ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

12
174 DAMPAK MUSNAHNYA PERKARANGAN BAGI ETNIS MELAYU DI KELURAHAN TERJUN MEDAN MARELAN Ismail Dosen Tidak Tetap Pada Fakutlas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara Medan e-mail: [email protected] Abstract: This study aims to: (1). Knowing the meaning of the yard for Malay ethnic groups in the Kelurahan Terjun, District Marelan. (2). The cause of the destruction of the Malay ethnic compound in the Kelurahan Terjun, District Marelan. (3). The impact of the destruction of the grounds on the ethnic, economic and social culture of the Malays in the Kelurahan Terjun, District Marelan. This research method is qualitative with an ethnographic approach through interviews, participant observation and documentation. The results of this study indicate that the yard according to ethnic Malays is a garden or land around the house, said the yard feels foreign to ethnic Malays, they are more familiar with using gardens or land from the yard. Various factors cause the destruction of the Malay ethnic grounds in the Kelurahan Terjun, District Marelan such as high-value land, increasing population, both from ethnic Malays and immigrant ethnic groups. The destruction of the grounds in ethnic Malays has had a negative impact on the economy, social, and culture in the lives of ethnic Malays. This can be seen from the increasing daily expenses, loss of means of socializing, and loss of cultural behavior in the yard. In addition, it also has an impact on the economy, social and culture. Keyword: Ethnic Malay, Yard, Social, Economy, Culture. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: (1). Mengetahui arti pekarangan bagi Etnis Melayu di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan. (2). Penyebab musnahnya pekarangan etnis Melayu di kelurahan Terjun kecamatan Medan Marelan. (3). Dampak musnahnya pekarangan terhadap ekonomi, sosial dan budaya etnis Melayu di kelurahan Terjun kecamatan Medan Marelan. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan etnografi melalui wawancara, observasi partisipasi dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekarangan menurut etnis Melayu adalah kebun atau tanah yang berada di sekitar rumah, kata pekarangan terasa asing bagi etnis Melayu, mereka lebih akrab menggunakan kebun atau tanah dari pada pekarangan. Berbagai faktor penyebab musnahnya pekarangan etnis Melayu di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan seperti tanah yang berharga tinggi, bertambahnya penduduk, baik dari etnis Melayu maupun etnis pendatang. Musnahnya pekarangan di kalangan etnis Melayu membawa dampak negatif terhadap perekonomian, sosial, dan budaya pada kehidupan etnis Melayu. Hal ini terlihat dari bertambah besarnya biaya pengeluaran sehari-hari, hilangnya sarana bersosialisasi, dan hilangnya prilaku-prilaku budaya di pekarangan. Selain itu, berdampak juga bagi perekonomian, sosial dan budaya. Kata Kunci: Etnis Melayu, Pekarangan, Sosial, Ekonomi, Budaya.

Upload: others

Post on 12-Nov-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

174

DAMPAK MUSNAHNYA PERKARANGAN BAGI ETNIS MELAYU DI KELURAHAN TERJUN MEDAN MARELAN

Ismail

Dosen Tidak Tetap Pada Fakutlas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara Medan

e-mail: [email protected]

Abstract: This study aims to: (1). Knowing the meaning of the yard for Malay ethnic groups in the Kelurahan Terjun, District Marelan. (2). The cause of the destruction of the Malay ethnic compound in the Kelurahan Terjun, District Marelan. (3). The impact of the destruction of the grounds on the ethnic, economic and social culture of the Malays in the Kelurahan Terjun, District Marelan. This research method is qualitative with an ethnographic approach through interviews, participant observation and documentation. The results of this study indicate that the yard according to ethnic Malays is a garden or land around the house, said the yard feels foreign to ethnic Malays, they are more familiar with using gardens or land from the yard. Various factors cause the destruction of the Malay ethnic grounds in the Kelurahan Terjun, District Marelan such as high-value land, increasing population, both from ethnic Malays and immigrant ethnic groups. The destruction of the grounds in ethnic Malays has had a negative impact on the economy, social, and culture in the lives of ethnic Malays. This can be seen from the increasing daily expenses, loss of means of socializing, and loss of cultural behavior in the yard. In addition, it also has an impact on the economy, social and culture.

Keyword: Ethnic Malay, Yard, Social, Economy, Culture.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: (1). Mengetahui arti pekarangan bagi Etnis Melayu di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan. (2). Penyebab musnahnya pekarangan etnis Melayu di kelurahan Terjun kecamatan Medan Marelan. (3). Dampak musnahnya pekarangan terhadap ekonomi, sosial dan budaya etnis Melayu di kelurahan Terjun kecamatan Medan Marelan. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan etnografi melalui wawancara, observasi partisipasi dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekarangan menurut etnis Melayu adalah kebun atau tanah yang berada di sekitar rumah, kata pekarangan terasa asing bagi etnis Melayu, mereka lebih akrab menggunakan kebun atau tanah dari pada pekarangan. Berbagai faktor penyebab musnahnya pekarangan etnis Melayu di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan seperti tanah yang berharga tinggi, bertambahnya penduduk, baik dari etnis Melayu maupun etnis pendatang. Musnahnya pekarangan di kalangan etnis Melayu membawa dampak negatif terhadap perekonomian, sosial, dan budaya pada kehidupan etnis Melayu. Hal ini terlihat dari bertambah besarnya biaya pengeluaran sehari-hari, hilangnya sarana bersosialisasi, dan hilangnya prilaku-prilaku budaya di pekarangan. Selain itu, berdampak juga bagi perekonomian, sosial dan budaya.

Kata Kunci: Etnis Melayu, Pekarangan, Sosial, Ekonomi, Budaya.

Page 2: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

ITTIHAD, Vol. II, No.2, Juli – Desember 2018 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

Ismail |175

PENDAHULUAN Pekarangan merupakan lahan di

sekitar rumah yang di dalamnya tumbuh sayur-mayur, kolam ikan, tanaman buah-buahan dan obat-obatan yang dapat di-gunakan untuk kehidupan sehari-hari, baik untuk tamu maupun lainnya yang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk di-beli. Penny mengatakan bahwa peka-rangan merupakan taman dengan aneka ragam tumbuhan, tanaman, ternak, dan ikan, sumber sayur-mayur, air (sumur), sumber kayu bakar, obat-obatan dan lain-nya. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa tujuan utama dari pekarangan bagi mereka adalah: “Untuk keperluan diri sendiri, untuk anak-anak, dan untuk tamu.1

Pada tahun 1994 pada umumnya Orang Melayu di Terjun banyak yang bekerja sebagai petani dan memanfaatkan lahan pekarangan untuk bercocok tanam. Bertani atau bercocok tanam adalah pekerjaan yang bisa dikatakan pekerjaan yang menjamin masa depan keluarga. Bertani juga bisa dilakukan di sekitar rumah seperti yang banyak dilakukan oleh etnis Melayu dahulunya. Lahan peka-rangan yang berada di sekitar rumah sangat besar manfaatnya apabila ditanami dengan tanaman sayur-sayuran, obat-obatan, buah-buahan, atau kolam ikan, dan ternak unggas terutama dari segi ekonominya. Bahkan pekarangan punya banyak fungsi dan manfaat, dalam hal ini fungsi pekarangan dapat dikategorikan ke dalam beberapa aspek yaitu fungsi secara ekonomi, sosial, budaya.

Fungsi pekarangan secara ekonomi bagi pemilik pekarangan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli sayur-sayuran seperti daun ubi, kangkung, serai, cabai, beras, dan ikan, semuanya sudah tersedia di pekarangan. Hal ini juga berlaku kepada tetangga yang tinggal meminta hasil pekarangan seperti daun

1Penny Menneth Ginting. Pekarangan Petani

dan Kemiskinan. Universitas Press Gadjah Mada, 1984, hlm. 2.

ubi, kangkung, serai dan lainnya, karena pekarangan dalam hal ini seperti mkilik bersama.

Sedangkan fungsi pekarangan secara kehidupan sosial dan budaya adalah ditandai dengan banyak interaksi sosial yang terjadi tanpa disadari antara pemilik pekarangan dengan tetangga atau masyarakat lain seperti menumpang untuk memotong jalan, bercerita-cerita sambil santai, membuat kandang ayam, mengikat kambing dan lain-lainnya. sedangkan dari segi budaya pekarangan juga punya banyak fungsi seperti meminta buah mangga dari kepada pemilik peka-rangan, meminjam pekarangan untuk acara pernikahan, dan lainnya. Prilaku-prilaku tersebut menjadi sebuah budaya baru antara pemilik lahan pekarangan dengan yang bukan pemilik pekarangan. Pemilik pekarangan tidak sungkan untuk memberikannya kepada tetangga atau masyarakat yang meminta hasil peka-rangannya, menumpang lewat, menum-pang untuk acara pernikahan, dan hal ini berlaku bagi pemilik pekarangan lainnya.

Sekarang ini bisa dikatakan tidak ada lagi dari suku Melayu yang memanfaatkan lahan pekarangannya untuk ditanami sayuran, buah, dan obat-obatan, jika pun ada cuma beberapa rumah saja dengan pekarangan yang sempit dan tidak banyak ditanami dengan jenis-jenis tanaman. Octaviani mengatakan “Menurut sejarah asal-usul penduduk kampung Terjun dan Pekan Labuhan pada awalnya adalah etnis Melayu yang merupakan keturunan dari Sultan Deli, namun setelah adanya pem-bukaan perkebunan di wilayah Sumatera khususnya Sumatera Utara, maka di-datangkan etnis lain yaitu Cina dan Jawa sebagai tenaga kuli kontrak yang bekerja untuk kolonial Belanda dikarenakan orang Melayu yang ada diwilayah ini tidak mau bekerja sebagai tenaga kerja.2

2Dewi Yani Octaviani, Perubahan Sosial

Budaya Orang Melayu (Studi Kasus Di Kampung Terjun Dan Pekan Labuhan). Unimed: Antropologi Sosal, Tesis, 2008, hlm. 28.

Page 3: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

ITTIHAD, Vol. II, No.2, Juli – Desember 2018 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

176 | Dampak Musnahnya Perkarangan Bagi Etnis Melayu di Kelurahan Terjun Medan Marelan

Musnahnya lahan pekarangan di-kalangan etnis Melayu tentunya berdam-pak pada tatanan kehidupan sosial budaya etnis Melayu, fungsi pekarangan tidak bisa dimanfaatkan lagi oleh pemilik peka-rangan, tetangga, dan masyarakat. Jika sebelumnya hasil pekarangan dapat di-gunakan untuk keperluan hidup sehari-hari, untuk tamu, anak-anak, bahkan untuk dijual ke pasar, sekarang ini tidak bisa lagi karena sudah tidak adanya lahan pekarangan yang dapat dimanfaatkan lagi. Begitu juga halnya secara sosial dan budaya, fungsi pekarangan dapat diman-faatkan untuk memotong jalan, menjemur pakaian, bercerita, dan meminjam lokasi untuk acara pesta pernikahan, namun se-karang ini tidak dapat dilihat lagi.

Dewasa ini perkembangan teknologi semakin hari semakin meningkat, diikuti dengan meningkatnya bahan-bahan pokok yang mengakibatkan tingginya biaya hidup. Seolah terkikis habis karena masuknya etnis pendatang, tanah dan lahan pekarangan yang dulunya luas ber-ubah menjadi gedung-gedung menjulang tinggi, dan hutan serta sungai yang dulu-nya menjadi dasar para orang Melayu untuk bercocok tanam, bertani, berternak, dan melaut, sekarang sudah menjadi daratan. Sekarang hampir tidak ada lagi lahan pekarangan yang dimanfaatkan etnis Melayu, jika pun ada cuma satu atau dua rumah tangga dengan beberapa jenis tanaman yang fungsi manfaatnya tidak banyak. Hasil observasi dan wawancara peneliti di kelurahan Terjun pemanfaatan lahan pekarangan sekarang ini banyak dipraktekkan oleh etnis Jawa, etnis Jawa yang dikenal gigih dalam bercocok tanam menjadikan mereka sebagai petani yang handal. Namun sempitnya tanah dan lahan pekarangan yang ada menjadi hambatan juga bagi etnis Jawa untuk mengembang-kannya dan menjadikannya pegangan dalam memenuhi kebutuhan dan biaya hidup sehari-hari.

Berangkat dari latar belakang di atas, maka peneliti memfokuskan masalah

penelitian ini tentang Makna Pekarang, Penyebab Musnahnya, dan Dampak Mus-nahnya Pekarangan Dari Segi Ekonomi, Sosial, dan Budaya bagi etnis Melayu. KAJIAN PUSTAKA

Menurut Penny, pekarangan me-rupakan taman dengan aneka ragam tumbuhan, tanaman, ternak, dan ikan, sumber sayur-mayur, air, sumber kayu bakar, obat-obatan dan lain-lain.3 Rahayu mengatakan pekarangan sebagai salah satu bentuk usaha tani belum mendapat perhatian, meskipun secara sadar telah di-rasakan manfaatnya. Di beberapa daerah terutama di pedesaan pengembangan pekarangan umumnya diarahkan untuk memenuhi sumber pangan sehari-hari, sehingga sering kali diungkapkan sebagai lumbung hidup atau warung hidup.4 Selanjutnya Penny mengatakan peka-rangan di daerah penduduk suku Batak di Sumut bukanlah di sekeliling perumahan perorangan, karena rumah mereka ber-kelompok, kalaupun ada pekarangan itu merupakan perkebunan di luar desa.5

Dove mengatakan di depan rumah biasanya terdapat kandang ternak. Pen-duduk menanami pekarangannya dengan ketela pohon, dan hanya ada delapan tempat yang ditanami salak, tanaman pekarangan yang lazim untuk daerah di lereng Gunung Merapi. Namun, pada masa lalu disaat pembangunan belum banyak berdiri, lahan sawah juga termasuk di-tanami di pekarangan.6

3Penny Menneth Ginting. Pekarangan…, hlm.

2. 4M. Rahayu dan P. Suhardjono, Keaneka-

ragaman Tanaman Pekarangan Dan Peman-faatannya Di Desa Lampeapi, Pulau Wawoni Sulawesi Tenggara. Pusat Penelitian Biologi: LIPI. Jurnal, 2005.

5 Penny Menneth Ginting. Pekarangan…, hlm. 4.

6 Michael R. Dove, Man Land and Game in Sumbawa: Some Observations on Agrarian Ecology and development Policy in Eastern Indonesia. Singpore Journal od Tropical Geography 5, 1984 hlm. 193.

Page 4: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

ITTIHAD, Vol. II, No.2, Juli – Desember 2018 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

Ismail |177

Pekarangan adalah sebidang tanah disekitar rumah yang terbatas sering dipagari dan ada juga yang tidak dipagari. Biasanya ditanami dengan beranekaragam jenis tanaman ada yang berumur panjang, berumur pendek, menjalar, memanjat, semak, pohon rendah dan tinggi serta ter-dapat ternak. Dalam hal ini pekarangan merupakan sebuah ekosistem buatan.7

Ochse mengatakan dalam buku Penny bahwa pekarangan adalah merupa-kan suatu sisa dari tahap perburuan dan pengumpulan dari sejarah kebudayaan manusia yaitu tahap di mana hasil hutan dikumpulkan untuk kebutuhan langsung. Bedanya dengan pekarangan yang ada sekarang adalah bahwa kebanyakan tana-man di pekarangan adalah tanaman yang ditanami dan dipelihara (walaupun hanya sederhana) sedangkan pada waktu tahap perburuan dan pengumpulan, tanaman bukanlah dipelihara.8

Paeru mengatakan bahwa peka-rangan rumah tidak harus ditanami tana-man hias atau tanaman buah. Tanaman sayur pun bisa ditanam di pekarangan. Bahkan, dengan penataan yang rapi akan membuat pekarangan tampil asri. Dengan kehadiran tanaman sayur di pekarangan, pemilik rumah tidak hanya menikmati keasrian dan hijaunya pekarangan, tetapi dapat memetik hasilnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.9

Sedangkan Suryani mengatakan pemenuhan kebutuhan pangan untuk rumah tangga dapat dilakukan dengan memanfaatkan pekarangan. Pekarangan dikenal sebagai taman rumah tradisional yang bersifat pribadi, merupakan sistem yang terintegrasi dengan hubungan yang erat antara manusia, tanaman, dan hewan.

7https://musgin.wordpress.com/2010/03/2

7/pemanfaatan-pekarangan/ (06/11/2015; 17.30 wib)

8 Penny Menneth Ginting. Pekarangan…, hlm. 4

9Paeru R.H, Trias Qurnia Dewi, Panduan Praktis Bertanam Sayuran Di Pekarangan. Jakarta: Penebar Swadaya, 2015. hlm.7

Sebagai ruang terbuka, pekarangan sering dimanfaatkan untuk acara kekerabatan dan kegiatan sosial. Menurut Kristanti pekarangan di sekitar rumah dapat me-miliki berbagai fungsi sesuai perun-tukannya.10

Pekarangan merupakan halaman yang berada di depan, belakang, kiri, dan kanan rumah baik yang dibatasi maupun tidak dibatasi yang ditanami pohon buah-buahan, sayur-mayur, obat-obatan, dan kolam ikan serta kandang ternak yang digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari, untuk para tamu, dan tetangga di sekitar rumah. Fungsi Pekarangan Terhadap Ekonomi

Pekarangan yang ditanami dengan sayur-mayur, buah-buahan, obat-obatan, dan ada kolam ikannya, bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari dan untuk para tamu serta tetangga yang datang. Pemilik pekarangan tidak perlu membeli ke pasar atau ke swalayan, cukup diambil di pekarangan apa yang diperlukan contohnya seperti daun ubi, daun pisang, dan lainnya.

Penny mengungkapkan Tahun 1969 dua puluh tahun kemudian sesudah penelitian dari Terra, Fakultas Ekonomi universitas Diponegoro telah mengadakan penelitian pekarangan dan (juga seperti Terra) mengungkapkan bahwa hasil peka-rangan di Jawa Tengah lebih tinggi dari hasil sawah per hektar per tahun. Pene-litian yang diperoleh dalam buku ini dari Misi-Sriharjo, menunjukkan pendapatan bersih Rumah Tangga yang diusahakan petani memberikan sumbangan 49% dari seluruh pendatan bersih Rumah Tangga dibandingkan pendapatan usaha sawah sebesar 35%.11 Fungsi Pekarangan Terhadap Sosial

Bagi mereka yang hasil tanaman pekarangannya bagus bisa diminta oleh

10 Suryani Reno, Berternak Puyuh Di

Pekarangan Tanpa Bau. Yogyakarta: Ar Citra, 2015, hlm. 34

11 Penny Menneth Ginting. Pekarangan…, hlm. 3.

Page 5: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

ITTIHAD, Vol. II, No.2, Juli – Desember 2018 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

178 | Dampak Musnahnya Perkarangan Bagi Etnis Melayu di Kelurahan Terjun Medan Marelan

tetangga atau masyarakat sekitar rumah atau diluar pemukiman rumah. Banyak kita lihat dimana tetangga meminta buah mangga milik tetangga sebelahnya (di pekarangan) ketika mangga tersebut siap untuk dimakan, begitu juga dengan tanaman sayur-mayur seperti daun ubi, kangkung, daun pisang, dan lainnya yang banyak diminta tetangga kepada tetangga sebelahnya tanpa harus membayarnya. Penny juga mengatakan bagaimana kira-nya cara sebaik-baiknya memisahkan gambaran keadaan segi-segi kehidupan perorangan atau kelompok yang nampak-nya bersifat ekonomi tetapi sebenarnya erat kaitannya atau tidak terlepas dari hal-hal yang bersifat sosial, kebudayaan, agama, dan lain-lain. Umum diketahui bahwa sesuatu yang biasanya disebut sebagai “sosial” masih dapat dipandang dari kacamata “ekonomi” atau ada (mem-punyai) segi ekonominya.12 Fungsi Pekarangan Terhadap Budaya

Manfaat pekarangan bagi ekonomi rumah tangga, dan hubungan sosial sesama masyarakat menjadikan budaya dikalangan masyarakat. Prilaku yang terjadi antara pemilik pekarangan dengan orang lain menjadi salah satu cara dalam menjalin hubungan sosial dan hal ini juga merupakan prilaku ekonomi yang sifatnya saling menguntungkan, kejadian yang terus menerus terjadi dikalangan masya-rakat menciptakan budaya baru bagi pemilik pekarangan dengan orang lain. Prilaku sosial seperti meminta daun pisang, meminta daun ubi, kelapa muda dan lain-lain kepada tanaman pekarangan tetangga seperti yang telah diuraikan di atas menjadi budaya dan menjadi hukum sendiri antara pemilik pekarangan dengan bukan pemilik pekarangan.

Menurut Penny Anak-anak di desa bebas mengambil beberapa jenis buah-buahan di pekarangan, (seperti kata petani) memang ada kalanya tanaman ter-

12 Penny Menneth Ginting. Pekarangan…,

hlm. 76.

tentu dikhususkan bagi anak-anak seperti petai cina. Tanaman yang dapat perhatian khusus dari perani sudah ada yang di-lindugi dengan kawat berduri misalnya pohon jambu dengan maksud agar susah diambil oleh orang lain.13 Suku Melayu

Sinar mengemukan bahwa menurut berita yang ditulis di dalam Kronik Dinasti T’ang di Cina, sudah ada tertulis nama kerajaan di Sumatera “MO-LO-YUE, ditulis dalam aksara dan logat Cina. Penulisannya pada tahun 664 dan 645 Masehi. Hal ini sesuai dengan peristiwa perjalanan se-orang pendeta Budha Cina bernama I-Tsing ke India. Dinyatakan bahwa ia pernah bermukim di Sriwijaya (“She-li-fo-She”) untuk belajar bahasa Sansekerta selama 6 bulan. Menurut tulisannya, ia menuju MO-Lo-YUE dan tinggal selama 6 bulan pula sebelum berangkat ke Kedah dan Ke India.14 Sedangkan menurut Husny Melayu adalah sekolompok orang-orang yang mempersatukan diri melalui per-kawinan antar etnik dan menjalankan adat resam Melayu dan berbahasa Melayu.15

Pelly mengemukakan melayunisasi mulai berlangsung saat perkebunan menyediakan lahan bekas perkebunan tembakau untuk digarap yang disebut tanah jaluran. Penggarap yang berhak me-nanami tanah jaluran adalah orang Melayu karena tanah perkebunan dianggap sebagai tanah ulayat Melayu, sehingga orang Karo dan Simalungun dimelayukan bila hendak memperoleh bagian di tanah

13 Penny Menneth Ginting. Pekarangan…,

hlm. 52. 14 Tengku Lukman Sinar, Sejarah Medan

Tempo Doeloe, (Medan: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Seni Budaya Melayu (Satgas MABMI, 2005). hlm. 1-2

15 Husny Tengku Lah, Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Melayu Pesisir Deli Sumatera Timur 1612-1950. Medan: BP Husny. 1975, hlm. 55.

Page 6: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

ITTIHAD, Vol. II, No.2, Juli – Desember 2018 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

Ismail |179

tersebut. Mereka dikenal dengan sebutan Melayu Dusun.16 Teori Perubahan Sosial Budaya

Rogers and Shoemaker dalam Tambunan mengatakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam masyarakat yakni dengan bertitik tolak pada sumber terjadinya perubahan. Misalnya, jika sum-ber perubahan berasal dari dalam disebut dengan perubahan Immanen, sedangkan jika sumber perubahan berasal dari luar disebut dengan kontak. Dalam artian perubahan merupakan proses alamiah yang akan dilalui manusia dalam ke-hidupan sehari-hari.17

Maksudnya perubahan immanen ialah ide atau konsep baru yang dikem-bangkan oleh warga dari pihak dalam tanpa adanya pengaruh dari pihak luar sampai ide atau konsep tersebut diterima dan menyebar keseluruh sistem sosial. Sedangkan perubahan dari pihak luar yang disebut kontak, dalam hal ini terbagi dua yaitu selektif dan terarah. Selektif ialah apabila warga dari pihak dalam ber-sikap terbuka dan menerima terhadap ide atau konsep baru yang datang dari luar. Perubahan kontak terarah adalah apabila ide atau konsep baru yang memang datangnya dari warga pihak luar yang punya tujuan tertentu.

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian ini berada di Kelurahan Terjun Kec Medan Marelan Kota Medan dengan luas wilayah 1.605 hektar yang memiliki 22 lingkungan. Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Menurut Iskandar jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian etnografi (budaya) merupakan metode penelitian yang

16 Pelly Usman, Dinamika dan Perubahan

Sosial (Kasus Orang Melayu Di Sumatera Timur). Ikip Medan: Jurnal, 1998. hlm. 60.

17 Tambunan M. Husni, Perubahan Budaya Dalam Pengelolaan Pertanian. Unimed: Pasca-sarjana, Tesis, 2007.

banyak dilakukan dalam bidang antro-pologi terutama yang berhubungan dengan setting budaya.18 Endraswara mengatakan penelitian etnografi “adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara siste-matik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda ke-budayaan dari suatu masyarakat.”19

Sedangkan Spradley mengemukakan etnografi merupakan pekerjaan mendes-kripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pan-dang penduduk asli. Sebagaimana dikemu-kakan Malinowski dalam buku Sparadley mengatakan tujuan etnografi adalah me-mahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya.20

Teknik pengumpulan data menurut Moleong bahwa data dapat dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan, dari dokumen atau secara gabungan dari pada-nya. Pengumpulan data biasanya meng-hasilkan catatan tertulis yang sangat banyak, transkip wawancara yang diketik, atau pita video/audio tentang percakapan yang berisi penggalan data yang jamak nantinya dipilah-pilah dan dianalisis.21

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif melalui data yang terkumpul dari studi pustaka, wawancara, observasi langsung. Data-data yang ter-kumpul dipilih dan dianalisis dengan metode deskriptif analisis. Dalam kegiatan ini peneliti juga menggunakan teknik triangulasi yaitu untuk memeriksa keabsahan data dengan menggunakan hal

18 Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif.

Jakarta: Gaung Persada Press, 2009, hlm. 58. 19 Endraswara. Suwaruli, Metodologi Peneli-

tian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres, 2003, hlm. 50.

20 Sprradley James, Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997, hlm. 3.

21 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016, hlm. 234-235.

Page 7: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

ITTIHAD, Vol. II, No.2, Juli – Desember 2018 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

180 | Dampak Musnahnya Perkarangan Bagi Etnis Melayu di Kelurahan Terjun Medan Marelan

yang berbeda. Miles dan Huberman mengatakan “analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi”.22

Tahap pertama dari analisis data adalah mereduksi data, reduksi dimulai dengan mengidentifikasi semua catatan dan lapangan yang memilki makna yang berkaitan dengan masalah fokus peneli-tian. Data-data yang diperoleh kemudian disaring untuk mendapatkan data yang relevan, setelah mendapatkan data yang relevan kemudian memasuki tahap penyajian data

Tahap kedua yaitu penyajian data, penyajian data merupakan proses pengumpulan informasi yang disusun ber-dasarkan kategori pengelompokan-pengelompokan yang diperlukan. Tahap ketiga yaitu menarik kesimpulan, dalam kegiatan ini ditarik beberapa kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan. Data yang telah dikelompokan selanjutnya dirumuskan dengan kalimat-kalimat yang singkat, padat dan mudah dimengerti. Setelah dilakukan penarikan kesimpulan maka dilakukan peninjauan ulang akan kebenaran data yang disimpul-kan kepada para informan, hal ini untuk mendapatkan data yang relevan dan benar dari hasil pengambilan data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setiap daerah punya sejarahnya masing-masing, terlepas sejarah tersebut baik atau buruk. Begitu juga halnya kelu-rahan Terjun, sejarah Kelurahan Terjun dari cerita yang beredar di masyarakat asal-usul Kelurahan Terjun berasal dari sebuah air Terjun disebuah sungai yang bernama sungai Bedera, sungai yang dilalui orang-orang kemudian dinamai dengan sungai terjun, berawal dari itu kampung tersebut dikenal dengan Kampung Terjun. Wawancara peneliti

22 Huberman and Milles. Analisis Data Kualitatif (Tentang Metode-Metode Baru). Jakarta: UI-Press, 1992, hlm. 16.

kepada Atok Zakaria tanggal 4 Februari 2016, beliau mengatakan “Dulu kenapa ini dinamakan Terjun karena ada air terjun di sungai, nama sungainya itu sungai Bedera. Air terjunnya itu dulu di ujung sungai sana (sambil menunjuk) tapi…sekarangan uda tidak ade lagi air terjunnya”. Pak Usman Sayang tanggal 9 Januari 2016, dengan wajah semangat beliau mengatakan “Kenape dinamakan kampung Terjun ni, dulu karena ada air yang terjun di sungai bendera makanya dinamakan kampung ini kampung Terjun”.

Kampung Terjun yang sekarang menjadi Kelurahan Terjun merupakan daerah mayoritas etnis Melayu dahulunya, kelurahan Terjun dahulunya adalah salah satu daerah kekuasaan sultan Deli yang penduduknya mayoritas beretnis Melayu, para leluhur mereka dulunya dikenal dengan istilah Tuan Takur (Sebutan masyarakat setempat) karena mempunyai banyak tanah. Atok Zakaria tanggal 6 Februari 2016, yang sedang memotong hasil panen padi mengatakan “Orang-orang Melayu dulu sonang-sonang, dulu setiap keluarga dikasih tanah sama Sultan melalui penghulu-penghulu, makanya dulu orang Melayu banyak-banyak tanahnya”.

Orang Melayu semakin hari semakin terpinggirkan oleh pihak asing, masuknya Belanda dan pembukaan perkebunan menjadikan masyarakat Melayu terping-girkan, padahal jauh sebelum masuknya Belanda para leluhur mereka sudah ber-tempat tinggal di daerah tersebut, orang Melayu di Terjun memang dikenal berada pada tingkatan atas dibandingkan etnis lainnya, punya banyak tanah dan lahan pekarangan yang luas menyebabkan mereka merasa tidak perlu bekerja keras atau banyak santai untuk memenuhi kebu-tuhan sehari-hari.

Setelah Belanda menaklukkan Suma-tera Timur dan mengizinkan pemilik modal swasta kolonial menginvestasikan modalnya dalam bentuk industri per-kebunan, kebiasaan orang Melayu meng-olah tanah mulai berubah. Untuk me-

Page 8: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

ITTIHAD, Vol. II, No.2, Juli – Desember 2018 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

Ismail |181

menuhi kebutuhan tenaga kerja, per-kebunan kolonial menawarkan penduduk asli (orang Melayu) bekerja sebagai buruh, tetapi mereka menolak. Karena kebutuhan tenaga kerja terus meningkat, sementara orang Melayu menolak bekerja sebagai buruh, akhirnya pemilik perkebunan me-rekrut orang China dari Semenanjung Melayu. Mengingat kebutuhan tenaga kerja terus meningkat, perkebunan akhir-nya langsung merekrut orang China dari asalnya negeri China. Belakangan setelah terjadi perubahan politik, perkebunan tidak lagi merekrut orang China, akan tetapi mengganti buruh dari pulau Jawa.

Lahan pekarangan Etnis Melayu di kelurahan Terjun dulunya banyak di-tanami dengan pohon kelapa yang men-julang tinggi dan di ikuti dengan tanaman-tanaman lainnya seperti padi, pisang, coklat, pohon kelapa dan lainnya. Namun antara lain karena karena pohon kelapa banyak terkena penyakit menyebabkan pohon kelapa satu persatu membusuk. Kemudian berawal dari itu akhirnya banyak pohon kelapa ditebang dan dijual sampai pohon kelapa tersebut habis atau tidak terlihat lagi di pekarangan kelurahan Terjun. Atok Zakaria dalam wawancara pada tanggal 6 Februari 2016 mengatakan “Kalau dulu disini banyak pohon kelapa, punya atok dulu dari rumah pinggir pasar itu sampai kemari. Sekali turun nanti mau dapat 100 ganding, pohon kelapo dulupun tinggi-tinggi tidak kayak pohon kelapa sekarang rendah, dulupun buah kelapa murah seganding harganya sekitar 10 perak, kalau sekarangkan uda mahal 2000/ganding.” Makna Pekarangan Bagi Etnis Melayu

Makna pekarangan bagi Etnis Melayu ternyata lebih luas lagi, peka-rangan selain untuk kehidupan sehari-hari juga mengandung arti untuk membakar sampah, memotong jalan, tempat pesta pernikahan, jemuran, bermain anak, dan memotong jalan. Hampir seluruh aktivitas kehidupan yang berkaitan dengan eko-nomi, sosial, dan budaya dijumpai di

pekarangan Pekarangan memang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat di Terjun, pekarangan juga bisa dikatakan multifungsi karena hampir semua akti-vitas sehari-hari melibatkan pekarangan sebagai sarana, alat, dan jembatan bagi masyarakat di sekitarnya.

Begitu luasnya makna/arti peka-rangan bagi masyarakat etnis Melayu, namun realitanya orang Melayu di Terjun tidak ada yang memakai kata-kata peka-rangan. Hal ini dikarenakan para etnis Melayu tidak terbiasa dan sejak nenek moyangnya tidak pernah memakai kata pekarangan. Pak Zakaria tanggal 4 Februari 2016 ketika ditanya tentang arti pekarangan beliau mengatakan “Apa… Pekarangan sambil berpikir dan terdiam mencari artinya” Ibu Butet juga terlihat bingung ketika peneliti bertanya tentang makna pekarangan, beliau mengatakan “Pekarangan, pekarangan apa ya?. Faktor Penyebab Musnahnya Peka-rangan Etnis Melayu

Pada awalnya etnis Melayu punya banyak tanah dan lahan pekarangan, pada masa kesultanan etnis Melayu diberikan tanah melalui penghulu masing-masing dusun yang sekarang sudah menjadi lingkungan. Setiap orang Melayu punya banyak tanah dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, kampung Terjun yang dulunya belum banyak di huni oleh orang-orang atau masih banyak hutan yang tidak berpenghuni membuat tanah dan lahan pekarangan tidak berharga. Kemudian setelah pembukaan per-kebunan tembakau oleh Belanda di wila-yah Sumatera termasuk di Terjun maka didatangkan etnis Cina, dan Jawa untuk dijadikan kuli kontrak, berawal dari itu pertambahan penduduk di Terjun semakin bertambah sampai kepada pun-caknya pada tahun 2000-an dimana etnis pendatang berbondong-berbondong masuk ke Terjun dan memilih bertempat tinggal di Terjun dan di sekitar daerah tersebut. Octaviani memaparkan “Menurut sejarah asal-usul penduduk kampung

Page 9: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

ITTIHAD, Vol. II, No.2, Juli – Desember 2018 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

182 | Dampak Musnahnya Perkarangan Bagi Etnis Melayu di Kelurahan Terjun Medan Marelan

Terjun dan Pekan Labuhan pada awalnya adalah etnis Melayu yang merupakan keturunan dari Sultan Deli, namun setelah adanya pembukaan perkebunan di wila-yah Sumatera khususnya Sumatera Utara, maka didatangkan etnis lain yaitu Cina dan Jawa sebagai tenaga kuli kontrak yang bekerja untuk kolonial Belanda dikarena-kan orang Melayu yang ada diwilayah ini tidak mau bekerja sebagai tenaga kerja. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa mereka yang mempunyai lahan dan mereka merupakan keturunan bang-sawan/sultan serta adanya rasa malu menjadi kuli kontrak di lahan sendiri walaupun telah disediakan oleh kolonial Belanda”.23

Faktor yang menyebabkan Etnis Melayu menjual pekarangannya yaitu harga tanah yang sudah mahal, diwariskan kepada anak-anak yang sudah menikah, keperluan biaya anak sekolah, untuk modal usaha, untuk membeli peralatan canggih serta membangun rumah per-manen dan untuk biaya pengobatan anak di rumah sakit, antra lain sebagai berikut: Diwariskan Kepada Anak Untuk Bangun Rumah

Etnis Melayu mayoritas punya banyak pekarangan yang luasnya sekitar 4-7 rantai, para orang tua etnis Melayu yang punya pekarangan tidak ber-keinginan untuk menjual lahan peka-rangan. Mereka lebih memikirkan masa depan anak-anaknya ketimbang kekayaan dan kecanggihan teknologi pada zaman modern. Orang Melayu rata-rata mem-punyai banyak keturunan atau anak, satu keluarga rata-rata punya 8-9 orang anak, mungkin ini disebabkan karena persefsi mereka bahwa jika banyak anak banyak rezeki. Situasi dan kondisi pada saat itu juga yang tidak perlu bersusah payah untuk bekerja dalam memenuhi kehi-dupan sehari-hari sehingga memicu orang Melayu untuk tidak takut mempunyai banyak anak.

23 Dewi Yani Octaviani, Perubahan…, hlm. 28

Untuk Biaya Anak Sekolah Berkembangnya zaman modern

secara terus menerus menuntut semua masyarakat di setiap negara berlomba-lomba untuk menjadi nomor satu dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bisa didapat dilembaga-lembaga formal seperti sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi, sedangkan lembaga informal seperti lem-baga yang bergerak dalam bidang pendi-dikan. Pak Zakariah tanggal 6 Februari 2016 mengatakan “Pemerintah saat ini adalah pemerintah dagang semuanya di-bayar semuanya harus dibayar, baju sekolah beda-beda dari SD, SMP, dan SMA, belum lagi topinya, dasinya, uang daftar-nya. Berbeda dengan sekolah pada masa soekarno dulu, kalau mau sekolah tidak perlu pakai seragam cuma pakai baju bebas saja, pakai selop, dan gratis.” Untuk Jadi Modal Usaha

Berbeda halnya dengan sebagian kecil etnis Melayu, aset satu-satunya yaitu pekarangan yang dulunya tidak berharga atau masih murah dan tidak terlalu di-perebutkan harus rela dijual karena tidak harta lain yang bisa digunakan untuk modal usaha, biaya rumah sakit, menikah, anak sekolah dan naek haji. Nek Icik tanggal 13 Februari 2016 mengatakan dalam wawancaranya “Tanah depan Ibu dulu habis dijual untuk biaya sekolah anak Ibu, tanah yang samping itu Ibu jual juga untuk biaya rumah sakit anak Ibu paling kecil, inilah sekarang tinggal setapak rumah lagi.” Pengaruh Modernisasi

Pengaruh modernisasi bagi etnis Melayu di Terjun terlihat jelas dari teknologi-teknologi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti kompor gas, sanyo, gosokan listrik, sepeda motor, dan barang elektronik lainnya. Berbeda halnya pada tahun di bawah 2000-an yang dikatakan juga zaman melenium, orang Melayu masih banyak yang menggunakan kayu bakar untuk memasak, memakai timbah yang diikat dengan tali untuk mengambil air, memakai gosokan arang,

Page 10: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

ITTIHAD, Vol. II, No.2, Juli – Desember 2018 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

Ismail |183

dan memakai sepeda dengan mendayung kaki, dan lain-lain. Namun penggunaan alat-alat tradisional masih terlihat dalam beberapa acara seperti pernikahan, pada acara pernikahan kompor gas hampir tidak berguna sama sekali untuk me-masak. Dampak Musnahnya Pekarangan Secara Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Kehidupan orang Melayu tidak sejah-tera seperti dulunya, sifat orang Melayu yang tidak suka dengan konflik membuat orang Melayu di Kelurahan Terjun ter-asingkan diantara etnis lainnya. Mereka yang punya banyak warisan tanah dari nenek moyangnya sudah banyak terjual kepada pihak asing, hal ini dikarenakan berbagai faktor yang saling berkaitan dan salah satu faktor yaitu untuk kebutuhan para anak. berbagai keperluan anak mem-buat pekarangan harus dijual kepada etnis pendatang seperti china, jawa, mandailing dan etnis lainnya, padahal para orang tua mereka tidak berpikir untuk menjualnya malahan dikelola dan dimanfaatkan untuk menambah biaya kehidupan sehari-hari. Ini dipengaruhi banyaknya orang-orang pendatang yang bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik industri di sekitar Pekan Labuhan, yang membuat mereka mencari tempat tinggal sekitar Pekan Labuhan dan kelurahan Terjun. Wawancara peneliti kepada Pak Zakaria mengatakan “Mengatakan sekitar tahun 2000-an mulailah menyerbu masuk etnis pen-datang untuk memilih bertempat tinggal di Terjun dan di sekitarnya”. Tanah dan lahan pekarangan yang tidak ada harga-nya pada waktu itu kemudian tiba-tiba dibayar dengan harga yang cukup mahal sehingga membuat kebanyakan orang Melayu di Terjun merelakan tanah dan lahan pekarangannya untuk dijual kepada etnis pendatang. Dampak Secara Ekonomi

Pendapatan rumah tangga menjadi berkurang, namun pendapatan dari hasil pekarangan berganti dengan gaji sang anak yang telah tamat sekolah dan

bekerja. Para anak yang di sekolahkan sampai tamat kemudian bekerja dan punya gaji, memberikan sebagian duit kepada para orang tua yang telah menyekolahkan mereka dari hasil pen-jualan sebagian pekarangannya. Selanjut-nya hasil tanaman/pohon yang ada di pekarangan seperti buah pisang, ram-butan, kelapa muda, buah jambu, tidak bisa dimakan lagi untuk saat-saat ber-santai.

Sedikit atau banyaknya hasil peka-rangan tersebut tidak membatasi bahwa tidak termasuk atau tidak bermanfaat secara ekonomi. Kalau hasil pekarangan tersebut sedikit maka dapat dikonsumsi sendiri, untuk keluarga, dan untuk tamu, dalam kehidupan sehari, akan tetapi apa-bila hasil pekarangan tersebut banyak maka dapat dijual dan dijadikan pen-dapatan tambahan rumah tangga. Salah satu dampak dari musnahnya pekarangan ialah dari segi ekonomi, hilangnya lahan pekarangan membuat berkurangnya pen-dapatan rumah tangga. Tidak adanya pekarangan berarti secara otomatis tidak ada lagi hasil pekarangan yang dapat membantu perekonomian rumah tangga, makanan ringan dari hasil pekarangan seperti kripik pisang, ubi goren, jemput-jemput, pepaya, dan lainnya tidak dapat dimakan ketika waktu bersantai bersama keluarga. Nek Icik tanggal 13 Februari 2016 dalam wawancaranya mengatakan “Sekarang ini tidak adalah lagi yang bisa Ibu jual ke pasar, dulu masih ada lagi padi Ibu, pohon pisang Ibu, sekarang beraspun Ibu beli kalau dulu mana ada Ibu beli. Sawah Ibu dulu ada.” Dampak Secara Sosial

Musnahnya pekarangan menyebab-kan semakin berkurangnya hubungan dan interaksi sosial sesama Etnis Melayu dan etnis lainnya, jalan potong yang dulunya dijadikan jalan potong sekarang tidak bisa lagi dilalui oleh warga karena sudah berdiri rumah, toko, dan kedai sampah. Akibatnya interaksi sosial sesama Etnis Melayu dan etnis lain berkurang, sehingga

Page 11: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

ITTIHAD, Vol. II, No.2, Juli – Desember 2018 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

184 | Dampak Musnahnya Perkarangan Bagi Etnis Melayu di Kelurahan Terjun Medan Marelan

berdampak pada berkurang bahkan hilangnya toleransi, tegur sapa, seperti halnya sikap masyarakat perkotaan.

Musnahnya pekarangan (depan rumah) membuat masyarakat khususnya Melayu tidak lagi bisa digunakan untuk acara pernikahan, tidak heran di daerah perkotaan yang padat penduduk jalan umum/aspal digunakan sebagai tempat teratak pada acara pernikahan. Dampak Secara Budaya Musnahnya pekarangan tentu akan berakibat hilangnya prilaku ekonomi dan sosial yang menjadi sebuah budaya jika dipandang dari kacamata, dari peng-amatan peneliti di lapangan terlihat banyak Etnis Melayu yang berkurang nilai solidaritasnya, gotong royong, dan tegur sapanya. Tidak ada yang harus disalahkan dalam musnahnya pekarangan, semuanya saling mempengaruhi baik dari faktor dalam maupun pihak luar. Musnahnya pekarangan secara budaya membawa dampak negatif bagi Etnis Melayu, peka-rangan yang mempunyai manfaat dan pengaruh besar bagi kehidupan membuat berkurangnya pendapatan rumah tangga, sosial, dan budaya pada Etnis Melayu. Budaya di pekarangan yang secara turun temurun diwariskan kepada generasi muda ikut hilang, budaya tersebut yang juga merupakan prilaku ekonomi dan bersosial jarang terlihat lagi di peka-rangan Etnis Melayu. KESIMPULAN

Makna pekarangan bagi Etnis Melayu memiliki arti lebih luas lagi, peka-rangan selain untuk kehidupan sehari-hari juga berarti untuk membakar sampah,

memotong jalan, tempat pesta pernikahan, jemuran, tempat bermain dan tempat menyimpan kayu bakar. Kata pekarangan dimaknai oleh etnis Melayu adalah kebun. Kebun dalam pengertian etnis Melayu yaitu lahan yang ada di sekitar rumah, dalam artian pengertian kebun bagi etnis Melayu sama artinya dengan pekarangan. Tidak hanya itu kebun juga diartikan oleh etnis Melayu adalah lahan yang berada jauh dari rumah. Pekarangan bagi etnis Melayu punya makna/arti yang sangat luas, pekarangan selain berguna untuk menunjang perekonomian juga berguna dalam sarana berinteraksi sosial.

Penyebab musnahnya pekarangan adalah mahalnya harga tanah, diwariskan kepada anaka untuk bangun rumah, biaya sekolah anak, jadi modal usaha, berkem-bang pesatnya modernisasi yang telah mengglobalisasi. Beberapa penyebab di atas saling berkaitan serta mempengaruhi dan menjadi alasan yang rasional hilang/ musnahnya pekarangan dikalangan Etnis Melayu di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan.

Dampak musnahnya pekarangan bagi etnis Melayu adalah terjadinya penyempitan lahan, bertambah besarnya pengeluaran biaya sehari-hari, hilangnya sarana bersosialisasi dan berkurangnya proses interaksi sosial sesama masya-rakat, dan hilangnya prilaku budaya di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan. Dampak musnahnya pekarangan tersebut lebih terasa keperekonomian, sedangkan secara sosial, dan budaya beberapa pekarangan masih berfungsi walaupun kurang difungsikan.

Page 12: Ismail - ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id

ITTIHAD, Vol. II, No.2, Juli – Desember 2018 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

Ismail |185

DAFTAR BACAAN

Dove, Michael R. Man Land and Game in Sumbawa: Some Observations on Agrarian Ecology and development Policy in Eastern Indonesia. Singpore Journal od Tropical Geography 5, 1984.

Endraswara, Suwaruli, Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres, 2003.

https://musgin.wordpress.com/2010/03/27/pemanfaatan-pekarangan/(06/11/2015; 17.30 wib).

Huberman and Milles, Analisis Data Kualitatif (Tentang Metode-Metode Baru). Jakarta: UI-Press, 1992.

James, Sprradley, Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.

Lah, Husny Tengku. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Melayu Pesisir Deli Sumatera Timur 1612-1950. Medan: BP Husny, 1975.

Paeru, R.H, Trias Qurnia Dewi, Panduan Praktis Bertanam Sayuran Di Pekarangan. Jakarta: Penebar Swadaya, 2015.

Penny, Menneth Ginting, Pekarangan Petani dan Kemiskinan. Universitas Press Gadjah Mada, 1984.

Rahayu, M. dan Suhardjono P., Keanekaragaman Tanaman Pekarangan dan Pemanfaatan-nya Di Desa Lampeapi, Pulau Wawoni Sulawesi Tenggara. Pusat Penelitian Biologi: LIPI. Jurnal, 2005.

Reno, Suryani, Berternak Puyuh Di Pekarangan Tanpa Bau. Yogyakarta: Ar Citra, 2015.

Tambunan, M. Husni, Perubahan Budaya Dalam Pengelolaan Pertanian. Unimed: Pasca-sarjana, Tesis, 2007.

Usman, Pelly, Dinamika dan Perubahan Sosial (Kasus Orang Melayu Di Sumatera Timur). IKIP Medan: Jurnal, 1990.