gita restu anandani - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5318/2/art_irene...

14
Teologi-Moral dan Krisis Ekologi di Area Rurbanisasi Tambakrejo Irene Ludji Gita Restu Anandani Abstract The problem of an ecological crisis is the problem of humanity because, without a healthy environment, the human life will not continue. This article is a product of reset-r, h conducted in the rural-urban area Tambakrejo in relation to the ecological crisis and the role of the church. In this article, readers will find analyses on the ecological crisis exist in Tambakrejo and how the concept of moral theology answered it. Bernhard Baring as one the most famous leading thinkers in moral theology and his idea of church's moral theology is explored in order to understand the relationship between theology and ecology. Moral theology is the alternative way for churches in Indonesia who wants to lead change in an ecological crisis especially the one that took place in rural-urban areas. Keywords: Bernhard Haring, Ecological Crisis, Moral Theology, Rurbanisado Area, Haring, Tambakrejo, Pada hakikatnya manusia dan bumi adalah satu kesatuan ciptaan Allah. Di dalam kitab Kejadian 1:28 disebutkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk "beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan- ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Istilah berkuasa dan menaklukan di dalam Kejadian 1: 28 ini seringkali digunakan sebagai landasan untuk memandang manusia sebagai ciptaan Allah yang utama dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lain. Alasannya jelas, manusia yang diberi kuasa untuk menaklukan bumi, ini berarti manusia memiliki hak bebas untuk melakukan apapun yang ia kehendaki terhadap bumi dan isinya. Keyakinan bahwa manusia adalah pusat dari ciptaan Allah dikenal dengan istilah antroposentrisme. Istilah ini berasal dari Bahasa Latin, antropos berarti manusia dan centrum berarti pusat. Sikap dan keyakinan antroposentrisme juga diperkuat oleh tafsiran terhadap tulisan dalam Alkitab yang menyatakan bahwa manusia adalah imago dei, yang berarti manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, Diantara semua ciptaan Allah di bumi, menurut kitab Kejadian, hanya manusia yang diciptakan dalam imago dei.

Upload: nguyenkiet

Post on 05-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Teologi-Moral dan Krisis Ekologi di Area Rurbanisasi Tambakrejo

Irene Ludji

Gita Restu Anandani

Abstract

The problem of an ecological crisis is the problem of humanity because, without a healthy environment, the human life will not continue. This article is a product of reset-r, h conducted in the rural-urban area Tambakrejo in relation to the ecological crisis and the role of the church. In this article, readers will find analyses on the ecological crisis exist in Tambakrejo and how the concept of moral theology answered it. Bernhard Baring as one the most famous leading thinkers in moral theology and his idea of church's moral theology is explored in order to understand the relationship between theology and ecology. Moral theology is the alternative way for churches in Indonesia who wants to lead change in an ecological crisis especially the one that took place in rural-urban areas.

Keywords: Bernhard Haring, Ecological Crisis, Moral Theology, Rurbanisado

Area, Haring, Tambakrejo,

Pada hakikatnya manusia dan bumi adalah satu kesatuan ciptaan Allah. Di dalam kitab

Kejadian 1:28 disebutkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk "beranakcuculah

dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-

ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di

bumi." Istilah berkuasa dan menaklukan di dalam Kejadian 1: 28 ini seringkali

digunakan sebagai landasan untuk memandang manusia sebagai ciptaan Allah yang

utama dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lain. Alasannya jelas, manusia yang

diberi kuasa untuk menaklukan bumi, ini berarti manusia memiliki hak bebas untuk

melakukan apapun yang ia kehendaki terhadap bumi dan isinya. Keyakinan bahwa

manusia adalah pusat dari ciptaan Allah dikenal dengan istilah antroposentrisme.

Istilah ini berasal dari Bahasa Latin, antropos berarti manusia dan centrum berarti

pusat. Sikap dan keyakinan antroposentrisme juga diperkuat oleh tafsiran terhadap

tulisan dalam Alkitab yang menyatakan bahwa manusia adalah imago dei, yang berarti

manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, Diantara semua ciptaan Allah di

bumi, menurut kitab Kejadian, hanya manusia yang diciptakan dalam imago dei.

'MfcisfLtici, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat

Pernyataan ini menguatkan keyakinan dan sikap antroposentris yang dimiliki oleh

manusia.

Perintah kepada manusia untuk berkuasa dan menaklukkan bumi di dalam

Kejadian 1: 28 tidak seharusnya ditafsirkan sebagai hak untuk mengeksploitasi ciptaan

Allah yang non-human. Kata 'berkuasa' sendiri dalam Kejadian 1:28 berasal dari bahasa

Ibrani Raddah yang memiliki arti (tugas untuk) memelihara dan mengurus.1 Tugas

untuk memelihara dan mengurus bumi serta segala isinya dapat dibandingkan dengan

tugas seorang pimpinan gembala di Timur Tengah Kuno yang bertanggung jawab untuk

memastikan kehidupan yang aman dan harmonis bagi anggota-anggotanya.2 Tanggung

jawab untuk berkuasa tidak dapat dijadikan alasan bagi manusia untuk bertindak

sesuka hati atau sewenang-wenang dalam mengelola alam ciptaan Allah. Sebaliknya

manusia sebagai imago dei, hendaknya melihat ciptaan Allah yang non-human sebagai

'saudara'nya sesama ciptaan Allah yang diciptakan dan diletakkan di bumi dengan

fungsi dan tanggung jawab khusus, yaitu untuk menyuarakan kesatuan, kemuliaan dan

keagungan Allah. Kehidupan yang harmonis antar ciptaan Allah adalah bukti keagungan

Allah dalam ciptaanNya.

Perintah Allah kepada manusia untuk menaklukan bumi juga hendaknya tidak

dipahami sebagai kesempatan untuk menggunakan semua sumber daya bumi demi

kepentingannya sendiri. Kata 'menaklukkan' dalam Kejadian 1: 28 berasal dari bahasa

Ibrani Kabbas yang memiliki arti mengolah dan mengerjakan.3 Dengan demikian

manusia diberikan tanggung jawab oleh sang Pencipta untuk mengurus, memelihara,

dan mengolah ciptaan Allah di bumi. Tanggung jawab ini sungguh istimewa karena

manusia sebagai imago dei hanya dapat mencerminkan ciri ilahi dalam dirinya ketika ia

dengan setia melaksanakan panggilannya untuk berdamai dan menjaga bumi.

Kenyataan kehidupan modern membuktikan bahwa manusia belum sanggup

melaksanakan tugas dan panggilannya sesuai dengan yang tertera dalam kitab Kejadian

1:28. Ada banyak tindakan eksploitasi bumi yang dilakukan oleh manusia demi

memuaskan kepentingannya sendiri dan merugikan ciptaan non-human. Berbagai jenis

1 A. Sunarko, OFM dan A. Eddy Kristiyanto, OEM, Bumi Menyernbah Hyang llahi (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 33.

2 Sunarko dan Kristiyanto, Bumi Menyernbah, 33. 3 Sunarko dan Kristiyanto, Bumi Menyernbah, 33.

106

Irene Ludji, "Teologi Moral dan Krisis Ekologi.

kerusakan lingkungan hidup seperti kerusakan hutan, kerusakan lapisan tanah,

kerusakan biota laut, kerusakan lapisan ozon bukanlah hal yang asing di mata dan

telinga manusia modern. Berbagai jenis polusi seperti polusi air, tanah, suara dan udara

yang berdampak pada kepunahan bermacam-macam sumber daya alam adalah

kenyataan yang harus dihadapi manusia di zaman modern hari lepas hari. Berbagai

jenis kerusakan lingkungan ini terjadi tidak hanya di aras global tetapi juga terasa di

aras lokal. Di aras lokal, semakin banyak daerah pedesaan yang dikonversi menjad'

semi kota atau kota agar dapat memenuhi kebutuhan manusia tanpa mempedulikan

dampak negatifnya bagi keseimbangan ekologi. Salah satu contoh dari perubahan fungsi

lahan desa menjadi semi kota adalah Desa Tambakrejo di Kecamatan Ambarawa,

Kabupaten Semarang. Lahan pertanian yang awalnya ditanami sawah dalam kurun

waktu 5 tahun terakhir secara bertahap telah berubah menjadi lokasi perumahan,

bisnis, penyedia fasilitas umum, dan lain-lain. Tambakrejo yang awalnya dikena!

sebagai daerah ketahanan pangan secara perlahan-lahan kehilangan fung.c

pertaniannya dan mengalami peralihan fungsi menjadi kota. Perubahan fungsi lahaw

dari desa ke semi kota ini terjadi sebagai dampak dari proses rurbanisasi.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menemukan dan memahami sumbangan

teologi moral dalam kehidupan gereja-gereja di area rurbanisasi Tambakrejo. Di dalam

tulisan ini, pertama-tama akan dijelaskan keunikan dari area rurbanisasi yang harusnya

menjadi fokus pelayanan gereja dalam usahanya mengatasi krisis ekologi serta

permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi oleh warga masyarakat yang hidup di

area rurbanisasi Tambakrejo. Setelah kenyataan krisis ekologi di area rurbanisasi

Tambakrejo dideskripsikan maka akan dijelaskan bagaimana konsep teologi moral dari

Bernhard Haring, yang adalah tokoh teologi moral besar abad ini, dapat dimanfaatkan

oleh gereja untuk menghubungkan antara teologi dan ekologi. Di akhir dari tulisan ini

akan dikemukakan kesimpulan penelitian dan peran gereja untuk meningkatkan karya

pelayanannya dalam hubungan dengan krisis ekologi. Penelitian yang dilaksanakan di

area rurbanisasi Tambakrejo ini memanfaatkan beberapa metode pengumpulan data,

yaitu wawancara mendalam dan observasi langsung. Kedua metode ini memampukan

peneliti untuk memahami situasi krisis ekologi yang terjadi di area Tambakrejo sebagai

dampak dari perubahan lahan desa menjadi semi kota. Selain kedua metode di atas,

107

"Waskita, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat

peneliti juga melakukan studi pustaka terkhususnya dalam mendeskripsikan

sumbangan teologi moral dalam mengatasi krisis ekologi.

Krisis Ekologi di Area Rurbanisasi Tambakrejo

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

yang dimanfaatkan dalam pembangunan kota memiliki sumbangan positif dan negatif

bagi ekosistem. Perkembangan kota adalah salah satu sumber pertumbuhan ekonomi

suatu bangsa. Di samping dampak positif seperti ini ada dampak negatif yang umumnya

terkait dengan eksploitasi lahan untuk kepentingan manusia tanpa memperhatikan

keseimbangan ekosistem. Alain Garnier, ahli tata kota, menyatakan bahwa proses

perubahan lahan dari pedesaan menjadi semi kota dan kota dapat dikategorikan

menjadi tiga (3) kelompok yaitu sub urbanisasi, peri urbanisasi, dan rurbanisasi.4 Sub

urbanisasi adalah "proses subtitusi daerah pinggiran oleh pusat perkotaan dalam

proses pemekaran kota."5 Dalam proses sub urbanisasi terjadi perpanjangan fungsi kota

ke daerah pinggiran di sekitar kota tersebut. Peri urbanisasi adalah "perkembangan

kegiatan perkotaan yang tumbuh karena infiltrasi penduduk kota ke daerah pedesaan

yang jauh dari kota yang ada."6 Dalam proses peri urbanisasi sebuah daerah pedesaan

berubah menjadi kota sendiri yang terpisah dari kota lain yang berkembang

disekitarnya. Rurbanisasi adalah "proses berubahnya masyarakat desa di daerah

pedalaman karena surplus agraris atau perkembangan potensi lokal yang menciptakan

perubahan masyarakat pedesaan seperti kegiatan perdagangan dan kerajinan

pedesaan."7 Tambakrejo dikategorikan sebagai area rurbanisasi karena daerah ini

memiliki potensi agraris dan juga potensi lokal yang berdampak pada perubahan

masyarakatnya yang menjadi semakin homogen. Mayoritas penduduk daerah

Tambakrejo yang awalnya bekerja sebagai petani, nelayan dan pengrajin kini beralih

kepada jenis pekerjaan lain seperti buruh pabrik dan industri.

Kegiatan pertanian di Tambakrejo umumnya dilaksanakan di lahan pertanian

milik pribadi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka yang bekerja sebagai

4Sugiono Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi: Menuju Ruang yang Manusiawi (Yogyakarta: Graha Ilmu], 57-58.

5 Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi, 58. 6 Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi, 58. 7 Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi, 58.

108

Irene Lud)!, "Teologl Moral dan Krisis Ekologi..."

petani juga bekerja sebagai nelayan dan pengrajin. Proses mencari ikan dilakukan di

Rawa Pening dengan berbagai metode, umumnya dengan keramba. Kerajinan lokal yang

dibuat berbahan dasar enceng gondok yang tumbuh di Rawa Pening.

Fungsi daerah Tambakrejo sebagai area rurbanisasi mengalami peruhahar

menjadi area peri urban sebagai akibat dari pembangunan yang dilaksanakan

pemerintah maupun pihak swasta di daerah ini. Pada tahun 2005 pemcrintah

membangun jalan lingkar Utara yang membelah areal pertanian milik mayoritas petani

di Tambakrejo. Dampak dari keputusan pemerintah ini bermacam-macam, salah

satunya adalah warga petani yang lahannya dilewati oleh jalan lingkar Utara harus

menjual sawahnya kepada pemerintah dengan janji bahwa mereka akan diberi hak

untuk membangun usaha bisnis di sekitar jalan tersebut. Pada kenyanyaannya, janji dari

pemerintah kepada para petani yang terlanjur menjual lahan sawahnya ini tidak

ditepati.8 Setelah pembangunan jalan lingkar Utara selesai dilaksanakan, pemerintah

mengumumkan bahwa areal di sekitar jalan lingkar tidak boleh dimanfaatkan sebaga;

area perdagangan karena dapat mempengaruhi fungsi jalan dan kenyamanan

berkendara.9 Pada tahun 2013, di jalan lingkar Utara tersebut dibangun sebuah temp,it

wisata bernama Kampung Apung - Kampung Rawa milik Koperasi Simpan Pinjam Mitra

Dana. Tempat wisata ini dibangun tanpa ijin usaha tetapi usaha bisnisnya dapat

berlangsung karena dukungan dari pihak-pihak yang memiliki kuasa di Kecamatan

Ambarawa.10 Pembangunan jalan lingkar Utara dan tempat wisata kampung Apung -

Kampung Rawa di sekitar wilayah Tambakrejo melahirkan kekecewaan yang mendalam

dalam diri warga oleh karena beberapa alasan. Yang pertama, pembangunan jalan

lingkar Utara yang membelah lahan persawahan warga berdampak pada

ketidakseimbangan ekosistem di sawah warga. Akibatnya lahan sawah warga yang ada

disekitar jalan lingkar yang sebelumnya dapat dipanen dua (2) kali setahun tidak lagi

produktif dan hanya dapat menghasilkan panen satu (1) kali dalam satu (1) tahun.

Berkurangnya jumlah panen ini sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi dan

pendapatan warga Tambakrejo.

8 Hasil wawancara dengan Bapak Sadyo pada hari Sabtu, 8 Maret 2014. 9 Hasil wawancara dengan Ibu Nirah pada hari Sabtu, 8 Maret 2014. 10 Hasil wawancara dengan Ibu Nirah pada hari Sabtu, 8 Maret 2014.

109

y/askita, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat

Selain perubahan fungsi lahan, warga Tambakrejo juga menghadapi model lain

dari krisis lingkungan hidup sebagai dampak dari menurunnya fungsi Rawa Pening

yang adalah sumber pendapatan warga yang bekerja sebagai nelayan. Rawa Pening

yang memiliki luas sebesar 2.670 ha dikelilingi oleh lahan persawahan dan beberapa

area wisata. Tidak heran jika Rawa Pening menjadi sumber penghasilan warga yang

tinggal disekitarnya, termasuk warga Tambakrejo, yang bekerja sebagai nelayan

maupun pengrajin enceng gondok. Keberadaan lahan sawah di sekitar Rawa Pening

bukan hanya memberi keuntungan kepada warga yang memiliki sawah karena pasokan

air yang cukup dari Rawa Pening tetapi juga membawa kesulitan terutama bagi mereka

yang sawahnya terletak tepat di pinggir Rawa Pening.

Berdasarkan hasil wawancara, para petani dengan lahan sawah yang dekat (2-3

petak) disekitar rawa pening pada saat ini hanya dapat memanen padinya sebanyak

satu (1) kali setahun.11 Lahan sawah yang seharusnya menjadi sumber penopang

ekonomi pemiliknya melalui panen 2-3 kali dalam satu tahun kini tidak produktif lagi.

Para petani hanya dapat melakukan satu (1) kali panen karena hampir sepanjang tahun

sawah mereka tergenangi oleh air dari Rawa Pening sehingga tidak dapat ditanami.

Menurut pengakuan salah seorang petani, dulu ketika ia masih dalam usia anak-anak,12

orang tuanya dapat memanen sawah mereka sebanyak tiga (3) kali dalam satu tahun

tanpa mengalami masalah kelebihan volume air dari Rawa Pening. Naiknya volume air

Rawa Pening yang berdampak pada gagalnya panen petani disebabkan oleh beberapa

hal yang terkait erat dengan perubahan fungsi lahan di sekitar Rawa Pening dari desa ke

kota. Pertama, pendangkalan Rawa Pening. Rawa Pening dikelilingi oleh tiga kecamatan

yaitu Ambarawa, Tuntang dan Banyubiru.13 Ada 19 sungai yang bermuara di Rawa

Pening.14 Keberadaan 19 sungai yang bermuara di Rawa Pening menjanjikan potensi

dan malapetaka bagi Rawa Pening. Potensi yang dimiliki jelas yaitu kualitas dan

kemampuan untuk menjadi tempat wisata, misalnya Bukit Cinta dan Kampung Apung-

Kampung Rawa; perikanan dan pertanian. Seiring dengan perkembangan masyarakat

11 Hasil wawancara dengan ibu Sri Utami pada hari Sabtu, 15 Maret 2014. 12 Usianya 42 tahun saat ini. 13 Hasil wawancara dengan Ibu Ramiyati pada hari Sabtu, 15 Maret 2014. 14 Disertasi Dr. Sutarwi UKSW "Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air Danau dan Peran

Kelembagaan Informal: Menggugat Peran Negara atas Hilangnya Nilai Ngepen dan Wening dalam Pengelolaan Danau Rawapening di Jawa Tengah" yang dimuat di dalam Harian Kompas 12 September 2008. http://regional.komDas.coni/read/2008/09/12/14380830/Waduk.RawaDening.Butuli.Otorita.Khusus

110

Irene Ludji, "Teologi Moral dan Krisis Ekologi..."

maka ke-19 sungai yang bermuara di Rawa Pening mengalami penurunan kualitas air.

Menurut basil wawancara dengan salah seorang nelayan yang tinggal di pinggiran

Sungai Sebang (salah satu sungai yang melintasi daerah Tambakrejo dan bermuara di

Rawa Pening), sungai yang dulu bersih sekarang sudah menjadi tempat bagi warga

untuk membuang sampah rumah tangga dan menjadi tempat bagi pabrik tertentu untuk

membuang limbahnya bila musim penghujan tiba.15 Dampak dari sungai yang berisi

sampah serta material lain yang berbahaya bahkan beracun adalah masuknya sampah

dan air berlimbah ke dalam Rawa Pening. Sampah dan material lain yang masuk ke

Rawa Pening terus menerus menyebabkan pendangkalan dasar Rawa Pening dan

naiknya volume air Rawa Pening yang menenggelamkan lahan sawah dipinggir Rawa.

Kedua, tingginya jumlah eceng gondok. Jumlah eceng gondok yang bertumbuh

secara tidak terkendali di Rawa Pening menjadi sumber ancaman bagi kehidupan warga

yang menggantungkan kehidupannya pada Rawa Pening.16 Sutarwi, seorang pemerhati

Rawa Pening dan pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana,

menyatakan bahwa "Rawapening sudah tidak lagi mampu memenuhi indikator

pembangunan berkelanjutan, baik dari sisi ekonomi, ekologi, sosial, maupun

institusional."17 "Dari sisi ekologi, kapasitas waduk ini menurun dari 65 juta meter

kubik tahun 1976 menjadi tinggal 49,9 juta meter kubik tahun 2004."18 Penyebab dari

penurunan kapasitas Rawa Pening adalah meningkatnya sedimentasi dan terus

bertambahnya jumlah eceng gondok. "Sedimentasi tahun 1993 masih berkisar 133,7

meter kubik, naik menjadi 149,2 meter kubik per tahun. Tutupan eceng gondok naik

dari 460 hektar menjadi 613 hektar pada tahun 2004."19 Walaupun eceng gondok telah

dimanfaatkan oleh warga yang tinggal di sekitar Rawa Pening, termasuk warga

Tambakrejo, sebagai bahan dasar berbagai jenis kerajinan dan pupuk tanaman,

jumlahnya terus meningkat karena kualitas air Rawa Pening yang tidak sehat adalah

rumah terbaik bagi pertumbahan eceng gondok. Menurut hasil wawancara, jumlah

eceng gondok yang semakin had semakin menutupi permukaan Rawa Pening juga

berpengaruh besar kepada para petani karena eceng gondok menjadi tempat

15 Hasil wawancara dengan Bapak Joko Subagyo pada hari Sabtu, 15 Maret 2014. 16 Disertasi Dr. Sutarwi. 17 Disertasi Dr. Sutarwi. 18 Disertasi Dr. Sutarwi. 19 Disertasi Dr. Sutarwi.

Ill

'V/as kit a, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat

persembunyian tikus yang menyerang tanaman padi milik warga.20 Tikus adalah

ancaman besar bagi gagal panen para petani. Berbagai usaha yang telah ditempuh oleh

petani tidak cukup berhasil karena tikus yang pada awalnya bersembunyi di lubang

tanah di sekitar sawah telah membangun tempat tinggal baru di bawah tanaman eceng

gondok yang tumbuh subur di Rawa Pening. Pestisida dan material lain yang adalah

limbah rumah tangga dan pabrik mencemari sungai yang bermuara ke Rawa Pening dan

berakibat pada suburnya tumbuhan eceng gondok. Jelas bahwa ledakan enceng gondok

di Rawa Pening adalah bukti krisis ekologi yang terjadi akibat perkembangan

masyarakat desa kepada masyarakat semi-kota dan kota.

Ketiga, menurunnya jumlah tangkapan ikan. Eksploitasi manusia atas alam demi

memenuhi kepentingannya tidak berhenti pada pencemaran air sungai dan

pendangkalan Rawa Pening yang pada akhirnya berdampak pula pada kegagalan usaha

ekonominya. Warga yang tinggal di area rurbanisasi Tambakrejo dan bekerja sebagai

nelayan dengan membangun keramba apung di Rawa Pening juga mengalami

permasalahan dengan jumlah tangkapan ikan yang semakin menurun di Rawa Pening.

Ada dua alasan yang dikemukakan oleh warga sebagai penyebab dibalik menurunnya

jumlah tangkapan ikan. Pertama, jumlah tanaman eceng gondok yang tidak terkendali

menutupi areal penangkapan ikan sehingga menyulitkan para nelayan dalam

menangkap ikan.21 Kedua, para nelayan menangkap ikan sepanjang tahun di Rawa

Pening akibatnya tidak ada masa istirahat bagi ikan untuk bertumbuh menjadi besar

sebelum di tangkap.22 Dampaknya adalah jumlah dan kualitas tangkapan menurun.

Berbagai jenis krisis ekologi yang dihadapi oleh warga di area rurbanisasi

Tambakrejo yang bekerja sebagai petani, nelayan dan pengrajin sebagaimana

dipaparkan di atas adalah dampak langsung dan tidak langsung dari ketidakmampuan

manusia modern dalam memandang lingkungan hidup sebagai bagian dari dirinya.

Dengan kata lain, tanpa lingkungan hidup yang sehat, manusia tidak akan dapat

mempertahankan hidup yang sehat pula. Sebagaimana sudah disebutkan di bagian awal

tulisan ini, manusia dan alam adalah satu kesatuan ciptaan Allah yang harus hidup

dalam harmoni. Kesejahteraan alam akan mendatangkan kesejahteraan manusia

20 Basil wawancara dengan Bapak Rusianto pada hari Sabtu, 15 Maret 2014. 21 Basil wawancara dengan Bapak Supiarno pada hari Sabtu, 22 Maret 2014. 22 Basil wawancara dengan Bapak Sugiardi pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.

112

Irene Ludji, "Teologi Moral dan Krisis Ekologi.

demikian pula sebaliknya. Pembangunan pemahaman dan penguatan kesadaran akan

pentingnya ciptaan Allah yang non-human di bumi dapat tercapai melalui berbagai cara,

salah satunya adalah melalui pemahaman atas ajaran agama (baca Kristen Protestan)

yang menekankan pada hubungan akrab antara manusia dan ciptaanNya yang lain.

Teologi Moral dan Krisis Ekologi

Teologi moral berhubungan dengan tindakan yang baik atau buruk yang

didasarkan pada prinsip-prinsip ajaran agama tertentu. Di dalam teologi moral ada

beberapa pertanyaan yang hendak dijawab yaitu bagaimana manusia mencapai tujuan

hidup yang tertinggi lewat tindakan yang baik, benar dan tepat; apa saja aturan-aturan

prinsipil yang harus ditaati oleh manusia dan mengapa ia hams ditaati; dan bagaimana

aturan-aturan prinsipil tersebut dijelaskan dengan rasio.23 Tokoh Teologi Moral yang

pertama kali menghubungkan antara konsep teologi moral dan ekologi adalah Bernhard

Haring dalam bukunya Free and Faithful in Christ yang diterbitkan pada tahun 1977.24

Pada saat itu, usaha Haring untuk menghubungkan antara Moral dan Ekologi dianggap

tidak logis karena satu-satunya makhluk hidup yang dianggap memiliki kemampuan

untuk mengambil keputusan moral adalah manusia.25 Tulisan Haring sendiri adalah

tanggapan terhadap tuduhan beberapa tokoh sealiran Lynn White yang menyatakan

bahwa akar krisis ekologi ada dalam Alkitab khususnya dalam Kitab Kejadian.26 Lynn

White dalam buku The Historical Roots of Our Ecological Crisis, menyatakan bahwa

"krisis lingkungan hidup disebabkan oleh ajaran Alkitab Ibrani tentang penciptaan."27 Di

dalam kisah penciptaan ada pemisahan yang pasti antara Allah yang adalah pencipta

dengan ciptaanNya. Pemisahan antara Allah yang transenden dan bumi/dunia yang

bukan bagian dari Allah mengakibatkan hilangnya penghargaan kepada alam sebagai

yang memiliki pesona Ilahi.28 Akibatnya adalah sikap eksploitasi kepada alam secara

berlebihan karena alam dipandang tidak memiliki dimensi keilahian.

23 J. Sudarminta, Etika Umum: Kajian Tentang beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif (Jakarta: STF Driyarkara), 9.

24 Sunarko dan Kristiyanto, 140. 25 Sunarko dan Kristiyanto, 140. 26 Sunarko dan Kristiyanto, 141. 27 J. Sudarminta dan S. P. Lili Tjahjadi, Dunia, Manusia, dan Tunan" Antologi Pencerahan Filsafat dan

Teologi (Yogyakarta: Kanisius), 29. 28 Sudarminta dan Tjahjadi, 30.

113

^Waskita, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat

Mateus Mali, seorang teolog Katolik Indonesia yang berkecimpung dalam Teologi

Moral dan meneliti ide-ide Bernhard Haring, menegaskan bahwa "Teologi moral akan

menolong umat beriman untuk melihat iman Kristiani secara jernih dan menafsirkan

teks Kitab Suci secara benar."29 Teologi moral memampukan umat Kristen untuk

melihat sinergi antara kehidupan ciptaan di bumi dalam kaitannya dengan Firman Allah

yang ditemukan dalam Alkitab. Menurut Mali, semangat antroposentris yang

memandang manusia sebagai pusat dari ciptaan Allah dapat dihapus dengan

pendekatan teologi moral.30 Bagaimana teologi moral melakukan hal ini? Teologi moral

menyakini bahwa moralitas bukan hanya menyangkut manusia tetapi menyangkut

keberadaan seluruh ciptaan. Haring dalam bukunya Free and Faithful in Christ menulis

bahwa hanya dengan mengikutsertakan seluruh jenis kehidupan dalam mengambil

pertimbangan moral maka manusia dapat memperdalam pemahaman moralnya dan

mengambil keputusan yang etis.31 Pernyataan Haring ini mengandung makna bahwa

tanpa penerimaan dan pemahaman yang utuh atas hak moral seluruh ciptaan Allah

maka manusia tidak akan mampu mengambil keputusan etis. Mali, membenarkan

pendapat Haring, dengan menyatakan bahwa:

Penganugerahan martabat insani kepada manusia pada saat penciptaan adalah sebetulnya penyerahan tanggung jawab kepada manusia untuk mengatur dunia ini agar berjalan dengan baik. Tanggung jawab mengandung arti bahwa manusia mengelola alam semesta ini karena alam semesta ini mempunyai nilainya sendiri yang ada di dalam dirinya yang harus dihormati oleh manusia.32

Mengakui bahwa ciptaan Allah yang non-human memiliki nilainya sendiri,

berarti bersedia untuk memandangnya sebagai subjek yang berdiri sendiri. Mali

menegaskan bahwa alam semesta memiliki "inherent value (nilai bawaan) dan intrinsic

value (nilai hakiki)" yang membuat ia wajib dihormati sebagaimana manusia

dihormati33. Sikap antroposentris menguat ketika manusia hanya mau memandang

lingkungan hidup sebagai objek untuk memenuhi kepentingannya tanpa mengakui

inherent value dan intrinsic value yang dimiliki oleh lingkungan hidup.

29 Sunarko dan Kristiyanto, 142. 30 Sunarko dan Kristiyanto, 142. 31 Bernhard Haring, Free and Faithfull in Christ, diunduh dari

http://web.archive.org/web/20050513192112/http://216.25.45.103/book/Series01/I- 12/chapter_xvi.htm pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.

32 Sunarko dan Kristiyanto, 143. 33 Sunarko dan Kristiyanto,143.

114

Irene Ludji, "Teologi Moral dan Krisis Ekologi..."

Antroposentrisme hanya dapat dipatahkan ketika manusia memilih untuk melihat

ciptaan Allah yang lain sebagai yang juga memiliki nilai etis di dalam dirinya.

Keunikan Haring dalam teori mengenai teologi moral yang ia kembangkan ada

pada kesetiannya pada iman Kristen. Haring tidak menyalahkan bagian Alkitab yang

telah ditafsirkan untuk mengutamakan posisi manusia dibandingkan ciptaan yang lain.

Sebaliknya la mengusulkan cara baru untuk menafsir bagian Alkitab tersebut agar

menjadi benar, dalam pengertian tidak mengorbankan ciptaan non-human. Cara baru

yang ia usulkan adalah agar penafsir Alkitab, yaitu umat Kristen, membaca Kitab

Sucinya dengan pemahaman teologi moral. Keunikan teologi moral milik umat Kristen

menurut Haring ada dalam pribadi Yesus Kristus yang merupakan "a genius in the field

of ethics, a mere pioneer of a new code of moral principle, and also the prototype of the

good."3* Di dalam Yesus, umat Kristen menemukan alasan untuk mengasihi tidak hanya

sesamanya manusia tetapi seluruh alam semesta. Oleh karena itu teologi moral adalah

bagian penting dari etika Kristen, yang bercirikan kasih kepada seluruh ciptaan Allah.

Telogi moral adalah respon manusia kepada janji keselamatan yang diberikan Allah

melalui Yesus Kristus.35

Implikasi yang dapat muncul dari penerimaan atas hak moral seluruh ciptaan

adalah kebingungan atas hak moral siapakah yang utama. Sebagai contoh, seorang

bapak bernama A memiliki sebatang pohon beringin besar dibelakang rumahnya. Akar

pohon beringin ini besar dan jika dibiarkan akan merusak dasar bangunan dari rumah

bapak A. Haruskah pohon beringin tersebut ditebang untuk melindungi hak hidup dan

rumah bapak A? Atau haruskah rumah bapak A dipindahkan untuk melindungi hak

hidup pohon beringin? Dalam situasi ini terjadi konflik hak moral, hak siapakah yang

lebih utama? Haring, menyebutkan bahwa dalam konflik hak moral maka nilai yang

lebih tinggi yang harus dibenarkan.36 Apa standar untuk mengukur nilai? James Nash,

seorang tokoh Etika yang mendasarkan pemikiran-pemikiran etikanya pada ide-ide

Haring, menyatakan bahwa "Sesuatu dikatakan benar apabila dia cenderung

34 Bernhard Haring, Free and Faithful1 in Christ, diunduh dari http://web.archive.org/web/20050513192112/ http://216.25.45.103/book/Series01/I-12/chapter xvi.htm pada ban Sabtu, 22 Maret 2014.

35 Ann Agnew, Bernhar Haring on The Role of The Catholic Moral Theologian, diunduh dari http://www.shc.edu/theolibrary/resources/haring.htm pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.

36 Bernhard Haring, Free and Faithfull in Christ, diunduh dari http://web.archive.org/web/20050513192112/http://216.25.45.103/book/Series01/I- 12/chapter_xvi.htm pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.

115

~Wasfitia, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat

memelihara keutuhan, kestabilan, dan keindahan komunitas biotis. Sesuatu dikatakan

salah apabila cenderung ke arah yang sebaliknya."37 Nash menyatakan bahwa dalam

konflik hak moral, terjadi impor moral.38 Impor moral terjadi ketika manusia yang

mengambil keputusan mengikutsertakan hak moral ciptaan yang lain (hak moral pohon

beringin dalam kasus bapak A) dalam mengambil keputusan etis.

Mengasihi Lingkungan Hidup = Mengasihi Allah

Teologi moral milik Haring, menyajikan alternatif pemikiran yang dapat berguna

bagi permasalahan krisis ekologi terkhususnya yang terjadi di area rurbanisasi

Tambakrejo. Mayoritas warga Tambakrejo beragama Kristen dan adalah anggota gereja

tetap. Beberapa gereja yang ada di daerah Tambakrejo yaitu Gereja Protestan di

Indonesia bagian Barat (GPIB), Gereja Isa Almasih (GIA), dan Huria Kristen Batak

Protestan (HKBP). Berdasarkan hasil wawancara terhadap warga masyarakat di

Tambakrejo yang beragama Kristen, maka nampak jelas bahwa gereja belum

memainkan peran yang maksimal dalam menolong warganya untuk memahami

hubungan antara teologi dan krisis ekologi yang sementara mereka hadapi.39 Data yang

diperoleh menunjukan bahwa mayoritas warga Tambakrejo menyadari kerusakan

lingkungan yang terus menerus meningkat di wilayah tempat tinggalnya, akan tetapi

mereka belum melihat usaha maksimal dari gereja dalam menolong mereka

menghubungkan iman Kristen dengan krisis ekologi yang terjadi. Sikap gereja yang

belum maksimal dalam memanfaatkan teologinya untuk menyikapi krisis ekologi dan

mempersiapkan warganya untuk mengurangi tingkat krisis ekologi juga tercermin dari

ketidakmampuan mayoritas warga jemaat untuk menghubungkan antara teologi dan

ekologi.

Belum maksimalnya peran gereja di area rurbanisasi Tambakrejo adalah cermin

dari belum maksimalnya peran gereja di Indonesia dalam menghadapi krisis ekologi.

Hingga saat ini, usaha gereja dalam menghadapi krisis ekologi masih terbatas di aras

lokal saja dan belum menjadi gerakan bersama oleh gereja-gereja di Indonesia. Teologi

moral memungkinkan gereja untuk tetap setia dalam imannya kepada Yesus Kristus

37 Larry, Rasmussen, Komunitas Bumi: Etika Bumi (Merawat Bumi demi Kehidupanyang Berkelanjutan bagi Segenap Ciptaan), (Jakarta: BPK Gunung Mulia], 171.

38 Rasmussen, 182. 39 Hasil wawancara dengan Bapak Joko Subagyo pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.

116

Irene Ludji, "Teologi Moral dan Krisis Ekologi.

yang diberitakan dalam Alkitab sambil terus mengembangkan teologinya agar mampu

menjawab kebutuhan gereja masa kini, dengan perkembangan teknologi dan ekonomi

yang pesat di berbagai tempat, khususnya perubahan lahan-lahan desa menjadi kota

dan semi kota.

Gereja-gereja di Indonesia harus menyampaikan suara kenabiannya dengan

menyatakan bahwa sikap mengasihi Allah tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengasihi

lingkungan hidup. Lingkungan hidup bukanlah objek yang diberikan kepada manusia

untuk dimanfaatkan sesuai dengan kepentingannya semata. Ciptaan Allah yang non-

human sama berharganya dengan manusia di hadapan Allah. Ketika manusia hanya mau

mengekploitasi lingkungan hidup tanpa sikap hormat terhadap intrinsic value and

inhenrent value yang dimilikinya maka manusia, termasuk di dalamnya umat Kristen

akan terus bergumul dalam sikap antroposentrisme yang tidak sesuai dengan

kebenaran yang disampaikan dalam Alkitab. Pergumulan umat Kristen yang hidup di

area rurbanisasi adalah pergumulan yang unik karena mayoritas warga di daerah

seperti ini mengalami sendiri perubahan fungsi lahan dari desa ke kota yang memberi

sumbangan besar dalam krisis ekologi. Gereja perlu memfokuskan diri pada

pergumulan umat Kristen yang hidup di area rurbanisasi karena mereka adalah korban

terdekat dari krisis ekologi dan karena itu mereka memiliki potensi yang untuk

mengatasinya.

Daftar Pustaka

Bintarto, R. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia: Jakarta Timur, 1989.

Deane-Drummond, Celia. Teologi dan Ekologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2001.

Keraf, Sonny, A. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Nugroho, Iwan. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan. LP3ES: Jakarta, 2012.

Pasang, Haskarlianus. Mengasihi Lingkungan. Jakarta: Perkantas, 2011.

Rogers, Karel. Thinking Green: Ethics for A Small Planet. USA: CPSIA, 2010.

Sunarko, A & Kristiyanto Eddy, A, Editor. Bumi Menyembah Hyang llahi: Tinjauan Teologis Atas Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Sudarminta, J. Etika Umum: Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Jakarta: STF Driyarkara, 2010.

117

'Waskita, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat

Soetomo, Sugiono. Urbanisasi dan Morfologi: Menuju Ruang yang Manusiawi Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Tucker, Evelyn, Mary & Grim A. John, Editor. Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Website: http://regional.kompas.com/read/2008/09/12/14380830/Waduk.Rawapening.Butuh.

Otorita.Khusus

http://web.archive.Org/web/20050513192112/http://216.25.45.103/book/Series01/ 1-12/chapte r_xvi.htm

http://www.shc.edu/theolibrary/resources/haring.htm

http://www.uksw.edu/id.php/info/detail/type/fokus/stamp/1221123204/title

118