi yakni
pendekatan spiritual dan kultural melalui
alasan-alasan religius dan unsur ibadah. Hal
ini dilakukan oleh Lajnah Aflah Lil-islahil
Bayin dan perwakilan PWNI & BHI dalam
pendampingan WNI dalam menyelesaikan
masalah qishas dan diyat di Arab Saudi.
Sebagaimana contoh kasus Satinah yang
dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri
berhasil menurunkan besaran diyat dari 15
Juta riyal menjadi 7 juta riyal.
Pada dasarnya diyat sebenarnya
bukan menjadi tujuan utama dari keluarga
korban, melainkan hanya pengganti rasa
sedih. Pada proses negosiasi dan diplomasi
telah dilakukan, mekanisme yang
dilakukan jika dimaafkan oleh keluarga
korban maka dibuat pernyataan pemaafan
dari pihak keluarga korban melalui Lajnah
Aflah dan di dalamnya tertera kisaran
jumlah diyat yang harus ditunaikan oleh
terdakwa. Setelah proses tersebut,
kemudian dokumen yang berisi pemaafan
dan kisaran biaya diyat yang harus
ditunaikan diajukan ke pengadilan syariah
sebagai tempat terakhir penentu vonis
hukuman.
Perlu dipahami bahwa negosiasi
diyat yang dilakukan antara terdakwa (WNI
yang terkena pidana) yang didampingi oleh
Dit PWNI & BHI Kemenlu kepada pihak
keluarga korban, tidak menghilangkan
proses hukum konstitusi Arab Saudi. Tetapi
masih diberlakukan hukum pidana bagi
terdakwa untuk mempertanggungjawabkan
pelanggaran hukum yang dilakukan.
Realitas Tenaga Kerja Indonesia di Arab
Saudi
Tenaga Kerja Indonesia telah
memasuki pasar tenaga kerja internasional
dalam berbagai bentuk kontrak kerja.
Berdasarkan data dari BNP2TKI terdapat
26 sektor penempatan TKI. Sektor Pekerja
Rumah Tangga (PRT) merupakan urutan
teratas dalam sektor penempatan TKI.
Jumlah total PRT dari 2013 – 2015 yakni
339,550 jiwa. Sedangkan, jumlah TKI di
Arab Saudi sejak tahun 2013 - 2015
berjumlah 105,068 jiwa dengan komposisi
di tahun 2013, total laki-laki 21,725 dan
perempuan 23,669. Tahun 2014, total laki-
laki 23,305 dan perempuan 21,020 dan
tahun 2015, laki-laki berjumlah 8,207 dan
perempuan 7,142 jiwa. Dalam penempatan
sektor yang banyak diminati atau yang
menjadi tujuan TKI sejak tahun 2013 s.d.
2015 adalah Domestic Worker (PRT)
dengan jumlah 339,550 TKI.
Berdasarkan sumber data yang
sama, latar belakang pendidikan TKI
dengan urutan teratas adalah SMP dengan
total jumlah 428,142 jiwa. Selanjutnya, SD
dengan jumlah total 365,442 jiwa. Sekolah
Menengah Umum (SMU) yakni 297,791
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
203
jiwa. Diploma sebanyak 49,925, S1
berjumlah 11,402 dan S2 berjumlah 551
jiwa. Tingkat pendidikan menjadi salah
satu alasan rentannya kasus yang terjadi di
Arab Saudi. Dr. Lalu Muhammad Iqbal
mengemukakan terdapat 228 WNI
terancam hukuman mati di seluruh dunia
dan 38 orang berada di Arab Saudi.
Qishas menjadi salah satu hukuman
yang mengancam WNI di Arab Saudi. Isu
hukum pancung menjadi isu hangat
pemerintah Indonesia dan menimbulkan
respon dari berbagai pihak termasuk
masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah
hukum yang berlandaskan Islam, hukum
pancung memiliki mekanisme tersendiri
yakni jika dimaafkan maka harus
membayar diyat. Sayid Sabiq mendefisikan
diyat adalah sejumlah harta yang
dibebankan kepada pelaku karena
terjadinya tindak pidana (pembunuhan atau
penganiayaan) dan diberikan kepada
korban atau walinya (Muslich, 2005).
Tradisi legal Islam menempatkan
diyat sebagai sebuah metode kompensasi
(Blood Money) apabila pelaku dimaafkan
oleh keluarga korban dan hal tersebut
mengandung nilai keberanian dari pelaku
serta pemberian maaf dari keluarga korban
(Ismail, 2012). Kemunculan diyat pada
awalnya adalah metode resolusi konflik
dalam sistem ekonomi Arab pra-Islam
dimana terjadi barter dengan
mengorbankan banyak darah untuk satu
korban pada sebuah klan sehingga
memunculkan praktik bisnis atau balas
dendam ketika terjadi pembunuhan.
Kemunculan diyat adalah sebuah
problem solver yang dibawa Islam untuk
menyelesaikan permasalahan hilangnya
nyawa korban melalui sistem negosiasi.
Praktik di lapangan, diyat menjadi sebuah
polemik bagi pemerintah Indonesia. Dalam
hal ini Kementerian Luar Negeri sebagai
perwakilan pemerintah untuk menangani
masalah WNI, berupaya melakukan
negosiasi kepada keluarga korban untuk
menentukan ukuran denda diyat.
Meskipun kadar pembayaran diyat
telah tertera dalam syariah Islam dan telah
tertulis dalam Dekrit Raja namun pada
praktiknya denda pembayaran diyat dapat
tinggi dan melebihi batas ukuran syar’i
yang ditetapkan. Teguh Hendro Cahyono,
Direktur Mediasi dan Advokasi BNP2TKI
mengatakan bahwa uang denda diyat yang
sangat tinggi dapat dialokasikan untuk
kemaslahatan umat dan pengentasan
kemiskinan. Teguh pula menyampaikan
banyaknya kasus yang terjadi di Arab Saudi
disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya: masalah adat budaya,
pengetahuan yang minim serta psikologi
pribadi TKI yang tidak stabil. Ditemukan
masalah pribadi TKI sehingga memicu
permasalahan yang berakibat pada
pembunuhan keji. Selain itu, usia yang
belum matang yakni 17 dan 18 tahun juga
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
204
menjadi salah satu pemicu dari tindak
kriminalitas yang dilakukan TKI.
Jika merujuk pada syariah Islam
khususnya pada pendapat Imam Abu
Yusuf, Imam Muhammad ibn Hasan, dan
Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan jenis
diyat ada enam macam, yaitu: (1) Unta =
100 ekor; (2) Emas = 1000 dinar; (3) Perak
= 10.000 dirham; (4) Sapi = 200 ekor; (5)
Kambing = 1000 ekor; (6) Pakaian = 200
setel pakaian.
Pembayaran di era modern,
pembayaran diyat tidak lagi menggunakan
pembayaran dengan jenis di atas melainkan
lebih kepada kurs mata uang Arab Saudi.
Kurs Saudi terhadap Indonesia +/-
Rp.3.700,-. Jika mengacu kisaran diyat
syar’i berdasarkan Dektrit Raja yakni
hanya 400 ribu riyal bagi korban laki-laki
dan setengahnya yakni 200 ribu riyal bagi
perempuan.
Polemik yang terjadi di Indonesia
terkait masalah diyat adalah siapa yang
bertanggungjawab terhadap pembayaran
diyat karena dirasa denda diyat yang
ditanggung WNI yang bermasalah cukup
besar. Seperti contoh kasus yang menimpa
Satinah yang harus menanggung denda
diyat sebesar 7 juta riyal, sama dengan 21
milyar dan Darsem senilai 2 juta riyal atau
4,6 milyar rupiah.
Munculnya opini yang mengkritisi
kebijakan pemerintah terhadap
perlindungan WNI yang dianggap lemah
menimbulkan persepsi bahwa berapapun
denda besaran diyat maka pemerintah harus
ikut andil dalam pembayaran. Dalam hal ini
opini yang terbangun adalah pemerintah
atas nama Kementerian Luar Negeri wajib
ikut serta dalam menyelesaikan
pembayaran diyat bagi WNI yang
melakukan tindakan pembunuhan namun
dimaafkan oleh keluarga korban.
Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam
Menyikapi Kebijakan Diyat di Arab
Saudi
Dalam beberapa tahun terakhir,
tuntutan besaran jumlah diyat yang diminta
oleh keluarga korban dalam suatu kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh WNI
yang bekerja di Arab Saudi terus meningkat
secara tajam. Uang diyat pada kasus
Darsem sebesar 2 juta riyal. Tetapi dalam
perkembangan terakhir, permintaan diyat
sudah mencapai 7 juta riyal pada kasus
Satinah. Melonjaknya permintaan diyat ini
sangat dilematis bagi pemerintah
Indonesia. Jika dipenuhi maka
dikhawatirkan angka uang diyat ini akan
terus membengkak, tapi sebaliknya jika
tidak dihiraukan, maka nyawa WNI bisa
berujung pada kematian.
Berkenaan dengan pembayaran
diyat, Indonesia secara khusus tidak
memiliki badan khusus yang
mengkoordinasikan pengumpulan dan
pembayaran diyat untuk WNI yang terkena
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
205
kasus pelanggaran hukum di luar negeri.
Hal ini terlihat pada beberapa kasus WNI
yang harus membayar diyat di Arab Saudi.
Dengan demikian, Indonesia hanya akan
membayar sesuai dengan batas adat istiadat
di negara setempat. Contohnya, jika WNI
melakukan pelanggaran hukum di Arab
Saudi dan wajib membayar diyat, maka
pemerintah hanya akan membantu
pembayaran senilai 200 ekor unta, atau
setara dengan 400 ribu riyal. Namun jika
WNI tersebut adalah korban atau tidak
bersalah maka akan dilakukan perjuangan
maksimal seperti melakukan pembelaan,
negosiasi dan penggalangan dana.
Penggantian hukuman mati menjadi
pembayaran diyat di Arab Saudi harus
melalui proses pengadilan. Jumlah tebusan
sangat bergantung pada pertimbangan
hakim setelah berunding dengan keluarga
korban. Secara umum, hakim akan
mempertimbangkan beberapa hal antara
lain, orang yang terbukti secara sah
menurut hukum membunuh orang mukmin,
dalam kategori sengaja, tidak disengaja,
atau mirip disengaja. Jika keluarga korban
merelakan diyat tersebut, terhukum dan
keluarganya tidak wajib membayar diyat
tersebut.
Tren meningkatnya permintaan
jumlah uang diyat ini terlihat pada kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh Darsem,
dimana keluarga korban meminta diyat
hingga 2 juta riyal dan terus naik dari waktu
ke waktu. Oleh karena itu, hingga saat ini
Kemlu terus mengkaji dan mengambil
langkah-langkah strategis terkait dengan
besaran uang diyat ini dan berharap agar
uang diyat yang diminta oleh keluarga
korban nominalnya tetap wajar.
Pada periode 2011 hingga Maret
2013, sebanyak 116 WNI berhasil
dilepaskan dari ancaman hukuman mati,
masing-masing 39 orang di Arab Saudi, 51
orang di Malaysia, 22 orang di RRT, 2
orang di Iran, dan 2 orang di Singapura.
Sementara itu, sampai dengan 13 Maret
2013, sebanyak 233 WNI masih menjalani
proses hukum dengan ancaman hukuman
mati, masing-masing 38 orang di Arab
Saudi, 181 orang di Malaysia, 11 orang di
RRT, 1 orang di Iran, 1 orang di Singapura,
dan 1 orang di Brunei Darussalam. Dalam
kurun waktu 2007-2014 total jumlah
eksekusi yang telah dilakukan di Arab
Saudi sebanyak 502 dan sejak Januari –
Agustus 2015, telah dilakukan sebanyak
126 eksekusi mati di Arab Saudi.
Secara keseluruhan, jumlah kasus
WNI di Arab Saudi yang ditangani oleh
Kemlu berjumlah 8.799 kasus. Kasus-kasus
yang dialami WNI di Arab Saudi pada
umumnya adalah berupa gaji yang tidak
dibayar, melarikan diri dari rumah majikan,
hilangnya kontak, meninggal dunia, dan
pelanggaran keimigrasian. Sejak tahun
2011 hingga 2015 Pemerintah Indonesia
telah berhasil membebaskan 68 orang WNI
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
206
dari hukuman mati. Namun demikian, saat
ini masih terdapat 24 WNI yang terancam
hukuman mati di Arab Saudi.
Teguh Hendro Cahyono, Direktur
Media dan Advokasi BNP2TKI,
mengungkap bahwa kasus-kasus yang
menimpa WNI yang bekerja di luar negeri
banyak disebabkan ketidakpuasan para user
terhadap kinerja TKI non formal di luar
negeri khususnya Arab Saudi. Hal ini
disebabkan perekrutan dan seleksi TKI
yang akan ke luar negeri tidak sesuai
prosedur dan ketentuan yang ada. Proses
penempatan TKI yang sesuai prosedur
dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Proses Penempatan TKI
Sumber: BNP2TKI
Selain itu, faktor psikologis
(kesiapan mental) yang dipengaruhi faktor
usia juga menjadi penyumbang terbesar
dalam kasus qishas yang berujung pada
pembayaran diyat. Solusi dari hulu ke hilir
yang efektif dan efisien dibutuhkan dalam
menanggulangi dan mengurai persoalan ini.
Sebagai upaya perlindungan WNI,
BNP2TKI menawarkan sistem
perlindungan WNI dalam 3 tahap,
sebagaimana dapat dilihat pada gambar
berikut :
Gambar 2. Sistem Perlindungan WNI
Sumber : BNP2TKI
Diluar sistem perlindungan yang
ditawarkan BNP2TKI di atas, ia
menawarkan opsi pembayaran diyat bagi
WNI yang terkena kasus di luar negeri,
yaitu melalui skema bantuan yang berasal
dari Corporate Social Responsibility
(CSR).
Kepala BNP2TKI periode 2007-
2013, Jumhur Hidayat menilai bahwa
pemerintah telah mengupayakan yang
terbaik bagi perlindungan TKI di luar
negeri yang salah satunya adalah melalui
jalan diplomasi yang memperjuangakan
TKI agar dapat dibebaskan dari vonis
hukuman mati. Bila dalam perjalanannya
terjadi diyat, negara dapat mengupayakan
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
207
pendanaan pada level tertentu yang
besarannya mengacu pada diyat syar’i
(diyat minimal). Bilamana ada permintaan
diyat yang tinggi, negara dapat membentuk
sebuah lembaga ad hoc yang diumumkan
dan dipimpin oleh orang yang terpercaya
secara moral untuk menerima sumbangan
dari dermawan-dermawan. Dengan kata
lain, negara telah memfasilitasi dalam
kegiatan penggalangan dana.
Disisi lain, Anies Hidayah selaku
Direktur Eksekutif Migrant Care,
memandang bahwa permasalahan yang
menimpa TKI di luar negeri adalah akibat
lemahnya kebijakan dalam negeri yang
tertuang dalam UU No 39 tahun 2004.
Sehingga, menurutnya revisi terhadap UU
buruh migran tersebut sangat diperlukan
guna mengurai permasalahan yang terjadi,
maka penanganan yang akan ditempuh
lebih strategis dan tepat sasaran. Selain itu,
Migrant Care menyarankan, untuk
mengurai permasalahan TKI, diperlukan
tata kelola kelembagaan yang terkait
dengan pengiriman dan perlindungan TKI
agar tidak tumpang tindih dalam usaha
perlindungan WNI. Dalam hal ini, Migrant
Care menganalisa bahwa yang paling
krusial adalah pelayanan satu pintu dalam
perekrutan TKI yakni dari hulu ke hilir,
tentunya dalam hal koordinasi dengan
aparat desa.
Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang concern pada perlindungan
TKI ini menilai bahwa penguatan dalam hal
perekrutan TKI di desa merupakan solusi
untuk mengurai permasalahan TKI di luar
negeri khususnya yang berujung pada
pembayaran diyat. Dengan demikian,
Migrant Care melihat bahwa dana
pembayaran diyat yang mencapai milyaran
rupiah itu akan lebih efektif bila
dialokasikan untuk pemberdayaan desa dan
perbaikan sistem perekrutan TKI.
Wahyu Susilo yang juga merupakan
Analis Kebijakan Migrant Care
menambahkan, persoalan diyat yang
menimpa TKI di luar negeri dapat diatasi
bila pemerintah meninggalkan gaya
advokasi ad hoc dalam berdiplomasi
dikarenakan hal ini tidak efektif.
Menurutnya, diperlukan kesiapan mitigasi
sedari awal bagi pemerintah dalam kasus
buruh migran, maka penyelesaian kasus
dengan pembayaran diyat dapat
diminimalisir. Untuk itu, diperlukan sinergi
diplomasi yang sama antara seluruh aparat
dan pemerintah.
Kekhawatiran Migrant Care, pada
dasarnya telah diantisipasi pemerintah,
dalam hal ini Direktorat Perlindungan WNI
dan BHI Kemenlu. Muhammad Sadri,
konsuler KJRI Jeddah periode 2009-2013
yang juga Kasi Repatriasi 2013-2015
Direktorat Perlindungan WNI dan BHI
Kemenlu RI mengungkapkan bahwa negara
dalam hal ini pemerintah, telah
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
208
memberikan bantuan maksimal bahkan
lebih.
Muhammad Sadri juga
menambahkan bahwa upaya yang telah
dilakukan pemerintah itu, antara lain: (1)
Memastikan adanya pendampingan hukum
bagi WNI yang terancam hukuman mati di
setiap tingkatan proses hukum (advokasi)
melalui mekanisme Unit Kerja Khusus; (2)
menyediakan pengacara retainer di
beberapa Perwakilan RI; (3)
mengalokasikan anggaran/dana untuk
bantuan hukum dan upaya pembebasan
lainnya; (4) pendekatan kepada keluarga
korban untuk tindak pidana pembunuhan
agar mendapatkan pemaafan (khusus Arab
Saudi); dan (5) pendekatan melalui saluran
diplomatik, baik yang dilakukan oleh
pemerintah pusat maupun Perwakilan RI.
Selain dari upaya-upaya yang
disebutkan di atas, upaya lain yang
dilakukan oleh Presiden RI secara langsung
kepada kepala pemerintahan terkait, dan
pembentukan Satgas penanganan WNI
yang terancam hukuman mati di luar negeri
sesuai Keppres No. 17 Tahun 2011.
Sebagai perbandingan, Muhammad Sadri
menyebutkan bahwa di negara lain,
contohnya Pakistan, pemerintah negara
tersebut tidak bersedia membantu
warganya yang terlibat kasus kriminal yang
berujung pada pembayaran diyat, karena
pada dasarnya hal ini menjadi pelajaran dan
dapat memberi efek jera pada pelaku.
Sehingga bagi Pakistan, diyat bukan
merupakan kewajiban negara.
Untuk kasus di Indonesia, posisi Kemenlu
sebagai otoritas pemerintah yang salah
satunya menangani persoalan WNI diluar
negeri, justru melakukan pembayaran diyat
sebagai wujud perlindungan WNI di luar
negeri. Padahal, kewajiban perlindungan
warga negara menurut Konvensi Wina
1963 dan customary international law,
bahwa kewajiban utama pemerintah sebuah
negara terkait perlindungan kepada warga
negaranya yang melakukan tindakan
kriminal di luar negeri adalah sebatas
memberikan bantuan berupa
pendampingan hukum serta memastikan
WNI yang bersangkutan memperoleh fair
trial (proses pengadilan yang adil).
Upaya-upaya yang telah dilakukan
pemerintah dalam penyelesaian kasus-
kasus hukuman mati yang menimpa WNI di
luar negeri, termasuk kasus Satinah selama
ini telah melampaui apa yang menjadi
kewajiban. Karena pada hakekatnya
pembayaran diyat adalah masalah pribadi
antara ahli waris korban dan keluarga
pelaku. Sehingga, berbagai upaya yang
telah dilakukan pemerintah Indonesia,
dalam hal ini Kemenlu di luar rujukan pada
Konvensi Wina 1963 dan customary
international law tetap dilakukan oleh
Kemenlu, di antaranya berbagai upaya
untuk menurunkan tuntutan besaran diyat
serta penggalangan dana untuk memenuhi
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
209
besaran diyat semata-mata merupakan
bentuk kepedulian dan keberpihakan
Kemlu pada WNI.
Lalu Muhammad Iqbal, Direktur
PWNI & BHI Kementerian Luar Negeri RI
menjelaskan kuatnya pengaruh opini publik
di Indonesia ditangkap oleh pemerintah
Arab Saudi, sehingga menimbulkan
persepsi bahwa berapapun denda diyat
yang ditimpakan untuk WNI, pemerintah
Indonesia akan siap menanggung dan
membayarnya. Hal ini menjadi salah satu
dilema bagi pemerintah untuk
menegosiasikan denda diyat yang
dikenakan kepada TKI yang terkena tindak
pidana. Selain itu, amanat UUD 1945
mengenai perlindungan pemerintah
terhadap setiap warga negara menjadi bias
dikarenakan opini publik yang terbentuk.
Dalam hal ini, perlindungan bagaimana dan
seperti apa yang harus dilakukan
pemerintah terhadap WNI di luar negeri
dan bagaimana bentuk perlindungan yang
dilakukan jika WNI melakukan tindak
kriminalitas menjadi pertanyaan mendasar
yang harus dijawab terkait pembayaran
diyat.
Sejalan dengan hal tersebut, Drs.
Gatot Abdullah Mansyur yang menjadi
Duta Besar RI untuk Saudi Arabia pada
periode 2010-2013, menyatakan bahwa
pemerintah RI berkewajiban dalam
perlindungan (pendampingan hukum) bagi
WNI termasuk TKI di luar negeri, namun
demikian tidak dalam ranah menanggung
kesalahan WNI. Untuk itu, menurutnya
perlu sosialisasi menyeluruh mengenai
opini yang berkembang di masyarakat
tentang bentuk kewajiban pemerintah
terhadap warganya termasuk dalam
persoalan pembayaran diyat.
Adapun jika pemerintah membantu
pembayaran diyat, jumlah yang menjadi
patokan besaran diyat minimal (syar’i) saja
yaitu sekitar 400 ribu riyal untuk laki-laki
(jika korban terbunuh) dan 200 ribu riyal
(untuk perempuan), dan selebihnya
ditanggung oleh keluarga pelaku. Pendapat
tersebut diperkuat dengan pandangan Ketua
Dewan Fatwa MUI, Prof. Chuzaimah T.
Yanggo, yang mengemukakan
pendapatnya pada permasalahan diyat
bahwa negara harus melindungi warga
negaranya dengan cara yang mencerdaskan
yaitu sebatas pendampingan hukum saja
tidak dapat memasuki wilayah privat. Di
karenakan negara, dalam hal ini Pemerintah
Indonesia masih mempunyai banyak
pekerjaan rumah yang harus dituntaskan
seperti memberantas kemiskinan denagn
menjaga kestabilan ekonomi dan
meningkatkan pendidikan masyarakat.
Pertanyaan mengenai bila
pemerintah turut andil dalam pembayaran
diyat, berapa persentase yang harus dibayar
oleh pemerintah kepada keluarga korban
dalam rangka melindungi WNI yang
terkena diyat, respon responden cukup
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
210
beragam. Survei menunjukkan bahwa 21%
responden berharap pemerintah RI
bertanggungjawab secara penuh dalam
pembayaran diyat. Adapun 11% responden
menjawab lainnya, yang dapat diartikan
bahwa pemerintah tidak turut andil dalam
pembayaran diyat, sebagaimana yang
tertera dalam gambar grafik berikut:
Gambar 3. Presentase Pembayaran Diyat
Sumber: Data Primer
Untuk andil pemerintah, jika harus
ikut membayar diyat, secara prosentase
adalah sebanyak ¼ dari denda yang
dijatuhkan atau pembayaran diyat yang
diminta keluarga korban (berdasarkan 35%
responden). Sedangkan sejumlah 33%
responden lainnya justru menyatakan
bahwa setengah dari beban pembayaran
diyat tersebut yang ditanggung pemerintah.
Secara umum, mayoritas responden
menganggap bahwa pembayaran diyat
tidak menjadi kewajiban pemerintah
(Kemenlu RI) sepenuhnya.
Pertanyaan terakhir dalam survei ini adalah
mengenai kinerja pemerintah khususnya
perwakilan RI di luar negeri dalam
perlindungan TKI di Arab Saudi.
Gambaran mengenai kinerja Kemlu di luar
negeri terlihat pada grafik gambar berikut:
Gambar 4. Kinerja Pemerintah RI
Sumber: Data Primer
Dari 148 responden, sebanyak 70%
dari total responden menilai kinerja Kemlu
khususnya perwakilan RI di luar negeri
dalam perlindungan TKI di Arab Saudi
sudah cukup baik. Hal ini menunjukkan
0%5%
10%15%20%25%30%35%
1/4 daridenda yangdiberikan
1/2 daridenda diyat
100% Lainnya
35% 33%
21%
11%
Persentase Pembayaran Diyat
Persentase Pembayaran Diyat
70%
30%
Kinerja Pemerintah RI
Memuaskan
TidakMemuaskan
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
211
bahwa secara umum, masyarakat puas
terhadap kinerja Kemlu dalam
perlindungan WNI diluar negeri,
khususnya Arab Saudi.
Secara umum, hasil survei ini
menggambarkan bahwa pembayaran diyat
bukan merupakan kewajiban Kemlu.
Namun jika Kemlu turut andil dalam
pembayaran diyat, maka hal itu bukan
kewajiban Kemlu semata, tetapi juga
stakeholder terkait diantaranya unsur
pelaku, PPTKIS, BNP2TKI dan kementrian
terkait lainnya. Selain itu perlu adanya
solusi asuransi bagi tenaga kerja informal
diluar negeri dalam upaya perlindungan
WNI yang bekerja diluar negeri khususnya
Arab Saudi.
Adapun mengenai proses dan
besaran nilai dari pembayaran diyat, perlu
adanya sosialisasi menyeluruh kepada
masyarakat luas agar lebih paham
mengenai proses dan pembayaran diyat
sebagai upaya pemerintah dalam menyikapi
persoalan diyat.
KESIMPULAN
Beberapa tahun terakhir, tuntutan
besaran jumlah diyat yang diminta oleh
keluarga korban dalam suatu kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh WNI
yang bekerja di Arab Saudi terus meningkat
secara tajam. Seperti pada kasus darsem
dengan uang diyat sebesar dua juta riyal,
kemudian meningkat menjadi tujuh juta
riyal pada kasus Satinah. Melonjaknya
permintaan diyat ini sangat dilematis bagi
pemerintah Indonesia. Jika dipenuhi maka
dikhawatirkan angka uang diyat ini akan
terus membengkak, tetapi sebaliknya jika
tidak dihiraukan, maka nyawa WNI bisa
berujung pada kematian.
Diyat merupakan ungkapan rasa
sedih kepada keluarga yang ditinggalkan.
Dengan adanya diyat, keluarga yang
ditinggalkan dapat terus melanjutkan
kehidupan. Akan tetapi menjadi tidak
sesuai dengan kaidah lagi bila sudah
memberatkan bagi yang berkewajiban
membayarnya. Karena pada prinsipnya,
diyat tidak memberatkan. Dalam konteks
berbangsa dan bernegara, diyat tidak ada
yang disandarkan pada negara, karena hal
itu merupakan dosa seseorang pada orang
lain. Pembayaran diyat yang dilakukan oleh
pemerintah RI untuk membantu para WNI
yang terkena kasus sudah tidak sesuai
prosedur. Hal ini menimbulkan adanya
mafia diyat, baik dari pihak negara Arab
Saudi itu sendiri maupun dari pemerintah
Indonesia yang akan memainkan besaran
pembayaran diyat hingga melambung
tinggi.
Kasus-kasus yang menimpa WNI
yang bekerja di luar negeri banyak
disebabkan ketidakpuasan para user
terhadap kinerja Tenaga Kerja Indonesia
non formal di luar negeri khususnya Arab
Saudi. Hal ini disebabkan perekrutan dan
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
212
seleksi TKI yang akan ke luar negeri tidak
sesuai prosedur dan ketentuan yang ada.
Selain itu, faktor psikologis (kesiapan
mental) yang dipengaruhi oleh faktor usia
juga menjadi penyumbang terbesar dalam
kasus qishas yang berujung pada
pembayaran diyat. Solusi dari hulu ke hilir
yang efektif dan efisien dibutuhkan dalam
menanggulangi persoalan ini.
Merujuk kepada kewajiban
perlindungan warga negara menurut
Konvensi Wina 1963 dan customary
international law, bahwa kewajiban utama
pemerintah sebuah negara terkait
perlindungan kepada warga negaranya
yang melakukan tindakan kriminal di luar
negeri adalah sebatas memberikan
bantuan/pendampingan hukum serta
memastikan WNI yang bersangkutan
memperoleh fair trial (proses pengadilan
yang adil). Dengan demikian, segala upaya
yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia
dalam penyelesaian kasus-kasus hukuman
mati yang menimpa WNI di luar negeri,
selama ini telah melampaui apa yang
menjadi kewajiban. Karena pada
hakekatnya pembayaran diyat adalah
masalah pribadi antara ahli waris korban
dan keluarga pelaku. Sebagai
perbandingan, dalam penanganan diyat di
Arab Saudi, pemerintah Indonesia dapat
mengambil pelajaran dari beberapa negara
lain, seperti Pakistan, Bangladesh, Filipina,
dan lain-lain.
Berdasarkan hasil riset di lapangan,
beberapa rekomendasi yang dihasilkan
adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam hal rekomendasi
untuk pembayaran Diyat, antara lain: (1)
Pemerintah RI untuk tidak melakukan
pembayaran diyat; Pemerintah melindungi
Warga Negara Indonesia dengan cara yang
cerdas dan mencerdaskan. Perlindungan
Warga Negara Indonesia dengan
pendampingan hukum bagi warganya tidak
dengan pembayaran diyat. Pembayaran
diyat oleh pemerintah adalah melanggar
prosedur dan ketentuan. Karena diyat
adalah kewajiban pribadi pelaku sesuai
aturan syar’i. Pemerintah dapat membantu
warganya yang terkena kasus hukum
dengan bantuan hukum yang memadai; dan
(2) besaran pembayaran diyat harus sesuai
dengan ketentuan diyat syar’i; yaitu sebesar
sekitar 400 ribu riyal untuk laki-laki (jika
korban terbunuh) dan 200 ribu riyal (untuk
perempuan), Hal ini jika memang
pemerintah terpaksa membantu
pembayaran diyat. Bilamana ada
permintaan diyat yang tinggi, negara dapat
membentuk sebuah lembaga ad hoc yang
diumumkan dan dipimpin oleh orang yang
terpercaya secara moral untuk menerima
sumbangan dari dermawan-dermawan.
Dengan kata lain, negara telah
memfasilitasi dalam kegiatan
penggalangan dana.
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
213
Kedua, rekomendasi bagi
rekrutmen TKI, antara lain: (1) Penerapan
surat perjanjian (Letter of Agreement)
antara pemerintah RI dengan Arab Saudi
terkait TKI; yang meliputi, waktu kerja
para TKI, besaran pembayaran upah,
perlindungan hukum dan lain sebagainya;
(2) perlu adanya early warning system bagi
pemerintah Indonesia dalam rangka
perlindungan bagi TKI di luar negeri yang
ditangani Menteri Koordinator sebagai
wujud sinergitas bagi seluruh lembaga yang
menangani TKI; (3) perbaikan sistem
rekrutmen TKI secara menyeluruh; dari
hulu ke hilir (pemberdayaan desa),
pembinaan yang mumpuni bagi calon TKI
yang akan keluar negeri termasuk
pembinaan akan pengetahuan hukum di
negera penempatan, pelayanan one stop
service bagi rekrutmen TKI hal ini
dilakukan guna preventif bagi persoalan
qishas dan diyat yang menimpa WNI di
luar negeri. Termasuk di dalamnya
persoalan legalitas rekrutmen dan
pengiriman TKI oleh lembaga yang
berwenang; dan (4) perlunya revisi
terhadap UU Tenaga Kerja guna mengurai
permasalahan yang terjadi, dengan
demikian penanganan yang akan ditempuh
lebih strategis dan tepat sasaran. Selain itu,
diperlukan tata kelola kelembagaan yang
terkait dengan pengiriman dan
perlindungan TKI agar tidak tumpang
tindih dalam usaha perlindungan WNI.
Ketiga, rekomendasi untuk
Kemenlu RI, antara lain: (1) Strategi
Diplomasi yang efektif dan efisien bagi
pengentasan persoalan diyat yang menimpa
WNI; (2) Sinergi semua aspek dan jajaran
aparat khususnya yang bertugas di luar
negeri dalam mengurai persoalan TKI dan
diyat yang menimpanya; dan (3) sosialisasi
dengan mengandeng media-media dan
masyarakat dalam rangka
menginformasikan upaya-upaya yang telah
dilakukan pemerintah RI dalam rangka
perlindungan terhadap warga negara nya
dan penguraian kasus diyat yang menimpa
WNI.
Keempat, rekomendasi bagi
stakeholder, antara lain: (1) Pemerintah
tidak melakukan pembayaran diyat; (2) bila
terpaksa melakukan bantuan pembayaran
diyat untuk WNI yang terkena kasus,
langkah yang dapat diambil menggunakan
sistem asuransi syariah yaitu adanya
alokasi dana tabarru (bagi persoalan diyat
ini), melalui instrumen zakat yaitu
kebijakan payroll system yang juga dapat
diterapkan untuk TKI, melalui skema
bantuan yang berasal dari Corporate Social
Responsibility (CSR), melalui lembaga
seperti BPJS khusus ketenagakerjaan atau
berupa lembaga dana sosial (hibah); dan (3)
perbaikan sistem rekrutmen TKI secara
menyeluruh dari hulu ke hilir, yang
meliputi pelatihan yang memadai termasuk
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
214
persoalan pengetahuan hukum di negara
tujuan yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA Al-Farsy, F. (2001). Modernity and
Tradition The Saudi Equation. United Kingdom: Knight Communications. hlm.53
Amnesty International Publication. Affront to justice: death penalty in Saudi Arabia.2008. London.
Badan Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. (2015). Data Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Tahun 2015 (Periode 1 Januari S.D 31 januari) Posisi Cetak Data Tanggal 12 Februari 2015. Jakarta.
Creswell, J.W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Second Edition. Sage Publication Inc.
Frank E.V. (2000). Islamic Law and Legal System: Studies of Saudi Arabia. Leiden: Brill
George E.B. & Michael A. Belch. (2007). Advertising and Promotion, An Integrated Marketing Communication Perspective. McGraw Hill.
Guevarra, A.R. (2010). Marketing Dreams, Manufacturing Heroes: The TransnationalLabor Brokering of Filipino Workers. New Jersey: Rutgers University Press.
Human Right Watch.(2007). Exported and Exposed: Abuse Against Sri Lankan Domestic Workers in Saudi Arabia, Kuwait, Lebanon, and The United Arab Emirates.Volume 19, No. 16 (C), November.
Huberman, Miles B. Matthew. (2009). Analisis Data Kualitatif : Buku
Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press.
Ismail, Siti Zubaidah. The Modern Interpretation of the DiyatFormula for the Quantum of Damages:The Case of Homicide and Personal Injuries. *. Arab LawQuarterly 26 (2012) 361-379.
Irianto, S. (2011). Akses Keadilan dan Migrasi Global: Kisah Perempuan IndonesiaPekerja Domestik di Uni Emirat Arab. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Jazuli, A. (1999). fiqh jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo persada.
Khawaja A dan Hiranya K. Nath, Workers' Migration and Remittance Bangladesh.Journal of Business Strategies. Volume 27, Number 1. 29 – 52.
Meolong, L.J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mourkarbel, N. (2009). Sri Lankan Housemaids in Lebanon: A Case of ‘SymbolicViolence’ and Everyday Forms of Resistance. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Muslich, A.W. (2005). Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Munajat, M. (2004). Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logun Pustaka.
Munawarsyah., et.al. Analisis yuridis pengaturan besaran diyat terhadap korban konflik di Aceh. Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syah Kuala. ISSN 2302-0180 Volume 2, No. 2, November 2013.
Neuman, W.L. (2000). Social Research Method: Qualitative and Quantitative Approaches, Fourth
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017
215
edition. Allyn and Bacon, Boston, Massachusetts.
Parthasarathi, Prasannan dan Donald Quataert. Migrant Workers in the Middle East: Introduction.International Labor and Working-Class History, No. 79, Spring (2011). 4– 6.
Peiffer, Elizabeth. The Death Penalty in Traditional Islamic Law and as Interpreted inSaudi Arabia and Nigeria, 11 Wm. & Mary J. Women & L. 507 (2005),http://scholarship.law.wm.edu/wmjowl/vol11/iss3/9
Rodriguez, Robyn Magalit. Philippine Migrant Workers Transnationalism in the Middle East. International Labor and Working-Class History, No. 79, Spring (2011). 48 – 61.
Tashakkori and Teddlie. (2010). Mixed Methodology: Mengombinasikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thiollet, H. (2011). Migration as Diplomacy Labor Migrants, Refugees, and Arab Regional Politics in The Oil-Rich Countries.International Labor and Working-Class History, No. 79, Spring(2011) 103 – 121.