file meis 4

23
MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017 193 Implementasi Kebijakan Pembayaran Denda Hukuman Mati bagi Tenaga Kerja Indonesia Di Arab Saudi Dr. Hendra Kurniawan Kepala Pusat Riset Timur Tengah dan Islam, Pascasarjana Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstract This study discusses the policy of the fine payment by the Indonesian Government for the death penalty case against Indonesia's labor in Saudi Arabia. The results of this research is an analysis of description about public perception among the public case against Indonesia Diyat payment system that charged to the Government of Indonesia. This study uses qualitative methods is descriptive analysis in mapping and analyzing the opinion of stakeholders, the public perception of the actor role-forming, as well as the applicable policies in some countries other related cases Diyat. This research is expected to provide policy recommendations to the Government in making decisions that have a strong justification and can be accounted for on the basis of scientific research. Keywords: Implementation, Policy, Death Penalty, Diyat PENDAHULUAN Kasus diyat menjadi sebuah fenomena yang terjadi pada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Maraknya kasus diyat yang terjadi disebabkan para TKI di Arab Saudi dianggap melakukan tindak kejahatan yang berat seperti pembunuhan. Sistem hukum di Arab Saudi menerapkan hukuman mati bagi pelaku pembunuhan. Arab Saudi sendiri merupakan negara paling banyak terdapat Tenaga Keja Indonesia (TKI), namun setelah moratorium tahun 2011 jumlah TKI ke Arab Saudi menurun (Bachtiar, 2013). Menurut data Badan Nasional dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mayoritas TKI adalah perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (BNP2TKI, 2015). Mereka inilah yang rentan mengalami kasus kriminal, terutama pembunuhan. Kebanyakan dalih TKI yang melakukan pembunuhan adalah upaya untuk membela diri akibat terjadi penyiksaan fisik atau kejahatan seksual oleh majikan. Akibatnya bagi yang tidak mendapat ampunan atau pemaafan dari keluarga korban, mereka mendapat vonis hukuman mati. Namun demikian, ada juga yang mendapat ampunan atau pemaafan dari keluarga korban dengan syarat pembayaran diyat. Dalam upaya perlindungan WNI di negara yang menerapkan hukum qishas,

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

193

Implementasi Kebijakan Pembayaran Denda Hukuman Mati bagi Tenaga Kerja Indonesia Di Arab Saudi

Dr. Hendra Kurniawan

Kepala Pusat Riset Timur Tengah dan Islam, Pascasarjana Universitas Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstract

This study discusses the policy of the fine payment by the Indonesian Government for the death penalty case against Indonesia's labor in Saudi Arabia. The results of this research is an analysis of description about public perception among the public case against Indonesia Diyat payment system that charged to the Government of Indonesia. This study uses qualitative methods is descriptive analysis in mapping and analyzing the opinion of stakeholders, the public perception of the actor role-forming, as well as the applicable policies in some countries other related cases Diyat. This research is expected to provide policy recommendations to the Government in making decisions that have a strong justification and can be accounted for on the basis of scientific research. Keywords: Implementation, Policy, Death Penalty, Diyat PENDAHULUAN

Kasus diyat menjadi sebuah

fenomena yang terjadi pada Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) di Timur Tengah,

khususnya Arab Saudi. Maraknya kasus

diyat yang terjadi disebabkan para TKI di

Arab Saudi dianggap melakukan tindak

kejahatan yang berat seperti pembunuhan.

Sistem hukum di Arab Saudi menerapkan

hukuman mati bagi pelaku pembunuhan.

Arab Saudi sendiri merupakan negara

paling banyak terdapat Tenaga Keja

Indonesia (TKI), namun setelah

moratorium tahun 2011 jumlah TKI ke

Arab Saudi menurun (Bachtiar, 2013).

Menurut data Badan Nasional dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

(BNP2TKI) mayoritas TKI adalah

perempuan yang bekerja sebagai pekerja

rumah tangga (BNP2TKI, 2015). Mereka

inilah yang rentan mengalami kasus

kriminal, terutama pembunuhan.

Kebanyakan dalih TKI yang melakukan

pembunuhan adalah upaya untuk membela

diri akibat terjadi penyiksaan fisik atau

kejahatan seksual oleh majikan. Akibatnya

bagi yang tidak mendapat ampunan atau

pemaafan dari keluarga korban, mereka

mendapat vonis hukuman mati. Namun

demikian, ada juga yang mendapat

ampunan atau pemaafan dari keluarga

korban dengan syarat pembayaran diyat.

Dalam upaya perlindungan WNI di

negara yang menerapkan hukum qishas,

Page 2: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

194

dalam hal ini Arab Saudi, Kementerian

Luar Negeri RI memiliki komitmen yang

tinggi untuk melindungi WNI di luar

negeri. Komitmen tersebut yaitu

memastikan kehadiran negara dalam setiap

kasus hukum dengan cara memberikan

perlindungan kepada semua WNI.

Termasuk yang sedang mengalami kasus

hukum di luar negeri. Kehadiran negara

diwujudkan dalam bentuk pemberian

bantuan pengacara (lawyer) yang telah

disiapkan Kedutaan Besar atau Konsulat

Jenderal Republik Indonesia, pelaksanaan

kunjungan di penjara, menghadirkan

keluarga untuk bertemu dengan WNI,

pelaksanaan upaya diplomatik dan

pelibatan tokoh setempat, seperti Dewan

Pemaafan yang ada di Arab Saudi.

Pemerintah menggunakan jasa 17

pengacara tetap di berbagai negara, guna

melakukan upaya litigasi untuk

memastikan hak-hak hukum WNI yang

menghadapi permasalahan di luar negeri

terpenuhi. Berkenaan dengan hal tersebut,

sepanjang tahun 2015 Kementerian Luar

Negeri melalui Perwakilan RI di beberapa

negara berhasil membebaskan 48 WNI dari

hukuman mati, 12 di antaranya di Arab

Saudi. Salah satu cara pembebasan para

WNI yang terkena hukuman mati yaitu

melalui pembayaran diyat.

Dalam Sembilan Agenda Prioritas

Kebijakan pemerintahan Joko Widodo

yang dikenal dengan “Nawacita”

mencantumkan program perlindungan

warga Indonesia dimanapun, termasuk di

Luar Negeri. Namun demikian, terdapat

satu titik dimana pemerintah sama sekali

tidak dapat melakukan upaya penyelamatan

terhadap Warga Negara Indonesia (WNI).

Hal ini berkenaan dengan qishas yang

menimpa WNI yang telah ditetapkan

sebagai tersangka pada tindak kejahatan di

beberapa negara yang menerapkan hukum

Islam. Kondisi yang terjadi adalah di

saat keluarga korban tidak dapat

memberikan maaf kepada WNI yang

menjadi tersangka, maka vonis mati tidak

dapat dihindari. Bahkan, raja sendiri pun

tidak bisa melakukan intervensi dalam

kondisi tersebut, sehingga pemberian maaf

dari keluarga korban dinilai sangat penting

mengingat sistem hukum yang dianut di

Arab Saudi. Sosiolog Universitas Sumatera

Utara, Prof. Badaruddin menyarankan

pemerintah melakukan pendekatan kepada

keluarga korban pembunuhan. Hal ini

dianggap lebih berhasil bila dibandingkan

pendekatan diplomatik (Republika, 2012).

Menurut data dari Konsulat Jendral

RI untuk Jeddah, Pada tahun 2015 terdapat

14 warga negara Indonesia (WNI) terancam

hukuman mati di Arab Saudi. Dari 14 kasus

tersebut, 13 di antaranya berkaitan dengan

pembunuhan sementara satu sisanya

merupakan kejahatan zina muhsan atau

hubungan zina antara pria dan wanita yang

telah menikah. Sejumlah 14 WNI yang

Page 3: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

195

terancam hukuman mati tersebut, 2 WNI

telah dieksekusi mati oleh pemerintah Arab

Saudi, yaitu Siti Zaenab yang membunuh

majikannya serta Karni yang membunuh

anak berumur 4 tahun.

Segala upaya telah dilakukan oleh

Kemlu, mulai dari pendampingan hukum,

menyediakan pengacara dan penerjemah

hingga upaya diplomatik. Namun,

keduanya tidak mendapatkan pemaafan

dari keluarga korban. Selain itu, beberapa

kasus WNI yang terbebas dari hukuman

mati dengan pembayaran diyat oleh

pemerintah, yaitu WNI bernama Darsem

yang divonis mati karena membunuh

anggota keluarga majikannya. Namun,

setelah pemerintah membayar diyat sebesar

2 juta riyal atau 4,6 miliar rupiah, Darsem

bebas dari hukum pancung dan bisa

kembali ke tanah air.

Kasus lainnya, yaitu kasus Satinah

binti Jumadi Amad seorang WNI asal

Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa

Tengah. Pada 2011 Satinah divonis

hukuman mati oleh Pengadilan Buraidah,

Arab Saudi. Ia mengakui telah membunuh

majikannya, Nurah binti Muhammad Al

Gharib, 70 tahun dan mengambil uang

milik korban sejumlah 37,970 riyal Arab

Saudi atau sekitar 119 juta rupiah.

Hukuman mati terhadap Satinah awalnya

dilaksanakan pada Agustus 2011 kemudian

diundur Desember 2011, Desember 2012,

dan Juni 2013. Hukuman mati terhadap

Satinah dihapus setelah pihak ahli waris

keluarga korban memberi maaf dengan

tuntutan uang diyat sebesar 7 juta riyal atau

sekitar 21 miliar rupiah. Hal ini tidak

terlepas dari pendekatan yang dilakukan

oleh kemlu terhadap keluarga korban.

Selain beberapa WNI yang berhasil

bebas dari hukuman mati melalui

pembayaran diyat, terdapat juga beberapa

WNI yang tidak bisa diselamatkan dari

hukuman mati. Data dari Migrant Care,

Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli

terhadap masalah TKI menunjukkan bahwa

selama 10 tahun pemerintahan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono terdapat tiga

TKI yang sudah dieksekusi mati di Arab

Saudi, yaitu Yanti Iriayanti, Agus Damsiri

dan Ruyati. Meskipun pemerintah sudah

berupaya semaksimal mungkin, namun

pihak keluarga korban tidak memberikan

maaf.

Berkenaan dengan hal tersebut,

pembayaran diyat yang dilakukan

pemerintah dalam upaya perlindungan

WNI menjadi perdebatan serius di tengah

masyarakat. Ada yang beranggapan bahwa

pemerintah wajib membayar diyat

berapapun yang diminta keluarga korban

sebagai wujud dari perlindungan WNI di

luar negeri. Namun ada juga yang

menganggap pembayaran diyat oleh

pemerintah dianggap kurang tepat bila

dijadikan sebagai solusi untuk melindungi

Page 4: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

196

WNI yang umumnya adalah para pekerja di

sektor domestik di Arab Saudi.

Berdasarkan uraian diatas, kasus

diyat yang menimpa WNI di Timur Tengah

khususnya Arab Saudi terjadi pada WNI

yang dianggap melakukan tindak kejahatan

berat, seperti pembunuhan. Sistem hukum

di Arab Saudi menerapkan hukuman mati

bagi pelaku pembunuhan. Namun apabila

keluarga korban memaafkan sang pelaku,

maka hukuman mati itu tidak terjadi.

Namun demikian, tersangka terkena

kewajiban membayar diyat yang

mengharuskan pelaku kejahatan membayar

sejumlah uang yang telah ditetapkan

keluarga korban sebagai ganti rugi atas

kejahatan oleh pelaku kepada korban

(Vogel, 2000).

Dalam upaya perlindungan WNI,

pemerintah mengalami dilema dalam

menangani WNI yang terkena kewajiban

membayar diyat. Hal ini mengingat

pembayaran diyat pada beberapa kasus

dibebankan sepenuhnya pada pemerintah

sebagai penanggung jawab otoritas negara.

Di sisi lain, pembayaran diyat yang nilainya

mencapai milyaran rupiah tersebut selain

tidak masuk dalam APBN, juga dianggap

sebagai beban negara. Hal ini disebabkan

karena dana yang dikeluarkan pemerintah

untuk pembayaran diyat tersebut lebih

layak digunakan untuk kepentingan yang

memberikan manfaat lebih besar bagi

rakyat Indonesia.

Dengan demikian, laporan

penelitian ini mengurai tentang kebijakan

pemerintah RI dalam menangani kasus

diyat. Selain itu, beberapa kasus diyat yang

sudah terjadi serta alasan mengapa diyat

dibebankan kepada pemerintah juga akan

ditelaah dalam studi ini. Luaran hasil

penelitian ini adalah uraian analisa

mengenai persepsi publik di Indonesia

terhadap kasus ancaman hukuman mati

WNI dan sistem pembayaran diyat yang

dibebankan pada pemerintah.

Penelitian ini memberikan

kontribusi pengetahuan yang bersifat

empirik mengenai persepsi publik dalam

melihat kasus diyat yang menimpa TKI di

luar negeri yang notabene adalah WNI.

Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa

memberikan rekomendasi kebijakan

kepada pemerintah dalam mengambil

keputusan mengenai kasus diyat. Sehingga

kebijakan yang diambil memiliki justifikasi

yang lebih kuat dan dapat

dipertanggungjawabkan karena penelitian

ini dilakukan secara ilmiah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif yang bersifat deskriptif analisis.

Data yang dikumpulkan berasal dari hasil

observasi, wawancara, dokumen serta

rekaman. Selanjutnya, data tersebut diedit

untuk dianalisis berdasarkan teori dan

disusun dalam teks yang diperluas.

Page 5: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

197

Pendekatan ini akan memetakan dan

menganalisa pendapat para pemangku

kepentingan, peran aktor pembentuk

persepsi publik, serta kebijakan yang

berlaku di beberapa negara lain terkait

kasus diyat. Melalui pendekatan kualitatif

ini, peneliti terjun langsung ke lapangan

untuk melakukan wawancara dengan

informan dari berbagai pemangku

kepentingan yang mengerti dan mengamati

kasus diyat di Arab Saudi.

Kajian di sini tidak menekankan

pada masalah politik dan hukum lebih

dalam, melainkan dari sudut persepsi dan

fenomena. Untuk itu, kedudukan pemangku

kepentingan dan aktor pembentuk persepsi

publik tersebut secara administratif, jenis-

jenis pekerjaan dan keberagaman yang

bersangkutan merupakan objek yang akan

diteliti. Atas dasar asumsi tersebut, objek

penelitian ini akan dibagi menjadi dua

bagian: Pertama, penelitian difokuskan

pada kebijakan pemerintah negara lain

dalam menyikapi kasus diyat yang

menimpa warga negaranya; Kedua,

penelitian akan difokuskan pada pemetaan

pendapat para stakeholder. Dalam hal ini

pemangku kepentingan dan aktor

pembentuk persepsi publik terkait

penyelesaian WNI yang terkena kasus diyat

oleh pemerintah.

Secara metodologis, rencana

penelitian yang akan dilakukan dapat

dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1. Tabel Rencana Penelitian

No Input Proses Output 1. Telaah Pustaka kasus-

kasus diyat WNI di Arab Saudi, kebijakan pembayaran diyat dan Lesson learned negara lain.

Secara teknis melakukan pengamatan terkait kasus diyat dan merumuskan materi wawancara.

- Pengungkapan persepsi masyarakat dan kebijakan pemerintah terkait kasus diyat

- Pemetaan dan Analisa pendapat pemangku kepentingan.

- Pemetaan dan analisa peran aktor pembentuk persepsi publik.

- proyek akhir dari penelitian ini adalah hasil analisis dari persepsi publik yang merupakan pendapat pemangku kepentingan dan aktor pembentuk persepsi publik serta rekomendasi kebijakan bagi pemerintah terkait kasus diyat.

2 Pengamatan pada para pemangku kepentingan terkait kasus diyat.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara.

3 Pengamatan peran aktor pembentuk persepsi publik.

Pengamatan dilakukan dengan wawancara dan mengamati 5-7 aktor pembentuk persepsi publik.

Page 6: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

198

Berdasarkan tabel di atas, penelitian

ini lebih menekankan pada pendapat para

pemangku kepentingan dan aktor-aktor

pembentuk persepsi publik terkait kasus

diyat bahwa pada dasarnya pembayaran

diyat bukan merupakan kewajiban

pemerintah, terutama Kementerian Luar

Negeri. Asumsi dasarnya adalah bahwa

pemerintah wajib melindungi warga

negaranya dalam mendapat perlakuan

hukum yang adil. Sehingga di luar upaya

pemerintah dalam melindungi warga

negara Indonesia dalam memperoleh

perlakuan hukum yang adil tersebut bukan

merupakan tanggung jawab pemerintah,

dalam hal ini pembayaran diyat untuk

menebus WNI tersebut.

Secara teknis, pembahasan di sini

meliputi: (1) Kasus-kasus diyat yang

melibatkan WNI; (2) lesson learned

kebijakan pemerintah negara lain dalam

menyikapi warga negaranya yang terkena

kasus diyat; (3) pemetaan dan analisa

pendapat para pemangku kepentingan di

Indonesia mengenai diyat; serta (3)

pemetaan dan analisa peran aktor-aktor

pembentuk persepsi publik mengenai diyat.

Pengungkapan lain yang mendukung

penelitian ini turut dicantumkan seperti: (1)

Regulasi mengenai perlindungan WNI; (2)

pemahaman masyarakat terkait diyat; (3)

dampak dari pembayaran diyat yang

dilakukan oleh pemerintah jika terjadi

secara terus menerus; serta (4) studi pustaka

yang menelaah buku-buku, majalah-

majalah, dan artikel-artikel dari surat kabar

yang relevan dengan penelitian ini.

Proses Pengumpulan Data

Strategi pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara, observasi langsung dan

mencatat dokumen (content analysis).

Teknik cuplikan yang akan digunakan

dalam penelitian ini adalah “Purposive

Sampling” atau lebih tepat disebut sebagai

cuplikan dengan criterion-based selection

yang tidak dapat ditemukan lebih dulu

secara acak. Dalam hal ini peneliti memilih

informan yang dianggap mengetahui

permasalahan yang dikaji (dapat dipercaya

informasinya).

Sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini meliputi: (1) Informan atau

narasumber yang terdiri dari para

pemangku kepentingan dan aktor

pembentuk persepsi public; (2) hasil

observasi mengenai persepsi masyarakat

dan sikap pemerintah terkait kasus diyat;

serta (3) teks-teks berupa arsip dan

dokumen resmi mengenai kasus diyat yang

menimpa WNI dan catatan-catatan lain

yang relevan.

Teknik pengumpulan data lainnya

dalam penelitian ini juga menggunakan

metode studi kepustakaan. Pengumpulan

data melalui metode studi kepustakaan

dilakukan dengan menelaah buku-buku,

Page 7: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

199

majalah, artikel-artikel, undang-undang,

serta peraturan yang berkaitan dengan

pokok permasalahan. Studi kepustakaan

dimaksudkan untuk memperoleh kerangka

teori yang relevan dalam menetapkan arah

dan tujuan penelitian, sehingga

mendapatkan konsep yang relevan dalam

menganalisis penelitian ini. Dalam

memperoleh data mengenai peraturan dan

kebijakan pemerintah, para peneliti akan

mengunjungi beberapa instansi pemerintah

terkait.

Adapun dalam studi pustaka

(library research), peneliti menggunakan

berbagai sumber data dari hasil penelusuran

ke berbagai perpustakaan. Penelitian ini

mengambil beberapa sumber jurnal ilmiah

yang diunduh dari situs jurnal akademik

online, yaitu JSTOR, ProQuest, dan

Springer. Selain itu, penelitian ini

menggunakan strata sampling yang terdiri

dari responden pemerintah, akademisi,

cendekiawan, aktivis dan lain sebagainya

dengan menyebarkan kuesioner baik secara

langsung maupun melalui form online

dengan delapan pertanyaan tertutup yang

mewakili pemahaman masyarakat terhadap

masalah diyat.

Analisis Data Kualitatif

Teknik analisis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah analisis

interaktif. Dalam model analisis ini, tiga

komponen analisisnya yaitu reduksi data,

sajian data, dan penarikan kesimpulan atau

verifikasi, aktivitasnya dilakukan dalam

bentuk interaktif dengan proses

pengumpulan data sebagai suatu proses

yang berlanjut, berulang dan terus- menerus

hingga membentuk sebuah siklus (Miles &

Hubermann, 2009).

Data yang diperoleh akan dipetakan

pada dua identitas responden, yaitu para

pemangku kepentingan di Indonesia terkait

kasus diyat, dan para aktor pembentuk

persepsi publik terkait kasus diyat. Untuk

memastikan keabsahan internal sebagai

pembuktian, peneliti melakukan beberapa

prosedur seperti: (1) Klasifikasi prasangka

peneliti yang dikemukakan secara tertulis

dalam proposal usulan penelitian; (2)

dialog yang berkesinambungan

menyangkut interpretasi peneliti tentang

realitas dan anti informan untuk

memastikan kejujuran data di lokasi

penelitian; (3) pelibatan informan dalam

sebagian besar tahapan dan desain

penelitian untuk memeriksa penafsiran dan

kesimpulan (Cresswell, 2003).

Data yang dihasilkan dari temuan di

lapangan dianalisa secara secara kualitatif

dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, data dianalisis

berdasarkan perundang-undangan yang

diintrepretasi oleh para ahli hukum untuk

menjadi landasan sejauh mana negara

(Kemenlu RI) melaksanakan kewajibannya

dalam pemenuhan hak-hak warga negara

Page 8: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

200

pada kasus pembayaran diyat di Arab

Saudi.

Kedua, data dianalisis berdasarkan

teori mengenai diyat dan teori persepsi

publik dengan tujuan memetakan pendapat-

pendapat para pemangku kepentingan

kemudian dianalisa secara holistik,

sehingga menghasilkan konsensus

pendapat yang bertujuan mendapatkan

output atau solusi terbaik untuk masukan

bagi pembuat kebijakan (pemerintah).

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini disajikan dalam

bentuk deskriptif-naratif. Artinya, identitas

informan akan dipetakan berdasarkan

lembaga yang dinaungi dan aspirasi mereka

sebagai pemangku kepentingan maupun

pembentuk persepsi publik. Nama-nama

digunakan dalam penelitian ini untuk

merujuk kepada semua responden yang

diwawancarai dan diamati.

Proyek akhir dari penelitian ini

merupakan kumpulan analisa dari persepsi

publik yang merupakan pendapat

pemangku kepentingan, aktor pembentuk

persepsi publik dan rekomendasi kebijakan

bagi pemerintah terkait kasus diyat.

Kebijakan Pembayaran Denda

Hukuman Mati (Diyat) di Arab Saudi

Arab Saudi merupakan negara

Monarki Islam yang berlaku sejak tahun

1950, dimana pemerintah Saudi

menerapkan Syari’at Islam sebagai

landasan konstitusi negara. Sistem syariah

ini menjadi dasar hukum dalam penerapan

legislasi (UU) dan jurisprudens (hukum)

yang berlaku bagi tindak pidana maupun

perdata di negara tersebut. Dalam

pengambilan kebijakan, pemerintah Saudi

menggunakan Al-Quran dan Hadist sebagai

pijakan utama dan interpretasi yang

digunakan adalah pendapat Mazhab Ibn

Hanbal.

Penerapan hukum dan sistem

peradilan yang digunakan di Arab Saudi

menggunakan syariah dimana kasus

kriminalitas dan kasus-kasus yang

melibatkan warga sipil diselesaikan dengan

hukum tersebut, termasuk pada masalah

diyat dan qishas. Meskipun Dektrit Raja

adalah UU teratas dalam konstitusi Saudi,

sebagai peradilan permohonan dan sumber

pemaafan, namun pada tataran pemaafan

bagi diyat dan qishas, raja tidak memiliki

kekuatan dalam memutuskan.

Sistem peradilan Saudi pada

dasarnya terbagi ke dalam tiga katagori

hierarki yakni: Pengadilan Ekspedisi,

Pengadilan Syariah dan Komisi

Pengawasan Judisial. Peradilan terbesar

dipegang oleh pengadilan syariah yang

menangani kasus-kasus yang banyak

melanggar legal system seperti diyat dan

qishas yang akan diproses melalui

peradilan ini.

Page 9: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

201

Konstitusi Arab Saudi memiliki

kekhasan konstitusi yakni adanya Haqul

‘Aam (hak raja) dan Haqul Khos (Hak

keluarga korban). Dalam Basic Law

Constitution disebutkan bahwa Raja

memiliki konsiderasi hukum tertinggi yakni

memiliki hak veto dalam resolusi dewan

kementerian yakni otoritas judisial,

eksekutif dan regulasi sesuai dengan

fungsinya. Tetapi pada kasus tertentu

seperti diyat dan qishas, hak mutlak ada

pada Haqul Khos yakni keputusan ada pada

ahlud dam (keluarga korban) dan siapapun

tidak bisa melakukan intervensi atas

keputusan Haqul Khos.

Penjelasan mengenai keputusan

diyat dan qishas dijelaskan oleh

Muhammad Sadri dari Dit. PWNI & BHI

Kementerian Luar Negeri RI yakni kasus

diyat merupakan persoalan yang masuk ke

dalam ranah khos dimana pemerintah

dalam hal ini raja tidak bisa mengintervensi

keputusan keluarga korban. Bahkan

keputusan keluarga dapat berubah sampai

detik terakhir masa eksekusi. Dalam

penyelesaian khusus kasus diyat dan qishas

menurut Ahmad Masbukin, Diplomat RI

untuk Riyadh, bahwa pemerintah Saudi

membentuk badan mediasi yakni Lajnah

Aflah Lil-islahil Bayin yakni badan yang

bertugas untuk memediasi keluarga korban

dan pelaku tindak pidana qishas. Biasanya

dikepalai oleh Amir Mantiqoh, tokoh

setempat yang memiliki wibawa dan

kedudukan yang dihormati di masyarakat.

Proses jatuhnya hukuman diyat

sebelum masuk ke dalam peradilan tinggi

syariah diselesaikan melalui proses

diplomasi di Lajnah Aflah Lil-islahil Bayin.

Pada mekanisme ini pemerintah yang

diwakili oleh Kementerian Luar Negeri

melakukan pendampingan dalam proses

negosiasi dan pendekatan diplomatik

maupun kultural kepada keluarga korban.

Hal ini sebagai pendekatan dalam

pemaafan bagi pelaku qishas dan jika

dimaafkan maka negosiasi berlanjut pada

kisaran pembayaran diyat.

Pada dasarnya tugas dari Lajnah

Aflah lebih kepada memberi masukan

kepada keluarga korban untuk berlaku bijak

dalam pengambilan keputusan. Keputusan

yang diambil tidak lepas dari pengaruh

kepala suku dan masyarakat yang ada di

suku tersebut. Hal ini disampaikan oleh

Ahmad Masbukin selaku diplomat RI

dalam pendampingan TKI yang terkena

kasus diyat. Ia menjelaskan bahwa tradisi

Arab Saudi tidak lepas dari klan, suku-suku

yang ikut mengambil peran dalam

menentukan jumlah diyat yang dibebankan

oleh keluarga korban. Apabila suku

tersebut adalah suku terhormat maka akan

terjadi egoistis di dalam pengambilan

keputusan besaran diyat. Menurutnya,

besaran yang tinggi dan tidak terbatas dari

Page 10: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

202

denda pembayaran diyat bukanlah diyat

melainkan takwid yakni kompensasi.

Pendekatan diplomasi dalam

penanganan diyat di Arab Saudi yakni

pendekatan spiritual dan kultural melalui

alasan-alasan religius dan unsur ibadah. Hal

ini dilakukan oleh Lajnah Aflah Lil-islahil

Bayin dan perwakilan PWNI & BHI dalam

pendampingan WNI dalam menyelesaikan

masalah qishas dan diyat di Arab Saudi.

Sebagaimana contoh kasus Satinah yang

dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri

berhasil menurunkan besaran diyat dari 15

Juta riyal menjadi 7 juta riyal.

Pada dasarnya diyat sebenarnya

bukan menjadi tujuan utama dari keluarga

korban, melainkan hanya pengganti rasa

sedih. Pada proses negosiasi dan diplomasi

telah dilakukan, mekanisme yang

dilakukan jika dimaafkan oleh keluarga

korban maka dibuat pernyataan pemaafan

dari pihak keluarga korban melalui Lajnah

Aflah dan di dalamnya tertera kisaran

jumlah diyat yang harus ditunaikan oleh

terdakwa. Setelah proses tersebut,

kemudian dokumen yang berisi pemaafan

dan kisaran biaya diyat yang harus

ditunaikan diajukan ke pengadilan syariah

sebagai tempat terakhir penentu vonis

hukuman.

Perlu dipahami bahwa negosiasi

diyat yang dilakukan antara terdakwa (WNI

yang terkena pidana) yang didampingi oleh

Dit PWNI & BHI Kemenlu kepada pihak

keluarga korban, tidak menghilangkan

proses hukum konstitusi Arab Saudi. Tetapi

masih diberlakukan hukum pidana bagi

terdakwa untuk mempertanggungjawabkan

pelanggaran hukum yang dilakukan.

Realitas Tenaga Kerja Indonesia di Arab

Saudi

Tenaga Kerja Indonesia telah

memasuki pasar tenaga kerja internasional

dalam berbagai bentuk kontrak kerja.

Berdasarkan data dari BNP2TKI terdapat

26 sektor penempatan TKI. Sektor Pekerja

Rumah Tangga (PRT) merupakan urutan

teratas dalam sektor penempatan TKI.

Jumlah total PRT dari 2013 – 2015 yakni

339,550 jiwa. Sedangkan, jumlah TKI di

Arab Saudi sejak tahun 2013 - 2015

berjumlah 105,068 jiwa dengan komposisi

di tahun 2013, total laki-laki 21,725 dan

perempuan 23,669. Tahun 2014, total laki-

laki 23,305 dan perempuan 21,020 dan

tahun 2015, laki-laki berjumlah 8,207 dan

perempuan 7,142 jiwa. Dalam penempatan

sektor yang banyak diminati atau yang

menjadi tujuan TKI sejak tahun 2013 s.d.

2015 adalah Domestic Worker (PRT)

dengan jumlah 339,550 TKI.

Berdasarkan sumber data yang

sama, latar belakang pendidikan TKI

dengan urutan teratas adalah SMP dengan

total jumlah 428,142 jiwa. Selanjutnya, SD

dengan jumlah total 365,442 jiwa. Sekolah

Menengah Umum (SMU) yakni 297,791

Page 11: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

203

jiwa. Diploma sebanyak 49,925, S1

berjumlah 11,402 dan S2 berjumlah 551

jiwa. Tingkat pendidikan menjadi salah

satu alasan rentannya kasus yang terjadi di

Arab Saudi. Dr. Lalu Muhammad Iqbal

mengemukakan terdapat 228 WNI

terancam hukuman mati di seluruh dunia

dan 38 orang berada di Arab Saudi.

Qishas menjadi salah satu hukuman

yang mengancam WNI di Arab Saudi. Isu

hukum pancung menjadi isu hangat

pemerintah Indonesia dan menimbulkan

respon dari berbagai pihak termasuk

masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah

hukum yang berlandaskan Islam, hukum

pancung memiliki mekanisme tersendiri

yakni jika dimaafkan maka harus

membayar diyat. Sayid Sabiq mendefisikan

diyat adalah sejumlah harta yang

dibebankan kepada pelaku karena

terjadinya tindak pidana (pembunuhan atau

penganiayaan) dan diberikan kepada

korban atau walinya (Muslich, 2005).

Tradisi legal Islam menempatkan

diyat sebagai sebuah metode kompensasi

(Blood Money) apabila pelaku dimaafkan

oleh keluarga korban dan hal tersebut

mengandung nilai keberanian dari pelaku

serta pemberian maaf dari keluarga korban

(Ismail, 2012). Kemunculan diyat pada

awalnya adalah metode resolusi konflik

dalam sistem ekonomi Arab pra-Islam

dimana terjadi barter dengan

mengorbankan banyak darah untuk satu

korban pada sebuah klan sehingga

memunculkan praktik bisnis atau balas

dendam ketika terjadi pembunuhan.

Kemunculan diyat adalah sebuah

problem solver yang dibawa Islam untuk

menyelesaikan permasalahan hilangnya

nyawa korban melalui sistem negosiasi.

Praktik di lapangan, diyat menjadi sebuah

polemik bagi pemerintah Indonesia. Dalam

hal ini Kementerian Luar Negeri sebagai

perwakilan pemerintah untuk menangani

masalah WNI, berupaya melakukan

negosiasi kepada keluarga korban untuk

menentukan ukuran denda diyat.

Meskipun kadar pembayaran diyat

telah tertera dalam syariah Islam dan telah

tertulis dalam Dekrit Raja namun pada

praktiknya denda pembayaran diyat dapat

tinggi dan melebihi batas ukuran syar’i

yang ditetapkan. Teguh Hendro Cahyono,

Direktur Mediasi dan Advokasi BNP2TKI

mengatakan bahwa uang denda diyat yang

sangat tinggi dapat dialokasikan untuk

kemaslahatan umat dan pengentasan

kemiskinan. Teguh pula menyampaikan

banyaknya kasus yang terjadi di Arab Saudi

disebabkan oleh banyak faktor,

diantaranya: masalah adat budaya,

pengetahuan yang minim serta psikologi

pribadi TKI yang tidak stabil. Ditemukan

masalah pribadi TKI sehingga memicu

permasalahan yang berakibat pada

pembunuhan keji. Selain itu, usia yang

belum matang yakni 17 dan 18 tahun juga

Page 12: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

204

menjadi salah satu pemicu dari tindak

kriminalitas yang dilakukan TKI.

Jika merujuk pada syariah Islam

khususnya pada pendapat Imam Abu

Yusuf, Imam Muhammad ibn Hasan, dan

Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan jenis

diyat ada enam macam, yaitu: (1) Unta =

100 ekor; (2) Emas = 1000 dinar; (3) Perak

= 10.000 dirham; (4) Sapi = 200 ekor; (5)

Kambing = 1000 ekor; (6) Pakaian = 200

setel pakaian.

Pembayaran di era modern,

pembayaran diyat tidak lagi menggunakan

pembayaran dengan jenis di atas melainkan

lebih kepada kurs mata uang Arab Saudi.

Kurs Saudi terhadap Indonesia +/-

Rp.3.700,-. Jika mengacu kisaran diyat

syar’i berdasarkan Dektrit Raja yakni

hanya 400 ribu riyal bagi korban laki-laki

dan setengahnya yakni 200 ribu riyal bagi

perempuan.

Polemik yang terjadi di Indonesia

terkait masalah diyat adalah siapa yang

bertanggungjawab terhadap pembayaran

diyat karena dirasa denda diyat yang

ditanggung WNI yang bermasalah cukup

besar. Seperti contoh kasus yang menimpa

Satinah yang harus menanggung denda

diyat sebesar 7 juta riyal, sama dengan 21

milyar dan Darsem senilai 2 juta riyal atau

4,6 milyar rupiah.

Munculnya opini yang mengkritisi

kebijakan pemerintah terhadap

perlindungan WNI yang dianggap lemah

menimbulkan persepsi bahwa berapapun

denda besaran diyat maka pemerintah harus

ikut andil dalam pembayaran. Dalam hal ini

opini yang terbangun adalah pemerintah

atas nama Kementerian Luar Negeri wajib

ikut serta dalam menyelesaikan

pembayaran diyat bagi WNI yang

melakukan tindakan pembunuhan namun

dimaafkan oleh keluarga korban.

Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam

Menyikapi Kebijakan Diyat di Arab

Saudi

Dalam beberapa tahun terakhir,

tuntutan besaran jumlah diyat yang diminta

oleh keluarga korban dalam suatu kasus

pembunuhan yang dilakukan oleh WNI

yang bekerja di Arab Saudi terus meningkat

secara tajam. Uang diyat pada kasus

Darsem sebesar 2 juta riyal. Tetapi dalam

perkembangan terakhir, permintaan diyat

sudah mencapai 7 juta riyal pada kasus

Satinah. Melonjaknya permintaan diyat ini

sangat dilematis bagi pemerintah

Indonesia. Jika dipenuhi maka

dikhawatirkan angka uang diyat ini akan

terus membengkak, tapi sebaliknya jika

tidak dihiraukan, maka nyawa WNI bisa

berujung pada kematian.

Berkenaan dengan pembayaran

diyat, Indonesia secara khusus tidak

memiliki badan khusus yang

mengkoordinasikan pengumpulan dan

pembayaran diyat untuk WNI yang terkena

Page 13: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

205

kasus pelanggaran hukum di luar negeri.

Hal ini terlihat pada beberapa kasus WNI

yang harus membayar diyat di Arab Saudi.

Dengan demikian, Indonesia hanya akan

membayar sesuai dengan batas adat istiadat

di negara setempat. Contohnya, jika WNI

melakukan pelanggaran hukum di Arab

Saudi dan wajib membayar diyat, maka

pemerintah hanya akan membantu

pembayaran senilai 200 ekor unta, atau

setara dengan 400 ribu riyal. Namun jika

WNI tersebut adalah korban atau tidak

bersalah maka akan dilakukan perjuangan

maksimal seperti melakukan pembelaan,

negosiasi dan penggalangan dana.

Penggantian hukuman mati menjadi

pembayaran diyat di Arab Saudi harus

melalui proses pengadilan. Jumlah tebusan

sangat bergantung pada pertimbangan

hakim setelah berunding dengan keluarga

korban. Secara umum, hakim akan

mempertimbangkan beberapa hal antara

lain, orang yang terbukti secara sah

menurut hukum membunuh orang mukmin,

dalam kategori sengaja, tidak disengaja,

atau mirip disengaja. Jika keluarga korban

merelakan diyat tersebut, terhukum dan

keluarganya tidak wajib membayar diyat

tersebut.

Tren meningkatnya permintaan

jumlah uang diyat ini terlihat pada kasus

pembunuhan yang dilakukan oleh Darsem,

dimana keluarga korban meminta diyat

hingga 2 juta riyal dan terus naik dari waktu

ke waktu. Oleh karena itu, hingga saat ini

Kemlu terus mengkaji dan mengambil

langkah-langkah strategis terkait dengan

besaran uang diyat ini dan berharap agar

uang diyat yang diminta oleh keluarga

korban nominalnya tetap wajar.

Pada periode 2011 hingga Maret

2013, sebanyak 116 WNI berhasil

dilepaskan dari ancaman hukuman mati,

masing-masing 39 orang di Arab Saudi, 51

orang di Malaysia, 22 orang di RRT, 2

orang di Iran, dan 2 orang di Singapura.

Sementara itu, sampai dengan 13 Maret

2013, sebanyak 233 WNI masih menjalani

proses hukum dengan ancaman hukuman

mati, masing-masing 38 orang di Arab

Saudi, 181 orang di Malaysia, 11 orang di

RRT, 1 orang di Iran, 1 orang di Singapura,

dan 1 orang di Brunei Darussalam. Dalam

kurun waktu 2007-2014 total jumlah

eksekusi yang telah dilakukan di Arab

Saudi sebanyak 502 dan sejak Januari –

Agustus 2015, telah dilakukan sebanyak

126 eksekusi mati di Arab Saudi.

Secara keseluruhan, jumlah kasus

WNI di Arab Saudi yang ditangani oleh

Kemlu berjumlah 8.799 kasus. Kasus-kasus

yang dialami WNI di Arab Saudi pada

umumnya adalah berupa gaji yang tidak

dibayar, melarikan diri dari rumah majikan,

hilangnya kontak, meninggal dunia, dan

pelanggaran keimigrasian. Sejak tahun

2011 hingga 2015 Pemerintah Indonesia

telah berhasil membebaskan 68 orang WNI

Page 14: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

206

dari hukuman mati. Namun demikian, saat

ini masih terdapat 24 WNI yang terancam

hukuman mati di Arab Saudi.

Teguh Hendro Cahyono, Direktur

Media dan Advokasi BNP2TKI,

mengungkap bahwa kasus-kasus yang

menimpa WNI yang bekerja di luar negeri

banyak disebabkan ketidakpuasan para user

terhadap kinerja TKI non formal di luar

negeri khususnya Arab Saudi. Hal ini

disebabkan perekrutan dan seleksi TKI

yang akan ke luar negeri tidak sesuai

prosedur dan ketentuan yang ada. Proses

penempatan TKI yang sesuai prosedur

dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Proses Penempatan TKI

Sumber: BNP2TKI

Selain itu, faktor psikologis

(kesiapan mental) yang dipengaruhi faktor

usia juga menjadi penyumbang terbesar

dalam kasus qishas yang berujung pada

pembayaran diyat. Solusi dari hulu ke hilir

yang efektif dan efisien dibutuhkan dalam

menanggulangi dan mengurai persoalan ini.

Sebagai upaya perlindungan WNI,

BNP2TKI menawarkan sistem

perlindungan WNI dalam 3 tahap,

sebagaimana dapat dilihat pada gambar

berikut :

Gambar 2. Sistem Perlindungan WNI

Sumber : BNP2TKI

Diluar sistem perlindungan yang

ditawarkan BNP2TKI di atas, ia

menawarkan opsi pembayaran diyat bagi

WNI yang terkena kasus di luar negeri,

yaitu melalui skema bantuan yang berasal

dari Corporate Social Responsibility

(CSR).

Kepala BNP2TKI periode 2007-

2013, Jumhur Hidayat menilai bahwa

pemerintah telah mengupayakan yang

terbaik bagi perlindungan TKI di luar

negeri yang salah satunya adalah melalui

jalan diplomasi yang memperjuangakan

TKI agar dapat dibebaskan dari vonis

hukuman mati. Bila dalam perjalanannya

terjadi diyat, negara dapat mengupayakan

Page 15: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

207

pendanaan pada level tertentu yang

besarannya mengacu pada diyat syar’i

(diyat minimal). Bilamana ada permintaan

diyat yang tinggi, negara dapat membentuk

sebuah lembaga ad hoc yang diumumkan

dan dipimpin oleh orang yang terpercaya

secara moral untuk menerima sumbangan

dari dermawan-dermawan. Dengan kata

lain, negara telah memfasilitasi dalam

kegiatan penggalangan dana.

Disisi lain, Anies Hidayah selaku

Direktur Eksekutif Migrant Care,

memandang bahwa permasalahan yang

menimpa TKI di luar negeri adalah akibat

lemahnya kebijakan dalam negeri yang

tertuang dalam UU No 39 tahun 2004.

Sehingga, menurutnya revisi terhadap UU

buruh migran tersebut sangat diperlukan

guna mengurai permasalahan yang terjadi,

maka penanganan yang akan ditempuh

lebih strategis dan tepat sasaran. Selain itu,

Migrant Care menyarankan, untuk

mengurai permasalahan TKI, diperlukan

tata kelola kelembagaan yang terkait

dengan pengiriman dan perlindungan TKI

agar tidak tumpang tindih dalam usaha

perlindungan WNI. Dalam hal ini, Migrant

Care menganalisa bahwa yang paling

krusial adalah pelayanan satu pintu dalam

perekrutan TKI yakni dari hulu ke hilir,

tentunya dalam hal koordinasi dengan

aparat desa.

Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) yang concern pada perlindungan

TKI ini menilai bahwa penguatan dalam hal

perekrutan TKI di desa merupakan solusi

untuk mengurai permasalahan TKI di luar

negeri khususnya yang berujung pada

pembayaran diyat. Dengan demikian,

Migrant Care melihat bahwa dana

pembayaran diyat yang mencapai milyaran

rupiah itu akan lebih efektif bila

dialokasikan untuk pemberdayaan desa dan

perbaikan sistem perekrutan TKI.

Wahyu Susilo yang juga merupakan

Analis Kebijakan Migrant Care

menambahkan, persoalan diyat yang

menimpa TKI di luar negeri dapat diatasi

bila pemerintah meninggalkan gaya

advokasi ad hoc dalam berdiplomasi

dikarenakan hal ini tidak efektif.

Menurutnya, diperlukan kesiapan mitigasi

sedari awal bagi pemerintah dalam kasus

buruh migran, maka penyelesaian kasus

dengan pembayaran diyat dapat

diminimalisir. Untuk itu, diperlukan sinergi

diplomasi yang sama antara seluruh aparat

dan pemerintah.

Kekhawatiran Migrant Care, pada

dasarnya telah diantisipasi pemerintah,

dalam hal ini Direktorat Perlindungan WNI

dan BHI Kemenlu. Muhammad Sadri,

konsuler KJRI Jeddah periode 2009-2013

yang juga Kasi Repatriasi 2013-2015

Direktorat Perlindungan WNI dan BHI

Kemenlu RI mengungkapkan bahwa negara

dalam hal ini pemerintah, telah

Page 16: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

208

memberikan bantuan maksimal bahkan

lebih.

Muhammad Sadri juga

menambahkan bahwa upaya yang telah

dilakukan pemerintah itu, antara lain: (1)

Memastikan adanya pendampingan hukum

bagi WNI yang terancam hukuman mati di

setiap tingkatan proses hukum (advokasi)

melalui mekanisme Unit Kerja Khusus; (2)

menyediakan pengacara retainer di

beberapa Perwakilan RI; (3)

mengalokasikan anggaran/dana untuk

bantuan hukum dan upaya pembebasan

lainnya; (4) pendekatan kepada keluarga

korban untuk tindak pidana pembunuhan

agar mendapatkan pemaafan (khusus Arab

Saudi); dan (5) pendekatan melalui saluran

diplomatik, baik yang dilakukan oleh

pemerintah pusat maupun Perwakilan RI.

Selain dari upaya-upaya yang

disebutkan di atas, upaya lain yang

dilakukan oleh Presiden RI secara langsung

kepada kepala pemerintahan terkait, dan

pembentukan Satgas penanganan WNI

yang terancam hukuman mati di luar negeri

sesuai Keppres No. 17 Tahun 2011.

Sebagai perbandingan, Muhammad Sadri

menyebutkan bahwa di negara lain,

contohnya Pakistan, pemerintah negara

tersebut tidak bersedia membantu

warganya yang terlibat kasus kriminal yang

berujung pada pembayaran diyat, karena

pada dasarnya hal ini menjadi pelajaran dan

dapat memberi efek jera pada pelaku.

Sehingga bagi Pakistan, diyat bukan

merupakan kewajiban negara.

Untuk kasus di Indonesia, posisi Kemenlu

sebagai otoritas pemerintah yang salah

satunya menangani persoalan WNI diluar

negeri, justru melakukan pembayaran diyat

sebagai wujud perlindungan WNI di luar

negeri. Padahal, kewajiban perlindungan

warga negara menurut Konvensi Wina

1963 dan customary international law,

bahwa kewajiban utama pemerintah sebuah

negara terkait perlindungan kepada warga

negaranya yang melakukan tindakan

kriminal di luar negeri adalah sebatas

memberikan bantuan berupa

pendampingan hukum serta memastikan

WNI yang bersangkutan memperoleh fair

trial (proses pengadilan yang adil).

Upaya-upaya yang telah dilakukan

pemerintah dalam penyelesaian kasus-

kasus hukuman mati yang menimpa WNI di

luar negeri, termasuk kasus Satinah selama

ini telah melampaui apa yang menjadi

kewajiban. Karena pada hakekatnya

pembayaran diyat adalah masalah pribadi

antara ahli waris korban dan keluarga

pelaku. Sehingga, berbagai upaya yang

telah dilakukan pemerintah Indonesia,

dalam hal ini Kemenlu di luar rujukan pada

Konvensi Wina 1963 dan customary

international law tetap dilakukan oleh

Kemenlu, di antaranya berbagai upaya

untuk menurunkan tuntutan besaran diyat

serta penggalangan dana untuk memenuhi

Page 17: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

209

besaran diyat semata-mata merupakan

bentuk kepedulian dan keberpihakan

Kemlu pada WNI.

Lalu Muhammad Iqbal, Direktur

PWNI & BHI Kementerian Luar Negeri RI

menjelaskan kuatnya pengaruh opini publik

di Indonesia ditangkap oleh pemerintah

Arab Saudi, sehingga menimbulkan

persepsi bahwa berapapun denda diyat

yang ditimpakan untuk WNI, pemerintah

Indonesia akan siap menanggung dan

membayarnya. Hal ini menjadi salah satu

dilema bagi pemerintah untuk

menegosiasikan denda diyat yang

dikenakan kepada TKI yang terkena tindak

pidana. Selain itu, amanat UUD 1945

mengenai perlindungan pemerintah

terhadap setiap warga negara menjadi bias

dikarenakan opini publik yang terbentuk.

Dalam hal ini, perlindungan bagaimana dan

seperti apa yang harus dilakukan

pemerintah terhadap WNI di luar negeri

dan bagaimana bentuk perlindungan yang

dilakukan jika WNI melakukan tindak

kriminalitas menjadi pertanyaan mendasar

yang harus dijawab terkait pembayaran

diyat.

Sejalan dengan hal tersebut, Drs.

Gatot Abdullah Mansyur yang menjadi

Duta Besar RI untuk Saudi Arabia pada

periode 2010-2013, menyatakan bahwa

pemerintah RI berkewajiban dalam

perlindungan (pendampingan hukum) bagi

WNI termasuk TKI di luar negeri, namun

demikian tidak dalam ranah menanggung

kesalahan WNI. Untuk itu, menurutnya

perlu sosialisasi menyeluruh mengenai

opini yang berkembang di masyarakat

tentang bentuk kewajiban pemerintah

terhadap warganya termasuk dalam

persoalan pembayaran diyat.

Adapun jika pemerintah membantu

pembayaran diyat, jumlah yang menjadi

patokan besaran diyat minimal (syar’i) saja

yaitu sekitar 400 ribu riyal untuk laki-laki

(jika korban terbunuh) dan 200 ribu riyal

(untuk perempuan), dan selebihnya

ditanggung oleh keluarga pelaku. Pendapat

tersebut diperkuat dengan pandangan Ketua

Dewan Fatwa MUI, Prof. Chuzaimah T.

Yanggo, yang mengemukakan

pendapatnya pada permasalahan diyat

bahwa negara harus melindungi warga

negaranya dengan cara yang mencerdaskan

yaitu sebatas pendampingan hukum saja

tidak dapat memasuki wilayah privat. Di

karenakan negara, dalam hal ini Pemerintah

Indonesia masih mempunyai banyak

pekerjaan rumah yang harus dituntaskan

seperti memberantas kemiskinan denagn

menjaga kestabilan ekonomi dan

meningkatkan pendidikan masyarakat.

Pertanyaan mengenai bila

pemerintah turut andil dalam pembayaran

diyat, berapa persentase yang harus dibayar

oleh pemerintah kepada keluarga korban

dalam rangka melindungi WNI yang

terkena diyat, respon responden cukup

Page 18: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

210

beragam. Survei menunjukkan bahwa 21%

responden berharap pemerintah RI

bertanggungjawab secara penuh dalam

pembayaran diyat. Adapun 11% responden

menjawab lainnya, yang dapat diartikan

bahwa pemerintah tidak turut andil dalam

pembayaran diyat, sebagaimana yang

tertera dalam gambar grafik berikut:

Gambar 3. Presentase Pembayaran Diyat

Sumber: Data Primer

Untuk andil pemerintah, jika harus

ikut membayar diyat, secara prosentase

adalah sebanyak ¼ dari denda yang

dijatuhkan atau pembayaran diyat yang

diminta keluarga korban (berdasarkan 35%

responden). Sedangkan sejumlah 33%

responden lainnya justru menyatakan

bahwa setengah dari beban pembayaran

diyat tersebut yang ditanggung pemerintah.

Secara umum, mayoritas responden

menganggap bahwa pembayaran diyat

tidak menjadi kewajiban pemerintah

(Kemenlu RI) sepenuhnya.

Pertanyaan terakhir dalam survei ini adalah

mengenai kinerja pemerintah khususnya

perwakilan RI di luar negeri dalam

perlindungan TKI di Arab Saudi.

Gambaran mengenai kinerja Kemlu di luar

negeri terlihat pada grafik gambar berikut:

Gambar 4. Kinerja Pemerintah RI

Sumber: Data Primer

Dari 148 responden, sebanyak 70%

dari total responden menilai kinerja Kemlu

khususnya perwakilan RI di luar negeri

dalam perlindungan TKI di Arab Saudi

sudah cukup baik. Hal ini menunjukkan

0%5%

10%15%20%25%30%35%

1/4 daridenda yangdiberikan

1/2 daridenda diyat

100% Lainnya

35% 33%

21%

11%

Persentase Pembayaran Diyat

Persentase Pembayaran Diyat

70%

30%

Kinerja Pemerintah RI

Memuaskan

TidakMemuaskan

Page 19: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

211

bahwa secara umum, masyarakat puas

terhadap kinerja Kemlu dalam

perlindungan WNI diluar negeri,

khususnya Arab Saudi.

Secara umum, hasil survei ini

menggambarkan bahwa pembayaran diyat

bukan merupakan kewajiban Kemlu.

Namun jika Kemlu turut andil dalam

pembayaran diyat, maka hal itu bukan

kewajiban Kemlu semata, tetapi juga

stakeholder terkait diantaranya unsur

pelaku, PPTKIS, BNP2TKI dan kementrian

terkait lainnya. Selain itu perlu adanya

solusi asuransi bagi tenaga kerja informal

diluar negeri dalam upaya perlindungan

WNI yang bekerja diluar negeri khususnya

Arab Saudi.

Adapun mengenai proses dan

besaran nilai dari pembayaran diyat, perlu

adanya sosialisasi menyeluruh kepada

masyarakat luas agar lebih paham

mengenai proses dan pembayaran diyat

sebagai upaya pemerintah dalam menyikapi

persoalan diyat.

KESIMPULAN

Beberapa tahun terakhir, tuntutan

besaran jumlah diyat yang diminta oleh

keluarga korban dalam suatu kasus

pembunuhan yang dilakukan oleh WNI

yang bekerja di Arab Saudi terus meningkat

secara tajam. Seperti pada kasus darsem

dengan uang diyat sebesar dua juta riyal,

kemudian meningkat menjadi tujuh juta

riyal pada kasus Satinah. Melonjaknya

permintaan diyat ini sangat dilematis bagi

pemerintah Indonesia. Jika dipenuhi maka

dikhawatirkan angka uang diyat ini akan

terus membengkak, tetapi sebaliknya jika

tidak dihiraukan, maka nyawa WNI bisa

berujung pada kematian.

Diyat merupakan ungkapan rasa

sedih kepada keluarga yang ditinggalkan.

Dengan adanya diyat, keluarga yang

ditinggalkan dapat terus melanjutkan

kehidupan. Akan tetapi menjadi tidak

sesuai dengan kaidah lagi bila sudah

memberatkan bagi yang berkewajiban

membayarnya. Karena pada prinsipnya,

diyat tidak memberatkan. Dalam konteks

berbangsa dan bernegara, diyat tidak ada

yang disandarkan pada negara, karena hal

itu merupakan dosa seseorang pada orang

lain. Pembayaran diyat yang dilakukan oleh

pemerintah RI untuk membantu para WNI

yang terkena kasus sudah tidak sesuai

prosedur. Hal ini menimbulkan adanya

mafia diyat, baik dari pihak negara Arab

Saudi itu sendiri maupun dari pemerintah

Indonesia yang akan memainkan besaran

pembayaran diyat hingga melambung

tinggi.

Kasus-kasus yang menimpa WNI

yang bekerja di luar negeri banyak

disebabkan ketidakpuasan para user

terhadap kinerja Tenaga Kerja Indonesia

non formal di luar negeri khususnya Arab

Saudi. Hal ini disebabkan perekrutan dan

Page 20: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

212

seleksi TKI yang akan ke luar negeri tidak

sesuai prosedur dan ketentuan yang ada.

Selain itu, faktor psikologis (kesiapan

mental) yang dipengaruhi oleh faktor usia

juga menjadi penyumbang terbesar dalam

kasus qishas yang berujung pada

pembayaran diyat. Solusi dari hulu ke hilir

yang efektif dan efisien dibutuhkan dalam

menanggulangi persoalan ini.

Merujuk kepada kewajiban

perlindungan warga negara menurut

Konvensi Wina 1963 dan customary

international law, bahwa kewajiban utama

pemerintah sebuah negara terkait

perlindungan kepada warga negaranya

yang melakukan tindakan kriminal di luar

negeri adalah sebatas memberikan

bantuan/pendampingan hukum serta

memastikan WNI yang bersangkutan

memperoleh fair trial (proses pengadilan

yang adil). Dengan demikian, segala upaya

yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia

dalam penyelesaian kasus-kasus hukuman

mati yang menimpa WNI di luar negeri,

selama ini telah melampaui apa yang

menjadi kewajiban. Karena pada

hakekatnya pembayaran diyat adalah

masalah pribadi antara ahli waris korban

dan keluarga pelaku. Sebagai

perbandingan, dalam penanganan diyat di

Arab Saudi, pemerintah Indonesia dapat

mengambil pelajaran dari beberapa negara

lain, seperti Pakistan, Bangladesh, Filipina,

dan lain-lain.

Berdasarkan hasil riset di lapangan,

beberapa rekomendasi yang dihasilkan

adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam hal rekomendasi

untuk pembayaran Diyat, antara lain: (1)

Pemerintah RI untuk tidak melakukan

pembayaran diyat; Pemerintah melindungi

Warga Negara Indonesia dengan cara yang

cerdas dan mencerdaskan. Perlindungan

Warga Negara Indonesia dengan

pendampingan hukum bagi warganya tidak

dengan pembayaran diyat. Pembayaran

diyat oleh pemerintah adalah melanggar

prosedur dan ketentuan. Karena diyat

adalah kewajiban pribadi pelaku sesuai

aturan syar’i. Pemerintah dapat membantu

warganya yang terkena kasus hukum

dengan bantuan hukum yang memadai; dan

(2) besaran pembayaran diyat harus sesuai

dengan ketentuan diyat syar’i; yaitu sebesar

sekitar 400 ribu riyal untuk laki-laki (jika

korban terbunuh) dan 200 ribu riyal (untuk

perempuan), Hal ini jika memang

pemerintah terpaksa membantu

pembayaran diyat. Bilamana ada

permintaan diyat yang tinggi, negara dapat

membentuk sebuah lembaga ad hoc yang

diumumkan dan dipimpin oleh orang yang

terpercaya secara moral untuk menerima

sumbangan dari dermawan-dermawan.

Dengan kata lain, negara telah

memfasilitasi dalam kegiatan

penggalangan dana.

Page 21: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

213

Kedua, rekomendasi bagi

rekrutmen TKI, antara lain: (1) Penerapan

surat perjanjian (Letter of Agreement)

antara pemerintah RI dengan Arab Saudi

terkait TKI; yang meliputi, waktu kerja

para TKI, besaran pembayaran upah,

perlindungan hukum dan lain sebagainya;

(2) perlu adanya early warning system bagi

pemerintah Indonesia dalam rangka

perlindungan bagi TKI di luar negeri yang

ditangani Menteri Koordinator sebagai

wujud sinergitas bagi seluruh lembaga yang

menangani TKI; (3) perbaikan sistem

rekrutmen TKI secara menyeluruh; dari

hulu ke hilir (pemberdayaan desa),

pembinaan yang mumpuni bagi calon TKI

yang akan keluar negeri termasuk

pembinaan akan pengetahuan hukum di

negera penempatan, pelayanan one stop

service bagi rekrutmen TKI hal ini

dilakukan guna preventif bagi persoalan

qishas dan diyat yang menimpa WNI di

luar negeri. Termasuk di dalamnya

persoalan legalitas rekrutmen dan

pengiriman TKI oleh lembaga yang

berwenang; dan (4) perlunya revisi

terhadap UU Tenaga Kerja guna mengurai

permasalahan yang terjadi, dengan

demikian penanganan yang akan ditempuh

lebih strategis dan tepat sasaran. Selain itu,

diperlukan tata kelola kelembagaan yang

terkait dengan pengiriman dan

perlindungan TKI agar tidak tumpang

tindih dalam usaha perlindungan WNI.

Ketiga, rekomendasi untuk

Kemenlu RI, antara lain: (1) Strategi

Diplomasi yang efektif dan efisien bagi

pengentasan persoalan diyat yang menimpa

WNI; (2) Sinergi semua aspek dan jajaran

aparat khususnya yang bertugas di luar

negeri dalam mengurai persoalan TKI dan

diyat yang menimpanya; dan (3) sosialisasi

dengan mengandeng media-media dan

masyarakat dalam rangka

menginformasikan upaya-upaya yang telah

dilakukan pemerintah RI dalam rangka

perlindungan terhadap warga negara nya

dan penguraian kasus diyat yang menimpa

WNI.

Keempat, rekomendasi bagi

stakeholder, antara lain: (1) Pemerintah

tidak melakukan pembayaran diyat; (2) bila

terpaksa melakukan bantuan pembayaran

diyat untuk WNI yang terkena kasus,

langkah yang dapat diambil menggunakan

sistem asuransi syariah yaitu adanya

alokasi dana tabarru (bagi persoalan diyat

ini), melalui instrumen zakat yaitu

kebijakan payroll system yang juga dapat

diterapkan untuk TKI, melalui skema

bantuan yang berasal dari Corporate Social

Responsibility (CSR), melalui lembaga

seperti BPJS khusus ketenagakerjaan atau

berupa lembaga dana sosial (hibah); dan (3)

perbaikan sistem rekrutmen TKI secara

menyeluruh dari hulu ke hilir, yang

meliputi pelatihan yang memadai termasuk

Page 22: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

214

persoalan pengetahuan hukum di negara

tujuan yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA Al-Farsy, F. (2001). Modernity and

Tradition The Saudi Equation. United Kingdom: Knight Communications. hlm.53

Amnesty International Publication. Affront to justice: death penalty in Saudi Arabia.2008. London.

Badan Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. (2015). Data Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Tahun 2015 (Periode 1 Januari S.D 31 januari) Posisi Cetak Data Tanggal 12 Februari 2015. Jakarta.

Creswell, J.W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Second Edition. Sage Publication Inc.

Frank E.V. (2000). Islamic Law and Legal System: Studies of Saudi Arabia. Leiden: Brill

George E.B. & Michael A. Belch. (2007). Advertising and Promotion, An Integrated Marketing Communication Perspective. McGraw Hill.

Guevarra, A.R. (2010). Marketing Dreams, Manufacturing Heroes: The TransnationalLabor Brokering of Filipino Workers. New Jersey: Rutgers University Press.

Human Right Watch.(2007). Exported and Exposed: Abuse Against Sri Lankan Domestic Workers in Saudi Arabia, Kuwait, Lebanon, and The United Arab Emirates.Volume 19, No. 16 (C), November.

Huberman, Miles B. Matthew. (2009). Analisis Data Kualitatif : Buku

Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press.

Ismail, Siti Zubaidah. The Modern Interpretation of the DiyatFormula for the Quantum of Damages:The Case of Homicide and Personal Injuries. *. Arab LawQuarterly 26 (2012) 361-379.

Irianto, S. (2011). Akses Keadilan dan Migrasi Global: Kisah Perempuan IndonesiaPekerja Domestik di Uni Emirat Arab. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Jazuli, A. (1999). fiqh jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo persada.

Khawaja A dan Hiranya K. Nath, Workers' Migration and Remittance Bangladesh.Journal of Business Strategies. Volume 27, Number 1. 29 – 52.

Meolong, L.J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mourkarbel, N. (2009). Sri Lankan Housemaids in Lebanon: A Case of ‘SymbolicViolence’ and Everyday Forms of Resistance. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Muslich, A.W. (2005). Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Munajat, M. (2004). Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logun Pustaka.

Munawarsyah., et.al. Analisis yuridis pengaturan besaran diyat terhadap korban konflik di Aceh. Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syah Kuala. ISSN 2302-0180 Volume 2, No. 2, November 2013.

Neuman, W.L. (2000). Social Research Method: Qualitative and Quantitative Approaches, Fourth

Page 23: File MEIS 4

MEIS ________________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 2 Juli – Desember 2017

215

edition. Allyn and Bacon, Boston, Massachusetts.

Parthasarathi, Prasannan dan Donald Quataert. Migrant Workers in the Middle East: Introduction.International Labor and Working-Class History, No. 79, Spring (2011). 4– 6.

Peiffer, Elizabeth. The Death Penalty in Traditional Islamic Law and as Interpreted inSaudi Arabia and Nigeria, 11 Wm. & Mary J. Women & L. 507 (2005),http://scholarship.law.wm.edu/wmjowl/vol11/iss3/9

Rodriguez, Robyn Magalit. Philippine Migrant Workers Transnationalism in the Middle East. International Labor and Working-Class History, No. 79, Spring (2011). 48 – 61.

Tashakkori and Teddlie. (2010). Mixed Methodology: Mengombinasikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Thiollet, H. (2011). Migration as Diplomacy Labor Migrants, Refugees, and Arab Regional Politics in The Oil-Rich Countries.International Labor and Working-Class History, No. 79, Spring(2011) 103 – 121.