meis jurnal middle east and islamic studies, volume 7 no

21
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020 18 Strategi Devide et Impera oleh Amerika Serikat dalam Konflik di Suriah (2011-2018) Iranti Mantasari, Yon Machmudi Program Studi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia E-mail: [email protected], [email protected] Abstract Syria has become one of the Middle East actors that significantly gained concern from the United States (US). The complexity of conflict configuration in Syria pushed the US to attain its interests, namely anti-Bashar and anti-terrorism by implementing the strategy of Devide et Impera. On top of that, securing the existence of Israel is also achieved from this strategy. Through library research method, this article aims to analyze the background and actions taken by the US in implementing this strategy in Syria. The analysis conducted by elaborating the Hegemony and Devide et Impera theory. The first US interest of anti-Bashar is manifested in its democratization agenda and eradicating the influence of Iran as its rival in the region. The second US interest of anti-terrorism is manifested in the war against ISIS and its affiliates, and established counterterrorism coalition. From this research, the author found that the participation of US in this conflict in Syria is by supporting the moderate opposition forces and pro-Western values and fought against pro-regime forces and the Salafi-Jihadist groups shows the pattern of Devide et Impera strategy in the conflict in Syria in order to achieve its aforementioned interests. Keywords: Syrian Conflict Devide et Impera, Hegemony, United States PENDAHULUAN Selain masalah kestabilan politik, keamanan, dan ekonomi, yang menyebabkan konflik di Suriah masih berlangsung hingga saat ini adalah karena Bashar Assad masih memegang tampuk kepemimpinan di Suriah. Pihak oposisi resisten dengan upaya Bashar dalam mempertahankan kekuasaannya, sebaliknya Bashar pun resisten terhadap gerakan-gerakan yang terus berupaya menggulingkan ia dari kekuasaan. Selain itu, faktor internal yang cukup memberikan porsi besar dalam melanggengkan konflik yang terjadi adalah karena terpecahnya aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Pada awal konflik, aktor yang terlibat secara garis besar hanya terbagi menjadi dua saja, yaitu kubu yang pro dengan rezim Bashar dan kubu yang kontra dengan rezim Bashar. Namun seiring berjalannya waktu, kubu oposisi sendiri terbagi menjadi ratusan lebih faksi yang beroperasi di berbagai struktur komando organisasi yang berbeda- beda antara satu dengan yang lainnya. Adapun secara global, komunitas internasional memang tidak bisa menafikkan hegemoni yang dimiliki

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

18

Strategi Devide et Impera oleh Amerika Serikat dalam Konflik di Suriah (2011-2018)

Iranti Mantasari, Yon Machmudi

Program Studi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected]

Abstract

Syria has become one of the Middle East actors that significantly gained concern from the United States (US). The complexity of conflict configuration in Syria pushed the US to attain its interests, namely anti-Bashar and anti-terrorism by implementing the strategy of Devide et Impera. On top of that, securing the existence of Israel is also achieved from this strategy. Through library research method, this article aims to analyze the background and actions taken by the US in implementing this strategy in Syria. The analysis conducted by elaborating the Hegemony and Devide et Impera theory. The first US interest of anti-Bashar is manifested in its democratization agenda and eradicating the influence of Iran as its rival in the region. The second US interest of anti-terrorism is manifested in the war against ISIS and its affiliates, and established counterterrorism coalition. From this research, the author found that the participation of US in this conflict in Syria is by supporting the moderate opposition forces and pro-Western values and fought against pro-regime forces and the Salafi-Jihadist groups shows the pattern of Devide et Impera strategy in the conflict in Syria in order to achieve its aforementioned interests.

Keywords: Syrian Conflict Devide et Impera, Hegemony, United States

PENDAHULUAN

Selain masalah kestabilan politik,

keamanan, dan ekonomi, yang

menyebabkan konflik di Suriah masih

berlangsung hingga saat ini adalah karena

Bashar Assad masih memegang tampuk

kepemimpinan di Suriah. Pihak oposisi

resisten dengan upaya Bashar dalam

mempertahankan kekuasaannya,

sebaliknya Bashar pun resisten terhadap

gerakan-gerakan yang terus berupaya

menggulingkan ia dari kekuasaan. Selain

itu, faktor internal yang cukup memberikan

porsi besar dalam melanggengkan konflik

yang terjadi adalah karena terpecahnya

aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Pada

awal konflik, aktor yang terlibat secara

garis besar hanya terbagi menjadi dua saja,

yaitu kubu yang pro dengan rezim Bashar

dan kubu yang kontra dengan rezim Bashar.

Namun seiring berjalannya waktu, kubu

oposisi sendiri terbagi menjadi ratusan

lebih faksi yang beroperasi di berbagai

struktur komando organisasi yang berbeda-

beda antara satu dengan yang lainnya.

Adapun secara global, komunitas

internasional memang tidak bisa

menafikkan hegemoni yang dimiliki

Page 2: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

19

Amerika Serikat (AS), baik secara politik,

ekonomi, maupun ideologis, khususnya

pasca Perang Dingin yang meruntuhkan

imperium Uni Soviet (Rathnayake, 2016).

Hal ini terlihat dari banyaknya aktor-aktor,

baik state actor (aktor negara) maupun non-

state actor (aktor non-negara) yang secara

“sukarela” mengikuti political scheme atau

skema politis yang digagas oleh AS dan

sekutunya. Baik AS maupun aktor lainnya

dalam mencapai berbagai national interests

atau kepentingan nasionalnya pasti akan

menempuh berbagai macam cara. Satu hal

yang menarik untuk dikaji adalah terkait

strategi Devide et Impera atau strategi

“pecah dan kuasai” yang dapat diterapkan

oleh satu kekuatan besar untuk memecah

belah kekuatan yang lebih kecil untuk

mendapatkan kepentingannya. Devide et

Impera didefinisikan sebagai pembagian

struktur kekuasaan yang sudah ada menjadi

bagian-bagian yang lebih kecil dan

mencegah kelompok-kelompok kecil

tersebut untuk bersatu bekerjasama.

Relevansi dari strategi ini dengan

konflik di Suriah adalah karena pihak

internal yang teribat dalam masalah di

Suriah melibatkan dua sekte Islam besar,

yakni Sunni dan Syi’ah. Bashar Assad yang

menganut Syi’ah Nushairiyyah vis a vis

kelompok-kelompok atau pihak-pihak yang

kontra dengannya yang mayoritas berasal

dari kalangan Sunni. AS bersama

sekutunya yang kontra dengan Bashar,

seperti Turki dan Arab Saudi berusaha

untuk mendukung kelompok-kelompok

yang dominan Sunni. Selain itu, terbaginya

Suriah ke dalam faksi-faksi yang lebih

kecil, seperti faksi Sunni yang pro terhadap

rezim Bashar dan faksi Syi’ah yang

mendukung kepemimpinan Bashar, juga

semakin memperbesar kesempatan bagi AS

untuk menerapkan strategi Devide et

Impera untuk mencapai kepentingannya.

Strategi Devide et Impera

sebetulnya bukanlah strategi baru, karena

strategi ini sudah sangat sering dilancarkan

oleh kekuatan besar yang salah satu

dampaknya adalah instabilitas di Timur

Tengah. Beberapa cara populer yang

digunakan dalam penerapan strategi ini

adalah mendukung salah satu segmen dari

penduduk lokal yang berseteru;

menciptakan polarisasi sehingga

antarkomunitas menentang satu sama lain.

Ia juga mengatakan bahwa strategi yang

demikian efektif untuk jangka pendek,

namun menimbulkan destabilisasi dalam

jangka panjang (Cejka, 2012). Dengan

demikian, memahami alasan dan latar

belakang AS dalam menerapkan strategi

Devide et Impera dalam konflik di Suriah

serta mengetahui langkah yang diambil

oleh AS dalam menerapkan strategi ini

menjadi permasalahan utama yang dibahas

pada artikel ini.

Teori Hegemoni

Page 3: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

20

Dalam diskursus politik, istilah

hegemoni sendiri sudah dikenal sejak lama

oleh para ahli. Antonio Gramsci, mantan

Sekretaris Jenderal dari Partai Komunis

Italia telah membangun pondasi dari

sebuah teori yang kemudian disebut dengan

teori Hegemoni. Gramsci memandang

bahwa supremasi dari kelompok sosial atau

kelas termanifestasi ke dalam dua bentuk,

yaitu dominasi dan kepemimpinan

intelektual dan moral. Bentuk supremasi

intelektual dan moral inilah yang menurut

Gramsci membangun sebuah hegemoni.

Adapun kontrol sosial yang dapat

dilakukan oleh pihak hegemonik, terbagi

lagi menjadi dua bentuk, yakni

memengaruhi perilaku dan pilihan pihak

lain dari luar melalui hadiah dan hukuman;

serta membentuk pendirian pribadi dari

dalam menjadi sebuah tiruan dari norma-

norma yang berlaku (Femia, 1981).

Singkatnya, hegemoni bagi

Gramsci digunakan untuk menjelaskan

sebuah kelompok ekonomi atau sosial yang

kuat hadir untuk mendominasi masyarakat

tanpa memberikan rasa takut. Kekuatan

hegemonik ini tidak selamanya harus

menggunakan kekuatan fisik atau yang

bersifat paksaan, tetapi hegemoninya juga

tergantung pada manipulasinya atas

institusi kultural dan sosial (Times, 2008).

Lebih lanjut, Robert W. Cox kemudian

mengelaborasi pemikiran dan pondasi

hegemoni yang dibangun oleh Gramsci

dengan kondisi orde dunia atau politik

internasional. Dalam pandangan elaboratif

ini, perubahan dasar dalam hubungan

internasional yang terlihat dari aspek

keseimbangan militer-strategis dan

geopolitik, perubahan hubungan sosial

tetap menjadi faktor determinannya.

Dengan kata lain, perubahan sosial dapat

secara lebih luas berpengaruh pada

perubahan di hubungan internasional (Cox,

1983).

Proses demokratisasi yang

dijalankan oleh AS di hampir seluruh

wilayah di dunia juga dapat menjadi alat

untuk menyebarkan hegemoninya.

Memromosikan demokrasi sebagai strategi

dan ciri utama sikap AS di luar negeri

dimulai pada tahun 1980an. Demokrasi

juga disebut sebagai “alat yang paling layak

untuk memastikan stabilitas dan kontrol

sosial di Dunia Ketiga.” Demokrasi bagi

AS, memiliki dua tujuan penting, yaitu

untuk memelihara stabilitas di negara-

negara yang dituju dan untuk menyebarkan

hegemoni AS itu sendiri (Mustarom, 2014).

Selaras dengan yang terjadi di Suriah, salah

satu kepentingan AS di Suriah adalah untuk

mendelegitimasi kepemimpinan Bashar

yang dinilai tidak menjalankan

pemerintahan yang sesuai dengan asas

demokrasi yang diusung oleh mereka,

untuk kemudian diganti dengan

kepemimpinan yang lebih demokratis.

Page 4: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

21

Hegemoni sebuah aktor juga dapat

disebarkan dan diperkuat oleh organisasi

internasional. Dalam konsep Gramscian,

organisasi internasional berfungsi sebagai

proses dimana institusi dari kekuatan

hegemoni dan ideologinya dibangun.

Beberapa keutamaan organisasi

internasional dalam mengembangkan

sebuah hegemoni adalah: pertama,

organisasi internasional mewujudkan

aturan-aturan yang memfasilitasi

penyebaran hegemoni dalam orde global;

kedua, organisasi internasional sendiri

merupakan produk dari kekuatan

hegemoni; ketiga, organisasi internasional

secara ideologys melegitimasi norma-

norma dari orde dunia; keempat, organisasi

internasional memilih kalangan elit dari

peripheral countries atau negara-negara

batas luar; dan kelima, organisasi

internasional menahan ide-ide yang kontra

terhadap hegemoni tersebut (Cox, 1983).

Teori Devide et Impera

Strategi ini menjadi terkemuka

sejak berabad-abad yang lalu. Devide et

Impera dikenal sebagai sebuah taktik atau

strategi yang dilakukan oleh aktor yang

superior terhadap aktor inferior untuk

mencapai kepentingan dari aktor superior

tersebut. Kekuatan imperialis juga biasa

menggunakan strategi ini kepada wilayah

yang dikuasainya. Kekuatan imperialis

membagi populasi menjadi beberapa

kelompok berdasarkan bahasa, agama, etnis

dan ras (Xypolia, 2016). Dalam konteks

yang lebih luas, Devide et Impera dapat

didefinisikan sebagai upaya yang secara

sadar dilakukan oleh kekuatan imperialis

untuk menciptakan dan / atau beralih ke

keuntungannya sendiri dari perbedaan

etnis, bahasa, budaya, suku, atau agama

dalam populasi koloni tertindas. Terdapat

empat taktik mayor yang biasa digunakan

oleh pihak yang memanfaatkan strategi

Devide et Impera ini, yakni 1) menciptakan

perbedaan-perbedaan pada populasi yang

sudah ditaklukkan; 2) menambahkan

perbedaan yang sudah ada; 3) menggali

atau mengeksploitasi perbedaan tersebut

untuk keuntungan kekuatan kolonial; 4)

mempolitisasi perbedaan tersebut sehingga

terbawa hingga masa pasca kolonialisme.

(Morrock, 1973)

Selain itu, Georg Simmel

merumuskan di dalam bukunya terkait

Devide et Impera yang merupakan bagian

dari The Triad atau “Tiga Serangkai”nya

sebagai upaya sengaja yang dilakukan oleh

pihak ketiga untuk menciptakan konflik

dalam rangka mendapatkan posisi yang

mendominasi. Tiga pihak ini sendiri

menurut Simmel merupakan skema yang

paling sederhana dalam konsep ini, yang

berarti dapat melibatkan lebih banyak pihak

lagi. Hasil dari skema Devide et Impera ini

ada dua, yatitu dua pihak sebelumnya

saling menyeimbangi sehingga pihak ketiga

Page 5: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

22

bisa mendapat keuntungannya; atau dua

pihak ini saling melemahkan satu sama

lain, sehingga tidak ada dari keduanya yang

dapat melawan superioritas pihak ketiga

tersebut (Wolff, 1950).

Penggunaan strategi ini di Suriah

menjadi menarik untuk dikaji karena

adanya kompleksitas aktor yang bermain di

dalam konflik Suriah. Banyaknya aktor

dengan latar belakang dan kepentingan

yang berbeda, mampu melebarkan

perpecahan dan permusuhan yang terjadi.

Adanya permusuhan dan perpecahan

antaraktor dalam konflik Suriah seperti

yang sudah dipaparkan dalam konsep

Devide et Impera inilah yang menjadi

alasan penulis untuk melihat lebih dalam

lagi mengenai aktivitas dan interaksi AS

dengan aktor-aktor di Suriah dalam

mencapai kepentingan. Dengan demikian,

teori Devide et Impera dapat menjelaskan

strategi AS kepada Suriah dalam

memperbesar perpecahan di tengah konflik

yang berkecamuk.

METODE PENELITIAN

Sebagai sebuah penelitian kualitatif

yang menggunakan metode library

research atau studi kepustakaan, penelitian

ini menganalisis situasi dan konflik Suriah,

baik dari aspek sosial maupun politik dan

strateginya, sehingga hubungan antara

konflik dan juga penerapan strategi Devide

et Impera yang dilakukan oleh AS untuk

mencapai kepentingannya dapat

terjelaskan. Peneliti hanya menggunakan

data sekunder yang berkaitan dengan

artikel ini, berupa jurnal, tesis ataupun

disertasi, serta laporan-laporan dari instansi

pemerintahan yang dapat menunjang

analisis penelitian ini.

Penggunaan teknik analisis data

yang digagas oleh Robert K. Yin (2011)

dan Michael Huberman (1994)

memungkinkan peneliti untuk menyusun

dan menghimpun data-data yang sudah

dikumpulkan sebelumnya. Data-data dan

informasi yang sudah tersusun, seperti

aktor yang terlibat dalam konflik serta

kepentingannya, tindakan yang dilakukan

masing-masing aktor, hingga lini masa

konflik di Suriah inilah yang kemudian

menjadi database penulis untuk kemudian

diinterpretasi sebagai narasi baru yang akan

menjadi kunci analisis dalam artikel.

Setelah mendapatkan interpretasi, barulah

penulis melakukan penarikan kesimpulan

dari seluruh analisis dan penelitian yang

telah dilakukan.

Teori hegemoni yang sudah

dipaparkan pada bagian sebelumnya,

dikombinasikan dengan strategi Divide et

Impera digunakan untuk mengetahui

strategi seperti apa yang diimplementasikan

oleh AS untuk memecah belah dan

menguasai aktor-aktor yang berkonflik

dalam konflik di Suriah. Interkoneksi dari

strategi Divide et Impera dan juga pengaruh

Page 6: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

23

yang dimiliki AS akan tergambar pada

tahapan akhir, yaitu verifikasi, sehingga

pertanyaan penelitian yang dikemukakan

sebelumnya dapat terjawab.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konfigurasi Konflik Suriah

Berlanjutnya konflik yang terjadi di

Suriah menunjukkan bahwa terdapat

faktor-faktor tertentu yang membuatnya

masih terus berlangsung hingga tahun

kedelapannya ini. Beberapa di antaranya

adalah karena konflik ini memiliki

konfigurasi yang cukup kompleks, seperti

adanya pengaruh dari otoritarianisme dan

politik diskriminatif rezim al Assad;

terjadinya internasionalisasi konflik,

hingga isu mengenai kemunculan

revivalisme Islamis dalam diskursus

konflik ini.

Peran yang dipegang oleh Partai

Ba’ath dalam pemerintahan Suriah

memberikan sumbangsih atas model

kepemimpinan yang dijalankan Bashar

sejak ia menggantikan posisi ayahnya,

Hafez. Antara al Assad, Alawiyah dan

Partai Ba’ath yang memiliki posisi

istimewa dalam konstitusi Suriah memang

memiliki hubungan yang unik pada politik

dalam negerinya. Bashar dapat dikatakan

mewarisi “dinasti” yang sudah dibangun

oleh Hafez sebelumnya, sehingga

meskipun banyak reformasi dan perubahan

yang dilakukan oleh Bashar, terutama

dalam aspek ekonomi yang sebelumnya

cenderung tertutup di bawah Hafez menjadi

lebih terbuka, tidak otomatis membuat

rakyat menerima secara penuh

kekuasaannya. Shmuel Bar (Bar, 2006)

menjelaskan bahwa kepemimpinan yang

ada di Suriah memang sangat Assad-

sentris. Dinasti ini juga tidak hanya

disokong oleh keluarga Assad saja, tetapi

dari beberapa kelompok yang juga

berafiliasi dan/atau memiliki hubungan

dengan keluarga Assad, baik dari kalangan

militer, maupun birokrat. Sentralitas Ba’ath

dalam pemerintahan akhirnya telah

mengarahkan Suriah menjadi pemerintahan

yang dapat dikatakan otoriter di bawah

oligarki kekuasaan al Assad. Kondisi ini

juga dikuatkan melalui konstitusi Suriah

pada tahun 1973 yang memosisikan Partai

Ba’ath sebagai “pemimpin negara dan

masyarakat” (Networking, 2012).

Selain itu, isu segregasi

sektarianisme dan otoritarianisme Bashar

yang melingkupi Suriah masih terlihat

dalam masa konflik ini. Masyarakat Suriah

yang sangat heterogen baik dalam hal etnis

maupun agama terbukti sangat berpengaruh

dalam hal persekutuan dan permusuhan

saat konflik ini. Kelompok-kelompok

minoritas berbasis agama, seperti kalangan

Alawiyah, Druze, Kristen, dan Syiah

mendukung rezim Bashar yang salah satu

alasannya adalah khawatir bila oposisi yang

dipegang kalangan Sunni memenangkan

Page 7: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

24

konflik, hak-hak mereka akan terancam

(Erlich, 2014).

Lebih lanjut, keikutsertaan

banyaknya aktor eskternal Suriah telah

menyebabkan konflik ini mengalami

internasionalisasi. Adanya blok

persekutuan dari pihak-pihak eksternal

terhadap konflik ini, baik negara maupun

bukan negara yang memiliki kesamaan

kepentingan dengan pemerintah Suriah,

senantiasa memberikan bantuan kepada

Suriah untuk menghalau laju rakyat yang

menyuarakan revolusi. Begitupula aktor-

aktor eksternal yang berseberangan

pendapat dengan pemerintah Bashar, maka

mereka mencari dan membantu oposisi

dengan memberikan dukungan kepada

kelompok-kelompok yang bergejolak

menentang rezim al Assad.

Selain itu, tingginya tingkat

militerisasi baik dari kubu rezim ataupun

oposisi pada faktanya telah membawa

konsekuensi lain terhadap arah konflik di

Suriah. Masing-masing kubu yang

mengerahkan pasukan militer yang resisten

terhadap satu sama lain secara tidak

langsung telah mengundang komunitas

internasional secara lebih luas untuk turut

serta di dalam konflik (Gani, 2015).

Keikutsertaan aktor internasional pun tidak

sekedar untuk menjadi mediator konflik

semata, melainkan untuk menjaga

kepentingan masing-masing agar tidak

jatuh ke tangan yang salah dalam pusaran

konflik. Steward (2003) menjelaskan

bahwa internasionalisasi sebuah konflik

bersenjata juga meliputi perang antara dua

faksi internal yang keduanya disokong oleh

negara-negara lain yang berbeda;

permusuhan langsung antara dua negara

asing yang mengintervensi secara militer di

sebuah konflik militer dalam rangka

mendukung pihak yang berlawanan; serta

sebuah perang yang mengikutsertakan

intervensi asing untuk mendukung

kelompok pemberontak yang berjuang

melawan pemerintahan yang ada. (Kraus,

2017)

Adapun secara internal, satu

konfigurasi yang tidak bisa dinafikkan dari

konflik ini adalah karena munculnya

revivalisme Islamis. Revivalisme Islam

atau Islamic revivalism secara bahasa

berarti “kebangkitan Islam”. Adapun secara

konsep, Ira M. Lapidus menyebutkan

bahwa revivalisme Islamis ini menyerukan

pembaharuan komitmen yang baru

terhadap Islam di hati dan pikiran setiap

orang sebagai dasar solidaritas komunal,

keadilan sosial, perlakuan yang adil

terhadap mereka yang miskin serta

berkeinginan untuk memberhentikan rezim

yang korup (Lapidus, 1997).

Lebih lanjut, pembahasan ini juga

tidak dapat dipisahkan dari apa yang

disebut dengan Islamic activism atau

aktivisme Islamis. Penulis mengambil

pendapat yang dikemukakan oleh Quintan

Page 8: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

25

Wiktorowicz bahwa aktivisme Islamis

merupakan sebuah mobilisasi pertarungan

untuk mendukung urusan Muslim

(Wiktorowicz, 2004). Di Suriah,

manifestasi dari revivalisme Islamis ini

dapat terlihat dari maraknya masjid-masjid

dan institusi Islam, menjamurnya

organisasi-organisasi Islam di lingkungan

kalangan miskin yang seringnya

“mengganti” posisi negara dalam

menyediakan kesejahteraan sosial dan

bantuan medis pada warga setempat

(Khatib, 2012).

Rezim Suriah, khususnya bagi al

Assad memandang bahwa isu mengenai

Islamisme sebagai masalah keamanan yang

cukup krusial bagi politik dalam negeri

Suriah. Hal ini menyebabkan posisi

Islamis, baik dari segi hirarki keagamaan

dan doktrin-doktrin yang berkembang

kerap dikontrol oleh rezim (Khaddour,

2019). Dinamika hubungan dan interaksi

antara rezim dengan faksi Islamis ini pun

semakin menemukan momentumnya pada

konflik Suriah tahun 2011. Selain itu,

kelompok-kelompok Islamis yang memang

sudah lama hadir di tengah masyarakat

Suriah dan merasakan absennya-atau

setidaknya ketimpangan- pelayanan negara

terhadap mereka juga ikut bergerak.

Mereka menyuarakan common demand

atau tuntutan bersama, yakni menurunkan

kekuasaan Bashar. Meski demikian, tidak

sedikit di antara mereka yang memiliki

perbedaan pandangan tentang Suriah pasca-

Bashar. Hal ini disebabkan karena mereka

berangkat dari latar belakang kelompok

yang berbeda, seperti ada yang

menginginkan Suriah menjadi sebuah

negara yang berlandaskan syariah Islam;

menginginkan Suriah tetap menjadi negara

yang sekuler; pun ada yang menginginkan

Suriah yang sekuler namun tetap

mengakomodir kepentingan kalangan

Sunni yang merupakan mayoritas dari segi

jumlah penduduk di sana.

Kombinasi dari tiga konfigurasi

sebelumnya pada faktanya telah

memperuncing konflik yang terjadi. Seperti

yang telah dipaparkan sebelumnya,

masing-masing aktor tersebut membawa

kepentingan sendiri, bahkan di kalangan

oposisi sekalipun, yang notabene mayoritas

menginginkan turunnya Bashar dari kursi

kepemimpinannya.

Minimnya koherensi tujuan dan

komando di antara kelompok oposisi juga

memperpanjang fragmentasi internal

oposisi itu sendiri. Selain itu, selama

keberpihakan dari aktor eksternal masih

terus dijalin dengan aktor internal Suriah,

maka tidak ada kondisi yang benar-benar

permanen, karena keunggulan pihak

oposisi dalam menguasai wilayah tertentu,

bisa saja berbalik kepada rezim atas

bantuan aktor pendukungnya, begitupun

sebaliknya. Keberpihakan aktor eksternal

terhadap aktor internal juga terbukti

Page 9: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

26

memunculkan kerancuan dalam tubuh aktor

internal, yang akhirnya bergerak mengikuti

kepentingan pihak pendukungnya tersebut.

Lebih lanjut, persaingan di antara

kelompok oposisi yang secara etnis terbagi

menjadi dua kelompok besar, yaitu Arab

dan Kurdi juga mewarnai rivalitas internal

oposisi rezim. Sejak awal, kelompok Kurdi

tidak menaruh kepercayaan yang besar

kepada ‘mitra’ oposisinya yang lain,

dikarenakan mereka menyuarakan

kepentingan ‘Arabisasi’. Hal ini

berimplikasi pada terbaginya posisi Kurdi

dalam barisan oposisi. Pertama, jika

mereka mengintegrasikan diri sepenuhnya

dengan kelompok Arab, ada kemungkinan

mereka untuk termarginalkan. Kedua,

mereka selain tegas beroposisi terhadap

rezim, namun juga tetap menjunjung tujuan

otonomi mereka di Suriah dan kepentingan

regional mereka atas eksistensi Kurdistan,

akhirnya memunculkan kecurigaan dari

kalangan Arab (Ulutas, 2011). Meski

demikian, posisi pasukan Kurdi, khususnya

Syrian Democratic Force (SDF) dan

Partiya Yekitita Demokrat (PYD) serta

sayap militernya, Yekineyen Parastina Gel

(YPG) sebagai aktor yang didukung oleh

AS, akhirnya menempatkan mereka pada

posisi yang signifikan di Suriah.

Selain itu, terdapat satu hal yang

‘menyatukan’ kelompok oposisi dan pro

rezim dalam konflik, yaitu permusuhan

yang sama terhadap eksistensi ISIS. Untuk

satu hal ini, baik pendukung dan oposisi

rezim ibaratnya sama-sama mengiyakan

kebijakan global AS terhadap dunia

internasional, yakni memerangi terorisme.

Pasukan rezim, Kurdi, hingga oposisi

moderat seperti Free Syrian Army (FSA),

di kantong wilayah mereka masing-masing

seluruhnya berusaha menghilangkan

pengaruh yang berusaha ditanamkan oleh

ISIS. Militansi dan militerisasi ISIS serta

kelompok-kelompok yang berafiliasi

kepada mereka di Suriah, yang bersumber

dari interpretasi ajaran Islam yang keliru,

pada faktanya membahayakan banyak

pihak, termasuk warga sipil yang tidak ikut

berperang. Eksistensi ISIS dan afiliasinya

juga yang menjadi salah satu legitimasi

bagi AS untuk gencar dan serius

mengintervensi Suriah. Persaingan antara

aktor internal di Suriah ini telah menjadikan

Suriah sebagai negara yang sejatinya

terpecah, yang terlihat dari pembagian

wilayah di Suriah sejak pecahnya konflik

menjadi empat, yaitu wilayah yang dikuasai

rezim, berada di bawah pengaruh ISIS,

wilayah yang dikuasai pasukan Kurdi, dan

wilayah yang dikuasai berbagai kelompok

oposisi (Luigi Narbone, 2016).

Latar Belakang AS di Suriah

Kebanyakan orang selama ini

secara sempit melihat bahwa tujuan dan

kepentingan besar AS di kawasan adalah

semata-mata untuk mengamankan minyak

dan gas bumi. Tentu pandangan yang

Page 10: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

27

demikian tidaklah salah, mengingat gas dan

minyak bumi merupakan komoditas

penting yang dibutuhkan oleh hampir

seluruh negara untuk menunjang berbagai

kegiatan produksinya. Meski demikian,

minyak dan gas bumi bukan satu-satunya

kepentingan AS, baik di Suriah secara

spesifik maupun Timur Tengah secara

umum. Latar belakang AS di Suriah dapat

terbagi menjadi dua, yaitu anti-Bashar dan

anti-terorisme.

Dimulai dari tahun 2011 sejak awal

konflik ini pecah, intervensi AS secara

garis besar adalah untuk mengganti rezim

sosialis yang dipimpin oleh Bashar Assad.

Hal ini jelas dan terungkap dari pernyataan-

pernyataan yang disampaikan oleh berbagai

perwakilan pemerintah AS, termasuk oleh

Barack Obama (Hill, 2018). Keinginan AS

untuk menjatuhkan Bashar juga

dilegitimasi oleh alasan bahwa rezim

Suriah dalam menghadapi perlawanan dari

kelompok oposisi, telah menggunakan

senjata kimia yang merupakan pelanggaran

hukum internasional. Pandangan tersebut

juga tampak dapat memenuhi niat AS

sebagai “polisi dunia” untuk memastikan

keamanan rakyat sipil dari keagresifan

rezim.

Kepentingan ini sangat berkaitan

dengan satu kebijakan luar negeri AS yang

diterapkan secara global, yakni

demokratisasi. Keinginan untuk

mengimpor demokrasi dari AS kepada

negara-negara di dunia Islam, termasuk

Suriah, dianggap sebagai salah satu solusi

oleh AS untuk mengatasi totalitarianisme

rezim. Suriah dalam pandangan AS,

termasuk dalam rogue states atau “negara-

negara nakal” yang patut diwaspadai gerak-

geriknya karena bertendensi mengancam

AS (Karakoc, 2013). Bagi AS,

totalitarianisme dan otoritarianisme

kekuasaan dapat dihilangkan dengan

menyebarkan nilai-nilai demokratis.

Demokratisasi yang dijalankan oleh

AS juga sejalan dengan teori hegemoni

yang diprakarsai oleh Gramsci, bahwa

aktivitas ini sangat berkaitan dengan

promosi nilai-nilai yang diemban oleh

kekuatan hegemon tersebut (Mustarom,

2014). Adapun AS, pengembanan nilai

liberal, universalisme HAM dapat disebut

sebagai nilai utama yang berusaha

disebarluaskan kepada pihak-pihak yang

dirasa bertentangan dengan nilai yang

diusung oleh AS. Suriah, meskipun telah

melaksanakan pemilihan umum untuk yang

pertama kali pada tahun 2012 sebagai

bagian dari tuntutan massa, belum dapat

disebut sebagai negara yang demokratis

bagi AS. Hal ini dikarenakan pelaksanaan

pemilu saja tidak dapat menjadi indikator

demokratis atau tidaknya suatu negara,

sementara nilai-nilai universal dan HAM

masih banyak yang terabaikan.

Selain itu, dalam kerangka

kepentingan yang anti-Otoritarianisme ini,

Page 11: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

28

AS yang diwakilkan oleh Mike Pompeo

selaku Sekretaris Negara (Menteri Luar

Negeri) juga menyatakan bahwa salah satu

fokus kebijakan yang akan dilaksanakan

oleh AS di Suriah adalah untuk

menghilangkan pengaruh Iran dari Suriah

(O'Connor, 2018). Kebijakan AS secara

global selama ini memang diwarnai dengan

sikap kritis bahkan cenderung kontra

dengan Iran. AS menginginkan agar

pasukan Iran yang turut serta di Suriah,

seperti Iranian Guards for Revolution

Corps atau Garda Revolusi Iran serta

kelompok-kelompok pro rezim Suriah yang

dibiayai, dilatih dan dipersenjatai oleh Iran

agar menghilang dari Suriah.

Posisi AS terhadap Iran yang

demikian, dipengaruhi oleh persepsi

ancaman AS atas Iran yang berusaha untuk

menjadi pemain utama perpolitikan di

Timur Tengah dan mengeliminasi pengaruh

AS di kawasan. Suriah, yang didukung oleh

pemerintah Iran juga kini menjadi tempat

bagi Iran untuk memperkuat posisinya.

Lebih lanjut, alasan kuat AS untuk

memusuhi Iran adalah karena Iran

merupakan salah satu negara yang

memusuhi Israel. Menjaga keamanan Israel

yang membawa dan memromosikan nilai-

nilai Barat adalah salah satu kepentingan

nasional AS untuk kawasan Timur Tengah.

Sehingga, eksistensi Iran yang memusuhi

Israel, juga sama mengancamnya bagi AS

(Ratney, 2019).

Latar belakang AS yang kedua di

Suriah adalah anti-terorisme. Kebijakan

kontra-terorisme sebetulnya sudah lama

menjadi perdebatan di kalangan akademisi

ataupun analis. Penggunaan kata terorisme

sendiri, bukan serta merta dipengaruhi dari

keinginan untuk menghilangkan berbagai

tindakan yang menimbulkan ketakutan di

tengah masyarakat. Lebih jauh, kebijakan

ini sangat dipengaruhi oleh nuansa

hegemonik, dimana satu kekuatan dominan

dapat membentuk definisi yang konsensual

dan membuat pihak lain menerima definisi

yang ditetapkannya tersebut. Begitu pun

yang dilakukan oleh AS, khususnya sejak

abad keduapuluh. Terorisme sendiri secara

definisi sedikit tidak telah dipengaruhi oleh

persepsi AS, yang ditunjukkan dari

pernyataan George W. Bush, mantan

Presiden AS, “it is either you with us or

with the terrorist”. Dari pernyataan

tersebut, dapat ditarik benang merah,

bahwa siapa yang tidak berada di sisi AS,

maka AS “boleh saja” memosisikannya

setara dengan teroris. Sehingga,

konsekuensi dari persepsi ini, AS

memerangi pihak siapapun yang memenuhi

unsur utama teror, yaitu menggunakan

kekerasan dan memiliki motif politik, serta

ditambah kontra dengan pengaruh AS

(Mustarom, 2014).

Sejak Abu Bakar al Bagdadi

mendeklarasikan kekhilafahan ISIS pada

tahun 2014, terjadi pergeseran kebijakan

Page 12: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

29

AS dalam menanggapi konflik Suriah. Pada

awal konflik, fokus utama AS dapat

dikatakan adalah untuk mengganti rezim

Bashar dengan memastikan stabilitas

Suriah melalui kekuasaan yang lebih

demokratis dan representatif bagi seluruh

rakyat Suriah (Brandenburg, 2018).

Adapun pasca deklarasi tersebut, AS

menjadi lebih agresif, terutama dalam hal

intervensi militer untuk

membumihanguskan ISIS beserta

kelompok-kelompok afiliasinya.

Kepentingan anti-terorisme yang

disebarkan secara global ini telah menjadi

legitimasi bagi AS untuk mengintervensi

konflik. Manisfestasi kepentingan ini

terlihat jelas dari aktivitas AS yang

memerangi ISIS, Al Qaeda, maupun Hay’at

Tahrir al Syam (HTS) yang menurut AS

mengancam stabilitas AS serta sekutu-

sekutu AS. Berbagai serangan langsung

yang dilancarkan oleh militer AS kepada

basis pertahanan kelompok-kelompok

tersebut dapat dilihat dengan semakin

berkurangnya wilayah Suriah yang dikuasai

oleh ISIS. Pengaruh yang dimiliki oleh ISIS

dan kelompok afiliasinya berangsur-angsur

berkurang atas serangan AS dan koalisi

kontraterorismenya (Dalton, 2017). Selain

itu, besarnya upaya yang dikerahkan AS

untuk mencapai kepentingan anti-

terorismenya juga dapat dilihat dari koalisi

yang diprakarsai AS untuk melawan ISIS

dan afiliasinya. Koalisi ini terdiri aktor

negara dan aktor non-negara, seperti Turki,

Arab Saudi, negara-negara Teluk, hingga

kelompok oposisi rezim di internal Suriah

sendiri.

Terdapat irisan kepentingan AS dari

anti-Otoritarianisme dan anti-Terorisme,

yaitu untuk menjaga sekutu. Baik dari

kebijakannya untuk demokratisasi,

menghilangkan pengaruh Iran, memerangi

ISIS dan afiliasinya, serta membentuk

koalisi kontraterorisme, AS memiliki

keinginan yang kuat untuk menjaga serta

memastikan keamanan sekutu dan mitranya

yang dekat dengan Suriah. Eksistensi Israel

yang berbatasan langsung dengan Suriah,

dalam pandangan AS, selama masih berada

di bawah rezim Bashar yang disokong oleh

kekuatan anti-Israel, ancaman itu akan tetap

ada. Sehingga, kekuatan hegemonik seperti

AS, dimanapun ia mengintervensi, dapat

dipastikan selalu mempertimbangkan

kondisi sekutunya, yang jika sekutunya

lemah, maka hal tersebut juga akan

berpengaruh kepada kekuatan dan

hegemoni yang dimiliki AS.

Bila berbicara masalah motif dan

alasan, tentu AS juga memiliki latar

belakang yang kuat yang membuat mereka

menetapkan untuk menerapkan strategi

Devide et Impera di Suriah. Dalam hal ini,

AS mengambil pelajaran dari masa lalu,

yang ketika pemerintahnya menerjunkan

tentara berskala penuh ke Irak dan

Afghanistan misalnya, nyawa serta biaya

Page 13: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

30

yang harus ditanggung pun jauh lebih besar

oleh AS. Sedangkan di Suriah, AS terlihat

mencari jalan lain untuk mencapai

kepentingannya, yakni dengan

memanfaatkan tipologi konflik yang kian

terfragmentasi, lalu memberikan dukungan

pada kelompok tertentu dan

mempropagandakan kelompok yang lain

sebagai musuh, maka pekerjaan bisa

menjadi lebih low-cost.

Sebut saja di Afghanistan dan Irak,

AS sejak awal intervensinya sudah

langsung menurunkan militer berskala

penuh untuk menurunkan Taliban dan

Saddam Husein. Di Suriah, yang ditandai

dengan intervensinya pasca deklarasi ISIS

hingga tahun 2019, AS baru mengeluarkan

dana 15x lebih sedikit dibandingkan

dengan Irak dan 18x lebih sedikit

dibandingkan dengan pengeluarannya

untuk masalah Afghanistan (Crawford,

2018). Hal ini juga dapat dikatakan

merupakan salah satu pengaruh dari

penerapan strategi Devide et Impera AS di

Suriah, yang menekankan pada

pemanfaatan keterpecahan konstelasi

konflik yang ada.

Seperti yang sudah dipaparkan

sebelumnya, konflik di Suriah tidak dapat

menafikkan adanya isu yang berlandaskan

sentimen sektarianisme, khususnya Sunni

dan Syi’ah. Dalam sebuah dokumen yang

dikeluarkan oleh RAND Corporation pada

tahun 2008 yang berjudul “Unfolding the

Future of the Long War: Motivations,

Prospects, and Implications for the U.S.

Army”, disebutkan bahwa AS jika hendak

menerapkan strategi Devide et Impera,

diberikan opsi untuk mengkapitalisasi

perseteruan Sunni-Syi’ah dengan

mendukung pihak Sunni konservatif dan

bekerja dengan mereka untuk menahan laju

gerakan Syi’ah di dunia Islam (Christopher

G. Pernin, 2008). Sikap yang demikian

tentu beralasan, mengingat sepak terjang

kekuasaan yang bernapaskan Syi’ah yang

notabene tidak pro terhadap AS kerap

memberikan ancaman terhadap

kepentingan AS.

Selain itu, kemunculan kelompok-

kelompok Islamis-jihadis yang beraliran

Sunni dan ingin menumbangkan kekuasaan

Syi’ah Alawiyyah di Suriah juga

merupakan suatu keadaan yang dapat

dieksploitasi oleh AS. Kelompok-

kelompok jihadis ini faktanya memiliki

latar belakang pemahaman keislaman yang

berbeda-beda. Sehingga ketika perbedaan

tersebut terus diamplifikasi salah satunya

dengan berpihak pada satu kelompok saja,

maka kelompok-kelompok tersebut akan

disibukkan dengan konflik internal mereka

(Ahmed, 2015).

Selain itu, terdapat hal mendasar

yang menyebabkan AS menerapkan

strategi Devide et Impera yang sangat

berkaitan dengan kepentingannya di

Suriah. Perpecahan yang terjadi antara

Page 14: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

31

rezim Bashar dengan rakyatnya sendiri

yang juga sama terpecah, sebetulnya

merupakan cara yang ampuh untuk

membuat mereka lupa akan Israel, yang

merupakan mitra terdekat AS di Timur

Tengah. Konflik di Suriah yang didominasi

oleh narasi Arabisme –meskipun Kurdi

dalam jumlah yang tidak signifikan juga

ikut dalam konflik- akhirnya

mengesampingkan Israel yang disebut

sebagai “negara Barat di kawasan Arab”.

Israel memang tidak secara aktif

mengintervensi masalah di Suriah, kecuali

yang berkaitan dengan isu Dataran Tinggi

Golan, yang merupakan area yang

diperebutkan antara Israel dan Suriah

selama ini.

Dengan demikian, AS yang

mendukung kelompok-kelompok seperti

SDF-PYD dan FSA atau kelompok jihadis

moderat lain dan melawan rezim Bashar

serta kelompok salafi-jihadis seperti ISIS

dan afiliasinya menjadikan aktor-aktor di

Suriah sibuk bermusuhan antara yang satu

dengan yang lainnya. Sementara di waktu

yang bersamaan, AS memiliki waktu lebih

untuk memastikan keamanan Israel yang

sangat mungkin suatu waktu berdampak

kepada Israel tanpa harus mengeluarkan

tenaga dan biaya yang besar.

Strategi Devide et Impera AS di Suriah

Bagi sebagian analis, tindakan yang

dilakukan AS di Suriah adalah intervensi

militer yang berbalut intervensi

kemanusiaan. AS menjadikan alasan

tersebut sebagai legitimasi untuk turut serta

dalam konflik dan memastikan

kepentingannya untuk melemahkan

kekuasaan Bashar agar dapat diganti

dengan pemimpin yang lebih moderat,

demokratis dan pro-AS, serta melindungi

keamanan Israel sebagai bagian dari

kepentingan nasional AS dari ancaman

Bashar dan sekutunya di kawasan yang

kontra dengan Israel. Kondisi konflik yang

begitu terfragmentasi antara aktor yang satu

dengan yang lainnya meskipun mereka

sama-sama menginginkan Bashar turun

dari kekuasaannya, mendorong AS untuk

tetap hadir di Suriah. Kehadiran AS di

Suriah memang bukan yang menyebabkan

perpecahan dan konflik antara satu aktor

dengan aktor lainnya terjadi, namun lebih

ke bagaimana AS mengeksploitasi

perpecahan yang secara alami merupakan

bagian dari konstelasi konflik di Suriah.

AS menerapkan Devide et Impera

dengan mendukung pasukan Kurdi serta

FSA dan menentang ISIS, Al Qaeda, serta

HTS yang dapat dikatakan sebagai aktor

sentral dalam konflik Suriah, serta menolak

untuk mendukung kekuatan pendukung

rezim Suriah yang dianggap tidak

demokratis oleh AS dan mengancam

eksistensi sekutu-sekutu AS. Lembaga

seperti Departemen Pertahanan AS, PBB,

bahkan CIA yang dapat dikatakan sebagai

alat pemerintah federal AS dalam kancah

Page 15: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

32

politik global juga memberikan andil

kepada AS untuk menerapkan Devide et

Impera pada Suriah. CIA yang merupakan

badan intelijen AS, pada tahun 2013 secara

resmi meluncurkan sebuah program rahasia

untuk mendanai, melatih dan

mempersenjatai oposisi moderat seperti

FSA dalam rangka memerangi rezim

Suriah (Sanchez, 2013). Program ini

dinamai Timber Sycamore (Lin, 2016).

Pengerahan bantuan dan dukungan

militer AS kepada FSA ini berada di bawah

operasi yang dijalankan oleh CIA, lembaga

intelejen nasional AS, yang disebut dengan

Timber Sycamore. Operasi Timber

Sycamore ini merupakan program resmi

CIA untuk mensuplai senjata dan pelatihan

kepada kelompok-kelompok oposisi yang

juga didukung oleh beberapa lembaga

intelijen Arab. Operasi Timber Sycamore

yang pada mulanya merupakan operasi

rahasia yang diperintahkan langsung oleh

Obama kepada CIA ini dilaksanakan tidak

hanya oleh AS saja, melainkan oleh

beberapa sekutu AS di Timur Tengah,

seperti Arab Saudi dan Yordania.

Pertimbangannya bukan hanya karena

kedua negara ini berdekatan dengan Suriah,

tetapi dalam beberapa dekade terakhir,

keduanya telah menjadi mitra bagi AS,

termasuk CIA dalam menjalanakan

program-programnya (Mark Mazzetti,

2016). Yordania menjadi tempat bagi

pasukan CIA melatih kelompok-kelompok

oposisi yang juga tergabung di bawah

payung FSA.

Di bawah operasi inilah, AS melalui

CIA mengupayakan untuk mendapatkan

kepentingannya di Suriah untuk

menggulingkan rezim Bashar dengan

mendanai dan mendukung kelompok-

kelompok oposisi yang berpihak kepada

nilai-nilai demokratis yang diusung AS

(Mark Mazetti, 2017). Bagi AS,

keunggulan yang dimiliki FSA boleh jadi

bukan menjadi tujuan utama dari dukungan

yang diberikan kepada mereka, tetapi lebih

kepada memastikan agar kemampuan FSA

yang merepresentasikan kelompok oposisi

sesuai dengan tujuan AS lah yang menjadi

isu kunci dukungan AS (O'Bagy, 2013).

Meski demikian, Trump pada tahun 2017

akhirnya memutuskan untuk menghentikan

operasi Timber Sycamore dan mengatakan

bahwa pendanaan yang semula untuk

program CIA ini, dialihkan untuk

pendanaan operasi melawan ISIS dan

afiliasinya yang diberi nama oleh AS

sebagai Operation Inherent Resolve.

Selain mendukung FSA melalui

CIA, AS juga menyokong pasukan Kurdi di

Suriah, khususnya SDF, PYD, dan sayap

militernya, YPG. Salah satu alasan AS

mendukung kelompok Kurdi dalam

konstelasi Suriah adalah karena AS

memandang bahwa pasukan Kurdilah yang

paling efektif dalam melawan ISIS dan

afiliasinya. Kelompok-kelompok oposisi

Page 16: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

33

selain Kurdi juga memang memerangi ISIS,

tetapi AS telah menetapkan untuk

memanfaatkan pasukan Kurdi sebagai pion

untuk melawan ISIS di Suriah (Gurcay,

n.d.). Hal lain yang menyebabkan pasukan

Kurdi signifikan bagi AS adalah karena

persebaran lokasi mereka di wilayah utara

Suriah, yang merupakan wilayah yang

dikuasai ISIS saat awal deklarasinya tahun

2014 dulu. Sehingga penting bagi AS untuk

mengamankan wilayah tersebut agar tidak

dikuasai dan dipengaruhi lagi oleh ISIS.

Akan tetapi, bila dilihat dari tekad

AS untuk menghapuskan eksistensi dan

pengaruh ISIS AS menunjukkan

dukungannya kepada SDF-PYD dalam

rangka memerangi ISIS. AS memandang

bahwa keberadaan pasukan Kurdi di

wilayah yang dekat dan bersinggungan

langsung dengan ISIS adalah cara efektif

untuk vis a vis menghadapi ISIS. Serangan

udara yang merupakan bantuan AS

terhadap tentara Kurdi cukup aktif bahkan

sejak 2015, seperti misalnya ke provinsi

Hasaka pada Februari 2015, al-Hawl pada

Oktober-November 2015, di al-Syadadi

pada bulan Februari tahun 2016, serta di

Manbij pada bulan Mei hingga Agustus

2016. AS meluncurkan serangan bantuan

tersebut mayoritas ke daerah-daerah yang

memang hanya pasukan Kurdi lah yang

aktif beroperasi di sana (Clawson, 2016).

Sesuai dengan pola Devide et

Impera, selain AS mendukung kelompok

tertentu, maka di waktu yang bersamaan ia

juga melawan kelompok lain yang

merupakan bagian integral dari konflik

Suriah. Pasukan-pasukan pro rezim Bashar

yang dimaksud dalam pembahasan ini

adalah seperti yang disebutkan pada sub-

bab sebelumnya, yaitu Syrian Armed

Forces (SAF) yang tidak lain merupakan

militer nasional Suriah, National Defense

Force (NDF) yang mewakili paramiliter

rezim serta milisi lain yang pro-rezim

seperti Shabiha dan kelompok-kelompok

lokal lainnya. Pasukan-pasukan militer

tersebut adalah garda terdepan yang

menyokong pertahanan rezim Bashar

selama masa peperangan berlangsung.

Lokasi mereka juga tidak terpusat di satu

wilayah saja, melainkan tersebar di

beberapa wilayah di Suriah.

Secara garis besar, konfrontasi AS

terhadap kelompok-kelompok pro rezim ini

dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu

konfrontasi yang merupakan respon atas

dugaan penggunaan senjata kimia oleh

rezim Suriah atas serangannya kepada

oposisi dan konfrontasi yang memang

ditujukan ke basis-basis militer pasukan

tersebut untuk melemahkan kekuatan

mereka. Retorika-retorika yang digulirkan

oleh pemerintah AS di masa-masa awal

pecahnya konflik menunjukkan bahwa AS

mengecam keras praktik penggunaan

senjata kimia yang dilakukan oleh rezim

Suriah. Bahkan di masa pemerintahan

Page 17: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

34

Obama pada tahun 2012, ia mengatakan

bahwa menggunakan senjata kimia atas

warga sipil dan kelompok oposisi di Suriah

merupakan “red line” bagi AS. AS juga

secara tegas menyatakan kepada rezim

Suriah bahwa mereka tidak menolerir

penggunan senjata kimia dalam konflik

terlebih bila itu digunakan oleh tangan yang

salah (Secretary, 2012).

Sikap AS yang seperti inilah yang

memunculkan persepsi bahwa AS

membalut intervensinya dengan

humanitarian intervention. Bahkan sikap

yang menunjukkan AS kontra senjata kimia

ini berlanjut hingga pemerintahan di bawah

Trump. Pada tahun 2017, Trump secara

resmi memerintahkan untuk mengambil

tindakan militer dengan menyerang

pangkalan udara di Shayrat. Pangkalan

udara ini disebut oleh AS sebagai lokasi

peluncuran pesawat yang digunakan oleh

rezim untuk menyerang dengan senjata

kimia ke wilayah Khan Sheikhoun, sebelah

barat provinsi Homs yang dikuasai oleh

kelompok oposisi (Kaplow, 2018). Selain

itu selama tahun 2018, AS juga aktif

menyerang pasukan rezim atau kelompok

pendukungnya, seperti yang terjadi pada

bulan April di sekitara wilayah Deir ez Zor

(al-Khalidi, 2018).

KESIMPULAN

Jika ditilik dari perspektif strategis,

AS telah berkaca dari pengalaman

pertempuran-pertempurannya sebelum ini

yang seringnya menerjunkan militer dalam

skala penuh ke medan konflik. Apa yang

terjadi di Suriah justru berbeda. AS dengan

melihat konstelasi konflik yang terjadi telah

menerapkan strategi Devide et Impera yang

memang konfigurasi konflik di sana

mendukung AS untuk menerapkan strategi

ini. Devide et Impera bukanlah strategi

baru, karena strategi ini sudah sangat sering

dilancarkan oleh kekuatan adidaya seperti

AS, yang akhirnya memunculkan

instabilitas di kawasan Timur Tengah

khususnya. Strategi yang pada dasarnya

mengeksploitasi perpecahan yang terjadi

pada objek yang hendak dikuasai untuk

dibalikkan agar memberikan keuntungan

kepadanya sangat mampu dilaksanakan

oleh AS yang merupakan aktor hegemonik.

Kapabilitas yang dimiliki AS, seperti

institusi-institusi pendukung selevel CIA

dan PBB serta pengaruh dalam level

regional Timur Tengah, menempatkan AS

pada posisi superior dalam konflik di

Suriah yang memungkinkannya

mengaplikasikan komponen-komponen

strategi Devide et Impera.

Fragmentasi yang terjadi dalam

internal Suriah, seperti mencuatnya isu

sektarianisme dan revivalisme Islamis,

termasuk di dalamnya adalah kemunculan

ISIS adalah beberapa faktor yang

memudahkan AS mengejar kepentingannya

di Suriah. Berbagai intervensi AS di Suriah

Page 18: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

35

pada dasarnya bermuara pada dua

kepentingan umum dan satu kepentingan

khusus. Dua kepentingan umum tersebut

adalah anti-Bashar yang termanifestasi

dalam agenda demokratisasinya serta

menghilangkan pengaruh Iran dan anti-

terorisme yang terwujud dalam perang

melawan ISIS dan afiliasinya serta

pembentukan koalisi kontraterorisme.

Adapun satu kepentingan khususnya adalah

demi menjaga sekutunya di kawasan,

terutama Israel yang sangat mungkin

terkena dampak buruk dari konflik

berkepanjangan di Suriah ini. Kepentingan-

kepentingan tersebut, meskipun berbeda,

pada faktanya memiliki keterkaitan antara

yang satu dengan yang lainnya yang tidak

dapat dipisahkan bagi AS.

AS yang juga memanfaatkan isu

sektarianisme dengan menyokong

kelompok Sunni juga pada faktanya telah

memperlebar isu sektarianisme dalam

pusaran konflik di Suriah ini. Pemanfaatan

isu sektarianisme oleh AS dalam konflik di

Suriah juga merupakan manifestasi dari

strategi yang memang selama ini

dijalankan, khususnya di wilayah

TimurTengah. Memosisikan diri pada

oposisi yang mayoritas memegang Sunni

sebagai keyakinannya dan melawan yang

beraliran Syiah pada akhirnya melahirkan

polarisasi lain dalam diskursus konflik

yang terjadi di Suriah ini.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Erlich, R. (2014). Inside Syria: The Backstory og Their Civil War and What the World Can Expect. New York: Prometheus Books.

Femia, J. V. (1981). Gramsci's Political Thought: Hegemony, Consciousness, and the Revolutionary Process. New York: Oxford University Press.

Gani, J. (2015). Contentious Politics and the Syrian Crisis: Internationalization and Militarization of the Conflict. In G. F.A., Contentious Politics in the Middle East (pp. 127-153). New York: Palgrave Macmillan.

Ghafur, M. F. (2016). Problematika Kekuatan Politik Islam di Suriah: dari Dominasi Militer hingga Konflik Sektarianisme. In Problematika Kekuatan Politik Islam di Yaman, Suriah dan Aljazair (pp. 109-135). Bandung: Pustaka Jaya.

Khatib, L. (2012). Islamic Revivalism in Syria: The rise and fall of Ba'athist secularism. London: Routledge.

Michael A. Huberman, M. B. (1994). Qualitative Data Analysis. Washington DC: SAGE Publications.

Yin, R. K. (2011). Qualitative Research from Start to Finish. New York: The Guilford Press.

Jurnal, Laporan, dan Tesis Arosoaie, A. (2015). Doctrinal Differences

between ISIS and Al Qaeda: An Account of Ideologues. Counter Terrorist Trends and Analyses vol. 7, 31-37.

Bar, S. (2006). Bashar's Syria: The Regime and its Strategic Worldview. Comparative Strategy, 353-445.

Cejka, M. (2012). Divide et Impera: Western Engagement in the Middle East. Central European Journal of

Page 19: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

36

International and Security Studies, 200-218.

Christopher G. Pernin, B. N.-S. (2008). Unfoldung the Future of the Long War: Motivations, Prospects, and Implications for the U.S. Army. Santa Monica: RAND Corporation.

Clawson, P. (2016). Syrian Kurds as a U.S. Ally: Cooperation & Complications. Polic Focus of The Washington Institute for Near East Policy, 52-59.

Cox, R. W. (1983). Gramsci, Hegemony, and International Relations: An Essay in Method. Millenium - Journal of International Studies , 162-175.

Crawford, N. C. (2018). United States Budgetary Costs of the Post 9/11 Wars through FY2019: $5.9 Trillion Spent and Obligated. Watson Institute of International & Public Affairs.

Dalton, M. (2017). Defeating Terrorism in Syria: A New Way Forward. Portsmouth: Hampton Roads International Security Quarterly.

Karakoc, J. (2013). US Policy Towards Syria Since the Early 2000s. Routledge Journal of Socialist Theory, 223.

Khaddour, K. (2019). Localism, War, and the Fragmentation of Sunni Islam in Syria. Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace.

Kraus, J. (2017). The Internationalization of Conflicts. Vojenske Rozhledy, 23-32.

Lapidus, I. M. (1997). Islamic Revival and Modernity: The Contemporary Movements and the Historical Paradigms. Journal of the Economic and Social History of the Orient vol. 40, 444-460.

Lister, C. (2016). The Free Syrian Army: A Decentralized Insurgent Brand. Washington DC: Center for Middle East Policy at Brookings.

Luigi Narbone, A. F. (2016). Inside Wars: Local Dynamics of Conflicts in

Syria and Libya. Italy: Rober Schuman Centre for Advanced Studies.

Mahmood, S. (2005). Politics of Piety. Princeton: Princeton University Press.

Morrock, R. (1973). Heritage of Strife: The Effects of Colonialists "Divide and Rule" Strategy upon the Colonized People.

Mullins, C. A. (2015). Syria and The Rise of Radical Islamist Groups. Tesis Naval Postgraduate School, California.

Mustarom, K. (2014). Demokrasi sebagai Alat Hegemoni. Lembaga Kajian Syamina.

Mustarom, K. (2014). TERORISME & terorisme: Antara "T besar" dan "t kecil". Syamina vol. VIII.

O'Bagy, E. (2013). The Free Syrian Army. Washington DC: Institute for the Study of War.

Pal, M. (2017). Marxism. In S. McGlinchey, International Relations Theory (pp. 42-48). Bristol: E-International Relations Publishing.

Rathnayake, S. S. (2016). Hegemony of the United States and the Middle East. Felicitation Volume of Senior Professor Prema Podimenike, 251-262.

Ratney, M. A. (2019). Five Conundrums: The United States and the Conflict in Syria. Washington DC: Institute for National Strategic Studies - Strategic Perspectives.

Ulutas, U. (2011). The Syrian Opposition in the Making: Capabilities and Limits. Insight Turkey, 87-106.

Wiktorowicz, Q. (2004). Islamic Activism: A Social Movement Approach. Indiana: Indiana University Press.

Wolff, K. H. (1950). The Triad. In G. Simmel, The Sociology of Georg Simmel (pp. 145-170). Illinois: The Free Press.

Xypolia, I. (2016). Divide et Impera: Vertical and Horizontal

Page 20: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

37

DImensions of British Imperialism. Journal of Socialist Theory.

Zimmerman, K. (2017). America's Real Enemy: The Salafi-Jihadi Movement. Washington DC: American Enterprise Institute.

Website

Ahmed, N. (2015, April 3). The Pentagon plan to 'divide and rule' the Muslim world. Retrieved from Middle East Eye: http://www.middleeasteye.net/opinion/pentagon-plan-divide-and-rule-muslim-world

al-Khalidi, S. (2018, April 29). U.S.-backed forces say they regain villages seized by Syrian army. Retrieved from Reuters: https://www.reuters.com/article/us-mideast-crisis-syria-euphrates/u-s-backed-forces-say-they-regain-villages-seized-by-syrian-army-idUSKBN1I00EX

Brandenburg, R. (2018, Oktober 9). What is the U.S. Interest in Syria? Retrieved from Truman Center: http://trumancenter.org/doctrine-blog/what-is-the-us-interest-in-syria/

Gurcay, E. (n.d.). The U.S.-YPG Relationship: U.S. Foreign Policy & the Future of the Kurds in Syria and Turkey. Retrieved from Middle East Policy Council: https://mepc.org/commentary/us-ypg-relationship-us-foreign-policy-future-kurds-syria-and-turkey

Hill, C. R. (2018, Februari 22). What does the US want in Syria? Retrieved from The Strategist — The Australian Strategic Policy Institute: https://www.aspistrategist.org.au/us-want-syria/

Kaplow, L. (2018, April 13). History Of U.S. Responses To Chemical Weapons Attacks In Syria. Retrieved from NPR: https://www.npr.org/sections/thetw

o-way/2018/04/13/602375500/history-of-u-s-responses-to-chemical-weapons-attacks-in-syria

Lin, C. (2016, Desember). How The US Ends Up Training al-Qaeda and ISIS Collaborators. Retrieved from The Institute for Strategic, Political, Security, and Economic Consultancy (ISPSW): http://www.ispsw.com/wp-content/uploads/2016/12/461_Lin-1.pdf

Mark Mazetti, A. G. (2017, Agustus 2). Behind the Sudden Death of a $1 Billion Secret C.I.A. War in Syria. Retrieved from The New York Times: https://www.nytimes.com/2017/08/02/world/middleeast/cia-syria-rebel-arm-train-trump.html

Mark Mazzetti, M. A. (2016, Januari 23). U.S. Relies Heavily on Saudi Money to Support Syrian Rebels. Retrieved from The New York Times: https://www.nytimes.com/2016/01/24/world/middleeast/us-relies-heavily-on-saudi-money-to-support-syrian-rebels.html?-r=0

Networking, B. (2012, July 9). Profile: Syria's ruling Ba'ath Party. Retrieved from BBC: https://www.bbc.com/news/world-middle-east-18582755

O'Connor, T. (2018, Oktober 11). U.S. Finally Reveals What It Really Wants Now in Syria. Retrieved from News Week: https://www.newsweek.com/us-finally-admits-what-it-really-wants-syria-1165131?amp=1

Pedersen, P. S. (2018, Juni 20). Things Fall Apart: Rebel Fragmentation in Syria's Civil War (2011-2017). Retrieved from SSRN: https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3200011

Sanchez, R. (2013, September 3). First Syria rebels armed and trained by CIA 'on way to battlefield'.

Page 21: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No

MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020

38

Retrieved from The Telegraph: https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/syria/10283758/First-Syria-rebels-armed-and-trained-by-CIA-on-way-to-battlefield.html

Secretary, O. o. (2012, Agustus 20). Remarks by the President to the White House Press Corps. Retrieved from The White House President Barack Obcama: https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-office/2012/08/20/remarks-president-white-house-press-corps

Shaheen, K. (2018, Juli 31). Syrian government forces seal victory in southern territories. Retrieved from The Guardian: https://www.theguardian.com/world/2018/jul/31/syrian-government-forces-seal-victory-in-southern-territories

Times, T. N. (2008, May 1). Hegemony. Retrieved from The New York Times: https://www.nytimes.com/2008/05/01/news/01iht-30oxan.12491269.html